Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 11
Semua
pengemis dan para tamu yang hadir di tempat pertemuan itu terkejut dan segera
menengok. Bahkan dua orang pembantu ketua yang sedang bertempur itu pun
langsung menghentikan perkelahian mereka dan menengok karena suara teriakan itu
benar-benar nyaring dan mengejutkan semua orang.
Sementara
itu, Kun Hong sudah mendahului Sin-eng-cu Lui Bok, memasuki gelanggang
pertempuran menghadapi Coa-lokai dan Sun-lokai yang memandangnya dengan heran.
"Ji-wi
Lo-enghiong, mengapa saling hantam sendiri ? Aku mendengar bahwa Ji-wi hendak
memperebutkan kedudukan Ketua Hwa-i Kaipang. Kalau tak salah Hwa-i Kaipang
adalah perkumpulan pengemis, mengapa yang hendak menjadi ketuanya malah harus
memakai kekerasan? Apakah hendak menjadi ketua perkumpulan tukang pukul?
Benar-benar salah sekali."
Coa-lokai
memandang dengan mata terbelalak marah. "Kau ini bocah kurang ajar datang
dari mana dan apa urusanmu dengan kami?"
Beng-lokai
pengemis tua gemuk pendek yang semenjak tadi hanya diam saja melihat dua orang
temannya saling serang, sekarang berdiri dan dengan marah membentak,
"Bocah tak tahu adat! Kau ini datang-datang mengacau, kau disuruh kaipang
dari manakah?"
Diserang
dengan bentakan-bentakan ini, Kun Hong tenang saja. Akan tetapi sebelum dia
menjawab, kakek pengemis tua yang berdiri di situ, Hwa-i Lokai, berseru keras.
"Bagus sekali, Sin-eng-cu Lui Bok! Kau akhirnya datang juga mencariku.
Akan tetapi, kuharap kau tidak membawa Hwa-i Kaipang ke dalam urusan pribadi
kita berdua. Kau tunggulah aku menyelesaikan dulu pemilihan ketua baru, setelah
itu aku siap untuk mati di tanganmu!"
Semua mata
sekarang menengok dan memandang ke arah kakek yang memasuki tempat itu yang bukan
lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok. "He-he-heh, Sin-chio The Kok. Tak nyana
orang gagah seperti engkau ternyata wataknya pengecut, berani berbuat tidak
berani bertanggung jawab dan kasihan sekali melihat kau melarikan diri dan
bersembunyi sampai belasan tahun." Kakek ini sampai terkekeh-kekeh
menertawakan.
Muka
Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai menjadi merah sekali. Ia merasa malu
dikatakan pengecut di depan begitu banyak orang dan namanya tentu akan menjadi
buah tertawaan di dunia kang-ouw. Maka cepat ia menjawab dengan suara keras,
"Heii,
Sin-eng-cu Liu Bok, dengarlah baik-baik. Memang perbuatanku melarikan diri dan
bersembunyi darimu itu adalah perbuatan pengecut, akan tetapi adalah
sebab-sebabnya. Secara kebetulan aku bermusuhan dengan muridmu pada waktu aku
merampok seorang pembesar korup dan muridmu itu membela pembesar tadi, Terjadi
pertempuran antara kami dan dalam pertempuran itu ia tewas di ujung tombakku.
Celakanya, setelah ia tewas, barulah aku mendengar bahwa dia adalah murid
Sin-eng-cu Lui Bok. Hatiku menyesal bukan main. Telah puluhan tahun aku kagum
dan menjunjung tinggi nama pendekar besar Sin-eng-cu Lui Bok, tapi sekarang aku
telah membunuh muridnya. Aku menyesal dan ada dua hal yang menyebabkan aku
melarikan dan menyembunyikan diri. Pertama, karena aku maklum bahwa aku takkan
menang, ke dua dan ini sebetulnya yang terberat bagiku, aku tidak mungkin dapat
bertanding sebagai musuh dengan pendekar yang sejak lama kukagumi dan kujunjung
tinggi sebagai seorang pendekar budiman. Sin-eng-cu, hal itulah yang
menyebabkan aku menebalkan muka melarikan diri dan bersembunyi. Akan tetapi
hukum karma tak dapat dihindarkan manusia. Agaknya Thian yang menuntunmu sampai
ke sini sehingga kau dapat menantang padaku dan agaknya memang Tuhan hendak
menghabisi nyawaku sekarang juga. Hanya permintaanku, biarkanlah aku
menyelesaikan lebih dulu pemilihan ketua Hwa-i Kaipang, setelah itu terserah
kepadamu, aku tidak takut mati karena aku memang sudah cukup tua,
Sin-eng-cu."
Lega hati
Sin-chio The Kok setelah dia mengeluarkan isi hatinya yang juga didengar oleh
semua orang itu. Akan tetapi Sin-eng-cu Lui Bok hanya tertawa-tawa saja.
Diam-diam hati kakek ini pun girang bahwa dia sebelumnya bertemu dengan Kun
Hong. Kalau sampai dia membunuh orang yang segagah ini memang sayang sekali.
Apa lagi ia pun maklum bahwa muridnya memang telah membela orang yang dikenal
sebagai seorang pembesar korup dan sering bertindak sewenang-wenang, sungguh
pun pembesar itu adalah paman muridnya.
Akan tetapi
Coa-lokai yang sangat setia terhadap Hwa-i Lokai, ketika mendengar bahwa kakek
tua renta yang kelihatan kurus kering itu merupakan musuh besar ketuanya,
segera membentak marah, "Kau tua bangka berani menghina pangcu kami!
Rasakan tanganku!" Coa-lokai menerjang dan langsung menyerang.
"Coa-lokai,
jangan...!" Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai mencegah, akan tetapi
terlambat sudah.
Coa-lokai
sudah menyerang dengan hebat, bahkan mempergunakan pedangnya. Semua orang
melihat betapa pedang di tangan Coa-lokai itu menyambar ganas. Semua orang juga
melihat betapa kakek yang diserangnya itu sama sekali tidak bergerak. Akan
tetapi entah bagaimana, tahu-tahu terdengar pedang berkerontangan di atas
lantai dan tubuh Coa-lokai terlempar ke belakang. Padahal kakek itu hanya
mengangkat sedikit tongkatnya yang butut! Ketika dilihat ternyata Coa-lokai
yang merintih-rintih itu sudah patah tulang lengannya!
Sin-chio The
Kok terkejut sekali. Bukan main hebatnya kepandaian Sin-eng-cu Lui Bok ini. Ia
cepat menjura dan berkata, "Pembantuku telah tak tahu diri menyerangmu,
akulah yang mintakan maaf. Harap Sin-eng-cu suka bersabar menanti hingga aku
selesai mengadakan pemilihan ketua."
Sin-eng-cu
Lui Bok tertawa dan hanya berkata, "Silakan..., silakan..."
Kun Hong
melangkah maju dan menjura kepada Ketua Hwa-i Kaipang itu.
"Tak
tahunya Locianpwe ini yang bernama Sin-chio The Kok dan kini menjadi Ketua
Hwa-i Kaipang. Pangcu, aku kebetulan datang bersama Susiok Sin-eng-cu sesudah
mendengar bahwa di sini hendak diadakan pemilihan ketua yang baru. Kenapa kau
membiarkan saja orang-orangmu berebutan kedudukan ketua? Kalau kau sendiri yang
menjadi ketuanya, perlu apa diganti lagi? Kulihat kau seorang yang berjiwa
gagah, kenapa hendak mundur? Kalau perkumpulan yang bertujuan memperbaiki nasib
orang-orang jembel yang sengsara ini terjatuh ke dalam tangan ketua tukang
berkelahi, bukankah akan celaka?"
"Ha,
betul sekali omonganmu, Siauw-kongcu!" Tiba-tiba Coa-lokai yang sudah
berdiri lagi dengan tangan dibalut berkata keras. "Memang Pangcu tidak
perlu diganti lagi!"
"Pangcu,
apa bila terpaksa dilakukan penggantian ketua, kurasa satu-satunya orang yang
patut menggantimu adalah orang tua tinggi besar ini," Kun Hong menudingkan
telunjuknya ke arah Coa-lokai. "Dia jujur dan setia sekali kepadamu."
Memang biar
pun masih muda, pandangan mata Kun Hong amat mendalam dan sekali melihat saja
dia sudah tahu bahwa Coa-lokai adalah seorang yang setia dan jujur, sama sekali
tak memiliki pamrih untuk memperebutkan kedudukan, terbukti dari pembelaannya
kepada ketuanya dan menyerang Sin-eng-cu tadi, juga dari kata-katanya barusan.
Diam-diam
Hwa-i Lokai kagum memandang Kun Hong. Bocah ini benar-benar luar biasa dan
ucapannya seperti orang yang sudah matang pengalamannya saja. Kalau bocah ini
menyebut susiok (paman guru) kepada Sin-eng-cu, tentulah ia memiliki kepandaian
hebat pula.
Pada saat
itu, Sun-lokai dan Beng-lokai sudah siap mendekati Kun Hong. Sun-lokai lalu
berseru marah, "Untuk apa mendengarkan omongan bocah gila itu? Usir saja
dia dari sini, dia hendak mengacaukan pemilihan ketua!"
"Betul,
Pangcu. Bocah ini mencampuri urusan kita. He, bocah tak tahu aturan, lebih baik
kau tutup mulutmu dan pergi dari sini. Kalau tidak, mulutmu akan kuhancurkan
dengan kepalanku!"
"Ji-wi
Lokai jangan kurang ajar terhadap tamu!" Hwa-i Lokai cepat mencegah karena
dia merasa tidak enak sekali terhadap Sin-eng-cu.
Kun Hong
tersenyum dan Sin-eng-cu hanya tersenyum-senyum juga. "Pangcu, apakah dua
orang ini juga pembantu-pembantumu? Alangkah jauh bedanya dengan
Coa-lokai."
"Ehhh,
orang muda, kau tadi datang-datang melawan kami bertempur untuk menentukan
kemenangan. Ada hak apakah kau hendak mencampuri urusan Hwa-i Kaipang?"
bentak Sun-lokai.
Kini Kun
Hong berbicara dengan muka sungguh-sungguh, "Lokai, aku mendengar bahwa
perkumpulan ini adalah perkumpulan Hwa-i Kaipang dan perkumpulan pengemis
tentulah bertujuan untuk menolong para pengemis serta memperbaiki nasib mereka.
Akan tetapi kenapa untuk menentukan seorang ketua harus memilih yang pandai
ilmu silat dan kalian tadi saling gempur sendiri? Apakah Hwa-i Kaipang hendak
dijadikan perkumpulan tukang pukul?"
"Kau
mengaku sebagai keponakan Sin-eng-cu, tetapi omongan apa yang kau keluarkan
ini?" Sun-lokai membentak, makin marah, "Kalau ketua kita seorang
yang lemah, mana bisa memimpin Hwa-i Kaipang?"
"Ah,
salah sama sekali!" Kun Hong berseru penasaran, "Apakah hanya seorang
tukang pukul saja yang dapat memimpin? Memimpin dengan cara kekerasan dan
kekuatan sama sekali tidak baik."
Kini
Beng-lokai juga mendekati Kun Hong. "Kau anak kecil bicara besar! Kalau
seorang pemimpin tidak mempunyai ilmu silat tinggi dan menggunakan kekerasan,
mana bisa para anggota dipimpin dan mana mereka bisa menaati ketuanya?"
Kun Hong
mengalihkan pandangnya kepada pengemis tua gemuk pendek ini.
"Inilah
sebabnya kenapa aku katakan salah. Memimpin dengan kekerasan mengandalkan
kepandaian silat memang bisa membikin anggotanya taat, akan tetapi hanya taat
karena terpaksa! Bukan taat yang timbul dari hati yang sejujurnya, melainkan
taat untuk menjilat. Seharusnya kalian mempunyai seorang ketua yang bijaksana,
yang betul-betul mampu mengatur sehingga di antara para pengemis tidak saling
gempur, dapat menuntun mereka ke arah kejujuran, kesetiaan dan jalan benar
sehingga mereka dapat menemukan kembali lapangan pekerjaan yang terhormat."
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa yang membuat semua orang menengok karena yang tertawa
terkekeh-kekeh ini adalah Sin-eng-cu Lui Bok yang kini semua orang di situ tahu
bahwa kakek ini adalah musuh besar Ketua Hwa-i Kaipang.
"He-he-heh,
Sin-chio The Kok, kalau benar-benar sayang kepada perkumpulanmu, kalau kau
ingin melihat perkumpulanmu menjadi maju dan sempurna, kau angkatlah Kwa Kun
Hong ini menjadi ketua menggantikanmu!"
Merah muka
Ketua Hwa-i Kaipang itu dan ia pun memandang tajam. "Sin-eng-cu, apakah
selain datang hendak mengambil nyawaku kau pun bermaksud merampas kedudukan
kaipang untuk murid keponakanmu?" Pertanyaan ini terdengar keras dan pedas
sehingga para anggota Hwa-i Kaipang juga menjadi berisik.
"Ho-ho-ho,
setelah berkumpul dengan orang-orang jahat kau makin tersesat, Sin-chio The
Kok. Memang tadinya pada saat aku mengabarkan kedatanganku kepadamu, sudah
bulat dalam hatiku untuk membunuhmu, membalaskan muridku yang kau bunuh dahulu.
Akan tetapi ketahuilah, setelah bertemu dengan murid keponakanku yang hebat
ini, sekaligus dia bisa mengusir niatku itu dari otakku! Kini aku tidak ingin
membunuhmu lagi, The Kok. Ha-ha-ha, benar dia ini, kau sudah cukup tersiksa
akibat perbuatanmu sendiri. Walau pun dia ini murid keponakanku, tetapi dalam
hal kebijaksanaan aku boleh berguru kepadanya. Karena itu, apa bila dia yang
menjadi ketua, aku tanggung Hwa-i Kaipang akan menjadi perkumpulan yang besar
dan maju, dan anak buahmu ini sebentar saja akan berubah menjadi manusia-manusia
benar. Berbeda kalau kau atau pengemis-pengemis bangkotan ini yang menjadi
ketua, para pengemis diajar silat, kelak dari pengemis berubah menjadi
perampok. Heh-heh-heh!"
Kaget bukan
main hati The Kok mendengar ini. Ada perasaan lega, girang, terharu dan juga
malu. Ia lalu menoleh dan memandang kepada Kun Hong yang masih berdiri tegak
dengan sikap tenang sekali. Jadi bocah yang sikapnya aneh ini malah telah
menolong nyawanya dari ancaman Sin-eng-cu!
Ia tadinya
sudah maklum bahwa ia pasti akan tewas di tangan Sin-eng-cu karena dalam hal
ilmu silat, ia jauh di bawah tingkat kakek itu. Sekarang Sin-eng-cu malah
mengusulkan supaya pemuda yang bernama Kwa Kun Hong ini menjadi ketua Hwa-i
Kaipang.
"Sin-eng-cu,
kau mengaku dia sebagai murid keponakanmu, sebetulnya pemuda ini murid
siapakah?" tanyanya agak meragu.
Kakek kurus
itu tertawa lagi, "Ha-ha-ha-ha, jangan bicara tentang ilmu silat dengan
Kun Hong, karena mungkin dia tidak akan mampu dan suka membunuh seekor kucing
pun. Akan tetapi dia ini murid suheng-ku, gurunya adalah mendiang Bu Beng
Cu."
Tidak ada
yang mengenal Bu Beng Cu, juga Sin-chio The Kok tak pernah mendengarnya. Akan
tetapi jika pemuda ini adalah murid suheng dari Sin-eng-cu, sudah dapat
dipastikan kepandaiannya tinggi juga.
Persoalan
Ketua Hwa-i Kaipang bukanlah hal yang remeh, untuk memilih ketua harus dipilih
orang yang betul-betul tepat. Bagaimana ia bisa menerima seorang pemuda yang
sama sekali belum dia ketahui keadaannya ini untuk memimpin anggota Hwa-i
Kaipang yang ratusan orang jumlahnya?
Selagi ia
ragu-ragu, Beng-lokai dan Sun-lokai sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Beng-lokai berkata kepada Kun Hong, "Bocah ini mau menjadi ketua kami?
Boleh saja, asalkan dia mampu mengalahkan aku, ha-ha-ha!"
"Juga
dia harus bisa merobohkan aku, baru berhak menjadi ketua!" kata Sun-lokai
sambil menggeser kaki mendekati.
Melihat ini,
tiba-tiba saja Sin-chio The Kok mendapatkan pikiran amat bagus. Dua orang
pembantunya ini memang tepat untuk menguji kepandaian pemuda itu. Maka ia
berkata kepada Sin-eng-cu, "Kalau pemuda ini berani menghadapi Beng-lokai
dan Sun-lokai serta mengalahkan mereka, aku menerimanya menjadi ketua Hwa-i
Kaipang menggantikan aku. Memang betul bahwa untuk membimbing para anggota tak
perlu dipergunakan ilmu silat, akan tetapi tanpa mempunyai kepandaian tinggi,
mana mampu menjaga keamanan perkumpulan dan mana bisa menghalau segala
orang-orang jahat?"
"Orang
muda, kau sudah mendengar sendiri. Ketua kami sudah mengijinkan kami berdua
menghadapimu. Hayo kau robohkanlah kami!" berkata Beng-lokai dengan sikap
mengejek dan terdengarlah suara tertawa para pengemis pengikut kedua orang
pembantu ini.
Kun Hong
mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. "Aku tidak pernah berkelahi
dan aku pun tidak mau berkelahi. Aku bukanlah tukang pukul!"
Ucapan ini
kembali memancing datangnya tertawaan di kalangan anggota Hwa-i Kaipang.
Perkumpulan ini mengutamakan ilmu silat serta kegagahan, bahkan semua
anggotanya mempelajari ilmu silat. Bagaimana sekarang hendak mengangkat seorang
pemuda lemah seperti itu sebagai ketua?
Kun Hong
tidak peduli akan suara tertawa dan ejekan yang dilontarkan kepadanya, akan
tetapi Sin-eng-cu menjadi merah mukanya.
"Ehhh,
Kun Hong, kau memalukan aku saja. Apakah kau takut menghadapi dua orang
pengemis busuk ini?"
Sepasang mata
Kun Hong berkilat. Dia adalah keturunan seorang pendekar besar, ibunya pun
seorang pendekar wanita, darah kesatria mengalir di tubuhnya dan bagi
keluarganya, kata-kata takut tidak terdapat dalam kamus.
"Aku
tidak pernah takut kepada siapa pun juga. Aku hanya takut kalau-kalau aku akan
menyimpang dari kebenaran." Jawaban Kun Hong ini adalah ucapan kuno yang
pernah ia baca dalam kitab-kitabnya.
"Ha-ha-ha,
bocah sombong, kalau kau tidak takut, hayo lawan kami berdua!" Beng-lokai
berkata lagi.
Karena maklum
bahwa Kun Hong tidak mungkin mau menyerang orang, Sin-eng-cu lalu berkata
kepada dua orang pembantu ketua itu, "Heh, dua orang jembel busuk,
terhadap dua orang badut seperti kalian yang jauh lebih rendah tingkatnya,
murid keponakanku mana mau turun tangan? Jangan kalian hanya
petentang-petenteng menjual lagak, kalau ada kepandaian, hayo kalian boleh
menyerang.”
Sun-lokai
orangnya cerdik. Kalau kakek ini mencampuri dan turun tangan tentu mereka akan
kalah. Tadi sudah terbukti betapa hebatnya kepandaian kakek ini ketika
merobohkan Coa-lokai. Malah Hwa-i Lokai sendiri kelihatan takut kepada kakek
ini. Ia lalu tertawa dan berkata,
"Sin-eng-cu
Lui Bok adalah seorang Locianpwe yang tingkatannya lebih tinggi dari kami yang
bodoh. Kalau Locianpwe maju membantu bocah ini nanti, meski kami pasti akan
kalah akan tetapi bukan kami yang akan menjadi buah tertawaan dunia
kang-ouw."
Sin-eng-cu
memandang dengan mata melotot. "Monyet kau! Kalau aku memang punya
kehendak merobohkan manusia-manusia monyet semacam kau, perlu apa aku banyak
cerewet lagi? Kalian boleh serang dia, biar pun dia sampai terpukul mampus oleh
kalian, aku tidak akan membantunya. Dengar janjiku ini!"
Lega dan
girang hati Sun-lokai mendengar ini. Ia sudah berhasll membakar hati kakek itu
dan sekarang ia dan Beng-lokai tidak usah takut akan turun tangannya kakek yang
lihai itu. Mereka berdua saling memberi isyarat dengan pandang mata, lalu
berbareng mereka menyerang Kun Hong sambil berkata, "Bocah sombong, awas,
kalau sakit atau mati kau jangan persalahkan kami!"
Selama
hidupnya Kun Hong belum pernah berkelahi. Kini menghadapi dua orang yang
tiba-tiba menyerangnya dengan pukulan-pukulan hebat, ia menjadi amat kaget dan
gugup. Akan tetapi hanya dengan beberapa langkah saja ia sudah dapat
menghindarkan diri dari penyerangan dua orang itu.
Dalam
pandangannya, serangan dua orang ini amat lambat dan mudah dikelit. Rajawali
Emas kalau sedang melatihnya jauh lebih gesit dan berbahaya. Oleh karena itu,
dengan tenang-tenang dan mudah Kun Hong berhasil mengelakkan semua serangan
yang datang bertubi-tubi dari dua orang pengemis lihai tadi.
Bagi semua
orang, kecuali Sin-eng-cu Lui Bok, gerakan-gerakan Kun Hong tidak karuan dan
kacau-balau, kelihatan seperti orang ketakutan dan beberapa kali
terhuyung-huyung hendak roboh. Kadang-kadang dia berjongkok, berdiri, berlari
kecil, malah kadang-kadang merangkak. Namun semua serangan selalu mengenai
tempat kosong, bahkan menyentuh ujung bajunya pun tidak dapat.
Semakin lama
para pengemis yang menonton menjadi semakin tegang dan kemudian bersorak-sorak
karena perkelahian yang tidak seimbang itu memang amat lucu. Kun Hong seperti
seekor tikus yang dikejar dan diperebutkan dua ekor kucing, ditubruk sini
nyelinap sana, diterkam sana mengelak ke sini. Tak seorang pun menganggap bahwa
pemuda itu pandai ilmu silat karena gerakan-gerakan yang kacau balau dan tidak
teratur itu mana bisa disebut ilmu silat?
Bagi mereka,
dianggapnya bahwa Kun Hong ketakutan dan kebingungan dan bahwa dua orang lokai
itu memang sengaja tidak mau melukainya atau hendak mempermainkannya terlebih
dulu. Tak seorang pun tahu bahwa diam-diam dua kakek pengemis itu kaget dan
heran bukan main, tengkuk mereka terasa dingin dan bulunya pada berdiri.
Hampir
mereka itu tak dapat mempercayai kalau tidak mereka hadapi sendiri. Siapa tidak
merasa seram jika telah mengeluarkan seluruh kepandaian untuk memukul roboh
pemuda lemah ini, akan tetapi tak pernah mengenai sasaran?
Padahal
tampaknya baik pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan sudah tepat. Namun heran
sekali, begitu tiba pada sasaran, mendadak yang dijadikan sasaran telah
berpindah tempat. Maka setelah lewat lima puluh jurus, kedua orang pengemis ini
menjadi pucat dan penuh keringat.
Selain
Sin-eng-cu yang diam-diam mengagumi Kim-tiauw-kun ciptaan suheng-nya, juga
Sin-chio The Kok memandang dengan mata terbelalak. Ia pun bingung dan merasa
heran, apa lagi kalau melihat gerakan Kun Hong begitu kacau-balau seperti orang
mabuk. Akan tetapi karena memang tingkat kepandaian The Kok sudah amat tinggi,
makin lama makin teranglah baginya bahwa gerakan atau langkah-langkah kaki Kun
Hong itu meski terlihat kacau, sebenarnya adalah langkah-langkah ajaib yang
luar biasa sekali.
Begitu ia
memperhatikan langkah-langkah itu, terasa matanya berkunang dan kepalanya
pening. Ia terkejut dan cepat-cepat mengumpulkan lweekang untuk menahan
kepusingan. Ia mengerahkan tenaga untuk memperhatikan terus, namun akhirnya ia
harus mengalah, harus mengalihkah perhatiannya. Langkah itu demikian ajaibnya
dan luar biasa sehingga kalau ia paksakan, mungkin akan membuat ia jatuh
pingsan!
Ketua Hwa-i
Kaipang ini maklum bahwa pemuda aneh itu benar-benar telah mewarisi ilmu yang
ajaib dan tahu bahwa kedua orang pembantunya tentu akan menderita celaka kalau
dilanjutkan, maka ia bermaksud menghentikan pertempuran itu. Akan tetapi
sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gesit
sekali dibarengi bentakan halus.
"Dua
orang tua bangka tak tahu malu, berani kalian menghina pamanku?"
Gerakan
bayangan ini gesit sekali, berbareng menyambar pula sinar hitam dan tahu-tahu
Beng-lokai dan Sun-lokai terhuyung-huyung ke belakang!
Ketika semua
orang memperhatikan, bayangan itu adalah seorang gadis yang cantik dan gagah,
yang memegang sehelai sabuk hitam yang tadi ia pergunakan untuk menyerang dua
orang itu sehingga mereka terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat berikutnya,
kembali berkelebat bayangan orang dan seorang gadis lain yang juga cantik manis
sudah berdiri di situ dengan sikap gagah.
Beng-lokai
dan Sun-lokai kaget sekali, akan tetapi mereka menjadi marah saat mendapat
kenyataan bahwa yang menyerang mereka tadi hanyalah seorang gadis muda.
Berbareng mereka mencabut pedang dan siap menerjang dua orang gadis itu.
Gadis yang
memegang sutera hitam itu tersenyum mengejek, sedangkan gadis kedua juga
mendadak menggerakkan tangan dan tahu-tahu sebatang pedang tipis tajam sudah
berada di tangannya.
"Hi-hik,
kalian ini dua ekor keledai tua apakah sudah bosan hidup? Cu-cici (Kakak Cu),
mari kita basmi dua ekor keledai yang sudah berani kurang ajar terhadap Paman
Hong ini!"
Kun Hong
segera mengenal gadis pertama, seorang gadis lincah jenaka dan cantik yang
bermata seperti bintang pagi. Teringatlah ia ketika ia dahulu dikerek oleh
gadis ini ke atas pohon mempergunakan sabuk sutera hitam itu.
"Ehh...
ehhh... kau... anak nakal... jangan berkelahi!" katanya mencegah.
Sementara
itu, Hwa-i Lokai juga mernbentak kedua orang pembantunya, "Beng-lokai dan
Sun-lokai, harap kalian mundur dan simpan senjata!"
Suaranya
berpengaruh dan tegas sehingga dua orang pembantunya yang masih merasa
penasaran itu tidak berani membantah lagi. Dengan muka keruh mereka segera
mundur.
Sementara
itu, Kun Hong memandang kepada gadis-gadis itu, memandang heran dan keningnya
berkerut. Ia mengenal gadis pertama yang dalam anggapannya adalah gadis yang
berwatak nakal dan jahat, suka berkelahi dan kejam. Ia merasa kuatir
kalau-kalau kedatangan gadis ini lagi-lagi akan mendatangkan bencana, bunuh
membunuh di antara sesama manusia seperti yang ia saksikan di Hoa-san dahulu
itu. Akan tetapi ia juga heran mengapa gadis itu tadi menyebutnya sebagai pamannya!
"Eh,
Nona yang nakal, bagaimana kau sampai tersesat ke tempat ini dan sejak kapan
aku menjadi pamanmu?" tegurnya dengan suara galak.
Gadis itu
yang bukan lain adalah Kui Li Eng, berseri mukanya, matanya bercahaya jenaka
dan ia tidak menjawab, melainkan menoleh kepada gadis ke dua yang bukan lain
adalah Thio Hui Cu.
"Cu-cici,
benar tidak ceritaku? Paman Hong ini orangnya lucu, aneh dan keberaniannya
membuat aku terheran-heran. Seorang yang tidak memiliki kepandaian silat,
tetapi berani merantau sampai ke sini. Malah baru saja kita lihat tadi dia
dikejar-kejar dua ekor keledai, akan tetapi sedikit pun tidak takut. Agaknya di
samping kelucuan dan keanehannya, dia pun memiliki nyawa rangkap."
Hui Cu yang
alim dan pendiam menyembunyikan senyumnya, hanya sekilas saja berani menatap
wajah Kun Hong, lalu mengalihkan pandangnya.
"Hee,
jangan kau memperolok aku! Kau belum menjawab pertanyaanku. Sejak kapan dan
berdasarkan apa kau mengaku sebagai keponakanku?"
Senyum Li
Eng melebar, membuat wajahnya yang jelita itu makin manis dan ramah. Akan
tetapi di balik keramahan dan kejenakaannya tersembunyi pula sifat nakal yang
terpancar keluar dari sepasang matanya.
"Paman
Hong yang tercinta..."
"Hush...!"
Merah muka Kun Hong. "Bicara yang benar, jangan berolok-olok!"
"Kau
memang pamanku sejak aku dilahirkan dan berdasarkan kenyataan bahwa ayahmu
adalah kakek guruku. Kau anaknya, kalau bukan pamanku habis apaku? Bukan hanya
aku, malah Cici Hui Cu ini pun keponakanmu, karena dia adalah anak tunggal dari
Supek (Uwa Guru) Thio Ki."
Kun Hong
sampai meloncat-loncat saking kaget, heran, dan bingungnya. "Apa kau
bilang? Mana bisa Suko (kakak Seperguruan) Thian Beng Tosu mempunyai
anak?"
Li Eng
terkikik sambil menutupi mulutnya. "Tentu saja yang beranak bukan Supek,
akan tetapi isterinya, hi-hi-hik."
Hui Cu tidak
dapat menahan geli hatinya, ditutupnya mulutnya yang kecil dengan tangan kanan.
"Ihh, Eng-moi, jangan bicara tidak karuan."
Juga muka
Kun Hong tampak bodoh, matanya terbelalak lebar. Ia sungguh-sungguh tidak
mengerti. Memang banyak hal yang tidak ia mengerti, di antaranya adalah tentang
riwayat suko-nya itu, tidak tahu sama sekali bahwa suko-nya yang dahulu bernama
Thio Ki itu pernah punya isteri.
"Jangan
kau main-main! Apakah sepeninggalku dari Hoa-san Suko telah menikah?"
Kembali Li
Eng menoleh kepada Hui Cu. "Kau lihat, Cici. Alangkah lucunya. Di samping
lucu, aneh dan berani, juga ininya... kurang sekali." Ia menunjuk ke arah
dahinya yang halus untuk menyindirkan tentang kebodohan Kun Hong.
"Paman
Hong, nanti kalau kau sudah pulang, kau akan mendengar sendiri semuanya.
Pendeknya, Cici Cu ini adalah anak tunggal dari Supek Thian Beng Tosu."
Bukan main
girangnya hati Kun Hong. Dia memang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan di
samping pengetahuannya yang mendalam tentang ilmu kebatinan dan filsafat yang
membuatnya kadang-kadang bicara seperti seorang kakek-kakek. Mendengar ini,
saking girangnya ia melompat ke depan memegang pundak Hui Cu. Dipandangnya muka
nona itu dan berkatalah dia kegirangan.
"Aduh
senangnya...! Aku memiliki keponakan dan tahu-tahu sudah begini besar,
begini... ehhh, cantik dan manisnya. Kau bernama Hui Cu? Tentu namamu Hui Cu...
tapi kenapa kau tidak mirip Suko? Ahh…, tentu mirip ibumu."
Memang watak
Kun Hong aneh bukan main. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang pasti akan
menganggap ia gendeng atau setidaknya kurang ajar, padahal semua itu timbul
dari lubuk hatinya yang benar-benar menjadi girang bukan main.
Karuan saja
Hui Cu yang alim, pendiam dan pemalu menjadi merah mukanya. Dia hanya tersenyum
sedikit, memandang sekilas kemudian tunduk dengan telinga merah, apa lagi
ditertawakan oleh Li Eng dan malah terdengar pula suara ketawa dari banyak
pengemis yang hadir di situ.
"Iihh,
Paman Hong. Kau membuat aku mengiri. Aku bisa marah, lho! Bukan hanya Enci Cu
keponakanmu, aku pun keponakanmu, apa kau lupa?"
Kun Hong
melepaskan pegangannya pada kedua pundak Hui Cu, lalu memandang Li Eng,
keningnya berkerut. "Dia ini puteri Suko, tentu saja seperti keponakanku
sendiri. Tapi kau ini, kau bocah nakal, kau anak siapa berani mengaku sebagai
keponakanku?"
Li Eng
cemberut. "Sudahlah, kalau kau tidak mau mengakui ayah bundaku,
sudahlah...! Memang orang macam aku mana patut menjadi keponakanmu?"
Hui Cu
merangkul Li Eng. "Adik Eng, jangan ngambek. Ehh, Paman Hong, sesungguhnya
Eng-moi adalah keponakanmu karena dia adalah puteri tunggal dari Bibi Thio Bwee
dan Paman Kui Lok yang sekarang sudah berkumpul di Hoa-san-pai."
"Begitukah?"
Kun Hong sampai berteriak keras saking girangnya.
Kun Hong
lalu menyambar tangan Li Eng, ditariknya dan seperti gila ia menari-nari sambil
menggandeng tangan gadis itu mengelilingi lapangan.
"Bagus,
kau puteri mereka? Ha-ha-ha, mereka jadinya masih hidup dan sudah kembali ke
Hoa-san-pai? Aduh senangnya!"
"Hush...
apa-apaan kau ini, Paman Hong?" Li Eng menjadi malu juga karena dia
dipaksa menari-nari tidak karuan, "Dilihat banyak orang, apa tidak malu?
Hayo kita pergi dari sini, kembali ke Hoa-san. Sukong mengharap-harap
kembalimu."
Kun Hong
melepaskan gandengannya. "Memang tadinya aku pun hendak kembali, apa lagi
sekarang setelah semuanya berada di sana."
Kun Hong
lalu menoleh kepada Sin-eng-cu Lui Bok yang sejak tadi hanya melihat dan
mendengarkan sambil tersenyum-senyum gembira. Terhadap kakek ini Kun Hong
segera menjura dan berkata, "Susiok, perkenankan teecu pergi, karena teecu
harus kembali ke Hoa-san."
Sin-eng-cu
Lui Bok tersenyum dan berkata, "Pulanglah, Kun Hong dan berbahagialah kau.
Aku pun akan mencapai kebahagiaan di puncak Bukit Kepala Naga, mendekati
mendiang Suheng yang bijaksana."
Setelah
berkata demikian, Sin-eng-cu Lui Bok lalu berjalan membungkuk-bungkuk sambil
memutar-mutar tongkatnya. Biar pun kelihatannya jalan seenaknya, namun sebentar
saja ia sudah lenyap dari pandangan mata.
Kun Hong
lalu berpaling kepada Hwa-i Lokai dan menjura. "Pangcu, harap maafkan
kalau kedatanganku ini mengganggu urusanmu. Sesudah Susiok pergi, urusan antara
dia dan Pangcu sudah habis, perkara pemilihan ketua terserah kepadamu."
Ia menoleh
kepada Li Eng dan Hui Cu, lalu berkata gembira, "Hayo, anak-anak! Hui Cu
dan... ehhh, kau yang nakal siapa namamu?"
Dua orang
gadis itu menutupi mulut dengan geli melihat sikap Kun Hong yang lucu dan tolol
ini. "Paman Hong, namaku Kui Li Eng, jangan lupa lagi!"
"Hayo
kita pergi dari sini!" kata lagi Kun Hong.
Akan tetapi
Hwa-i Lokai segera melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Nanti dulu,
Siauw-sicu. Aku atas nama Hwa-i Kaipang menerima usul Locianpwe Lui Bok tadi
untuk menyerahkan Hwa-i Kaipang ke dalam bimbinganmu. Aku mengangkat kau
sebagai ketua baru dari Hwa-i Kaipang!"
Sin-chio The
Kok atau Hwa-i Lokai adalah orang yang amat luas pandangannya. Memang ia
bercita-cita membuat perkumpulan Hwa-i Kaipang menjadi perkumpulan yang kuat
dan sekarang ia melihat ke sempatan yang amat baik untuk memperkuat
perkumpulannya itu.
Pemuda ini
terang adalah seorang luar biasa. Sungguh pun kelihatannya tidak memiliki
kepandaian ilmu silat, namun memiliki pribudi tinggi dan pengetahuan luas. Apa
lagi yang mengusulkan supaya pemuda ini diangkat menjadi ketua adalah seorang
tokoh besar, yaitu Sin-eng-cu Lui Bok yang ternyata masih susiok pemuda ini.
Sekarang,
melihat sepak terjang dua orang gadis itu, jelas bahwa pemuda ini selain murid
keponakan Sin-eng-cu Lui Bok, kiranya masih mempunyai hubungan erat dengan
pihak Hoa-san-pai. Jika Hwa-i Kaipang dapat mengangkat pemuda ini menjadi
ketua, bukankah berarti bersekutu dengan Sin-eng-cu dan Hoa-san-pai sehingga
menjadi amat kuat?
Di lain
pihak, Kun Hong gelagapan dan bingung setengah mati mendengar ucapan kakek itu.
Dia mengangkat tangan dan menggerak-gerakkan tangannya tanda menolak.
"Tidak bisa... tidak bisa, Pangcu. Aku yang bodoh mana bisa menjadi Ketua
Hwa-i Kaipang?"’
Pada saat
itu terdengar suara Coa-lokai yang keras dan kasar, "Saudara-saudara para
anggota Hwa-i Kaipang yang masih setia kepada Hwa-i Lokai, hayo kita lekas
berlutut memberi hormat kepada pangcu yang baru!"
Pengemis
tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong. Tampak di
belakangnya banyak sekali para pengemis ikut berlutut. Hanya beberapa orang
pengemis yang berpihak kepada Beng-lokai dan Sun-lokai tidak mau berlutut,
hanya memandang kepada dua orang pemimpin mereka yang berdiri dengan muka
merah.
Kun Hong
menjadi semakin gugup, apa lagi ketika melihat Hwa-i Lokai sendiri menjura
kemudian mengangguk-angguk berkali-kali. Ketika ia memandang kepada Coa-lokai
yang memelopori para anggota itu, dia melihat wajah pengemis tua ini berpeluh,
dan kelihatan jelas ia menderita rasa sakit yang hebat, sedangkan lengan
pergelangan membengkak. Teringatlah ia betapa dalam membela ketuanya, pengemis
ini tadi terluka oleh Sin-eng-cu Lui Bok.
Ia segera
memberi isyarat dengan tangannya, berkata, "Lokai, kau ke sinilah!"
Dengan sikap
hormat dan juga terheran-heran, Coa-lokai bangkit dan menghampiri Kun Hong.
Pemuda ini tanpa ragu-ragu lagi lalu memegang lengan kanan Coa-lokai. Beberapa
kali memijat saja tahulah Kun Hong bahwa tulang lengan itu tidak patah, tetapi
terlepas sambungannya. Memang sejak membaca kitab pelajaran ilmu pengobatan
dari Toat-beng Yokmo, pengetahuan Kun Hong tentang luka dalam dari segala macam
penyakit menjadi luar biasa sekali.
"Untung
Susiok tadi masih menaruh kasihan kepadamu," katanya perlahan. "Lain
kali kau jangan memandang rendah orang seperti dia, Lokai."
Ia memijat
sana menotok sini dan sebentar saja sambungan tulang pergelangan itu telah baik
kembali dan lengan itu mengempis lagi. "Masukkan tanganmu yang ini ke
dalam saku dan jangan digerak-gerakkan selama sehari semalam. Tentu akan sembuh
kembali."
Tidak hanya
Coa-lokai yang kegirangan dan terheran-heran, namun semua orang di situ
terheran-heran, termasuk Li Eng dan Hui Cu.
"Terima
kasih atas pertolongan Pangcu," kata Coa-lokai sambil melangkah mundur.
"Aku
bukan ketuamu, ketuamu adalah Hwa-i Lokai itulah," kata Kun Hong.
"Tidak,
kaulah Pangcu kami yang baru, Siauw-sicu. Dan inilah tanda ketua, harap kau
sudi menerimanya dariku."
Hwa-i Lokai
kemudian mengeluarkan sebatang tongkat kecil yang berlukiskan kembang-kembang
indah, diangsurkan pada Kun Hong. Tentu saja Kun Hong tidak mau menerima
tongkat itu.
"Jangan,
Pangcu. Aku tak berani menerimanya. Kau tetaplah menjadi Pangcu atau pilihlah
di antara pembantumu. Aku akan pulang ke Hoa-san."
Berkerut
kening Hwa-i Lokai dan wajah kakek ini menjadi pucat. "Sicu, ada satu
peraturan yang kami pegang keras, yaitu apa bila kami dihina, kami harus
mempertahankan nyawa untuk menebus hinaan. Penolakanmu terhadap pemilihan ketua
merupakan penghinaan bagi kami. Akan tetapi, oleh karena kau adalah seorang
mulia dan budiman yang sudah menolong nyawaku dari ancaman mati di tangan
Sin-eng-cu, bagaimana aku bisa berbuat dosa terhadapmu? Karena itu, apa bila
kau tetap menolak untuk menerima tawaran kami menjadi Pangcu dari Hwa-i
Kaipang, aku tua bangka ini akan membunuh diri di depan kakimu untuk menebus
penghinaan ini. Selanjutnya tentang Hwa-i Kaipang kuserahkan kepadamu!"
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu mencabut pedangnya, siap untuk
melakukan pembunuhan diri.
"Heiii,
jangan...!" Kun Hong cepat maju dan memegang lengan Ketua itu yang
memegang pedang, "Sabarlah, Pangcu... wah, bagaimana ini baiknya? Kau
tidak boleh membunuh diri!"
"Kalau
Sicu menolak, terpaksa aku membunuh diri menebus penghinaan."
Kun Hong
memutar otaknya dan pemuda yang cerdik ini sudah mendapat jalan.
"Baiklah...
baiklah, kau simpan dulu pedangmu."
Dengan muka
girang Hwa-i Lokai menyimpan pedangnya dan memberikan tongkat kecil itu.
Terpaksa Kun Hong menerimanya dan para pengemis anggota Hwa-i Kaipang lantas
bersorak girang, kecuali mereka yang tidak setuju.
"Begini
Hwa-i Lokai. Sesudah aku menjadi ketua, tentu semua anggota Hwa-i Kaipang,
termasuk kau sendiri, akan taat dan menurut perintahku, bukan?"
"Tentu
saja, walau pun disuruh menyerbu ke dalam lautan api, kami akan taat terhadap
perintah pangcu" kata Hwa-i Lokai penuh semangat.
"Nah,
bagus! Sekarang perintahku yang pertama. Aku mengangkat kau menjadi Ji-pangcu
(ketua ke dua) yang mewakili aku memimpin Hwa-i Kaipang jika aku tidak berada
di sini. Kau boleh memilih pembantu sendiri dan selama aku tidak berada di
sini, kaulah yang menjadi wakilku dengan kuasa sepenuhnya. Sekarang aku
mempunyai keperluan penting sekali, harus kembali ke Hoa-san, maka kaulah yang
menjadi wakilku untuk sementara."
Semua orang
tahu belaka bahwa ini merupakan akal pemuda itu, akan tetapi karena ini
merupakan perintah, tentu saja tidak ada yang berani membantah.
"Tentu
saja Lokai taat terhadap perintah Pangcu, akan tetapi harap saja Pangcu tidak
menganggap ini sebagai main-main dan jangan berbuat tega terhadap Hwa-i
Kaipang," kata kakek itu.
Li Eng
adalah seorang gadis yang banyak pengertiannya tentang dunia kang-ouw, maka ia
segera berkata kepada Hwa-i Lokai, "Lokai, harap kau maklumi keadaan
Pamanku ini. Ketahuilah, dia adalah putera tunggal dari Ketua Hoa-san-pai,
sebelum menerima ijin dari ayahnya, mana dia berani berdiam di sini menjadi
ketua Hwa-i Kaipang?"
Hwa-i Lokai
nampak terkejut. Memang sama sekali ia tidak menduga bahwa pemuda ini adalah
putera Ketua Hoa-san-pai! Akan tetapi Kun Hong sudah menerima tongkat dan sudah
menjadi Ketua Hwa-i Kaipang, maka diam-diam ia menjadi makin girang.
"Ah,
kiranya Pangcu kita yang baru adalah putera Hoa-san-pai Ciang-bunjin! Tentu
saja perintah Pangcu kami taati dan kami harap saja setelah tiba di Hoa-san
dengan selamat, lain kali Pangcu memerlukan membuang waktu untuk menengok
keadaan kami."
Kun Hong
girang. Ia menganggap bahwa akalnya berhasil. Hanya namanya saja menjadi ketua,
apa salahnya? Ia mengangguk-angguk dan tersenyum.
Akan tetapi
dengan marah Beng-lokai dan Sun-lokai melompat maju. Beng-lokai bersama
Sun-lokai ini tadinya masih tidak berani banyak tingkah ketika Sin-eng-cu Lui
Bok masih berada di situ karena maklum akan kelihaian kakek itu. Akan tetapi
sekarang setelah kakek itu pergi, mereka tidak takut lagi, lebih-lebih karena
memang mereka ini mempunyai pendukung-pendukung di belakang mereka.
"Tidak
adil sekali keputusan ini!" seru Sun-lokai.
"Aku
tidak setuju kalau ketua baru dipilih orang luar!" seru Beng-lokai.
"Kalau
Pangcu hendak mengundurkan diri, seharusnya yang menjadi calon adalah kami
bertiga lokai, dan di antara kami bertiga dipilih yang paling cakap untuk
menjadi ketua baru. Kenapa sekarang memilih seorang bocah luar yang masih
ingusan? Aku tidak setuju akan keputusan ini!" kata pula Sun-lokai.
"Betul
sekali ucapan Sun-lokai. aku pun tidak mau terima. Apa bila bocah tolol ini
dapat memecahkan dadaku, baru aku mau mengakui dia sebagai Ketua Hwa-i Kaipang!
Ehh, bocah sombong, hayo maju dan lawanlah aku!" Beng-lokai menantang.
"Hayo,
perlihatkan kegagahanmu, kalau kau memang laki-laki!" tantang pula
Sun-lokai.
Dua orang
kakek itu sudah mencabut pedang masing-masing.
"Aku
tidak bisa berkelahi, juga tidak mau berkelahi, Ji-wi Lokai harap sabar dan
mundur karena mulai sekarang Ji-wi kuanggap bukan pengurus Hwa-i Kaipang lagi.
Aku tidak mau melihat pengurus atau anggota Hwa-i Kaipang yang suka berkelahi
dan kelihatan sekali hasratnya untuk memperebutkan pangkat dan kedudukan. Ji-wi
akan memberikan contoh yang buruk kepada para anggota. Harap Ji-wi
mundur."
Bukan main
marahnya Beng-lokai. Terang-terangan mereka dipecat!
"Kau...
kau...!" Beng-lokai hendak memaki akan tetapi saking marahnya tak ada
sepatah kata pun keluar dari mulutnya, sedangkan Sun-lokai maju dengan sikap
mengancam.
Hwa-i Lokai
lalu membentak, "Beng-lokai dan Sun-lokai, kalian sudah mendengar perintah
Pangcu. Mulai saat ini kalian bukan lagi pembantu pengurus dan juga dikeluarkan
dari keanggotaan. Lepaskan tali-tali putih dari pinggang kalian."
Muka dua
orang pengemis itu menjadi pucat saking marahnya. Tanpa berkata sesuatu mereka
melepaskan tujuh helai ikat pinggang putih dari pinggang masing-masing, lalu
dengan suara lantang mereka berkata kepada Kun Hong,
"Kami
sekarang sebagai orang luar menantang kepada ketua baru dari Hwa-i Kaipang
untuk mengadu kepandaian. Kalau tidak berani, maka ketua baru dari Hwa-i
Kaipang hanyalah seorang pengecut hina..." Yang mengeluarkan kata-kata ini
adalah Beng-lokai dan terpaksa ia berhenti bicara karena tiba-tiba Hui Cu sudah
berdiri di depannya dengan pedang di tangan.
"Keparat
bermulut kotor!" gadis ini membentak dengan suara nyaring dan mata
berapi-api, "Manusia tak tahu diri, pamanku sengaja mengalah padamu akan
tetapi malah membuat kepalamu membesar dan mulutmu jadi melebar. Siapa sih yang
takut terhadap manusia macammu? Biar ada sepuluh orang macam kau, majulah semua
dan tidak usah Paman Hong menggerakkan tangan, biar yang sepuluh itu dilawan
oleh aku seorang!"
"Hi-hi-hik!"
Li Eng mengeluarkan suara ketawa ditahan. "Biasanya Enci Cu pendiam dan
penyabar, sekarang mendadak pintar memaki dan mudah marah!"
Kun Hong
yang kuatir kalau-kalau keponakannya mencari gara-gara, segera maju dan berkata
kepada Hui Cu, "Hui Cu, jangan kau sembarangan membunuh orang. Aku larang
kau membunuh orang!"
Hui Cu
mengerling sekilas ke arah Kun Hong sambil menjawab, "Paman Hong, yang
begini ini sesungguhnya tidak patut disebut orang dan kalau tidak dibunuh hanya
akan mengotori dunia. Akan tetapi karena kau melarang, baiklah, aku takkan
membunuhnya, cukup membikin dia bertobat."
Tentu saja
Beng-lokai menjadi semakin marah. Orang berbicara seenaknya saja tentang
dirinya, seakan-akan dia ini seekor tikus saja. Dan yang bicara hanya seorang
gadis muda yang lebih patut disebut kanak-kanak. Ia mengeluarkan suara
menggereng,
"Ketua
baru benar-benar pengecut! Tidak berani maju sendiri mengandalkan
wanita..."
"Plakk!"
Entah
bagaimana, tahu-tahu tangan kiri Hui Cu sudah menampar pipi kanan Beng-lokai,
membuat kakek ini sempoyongan. Dia lalu meraba pipinya yang telah menjadi
bengkak. Matanya melotot, mukanya merah dan napasnya memberat, tanda bahwa
kemarahannya telah amat memuncak. Saking marahnya ia sampai tak memperhitungkan
bahwa dengan gerakannya tadi Hui Cu sudah memperlihatkan kelihaiannya.
"Hi-hi-hik,
Enci Cu. Kalau kau nanti tidak mencuci tanganmu dengan air panas, aku tidak mau
menyentuh tangan kirimu yang berbau keledai!" Li Eng berkata dan
terdengarlah suara ketawa di sana-sini, terutama dari pihak para anggota yang
tidak suka terhadap Beng-lokai. Memang Li Eng seorang gadis yang berwatak nakal
dan pandai bicara.
Beng-lokai
yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi itu, sudah menerjang Hui Cu
dengan serangan pedangnya. Hui Cu cepat meloncat ke tengah pelataran dan kakek
itu mengejarnya. Di sinilah Hui Cu memperlihatkan kepandaiannya. Dengan gerakan
yang amat indah ia mainkan pedangnya sehingga Kun Hong yang melihat menjadi
melongo. Sebagai putera pendekar, tentu saja dia sering kali melihat orang
bermain pedang, akan tetapi belum pernah ia melihat permainan pedang yang
begini indahnya, bagaikan orang menari saja...
Beng-lokai
juga bermain pedang, akan tetapi dibandingkan dengan permainan Hui Cu,
permainan pedangnya jelek sekali sehingga mereka merupakan pasangan penari
pedang yang tidak seimbang. Hampir lupa Kun Hong bahwa dua orang itu sama sekali
bukannya sedang menari, melainkan sedang saling serang dan bahwa dua pedang
yang berkelebat itu sebetulnya sedang mengarah nyawa.
Memang indah
gerakan pedang Hui Cu. Hal ini tidak aneh kalau diingat bahwa ibunya, Lee Giok,
adalah murid dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan dan biar pun ia belum mewarisi
keseluruhan ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang hebat dan indah, sedikit banyak
ia telah mewarisi gayanya yang indah seperti orang menari. Dan tentu saja Lee
Giok menurunkan seluruh ilmu pedang dan kepandaiannya kepada puterinya ini.
Begitu
bergerak, Li Eng yang jauh lebih tinggi tingkat ilmu pedangnya itu maklum bahwa
Hui Cu tak akan kalah. Karena itu ia pun lalu menghampiri Sun-lokai dan
menudingkan telunjuknya ke arah hidung pengemis yang agak bongkok itu.
"Apa
kau juga ingin menantang pamanku? Kalau betul, kau boleh keluarkan pedangmu dan
menyerangku. Aku akan melayanimu dengan sabuk suteraku ini. Berani tidak
kau?"
Kata-katanya
bernada mengejek sekali sehingga pengemis tua yang bongkok itu menjadi marah.
Biar pun tua dan bongkok, Sun-lokai memiliki watak mata keranjang. Menghadapi
seorang gadis muda yang cantik jelita seperti Li Eng, belum apa-apa hati kakek
ini sudah berdebar tidak karuan.
"Li
Eng, kau pun tidak boleh membunuh orang!" Dengan hati kecut dan penuh
kekuatiran Kun Hong membentak ke arah Li Eng.
Dia sudah
tahu akan kenakalan dan keganasan gadis itu. Karena itu ia benar-benar kuatir
kalau-kalau ‘keponakan’ ini akan menimbulkan kekacauan dan membunuh orang.
Li Eng
membalikkan tubuhnya dan membungkuk ke arah Kun Hong dengan lagak seperti
seorang hamba terhadap rajanya sambil berkata, "Hamba akan mentaati
perintah Paduka Paman Raja!"
Akan tetapi
Kun Hong tidak dapat menerima kelakar ini, malah membelalakkan matanya dan
berseru kaget, "Li Eng, awas belakangmu!"
Pada saat Li
Eng membelakanginya, Sun-lokai telah menerjang maju sambil menusukkan pedangnya
ke punggung gadis itu. Menyaksikan ini, Hwa-i Lokai amat kaget sampai tanpa
sadar dia membentak marah. Juga semua orang kaget sekali dan mengira bahwa
tusukan yang cepat dan hebat ini pasti akan menewaskan Li Eng.
Tapi orang
yang dikuatirkan enak saja. Tanpa menoleh Li Eng menggerakkan tangannya dan
seperti ada mata tajam di belakang tubuhnya, sabuk sutera hitam di tangannya
lantas menyambar ke belakang dan menangkis tusukan pedang itu.
Para
pengemis bersorak gembira menyaksikan kehebatan gadis lincah ini. Apa lagi
ketika Li Eng dengan gerakan yang amat lincahnya telah berputar dan kini sabuk
sutera hitam itu berkelebat, mengeluarkan bunyi bergeletar seperti cambuk dan
bertubi-tubi menyerang ke semua bagian tubuh yang berbahaya dari Sun-lokai!
Pertempuran
terbagi menjadi dua bagian. Akan tetapi baik Beng-lokai mau pun Sun-lokai
berada di pihak yang terdesak hebat. Beng-lokai juga amat payah menghadapi
permainan pedang Hui Cu yang indah namun mempunyai daya serang yang amat ganas
itu. Yang paling celaka adalah Sun-lokai karena sejak Li Eng menghadapinya, ia
sama sekali tidak dapat balas menyerang, akan tetapi harus menangkis dan
mengelak karena kedua ujung sabuk hitam itu bagaikan ular-ular hidup
menyambar-nyambar cepat sekali.
Akhirnya
sabuk itu membelit jari-jari tangan kanannya dan sekali renggut pedangnya lalu
terlepas dari tangannya, jatuh ke atas tanah. Tak berhenti sampai di situ saja,
ujung-ujung sabuk itu terus memecutinya ke muka, leher, dan dadanya.
Sun-lokai
berteriak-teriak kesakitan dan berloncatan sambil mundur, akan tetapi sabuk itu
mengejarnya terus. Bahkan pada saat ia membalikkan tubuh hendak keluar dari
lapangan pertempuran, ujung sabuk itu mengeluarkan bunyi…
"Tar-tar-tar!"
melecuti pantatnya, membuat ia berjingkrak-jingkrak kesakitan!
Dan pada
saat itu pun Beng-lokai terluka lengan kanannya sehingga pedangnya terlempar
pula.
"Li
Eng, Hui Cu, sudah cukup, mundurlah!" Kun Hong membentak, kuatir
kalau-kalau dua orang gadis itu akan turun tangan terus dan membunuh orang.
Sambil
tertawa-tawa Li Eng menarik kembali sabuknya dan Hui Cu juga tidak menyerang
terus, tetapi membiarkan lawannya mundur dengan muka merah padam kemalu-maluan.
Terdengar seruan-seruan memuji dari para pengemis dan tahulah mereka bahwa
kedua orang gadis keponakan ‘ketua baru’ itu benar-benar lihai sekaii, apa lagi
gadis lincah yang bersenjata sabuk hitam.
"Hwa-i
Lok-kai mengandalkan tenaga dari luar menghina anak buah sendiri, benar-benar
bagus!" terdengar beberapa suara orang. Ternyata yang mengeluarkan suara
ini adalah para pemimpin perkumpulan pengemis baju hijau dan baju merah.
"Saudara-saudara, kita golongan pengemis harus diketuai oleh pengemis
pula, mana bisa dipimpin oleh seorang sastrawan muda jembel? Yang tidak puas
dengan pimpinan Hwa-i Kaipang, boleh datang ke tempat kami. Pintu kami terbuka
lebar-lebar untuk saudara sekalian!"
Hwa-i Lokai
tidak menjawab, hanya memandang dengan mata tajam ke arah rombongan tamu yang
berangsur-angsur bergerak meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi. Yang
membikin hatinya panas dan kecewa adalah pada saat ia melihat Beng-lokai,
diikuti oleh banyak pengemis Hwa-i Kaipang, pergi pula meninggalkan tempat itu
untuk menggabung kepada perkumpuan-perkumpulan lain.
"Hwa-i
Lokai harap jangan berduka," berkata Kun Hong yang dapat melihat keadaan
hati orang dan dapat menduga pula apa sebabnya. "Dua orang lokai itu
memang mempunyai hati yang bengkok terhadap Hwa-i Kaipang. Karena mereka tidak
memiliki harapan untuk menjadi ketua di sini, mereka pergi ke perkumpulan lain.
Biarlah, orang-orang yang tidak setia kepada perkumpulan sendiri, berarti
mempunyai watak yang tidak jujur dan lebih baik kalau perkumpulan ini dijauhi
dari orang-orang semacam itu. Sekarang aku minta diri, Lokai, karena aku harus
pulang ke Hoa-san."
Hwa-i Lokai
dan Coa-lokai membujuk agar Kun Hong dan dua orang gadis itu suka tinggal di
situ beberapa hari lagi, akan tetapi Kun Hong tetap menolaknya. Akhirnya Hwa-i
Lokai terpaksa melepaskan mereka pergi setelah memberi bekal roti kering,
potongan perak dan tiga ekor kuda yang bagus kepada ketua baru bersama dua
orang keponakannya itu.
Baru saja
tiga orang muda itu sampai di luar dusun menunggangi kuda mereka, tiba-tiba Kun
Hong memberi tanda isyarat untuk berhenti. Hui Cu dan Li Eng cepat menahan kuda
masing-masing.
"Hui
Cu, Li Eng, mari kita turun. Aku tidak suka menunggang kuda," kata Kun
Hong.
Dua orang
gadis itu saling pandang dengan heran. Li Eng tentu saja segera membantah.
"Paman Hong ini bagaimana sih? Perjalanan kita sangat jauh, dengan
menunggang kuda saja belum tentu bisa sampai tiga empat bulan. Sudah ada kuda
pada kita, bagaimana sekarang hendak turun lagi?"
"Kau
anak kecil tahu apa?" Kun Hong membentak. "Tiga ekor kuda ini
harganya tentu tidak murah. Hwa-i Kaipang lebih membutuhkan kuda-kuda ini dari
pada kita. Kita masih muda, mempunyai sepasang kaki dan mampu berjalan, kalau
perlu bisa lari. Kuda ini kita kembalikan saja."
"Ahh,
Susiok (Paman Guru) aneh sekali... orang sudah memberikan kepada kita, kenapa
hendak dikembalikan? Kalau memang tidak suka, kenapa tadi tidak ditolak
saja?" lagi-lagi Li Eng membantah dengan bibir semberut.
Akan tetapi
Kun Hong tidak mempedulikan protes gadis lincah itu dan kebetulan sekali dari
depan tampak seorang pengemis baju kembang lewat di jalan itu. Kun Hong segera
memanggilnya dan pengemis ini segera datang dengan membungkuk-bungkuk memberi
hormat karena dia pun mengenal ketua baru ini bersama dua orang keponakannya
yang lihai.
"Pangcu
hendak memerintah apakah?" tanyanya.
"Lokai,
kau tuntunlah tiga ekor kuda ini dan kembalikan kepada Hwa-i Lokai, katakan
saja kepadanya bahwa kami bertiga hendak melanjutkan perjalanan dengan jalan
kaki saja. Nah, cepat bawalah."
Sejenak
pengemis itu terlongong akan tetapi ia tidak berani membantah, lalu dituntunnya
tiga ekor kuda itu kembali ke tempat semula, yaitu di kaki Pegunungan
Ta-pie-san. Ada pun Kun Hong mengajak dua orang keponakannya melanjutkan
perjalanan.
"Li
Eng, kau jangan cemberut saja. Kau memang rewel sekali, tidak seperti Hui Cu
yang pendiam dan manis," kata Kun Hong.
Semakin
meruncing bibir Li Eng. "Kau memang tidak tahu disayang orang! Aku rewel
dan cerewet bukan untuk diriku sendiri. Bagi aku dan Cici Hui Cu, jalan kaki
apa sukarnya? Kami memiliki ilmu berlari cepat dan kiranya tidak akan kalah
cepat dengan larinya kuda. Akan tetapi bagaimana dengan kau, Paman Hong? Kau
tentu tidak kuat berjalan jauh, lagi pula jalanmu sangat pelan. Perjalanan kita
masih jauh sekali, kalau menuruti kau berjalan seperti siput, sampai
bertahun-tahun kita tak akan bisa pulang ke Hoa-san!"
Kun Hong
tersenyum menggoda. "Biar sampai sepuluh tahun, jika melakukan perjalanan
bersama kalian berdua aku tak akan menjadi bosan."
"Iihhh,
dasar...," Li Eng melerok.
Hui Cu yang
semenjak tadi diam saja, sekarang berkata kepada Kun Hong tanpa berani
memandang wajah pemuda itu, "Paman agaknya masih belum tahu bahwa kita
tidak akan menuju ke Hoa-san karena kami berdua memang diberi tugas oleh Sukong
untuk pergi ke Thai-san."
"Heee...?!
Ke Thai-san? Bukankah Thai-san itu tempat tinggal pendekar sakti Tan Beng San
Taihiap yang dipuji-puji oleh Ayah dan katanya menjadi Raja Pedang?" Kun
Hong bertanya dengan tercengang.
"Kalau
dia raja, kau pun raja, Paman Hong," kata Li Eng yang sudah gembira
kembali dari kecewanya akibat kehilangan kuda. "Cuma bedanya, kalau Tan
Beng San Taihiap itu Raja Pedang, kau adalah raja pengemis!"
Senang hati
Kun Hong melihat gadis lincah itu tidak marah lagi karena kehilangan kuda.
"Bagus, bagus, kau pun hanya menjadi keponakan raja pengemis, Li Eng. Nah,
jangan main-main lagi, lekas ceritakan betulkah kita akan ke Thai-san dan ada
keperluan apakah Ayah menyuruh kalian ke sana?"
Li Eng
menjura dengan tubuh membungkuk dalam. "Baiklah, Paman Raja. Hamba tidak
berani main-main lagi. Hamba berdua diperintah pergi ke Thai-san untuk melihat
apakah benar Sang Puteri dari Raja Pedang betul-betul cantik jelita dan gagah
perkasa seperti yang disohorkan orang dan kalau betul begitu, hamba berdua
disuruh... ehh, melamarnya untuk Paduka Paman Raja."
"Iihh,
Adik Eng! Terlalu sekali kau mempermainkan Susiok!" Hui Cu menegur.
Li Eng
tersenyum lebar dan memandang pada Kun Hong sambil berkata, "Apa salahnya,
Cu-cici? Kalau bukan pamannya yang baik, yang sabar, yang budiman dan
bijaksana, masa aku berani menggoda dan main-main. Betul tidak, Susiok?"
pandang matanya dan senyumnya menjadi amat manja sehingga tak mungkin orang
dapat marah kepada gadis remaja yang menggemaskan dan lucu ini.
Untuk
sejenak Kun Hong melongo memandang tingkah Li Eng yang amat menarik hatinya
ini. Kemudian ia menarik napas panjang dan berkata, "Sudahlah, memang
sejak dahulu Li Eng suka menggoda orang. Hui Cu, coba kau ceritakan dengan
jelas apa maksud kalian ke Thai-san."
Sambil
berjalan perlahan Hui Cu bercerita, "Sukong mendapat kabar bahwa
Tan-taihiap di Thai-san akan meresmikan pendirian Thai-san-pai sebagai
perkumpulan persilatan baru di dunia kang-ouw. Peresmian ini disertai pesta dan
banyak tokoh-tokoh di dunia kang-ouw diundang. Sukong sendiri tidak bisa pergi,
maka mengutus kami berdua pergi ke Thai-san dan menyampaikan selamat serta
barang sumbangan. Karena waktunya masih lama, kami berdua sengaja mengambil
jalan ini dengan maksud melihat-lihat di kota raja lebih dulu. Siapa kira di
sini bertemu dengan Susiok."
"Dicari-cari
setengah mampus ke mana-mana tidak bisa bertemu, sampai Sukong menjadi
berkuatir sekali. Hampir dua tahun Susiok pergi tak berbekas, kami pun sudah
beberapa kali mencari ke segala penjuru dunia tanpa hasil. Eh, sekarang
tahu-tahu nongol di sini!" Li Eng berkata sambii menggeleng-geleng
kepalanya. "Siapa tidak menjadi gemas?"
Kun Hong
kelihatan gembira bukan main. "Bagus, bagus!" dia bertepuk tangan.
"Aku pun hendak ikut ke Thai-san. Dan kebetulan sekali, aku juga memang
ingin melihat-lihat kota raja, sekarang ada kalian berdua menjadi teman, wah,
senang sekali!"
"Tapi
kita tidak boleh terlalu lama di kota raja, Susiok. Jangan sampai kita terlambat
tiba di Thai-san," kata Hui Cu mengingatkan. Gadis ini jarang bicara,
namun kalau sudah bicara selalu serius, tidak pernah main-main seperti Li Eng
yang jenaka.
Kun Hong
mengerutkan keningnya. "Berapa jauhnya sih Thai-san dari sini?"
"Kalau
jalan kaki biasa sedikitnya satu bulan baru sampai," jawab Hui Cu.
"Kalau
kami berlari cepat, seminggu juga sampai," sambung Li Eng. "Tapi
Paman Hong mana bisa lari cepat?"
"Ah,
ternyata begitu dekat? Sehari juga sampai bila naik kim-tiauw...,"
tiba-tiba Kun Hong menghentikan ucapannya karena teringat bahwa ia telah bicara
terlanjur. Saking kagetnya ia menutupi mulut dengan tangan sendiri.
Dua orang
gadis itu memandang heran, bahkan Li Eng tidak main-main lagi, melainkan
memandang tajam penuh selidik. "Apa maksudmu, Susiok? Kau bilang tadi
menunggang kim-tiauw? Apakah kau bertemu dengan rajawali emas?" tanya Hui
Cu, mukanya berubah.
Li Eng
memegang tangan Kun Hong. "Paman Hong, di mana kau melihat rajawali emas?
Di mana? Lekas beri tahukan, di mana ada burung itu, tentu ada dia!"
Kun Hong
menyesal sekali mengapa ia membuka rahasianya. Akan tetapi karena sudah
terlanjur, apa boleh buat. "Pantas kalian terheran-heran, Memang di dunia
ini tidak ada keduanya burung rajawali seindah itu, dengan bulunya berkilauan
kuning keemasan dan sepasang matanya seperti kumala. Kalian tahu, malah burung
rajawali emas itu memakai kalung mutiara yang indah!"
"Di
mana dia? Di mana...?" Dua orang gadis itu bertanya mendesak, nampaknya
mereka tidak sabar lagi. Hal ini tidak mengherankan karena keduanya memang
telah mendengar tentang Kwa Hong dan rajawali emasnya dan mereka menganggap Kwa
Hong sebagai musuh besar yang telah menghina dan menyusahkan kedua orang tua
mereka.
"Ahh,
kalian ini anak-anak perempuan. Baru mendengar tentang mutiara indah saja sudah
begini ribut. Apa kalian kira akan bisa dengan mudah saja mengambil kalung
mutiara itu? Rajawali emas itu hebat sekali, bahkan Toat-beng Yok-mo saja tidak
mampu menandingi dia."
Kembali dua
orang gadis itu saling pandang, nampak terheran. "Paman Hong, apakah kau
bertemu pula dengan Toat-beng Yok-mo? Dan setelah bertemu dengan rajawali emas,
tentu kau telah bertemu pula dengan... iblis betina itu?" tanya Hui Cu,
suaranya sungguh-sungguh.
"Iblis
apa? Aku tidak pernah bertemu dengan iblis, iblis betina mau pun iblis
jantan," jawab Kun Hong, heran mendengar pertanyaan Hui Cu ini.
"Hong-susiok,
ceritakan semua pengalamanmu itu, juga ceritakan tentang pertemuanmu dengan
burung rajawali emas, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Li Eng
sambil menggandeng tangan kanan pemuda itu.
"Kalian
ingin mendengar? Baik, Hui Cu, ke sinilah dekat-dekat!" Ia menggunakan
tangan kiri untuk menggandeng tangan Hui Cu sehingga mereka bertiga berjalan
perlahan sambil bergandengan tangan.
Kun Hong
merasa gembira sekali dan dianggapnya bahwa dua orang keponakannya ini
benar-benar menyenangkan dan amat manis budi. Dahulu dia pernah benci dan gemas
terhadap kenakalan Li Eng, akan tetapi setelah berdekatan, mana bisa orang
membenci dara remaja itu?
"Ketika
dahulu aku meninggalkan Hoa-san, aku sudah mengambil keputusan tidak akan
kembali lagi ke sana karena aku benci sekali melihat bunuh-bunuhan yang terjadi
di sana. Sekarang pun aku benci melihat pembunuhan. Apa bila kalian membunuh
orang, aku pun akan membenci kalian. Di tengah perjalanan itu aku bertemu
dengan Toat-beng Yok-mo yang terluka hebat, bahkan hampir mati."
"Hi-hik,
dia boleh mampus karena racun tongkatnya sendiri dan terluka di dua tempat oleh
ayah ibumu," kata Li Eng.
Mengkal hati
Kun Hong diingatkan bahwa ayah bundanya sudah melukai, malah banyak membunuh
orang.
"Keadaannya
amat menderita dan ia minta tolong padaku untuk mengantarkannya pulang ke
lembah Sungai Huai. Karena merasa kasihan, aku lalu memenuhi permintaannya dan
menggendongnya sepanjang jalan berpekan-pekan lamanya."
Li Eng
tertawa. "Ayah ibunya yang melukai, akan tetapi anaknya yang menolong,
malah menggendongnya sepanjang jalan, benar-benar lucu. Masih untung kau tidak
dibunuhnya, Paman Hong. Hebat sekali, iblis macam Toat-beng Yok-mo ditolong,
malah digendong-gendong!"
Akan tetapi
Hui Cu diam saja dan diam-diam gadis ini merasa terharu dan kagum sekali akan
pribadi pemuda yang menjadi paman gurunya ini. "Lalu bagaimana kau bisa
bertemu dengan rajawali emas, Paman Hong?" tanyanya untuk menghentikan komentar
Li Eng.
"Setelah
kami tiba di dekat tempat tujuan, dalam sebuah hutan Toat-beng Yok-mo minta
diturunkan dan ternyata ia sembuh kembali dan kuat."
"Hi-hik,
memang ia sebetulnya tidak usah digendong. Tentu saja ia kuat karena memang ia
hanya menggunakanmu sebagai perisai dan kau tentu akan dibunuhnya di tempat
itu," kata pula Li Eng.
"Ehh,
bagaimana kau bisa tahu?" Kun Hong terheran-heran.
"Hanya
orang tolol saja yang tidak tahu!" jawab Li Eng. "Namanya saja sudah
Toat-beng Yok-mo tukang mencabut nyawa. Dia terluka dan harus pergi jauh dari
Hoa-san. Paman adalah putera Ketua Hoa-san-pai, tentu saja dapat dia jadikan
perisai yang sangat baik. Hemm, lagi-lagi harus kukatakan bahwa untung sekali
Paman tidak sampai dibunuhnya."
"Ehh,
Adik Eng. Apakah kau berani mengatakan bahwa Susiok adalah seorang tolol?"
Hui Cu menegur.
Li Eng
pura-pura tidak mendengar jelas. "Berani mengatakan Susiok apa?"
"Bahwa
Susiok adalah seorang tolol?" Hui Cu menjelaskan.
"Hi-hi-hik,
kau mendengar sendiri, Paman Hong. Dua kali Cici Hui Cu memakimu sebagai orang
tolol, bukan aku, lho!"
"Heee,
kau memutar balikkan omongan!" Hui Cu memprotes.
Akan tetapi
Li Eng hanya tertawa-tawa saja. Kun Hong yang dipermainkan ini sama sekali
tidak merasa dirinya dipermainkan, hanya tersenyum saja.
"Kalau
saja pada saat itu tidak muncul rajawali emas, kiranya aku pun akan dibunuh
oleh Toat-beng Yok-mo seperti yang dikatakan oleh Li Eng tadi," dia
melanjutkan ceritanya, "Entah dari mana datangnya, seekor burung rajawali
emas yang besar dan hebat sekali menyambar turun dan menerkam seekor kelinci.
Melihat burung itu, Toat-beng Yok-mo kemudian menyerangnya dan berusaha
menangkapnya, akan tetapi berkali-kali Toat-beng Yok-mo roboh oleh burung itu,
bahkan akhirnya kakek itu roboh pingsan oleh hantaman sayap burung."
Dua orang
gadis remaja itu saling pandang, malah Li Eng menjulurkan lidahnya yang kecil
merah itu keluar dari mulutnya tanda kagum dan terkejut. Kalau orang seperti
Toat-beng Yok-mo dapat dikalahkan sedemikian mudahnya, alangkah lihainya burung
itu. Apa lagi pemiliknya!
"Rajawali
emas itu lalu menyambarku dan membawaku terbang jauh sekali, ke puncak sebuah
gunung yang tidak kuketahui namanya. Di sana, di dalam sebuah goa, aku hidup
bersama burung itu sampai satu setengah tahun lamanya."
Li Eng
memandang tajam dan tidak mau main-main lagi. "Paman Hong, apakah kau
tidak bertemu dengan pemilik burung, dengan iblis wanita itu?"
"Aku
tidak tahu apa yang kau maksudkan, Li Eng. Aku tidak melihat seorang pun
manusia hidup di sana. Kemudian setelah aku mengenal burung itu baik-baik dan
ia dapat mengerti kata-kataku, setelah satu setengah tahun, aku lalu menyuruh
dia mengantarkan aku turun karena aku tidak sanggup turun sendiri dari tempat
yang curam dan berbahaya itu. Nah, setelah sampai di bawah gunung, burung itu
terbang kembali ke puncak dan aku hendak kembali ke Hoa-san. Celakanya, aku
sesat jaian dan sampai ke sini. Karena sudah dekat kota raja, aku bermaksud
melihat-lihat kota raja lebih dulu. Di sini aku bertemu dengan Sin-eng-cu Lui
Bok yang mengakui aku sebagai murid keponakannya, lalu aku terlibat dalam
urusan Hwa-i Kaipang sampai kalian berdua muncul."
Kun Hong
sengaja tidak mau bercerita tentang kitab-kitab yang ia baca. Malah sekarang
pun masih ada empat buah kitab yang ia bawa dalam saku bajunya, yaitu tiga buah
kitab milik Toat-beng Yok-mo dan sebuah kitab pelajaran hoat-sut dari
Sin-eng-cu Lui Bok.
Demikianlah,
tiga orang muda itu lalu melakukan perjalanan dengan penuh kegembiraan,
terutama sekali yang membuat mereka selalu bergembira adalah sifat Li Eng yang
amat jenaka dan lincah.
Sementara
itu, dengan amat tekunnya Kun Hong menggunakan setiap kesempatan waktu untuk
membalik-balik lembaran kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok dan makin banyak ia
membaca, makin tertariklah hatinya. Secara diam-diam dia mulai berlatih diri
mempelajari ilmu yang amat aneh dan ajaib, yang erat hubungannya dengan ilmu batin
karena ilmu ini hanya dapat dilakukan dengan pengerahan tenaga murni dan hawa
sakti dalam tubuh.
Dengan
petunjuk-petunjuk yang berada dalam kitab ini, makin teranglah bagi Kun Hong
tentang rahasia semedhi dan mengatur pernapasan, serta memperkuat daya sakti
dalam tubuhnya. Semua ini ia latih di luar sepengetahuan dua orang gadis remaja
itu yang selalu yakin bahwa paman mereka adalah seorang pemuda yang tampan,
berwatak halus dan berbudi, namun buta ilmu silat…..
***************
Semenjak
pemberontak-pernberontak dibasmi belasan tahun yang lalu, keadaan di kota raja
aman dan tenteram. Namun hal ini hanya berjalan beberapa tahun saja karena kini
timbullah persaingan baru yang lebih ganas. Persaingan antara putera-putera
Kaisar, juga termasuk keluarganya yang tentu saja merindukan kursi singgasana
untuk menggantikan Kaisar yang sudah tua. Para pangeran itu mulai saling
bermusuhan dalam usaha mereka menarik hati Kaisar agar mereka dijadikan calon
pengganti Kaisar.
Demikian
hebat persaingan ini yang kadang-kadang tidak dilakukan secara diam-diam
melainkan secara terbuka, sehingga masing-masing mempunyai jagoan-jagoan
sendiri. Persaingan mencapai puncaknya ketika putera mahkota, yaitu putera
sulung dari Kaisar, akhirnya tewas menjadi korban persaingan itu. Tak seorang
pun tahu siapa pembunuhnya dan dengan apa dibunuhnya. Namun ahli silat tinggi
maklum bahwa putera mahkota ini dibunuh oleh seorang ahli silat yang memiliki
kepandaian luar biasa.
Seperti juga
halnya dengan kaisar-kaisar lain atau hampir semua pemimpin dan pembesar yang
menduduki kemuliaan serta memegang kekuasaan, Kaisar Tai-tsu juga mempunyai
banyak isteri sehingga anaknya pun banyak pula. Hal ini membingungkan hatinya
sebab dia harus memilih salah seorang pangeran untuk dijadikan putera mahkota setelah
putera sulungnya meninggal dunia.
Dia maklum
akan persaingan serta permusuhan di antara putera-puteranya, selir-selirnya dan
keluarganya. Oleh karena Kaisar pun dapat menduga bahwa putera sulungnya itu
terbunuh orang, maka ia lalu menjatuhkan pilihannya pada anak dari putera
sulungnya itu yang bernama Hui Ti atau Kian Bun Ti untuk menjadi pengganti
putera mahkota. Hui Ti atau Kian Bun Ti ini adalah cucu Kaisar.
Pada waktu
itu Kian Bun Ti ini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan cerdik bukan main.
Ia maklum akan bahayanya kedudukannya, maklum bahwa banyak paman pangeran lain
merasa iri hati akan kedudukannya. Maka dengan sangat pandainya Kian Bun Ti
mendekati Kaisar, berhasil menguasai hati dan kasih sayang kakeknya ini.
Adalah atas
bujukan pemuda cerdik inilah maka seorang pamannya yang dianggap paling
berbahaya, yaitu Pangeran Yung Lo yang jujur dan keras, oleh Kaisar dihalau
dari kota raja, diberi tugas pertahanan di utara, di kota raja lama, Peking.
Memang pada
waktu itu tiada hentinya bangsa Mongol, Mancu, dan lain-lain suku bangsa dari
utara selalu berusaha menyerang Kerajaan Beng yang baru ini. Pangeran Yung Lo
tentu saja mentaati perintah dan berangkatlah dia ke utara menjalankan tugas
berat ini.
Biar pun
telah berhasil menghalau saingannya yang paling berbahaya, namun Kian Bun Ti
masih belum lega karena ia maklum bahwa yang melihat kepadanya dengan mata
penuh dengki masih banyak sekali. Maka ia pun lalu mengumpulkan orang-orang
pandai untuk menjaga dirinya, bahkan dia sendiri mempelajari ilmu silat.
Di samping
kesukaannya mendekati ahli-ahli silat dan para jagoan, Pangeran yang masih muda
ini pun terkenal sebagai seorang yang tidak boleh melihat wanita cantik. Entah
berapa banyak wanita-wanita cantik dan muda, jatuh hati dan menjadi korbannya,
tertarik oleh ketampanannya atau kedudukannya mau pun harta bendanya. Memang
wanita mana yang takkan tertarik oleh seorang pemuda yang tampan, cerdik, malah
seorang pangeran calon kaisar pula?
Di dalam
usahanya menguasai keadaan dunia kang-ouw, Pangeran ini tidak segan-segan untuk
mempergunakan perkumpulan-perkumpulan seperti Hek-kaipang (Pengemis Hitam) dari
mana ia bisa mendapatkan sumber berita mengenai gerakan orang-orang kang-ouw
sehingga ia dapat tahu siapa yang menjadi jagoan-jagoan baru dari para
saingannya.
Pangeran
Kian Bun Ti menjadi tertarik sekali ketika ia menerima laporan dari beberapa
anggota perkumpulan pengemis yang menjadi kaki tangan dan penyelidiknya tentang
dua orang gadis cantik jelita anak murid Hoa-san-pai yang menggegerkan
pertemuan Hwa-i Kaipang. Pangeran ini tidak hanya tertarik oleh kecantikan dua
orang dara remaja itu, melainkan terutama sekali tertarik oleh cerita tentang
kehebatan ilmu silat mereka.
Diam-diam ia
mempunyai maksud hati yang baik sekali, maksud hati yang jadi perpaduan antara
seleranya terhadap dara ayu dan kebutuhannya akan pengawal yang lihai. Cepat ia
memanggil beberapa orang kepercayaannya dan membagi-bagi perintah….
***************
Sementara
itu, Kun Hong dan dua orang dara remaja telah memasuki kota raja dengan
gembira. Tiga orang muda yang semenjak kecilnya bertempat tinggal di pegunungan
yang sunyi ini sekarang berjalan perlahan di atas jalan raya, dengan mata
terbelalak dan mulut tiada henti mengeluarkan seruan-seruan kagum dan memuji
ketika mereka menyaksikan gedung-gedung terukir indah dl sepanjang jalan.
Apa lagi Li
Eng yang amat lincah itu, ia sangat bergembira dan berlarian ke kanan kiri
mendekati setiap penglihatan yang baru dan asing baginya. Setiap ada bangunan
indah dan besar ia berdiri terlongong di depannya, dan benda-benda yang
diperdagangkan di sepanjang jalan dalam toko-toko pun tak lepas dari
perhatiannya.
Hui Cu yang
lebih pendiam dan alim hanya merupakan. pengikut saja. Biar pun gadis ini juga
amat kagum dan terheran-heran, namun ia dapat menekan perasaannya dan hanya
tampak bibirnya yang kecil mungil mengulum senyum serta sepasang matanya
bersinar-sinar menambah indah wajah yang berseri itu.
Pada waktu
itu, orang-orang wanita berada di atas jalan raya bukanlah hal aneh. Banyak
wanita berjalan di atas jalan raya, akan tetapi semua itu adalah wanita-wanita
pekerja kasar dan pedagang kecil, pendeknya wanita yang agak tua atau yang agak
buruk rupa. Puteri-puteri bangsawan yang cantik-cantik hanya menampakkan diri
di atas jalan raya dalam kendaraan tertutup.
Memang ada
kalanya tampak pula berjalan-jalan wanita-wanita kang-ouw atau anak-anak
penjual obat keliling yang memperlihatkan ilmu silat pasaran, namun hal ini
jarang terjadi. Oleh karena itu, ketika dua orang dara remaja ini memasuki kota
raja, di sepanjang jalan mereka lantas menjadi tontonan orang, terutama
laki-laki muda dan tua yang tidak hanya mengagumi kecantikan dua orang gadis
itu, akan tetapi terutama sekali mengagumi sikap mereka berdua yang begitu
bebas.
Dua orang
gadis ini mudah saja menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah gadis-gadis
kang-ouw yang berkepandaian silat, terbukti dari pedang yang tergantung di
pinggang mereka. Mudah juga diduga bahwa mereka berdua tentulah memiliki ilmu
silat yang lihai, karena kalau tidak demikian, bagaimana dua orang gadis remaja
yang begitu cantik jelita bisa melakukan perjalanan dengan aman dan selamat
sampai ke kota raja?
Kecantikan
mereka yang luar biasa itu tentu akan menjadi sebab kemalangan mereka, tentu
mereka telah ditahan dan diambil oleh orang-orang jahat. Karena dugaan inilah
maka walau pun banyak mata laki-laki melotot dan mulut tersenyum-senyum, sejauh
itu belum ada yang berani sembrono mengeluarkan kata-kata teguran atau godaan.
Kun Hong
membuat banyak orang heran. Pemuda ini pakaiannya seperti seorang siucai,
seorang terpelajar, akan tetapi pakaian itu sudah lapuk sehingga menimbulkan
dugaan bahwa dia tentulah seorang pelajar yang tidak lulus ujian dan jatuh
miskin seperti banyak terdapat pada masa itu.
Yang
mengherankan orang, mengapa seorang siucai miskin seperti ini berjalan bersama
dua orang dara remaja kang-ouw? Biasanya gadis-gadis kang-ouw yang cantik
seperti ini tentu melakukan perjalanan dengan laki-laki yang hebat pula, yang
luar biasa, aneh, atau yang gagah perkasa. Kenapa sekarang pengiringnya hanya
seorang siucai jembel yang hanya tersenyum-senyum, berjalan perlahan seperti
kehabisan tenaga?
Lebih-lebih
herannya orang-orang yang berada dekat dengan mereka ketika mendengar Li Eng
dengan lincah menyebut siucai muda itu ‘paman’. Heran sekali, usianya sepantar
mengapa disebut paman?
Bila dua
orang dara itu mengagumi keindahan ukir-ukiran, bangunan, benda-benda aneh yang
diperdagangkan orang, apa lagi melihat sutera-sutera beraneka warna yang halus
dan mahal, adalah Kun Hong kembang-kempis hidungnya serta berkeruyukan perutnya
karena mencium bau masakan yang gurih dan sedap keluar dari banyak rumah makan
di sepanjang jalan.
Wangi sedap
dari masakan daging, bawang dan bumbu-bumbu lain menusuk hidungnya, membuat
semua yang dilihat Li Eng dan Hui Cu tidak seindah mangkok berisi masakan yang
mengebul panas-panas di atas meja! Akan tetapi pemuda ini menekan seleranya,
maklum bahwa tak mungkin ia dapat membeli masakan-masakan yang mahal itu.
Jika Li Eng
tidak ada perhatian lain kecuali terhadap barang-barang indah dan
bangunan-bangunan megah yang tak pernah dilihatnya itu, adalah Hui Cu yang
pendiam dan selalu tanpa diketahui orang lain memperhatikan pamannya, segera
dapat menduga bahwa pamannya itu merasa lapar dan ingin makan.
Hui Cu lalu
menyentuh tangan Li Eng dan berbisik di dekat telinganya. Li Eng tersenyum,
menoleh kepada Kun Hong yang tidak tahu apa yang dibicarakan antara dua orang
gadis itu.
"Paman
Hong, apakah kau lapar dan ingin makan?" tiba-tiba saja Li Eng yang tak
pernah menaruh hati sungkan-sungkan itu bertanya.
"Apa...?
Betul... ehh, tidak apa..." Kun Hong gagap karena pertanyaan yang
tiba-tiba itu memang cocok sekali dengan pikirannya.
Li Eng
segera menyambar tangannya dan digandeng menuju ke sebuah rumah makan.
"Kalau lapar mengapa diam saja? Di sini banyak rumah makan, boleh kita
pilih masakan yang enak!"
"Hush,
jangan main-main." Kun Hong menahan. "Aku tidak punya uang, mana
berani masuk rumah makan?"
“Untuk apa
uang? Kita tak usah beli, bisa minta," kata lagi Li Eng.
"Ihh,
memalukan!" Kun Hong mencela.
Li Eng
tertawa ditahan. "Hi-hi-hi-hik, kau lihat, Enci Hui Cu! Tidakkah aneh
bukan main paman kita ini? Paman Hong, kau ini seorang kai-ong (raja pengemis)
kenapa harus malu minta-minta?"
Digoda
begini oleh Li Eng, gemas juga hati Kun Hong. "Sudah, jangan terlalu
menggoda orang kau, bocah nakal. Kujewer telingamu nanti!"
Li Eng hanya
tertawa manja dan Hui Cu pun berkata, "Susiok, harap jangan kuatir, kami
membawa bekal uang dan andai kata kurang, aku masih mempunyai gelang emas,
dapat kita jual." Berbeda dengan Li Eng, suara nona ini sungguh-sungguh
dan sama sekali tidak bermain-main.
"Nah,
punya keponakan yang begini mencintai seperti Enci Cu, kau takut apa,
Susiok?" Lagi-lagi Li Eng menggoda dan kali ini ia benar-benar menerima
cubitan, bukan dari Kun Hong, melainkan dari Hui Cu sehingga ia menjerit
mengaduh-aduh.
Wajah Kun
Hong sama merahnya dengan wajah Hui Cu. Dia merasa tidak enak sekali dengan
godaan Li Eng itu, maka ia segera berkata dengan lagak seorang tua,
"Sudahlah, di tengah jalan jangan bergurau-gurau. Tidak patut dilihat
orang!" Kemudian ditambahnya, "Kalau memang kalian membawa uang, mari
kita makan di rumah makan itu."
Tiga orang
muda ini lalu memasuki rumah makan yang besar dan mewah, juga kelihatan menarik
sekali karena pintu, jendela dan meja bangkunya dicat merah dan kuning. Melihat
ketiga orang muda ini memasuki rumah makan, pelayan kepala menyambutnya
sendiri, terbungkuk-bungkuk menyambut dengan seluruh muka bulat itu tersenyum
lebar.
"Silakan...
silakan Sam-wi (Tuan Bertiga) masuk. Selamat datang dan silakan. Sam-wi tak
akan kecewa memasuki rumah makan kami yang tersohor di seluruh negeri!"
Apa bila Li
Eng dan Hui Cu menerima sambutan yang amat menghormat ini dengan anggukan
kepala angkuh, adalah Kun Hong yang menjadi sibuk membalas penghormatan orang.
Ia melihat pelayan kepala ini orangnya gemuk, pakaiannya bersih dan rapi
sekali, maka ketika ia melirik ke arah pakaiannya sendiri, ia pun menjadi malu
dan sungkan. Pakaiannya lapuk dan kotor seperti pakaian jembel, bagaimana dia
merasa enak hati menerima sambutan penghormatan sedemikian dari pengurus rumah
makan ini?
Setelah
ketiganya memilih sebuah meja di sudut dan mengambil tempat duduk, pelayan
kepala ini seperti seekor burung kakatua nerocos terus, "Sam-wi hendak
menikmati apa? Arak wangi dari selatan, arak buah dari Tung-to, atau arak ketan
dari pantai? Kami ada masakan-masakan istimewa, khusus untuk Sam-wi. Daging
naga di tim, jantung hati burung sorga goreng setengah matang, kepala burung
Hong dipanggang bumbu merah, kaki gajah masak sayur, buntut singa masak jamur,
atau masih banyak macamnya.”
Tiga orang
itu segera saling pandang. Li Eng dan Hui Cu hanya tersenyum-senyum untuk
menutupi perasaan malu karena semua nama masakan itu merupakan nama asing dan
baru bagi mereka. Akan tetapi tanpa menyembunyikan keheranannya, Kun Hong terus
mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo.
Tidak
main-mainkah pelayan ini? Bagaimana orang bisa memasak daging naga, jantung
burung sorga, burung Hong, gajah, singa dan lain-lain itu? Dia sampai menjadi
bingung dan tidak sanggup memilih. Bagaimana ia harus memilih antara masakan
yang memang selama hidupnya baru kali ini ia dengar namanya itu?
"Kalau
Sam-wi sukar memilih, biarlah kami sediakan semua yang ada agar Sam-wi dapat
makan seenaknya."
Pelayan
kepala itu kemudian mengundurkan diri dan tak lama kemudian berdatanganlah
pelayan-pelayan, ada yang membawa arak, juga ada yang mengantarkan mangkok dan
cawan, ada pula yang mulai mengeluarkan masakan-masakan panas.
Para tamu
lain yang berada di situ memandang heran. Bagi orang kota ini, tidaklah aneh
apa bila ada orang memborong masakan-masakan mahal. Akan tetapi kecantikan
serta kebebasan dua orang dara remaja itu ditambah keadaan Kun Hong yang
seperti jembel, benar-benar mendatangkan keheranan.
"Aku
rela menghabiskan semua uang bekalku untuk dapat makan daging naga, burung Hong
dan lain-lain binatang aneh itu," bisik Li Eng.
Hui Cu
mengangguk. "Selama hidupku baru kali ini aku menjumpai masakan yang aneh.
Untuk merasai daging naga aku pun rela mengorbankan gelangku."
Hanya Kun
Hong yang bengong terlongong, setengah tidak percaya akan masakan yang
aneh-aneh itu. Tidak lama kemudian masakan yang berbau lezat dan sedap gurih
telah tersedia di atas meja. Dengan selera besar tiga orang muda yang memang
sudah lapar sekali ini mulai makan.
Li Eng
menggunakan sumpit menjumputi daging dari tiap masakan untuk dicoba rasanya. Ia
terkikik lalu berkata, "Kurang ajar pelayan itu. Yang begini disebut daging
naga ditim? Aku pernah makan daging ular kembang. Dan ini? Burung sorga apa?
Ini kan hati burung dara? Dan kepala burung Hong? Setan, ini hanya kepala ayam
biasa. Kaki gajah? Hi-hik, kaki babi dan buntut singa ini tentulah buntut
kambing!"
Hui Cu juga
tertawa kecil. “Tidak salah kata-katamu, Adik Eng. Akan tetapi harus diakui
bahwa masakan ini bumbunya lengkap dan enak sekali."
Kun Hong
juga tak sungkan-sungkan menggasak makanan-makanan lezat itu. Mendengar
percakapan dua orang dara itu ia memberi komentar, "Memang penggantian
nama-nama itu hanya siasat untuk menarik perhatian tamu, apa lagi yang datang
dari luar kota raja."
"Tetapi
dia kurang ajar, berani menipu kita," kata Li Eng. "Awas, orang itu
patut dipukul kepalanya. Kita tak usah bayar!"
"Hush,
omongan apa yang kau keluarkan itu, Li Eng?" Kun Hong membentak.
"Jangan kau mencari gara-gara. Apa tidak malu sudah makan malah membayar
pukulan? Tidak boleh kau begitu!"
Li Eng
bersungut-sungut.
"Biarlah
gelangku ini untuk membayar," kata Hui Cu.
"Tentu
aku akan bayar, tapi juga akan kumaki karena dia telah menipu kita," kata
pula Li Eng yang segera memberi isyarat kepada pelayan kepala yang memandang
dari jauh.
Dengan
terbungkuk-bungkuk pelayan kepala ini datang menghampiri. Mukanya berseri dan
mulutnya segera berkata, "Tidakkah Sam-wi puas dengan masakan kami?"
"He,
muka babi! Kau anggap aku ini orang apa? Berani kau mempermainkan kami dan
membohong? Daging ular kau katakan daging naga, burung dara kau katakan burung
sorga dan ayam biasa kau sebut burung Hong. Mana ada kaki gajah? Kaki babi! Kau
benar-benar muka babi berani mempermainkan kami, apakah kau sudah bosan
hidup?"
Muka yang
tadinya berseri-seri itu mendadak berubah pucat. Ia cepat menjatuhkan diri
berlutut di depan tiga orang muda itu dan suaranya yang gemetar sukar sekali
ditangkap maksudnya. Namun Li Eng dapat mendengar bahwa orang itu minta-minta
ampun dan mohon supaya jangan dilaporkan kepada Thaicu (Pangeran).
Kun Hong dan
dua orang gadis itu terheran-heran. Jelas bahwa pelayan kepala ini bukan takut
kepada mereka, tetapi takut kalau-kalau mereka melaporkannya kepada Thaicu.
"Mana
siauwte berani menghina tamu-tamu dari Thaicu? Memang nama masakan itu
begitu...," demikian antara lain kata-kata Si Pelayan Gemuk ini.
"Hemm,
kau menyebut-nyebut Thaicu segala? Siapa itu?" akhirnya Kun Hong bertanya
karena ia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalah pahaman.
Pada saat
itu pula, dari luar masuklah dua orang yang berpakaian indah dan penutup
kepalanya menandakan bahwa mereka adalah orang-orang berpangkat. Semua pelayan
segera memberi hormat kepada dua orang yang datang ini dan ketika mereka berdua
berhadapan dengan Kun Hong, Li Eng, dan Hui Cu yang juga memandang dengan penuh
perhatian, dua orang ini membungkuk-bungkuk dengan sikap menghormat.
"Sam-wi
yang terhormat dipersilakan datang ke Istana Kembang di mana Putera Mahkota
sudah menanti. Kendaraan tamu siap menanti di luar."
Karuan saja
Kun Hong beserta dua orang dara itu terlongong heran dan tidak mengerti.
"Apakah yang kalian maksudkan?" tanya Kun Hong. "Kami tidak
mempunyai hubungan dan janji-janji dengan siapa pun juga, tidak mengenal putera
mahkota..."
Dua orang
tua itu membungkuk lagi. “Thaicu amat tertarik kepada Sam-wi dan mulai saat
beliau mendengar tentang Sam-wi, beliau menganggap Sam-wi sebagai tamu."
Li Eng
segera berkata kepada Kun Hong. "Paman Hong, lebih baik kita lekas pergi
dari tempat ini, di sini banyak yang aneh-aneh dan membingungkan." Ia lalu
mengeluarkan uang bekalnya dan bertanya kepada pelayan kepala, "Lekas
hitung, berapa kami harus bayar makanan palsu ini."
Pelayan ini
buru-buru menggerakkan tangannya menolak. "Ah, bagaimana Siocia (Nona)
hendak membayar? Semua sudah terbayar lunas, malah berikut persennya, semua
sudah beres oleh Thaicu."
Tiga orang
muda itu kembali melengak. Lagi-lagi orang menyebut Thaicu. Kenapa putera
mahkota begitu memperhatikan mereka? Sejak kapankah mereka kenal dengan putera
mahkota?
"Li
Eng, putera mahkota telah berlaku baik kepada kita, tidak seharusnya kita
menolak kebaikan orang. Dia menghendaki kita datang ke Istana Kembang, bukankah
kau tadi menyatakan keinginanmu untuk dapat kesempatan melihat keadaan istana
dari dalam? Nah, kesempatan ini sekarang tiba, kenapa kita tidak
menerimanya?"
"Pendapat
yang bijaksana sekali!" seorang di antara dua pembesar itu berkata girang.
"Marilah, Kongcu dan Ji-wi Siocia (Nona Berdua), mari menggunakan
kendaraan yang sudah menanti di luar rumah makan."
Kun Hong
mengajak dua orang keponakannya keluar dan benar saja, sebuah kereta yang amat
indah dengan dua ekor kuda sudah menunggu di depan. Seorang di antara dua
pembesar itu membukakan pintunya dan mempersilakan tiga orang ‘tamu agung’ itu
memasuki kereta.
Tanpa
ragu-ragu lagi Kun Hong naik, diikuti oleh dua orang gadis yang masih ragu-ragu
dan hanya terpaksa menurut karena didahului oleh paman mereka. Andai kata tidak
ada Kun Hong di situ, sudah pasti Li Eng dan Hui Cu tidak akan sudi menerima
undangan orang.
Sesudah
mereka semua duduk di dalam kereta, salah seorang ‘pembesar’ itu segera
mengambil tempat kusir dan orang ke dua di belakang. Kiranya mereka itu adalah
kusir kereta dan keneknya!
Merah muka
Kun Hong kalau teringat betapa tadi di dalam rumah makan ia mengira bahwa
mereka adalah dua orang ‘pembesar’ dari istana. Kiranya hanya kusir bersama
keneknya! Malu ia kalau melirik kearah pakaiannya sendiri yang patut membuat ia
disebut orang jembel.
Di dalam
kereta yang serba indah dan bersih itu, ketiga orang muda ini duduk saling
berpandangan dan sampai lama tidak membuka mulut. Betapa pun tenangnya, hati
Kun Hong berdebar-debar juga kalau mengingat bahwa dia akan berhadapan dengan
putera mahkota! Apa lagi dua orang gadis itu yang tampak gelisah sekali.
"Paman
Hong," akhirnya Li Eng berkata dengan suara berbisik, "Mengapa kau
menerima undangan ini? Jangan-jangan orang bermaksud buruk dan jahat terhadap
kita..."
"Jangan
curiga yang bukan-bukan, Li Eng. Tempat ini adalah kota raja dan sudah tentu
saja Kaisar sekeluarganya adalah tuan rumah. Kalau putera mahkota mengundang
kita, berarti kita sebagai tamu diundang tuan rumah dan kehormatan besar ini
sekali-kali tidak baik kalau kita tolak. Pula, apa buruknya kalau kita mendapat
kesempatan bertemu dan bercakap-cakap dengan putera mahkota, dan berkesempatan
pula melihat-lihat keadaan kota dari dalam Istana Kembang? Ah, kelak tentu
kalian akan bercerita banyak di rumah tentang pengalaman ini."
Li Eng dan
Hui Cu tidak berkata-kata lagi, terbenam dalam lamunan masing-masing. Memang
bagi Li Eng dan Hui Cu perjalanan ini menegangkan hati sekali, tetapi mereka
berdua juga merasa bahwa perjalanan ini amat berbahaya dan mencurigakan.
Persamaan pendapat ini hanya mereka utarakan dengan pertukaran pandang mata.
Hanya Kun Hong yang duduk enak-enakan, nampaknya ayem dan tenang saja, malah
sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar gembira...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment