Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 17
Hari itu
Hoa-san-pai benar-benar mengalami pukulan hebat, pukulan dari luar dan dari
dalam. Bun Lim Kwi berdiri di dekat gurunya, menundukkan muka ikut berduka. Pek
Gan Siansu mengelus-elus jenggotnya dan memandang kepada Beng San yang juga
berdiri bingung karena tidak tahu ke mana perginya para murid Hoa-san-pai yang
lain.
"Adik
Beng San...!" Seruan ini adalah suara Tan Hok yang datang berlari-lari.
Beng San
juga girang dan dua orang ini saling berpelukan.
"Syukur
kau dan teman-temanmu keburu datang, Tan-twako, kalau tidak..."
Tan Hok
memandang ke arah tubuh-tubuh yang tergeletak malang melintang di tanah itu.
Dia menarik napas panjang.
"Anjing-anjing
Mongol itu benar-benar keji dan sayang sekali tidak dari dulu Hoa-san-pai turut
berjuang. Lebih sayang lagi semua ini hanya gara-gara ada murid Kun-lun-pai
yang roboh di bawah pengaruh kecantikan wanita..." la menuding ke arah
mayat Kwee Sin.
”Jangan kau
bicara sembarangan!" Thio Bwee tiba-tiba meloncat dan memandang Tan Hok
dengan marah. "Apa kau sangka hanya kau dan orang-orang Pek-lian-pai saja
yang patriotik dan gagah? Paman Kwee Sin biar pun kelihatan bersalah, akan
tetapi sebetulnya semua itu dia lakukan demi menjalankan tugasnya sebagai
seorang pejuang. Dia adalah pemimpin di kota raja, terkenal dengan sebutan
Si-enghiong..."
"Apa...?!"
Tan Hok membelalakkan matanya. "Dia... dia itu Si-enghiong? Si-enghiong
dan Ji-enghiong adalah orang-orang yang memimpin gerakan kami di kota raja...
orang-orang kepercayaan Ciu-taihiap! Betulkah ini...?"
Pek Gan Siansu
memuja, "Siancai... siancai..." ia pun menarik napas panjang.
"Sungguh bangga hati tua ini mendengar bahwa Kwee Sin ternyata adalah
seorang pejuang besar. Bangga dan sedih serta malu bahwa pinto telah begitu
buta sehingga tidak bisa mengenal murid sendiri! Ahh, Kwee Sin... Kwee Sin...
tidak berharga pinto menjadi gurumu..."
Tiba-tiba
Thio Bwee berseru. “Ehh, mana dia? Mana dia Ji-enghiong...?"
Tan Hok
makin kaget. "Apa?! Ji-enghiong juga di sini? Mana dia?"
Semua orang
mencari-cari dan mengingat-ingat, akan tetapi mereka tadi tidak melihat lagi
adanya nona Lee Giok atau yang disebut Ji-enghiong oleh Kim-thouw Thian-li.
"Betulkah
Ji-enghiong tadi di sini? Siapakah dia?" Tan Hok bertanya lagi,
terheran-heran. Sedangkan Beng San juga tertegun mendengar terbukanya rahasia
ini, ingin benar dia mendengar keterangan Ji-enghiong pula.
Lian Bu
Tojin berdiri perlahan-lahan, lalu memandang Tan Hok dan teman-temannya yang
berdiri di belakangnya. Melihat tadi Beng San berpelukan dengan Tan Hok, kakek
ketua Hoa-san-pai ini bertanya, "Beng San, siapakah tuan ini?"
Beng San
menjura. "Totiang, dia ini adalah teman teecu yang gagah perkasa. Namanya
Tan Hok dan dialah pemimpin pasukan gerilya Pek-lian-pai yang patriotik."
Lian Bu
Tojin mengangguk-angguk, ”Ah, kiranya. Tan-enghiong. Terima kasih atas semua
bantuanmu. Agaknya Tan-enghiong juga mengenal dua orang pemimpin di kota raja
yang disebut Ji-enghiong dan Si-enghiong."
"Tentu
saja mengenal, Totiang. Hanya mengenal nama, akan tetapi dua orang tokoh itu
adalah termasuk atasan saya. Kiranya Si-enghiong adalah murid Kun-lun-pai,
sungguh menggembirakan sekali dan sekaligus mengubah pandangan kami terhadap
Kun-lun-pai. Akan tetapi... siapakah yang mengatakan bahwa dia adalah
Si-enghiong?"
"Tak
bisa diragukan lagi. Pasukan pemerintah tadi menyerbu ke sini justru karena
mereka hendak menangkap Ji-enghiong dan Si-enghiong. Si-enghiong adalah murid
Pek Gan Siansu, Kwee Sin. Ada pun Ji-enghiong, menurut pengakuan tadi adalah
seorang nona muda yang bernama Lee Giok dan sekarang entah pergi ke mana karena
agaknya tadi menghilang ketika terjadi pertempuran.”
Mendengar
ini, segera Tan Hok bersama teman-temannya dengan penuh penghormatan mengangkat
jenazah Kwee Sin lalu merawat serta mengurusnya penuh penghormatan sebagaimana
layaknya seorang pemimpin. Juga para tosu Hoa-san-pai mengurus semua mayat dan
orang-orang yang terluka.
Dalam hal
ini, Lian Bu Tojin membuktikan keluhuran pribudinya dengan memerintahkan anak
muridnya untuk mengurus juga mayat-mayat serdadu Mongol, bahkan mengobati
mereka yang luka dan membiarkan mereka pergi dengan aman.
Beng San
yang tidak melihat murid-murid Hoa-san-pai, mengajukan pertanyaan kepada Thio
Bwee, "Adik Bwee, kenapa aku tidak melihat Hong-moi dan dua orang
saudaramu Thio Ki dan Kui Lok? Dan ke mana pula perginya Kwa-lo-enghiong dan
bibi gurumu?"
Ditanya
begini, tiba-tiba Thio Bwee menangis lagi dan tidak dapat menjawab.
Lian Bu
Tojin yang menjawab, "Beng San, hari ini Hoa-san-pai mengalami kehancuran.
Kwa Hong, Thio Ki, dan Kui Lok tertawan musuh dan ditangkap. Ada pun Kwa Sin
Tiong dan Sian Hwa, ehh, mereka juga lari dalam kekacauan tadi."
Mendengar
ini, berubah muka Beng San. "Hong-moi tertawan musuh? Juga saudara Thio Ki
dan Kui Lok? Ahh, celaka! Biar kuusahakan pertolongan..." Beng San lari
turun dari puncak.
"Lim
Kwi, kau bantulah dia!" bisik Pek Gan Siansu.
"Saudara
Beng San, tunggu!” Tubuh Lim Kwi melesat mengejar Beng San.
Juga Tan Hok
meloncat dan mengejar. "Adik Beng San, tunggu dulu...!"
Akan tetapi
aneh sekali, biar pun Beng San kelihatannya hanya lari biasa saja sedangkan dua
orang yang mengejarnya ini meloncat dan menggunakan ilmu lari cepat, sebentar
saja tubuh Beng San sudah lenyap dan sama sekali tidak mereka ketahui ke mana arah
larinya. Terpaksa Tan Hok dan Lim Kwi kembali ke puncak.
"Lian
Bu totiang," berkata Tan Hok dengan suara menghibur orang tua yang
kelihatan berduka itu. "Harap Totiang jangan khawatir. Adik Beng San
bukanlah orang biasa, tentu dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menolong
murid-murid Hoa-san-pai yang tertawan itu. Andai kata dia tak berhasil,
percayalah, saya akan mengerahkan teman-teman untuk pergi menolong mereka.
Sekarang sudah jelas bahwa murid Kun-lun-pai sudah menjadi pemimpin pejuang,
yaitu mendiang Kwee-enghiong. Dan sekarang Hoa-san-pai juga telah dimusuhi
penjajah, maka tidak ada jalan lain kecuali melanjutkan cita-cita
Kwee-enghiong. Alangkah baiknya kalau mulai sekarang Hoa-san-pai dan
Kun-lun-pai ikut serta membantu perjuangan rakyat."
Mendengar
ucapan pemimpin gerilya Pek-lian-pai yang gagah dan bersemangat ini, Lian Bu
Tojin dan Pek Gan Siansu saling pandang. Lian Bu Tojin menarik napas panjang
dan berkata.
"Sebetulnya,
semenjak rakyat memberontak terhadap penindasan pemerintah penjajah, kami semua
anggota Hoa-san-pai sudah merasa simpati dan bahkan pinto sendiri sudah memberi
perintah kepada para anak murid supaya membantu perjuangan. Siapa kira pinto
kena diakali oleh Pangeran Souw Kian Bi yang dahulu secara pengecut telah
menculik dua orang cucu muridku. Akan tetapi, dengan adanya penyerbuan hari
ini, jelas bahwa mereka memusuhi kami dan kami sekarang akan mengerahkan semua
tenaga untuk ikut membantu perjuangan mengusir penjajah-penjajah Mongol dari
tanah air."
"Bagus,
Lian Bu toyu!" Pek Gan Siansu berseru gembira. "Aku sendiri harus
menebus kesalahan serta kebodohanku karena tak dapat mengenal Kwee Sin, dan
mulai sekarang Kun-lun-pai juga akan menggabungkan diri dengan para pejuang.”
Bukan main
girangnya hati Tan Hok mendengar ini. Segera dia menjura dengan hormat lalu
menceritakan keadaan perjuangan, sampai di mana kemajuan gerakan barisan rakyat
dan bagian mana yang kiranya membutuhkan bantuan dari dua partai persilatan
itu….
***************
Dengan
melakukan perjalanan cepat dan tak mengenal lelah Beng San mengejar barisan
pemerintah yang telah menawan Kwa Hong, Thio Ki dan Kui Lok. Akan tetapi biar
pun dia sudah berhasil menyusul barisan yang sisanya tinggal beberapa puluh
orang saja itu, dia tidak melihat adanya tiga orang muda murid Hoa-san-pai yang
tertawan. Ia menjadi heran dan juga curiga di samping merasa gelisah sekali
kalau mengingat akan nasib mereka, apa lagi kalau dia memikirkan Kwa Hong.
Malam hari
itu dia terus berlari cepat, akan tetapi belum juga dia dapat menyusul mereka
yang membawa tawanan-tawanan itu. Dia menduga bahwa tentulah Hek-hwa Kui-bo dan
muridnya yang melarikan tawanan-tawanan itu, maka dapat demikian cepat larinya.
Untuk
melenyapkan keraguannya, dia menangkap seorang serdadu yang sedang berjalan
bertiga dengan teman-temannya sambil menggotong seorang teman mereka yang
terluka. Serdadu-serdadu itu terheran-heran dan sangat ketakutan ketika dalam
keadaan gelap itu berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu salah seorang di
antara mereka sudah lenyap tak berbekas dan tak meninggalkan suara apa-apa!
"Am...
ampunkan hamba..." Serdadu itu meratap-ratap ketika dia merasa betapa
tubuhnya dibawa melompat tinggi dan diletakkan di atas ranting-ranting pohon
yang tingginya bukan main dan bergoyang-goyang hampir tak kuat menahan
tubuhnya.
Dia mengira
bahwa tentu dirinya diculik oleh iblis karena semenjak tadi penculiknya tidak
bicara. Muka penculik itu juga tidak kelihatan karena selain gelap, juga
serdadu itu sudah tidak mampu menggerakkan kepalanya untuk menengok dan melihat
wajah orang yang mengempitnya.
"Hemmm,
kau masih ingin hidup? Kau sudah membantu orang-orang berdosa, menculik tiga
orang muda dari Hoa-san-pai, sekarang kau hendak kutinggalkan di sini biar
jatuh dan mampus! Ha-ha-ha!" Beng San mengerahkan lweekang-nya sehingga
suaranya terdengar besar menyeramkan dan menusuk telinga.
"Ampunkan
hamba... hamba hanyalah tentara biasa, hanya mentaati perintah.”
"Hayo
katakan, siapa yang membawa pergi tiga orang muda itu? Cepat mengaku, kalau
tidak akan kucabut nyawamu sedikit demi sedikit!"
Orang itu
semakin percaya bahwa yang mengganggunya ini tentu iblis, karena sekarang suara
itu terdengar tinggi melengking, jauh bedanya dari tadi, dan terdengar suara
tetapi tidak kelihatan orangnya pula.
"Mereka...
mereka dibawa oleh Giam kongcu dan rombongannya..."
"Ke
mana?"
”Ke markas
besar di Tiang-bun-kwi...”
"Di
mana letaknya Tiang-bun-kwi?"
Saking
takutnya serdadu itu sampai tidak dapat memikirkan bahwa kalau yang bertanya
iblis kiranya akan tahu pula ke mana tawanan-tawanan itu dibawa pergi. Akan
tetapi dia sudah terlampau takut sehingga tak dapat mempergunakan pikiran sehat
pula.
"Di
sebelah barat kota raja..." Dia menahan jeritnya karena merasa tubuhnya
terjatuh ke bawah. la tidak tahu bahwa Beng San menariknya dan membawanya
turun.
Tahu-tahu
pada esok harinya dia siuman dari pingsannya dan berada di bawah sebatang pohon
besar lagi tinggi. Tentu saja dia makin percaya bahwa semalam dia diganggu
setan maka dia lari secepat mungkin dari tempat itu!
Sementara
itu, Beng San menjadi girang setelah mendengar bahwa tiga orang tawanan itu
dibawa oleh rombongan Giam Kin ke Tiang-bun-kwi. Segera dia melakukan
pengejaran di malam hari itu juga.
Perjalanan
jauh itu tak membuat dia lemah semangat, dia hanya berhenti mengaso kalau lapar
perutnya tidak dapat dipertahankan lagi dan hanya berhenti mengaso sejenak
untuk melemaskan urat-urat kakinya. Pada keesokan harinya, menjelang malam
tibalah dia di Tiang-bun-kwi.
Beng San
kaget dan khawatir sekali ketika melihat keadaan Tiang-bun-kwi. Dusun di luar
kota raja ini ternyata merupakan markas besar yang amat kuat, menjadi pusat
penjagaan kota raja sebelah barat. Dalam penyelidikannya dia mendengar bahwa di
situ berkumpul sedikitnya sepuluh ribu orang serdadu pemerintah yang setiap
hari berpatroli melakukan penjagaan untuk mencegah penyerbuan lawan dari
sebelah barat. Dan Kwa Hong beserta dua orang suheng-nya dibawa ke markas yang
kuat ini!
Betapa pun
hebatnya berita yang dia dengar tentang Tiang-bun-kwi, Beng San tidak takut.
Untuk menolong ketiga orang itu, terutama sekali Kwa Hong, dia rela berkorban
nyawa. Setelah hari menjadi gelap, dia berhasil menyusup ke dalam benteng
besar, kemudian bersembunyi di balik wuwungan yang tinggi dan gelap.
Dia
mendengar ribut-ribut dan melihat banyak tentara hilir-mudik dan sibuk sekali,
seperti terjadi sesuatu yang sangat penting. Lalu disusul suara terompet dan
tambur. Lapat-lapat terdengar oleh Beng San suara mereka yang menyatakan bahwa
ada tamu agung akan datang mengunjungi benteng itu.
Terdengar
kaki-kaki kuda dari luar dan... berdebar jantung Beng San saat melihat bahwa
yang datang adalah Tan Beng Kui bersama Pangeran Souw Kian Bi, didahului
pengawal membawa bendera kebesaran dan diiringkan pengawal bersenjata lengkap.
Beberapa
orang perwira yang dipimpin komandan benteng itu sendiri lantas menyambut
kedatangan Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui. Melihat dari cara mereka memberi
hormat kepada dua orang pendatang ini dapat diketahui bahwa di samping Souw
Kian Bi yang kedudukannya sebagai Pangeran Mongol, juga Tan Beng Kui memiliki
kedudukan tinggi dan penting.
Sakit hati
Beng San melihat kakak kandungnya itu dihormati sebagai seorang pembesar
pemerintah Mongol yang dalam pandangan matanya malah sebaliknya, yaitu sebagai
antek atau anjing pemerintah penjajah.
Melihat
betapa setelah turun dari kuda rombongan itu memasuki sebuah ruangan, dengan
hati-hati Beng San lalu melompat ke atas genteng di depan. Setelah mencari-cari
dengan teliti dari atas, akhirnya dia tahu bahwa rombongan itu duduk dalam
sebuah ruangan yang lebar dan amat terang.
la
membongkar genteng dan akhirnya, dapat juga pemuda itu mengintai ke bawah
dengan hati-hati. Dilihatnya banyak orang dalam ruangan yang luas itu dan kaget
juga dia melihat bahwa Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi juga berada di ruangan
yang luas itu. Tidak ketinggalan Kim-thouw Thian-li dan Giam Kin yang agaknya
sekarang rapat hubungannya dengan ketua Ngo-lian-kauw itu, buktinya mereka
duduk berdekatan dan Giam Kin sering kali tersenyum-senyum kepada ketua
Ngo-lian-kauw yang masih cantik itu. Beberapa orang perwira duduk pula di situ,
sedangkan sekeliling ruangan terjaga oleh tentara yang memegang tombak.
"Saya
menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-wi Locianpwe yang telah membantu
penumpasan para pemberontak sehingga berhasil dengan terbunuhnya Kwee Sin yang
ternyata adalah Si-enghiong pemimpin pemberontak. Jasa Ji-wi dan para saudara
tentu akan saya catat untuk diberi pahala," kata Pangeran Souw Kian Bi.
"Sayang
sekali, Ji-enghiong yang ternyata adalah nona Lee Giok itu tak dapat tertangkap
atau terbunuh," kata Beng Kui mencela.
"Perempuan
hina itu diam-diam telah lari tanpa diketahui orang selagi pertempuran hebat
terjadi. Kalau tidak demikian, mana dia mampu terlepas dari tanganku?"
Hek-hwa Kui-bo mendengus.
Siauw-ong-kwi
tertawa bergelak. “Kui-bo, kau sendiri ketika itu repot menghadapi seorang
pemuda sastrawan gila, mana kau ada kesempatan menangkap gadis yang diam-diam
menjadi pemimpin pemberontak itu? Ha-ha-ha!"
"Iblis
tua bangka, jangan sombong kau. Menghadapi seorang pemuda gila, mana aku sudi
turun tangan? Sebaliknya, kau hampir tak sempat bernapas saat menahan pedang
ketua Kun-lun-pai!" balas Hek-hwa Kui-bo marah.
"Sudahlah,
hal yang sudah terjadi tak perlu diributkan pula," kata Tan Beng Kui,
suaranya tegas. "Biar pun dia sebagai Ji-enghiong amat merugikan kita,
setelah dia lari pergi, apa artinya seorang musuh seperti nona muda itu? Pula,
kita sekarang dapat mengerahkan pasukan pergi menangkap orang tuanya. Dengan
menahan orang tuanya, apakah nona itu akhirnya tidak akan menyerahkan
diri?"
Pangeran
Souw Kian Bi menggebrak meja dengan marah, mengagetkan semua orang.
"Keparat betul! Siapa kira di kota raja sudah berkeliaran demikian
banyaknya mata-mata pemberontak. Tan-ciangkun, aku belum lagi memberi tahukan
kepadamu. Setelah timbul dugaanku bahwa Lee Giok adalah Ji-enghiong, aku
cepat-cepat menyuruh orang-orangku pergi menangkap orang tua she Lee itu, akan
tetapi ternyata rumahnya telah kosong. Ia sekeluarga telah lari minggat dari
kota raja pada malam hari itu juga."
Tan Beng Kui
mengeluarkan seruan kaget. "Aihhh, kiranya begitu? Celaka betul, kalau
begitu tentu ada kaki tangan pemberontak di kota raja yang telah memberi
tahukan lebih dahulu kepada mereka.
"Segala
usaha kita sudah digagalkan!" Pangeran Souw Kian Bi mengerutkan kening dan
suaranya penuh penyesalan. "Penyerbuan ke Hoa-san-pai sudah mengorbankan
banyak serdadu dan mengakibatkan permusuhan baru dengan pihak Hoa-san dan
Kun-lun. Hal ini benar-benar tidak baik sekali, apa lagi kalau dilihat hasilnya
hanya dapat menawan tiga orang anak murid Hoa-san-pai yang tidak berarti."
"Selain
tiga orang muda itu, kami masih menawan dua orang anggota Pek-lian-pai,"
kata komandan yang memimpin pasukan Mongol tadi, nada suaranya mengandung
penonjolan jasa.
"Huh!
Apa artinya dua orang anjing Pek-lian-pai? Hayo gusur mereka semua ke sini!
Adili mereka sekarang juga, aku sendiri hendak memeriksanya!" seru
Pangeran Mongol yang mengepalai usaha pembasmian para pemberontak itu dengar
suara marah.
Semua orang
yang berada di situ, kecuali Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi bersama
murid-murid mereka yang tetap tinggal tenang-tenang saja, menjadi gugup juga
melihat kemarahan pangeran yang berpengaruh ini. Aba-aba dikeluarkan dan
beberapa orang serdadu pergi dari situ dengan sigapnya untuk menggusur para
tawanan.
Yang
mula-mula sekali diseret ke ruangan itu adalah seorang laki-laki setengah tua
yang bertubuh kurus kecil dan bermata tajam, yang wajahnya terluka parah. Kedua
lengannya dibelenggu di belakang tubuhnya, dan kini dia didorong-dorong masuk
oleh empat orang serdadu.
"Berlutut
kau!" Seorang serdadu mendorong sambil menekan tengkuknya untuk memaksa
dia berlutut di depan Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui beserta para perwira yang
duduk di situ.
Orang itu
terhuyung-huyung hampir roboh, namun dia dapat menguasai dirinya sehingga tidak
sampai terjatuh, lalu berdiri tegak menghadapi pangeran itu dan teman-temannya.
Matanya terbuka lebar memandang penuh kebencian, tubuhnya yang kecil kurus
tegak lurus, sedangkan dadanya terangkat dibusungkan, sedikit pun tidak kelihatan
takut-takut apa lagi menghormat.
"Paksa
jahanam ini supaya berlutut!" Tan Beng Kui membentak.
Dua orang
tentara melangkah maju dan mulailah mereka memukul dan menekan untuk memaksa
orang itu berlutut. Akan tetapi semua usaha mereka sia-sia belaka. Sampai orang
itu roboh karena tidak tahan lagi akan pukulan-pukulan, tetap saja dia tidak
mau berlutut!
"Ha-ha-ha,
biarkan dia begitu," Pangeran Souw Kian Bi tertawa kagum. "Kau
benar-benar gagah perkasa. Siapakah namamu?"
Sambil
menggigit bibir menahan sakit, orang itu yang sudah dapat bangkit dan kini
duduk di atas lantai karena tidak kuat berdiri lagi, menjawab dengan suara
kasar dan tegas.
"Aku
Gouw Bun anggota pimpinan regu Pek-lian-pai. Sekarang aku sudah tertawan, mau
bunuh boleh bunuh!"
Kembali Pangeran
Souw Kian Bu tertawa. "Orang she Gouw, kau benar-benar gagah dan patut
menjadi prajurit. Usiamu paling banyak empat puluh tahun, tentu kau
meninggalkan keluargamu. Apakah kau tidak ingin hidup serta mendapat kedudukan
mulia dan mewah? Ingat, aku dapat mengampunimu dan malah dapat mengangkatmu
menjadi perwira kalau kau suka memberi keterangan tentang dua orang yang kalian
sebut sebagai Si-enghiong dan Ji-enghiong."
"Huh,
kau kira kami orang-orang Pek-lian-pai dapat disamakan dengan orang-orang Han
yang sudah suka menjadi anjing-anjing penjilat pantat penjajah Mongol? Kami
adalah para laki-laki sejati. Sudah berani berjuang demi tanah air dan bangsa,
masa kami takut mati? Kau tentulah Pangeran Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang
sudah tersohor menentang perjuangan kami. Sekarang aku Gouw Bun telah kau
tawan, boleh bunuh. Ingat saja kau dan antek-antek serta anjing-anjingmu, bahwa
perjuangan rakyat akhirnya pasti menang dan manusia-manusia macam kalian
akhirnya tentu akan terbasmi!"
Bukan main
marahnya Souw Kian Bi. Wajahnya yang tampan menjadi merah.
"Bawa
dia keluar, robek jadi empat dengan empat ekor kuda!" perintahnya kepada
para penjaga.
Beng San
yang mendengarkan di atas genteng merasa ngeri dan timbul keinginan hatinya
untuk menolong. la sudah mendengar tentang cara-cara menghukum yang amat keji
dari pangeran ini, di antaranya hukuman robek menjadi empat potong.
Hukuman ini
dilakukan dengan cara mengikat dua lengan dan dua kaki orang itu pada empat
ekor kuda yang kemudian dicambuk supaya lari ke arah empat jurusan. Dengan cara
seperti ini, tubuh orang yang ditarik ke empat jurusan oleh kuda-kuda kuat itu
akan robek menjadi empat potong. Bagaimana dia dapat membiarkan hal ini terjadi
pada diri seorang patriot yang gagah perkasa?
“Harus
kutolong dia,” pikir Beng San dengan hati berdebar.
la maklum
bahwa untuk menolong orang itu sama sekali tidak sukar, akan tetapi untuk
berhasil meloloskan diri dari tempat berbahaya itu masih amat menyangsikan. Apa
lagi kalau orang-orang sakti di dalam itu keluar semua dan menghalanginya.
Tiba-tiba
dia melihat cahaya berkelebat dalam ruangan itu. Tubuh Gouw Bun yang tadinya
diseret-seret oleh para penjaga itu roboh tak berkutik lagi dengan dada kiri
tertembus pedang, sedangkan Tan Beng Kui nampak memasukan lagi pedangnya yang
sedikit pun tidak bernoda darah, lalu dia duduk kembali dengan tenang.
Beng San
bengong setengah mati. Bukan main hebatnya gerakan kakak kandungnya itu.
Mencabut pedang langsung menyerang dan tepat menusuk ke arah jantung, dilakukan
demikian cepat dan tepatnya sehingga dia sendiri sampai silau matanya
memandang, apa lagi melihat betapa pedang itu sama sekali tidak bernoda darah,
benar-benar merupakan gerakan ilmu pedang yang luar biasa lihainya.
"Hebat...
hebat... itulah ilmu pedang yang hebat!" terdengar Siauw-ong-kwi memuji.
"Mirip
gerak tipu ilmu pedangku! Hem... Tan-ciangkun, siapa yang mengajarkan gerakan
itu kepadamu?" kata Hek-hwa Kui-bo.
Diam-diam
Beng San juga merasa heran oleh karena dia tadi pun merasa betapa gerakan ilmu
pedang tadi mempunyai persamaan, setidaknya dasarnya tidak berbeda dengan ilmu
pedangnya, Im-yang Sin-kiam-sut.
"Ah,
segala ilmu pedang pungutan dari jalanan, mana ada harganya mendapat perhatian
Locianpwe?" jawab Tan Beng Kui merendah kepada Hek-hwa Kui-bo.
Nenek ini
masih penasaran dan hendak bertanya lagi, akan tetapi ia didahului Pangeran
Souw Kian Bi yang bertanya dengan suara tak senang.
"Tan-ciangkun,
kenapa kau membunuhnya? Apa kau tidak suka mendengar dia kujatuhi hukuman
tadi?"
Tan Beng Kui
tersenyum sambil menjura kepada Souw Kian Bi. "Harap Taijin maafkan
kepadaku. Aku tadi tak kuat menahan kemarahan menyaksikan kesombongan sikap
setan pemberontak itu, maka telah berani turun tangan sendiri untuk
melampiaskan kemarahan. Baru puas hatiku kalau sudah membunuhnya dengan tangan
sendiri."
Souw Kian Bi
tersenyum juga. "Agaknya luar biasa bencimu kepada orang Pek-lian-pai.
Ha-ha-ha..." Lalu kepada para penjaga, pangeran ini memberi perintah
supaya membawa pergi mayat itu dan menyeret masuk orang kedua.
Hati Beng
San panas dan perih. Ia merasa amat kecewa melihat kenyataan betapa kakak
kandungnya memusuhi para pejuang yang dianggapnya pemberontak. Melihat kakak
kandungnya sendiri dengar ganas membunuh seorang Pek-lian-pai yang demikian
gagah perkasa dan patriotik, sungguh membuat Beng San merasa penasaran, kecewa
dan marah. Kalau kau tak dapat mengubah pendirian, agaknya aku sendiri akan
memusuhimu, pikirnya sambil memandang kepada kakak kandungnya yang sudah
kembali duduk di sebelah Souw Kian Bi dan melihat orang kedua yang sudah
diseret masuk.
Orang ini
masih muda, belum tiga puluh tahun usianya. Tubuhnya besar dan tampak kuat,
mukanya gagah. Dilihat tubuh dan mukanya, benar-benar jauh bedanya dengan orang
pertama tadi. Akan tetapi alangkah jauh pula bedanya sikap orang ini dengan
yang tadi.
Begitu
diseret masuk, orang ini sudah mengeluh panjang pendek dan tanpa diperintah
lagi dia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Souw Kian Bi.
Melihat sikap ini saja sudah muak perut Beng San.
"Siapa
namamu dan apa yang ingin kau katakan setelah kau tertawan?" tanya
Pangeran Souw Kian Bi, agaknya gembira melihat sikap tawanan ini.
"Hamba
Bhe Ti Gi, hamba... hamba mohon pengampunan Taijin... hamba adalah seorang
bekas pedagang di Kwi-bin, hamba... hamba hanya ikut-ikutan saja di
Pek-lian-pai, bukan apa-apa... hamba mohon ampun..." Orang itu lalu
menangis ketakutan.
"Pengecut
hina!" Beng San memaki dalam hatinya dan ingin sekali dia menampar muka
orang itu.
Akan tetapi
Souw Kian Bi tertawa bergelak lalu bertanya, suaranya halus. "Bhe Ti Gi,
gampang memberi ampun. Akan tetapi kau harus memberi keterangan tentang dua
orang pemimpinmu di kota raja, yaitu Ji-enghiong dan Si-enghiong. Apa saja yang
kau ketahui tentang mereka?”
Dengan muka
berseri penuh harapan orang itu mengangkat muka dan berkata. "Tentu saja
hamba tahu mengenai diri mereka itu, Taijin! Akan tetapi, sesudah hamba memberi
keterangan, betulkah hamba akan diampuni dan dibebaskan?"
"Sraaattt!"
Sinar pedang
menyilaukan mata ketika Beng Kui mencabut pedangnya dan membentak,
"Bedebah kau! Keparat berlidah ular! Tak usah kau memutar-mutar omongan,
kalau tahu tentang mereka berdua, lekas kau ceritakan. Soal pengampunan tak
perlu disebut-sebut!" Pedangnya tergetar di tangannya membuat tawanan itu
menjadi pucat sekali.
Hemmm,
Benar-benar dia benci kepada para pejuang, pikir Beng San. Akan tetapi kali ini
hatinya tidak panas karena memang dia pun benci kepada Bhe Ti Gi yang berwatak
khianat dan pengecut itu.
"Am...
ampun..." Bhe Ti Gi gemetar seluruh tubuhnya, "hamba... hamba memang
tahu tentang Ji-enghiong dan Si-enghiong... memang semenjak bertahun-tahun
mereka sudah terkenal sebagai pemimpin-pemimpin rahasia di kota raja. Banyak
mereka memberi tahu kepada kami tentang keadaan pertahanan pasukan pemerintah.
Tapi tak seorang pun di antara kami semua yang tahu bahwa Si-enghiong adalah
Kwee Sin murid Kun-lun-pai sedangkan Ji-enghiong adalah nona yang bernama Lee
Giok itu..."
"Nah,
berterus terang lebih baik," kata Tan Beng Kui sambil menyimpan pedangnya
lagi. "Katakan sekarang ke mana larinya nona Lee Giok atau Ji-enghiong
itu, jawab dan jangan membohong!"
"Hamba...
hamba mana tahu...? Hamba hanyalah anggota biasa... hamba tidak tahu dan mohon
ampun..."
"Hemmm,
tikus macam ini untuk apa dilayani lagi, Taijin? Tak patut diberi ampun, lebih
baik dihukum mampus saja agar semua anggota Pek-lian-pai yang mendengar menjadi
ketakutan," kata pula Tan Beng Kui dengan suara kejam.
Souw Kian Bi
tertawa lalu memberi perintah kepada para penjaga. "Beri hadiah seratus
kali rangketan!"
Bhe Ti Gi
mengeluh dan memohon ampun, akan tetapi dengan kasar para penjaga lalu memaksa
dia menelungkup, kemudian terdengar suara gebukan berkali-kali diseling jerit
kesakitan tawanan itu.
"Goblok!
Kenapa memukul seperti orang kelaparan tak bertenaga lagi? Pukul yang keras,
pada punggungnya!" bentak Tan Beng Kui.
Kasihan juga
Bhe Ti Gi. Pukulan tadi saja kalau dilanjutkan sampai seratus kali, tentu dia
takkan tahan. Sekarang karena teguran Tan Beng Kui, algojo yang melakukan
hukuman ini memperkeras pukulannya sehingga dia menjerit-jerit seperti babi
disembelih diiringi suara ketawa para perwira dan serdadu. Baru empat puluh
kali saja tulang punggungnya sudah patah-patah dan dia berkelojotan lalu tak
berkutik lagi.
Souw Kian Bi
memberi perintah supaya mayat kedua ini pun disingkirkan dari situ, lalu dia
menyuruh para penjaga dengan suara keras.
"Bawa
masuk tiga orang murid Hoa-san-pai!"
Berdebar
jantung Beng San mendengar perintah ini. Tadi melihat penyiksaan terhadap diri
Bhe Ti Gi, timbul juga perasaan kasihan di hatinya, namun ditahan-tahankannya
karena dia maklum bahwa menolong Bhe Ti Gi berarti mendatangkan bahaya besar
bagi dirinya sendiri. Sedangkan tujuan utama kedatangannya ke tempat itu adalah
untuk menolong murid-murid Hoa-san-pai terutama Kwa Hong, maka dia menahan
sabar memalingkan muka tidak mau memandang penyiksaan itu.
Kini
mendengar bahwa murid-murid Hoa-san-pai hendak dibawa masuk, dia memandang
penuh perhatian dan bersiap-siap menolong. la telah memperhitungkan bahwa
kiranya di tempat seperti ini tak mungkin baginya untuk menolong tiga orang itu
sekaligus, maka dia mengambil keputusan untuk menolong Kwa Hong seorang lebih
dahulu, baru kemudian merencanakan pertolongan Thio Ki dan Kui Lok.
Tiga orang
muda itu, Kwa Hong, Thio Ki dan Kui Lok, digiring masuk ruangan. Seperti juga
yang lain-lain, mereka dibelenggu kedua lengan mereka ke belakang. Akan tetapi
ketiga orang ini bersikap gagah, melangkah maju dengan kepala dikedikkan dan
dada dibusungkan sedangkan sepasang mata mereka memandang tajam ke depan, penuh
sikap menantang.
Diam-diam
Beng San kagum sekali melihat sikap tiga orang murid Hoa-san-pai ini. Dan
jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Kwa Hong yang cantik jelita itu
agak pucat, sepasang mata yang biasanya berseri dan bening itu kini
berkilat-kilat penuh kemarahan. Kwa Hong, kau gagah dan cantik sekali, bisik
hatinya dan keinginannya untuk menolong gadis ini makin menggelora, kalau perlu
akan dia pertaruhkan nyawanya.
Agaknya
karena maklum bahwa tiga orang muda ini bukanlah tergolong pemberontak dan
terdiri dari orang-orang gagah perkasa, para penjaga tidak berlaku kasar
seperti terhadap yang lain tadi. Mereka bertiga berdiri tegak di depan Souw
Kian Bi dengan sikap angkuh dan berani.
"Ha-ha-ha,
murid-murid Hoa-san-pai benar-benar sombong! Hemmm, hendak kulihat nanti kalau
kalian sudah menggeletak tak berkepala lagi, apakah kalian masih dapat bersikap
sombong seperti sekarang ini," kata Pangeran Souw Kian Bi dengan suara
mengejek untuk menyembunyikan perasaannya yang tersinggung oleh sikap tiga
orang muda ini. "Dan hendak kulihat juga apakah tua bangka Lian Bu Tojin
yang melanggar janjinya itu dapat menolong kalian. Ha-ha-ha!"
"Manusia
berbatin rendah!" terdengar suara Kwa Hong memaki, suaranya nyaring
sekali. "Siapakah yang takut akan mati? Anak murid Hoa-san-pai tidak takut
mati dan kalau kau si hina hendak membunuh kami, silakan, silakan. Tak perlu
kau menyebut-nyebut nama besar guru kami. Adalah kau yang berbuat hina, dulu
kau telah menculik aku dan suci-ku dan kau gunakan itu untuk memaksa suhu
berjanji untuk tidak membantu kaum pejuang. Akan tetapi, kiranya kau yang
melanggar janji. Kau datang membawa anjing-anjingmu menyerbu Hoa-san. Hemmm,
mati sebagai orang gagah seribu kali lebih baik dari pada hidup sebagai manusia
rendah macam engkau!”
Hampir saja
Beng San bertepuk tangan memuji ketika mendengar ucapan dan melihat sikap Kwa
Hong yang amat gagah perkasa ini. Souw Kian Bi memukul meja di depannya
sehingga terdengar suara keras.
"Perempuan
liar. Di sini kau masih hendak bersikap gagah-gagahan? Hemmm, hukuman mati
masih terlampau ringan bagimu setelah kau berani mengeluarkan ucapan kurang
ajar tadi. Lihat nanti, aku akan membikin kau menjadi lebih hina dari pada yang
paling hina. Aku akan memberikan kau sebagai barang permainan sepasukan
tentaraku yang paling rendah pangkatnya. Ha-ha-ha-ha!" Suara ketawa
Pangeran Souw Kian Bi menyeramkan sekali.
Beng San
melihat betapa wajah Kwa Hong menjadi semakin pucat dan tubuh gadis itu
menggigil, akan tetapi tetap saja gadis itu rmemandang kepada pangeran ini
dengan mata mendelik. Beng San bergidik ketika mendengar ucapan pangeran itu
dan melihat betapa serdadu-serdadu yang berdiri di barisan belakang lantas
tertawa-tawa dan saling berbisik dengan sikap kurang ajar sekali. Juga dia
melihat Kui Lok dan Thio Ki menjadi pucat.
Thio Ki
menoleh ke arah Kwa Hong, lalu berkata. "Sumoi, berkatalah sedikit halus,
ingat bahwa kita telah berada di tangan musuh. Biarlah aku menyerahkan nyawaku
untuk keselamatanmu." Kemudian pemuda ini berkata kepada Souw Kian Bi,
"Taijin, kami tiga orang murid Hoa-san-pai tidak gentar menghadapi hukuman
mati. Akan tetapi, demi peri kemanusiaan, jangan menjatuhkan hukuman yang
demikian hina dan rendah kepada sumoi-ku. Kalian boleh menghukum aku, boleh
mencincang hancur tubuhku, akan tetapi, bebaskanlah sumoi-ku ini. Biarlah
badanku menjadi penggantinya."
Kui Lok
cepat berkata, "Tidak! Akulah yang bersedia menggantikan hukuman Hong-moi.
Taijin, aku cinta pada Hong-moi, jangan ganggu dia, biarlah kau jatuhkan
hukuman yang sehebat-hebatnya kepada diriku saja asal kau bebaskan
Hong-moi!"
"Lok-te,
tutup mulutmu! Hong-moi adalah tunanganku, calon isteriku. Kwa Supek sudah
merencanakan untuk menjodohkan dia dengan aku. Maka sebagai tunangannya, akulah
yang patut membelanya dengan pengorbanan jiwa.”
"Siapa
bilang bertunangan? Hal itu belum resmi dan Hong-moi sendiri pun belum pernah
menerimanya. Dia tidak mencinta padamu, dan aku... cintaku kepadanya lebih
besar dan suci!"
Beng San
menggeleng-geleng kepalanya. Tolol mereka berdua, pikirnya. Masa di dalam
keadaan seperti itu mereka masih memperebutkan cinta kasih Kwa Hong?
Juga Kwa
Hong menjadi gemas sekali. "Ji-wi Suheng mengapa meributkan urusan itu?
Apa pun hukumannya, akhirnya orang mesti mati. Siapa takut mati?"
Sementara
itu, kelihatan Tan Beng Kui berbisik-bisik kepada Pangeran Souw Kian Bi dan
pangeran itu lalu mengangguk-angguk dan tersenyum seperti iblis. Diam-diam Beng
San mendongkol sekali.
Celaka,
pikirnya. Kakak kandungnya itu ternyata jahat dan berbisa melebihi ular, tentu
dia sudah mengajukan usul yang amat keji untuk menghukum tiga orang murid
Hoa-san-pai ini. Akan tetapi dia merasa belum saatnya untuk turun tangan, dia
masih hendak melihat perkembangannya terlebih jauh.
Souw Kian Bi
sudah tertawa lagi, suara ketawanya licik, lalu dia pun berkata, "Seorang
di antara kalian berani dan rela berkorban?” tanyanya jelas ditujukan kepada
Thio Ki dan Kui Lok.
"Aku
rela berkorban nyawa untuk sumoi!" kata Thio Ki.
"Tidak,
lebih baik aku saja. Aku akan mati seribu kali untuk menolong Hong-moi yang
tercinta," kata Kui Lok.
Pangeran itu
tertawa lagi. "Bagus, kalian ini orang-orang muda yang mabuk cinta. Jika
seorang di antara kalian mati, yang lain akan bebas dan pergi bersama nona ini
menjadi suaminya. Nah, sekali lagi, siapa di antara kalian mau mati dan mermberikan
nona ini kepada yang lain?"
Wajah dua
orang saudara itu seketika menjadi pucat, mulut mereka terbuka tapi tak ada
suara keluar. Sampai lama mereka diam saja dan hanya suara ketawa Souw Kian Bi
dan Tan Beng Kui yang terdengar. Diam-diam Beng San gemas sekali kepada dua
orang muda murid Hoa-san-pai itu. Benar-benar tolol dan mau saja dijadikan
bahan kelakar.
"Sekarang
keputusanku begini," berkata pula Souw Kian Bi setelah berkedip main mata
kepada Tan Beng Kui. "Kalian berdua boleh bertanding dan nona ini akan aku
berikan kepada pemenang pertandingan."
Setelah
berkata demikian, pangeran ini mencabut pedangnya dan dengan dua kali tebas
terbebaslah belenggu yang mengikat tangan kedua orang muda itu.
"Ambilkan
dua batang pedang," katanya lagi.
Dua orang
penjaga maju menyerahkan dua batang pedang kepada Thio Ki dan Kui Lok. Seperti
orang dalam mimpi tanpa disadari lagi dua orang muda itu menerima pedang di
tangan, sinar mata mereka penuh dendam dan nafsu membunuh!
"Thio-suheng
dan Kui-suheng, apakah kalian telah gila?" teriak Kwa Hong dengan gemas
sekali. "Sesudah bersenjata tidak segera menghancurkan musuh, malah saling
gempur sendiri. Mana kegagahan kalian?"
Dua orang
muda itu nampak ragu-ragu mendengar ucapan gadis yang mereka cinta ini. Akan
tetapi mereka jeri untuk menyerang musuh yang begitu banyaknya. Pula, mereka
dapat berbuat apakah dengan adanya lawan yang selain banyak juga sakti-sakti
itu? Setelah Pangeran Mongol ini sekarang menjanjikan kebebasan dan diri Kwa
Hong kepada pemenang, bukankah ini jalan satu-satunya untuk dapat bebas bagi
mereka, setidak-tidaknya bagi dua orang di antara mereka?
"Sumoi,
urusan dirimu di antara kami memang tidak pernah akan beres tanpa adanya
keputusan terakhir. Salah seorang di antara kami harus mati lebih dulu agar
yang hidup dapat memperoleh dirimu," kata Thio Ki dengan suara tegas.
"Kui Lok, kau mulailah!"
Kui Lok
meragu sejenak, akan tetapi segera dia memandang kepada Kwa Hong dan berkata,
"Adik Hong, kalau aku yang kalah dan mati, biarlah kau hidup bahagia
dengan Suheng."
Setelah
berkata demikian pedangnya menyambar. Dia sudah mulai membuka serangan. Thio Ki
cepat menangkis dan segera dua orang pemuda murid Hoa-san-pai ini sudah saling
serang dengan hebat dan seru.
Dengan air
mata berlinang Kwa Hong melihat pertempuran ini. la merasa amat menyesal dan
kecewa akan kebodohan dua orang suheng-nya itu yang begitu tolol sehingga mau
dipermainkan oleh Pangeran Mongol, kecewa melihat suheng-suheng-nya itu di
dalam tahanan musuh masih meributkan soal cinta dan masih saling memperebutkan
dirinya.
Dahulu,
ketika masih berada di Hoa-san, ia kadang-kadang merasa bangga dan senang
melihat dua orang pemuda ini bersaing untuk merebut hatinya, akan tetapi
sekarang ia merasa malu sekali akan sikap mereka. la anggap mereka itu berwatak
rendah.
Air matanya
makin deras mengalir keluar dan terbayanglah wajah Beng San. Alangkah jauh
bedanya dua orang suheng-nya ini dengan Beng San. Kalau saja ia tertawan musuh
bersama Beng San, kiranya takkan begini jadinya. Takkan begini sikap Beng San
yang tak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Teringat akan Beng San air matanya
makin deras mengucur.
Alangkah
rindu hatinya untuk bertemu sekali lagi dengan pemuda itu sebelum ia tewas di
tangan musuh, sebentar saja untuk menyatakan perasaan cinta kasihnya.
Pertempuran
antara Thio Ki dan Kui Lok berjalan makin seru dan ramai. Memang kedua orang
muda ini setingkat kepandaiannya, apa lagi mereka memang terdidik semenjak
kecil dalam satu perguruan, tentu saja sudah saling mengenal gerakan masing-masing.
Bagi orang
yang mengenal ilmu pedang Hoa-san-pai, tentu menyangka bahwa mereka itu
main-main saja atau tengah berlatih. Akan tetapi bagi orang luar mereka
kelihatan sedang bertempur dengan hebat, karena memang ilmu pedang Hoa-san-pai
kelihatan amat cepat dan bergaya indah.
Sesungguhnya
mereka ini sama sekali tidak main-main, melainkan saling serang dengan
mengeluarkan gerakan-gerakan mematikan. Tiada lagi pilihan bagi Thio Ki dan Kui
Lok. Mereka harus memilih satu di antara dua, membunuh lawan untuk bebas
bersama Kwa Hong, atau terbunuh.
Sudah tentu
tak ada seorang pun di antara mereka yang sudi mengalah. Bukan persoalan mati
hidup yang penting bagi mereka, melainkan persoalan mendapatkan atau kehilangan
diri Kwa Hong, yang mereka cinta!
”Thio-suheng!
Kui-suheng! Dengarkan aku baik-baik!" tiba-tiba Kwa Hong berseru nyaring
dengan suara terisak. "Dengarkan sumpahku ini! Siapa pun juga di antara
kalian yang menang dalam pertandingan ini, aku tidak sudi menjadi isterimu!
Nah, dengar! Siapa pun juga yang menang, takkan menjadi suamiku malah akan
menjadi musuh besarku selama hidup karena telah membunuh seorang saudara
seperguruan!"
Seketika
wajah dua orang pemuda Hoa-san itu menjadi amat pucat dan pedang mereka
tertahan. Peluh memenuhi leher dan muka, mata mereka memandang ke arah Kwa Hong
dengan sedih, kaget dan bingung.
"Sumoi...
kalau begitu... siapakah yang kau... kau cinta?" bertanya Thio Ki dengan
suara serak.
"Ya,
katakan siapa orangnya yang kau cinta, Hong-moi, agar kami tidak penasaran dan
tidak menganggap kau membohong untuk mencegah kami saling bertempur," kata
Kui Lok dengan wajah pucat.
Kwa Hong
bingung mendengar kata-kata mereka itu. la maklum bahwa kalau ia tidak bisa
menjawab, keduanya tentu akan bertanding lagi karena menganggap bahwa dia hanya
membohong untuk mencegah mereka saling serang. Kalau ia mengaku, ahh, bukankah
hal itu amat memalukan?
Akan tetapi,
keadaan sudah mendesak. Dari pada kedua suheng-nya mati saling serang, lebih
baik mereka itu tewas sebagai orang-orang gagah. Lagi pula, dia sendiri sudah
tak mempunyai harapan untuk hidup lebih lama lagi atau keluar dari tempat ini
dengan selamat, maka apa salahnya kalau ia mengeluarkan isi hatinya?
Dengan muka
merah, air mata mengalir di kedua pipinya, tapi sambil mengangkat dada dan
dengan suara yang nyaring ia berkata. "Aku mencintai kanda Beng San!"
Pada saat
itu terdengar suara ketawa keras. "Ha-ha-ha-ha! Kiranya nona manis ini
tidak suka menjadi isteri seorang di antara suheng-nya."
Dan cepat
sekali seperti terbang saja tahu-tahu tubuh Giam Kin sudah berada di tengah
ruangan itu. Ia menoleh ke arah Souw Kian Bi dan menjura sambil berkata.
"Taijin tadi menyatakan bahwa siapa yang menang akan mendapatkan diri nona
Kwa Hong yang manis ini. Sekarang dua orang Hoa-san ini tidak mau lagi saling
serang agaknya, biarlah hamba merobohkan mereka berdua dan hadiahnya tentu saja
diri nona manis ini. Hamba mengharapkan perkenan Taijin."
"Giam
Kin, bukankah nona yang satu lagi dari Hoa-san-pai yang kau cinta?" tanya
Souw Kian Bi sambil tersenyum.
Giam Kin
tertawa lagi memandang ke arah Kwa Hong sambil menyeringai. "Yang itu juga
cinta, yang ini juga suka. Kalau bisa kedua-duanya pun boleh. Ha-ha-ha!"
"Dasar
mata keranjang. Nah, kau hadapi dua orang itu, apa bila kau menang, boleh kau
ambil nona ini," kata Souw Kian Bi pula sambil tertawa geli.
Sementara
itu, pengakuan Kwa Hong bahwa dia mencinta Beng San tadi memang sudah dapat
diduga lebih dulu oleh Thio Ki dan Kui Lok. Dahulu, di puncak Hoa-san, ketika
Kwa Tin Siong hendak memaksa Kwa Hong untuk menikah dengan Thio Ki, gadis ini
pun memberontak dan menolak, malah berani mengaku di depan ayahnya bahwa dia
suka kepada Beng San.
Akan tetapi
dahulu itu mereka semua mengira bahwa Kwa Hong yang terkenal keras hati, keras
kepala itu mengaku demikian hanya untuk mencari alasan penolakannya belaka.
Pada waktu itu, siapa bisa percaya bahwa Kwa Hong mencinta seorang pemuda tolol
seperti Beng San?
Tapi
pengakuan sekarang ini lain lagi, tak mungkin Kwa Hong main-main di depan
jurang kematian. Dua orang saudara seperguruan ini saling pandang dan mata
mereka menjadi basah.
Sungguh
mereka senasib sependeritaan. Keduanya telah kehilangan ayah, dan keduanya
sekarang kehilangan kekasih pula. Dalam pertemuan pandang mata ini sekaligus
lenyap semua kebencian, lenyap semua persaingan, dan timbullah kasih sayang
antara saudara seperguruan yang mesra. Timbul kasih sayang dan kesetia kawanan.
Baru terbuka
mata hati mereka betapa mereka tadi bersikap amat pengecut dan hanya
mementingkan diri sendiri saja. Baru teringat bahwa sebagai murid-murid
Hoa-san-pai seharusnya mereka bersikap gagah perkasa, menghadapi kematian di
tangan musuh dengan pedang di tangan, siap mati demi membela kebenaran, apa
lagi dalam hal ini membela tanah air dan bangsa.
"Lok-te,
mari kita basmi anjing-anjing penjajah," bisik Thio Ki.
"Ki-suheng,
aku sehidup semati denganmu!"
Keduanya
melangkah maju dan mereka saling peluk dengan air mata bercucuran. Kedua
saudara seperguruan ini kemudian membalik menghadapi Giam Kin dengan pedang di
tangan. Kini pedang itu tetap dan kokoh di dalam genggaman tangan orang-orang
yang sudah siap mempertahankan diri sampai titik darah terakhir!
Sambil
tertawa-tawa Giam Kin mencabut pedang di tangan kanan dan suling di tangan
kiri, kemudian membentak keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan gerakan
cepat sekali dia telah mengirim serangan bertubi-tubi ke arah Thio Ki dan Kui
Lok.
Tentu saja
kedua orang pemuda Hoa-san ini segera menangkis dan balas menyerang. Namun
segera dapat diketahui bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh di bawah Giam
Kin karena biar pun mengeroyok dua, segera sinar pedang Giam Kin mendesak dan
menindih kedua pedang mereka. Betapa pun juga, karena dua orang pemuda ini
sekarang bertempur dengan semangat menyala-nyala dan nekat, tidak mudah bagi
Giam Kin untuk merobohkan mereka dalam waktu singkat.
Tadinya pada
waktu melihat dua orang murid Hoa-san-pai itu sudah saling serang untuk memperebutkan
diri Kwa Hong, Beng San merasa sangat kecewa dan luar biasa muak sehingga dia
tidak ambil peduli. Bahkan kiranya dia akan mendiamkan saja andai kata melihat
dua orang pemuda itu tewas di tangan musuh.
Akan tetapi
sekarang, melihat perubahan sikap mereka, dia menjadi terharu dan girang serta
kasihan juga. Melihat betapa mereka berdua kini mati-matian mempertahankan diri
dari serangan Giam Kin yang ganas dan keji serta maklum bahwa tak lama lagi
mereka tentu akan roboh, Beng San lalu mengambil keputusan untuk turun tangan
sekarang juga. Betapa pun juga akhirnya dia harus turun menolong Kwa Hong.
"Saudara
Thio Ki dan Kui Lok, berikan iblis ular ini kepadaku!"
Sambil
mengeluarkan seruan nyaring ini Beng San sudah melayang turun dan tahu-tahu dua
orang seperguruan dari Hoa-san-pai itu tertolak mundur sampai beberapa tindak
ke belakang sedangkan Giam Kin yang mendesak maju merasa tangannya sakit
sekali.
Alangkah
kagetnya ketika dia melihat betapa pedangnya di tangan kanan sudah pindah
tangan, dan sekarang dipegang oleh pemuda yang bukan lain adalah Tan Beng San
si pemuda sastrawan yang lemah dan tolol! Giam Kin yang mukanya kepucat-pucatan
itu menjadi makin pucat, sejenak dia berdiri terlongong.
Geger di
tempat itu ketika tahu-tahu muncul Beng San. Bukan saja para penjaga yang
kaget, juga orang-orang sakti seperti Siauw-ong-kwi dan Hek-hwa Kui-bo terkejut
bukan main, juga malu karena mereka sebagai orang-orang sakti sampai tidak tahu
bahwa di atas genteng bersembunyi seorang muda yang agaknya telah mengintai
semenjak tadi.
Ada pun Thio
Ki serta Kui Lok yang melihat kemunculan Beng San dan menyaksikan kehebatan
pemuda ini yang sekaligus dapat merampas pedang Giam Kin, menjadi girang dan
kagum bukan main. Mereka memutar pedang dan berteriaklah Thio Ki.
"Saudara
Beng San lekas kau selamatkan Sumoi!"
"Betul!
Kau larikan Hong-moi, biar kami berdua menahan mati-matian!" teriak pula
Kui Lok sambil siap-siap menahan penyerbuan para musuh yang amat banyak itu.
Yang paling
girang adalah Kwa Hong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, gadis ini
sudah maklum akan kelihaian Beng San, bahkan sudah secara berterang mengaku
cinta. Akan tetapi dia lalu kecewa saat mendengar pengakuan Beng San yang
ternyata hanya suka kepadanya sebagai seorang kakak, membuat dia patah hati dan
lari pergi.
Tadinya dia
sudah merasa kecewa dan benci kepada Beng San, akan tetapi sekarang melihat
munculnya pemuda yang sudah berhasil menguasai cinta kasihnya itu, timbul pula
perasaan mesra dan dia berseru girang. "San-ko, akhirnya kau datang juga
menolongku!"
Akan tetapi
Beng San tak dapat atau tak sempat menjawab semua seruan ini karena pada saat
itu melayang beberapa orang yang segera menyerangnya dengan hebat. Mereka ini
adalah Siauw-ong-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan Giam Kin yang tanpa malu-malu lagi
lalu mengeroyoknya.
Beng San
memutar pedang rampasannya dan melayani mereka, memainkan Ilmu Pedang Im-yang
Sin-kiam-sut yang sekaligus merupakan gundukan sinar pedang yang amat hebat
bagaikan nyala api berkobar-kobar dahsyat menghantam tiga orang lawannya.
Hek-hwa Kui-bo sudah tahu bahwa pemuda ini memiliki Im-yang Sin-kiam-sut, maka
dia tidak amat heran, yang amat kaget dan heran adalah Siauw-ong-kwi dan Giam
Kin.
Sementara
itu, Thio Ki dan Kui Lok maju menyerbu Pangeran Souw Kian Bi yang mereka anggap
adalah pemimpin pihak musuh. Tetapi sebelum senjata mereka dapat mendekati
pangeran itu, beberapa orang perwira telah meloncat maju dan menghadapi mereka.
Sebentar saja Thio Ki dan Kui Lok telah dikeroyok oleh empat orang perwira yang
berilmu tinggi dan mereka berdua kembali terdesak hebat.
Kwa Hong
yang masih terbelenggu tangannya dapat menonton dengan hati berdebar, akan
tetapi pandang matanya selalu diarahkan kepada Beng San. Hatinya gelisah akan
tetapi juga lega, tidak penasaran seperti tadi. Sekarang ia mempunyai keyakinan
bahwa andai kata ia mati, Beng San juga tewas di tangan musuh, kalau Beng San
berhasil, tentu ia akan diselamatkan pemuda pujaan hatinya itu. Mati hidup
bersama Beng San, dan ia takkan penasaran lagi. Wajah yang tadinya pucat
menjadi agak kemerahan, air matanya berhenti menitik dan pandang matanya
berseri-seri.
Jika dua
orang murid Hoa-san-pai itu telah nekat dan tak mengenal takut lagi, sedangkan
Kwa Hong dalam kegembiraannya melihat Beng San tidak gentar menghadapi kematian
pula, adalah Beng San yang diam-diam merasa khawatir sekali.
Memang,
dengan ilmu pedangnya dia masih mampu mempertahankan diri apa bila hanya
dikeroyok oleh Hek-hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi dan Giam Kin saja. Apa lagi
penyerangan Hek-hwa Kui-bo mempergunakan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut yang sudah
dihafalkan benar.
Dengan ilmu
pedangnya dia tidak hanya dapat mempertahankan diri, bahkan dapat pula
menyerang dengan gerakan-gerakan dahsyat sehingga sesudah berlangsung dua puluh
jurus, ujung pedangnya dengan sinarnya yang gemilang berhasil melukai pundak
Giam Kin, membuat pemuda itu terhuyung mundur dengan ketakutan dan tidak berani
maju lagi. Akan tetapi melihat keadaan Thio Ki dan Kui Lok, yang sudah terdesak
hebat, apa lagi melihat Kwa Hong yang terbelenggu dan tak berdaya sama sekali,
hatinya gelisah bukan main.
Kekhawatirannya
segera terbukti pada waktu terdengar seruan mengaduh, kemudian Kui Lok
terhuyung-huyung karena paha kirinya terluka golok lawan. Thio Ki memutar
pedang dengan marah, akan tetapi dia pun hampir roboh ketika pundak kirinya
kena dikemplang toya seorang perwira.
Dua orang
muda ini mengamuk hebat, sudah merobohkan empat orang lawan, akan tetapi karena
jumlah lawan jauh lebih besar dan yang roboh selalu ada penggantinya, akhirnya
mereka juga terluka. Namun, semangat Thio Ki dan Kui Lok patut dikagumi. Walau
pun sudah terluka mereka masih memutar pedang dan Ilmu Pedang Hoa-san-pai yang
cepat itu membuat para pengeroyok mereka belum dapat mendekati dua orang pemuda
itu.
"Souw
Kian Bi! Tan Beng Kui! Apakah kalian tidak malu? Lepaskan tiga orang anak murid
Hoa-san-pai. Bukankah dulu kalian telah berjanji dengan Lian Bu Tojin takkan
memusuhi Hoa-san-pai?" Beng San berteriak-teriak. Tanpa ragu-ragu dia
menyebut nama kakaknya begitu saja karena sudah timbul kebencian dalam hatinya
terhadap kakak kandungnya itu yang dianggapnya terlalu keji.
Kelihatan
Tan Beng Kui berbisik-bisik kepada Souw Kian Bi. Bukan main lihainya Beng San!
Meski pun sedang menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti, namun dia masih
dapat mendengar percakapan mereka.
"Taijin,
kalau kita ampunkan mereka, banyak keuntungan yang akan kita dapat,” bisik Tan
Beng Kui.
Pangeran itu
mengerutkan kening. "Hemmm, Tan-ciangkun, apakah kau kasihan melihat adik
kandungmu?"
Tan Beng Kui
tertawa. "Ha, kiranya Pangeran sudah tahu akan hal itu. Memang, dia itu
adalah adik kandungku yang dulu lenyap ditelan air bah. Akan tetapi setelah dia
menjadi pembantu pemberontak, mana ada hubungan darah lagi antara dia dengan
aku? Usulku hanya untuk kebaikan kita, bukan untuk aku pribadi. Pertama, dengan
mengampunkan murid-murid Hoa-san-pai, tentu Lian Bu Tojin akan berterima kasih
dan akan melupakan permusuhan dengan kita, tidak akan suka membantu para
pemberontak. Kedua kalinya, kulihat bocah itu lihai sekali ilmu silatnya. Kalau
dia mau berjanji tak akan memusuhi kita, apa lagi kalau mau membantu kita,
bukankah dia akan merupakan tenaga bantuan yang bahkan lebih hebat dari pada
para locianpwe itu? Dan lebih baik lagi kalau kita dapat mengikatkan dia dengan
Hoa-san-pai, misalnya dengan... mengawinkan dia dengan gadis Hoa-san-pai ini,
sehingga mau tak mau dia tentu tidak akan mengingkari perjanjian antara
Hoa-san-pai dengan kita. Lalu diatur begini...”
Suara Tan
Beng Kui menjadi bisik-bisik dan Beng San yang didesak hebat oleh Hek-hwa
Kui-bo dan Siauw-ong-kwi, sekarang tak bisa menangkap lagi apa yang diucapkan
kakak kandungnya itu. Diam-diam dia mendongkol sekali dan lebih hati-hati
terhadap kelicikan orang.
Tiba-tiba
saja Pangeran Souw Kian Bi berdiri dari kursinya, kemudian berseru menyuruh
orang-orangnya untuk berhenti menyerang. Thio Ki dan Kui Lok yang ditinggalkan
para pengeroyoknya menjadi lemas dan setelah berhenti bersilat mereka menjadi
pening dan roboh tak bertenaga lagi.
Pada saat
Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi menunda penyerangan mereka, Beng San juga
melompat ke belakang. Dengan tenang dan penuh tantangan Beng San berpaling
kepada Souw Kian Bi.
"Hemmm,
permainan apa lagi yang hendak kau keluarkan, Pangeran?" tanyanya.
"Orang
muda, kau hebat sekali. Sayang kalau orang seperti kau dan teman-temanmu ini
sampai tewas di sini."
"Hemmm,
mudah saja kau bicara. Siapa bilang kami akan tewas? Mungkin kau yang akan mati
lebih dulu!" jawab Beng San.
"Ha,
orang muda, selain hebat kau pun sombong dan berani sekali! Tidak perlu lagi
kau membuka mulut besar di sini sebab kau pun tentu maklum bahwa andai kata kau
memiliki kepandaian berlipat sepuluh kali, belum tentu kau dan teman-temanmu
akan dapat lolos dari tempat ini. Apa kau hendak berkukuh bahwa kau dapat
melawan ribuan orang tentara kami? Masukmu ke sini mungkin dapat kau lakukan
karena kurang telitinya penjagaan, akan tetapi bagaimana kau akan dapat lari
pergi? Lihat!"
Telunjuk
pangeran ini menuding ke sekelilingnya dan Beng San dengan lirikan matanya
mendapat kenyataan bahwa tempat itu sudah terkurung rapat oleh ribuan orang
tentara. Bahkan di atas genteng sekarang telah siap menanti banyak sekali
tentara dengan anak panah terpasang di busur. Jangankan hanya seorang manusia,
bahkan seekor burung yang pandai terbang sekali pun kiranya tak akan mungkin
meloloskan diri dari tempat itu.
Akan tetapi
dia masih bersikap tenang-tenang saja, malah dengan sekali loncat dia telah
berada di dekat Kwa Hong, sekali renggut dan sekali tepuk dia telah berhasil
memutuskan tali belenggu lengan gadis itu dan membebaskannya dari totokan.
"San-ko,
biarlah kita mati bersama..." Kwa Hong berkata mesra dan tanpa ragu-ragu
atau malu-malu lagi ia merangkul lengan tangan Beng San.
Melihat ini,
Thio Ki dan Kui Lok yang sudah lemas itu menjadi pucat dan mengeluh dalam hati.
Mereka berebut mati-matian, kiranya gadis itu memilih orang lain!
"Pangeran
Souw Kian Bi, sekarang apa yang menjadi maksud kehendakmu?" dengan tenang
Beng San bertanya. “Jangan kau kira bahwa kami berempat takut akan kematian.
Orang-orang gagah rela berkorban nyawa demi kebenaran dan keadilan."
"Bagus,
kau benar-benar gagah perkasa, Beng San. Dan kami semua amat suka melihat
orang-orang gagah seperti kalian itu, sayang kalau sampai tewas. Kalian masih
muda, juga berkepandaian tinggi."
"Apa
maksudmu? Berterus teranglah!" kata Beng San tak sabar lagi mendengar
musuh memuji-muji itu.
Souw Kian Bi
tertawa. "Beng San, sebetulnya Hoa-san-pai bukanlah musuh kami selama Hoa-san-pai
juga tidak membantu kaum pemberontak. Permusuhan kecil ini hanya terjadi karena
salah paham. Sekarang, melihat bahwa tidak ada kaum pemberontak berusaha
menolong murid-murid Hoa-san-pai yang tertawan, kami anggap tidak ada perlunya
kalau permusuhan ini diteruskan. Kami akan membebaskan kalian berempat dan
sebagai tanda persahabatan, marilah kita makan minum bersama.”
Bukan main
girangnya hati Thio Ki dan Kui Lok mendengar ini. Juga Kwa Hong girang sekali,
dipeluknya lengan Beng San lebih erat lagi sambil dia berbisik, "San-ko,
semenjak sekarang, jangan kau tinggalkan aku lagi..."
"Tenanglah,
Hong-moi, tenanglah kau..." Beng San berkata sambil mengelus-elus pundak
gadis itu, dalam hatinya bingung sekali menyaksikan sikap Kwa Hong seperti ini.
Tentu saja
di tempat itu, disaksikan oleh banyak orang, dia merasa sangat malu melihat
sikap Kwa Hong, akan tetapi juga tidak berani menegur gadis itu karena khawatir
akan menyinggung perasaan orang. Pikirannya masih dipenuhi oleh ucapan Tan Beng
Kui kepada Pangeran Souw Kian Bi tadi dan otaknya diputar untuk mencari jalan
keluar dari tempat itu.
Terang bahwa
kalau dia nekat mengamuk, tiga orang murid Hoa-san-pai ini akan celaka. Bahkan
dia sendiri sedikit sekali ada harapan untuk mampu lolos dari kepungan ribuan
orang tentara itu. Lebih baik sekarang dia menerima uluran tangan pangeran itu
untuk menjauhi pertempuran, apa salahnya? Ini hanya siasat untuk menyelamatkan
murid-murid Hoa-san-pai, terutama Kwa Hong. Maka dia tidak membantah lagi dan
dengan tenang dia mengajak Kwa Hong menerima tawaran Pangeran Souw Kian Bi.
Atas
perintah pangeran itu, ruangan yang tadinya menjadi medan pertempuran, sekarang
cepat dibersihkan dan diatur menjadi ruang pesta. Seperti sulapan saja, dalam
sekejap meja-meja diatur dan hidangan yang mewah dikeluarkan.
Biar pun
lemas, Thio Ki dan Kui Lok yang telah mendapat pengobatan, dapat pula duduk
menghadapi meja hidangan. Arak wangi menyegarkan tubuh mereka dan membangkitkan
semangat lagi, meski mereka tidak mau bicara dan muka mereka masih membayangkan
penderitaan batin karena melihat sikap Kwa Hong yang demikian mesra terhadap
Beng San.
Tan Beng Kui
juga berubah sikapnya. Sambil berdiri dia mengangkat cawan arak dan berkata
kepada Beng San, "Setelah bertemu dalam keadaan dewasa, aku mengucapkan
selamat kepadamu, adik Beng San. Engkau telah memperoleh kepandaian tinggi,
juga memperoleh... hemmm..." ia melirik ke arah Kwa Hong, "seorang
calon isteri yang gagah dan cantik. Kionghi… kionghi (selamat-selamat)!"
Girang juga
hati Beng San. la menahan air matanya yang hendak menitik turun. Betapa pun
juga, Beng Kui adalah orang yang selama ini dia rindukan dan kenangkan. Kakak
kandungnya yang dahulu sangat menyayanginya, akhirnya sekarang mau mengakuinya.
Akan tetapi
di balik keharuan dan kegirangan hatinya ini terkandung kepahitan dan kenyataan
bahwa sikap kakak kandungnya ini hanya siasat belaka. Siasat untuk menarik dia,
mempergunakan tenaganya untuk mengabdi kepada pemerintah penjajah.
la pun
berdiri dan mengangkat cawannya pula. "Kakak Beng Kui, alangkah bahagianya
hatiku karena kau mau mengaku adikmu ini. Sayang seribu kali sayang, jalan
kehidupan kita bersimpangan. Betapa pun juga, adikmu selalu memujikan supaya
kau selamat dan akhirnya dapat memilih jalan baik. Ada pun mengenai nona Kwa
Hong ini, harap jangan salah sangka. Tak berani aku menganggap dia sebagai...
sebagai calon isteri..."
Pangeran
Souw Kian Bi beserta Tan Beng Kui tertawa bergelak-gelak sehingga di dalam
suasana riuh rendah itu orang tidak memperhatikan betapa dua titik air mata
mengalir turun dari sepasang mata Kwa Hong, namun cepat diusapnya.
"Ha-ha-ha-ha,
adikku yang baik. Orang gagah laksana engkau ini, mana boleh bersikap malu-malu
kucing? Siapa orangnya yang tidak tahu bahwa antara kau dan nona ini terjalin
kasih sayang yang amat besar? Jangan kau khawatir, karena kita tidak mempunyai
orang tua lagi, aku boleh dibilang mewakili orang tuamu. Akulah yang akan
melamarkan nona ini dari tangan Lian Bu Tojin untukmu. Aku tanggung pasti akan
diterima. Ji-wi Locianpwe, bagaimana pendapat Ji-wi (kalian)?" Beng Kui
berpaling kepada Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi yang duduk di situ pula
bersama Kim-thow Thian-Ii dan Giam Kin.
"Hemmm,
baik-baik..." berkata Hek-hwa Kui-bo sambil menenggak araknya. Dia nampak
kaget karena semenjak tadi nenek ini menatap wajah Beng San tiada sudahnya.
Sukar untuk
membaca isi hati nenek ini, hanya Beng San yang tahu betapa inginnya nenek ini
merampas kepandaian Yang-sin Kiam-sut dari padanya untuk memperlengkapi Ilmu
Im-sin Kiam-sut yang dahulu dicuri oleh Hek-hwa Kui-bo dari tangan kakek Phoa
Ti.
Siauw-ong-kwi
sebaliknya tertawa terkekeh-kekeh. "Orang muda saling cinta, menunggu apa
lagi kalau tidak cepat-cepat dirangkapkan? Asal saja tidak mengulang penyakit
lama, kalau sudah berjodoh dan punya anak, lalu bosan dan mencari yang lain.
Heh-heh-heh! Kebetulan sekali Tan-ciangkun hendak pergi meminang ke Hoa-san,
karena aku pun hendak melamarkan nona hitam manis dari Hoa-san-pai untuk
muridku, si gila Giam Kin. Ha-ha-ha!"
Giam Kin
juga tertawa. Pemuda ini semenjak tadi hanya tersenyum-senyum saja sambil
menyikat hidangan-hidangan yang paling enak, tiada hentinya minum arak
seakan-akan semua arak itu dituang ke dalam gentong yang tak berdasar.
Thio Ki dan
Kui Lok ternyata tidak kuat minum banyak. Setelah menerima penghormatan
Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui sebanyak lima cawan saja mereka sudah menjadi
pening dan tak dapat ditahan lagi keduanya tertidur di atas kursi
masing-masing. Hal ini terutama sekali karena tubuh mereka yang masih lemah
akibat pertempuran hebat tadi yang menghabiskan sebagian besar tenaga mereka.
"Ha-ha-ha,
dua orang ini agaknya belum dapat merasakan kesenangan berpacaran, maka
kesenangan satu-satunya hanya tidur saja!" kata Pangeran Souw Kian Bi yang
segera memanggil pelayan dan menyuruh beberapa orang pelayan menidurkan dua
orang tamu ini ke dalam sebuah kamar yang bersih.
Ketika
melihat Beng San mengerutkan kening atas kejadian ini, Beng Kui segera berkata.
”Adik Beng San, tidak usah kau berkhawatir. Biarlah dua orang saudara itu
melepaskan lelah lebih dahulu. Nanti setelah mereka bangun, kami akan antarkan
kalian semua keluar dari tempat ini dan memberi kuda yang terbagus."
Kemudian dia
bertepuk tangan tiga kali. Tiga orang yang berpakaian seragam kemerahan keluar
dari tempat sembunyi. Mereka ini adalah pengawal-pengawal pribadi dari pangeran
dan perwira itu.
"Ambil
Arak Pengantin Merah," kata Tan Beng Kui sambil tertawa-tawa riang.
Tak lama
kemudian orang-orang itu kembali membawa seguci arak merah yang harum sekali
baunya.
Wajah Kwa
Hong dan Beng San menjadi kemerahan, akan tetapi diam-diam Beng San menjadi
amat curiga hatinya. Namun apa yang dapat dia katakan? la hanya melihat saja
betapa pangeran dan kakak kandungnya itu menuangkan arak merah ke dalam cawan
mereka, juga cawan-cawan Hek-hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi, Kim-thouw Thian-li,
Giam Kin dan beberapa orang perwira tinggi yang ikut mengawani mereka dalam
pesta ini.
"Adik
Beng San, arak ini namanya Arak Pengantin Merah. Biar pun kalian belum menjadi
pengantin, akan tetapi hatiku sudah amat kegirangan dan mari kita minum tiga
cawan untuk kebahagiaan calon sepasang mempelai!"
"Beng
Kui-koko, aku... aku dan Hong-moi ini... ehhh..." gugup sekali Beng San.
Akan tetapi
ketika dia melirik ke arah Kwa Hong, dia melihat nona ini biar pun mukanya
merah sekali, namun sudah mengangkat pula cawan araknya dan sepasang mata
bintang itu kelihatan membasah. la tidak tega untuk menolak lagi, dan pula,
bukankah semua ini hanya siasat yang mereka pergunakan untuk berhasil
meloloskan diri dari situ? Tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengangkat cawan
araknya dan menenggak araknya perlahan.
Ia menaruh
perhatian dan waspada, akan tetapi ketika merasa bahwa arak itu hanya wangi dan
enak, dan tidak ada reaksi apa-apa dari tubuhnya yang penuh hawa Im dan Yang
itu, dia menelan terus dan tidak menolak ketika kakaknya menuangkan arak merah
itu sampai tiga kali dalam cawannya. Juga Kwa Hong minum tiga cawan penuh.
Kembali Tan
Beng Kui bertepuk tangan dan sekarang memerintahkan pelayan supaya mengeluarkan
hidangan yang disebut masakan ‘anak naga’. Ternyata hidangan ini berupa masakan
ikan laut yang amat aneh bentuknya, benar-benar hampir menyerupai naga kecil.
"Ikan
macam ini hanya dapat ditemukan di laut sebelah utara," kata Pangeran Souw
Kian Bi. "Baik sekali untuk kesehatan, terutama untuk... calon pengantin
baru, ha-ha-ha!"
Semua orang
tertawa gembira kecuali Beng San yang menundukkan mukanya dengan hati tidak
enak sekali, sedangkan Kwa Hong juga menundukkan mukanya yang kemerah-merahan.
Akan tetapi bagi gadis ini keadaan itu amat membahagiakan hatinya. la merasa
seolah-olah memang sedang menghadiri pesta pernikahannya sendiri bersama Beng
San!
Biar pun
malu-malu, Beng San dan Kwa Hong tidak dapat menolak ketika dipersilakan makan
daging ‘anak naga’ yang ternyata sedap dan lezat rasanya. Tiba-tiba Beng San
meramkan matanya. Dia merasa kepalanya agak terputar dan sepasang matanya
berat. Dikerahkannya tenaganya, akan tetapi, semakin dia mengerahkan tenaga
Iweekang-nya ternyata semakin pusing pula kepalanya!
"Celaka..."
dia mengeluh dan tanpa dapat ditahan lagi dia menjatuhkan kepalanya di atas
kedua lengannya di meja. Sepasang sumpitnya jatuh.
"San-ko...
kau kenapa...?” Kwa Hong segera memegang pundaknya.
"Ha-ha-ha,
dia tidak apa-apa, Nona. Mungkin karena tidak biasa minum arak maka dia menjadi
mabuk seperti dua orang saudara tadi."
"Tidak...!
Kalian tentu bermain curang! Kalian sengaja sudah meracuni dia...!" Kwa
Hong serentak berdiri dan menjadi marah sekali, siap hendak mengamuk.
"Jangan
salah sangka yang bukan-bukan. Bukankah kau calon adik iparku. Dia ini adalah
adik kandungku, dan sekarang bukan musuh kami lagi, untuk apa kami berlaku
curang? Apa bila kau tidak percaya, biarlah dia disuruh mengaso di dalam kamar,
dan kau boleh mengawani dan mengurusnya."
Beberapa
pelayan diberi perintah dan tubuh Beng San yang sudah lemas itu diangkat orang
menuju ke sebuah kamar. Kwa Hong dengan siap sedia dan waspada mengikuti dari
belakang.
Begitu
memasuki kamar, wajah Kwa Hong berubah makin merah. Bukan main indahnya kamar
itu dan sudah diatur amat mewah seperti kamar pengantin saja. Tempat tidurnya,
kelambu, perabot-perabotnya, semuanya serba baru. Seprei dan sarung bantalnya
semua berkembang indah, menggambarkan sepasang burung hong yang sedang
bercumbuan. Daun-daun jendela dan daun pintu menggambarkan pasangan-pasangan
burung yang amat rukun dan penuh kasih mesra.
Hatinya
berdebar tidak karuan ketika para pelayan itu segera meninggalkan kamar dan
membiarkan dia berdua saja dengan Beng San. Malah pelayan terakhir dengan
perlahan menutupkan daun pintu dari luar.
Dengan amat
susah payah Kwa Hong melawan perasaan aneh dan debar jantung yang menyesakkan
dadanya itu, lalu dia memeriksa keadaan Beng San dengan hati khawatir. Pemuda
itu mengeluh perlahan, nampak gelisah dan kepalanya bergerak ke kanan kiri.
Wajahnya menjadi merah bagaikan udang direbus dan perlahan-lahan berganti
menjadi pucat kehijauan. Diam-diam Kwa Hong gelisah dan terheran-heran.
Teringatlah
dia akan muka pemuda ini yang semenjak dahulu sering kali berubah-ubah warnanya
sehingga dahulu dia menyebutnya sebagai ‘bunglon’.
"San-ko...
San-ko... bagaimana rasa badanmu...?" tanyanya khawatir sambil menyentuh
jidat pemuda itu.
Cepat ia
menarik kembali tangannya karena jidat itu terasa dingin seperti es! Dan ketika
perlahan-lahan muka itu berubah kemerah-merahan lagi, jidatnya pun berubah
menjadi panas seperti api.
"San-ko...
ahhh, San-ko, kau diracun orang..."
Kwa Hong
saking bingung dan khawatirnya lalu memeluk Beng San dan menangis sedih.
Sementara itu, ia sendiri merasa betapa ada sesuatu yang aneh terjadi dalam
tubuhnya. Darahnya mengalir cepat dan panas, napasnya sesak serta mukanya
menjadi merah sekali.
"Hong-moi...
Hong-moi... jangan menangis... ah, Hong-moi, apa yang terjadi...? Aduh, kau
cantik sekali Hong-moi."
Kagetlah Kwa
Hong ketika tiba-tiba Beng San memeluknya. Ketika ia memandang, ia melihat
pemuda itu memandangnya dengan mata setengah terkatup, sambil mulutnya
berbisik-bisik dalam keadaan setengah sadar.
Kwa Hong
amat mencinta Beng San. Semenjak pertemuannya dahulu, ia sudah memiliki perasaan
luar biasa terhadap Beng San. Makin lama perasaan ini menjadi makin kuat dan
akhirnya, pertemuan mereka kembali ketika sudah dewasa, membuat perasaan luar
biasa itu berkembang menjadi perasaan cinta kasih yang mesra.
Apa lagi
sesudah mendapat kenyataan bahwa Beng San adalah seorang pemuda yang memiliki
ilmu sakti, cinta kasihnya menjadi makin hebat dan ia rela meninggalkan siapa
saja, rela melakukan apa saja demi cinta kasihnya terhadap pemuda ini.
Sekarang, baru sekarang, ia melihat sikap Beng San yang membalas cintanya.
la tidak
tahu bahwa keadaan Beng San dalam setengah sadar, tidak tahu bahwa Beng San
berada dalam pengaruh obat mukjijat, tidak sadar pula bahwa dia sendiri pun
sudah terpengaruh obat beracun itu.
Betapa pun
kuat batin orang, kalau dia masih muda, mudah sekali dia tunduk kepada nafsu.
Apa lagi dalam keadaan seperti mereka itu yang terkena racun, dalam keadaan
setengah sadar, mudah sekali bagi iblis untuk menguasai hati dan pikiran
mereka.
Maka,
berbahagialah orang-orang muda yang berbatin teguh, yang kuat untuk menahan
nafsu, yang selalu ingat akan susila, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat.
Sebaliknya, celakalah mereka yang berbatin lemah!
Masa muda
remaja adalah masa yang paling gawat dan paling berbahaya dalam hidup manusia.
Justru di masa inilah, masa akil baliq, pada waktu keadaan jasmani manusia
sedang berkembang dan di waktu semangat sedang bernyala-nyala, pada waktu
manusia mengalami perubahan dari kehidupan kanak-kanak berubah menjadi manusia
dewasa, dalam penghidupan paling banyak datang godaan yang beraneka macam.
Dalam
menanjaknya usia dewasa ini manusia masih belum banyak mengalami derita
pengalaman pahit getir sebagai akibat dari perbuatannya yang hanya menuruti
perasaan hati dan nafsu. Oleh karena kurang pengalaman ini membuat dia lalai
dan lengah. Jiwa yang belum matang oleh gemblengan hidup penderitaan, membuat
hanya melihat hal-hal dari segi keindahannya dan kenangannya belaka. Tidak
cukup luas pandangannya, tidak cukup jauh wawasannya dan semuanya ini
mengakibatkan pertahanan batin yang amat lemah menghadapi godaan iblis yang
selalu mengintai di balik hati perasaannya.
Orang muda
seperti Beng San sesungguhnya tak mudah tergelincir oleh perangkap yang
dipasang iblis di mana-mana, yang membahayakan setiap langkah dalam
kehidupannya. Semenjak kecil biar pun jauh orang tua, namun boleh dibilang Beng
San menemukan keadaan yang amat menguntungkan batinnya. Hidup sebagai kacung di
kelenteng dekat dengan orang-orang saleh yang selalu mengutamakan perbuatan
baik, selalu mempelajari ilmu filsafat kebatinan yang mendekatkan manusia
kepada Tuhan dan mengharamkan perbuatan maksiat.
Godaan
terbesar dan paling berbahaya bagi orang muda, yaitu godaan berupa nafsu
pelanggaran susila, sebetulnya tidak akan mudah menundukkannya. la sudah
digembleng oleh orang-orang sakti, sudah memiliki dasar batin seorang ksatria
utama, kiranya dia akan lebih suka kehilangan nyawanya dari pada melakukan
perbuatan yang melanggar kesusilaan dan peri kemanusiaan.
Akan tetapi,
malang baginya, pada waktu itu dia sudah kehilangan kesadarannya akibat obat
yang tercampur dalam arak dan makanan. Obat mukjijat yang membuat dia lupa diri
dan hanya menjadi hamba dari nafsu tidak sewajarnya yang timbul oleh obat
beracun itu. Semua ini ditambah lagi oleh keadaan Kwa Hong yang memang
mencintanya, seorang gadis muda yang semenjak kecil sudah memiliki sifat hendak
menurutkan kata hati sendiri, yang lebih-lebih lagi pada waktu itu juga
dipengaruhi oleh racun yang membuat ia menjadi hamba nafsu mukjijat.
Namun,
agaknya memang segala macam peristiwa di dunia ini sudah ditentukan lebih
dahulu oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia boleh berusaha sekuat tenaga, boleh
berikhtiar sedapatnya, bahkan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha
dan berikhtiar, namun akhirnya hanya Tuhan yang menentukan.
Peristiwa
yang nampak kecil selalu menjadi sebab dari perkara besar. Setitik bunga api
dapat menyebabkan kebakaran sebuah kota. Peristiwa yang terjadi malam itu pun
kelak mengakibatkan terjadinya cerita hebat, cerita yang berjudul RAJAWALI EMAS
yang akan menjadi cerita tersendiri sebagai lanjutan cerita RAJA PEDANG
ini.....
***************
Gemuruh
disertai hiruk-pikuk teriakan-teriakan di luar kamar membangunkan Beng San dari
tidurnya. Pemuda ini membuka mata dan tubuhnya yang sudah memiliki kepandaian
silat itu otomatis melompat turun dari pembaringan, segera siap sedia
menghadapi segala kemungkinan.
Kekagetan
suara gemuruh itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kekagetannya
ketika dia melihat keadaan di dalam kamar yang indah ini. Kwa Hong juga tidur
di atas pembaringan itu dalam keadaan yang membuat wajah pemuda ini seketika
pucat. Ingatan dalam otaknya segera dapat membayangkan kembali apa yang telah
terjadi malam tadi.
Kwa Hong
juga terkejut mendengar suara gemuruh di luar. Gadis ini membuka mata, bangun
duduk dan melihat Beng San sudah berdiri di pinggir pembaringan. Mata gadis ini
memandang sayu, bibir mengulum senyum dan kedua pipinya menjadi merah.
Beng San
merasa seakan-akan jantungnya ditusuk pedang. Dia terhuyung mundur tiga
langkah. Sekarang ingatannya semakin terang dan sambil memekik aneh dia
melompat keluar kamar, sekali dorong dia merobohkan daun pintu dan terus
meloncat keluar.
Dua orang
perwira datang menubruk dengan pedang di tangan. Tapi Beng San segera timbul
marahnya, kemarahan luar biasa yang baru sekali ini dia alami selama hidupnya.
Tangannya menyambar dan dua orang perwira itu roboh dengan kepala remuk. Baru
kali ini Beng San membunuh orang, membunuh dengan sengaja karena kemarahannya.
la berlari
terus keluar dari bangunan itu dan kiranya di dalam cuaca pagi yang masih
remang-remang itu terjadi peperangan hebat. Benteng itu ternyata diserbu orang
dan di sana-sini terjadi perang tanding yang amat hebat.
Semua ini
membuat dia berdiri mematung. Dari gerakan orang-orang itu dan menilik dari
pakaian mereka, dia dapat menduga bahwa penyerang itu tentulah barisan
orang-orang Pek-lian-pai. Dia melihat pula tosu-tosu Hoa-san-pai dan
orang-orang Kun-lun-pai!
Kiranya
Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai telah bergabung dengan Pek-lian-pai lalu menyerbu
benteng ini. Juga dia melihat Lian Bu Tojin sendiri bersama Pek Gan Siansu ikut
pula mengamuk, malah dua orang ini menandingi Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi.
Juga tampak olehnya Thio Bwee ikut berperang di samping Thio Ki dan Kui Lok.
Yang amat
mengherankan hatinya, di situ hadir pula nona Lee Giok yang dulu menyamar
sebagai nyonya Liong atau yang oleh Pangeran Souw Kian Bi disebut Ji-enghiong.
Gadis itu ikut bertempur di samping lima orang gadis lain yang ilmu pedangnya
hebat-hebat...!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment