Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 18
Melihat
semua orang gagah ini menyerang barisan pemerintah, hati Beng San semakin
perih. Semua orang itu, patriot-patriot sejati, orang-orang gagah perkasa
sejati, berjuang untuk negara, mati-matian bertempur untuk mengusir penjajah.
Dan dia? Ahh, dia sudah kena dibujuk oleh musuh. Untuk menolong nyawa sendiri
dan nyawa Kwa Hong serta dua orang Hoa-san-pai, dia malah sudi berpesta-pora
dengan musuh. Lebih hebat lagi, dia dan Kwa Hong... ahhh, mengapa terjadi hal
itu..?
Seperti
orang gila, Beng San menjambak-jambak rambutnya, menampar kedua pipinya dengan
tangan sampai darah mengalir dari mulut dan hidungnya, menjambak-jambak lagi
rambutnya sambil menangis.
"Apa
yang kulakukan...? Ahhh, Tuhan apa yang kulakukan? Mampus saja kau,
mampus!" Ia menampari lagi mukanya yang sudah tidak karuan macamnya itu.
Tiba-tiba
dia dipeluk orang. "San ko... San-ko... kau kenapa... ?"
"Hong-moi...
tidak... tidak! Biar aku mampus! Aku harus mampus…!”
la
merenggutkan tubuhnya sampai Kwa Hong terpelanting. Tapi gadis ini menubruk
lagi sambil menangis, memeluk tubuh Beng San, rambutnya terlepas, terurai
membelai leher Beng San. Hal ini lebih-lebih mengingatkan Beng San akan
peristiwa malam tadi. Kembali dia merenggutkan diri dan terlepaslah pelukan Kwa
Hong.
“San-ko...
kau ingatlah... San-ko, lihatlah aku. Aku Hong-moi, aku ini isterimu... San-ko,
suamiku..."
Ucapan ini
seperti garam pada hati yang terluka, membuat Beng San roboh terguling dan
kembali dia menghantam muka sendiri. Darah mengucur dari pinggir matanya. Ia
bertekad untuk memukul kepalanya dengan pukulan maut.
Akan tetapi
tiba-tiba terngiang di telinganya wejangan-wejangan para hwesio di kelenteng
dahulu tentang orang yang membunuh diri. Di waktu dia masih kecil, dia melihat
seorang petani membunuh diri setelah membunuh isterinya sendiri karena keadaan
mereka yang terlampau miskin. Hwesio kepala dari kelenteng di mana dia bekerja
berkata tentang itu,
"Membunuh
diri untuk menyesali perbuatan dosa adalah perbuatan yang amat pengecut, malah
menambah berat dosanya. Dosa harus ditebus dengan perbuatan-perbuatan baik.
Membunuh diri karena rasa menyesal berarti tidak mau dan tak berani
mempertanggung jawabkan kesalahanannya, tidak berani menghadapi hukuman atas
perbuatannya itu."
Seketika dia
menjadi tenang. Dia lalu mengusap darah yang memenuhi mukanya, yang membuat
mulutnya terasa sesak bernapas dan matanya terasa pedas sukar dibuka. Dia lalu
bangkit berdiri dan ketika Kwa Hong hendak memeluknya, dia mengulur kedua
tangan menolaknya halus.
"Jangan,
Kwa Hong. Jangan ulangi perbuatan kita yang biadab!”
"Apa
katamu? San-ko, kau bilang perbuatan biadab? San-ko, aku adalah isterimu,
isteri yang mencintamu sepenuh jiwa ragaku."
"Diam,
Kwa Hong! Kita sudah melakukan pelanggaran susila. Aku harus mampus untuk itu,
akan tetapi biarlah kau saja yang membunuhku. Aku... aku tak dapat membunuh
diri. Hong-moi, aku telah menodaimu, nah, kau cabut pedangmu dan, kau bunuh
aku."
"Tidak,
San-ko. Kau adalah suamiku..."
"Bukan,
Hong-moi. Aku tidak bisa menjadi suamimu..."
"Tapi...
tapi aku isterimu yang mencinta. Aku... aku cinta padamu..."
Beng San
menarik napas panjang, menggeleng kepala. "Dulu sudah kukatakan padamu.
Aku tidak mencintaimu sebagai seorang kekasih. Aku cinta kepadamu sebagai
seorang kakak terhadap adiknya. Hong-moi, memang aku sudah berdosa kepadamu.
Aku tidak sengaja... hemmm, tak perlu aku membela diri, pendeknya, aku sudah
berdosa padamu. Hanya tepat bila ditebus nyawa. Kau bunuhlah aku sebelum orang
lain tahu, Hong-moi... bunuhlah aku, bunuhlah!" Beng San menjerit-jerit
minta dibunuh.
Namun Kwa
Hong terhuyung-huyung mundur, mukanya pucat sekali. Rambutnya yang terurai dan
hitam itu menambah kepucatan mukanya. Air matanya bercucuran.
"Sanko...
kau... kau tetap tidak mau mengambil aku sebagai isteri setelah... setelah apa
yang terjadi malam tadi...?"
Beng San
merasa jantungnya seperti diremas-remas.
"Tidak,
Hong-moi. Kalau aku memaksa diri, dosaku akan makin besar. Hal itu berarti aku
membohongimu, membohongi diriku sendiri. Kau akan lebih tersiksa lagi kelak.
Aku... aku tidak bisa menjadi suamimu.”
"San-ko...
katakanlah, apakah... apakah ada orang lain...?"
Beng San
tersenyum pahit, lalu dia mengangguk. "Sungguh pun sekarang aku tidak ada
harganya lagi untuk mencintanya, namun di dalam hatiku aku bersumpah... aku
hanya dapat mencinta dia seorang..."
”Siapa dia?
Bilang, siapa dia?"
Karena
sedang bingung dan gelisah, pikirannya kacau-balau, Beng San menerangkan juga.
"Dia seorang gadis gagu, puteri Song-bun-kwi..."
Kwa Hong
menjatuhkan diri berlutut, lalu menangis terisak-isak. Hati Beng San semakin
hancur melihat gadis itu berurai rambut sambil menangis demikian sedihnya.
"Hong-moi,
kau... kau bunuhlah aku sekarang juga. Aku sudah tidak suka lagi hidup di dunia
ini...," katanya dengan suara serak.
Tiba-tiba
Kwa Hong meloncat bangun, mukanya pucat sekali, sepasang matanya tidak lagi
menangis.
"Beng
San! Kau... kau manusia berhati kejam! Kau sudah dua kali menghinaku, menolak
cintaku dan kau... ahhh, seharusnya kubunuh engkau!"
"Bunuhlah,
aku akan berterima kasih..."
Tiba-tiba
Kwa Hong tertawa, nyaring dan aneh bunyinya sampai meremang bulu tengkuk Beng
San.
"Jangan
tertawa seperti itu Hong-moi, kau bunuhlah aku orang kejam dan hina
ini..."
"Ha-ha-ha,
tidak! Aku tak akan membunuhmu, biar kau hidup menderita dan gila karena
perbuatanmu tadi malam. Dan aku... Ha-ha-ha, kau dengar Beng San, aku akan
kawin dengan laki-laki yang paling buruk, yang paling bodoh, kawin dengan
laki-laki mana saja yang pertama kali kujumpai..."
Setelah
berkata demikian Kwa Hong melompat dan berlari pergi dari situ. Dari kejauhan,
mengatasi suara hiruk-pikuk peperangan, terdengar jeritnya melengking tinggi,
terdengar seperti tertawa akan tetapi juga seperti tangis sedih.
Beng San
menjatuhkan diri berlutut dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Akan tetapi
dia tidak lama berada dalam keadaan seperti ini. Ketika dia teringat akan semua
peristiwa yang dialami, kemarahannya memuncak terhadap Pangeran Souw Kian Bi
dan kakak kandungnya, Tan Beng Kui. Dua orang itu yang menjadi gara-gara
sehingga dia mabuk dan melakukan perbuatan hina itu.
Serentak dia
bangun, matanya kemerahan dan liar. Lalu, melihat orang-orang berperang
tanding, dia mengeluarkan suara menggeram keras kemudian lari menyerbu ke
tengah pertempuran. Seperti menggila dia mengamuk, entah berapa banyaknya
tentara musuh dia robohkan dengan tangan kosong saja.
Setiap
memegang seorang tentara musuh, dia tanya di mana adanya Souw Kian Bi dan Tan
Beng Kui. Kalau tentara itu menjawab tidak tahu, lalu dibantingnya orang itu
sampai remuk kepalanya. Dan memang dua orang yang dia cari itu sudah tidak ada
lagi di situ, sudah sejak tadi pergi setelah melihat bahwa keadaan benteng tak
dapat dipertahankan lagi.
Malah
Hek-hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi, Kim-thouw Thian-li dan Giam Kin juga sudah tidak
kelihatan bayangannya lagi. Mereka pun maklum bahwa kalau pertempuran
dilanjutkan, mereka tentu akan menjadi korban karena selain pada pihak lawan
banyak terdapat orang tangguh, juga jumlah lawan makin lama makin membanjir
datangnya, amat banyaknya. Jelas sudah benteng itu tidak dapat dipertahankan
lagi, korban pihak tentara pemerintah luar biasa banyaknya dan yang masih
sempat lari mulai menyelamatkan diri.
Setelah
mendapat kenyataan bahwa dua orang yang dicarinya itu tidak ada di situ, Beng
San lalu berlari pergi dalam keadaan yang amat mengerikan. Mukanya
bengkak-bengkak, hidung dan mulutnya masih berdarah, matanya merah sekali,
rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat kehijauan.
Berulang-ulang
bala tentara pemerintah diserbu dan dihancurkan oleh pihak para pejuang. Bahkan
kini para pejuang sudah berani mengganggu dan kadang-kadang menyerbu kota raja
secara bergerilya. Di sekeliling kota raja, di luar tembok kota, keadaan sudah
mulai tidak aman. Para bangsawan, pembesar dan keluarga kerajaan mulailah
merasa gelisah, bahkan ada yang sudah pergi mengungsi jauh ke utara.
Semua usaha
yang telah dilakukan oleh para perwira, terutama sekali Pangeran Souw Kian Bi
dan Tan Beng Kui untuk menghancurkan para pejuang, selalu gagal. Bahkan setiap
rencana penyerbuan mereka, tiap gerak-gerik dan taktik perang mereka, agaknya
selalu diketahui lebih dahulu oleh pihak pejuang sebelum taktik itu
dilaksanakan.
Misalnya
seorang penjaga dan penyelidik melapor akan adanya sepasukan musuh di luar
tembok kota. Pangeran Souw Kian Bi segera mengatur sebuah pasukan yang lebih
besar untuk menyergap dan membinasakan pasukan lawan itu. Tetapi sesampainya di
sana, tak seorang pun tentara pejuang yang kelihatan! Bahkan dalam perjalanan
kembali, pasukan pemerintah ini tahu-tahu sudah dikurung oleh musuh yang lebih
banyak jumlahnya dan kemudian dihancurkan!
Dinasti Goan
yang dibangun oleh Jengis Khan itu sekarang sudah berada di pinggir jurang
kehancuran. Kejayaan bangsa Mongol di Tiongkok agaknya sudah hampir berakhir.
Justru
kekacauan di kota raja ini yang membuat Beng San selalu tidak berhasil dalam
usahanya mencari Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui. Berkali-kali dia
menyerbu ke istana di kota raja, namun selalu tidak menemukan dua orang itu
yang agaknya amat repot dalam menghadapi penyerbuan-penyerbuan para pejuang.
Akhirnya dia
teringat akan tugasnya yang belum dia laksanakan, yaitu merampas kembali pedang
Liong-cu Siang-kiam. Maka pergilah dia ke Thai-san karena dia teringat bahwa
saatnya telah tiba untuk diadakan perebutan gelar Raja Pedang seperti yang
sering dia dengar di luaran.
la merasa
yakin bahwa gadis she Cia yang mencuri Liong-cu Siang-kiam itu pasti akan
muncul di dalam arena perebutan gelar Raja Pedang itu mengingat akan ilmu
pedangnya yang amat hebat ketika gadis she Cia itu mendemonstrasikan
kepandaiannya di puncak Hoa-san setahun yang lalu dengan mengalahkan Pek Tung
Hwesio beserta Hek Tung Hwesio. Apa lagi sudah jelas bahwa pada masa ini yang
memegang gelar Raja Pedang adalah Cia Hui Gan, ayah gadis itu.
Teringat
akan semua ini, Beng San lalu melakukan perjalanan cepat ke Thai-san supaya
kedatangannya tidak sampai terlambat….
***************
Pagi-pagi
benar di puncak Gunung Thai-san sudah nampak kesibukan. Cia Hui Gan atau
terkenal pula sebagai Raja Pedang tinggal di salah sebuah puncak bukit ini. Cia
Hui Gan adalah seorang pendekar besar yang sangat terkenal namanya sebagai ahli
waris Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang dahulu diciptakan oleh pendekar wanita
sakti Ang I Niocu.
Akan tetapi
pendekar ini jarang sekali turun gunung. Sesungguhnya, semenjak isterinya yang
tercinta meninggal dunia, Cia Hui Gan menjadi bosan di dunia ramai. Dia kini
hidup sebagai pertapa di puncak Thai-san bersama puteri tunggalnya, Cia Li Cu.
Sebelum
bangsa Mongol menjajah di Tiongkok memang dia adalah keturunan bangsawan kaya
raya. Maka biar pun hidup mengasingkan diri di puncak Gunung Thai-san, dia
hidup serba berkecukupan. Apa lagi setelah berada di tempat sunyi itu, dia
tidak membutuhkan banyak keperluan. Ada pun untuk makan sehari-hari bersama
puteri dan pelayan-pelayan serta murid-muridnya, dia mendapatkan hasil dari
sawah ladangnya.
Cia Hui Gan
amat mencinta puteri tunggalnya sehingga seluruh ilmu pedangnya telah dia
turunkan kepada Cia Li Cu. Bahkan untuk menyenangkan hati puterinya yang agak
manja, pendekar ini sengaja mendatangkan dua belas orang pelayan wanita-wanita
yang semua muda-muda dan cantik-cantik untuk menjadi teman Li Cu, malah
berkenan menurunkan ilmu pedang yang cukup lihai bagi para pelayan atau teman anaknya
ini.
Pagi hari
itu, tidak seperti biasanya, pagi-pagi sekali Cia Hui Gan sudah duduk di
ruangan depan rumahnya yang amat lebar. Semua bangku dan kursi di dalam ruangan
dikeluarkan dan diatur di pekarangan itu, memutari pekarangan yang berlantai rumput
hijau.
Pendekar
yang usianya telah lima puluh tahun ini nampak gagah dalam pakaiannya yang
ringkas berwarna kuning. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang dan
dia nampak gesit. Wajahnya yang biasanya muram kini terlihat berseri.
Para pelayan
yang berjumlah dua belas orang dan cantik-cantik itu pun berpakaian serba
ringkas, juga pada pinggang setiap orang pelayan tergantung sebatang pedang.
Karena pakaian para pelayan ini semuanya sama, berwarna kuning berkembang
merah, mereka tampak angker dan juga cantik-cantik, seperti puteri-puteri dalam
pesta di istana.
Yang hebat
adalah Cia Li Cu sendiri. Gadis itu seperti biasanya berpakaian serba merah,
sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam tergantung pada punggungnya. Rambutnya yang
panjang menghitam itu digelung ke atas sehingga tampak jelas kulit lehernya
yang putih kuning. Di dekat nona ini kelihatan seorang nona lain, juga cantik
manis berpakaian serba kuning. Nona ini bukan lain adalah Lee Giok!
Mengapa Lee
Giok yang dikenal sebagai Ji-enghiong pemimpin mata-mata pemberontak itu berada
di situ? Hal ini tidak aneh kalau diketahui bahwa Lee Giok sebenarnya masih
murid Cia Hui Gan yang kepandaiannya pun hebat, sungguh pun ia hanya mewarisi
ilmu pedang ciptaan Raja Pedang itu sendiri. Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut
terlalu tinggi untuk dapat dipelajari oleh Lee Giok. Tidak sembarang orang
dapat mempelajari ilmu pedang sakti ini karena membutuhkan dasar dan tenaga
murni yang kuat.
"Sumoi
(adik seperguruan), sekali ini tentu ramai nanti di sini," berkata Lee
Giok sambil tersenyum, kelihatan gembira dan tidak sabar menanti datangnya para
tamu yang hendak memperebutkan gelar Raja Pedang.
"Suci
(kakak seperguruan), dahulu pada saat diadakan perebutan gelar Raja Pedang, aku
masih kecil dan kau belum menjadi murid ayah. Aku pun ingin sekali melihat
apakah ada orang yang akan dapat mengalahkan ilmu pedang ayah kali ini,"
kata Li Cu.
Walau pun
dalam tingkatan kepandaian, Li Cu jauh lebih tinggi dari pada Lee Giok, akan
tetapi karena usia Lee Giok lebih tua, maka Li Cu menyebutnya suci dan nona she
Lee ini menyebutnya sumoi.
Melihat
puteri dan muridnya bicara sambil tertawa-tawa, Cia Hui Gan menegur,
"Kalian kelihatan gembira amat. Kiraku kalian takkan segembira ini kalau
tahu bahwa kali ini yang datang ke sini tentulah orang-orang sakti yang sangat
lihai kepandaiannya. Aku sendiri meragukan apakah aku masih akan mampu
mempertahankan gelar Raja Pedang yang sesungguhnya kosong melompong itu."
Orang tua ini menarik napas panjang. "Apa lagi setelah umum mengetahui
bahwa murid-murid Thai-san banyak yang menjadi pejuang. Kali ini aku tidak akan
dapat menyembunyikan rahasiaku lagi, aku akan berterus terang bahwa memang kita
adalah pejuang-pejuang yang benci melihat penjajahan di negeri kita. Oleh
karena itulah maka aku sengaja menahan Lee Giok, biar mereka tahu bahwa Lee
Giok yang terkenal di kota raja adalah muridku!"
Ucapan
terakhir ini diucapkannya dengan nada suara bangga. Lee Giok menjadi merah
mukanya, kemudian terbayang kesedihan.
"Suhu,
teecu telah gagal dalam tugas teecu... sehingga teecu terlambat pula
menolong... Kwee-taihiap..."
"Hemmm,
Kwee Sin harus dipuji. Dia adalah seorang patriot sejati yang untuk tanah air
dan bangsanya rela mengorbankan nama baik, mengorbankan perguruan, mengorbankan
tunangan dan akhirnya mengorbankan jiwanya. Di masa sekarang jarang terdapat
orang seperti dia." Setelah orang tua ini berkata demikian, keadaan di
sana menjadi sunyi dan terdengarlah isak tertahan dari Lee Giok.
Semua orang,
termasuk gurunya sendiri tidak tahu bahwa nona ini selama bekerja sama dengan
Kwee Sin, telah jatuh cinta kepada pemuda Kun-lun-pai itu. Hanya sebentar Lee
Giok terisak karena ia segera dapat menekan perasaannya.
"Suci,
memang menyedihkan kalau diingat nasib Kwee-taihiap. Akan tetapi, sesudah kau
dikenal sebagai pejuang, apakah kiranya tak akan ada pasukan pemerintah yang
datang mengejarmu ke tempat ini? Ayah, apa sekiranya pertemuan kali ini tidak
akan memancing datangnya pasukan musuh?" tanya Li Cu.
”Biarkan
mereka datang! Aku akan melawannya. Pula, kiraku teman-teman seperjuangan kita
tidak akan tinggal diam begitu saja. Pek-lian-pai juga sudah siap sedia. Memang
pertemuan kali ini hanya kupergunakan sebagai kedok saja. Yang paling penting
adalah bisa mengumpulkan para orang gagah untuk kubujuk dan bersama-sama
menggulingkan pemerintah penjajah yang sudah makin lemah ini."
"Sumoi
dan Suhu harap tidak berkhawatir. Agaknya sudah pasti barisan besar penjajah
akan datang ke sini, akan tetapi semua ini sudah diatur oleh dia di kota raja.
Pek-lian-pai juga sudah bersiap-siap bersama pasukan-pasukan pejuang yang lain.
Sudah dapat teecu bayangkan, Suhu, bahwa pada saat di sini kita merayakan
perebutan gelar Raja Pedang, kota raja pasti akan mengalami hal-hal yang hebat
sekali!" Kembali wajah yang tadinya sedih ini berseri-seri dan penuh
semangat.
"Mudah-mudahan
dia berhasil..." kata Li Cu. Segera muka gadis cantik jelita ini berubah
merah, semerah bajunya ketika melihat betapa Lee Giok mengerlingnya dengan
senyum menggoda.
Tiba-tiba
saja terdengar suara gaduh dari bawah puncak, disusul berkelebatnya bayangan
orang yang berlari-lari naik sambil berteriak-teriak, "Wah celaka...
celaka betul... mana ada aturan begitu...?"
Ketika semua
orang memandang, ternyata yang berlari-lari dengan napas sengal-sengal itu
adalah seorang kakek yang tubuhnya bongkok dan matanya besar sebelah. Biar pun
dia lari sambil terbongkok-bongkok, namun kedua kakinya ternyata dapat bergerak
cepat sekali.
Cia Hui Gan
segera mengenal orang ini dan bertanya. "Yok-mo (Setan Obat), kenapakah
kau datang berlari-lari seperti dikejar setan?"
"Hayaaa,
memang setan yang mengejarku. Malah raja setan, iblis sendiri..." Kakek
itu terengah-engah sambil menoleh ke belakang ketakutan. "Coba kau pikir,
Kiam-ong (Raja Pedang), mana ada aturan begini? Ada orang memaksa-maksaku untuk
menyembuhkan penyakit, ke mana pun aku pergi aku dikejar terus dan nyawaku
terancam..."
"Yok-mo,
kau adalah ahli pengobatan, sudah sewajarnya kalau ada orang minta tolong
kepadamu," kata Cia Hui Gan tenang.
Mata yang
besar sebelah itu melebar. ”Apa yang kau bilang? Namaku adalah Toat-beng Yok-mo
(Setan Obat Pencabut Nyawa), mana bisa aku menyembuhkan orang? Boleh saja
kusembuhkan penyakitnya, tapi nyawanya harus kucabut."
Wajah Raja
Pedang yang angker itu nampak tak senang, lalu kata Cia Hui Gan, suaranya
angkuh, "Hemmm, setiap orang memang berhak mempunyai pendapat sendiri.
Toat-beng Yok-mo, habis apa keperluanmu datang berlari-lari ketakutan ke tempat
kami ini?"
"Kiam-ong,
kau tolonglah aku kali ini.”
Diam-diam
Cia Hui Gan merasa heran juga. Orang seperti Toat-beng Yok-mo ini memiliki
kepandaian yang tinggi. Tidak sembarang tokoh kang-ouw mampu mengalahkannya,
apa lagi membuat dia ketakutan seperti itu. Pendekar ini mengeluarkan dengus
mengejek.
"Hemmm,
kau sendiri pantang menolong orang tapi masih tidak malu minta tolong kepada
orang lain! Yok-mo, kalau kedatanganmu hanya minta tolong, kau pergilah lagi.
Aku tidak suka mencampuri urusanmu."
Toat-beng
Yok-mo adalah seorang yang amat cerdik biar pun kadang-kadang dia seperti tidak
normal otaknya. Cepat dia berkata, "Bukan, bukan hanya ingin minta tolong,
tetapi terutama sekali untuk menghadiri perebutan gelar Raja Pedang. Bukankah
diadakannya hari ini? Kiam-ong, aku hari ini menjadi tamumu yang pertama!"
Pada saat
itu terdengar bentakan, "Yok-mo, kau hendak lari ke mana?!"
Suara ini
nyaring dan parau, terdengar dari jauh sekali akan tetapi cukup keras sehingga
Cia Hui Gan kembali terkejut. Jelas bahwa orang yang mengeluarkan bentakan ini
adalah seorang yang memiliki Iweekang tinggi sekali.
Cia Hui Gan
lebih-lebih kaget dan heran ketika berbareng dengan bentakan dari jauh itu
berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu seorang gadis muda berpakaian merah
sudah menyambar dekat. Sinar pedangnya lantas berkelebat dan bergulung-gulung
mengurung tubuh Setan Obat itu!
"Bagus...!"
Cia Li Cu tak terasa lagi mengeluarkan seruan memuji karena sebagai seorang
ahli pedang, puteri tunggal Raja Pedang, tentu saja ia segera mengenal ilmu
pedang yang amat hebat ini.
Juga Cia Hui
Gan mengeluarkan seruan kagum. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa yang
ditakuti Setan Obat ini hanya seorang gadis muda dan melihat gerakan pedangnya,
memang gadis itu benar-benar seorang ahli pedang yang hebat ilmu pedangnya.
Saking kagumnya pendekar ini sampai lupa akan bahaya yang mengancam diri Yok-mo
dan mendiamkan saja.
Yang repot
adalah Yok-mo sendiri. Baiknya dia adalah seorang tokoh besar yang memiliki
kepandaian silat tingkat tinggi, maka biar pun digulung oleh sinar pedang dan
amat gugup, dia masih dapat menyelamatkan dirinya, mengelak ke sana ke mari, lalu
tiba-tiba dia menjatuhkan diri dan bergulingan menuju ke belakang Cia Hui Gan.
Barulah
pendekar ini sadar bahwa sebagai tuan rumah, dia harus mencegah terjadinya
pembunuhan terhadap seorang tamunya. Tiba-tiba dia mendapat pikiran bagus. Nona
ini ilmu pedangnya luar biasa sekali, sebaiknya dicoba dengan ilmu pedang
puterinya.
"Li Cu,
halangi Nona ini mengacaukan tempat kita," katanya.
Li Cu memang
telah gatal tangannya. Sebagai seorang pendekar, tangannya gatal-gatal melihat
ilmu pedang orang lain begitu bagusnya tanpa mengujinya. Secepat kilat ia
lantas melompat maju dan menyambar sebatang pedang dari tangan seorang pelayan.
Bayangan
merah berkelebat ketika Li Cu dengan pedang di tangan melompat ke arah gadis
yang mengejar Yok-mo tadi. Mereka kini berhadapan, seakan-akan saling mengukur
kepandaian
dan kecantikan masing-masing dengan sinar mata mereka yang bening.
Memang
keduanya sebaya, keduanya cantik jelita dan anehnya, keduanya berpakaian serba
merah pula! Hanya bedanya, gadis pengejar Yok-mo ini sepasang matanya indah
menyinarkan cahaya yang diliputi kelembutan dan kedukaan, sebaliknya sinar mata
Li Cu penuh semangat dan keangkeran. Dalam hal kecantikan, keduanya memiliki
sifat-sifat tersendiri, keduanya menarik dan jelita.
"Kau
cantik...” Li Cu mengeluarkan pujian.
Gadis itu
menggerakkan pedangnya ke bawah dan mencoret-coret ke atas tanah. Tampak
beberapa huruf indah di atas tanah itu. Ketika Li Cu membacanya, ternyata
huruf-huruf itu berbunyi, ‘Kau lebih cantik lagi’.
Cia Li Cu
terheran. Kenapa orang ini tidak bicara, sebaliknya menyatakan pendapatnya
dengan bentuk tulisan. Betapa pun juga, ia kagum melihat gerakan pedang gadis
itu saat membuat coretan-coretan itu, karena semua itu dilakukan dengan gerakan
ilmu pedang yang tinggi.
"Bi
Goat, sudah kau tangkap Setan Obat itu?" tiba-tiba terdengar suara parau
bertanya dan tahu-tahu di situ sudah muncul seorang kakek kecil kurus
berpakaian serba putih.
Gadis itu
yang bukan lain adalah gadis gagu Kwee Bi Goat, menoleh kepada kakek ini lalu
menggelengkan kepalanya sambil mengerling ke arah Yok-mo yang masih bersembunyi
di belakang Cia Hui Gan.
"Ha-ha-ha,
agaknya Si Raja Pedang melindungi Setan Obat!" kata kakek itu yang
ternyata adalah Song-bun-kwi.
"Hemmm,
Song-bun-kwi Kwee Lun. Kiranya kau yang muncul ini! Pantas saja begitu kau
muncul terjadi kekacauan di sini. Ketahuilah, tidak sekali-kali kami melindungi
Setan Obat, hanya karena dia pada saat ini menjadi tamuku untuk menghadiri
perebutan gelar Raja Pedang, maka terpaksa sebagai tuan rumah aku tidak
mengijinkan orang mengganggu tamuku. Song-bun-kwi, apakah kedatanganmu hanyalah
untuk mengejar Yok-mo? Kalau begitu halnya, harap kau turun gunung lagi dan
menanti saja Yok-mo di bawah gunung. Apa bila kau juga menghadiri perebutan
gelar, kau pun menjadi tamuku dan silakan kau duduk!"
"Ha-ha-ha,
Bu-tek Kiam-ong, setelah menjadi Raja Pedang kau ternyata sombong sekali. Kau
tak ada bedanya dengan orang-orang yang begitu menduduki tempat tinggi lalu
lupa kepada asalnya, berubah menjadi manusia sombong yang menganggap diri
sendiri paling pandai, paling besar dan paling berkuasa. Kedatanganku bersama
muridku ini memang hendak menangkap Yok-mo dan sekalian hendak merebut gelar
Raja Pedang. Bi Goat, kau lanjutkan permainanmu, kau coba ilmu anak Raja Pedang
itu!"
Bi Goat
menggerakkan pedangnya, demikian pula Li Cu yang sudah bersiap sedia sejak
tadi. Gerakan Pedang Li Cu amat indahnya seperti seorang bidadari kahyangan
sedang menari. Sebaliknya, gerakan Bi Goat cepat dan keras, mendasarkan
gerakannya pada kekuatan dan kekerasan serta kecepatan.
Segera dua
orang gadis ini sudah saling serang. Terdengar bunyi tang-ting-tang-ting dan
bunga api berhamburan. Diam-diam kedua orang gadis ini terkejut dan harus
mengakui kelihaian lawan masing-masing.
Sementara
itu, dengan penuh perhatian Song-bun-kwi menonton puteri atau muridnya
memainkan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut untuk menghadapi ilmu pedang lawan yang
benar-benar amat hebat dan indah itu. Sambil bertolak pinggang Cia Hui Gan
menonton pula dengan kagum.
Semenjak
menjadi Raja Pedang, baru kali ini dia melihat ilmu pedang yang tak dikenalnya
dan hebat pula. Bahkan banyak sekali tanda-tanda bahwa ilmu pedang gadis gagu
itu memiliki sumber yang sama dengan ilmu pedangnya sendiri. Karena ini dia
memandang penuh perhatian, penuh keheranan dan penuh penyelidikan.
"Heeei,
Song-bun-kwi iblis tua bangka, kau mau borong sendiri gelar Raja Pedang?"
Begitu
kumandang suara lenyap, muncul orangnya. Seorang nenek yang masih kelihatan
cantik genit, seorang kakek bertangan baju panjang dan tertawa-tawa nakal,
diikuti oleh seorang wanita cantik berpakaian indah pesolek dan seorang
laki-laki muda bermuka pucat. Mereka ini adalah Hek-hwa Kui-bo, Siauw ong-kwi,
Kim-thouw Thian-li dan Giam Kin.
Melihat
munculnya Hek-hwa Kui-bo, cepat sekali Song-bun-kwi memerintah puterinya,
"Bi Goat, mundur kau!"
Bi Goat
cepat menarik kembali pedangnya, melompat dan berdiri di sebelah kiri ayahnya.
Sementara itu Cia Hui Gan sibuk menerima para tamu karena di belakang empat
orang ini muncul pula tamu-tamu lain.
Makin tinggi
matahari naik, makin banyak para tamu datang di tempat itu. Partai-partai
persilatan besar hadir pula, diwakili beberapa orang jagonya. Ada pula yang
membawa pengikut sampai puluhan orang anak murid yang diperlukan untuk memberi
suara dan menambah semangat.
Tampak hadir
wakil-wakil dari partai Siauw-lim-pai, dari Go-bi-pai, Thai-san-pai, dan partai
lainnya. Bahkan ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin dan ketua Kun-lun-pai Pek Gan
Siansu, berkenan hadir juga. Dua orang kakek ini sekarang telah menjadi
anggota-anggota pejuang yang gigih, akan tetapi sebagai tokoh-tokoh kang-ouw
tentu saja mereka tidak mau melewatkan kesempatan ini, menyaksikan perebutan
gelar Raja Pedang.
Yang ikut
dengan Lian Bu Tojin hanyalah Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok. Ada pun Pek Gan
Siansu diikuti oleh Bun Lim Kwi. Semua pendatang ini terheran-heran melihat
adanya Lee Giok di pihak tuan rumah, akan tetapi oleh karena di situ terdapat
banyak tamu, pula karena kedatangan mereka hanya berhubungan dengan akan
diadakannya perebutan gelar, maka mereka tak mendapat kesempatan membuka mulut.
Ada pun Lee Giok tanpa ragu-ragu lagi menyambut semua orang penuh penghormatan
di samping Li Cu.
Yang
kegirangan adalah Giam Kin. Kali ini tidak saja dia dapat melihat gadis
pujaannya, Thio Bwee, tetapi juga mendapat kesempatan mengagumi sekian
banyaknya gadis-gadis cantik jelita sehingga berkali-kali mulutnya
berkemak-kemik, dan matanya diobral ke sana ke mari sehingga kadang-kadang dia
ditempur oleh pandang mata Kim-thouw Thian Li.
Sungguh
banyak tamu di Thai-san kali ini. Muncul pula di situ Ban-tok-sim Giam Kong,
hwesio Tibet hitam tinggi besar yang memegang tongkat hwesio besar dan berat.
Hwesio ini biar pun datang dari Tibet, akan tetapi sudah amat terkenal di
daratan Tiongkok karena dia pun seorang tokoh yang anti Mongol dan ilmu
silatnya hebat. Juga muridnya, Koai Atong, amat terkenal, akan tetapi anehnya
pada saat itu Koai Atong tidak kelihatan hadir.
Selain kakek
ini, hadir pula Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang bersama muridnya, Thio Eng. Begitu
memasuki ruangan dan bertemu pandang dengan Bun Lim Kwi yang agaknya memang
dicari-cari dengan sudut matanya, wajah gadis ini menjadi kemerahan, begitu
pula wajah Lim Kwi.
Hadirnya
Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang memperlengkap para tokoh besar di situ karena
sekarang hadirlah semua tokoh nomor satu. Dari barat, Song-bun-kwi. Tokoh nomor
satu dari timur, Swi Lek Hosiang. Tokoh nomor satu dari utara, Siauw-ong-kwi,
dan tokoh nomor satu dari selatan, Hek-hwa Kui-bo!
Melihat
sekian banyaknya tokoh besar yang hadir, diam-diam Cia Hui Gan terkejut dan
amat bangga. Kali ini jauh lebih banyak jago-jago yang datang dari empat
penjuru untuk memperebutkan gelar Raja Pedang.
Untuk
melawan mereka mengandalkan kepandaian, ia merasa amat berat karena maklum
bahwa tingkat mereka itu tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Akan
tetapi kalau yang dimaksud ini pertandingan ilmu pedang, dia boleh merasa yakin
akan menang.
Ilmu-ilmu
pedang di dunia persilatan telah dikenalnya semua dan kiranya tidak akan ada
yang dapat memenangkan ilmu pedangnya, Sian-li Kiam-sut. Hanya agak gelisah
juga hatinya kalau dia teringat akan gerakan ilmu pedang yang dimainkan gadis
gagu tadi.
Setelah
rombongan tamu berhenti datang, Cia Hui Gan berdiri dan mengucapkan pidato
sambutan singkat. la menghaturkan selamat datang kepada semua tamu, kemudian
dia menambahkan keterangan tentang pertandingan.
"Siauwte
sudah terlalu tua untuk main gila memperebutkan gelar kosong Raja Pedang. Oleh
karena itu siauwte hendak memberi kesempatan kepada yang muda-muda dan yang
masih haus akan gelar itu. Siauwte mengadakan tiga macam peraturan. Para
peserta harus mempelihatkan ilmu pedangnya lebih dahulu untuk dinilai, lalu
siauwte mengajukan jago yang sekiranya akan mampu mengalahkannya. Di pihak kami
ada tiga tingkat, yaitu pertama tingkat terendah adalah murid-murid siauwte
yang juga merangkap pelayan di Thai-san, jumlahnya ada dua belas orang. Peserta
yang tingkatnya siauwte anggap masih rendah, akan dilayani oleh dua belas orang
pelayan itu. Kalau dia menang, barulah dia akan berhadapan dengan murid siauwte
yang termuda, yaitu Lee Giok. Setelah dapat memenangkan Lee Giok, barulah akan
berhadapan dengan anak siauwte sendiri Cia Li Cu. Sayang bahwa murid kepala
siauwte tidak hadir di sini karena sedang bertugas. Jika ada peserta muda yang
dapat mengalahkan Li Cu, kemudian mengalahkan murid kepala siauwte apa bila dia
datang, maka dia berhak menerima gelar Raja Pedang dari kami. Para cianpwe
boleh maju pula, dan tentu saja lawannya adalah siauwte sendiri."
Ucapan ini
jujur, singkat dan juga penuh tantangan sehingga membikin jeri hati beberapa
orang yang hadir. Akan tetapi mereka yang merasa dirinya berkepandaian, menjadi
amat penasaran juga. Cia Hui Gan tak peduli atas reaksi para tamunya, malah
menggunakan kesempatan itu untuk menyatakan maksud sesungguhnya pertemuan itu.
"Cu-wi
sekalian yang mulia. Memperebutkan gelar merupakan perbuatan bodoh dan gelar
adalah kosong melompong, tidak berjiwa. Apa artinya sampai berpuluh tahun kita
semua ini mempelajari kepandaian? Apakah hanya berebutan gelar kosong belaka?
Apa artinya kalau kepandaian kita tidak dipergunakan untuk membuat jasa
terhadap tanah air? Cuwi sekalian, sekarang tanah air sedang terancam bahaya,
perjuangan suci sedang bergolak, kalau kita tidak mempergunakan kepandaian
untuk mengabdi pada nusa dan bangsa, alangkah kecewanya!"
"Cia
Hui Gan! Urusan perebutan gelar jangan kau campur adukkan dengan segala urusan pemberontakan!"
Hek-hwa Kui-bo mencela dengan suaranya yang nyaring dan galak.
Cia Hui Gan
tersenyum. "Mengapa tidak? Selama kita masih menginjak tanah air, masih
menghirup hawa udara tanah air, kita harus memperjuangkan kesuciannya. Begitu
baru bisa disebut sebagai orang gagah."
"Apa-apaan
semua pidato kosong ini? Aku ingin melihat sampai di mana kehebatan Sian-li
Kiam-sut dari Raja Pedang!" Orang yang berkata ini adalah seorang
laki-laki berusia empat puluh tahunan yang bertubuh tinggi kurus, di tangan kanannya
sudah memegang pedang yang tajam berkilau. Dia ini adalah Bhe Liong, seorang
jago pedang anak murid Bu-tong-pai yang berwatak kasar dan mau menang sendiri.
"Raja
Pedang, kau boleh menilai permainan pedang Bu-tong-pai ini!" Pedangnya
diputar cepat sampai mengeluarkan suara mengiung-ngiung.
Melihat
beberapa jurus saja, Cia Hui Gan tersenyum lalu memberi tanda kepada dua belas
orang pelayannya. "Kalian layani Bhe-taihiap ini."
Bagaikan
barisan yang diatur, dengan gerak lincah seperti kupu-kupu melayang-layang
sehingga para pelayan yang beraneka warna pakaiannya ini kelihatan seperti
penari-penari indah, sebentar saja orang she Bhe telah dikurung di
tengah-tengah.
"Silakan,
Bhe-taihiap," seorang pelayan yang paling cantik berkata.
Bhe Liong
tertegun, agak malu juga dikurung oleh gadis-gadis cantik itu yang ketika dekat
sudah menyiarkan ganda harum. Namun karena dia hendak memperlihatkan kepandaian
dan kalau mungkin merebut gelar Raja Pedang, dia sudah memutar pedangnya dan
berkata, "Hati-hati kalian!"
Ilmu pedang
Bu-tong-pai memang boleh dibilang tinggi juga tingkatnya, dan ternyata ilmu
pedang orang she Bhe ini tidak rendah. Akan tetapi, dia sekarang dikurung oleh
Sian-li Kiam-tin (Barisan Pedang Bidadari), dua belas orang pelayan itu
bergerak berbareng dan berlari-lari mengitari dirinya. Pedang di tangan dua
belas orang pelayan itu silih berganti menyerangnya, kalau menangkis juga
sekaligus ada empat pedang menangkisnya, maka biar pun Bhe Liong lebih kuat
tenaganya dan lebih gesit gerakannya, sebentar saja dia sudah menjadi pening.
Lewat tiga
puluh jurus, permainannya kacau dan beberapa guratan pedang di lengannya
membuat dia terpaksa melepaskan pedangnya. Dia melompat keluar dari kalangan
dan kembali ke rombongan Bu-tong-pai sambil berseru, "Lihai sekali. Aku
terima kalah!"
Para tamu
tertawa, akan tetapi ada pula yang memuji sifat orang she Bhe ini yang biar pun
kasar namun jujur dan tidak malu-malu mengakui kekalahannya. Setelah orang she
Bhe ini, maju lagi beberapa orang, ada yang dilayani oleh dua belas orang
pelayan, ada pula yang dilayani oleh Lee Giok, tapi kesemuanya dikalahkan
dengan mudah.
Kim-thouw
Thian-li berbisik-bisik kepada Giam Kin. Pemuda muka pucat ini tertawa lalu
meloncat maju menghadapi Lee Giok yang baru saja mengalahkan seorang jago dari
Thai-san-pai dengan susah payah.
Sambil
menyeringai dan cengar-cengir Giam Kin kemudian berkata, "Nyonya Liong...
ehh, Ji-enghiong... ehh, salah lagi, nona Lee Giok. Kiranya kau adalah murid
dari Raja Pedang! Pantas saja kau berani banyak lagak di kota raja. Hemmm,
kebetulan sekali kita bertemu di sini, biarlah aku mencoba kepandaianmu!"
Sambil berkata demikian, dia mencabut keluar sebatang pedang di tangan kanan
dan sebatang suling di tangan kiri.
Angin
bertiup dan Cia Hui Gan sudah berdiri di depan pemuda itu dengan sikap kereng.
"Giam Kin, aku tahu kau murid Siauw-ong-kwi! Akan tetapi kalau
kedatanganmu hanya untuk mengacau, aku orang she Cia tak akan takut untuk
mengusirmu. Hanya yang ingin berlomba ilmu pedang boleh bertempur."
"He..he..he,
aku pun ingin jadi Raja Pedang!"
"Tetapi
pertandingan ini hanya terbatas dalam ilmu pedang, sedangkan kau bersenjata
suling beracun."
"Ehh,
suling ini hanya pelengkap saja.”
"Ha-ha-ha,
Raja Pedang! Kalau kau takut terhadap suling muridku, jangan berani pakai gelar
Raja Pedang segala. Kalau muridmu Lee Giok itu takut menghadapi muridku, suruh
dia bersembunyi di dapur. Ha-ha-ha!" Siauw-ong-kwi yang nakal wataknya itu
mengejek, membuat banyak orang tertawa.
Cia Hui Gan
berpaling kepada Lee Giok dan melihat sinar mata muridnya penuh cahaya
kemarahan. "Lee Giok, ilmu pedangnya sih tidak seberapa, tapi kau
hati-hatilah terhadap sulingnya."
"Teecu
tak akan mengecewakan Suhu," jawab Lee Giok sambil memutar pedangnya.
Giam Kin
tertawa lagi dan segera kedua orang ini bertempur dengan seru. Akan tetapi
segera ternyata bahwa Lee Giok bukanlah lawan Giam Kin. Sebentar saja ia sudah
amat terdesak. Baiknya Giam Kin adalah seorang pemuda mata keranjang, melihat
kecantikan Lee Giok, tentu saja hatinya tidak tega untuk melukai nona ini.
Andai kata Lee Giok bukan seorang wanita, tentu dalam belasan jurus saja Giam
Kin sudah menjatuhkan tangan keji. Sekarang Giam Kin hanya cengar-cengir sambil
menggoda, mengeluarkan kata-kata yang kotor tidak sopan.
"Ehm,
begini saja kepandaian Ji-enghiong? Kalau kau benar-benar seorang nyonya Liong
yang tua dan buruk, tentu pedangku sudah akan menebas lehermu. Tapi kau...
hemmm, sayang kalau terluka lecet kulitmu. Kalau aku menjadi Raja Pedang, kau
akan kujadikan selir Raja Pedang, maukah? Heh-heh-heh!"
"Si
keparat bermulut kotor!" tiba-tiba saja dari pihak Hoa-san-pai melompat
keluar seorang pemuda yang bukan lain adalah Thio Ki adanya.
Pemuda yang
patah hati karena cinta kasihnya tidak terbalas oleh Kwa Hong ini, sejak
melihat kemunculan Lee Giok di Hoa-san dahulu, sudah sangat tertarik oleh gadis
ini. Menyaksikan kegagahan Lee Giok, apa lagi sesudah mendengar bahwa Lee Giok
adalah ‘Ji-enghiong’, sekaligus timbul kagum dan sukanya. Malah kenyataan bahwa
Lee Giok dengan berterang mengaku cinta kepada Kwee Sin, tidak mengurangi rasa
sukanya.
Sekarang
melihat gadis ini dipermainkan Giam Kin, hatinya menjadi panas dan tak dapat
menahan kesabarannya pula. Dengan pedang di tangan dia menyerbu dan langsung
menyerang Giam Kin dengan serangan maut.
Pada saat
itu, Giam Kin sedang mendesak Lee Giok dan telah mengirim tusukan yang
ditujukan untuk merobek pakaian sebelah atas gadis itu. Lee Giok sudah terkejut
sekali dan maklum bahwa dia akan menderita malu yang bukan main besarnya andai
kata serangan ini berhasil dan bajunya akan terobek ujung pedang. Maka ia
merasa berterima kasih ketika tiba-tiba Thio Ki melompat dan menyerang Giam Kin
sehingga pemuda muka pucat ini terpaksa menarik kembali serangannya dan dengan
marah menghajar Thio Ki dengan sebuah tendangan kilat.
Kepandaian
Thio Ki masih kalah jauh oleh Giam Kin, akibatnya tendangan itu langsung
merobohkannya. Akan tetapi dengan nekad Thio Ki bangkit kembali, kemudian
dengan kaki terpincang-pincang dia menerjang lagi, tidak memberi kesempatan
kepada Giam Kin untuk mendesak Lee Giok.
"Thio
Ki, kau mundur!" Dari tempat duduknya Lian Bu Tojin menegur muridnya.
"Li Cu,
kau hadapi manusia sombong itu!" Cia Hui Gan memerintah puterinya.
"Orang
she Giam! Biar pun kau sudah mengalahkan Enci Lee Giok, jangan kira kau boleh
bersombong dan sudah menjadi Raja Pedang. Lihat pedangku!"
Cia Li Cu
menggerakkan sebatang pedang yang ia pinjam dari pelayannya. Gerakannya cepat
sehingga sinar pedangnya menyilaukan mata.
Giam Kin
cepat melompat mundur dan memutar senjatanya pula. Hatinya berdebar-debar tidak
karuan menyaksikan kecantikan yang luar biasa dari lawan barunya.
Sementara
itu, Thio Ki dan Le Giok mundur keluar dari kalangan pertempuran.
"Thio-enghiong,
terima kasih atas pertolonganmu," kata Lee Giok sambil menjura.
"Ahh,
tidak apa, Nona. Untuk membantumu yang gagah dan mulia, biar berkorban nyawa,
aku Thio Ki akan rela!”
Ucapan yang
sifatnya terang-terangan menyatakan cinta ini membuat Lee Giok menjadi merah
wajahnya. Dia cepat-cepat mundur ke dekat suhu-nya, dan Thio Ki juga mundur ke
rombongannya sendiri.
Pertempuran
kali ini hebat sekali. Meski Giam Kin adalah murid utama dari Siauw-ong-kwi dan
kepandaiannya pun tinggi, namun menghadapi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut dari Li
Cu, dia repot bukan main. Sudah kalah murni ilmu pedangnya, ditambah lagi
kecantikan lawan membuat dia kacau pikirannya.
Dalam jurus
ke lima puluh, sulingnya kena dibabat putus dan lengan kanannya tergores
pedang. Tanpa malu-malu lagi Giam Kin melompat mundur dan lari mendekati
gurunya. Sorak-sorai menyambut kemenangan nona rumah ini.
Siauw-ong-kwi
menjadi pucat mukanya. Dia telah berdiri hendak maju sendiri menghadapi Cia Hui
Gan untuk menebus kekalahan muridnya. Akan tetapi pada waktu itu berkelebat
sesosok bayangan merah dan Bi Goat, si gadis gagu, sudah berdiri di hadapan Li
Cu dengan pedang di tangan!
Semua
penonton tertegun menyaksikan dua orang nona yang sama-sama berpakaian merah
dan keduanya cantik jelita ini.
”Bagus,
sekarang baru ramai!" Toat-beng Yok-mo bertepuk-tepuk dan bersorak gembira
sambil melangkah maju untuk mencari tempat duduk lebih dekat supaya enak menonton.
la sudah
sering kali menghadapi ilmu pedang Bi Goat dan merasa ngeri karena kehebatan
Yang-sin Kiam-sut dan sekarang melihat Bi Goat hendak bertanding melawan Cia Li
Cu, dia merasa gembira sekali.
Cia Li Cu
tersenyum dan bukan main manis wajahnya ketika ia tersenyum. "Eh, adik
gagu, apakah kau juga hendak merebut gelar Raja Pedang?"
Bi Goat yang
mengerti kata-kata orang, menggelengkan kepalanya, hanya menudingkan pedangnya
ke arah Toat-beng Yok-mo yang seketika menjadi pucat.
Kembali Cia
Li Cu tersenyum. "Ahh, jadi kau penasaran karena Yok-mo itu? Dengarlah,
adik yang manis. Apa bila sudah selesai pertemuan ini, kau boleh saja mengejar
dia dan boleh kau bacok putus lehernya, mana sudi aku ikut campur? Tapi
sekarang karena dia seorang tamu, kau tidak boleh mengganggunya." Di dalam
hatinya Li Cu amat suka dan kasihan kepada Bi Goat, maka bicaranya manis.
"Bi
Goat, lekas serang, jangan bikin malu orang tua," terdengar Song-bun-kwi
berkata.
Kagetlah
banyak orang mendengar ini. Baru mereka tahu bahwa gadis cantik yang gagu ini
kalau bukan anak tentulah murid Song-bun-kwi. Gembira hati mereka karena
sebagai murid Song-bun-kwi yang sudah mereka ketahui kesaktiannya, gadis gagu
itu tentu lihai sekali dan pertandingan ini tentu akan hebat.
Tetapi siapa
sangka, begitu Bi Goat menggerakkan pedangnya menyerang dan ditangkis Li Cu,
terdengar suara nyaring dan pedang Li Cu patah menjadi dua! Banyak orang
menahan napas karena kalau dalam pertandingan ilmu pedang sampai ada pedang
yang terpatahkan, maka orang itu boleh dianggap kalah.
Wajah Li Cu
agak pucat dan terdengar jerit tertahan dari para pelayannya. Akan tetapi Bi
Goat sama sekali tidak menyerang lagi. Gadis gagu ini dengan wajah tenang
memberi isyarat dengan tangannya agar supaya Li Cu mempergunakan pedang baru.
Merah wajah Li Cu karena malu, akan tetapi diam-diam ia memuji kehalusan budi
lawannya.
Sekarang dia
maklum bahwa lawannya menggunakan pedang pusaka yang ampuh dan kuat, maka tanpa
ragu-ragu lagi dia menggerakkan tangan kanannya. Sinar menyilaukan berkelebat
pada waktu pedang Liong-cu-kiam yang pendek tercabut dari sarungnya. Yang
panjang masih tinggal di dalam sarung.
Semua orang
kaget dan kagum sekali, terdengar golongan tua berbisik, "Inikah Liong-cu
Siang-kiam?"
"Bi
Goat, hati-hatilah dan jangan sampai beradu pedang!" Song-bun-kwi berseru
kepada anaknya.
Akan tetapi
mana Bi Goat mau percaya bahwa pedangnya akan kalah oleh pedang lawan? Dia
sudah menyerang lagi dan dua orang gadis berbaju merah ini sebentar saja sudah
bertanding hebat.
Makin lama
gerakan mereka semakin cepat sampai tubuh mereka lenyap tergulung dua sinar
pedang. Yang nampak hanya dua bayangan merah terbungkus oleh dua gulungan sinar
pedang yang keemasan dan keperakan, segulung putih berkilau, yang lain kuning
emas.
Semua tamu
menahan napas, kagum sekali menyaksikan dua ilmu pedang yang hebat ini. Juga
Cia Hui Gan menahan napas. Makin lama dia makin terheran, kemudian berseru.
"Song-bun-kwi,
apakah ini Yang-sin Kiam-sut yang berhasil kau dapatkan itu?"
Song-bun-kwi
merah mukanya, lalu dia menjawab. "Yang-sin Kiam-sut apa? Masih belum
dapat menangkan Sian-li Kiam-sut punyamu!"
"Trang!
Tranggg!"
Pertempuran
terhenti, Bi Goat meloncat mundur dengan muka pucat. Pedangnya sudah patah! Li
Cu menahan pedangnya, nampak bangga lalu berkata.
"Adik
gagu, kau ambillah lain pedang."
Song-bun-kwi
marah sekali kepada Bi Goat. Tangannya bergerak dan tahu-tahu dia telah
mengambil pedang dari pinggang seorang tamu tanpa si tamu mengetahuinya! Pedang
ini sudah melayang ke arah Bi Goat disertai seruannya. "Pakailah
ini!"
Semua orang
kaget. Pedang telanjang itu meluncur seperti anak panah dan seakan-akan hendak
menembus dada gadis gagu berpakaian merah itu. Akan tetapi dengan mudah Bi Goat
menekuk lututnya dan menyambar pedang dari bawah dengan kedua tangan.
Kembali
mereka bertempur, tapi hanya dalam tiga jurus pedang ini pun patah menjadi tiga
potong! Kembali Song-bun-kwi ‘mencopet’ pedang yang dilemparkan kepada Bi Goat.
Patah lagi. Berkali-kali Bi Goat berganti pedang dengan paksaan ayahnya, tapi
mana ada pedang yang dapat menahan pedang Liong-cu-kiam? Pertandingan itu tidak
menarik lagi, lebih berupa demonstrasi ketajaman pedang Liong-cu-kiam.
"Bi
Goat belum kalah!" Song-bun-kwi membentak pada saat terdengar suara para
tamu supaya pertandingan itu disudahi saja dan gadis gagu dinyatakan kalah.
"Pedangnya patah bukan karena dalam ilmu pedang, melainkan karena
pedangnya kalah baik. Kalau dia sudah roboh mandi darah, barulah boleh disebut
kalah. Bi Goat, serang lagi, biar dengan gagang pedang atau kepala!"
Bi Goat
memang sudah merasa malu sekali karena berkali-kali pedangnya dipatahkan.
Sekarang mendengar suara ayahnya, ia pun menjadi nekat dan menubruk maju dengan
pedang sepotong!
Li Cu kaget
sekali, tidak mengira bahwa gadis gagu yang gagah ini akan berlaku nekat.
Kepandaiannya memang tidak terlalu jauh selisihnya, maka menghadapi serangan
nekat ini ia tentu akan celaka kalau tidak mendahului. Liong-cu-kiam di
tangannya bergerak naik turun dan ia sudah mematahkan lagi pedang Bi Goat yang
tinggal sepotong lalu ditambah dengan serangan balasan.
Bagai anak
panah Liong-cu-kiam meluncur deras ke arah tenggorokan Bi Goat. Baiknya
sebelumnya telah timbul perasaan suka dan kasihan dalam hati Li Cu, maka gadis
ini pun memaksa diri menurunkan tusukannya mengarah pundak. Para tamu menahan
napas, bahkan Song-bun-kwi sendiri mengepal tinjunya melihat puterinya terancam
bahaya.
"Plakkk!"
Pedang di
tangan Li Cu tergetar dan gadis ini sendiri terhuyung mundur dua langkah dengan
wajah pucat. Pedangnya tadi telah kena dihantam oleh sebuah benda hitam kecil
yang membuat tangannya gemetar dan pedangnya hampir terlepas dari pegangan.
"Song-bun-kwi,
jangan main gila!" Cia Hui Gan membentak marah, mengira bahwa tentu
Song-bun-kwi yang menolong gadis gagu dan mengirim serangan gelap kepada Li Cu.
"Cia
Hui Gan, jangan sembarangan menuduh!" Song-bun-kwi balas membentak marah.
Dua orang
tua itu sudah berdiri dan saling pandang dengan mata menantang dan saling
mengancam. Keadaan menjadi tegang. Akan tetapi tiba-tiba banyak orang berseru
kaget dan heran. Semua perhatian sekarang ditujukan kepada bayangan seorang
laki-laki yang baru saja naik ke tempat itu dengan langkah limbung.
Laki-laki
ini masih seorang pemuda, namun keadaannya mengerikan sekali. Rambutnya
awut-awutan, mukanya berwarna hijau bagaikan orang terserang racun hebat,
matanya merah, mukanya luka-luka berdarah, pakaiannya kusut tidak karuan.
Selagi semua
orang terheran-heran, mereka dibikin lebih heran dan kaget ketika melihat Bi
Goat mengeluarkan suara "uh-uh" kemudian gadis gagu yang cantik
jelita ini berlari menyambut orang itu, terus dipeluknya sambil menangis!
Song-bun-kwi
dan Hek-hwa Kui-bo segera mengenal orang ini, bahkan yang lain-lain pun
akhirnya mengenalnya pula. Orang itu bukan lain adalah Beng San!
Memang dia
Beng San. Pemuda ini hampir menjadi gila semenjak terjadi peristiwa antara dia
dan Kwa Hong di dalam benteng tentara kerajaan. Sekarang, bertemu dengan Bi
Goat yang amat mencintanya sehingga tanpa ragu-ragu menunjukkan cinta kasihnya
di tempat ramai seperti itu, hatinya semakin perih seperti ditusuk-tusuk,
merasa berdosa.
Dengan halus
dia membelai rambut gadis gagu itu, lalu berkata perlahan dan mendorong Bi Goat
ke samping, "Bi Goat, kau mengasolah..."
Kemudian
dengan sekali melompat dia telah berdiri menghadapi Li Cu yang memandang dengan
wajah pucat.
"Kau...
kau pencuri pedang! Kembalikan Liong-cu Siang-kiam kepadaku!" kata Beng
San, matanya yang merah memandang tajam seakan-akan hendak menusuk dada gadis
cantik itu dengan pandang matanya.
Li Cu yang
tadinya merasa ngeri, sekarang berbalik marah ketika mendengar dia dimaki
pencuri. Dia tidak mengenal lagi pemuda yang hanya satu kali ia lihat dahulu di
puncak Hoa-san-pai sebagai seorang sastrawan lemah yang berani mati mencampuri
urusan Hoa-san-pai dengan Kun-lun-pai.
"Keparat,
kau barang kali sudah gila. Pergi!" Li Cu mengancam dengan pedangnya.
Namun sekali
melangkah maju Beng San mengulur tangan hendak merampas pedang itu. Hampir saja
pedangnya kena dirampas kalau Li Cu tidak segera cepat menarik kembali
pedangnya. Ia kaget. Gerakan orang ini cepat dan tidak terduga sekali. Teringat
ia akan sambitan gelap tadi.
"Kaukah
penjahat yang menyambit pedangku tadi?"
Beng San
mengangguk. "Tidak boleh kau melukai Bi Goat. Dan pedang-pedang itu, dia
milikku, kembalikan sekarang juga. Aku segan mempergunakan kekerasan
terhadapmu." Ucapan ini keras sehingga terdengar semua orang.
Orang yang
belum mengenalnya tertawa geli, menyangka bahwa dia betul-betul seorang gila.
Akan tetapi Beng San tidak peduli dan melangkah lagi. Kini Li Cu tidak
ragu-ragu. Tentu orang ini berilmu tinggi, maka tidak memalukan kalau kuserang
dia.
"Bangsat,
kau mencari mati sendiri. Lihat pedang!" Pedangnya langsung menusuk
seperti kilat menyambar.
Bi Goat
kebingungan dan memandang pucat. Akan tetapi sedikit miringkan tubuhnya saja
Beng San berhasil mengelak. Li Cu penasaran dan mengirim serangan berantai.
Namun, tujuh kali sambaran pedangnya, selalu mengenai tempat kosong seakan-akan
pemuda ini sudah tahu ke mana pedang hendak menyerang.
Ia makin
penasaran dan hendak menyerang mati-matian akan tetapi tiba-tiba Cia Hui Gan
melompat datang.
"Saudara
muda, kau siapakah dan apa sebabnya kau mendakwa anakku mencuri pedang Liong-cu
Siang-kiam darimu?" tanyanya.
Beng San
mengangkat muka memandang. Cia Hui Gan adalah seorang pendekar besar, akan
tetapi dia bergidik ketika melihat muka yang bersinar kehijauan ini. Diam-diam
dia kaget, karena orang yang bermuka seperti ini hanyalah orang keracunan atau
orang yang memiliki Iweekang yang sudah mencapai dasar tenaga Im. Melihat
seorang tua gagah, Beng San segera memberi hormat.
"Agaknya
aku berhadapan dengan Raja Pedang Cia Hui Gan. Ketahuilah, anakmu ini telah
menyamar sebagai aku dan menipu mendiang guruku sehingga Liong-cu Siang-kiam
diberikan kepadanya. Sebelum mati guruku berpesan kepadaku supaya aku mencari
pencuri pedang itu. Apa bila sudah bertemu, kalau laki-laki harus kubunuh dan
kalau... hemmm..." Beng San dalam gugupnya tak dapat bicara lagi, dia
merasa diri bodoh sekali dan menyesal setengah mati mengapa dia menceritakan
hal ini.
"Dan
kalau perempuan bagaimana...?" Cia Hui Gan mendesak, mata pendekar pedang
bersinar-sinar.
Sekarang
baru tampak olehnya wajah Beng San yang asli, wajah seorang pemuda yang tampan
dan jujur, membayangkan kehalusan budi. Seketika sinar kehijauan yang meliputi
wajahnya lenyap berubah putih segar seperti biasa, kemudian berubah merah
sekali sampai hitam. Kembali Cia Hui Gan kaget setengah mati. Inilah wajah
seorang yang memiliki Iweekang yang sudah mencapai dasar tenaga Yang!
"Kalau
wanita..." kata Beng San "menurut mendiang suhu harus menjadi...,
ehh, menjadi isteriku..."
"Ha-ha-ha-ha-ha...
lucu betul si maling Lo-tong Souw Lee...," kata Cia Hui Gan.
Beng San
merasa lengannya dipegang orang erat sekali. la menoleh dan ternyata yang
memegang lengannya adalah Bi Goat yang memandang dengan air mata berlinang. Ia
menepuk-nepuk tangan Bi Goat, lalu berkata cepat-cepat.
"Cia-enghiong,
meski mendiang suhu memesan demikian, aku... aku tak akan mengambil isteri
puterimu... ehh, tidak siapa pun juga, ehhh... aku hanya ingin mengambil
kembali Liong-cu Siang-kiam..." la menoleh lagi lalu mendorong pergi Bi
Goat.
Gadis ini
tersenyum dan segera mengundurkan diri. Pertunjukan romantis ini ditonton oleh
semua orang dan di sana-sini orang tertawa, ada juga yang terharu. Jelas sekali
terlihat bahwa antara pemuda yang mukanya berubah-ubah seperti bunglon dan
gadis yang gagu terdapat jalinan kasih sayang yang amat besar.
Sekarang Cia
Hui Gan menoleh kepada puterinya, suaranya kereng ketika bertanya. "Li Cu,
kau bilang berhasil merampas kembali Liong-cu Siang-kiam. Bagaimana sekarang
pemuda ini menuduhmu menipu?"
Li Cu
melangkah maju dan membentak Beng San, "Orang gila, kau berani menuduhku.
Siapa namamu?"
"Aku...
namaku Beng San..." Pemuda ini gugup juga menghadapi nona cantik jelita
seperti bidadari yang marah itu
Seketika
wajah Li Cu berubah merah "Ayah... aku... aku bertemu Lo-tong Souw Lee.
Dia... dia mengira aku... aku muridnya yang bernama Beng San. Karena pada waktu
itu aku berpakaian sebagai pria dan dia... dia buta, dia lihai dan aku... aku
khawatir tidak akan berhasil merampas maka aku membiarkan saja dia menyangka
bahwa aku muridnya, dan dia memberikan pedang kepadaku...”
"Hemmm,
kau memalukan!" bentak Cia Hui Gan, kemudian jago pedang ini berpaling
kepada Beng San. "Beng San, kau dengar sendiri. Anakku sudah mengaku,
memang licik perbuatannya. Akan tetapi kau hanya tahu satu tetapi tidak tahu
dua. Pedang Liong-cu Siang-kiam sebetulnya adalah hakku, karena pedang itu
dahulu ratusan tahun yang lalu adalah milik sucouw kami, Ang I Niocu. Setelah
terjatuh dalam tangan kaisar, lalu dicuri oleh Lo-tong Souw Lee. Kalau sekarang
kami kembali merampas dari dia, bukankah itu sudah sewajarnya?"
"Tidak
bisa! Suhu mengambilnya dengan kepandaian, puterimu mengambilnya dengan tipu
daya. Dan aku sudah bersumpah di depan suhu..."
"Hemmm,
kau boleh sekarang merampasnya kembali kalau kau ada kepandaian!" tantang
Li Cu.
"Baik,
kau jagalah!"
Beng San
menubruk maju, sekaligus kedua tangannya bergerak, yang kiri menotok leher yang
kanan merampas pedang. Cia Hui Gan melompat mundur membiarkan anaknya
menghadapi Beng San.
Gadis itu
marah sekali dan memutar pedang membabat tangan Beng San. Akan tetapi gerakan
Beng San ini hanya gerak tipu belaka, tahu-tahu pemuda ini sudah menyelinap ke
belakang tubuh Li Cu. Sekali dia menggerakkan tangan, pedang Liong-cu
Siang-kiam yang panjang dan yang tadinya tergantung di punggung gadis itu sudah
kena dia rampas!
Pucat wajah
Li Cu. "Keparat, hari ini juga aku Cia Li Cu hendak bertanding mati-matian
denganmu!"
Pedang
pendeknya diputar cepat, merupakan segulungan sinar keemasan menerjang diri
Beng San. Beng San juga menggerakkan pedangnya dan dua pedang bertemu sehingga
mengeluarkan bunga api menyilaukan mata.
Di saat
berikutnya dua orang muda ini sudah bertanding seru. Alangkah herannya semua
tamu ketika melihat betapa pemuda yang mengerikan ini biar pun
gerakan-gerakannya kacau-balau, dan amat buruk kalau dibandingkan ilmu pedang
Li Cu, namun selalu gulungan sinar pedang Li Cu dapat ditahannya dan dipukul
kembali.
Bahkan
dengan gerakan-gerakan selanjutnya Beng San mulai mendesak Li Cu dengan Ilmu
Pedang Im-yang Kiam-sut yang luar biasa lihai. Ternyata dasar ilmu pedang
mereka adalah satu sumber, hanya pecahan Im-yang Kiam-sut lebih ruwet dan kuat.
Apa lagi karena dalam diri Beng San sudah terdapat sari tenaga Im dan Yang,
maka setiap kali pedang bertemu, Li Cu merasa seluruh tubuhnya panas dingin dan
gemetar.
Cia Hui Gan
menonton pertempuran ini dengan mata bersinar-sinar dan timbul rasa suka dan
kagumnya pada Beng San. Pemuda inilah yang sebetulnya bisa mengatasi anaknya,
malah agaknya akan dapat mengalahkan dia sendiri.
Bukankah
ilmunya itu ilmu peninggalan Bu Pun Su? la sudah mendengar bahwa Yang-sin
Kiam-sut terjatuh ke tangan Song-bun-kwi dan Im-sin Kiam-sut jatuh ke tangan
Hek-hwa Kui-bo. Akan tetapi kenapa pemuda ini demikian mahir Im-yang
Sin-kiam-sut?
Sayang bahwa
anaknya sudah memiliki pilihan hati sendiri, yaitu muridnya yang pertama. Kalau
tidak begitu... "ahhh, pemuda ini benar-benar hebat!”
Selagi Beng
San dan Li Cu bermain pedang dengan amat berhati-hati karena keduanya maklum
akan kelihaian lawan, sedangkan Beng San juga merasa segan untuk melukai gadis
jelita ini, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk seakan akan gunung itu
meletus.
Kemudian
dari bawah puncak nampak berlari-lari seorang lelaki yang dikejar oleh banyak
orang. Setelah tiba di tempat itu, ternyata orang itu adalah Tan Beng Kui yang
menderita beberapa luka ringan pada pundak dan lengannya. Darah membasahi
bajunya.
Begitu
sampai di tempat itu dan melihat Beng San masih bertanding melawan Li Cu, Beng
Kui melompat maju dan membentak, "Beng San, berani kau kurang ajar di
sini?!"
Beng San
terkejut dan melompat mundur. Sebelum dia menjawab, para pengejar sudah sampai
di tempat itu pula dan kelihatan Pangeran Souw Kian Bi bersama belasan orang
perwira lain. Pangeran ini kelihatan marah sekali dan begitu tiba di depan Tan
Beng Kui dia memaki.
"Manusia
tak kenal budi! Jadi ternyata engkau telah mengkhianati kami dan ternyata kau
pula yang selama ini disebut Ji-enghiong? Baguslah, bagus...! Kau melarikan
diri ke sini, Ha-ha-ha! Kau kira sebagai Ji-enghiong kau sudah merasa dirimu
yang paling pandai dan siasatmu selama ini sudah mengacaukan kerajaan?
Pengkhianat Tan Beng Kui! Sekarang puncak ini sudah dikurung oleh selaksa orang
prajuritku! Kau harus tahu, kau dan semua orang yang ada di sini, kecuali
saudara-saudara yang membantu kerajaan, akan dibasmi habis! Ha-ha-ha!"
Semua orang
menjadi terkejut luar biasa, apa lagi ketika mendengar sorakan dan melihat
bahwa di lereng gunung sudah kelihatan banyak sekali tentara negeri mengurung
tempat itu. Kekagetan ini bukan hanya karena ancaman si Pangeran Mongol, tapi
terutama sekali mereka yang sudah mengenal Beng Kui merasa kaget saat mendengar
kenyataan bahwa Tan Beng Kui ternyata adalah Ji-enghiong yang terkenal sebagai
seorang pemimpin para pejuang di kota raja!
Ketika
Pangeran Souw Kian Bi melihat Lee Giok di situ, dia tertawa lagi, suara ketawanya
seperti iblis.
"Ha-ha-ha-ha-ha!
Lee Giok, nyonya Liong, bagus sekali kau pun sudah bersiap menerima mampus di
sini. Tubuhmu akan kuserahkan kepada para prajurit, kemudian kau akan dicincang
hancur dan kuberikan kepada anjing! Kau dahulu mengaku sebagai Ji-enghiong
untuk mengelabui mataku, kiranya antara kau, Beng Kui, dan Kwee Sin terdapat
kerja sama mengepalai para mata-mata di kota raja. Kau ternyata adalah adik
seperguruan Tan Beng Kui si keparat murid si Raja Pedang. Ha-ha-ha, semua
julukan yang muluk-muluk akan hancur lebur pada hari ini."
Tan Beng Kui
yang kelihatan gagah dan sangat bersemangat, berdiri dengan kedua kaki
terpentang, matanya bersinar-sinar dan dia pun menjawab, "Pangeran Souw
Kian Bi! Kau terlampau memandang rendah para pejuang. Kau kira kali ini akan
dapat menghancurkan kami? Huh, manusia serendah engkau mana mungkin mampu
menghancurkan kekuatan perjuangan rakyat? Kau bilang di puncak ini terkurung
oleh prajurit-prajuritmu? Ha-ha-ha, apa kau kira percuma saja aku
bertahun-tahun berjuang di kota raja? Bukan kami yang akan kau hancurkan,
sebaliknya kau dan pasukan-pasukanmu itulah yang akan hancur. Kau lihat!"
Beng Kui
mengeluarkan panah api, dilepaskan ke atas dan sinar biru melesat ke udara. Tak
lama kemudian terdengar suara tambur dan terompet disusul sorak-sorai menggegap
gempitakan puncak.
"Lihat,
Pangeran Souw Kian Bi. Lihatlah baik-baik, puluhan ribu teman-teman kami sudah
mengurung di kaki gunung, siap menggempur pasukan-pasukanmu!"
Tidak hanya
Souw Kian Bi yang menengok, akan tetapi semua orang melihat ke bawah dan betul
saja, seperti ular naga besar tampak pasukan pejuang sudah merayap ke atas dan
sudah mulai diadakan pertempuran di bawah gunung.
"Dan
kau tidak pernah mimpi bahwa pada saat ini di kota raja terjadi pula
penyerbuan, Pangeran. Kau tidak ada tempat lagi untuk maju atau mundur.
Ha-ha-ha!" Tan Beng Kui tertawa dan pangeran itu membentak marah.
"Kau
bohong!"
Akan tetapi
tiba-tiba dari bawah berlari naik seorang anggota tentara kerajaan. Wajahnya
pucat dan napasnya sengal-sengal ketika dia melapor, "Lapor pada Pangeran.
Ada berita bahwa kota raja sudah diduduki musuh..."
Saking
marahnya Pangeran Souw Kian Bi lalu menggerakkan pedangnya dan... robohlah
pelapor ini dengan dada tertusuk pedang. Perbuatan pangeran ini seakan-akan
menjadi tanda dimulainya pertempuran.
Tan Beng Kui
sudah mengambil pedang dari tangan seorang pelayan, kemudian dengan gerakan
yang luar biasa cepatnya dia menyerang Souw Kian Bi. Belasan orang pengikut
pangeran itu pun bergerak, akan tetapi mereka segera disambut oleh Lee Giok, Li
Cu, dan dua belas orang pelayan.
Pertempuran
antara Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui tidak berjalan lama. Sebentar saja pedang
di tangan Beng Kui sudah berhasil membacok leher pangeran itu yang menjerit dan
roboh binasa. Pengikut-pengikutnya juga roboh seorang demi seorang. Pertempuran
di bawah dan di lereng gunung makin menghebat. Semua tamu telah berdiri dan
menjadi tegang.
Beng San
semenjak tadi berdiri memandang kakaknya. Air matanya bercucuran di kedua
pipinya. Tangannya yang memegang Liong-cu-kiam gemetar. Alangkah gagahnya kakak
kandungnya. Alangkah hebatnya. Kiranya kakaknya yang selama ini dia anggap
sebagai pengkhianat, ternyata adalah Ji-enghiong pemimpin pejuang di kota raja!
Jadi Kwee Sin, Lee Giok dan lain-lain itu adalah bawahan-bawahannya!
Dan kakaknya
ternyata adalah murid kepala dari Raja Pedang yang memiliki kepandaian lebih lihai
dari pada Li Cu. Hebat! Kenyataan ini menampar hatinya. Apa bila dahulu dia
memandang rendah kakaknya, sekarang dia merasa betapa rendah dan hina dirinya
kalau dibandingkan dengan Beng Kui.
Sekarang
sesudah seluruh musuh-musuhnya tewas, Tan Beng Kui lalu menoleh kepada Hek-hwa
Kui-bo, Kim-thouw Thian-li, Siauw-ong-kwi, dan juga Giam Kin. Sikapnya amat
mengancam, "Kalian empat orang kaki tangan Pangeran Souw Kian Bi, apakah
kini kalian hendak menuntut balas?" tantangnya.
"Beng
Kui, jangan lancang!" tegur Cia Hui Gan. "Mereka adalah tamu-tamu
yang sedang menghadiri perebutan gelar."
Baik Hek-hwa
Kui-bo mau pun Siauw-ong-kwi semenjak tadi sudah menjadi gelisah dan gentar.
Menghadapi seorang Tan Beng Kui atau bahkan Cia Hui Gan bagi mereka tentu saja
tidak menjadikan takut, akan tetapi karena mereka tadinya membantu pemerintah
dan sekarang berhadapan dengan para pejuang, nyali mereka sudah menjadi kecil.
"Perebutan
gelar sudah berubah menjadi pertempuran urusan kerajaan, biarlah kami pergi
saja," kata Siauw-ong-kwi yang cepat meninggalkan tempat itu bersama Giam
Kin.
"Aku
pun pergi saja, lain kali bertemu kembali!" berkata pula Hek-hwa Kui-bo
yang cepat pergi diikuti Kim-thouw Thian-li.
Beng Kui
sekarang menghadapi Beng San. Wajahnya nampak keras dan marah.
"Bocah
gila, apa kau masih tetap hendak mengikuti perebutan gelar Raja Pedang pula?
Huh, manusia rendah semacam engkau, yang menghancurkan kehidupan seorang gadis
baik-baik, kau tidak berharga melawan Suhu dan kau terlalu kotor melawan Sumoi.
Kalau kau masih penasaran, hayo kau lawanlah aku! Kalau kau tidak berani, kau
kembalikan pedang itu kepada Sumoi!" Sikap Beng Kui angkuh sekali dan dia
memandang Beng San amat rendah.
Air mata yang
mengalir turun di kedua pipi Beng San semakin deras ketika mendengar kakak
kandungnya yang gagah perkasa itu memakinya dan menyebut-nyebut mengenai urusan
Kwa Hong. Hatinya bagaikan diremas-remas. Dengan muka kehijauan dan suara
gemetar dia bertanya.
"Kui-ko...
mengapa kau menaruh racun...? Kenapa kau melakukan semua itu kepadaku... kau...
kau yang ternyata seorang patriot dan pejuang mulia ini...? Kenapa?"
"Goblok
kau. Bodoh! Kalau tidak karena aku, bukankah sekarang kau telah menjadi mayat
di benteng itu?" Yang menaruh racun bukan aku, melainkan Pangeran Souw
Kian Bi. Aku diamkan saja karena menurut pandanganku, kau sudah terlampau
untung untuk berjodoh dengan dia. Siapa kira, kau... kau meninggalkannya.
Alangkah rendahnya!"
"Aduh...
Beng Kui koko, aku... aku mencinta gadis lain... aku… aku telah menjadi korban
racun..."
"Jangan
sebut aku koko lagi. Pendeknya, kau mau merebut gelar Raja Pedang atau tidak?
Lekas sebelum habis sabarku!"
Mendadak
Beng San mengangkat dadanya dan berkata, "Aku tidak peduli akan segala
sebutan Raja Pedang. Aku tidak suka pula bertempur dengan siapa pun juga, tidak
mau ikut bertempur denganmu. Akan tetapi, aku harus mengambil kembali sepasang
Liong-cu Siang-kiam, aku sudah bersumpah di depan suhu."
"Keparat!
Sumoi, tolong pinjam pedangmu!"
Li Cu
menyerahkan pedang pendek di tangannya. Begitu memegang Liong-cu-kiam yang
pendek, Beng Kui segera menerjang maju menyerang dengan dahsyat.
Beng San
kagum melihat gerakan kakak kandungnya yang ternyata jauh lebih hebat dan kuat
dari pada gerakan Li Cu. Akan tetapi karena dia tidak suka melawan, dia cepat
mengelak dan hanya terus mengelak atau menangkis dengan Liong-cu Siang-kiam
yang panjang.
Sementara
itu, Li Cu mendekati ayahnya. Tangan gadis ini dingin sekali ketika menyentuh
tangan ayahnya. Cia Hui Gan berbisik.
"Li Cu,
aku malu sekali menjadi Raja Pedang. Sekali ini, kalau orang muda adik Beng Kui
itu mau, kita semua akan dapat dia kalahkan dengan ilmu pedang Im-yang
Sin-kiam-sut yang tulen. Apa bila dia mau, mudah saja dia mengalahkan
suheng-mu. Aaahhh, sayang sekali..."
"Apanya
yang sayang, Ayah? Kenapa kau tidak turun tangan membantu Suheng?"
"Hush,
masa aku harus berlaku begitu rendah? Lihat, adiknya itu benar-benar aneh,
tidak melawan sama sekali, entah apa maksudnya." Tiba-tiba wajah Raja
Pedang Cia Hui Gan menjadi pucat karena benar-benar terjadi hal yang luar
biasa.
Pada saat
pedang Beng Kui menyambar dalam sebuah serangan kilat, Beng San sengaja
memasang pundaknya dan hanya menangkis sedikit. Beng Kui sendiri sampai
terkejut, mengapa Beng San sengaja menerima sambaran pedangnya? Pundak pemuda
itu lantas terbabat dan terkupas kulit berikut sedikit dagingnya. Darah
mengalir deras membasahi baju.
"Koko,
dalam hal ilmu pedang aku mengaku kalah. Kau dan suhu-mu patut disebut Raja
Pedang. Buktinya pundakku sudah terluka!" seru Beng San.
Akan tetapi
tiba-tiba dia melakukan gerakan yang amat aneh yang sekaligus mematikan daya
tahan Beng Kui. Pedang di tangan Beng Kui tertempel pada pedangnya, tidak dapat
digerakan atau ditarik kembali, kemudian tangan kiri Beng San cepat melakukan
dua kali totokan ke arah tangan kanan kakaknya.
Beng Kui
merasa tangannya lumpuh dan sebelum dia sempat mencegah, pedang pendek
Liong-cu-kiam sudah berpindah ke tangan Beng San!
Beng San
lalu melangkah mundur. Dengan dua batang pedang Liong-cu-kiam di tangan, dia
memandang kakaknya dengan air mata bercucuran, kemudian dia berlari pergi tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
Terdengar
seruan Song-bun-kwi, "Ehh, Bi Goat, kau mau pergi ke mana?!"
Baru sampai
di lereng gunung, di lereng sebelah sananya di mana tidak ada perang yang
terjadi, Beng San merasa ada angin menyambar lewat dan tahu-tahu Bi Goat sudah
berdiri di depannya. Gadis ini terus memeluknya dan menangis, berkata,
"ah-ah-uh-uh" tidak karuan. Lemas seketika hati Beng San menghadapi
kekasihnya ini.
"Bi
Goat... kekasihku... pujaan hatiku, jangan... jangan kau mengejarku. Janganlah
kau mencegah kepergianku... aku terlampau hina dan terlampau rendah untukmu, Bi
Goat..."
Mendengar
ini, makin menjadi tangis Bi Goat dan makin erat dia mendekap Beng San.
"Aduh,
Bi Goat... kau menghancurkan hatiku. Relakan aku, Bi Goat, aku... aku... ahh,
aku malah tidak pantas lagi hidup di dunia ini..."
Bi Goat
seperti hendak menjerit-jerit, tetapi yang keluar dari mulutnya hanya
ah-ah-uh-uh saja. Akhirnya gadis itu menjadi lemas dan... roboh pingsan di
dalam pelukan Beng San.
Tentu saja
pemuda ini menjadi kaget sekali. la cepat-cepat duduk di atas tanah sambil
memangku kepala Bi Goat, digoyang-goyangnya tubuh nona itu sambil terus
dipanggil-panggilnya penuh kekhawatiran.
"Bi
Goat... Bi Goat... jangan mati...!" la seperti orang gila dan menangis
seperti anak kecil.
Tiba-tiba
gadis itu bergerak dan terdengar suara yang merdu, "Beng San... kalau kau
pergi... lebih baik aku mati saja...”.
Beng San
terkejut seperti disengat ular berbisa. la menoleh ke kanan kiri dan melihat di
sebelah kirinya Song-bun-kwi berdiri dengan muka yang pucat sekali. Sekilas
pertemuan pandang mata antara dia dan Song-bun-kwi terjadi persamaan pengertian
akan apa yang mereka berdua dengar tadi.
"Beng
San... Beng San, jangan tinggalkan aku..."
"Bi
Goat, kau bicara," Beng San melompat bangun dan memeluk gadis itu, lupa
semua kedukaan hatinya.
"Bi
Goat, anakku! Akhirnya kau dapat bicara lagi! Ha-ha-ha-ha-ha!” Song-bun-kwi
tertawa terbahak-bahak, kemudian... menangis. “Ha-ha-ha, benar juga si setan
Yok-mo, setelah mengalami kekagetan, kau bisa bicara lagi..."
"Ayah...
kalau kau tidak menahan Beng San supaya selalu di sampingku, aku tidak saja
akan gagu lagi, malah aku akan mati di bawah kakimu!"
"Ya,
ya, baik begitu. Heh, Beng San! Apakah kau mencinta Bi Goat?"
"Betul,
Locianpwe, akan tetapi aku terlampau hina... aku... aku berdosa dan
telah..."
"Stop!
Mana ada manusia tak berdosa di dunia ini? Dosaku seribu kali lebih besar dari
pada dosamu! Jangan pedulikan manusia-manusia sombong itu. Hayo kau ikut kami
ke Gunung Min-san dan hidup bahagia di sana. Ha-ha-ha, anakku kini bisa bicara,
anakku mendapat suami yang hebat. Dan sebentar lagi aku akan menimang cucuku
yang mungil. Ha-ha-ha, orang she Kwee, pantaskah kau menerima kurnia sebesar
ini?”
Bi Goat
menggandeng tangan Beng San yang menurut saja diajak oleh ayah dan anak itu.
Akan tetapi baru saja mereka tiba di kaki gunung, di depan mereka berdiri tiga
orang menghadang. Mereka ini adalah Cia Hui Gan, Tan Beng Kui, dan Cia Li Cu.
"Cia
Hui Gan, mau apa kau menghadang kami?" Song-bun-kwi yang sedang gembira
hatinya itu bertanya sambil tertawa-tawa. "Apa kau mau bicara urusan gelar
Raja Pedang lagi?"
Merah muka
jago pedang Thai-san itu. "Song-bun-kwi, aku orang tua hanya mengantar
anak-anak, merekalah yang mempunyai urusan."
Sementara
itu, Beng Kui sudah melangkah maju mendekati Beng San, lalu terdengar dia
berkata, "Beng San, kau tak boleh membawa lari sepasang pedang Liong-cu
Siang-kiam itu. Pedang-pedang itu adalah milik kami, harus kau kembalikan
kepada aku dan Li Cu!"
Beng San
melihat betapa sikap kakak kandungnya ini masih amat tinggi hati dan agaknya
masih memandang rendah kepadanya, sikap seorang pejuang gagah perkasa, seorang
jantan dan ksatria yang sudah membuktikan darma baktinya kepada tanah air,
pendeknya sikap seorang mulia terhadap seorang yang dianggap rendah.
Tadi dia
berkukuh merampas pedang karena dia menganggap bahwa di dunia ini bagi hidupnya
hanya satu itulah yang penting. Akan tetapi sekarang setelah dia bertemu Bi
Goat, melihat Bi Goat sembuh dari penyakit gagu, melihat Bi Goat dan ayahnya
sudi menerimanya dan dia menghadapi kehidupan baru yang penuh kebahagiaan
bersama Bi Goat, dia tidak hendak mengukuhi pedang-pedang itu lagi. Setelah ada
Bi Goat, dia tidak membutuhkan apa-apa lagi di dunia ini. Dengan tenang tanpa
bicara apa-apa Beng San menurunkan sepasang pedang dari punggungnya.
"Ha-ha-ha,
mudah amat!" Song-bun-kwi tertawa mengejek. "Orang sudah mengambilnya
dengan mengandalkan kepandaian, sekarang jika hendak merampas kembali juga
harus mengandalkan kepandaian!"
Beng Kui dan
Li Cu saling pandang. Di dalam hati dua orang muda ini sudah mengakui bahwa
mereka tak akan menang bertanding melawan Beng San. Setelah diam sejenak, Beng
Kui berkata, "Beng San, kau dengarlah. Sepasang pedang itu merupakan
syarat dan tanda perjodohanku dengan Li Cu sumoi. Kau kembalikan kepada kami
dan sebagai gantinya, aku akan menutup mulut dan tidak mengenalmu lagi."
Mendengar
ucapan ini, Bi Goat dan ayahnya menjadi marah. Mana ada aturan seperti ini?
Orang diharuskan berlaku baik, tapi balasannya malah tidak akan dikenal lagi.
Tapi Beng San segera menurunkan Liong-cu Siang-kiam dan berkata dengan suara
gemetar.
"Beng
Kui koko, terimalah Liong-cu Siang-kiam ini dan anggap sebagai sumbangan untuk
perjodohanmu dari adikmu yang hina ini. Akan tetapi ini hanya sebagai titipan, tiga
tahun kemudian harus kau kembalikan kepadaku."
Beng Kui
merasa mendongkol sekali, akan tetapi tanpa menjawab sesuatu dia menerima
sepasang pedang itu dan memberikan yang pendek kepada Li Cu. Dua pedang itu
serupa benar, hanya yang sebuah panjang dan terukir huruf ‘jantan’ sedangkan
yang ke dua pendek dan terukir huruf ‘betina’.
Setelah
menerima sepasang pedang ini dan tanpa mengucapkan terima kasih, Beng Kui
segera mengajak Li Cu pergi dari situ. Melihat hal ini, Song-bun-kwi dan Bi
Goat menjadi makin gemas. Betapa sombongnya orang yang dipuji-puji sebagai
Ji-enghiong pemimpin pejuang itu. Sombong, tinggi hati dan merasa diri sendiri
paling jempol.
Cia Hui Gan
agaknya juga merasa tak enak hati melihat sikap murid atau calon mantunya itu.
"Song-bun-kwi, kau menjadi saksinya. Mulai sekarang aku Cia Hui Gan tidak
berani menggunakan gelar Raja Pedang lagi, kalau ada orang masih mempersoalkan
gelar Raja Pedang, maka biarlah aku mengakui bahwa orang muda adik kandung
muridku inilah yang patut diberi gelar Raja Pedang. Selamat berpisah sampai
jumpa pula!" Kaki jago pedang ini mengenjot tanah dan tubuhnya berkelebat
lenyap dari situ.
”Ha-ha-ha!
Mantuku Raja Pedang. Benar mantuku Raja Pedang dan aku akan siarkan hal ini ke
seluruh dunia kang-ouw. Siapa saja yang tak mau menerimanya akan kuhancurkan
kepalanya!" Sambil tertawa-tawa dan berteriak-teriak, kakek ini mengajak
Beng San dan Bia Goat melanjutkan perjalanan ke Min-san.
Sambil
berjalan di samping Bi Goat yang menggandeng tangannya, terjadi perubahan pada
diri Beng San. Wajahnya tidak seram seperti tadi lagi, warna mukanya telah
berubah biasa, bahkan sepasang matanya bersinar-sinar gembira.
Kakak
kandungnya ternyata seorang patriot, seorang pemuda yang harum namanya, yang
dikagumi dan dipuji orang gagah seluruh negeri. Dan kakaknya telah mempunyai
calon jodoh yang sedemikian cantik dan gagahnya seperti Cia Li Cu. Ia girang
melihat kakaknya akan hidup bahagia.
Dia sendiri
melihat titik terang dalam hidup mendatang. Kebahagiaan bagi dirinya segera
menjelang datang bagaikan sang surya yang mengintai dari balik awan gelap yang
mulai tertiup pergi oleh angin. Dengan Bi Goat di sampingnya dia sanggup untuk
melanjutkan hidup, sanggup untuk menempuh semua kesulitan dan sanggup untuk
terus tersenyum. Dia akan memandang dunia yang penuh duri ini, penuh derita
hidup ini dari segi-segi keindahannya.
Tanpa
disadarinya dia mempererat gandengannya. Bi Goat merasakan dan gadis ini pun
makin erat memeluk lengan Beng San sambil melirik dan tersenyum manis. Ketika
Beng San memandang, dia melihat kedua pipi gadis itu terhias dua butir air mata
yang turun perlahan-lahan. Air mata bening, air mata kebahagiaan.
T A M A T
Serial Selanjutnya : Rajawali Emas
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment