Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 06
Ketika Li Cu
siuman kembali, ia membelalakkan kedua matanya. Ia melihat betapa muka Beng San
sudah mendekati mukanya dan dalam anggapannya, Beng San sedang berbuat kurang
ajar dan hendak menciumnya lagi. Di samping pemandangan yang mengagetkan ini,
ia melihat hal lain yang membuat ia cepat menjerit sambil mendorong tubuh Beng
San sekuat tenaga. Tubuh Beng San terpental.
Li Cu merasa
betapa tenaga dorongannya tadi mendatangkan rasa dingin yang sangat menyakitkan
di dadanya. Dan pada saat itu juga, dia mencoba untuk mengelak dengan cara
menggulingkan tubuhnya, akan tetapi tetap saja pukulan yang datang itu mengenai
pundaknya, membuat tubuhnya terpental lebih jauh dari pada Beng San!
Terdengarlah
suara orang menggereng seperti binatang buas, gerengan orang yang tadi memukul.
Pukulan itu sebenarnya ditujukan ke arah punggung Beng San. Baiknya pada saat
itu Li Cu siuman dan pukulan orang inilah yang membuat ia menjerit dan
mendorong tubuh Beng San. Bahkan pukulan itu sesudah tidak mengenai tubuh Beng
San, malah mengenai dirinya sendiri.
Beng San
melompat bangun dengan kaget sekali. Tadi seluruh perhatiannya dia tujukan
untuk mengobati Li Cu sehingga kesadaran gadis itu pun tidak diketahuinya.
Karena itu, kedatangan orang yang menyerangnya secara diam-diam itu pun sama
sekali tidak dia ketahui.
Kini dia
merasa kaget sekali setelah tadi tubuhnya didorong ke pinggir oleh Li Cu, kaget
bukan main karena dia melihat ayah mertuanya, Song-bun-kwi Kwee Lun sudah
berdiri di depannya seperti seorang iblis mengerikan. Pakaian ayah mertuanya
yang semenjak dia ikut ke Min-san dahulu sudah menjadi biasa seperti seorang
kakek petani, sekarang dia lihat kembali seperti dulu lagi, yaitu pakaian
putih, pakaian berkabung! Anehnya lagi, di dada kakek ini tergantung seorang
bayi dalam gendongannya, bayi yang nampaknya tidur nyenyak.
"Gak-hu
(Ayah Mertua)..."
"Bangsat!
Laki-laki mata keranjang, kau pergi meninggalkan isteri untuk main gila dengan
perempuan lain?" bentak Song-bun-kwi Kwee Lun dengan kemarahan
meluap-luap.
“Tidak...
tidak demikian... Gak-hu, harap jangan salah sangka...! Dia telah menyedot
racun Ngo-hwa dari Hek-hwa Kui-bo... aku berusaha menyedot keluar racun itu
dan...”
Song-bun-kwi
menggereng lagi. "Apa pun juga alasanmu, anakku tidak akan dapat hidup lagi!"
Mendadak ia menyerang dengan hebatnya, menghantam kepala mantunya itu.
Semenjak
dahulu Beng San memang tidak suka terhadap Song-bun-kwi yang memang pernah
hidup sebagai seorang yang keji. Malah sudah beberapa kali Beng San hampir
dibunuhnya pada waktu pemuda ini masih kecil.
Sekarang pun
ia menjadi marah karena disangka yang bukan-bukan oleh mertuanya ini dan malah
sekarang ia diserang dengan pukulan maut. Akan tetapi ketika ia mendengar
kalimat terakhir ‘anakku tak dapat hidup lagi’, ia merasa matanya gelap dan
jantungnya serasa berhenti berdetik.
"Apa
katamu?!" bentaknya dan tangannya menangkis.
Tangkisan
ini amat hebat, membuat tubuh Song-bun-kwi seketika terpental ke belakang dan
hampir roboh! Teringat akan kepandaian Beng San yang memang sudah amat hebat,
Song-bun-kwi maklum bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan mantunya ini.
Maka
Song-bun-kwi menyeringai keji dan berkata penuh geram. "Kau pembunuh
anakku, lain kali aku pasti akan mencarimu untuk mengadu nyawa!" dan
setelah berkata demikian kakek ini menggereng kemudian lari cepat sekali
membawa bayi dalam gendongannya.
Untuk sesaat
Beng San berdiri dengan muka berubah hijau karena hatinya gelisah bukan main.
Kemudian ia teringat akan bayi di gendongan mertuanya itu. Ia menghitung-hitung
dalam benaknya dan teringat bahwa sudah lewat beberapa bulan sejak waktu
kandungan isterinya tiba saatnya dilahirkan. Anak itu tadi....? Apa yang
terjadi?
Tiba-tiba
seperti orang gila Beng San memekik. "Bi Goat...!"
Dan tubuhnya
melesat seperti seekor burung terbang, pergi dari tempat itu.
Sementara
itu, terjadi keanehan pada diri Li Cu. Seperti dituturkan di atas tadi, setelah
mendorong tubuh Beng San ke samping, pukulan yang dilakukan oleh Song-bun-kwi
lalu mengenai pundak Li Cu yang membuat tubuh Li Cu terlempar.
Pukulan itu
bukan pukulan biasa, karena tadi Song-bun-kwi sengaja melakukan pukulan dari
Ilmu Yang-sin-hoat untuk membunuh Beng San, mantunya. Pukulan itu mengandung
hawa Yang-kang yang amat kuat. Biar pun sudah dielakkan oleh Li Cu, pukulan itu
tetap mengenai pundaknya dan terasalah hawa yang luar biasa panasnya menjalari
tubuhnya.
Hawa panas
ini lalu bertemu dengan sisa hawa dingin yang masih mengeram di tubuhnya, yang
masih belum disedot keluar oleh Beng San. Dua hawa dahsyat ini bertemu dan... buyarlah
keduanya. Pukulan maut dari Song-bun-kwi tadi malah sudah menyembuhkan sama
sekali penderitaan Li Cu akibat racun asap Hek-hwa Kui-bo!
Tadinya hati
Li Cu penuh dengan kemarahan dan ia menganggap bahwa Beng San sudah berlaku
jahat dan kurang ajar kepadanya, sudah menciuminya di waktu ia pingsan! Bukan
main sakit hatinya pada saat itu. Akan tetapi setelah ia mendengar pengakuan
Beng San kepada Song-bun-kwi tadi bahwa perbuatannya itu adalah usaha untuk
menolongnya dari bahaya maut, tak terasa pula air matanya jatuh berderai dan ia
terisak-isak.
Hatinya
terharu bukan main. Sudah terlalu sering ia menyangka Beng San sebagai orang
jahat, sebagai laki-laki yang kurang ajar, laki-laki mata keranjang. Dan
ternyata ia sudah menuduh yang bukan-bukan, telah memasukkan fitnah terhadap
diri Beng San ke dalam pikirannya. Padahal sudah berkali-kali Beng San
menolongnya, menolong keselamatan nyawanya dengan hati tulus ikhlas. Apa lagi
ketika ia melihat keadaan Beng San, hatinya ikut hancur.
Li Cu
menyambar pedangnya yang ditinggalkan Beng San di dekatnya, lalu melompat dan
lari mengejar Beng San yang sudah lari jauh dengan kecepatan laksana terbang
itu. Tak dapat ia menyusul Beng San, akan tetapi ia dapat menduga bahwa orang
muda itu tentu pergi ke Min-san.
Sebetulnya
ia boleh tak usah pedulikan Beng San. Akan tetapi ada sesuatu yang terjadi di
dalam hatinya. Ia setengah dapat menduga bahwa telah terjadi sesuatu yang
mengerikan pada diri isteri Beng San. Ia seperti melihat awan gelap di atas
mengancam Beng San.
Di samping
ini, ia merasa bahwa ia harus selalu berdekatan dengan orang itu. Tak dapat
lagi ia ditinggalkan, tak dapat lagi ia berpisah. Ia merasa kasihan kepada Beng
San, juga kasihan kepada... dirinya sendiri karena hidupnya pasti akan merana
dan sunyi kalau dia harus berjauhan dengan Beng San.
"Beng
San...," rintihnya sambil mengusap air matanya yang berderai turun
membasahi pipinya. "Ya Tuhan... mengapa aku menjadi begini...?" ia
mengeluh bingung.
Tidak
semestinya ia mengejar Beng San. Seharusnya ia kembali, seharusnya ia malah
meninggalkan Beng San jauh-jauh. Setanlah yang menggodanya ini, setan yang
sudah membisikkan hal-hal yang tak boleh ia lakukan. Tapi... ahhh, mengapa
hatinya bulat-bulat menyerah? Mengapa kakinya seperti tidak mau disuruh pergi
ke lain jurusan?
Ia teringat
ayahnya, lalu bersambat lirih, "Ayah... anakmu telah gila... telah
gila..."
Sementara
itu kedua kakinya terus berlari cepat, menuju Min-san! Di dunia ini, apakah
yang lebih berkuasa dan aneh dari pada cinta? Apakah yang lebih gila dari pada
orang muda yang sudah mabok madu asmara? Cinta kasih atau asmara sudah banyak
sekali menimbulkan cerita dan peristiwa yang lebih aneh dari pada dongengan!
Dengan
pakaian compang-camping, rambut awut-awutan, muka pucat kurus, serta mata
merah, setelah melakukan perjalanan terus-menerus, akhirnya Beng San sampai
juga di puncak Min-san.
Ketika ia
memasuki halaman rumahnya, dua orang pelayan wanita yang masih tinggal di situ
hampir-hampir tak mengenalnya. Sampai lama mereka memandang dengan bengong dan
curiga, karena laki-laki muda yang berdiri di hadapan mereka itu lebih patut
menjadi seorang pengemis yang liar dari pada tuan muda mereka yang tampan.
"Bi
Goat... mana Bi Goat...?" Suara Beng San serak, entah sudah berapa ribu
kali kalimat pertanyaan ini keluar dari mulutnya di sepanjang perjalanan
pulang. "Mana isteriku? Mana nyonya muda...?"
Setelah
mendengar pertanyaan ini barulah dua orang pelayan tua itu merasa yakin bahwa
yang berdiri di depan mereka sekarang ini adalah ‘tuan muda’ mereka.
"Siauw-ya
(Tuan Muda)...!" keduanya kemudian menjatuhkan diri berlutut dan menangis
bersaing keras.
"Apa
yang terjadi? Mana nyonya muda. Dia kenapa?"
Akan tetapi
dua orang pelayan itu menangis makin keras.
Beng San tak
sabar lagi. Sekali melompat dia telah memasuki rumah dan berlari-lari di dalam
semua ruangan dan kamar, membuka dan menutup pintu seperti orang mengejar
sesuatu. Seluruh bagian rumah, sampai ke kamar mandi, dia masuki namun sunyi
sepi, tidak ada satu orang pun manusia lagi kecuali dua orang pelayan wanita
yang sedang menangis tersedu-sedu itu.
Akhirnya
terpaksa Beng San kembali ke ruangan depan di mana dua orang pelayan itu
menangis. Tubuh Beng San menggigil, matanya berputaran, jantungnya serasa
berhenti berdetik.
"Mana
dia? Mana Bi Goat? Katakanlah, mana Bi Goat? Ahhh... kuhancurkan kepalamu jika
tidak bicara!" ia mengguncang-guncang pundak seorang pelayan yang menjadi
amat ketakutan.
Dengan muka
pucat keduanya berhenti menangis, kemudian dengan suara terputus-putus mereka
bercerita, "Mula-mula datang seorang nyonya yang bernama Kwa Hong... dia
naik burung menakutkan... dia melahirkan anak di sini ditolong oleh Nyonya
Muda... setelah dia dan anaknya pergi, Nyonya Muda jatuh sakit... tidak pernah
sehat lagi, lalu datang Lo-ya (Tuan Tua) yang tadinya diminta Nyonya Muda pergi
menyusul Siauw-ya... tetapi Lo-ya pulang tanpa Siauw-ya. Nyonya Muda semakin
sedih... lalu melahirkan dan... dan... tidak kuat... Nyonya Muda meninggal
dunia..." Tak dapat tertahan lagi dua orang pelayan itu menangis
terisak-isak.
Beng San
meramkan matanya, meringis kesakitan. Dadanya sebelah kiri serasa tertusuk, ubun-ubun
kepalanya berdenyut-denyut. Ia sudah tak bisa menangis lagi, lehernya bagai
dicekik dan bibirnya yang putih seperti kertas itu bergerak-gerak perlahan,
lalu berhenti bergerak, ternganga dan pandang matanya jauh ke depan tak
bersinar, seakan-akan dia sudah menjadi tubuh tak bernyawa, kehilangan
semangatnya.
"Siauw-ya...
Siauw-ya..." Pelayan yang tertua menubruk kaki Beng San, tak tahan melihat
majikannya berhal demikian itu.
Beng San
bergerak perlahan lalu terdengar suara dari mulutnya, suara yang terdengar
seperti suara dari jauh.
"Di
mana makamnya... di mana dikuburnya...?"
"Maafkan
hamba, Siauw-ya... karena Lo-ya sudah pergi membawa anak bayi itu, hamba
sekalian terpaksa mengajak saudara-saudara dari kaki gunung untuk mengubur
jenazah Nyonya Muda di pekarangan belakang rumah secara sederhana..."
Beng San
lalu melangkah perlahan dan lemas, menuju ke pekarangan belakang, diikuti dua
orang pelayan yang masih menangis terisak-isak. Akhirnya ia berdiri tegak di
depan sebuah kuburan yang masih baru, kuburan sederhana yang tidak diberi batu
nisan, hanya ditanami pohon bunga mawar gunung kesukaan Bi Goat dan pohon
kembang itu sudah mulai berbunga.
"Bi
Goat... ampun... isteriku... ampun..." Beng San roboh ke depan, mukanya
terbanting dan terbenam pada gundukan tanah kuburan.
Dua orang
pelayan itu cepat-cepat menolong Beng San yang sudah pingsan sambil turut
menangis. Akan tetapi setelah siuman kembali Beng San menyuruh dua orang
pelayan itu pergi meninggalkannya seorang diri di kuburan isterinya.
Malam itu
hujan turun deras, akan tetapi Beng San tidak beralih dari tempatnya, tidak
bergerak dan terus-menerus terdengar suaranya memanggil-manggil nama Bi Goat
dan minta ampun.
Semenjak
saat ia roboh pingsan di kuburan isterinya, sampai berhari-hari ia tidak pernah
pergi meninggalkan tempat itu, tak pernah makan tak pernah tidur! Beberapa kali
dua orang pelayan yang setia itu datang menangis dan membujuk-bujuknya, namun
Beng San malah marah-marah dan mengusir mereka pergi dari depannya.
Sepuluh hari
kemudian tubuh Beng San telah menjadi kurus sekali dan wajahnya pucat
kehijauan, matanya semakin liar. Hanya karena tubuhnya yang terlatih dan
mengandung tenaga luar biasa itu saja yang membuat ia masih dapat bertahan.
Dua orang
pelayan itu sudah tak berdaya lagi, tidak berani mendekati Beng San karena tuan
muda ini marah-marah kalau di ‘ganggu’. Mereka menjadi putus asa dan merasa
ngeri kalau membayangkan betapa pada suatu pagi mereka akan melihat tuan muda
itu menggeletak dalam keadaan tak bernyawa karena kelaparan di kuburan itu.
Akan tetapi,
seperti juga kelahiran tak akan ada, kematian juga tidak akan menimpa diri
seorang manusia kalau Tuhan belum menghendakinya. Demikian pula dengan Beng
San. Orang muda ini bukannya sengaja bermaksud membunuh diri, akan tetapi ia
sudah tidak peduli akan keadaan sekelilingnya, ingatannya sudah berubah akibat
tekanan batin yang amat hebat.
Kedukaan
yang hebat serta penyesalan yang bertubi-tubi menghantam batinnya. Tak kuat ia
menahannya sehingga ia bagaikan orang yang sudah tidak waras lagi otaknya.
Namun agaknya Tuhan Maha Pengasih suka mengampunkan dosanya.
Malam hari
itu hujan turun rintik-rintik. Hawa di Puncak Min-san bukan main dinginnya. Di
depan kuburan Bi Goat, Beng San sedang duduk bersila menghadapi kembang mawar
yang sudah rontok dari tangkainya, mengeluh dan bersambat dengan suara lirih,
"Bi
Goat, isteriku. Kau begitu mulia, begitu suci cintamu kepadaku... dahulu kau
sampai rela hendak mengorbankan nyawamu untukku..., ah, Bi Goat, tidak
kelirukah kau memilih aku? Aku tidak berharga mendapatkan cintamu... aku
seorang yang rendah. Aku telah mengadakan hubungan dengan Hong-moi... menjadi
ayah dari anak Hong-moi, tapi aku tidak berterus terang kepadamu... Bi Goat...
aku laki-laki mata keranjang, laki-laki berhati lemah yang mudah runtuh
menghadapi wanita cantik.” Ia berhenti sebentar dan terdengar isaknya tertahan.
"Bi
Goat, mengapa kau belum juga datang? Marahkah kau kepadaku? Sudah sepatutnya
kau marah... aku minta ampun, Goat-moi... aku telah berdosa padamu. Sekarang
kuakui semua dosaku... betul, aku telah berlaku serong... aku merusak hidup
Hong-moi, malah sebelum itu... aku pernah mencinta Thio Eng. Ahh, aku laki-laki
mata keranjang, dan aku hampir runtuh pula pada saat bertemu dengan Nona Cia Li
Cu... hatiku mencinta mereka semua itu, ahhh... padahal kau… begitu suci
cintamu... aku berdosa, ampunkan aku..."
Sesosok
bayangan muncul di belakang kuburan itu. Bayangan seorang wanita cantik yang
berbaju merah! Perlahan-lahan bayangan ini melangkah maju dan terdengar
suaranya lirih menggetar ditimpa suara hujan gerimis di malam gelap.
"Beng
San..."
Perlahan-lahan
Beng San mengangkat kepalanya. Matanya yang pedas dan merah itu ia gosok-gosok,
kemudian ia menubruk maju, berlutut dan merangkul kaki wanita itu.
"Ahh,
Bi Goat... akhirnya kau datang juga...? Bi Goat, ampunkan aku... ampunkan
aku...."
Wanita itu
mengucurkan air mata sehingga air mata itu bercampur dengan hujan gerimis yang
menimpanya, mengalir di sepanjang pipinya. Jari tangannya mengelus-elus rambut
kepala Beng San dan ia berkata terharu.
"Bi
Goat sejak dulu mengampunimu... Beng San..."
"...ahhh,
betulkah? Betulkah kau sudi mengampuni dosaku? Aku sudah gila... aku sudah
gila... aku... aku menyakiti hatimu... sudikah kau mengampuniku?"
"Aku
mengampuni semua kesalahanmu...," jawab wanita itu, "...asal saja...
asal saja kau suka menurut segala kata-kataku."
"Aku
akan taat, akan kuturut semua, demi Tuhan. Aku bersumpah akan mentaati segala
perintahmu, biar kau suruh masuk ke lautan api sekali pun!"
"Kalau
begitu, bangunlah dan mari kita masuk ke rumah, tak baik berhujan-hujan di
sini, hayo kau ikuti aku, Beng San!"
Beng San
bangun berdiri, tersenyum-senyum dan wanita itu makin terharu ketika melihat
betapa wajah laki-laki itu berubah seperti wajah seorang anak kecil yang
diampuni orang tuanya karena kenakalannya.
"Aku
ikut... aku ikut...," kata Beng San yang kemudian berjalan di belakang
wanita itu, terhuyung-huyung saking lemas badannya.
Wanita baju
merah itu segera memegang lengannya dan membantunya berjalan menuju ke rumah
itu. Dua orang pelayan sudah menyambut di pintu belakang, nampak kelegaan pada
wajah mereka.
"Ahh,
syukur, Nona. Syukur kau berhasil...," kata mereka.
"Ssttt..."
Wanita itu mencegah mereka berbicara. "Lekas sediakan air panas dan
pakaian Siauw-ya, kemudian sediakan makanan yang lunak... jangan lupa hangatkan
arak..."
Sambil
tersenyum gembira dua orang pelayan itu pergi menyiapkan permintaan wanita itu.
Beng San benar-benar menurut sekali terhadap wanita yang dianggapnya Bi Goat
itu. Disuruh membersihkan tubuh dan menukar pakaian, ia menurut seperti anak
kecil, disuruh makan bubur panas dia pun menurut saja. Kemudian dia pun tidak
membantah ketika disuruh tidur di kamarnya sendiri, diselimuti oleh wanita itu
yang duduk di pinggir ranjang dan yang melayaninya dengan penuh perhatian.
Siapakah
wanita baju merah itu? Benarkah dia Bi Goat? Tidak mungkin! Bi Goat sudah mati,
sudah dikubur. Ia bukan lain adalah Li Cu!
Seperti
dituturkan pada bagian depan, Li Cu tak dapat menahan hati dan kakinya sendiri
menyusul Beng San di Min-san. Ia kalah cepat oleh Beng San, maka baru sepuluh
hari kemudian ia tiba di puncak Min-san.
Bukah main
sedih dan terharu hatinya ketika ia mendengar penuturan dua orang pelayan itu
tentang keadaan Beng San. Ia mengaku menjadi sahabat baik Beng San dan Bi Goat.
Setelah ia
mendengar penuturan dua orang pelayan itu, serta-merta pada hari itu juga ia
pergi menyusul Beng San ke kuburan. Akhirnya dia berhasil membujuk Beng San
pulang, sungguh pun perih hatinya karena Beng San hanya mau menuruti
permintaannya setelah mengira bahwa dia adalah Bi Goat!
Bulan-bulan
berikutnya merupakan masa yang amat sulit bagi Li Cu. Ingatan Beng San
benar-benar telah berubah, atau telah kehilangan ingatannya sehingga ia menjadi
seperti anak kecil saja, anak kecil yang amat manja. Akan tetapi kemanjaan ini
tertuju kepada… isterinya, kepada Bi Goat!
Dia telah
lupa segalanya, keinginannya hanyalah berdekatan dengan Bi Goat, tidak boleh
ditinggalkan sebentar juga. Dan yang lebih hebat lagi, dia agaknya telah lupa
akan semua kepandaiannya. Beberapa kali Li Cu mencobanya, tapi Beng San
benar-benar tidak ingat lagi bagaimana caranya bersilat, sungguh pun tenaga
murni dalam tubuhnya masih tetap kuat dan tidak ikut lenyap.
Cia Li Cu
merupakan keturunan orang-orang yang terkenal keras hati. Agaknya watak ini
diwariskan oleh nenek moyangnya, yaitu Ang I Niocu, pendekar wanita sakti yang
terkenal keras hati. Sekali mengambil keputusan tak akan dapat diubah lagi,
sekali menjatuhkan hati takkan dapat pula diubah.
Setelah
hatinya dikecewakan Beng Kui dan membuat ia benci sekali kepada suheng-nya itu,
barulah ia sadar bahwa semenjak dahulu sebetulnya ia tidak pernah mencinta Beng
Kui. Perasaannya dahulu terhadap Beng Kui hanyalah kagum saja karena semenjak
kecil suheng-nya itu selalu lebih tinggi segala-galanya dari pada dirinya
sendiri, juga dalam ilmu silat. Maka begitu ia melihat watak yang buruk di
dalam diri Beng Kui, apa lagi karena ia dikesampingkan dan suheng-nya menikah
dengan wanita lain, rasa kagumnya sekaligus buyar dan otomatis ia pun tidak ada
rasa suka kepada kakak seperguruan itu.
Terhadap
Beng San lain lagi perasaannya. Sebetulnya lebih banyak perasaan terharu dan
iba akan nasib orang muda itu dari pada kekaguman. Malah sering kali ia merasa
gemas kepada Beng San. Anehnya, bukan gemas karena perlakuan pemuda itu
kepadanya, tapi gemas karena Beng San begitu banyak kekasihnya!
Memang cinta
itu aneh sekali. Mendatangkan cemburu, kadang-kadang mendatangkan benci! Semua
ini hanya dapat terasa oleh mereka yang menjadi korban panah asmara. Demikian
hebat kekerasan asmara sehingga mampu menundukkan seorang gadis seperti Li Cu
yang terkenal keras hati, yang berubah menjadi demikian jinak, demikian telaten
dan sabar dalam merawat orang yang dicintanya.
Benar-benar
bukan ringan pekerjaan Li Cu ini. Terutama sekali tekanan batin yang harus
dideritanya. Bayangkan, betapa beratnya bagi perasaan seorang gadis yang sedang
jatuh cinta untuk merawat orang yang dicintanya itu dan mendengarkan kekasihnya
itu setiap saat memuji-muji dan menyatakan cinta kasihnya kepada seorang wanita
lain. Lebih hebat lagi bagi Li Cu, Beng San menyatakan cinta kasih kepadanya
karena menganggap dia Bi Goat!
Sering kali
dia harus menahan-nahan air matanya karena hatinya bagaikan ditusuk-tusuk
rasanya. Kadang kala terbayang pula senyum di bibirnya yang manis dan cahaya
harapan di matanya yang indah itu ketika Beng San dalam ketidak sadarannya
‘mengaku’ kepada Bi Goat bahwa dia tertarik kepada Li Cu! Sungguh pun hanya
sedikit sekali pengakuan cinta ini, namun sudah merupakan setetes embun
menyegari bunga yang kekeringan di dalam hati Li Cu.
Betapa pun
juga, Li Cu adalah seorang gadis yang patut dipuji kebersihan dan kekuatan
batinnya. Biar pun ia jatuh cinta kepada Beng San dan berbulan-bulan tinggal
serumah dengan pemuda itu, namun gadis itu tetap dapat mempertahankan garis
pemisah, tetap ia dapat mencegah terjadinya pelanggaran susila yang terdorong
oleh iblis nafsu yang memabokkan.
Bagi Li Cu,
cintanya murni dan timbul dari hati nurani yang bersih. Ia hanya mempunyai
sebuah keinginan, yaitu merawat orang yang dicintanya, melihatnya sembuh dan
harapan terakhir adalah harapan semua wanita yang tengah jatuh cinta, yaitu
berhasil merebut hati kekasihnya, berhasil membuat dirinya dicinta kembali
berlipat ganda dan akhirnya dapat menjadi seorang isteri yang terkasih. Hal ini
mudah saja ia pertahankan oleh karena kini Beng San benar-benar amat penurut
dan mentaati segala kehendaknya.
Dua orang
pelayan setia itu masih merasa bersyukur dan berterima kasih sekali kepada Li
Cu yang sekarang mereka anggap sebagai pengganti nyonya muda, sungguh pun mereka
diam-diam merasa heran kenapa seorang nona cantik dan muda suka bersikap
demikian baiknya terhadap Beng San.
Namun
sebagai orang-orang yang sudah berpengalaman akhirnya mereka dapat menarik
kesimpulan bahwa semua itu adalah akibat dari pada asmara yang mendalam dan
suci. Maka tanpa ragu-ragu lagi mereka pun lalu bercerita kepada Li Cu akan
segala yang mereka ketahui tentang diri Beng San dan Bi Goat. Malah mereka
memperingatkan nona itu supaya berhati-hati karena mereka berdua itu takut
sekali kalau-kalau lo-ya-cu, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun kembali dan mengamuk
lagi.
"Entah
bagaimana nasib bayi puteri Siauw-ya yang belum diberi nama itu," pelayan
tertua menutup kisahnya. "Semoga saja dia tidak menjadi korban keganasan
Lo-ya yang sudah demikian kalap. Hamba benar-benar kuatir, ahh... kalau Lo-ya
pulang... apa yang terjadi?"
"Tenanglah,
tidak perlu kuatir. Kematian Bi Goat bukanlah karena kesalahan Beng San. Pula
andai kata dia datang dan mau menang sendiri, ada aku di sini untuk melindungi
Beng San," kata Li Cu dengan suara yang gagah.
Akan tetapi
sesungguhnya hatinya kecut-kecut kalau ia memikirkan kakek itu. Ia maklum bahwa
kata-katanya di depan para pelayan itu hanya omong besar saja, karena kalau
disuruh sungguh-sungguh menghadapi kakek Song-bun-kwi yang sakti itu, sedikit
sekali harapan dia akan menang. Oleh karena inilah pedang Liong-cu-kiam tak
pernah terpisah dari tubuhnya, selalu terpasang pada belakang punggungnya untuk
menjaga dari segala kemungkinan.
Sampai tiga
bulan lebih Li Cu dengan tekun dan sabar merawat Beng San. Kesehatan Beng San
sebetulnya sudah pulih, akan tetapi hanya kesehatan jasmani saja, ingatannya
masih belum sembuh sama sekali.
Pagi hari
itu, seperti biasa Li Cu mengajak Beng San duduk di taman bunga di sebelah kiri
rumah. Setiap pagi gadis ini mengajak Beng San berjemur matahari pagi di tempat
itu. Dan seperti biasa, dengan sikap manja sekali Beng San merebahkan diri di
atas bangku panjang dan kepalanya telentang di atas pangkuan Li Cu!
Dengan kasih
mesra gadis ini mengusap-usap rambut Beng San sambil menatap wajah yang nampak
bodoh itu.
"Beng
San, masih belum ingatkah kau? Masih belum ingat benarkah bahwa aku adalah Li
Cu?" perlahan Li Cu bertanya dengan suara lirih dan hati-hati sekali.
Beng San
tersenyum, "Bi Goat, jangan kau menggoda aku. Kau sudah tahu bahwa aku
suka kepada Nona Cia Li Cu, bahwa aku tertarik dan kagum sekali kepadanya, lalu
kau sekarang menggodaku, ya?"
Seperti
biasanya kalau mendengar kata-kata ini, Li Cu merasa tertusuk jantungnya. Dia
menggigit bibirnya, matanya menjadi sayu, akan tetapi ia menguatkan hatinya dan
berkata lemah-lembut.
"Beng
San, aku sungguh bukan Bi Goat. Aku Cia Li Cu, Beng San, dan aku pun suka
kepadamu, tapi... tapi jangan kau menyangka aku Bi Goat. Bi Goat sudah... sudah
mati...," hati-hati sekali ia mengucapkan kata-kata ini sambil menatap
tajam-tajam muka orang di atas pangkuannya itu dan tangannya membelai dengan
halus.
Beng San
serentak bangkit dan duduk, kedua tangan Li Cu dipegangnya lalu ia berlutut di
atas tanah.
"Bi
Goat, isteriku, jangan kau mempermainkan aku. Kalau Bi Goat sudah mati
bagaimana kau bisa berada di sini? Bi Goat, aku memang berdosa kepadamu,
ampunkanlah aku... aku menurut segala kehendakmu, tapi... tapi jangan kau
marah, jangan tinggalkan aku..."
Li Cu
menarik napas panjang dan menggoyang-goyang kepalanya. Tidak ada kemajuan sama
sekali. Jika sudah merengek-rengek minta ampun begini Beng San tidak mau sudah
kalau belum dia ampunkan. Terpaksa dia pun berkata, "Sudahlah, aku
ampunkan kau."
Dengan
girang Beng San rebah lagi dengan kepala di atas pangkuan Li Cu. Ia
tersenyum-senyum dengan wajah berseri girang.
Li Cu makin
terharu melihat ini. Selama berbulan-bulan ini Beng San memasuki kamarnya yang
terpisah, dan hal ini pun selalu diturut oleh Beng San meski dengan wajah
kelihatan berduka sekali! Li Cu sendiri mulai merasa ragu-ragu akan kekuatan
pertahanan hatinya sendiri. Ia makin kasihan kepada Beng San.
Selama
berbulan-bulan menggantikan kedudukan Bi Goat ini, tampaklah jelas olehnya
bahwa Beng San sama sekali bukanlah laki-laki mata keranjang perusak wanita
seperti yang telah ia dengar dari suheng-nya. Buktinya, terhadap isteri sendiri
saja Beng San begini lemah lembut, menaruh hormat dan tidak mau bersikap menang
sendiri. Apa lagi terhadap wanita lain?
Peristiwa
yang terjadi antara Beng San dan Kwa Hong tentu terdorong oleh sesuatu, tidak
sewajarnya. Beng San pernah bercerita kepadanya tentang itu, dikatakannya bahwa
Beng San dan Kwa Hong lupa diri karena pengaruh racun yang sengaja ditaruh
dalam makanan oleh musuh dalam ketentaraan Mongol. Tapi Beng San hanya menyebut
nama Pangeran Souw Kian Bu.
Ada pun
tentang pengalaman Beng San dalam asmara dengan Thio Eng, dan dengan dia
sendiri, ahh, ia tidak percaya bahwa Beng San sengaja berlaku sebagai seorang
pemuda mata keranjang. Dia sama sekali tidak mau percaya bahwa Beng San
berwatak kotor, rendah atau cabul.
"Beng
San, cobalah kau ingat-ingat, apakah kau benar-benar lupa akan kepandaian ilmu
silatmu?"
Beng San
tertawa, matanya berseri jenaka. "Bi Goat, jangan kau goda aku seperti
itu! Kau tahu bahwa aku adalah seorang kutu buku, seorang yang sejak kecil
hanya mempelajari kitab-kitab filsafat. Kitab To-tek-keng aku hafal di luar
kepala. Kau pun boleh tanya tentang Su-si Ngo-keng, tentang filsafat hidup dan
pelajaran agama. Akan tetapi ilmu silat? Huh, untuk apa ilmu silat itu? Hanya
untuk menakut-nakuti orang, menyombongkan diri sendiri dan paling banyak hanya
bisa menjadi kepandaian tukang-tukang pukul dan buaya-buaya darat,
tukang-tukang berkelahi saja!"
Sekali lagi
Li Cu menarik napas kecewa. Ia tadinya tidak percaya sehingga ia pernah
menyerang Beng San. Ternyata menghadapi sebuah pukulan biasa saja Beng San
tidak mampu menghindarkan diri. Akan tetapi lweekang di tubuhnya masih tetap
ada dan kuat sungguh pun agaknya Beng San lupa pula bagaimana untuk menyalurkan
hawa murni di tubuhnya itu.
Tadinya ada
pikiran padanya untuk melatih Beng San, akan tetapi pikiran ini ia buang lagi
ketika ia teringat betapa tingkat kepandaian Beng San sebetulnya sudah jauh
melampaui dirinya sehingga kalau sekarang Beng San menerima pendidikan mulai
pertama dari dia, apakah akan jadinya? Jangan-jangan malah pelajaran itu
menyeleweng dan tidak cocok dengan hawa murni di tubuh Beng San.
Ia menunduk
dan memandang wajah yang tampan itu. Ah, kalau ia teringat betapa dahulu Beng
San dengan berani mati menyerbu ke sarang Ho-hai Sam-ong, mati-matian datang
untuk menolongnya! Bila ia teringat akhir-akhir ini betapa Beng San tanpa mempedulikan
diri sendiri telah menyedot asap beracun yang berada di dadanya, menyedot
begitu saja dari mulut ke mulut!
Ahh, ia
tidak saja berhutang budi, juga berhutang nyawa. Hanya dapat ia balas dengan
cinta kasih. Kalau sudah mengenangkan itu semua, ingin ia mendekap kepala itu,
ingin membelainya dan menunjukkan kasih sayangnya. Akan tetapi Li Cu menahan
hatinya, hanya memandang dengan wajah sayu dan mata redup setengah dikatupkan.
Gadis ini
sama sekali tidak tahu bahwa sudah semenjak ia keluar bersama Beng San dari
dalam rumah tadi, sepasang mata menyaksikan semua yang terjadi antara dia dan
Beng San. Sepasang mata yang tajam, dilindungi alis tebal yang kadang kala
mengerut, kadang bergerak-gerak. Sepasang mata itu kadang kala menjadi redup
terharu, kadang-kadang menyorotkan api kemarahan. Sepasang mata milik seorang
laki-laki tua yang tampan dan gagah perkasa, seorang pendekar yang bukan lain
adalah Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tandingan) Cia Hui Gan, ayah dari Cia
Li Cu!
Dan baru
saja, dari lain jurusan, datang pula seorang tokoh lainnya yang gerakannya
demikian ringan sehingga tidak terdengar oleh Si Raja Pedang sekali pun. Orang
ini pun mengintai dan matanya yang liar menjadi makin berputaran marah pada
saat ia melihat adegan mesra itu, yaitu Beng San rebah telentang di bangku
dengan kepalanya di atas pangkuan seorang dara cantik jelita yang mengelus-elus
rambutnya!
Orang ini
bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun Si Setan Berkabung! Song-bun-kwi Kwee
Lun masih dapat mendengar tanya jawab antara Li Cu dan Beng San tentang ilmu
silat tadi dan kegirangan hatinya bukan main ketika ia mendengar bahwa Beng San
telah hilang ingatannya dan telah hilang atau terlupa pula ilmu silatnya.
"Si
keparat Beng San! Kau telah kehilangan kepandaianmu, dan sekarang kau juga akan
kehilangan nyawamu yang harus menghadap Bi Goat untuk menebus dosa,"
demikian katanya dalam hati.
Tiba-tiba ia
melompat keluar sambil tertawa bergelak. Tanpa berkata apa-apa serentak ia maju
menubruk dan menghantam dada Beng San yang rebah telentang di atas bangku.
Li Cu
berseru panjang. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tubuh gadis ini
otomatis bergerak dan ia mendorong tubuh Beng San sekuat tenaga sambil ia
sendiri melompat ke belakang dan mencabut pedangnya.
Biar pun
tubuhnya sudah terdorong dan terlempar dari bangku, tetap saja punggung Beng
San keserempet pukulan Song-bun-kwi. Beng San terpelanting hingga
terguling-guling sambil muntahkan darah segar dari mulutnya. Baiknya lweekang
di tubuhnya masih ada dan secara otomatis tenaga dalam ini bekerja untuk
menahan atau melindungi tempat yang terpukul, maka Beng San hanya mengalami
luka ringan di sebelah dalam saja dan nyawanya selamat.
Di dalam
tubuh Beng San terkandung dua hawa yang amat besar, hawa Im dan Yang, dua hawa
yang bertentangan akan tetapi telah teratur kedudukannya. Berbeda dengan orang
lain, bila terpukul dan menderita luka dalam, muntah darah berarti
membahayakan. Sebaliknya, dengan muntah darah ini bagi Beng San malah
menyatakan bahwa tenaga di dalam tubuhnya sudah bekerja dan darah yang
dimuntahkan itu sajalah yang menjadi akibat pukulan tadi.
Melihat Beng
San muntah darah, Li Cu kaget setengah mati dan mengira bahwa Beng San pasti
terluka parah. Ia marah bukan main dan pedangnya lalu diputar ke depan.
"Song-bun-kwi
manusia iblis! Kau keji dan curang. Kalau memang kau ada kepandaian, mengapa
menyerang orang sakit? Majulah, akulah musuhmu!"
Pedangnya
menyambar-nyambar ke depan dan sekejap mata saja gulungan sinar pedang
mengurung Song-bun-kwi dengan hebatnya. Song-bun-kwi tertawa bergelak,
pedangnya cepat menangkis dari samping lalu ia berkata,
"Perempuan
tak tahu malu! Aku hendak membunuh mantuku sendiri yang telah menjadi penyebab
kematian anakku, yang telah meninggalkan anakku untuk bermain gila dengan
segala perempuan busuk, kau menghalangi ada hubungan apakah? Apakah kau kekasih
barunya?"
Kemarahan Li
Cu membuat dia hampir menangis mendengar caci-maki kotor ini. Akan tetapi dia
harus membela Beng San, membela nyawanya juga membela nama baiknya.
"Song-bun-kwi,
kau seorang kakek tua bangka yang sudah mau mati tetapi ucapanmu seperti orang
gila atau seperti anak kecil saja! Beng San bukan menjadi sebab kematian Bi
Goat. Selama ini dia pergi karena dia membantu Kaisar untuk membasmi
orang-orang jahat yang akan memberontak. Dia dimintai bantuan oleh Pek-lian-pai
dalam tugas yang mulia. Yang menyebabkan kematian anakmu adalah iblis wanita
Kwa Hong. Kalau kau memang mendendam, mengapa kau tidak mencari dan membalas
kepada Kwa Hong? Andai kata kau hendak membalas kepada Beng San, sebagai orang
gagah kau pun harus menanti sampai dia sembuh dulu agar dia dapat melayanimu.
Apakah kau sudah berubah menjadi pengecut?"
Song-bun-kwi
mengeluarkan suara menggereng hebat, matanya liar. "Kwa Hong akan kubunuh,
Beng San akan kubunuh, dan kau yang membelanya akan kubunuh lebih dulu!"
Setelah berkata demikian ia menubruk maju dan menyerang dengan pedangnya.
Pedangnya
bergerak menusuk kemudian ditarik ke bawah. Kalau serangan ini berhasil tentu
korbannya akan terbelah dada dan perutnya, Namun dengan gerakan lincah dan
indah sekali Li Cu sudah mengelak ke kanan, tubuhnya berputar seperti orang
menari kemudian membabat dengan pedangnya ke arah pedang lawan. Ia hendak
mengandalkan ketajaman Liong-cu-kiam untuk mematahkan senjata lawannya.
Akan tetapi
Song-bun-kwi bukanlah seorang tokoh yang masih hijau. Ia cukup mengenal
Liong-cu-kiam. Biar pun yang ia pegang juga sebatang pedang yang baik dan kuat,
akan tetapi ia tidak berani mengadukan pedangnya secara langsung dengan Liong-cu-kiam.
Ia hanya menyampok pedang lawannya yang ampuh bukan main itu dari samping
dengan pedangnya sehingga peraduan kedua pedang pada bagian tajamnya dapat
dihindarkan.
Serang-menyerang
lalu terjadi dengan amat serunya dan mati-matian. Ilmu kepandaian Song-bun-kwi
hebat bukan main, dia adalah tokoh besar dalam dunia persilatan. Biar pun Li Cu
juga telah mewarisi ilmu pedang yang sakti, namun ia kalah pengalaman bertempur
biar pun di tangannya ada pedang pusaka Liong-cu-kiam.
Song-bun-kwi
tidak mengenal ampun, mendesak terus sambil mengeluarkan jurus-jurus yang
paling hebat karena ia maklum bahwa lawannya biar pun hanya merupakan seorang
gadis muda namun cukup lihai dan berbahaya. Malah kakek ini di samping
pedangnya yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut yang dicampur
ilmu pedangnya sendiri, juga mulai melancarkan pukulan-pukulan maut dengan
tangan kiri, menggunakan pukulan jarak jauh yang bukan main dahsyatnya.
Tiap kali
pukulan ini datang, Li Cu merasa sambaran angin yang hebat ke arahnya. Ia
terkejut sekali dan maklum bahwa biar pun pukulan lawan tidak mengenai
tubuhnya, hawa pukulan itu kalau tepat mengenai bagian berbahaya, bisa
mendatangkan celaka. Maka ia selalu mengelak kalau diserang pukulan ini. Hal
ini membuat keadaannya terhimpit.
"Heeei,
jangan serang isteriku! Ehhh, kakek yang baik, orang setua engkau seharusnya
memberi contoh yang baik kepada orang muda, mengapa malah suka berkelahi? Heee!
Hati-hati, jangan main-main dengan pedang yang begitu tajam, jangan-jangan kau
nanti mencelakai isteriku!" Beng San berteriak-teriak penuh kekuatiran.
Tadi ia agak
nanar, malah ia setengah pingsan oleh pukulan yang membuat ia muntah darah.
Tetapi setelah ia dapat bangun, ia segera berteriak-teriak melarang
Song-bun-kwi menyerang ‘isterinya’.
Mana
Song-bun-kwi mau pedulikan dia? Makin hebat Song-bun-kwi mendesak sehingga pada
suatu saat Li Cu harus terhuyung-huyung ke belakang, hampir saja menjadi korban
pukulan mautnya. Beng San tak dapat menahan kesabarannya lagi, ia melangkah
maju dan menudingkan telunjuknya.
"Orang
tua, mengapa kau begini nekat? Isteriku pandai main pedang, kalau sampai dia
marah... hemmm, apakah kau sudah bosan hidup?"
Song-bun-kwi
kaget juga menyaksikan sikap Beng San ini. Dilihat sikapnya yang begitu berani,
agaknya pemuda ini masih memiliki kepandaiannya. Sejenak ia tertegun dan ini
membuat gerakannya menjadi agak kalut dan terlambat sehingga Li Cu bisa
memperbaiki kedudukannya dan gadis yang tadinya terdesak itu kini berbalik
dapat balas menyerang.
"Bagus,
Beng San. Kau majulah, pukul dia mampus dengan ilmu saktimu!" Li Cu
berseru keras.
Song-bun-kwi
makin bingung dan kaget, dikiranya Beng San sungguh-sungguh hendak
menyerangnya. Kembali kesempatan ini digunakan oleh Li Cu untuk mainkan
pedangnya dan...
"Brettt…!"
ujung baju kakek itu terbabat putus!
Song-bun-kwi
kaget sekali dan cepat ia melompat ke arah Beng San sambil mengayun pedangnya.
Girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa sama sekali Beng San tidak dapat
mengelak, malah Li Cu yang menangkisnya serangan ini.
"Aha,
kalian mau menipu aku? Ha-ha-ha, kalian harus mampus sekarang juga!"
Dengan
ucapan ini Song-bun-kwi mendesak makin hebat sehingga Li Cu menjadi sibuk
menangkis dan mengelak. Sekali pundaknya terkena pukulan tangan kiri
Song-bun-kwi sehingga gadis itu terpaksa menggulingkan diri dan terus
bergulingan menjauhkan diri dari Song-bun-kwi. Akan tetapi sambil tertawa-tawa
kakek ini mengejar terus dengan pedang diangkat, siap untuk membacok.
"Tranggg!"
Pedang
Song-bun-kwi terpental dan biar pun pedang itu tidak terlepas dari pegangannya
dan ia cepat dapat melompat mundur, namun lengannya agak di atas pergelangan
telah tergores pedang di tangan Bu-tek Kiam-ong.
Cia Hui Gan
yang sudah berdiri dengan gagah di situ. Pendekar pedang inilah yang tadi menangkis
bacokan Song-bun-kwi untuk menolong nyawa puterinya.
Melihat
datangnya Raja Pedang ini, Song-bun-kwi mendengus marah, "Huh, kau juga
mau ikut-ikut urusanku?"
"Song-bun-kwi
iblis tua! Melihat puterinya hendak dibunuh orang, bagaimana seorang ayah bisa
diam saja?"
Sejenak
Song-bun-kwi tertegun. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Cia Hui Gan, maka
dia tidak berani berlaku sembrono. Kemudian ia menoleh ke arah Beng San yang
berdiri bengong di pinggiran.
"Bagus,
kau betul sekali, Kiam-ong. Anakku dibunuh orang, mana aku bisa diam
saja?" Sambil berkata demikian ia lalu menubruk ke depan dan menyerang
Beng San dengan pedangnya.
Melihat itu
Li Cu kembali menggerakkan senjatanya menangkis serangan kakek itu. Kali ini
Song-bun-kwi terlalu bernafsu dalam serangannya, maka pedangnya bertemu secara
telak sekali dengan pedang di tangan Li Cu. Dengan mengeluarkan bunyi nyaring,
pedang di tangan Song-bun-kwi terbabat putus menjadi dua potong oleh
Liong-cu-kiam!
"Li Cu,
jangan mencampuri urusan mereka!" Cia Hui Gan membentak anaknya, mukanya
menjadi merah dan malu melihat sikap puterinya itu.
Akan tetapi,
Li Cu dengan pedang di tangan berdiri memandang ayahnya dengan mata bersinar.
"Ayah, Beng San tidak pernah membunuh anak Song-bun-kwi yang mati karena
melahirkan. Beng San bahkan sangat mencintanya. Mana bisa aku membiarkan orang
membunuhnya? Kalau Song-bun-kwi menantang Beng San dalam keadaan seperti biasa,
aku pun tidak peduli. Akan tetapi sekarang Beng San sedang sakit, sama sekali
tidak dapat melawan!"
Song-bun-kwi
marah sekali, akan tetapi juga gentar. Menghadapi gadis itu saja sudah payah
untuk mencapai kemenangan, apa lagi sekarang muncul ayahnya yang tentu saja
tidak membiarkan ia mengganggu Li Cu.
Pada saat
itu terdengar suara tangis seorang anak tak jauh dari situ. Mendengar suara ini
Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan-gerengan marah, lalu ia melompat pergi ke
arah suara tangisan anak kecil itu. Dari jauh terdengar suaranya,
"Bu-tek
Kiam-ong, kau mengandalkan nama besarmu untuk bersikap sewenang-wenang.
Tunggulah, kelak aku akan mencarimu di Thai-san!"
Sejenak
hening. Ayah dan anak itu saling berpandangan. Si ayah dengan sinar mata penuh
kemarahan, Si anak tenang-tenang saja akan tetapi tarikan mukanya jelas-jelas
membayangkan keteguhan hatinya.
"Li Cu,
apa artinya semua ini?" akhirnya suara si ayah terdengar memecah
kesunyian.
"Artinya,
Ayah, bahwa aku cinta kepada Beng San dan sisa hidupku akan kuhabiskan di
sampingnya," jawab gadis itu dengan suara penuh ketetapan hati.
Bu-tek
Kiam-ong Cia Hui Gan mengerutkan keningnya. "Tapi... tapi ia seorang
gila..."
"Dia
tidak gila, Ayah. Hanya kehancuran hati membuat ia demikian. Ia kematian
isterinya yang tercinta dan ia merasa berdosa besar terhadap isterinya sehingga
kesedihannya itu membuat ia kehilangan ingatan. Akan tetapi dia seorang
berbatin mulia, Ayah, telah beberapa kali menyelamatkan nyawaku tanpa
mempedulikan keselamatan diri sendiri. Aku ingin membalas budinya dan..."
"Tapi
dia tidak menganggapmu sebagai Cia Li Cu..."
"Memang
dia menganggap aku sebagai isterinya yang sudah meninggal dunia. Dan ini lebih
mempertebal keyakinanku betapa setia hatinya, penuh cinta kasih murni. Aku tak
dapat meninggalkannya, Ayah, karena hal itu berarti dia akan celaka."
"Li Cu,
apa kau juga sudah menjadi gila? Anakku hendak mengorbankan sisa hidupnya untuk
seorang gila? Tidak mungkin! Kakak kandungnya seorang berwatak durhaka dan
busuk, adiknya pun tak akan jauh bedanya. Dia harus mampus saja dari pada
merusak hidupmu!"
Tiba-tiba
sinar terang berkelebat dan tahu-tahu kakek ini sudah menerjang ke arah Beng
San yang berdiri melongo melihat perdebatan antara ayah dan anak itu.
"Ayah...!"
Li Cu bergerak dan…
"Tranggg!"
Bunga api
berpijar, pedang Liong-cu-kiam di tangan Li Cu terlepas menancap di atas tanah,
akan tetapi pedang di tangan Cia Hui Gan sudah patah menjadi dua potong...
Kembali ayah
dan anak berpandangan, bertentangan mengadu kekuatan kemauan yang sama
kerasnya.
"Aku
mendengar ejekan si bangsat Beng Kui...," berkata Cia Hui Gan, suaranya
perlahan penuh penyesalan, "bahwa anakku lagi tergila-gila pada seorang
laki-laki perusak wanita! Bahwa Beng San ini sudah merusak penghidupan seorang
gadis murid Hoa-san-pai yang ditinggalkannya untuk menikah dengan anak
Song-bun-kwi. Sekarang agaknya ia menjadi penyebab kematian isterinya itu dan
dia sekarang menempel engkau!"
"Ayah...!
Semua itu bohong belaka! Semua itu terjadi bukan karena kesalahan Beng San.
Tentang aku..., bukan dia yang menempel, melainkan aku sendiri yang tak dapat
berpisah lagi dari padanya."
Bergerak-gerak
alis mata Cia Hui Gan. "Hemm, ini pendapat seorang bocah masih hijau!
Cintamu mudah berubah dan berganti-ganti. Orang ini lebih baik mati dari pada
merusak hidupmu!" Dengan pedang yang tinggal sepotong itu Cia Hui Gan
melompat ke depan dan menyerang Beng San lagi.
"Ayah,
kalau kau hendak membunuhnya, kau boleh melihat anakmu menggeletak tanpa nyawa
lebih dulu!" Li Cu berseru keras dan cepat dia menyambar Liong-cu-kiam
dari atas tanah, langsung dia bacokkan ke lehernya sendiri!
"Anak
gila...!"
Pedang
buntung di tangan Cia Hui Gan terlepas meluncur ke arah Li Cu dan menghantam
Liong-cu-kiam di tangan gadis itu. Hebat sekali sambitan ini yang merupakan
kepandaian istimewa dari Si Raja Pedang, sehingga Li Cu sendiri tidak sanggup
mempertahankan pedangnya yang runtuh terlepas dari tangannya.
Gadis ini
menangis dan menutupi mukanya. "Ayah..., kau boleh bunuh dia... tapi aku
pun tidak sudi lagi hidup di dunia ini...," tangisnya.
Cia Hui Gan
menarik napas panjang. Ia sangat sayang kepada puteri tunggalnya ini. Ia hidup
hanya berdua dengan puterinya karena ibu Li Cu sudah semenjak dulu meninggal
dunia. Bagaimana ia dapat merelakan anaknya mati?
Tadi pun ia
hanya ingin menyelami hati Li Cu, sampai di mana perasaan yang dianggap cinta
kasih oleh anaknya itu terhadap Beng San. Kakek ini maklum betapa hancur dan
sakitnya hati Li Cu oleh karena sikap dan perlakuan Beng Kui kepadanya. Dan
kakek ini maklum pula bahwa meski pun di mulutnya tidak pernah menyatakan
sesuatu, namun di dalam hatinya gadisnya itu tentu menaruh penyesalan kepada
ayahnya sendiri, karena sesungguhnya dialah yang dahulu menjodohkan anaknya itu
dengan Beng Kui.
Beng Kui
merupakan pemuda pilihan Cia Hui Gan untuk anaknya yang hanya mentaati kehendak
ayahnya. Setelah pilihan itu ternyata keliru, sekarang anaknya mencari pilihan
hatinya sendiri, bagaimana dia tega untuk menghalanginya?
Sebetulnya,
sejak dahulu ketika untuk pertama kali bertemu dengan Beng San, memang Cia Hui
Gan menaruh rasa simpati yang besar terhadap pemuda ini dan diam-diam dia
mengakui bahwa Beng San sebetulnya lebih cocok untuk menjadi jodoh puterinya.
Akan tetapi sekarang pemuda itu selain sudah menjadi duda yang ditinggali anak,
keadaannya juga tidak normal lagi, kehilangan ingatan dan lupa akan
kepandaiannya sama sekali!
"Kau
memang bandel..." akhirnya dia berkata. "Baiklah, kalau kau memang
sudah yakin akan cinta kasihmu terhadap Beng San, akan tetapi kelak jangan kau
salahkan ayahmu kalau kau kecewa."
"Ayah...
terima kasih, Ayah..." Li Cu menubruk dan merangkul ayahnya sambil
menangis.
"Sudahlah,
kita harus segera pergi dari sini, kita tak boleh mengacau di tempat orang
lain. Hemmm, bocah itu hanya akan memancing datangnya banyak musuh ke
Thai-san..."
Li Cu tidak
memberi komentar apa-apa atas ucapan ayahnya barusan, melainkan dengan girang
ia lalu menggandeng tangan Beng San sambil menariknya dan berkata, "Beng
San, hayo kau ikut aku ke Thai-san."
"Bi
Goat, kenapa kita ke Thai-san?" Beng San bertanya seperti orang bingung.
"Mulai
sekarang kita akan tinggal di sana, kau ikutlah saja dengan aku dan jangan
banyak bertanya."
Beng San
mengangguk-angguk. "Baiklah...baiklah, kita ke Thai-san...aku menurut dan
tak akan membantah asal selalu berada di dekatmu."
Melihat dan
mendengar ini Cia Hui Gan menggeleng kepalanya dan diam-diam ia berdoa kepada
Tuhan semoga keputusan yang diambil oleh anaknya itu tidak keliru dan tak akan
merusak penghidupan anaknya dikelak kemudian hari. Atas pertanyaan Li Cu, dalam
perjalanan menuju Thai-san itu Cia Hui Gan menceritakan apa yang telah terjadi
di kota raja.
Seperti yang
sudah diceritakan pada bagian depan, para orang gagah berusaha untuk
menggagalkan rencana jahat yang diatur oleh Pangeran Lu Siauw Ong bersama
Ho-hai Sam-ong. Di antara mereka itu terdapat pula Cia Hui Gan dan anaknya Li
Cu sendiri, yang pergi menyusul rombongan Kaisar untuk melindunginya. Ada pun
Cia Hui Gan pergi ke kota raja untuk menghukum muridnya yang murtad dan
durhaka.
Telah
dituturkan pula di bagian depan betapa Kaisar akhirnya terhindar dari mala
petaka pencegatan Ho-hai Sam-ong dan anak buahnya serta teman-temannya.
Sebagian besar adalah jasa Beng San yang terlebih dahulu secara sembunyi sudah
menjumpai Kaisar di tengah perjalanan dan mengajukan usul supaya supaya Kaisar
diam-diam kembali ke kota Raja, dan menyuruh orang lain menggantikan Kaisar di
dalam joli, Seperti yang telah kita ketahui, Ho-Hai Sam-ong tertipu dan usaha
mereka tidak saja hancur berantakan, malah mereka pun akhirnya tewas.
Ada pun Cia
Hui Gan yang mencari muridnya, Tan Beng Kui di kota saja, datang dalam saat
yang kebetulan pula. Pemberontakan telah pecah, penyerbuan para pemberontak ke
dalam istana sedang terjadi. Akan tetapi, alangkah kaget hati mereka ketika
tiba-tiba, tidak saja muncul para pengawal yang serba lengkap dan kuat, juga
muncul banyak sekali anggota Pek-lian-pai di bawah pimpinan Tan-Hok yang gagah
perkasa. Lebih hebat lagi kekagetan para pemberontak ketika tiba-tiba muncul
pula Kaisar sendiri yang memimpin tentaranya untuk menghancurkan barisan
pemberontak yang menyerbu.
Sudah terang
bahwa Kaisar pergi ke utara dengan rombongannya, mengapa tiba-tiba bisa berada
di situ? Keadaan menjadi kacau-balau dan para pemberontak itu lantas berkurang
semangatnya. Apa lagi di pihak Kaisar terdapat orang-orang gagah, terutama
sekali Cia Hui Gan yang mengamuk seperti seekor naga terbang dan masih ada lagi
raksasa muda Tan Hok yang mengamuk dengan anak buahnya yang gagah.
Cia Hui Gan
yang sengaja mencari muridnya, akhirnya dapat berhadapan muka dengan Beng Kui
yang berpakaian seperti seorang jenderal besar dan sedang mengamuk dengan
pedangnya, Liong-cu-kiam. Alangkah kagetnya ketika tiba-tiba dia melihat
gurunya. Akan tetapi Beng Kui malah menegur,
"Suhu,
mengapa Suhu menghalangi cita-cita teecu yang tinggi?"
"Keparat,
kau membikin malu gurumu saja dengan perbuatanmu yang hina. Mulai saat ini aku
bukan gurumu lagi!"
"Aha,
jadi Suhu juga berpandangan picik seperti Li Cu dan merasa sakit hati karena
teecu menjadi menantu Lu Siauw Ong? Apakah Suhu tidak melihat bahwa kalau teecu
kelak menjadi menantu Kaisar dan calon kaisar, masih belum terlambat untuk
menikah dengan sumoi dan Suhu sendiri tentu memperoleh kedudukan tinggi?"
"Bangsat,
tutup mulutmu!" dengan amarah meluap-luap Cia Hui Gan menyerang.
Beng Kui
menangkis dan melakukan perlawanan. Tapi betapa pun juga, pedang pusaka
Liong-cu-kiam di tangannya tidak mampu membantu banyak terhadap
serangan-serangan gurunya yang lihai bukan main itu. Apa lagi ketika Beng Kui
melihat betapa barisan yang dipimpinnya itu mulai berantakan dan cerai-berai
karena memang kalah kuat, hatinya lalu menjadi risau dan permainan pedangnya
kacau-balau.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Cia Hui Gan untuk mendesaknya dan pada saat yang baik,
pundak kiri Beng Kui dapat tertusuk oleh pedang gurunya. Ia menjerit dan
melompat ke belakang, menghilang di antara anak buahnya yang mulai berlarian ke
sana ke mari mencari jalan keluar. Cia Hui Gan cepat mengejar karena ia
bermaksud membunuh bekas muridnya itu, namun Beng Kui sudah mendapatkan seekor
kuda dan sudah lari jauh.
Demikianlah
pengalaman Cia Hui Gan di kota raja. Kaisar sendiri lalu menyatakan terima
kasih kepadanya, akan tetapi Cia Hui Gan tak lama berdiam di kota raja, melainkan
terus menyusul puterinya. Ia mendengar bahwa pencegatan rombongan Kaisar dapat
digagalkan serta dihancurkan pula. Akan tetapi dengan hati kecut ia juga
mendengar bahwa puterinya telah terluka dan ditolong oleh Beng San. Kisah ini
ia dengar dari pada anggota Pek-lian-pai yang masih tertinggal di tempat itu
karena terluka.
Cia Hui Gan
tidak percaya lagi kepada Beng San setelah kekecewaannya pada Beng Kui. Jika
kakaknya seperti itu, mana bisa adiknya baik pula? Dengan hati kuatir ia
cepat-cepat melakukan perjalanan menyusul ke Min-san dan akhirnya ia
menyaksikan semua kejadian yang membuat hatinya menjadi penuh kegelisahan akan
hari depan puterinya….
**************
Setahun
lebih Li Cu merawat Beng San dengan penuh kesabaran dan penuh cinta kasih.
Melihat keadaan puterinya itu yang rela mengorbankan segala hal untuk Beng San
yang masih saja belum kembali ingatannya, Cia Hui Gan merasa terharu dan
kasihan sekali. Oleh karena keadaan Beng San yang boleh dibilang telah berubah
menjadi seorang yang lemah, maka Raja Pedang ini lalu menggembleng puterinya
dengan ilmu yang lebih tinggi agar kelak sepeninggalannya Li Cu dapat
mempertahankan diri dari segala bahaya yang menimpanya.
Memang Cia
Li Cu seorang gadis yang hebat, jarang bandingannya di dunia ini. Cintanya
terhadap Beng San benar-benar cinta yang murni dan suci, cinta yang tidak
dikotori nafsu, tidak tercemar oleh keinginan menyenangkan diri sendiri. Oleh
karena sifat cintanya yang mulus inilah maka ia tahan menderita segala tekanan
batin.
Beng San
masih menganggap Li Cu sebagai Bi Goat. Dia masih saja belum mendapatkan
kembali ilmu-ilmu silatnya. Sering kali Cia Hui Gan menyatakan kekuatirannya
kepada puterinya itu dengan kata-kata nasihat,
"Li Cu,
keputusan hatimu untuk mengorbankan diri demi cintamu kepada Beng San, aku
sebagai orang tua tidak akan mengganggu gugat lagi. Akan tetapi engkau harus
mengerti bahwa keputusan ini memancing datangnya banyak musuh. Sudah pasti Song-bun-kwi
akan membalaskan anaknya yang kematiannya dia anggap karena kesalahan Beng San.
Juga wanita yang bernama Kwa Hong, murid Hoa-san-pai itu... hemmm, kiraku dia
juga merupakan ancaman bahaya dalam hidupmu kelak. Belum lagi kalau kita ingat
kepada musuh-musuh Beng San yang amat banyak dan yang semuanya terdiri dari
orang-orang sakti."
"Aku
tidak takut, Ayah," jawab Li Cu gagah. "Biarkan mereka datang,
orang-orang jahat itu. Aku akan membela Beng San mati-matian. Pula, Ayah berada
di sini, aku takut apa lagi?" Ucapan terakhir ini bernada manja.
Bu-tek
Kiam-ong Cia Hui Gan menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah mulai penuh
rambut putih. "Tentu saja aku akan melindungimu selama aku masih hidup, Li
Cu. Akan tetapi, kau harus mengerti bahwa usia manusia ada batasnya, demikian
pula kepandaian. Menghadapi musuh-musuh Beng San itu, biar pun aku sendiri maju
kiranya masih belum cukup kuat. Oleh karena itu, mari bantulah aku dalam
pembuatan rencanaku yang sudah lama kupikir dan kuciptakan."
"Rencana
apakah, Ayah?"
"Kita
harus dapat membuat tempat kita ini menjadi tempat yang tidak mudah dikunjungi
orang luar. Aku sudah mempunyai rencana lengkapnya. Kita minta bantuan penduduk
di kaki gunung untuk mengerjakannya dan kurasa dalam waktu setahun tempat kita
ini akan menjadi tempat persembunyian yang takkan gampang-gampang dimasuki
orang luar, biar pun mereka memiliki kepandaian tinggi."
Semenjak
terjadi percakapan ini, Cia Hui Gan lalu mencari bantuan tenaga para penduduk
di kaki gunung dan mulailah rencananya itu dibuat. Ia memilih sebuah puncak
yang amat indah pemandangannya dan nyaman pula hawa udaranya, pula puncak ini
dikelilingi oleh jurang yang terjal dan tak mungkin dilalui manusia.
Bagian-bagian
yang dapat digunakan orang untuk mendaki puncak, sengaja digugurkan sehingga
bagi orang luar tampaknya tempat itu tak mungkin didatangi. Menurut rencana
kakek ini mereka akan membuat jalan rahasia ke puncak, melalui terowongan
buatan di bawah tanah.
Terowongan
ini selain tidak tampak dari luar, juga di dalamnya dipenuhi alat-alat rahasia
sehingga bagi orang-orang luar amat berbahayalah untuk melaluinya, andai kata
dia dapat menemukan pintu terowongan juga. Selain alat-alat rahasia juga
terowongan ini dibangun berliku-liku, banyak cabangnya dan mudah sekali menyesatkan
orang.
Akan tetapi
untuk membuat semua ini membutuhkan tenaga dan waktu. Dan kekhawatiran Cia Hui
Gan tentang musuh-musuh besar Beng San ternyata terbukti ketika pembuatan jalan
terowongan itu baru mulai dibuat!
Pada waktu
itu matahari baru saja terbit dan penduduk kaki gunung sudah berkumpul dan
mulai bekerja mengangkuti batu-batu yang dibutuhkan untuk pembuatan terowongan.
Cia Hui Gan dan Cia Li Cu sedang mengatur pekerjaan dan berada di puncak, di
tempat terbuka yang akan dibangun menjadi tempat tinggal mereka.
Beng San
juga berada di situ, duduk di bawah sebatang pohon besar. Orang muda ini
sekarang nampak sehat, wajahnya segar dan agak gemuk malah, akan tetapi
sepasang matanya kehilangan cahaya yang biasanya bersinar tajam dan aneh.
Sekarang bahkan kelihatan seperti orang bodoh.
Pakaiannya
bersih dan ia nampak tersenyum-senyum gembira memandang ke arah Li Cu. Ia
merasa heran sekali mengapa orang-orang itu sibuk hendak membuat rumah, akan
tetapi seperti biasa ia tidak mengganggu ‘isterinya’.
Di pagi hari
yang sejuk ini timbul bermacam-macam pertanyaan di dalam otaknya yang tidak
sehat. Kenapa isterinya menyebut ‘ayah’ kepada orang tua yang katanya seorang
ahli pedang berjuluk Bu-tek Kiam-ong bernama Cia Hui Gan? Ia sekarang sudah
ingat bahwa ayah dari isterinya adalah Song-bun-kwi!
Tetapi
mengapa Song-bun-kwi malah tidak kelihatan? Memang aneh isterinya sekarang!
Kelihatannya begitu mencinta padanya, akan tetapi kenapa amat berubah sehingga
tidur pun mereka berpisah? Diam-diam dia merasa kecewa dan berduka, akan tetapi
dia tidak berani membantah. Kalau isterinya marah dan meninggalkan dia, celaka!
Mendadak
terdengar kegaduhan hebat. Orang-orang berteriak-teriak dan ada pula yang
memekik kesakitan, disusul suara gerengan seperti binatang buas mengamuk. Ada
pula yang menjerit-jerit ketakutan disusul ketawa melengking.
Cia Hui Gan
dan Li Cu kaget sekali dan cepat mereka memandang. Apa yang mereka lihat
membuat keduanya berubah mukanya. Para pekerja lari cerai-berai dan malah ada
yang sudah roboh karena amukan dua orang yang bukan lain adalah Song-bun-kwi
Kwee Lun dan Kwa Hong!
Dengan
gerakan-gerakannya yang luar biasa, kakek tua berpakaian putih ini
menggereng-gereng dan kadang-kadang melengking seperti orang menangis sambil
menghantam ke kanan kiri merobohkan para pekerja yang tidak sempat lari
menjauhkan diri. Lebih hebat dan mengerikan lagi ialah sepak terjang Kwa Hong
yang duduk di atas rajawali emasnya yang menyambar-nyambar dari atas dan
menyebar maut kepada para pekerja.
Kasihan
sekali para penduduk kampung yang tidak mempunyai ilmu kepandaian silat itu.
Mereka berusaha lari menyelamatkan diri, akan tetapi hanya sedikit saja yang
berhasil. Sebagian besar tak mampu lagi menyelamatkan diri dan terpaksa harus
menjadi korban keganasan dua orang itu.
Apa lagi
mereka hanyalah petani-petani yang tidak berkepandaian. Andai kata mereka
memiliki ilmu silat sekali pun belum tentu mereka akan dapat menghindarkan diri
dari dua orang yang memiliki kepandaian dahsyat dan keganasan seperti iblis
itu.
Melihat
kejadian ini, tentu saja Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan merasa dadanya bagaikan
dibakar. Kemarahannya tak dapat ia tahan lagi dan serentak ia lalu mencabut
pedang dari belakang punggung, meloncat ke depan dan membentak keras,
"Iblis
jahat Song-bun-kwi dan kau tentu siluman betina she Kwa murid Hoa-san-pai! Hari
ini kalian berani datang ke Thai-san membunuhi orang-orang yang tidak berdosa,
aku Cia Hui Gan bersumpah akan membasmi kalian!" Pedangnya segera
digerakkan dan secepat kilat ia menerjang kepada Song-bun-kwi.
Kakek ini
pun sudah siap sedia, cepat mengelak dari pada sambaran sinar pedang yang luar
biasa itu sambil memutar pedangnya sendiri untuk balas menyerang. Sementara itu
Li Cu juga sudah melompat maju dan menggerakkan Liong-cu-kiam membantu ayahnya.
Akan tetapi
dari atas terdengar suara ketawa mengikik dan menyambarlah sinar kehijauan lima
buah banyaknya ke arah ayah dan anak itu. Cia Hui Gan dan Li Cu melompat ke
samping sambil menggerakkan pedang menangkis.
Terdengar
suara keras dan bunga api muncrat menyilaukan mata. Li Cu merasa betapa telapak
tangannya tergetar, maka diam-diam dia terkejut bukan main. Alangkah kuatnya
wanita yang naik burung rajawaii itu!
Sambil
tertawa-tawa Kwa Hong juga sudah meloncat turun dari atas punggung rajawali
yang segera terbang dan hinggap di atas puncak pohon besar sambil mengeluarkan
bunyi melengking nyaring. Empat orang musuh besar itu kini saling berhadapan,
masih belum bergerak lagi setelah gebrakan pertama tadi.
Bagaimanakah
Kwa Hong bisa datang bersama-sama Song-bun-kwi di Puncak Thai-san? Hanya hal
kebetulan saja. Ternyata bahwa Song-bun-kwi yang merasa sakit hati terhadap
bekas mantunya itu tidak jauh meninggalkan Thai-san. Ia selalu menanti saat
baik untuk menculik dan membunuh Beng San.
Akhirnya
pada pagi hari itu ia melihat Kwa Hong menunggang burung rajawali naik ke
Thai-san. Giranglah hatinya karena ia dapat menduga bahwa kedatangan tokoh baru
yang menggemparkan ini pasti akan memusuhi Beng San, maka ia segera menyusul
naik dan melihat Kwa Hong menghajar para pekerja, ia pun lalu turun tangan
menyerbu. Yang amat berat dihadapi bagi Song-bun-kwi hanyalah Bu-tek Kiam-ong,
maka apa bila ia mendapat kawan yang kosen, ia tidak takut.
Sementara
itu Kwa Hong sengaja datang ke Thai-san karena ia sudah mendengar tentang
keadaan Beng San yang kehilangan kepandaiannya. Ia ingin sekali menyaksikan dan
jika betul demikian berarti ia akan dapat segera membalas sakit hatinya. Pada
saat ia melihat Song-bun-kwi membantunya, ia tidak berkata apa-apa, malah tidak
peduli sama sekali.
Cia Hui Gan
sudah sangat marah melihat banyak penduduk menjadi korban keganasan Kwa Hong,
maka dia langsung membentak, “Perempuan liar, kenapa datang-datang kau mengacau
tempat orang?!”
“Aku bukan
perempuan liar, bukan pula mengacau tempat orang,” Kwa Hong menjawab sambil
tersenyum mengejek. “Aku datang untuk membawa suamiku pulang.”
“Kau
pergilah. Di sini tidak ada suamimu, lagi pula kenapa kau harus mencari suamimu
di tempat orang?” kata Cia Hui Gan, nada bicaranya seperti balas mengejek.
Kwa Hong
mulai marah, dia tahu Si Raja Pedang barusan menghinanya.
“Itulah
suamiku,” kata Kwa Hong sambil menunjuk Beng San yang masih duduk di bawah
pohon, dijaga oleh Li Cu yang begitu melihat gelagat kurang baik langsung
menghampiri pemuda itu untuk dijaganya. “Namanya Tan Beng San!” sambung Kwa
Hong.
“Kau
perempuan tak tahu malu, mengakui laki-laki lain sebagai suami sendiri!” bentak
Cia Hui Gan.
"Cia
Hui Gan, kenapa kau begini tak tahu malu? Anak perempuanmu yang bermuka tebal
itu telah melindunginya? Hemmm, apakah hanya begini saja orang yang memiliki
julukan Kiam-ong? Ternyata hanya orang rendah...!" Kwa Hong memaki
kalang-kabut.
Wajah Cia
Hui Gan menjadi merah bukan main, matanya bersinar-sinar memancarkan api
kemarahan, "Iblis wanita, kau sebenarnya siapa dan apa maksudmu ke
sini?" bentaknya.
"He,
perempuan muda, jangan kau sembarangan bicara!" Song-bun-kwi juga amat
kaget mendengar ucapan Kwa Hong dan cepat memaki. "Beng San suami anakku,
sekarang dirampas oleh anak orang she Cia ini, Kenapa kau berani mengakunya
sebagai suami? Apakah kau orang yang dulu melahirkan anak di tempatku, ditolong
oleh Bi Goat?"
Kwa Hong
mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Kalian orang-orang tua tahu apa?
Dengarlah baik-baik. Manusia bernama Tan Beng San itu, yang sekarang duduk di
sana seperti patung hidup, sebelum dia menikah dengah Kwee Bi Goat, dia sudah
lebih dahulu menjadi ayah dari anakku. Akulah orang yang paling berhak atas
dirinya, dan siapa pun hendak menghalangi akan kubunuh mampus. Hee, Beng San!
Hayo kau ikut denganku. Apakah kau tidak ingin menengok anakmu?"
Beng San
hanya melongo, sama sekali ia tidak ingat lagi siapa adanya wanita yang bicara
tidak karuan itu. Suara dan wajahnya serasa ia kenal baik, akan tetapi ia sudah
lupa lagi kapan dan di mana. Beng San memijit-mijit keningnya, mengingat-ingat.
"Ho-ho,
nanti dulu!" Song-bun-kwi berseru sambil tertawa mengejek.
"Bukankah
kau yang bernama Kwa Hong, anak murid Hoa-san-pai? Aku sudah banyak mendengar
tentang kau! Orang bilang bahwa kau telah menjadi isteri Koai Atong Si Bocah
Tua gila. Kalau kau punya anak, tentulah anakmu dengan Koai Atong itulah! Kau
murid Hoa-san-pai jangan banyak membohong di sini."
"Tutup
mulut busukmu, tua bangka gila!" Kwa Hong membentak sambil mencabut pedang
pusaka Hoa-san-pai. "Buka matamu dan lihat ini. Aku Ketua Hoa-san-pai,
bukan murid lagi, tahu? Ini adalah pusaka Hoa-san-pai, berada di tangan Ketua
Hoa-san-pai. Pedang pusaka ini kelak akan memenggal batang lehermu karena kau
sudah berani berkurang ajar kepadaku. Sekarang hendak kupakai membasmi
orang-orang yang berani merampas Beng San."
"Ha-ha-ha,
bagus, bagus! Keluarga Cia memang patut dibasmi. Mari kubantu kau!" kata
Song-bun-kwi yang cerdik dan licin.
Semenjak
tadi Cia Hui Gan hanya berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Ia
merasa susah dan malu sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan
tentu saja ia tahu akan peraturan kang-ouw. Dua orang yang datang ini memang
berhak atas diri Beng San, yang seorang bekas kekasih Beng San, dan yang
seorang lagi mertuanya malah. Memang dia dan puterinya berada di pihak yang salah.
Akan tetapi mana bisa ia tidak membela Li Cu?
Tentu saja
Li Cu maklum pula apa yang dipikirkan ayahnya, maka dengan gagah ia melangkah
maju dan berkata lantang, "Kalian bicara seakan mau menang sendiri saja!
Song-bun-kwi, sudah jelas bahwa kematian puterimu bukan karena kesalahan Beng
San, melainkan karena Kwa Hong yang merupakan kenyataan yang menghancurkan
hatinya. Malah Beng San demikian mencinta puterimu itu sehingga kematiannya
membuat Beng San kehilangan ingatan. Dan kau, Kwa Hong, kau sungguh tak tahu
malu, perbuatanmu dengan Beng San itu sudah menunjukkan betapa rendah watakmu.
Hubunganmu dengan Beng San terjadi di bawah pengaruh racun, akan tetapi kau
begitu tak punya malu untuk menyatakan Beng San adalah suamimu!"
"Setan
betina, tutup mulutmu!" Kwa Hong menjadi marah, mukanya menjadi merah dan
matanya liar. "Suami atau bukan dia adalah ayah anakku. Sebaliknya engkau
ini bukan apa-apanya, tapi kenapa membela mati-matian? Bukankah kau yang
tergila-gila kepada Beng San?"
"Memang
aku mencinta Beng San!” jawab Li Cu dengan suara tegas dan sikap gagah sambil
mengedikkan kepala. "Aku mencinta Beng San dan aku berhutang budi padanya.
Sebaliknya, dia menganggap bahwa aku adalah isterinya yang sudah meninggal.
Demi cintaku dan demi untuk membalas budi, aku akan melindunginya dengan
taruhan nyawa dan ragaku. Apa bila kalian berdua manusia-manusia berhati iblis
bermaksud membunuh atau menculiknya, kalian harus lebih dulu dapat membunuh
aku!"
"Bagus,
memang aku hendak membunuhmu!" Kwa Hong menjerit dan anak panah-anak panah
pada ujung cambuknya menyambar.
"Trang-trang-trang!"
Li Cu
menangkis dengan Liong-cu-kiam. Ujung tiga batang anak panah itu patah semua
sedangkan yang dua buah tidak mengenai pedang pusaka sehingga terhindar dari
pada kerusakan. Bukan main marahnya Kwa Hong melihat betapa dalam segebrakan
saja senjatanya telah rusak oleh pedang lawan yang ternyata amat kuat itu. Ia
mencabut Hoa-san Po-kiam dan menerjang lagi.
Li Cu
menangkis lagi dan kali ini ia terhuyung mundur dengan tangan sakit-sakit.
Pedang di tangan Kwa Hong sama sekali tidak rusak! Hal ini tidak aneh karena
Hoa-san Po-kiam juga merupakan sebatang pedang pusaka yang ampuh.
Sementara
itu Kwa Hong sudah menyerang lagi. Gerakannya dalam penyerangan aneh sekali,
menyambar-nyambar bagaikan gerakan seekor burung. Pedang Hoa-san Po-kiam
meluncur ke arah tenggorokan Li Cu. Baru saja gadis ini hendak mengelak, ujung
pedang itu sudah menyambar ke bawah membelah dada!
Li Cu kaget
dan cepat menggunakan Liong-cu-kiam menangkis, akan tetapi lagi-lagi ujung
pedang lawan tidak melanjutkan serangannya dan tahu-tahu tangan kiri Kwa Hong
yang memukul dengan gerakan pukulan Jing-tok-ciang! Li Cu benar-benar kaget
sekali ketika tiba-tiba ada angin dingin menyambar dari sebelah kanannya. Cepat
ia mengelak namun karena serangan ini memang tidak tersangka-sangka olehnya, ia
terdorong hawa pukulan Jing-tok-ciang dan kembali ia terhuyung-huyung.
Pada waktu
itu pedang Kwa Hong sudah mengejar pula dengan tusukan-tusukan disertai
bacokan-bacokan maut yang amat sukar diketahui perubahannya.
"Li Cu,
mundurlah!" kata Cia Hui Gan sambil meloncat maju. Pedangnya menyambar
mengeluarkan sinar kilat dan sekaligus ia telah berhasil mengancam pergelangan
tangan Kwa Hong dengan gulungan sinar pedangnya yang hebat.
"Ayaaaa...!"
Kwa Hong berjengit sambil menarik tangannya ke belakang, juga melangkah mundur
setindak, tidak melanjutkan desakannya kepada Li Cu.
"Ha-ha-ha,
Raja Pedang tak tahu malu, mengeroyok seorang perempuan muda!" berkata
Song-bun-kwi sambil terjun ke dalam kalangan pertempuran.
Dengan Ilmu
Pedang Yang-sin Kiam-sut ia segera menerjang Cia Hui Gan. Sementara itu, karena
tadi kaget ketika pergelangan tangannya hampir putus oleh pedang Cia Hui Gan,
Kwa Hong marah bukan main. Sambil mengeluarkan pekik melengking ia kini
menerjang orang tua dari Thai-san itu sehingga dalam sekejap mata saja Bu-tek
Kiam-ong Cia Hui Gan sudah dikeroyok dua oleh Kwa Hong dan Song-bun-kwi.
Cia Hui Gan
berjuluk Bu-tek Kiam-Ong (Raja Pedang Tanpa Tanding), ilmu pedang Sian-li
Kiam-sut adalah ilmu pedang keturunan yang asli dari pendekar sakti Ang I Niocu
ratusan tahun yang lalu. Semenjak ratusan tahun itu, Sian-li Kiam-sut boleh
dibilang menjagoi di antara segala ilmu pedang.
Sebetulnya,
ilmu pedang ini masih bersumber dengan Im-yang Sin-kiam-sut atau boleh
dikatakan cabangnya. Karena mempunyai ilmu pedang ini yang sudah dilatihnya
secara sempurna maka tidak heran apa bila Cia Hui Gan merupakan jago pedang
yang sukar dilawan.
Akan tetapi
sekarang ia dikeroyok oleh dua orang lawan yang bukan orang sembarangan.
Song-bun-kwi Kwee Lun adalah seorang tokoh kenamaan, malah tokoh nomor satu
dari barat yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi dan sakti, juga telah
mendapatkan ilmu silat pedang Yang-sin Kiam-sut. Di dunia kang-ouw jarang ada
yang mampu menandingi dirinya.
Ada pun
orang ke dua biar pun tidak ternama dan hanya merupakan murid Hoa-san-pai, akan
tetapi Kwa Hong sekarang sama sekali tidak boleh disamakan dengan Kwa Hong
dahulu pada saat menjadi murid Hoa-san-pai. Kwa Hong telah mempelajari ilmu
dari Koai Atong, terutama Jing-tok-ciang dan di samping ini, yang membuat ia
sekarang sekaligus berubah menjadi seorang yang luar biasa adalah ilmu silat
yang ia petik bersama Koai Atong dari gerakan-gerakan rajawali emas yang
sekarang menjadi teman dan binatang tunggangannya.
Li Cu maklum
bahwa kepandaian dua orang ini hebat sekali. Ketika dia teringat bahwa pedang
di tangan Kwa Hong ternyata merupakan sebatang pedang pusaka yang ampuh, ia pun
kuatir kalau-kalau ayahnya akan terdesak dan rusak pedangnya. Maka ia segera
berseru,
"Ayah,
kau pergunakan Liong-cu-kiam ini!"
Oleh karena
Cia Hui Gan juga seorang yang bermata awas dan tadi dapat melihat betapa pedang
Kwa Hong dapat menandingi Liong-cu-kiam, ia tidak mau banyak sungkan lagi.
Diterimanya pedang Liong-cu-kiam pendek itu dengan tangan kirinya, lalu ia
berseru,
"Li Cu,
bawa Beng San pergi dari sini. Biar aku menandingi dua iblis jahat ini!"
Akan tetapi
Li Cu sendiri adalah seorang pendekar yang berhati baja, mana dia sudi pergi
meninggalkan ayahnya yang terancam bahaya dan melarikan diri?
"Tidak,
Ayah. Mati hidup aku harus bersamamu, aku harus membantumu. Berikan saja pedangmu
kepadaku!"
"Jangan,
Li Cu. Kalau hanya menghadapi dua ekor manusia binatang ini, aku sendirian
masih sanggup. Kau bawa pergi Beng San, selamatkan dia lebih dulu!"
Li Cu
ragu-ragu dan sejenak ia berdiri memandang. Betul saja, biar pun dikeroyok dua,
sepasang pedang di tangan ayahnya itu benar-benar hebat, merupakan dua gulung
sinar pedang yang berlainan warna, menyambar-nyambar laksana naga di angkasa
raya. Ilmu pedang ayahnya benar-benar sudah sampai pada puncaknya. Hebat bukan
main sampai Li Cu dalam suasana tegang itu menjadi kagum akan keindahan Ilmu
Pedang Sian-li Kiam-sut yang dimainkan ayahnya.
Andai kata
Song-bun-kwi dan Kwa Hong mengeroyoknya tidak menggunakan pedang, kiranya tidak
akan mungkin Cia Hui Gan kuat mempertahankan diri. Tingkat kepandaian
Song-bun-kwi tidak lebih bawah dari pada tingkatnya sendiri, ada pun wanita
muda itu benar-benar memiliki ilmu silat yang aneh dan mukjijat sekali.
Baiknya dua
orang itu pun bermain pedang, sedangkan senjata pedang adalah permainan Cia Hui
Gan semenjak kecil, yang menjadi keahliannya sehingga ia dijuluki Raja Pedang.
Maka, menghadapi permainan pedang kedua orang lawannya, Cia Hui Gan merasa
lebih mudah untuk tidak saja mempertahankan diri, malah balas mendesak dengan
jurus-jurus yang lihai.
Selagi Li Cu
berdiam bimbang, mendadak terdengar suara bentakan orang, "Li Cu, kau
benar-benar membikin malu aku yang menjadi kekasihmu!"
Li Cu kaget
bukan main karena tiba-tiba muncul Tan Beng Kui bersama Hek-hwa Kui-bo! Hek-hwa
Kui-bo segera menghunus pedang dan menyerbu ke dalam pertempuran sambil berseru
kepada Song-bun-kwi.
"Hi-hi-hi-hi,
tua bangka keparat, jangan kau perlihatkan sendiri kelihaian Yang-sin-kiam.
Mana yang lebih hebat dibandingkan dengan Im-sin-kiam ilmuku?"
Seperti kita
ketahui dalam cerita Raja Pedang, kalau Song-bun-kwi dapat merampas kitab
pelajaran Ilmu Pedang Yang-sin-kiam, adalah Hek-hwa Kui-bo yang berhasil
merampas kitab pasangannya, yaitu yang mengandung pelajaran Ilmu Pedang
Im-sin-kiam!
Dengan
munculnya ahli Im-sin-kiam ini, boleh dibilang Cia Hui Gan menghadapi pasangan
ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-Sut yang hebat bukan main. Tentu saja ilmu pedang
ini tidak sehebat kalau dimainkan oleh satu orang seperti Beng San sebelum dia
kehilangan ingatannya. Betapa pun juga, baru dalam gebrakan-gebrakan pertama
saja sudah terlihat betapa Cia Hui Gan menjadi sangat sibuk menghadapi
serangan-serangan pasangan dari dua orang tokoh ilmu silat kelas tinggi itu!
Li Cu kaget
sekali melihat kedatangan bekas suheng dan tunangannya beserta Hek-hwa Kui-bo
itu. Ini berarti bertambahnya pihak lawan yang sangat tangguh. Juga di samping
kekuatirannya, dia menjadi marah sekali kepada Beng Kui. Tanpa banyak cakap
lagi dia segera menerjang bekas tunangannya itu dengan pukulan-pukulan maut. Ia
merasa menyesal bukan main karena ia masih belum sempat mengambil pedang lain
setelah Liong-cu-kiam dipinjamkan kepada ayahnya.
"Ha-ha,
Li Cu. Kau tak tahu malu, melarikan laki-laki. Hah, perbuatan rendah dan
hina."
"Tutup
mulut dan jangan mencampuri urusanku!" bentak Li Cu makin marah.
Li Cu
memperhebat serangannya. Akan tetapi dengan mudah Beng Kui dapat mengelak.
Memang tingkat kepandaian Beng Kui lebih tinggi dari pada kepandaian Li Cu, apa
lagi memang dahulu sering kali ia melatih ilmu silat kepada bekas sumoi-nya
ini, karena itu gerakan-gerakan Li Cu sudah ia hafal benar.
Tiba-tiba
Beng San datang berlari-lari dengan maksud hendak melerai mereka berdua yang
sedang bertanding. Sejak tadi ia mendengarkan semua percekcokan dengan pikiran
bingung dan hati berdebar. Ia menganggap mereka semua itu juga ‘isterinya’,
bicara tidak karuan.
Selagi ia
mengerahkan pikirannya untuk menyelami maksud dari semua percakapan yang ganjil
itu, tiba-tiba muncul Tan Beng Kui dan di dalam kebingungannya ternyata ia
masih dapat ingat dan kenal kepada kakak kandungnya ini. Kini kakak kandungnya
itu bertempur melawan isterinya, tentu saja ia menjadi makin bingung dan cepat
lari menghampiri untuk mencegah.
"Kui-ko...
jangan berkelahi dengan dia. Dia itu isteriku!" tegurnya sambil
menggerakkan kedua tangan ke atas untuk mencegah.
"Ha,
sudah menjadi isterinya, ya? Sejak kapan?" Beng Kui mengejek sambil
memandang kepada Li Cu.
Gadis ini
menjadi merah mukanya, akan tetapi dia mengedikkan kepala dan menjawab lantang,
"Kalau betul kau mau apa? Bukan urusanmu!"
"Bi
Goat, dia ini adalah kakak kandungku, jangan kau bertengkar kepadanya,"
kata pula Beng San, suaranya penuh permohonan.
“Ha-ha-ha-ha,
menjadi isteri seorang gila.” Beng Kui tertawa dan mengejek lagi, kemudian
tiba-tiba tangannya menghantam ke depan, tepat mengenai dada Beng San.
"Blukkk!"
Tubuh Beng
San terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan jatuh bergulingan. Akan tetapi
ia segera bangun kembali dan bertanya dengan mata terbelalak heran.
"Kui-ko,
kenapa kau memukulku?" tanyanya berulang-ulang sambil melangkah maju lagi.
Beng Kui
tadinya girang karena kini mendapat kenyataan bahwa adik kandungnya yang dahulu
lihai itu sekarang benar-benar telah kehilangan kepandaiannya. Tadinya pada
saat mendengar berita ini ia masih ragu-ragu.
Ketika tadi
ia mendengar Beng San mengaku Li Cu sebagai isteri dan menyebutnya ‘Bi Goat’,
ia tahu bahwa adiknya benar-benar sudah kehilangan ingatan. Akan tetapi hal ini
belum berarti kehilangan kepandaiannya, karena itu untuk mencobanya ia cepat
memukul. Pukulan ini cepat dan tak terduga-duga sehingga Li Cu sendiri tidak
sempat mencegah.
Giranglah
hati Beng Kui melihat pukulannya tepat sasaran sehingga membuat adik yang
ditakuti itu terlempar dan bergulingan. Akan tetapi ia kaget bukan main melihat
Beng San bangun lagi dan tidak apa-apa. Padahal pukulannya tadi ia lakukan
dengan pengerahan tenaga lweekang.
Ia tidak
tahu bahwa tenaga lweekang dan hawa murni di tubuh Beng San masih ada dan
secara otomatis bergerak melindungi bagian yang terpukul. Ia mengira bahwa Beng
San masih lihai seperti dulu. Akan tetapi melihat sikap Beng San dan mendengar
pertanyaan yang berkali-kali itu ia dapat menduga bahwa Beng San masih
dilindungi oleh hawa murni di tubuhnya, tapi takkan dapat mempergunakan hawa
dan tenaganya untuk menyerang karena semua ilmu telah dilupakannya.
Sementara
itu Li Cu marah bukan main melihat Beng San dipukul tadi. Juga ia merasa kuatir
kalau-kalau Beng San terluka parah, meski pun ia melihat Beng San sudah bangkit
kembali dan malah mendekati Beng Kui. Karena kuatir kalau Beng Kui memukul
lagi, Li Cu mendahuluinya dan menyerang dengan hebatnya. Beng Kui tertawa-tawa
dan segera melayaninya. Ada pun Beng San terus berteriak-teriak mencegah mereka
bertempur.
Hati Li Cu
gelisah bukan main. Biar pun ia sedang berhantam dengan Beng Kui, namun ia
dapat menangkap dengan pendengaran telinganya yang tajam bahwa keadaan ayahnya
mulai terdesak hebat. Hal ini mengguncangkan hatinya dan mengacaukan gerakan
kaki tangannya.
"Beng
Kui anak durhaka! Lepaskan Li Cu!" tiba-tiba Gia Hui Gan berteriak keras.
"Li Cu, bawa Beng San pergi jauh-jauh!"
Akan tetapi
kata-katanya itu disambut dengan ketawa mengejek oleh Beng Kui. Cia Hui Gan
tidak berdaya menolong puterinya karena tiga orang lawannya makin hebat
mendesaknya. Rupanya karena maklum bahwa mereka menghadapi lawan yang sangat
tangguh.
Hek-hwa
Kui-bo dan Song-bun-kwi dapat bekerja sama dan mempergunakan Yang-sin Kiam-sut
dan Im-sin Kiam-sut untuk mengeroyok jago pedang itu. Sedangkan Kwa Hong dengan
ilmu silatnya yang tidak karuan akan tetapi dahsyat sekali, terus saja
melancarkan serangan-serangan maut.
Li Cu makin
gelisah dan kesempatan ini digunakan dengan baik oleh Beng Kui. Sebuah
tendangan pada sambungan lutut membuat Li Cu roboh dan susulan totokan membuat
gadis itu tidak dapat bergerak pula,
"Jangan
pukul isteriku...!" Beng San berseru dan menubruk Li Cu.
Akan tetapi
dia pun segera lemas tak dapat bergerak karena ditotok oleh Beng Kui pada dua
jalan darahnya yang penting. Kemudian sambil tertawa-tawa Beng Kui mengempit
tubuh Li Cu dan Beng San, lalu di bawa pergi lari cepat dari tempat itu.
"Beng
Kui... keparat...! Lepaskan Li Cu...!" Cia Hui Gan membentak dan pedang di
tangan kanannya meluncur cepat mengejar bayangan Beng Kui.
Orang muda
ini maklum akan kehebatan ilmu melempar pedang dari gurunya, ia menjadi pucat
dan kaget sekali. Cepat ia mengelak dan merendahkan tubuh, akan tetapi tetap
saja pundaknya tertusuk pedang yang meluncur dari belakang. Sambil menjerit
kesakitan Beng Kui mempercepat larinya. Tubuh Li Cu serta Beng San masih
dikempitnya dan pedang itu pun masih menancap di pundaknya.
Masih untung
bagi Beng Kui bahwa pada waktu itu pula Kwa Hong, Hek-hwa Kui-bo dan
Song-bun-kwi mendesak Cia Hui Gan sehingga Raja Pedang ini tidak sempat lagi
untuk mengejarnya. Malah kini keadaan Cia Hui Gan terdesak hebat karena di
tangannya hanya terdapat sebatang pedang pendek, yaitu pedang Liong-cu-kiam
karena pedangnya sendiri tadi telah disambitkan ke arah Beng Kui dalam usaha
mencegah bekas murid itu menculik puterinya.
Hal ini
ditambah lagi dengan hatinya yang risau memikirkan puterinya, maka permainan
pedang Cia Hui Gan menjadi agak kalut sehingga kurang kuat bagian
pertahanannya. Kesempatan yang baik ini digunakan oleh tiga orang pengeroyoknya
untuk menghujankan serangan pedang. Raja Pedang itu kurang cepat dan kulit
lambungnya tergores pedang di tangan Kwa Hong.
Darah
mengucur dan membasahi bajunya. Rasa perih menimbulkan kemarahan hebat dan
mengobarkan semangat perlawanan Cia Hui Gan. Kakek yang gagah perkasa ini lalu
mengeluarkan seruan panjang. Pedangnya yang hanya pendek saja itu berubah menjadi
sinar bergulung-gulung, dahsyat sekali. Bunyi nyaring beradunya pedang-pedang
pusaka makin sering terdengar dibarengi oleh berpijarnya bunga-bunga api. Namun
tiga orang pengeroyoknya juga makin memperhebat tekanan karena mereka merasa
penasaran sekali.
Sambil
mengerahkan tenaganya yang mukjijat Kwa Hong memutar pedang tiga kali, lalu
membalikkan arah pedang menusuk ke arah perut Raja Pedang itu. Pada saat yang
sama Hek-hwa Kui-bo dengan gerakan lemas membabat kakinya. Dua penyerangan
sekaligus dari dua jurusan ini benar-benar berbahaya dan hebat.
Cia Hui Gan
membentak nyaring. Pedangnya berkelebat ketika menangkis tusukan Kwa Hong dan
pada saat itu ia harus pula meloncat tinggi-tinggi untuk menghindarkan diri
dari babatan pedang Hek-hwa Kui-bo. Detik berikutnya pedang di tangan
Song-bun-kwi sudah menyambar datang, menusuk punggung. Cepat ia kembali
menurunkan kakinya setelah babatan lewat. Tubuhnya agak miring karena pedangnya
masih tergetar dalam menangkis tusukan Kwa Hong, ia tidak sempat lagi mengelak
atau menangkis.
Namun dengan
gerakan tiba-tiba, lengan kirinya yang ditekuk itu digerakkan sedemikian rupa
sehingga sikunya membentur pinggir pedang Song-bun-kwi. Tepat dan cepat sekali
gerakan ini dan pedang Song-bun-kwi meluncur lewat pinggir tubuhnya, merobek
pakaian dan melukai kulit, tapi ia selamat!
"Bagus!"
Song-bun-kwi memuji.
Song-bun-kwi
kagum sekali melihat betapa dalam cengkeraman maut itu lawannya masih mampu
menyelamatkan diri. Selanjutnya, dengan penuh penasaran hati, ia pun mendesak
terus, mainkan Yang-sin Kiam-sut yang bersifat keras itu. Tekanan makin hebat.
Cia Hui Gan sudah mengerahkan seluruh tenaga, kegesitan dan mengeluarkan
seluruh kemahiran bermain pedang. Namun tetap saja ia didesak terus dan tidak
ada jalan keluar lagi baginya kecuali melawan mati-matian. Dia sudah menderita
beberapa luka ringan.
Darah
membasahi seluruh pakaiannya. Ia sudah terluka di pundak, di pangkal lengan, di
kedua paha, malah sebuah tusukan yang agak dalam di punggung membuat gerakannya
makin lemah dan lambat. Namun semangatnya tak kunjung padam, sambil
mengeluarkan bentakan-bentakan hebat kakek ini mengamuk terus seperti banteng
terluka.
Tiba-tiba
Kwa Hong mengeluarkan suara melengking yang aneh dan ternyata kemudian bahwa
suara ini adalah suara panggilan untuk burung rajawali emas yang semenjak tadi
bertengger di cabang pohon besar yang tak jauh dari situ. Segulung sinar kuning
emas meluncur turun dibarengi lengking yang seperti tadi keluar dari mulut Kwa
Hong.
"Tiauw-heng
(Kakak Rajawali), bantulah aku!" seru Kwa Hong sambil memperhebat
desakannya kepada Cia Hui Gan.
Burung itu
agaknya sudah hafal akan suara dan perintah Kwa Hong. Melihat bahwa nonanya itu
bertempur melawan Cia Hui Gan, ia cepat menukik ke bawah menerjang Raja Pedang
itu. Tiba-tiba burung itu terbang membalik, berputaran di atas sambil
memekik-mekik nyaring. Agaknya ia ragu-ragu dan merasa bingung, kemudian ia
menukik lagi dengan kedua kaki bergerak-gerak menyerang.
Cia Hui Gan
memang sudah terdesak dan terkurung hebat sekali, sekarang mendadak ia melihat
gerakan kedua kaki burung itu. Ia tidak dapat menangkis lagi dan... secara aneh
sekali tahu-tahu pedang di tangannya sudah dicengkeram oleh burung itu dan
dibetot terlepas dari tangannya. Cia Hui Gan tadi terkejut melihat gerakan
burung itu yang ia kenal. Kemudian teringatlah ia bahwa gerakan itu mirip,
bahkan tidak ada bedanya dengan gerakan Sian-li Teng-liong (Bidadari Menunggang
Naga), sebuah gerakan yang terahasia dari ilmu silatnya Sian-li Kiam-sut.
"Kau...
kau...!" serunya terheran-heran.
Akan tetapi
dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu tiga batang
pedang sudah ambles memasuki tubuhnya. Cia Hui Gan tidak mengeluarkan suara
lagi, roboh dan tewas di saat itu juga! Sungguh patut disesalkan nasib seorang
Raja Pedang yang namanya sudah puluhan tahun gemilang dikagumi orang, ternyata
sekarang harus mengorbankan nyawa gara-gara asmara yang telah menguasai hati
puterinya!
"Berikan
Liong-cu-kiam itu kepadaku!" bentak Song-bun-kwi sambil melotot kepada Kwa
Hong yang sudah menerima pedang pusaka itu dari burung rajawalinya.
"Tidak,
harus kau berikan kepadaku!" Hek-hwa Kui-bo membentak sambil menerjang
maju hendak merampas Liong-cu-kiam yang amat diinginkan itu.
Akan tetapi,
sekali Kwa Hong menggerakkan kaki secara aneh, usaha Hek-hwa Kui-bo untuk
merampas pedang itu gagal dan ia hanya menangkap angin. Diam-diam nenek ini
kaget sekali. Biar pun tadi dalam pengeroyokan atas diri Raja Pedang ia sudah
mendapat kenyataan betapa lihainya wanita muda ini, namun tak pernah
disangkanya akan demikian hebat sehingga serangannya merampas pedang dapat
digagalkan hanya dengan sedikit menggerakkan kaki saja!
"Kalian
ini tua bangka tak tahu diri! Bukalah matamu baik-baik dan lihat kepada siapa
kalian bicara! Kalau tidak ada aku dan rajawali emasku, mana bisa kalian
mengalahkan Bu-tek Kiam-ong? Sekarang masih berlagak hendak merampas pedang?
Lihat, yang di tangan kananku adalah Hoa-san Po-kiam, pedang pusaka Hoa-san-pai
yang menandakan bahwa aku adalah Ketua Hoa-san-pai. Dan di tangan kiriku ini
adalah Liong-cu-kiam yang menandakan bahwa aku lebih lihai dari pada Bu-tek
Kiam-ong dan tentu saja lebih lihai dari pada kalian para tua-tua bangka. Mau
pedang? Hi-hi-hi, bila kalian sudah mengidam kuburan, boleh, majulah untuk
kutebas batang leher kalian seorang satu!" Ia menyodorkan kedua pedang itu
ke depan sambil tersenyum-senyum penuh ejekan.
Hek-hwa
Kui-bo dan Song-bun-kwi saling pandang. Baru satu kali selama hidup mereka itu
mereka menerima hinaan dan kekalahan dari seorang muda, yaitu dari Beng San.
Dan sekarang ada seorang gadis muda lagi yang mengejek dan menantang mereka.
Tanpa mengeluarkan suara, saling pandang ini cukup bagi dua orang tokoh itu
bersepakat untuk mencoba kepandaian mereka yang sebetulnya berpasangan itu
kepada gadis aneh ini. Serentak keduanya bergerak menyerang Kwa Hong...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment