Monday, July 16, 2018

Cerita Silat Serial Rajawali Emas Jilid 06



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
           Serial Rajawali Emas

                     Jilid 06


Ketika Li Cu siuman kembali, ia membelalakkan kedua matanya. Ia melihat betapa muka Beng San sudah mendekati mukanya dan dalam anggapannya, Beng San sedang berbuat kurang ajar dan hendak menciumnya lagi. Di samping pemandangan yang mengagetkan ini, ia melihat hal lain yang membuat ia cepat menjerit sambil mendorong tubuh Beng San sekuat tenaga. Tubuh Beng San terpental.

Li Cu merasa betapa tenaga dorongannya tadi mendatangkan rasa dingin yang sangat menyakitkan di dadanya. Dan pada saat itu juga, dia mencoba untuk mengelak dengan cara menggulingkan tubuhnya, akan tetapi tetap saja pukulan yang datang itu mengenai pundaknya, membuat tubuhnya terpental lebih jauh dari pada Beng San!

Terdengarlah suara orang menggereng seperti binatang buas, gerengan orang yang tadi memukul. Pukulan itu sebenarnya ditujukan ke arah punggung Beng San. Baiknya pada saat itu Li Cu siuman dan pukulan orang inilah yang membuat ia menjerit dan mendorong tubuh Beng San. Bahkan pukulan itu sesudah tidak mengenai tubuh Beng San, malah mengenai dirinya sendiri.

Beng San melompat bangun dengan kaget sekali. Tadi seluruh perhatiannya dia tujukan untuk mengobati Li Cu sehingga kesadaran gadis itu pun tidak diketahuinya. Karena itu, kedatangan orang yang menyerangnya secara diam-diam itu pun sama sekali tidak dia ketahui.

Kini dia merasa kaget sekali setelah tadi tubuhnya didorong ke pinggir oleh Li Cu, kaget bukan main karena dia melihat ayah mertuanya, Song-bun-kwi Kwee Lun sudah berdiri di depannya seperti seorang iblis mengerikan. Pakaian ayah mertuanya yang semenjak dia ikut ke Min-san dahulu sudah menjadi biasa seperti seorang kakek petani, sekarang dia lihat kembali seperti dulu lagi, yaitu pakaian putih, pakaian berkabung! Anehnya lagi, di dada kakek ini tergantung seorang bayi dalam gendongannya, bayi yang nampaknya tidur nyenyak.

"Gak-hu (Ayah Mertua)..."

"Bangsat! Laki-laki mata keranjang, kau pergi meninggalkan isteri untuk main gila dengan perempuan lain?" bentak Song-bun-kwi Kwee Lun dengan kemarahan meluap-luap.

“Tidak... tidak demikian... Gak-hu, harap jangan salah sangka...! Dia telah menyedot racun Ngo-hwa dari Hek-hwa Kui-bo... aku berusaha menyedot keluar racun itu dan...”

Song-bun-kwi menggereng lagi. "Apa pun juga alasanmu, anakku tidak akan dapat hidup lagi!" Mendadak ia menyerang dengan hebatnya, menghantam kepala mantunya itu.

Semenjak dahulu Beng San memang tidak suka terhadap Song-bun-kwi yang memang pernah hidup sebagai seorang yang keji. Malah sudah beberapa kali Beng San hampir dibunuhnya pada waktu pemuda ini masih kecil.

Sekarang pun ia menjadi marah karena disangka yang bukan-bukan oleh mertuanya ini dan malah sekarang ia diserang dengan pukulan maut. Akan tetapi ketika ia mendengar kalimat terakhir ‘anakku tak dapat hidup lagi’, ia merasa matanya gelap dan jantungnya serasa berhenti berdetik.

"Apa katamu?!" bentaknya dan tangannya menangkis.

Tangkisan ini amat hebat, membuat tubuh Song-bun-kwi seketika terpental ke belakang dan hampir roboh! Teringat akan kepandaian Beng San yang memang sudah amat hebat, Song-bun-kwi maklum bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan mantunya ini.

Maka Song-bun-kwi menyeringai keji dan berkata penuh geram. "Kau pembunuh anakku, lain kali aku pasti akan mencarimu untuk mengadu nyawa!" dan setelah berkata demikian kakek ini menggereng kemudian lari cepat sekali membawa bayi dalam gendongannya.

Untuk sesaat Beng San berdiri dengan muka berubah hijau karena hatinya gelisah bukan main. Kemudian ia teringat akan bayi di gendongan mertuanya itu. Ia menghitung-hitung dalam benaknya dan teringat bahwa sudah lewat beberapa bulan sejak waktu kandungan isterinya tiba saatnya dilahirkan. Anak itu tadi....? Apa yang terjadi?

Tiba-tiba seperti orang gila Beng San memekik. "Bi Goat...!"

Dan tubuhnya melesat seperti seekor burung terbang, pergi dari tempat itu.

Sementara itu, terjadi keanehan pada diri Li Cu. Seperti dituturkan di atas tadi, setelah mendorong tubuh Beng San ke samping, pukulan yang dilakukan oleh Song-bun-kwi lalu mengenai pundak Li Cu yang membuat tubuh Li Cu terlempar.

Pukulan itu bukan pukulan biasa, karena tadi Song-bun-kwi sengaja melakukan pukulan dari Ilmu Yang-sin-hoat untuk membunuh Beng San, mantunya. Pukulan itu mengandung hawa Yang-kang yang amat kuat. Biar pun sudah dielakkan oleh Li Cu, pukulan itu tetap mengenai pundaknya dan terasalah hawa yang luar biasa panasnya menjalari tubuhnya.

Hawa panas ini lalu bertemu dengan sisa hawa dingin yang masih mengeram di tubuhnya, yang masih belum disedot keluar oleh Beng San. Dua hawa dahsyat ini bertemu dan... buyarlah keduanya. Pukulan maut dari Song-bun-kwi tadi malah sudah menyembuhkan sama sekali penderitaan Li Cu akibat racun asap Hek-hwa Kui-bo!

Tadinya hati Li Cu penuh dengan kemarahan dan ia menganggap bahwa Beng San sudah berlaku jahat dan kurang ajar kepadanya, sudah menciuminya di waktu ia pingsan! Bukan main sakit hatinya pada saat itu. Akan tetapi setelah ia mendengar pengakuan Beng San kepada Song-bun-kwi tadi bahwa perbuatannya itu adalah usaha untuk menolongnya dari bahaya maut, tak terasa pula air matanya jatuh berderai dan ia terisak-isak.

Hatinya terharu bukan main. Sudah terlalu sering ia menyangka Beng San sebagai orang jahat, sebagai laki-laki yang kurang ajar, laki-laki mata keranjang. Dan ternyata ia sudah menuduh yang bukan-bukan, telah memasukkan fitnah terhadap diri Beng San ke dalam pikirannya. Padahal sudah berkali-kali Beng San menolongnya, menolong keselamatan nyawanya dengan hati tulus ikhlas. Apa lagi ketika ia melihat keadaan Beng San, hatinya ikut hancur.

Li Cu menyambar pedangnya yang ditinggalkan Beng San di dekatnya, lalu melompat dan lari mengejar Beng San yang sudah lari jauh dengan kecepatan laksana terbang itu. Tak dapat ia menyusul Beng San, akan tetapi ia dapat menduga bahwa orang muda itu tentu pergi ke Min-san.

Sebetulnya ia boleh tak usah pedulikan Beng San. Akan tetapi ada sesuatu yang terjadi di dalam hatinya. Ia setengah dapat menduga bahwa telah terjadi sesuatu yang mengerikan pada diri isteri Beng San. Ia seperti melihat awan gelap di atas mengancam Beng San.

Di samping ini, ia merasa bahwa ia harus selalu berdekatan dengan orang itu. Tak dapat lagi ia ditinggalkan, tak dapat lagi ia berpisah. Ia merasa kasihan kepada Beng San, juga kasihan kepada... dirinya sendiri karena hidupnya pasti akan merana dan sunyi kalau dia harus berjauhan dengan Beng San.

"Beng San...," rintihnya sambil mengusap air matanya yang berderai turun membasahi pipinya. "Ya Tuhan... mengapa aku menjadi begini...?" ia mengeluh bingung.

Tidak semestinya ia mengejar Beng San. Seharusnya ia kembali, seharusnya ia malah meninggalkan Beng San jauh-jauh. Setanlah yang menggodanya ini, setan yang sudah membisikkan hal-hal yang tak boleh ia lakukan. Tapi... ahhh, mengapa hatinya bulat-bulat menyerah? Mengapa kakinya seperti tidak mau disuruh pergi ke lain jurusan?

Ia teringat ayahnya, lalu bersambat lirih, "Ayah... anakmu telah gila... telah gila..."

Sementara itu kedua kakinya terus berlari cepat, menuju Min-san! Di dunia ini, apakah yang lebih berkuasa dan aneh dari pada cinta? Apakah yang lebih gila dari pada orang muda yang sudah mabok madu asmara? Cinta kasih atau asmara sudah banyak sekali menimbulkan cerita dan peristiwa yang lebih aneh dari pada dongengan!

Dengan pakaian compang-camping, rambut awut-awutan, muka pucat kurus, serta mata merah, setelah melakukan perjalanan terus-menerus, akhirnya Beng San sampai juga di puncak Min-san.

Ketika ia memasuki halaman rumahnya, dua orang pelayan wanita yang masih tinggal di situ hampir-hampir tak mengenalnya. Sampai lama mereka memandang dengan bengong dan curiga, karena laki-laki muda yang berdiri di hadapan mereka itu lebih patut menjadi seorang pengemis yang liar dari pada tuan muda mereka yang tampan.

"Bi Goat... mana Bi Goat...?" Suara Beng San serak, entah sudah berapa ribu kali kalimat pertanyaan ini keluar dari mulutnya di sepanjang perjalanan pulang. "Mana isteriku? Mana nyonya muda...?"

Setelah mendengar pertanyaan ini barulah dua orang pelayan tua itu merasa yakin bahwa yang berdiri di depan mereka sekarang ini adalah ‘tuan muda’ mereka.

"Siauw-ya (Tuan Muda)...!" keduanya kemudian menjatuhkan diri berlutut dan menangis bersaing keras.

"Apa yang terjadi? Mana nyonya muda. Dia kenapa?"

Akan tetapi dua orang pelayan itu menangis makin keras.

Beng San tak sabar lagi. Sekali melompat dia telah memasuki rumah dan berlari-lari di dalam semua ruangan dan kamar, membuka dan menutup pintu seperti orang mengejar sesuatu. Seluruh bagian rumah, sampai ke kamar mandi, dia masuki namun sunyi sepi, tidak ada satu orang pun manusia lagi kecuali dua orang pelayan wanita yang sedang menangis tersedu-sedu itu.

Akhirnya terpaksa Beng San kembali ke ruangan depan di mana dua orang pelayan itu menangis. Tubuh Beng San menggigil, matanya berputaran, jantungnya serasa berhenti berdetik.

"Mana dia? Mana Bi Goat? Katakanlah, mana Bi Goat? Ahhh... kuhancurkan kepalamu jika tidak bicara!" ia mengguncang-guncang pundak seorang pelayan yang menjadi amat ketakutan.

Dengan muka pucat keduanya berhenti menangis, kemudian dengan suara terputus-putus mereka bercerita, "Mula-mula datang seorang nyonya yang bernama Kwa Hong... dia naik burung menakutkan... dia melahirkan anak di sini ditolong oleh Nyonya Muda... setelah dia dan anaknya pergi, Nyonya Muda jatuh sakit... tidak pernah sehat lagi, lalu datang Lo-ya (Tuan Tua) yang tadinya diminta Nyonya Muda pergi menyusul Siauw-ya... tetapi Lo-ya pulang tanpa Siauw-ya. Nyonya Muda semakin sedih... lalu melahirkan dan... dan... tidak kuat... Nyonya Muda meninggal dunia..." Tak dapat tertahan lagi dua orang pelayan itu menangis terisak-isak.

Beng San meramkan matanya, meringis kesakitan. Dadanya sebelah kiri serasa tertusuk, ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut. Ia sudah tak bisa menangis lagi, lehernya bagai dicekik dan bibirnya yang putih seperti kertas itu bergerak-gerak perlahan, lalu berhenti bergerak, ternganga dan pandang matanya jauh ke depan tak bersinar, seakan-akan dia sudah menjadi tubuh tak bernyawa, kehilangan semangatnya.

"Siauw-ya... Siauw-ya..." Pelayan yang tertua menubruk kaki Beng San, tak tahan melihat majikannya berhal demikian itu.

Beng San bergerak perlahan lalu terdengar suara dari mulutnya, suara yang terdengar seperti suara dari jauh.

"Di mana makamnya... di mana dikuburnya...?"

"Maafkan hamba, Siauw-ya... karena Lo-ya sudah pergi membawa anak bayi itu, hamba sekalian terpaksa mengajak saudara-saudara dari kaki gunung untuk mengubur jenazah Nyonya Muda di pekarangan belakang rumah secara sederhana..."

Beng San lalu melangkah perlahan dan lemas, menuju ke pekarangan belakang, diikuti dua orang pelayan yang masih menangis terisak-isak. Akhirnya ia berdiri tegak di depan sebuah kuburan yang masih baru, kuburan sederhana yang tidak diberi batu nisan, hanya ditanami pohon bunga mawar gunung kesukaan Bi Goat dan pohon kembang itu sudah mulai berbunga.

"Bi Goat... ampun... isteriku... ampun..." Beng San roboh ke depan, mukanya terbanting dan terbenam pada gundukan tanah kuburan.

Dua orang pelayan itu cepat-cepat menolong Beng San yang sudah pingsan sambil turut menangis. Akan tetapi setelah siuman kembali Beng San menyuruh dua orang pelayan itu pergi meninggalkannya seorang diri di kuburan isterinya.

Malam itu hujan turun deras, akan tetapi Beng San tidak beralih dari tempatnya, tidak bergerak dan terus-menerus terdengar suaranya memanggil-manggil nama Bi Goat dan minta ampun.

Semenjak saat ia roboh pingsan di kuburan isterinya, sampai berhari-hari ia tidak pernah pergi meninggalkan tempat itu, tak pernah makan tak pernah tidur! Beberapa kali dua orang pelayan yang setia itu datang menangis dan membujuk-bujuknya, namun Beng San malah marah-marah dan mengusir mereka pergi dari depannya.

Sepuluh hari kemudian tubuh Beng San telah menjadi kurus sekali dan wajahnya pucat kehijauan, matanya semakin liar. Hanya karena tubuhnya yang terlatih dan mengandung tenaga luar biasa itu saja yang membuat ia masih dapat bertahan.

Dua orang pelayan itu sudah tak berdaya lagi, tidak berani mendekati Beng San karena tuan muda ini marah-marah kalau di ‘ganggu’. Mereka menjadi putus asa dan merasa ngeri kalau membayangkan betapa pada suatu pagi mereka akan melihat tuan muda itu menggeletak dalam keadaan tak bernyawa karena kelaparan di kuburan itu.

Akan tetapi, seperti juga kelahiran tak akan ada, kematian juga tidak akan menimpa diri seorang manusia kalau Tuhan belum menghendakinya. Demikian pula dengan Beng San. Orang muda ini bukannya sengaja bermaksud membunuh diri, akan tetapi ia sudah tidak peduli akan keadaan sekelilingnya, ingatannya sudah berubah akibat tekanan batin yang amat hebat.

Kedukaan yang hebat serta penyesalan yang bertubi-tubi menghantam batinnya. Tak kuat ia menahannya sehingga ia bagaikan orang yang sudah tidak waras lagi otaknya. Namun agaknya Tuhan Maha Pengasih suka mengampunkan dosanya.

Malam hari itu hujan turun rintik-rintik. Hawa di Puncak Min-san bukan main dinginnya. Di depan kuburan Bi Goat, Beng San sedang duduk bersila menghadapi kembang mawar yang sudah rontok dari tangkainya, mengeluh dan bersambat dengan suara lirih,

"Bi Goat, isteriku. Kau begitu mulia, begitu suci cintamu kepadaku... dahulu kau sampai rela hendak mengorbankan nyawamu untukku..., ah, Bi Goat, tidak kelirukah kau memilih aku? Aku tidak berharga mendapatkan cintamu... aku seorang yang rendah. Aku telah mengadakan hubungan dengan Hong-moi... menjadi ayah dari anak Hong-moi, tapi aku tidak berterus terang kepadamu... Bi Goat... aku laki-laki mata keranjang, laki-laki berhati lemah yang mudah runtuh menghadapi wanita cantik.” Ia berhenti sebentar dan terdengar isaknya tertahan.

"Bi Goat, mengapa kau belum juga datang? Marahkah kau kepadaku? Sudah sepatutnya kau marah... aku minta ampun, Goat-moi... aku telah berdosa padamu. Sekarang kuakui semua dosaku... betul, aku telah berlaku serong... aku merusak hidup Hong-moi, malah sebelum itu... aku pernah mencinta Thio Eng. Ahh, aku laki-laki mata keranjang, dan aku hampir runtuh pula pada saat bertemu dengan Nona Cia Li Cu... hatiku mencinta mereka semua itu, ahhh... padahal kau… begitu suci cintamu... aku berdosa, ampunkan aku..."

Sesosok bayangan muncul di belakang kuburan itu. Bayangan seorang wanita cantik yang berbaju merah! Perlahan-lahan bayangan ini melangkah maju dan terdengar suaranya lirih menggetar ditimpa suara hujan gerimis di malam gelap.

"Beng San..."

Perlahan-lahan Beng San mengangkat kepalanya. Matanya yang pedas dan merah itu ia gosok-gosok, kemudian ia menubruk maju, berlutut dan merangkul kaki wanita itu.

"Ahh, Bi Goat... akhirnya kau datang juga...? Bi Goat, ampunkan aku... ampunkan aku...."

Wanita itu mengucurkan air mata sehingga air mata itu bercampur dengan hujan gerimis yang menimpanya, mengalir di sepanjang pipinya. Jari tangannya mengelus-elus rambut kepala Beng San dan ia berkata terharu.

"Bi Goat sejak dulu mengampunimu... Beng San..."

"...ahhh, betulkah? Betulkah kau sudi mengampuni dosaku? Aku sudah gila... aku sudah gila... aku... aku menyakiti hatimu... sudikah kau mengampuniku?"

"Aku mengampuni semua kesalahanmu...," jawab wanita itu, "...asal saja... asal saja kau suka menurut segala kata-kataku."

"Aku akan taat, akan kuturut semua, demi Tuhan. Aku bersumpah akan mentaati segala perintahmu, biar kau suruh masuk ke lautan api sekali pun!"

"Kalau begitu, bangunlah dan mari kita masuk ke rumah, tak baik berhujan-hujan di sini, hayo kau ikuti aku, Beng San!"

Beng San bangun berdiri, tersenyum-senyum dan wanita itu makin terharu ketika melihat betapa wajah laki-laki itu berubah seperti wajah seorang anak kecil yang diampuni orang tuanya karena kenakalannya.

"Aku ikut... aku ikut...," kata Beng San yang kemudian berjalan di belakang wanita itu, terhuyung-huyung saking lemas badannya.

Wanita baju merah itu segera memegang lengannya dan membantunya berjalan menuju ke rumah itu. Dua orang pelayan sudah menyambut di pintu belakang, nampak kelegaan pada wajah mereka.

"Ahh, syukur, Nona. Syukur kau berhasil...," kata mereka.

"Ssttt..." Wanita itu mencegah mereka berbicara. "Lekas sediakan air panas dan pakaian Siauw-ya, kemudian sediakan makanan yang lunak... jangan lupa hangatkan arak..."

Sambil tersenyum gembira dua orang pelayan itu pergi menyiapkan permintaan wanita itu. Beng San benar-benar menurut sekali terhadap wanita yang dianggapnya Bi Goat itu. Disuruh membersihkan tubuh dan menukar pakaian, ia menurut seperti anak kecil, disuruh makan bubur panas dia pun menurut saja. Kemudian dia pun tidak membantah ketika disuruh tidur di kamarnya sendiri, diselimuti oleh wanita itu yang duduk di pinggir ranjang dan yang melayaninya dengan penuh perhatian.

Siapakah wanita baju merah itu? Benarkah dia Bi Goat? Tidak mungkin! Bi Goat sudah mati, sudah dikubur. Ia bukan lain adalah Li Cu!

Seperti dituturkan pada bagian depan, Li Cu tak dapat menahan hati dan kakinya sendiri menyusul Beng San di Min-san. Ia kalah cepat oleh Beng San, maka baru sepuluh hari kemudian ia tiba di puncak Min-san.

Bukah main sedih dan terharu hatinya ketika ia mendengar penuturan dua orang pelayan itu tentang keadaan Beng San. Ia mengaku menjadi sahabat baik Beng San dan Bi Goat.

Setelah ia mendengar penuturan dua orang pelayan itu, serta-merta pada hari itu juga ia pergi menyusul Beng San ke kuburan. Akhirnya dia berhasil membujuk Beng San pulang, sungguh pun perih hatinya karena Beng San hanya mau menuruti permintaannya setelah mengira bahwa dia adalah Bi Goat!

Bulan-bulan berikutnya merupakan masa yang amat sulit bagi Li Cu. Ingatan Beng San benar-benar telah berubah, atau telah kehilangan ingatannya sehingga ia menjadi seperti anak kecil saja, anak kecil yang amat manja. Akan tetapi kemanjaan ini tertuju kepada… isterinya, kepada Bi Goat!

Dia telah lupa segalanya, keinginannya hanyalah berdekatan dengan Bi Goat, tidak boleh ditinggalkan sebentar juga. Dan yang lebih hebat lagi, dia agaknya telah lupa akan semua kepandaiannya. Beberapa kali Li Cu mencobanya, tapi Beng San benar-benar tidak ingat lagi bagaimana caranya bersilat, sungguh pun tenaga murni dalam tubuhnya masih tetap kuat dan tidak ikut lenyap.

Cia Li Cu merupakan keturunan orang-orang yang terkenal keras hati. Agaknya watak ini diwariskan oleh nenek moyangnya, yaitu Ang I Niocu, pendekar wanita sakti yang terkenal keras hati. Sekali mengambil keputusan tak akan dapat diubah lagi, sekali menjatuhkan hati takkan dapat pula diubah.

Setelah hatinya dikecewakan Beng Kui dan membuat ia benci sekali kepada suheng-nya itu, barulah ia sadar bahwa semenjak dahulu sebetulnya ia tidak pernah mencinta Beng Kui. Perasaannya dahulu terhadap Beng Kui hanyalah kagum saja karena semenjak kecil suheng-nya itu selalu lebih tinggi segala-galanya dari pada dirinya sendiri, juga dalam ilmu silat. Maka begitu ia melihat watak yang buruk di dalam diri Beng Kui, apa lagi karena ia dikesampingkan dan suheng-nya menikah dengan wanita lain, rasa kagumnya sekaligus buyar dan otomatis ia pun tidak ada rasa suka kepada kakak seperguruan itu.

Terhadap Beng San lain lagi perasaannya. Sebetulnya lebih banyak perasaan terharu dan iba akan nasib orang muda itu dari pada kekaguman. Malah sering kali ia merasa gemas kepada Beng San. Anehnya, bukan gemas karena perlakuan pemuda itu kepadanya, tapi gemas karena Beng San begitu banyak kekasihnya!

Memang cinta itu aneh sekali. Mendatangkan cemburu, kadang-kadang mendatangkan benci! Semua ini hanya dapat terasa oleh mereka yang menjadi korban panah asmara. Demikian hebat kekerasan asmara sehingga mampu menundukkan seorang gadis seperti Li Cu yang terkenal keras hati, yang berubah menjadi demikian jinak, demikian telaten dan sabar dalam merawat orang yang dicintanya.

Benar-benar bukan ringan pekerjaan Li Cu ini. Terutama sekali tekanan batin yang harus dideritanya. Bayangkan, betapa beratnya bagi perasaan seorang gadis yang sedang jatuh cinta untuk merawat orang yang dicintanya itu dan mendengarkan kekasihnya itu setiap saat memuji-muji dan menyatakan cinta kasihnya kepada seorang wanita lain. Lebih hebat lagi bagi Li Cu, Beng San menyatakan cinta kasih kepadanya karena menganggap dia Bi Goat!

Sering kali dia harus menahan-nahan air matanya karena hatinya bagaikan ditusuk-tusuk rasanya. Kadang kala terbayang pula senyum di bibirnya yang manis dan cahaya harapan di matanya yang indah itu ketika Beng San dalam ketidak sadarannya ‘mengaku’ kepada Bi Goat bahwa dia tertarik kepada Li Cu! Sungguh pun hanya sedikit sekali pengakuan cinta ini, namun sudah merupakan setetes embun menyegari bunga yang kekeringan di dalam hati Li Cu.

Betapa pun juga, Li Cu adalah seorang gadis yang patut dipuji kebersihan dan kekuatan batinnya. Biar pun ia jatuh cinta kepada Beng San dan berbulan-bulan tinggal serumah dengan pemuda itu, namun gadis itu tetap dapat mempertahankan garis pemisah, tetap ia dapat mencegah terjadinya pelanggaran susila yang terdorong oleh iblis nafsu yang memabokkan.

Bagi Li Cu, cintanya murni dan timbul dari hati nurani yang bersih. Ia hanya mempunyai sebuah keinginan, yaitu merawat orang yang dicintanya, melihatnya sembuh dan harapan terakhir adalah harapan semua wanita yang tengah jatuh cinta, yaitu berhasil merebut hati kekasihnya, berhasil membuat dirinya dicinta kembali berlipat ganda dan akhirnya dapat menjadi seorang isteri yang terkasih. Hal ini mudah saja ia pertahankan oleh karena kini Beng San benar-benar amat penurut dan mentaati segala kehendaknya.

Dua orang pelayan setia itu masih merasa bersyukur dan berterima kasih sekali kepada Li Cu yang sekarang mereka anggap sebagai pengganti nyonya muda, sungguh pun mereka diam-diam merasa heran kenapa seorang nona cantik dan muda suka bersikap demikian baiknya terhadap Beng San.

Namun sebagai orang-orang yang sudah berpengalaman akhirnya mereka dapat menarik kesimpulan bahwa semua itu adalah akibat dari pada asmara yang mendalam dan suci. Maka tanpa ragu-ragu lagi mereka pun lalu bercerita kepada Li Cu akan segala yang mereka ketahui tentang diri Beng San dan Bi Goat. Malah mereka memperingatkan nona itu supaya berhati-hati karena mereka berdua itu takut sekali kalau-kalau lo-ya-cu, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun kembali dan mengamuk lagi.

"Entah bagaimana nasib bayi puteri Siauw-ya yang belum diberi nama itu," pelayan tertua menutup kisahnya. "Semoga saja dia tidak menjadi korban keganasan Lo-ya yang sudah demikian kalap. Hamba benar-benar kuatir, ahh... kalau Lo-ya pulang... apa yang terjadi?"

"Tenanglah, tidak perlu kuatir. Kematian Bi Goat bukanlah karena kesalahan Beng San. Pula andai kata dia datang dan mau menang sendiri, ada aku di sini untuk melindungi Beng San," kata Li Cu dengan suara yang gagah.

Akan tetapi sesungguhnya hatinya kecut-kecut kalau ia memikirkan kakek itu. Ia maklum bahwa kata-katanya di depan para pelayan itu hanya omong besar saja, karena kalau disuruh sungguh-sungguh menghadapi kakek Song-bun-kwi yang sakti itu, sedikit sekali harapan dia akan menang. Oleh karena inilah pedang Liong-cu-kiam tak pernah terpisah dari tubuhnya, selalu terpasang pada belakang punggungnya untuk menjaga dari segala kemungkinan.

Sampai tiga bulan lebih Li Cu dengan tekun dan sabar merawat Beng San. Kesehatan Beng San sebetulnya sudah pulih, akan tetapi hanya kesehatan jasmani saja, ingatannya masih belum sembuh sama sekali.

Pagi hari itu, seperti biasa Li Cu mengajak Beng San duduk di taman bunga di sebelah kiri rumah. Setiap pagi gadis ini mengajak Beng San berjemur matahari pagi di tempat itu. Dan seperti biasa, dengan sikap manja sekali Beng San merebahkan diri di atas bangku panjang dan kepalanya telentang di atas pangkuan Li Cu!

Dengan kasih mesra gadis ini mengusap-usap rambut Beng San sambil menatap wajah yang nampak bodoh itu.

"Beng San, masih belum ingatkah kau? Masih belum ingat benarkah bahwa aku adalah Li Cu?" perlahan Li Cu bertanya dengan suara lirih dan hati-hati sekali.

Beng San tersenyum, "Bi Goat, jangan kau menggoda aku. Kau sudah tahu bahwa aku suka kepada Nona Cia Li Cu, bahwa aku tertarik dan kagum sekali kepadanya, lalu kau sekarang menggodaku, ya?"

Seperti biasanya kalau mendengar kata-kata ini, Li Cu merasa tertusuk jantungnya. Dia menggigit bibirnya, matanya menjadi sayu, akan tetapi ia menguatkan hatinya dan berkata lemah-lembut.

"Beng San, aku sungguh bukan Bi Goat. Aku Cia Li Cu, Beng San, dan aku pun suka kepadamu, tapi... tapi jangan kau menyangka aku Bi Goat. Bi Goat sudah... sudah mati...," hati-hati sekali ia mengucapkan kata-kata ini sambil menatap tajam-tajam muka orang di atas pangkuannya itu dan tangannya membelai dengan halus.

Beng San serentak bangkit dan duduk, kedua tangan Li Cu dipegangnya lalu ia berlutut di atas tanah.

"Bi Goat, isteriku, jangan kau mempermainkan aku. Kalau Bi Goat sudah mati bagaimana kau bisa berada di sini? Bi Goat, aku memang berdosa kepadamu, ampunkanlah aku... aku menurut segala kehendakmu, tapi... tapi jangan kau marah, jangan tinggalkan aku..."

Li Cu menarik napas panjang dan menggoyang-goyang kepalanya. Tidak ada kemajuan sama sekali. Jika sudah merengek-rengek minta ampun begini Beng San tidak mau sudah kalau belum dia ampunkan. Terpaksa dia pun berkata, "Sudahlah, aku ampunkan kau."

Dengan girang Beng San rebah lagi dengan kepala di atas pangkuan Li Cu. Ia tersenyum-senyum dengan wajah berseri girang.

Li Cu makin terharu melihat ini. Selama berbulan-bulan ini Beng San memasuki kamarnya yang terpisah, dan hal ini pun selalu diturut oleh Beng San meski dengan wajah kelihatan berduka sekali! Li Cu sendiri mulai merasa ragu-ragu akan kekuatan pertahanan hatinya sendiri. Ia makin kasihan kepada Beng San.

Selama berbulan-bulan menggantikan kedudukan Bi Goat ini, tampaklah jelas olehnya bahwa Beng San sama sekali bukanlah laki-laki mata keranjang perusak wanita seperti yang telah ia dengar dari suheng-nya. Buktinya, terhadap isteri sendiri saja Beng San begini lemah lembut, menaruh hormat dan tidak mau bersikap menang sendiri. Apa lagi terhadap wanita lain?

Peristiwa yang terjadi antara Beng San dan Kwa Hong tentu terdorong oleh sesuatu, tidak sewajarnya. Beng San pernah bercerita kepadanya tentang itu, dikatakannya bahwa Beng San dan Kwa Hong lupa diri karena pengaruh racun yang sengaja ditaruh dalam makanan oleh musuh dalam ketentaraan Mongol. Tapi Beng San hanya menyebut nama Pangeran Souw Kian Bu.

Ada pun tentang pengalaman Beng San dalam asmara dengan Thio Eng, dan dengan dia sendiri, ahh, ia tidak percaya bahwa Beng San sengaja berlaku sebagai seorang pemuda mata keranjang. Dia sama sekali tidak mau percaya bahwa Beng San berwatak kotor, rendah atau cabul.

"Beng San, cobalah kau ingat-ingat, apakah kau benar-benar lupa akan kepandaian ilmu silatmu?"

Beng San tertawa, matanya berseri jenaka. "Bi Goat, jangan kau goda aku seperti itu! Kau tahu bahwa aku adalah seorang kutu buku, seorang yang sejak kecil hanya mempelajari kitab-kitab filsafat. Kitab To-tek-keng aku hafal di luar kepala. Kau pun boleh tanya tentang Su-si Ngo-keng, tentang filsafat hidup dan pelajaran agama. Akan tetapi ilmu silat? Huh, untuk apa ilmu silat itu? Hanya untuk menakut-nakuti orang, menyombongkan diri sendiri dan paling banyak hanya bisa menjadi kepandaian tukang-tukang pukul dan buaya-buaya darat, tukang-tukang berkelahi saja!"

Sekali lagi Li Cu menarik napas kecewa. Ia tadinya tidak percaya sehingga ia pernah menyerang Beng San. Ternyata menghadapi sebuah pukulan biasa saja Beng San tidak mampu menghindarkan diri. Akan tetapi lweekang di tubuhnya masih tetap ada dan kuat sungguh pun agaknya Beng San lupa pula bagaimana untuk menyalurkan hawa murni di tubuhnya itu.

Tadinya ada pikiran padanya untuk melatih Beng San, akan tetapi pikiran ini ia buang lagi ketika ia teringat betapa tingkat kepandaian Beng San sebetulnya sudah jauh melampaui dirinya sehingga kalau sekarang Beng San menerima pendidikan mulai pertama dari dia, apakah akan jadinya? Jangan-jangan malah pelajaran itu menyeleweng dan tidak cocok dengan hawa murni di tubuh Beng San.

Ia menunduk dan memandang wajah yang tampan itu. Ah, kalau ia teringat betapa dahulu Beng San dengan berani mati menyerbu ke sarang Ho-hai Sam-ong, mati-matian datang untuk menolongnya! Bila ia teringat akhir-akhir ini betapa Beng San tanpa mempedulikan diri sendiri telah menyedot asap beracun yang berada di dadanya, menyedot begitu saja dari mulut ke mulut!

Ahh, ia tidak saja berhutang budi, juga berhutang nyawa. Hanya dapat ia balas dengan cinta kasih. Kalau sudah mengenangkan itu semua, ingin ia mendekap kepala itu, ingin membelainya dan menunjukkan kasih sayangnya. Akan tetapi Li Cu menahan hatinya, hanya memandang dengan wajah sayu dan mata redup setengah dikatupkan.

Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa sudah semenjak ia keluar bersama Beng San dari dalam rumah tadi, sepasang mata menyaksikan semua yang terjadi antara dia dan Beng San. Sepasang mata yang tajam, dilindungi alis tebal yang kadang kala mengerut, kadang bergerak-gerak. Sepasang mata itu kadang kala menjadi redup terharu, kadang-kadang menyorotkan api kemarahan. Sepasang mata milik seorang laki-laki tua yang tampan dan gagah perkasa, seorang pendekar yang bukan lain adalah Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tandingan) Cia Hui Gan, ayah dari Cia Li Cu!

Dan baru saja, dari lain jurusan, datang pula seorang tokoh lainnya yang gerakannya demikian ringan sehingga tidak terdengar oleh Si Raja Pedang sekali pun. Orang ini pun mengintai dan matanya yang liar menjadi makin berputaran marah pada saat ia melihat adegan mesra itu, yaitu Beng San rebah telentang di bangku dengan kepalanya di atas pangkuan seorang dara cantik jelita yang mengelus-elus rambutnya!

Orang ini bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun Si Setan Berkabung! Song-bun-kwi Kwee Lun masih dapat mendengar tanya jawab antara Li Cu dan Beng San tentang ilmu silat tadi dan kegirangan hatinya bukan main ketika ia mendengar bahwa Beng San telah hilang ingatannya dan telah hilang atau terlupa pula ilmu silatnya.

"Si keparat Beng San! Kau telah kehilangan kepandaianmu, dan sekarang kau juga akan kehilangan nyawamu yang harus menghadap Bi Goat untuk menebus dosa," demikian katanya dalam hati.

Tiba-tiba ia melompat keluar sambil tertawa bergelak. Tanpa berkata apa-apa serentak ia maju menubruk dan menghantam dada Beng San yang rebah telentang di atas bangku.

Li Cu berseru panjang. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tubuh gadis ini otomatis bergerak dan ia mendorong tubuh Beng San sekuat tenaga sambil ia sendiri melompat ke belakang dan mencabut pedangnya.

Biar pun tubuhnya sudah terdorong dan terlempar dari bangku, tetap saja punggung Beng San keserempet pukulan Song-bun-kwi. Beng San terpelanting hingga terguling-guling sambil muntahkan darah segar dari mulutnya. Baiknya lweekang di tubuhnya masih ada dan secara otomatis tenaga dalam ini bekerja untuk menahan atau melindungi tempat yang terpukul, maka Beng San hanya mengalami luka ringan di sebelah dalam saja dan nyawanya selamat.

Di dalam tubuh Beng San terkandung dua hawa yang amat besar, hawa Im dan Yang, dua hawa yang bertentangan akan tetapi telah teratur kedudukannya. Berbeda dengan orang lain, bila terpukul dan menderita luka dalam, muntah darah berarti membahayakan. Sebaliknya, dengan muntah darah ini bagi Beng San malah menyatakan bahwa tenaga di dalam tubuhnya sudah bekerja dan darah yang dimuntahkan itu sajalah yang menjadi akibat pukulan tadi.

Melihat Beng San muntah darah, Li Cu kaget setengah mati dan mengira bahwa Beng San pasti terluka parah. Ia marah bukan main dan pedangnya lalu diputar ke depan.

"Song-bun-kwi manusia iblis! Kau keji dan curang. Kalau memang kau ada kepandaian, mengapa menyerang orang sakit? Majulah, akulah musuhmu!"


Pedangnya menyambar-nyambar ke depan dan sekejap mata saja gulungan sinar pedang mengurung Song-bun-kwi dengan hebatnya. Song-bun-kwi tertawa bergelak, pedangnya cepat menangkis dari samping lalu ia berkata,

"Perempuan tak tahu malu! Aku hendak membunuh mantuku sendiri yang telah menjadi penyebab kematian anakku, yang telah meninggalkan anakku untuk bermain gila dengan segala perempuan busuk, kau menghalangi ada hubungan apakah? Apakah kau kekasih barunya?"

Kemarahan Li Cu membuat dia hampir menangis mendengar caci-maki kotor ini. Akan tetapi dia harus membela Beng San, membela nyawanya juga membela nama baiknya.

"Song-bun-kwi, kau seorang kakek tua bangka yang sudah mau mati tetapi ucapanmu seperti orang gila atau seperti anak kecil saja! Beng San bukan menjadi sebab kematian Bi Goat. Selama ini dia pergi karena dia membantu Kaisar untuk membasmi orang-orang jahat yang akan memberontak. Dia dimintai bantuan oleh Pek-lian-pai dalam tugas yang mulia. Yang menyebabkan kematian anakmu adalah iblis wanita Kwa Hong. Kalau kau memang mendendam, mengapa kau tidak mencari dan membalas kepada Kwa Hong? Andai kata kau hendak membalas kepada Beng San, sebagai orang gagah kau pun harus menanti sampai dia sembuh dulu agar dia dapat melayanimu. Apakah kau sudah berubah menjadi pengecut?"

Song-bun-kwi mengeluarkan suara menggereng hebat, matanya liar. "Kwa Hong akan kubunuh, Beng San akan kubunuh, dan kau yang membelanya akan kubunuh lebih dulu!" Setelah berkata demikian ia menubruk maju dan menyerang dengan pedangnya.

Pedangnya bergerak menusuk kemudian ditarik ke bawah. Kalau serangan ini berhasil tentu korbannya akan terbelah dada dan perutnya, Namun dengan gerakan lincah dan indah sekali Li Cu sudah mengelak ke kanan, tubuhnya berputar seperti orang menari kemudian membabat dengan pedangnya ke arah pedang lawan. Ia hendak mengandalkan ketajaman Liong-cu-kiam untuk mematahkan senjata lawannya.

Akan tetapi Song-bun-kwi bukanlah seorang tokoh yang masih hijau. Ia cukup mengenal Liong-cu-kiam. Biar pun yang ia pegang juga sebatang pedang yang baik dan kuat, akan tetapi ia tidak berani mengadukan pedangnya secara langsung dengan Liong-cu-kiam. Ia hanya menyampok pedang lawannya yang ampuh bukan main itu dari samping dengan pedangnya sehingga peraduan kedua pedang pada bagian tajamnya dapat dihindarkan.

Serang-menyerang lalu terjadi dengan amat serunya dan mati-matian. Ilmu kepandaian Song-bun-kwi hebat bukan main, dia adalah tokoh besar dalam dunia persilatan. Biar pun Li Cu juga telah mewarisi ilmu pedang yang sakti, namun ia kalah pengalaman bertempur biar pun di tangannya ada pedang pusaka Liong-cu-kiam.

Song-bun-kwi tidak mengenal ampun, mendesak terus sambil mengeluarkan jurus-jurus yang paling hebat karena ia maklum bahwa lawannya biar pun hanya merupakan seorang gadis muda namun cukup lihai dan berbahaya. Malah kakek ini di samping pedangnya yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut yang dicampur ilmu pedangnya sendiri, juga mulai melancarkan pukulan-pukulan maut dengan tangan kiri, menggunakan pukulan jarak jauh yang bukan main dahsyatnya.

Tiap kali pukulan ini datang, Li Cu merasa sambaran angin yang hebat ke arahnya. Ia terkejut sekali dan maklum bahwa biar pun pukulan lawan tidak mengenai tubuhnya, hawa pukulan itu kalau tepat mengenai bagian berbahaya, bisa mendatangkan celaka. Maka ia selalu mengelak kalau diserang pukulan ini. Hal ini membuat keadaannya terhimpit.

"Heeei, jangan serang isteriku! Ehhh, kakek yang baik, orang setua engkau seharusnya memberi contoh yang baik kepada orang muda, mengapa malah suka berkelahi? Heee! Hati-hati, jangan main-main dengan pedang yang begitu tajam, jangan-jangan kau nanti mencelakai isteriku!" Beng San berteriak-teriak penuh kekuatiran.

Tadi ia agak nanar, malah ia setengah pingsan oleh pukulan yang membuat ia muntah darah. Tetapi setelah ia dapat bangun, ia segera berteriak-teriak melarang Song-bun-kwi menyerang ‘isterinya’.

Mana Song-bun-kwi mau pedulikan dia? Makin hebat Song-bun-kwi mendesak sehingga pada suatu saat Li Cu harus terhuyung-huyung ke belakang, hampir saja menjadi korban pukulan mautnya. Beng San tak dapat menahan kesabarannya lagi, ia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya.

"Orang tua, mengapa kau begini nekat? Isteriku pandai main pedang, kalau sampai dia marah... hemmm, apakah kau sudah bosan hidup?"

Song-bun-kwi kaget juga menyaksikan sikap Beng San ini. Dilihat sikapnya yang begitu berani, agaknya pemuda ini masih memiliki kepandaiannya. Sejenak ia tertegun dan ini membuat gerakannya menjadi agak kalut dan terlambat sehingga Li Cu bisa memperbaiki kedudukannya dan gadis yang tadinya terdesak itu kini berbalik dapat balas menyerang.

"Bagus, Beng San. Kau majulah, pukul dia mampus dengan ilmu saktimu!" Li Cu berseru keras.

Song-bun-kwi makin bingung dan kaget, dikiranya Beng San sungguh-sungguh hendak menyerangnya. Kembali kesempatan ini digunakan oleh Li Cu untuk mainkan pedangnya dan...

"Brettt…!" ujung baju kakek itu terbabat putus!

Song-bun-kwi kaget sekali dan cepat ia melompat ke arah Beng San sambil mengayun pedangnya. Girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa sama sekali Beng San tidak dapat mengelak, malah Li Cu yang menangkisnya serangan ini.

"Aha, kalian mau menipu aku? Ha-ha-ha, kalian harus mampus sekarang juga!"

Dengan ucapan ini Song-bun-kwi mendesak makin hebat sehingga Li Cu menjadi sibuk menangkis dan mengelak. Sekali pundaknya terkena pukulan tangan kiri Song-bun-kwi sehingga gadis itu terpaksa menggulingkan diri dan terus bergulingan menjauhkan diri dari Song-bun-kwi. Akan tetapi sambil tertawa-tawa kakek ini mengejar terus dengan pedang diangkat, siap untuk membacok.

"Tranggg!"

Pedang Song-bun-kwi terpental dan biar pun pedang itu tidak terlepas dari pegangannya dan ia cepat dapat melompat mundur, namun lengannya agak di atas pergelangan telah tergores pedang di tangan Bu-tek Kiam-ong.

Cia Hui Gan yang sudah berdiri dengan gagah di situ. Pendekar pedang inilah yang tadi menangkis bacokan Song-bun-kwi untuk menolong nyawa puterinya.

Melihat datangnya Raja Pedang ini, Song-bun-kwi mendengus marah, "Huh, kau juga mau ikut-ikut urusanku?"

"Song-bun-kwi iblis tua! Melihat puterinya hendak dibunuh orang, bagaimana seorang ayah bisa diam saja?"

Sejenak Song-bun-kwi tertegun. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Cia Hui Gan, maka dia tidak berani berlaku sembrono. Kemudian ia menoleh ke arah Beng San yang berdiri bengong di pinggiran.

"Bagus, kau betul sekali, Kiam-ong. Anakku dibunuh orang, mana aku bisa diam saja?" Sambil berkata demikian ia lalu menubruk ke depan dan menyerang Beng San dengan pedangnya.

Melihat itu Li Cu kembali menggerakkan senjatanya menangkis serangan kakek itu. Kali ini Song-bun-kwi terlalu bernafsu dalam serangannya, maka pedangnya bertemu secara telak sekali dengan pedang di tangan Li Cu. Dengan mengeluarkan bunyi nyaring, pedang di tangan Song-bun-kwi terbabat putus menjadi dua potong oleh Liong-cu-kiam!

"Li Cu, jangan mencampuri urusan mereka!" Cia Hui Gan membentak anaknya, mukanya menjadi merah dan malu melihat sikap puterinya itu.

Akan tetapi, Li Cu dengan pedang di tangan berdiri memandang ayahnya dengan mata bersinar. "Ayah, Beng San tidak pernah membunuh anak Song-bun-kwi yang mati karena melahirkan. Beng San bahkan sangat mencintanya. Mana bisa aku membiarkan orang membunuhnya? Kalau Song-bun-kwi menantang Beng San dalam keadaan seperti biasa, aku pun tidak peduli. Akan tetapi sekarang Beng San sedang sakit, sama sekali tidak dapat melawan!"

Song-bun-kwi marah sekali, akan tetapi juga gentar. Menghadapi gadis itu saja sudah payah untuk mencapai kemenangan, apa lagi sekarang muncul ayahnya yang tentu saja tidak membiarkan ia mengganggu Li Cu.

Pada saat itu terdengar suara tangis seorang anak tak jauh dari situ. Mendengar suara ini Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan-gerengan marah, lalu ia melompat pergi ke arah suara tangisan anak kecil itu. Dari jauh terdengar suaranya,

"Bu-tek Kiam-ong, kau mengandalkan nama besarmu untuk bersikap sewenang-wenang. Tunggulah, kelak aku akan mencarimu di Thai-san!"

Sejenak hening. Ayah dan anak itu saling berpandangan. Si ayah dengan sinar mata penuh kemarahan, Si anak tenang-tenang saja akan tetapi tarikan mukanya jelas-jelas membayangkan keteguhan hatinya.

"Li Cu, apa artinya semua ini?" akhirnya suara si ayah terdengar memecah kesunyian.

"Artinya, Ayah, bahwa aku cinta kepada Beng San dan sisa hidupku akan kuhabiskan di sampingnya," jawab gadis itu dengan suara penuh ketetapan hati.

Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan mengerutkan keningnya. "Tapi... tapi ia seorang gila..."

"Dia tidak gila, Ayah. Hanya kehancuran hati membuat ia demikian. Ia kematian isterinya yang tercinta dan ia merasa berdosa besar terhadap isterinya sehingga kesedihannya itu membuat ia kehilangan ingatan. Akan tetapi dia seorang berbatin mulia, Ayah, telah beberapa kali menyelamatkan nyawaku tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri. Aku ingin membalas budinya dan..."

"Tapi dia tidak menganggapmu sebagai Cia Li Cu..."

"Memang dia menganggap aku sebagai isterinya yang sudah meninggal dunia. Dan ini lebih mempertebal keyakinanku betapa setia hatinya, penuh cinta kasih murni. Aku tak dapat meninggalkannya, Ayah, karena hal itu berarti dia akan celaka."

"Li Cu, apa kau juga sudah menjadi gila? Anakku hendak mengorbankan sisa hidupnya untuk seorang gila? Tidak mungkin! Kakak kandungnya seorang berwatak durhaka dan busuk, adiknya pun tak akan jauh bedanya. Dia harus mampus saja dari pada merusak hidupmu!"

Tiba-tiba sinar terang berkelebat dan tahu-tahu kakek ini sudah menerjang ke arah Beng San yang berdiri melongo melihat perdebatan antara ayah dan anak itu.

"Ayah...!" Li Cu bergerak dan…

"Tranggg!"

Bunga api berpijar, pedang Liong-cu-kiam di tangan Li Cu terlepas menancap di atas tanah, akan tetapi pedang di tangan Cia Hui Gan sudah patah menjadi dua potong...

Kembali ayah dan anak berpandangan, bertentangan mengadu kekuatan kemauan yang sama kerasnya.

"Aku mendengar ejekan si bangsat Beng Kui...," berkata Cia Hui Gan, suaranya perlahan penuh penyesalan, "bahwa anakku lagi tergila-gila pada seorang laki-laki perusak wanita! Bahwa Beng San ini sudah merusak penghidupan seorang gadis murid Hoa-san-pai yang ditinggalkannya untuk menikah dengan anak Song-bun-kwi. Sekarang agaknya ia menjadi penyebab kematian isterinya itu dan dia sekarang menempel engkau!"

"Ayah...! Semua itu bohong belaka! Semua itu terjadi bukan karena kesalahan Beng San. Tentang aku..., bukan dia yang menempel, melainkan aku sendiri yang tak dapat berpisah lagi dari padanya."

Bergerak-gerak alis mata Cia Hui Gan. "Hemm, ini pendapat seorang bocah masih hijau! Cintamu mudah berubah dan berganti-ganti. Orang ini lebih baik mati dari pada merusak hidupmu!" Dengan pedang yang tinggal sepotong itu Cia Hui Gan melompat ke depan dan menyerang Beng San lagi.

"Ayah, kalau kau hendak membunuhnya, kau boleh melihat anakmu menggeletak tanpa nyawa lebih dulu!" Li Cu berseru keras dan cepat dia menyambar Liong-cu-kiam dari atas tanah, langsung dia bacokkan ke lehernya sendiri!

"Anak gila...!"

Pedang buntung di tangan Cia Hui Gan terlepas meluncur ke arah Li Cu dan menghantam Liong-cu-kiam di tangan gadis itu. Hebat sekali sambitan ini yang merupakan kepandaian istimewa dari Si Raja Pedang, sehingga Li Cu sendiri tidak sanggup mempertahankan pedangnya yang runtuh terlepas dari tangannya.

Gadis ini menangis dan menutupi mukanya. "Ayah..., kau boleh bunuh dia... tapi aku pun tidak sudi lagi hidup di dunia ini...," tangisnya.

Cia Hui Gan menarik napas panjang. Ia sangat sayang kepada puteri tunggalnya ini. Ia hidup hanya berdua dengan puterinya karena ibu Li Cu sudah semenjak dulu meninggal dunia. Bagaimana ia dapat merelakan anaknya mati?

Tadi pun ia hanya ingin menyelami hati Li Cu, sampai di mana perasaan yang dianggap cinta kasih oleh anaknya itu terhadap Beng San. Kakek ini maklum betapa hancur dan sakitnya hati Li Cu oleh karena sikap dan perlakuan Beng Kui kepadanya. Dan kakek ini maklum pula bahwa meski pun di mulutnya tidak pernah menyatakan sesuatu, namun di dalam hatinya gadisnya itu tentu menaruh penyesalan kepada ayahnya sendiri, karena sesungguhnya dialah yang dahulu menjodohkan anaknya itu dengan Beng Kui.

Beng Kui merupakan pemuda pilihan Cia Hui Gan untuk anaknya yang hanya mentaati kehendak ayahnya. Setelah pilihan itu ternyata keliru, sekarang anaknya mencari pilihan hatinya sendiri, bagaimana dia tega untuk menghalanginya?

Sebetulnya, sejak dahulu ketika untuk pertama kali bertemu dengan Beng San, memang Cia Hui Gan menaruh rasa simpati yang besar terhadap pemuda ini dan diam-diam dia mengakui bahwa Beng San sebetulnya lebih cocok untuk menjadi jodoh puterinya. Akan tetapi sekarang pemuda itu selain sudah menjadi duda yang ditinggali anak, keadaannya juga tidak normal lagi, kehilangan ingatan dan lupa akan kepandaiannya sama sekali!

"Kau memang bandel..." akhirnya dia berkata. "Baiklah, kalau kau memang sudah yakin akan cinta kasihmu terhadap Beng San, akan tetapi kelak jangan kau salahkan ayahmu kalau kau kecewa."

"Ayah... terima kasih, Ayah..." Li Cu menubruk dan merangkul ayahnya sambil menangis.


cerita silat karya kho ping hoo


"Sudahlah, kita harus segera pergi dari sini, kita tak boleh mengacau di tempat orang lain. Hemmm, bocah itu hanya akan memancing datangnya banyak musuh ke Thai-san..."


Li Cu tidak memberi komentar apa-apa atas ucapan ayahnya barusan, melainkan dengan girang ia lalu menggandeng tangan Beng San sambil menariknya dan berkata, "Beng San, hayo kau ikut aku ke Thai-san."

"Bi Goat, kenapa kita ke Thai-san?" Beng San bertanya seperti orang bingung.

"Mulai sekarang kita akan tinggal di sana, kau ikutlah saja dengan aku dan jangan banyak bertanya."

Beng San mengangguk-angguk. "Baiklah...baiklah, kita ke Thai-san...aku menurut dan tak akan membantah asal selalu berada di dekatmu."

Melihat dan mendengar ini Cia Hui Gan menggeleng kepalanya dan diam-diam ia berdoa kepada Tuhan semoga keputusan yang diambil oleh anaknya itu tidak keliru dan tak akan merusak penghidupan anaknya dikelak kemudian hari. Atas pertanyaan Li Cu, dalam perjalanan menuju Thai-san itu Cia Hui Gan menceritakan apa yang telah terjadi di kota raja.

Seperti yang sudah diceritakan pada bagian depan, para orang gagah berusaha untuk menggagalkan rencana jahat yang diatur oleh Pangeran Lu Siauw Ong bersama Ho-hai Sam-ong. Di antara mereka itu terdapat pula Cia Hui Gan dan anaknya Li Cu sendiri, yang pergi menyusul rombongan Kaisar untuk melindunginya. Ada pun Cia Hui Gan pergi ke kota raja untuk menghukum muridnya yang murtad dan durhaka.

Telah dituturkan pula di bagian depan betapa Kaisar akhirnya terhindar dari mala petaka pencegatan Ho-hai Sam-ong dan anak buahnya serta teman-temannya. Sebagian besar adalah jasa Beng San yang terlebih dahulu secara sembunyi sudah menjumpai Kaisar di tengah perjalanan dan mengajukan usul supaya supaya Kaisar diam-diam kembali ke kota Raja, dan menyuruh orang lain menggantikan Kaisar di dalam joli, Seperti yang telah kita ketahui, Ho-Hai Sam-ong tertipu dan usaha mereka tidak saja hancur berantakan, malah mereka pun akhirnya tewas.

Ada pun Cia Hui Gan yang mencari muridnya, Tan Beng Kui di kota saja, datang dalam saat yang kebetulan pula. Pemberontakan telah pecah, penyerbuan para pemberontak ke dalam istana sedang terjadi. Akan tetapi, alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba, tidak saja muncul para pengawal yang serba lengkap dan kuat, juga muncul banyak sekali anggota Pek-lian-pai di bawah pimpinan Tan-Hok yang gagah perkasa. Lebih hebat lagi kekagetan para pemberontak ketika tiba-tiba muncul pula Kaisar sendiri yang memimpin tentaranya untuk menghancurkan barisan pemberontak yang menyerbu.

Sudah terang bahwa Kaisar pergi ke utara dengan rombongannya, mengapa tiba-tiba bisa berada di situ? Keadaan menjadi kacau-balau dan para pemberontak itu lantas berkurang semangatnya. Apa lagi di pihak Kaisar terdapat orang-orang gagah, terutama sekali Cia Hui Gan yang mengamuk seperti seekor naga terbang dan masih ada lagi raksasa muda Tan Hok yang mengamuk dengan anak buahnya yang gagah.

Cia Hui Gan yang sengaja mencari muridnya, akhirnya dapat berhadapan muka dengan Beng Kui yang berpakaian seperti seorang jenderal besar dan sedang mengamuk dengan pedangnya, Liong-cu-kiam. Alangkah kagetnya ketika tiba-tiba dia melihat gurunya. Akan tetapi Beng Kui malah menegur,

"Suhu, mengapa Suhu menghalangi cita-cita teecu yang tinggi?"

"Keparat, kau membikin malu gurumu saja dengan perbuatanmu yang hina. Mulai saat ini aku bukan gurumu lagi!"

"Aha, jadi Suhu juga berpandangan picik seperti Li Cu dan merasa sakit hati karena teecu menjadi menantu Lu Siauw Ong? Apakah Suhu tidak melihat bahwa kalau teecu kelak menjadi menantu Kaisar dan calon kaisar, masih belum terlambat untuk menikah dengan sumoi dan Suhu sendiri tentu memperoleh kedudukan tinggi?"

"Bangsat, tutup mulutmu!" dengan amarah meluap-luap Cia Hui Gan menyerang.

Beng Kui menangkis dan melakukan perlawanan. Tapi betapa pun juga, pedang pusaka Liong-cu-kiam di tangannya tidak mampu membantu banyak terhadap serangan-serangan gurunya yang lihai bukan main itu. Apa lagi ketika Beng Kui melihat betapa barisan yang dipimpinnya itu mulai berantakan dan cerai-berai karena memang kalah kuat, hatinya lalu menjadi risau dan permainan pedangnya kacau-balau.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Cia Hui Gan untuk mendesaknya dan pada saat yang baik, pundak kiri Beng Kui dapat tertusuk oleh pedang gurunya. Ia menjerit dan melompat ke belakang, menghilang di antara anak buahnya yang mulai berlarian ke sana ke mari mencari jalan keluar. Cia Hui Gan cepat mengejar karena ia bermaksud membunuh bekas muridnya itu, namun Beng Kui sudah mendapatkan seekor kuda dan sudah lari jauh.

Demikianlah pengalaman Cia Hui Gan di kota raja. Kaisar sendiri lalu menyatakan terima kasih kepadanya, akan tetapi Cia Hui Gan tak lama berdiam di kota raja, melainkan terus menyusul puterinya. Ia mendengar bahwa pencegatan rombongan Kaisar dapat digagalkan serta dihancurkan pula. Akan tetapi dengan hati kecut ia juga mendengar bahwa puterinya telah terluka dan ditolong oleh Beng San. Kisah ini ia dengar dari pada anggota Pek-lian-pai yang masih tertinggal di tempat itu karena terluka.

Cia Hui Gan tidak percaya lagi kepada Beng San setelah kekecewaannya pada Beng Kui. Jika kakaknya seperti itu, mana bisa adiknya baik pula? Dengan hati kuatir ia cepat-cepat melakukan perjalanan menyusul ke Min-san dan akhirnya ia menyaksikan semua kejadian yang membuat hatinya menjadi penuh kegelisahan akan hari depan puterinya….


                   **************


Setahun lebih Li Cu merawat Beng San dengan penuh kesabaran dan penuh cinta kasih. Melihat keadaan puterinya itu yang rela mengorbankan segala hal untuk Beng San yang masih saja belum kembali ingatannya, Cia Hui Gan merasa terharu dan kasihan sekali. Oleh karena keadaan Beng San yang boleh dibilang telah berubah menjadi seorang yang lemah, maka Raja Pedang ini lalu menggembleng puterinya dengan ilmu yang lebih tinggi agar kelak sepeninggalannya Li Cu dapat mempertahankan diri dari segala bahaya yang menimpanya.

Memang Cia Li Cu seorang gadis yang hebat, jarang bandingannya di dunia ini. Cintanya terhadap Beng San benar-benar cinta yang murni dan suci, cinta yang tidak dikotori nafsu, tidak tercemar oleh keinginan menyenangkan diri sendiri. Oleh karena sifat cintanya yang mulus inilah maka ia tahan menderita segala tekanan batin.

Beng San masih menganggap Li Cu sebagai Bi Goat. Dia masih saja belum mendapatkan kembali ilmu-ilmu silatnya. Sering kali Cia Hui Gan menyatakan kekuatirannya kepada puterinya itu dengan kata-kata nasihat,

"Li Cu, keputusan hatimu untuk mengorbankan diri demi cintamu kepada Beng San, aku sebagai orang tua tidak akan mengganggu gugat lagi. Akan tetapi engkau harus mengerti bahwa keputusan ini memancing datangnya banyak musuh. Sudah pasti Song-bun-kwi akan membalaskan anaknya yang kematiannya dia anggap karena kesalahan Beng San. Juga wanita yang bernama Kwa Hong, murid Hoa-san-pai itu... hemmm, kiraku dia juga merupakan ancaman bahaya dalam hidupmu kelak. Belum lagi kalau kita ingat kepada musuh-musuh Beng San yang amat banyak dan yang semuanya terdiri dari orang-orang sakti."

"Aku tidak takut, Ayah," jawab Li Cu gagah. "Biarkan mereka datang, orang-orang jahat itu. Aku akan membela Beng San mati-matian. Pula, Ayah berada di sini, aku takut apa lagi?" Ucapan terakhir ini bernada manja.

Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah mulai penuh rambut putih. "Tentu saja aku akan melindungimu selama aku masih hidup, Li Cu. Akan tetapi, kau harus mengerti bahwa usia manusia ada batasnya, demikian pula kepandaian. Menghadapi musuh-musuh Beng San itu, biar pun aku sendiri maju kiranya masih belum cukup kuat. Oleh karena itu, mari bantulah aku dalam pembuatan rencanaku yang sudah lama kupikir dan kuciptakan."

"Rencana apakah, Ayah?"

"Kita harus dapat membuat tempat kita ini menjadi tempat yang tidak mudah dikunjungi orang luar. Aku sudah mempunyai rencana lengkapnya. Kita minta bantuan penduduk di kaki gunung untuk mengerjakannya dan kurasa dalam waktu setahun tempat kita ini akan menjadi tempat persembunyian yang takkan gampang-gampang dimasuki orang luar, biar pun mereka memiliki kepandaian tinggi."

Semenjak terjadi percakapan ini, Cia Hui Gan lalu mencari bantuan tenaga para penduduk di kaki gunung dan mulailah rencananya itu dibuat. Ia memilih sebuah puncak yang amat indah pemandangannya dan nyaman pula hawa udaranya, pula puncak ini dikelilingi oleh jurang yang terjal dan tak mungkin dilalui manusia.

Bagian-bagian yang dapat digunakan orang untuk mendaki puncak, sengaja digugurkan sehingga bagi orang luar tampaknya tempat itu tak mungkin didatangi. Menurut rencana kakek ini mereka akan membuat jalan rahasia ke puncak, melalui terowongan buatan di bawah tanah.

Terowongan ini selain tidak tampak dari luar, juga di dalamnya dipenuhi alat-alat rahasia sehingga bagi orang-orang luar amat berbahayalah untuk melaluinya, andai kata dia dapat menemukan pintu terowongan juga. Selain alat-alat rahasia juga terowongan ini dibangun berliku-liku, banyak cabangnya dan mudah sekali menyesatkan orang.

Akan tetapi untuk membuat semua ini membutuhkan tenaga dan waktu. Dan kekhawatiran Cia Hui Gan tentang musuh-musuh besar Beng San ternyata terbukti ketika pembuatan jalan terowongan itu baru mulai dibuat!

Pada waktu itu matahari baru saja terbit dan penduduk kaki gunung sudah berkumpul dan mulai bekerja mengangkuti batu-batu yang dibutuhkan untuk pembuatan terowongan. Cia Hui Gan dan Cia Li Cu sedang mengatur pekerjaan dan berada di puncak, di tempat terbuka yang akan dibangun menjadi tempat tinggal mereka.

Beng San juga berada di situ, duduk di bawah sebatang pohon besar. Orang muda ini sekarang nampak sehat, wajahnya segar dan agak gemuk malah, akan tetapi sepasang matanya kehilangan cahaya yang biasanya bersinar tajam dan aneh. Sekarang bahkan kelihatan seperti orang bodoh.

Pakaiannya bersih dan ia nampak tersenyum-senyum gembira memandang ke arah Li Cu. Ia merasa heran sekali mengapa orang-orang itu sibuk hendak membuat rumah, akan tetapi seperti biasa ia tidak mengganggu ‘isterinya’.

Di pagi hari yang sejuk ini timbul bermacam-macam pertanyaan di dalam otaknya yang tidak sehat. Kenapa isterinya menyebut ‘ayah’ kepada orang tua yang katanya seorang ahli pedang berjuluk Bu-tek Kiam-ong bernama Cia Hui Gan? Ia sekarang sudah ingat bahwa ayah dari isterinya adalah Song-bun-kwi!

Tetapi mengapa Song-bun-kwi malah tidak kelihatan? Memang aneh isterinya sekarang! Kelihatannya begitu mencinta padanya, akan tetapi kenapa amat berubah sehingga tidur pun mereka berpisah? Diam-diam dia merasa kecewa dan berduka, akan tetapi dia tidak berani membantah. Kalau isterinya marah dan meninggalkan dia, celaka!

Mendadak terdengar kegaduhan hebat. Orang-orang berteriak-teriak dan ada pula yang memekik kesakitan, disusul suara gerengan seperti binatang buas mengamuk. Ada pula yang menjerit-jerit ketakutan disusul ketawa melengking.

Cia Hui Gan dan Li Cu kaget sekali dan cepat mereka memandang. Apa yang mereka lihat membuat keduanya berubah mukanya. Para pekerja lari cerai-berai dan malah ada yang sudah roboh karena amukan dua orang yang bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun dan Kwa Hong!

Dengan gerakan-gerakannya yang luar biasa, kakek tua berpakaian putih ini menggereng-gereng dan kadang-kadang melengking seperti orang menangis sambil menghantam ke kanan kiri merobohkan para pekerja yang tidak sempat lari menjauhkan diri. Lebih hebat dan mengerikan lagi ialah sepak terjang Kwa Hong yang duduk di atas rajawali emasnya yang menyambar-nyambar dari atas dan menyebar maut kepada para pekerja.

Kasihan sekali para penduduk kampung yang tidak mempunyai ilmu kepandaian silat itu. Mereka berusaha lari menyelamatkan diri, akan tetapi hanya sedikit saja yang berhasil. Sebagian besar tak mampu lagi menyelamatkan diri dan terpaksa harus menjadi korban keganasan dua orang itu.

Apa lagi mereka hanyalah petani-petani yang tidak berkepandaian. Andai kata mereka memiliki ilmu silat sekali pun belum tentu mereka akan dapat menghindarkan diri dari dua orang yang memiliki kepandaian dahsyat dan keganasan seperti iblis itu.

Melihat kejadian ini, tentu saja Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan merasa dadanya bagaikan dibakar. Kemarahannya tak dapat ia tahan lagi dan serentak ia lalu mencabut pedang dari belakang punggung, meloncat ke depan dan membentak keras,

"Iblis jahat Song-bun-kwi dan kau tentu siluman betina she Kwa murid Hoa-san-pai! Hari ini kalian berani datang ke Thai-san membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, aku Cia Hui Gan bersumpah akan membasmi kalian!" Pedangnya segera digerakkan dan secepat kilat ia menerjang kepada Song-bun-kwi.

Kakek ini pun sudah siap sedia, cepat mengelak dari pada sambaran sinar pedang yang luar biasa itu sambil memutar pedangnya sendiri untuk balas menyerang. Sementara itu Li Cu juga sudah melompat maju dan menggerakkan Liong-cu-kiam membantu ayahnya.

Akan tetapi dari atas terdengar suara ketawa mengikik dan menyambarlah sinar kehijauan lima buah banyaknya ke arah ayah dan anak itu. Cia Hui Gan dan Li Cu melompat ke samping sambil menggerakkan pedang menangkis.

Terdengar suara keras dan bunga api muncrat menyilaukan mata. Li Cu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka diam-diam dia terkejut bukan main. Alangkah kuatnya wanita yang naik burung rajawaii itu!

Sambil tertawa-tawa Kwa Hong juga sudah meloncat turun dari atas punggung rajawali yang segera terbang dan hinggap di atas puncak pohon besar sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring. Empat orang musuh besar itu kini saling berhadapan, masih belum bergerak lagi setelah gebrakan pertama tadi.

Bagaimanakah Kwa Hong bisa datang bersama-sama Song-bun-kwi di Puncak Thai-san? Hanya hal kebetulan saja. Ternyata bahwa Song-bun-kwi yang merasa sakit hati terhadap bekas mantunya itu tidak jauh meninggalkan Thai-san. Ia selalu menanti saat baik untuk menculik dan membunuh Beng San.

Akhirnya pada pagi hari itu ia melihat Kwa Hong menunggang burung rajawali naik ke Thai-san. Giranglah hatinya karena ia dapat menduga bahwa kedatangan tokoh baru yang menggemparkan ini pasti akan memusuhi Beng San, maka ia segera menyusul naik dan melihat Kwa Hong menghajar para pekerja, ia pun lalu turun tangan menyerbu. Yang amat berat dihadapi bagi Song-bun-kwi hanyalah Bu-tek Kiam-ong, maka apa bila ia mendapat kawan yang kosen, ia tidak takut.

Sementara itu Kwa Hong sengaja datang ke Thai-san karena ia sudah mendengar tentang keadaan Beng San yang kehilangan kepandaiannya. Ia ingin sekali menyaksikan dan jika betul demikian berarti ia akan dapat segera membalas sakit hatinya. Pada saat ia melihat Song-bun-kwi membantunya, ia tidak berkata apa-apa, malah tidak peduli sama sekali.

Cia Hui Gan sudah sangat marah melihat banyak penduduk menjadi korban keganasan Kwa Hong, maka dia langsung membentak, “Perempuan liar, kenapa datang-datang kau mengacau tempat orang?!”

“Aku bukan perempuan liar, bukan pula mengacau tempat orang,” Kwa Hong menjawab sambil tersenyum mengejek. “Aku datang untuk membawa suamiku pulang.”

“Kau pergilah. Di sini tidak ada suamimu, lagi pula kenapa kau harus mencari suamimu di tempat orang?” kata Cia Hui Gan, nada bicaranya seperti balas mengejek.

Kwa Hong mulai marah, dia tahu Si Raja Pedang barusan menghinanya.

“Itulah suamiku,” kata Kwa Hong sambil menunjuk Beng San yang masih duduk di bawah pohon, dijaga oleh Li Cu yang begitu melihat gelagat kurang baik langsung menghampiri pemuda itu untuk dijaganya. “Namanya Tan Beng San!” sambung Kwa Hong.

“Kau perempuan tak tahu malu, mengakui laki-laki lain sebagai suami sendiri!” bentak Cia Hui Gan.

"Cia Hui Gan, kenapa kau begini tak tahu malu? Anak perempuanmu yang bermuka tebal itu telah melindunginya? Hemmm, apakah hanya begini saja orang yang memiliki julukan Kiam-ong? Ternyata hanya orang rendah...!" Kwa Hong memaki kalang-kabut.

Wajah Cia Hui Gan menjadi merah bukan main, matanya bersinar-sinar memancarkan api kemarahan, "Iblis wanita, kau sebenarnya siapa dan apa maksudmu ke sini?" bentaknya.

"He, perempuan muda, jangan kau sembarangan bicara!" Song-bun-kwi juga amat kaget mendengar ucapan Kwa Hong dan cepat memaki. "Beng San suami anakku, sekarang dirampas oleh anak orang she Cia ini, Kenapa kau berani mengakunya sebagai suami? Apakah kau orang yang dulu melahirkan anak di tempatku, ditolong oleh Bi Goat?"

Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Kalian orang-orang tua tahu apa? Dengarlah baik-baik. Manusia bernama Tan Beng San itu, yang sekarang duduk di sana seperti patung hidup, sebelum dia menikah dengah Kwee Bi Goat, dia sudah lebih dahulu menjadi ayah dari anakku. Akulah orang yang paling berhak atas dirinya, dan siapa pun hendak menghalangi akan kubunuh mampus. Hee, Beng San! Hayo kau ikut denganku. Apakah kau tidak ingin menengok anakmu?"

Beng San hanya melongo, sama sekali ia tidak ingat lagi siapa adanya wanita yang bicara tidak karuan itu. Suara dan wajahnya serasa ia kenal baik, akan tetapi ia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Beng San memijit-mijit keningnya, mengingat-ingat.

"Ho-ho, nanti dulu!" Song-bun-kwi berseru sambil tertawa mengejek.

"Bukankah kau yang bernama Kwa Hong, anak murid Hoa-san-pai? Aku sudah banyak mendengar tentang kau! Orang bilang bahwa kau telah menjadi isteri Koai Atong Si Bocah Tua gila. Kalau kau punya anak, tentulah anakmu dengan Koai Atong itulah! Kau murid Hoa-san-pai jangan banyak membohong di sini."

"Tutup mulut busukmu, tua bangka gila!" Kwa Hong membentak sambil mencabut pedang pusaka Hoa-san-pai. "Buka matamu dan lihat ini. Aku Ketua Hoa-san-pai, bukan murid lagi, tahu? Ini adalah pusaka Hoa-san-pai, berada di tangan Ketua Hoa-san-pai. Pedang pusaka ini kelak akan memenggal batang lehermu karena kau sudah berani berkurang ajar kepadaku. Sekarang hendak kupakai membasmi orang-orang yang berani merampas Beng San."

"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Keluarga Cia memang patut dibasmi. Mari kubantu kau!" kata Song-bun-kwi yang cerdik dan licin.

Semenjak tadi Cia Hui Gan hanya berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Ia merasa susah dan malu sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan tentu saja ia tahu akan peraturan kang-ouw. Dua orang yang datang ini memang berhak atas diri Beng San, yang seorang bekas kekasih Beng San, dan yang seorang lagi mertuanya malah. Memang dia dan puterinya berada di pihak yang salah. Akan tetapi mana bisa ia tidak membela Li Cu?

Tentu saja Li Cu maklum pula apa yang dipikirkan ayahnya, maka dengan gagah ia melangkah maju dan berkata lantang, "Kalian bicara seakan mau menang sendiri saja! Song-bun-kwi, sudah jelas bahwa kematian puterimu bukan karena kesalahan Beng San, melainkan karena Kwa Hong yang merupakan kenyataan yang menghancurkan hatinya. Malah Beng San demikian mencinta puterimu itu sehingga kematiannya membuat Beng San kehilangan ingatan. Dan kau, Kwa Hong, kau sungguh tak tahu malu, perbuatanmu dengan Beng San itu sudah menunjukkan betapa rendah watakmu. Hubunganmu dengan Beng San terjadi di bawah pengaruh racun, akan tetapi kau begitu tak punya malu untuk menyatakan Beng San adalah suamimu!"

"Setan betina, tutup mulutmu!" Kwa Hong menjadi marah, mukanya menjadi merah dan matanya liar. "Suami atau bukan dia adalah ayah anakku. Sebaliknya engkau ini bukan apa-apanya, tapi kenapa membela mati-matian? Bukankah kau yang tergila-gila kepada Beng San?"

"Memang aku mencinta Beng San!” jawab Li Cu dengan suara tegas dan sikap gagah sambil mengedikkan kepala. "Aku mencinta Beng San dan aku berhutang budi padanya. Sebaliknya, dia menganggap bahwa aku adalah isterinya yang sudah meninggal. Demi cintaku dan demi untuk membalas budi, aku akan melindunginya dengan taruhan nyawa dan ragaku. Apa bila kalian berdua manusia-manusia berhati iblis bermaksud membunuh atau menculiknya, kalian harus lebih dulu dapat membunuh aku!"

"Bagus, memang aku hendak membunuhmu!" Kwa Hong menjerit dan anak panah-anak panah pada ujung cambuknya menyambar.

"Trang-trang-trang!"

Li Cu menangkis dengan Liong-cu-kiam. Ujung tiga batang anak panah itu patah semua sedangkan yang dua buah tidak mengenai pedang pusaka sehingga terhindar dari pada kerusakan. Bukan main marahnya Kwa Hong melihat betapa dalam segebrakan saja senjatanya telah rusak oleh pedang lawan yang ternyata amat kuat itu. Ia mencabut Hoa-san Po-kiam dan menerjang lagi.

Li Cu menangkis lagi dan kali ini ia terhuyung mundur dengan tangan sakit-sakit. Pedang di tangan Kwa Hong sama sekali tidak rusak! Hal ini tidak aneh karena Hoa-san Po-kiam juga merupakan sebatang pedang pusaka yang ampuh.

Sementara itu Kwa Hong sudah menyerang lagi. Gerakannya dalam penyerangan aneh sekali, menyambar-nyambar bagaikan gerakan seekor burung. Pedang Hoa-san Po-kiam meluncur ke arah tenggorokan Li Cu. Baru saja gadis ini hendak mengelak, ujung pedang itu sudah menyambar ke bawah membelah dada!

Li Cu kaget dan cepat menggunakan Liong-cu-kiam menangkis, akan tetapi lagi-lagi ujung pedang lawan tidak melanjutkan serangannya dan tahu-tahu tangan kiri Kwa Hong yang memukul dengan gerakan pukulan Jing-tok-ciang! Li Cu benar-benar kaget sekali ketika tiba-tiba ada angin dingin menyambar dari sebelah kanannya. Cepat ia mengelak namun karena serangan ini memang tidak tersangka-sangka olehnya, ia terdorong hawa pukulan Jing-tok-ciang dan kembali ia terhuyung-huyung.

Pada waktu itu pedang Kwa Hong sudah mengejar pula dengan tusukan-tusukan disertai bacokan-bacokan maut yang amat sukar diketahui perubahannya.

"Li Cu, mundurlah!" kata Cia Hui Gan sambil meloncat maju. Pedangnya menyambar mengeluarkan sinar kilat dan sekaligus ia telah berhasil mengancam pergelangan tangan Kwa Hong dengan gulungan sinar pedangnya yang hebat.

"Ayaaaa...!" Kwa Hong berjengit sambil menarik tangannya ke belakang, juga melangkah mundur setindak, tidak melanjutkan desakannya kepada Li Cu.

"Ha-ha-ha, Raja Pedang tak tahu malu, mengeroyok seorang perempuan muda!" berkata Song-bun-kwi sambil terjun ke dalam kalangan pertempuran.

Dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut ia segera menerjang Cia Hui Gan. Sementara itu, karena tadi kaget ketika pergelangan tangannya hampir putus oleh pedang Cia Hui Gan, Kwa Hong marah bukan main. Sambil mengeluarkan pekik melengking ia kini menerjang orang tua dari Thai-san itu sehingga dalam sekejap mata saja Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan sudah dikeroyok dua oleh Kwa Hong dan Song-bun-kwi.

Cia Hui Gan berjuluk Bu-tek Kiam-Ong (Raja Pedang Tanpa Tanding), ilmu pedang Sian-li Kiam-sut adalah ilmu pedang keturunan yang asli dari pendekar sakti Ang I Niocu ratusan tahun yang lalu. Semenjak ratusan tahun itu, Sian-li Kiam-sut boleh dibilang menjagoi di antara segala ilmu pedang.

Sebetulnya, ilmu pedang ini masih bersumber dengan Im-yang Sin-kiam-sut atau boleh dikatakan cabangnya. Karena mempunyai ilmu pedang ini yang sudah dilatihnya secara sempurna maka tidak heran apa bila Cia Hui Gan merupakan jago pedang yang sukar dilawan.

Akan tetapi sekarang ia dikeroyok oleh dua orang lawan yang bukan orang sembarangan. Song-bun-kwi Kwee Lun adalah seorang tokoh kenamaan, malah tokoh nomor satu dari barat yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi dan sakti, juga telah mendapatkan ilmu silat pedang Yang-sin Kiam-sut. Di dunia kang-ouw jarang ada yang mampu menandingi dirinya.

Ada pun orang ke dua biar pun tidak ternama dan hanya merupakan murid Hoa-san-pai, akan tetapi Kwa Hong sekarang sama sekali tidak boleh disamakan dengan Kwa Hong dahulu pada saat menjadi murid Hoa-san-pai. Kwa Hong telah mempelajari ilmu dari Koai Atong, terutama Jing-tok-ciang dan di samping ini, yang membuat ia sekarang sekaligus berubah menjadi seorang yang luar biasa adalah ilmu silat yang ia petik bersama Koai Atong dari gerakan-gerakan rajawali emas yang sekarang menjadi teman dan binatang tunggangannya.

Li Cu maklum bahwa kepandaian dua orang ini hebat sekali. Ketika dia teringat bahwa pedang di tangan Kwa Hong ternyata merupakan sebatang pedang pusaka yang ampuh, ia pun kuatir kalau-kalau ayahnya akan terdesak dan rusak pedangnya. Maka ia segera berseru,

"Ayah, kau pergunakan Liong-cu-kiam ini!"

Oleh karena Cia Hui Gan juga seorang yang bermata awas dan tadi dapat melihat betapa pedang Kwa Hong dapat menandingi Liong-cu-kiam, ia tidak mau banyak sungkan lagi. Diterimanya pedang Liong-cu-kiam pendek itu dengan tangan kirinya, lalu ia berseru,

"Li Cu, bawa Beng San pergi dari sini. Biar aku menandingi dua iblis jahat ini!"

Akan tetapi Li Cu sendiri adalah seorang pendekar yang berhati baja, mana dia sudi pergi meninggalkan ayahnya yang terancam bahaya dan melarikan diri?

"Tidak, Ayah. Mati hidup aku harus bersamamu, aku harus membantumu. Berikan saja pedangmu kepadaku!"

"Jangan, Li Cu. Kalau hanya menghadapi dua ekor manusia binatang ini, aku sendirian masih sanggup. Kau bawa pergi Beng San, selamatkan dia lebih dulu!"

Li Cu ragu-ragu dan sejenak ia berdiri memandang. Betul saja, biar pun dikeroyok dua, sepasang pedang di tangan ayahnya itu benar-benar hebat, merupakan dua gulung sinar pedang yang berlainan warna, menyambar-nyambar laksana naga di angkasa raya. Ilmu pedang ayahnya benar-benar sudah sampai pada puncaknya. Hebat bukan main sampai Li Cu dalam suasana tegang itu menjadi kagum akan keindahan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang dimainkan ayahnya.

Andai kata Song-bun-kwi dan Kwa Hong mengeroyoknya tidak menggunakan pedang, kiranya tidak akan mungkin Cia Hui Gan kuat mempertahankan diri. Tingkat kepandaian Song-bun-kwi tidak lebih bawah dari pada tingkatnya sendiri, ada pun wanita muda itu benar-benar memiliki ilmu silat yang aneh dan mukjijat sekali.

Baiknya dua orang itu pun bermain pedang, sedangkan senjata pedang adalah permainan Cia Hui Gan semenjak kecil, yang menjadi keahliannya sehingga ia dijuluki Raja Pedang. Maka, menghadapi permainan pedang kedua orang lawannya, Cia Hui Gan merasa lebih mudah untuk tidak saja mempertahankan diri, malah balas mendesak dengan jurus-jurus yang lihai.

Selagi Li Cu berdiam bimbang, mendadak terdengar suara bentakan orang, "Li Cu, kau benar-benar membikin malu aku yang menjadi kekasihmu!"

Li Cu kaget bukan main karena tiba-tiba muncul Tan Beng Kui bersama Hek-hwa Kui-bo! Hek-hwa Kui-bo segera menghunus pedang dan menyerbu ke dalam pertempuran sambil berseru kepada Song-bun-kwi.

"Hi-hi-hi-hi, tua bangka keparat, jangan kau perlihatkan sendiri kelihaian Yang-sin-kiam. Mana yang lebih hebat dibandingkan dengan Im-sin-kiam ilmuku?"

Seperti kita ketahui dalam cerita Raja Pedang, kalau Song-bun-kwi dapat merampas kitab pelajaran Ilmu Pedang Yang-sin-kiam, adalah Hek-hwa Kui-bo yang berhasil merampas kitab pasangannya, yaitu yang mengandung pelajaran Ilmu Pedang Im-sin-kiam!

Dengan munculnya ahli Im-sin-kiam ini, boleh dibilang Cia Hui Gan menghadapi pasangan ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-Sut yang hebat bukan main. Tentu saja ilmu pedang ini tidak sehebat kalau dimainkan oleh satu orang seperti Beng San sebelum dia kehilangan ingatannya. Betapa pun juga, baru dalam gebrakan-gebrakan pertama saja sudah terlihat betapa Cia Hui Gan menjadi sangat sibuk menghadapi serangan-serangan pasangan dari dua orang tokoh ilmu silat kelas tinggi itu!

Li Cu kaget sekali melihat kedatangan bekas suheng dan tunangannya beserta Hek-hwa Kui-bo itu. Ini berarti bertambahnya pihak lawan yang sangat tangguh. Juga di samping kekuatirannya, dia menjadi marah sekali kepada Beng Kui. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menerjang bekas tunangannya itu dengan pukulan-pukulan maut. Ia merasa menyesal bukan main karena ia masih belum sempat mengambil pedang lain setelah Liong-cu-kiam dipinjamkan kepada ayahnya.

"Ha-ha, Li Cu. Kau tak tahu malu, melarikan laki-laki. Hah, perbuatan rendah dan hina."

"Tutup mulut dan jangan mencampuri urusanku!" bentak Li Cu makin marah.

Li Cu memperhebat serangannya. Akan tetapi dengan mudah Beng Kui dapat mengelak. Memang tingkat kepandaian Beng Kui lebih tinggi dari pada kepandaian Li Cu, apa lagi memang dahulu sering kali ia melatih ilmu silat kepada bekas sumoi-nya ini, karena itu gerakan-gerakan Li Cu sudah ia hafal benar.

Tiba-tiba Beng San datang berlari-lari dengan maksud hendak melerai mereka berdua yang sedang bertanding. Sejak tadi ia mendengarkan semua percekcokan dengan pikiran bingung dan hati berdebar. Ia menganggap mereka semua itu juga ‘isterinya’, bicara tidak karuan.

Selagi ia mengerahkan pikirannya untuk menyelami maksud dari semua percakapan yang ganjil itu, tiba-tiba muncul Tan Beng Kui dan di dalam kebingungannya ternyata ia masih dapat ingat dan kenal kepada kakak kandungnya ini. Kini kakak kandungnya itu bertempur melawan isterinya, tentu saja ia menjadi makin bingung dan cepat lari menghampiri untuk mencegah.

"Kui-ko... jangan berkelahi dengan dia. Dia itu isteriku!" tegurnya sambil menggerakkan kedua tangan ke atas untuk mencegah.

"Ha, sudah menjadi isterinya, ya? Sejak kapan?" Beng Kui mengejek sambil memandang kepada Li Cu.

Gadis ini menjadi merah mukanya, akan tetapi dia mengedikkan kepala dan menjawab lantang, "Kalau betul kau mau apa? Bukan urusanmu!"

"Bi Goat, dia ini adalah kakak kandungku, jangan kau bertengkar kepadanya," kata pula Beng San, suaranya penuh permohonan.

“Ha-ha-ha-ha, menjadi isteri seorang gila.” Beng Kui tertawa dan mengejek lagi, kemudian tiba-tiba tangannya menghantam ke depan, tepat mengenai dada Beng San.

"Blukkk!"

Tubuh Beng San terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan jatuh bergulingan. Akan tetapi ia segera bangun kembali dan bertanya dengan mata terbelalak heran.

"Kui-ko, kenapa kau memukulku?" tanyanya berulang-ulang sambil melangkah maju lagi.

Beng Kui tadinya girang karena kini mendapat kenyataan bahwa adik kandungnya yang dahulu lihai itu sekarang benar-benar telah kehilangan kepandaiannya. Tadinya pada saat mendengar berita ini ia masih ragu-ragu.

Ketika tadi ia mendengar Beng San mengaku Li Cu sebagai isteri dan menyebutnya ‘Bi Goat’, ia tahu bahwa adiknya benar-benar sudah kehilangan ingatan. Akan tetapi hal ini belum berarti kehilangan kepandaiannya, karena itu untuk mencobanya ia cepat memukul. Pukulan ini cepat dan tak terduga-duga sehingga Li Cu sendiri tidak sempat mencegah.

Giranglah hati Beng Kui melihat pukulannya tepat sasaran sehingga membuat adik yang ditakuti itu terlempar dan bergulingan. Akan tetapi ia kaget bukan main melihat Beng San bangun lagi dan tidak apa-apa. Padahal pukulannya tadi ia lakukan dengan pengerahan tenaga lweekang.

Ia tidak tahu bahwa tenaga lweekang dan hawa murni di tubuh Beng San masih ada dan secara otomatis bergerak melindungi bagian yang terpukul. Ia mengira bahwa Beng San masih lihai seperti dulu. Akan tetapi melihat sikap Beng San dan mendengar pertanyaan yang berkali-kali itu ia dapat menduga bahwa Beng San masih dilindungi oleh hawa murni di tubuhnya, tapi takkan dapat mempergunakan hawa dan tenaganya untuk menyerang karena semua ilmu telah dilupakannya.

Sementara itu Li Cu marah bukan main melihat Beng San dipukul tadi. Juga ia merasa kuatir kalau-kalau Beng San terluka parah, meski pun ia melihat Beng San sudah bangkit kembali dan malah mendekati Beng Kui. Karena kuatir kalau Beng Kui memukul lagi, Li Cu mendahuluinya dan menyerang dengan hebatnya. Beng Kui tertawa-tawa dan segera melayaninya. Ada pun Beng San terus berteriak-teriak mencegah mereka bertempur.

Hati Li Cu gelisah bukan main. Biar pun ia sedang berhantam dengan Beng Kui, namun ia dapat menangkap dengan pendengaran telinganya yang tajam bahwa keadaan ayahnya mulai terdesak hebat. Hal ini mengguncangkan hatinya dan mengacaukan gerakan kaki tangannya.

"Beng Kui anak durhaka! Lepaskan Li Cu!" tiba-tiba Gia Hui Gan berteriak keras. "Li Cu, bawa Beng San pergi jauh-jauh!"

Akan tetapi kata-katanya itu disambut dengan ketawa mengejek oleh Beng Kui. Cia Hui Gan tidak berdaya menolong puterinya karena tiga orang lawannya makin hebat mendesaknya. Rupanya karena maklum bahwa mereka menghadapi lawan yang sangat tangguh.

Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi dapat bekerja sama dan mempergunakan Yang-sin Kiam-sut dan Im-sin Kiam-sut untuk mengeroyok jago pedang itu. Sedangkan Kwa Hong dengan ilmu silatnya yang tidak karuan akan tetapi dahsyat sekali, terus saja melancarkan serangan-serangan maut.

Li Cu makin gelisah dan kesempatan ini digunakan dengan baik oleh Beng Kui. Sebuah tendangan pada sambungan lutut membuat Li Cu roboh dan susulan totokan membuat gadis itu tidak dapat bergerak pula,

"Jangan pukul isteriku...!" Beng San berseru dan menubruk Li Cu.

Akan tetapi dia pun segera lemas tak dapat bergerak karena ditotok oleh Beng Kui pada dua jalan darahnya yang penting. Kemudian sambil tertawa-tawa Beng Kui mengempit tubuh Li Cu dan Beng San, lalu di bawa pergi lari cepat dari tempat itu.

"Beng Kui... keparat...! Lepaskan Li Cu...!" Cia Hui Gan membentak dan pedang di tangan kanannya meluncur cepat mengejar bayangan Beng Kui.

Orang muda ini maklum akan kehebatan ilmu melempar pedang dari gurunya, ia menjadi pucat dan kaget sekali. Cepat ia mengelak dan merendahkan tubuh, akan tetapi tetap saja pundaknya tertusuk pedang yang meluncur dari belakang. Sambil menjerit kesakitan Beng Kui mempercepat larinya. Tubuh Li Cu serta Beng San masih dikempitnya dan pedang itu pun masih menancap di pundaknya.

Masih untung bagi Beng Kui bahwa pada waktu itu pula Kwa Hong, Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi mendesak Cia Hui Gan sehingga Raja Pedang ini tidak sempat lagi untuk mengejarnya. Malah kini keadaan Cia Hui Gan terdesak hebat karena di tangannya hanya terdapat sebatang pedang pendek, yaitu pedang Liong-cu-kiam karena pedangnya sendiri tadi telah disambitkan ke arah Beng Kui dalam usaha mencegah bekas murid itu menculik puterinya.

Hal ini ditambah lagi dengan hatinya yang risau memikirkan puterinya, maka permainan pedang Cia Hui Gan menjadi agak kalut sehingga kurang kuat bagian pertahanannya. Kesempatan yang baik ini digunakan oleh tiga orang pengeroyoknya untuk menghujankan serangan pedang. Raja Pedang itu kurang cepat dan kulit lambungnya tergores pedang di tangan Kwa Hong.

Darah mengucur dan membasahi bajunya. Rasa perih menimbulkan kemarahan hebat dan mengobarkan semangat perlawanan Cia Hui Gan. Kakek yang gagah perkasa ini lalu mengeluarkan seruan panjang. Pedangnya yang hanya pendek saja itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung, dahsyat sekali. Bunyi nyaring beradunya pedang-pedang pusaka makin sering terdengar dibarengi oleh berpijarnya bunga-bunga api. Namun tiga orang pengeroyoknya juga makin memperhebat tekanan karena mereka merasa penasaran sekali.

Sambil mengerahkan tenaganya yang mukjijat Kwa Hong memutar pedang tiga kali, lalu membalikkan arah pedang menusuk ke arah perut Raja Pedang itu. Pada saat yang sama Hek-hwa Kui-bo dengan gerakan lemas membabat kakinya. Dua penyerangan sekaligus dari dua jurusan ini benar-benar berbahaya dan hebat.

Cia Hui Gan membentak nyaring. Pedangnya berkelebat ketika menangkis tusukan Kwa Hong dan pada saat itu ia harus pula meloncat tinggi-tinggi untuk menghindarkan diri dari babatan pedang Hek-hwa Kui-bo. Detik berikutnya pedang di tangan Song-bun-kwi sudah menyambar datang, menusuk punggung. Cepat ia kembali menurunkan kakinya setelah babatan lewat. Tubuhnya agak miring karena pedangnya masih tergetar dalam menangkis tusukan Kwa Hong, ia tidak sempat lagi mengelak atau menangkis.

Namun dengan gerakan tiba-tiba, lengan kirinya yang ditekuk itu digerakkan sedemikian rupa sehingga sikunya membentur pinggir pedang Song-bun-kwi. Tepat dan cepat sekali gerakan ini dan pedang Song-bun-kwi meluncur lewat pinggir tubuhnya, merobek pakaian dan melukai kulit, tapi ia selamat!

"Bagus!" Song-bun-kwi memuji.

Song-bun-kwi kagum sekali melihat betapa dalam cengkeraman maut itu lawannya masih mampu menyelamatkan diri. Selanjutnya, dengan penuh penasaran hati, ia pun mendesak terus, mainkan Yang-sin Kiam-sut yang bersifat keras itu. Tekanan makin hebat. Cia Hui Gan sudah mengerahkan seluruh tenaga, kegesitan dan mengeluarkan seluruh kemahiran bermain pedang. Namun tetap saja ia didesak terus dan tidak ada jalan keluar lagi baginya kecuali melawan mati-matian. Dia sudah menderita beberapa luka ringan.

Darah membasahi seluruh pakaiannya. Ia sudah terluka di pundak, di pangkal lengan, di kedua paha, malah sebuah tusukan yang agak dalam di punggung membuat gerakannya makin lemah dan lambat. Namun semangatnya tak kunjung padam, sambil mengeluarkan bentakan-bentakan hebat kakek ini mengamuk terus seperti banteng terluka.

Tiba-tiba Kwa Hong mengeluarkan suara melengking yang aneh dan ternyata kemudian bahwa suara ini adalah suara panggilan untuk burung rajawali emas yang semenjak tadi bertengger di cabang pohon besar yang tak jauh dari situ. Segulung sinar kuning emas meluncur turun dibarengi lengking yang seperti tadi keluar dari mulut Kwa Hong.

"Tiauw-heng (Kakak Rajawali), bantulah aku!" seru Kwa Hong sambil memperhebat desakannya kepada Cia Hui Gan.

Burung itu agaknya sudah hafal akan suara dan perintah Kwa Hong. Melihat bahwa nonanya itu bertempur melawan Cia Hui Gan, ia cepat menukik ke bawah menerjang Raja Pedang itu. Tiba-tiba burung itu terbang membalik, berputaran di atas sambil memekik-mekik nyaring. Agaknya ia ragu-ragu dan merasa bingung, kemudian ia menukik lagi dengan kedua kaki bergerak-gerak menyerang.

Cia Hui Gan memang sudah terdesak dan terkurung hebat sekali, sekarang mendadak ia melihat gerakan kedua kaki burung itu. Ia tidak dapat menangkis lagi dan... secara aneh sekali tahu-tahu pedang di tangannya sudah dicengkeram oleh burung itu dan dibetot terlepas dari tangannya. Cia Hui Gan tadi terkejut melihat gerakan burung itu yang ia kenal. Kemudian teringatlah ia bahwa gerakan itu mirip, bahkan tidak ada bedanya dengan gerakan Sian-li Teng-liong (Bidadari Menunggang Naga), sebuah gerakan yang terahasia dari ilmu silatnya Sian-li Kiam-sut.

"Kau... kau...!" serunya terheran-heran.

Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu tiga batang pedang sudah ambles memasuki tubuhnya. Cia Hui Gan tidak mengeluarkan suara lagi, roboh dan tewas di saat itu juga! Sungguh patut disesalkan nasib seorang Raja Pedang yang namanya sudah puluhan tahun gemilang dikagumi orang, ternyata sekarang harus mengorbankan nyawa gara-gara asmara yang telah menguasai hati puterinya!

"Berikan Liong-cu-kiam itu kepadaku!" bentak Song-bun-kwi sambil melotot kepada Kwa Hong yang sudah menerima pedang pusaka itu dari burung rajawalinya.

"Tidak, harus kau berikan kepadaku!" Hek-hwa Kui-bo membentak sambil menerjang maju hendak merampas Liong-cu-kiam yang amat diinginkan itu.

Akan tetapi, sekali Kwa Hong menggerakkan kaki secara aneh, usaha Hek-hwa Kui-bo untuk merampas pedang itu gagal dan ia hanya menangkap angin. Diam-diam nenek ini kaget sekali. Biar pun tadi dalam pengeroyokan atas diri Raja Pedang ia sudah mendapat kenyataan betapa lihainya wanita muda ini, namun tak pernah disangkanya akan demikian hebat sehingga serangannya merampas pedang dapat digagalkan hanya dengan sedikit menggerakkan kaki saja!

"Kalian ini tua bangka tak tahu diri! Bukalah matamu baik-baik dan lihat kepada siapa kalian bicara! Kalau tidak ada aku dan rajawali emasku, mana bisa kalian mengalahkan Bu-tek Kiam-ong? Sekarang masih berlagak hendak merampas pedang? Lihat, yang di tangan kananku adalah Hoa-san Po-kiam, pedang pusaka Hoa-san-pai yang menandakan bahwa aku adalah Ketua Hoa-san-pai. Dan di tangan kiriku ini adalah Liong-cu-kiam yang menandakan bahwa aku lebih lihai dari pada Bu-tek Kiam-ong dan tentu saja lebih lihai dari pada kalian para tua-tua bangka. Mau pedang? Hi-hi-hi, bila kalian sudah mengidam kuburan, boleh, majulah untuk kutebas batang leher kalian seorang satu!" Ia menyodorkan kedua pedang itu ke depan sambil tersenyum-senyum penuh ejekan.

Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi saling pandang. Baru satu kali selama hidup mereka itu mereka menerima hinaan dan kekalahan dari seorang muda, yaitu dari Beng San. Dan sekarang ada seorang gadis muda lagi yang mengejek dan menantang mereka. Tanpa mengeluarkan suara, saling pandang ini cukup bagi dua orang tokoh itu bersepakat untuk mencoba kepandaian mereka yang sebetulnya berpasangan itu kepada gadis aneh ini. Serentak keduanya bergerak menyerang Kwa Hong...
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12