Monday, July 16, 2018

Cerita Silat Serial Rajawali Emas Jilid 11



























        Cerita Silat Kho Ping Hoo
          Serial Rajawali Emas

                    Jilid 11


Semua pengemis dan para tamu yang hadir di tempat pertemuan itu terkejut dan segera menengok. Bahkan dua orang pembantu ketua yang sedang bertempur itu pun langsung menghentikan perkelahian mereka dan menengok karena suara teriakan itu benar-benar nyaring dan mengejutkan semua orang.

Sementara itu, Kun Hong sudah mendahului Sin-eng-cu Lui Bok, memasuki gelanggang pertempuran menghadapi Coa-lokai dan Sun-lokai yang memandangnya dengan heran.

"Ji-wi Lo-enghiong, mengapa saling hantam sendiri ? Aku mendengar bahwa Ji-wi hendak memperebutkan kedudukan Ketua Hwa-i Kaipang. Kalau tak salah Hwa-i Kaipang adalah perkumpulan pengemis, mengapa yang hendak menjadi ketuanya malah harus memakai kekerasan? Apakah hendak menjadi ketua perkumpulan tukang pukul? Benar-benar salah sekali."

Coa-lokai memandang dengan mata terbelalak marah. "Kau ini bocah kurang ajar datang dari mana dan apa urusanmu dengan kami?"

Beng-lokai pengemis tua gemuk pendek yang semenjak tadi hanya diam saja melihat dua orang temannya saling serang, sekarang berdiri dan dengan marah membentak, "Bocah tak tahu adat! Kau ini datang-datang mengacau, kau disuruh kaipang dari manakah?"

Diserang dengan bentakan-bentakan ini, Kun Hong tenang saja. Akan tetapi sebelum dia menjawab, kakek pengemis tua yang berdiri di situ, Hwa-i Lokai, berseru keras. "Bagus sekali, Sin-eng-cu Lui Bok! Kau akhirnya datang juga mencariku. Akan tetapi, kuharap kau tidak membawa Hwa-i Kaipang ke dalam urusan pribadi kita berdua. Kau tunggulah aku menyelesaikan dulu pemilihan ketua baru, setelah itu aku siap untuk mati di tanganmu!"

Semua mata sekarang menengok dan memandang ke arah kakek yang memasuki tempat itu yang bukan lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok. "He-he-heh, Sin-chio The Kok. Tak nyana orang gagah seperti engkau ternyata wataknya pengecut, berani berbuat tidak berani bertanggung jawab dan kasihan sekali melihat kau melarikan diri dan bersembunyi sampai belasan tahun." Kakek ini sampai terkekeh-kekeh menertawakan.

Muka Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai menjadi merah sekali. Ia merasa malu dikatakan pengecut di depan begitu banyak orang dan namanya tentu akan menjadi buah tertawaan di dunia kang-ouw. Maka cepat ia menjawab dengan suara keras,

"Heii, Sin-eng-cu Liu Bok, dengarlah baik-baik. Memang perbuatanku melarikan diri dan bersembunyi darimu itu adalah perbuatan pengecut, akan tetapi adalah sebab-sebabnya. Secara kebetulan aku bermusuhan dengan muridmu pada waktu aku merampok seorang pembesar korup dan muridmu itu membela pembesar tadi, Terjadi pertempuran antara kami dan dalam pertempuran itu ia tewas di ujung tombakku. Celakanya, setelah ia tewas, barulah aku mendengar bahwa dia adalah murid Sin-eng-cu Lui Bok. Hatiku menyesal bukan main. Telah puluhan tahun aku kagum dan menjunjung tinggi nama pendekar besar Sin-eng-cu Lui Bok, tapi sekarang aku telah membunuh muridnya. Aku menyesal dan ada dua hal yang menyebabkan aku melarikan dan menyembunyikan diri. Pertama, karena aku maklum bahwa aku takkan menang, ke dua dan ini sebetulnya yang terberat bagiku, aku tidak mungkin dapat bertanding sebagai musuh dengan pendekar yang sejak lama kukagumi dan kujunjung tinggi sebagai seorang pendekar budiman. Sin-eng-cu, hal itulah yang menyebabkan aku menebalkan muka melarikan diri dan bersembunyi. Akan tetapi hukum karma tak dapat dihindarkan manusia. Agaknya Thian yang menuntunmu sampai ke sini sehingga kau dapat menantang padaku dan agaknya memang Tuhan hendak menghabisi nyawaku sekarang juga. Hanya permintaanku, biarkanlah aku menyelesaikan lebih dulu pemilihan ketua Hwa-i Kaipang, setelah itu terserah kepadamu, aku tidak takut mati karena aku memang sudah cukup tua, Sin-eng-cu."

Lega hati Sin-chio The Kok setelah dia mengeluarkan isi hatinya yang juga didengar oleh semua orang itu. Akan tetapi Sin-eng-cu Lui Bok hanya tertawa-tawa saja. Diam-diam hati kakek ini pun girang bahwa dia sebelumnya bertemu dengan Kun Hong. Kalau sampai dia membunuh orang yang segagah ini memang sayang sekali. Apa lagi ia pun maklum bahwa muridnya memang telah membela orang yang dikenal sebagai seorang pembesar korup dan sering bertindak sewenang-wenang, sungguh pun pembesar itu adalah paman muridnya.

Akan tetapi Coa-lokai yang sangat setia terhadap Hwa-i Lokai, ketika mendengar bahwa kakek tua renta yang kelihatan kurus kering itu merupakan musuh besar ketuanya, segera membentak marah, "Kau tua bangka berani menghina pangcu kami! Rasakan tanganku!" Coa-lokai menerjang dan langsung menyerang.

"Coa-lokai, jangan...!" Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai mencegah, akan tetapi terlambat sudah.

Coa-lokai sudah menyerang dengan hebat, bahkan mempergunakan pedangnya. Semua orang melihat betapa pedang di tangan Coa-lokai itu menyambar ganas. Semua orang juga melihat betapa kakek yang diserangnya itu sama sekali tidak bergerak. Akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu terdengar pedang berkerontangan di atas lantai dan tubuh Coa-lokai terlempar ke belakang. Padahal kakek itu hanya mengangkat sedikit tongkatnya yang butut! Ketika dilihat ternyata Coa-lokai yang merintih-rintih itu sudah patah tulang lengannya!

Sin-chio The Kok terkejut sekali. Bukan main hebatnya kepandaian Sin-eng-cu Lui Bok ini. Ia cepat menjura dan berkata, "Pembantuku telah tak tahu diri menyerangmu, akulah yang mintakan maaf. Harap Sin-eng-cu suka bersabar menanti hingga aku selesai mengadakan pemilihan ketua."

Sin-eng-cu Lui Bok tertawa dan hanya berkata, "Silakan..., silakan..."

Kun Hong melangkah maju dan menjura kepada Ketua Hwa-i Kaipang itu.

"Tak tahunya Locianpwe ini yang bernama Sin-chio The Kok dan kini menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Pangcu, aku kebetulan datang bersama Susiok Sin-eng-cu sesudah mendengar bahwa di sini hendak diadakan pemilihan ketua yang baru. Kenapa kau membiarkan saja orang-orangmu berebutan kedudukan ketua? Kalau kau sendiri yang menjadi ketuanya, perlu apa diganti lagi? Kulihat kau seorang yang berjiwa gagah, kenapa hendak mundur? Kalau perkumpulan yang bertujuan memperbaiki nasib orang-orang jembel yang sengsara ini terjatuh ke dalam tangan ketua tukang berkelahi, bukankah akan celaka?"

"Ha, betul sekali omonganmu, Siauw-kongcu!" Tiba-tiba Coa-lokai yang sudah berdiri lagi dengan tangan dibalut berkata keras. "Memang Pangcu tidak perlu diganti lagi!"

"Pangcu, apa bila terpaksa dilakukan penggantian ketua, kurasa satu-satunya orang yang patut menggantimu adalah orang tua tinggi besar ini," Kun Hong menudingkan telunjuknya ke arah Coa-lokai. "Dia jujur dan setia sekali kepadamu."

Memang biar pun masih muda, pandangan mata Kun Hong amat mendalam dan sekali melihat saja dia sudah tahu bahwa Coa-lokai adalah seorang yang setia dan jujur, sama sekali tak memiliki pamrih untuk memperebutkan kedudukan, terbukti dari pembelaannya kepada ketuanya dan menyerang Sin-eng-cu tadi, juga dari kata-katanya barusan.

Diam-diam Hwa-i Lokai kagum memandang Kun Hong. Bocah ini benar-benar luar biasa dan ucapannya seperti orang yang sudah matang pengalamannya saja. Kalau bocah ini menyebut susiok (paman guru) kepada Sin-eng-cu, tentulah ia memiliki kepandaian hebat pula.

Pada saat itu, Sun-lokai dan Beng-lokai sudah siap mendekati Kun Hong. Sun-lokai lalu berseru marah, "Untuk apa mendengarkan omongan bocah gila itu? Usir saja dia dari sini, dia hendak mengacaukan pemilihan ketua!"

"Betul, Pangcu. Bocah ini mencampuri urusan kita. He, bocah tak tahu aturan, lebih baik kau tutup mulutmu dan pergi dari sini. Kalau tidak, mulutmu akan kuhancurkan dengan kepalanku!"

"Ji-wi Lokai jangan kurang ajar terhadap tamu!" Hwa-i Lokai cepat mencegah karena dia merasa tidak enak sekali terhadap Sin-eng-cu.

Kun Hong tersenyum dan Sin-eng-cu hanya tersenyum-senyum juga. "Pangcu, apakah dua orang ini juga pembantu-pembantumu? Alangkah jauh bedanya dengan Coa-lokai."

"Ehhh, orang muda, kau tadi datang-datang melawan kami bertempur untuk menentukan kemenangan. Ada hak apakah kau hendak mencampuri urusan Hwa-i Kaipang?" bentak Sun-lokai.

Kini Kun Hong berbicara dengan muka sungguh-sungguh, "Lokai, aku mendengar bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan Hwa-i Kaipang dan perkumpulan pengemis tentulah bertujuan untuk menolong para pengemis serta memperbaiki nasib mereka. Akan tetapi kenapa untuk menentukan seorang ketua harus memilih yang pandai ilmu silat dan kalian tadi saling gempur sendiri? Apakah Hwa-i Kaipang hendak dijadikan perkumpulan tukang pukul?"

"Kau mengaku sebagai keponakan Sin-eng-cu, tetapi omongan apa yang kau keluarkan ini?" Sun-lokai membentak, makin marah, "Kalau ketua kita seorang yang lemah, mana bisa memimpin Hwa-i Kaipang?"

"Ah, salah sama sekali!" Kun Hong berseru penasaran, "Apakah hanya seorang tukang pukul saja yang dapat memimpin? Memimpin dengan cara kekerasan dan kekuatan sama sekali tidak baik."

Kini Beng-lokai juga mendekati Kun Hong. "Kau anak kecil bicara besar! Kalau seorang pemimpin tidak mempunyai ilmu silat tinggi dan menggunakan kekerasan, mana bisa para anggota dipimpin dan mana mereka bisa menaati ketuanya?"

Kun Hong mengalihkan pandangnya kepada pengemis tua gemuk pendek ini.

"Inilah sebabnya kenapa aku katakan salah. Memimpin dengan kekerasan mengandalkan kepandaian silat memang bisa membikin anggotanya taat, akan tetapi hanya taat karena terpaksa! Bukan taat yang timbul dari hati yang sejujurnya, melainkan taat untuk menjilat. Seharusnya kalian mempunyai seorang ketua yang bijaksana, yang betul-betul mampu mengatur sehingga di antara para pengemis tidak saling gempur, dapat menuntun mereka ke arah kejujuran, kesetiaan dan jalan benar sehingga mereka dapat menemukan kembali lapangan pekerjaan yang terhormat."

Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang membuat semua orang menengok karena yang tertawa terkekeh-kekeh ini adalah Sin-eng-cu Lui Bok yang kini semua orang di situ tahu bahwa kakek ini adalah musuh besar Ketua Hwa-i Kaipang.

"He-he-heh, Sin-chio The Kok, kalau benar-benar sayang kepada perkumpulanmu, kalau kau ingin melihat perkumpulanmu menjadi maju dan sempurna, kau angkatlah Kwa Kun Hong ini menjadi ketua menggantikanmu!"

Merah muka Ketua Hwa-i Kaipang itu dan ia pun memandang tajam. "Sin-eng-cu, apakah selain datang hendak mengambil nyawaku kau pun bermaksud merampas kedudukan kaipang untuk murid keponakanmu?" Pertanyaan ini terdengar keras dan pedas sehingga para anggota Hwa-i Kaipang juga menjadi berisik.

"Ho-ho-ho, setelah berkumpul dengan orang-orang jahat kau makin tersesat, Sin-chio The Kok. Memang tadinya pada saat aku mengabarkan kedatanganku kepadamu, sudah bulat dalam hatiku untuk membunuhmu, membalaskan muridku yang kau bunuh dahulu. Akan tetapi ketahuilah, setelah bertemu dengan murid keponakanku yang hebat ini, sekaligus dia bisa mengusir niatku itu dari otakku! Kini aku tidak ingin membunuhmu lagi, The Kok. Ha-ha-ha, benar dia ini, kau sudah cukup tersiksa akibat perbuatanmu sendiri. Walau pun dia ini murid keponakanku, tetapi dalam hal kebijaksanaan aku boleh berguru kepadanya. Karena itu, apa bila dia yang menjadi ketua, aku tanggung Hwa-i Kaipang akan menjadi perkumpulan yang besar dan maju, dan anak buahmu ini sebentar saja akan berubah menjadi manusia-manusia benar. Berbeda kalau kau atau pengemis-pengemis bangkotan ini yang menjadi ketua, para pengemis diajar silat, kelak dari pengemis berubah menjadi perampok. Heh-heh-heh!"

Kaget bukan main hati The Kok mendengar ini. Ada perasaan lega, girang, terharu dan juga malu. Ia lalu menoleh dan memandang kepada Kun Hong yang masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Jadi bocah yang sikapnya aneh ini malah telah menolong nyawanya dari ancaman Sin-eng-cu!

Ia tadinya sudah maklum bahwa ia pasti akan tewas di tangan Sin-eng-cu karena dalam hal ilmu silat, ia jauh di bawah tingkat kakek itu. Sekarang Sin-eng-cu malah mengusulkan supaya pemuda yang bernama Kwa Kun Hong ini menjadi ketua Hwa-i Kaipang.

"Sin-eng-cu, kau mengaku dia sebagai murid keponakanmu, sebetulnya pemuda ini murid siapakah?" tanyanya agak meragu.

Kakek kurus itu tertawa lagi, "Ha-ha-ha-ha, jangan bicara tentang ilmu silat dengan Kun Hong, karena mungkin dia tidak akan mampu dan suka membunuh seekor kucing pun. Akan tetapi dia ini murid suheng-ku, gurunya adalah mendiang Bu Beng Cu."

Tidak ada yang mengenal Bu Beng Cu, juga Sin-chio The Kok tak pernah mendengarnya. Akan tetapi jika pemuda ini adalah murid suheng dari Sin-eng-cu, sudah dapat dipastikan kepandaiannya tinggi juga.

Persoalan Ketua Hwa-i Kaipang bukanlah hal yang remeh, untuk memilih ketua harus dipilih orang yang betul-betul tepat. Bagaimana ia bisa menerima seorang pemuda yang sama sekali belum dia ketahui keadaannya ini untuk memimpin anggota Hwa-i Kaipang yang ratusan orang jumlahnya?

Selagi ia ragu-ragu, Beng-lokai dan Sun-lokai sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Beng-lokai berkata kepada Kun Hong, "Bocah ini mau menjadi ketua kami? Boleh saja, asalkan dia mampu mengalahkan aku, ha-ha-ha!"

"Juga dia harus bisa merobohkan aku, baru berhak menjadi ketua!" kata Sun-lokai sambil menggeser kaki mendekati.

Melihat ini, tiba-tiba saja Sin-chio The Kok mendapatkan pikiran amat bagus. Dua orang pembantunya ini memang tepat untuk menguji kepandaian pemuda itu. Maka ia berkata kepada Sin-eng-cu, "Kalau pemuda ini berani menghadapi Beng-lokai dan Sun-lokai serta mengalahkan mereka, aku menerimanya menjadi ketua Hwa-i Kaipang menggantikan aku. Memang betul bahwa untuk membimbing para anggota tak perlu dipergunakan ilmu silat, akan tetapi tanpa mempunyai kepandaian tinggi, mana mampu menjaga keamanan perkumpulan dan mana bisa menghalau segala orang-orang jahat?"

"Orang muda, kau sudah mendengar sendiri. Ketua kami sudah mengijinkan kami berdua menghadapimu. Hayo kau robohkanlah kami!" berkata Beng-lokai dengan sikap mengejek dan terdengarlah suara tertawa para pengemis pengikut kedua orang pembantu ini.

Kun Hong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. "Aku tidak pernah berkelahi dan aku pun tidak mau berkelahi. Aku bukanlah tukang pukul!"

Ucapan ini kembali memancing datangnya tertawaan di kalangan anggota Hwa-i Kaipang. Perkumpulan ini mengutamakan ilmu silat serta kegagahan, bahkan semua anggotanya mempelajari ilmu silat. Bagaimana sekarang hendak mengangkat seorang pemuda lemah seperti itu sebagai ketua?

Kun Hong tidak peduli akan suara tertawa dan ejekan yang dilontarkan kepadanya, akan tetapi Sin-eng-cu menjadi merah mukanya.

"Ehhh, Kun Hong, kau memalukan aku saja. Apakah kau takut menghadapi dua orang pengemis busuk ini?"

Sepasang mata Kun Hong berkilat. Dia adalah keturunan seorang pendekar besar, ibunya pun seorang pendekar wanita, darah kesatria mengalir di tubuhnya dan bagi keluarganya, kata-kata takut tidak terdapat dalam kamus.

"Aku tidak pernah takut kepada siapa pun juga. Aku hanya takut kalau-kalau aku akan menyimpang dari kebenaran." Jawaban Kun Hong ini adalah ucapan kuno yang pernah ia baca dalam kitab-kitabnya.

"Ha-ha-ha, bocah sombong, kalau kau tidak takut, hayo lawan kami berdua!" Beng-lokai berkata lagi.

Karena maklum bahwa Kun Hong tidak mungkin mau menyerang orang, Sin-eng-cu lalu berkata kepada dua orang pembantu ketua itu, "Heh, dua orang jembel busuk, terhadap dua orang badut seperti kalian yang jauh lebih rendah tingkatnya, murid keponakanku mana mau turun tangan? Jangan kalian hanya petentang-petenteng menjual lagak, kalau ada kepandaian, hayo kalian boleh menyerang.”

Sun-lokai orangnya cerdik. Kalau kakek ini mencampuri dan turun tangan tentu mereka akan kalah. Tadi sudah terbukti betapa hebatnya kepandaian kakek ini ketika merobohkan Coa-lokai. Malah Hwa-i Lokai sendiri kelihatan takut kepada kakek ini. Ia lalu tertawa dan berkata,

"Sin-eng-cu Lui Bok adalah seorang Locianpwe yang tingkatannya lebih tinggi dari kami yang bodoh. Kalau Locianpwe maju membantu bocah ini nanti, meski kami pasti akan kalah akan tetapi bukan kami yang akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw."

Sin-eng-cu memandang dengan mata melotot. "Monyet kau! Kalau aku memang punya kehendak merobohkan manusia-manusia monyet semacam kau, perlu apa aku banyak cerewet lagi? Kalian boleh serang dia, biar pun dia sampai terpukul mampus oleh kalian, aku tidak akan membantunya. Dengar janjiku ini!"

Lega dan girang hati Sun-lokai mendengar ini. Ia sudah berhasll membakar hati kakek itu dan sekarang ia dan Beng-lokai tidak usah takut akan turun tangannya kakek yang lihai itu. Mereka berdua saling memberi isyarat dengan pandang mata, lalu berbareng mereka menyerang Kun Hong sambil berkata, "Bocah sombong, awas, kalau sakit atau mati kau jangan persalahkan kami!"

Selama hidupnya Kun Hong belum pernah berkelahi. Kini menghadapi dua orang yang tiba-tiba menyerangnya dengan pukulan-pukulan hebat, ia menjadi amat kaget dan gugup. Akan tetapi hanya dengan beberapa langkah saja ia sudah dapat menghindarkan diri dari penyerangan dua orang itu.


Dalam pandangannya, serangan dua orang ini amat lambat dan mudah dikelit. Rajawali Emas kalau sedang melatihnya jauh lebih gesit dan berbahaya. Oleh karena itu, dengan tenang-tenang dan mudah Kun Hong berhasil mengelakkan semua serangan yang datang bertubi-tubi dari dua orang pengemis lihai tadi.

Bagi semua orang, kecuali Sin-eng-cu Lui Bok, gerakan-gerakan Kun Hong tidak karuan dan kacau-balau, kelihatan seperti orang ketakutan dan beberapa kali terhuyung-huyung hendak roboh. Kadang-kadang dia berjongkok, berdiri, berlari kecil, malah kadang-kadang merangkak. Namun semua serangan selalu mengenai tempat kosong, bahkan menyentuh ujung bajunya pun tidak dapat.

Semakin lama para pengemis yang menonton menjadi semakin tegang dan kemudian bersorak-sorak karena perkelahian yang tidak seimbang itu memang amat lucu. Kun Hong seperti seekor tikus yang dikejar dan diperebutkan dua ekor kucing, ditubruk sini nyelinap sana, diterkam sana mengelak ke sini. Tak seorang pun menganggap bahwa pemuda itu pandai ilmu silat karena gerakan-gerakan yang kacau balau dan tidak teratur itu mana bisa disebut ilmu silat?

Bagi mereka, dianggapnya bahwa Kun Hong ketakutan dan kebingungan dan bahwa dua orang lokai itu memang sengaja tidak mau melukainya atau hendak mempermainkannya terlebih dulu. Tak seorang pun tahu bahwa diam-diam dua kakek pengemis itu kaget dan heran bukan main, tengkuk mereka terasa dingin dan bulunya pada berdiri.

Hampir mereka itu tak dapat mempercayai kalau tidak mereka hadapi sendiri. Siapa tidak merasa seram jika telah mengeluarkan seluruh kepandaian untuk memukul roboh pemuda lemah ini, akan tetapi tak pernah mengenai sasaran?

Padahal tampaknya baik pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan sudah tepat. Namun heran sekali, begitu tiba pada sasaran, mendadak yang dijadikan sasaran telah berpindah tempat. Maka setelah lewat lima puluh jurus, kedua orang pengemis ini menjadi pucat dan penuh keringat.

Selain Sin-eng-cu yang diam-diam mengagumi Kim-tiauw-kun ciptaan suheng-nya, juga Sin-chio The Kok memandang dengan mata terbelalak. Ia pun bingung dan merasa heran, apa lagi kalau melihat gerakan Kun Hong begitu kacau-balau seperti orang mabuk. Akan tetapi karena memang tingkat kepandaian The Kok sudah amat tinggi, makin lama makin teranglah baginya bahwa gerakan atau langkah-langkah kaki Kun Hong itu meski terlihat kacau, sebenarnya adalah langkah-langkah ajaib yang luar biasa sekali.

Begitu ia memperhatikan langkah-langkah itu, terasa matanya berkunang dan kepalanya pening. Ia terkejut dan cepat-cepat mengumpulkan lweekang untuk menahan kepusingan. Ia mengerahkan tenaga untuk memperhatikan terus, namun akhirnya ia harus mengalah, harus mengalihkah perhatiannya. Langkah itu demikian ajaibnya dan luar biasa sehingga kalau ia paksakan, mungkin akan membuat ia jatuh pingsan!

Ketua Hwa-i Kaipang ini maklum bahwa pemuda aneh itu benar-benar telah mewarisi ilmu yang ajaib dan tahu bahwa kedua orang pembantunya tentu akan menderita celaka kalau dilanjutkan, maka ia bermaksud menghentikan pertempuran itu. Akan tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gesit sekali dibarengi bentakan halus.

"Dua orang tua bangka tak tahu malu, berani kalian menghina pamanku?"

Gerakan bayangan ini gesit sekali, berbareng menyambar pula sinar hitam dan tahu-tahu Beng-lokai dan Sun-lokai terhuyung-huyung ke belakang!

Ketika semua orang memperhatikan, bayangan itu adalah seorang gadis yang cantik dan gagah, yang memegang sehelai sabuk hitam yang tadi ia pergunakan untuk menyerang dua orang itu sehingga mereka terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat berikutnya, kembali berkelebat bayangan orang dan seorang gadis lain yang juga cantik manis sudah berdiri di situ dengan sikap gagah.

Beng-lokai dan Sun-lokai kaget sekali, akan tetapi mereka menjadi marah saat mendapat kenyataan bahwa yang menyerang mereka tadi hanyalah seorang gadis muda. Berbareng mereka mencabut pedang dan siap menerjang dua orang gadis itu.

Gadis yang memegang sutera hitam itu tersenyum mengejek, sedangkan gadis kedua juga mendadak menggerakkan tangan dan tahu-tahu sebatang pedang tipis tajam sudah berada di tangannya.

"Hi-hik, kalian ini dua ekor keledai tua apakah sudah bosan hidup? Cu-cici (Kakak Cu), mari kita basmi dua ekor keledai yang sudah berani kurang ajar terhadap Paman Hong ini!"

Kun Hong segera mengenal gadis pertama, seorang gadis lincah jenaka dan cantik yang bermata seperti bintang pagi. Teringatlah ia ketika ia dahulu dikerek oleh gadis ini ke atas pohon mempergunakan sabuk sutera hitam itu.

"Ehh... ehhh... kau... anak nakal... jangan berkelahi!" katanya mencegah.

Sementara itu, Hwa-i Lokai juga mernbentak kedua orang pembantunya, "Beng-lokai dan Sun-lokai, harap kalian mundur dan simpan senjata!"

Suaranya berpengaruh dan tegas sehingga dua orang pembantunya yang masih merasa penasaran itu tidak berani membantah lagi. Dengan muka keruh mereka segera mundur.

Sementara itu, Kun Hong memandang kepada gadis-gadis itu, memandang heran dan keningnya berkerut. Ia mengenal gadis pertama yang dalam anggapannya adalah gadis yang berwatak nakal dan jahat, suka berkelahi dan kejam. Ia merasa kuatir kalau-kalau kedatangan gadis ini lagi-lagi akan mendatangkan bencana, bunuh membunuh di antara sesama manusia seperti yang ia saksikan di Hoa-san dahulu itu. Akan tetapi ia juga heran mengapa gadis itu tadi menyebutnya sebagai pamannya!

"Eh, Nona yang nakal, bagaimana kau sampai tersesat ke tempat ini dan sejak kapan aku menjadi pamanmu?" tegurnya dengan suara galak.

Gadis itu yang bukan lain adalah Kui Li Eng, berseri mukanya, matanya bercahaya jenaka dan ia tidak menjawab, melainkan menoleh kepada gadis ke dua yang bukan lain adalah Thio Hui Cu.

"Cu-cici, benar tidak ceritaku? Paman Hong ini orangnya lucu, aneh dan keberaniannya membuat aku terheran-heran. Seorang yang tidak memiliki kepandaian silat, tetapi berani merantau sampai ke sini. Malah baru saja kita lihat tadi dia dikejar-kejar dua ekor keledai, akan tetapi sedikit pun tidak takut. Agaknya di samping kelucuan dan keanehannya, dia pun memiliki nyawa rangkap."

Hui Cu yang alim dan pendiam menyembunyikan senyumnya, hanya sekilas saja berani menatap wajah Kun Hong, lalu mengalihkan pandangnya.

"Hee, jangan kau memperolok aku! Kau belum menjawab pertanyaanku. Sejak kapan dan berdasarkan apa kau mengaku sebagai keponakanku?"

Senyum Li Eng melebar, membuat wajahnya yang jelita itu makin manis dan ramah. Akan tetapi di balik keramahan dan kejenakaannya tersembunyi pula sifat nakal yang terpancar keluar dari sepasang matanya.

"Paman Hong yang tercinta..."

"Hush...!" Merah muka Kun Hong. "Bicara yang benar, jangan berolok-olok!"

"Kau memang pamanku sejak aku dilahirkan dan berdasarkan kenyataan bahwa ayahmu adalah kakek guruku. Kau anaknya, kalau bukan pamanku habis apaku? Bukan hanya aku, malah Cici Hui Cu ini pun keponakanmu, karena dia adalah anak tunggal dari Supek (Uwa Guru) Thio Ki."

Kun Hong sampai meloncat-loncat saking kaget, heran, dan bingungnya. "Apa kau bilang? Mana bisa Suko (kakak Seperguruan) Thian Beng Tosu mempunyai anak?"

Li Eng terkikik sambil menutupi mulutnya. "Tentu saja yang beranak bukan Supek, akan tetapi isterinya, hi-hi-hik."

Hui Cu tidak dapat menahan geli hatinya, ditutupnya mulutnya yang kecil dengan tangan kanan. "Ihh, Eng-moi, jangan bicara tidak karuan."

Juga muka Kun Hong tampak bodoh, matanya terbelalak lebar. Ia sungguh-sungguh tidak mengerti. Memang banyak hal yang tidak ia mengerti, di antaranya adalah tentang riwayat suko-nya itu, tidak tahu sama sekali bahwa suko-nya yang dahulu bernama Thio Ki itu pernah punya isteri.

"Jangan kau main-main! Apakah sepeninggalku dari Hoa-san Suko telah menikah?"

Kembali Li Eng menoleh kepada Hui Cu. "Kau lihat, Cici. Alangkah lucunya. Di samping lucu, aneh dan berani, juga ininya... kurang sekali." Ia menunjuk ke arah dahinya yang halus untuk menyindirkan tentang kebodohan Kun Hong.

"Paman Hong, nanti kalau kau sudah pulang, kau akan mendengar sendiri semuanya. Pendeknya, Cici Cu ini adalah anak tunggal dari Supek Thian Beng Tosu."

Bukan main girangnya hati Kun Hong. Dia memang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan di samping pengetahuannya yang mendalam tentang ilmu kebatinan dan filsafat yang membuatnya kadang-kadang bicara seperti seorang kakek-kakek. Mendengar ini, saking girangnya ia melompat ke depan memegang pundak Hui Cu. Dipandangnya muka nona itu dan berkatalah dia kegirangan.

"Aduh senangnya...! Aku memiliki keponakan dan tahu-tahu sudah begini besar, begini... ehhh, cantik dan manisnya. Kau bernama Hui Cu? Tentu namamu Hui Cu... tapi kenapa kau tidak mirip Suko? Ahh…, tentu mirip ibumu."

Memang watak Kun Hong aneh bukan main. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang pasti akan menganggap ia gendeng atau setidaknya kurang ajar, padahal semua itu timbul dari lubuk hatinya yang benar-benar menjadi girang bukan main.

Karuan saja Hui Cu yang alim, pendiam dan pemalu menjadi merah mukanya. Dia hanya tersenyum sedikit, memandang sekilas kemudian tunduk dengan telinga merah, apa lagi ditertawakan oleh Li Eng dan malah terdengar pula suara ketawa dari banyak pengemis yang hadir di situ.

"Iihh, Paman Hong. Kau membuat aku mengiri. Aku bisa marah, lho! Bukan hanya Enci Cu keponakanmu, aku pun keponakanmu, apa kau lupa?"

Kun Hong melepaskan pegangannya pada kedua pundak Hui Cu, lalu memandang Li Eng, keningnya berkerut. "Dia ini puteri Suko, tentu saja seperti keponakanku sendiri. Tapi kau ini, kau bocah nakal, kau anak siapa berani mengaku sebagai keponakanku?"

Li Eng cemberut. "Sudahlah, kalau kau tidak mau mengakui ayah bundaku, sudahlah...! Memang orang macam aku mana patut menjadi keponakanmu?"

Hui Cu merangkul Li Eng. "Adik Eng, jangan ngambek. Ehh, Paman Hong, sesungguhnya Eng-moi adalah keponakanmu karena dia adalah puteri tunggal dari Bibi Thio Bwee dan Paman Kui Lok yang sekarang sudah berkumpul di Hoa-san-pai."

"Begitukah?" Kun Hong sampai berteriak keras saking girangnya.

Kun Hong lalu menyambar tangan Li Eng, ditariknya dan seperti gila ia menari-nari sambil menggandeng tangan gadis itu mengelilingi lapangan.

"Bagus, kau puteri mereka? Ha-ha-ha, mereka jadinya masih hidup dan sudah kembali ke Hoa-san-pai? Aduh senangnya!"

"Hush... apa-apaan kau ini, Paman Hong?" Li Eng menjadi malu juga karena dia dipaksa menari-nari tidak karuan, "Dilihat banyak orang, apa tidak malu? Hayo kita pergi dari sini, kembali ke Hoa-san. Sukong mengharap-harap kembalimu."

Kun Hong melepaskan gandengannya. "Memang tadinya aku pun hendak kembali, apa lagi sekarang setelah semuanya berada di sana."

Kun Hong lalu menoleh kepada Sin-eng-cu Lui Bok yang sejak tadi hanya melihat dan mendengarkan sambil tersenyum-senyum gembira. Terhadap kakek ini Kun Hong segera menjura dan berkata, "Susiok, perkenankan teecu pergi, karena teecu harus kembali ke Hoa-san."

Sin-eng-cu Lui Bok tersenyum dan berkata, "Pulanglah, Kun Hong dan berbahagialah kau. Aku pun akan mencapai kebahagiaan di puncak Bukit Kepala Naga, mendekati mendiang Suheng yang bijaksana."

Setelah berkata demikian, Sin-eng-cu Lui Bok lalu berjalan membungkuk-bungkuk sambil memutar-mutar tongkatnya. Biar pun kelihatannya jalan seenaknya, namun sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mata.

Kun Hong lalu berpaling kepada Hwa-i Lokai dan menjura. "Pangcu, harap maafkan kalau kedatanganku ini mengganggu urusanmu. Sesudah Susiok pergi, urusan antara dia dan Pangcu sudah habis, perkara pemilihan ketua terserah kepadamu."

Ia menoleh kepada Li Eng dan Hui Cu, lalu berkata gembira, "Hayo, anak-anak! Hui Cu dan... ehhh, kau yang nakal siapa namamu?"

Dua orang gadis itu menutupi mulut dengan geli melihat sikap Kun Hong yang lucu dan tolol ini. "Paman Hong, namaku Kui Li Eng, jangan lupa lagi!"

"Hayo kita pergi dari sini!" kata lagi Kun Hong.

Akan tetapi Hwa-i Lokai segera melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Nanti dulu, Siauw-sicu. Aku atas nama Hwa-i Kaipang menerima usul Locianpwe Lui Bok tadi untuk menyerahkan Hwa-i Kaipang ke dalam bimbinganmu. Aku mengangkat kau sebagai ketua baru dari Hwa-i Kaipang!"

Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai adalah orang yang amat luas pandangannya. Memang ia bercita-cita membuat perkumpulan Hwa-i Kaipang menjadi perkumpulan yang kuat dan sekarang ia melihat ke sempatan yang amat baik untuk memperkuat perkumpulannya itu.

Pemuda ini terang adalah seorang luar biasa. Sungguh pun kelihatannya tidak memiliki kepandaian ilmu silat, namun memiliki pribudi tinggi dan pengetahuan luas. Apa lagi yang mengusulkan supaya pemuda ini diangkat menjadi ketua adalah seorang tokoh besar, yaitu Sin-eng-cu Lui Bok yang ternyata masih susiok pemuda ini.

Sekarang, melihat sepak terjang dua orang gadis itu, jelas bahwa pemuda ini selain murid keponakan Sin-eng-cu Lui Bok, kiranya masih mempunyai hubungan erat dengan pihak Hoa-san-pai. Jika Hwa-i Kaipang dapat mengangkat pemuda ini menjadi ketua, bukankah berarti bersekutu dengan Sin-eng-cu dan Hoa-san-pai sehingga menjadi amat kuat?

Di lain pihak, Kun Hong gelagapan dan bingung setengah mati mendengar ucapan kakek itu. Dia mengangkat tangan dan menggerak-gerakkan tangannya tanda menolak. "Tidak bisa... tidak bisa, Pangcu. Aku yang bodoh mana bisa menjadi Ketua Hwa-i Kaipang?"’

Pada saat itu terdengar suara Coa-lokai yang keras dan kasar, "Saudara-saudara para anggota Hwa-i Kaipang yang masih setia kepada Hwa-i Lokai, hayo kita lekas berlutut memberi hormat kepada pangcu yang baru!"

Pengemis tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong. Tampak di belakangnya banyak sekali para pengemis ikut berlutut. Hanya beberapa orang pengemis yang berpihak kepada Beng-lokai dan Sun-lokai tidak mau berlutut, hanya memandang kepada dua orang pemimpin mereka yang berdiri dengan muka merah.

Kun Hong menjadi semakin gugup, apa lagi ketika melihat Hwa-i Lokai sendiri menjura kemudian mengangguk-angguk berkali-kali. Ketika ia memandang kepada Coa-lokai yang memelopori para anggota itu, dia melihat wajah pengemis tua ini berpeluh, dan kelihatan jelas ia menderita rasa sakit yang hebat, sedangkan lengan pergelangan membengkak. Teringatlah ia betapa dalam membela ketuanya, pengemis ini tadi terluka oleh Sin-eng-cu Lui Bok.

Ia segera memberi isyarat dengan tangannya, berkata, "Lokai, kau ke sinilah!"

Dengan sikap hormat dan juga terheran-heran, Coa-lokai bangkit dan menghampiri Kun Hong. Pemuda ini tanpa ragu-ragu lagi lalu memegang lengan kanan Coa-lokai. Beberapa kali memijat saja tahulah Kun Hong bahwa tulang lengan itu tidak patah, tetapi terlepas sambungannya. Memang sejak membaca kitab pelajaran ilmu pengobatan dari Toat-beng Yokmo, pengetahuan Kun Hong tentang luka dalam dari segala macam penyakit menjadi luar biasa sekali.

"Untung Susiok tadi masih menaruh kasihan kepadamu," katanya perlahan. "Lain kali kau jangan memandang rendah orang seperti dia, Lokai."

Ia memijat sana menotok sini dan sebentar saja sambungan tulang pergelangan itu telah baik kembali dan lengan itu mengempis lagi. "Masukkan tanganmu yang ini ke dalam saku dan jangan digerak-gerakkan selama sehari semalam. Tentu akan sembuh kembali."

Tidak hanya Coa-lokai yang kegirangan dan terheran-heran, namun semua orang di situ terheran-heran, termasuk Li Eng dan Hui Cu.

"Terima kasih atas pertolongan Pangcu," kata Coa-lokai sambil melangkah mundur.

"Aku bukan ketuamu, ketuamu adalah Hwa-i Lokai itulah," kata Kun Hong.

"Tidak, kaulah Pangcu kami yang baru, Siauw-sicu. Dan inilah tanda ketua, harap kau sudi menerimanya dariku."

Hwa-i Lokai kemudian mengeluarkan sebatang tongkat kecil yang berlukiskan kembang-kembang indah, diangsurkan pada Kun Hong. Tentu saja Kun Hong tidak mau menerima tongkat itu.

"Jangan, Pangcu. Aku tak berani menerimanya. Kau tetaplah menjadi Pangcu atau pilihlah di antara pembantumu. Aku akan pulang ke Hoa-san."

Berkerut kening Hwa-i Lokai dan wajah kakek ini menjadi pucat. "Sicu, ada satu peraturan yang kami pegang keras, yaitu apa bila kami dihina, kami harus mempertahankan nyawa untuk menebus hinaan. Penolakanmu terhadap pemilihan ketua merupakan penghinaan bagi kami. Akan tetapi, oleh karena kau adalah seorang mulia dan budiman yang sudah menolong nyawaku dari ancaman mati di tangan Sin-eng-cu, bagaimana aku bisa berbuat dosa terhadapmu? Karena itu, apa bila kau tetap menolak untuk menerima tawaran kami menjadi Pangcu dari Hwa-i Kaipang, aku tua bangka ini akan membunuh diri di depan kakimu untuk menebus penghinaan ini. Selanjutnya tentang Hwa-i Kaipang kuserahkan kepadamu!" Setelah berkata demikian, kakek itu lalu mencabut pedangnya, siap untuk melakukan pembunuhan diri.

"Heiii, jangan...!" Kun Hong cepat maju dan memegang lengan Ketua itu yang memegang pedang, "Sabarlah, Pangcu... wah, bagaimana ini baiknya? Kau tidak boleh membunuh diri!"

"Kalau Sicu menolak, terpaksa aku membunuh diri menebus penghinaan."

Kun Hong memutar otaknya dan pemuda yang cerdik ini sudah mendapat jalan.

"Baiklah... baiklah, kau simpan dulu pedangmu."

Dengan muka girang Hwa-i Lokai menyimpan pedangnya dan memberikan tongkat kecil itu. Terpaksa Kun Hong menerimanya dan para pengemis anggota Hwa-i Kaipang lantas bersorak girang, kecuali mereka yang tidak setuju.

"Begini Hwa-i Lokai. Sesudah aku menjadi ketua, tentu semua anggota Hwa-i Kaipang, termasuk kau sendiri, akan taat dan menurut perintahku, bukan?"

"Tentu saja, walau pun disuruh menyerbu ke dalam lautan api, kami akan taat terhadap perintah pangcu" kata Hwa-i Lokai penuh semangat.

"Nah, bagus! Sekarang perintahku yang pertama. Aku mengangkat kau menjadi Ji-pangcu (ketua ke dua) yang mewakili aku memimpin Hwa-i Kaipang jika aku tidak berada di sini. Kau boleh memilih pembantu sendiri dan selama aku tidak berada di sini, kaulah yang menjadi wakilku dengan kuasa sepenuhnya. Sekarang aku mempunyai keperluan penting sekali, harus kembali ke Hoa-san, maka kaulah yang menjadi wakilku untuk sementara."

Semua orang tahu belaka bahwa ini merupakan akal pemuda itu, akan tetapi karena ini merupakan perintah, tentu saja tidak ada yang berani membantah.

"Tentu saja Lokai taat terhadap perintah Pangcu, akan tetapi harap saja Pangcu tidak menganggap ini sebagai main-main dan jangan berbuat tega terhadap Hwa-i Kaipang," kata kakek itu.

Li Eng adalah seorang gadis yang banyak pengertiannya tentang dunia kang-ouw, maka ia segera berkata kepada Hwa-i Lokai, "Lokai, harap kau maklumi keadaan Pamanku ini. Ketahuilah, dia adalah putera tunggal dari Ketua Hoa-san-pai, sebelum menerima ijin dari ayahnya, mana dia berani berdiam di sini menjadi ketua Hwa-i Kaipang?"

Hwa-i Lokai nampak terkejut. Memang sama sekali ia tidak menduga bahwa pemuda ini adalah putera Ketua Hoa-san-pai! Akan tetapi Kun Hong sudah menerima tongkat dan sudah menjadi Ketua Hwa-i Kaipang, maka diam-diam ia menjadi makin girang.

"Ah, kiranya Pangcu kita yang baru adalah putera Hoa-san-pai Ciang-bunjin! Tentu saja perintah Pangcu kami taati dan kami harap saja setelah tiba di Hoa-san dengan selamat, lain kali Pangcu memerlukan membuang waktu untuk menengok keadaan kami."

Kun Hong girang. Ia menganggap bahwa akalnya berhasil. Hanya namanya saja menjadi ketua, apa salahnya? Ia mengangguk-angguk dan tersenyum.

Akan tetapi dengan marah Beng-lokai dan Sun-lokai melompat maju. Beng-lokai bersama Sun-lokai ini tadinya masih tidak berani banyak tingkah ketika Sin-eng-cu Lui Bok masih berada di situ karena maklum akan kelihaian kakek itu. Akan tetapi sekarang setelah kakek itu pergi, mereka tidak takut lagi, lebih-lebih karena memang mereka ini mempunyai pendukung-pendukung di belakang mereka.

"Tidak adil sekali keputusan ini!" seru Sun-lokai.

"Aku tidak setuju kalau ketua baru dipilih orang luar!" seru Beng-lokai.

"Kalau Pangcu hendak mengundurkan diri, seharusnya yang menjadi calon adalah kami bertiga lokai, dan di antara kami bertiga dipilih yang paling cakap untuk menjadi ketua baru. Kenapa sekarang memilih seorang bocah luar yang masih ingusan? Aku tidak setuju akan keputusan ini!" kata pula Sun-lokai.

"Betul sekali ucapan Sun-lokai. aku pun tidak mau terima. Apa bila bocah tolol ini dapat memecahkan dadaku, baru aku mau mengakui dia sebagai Ketua Hwa-i Kaipang! Ehh, bocah sombong, hayo maju dan lawanlah aku!" Beng-lokai menantang.

"Hayo, perlihatkan kegagahanmu, kalau kau memang laki-laki!" tantang pula Sun-lokai.

Dua orang kakek itu sudah mencabut pedang masing-masing.

"Aku tidak bisa berkelahi, juga tidak mau berkelahi, Ji-wi Lokai harap sabar dan mundur karena mulai sekarang Ji-wi kuanggap bukan pengurus Hwa-i Kaipang lagi. Aku tidak mau melihat pengurus atau anggota Hwa-i Kaipang yang suka berkelahi dan kelihatan sekali hasratnya untuk memperebutkan pangkat dan kedudukan. Ji-wi akan memberikan contoh yang buruk kepada para anggota. Harap Ji-wi mundur."

Bukan main marahnya Beng-lokai. Terang-terangan mereka dipecat!

"Kau... kau...!" Beng-lokai hendak memaki akan tetapi saking marahnya tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, sedangkan Sun-lokai maju dengan sikap mengancam.

Hwa-i Lokai lalu membentak, "Beng-lokai dan Sun-lokai, kalian sudah mendengar perintah Pangcu. Mulai saat ini kalian bukan lagi pembantu pengurus dan juga dikeluarkan dari keanggotaan. Lepaskan tali-tali putih dari pinggang kalian."

Muka dua orang pengemis itu menjadi pucat saking marahnya. Tanpa berkata sesuatu mereka melepaskan tujuh helai ikat pinggang putih dari pinggang masing-masing, lalu dengan suara lantang mereka berkata kepada Kun Hong,

"Kami sekarang sebagai orang luar menantang kepada ketua baru dari Hwa-i Kaipang untuk mengadu kepandaian. Kalau tidak berani, maka ketua baru dari Hwa-i Kaipang hanyalah seorang pengecut hina..." Yang mengeluarkan kata-kata ini adalah Beng-lokai dan terpaksa ia berhenti bicara karena tiba-tiba Hui Cu sudah berdiri di depannya dengan pedang di tangan.

"Keparat bermulut kotor!" gadis ini membentak dengan suara nyaring dan mata berapi-api, "Manusia tak tahu diri, pamanku sengaja mengalah padamu akan tetapi malah membuat kepalamu membesar dan mulutmu jadi melebar. Siapa sih yang takut terhadap manusia macammu? Biar ada sepuluh orang macam kau, majulah semua dan tidak usah Paman Hong menggerakkan tangan, biar yang sepuluh itu dilawan oleh aku seorang!"

"Hi-hi-hik!" Li Eng mengeluarkan suara ketawa ditahan. "Biasanya Enci Cu pendiam dan penyabar, sekarang mendadak pintar memaki dan mudah marah!"

Kun Hong yang kuatir kalau-kalau keponakannya mencari gara-gara, segera maju dan berkata kepada Hui Cu, "Hui Cu, jangan kau sembarangan membunuh orang. Aku larang kau membunuh orang!"

Hui Cu mengerling sekilas ke arah Kun Hong sambil menjawab, "Paman Hong, yang begini ini sesungguhnya tidak patut disebut orang dan kalau tidak dibunuh hanya akan mengotori dunia. Akan tetapi karena kau melarang, baiklah, aku takkan membunuhnya, cukup membikin dia bertobat."

Tentu saja Beng-lokai menjadi semakin marah. Orang berbicara seenaknya saja tentang dirinya, seakan-akan dia ini seekor tikus saja. Dan yang bicara hanya seorang gadis muda yang lebih patut disebut kanak-kanak. Ia mengeluarkan suara menggereng,

"Ketua baru benar-benar pengecut! Tidak berani maju sendiri mengandalkan wanita..."

"Plakk!"

Entah bagaimana, tahu-tahu tangan kiri Hui Cu sudah menampar pipi kanan Beng-lokai, membuat kakek ini sempoyongan. Dia lalu meraba pipinya yang telah menjadi bengkak. Matanya melotot, mukanya merah dan napasnya memberat, tanda bahwa kemarahannya telah amat memuncak. Saking marahnya ia sampai tak memperhitungkan bahwa dengan gerakannya tadi Hui Cu sudah memperlihatkan kelihaiannya.

"Hi-hi-hik, Enci Cu. Kalau kau nanti tidak mencuci tanganmu dengan air panas, aku tidak mau menyentuh tangan kirimu yang berbau keledai!" Li Eng berkata dan terdengarlah suara ketawa di sana-sini, terutama dari pihak para anggota yang tidak suka terhadap Beng-lokai. Memang Li Eng seorang gadis yang berwatak nakal dan pandai bicara.

Beng-lokai yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi itu, sudah menerjang Hui Cu dengan serangan pedangnya. Hui Cu cepat meloncat ke tengah pelataran dan kakek itu mengejarnya. Di sinilah Hui Cu memperlihatkan kepandaiannya. Dengan gerakan yang amat indah ia mainkan pedangnya sehingga Kun Hong yang melihat menjadi melongo. Sebagai putera pendekar, tentu saja dia sering kali melihat orang bermain pedang, akan tetapi belum pernah ia melihat permainan pedang yang begini indahnya, bagaikan orang menari saja...

Beng-lokai juga bermain pedang, akan tetapi dibandingkan dengan permainan Hui Cu, permainan pedangnya jelek sekali sehingga mereka merupakan pasangan penari pedang yang tidak seimbang. Hampir lupa Kun Hong bahwa dua orang itu sama sekali bukannya sedang menari, melainkan sedang saling serang dan bahwa dua pedang yang berkelebat itu sebetulnya sedang mengarah nyawa.

Memang indah gerakan pedang Hui Cu. Hal ini tidak aneh kalau diingat bahwa ibunya, Lee Giok, adalah murid dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan dan biar pun ia belum mewarisi keseluruhan ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang hebat dan indah, sedikit banyak ia telah mewarisi gayanya yang indah seperti orang menari. Dan tentu saja Lee Giok menurunkan seluruh ilmu pedang dan kepandaiannya kepada puterinya ini.

Begitu bergerak, Li Eng yang jauh lebih tinggi tingkat ilmu pedangnya itu maklum bahwa Hui Cu tak akan kalah. Karena itu ia pun lalu menghampiri Sun-lokai dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung pengemis yang agak bongkok itu.

"Apa kau juga ingin menantang pamanku? Kalau betul, kau boleh keluarkan pedangmu dan menyerangku. Aku akan melayanimu dengan sabuk suteraku ini. Berani tidak kau?"

Kata-katanya bernada mengejek sekali sehingga pengemis tua yang bongkok itu menjadi marah. Biar pun tua dan bongkok, Sun-lokai memiliki watak mata keranjang. Menghadapi seorang gadis muda yang cantik jelita seperti Li Eng, belum apa-apa hati kakek ini sudah berdebar tidak karuan.

"Li Eng, kau pun tidak boleh membunuh orang!" Dengan hati kecut dan penuh kekuatiran Kun Hong membentak ke arah Li Eng.

Dia sudah tahu akan kenakalan dan keganasan gadis itu. Karena itu ia benar-benar kuatir kalau-kalau ‘keponakan’ ini akan menimbulkan kekacauan dan membunuh orang.

Li Eng membalikkan tubuhnya dan membungkuk ke arah Kun Hong dengan lagak seperti seorang hamba terhadap rajanya sambil berkata, "Hamba akan mentaati perintah Paduka Paman Raja!"

Akan tetapi Kun Hong tidak dapat menerima kelakar ini, malah membelalakkan matanya dan berseru kaget, "Li Eng, awas belakangmu!"

Pada saat Li Eng membelakanginya, Sun-lokai telah menerjang maju sambil menusukkan pedangnya ke punggung gadis itu. Menyaksikan ini, Hwa-i Lokai amat kaget sampai tanpa sadar dia membentak marah. Juga semua orang kaget sekali dan mengira bahwa tusukan yang cepat dan hebat ini pasti akan menewaskan Li Eng.

Tapi orang yang dikuatirkan enak saja. Tanpa menoleh Li Eng menggerakkan tangannya dan seperti ada mata tajam di belakang tubuhnya, sabuk sutera hitam di tangannya lantas menyambar ke belakang dan menangkis tusukan pedang itu.

Para pengemis bersorak gembira menyaksikan kehebatan gadis lincah ini. Apa lagi ketika Li Eng dengan gerakan yang amat lincahnya telah berputar dan kini sabuk sutera hitam itu berkelebat, mengeluarkan bunyi bergeletar seperti cambuk dan bertubi-tubi menyerang ke semua bagian tubuh yang berbahaya dari Sun-lokai!

Pertempuran terbagi menjadi dua bagian. Akan tetapi baik Beng-lokai mau pun Sun-lokai berada di pihak yang terdesak hebat. Beng-lokai juga amat payah menghadapi permainan pedang Hui Cu yang indah namun mempunyai daya serang yang amat ganas itu. Yang paling celaka adalah Sun-lokai karena sejak Li Eng menghadapinya, ia sama sekali tidak dapat balas menyerang, akan tetapi harus menangkis dan mengelak karena kedua ujung sabuk hitam itu bagaikan ular-ular hidup menyambar-nyambar cepat sekali.

Akhirnya sabuk itu membelit jari-jari tangan kanannya dan sekali renggut pedangnya lalu terlepas dari tangannya, jatuh ke atas tanah. Tak berhenti sampai di situ saja, ujung-ujung sabuk itu terus memecutinya ke muka, leher, dan dadanya.

Sun-lokai berteriak-teriak kesakitan dan berloncatan sambil mundur, akan tetapi sabuk itu mengejarnya terus. Bahkan pada saat ia membalikkan tubuh hendak keluar dari lapangan pertempuran, ujung sabuk itu mengeluarkan bunyi…

"Tar-tar-tar!" melecuti pantatnya, membuat ia berjingkrak-jingkrak kesakitan!

Dan pada saat itu pun Beng-lokai terluka lengan kanannya sehingga pedangnya terlempar pula.

"Li Eng, Hui Cu, sudah cukup, mundurlah!" Kun Hong membentak, kuatir kalau-kalau dua orang gadis itu akan turun tangan terus dan membunuh orang.

Sambil tertawa-tawa Li Eng menarik kembali sabuknya dan Hui Cu juga tidak menyerang terus, tetapi membiarkan lawannya mundur dengan muka merah padam kemalu-maluan. Terdengar seruan-seruan memuji dari para pengemis dan tahulah mereka bahwa kedua orang gadis keponakan ‘ketua baru’ itu benar-benar lihai sekaii, apa lagi gadis lincah yang bersenjata sabuk hitam.

"Hwa-i Lok-kai mengandalkan tenaga dari luar menghina anak buah sendiri, benar-benar bagus!" terdengar beberapa suara orang. Ternyata yang mengeluarkan suara ini adalah para pemimpin perkumpulan pengemis baju hijau dan baju merah. "Saudara-saudara, kita golongan pengemis harus diketuai oleh pengemis pula, mana bisa dipimpin oleh seorang sastrawan muda jembel? Yang tidak puas dengan pimpinan Hwa-i Kaipang, boleh datang ke tempat kami. Pintu kami terbuka lebar-lebar untuk saudara sekalian!"

Hwa-i Lokai tidak menjawab, hanya memandang dengan mata tajam ke arah rombongan tamu yang berangsur-angsur bergerak meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi. Yang membikin hatinya panas dan kecewa adalah pada saat ia melihat Beng-lokai, diikuti oleh banyak pengemis Hwa-i Kaipang, pergi pula meninggalkan tempat itu untuk menggabung kepada perkumpuan-perkumpulan lain.

"Hwa-i Lokai harap jangan berduka," berkata Kun Hong yang dapat melihat keadaan hati orang dan dapat menduga pula apa sebabnya. "Dua orang lokai itu memang mempunyai hati yang bengkok terhadap Hwa-i Kaipang. Karena mereka tidak memiliki harapan untuk menjadi ketua di sini, mereka pergi ke perkumpulan lain. Biarlah, orang-orang yang tidak setia kepada perkumpulan sendiri, berarti mempunyai watak yang tidak jujur dan lebih baik kalau perkumpulan ini dijauhi dari orang-orang semacam itu. Sekarang aku minta diri, Lokai, karena aku harus pulang ke Hoa-san."

Hwa-i Lokai dan Coa-lokai membujuk agar Kun Hong dan dua orang gadis itu suka tinggal di situ beberapa hari lagi, akan tetapi Kun Hong tetap menolaknya. Akhirnya Hwa-i Lokai terpaksa melepaskan mereka pergi setelah memberi bekal roti kering, potongan perak dan tiga ekor kuda yang bagus kepada ketua baru bersama dua orang keponakannya itu.

Baru saja tiga orang muda itu sampai di luar dusun menunggangi kuda mereka, tiba-tiba Kun Hong memberi tanda isyarat untuk berhenti. Hui Cu dan Li Eng cepat menahan kuda masing-masing.

"Hui Cu, Li Eng, mari kita turun. Aku tidak suka menunggang kuda," kata Kun Hong.

Dua orang gadis itu saling pandang dengan heran. Li Eng tentu saja segera membantah. "Paman Hong ini bagaimana sih? Perjalanan kita sangat jauh, dengan menunggang kuda saja belum tentu bisa sampai tiga empat bulan. Sudah ada kuda pada kita, bagaimana sekarang hendak turun lagi?"

"Kau anak kecil tahu apa?" Kun Hong membentak. "Tiga ekor kuda ini harganya tentu tidak murah. Hwa-i Kaipang lebih membutuhkan kuda-kuda ini dari pada kita. Kita masih muda, mempunyai sepasang kaki dan mampu berjalan, kalau perlu bisa lari. Kuda ini kita kembalikan saja."

"Ahh, Susiok (Paman Guru) aneh sekali... orang sudah memberikan kepada kita, kenapa hendak dikembalikan? Kalau memang tidak suka, kenapa tadi tidak ditolak saja?" lagi-lagi Li Eng membantah dengan bibir semberut.

Akan tetapi Kun Hong tidak mempedulikan protes gadis lincah itu dan kebetulan sekali dari depan tampak seorang pengemis baju kembang lewat di jalan itu. Kun Hong segera memanggilnya dan pengemis ini segera datang dengan membungkuk-bungkuk memberi hormat karena dia pun mengenal ketua baru ini bersama dua orang keponakannya yang lihai.

"Pangcu hendak memerintah apakah?" tanyanya.

"Lokai, kau tuntunlah tiga ekor kuda ini dan kembalikan kepada Hwa-i Lokai, katakan saja kepadanya bahwa kami bertiga hendak melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki saja. Nah, cepat bawalah."

Sejenak pengemis itu terlongong akan tetapi ia tidak berani membantah, lalu dituntunnya tiga ekor kuda itu kembali ke tempat semula, yaitu di kaki Pegunungan Ta-pie-san. Ada pun Kun Hong mengajak dua orang keponakannya melanjutkan perjalanan.

"Li Eng, kau jangan cemberut saja. Kau memang rewel sekali, tidak seperti Hui Cu yang pendiam dan manis," kata Kun Hong.

Semakin meruncing bibir Li Eng. "Kau memang tidak tahu disayang orang! Aku rewel dan cerewet bukan untuk diriku sendiri. Bagi aku dan Cici Hui Cu, jalan kaki apa sukarnya? Kami memiliki ilmu berlari cepat dan kiranya tidak akan kalah cepat dengan larinya kuda. Akan tetapi bagaimana dengan kau, Paman Hong? Kau tentu tidak kuat berjalan jauh, lagi pula jalanmu sangat pelan. Perjalanan kita masih jauh sekali, kalau menuruti kau berjalan seperti siput, sampai bertahun-tahun kita tak akan bisa pulang ke Hoa-san!"

Kun Hong tersenyum menggoda. "Biar sampai sepuluh tahun, jika melakukan perjalanan bersama kalian berdua aku tak akan menjadi bosan."

"Iihhh, dasar...," Li Eng melerok.

Hui Cu yang semenjak tadi diam saja, sekarang berkata kepada Kun Hong tanpa berani memandang wajah pemuda itu, "Paman agaknya masih belum tahu bahwa kita tidak akan menuju ke Hoa-san karena kami berdua memang diberi tugas oleh Sukong untuk pergi ke Thai-san."

"Heee...?! Ke Thai-san? Bukankah Thai-san itu tempat tinggal pendekar sakti Tan Beng San Taihiap yang dipuji-puji oleh Ayah dan katanya menjadi Raja Pedang?" Kun Hong bertanya dengan tercengang.

"Kalau dia raja, kau pun raja, Paman Hong," kata Li Eng yang sudah gembira kembali dari kecewanya akibat kehilangan kuda. "Cuma bedanya, kalau Tan Beng San Taihiap itu Raja Pedang, kau adalah raja pengemis!"


cerita silat karya kho ping hoo


Senang hati Kun Hong melihat gadis lincah itu tidak marah lagi karena kehilangan kuda. "Bagus, bagus, kau pun hanya menjadi keponakan raja pengemis, Li Eng. Nah, jangan main-main lagi, lekas ceritakan betulkah kita akan ke Thai-san dan ada keperluan apakah Ayah menyuruh kalian ke sana?"


Li Eng menjura dengan tubuh membungkuk dalam. "Baiklah, Paman Raja. Hamba tidak berani main-main lagi. Hamba berdua diperintah pergi ke Thai-san untuk melihat apakah benar Sang Puteri dari Raja Pedang betul-betul cantik jelita dan gagah perkasa seperti yang disohorkan orang dan kalau betul begitu, hamba berdua disuruh... ehh, melamarnya untuk Paduka Paman Raja."

"Iihh, Adik Eng! Terlalu sekali kau mempermainkan Susiok!" Hui Cu menegur.

Li Eng tersenyum lebar dan memandang pada Kun Hong sambil berkata, "Apa salahnya, Cu-cici? Kalau bukan pamannya yang baik, yang sabar, yang budiman dan bijaksana, masa aku berani menggoda dan main-main. Betul tidak, Susiok?" pandang matanya dan senyumnya menjadi amat manja sehingga tak mungkin orang dapat marah kepada gadis remaja yang menggemaskan dan lucu ini.

Untuk sejenak Kun Hong melongo memandang tingkah Li Eng yang amat menarik hatinya ini. Kemudian ia menarik napas panjang dan berkata, "Sudahlah, memang sejak dahulu Li Eng suka menggoda orang. Hui Cu, coba kau ceritakan dengan jelas apa maksud kalian ke Thai-san."

Sambil berjalan perlahan Hui Cu bercerita, "Sukong mendapat kabar bahwa Tan-taihiap di Thai-san akan meresmikan pendirian Thai-san-pai sebagai perkumpulan persilatan baru di dunia kang-ouw. Peresmian ini disertai pesta dan banyak tokoh-tokoh di dunia kang-ouw diundang. Sukong sendiri tidak bisa pergi, maka mengutus kami berdua pergi ke Thai-san dan menyampaikan selamat serta barang sumbangan. Karena waktunya masih lama, kami berdua sengaja mengambil jalan ini dengan maksud melihat-lihat di kota raja lebih dulu. Siapa kira di sini bertemu dengan Susiok."

"Dicari-cari setengah mampus ke mana-mana tidak bisa bertemu, sampai Sukong menjadi berkuatir sekali. Hampir dua tahun Susiok pergi tak berbekas, kami pun sudah beberapa kali mencari ke segala penjuru dunia tanpa hasil. Eh, sekarang tahu-tahu nongol di sini!" Li Eng berkata sambii menggeleng-geleng kepalanya. "Siapa tidak menjadi gemas?"

Kun Hong kelihatan gembira bukan main. "Bagus, bagus!" dia bertepuk tangan. "Aku pun hendak ikut ke Thai-san. Dan kebetulan sekali, aku juga memang ingin melihat-lihat kota raja, sekarang ada kalian berdua menjadi teman, wah, senang sekali!"

"Tapi kita tidak boleh terlalu lama di kota raja, Susiok. Jangan sampai kita terlambat tiba di Thai-san," kata Hui Cu mengingatkan. Gadis ini jarang bicara, namun kalau sudah bicara selalu serius, tidak pernah main-main seperti Li Eng yang jenaka.

Kun Hong mengerutkan keningnya. "Berapa jauhnya sih Thai-san dari sini?"

"Kalau jalan kaki biasa sedikitnya satu bulan baru sampai," jawab Hui Cu.

"Kalau kami berlari cepat, seminggu juga sampai," sambung Li Eng. "Tapi Paman Hong mana bisa lari cepat?"

"Ah, ternyata begitu dekat? Sehari juga sampai bila naik kim-tiauw...," tiba-tiba Kun Hong menghentikan ucapannya karena teringat bahwa ia telah bicara terlanjur. Saking kagetnya ia menutupi mulut dengan tangan sendiri.

Dua orang gadis itu memandang heran, bahkan Li Eng tidak main-main lagi, melainkan memandang tajam penuh selidik. "Apa maksudmu, Susiok? Kau bilang tadi menunggang kim-tiauw? Apakah kau bertemu dengan rajawali emas?" tanya Hui Cu, mukanya berubah.

Li Eng memegang tangan Kun Hong. "Paman Hong, di mana kau melihat rajawali emas? Di mana? Lekas beri tahukan, di mana ada burung itu, tentu ada dia!"

Kun Hong menyesal sekali mengapa ia membuka rahasianya. Akan tetapi karena sudah terlanjur, apa boleh buat. "Pantas kalian terheran-heran, Memang di dunia ini tidak ada keduanya burung rajawali seindah itu, dengan bulunya berkilauan kuning keemasan dan sepasang matanya seperti kumala. Kalian tahu, malah burung rajawali emas itu memakai kalung mutiara yang indah!"

"Di mana dia? Di mana...?" Dua orang gadis itu bertanya mendesak, nampaknya mereka tidak sabar lagi. Hal ini tidak mengherankan karena keduanya memang telah mendengar tentang Kwa Hong dan rajawali emasnya dan mereka menganggap Kwa Hong sebagai musuh besar yang telah menghina dan menyusahkan kedua orang tua mereka.

"Ahh, kalian ini anak-anak perempuan. Baru mendengar tentang mutiara indah saja sudah begini ribut. Apa kalian kira akan bisa dengan mudah saja mengambil kalung mutiara itu? Rajawali emas itu hebat sekali, bahkan Toat-beng Yok-mo saja tidak mampu menandingi dia."

Kembali dua orang gadis itu saling pandang, nampak terheran. "Paman Hong, apakah kau bertemu pula dengan Toat-beng Yok-mo? Dan setelah bertemu dengan rajawali emas, tentu kau telah bertemu pula dengan... iblis betina itu?" tanya Hui Cu, suaranya sungguh-sungguh.

"Iblis apa? Aku tidak pernah bertemu dengan iblis, iblis betina mau pun iblis jantan," jawab Kun Hong, heran mendengar pertanyaan Hui Cu ini.

"Hong-susiok, ceritakan semua pengalamanmu itu, juga ceritakan tentang pertemuanmu dengan burung rajawali emas, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Li Eng sambil menggandeng tangan kanan pemuda itu.

"Kalian ingin mendengar? Baik, Hui Cu, ke sinilah dekat-dekat!" Ia menggunakan tangan kiri untuk menggandeng tangan Hui Cu sehingga mereka bertiga berjalan perlahan sambil bergandengan tangan.

Kun Hong merasa gembira sekali dan dianggapnya bahwa dua orang keponakannya ini benar-benar menyenangkan dan amat manis budi. Dahulu dia pernah benci dan gemas terhadap kenakalan Li Eng, akan tetapi setelah berdekatan, mana bisa orang membenci dara remaja itu?

"Ketika dahulu aku meninggalkan Hoa-san, aku sudah mengambil keputusan tidak akan kembali lagi ke sana karena aku benci sekali melihat bunuh-bunuhan yang terjadi di sana. Sekarang pun aku benci melihat pembunuhan. Apa bila kalian membunuh orang, aku pun akan membenci kalian. Di tengah perjalanan itu aku bertemu dengan Toat-beng Yok-mo yang terluka hebat, bahkan hampir mati."

"Hi-hik, dia boleh mampus karena racun tongkatnya sendiri dan terluka di dua tempat oleh ayah ibumu," kata Li Eng.

Mengkal hati Kun Hong diingatkan bahwa ayah bundanya sudah melukai, malah banyak membunuh orang.

"Keadaannya amat menderita dan ia minta tolong padaku untuk mengantarkannya pulang ke lembah Sungai Huai. Karena merasa kasihan, aku lalu memenuhi permintaannya dan menggendongnya sepanjang jalan berpekan-pekan lamanya."

Li Eng tertawa. "Ayah ibunya yang melukai, akan tetapi anaknya yang menolong, malah menggendongnya sepanjang jalan, benar-benar lucu. Masih untung kau tidak dibunuhnya, Paman Hong. Hebat sekali, iblis macam Toat-beng Yok-mo ditolong, malah digendong-gendong!"

Akan tetapi Hui Cu diam saja dan diam-diam gadis ini merasa terharu dan kagum sekali akan pribadi pemuda yang menjadi paman gurunya ini. "Lalu bagaimana kau bisa bertemu dengan rajawali emas, Paman Hong?" tanyanya untuk menghentikan komentar Li Eng.

"Setelah kami tiba di dekat tempat tujuan, dalam sebuah hutan Toat-beng Yok-mo minta diturunkan dan ternyata ia sembuh kembali dan kuat."

"Hi-hik, memang ia sebetulnya tidak usah digendong. Tentu saja ia kuat karena memang ia hanya menggunakanmu sebagai perisai dan kau tentu akan dibunuhnya di tempat itu," kata pula Li Eng.

"Ehh, bagaimana kau bisa tahu?" Kun Hong terheran-heran.

"Hanya orang tolol saja yang tidak tahu!" jawab Li Eng. "Namanya saja sudah Toat-beng Yok-mo tukang mencabut nyawa. Dia terluka dan harus pergi jauh dari Hoa-san. Paman adalah putera Ketua Hoa-san-pai, tentu saja dapat dia jadikan perisai yang sangat baik. Hemm, lagi-lagi harus kukatakan bahwa untung sekali Paman tidak sampai dibunuhnya."

"Ehh, Adik Eng. Apakah kau berani mengatakan bahwa Susiok adalah seorang tolol?" Hui Cu menegur.

Li Eng pura-pura tidak mendengar jelas. "Berani mengatakan Susiok apa?"

"Bahwa Susiok adalah seorang tolol?" Hui Cu menjelaskan.

"Hi-hi-hik, kau mendengar sendiri, Paman Hong. Dua kali Cici Hui Cu memakimu sebagai orang tolol, bukan aku, lho!"

"Heee, kau memutar balikkan omongan!" Hui Cu memprotes.

Akan tetapi Li Eng hanya tertawa-tawa saja. Kun Hong yang dipermainkan ini sama sekali tidak merasa dirinya dipermainkan, hanya tersenyum saja.

"Kalau saja pada saat itu tidak muncul rajawali emas, kiranya aku pun akan dibunuh oleh Toat-beng Yok-mo seperti yang dikatakan oleh Li Eng tadi," dia melanjutkan ceritanya, "Entah dari mana datangnya, seekor burung rajawali emas yang besar dan hebat sekali menyambar turun dan menerkam seekor kelinci. Melihat burung itu, Toat-beng Yok-mo kemudian menyerangnya dan berusaha menangkapnya, akan tetapi berkali-kali Toat-beng Yok-mo roboh oleh burung itu, bahkan akhirnya kakek itu roboh pingsan oleh hantaman sayap burung."

Dua orang gadis remaja itu saling pandang, malah Li Eng menjulurkan lidahnya yang kecil merah itu keluar dari mulutnya tanda kagum dan terkejut. Kalau orang seperti Toat-beng Yok-mo dapat dikalahkan sedemikian mudahnya, alangkah lihainya burung itu. Apa lagi pemiliknya!

"Rajawali emas itu lalu menyambarku dan membawaku terbang jauh sekali, ke puncak sebuah gunung yang tidak kuketahui namanya. Di sana, di dalam sebuah goa, aku hidup bersama burung itu sampai satu setengah tahun lamanya."

Li Eng memandang tajam dan tidak mau main-main lagi. "Paman Hong, apakah kau tidak bertemu dengan pemilik burung, dengan iblis wanita itu?"

"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, Li Eng. Aku tidak melihat seorang pun manusia hidup di sana. Kemudian setelah aku mengenal burung itu baik-baik dan ia dapat mengerti kata-kataku, setelah satu setengah tahun, aku lalu menyuruh dia mengantarkan aku turun karena aku tidak sanggup turun sendiri dari tempat yang curam dan berbahaya itu. Nah, setelah sampai di bawah gunung, burung itu terbang kembali ke puncak dan aku hendak kembali ke Hoa-san. Celakanya, aku sesat jaian dan sampai ke sini. Karena sudah dekat kota raja, aku bermaksud melihat-lihat kota raja lebih dulu. Di sini aku bertemu dengan Sin-eng-cu Lui Bok yang mengakui aku sebagai murid keponakannya, lalu aku terlibat dalam urusan Hwa-i Kaipang sampai kalian berdua muncul."

Kun Hong sengaja tidak mau bercerita tentang kitab-kitab yang ia baca. Malah sekarang pun masih ada empat buah kitab yang ia bawa dalam saku bajunya, yaitu tiga buah kitab milik Toat-beng Yok-mo dan sebuah kitab pelajaran hoat-sut dari Sin-eng-cu Lui Bok.

Demikianlah, tiga orang muda itu lalu melakukan perjalanan dengan penuh kegembiraan, terutama sekali yang membuat mereka selalu bergembira adalah sifat Li Eng yang amat jenaka dan lincah.

Sementara itu, dengan amat tekunnya Kun Hong menggunakan setiap kesempatan waktu untuk membalik-balik lembaran kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok dan makin banyak ia membaca, makin tertariklah hatinya. Secara diam-diam dia mulai berlatih diri mempelajari ilmu yang amat aneh dan ajaib, yang erat hubungannya dengan ilmu batin karena ilmu ini hanya dapat dilakukan dengan pengerahan tenaga murni dan hawa sakti dalam tubuh.

Dengan petunjuk-petunjuk yang berada dalam kitab ini, makin teranglah bagi Kun Hong tentang rahasia semedhi dan mengatur pernapasan, serta memperkuat daya sakti dalam tubuhnya. Semua ini ia latih di luar sepengetahuan dua orang gadis remaja itu yang selalu yakin bahwa paman mereka adalah seorang pemuda yang tampan, berwatak halus dan berbudi, namun buta ilmu silat…..


                   ***************


Semenjak pemberontak-pernberontak dibasmi belasan tahun yang lalu, keadaan di kota raja aman dan tenteram. Namun hal ini hanya berjalan beberapa tahun saja karena kini timbullah persaingan baru yang lebih ganas. Persaingan antara putera-putera Kaisar, juga termasuk keluarganya yang tentu saja merindukan kursi singgasana untuk menggantikan Kaisar yang sudah tua. Para pangeran itu mulai saling bermusuhan dalam usaha mereka menarik hati Kaisar agar mereka dijadikan calon pengganti Kaisar.

Demikian hebat persaingan ini yang kadang-kadang tidak dilakukan secara diam-diam melainkan secara terbuka, sehingga masing-masing mempunyai jagoan-jagoan sendiri. Persaingan mencapai puncaknya ketika putera mahkota, yaitu putera sulung dari Kaisar, akhirnya tewas menjadi korban persaingan itu. Tak seorang pun tahu siapa pembunuhnya dan dengan apa dibunuhnya. Namun ahli silat tinggi maklum bahwa putera mahkota ini dibunuh oleh seorang ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa.

Seperti juga halnya dengan kaisar-kaisar lain atau hampir semua pemimpin dan pembesar yang menduduki kemuliaan serta memegang kekuasaan, Kaisar Tai-tsu juga mempunyai banyak isteri sehingga anaknya pun banyak pula. Hal ini membingungkan hatinya sebab dia harus memilih salah seorang pangeran untuk dijadikan putera mahkota setelah putera sulungnya meninggal dunia.

Dia maklum akan persaingan serta permusuhan di antara putera-puteranya, selir-selirnya dan keluarganya. Oleh karena Kaisar pun dapat menduga bahwa putera sulungnya itu terbunuh orang, maka ia lalu menjatuhkan pilihannya pada anak dari putera sulungnya itu yang bernama Hui Ti atau Kian Bun Ti untuk menjadi pengganti putera mahkota. Hui Ti atau Kian Bun Ti ini adalah cucu Kaisar.

Pada waktu itu Kian Bun Ti ini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan cerdik bukan main. Ia maklum akan bahayanya kedudukannya, maklum bahwa banyak paman pangeran lain merasa iri hati akan kedudukannya. Maka dengan sangat pandainya Kian Bun Ti mendekati Kaisar, berhasil menguasai hati dan kasih sayang kakeknya ini.

Adalah atas bujukan pemuda cerdik inilah maka seorang pamannya yang dianggap paling berbahaya, yaitu Pangeran Yung Lo yang jujur dan keras, oleh Kaisar dihalau dari kota raja, diberi tugas pertahanan di utara, di kota raja lama, Peking.

Memang pada waktu itu tiada hentinya bangsa Mongol, Mancu, dan lain-lain suku bangsa dari utara selalu berusaha menyerang Kerajaan Beng yang baru ini. Pangeran Yung Lo tentu saja mentaati perintah dan berangkatlah dia ke utara menjalankan tugas berat ini.

Biar pun telah berhasil menghalau saingannya yang paling berbahaya, namun Kian Bun Ti masih belum lega karena ia maklum bahwa yang melihat kepadanya dengan mata penuh dengki masih banyak sekali. Maka ia pun lalu mengumpulkan orang-orang pandai untuk menjaga dirinya, bahkan dia sendiri mempelajari ilmu silat.

Di samping kesukaannya mendekati ahli-ahli silat dan para jagoan, Pangeran yang masih muda ini pun terkenal sebagai seorang yang tidak boleh melihat wanita cantik. Entah berapa banyak wanita-wanita cantik dan muda, jatuh hati dan menjadi korbannya, tertarik oleh ketampanannya atau kedudukannya mau pun harta bendanya. Memang wanita mana yang takkan tertarik oleh seorang pemuda yang tampan, cerdik, malah seorang pangeran calon kaisar pula?

Di dalam usahanya menguasai keadaan dunia kang-ouw, Pangeran ini tidak segan-segan untuk mempergunakan perkumpulan-perkumpulan seperti Hek-kaipang (Pengemis Hitam) dari mana ia bisa mendapatkan sumber berita mengenai gerakan orang-orang kang-ouw sehingga ia dapat tahu siapa yang menjadi jagoan-jagoan baru dari para saingannya.

Pangeran Kian Bun Ti menjadi tertarik sekali ketika ia menerima laporan dari beberapa anggota perkumpulan pengemis yang menjadi kaki tangan dan penyelidiknya tentang dua orang gadis cantik jelita anak murid Hoa-san-pai yang menggegerkan pertemuan Hwa-i Kaipang. Pangeran ini tidak hanya tertarik oleh kecantikan dua orang dara remaja itu, melainkan terutama sekali tertarik oleh cerita tentang kehebatan ilmu silat mereka.

Diam-diam ia mempunyai maksud hati yang baik sekali, maksud hati yang jadi perpaduan antara seleranya terhadap dara ayu dan kebutuhannya akan pengawal yang lihai. Cepat ia memanggil beberapa orang kepercayaannya dan membagi-bagi perintah….


                   ***************


Sementara itu, Kun Hong dan dua orang dara remaja telah memasuki kota raja dengan gembira. Tiga orang muda yang semenjak kecilnya bertempat tinggal di pegunungan yang sunyi ini sekarang berjalan perlahan di atas jalan raya, dengan mata terbelalak dan mulut tiada henti mengeluarkan seruan-seruan kagum dan memuji ketika mereka menyaksikan gedung-gedung terukir indah dl sepanjang jalan.

Apa lagi Li Eng yang amat lincah itu, ia sangat bergembira dan berlarian ke kanan kiri mendekati setiap penglihatan yang baru dan asing baginya. Setiap ada bangunan indah dan besar ia berdiri terlongong di depannya, dan benda-benda yang diperdagangkan di sepanjang jalan dalam toko-toko pun tak lepas dari perhatiannya.

Hui Cu yang lebih pendiam dan alim hanya merupakan. pengikut saja. Biar pun gadis ini juga amat kagum dan terheran-heran, namun ia dapat menekan perasaannya dan hanya tampak bibirnya yang kecil mungil mengulum senyum serta sepasang matanya bersinar-sinar menambah indah wajah yang berseri itu.

Pada waktu itu, orang-orang wanita berada di atas jalan raya bukanlah hal aneh. Banyak wanita berjalan di atas jalan raya, akan tetapi semua itu adalah wanita-wanita pekerja kasar dan pedagang kecil, pendeknya wanita yang agak tua atau yang agak buruk rupa. Puteri-puteri bangsawan yang cantik-cantik hanya menampakkan diri di atas jalan raya dalam kendaraan tertutup.

Memang ada kalanya tampak pula berjalan-jalan wanita-wanita kang-ouw atau anak-anak penjual obat keliling yang memperlihatkan ilmu silat pasaran, namun hal ini jarang terjadi. Oleh karena itu, ketika dua orang dara remaja ini memasuki kota raja, di sepanjang jalan mereka lantas menjadi tontonan orang, terutama laki-laki muda dan tua yang tidak hanya mengagumi kecantikan dua orang gadis itu, akan tetapi terutama sekali mengagumi sikap mereka berdua yang begitu bebas.

Dua orang gadis ini mudah saja menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah gadis-gadis kang-ouw yang berkepandaian silat, terbukti dari pedang yang tergantung di pinggang mereka. Mudah juga diduga bahwa mereka berdua tentulah memiliki ilmu silat yang lihai, karena kalau tidak demikian, bagaimana dua orang gadis remaja yang begitu cantik jelita bisa melakukan perjalanan dengan aman dan selamat sampai ke kota raja?

Kecantikan mereka yang luar biasa itu tentu akan menjadi sebab kemalangan mereka, tentu mereka telah ditahan dan diambil oleh orang-orang jahat. Karena dugaan inilah maka walau pun banyak mata laki-laki melotot dan mulut tersenyum-senyum, sejauh itu belum ada yang berani sembrono mengeluarkan kata-kata teguran atau godaan.

Kun Hong membuat banyak orang heran. Pemuda ini pakaiannya seperti seorang siucai, seorang terpelajar, akan tetapi pakaian itu sudah lapuk sehingga menimbulkan dugaan bahwa dia tentulah seorang pelajar yang tidak lulus ujian dan jatuh miskin seperti banyak terdapat pada masa itu.

Yang mengherankan orang, mengapa seorang siucai miskin seperti ini berjalan bersama dua orang dara remaja kang-ouw? Biasanya gadis-gadis kang-ouw yang cantik seperti ini tentu melakukan perjalanan dengan laki-laki yang hebat pula, yang luar biasa, aneh, atau yang gagah perkasa. Kenapa sekarang pengiringnya hanya seorang siucai jembel yang hanya tersenyum-senyum, berjalan perlahan seperti kehabisan tenaga?

Lebih-lebih herannya orang-orang yang berada dekat dengan mereka ketika mendengar Li Eng dengan lincah menyebut siucai muda itu ‘paman’. Heran sekali, usianya sepantar mengapa disebut paman?

Bila dua orang dara itu mengagumi keindahan ukir-ukiran, bangunan, benda-benda aneh yang diperdagangkan orang, apa lagi melihat sutera-sutera beraneka warna yang halus dan mahal, adalah Kun Hong kembang-kempis hidungnya serta berkeruyukan perutnya karena mencium bau masakan yang gurih dan sedap keluar dari banyak rumah makan di sepanjang jalan.

Wangi sedap dari masakan daging, bawang dan bumbu-bumbu lain menusuk hidungnya, membuat semua yang dilihat Li Eng dan Hui Cu tidak seindah mangkok berisi masakan yang mengebul panas-panas di atas meja! Akan tetapi pemuda ini menekan seleranya, maklum bahwa tak mungkin ia dapat membeli masakan-masakan yang mahal itu.

Jika Li Eng tidak ada perhatian lain kecuali terhadap barang-barang indah dan bangunan-bangunan megah yang tak pernah dilihatnya itu, adalah Hui Cu yang pendiam dan selalu tanpa diketahui orang lain memperhatikan pamannya, segera dapat menduga bahwa pamannya itu merasa lapar dan ingin makan.

Hui Cu lalu menyentuh tangan Li Eng dan berbisik di dekat telinganya. Li Eng tersenyum, menoleh kepada Kun Hong yang tidak tahu apa yang dibicarakan antara dua orang gadis itu.

"Paman Hong, apakah kau lapar dan ingin makan?" tiba-tiba saja Li Eng yang tak pernah menaruh hati sungkan-sungkan itu bertanya.

"Apa...? Betul... ehh, tidak apa..." Kun Hong gagap karena pertanyaan yang tiba-tiba itu memang cocok sekali dengan pikirannya.

Li Eng segera menyambar tangannya dan digandeng menuju ke sebuah rumah makan. "Kalau lapar mengapa diam saja? Di sini banyak rumah makan, boleh kita pilih masakan yang enak!"

"Hush, jangan main-main." Kun Hong menahan. "Aku tidak punya uang, mana berani masuk rumah makan?"

“Untuk apa uang? Kita tak usah beli, bisa minta," kata lagi Li Eng.

"Ihh, memalukan!" Kun Hong mencela.

Li Eng tertawa ditahan. "Hi-hi-hi-hik, kau lihat, Enci Hui Cu! Tidakkah aneh bukan main paman kita ini? Paman Hong, kau ini seorang kai-ong (raja pengemis) kenapa harus malu minta-minta?"

Digoda begini oleh Li Eng, gemas juga hati Kun Hong. "Sudah, jangan terlalu menggoda orang kau, bocah nakal. Kujewer telingamu nanti!"

Li Eng hanya tertawa manja dan Hui Cu pun berkata, "Susiok, harap jangan kuatir, kami membawa bekal uang dan andai kata kurang, aku masih mempunyai gelang emas, dapat kita jual." Berbeda dengan Li Eng, suara nona ini sungguh-sungguh dan sama sekali tidak bermain-main.

"Nah, punya keponakan yang begini mencintai seperti Enci Cu, kau takut apa, Susiok?" Lagi-lagi Li Eng menggoda dan kali ini ia benar-benar menerima cubitan, bukan dari Kun Hong, melainkan dari Hui Cu sehingga ia menjerit mengaduh-aduh.

Wajah Kun Hong sama merahnya dengan wajah Hui Cu. Dia merasa tidak enak sekali dengan godaan Li Eng itu, maka ia segera berkata dengan lagak seorang tua, "Sudahlah, di tengah jalan jangan bergurau-gurau. Tidak patut dilihat orang!" Kemudian ditambahnya, "Kalau memang kalian membawa uang, mari kita makan di rumah makan itu."

Tiga orang muda ini lalu memasuki rumah makan yang besar dan mewah, juga kelihatan menarik sekali karena pintu, jendela dan meja bangkunya dicat merah dan kuning. Melihat ketiga orang muda ini memasuki rumah makan, pelayan kepala menyambutnya sendiri, terbungkuk-bungkuk menyambut dengan seluruh muka bulat itu tersenyum lebar.

"Silakan... silakan Sam-wi (Tuan Bertiga) masuk. Selamat datang dan silakan. Sam-wi tak akan kecewa memasuki rumah makan kami yang tersohor di seluruh negeri!"

Apa bila Li Eng dan Hui Cu menerima sambutan yang amat menghormat ini dengan anggukan kepala angkuh, adalah Kun Hong yang menjadi sibuk membalas penghormatan orang. Ia melihat pelayan kepala ini orangnya gemuk, pakaiannya bersih dan rapi sekali, maka ketika ia melirik ke arah pakaiannya sendiri, ia pun menjadi malu dan sungkan. Pakaiannya lapuk dan kotor seperti pakaian jembel, bagaimana dia merasa enak hati menerima sambutan penghormatan sedemikian dari pengurus rumah makan ini?

Setelah ketiganya memilih sebuah meja di sudut dan mengambil tempat duduk, pelayan kepala ini seperti seekor burung kakatua nerocos terus, "Sam-wi hendak menikmati apa? Arak wangi dari selatan, arak buah dari Tung-to, atau arak ketan dari pantai? Kami ada masakan-masakan istimewa, khusus untuk Sam-wi. Daging naga di tim, jantung hati burung sorga goreng setengah matang, kepala burung Hong dipanggang bumbu merah, kaki gajah masak sayur, buntut singa masak jamur, atau masih banyak macamnya.”

Tiga orang itu segera saling pandang. Li Eng dan Hui Cu hanya tersenyum-senyum untuk menutupi perasaan malu karena semua nama masakan itu merupakan nama asing dan baru bagi mereka. Akan tetapi tanpa menyembunyikan keheranannya, Kun Hong terus mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo.

Tidak main-mainkah pelayan ini? Bagaimana orang bisa memasak daging naga, jantung burung sorga, burung Hong, gajah, singa dan lain-lain itu? Dia sampai menjadi bingung dan tidak sanggup memilih. Bagaimana ia harus memilih antara masakan yang memang selama hidupnya baru kali ini ia dengar namanya itu?

"Kalau Sam-wi sukar memilih, biarlah kami sediakan semua yang ada agar Sam-wi dapat makan seenaknya."

Pelayan kepala itu kemudian mengundurkan diri dan tak lama kemudian berdatanganlah pelayan-pelayan, ada yang membawa arak, juga ada yang mengantarkan mangkok dan cawan, ada pula yang mulai mengeluarkan masakan-masakan panas.

Para tamu lain yang berada di situ memandang heran. Bagi orang kota ini, tidaklah aneh apa bila ada orang memborong masakan-masakan mahal. Akan tetapi kecantikan serta kebebasan dua orang dara remaja itu ditambah keadaan Kun Hong yang seperti jembel, benar-benar mendatangkan keheranan.

"Aku rela menghabiskan semua uang bekalku untuk dapat makan daging naga, burung Hong dan lain-lain binatang aneh itu," bisik Li Eng.

Hui Cu mengangguk. "Selama hidupku baru kali ini aku menjumpai masakan yang aneh. Untuk merasai daging naga aku pun rela mengorbankan gelangku."

Hanya Kun Hong yang bengong terlongong, setengah tidak percaya akan masakan yang aneh-aneh itu. Tidak lama kemudian masakan yang berbau lezat dan sedap gurih telah tersedia di atas meja. Dengan selera besar tiga orang muda yang memang sudah lapar sekali ini mulai makan.

Li Eng menggunakan sumpit menjumputi daging dari tiap masakan untuk dicoba rasanya. Ia terkikik lalu berkata, "Kurang ajar pelayan itu. Yang begini disebut daging naga ditim? Aku pernah makan daging ular kembang. Dan ini? Burung sorga apa? Ini kan hati burung dara? Dan kepala burung Hong? Setan, ini hanya kepala ayam biasa. Kaki gajah? Hi-hik, kaki babi dan buntut singa ini tentulah buntut kambing!"

Hui Cu juga tertawa kecil. “Tidak salah kata-katamu, Adik Eng. Akan tetapi harus diakui bahwa masakan ini bumbunya lengkap dan enak sekali."

Kun Hong juga tak sungkan-sungkan menggasak makanan-makanan lezat itu. Mendengar percakapan dua orang dara itu ia memberi komentar, "Memang penggantian nama-nama itu hanya siasat untuk menarik perhatian tamu, apa lagi yang datang dari luar kota raja."

"Tetapi dia kurang ajar, berani menipu kita," kata Li Eng. "Awas, orang itu patut dipukul kepalanya. Kita tak usah bayar!"

"Hush, omongan apa yang kau keluarkan itu, Li Eng?" Kun Hong membentak. "Jangan kau mencari gara-gara. Apa tidak malu sudah makan malah membayar pukulan? Tidak boleh kau begitu!"

Li Eng bersungut-sungut.

"Biarlah gelangku ini untuk membayar," kata Hui Cu.

"Tentu aku akan bayar, tapi juga akan kumaki karena dia telah menipu kita," kata pula Li Eng yang segera memberi isyarat kepada pelayan kepala yang memandang dari jauh.

Dengan terbungkuk-bungkuk pelayan kepala ini datang menghampiri. Mukanya berseri dan mulutnya segera berkata, "Tidakkah Sam-wi puas dengan masakan kami?"

"He, muka babi! Kau anggap aku ini orang apa? Berani kau mempermainkan kami dan membohong? Daging ular kau katakan daging naga, burung dara kau katakan burung sorga dan ayam biasa kau sebut burung Hong. Mana ada kaki gajah? Kaki babi! Kau benar-benar muka babi berani mempermainkan kami, apakah kau sudah bosan hidup?"

Muka yang tadinya berseri-seri itu mendadak berubah pucat. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang muda itu dan suaranya yang gemetar sukar sekali ditangkap maksudnya. Namun Li Eng dapat mendengar bahwa orang itu minta-minta ampun dan mohon supaya jangan dilaporkan kepada Thaicu (Pangeran).

Kun Hong dan dua orang gadis itu terheran-heran. Jelas bahwa pelayan kepala ini bukan takut kepada mereka, tetapi takut kalau-kalau mereka melaporkannya kepada Thaicu.

"Mana siauwte berani menghina tamu-tamu dari Thaicu? Memang nama masakan itu begitu...," demikian antara lain kata-kata Si Pelayan Gemuk ini.

"Hemm, kau menyebut-nyebut Thaicu segala? Siapa itu?" akhirnya Kun Hong bertanya karena ia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalah pahaman.

Pada saat itu pula, dari luar masuklah dua orang yang berpakaian indah dan penutup kepalanya menandakan bahwa mereka adalah orang-orang berpangkat. Semua pelayan segera memberi hormat kepada dua orang yang datang ini dan ketika mereka berdua berhadapan dengan Kun Hong, Li Eng, dan Hui Cu yang juga memandang dengan penuh perhatian, dua orang ini membungkuk-bungkuk dengan sikap menghormat.

"Sam-wi yang terhormat dipersilakan datang ke Istana Kembang di mana Putera Mahkota sudah menanti. Kendaraan tamu siap menanti di luar."

Karuan saja Kun Hong beserta dua orang dara itu terlongong heran dan tidak mengerti. "Apakah yang kalian maksudkan?" tanya Kun Hong. "Kami tidak mempunyai hubungan dan janji-janji dengan siapa pun juga, tidak mengenal putera mahkota..."

Dua orang tua itu membungkuk lagi. “Thaicu amat tertarik kepada Sam-wi dan mulai saat beliau mendengar tentang Sam-wi, beliau menganggap Sam-wi sebagai tamu."

Li Eng segera berkata kepada Kun Hong. "Paman Hong, lebih baik kita lekas pergi dari tempat ini, di sini banyak yang aneh-aneh dan membingungkan." Ia lalu mengeluarkan uang bekalnya dan bertanya kepada pelayan kepala, "Lekas hitung, berapa kami harus bayar makanan palsu ini."

Pelayan ini buru-buru menggerakkan tangannya menolak. "Ah, bagaimana Siocia (Nona) hendak membayar? Semua sudah terbayar lunas, malah berikut persennya, semua sudah beres oleh Thaicu."

Tiga orang muda itu kembali melengak. Lagi-lagi orang menyebut Thaicu. Kenapa putera mahkota begitu memperhatikan mereka? Sejak kapankah mereka kenal dengan putera mahkota?

"Li Eng, putera mahkota telah berlaku baik kepada kita, tidak seharusnya kita menolak kebaikan orang. Dia menghendaki kita datang ke Istana Kembang, bukankah kau tadi menyatakan keinginanmu untuk dapat kesempatan melihat keadaan istana dari dalam? Nah, kesempatan ini sekarang tiba, kenapa kita tidak menerimanya?"

"Pendapat yang bijaksana sekali!" seorang di antara dua pembesar itu berkata girang. "Marilah, Kongcu dan Ji-wi Siocia (Nona Berdua), mari menggunakan kendaraan yang sudah menanti di luar rumah makan."

Kun Hong mengajak dua orang keponakannya keluar dan benar saja, sebuah kereta yang amat indah dengan dua ekor kuda sudah menunggu di depan. Seorang di antara dua pembesar itu membukakan pintunya dan mempersilakan tiga orang ‘tamu agung’ itu memasuki kereta.

Tanpa ragu-ragu lagi Kun Hong naik, diikuti oleh dua orang gadis yang masih ragu-ragu dan hanya terpaksa menurut karena didahului oleh paman mereka. Andai kata tidak ada Kun Hong di situ, sudah pasti Li Eng dan Hui Cu tidak akan sudi menerima undangan orang.

Sesudah mereka semua duduk di dalam kereta, salah seorang ‘pembesar’ itu segera mengambil tempat kusir dan orang ke dua di belakang. Kiranya mereka itu adalah kusir kereta dan keneknya!

Merah muka Kun Hong kalau teringat betapa tadi di dalam rumah makan ia mengira bahwa mereka adalah dua orang ‘pembesar’ dari istana. Kiranya hanya kusir bersama keneknya! Malu ia kalau melirik kearah pakaiannya sendiri yang patut membuat ia disebut orang jembel.

Di dalam kereta yang serba indah dan bersih itu, ketiga orang muda ini duduk saling berpandangan dan sampai lama tidak membuka mulut. Betapa pun tenangnya, hati Kun Hong berdebar-debar juga kalau mengingat bahwa dia akan berhadapan dengan putera mahkota! Apa lagi dua orang gadis itu yang tampak gelisah sekali.

"Paman Hong," akhirnya Li Eng berkata dengan suara berbisik, "Mengapa kau menerima undangan ini? Jangan-jangan orang bermaksud buruk dan jahat terhadap kita..."

"Jangan curiga yang bukan-bukan, Li Eng. Tempat ini adalah kota raja dan sudah tentu saja Kaisar sekeluarganya adalah tuan rumah. Kalau putera mahkota mengundang kita, berarti kita sebagai tamu diundang tuan rumah dan kehormatan besar ini sekali-kali tidak baik kalau kita tolak. Pula, apa buruknya kalau kita mendapat kesempatan bertemu dan bercakap-cakap dengan putera mahkota, dan berkesempatan pula melihat-lihat keadaan kota dari dalam Istana Kembang? Ah, kelak tentu kalian akan bercerita banyak di rumah tentang pengalaman ini."

Li Eng dan Hui Cu tidak berkata-kata lagi, terbenam dalam lamunan masing-masing. Memang bagi Li Eng dan Hui Cu perjalanan ini menegangkan hati sekali, tetapi mereka berdua juga merasa bahwa perjalanan ini amat berbahaya dan mencurigakan. Persamaan pendapat ini hanya mereka utarakan dengan pertukaran pandang mata. Hanya Kun Hong yang duduk enak-enakan, nampaknya ayem dan tenang saja, malah sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar gembira...
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12