Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 05
Maka ia
mengambil jalan ini dan mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaian ginkang-nya
untuk berlari cepat, tanpa mempedulikan tubuhnya yang amat lelah dan darah
segar yang mengucur keluar lagi dari luka di pundaknya karena
gerakan-gerakannya ini.
Usaha mati-matian
ini ternyata tidak sia-sia. Menjelang pagi dia sudah mendengar suara kaki kuda
di sebelah depan, mulai memasuki hutan terakhir dalam perjalanan jauh ke kota
raja itu. Hatinya masih ragu-ragu. Benarkah suara kaki kuda itu berasal dari
kuda yang ditunggangi oleh Beng Kui?
Tiba-tiba
semangatnya bangkit ketika lapat-lapat ia mendengar jeritan.
"Beng
San...!!"
Beng San
mempercepat larinya dan tak lama kemudian benar saja dia melihat Beng Kui
membalapkan kudanya sambil memangku Li Cu yang masih tak berdaya karena kaki
dan tangannya terbelenggu. Sambil meringankan langkah kakinya sehingga suara
larinya tidak terdengar, Beng San makin mendekati dan akhirnya ia mendengar
suara Beng Kui yang sedang mentertawakan, bahkan menghina.
"Li Cu,
kau sekarang tergila-gila kepada Beng San? Heh-heh, benar-benar lucu. Tadinya
kau marah-marah melihat aku kawin dengan puteri Raja Muda Lu dengan dasar
politik, karena kelak aku ingin merebut kedudukan tinggi. Tapi cintaku masih
kepada dirimu, Li Cu. Kalau kelak aku menjadi kaisar, atau setidaknya menjadi
raja muda, apa salahnya kalau aku beristeri dua? Kau tetap akan menjadi
isteriku yang tercinta. Kenapa kau tidak sabar dan tidak mau mengerti, lalu
marah-marah? Kenapa kau sekarang malah kelihatan lebih mencinta adikku yang
gila itu?"
"Dia
seribu kali lebih baik dari padamu, kau laki-laki palsu, kau pengkhianat. Awas
kau, Ayah pasti akan membalaskan sakit hatiku!" Li Cu berteriak-teriak.
Beng Kui
tertawa mengejek, "Kau bilang Beng San lebih baik dari padaku? Ha-ha-ha, Li
Cu, kau tidak mengerti. Dia adalah seorang iblis perusak wanita. Tak tahukah
kau betapa murid Hoa-san-pai yang bernama Kwa Hong itu sudah dirusaknya, lantas
ditinggalkannya pergi, malah dia menikah dengan anak seorang penjahat yang
terkenal Song-bun-kwi? Tentang ayahmu... hemm, suhu tentu akan memaklumi
pendirianku..."
Mendadak
suaranya berhenti karena pada saat itu kuda yang ditungganginya terjungkal
sehingga dua orang itu terlempar dari atas punggung kuda! Beng Kui terkejut
sekali dan cepat melompat bangun sambil mencabut sepasang pedangnya,
membalikkan tubuh dan dia sudah berhadapan dengan Beng San!
"Kau
lagi...?! Seperti iblis saja kau, mengapa selalu mengikuti aku?" Beng Kui
berteriak marah.
Beng San
tersenyum mengejek. "Bukan aku yang mengikuti kau, tapi kejahatanmu yang
memaksa aku datang. Tidak boleh kau menculik seorang gadis, biar pun dia itu
sumoi-mu sendiri." Sambil berkata demikian, Beng San lalu melangkahkan
kaki menghampiri Li Cu yang rebah di atas tanah.
Pada saat
terjatuh dari punggung kuda tadi, gadis ini masih dalam keadaan terbelenggu,
maka jatuhnya lebih parah sehingga pakaiannya sampai robek-robek. Ia kini
benar-benar dalam keadaan setengah pingsan, akan tetapi masih cukup sadar untuk
bisa menangkap percakapan antara kakak beradik itu.
Selagi Beng
San melangkah menghampiri Li Cu, Beng Kui yang sudah tak kuat menahan
kemarahannya itu serentak menerjang dari belakang, menggerakkan sepasang pedang
Liong-cu-kiam secepat kilat.
"Awas...
Beng San... belakang...!" Li Cu yang melihat ini menjerit.
Akan tetapi
gerakan Beng San bahkan mendahului jeritannya, karena pemuda ini sudah
membalik, kedua tangannya bergerak, kakinya bergeser dengan langkah-langkah
aneh. Secara otomatis tubuhnya menyelinap di antara sambaran dua pedang,
tahu-tahu kedua tangannya sudah ‘memasuki’ ruang kosong di celah-celah kilatan
pedang dan mendorong ke arah sepasang pundak lawan.
Terdengar
Beng Kui mengeluh sebelum tangan Beng San sempat menyentuh pundaknya, sepasang
pedangnya hampir terlepas dan di lain saat kedua pedang itu sudah berpindah ke
tangan Beng San! Bukan main hebatnya gerakan ini dan dari kedua tangan Beng San
itu samar-samar tampak mengebulnya uap putih.
Inilah
sebuah gerakan dari ilmu silat mukjijat yang dahulu di jamannya Pendekar Sakti
Bu Pun Su disebut Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih)! Karena
kemahirannya dalam Im-yang Sin-kun, otomatis Beng San dapat mewarisi sebuah
gerakan dari ilmu itu dan ternyata hasilnya hebat luar biasa.
Beng Kui
memandang dengan muka pucat dan mata melotot. Beng San untuk sesaat juga
memandang dengan muka marah dan mata berkilat, tetapi dia lalu menyerahkan
pedang yang panjang itu kembali sambil berkata, "Aku sudah berjanji
meminjamkan Liong-cu-kiam sepasang ini kepada kau dan Nona Cia Li Cu selama
tiga tahun. Janji itu tetap berlaku. Tiga tahun setelah janjiku aku pasti akan
mengambil kembali Liong-cu-kiam jantan ini dari
tanganmu."
Masih
tertegun oleh kehebatan adik kandungnya yang secara mukjijat mampu merampas
sepasang pedangnya, Beng Kui mengeluarkan tangan dan menerima pedangnya
kembali. Kemudian setelah memandang, dengan mata melotot beberapa saat lamanya,
ia menoleh ke arah Li Cu sejenak lalu membalikkan tubuh dan berlari cepat
meninggalkan tempat itu.
Beng San
menarik napas panjang dan menghampiri Li Cu. Sekali pedang Liong-cu-kiam pendek
itu bergerak di tangannya, nampak kilat menyambar dan sekaligus belenggu yang
mengikat kaki dan tangan Li Cu putus semua tanpa terasa sedikit pun oleh gadis
itu.
Li Cu
meloncat bangun, mengeluh dan terhuyung-huyung ke belakang. Baiknya Beng San
cepat mengejarnya dan menyambar pundaknya. Alangkah kagetnya pemuda ini pada
saat melihat Li Cu sudah meramkan mata, tak ingat orang lagi, pingsan dalam
pelukannya.
Beng San
bingung. Ia pun meraba pergelangan lengan gadis itu dan maklumlah ia bahwa
gadis ini tidak apa-apa. Hanya karena sudah banyak mengalami ketegangan,
kemarahan dan kekuatiran, ditambah lagi tadi terlalu lama ia tertotok dan
terbelenggu, maka begitu ia dibebaskan, di dalam batin dan pikirannya terjadi
pukulan yang tak kuat ia menahannya sehingga membuatnya pingsan.
Terpaksa
Beng San memondong dan membawanya lari keluar dari hutan itu. Dia merasa kuatir
kalau-kalau Beng Kui tiba-tiba datang bersama kawan-kawannya. Akan payah juga
kalau dia kembali dikeroyok orang-orang pandai sementara Li Cu masih pingsan.
Lebih baik cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Belum juga
dia berlari, dia melihat kuda yang tadi ditunggangi Beng Kui, sekarang sudah
sembuh dan sedang makan rumput. Memang tadi ketika merobohkan kuda itu, Beng San
tidak mempergunakan serangan mematikan, melainkan menotok dengan lemparan
kerikil ke arah lutut kuda sehingga kuda itu terjungkal saja.
Dengan
girang kini Beng San menghampiri kuda yang masih lengkap dengan pelana dan
kendali itu, lalu ia melompat ke atasnya sambil merangkul Li Cu. Dengan
perlahan ia lalu menjalankan kudanya ke arah utara.
Matahari
telah naik tinggi ketika kuda yang ditunggangi Beng San sampai di tepi Sungai
Huang-ho sebelah barat. Beng San membelokkan kudanya ke barat, menyusur sepanjang
pantai sungai memasuki sebuah hutan yang segar kehijauan dan teduh.
Hari itu
panasnya bukan kepalang. Walau pun tidak dibalapkan, kudanya sudah berpeluh dan
napasnya terengah-engah. Beng San merasa kasihan dan menghentikan kuda itu di
bawah sebatang pohon besar di mana air Sungai Huang-ho tampak indah kehijauan.
Li Cu baru
saja siuman dari pingsan. Gadis ini merasa kepalanya pening sekali, matanya
berputar-putar. Dia mulai membuka sedikit kedua matanya, lalu memejamkannya
kembali karena sinar matahari yang menerobos dari celah-celah daun memasuki
matanya.
Lalu ia
teringat betapa indahnya daun-daun pohon di atas tadi, maka dibukanya kembali
matanya. Memang indah! Daun-daun pohon yang kecil dengan bentuk sempurna
ditimpa matahari, bersusun-susun menimbulkan warna hijau yang dihias sinar
kuning emas dan bayangan kehitaman. Bagai benang-benang sutera kuning emas
sinar matahari meluncur turun di antara celah-celah daun, kadang-kadang berubah
kedudukan karena daun-daun itu bergerak oleh angin.
Sampai lama
Li Cu terpesona dengan keindahan pemandangan yang belum pernah dia perhatikan
sebelumnya. Kemudian terasa olehnya pergerakan napas dan bunyi berdetik di
pinggir telinganya. Makin lebar matanya dibuka.
Yang
mula-mula tampak adalah sebuah hidung dan sebuah mulut dari muka yang putih.
Yang paling jelas adalah bentuk dagu yang keras. Ia pun makin mengerahkan
perhatian, memandang kepada muka itu. Tahulah ia sekarang bahwa yang
berdetik-detik itu adalah bunyi jantung dalam dada di mana ia bersandar. Ia
dipangku orang, di atas sebuah pelana kuda! Dan muka itu... muka Beng Kui!
"Bedebah
kurang ajar kau!"
Li Cu
seketika timbul tenaganya. Kedua tangannya meraih ke atas lalu dipukulkan dua
kali ke muka itu, muka yang dibencinya, muka yang dahulu pernah dicintainya.
Muka Beng Kui!
Li Cu sudah
berhasil memukul. Sambil terus meloncat dia menjatuhkan diri ke pinggir, lalu
berjungkir balik dan di lain saat dia sudah berdiri tegak di depan kuda, siap
sedia untuk menyerang lagi. Ia melihat orang yang dipukul mukanya tadi meloncat
turun, terus duduk di atas akar pohon sambil menutupi mukanya.
Beng San tak
dapat mengelak ketika tadi secara mendadak Li Cu memukulnya. Memang dia pun
seperti Li Cu, terpesona oleh cahaya matahari yang secara indah menghias hutan
itu dengan sinar benang emas, akan tetapi warna kuning emas itu mengingatkan ia
akan burung rajawali emas dan sekaligus mengingatkan ia kembali kepada Kwa
Hong.
Terngiang di
telinganya kata-kata tuduhan Beng Kui bahwa dia sudah merusak kehidupan Kwa
Hong. Beng Kui tidak tahu keadaan yang sebenarnya, akan tetapi memang tuduhan itu
tak dapat disangkalnya pula. Memang ia telah merusak kehidupan Kwa Hong. Ia
telah berdosa besar, besar sekali.
Pada saat
itulah Li Cu memaki dan memukul mukanya dua kali, yang pertama mengenai pinggir
jidatnya dan yang ke dua mengenai pinggir mulutnya. Darah mengucur dari kedua
tempat itu, sakit rasanya. Akan tetapi hati Beng San lebih sakit oleh makian
tadi.
Dia dapat
menahan pukulan itu, lalu meloncat turun dan menjatuhkan diri duduk di atas
akar pohon, menutupi mukanya dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua butir
air mata yang berloncatan keluar. Akan tetapi tanpa disengaja kedua tangannya
itu pun menyembunyikan jidat dan bibir yang mengucurkan darah.
Setelah kini
agak reda peningnya, pandang mata Li Cu makin terang. Dia memandang terbelalak
kepada orang yang duduk menutupi muka di bawah pohon itu. Sejenak Li Cu
bingung. Ia teringat betul bahwa yang dipukulnya tadi adalah Beng Kui. Tapi
orang itu... pakaian itu dan... dan pundak yang terluka itu...!
"Beng
San...!” Li Cu menahan jeritnya, tangan kirinya menutupi mulut, lalu ia
melangkah maju tiga tindak mendekat.
Beng San
menurunkan kedua tangannya yang menutupi muka. Darah mengucur deras dari luka
di jidatnya. Memang bagian tubuh yang teratas ini paling banyak rnengeluarkan
darah apa bila terluka. Pandang mata Beng San kabur dan dia melihat seakan-akan
Kwa Hong yang berdiri di depannya sekarang ini.
"Kau...
kau boleh pukul aku lagi kalau kau suka... bunuh pun boleh...," katanya
perlahan.
Meremang
bulu tengkuk Li Cu saat melihat muka yang berlumuran darah dan mendengar suara
yang tak berirama ini, seperti suara dari balik kubur. Dia merasa menyesal
bukan main. Kenapa dia malah memukul Beng San yang telah menolongnya dari
bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut? Timbul penyesalan dan kasihannya.
"Ahhh,
jadi kaukah yang kupukul tadi?" tanyanya dengan penuh sesal sambil cepat
maju menghampiri.
Setelah
dekat barulah Beng San ingat kembali bahwa gadis ini sama sekali bukan Kwa Hong
biar pun pakaiannya serba merah, melainkan Cia Li Cu.
"Nona
Cia, ini pedangmu... ambil... ambil... ambillah sendiri..." katanya lemah.
Pedang
Liong-cu-kiam pendek itu telah ia selipkan di belakang punggungnya.
"Siapa
bicara tentang pedang? Mukamu itu... harus diurus dulu," kata Li Cu.
Dengan cepat
gadis ini sudah berlutut di depan Beng San, kemudian dengan cekatan ia
membersihkan darah dari luka di bibir dan jidat itu.Tanpa ragu-ragu lagi dan
sama sekali tidak jijik Li Cu mempergunakan sapu tangannya dari sutera yang
harum untuk mengusap darah. Sapu tangan itu sudah penuh darah, dan luka di
kening masih terus mengucurkan darah.
"Tunggu
sebentar, aku mencari air dulu," kata Li Cu.
Cepat gadis
ini lari ke tepi sungai dan mengambil air dengan mempergunakan daun yang lebar.
Kemudian ia datang lagi dan dicucinya luka-luka itu. Cekatan sekali ia bekerja
tanpa ragu-ragu dan jari-jari tangannya dengan mesra membersihkan luka yang
diakibatkan oleh pukulannya sendiri tadi.
"Wah,
darahnya mengucur terus. Jidatmu ini harus dibungkus," bisik Li Cu
perlahan dan agak bingung karena tidak ada obat penghenti darah di situ.
Dia mencuci
sapu tangannya dan mempergunakannya untuk membalut jidat Beng San. Tentu saja
untuk pekerjaan ini ia harus mengangkat kedua lengannya dan seakan-akan memeluk
kepala Beng San.
Selama itu,
jantung Beng San berdebar tidak karuan. Lenyaplah bayangan Kwa Hong yang selama
ini mengikutinya dan membuat ia merasa berdosa hebat. Malah bayangan isterinya,
Kwee Bi Goat, isterinya yang tercinta yang selama ini dirindukannya, juga tak
nampak pada saat itu.
Bukan main
cantik jelitanya gadis ini, demikian ia mendengar bisikan-bisikan di belakang
telinganya, seakan-akan batang pohon yang dia sandari itulah yang
berbisik-bisik. Cantik bagai bidadari.
Mata yang
bening redup itu, mulut kecil mungil dengan hidung yang mancung. Rambut yang
panjang hitam awut-awutan, kadang-kadang memperlihatkan kulit leher yang putih
kekuningan.
Ketika gadis
itu membalutkan sapu tangan ke belakang lehernya ia merasa seakan-akan dipeluk
dan Beng San meramkan matanya. Ganda sedap mengharum membuat ia seperti mabok
dan ketika ia membuka matanya, ternyata pekerjaan gadis itu sudah selesai.
Li Cu masih
berlutut di depannya, mukanya sangat dekat, terlalu dekat seakan-akan dia dapat
merasai tiupan napas gadis itu. Dua pasang mata bertemu, saling pandang, saling
terkam dan sukar terlepas lagi. Mulut Li Cu agak terbuka, matanya redup dan
bulu mata yang panjang itu bergerak-gerak.
Bisikan di
belakang telinga Beng San semakin mendesak. “Dia cantik bukan main. Dan agaknya
suka kepadamu. Hemmm... tunggu apa lagi? Hajar!”
Li Cu
menjerit kecil sambil melompat mundur. Hampir berbareng di saat itu juga Beng
San sambil duduk membalikkan tubuhnya. Tangan kanannya yang terkepal lantas
memukul batang pohon besar di belakangnya.
“Blukkk!”
Saking
kerasnya dia menghantam, kepalan tangan itu melesak masuk ke dalam batang pohon
sampai ke pergelangan tangannya!
"Ehh...
ahh... kenapa...? Kenapa kau memukul pohon...?" Li Cu yang kini sudah
berdiri, memandang dengan mata terbelalak terheran-heran.
Beng San
perlahan-lahan bangkit berdiri, menarik napas berkali-kali. Dia masih sempat
mendengar suara yang berbisik-bisik tadi seperti mentertawakannya dari jauh.
Setelah dia mendengarkan betul-betul, itu sebenarnya adalah suara daun-daun
pohon tertiup angin. Ia bergidik.
Betapa
bahayanya bisikan-bisikan tadi. Bisikan iblis yang setiap saat menggoda
manusia. Untung dia dapat mengalahkannya tadi dan biar pun kepalan tangannya
terasa sakit, dia merasa lega hatinya. Kini tanpa ragu-ragu ia dapat mengangkat
muka memandang wajah Li Cu.
"Beng
San... kenapa kau memukul pohon...?" tanyanya sekali lagi.
"Ahh,
tidak... tidak apa-apa, Nona."
"Mukamu
tadi menakutkan sekali..."
"Bukan
salahku. Mukaku memang buruk..."
"Sekarang
tidak lagi," buru-buru Li Cu memotong. "Tadi, sedetik sebelum kau
memukul pohon. Aku sampai kaget dan menjerit. Beng San, kenapa mukamu bisa
berubah-ubah?"
"Sudah
nasibku, Nona. Ketika kecil aku dipaksa makan racun. Apakah sekarang mukaku
masih menakutkanmu?"
Li Cu
memaksa senyum, matanya bersinar-sinar lagi. "Tidak lagi. Sekarang tidak.
Hanya tadi sebentar... ahh, membikin aku teringat akan kata-kata Beng Kui tadi.
Kau disebut iblis perusak wanita."
"Memang
aku iblis... bukan hanya iblis, bahkan kau tadi pun menyebutku bedebah dan
kurang ajar... memang demikianlah aku..."
Beng San
menunduk dan menarik napas, merasa betapa memang ia tepat sekali disebut
demikian setelah apa yang dia akibatkan pada diri Kwa Hong. Dia berdosa kepada
Kwa Hong dan lebih-lebih lagi kepada Bi Goat.
"Aku
tadi mengira kau Beng Kui, maka aku memaki demikian."
Kembali Beng
San menarik napas panjang. "Memang tidak banyak selisihnya, Nona Cia. Kami
berdua... ahh, kami bukan orang baik..."
Li Cu
memandang dan menjadi terharu. Muka itu kurus benar, tapi kulitnya sekarang
putih dan... hemmm, tampan sekali. Apa lagi alis yang berbentuk golok itu, dan
sepasang mata yang tajam luar biasa. Rambutnya tidak terpelihara, pakaiannya
pun hampir menyerupai pakaian jembel. Memang jika telihat lahirnya saja jauh
bedanya dengan Beng Kui yang mentereng dan rapi. Tapi hatinya… jauh nian
bedanya.
"Beng
San...," katanya setelah mereka berdua tercekam oleh suasana hening.
"Malam
tadi di atas genteng, kenapa kau menangis?"
"Apakah
aku menangis? Aku sudah lupa...”
"Sebelum
kau muncul untuk menolongku, kau menangis. Tangismu memilukan sekali biar pun
hanya terdengar sebentar."
"Bisa
jadi. Aku menangisi keadaanku, juga keadaan dia yang dulu kuagungkan, kukagumi
sebagai kakakku yang mulia dan perkasa. Kiranya dia sama saja dengan
aku..."
"Kau
kenapa? Kau... kau baik sekali, Beng San." Ucapan ini terdengar lantang
dan terus terang.
Ketika Beng
San mengangkat muka memandang, kembali dua pasang mata bertemu dan Beng San
melihat pandang mata yang jujur dan tahu bahwa pernyataan nona ini keluar dari
hatinya. Ia menarik napas.
"Bukan,
sayang sekali. Benar seperti yang dikatakan olehnya, aku seorang jahat, perusak
hati wanita, aku seorang penuh dosa..."
“Tak
percaya! Aku tidak percaya!" Suara Li Cu makin keras penuh kesungguhan.
Gadis ini
diam-diam merasa aneh. Sesuatu yang aneh terjadi dalam dirinya. Meski pun sudah
lama sekali ia bertunangan secara resmi dengan Beng Kui, namun hubungannya sama
saja dengan hubungan kakak beradik, seorang suheng dan sumoi. Belum pernah
jantungnya menggetar, seperti tadi ketika ia membalut kepala Beng San. Malah
belum pernah berdekatan seperti tadi dengan Beng San. Apakah artinya semua ini?
Dan ia sama sekali tidak mau percaya kalau Beng San seorang jahat, seorang
perusak wanita.
Beng San
memandang dengan melongo. Tiba-tiba dia merasa jantungnya berdebar keras. Penuh
keharuan dan kengerian dia memandang pada wajah jelita itu. Sudah terlalu
sering dia melihat wajah gadis-gadis yang mencintanya, terutama sekali wajah
Kwa Hong dan isterinya Kwee Bi Goat. Sinar mata dan wajah mereka itu seperti
wajah Li Cu sekarang ini, demikian mesra, demikian jelas cinta kasih terbayang
pada sepasang mata yang bening itu.
Tak boleh
ini! Sekali-kali tidak boleh! Ia tidak mau berlaku sembrono seperti dulu. Dia
tak mau melukai hati gadis, apa lagi gadis seperti Li Cu. Dulu sudah banyak
gadis-gadis yang hatinya terluka olehnya.
"Nona
Cia, aku harus berterus terang kepadamu. Memang aku seorang laki-laki penuh
dosa dan apa yang dikatakan suheng-mu tadi, semuanya betul belaka."
Kemudian
dengan suara tegas jelas, sama sekali tidak ragu-ragu dengan pengakuannya itu,
sebab ia hendak meringankan tekanan dosanya yang menindih isi dada, ia kemudian
menceritakan kepada Li Cu telah melakukan perhubungan dengan Kwa Hong, kemudian
meninggalkannya karena ia sudah jatuh cinta dengan Kwee Bi Goat dan kemudian ia
ikut bersama Bi Goat ke Min-san dan menjadi suami isteri di sana.
Diceritakannya pula betapa Kwa Hong menjadi rusak hatinya dan jadi seperti
gila, apa lagi setelah ternyata bahwa hubungan mereka itu telah mengakibatkan
Kwa Hong mengandung.
"Aku
telah berdosa besar kepada Kwa Hong, aku telah merusak hidupnya. Dan aku lebih
berdosa lagi kepada isteriku yang belum tahu akan hal itu. Seharusnya dulu aku
mengaku di depan Bi Goat, tetapi aku pengecut... aku takut kehilangan dia, jadi
aku seakan-akan menipunya. Ahhh, dosaku bertumpuk-tumpuk, Nona Cia. Sudah
sepatutnya kalau orang semulia engkau membenciku, menganggap rendah kepadaku
seperti yang dikatakan oleh suheng-mu itu..." Demikian Beng San menutup
ceritanya.
Li Cu sejak
tadi mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka yang sebentar pucat sebentar
merah. Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, mendengar akan penuturan Beng San
tentang pengalaman dengan beberapa orang gadis cantik ini, dadanya terasa panas
dan ingin sekali ia marah-marah! Ingin sekali ia menampar muka Beng San. Tetapi
juga ingin sekali ia menangis!
"Kau...
kau... laki-laki mata keranjang!" makinya dengan suara serak sambil
berdiri dan berlari pergi dari tempat itu.
"Nona
Cia...! Ini pedangmu, bawalah...!”
Beng San
juga berdiri dan sekali ia meloncat, ia sudah berada di depan Li Cu, pedang
pendek Liong-cu-kiam telah ia cabut dan ia angsurkan kepada gadis itu. Herannya
bukan main ketika ia melihat muka yang jelita itu basah oleh air mata yang
bercucuran.
Li Cu
menggunakan tangan kiri mengusapi air matanya. Tanpa mengeluarkan kata-kata dan
tanpa memandangi muka Beng San ia menyambar pedang itu lalu berlari pergi lagi.
Isaknya terdengar memilukan ketika tubuhnya berkelebat di depan Beng San.
Pemuda ini
berdiri bengong memandang ke arah tubuh berpakaian merah yang berlari cepat
itu. Berkali-kali dia menarik napas panjang dan seperti patung dia memandang ke
depan sampai bayangan merah itu lenyap ditelan kejauhan.
"Ha-ha-ha-ha,
puteri Bu-tek Kiam-ong itu cinta kepadamu, Adikku!” mendadak suara itu
terdengar di belakang.
Beng San
terkejut sekali, cepat berputar dan dia berhadapan dengan seorang laki-laki
bertubuh raksasa yang gagah sekali dan yang berdiri sambil tersenyum lebar dan
bertolak pinggang.
"Twako...!"
Beng San berseru girang dan maju merangkul laki-laki gagah perkasa itu.
"Ha-ha-ha,
Beng San adikku. Di mana-mana kau selalu menghadapi keruwetan dengan wanita.
Ahh, kau bikin aku mengiri saja."
"Tan-twako,
jangan menggoda aku. Bagaimana keadaanmu? Ke mana saja selama ini kau
pergi?" Beng San menjadi gembira kembali sesudah bertemu dengan laki-laki
tinggi besar itu.
Siapakah
dia? Bukan seorang biasa, melainkan seorang bekas pejuang yang sudah terkenal
namanya sebagai pemimpin dari perkumpulan Pek-lian-pai yang banyak jasanya
dalam perjuangan menumbangkan kekuasaan pemerintah Mongol. Namanya adalah Tan
Hok dan semenjak dahulu menjadi sahabat baik Beng San, malah Tan Hok menganggap
Beng San sebagai adik angkatnya sendiri.
Tan Hok juga
seorang gagah yang memiliki ilmu silat tinggi. Sebetulnya yang membuat ia amat
dikagumi Beng San bukanlah ilmu silatnya, melainkan jiwa kepatriotannya yang
luar biasa besarnya. Dalam hal perjuangan, Tan Hok sama sekali tak bisa
disamakan dengan orang seperti Beng Kui yang berjuang karena ada pamrih untuk
memetik buah dari hasil perjuangannya itu untuk keperluan dan kesenangan diri
pribadi.
Perjuangan
yang dilakukan Tan Hok dengan perkumpulan rahasianya adalah perjuangan suci
tanpa pamrih. Kalau pun ada pamrih, maka pamrih itu hanya ingin melihat
rakyatnya terbebas dari pada belenggu penjajahan. Jadi pamrihnya bukan untuk
kepentingan diri pribadi, tetapi demi kesejahteraan rakyat. Oleh karena inilah
setelah pemerintah Mongol tumbang, Tan Hok dan teman-temannya tidak termasuk
bekas-bekas pejuang yang ikut gontok-gontokan untuk memperebutkan kedudukan dan
kemuliaan di kota raja!
"Tan-twako,
kau hendak pergi ke manakah?" Kembali Beng San bertanya, untuk sejenak ia
lupa akan penderitaan batin yang sedang mengamuk di hatinya ketika bertemu
dengan orang yang amat disayangnya ini.
"San-te
(Adik San), sebetulnya tidak sengaja aku dapat bertemu dengan kau di sini. Pagi
tadi aku melihat kau naik kuda sambil memangku seorang nona yang tampaknya
sakit atau pingsan. Tadinya aku curiga melihat keadaan Nona itu maka aku tidak
menegurmu dan diam-diam mengikutimu. Maafkan kecurigaanku ini. Kemudian aku
melihat bahwa dia adalah Nona Cia Li Cu puteri Bu-tek Kiam-ong Cia Hui
Gan." Tan Hok berhenti sebentar, kemudian dengan muka sungguh-sungguh ia
berkata lagi, "San-te, sebetulnya pertemuan ini sangat menggembirakan
hatiku dan kebetulan sekali. Andai kata kita tidak bertemu di sini, agaknya aku
pun akan mencarimu di Min-san untuk minta bantuanmu."
Girang hati
Beng San bahwa teman baiknya ini tidak melanjutkan bicaranya tentang Li Cu. Ia
sudah merasa malu sekali kalau ada orang berbicara tentang gadis-gadis yang pernah
membuat hidupnya kacau-balau. Dengan penuh gairah ia lalu berkata,
"Katakanlah,
Twako. Apakah urusan yang mengganggumu? Tentu adikmu ini dengan hati lapang
siap sedia membantumu."
"Kalau
hanya menghadapi urusan pribadi, mana aku berani mengganggumu, Adik Beng San?
Hanya ada satu macam urusan yang memaksaku minta bantuan siapa pun juga."
"Urusan
negara?" Beng San menduga. Dia tahu akan watak laki-laki raksasa itu.
Tan Hok
mengangguk. "Patriot-patriot palsu itu benar-benar menjemukan. Mereka kini
mengacau dan berusaha merampas kedudukan Kaisar Thai Cu, merasa bahwa mereka
lebih berhak dari pada bekas pahlawan Giu Goan Ciang. Hemmm, benar-benar tidak
ubahnya dengan anjing-anjing yang memperebutkan bangkai srigala yang tadinya
mereka keroyok!"
"Aku
sudah mendengar juga tentang itu, Twako, bahkan sudah bertemu dengan Ho-hai
Sam-ong yang bersekongkol dengan Raja Muda Lu Siauw Ong. Aku mendengar tentang
rencana mereka yang akan bergerak dari luar dan dari dalam."
"Bagus!"
Tan Hok melompat bangun, lalu duduk kembali di atas akar pohon. "Jadi
mereka sudah bersekongkol pula? Kalau begitu lebih mudah untuk sekaligus
menghancurkan mereka. Adikku, karena inilah maka aku minta bantuanmu. Aku dan
teman-temanku dari Pek-lian-pai sudah siap dan malah Kaisar sudah pula memberi
bantuan pasukan untuk menumpas para pemberontak tak tahu malu itu. San-te,
dengan kau di sampingku, aku akan merasa kuat untuk menghadapi mereka yang tak
boleh dipandang ringan itu. Dan perlu kuberi tahukan kepadamu, yang kau sebut
Lu Siauw Ong tadi, dia itu adalah mertua dari kakak kandungmu Tang Beng Kui.
Jadi kalau kau membantuku, kau tentu akan berhadapan dengan Tan Beng Kui
sebagai musuh!"
Beng San
mengangguk. "Hal itu pun aku sudah tahu, Twako." Kemudian secara
singkat Beng San menuturkan pertemuannya dengan kakak kandungnya itu di rumah
Ho-hai Sam-ong. Hanya soal Li Cu tidak ia ceritakan.
Tan Hok amat
senang mendengar ini. "Kalau begitu, mari kau ikut denganku. Kita akan
bergerak dari utara, membersihkan pemberontak-pemberontak yang datang dari
sana. Ho-hai Sam-ong tidak akan berani sembarangan bergerak kalau
komplotan-komplotannya dari utara belum kuat benar membantunya."
"Aku
bersedia membantumu, Twako. Hanya saja aku masih belum tahu pasti, belum yakin
akan tujuan pergerakanmu sekarang ini. Orang-orang itu saling memperebutkan
kedudukan dan semua yang kudengar menyatakan bahwa Kaisar sekarang ini, bekas
pemimpin pejuang Ciu Goan Ciang adalah seorang yang tidak adil. Sekarang
ternyata kau membantu Kaisar. Apakah menurut pendapatmu Kaisar Thai Cu yang
betul dan mereka yang tidak puas itu salah?"
"Adikku
Beng San, kau tidak mengerti tentang keadaan negara, memang hal ini tidak aneh
karena kau tidak mempedulikannya. Tetapi aku yang selalu mengikuti
perkembangannya, dapat melihat dengan nyata. Dengarlah kata-kataku ini, Adikku.
Sudah jelas bahwa dalam perjuangan menumbangkan kekuasaan Mongol, pemimpin
besar Ciu Goan Ciang sudah membuktikan bahwa dialah seorang pemimpin yang
pandai dan hanya dia yang akan mampu memimpin rakyat dan memajukan negara yang
baru saja terbebas dari belenggu penjajahan. Andai kata bukan Ciu Goan Ciang
yang dalam perjuangan dapat menyatukan semua unsur kekuatan rakyat, mana
perjuangan melawan Mongol bisa tercapai?"
Tan Hok
berhenti sebentar untuk meredakan gelora dalam dadanya, lalu disambungnya
perlahan dan tenang,
"Bahaya
yang mengancam keadaan negara masih belum lenyap. Bangsa Mongol yang melarikan
diri ke utara setiap waktu tentu hendak mencoba merampas kembali tanah
jajahannya. Belum lagi bangsa-bangsa lainnya yang hendak mengambil keuntungan
dari keadaan kacau-balau sehabis perang. Kita semua membutuhkan bimbingan
seorang yang kuat lahir batin, sedangkan perjuangan membuktikan bahwa hanya Ciu
Goan Ciang yang mempunyai kemampuan untuk tugas berat itu. Pengangkatan dirinya
sebagai Kaisar telah disetujui oleh semua pemimpin para pejuang." Kembali
ia berhenti.
Akan tetapi
Beng San mengemukakan pendapatnya. "Kalau begitu, kenapa masih banyak
orang yang merasa kurang puas dan menganggap dia kurang adil karena tidak
memberi kedudukan kepada para bekas pejuang?"
"Kalau
menurutkan pendapat setiap orang yang selalu mementingkan dirinya sendiri, di
dunia ini memang tak akan pernah ada keadilan. Mana bisa timbul keadilan kalau
semua orang menghendaki bahwa yang enak-enak dan yang baik-baik itu seyogianya
diberikan kepadanya saja? Soal kedudukan bukan hal yang semudah orang bicarakan.
Tentu saja Kaisar harus memilih orang dengan amat hati-hati untuk didudukkan
pada suatu pangkat, disesuaikan dengan kecakapan orang itu. Bagaimana nanti
jadinya kalau seorang bekas kepala rampok diangkat menjadi menteri yang
mengurus kekayaan negara? Bagaimana akan jadinya kalau seorang yang hampir
tidak pandai menulis diangkat menjadi menteri kebudayaan? Seorang yang buta
akan urusan pemerintahan diangkat menjadi menteri urusan negara? Tentu akan
menjadi makin kacau kalau hal-hal semacam itu dilakukan hanya untuk memenuhi
pamrih bekas-bekas pejuang yang menganggap diri sendiri paling berjasa
itu." Kembali Tan Hok bicara penuh semangat.
"Kalau
begitu, menurut anggapan Twako, Kaisar Thai Cu atau bekas pejuang Ciu Goan
Ciang itu adalah seorang yang sempurna dan semua rakyat harus mentaati saja apa
yang ia kehendaki?"
Tan Hok
tertawa. "Adikku. Tidak ada seorang manusia yang sempurna sama sekali di
dunia ini! Para dewa sekali pun masih belum sempurna karena masih tidak luput
dari kesalahan. Tentu saja Kaisar tak terkecuali. Aku takkan membantah jika ada
orang yang dapat mengemukakan kesalahan-kesalahan, cacat-cacat atau
kekurangan-kekurangan Kaisar. Setiap manusia sudah pasti memiliki
kekurangan-kekurangan dan cacat-cacatnya. Akan tetapi dalam hal kenegaraan,
adalah keliru kalau menilai kedudukan seseorang dari tabiat pribadinya.
Seharusnya dilihat pelaksanaan dari tugasnya, hasil dari pekerjaannya, dan
kemampuan pada dirinya. Kiraku tidak ada orang lainnya yang lebih pandai dan
lebih bijaksana dan lebih tepat untuk menduduki singgasana dari pada Kaisar
yang sekarang ini. Oleh karena mengingat bahwa dia adalah pusat dari kekuatan
kerajaan yang baru, pusat dari pemerintahan sesudah kaum penjajah jatuh, maka
sudah seharusnyalah kalau kita mendukung dan membantunya. Bukan semata-mata
membela pribadi Ciu Goan Ciang yang sekarang sudah menjadi Kaisar Thai Cu,
melainkan mendukung dan membela pemimpin dari bangsa kita. Kalau tidak kita
bela, lalu pimpinan terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak bijaksana, tidak mampu,
apa lagi yang jahat seperti bekas-bekas kepala rampok macam Ho-hai Sam-ong,
ahhh, akan bagaimanakah jadinya dengan negara kita?"
Setelah
mendengar penjelasan dan penuturan Tan Hok secara panjang lebar, akhirnya Tan
Beng San menyatakan suka ikut dan membantu Tan Hok untuk menggempur dan
menghalau para pemberontak yang hendak mendatangkan kekacauan itu. Hal ini
bukan semata-mata karena semangat Beng San bangkit oleh uraian Tan Hok, akan
tetapi untuk melupakan atau menghibur kehancuran hatinya.
Tiba-tiba
dia merasa malu untuk pulang ke Min-san, untuk berhadapan muka dengan Bi Goat,
isterinya yang tercinta itu. Untuk sementara waktu dia ingin menjauh dulu.
Memang kadang kala hatinya penuh rindu, perasaannya juga hancur kalau ia
teringat betapa Bi Goat sudah mengandung ketika ia tinggalkan ke Hoa-san. Sudah
mengandung beberapa bulan. Inilah sebabnya kenapa ia melarang ketika Bi Goat
menyatakan keinginan hatinya hendak ikut pergi dengan suaminya itu ke
Hoa-san…..
***************
Di puncak
sebuah bukit kecil yang ditumbuhi beberapa batang pohon raksasa terdapat sebuah
rumah papan yang kecil menyendiri. Tak ada rumah lain dari puncak sampai ke
kaki bukit kecuali pondok kecil itu. Sunyi sepi sekelilingnya, namun harus
diakui bahwa hawa udara amat sejuk dan pemandangan alam amat indahnya dari
puncak itu. Di lereng dan kaki bukit tampak pohon-pohon kecil yang menghijau.
Hanya di puncak itulah adanya beberapa pohon raksasa yang sudah tua dan amat
besar lagi tinggi.
Seperti
biasanya setiap hari, pada pagi hari itu pun sunyi, seakan-akan tempat itu
tidak ada penghuninya. Akan tetapi kesunyian pagi hari itu tidak lama sebab
segera terdengar lapat-lapat suara tangisan seorang wanita, tangisan yang amat
memilukan. Terisak-isak wanita itu menangis, kemudian terdengar keluhannya.
"Kau
bunuhlah aku... bunuhlah aku... ah, alangkah keji hatimu, kau melebihi segala
iblis... kau bunuhlah aku...!"
Lalu disusul
suara laki-laki, suaranya halus tapi penuh ejekan.
"Kau
selalu minta mati saja, sudah sebulan lebih permintaanmu tak lain hanya itu
saja. Bosan aku mendengarnya. Bukankah sudah jelas bahwa aku sangat sayang
kepadamu, bahwa aku cinta padamu? Manis, apakah kau bosan tinggal di tempat
sunyi ini? Apakah kau ingin ikut denganku merantau ke utara? Di sana indah
sekali. Apakah kau pernah menyaksikan gurun pasir?"
"Aku
tidak inginkan apa-apa kecuali mati. Kau bunuh sajalah aku!” lagi-lagi suara
wanita itu memohon.
"Sudahlah,
mari kau ikut ke utara. Tentu kau senang dan kau akan melihat betapa besar
cintaku kepadamu." Laki-laki itu tertawa.
Tak lama
kemudian tampaklah seorang laki-laki muda yang tampan keluar dari pondok itu,
memondong seorang wanita muda cantik yang lemas tak berdaya, agaknya telah
tertotok jalan darahnya. Laki-laki muda itu bukan lain adalah Siauw-coa-ong
Giam Kin, pemuda raja ular yang jahat itu. Ada pun wanita yang bukan lain
adalah Lee Giok atau Nyonya Thio Ki yang telah ditawan dan dilarikannya sebulan
yang lalu. Lee Giok kelihatan pucat dan berduka sekali, akan tetapi ia tidak
berdaya karena memang kalah kuat dan kalah tinggi kepandaiannya.
Setelah tiba
di luar pondok, Lee Giok berkata sambil menarik napas panjang, "Giam Kin,
agaknya Thian sudah menakdirkan aku menjadi teman hidupmu. Sudahlah aku tidak
akan membantah lagi dan aku mau ikut denganmu ke utara. Asal selama hidupku aku
tak akan bertemu dengan suamiku dan kau membawa ku ke tempat yang jauh, aku
menurut."
Giam Kin
girang sekali dan memeluknya. "Betulkah kata-katamu ini? Aha, bagus sekali,
adikku yang tercinta. Mari kubawa kau ke sorga di utara dan kita hidup bahagia
di sana. Ha-ha-ha!" Seperti orang gila Giam Kin memeluk nyonya muda itu
sambil menari-nari.
"Hushh,
gila kau! Tak usah aku kau gendong-gendong terus seperti orang lumpuh, hayo
lepaskan totokan pada tubuhku dan aku akan jalan sendiri di sisimu selama
hidupku."
Sambil
tersenyum-senyum dan terus menerus menggoda dengan ceriwis sekali Giam Kin lalu
menurunkan Lee Giok dan menotok beberapa jalan darahnya, kemudian mengurut punggung
nyonya muda yang cantik itu. Ia tidak kuatir membebaskan Lee Giok karena kalau
Lee Giok melawan, dengan mudah ia akan dapat mengatasinya kembali.
Setelah
bebas dari totokan, Lee Giok terhuyung-huyung lemas. Memang tubuhnya lemas
sekali, terbawa oleh perihnya perasaannya yang ditahan-tahan. Pada saat Giam
Kim maju memeluknya untuk mencegahnya jatuh, ia berkata, suaranya halus mesra,
"Biarkan
aku mengaso di bawah pohon ini dulu, aku... aku pening dan lesu sekali."
Sambil
memeluknya Giam Kin lalu membawa Lee Giok ke bawah pohon raksasa dan
mendudukkannya di atas akar pohon itu yang keluar dari dalam tanah seperti
tubuh ular besar. Lee Giok menjatuhkan diri duduk di situ, lalu meramkan
matanya mengumpulkan tenaga. Ketika ia sedang meramkan mata, terbayanglah wajah
suaminya dan terbayang pula pengalamannya ketika ia tertawan oleh Giam Kin.
Hatinya bagai ditusuk-tusuk pisau rasanya dan tak tertahankan lagi kembali air
matanya be bercucuran turun.
"Ahh,
kekasihku, lagi-lagi kau menangis..." Giam Kin mendekat dan hendak
merangkul leher Lee Giok.
Tiba-tiba
saja Lee Giok menggerakkan kedua tangannya, lalu memukul ke depan sekuat
tenaganya. Giam Kin memang sudah siap sedia karena orang yang cerdik ini mana
mau percaya begitu saja akan sikap menyerah dari nyonya muda yang selalu
berkeras untuk membencinya ini? Cepat ia melompat mundur untuk menghindarkan
diri dari penyerangan tiba-tiba ini. Lee Giok juga melompat berdiri dan
memandang kepada Giam Kin penuh kebencian.
"Manusia
iblis! Aku Lee Giok bersumpah tidak akan mau hidup sebelum menghancurkan
kepalamu, membelah dadamu dan mencabut keluar isi dadamu!" teriak Lee Giok
penuh kemarahan yang meluap-luap.
"Heh-heh,
galaknya… tapi malah lebih manis!" Giam Kim mengejek. "Kau perempuan
tak tahu disayang orang! Aku ingin membikin kau bahagia dan ingin mencintamu
selamanya. Kiranya kau seorang yang tidak punya jantung. Baiklah, aku akan
menjadikan kau barang permainanku, nanti kalau sudah bosan akan kulempar ke
jurang biar menjadi makanan serigala!"
Lee Giok
tidak sudi mendengarkan lagi, terus saja ia menerjang dengan kaki tangannya,
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membunuh manusia yang sangat
dibencinya ini, yang sudah merusak hidupnya. Akan tetapi, seperti beberapa kali
yang sudah-sudah, kali ini pun ia tak berhasil mengalahkan Giam Kin yang memang
amat lihai itu. Ia malah dipermainkan oleh Giam Kin yang mengelak ke sana ke
mari, berloncatan sambil mengejek dan menggoda.
Giam Kin
ingin membuat Lee Giok kelelahan lebih dulu untuk kemudian ditawan lagi dan
dipermainkan. Memang pada dasarnya hati Giam Kin memiliki kekejaman yang luar
biasa, sudah bukan seperti manusia lagi. Hal ini tidak aneh kalau dipikir bahwa
dia adalah murid tunggal dari manusia iblis Siauw-ong-kwi dan semenjak kecil
sudah banyak melakukan kekejaman-kekejaman.
Tubuh Lee
Giok masih amat lesu, maka ketika dipermainkan oleh Giam Kin dia menjadi
semakin payah dan lemas. Akan tetapi dengan nekat nyonya muda ini menyerang
terus mati-matian dengan tekad membunuh atau mati dalam pertempuran ini.
Tiba-tiba
terdengar suara aneh di atas, suara melengking yang sangat nyaring sehingga
menggetarkan jantung. Kemudian dari puncak pohon raksasa di bawah mana dua
orang itu sedang bertempur, melayang turun seekor burung raksasa yang berbulu
kuning emas.
Di punggung
burung itu duduk seorang wanita muda cantik yang sinar matanya tajam dan liar.
Sebelah tangannya memegang sebuah cambuk yang bercabang lima di mana terikat
lima batang anak panah hijau. Di punggungnya tergantung sebuah pedang pusaka.
Inilah Kwa Hong yang menunggang burung rajawali emas yang sakti itu.
"Hi-hi-hik,
Giam Kin, kebetulan sekali! Tak usah aku mencarimu kau sekarang mengantar nyawa
kepadaku!" kata Kwa Hong ketika ia mengenal isteri dari suheng-nya, Thio
Ki.
Akan tetapi
ia tidak menegur Lee Giok yang tadi amat terdesak hebat oleh Giam Kin itu.
Sinar kuning emas menyambar turun dan burung itu telah menerkam ke arah kepala
Giam Kin.
Bukan main
kagetnya Giam Kin melihat penyerangan ini. Cepat ia melompat mundur dan
membentak, "Siapa kau?!"
Bergidik
juga ia melihat wanita cantik menunggang burung rajawali yang bermata liar itu.
Sementara
itu Lee Giok segera mengenal Kwa Hong. Ia girang mendapat bala bantuan, akan
tetapi juga heran dan kaget sekali menyaksikan keadaan Kwa Hong yang tidak
wajar ini.
"Adik
Hong...!" serunya.
Burung itu
masih beterbangan berputar-putar di atas mereka. Kwa Hong berkata dengan suara
mengejek, "Lee Giok, tidak lekas lari menunggu apa lagi? Apa kau
mengharapkan tertawan oleh lawanmu yang tampan ini? Heh-heh-heh, kau mau main
gila di belakang suamimu, ya?"
Kalau ada
halilintar menyambar kepalanya, kiranya Lee Giok takkan begitu kaget seperti
ketika ia mendengar ejekan ini. Sejenak ia memandang dengan mata terbelalak
kepada Kwa Hong yang duduk di punggung burung. Lalu terlihat olehnya, sepasang
mata yang mengerikan itu. Lee Giok tertusuk hatinya, sambil terisak-isak ia
lalu lari pergi dari situ, diikuti suara ketawa yang mengerikan dari Kwa Hong.
Dasar watak
Giam Kin mata keranjang dan keji. Melihat nona cantik jelita di punggung burung
itu, ia segera tertarik sekali hatinya. Sekarang ia sudah mengenal wanita muda
yang duduk di punggung burung itu. Kwa Hong murid Hoa-san-pai yang cantik itu,
yang dulu pernah membuat ia tergila-gila juga.
Karena dia
sendiri seorang berwatak keji, maka sinar ganas dan liar pada sepasang mata Kwa
Hong itu baginya malah mendatangkan perasaan menyenangkan, malah menjadikan Kwa
Hong makin manis dalam pandang matanya. Pula ia memandang rendah kepada Kwa
Hong, karena murid Hoa-san-pai saja sampai di mana sih kelihaiannya?
"Aha,
kukira tadi siapa. Tidak tahunya adik manis dari Hoa-san-pai. Turunlah Nona
manis, dan mari bersenang-senang dengan aku. Boleh aku membonceng di punggung
burungmu yang indah itu?"
Tiba-tiba
sinar hijau menyambar sebagai jawaban. Giam Kin tertawa mengejek akan tetapi
segera ketawanya berubah seruan kaget ketika lima batang anak panah itu
menyambar kepadanya dengan kecepatan yang amat luar biasa, seperti kilat
menyambar. Ia segera menjatuhkan diri di atas tanah dan hanya dengan cara
begini ia dapat menyelamatkan dirinya.
Celaka
baginya, wanita yang duduk di punggung rajawali emas itu ternyata lihai bukan
main. Burungnya menyambar-nyambar rendah, sedangkan anak-anak panah pada ujung
cambuk itu terus menyambar-nyambar dengan pukulan dahsyat sekali.
Giam Kin
mencabut suling ularnya dan berusaha menangkis, akan tetapi baru dua kali
menangkis saja sulingnya sudah terlepas dari tangannya dan mencelat entah ke
mana. Demikian hebatnya tenaga pukulan Kwa Hong sampai-sampai dia sendiri tidak
mampu menangkisnya. Mulailah pengejaran yang mengerikan.
Giam Kin
lari ke sana ke mari, namun burung itu terus mengejar dan sinar hijau bersuitan
di atas kepalanya. Giam Kin menjadi pucat sekali, keringat dingin bercucuran
keluar. Dia menjatuhkan diri, bergulingan, tapi ke mana pun juga dia selalu
dikejar oleh sinar hijau itu yang diikuti suara ketawa. Baru sekarang telinga
Giam Kin mendengar suara ketawa yang mengerikan sekali, tidak semerdu tadi.
"Mampus
kau.... hi-hi-hik, mampus kau...!"
Akibatnya,
Giam Kin yang belum sekali pun terkena anak panah itu menjadi lemas saking
lelah dan ketakutan. Gerakannya melambat dan mendadak sepasang cakar burung
yang kuat sekali mencengkeram tubuhnya di bagian dada dan kepala. Terdengar
suara daging dan kulit dirobek-robek diiringi suara ketawa melengking tinggi
dari Kwa Hong. Beberapa kali Giam Kin mengeluarkan pekik kesakitan dan
ketakutan, kemudian hening kembali di situ.
Ketika burung
rajawali yang ditunggangi Kwa Hong itu kembali terbang ke atas, di bawah pohon
raksasa itu tertinggal tubuh Giam Kin yang diam tak bergerak dan dalam keadaan
mengerikan sekali. Pakaiannya robek-robek, dan penuh darah yang bercucuran dari
dada dan mukanya yang juga sudah terobek-robek oleh cakar cakar tajam tadi.
Matanya
sebelah kiri hancur, telinga kirinya juga lenyap, mulutnya robek lebar, kulit
pada dadanya terbeset dan lengan kirinya tadi sudah dicengkeram sedemikian rupa
oleh cakar rajawali sehingga semua urat-urat besarnya terputus dan kini lengan
kiri itu kaku dengan jari-jari mencengkeram saking menahan sakit. Matikah Giam
Kin? Pada saat itu masih belum, karena masih terdengar rintihan perlahan dari
dadanya. Akan tetapi kalau ada orang yang menyaksikan keadaannya, orang itu
tentu tak akan mengharapkan dia dapat hidup lagi.
***************
Sementara
itu, Lee Giok terus berlari cepat sambil menangis terisak-isak. Ia telah
terlepas dari cengkeraman tangan Giam Kin. Akan tetapi apa gunanya? Lebih baik
ia mati saja. Mana mungkin dia dapat memandang wajah suaminya lagi. Lebih baik
dia mati dari pada menanggung aib yang hebat. Lebih baik ia terjun ke dalam
jurang yang curam. Akan tetapi, apa pula artinya kalau ia mati tanpa ada yang
mengetahuinya kelak? Tetap saja dia akan mati dalam keadaan menanggung malu.
Lebih baik dia ke Hoa-san dan mati di sana agar suaminya kelak tahu bahwa ia
telah menebus aib itu dengan nyawanya.
Di Hoa-san
dia harus mati, supaya suaminya tahu bahwa sampai detik terakhir ia masih teringat
kepada suaminya, masih ingin mendekatinya walau pun hanya dengan maksud
mendekatkan arwahnya dengan Hoa-san! Selain itu, alangkah akan besar dosanya
kalau dia mati dengan membawa anak di dalam kandungannya. Bukankah hal itu sama
artinya dengan dia membunuh anak itu? Anaknya? Anak suaminya? Tidak, ia harus
menanti, biar pun hatinya akan remuk-redam. Dia harus menanti sampai anak dalam
kandungannya yang sudah tiga bulan itu lahir.
Lee Giok
berlari terus sampai akhirnya tubuhnya terguling menggeletak di tengah hutan
saking tak kuat lagi, saking lelahnya. Sambil merintih-rintih ia merangkak ke
bawah pohon yang bersih, lalu membaringkan tubuh dan pikirannya
melayang-layang.
Hidupnya rusak
oleh Giam Kin. Yang menjadi biang keladi adalah Kim-thouw Thian-li dan Hek-hwa
Kui-bo. Semangatnya sebagai seorang gagah dalam diri Lee Giok bangkit ketika ia
mengingat akan ketiga orang ini. Akan sia-sia belaka kalau ia mati sebelum ia
mampu membalas, sebelum ia mampu melenyapkan tiga manusia iblis itu dari
permukaan bumi. Kepandaiannya memang masih belum begitu tinggi untuk mampu
mengalahkan mereka, akan tetapi ia dapat memperdalam kepandaiannya.
Setelah
tidur semalam di hutan itu, pada keesokan harinya Lee Giok lalu melanjutkan
perjalanannya dengan hati yang sudah mengambil dua buah keputusan, yaitu
sebelum ia membunuh diri untuk mencuci noda pada dirinya, ia harus lebih dahulu
melahirkan anak dalam kandungannya, kemudian tugasnya yang kedua ialah membunuh
tiga orang musuh besarnya itu!
Ia tidak
boleh mati sekarang, ia malah harus kuat dan harus bisa memperdalam ilmunya.
Pikiran inilah yang menyelamatkan nyawa Lee Giok dan dengan hati teguh nyonya
muda ini melanjutkan perjalanannya menuju Hoa-san…..
**************
Gunung
Min-san berada di tapal batas antara Propinsi Se-cuan, Ceng-hai, dan Kan-su.
Gunung ini amat indah pemandangannya dan merupakan pegunungan yang subur
sekali. Sungai-sungai besar yang amat terkenal seperti Sungai Yang-ce-kiang dan
Sungai Kuning boleh dibilang mendapatkan sumber mata airnya dari Pegunungan
Min-san ini, sungguh pun masih banyak pegunungan lain yang menjadi sumbernya
pula.
Salah satu
di antara puncak-puncak Pegunungan Min-san inilah menjadi tempat tinggal
Song-bun-kwi Kwee Lun yang dahulunya amat terkenal di dunia kang-ouw dengan
julukan Song-bun-kwi. Ia dijuluki Song-bun-kwi (Setan Berkabung) sebab selalu
memakai pakaian putih berkabung semenjak isterinya meninggal dan ia hidup
merantau bersama dengan puteri tunggalnya, Kwee Bi Goat.
Sesudah
sekarang Kwee Bi Goat menikah dengan Tan Beng San dan hidup bahagia di Min-san,
Kwee Lun ini tidak patut lagi dijuluki Song-bun-kwi karena ia tak lagi
berpakaian berkabung, juga tak lagi hidup seperti yang sudah-sudah, yaitu
seperti manusia iblis yang ditakuti orang. Kakek ini sekarang hidup tenang dan
tenteram di Pegunungan Min-san ini, malah setiap hari bertani atau semedhi
memperdalam ilmu batinnya.
Ada pun Kwee
Bi Goat yang dahulunya gagu, tapi sekarang telah sembuh, menjadi isteri yang
cantik jelita dan penuh kasih sayang bagi Beng San. Suami isteri ini bersama
Kakek Kwee hidup aman dan damai di Min-san.
Akan tetapi,
nasib manusia memang tidak menentu seperti air laut, kadang-kadang surut. Baru
beberapa bulan saja mereka hidup penuh madu kasih dan kebahagiaan di Min-san,
datanglah seorang tosu dari Hoa-san-pai yang minta bantuan Beng San untuk
menolong Hoa-san-pai yang sedang ditimpa mala petaka karena pengamukan Kwa
Hong.
Seperti
sudah diceritakan di bagian depan, Beng San yang mengingat akan hubungannya
dengan Hoa-san-pai dahulu, terpaksa pergi meninggalkan isterinya yang tercinta
untuk membantu Hoa-san-pai. Kepergiannya ini diakhiri dengan kehancuran hatinya
sehingga membuat ia tidak berani pulang dan tidak berani bertemu muka dengan
isterinya!
Berbulan-bulan
Bi Goat menunggu kembalinya suaminya dengan hati penuh rindu dan kekuatiran.
Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi hatinya yang penuh rasa kegelisahan. Ia
takut kalau-kalau suaminya tertimpa bencana karena sudah terlalu lama meninggalkan
rumah tanpa ada kabar beritanya dan juga tidak kelihatan pulang. Akhirnya Bi
Goat lalu minta pertolongan ayahnya untuk pergi menyusul Beng San ke Hoa-san
dan mencarinya sampai dapat.
"Hemmm,
baru ditinggal beberapa bulan saja kau sudah rewel!" Kwee Lun mengomel.
"Sudah lama aku tidak meninggalkan gunung, kalau turun gunung aku takut
akan kumat penyakitku yang lama!"
Kakek yang
dulu dijuluki setan berkabung itu mula-mula menolak permintaan puterinya. Ia
sudah mulai senang dengan hidup bersunyi di puncak yang indah itu, hidup
menikmati ketenteraman di hari tua.
"Ayah,
jangan salah mengerti. Bukan sekali-kali karena aku terlalu manja dan tidak
bisa ditinggalkan suami yang pergi menjalankan tugas sebagai orang gagah.
Tetapi, harap Ayah ketahui bahwa sekarang kandunganku sudah lima bulan.
Bagaimana kalau sampai tiba saatnya melahirkan tidak ada ayahnya di sini? Ayah,
apa kau tidak kasihan padaku?" Suara Bi Goat menggetar dan hati kakek yang
dulu dianggap manusia iblis itu mencair.
"Baiklah...
baiklah... dasar bocah yang jadi mantuku itu tidak tahu diri! Akan kucari dia
dan kuseret pulang!"
Sambil
mengomel panjang pendek, kakek yang pernah menjadi tokoh nomor satu di dunia
kang-ouw sebelah barat itu akhirnya turun gunung meninggalkan Min-san untuk
menyusul dan mencari anak mantunya, Tang Beng San.
Sebulan
sudah Song-bun-kwi Kwee Lun meninggalkan Min-san. Pada suatu sore Bi Goat duduk
seorang diri di halaman depan rumahnya. Dengan penuh harapan, seperti setiap
sore yang lalu, dia duduk menanti kalau-kalau ayah dan suaminya pulang.
Para pelayan
yang tak kurang enam orang banyaknya, sudah selesai bekerja dan sedang asyik
mengobrol di belakang rumah. Bi Goat duduk seorang diri menghadapi cangkir teh
dan makanan yang mengandung khasiat penguat badan. Ayahnya banyak memberikan
makanan seperti ini untuknya.
Mendadak dia
mendengar suara aneh di udara. Ketika dia mengangkat muka, Bi Goat
terheran-heran melihat seekor burung yang besar dan indah sekali terbang
berputaran di atas puncak itu. Cahaya matahari senja yang merah membuat bulu
burung itu kelihatan kuning kemerahan, amat indahnya seperti emas.
"Ahh,
burung rajawali kalau aku tidak salah...," kata Bi Goat kagum sekali.
Mendadak
wajahnya berubah dan nyonya muda ini cepat barigkit berdiri dari kursinya. Ia
melihat sesuatu yang aneh, sesuatu yang ajaib. Ada seorang wanita menunggang
burung rajawali itu!
"Mimpikah
aku?" gumamnya seorang diri sambil menggosok-gosok matanya.
Tidak, ia
tidak mimpi. Malah kini burung itu menukik turun dan tak lama kemudian burung
itu sudah sampai di atas tanah, hanya belasan meter jauhnya dari tempat Bi Goat
berdiri. Wanita muda dan cantik itu melompat turun dari punggung rajawali.
Dengan hati
berdebar-debar Bi Goat mendapatkan kenyataan bahwa wanita itu sedang
mengandung. Malah perutnya lebih besar dari pada perutnya sendiri. Kandungan
wanita itu sudah tua. Wanita itu melangkah maju, agak terhuyung-huyung.
Bi Goat
adalah seorang yang pada dasarnya memiliki budi yang halus. Melihat wanita yang
mengandung tua ini terhuyung-huyung dan nampak letih, mukanya pucat, ia cepat
lari menghampiri dan merangkul pundaknya.
"Hati-hatilah,
Cici...," katanya halus.
Wanita itu
bukan lain adalah Kwa Hong! Kemarahannya ketika tadi turun dan menduga bahwa
wanita cantik yang juga sudah mengandung di depannya itu tentulah isteri Beng
San, agak mereda oleh sikap halus Bi Goat. Pernah ia melihat Bi Goat, akan
tetapi hanya sebentar maka ia sudah lupa lagi.
Demlkian
pula Bi Goat, biar pun pernah bertemu dengan Kwa Hong, tapi karena baru sekali
dan hanya sebentar, ia pun sudah lupa lagi.
"Di
mana Beng San? Aku ingin bicara dengannya," berkata Kwa Hong menahan
marah, suaranya agak ketus dan sama sekali ia tidak menyambut baik sikap halus
dari Bi Goat tadi.
Bi Goat
terkejut, tapi ia menjawab juga. "Suamiku sudah beberapa bulan turun
gunung, sampai sekarang belum pulang," jawabnya masih halus dan hati-hati
ia bertanya, "Tidak tahu siapakah Cici ini dan ada keperluan apalah
mencari suamiku?"
"Hemmm,
jadi kau ini Bi Goat, dara baju merah yang dulu gagu itu?" tanya Kwa Hong,
suaranya mengejek dan pandang matanya menyapu Bi Goat dari atas ke bawah.
Kini Bi Goat
mulai curiga. Pandang matanya tajam menyelidik. "Kau siapakah dan apa
keperluanmu datang ke Puncak Min-san ini?"
"Heh,
kau sudah lupa kepadaku. Aku Kwa Hong..."
"Ohhh,
murid Hoa-san-pai?"
"Bodoh!
Ketua Hoa-san-pai, bukan murid! Aku datang mencari Beng San. Mana dia?"
"Sudah
kukatakan tadi, dia sedang pergi." Bi Goat mulai tak senang hatinya.
"Aku
mencari Beng San, bukan suamimu."
"Beng
San adalah suamiku!" jawabnya Bi Goat sekarang agak ketus.
Kwa Hong
tersenyum mengejek, lalu melirik ke arah perut Bi Goat. Dia bertanya penuh
ejekan, "Berapa bulan kau mengandung?"
"Heee?!
Kenapa...?" Wajah Bi Goat menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat
bahwa yang mengajukan pertanyaan ini pun sedang mengandung, tentu ia akan
menjadi marah. "Sudah enam bulan, mengapa?"
Kembali Kwa
Hong tersenyum mengejek. "Seharusnya tadi kau bilang baru enam bulan,
bukannya sudah enam bulan. Jadi baru enam bulan, kan? Lihat kandunganku ini
sudah sembilan bulan! Mana lebih dulu? Sebelum menjadi suamimu, Beng San sudah
menjadi ayah dari anak yang kukandung ini, tahu?"
Seketika
wajah Bi Goat menjadi amat pucat. Ucapan Kwa Hong itu betul-betul merupakan
pedang yang menusuk tembus jantungnya. Gemetar seluruh tubuhnya dan suaranya
pun menggigil ketika ia berseru, "Kau... kau bohong...!"
Kwa Hong
memperlebar senyumnya. "Kalau tak percaya kau tanyakan saja kepada Beng
San. Hayo, mana dia? Panggil dia keluar, dia harus menyaksikan kelahiran
anaknya..." Tiba-tiba Kwa Hong mengeluh sambil memegangi perutnya.
"Dia
sedang pergi... hee, bagaimana ini? Kau kenapa, Cici...?"
Bingung juga
Bi Goat melihat Kwa Hong tiba-tiba terhuyung dan tentu sudah roboh kalau tidak
cepat dia tangkap lengannya. Dia melihat wajah Kwa Hong pucat sekali, mulutnya
merintih-rintih dan keadaannya hampir pingsan.
Memang pada
dasarnya Bi Goat seorang yang berhati mulia. Biar pun ia tadi marah sekali dan
perasaannya seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan Kwa Hong, akan tetapi
melihat keadaan nyonya muda yang akan melahirkan itu dia menjadi tidak tega dan
cepat-cepat menolong.
"Biarlah...
aku... aku harus melahirkan... di tempat tinggal... Beng San...," demikian
Kwa Hong mengeluh perlahan ketika siuman.
Sementara
itu, Bi Goat sudah berseru memanggil para pelayannya dan Kwa Hong lalu digotong
masuk ke dalam rumah. Karena dia sendiri sedang mengandung, maka Bi Goat memang
sudah mengundang seorang wanita tua yang ahli menolong orang beranak dan yang
disuruh tinggal di rumahnya. Maka Kwa Hong dapat menerima pertolongan yang
cepat.
Dalam
keadaan setengah sadar saking menahan sakit, Kwa Hong mengigau dan bercerita
kepada Bi Goat tentang hubungannya dengan Beng San dulu, juga tentang
pertemuannya yang terakhir. Semua diceritakan oleh Kwa Hong sehingga Bi Goat
yang mendengarkan ini hanya dapat menangis dengan hati hancur.
Dia amat
mencinta Beng San, sejak dahulu ia mencinta Beng San dengan seluruh jiwa
raganya. Ia tidak rela kalau Beng San membagi cintanya dengan wanita lain, maka
dapat dibayangkan betapa hebat dan parah luka yang ditimbulkan oleh penuturan
Kwa Hong ini di dalam hatinya.
Pada tengah
malam hari itu, dari dalam rumah Bi Goat terdengarlah suara pertama dari
seorang bayi yang baru saja terlahir. Tangisnya memecahkan kesunyian malam,
nyaring melengking. Tangis seorang bayi laki-laki yang montok dan sehat.
Tidak lama
kemudian terdengar lengking lain susul-menyusul menjawab tangis bayi ini, suara
lengking tinggi yang datangnya dari atas rumah. Itulah suara lengking rajawali
emas yang menanti munculnya Kwa Hong sambil mendekam dl atas wuwungan genteng
rumah itu. Entah mengapa binatang itu melengking, mungkin karena tangis bayi
itu hampir sama dengan suaranya sendiri.
Meski pun
hatinya hancur, siang malam Bi Goat menunggui Kwa Hong dan merawatnya dengan
baik. Sepekan kemudian Kwa Hong sudah sembuh. Dia menggendong anaknya dengan
penuh kasih sayang, lalu ia keluar dari rumah itu memanggil rajawali emas.
Burung itu
yang mulai tak sabar dan setiap hari berkaok-kaok di depan rumah, menjadi
girang sekali dan menyambar turun. Bi Goat yang berwajah pucat sekali mengikuti
Kwa Hong dari belakang.
"Cici
Hong, kau baru sepekan melahirkan, jangan pergi dulu...," katanya menahan.
Akan tetapi
Kwa Hong tidak peduli. Ia membawa anaknya melompat ke arah punggung rajawali,
lalu berkata, "Katakan kepada Beng San kalau dia pulang, bahwa aku tidak
bisa membunuhnya karena kalah kuat, dan aku juga tak bisa membunuhmu karena kau
telah menolongku ketika aku melahirkan. Akan tetapi kelak anak inilah yang akan
membunuh Beng San, kau dan semua anak anak dan keluargamu!"
Setelah
berkata demikian, Kwa Hong menepuk-nepuk leher rajawali emas yang segera
melengking tinggi dan melesat, terbang ke atas dengan cepat sekali. Untuk
beberapa lama Bi Goat berdiri bengong, kemudian dia mengeluh dan tubuhnya
menjadi lemas. Dia roboh pingsan di depan pintu rumahnya! Para pelayan segera
mengejar keluar dan sibuk menolong nyonya muda yang menderita kehancuran hati
ini.
Bi Goat
jatuh sakit dan semenjak hari itu ia tidak kuat lagi bangun dari tempat
tidurnya. Badannya panas dan setiap kali panasnya naik, dia selalu mengigau
menyebut-nyebut nama suaminya dan Kwa Hong. Setiap kali ia berusaha untuk tidak
mempercayai semua omongan Kwa Hong, namun hal itu amat sukar baginya.
Diharap-harapkan
kedatangan suaminya supaya dia dapat bertanya mengenai Kwa Hong. Pengharapan
bahwa suaminya akan menyangkal semua itu merupakan sinar kecil yang masih
menerangi hatinya, penuh harapan. Akan tetapi, suaminya tidak kunjung pulang,
malah ayahnya yang mencari dan menyusul suaminya itu, belum juga pulang.
Dua bulan ia
jatuh sakit itu, sementara kandungannya makin besar, sudah delapan bulan
lamanya dia mengandung. Pada suatu sore, datanglah Song-bun-kwi Kwee Lun. Bi
Goat yang sudah agak kuat segera turun dari tempat tidurnya dan keluar
meyambut.
"Ayah,
mana dia? Mana Beng San...?" tanyanya dengan nada suara penuh harapan.
Kwee Lun
kaget sekali melihat puterinya menjadi begini kurus dan wajahnya begini pucat.
"Bi Goat, kau kenapakah? Sakitkah kau? tanyanya gugup sambil melangkah
maju.
"Ayah,
mana suamiku? Mana Beng San-koko?" Bi Goat tidak mempedulikan pertanyaan
ayahnya, tapi mendesak menanyakan suaminya.
Terpaksa
Kwee Lun menjawab, "Aku tidak dapat menjumpai dia. Kabarnya dia ke utara,
mungkin terlibat lagi dalam urusan pemberontakan terhadap kaisar baru. Ahhh,
anak itu memang tak tahu diri!"
Kekecewaan
hebat merupakan palu godam yang menghantam pertahanan terakhir di hati Bi Goat.
Matanya terbelalak, kemudian tertutup dan tubuhnya limbung. Cepat Kwee Lun
merangkul dan ayah yang gelisah dan keheranan ini segera memondong tubuh
puterinya, dibawa masuk ke dalam kamar Bi Goat.
Dengan suara
parau Kwee Lun memanggil pelayan-pelayan yang segera berlari-larian mendatangi,
memaki-maki mereka yang dikatakan tidak melayani Bi Goat sebaiknya.
Setelah
siuman kembali Bi Goat hanya menangis terus, tidak mau menjawab pertanyaan
ayahnya. Dan pada malam itu juga Bi Goat melahirkan kandungannya yang belum
penuh sembilan bulan itu. Kelahiran yang sukar sekali, membuat nenek yang
membantunya bermandikan peluh, para pelayan kebingungan dan semua ini membuat
Kwee Lun yang menjaga di luar kamar menjadi makin gelisah.
Beberapa
kali Bi Goat pingsan dan kalau sudah siuman ia memanggil-manggil nama Beng San,
mengeluh tak kuat lagi. Akhirnya menjelang pagi lahirlah bayi dalam
kandungannya. Tangisnya keras sekali, membuat Kwee Lun melonjak kaget dari
tempat duduknya. Lalu bagaikan gila kakek ini lalu mendorong pintu kamar untuk
segera melihat wajah cucunya. Apa yang ia lihat?
Ia berdiri
tegak bagai patung raksasa. Mukanya pucat, matanya melotot selebar-lebarnya,
bukan memandang kepada bayi laki-laki yang bergerak-gerak dan menangis hebat
itu, melainkan ke atas ranjang, memandang kepada Bi Goat yang telentang tak
bergerak, dengan mata setengah terbuka dan mulut menyeringai kesakitan, wajah
yang putih dan mata yang tidak bersinar lagi karena berbareng dengan lahirnya
bayinya ibu muda yang malang ini telah ditinggalkan nyawanya.
Untuk
beberapa lama Song-bun-kwi Kwee Lun berdiri tegak dengan muka pucat, telinga
seperti tuli tidak mendengar suara tangis bayi yang bercampur dengan suara
tangis para pelayan, tidak melihat betapa nenek pembantu kelahiran itu sangat
sibuk membersihkan bayi kemudian membungkusnya dengan kain putih bersih.
Akhirnya
tampak air mata berkumpul di pelupuk mata tua itu, lalu setetes demi setetes
air mata itu mengalir turun. Bibir kakek itu bergerak-gerak, lalu terdengar
suaranya parau, "Bi Goat... kenapa kau mati...? Habis aku
bagaimana..." Berulang-ulang kalimat ini keluar dari mulutnya, kemudian ia
menubruk maju dan kakek ini lalu menangis menggerung-gerung sambil memeluki
mayat Bi Goat.
Sampai lama
ia menangis bagai anak kecil. Saat ia mengangkat kembali mukanya yang menjadi
basah air mata, matanya merah dan mengerikan. Ia sudah berhenti menangis secara
tiba-tiba, lalu ia memandang ke sana ke mari, menyapu ruangan itu dengan sinar
matanya yang beringas.
Ketika ia
melihat nenek pembantu kelahiran yang duduk di pojok dengan ketakutan, ia
melompat maju dan sekali terkam nenek itu sudah diangkatnya lalu dibantingnya
ke lantai. Sekali banting saja nenek itu tidak berkutik lagi, kepalanya pecah
dan nenek yang malang itu tewas tanpa dapat bersambat lagi, Song-bun-kwi Kwee
Lun makin beringas, matanya liar.
"Ampun,
Lo-ya (Tuan Tua)... ampun… hamba semua tidak berdosa. Nyonya muda jatuh sakit
setelah kedatangan seorang nyonya yang mengaku bernama Kwa Hong dan yang melahirkan
anak di rumah ini. Menurut pengakuannya, Nyonya Kwa Hong itu adalah isteri
pertama Siauw-ya (Tuan Muda)... eh, bukan isteri... hubungan di luar nikah...
datangnya menunggang rajawali emas, mengerikan sekali, Lo-ya... semenjak itulah
Nyonya Muda lalu jatuh sakit..."
Mendengar
ini, Kwee Lun mengeluarkan suara menggereng bagai seekor binatang buas, lalu
terdengar suaranya, "Beng San, keparat kau... mampus kau olehku...!"
Tubuhnya
yang tinggi besar itu bergerak lagi, kini sekali sambar ia telah mencengkeram
buntalan kain yang terisi bayi yang masih menangis nyaring itu. Bukan main
tangis bayi itu, seakan-akan dalam kelahirannya sekaligus ia menangisi kematian
ibunya. Begitu lahir anak ini sudah harus menghadapi kematian ibunya. Betapa
memilukan.
"Mampus
kau...! Mampus kau...!" Kwee Lun mengangkat buntalan itu tinggi-tinggi
seperti hendak membantingnya!
"Lo-ya...,
ampunkan anak itu yang tidak berdosa..."
"Lo-yaaaa,
ampun...!"
"Jangan,
Lo-ya, jangan...!" Para pelayan itu menjerit-jerit.
Jerit tangis
pelayan ini seakan-akan menyadarkan Kwee Lun, matanya tidak lagi menatap
buntalan, melainkan liar menyapu ke kanan kiri, kemudian terdengar ia
menggereng dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Kakek itu lari keluar dan
turun gunung membawa buntalan bayi, cucunya yang baru saja lahir!
Tidak ada
jalan lain bagi para pelayan itu kecuali mengurus jenazah Bi Goat dan nenek
bidan itu. Dengan bantuan penduduk kampung di kaki bukit yang mereka mintai
bantuan, dua jenazah itu dikuburkan di belakang rumah dengan upacara sederhana.
Para pelayan itu hanya dua yang tinggal untuk mengurus rumah dan menanti
kembalinya Beng San….
***************
Rencana yang
baru saja dirundingkan oleh utusan Raja Muda Lu Siauw Ong dan Ho-hai Sam-ong,
benar-benar dilaksanakan oleh dua golongan yang haus akan kedudukan dan
berusaha menggulingkan kekuasaan kaisar baru, Thai Cu. Mereka ini benar-benar
terlalu percaya kepada kekuatan sendiri sehingga biar pun rahasia mereka itu
telah diketahui oleh Li Cu dan Beng San yang sudah berhasil meloloskan diri,
akan tetapi tetap saja mereka melanjutkan rencana itu. Mereka berhasil
mengumpulkan banyak sekali pasukan bajak dan perampok, juga pihak Raja Muda Lu
Siauw Ong yang bertugas merampas tahta selagi Kaisar pergi, berhasil menghasut
pasukan besar tentara.
Pada hari
yang telah ditentukan, rombongan Kaisar Thai Cu berangkat meninggalkan kota
raja menuju ke utara, yaitu ke kota raja lama di Peking. Rombongan ini dikawal
ketat oleh sepasukan tentara pilihan, yaitu para pengawal pribadi kaisar.
Sebagai seorang bekas panglima perang, Kaisar Thai Cu tidak merasa gentar
melakukan perjalanan jauh ini walau pun dia sudah tahu akan adanya banyak
golongan yang tidak suka kepadanya karena tidak diberi kedudukan tinggi seperti
yang mereka inginkan. Akan tetapi sama sekali Kaisar ini belum tahu akan siasat
busuk yang direncanakan oleh Ho-hai Sam-ong dan Raja Muda Lu Siauw Ong yang
sudah bersekongkol itu.
Di sepanjang
jalan rakyat dusun menyambut Kaisar baru itu dengan meriah. Tampaknya rakyat
amat mengagumi Kaisar yang telah berhasil membebaskan negara dari penjajahan
bangsa Mongol itu. Orang-orang bersorak memberi hormat, di mana-mana rombongan
Kaisar disambut tari-tarian daerah. Malah setiap dusun tentu mengutus
orang-orang muda yang gagah perkasa untuk mengiring rombongan ini sampai di
dusun lain, lalu diganti oleh para muda dusun ini, demikian seterusnya.
Kaisar amat
gembira dengan ini semua. Kaisar menyangka bahwa hal itu memang sudah
semestinya karena rakyat merasa sangat gembira dapat terbebas dari penjajahan.
Sama sekali Kaisar ini tidak tahu bahwa biar pun sudah terbebas dari pada
penjajahan Mongol, sesungguhnya rakyat kecil apa lagi para petani masih sama
sekali belum bebas dari pada belenggu penjajahan para tuan tanah yang kadang
kala malah lebih keras dan kejam dari pada penjajah Mongol sendiri!
Juga Kaisar
ini tidak tahu bahwa sebagian besar dari para pengiring ini, yang terlihatnya
sebagai orang-orang kampung, sebenarnya adalah orang-orang gagah dari
Pek-lian-pai dan para bekas pejuang yang setia kepadanya. Mereka ini anak buah
dari Tan Hok yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga rombongan Kaisar selalu
terkawal anak buahnya. Malah masih banyak lagi orang yang mengawal secara
sembunyi, ada yang mendahului rombongan, dan ada pula yang mengiring dari jauh
di belakangnya.
Tan Hok
memang hebat. Raksasa ini semenjak berkecimpung dalam perjuangan ternyata sudah
makin matang sebagai seorang pemimpin dan pengatur siasat yang ulung. Secara
cepat sekali, sesudah dia mendengar penjelasan dari Beng San tentang
persekongkolan antara Beng Kui dan Ho-hai Sam-ong, ia pergi ke kota raja dan
bersama para panglima pasukan yang setia kepada Kaisar itu lalu berunding dan
membuat rencana.
Cepat sekali
dia menyiapkan pasukan Pek-lian-pai dan kawan-kawan seperjuangan yang terpilih,
yaitu orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, untuk secara diam-diam
mengiringi, mengawal atau melindungi rombongan Kaisar yang hendak pergi ke
utara.
Juga Beng
San sendiri ia serahi tugas yang paling berat, yaitu mengawal Kaisar secara
sembunyi. Tan Hok maklum akan kelihaian Beng San, maka tugas penting ini ia
serahkan kepada Beng San, sedangkan ia sendiri perlu mengatur pasukan gabungan
di kota raja untuk menindas dan menggempur pemberontakan dari dalam yang hendak
dilakukan oleh Raja Muda Lu Siauw Ong.
Pada saat
Kaisar menggunakan perahu naga menyeberangi Sungai Huang-ho, keadaan di sungai
juga ramai bukan main. Para nelayan seakan-akan datang dari segenap penjuru
untuk mengelu-elukan kaisar baru ini. Juga di sini Kaisar tidak tahu bahwa para
nelayan ini sebagian besar adalah anggota-anggota Pek-lian-pai, malah ada pula
beberapa orang anak buah Ho-hai Sam-ong yang menyelinap, dan ada beberapa orang
pembunuh datang untuk mencari kesempatan baik menghabiskan nyawa Kaisar Thai
Cu!
Maka, amat
kagetlah Kaisar dan para pengiringnya ketika perahu sampai di tengah sungai di
kanan kiri perahu tiba-tiba timbul enam mayat di permukaan air. Mayat-mayat ini
adalah mayat orang-orang yang tadinya berusaha melubangi perahu dengan jalan
menyelam di bawahnya.
Namun anak
buah Tan Hok yang waspada dan memang sudah dipilih ahli-ahli dalam air, telah
mengetahui akan hal ini dan cepat mereka itu pun menyelam. Terjadi pertandingan
di bawah perahu, di dalam air yang amat hebat tanpa diketahui oleh mereka yang
berada di permukaan air.
Tahu-tahu
mayat para penjahat itu timbul di permukaan air mengagetkan semua orang. Kaisar
buru-buru memerintahkan agar perahu dipercepat penyeberangannya.
Sesudah
sampai di seberang Sungai Huang-ho sebelah utara dan rombongan memasuki sebuah
hutan yang amat lebat, mulailah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Ho-hai
Sam-ong dan pasukannya yang sudah beberapa hari menghadang di tempat ini.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai bergemuruh dan pasukan bajak dibantu oleh
pasukan mereka yang tak puas melihat Cu Goan Ciang menjadi Kaisar, lantas
berserabutan keluar dari tempat persembunyian dengan senjata di tangan.
"Bunuh
Ciu Goan Ciang!"
"Seret
Kaisar lalim!"
Demikianlah
ucapan-ucapan yang ditujukan kepada Kaisar. Mulailah terjadi pertempuran hebat
antara para penyerbu dan para pengawal Kaisar. Makin lama semakin banyaklah
penyerbu. Kaisar sendiri tampaknya tenang-tenang saja karena semenjak
penyeberangan tadi tidak memperlihatkan diri, terus bersembunyi saja di dalam
tandunya yang sekarang terpaksa diturunkan dan dilindungi oleh beberapa orang
pengawal pribadi.
Tiba-tiba
Ho-hai Sam-ong sendiri, tiga orang kepala bajak yang lihai itu, meloncat ke
dekat tandu Kaisar ini. Mereka memang sengaja mengincar Kaisar dan hendak turun
tangan sendiri.
Melihat
tandu dengan tanda pangkat Kaisar, serta bendera berkibar di atasnya, Ho-hai
Sam-ong girang sekali. Mereka mengeluarkan tanda suitan. Lalu bermunculan
Hek-hwa Kui-bo, Kim-thouw Thian-li, dan masih banyak lagi kepala rampok dan
orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam) datang menyerbu ke tempat itu.
Para
pengawal pribadi dengan gigih menyambut serbuan orang-orang ini, namun dalam
beberapa gebrakan saja robohlah belasan orang pengawal. Lui Cai Si Bajul Besi
sendiri dengan sebuah loncatan meninggalkan kawan-kawannya yang sedang menandingi
para pengawal pribadi itu, langsung mendekati tandu. Senjatanya berupa dayung
baja yang besar berat itu sudah diayunnya, mulutnya berseru,
"Ha-ha-ha-ha,
Ciu Goan Ciang! Lihat baik-baik, ini Lui Cai datang untuk menghancurkan
kepalamu!"
Tiba-tiba
kain tenda dari joli itu terbuka dan keluarlah seorang laki-laki tua dengan
tubuh menggigil dan muka pucat. Tangan Lui Cai yang memegang dayung gemetar, ia
berteriak sambll melangkah mundur. Kiranya orang yang berada di dalam joli itu
bukanlah Kaisar, melainkan seorang yang menyamar sebagai Kaisar dan memakai
pakaian kaisar!
"Celaka...!"
serunya dengan muka pucat. "Kita telah terjebak... dia bukan Kaisar!"
Sementara
itu, para pengawai pribadi Kaisar amat repot menghadapi amukan para kepala
bajak yang dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li yang ganas. Akan
tetapi tiba-tiba terlihat bayangan merah berkelebat cepat didahului sinar
pedang yang gemilang.
Robohlah
beberapa orang penjahat seperti alang-alang dibabat. Dalam waktu singkat saja
pengamuk ini sudah berhadapan dengan Ho-hai Sam-ong serta dua orang pembantunya
yang paling dahsyat bersama sepuluh orang lagi kepala rampok.
"Ho-hai
Sam-ong, kalian benar-benar ingin mampus!" teriakan yang nyaring tetapi
merdu terdengar lantang.
Kiranya yang
muncul ini bukan lain adalah Cia Li Cu yang sebenarnya sudah sejak tadi
mengamuk di sebelah luar hutan untuk menerjang masuk. Seperti diceritakan di
bagian depan, Li Cu juga sudah mendengar semua rencana busuk yang diatur oleh
Beng Kui dan Ho-hai Sam-ong, maka cepat-cepat gadis ini pulang menemui ayahnya
dan menceritakan semua yang dia alami, kecuali pengalamannya dengan Beng San!
Sebagai
seorang patriot berjiwa besar, Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan marah bukan main
mendengar bahwa muridnya yang pertama, murid yang dicintanya dan malah yang
akan menjadi mantunya, telah menyia-nyiakan Li Cu. Hal ini masih belum berapa
hebat seperti ketika dia mendengar bahwa Beng Kui hendak berkhianat.
Wajahnya
menjadi merah, matanya berkilat-kilat. Dia lalu menyuruh Li Cu berangkat lagi
untuk melindungi Kaisar secara diam-diam, sementara dia sendiri pergi menuju ke
kota raja untuk berhadapan dengan Beng Kui, muridnya.
Demikianlah,
Li Cu segera melakukan perjalanan cepat dan kedatangannya tepat sekali pada
saat para pemberontak itu menyerbu ke dalam peperangan. Dia mengamuk dengan
pedang pendek Liong-cu-kiam yang tajam dan ampuh.
Ketika
Ho-hai Sam-ong melihat Li Cu, mereka menjadi marah sekali. Lui Cai melompat
maju dan memaki, "Siluman cilik! Tentunya kau yang sudah membuka rahasia
dan Kaisar sekarang sengaja bersembunyi. Kaulah yang bosan hidup, sekarang kami
tidak akan mau mengampunimu lagi!"
Dayungnya
lantas menyambar dahsyat, akan tetapi segera ia tarik kembali ketika pedang
Liong-cu-kiam sengaja dibabatkan oleh Li Cu sambil tersenyum. Lui Cai sudah
mengenal ketajaman pedang itu dan kelihaian gadis ini, maka untuk bertempur
seorang melawan seorang kiranya dia tak akan dapat menang.
"Ji-te,
Sam-te, hayo kita binasakan bocah ini dulu!" teriaknya sambil memutar
dayung.
Kiang Hun
dan Thio Ek Sui yang juga merasa amat kecewa melihat bahwa yang duduk di dalam
joli itu bukan Kaisar segera memutar senjata dan mengeroyok Li Cu. Sebentar
saja Li Cu sudah sibuk dikeroyok tiga oleh Ho-hai Sam-ong, seperti ketika ia
dikeroyok di atas perahu dahulu itu. Akan tetapi ia tidak gentar dan pedangnya
diputar cepat untuk melayani tiga orang musuhnya yang benar-benar tangguh itu.
Sementara
itu, Hek-hwa Kui-bo dan muridnya, juga para kepala perampok yang tadinya
menyerbu ke sana untuk bersama-sama membinasakan Kaisar, sekarang sudah mulai
bertempur kembali menghadapi para pengawal yang kini dibantu oleh orang-orang
dari Pek-lian-pai yang tadinya menyamar sebagai petani dan nelayan.
Makin lama
makin banyak anggota-anggota Pek-lian-pai yang berdatangan. Bahkan yang
mendahului rombongan Kaisar sudah pula diberi tahu dan kini mereka datang
menyerbu dari utara. Hal ini membuat para pemberontak terdesak hebat, apa lagi
karena di pihak Pek-lian-pai terdapat banyak orang-orang gagah yang tinggi
kepandaiannya.
Melihat
pihaknya terdesak hebat, Ho-hai Sam-ong menjadi gelisah. Bagaimana dapat muncul
demikian banyaknya yang membantu Kaisar? Tidak salah lagi, ini tentu jebakan
yang sengaja diatur oleh Kaisar yang dulunya juga seorang panglima perang yang
pandai. Dan tentu karena rahasia mereka sudah dibocorkan oleh gadis puteri
Bu-tek Kiam-ong ini. Kemarahan Ho-hai Sam-ong terhadap Li Cu makin menjadi.
"Hek-hwa
Kui-bo, harap bantu kami menangkap gadis liar ini!" seru Lui Cai.
Mendengar
ini, Hek-hwa Kui-bo yang tadinya sibuk menghadapi pengeroyokan banyak orang
Pek-lian-pai, lantas bersuit keras. Inilah tanda bagi para anggota perampok
untuk menahan penyerbuan musuh agar dia dan Ho-hai Sam-ong tidak terganggu
dalam usaha mereka menangkap Li Cu.
Setelah
Hek-hwa Kui-bo datang mengeroyoknya, sebentar saja Li Cu menjadi terdesak
hebat. Gadis ini dengan gigih mempertahankan dirinya.
"Ho-hai
Sam-ong dan Hek-hwa Kui-bo, jangan banyak bertingkah!" mendadak terdengar
bentakan nyaring dan tahu-tahu di situ sudah muncul Beng San dengan tangan
kosong!
Diam-diam Li
Cu girang bukan main, akan tetapi melirik pun ia tidak mau ke arah Beng San.
Ada pun Ho-hai Sam-ong ketika melihat kedatangan pemuda yang sangat lihai itu,
seketika menjadi pucat. Serentak mereka menyerang pemuda yang bertangan kosong
itu. Yang paling cepat menyambar tubuh Beng San adalah tambang di tangan Kiang
Hun.
Beng San
menggerakkan tangan menangkap ujung tambang. Sekali membetot tambang itu putus
menjadi dua, tepat di tengah-tengah sehingga separoh tambang itu berada di
tangan Beng San dan menjadi senjatanya! Ketika Beng San menggerakkan tambang
itu, kiranya ia tidak kalah hebat memainkan senjata aneh ini dari pada Kiang
Hun!
Li Cu
mendapat angin. Pedangnya bergerak cepat, maka robohlah Thio Ek Sui sambil
menjerit keras. Dadanya tertembus oleh Liong-cu-kiam.
Kiang Hun
menjadi gugup sekali sehingga kembali pedang Liong-cu-kiam menyerempet
pundaknya. Dia memekik dan meloncat hendak lari, tetapi dari belakangnya
menyambar dua batang tombak anggota Pek-lian-pai sehingga Kiang Hun juga roboh
binasa.
Dengan
tambangnya Beng San menghadapi Lui Cai yang masih mengamuk mati-matian, dibantu
oleh Hek-hwa Kui-bo. Sedikit saja Lui Cai terlambat bergerak, jalan darahnya di
dada telah disentuh oleh ujung tambang itu. Ia roboh lemas dan kembali pedang
pendek Liong-cu-kiam di tangan Li Cu bekerja, menamatkan riwayat kepala Ho-hai
Sam-ong ini.
"Nona
Cia, awas...!"
Beng San
cepat meniup dengan mulutnya ke depan, malah mengebut-ngebutkan kedua tangan
untuk mengusir asap beracun berwarna merah. Namun terlambat, Hek-hwa Kui-bo
tadi dengan cepatnya mengebutkan sapu tangannya dan asap kemerahan menyambar ke
depan, ke arah Li Cu.
Gadis ini
baru saja menewaskan Lui Cai dan kurang waspada. Meski ia sudah mengelak karena
mendengar seruan Beng San, tetapi masih ada asap yang memasuki hidungnya. Ia
mengeluh, terhuyung-huyung dan pedangnya terlepas dari pegangan.
Beng San
cepat-cepat memeluk dan memondongnya sambil menyambar Liong-cu-kiam. Ia masih
melihat Hek-hwa Kui-bo menyambar tangan muridnya melarikan diri di antara
banyak orang yang bertempur. Ia tidak peduli lagi. Yang paling perlu Li Cu
harus dibawa pergi dari tempat berbahaya itu. Sekali meloncat ia sudah lolos
dari kepungan musuh, lalu mengerjakan kakinya untuk merobohkan setiap orang
penghalang, langsung ia membawa Li Cu ke tempat sunyi di lain bagian dari hutan
itu.
Di bawah
sebatang pohon besar yang sangat sunyi di dalam hutan itu, Beng San cepat
menurunkan Li Cu dan memeriksanya. Sedikit banyak dia juga sudah mempelajari
ilmu pengobatan dari mertuanya, Song-bun-kwi Kwee Lun, terutama mengenai akibat
senjata beracun.
Ketika
menurunkan tubuh Li Cu dan melihat muka gadis itu, ia kaget bukan main. Wajah
Li Cu sepucat salju dan napasnya sesak hampir berhenti. Dari mulut yang
terengah-engah itu tercium bau wangi yang memuakkan, yaitu bau racun asap
kemerahan yang tadi kena tersedot oleh gadis ini.
Beng San lalu
memutar otak. Menurut keterangan dari mertuanya, mengobati akibat dari
keracunan hanya dua macam, pertama memasukkan racun yang berlawanan atau obat
penawar ke dalam tubuh si sakit untuk memerangi racun itu. Ke dua, mengeluarkan
racun dari tubuh si sakit.
Kalau Li Cu
terluka oleh senjata beracun, ia dapat mengeluarkan racun itu dengan cara
menyedot lukanya sehingga racun yang telah bercampur dengan darah itu dapat
tersedot keluar. Ada pun Li Cu terserang racun bukan melalui luka, melainkan
racun itu langsung memasuki paru-parunya melalui mulut, bagaimana ia akan dapat
mengeluarkan racun dari dalam paru-paru?
Dalam
bingungnya karena baru pertama kali ini menghadapi orang keracunan oleh racun
asap, Beng San cepat mengambil keputusan. Ia merasa yakin bahwa satu-satunya
jalan untuk menolong gadis itu adalah mengeluarkan asap yang masuk ke dalam
paru-parunya.
Ia maklum
pula atau dapat menduga bahwa cara pertolongan ini amat berbahaya bagi dirinya
sendiri. Akan tetapi pada saat itu ia tidak mempedulikan keselamatan diri
sendiri. Untuk menolong orang, terutama orang seperti Li Cu ini, dia tidak
perlu takut-takut untuk mengorbankan diri sendiri!
Ketika sudah
mengambil keputusan ini dan hendak mulai dengan usaha pertolongannya, tiba-tiba
mukanya menjadi kehijauan karena ia merasa jengah dan malu. Akan tetapi ia
mengeraskan hatinya. Pada saat nyawa Li Cu terancam bahaya seperti itu, ia
tidak perlu ingat lagi akan tata susila kosong dan akan hukum adat yang berlaku
tentang kesopanan antara pria dan wanita.
Cepat ia
mengangkat kepala Li Cu, lalu tanpa ragu-ragu ia membuka mulut gadis itu dengan
jari tangannya. Kemudian ia menunduk dan menempelkan mulutnya sendiri pada
mulut Li Cu lalu ia menyedot dengan pengerahan tenaga khikang sekuatnya!
Ia merasa
betapa hawa yang dingin laksana es memasuki rongga dadanya. Tubuhnya menggigil
dan cepat ia melepaskan mulutnya, perlahan-lahan menurunkan kepala gadis itu
dan ia lalu duduk bersila, mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, menyalurkan
lweekang-nya untuk melawan hawa dingin di rongga dada itu.
Hawa
Thai-yang di dalam tubuhnya segera bekerja. Dari pusarnya naik hawa panas bagai
api membara, terus hawa panas ini ia desak ke atas, menyerbu ke rongga dada dan
menghantam hawa dingin yang tadi memasuki dadanya melalui mulut Li Cu.
Terjadilah perang tanding antara kedua hawa ini, akan tetapi tenaga dalam dan
hawa Thai-yang di tubuh Beng San memang mukjijat sekali. Dengan hati lega orang
muda itu merasa betapa perlahan-lahan tetapi pasti hawa dingin itu buyar dan
lenyap.
Setelah hawa
dingin di dalam rongga dadanya itu lenyap, ia membuka mata. Li Cu masih belum
sadar dan napasnya masih terengah-engah biar pun tidak seberat tadi. Ia kembali
menempelkan mulutnya pada mulut Li Cu dan menyedot lagi.
Seperti
tadi, hawa dingin memasuki dadanya, tapi sebentar saja buyar dihantam tenaga
Thai-yang. Girang hati Beng San. Tubuh gadis yang tadinya sudah dingin itu
sekarang agak hangat dan ketika ia menyedot untuk ke empat kalinya, ia merasa
betapa tubuh Li Cu bergerak sedikit.
Kalau saja
Beng San tahu bahwa pada saat itu Li Cu sudah setengah sadar, sudah pasti ia
akan cepat-cepat melepaskan mulutnya yang menyedot! Di lain pihak, Li Cu yang
mulai sadar, seolah-olah dalam mimpi. Hampir ia tak dapat percaya akan
pandangan mata dan perasaan tubuhnya sendiri.
Benarkah
orang itu Beng San? Dan benarkah Beng San melakukan perbuatan seperti ini
terhadap dirinya? Saking kaget, malu, ngeri dan marah, Li Cu pingsan kembali.
Bukan pingsan karena pengaruh racun asap, melainkan pingsan karena hantaman
perasaannya melihat perbuatan Beng San terhadap dirinya!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment