Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 03
Mendengar
penuturan itu, Beng San menjadi marah serta berduka sekali. Hubungannya dengan
Hoa-san-pai demikian baik dan dia sangat sayang kepada Lian Bu Tojin. Maka,
mendengar bahwa kakek ini dibunuh oleh Kwa Hong dan Koai Atong, ia menjadi
berduka sekali. Apa lagi yang membunuhnya adalah Kwa Hong.
Kini begitu
berhadapan dengan Kwa Hong, Beng San memandang penuh keharuan hati dan
diam-diam ia harus mengakui bahwa sebetulnya dialah yang membuat gadis murid
Hoa-san-pai ini menjadi begini. Dua orang muda ini saling pandang tanpa
menghiraukan Koai Atong yang bertempur mati-matian melawan Lian Ti Tojin, juga
tidak pedulikan para tosu Hoa-san-pai yang baru sekarang berani muncul dari
tempat sembunyi mereka semenjak munculnya Lian Ti Tojin yang mereka takuti.
"San-ko...,"
akhirnya Kwa Hong mampu mengeluarkan kata-kata dengan suara setengah berbisik
dan air matanya masih menitik turun, "Akhirnya kau... kau datang
padaku...? Kau datang menyelamatkan nyawaku... dan kau hendak menerima
diriku... hendak membawa aku pergi...? Begitukah, San-ko...?"
Pertanyaan
terakhir ini diucapkan penuh harapan, seakan mengiris hati Beng San. Hanya
dengan pengerahan batin yang sangat kuat saja Beng San dapat menahan air
matanya supaya tidak membasahi mata. Beberapa kali Beng San menelan ludah
menahan gelora hatinya, kemudian ia pun dapat mengatasi perasaannya dan menarik
muka marah lalu berkata, suaranya penuh teguran. "Hong-moi, kenapa kau
lakukan semua ini? Kenapa kau mengajak Koai Atong membunuh Lian Bu Tojin dan
mengacau Hoa-san-pai? Kenapa kau berbuat menggila dan merampas kedudukan Ketua
Hoa-san-pai, malah membunuh banyak sekali orang gagah? Kulihat lima orang tosu
Bu-tong-pai yang terkenal gagah dan budiman juga sudah kau bunuh. Hong-moi,
kenapa kau sampai tersesat begini jauh? Kedatanganku ini untuk mencegah kau
melanjutkan kegilaan ini!"
"Ohhh...!"
Kwa Hong
terhuyung mundur tiga langkah dengan muka membayangkan hati yang perih seperti
ditusuk jarum beracun. Kemudian setelah menghapus air matanya, ia maju lagi,
wajahnya berubah beringas dan marah. Matanya bersinar-sinar penuh api dan
bentaknya, "Kaulah orang pertama yang ingin sekali aku membunuhnya!"
Secepat
kilat ia lalu menggerakkan pedang pusaka Hoa-san-pai di tangannya, sedangkan
tangan kirinya juga menggerakkan cambuk dengan lima panah hijau itu ke arah
Beng San. Gerakannya dahsyat bukan main, penuh kemarahan dan kebencian. Gerakan
maut untuk mencari korban!
Namun, kali
ini serangan Kwa Hong yang dahsyat dan keji itu tidak berhasil. Kali ini dia
menghadapi seorang yang telah mewarisi ilmu silat sakti, seorang yang telah
menguasai ilmu silat Im-yang Sin-kiam-sut ciptaan Pendekar Bu Pun Su ratusan tahun
yang lalu. Apa lagi karena dalam mempelajari gerakan-gerakan rajawali emas,
baru beberapa bulan saja Kwa Hong melatih diri, maka boleh dibilang
kepandaiannya dalam ilmu yang mukjijat ini belum masak benar. Mana mampu dia
menghadapi serangan raja pedang seperti Beng San?
Begitu orang
muda itu menggerakkan tubuh dan kedua kaki tangannya bersilat, tahu-tahu pedang
pusaka Hoa-san-pai itu sudah terampas olehnya dan cambuk dengan lima anak panah
itu terlepas dari pegangan Kwa Hong. Kwa Hong berdiri lemas. Mukanya makin
pucat ketika ia berhadapan dengan Beng San yang kini sudah berdiri di depannya
memegang pedang Hoa-san Po-kiam dengan kedua kaki tegak terpentang dan pandang
mata tajam penuh kemarahan.
"Hong-moi,
sekali lagi kuperingatkan kau. Bertobatlah dan jangan kau teruskan
perbuatan-perbuatanmu yang keji dan jahat!"
Tiba-tiba
Kwa Hong membanting-banting kaki dan menangis tersedu-sedu. Melihat sikap itu,
makin hancur hati Beng San. Kenal betul dia akan sifat Kwa Hong ini, masih sama
dengan dulu, kalau jengkel membanting-banting kaki.
"Aku
memang tidak kuat melawanmu. Hayo... Beng San... kau boleh bunuh aku... mari,
kau teruskan pedang itu ke perutku ini... ya ke perut ini, biar mati
sekalian... anak kita... uhu-hu-hu..."
Bagaikan
orang gila Kwa Hong menerjang ke arah pedang di tangan Beng San yang menjadi
kaget sekali mendengar ucapan terakhir yang keluar dari mulut Kwa Hong.
"Apa
kau bilang...?!"
Ia meloncat
ke samping, mukanya kini berubah hijau sekali, hijau mengerikan. Inilah sifat
aneh dari Raja Pedang Tan Beng San. Di dalam tubuhnya sudah penuh dengan dua
macam hawa, yaitu hawa Thai-yang dan Im-kang yang amat luar biasa sehingga tiap
kali ia merasa kaget atau malu, mukanya berubah hijau. Sebaliknya kalau marah
mukanya akan berubah merah sekali sampai kehitaman! Dapat dibayangkan betapa
hebat rasa kagetnya ketika ia mendengar ucapan Kwa Hong yang sama sekali tak
pernah disangka-sangkanya itu.
"Hayo...
kau bunuh aku dan anak kita... makhluk yang tidak tahu apa-apa di perutku
ini..." Kwa Hong masih maju-maju sambil rnenangis terisak-isak.
"Hong-moi...!
Kau maksudkan... kau... kau mengandung... karena... dahulu itu?!" Setelah
berkata demikian Beng San terhuyung-huyung, pedang pusaka Hoa-san-pai terlepas
dari tangannya. Ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya, seluruh tubuhnya
gemetar lemah.
Sementara
itu, pertempuran antara Koai Atong dan Lian Ti Tojin berjalan amat serunya.
Mereka berdua secara mati-matian bertempur, mengerahkan seluruh kepandaian
mereka. Ilmu silat yang dimiliki Lian Ti Tojin adalah ilmu silat Hoa-san-pai
yang asli dan selama puluhan tahun kakek ini sudah melatih diri sehingga
tingkat ilmunya benar-benar sudah jauh melampaui tingkat kepandaian asli dari
Koai Atong.
Akan tetapi,
biar pun baru beberapa bulan mempelajari gerakan rajawali emas, ternyata Koai
Atong telah mempelajari ilmu gerakan yang hebat sekali. Kepandaian baru ini
yang menyelamatkan dia sehingga sampai sekian lamanya belum juga Lian Ti Tojin
berhasil memukulnya roboh. Di samping ini, memang Lian Ti Tojin sudah terlalu
tua, sudah berpuluh tahun tak pernah bertanding. Selain ini juga telah
menderita luka dalam yang hebat ketika tadi ‘bertanding kekuatan’ dengan Beng
San melalui suara. Meski pun makin lama Koai Atong semakin terdesak hebat,
namun tidaklah mudah bagi Lian Ti Tojin untuk merobohkannya dengan cepat.
Semenjak
tadi Koai Atong kebingungan. Berkali-kali ia berteriak minta bantuan Kwa Hong,
namun agaknya Kwa Hong sama sekali tidak pernah rnendengarnya. Kemudian setelah
melihat Kwa Hong dikalahkan Beng San dan melihat ‘isterinya’ itu menangis
tersedu-sedu minta mati, makin kalut pikiran Koai Atong.
Gerakan Koai
Atong makin tak karuan dan beberapa kali ia terkena pukulan Lian Ti Tojin.
Namun begitu roboh dia bangun kembali dan menyerang lagi dengan nekat. Koai
Atong sudah muntah-muntah darah dan ia maklum bahwa sebentar lagi ia pasti tak
akan kuat menahan. Pikiran ini membuat ia menjadi nekat. Pada waktu Lian Ti
Tojin mendesaknya, dia malah membiarkan dirinya dipukul, tetapi kesempatan ini
ia pergunakan pula untuk menghantam pundak lawannya itu dengan Jing-tok-ciang,
menggunakan seluruh tenaganya yang masih ada.
"Plakk-plakk-blugg!"
Tubuh Koai
Atong terpental dan roboh tak berkutik lagi karena nyawanya telah melayang,
akan tetapi juga tubuh Lian Ti Tojin terlempar. Ia masih dapat mengimbangi dan
tidak roboh, hanya terhuyung-huyung dengan muka pucat lalu muntahkan darah
segar tiga kali. Mukanya yang seperti tengkorak itu makin menakutkan ketika ia
menoleh ke arah Beng San dan Kwa Hong.
Ia melihat
Beng San menutupi muka dengan kedua tangan, sedangkah Kwa Hong yang tadinya
menangis ketika melihat Koai Atong tewas, cepat menyambar pedang pusaka
Hoa-san-pai di atas tanah dan cambuknya. Lian Ti Tojin marah sekali kepada Kwa
Hong, biar pun ia sudah terluka parah ia masih mengerahkan tenaga dan lompat
menerjang.
Kwa Hong
juga meloncat ke atas punggung burungnya sehingga pada saat Lian Ti Tojin
menubruk, ia disambut ‘tendangan’ cakar burung rajawali. Tubuhnya bergulingan
sampai beberapa meter jauhnya dan kakek ini bangun berdiri lagi dengan
terheran-heran bukan main.
Seorang
jagoan ilmu silat yang bagaimana pun juga belum tentu akan dapat merobohkan
dirinya hanya dengan sekali ‘tendang’ saja, akan tetapi burung itu ternyata
benar-benar telah merobohkannya dengan tendangan yang bukan main hebatnya.
Kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang dan baru sekarang ia merasa
dadanya sakit sekali.
Tiba-tiba
berkelebat sinar hijau di atas kepalanya. Lian Ti Tojin berusaha mengelak, tapi
telambat. Sambaran cambuk di tangan Kwa Hong dari atas itu amat dahsyat, apa
lagi rajawali emas terbang tanpa mengeluarkan bunyi. Belakang kepala Lian Ti
Tojin terkena pukulan sebuah anak panah hijau dan kakek yang sudah tua renta
ini roboh terjungkal, tewas tak jauh dari mayat Koai Atong.
Setelah
berhasil menewaskan Lian Ti Tojin, dari atas punggung burungnya Kwa Hong lalu
kembali menyerang. Dia hendak menyerang Beng San dari atas. Dengan suaranya
yang melengking tinggi Kwa Hong memberi aba-aba kepada burungnya untuk
menyerang Beng San yang lihai. Baru sekarang ia teringat untuk minta bantuan
rajawali emas itu.
Beng San
masih berdiri membungkuk dengan kedua tangan menutupi mukanya. Ketika merasa
ada angin bertiup dari atas kepalanya, secara otomatis dia menggerakkan kedua
tangannya ke atas. Inilah gerakan seorang ahli silat yang sudah tinggi
tingkatnya.
Ilmu
kepandaian ini sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga jangankan baru dalam
keadaan berduka dan masih sadar, biar pun sedang tidur andai kata ada sesuatu
tentu secara otomatis ia dapat menjaga diri. Penjagaan ini dilakukan sesuai
dengan datangnya serangan, maka ketika ia merasa ada angin bertiup dari atas yang
mengandung tenaga dahsyat, ia pun segera menangkis.
Hebat bukan
main tenaga tangkisan Beng San ini. Burung yang menerkamnya itu lantas terpukul
kembali oleh hawa tangkisan sehingga terbangnya menyeleweng dan terlempar ke
samping, juga beberapa helai bulunya gugur. Kwa Hong malah hampir terjungkal
dari tempat duduknya!
Beng San
kini memandang. Dia terkejut melihat bahwa hampir saja dia mencelakai Kwa Hong
tadi, maka katanya dengan suara lemah, "Kwa Hong, kau bunuhlah aku yang
penuh dosa, tapi pergunakan tanganmu sendiri..."
Kwa Hong
yang sudah marah itu kembali memerintahkan burungnya menyambar. Burung rajawali
itu sudah sangat patuh kepada Kwa Hong. Apa lagi ketika tadi tertangkis hampir
saja dia runtuh, maka dia pun marah sekali. Sambarannya kini amat hebat, tidak
hanya kedua kakinya menerkam, malah pelatuknya turut pula menyerang dan
mematuk.
Akan tetapi,
sekarang Beng San sudah berada dalam keadaan sadar. Mana bisa burung itu
mencelakainya? Dengan gerakan kaki yang ringan sekali Beng San dapat mengelak.
"Aku
tidak mau terbunuh oleh burung bedebah ini, Hong-moi... kalau kau mau bunuh
aku, turunlah dan bunuhlah aku dengan tanganmu sendiri..."
Kwa Hong
mengeluarkan suara aneh seperti orang menangis tetapi juga seperti suara
ketawa, lalu berkata, "Tidak...! Terlalu enak kalau kau mati... hi-hi-hik,
kau harus hidup... Beng San, kau harus hidup untuk menebus perbuatanmu yang
menghancurkan hatiku...! Kau tunggulah saja, kelak anak di kandunganku inilah
yang akan membunuhmu. Anakmu sendiri... hi-hi-hik... anakmu sendiri akan
membunuhmu...!"
"Hong-moi...,
jangan...! Kau bunuhlah aku sekarang...!" teriak Beng San penuh kengerian.
Akan tetapi
burung itu telah terbang ke atas dengan sangat cepatnya dan sebentar saja sudah
membawa Kwa Hong amat jauh sehingga hanya terlihat sebuah titik kuning emas di
angkasa raya!
Beng San
merasa betapa matanya berkunang dan gelap, penuh oleh air mata sehingga ia
gunakan kedua tangannya untuk menutup mukanya dan menguatkan hati untuk menahan
tekanan batin yang maha berat itu. Entah berapa lamanya dia berada dalam
keadaan seperti itu. Barulah dia tersadar ketika mendengar suara orang berkata.
"Tan-taihiap,
kau telah menyelamatkan Hoa-san-pai kami dari tangan seorang iblis jahat. Tak
lain kami semua murid Hoa-san-pai menghaturkan terima kasih, dan mohon petunjuk
selanjutnya."
Beng San
cepat mengeringkan air matanya dan mengangkat muka memandang. Ternyata bahwa
para tosu Hoa-san-pai semua telah muncul di situ dan berlutut di depannya! Ada
pun yang bicara tadi adalah tosu tua yang telah datang ke Min-san dan minta
pertolongan kepadanya. Tentu saja dia menjadi kaget dan sibuk sekali melihat
para tosu itu berlutut memberi hormat kepadanya.
Cepat-cepat
ia berkata, "Para Totiang harap lekas bangkit dan mari kita bicara
baik-baik. Janganlah memberi hormat seperti ini, aku sama sekali tidak berani
terima. Bangkitlah!" Di dalam suaranya mengandung pengaruh yang tak dapat
dibantah lagi, maka para tosu itu lalu bangun berdiri.
Setelah para
tosu itu berdiri, terjadilah keributan. Beberapa orang tosu menuding-nuding dan
mencela tosu-tosu lain yang tadinya mereka anggap taat dan tunduk serta
membantu Kwa Hong. Para tosu itu tentu saja menjadi ketakutan dan menyangkal
sehingga terjadi percekcokan dan keributan.
Beng San
yang memperhatikan keributan itu segera maju melerai sambil berkata, "Para
Totiang harap jangan cekcok sendiri. Tidak ada gunanya saling menyalahkan dan
tidak perlu menekan mereka yang tadinya jatuh ke bawah pengaruh Kwa Hong. Di
dunia ini, manusia manakah yang tak pernah menyeleweng dan bersalah? Tanpa ada
kesalahan dan dosa, manusia takkan dapat sadar dan bertobat, takkan mampu
membedakan baik dan buruk. Yang penting adalah kesadaran akan dosa itu, maka
walau pun tadinya ada beberapa orang Totiang yang bertindak keliru, asal
sekarang sudah sadar dan bertobat, kiranya tidak perlu ditekan terus."
Para tosu
dapat menerima ucapan ini dan kembali mereka berunding, kini dengan hati rukun
dan tidak saling menyalahkan seperti tadi.
"Tan-taihiap,
keadaan Hoa-san-pai kami sudah morat-marit dan rusak. Mohon petunjuk Taihiap
bagaimana supaya Hoa-san-pai dapat dibangun kembali. Kami sudah kehilangan
pimpinan," kata tosu tua.
"Aku
sudah mendengar bahwa Saudara Kui Lok dan Thio Bwee diusir oleh Kwa Hong. Cucu
murid yang masih ada sekarang hanyalah Thio Ki yang sekarang tinggal di
Tin-yang menjadi piauwsu (pengawal barang). Para Totiang harap tinggal di sini
dan mengurus semua mayat ini secara baik-baik, biarlah aku yang pergi
mengabarkan ke Sin-yang dan minta kepada Saudara Thio Ki untuk datang ke sini,
kemudian mengurus pembangunan Hoa-san-pai. Kurasa hanya dia seorang yang
berhak, karena dia pun murid dari mendiang Lian Bu Tojin."
Para tosu
menyatakan persetujuan mereka dan berangkatlah Beng San turun gunung dengan
wajah muram. Pertemuannya dengan Kwa Hong tadi benar-benar membuat dia berubah
menjadi manusia lain. Ketika mendaki Puncak Hoa-san, dia adalah seorang manusia
bahagia karena selama ini ia tinggal di Min-san bersama isterinya, yaitu Kwee
Bi Goat, hidup dengan penuh cinta kasih dan damai, saling mencinta dan rukun.
Ketika ada tosu Hoa-san-pai datang dan bercerita tentang mala petaka yang
menimpa Hoa-san-pai lalu mohon pertolongannya, Beng San tidak dapat menolak
karena ia mengingat akan hubungannya dengan partai itu.
Isterinya
mengatakan hendak ikut, akan tetapi oleh karena Beng San tahu bahwa akan buruk
jadinya kalau isterinya itu bertemu dengan Kwa Hong, maka dia mencegah dan
menyatakan bahwa tidak baik bagi kesehatan isterinya untuk melakukan perjalanan
jauh, karena keadaan Bi Goat yang sedang mengandung itu. Demikianlah, dia lalu
meninggalkan Bi Goat di Min-san bersama ayah mertuanya, yaitu Song-bun-kwi Kwee
Lun. Siapa sangka bahwa pertemuannya dengan Kwa Hong akan menghancurkan hatinya
seperti ini!
"Aduh...
aku tidak berharga lagi mendekati Bi Goat..."
Di sepanjang
perjalanan menuju ke Sin-yang mencari Thio Ki, Beng San membayangkan isterinya
dengan hati remuk redam. Setelah apa yang ia lakukan bersama Kwa Hong dan
ternyata Kwa Hong mengandung keturunannya, dia merasa berdosa besar dan merasa
tidak berharga untuk mendekati isterinya terkasih dan suci. Ketika mendaki
Puncak Hoa-san tadi ia masih merupakan seorang suami yang bahagia. Sekarang ia
meninggalkan puncak dengan hati terjepit derita sengsara.
Namun dasar
seorang berwatak satria, sungguh pun diri sendiri mengalami penderitaan batin
yang maha besar, akan tetapi dia terus saja melanjutkan usahanya untuk menolong
Hoa-san-pai. Ia harus mencari Thio Ki dan menarik orang muda kakak Thio Bwee
itu agar suka turun tangan membangun kembali Hoa-san-pai yang dikacau oleh Kwa
Hong.
Sekarang
mari kita mendahului perjalanan Beng San yang sedang menuju ke Sin-yang untuk
mencari Thio Ki dan kita melihat apa yang terjadi di Sin-yang….
***************
Seperti
telah dituturkan, Thio Ki adalah murid Hoa-san-pai juga, malah dalam
tingkatnya, ia merupakan cucu murid yang paling tua. Thio Ki adalah kakak
kandung Thio Bwee dan pemuda Hoa-san-pai yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka
tampan ini sekarang telah bekerja membuka piauwkiok di Sin-yang.
Pada masa
itu, perusahaan piauwkiok (kantor exspedisi) amat maju karena banyaknya orang
jahat sehingga para saudagar selalu mengirim barang-barangnya yang berharga di
bawah perlindungan jago-jago dari piauwkiok, Karena kepandaiannya memang tinggi
dan sebagai murid Hoa-san-pai, sebentar saja Thio Ki sudah membuat nama baik,
ditakuti penjahat dan dipercaya langganan pengirim barang. Sekarang Thio Ki
sudah menikah dengan seorang gadis bernama Lee Giok. Bukan gadis sembarangan.
Selain cantik jelita juga gadis ini hebat kepandaiannya, bahkan lebih tinggi
ilmu pedangnya kalau dibandingkan dengan Thio Ki sendiri.
Hal ini
tidak aneh karena Lee Giok adalah seorang gadis keturunan bangsawan Kerajaan
Goan yang lalu, yang menjadi murid dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan Si Raja
Pedang Tanpa Tandingan! Selain menjadi murid orang sakti, Lee Giok juga
terkenal sebagai seorang gadis patriot yang dalam jaman perjuangan melawan
Kerajaan Mongol telah berjasa besar.
Suami isteri
ini hidup rukun dan damai di Sin-yang. Thio Ki amat mencintai isterinya itu, sungguh
pun sebetulnya di dalam hati kecilnya Lee Giok tidak mencinta suaminya. Bukan
karena Thio Ki kurang gagah atau kurang tampan, tetapi karena cinta kasih
pertamanya telah gagal, dibawa mati seorang patriot besar murid Kun-lun-pai
bernama Kwee Sin.
Hal ini
tidak aneh karena sebagai seorang patriot tentu saja ia kagum kepada lain orang
patriot dan ketika orang yang dicintanya itu, Kwee Sin, meninggal dunia,
hatinya menjadi hampa dan ia tidak banyak membantah lagi ketika ia dijodohkan
dengan Thio Ki, seorang pemuda yang selain gagah juga tampan. Hanya sedikit hal
yang mengecewakan hati Lee Giok, yaitu bahwa suaminya ini sama sekali tidak
memiliki jiwa patriotik.
Di Sin-yang
mereka berdua hidup dalam keadaan cukup. Perusahaan piauwkiok yang didirikan
Thio Ki mendatangkan hasil lumayan. Mereka mampu membeli sebuah rumah yang
cukup besar dengan pekarangan yang luas juga. Oleh karena pekerjaan suaminya
itu mengharuskan suaminya lebih sering keluar rumah dari pada berada di rumah,
untuk mengurangi kesepian, Lee Giok memelihara banyak ayam dan binatang ternak
lain di rumahnya. Juga la menanam banyak kembang indah di pekarangannya.
Pada sore
hari itu di pekarangan rumah Thio Ki nampak sunyi. Sehari itu tidak nampak Lee
Giok atau pelayannya keluar dari dalam rumah. Padahal sudah tiga hari ini Thio
Ki berada di rumah. Dan pada hari itu pun Thio Ki tidak pergi ke perusahaannya.
Akan tetapi mengapa kelihatan begitu sunyi?
Malah tiga
orang pelayan rumah tangga sejak pagi tadi sudah disuruh pulang semua dan
disuruh libur sepekan lamanya oleh Lee Giok. Para pelayan itu amat
terheran-heran, akan tetapi tidak berani membantah kehendak nyonya rumah itu.
Apakah yang terjadi? Kalau kita menengok ke dalam rumah, keadaannya lebih aneh
lagi. Thio Ki dan Lee Giok berada di ruang tengah, muka mereka agak pucat dan
biar pun di dalam rumah, mereka berpakaian ringkas dan di pinggang mereka
tergantung pedang seperti orang yang siap akan bertempur!
Kedua orang
suami isteri ini bersikap begini semenjak malam tadi. Memang tidak aneh kalau
diketahui sebabnya. Ada bahaya maut mengancam keselamatan mereka, bahkan
keselamatan para pelayan dan malah semua yang hidup di dalam rumah itu terancam
bahaya maut. Malam tadi, lewat tengah malam, dua orang suami isteri yang
memiliki ilmu kepandaian silat tinggi ini mendengar tindakan kaki ringan di
atas genteng rumah mereka. Thio Ki adalah seorang yang biasa melakukan
perjalanan dan sudah biasa berhadapan dengan orang-orang jahat. Juga Lee Giok
bukanlah pendekar kemarin sore.
Oleh karena
itu, ketika mendengar suara ini mereka cepat meloncat keluar dari kamar. Tanpa
mengeluarkan suara ribut-ribut mereka berdua telah mengejar, seorang lewat
pintu belakang, seorang lagi lewat pintu depan, terus meloncat ke atas genteng
rumah sendiri. Akan tetapi mereka tidak melihat sesuatu. Setelah mencari-cari
beberapa lama, mereka melihat berkelebatnya bayangan orang dari bawah, baru
saja orang itu meloncat keluar dari ruangan dalam. Gerakan orang itu gesit dan
ringan sekali.
Akan tetapi
Lee Giok dan Thio Ki sudah cepat menerjang ke depan untuk menghadang dan Thio
Ki membentak, "Penjahat dari mana berani mampus mengganggu rumahku?"
Orang itu
tertawa, suara ketawanya melengking amat tinggi dan sekali berkelebat sudah
melayang melalui atas kepala suami isteri itu. Lee Giok dan Thio Ki kaget
sekali, cepat mereka mengejar. Mereka belum sempat melihat wajah orang itu.
Ketika
melihat dua orang itu mengejar, Si Penjahat lalu membalikkan tubuh di tempat
yang gelap, kedua tangannya bergerak dua kali ke depan seperti orang memukul.
Thio Ki dan Lee Giok segera dapat menduga bahwa itu tentulah serangan gelap,
mungkin senjata rahasia, maka mereka cepat berhenti dan siap siaga. Tidak ada
senjata rahasia melayang datang, tapi tiba-tiba mereka merasa terdorong ke
belakang dan hampir terjengkang roboh kalau tidak cepat-cepat berjungkir-balik.
Mereka merasa dada mereka agak sesak oleh tenaga dorongan yang tidak kelihatan
itu.
Pada saat
mereka berdiri kembali, penjahat itu telah lenyap, hanya rneninggalkan gema
suara ketawanya yang melengking tinggi, suara ketawa wanita! Juga meninggalkan
ganda yang harum semerbak. Thio Ki dan Lee Giok mengejar sampai jauh keluar
rumah, namun sia-sia belaka. Dengan kecewa dan lesu mereka kembali memasuki
rumah dan apa yang mereka lihat membuat mereka mengertak gigi saking marah,
akan tetapi juga membuat wajah mereka pucat.
Di dalam
kamar mereka, di atas dinding yang putih, terdapat tulisan-tulisan corat-coret
merah yang berbunyi:
Sebelum
lewat besok malam, semua yang bernyawa di rumah ini akan mati.
Tidak ada
tanda tangan apa-apa dan huruf-huruf itu ditulis dengan darah. Ketika mereka
memeriksa ke belakang, ternyata dua ekor anjing peliharaan yang tidur di
belakang telah mati dengan kepala pecah. Agaknya darah anjing ini yang dipakai
untuk menulis ‘surat maut’ itu.
"Apa
kau mengenal suaranya?" akhirnya Thio Ki bertanya kepada isterinya.
Lee Giok
menggelengkan kepala dan keningnya berkerut, "Jelas dia seorang perempuan,
akan tetapi karena gelap tidak dapat mengenalnya. Suaranya pun seakan-akan
pernah mendengarnya tapi entah di mana."
"Kepandaiannya
hebat..." Thio Ki menarik napas panjang. "Entah mengapa dia melakukan
ini?"
"Dia
tentu tidak datang seorang diri," berkata Lee Giok, sepasang matanya yang
jeli itu bergerak-gerak cerdik. "Tulisan ini baru saja ditulis, darahnya
masih belum beku, bangkai anjing itu pun masih hangat. Tentu hal ini dilakukan
pada saat kita mengejar penjahat perempuan itu. Yang datang ke sini pada malam
ini sedikitnya tentu dua orang, mungkin pula lebih."
Thio Ki
lebih gelisah mendengar ini. Dia tidak dapat menyangkal pendapat isterinya yang
sangat cerdik itu. "Seorang saja demikian lihainya, kalau mereka itu
berkawan, benar... berbahaya...!"
"Tak
perlu gelisah. Kalau orang sudah menghendaki untuk memusuhi kita, tidak ada
jalan lain kecuali melawannya mati-matian. Hanya aku ingin sekali tahu siapa
mereka dan apa sebabnya... Apakah selama beberapa bulan ini menjadi piauwsu kau
tidak menanam bibit permusuhan yang hebat dengan golongan hitam (penjahat)!"
"Tidak,
tidak ada. Melihat tulisan ini, agaknya Si Penulis mempunyai dendam yang amat
mendalam terhadap kita." Muka Thio Ki makin pucat.
Tiba-tiba
Lee Giok mengangkat alisnya, matanya bersinar-sinar. "Ahhh, siapa lagi
kalau bukan dia? Hemm, sejak dulu memusuhi aku, hemm... tapi... ah, kalau benar
dia kenapa ilmu kepandaiannya begitu hebat?"
"Siapakah?
Siapakah yang kau maksudkan, isteriku?" Thio Ki bertanya penuh perhatian.
"Aku
teringat akan Kim-thouw Thian-li...."
Thio Ki
menahan napas, dia pun sekarang teringat. Memang agaknya kalau ada musuh besar
wanita, kiranya dia itulah Kim-thouw Thian-li (Dewi Berkepala Emas), ketua dari
Ngo-lian-kauw (Agama Lima Terang)). Seorang siluman yang hebat dan kejam. Apa
lagi gurunya yang bernama Hek-hwa Kui-bo (Setan Betina Hitam). Bergidiklah Thio
Ki teringat mereka itu dan bulu tengkuknya meremang.
"Kalau
betul dia... Hek-hwa Kui-bo... ahhh... bagaimana baiknya?" Ia nampak
ketakutan sekali.
Sekali lagi
lubuk hati Lee Giok tertikam oleh kekecewaan suaminya. Ia makin kenal betul
bahwa di balik keangkuhan dan kegagahan Thio Ki terdapat pula sifat penakut
yang tidak menyenangkan hatinya.
"Orang-orang
seperti kita ini apakah pantas ketakutan menghadapi ancaman musuh?" Dalam
ucapan Lee Giok ini terkandung kekecewaan dan teguran yang amat terasa oleh
Thio Ki.
Maka ia
segera berdiri dan menepuk dada sambil berkata, "Jangan kuatir isteriku.
Aku suamimu tentu saja tidak takut menghadapi musuh yang mana pun juga, tidak
pula takut menghadapi kematian sebagai orang gagah. Hanya aku meragukan apakah
kita mampu melawan mereka itu kalau benar-benar mereka terdiri dari Hek-wa
Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li?"
Agak senang
juga hati Lee Giok. Memang beginilah seharusnya sikap orang yang menjadi suaminya.
"Apa bila betul dugaan kita bahwa mereka itu adalah Kim-thouw Thian-li dan
gurunya, sudah tentu kita bukanlah lawan mereka. Akan tetapi, nyawa berada di
tangan Thian. Jangankan baru mereka berdua, biar pun kita diancam oleh seratus
orang macam mereka, kalau Thian belum menghendaki mati, kiranya kita pun akan
selamat. Sebaliknya, kalau Thian sudah menghendaki kematian kita, biar pun
andai kata kita melarikan diri, tentu musuh akan dapat mengejar dan membunuh
kita juga. Sama-sama mati, bukankah lebih baik mati sebagai orang gagah?"
"Kau
betul, isteriku. Seribu kali lebih baik mati sebagai harimau yang baru mati
setelah melakukan perlawanan gigih dari pada mati sebagai seekor babi yang
tidak melakukan perlawanan malah melarikan diri."
"Bukan
begitu saja, pendirian seorang gagah sejati malah lebih tinggi lagi. Lebih baik
mati sebagai seekor harimau dari pada hidup sebagai seekor babi!"
Thio Ki
mengangguk-angguk. "Kau betul... kau betul..."
"Kita
harus berjaga-jaga," kata pula Lee Giok.
Setelah agak
lama mereka merenung, barulah Lee Giok kembali berkata, "Pertama-tama
besok pagi-pagi tiga orang pelayan kita harus pergi dari sini pulang ke kampung
masing-masing. Biar mereka berlibur sepekan, baru mereka diperbolehkan kembali
ke sini. Aku tidak suka jika karena permusuhan kita, orang lain yang tidak tahu
apa-apa ikut terancam bahaya."
Demikianlah,
pada keesokan harinya, tiga orang pelayan mereka suruh pulang, diberi bekal
uang dan dipesan supaya jangan kembali sebelum sepekan. Kemudian suami isteri
ini berjaga-jaga sehari penuh dengan pedang selalu di pinggang. Mereka makan
sambil berjaga-jaga dan tidak pernah berpisah sebentar pun juga. Mereka maklum
akan kelihaian lawan, maka biar pun siang hari, mereka tak berani meninggalkan
kewaspadaan. Apa lagi setelah hari itu menjelang malam, mereka makin
berhati-hati.
Pintu-pintu
depan dan belakang mereka tutup, kemudian dipalang kuat-kuat. Hanya pintu
samping yang kecil mereka tutup saja tanpa dipalangi. Dengan cerdik Lee Giok
kemudian memasangkan anak panah terpentang di busur yang dihubungkan dengan
pintu-pintu dan jendela sehingga siapa saja berani memasuki rumah dengan jalan
merusak, pasti akan disambut anak panah. Sedangkan dia sendiri dan Thio Ki
selain membawa pedang juga menyediakan kantong senjata rahasia piauw
secukupnya. Tidak begini saja, malah di depan pintu Lee Giok telah menyebar
paku-paku yang sudah ditekuk sehingga merupakan perintang bagi musuh.
Setelah sore
terganti malam, keadaan di rumah Thio Ki makin sunyi lagi. Memang rumah ini
agak jauh dari tetangga dan mempunyai pekarangan yang luas. Apa lagi suami
isteri yang berjaga-jaga di ruangan dalam itu, sejak tadi mereka hanya diam
tanpa berbicara sepatah kata pun.
Lampu-lampu
penerangan di luar rumah dipasang semua, terang benderang. Akan tetapi di
sebelah dalam, di ruangan itu, sengaja digelapkan. Inilah siasat Lee Giok agar
mereka dapat melihat kedatangan musuh tanpa kedudukan mereka diketahui oleh
musuh itu. Waktu merayap amat lambat. Angin bertiup agak keras, menggerakkan
daun-daun pohon, mengeluarkan bunyi yang terdengar amat mengerikan bagi orang-orang
yang berada di dalam cekaman ketegangan itu.
Keduanya
tidak dapat melihat apa-apa, biar pun mereka mengintai dari lubang-lubang di
antara pintu keluar, keadaan sunyi saja. Akan tetapi mereka memasang telinga
baik-baik. Setiap bunyi harus dapat terdengar oleh mereka dan ini penting
sekali bagi ahli-ahli silat. Kadang kala telinga dapat mendahului mata dan
telingalah yang menyelamatkan nyawa. Keadaan di ruangan itu begitu sunyi
sehingga andai kata ada jarum jatuh, tentu segera dapat terdengar oleh mereka.
Beberapa kali terdengar suara orang atau kaki kuda dari jauh, hanya sayup
sampai terbawa angin lalu.
Thio Ki
memandang bayangan isterinya di dalam gelap dan bangkitlah kasih sayangnya yang
besar. Ngeri ia bila memikirkan bagaimana mereka nanti harus menghadapi musuh
yang lihai. Bagaimana kalau sampai dia atau isterinya tewas? Terharu hatinya
memikirkan dan tak terasa pula ia menjamah tangan isterinya dengan mesra dan
penuh kasih. Agaknya Lee Giok merasai ini, maka cepat-cepat mengibaskan tangan
suaminya. Dalam keadaan seperti itu Lee Giok tidak mau memperlihatkan perasaan
lemah, apa lagi seluruh panca indera harus dipusatkan untuk memperhatikan
keadaan di luar.
"Ssttt,
dengar.. baik-baik...," bisiknya memperingatkan suaminya.
"Srrtt-srttt!"
Suami isteri
itu menghunus pedang, digenggam erat-erat dan berdiri siap siaga. Mereka
mendengar langkah kaki yang amat ringan datang dari depan!
"Jaga
kanan kiri pintu..." bisik lagi Lee Giok.
Thio Ki
maklum akan maksud isterinya dan ia lalu berdiri di sebelah kiri pintu
sedangkan isterinya menjaga sebelah kanan. Menurut rencana Lee Giok, kalau
musuh bisa melalui lantai penuh paku, biar musuh itu mendobrak pintu kemudian
menerima sambaran anak panah dan diterjang oleh mereka berdua dari kanan kiri.
Walau pun musuh lebih pandai, kiranya tak akan dapat menyelamatkan diri kalau
dihujani serangan seperti ini.
Suara
langkah kaki yang ringan itu makin lama makin dekat, berhenti di depan pintu di
mana sudah disebar paku-paku oleh Lee Giok. Keadaan makin tegang dan makin sunyi
setelah langkah kaki itu berhenti dan tak terdengar lagi. Lee Giok yang
biasanya tabah dan sudah biasa menghadapi saat-saat tegang ketika dia masih
menjadi pejuang dahulu, kini mau tidak mau mengeluarkan keringat dingin.
Apa lagi
Thio Ki yang memang sudah merasa gelisah sekali. Tubuhnya menggigil dan setiap
saat ia bisa kalap, meloncat dan menerjang siapa saja yang muncul pada saat
itu. Senjata-senjata rahasia sudah siap di tangan kedua orang ini. Mendadak
terdengar suara perlahan di luar pintu, suara wanita yang bicara seorang diri
setengah berbisik.
"Aneh
sekali... di luar terang kenapa di dalam gelap dan sunyi? Pergikah
orang-orangnya? Dan paku-paku ini..." Suara itu berhenti sebentar lalu
terdengar ia memanggil, "Enci Lee Giok...! Enci Lee Giok! Suci (Kakak
Seperguruan)...!"
Lega bukan
main hati Lee Giok setelah mengenal suara ini, seakan-akan ia merasa batu besar
yang menindih dadanya dilepaskan.
"Sumoi
(Adik Seperguruan)... kaukah itu, Sumoi...?" tanpa disadarinya, suara Lee
Giok mengandung isak.
"Suci
Lee Giok, kau kenapakah? Ah, tentu terjadi sesuatu yang hebat... jangan takut,
Suci, aku datang..." Terdengar orang bergerak di luar pintu.
"Nanti
dulu, Sumoi... jangan masuk...!" teriak Lee Giok akan tetapi terlambat.
Pintu telah
didorong dari luar sehingga terbuka dan palangnya patah. Pada saat itu anak
panah rahasia yang dipasang Lee Giok melesat ke depan, tiga batang banyaknya.
"Sumoi...!"
Lee Giok menjerit.
Dari luar
berkelebat bayangan merah, bukan main cepatnya dan gesitnya gerakannya dan
bagai seekor burung walet menyambar kupu-kupu, bayangan itu menyambar tiga
batang anak panah itu dan di lain saat ia telah meloncat masuk ke dalam
ruangan, tiga batang anak panah sudah berada di tangannya. Dari sinar lampu yang
menyorot masuk ke dalam ruangan melalui pintu yang terbuka, tampaklah orang
itu.
Dia seorang
gadis cantik jelita berpakaian merah. Pakaiannya yang warnanya merah itu
berpotongan ringkas dan membuat ia selain nampak cantik juga gagah sekali. Di
belakang punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya dihiasi
ronce-ronce terbuat dari benang kuning. Juga pengikai rambut, ikat pinggang,
dan sepatunya berwarna seperti warna ronce-ronce pedangnya.
Mukanya
berkulit putih halus dan manis bentuknya, rambutnya hitam panjang. Sepasang
mata yang indah bentuknya itu bersinar-sinar dan bening laksana mata ‘burung
hong’. Hidung dan mulutnya bagaikan bunga-bunga yang memperindah taman sari
wajahnya. Kesemuanya itu menjadikan dia seorang gadis berwajah ayu bukan main.
Siapakah
gadis jelita ini? Dia bukan lain adalah puteri tunggal dari Bu-tek Kiam-ong
(Raja Pedang Tiada Bandingan) Cia Hui Gan, benama Cia Li Cu. Dia telah mewarisi
ilmu silat ayahnya, bahkan sudah mewarisi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (Ilmu
Pedang Bidadari) yang bukan main indah dan lihainya. Karena kepandaiannya dan
kecantikannya inilah maka akhir-akhir ini Cia Li Cu mendapat julukan Thai-San
Sian-li (Dewi Gunung Thai-san) karena memang ayahnya tinggal di Gunung
Thai-san.
Seperti
pernah kita ketahui, apa lagi sudah jelas diceritakan dalam cerita Raja Pedang,
gadis jelita ini dipertunangkan dengan suheng-nya sendiri, yaitu Tan Beng Kui,
kakak dari Tan Beng San. Dapat dibayangkan betapa lega dan girang hati Lee Giok
melihat kedatangan sumoi-nya yang mempunyai ilmu kepandaian amat tinggi itu.
Saking girang dan terharunya ia segera menubruk, memeluk dan menciumi sumoi-nya
sambil menangis!
"Eh-ehh-ehh...
ada apakah Suci? Ci-hu (Kakak Ipar), ada masalah apakah...?" tanyanya
berganti-ganti kepada Lee Giok dan Thio Ki. "Dan kenapa gelap amat di
sini? Pasanglah pelita..."
Thio Ki
ragu-ragu, dia belum berani menyalakan lampu. Akan tetapi di antara isaknya Lee
Giok berkata, "Setelah Sumoi berada di sini, kita takut apa lagi? Hayo
pasang lampunya."
Thio Ki
segera menyalakan lampu dan sebentar saja ruangan itu menjadi terang. Li Cu
semakin heran melihat keadaan suci dan cihu-nya begitu tegang, malah di dalam
rumah telah melakukan persiapan seperti itu seakan-akan sedang menghadapi musuh
yang luar biasa hebat. Ia sudah berpengalaman dan tentu saja tanpa diceritakan
lagi ia sudah dapat menduga bahwa suci-nya menghadapi ancaman musuh.
Sebetulnya
ketika datang, Li Cu sendiri membawa hati yang sakit oleh urusan pribadinya.
Akan tetapi begitu melihat keadaan Lee Giok, urusan sendiri dilupakan dan dia
menjadi marah sekali.
"Suci,
katakan siapa yang berani kurang ajar mengancam keselamatanmu, katakan! Aku
yang akan menghadapinya!"
Lee Giok
menarik napas panjang, lalu menuntun tangan Li Cu diajak ke dalam kamar. Thio
Ki maklum bahwa isterinya hendak memperlihatkan tulisan darah anjing itu, maka
ia pun ikut masuk. Tanpa berkata apa-apa Lee Giok menuding ke arah coretan
merah di tembok itu.
Li Cu
memandang dan sepasang matanya yang indah berkilat. "Keparat betul!
Alangkah sombongnya. Binatang mana yang berani berbuat begini? Dia menghinamu,
berarti menghinaku dan menghina ayahku. Biarkan dia datang, Suci, kita lawan
dan bikin mampus Si Sombong itu!" Li Cu menjadi merah kedua pipinya saking
marahnya.
"Memang
aku pun tadi siap hendak melawannya, Sumoi. Dan alangkah senang hatiku melihat
kau datang, kau tahu... mereka itu lihai sekali!"
Lee Giok
lalu menceritakan apa yang telah terjadi dan juga dugaannya bahwa penjahat itu
tentu lebih dari seorang, Juga dugaannya bahwa agaknya yang akan mengganggu itu
tentulah Kim-thouw Thian-li dan mungkin juga bersama gurunya, Hek-hwa Kui-bo.
Li Cu
mengangguk-angguk, mengerti kenapa suci-nya menduga demikian. Ia tahu bahwa
dahulu suci-nya ini mencinta mendiang Kwee Sin, sedangkan Kim-touw Thian-li
adalah kekasih Kwee Sin. Selain permusuhan karena rasa cemburu ini, juga memang
Kim-thouw Thian-li dulunya merupakan kaki tangan pemerintah Mongol, sebaliknya
Lee Giok adalah seorang pejuang.
"Jika
betul mereka yang datang, kau dan cihu bersama-sama hadapilah Ngo-lian Kauwcu
(Ketua Ngo-lian-kauw) itu, biarkan aku yang akan menghadapi Hek-hwa
Kui-bo!" kata Li Cu dengan gagah dan bersemangat.
Kembali
mereka melakukan penjagaan. Akan tetapi sekarang keadaan suami isteri itu tidak
sekuatir tadi, meski pun ketegangan masih tetap ada di dalam hati mereka. Juga
ruangan di mana mereka berjaga itu tidak digelapkan. Dalam keadaan sunyi ini Li
Cu teringat kembali akan keadaan dirinya sendiri sehingga wajahnya yang ayu itu
menjadi murung. Baiknya Lee Giok terlalu tegang hatinya sehingga tidak melihat
keadaan sumoi-nya ini.
Menjelang
tengah malam, keadaan amat sunyi. Tiba-tiba terdengar suara ayam berkeok, lalu
sunyi lagi. Sunyi yang mencekam. Lee Giok bangkit dari tempat duduknya,
wajahnya tegang. Dia saling pandang dengan suaminya dan dapat menduga bahwa
tentu ada orang mengganggu binatang peliharaan mereka itu. Lee Giok memandang
Li Cu dan pandang matanya mengisyaratkan bahwa agaknya musuh yang
ditunggu-tunggu sudah datang!
Lee Giok
beserta Thio Ki sudah berdiri dengan tangan di gagang pedang masing-masing.
Hanya Li Cu yang masih duduk, sikapnya tenang. Mendadak terdengar lagi suara
ayam berkeok beberapa kali, lalu sunyi kembali. Suami isteri itu menggerakkan
tangan kanan mencabut pedang, sedangkan tangan kiri bersiap di kantong piauw.
Mata mereka memandang ke arah pintu yang sudah ditutup lagi. Li Cu masih
seperti tadi, duduk dengan tenang seperti orang melamun. Agaknya ia masih
tenggelam dalam lamunan duka tentang dirinya sendiri.
Ketegangan
suami isteri itu memuncak ketika di dalam kesunyian itu tiba-tiba terdengar
suara ketawa dari jauh. Setelah suara ketawa berhenti lalu terdengar suara
suling ditiup perlahan. Mendengar suara suling ini, Lee Giok memegang tangan
sumoi-nya yang masih duduk dan berbisik,
"Sumoi,
bukankah itu si iblis Giam Kin?"
Li Cu
berdiri dan berkata, "Hemmm, makin banyak iblis makin baik, biar kita
basmi mereka agar dunia terbebas dari genggaman mereka!"
Suara ketawa
makin lama makin dekat dan jelas terdengar bahwa suara itu adalah suara ketawa
wanita, kemudian setibanya di depan rumah suara itu berhenti. Suara suling juga
berhenti, keadaan sunyi sebentar lalu terdengar suara berisik mendesis-desis.
Tiga orang yang berada di dalam rumah sudah siap siaga, hanya Li Cu yang belum
juga mencabut pedang. Memang bagi seorang ahli pedang seperti dia tidak mau
sembarangan mencabut pedang kalau tidak perlu.
"Brakkkk!"
Tiba-tiba
pintu depan pecah terbuka dan dari luar terdengar lagi suara suling
lapat-lapat. Yang membuat ketiga orang muda itu terkejut adalah ratusan ekor
ular besar kecil yang masuk ke rumah seperti banjir. Belasan ekor sudah
memasuki ruangan itu melalui pintu. Lee Giok dan Thio Ki kaget sekali, akan
tetapi tiba-tiba berkelebat sinar menyilaukan dan belasan ular itu sudah putus
menjadi dua potong oleh sambaran pedang di tangan Li Cu. Sungguh hebat gerakan
ini dan mengerikan sekali ular-ular yang sudah putus menjadi dua tapi masih
berkelojotan itu. Dari luar masih membanjir terus ular-ular besar kecil,
merayap melalui bangkai ular-ular yang sudah sekarat.
Kini Lee
Giok dan Thio Ki sudah hilang kagetnya. Semangat mereka bangkit oleh gerakan Li
Cu tadi, karena itu mereka pun menyerbu ke depan dan membabati ular-ular dengan
pedang mereka. Akan tetapi ular-ular itu masih saja membanjir masuk, malah kini
merayap dari celah-celah jendela dan pintu belakang, dan baunya yang amat amis
tak kuat tertahankan oleh tiga orang muda itu lebih lama lagi.
"Keluar
melalui jendela terus ke atas genteng...!" kata Li Cu mendahului melompat
ke jendela.
Sekali
tendang jendela terpentang lebar, pedangnya berkeredepan diputar di depan tubuh
ketika tubuhnya melayang keluar, tangan kiri menyambar langkan lalu tubuhnya
diayun terus ke atas ke arah genteng. Perbuatannnya ini disusul oleh Lee Giok
dan Thio Ki. Baiknya Li Cu yang berada paling depan karena segera tampak sinar
hijau dan putih menyambar ke arah mereka. Namun sinar-sinar senjata rahasia ini
dapat ditangkis runtuh semua oleh pedang di tangan Li Cu!
Ketika
mereka tiba di atas genteng dalam keadaan selamat, ternyata di situ telah
berdiri dua orang wanita dan seorang laki-laki menghadapi mereka sambil tertawa
mengejek. Tepat seperti yang diduga oleh Lee Giok, dua orang wanita itu bukan
lain adalah Ngo-lian Kauwcu yang berjuluk Kim-thouw Thian-li bersama gurunya,
Hek-hwa Kui-bo. Kim-thouw Thian-li yang sudah berusia empat puluh tahun itu
masih nampak cantik jelita seperti gadis remaja saja, sikapnya pun genit dan
angkuh. Ini masih tidak aneh, bahkan gurunya, Hek-hwa Kui-bo yang usianya sudah
enam puluhan tahun, masih nampak cantik, memegang sapu tangan sutera beraneka
warna!
Ada pun
laki-laki itu adalah seorang pemuda ganteng, mukanya pucat, pakaiannya serba
kuning dan di tangannya terdapat sebatang suling. Pembaca Raja Pedang tentu
sudah mengenal siapa orang ini. Bukan lain adalah Giam Kin yang berjuluk
Siauw-coa-ong (Raja Ular Kecil), murid iblis dari utara Siauw-ong-kwi. Selain
berilmu tinggi, Giam Kin ini juga memiliki kepandaian hebat, yaitu dengan
sulingnya ia dapat memanggil ratusan ekor ular yang dapat ia perintah untuk menyerang
musuhnya. Juga ia pandai sekali dalam hal penggunaan racun ular yang berbahaya.
"Ehh,
kiranya ada Thai-san Sian-li di sini!" kata Kim-thouw Thian-li.
"Pantas saja tuan dan nyonya rumah begini tabah!"
Giam Kin
memandang dengan mata melongo dan penuh kekaguman kepada wajah yang disinari
bulan yang sudah muncul sepenuhnya di langit, kemudian dia pun berseru sambil
menarik napas panjang berkali-kali, "Aduh... aduh... bidadari baju merah
dari Thai-san... hemmm, makin cantik jelita saja. Bidadari kahyangan pun tak
akan menang...!" Kemudian dia menoleh kepada Hek-hwa Kui-bo.
"Locianpwe, kalau sekali ini dapat menangkapkan bidadari merah ini
untukku, aku berjanji akan menyembah seratus kali kepadamu."
Hek-hwa
Kui-bo mengibaskan tangannya. "Huh, laki-laki mata keranjang benar kau
ini!"
Tentu saja
hati Li Cu mendongkol bukan main mendengar omongan-omongan kotor itu. Akan
tetapi dia memandang rendah kepada Giam Kin dan Kim-thouw Thian-li, maka dia
tidak pedulikan mereka dan langsung menghadapi Hek-hwa Kui-bo sambil
menudingkan jarinya.
"Hek-hwa
Kui-bo, kau tergolong tingkatan tua yang sudah mendapat nama besar sebagai
tokoh utama dari selatan. Kenapa sekarang kau melakukan tindakan yang amat
rendah, mengancam enci-ku dan suaminya, lalu datang membawa dua orang manusia
hina dina ini?"
Hek-hwa
Kui-bo tersenyum mengejek kemudian dia berkata, suaranya mengandung sikap
memandang rendah, "Kau bocah masih ingusan berani bicara begini kepadaku.
Ayahmu sendiri kiranya tidak sekurang ajar engkau! Muridku masih ingat akan
permusuhan lama, bersama Giam-kongcu hendak membikin perhitungan dan pelunasan
hutang-hutang lama. Aku hanya menonton kalau-kalau ada bocah ingusan lancang
dan ikut-ikut campur!"
"Siluman
betina tua bangka! Kau dan antek-antekmu hendak menghina Suci dan cihu-ku?
Hemmm, selama di sini masih ada Cia Li Cu, jangan harap kalian akan dapat
berlaku sewenang-wenang!" bentak Li Cu sambil melintangkan pedangnya.
"Locianpwe,
kenapa layani dia bicara? Pegang saja, ringkus dan berikan kepadaku habis
perkara!" kata pula Giam Kin sambil tersenyum-senyum. Matanya yang sipit
memandang kepada Li Cu dengan kurang ajar.
"Giam-ko,
dari pada banyak cerewet lebih baik turun tangan. Kau bereskan yang laki-laki,
biar aku mampuskan budak she Lee ini!" kata Kim-thouw Thian-li yang tidak
suka melihat Giam Kin tergila-gila kepada Li Cu. Giam Kin tertawa mengejek
ketika ia mendekati Thio Ki.
Suami isteri
ini maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, akan tetapi mereka tidak
takut. Dengan kemarahan meluap mereka lalu menerjang maju, Thio Ki menyerang
Giam Kin sedangkan Lee Giok memutar pedang menyerang Kim-thouw Thian-li. Juga
Cia Li Cu yang maklum bahwa menghadapi tiga orang jahat itu tidak perlu banyak
bicara lagi, lalu menggerakkan pedang di tangannya menerjang Hek-hwa Kui-bo.
Sambil
tertawa-tawa Giam Kin menyambut serangan Thio Ki. Raja Ular Kecil ini memang
amat tinggi kepandaiannya. Serangan pedang dari Thio Ki ia hadapi dengan
permainan suling ularnya yang aneh gerakan-gerakannya. Tenaga lweekang-nya jauh
lebih kuat dari pada Thio Ki sehingga setiap kali pedang bertemu suling, tangan
Thio Ki tergetar dan pedangnya hampir terlepas.
Namun Thio
Ki bermodal kenekatan dan menerjang terus sambil mengeluarkan seluruh
kepandaiannya. Betapa pun juga dia adalah seorang murid Hoa-san-pai yang baik,
juga pernah mendapat bimbingan dari Lian Bu Tojin sendiri. Karena itu, setelah
ia bertempur dengan nekat Giam Kin tidak berani main-main lagi.
Juga
Kim-thouw Thian-li menghadapi perlawanan sengit dan nekat dari Lee Giok.
Seperti halnya suaminya, Lee Giok mendapat lawan yang lebih lihai darinya.
Kim-thouw Thian-li benar-benar hebat kepandaiannya. Dengan ilmu silatnya dari
golongan hitam yang penuh muslihat dan keji, ditambah Ilmu Pedang Im-sin
Kiam-sut yang sebagian telah dia warisi pula dari Hek-hwa Kui-bo.
Ketua
Ngo-lian-kauw ini benar-benar membuat Lee Giok tak berdaya. Senjata di tangan
Kim-thouw Thian-li adalah sebatang golok di tangan kanan dan sehelai selampai
merah di tangan kiri. Sapu tangan atau selampai merah inilah yang justru amat
berbahaya karena mengandung pelbagai racun jahat.
Akan tetapi
karena ilmu pedang Lee Goat juga bukan ilmu pedang sembarangan, akan tetapi
ilmu pedang yang ia warisi dari gurunya, Si Raja Pedang, tentu saja ia tidak
mau menyerah mentah-mentah sehingga bagi Kim-thouw Thian-li juga tak begitu
mudah untuk mendapatkan kemenangan dalam waktu singkat. Yang paling ramai adalah
pertandingan antara Hek-hwa Kui-bo dengan Cia Li Cu. Harus diketahui bahwa nama
Hek-hwa Kui-bo untuk daerah selatan merupakan nama seorang jagoan kelas satu
yang tak pernah terkalahkan. Ilmu silatnya tinggi sekali.
Pada
mulanya, sebetulnya ilmu kepandaian Hek-hwa Kui-bo bersumber kepada keahlian
tenaga Thai-yang. Sesudah kepandaiannya ini diturunkan kepada Kim-thow Thian-li
yang menjadi Ketua Ngo-lian-kauw, maka perkumpulan itu pun turut terkenal
dengan keahlian tentang Thai-yang pula.
Belum lama
ini dia sudah dapat merampas kitab Im-sin Kiam-sut dan telah menguasainya.
Sayang, tenaganya bersumber kepada Yang-kang, sedangkan Im-sin Kiam-sut
bersumber kepada Im-kang, maka ilmu pedangnya yang paling akhir dan paling
hebat ini pun tidak bisa mencapai puncaknya. Walau pun demikian, Ilmu silat
aliran selatan sudah dikuasai Hek-hwa Kui-bo, ditambah lagi pengalamannya yang
puluhan tahun, maka kehebatannya bukan main.
Di lain
pihak, lawannya adalah Cia Li Cu, puteri tunggal Raja Pedang Tanpa Tanding Cia
Hui Gan yang memiliki ilmu pedang keturunan dari pendekar wanita Ang I Niocu
ratusan tahun yang lalu. Harus diketahui bahwa ilmu pedang keturunan dari Ang I
Niocu disebut Sian-li Kiam-sut sesungguhnya masih satu sumber dengan Ilmu
Pedang Im-sin Kiam-sut dan Yang-sin Kiam-sut, karena kesemuanya itu asalnya
adalah ilmu-ilmu ciptaan dari Pendekar Sakti Bu Pun Su.
Sebagai
puteri tunggalnya, tentu saja Cia Li Cu telah mewarisi kepandaian ayahnya, maka
biar pun usianya masih amat muda, namun ilmu pedangnya sudah hebat sekali. Kini
menghadapi permainan pedang Im-sim Kiam-sut dari Hek-hwa Kui-bo, ia dapat
melayani dengan baik. Hebat sekali pertandingan antara nenek dan gadis remaja
ini. Hek-hwa Kui-bo mempergunakan sebatang pedang dan dibantu pula dengan sapu
tangan suteranya yang beraneka warna itu, yang kehebatannya tak kalah oleh
pedang di tangan kanannya. Akan tetapi Cia Li Cu justru mempergunakan sebatang
pedang pusaka yang ampuh, yakni pedang pusaka Liong-cu-kiam yang pendek.
Di dalam
cerita Raja Pedang sudah diceritakan bahwa Liong-cu Siang-kiam sebetulnya
merupakan sepasang pedang, yang sebatang panjang dan ada ukiran huruf ‘Jantan’,
sedangkan yang ke dua pendek dengan ukiran huruf ‘Betina’. Tadinya sepasang
pedang itu berada di tangan mendiang Lo-tong Souw Lee, seorang pendekar tua
yang pernah diangkat guru oleh Tan Beng San, akan tetapi kemudian terjatuh ke
dalam tangan Cia Li Cu.
Pada
pertemuan puncak di Thai-san, sepasang pedang itu dapat dirampas kembali oleh
Tan Beng San, akan tetapi kemudian oleh kakak kandungnya, Tan Beng Kui,
sepasang pedang itu diminta atau dipinjam karena pedang-pedang itu menjadi
lambang perjodohan antara dia dan Li Cu. Beng San memberikan pedang-pedang itu
sebagai pinjaman selama tiga tahun.
Sekarang
yang berada di tangan Cia Li Cu dalam menghadapi Hek-hwa Kui-bo adalah pedang
yang pendek, yaitu yang Betina. Pada jaman dahulu pedang ini adalah pedang
pusaka pegangan Pendekar Bodoh, maka hebatnya bukan kepalang. Selain tajam,
juga keras dan dapat mematahkan segala macam baja, lagi pula ampuhnya bukan
kepalang.
Dua orang
ini yang termasuk orang-orang pemilik ilmu silat tinggi, bertempur sampai tidak
kelihatan lagi orangnya. Sinar pedang mereka bergulung-gulung membungkus
bayangan tubuh mereka sehingga yang tampak hanyalah gulungan sinar pedang di
antara bayangan merah dari pakaian Li Cu diselingi bayangan pelangi beraneka
warna yang ditimbulkan oleh gerakan sapu tangan sutera di tangan Hek-hwa
Kui-bo!
Setelah
ratusan jurus berlangsung cepat sekali antara Hek-hwa Kui-bo dan Cia Li Cu, keduanya
merubah permainan, kini tidak secepat tadi, bahkan sangat lambat. Gerakan
mereka seperti orang berlatih saja, lambat-lambat sekali sehingga mudah diikuti
pandang mata siapa pun juga. Akan tetapi jangan salah sangka, pertempuran yang
berjalan lambat ini sesungguhnya malah merupakan pertandingan yang jauh lebih
hebat dari pada tadi ketika mereka lenyap dibungkus gulungan sinar senjata
mereka. Pertempuran lambat-lambat ini justru berupa pertandingan mati-matian di
mana kedua orang itu mengeluarkan seluruh kepandaian asli mereka disertai
tenaga dalam yang paling kuat untuk merobohkan lawan.
Beberapa
kali senjata mereka hampir mengenai tubuh lawan dan setiap kali pedang Li Cu
bertemu dengan sapu tangan sutera, terjadi getaran hebat dan dua macam senjata
itu seakan-akan menempel dan saling sedot. Setelah bertempur seperti ini
keduanya harus mengakui bahwa mereka masing-masing memiliki keunggulan. Li Cu
ternyata memiliki ilmu silat yang lebih murni, sebaliknya dalam hal tenaga
dalam, ia kalah kuat oleh nenek tokoh persilatan dari selatan itu.
Karena
merasa sangat penasaran, mendadak Li Cu melakukan tekanan dengan pedang
Liong-cu-kiam, menggores ke arah ulu hati lawan sambil mengeluarkan suara dari
perut. Pedangnya perlahan-lahan sekali melakukan gerakan goresan dari kiri ke
kanan, sedikit memutar ke atas. Bukan main hebatnya serangan ini karena dilakukan
dengan tenaga sepenuhnya. Jangan kira bahwa serangan yang amat lambat ini akan
dapat dihindarkan dengan mengelak, karena yang berbuat demikian dan mengira
bahwa serangan itu amat lambat, maka akan celakalah. Pukulan yang penuh
mengandung hawa karena daya tenaga dalam itu biar pun lambat namun angin
pukulannya saja sudah cukup untuk mencelakakan musuh, apa lagi mempunyai
perubahan yang bukan main banyak lagi berbahaya. Ujung pedang di tangan Li Cu
kelihatannya meluncur lambat, namun ujungnya tergetar menyilaukan dan sukar
dilihat bagaimana perkembangan selanjutnya.
Hek-hwa
Kui-bo tentu saja maklum akan kehebatan serangan ini sungguh pun dia tidak tahu
bahwa gerak tipu ini adalah jurus Sian-li-hut-si (Sang Dewi Mengebutkan Kipas)
dan tidak tahu pula apa pecahannya. Ia hanya tahu bahwa kali ini lawannya yang
muda itu mengeluarkan gerak tipu yang amat berbahaya. Ia tidak berani menangkis
dengan pedangnya, takut kalau-kalau pedangnya biar pun juga pedang yang ampuh,
tidak akan kuat menandingi keampuhan Liong-cu-kiam. Maka ia lalu menggerakkan
senjatanya di tangan kiri yaitu sapu tangan sutera yang beraneka warna itu.
Jangan
memandang rendah sapu tangan sutera yang halus lembek dan lebar ini. Biar pun
kelihatannya beraneka warna dan indah seperti pelangi serta harum pula baunya,
entah sudah berapa banyak nyawa diantarkan pulang oleh sapu tangan ini! Biar
pun demikian halus dan lembek, namun sekali menotok jalan darah dengan ujung
sapu tangan, atau sekali mengebut kepala orang, Hek-hwa Kui-bo sanggup membunuh
orang itu!
Pedang
Liong-Cu-kiam terlibat oleh sapu tangan itu, tak dapat ditarik kembali
sedangkan pedang di tangan Hek-hwa Kui-bo secara tiba-tiba sekali menyambar
dari kanan ke kiri menyerampang sepasang kaki Li Cu. Jika terkena sambaran ini,
kiranya kedua kaki Li Cu sebatas lutut akan menjadi buntung. Pedang di tangan
Li Cu masih terlibat sapu tangan sedangkan sekarang lawannya menyerang dengan
pedang, sungguh keadaan yang amat sulit.
Namun, gadis
ini biar pun masih muda belia, kepandaiannya sudah hebat sekali. Melihat
gerakan lawan, sebelum pedang bergerak ia sudah tahu bahwa ia akan diserang
bagian kakinya. Li Cu maklum bahwa ketika menggerakkan pedang menyerangnya,
tentu tenaga tangan kiri Hek-hwa Kui-bo yang memegang sapu tangan itu akan
berkurang.
Maka ia
mengerahkan tenaga dikumpulkan di tangan kanan, dan pada saat pedang lawan
menyambar ke arah kedua lututnya, gadis perkasa ini menggenjot kakinya meloncat
ke atas sambil membetot pedangnya. Gerakan ini selain cepat dan tidak terduga,
juga amat kuatnya.
"Brettt!"
Sapu tangan
yang melibat pedang itu terputus menjadi dua dan kedua kaki Li Cu selamat,
terluput dari pada ancaman pedang yang ganas tadi!
"Kurang
ajar, kau merusak sapu tanganku?" Hek-hwa Kui-bo membentak marah.
Akan tetapi
Li Cu tak memberi kesempatan lagi padanya. Gadis ini segera mengerahkan
ginkang-nya dan melakukan serangan bertubi-tubi mengandalkan kegesitan dan
kelihaian Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut. Pedang tunggal di tangannya itu
seakan-akan berubah menjadi puluhan batang, sinarnya berkeredepan dan
bergulung-gulung bagai mengeroyok Hek-hwa Kui-bo. Nenek ini juga marah sekali.
Meski pun sapu tangannya tinggal sepotong, namun tidak dibuangnya dan masih ia
pergunakan untuk membantu pedangnya melakukan serangan-serangan balasan.
Tiba-tiba Li
Cu terkejut mendengar keluhan Thio Ki dan melihat orang muda itu
terhuyung-huyung. Ternyata dadanya telah kena dihantam oleh suling di tangan
Giam Kin sehingga pedang yang dipegangnya terlepas dan tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang. Sambil tertawa-tawa Giam Kin menendang lututnya
maka robohlah Thio Ki.
"Bunuh
dia, bikin mampus saja!" seru Kim-thouw Thian-li girang.
Giam Kin
masih tertawa-tawa ketika ia meloncat maju dan menusukkan sulingnya ke arah
kepala Thio Ki. Pasti akan berlubang kepala orang muda itu kalau terkena
tusukan ini. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar putih diikuti bayangan
merah.
"Trangggg!"
Ujung suling
Giam Kin patah terbabat pedang Liong-cu-kiam yang tadi cepat digerakkan oleh Li
Cu dalam usahanya menolong nyawa Thio Ki! Giam Kin terkejut, cepat meloncat
mundur dan segera Hek-hwa Kui-bo yang tadi ditinggalkan Li Cu sudah mengejar
pula, lalu saling serang dengan gadis perkasa itu. Thio Ki yang sudah terluka
parah tubuhnya bergulingan di atas genteng, terus terguling ke bawah dan
baiknya tidak sampai terjatuh dari atas, akan tetapi terhenti oleh wuwungan
sebelah bawah.
"Enci
Kim Li, jangan kau bunuh Si Manis itu! Biar kau berikan
kepadaku...ha-ha-ha!" Giam Kin tertawa-tawa untuk menutupi malu dan
kagetnya ketika ujung sulingnya terbabat oleh pedang Li Cu tadi.
Mendengar
ini, Li Cu gelisah sekali, apa lagi pada saat ia mengerling, ia melihat betapa
suci-nya sekarang sedang dikeroyok dua, payah sekali keadaannya. Memang
demikianlah. Menghadapi Kim-thouw Thian-li seorang saja sudah sangat berat bagi
Lee Giok. Sungguh pun selama itu dia masih mampu melindungi dirinya dan terus
bertahan, namun sama sekali dia sudah tidak mampu untuk balas menyerang.
Sekarang melihat suaminya terluka dan roboh, hatinya semakin risau dan bingung,
apa lagi setelah Giam Kin ikut maju mengeroyoknya sambil nyengar nyengir dan
mengeluarkan kata-kata memuakkan.
"Trangg...
tranggg....!"
Pedang di
tangan Lee Giok terlepas dan jatuh ke atas genteng dengan bunyi berisik ketika
pedang itu secara serentak digempur dari kanan kiri oleh golok Kim-thouw
Thian-li dan suling buntung Giam Kin. Nyonya muda itu kini sudah tidak bersenjata
lagi!
"Ha-ha-ha,
Enci Kim Li, kurasa lebih baik kau membantu gurumu mengalahkan bidadari
Thai-san itu, biarlah janda muda ini aku yang melayaninya..."
Kim-thouw
Thian-li memang sudah menguatirkan gurunya, maka dia segera meloncat dan ikut
mengeroyok Li Cu. Ada pun Lee Giok dengan muka merah dan dada panas hampir
terbakar menghadapi Giam Kin. Suaminya terluka dan kini ia dihina, disebut
janda muda. Hati siapa yang tak akan sakit?
"Manusia
berwatak iblis! Binatang busuk, hari ini aku Lee Giok hendak mengadu nyawa
denganmu!" teriak Lee Giok.
Ia pun cepat
menubruk maju sambil menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah ulu hati lawan,
disusul tendangan yang ditujukan ke arah pusar. Kedua serangan susul menyusul
ini merupakan serangan maut yang nekat sekali karena dengan melakukannya, Lee
Giok sebetulnya juga telah ‘membuka’ beberapa bagian tubuhnya menjadi tidak
terlindung lagi.
Namun dia
sudah tidak peduli lagi karena saking marah dan putus asanya. Nyonya muda ini
betul-betul sudah berlaku nekat dan ingin membunuh lawannya. Namun sayang
sekali bagi Lee Giok, lawannya terlampau kuat baginya. Tingkat kepandaiannya
kalah jauh kalau dibandingkan dengan Giam Kin, murid tunggal dari
Siauw-ong-kwi, tokoh pertama dari utara itu.
Dengan
tertawa mengejek Giam Kin bergerak cepat menangkap pergelangan tangan Lee Giok
yang memukul ulu hatinya, sambil dia menggeser kakinya mengelakkan tendangan.
Kemudian, sebelum nyonya muda itu sempat meronta, Giam Kin sudah menotok jalan
darahnya membuat Lee Giok tak dapat berkutik lagi.
"Ha-ha-ha-ha,
Enci Kim Li dan Hek-hwa Locianpwe, aku akan pergi lebih dahulu saja...!"
katanya sambil memondong tubuh Lee Giok dan membawanya lari pergi dari tempat
itu!
"Bangsat
Giam Kin, lepaskan suci-ku!" bentak Cia Li Cu marah sekali melihat Lee Giok
hendak diculik.
Akan tetapi
Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li menghadangnya dan tidak memberi
kesempatan sama sekali pada dara itu untuk melakukan pengejaran terhadap Giam
Kin. Bukan main marahnya Li Cu ketika melihat betapa Giam Kin telah menghilang
di dalam gelap sambil membawa pergi Lee Giok. Akan tetapi ia tidak dapat
berbuat apa-apa kerena dia sendiri sedang didesak hebat oleh Hek-hwa Kui-bo dan
Kim-thouw Thian-li. Ternyata bahwa selama ini Kim-thouw Thian-li telah menerima
latihan-latihan dari gurunya sehingga kepandaiannya sudah meningkat cepat. Maka
agak repot juga Li Cu dikeroyok dua oleh guru dan murid ini.
"Lepaskan
Hwa-tok-ciam (Jarum Racun Kembang)!" mendadak Hek-hwa Kui-bo berseru
kepada muridnya.
Dua orang
guru dan murid itu gemas juga ketika menghadapi kenyataan bahwa biar pun mereka
mengeroyok, tetap saja ilmu pedang yang dimainkan Cia Li Cu tak dapat mereka
gempur dan pecahkan. Oleh karena itu, sekarang tiba-tiba mereka menggerakkan
tangan kiri berulang-ulang. Li Cu kaget sekali. Gadis ini cukup maklum akan
bahayanya senjata rahasia yang keji dari kedua orang lawannya ini. Dia maklum
bahwa Kim-thouw Thian-li sudah sangat terkenal dengan racun kembang yang
menjadi keistimewaan Ngo-lian-kauw.
Maka ia pun
segera menutar pedangnya dengan gerakan yang disebut Sian-li Thouw-so (Sang
Dewi Menenun). Runtuhlah belasan batang jarum halus yang dilepas oleh kedua
orang lawannya itu. Akan tetapi sekarang kedudukan Li Cu menjadi lemah sekali
karena ia harus menghadapi serangan serta desakan dua orang lawannya itu sambil
menjaga kalau-kalau masih ada pelepasan senjata rahasia lagi. Ia mulai terdesak
dan mulai dipaksa mundur!
Pada saat
yang sangat berbahaya bagi diri Li Cu itu, mendadak dari bawah berkelebat bayangan
orang. Gerakannya demikian ringan laksana seekor burung terbang saja dan begitu
tiba di atas genteng, orang ini lantas berseru,
“Kim-thouw
Thian-li dan gurunya, di mana-mana mengacau saja!”
Hek-hwa
Kui-bo dan muridnya tidak dapat melihat jelas siapa adanya orang yang datang
ini, akan tetapi Cia Li Cu biar pun selama hidupnya baru dua kali bertemu
dengan orang ini, masih mengenal suara dan diam-diam dia menjadi girang sekali.
Wajahnya tiba-tiba berubah merah dan dadanya berdebar, akan tetapi ia tidak mau
mengeluarkan suara apa pun melainkan terus mendesak dua orang lawannya
seolah-olah tak tahu akan datangnya bala bantuan.
Hek-hwa
Kui-bo marah sekali karena tadinya dia dan muridnya sudah mulai mendesak hebat
kepada Li Cu. Datangnya orang ini merupakan gangguan besar, maka cepat dia
mengggerakkan pedangnya membacok kepala orang yang baru datang sedangkan sapu
tangannya yang tinggal sepotong itu pun diarahkan ke arah perut orang.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika potongnya hanya mengenai angin dan tlba-tiba saja sapu
tangannya terbetot oleh orang itu hingga terlepas dari pegangannya! Hanya
dengan tangan kosong orang itu dapat merampas sapu tangannya dan menghindarkan
serangan pedangnya!
“Siapa
kau?!” bentaknya marah.
“Hek-hwa
Locianpwe, lupakah kau padaku? Aku tidak saja belum lupa kepada Locianpwe,
malah tiga macam ilmu Thai-hwee, Siu-hwee dan Ci-hwee yang kau ajarkan dahulu
pun masih teringat baik olehku!”
Bukan main
kagetnya Hek-hwa Kui-bo. Sekarang ia mengenal laki-laki muda ini.
“Beng san...
Kau...?! Kim Li, hayo kita pergi.” Hek-hwa Kui-bo menarik tangan muridnya dan
dua orang wanita itu maloncat lenyap di malam gelap.
Mengapa
Hek-hwa Kui-bo nampaknya begitu takut kepada orang muda yang ternyata adalah
Tan Beng San itu? Sebetulnya, Hek-hwa Kui-bo sudah mengenal Beng San sejak jago
pedang ini masih kecil. Dalam cerita Raja Pedang sudah diceritakan dengan jelas
betapa di waktu kecilnya saja Beng San sudah ‘menerima kebaikan’ dari Hek-hwa
Kui-bo, yaitu diberi latihan Thai-hwee (Api Besar), Siu-hwee (Simpan Api) dan
Ci-hwe (Keluarkan api), padahal tiga macam ilmu itu sebetulnya diberikan dengan
niat untuk mencelakakan Beng San yang pada waktu itu tubuhnya telah penuh
dengan tenaga Yang-kang sehingga ilmu ini bisa menewaskannya.
Kemudian
setelah Beng San dewasa dan memiliki ilmu tinggi, Hek-hwa Kui-bo sudah pula
melihat kepandaiannya ketika diadakan pertemuan memperebutkan gelar Raja pedang
di Puncak Thai-san. Karena itu, kedatangan pemuda yang memiliki ilmu tinggi ini
tentu saja membuat ia maklum bahwa melawan terus tidak akan ada gunanya
sehingga ia segera mengajak muridnya lari saja.
Cia Li Cu
baru dua kali selama hidupnya bertemu dengan adik dari suheng-nya ini, yaitu
adik dari Tang Beng Kui. Akan tetapi dalam dua kali pertemuan itu ia mendapat
kesan hebat akan diri Beng San, maka ketika tadi ia mengenai suaranya, hatinya
menjadi girang sekali.
Anehnya,
entah apa sebabnya, ia merasa malu juga bertemu dengan Beng San. Hal ini
mungkin sekali karena ayahnya pernah menyatakan bahwa Beng San adalah ‘lebih
baik’ dari pada Beng Kui yang menjadi tunangannya, atau mungkin ia merasa malu
karena Beng San adalah adik Beng Kui. Entahlah, sesungguhnya bagaimana ia
sendiri tidak tahu
sebabnya.
Pokoknya ia merasa malu bertemu dengan Beng San.
Maka melihat
dua orang lawannya kabur, Li Cu segera mengejar. Bukan hanya karena tidak ingin
bertemu lama-lama dengan Beng San, akan tetapi terutama sekali karena ia hendak
menolong suci-nya, Lee Giok yang sudah terculik oleh Giam Kin. Orang muda yang
baru datang dan hanya dalam segebrakan saja sudah dapat mengusir orang-orang
yang memusuhi keluarga Thio Ki itu, memang benar adalah Beng San, Si Raja
Pedang. Seperti kita ketahui, orang muda ini dari Hoa-san-pai melakukan
perjalanan secepatnya menuju ke Sin-yang untuk mencari Thio Ki untuk
memberitahukan mengenai keadaan Hoa-san-pai yang dirusak oleh Kwa Hong.
Hati orang
muda ini masih perih dan bukan main sedihnya setelah pertemuannya yang
mengharukan dengan Kwa Hong di Hoa-san-pai itu. Pedih dan sakit rasa hatinya
kalau ia teringat betapa perbuatannya dengan Kwa Hong dulu itu telah
mengakibatkan terjadinya hal-hal yang demikian hebatnya. Kwa Hong telah
mengandung dan hati wanita itu rusak binasa, membuatnya seperti gila kemudian
berubah menjadi manusia yang ganas karena kepatahan hatinya. Dan semua itu
karena dia!
Beng San
melakukan perjalanan siang malam, maka ketika ia tiba di Sin-yang pada waktu
malam, ia tidak berhenti dan langsung ia mencari rumah Thio Ki dan
mengunjunginya. Memang segala hal yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan
dan diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan manusia hanya memandangnya sebagai
hal yang ‘kebetulan’ saja.
Demikian
pula dengan munculnya Beng San malam-malam di rumah Thio Ki. Sungguh kebetulan
sekali. Begitu melihat keadaan yang tidak sewajarnya, Beng San mencari tahu dan
nampak olehnya pertempuran yang terjadi di atas genteng. Sayang ia agak
terlambat sehingga tidak terlihat olehnya ketika Lee Giok terculik oleh Giam
Kin.
Sekarang
melihat bahwa Li Cu yang tadinya terdesak hebat oleh pengeroyokan guru dan
murid itu dengan nekat mengejar, hatinya menjadi gelisah. Dia sudah kenal baik
dengan kelihaian Hek-hwa Kui-bo dan muridnya yang curang dan amat licin itu,
penuh tipu daya dan muslihat busuk. Maka ia berkuatir kalau-kalau Cia Li Cu
yang meski pun amat lihai namun tentu kalah licin itu akan terjebak.
Segera Beng
San menggerakkan kaki hendak mengejar pula. Akan tetapi tiba-tiba saja ia
mendengar suara mengeluh kesakitan tidak jauh dari tempat dia berdiri. Pada
waktu dia menghampiri, dia melihat Thio Ki rebah dalam keadaan terluka. Segera
Beng San memondongnya dan membawanya turun ke bawah. Di ruangan dalam, di bawah
penerangan lampu, Beng San memeriksa luka Thio Ki. Memang hebat, akan tetapi
tidak amat berbahaya.
Di Puncak
Min-san, sedikit banyak Beng San sudah mempelajari ilmu pengobatan dari
mertuanya, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun, maka di dalam perjalanannya ia pun
membawa obat-obat manjur untuk mengobati luka-luka pukulan dan racun. Setelah
ia menotok jalan darah, mengurut dan memberi obat, Thio Ki dapat bangun dan
duduk kembali.
"Saudara
Beng San...," katanya mengeluh, "baiknya kau datang... tapi bagaimana
dengan isteriku...? Bagaimana pula dengan Adik Cia Li Cu?"
"Isterimu?
Aku tidak melihatnya tadi. Ketika aku datang, Nona Cia sedang bertempur dan
dikeroyok dua oleh Hek-hwa Kui-bo bersama muridnya."
Thio Ki
meloncat berdiri. "Celaka! Dan kau tidak melihat isteriku? Tidak pula
melihat Giam Kin?"
Beng San
menggeleng kepala dan Thio Ki segera menjatuhkan diri di atas pembaringan.
"Celaka.... celaka sekali... tentu Lee Giok telah diculik oleh penjahat
iblis itu..."
Beng San adalah
seorang yang amat cerdik. Sekilas saja ia sudah dapat menduga apa yang telah
terjadi. Tentu Giam Kin menawan Lee Giok. Pantas saja tadi Li Cu sama sekali
tidak rnenghiraukannya dan terus mengejar. Kiranya gadis Thai-san itu hendak
menolong suci-nya. Ia mengambil keputusan cepat.
"Dengar,
Thio-twako. Kedatanganku ini pun membawa berita penting sekali. Sekarang kita
harus bertindak tegas dan cepat. Ketahuilah, Hoa-san-pai sudah dirusak oleh
sumoi-mu, Kwa Hong. Gurumu terbunuh, Kwa Hong menduduki Hoa-san-pai. Sekarang
sudah pergi dan Hoa-san-pai dalam keadaan kacau tidak ada yang mengurus.
Sute-mu Kui Lok dan adikmu Thio Bwee juga diusir oleh Kwa Hong. Maka, biar pun
kau terluka, kau sekarang juga harus pergi ke Hoa-san-pai, kau urus Hoa-san-pai
baik-baik sambil beristirahat dan menyembuhkan lukamu. Obat ini kau bawa, harus
kau minum sehari sebungkus. Tentang isterimu dan Nona Li Cu, biarlah aku yang
mewakilimu melakukan pengejaran. Sudah mengertikah kau?"
Wajah Thio
Ki sebentar pucat sebentar merah. Tak disangkanya bahwa akan terjadi hal yang
demikian hebat, tidak saja yang menimpa keluarganya sendiri, malah Hoa-san-pai
tertimpa mala petaka lebih parah lagi. Ia hanya bisa mengangguk-angguk, karena
selain Beng San, siapakah yang akan dapat menolong isterinya?
"Sudah,
aku pergi!" kata Beng San dan sekali berkelebat orang muda itu sudah
lenyap dari depan Thio Ki, membuat orang ini kagum bukan main. Thio Ki juga tak
mau berlama-lama di rumah. Pada keesokan harinya pagi-pagi ia sudah pergi
memaksa diri menuju ke Hoa-san-pai…..
***************
Cia Li Cu
yang melakukan pengejaran, tidak melihat lagi adanya Giam Kin dan tidak tahu ke
mana suci-nya dibawa lari oleh manusia iblis itu. Maka karena yang lari di
depannya hanyalah Hek-hwa Kui-bo dan muridnya, mau tidak mau ia hanya dapat
mengikuti dua orang itu. Dia tidak mau segera turun tangan terhadap Hek-hwa
Kui-bo dan muridnya karena tujuan utamanya adalah untuk menolong suci-nya.
Maka, diam-diam ia hanya mengikuti dari jauh karena ia mengira bahwa kedua
orang itu tentu akan membawanya ke tempat Giam Kin yang menculik Lee Giok.
Sungguh di
luar dugaan Li Cu sama sekali bahwa tujuan perjalanan dua orang guru dan murid
itu sama sekali berlawanan arah dengan jalan yang ditempuh oleh Giam Kin yang
menculik Lee Giok! Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li berlari menuju ke
selatan, ke tempat tinggal Kim-thouw Thian-li, yaitu di Propinsi An-hui, di
lembah Sungai Huai.
Sejak para
pejuang berhasil merobohkan pemerintah Mongol, ibu kota lalu dlpindahkan ke
Nan-king. Diam-diam Kim-thouw Thian-li juga lalu memindahkan pusat
perkumpulannya, yaitu Ngo-lian-kauw, ke lembah Sungai Huai, tidak jauh dari
kota raja baru ini, di sebelah baratnya. Perkumpulannya berpusat di sebelah
utara kota Ho-pei. Guru dan murid ini memang tadinya hanya bermaksud membunuh
Lee Giok dan Thio Ki, dibantu oleh Giam Kin.
Sekarang
mereka sudah berhasil melukai Thio Ki, juga Lee Giok telah diculik oleh Giam
Kin. Berarti usaha mereka itu sudah berhasil baik sekali biar pun mendapat
tantangan dari orang-orang pandai seperti Cia Li Cu dan Tan Beng San. Setelah
mengikuti perjalanan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li selama lima hari,
mulailah hati Li Cu menjadi gelisah serta curiga. Apalagl ketika dia mendapat
kenyataan bahwa guru dan murid itu sekarang tidak lari lagi, dan agaknya
melakukan perjalanan dengan tidak tergesa-gesa.
Ia merasa
amat kuatir tentang diri suci-nya. Ia mengambil keputusan bahwa kalau hari itu
kedua orang yang diikutinya tidak membawanya kepada Giam Kin, dia akan
menerjang dengan nekat dan memaksa mereka mengaku ke mana suci-nya itu dibawa
pergi.
Akan tetapi,
lewat tengah hari itu Hek-hwa Kui-bo dan muridnya tiba di sebuah dusun kecil di
pinggir Sungai Huang-ho (Sungai Kuning). Alangkah mendongkolnya hati Li Cu
ketika ia mendengar dua orang itu hendak menyewa perahu untuk pergi ke pantai
Kui-feng. Jelas bahwa dua orang ini hendak terus melakukan perjalanan ke
selatan.
Diam-diam
dia lalu menyelidiki dusun itu. Dia bertanya-tanya kepada para tukang perahu
kalau-kalau dalam beberapa hari ini di situ lewat seorang laki-laki muda
bermuka pucat dan membawa seorang wanita muda. Ia mendapat jawaban bahwa tidak
ada orang-orang yang ditanyakannya itu. Maka mulailah Li Cu mengerti bahwa ia
telah salah kira. Agaknya dua orang yang diikutinya ini sama sekali tidak
menuju ke tempat Giam Kin!
"Hek-hwa
Kui-bo, tunggu dulu!" begitu bentaknya sambil berlari mendekati pada waktu
ia melihat dua orang guru dan murid itu hendak naik ke dalam perahu.
Nenek itu
menoleh dan tersenyum mengejek, "Bocah bandel! Kau mengikuti kami selama
lima hari terus-menerus, mau apa sih?"
Bukan main
mendongkol dan kagetnya hati Li Cu. Nenek ini benar-benar amat lihai dan
bermata tajam. Akan tetapi Kim-thouw Thian-li menoleh dengan terheran-heran,
agaknya tidak tahu akan perbuatannya mengikuti mereka siang malam itu.
"Hek-hwa
Kui-bo, sahabatmu Giam Kin si iblis busuk itu telah menculik Enci Lee Giok. Aku
mengikutimu untuk menanyakan di mana suci-ku itu dibawa pergi."
Hek-hwa
Kui-bo tersenyum mengejek, "Kalau kau ada kemampuan, carilah sendiri,
peduli apa aku dengan nasib suci-mu?"
"Kalau
begitu, sebelum kubunuh iblis she Giam itu, lebih dahulu kau dan muridmu akan
kubasmi!" bentak lagi Li Cu sambil mencabut pedangnya.
Pada saat
itu, tiba-tiba saja terdengar suara bersuit keras sekali datangnya dari tengah
sungai yang lebar itu. Semua tukang perahu dan nelayan yang berada di darat
segera rnenjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah sungai. Keadaan menjadi
sunyi senyap, sampai-sampai tiga orang yang tadinya akan bertempur itu ikut
pula menengok ke arah suara tadi. Li Cu juga menunda penyerangannya dan
memandang ke tengah sungai.
Sebuah
perahu besar sekali dan mewah berada di tengah sungai. Dari kejauhan tampak
beberapa orang di atas perahu itu memandang ke darat. Kemudian terdengar suara
yang nyaring bergema, suara yang penuh dengan tenaga khikang, sehingga bisa
didengar jelas sampai ke darat.
"Ho-hai
Sam-ong (Tiga Raja Sungai dan Laut) mengundang Hek-hwa Kui-bo bersama Kim-thouw
Thian-li untuk datang berkunjung ke tempat kediamannya!" Suara ini bergema
di permukaan air sungai.
Li Cu tidak
pernah mendengar nama Tiga Raja Sungai dan Laut ini, maka ia tidak ambil
peduli. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hwa Kui-bo dari Kim-thouw
Thian-li.
Hek-Hwa
Kui-bo merupakan seorang tokoh besar di selatan, maka sudah tentu saja ia
mengenal nama besar Ho-hai Sam-ong. Kalau dia boleh dibilang merupakan tokoh
nomor satu di dunia persilatan bagian daratan sebelah selatan, kiranya nama
Ho-hai Sam-ong adalah nama tokoh nomor satu pula di bagian sungai dan laut!
Demikian
pula Kim-thouw Thian-li. Dia sudah mengenal nama besar ini yang sudah amat
terkenal dan amat berpengaruh, karena Ho-hai Sam-ong dianggap sebagai pemimpin
dari sekalian bajak sungai dan bajak laut di daerah selatan ini.
Sebuah
perahu kecil meluncur cepat sekali ke pinggir sungai dan di ujungnya berkibar
sebuah bendera dengan gambar tiga macam binatang air yang menyerupai buaya,
naga dan ikan cucut. Pendayungnya hanya dua orang, akan tetapi melihat betapa
perahu itu cepat bukan main meluncurnya, dapat diketahui bahwa dua orang itu
adalah orang-orang ahli.
"Tamu-tamu
yang diundang, silakan turun ke perahu!" seorang di antara dua pendayung
itu berkata. Mereka adalah dua orang lelaki yang usianya mendekati empat puluh
tahun, bertubuh tegap dan bermuka keras.
Hek-hwa
Kui-bo berpaling kepada muridnya, dan berkata sambil tersenyum, "Sam-ong
sudah begitu baik hati mengundang kita, tak baik kalau kita menolaknya."
Setelah
berkata demikian ia meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu kecil
itu, diikuti oleh Kim-thouw Thian-li. Perahu itu sama sekali tidak bergoyang
ketika kedua kaki Hek-hwa Kui-bo tiba di situ, dan hanya bergoyang sedikit
ketika Kim-thouw Thian-li menyusul gurunya.
"Hek-hwa
Kui-bo, jangan harap bisa pergi sebelum memberi tahu di mana adanya Giam
Kin!" Li Cu membentak marah dan ikut pula melompat dengan gerakan indah
dan cepat.
"Kau
sudah bosan hidup!"
Hek-hwa
Kui-bo menyambut dengan serangan pedangnya pada waktu tubuh Li Cu masih berada
di udara. Akan tetapi Li Cu memang sudah siap sedia. Pedang Liong-cu-kiam sudah
di tangannya dan cepat pedang ini ia putar sedemikian rupa mendahului tubuhnya
sehingga serangan Hek-hwa Kui-bo tertangkis dengan suara nyaring dan... ujung
pedang Hek-hwa Kui-bo telah patah! Sementara itu, Li Cu sudah mendarat di atas
perahu, siap menghadapi pengeroyokan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li.
Pada saat
itu, kembali terdengar suara suitan keras dari perahu besar di tengah sungai.
Dua orang pendayung perahu kecil yang sudah menggerakkan perahu itu meluncur ke
tengah, segera berhenti mendayung dan berkata,
"Nona
muda ini pun menjadi tamu undangan yang terhormat. Sam-wi (kalian bertiga)
tidak boleh bertempur!"
Akan tetapi,
mana Li Cu sudi mendengarkan omongan ini? Sekarang bukan lagi guru dan murid
itu yang menyerangnya, sebaliknya dia yang cepat menggerakkan pedang untuk
menyerang. Dara cantik ini sudah nekat sekali dalam usahanya untuk memaksa
mereka memberi tahu di mana adanya Giam Kin yang menculik Lee Giok.
Padahal
perahu itu amat kecil dan kiranya akan terguling kalau dipakai untuk bertempur.
Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li yang berdiri berdampingan, terpaksa
menyambut serangan ini dan dua orang tukang perahu itu menjadi bingung dan
marah.
"Sam-wi
tidak boleh bertempur!" berkali-kali mereka berseru.
Perahu itu
mulai terombang-ambing. Namun yang bertempur tetap nekat.
"Kalau
tidak mau berhenti, kami akan gulingkan perahu!" kata dua orang pendayung.
Sementara
itu, para nelayan dan tukang perahu yang berada di pinggir sungai menonton
kejadian yang menarik ini tanpa berani mengeluarkan suara. Akan tetapi Li Cu
tetap tidak mau berhenti menyerang. Dua orang tukang pendayung itu lalu
meloncat ke dalam air dan sekali mereka bergerak, perahu kecil itu sudah
terguling! Hebat bukan main kegesitan tiga orang wanita ini dan ginkang (ilmu
meringankan tubuh) mereka memang sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Sambil
berseru keras ketiganya meloncat ke atas. Perahu membalik, dan tiga orang itu
sudah turun kembali, kini berdiri di atas perahu yang terbalik!
Dari pinggir
sungai terdengar seruan-seruan memuji. Memang indah dan hebat gerakan mereka,
seperti tiga ekor burung saja. Akan tetapi sekarang tiga orang wanita ini tidak
berani sembarangan bergerak menyerang lagi karena perahu yang terbalik itu
sudah bergoyang-goyang hebat, dan pasti mereka akan celaka kalau terjatuh ke
dalam air.
Li Cu
berdiri di satu ujung dengan pedang siap di tangan, sedangkan di ujung yang
lain berdiri guru dan murid itu, juga siap dengan senjata di tangan. Ada pun
dua orang tukang perahu itu sambil menyelam lalu berenang dan menarik perahu
kecil itu menuju ke perahu besar. Benar-benar keadaan yang amat lucu dan aneh
kedatangan tiga orang tamu yang diundang ini!
Li Cu maklum
bahwa keadaannya berbahaya sekali. Dia tidak mengenal siapa itu Ho-hai Sam-ong
dan karena tiga raja itu mengenal Hek-hwa Kui-bo, sudah tentu sekali mereka
adalah orang-orang jahat dan ia tentu akan menghadapi pengeroyokan hebat. Oleh
sebab inilah maka ia berlaku nekat.
Begitu
perahu kecil sudah mendekat dengan perahu besar itu, Li Cu mengenjot tubuhnya
dan bagai seekor burung kepinis tubuhnya melayang ke atas perahu besar. Di
depannya bergulung-gulung sinar pedang yang ia putar-putar untuk menjaga diri.
Tiga orang laki-laki yang berpakaian gagah sudah berada di depannya sambil
tertawa dan mengangkat tangan memberi hormat. Seorang di antara mereka yang
paling tua sambil tersenyum lalu berkata,
"Nona
muda berkepandaian hebat bukan main. Kami kagum sekali... kagum sekali. Atas
desakan Kiang-te (Adik Kiang) yang sungguh-sungguh kagum terhadap Nona, maka
kami sengaja mengundang Nona dengan baik-baik. Sekarang harap Nona sudi
menyimpan kembali pedang pusaka itu."
Li Cu hanya
berdiri tegak, tidak mau menyimpan pedangnya, tetap dalam keadaan siap siaga.
Sementara itu, tiga orang itu pun berpaling kepada Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw
Thian-li yang sudah meloncat pula ke atas perahu lalu memberi hormat dan
berkata,
"Sudah
lama mendengar nama besar Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, maka hari ini
kami sengaja mengundang Ji-wi. Nona ini juga menjadi tamu kami, maka harap
Ji-wi tidak memusuhinya selama dia menjadi tamu undangan kami."
Hek-hwa
Kui-bo membalas penghormatan mereka sambil berkata, "Sudah lama pula kami
mendengar nama besar Sam-ong. Hari ini menerima kehormatan dan undangan, hal
ini berarti tidak melupakan hubungan dunia kang-ouw di daerah selatan. Tentu
saja aku dan muridku tidak akan mengacaukan tempat Sam-ong, kecuali kalau Nona
muda galak ini menyerang kami, terpaksa kami mempertahankan diri."
"Hek-hwa
Kui-bo, apakah kau begini pengecut?" Li Cu membentak marah. "Mengapa
kau berlindung di tempat orang? Kalau kau memang gagah, marilah kita mendarat
dan kita melanjutkan pertempuran."
Orang tertua
dari ketiga Sam-ong itu segera menghadapi Li Cu dan berkata, suaranya tetap
halus, "Nona, harap kau suka memandang muka kami dan tidak memusuhi kedua
orang tamu kami ini. Kelak kalau kau sudah tidak bersama kami, terserah."
"Aku
tidak mengenal kalian, akan tetapi aku pun tahu akan peraturan kang-ouw dan
tidak akan mengacaukan tempat kalian ini. Biarlah aku mendarat saja dan menanti
sampai dua orang pengecut ini berani mendarat pula."
"Ha-ha-ha,
Nona muda, besar sekali nyalimu. Hek-hwa Kui-bo sebagai tokoh terkenal di dunia
selatan, masih sungkan menolak undangan kami. Sekarang kami mengundang kau
dengan maksud baik, bagaimana kau bisa menolaknya?"
Pedang di
tangan Li Cu menggetar. Memang dia adalah seorang gadis muda yang amat berani,
apa lagi ilmu silatnya memang tinggi sekali dan waktu itu dia memang sedang
berada dalam keadaan marah. Sama sekali ia tidak gentar meski pun ia berada di
tempat orang lain.
"Mana
ada aturan mengundang orang dengan cara memaksa? Aku bebas merdeka untuk
menerima atau menolak setiap undangan dan kali ini aku tidak ingin menerima
undangan siapa pun juga. Lekas sediakan perahu agar aku dapat mendarat
kembali!"
Kini orang
ke tiga dari tiga orang itu melangkah rnaju. Suaranya tinggi kecil dan matanya
yang sipit itu bercahaya tajam. Hebat warna matanya yang sipit itu, karena
warnanya merah seperti orang yang sedang sakit mata.
"Nona,
apakah kau belum pernah mendengar nama Ho-hai Sam-ong maka kau berani menolak
undangan kami?"
Li Cu balas memandang,
tidak berani lama-lama menentang mata yang merah itu karena sebentar saja ia
merasa matanya sakit. Tapi ia masih tabah dan tersenyum mengejek. "Belum
pernah mendengar sama sekali, akan tetapi andai kata pernah mendengar juga,
jangankan baru Ho-hai Sam-ong (Tiga Raja Sungai dan Lautan), meski Thian-te
Sam-ong (Tiga Raja Bumi Langit) yang mengundang, sekali aku bilang tidak mau
tetap tidak mau!"
Orang ke dua
melangkah maju dan tertawa bergelak. Seperti dua orang yang lain, orang ke dua
ini pun usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi dia adalah seorang
laki-laki yang tampan dan gagah.
"Ha-ha-ha-ha,
masih begini muda namun hebat kepandaiannya, dan ketabahannya luar biasa. Ehh,
Nona manis, kau ini puteri siapakah dan siapa pula namamu?"
Kini Li Cu
mendapat kesempatan untuk membanggakan keadaannya. Dengan senyum mengejek dan
suara nyaring dia lalu berkata, "Aku dari Thai-san. Ayahku adalah Bu-tek
Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tanding) Cia Hui Gan, namaku sendiri Cia Li Cu.
Hayo lekas antar aku mendarat."
Tiga orang
itu saling pandang, lalu tertawa bergelak-gelak. Li Cu menjadi heran dan dia
mulai memperhatikan mereka...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment