Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 04
Orang
pertama bertubuh tinggi besar dan mukanya buruk sekali, kehitaman dan bopeng.
Orang ke dua adalah yang tampan dan gagah itu, sedangkan orang ke tiga
mengerikan sekali dengan matanya yang merah. Belum pernah ia mendengar nama
Ho-hai Sam-ong dan diam-diam dia menduga-duga sampai di mana kelihaian mereka
sehingga Hek-hwa Kui-bo yang terkenal sebagai iblis itu kelihatan sungkan
bermusuhan.
"Ha-ha-ha,
bagus sekali! Mata Kiang-te memang tajam, sudah dapat menduga ilmu silat baik
dan pedang pusaka. Nona, bukankah pedangmu itu yang disebut Liong-cu-kiam? Ke
mana yang sebuah lagi? Ha-ha-ha, Nona, kau berhadapan dengan Ho-hai Sam-ong.
Aku sendiri dijuluki orang Lui Cai Si Bajul Besi, mereka ini adalah adikku
Kiang Hun Si Naga Sungai dan Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah! Ayahmu Cia Hui
Gan sudah pasti pernah mendengar nama kami. Nona, setelah ternyata kau adalah
puteri Cia Hui Gan, lebih-lebih lagi kami hendak mengundang kau untuk
berkunjung ke tempat kami. Ada sesuatu yang amat penting harus kami bicarakan
dengan kau. Bukankah kau ini adik seperguruan dari Tan Beng Kui dan sudah
menjadi tunangannya pula? Ha-ha, kebetulan sekali, kebetulan sekali! Kesempatan
begini bagus mana kami mau lewatkan begitu saja?"
Li Cu
terkejut juga. Agaknya ada sesuatu di antara mereka ini dengan Beng Kui. Akan
tetapi ia tidak peduli lagi. Jawabnya marah, "Tidak peduli kalian siapa
dan ada urusan apa dengan suheng-ku, aku tetap tidak mau menjadi tamu kalian
dan minta turun mendarat."
"Kalau
kami melarang?" tanya Si Naga Sungai Kiang Hon yang tampan itu.
"Kalian
sudah tahu akan nama pedangku, jadi kalau kalian melarang, berarti kalian akan
berkenalan dengan tajamnya Liong-cu-kiam!"
Tiga orang
tua itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha," kata Thio Ek Si Cucut Mata
Merah, "Kau belum mengenal kelihaian Ho-hai Sam-ong! Di darat kau boleh
mengaku puteri Si Raja Pedang, akan tetapi di sungai jangan harap kau akan
dapat menjagoi."
"Tidak
peduli, aku tidak takut!" jawab Li Cu marah.
Si Cucut
Mata Merah itu lalu tertawa-tawa dan mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu
sebuah ruyung meruncing yang bentuknya seperti kikir, tepinya berduri-duri
banyak sekali. Senjata ini mirip dengan senjata pada mulut ikan cucut, akan
tetapi lebih hebat lagi.
"Kita
boleh main-main sebentar dengan Nona ini!" berkata pula Kiang Hun Si Naga
Sungai sambil dia mengeluarkan senjatanya yang juga aneh, yaitu semacam tambang
lemas dan kuat, tambang yang biasanya untuk mengikat perahu di waktu berlabuh.
"Bagus,
memang aku pun ingin merasai kelihaian Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang dari
dulu sudah menggegerkan dunia persilatan," kata Lui Cai Si Bajul Besi
sambil menerima senjatanya dari anak buahnya yang sudah siap, yaitu sebatang
dayung baja yang panjang dan berat.
Melihat
betapa ketiga Sam-ong ini sudah siap dengan senjata mereka yang hebat, Li Cu
pun cepat bergerak. Nona ini maklum bahwa ia tak mempunyai harapan untuk
membujuk dengan omongan halus, terpaksa harus mengadu kepandaian untuk memaksa
mereka. Nyalinya memang besar sekali, biar pun ia sudah dapat menduga bahwa mereka
ini terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun ia tidak
takut.
"Lihat
pedang!" teriaknya dan tubuhnya langsung berkelebat, lenyap terbungkus
gulungan sinar pedangnya yang luar biasa itu.
"Kiam-hoat
(ilmu pedang) bagus!" tiga orang kakek itu berseru hampir serempak sambil
menggerak-gerakkan senjata masing-masing menangkis.
“Trangg!
Trangg!”
Terdengar
bunyi dentang dua kali ketika pedang Liong-cu-kiam di tangan Li Cu bertemu
dengan ruyung dan dayung. Ujung ruyung dan dayung itu terbabat sedikit, tapi
tangan Li Cu juga tergetar karena pertemuan senjata itu dan ketika tambang di
tangan Kiang Hun membelit pedangnya, hampir saja pedang itu dapat dirampas bila
Li Cu tidak cepat-cepat menarik kembali pedangnya dan melompat mundur dengan
segera.
"Pedang
bagus!" Lui Cai dan Thio Ek Sui yang terusak ujung senjatanya berseru
sambil memeriksa senjata mereka.
Juga Li Cu
diam-diam kaget bukan main karena dalam gebrakan pertama tadi hampir saja
pedangnya terlepas oleh Kiang Hui Si Naga Sungai yang bersenjata tambang itu.
Selain ini ia cukup maklum bahwa para lawannya memiliki tenaga yang bukan main
besarnya sehingga selanjutnya ia harus berlaku hati-hati sekali.
Di lain
pihak tiga orang Sam-ong itu kini tidak berani memandang rendah kepada nona
muda dengan pedangnya yang ampuh itu. Hanya sejenak saling pandang mereka sudah
mengambil keputusan untuk mengerahkan kepandaian supaya jangan sampai kalah
oleh seorang gadis muda. Kiang Hun Si Naga Sungai memutar-mutar tambangnya,
makin lama dia mengulur makin panjang. Tambang itu mendesing di udara dan
mengeluarkan bunyi mengerikan dibarengi angin sambarannya yang dahsyat.
Lui Cai juga
menggerakkan dayung bajanya yang panjang dan berat sehingga berubah menjadi lingkaran
sinar kehitaman yang bersiutan. Ada pun Thio Ek Sui juga memainkan ruyungnya,
merubah ruyung yang hanya sebuah itu menjadi belasan buah nampaknya, dan setiap
bayangan ruyung mempunyai gerakan sendiri seakan-akan ada belasan orang yang
memainkan ruyung.
Hebat sekali
tiga orang ini sehingga diam-diam Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li menjadi
kagum. Diam-diam mereka bersyukur bahwa mereka tadi tidak memusuhi tiga orang
raja bajak itu. Li Cu sendiri ketika menyaksikan ini maklum bahwa seorang diri
saja ia tak akan menang menghadapi tiga lawan berat ini. Apa lagi di situ masih
ada Hek-hwa Kui-bo dan muridnya yang kalau setiap waktu maju pula, tentu dia
akan celaka. Maka ia segera mengeluarkan suara ejekan, “Ho-hai Sam-ong? Tiga
orang tua yang menyebut diri raja-raja menghadapi seorang gadis muda dengan
mengeroyok?"
"Ha-ha-ha,
Nona, apakah kau takut?" kata Lui Cai.
Pertanyaan
macam inilah yang menjadi pantangan bagi Li Cu. Sejak kecil ia telah dididik
untuk memiliki jiwa satria yang tidak pernah mengenal artinya takut, apa lagi
kalau hal itu dikemukakan oleh orang lain.
Ia mengertak
gigi dan membentak, "Siapa takut? Biarlah hari ini aku Cia Li Cu mengadu
nyawa dengan kalian tiga orang tua bangka tak tahu malu!"
Setelah
berkata demikian, cepat ia mainkan jurus-jurus Sian-li Kiam-sut yang amat indah
dan hebat dan sengaja ia mainkan jurus pertahanan saja untuk menyelamatkan
dirinya.
"Ha-ha-ha,
Nona Cia yang gagah, kami sama sekali tak menghendaki nyawamu, hanya terpaksa
menahanmu di sini," demikianlah kata Lui Cai. "Jiwi-sute, mari kita
tangkap dia tanpa melukainya, kalau kita tidak bisa melakukan itu percuma saja
kita menjadi Ho-hai Sam-ong!"
Hal ini
memang jauh lebih mudah diucapkan dari pada dilaksanakan. Mengalahkan Li Cu
tanpa melukainya merupakan hal yang bukan main sukarnya, bagaikan orang hendak
menangkap burung walet tanpa memanahnya roboh. Gerakan Li Cu selain gesit dan
ringan juga ilmu pedangnya amat sulit diikuti. Gerakannya aneh dan sinar
pedangnya bergulung-gulung melindungi seluruh tubuhnya sehingga andai kata
turun hujan, tidak akan ada setetes pun air hujan dapat membasahi tubuhnya!
Namun harus
diakui bahwa Li Cu terdesak hebat. Gadis ini merasa seakan-akan sedang
menghadapi benteng baja yang amat kokoh kuat dan dari benteng baja itu
bertubi-tubi datang penyerangan yang sangat berbahaya. Dia sama sekali tidak
diberi kesempatan menyerang dan dipaksa untuk terus-menerus mempertahankan
dirinya. Delapan puluh jurus lebih telah lewat dan perlahan-lahan Li Cu merasa
kepalanya pening. Dia harus memperhatikan gerakan tiga macam senjata lawan. Hal
ini membuat ia pening dan berkunang-kunang matanya.
"Huh,
hanya begini sajakah kegagahan puterinya Bu-tek Kiam-ong?” Kiang Hun mengejek
sambil memutar senjata tambangnya sehingga membuat mata Li Cu makin berkunang.
"Lepas
senjata!" Lui Cai dan Thio Ek Sui membentak keras. Berbareng senjata
mereka, dayung baja dan ruyung yang berat itu menyambar dari kanan kiri untuk
memukul runtuh pedang Li Cu yang agak terlambat gerakannya karena matanya
berkunang-kunang.
"Tranggg...
tranggg...!"
Ruyung dan
dayung patah menjadi dua ketika terkena Liong-cu-kiam, akan tetapi pedang itu
sendiri terlepas dari pegangan Li Cu karena telapak tangannya pecah oleh
benturan senjata tadi dan kini, Liong-cu-kiam meluncur dan menancap ke atas dek
perahu. Pada saat itu juga, tambang yang digerakkan oleh Kiang Hun secara hebat
itu sudah datang membelit-belit tubuh Li Cu sehingga gadis itu tak dapat
berkutik lagi.
Namun, biar
pun seluruh tubuhnya terlibat tambang yang amat kuat, gadis itu masih terus
berdiri tegak dengan kepala dikedikkan dan sepasang mata bintangnya memancarkan
cahaya berapi-api.
"Kalian
tua bangka-tua bangka dengan cara pengeroyokan telah dapat mengalahkan aku.
Sekarang aku telah tertangkap, mau bunuh boleh lekas bunuh!" bentaknya
gagah.
"Ha-ha,
kau benar-benar gagah perkasa Nona. Tapi kami tidak bermaksud membunuhmu, hanya
ingin menahanmu untuk memaksa tunanganmu berunding dengan kami!" kata Lui
Cai Si Bajul Besar.
"Sam-ong
harap jangan gegabah. Lebih baik bocah liar ini cepat dibunuh dan mayatnya
dilempar ke sungai. Kalau dia ditahan dan sampai tersusul oleh bocah siluman
Tan Beng San, bisa-bisa kalian mengalami hari naas!" kata Hek-hwa Kui-bo.
Tiga orang
itu mengerutkan keningnya ketika menoleh ke arah pembicara ini.
"Kui-bo,
siapa itu Tan Beng San yang kau pakai untuk menakut-nakuti kami?"
Hek-hwa
Kui-bo tersenyum mengejek. "Hemm, kalian boleh tidak takut terhadap bocah
liar ini atau terhadap ayahnya sekali pun. Akan tetapi jangan main-main kalau
menghadapi Tan Beng San adik Tan Beng Kui itu, dialah sesungguhnya Raja Pedang
di dunia ini yang memiliki Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut."
Tiga orang
itu saling pandang, kemudian tertawa bersama. "Adik Tan Beng Kui? Masih
adakah orang muda begitu hebat? Boleh... boleh, kebetulan sekali, biarkan dia
datang pula agar lebih enak kita bicara dengan Tan Beng Kui kelak.
Ha-ha-ha!"
Setelah
berkata demikian Lui Cai memberi perintah kepada sute-nya, yaitu Kiang Hun
untuk melepaskan ikatan tambang pada tubuh Li Cu. Dia sendiri lalu mengambil
pedang Liong-cu-kiam dan disimpannya.
Tiga orang
yang berani melepaskan kembali Li Cu begitu saja terang memandang rendah kepada
gadis ini setelah terampas pedangnya. Li Cu sendiri juga tidak gegabah untuk
kembali mengamuk sesudah Liong-cu-kiam terampas. Ia cukup cerdik untuk tidak
berlaku sembrono.
"Asal
kau tidak memberontak, kami tidak merasa perlu untuk mengikat atau menotok
jalan darahmu," kata Lui Cai. "Kami juga berharap, selama kau menjadi
tamu, kau tidak akan membikin ribut dan bertengkar dengan Hek-hwa Kui-bo dan
muridnya."
Li Cu menjatuhkan
diri duduk di atas bangku. Ia merasa tidak berdaya dan jengkel sekali. Baru
sekali ini dia dibikin tidak berdaya oleh orang lain tanpa mampu melampiaskan
rasa dongkol di hatinya.
"Ho-hai
Sam-ong, jangan berlaku rahasia. Kalian menahanku sebetulnya dengan maksud
apakah?" tanyanya berani.
"Sama
sekali bukan dengan maksud buruk," kata Lui Cai sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Nanti kita bicarakan sambil kita
makan."
Ia lalu
memberi perintah kepada para anak buah bajak yang berada di perahu itu untuk
menyiapkan hidangan. Meja besar diatur penuh hidangan untuk enam orang, yaitu
pihak tuan rumah tiga orang dan para tamu tiga orang pula.
Baik Hek-hwa
Kui-bo dan muridnya mau pun Li Cu diperlakukan dengan sikap hormat dan baik
sehingga bagi mereka ini tiada kesempatan untuk merasa kurang senang. Sementara
itu, tanpa terasa karena besarnya, perahu itu semenjak tadi meluncur mengikuti
aliran air, ditambah kecepatannya dengan layar yang berkembang.
Tanpa
sungkan-sungkan Li Cu makan dan minum hidangan yang serba lezat itu sambil
mendengarkan penuturan Lui Cai Si Bajul Besi yang menjadi orang tertua di
antara Ho-hai Sam-ong.
"Kalau
dibicarakan membikin orang menjadi tak enak makan dan tak nyenyak tidur saking
penasaran," demikian Si Baju Besi mulai penuturannya. Selanjutnya ia
bercerita demikian.
Ketika
rakyat memberontak terhadap Pemerintah Mongol, tidak hanya para orang gagah di
dunia kang-ouw yang ikut berjuang di samping rakyat kecil. Akan tetapi juga
banyak di antara mereka yang tergolong tokoh-tokoh dunia hitam (penjahat) juga
bangkit semangat patriotnya dan ikut pula berjuang mati-matian. Di antara
mereka ini yang paling hebat dan gigih perjuangannya adalah Ho-hai Sam-ong
inilah.
Merekalah
yang banyak berjasa dalam penyeberangan para pejuang, dengan pengiriman ransum
bagi para pejuang dan banyak pula pihak musuh mereka hancurkan di sepanjang
lembah Sungai Huang-ho. Malah dalam perjuangannya ini, tidak hanya Ho-hai
Sam-ong kehilangan banyak anak buah yang gugur, bahkan Lui Cai dan Thio Ek Sui
kehilangan putera mereka yang ikut gugur dalam perjuangan itu.
Akan tetapi,
setelah perjuangan berhasil, mereka menjadi kecewa. Memang, tidak dapat
disangkal lagi bahwa manusia-manusia yang bukan patriot sejati, ikut berjuang
karena mempunyai pamrih (ambisi), mempunyai pengharapan agar kalau perjuangan
itu berhasil, dia tidak dilupakan dan diberi jasa sebanyaknya. Demikian pula
dengan Ho-hai Sam-ong. Mereka seakan-akan dilupakan, malah ketika mereka
menonjolkan jasa, para pembesar baru di kota raja tidak mau menerima, malah
mencurigai mereka yang memang berasal dari golongan bajak.
"Ciu
Goan Ciang orang serakah yang tak kenal kawan seperjuangan!" demikianlah
Lui Cai menutup ceritanya. "Setelah perjuangan berhasil dan dia menduduki
singgasana menjadi kaisar, ia lupa bahwa tanpa bantuan orang-orang lain tak
mungkin ia dapat mengalahkan orang-orang Mongol. Dia tidak menghargai jasa
orang lain, malah berusaha melenyapkan semua tokoh pejuang yang ia anggap
sebagai saingannya dalam merebutkan kedudukan tinggi. Siapakah yang tidak
penasaran?"
Li Cu yang
mendengarkan cerita ini sebenarnya tidak merasa aneh karena dia sendiri sering
kali berada di kota raja dan cerita tentang perebutan pahala antara para tokoh
pejuang ini sudah dia ketahui. Memang banyak bekas pejuang tidak puas dengan
sikap Ciu Goan Ciang dan banyak pula yang iri hati sehingga setelah mereka
semua berhasil menumbangkan kekuasaan Mongol dari tanah air, sekarang di antara
mereka sendiri timbul perebutan dan permusuhan.
"Jika
kalian merasa sangat penasaran kepada kaisar baru, mengapa menahan aku? Apa
hubunganku dengan segala macam perebutan kekuasaan dan saling menonjolkan
pahala itu?" tanya Li Cu heran, juga penasaran.
Lui Cai
menarik napas panjang. "Sudah kukatakan tadi bahwa yang merasa tidak puas
terhadap Ciu Goan Ciang ini jumlahnya banyak sekali. Sayangnya, perasaan mereka
ini membangkitkan pemberontakan menyendiri hingga terjadi permusuhan dan
perpecahan. Di antara saingan kami itu adalah Pangeran Lu Siauw Ong yang
kelihatannya paling besar keinginan hatinya untuk merampas singgasana dari
tangan kaisar baru. Bagi kami, sama sekali tidak mempunyai keinginan menjadi
kaisar, kami hanya ingin menghukum Ciu Goan Ciang yang tidak menghargai jasa
orang. Nah, kau tahu sekarang. Suheng-mu itu adalah orang kepercayaan Lu Siauw
Ong, malah kini menjadi tangan kanannya. Sudah beberapa kali kami hendak
mengajak Lu Siauw Ong bekerja sama untuk menggulingkan Ciu Goan Ciang akan tetapi
mereka itu, terutama suheng-mu, memandang rendah kepada kami. Sekarang,
kebetulan kau menjadi tamu kami, hendak kami lihat apakah Tan Beng Kui masih
hendak berkeras kepala dan terlalu angkuh!"
Mendengar
ini, hati Li Cu serasa tertusuk karena dia segera terkenang akan nasibnya.
Agaknya tiga orang kepala bajak ini juga masih belum tahu betul apa yang
baru-baru ini terjadi. Ia masih dianggap tunangan Beng Kui sehingga kini dia
dijadikan tawanan untuk memancing datangnya Beng Kui agar suka diajak bersekutu
oleh Sam-ong ini.
Teringatlah
ia betapa Beng Kui sudah mengkhianatinya dalam ikatan jodoh mereka. Tan Beng
Kui tidak saja menjadi pembantu dan tangan kanan Lu Siauw Ong, malah sekarang
telah menjadi mantunya!
Ya, Tan Beng
Kui suheng-nya sekaligus tunangannya itu setelah selesai perjuangan juga
terserang demam ambisi. Setelah dia dekat dengan Pangeran Lu Siauw Ong dan
diberi janji-janji kedudukan tinggi, suheng-nya menjadi mabok. Malah akhirnya,
demi mencapai cita-cita ambisinya, Beng Kui meninggalkannya, memutuskan ikatan
jodoh dengannya dan suka dikawinkan dengan Lu-siocia, puteri Lu Siauw Ong!
Inilah yang
membuat hati Li Cu hancur dan gadis ini lalu minggat dari kota raja, tidak mau
pulang ke Thai-san. Dia merantau dengan hati hancur sehingga ia tiba di tempat
tinggal suci-nya, Lee Giok. Tadinya ia hendak mengeluh dan mengadukan nasibnya
yang buruk kepada Lee Giok itu. Tetapi siapa kira Lee Giok sendiri sedang
ditimpa mala petaka sekeluarga sehingga dia yang tadinya ingin menolong
sekarang akibatnya malah tertawan oleh Ho-hai Sam-ong dan dipergunakan untuk
memancing datangnya Tan Beng Kui! Ahhh, kalau nasib sedang mempermainkan orang.
Ia pun tidak mau banyak cakap lagi. Malah diam-diam ia hendak melihat apa yang
akan menjadi reaksi dari pihak Tan Beng Kui apa bila mendengar bahwa dia
menjadi tawanan Ho-hai Sam-ong.
Sementara
itu ia mendengar betapa tiga orang kepala bajak itu membujuk-bujuk Hek-hwa
Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li untuk membantu usaha mereka dan betapa guru dan
murid itu menyanggupi. Tapi ia tidak pedulikan itu semua dan perahu terus
meluncur cepat…..
***************
Seperti
halnya dengan Li Cu, Beng San juga mengejar ke selatan, sama sekali dia tidak
mengira bahwa Giam Kin yang menculik Lee Giok itu lari menuju ke utara. Mudah
saja bagi Beng San untuk mengikuti jejak tiga orang wanita yang saling
berkejaran itu karena di sepanjang perjalanan ia selalu bisa mendapat
keterangan tentang mereka. Akhirnya ia sampai juga di dusun kecil di pinggir
Sungai Huang-ho di mana telah terjadi pertempuran antara Li Cu dan Ho-hai
Sam-ong. Tentu saja ia segera mendengar dari para nelayan bahwa gadis baju
merah yang dicarinya itu telah datang ke tempat itu pada dua hari yang lalu.
Malah ia
juga mendengar cerita yang amat menarik akan tetapi mendebarkan jantungnya tentang
peristiwa di perahu Ho-hai Sam-ong. Beng San sendiri belum pernah mendengar
nama ini, akan tetapi mendengar penuturan para nelayan, dia tahu bahwa tiga
orang itu adalah kepala-kepala bajak yang berkepandaian tinggi dan amat
berpengaruh. la pun mendengar bahwa Ho-hai Sam-ong mempunyai sarang di dekat
kota Cin-an, yaitu di sebuah perkampungan bajak di pinggir Sungai Huang-ho
tidak jauh dari kota itu, dan mendengar bahwa anak buah bajak laut dan bajak
sungai yang menjadi anak buah tiga raja bajak itu ratusan orang jumlahnya,
semua dipusatkan di perkampungan itu. Karena sama sekali tidak bisa mendapat
keterangan tentang Giam Kin yang membawa Lee Giok, Beng San merasa ragu-ragu,
akan tetapi ia melanjutkan perjalanan dengan maksud untuk menolong Li Cu yang
jatuh ke dalam kekuasaan para bajak.
Tidak ada
seorang pun nelayan yang berani ke sarang bajak di dekat Cin-an. Terpaksa Beng
San melakukan perjalanan melalui darat mengikuti sepanjang pantai Huang-ho
terus ke timur. Ia melakukan perjalanan cepat karena ia menguatirkan
keselamatan Li Cu, juga ingin lekas-lekas bertemu dengan gadis itu untuk
bertanya tentang nasib Lee Giok yang masih belum ia ketahui.
Sama sekali
orang muda itu tidak tahu bahwa di dusun kecil itu, seperti juga di semua
tempat di sepanjang Sungai Huang-ho, terdapat beberapa orang anggota bajak
sungai yang bertugas sebagai penyelidik. Para penyelidik inilah yang selalu
memberi tahu pada kawan-kawannya tentang perahu-perahu pedagang atau
perahu-perahu pembesar yang hendak lewat, malah mereka bertugas pula untuk
mencari keterangan perahu mana yang membawa barang berharga sehingga semua
pekerjaan yang dilakukan Ho-hai Sam-ong selalu berhasil baik.
Beberapa
orang penyelidik ini sudah diberi tahu tentang keadaan Beng San yang mereka
dengar dari Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li. Maka begitu orang muda ini
muncul, mereka segera mengenalnya dan cepat-cepat mereka mengirim berita ke
tempat tinggal Ho-hai Sam-ong!
Inilah
sebabnya mengapa Beng San menjadi terheran-heran dan kagum sekali ketika ia tiba
di luar perkampungan bajak di tepi Sungai Huang-ho pada keesokan harinya di
waktu senja, ia menghadapi barisan bajak di luar kampung yang sudah menanti
kedatangannya!
Barisan
bajak itu terdiri dari seratus orang, dibagi menjadi empat lapisan dan di tiap
lapis dipimpin oleh seorang kepala bajak yang gagah. Lapis pertama adalah
barisan bersenjata tombak, lapis ke dua barisan bersenjata golok, lapis ke tiga
barisan ruyung dan ke empat barisan pedang.
"Orang
muda, apakah engkau yang bernama Tan Beng San dan datang ke mari hendak
membebaskan Nona Cia Li Cu?" demikian kepala bajak di barisan terdepan
membentak dengan suaranya yang keras parau.
Beng San
dalam keheranan dan kekagumannya hanya tersenyum tenang. "Memang betul
dugaanmu, harap kau suka minta kepada Ho-hai Sam-ong supaya mau keluar dan
bicara denganku."
Kepala bajak
itu tertawa sombong. "Ho-hai Sam-ong sudah tahu akan kedatanganmu dan
mempersilakan kau menerjang maju kalau kau memang gagah!"
Beng San
mengukur dengan sudut matanya. Walau pun tidak mudah, agaknya dia masih sanggup
menerjang masuk. Akan tetapi, di luar kampung saja penjagaan sudah begini
ketat, apa lagi di dalam kampung, tentu lebih diperkuat dan kiranya tidak mudah
baginya untuk menolong Li Cu.
"Hemmm,
tadinya kusangka nama besar Ho-hai Sam-ong mewakili tiga orang yang gagah
perkasa. Tak tahunya hanya pengecut-pengecut yang mengandalkan pengeroyokan
anak buahnya untuk menakut-nakuti aku!"
Para bajak
menjadi marah. "Orang muda, kau jangan lancang membuka mulut!"
demikian kepala bajak membentak dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk
mengeroyok Beng San. Tombak-tombak sudah bergerak mengerikan. Akan tetapi pada
saat itu terdengar suara keras bergema dari dalam kampung.
"Orang
muda she Tan, Ho-hai Sam-ong tidak takut kepadamu. Anak buah menjaga di luar
kampung dan melarang setiap orang asing masuk adalah menjadi kebiasaan kami.
Kalau ada keberanian, malam ini kami menanti di ruangan rumah kami dan kau
boleh coba-coba membebaskan Nona Cia dari tangan kami bertiga. Ha-ha-ha!"
Mendengar
ini, barisan bajak yang mengenal suara Kiang Hun, tidak berani sembarangan
bergerak. Beng San juga dapat mengetahui bahwa itu tentulah suara seorang di
antara ketiga Sam-ong, maka diam-diam ia maklum bahwa orang itu memiliki
khikang yang kuat dan merupakan lawan berat.
Ia pun lalu
berkata perlahan, "Baik Ho-hai Sam-ong, malam nanti aku pasti datang untuk
mengagumi kepandaian kalian."
Bagi barisan
di depan Beng San, orang muda ini hanya terlihat menggerakkan bibir terus
membalikkan tubuhnya dan pergi. Akan tetapi bagi Ho-hai Sam-ong di dalam
kampung, mereka bertiga mendengar suara ini dengan jelas meski pun
perlahan-lahan.
Diam-diam
mereka kagum sekali karena khikang yang dipergunakan oleh orang muda itu untuk
‘mengirim suara’ merupakan kepandaian yang sudah mencapai tingkat tinggi
sekali. Maka mereka kemudian bersiap-siap untuk menghadapi kedatangan pemuda
yang oleh Hek-hwa Kui-bo dipuji-puji kepandaiannya itu. Malam itu gelap gulita.
Hal ini amat menguntungkan Beng San karena biar pun penjagaan di luar kampung
diperketat, namun berkat kepandaiannya ia dapat juga menerobos untuk dilindungi
oleh kegelapan malam. Sebelum para penjaga mengetahui, ia sudah berada di atas
genteng rumah terbesar di kampung itu.
Ketika ia
melihat, ternyata pihak tuan rumah sudah siap sedia. Ruangan yang amat luas di
situ sudah dipasangi lampu penerangan yang banyak dan terang sekali. Ia melihat
pula Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li berpakaian indah sekali sehingga nampak
cantik menarik. Wanita ini sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki
setengah tua yang tampan.
Dia tidak
tahu bahwa laki-laki itu adalah Kiang Hun Si Naga Sungai yang selain lihai dan
tampan, juga terkenal mata keranjang, maka tidak ingin membuang kesempatan
untuk beramah tamah dengan Kim-thouw Thian-li yang juga ‘tua-tua kelapa’ itu.
Di dekat Kiang Hun duduk Lui Cai Si Bajul Besi dan Thio Ek Sui Si Cucut Mata
Merah. Di ujung kiri duduk seorang gadis tanggung berusia paling banyak lima
belas tahun, mukanya cantik dan bentuk wajahnya seperti Kiang Hun.
Memang dia
ini adalah puteri tunggal dari Kiang Hun yang bernama Kiang Bi Hwa. Semua orang
yang duduk di sini agaknya sudah siap karena semua, kecuali gadis tanggung itu,
membawa senjata masing-masing. Kiang Bi Hwa tidak bersenjata. Ia hanya memegang
sebuah kipas yang bergagang gading dan tersulam indah sekali.
Semua tampak
tenang, hanya gadis tanggung ini yang agaknya gelisah, ataukah memang dia
merasa hawanya panas? Tiada hentinya dia mengebut-ngebutkan kipasnya di depan
leher. Yang membuat darah Beng San menjadi panas adalah pada waktu ia melihat
ke tengah ruangan yang kosong itu. Di situ ia melihat Cia Li Cu duduk di atas
sebuah kursi dengan kaki tangan terbelenggu!
Gadis itu
tidak dapat bergerak sama sekali, namun duduknya masih kaku tegak, kepala
dikedikkan dan sepasang matanya berapi-api. Sedikit pun tidak kelihatan takut,
hanya kemarahan dan perlawanan yang tampak di muka yang cantik jelita namun
kelihatan lesu dan lelah serta pucat itu.
Hal ini
tidak mengherankan oleh karena gadis ini dalam kemarahannya yang meluap-luap
karena dirinya dijadikan ‘umpan’ ini, telah menolak untuk makan dan tak dapat
tidur sama sekali. Ia malah melakukan perlawanan sehingga terpaksa dia
dikeroyok, ditotok hingga tidak berdaya kemudian dibelenggu! Pedang
Liong-cu-kiam malam itu sengaja diletakkan di lantai, tepat di depan gadis
tawanan itu.
Melihat
Liong-cu-kiam yang pendek itu, Beng San mengilar sekali. Kalau saja pedang itu
berada di tangannya, akan lebih mudah ia membebaskan Li Cu. Akan tetapi ia pun
bukan orang bodoh. Kalau pihak lawan sudah sengaja menaruh pedang itu di sana,
tentu di balik perbuatan ini ada maksud tersembunyi yang amat berbahaya. Dia
tidak boleh gegabah, tidak boleh sembrono dan harus berlaku hati-hati serta
bersikap waspada.
Tiba-tiba
telinganya yang tajam mendengar sesuatu dan matanya melihat bayangan orang
berkelebat di sebelah depan. Cepat ia menyelinap ke belakang wuwungan dan
mengintai. Hampir ia tidak dapat menahan ketawanya saat melihat ada tiga orang
lain juga mengintai dari atas genteng ke bawah!
Hatinya
berdebar. Siapakah mereka? Apakah mereka juga datang untuk membebaskan Li Cu?
Mungkin sekali. Cia Li Cu adalah puteri tunggal dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui
Gan, maka sekali terkena bencana tentu akan menarik hati orang-orang gagah
untuk turun tangan menolongnya.
Beng San
bersikap menanti, hendak melihat apakah yang akan dilakukan oleh tiga orang itu
yang melihat gerak-geriknya adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi. Kalau tiga
orang yang datang mengintai itu merupakan orang-orahg lihai, kiranya yang
berada di bawah juga tidak kalah lihainya.
Tiba-tiba
Lui Cai Si Bajul Besi berdongak ke arah tiga orang 'tamu malam’ itu dan
berkata, suaranya keras, "Sudah berani datang kenapa tidak terus masuk?
Ada maksud lebih baik dibicarakan di dalam, kami sudah lama menanti!"
Seorang di
antara tiga tamu malam itu mengeluarkan suara tertawa, suara ketawanya halus
dan ringan.
"Ha-ha-ha,
Ho-hai Sam-ong benar-benar hebat. Kami turun!"
Dan
melayanglah tiga sosok bayangan orang ke dalam ruangan itu. Kaki mereka sangat
ringannya menyentuh lantai, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang
mempunyai ginkang cukup tinggi. Beng San terkejut dan berdebar hatinya ketika
melihat bahwa seorang di antara mereka adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui!
Pemuda itu kini agak kurus kalau dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu
ketika bertemu dengannya di Puncak Thai-san. Pedang Liong-cu-kiam yang panjang
tergantung di punggungnya.
Dua orang
yang lain adalah seorang kakek berpakaian seperti tosu dan yang seorang lagi
seorang laki-laki setengah tua yang gerak-geriknya gagah, dan angkuh. Juga
mereka ini membawa pedang di punggung masing-masing.
Melihat tiga
orang ini, Lui Cai Si Bajul Besi tertawa bergelak kemudian berkata,
"Selain Tan-ciangkun, sudah datang pula Koai-sin-kiam (Pedang Sakti Aneh)
Oh Tojin beserta Ji Lu-enghiong yang ternama. Ha-ha-ha-ha, benar-benar
merupakan kehormatan besar bagi kami. Selamat datang... selamat datang...!"
Ada pun Beng
Kui ketika melihat sumoi-nya (adik seperguruannya) duduk terbelenggu di tengah
ruangan dalam keadaan tak berdaya, segera melompat hendak menolong.
"Ciangkun,
awas perangkap!" tiba-tiba Koai-sin-kiam Oh Tojin berseru keras sambil
ikut melompat pula ke tengah ruangan itu. Ada pun orang ke dua yang tadi
disebut sebagai Ji Lu-enghiong (Pendekar ke dua she Lu) dengan tenang melompat
pula, gerakannya ringan dan cepat mengejar Beng Kui.
Namun
peringatan dari Oh Tojin itu terlambat karena Beng Kui sudah sampai di tengah
ruangan. Sekali melompat saja ia tadi sudah sampai di dekat kursi yang diduduki
Li Cu. Tiba-tiba terdengar bunyi berderit keras. Kursi yang diduduki Li Cu itu
bergerak mundur sampai dua meter, lalu lantai di tengah ruangan itu terbuka dan
meluncurkan anak-anak panah menuju ke tubuh Beng Kui!
Kalau saja
Beng Kui bukan murid nomor satu dari Raja Pedang Cia Hui Gan, pasti ia akan
roboh dan tewas oleh anak-anak panah yang setiap ujungnya sudah diberi racun
jahat itu. Belasan batang anak panah itu menyambar cepat sekali. Beng Kui
berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke kiri sejauh lima meter
lebih dan terbebaslah ia dari ancaman anak-anak panah yang kini meluncur ke
atas dan menancap ke langit-langit rumah itu! Dengan muka merah dan pedang
Liong-cu-kiam di tangan, Beng Kui bersama dua orang temannya yang juga sudah
mencabut pedang kini menghadapi tuan rumah.
Beng Kui
berseru marah. "Ho-hai Sam-ong! Beginikah kalian menerima datangnya tamu
yang kalian undang untuk berunding dan bersekutu? Beginikah sikap orang-orang
gagah? Kalian menawan sumoi-ku. Apa artinya ini?"
Lui Cai
tertawa bergelak. "Tan-ciang kun, kau benar-benar gagah perkasa, tidak
kecewa menjadi murid utama Bu-tek Kiam-ong! Harap jangan kau salah duga dan
mengira kami memperlakukan tamu-tamu kurang hormat. Sebenarnya adalah kau
sendiri yang sebagai tamu kurang menghormati tuan rumah sehingga tanpa bertanya
kau lancang hendak turun tangan. Ketahuilah, kami tidak mengganggu sumoi-mu dan
seperti sudah disebut dalam surat kami, sumoi-mu hanya menjadi tamu sementara
saja sampai kau datang. Akan tetapi tidak tahunya muncul pula seorang lainnya
yang hendak membebaskan sumoi-mu, yaitu... ha-ha-ha, adik kandungmu sendiri
yang bernama Tan Beng San dan kabarnya lihai bukan main. Karena dia itu akan
datang malam ini untuk membebaskan sumoi-mu, maka kami sengaja mengatur
demikian untuk menghadapinya. Sumoi-mu tidak apa-apa, kami tanggung! Nah,
Sam-wi, silakan duduk! Mari kita berunding sambil menanti kedatangan adikmu
yang lihai itu. Ehhh, benarkah berita yang sampai kepadaku bahwa adikmu itu
sebenarnya adalah Raja Pedang yang tulen, yang lebih lihai dari pada
gurumu?"
Merah muka
Beng Kui ketika mendengar penjelasan panjang lebar ini, apa lagi saat dia
mendengar ucapan pertanyaan terakhir itu. Beng San di sini? Dan hendak
membebaskan Li Cu? Apa artinya ini? Di mana Li Cu bertemu dengan Beng San dan
mengapa mereka bersama? Diam-diam timbul iri hati dan cemburu besar dalam
hatinya.
Memang betul
bahwa dia sudah menikah dengan putri Pangeran Lu, akan tetapi hatinya tidak
puas mendengar Li Cu bergaul dengan Beng San! Juga tidak enak sekali hatinya
melihat sumoi-nya terbelenggu di kursi itu, akan tetapi sekarang ia tidak berani
bertindak sembrono.
Apa lagi
pada saat itu Lu Khek Jin, yaitu orang tua yang datang bersamanya itu, berkata,
"Betul sekali. Kedatangan kita untuk berunding. Soal yang lain boleh
dibicarakan nanti. Sumoi-mu itu melakukan kesalahaan terhadap Ho-hai Sam-ong
maka dia ditawan. Kalau urusan kita dengan Ho-hai Sam-ong selesai dan berakhir
baik, apakah Ho-hai Sam-ong tak akan melepaskan sumoi-mu dan minta maaf kepada
kita?" Ucapan ini ditujukan pada Beng Kui dan orang muda ini tidak berani
membantah lagi.
Lu Khek Jin
adalah kakak dari ayah mertuanya, yaitu Lu Siauw Ong. Ilmu silatnya tinggi
sekali dan dia adalah seorang bekas jenderal, seperti juga Lu Siauw Ong. Lu
Khek Jin juga sudah berjasa besar dalam menumbangkan pemerintah Mongol.
"Ha-ha-ha,
betul sekali ucapan Ji Lu-enghiong yang mulia! Di antara teman sendiri mana
perlu banyak menyembunyikan urusan? Mari, mari, silakan duduk!" berkata
Lui Cai yang segera menyambung kepada adik seperguruannya, Thio Ek Sui Si Cucut
Mata Merah.
"Kau
bereskan lagi anak-anak panah itu untuk menyambut kedatangan Tan Beng
San!"
Tanpa banyak
cakap Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah menggerakkan tubuhnya. Sekali meloncat ia
telah melayang ke atas dan kedua tangannya digerakkan. Dalam keadaan melayang
itu sekaligus kedua tangannya sudah dapat menarik keluar belasan anak panah
tadi dari langit-langit, kemudian ia berjumpalitan turun dengan kedua kaki sama
sekali tak mengeluarkan bunyi ketika menginjak lantai! Dengan cepat ia lalu
memasangkan kembali anak-anak panah itu, dan memulihkan pesawat rahasia yang
menggerakkan kursi dan membuka lantai dengan peluncuran anak-anak panah itu.
Diam-diam
Beng Kui kagum dan juga kaget sekali. Baiknya tadi ia tidak keburu nafsu ketika
melihat sumoi-nya, tidak menurutkan panas hati dan tidak menyerang pihak tuan
rumah. Kiranya nama besar Ho-hai Sam-ong bukan kosong belaka. Melihat cara
orang termuda dari Ho-hai Sam-ong itu bergerak, terbukti bahwa mereka adalah
lawan-lawan kuat. Akan tetapi saat mereka mengambil tempat duduk dan Beng Kui
melihat bahwa Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li hadir pula di situ,
keningnya berkerut.
"Ho-hai
Sam-ong, urusan yang akan kita rundingkan adalah urusan rahasia di antara kita.
Kuharap jangan ada orang orang luar mendengarkan perundingan kita,"
katanya dengan kening masih berkerut dan mata mengerling ke arah Hek-hwa
Kui-bo.
Lui Cai Si
Bajul Besi tertawa bergelak, lalu berkata sambil memandang dua orang wanita
yang menjadi tamunya itu. "Yang kau maksudkan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw
Thian-li inikah? Ha-ha-ha, jangan salah kira, kawan. Mereka ini adalah
pembantu-pembantu kami dan mereka itu seribu prosen boleh dipercaya!"
Suara Beng
Kui dingin sekali ketika ia menjawab, "Ho-hai Sam-ong, terus terang saja
biar pun Sam-wi (kalian bertiga) termasuk golongan hek-to (jalan hitam atau
penjahat), namun aku masih menganggap Sam-wi setingkat karena aku tahu betul
betapa hebat perjuangan Sam-wi pada waktu yang lalu. Sam-wi termasuk golongan
orang-orang gagah perkasa, patriot-patriot sejati. Akan tetapi, siapakah dua
orang wanita ini? Mereka dulu membantu penjajah Mongol, mereka adalah
pengkhianat-pengkhianat yang tak patut duduk bersama dengan kita, apa lagi
merundingkan urusan negara yang amat penting!"
Kim-thouw
Thian-li hanya mesem saja, akan tetapi tangan kirinya yang menekan ujung meja
membuat ujung meja itu hancur dalam genggamannya! Hal ini menandakan bahwa
Ketua Ngo-lian-kauw ini sedang marah sekali.
Ada pun
Hek-hwa Kui-bo tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang berderet putih dan
rapi, lalu berkata halus, "Tan-ciangkun, apa sih bedanya antara kedudukan
dan nama besar? Apa bedanya antara kemuliaan dan harta? Orang boleh saja
berganti haluan demi cita-citanya. Kau dulu membantu Ciu Goan Ciang, sekarang
kau berbalik memusuhinya. Sebaliknya semenjak dahulu sampai sekarang aku
memusuhi Cu Goan Ciang, meski pun jalannya berbeda. Dahulu aku membantu
Kerajaan Goan dan sekarang membantu Ho-hai Sam-ong, namun tetap aku memusuhi
Ciu Goan Ciang. Nah, katakan siapa sebetulnya yang berkhianat?"
Menghadapi
serangan ini Beng Kui menjadi bingung dan tak dapat menjawab. Sementara itu, Lu
Khek Jin segera maju menegah dan berkata kepada Beng Kui.
"Soal
bantuan Hek-hwa Kui-bo dan muridnya adalah urusan Ho-hai Sam-ong, kita tidak
berhak ikut campur. Nah, Ho-hai Sam-ong, silakan kalian mengajukan usul-usulmu
dalam usaha bersama menghadapi keserakahan Ciu Goan Cian yang sama-sama kita
benci."
Mereka lalu
berunding. Ruangan itu sunyi namun para penjaga dengan ketat menjaga di
sekeliling rumah. Cia Li Cu masih terbelenggu duduk di kursi. Diam-diam gadis
ini mendengarkan semua percakapan mereka. Sayangnya urat gagunya telah tertotok
sehingga dia sama sekali tak dapat mengeluarkan suara. Kalau dapat, tentu saja
ia telah mendamprat mereka semua. Hatinya gelisah, bingung dan juga kecewa.
Sekali lagi hancur hatinya menyaksikan sikap suheng-nya, orang yang pernah
mencuri hatinya, yang pernah dia jatuhi cinta kasihnya. Ternyata orang ini
sekarang sedang mengadakan persekutuan dengan bajak laut untuk menggulingkan
Ciu Goan Ciang!
Pihak tuan
rumah ada lima orang yaitu Ho-hai Sam-ong dan Hek-hwa Kui bo bersama muridnya,
Kiang Bi Hwa tidak ikut berunding, hanya duduk menyendiri sambil kipas-kipas
tubuhnya. Pihak tamu ada tiga orang dan mereka bicara dengan asyik sekali.
Tidak hanya Cia Li Cu yang mendengarkan dengan teliti. Tanpa diketahui oleh
mereka semua, Beng San ikut pula mendengarkan. Maka tahulah ia akan segala
persoalan yang terjadi semenjak pemerintah Mongol dirobohkan oleh perjuangan
rakyat.
Dari
percakapan itu ternyata bahwa setelah berhasil mengusir bangsa Mongol, Ciu Goan
Ciang kemudian mengangkat dirinya menjadi kaisar pertama dari Wangsa Beng
dengan memakai gelar Thai Cu. Seperti biasa, lalu terjadilah perebutan kekuasaan
di antara para penggerak pemberontakan, di antara para pimpinan yang tadinya
berjuang bersama-sama menumbangkan kekuasaan penjajah.
Setelah
musuh terusir pergi, kemuliaan membuat mereka yang tadinya merupakan
patriot-patriot sejati itu menjadi mata gelap dan terjadilah perebutan
kekuasaan. Kaisar Thai Cu atau Ciu Goan Ciang tentu saja tidak mau mengalah dan
banyaklah bekas-bekas kawan seperjuangan dibunuh, para jenderal yang sudah
berjasa dibunuh pula. Pendeknya Ciu Goan Ciang mulai mengadakan ‘pembersihan’
agar kedudukannya tidak terancam.
Ho-hai
Sam-ong termasuk orang-orang yang tidak puas dengan sikap Ciu Goan Ciang, sebab
permintaan mereka untuk menjadi ‘menteri negara’ ditolak oleh kaisar baru ini
yang menganggap bahwa tidak pantas jika ia menggunakan bekas kepala bajak untuk
menjadi menteri.
Juga Lu
Siauw Ong dan kakaknya Lu Sin, diam-diam menaruh dendam karena mereka hanya
diberi kedudukan rendahan saja, padahal dulu mereka telah berjuang mati-matian.
Demikian pula Tan Beng Kui yang merasa iri hati dan tidak puas akhirnya dapat
dibujuk oleh Lu Siauw Ong untuk menjadi pembantunya, malah sudah dikawinkan
dengan puteri pangeran muda ini.
Karena
kekuasaan Kaisar Thai Cu atau Ciu Goan Ciang itu makin lama makin besar dan
kedudukannya makin kuat, maka Ho-hai Sam-ong mempunyai rencana untuk bersekutu
dengan Lu Siauw Ong dan mereka akan mengadakan pergerakan dari luar dan dalam.
Dari dalam, secara diam-diam Lu Siauw Ong akan bergerak sedangkan dari luar,
Ho-hai Sam-ong akan mengumpuikan tenaga dan akan menggempur dari luar.
Untuk
keperluan ini, secara kebetulan mereka bertemu dengan Cia Li Cu yang mereka
gunakan untuk setengah memaksa Tan Beng Kui memenuhi undangan mereka. Mereka
tahu belaka bahwa tangan kanan Lu Siauw Ong adalah Tang Beng Kui, mantu Pangeran
itu sendiri, maka sengaja mereka hendak membujuk murid Bu-tek Kiam-ong ini.
"Banyak
pembesar yang masih bertugas di utara dapat kita tarik di pihak kita,” demikian
antara lain Ho-hai Sam-ong yang diwakili oleh Lu Cai berkata. "Kita akan
mencari dan menanti kesempatan selagi Kaisar Thai Cu berkunjung ke utara. Kita
akan menyergapnya dan kalian yang bekerja di kota raja harus pula mempergunakan
kesempatan ini untuk bergerak di kota raja selagi kaisar tidak ada."
Tan Beng Kui
dan dua orng temannya menyatakan persetujuannya. Setelah perudingan berakhir,
Kiang Hun berkata, "Tentang sumoi-mu itu, Tan-ciangkun, bagaimana baiknya?
Dia adalah puteri Bu-tek Kiam-ong dan seperti kita tahu gurumu itu tidak bisa
diajak berunding dalam urusan ini. Sudah pasti kita akan ditentangnya dan bila
rahasia persekutuan kita ini bocor..."
"Hemm,
amat berbahaya bagi kami yang bertugas di kota raja!" kata Lu Khek Jin
sambil melirik ke arah Li Cu dengan kening dikerutkan. "Dia itu tidak
boleh dibebaskan, sama sekali tidak boleh sebelum selesai rencana kita."
"Kiranya
tidak enak terhadap Tan-ciangkun kalau kami terus menahannya," kata Lui
Cai sambil mengerling ke arah Beng Kui.
Kim-thouw
Thian-li tersenyum manis dan mengerling tajam sambil berkata, "Tadinya
nona itu selain sumoi juga tunangan Tan-ciangkun. Sekarang Tan-ciangkun telah
meninggalkan dia dan menikah dengan gadis lain. Sudah tentu ia sakit hati dan
hendak menuntut balas. Hemm, gadis ini memang berbahaya sekali!"
"Habiskan
saja dia, beres tidak perlu pusing-pusing lagi kita," kata Hek-hwa Kui-bo.
"Tidak
bisa!" Beng Kui membantah. "Betapa pun dia adalah sumoi-ku..."
"Habis
bagaimana?" Lu Khek Jin, paman isterinya bertanya sambil memandang tajam.
"Bebaskan dia dan membiarkan dia mencelakai kita dengan membocorkan
rahasia ini?"
"Bukan
begitu maksudku... ehh, dia itu tetap sumoi-ku... bagaimana aku bisa melihat
dia dicelakai orang? Aku... ehh, maksudku, bagaimana kalau Ho-hai Sam-ong
sementara Ini menahan dia tetapi memperlakukan dengan baik-baik? Soal penahanan
dia itu pun harus dirahasiakan, kalau sampai ayahnya tahu... bisa repot juga.
Apa bila gerakan kita sudah berhasil, dia harus segera dibebaskan."
"Kita
sedang menghadapi urusan negara, kenapa sibuk dengan urusan pribadi?"
tiba-tiba Koai-sin-kiam Oh Tojin berkata dengan suaranya yang halus. "Nona
ini adalah sumoi-mu, Tan-ciangkun. Apakah tidak bisa kau bujuk agar dia
membantu gerakan kita, atau paling tidak jangan mencampuri dan jangan
membocorkannya? Dia keturunan orang gagah, jika sudah mau bersumpah tidak akan
membocorkan, pinto (aku) bisa percaya. Bukannya aku jeri terhadap ayahnya...
hemmm," dia meraba gagang pedang di punggungnya, "Malah sudah lama
pinto ingin menjajal kepandaian Si Raja Pedang."
Melihat ada
orang membantu sumoinya, dengan girang Beng Kui segera berdiri sambil berkata,
"Baik akan kucoba bicara dengan dia Ho-hai Sam-ong, perkenankan aku bicara
dengan sumoiku sekarang."
"Boleh,
boleh..." kata Lui Cai.
Thio Ek Sui
segera berdiri dan pergi mematikan pesawat-pesawatnya agar perangkap itu tidak
bekerja. Dengan aman kini Beng Kui menghampiri Li Cu yang masih duduk dengan
mata berapi-api memandang kepada Beng Kui. Gemetar kedua kaki Beng Kui ketika
pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang berapi-api itu. Dengan
membesarkan hati sendiri ia lalu melangkah maju dan menotok dua kali. Li Cu
mengeluh perlahan, aliran darah di tubuhnya normal kembali.
"Sumoi,
harap kau maafkan dan jangan kecil hati dengan adanya kejadian ini atas dirimu.
Kau tahu, aku pun merasa menyesal sekali dan kelak apa bila segala berjalan
beres, aku akan minta maaf sekali lagi kepadamu dan mohon ampun kepada Suhu.
Tapi sekarang, kuharap kau suka bersumpah bahwa yang kau lihat dan dengar pada
saat ini tidak akan kau bocorkan kepada siapa pun juga meski pun kepada ayahmu
sendiri. Dan..."
"Cukup...!"
Li Cu membentak dengan sinar mata berapi-api, akan tetapi dua butir air mata
menuruni pipinya yang pucat. "Pengkhianat kau...! Aku bukan sumoi-mu lagi,
aku pun tak sudi berjanji apa-apa, tidak sudi bersumpah, kau mau bunuh aku
boleh bunuh sekarang juga!"
Air muka
Beng Kui berubah dan dia mundur dua langkah. Dia mendengar suara ketawa kecil,
yaitu Kim-thouw Thian-li, yang agaknya sengaja mentertawakannya. Dengan tubuh
lemas ia kembali ke meja perundingan tadi dan berkata,
"Ho-hai
Sam-ong, sumoi-ku keras wataknya. Tak ada jalan lain lagi agaknya kecuali
kalian harus menahannya di sini dan memperlakukannya baik-baik sampai selesai
pekerjaan kita bersama."
"Sukar
untuk memenuhi permintaanmu ini, Ciangkun," berkata Lui Cai. "Kau
sendiri tentu mengerti bahwa anak buah kami beribu orang banyaknya, terdiri
dari laki-laki yang kasar. Sumoi-mu begitu muda dan cantik jelita. Bagaimana
kami dapat berjanji bahwa dia tidak akan menderita apa-apa di sini?"
Kim-thouw
Thian-li pun menambah panas suasana. "Baru pemimpinnya saja yang satu ini
sudah memandang mengilar, apa lagi anak buahnya. Hi-hi-hik!" berkata
demikian wanita ini melirik kepada Kiang Hun Si Naga Sungai yang juga
tersenyum-senyum jenaka.
Merah
telinga Beng Kui. "Kalau begitu, biarlah dia kubawa saja, untuk sementara
menjadi tawananku!"
Kim-thouw
Thian-li tertawa lagi dan berkata, "Tan-ciangkun kenapa malu-malu? Memang
dia sumoi-mu sendiri, juga bekas kekasihmu, kalau tidak kau yang menahannya,
siapa lagi? Kalau dari tadi kau berkata demikian kan sudah beres, tidak usah
susah-susah..."
Semua orang
tertawa dan wajah Beng Kui makin merah. Akan tetapi paman isterinya, Lu Khek
Jin, mengerutkan kening. "Beng Kui, jangan kau main-main. Urusan pribadi
hendaknya jangan dicampur adukkan dengan urusan negara."
Sementara
itu, Beng San yang sejak tadi mendengarkan ini semua, menjadi pucat dan
kehilangan mukanya. Dia merasa kecewa dan malu bukan main menyaksikan sikap kakak
kandungnya. Dahulu ia memuja-muja kakak kandungnya itu sebagai seorang gagah
perkasa, seorang pemuda tampan dan gagah yang berjiwa patriot, sudah berjasa
besar bagi bangsa dan tanah air. Dia malah menganggap dirinya sendiri batu kali
yang kasar kalau dibandingkan dengan kakaknya yang cemerlang seperti kumala
tergosok.
Tapi apa
yang ia hadapi sekarang? Kakaknya menjadi pengkhianat. Bukan itu saja, malah
kakak kandungnya yang dia kagumi dan puja-puja itu ternyata telah berbuat tidak
setia, telah memutuskan hubungan jodoh dengan Cia Li Cu. Telah menikah dengan
puteri raja muda dan sekarang bersekongkol dengan orang-orang jahat untuk
memberontak.
Dan Li Cu!
Ahh, ia makin kagum kepada gadis jelita ini. Begitu gagah, begitu berani, juga
begitu... buruk nasibnya. "Aku harus menolongnya," demikian Beng San
mengambil keputusan.
Tak boleh
dia ditahan oleh para bajak ini, juga tidak akan baik nasibnya kalau ia
dijadikan tawanan suheng-nya sendiri yang sudah tersesat itu. Kakak kandungnya
tersesat? Pikiran ini mendatangkan kilatan halilintar dalam otaknya. Kakak
kandungnya tersesat dan dia juga demikian! Dua orang kakak beradik, keduanya
bukan manusia baik-baik. Ahh, Ayah... Ibu... mengapa jadi begini kedua orang
anakmu? Perih hati Beng San dan tanpa terasa lagi dia berlutut di atas genteng
itu dan menangis! Menangis keras tanpa menahan suaranya.
Karuan saja
semua orang di dalam ruangan itu melengak kaget dan heran. Malah Kiang Bi Hwa,
yang tadinya kadang-kadang duduk berkipas badan kadang kala berdiri sambil melihat-lihat
keluar, segera bangkit dari tempat duduknya dan bertanya kaget.
"Ehh,
siapa yang menangis begitu sedihnya? Manusia atau setan?" Ucapan ini
agaknya terlepas dari mulutnya tanpa disadarinya sehingga begitu mendengar
suaranya sendiri, gadis tanggung ini dengan malu-malu lalu mempergunakan
kipasnya yang indah untuk menutupi mukanya.
Agaknya
suara gadis tanggung yang memecah kesunyian ini juga menyadarkan Beng San.
Suara tangisan berhenti dan sesosok tubuh melayang turun ke dalam ruangan itu.
Seorang pemuda dengan pakaian tidak karuan, rambutnya awut-awutan, kulit
mukanya merah kehitaman dan pada muka yang mengerikan itu ada bekas-bekas air
mata. Tapi sepasang matanya mencorong seperti mata harimau di dalam gelap!
Kebetulan
sekali bahwa tadi Li Cu telah dibebaskan dari totokan oleh Beng Kui, maka kini
meski terbelenggu, dengan pengerahan tenaganya gadis ini bisa menggerakkan
kursinya sehingga memutar dan ia dapat melihat apa yang terjadi di ruangan itu.
Kaget, heran, kasihan dan terharu ketika ia melihat Beng San dalam keadaan
seperti itu.
Orang muda
ini betul-betul seperti seorang yang telantar hidupnya, miskin dan rusak, jauh
bedanya dengan Beng Kui yang ganteng dan gagah pakaiannya. Akan tetapi semenjak
sikap bekas tunangannya itu berubah, hanya kebencian dan kekecewaan yang ada
pada hatinya terhadap Beng Kui dan ia merasa kasihan kepada Beng San. Ia tadi
mendengar pula suara tangisan yang amat menyedihkan, suara tangisan dari hati
yang hancur. Biar pun hanya sebentar tetapi tangisan itu menyuarakan keluhan
hati yang remuk-redam, seperti hatinya sendiri.
"Ho-hai
Sam-ong, aku datang memenuhi janji. Lekas kalian bebaskan Nona Cia Li Cu!"
Suaranya
parau, masih terkandung sedikit isak di dalamnya, suara yang sama sekali tidak
berpengaruh dan tidak menakutkan, akan tetapi sinar matanya benar-benar membuat
tiga orang raja bajak itu berpikir panjang dahulu sebelum memandang rendah.
Orang dengan mata seperti itu tak mungkin seorang lemah dan sudah pasti akan
membuktikan semua omongannya!
Namun Lui
Cai tidak mau memperlihatkan kegentaran di depan para tamunya. Betapa pun juga
orang yang dikabarkan lihai luar biasa itu ternyata hanyalah seorang muda
sekali dan seorang yang keadaannya setengah jembel, bahkan dari sikapnya dan
warna mukanya terlihat tanda-tanda bahwa mungkin juga ia setengah gila!
"Orang
muda, bukankah kau yang bernama Tan Beng San? Ha-ha-ha, kiranya begini saja.
Dan kau adalah adik kandung Tan Beng Kui-ciangkun? Alangkah anehnya dunia ini.
Ha-ha-ha!"
Ucapan ini
sekaligus menyinggung perasaan Beng Kui, maka pemuda ini dengan marah lalu
melompat maju menghadapi adik kandungnya. Telunjuknya ditudingkan dan suaranya
gemas menegur,
"Beng
San! Lagi-lagi kau hanya memalukan aku. Orang gila, setelah engkau melakukan
perbuatan yang tidak patut tempo hari, masihkah kau ada muka untuk muncul lagi
di sini? Jangan mencampuri urusan sumoi-ku, hayo kau cepat pergi kalau tidak
ingin mendengar aku bicara terus!"
Wajah yang
tadinya hitam itu tiba-tiba berubah menjadi putih lalu hijau, kemudian hitam
kembali, sementara matanya tidak pernah lepas memandang orang yang barusan
bicara di depannya. Beng Kui sampai merasa ngeri dan meremang bulu tengkuknya
dipandang sedemikian rupa oleh Beng San.
Beng San
cukup mengerti bahwa kakak kandungnya tadi memaksudkan perbuatannya dengan Kwa
Hong tempo hari di markas tentara Mongol. Tentu saja karena luka di hatinya
oleh pengakuan Kwa Hong yang sudah mengandung itu masih parah, ucapan ini
seperti cuka disiramkan pada luka, perih sakit rasanya. Saking perihnya membuat
Beng San tidak peduli lagi.
"Tan
Beng Kui, kau boleh bicara sesuka hatimu. Kau boleh mengingkari sumoi sendiri
dan tidak menolongnya. Tapi aku tetap akan menolong seorang yang terjatuh ke
dalam tangan orang-orang jahat. Nona Cia Li Cu adalah seorang gagah, kalau pun
aku tidak melihat dia, sedikitnya aku mengingat akan ayahnya. Mundurlah, aku
tak berurusan dengan engkau."
"Bangsat
keparat! Beng San, kau kira aku tak tahu apa maksudmu menolong Li Cu? Kau
penjahat pemetik bunga, engkau mata keranjang, pelanggar susila, perusak
wanita! Kau sudah menodai Nona Kwa Hong, lalu kau tinggalkan begitu saja untuk
menikah dengan puteri Song-bun-kwi. Dan sekarang agaknya engkau sudah bosan
dengan isterimu itu dan hendak mengganggu Li Cu dengan dalih menolongnya.
Hemm..., keparat besar...!"
Beng San
mengeluarkan suara gerengan sedemikian dahsyatnya sehingga bangunan di ruangan
itu seakan-akan bergoyang. Matanya mendelik berapi-api sehingga saking kaget
dan gentarnya Beng Kui sampai melangkah mundur tiga tindak. Sekali lagi Beng
San menggereng dan muka yang sudah hitam hangus saking marah hatinya itu kini
perlahan-lahan menjadi agak putih. Ternyata ia sudah berhasil mengekang
kemarahannya dan tak ingin menjatuhkan tangan maut kepada kakak kandungnya
sendiri.
Beng San
menoleh ke arah Lui Cai dan membentak, "Ho-hai Sam-ong, di mana kalian?
Hayo jawab, maukah kalian membebaskan Nona Cia Li Cu? Kalau tidak mau, mari
kita mengadu kepandaian. Apa bila aku kalah biarlah aku mampus di sini, akan
tetapi kalau kalian kalah, kalian harus membebaskan dia. Ataukah kalian takut?
Kalau kalian takut, boleh minta bantuan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li
atau siapa pun juga!"
Tiga orang
bajak laut itu memang sudah bersiap sedia. Kini Lui Cai Si Bajul Besi sudah
mengeluarkan senjatanya berupa dayung besar yang berat itu. Kiang Hun Si Naga
Sungai sudah pula mengeluarkan senjatanya yang amat hebat, yaitu tambang besar
dan panjang, sedangkan Thio Ek Sui juga sudah mengeluarkan ruyungnya yang
runcing berduri. Tapi mereka tidak lantas menyerang.
Lui Cai yang
melihat Beng San datang tanpa membekal senjata apa-apa itu lalu berkata,
"Nona Cia sudah berada di sini, tinggal membebaskan saja. Jika kau mau
membebaskan, silakan, boleh kau lakukan sendiri." Lui Cai tersenyum
mengejek.
Beng San
maklum bahwa tuan rumah hendak menjebaknya dengan perangkap seperti yang dia
lihat hampir mencelakai Beng Kui tadi, akan tetapi ia tidak gentar dan dengan
langkah tetap dia menghampiri Li Cu.
Pada saat
itu pula, Kiang Bi Hwa puteri Kiang Hun berjalan menghampiri Beng San dan
bertanya dengan suaranya yang masih seperti suara anak kecil.
"Kau
kah tadi yang menangis? Mengapa kau menangis begitu sedih?"
Beng San
terkejut dan heran, lalu ia memaksa diri tersenyum namun senyumnya ini malah
mendatangkan tarikan muka yang amat menyedihkan.
"Nona
cilik, agaknya kau masih belum kehilangan rasa peri kemanusiaan seperti keadaan
orang-orang di sekelilingmu. Nona, bolehkah kau memberi pinjam kipasmu ini
sebentar kepadaku?" Sambil berkata demikian Beng San menggerakkan tangan
dan dengan halus sekali tahu-tahu kipas itu sudah berpindah tangan.
Kiang Bi Hwa
kaget, tapi ia tersenyum dan berkata, "Boleh, boleh, kau ambillah kipas
itu."
"Bi
Hwa, mundur kau!" Ayahnya, Kiang Hun, membentak.
"Baik,
Ayah. Tapi, jangan membunuh dia, ya? Kasihan sekali orang ini..." Setelah
berkata demikian, setengah berlari Kiang Bi Hwa mengundurkan diri.
Sikap gadis
ini berkesan dalam di hati Beng San dan ia mencatat di hatinya bahwa gadis ini
adalah puteri Kiang Hun yang agaknya amat berbakti dan menyayang orang tuanya.
Ia kemudian melanjutkan langkahnya menghampiri tempat Li Cu dengan kipas indah
itu di tangan.
Li Cu
memandang dengan mata terbelalak. Tadinya dia merasa kasihan sekali terhadap
Beng San, akan tetapi ketika mendengar ucapan Beng Kui tentang perbuatan Beng
San itu, dia pun kaget bukan main. Benarkah Beng San adalah seorang yang
demikian rendah martabatnya?
Makin
dipandang semakin mengerikan muka pemuda yang menghitam itu, dan matanya
lebih-lebih mengerikan dan menyeramkan lagi. Kalau tidak betul apa yang
diucapkan oleh Beng Kui, mengapa Beng San tidak membantah?
Karena
kebimbangan hatinya ini maka dia urungkan niatnya untuk memperingatkan Beng San
tentang perangkap di sekitar itu. Matanya yang indah bening itu hanya memandang
dengan terbelalak lebar ketika Beng San melangkah secara sembrono, maju
menghampiri kursinya untuk membebaskannya dari pada belenggu.
Tiba-tiba,
seperti tadi, terdengar suara keras berderit, lantai berlubang dan belasan
batang anak panah menyambar ke arah Beng San, sedangkan kursi yang diduduki Li
Cu sudah bergerak sendiri ke pinggir. Beng San memang sudah siap sedia
menghadapi ini.
Andai kata
tadi dia tidak melihat bekerjanya pesawat itu sekali pun, belum tentu dia akan
mudah menjadi korban. Apa lagi ia sudah tahu akan datangnya bahaya itu. Dengan
kipas pinjamannya, ia menggerakkan tangan dan sekali mengibas, belasan batang
anak panah itu runtuh dan menyambar kembali ke dalam lubang di lantai.
Terdengar
pekik kesakitan di bawah lantai yang segera tertutup kembali. Kiranya belasan
anak panah yang di pukul kembali itu tepat mengenai orang yang menjaga
bekerjanya pesawat di bawah lantai!
Ketika Beng
San menoleh ke arah Li Cu, ternyata kursi yang diduduki nona ini sudah
berpindah lagi sampai berada di belakang tiga orang kepala bajak itu yang
ternyata sudah menghadang di depannya. Malah pedang Liong-cu-kiam yang tadi
menggeletak di dekat Li Cu juga sudah lenyap dan ternyata telah dipegang oleh
Beng Kui. Beng San menghadapi para lawannya dengan sikap tenang. Bibirnya
seakan mengejek dan pandang matanya yang bersinar-sinar itu penuh teguran.
"Ehh,
Ho-hai Sam-ong yang masyhur nama besarnya itu kiranya hanya penjahat-penjahat
kecil yang curang. Hayo kalian bebaskan Nona Cia dan kembalikan pedangnya, baru
aku suka memandang muka nona cilik yang baik hati itu dan menghabiskan urusan
ini sampai di sini saja. Sebaliknya bila kalian masih tetap berkeras, jangan
katakan bahwa aku orang muda tidak menghormati orang-orang tua yang menjadi
tuan rumah.”
Kiang Hun
tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Tambang yang panjang dan besar di
tangannya itu digerakkan dan seperti seekor ular, tambang itu menyambar ke arah
tubuh Beng San. Pemuda ini dengan tenangnya melompat ke atas sehingga tambang
itu lewat di sebelah bawah kakinya. Tapi tambang itu terayun, terus datang
kembali menyapu dan demikianlah berulang-ulang tambang itu terayun-ayun
berputaran di sekeliling tubuh Beng San.
Pemuda ini
masih enak saja berloncatan sehingga kelihatan indah dan lucu, seperti anak
bermain loncat tali. Kalau tambang itu terlalu tinggi lewatnya, ia tidak
meloncat melainkan merendahkan diri sehingga tambang itu lewat di atas kepala,
akan tetapi kalau menyambar agak rendah, ia meloncat dengan tenang dan enak.
Benar-benar seperti anak sedang bermain-main.
Melihat
adiknya sudah turun tangan, Lui Cai lalu berseru keras dan dayung bajanya juga
menyambar-nyambar, diikuti oleh Thio Ek Sui yang tidak mau ketinggalan dan
langsung menggerakkan ruyungnya yang amat dahsyat. Sekarang sekaligus Beng San
menghadapi Ho-hai Sam-ong, dikeroyok tiga. Cia Li Cu tadi sudah merasai
kelihaian tiga orang kepala bajak ini, maka sekarang melihat Beng San yang
bertangan kosong, hanya memegang kipas itu dlkeroyok tiga, diam-diam ia merasa
ngeri juga.
Tetapi Beng
San tetap enak-enak saja, malah menyindir, "Waduh, Ho-hai Sam-ong hebat
benar. Senjatanya dahsyat dan sekaligus maju mengeroyok bertiga!"
Panas juga
hati Lui Cai mendengar ini. Ho-hai Sam-ong terkenal sebagai tokoh-tokoh besar
di dunia selatan, bahkan kalau dibandingkan dengan nama besar Hek-hwa Kui-bo,
kiranya tidak kalah terkenal. Bagaimana boleh dipandang ringan begitu saja oleh
seorang pemuda yang masih hijau?
"Keparat
sombong! Kalau memang berkepandaian, keluarkan senjatamu dan cobalah kau lawan
kami!" bentaknya.
Inilah
maksud Beng San. Membakar-bakar agar hati lawannya panas. Ia menambahkan,
"Senjata? Untuk melawan kalian mengapa ribut mencari senjata? Nona cilik
yang baik hati sudah meminjamkan senjata untukku!" Ia mengangkat kipas itu
tinggi sambil meloncat dan menghindarkan diri dari sabetan tambang dan sambaran
ruyung.
Tentu saja
perut ketiga orang itu semakin panas. Mereka hendak dilawan dengan senjata
sebuah kipas permainan belaka? Benar-benar keterlaluan bocah ini.
"Sombong
kau! Ji-sute dan Sam-sute, kita bunuh tikus sombong ini!" bentak Lui Cai.
Dua orang
adiknya juga sudah sangat marah, terutama sekali Kiang Hun karena senjata
tambangnya yang hebat dan setiap kali bergerak biasanya tentu mengalahkan lawan
itu sekarang hanya dianggap sebagai tali permainan loncat-loncatan saja oleh
pemuda itu!
"Mampuslah
kau, keparat!" bentak Thio Ek Si Cucut Mata Merah, ruyungnya menyambar
dahsyat sekali dan sekaligus melakukan empat kali serangan ke arah empat jalan
darah yang membinasakan di tubuh Beng San.
"Tak-tak-tak-tak!"
Dan empat kali ruyungnya ditangkis oleh kipas!
Terbelalak
mata yang sipit merah itu. Bagaimana mungkin ini? Ruyungnya yang paling
sedikitnya ada lima puluh kati beratnya, ditangkis dengan kipas? Biar pun
gagangnya dari gading, kipas tetap kipas, hanya alat permainan yang kecil
belaka. Tapi benar-benar dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, kipas
itu sama sekali tidak robek dan patah, malah tulang tangan kanannya terasa
sakit-sakit seakan-akan dia tadi telah menghantam benda baja dengan ruyungnya.
Pertempuran
itu hebat bukan main. Tiga orang kepala bajak itu benar-benar mempunyai
kepandaian tinggi dan hal ini harus diakui oleh Beng San. Pantas saja Li Cu
tidak berdaya menghadapi tiga orang ini. Ternyata masing-masing memiliki
kepandaian istimewa dan amat tinggi.
Baiknya di
dalam dirinya terdapat dua aliran tenaga Im dan Yang, dan tenaga-tenaga ini
telah mendarah daging di dalam tubuhnya maka ia dapat menghadapi tenaga lawan
yang bagaimana pun juga. Mengenai tenaga, boleh dibilang ia berada di tingkat
yang jauh lebih tinggi dari pada tiga orang lawannya.
Tapi ilmu
serangan tiga orang itu benar-benar dahsyat sekali sehingga hanya dengan ilmu
silatnya Im-yang Sin-kun saja ia mampu melindungi dirinya. Dan kipas kecil itu
ternyata banyak sekali kegunaannya, karena kadang-kadang untuk membalas
lawannya, ia dapat memakainya sebagai senjata pedang dengan gerakan Ilmu Silat
Im-yang Sin-kiam-sut yang belum ada bandingnya di kolong langit ini.
Tiga orang
itu mengeroyok dengan gerakan cepat dan tenaga dahsyat sehingga ruangan itu
penuh dengan suara bersiutan dan angin pukulan menyambar ganas. Tubuh ketiga
orang itu sampai lenyap terbungkus gulungan senjata masing-masing. Akan tetapi
anehnya, tubuh Beng San masih kelihatan, malah gerakannya terlihat amat lambat
dan seenaknya. Dilihat oleh mata bukan ahli silat, pemuda ini seperti sedang
menari kipas dengan dihiasi gulungan sinar yang tiga macam di sekeliling
tubuhnya!
Cia Li Cu
yang menonton pertandingan itu sampai terbelalak dan ternganga saking heran dan
kagumnya. Dia memang pernah menyaksikan kelihaian Beng San, akan tetapi baru
sekarang dia betul-betul tunduk dan harus mengakui bahwa apa yang dikatakan
ayahnya dahulu itu betul adanya, yaitu bahwa pemuda ini benar-benar sangat
hebat dan dalam hal kepandaian masih melebihi ayahnya sendiri.
Juga dua
orang teman Beng Kui, Koai-sin-kiam Oh Tojin dan Lu Khek Jin, memandang dengan
penuh kekaguman dan gatal-gatal tangan mereka hendak menguji kepandaian sendiri
dengan pemuda yang lihai itu. Hek-kwa Kui-bo dan muridnya yang sudah merasai
kelihaian Beng San, duduk saja tidak berani turun tangan, hanya mengharapkan
supaya pemuda itu roboh di tangan Ho-hai Sam-ong.
Di lain
pihak, Beng Kui memandang dengan mata tajam. Hatinya mendongkol bukan main
terhadap Beng San. Dia menganggap adiknya ini selalu merintangi perjuangannya
serta merusak suasana. Yang paling lucu sikapnya adalah Kiang Bi Hwa, puteri
dari Kiang Hun. Semenjak kecil gadis cilik ini memang tidak boleh belajar silat
oleh ayahnya, maka sekarang menyaksikan pertempuran itu ia bertepuk-tepuk
tangan gembira.
"Bagus
benar...! Lucu dan bagus tarianmu itu, kakak yang baik! Kau harus ajarkan aku
tari kipas itu!"
Mau tidak
mau Beng San tersenyum mendengar ini. Dikeroyok sedemikian hebatnya ia masih
sempat tersenyum-senyum, malah menoleh ke arah Kiang Bi Hwa sambil berkata,
"Nona cilik, kau benar-benar seperti bunga teratai di antara lumpur
kotor!"
Memang Beng
San kagum bukan main. Nona itu begitu polos, begitu jujur dan bersih seperti
bunga teratai, namun terpaksa hidup di antara orang-orang jahat seperti lumpur
itu. Pertempuran berjalan makin lama semakin seru dan akhirnya setelah lewat
seratus jurus lebih, saking seringnya bertemu dengan tenaga Beng San yang
dahsyat, makin lama tiga orang itu makin lelah. Permainan mereka semakin kendor
sehingga kini mulailah mereka kelihatan bayangannya dan pada muka masing-masing
telah penuh dengan keringat.
Di lain
pihak, Beng San masih enak-enak dan tenang-tenang saja memainkan kipasnya,
menangkis sambil meloncat ke sana ke mari dan kadang-kadang membuat lawan repot
dengan serangan-serangan balasannya dengan jurus Im-yang Sin-kiam-sut. Bila
mana dia sudah menyerang begini, ujung gagang kipas dari gading itu bisa
tahu-tahu sudah berada di depan tenggorokan, mata, pusar, ulu hati atau lambung
seorang lawan yang tentu saja setelah berhasil menyelamatkan diri lantas
mengeluarkan keringat dingin saking ngerinya. Serangan pemuda itu tidak dapat
diketahui lebih dulu, benar-benar berbahaya sekali.
"Kupikir,
kalau tidak sekarang kita memperlihatkan setia kawan kepada mereka, tunggu
kapan lagi? Urusan dengan orang gila itu hanyalah urusan pribadi, sedangkan
hubungan kita dengan mereka adalah urusan negara. Mana lebih penting?
Bagaimanakah pendapat Ji-wi?"
Koai-sin-kiam
Oh Tojin dan Lu Khek Jin memang sudah ‘gatal tangan’ sejak tadi melihat
kehebatan Beng San mempermainkan tiga orang pengeroyoknya itu. Akan tetapi
mereka masih ragu-ragu untuk membantu karena bukankah pemuda lihai itu adik
kandung Beng Kui sendiri? Sekarang Beng Kui sudah mengeluarkan pernyataan
begitu, maka lenyaplah keraguan mereka.
Bayangan
yang gesit berkelebat didahului sinar terang, inilah gerakan Koai-sin-kiam Oh
Tojin dengan memutar pedang yang entah kapan sudah dicabutnya. Lu Khek Jin
dengan tenang juga mencabut pedang dan menghampiri pertempuran.
"Orang
muda, kau sombong sekali berani mengacaukan tempat tinggal Ho-hai Sam-ong.
Terimalah serangan Koai-sin-kiam!" bentak Oh Tojin.
Sekaligus
pedangnya sudah melakukan lima kali serangan bertubi-tubi dengan gerakan yang
aneh. Namun dengan heran dan penasaran sekali Oh Tojin hanya menusuk angin
belaka, seolah-olah Beng San sudah tahu terlebih dahulu akan
perubahan-perubahan dari jurus-jurus yang dimainkannya.
Sebaliknya
Lu Khek Jin adalah seorang bekas jenderal perang. Ia memainkan pedangnya dengan
gerakan-gerakan mematikan dan bertenaga, disertai bentakan-bentakan.
Diam-diam
Beng San kagum akan sifat ilmu pedang yang dimainkan oleh Lu Khek Jin, karena
biar pun tidak sangat tinggi, tapi gerakan-gerakannya jujur tanpa berisi gerak
tipu, melainkan secara langsung menyerang mengandalkan tenaga dan kecepatan.
Gerakan orang seperti ini berbahaya, maka segera dia mengelak dengan
penggeseran kaki yang sekaligus merubah kedudukannya. Pada detik-detik
selanjutnya Beng San telah dikeroyok lima orang!
Sungguh pun
tingkat ilmu silat dua orang pengeroyok baru ini tidak berada di atas Ho-hai
Sam-ong, namun mereka ini sudah merupakan tambahan tenaga yang lumayan. Betapa
pun juga, benar-benar Beng San kali ini memperlihatkan dirinya yang
sesungguhnya dan sekaligus memperlihatkan bahwa ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut
yang menjadi ciptaan mendiang Pendekar Sakti Bu Pun Su benar-benar adalah ilmu
yang luar biasa di dunia ini.
Ilmu silat
ini mendasarkan gerakan-gerakannya kepada dua puluh tujuh pow (gerak kaki) yang
diiihami oleh kedudukan ji-cit-seng (dua puluh tujuh bintang), luar biasa
banyaknya. Setelah mempunyai ilmu silat ini, dengan mudah orang akan menghadapi
serangan lawan yang bagaimana lihai pun, karena dengan mengandalkan pergerakan
langkah kaki tentu akan dapat menyelamatkan diri.
Selain
memiliki ilmu yang amat tinggi, juga Beng San adalah seorang yang pada dasarnya
memang cerdik luar biasa. Hanya sekali melihat saja dia sudah dapat mencatat
apa yang dilihatnya di dalam otak. Meski ilmu silat pedang yang dimainkan oleh
Koai-sin-kiam Oh Tojin adalah ilmu pedang selatan yang tidak dikenalnya, apa
lagi ilmu pedang yang dimainkan Lu Khek Jin juga ilmu pedang untuk peperangan
yang asing baginya, akan tetapi sekali melihat dia sudah dapat menangkap
intisari pergerakannya sehingga selanjutnya, walau pun dikeroyok lima, Beng San
masih sempat membalas dengan serangan-serangan yang luar biasa menggunakan kipasnya!
Setelah
mendapat kesempatan baik, ia lalu mendesak Ho-hai Sam-ong yang pandangan
matanya sudah berkunang-kunang itu. Secepat kilat kipasnya mengebut disusul
menotok dengan ujung gagang gading itu dua kali.
Sekali tepat
mengenai tulang lengan kanan Lui Cai Si Bajul Besi sehingga orang tertua dari
Ho-hai Sam-ong ini memekik kesakitan dan dayungnya terlepas dari pegangan, lalu
sambil menyumpah-nyumpah karena kesakitan dia berputar-putar menggunakan tangan
kiri menggosok-gosok tempat yang tadi tertotok gagang kipas. Sakitnya bukan
kepalang, kiut-miut rasanya seperti ribuan jarum menusuk-nusuk tulangnya.
Gerakan Beng San yang ke dua tepat menyerempet ruyung Thio Ek Sui Si Cucut Mata
Merah, lalu melejit dan menotok tulang kering di kaki kiri Si Cucut ini.
"Aduh...
aduh... kakiku...!"
Thio Ek Sui
adalah seorang yang sudah biasa bertempur dan terluka baginya bukanlah apa-apa.
Akan tetapi rasa nyeri yang sekarang menyerangnya membuat ia berkaok-kaok
kesakitan, berjingkrak-jingkrak seperti monyet sedang belajar menari sambil
memegangi kaki kirinya yang diangkat ke atas.
Pada saat
itu, tambang di tangan Kiang Hun meluncur dan tahu-tahu sudah melibat tubuh
Beng San! Terdengar jerit tertahan. Yang menjerit ini adalah Li Cu karena
merasa ngeri melihat betapa pemuda yang hendak menolongnya itu akhirnya
tertawan oleh tambang yang lihai dari Kiang Hun Si Naga Sungai, seperti juga
yang sudah dia alami ketika dia dikeroyok Ho-hai Sam-ong ini.
Kiang Hun
nampak girang, mengedut tambangnya dengan maksud mempererat libatan. Tetapi
mendadak Beng San mengeluarkan suara aneh dan... makin ditarik tambang itu
makin terlepas. Akhirnya terlihat oleh pemiliknya bahwa tambang itu sudah
terputus-putus menjadi beberapa potong
Agaknya
karena mengingat akan kebaikan gadis yang mukanya sama dengan Kiang Hun ini,
maka Beng San mengampuni Kiang Hun dan tidak melukainya. Ia dapat menduga bahwa
antara gadis cilik pemilik kipas itu dengan Kiang Hun pasti ada hubungan
keluarga.
"Hek-hwa
Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, kalau kalian tidak membantu sekarang, tunggu
kapan lagi?" tiba-tiba Beng Kui berseru kepada dua orang wanita itu.
"Bukankah kalian menjadi pembantu-pembantu Ho-hai Sam-ong?"
Sebetulnya
Hek-hwa Kui-bo, apa lagi Kim-thouw Thian-li, merasa enggan untuk bertempur
melawan Beng San yang begitu lihai. Akan tetapi seruan ini mendesak mereka ke
pojok. Tentu Ho-hai Sam-ong akan mendapat kesan buruk apa bila mereka tinggal
diam saja. Sambil melotot ke arah Beng Kui kedua orang ini mencabut senjata
masing-masing dan meloncat ke gelanggang pertempuran, mengeroyok Beng San, yang
disambut oleh orang muda ini dengan tenang saja.
"Kau
hanya bisa menyuruh orang lain saja maju, apa kau sendiri takut terhadap adikmu
ini?" sambil menyerang Beng San, dengan suara keras Hek-hwa Kui-bo berseru
kepada Beng Kui dengan maksud agar semua orang mendengarnya.
Memang Beng
Kui sudah bertekad bulat untuk membunuh saja adik kandungnya yang ia anggap
selalu membikin malu dan membikin kacau rencana. Adiknya itu telah merusak
kehidupan seorang gadis, yaitu Kwa Hong.
Sekarang
setelah mengacau Thai-san kemudian menikah dengan puteri seorang penjahat
seperti Song-bun-kwi, tahu-tahu muncul di sini dan mencampuri urusannya, malah
hendak membela Li Cu. Tentu dengan maksud rendah pula. Dari pada mempunyai adik
kandung seperti ini, bukankah lebih aman dan baik kalau dibinasakan saja?
Setelah
berpikir demikian, Beng Kui lalu mencabut pedang Liong-cu-kiam yang panjang
dengan tangan kanan, sedangkan Liong-cu-kiam pendek milik Li Cu memang sudah
dia pegang di tangan kiri. Dengan sepasang pedang ampuh ini dia lantas menyerbu
sambil berseru nyaring,
"Beng
San, kau tidak mentaati perintahku untuk pergi, agaknya memang sudah bosan
hidup!"
Serbuannya
hebat sekali, apa lagi dia segera memainkan Sian-li Kiam-sut yang lihai dan
lebih-lebih hebat lagi karena senjata yang ia pergunakan adalah sepasang
Liong-cu-kiam. Sepasang pedang itu berubah rnenjadi dua gulung sinar yang
berkeredepan menyambar-nyambar ke arah Beng San dan menyerang dari segala
jurusan!
Beng San
terkejut dan diam-diam mengakui kelihaian kakak kandungnya ini, akan tetapi
berbareng hatinya perih dan juga marah. Ia dahulu amat merindukan kakak
kandungnya, lalu setelah bertemu ia merasa kagum sekali melihat kakak
kandungnya sebagai seorang patriot yang gagah. Namun sekarang kakaknya itu
dengan sepasang pedang pusaka menerjang untuk membunuhnya. Dari perih hati ia
menjadi marah dan cepat ia menghadapi serbuan ini. Sekarang Beng San dikeroyok
lima orang lagi setelah Ho-hai Sam-ong mengundurkan diri untuk mengatur napas
dan memulihkan tenaga. Akan tetapi, di antara lima orang itu, yang paling hebat
serangannya adalah Beng Kui.
Andai kata
hanya menghadapi Beng Kui seorang, walau pun pemuda ini menggunakan sepasang
Liong-cu-kiam dan dia sendiri hanya bersenjata kipas, kiranya Beng San takkan
dapat terdesak. Akan tetapi sekarang di situ ada Hek-hwa Kui-bo yang memainkan
Im-sin Kiam-sut bersama muridnya yang juga cukup lihai, ditambah pula dengan
Koai-sin-kiam Oh Tojin dan Lu Khek Jin, maka penyerbuan Beng Kui benar-benar
telah mendesak Beng San serta membuat dia meloncat ke sana ke mari dan sibuk
menggerakkan kipas untuk melindungi dirinya.
Pedang
pendek di tangan kiri Beng Kui bergerak setengah lingkaran ke arah leher, lalu
disusul dengan tusukan pedang panjang dari bawah ke atas. Gerakan ini selain
aneh juga tidak terduga, cepat bukan main mengejutkan Beng San. Cepat pemuda
ini menangkis dengan kipasnya dan...
"Brettt…!"
kipas itu terobek oleh ujung pedang panjang.
Baiknya Beng
San cepat-cepat melompat sambil berjungkir balik, tangan kirinya dari jauh
memukul ke arah dada kakaknya itu. Beng Kui merasai adanya sambaran angin yang
mengandung hawa panas sekali, membuat ia terkejut dan menarik kembali pedangnya
sambil mundur dua langkah.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Beng San untuk melompat turun lagi dan mainkan kipasnya
yang sudah robek untuk melindungi tubuh dari datangnya banyak senjata yang
menyerangnya. Akan tetapi sekarang ia mulai tampak terdesak. Sayangnya bahwa
yang berada di tangannya bukanlah pedang, melainkan sebuah kipas mainan yang
kecil, maka ilmu pedangnya Im-yang Sin-kiam-sut tidak dapat dimainkan
sehebat-hebatnya.
Hal
terdesaknya Beng San ini memang tidak aneh. Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut adalah
ilmu pedang ajaib yang dulu menjadi milik pendekar wanita Ang I Niocu, hebatnya
bukan kepalang dan tidak dapat diketahui rahasianya oleh orang luar. Ada pun
Beng San sendiri, biar pun dia telah memiliki tenaga ajaib dan mempunyai ilmu
pedang yang lebih tinggi tingkatnya, akan tetapi dia masih muda dan kurang
pengalaman. Kini menghadapi Beng Kui yang dibantu oleh empat orang lain yang
semuanya adalah ahli-ahli tingkat tinggi, tentu saja dia merasa repot juga.
"Brettttt!"
kembali kipasnya pecah, kali ini terkena tusukan pedang pendek di tangan kiri
Beng Kui.
Beng San
marah bukan main. Ccepat ia menggerakkan kipas dengan tangan kanannya, diputar
setengah lingkaran sedangkan tangan kirinya tiba-tiba menyelonong ke belakang,
tepat menghantam pundak kiri Koai-sin-kiam Oh Tojin yang sedang lengah.
"Aduhhh...!"
Oh Tojin menjerit kesakitan, tulang pundak kirinya terlepas sambungannya. Akan
tetapi dengan marah ia malah makin maju menerjang ganas dengan pedangnya.
Sementara
itu, pada saat Beng San memusatkan perhatian menyerang Oh Tojin dengan maksud
merobohkan seorang lawannya, tiba-tiba sinar pedang di tangan Hek-hwa Kui-bo
dan Kim-thouw Thian-li meluncur, satu ke arah kepala dan yang ke dua ke arah
perutnya.
Baiknya
pemuda ini sudah mahir sekali akan gerakan-gerakan Im-sin Kiam-sut, maka dia
cepat menggeser kakinya ke kiri sekali dua kali sehingga terhindarlah ia dari
ancaman ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pada saat ia terdesak itu,
Beng Kui sudah kembali menerjangnya dengan sepasang pedangnya yang dahsyat dan
pada saat yang hampir berbareng, dari kanan kiri Oh Tojin dan Lu Khek Jin
menerjang pula!
‘Digunting’
serentak oleh empat buah pedang yang hebat ini benar-benar keadaan Beng San
kepepet sekali. Gerakan pedang Oh Tojin dan Lu Khek Jin ia ikuti dan dapat ia
duga ke mana arahnya, maka dengan mudah ia segera bisa mengambil keputusan
bagaimana harus mengelak.
Akan tetapi
serangan sepasang pedang Beng Kui yang gerakan-gerakannya belum dia kenal
betul, membuat dia benar-benar menjadi bingung. Dua kali menggerakkan pundak
dan kaki ia dapat menghindarkan diri dari serangan Oh Tojin dan Lu Khek Jin,
akan tetapi terjangan Beng Kui sulit ia hindarkan karena tidak tahu bagaimana
perkembangannya. Ia hanya menggunakan kipasnya menangkis.
"Brettt!"
Sekarang
bajunya di bagian pundak terbabat, berikut sedikit kulit serta dagingnya. Darah
mengucur banyak sekali membasahi bajunya. Baiknya dia tadi masih berlaku cepat
dan menggerakkan pundak, apa bila tidak tentu sebelah pundak berikut lengan
kirinya akan terbabat putus! Keringat dingin keluar dari jidat pemuda ini,
bukan karena sakitnya, tapi saking kaget melihat kehebatan ilmu pedang lawannya
ini.
Sementara
itu, saking girangnya melihat hasil serangan tadi, Beng Kui menyerang makin
hebat, dibantu oleh empat orang kawannya. Malah sekarang Ho-hai Sam-ong juga
sudah siap untuk mengeroyok pula. Sayangnya senjata mereka adalah
senjata-senjata panjang dan berat, sehingga untuk pengeroyokan begitu banyak
orang kurang praktis dan mereka hanya melihat-lihat untuk mencari lowongan
baik.
Sepasang
pedang Beng Kui menyambar-nyambar, berkilauan dan amat ganas. Sedang Beng San
masih terus dalam keadaan terdesak sambil mulai menaruh perhatian untuk
memecahkan gerakan penyerangan kakak kandungnya yang menghendaki kematiannya
ini.
"Awas,
Beng San! Pedang pendek dari kiri berbalik ke kanan, pedang panjang menyerang
ke atas. Kemudian yang pendek mengancam lambung kanan, yang panjang berbalik ke
bawah membabat kaki!"
Suara ini
mengagetkan Beng Kui, tapi menggirangkan hati Beng San. Itulah suara Li Cu yang
masih terbelenggu di kursi. Gadis ini yang tentu saja mengenal baik pergerakan
ilmu pedang yang dimainkan Beng Kui, kini memberi petunjuk kepada Beng San!
Tadinya Li Cu memang tak mempedulikan Beng San karena pengaruh ucapan Beng Kui
yang menjelek-jelekkan Beng San sebagai perusak wanita.
Tapi melihat
kegagahan Beng San yang dikeroyok terus-menerus oleh sekian banyaknya musuh
tangguh, kemudian melihat Beng San yang terluka oleh pedang Beng Kui tanpa
bersambat, timbul perasaan kasihan dalam dada Li Cu.
Betapa pun
juga, sudah pasti bahwa Beng San datang untuk menolongnya. Sedangkan berita
tentang ‘kebusukan’ Beng San masih belum terbukti. Mana bisa dia membiarkan
Beng San tewas? Lagi pula, kalau Beng San tewas, nasibnya sendiri sudah pasti
akan celaka di tangan kakak seperguruan atau bekas tunangannya itu. Kalau Beng
San dapat menolongnya keluar dari situ, kiranya belum tentu ia celaka di tangan
Beng San.
"Li Cu,
tutup mulutmu!" Beng Kui membentak marah dan tentu saja ia segera merubah
gerakan penyerangannya yang sudah ‘didahului’ oleh teriakan Li Cu tadi.
Kembali Beng
San bingung menghadapi perkembangan jurus-jurus penyerangan baru ini, sementara
dia sedang sibuk menghadapi pengeroyokan empat orang yang lainnya.
“Yang pendek
hanya pura-pura mengancam kepala, yang bergerak yang panjang. Awas ujung siku
kiri yang hendak dibabat pedang panjang. Kemudian pendek dan panjang akan
menyerang dari atas bawah bergantian, itu pun jebakan saja, yang harus dijaga
babatan pedang pendek ke leher dibarengi babatan pedang panjang ke pinggang!”
"Li Cu,
apa kau hendak mengkhianati suheng-mu sendiri?" Beng Kui membentak marah
sekali.
"Aku
tidak punya suheng semacam kau!" Li Cu berteriak kembali sambil terus
memberi petunjuk-petunjuk.
Sekarang
Beng San tidak terdesak lagi. Ia tidak begitu menguatirkan penyerangan Beng Kui
setelah mendapat penjelasan dari Li Cu, malah sebelum serangan datang dia sudah
tahu lebih dulu ke mana serangan musuh akan dilancarkan. Oleh karena ini,
perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada empat orang lawannya yang lain.
Begitu
mendapat kesempatan, gagang kipasnya lantas berhasil menotok roboh Kim-thouw
Thian-li yang tepat tertotok jalan darah di pundaknya, kemudian sebuah
tendangan kilat berhasil merobohkan Oh Tojin yang terlempar sampai tiga meter
lebih dan tidak mampu bangun kembali karena tulang lututnya patah! Tosu yang
terlepas sambungan tulang pundak dan patah tulang lututnya itu hanya mengeluh
dan menangis seperti anak kecil.
Melihat
keadaan yang tidak menguntungkan ini, Ho-hai Sam-ong segera menyerbu lagi. Beng
San juga sudah lelah, terutama sekali darah yang mengucur dari pundaknya mulai
mengering dan mendatangkan rasa nyeri dan perih. Akan tetapi dia mengamuk terus
dengan nekat karena robohnya dua orang itu malah mendatangkan tambahan tiga
tenaga lagi, yaitu Ho-hai Sam-ong yang malah lebih lihai.
Sementara
itu, melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi pihaknya, padahal tadinya
sudah berhasil baik sekali, Beng Kui menjadi marah. Semua gara-gara Li Cu yang
sengaja memecahkan jurus-jurusnya dan membantu Beng San.
Beng Kui
adalah seorang pemuda yang mempunyai ambisi (cita-cita) besar sekali. Dahulu di
masa perjuangan, dia rela berkorban apa saja untuk bisa mencapai cita-citanya,
yaitu menduduki tempat yang tinggi dalam pemerintahan baru. Siapa kira,
kedudukan tinggi itu tidak bisa ia dapatkan karena ia kurang mendapat
penghargaan dari Ciu Goan Ciang.
Oleh karena
inilah ia terpaksa bersekutu dengan Raja Muda Lu, menjadi mantunya dan hendak
mengadakan pemberontakan. Ini pun dldasari ambisinya yang besar. Dan yang
paling dia benci adalah orang yang hendak menghalang-halangi ambisinya ini,
atau yang hendak mempersukar perjalanan ke arah tercapainya cita-citanya. Dia
menganggap Beng San adalah seorang yang demikian itu, maka dia tidak ragu-ragu
untuk mencoba membinasakannya. Sekarang melihat sikap Li Cu, timbul marahnya.
Pada waktu
mendapat kesempatan, sekali meloncat ia sudah berada di dekat kursi yang
diduduki Li Cu. Pedangnya berkelebat. Li Cu sudah meramkan mata menerima
kematian. Akan tetapi melihat wajah Li Cu yang cantik jelita, agaknya timbul
kembali cinta dan nafsunya. Beng Kui tidak jadi membunuh Li Cu, melainkan gadis
ini malah ia lepaskan dari kursi, kemudian ia pondong dan ia bawa lari keluar
dari tempat itu!
Bukan main
kagetnya hati Li Cu. Tadi ketika ia melihat Beng Kui menghampirinya dengan
pedang diangkat, dia hanya meramkan mata menanti maut tanpa mengeluarkan suara,
sedikit pun tak gentar. Akan tetapi sekarang pada saat merasa dirinya dipondong
pergi dalam keadaan masih terbelenggu, wajahnya lantas berubah pucat sekali dan
jantungnya berdebar-debar ketakutan.
"Beng
San... tolong...!" teriaknya berulang-ulang dengan sekuat tenaga jeritnya.
Beng San
bukanlah seorang pemuda yang suka berkelahi atau suka menang. Ia pun tidak suka
menaruh hati dendam. Maka begitu mendengar jerit suara Li Cu, ia cepat
menengok. Alangkah terkejut dan marahnya ketika dia melihat Li Cu dipondong
oleh Beng Kui dan dibawa lari.
Kedatangan
dirinya ke tempat itu sama sekali bukan untuk bertanding melawan Ho-hai
Sam-ong, dengan Hek-hwa Kui-bo atau dengan yang lain-lainnya. Kedatangannya
khusus untuk menolong Li Cu. Sekarang Li Cu dibawa lari oleh Beng Kui dan hal
ini terang sekali terjadi di luar kehendak Li Cu yang menjerit-jerit minta
tolong kepadanya. Bagaimana ia bisa tinggal diam saja?
Sekali dia
menggerakkan tangan dan kaki, dia telah memukul runtuh pedang dari tangan
Hek-hwa Kui-bo, kemudian tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat untuk
mengejar Beng Kui. Matanya terasa sakit ketika dari ruangan yang terang itu ia
kini tiba di luar rumah yang amat gelap. Tidak kelihatan bayangan Beng Kui,
tapi ia melihat beberapa orang penjaga dengan tombak di tangan menjaga ternpat
itu.
Bagaikan
seekor burung saja ia melayang dan setelah dekat, sekaligus ia menotok roboh
dua orang penjaga dan mengempit seorang di antaranya dibawa pergi ke tempat
gelap. Gegerlah para penjaga ketika melihat seorang kawan roboh dan yang
seorang lagi lenyap tak berbekas.
"Katakan
ke mana perginya Tan Beng Kui ciangkun yang membawa wanita tawanan tadi!"
Dengan suara ditekan Beng San memaksa tawanannya sambil meraba jalan darah yang
menimbulkan rasa nyeri tak tertahankan.
Bibir
penjaga itu meringis-ringis, lalu dengan suara yang terputus-putus memberi
tahukan bahwa orang yang dimaksudkan itu telah pergi dengan menunggang seekor
kuda menuju ke arah selatan. Beng San melepaskan korbannya. Cepat ia berlari
dalam gelap mengejar ke selatan. Ia maklum bahwa kakak kandungnya itu tentulah
bertempat tinggal di Nan King, di kota raja yang baru bersama ayah mertuanya,
raja muda she Lu itu...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment