Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 10
Kun Hong
dibawa terbang jauh sekali oleh rajawali emas. Semenjak pergi meninggalkan
Lu-liang-san burung ajaib ini tidak mau kembali lagi dan selama itu ia terbang
dan tinggal di tempatnya yang lama, yaitu di puncak sebuah bukit yang tak
pernah didatangi manusia. Kadang-kadang ia meninggalkan tempatnya ini. Tidak
seperti dulu ketika masih dipelihara oleh Kwa Hong, sekarang ia bebas lepas dan
bisa pergi ke mana saja ia suka. Kebetulan sekali ia bertemu dengan Kun Hong.
Binatang ini
memang amat mengenal budi orang. Sekali saja orang sudah melepas budi
kepadanya, ia tentu akan membalasnya dengan penuh kesetiaan. Akan tetapi
sebaliknya, kalau ia disakiti, ia pun akan membenci yang menyakitinya. Tanpa
disengaja Kun Hong sudah memberi katak putih yang segera dikenal dan ditelan
oleh burung ajaib ini, dan karena itu selamatlah ia dari racun hebat yang
melukai kakinya. Pertolongan ini membuat dia sangat suka dan setia kepada Kun
Hong dan sekarang dia hendak membawa pemuda itu terbang ke tempat tinggalnya,
di puncak sebuah bukit yang pada jaman dahulu dikenal sebagai Bukit Kepala
Naga. Puncak ini disebut Kepala Naga karena bentuknya dilihat dari barat memang
menyerupai bentuk kepala naga.
Kun Hong
tidak tahu ke mana ia sedang dibawa oleh burung itu. Anehnya, pada waktu tengah
hari dan malam, burung itu selalu berhenti di sebuah hutan dan tanpa diminta
lagi lalu mencarikan buah-buahan yang segar dan enak untuk pemuda itu. Tentu
saja Kun Hong girang sekali mendapatkan kawan yang baik. Apa lagi selamanya dia
tidak pernah turun gunung, sekarang begitu turun gunung ia mengalami hal-hal
yang amat aneh.
Biar pun
ayahnya adalah Kwa Tin Siong dan juga menjadi ayah Kwa Hong, namun Kun Hong
belum pernah diceritakah mengenai kakak perempuannya lain ibu itu, maka ia pun
tak pernah mendengar tentang adanya rajawali emas. Para tosu Hoa-san-pai yang
sudah dipesan keras oleh Kwa Tin Siong, tidak ada yang pernah bercerita tentang
peristiwa yang mencemarkan nama baik Ketua Hoa-san-pai itu. Andai kata ia
pernah mendengar tentang Kwa Hong yang datang menyerbu ke Hoa-san-pai naik
rajawali emas, kiranya pemuda ini akan dapat mengenal burung itu.
Setelah
lewat lima hari, tibalah burung rajawali emas itu ke puncak gunung Kepala Naga.
Ia menukik ke bawah dan Kun Hong pun merangkul leher burung, mencengkeram
kalung mutiara itu sambil meramkan matanya. Ia merasa ngeri sekali melihat
betapa dia dibawa burung itu meluncur turun, seakan-akan hendak ditumbukkan
kepada jurang-jurang dan batu-batu yang menanti di bawah, jurang-jurang yang
menganga laksana mulut harimau dan batu-batu meruncing seperti ujung pedang dan
golok.
Setelah
burung itu hinggap di atas tanah barulah ia berani membuka sepasang matanya.
Alangkah herannya pada saat ia melihat bahwa burung rajawali itu telah berdiri
di depan sebuah goa yang bentuknya seperti mulut naga. Goa batu itu amat lebar
dan dalam, letaknya di depan jurang yang sangat terjal sehingga kalau bukan
burung yang pandai terbang, manusia biasa kiranya tidak mungkin sanggup mendatangi
tempat ini. Pemandangan alam dari tempat itu, dari depan goa itu, alangkah
indahnya, seakan-akan dunia terletak di bawah kaki goa.
Kun Hong
segera melompat turun dari punggung rajawali. Ia mendekati goa, akan tetapi
tidak berani masuk karena ia merasa seakan-akan sedang berdiri di depan tempat
tinggal seseorang sehingga ia tidak berani masuk begitu saja tanpa perkenan si
pemilik tempat tinggal! Namun tiba-tiba burung itu mengeluarkan suara perlahan
dan dari belakangnya burung itu pelan-pelan mendorong punggungnya, seakan-akan
hendak menyuruh pemuda itu memasuki goa.
Melihat
letak goa itu yang demikian sulit untuk didatangi manusia, Kun Hon lalu menduga
bahwa goa itu tidak mungkin didiami oleh manusia, dan karena itu dia lalu
memasukinya. Ia terheran-heran melihat bahwa di dalam goa itu terbagi menjadi
tiga, yaitu bagian depan dan di sebelah dalam terdapat dua buah ruangan
tertutup. Pintunya juga merupakan pintu batu, akan tetapi bentuknya jelas
adalah buatan manusia!
Dengan hati
berdebar-debar ia mendorong pintu batu di sebelah kiri. Akan tetapi betapa pun
ia mengerahkan tenaga, pintu batu itu bergerak sedikit pun tidak! Tiba-tiba
terdengar burung itu bersuara di belakangnya, lalu dengan sayap kanannya burung
itu mendorong perlahan dan pintu batu itu terbuka!
"Tiauw-ko,
kau benar-benar kuat sekali!" Kun Hong memuji dan makin berdebar hatinya
ketika ia melangkah masuk.
"Locianpwe
(sebutan untuk orang tua yang pandai) atau arwahnya yang mulia, harap sudi
mengampuni kelancanganku ini," katanya dengan bisikan perlahan.
Mulailah ia
merasa seram karena di dalam kamar batu ini ia melihat ada sebuah meja
sembahyang! Tempat lilin yang amat kuno terletak di kanan kiri ujung meja dan
di atas dua tempat lilin ini masih tertancap dua batang lliin merah.
Lilin-lilin itu tak menyala, akan tetapi sisa-sisa lilin yang meleleh bekas
terbakar masih kelihatan seakan-akan baru saja dipadamkan. Ketika Kun Hong
mendekati, tampak nyata olehnya bahwa lilin sudah lama sekali tidak dinyalakan
orang, buktinya di atasnya terdapat banyak sarang laba-laba. Di tengah-tengah
meja kelihatan sebuah kitab yang tebal dan sudah tua sekali.
Ketika
melihat sebuah kitab kuno, bukan main girangnya hati Kun Hong. Ingin segera dia
menyambar kitab itu untuk dibacanya, akan tetapi karena sejak kecil ia dijejali
pelajaran dan tata-susila, ia tidak berani melakukan hal itu. Karena
keinginannya melihat buku itu amat keras, ia segera menjatuhkan dirinya
berlutut di depan meja sembahyang lalu berkata keras-keras,
"Locianpwe
pemilik kitab di atas meja, harap sudi memberi perkenan kepada teecu untuk
mengambilnya dan membaca isinya." Berkali-kali ia mengucapkan kata-kata
ini sambil membentur-benturkan jidatnya pada lantai untuk memberi hormat kepada
pemilik kitab yang tidak diketahuinya siapa dan yang ia tidak tahu masih hidup
ataukah sudah mati itu.
Ketika
sedang berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya di atas lantai depan meja
sembahyang itu, matanya melihat ukiran-ukiran huruf kecil-kecil di bawah meja.
Ukiran huruf-huruf itu sedemikian kecilnya sehingga apa bila orang tidak
mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh lantai kiranya takkan
dapat melihatnya. Tidak akan ada huruf-huruf yang terlewat begitu saja oleh
sepasang mata Kun Hong yang selalu haus akan bacaan, apa lagi kalau huruf-huruf
itu berada di tempat yang begitu aneh dan goresan huruf-huruf itu amat
indahnya. Ia segera membacanya,
Dapat masuk
berarti jodoh. Dapat membaca berarti tahu sopan santun dan murid yang baik.
Untuk mengambil kitab singkirkan dahulu anak-anak panah di bawah meja. Setelah
hafal kitab baru ambil pedang di kamar semedhi.
Beberapa
kali Kun Hong membaca tulisan kecil-kecil itu dan ia merasa seakan-akan surat
itu ditujukan kepadanya! Setelah jelas akan pesan di dalam surat berukir yang
aneh itu, ia lalu melongok ke bawah meja.
Dan betul
saja, di bawah meja itu tersembunyi tiga batang anak panah yang dipasangi per sehingga
kalau ada orang mengambil kitab di atas meja itu, per akan menggerakkan tiga
batang anak panah tadi yang tentu akan tertendang dan menyerang orang yang
berdiri di depan meja. Karena anak-anak panah itu akan menyerang dari bawah
meja, kiranya tak mungkin orang akan dapat menghindarkan penyerangan gelap yang
amat dekat ini.
Kun Hong
bergidik. Dia cepat-cepat mengulur tangan mengambil tiga batang anak panah itu.
Tercium bau yang harum dan di ujung tiga batang anak panah itu berwarna hijau.
Pemuda ini dapat menduga bahwa ujung anak panah itu tentu diberi racun yang
amat berbahaya. Dengan jijik ia lalu menaruh ketiga batang anak panah itu di
atas meja, lalu ia memberi hormat lagi sambil berkata, "Terima kasih atas
kepercayaan dan petunjuk Locianpwe."
Ia lalu
mengulurkan tangan mengambil kitab kuno itu dari tengah meja dan pada saat itu
terdengarlah jepretan per di bawah meja. Biar pun sudah dapat menduga akan hal
ini dan sudah yakin bahwa anak panah itu sudah ia singkirkan, namun kaget juga
Kun Hong mendengar jepretan ini. Dilihatnya bahwa di bawah kitab tadilah yang
menghubungkan per-per itu sehingga apa bila kitab diambil per-per itu bekerja
di bawah meja. Ah, kalau tadi ia berlaku lancang dan langsung saja mengambil
kitab itu, sudah dapat dipastikan bahwa berbareng pada saat terdengar suara
menjepret, ia akan roboh telentang dengan tiga anak panah tertancap di
perutnya! Dengan kitab di tangan, Kun Hong cepat-cepat memberi hormat lalu
keluar dari kamar itu.
Setibanya di
ruangan depan, ternyata rajawali emas telah menantinya dan burung ini telah
memperoleh banyak sekali buah-buahan, malah di antaranya terdapat seekor
kelinci yang sudah mati. "Aduh, kau mendapatkan kelinci gemuk? Sayang,
Tiauw-ko, bagaimana kita akan dapat memakannya?"
Burung itu
lalu mendorong Kun Hong ke pojok ruangan di mana terdapat sebuah batu halus
rata berbentuk meja. Di situ bertumpuk rumput-rumput kering dan dengan paruhnya
burung luar biasa ini mengambil sedikit rumput kering, di taruhnya di atas
meja. Kemudian ia menggerakkan kepalanya, paruhnya yang runcing dan keras
seperti baja itu memukul pinggir meja dan... bunga api berpijar.
Kun Hong
girang sekali dan pemuda yang cerdik ini segera dapat menangkap maksud si
burung. Ia cepat-cepat mengambil rumput kering lagi dan menaruh dekat pinggiran
meja. Beberapa kali burung itu memukul batu itu dengan paruhnya hingga akhirnya
bunga api menyentuh rumput kering dan terbakarlah rumput itu. Dengan cara
demikian Kun Hong dapat membuat api unggun dan dapat memanggang daging kelinci.
Setelah
makan dan perutnya kenyang, pemuda itu mulai membuka-buka lembaran kitab kuno
tadi. Pada lembar pertama terdapat tulisan dengan huruf-huruf besar yang
berbunyi: SALINAN IM YANG BU TEK CIN KENG.
Karena tidak
tahu apa artinya Im-yang Bu-tek Cin-keng, Kun Hong membuka lembaran ke dua dan
segera ia amat tertarik membaca tulisan yang bersifat keluhan dan penjelasan.
Tulisan itu berbunyi demikian,
‘Telah
bertumpuk dosa-dosaku. Ratusan orang sudah kubunuh dengan anggapan bahwa itu
adalah perbuatan baik karena yang kubunuh adalah orang-orang yang kuanggap
jahat, Anggapan yang sesat! Aku tidak mampu memberi kehidupan, lalu bagaimana
aku berhak mengakhiri kehidupan? Aku sangat berdosa! Mengandalkan kepandaian
untuk membunuh sesama manusia, betapa pun jahat si manusia itu, bukanlah
perbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula.’
Sampai di
sini Kun Hong menarik napas panjang, lalu mengangguk-angguk. Betul sekali
Locianpwe ini, soal mati dan hidup manusia bukanlah urusan manusia, melainkan
Yang Maha Kuasa. Membunuh orang lain, bukankah itu namanya melancangi dan
mendahului Tuhan? Sayang, agaknya Locianpwe ini baru sadar setelah dia
melakukan pembunuhan ratusan kali. Ia membaca terus tulisan yang merupakan
permulaan isi kitab itu.
‘Im-yang
Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang mengandung pelajaran ilmu silat sakti, tiada
duanya di dunia ini. Orang macam aku mana dapat menyalinnya? Pengertianku
terbatas dan salinanku tentu banyak yang menyeleweng. Karena itu aku hanya
menyalin apa yang kuketahui saja dan kucampur dengan gerakan-gerakan burungku
rajawali emas. Karena itu maka ilmu di dalam kitab ini kuberi nama
Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas). Muridku yang membaca kitab ini harus
bersumpah dalam hatinya bahwa ke satu dia tidak boleh membunuh sesama manusia
dengan alasan apa pun juga. Ke dua dia tidak boleh mempergunakan ilmu ini untuk
menyerang orang. Ke tiga ilmu Kim-tiauw-kun ini hanya untuk membela diri dari
serangan orang, serta hanya terbatas untuk mengalahkan lawan saja.’
Kun Hong
makin tertarik. "Bagus," pikirnya. "Inilah ilmu yang baik
sekali. Aku sendiri paling benci melihat pembunuhan antara sesama manusia.
Kalau aku dapat mempelajari ilmu ini, kiranya aku akan mampu mencegah
orang-orang berkepandaian main hakim sendiri membunuhi orang sesuka hati. Kalau
ada orang jahat, aku dapat gunakan kepandaian ini untuk mengalahkannya dan
menangkapnya untuk diserahkan kepada yang berwajib agar dijatuhi hukuman. Bagus
sekali! Locianpwe, teecu bersumpah akan memenuhi semua syarat itu."
Semenjak
saat itu, dengan tekun Kun Hong membaca kitab yang berisi pelajaran ilmu silat
sakti itu. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa secara tak sengaja atau
sadar ia telah mewarisi ilmu silat yang bukan main hebatnya, yang hanya setaraf
dengan Im-yang Sin-hoat karena dari satu sumber. Ia tidak tahu pula siapa
gurunya, siapa penulis kitab itu yang hanya menandainya dengan tiga buah huruf
berbunyi ‘BU BENG CU’ yang artinya ‘TIADA NAMA’!
Di samping
membaca kitab Kim-tiauw-kun ini, tidak lupa Kun Hong yang dengan girang
mendapat kenyataan bahwa tiga buah kitab milik Yok-mo masih berada di saku
jubahnya, membaca pula tiga buah kitab pengobatan itu. Pengetahuannya tentang
perjalanan darah yang secara lengkap tertulis dalam kitab Yok-mo, memperlancar
pengertiannya terhadap isi kitab Kim-tiauw-kun.
Kun Hong
memang memiliki kecerdasan luar biasa. Dalam waktu setahun lebih saja ia sudah
mampu membaca habis empat buah kitab itu, tidak hanya membaca habis, malah
sudah dapat menghafalnya di luar kepala! Tentu saja, ilmu silat tidak dapat
disamakan dengan ilmu pengobatan yang cukup dihafal, melainkan harus dilatih
dalam praktek.
Oleh karena
di dalam kitab Kim-tiauw-kun itu terdapat peringatan bahwa si murid harus
betul-betul menyempurnakan latihan gerakan kaki, maka Kun Hong juga melatih
dirinya dalam gerakan ini, dalam langkah-langkah ajaib yang kadang-kadang
membuat kepalanya pening dan mau muntah-muntah.
Baiknya
kalau ia sedang bergerak seperti itu, burung rajawali sambil mengeluarkan suara
girang tentu mendekatinya lalu bergerak-gerak persis seperti langkah-langkah di
dalam pelajaran itu, sengaja memberi contoh kepadanya! Bukan main girangnya
hati Kun Hong dan mulai saat itu ia selalu berlatih bersama burung rajawali
emas.
Orang yang
menamakan dirinya Bu Beng Cu dan yang menyalin ilmu silat itu, sebenarnya
adalah orang sakti yang menyembunyikan dirinya di tempat ini karena merasa
menyesal sekali akan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang jahat yang
sudah banyak ia lakukan. Bu Beng Cu ini telah mewarisi sebagian dari ilmu silat
yang terdapat dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Setelah tua
dan menyesali perbuatannya, Bu Beng Cu membawa burung peliharaannya ke puncak
Gunung Kepala Naga ini, menyembunyikan diri dan menuliskan sari dan pokok dari
semua ilmu yang dia miliki. Bu Beng Cu terus tinggal di tempat itu sampai
kemudian ia meninggal dunia dengan hanya ditemani burungnya yang setia.
Tentu saja
setelah majikannya meninggal, burung itu merasa kesepian dan akhirnya ia
terbang dari tempat itu sampai ia berjumpa dengan Kwa Hong dan dipelihara oleh
Kwa Hong. Betapa pun juga, burung ini mempunyai perasaan atau naluri yang
tajam.
Agaknya ia
maklum bahwa Kwa Hong dan kemudian puteranya Sin Lee bukanlah orang yang
memiliki budi luhur, maka tidak ia bawa mengunjungi goa di puncak Gunung Kepala
Naga itu. Barulah setelah ia bertemu dengan Kun Hong, segera perasaan atau
nalurinya menyatakan kepadanya bahwa pemuda inilah yang paling tepat untuk
dihadapkan kepada peninggalan majikan tuanya.
Waktu satu
setengah tahun bukanlah waktu lama untuk orang yang belajar. Akan tetapi, satu
setengah tahun di dalam goa di puncak gunung yang tak pernah dikunjungi
manusia, benar-benar membuat Kun Hong berubah menjadi manusia lain! Ilmu
langkah ajaib itu ia sudah hafal benar sehingga dalam latihan-latihan, biar pun
burung rajawali itu menyerang dirinya dengan hebat, namun tak pernah dapat
menyentuh ujung bajunya.
Tidak hanya
dalam ilmu silat, akan tetapi juga dalam pengertiannya tentang pengobatan,
membuat ia seakan-akan terbuka mata batinnya akan diri manusia. Dari pelajaran
ini ia seakan-akan lebih mengenal dirinya sendiri, lebih mengenal manusia pada
umumnya, tidak hanya lahiriah, akan tetapi mendalam sampai ke jalan darahnya,
sampai kepada alat-alat terkecil dalam tubuh. Semua pengertian baru ini ia
gabungkan dengan pelajaran yang banyak ia dapatkan dahulu tentang kebatinan,
tentang kehidupan, sehingga pemuda yang baru berusia dua puluh tahun ini
sekarang memiliki pandangan yang amat tajam tentang diri manusia.
Setelah
hafal benar akan isi kitab Kim-tiauw-kun, barulah Kun Hong berani menghampiri
pintu kamar ke dua di dalam goa itu. Seperti pintu pertama, pintu ke dua ini
pun terbuat dari batu yang tebal dan berat. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya
dengan satu setengah tahun yang lalu, dengan sekali dorong saja Kun Hong dapat
membuka daun pintu yang tebal itu!
Sama sekali
ia tidak menjadi girang atau bangga dengan hal ini, karena sesungguhnya ia
sudah tidak ingat lagi betapa dahulu tanpa bantuan rajawali emas, tidak mungkin
ia dapat membuka pintu ini. Semua ini adalah hasil latihannya dalam semedhi dan
pernapasan, sesuai dengan petunjuk dalam kitab Kim-tiauw-kun itu.
Tenaga
dalamnya telah bangkit dan bergerak tanpa ia sadari. Hawa sakti dalam tubuh
telah ada di dalam diri tiap manusia, hanya saja hawa ini seakan-akan tertidur
karena semenjak kecil sampai mati tua, sebagian besar manusia di dunia ini
kerjanya hanya mengumbar hawa nafsunya belaka.
Kun Hong
yang sudah mengangkat sebelah kaki untuk melangkah memasuki kamar ke dua itu,
mendadak menahan kakinya karena mendengar burung rajawali yang berdiri di
belakangnya mengeluarkan suara aneh sekali. Seakan-akan burung itu bersusah
hati dan menangis. Ketika ia menengok ke belakang, burung itu
menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali lalu mencoba untuk menggigit baju Kun
Hong dan menariknya mundur.
"Jangan
Tiauw-ko. Bagaimana pun juga aku harus memasuki kamar ini, sesuai dengan
petunjuk Locianpwe bahwa setelah aku hafal akan isi kitab, aku boleh masuk ke
sana dan mengambil pedang. Bukan sekali-kali karena aku ingin sekali memiliki
pedang, ah, bukan, Tiauw-ko. Bagiku, sebatang pedang apalah artinya? Untuk apa
pula? Akan tetapi karena Locianpwe sudah memesan, mana aku berani
membangkang?"
Sesudah
berkata demikian dan menghindarkan diri dari gigitan patuk burung itu, dengan
tabah Kun Hong melangkah memasuki kamar yang agak gelap itu. Begitu masuk ia
pun tertegun dan memandang dengan mata terbelalak ke depan.
Di ujung
kamar itu terdapat sebuah kursi batu dan di atas kursi batu ini duduk sebuah...
kerangka manusia! Tengkorak manusia ini masih utuh dan sepasang lubang bekas
mata itu seolah-olah tengah memandang padanya. Tangan kanan kerangka ini
mencengkeram sebatang pedang yang bersinar kemerahan.
Dari kaget
Kun Hong berbalik menjadi terharu. Inikah kiranya Bu Beng Cu, gurunya yang
meninggalkan kitab itu? Tanpa ragu-ragu lagi Kun Hong melangkah maju lagi,
kemudian menjatuhkan dirinya berlutut di depan kerangka itu.
"Locianpwe,
alangkah buruknya nasibmu, sampai meninggal pun tidak ada orang yang
menguburmu..."
Ia terpaksa
menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba lantai yang diinjaknya
bergoyang-goyang keras. Cepat ia meloncat bangun dan tiba-tiba dari sebelah
kanannya menyambar anak panah! Kun Hong cepat menggeser kakinya, menarik tubuh
untuk menghindarkan diri dari ancaman maut itu. Akan tetapi terdengar lagi
suara…
"Ser-ser-ser!"
dan banyak anak panah menyambarnya dari empat jurusan, sementara itu lantai
masih bergoyang-goyang.
Kun Hong
maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Ia segera memusatkan pikiran dan
kedua kakinya cepat bergerak-gerak dalam langkah ajaib, tubuhnya bergerak-gerak
dalam Ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Sedikitnya ada lima puluh batang anak panah
yang terus menerus menyambar, akan tetapi setelah pemuda ini melakukan gerak
langkah ajaib, semua penyerangan itu sama sekali tak dapat menyentuhnya.
Setelah anak panah habis menyambar, lantai berhenti sendiri dan yang terlihat
hanyalah puluhan batang anak panah
berserakan
di atas lantai.
Kun Hong
tidak mengerti apa maksudnya penyerangan itu, siapa yang menyerang dan mengapa
lantai bergoyang-goyang, Akan tetapi karena ia memasuki kamar ini atas pesan
Locianpwe untuk mengambil pedang, ia melangkah maju terus dengan hati-hati
sekali.
Dengan halus
ia menarik pedang itu dari dalam tangan kerangka itu. Akan tetapi alangkah
kagetnya ketika tiba-tiba kerangka yang tadinya duduk itu menjadi runtuh dan
terlepaslah tulang-tulang rangka itu berjatuhan ke atas lantai pula.
Tengkoraknya pun menggelinding sampai ke tengah kamar.
Di antara
tulang-tulang ini, melayang sehelai kain kuning yang ternyata ada tulisannya
begini:
APA BILA KAU
TERLUKA ATAU MATI, MAKA KAU TIDAK PATUT MENJADI PEWARIS KIM-TIAUW-KUN.
Setelah
membawa tulisan itu, tersenyumlah Kun Hong. Kiranya semua itu merupakan ujian
baginya. Locianpwe Bu Beng Cu yang aneh dan sakti ini telah mengatur sebelum
tiba ajalnya, membuat semua alat rahasia itu agar setelah ia mati, ia masih
dapat menguji calon muridnya, baik menguji pribudinya seperti yang ada di bawah
meja sembahyang, juga menguji kepandaiannya setelah mempelajari ilmu silat itu.
Benar-benar
seorang manusia yang hebat. Pantas saja burung rajawali tadi seakan-akan hendak
mencegahnya memasuki kamar, agaknya burung itu sudah tahu akan bahaya ujian ini
dan hendak mencegahnya memasuki kamar itu.
Sebagai
seorang yang mempunyai pribudi luhur, tidak tegalah hati Kun Hong melihat
kerangka orang sakti itu berserakan di dalam kamar. Ia lalu mengumpulkan
kerangka itu dan dengan khidmat dibawanya kerangka itu keluar, kemudian
digalinya lubang di ruang depan menggunakan pedang itu dan dikuburnya kerangka
tadi. Selama dia melakukan semua ini, burung rajawali emas mengeluarkan suara
keluhan seperti orang berkabung dan menangis!
Kun Hong
lalu berkata kepada burung itu, "Tiauw-ko, sekarang sudah tiba waktunya aku
harus pergi dari tempat ini. Kitab ini kutinggalkan di tempat semula karena aku
sudah membaca semua isinya. Ada pun pedang yang indah ini, karena telah
diberikan kepadaku oleh mendiang Locianpwe, akan kubawa dan kuserahkan kepada
Ayah yang amat suka akan pedang-pedang pusaka."
Pemuda itu
mengembalikan kitab Kim-tiauw-kun di atas meja sembahyang, sedangkan tiga buah
kitab lain milik Yok-mo ia kantongi kembali karena ia hendak mengembalikan
kitab itu kepada pemiliknya. Pedang indah itu ia masukkan ke dalam sarung
pedang yang sederhana dan yang ia temukan juga di kamar ke dua, lalu ia ikat di
pinggang, ditutupi jubahnya. Pakaian pemuda ini sudah lapuk dan berlubang di
sana-sini, maklum sudah setahun setengah ia tidak pernah berganti pakaian.
Kim-tiauw
agaknya maklum bahwa pemuda itu hendak pergi. Ia kelihatan berduka, akan tetapi
karena tak dapat bicara, ia hanya mengeluarkan suara mencicit seperti burung
kecil.
"Nah,
Tiauw-ko, tolonglah kau antarkan aku turun dari puncak ini," kata Kun Hong
setelah untuk penghabisan kali ia memberi hormat kepada kuburan kerangka Bu
Beng Cu.
Burung itu
lalu mendekam di hadapan Kun Hong. Pemuda ini segera meloncat ke atas
punggungnya dan sekali lagi pemuda ini mengalami ‘terbang’ di angkasa.
Ia masih
merasa ngeri seperti dulu. Akan tetapi entah bagaimana, setelah satu setengah
tahun ia melatih diri di goa itu, ia merasa hatinya lebih tenang dan tabah.
Dengan gembira ia sekali lagi menyaksikan pemandangan alam yang amat luar biasa
dilihat dari angkasa, dari atas punggung burung raksasa itu.
Akan tetapi,
pengalaman hebat ini tak lama ia rasakan sebab burung itu segera melayang turun
ke bawah kaki gunung, kemudian hinggap di atas tanah. Ia mengeluarkan suara
melengking yang tidak diketahui artinya oleh Kun Hong. Akan tetapi pemuda ini
segera meloncat turun. "Tiauw-ko, kenapa hanya sampai di sini? Kalau bisa,
tolong kau antarkan aku kembali ke Hoa-san."
Burung itu
kembali mengeluarkan suara melengking tinggi, lalu burung itu mengangguk di
depan Kun Hong tiga kali, setelah itu ia pentang kedua sayapnya dan terbang
naik lagi ke puncak.
"Ahh,
jadi dia tidak mau ikut dan hendak kembali ke sana? Baiklah, aku harus
melanjutkan perjalanan ini dengan jalan kaki."
Kun Hong
tidak menjadi kecewa, malah ia merasa berterima kasih sekali kepada burung itu.
Sebetulnya kalau boleh ia tidak ingin berpisah dari sahabatnya yang baik itu.
"Kim-tiauw-ko, terima kasih atas semua kebaikanmu!" ia berteriak ke
arah burung yang sudah terbang meninggi.
Ia kaget dan
terheran sendiri ketika suaranya itu mendatangkan gema di empat penjuru, amat
nyaring teriakannya. Semuanya ini adalah berkat kemajuannya dalam
latihan-latihan sehingga tanpa disadarinya, ia telah memiliki tenaga khikang
yang tinggi.
Setelah
burung itu lenyap, baru Kun Hong melanjutkan perjalanannya. Ia tidak mengenal
jalan, maka ia berjalan ke mana saja yang ia rasa senang dengan harapan untuk
tiba di sebuah dusun, berjumpa orang dan menanyakan jalan ke Hoa-san. Memang
tadinya ia merasa tidak senang bila mengenang akan pembunuhan di Hoa-san dan
tidak ada keinginan kembali. Akan tetapi betapa pun juga dia merasa rindu
kepada orang tuanya dan ingin bertemu dengan mereka untuk menceritakan
pengalamannya yang hebat bukan main….
****************
Semenjak
dunia berkembang, sudah menjadi kenyataan bahwa di dalam hidup menderita
sengsara, manusia akan mencari Tuhan karena sudah kehabisan akal dan tidak
berdaya untuk memperbaiki hidupnya yang penuh derita itu. Berpalinglah manusia
yang menderita sengsara, mencari-cari Kekuasaan Tertinggi yang tadinya terlupa
olehnya di kala ia tidak berada dalam penderitaan hidup.
Sebaliknya,
di kala menikmati hidup penuh kesenangan dan kecukupan, manusia sama sekali
lupa akan Tuhannya, lupa bahwa segala kesenangan yang dapat ia rasakan pada
hakekatnya adalah rahmat dari Tuhan. Dalam mabuk kesenangan manusia jadi
sombong, mabuk kemenangan dan kemuliaan duniawi, merasa seakan-akan semua hasil
gemilang itu adalah hasil kepandaiannya sendiri.
Manusia yang
sedang ditimpa kesengsaraan sering kali mencari kesalahan sendiri yang
menyebabkan ia menderita, sering mengakui kesalahannya dan bertobat, berjanji
takkan mengulangi perbuatannya yang sesat. Sebaliknya, di dalam mabuk
kemuliaan, manusia hanya bisa menyalahkan orang lain mengira bahwa dirinya
sendiri yang benar dan karena kebenarannya itulah maka ia dapat hidup dalam
kemuliaan.
Alangkah
bodohnya manusia, alangkah pelupa dan mudahnya mabuk oleh kesenangan duniawi!
Lupa sudah bahwa segala apa yang dipisah-pisahkan manusia dan diberi istilah
kesenangan atau kesengsaraan itu adalah sesuatu yang sifatnya sementara belaka.
Baik kesenangan dan kesengsaraan yang sebetulnya bukanlah merupakan sifat dari
sesuatu keadaan, melainkan lebih merupakan pendapat menurut selera seorang,
takkan abadi dan tidak merupakan hal yang sementara terasa, malahan umurnya
amat pendek, sependek umur manusia di dunia ini.
Baik mereka
yang mabuk kemenangan pada waktu usahanya berhasil gemilang, mau pun mereka
yang putus asa dan nelangsa di waktu mengalami derita kekalahan, mereka ini
adalah manusia-manusia yang bodoh dan mau membiarkan dirinya diombang-ambingkan
dan dipermainkan oleh perasaannya sendiri.
Bahagialah
orang yang selalu berpegang kepada kebenaran, yang selalu waspada akan langkah
hidupnya sendiri supaya tidak menyeleweng dari kebenaran, dan dalam pada itu
selalu mendasarkan segala sesuatu yang menimpa dirinya, baik itu menyenangkan
badan mau pun sebaliknya, sebagai kehendak dari pada Tuhan seru sekalian alam,
Tuhan yang menentukan segalanya, yang tak dapat diubah oleh kekuasaan mana pun
juga di dunia ini.
Apa bila
kita adakan perbandingan, maka mereka yang tertimpa kesengsaraan hidup dan
membuat mereka berpaling mencari Tuhannya, jauh lebih bahagia dari pada mereka
yang hidup bergelimang dalam kemewahan dan membuat mereka lupa akan Tuhannya.
Demikian
pula dengan Kaisar dan para pembesar Kerajaan Beng. Pada mulanya, dalam
perjuangan mereka mengusir penjajahan Mongol dari tanah air, mereka berpegang
pada kebenaran jiwa, mereka penuh dengan sifat patriotisme, sepak terjang dalam
perjuangan hanya didasarkan untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Dalam
keadaan seperti itu mereka yakin sepenuhnya akan kebenaran mereka, dan yakin
bahwa manusia dalam kebenaran sepak terjang hidupnya selalu akan diridhoi oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Namun,
sungguh menyedihkan. Setelah usaha perjuangan mereka berhasil, terjadilah hal
yang agaknya merupakan penyakit turunan bagi seluruh manusia. Terjadilah
perebutan kemuliaan! Lebih menyedihkan lagi, setelah mereka yang berhasil dalam
perebutan ini menduduki tempat tinggi dan mengenyam kemuliaan, mereka lalu
mabuk!
Banyak di
antara pembesar, malah sampai Kaisar sendiri, yang dulunya terkenal sebagai
pejuang-pejuang patriotik, setelah mendapatkan kemuliaan dan kebesaran, lalu
lupa akan kebenaran. Mereka dirangsang oleh nafsu-nafsu mereka sendiri.
Ada yang
tamak akan harta benda, kerjanya hanya mengumpulkan harta dengan jalan yang
tidak halal, melakukan korupsi besar-besaran tanpa menghiraukan sedikit pun
nasib rakyat jelata yang dahulunya mereka bela dengan perjuangan mati-matian.
Ada yang menurutkan nafsu binatang saja, tanpa mengenal malu mengumpulkan
wanita-wanita muda dan cantik untuk mereka jadikan alat pengumbar nafsu.
Banyaklah macamnya maksiat yang dilakukan oleh orang-orang mabuk kemulian
duniawi ini.
Akibat dari
semua ini, pemerintah yang dipimpin oleh bangsa sendiri tetap saja tidak dapat
mengangkat rakyat jelata dari kemiskinan dan kesengsaraan hidup. Tetap saja
rakyat yang dijadikan sapi perah, diperas keringat dan darahnya oleh
pemimpin-pemimpin kecil.
Di lain
pihak pemimpin-pemimpin kecil ini diperas oleh atasan mereka, dan si atasan ini
diperas lagi oleh atasannya yang lebih tinggi kedudukannya. Sogok dan fitnah
merajalela dan kebenaran yang berlaku bukanlah kebenaran sejati karena siapa
yang memiliki uang, dialah yang menang.
Semenjak
penjajah Mongol terusir dan Ciu Goan Ciang menjadi kaisar, rakyat tetap saja
masih menderita. Penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan oleh bangsa Mongol dari
utara, pemberontakan-pemberontakan dari suku-suku bangsa kecil di barat dan
utara, gangguan bajak-bajak laut bangsa Jepang, menambah beban hidup rakyat
yang sudah menderita.
Seperti
tercatat dalam sejarah, di mana pun tidak atau belum ada kemakmuran dalam
kehidupan rakyat jelata, di situ tentulah muncul rasa penasaran, dan kembali
yang kuat merajalela dan pada umumnya lalu berlakulah hukum rimba, siapa kuat
dia yang menang. Orang-orang jahat bermunculan, mengganas sewenang-wenang
karena para pembesar dan alat-alat pemerintah hanya mengurus isi kantongnya
sendiri.
Karena
banyaknya orang-orang jahat, maka di sana-sini muncullah kelompok-kelompok atau
gerombolan-gerombolan yang mempunyai wilayah sendiri-sendiri. Dan hal ini tentu
saja mengakibatkan permusuhan dan persaingan di antara golongan ini. Syukurlah
bahwa masih banyak terdapat orang-orang gagah yang tidak sudi ikut-ikutan
memperebutkan kedudukan dan kemuliaan untuk diri sendiri. Banyak di antara para
bekas pejuang yang masih terbuka mata batinnya, dapat melihat betapa
tersesatnya mereka yang mabuk kemuliaan itu.
Mereka
orang-orang gagah sejati ini tetap hidup di antara rakyat jelata, tidak
segan-segan untuk mencari nafkah dengan pekerjaan kasar, bahkan cukup banyak
yang hidup hanya mengandalkan belas kasihan orang! Makin lama semakin banyaklah
orang-orang yang hidupnya seperti pengemis. Sudah tentu saja sebagian besar di
antara mereka ini adalah orang-orang malas. Karena makin lama jumlahnya semakin
banyak, mulailah orang jahat mengincar mereka yang dianggap sebagai golongan
tersendiri yang bukan tidak kuat. Maka dimasukinyalah kelompok ini dan
didirikan perkumpulan-perkumpulan pengemis!
Celakanya,
kaipang (perkumpulan pengemis) ini dibentuk atas prakarsa orang-orang yang
memang jahat sehingga pendirian ini sama sekali bukan diadakan untuk usaha
perbaikan nasib orang-orang gelandangan itu, sama sekali bukan. Memang, ada
juga manfaatnya bagi keadaan hidup para pengemis ini, namun dengan cara yang
tiada bedanya dengan penjahat.
Dengan
adanya perkumpulan-perkumpulan ini, para pengemis lalu diharuskan mentaati
peraturan perkumpulan. Hasil mengemis harus dikumpulkan dan tak boleh dipakai
sendiri, sebaliknya soal makan mereka dijamin oleh perkumpulan. Melihat para
pengemis yang bergabung ini, tidak ada yang berani menolak permintaan mereka,
karena hal ini bisa mengakibatkan si penolak itu celaka, dianiaya dan dirampok
hartanya! Jadi tegasnya, cara para pengemis dari kaipang-kaipang itu bekerja
hanya tampaknya saja mengulurkan tangan minta sedekah, akan tetapi pada
hakekatnya sama dengan perampok yang datang mengacungkan golok!
Pada mulanya
memang penduduk setiap kota dan para pembesar dan petugas berusaha membasmi
kaipang-kaipang ini. Akan tetapi, karena para pengemis itu sudah bercampur
dengan para penjahat yang merasa lebih aman bersembunyi di antara kaum jembel
itu, usaha ini sia-sia belaka. Apa lagi setelah organisasi pengemis itu makin
meluas sehingga di setiap tempat ada cabangnya, kemudian para pengurus pengemis
terdiri dari ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi, petugas-petugas
keamanan menjadi tak berdaya.
Seperti
dikatakan tadi, syukur bahwa tidak semua manusia di dunia ini berpikiran cupat
dan berwatak remeh. Orang-orang gagah yang melihat adanya gejala-gejala tak
baik ini, yang berarti akan menambahi beban rakyat jelata karena pemerasan oleh
para perampok berpakaian pengemis ini, segera turun tangan.
Ada yang
secara langsung menggunakan kekerasan menentang para kaipang ini. Tetapi
akhirnya mereka itu dikeroyok dan kalah, malah ada yang tewas. Ada yang
menentang secara diam-diam, menunggu saat baik, kemudian mereka ini malah
memasuki kaipang-kaipang itu, menjadi anggota dengan maksud membelokkan
kejahatan para pengemis ke arah kebaikan.
Demikianlah,
jangan dikira bahwa semua anggota kaipang itu jahat karena di dalamnya juga
banyak terdapat orang-orang gagah yang senantiasa menanti kesempatan baik untuk
menggulingkan kedudukan ketua masing-masing sehingga jika pimpinan sudah jatuh
ke dalam tangan orang-orang yang tidak jahat ini, sudah tentu perkumpulan itu
akan dibawa ke jalan benar.
Karena hal
ini terjadi selama penjajah jatuh, jadi dua puluh tahunan, maka sekarang telah
banyaklah perkumpulan pengemis yang dipimpin oleh ketua-ketua yang baik
sehingga perkumpulan ini betul-betul menjadi perkumpulan untuk memperbaiki
nasib para anggota. Di dalam kaipang yang bersih ini diadakan latihan-latihan
semacam sekolah, di mana para anggotanya diajar untuk memiliki sesuatu
kepandaian tertentu, misalnya pertukangan dan lain-lain. Sesudah itu mereka itu
diharuskan mencari pekerjaan sebagai sumber nafkah dan setelah mendapatkan
pekerjaan sudah tentu mereka ini tak diperbolehkan mengemis lagi dan tidak lagi
menjadi anggota biar pun masih ada hubungan persaudaraan.
Nah,
demikianlah keadaan di waktu itu. Di satu pihak kaipang-kaipang yang dipimpin
oleh orang-orang jahat masih mengganas, di lain pihak ada pula kaipang-kaipang
yang bersih sehingga kemudian terkenallah sebutan Pek-kaipang (Perkumpulan
Pengemis Putih) dan Hek-kaipang (Perkumpulan Pengemis Hitam). Sudah tentu
Pek-kaipang adalah golongan yang baik sedangkan Hek-kaipang golongan yang
jahat. Karena ada dua golongan yang berlainan sifatnya, tidak dapat dicegah
lagi adanya persaingan dan permusuhan di antara dua golongan ini sehingga
sering kali terjadi pertempuran-pertempuran dan pertumpahan-pertumpahan darah.
Di antara
Pek-kaipang, perkumpulan pengemis Hwa-i Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju
Kembang) adalah yang paling terkenal dan kuat. Perkumpulan pengemis ini
memiliki anak buah paling banyak dan karena ketuanya seorang yang memiliki
kepandaian tinggi dan pengurusnya juga mendapat latihan ilmu silat tinggi, maka
banyak kaipang lain yang tunduk kepada Hwa-i Kaipang.
Pusat
perkumpulan ini di kaki Gunung Ta-pie-san, sebelah barat kota raja Nanking. Ada
pun ketuanya adalah seorang kakek gagah perkasa yang usianya sudah tinggi
sekali tapi memiliki kepandaian yang amat hebat. Kakek pengemis ini tidak
pernah memperkenalkan namanya dan hanya mengaku berjuluk Hwa-i Lo-kai (Pengemis
Tua Berbaju Kembang).
Sesudah para
pengemis berkali-kali ditolong oleh kakek yang berkepandaian tinggi ini, maka
ia lalu diangkat menjadi ketua dan perkumpulan yang dipimpinnya lalu diberi
nama Hwa-i Kaipang. Semua anggota Hwa-i Kaipang selalu memakai baju berkembang,
biar pun sudah lapuk atau penuh tambalan!
Pada suatu
hari terjadilah berita yang menggemparkan ‘dunia pengemis’ itu. Pengemis mana
yang tidak akan terkejut mendengar berita bahwa Ketua Hwa-i Kaipang hendak
mengundurkan diri dan di pusat perkumpulan itu hendak diadakan pemilihan
pengurus baru? Hal itu menjadi bahan percakapan yang ramai, tidak saja di
antara para pengemis, bahkan boleh dibilang juga di antara para orang gagah di
dunia kang-ouw karena sebagai perkumpulan besar, Hwa-i Kaipang mengundang para
orang gagah untuk menjadi saksi dalam pemilihan ketua baru ini.
Menjelang
datangnya hari pemilihan ketua, keadaan di sekitar kaki Gunung Ta-pie-san
menjadi ramai sekali. Banyak tokoh-tokoh perkumpulan pengemis dari daerah lain
datang dengan pakaian mereka yang beraneka ragam dan beraneka macam. Kalau
melihat banyak pengemis dari berbagai aliran berkumpul di tempat yang luas itu,
benar-benar mereka itu seperti bukan pengemis-pengemis, melainkan anak buah
dari pasukan-pasukan! Biar pun pakaian mereka tambal-tambalan, ada pula yang
sudah lapuk, namun warnanya seragam. Ada yang serba hitam, ada yang serba
merah, ada yang putih, hijau, biru dan banyak lagi macam warnanya. Para anggota
Hwa-i Kaipang tentu saja berbaju kembang semua!
Mereka yang
sudah datang bertanya-tanya mengapa Hwa-i Lo-kai hendak mengundurkan diri dan
mencari penggantinya. Akan tetapi tak seorang pun dapat menjawab pertanyaan
ini, bahkan para anggota Hwa-i Kaipang sendiri tak ada yang dapat memberi
keterangan. Hwa-i Kaipang atau Perkumpulan Pengemis Baju Kembang pada waktu itu
sudah merupakan perkumpulan yang besar, mungkin terbesar di antara perkumpulan
pengemis yang ada di daerah itu. Malah dapat dikatakan bahwa perkumpulan ini
paling makmur, mempunyai rumah pertemuan yang besar dengan perabot-perabot
rumah yang lengkap, memiliki ruangan tempat para pengemis cilik belajar sesuatu
pekerjaan dan lain-lain. Hal ini adalah karena sepak terjang perkumpulan ini
yang betul-betul merupakan perkumpulan sosial hendak memberi bimbingan kepada
kaum gelandangan itu supaya bisa hidup lebih baik dan terangkat nasibnya, telah
menarik hati banyak dermawan yang banyak memberi sumbangan-sumbangan kepada
Hwa-i Kaipang.
Tidak hanya
dalam soal usaha memperbaiki nasib para pengemis. Juga dalam organisasi
sendiri, makin lama perkumpulan ini menjadi makin kuat. Makin banyak saja
pemuda yang tinggi ilmu silatnya dan ini boleh dibilang semua telah menjadi
murid Hwa-i Lo-kai. Tentu saja para pengurus ini tadinya memang sudah memiliki
kepandaian dari berbagai macam aliran. Akan tetapi sesudah mereka menggabungkan
diri di Hwa-i Kaipang, dan menyaksikan sendiri betapa tingginya ilmu silat
ketuanya, mereka kemudian minta diberi pelajaran ilmu silat.
Ketua Hwa-i
Kaipang ini selalu suka menurunkan kepandaiannya dan ia mengajarkan beberapa
ilmu pukulan yang ia sesuaikan dengan watak dan keadaan jasmani si murid. Makin
lama makin banyaklah anggota Hwa-i Kaipang yang mendapatkan kemajuan hebat
dalam kepandaian ilmu silat mereka. Bahkan kemudian hampir tidak ada seorang
pun anggota pengurus yang tidak berilmu tinggi.
Hwa-i Lo-kai
sendiri maklum bahwa di antara perkumpulan pengemis yang amat banyak itu, tidak
jarang merupakan perkumpulan pengemis palsu yang sesungguhnya lebih patut
disebut perkumpulan penjahat. Juga ia tahu betapa perkumpulan-perkumpulan jahat
ini mengandalkan kekerasan, tidak hanya melakukan pemerasan terhadap penduduk,
juga kadang-kadang berani menindas perkumpulan lain yang lebih lemah.
Karena itu,
kakek ini melihat betapa penting bagi perkumpulan yang dipegangnya untuk
memperkuat diri dengan pengurus-pengurus yang pandai ilmu silat. Hal ini
pulalah yang membuat ia mulai mengadakan susunan dalam pengurusnya,
membagi-bagi tugas sesuai dengan kemampuan dan kepandaian mereka.
Untuk membedakan
tingkat kepandaian ilmu silat, dia mengadakan ujian lalu memberi tanda tingkat
kepada para muridnya itu. Tanda tingkat ini merupakan tali ikat pinggang
berwarna putih dari serat biasa. Makin banyak tali ini yang mengikat pinggang
seorang pengemis Hwa-i Kaipang, makin tinggilah tingkat ilmu silatnya.
Di antara
para pengurus dan pembantu ketua itu, rata-rata hanya memiliki empat helai ikat
pinggang. Jumlahnya ada dua puluh orang lebih. Yang mempunyai lebih dari empat
helai amat jarang. Yang paling tinggi tingkatnya di antara mereka hanya tiga
orang. Mereka ini telah mempunyai tujuh helai tali putih yang mengikat pinggang
mereka.
Tiga orang
inilah yang dalam segala hal mewakili Hwa-i Lo-kai dan mereka boleh dibilang
sudah memegang seluruh urusan perkumpulan itu sebagai wakil ketua. Mereka
adalah Coa-lokai, Beng-lokai, dan Sun-lokai. Lokai artinya ‘pengemis tua’ akan
tetapi sebutan ini dalam perkumpulan itu berarti menghormat, karena yang berhak
menyebut diri lokai hanyalah ketua mereka dan tiga orang tangan kanan inilah!
Jadi
panggilan lokai ini seakan-akan merupakan panggilan penghormatan seperti
lajimnya sebutan ‘yang mulia’ dan ‘paduka’! Memang dalam perkumpulan yang aneh
ini banyak terdapat aturan dan hal-hal aneh pula.
Sudah bisa
dibayangkan bahwa jika Hwa-i Lo-kai mengundurkan diri, calon penggantinya
tentulah seorang di antara tiga kakek ini. Hal ini tidak hanya menjadi pendapat
para anggota, malah juga pendapat orang-orang luar dan juga demikianlah kata
hati tiga orang itu sendiri. Oleh karena itu, diam-diam seperti ada persaingan
di antara mereka dan secara diam-diam pula tiga orang pembantu ini mendekati
para anggota dan sedapat mungkin menarik sebanyak-banyaknya sahabat agar
mendukungnya dalam ‘pemilihan umum’ itu nanti. Sudah bukan hal aneh lagi apa
bila mereka ini menjanjikan hal-hal yang muluk-muluk kepada para anggota yang
suka memilihnya.
Pagi hari
pada waktu pemilihan, para anggota sudah berkumpul di pekarangan yang amat luas
di depan rumah pertemuan Hwa-i Kaipang. Pengemis-pengemis berpakaian baju
kembang yang tidak kurang dari seratus orang jumlahnya duduk di belakang ketua
dan para pengurus mereka. Ada pun para tamu merupakan kelompok-kelompok yang
duduk di atas tanah juga, menghadap tuan rumah. Ada kelompok pengemis
berpakaian hijau, merah, hitam, putih dan lain-lain yang dipimpin oleh ketua
atau wakil masing-masing. Uniknya, pertemuan ini sama sekali tidak dilengkapi
kursi, bangku atau pun meja dan semua yang hadir duduk begitu saja di atas
tanah, ada yang bersila, ada yang berjongkok.
Hwa-i Lo-kai
tampak duduk bersila sambil meramkan mata. Dia adalah seorang kakek yang
usianya sudah delapan puluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus. Rambutnya yang
panjang tidak terawat, pakaiannya berkembang sederhana, terdapat tiga tambalan
di pundak dan dada. Pinggangnya diikat dengan tali putih terbuat dari sutera.
Di pinggang kiri tergantung sebuah guci arak dari perak dan ia tidak kelihatan
membawa senjata.
Di sebelah
kanannya duduklah tiga orang pembantunya yang terkenal, yaitu Coa-lokai yang
bertubuh tinggi besar bermata lebar dan gerak-geriknya kasar. Beng-lokai
orangnya gemuk pendek berkulit kuning dan bermata sipit, tersenyum-senyum
gembira. Sun-lokai orangnya kecil agak bongkok, matanya tajam bergerak ke sana
ke mari. Tiga orang pembantu ini semuanya memakai baju berkembang dengan ikat
pinggang tali putih tujuh helai yang membelit pinggang. Berbeda dengan Sang
Ketua, ketiga orang ini masing-masing memanggul sebatang pedang di punggungnya.
Para
pembantu lain yang lebih rendah tingkatnya, yaitu yang bertali pinggang enam
ada dua orang, yang bertali pinggang lima ada tujuh orang dan sebelas orang
bertali pinggang empat duduk di sebelah kiri ketua ini dengan sikap
menghormat...
Keadaan di
situ cukup ramai. Walau pun semua orang sudah duduk di atas tanah tanpa seorang
pun kelihatan berdiri, namun mereka saling bicara perlahan, ada yang
berbisik-bisik sehingga tempat itu menjadi berisik juga. Akhirnya Hwa-i Lokai
membuka kedua matanya, memandang ke kanan kiri kemudian ia mengangkat tangan
kanannya ke atas. Siraplah suara berisik. Semua orang memandang kakek ini
dengan penuh perhatian.
"Para
tamu sekalian dan saudara-saudaraku anggota Hwa-i Kaipang yang tercinta. Tidak
kepada seorang pun pernah kuberi tahu, bahkan para pembantuku juga tidak,
mengapa secara mendadak aku hendak meninggalkan Hwa-i Kaipang dan menyerahkan
pimpinan kepada seorang saudara. Sekarang, untuk menghilangkan dugaan yang
bukan-bukan, terus terang saja aku jelaskan bahwa aku mempunyai seorang musuh
pribadi..."
Kembali
keadaan menjadi sangat berisik, terutama di kalangan anggota Hwa-i Kaipang yang
banyak mengeluarkan suara marah. Kalau ada musuh, kenapa harus meninggalkan
kedudukan? Apakah takut? Hwa-i Kaipang sangat kuat, siapa yang berani
mengganggu ketuanya?
Kembali
Hwa-i Lokai mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua orang jangan
berisik. "Urusan ini merupakan urusan pribadiku, dan hari ini adalah hari
janji kami berdua untuk membuat perhitungan terakhir. Aku tidak suka
membawa-bawa perkumpulan dalam urusan pribadi, juga aku tak mau menyeret musuh
pribadiku menjadi musuh perkumpulan. Biarlah hal ini akan kuselesaikan sendiri
sebagai urusan pribadi yang tak boleh orang lain mencampurinya. Nah, sekarang
hatiku telah lega sebab saudara semua telah mendengar penjelasanku. Sekarang,
marilah kita semua memilih seorang ketua baru yang tepat, yang kiranya akan
dapat memimpin saudara-saudara sekalian lebih baik dari pada yang telah
kulakukan."
Kembali para
anggota Hwa-i Kaipang menjadi berisik karena mereka saling berbisik dan banyak
terdengar suara-suara tidak setuju. Malah tiba-tiba terdengar suara yang
nyaring dari Coa-lokai, yang bicara dengan sepasang mata lebar membelalak.
"Saya
tidak setuju dengan uraian Lokai! Selama saya membantu Lokai, tak pernah satu
kali pun saya ragu-ragu dan membangkang terhadap perintah, akan tetapi kali ini
terpaksa saya tidak setuju! Lokai tidak saja menjadi ketua, bahkan merupakan
pendiri dari Hwa-i Kaipang. Oleh karena itu segala urusan Hwa-i Kaipang adalah
urusan Lokai, sebaliknya urusan Lokai berarti juga urusan semua anggota Hwa-i
Kaipang! Dulu kita semua sudah bersumpah, susah sama dipikul, senang sama
dinikmati. Mana ada peraturan sekarang Lokai hendak meninggalkan kita hanya
karena ada urusan pribadi? Apa bila ada musuh Lokai, katakan saja siapa dan di
mana, saya Coa-lokai tak akan mundur untuk mewakili Lokai, walau pun nyawaku
yang tidak berharga ini akan melayang karenanya!" Setelah berkata
demikian, pengemis tinggi besar yang usianya belum ada lima puluh itu meloncat
berdiri, tegak siap sedia dengan mata memandang ke sana ke mari seolah-olah
hendak mencari musuh pribadi ketuanya.
Hwa-i Lokai
menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. "Coa-lokai, terima kasih
atas kesetiaanmu ini. Akan tetapi urusan ini benar-benar adalah urusan pribadiku
dan kali ini terpaksa aku harus menebus sifatku yang pengecut, yang sudah
kupertahankan hingga belasan tahun lamanya. Ya... aku sudah bersikap pengecut
sehingga belasan tahun aku menyembunyikan nama dan paling akhir aku menggunakan
nama Hwa-i Lokai. Dahulu... hemmm, sekarang sudah tiba saatnya aku meninggalkan
sikap pengecut dan membuka rahasiaku sendiri, dahulu aku bernama Sin-chio
(Tombak Sakti) The Kok."
Semua
pengemis dan yang hadir di situ, terutama kaum tuanya tercengang mendengar nama
ini. Belasan tahun yang lalu nama Sin-chio The Kok amat terkenal sebagai
seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi. Kabarnya ilmu
tombaknya belum pernah terkalahkan sehingga dia dijuluki orang Sin-chio (Tombak
Sakti). Setelah mendengar siapa adanya Hwa-i Lokai, semua orang menjadi
berisik.
Ada yang
merasa kecewa bahwa Hwa-i Kaipang ternyata dipimpin oleh seorang bekas
perampok, akan tetapi ada suara yang membantah dengan pernyataan bahwa biar pun
seorang perampok, tapi nama The Kok tetap bersih sebagai perampok budiman yang
tak sembarang merampok orang. Yang selalu menjadi sasaran dan korbannya adalah
para pembesar jahat dan hartawan-hartawan kikir, malah kabarnya hasil
rampokannya selalu ia bagi-bagikan kepada rakyat yang miskin.
Hwa-i Lokai
atau Sin-chio The Kok mengangkat tangannya dan suara berisik segera sirap.
"Nah, sekarang saudara sekalian tahu siapa saya dan saya sendiri merasa
tidak pantas menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Bukan karena saya bekas perampok,
akan tetapi terutama sekali karena saya seorang pengecut yang karena takut
menghadapi musuh lalu bersembunyi di balik nama palsu. Sekarang musuh besarku
telah mengetahui dan hendak menuntut balas, karena inilah aku akan meninggalkan
Hwa-i Kaipang untuk membereskan perhitungan dengan dia dan sebelum aku pergi,
aku ingin melihat bahwa perkumpulan kita mendapatkan seorang ketua baru yang
tepat."
Beng-lokai
yang gemuk pendek segera berdiri dan dengan senyuman yang tidak pernah
meninggalkan bibirnya ia berkata, "Memang tepat sekali apa yang dikatakan
oleh Pangcu (Ketua). Harap Pangcu segera tetapkan saja calon-calon pengganti
Pangcu agar supaya pemilihan dapat dilakukan segera."
"Siapa
lagi yang kucalonkan kecuali kalian bertiga pembantu-pembantuku? Kalian bertiga
adalah calon-calon ketua dan pemilihannya siapa di antara kalian bertiga
terserah kepada para anggota," jawab Ketua itu.
"Saya
tidak setuju...!" Coa-lokai kembali berkata dengan suaranya yang nyaring.
"Setelah kita ketahui bahwa ketua kita adalah Sin-chio The Kok, seharusnya
kita bangga memiliki seorang ketua yang gagah perkasa dan terkenal sebagai
seorang yang budiman. Biar pun sekarang Lokai menghadapi urusan itu tapi saya
percaya Lokai akan bisa mengatasinya dengan baik. Setelah itu, bukankah Lokai
dapat kembali memimpin perkumpulan kita?"
"Heh,
Coa-lokai banyak cerewet!" Terdengar suara yang parau seperti kaleng
dipukul dan pembicara ini adalah Sun-lokai yang sudah berdiri dan memandang
tajam. "Apakah kau hendak membangkang terhadap perintah Pangcu? Lupakah
kau apa hukumannya kalau seorang anggota membangkang terhadap perintah?"
Pengemis
tinggi besar itu membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Sun-lokai dengan mata
berapi-api. "Ho-ho, Sun-lokai, tak usah kau mengingatkan. Aku sendiri tahu
bahwa tugasku meneliti dan menghukum para anggota yang menyeleweng, tentu aku
maklum akan aturan-aturan di perkumpulan kita. Kalau ketua kita memerintah
kepadaku untuk melaksanakan sebuah tugas, walau pun harus mempertaruhkah nyawa,
aku tidak akan mundur. Akan tetapi sekarang ini lain lagi. Pangcu kita hendak
pergi meninggalkan kita dan menunjuk seorang di antara kita untuk menjadi
ketua. Aku tidak setuju sama sekali untuk memilih ketua baru selama Lokai masih
hidup! Sun-lokai, agaknya kau sudah terlalu mengilar untuk memperoleh kursi ketua?"
Sepasang
mata dari pengemis bongkok ini bersinar dan bercahaya. "Hemm, Pangcu tadi
mencalonkan kita bertiga, bukan hanya aku. Kau sendiri pun, kalau mampu
membuktikan bahwa kau lebih gagah dan pandai dari aku dan Beng-lokai, kau boleh
menjadi ketua."
"Aku
tidak sudi selama Lokai masih ada, aku tidak sudi menjadi ketua dan juga tidak
sudi membiarkan seorang di antara kalian menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Apa lagi
seorang seperti kau!" Coa-lokai menudingkan telunjuknya ke muka Sun-lokai
sehingga pengemis bongkok ini menjadi marah sekali.
"Berani
kau menghinaku di depan banyak orang?"
"Aku
tidak menghina, melainkan bicara sejujurnya. Kau tahu aku suka berterus terang
dan aku pun terus terang saja menyatakan bahwa aku tidak suka melihat dan
mendengar kau berhubungan erat dengan golongan merah dan hijau."
"Kau
keparat, kau menuduh yang bukan-bukan. Apakah kau mau mengajak berkelahi?"
Sun-lokai sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Berkelahi
atau apa saja masa aku takut?" Coa-lokai juga marah.
Dua orang
ini sudah saling berhadapan dan saling mendekat, siap hendak menggunakan
kekerasan.
"Coa-lokai,
Sun-lokai, sudahlah. Tak perlu ribut-ribut!" Hwa-i Lokai berseru untuk
melerai mereka.
"Biarlah,
Lokai, biar kuberi hajaran kepada si Bongkok ini!" Coa-lokai berkata
keras.
"Pengemis
busuk, kaulah yang akan mampus di tanganku!" Sun-lokai yang tidak pandai
bicara itu mendengus.
Ada pun para
anggota Hwa-i Kaipang yang berada di situ memang sudah terpecah-pecah dalam
pemilihan ketua, ada yang pro Coa-lokai, dan ada yang pro Sun-lokai. Melihat
dua orang jagoan mereka itu sudah saling berhadapan, mereka menjadi tegang dan
terdengar seruan-seruan kedua pihak untuk memberi semangat kepada jagoan
mereka. Keadaan menjadi berisik bukan main sehingga suara Hwa-i Lokai yang
hendak mencegah pertarungan itu tidak terdengar nyata. Dua orang pengemis tua
itu sekarang sudah saling serang.
Mula-mula
Sun-lokai yang membuka serangan. Dia adalah seorang ahli Cu-see-ciang, yaitu
kedua tangannya telah digembleng dan diperkeras dengan latihan mencacah pasir
panas. Ia bersilat dengan kedua tangan terbuka, dengan jari-jari lurus dan ibu
jari ditekuk ke dalam sehingga kedua tangannya itu seakan-akan sepasang golok
yang diserangkan dengan bacokan atau tusukan maut.
Di lain
pihak, Coa-lokai ialah seorang ahli gwakang, tenaganya seperti gajah,
gerakannya tenang. Kalau sambaran tangan Sun-lokai bagaikan sambaran golok yang
tajam, adalah sambaran kepalan tangan Coa-lokai yang besar itu seperti sambaran
toya baja yang amat keras dan berat. Keduanya adalah ahli-ahli silat yang
kemudian mendapat latihan dari Hwa-I Lokai, maka biar pun mereka memiliki
keistimewaan masing-masing, boleh dibilang tingkat mereka kini seimbang. Para
pengemis yang menonton pertempuran ini menjadi tegang dan gembira, dari sana
sini terdengar seruan-seruan memihak.
Hwa-i Lokai
menjadi bingung. Tentu saja mudah baginya untuk datang memisah, namun apa
gunanya? Sekali mereka menanam bibit kebencian satu kepada yang lain, hal itu
tak akan mudah dipadamkan. Biarlah mereka menentukan siapa yang lebih kuat,
bahkan ini merupakan saringan pula untuk memilih seorang ketua baru. Ia hanya
berdiri dengan dua lengan di belakang tubuh, akan tetapi siap setiap saat apa
bila seorang di antara kedua pembantunya itu terancam bahaya maut, tentu ia
akan turun tangan mencegah. Ketika dua orang itu sedang saling gempur dengan
ramainya, tiba-tiba dari jauh terdengar orang berteriak-teriak, nyaring menusuk
telinga semua orang.
“Heiii...
dua orang pengemis tua saling tempur memperebutkan apa sih?"
Karena suara
ini hebat dan nyaring, maka semua orang menengok, bahkan Coa-lokai dan
Sun-lokai juga otomatis berhenti untuk melihat siapa orangnya yang berteriak
sedemikian nyaringnya itu. Dari jauh tampak dua orang berjalan menuju ke tempat
itu. Yang di depan adalah seorang pemuda tampan yang pakaiannya sama lapuknya
dengan pakaiannya para pengemis, sungguh pun potongan pakaian itu seperti
pakaian seorang pemuda terpelajar. Pemuda inilah yang berteriak sambil
melambai-lambaikan tangannya tidak keruan seperti orang gendeng.
Ada pun
orang yang berjalan di sampingnya, agak di belakang, adalah seorang kakek tua
sekali, terbongkok-bongkok jalannya. Pakaiannya juga compang-camping, dengan
tangan memegang tongkat yang diperlukannya untuk membantu ia berjalan.
Siapakah dua
orang ini? Pemuda itu bukan lain orang adalah Kwa Kun Hong! Seperti kita
ketahui, pemuda ini telah turun dari puncak Bukit Kepala Naga, kenapa dia bisa
berada di sini dan datang bersama seorang kakek pengemis tua renta itu? Baiklah
kita mengikuti perjalanannya sebentar sejak pemuda ini meninggalkan Bukit
Kepala Naga dan sampai ke tempat ini, yaitu di kaki Pegunungan Ta-pie-san,
pusat dari perkumpulan Hwa-i Kaipang.
Telah
dituturkan pada bagian depan betapa Kun Hong meninggalkan Bukit Kepala Naga
dengan maksud mencari dusun untuk bertanya kepada orang ke mana arah perjalanan
menuju ke Hoa-san. Memang tidak lama kemudian ia bertemu dengan penduduk dusun,
akan tetapi penduduk dusun yang jarang meninggalkan kampung halaman itu, mana
ada yang tahu tentang Hoa-san?
Keterangan
yang didapat oleh Kun Hong sama sekali tidak mendekatkan dirinya dengan tempat
tinggalnya, malah membuat ia tersesat semakin jauh dari Hoa-san. Akhirnya ia
mendengar bahwa ia sudah tiba di daerah kota raja selatan (Nanking). Ia
tertegun ketika mendengar dari orang yang mengetahui bahwa ia salah jalan dan
malah menjauhi Hoa-san. Akan tetapi sebaliknya ia gembira ketika mendengar
bahwa ia sudah berada di kota raja.
Setelah ia
berada di tempat yang dekat dengan kota raja, apa salahnya untuk sekalian
melihat-lihat keadaan kota raja? Sudah lama ia mendengar tentang kota raja yang
hanya dapat ia lihat dalam alam mimpi saja. Sekarang, tanpa disengaja ia
mendekati kota raja, sudah tentu ia tidak akan melewatkan kesempatan sebaik
ini. Ketika Kun Hong melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja, ia melalui
Pegunungan Ta-pie-san. Setelah turun naik lereng bukit, dia merasa lelah dan
beristirahat di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di lereng gunung.
Pemandangan
indah, hawa amat nyaman. Kun Hong lalu menuruni jurang kecil di mana terdapat
air terjun yang kecil akan tetapi amat jernih airnya. Dengan sedap dan segar ia
minum air itu, lalu mencuci muka, tangan, dan kakinya. Setelah merasa tubuhnya
segar lagi, perutnya menggeliat minta isi. Kun Hong kembali ke bawah pohon dan
mengeluarkan bekalnya roti kering yang ia terima dari seorang hwesio sebuah
kelenteng tua yang amat baik hati, di mana ia semalam menginap.
Terpaksa ia
menunda tangannya yang sudah mengantar roti kering ke mulutnya, ia kaget dan
terheran-heran kenapa di tempat sesunyi itu terdengar suara orang. Orang itu
bicara dengan keras suaranya terbawa angin, sayup-sayup sampai tak dapat ia
tangkap artinya. Akan tetapi mengapa tidak pernah ada suara lain yang
menjawabnya? Biasanya orang bercakap-cakap tentu sedikitnya membutuhkan dua
orang. Suara itu makin jelas dan kini tertangkap oleh telinga Kun Hong, suara
orang mencari sesuatu!
"Ahhh,
di manakah dia? Haaa, boleh jadi inilah! Ya betul, inilah agaknya yang
kucari-cari puluhan tahun sampai sampai saat ini. Tak mungkin salah lagi...,
akan tetapi betulkah ini dia? Jangan-jangan aku salah duga dan akan kecele
lagi..."
Tergerak
hati Kun Hong. Suara itu agak menggetar, dan bisa diduga pembicaranya tentu
seorang yang sudah tua. Ia menyimpan kembali roti keringnya, lalu berdiri dan
berjalan menuju arah suara tadi.
Setelah ia
melalui sebuah gundukan batu karang, tampaklah olehnya seorang kakek yang
berpakaian compang-camping. Kakek ini berdiri dengan tongkat tertekan tangan
sehingga seakan-akan tongkat itulah yang membantu ia berdiri. Tangan kirinya
ditaruh melintang di kening untuk melindungi kedua mata tuanya dari sinar
matahari, dan menoleh kian ke mari memandangi tamasya alam di bawah gunung.
Ataukah sedang mencari sesuatu?
Segera
timbul welas dalam hati Kun Hong melihat kakek yang amat tua ini. Tubuhnya
kurus, tinggal kulit dan tulang. Pakaiannya sudah tak patut disebut pakaian
lagi, hanya robekan-robekan kain menutupi tubuh di sana sini. Sepatunya sudah
bolong sehingga tampak beberapa buah jari kaki tersembul keluar dari pinggir
sepatu.
Aduh
kasihan, pikir Kun Hong. Sudah begini tua mengapa pergi susah payah ke gunung
yang tidak mudah dilalui jalannya? Begitu kurus, tentu sudah berhari-hari tidak
makan.
"Kakek
yang baik, kau sudah begini tua dan lemah mengapa sampai di tempat seperti ini?
Kau sedang mencari apakah, Kek?" tanyanya sambil maju mendekat.
"Ya,
aku memang mencari sesuatu," jawab kakek itu tanpa menoleh kepada Si
Penanya.
"Mencari
apakah yang hilang? Di mana hilangnya? Biarlah kubantu kau mencarinya,"
kata Kun Hong dengan ramah dan dengan suara mengandung hiburan yang membesarkan
hati.
"Heh...
tidak ada yang hilang... tapi sudah puluhan tahun aku mencarinya..."
Tiba-tiba ia
menoleh dan terkejutlah Kun Hong ketika bertemu pandang dengan sepasang mata
yang luar biasa tajamnya seakan-akan menembus sampai ke dalam dadanya. Tak kuat
Kun Hong menatap sepasang mata yang hebat itu, maka terpaksa ia menundukkan
pandang matanya.
"Kau
bilang hendak bantu aku mencarinya? Huh, betulkah itu? Aku yang sudah puluhan
tahun mencari belum juga bertemu. Tapi... hemmm, mungkin sekali ini aku akan
dapat bertemu dengannya!" Kata-kata ini penuh semangat dan kakek itu
berdongak memandang ke atas.
Otomatis Kun
Hong juga mendongakkan kepalanya, akan tetapi di atas sana tidak ada apa-apa,
kecuali mega-mega putih berarak di angkasa. Celaka, pikirnya, kasihan benar
kakek ini, agaknya dia sudah miring otaknya! Kun Hong menggeleng-geleng
kepalanya, lalu memegang tangan kakek itu, menuntunnya perlahan menuju ke bawah
pohon.
"Kakek
yang baik, marilah kita beristirahat di tempat yang teduh di sana, aku
mempunyai beberapa potong roti kering, marilah kita makan bersama,"
bujuknya.
Kakek itu
sejenak memandang kepadanya dengan heran tapi menurut saja ketika dituntun ke
bawah pohon. Malah ia segera ikut Kun Hong duduk di bawah pohon itu dan
menerima pemberian roti kering dari Kun Hong yang dimakannya lambat-lambat.
"Orang
muda, jarang ada orang semacam kau ini di jaman yang sulit ini... hemm, senang
juga bertemu dengan orang macam kau di tempat sunyi."
Kun Hong
memadang penuh perhatian dan sekarang ia merasa yakin bahwa tak mungkin kakek
ini miring otaknya. Mungkin hanya karena berwatak aneh saja maka dia kelihatan
seperti orang yang tidak waras pikirannya.
"Aku
pun merasa gembira sekali dapat berjumpa dengan kau di sini, kakek yang baik.
Sebetulnya, siapakah yang kau cari itu? Benda atau manusia? Aku akan merasa
girang kalau kau segera dapat bertemu dengannya, Kek."
Kakek itu
tiba-tiba tampak gembira dan wajahnya berseri-seri. "Ya, betul sekali,
pasti aku akan dapat bertemu dengannya setelah aku membunuh manusia she The
itu!"
Ia nampak
bersemangat dan gembira sekali, tak melihat betapa muka Kun Hong sekilas
menjadi pucat dan kembali menjadi merah.
"Waaahhh...
jangan, Kek. Tidak boleh kau membunuh orang biar dia itu she The atau she apa
pun!"
Kini kakek
itu menatap tajam wajah Kun Hong, agaknya marah. Roti kering yang baru dimakan
separuh itu lalu dilemparkannya ke atas tanah.
"Siapa
bilang tidak boleh? Dia itu musuh besarku, dia sudah membunuh muridku yang
tercinta. Belasan tahun aku mengejar-ngejarnya, mencari-carinya dan akhirnya
aku tahu bahwa dia sudah berganti nama... ha-ha-ha... berganti nama menjadi
Hwa-i Lokai ketua perkumpulan Hwa-i Kaipang. Ha-ha-ha, manusia she The, ke mana
pun kau bersembunyi, pasti kau akan terpegang olehku."
"Kau
salah, Kek. Bagaimana pun juga, tidak boleh membunuh orang. Berdosa sekali
perbuatan itu, dan manusia takkan terlepas dari hukum karma, kecuali kalau
dengan budi kebaikan dia melepaskan diri dari hukum karma masa yang lalu,
barulah dia itu seorang manusia yang bebas dan mulia."
"Uahhh,
kau anak kecil tahu apa? Aku hendak membunuh orang she The itu sekali-kali
bukan hanya karena dia telah membunuh muridku. Aku akan membunuhnya karena aku
ingin mencari kebahagiaan, kau tahu? Tidak pernah aku dapat menemukan
kebahagiaan. Seluruh dunia kujelajahi, perbuatan apa pun kulakukan, semedhi,
bertapa, menyiksa diri, tapi kebahagiaan belum pernah dapat kumiliki. Orang
bilang harta benda mendatangkan kebahagiaan? Phuah! Itu omong kosongnya seorang
kepala angin. Kau lihat ini? Emas murni. Bahhh, jemu aku melihatnya karena
mengingatkan aku akan manusia kepala angin yang menyatakan bahwa kebahagiaan
dapat dicapai kalau orang mempunyai harta benda sebanyak-banyaknya!"
Setelah berkata demikian kakek itu mengeluarkan sebongkah emas murni yang
berkilauan, lalu ia melempar emas murni itu jauh ke dalam jurang yang tak
mungkin dapat didatangi manusia!
Kun Hong
mendengarkan dengan tenang dan sabar, kemudian mengangguk-angguk. Dia tidak heran
melihat orang membuang sebongkah emas yang berharga itu.
"Kau
betul, Kek. Memang kebahagiaan tidak dapat dimiliki melalui emas itu."
"Bagus,
kau sependapat. Jika kau menyayangkan emas tadi, kau pun akan kulempar ke dalam
jurang itu!" Kakek aneh itu berkata lagi. "Ada pula orang tolol
bilang bahwa kalau mempunyai kesaktian sehingga tak terkalahkan orang lain,
barulah memiliki kebahagiaan. Uhhh, si goblok. Apa artinya kepandaian tinggi?
Hemm, apakah ini yang dianggap dapat membahagiakan manusia?"
Kakek itu
menoleh ke kiri, lalu tangan kirinya meremas dan batu hitam itu bagaikan tanah
lempung saja dalam tangannya, sekali remas hancur lebur!
"Apakah
ini yang dapat mendatangkan kebahagiaan? Celaka, si manusia sombong. Bila
penyakit datang, usia lanjut menggerayang, kematian menjangkit, bisa apakah dia
dengan ilmu saktinya? Ha-ha-ha, pikiran katak dalam tempurung!"
Diam-diam
Kun Hong terkejut. Dia sama sekali tak mengira bahwa kakek yang ia anggap
hampir mati kelaparan ini ternyata adalah seorang yang memiliki kepandaian
sedemikian hebatnya.
Sekali remas
saja batu hitam tadi hancur lebur. Wah, hampir ia tidak percaya kalau tidak
melihat sendiri. Akan tetapi ia lebih tertarik oleh filsafat yang terkandung
dalam ucapan Si Kakek itu, maka ia lalu mengangguk-angguk kembali dan
membenarkan.
"Kembali
kau benar, Kek. Kebahagiaan memang tidak terletak pada ilmu kepandaian atau
kesaktian."
"Juga
tidak dalam kedudukan dan pangkat kemuliaan dan harta?"
"Betul,
tidak dalam kedudukan dan pangkat"
"He-he-he,
kau pintar juga, orang muda. Kaisar-kaisar di jaman dahulu kurang begaimana
hebatnya? Kedudukannya setinggi langit, dianggap putera Tuhan, pangkatnya nomor
satu di dunia, mulia dan dihormat semua orang, kekayaannya berlimpah, tapi mana
ada kaisar yang tak pernah bermusuh-musuhan dan selalu terancam keselamatannya,
tidak pernah marah-marah dan jengkel? Mana ada kaisar yang telah memiliki
kebahagiaan di samping segala yang dimilikinya itu?"
"Mungkin
kau betul, kakek yang baik. Mungkin mereka yang berlimpahan dengan harta dan
kemuliaan dunia, malah tidak memiliki kebahagiaan. Akan tetapi agaknya kau
sendiri pun sedang mencari kebahagiaan. Mengapa kau tadi katakan bahwa kau akan
bahagia kalau kau sudah dapat membunuh seorang she The? Bagaimana ini? Harap
kau jelaskan, Kek, agar hatiku tidak mengandung penasaran.”
"Heh-heh-heh,
baik… baik, biarlah kujelaskan. Puluhan tahun aku mencari tapi tidak dapat
menemukan kebahagiaan. Selain itu, aku pun selalu mencari musuh besarku, yaitu
The Kok yang telah membunuh muridku. Kini aku sudah mendapatkan tempat
persembunyian The Kok. Nah, timbullah pikiran dalam otakku bahwa agaknya yang
menjadi penghalang kebahagiaanku adalah karena aku belum berhasil membalaskan
sakit hatiku. Kalau aku telah berhasil membunuh manusia she The itu, sudah
pasti aku akan dapat menemukan kebahagiaan. Ha-ha-ha, orang muda yang baik,
yang pintar, bukankah betul pendapatku ini?"
Kun Hong
mengerutkan keningnya, menarik napas panjang kemudian menggeleng-geleng
kepalanya. "Sayang sekali, Kek. Terpaksa aku tidak dapat membenarkan
pendapatmu itu. Menurut perkiraanku, apa bila kau sudah berhasil membunuh orang
she The yang kau maksudkan itu, kau malah makin jauh dari kebahagiaan yang kau
cari. Hal ini aku merasa yakin sekali, seyakin kenyataan bahwa kau berhadapan
dengan aku pada saat ini."
Di waktu
bicara, Kun Hong mengerutkan kening, matanya menatap tajam dan suaranya begitu
sungguh-sungguh. Pada mulanya kakek itu melengak heran, lalu mukanya merah dan
ia menjadi marah sekali.
"Hati-hati
kalau bicara orang muda. Jangan-jangan kau malah akan kubunuh lebih dulu,
sebelum membunuh The Kok."
"Apa
boleh buat jika kau bermaksud begitu, Kek, Akan tetapi kalau demikian makin
tebal keyakinanku bahwa kau selama hidupmu tak akan dapat menemui
kebahagiaan."
"Keparat,
kau kurang ajar sekali. Akan tetapi... hemmm, kau juga aneh dan bukan main
beraninya. Heiii, orang muda yang bernyali naga bermulut wanita, apa alasanmu
bahwa orang membunuh orang, akan menjauhkannya dari kebahagiaan?"
"Aku
yakin akan hal ini, Kek. Apa lagi setelah aku membaca tulisan yang ditinggalkan
oleh suhu-ku, betapa dia merana dan menderita hebat sekali karena sudah
terlampau banyak membunuh orang, meski yang dibunuhnya itu menurut anggapannya
adalah orang-orang jahat belaka. Kau hendak membunuh The Kok, katakanlah bahwa
menurut anggapanmu, dia telah membunuh muridmu dan dia itu jahat. Akan tetapi
apakah demikian pula dengan anggapan sahabat-sahabatnya, sanak keluarganya,
gurunya, muridnya, orang tua serta anak-anaknya? Ketika muridmu dibunuhnya, kau
menjadi sakit hati. Kalau kau sekarang membunuhnya, apakah kau kira
mereka-mereka yang dekat dengan dia tidak akan sakit hati? Kau tentu akan
dicari-cari oleh mereka, musuh-musuhmu akan makin banyak dan hidupmu tidak
tenteram lagi! Kalau sudah begitu, mana bisa kau bilang bahwa kau sudah menemui
kebahagiaan?"
Kakek itu
tertegun, memandang aneh, matanya agak dipejamkan, tampak memutar otak.
Tiba-tiba ia membelalakkan matanya memandang tajam dan bertanya, "Orang
muda, kau murid siapakah? Siapa itu gurumu yang meninggalkan pesan
penyesalannya akibat sudah banyak membunuh orang?"
"Aku
sendiri belum pernah bertemu dengan suhu-ku, hanya membaca dari kitabnya dan
peninggalan tulisan-tulisannya. Dia menuliskan namanya sebagai Bu Beng Cu, aku
hanya sempat bertemu dengan burung rajawali emas, agaknya binatang
peliharaannya."
"Dia...?!
Bu Beng Cu...? Kau muridnya?!" Kakek itu terkejut sekali dan kedua
tangannya memegang pundak Kun Hong.
Pemuda ini
merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih gunung, merasa seakan-akan
tulang-tulangnya remuk dan patah-patah. Ia cepat mengempos semangat dan hawa
murni mengalir dari pusarnya menuju ke pundak sehingga penderitaannya berkurang
banyak.
"Heh,
kau bilang muridnya? Bohong kau! Sedikit kepandaianmu ini mana membolehkan kau
mengaku sebagai muridnya? Dia itu suheng-ku (kakak seperguruan), kau tahu? Kalau
benar kau sudah mewarisi tulisan-tulisan peninggalannya, harap kau jelaskan
bagaimana bunyi tulisan-tulisan itu!"
Kun Hong
mendongkol sekali, akan tetapi ia menyabarkan hatinya. Ia tahu bahwa kini ia
berhadapan dengan orang sakti yang berwatak aneh dan kiranya soal membunuh
orang bukanlah soal baru bagi kakek ini. Akan tetapi ia tidak takut dan malah
ia mengambil keputusan untuk sedapat mungkin menyadarkan kakek itu agar tidak
sampai membunuh orang!
"Percaya
atau tidak terserah. Aku masih hafal akan tulisan peninggalan Locianpwe itu,
begini: ‘Telah bertumpuk dosaku. Ratusan orang telah kubunuh dengan anggapan
bahwa itu adalah perbuatan baik karena yang kubunuh adalah orang-orang yang
kuanggap jahat. Anggapan yang sesat! Aku tidak mampu memberi kehidupan, lalu
bagaimana aku berhak mengakhiri kehidupan? Aku sangat berdosa! Mengandalkan
kepandaian untuk membunuh sesama manusia, betapa pun jahat si manusia itu,
bukanlah perbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula’. Nah, begitulah
tulisan peninggalan Locianpwe Bu Beng Cu, Kek."
Kakek itu
terlongong kembali, lalu tiba-tiba ia berkata, "Keluarkan pedangmu itu,
hendak kulihat apakah benar pedang suheng-ku!"
Kun Hong
kaget sekali. Bagaimana kakek ini bisa tahu akan pedangnya yang selalu dia
sembunyikan di balik jubahnya itu? Ia tidak membantah, lalu mengeluarkan
pedangnya yang selama dalam perjalanan selalu dia sembunyikan itu. Kakek itu
menerima pedang, menghunusnya dan tiba-tiba ia menangis terisak-isak!
"Ahh...
Ang-hong-kiam... Ang-hong-kiam... ahh, Twa-suheng... jadi kau benar-benar telah
mati lebih dulu dan meninggalkan pesan melalui mulut bocah ini..."
"Agaknya
betul dugaanmu itu, Locianpwe," berkata Kun Hong yang sekarang menyebut
‘locianpwe’ karena tahu bahwa kakek ini sebetulnya adalah seorang berilmu
tinggi yang wataknya aneh sekali. "Kiranya Locianpwe Bu Beng Cu sengaja
meninggalkan pesan itu untukmu. Kau lihat sendiri, sesudah membunuh ratusan
orang, Locianpwe Bu Beng Cu merasa berdosa dan menyesal, karena itu apa bila
kau tadi menyatakan bahwa dengan membunuh si orang The Kok lalu kau akan
menemukan kebahagiaan, alangkah jauhnya menyeleweng dari kebenaran!"
Sepasang
mata kakek itu tidak mengucurkan air mata lagi, sekarang memandang kepada Kun
Hong penuh kebingungan, tangannya gemetar ketika mengembalikan pedang. Kun Hong
menerima pedangnya dan menyimpannya kembali.
"Kau
betul orang muda yang aneh, kau benar sekali. Ahh... selamanya suhengku itu
memang bijaksana... agaknya kau pun mewarisi kebijaksanaannya... memang aku
bodoh, Suheng sudah kakek-kakek ketika aku masih menjelang dewasa. Orang muda
yang baik, kau sebagai wakil Suheng, lekas kau katakan kepadaku ke mana aku
harus mencari kebahagiaan!"
Kun Hong
kaget sekali. Dia seorang pemuda yang masih hijau, pengetahuannya tentang
filsafat kehidupan hanya diperolehnya dari membaca kitab-kitab kuno yang ia
selaraskan dengan suara hati nuraninya sendiri. Bagaimana dia bisa menerangkan
pada kakek yang hendak mencari kebahagiaan ini? Akan tetapi dia bertekad untuk
mencegah kakek ini melakukan pembunuhan, maka ia akan mencobanya.
"Locianpwe,
aku mau bicara tentang kebahagiaan kalau kau suka berjanji bahwa kau tak akan
membunuh orang bernama The Kok itu."
"Baik...
baik... setelah mendengar pesan Suheng, kini aku sendiri ngeri untuk membunuh
orang. Aku berjanji mulai sekarang aku takkan mau membunuh orang lagi. Tapi kau
harus segera memberi tahukan kepadaku ke mana aku harus mencari
kebahagiaan."
Lega hati
Kun Hong. Betapa pun juga, kakek ini adalah seorang cianpwe, tidak mungkin mau
menarik kembali janjinya atau melanggarnya. Dengan demikian berarti dia telah
bisa membatalkan niat orang untuk membunuh. Tentang pendapatnya mengenai
kebahagiaan, adalah menurut jalan pikirannya, sesuai pula dengan hati nuraninya
yang disesuaikan dengan ilmu kebatinan yang ia baca dari kitab-kitab filsafat
kuno.
"Menurut
pendapatku, Locianpwe. Kebahagiaan hidup itu tidak dapat dikejar, karena
bagaimana pun orang mengejar-ngejarnya, takkan mungkin dia dapat menemukannya.
Bahagia tak dapat dicari-cari..."
"Apa
kau kata? Kebahagiaan tak dapat dikejar, tak dapat dicari, kalau begitu
kebahagiaan itu tidak ada? Jangan kau main-main!"
Berkerut
kening Kun Hong, tanda bahwa dia sedang berpikir keras untuk mencari cara
menjelaskan tentang persoalan sulit yang mengandung filsafat hidup itu.
"Locianpwe,
bukan maksudku mengatakan bahwa kebahagiaan itu sebenarnya tidak ada.
Kebahagiaan itu memang ada. Akan tetapi janganlah keliru menafsirkan apa
sebetulnya kebahagiaan itu. Banyak sekali orang tertipu oleh kesenangan dan
menganggap bahwa kesenangan itulah kebahagiaan. Yang dapat dikejar dan dapat
dicari adalah kesenangan, bukan kebahagiaan. Ada pun kesenangan itu bukan lain
adalah pemuasan nafsu jasmani dan nafsu perasaan. Kesenangan duniawi adalah
pemuasan kehendak yang terdorong oleh nafsu semata. Contohnya keinginan
Locianpwe tadi hendak membunuh The Kok, tak lain adalah karena dorongan
kehendak memuaskan nafsu dendam dan andai kata hal itu terjadi, kiranya akan
dapat merasakan kesenangan karena nafsu dendam itu dipuaskan. Akan tetapi orang
lupa bahwa kesenangan mempunyai saudara kembar yang bernama kesusahan. Di mana
kesenangan berada, di sana akan muncul pula saudara kembarnya, yaitu kesusahan.
Kalau orang mencari kesenangan, memang dia akan mendapatkannya, namun sifat
kesenangan hanyalah sementara saja. Rasa senang akan segera lenyap dan kalau
sudah begitu, muncullah kesusahan dan ia akan kecewa karena segera ternyata
bahwa kesenangan yang dicari-carinya itu setelah didapatkannya ternyata
tidaklah begitu menyenangkan, apa lagi membahagiakan. Siapa mencari dia akan
kecewa, karena yang dicarinya itu hanyalah kehendak dari nafsunya, bukanlah
kebutuhan jiwanya."
Sampai
berkeringat kening pemuda itu karena pengerahan otaknya yang diperas untuk
menerangkan hal yang amat gawat ini. Akan tetapi hasilnya hebat sekali. Muka
kakek itu mula-mula membayangkan keharuan, lalu matanya membelalak dan akhirnya
wajahnya berseri-seri.
"Aduh,
kau hebat..., kau orang muda luar biasa... teruskanlah, teruskanlah uraianmu
yang menarik ini. Kau barusan bicara tentang kesenangan dunia, sekarang
bagaimana dengan kebahagiaan yang ajaib itu? Selama ini aku sendiri telah
tertipu dan mengacau-balaukan kesenangan dengan kebahagiaan. Orang muda yang
hebat, apakah kebahagiaan itu dan mengapa tidak boleh dikejar dan dicari?"
"Locianpwe,
maafkan kalau aku yang muda dan bodoh ini lancang berani bicara tentang hal
yang pelik ini."
"Tidak
apa, tidak apa, teruskanlah..."
"Lebih
dulu aku akan mengulangi sajak yang pernah kubaca, hasil karya seorang pujangga
kuno yang tidak diketahui namanya, begini sajak itu:
Kebahagiaan
seperti bayangan,
serasa
tergenggam di jari, tanpa bekas kau lari
tak dikejar
mendekati, dikejar kau menjauhi
memang kau
bayanganku, tak pernah berpisah dariku
bagaimana
orang dapat mengejar bayangan sendiri…?”
Kun Hong
berhenti sejenak dan menarik napas panjang, kemudian melanjutkan kembali,
"Demikianlah, Locianpwe. Kebahagiaan adalah keadaan, memang ada, yaitu
sudah ada di dalam diri setiap makhluk. Setiap yang mengejarnya akan tersesat
jauh karena memang tak dapat dan tak semestinya dikejar. Kebahagiaan adalah
keadaan jiwa seseorang yang sudah sadar akan keadaan hidupnya, yang sadar bahwa
ada yang menghidupkannya. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang tenang
tenteram damai dan tahu bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya adalah
kehendak Tuhan. Oleh karena itu ia dapat menerima dengan hati ikhlas, tak dapat
kecewa, tak dapat berduka, adanya hanya puas dan dapat menikmati kekuasaan
Tuhan yang sudah dilimpahkan atas dirinya, baik kekuasaan yang mendatangkan
rasa tidak enak atau pun yang sebaliknya bagi badan dan pikiran. Hanya manusia
yang sadar akan kekuasaan Tuhan, dapat menerima segala yang terjadi atas
dirinya dengan penuh penyerahan, dengan tunduk dan taat serta menganggap segala
peristiwa, baik yang dianggap menyenangkan atau menyusahkan oleh badan dan
pikiran serta perasaannya, sebagai berkah Tuhan. Manusia seperti itulah yang
berhasil menemukan kebahagiaan yang sebetulnya memang sudah berada dalam
dirinya. Karena menghadapi keadaan yang bagaimana pun juga, dia akan tetap
tenang, tenteram dan menerima dengan hati tulus ikhlas, dan kepercayaannya akan
kekuasaan Tuhan takkan tergoyahkan. Nah, hanya sekian saja pendapatku,
Locianpwe, sekali lagi maaf kalau kau anggap tidak cocok dengan pendapat
Locianpwe."
Kakek itu
merangkul Kun Hong. "Ahh, anak yang baik... kau telah membuka mataku yang
buta! Kau benar sekali... anak yang baik, coba kau terangkan, bila ada orang
membunuh muridku, mengapa aku tidak boleh membunuhnya juga sebagai
hukumannya?"
"Menurut
pendapatku, pendirian itu keliru, Locianpwe. Locianpwe sendiri mengakui bahwa
membunuh murid Locianpwe adalah suatu perbuatan jahat, dan sudah menjadi
anggapan umum bahwa membunuh sesama manusia adalah perbuatan jahat. Kalau kita
sudah tahu bahwa membunuh itu jahat, mengapa justru untuk menghadapi kejahatan
membunuh kita pun harus berlaku jahat dan membunuh pula? Kalau sudah terjadi
bunuh-membunuh, bagaimana kita dapat membedakan mana yang jahat mana yang baik,
mana yang benar mana yang salah? Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran, dan untuk itu manusia sudah mengadakan hukum
bagi yang jahat. Kalau ada yang melakukan pembunuhan, tangkaplah dan hadapkan
kepada yang berwajib yang berhak mengurus tentang hukuman bagi si jahat dengan
mengadakan pengadilan ciptaan manusia. Akan tetapi menghukumnya sendiri dengan
jalan membunuh? Ahh, Locianpwe, hendak kutanyakan kepada Locianpwe, apa
perbedaannya dalam soal kejahatan antara pembunuhan yang dilakukan The Kok
terhadap murid Locianpwe dengan pembunuhan yang akan dilakukan oleh Locianpwe
terhadap The Kok?"
Kakek itu
merenung sejenak. "Bedanya, karena kalau aku membunuhnya, aku memiliki
alasan untuk membalaskan sakit hati muridku."
"Ah,
Locianpwe, setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti mempunyai alasan untuk
perbuatannya. Ada akibat pasti bersebab. Apakah kiranya orang yang bernama The
Kok itu ketika membunuh murid Locianpwe juga tidak mempunyai alasan? Kiraku
pasti ada alasannya. Betapa pun juga, dia bersalah besar ketika membunuh
muridmu dan bagiku, dia telah melakukan perbuatan jahat. Jika Locianpwe
membunuhnya pula, apa pun alasan yang Locianpwe ajukan, perbuatan membunuh itu
tak bisa tidak juga termasuk perbuatan jahat. Dan kebahagiaan tak mungkin
dicapai dengan melalui perbuatan jahat. Di samping penyerahan akan kekuasaan
Tuhan, juga setiap tindakan dalam hidup haruslah menjauhi kejahatan dan memupuk
kebaikan sebanyak mungkin. Inilah yang disebut menyesuaikan diri dengan
sifat-sifat alam. Adakah alam pernah menuntun sesuatu demi kesenangannya
sendiri? Tidak pernah, alam dan segala isinya selalu memberi kebaikan kepada
siapa saja tanpa pernah meminta dan menuntut. Tuhan Maha Pengasih dan
Penyayang, tiada yang dikecualikan, berkah-Nya melimpah-limpah seperti aliran Sungai
Kuning yang tak pernah kering, akan tetapi, pernahkah Tuhan menuntut dan minta
sesuatu dari kita? Alam adalah cermin kecil dari sifat Maha Pengasih dan
Penyayang itu. Coba lihatlah pohon berbuah itu, Locianpwe. Tanpa diminta ia
siap memberikan segala-galanya, batangnya, daunnya, bunganya, buahnya kepada
siapa saja yang membutuhkan. Ia memberikan dengan segala keikhlasan tanpa
diminta, segala kenikmatan kepada yang mampu menikmatinya. Akan tetapi,
pernahkah pohon itu minta sesuatu, menuntut sesuatu dari siapa pun juga? Ah,
alangkah akan indahnya dunia ini kalau manusia dapat memetik pelajaran dari
sikap pohon buah itu, di mana manusia hanya mengenal pemupukan kebaikan dari
sifat alam tanpa menuntut kesenangan bagi diri sendiri."
"Ahhh...
kau betul, Anakku... kau betul sekali... ha-ha-ha-ha, Lui Bok, kau dijuluki
orang Sin-eng-cu (Garuda Sakti), akan tetapi kau goblok dan patut berguru
kepada bocah ini!" Ia menepuk-nepuk kepalanya sendiri dan kelihatan girang
sekali. "Ehhh orang muda, kau masih murid keponakanku sendiri, tapi aku
patut menjadi muridmu. Siapakah namamu?"
"Aku
bernama Kwa Kun Hong, Locianpwe. Aku banyak mengharapkan banyak petunjuk dari
Locianpwe."
"Heran
sekali... kau menjadi pewaris kitab peninggalan suheng-ku, tetapi mengapa kau
tidak memiliki kepandaian silat sebaliknya malah menjadi ahli filsafat? Kun
Hong, coba kau bersilat dari pelajaran dalam kitab yang kau hafal itu, hendak
kulihat."
Merah muka
Kun Hong. "Ah, sesungguhnya Locianpwe, aku hanya menghafal saja akan
tetapi aku tidak dapat bersilat."
"Hee...?!
Habis untuk apa kau menghafal kitab itu?"
"Menurut
pendapatku, ilmu silat yang diwariskan dalam kitab Suhu hanya untuk menjaga
diri agar jangan sampai dicelakakan orang. Akan tetapi kalau hendak
dipergunakan untuk memukul orang... ahh, aku tidak sudi melakukannya,
Locianpwe."
Kembali
kakek itu melengak, lalu mengangguk-angguk. Tiba-tiba dia berseru, "Aku
akan menyerangmu dan kalau kau terkena pukulanku, mungkin kau akan mati!"
Cepat
sekali, tidak sesuai dengan tubuhnya yang kelihatan lemah itu, kakek ini lalu
maju memukul dengan pukulan kilat. Serangan ini dilakukan dengan cepat serta
mengandung tenaga yang amat dahsyat. Kun Hong kaget bukan main. Otomatis kedua
kakinya melangkah dengan langkah ajaib yang ia pelajari dari kitab. Kedua
lengannya bergerak-gerak sebagai imbangan tubuhnya dan pukulan itu tidak
mengenai tubuhnya.
Kakek itu
mengeluarkan seruan aneh dan menyerang terus, makin lama makin cepat dan keras.
Kun Hong terpaksa terus melangkah ke sana ke mari, langkah-langkahnya ganjil
dan kacau, namun sampai sepuluh jurus kakek itu hanya memukul angin belaka.
Tiba-tiba
kakek itu berhenti dan bertepuk tangan. "Bagus... bagus sekali! Inilah
agaknya Kim-tiauw-kun yang dahulu hendak diciptakan oleh Suheng berdasarkan
Im-yang bu-tek-cin-keng! Hebat... hebat!"
Ia merangkul
lagi Kun Hong diajak duduk bawah pohon. "Mana roti keringmu tadi?
Keluarkan aku lapar sekali!"
Girang hati
Kun Hong. Memang masih ada ia menyimpan roti kering dalam buntalannya. Kemudian
ia mengeluarkan roti-roti kering itu dan memberikan kepada kakek aneh yang
menyebut namanya Sin-eng-cu Lui Bok ini.
"Silakan
makan, Locianpwe, tapi hanya roti kering yang keras dan tengik."
"Heh-heh-heh,
jangan kau merendah, Kun Hong. Rotimu begini empuk, harum, masih hangat dan di
dalamnya diberi cacahan daging yang begini gurih, kau katakan roti kering
tengik? Ha-ha-ha benar-benar kau merendah. Bukan main sedapnya roti ini!"
Tiba-tiba
Kun Hong terbelalak matanya. Mimpikah dia? Roti kering yang tadinya keras dan
memang agak tengik yang dipegangnya, sekarang kenapa sudah berubah sama sekali?
Roti itu menjadi roti yang besar dan empuk, benar-benar masih hangat dan berbau
harum malah ketika ia melihat bagian yang sudah ia gigit, tampak cacahan daging
matang yang benar-benar gurih!
"Ehh...,
ini... ini... bagaimanakah ini? Kenapa bisa begini, Locianpwe...?"
tanyanya gagap saking herannya.
"Ha-ha-ha!
Biar pun kesenangan bukan termasuk kebahagiaan sejati, namun kesenangan pun
anugerah Tuhan dan kita berhak menikmatinya, bukan? Nah, marilah kita menikmati
roti yang enak ini!"
"Memang
benar, Locianpwe. Tapi... tapi... bagaimana ini...? Mengapa roti keringku bisa
berubah?"
"Tidak
usah tanya-tanya, nanti kuberi penjelasan. Makan dulu." Keduanya lalu
makan dan Kun Hong harus mengakui bahwa selama ini belum pernah ia makan roti
seenak itu.
"Wah,
habis makan roti tidak ada minuman. Kalau saja ada arak baik di sini, alangkah
sedapnya."
Melihat
kakek itu agaknya kesereten, Kun Hong menjadi kasihan dan segera dia berlari
mencari air mancur dan menyendok air menggunakan daun yang lebar. Dibawanya air
itu ke bawah pohon.
"Heh-heh-heh,
kau betul-betul hebat. Orang ingin minum arak kau datang membawa arak wangi
dalam cawan perak. Ha-ha-ha!"
"Ahh,
Locianpwe, hanya air biasa dalam daun, mana ada arak?"
Kun Hong
tertawa dan memandang daun di tangannya yang penuh air. Tetapi tiba-tiba ia
berteriak kaget dan heran karena yang berada di tangannya adalah benar-benar
arak di dalam cawan perak yang indah.
"Ehhh,
bagaimana pula ini...?! Locianpwe, apakah aku sudah gila? Ataukah aku sedang
mimpi...?!" teriaknya terkejut.
"Ha-ha-ha,
minumlah, nikmatilah kesenangan untuk lidah dan mulut kita. Nanti akan aku
ceritakan," kata kakek itu sambil menenggak arak dalam cawannya.
Terpaksa Kun
Hong juga minum araknya dan ternyata, betul seperti dikatakan kakek itu, arak
di dalam cawannya amat harum dan enak.
"Kau
lihat baik-baik, yang di dalam tanganmu itu hanya daun biasa."
Kun Hong
melihat dan betul saja, cawan yang kosong tadi sudah berubah pula menjadi daun
yang tadi, tanpa ia ketahui. "Ini... kau main sulap, Locianpwe,"
katanya tertawa.
"Kau
sudah menggirangkan hatiku, Kun Hong. Maka aku harus membikin senang sedikit
hatimu. Ketahuilah, yang kuperlihatkan tadi adalah ilmu yang disebut menguasai
pikiran orang lain (semacam hypnotisme). Memang amat berbahaya kalau memiliki
ilmu ini dan sebagian orang yang tidak mengerti akan menganggapnya sebagai
hoat-sut (ilmu sihir) yang jahat, semacam ilmu hitam. Akan tetapi anggapan itu
keliru. Ilmu kepandaian tidak ada yang jahat. Hitam atau putihnya, jahat atau
pun baiknya, tergantung dari pemilik ilmu itu sendiri. Hoat-sut (menguasai
pikiran orang) ini kalau dimiliki oleh orang yang berjiwa bersih, tentu akan
banyak mendatangkan kebaikan seperti yang baru saja kuperlihatkan. Bukankah
makan roti kering dan minum air tawar tidak begitu sedap? Dan bukankah akan
menambah kenikmatan kalau ingatanmu kukuasai sehingga kau menganggapnya sebagai
roti enak dan arak wangi? Nah, untuk segala petunjukmu tadi tentang
kebahagiaan, aku harus membalas. Kau adalah ahli membaca kitab, nah, ilmu ini
terdapat dalam kitab ini. Kau baca dan pelajarilah, tentu kelak berguna
untukmu. Ilmu yang kuperlihatkan tadi baru sepersepuluhnya saja dari isi kitab
ini."
Kakek itu
lalu mengeluarkan sebuah kitab yang sudah lapuk dan Kun Hong menerimanya dengan
pernyataan terima kasih. Tentu saja ia girang bukan main mendapat hadiah kitab
istimewa itu. "Sekarang marilah kau ikut denganku, Kun Hong. Ikutlah
dengan aku pergi ke kaki gunung ini untuk menjumpai The Kok yang sekarang
menjadi Ketua Hwa-I Kaipang."’
Kun Hong
terkejut dan memandang. "Locianpwe, kau tidak..."
Kakek itu
tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Jangan kuatir. Sudah lenyap semua
nafsuku untuk membunuh orang. Aku harus menemuinya. Ha-ha-ha! Kau benar. Dia
telah membunuh muridku, biarlah kesadarannya sendiri yang akan
menghukumnya." Kakek itu lalu berdiri dan mengajak Kun Hong turun gunung.
Demikianlah
kisah pertemuan antara Kun Hong dengan Sin-eng-cu Lui Bok seperti telah
diceritakan di bagian depan.
Kun Hong dan
Sin-eng-cu Lui Bok telah tiba di tempat para pengemis Hwa-i Kaipang. Dari jauh
Kun Hong melihat ribut-ribut di antara pengemis yang memenuhi pekarangan depan
rumah perkumpulan itu. Ia mendapat keterangan dari pengemis yang dijumpainya
bahwa dua orang pembantu ketua sedang ribut hendak bertempur dalam perebutan
kedudukan ketua.
Kun Hong
merasa kuatir sekali. Dari jauh dia segera berteriak-teriak, "Heeiii...,
berhenti... dua orang pengemis tua saling pukul memperebutkan apa sih?".....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment