Monday, July 16, 2018

Cerita Silat Serial Rajawali Emas Jilid 09



























        Cerita Silat Kho Ping Hoo
          Serial Rajawali Emas

                    Jilid 09


Ketika kakek itu merambat melalui sabuk otomatis kedua tangannya juga terkena racun hebat dari tongkat itu. Tidak mengherankan jika kedua tangannya itu menjadi hangus dan kakek itu lalu melarikan diri ketakutan.

Mengingat bahwa gadis itu telah menyelamatkan nyawanya, Kwa Tin Siong lalu berkata dengan nada menghormat, "Gadis yang gagah perkasa, entah sudah kau sengaja atau tidak, akan tetapi kau tadi telah menyelamatkan nyawa kami suami isteri. Maka, terimalah ucapan terima kasihku kepadamu."

Gadis itu menjebirkan bibirnya. "Siapa menyelamatkan siapa? Kakek bongkok itu sudah berani mengotori Im-kan-kok, tidak kubunuh juga sudah untung. Kau ini orang she Kwa yang menjadi Ketua Hoa-san-pai, sekarang juga kau harus menyerahkan pedang Hoa-san Po-kiam itu kepadaku berikut kepalamu."

Sambil berkata demikian ia melangkah maju dengan sikap tenang. Kwa Tin Siong yang mendengar itu lebih merasa heran dari pada marah. Sudah tentu ada sebab-sebab yang aneh kalau anak ini sampai memusuhinya, tak mungkin memusuhi tanpa sebab.

"Nanti dulu, kalau kau betul-betul datang hendak memusuhiku, hal itu adalah wajar asal ada alasannya yang kuat. Kau jelaskanlah lebih dahulu mengapa kau hendak merampas Hoa-san Po-kiam dan hendak membunuhku? Apa sebabnya?"

"Apa sebabnya kau tidak perlu tahu. Pendeknya aku harus merampas kembali Hoa-san Po-kiam dan membunuh Ketua Hoa-san-pai she Kwa! Hayo kau majulah dan serahkan pedang serta kepalamu, aku sudah hilang sabar!"

Kwa Tin Siong orangnya memang berwatak sabar, akan tetapi tidak demikian dengan Liem Sian Hwa. Nyonya ini menjadi marah bukan main, tak dapat ia menahan perasaan hatinya yang terbakar ketika ia mendengar orang menghina suaminya. Cepat ia mencabut pedangnya yang sudah buntung ujungnya tadi dan membentak,

"Siluman cilik, enak saja kau bicara! Siluman macam kau tak mungkin bisa diajak bicara baik-baik. Kalau memang kedatanganmu hendak memusuhi kami, kau matilah dan lawan pedangku!"

Li Eng tertawa mengejek dan memandang pedang buntung itu. "Hi-hik, dengan pedang itu kau hendak melawanku? Ahhh, sedangkan ilmu pedang Hoa-san Kiam-sut saja baru kau pelajari setengah-setengah, matang tidak mentah pun tidak, lalu bagaimana kau hendak melawanku menggunakan pedang buntung? Bibi yang cantik, aku hanya ingin mengambil kepala orang she Kwa. Kalau kau ingin mencoba kepandaianmu yang masih setengah matang, kau...majulah!"

Sampai pucat wajah Liem Sian Hwa mendengar ejekan ini. Dia merupakan seorang tokoh Hoa-san-pai, boleh dibilang menjadi orang ke dua sesudah suaminya. Semenjak kecil dia sudah mempelajari ilmu silat Hoa-san-pai dan untuk kehebatan ilmu pedangnya ia malah telah menggemparkan dunia kang-ouw hingga mendapat julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang). Masa sekarang ia dihina oleh seorang bocah cilik yang menyatakan bahwa ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-sut matang tidak mentah pun tidak? Biar pun hanya berpedang buntung, namun ia masih sanggup untuk menghadapi lawan yang tangguh.

"Bocah setan, kau benar-benar terlalu sombong. Keluarkan senjatamu dan mari kau boleh merasakan ilmu pedangku yang mentah tidak matang pun tidak ini!" tantangnya.

"Untuk menghadapi kau dan pedang buntungmu cukup dengan tangan kosong.”

"Sombong, lihat pedang!"

Sian Hwa tak dapat menahan kemarahannya lagi. Tubuhnya segera menerjang maju dan pedangnya bergerak menyerang. Dengan gerakan cepat sekali sehingga sinar pedangnya bergulung-gulung, ia mengirim tiga kali tikaman berantai dengan jurus Lian-cu Sam-kiam.

"Hemmm Lian-cu Sam-kiam yang baik sekali. Sayang tidak ada isinya!" Li Eng mengejek dan cepat mengelak.

Karena ia tahu benar agaknya akan perubahan gerak dari jurus ini, maka dengan mudah Li Eng dapat menyelamatkan diri. Sian Hwa merubah gerakannya, mengirim bacokan dari kanan kiri sambil mempergunakan kecepatannya.

"Aha, Hun-in Toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung)! Juga tidak mengandung inti sari, masih mentah" Lagi-lagi Li Eng mengelak dan mengejek.

Sian Hwa makin marah, juga diam-diam terkejut sekali karena semua serangannya selalu dikenal oleh lawan. Dalam penyerangan-penyerangan berikutnya, baru saja dia bergerak gadis cilik itu sudah menyebutkan jurusnya dan malah mengelak dengan gerakan-gerakan dan langkah-langkah dari ilmu silat Hoa-san-pai asli.

"Tahan dulu!" tiba-tiba saja Kwa Tin Siong maju, melerai yang sedang bertempur setelah pertempuran itu berjalan puluhan jurus.

Ketua Hoa-san-pai ini menjadi curiga karena tadi ia melihat dengan jelas betapa ilmu silat gadis itu betul-betul asli Hoa-san Kun-hoat, akan tetapi dimainkannya demikian aneh dan hebat. "Nona kau sebetulnya murid siapakah?"

Juga Sian Hwa di samping kemarahan dan kegemasan karena penasaran, merasa heran sekali. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan yang begini muda tapi begini hebat ilmu silatnya, apa lagi ilmu silat dari Hoa-san-pai pula!

Li Eng tersenyum mengejek. "Murid siapa juga kau peduli apakah? Pendeknya, kau harus menyerahkan Po-kiam dari Hoa-san-pai berikut kepalamu. Kau tak berhak menjadi Ketua Hoa-san-pai!"

Kwa Tin Siong mencabut pedangnya, pedang Hoa-san Po-kiam, lalu dia melangkah maju. "Nah, ini pedangnya dan ini kepalaku, kau boleh ambil kalau kau bisa."

Kwa Tin Siong menjadi marah juga melihat sikap gadis yang bandel dan nekat ini dan ia ingin mencoba sendiri kepandaian gadis itu. Setelah suhu-nya meninggal, yaitu Lian Bu Tojin, kiranya tidak berlebihan kalau dia menganggap bahwa ahli silat Hoa-san-pai yang paling tinggi ilmunya pada saat itu adalah dia sendiri. Kalau gadis ini pun ahli ilmu silat Hoa-san-pai, mana mungkin lebih tinggi tingkatnya dari pada dia sendiri?

"Bagus, kau kehendaki kekerasan? Awas!"

Li Eng menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah pedang dan kakinya menyapu dengan kecepatan kilat. Akan tetapi Kwa Tin Siong melangkah mundur dan pedangnya berkelebat membacok tangan gadis itu. Li Eng menarik tangannya, meloncat ke kiri dan kembali menyerang dengan maksud hendak merampas pedang.

Kini tubuhnya bergerak-gerak cepat, kadang-kadang melakukan pukulan yang amat cepat dan berbahaya, lain saat ia berusaha merampas pedang dari tangan Kwa Tin Siong. Akan tetapi, kali ini ia betul-betul menghadapi seorang ahli silat yang sudah sangat matang oleh pengalaman, juga yang memiliki tenaga dalam kuat sekali. Sampai lima puluh jurus belum juga Li Eng berhasil merampas pedang.

Di lain pihak, diam-diam Kwa Tin Siong makin terheran-heran. Harus ia akui bahwa ilmu silatnya sendiri kalau dibandingkan dengan ilmu silat gadis itu, ia jauh lebih ahli, juga lebih matang. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada ilmu silat yang dimainkan gadis cilik ini, gerakan-gerakannya mengandung daya serang yang hebat sekali, yang tak ada pada ilmu silat asli Hoa-san Kun-hoat.

"He, Nona kecil, apakah kau pernah belajar pada Supek Lian Ti Tojin?" Tiba-tiba Kwa Tin Siong bertanya karena ia mendapat dugaan yang aneh.

"Aku adalah murid ayah ibu sendiri. Sudahlah jangan banyak cakap, lihat dalam beberapa jurus aku akan merampas pedangmu!"

Tiba-tiba benda hitam panjang seperti ular hidup menyambar ke arah muka Kwa Tin Siong yang menjadi kaget luar biasa. Cepat Ketua Hoa-san-pai ini menyabet dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga untuk membabat putus benda itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika benda itu tiba-tiba malah melibat pedangnya dan tak dapat dllepaskan lagi. Ia cepat mengerahkan tenaga menarik dan gadis itu pun menahan sehingga keduanya saling betot. Kiranya benda itu adalah sutera hitam yang tadi dipakai mengerek tubuh Yok-mo dan sekarang sudah berada lagi di tangan gadis aneh itu.

Melihat keadaan suaminya dalam bahaya, Sian Hwa tidak dapat tinggal diam saja. Sambil berseru keras ia menggerakkan pedang buntungnya dan menerjang Li Eng.

Gadis ini tertawa. "Bagus, kalian boleh maju bersama-sama!"

Sabuk sutera hitam terlepas dan ia lalu bersilat dengan senjata aneh ini, kini dia dikeroyok oleh dua orang!

Pada waktu itu, tingkat kepandaian suami isteri ini sudah sangat tinggi dan kiranya tidak sembarang lawan dapat mengalahkan mereka. Mereka merupakan pasangan yang amat hebat dengan ilmu pedang mereka. Akan tetapi ternyata keduanya tidak dapat mendesak Li Eng, sungguh pun gadis ini harus mengaku bahwa kini dia menghadapi dua lawan yang amat tangguh. Gadis itu mainkan senjatanya yang aneh secara cepat dan yang hebat sekali adalah bahwa ilmu silatnya tak salah lagi adalah ilmu silat Hoa-san Kun-hoat!

Benar-benar penasaran bagi Kwa Tin Siong dan isterinya yang merupakan tokoh-tokoh pertama dari Hoa-san-pai. Mereka sekarang tak berdaya menghadapi seorang gadis yang juga mainkan ilmu silat Hoa-san-pai, padahal gadis itu hanya bersenjatakan sehelai sabuk sutera!

Makin lama pertempuran itu berjalan makin seru, bahkan akhirnya menjadi pertandingan mati-matian. Pada suatu saat, Kwa Tin Siong dan Sian Hwa dalam waktu yang sama menerjang sedemikian hebatnya sehingga tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh gadis itu. Li Eng kaget dan berseru keras, tubuhnya mencelat ke belakang dan sabuk suteranya berkibar, seperti kilat menyambar cepat sekali dan seperti kupu-kupu melayang indahnya, kedua ujung sabuk itu tahu-tahu telah membelit kedua pedang di tangan Kwa Tin Siong dan Sian Hwa yang mengancamnya.

Gadis ini memegangi sabuk di tengah-tengah dan berada agak jauh sehingga suami isteri itu tak dapat menyerangnya lagi dengan tangan kiri karena mereka tidak suka mengambil resiko pedang mereka terampas. Ketiganya berdiri memasang kuda-kuda, mengerahkan tenaga dan terjadilah adu tenaga memperebutkan pedang.

Li Eng mulai berpeluh. Tak kuat dia dikeroyok dua dalam adu tenaga ini. Wajahnya agak pucat. Jika ia melepaskan libatan sabuknya, maka ia dapat terluka di dalam tubuhnya. Ia bertekad terus bertahan, akan tetapi kedudukannya mulai bergerak dan terseret ke depan sedikit demi sedikit. Keringat dingin mulai membasahi jidat yang halus itu. Akan tetapi sepasang mata yang jeli dan bening itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut sedikit pun juga.

"Li Eng, jangan kurang ajar!" terdengar bentakan suara wanita.

"Kwa-supek, maafkan anakku yang nakal!" terdengar pula suara seorang laki-laki.

Dua suara ini disusul dengan berkelebatnya dua sosok bayangan yang tahu-tahu sudah tiba di tempat pertempuran dan langsung bayangan laki-laki itu maju menengahi. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa merasa betapa tenaga mereka yang tadi dipersatukan untuk mempertahankan pedang masing-masing itu seperti terlolos dan mencair, lenyap tak tentu sebabnya dan tahu-tahu pedang mereka telah terlepas dari libatan sabuk sutera yang juga sudah ditarik kembali oleh Li Eng.

Ketika suami isteri ini memandang, dapat dibayangkan betapa heran, kaget dan girangnya hati mereka karena yang sekarang berdiri di depan mereka ini bukan lain adalah Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang anak murid Hoa-san-pai yang dulu lenyap setelah terusir oleh Kwa Hong!

Kui Lok cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan paman guru dan bibi gurunya, sedangkan Thio Bwee juga cepat menyeret tangan Li Eng kemudian ia sendiri bersama gadis itu pun berlutut di depan suami isteri Ketua Hoa-san-pai. Para tosu Hoa-san-pai yang juga mengenal Kui Lok dan Thio Bwee, menjadi gempar dan terdengarlah seruan-seruan gembira disertai isak tertahan. Memang mengharukan sekali pertemuan itu.

Kwa Tin Siong segera memeluk Kui Lok sedangkan Liem Sian Hwa lalu merangkul Thio Bwee. Mereka bertangisan. Hanya Li Eng gadis nakal itu yang sekarang berdiri bingung memandang kedua orang tuanya yang berpelukan sambil bertangisan dengan dua orang Ketua Hoa-san-pai yang baru saja bertanding mati-matian dengannya.

"Ayah, Ibu... dia ini adalah Ketua Hoa-san-pai she Kwa!" akhirnya dia tak dapat menahan lagi hatinya, menegur ayah bundanya.

Ibunya, Thio Bwee sudah dapat menetapkan hatinya dan melepaskan pelukan Liem Sian Hwa, bibi gurunya. Dia memandang kepada puterinya dengan mata penuh teguran, lalu berkata, "Li Eng, tanpa perkenan Ayahmu, mengapa kau berani lancang sampai ke sini dan mengacau Hoa-san-pai?" kemudian nyonya ini memandang ke sekeliling, ke arah mayat-mayat manusia yang amat banyak, kemudian suaranya makin bengis, "Kau telah mengacau dan membunuh orang-orang ini?"

"Aku... tidak, tidak, Ibu. Aku tidak membunuh siapa-siapa!" Li Eng menjawab cepat dan ketakutan, apa lagi ketika melihat ayahnya pun memandangnya dengan wajah bengis. "Aku... aku keluar dari tempat kita dan aku melihat serombongan orang di Im-kan-kok yang bicara mengenai maksud mereka menyerbu Hoa-san-pai. Karena mereka berbicara tentang Ketua Hoa-san-pai pula, hatiku jadi tertarik dan aku lalu datang ke sini untuk merampas kembali Hoa-san Po-kiam dari Ketua Hoa-san-pai dan membunuh orang she Kwa ini. Bukankah orang she Kwa ini yang ayah ibu katakan jahat dan sudah merusak Hoa-san-pai?"

"Anak tolol, sama sekali bukan! Dia ini adalah paman guruku, dan yang itu adalah bibi guruku, sekaligus juga paman guru dan bibi guru ibumu. Jadi kau masih terhitung cucu murid mereka. Hayo lekas berlutut dan minta ampun!" kata Kui Lok.

Li Eng kaget sekali dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. "Kakek dan Nenek guru, aku Kui Li Eng mohon ampun..."

Liem Sian Hwa menubruk cucu muridnya itu dan memeluknya. "Tidak kusangka-sangka aku mempunyai cucu murid begini hebat..." katanya girang.

Kwa Tin Siong menarik napas panjang. "Sudahlah... sekarang aku tahu siapa yang dia maksudkan orang she Kwa itu. Tentu Kwa Hong bukan?"

Kui Lok dan Thio Bwee hanya mengangguk.

Pada saat itu terdengar suara berseru, suara wanita, "Supek...!"

Semua orang memandang dan melihat orang berlari cepat ke puncak itu. Mereka ini bukan lain adalah Thian Beng Tosu bersama dua orang wanita, yang seorang setengah tua dan yang kedua seorang gadis yang cantik dan berpakaian sederhana. Melihat wanita setengah tua itu, Liem Sian Hwa segera lari memapaki dan mereka berangkulan.

"Lee Giok... kau benar-benar telah membuat suamimu hidup menderita!"

Memang benar, wanita itu bukan lain adalah Lee Giok, isteri dari Thio Ki atau Thian Beng Tosu. Dan gadis cantik sederhana itu adalah puterinya! Bagaimana mereka bisa muncul di saat itu bersama Thian Beng Tosu? Untuk mengetahui hal ini marilah kita ikuti perjalanan Thian Beng Tosu beberapa saat yang lalu.

Telah diceritakan bagaimana Thian Beng Tosu berhasil mendesak musuh lamanya, yaitu Hek-houw Bhe Lam. Kepala rampok ini melarikan diri dikejar oleh Thian Beng Tosu dan kejar-mengejar ini membawa mereka turun dari puncak, hingga tiba di hutan tak jauh dari Im-kan-kok. Bhe Lam sudah terluka pangkal lengannya, tetapi larinya masih cepat sekali. Betapa pun juga, karena Thian Beng Tosu lebih biasa di tempat itu, setibanya di dalam hutan ini ia tersusul.

Tosu Hoa-san-pai ini membentak, "Hek-houw, percuma saja kau lari. Kejahatanmu sudah melampaui takaran, hari ini kau harus tewas di tanganku!"

Hek-houw Bhe Lam yang tahu bahwa dia tak mungkin dapat melarikan diri lagi mendadak membalikkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak. Belasan buah senjata piauw lantas melayang ke arah lawannya. Namun Thian Beng Tosu sudah menduga akan hal ini, cepat memutar pedangnya menangkis.

Pada saat itu Hek-houw Bhe Lam bersuit ketika ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawannya. Dengan perlahan namun pasti Thian Beng Tosu mendesak penjahat itu. Belasan jurus kemudian Bhe Lam masih dapat bertahan, walau pun keadaan kepala rampok ini terdesak makin hebat.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suitan dari dalam hutan dan tak lama kemudian muncullah tiga orang tinggi besar yang segera menerjang Thian Beng Tosu dengan golok di tangan. Mereka ini adalah orang-orang yang sengaja disuruh menjaga di situ oleh kepala rampok ini dan tadi ia memang sengaja memancing Thian Beng Tosu memasuki hutan ini agar ia bisa mendapatkan bantuan tiga orang temannya.

Setelah tiga orang itu mengeroyok, keadaan menjadi terbalik. Sekarang tosu inilah yang terdesak dan dihujani serangan dari kanan kiri, depan dan belakang. Ia mulai sibuk dan terpaksa hanya dapat mempertahankan dirinya tanpa mampu balas menyerang. Keadaan Thian Beng Tosu benar-benar berbahaya sekali dan Hek-houw Bhe Lam mulai mengejek serta mentertawakan.

Akan tetapi tiba-tlba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis muda yang cantik manis dengan pakaiannya yang sederhana, diikuti oleh seorang wanita setengah tua yang berpakaian seperti seorang pertapa tahu-tahu muncul dari balik pepohonan dan langsung kedua orang wanita itu menerjang empat orang penjahat tadi. Hebat sekali permainan pedang gadis sederhana itu, akan tetapi lebih hebat permainan silat wanita pertapa yang hanya memegang sebatang ranting kecil. Dalam beberapa gebrakan saja empat orang penjahat itu telah terjungkal dalam keadaan terluka.

Gadis itu dengan gemas menggerakkan pedang hendak membunuh Hek-houw Bhe Lam, akan tetapi tiba-tiba Thian Beng Tosu berseru, "Jangan bunuh!"

Gadis itu menahan pedangnya dan memandang kepada tosu Hoa-san-pai ini dengan sinar mata penuh keharuan. Sebaliknya Thian Beng Tosu dan wanita pertapa ini berdiri seperti patung dan saling pandang seperti terkena pesona.

"Lee Giok... kau Lee Giok..." bibir Thian Beng Tosu bergerak-gerak mengeluarkan bisikan.

Wanita pertapa itu meramkan kedua matanya dan menitiklah air mata pada kedua pipinya yang masih segar kemerahan. Memang benar ia adalah Lee Giok, isteri Thian Beng Tosu!

"Dan dia ini...?" lagi-lagi Thian Beng Tosu berkata amat perlahan sambil menoleh ke arah gadis cantik yang gagah perkasa itu.

"...dia Hui Cu... anak kita...," terdengar wanita pertapa itu berkata.

Mendengar ini, gadis itu yang bernama Thio Hui Cu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Beng Tosu sambil berkata, "Ayah...!"

Tosu ini membungkuk dan meraba kepala anaknya, air matanya bercucuran, kemudian ia menarik bangun anaknya, memandangi sampai lama sekali lalu berdongak ke atas dan berkata, "Siancai... Tuhan Maha Adil... siapa sangka aku akan dapat bertemu dengan kalian dalam keadaan selamat? Ya Tuhan, terima kasih atas kemurahan-Mu..."

Setelah keharuan mereka mereda, Lee Giok berkata, "Dia ini... bukankah dia penjahat Bhe Lam yang dahulu itu?"

Baru sekarang Thian Beng Tosu teringat akan empat orang penjahat yang masih berada di situ karena tidak berani melarikan diri. "Betul, dan mereka inilah yang menjadi lantaran pertemuan kita. Karena itu, biarlah kita ampunkan mereka. Bhe Lam, sekali lagi kami mengampunimu, harap saja kau dapat sadar dan insyaf bahwa menyimpang dari jalan kebenaran bukanlah hal yang akan dapat menyelamatkan dirimu. Nah, lekas pergilah dan semoga Thian akan memberi bimbingan kepada jiwamu."

Dengan malu sekali, juga merasa bersyukur karena kembali dia diampuni, Bhe Lam dan teman-temannya pergi terpincang-pincang. Setelah mereka pergi, suami isteri dan anak mereka ini saling berpandangan, penuh kebahagiaan dan penuh keharuan.

"Kau... selama ini di manakah? Kenapa tidak kembali ke Hoa-san mencariku?"

Dalam pertanyaan yang halus ini sama sekali tidak terkandung suara penyesalan, namun cukup membuat Lee Giok kembali mengucurkan air mata. "Bagaimana aku berani? Aku... aku... telah ternoda oleh si jahat Giam Kin. Baiknya ada Adik Hong yang menolongku dan aku lari ke sini, aku... aku bersembunyi dalam hutan, bertapa kemudian mendidik anak kita ini... aku telah mengambil keputusan tidak akan menggangumu kecuali kau yang mendapatkan aku. Siapa duga kau bertempur dengan mereka itu dan... dan... ahhh, kenapa kau sekarang telah menjadi tosu?"

Thian Beng Tosu tersenyum, kemudian dengan penuh kebahagiaan ia memegang tangan isterinya di tangan kanan, tangan Hui Ci di tangan kiri. "Dan kau sendiri? Kau pun menjadi seorang tokouw (pendeta perempuan). Bagus sekali! Ternyata bukan aku saja yang sudah menemukan jalan benar, juga kau, isteriku Lee Giok, sekarang tinggal kita mendoakan saja demi kebahagiaan hidup anak kita. Marilah ikut aku ke puncak menemui Supek. Tahukah kau bahwa sekarang yang menjadi ketua adalah Supek Kwa Tin Siong?"

Dengan penuh kegembiraan Thian Beng Tosu bersama anak dan isterinya lalu menuju ke Puncak Hoa-san. Di tengah perjalanan mereka saling menceritakan pengalaman mereka yang pahit dan penuh penderitaan. Dapat dibayangkan betapa kebahagiaan ini menjadi makin berlimpah ketika mereka tiba di tempat pertempuran tadi melihat bahwa Kui Lok dan Thio Bwee berada pula di situ, malah Li Eng gadis nakal yang lihai itu ternyata adalah puteri mereka!

Hujan tangis terjadi pada saat Thian Beng Tosu muncul bersama Lee Giok dan Hui Cu. Segera Kwa Tin Siong memerintahkan para murid untuk mengurus mayat-mayat itu dan merawat mereka yang terluka. Dia sendiri dengan perasaan duka bercampur suka ria mengajak para murid Hoa-san-pai itu masuk ke dalam kuil.

Akan tetapi tiba-tiba Liem Sian Hwa berkata dengan kaget, "Ehh, di mana Kun Hong?"

Beberapa orang tosu menjawab bahwa mereka tadi melihat Kun Hong berlari pergi dari tempat itu, turun dari puncak. Ketika para tosu hendak mencegah dan memberi tahu bahwa mungkin ada orang jahat di lereng gunung, Kun Hong malah marah-marah dan membentak mereka.

"Jangan bicara padaku, kalian semua juga jahat, pembunuh-pembunuh kejam. Aku tidak sudi lagi tinggal di sini!"

Tentu saja Liem Sian Hwa berkuatir sekali. Akan tetapi Kwa Tin Siong yang sekarang merasa betapa puteranya itu amat lemah dan tak dapat dibandingkan dengan Li Eng atau Hui Cu yang biar pun merupakan anak-anak perempuan akan tetapi memiliki kegagahan, segera berkata,

"Biarkanlah, memang sudah tiba waktunya bagi dia untuk meluaskan pengalaman ke bawah gunung. Kalau sudah banyak menghadapi kesukaran, baru ia menjadi dewasa dan dia tentu akan kembali ke sini." Ia pun mencegah dan menghibur isterinya yang tadinya bermaksud untuk mengejar dan mencari puteranya.

Sian Hwa sendiri karena merasa malu kalau harus memperlihatkan kelemahan puteranya dan juga kelemahannya sendiri yang terlalu menguatirkan seorang anak laki-laki, terpaksa menurut walau pun hatinya penuh kegelisahan.

Mereka semua lalu masuk ke dalam kuil dan menceritakan pengalaman masing-masing. Yang membuat Ketua Hoa-san-pai ini girang dan bangga sekali adalah ketika mendengar bahwa Kui Lok dan Thio Bwee kini telah mewarisi ilmu kepandaian yang ditinggalkan oleh Lian Ti Tojin sehingga tingkat kepandaian dua orang murid keponakan ini jauh melampaui tingkatnya sendiri. Hal ini berarti memperkuat kedudukan Hoa-san-pai. Keluarga besar keturunan Lian Bu Tojin ini sekarang telah berkumpul di Hoa-san-pai. Dan dengan adanya mereka, kiranya tidak akan ada sembarang orang yang berani mengacau Hoa-san-pai lagi…..


                ***************


Hati Kun Hong penuh kedukaan dan kemarahan. Sama sekali di luar dugaannya bahwa ayah bundanya, juga para tosu Hoa-san-pai yang setiap hari belajar tentang kebajikan, sekarang berubah menjadi pembunuh-pembunuh yang amat kejam menurut pendapatnya. Puluhan orang manusia dibunuh di puncak Hoa-san.

"Aku tidak mau melihat mereka lagi, aku tidak sudi lagi kembali ke Hoa-san-pai!" demikian hatinya menjerit penuh kengerian saat di depan matanya terbayang mayat mayat manusia yang menggeletak tumpang-tindih itu. Celaka, pikirnya. Ayahnya, ibunya dan semua tosu Hoa-san-pai tentu akan ditangkap dan dimasukkan penjara!

Biar pun ia, tidak pernah belajar ilmu silat, namun Kun Hong memang pada dasarnya memiliki tubuh yang sehat kuat dan berkat kemauannya yang luar biasa kokoh kuatnya, ia tidak merasakan kelelahan kedua kakinya. Ia berlari terus menuruni puncak. Maksudnya hendak mencari dusun terdekat untuk menemui kepala dusun dan melaporkan mengenai pertempuran di puncak itu, Biarlah yang berwajib yang mengurusnya, tetapi ia tidak akan kembali ke sana, pikirnya.

Tiba-tiba ia melihat orang berjalan terhuyung-huyung, mengeluh lalu roboh tak jauh dari tempat ia berdiri. Cepat Kun Hong lari menghampiri dan kagetlah ia ketika melihat bahwa orang itu tak lain adalah Toat-beng Yok-mo, kakek bongkok yang tadi ia lihat mengamuk di Puncak Hoa-san. Hatinya memang penuh welas asih. Melihat kakek itu luka-luka di pundak dan lambung, mengucurkan darah, ia segera berlutut dan bertanya, "Toat-beng Yok-mo, kau kenapa?"

Kakek itu mengeluh dan membuka matanya, kelihatan kesakitan sekali. Ketika ia melihat Kun Hong, sekejap ia kelihatan kaget, akan tetapi kemudian terheran-heran. "Lekas... tolong kau ambilkan bumbung (tabung bambu) dalam buntalanku di punggung ini... lekas... dan hati-hati, jangan sampai menyentuh tanganku...," katanya dengan suara terengah-engah.

Kun Hong melihat ke arah kedua tangan kakek itu dan bergidik ngeri. Kedua tangan kakek itu sudah menghitam seperti hangus terbakar dan teringatlah ia akan racun hebat yang mengakibatkan kematian tosu Hoa-san-pai dan kemudian karena dipegang oleh Bu Tosu mengakibatkan hal yang amat mengerikan.

Ingin ia lari pergi menjauhi kakek yang seperti iblis ini, akan tetapi melihat orang tua itu terluka dan berada dalam keadaan payah sekali, hatinya tidak tega. Ia lalu menurunkan bungkusan dari punggung kakek itu dan membukanya. Di antara bungkusan-bungkusan obat dan pakaian, ia mengambil sebatang bambu besar dan pendek yang disumbat kayu dan tabung itu diberi lubang untuk hawa, seperti tempat jangkerik akan tetapi tabung itu besar.

"Inikah bumbung itu?" tanyanya.

"Betul, buka sumbatnya dan keluarkan isinya. Hati-hati, katak putih hijau ini jangan sampai terlepas. Kau peganglah erat-erat!" Toat-beng Yok-mo berkata tergesa-gesa dan sinar kegembiraan terpancar keluar dari sepasang matanya yang tadi nampak sayu dan penuh kegelisahan.

"Katak?" kata Kun Hong terheran-heran sambil membuka sumbatnya dan tiba-tiba seekor katak yang besar dan berkulit seperti salju meloncat keluar dari tabung itu.

"Wah, terlepas...!" kata Kun Hong.

"Goblok kau! Celaka... lekas tangkap, jangan sampai hilang. Kalau dia hilang aku mati...!"

Mendengar ucapan ini Kun Hong menjadi pucat, lalu ia mengejar katak itu sampai jatuh bangun. Ini urusan nyawa orang, pikirnya.

Katak itu tidak begitu cepat gerakannya, akan tetapi selambat-lambatnya katak, ia pandai melompat sehingga tiap kali Kun Hong menubruk, katak itu melompat membuat pemuda itu terpaksa mengejar lagi dan menubruk lagi sampai jatuh bangun dan pakaiannya kotor semua. Akan tetapi akhirnya dapat juga ia menangkap katak itu.

Biar pun pakaiannya kotor semua dan kedua lengannya babak-belur tertusuk duri, namun Kun Hong girang sekali karena dapat menangkap kembali katak itu. Pemuda ini segera lari kepada Toat-beng Yok-mo sambil membawa katak itu.

"Sudah dapat kutangkap kembali, Yok-mo," katanya girang.

Keadaan Toat-beng Yok-mo makin payah, napasnya terengah-engah. "Lekas... dekatkan katak itu ke mulutku..."

Kedua tangan yang hangus itu tidak dapat digerakkan lagi. Kun Hong mendekatkan katak itu ke mulut Yok-mo dengan heran karena tidak tahu apa yang dimaksudkan. Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat kakek itu membuka mulut dan... menggigit kaki belakang katak itu sampai mengucurkan darah yang lalu dihisap!

"Eh... ehh, kau mau makan katak hidup ini?" teriaknya heran dan mencoba untuk menarik katak itu.

Akan tetapi tiba-tiba kaki Yok-mo bergerak menendang dan tubuh Kun Hong mencelat jauh. Pemuda ini merayap bangun dan bersungut-sungut. "Kau memang jahat! Katak tidak berdosa kau gigit dan kau juga menendangku!"

Akan tetapi ia melihat keanehan setelah kakek itu minum darah katak. Kedua tangannya yang tadinya hangus itu cepat sekali pulih kembali dan lenyaplah warna hitam tadi. Tak lama kemudian kakek itu mengambil katak dari mulutnya, memasukkannya kembali ke dalam tabung dan... tertidurlah kakek itu mengorok enak sekali!

Kun Hong adalah seorang yang cerdik. Melihat ini tahulah ia bahwa darah katak itu adalah obat yang amat mujarab bagi racun hitam. Ia ingin sekali bertanya karena merasa tertarik bukan main. Akan tetapi karena kakek itu tertidur nyenyak, ia tidak mau mengganggunya dan perhatiannya segera tertarik oleh tiga jilid kitab yang terletak di dalam bungkusan kakek itu yang masih terbuka.

Segera ia mendekati, kemudian mengambil buku-buku itu. Ternyata itu adalah kitab-kitab pengobatan. Kitab pertama berjudul ‘SELAKSA MACAM OBAT’, dan kitab kedua berjudul ‘SELAKSA MACAM CARA PENGOBATAN’ sedangkan yang ketiga berjudul ‘RAHASIA PEREDARAN DARAH DALAM TUBUH’.

Kun Hong adalah seorang kutu buku. Melihat kitab sama dengan orang kelaparan melihat roti. Dengan lahapnya ia lalu membuka kitab-kitab itu dan membacanya. Yang dibukanya adalah kitab rahasia tentang peredaran darah dalam tubuh.


Biar pun pusing kepalanya membaca huruf-huruf kuno dengan gambar tentang perjalanan darah disertai ribuan macam istilah yang asing baginya, tetapi karena nafsunya membaca amat luar biasa, ia memaksa diri membaca terus. Setengah hari Yok-mo tidur nyenyak dan setengah hari pula Kun Hong membaca kitab itu. Sekarang dia baru mengerti bahwa peredaran darah erat sekali hubungannya dengan pernapasan dan bahwa pernapasan menjadi sumber dari tenaga dalam di tubuh manusia. Asyik sekali ia membaca dan mulai banyaklah hal-hal menarik dalam kitab itu, terutama pengertian tentang keadaan tubuh yang berhubungan dengan cara pengobatan.

"Aduh... keparat... pundak dan lambungku panas sekali..." Tiba-tiba saja suara ini membangunkannya dari alam mimpi yang amat menarik hati. Akan tetapi ia segera mengerti bahwa yang mengeluh itu adalah Toat-beng Yok-mo, maka ia tidak mempedulikan dan melanjutkan bacaannya.

"Uh... uhh... sakit dan panas... heee! Jangan baca kitab-kitabku!”

Kun Hong menutup buku itu dan meletakkannya dalam bungkusan, lalu menoleh. Kakek itu masih rebah telentang, nampak lemah dan kesakitan. Ia cepat menghampiri. "Bagaimana, Yok-mo? Sudah sembuhkah tanganmu?"

Tiba-tiba tangan kakek itu bergerak dan tahu-tahu pergelangan tangan Kun Hong sudah dicengkeram erat-erat. Pemuda ini merasa tangannya amat kesakitan. Ia mencoba untuk melepaskan cengkeraman itu, namun tak berhasil.

"Ehh, kau ini ada apakah? Lepaskan tanganku!" teriak Kun Hong sambil terus mencoba menarik tangannya.

"Tak boleh kau membaca kitab-kitabku!"

"Baca saja apa salahnya, sich? Kalau kau tidak membolehkannya, aku pun tidak memaksa. Hemm, tanganmu panas sekali, lepaskan aku."

Yok-mo melepaskan pegangannya. Dia mengeluh lagi dan berkata dengan napas sesak, "Luka-lukaku... mengakibatkan demam panas... lekas kau carikan daun pohon sari darah, akar buah ular dan cacing hitam..."

Kun Hong menjadi bingung. "Ke mana aku mencari? Dan yang bagaimanakah macamnya daun dan akar serta cacing yang kau sebutkan itu?"

"Ah... benar juga... kau mana tahu? Celaka..., selain demam aku pun... banyak kehilangan darah... ahh, kau tolonglah aku, orang muda..."

Kun Hong merasa kasihan sekali. Ia meraba jidat kakek itu dan ternyata panas sekali. "Ah, Yok-mo, aku benar-benar ingin sekali menolongmu. Akan tetapi bagaimana caranya? Jika hanya mencarikan obat-obat yang kau sebutkan tadi aku tentu mau, akan tetapi aku tidak tahu..."

"Tak usah kau mencari... kau antarkan saja aku ke tempat tinggalku... di sana terdapat segala obat yang kubutuhkan..."

"Mengantar kau kembali ke tempat tinggalmu? Tentu, boleh saja. Mari kuantar kau..." jawab Kun Hong cepat.

Tentu saja pemuda yang berwatak jujur ini tidak tahu akan maksud kakek itu sebenarnya. Toat-beng Yok-mo maklum bahwa dalam keadaan terluka seperti sekarang ini, kalau dia sampai bertemu dengan musuh-musuhnya, dalam hal ini orang-orang Hoa-san-pai, tentu ia akan celaka dan tidak dapat melakukan perlawanan. Dengan membawa Kun Hong di dekatnya, ia dapat rnempergunakan pemuda ini sebagai jaminan untuk keselamatannya!

"Kau baik sekali... uhh... uhhh..." Ia mencoba berdiri akan tetapi kepalanya terasa pusing dan terguling kembali.

"Bagaimana? Apakah kau tidak bisa jalan...?" tanya Kun Hong kuatir dan penuh perasaan iba.

Sebagai seorang cerdik yang sudah banyak pengalaman, Toat-beng Yok-mo sudah dapat menyelami watak Kun Hong, maka kembali ia sengaja mengeluh dan mengaduh untuk memperdalam perasaan iba di hati pemuda itu. Kemudian, dengan suara bisik-bisik seperti orang yang amat payah keadaannya, ia pun berkata, "Aku... aku tidak bisa jalan... berdiri pun tidak kuat... ah, anak yang baik... kalau kau kasihan kepada aku orang tua... kau gendonglah aku..."

Kun Hong benar-benar sudah tergerak hatinya dan merasa amat kasihan kepada kakek itu. "Baiklah, Yok-mo, kau akan kugendong."

Ia lalu membungkus kembali bawaan kakek itu dan mengikatnya di punggung Toat-beng Yok-mo, setelah itu lalu menggendong kakek ini di punggungnya sendiri dan berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Toat-beng Yok-mo! Kun Hong bertubuh kuat dan bertenaga besar, maka menggendong tubuh yang kecil kering dan tua itu tidaklah sukar baginya. Akan tetapi karena tubuhnya tidak terlatih dan tidak biasa bekerja berat, perjalanan mereka ini berlangsung lambat sekali dan sering kali terpaksa beristirahat.

Diam-diam Toat-beng Yok-mo terheran-heran mengapa Ketua Hoa-san-pai yang gagah itu mempunyai seorang putera yang begini tidak ada gunanya. Karena ia membutuhkan bantuan Kun Hong untuk menggendongnya dan dijadikan jaminan akan keselamatannya, maka pada waktu istirahat ini dia mengajar Kun Hong cara berduduk diam (bersemedhi), mengatur pernapasan untuk memperkuat daya tahan tubuh sehingga membuat pemuda ini lebih tahan berjalan jauh.

"Toat-beng Yok-mo, aku sudah membaca kitab-kitabmu biar pun hanya sedikit, dan aku tertarik sekali. Baik sekali memiliki kepandaian untuk mengobati orang sakit. Kalau kau suka mengajarku dalam ilmu pengobatan, aku suka menjadi muridmu."

Diam-diam kakek ini menyeringai. Dia sudah mengambil keputusan hendak membawa kepandaiannya sampai mati, tidak akan ia turunkan kepada siapa pun juga. Kecuali kalau ada murid yang suka berjanji bahwa murid itu akan membunuh setiap orang yang sudah diobatinya. Akan tetapi ia tahu pula bahwa pemuda ini tak mungkin mau menerima syarat itu, maka ia berpura-pura.

"Kau anak baik sekali, tentu saja aku suka menerima kau menjadi muridku. Dan kau tahu, pelajaran semedhi dan mengatur napas yang kuajarkan ini adalah tingkat pertama dari ilmu pengobatan. Maka kau berlatihlah baik-baik setiap kali kita beristirahat."

Oleh karena kurang pengalaman, Kun Hong mempercayai omongan ini. Dan betul saja, ia berlatih giat sekali di waktu beristirahat dan di waktu malam. Ia sama sekali tidak tahu bahwa kakek itu melatih ia semedhi dan mengatur pernapasan agar badannya kuat dan tahan lebih lama melakukan perjalanan jauh itu sambil menggendong!

Baiknya kakek itu ternyata mempunyai simpanan banyak emas dalam buntalan sehingga untuk makan dan menyewa rumah penginapan bukan soal yang sulit lagi bagi mereka. Sebetulnya, setelah makan obat yang dibeli di kota yang mereka lalui, kakek itu sakitnya sudah banyak mendingan dan sudah kuat berjalan lagi. Akan tetapi, kesehatannya belum pulih semua dan andai kata ia bertemu lawan tangguh, ia masih belum sanggup melawan. Maka untuk membuat Kun Hong sungkan meninggalkannya, ia berpura-pura masih tidak kuat jalan dan membiarkan pemuda itu terus menggendongnya sepanjang jalan!

Pada suatu hari, menjelang tengah hari yang panas bukan main, Kun Hong dan Yok-mo beristirahat di sebuah hutan yang amat liar. Mereka sudah tiba di daerah lembah Sungai Huai di mana banyak sekali terdapat hutan-hutan lebat dan gunung-gunung yang masih liar. Daerah ini sudah dekat dengan tempat tinggal Toat-beng Yok-mo, yaitu di pusat gerombolan Ngo-lian-kauw yang dikepalai oleh Kim-thouw Thian-li.

Karena merasa bahwa dia sudah berada di daerah sendiri dan sekarang tidak mungkin kiranya orang-orang Hoa-san-pai bisa mengejarnya, Yok-mo mengambil keputusan untuk mencabut nyawa pemuda yang selama ini mengantar dan menggendongnya. Ia tidak lagi memerlukan pemuda ini, baik sebagai pengantar mau pun sebagai jaminan.

Sesungguhnya dalam beberapa hari ini ia sudah merasa bosan sekali digendong oleh pemuda yang tidak dapat berjalan cepat itu. Andai kata ia melakukan perjalanan sendiri, dengan ilmunya berlari cepat, kiranya ia sudah sampai di rumahnya. Semata-mata untuk menjamin keselamatannya belaka maka ia terpaksa membiarkan dirinya digendong oleh Kun Hong.

Melihat betapa pemuda ini sekarang sedang tekun duduk bersila, mengumpulkan panca inderanya dan mengatur pernapasan, kakek ini tersenyum menyeringai. Diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda ini sesungguhnya memiliki tulang bersih dan bakat yang amat baik, pula amat cerdas sehingga sekali membaca atau mendengar sudah hafal dan tak akan melupakannya lagi.

"He, Kun Hong... bangunlah jangan tidur saja!" ia menegur.

Kun Hong membuka matanya. Ia terheran-heran melihat kakek itu duduk bersandar pohon seperti biasanya sambil tersenyum-senyum aneh.

"Yok-mo, aku tidak tidur, melainkan melatih semedhi seperti biasa. Latihan ini baik sekali, aku merasa sehat dan kuat semenjak berlatih. Kitabmu itu benar-benar mengandung pelajaran pengobatan yang luar biasa."

"Heh-heh-heh, apa kau ingin membaca lagi?"

Wajah Kun Hong nampak kecewa. "Semenjak pertemuan kita dahulu kau sudah tahu jelas bahwa tidak ada keinginan lain padaku kecuali membaca tiga kitabmu itu. Tapi kau selalu melarang."

"Heh-heh-heh, kau benar-benar ingin membacanya? Kun Hong, kau sudah melepas budi kepadaku, merawat dan mengantarkan aku sampai sini. Jika sekarang aku membolehkan kau membaca ketiga kitabku, apakah aku boleh menganggap budimu itu sudah terbalas dan sudah lunas?"

Kun Hong memang seorang yang berwatak polos dan bersih. Ia menolong kakek itu tanpa pamrih apa-apa, tanpa mengharap balasan malah sama sekali tidak ada ingatan dalam hatinya bahwa ia telah melepas budi kepada orang. Mendengar kakek itu membolehkan ia membaca kitab-kitab itu, ia menjadi girang sekali dan berkata, "Terima kasih, Yok-mo, kau baik sekali!"

Tanpa mempedulikan yang lain-lain lagi ia lalu membuka buntalan yang ditaruh di bawah pohon, lalu mengeluarkan ketiga kitab itu dan segera ia mulai membaca. Belum lama ia membaca, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan isi hutan itu.

Kun Hong terkejut sekali dan lebih-lebih herannya ketika dia melihat kakek bongkok itu sudah berdiri dengan tongkat di tangan, memandang ke depan dengan mata terbelalak. Keheranannya ini bercampur rasa girang karena kalau kakek itu sudah dapat berdiri, berarti kesehatannya sudah mulai pulih.

Akan tetapi segera ia terkejut sekali melihat cahaya kuning emas menyambar turun dari atas, tidak jauh dari tempat itu. Seekor burung yang sangat besar meluncur turun untuk menyusup ke dalam semak-semak. Akan tetapi burung itu cepat sekali gerakannya, dan tahu-tahu seekor kelinci sudah dapat dicengkeramnya. Akan tetapi, sebelum burung itu dapat terbang kembali, dengan satu kali melompat saja Toat-beng Yok-mo sudah berada di dekatnya.

"Rajawali emas! Bagus sekali... aku harus dapat menangkap burung ini!" sambil berkata demikian kakek itu menerjang dengan kedua tangan terpentang, siap menangkap burung besar itu.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika burung itu tiba-tiba menggerakkan sayap kanannya menghantam ke arah kepalanya. Yok-mo cepat mengelak akan tetapi tahu-tahu tubuhnya sudah terpukul oleh sayap kiri burung itu yang ternyata menggunakan cara penyerangan yang aneh sehingga kelihatannya sayap kanan yang menampar, tidak tahunya sayap kiri yang betul-betul bergerak.

Akan tetapi Yok-mo adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi. Pukulan itu membuat tubuhnya terpental akan tetapi tidak melukainya. Ia cepat meloncat bangun dan sepasang matanya bersinar-sinar.

"Hebat...! Inilah kim-tiauw (rajawali emas) yang jarang ada bandingannya! Jantung dan otaknya akan menjadi bahan obat kuat yang mukjijat!" Ia melompat lagi dan kembali ia menyerang.

Burung itu agaknya menjadi marah dan anehnya, ia tidak mau terbang pergi. Bahkan kini dia melepaskan bangkai kelinci tadi dan berdiri tegak, seperti seorang pendekar yang siap menghadapi datangnya penyerangan lawan. Toat-beng Yok-mo dengan hati-hati sekali menerjang maju, siap untuk mencengkeram leher burung itu sambil memperhatikan gerakan binatang ini, agar jangan tertipu seperti tadi. Ia sengaja memukul ke arah dada burung dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah leher. Hebat sekali serangannya ini.

Akan tetapi kembali ia melengak ketika melihat betapa dengan langkah-langkah kaki yang amat aneh, diikuti gerakan kedua sayapnya, burung itu telah dapat mengelakkan kedua serangannya ini dengan sangat mudahnya. Malah bukan sekedar mengelak, burung itu dengan kecepatan yang luar biasa sudah menggerakkan kepala dan mematuk mata kiri Toat-beng Yok-mo!

"Celaka...!"

Yok-mo cepat melompat ke kanan. Tetapi gerakannya belum cepat karena kesehatannya memang belum pulih benar-benar. Kagetnya bukan kepalang melihat penyerangan yang lebih dahsyat dari pada tusukan pedang itu. Akan tetapi, sekali lagi ia tertipu karena begitu ia melompat ke kanan, burung itu menarik kembali kepalanya dan kaki kirinya bergerak ke depan menendang.

Sekali lagi tubuh kakek itu terlempar, kali ini malah bergulingan seperti seekor trenggiling! Hebatnya, gerakan kaki burung itu persis sekali dengan tendangan kaki manusia, dan digerakkan secara cepat serta mengandung tenaga yang amat kuat...

Yok-mo mengeluh dan merangkak bangun. Bermacam perasaan mengaduk di hatinya ketika ia memandang kepada burung itu dengan mata terbelalak. Heran, kaget dan marah sekali. Sudah bertahun-tahun dia ingin mendapatkan seekor burung seperti ini, burung rajawali emas yang jarang sekali terdapat di dunia ini dan hanya muncul dalam dongeng-dongeng kuno.

Menurut pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, jantung burung rajawali emas dapat dibuat menjadi obat penguat tubuh yang luar biasa sedangkan otak burung itu dapat dibuat menjadi bahan obat terhadap bermacam-macam luka berbisa. Sekarang, tanpa terduga-duga olehnya, dia bertemu burung ini. Akan tetapi siapa sangka bahwa burung ini ternyata bukanlah burung biasa, gerakan-gerakannya hebat sekali bagai seorang ahli silat kelas tinggi!

Betapa pun juga, Yok-mo menjadi penasaran. Ia masih belum mau kalah. Mungkin karena tubuhnya masih belum pulih benar maka tenaganya berkurang dan kecepatannya pun tak seperti biasanya sehingga dua kali dia dibikin roboh oleh burung itu. Sekarang dia telah mengeluarkan tongkatnya, tongkat hitam yang selama ini dia sembunyikan saja di balik bajunya. Dengan kemarahan meluap-luap kakek ini lalu melompat maju dan menyerang burung itu dengan tongkat hitamnya.

Aneh sekali, burung itu agaknya tahu akan keampuhan tongkat hitam itu. Ia mengeluarkan bunyi melengking lalu terbang dan dari atas dia menyambar kepala Toat-beng Yok-mo. Kakek ini sudah siap sedia, cepat mengelak dan membalas dengan tusukan tongkatnya. Burung ini ternyata merasa gentar menghadapi tongkat hitam itu sehingga serangannya selalu gagal karena ia harus mengelak dari sambaran tongkat yang ampuh itu. Pertempuran itu menjadi seru sekali. Burung itu menang gesit, tapi dengan mengandalkan tongkatnya yang ditakuti lawannya, Yok-mo dapat mempertahankan dirinya, malah dapat balas menyerang dengan hebat.

Sementara itu, semenjak tadi Kun Hong melongo. Kagumnya bukan main melihat burung yang indah sekali, dengan bulu mengkilap berwarna kuning keemasan itu. Segera saja ia merasa suka dan sayang kepada binatang itu. Lebih-lebih kagumnya pada saat ia melihat betapa burung itu dengan mudah dapat membuat Toat-beng Yok-mo yang berkepandaian tinggi itu terguling-guling.

Pemuda ini sebetulnya mempunyai rasa kagum dan suka akan kegagahan sungguh pun ia benci sekali terhadap pembunuhan dan penyiksaan. Baginya, kegagahan seharusnya dipergunakan untuk menegakkan keadilan tanpa melakukan pembunuhan, cukup dengan mengalahkan yang jahat dan memaksanya kembali ke jalan benar.

Melihat burung indah itu mengalahkan Yok-mo, ia merasa kagum sekali. Akan tetapi rasa kekagumannya itu berubah menjadi kekuatiran besar saat Yok-mo mengeluarkan tongkat hitamnya yang mengerikan dan terjadi pertempuran seru antara dua lawan yang memiliki gerakan cepat sehingga membuat ia bingung memandangnya itu.

Karena tadi Kun Hong terpesona oleh keindahan burung dan sekarang menjadi bingung menyaksikan pertempuran mati-matian itu, tanpa disadari tiga jilid kitab yang dipegangnya itu ia masukkan dalam saku bajunya yang lebar. Ia lalu berdiri dan menyambar tabung bambu terisi katak putih. Hanya itulah yang akan dapat mengobati luka mengerikan yang diakibatkan oleh tongkat hitam itu, pikirnya. Sambil membawa tabung itu dia lalu berlari sambil berteriak, "Jangan bunuh burung itu, Yok-mo! Sayang sekali kalau sampai ia terluka...!"

Setelah dekat dengan tempat pertempuran, Kun Hong semakin suka dan kagum melihat burung itu yang memang indah luar biasa. Juga ia melihat adanya sebuah kalung mutiara tergantung di leher burung itu. Maka tahulah ia bahwa burung ini tentulah ada yang punya, tentu burung peliharaan orang. "Yok-mo, jangan bunuh dia, tentu ada pemiliknya. Lihat kalung itu!"


cerita silat karya kho ping hoo


Tentu saja Toat-beng Yok-mo sudah melihat kalung mutiara besar-besar yang tergantung di leher burung itu pula. Akan tetapi sudah tentu saja dia tidak ambil peduli. Ada yang punya atau tidak, burung ini harus ia tangkap, ia bunuh untuk diambil jantung dan otaknya. Ia memperhebat permainan tongkatnya dan semakin lama ia bersilat, ia merasa bahwa kekuatannya mulai pulih kembali. Burung itu pun mulai menjadi marah sekali. Apa lagi ketika ia meiihat Kun Hong datang berlari-lari, dianggapnya bahwa tentu ia akan dikeroyok. Ia memekik keras dan menerjang Yok-mo dengan serbuan yang dahsyat sekali.


Yok-mo juga kaget, tak menduga bahwa burung itu dapat melakukan serangan demikian hebatnya. Dalam kegugupannya melihat sepasang sayap berikut sepasang cakar serta sebuah paruh yang kuat dan runcing itu sekaligus menyerangnya, Yok-mo cepat memutar tongkatnya untuk melindungi diri. Akan tetapi, secara aneh sekali cakar kiri burung itu dapat menyelinap di antara gulungan sinar tongkatnya dan mencengkeram ke arah muka Yok-mo.

"Mati aku...!" Yok-mo berteriak kaget dan ia menjadi nekat.

Ia menarik tongkatnya itu lalu ia tusukkan ke arah kaki berkuku runcing mengerikan yang hendak mencengkeram mukanya. Tepat sekali ujung tongkatnya menusuk telapak kaki burung itu. Akan tetapi, pada saat itu pula sayap kanan burung itu menghantam kepala dan pundaknya.

"Blukkk!"

Tubuh Toat-beng Yok-mo terlempar jauh dan kakek ini lantas roboh pingsan. Bukan main hebatnya hantaman sayap tadi yang akan dapat menghancurkan kepala seekor harimau. Burung itu menjerit-jerit kesakitan dan anehnya, kaki kirinya menjadi putih sekali seperti kaki mati. Dalam kesakitan itu ia menjadi makin marah dan segera ia melompat ke arah tubuh Yok-mo.

"Hee... jangan... dia sudah kalah, jangan kau serang lagi!" Kun Hong berteriak mencegah sambil menghadang di antara Yok-mo dan burung itu.

Kebetulan sekali tadi tubuh Yok-mo terlempar ke arahnya sehingga ia dapat mendahului burung itu dan menghadang di tengah jalan sambil mengacungkan tabung bambu untuk menakuti. Akan tetapi burung itu mana takut terhadap Kun Hong? Ia memekik keras dan menerjang. Sebelum Kun Hong tahu apa yang terjadi, dia merasa tubuhnya melayang ke atas dan kiranya baju pada punggungnya telah dicengkeram oleh kaki kanan burung itu dan dibawa terbang tinggi!

Dulu, di waktu ia dikerek oleh Li Eng ke atas sebatang pohon tinggi, ia sudah ketakutan sekali. Sekarang ia dibawa terbang jauh lebih tinggi lagi di atas pohon-pohon yang paling tinggi, bagaimana ia tidak akan ketakutan setengah mati? Melihat pohon-pohon yang ada di bawahnya makin lama makin kecil, Kun Hong berteriak-teriak.

"Heee... lepaskan aku... ehh, jangan lepas… jangan lepas! Kau... turunkanlah aku, burung yang baik..."

Akan tetapi jawaban burung itu hanya memekik-mekik marah dan kesakitan. Mendengar ini, Kun Hong teringat bahwa burung itu terluka kaki kirinya. Ia memandang dan melihat betapa kaki kiri burung itu berubah putih semua, seputih kukunya. Ia teringat akan tabung yang masih dipegangnya. Cepat ia membuka sumbat tabung itu dan berkata, "Kau terluka oleh tongkat Yok-mo, lekas kau minumlah sedikit darah katak putih di dalam tabung ini..."

Baru saja dia berkata demikian, dia melihat bayangan putih melompat keluar dari dalam tabung. Kun Hong kaget sekali sampai tabung kosong itu terlepas dari tangannya. "Celaka... dia terlepas lagi..."

Akan tetapi burung itu segera berbunyi nyaring. Tubuhnya menyambar ke depan sampai Kun Hong merasa matanya berkunang karena tubuhnya sendiri pun terbawa melayang cepat ke depan. Dengan paruhnya yang runcing dan terbuka lebar, burung itu mematuk katak yang tadi melompat keluar dari dalam tabung, kemudian langsung menelan katak itu sehingga binatang kecil itu lenyap ke dalam perutnya!

Kembali ia melengking girang sampai berkali-kali. Tiba-tiba ia melepaskan cengkeraman kakinya pada baju Kun Hong. Setelah dilepaskan, tentu saja tubuh pemuda ini melayang ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia merasa makin ketakutan.

"Waah...!" teriaknya ketika makin lama semakin cepatlah tubuhnya meluncur ke bawah, disambut pohon-pohon yang makin membesar dan kelihatan mengerikan sekali.

Tiba-tiba Kun Hong yang sudah setengah pingsan itu merasa tubuhnya terapung lagi ke atas, tertahan luncurannya ke bawah tadi. Kiranya burung itu sudah menangkapnya lagi dan mencengkeram bajunya dengan tepat. Kemudian perlahan-lahan burung itu melayang turun dan sesampainya di atas tanah ia melepaskan Kun Hong. Kun Hong yang tadinya sudah ketakutan dan tidak mengharapkan akan dapat hidup lagi, serta merta memeluk burung itu.

"Kim-tiauw-heng (Kakak Rajawali Emas) yang baik, kau telah menolong nyawaku. Terima kasih!" Ia menjura di depan burung itu seolah-olah ia sedang berhadapan dengan seorang manusia!

Aneh sekali! Burung itu mengeluarkan bunyi mencicit dan... segera berlutut kemudian mendekam di depan Kun Hong. Ketika pemuda ini dengan terheran-heran melihat dengan teliti, ternyata bahwa kaki kiri burung itu sudah pulih menjadi merah seperti sedia kala. Ia menengok ke kanan kiri mencari-cari, akan tetapi ternyata Toat-beng Yok-mo telah lenyap bersama tongkat dan buntalan pakaiannya.

"Dia sudah dapat berjalan sendiri, mengapa selama ini menipu?" Gemas juga kalau ia teringat betapa setiap hari ia harus menggendong kakek itu yang sebetulnya malah lebih kuat dari padanya.

"Kim-tiauw-heng, kau datang dari manakah? Aku suka sekali kepadamu, kau baik dan mengenal budi orang, tidak seperti Toat-beng Yok-mo yang hati dan pikirannya penuh terisi kehendak jahat. Kim-tiauw-heng, kau tentu milik seorang gagah, siapakah pemilikmu dan di mana tempat tinggalmu?"

Burung itu mengeluarkan bunyi mencicit lagi, kemudian dia maju mendekati Kun Hong. Dengan lehernya yang berbulu halus dan hangat itu ia membelai leher Kun Hong, lalu ia berlutut dan dari belakang menyelinapkan kepalanya di bawah kedua kaki pemuda itu. Dengan begini maka Kun Hong duduk pada punggungnya, lalu burung itu menggerakkan kedua sayapnya membawa Kun Hong terbang lagi!

"Heee... bagaimana ini... aduh, aku bisa jatuh...!” Kun Hong panik lagi dan ketakutan.

Akan tetapi karena burung itu terbang perlahan dan tubuhnya sama sekali tak bergoyang, Kun Hong akhirnya dapat duduk dengan enak. Ia mulai menyesuaikan, malah ia segera berpegang pada kalung yang melingkari leher burung itu. Makin lama burung itu terbang makin tinggi, berputaran di atas hutan itu dan makin memuncak pula ketakutan Kun Hong.

Akan tetapi segera ia tertarik oleh pemandangan di bawah dan tak terasa lagi mulutnya berseru kegirangan. "Aduh... bagus sekali, betapa indahnya pemandangan alam di bawah itu. Hee, hati-hati Kim-tiauw-heng, jangan sampai aku jatuh!"

Demikianlah, di antara rasa takut dan rasa girang serta kekaguman melihat keindahan pemandangan di bawah, Kun Hong tak berdaya membiarkan dirinya dibawa terbang oleh burung rajawali emas yang aneh itu. Mudah saja diduga burung apakah yang telah membawa terbang Kun Hong itu. Memang dugaan Toat-beng Yok-mo tidak keliru bahwa burung seperti itu tak ada dicari keduanya di dunia ini. Burung itu bukan lain adalah burung rajawali emas sakti, yang pernah kita kenal sebagai burung tunggangan Kwa Hong, juga burung yang secara tidak langsung menjadi guru dari Kwa Hong.

Seperti telah kita ketahui bahwa tujuh belas tahun yang lalu, pada saat Kwa Hong untuk penghabisan kali mendatangi Hoa-san-pai dan hendak membunuh Thio Ki, dia bertemu muka dengan ayahnya, Kwa Tin Siong sehingga hampir saja ia tewas karena membiarkan dirinya diserang oleh ayahnya yang marah itu.

Burung rajawali emas menolongnya dan membawanya pergi, kembali ke tempat ia semula tinggal, yaitu di puncak Pegunungan Lu-liang-san. Semenjak itu, Kwa Hong tidak berani lagi memperlihatkan mukanya di dunia ramai. Ketika ia pergi ke Hoa-san itu, ia pun meninggalkan puteranya yang baru berusia setahun dalam asuhan seorang inang pengasuh yang ia dapatkan dari penduduk di kaki Gunung Lu-liang-san. Semenjak saat itu, Kwa Hong berdiam di Lu-liang-san, jauh dari keramaian dunia dan agaknya sudah tak mau mengurus persoalan duniawi lagi. Semua perhatiannya ia tumpahkan kepada puteranya yang ia beri nama Sin Lee.

Betapa pun juga, wanita ini belum juga dapat melupakan cinta kasih terhadap Beng San berikut perasaan iri hati dan cemburu terhadap wanita yang telah berhasil menjadi isteri kekasihnya itu. Oleh karena ini pula ia tekun mendidik puteranya itu yang semenjak kecil sudah dilatihnya dengan ilmu silat sehingga semenjak kecilnya Sin Lee menjadi seorang anak laki-laki yang bertubuh kuat dan bertenaga besar.

Sudah menjadi sifat pembawaan bahwa anak laki-laki lebih nakal dari pada anak-anak perempuan karena anak laki-laki pada umumnya lebih bandel dan lebih berani. Kenakalan anak laki-laki bisa dikendalikan oleh perhatian orang tuanya yang mendidik dan menuntun agar kebandelan dan keberanian ini menjurus kepada kebenaran.

Akan tetapi Kwa Hong yang mendidik anaknya seorang diri tanpa disertai suami, hanya mencurahkan perhatian kepada ilmu silat saja, malah terlalu memanjakan puteranya. Hal inilah kiranya yang menjadi sebab hingga Sin Lee menjadi seorang anak yang luar biasa nakalnya, luar biasa berani dan nekatnya. Tidak ada orang di dunia ini yang ditakutinya, dan satu-satunya orang yang kiranya akan ia takuti, yaitu ibunya, terlalu menyayangnya sehingga ia menjadi seorang anak yang tak kenal takut lagi.

Anak yang masih kecil ini kalau tidak bermain-main dengan burung rajawali emas, tentu pergi jauh ke bawah gunung dan bermain-main dengan anak-anak penduduk di situ. Dan sebentar saja semua anak sudah takut kepadanya karena siapa yang tidak mau menuruti kehendaknya tentu dipukulnya. Bahkan setelah ia berusia sepuluh tahun, tak seorang pun laki-laki dewasa berani menentangnya. Kalau ada yang menentang, biar orang tua akan ia pukul.

Mula-mula, pada waktu ia masih belum kuat benar, orang-orang itu takut mengganggunya karena takut kepada Toanio (Nyonya besar) yang tinggal di puncak. Akan tetapi setelah Sin Lee menjadi seorang anak yang benar-benar memiliki kepandaian silat yang hebat, orang-orang takut kepadanya karena memang takut dipukuli oleh anak yang luar biasa itu.

Sudah terlalu sering Sin Lee membuat gara-gara. Apa bila tidak memukul orang, ia tentu menyerang kampung lain yang belum dikenalnya dan memaksa orang-orang kampung itu mengakui dia sebagai ‘jagoan cllik’ yang tak terkalahkan!

Pada suatu hari ia malah membikin ribut di sebuah kelenteng yang berada di kaki gunung sebelah timur. Kelenteng tua ini hanya ditinggali oleh lima orang hwesio dan menjadi tempat sembahyang para penduduk kampung di sekitar kaki Gunung Lu-liang-san.

Lima orang hwesio ini hidup dengan aman dan tenteram. Setiap hari mereka bekerja di ladang, menanam sayur-sayuran atau buah-buahan untuk bahan makanan mereka dan melayani setiap keperluan bersembahyang dari penduduk. Karena tidak ada pekerjaan lain, maka tanaman sayuran mereka terpelihara baik dan ladang sayuran hwesio-hwesio itu terkenal sebagai ladang sayuran yang paling subur dan menghasilkan sayur-sayuran pilihan.

Pada suatu hati yang cerah, seorang hwesio tinggi besar tengah bekerja di ladang sayur itu dengan wajah berseru gembira. Betapa tidak? Ladang itu ditumbuhi bermacam-macam sayur yang sangat subur, juga buah labu yang sudah dekat masanya dipetik, besar-besar dan gemuk-gemuk menyenangkan. Hwesio itu tengah bekerja mencabuti rumput liar yang mengganggu kesuburan tanaman.

Tiba-tiba serombongan anak-anak berusia antara sepuluh sampai tiga belas tahun, semua laki-laki, muncul dari lereng gunung. Jumlah mereka ada sekitar lima belas orang dan kelihatannya nakal-nakal. Setelah dekat dengan ladang itu, kemudian terdengar mereka berteriak-teriak.

"Lo-suhu, minta labunya!"

"Lo-suhu, berilah kami seorang satu!"

Simpang siur anak-anak itu berteriak-teriak sambil tertawa-tawa.

Hwesio tinggi besar itu bangkit berdiri menoleh dan dengan muka sabar ia tersenyum lalu menjawab, "Belum waktunya, anak-anak. Labu-labu ini belum waktunya dipetik.. Nanti apa bila pinceng panen labu, tentu selebihnya pinceng bagi-bagikan kepada orang tua kalian, sudahlah, main-main ke sana, jangan mengganggu pinceng yang sedang bekerja."

Seperti telah diatur sebelumnya, anak-anak itu segera berteriak-teriak.

"Hwesio pelit!"

"Hwesio medit, kikir!"

Hwesio itu diam saja, tidak ambil peduli dan mulai bekerja lagi mencabuti rumput-rumput liar. Anak-anak itu makin berani, malah ada yang memaki-makinya.

"Kalau malam babi-babi hutan mengambil labu kau diam saja, tapi kalau kami yang minta tidak diberi. Dasar hwesio busuk!" terdengar suara seorang anak.

Hwesio itu kembali berdiri. Keningnya berkerut ketika ia memandang kumpulan anak-anak nakal itu.

"Hemmm, karena mereka itu babi hutan termasuk golongan binatang maka mereka tidak mengenal aturan dan makan apa saja yang ada karena mereka lapar. Akan tetapi kalian adalah anak manusia, mengerti aturan. Apakah kalian mau jika pinceng samakan dengan anak-anak babi hutan?"

"Ahh.. hwesio pelit. Banyak alasan untuk menutupi kepelitannya!" anak-anak itu ribut-ribut lagi, mengejek dan memaki.

Sesabar-sabarnya orang, namun menghadapi ejekan dan makian anak-anak ini memang merupakan ujian berat. Jarang sekali ada orang mampu mempertahankan kesabarannya.

Hwesio itu mulai membelalakkan kedua matanya. Akan tetapi karena ia masih ingat akan kesabaran, maka ia pun bertanya, "Anak-anak, kalian minta labu untuk apakah? Apakah kalian lapar dan hendak memakannya?"

"Aku mau yang bundar untuk main bola!"

"Aku yang panjang untuk bikin kereta!"

Hwesio itu menjadi marah. "Enak saja kalian bicara! Pinceng menanam sayur dan labu untuk bahan makan, bukan untuk main-main. Hayo kalian pergi, tidak boleh minta labu!"

Kembali anak-anak itu memaki-maki, tetapi hwesio itu tidak mempedulikan mereka lagi, malah melanjutkan pekerjaannya. Sekarang ia ke ladang sayur-sayuran untuk memeriksa kalau-kalau sayur-sayurnya dihinggapi ulat. Kesempatan ini dipergunakan oleh anak-anak nakal itu untuk menyerbu ladang dan mengambil labu yang besar-besar.

"Ehh, anak-anak nakal, kalian tiada bedanya dengan babi hutan!"

Hwesio itu melompat dan menampar anak-anak yang dekat dengannya. Anak-anak itu berteriak-teriak, ada yang menangis dan mereka berserabutan lari.

"Kalian perlu dihajar supaya kelak tidak menjadi manusia-manusia berwatak babi hutan!" hwesio itu masih memaki sambil menempiling anak-anak yang terdekat.

Pada waktu itu, sesosok bayangan berkelebat di belakangnya dibarengi bentakan suara anak-anak, "Hwesio gundul, berani kau memukuli teman-temanku?"

Hwesio itu kaget sekali. Akan tetapi ia tak sempat membalikkan tubuhnya sebab tiba-tiba bayangan yang ternyata adalah Sin Lee anak berusia sepuluh tahun itu sudah menampar kepalanya yang gundul. Walau pun hanya tamparan seorang anak kecil, namun karena tamparan itu menggunakan gerakan ilmu silat dan tangan anak itu semenjak kecil sudah terlatih, hwesio ini menjadi pening dan terhuyung-huyung lalu roboh tertelungkup.

Sin Lee berseru girang dan menindih tubuh hwesio yang tertelungkup di atas tanah itu dan memukulinya. Malah ia berteriak-teriak, "Kawan-kawan, hayo kalian hajar hwesio ini!"

Anak-anak yang tadi berlari serabutan, sekarang dengan girang lalu datang dan dengan tangan-tangan kecil mereka anak-anak itu memukuli tubuh dan kepala hwesio tadi! Tentu saja hwesio yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat itu tak merasakan pukulan anak-anak itu. Akan tetapi pukulan yang jatuh oleh tangan Sin Lee benar-benar membuat ia luka-luka parah juga sehingga membuat ia pingsan.

"Omitohud... anak-anak, jangan nakal!" tiba-tiba terdengar bentakan halus.

Nampak seorang hwesio tua menggerakkan dua lengan bajunya ke arah anak-anak yang memukuli hwesio tinggi besar tadi. Lima orang anak langsung terlempar, kemudian jatuh bergulingan. Mereka menangis, lalu semua orang anak itu berlari pergi.

Hwesio tua itu terheran-heran melihat seorang anak kecil tidak bergeming oleh sambaran lengan bajunya tadi, malah sekarang anak itu sudah meloncat bangun dan berdiri tegak di depannya dengan mata bersinar-sinar marah!

"Hwesio tua! berani kau memukul teman-temanku? Tidak malukah kau? Aturan mana yang membolehkan orang tua seperti kau ini memukul anak-anak kecil?"

Diam-diam hwesio tua itu tertegun. Ucapan anak nakal berusia antara sepuluh tahun ini tidak patut keluar dari mulut seorang anak sekecil ini. Dan melihat keadaan muridnya yang pingsan itu sudah dapat diduga bahwa tentulah anak ini yang merobohkannya. Diam-diam ia heran dan kagum.

Jika anak sekecil ini bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu, apa lagi dapat merobohkan muridnya, sudah dapat dipastikan bahwa anak ini bukanlah anak sembarangan dan kalau bukan putera tentulah murid seorang pandai. Maka berhati-hatilah kakek itu dan sambil tersenyum sabar ia bertanya,

"Ehh, anak yang baik, kalau kau bilang bahwa seorang kakek seperti pinceng memberi penghajaran kepada anak-anak nakal adalah tidak menurut aturan, apakah kau bersama teman-temanmu yang menyerang dan memukul seorang hwesio sampai pingsan ini juga termasuk aturan benar?"

"Tentu saja benar! Tadi hwesio ini tidak mau memberi labu kepada anak-anak dan ketika anak-anak mengambil sendiri, malah dia pukul."

Kembali hwesio tua itu melengak. Memang amat tidak patut apa bila anak-anak kecil itu mengeroyok dan memukuli muridnya, akan tetapi lebih keterlaluan lagi kalau muridnya itu yang telah menjadi hwesio, berurusan dengan anak-anak kecil saja tak mampu menahan nafsu dan menggunakan tangan memukul.

Dia menarik napas panjang memandang muridnya. Sebagai seorang ahli silat yang sudah matang kepandaiannya, ia mengerti bahwa biar pun mukanya matang biru dan kepalanya benjol-benjol, muridnya itu hanya terluka di luar saja dan tidak berbahaya.

"Sudahlah, jika betul murid pinceng ini yang salah, pinceng yang memintakan maaf. Kau pergilah."

"Tidak bisa!" Sin Lee membantah. "Kau pun tadi sudah mempergunakan kepandaianmu memukul teman-temanku. Kau mengandalkan kegagahan sendiri, apa kaukira aku takut?"

Merah muka kakek itu. Anak ini benar-benar aneh dan liar silatnya.

"Hemm... hemmm... kalau begitu kau mau apakah?"

"Aku harus balas memukulmu."

"Begitu? Kau benar-benar nekat. Nah, kau boleh coba pukul kalau bisa, anak bandel."

Sin Lee mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya seperti seekor burung saja menerjang maju. Dua kepalannya yang kecil memukul bertubi-tubi dari kanan kiri, sulit diketahui yang mana yang betul-betul memukul dan sementara itu, kedua kakinya menendang-nendang.

"Omitohud..." hwesio tua itu menyebut nama Buddha saking merasa kagum dan heran serta kagetnya.

Akan tetapi sekali mengibaskan ujung lengan bajunya saja tubuh Sin Lee terguling seperti tertiup angin puyuh. Sebentar Sin Lee nanar, akan tetapi dia segera merangkak bangun. Ia kembali menyerang, malah lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi kembali ia terguling, bahkan lebih hebat lagi.

Beberapa kali ia bangun dan menyerang lagi, akan tetapi semakin keras ia menyerang, semakin keras pula ia roboh sehingga akhirnya ia menyerah. Ia maklum bahwa ia tidak mampu menandingi kakek tua itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia bangun setelah agak lama ia nanar, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.

"Hee... anak yang aneh, kau tunggu dulu, aku hendak bicara denganmu!" Hwesio tua itu mengejar.

Tiba-tiba Sin Lee membalikkan tubuh, sikapnya angkuh dan matanya berapi.

"Aku sudah kalah, kenapa kau masih banyak cerewet lagi?" Setelah berkata demikian ia mengeluarkan bunyi melengking keras.

Pada saat itu juga dari udara terdengar bunyi lengking yang lebih nyaring lagi dan seekor burung menyambar turun seperti kilat menyambar. Sin Lee meloncat ke atas punggung burung itu yang segera terbang meninggi, meninggalkan kakek tua itu yang masih berdiri terlongong di bawah.

"Omitohud... apakah itu yang oleh orang-orang disebut kim-tiauw milik orang sakti yang dipanggil toanio dan anak itu, kiranya puteranya... benarkah di dunia ada hal seaneh dan sehebat ini...?” Ia menarik nafas berulang-ulang dan diam-diam dia menguatirkan bahwa kelak di dunia kang-ouw pasti akan muncul seorang tokoh luar biasa, yaitu bocah tadi.

“Semoga ia tidak tersesat..." demikian doanya.

Betapa pun juga nakalnya, Sin Lee memiliki watak gagah yang jarang terdapat dalam diri anak kecil berusia sepuluh tahun. Contohnya, kekalahan terhadap hwesio tua itu sama sekali tidak ia beri tahukan kepada ibunya. Ia tidak mendendam malah tidak ada dalam pikirannya sama sekali pada waktu itu untuk minta bantuan burungnya. Juga ia tidak mau minta ibunya supaya membalaskan kekalahannya.

Banyak sekali kenakalan dilakukan oleh Sin Lee, akan tetapi semenjak kekalahannya oleh kakek itu, ia mendapat pengalaman pahit sekali. Belum pernah ia mengalami kekalahan dalam perkelahian, maka semenjak ia kalah oleh kakek tua itu, ia makin tekun belajar ilmu silat dari ibunya. Tentu saja Kwa Hong yang tidak menyangka sesuatu, menjadi gembira sekali dan menurunkan seluruh kepandaiannya.

Watak keras yang dulu dimiliki Kwa Hong kiranya menurun pula kepada Sin Lee, malah lebih hebat lagi. Ketika ia berusia enam belas tahun, Sin Lee melakukan perbuatan yang amat merugikan dia sendiri dan ibunya.

Sudah menjadi kebiasaan binatang peliharaan, sekali-kali tentu ingin bebas lepas tak ingin terganggu. Demikian pula burung rajawali emas. Meski pun kelihatan amat setia kepada Kwa Hong dan Sin Lee, namun ada kalanya burung ini terbang pergi sampai beberapa hari tidak kembali. Mungkin burung ini terbang untuk pergi mencari teman-temannya, atau mungkin juga mencari mangsa di tempat-tempat jauh.

Ini hanya dugaan Kwa Hong dan Sin Lee saja. Padahal sebenarnya burung itu sering kali pergi pulang ke tempat asalnya, yaitu di puncak sebuah gunung yang tak pernah didatangi manusia, tempat di mana ia tinggal sebelum ia bertemu dengan Kwa Hong dan kemudian dipeliharanya.

Pada suatu hari, seperti sudah sering kali tejadi, Sin Lee marah-marah karena rajawali itu tidak pulang. Sudah hampir sebulan rajawali itu tidak pulang dan telah payah pula Sin Lee mencari ke dalam hutan-hutan, bersuit-suit memanggil tanpa ada jawaban.

Pemuda berusia enam belas tahun ini sampai tak enak makan tak enak tidur memikirkan burungnya. Dan ia menjadi marah bukan main ketika pada suatu pagi, burung itu datang!

"Keparat, kau benar-benar menggemaskan!" kata Sin Lee yang menyambut kedatangan burungnya.

Tanpa banyak pikir lagi ia lalu... mencabuti bulu-bulu sayap burung itu. Bukan sekali-kali ia bermaksud untuk menyiksa, melainkan saking marahnya ia bermaksud untuk menghukum burung itu agar burung itu tidak mampu terbang lagi.

Burung adalah seekor binatang biasa. Kalau ia dibaiki tentu ia akan membalas kebaikan itu dengan kesetiaan. Akan tetapi kalau ia disakiti, siapa pun yang melakukannya tentu akan dilawannya.

Sekali dua kali bulunya dicabut ia diam saja, hanya memekik-mekik. Akan tetapi setelah Sin Lee terus saja mencabuti bulunya, ia menjadi marah dan menampar. Pemuda itu yang tidak menduga akan ditampar, terlempar tubuhnya.

"Setan, kau menantang berkelahi?”

Bagi Sin Lee, siapa pun yang menantangnya berkelahi pasti akan dilayani. Kemarahannya memuncak ketika burung yang ia anggap bersalah dan hendak ia hukum itu malah berani menyerangnya.

"Kita lihat siapa yang akan menang! Kalau aku kalah, aku tidak akan mencabuti bulumu, akan tetapi kalau kau yang kalah, tidak hanya sayapmu, malah ekormu akan kucabut habis untuk hukumanmu!" Kemudian ia menerjang maju, menyerang burungnya.

Sudah menjadi kebiasaan Kwa Hong di waktu Sin Lee masih kecil untuk melatih anaknya itu bertempur melawan rajawali, akan tetapi dalam latihan ini rajawali emas tak bertempur sungguh-sungguh. Betapa pun juga, makin besar anak itu, semakin hebat kepandaiannya dan akhirnya dalam setiap latihan, akhirnya burung itulah yang kalah. Sin Lee pun tidak mau menyakitinya, apa lagi membunuhnya, cukup dia dianggap menang kalau ia dapat menangkap leher burung dalam kempitannya membuat burung itu tak mampu bergerak lagi.

Akan tetapi sekarang keduanya berhadapan sebagai lawan yang sungguh-sungguh akan bertempur. Sin Lee dalam kemarahannya hendak menghukum burung yang dianggapnya jahat itu, sebaliknya rajawali emas itu dengan nalurinya merasa bahwa pemuda ini hendak berbuat jahat kepadanya, hendak menyakitinya, maka ia pun tidak mau main-main lagi.

Melihat penyerangan hebat dari Sin Lee, burung rajawali emas itu pun cepat mengelak dan mengibaskan sayapnya. Biar pun burung itu sudah termasuk berusia tua, akan tetapi tenaganya tidak berkurang semenjak dahulu. Kibasan sayapnya memiliki tenaga ratusan kati.

Sin Lee yang melihat tamparan sayap ini pun maklum bahwa burungnya tidak main-main, maka ia menjadi makin marah. Cepat tubuhnya berkelebat mengelak dan dengan keras ia memukul kepala binatang itu.

Gerakan rajawali emas tetap gesit. Serangan itu dapat ia elakkan pula dan dibalasnya dengan tendangannya yang biasanya hebat sekali. Namun Sin Lee yang sudah hafal akan semua gerakan burungnya, dapat menghindar.

Terjadilah pertandingan yang bukan main serunya. Tubuh burung dan manusia itu sama berkelebatan sampai tidak kelihatan lagi, hanya tampak gulungan sinar kuning emas dan bayangan-bayangan yang menjadi satu. Debu mengebul tinggi dan daun-daun pohon di dekat tempat pertandingan itu bergerak-gerak bagaikan tertiup angin, malah daun-daun yang sudah menguning pada rontok berhamburan.

Sejam lebih mereka bertempur, akhirnya burung itu harus mengakui keunggulan Sin Lee. Dua kali dadanya terkena pukulan dan segenggam bulu di lehernya sudah copot karena cengkeraman pemuda itu. Sambil mengeluarkan keluhan panjang burung itu lalu terbang pergi. Ia tidak mau turun kembali, biar pun dipanggil dan dimaki-maki oleh Sin Lee.

Kwa Hong menyesal sekali setelah mendengar tentang pertempuran ini. Dia mendapat kenyataan bahwa kali ini burung rajawali itu benar-benar tak mau pulang ke Lu-liang-san. Akan tetapi Sin Lee tidak pernah memperlihatkan rasa sesalnya.

"Bila dia tidak mau lagi ikut kita, kenapa kita harus menyesal? Biarlah dia tidak kembali lagi, tidak apa-apa."

"Lee-ji, kenapa kau berkata begini? Burung itu sudah belasan tahun ikut dengan aku, aku sayang padanya dan... ah, bukankah kalau ada dia mudah sekali kita hendak pergi ke mana-mana? Dia adalah seekor binatang tunggangan yang jarang ada keduanya di dunia ini."

"Aku masih mempunyai kedua kakiku, kalau tidak ada dia, aku dapat pergi ke mana saja dengan jalan kaki. Ibu, bukankah ibu sering kali mengatakan bahwa hidup di dunia ini terutama sekali harus mengandalkan diri sendiri dan tidak boleh bersandar kepada orang lain?"

Kwa Hong telalu menyayangi puteranya, maka dia pun tidak tega untuk memarahinya. Diam-diam ia girang karena anaknya ini ternyata mendapatkan kemajuan pesat sehingga burung rajawali emas yang tidak mudah dikalahkan orang itu akhirnya kalah juga ketika menghadapi puteranya. Maka, ia kemudian lebih tekun menggembleng Sin Lee sehingga akhirnya dia sendiri dengan pedang di tangan kanan dan cambuk anak panah di tangan kiri tidak mampu menandingi pedang puteranya, lebih dari lima puluh jurus!

Usia Sin Lee sudah delapan belas tahun ketika Kwa Hong membuka rahasia hatinya yang terpendam selama belasan tahun ini.

"Lee-ji puteraku sayang, kau sekarang telah mewarisi semua kepandaian ibumu, dan kau sudah terlalu besar untuk tinggal terus di puncak gunung ini. Sudah tiba waktunya kau harus turun gunung memperluas pengetahuan dan... mencari jodoh."

"Aku tidak inginkan jodoh!" Sin Lee memotong cepat dengan kedua pipinya kemerahan.

Ibunya memandang penuh kasih, dengan mata berseri-seri sambil tersenyum. Alangkah tampan puteranya, melampaui Beng San! Teringat Beng San, jantungnya berdebaran dan terbayanglah semua peristiwa yang lalu dan perasaannya menjadi panas.

"Dengar, puteraku. Dulu kau sering kali menanyakan ayahmu dan selalu kujawab bahwa ayahmu telah mati. Itu memang benar, akan tetapi baru sekarang hendak kuceritakan kepadamu sebab kematian ayahmu."

Sin Lee segera memandang ibunya dan mendengarkan penuh perhatian. Sejak kecil dia merasa berduka dan kecewa sekali mendengar bahwa ayahnya telah mati.

"Apakah sebab kematian ayahku, Ibu?" tanyanya mendesak.

Kwa Hong menarik napas panjang berulang-ulang, agaknya berat hendak mengeluarkan kata-kata. Akhirnya ia bicara dengan suara serak.

"Anakku..., ayahmu she Tan jadi namamu Tan Sin Lee. Ada pun kematian ayahmu tidak sewajarnya, melainkan dibunuh orang."

Tldak ada reaksi apa-apa pada pemuda itu. Memang Sin Lee aneh orangnya. Ia tidak bisa menaruh hati dendam karena selama ia hidup di gunung itu ia tidak pernah menghadapi sesuatu dan segala peristiwa yang menimpa siapa pun juga ia anggap sudah sewajarnya, pasti ada sebab menjadikan peristiwa itu.

Umpamanya ketika ia kalah oleh hwesio tua, ia anggap hal itu terjadi karena ia memang kalah pandai dan habis perkara. Ia tidak menaruh dendam. Dan kini, mendengar ayahnya mati dibunuh orang, otomatis ia menganggap bahwa ayahnya dibunuh akibat kalah dalam pertempuran, jadi menurut pendapatnya, ayahnya yang bersalah mengapa sampai kalah!

"Banyak orang yang membunuh ayahmu. Pertama-tama adalah seorang lelaki bernama... Tan Beng San!" ia berhenti sebentar dan menahan air matanya, memandang puteranya.

Sin Lee kelihatan mengerutkan keningnya karena terheran-heran. "Dia pun she Tan, Ibu? Bukankah orang yang sama she-nya itu berarti masih keluarga?"

"Tidak... tidak... banyak orang she-nya sama tapi bukan apa-apa," jawab Kwa Hong cepat.

"Hemmm, lalu siapa lagi, Ibu?"

"Orang ke dua adalah seorang wanita bernama Cia Li Cu, isteri dari Tan Beng San itu."

Ia memang sudah mendengar bahwa Beng San sudah menikah dengan Li Cu, maka dia menyebut nama wanita yang dibencinya karena iri hati dan cemburu ini.

"Ada pun orang ke tiga... dia adalah Song-bun-kwi Kwee Lun. Nah, tiga orang itulah yang telah membunuh ayahmu dan yang membuat ibumu hidup menderita. Kau harus mencari mereka. Kau bunuhlah Cia Li Cu dan Song-bun-kwi Kwee Lun, tapi... kau jangan bunuh Tan Beng San, kau tangkap saja dan kau seret dia ke sini!"

Sin Lee memandang ibunya dengan mata membelalak, "Kenapa, Ibu? Kenapa aku harus membunuh mereka? Mereka tidak mempunyai urusan apa-apa denganku."


Kwa Hong balas memandang dengan marah. "Apa?! Kau tidak mau mewakili ibumu untuk membalas sakit hati? Percuma sajakah aku mempunyai seorang anak laki-laki seperti kau, hidup menderita untukmu dan menurunkan semua kepandaianku untukmu?"

Sin Lee cepat-cepat memeluk ibunya yang telah menangis. "Sudahlah, Ibu. Sama sekali bukan begitu maksudku. Aku hanya menyatakan isi hatiku bahwa aku tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Akan tetapi jika Ibu memerintah anakmu ini, biar pun harus melawan naga berapi akan kujalani. Terangkanlah maksud Ibu bagaimana, anak akan segera melaksanakan semua kehendakmu."

Dengan terharu dan girang Kwa Hong memeluk puteranya, lalu berkata dengan sungguh-sungguh.

"Tugas yang kuserahkan kepadamu ini bukanlah tugas ringan, Anakku. Tiga orang yang kusebut-sebut tadi adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian luar biasa tingginya. Song-bun-kwi Kwee Lun adalah seorang kakek sakti yang kepandaiannya dahsyat sekali. Dia terkenal dengan ilmu pedangnya Yang-sin Kiam-sut dan suling tangisnya yang dapat melumpuhkan semangat lawan. Dahulu, Song-bun-kwi Kwee Lun ini adalah tokoh nomor satu dari barat. Nah, kau harus cari orang ini di puncak Min-san, bunuhlah dia karena dia telah menjadi sebab rusaknya kehidupan ibumu," sambil berkata demikian, dengan gemas Kwa Hong mengenangkan Bi Goat yang dianggap telah merampas cinta kasih Beng San.

Sekarang Bi Goat sudah meninggal dunia, maka ia anggap sudah semestinya kalau dia menyuruh puteranya membunuh kakek itu. Padahal ia mempunyai maksud lain dengan perintah ini. Ia tahu bahwa putera Bi Goat diambil oleh Song-bun-kwi maka mencari kakek itu berarti mencari putera Bi Goat dan Beng San!

"Kalau kau sudah bertemu dengan kakek itu, selain dia kau harus pula membinasakan seorang pemuda sebaya engkau yang menjadi cucunya atau putera seorang wanita bernama Bi Goat."

Sin Lee mengerutkan keningnya, di dalam hatinya sebetulnya ia tidak setuju dengan tugas membunuh-bunuhi orang yang sama sekali tak dikenalnya itu. Akan tetapi ia tidak mau mengecewakan hati ibunya, orang yang amat dikasihinya itu.

"Hemmm, jadi kakek itu tinggal di Min-san, Ibu? Lalu yang lain-lain itu tinggal di mana?"

"Orang yang harus kau bunuh lagi adalah Cia Li Cu. Kau harus sangat berhati-hati kalau berhadapan dengan dia ini. Dia adalah murid mendiang Raja Pedang. Ilmu pedangnya hebat sekali. Dia tinggal di Thai-san bersama... orang ke tiga itu, yang bernama Tan Beng San."

"Jadi Cia Li Cu itu isteri dari Tan Beng San?" tanya Sin Lee.

"...ehh, hemm... betul. Cia Li Cu harus kau bunuh. Kemudian kau seret Tan Beng San itu ke sini, kau hadapkan padaku. Ingat betul, jangan kau bunuh dia itu, boleh kau lukai kalau dia melawan, akan tetapi jangan sekali-kali kau bunuh. Aku yang hendak membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri!"

Melihat pandang mata dan gerakan tangan ibunya, diam-diam Sin Lee terkejut sekali. "Ibu, kenapa kau amat membenci Tan Beng San ini?"

Sampai lama Kwa Hong tak dapat menjawab. Mata yang tadinya bersinar ganas dan liar itu pelan-pelan melunak dan air matanya hampir menitik turun. Cepat-cepat ia mengusap kedua matanya, kemudian berkata perlahan, "Dia itulah yang menghancurkan hidupku, memaksa ibumu hidup menyendiri di puncak gunung ini. Kau harus berhasil menangkap dia, tak peduli apa pun yang terjadi. Dia harus kau tangkap, kau seret ke sini, Anakku..."

Suaranya ibunya yang penuh permohonan ini membanjirkan perasaan haru dan kasihan dalam dada Sin Lee. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan ibunya ini, apa pun yang akan terjadi dengan dirinya. "Ibu, agaknya aku akan berhasil menangkapnya dan menyeretnya ke depan kakimu. Akan tetapi... dia itu orang macam apakah?"

Kwa Hong menarik napas panjang. "Kau tidak boleh memandang rendah Song-bun-kwi Kwee Lun, kau harus berhati-hati terhadap Cia Li Cu. Akan tetapi menghadapi orang ini, Anakku... aku sungguh-sungguh sangsi apakah kau akan mampu melawannya. Dia itulah Raja Pedang sesungguhnya. Ilmu pedang serta ilmu silatnya luar biasa sekali, belum pernah aku melihat dia dikalahkan orang. Dia hebat... dia hebat..."

Kwa Hong merenung, wajahnya agak berseri. Bangkit kembali cinta kasihnya kalau dia merenungkan bekas kekasihnya itu. "Dia laki-laki hebat..." kembali ia berkata dan kali ini dengan keluhan.

Panas hati Sin Lee mendengar ini. Biasanya ibunya hanya menganggap bahwa dialah orang yang paling pandai di dunia ini, sekarang ibunya memuji seorang musuh! "Ibu, aku bersumpah akan menyeret Tan Beng San itu ke hadapan kakimu. Kalau belum terjadi hal ini, aku bersumpah tak akan kembali ke sini."

Sin Lee segera berkemas, membawa pedang pusaka pemberian ibunya dan membuntal pakaian serta membawa beberapa potong emas, lalu turun gunung. Kwa Hong mengantar puteranya sampai di lereng gunung dan membekalinya banyak nasihat dan memesannya agar berhati-hati......
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12