Monday, July 16, 2018

Cerita Silat Serial Rajawali Emas Jilid 10



























        Cerita Silat Kho Ping Hoo
          Serial Rajawali Emas

                    Jilid 10


Kun Hong dibawa terbang jauh sekali oleh rajawali emas. Semenjak pergi meninggalkan Lu-liang-san burung ajaib ini tidak mau kembali lagi dan selama itu ia terbang dan tinggal di tempatnya yang lama, yaitu di puncak sebuah bukit yang tak pernah didatangi manusia. Kadang-kadang ia meninggalkan tempatnya ini. Tidak seperti dulu ketika masih dipelihara oleh Kwa Hong, sekarang ia bebas lepas dan bisa pergi ke mana saja ia suka. Kebetulan sekali ia bertemu dengan Kun Hong.

Binatang ini memang amat mengenal budi orang. Sekali saja orang sudah melepas budi kepadanya, ia tentu akan membalasnya dengan penuh kesetiaan. Akan tetapi sebaliknya, kalau ia disakiti, ia pun akan membenci yang menyakitinya. Tanpa disengaja Kun Hong sudah memberi katak putih yang segera dikenal dan ditelan oleh burung ajaib ini, dan karena itu selamatlah ia dari racun hebat yang melukai kakinya. Pertolongan ini membuat dia sangat suka dan setia kepada Kun Hong dan sekarang dia hendak membawa pemuda itu terbang ke tempat tinggalnya, di puncak sebuah bukit yang pada jaman dahulu dikenal sebagai Bukit Kepala Naga. Puncak ini disebut Kepala Naga karena bentuknya dilihat dari barat memang menyerupai bentuk kepala naga.

Kun Hong tidak tahu ke mana ia sedang dibawa oleh burung itu. Anehnya, pada waktu tengah hari dan malam, burung itu selalu berhenti di sebuah hutan dan tanpa diminta lagi lalu mencarikan buah-buahan yang segar dan enak untuk pemuda itu. Tentu saja Kun Hong girang sekali mendapatkan kawan yang baik. Apa lagi selamanya dia tidak pernah turun gunung, sekarang begitu turun gunung ia mengalami hal-hal yang amat aneh.

Biar pun ayahnya adalah Kwa Tin Siong dan juga menjadi ayah Kwa Hong, namun Kun Hong belum pernah diceritakah mengenai kakak perempuannya lain ibu itu, maka ia pun tak pernah mendengar tentang adanya rajawali emas. Para tosu Hoa-san-pai yang sudah dipesan keras oleh Kwa Tin Siong, tidak ada yang pernah bercerita tentang peristiwa yang mencemarkan nama baik Ketua Hoa-san-pai itu. Andai kata ia pernah mendengar tentang Kwa Hong yang datang menyerbu ke Hoa-san-pai naik rajawali emas, kiranya pemuda ini akan dapat mengenal burung itu.

Setelah lewat lima hari, tibalah burung rajawali emas itu ke puncak gunung Kepala Naga. Ia menukik ke bawah dan Kun Hong pun merangkul leher burung, mencengkeram kalung mutiara itu sambil meramkan matanya. Ia merasa ngeri sekali melihat betapa dia dibawa burung itu meluncur turun, seakan-akan hendak ditumbukkan kepada jurang-jurang dan batu-batu yang menanti di bawah, jurang-jurang yang menganga laksana mulut harimau dan batu-batu meruncing seperti ujung pedang dan golok.

Setelah burung itu hinggap di atas tanah barulah ia berani membuka sepasang matanya. Alangkah herannya pada saat ia melihat bahwa burung rajawali itu telah berdiri di depan sebuah goa yang bentuknya seperti mulut naga. Goa batu itu amat lebar dan dalam, letaknya di depan jurang yang sangat terjal sehingga kalau bukan burung yang pandai terbang, manusia biasa kiranya tidak mungkin sanggup mendatangi tempat ini. Pemandangan alam dari tempat itu, dari depan goa itu, alangkah indahnya, seakan-akan dunia terletak di bawah kaki goa.

Kun Hong segera melompat turun dari punggung rajawali. Ia mendekati goa, akan tetapi tidak berani masuk karena ia merasa seakan-akan sedang berdiri di depan tempat tinggal seseorang sehingga ia tidak berani masuk begitu saja tanpa perkenan si pemilik tempat tinggal! Namun tiba-tiba burung itu mengeluarkan suara perlahan dan dari belakangnya burung itu pelan-pelan mendorong punggungnya, seakan-akan hendak menyuruh pemuda itu memasuki goa.

Melihat letak goa itu yang demikian sulit untuk didatangi manusia, Kun Hon lalu menduga bahwa goa itu tidak mungkin didiami oleh manusia, dan karena itu dia lalu memasukinya. Ia terheran-heran melihat bahwa di dalam goa itu terbagi menjadi tiga, yaitu bagian depan dan di sebelah dalam terdapat dua buah ruangan tertutup. Pintunya juga merupakan pintu batu, akan tetapi bentuknya jelas adalah buatan manusia!

Dengan hati berdebar-debar ia mendorong pintu batu di sebelah kiri. Akan tetapi betapa pun ia mengerahkan tenaga, pintu batu itu bergerak sedikit pun tidak! Tiba-tiba terdengar burung itu bersuara di belakangnya, lalu dengan sayap kanannya burung itu mendorong perlahan dan pintu batu itu terbuka!

"Tiauw-ko, kau benar-benar kuat sekali!" Kun Hong memuji dan makin berdebar hatinya ketika ia melangkah masuk.

"Locianpwe (sebutan untuk orang tua yang pandai) atau arwahnya yang mulia, harap sudi mengampuni kelancanganku ini," katanya dengan bisikan perlahan.

Mulailah ia merasa seram karena di dalam kamar batu ini ia melihat ada sebuah meja sembahyang! Tempat lilin yang amat kuno terletak di kanan kiri ujung meja dan di atas dua tempat lilin ini masih tertancap dua batang lliin merah. Lilin-lilin itu tak menyala, akan tetapi sisa-sisa lilin yang meleleh bekas terbakar masih kelihatan seakan-akan baru saja dipadamkan. Ketika Kun Hong mendekati, tampak nyata olehnya bahwa lilin sudah lama sekali tidak dinyalakan orang, buktinya di atasnya terdapat banyak sarang laba-laba. Di tengah-tengah meja kelihatan sebuah kitab yang tebal dan sudah tua sekali.

Ketika melihat sebuah kitab kuno, bukan main girangnya hati Kun Hong. Ingin segera dia menyambar kitab itu untuk dibacanya, akan tetapi karena sejak kecil ia dijejali pelajaran dan tata-susila, ia tidak berani melakukan hal itu. Karena keinginannya melihat buku itu amat keras, ia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan meja sembahyang lalu berkata keras-keras,

"Locianpwe pemilik kitab di atas meja, harap sudi memberi perkenan kepada teecu untuk mengambilnya dan membaca isinya." Berkali-kali ia mengucapkan kata-kata ini sambil membentur-benturkan jidatnya pada lantai untuk memberi hormat kepada pemilik kitab yang tidak diketahuinya siapa dan yang ia tidak tahu masih hidup ataukah sudah mati itu.

Ketika sedang berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya di atas lantai depan meja sembahyang itu, matanya melihat ukiran-ukiran huruf kecil-kecil di bawah meja. Ukiran huruf-huruf itu sedemikian kecilnya sehingga apa bila orang tidak mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh lantai kiranya takkan dapat melihatnya. Tidak akan ada huruf-huruf yang terlewat begitu saja oleh sepasang mata Kun Hong yang selalu haus akan bacaan, apa lagi kalau huruf-huruf itu berada di tempat yang begitu aneh dan goresan huruf-huruf itu amat indahnya. Ia segera membacanya,

Dapat masuk berarti jodoh. Dapat membaca berarti tahu sopan santun dan murid yang baik. Untuk mengambil kitab singkirkan dahulu anak-anak panah di bawah meja. Setelah hafal kitab baru ambil pedang di kamar semedhi.

Beberapa kali Kun Hong membaca tulisan kecil-kecil itu dan ia merasa seakan-akan surat itu ditujukan kepadanya! Setelah jelas akan pesan di dalam surat berukir yang aneh itu, ia lalu melongok ke bawah meja.

Dan betul saja, di bawah meja itu tersembunyi tiga batang anak panah yang dipasangi per sehingga kalau ada orang mengambil kitab di atas meja itu, per akan menggerakkan tiga batang anak panah tadi yang tentu akan tertendang dan menyerang orang yang berdiri di depan meja. Karena anak-anak panah itu akan menyerang dari bawah meja, kiranya tak mungkin orang akan dapat menghindarkan penyerangan gelap yang amat dekat ini.

Kun Hong bergidik. Dia cepat-cepat mengulur tangan mengambil tiga batang anak panah itu. Tercium bau yang harum dan di ujung tiga batang anak panah itu berwarna hijau. Pemuda ini dapat menduga bahwa ujung anak panah itu tentu diberi racun yang amat berbahaya. Dengan jijik ia lalu menaruh ketiga batang anak panah itu di atas meja, lalu ia memberi hormat lagi sambil berkata, "Terima kasih atas kepercayaan dan petunjuk Locianpwe."

Ia lalu mengulurkan tangan mengambil kitab kuno itu dari tengah meja dan pada saat itu terdengarlah jepretan per di bawah meja. Biar pun sudah dapat menduga akan hal ini dan sudah yakin bahwa anak panah itu sudah ia singkirkan, namun kaget juga Kun Hong mendengar jepretan ini. Dilihatnya bahwa di bawah kitab tadilah yang menghubungkan per-per itu sehingga apa bila kitab diambil per-per itu bekerja di bawah meja. Ah, kalau tadi ia berlaku lancang dan langsung saja mengambil kitab itu, sudah dapat dipastikan bahwa berbareng pada saat terdengar suara menjepret, ia akan roboh telentang dengan tiga anak panah tertancap di perutnya! Dengan kitab di tangan, Kun Hong cepat-cepat memberi hormat lalu keluar dari kamar itu.

Setibanya di ruangan depan, ternyata rajawali emas telah menantinya dan burung ini telah memperoleh banyak sekali buah-buahan, malah di antaranya terdapat seekor kelinci yang sudah mati. "Aduh, kau mendapatkan kelinci gemuk? Sayang, Tiauw-ko, bagaimana kita akan dapat memakannya?"

Burung itu lalu mendorong Kun Hong ke pojok ruangan di mana terdapat sebuah batu halus rata berbentuk meja. Di situ bertumpuk rumput-rumput kering dan dengan paruhnya burung luar biasa ini mengambil sedikit rumput kering, di taruhnya di atas meja. Kemudian ia menggerakkan kepalanya, paruhnya yang runcing dan keras seperti baja itu memukul pinggir meja dan... bunga api berpijar.

Kun Hong girang sekali dan pemuda yang cerdik ini segera dapat menangkap maksud si burung. Ia cepat-cepat mengambil rumput kering lagi dan menaruh dekat pinggiran meja. Beberapa kali burung itu memukul batu itu dengan paruhnya hingga akhirnya bunga api menyentuh rumput kering dan terbakarlah rumput itu. Dengan cara demikian Kun Hong dapat membuat api unggun dan dapat memanggang daging kelinci.

Setelah makan dan perutnya kenyang, pemuda itu mulai membuka-buka lembaran kitab kuno tadi. Pada lembar pertama terdapat tulisan dengan huruf-huruf besar yang berbunyi: SALINAN IM YANG BU TEK CIN KENG.

Karena tidak tahu apa artinya Im-yang Bu-tek Cin-keng, Kun Hong membuka lembaran ke dua dan segera ia amat tertarik membaca tulisan yang bersifat keluhan dan penjelasan. Tulisan itu berbunyi demikian,

‘Telah bertumpuk dosa-dosaku. Ratusan orang sudah kubunuh dengan anggapan bahwa itu adalah perbuatan baik karena yang kubunuh adalah orang-orang yang kuanggap jahat, Anggapan yang sesat! Aku tidak mampu memberi kehidupan, lalu bagaimana aku berhak mengakhiri kehidupan? Aku sangat berdosa! Mengandalkan kepandaian untuk membunuh sesama manusia, betapa pun jahat si manusia itu, bukanlah perbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula.’

Sampai di sini Kun Hong menarik napas panjang, lalu mengangguk-angguk. Betul sekali Locianpwe ini, soal mati dan hidup manusia bukanlah urusan manusia, melainkan Yang Maha Kuasa. Membunuh orang lain, bukankah itu namanya melancangi dan mendahului Tuhan? Sayang, agaknya Locianpwe ini baru sadar setelah dia melakukan pembunuhan ratusan kali. Ia membaca terus tulisan yang merupakan permulaan isi kitab itu.

‘Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang mengandung pelajaran ilmu silat sakti, tiada duanya di dunia ini. Orang macam aku mana dapat menyalinnya? Pengertianku terbatas dan salinanku tentu banyak yang menyeleweng. Karena itu aku hanya menyalin apa yang kuketahui saja dan kucampur dengan gerakan-gerakan burungku rajawali emas. Karena itu maka ilmu di dalam kitab ini kuberi nama Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas). Muridku yang membaca kitab ini harus bersumpah dalam hatinya bahwa ke satu dia tidak boleh membunuh sesama manusia dengan alasan apa pun juga. Ke dua dia tidak boleh mempergunakan ilmu ini untuk menyerang orang. Ke tiga ilmu Kim-tiauw-kun ini hanya untuk membela diri dari serangan orang, serta hanya terbatas untuk mengalahkan lawan saja.’

Kun Hong makin tertarik. "Bagus," pikirnya. "Inilah ilmu yang baik sekali. Aku sendiri paling benci melihat pembunuhan antara sesama manusia. Kalau aku dapat mempelajari ilmu ini, kiranya aku akan mampu mencegah orang-orang berkepandaian main hakim sendiri membunuhi orang sesuka hati. Kalau ada orang jahat, aku dapat gunakan kepandaian ini untuk mengalahkannya dan menangkapnya untuk diserahkan kepada yang berwajib agar dijatuhi hukuman. Bagus sekali! Locianpwe, teecu bersumpah akan memenuhi semua syarat itu."

Semenjak saat itu, dengan tekun Kun Hong membaca kitab yang berisi pelajaran ilmu silat sakti itu. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa secara tak sengaja atau sadar ia telah mewarisi ilmu silat yang bukan main hebatnya, yang hanya setaraf dengan Im-yang Sin-hoat karena dari satu sumber. Ia tidak tahu pula siapa gurunya, siapa penulis kitab itu yang hanya menandainya dengan tiga buah huruf berbunyi ‘BU BENG CU’ yang artinya ‘TIADA NAMA’!

Di samping membaca kitab Kim-tiauw-kun ini, tidak lupa Kun Hong yang dengan girang mendapat kenyataan bahwa tiga buah kitab milik Yok-mo masih berada di saku jubahnya, membaca pula tiga buah kitab pengobatan itu. Pengetahuannya tentang perjalanan darah yang secara lengkap tertulis dalam kitab Yok-mo, memperlancar pengertiannya terhadap isi kitab Kim-tiauw-kun.

Kun Hong memang memiliki kecerdasan luar biasa. Dalam waktu setahun lebih saja ia sudah mampu membaca habis empat buah kitab itu, tidak hanya membaca habis, malah sudah dapat menghafalnya di luar kepala! Tentu saja, ilmu silat tidak dapat disamakan dengan ilmu pengobatan yang cukup dihafal, melainkan harus dilatih dalam praktek.

Oleh karena di dalam kitab Kim-tiauw-kun itu terdapat peringatan bahwa si murid harus betul-betul menyempurnakan latihan gerakan kaki, maka Kun Hong juga melatih dirinya dalam gerakan ini, dalam langkah-langkah ajaib yang kadang-kadang membuat kepalanya pening dan mau muntah-muntah.

Baiknya kalau ia sedang bergerak seperti itu, burung rajawali sambil mengeluarkan suara girang tentu mendekatinya lalu bergerak-gerak persis seperti langkah-langkah di dalam pelajaran itu, sengaja memberi contoh kepadanya! Bukan main girangnya hati Kun Hong dan mulai saat itu ia selalu berlatih bersama burung rajawali emas.

Orang yang menamakan dirinya Bu Beng Cu dan yang menyalin ilmu silat itu, sebenarnya adalah orang sakti yang menyembunyikan dirinya di tempat ini karena merasa menyesal sekali akan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang jahat yang sudah banyak ia lakukan. Bu Beng Cu ini telah mewarisi sebagian dari ilmu silat yang terdapat dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Setelah tua dan menyesali perbuatannya, Bu Beng Cu membawa burung peliharaannya ke puncak Gunung Kepala Naga ini, menyembunyikan diri dan menuliskan sari dan pokok dari semua ilmu yang dia miliki. Bu Beng Cu terus tinggal di tempat itu sampai kemudian ia meninggal dunia dengan hanya ditemani burungnya yang setia.

Tentu saja setelah majikannya meninggal, burung itu merasa kesepian dan akhirnya ia terbang dari tempat itu sampai ia berjumpa dengan Kwa Hong dan dipelihara oleh Kwa Hong. Betapa pun juga, burung ini mempunyai perasaan atau naluri yang tajam.

Agaknya ia maklum bahwa Kwa Hong dan kemudian puteranya Sin Lee bukanlah orang yang memiliki budi luhur, maka tidak ia bawa mengunjungi goa di puncak Gunung Kepala Naga itu. Barulah setelah ia bertemu dengan Kun Hong, segera perasaan atau nalurinya menyatakan kepadanya bahwa pemuda inilah yang paling tepat untuk dihadapkan kepada peninggalan majikan tuanya.

Waktu satu setengah tahun bukanlah waktu lama untuk orang yang belajar. Akan tetapi, satu setengah tahun di dalam goa di puncak gunung yang tak pernah dikunjungi manusia, benar-benar membuat Kun Hong berubah menjadi manusia lain! Ilmu langkah ajaib itu ia sudah hafal benar sehingga dalam latihan-latihan, biar pun burung rajawali itu menyerang dirinya dengan hebat, namun tak pernah dapat menyentuh ujung bajunya.

Tidak hanya dalam ilmu silat, akan tetapi juga dalam pengertiannya tentang pengobatan, membuat ia seakan-akan terbuka mata batinnya akan diri manusia. Dari pelajaran ini ia seakan-akan lebih mengenal dirinya sendiri, lebih mengenal manusia pada umumnya, tidak hanya lahiriah, akan tetapi mendalam sampai ke jalan darahnya, sampai kepada alat-alat terkecil dalam tubuh. Semua pengertian baru ini ia gabungkan dengan pelajaran yang banyak ia dapatkan dahulu tentang kebatinan, tentang kehidupan, sehingga pemuda yang baru berusia dua puluh tahun ini sekarang memiliki pandangan yang amat tajam tentang diri manusia.

Setelah hafal benar akan isi kitab Kim-tiauw-kun, barulah Kun Hong berani menghampiri pintu kamar ke dua di dalam goa itu. Seperti pintu pertama, pintu ke dua ini pun terbuat dari batu yang tebal dan berat. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya dengan satu setengah tahun yang lalu, dengan sekali dorong saja Kun Hong dapat membuka daun pintu yang tebal itu!

Sama sekali ia tidak menjadi girang atau bangga dengan hal ini, karena sesungguhnya ia sudah tidak ingat lagi betapa dahulu tanpa bantuan rajawali emas, tidak mungkin ia dapat membuka pintu ini. Semua ini adalah hasil latihannya dalam semedhi dan pernapasan, sesuai dengan petunjuk dalam kitab Kim-tiauw-kun itu.

Tenaga dalamnya telah bangkit dan bergerak tanpa ia sadari. Hawa sakti dalam tubuh telah ada di dalam diri tiap manusia, hanya saja hawa ini seakan-akan tertidur karena semenjak kecil sampai mati tua, sebagian besar manusia di dunia ini kerjanya hanya mengumbar hawa nafsunya belaka.

Kun Hong yang sudah mengangkat sebelah kaki untuk melangkah memasuki kamar ke dua itu, mendadak menahan kakinya karena mendengar burung rajawali yang berdiri di belakangnya mengeluarkan suara aneh sekali. Seakan-akan burung itu bersusah hati dan menangis. Ketika ia menengok ke belakang, burung itu menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali lalu mencoba untuk menggigit baju Kun Hong dan menariknya mundur.

"Jangan Tiauw-ko. Bagaimana pun juga aku harus memasuki kamar ini, sesuai dengan petunjuk Locianpwe bahwa setelah aku hafal akan isi kitab, aku boleh masuk ke sana dan mengambil pedang. Bukan sekali-kali karena aku ingin sekali memiliki pedang, ah, bukan, Tiauw-ko. Bagiku, sebatang pedang apalah artinya? Untuk apa pula? Akan tetapi karena Locianpwe sudah memesan, mana aku berani membangkang?"

Sesudah berkata demikian dan menghindarkan diri dari gigitan patuk burung itu, dengan tabah Kun Hong melangkah memasuki kamar yang agak gelap itu. Begitu masuk ia pun tertegun dan memandang dengan mata terbelalak ke depan.

Di ujung kamar itu terdapat sebuah kursi batu dan di atas kursi batu ini duduk sebuah... kerangka manusia! Tengkorak manusia ini masih utuh dan sepasang lubang bekas mata itu seolah-olah tengah memandang padanya. Tangan kanan kerangka ini mencengkeram sebatang pedang yang bersinar kemerahan.

Dari kaget Kun Hong berbalik menjadi terharu. Inikah kiranya Bu Beng Cu, gurunya yang meninggalkan kitab itu? Tanpa ragu-ragu lagi Kun Hong melangkah maju lagi, kemudian menjatuhkan dirinya berlutut di depan kerangka itu.

"Locianpwe, alangkah buruknya nasibmu, sampai meninggal pun tidak ada orang yang menguburmu..."

Ia terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba lantai yang diinjaknya bergoyang-goyang keras. Cepat ia meloncat bangun dan tiba-tiba dari sebelah kanannya menyambar anak panah! Kun Hong cepat menggeser kakinya, menarik tubuh untuk menghindarkan diri dari ancaman maut itu. Akan tetapi terdengar lagi suara…

"Ser-ser-ser!" dan banyak anak panah menyambarnya dari empat jurusan, sementara itu lantai masih bergoyang-goyang.

Kun Hong maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Ia segera memusatkan pikiran dan kedua kakinya cepat bergerak-gerak dalam langkah ajaib, tubuhnya bergerak-gerak dalam Ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Sedikitnya ada lima puluh batang anak panah yang terus menerus menyambar, akan tetapi setelah pemuda ini melakukan gerak langkah ajaib, semua penyerangan itu sama sekali tak dapat menyentuhnya. Setelah anak panah habis menyambar, lantai berhenti sendiri dan yang terlihat hanyalah puluhan batang anak panah
berserakan di atas lantai.

Kun Hong tidak mengerti apa maksudnya penyerangan itu, siapa yang menyerang dan mengapa lantai bergoyang-goyang, Akan tetapi karena ia memasuki kamar ini atas pesan Locianpwe untuk mengambil pedang, ia melangkah maju terus dengan hati-hati sekali.

Dengan halus ia menarik pedang itu dari dalam tangan kerangka itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba kerangka yang tadinya duduk itu menjadi runtuh dan terlepaslah tulang-tulang rangka itu berjatuhan ke atas lantai pula. Tengkoraknya pun menggelinding sampai ke tengah kamar.

Di antara tulang-tulang ini, melayang sehelai kain kuning yang ternyata ada tulisannya begini:

APA BILA KAU TERLUKA ATAU MATI, MAKA KAU TIDAK PATUT MENJADI PEWARIS KIM-TIAUW-KUN.

Setelah membawa tulisan itu, tersenyumlah Kun Hong. Kiranya semua itu merupakan ujian baginya. Locianpwe Bu Beng Cu yang aneh dan sakti ini telah mengatur sebelum tiba ajalnya, membuat semua alat rahasia itu agar setelah ia mati, ia masih dapat menguji calon muridnya, baik menguji pribudinya seperti yang ada di bawah meja sembahyang, juga menguji kepandaiannya setelah mempelajari ilmu silat itu.

Benar-benar seorang manusia yang hebat. Pantas saja burung rajawali tadi seakan-akan hendak mencegahnya memasuki kamar, agaknya burung itu sudah tahu akan bahaya ujian ini dan hendak mencegahnya memasuki kamar itu.

Sebagai seorang yang mempunyai pribudi luhur, tidak tegalah hati Kun Hong melihat kerangka orang sakti itu berserakan di dalam kamar. Ia lalu mengumpulkan kerangka itu dan dengan khidmat dibawanya kerangka itu keluar, kemudian digalinya lubang di ruang depan menggunakan pedang itu dan dikuburnya kerangka tadi. Selama dia melakukan semua ini, burung rajawali emas mengeluarkan suara keluhan seperti orang berkabung dan menangis!

Kun Hong lalu berkata kepada burung itu, "Tiauw-ko, sekarang sudah tiba waktunya aku harus pergi dari tempat ini. Kitab ini kutinggalkan di tempat semula karena aku sudah membaca semua isinya. Ada pun pedang yang indah ini, karena telah diberikan kepadaku oleh mendiang Locianpwe, akan kubawa dan kuserahkan kepada Ayah yang amat suka akan pedang-pedang pusaka."

Pemuda itu mengembalikan kitab Kim-tiauw-kun di atas meja sembahyang, sedangkan tiga buah kitab lain milik Yok-mo ia kantongi kembali karena ia hendak mengembalikan kitab itu kepada pemiliknya. Pedang indah itu ia masukkan ke dalam sarung pedang yang sederhana dan yang ia temukan juga di kamar ke dua, lalu ia ikat di pinggang, ditutupi jubahnya. Pakaian pemuda ini sudah lapuk dan berlubang di sana-sini, maklum sudah setahun setengah ia tidak pernah berganti pakaian.

Kim-tiauw agaknya maklum bahwa pemuda itu hendak pergi. Ia kelihatan berduka, akan tetapi karena tak dapat bicara, ia hanya mengeluarkan suara mencicit seperti burung kecil.

"Nah, Tiauw-ko, tolonglah kau antarkan aku turun dari puncak ini," kata Kun Hong setelah untuk penghabisan kali ia memberi hormat kepada kuburan kerangka Bu Beng Cu.

Burung itu lalu mendekam di hadapan Kun Hong. Pemuda ini segera meloncat ke atas punggungnya dan sekali lagi pemuda ini mengalami ‘terbang’ di angkasa.

Ia masih merasa ngeri seperti dulu. Akan tetapi entah bagaimana, setelah satu setengah tahun ia melatih diri di goa itu, ia merasa hatinya lebih tenang dan tabah. Dengan gembira ia sekali lagi menyaksikan pemandangan alam yang amat luar biasa dilihat dari angkasa, dari atas punggung burung raksasa itu.

Akan tetapi, pengalaman hebat ini tak lama ia rasakan sebab burung itu segera melayang turun ke bawah kaki gunung, kemudian hinggap di atas tanah. Ia mengeluarkan suara melengking yang tidak diketahui artinya oleh Kun Hong. Akan tetapi pemuda ini segera meloncat turun. "Tiauw-ko, kenapa hanya sampai di sini? Kalau bisa, tolong kau antarkan aku kembali ke Hoa-san."

Burung itu kembali mengeluarkan suara melengking tinggi, lalu burung itu mengangguk di depan Kun Hong tiga kali, setelah itu ia pentang kedua sayapnya dan terbang naik lagi ke puncak.

"Ahh, jadi dia tidak mau ikut dan hendak kembali ke sana? Baiklah, aku harus melanjutkan perjalanan ini dengan jalan kaki."

Kun Hong tidak menjadi kecewa, malah ia merasa berterima kasih sekali kepada burung itu. Sebetulnya kalau boleh ia tidak ingin berpisah dari sahabatnya yang baik itu. "Kim-tiauw-ko, terima kasih atas semua kebaikanmu!" ia berteriak ke arah burung yang sudah terbang meninggi.

Ia kaget dan terheran sendiri ketika suaranya itu mendatangkan gema di empat penjuru, amat nyaring teriakannya. Semuanya ini adalah berkat kemajuannya dalam latihan-latihan sehingga tanpa disadarinya, ia telah memiliki tenaga khikang yang tinggi.

Setelah burung itu lenyap, baru Kun Hong melanjutkan perjalanannya. Ia tidak mengenal jalan, maka ia berjalan ke mana saja yang ia rasa senang dengan harapan untuk tiba di sebuah dusun, berjumpa orang dan menanyakan jalan ke Hoa-san. Memang tadinya ia merasa tidak senang bila mengenang akan pembunuhan di Hoa-san dan tidak ada keinginan kembali. Akan tetapi betapa pun juga dia merasa rindu kepada orang tuanya dan ingin bertemu dengan mereka untuk menceritakan pengalamannya yang hebat bukan main….


                   ****************


Semenjak dunia berkembang, sudah menjadi kenyataan bahwa di dalam hidup menderita sengsara, manusia akan mencari Tuhan karena sudah kehabisan akal dan tidak berdaya untuk memperbaiki hidupnya yang penuh derita itu. Berpalinglah manusia yang menderita sengsara, mencari-cari Kekuasaan Tertinggi yang tadinya terlupa olehnya di kala ia tidak berada dalam penderitaan hidup.

Sebaliknya, di kala menikmati hidup penuh kesenangan dan kecukupan, manusia sama sekali lupa akan Tuhannya, lupa bahwa segala kesenangan yang dapat ia rasakan pada hakekatnya adalah rahmat dari Tuhan. Dalam mabuk kesenangan manusia jadi sombong, mabuk kemenangan dan kemuliaan duniawi, merasa seakan-akan semua hasil gemilang itu adalah hasil kepandaiannya sendiri.

Manusia yang sedang ditimpa kesengsaraan sering kali mencari kesalahan sendiri yang menyebabkan ia menderita, sering mengakui kesalahannya dan bertobat, berjanji takkan mengulangi perbuatannya yang sesat. Sebaliknya, di dalam mabuk kemuliaan, manusia hanya bisa menyalahkan orang lain mengira bahwa dirinya sendiri yang benar dan karena kebenarannya itulah maka ia dapat hidup dalam kemuliaan.

Alangkah bodohnya manusia, alangkah pelupa dan mudahnya mabuk oleh kesenangan duniawi! Lupa sudah bahwa segala apa yang dipisah-pisahkan manusia dan diberi istilah kesenangan atau kesengsaraan itu adalah sesuatu yang sifatnya sementara belaka. Baik kesenangan dan kesengsaraan yang sebetulnya bukanlah merupakan sifat dari sesuatu keadaan, melainkan lebih merupakan pendapat menurut selera seorang, takkan abadi dan tidak merupakan hal yang sementara terasa, malahan umurnya amat pendek, sependek umur manusia di dunia ini.

Baik mereka yang mabuk kemenangan pada waktu usahanya berhasil gemilang, mau pun mereka yang putus asa dan nelangsa di waktu mengalami derita kekalahan, mereka ini adalah manusia-manusia yang bodoh dan mau membiarkan dirinya diombang-ambingkan dan dipermainkan oleh perasaannya sendiri.

Bahagialah orang yang selalu berpegang kepada kebenaran, yang selalu waspada akan langkah hidupnya sendiri supaya tidak menyeleweng dari kebenaran, dan dalam pada itu selalu mendasarkan segala sesuatu yang menimpa dirinya, baik itu menyenangkan badan mau pun sebaliknya, sebagai kehendak dari pada Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang menentukan segalanya, yang tak dapat diubah oleh kekuasaan mana pun juga di dunia ini.

Apa bila kita adakan perbandingan, maka mereka yang tertimpa kesengsaraan hidup dan membuat mereka berpaling mencari Tuhannya, jauh lebih bahagia dari pada mereka yang hidup bergelimang dalam kemewahan dan membuat mereka lupa akan Tuhannya.

Demikian pula dengan Kaisar dan para pembesar Kerajaan Beng. Pada mulanya, dalam perjuangan mereka mengusir penjajahan Mongol dari tanah air, mereka berpegang pada kebenaran jiwa, mereka penuh dengan sifat patriotisme, sepak terjang dalam perjuangan hanya didasarkan untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Dalam keadaan seperti itu mereka yakin sepenuhnya akan kebenaran mereka, dan yakin bahwa manusia dalam kebenaran sepak terjang hidupnya selalu akan diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Namun, sungguh menyedihkan. Setelah usaha perjuangan mereka berhasil, terjadilah hal yang agaknya merupakan penyakit turunan bagi seluruh manusia. Terjadilah perebutan kemuliaan! Lebih menyedihkan lagi, setelah mereka yang berhasil dalam perebutan ini menduduki tempat tinggi dan mengenyam kemuliaan, mereka lalu mabuk!

Banyak di antara pembesar, malah sampai Kaisar sendiri, yang dulunya terkenal sebagai pejuang-pejuang patriotik, setelah mendapatkan kemuliaan dan kebesaran, lalu lupa akan kebenaran. Mereka dirangsang oleh nafsu-nafsu mereka sendiri.

Ada yang tamak akan harta benda, kerjanya hanya mengumpulkan harta dengan jalan yang tidak halal, melakukan korupsi besar-besaran tanpa menghiraukan sedikit pun nasib rakyat jelata yang dahulunya mereka bela dengan perjuangan mati-matian. Ada yang menurutkan nafsu binatang saja, tanpa mengenal malu mengumpulkan wanita-wanita muda dan cantik untuk mereka jadikan alat pengumbar nafsu. Banyaklah macamnya maksiat yang dilakukan oleh orang-orang mabuk kemulian duniawi ini.

Akibat dari semua ini, pemerintah yang dipimpin oleh bangsa sendiri tetap saja tidak dapat mengangkat rakyat jelata dari kemiskinan dan kesengsaraan hidup. Tetap saja rakyat yang dijadikan sapi perah, diperas keringat dan darahnya oleh pemimpin-pemimpin kecil.

Di lain pihak pemimpin-pemimpin kecil ini diperas oleh atasan mereka, dan si atasan ini diperas lagi oleh atasannya yang lebih tinggi kedudukannya. Sogok dan fitnah merajalela dan kebenaran yang berlaku bukanlah kebenaran sejati karena siapa yang memiliki uang, dialah yang menang.

Semenjak penjajah Mongol terusir dan Ciu Goan Ciang menjadi kaisar, rakyat tetap saja masih menderita. Penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan oleh bangsa Mongol dari utara, pemberontakan-pemberontakan dari suku-suku bangsa kecil di barat dan utara, gangguan bajak-bajak laut bangsa Jepang, menambah beban hidup rakyat yang sudah menderita.

Seperti tercatat dalam sejarah, di mana pun tidak atau belum ada kemakmuran dalam kehidupan rakyat jelata, di situ tentulah muncul rasa penasaran, dan kembali yang kuat merajalela dan pada umumnya lalu berlakulah hukum rimba, siapa kuat dia yang menang. Orang-orang jahat bermunculan, mengganas sewenang-wenang karena para pembesar dan alat-alat pemerintah hanya mengurus isi kantongnya sendiri.

Karena banyaknya orang-orang jahat, maka di sana-sini muncullah kelompok-kelompok atau gerombolan-gerombolan yang mempunyai wilayah sendiri-sendiri. Dan hal ini tentu saja mengakibatkan permusuhan dan persaingan di antara golongan ini. Syukurlah bahwa masih banyak terdapat orang-orang gagah yang tidak sudi ikut-ikutan memperebutkan kedudukan dan kemuliaan untuk diri sendiri. Banyak di antara para bekas pejuang yang masih terbuka mata batinnya, dapat melihat betapa tersesatnya mereka yang mabuk kemuliaan itu.

Mereka orang-orang gagah sejati ini tetap hidup di antara rakyat jelata, tidak segan-segan untuk mencari nafkah dengan pekerjaan kasar, bahkan cukup banyak yang hidup hanya mengandalkan belas kasihan orang! Makin lama semakin banyaklah orang-orang yang hidupnya seperti pengemis. Sudah tentu saja sebagian besar di antara mereka ini adalah orang-orang malas. Karena makin lama jumlahnya semakin banyak, mulailah orang jahat mengincar mereka yang dianggap sebagai golongan tersendiri yang bukan tidak kuat. Maka dimasukinyalah kelompok ini dan didirikan perkumpulan-perkumpulan pengemis!

Celakanya, kaipang (perkumpulan pengemis) ini dibentuk atas prakarsa orang-orang yang memang jahat sehingga pendirian ini sama sekali bukan diadakan untuk usaha perbaikan nasib orang-orang gelandangan itu, sama sekali bukan. Memang, ada juga manfaatnya bagi keadaan hidup para pengemis ini, namun dengan cara yang tiada bedanya dengan penjahat.

Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan ini, para pengemis lalu diharuskan mentaati peraturan perkumpulan. Hasil mengemis harus dikumpulkan dan tak boleh dipakai sendiri, sebaliknya soal makan mereka dijamin oleh perkumpulan. Melihat para pengemis yang bergabung ini, tidak ada yang berani menolak permintaan mereka, karena hal ini bisa mengakibatkan si penolak itu celaka, dianiaya dan dirampok hartanya! Jadi tegasnya, cara para pengemis dari kaipang-kaipang itu bekerja hanya tampaknya saja mengulurkan tangan minta sedekah, akan tetapi pada hakekatnya sama dengan perampok yang datang mengacungkan golok!

Pada mulanya memang penduduk setiap kota dan para pembesar dan petugas berusaha membasmi kaipang-kaipang ini. Akan tetapi, karena para pengemis itu sudah bercampur dengan para penjahat yang merasa lebih aman bersembunyi di antara kaum jembel itu, usaha ini sia-sia belaka. Apa lagi setelah organisasi pengemis itu makin meluas sehingga di setiap tempat ada cabangnya, kemudian para pengurus pengemis terdiri dari ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi, petugas-petugas keamanan menjadi tak berdaya.

Seperti dikatakan tadi, syukur bahwa tidak semua manusia di dunia ini berpikiran cupat dan berwatak remeh. Orang-orang gagah yang melihat adanya gejala-gejala tak baik ini, yang berarti akan menambahi beban rakyat jelata karena pemerasan oleh para perampok berpakaian pengemis ini, segera turun tangan.

Ada yang secara langsung menggunakan kekerasan menentang para kaipang ini. Tetapi akhirnya mereka itu dikeroyok dan kalah, malah ada yang tewas. Ada yang menentang secara diam-diam, menunggu saat baik, kemudian mereka ini malah memasuki kaipang-kaipang itu, menjadi anggota dengan maksud membelokkan kejahatan para pengemis ke arah kebaikan.

Demikianlah, jangan dikira bahwa semua anggota kaipang itu jahat karena di dalamnya juga banyak terdapat orang-orang gagah yang senantiasa menanti kesempatan baik untuk menggulingkan kedudukan ketua masing-masing sehingga jika pimpinan sudah jatuh ke dalam tangan orang-orang yang tidak jahat ini, sudah tentu perkumpulan itu akan dibawa ke jalan benar.

Karena hal ini terjadi selama penjajah jatuh, jadi dua puluh tahunan, maka sekarang telah banyaklah perkumpulan pengemis yang dipimpin oleh ketua-ketua yang baik sehingga perkumpulan ini betul-betul menjadi perkumpulan untuk memperbaiki nasib para anggota. Di dalam kaipang yang bersih ini diadakan latihan-latihan semacam sekolah, di mana para anggotanya diajar untuk memiliki sesuatu kepandaian tertentu, misalnya pertukangan dan lain-lain. Sesudah itu mereka itu diharuskan mencari pekerjaan sebagai sumber nafkah dan setelah mendapatkan pekerjaan sudah tentu mereka ini tak diperbolehkan mengemis lagi dan tidak lagi menjadi anggota biar pun masih ada hubungan persaudaraan.

Nah, demikianlah keadaan di waktu itu. Di satu pihak kaipang-kaipang yang dipimpin oleh orang-orang jahat masih mengganas, di lain pihak ada pula kaipang-kaipang yang bersih sehingga kemudian terkenallah sebutan Pek-kaipang (Perkumpulan Pengemis Putih) dan Hek-kaipang (Perkumpulan Pengemis Hitam). Sudah tentu Pek-kaipang adalah golongan yang baik sedangkan Hek-kaipang golongan yang jahat. Karena ada dua golongan yang berlainan sifatnya, tidak dapat dicegah lagi adanya persaingan dan permusuhan di antara dua golongan ini sehingga sering kali terjadi pertempuran-pertempuran dan pertumpahan-pertumpahan darah.

Di antara Pek-kaipang, perkumpulan pengemis Hwa-i Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah yang paling terkenal dan kuat. Perkumpulan pengemis ini memiliki anak buah paling banyak dan karena ketuanya seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan pengurusnya juga mendapat latihan ilmu silat tinggi, maka banyak kaipang lain yang tunduk kepada Hwa-i Kaipang.

Pusat perkumpulan ini di kaki Gunung Ta-pie-san, sebelah barat kota raja Nanking. Ada pun ketuanya adalah seorang kakek gagah perkasa yang usianya sudah tinggi sekali tapi memiliki kepandaian yang amat hebat. Kakek pengemis ini tidak pernah memperkenalkan namanya dan hanya mengaku berjuluk Hwa-i Lo-kai (Pengemis Tua Berbaju Kembang).

Sesudah para pengemis berkali-kali ditolong oleh kakek yang berkepandaian tinggi ini, maka ia lalu diangkat menjadi ketua dan perkumpulan yang dipimpinnya lalu diberi nama Hwa-i Kaipang. Semua anggota Hwa-i Kaipang selalu memakai baju berkembang, biar pun sudah lapuk atau penuh tambalan!

Pada suatu hari terjadilah berita yang menggemparkan ‘dunia pengemis’ itu. Pengemis mana yang tidak akan terkejut mendengar berita bahwa Ketua Hwa-i Kaipang hendak mengundurkan diri dan di pusat perkumpulan itu hendak diadakan pemilihan pengurus baru? Hal itu menjadi bahan percakapan yang ramai, tidak saja di antara para pengemis, bahkan boleh dibilang juga di antara para orang gagah di dunia kang-ouw karena sebagai perkumpulan besar, Hwa-i Kaipang mengundang para orang gagah untuk menjadi saksi dalam pemilihan ketua baru ini.

Menjelang datangnya hari pemilihan ketua, keadaan di sekitar kaki Gunung Ta-pie-san menjadi ramai sekali. Banyak tokoh-tokoh perkumpulan pengemis dari daerah lain datang dengan pakaian mereka yang beraneka ragam dan beraneka macam. Kalau melihat banyak pengemis dari berbagai aliran berkumpul di tempat yang luas itu, benar-benar mereka itu seperti bukan pengemis-pengemis, melainkan anak buah dari pasukan-pasukan! Biar pun pakaian mereka tambal-tambalan, ada pula yang sudah lapuk, namun warnanya seragam. Ada yang serba hitam, ada yang serba merah, ada yang putih, hijau, biru dan banyak lagi macam warnanya. Para anggota Hwa-i Kaipang tentu saja berbaju kembang semua!

Mereka yang sudah datang bertanya-tanya mengapa Hwa-i Lo-kai hendak mengundurkan diri dan mencari penggantinya. Akan tetapi tak seorang pun dapat menjawab pertanyaan ini, bahkan para anggota Hwa-i Kaipang sendiri tak ada yang dapat memberi keterangan. Hwa-i Kaipang atau Perkumpulan Pengemis Baju Kembang pada waktu itu sudah merupakan perkumpulan yang besar, mungkin terbesar di antara perkumpulan pengemis yang ada di daerah itu. Malah dapat dikatakan bahwa perkumpulan ini paling makmur, mempunyai rumah pertemuan yang besar dengan perabot-perabot rumah yang lengkap, memiliki ruangan tempat para pengemis cilik belajar sesuatu pekerjaan dan lain-lain. Hal ini adalah karena sepak terjang perkumpulan ini yang betul-betul merupakan perkumpulan sosial hendak memberi bimbingan kepada kaum gelandangan itu supaya bisa hidup lebih baik dan terangkat nasibnya, telah menarik hati banyak dermawan yang banyak memberi sumbangan-sumbangan kepada Hwa-i Kaipang.

Tidak hanya dalam soal usaha memperbaiki nasib para pengemis. Juga dalam organisasi sendiri, makin lama perkumpulan ini menjadi makin kuat. Makin banyak saja pemuda yang tinggi ilmu silatnya dan ini boleh dibilang semua telah menjadi murid Hwa-i Lo-kai. Tentu saja para pengurus ini tadinya memang sudah memiliki kepandaian dari berbagai macam aliran. Akan tetapi sesudah mereka menggabungkan diri di Hwa-i Kaipang, dan menyaksikan sendiri betapa tingginya ilmu silat ketuanya, mereka kemudian minta diberi pelajaran ilmu silat.

Ketua Hwa-i Kaipang ini selalu suka menurunkan kepandaiannya dan ia mengajarkan beberapa ilmu pukulan yang ia sesuaikan dengan watak dan keadaan jasmani si murid. Makin lama makin banyaklah anggota Hwa-i Kaipang yang mendapatkan kemajuan hebat dalam kepandaian ilmu silat mereka. Bahkan kemudian hampir tidak ada seorang pun anggota pengurus yang tidak berilmu tinggi.

Hwa-i Lo-kai sendiri maklum bahwa di antara perkumpulan pengemis yang amat banyak itu, tidak jarang merupakan perkumpulan pengemis palsu yang sesungguhnya lebih patut disebut perkumpulan penjahat. Juga ia tahu betapa perkumpulan-perkumpulan jahat ini mengandalkan kekerasan, tidak hanya melakukan pemerasan terhadap penduduk, juga kadang-kadang berani menindas perkumpulan lain yang lebih lemah.

Karena itu, kakek ini melihat betapa penting bagi perkumpulan yang dipegangnya untuk memperkuat diri dengan pengurus-pengurus yang pandai ilmu silat. Hal ini pulalah yang membuat ia mulai mengadakan susunan dalam pengurusnya, membagi-bagi tugas sesuai dengan kemampuan dan kepandaian mereka.

Untuk membedakan tingkat kepandaian ilmu silat, dia mengadakan ujian lalu memberi tanda tingkat kepada para muridnya itu. Tanda tingkat ini merupakan tali ikat pinggang berwarna putih dari serat biasa. Makin banyak tali ini yang mengikat pinggang seorang pengemis Hwa-i Kaipang, makin tinggilah tingkat ilmu silatnya.

Di antara para pengurus dan pembantu ketua itu, rata-rata hanya memiliki empat helai ikat pinggang. Jumlahnya ada dua puluh orang lebih. Yang mempunyai lebih dari empat helai amat jarang. Yang paling tinggi tingkatnya di antara mereka hanya tiga orang. Mereka ini telah mempunyai tujuh helai tali putih yang mengikat pinggang mereka.

Tiga orang inilah yang dalam segala hal mewakili Hwa-i Lo-kai dan mereka boleh dibilang sudah memegang seluruh urusan perkumpulan itu sebagai wakil ketua. Mereka adalah Coa-lokai, Beng-lokai, dan Sun-lokai. Lokai artinya ‘pengemis tua’ akan tetapi sebutan ini dalam perkumpulan itu berarti menghormat, karena yang berhak menyebut diri lokai hanyalah ketua mereka dan tiga orang tangan kanan inilah!

Jadi panggilan lokai ini seakan-akan merupakan panggilan penghormatan seperti lajimnya sebutan ‘yang mulia’ dan ‘paduka’! Memang dalam perkumpulan yang aneh ini banyak terdapat aturan dan hal-hal aneh pula.

Sudah bisa dibayangkan bahwa jika Hwa-i Lo-kai mengundurkan diri, calon penggantinya tentulah seorang di antara tiga kakek ini. Hal ini tidak hanya menjadi pendapat para anggota, malah juga pendapat orang-orang luar dan juga demikianlah kata hati tiga orang itu sendiri. Oleh karena itu, diam-diam seperti ada persaingan di antara mereka dan secara diam-diam pula tiga orang pembantu ini mendekati para anggota dan sedapat mungkin menarik sebanyak-banyaknya sahabat agar mendukungnya dalam ‘pemilihan umum’ itu nanti. Sudah bukan hal aneh lagi apa bila mereka ini menjanjikan hal-hal yang muluk-muluk kepada para anggota yang suka memilihnya.

Pagi hari pada waktu pemilihan, para anggota sudah berkumpul di pekarangan yang amat luas di depan rumah pertemuan Hwa-i Kaipang. Pengemis-pengemis berpakaian baju kembang yang tidak kurang dari seratus orang jumlahnya duduk di belakang ketua dan para pengurus mereka. Ada pun para tamu merupakan kelompok-kelompok yang duduk di atas tanah juga, menghadap tuan rumah. Ada kelompok pengemis berpakaian hijau, merah, hitam, putih dan lain-lain yang dipimpin oleh ketua atau wakil masing-masing. Uniknya, pertemuan ini sama sekali tidak dilengkapi kursi, bangku atau pun meja dan semua yang hadir duduk begitu saja di atas tanah, ada yang bersila, ada yang berjongkok.

Hwa-i Lo-kai tampak duduk bersila sambil meramkan mata. Dia adalah seorang kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus. Rambutnya yang panjang tidak terawat, pakaiannya berkembang sederhana, terdapat tiga tambalan di pundak dan dada. Pinggangnya diikat dengan tali putih terbuat dari sutera. Di pinggang kiri tergantung sebuah guci arak dari perak dan ia tidak kelihatan membawa senjata.

Di sebelah kanannya duduklah tiga orang pembantunya yang terkenal, yaitu Coa-lokai yang bertubuh tinggi besar bermata lebar dan gerak-geriknya kasar. Beng-lokai orangnya gemuk pendek berkulit kuning dan bermata sipit, tersenyum-senyum gembira. Sun-lokai orangnya kecil agak bongkok, matanya tajam bergerak ke sana ke mari. Tiga orang pembantu ini semuanya memakai baju berkembang dengan ikat pinggang tali putih tujuh helai yang membelit pinggang. Berbeda dengan Sang Ketua, ketiga orang ini masing-masing memanggul sebatang pedang di punggungnya.

Para pembantu lain yang lebih rendah tingkatnya, yaitu yang bertali pinggang enam ada dua orang, yang bertali pinggang lima ada tujuh orang dan sebelas orang bertali pinggang empat duduk di sebelah kiri ketua ini dengan sikap menghormat...

Keadaan di situ cukup ramai. Walau pun semua orang sudah duduk di atas tanah tanpa seorang pun kelihatan berdiri, namun mereka saling bicara perlahan, ada yang berbisik-bisik sehingga tempat itu menjadi berisik juga. Akhirnya Hwa-i Lokai membuka kedua matanya, memandang ke kanan kiri kemudian ia mengangkat tangan kanannya ke atas. Siraplah suara berisik. Semua orang memandang kakek ini dengan penuh perhatian.

"Para tamu sekalian dan saudara-saudaraku anggota Hwa-i Kaipang yang tercinta. Tidak kepada seorang pun pernah kuberi tahu, bahkan para pembantuku juga tidak, mengapa secara mendadak aku hendak meninggalkan Hwa-i Kaipang dan menyerahkan pimpinan kepada seorang saudara. Sekarang, untuk menghilangkan dugaan yang bukan-bukan, terus terang saja aku jelaskan bahwa aku mempunyai seorang musuh pribadi..."

Kembali keadaan menjadi sangat berisik, terutama di kalangan anggota Hwa-i Kaipang yang banyak mengeluarkan suara marah. Kalau ada musuh, kenapa harus meninggalkan kedudukan? Apakah takut? Hwa-i Kaipang sangat kuat, siapa yang berani mengganggu ketuanya?

Kembali Hwa-i Lokai mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua orang jangan berisik. "Urusan ini merupakan urusan pribadiku, dan hari ini adalah hari janji kami berdua untuk membuat perhitungan terakhir. Aku tidak suka membawa-bawa perkumpulan dalam urusan pribadi, juga aku tak mau menyeret musuh pribadiku menjadi musuh perkumpulan. Biarlah hal ini akan kuselesaikan sendiri sebagai urusan pribadi yang tak boleh orang lain mencampurinya. Nah, sekarang hatiku telah lega sebab saudara semua telah mendengar penjelasanku. Sekarang, marilah kita semua memilih seorang ketua baru yang tepat, yang kiranya akan dapat memimpin saudara-saudara sekalian lebih baik dari pada yang telah kulakukan."

Kembali para anggota Hwa-i Kaipang menjadi berisik karena mereka saling berbisik dan banyak terdengar suara-suara tidak setuju. Malah tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari Coa-lokai, yang bicara dengan sepasang mata lebar membelalak.

"Saya tidak setuju dengan uraian Lokai! Selama saya membantu Lokai, tak pernah satu kali pun saya ragu-ragu dan membangkang terhadap perintah, akan tetapi kali ini terpaksa saya tidak setuju! Lokai tidak saja menjadi ketua, bahkan merupakan pendiri dari Hwa-i Kaipang. Oleh karena itu segala urusan Hwa-i Kaipang adalah urusan Lokai, sebaliknya urusan Lokai berarti juga urusan semua anggota Hwa-i Kaipang! Dulu kita semua sudah bersumpah, susah sama dipikul, senang sama dinikmati. Mana ada peraturan sekarang Lokai hendak meninggalkan kita hanya karena ada urusan pribadi? Apa bila ada musuh Lokai, katakan saja siapa dan di mana, saya Coa-lokai tak akan mundur untuk mewakili Lokai, walau pun nyawaku yang tidak berharga ini akan melayang karenanya!" Setelah berkata demikian, pengemis tinggi besar yang usianya belum ada lima puluh itu meloncat berdiri, tegak siap sedia dengan mata memandang ke sana ke mari seolah-olah hendak mencari musuh pribadi ketuanya.

Hwa-i Lokai menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. "Coa-lokai, terima kasih atas kesetiaanmu ini. Akan tetapi urusan ini benar-benar adalah urusan pribadiku dan kali ini terpaksa aku harus menebus sifatku yang pengecut, yang sudah kupertahankan hingga belasan tahun lamanya. Ya... aku sudah bersikap pengecut sehingga belasan tahun aku menyembunyikan nama dan paling akhir aku menggunakan nama Hwa-i Lokai. Dahulu... hemmm, sekarang sudah tiba saatnya aku meninggalkan sikap pengecut dan membuka rahasiaku sendiri, dahulu aku bernama Sin-chio (Tombak Sakti) The Kok."

Semua pengemis dan yang hadir di situ, terutama kaum tuanya tercengang mendengar nama ini. Belasan tahun yang lalu nama Sin-chio The Kok amat terkenal sebagai seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi. Kabarnya ilmu tombaknya belum pernah terkalahkan sehingga dia dijuluki orang Sin-chio (Tombak Sakti). Setelah mendengar siapa adanya Hwa-i Lokai, semua orang menjadi berisik.

Ada yang merasa kecewa bahwa Hwa-i Kaipang ternyata dipimpin oleh seorang bekas perampok, akan tetapi ada suara yang membantah dengan pernyataan bahwa biar pun seorang perampok, tapi nama The Kok tetap bersih sebagai perampok budiman yang tak sembarang merampok orang. Yang selalu menjadi sasaran dan korbannya adalah para pembesar jahat dan hartawan-hartawan kikir, malah kabarnya hasil rampokannya selalu ia bagi-bagikan kepada rakyat yang miskin.

Hwa-i Lokai atau Sin-chio The Kok mengangkat tangannya dan suara berisik segera sirap. "Nah, sekarang saudara sekalian tahu siapa saya dan saya sendiri merasa tidak pantas menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Bukan karena saya bekas perampok, akan tetapi terutama sekali karena saya seorang pengecut yang karena takut menghadapi musuh lalu bersembunyi di balik nama palsu. Sekarang musuh besarku telah mengetahui dan hendak menuntut balas, karena inilah aku akan meninggalkan Hwa-i Kaipang untuk membereskan perhitungan dengan dia dan sebelum aku pergi, aku ingin melihat bahwa perkumpulan kita mendapatkan seorang ketua baru yang tepat."

Beng-lokai yang gemuk pendek segera berdiri dan dengan senyuman yang tidak pernah meninggalkan bibirnya ia berkata, "Memang tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangcu (Ketua). Harap Pangcu segera tetapkan saja calon-calon pengganti Pangcu agar supaya pemilihan dapat dilakukan segera."

"Siapa lagi yang kucalonkan kecuali kalian bertiga pembantu-pembantuku? Kalian bertiga adalah calon-calon ketua dan pemilihannya siapa di antara kalian bertiga terserah kepada para anggota," jawab Ketua itu.

"Saya tidak setuju...!" Coa-lokai kembali berkata dengan suaranya yang nyaring. "Setelah kita ketahui bahwa ketua kita adalah Sin-chio The Kok, seharusnya kita bangga memiliki seorang ketua yang gagah perkasa dan terkenal sebagai seorang yang budiman. Biar pun sekarang Lokai menghadapi urusan itu tapi saya percaya Lokai akan bisa mengatasinya dengan baik. Setelah itu, bukankah Lokai dapat kembali memimpin perkumpulan kita?"

"Heh, Coa-lokai banyak cerewet!" Terdengar suara yang parau seperti kaleng dipukul dan pembicara ini adalah Sun-lokai yang sudah berdiri dan memandang tajam. "Apakah kau hendak membangkang terhadap perintah Pangcu? Lupakah kau apa hukumannya kalau seorang anggota membangkang terhadap perintah?"

Pengemis tinggi besar itu membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Sun-lokai dengan mata berapi-api. "Ho-ho, Sun-lokai, tak usah kau mengingatkan. Aku sendiri tahu bahwa tugasku meneliti dan menghukum para anggota yang menyeleweng, tentu aku maklum akan aturan-aturan di perkumpulan kita. Kalau ketua kita memerintah kepadaku untuk melaksanakan sebuah tugas, walau pun harus mempertaruhkah nyawa, aku tidak akan mundur. Akan tetapi sekarang ini lain lagi. Pangcu kita hendak pergi meninggalkan kita dan menunjuk seorang di antara kita untuk menjadi ketua. Aku tidak setuju sama sekali untuk memilih ketua baru selama Lokai masih hidup! Sun-lokai, agaknya kau sudah terlalu mengilar untuk memperoleh kursi ketua?"

Sepasang mata dari pengemis bongkok ini bersinar dan bercahaya. "Hemm, Pangcu tadi mencalonkan kita bertiga, bukan hanya aku. Kau sendiri pun, kalau mampu membuktikan bahwa kau lebih gagah dan pandai dari aku dan Beng-lokai, kau boleh menjadi ketua."

"Aku tidak sudi selama Lokai masih ada, aku tidak sudi menjadi ketua dan juga tidak sudi membiarkan seorang di antara kalian menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Apa lagi seorang seperti kau!" Coa-lokai menudingkan telunjuknya ke muka Sun-lokai sehingga pengemis bongkok ini menjadi marah sekali.

"Berani kau menghinaku di depan banyak orang?"

"Aku tidak menghina, melainkan bicara sejujurnya. Kau tahu aku suka berterus terang dan aku pun terus terang saja menyatakan bahwa aku tidak suka melihat dan mendengar kau berhubungan erat dengan golongan merah dan hijau."

"Kau keparat, kau menuduh yang bukan-bukan. Apakah kau mau mengajak berkelahi?" Sun-lokai sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.

"Berkelahi atau apa saja masa aku takut?" Coa-lokai juga marah.

Dua orang ini sudah saling berhadapan dan saling mendekat, siap hendak menggunakan kekerasan.

"Coa-lokai, Sun-lokai, sudahlah. Tak perlu ribut-ribut!" Hwa-i Lokai berseru untuk melerai mereka.

"Biarlah, Lokai, biar kuberi hajaran kepada si Bongkok ini!" Coa-lokai berkata keras.

"Pengemis busuk, kaulah yang akan mampus di tanganku!" Sun-lokai yang tidak pandai bicara itu mendengus.


cerita silat karya kho ping hoo


Ada pun para anggota Hwa-i Kaipang yang berada di situ memang sudah terpecah-pecah dalam pemilihan ketua, ada yang pro Coa-lokai, dan ada yang pro Sun-lokai. Melihat dua orang jagoan mereka itu sudah saling berhadapan, mereka menjadi tegang dan terdengar seruan-seruan kedua pihak untuk memberi semangat kepada jagoan mereka. Keadaan menjadi berisik bukan main sehingga suara Hwa-i Lokai yang hendak mencegah pertarungan itu tidak terdengar nyata. Dua orang pengemis tua itu sekarang sudah saling serang.


Mula-mula Sun-lokai yang membuka serangan. Dia adalah seorang ahli Cu-see-ciang, yaitu kedua tangannya telah digembleng dan diperkeras dengan latihan mencacah pasir panas. Ia bersilat dengan kedua tangan terbuka, dengan jari-jari lurus dan ibu jari ditekuk ke dalam sehingga kedua tangannya itu seakan-akan sepasang golok yang diserangkan dengan bacokan atau tusukan maut.

Di lain pihak, Coa-lokai ialah seorang ahli gwakang, tenaganya seperti gajah, gerakannya tenang. Kalau sambaran tangan Sun-lokai bagaikan sambaran golok yang tajam, adalah sambaran kepalan tangan Coa-lokai yang besar itu seperti sambaran toya baja yang amat keras dan berat. Keduanya adalah ahli-ahli silat yang kemudian mendapat latihan dari Hwa-I Lokai, maka biar pun mereka memiliki keistimewaan masing-masing, boleh dibilang tingkat mereka kini seimbang. Para pengemis yang menonton pertempuran ini menjadi tegang dan gembira, dari sana sini terdengar seruan-seruan memihak.

Hwa-i Lokai menjadi bingung. Tentu saja mudah baginya untuk datang memisah, namun apa gunanya? Sekali mereka menanam bibit kebencian satu kepada yang lain, hal itu tak akan mudah dipadamkan. Biarlah mereka menentukan siapa yang lebih kuat, bahkan ini merupakan saringan pula untuk memilih seorang ketua baru. Ia hanya berdiri dengan dua lengan di belakang tubuh, akan tetapi siap setiap saat apa bila seorang di antara kedua pembantunya itu terancam bahaya maut, tentu ia akan turun tangan mencegah. Ketika dua orang itu sedang saling gempur dengan ramainya, tiba-tiba dari jauh terdengar orang berteriak-teriak, nyaring menusuk telinga semua orang.

“Heiii... dua orang pengemis tua saling tempur memperebutkan apa sih?"

Karena suara ini hebat dan nyaring, maka semua orang menengok, bahkan Coa-lokai dan Sun-lokai juga otomatis berhenti untuk melihat siapa orangnya yang berteriak sedemikian nyaringnya itu. Dari jauh tampak dua orang berjalan menuju ke tempat itu. Yang di depan adalah seorang pemuda tampan yang pakaiannya sama lapuknya dengan pakaiannya para pengemis, sungguh pun potongan pakaian itu seperti pakaian seorang pemuda terpelajar. Pemuda inilah yang berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya tidak keruan seperti orang gendeng.

Ada pun orang yang berjalan di sampingnya, agak di belakang, adalah seorang kakek tua sekali, terbongkok-bongkok jalannya. Pakaiannya juga compang-camping, dengan tangan memegang tongkat yang diperlukannya untuk membantu ia berjalan.

Siapakah dua orang ini? Pemuda itu bukan lain orang adalah Kwa Kun Hong! Seperti kita ketahui, pemuda ini telah turun dari puncak Bukit Kepala Naga, kenapa dia bisa berada di sini dan datang bersama seorang kakek pengemis tua renta itu? Baiklah kita mengikuti perjalanannya sebentar sejak pemuda ini meninggalkan Bukit Kepala Naga dan sampai ke tempat ini, yaitu di kaki Pegunungan Ta-pie-san, pusat dari perkumpulan Hwa-i Kaipang.

Telah dituturkan pada bagian depan betapa Kun Hong meninggalkan Bukit Kepala Naga dengan maksud mencari dusun untuk bertanya kepada orang ke mana arah perjalanan menuju ke Hoa-san. Memang tidak lama kemudian ia bertemu dengan penduduk dusun, akan tetapi penduduk dusun yang jarang meninggalkan kampung halaman itu, mana ada yang tahu tentang Hoa-san?

Keterangan yang didapat oleh Kun Hong sama sekali tidak mendekatkan dirinya dengan tempat tinggalnya, malah membuat ia tersesat semakin jauh dari Hoa-san. Akhirnya ia mendengar bahwa ia sudah tiba di daerah kota raja selatan (Nanking). Ia tertegun ketika mendengar dari orang yang mengetahui bahwa ia salah jalan dan malah menjauhi Hoa-san. Akan tetapi sebaliknya ia gembira ketika mendengar bahwa ia sudah berada di kota raja.

Setelah ia berada di tempat yang dekat dengan kota raja, apa salahnya untuk sekalian melihat-lihat keadaan kota raja? Sudah lama ia mendengar tentang kota raja yang hanya dapat ia lihat dalam alam mimpi saja. Sekarang, tanpa disengaja ia mendekati kota raja, sudah tentu ia tidak akan melewatkan kesempatan sebaik ini. Ketika Kun Hong melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja, ia melalui Pegunungan Ta-pie-san. Setelah turun naik lereng bukit, dia merasa lelah dan beristirahat di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di lereng gunung.

Pemandangan indah, hawa amat nyaman. Kun Hong lalu menuruni jurang kecil di mana terdapat air terjun yang kecil akan tetapi amat jernih airnya. Dengan sedap dan segar ia minum air itu, lalu mencuci muka, tangan, dan kakinya. Setelah merasa tubuhnya segar lagi, perutnya menggeliat minta isi. Kun Hong kembali ke bawah pohon dan mengeluarkan bekalnya roti kering yang ia terima dari seorang hwesio sebuah kelenteng tua yang amat baik hati, di mana ia semalam menginap.

Terpaksa ia menunda tangannya yang sudah mengantar roti kering ke mulutnya, ia kaget dan terheran-heran kenapa di tempat sesunyi itu terdengar suara orang. Orang itu bicara dengan keras suaranya terbawa angin, sayup-sayup sampai tak dapat ia tangkap artinya. Akan tetapi mengapa tidak pernah ada suara lain yang menjawabnya? Biasanya orang bercakap-cakap tentu sedikitnya membutuhkan dua orang. Suara itu makin jelas dan kini tertangkap oleh telinga Kun Hong, suara orang mencari sesuatu!

"Ahhh, di manakah dia? Haaa, boleh jadi inilah! Ya betul, inilah agaknya yang kucari-cari puluhan tahun sampai sampai saat ini. Tak mungkin salah lagi..., akan tetapi betulkah ini dia? Jangan-jangan aku salah duga dan akan kecele lagi..."

Tergerak hati Kun Hong. Suara itu agak menggetar, dan bisa diduga pembicaranya tentu seorang yang sudah tua. Ia menyimpan kembali roti keringnya, lalu berdiri dan berjalan menuju arah suara tadi.

Setelah ia melalui sebuah gundukan batu karang, tampaklah olehnya seorang kakek yang berpakaian compang-camping. Kakek ini berdiri dengan tongkat tertekan tangan sehingga seakan-akan tongkat itulah yang membantu ia berdiri. Tangan kirinya ditaruh melintang di kening untuk melindungi kedua mata tuanya dari sinar matahari, dan menoleh kian ke mari memandangi tamasya alam di bawah gunung. Ataukah sedang mencari sesuatu?

Segera timbul welas dalam hati Kun Hong melihat kakek yang amat tua ini. Tubuhnya kurus, tinggal kulit dan tulang. Pakaiannya sudah tak patut disebut pakaian lagi, hanya robekan-robekan kain menutupi tubuh di sana sini. Sepatunya sudah bolong sehingga tampak beberapa buah jari kaki tersembul keluar dari pinggir sepatu.

Aduh kasihan, pikir Kun Hong. Sudah begini tua mengapa pergi susah payah ke gunung yang tidak mudah dilalui jalannya? Begitu kurus, tentu sudah berhari-hari tidak makan.

"Kakek yang baik, kau sudah begini tua dan lemah mengapa sampai di tempat seperti ini? Kau sedang mencari apakah, Kek?" tanyanya sambil maju mendekat.

"Ya, aku memang mencari sesuatu," jawab kakek itu tanpa menoleh kepada Si Penanya.

"Mencari apakah yang hilang? Di mana hilangnya? Biarlah kubantu kau mencarinya," kata Kun Hong dengan ramah dan dengan suara mengandung hiburan yang membesarkan hati.

"Heh... tidak ada yang hilang... tapi sudah puluhan tahun aku mencarinya..."

Tiba-tiba ia menoleh dan terkejutlah Kun Hong ketika bertemu pandang dengan sepasang mata yang luar biasa tajamnya seakan-akan menembus sampai ke dalam dadanya. Tak kuat Kun Hong menatap sepasang mata yang hebat itu, maka terpaksa ia menundukkan pandang matanya.

"Kau bilang hendak bantu aku mencarinya? Huh, betulkah itu? Aku yang sudah puluhan tahun mencari belum juga bertemu. Tapi... hemmm, mungkin sekali ini aku akan dapat bertemu dengannya!" Kata-kata ini penuh semangat dan kakek itu berdongak memandang ke atas.

Otomatis Kun Hong juga mendongakkan kepalanya, akan tetapi di atas sana tidak ada apa-apa, kecuali mega-mega putih berarak di angkasa. Celaka, pikirnya, kasihan benar kakek ini, agaknya dia sudah miring otaknya! Kun Hong menggeleng-geleng kepalanya, lalu memegang tangan kakek itu, menuntunnya perlahan menuju ke bawah pohon.

"Kakek yang baik, marilah kita beristirahat di tempat yang teduh di sana, aku mempunyai beberapa potong roti kering, marilah kita makan bersama," bujuknya.

Kakek itu sejenak memandang kepadanya dengan heran tapi menurut saja ketika dituntun ke bawah pohon. Malah ia segera ikut Kun Hong duduk di bawah pohon itu dan menerima pemberian roti kering dari Kun Hong yang dimakannya lambat-lambat.

"Orang muda, jarang ada orang semacam kau ini di jaman yang sulit ini... hemm, senang juga bertemu dengan orang macam kau di tempat sunyi."

Kun Hong memadang penuh perhatian dan sekarang ia merasa yakin bahwa tak mungkin kakek ini miring otaknya. Mungkin hanya karena berwatak aneh saja maka dia kelihatan seperti orang yang tidak waras pikirannya.

"Aku pun merasa gembira sekali dapat berjumpa dengan kau di sini, kakek yang baik. Sebetulnya, siapakah yang kau cari itu? Benda atau manusia? Aku akan merasa girang kalau kau segera dapat bertemu dengannya, Kek."

Kakek itu tiba-tiba tampak gembira dan wajahnya berseri-seri. "Ya, betul sekali, pasti aku akan dapat bertemu dengannya setelah aku membunuh manusia she The itu!"

Ia nampak bersemangat dan gembira sekali, tak melihat betapa muka Kun Hong sekilas menjadi pucat dan kembali menjadi merah.

"Waaahhh... jangan, Kek. Tidak boleh kau membunuh orang biar dia itu she The atau she apa pun!"

Kini kakek itu menatap tajam wajah Kun Hong, agaknya marah. Roti kering yang baru dimakan separuh itu lalu dilemparkannya ke atas tanah.

"Siapa bilang tidak boleh? Dia itu musuh besarku, dia sudah membunuh muridku yang tercinta. Belasan tahun aku mengejar-ngejarnya, mencari-carinya dan akhirnya aku tahu bahwa dia sudah berganti nama... ha-ha-ha... berganti nama menjadi Hwa-i Lokai ketua perkumpulan Hwa-i Kaipang. Ha-ha-ha, manusia she The, ke mana pun kau bersembunyi, pasti kau akan terpegang olehku."

"Kau salah, Kek. Bagaimana pun juga, tidak boleh membunuh orang. Berdosa sekali perbuatan itu, dan manusia takkan terlepas dari hukum karma, kecuali kalau dengan budi kebaikan dia melepaskan diri dari hukum karma masa yang lalu, barulah dia itu seorang manusia yang bebas dan mulia."

"Uahhh, kau anak kecil tahu apa? Aku hendak membunuh orang she The itu sekali-kali bukan hanya karena dia telah membunuh muridku. Aku akan membunuhnya karena aku ingin mencari kebahagiaan, kau tahu? Tidak pernah aku dapat menemukan kebahagiaan. Seluruh dunia kujelajahi, perbuatan apa pun kulakukan, semedhi, bertapa, menyiksa diri, tapi kebahagiaan belum pernah dapat kumiliki. Orang bilang harta benda mendatangkan kebahagiaan? Phuah! Itu omong kosongnya seorang kepala angin. Kau lihat ini? Emas murni. Bahhh, jemu aku melihatnya karena mengingatkan aku akan manusia kepala angin yang menyatakan bahwa kebahagiaan dapat dicapai kalau orang mempunyai harta benda sebanyak-banyaknya!" Setelah berkata demikian kakek itu mengeluarkan sebongkah emas murni yang berkilauan, lalu ia melempar emas murni itu jauh ke dalam jurang yang tak mungkin dapat didatangi manusia!

Kun Hong mendengarkan dengan tenang dan sabar, kemudian mengangguk-angguk. Dia tidak heran melihat orang membuang sebongkah emas yang berharga itu.

"Kau betul, Kek. Memang kebahagiaan tidak dapat dimiliki melalui emas itu."

"Bagus, kau sependapat. Jika kau menyayangkan emas tadi, kau pun akan kulempar ke dalam jurang itu!" Kakek aneh itu berkata lagi. "Ada pula orang tolol bilang bahwa kalau mempunyai kesaktian sehingga tak terkalahkan orang lain, barulah memiliki kebahagiaan. Uhhh, si goblok. Apa artinya kepandaian tinggi? Hemm, apakah ini yang dianggap dapat membahagiakan manusia?"

Kakek itu menoleh ke kiri, lalu tangan kirinya meremas dan batu hitam itu bagaikan tanah lempung saja dalam tangannya, sekali remas hancur lebur!

"Apakah ini yang dapat mendatangkan kebahagiaan? Celaka, si manusia sombong. Bila penyakit datang, usia lanjut menggerayang, kematian menjangkit, bisa apakah dia dengan ilmu saktinya? Ha-ha-ha, pikiran katak dalam tempurung!"

Diam-diam Kun Hong terkejut. Dia sama sekali tak mengira bahwa kakek yang ia anggap hampir mati kelaparan ini ternyata adalah seorang yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.

Sekali remas saja batu hitam tadi hancur lebur. Wah, hampir ia tidak percaya kalau tidak melihat sendiri. Akan tetapi ia lebih tertarik oleh filsafat yang terkandung dalam ucapan Si Kakek itu, maka ia lalu mengangguk-angguk kembali dan membenarkan.


"Kembali kau benar, Kek. Kebahagiaan memang tidak terletak pada ilmu kepandaian atau kesaktian."
"Juga tidak dalam kedudukan dan pangkat kemuliaan dan harta?"
"Betul, tidak dalam kedudukan dan pangkat"

"He-he-he, kau pintar juga, orang muda. Kaisar-kaisar di jaman dahulu kurang begaimana hebatnya? Kedudukannya setinggi langit, dianggap putera Tuhan, pangkatnya nomor satu di dunia, mulia dan dihormat semua orang, kekayaannya berlimpah, tapi mana ada kaisar yang tak pernah bermusuh-musuhan dan selalu terancam keselamatannya, tidak pernah marah-marah dan jengkel? Mana ada kaisar yang telah memiliki kebahagiaan di samping segala yang dimilikinya itu?"

"Mungkin kau betul, kakek yang baik. Mungkin mereka yang berlimpahan dengan harta dan kemuliaan dunia, malah tidak memiliki kebahagiaan. Akan tetapi agaknya kau sendiri pun sedang mencari kebahagiaan. Mengapa kau tadi katakan bahwa kau akan bahagia kalau kau sudah dapat membunuh seorang she The? Bagaimana ini? Harap kau jelaskan, Kek, agar hatiku tidak mengandung penasaran.”

"Heh-heh-heh, baik… baik, biarlah kujelaskan. Puluhan tahun aku mencari tapi tidak dapat menemukan kebahagiaan. Selain itu, aku pun selalu mencari musuh besarku, yaitu The Kok yang telah membunuh muridku. Kini aku sudah mendapatkan tempat persembunyian The Kok. Nah, timbullah pikiran dalam otakku bahwa agaknya yang menjadi penghalang kebahagiaanku adalah karena aku belum berhasil membalaskan sakit hatiku. Kalau aku telah berhasil membunuh manusia she The itu, sudah pasti aku akan dapat menemukan kebahagiaan. Ha-ha-ha, orang muda yang baik, yang pintar, bukankah betul pendapatku ini?"

Kun Hong mengerutkan keningnya, menarik napas panjang kemudian menggeleng-geleng kepalanya. "Sayang sekali, Kek. Terpaksa aku tidak dapat membenarkan pendapatmu itu. Menurut perkiraanku, apa bila kau sudah berhasil membunuh orang she The yang kau maksudkan itu, kau malah makin jauh dari kebahagiaan yang kau cari. Hal ini aku merasa yakin sekali, seyakin kenyataan bahwa kau berhadapan dengan aku pada saat ini."

Di waktu bicara, Kun Hong mengerutkan kening, matanya menatap tajam dan suaranya begitu sungguh-sungguh. Pada mulanya kakek itu melengak heran, lalu mukanya merah dan ia menjadi marah sekali.

"Hati-hati kalau bicara orang muda. Jangan-jangan kau malah akan kubunuh lebih dulu, sebelum membunuh The Kok."

"Apa boleh buat jika kau bermaksud begitu, Kek, Akan tetapi kalau demikian makin tebal keyakinanku bahwa kau selama hidupmu tak akan dapat menemui kebahagiaan."

"Keparat, kau kurang ajar sekali. Akan tetapi... hemmm, kau juga aneh dan bukan main beraninya. Heiii, orang muda yang bernyali naga bermulut wanita, apa alasanmu bahwa orang membunuh orang, akan menjauhkannya dari kebahagiaan?"

"Aku yakin akan hal ini, Kek. Apa lagi setelah aku membaca tulisan yang ditinggalkan oleh suhu-ku, betapa dia merana dan menderita hebat sekali karena sudah terlampau banyak membunuh orang, meski yang dibunuhnya itu menurut anggapannya adalah orang-orang jahat belaka. Kau hendak membunuh The Kok, katakanlah bahwa menurut anggapanmu, dia telah membunuh muridmu dan dia itu jahat. Akan tetapi apakah demikian pula dengan anggapan sahabat-sahabatnya, sanak keluarganya, gurunya, muridnya, orang tua serta anak-anaknya? Ketika muridmu dibunuhnya, kau menjadi sakit hati. Kalau kau sekarang membunuhnya, apakah kau kira mereka-mereka yang dekat dengan dia tidak akan sakit hati? Kau tentu akan dicari-cari oleh mereka, musuh-musuhmu akan makin banyak dan hidupmu tidak tenteram lagi! Kalau sudah begitu, mana bisa kau bilang bahwa kau sudah menemui kebahagiaan?"

Kakek itu tertegun, memandang aneh, matanya agak dipejamkan, tampak memutar otak. Tiba-tiba ia membelalakkan matanya memandang tajam dan bertanya, "Orang muda, kau murid siapakah? Siapa itu gurumu yang meninggalkan pesan penyesalannya akibat sudah banyak membunuh orang?"

"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan suhu-ku, hanya membaca dari kitabnya dan peninggalan tulisan-tulisannya. Dia menuliskan namanya sebagai Bu Beng Cu, aku hanya sempat bertemu dengan burung rajawali emas, agaknya binatang peliharaannya."

"Dia...?! Bu Beng Cu...? Kau muridnya?!" Kakek itu terkejut sekali dan kedua tangannya memegang pundak Kun Hong.

Pemuda ini merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih gunung, merasa seakan-akan tulang-tulangnya remuk dan patah-patah. Ia cepat mengempos semangat dan hawa murni mengalir dari pusarnya menuju ke pundak sehingga penderitaannya berkurang banyak.

"Heh, kau bilang muridnya? Bohong kau! Sedikit kepandaianmu ini mana membolehkan kau mengaku sebagai muridnya? Dia itu suheng-ku (kakak seperguruan), kau tahu? Kalau benar kau sudah mewarisi tulisan-tulisan peninggalannya, harap kau jelaskan bagaimana bunyi tulisan-tulisan itu!"

Kun Hong mendongkol sekali, akan tetapi ia menyabarkan hatinya. Ia tahu bahwa kini ia berhadapan dengan orang sakti yang berwatak aneh dan kiranya soal membunuh orang bukanlah soal baru bagi kakek ini. Akan tetapi ia tidak takut dan malah ia mengambil keputusan untuk sedapat mungkin menyadarkan kakek itu agar tidak sampai membunuh orang!

"Percaya atau tidak terserah. Aku masih hafal akan tulisan peninggalan Locianpwe itu, begini: ‘Telah bertumpuk dosaku. Ratusan orang telah kubunuh dengan anggapan bahwa itu adalah perbuatan baik karena yang kubunuh adalah orang-orang yang kuanggap jahat. Anggapan yang sesat! Aku tidak mampu memberi kehidupan, lalu bagaimana aku berhak mengakhiri kehidupan? Aku sangat berdosa! Mengandalkan kepandaian untuk membunuh sesama manusia, betapa pun jahat si manusia itu, bukanlah perbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula’. Nah, begitulah tulisan peninggalan Locianpwe Bu Beng Cu, Kek."

Kakek itu terlongong kembali, lalu tiba-tiba ia berkata, "Keluarkan pedangmu itu, hendak kulihat apakah benar pedang suheng-ku!"

Kun Hong kaget sekali. Bagaimana kakek ini bisa tahu akan pedangnya yang selalu dia sembunyikan di balik jubahnya itu? Ia tidak membantah, lalu mengeluarkan pedangnya yang selama dalam perjalanan selalu dia sembunyikan itu. Kakek itu menerima pedang, menghunusnya dan tiba-tiba ia menangis terisak-isak!

"Ahh... Ang-hong-kiam... Ang-hong-kiam... ahh, Twa-suheng... jadi kau benar-benar telah mati lebih dulu dan meninggalkan pesan melalui mulut bocah ini..."

"Agaknya betul dugaanmu itu, Locianpwe," berkata Kun Hong yang sekarang menyebut ‘locianpwe’ karena tahu bahwa kakek ini sebetulnya adalah seorang berilmu tinggi yang wataknya aneh sekali. "Kiranya Locianpwe Bu Beng Cu sengaja meninggalkan pesan itu untukmu. Kau lihat sendiri, sesudah membunuh ratusan orang, Locianpwe Bu Beng Cu merasa berdosa dan menyesal, karena itu apa bila kau tadi menyatakan bahwa dengan membunuh si orang The Kok lalu kau akan menemukan kebahagiaan, alangkah jauhnya menyeleweng dari kebenaran!"

Sepasang mata kakek itu tidak mengucurkan air mata lagi, sekarang memandang kepada Kun Hong penuh kebingungan, tangannya gemetar ketika mengembalikan pedang. Kun Hong menerima pedangnya dan menyimpannya kembali.

"Kau betul orang muda yang aneh, kau benar sekali. Ahh... selamanya suhengku itu memang bijaksana... agaknya kau pun mewarisi kebijaksanaannya... memang aku bodoh, Suheng sudah kakek-kakek ketika aku masih menjelang dewasa. Orang muda yang baik, kau sebagai wakil Suheng, lekas kau katakan kepadaku ke mana aku harus mencari kebahagiaan!"

Kun Hong kaget sekali. Dia seorang pemuda yang masih hijau, pengetahuannya tentang filsafat kehidupan hanya diperolehnya dari membaca kitab-kitab kuno yang ia selaraskan dengan suara hati nuraninya sendiri. Bagaimana dia bisa menerangkan pada kakek yang hendak mencari kebahagiaan ini? Akan tetapi dia bertekad untuk mencegah kakek ini melakukan pembunuhan, maka ia akan mencobanya.

"Locianpwe, aku mau bicara tentang kebahagiaan kalau kau suka berjanji bahwa kau tak akan membunuh orang bernama The Kok itu."

"Baik... baik... setelah mendengar pesan Suheng, kini aku sendiri ngeri untuk membunuh orang. Aku berjanji mulai sekarang aku takkan mau membunuh orang lagi. Tapi kau harus segera memberi tahukan kepadaku ke mana aku harus mencari kebahagiaan."

Lega hati Kun Hong. Betapa pun juga, kakek ini adalah seorang cianpwe, tidak mungkin mau menarik kembali janjinya atau melanggarnya. Dengan demikian berarti dia telah bisa membatalkan niat orang untuk membunuh. Tentang pendapatnya mengenai kebahagiaan, adalah menurut jalan pikirannya, sesuai pula dengan hati nuraninya yang disesuaikan dengan ilmu kebatinan yang ia baca dari kitab-kitab filsafat kuno.

"Menurut pendapatku, Locianpwe. Kebahagiaan hidup itu tidak dapat dikejar, karena bagaimana pun orang mengejar-ngejarnya, takkan mungkin dia dapat menemukannya. Bahagia tak dapat dicari-cari..."

"Apa kau kata? Kebahagiaan tak dapat dikejar, tak dapat dicari, kalau begitu kebahagiaan itu tidak ada? Jangan kau main-main!"

Berkerut kening Kun Hong, tanda bahwa dia sedang berpikir keras untuk mencari cara menjelaskan tentang persoalan sulit yang mengandung filsafat hidup itu.

"Locianpwe, bukan maksudku mengatakan bahwa kebahagiaan itu sebenarnya tidak ada. Kebahagiaan itu memang ada. Akan tetapi janganlah keliru menafsirkan apa sebetulnya kebahagiaan itu. Banyak sekali orang tertipu oleh kesenangan dan menganggap bahwa kesenangan itulah kebahagiaan. Yang dapat dikejar dan dapat dicari adalah kesenangan, bukan kebahagiaan. Ada pun kesenangan itu bukan lain adalah pemuasan nafsu jasmani dan nafsu perasaan. Kesenangan duniawi adalah pemuasan kehendak yang terdorong oleh nafsu semata. Contohnya keinginan Locianpwe tadi hendak membunuh The Kok, tak lain adalah karena dorongan kehendak memuaskan nafsu dendam dan andai kata hal itu terjadi, kiranya akan dapat merasakan kesenangan karena nafsu dendam itu dipuaskan. Akan tetapi orang lupa bahwa kesenangan mempunyai saudara kembar yang bernama kesusahan. Di mana kesenangan berada, di sana akan muncul pula saudara kembarnya, yaitu kesusahan. Kalau orang mencari kesenangan, memang dia akan mendapatkannya, namun sifat kesenangan hanyalah sementara saja. Rasa senang akan segera lenyap dan kalau sudah begitu, muncullah kesusahan dan ia akan kecewa karena segera ternyata bahwa kesenangan yang dicari-carinya itu setelah didapatkannya ternyata tidaklah begitu menyenangkan, apa lagi membahagiakan. Siapa mencari dia akan kecewa, karena yang dicarinya itu hanyalah kehendak dari nafsunya, bukanlah kebutuhan jiwanya."

Sampai berkeringat kening pemuda itu karena pengerahan otaknya yang diperas untuk menerangkan hal yang amat gawat ini. Akan tetapi hasilnya hebat sekali. Muka kakek itu mula-mula membayangkan keharuan, lalu matanya membelalak dan akhirnya wajahnya berseri-seri.

"Aduh, kau hebat..., kau orang muda luar biasa... teruskanlah, teruskanlah uraianmu yang menarik ini. Kau barusan bicara tentang kesenangan dunia, sekarang bagaimana dengan kebahagiaan yang ajaib itu? Selama ini aku sendiri telah tertipu dan mengacau-balaukan kesenangan dengan kebahagiaan. Orang muda yang hebat, apakah kebahagiaan itu dan mengapa tidak boleh dikejar dan dicari?"

"Locianpwe, maafkan kalau aku yang muda dan bodoh ini lancang berani bicara tentang hal yang pelik ini."

"Tidak apa, tidak apa, teruskanlah..."

"Lebih dulu aku akan mengulangi sajak yang pernah kubaca, hasil karya seorang pujangga kuno yang tidak diketahui namanya, begini sajak itu:

Kebahagiaan seperti bayangan,
serasa tergenggam di jari, tanpa bekas kau lari
tak dikejar mendekati, dikejar kau menjauhi
memang kau bayanganku, tak pernah berpisah dariku
bagaimana orang dapat mengejar bayangan sendiri…?”

Kun Hong berhenti sejenak dan menarik napas panjang, kemudian melanjutkan kembali, "Demikianlah, Locianpwe. Kebahagiaan adalah keadaan, memang ada, yaitu sudah ada di dalam diri setiap makhluk. Setiap yang mengejarnya akan tersesat jauh karena memang tak dapat dan tak semestinya dikejar. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang sudah sadar akan keadaan hidupnya, yang sadar bahwa ada yang menghidupkannya. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang tenang tenteram damai dan tahu bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu ia dapat menerima dengan hati ikhlas, tak dapat kecewa, tak dapat berduka, adanya hanya puas dan dapat menikmati kekuasaan Tuhan yang sudah dilimpahkan atas dirinya, baik kekuasaan yang mendatangkan rasa tidak enak atau pun yang sebaliknya bagi badan dan pikiran. Hanya manusia yang sadar akan kekuasaan Tuhan, dapat menerima segala yang terjadi atas dirinya dengan penuh penyerahan, dengan tunduk dan taat serta menganggap segala peristiwa, baik yang dianggap menyenangkan atau menyusahkan oleh badan dan pikiran serta perasaannya, sebagai berkah Tuhan. Manusia seperti itulah yang berhasil menemukan kebahagiaan yang sebetulnya memang sudah berada dalam dirinya. Karena menghadapi keadaan yang bagaimana pun juga, dia akan tetap tenang, tenteram dan menerima dengan hati tulus ikhlas, dan kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan takkan tergoyahkan. Nah, hanya sekian saja pendapatku, Locianpwe, sekali lagi maaf kalau kau anggap tidak cocok dengan pendapat Locianpwe."

Kakek itu merangkul Kun Hong. "Ahh, anak yang baik... kau telah membuka mataku yang buta! Kau benar sekali... anak yang baik, coba kau terangkan, bila ada orang membunuh muridku, mengapa aku tidak boleh membunuhnya juga sebagai hukumannya?"

"Menurut pendapatku, pendirian itu keliru, Locianpwe. Locianpwe sendiri mengakui bahwa membunuh murid Locianpwe adalah suatu perbuatan jahat, dan sudah menjadi anggapan umum bahwa membunuh sesama manusia adalah perbuatan jahat. Kalau kita sudah tahu bahwa membunuh itu jahat, mengapa justru untuk menghadapi kejahatan membunuh kita pun harus berlaku jahat dan membunuh pula? Kalau sudah terjadi bunuh-membunuh, bagaimana kita dapat membedakan mana yang jahat mana yang baik, mana yang benar mana yang salah? Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, dan untuk itu manusia sudah mengadakan hukum bagi yang jahat. Kalau ada yang melakukan pembunuhan, tangkaplah dan hadapkan kepada yang berwajib yang berhak mengurus tentang hukuman bagi si jahat dengan mengadakan pengadilan ciptaan manusia. Akan tetapi menghukumnya sendiri dengan jalan membunuh? Ahh, Locianpwe, hendak kutanyakan kepada Locianpwe, apa perbedaannya dalam soal kejahatan antara pembunuhan yang dilakukan The Kok terhadap murid Locianpwe dengan pembunuhan yang akan dilakukan oleh Locianpwe terhadap The Kok?"

Kakek itu merenung sejenak. "Bedanya, karena kalau aku membunuhnya, aku memiliki alasan untuk membalaskan sakit hati muridku."

"Ah, Locianpwe, setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti mempunyai alasan untuk perbuatannya. Ada akibat pasti bersebab. Apakah kiranya orang yang bernama The Kok itu ketika membunuh murid Locianpwe juga tidak mempunyai alasan? Kiraku pasti ada alasannya. Betapa pun juga, dia bersalah besar ketika membunuh muridmu dan bagiku, dia telah melakukan perbuatan jahat. Jika Locianpwe membunuhnya pula, apa pun alasan yang Locianpwe ajukan, perbuatan membunuh itu tak bisa tidak juga termasuk perbuatan jahat. Dan kebahagiaan tak mungkin dicapai dengan melalui perbuatan jahat. Di samping penyerahan akan kekuasaan Tuhan, juga setiap tindakan dalam hidup haruslah menjauhi kejahatan dan memupuk kebaikan sebanyak mungkin. Inilah yang disebut menyesuaikan diri dengan sifat-sifat alam. Adakah alam pernah menuntun sesuatu demi kesenangannya sendiri? Tidak pernah, alam dan segala isinya selalu memberi kebaikan kepada siapa saja tanpa pernah meminta dan menuntut. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, tiada yang dikecualikan, berkah-Nya melimpah-limpah seperti aliran Sungai Kuning yang tak pernah kering, akan tetapi, pernahkah Tuhan menuntut dan minta sesuatu dari kita? Alam adalah cermin kecil dari sifat Maha Pengasih dan Penyayang itu. Coba lihatlah pohon berbuah itu, Locianpwe. Tanpa diminta ia siap memberikan segala-galanya, batangnya, daunnya, bunganya, buahnya kepada siapa saja yang membutuhkan. Ia memberikan dengan segala keikhlasan tanpa diminta, segala kenikmatan kepada yang mampu menikmatinya. Akan tetapi, pernahkah pohon itu minta sesuatu, menuntut sesuatu dari siapa pun juga? Ah, alangkah akan indahnya dunia ini kalau manusia dapat memetik pelajaran dari sikap pohon buah itu, di mana manusia hanya mengenal pemupukan kebaikan dari sifat alam tanpa menuntut kesenangan bagi diri sendiri."

"Ahhh... kau betul, Anakku... kau betul sekali... ha-ha-ha-ha, Lui Bok, kau dijuluki orang Sin-eng-cu (Garuda Sakti), akan tetapi kau goblok dan patut berguru kepada bocah ini!" Ia menepuk-nepuk kepalanya sendiri dan kelihatan girang sekali. "Ehhh orang muda, kau masih murid keponakanku sendiri, tapi aku patut menjadi muridmu. Siapakah namamu?"

"Aku bernama Kwa Kun Hong, Locianpwe. Aku banyak mengharapkan banyak petunjuk dari Locianpwe."

"Heran sekali... kau menjadi pewaris kitab peninggalan suheng-ku, tetapi mengapa kau tidak memiliki kepandaian silat sebaliknya malah menjadi ahli filsafat? Kun Hong, coba kau bersilat dari pelajaran dalam kitab yang kau hafal itu, hendak kulihat."

Merah muka Kun Hong. "Ah, sesungguhnya Locianpwe, aku hanya menghafal saja akan tetapi aku tidak dapat bersilat."

"Hee...?! Habis untuk apa kau menghafal kitab itu?"

"Menurut pendapatku, ilmu silat yang diwariskan dalam kitab Suhu hanya untuk menjaga diri agar jangan sampai dicelakakan orang. Akan tetapi kalau hendak dipergunakan untuk memukul orang... ahh, aku tidak sudi melakukannya, Locianpwe."

Kembali kakek itu melengak, lalu mengangguk-angguk. Tiba-tiba dia berseru, "Aku akan menyerangmu dan kalau kau terkena pukulanku, mungkin kau akan mati!"

Cepat sekali, tidak sesuai dengan tubuhnya yang kelihatan lemah itu, kakek ini lalu maju memukul dengan pukulan kilat. Serangan ini dilakukan dengan cepat serta mengandung tenaga yang amat dahsyat. Kun Hong kaget bukan main. Otomatis kedua kakinya melangkah dengan langkah ajaib yang ia pelajari dari kitab. Kedua lengannya bergerak-gerak sebagai imbangan tubuhnya dan pukulan itu tidak mengenai tubuhnya.

Kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan menyerang terus, makin lama makin cepat dan keras. Kun Hong terpaksa terus melangkah ke sana ke mari, langkah-langkahnya ganjil dan kacau, namun sampai sepuluh jurus kakek itu hanya memukul angin belaka.

Tiba-tiba kakek itu berhenti dan bertepuk tangan. "Bagus... bagus sekali! Inilah agaknya Kim-tiauw-kun yang dahulu hendak diciptakan oleh Suheng berdasarkan Im-yang bu-tek-cin-keng! Hebat... hebat!"

Ia merangkul lagi Kun Hong diajak duduk bawah pohon. "Mana roti keringmu tadi? Keluarkan aku lapar sekali!"

Girang hati Kun Hong. Memang masih ada ia menyimpan roti kering dalam buntalannya. Kemudian ia mengeluarkan roti-roti kering itu dan memberikan kepada kakek aneh yang menyebut namanya Sin-eng-cu Lui Bok ini.

"Silakan makan, Locianpwe, tapi hanya roti kering yang keras dan tengik."

"Heh-heh-heh, jangan kau merendah, Kun Hong. Rotimu begini empuk, harum, masih hangat dan di dalamnya diberi cacahan daging yang begini gurih, kau katakan roti kering tengik? Ha-ha-ha benar-benar kau merendah. Bukan main sedapnya roti ini!"

Tiba-tiba Kun Hong terbelalak matanya. Mimpikah dia? Roti kering yang tadinya keras dan memang agak tengik yang dipegangnya, sekarang kenapa sudah berubah sama sekali? Roti itu menjadi roti yang besar dan empuk, benar-benar masih hangat dan berbau harum malah ketika ia melihat bagian yang sudah ia gigit, tampak cacahan daging matang yang benar-benar gurih!

"Ehh..., ini... ini... bagaimanakah ini? Kenapa bisa begini, Locianpwe...?" tanyanya gagap saking herannya.

"Ha-ha-ha! Biar pun kesenangan bukan termasuk kebahagiaan sejati, namun kesenangan pun anugerah Tuhan dan kita berhak menikmatinya, bukan? Nah, marilah kita menikmati roti yang enak ini!"

"Memang benar, Locianpwe. Tapi... tapi... bagaimana ini...? Mengapa roti keringku bisa berubah?"

"Tidak usah tanya-tanya, nanti kuberi penjelasan. Makan dulu." Keduanya lalu makan dan Kun Hong harus mengakui bahwa selama ini belum pernah ia makan roti seenak itu.

"Wah, habis makan roti tidak ada minuman. Kalau saja ada arak baik di sini, alangkah sedapnya."

Melihat kakek itu agaknya kesereten, Kun Hong menjadi kasihan dan segera dia berlari mencari air mancur dan menyendok air menggunakan daun yang lebar. Dibawanya air itu ke bawah pohon.

"Heh-heh-heh, kau betul-betul hebat. Orang ingin minum arak kau datang membawa arak wangi dalam cawan perak. Ha-ha-ha!"

"Ahh, Locianpwe, hanya air biasa dalam daun, mana ada arak?"

Kun Hong tertawa dan memandang daun di tangannya yang penuh air. Tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget dan heran karena yang berada di tangannya adalah benar-benar arak di dalam cawan perak yang indah.

"Ehhh, bagaimana pula ini...?! Locianpwe, apakah aku sudah gila? Ataukah aku sedang mimpi...?!" teriaknya terkejut.

"Ha-ha-ha, minumlah, nikmatilah kesenangan untuk lidah dan mulut kita. Nanti akan aku ceritakan," kata kakek itu sambil menenggak arak dalam cawannya.

Terpaksa Kun Hong juga minum araknya dan ternyata, betul seperti dikatakan kakek itu, arak di dalam cawannya amat harum dan enak.

"Kau lihat baik-baik, yang di dalam tanganmu itu hanya daun biasa."

Kun Hong melihat dan betul saja, cawan yang kosong tadi sudah berubah pula menjadi daun yang tadi, tanpa ia ketahui. "Ini... kau main sulap, Locianpwe," katanya tertawa.

"Kau sudah menggirangkan hatiku, Kun Hong. Maka aku harus membikin senang sedikit hatimu. Ketahuilah, yang kuperlihatkan tadi adalah ilmu yang disebut menguasai pikiran orang lain (semacam hypnotisme). Memang amat berbahaya kalau memiliki ilmu ini dan sebagian orang yang tidak mengerti akan menganggapnya sebagai hoat-sut (ilmu sihir) yang jahat, semacam ilmu hitam. Akan tetapi anggapan itu keliru. Ilmu kepandaian tidak ada yang jahat. Hitam atau putihnya, jahat atau pun baiknya, tergantung dari pemilik ilmu itu sendiri. Hoat-sut (menguasai pikiran orang) ini kalau dimiliki oleh orang yang berjiwa bersih, tentu akan banyak mendatangkan kebaikan seperti yang baru saja kuperlihatkan. Bukankah makan roti kering dan minum air tawar tidak begitu sedap? Dan bukankah akan menambah kenikmatan kalau ingatanmu kukuasai sehingga kau menganggapnya sebagai roti enak dan arak wangi? Nah, untuk segala petunjukmu tadi tentang kebahagiaan, aku harus membalas. Kau adalah ahli membaca kitab, nah, ilmu ini terdapat dalam kitab ini. Kau baca dan pelajarilah, tentu kelak berguna untukmu. Ilmu yang kuperlihatkan tadi baru sepersepuluhnya saja dari isi kitab ini."

Kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kitab yang sudah lapuk dan Kun Hong menerimanya dengan pernyataan terima kasih. Tentu saja ia girang bukan main mendapat hadiah kitab istimewa itu. "Sekarang marilah kau ikut denganku, Kun Hong. Ikutlah dengan aku pergi ke kaki gunung ini untuk menjumpai The Kok yang sekarang menjadi Ketua Hwa-I Kaipang."’

Kun Hong terkejut dan memandang. "Locianpwe, kau tidak..."

Kakek itu tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Jangan kuatir. Sudah lenyap semua nafsuku untuk membunuh orang. Aku harus menemuinya. Ha-ha-ha! Kau benar. Dia telah membunuh muridku, biarlah kesadarannya sendiri yang akan menghukumnya." Kakek itu lalu berdiri dan mengajak Kun Hong turun gunung.

Demikianlah kisah pertemuan antara Kun Hong dengan Sin-eng-cu Lui Bok seperti telah diceritakan di bagian depan.

Kun Hong dan Sin-eng-cu Lui Bok telah tiba di tempat para pengemis Hwa-i Kaipang. Dari jauh Kun Hong melihat ribut-ribut di antara pengemis yang memenuhi pekarangan depan rumah perkumpulan itu. Ia mendapat keterangan dari pengemis yang dijumpainya bahwa dua orang pembantu ketua sedang ribut hendak bertempur dalam perebutan kedudukan ketua.

Kun Hong merasa kuatir sekali. Dari jauh dia segera berteriak-teriak, "Heeiii..., berhenti... dua orang pengemis tua saling pukul memperebutkan apa sih?".....
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12