Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 09
Ketika kakek
itu merambat melalui sabuk otomatis kedua tangannya juga terkena racun hebat
dari tongkat itu. Tidak mengherankan jika kedua tangannya itu menjadi hangus
dan kakek itu lalu melarikan diri ketakutan.
Mengingat
bahwa gadis itu telah menyelamatkan nyawanya, Kwa Tin Siong lalu berkata dengan
nada menghormat, "Gadis yang gagah perkasa, entah sudah kau sengaja atau
tidak, akan tetapi kau tadi telah menyelamatkan nyawa kami suami isteri. Maka,
terimalah ucapan terima kasihku kepadamu."
Gadis itu
menjebirkan bibirnya. "Siapa menyelamatkan siapa? Kakek bongkok itu sudah
berani mengotori Im-kan-kok, tidak kubunuh juga sudah untung. Kau ini orang she
Kwa yang menjadi Ketua Hoa-san-pai, sekarang juga kau harus menyerahkan pedang
Hoa-san Po-kiam itu kepadaku berikut kepalamu."
Sambil
berkata demikian ia melangkah maju dengan sikap tenang. Kwa Tin Siong yang
mendengar itu lebih merasa heran dari pada marah. Sudah tentu ada sebab-sebab
yang aneh kalau anak ini sampai memusuhinya, tak mungkin memusuhi tanpa sebab.
"Nanti
dulu, kalau kau betul-betul datang hendak memusuhiku, hal itu adalah wajar asal
ada alasannya yang kuat. Kau jelaskanlah lebih dahulu mengapa kau hendak
merampas Hoa-san Po-kiam dan hendak membunuhku? Apa sebabnya?"
"Apa
sebabnya kau tidak perlu tahu. Pendeknya aku harus merampas kembali Hoa-san
Po-kiam dan membunuh Ketua Hoa-san-pai she Kwa! Hayo kau majulah dan serahkan
pedang serta kepalamu, aku sudah hilang sabar!"
Kwa Tin
Siong orangnya memang berwatak sabar, akan tetapi tidak demikian dengan Liem
Sian Hwa. Nyonya ini menjadi marah bukan main, tak dapat ia menahan perasaan
hatinya yang terbakar ketika ia mendengar orang menghina suaminya. Cepat ia
mencabut pedangnya yang sudah buntung ujungnya tadi dan membentak,
"Siluman
cilik, enak saja kau bicara! Siluman macam kau tak mungkin bisa diajak bicara
baik-baik. Kalau memang kedatanganmu hendak memusuhi kami, kau matilah dan
lawan pedangku!"
Li Eng
tertawa mengejek dan memandang pedang buntung itu. "Hi-hik, dengan pedang
itu kau hendak melawanku? Ahhh, sedangkan ilmu pedang Hoa-san Kiam-sut saja
baru kau pelajari setengah-setengah, matang tidak mentah pun tidak, lalu
bagaimana kau hendak melawanku menggunakan pedang buntung? Bibi yang cantik,
aku hanya ingin mengambil kepala orang she Kwa. Kalau kau ingin mencoba
kepandaianmu yang masih setengah matang, kau...majulah!"
Sampai pucat
wajah Liem Sian Hwa mendengar ejekan ini. Dia merupakan seorang tokoh
Hoa-san-pai, boleh dibilang menjadi orang ke dua sesudah suaminya. Semenjak
kecil dia sudah mempelajari ilmu silat Hoa-san-pai dan untuk kehebatan ilmu
pedangnya ia malah telah menggemparkan dunia kang-ouw hingga mendapat julukan
Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang). Masa sekarang ia dihina oleh seorang bocah cilik
yang menyatakan bahwa ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-sut matang tidak mentah pun
tidak? Biar pun hanya berpedang buntung, namun ia masih sanggup untuk
menghadapi lawan yang tangguh.
"Bocah
setan, kau benar-benar terlalu sombong. Keluarkan senjatamu dan mari kau boleh
merasakan ilmu pedangku yang mentah tidak matang pun tidak ini!"
tantangnya.
"Untuk
menghadapi kau dan pedang buntungmu cukup dengan tangan kosong.”
"Sombong,
lihat pedang!"
Sian Hwa tak
dapat menahan kemarahannya lagi. Tubuhnya segera menerjang maju dan pedangnya
bergerak menyerang. Dengan gerakan cepat sekali sehingga sinar pedangnya
bergulung-gulung, ia mengirim tiga kali tikaman berantai dengan jurus Lian-cu
Sam-kiam.
"Hemmm
Lian-cu Sam-kiam yang baik sekali. Sayang tidak ada isinya!" Li Eng
mengejek dan cepat mengelak.
Karena ia
tahu benar agaknya akan perubahan gerak dari jurus ini, maka dengan mudah Li
Eng dapat menyelamatkan diri. Sian Hwa merubah gerakannya, mengirim bacokan
dari kanan kiri sambil mempergunakan kecepatannya.
"Aha,
Hun-in Toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung)! Juga tidak mengandung inti
sari, masih mentah" Lagi-lagi Li Eng mengelak dan mengejek.
Sian Hwa
makin marah, juga diam-diam terkejut sekali karena semua serangannya selalu
dikenal oleh lawan. Dalam penyerangan-penyerangan berikutnya, baru saja dia
bergerak gadis cilik itu sudah menyebutkan jurusnya dan malah mengelak dengan
gerakan-gerakan dan langkah-langkah dari ilmu silat Hoa-san-pai asli.
"Tahan
dulu!" tiba-tiba saja Kwa Tin Siong maju, melerai yang sedang bertempur
setelah pertempuran itu berjalan puluhan jurus.
Ketua
Hoa-san-pai ini menjadi curiga karena tadi ia melihat dengan jelas betapa ilmu
silat gadis itu betul-betul asli Hoa-san Kun-hoat, akan tetapi dimainkannya
demikian aneh dan hebat. "Nona kau sebetulnya murid siapakah?"
Juga Sian
Hwa di samping kemarahan dan kegemasan karena penasaran, merasa heran sekali.
Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan yang begini muda tapi
begini hebat ilmu silatnya, apa lagi ilmu silat dari Hoa-san-pai pula!
Li Eng
tersenyum mengejek. "Murid siapa juga kau peduli apakah? Pendeknya, kau
harus menyerahkan Po-kiam dari Hoa-san-pai berikut kepalamu. Kau tak berhak
menjadi Ketua Hoa-san-pai!"
Kwa Tin
Siong mencabut pedangnya, pedang Hoa-san Po-kiam, lalu dia melangkah maju.
"Nah, ini pedangnya dan ini kepalaku, kau boleh ambil kalau kau
bisa."
Kwa Tin
Siong menjadi marah juga melihat sikap gadis yang bandel dan nekat ini dan ia
ingin mencoba sendiri kepandaian gadis itu. Setelah suhu-nya meninggal, yaitu
Lian Bu Tojin, kiranya tidak berlebihan kalau dia menganggap bahwa ahli silat
Hoa-san-pai yang paling tinggi ilmunya pada saat itu adalah dia sendiri. Kalau
gadis ini pun ahli ilmu silat Hoa-san-pai, mana mungkin lebih tinggi tingkatnya
dari pada dia sendiri?
"Bagus,
kau kehendaki kekerasan? Awas!"
Li Eng
menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah pedang dan kakinya menyapu dengan
kecepatan kilat. Akan tetapi Kwa Tin Siong melangkah mundur dan pedangnya
berkelebat membacok tangan gadis itu. Li Eng menarik tangannya, meloncat ke
kiri dan kembali menyerang dengan maksud hendak merampas pedang.
Kini
tubuhnya bergerak-gerak cepat, kadang-kadang melakukan pukulan yang amat cepat
dan berbahaya, lain saat ia berusaha merampas pedang dari tangan Kwa Tin Siong.
Akan tetapi, kali ini ia betul-betul menghadapi seorang ahli silat yang sudah
sangat matang oleh pengalaman, juga yang memiliki tenaga dalam kuat sekali.
Sampai lima puluh jurus belum juga Li Eng berhasil merampas pedang.
Di lain
pihak, diam-diam Kwa Tin Siong makin terheran-heran. Harus ia akui bahwa ilmu
silatnya sendiri kalau dibandingkan dengan ilmu silat gadis itu, ia jauh lebih
ahli, juga lebih matang. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada ilmu silat yang
dimainkan gadis cilik ini, gerakan-gerakannya mengandung daya serang yang hebat
sekali, yang tak ada pada ilmu silat asli Hoa-san Kun-hoat.
"He,
Nona kecil, apakah kau pernah belajar pada Supek Lian Ti Tojin?" Tiba-tiba
Kwa Tin Siong bertanya karena ia mendapat dugaan yang aneh.
"Aku
adalah murid ayah ibu sendiri. Sudahlah jangan banyak cakap, lihat dalam
beberapa jurus aku akan merampas pedangmu!"
Tiba-tiba
benda hitam panjang seperti ular hidup menyambar ke arah muka Kwa Tin Siong
yang menjadi kaget luar biasa. Cepat Ketua Hoa-san-pai ini menyabet dengan
pedangnya sambil mengerahkan tenaga untuk membabat putus benda itu. Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika benda itu tiba-tiba malah melibat pedangnya dan tak
dapat dllepaskan lagi. Ia cepat mengerahkan tenaga menarik dan gadis itu pun
menahan sehingga keduanya saling betot. Kiranya benda itu adalah sutera hitam
yang tadi dipakai mengerek tubuh Yok-mo dan sekarang sudah berada lagi di
tangan gadis aneh itu.
Melihat
keadaan suaminya dalam bahaya, Sian Hwa tidak dapat tinggal diam saja. Sambil
berseru keras ia menggerakkan pedang buntungnya dan menerjang Li Eng.
Gadis ini
tertawa. "Bagus, kalian boleh maju bersama-sama!"
Sabuk sutera
hitam terlepas dan ia lalu bersilat dengan senjata aneh ini, kini dia dikeroyok
oleh dua orang!
Pada waktu
itu, tingkat kepandaian suami isteri ini sudah sangat tinggi dan kiranya tidak
sembarang lawan dapat mengalahkan mereka. Mereka merupakan pasangan yang amat
hebat dengan ilmu pedang mereka. Akan tetapi ternyata keduanya tidak dapat
mendesak Li Eng, sungguh pun gadis ini harus mengaku bahwa kini dia menghadapi
dua lawan yang amat tangguh. Gadis itu mainkan senjatanya yang aneh secara
cepat dan yang hebat sekali adalah bahwa ilmu silatnya tak salah lagi adalah
ilmu silat Hoa-san Kun-hoat!
Benar-benar
penasaran bagi Kwa Tin Siong dan isterinya yang merupakan tokoh-tokoh pertama
dari Hoa-san-pai. Mereka sekarang tak berdaya menghadapi seorang gadis yang
juga mainkan ilmu silat Hoa-san-pai, padahal gadis itu hanya bersenjatakan
sehelai sabuk sutera!
Makin lama
pertempuran itu berjalan makin seru, bahkan akhirnya menjadi pertandingan
mati-matian. Pada suatu saat, Kwa Tin Siong dan Sian Hwa dalam waktu yang sama
menerjang sedemikian hebatnya sehingga tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh
gadis itu. Li Eng kaget dan berseru keras, tubuhnya mencelat ke belakang dan
sabuk suteranya berkibar, seperti kilat menyambar cepat sekali dan seperti
kupu-kupu melayang indahnya, kedua ujung sabuk itu tahu-tahu telah membelit
kedua pedang di tangan Kwa Tin Siong dan Sian Hwa yang mengancamnya.
Gadis ini
memegangi sabuk di tengah-tengah dan berada agak jauh sehingga suami isteri itu
tak dapat menyerangnya lagi dengan tangan kiri karena mereka tidak suka
mengambil resiko pedang mereka terampas. Ketiganya berdiri memasang kuda-kuda,
mengerahkan tenaga dan terjadilah adu tenaga memperebutkan pedang.
Li Eng mulai
berpeluh. Tak kuat dia dikeroyok dua dalam adu tenaga ini. Wajahnya agak pucat.
Jika ia melepaskan libatan sabuknya, maka ia dapat terluka di dalam tubuhnya.
Ia bertekad terus bertahan, akan tetapi kedudukannya mulai bergerak dan
terseret ke depan sedikit demi sedikit. Keringat dingin mulai membasahi jidat
yang halus itu. Akan tetapi sepasang mata yang jeli dan bening itu sama sekali
tidak memperlihatkan rasa takut sedikit pun juga.
"Li
Eng, jangan kurang ajar!" terdengar bentakan suara wanita.
"Kwa-supek,
maafkan anakku yang nakal!" terdengar pula suara seorang laki-laki.
Dua suara
ini disusul dengan berkelebatnya dua sosok bayangan yang tahu-tahu sudah tiba
di tempat pertempuran dan langsung bayangan laki-laki itu maju menengahi. Kwa
Tin Siong dan Liem Sian Hwa merasa betapa tenaga mereka yang tadi dipersatukan
untuk mempertahankan pedang masing-masing itu seperti terlolos dan mencair,
lenyap tak tentu sebabnya dan tahu-tahu pedang mereka telah terlepas dari
libatan sabuk sutera yang juga sudah ditarik kembali oleh Li Eng.
Ketika suami
isteri ini memandang, dapat dibayangkan betapa heran, kaget dan girangnya hati
mereka karena yang sekarang berdiri di depan mereka ini bukan lain adalah Kui
Lok dan Thio Bwee, dua orang anak murid Hoa-san-pai yang dulu lenyap setelah
terusir oleh Kwa Hong!
Kui Lok
cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan paman guru dan bibi gurunya,
sedangkan Thio Bwee juga cepat menyeret tangan Li Eng kemudian ia sendiri
bersama gadis itu pun berlutut di depan suami isteri Ketua Hoa-san-pai. Para
tosu Hoa-san-pai yang juga mengenal Kui Lok dan Thio Bwee, menjadi gempar dan
terdengarlah seruan-seruan gembira disertai isak tertahan. Memang mengharukan
sekali pertemuan itu.
Kwa Tin
Siong segera memeluk Kui Lok sedangkan Liem Sian Hwa lalu merangkul Thio Bwee.
Mereka bertangisan. Hanya Li Eng gadis nakal itu yang sekarang berdiri bingung
memandang kedua orang tuanya yang berpelukan sambil bertangisan dengan dua
orang Ketua Hoa-san-pai yang baru saja bertanding mati-matian dengannya.
"Ayah,
Ibu... dia ini adalah Ketua Hoa-san-pai she Kwa!" akhirnya dia tak dapat
menahan lagi hatinya, menegur ayah bundanya.
Ibunya, Thio
Bwee sudah dapat menetapkan hatinya dan melepaskan pelukan Liem Sian Hwa, bibi
gurunya. Dia memandang kepada puterinya dengan mata penuh teguran, lalu berkata,
"Li Eng, tanpa perkenan Ayahmu, mengapa kau berani lancang sampai ke sini
dan mengacau Hoa-san-pai?" kemudian nyonya ini memandang ke sekeliling, ke
arah mayat-mayat manusia yang amat banyak, kemudian suaranya makin bengis,
"Kau telah mengacau dan membunuh orang-orang ini?"
"Aku...
tidak, tidak, Ibu. Aku tidak membunuh siapa-siapa!" Li Eng menjawab cepat
dan ketakutan, apa lagi ketika melihat ayahnya pun memandangnya dengan wajah
bengis. "Aku... aku keluar dari tempat kita dan aku melihat serombongan
orang di Im-kan-kok yang bicara mengenai maksud mereka menyerbu Hoa-san-pai.
Karena mereka berbicara tentang Ketua Hoa-san-pai pula, hatiku jadi tertarik
dan aku lalu datang ke sini untuk merampas kembali Hoa-san Po-kiam dari Ketua
Hoa-san-pai dan membunuh orang she Kwa ini. Bukankah orang she Kwa ini yang
ayah ibu katakan jahat dan sudah merusak Hoa-san-pai?"
"Anak
tolol, sama sekali bukan! Dia ini adalah paman guruku, dan yang itu adalah bibi
guruku, sekaligus juga paman guru dan bibi guru ibumu. Jadi kau masih terhitung
cucu murid mereka. Hayo lekas berlutut dan minta ampun!" kata Kui Lok.
Li Eng kaget
sekali dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. "Kakek dan Nenek guru, aku
Kui Li Eng mohon ampun..."
Liem Sian
Hwa menubruk cucu muridnya itu dan memeluknya. "Tidak kusangka-sangka aku
mempunyai cucu murid begini hebat..." katanya girang.
Kwa Tin
Siong menarik napas panjang. "Sudahlah... sekarang aku tahu siapa yang dia
maksudkan orang she Kwa itu. Tentu Kwa Hong bukan?"
Kui Lok dan
Thio Bwee hanya mengangguk.
Pada saat
itu terdengar suara berseru, suara wanita, "Supek...!"
Semua orang
memandang dan melihat orang berlari cepat ke puncak itu. Mereka ini bukan lain
adalah Thian Beng Tosu bersama dua orang wanita, yang seorang setengah tua dan
yang kedua seorang gadis yang cantik dan berpakaian sederhana. Melihat wanita
setengah tua itu, Liem Sian Hwa segera lari memapaki dan mereka berangkulan.
"Lee
Giok... kau benar-benar telah membuat suamimu hidup menderita!"
Memang
benar, wanita itu bukan lain adalah Lee Giok, isteri dari Thio Ki atau Thian
Beng Tosu. Dan gadis cantik sederhana itu adalah puterinya! Bagaimana mereka
bisa muncul di saat itu bersama Thian Beng Tosu? Untuk mengetahui hal ini
marilah kita ikuti perjalanan Thian Beng Tosu beberapa saat yang lalu.
Telah
diceritakan bagaimana Thian Beng Tosu berhasil mendesak musuh lamanya, yaitu
Hek-houw Bhe Lam. Kepala rampok ini melarikan diri dikejar oleh Thian Beng Tosu
dan kejar-mengejar ini membawa mereka turun dari puncak, hingga tiba di hutan
tak jauh dari Im-kan-kok. Bhe Lam sudah terluka pangkal lengannya, tetapi
larinya masih cepat sekali. Betapa pun juga, karena Thian Beng Tosu lebih biasa
di tempat itu, setibanya di dalam hutan ini ia tersusul.
Tosu
Hoa-san-pai ini membentak, "Hek-houw, percuma saja kau lari. Kejahatanmu
sudah melampaui takaran, hari ini kau harus tewas di tanganku!"
Hek-houw Bhe
Lam yang tahu bahwa dia tak mungkin dapat melarikan diri lagi mendadak
membalikkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak. Belasan buah senjata piauw
lantas melayang ke arah lawannya. Namun Thian Beng Tosu sudah menduga akan hal
ini, cepat memutar pedangnya menangkis.
Pada saat
itu Hek-houw Bhe Lam bersuit ketika ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk
menghadapi lawannya. Dengan perlahan namun pasti Thian Beng Tosu mendesak
penjahat itu. Belasan jurus kemudian Bhe Lam masih dapat bertahan, walau pun
keadaan kepala rampok ini terdesak makin hebat.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suitan dari dalam hutan dan tak lama kemudian muncullah
tiga orang tinggi besar yang segera menerjang Thian Beng Tosu dengan golok di
tangan. Mereka ini adalah orang-orang yang sengaja disuruh menjaga di situ oleh
kepala rampok ini dan tadi ia memang sengaja memancing Thian Beng Tosu memasuki
hutan ini agar ia bisa mendapatkan bantuan tiga orang temannya.
Setelah tiga
orang itu mengeroyok, keadaan menjadi terbalik. Sekarang tosu inilah yang
terdesak dan dihujani serangan dari kanan kiri, depan dan belakang. Ia mulai
sibuk dan terpaksa hanya dapat mempertahankan dirinya tanpa mampu balas
menyerang. Keadaan Thian Beng Tosu benar-benar berbahaya sekali dan Hek-houw
Bhe Lam mulai mengejek serta mentertawakan.
Akan tetapi
tiba-tlba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis muda yang cantik manis
dengan pakaiannya yang sederhana, diikuti oleh seorang wanita setengah tua yang
berpakaian seperti seorang pertapa tahu-tahu muncul dari balik pepohonan dan
langsung kedua orang wanita itu menerjang empat orang penjahat tadi. Hebat
sekali permainan pedang gadis sederhana itu, akan tetapi lebih hebat permainan
silat wanita pertapa yang hanya memegang sebatang ranting kecil. Dalam beberapa
gebrakan saja empat orang penjahat itu telah terjungkal dalam keadaan terluka.
Gadis itu
dengan gemas menggerakkan pedang hendak membunuh Hek-houw Bhe Lam, akan tetapi
tiba-tiba Thian Beng Tosu berseru, "Jangan bunuh!"
Gadis itu
menahan pedangnya dan memandang kepada tosu Hoa-san-pai ini dengan sinar mata
penuh keharuan. Sebaliknya Thian Beng Tosu dan wanita pertapa ini berdiri
seperti patung dan saling pandang seperti terkena pesona.
"Lee
Giok... kau Lee Giok..." bibir Thian Beng Tosu bergerak-gerak mengeluarkan
bisikan.
Wanita
pertapa itu meramkan kedua matanya dan menitiklah air mata pada kedua pipinya yang
masih segar kemerahan. Memang benar ia adalah Lee Giok, isteri Thian Beng Tosu!
"Dan
dia ini...?" lagi-lagi Thian Beng Tosu berkata amat perlahan sambil
menoleh ke arah gadis cantik yang gagah perkasa itu.
"...dia
Hui Cu... anak kita...," terdengar wanita pertapa itu berkata.
Mendengar
ini, gadis itu yang bernama Thio Hui Cu, segera menjatuhkan diri berlutut di
depan Thian Beng Tosu sambil berkata, "Ayah...!"
Tosu ini
membungkuk dan meraba kepala anaknya, air matanya bercucuran, kemudian ia
menarik bangun anaknya, memandangi sampai lama sekali lalu berdongak ke atas
dan berkata, "Siancai... Tuhan Maha Adil... siapa sangka aku akan dapat
bertemu dengan kalian dalam keadaan selamat? Ya Tuhan, terima kasih atas
kemurahan-Mu..."
Setelah
keharuan mereka mereda, Lee Giok berkata, "Dia ini... bukankah dia
penjahat Bhe Lam yang dahulu itu?"
Baru
sekarang Thian Beng Tosu teringat akan empat orang penjahat yang masih berada
di situ karena tidak berani melarikan diri. "Betul, dan mereka inilah yang
menjadi lantaran pertemuan kita. Karena itu, biarlah kita ampunkan mereka. Bhe
Lam, sekali lagi kami mengampunimu, harap saja kau dapat sadar dan insyaf bahwa
menyimpang dari jalan kebenaran bukanlah hal yang akan dapat menyelamatkan
dirimu. Nah, lekas pergilah dan semoga Thian akan memberi bimbingan kepada
jiwamu."
Dengan malu
sekali, juga merasa bersyukur karena kembali dia diampuni, Bhe Lam dan
teman-temannya pergi terpincang-pincang. Setelah mereka pergi, suami isteri dan
anak mereka ini saling berpandangan, penuh kebahagiaan dan penuh keharuan.
"Kau...
selama ini di manakah? Kenapa tidak kembali ke Hoa-san mencariku?"
Dalam
pertanyaan yang halus ini sama sekali tidak terkandung suara penyesalan, namun
cukup membuat Lee Giok kembali mengucurkan air mata. "Bagaimana aku
berani? Aku... aku... telah ternoda oleh si jahat Giam Kin. Baiknya ada Adik
Hong yang menolongku dan aku lari ke sini, aku... aku bersembunyi dalam hutan,
bertapa kemudian mendidik anak kita ini... aku telah mengambil keputusan tidak
akan menggangumu kecuali kau yang mendapatkan aku. Siapa duga kau bertempur
dengan mereka itu dan... dan... ahhh, kenapa kau sekarang telah menjadi
tosu?"
Thian Beng
Tosu tersenyum, kemudian dengan penuh kebahagiaan ia memegang tangan isterinya
di tangan kanan, tangan Hui Ci di tangan kiri. "Dan kau sendiri? Kau pun
menjadi seorang tokouw (pendeta perempuan). Bagus sekali! Ternyata bukan aku
saja yang sudah menemukan jalan benar, juga kau, isteriku Lee Giok, sekarang
tinggal kita mendoakan saja demi kebahagiaan hidup anak kita. Marilah ikut aku
ke puncak menemui Supek. Tahukah kau bahwa sekarang yang menjadi ketua adalah
Supek Kwa Tin Siong?"
Dengan penuh
kegembiraan Thian Beng Tosu bersama anak dan isterinya lalu menuju ke Puncak
Hoa-san. Di tengah perjalanan mereka saling menceritakan pengalaman mereka yang
pahit dan penuh penderitaan. Dapat dibayangkan betapa kebahagiaan ini menjadi
makin berlimpah ketika mereka tiba di tempat pertempuran tadi melihat bahwa Kui
Lok dan Thio Bwee berada pula di situ, malah Li Eng gadis nakal yang lihai itu
ternyata adalah puteri mereka!
Hujan tangis
terjadi pada saat Thian Beng Tosu muncul bersama Lee Giok dan Hui Cu. Segera
Kwa Tin Siong memerintahkan para murid untuk mengurus mayat-mayat itu dan
merawat mereka yang terluka. Dia sendiri dengan perasaan duka bercampur suka
ria mengajak para murid Hoa-san-pai itu masuk ke dalam kuil.
Akan tetapi
tiba-tiba Liem Sian Hwa berkata dengan kaget, "Ehh, di mana Kun
Hong?"
Beberapa
orang tosu menjawab bahwa mereka tadi melihat Kun Hong berlari pergi dari
tempat itu, turun dari puncak. Ketika para tosu hendak mencegah dan memberi
tahu bahwa mungkin ada orang jahat di lereng gunung, Kun Hong malah marah-marah
dan membentak mereka.
"Jangan
bicara padaku, kalian semua juga jahat, pembunuh-pembunuh kejam. Aku tidak sudi
lagi tinggal di sini!"
Tentu saja
Liem Sian Hwa berkuatir sekali. Akan tetapi Kwa Tin Siong yang sekarang merasa
betapa puteranya itu amat lemah dan tak dapat dibandingkan dengan Li Eng atau
Hui Cu yang biar pun merupakan anak-anak perempuan akan tetapi memiliki
kegagahan, segera berkata,
"Biarkanlah,
memang sudah tiba waktunya bagi dia untuk meluaskan pengalaman ke bawah gunung.
Kalau sudah banyak menghadapi kesukaran, baru ia menjadi dewasa dan dia tentu akan
kembali ke sini." Ia pun mencegah dan menghibur isterinya yang tadinya
bermaksud untuk mengejar dan mencari puteranya.
Sian Hwa
sendiri karena merasa malu kalau harus memperlihatkan kelemahan puteranya dan
juga kelemahannya sendiri yang terlalu menguatirkan seorang anak laki-laki,
terpaksa menurut walau pun hatinya penuh kegelisahan.
Mereka semua
lalu masuk ke dalam kuil dan menceritakan pengalaman masing-masing. Yang
membuat Ketua Hoa-san-pai ini girang dan bangga sekali adalah ketika mendengar
bahwa Kui Lok dan Thio Bwee kini telah mewarisi ilmu kepandaian yang
ditinggalkan oleh Lian Ti Tojin sehingga tingkat kepandaian dua orang murid
keponakan ini jauh melampaui tingkatnya sendiri. Hal ini berarti memperkuat
kedudukan Hoa-san-pai. Keluarga besar keturunan Lian Bu Tojin ini sekarang
telah berkumpul di Hoa-san-pai. Dan dengan adanya mereka, kiranya tidak akan
ada sembarang orang yang berani mengacau Hoa-san-pai lagi…..
***************
Hati Kun
Hong penuh kedukaan dan kemarahan. Sama sekali di luar dugaannya bahwa ayah
bundanya, juga para tosu Hoa-san-pai yang setiap hari belajar tentang
kebajikan, sekarang berubah menjadi pembunuh-pembunuh yang amat kejam menurut
pendapatnya. Puluhan orang manusia dibunuh di puncak Hoa-san.
"Aku
tidak mau melihat mereka lagi, aku tidak sudi lagi kembali ke
Hoa-san-pai!" demikian hatinya menjerit penuh kengerian saat di depan
matanya terbayang mayat mayat manusia yang menggeletak tumpang-tindih itu. Celaka,
pikirnya. Ayahnya, ibunya dan semua tosu Hoa-san-pai tentu akan ditangkap dan
dimasukkan penjara!
Biar pun ia,
tidak pernah belajar ilmu silat, namun Kun Hong memang pada dasarnya memiliki
tubuh yang sehat kuat dan berkat kemauannya yang luar biasa kokoh kuatnya, ia
tidak merasakan kelelahan kedua kakinya. Ia berlari terus menuruni puncak.
Maksudnya hendak mencari dusun terdekat untuk menemui kepala dusun dan
melaporkan mengenai pertempuran di puncak itu, Biarlah yang berwajib yang
mengurusnya, tetapi ia tidak akan kembali ke sana, pikirnya.
Tiba-tiba ia
melihat orang berjalan terhuyung-huyung, mengeluh lalu roboh tak jauh dari
tempat ia berdiri. Cepat Kun Hong lari menghampiri dan kagetlah ia ketika
melihat bahwa orang itu tak lain adalah Toat-beng Yok-mo, kakek bongkok yang
tadi ia lihat mengamuk di Puncak Hoa-san. Hatinya memang penuh welas asih.
Melihat kakek itu luka-luka di pundak dan lambung, mengucurkan darah, ia segera
berlutut dan bertanya, "Toat-beng Yok-mo, kau kenapa?"
Kakek itu
mengeluh dan membuka matanya, kelihatan kesakitan sekali. Ketika ia melihat Kun
Hong, sekejap ia kelihatan kaget, akan tetapi kemudian terheran-heran.
"Lekas... tolong kau ambilkan bumbung (tabung bambu) dalam buntalanku di
punggung ini... lekas... dan hati-hati, jangan sampai menyentuh
tanganku...," katanya dengan suara terengah-engah.
Kun Hong
melihat ke arah kedua tangan kakek itu dan bergidik ngeri. Kedua tangan kakek
itu sudah menghitam seperti hangus terbakar dan teringatlah ia akan racun hebat
yang mengakibatkan kematian tosu Hoa-san-pai dan kemudian karena dipegang oleh
Bu Tosu mengakibatkan hal yang amat mengerikan.
Ingin ia
lari pergi menjauhi kakek yang seperti iblis ini, akan tetapi melihat orang tua
itu terluka dan berada dalam keadaan payah sekali, hatinya tidak tega. Ia lalu
menurunkan bungkusan dari punggung kakek itu dan membukanya. Di antara
bungkusan-bungkusan obat dan pakaian, ia mengambil sebatang bambu besar dan
pendek yang disumbat kayu dan tabung itu diberi lubang untuk hawa, seperti
tempat jangkerik akan tetapi tabung itu besar.
"Inikah
bumbung itu?" tanyanya.
"Betul,
buka sumbatnya dan keluarkan isinya. Hati-hati, katak putih hijau ini jangan
sampai terlepas. Kau peganglah erat-erat!" Toat-beng Yok-mo berkata
tergesa-gesa dan sinar kegembiraan terpancar keluar dari sepasang matanya yang
tadi nampak sayu dan penuh kegelisahan.
"Katak?"
kata Kun Hong terheran-heran sambil membuka sumbatnya dan tiba-tiba seekor
katak yang besar dan berkulit seperti salju meloncat keluar dari tabung itu.
"Wah,
terlepas...!" kata Kun Hong.
"Goblok
kau! Celaka... lekas tangkap, jangan sampai hilang. Kalau dia hilang aku
mati...!"
Mendengar
ucapan ini Kun Hong menjadi pucat, lalu ia mengejar katak itu sampai jatuh
bangun. Ini urusan nyawa orang, pikirnya.
Katak itu
tidak begitu cepat gerakannya, akan tetapi selambat-lambatnya katak, ia pandai
melompat sehingga tiap kali Kun Hong menubruk, katak itu melompat membuat
pemuda itu terpaksa mengejar lagi dan menubruk lagi sampai jatuh bangun dan
pakaiannya kotor semua. Akan tetapi akhirnya dapat juga ia menangkap katak itu.
Biar pun
pakaiannya kotor semua dan kedua lengannya babak-belur tertusuk duri, namun Kun
Hong girang sekali karena dapat menangkap kembali katak itu. Pemuda ini segera
lari kepada Toat-beng Yok-mo sambil membawa katak itu.
"Sudah
dapat kutangkap kembali, Yok-mo," katanya girang.
Keadaan
Toat-beng Yok-mo makin payah, napasnya terengah-engah. "Lekas... dekatkan
katak itu ke mulutku..."
Kedua tangan
yang hangus itu tidak dapat digerakkan lagi. Kun Hong mendekatkan katak itu ke
mulut Yok-mo dengan heran karena tidak tahu apa yang dimaksudkan. Akan tetapi
alangkah herannya ketika dia melihat kakek itu membuka mulut dan... menggigit
kaki belakang katak itu sampai mengucurkan darah yang lalu dihisap!
"Eh...
ehh, kau mau makan katak hidup ini?" teriaknya heran dan mencoba untuk
menarik katak itu.
Akan tetapi
tiba-tiba kaki Yok-mo bergerak menendang dan tubuh Kun Hong mencelat jauh.
Pemuda ini merayap bangun dan bersungut-sungut. "Kau memang jahat! Katak
tidak berdosa kau gigit dan kau juga menendangku!"
Akan tetapi
ia melihat keanehan setelah kakek itu minum darah katak. Kedua tangannya yang
tadinya hangus itu cepat sekali pulih kembali dan lenyaplah warna hitam tadi.
Tak lama kemudian kakek itu mengambil katak dari mulutnya, memasukkannya
kembali ke dalam tabung dan... tertidurlah kakek itu mengorok enak sekali!
Kun Hong
adalah seorang yang cerdik. Melihat ini tahulah ia bahwa darah katak itu adalah
obat yang amat mujarab bagi racun hitam. Ia ingin sekali bertanya karena merasa
tertarik bukan main. Akan tetapi karena kakek itu tertidur nyenyak, ia tidak
mau mengganggunya dan perhatiannya segera tertarik oleh tiga jilid kitab yang
terletak di dalam bungkusan kakek itu yang masih terbuka.
Segera ia mendekati,
kemudian mengambil buku-buku itu. Ternyata itu adalah kitab-kitab pengobatan.
Kitab pertama berjudul ‘SELAKSA MACAM OBAT’, dan kitab kedua berjudul ‘SELAKSA
MACAM CARA PENGOBATAN’ sedangkan yang ketiga berjudul ‘RAHASIA PEREDARAN DARAH
DALAM TUBUH’.
Kun Hong
adalah seorang kutu buku. Melihat kitab sama dengan orang kelaparan melihat
roti. Dengan lahapnya ia lalu membuka kitab-kitab itu dan membacanya. Yang
dibukanya adalah kitab rahasia tentang peredaran darah dalam tubuh.
Biar pun
pusing kepalanya membaca huruf-huruf kuno dengan gambar tentang perjalanan
darah disertai ribuan macam istilah yang asing baginya, tetapi karena nafsunya
membaca amat luar biasa, ia memaksa diri membaca terus. Setengah hari Yok-mo
tidur nyenyak dan setengah hari pula Kun Hong membaca kitab itu. Sekarang dia
baru mengerti bahwa peredaran darah erat sekali hubungannya dengan pernapasan
dan bahwa pernapasan menjadi sumber dari tenaga dalam di tubuh manusia. Asyik
sekali ia membaca dan mulai banyaklah hal-hal menarik dalam kitab itu, terutama
pengertian tentang keadaan tubuh yang berhubungan dengan cara pengobatan.
"Aduh...
keparat... pundak dan lambungku panas sekali..." Tiba-tiba saja suara ini
membangunkannya dari alam mimpi yang amat menarik hati. Akan tetapi ia segera
mengerti bahwa yang mengeluh itu adalah Toat-beng Yok-mo, maka ia tidak
mempedulikan dan melanjutkan bacaannya.
"Uh...
uhh... sakit dan panas... heee! Jangan baca kitab-kitabku!”
Kun Hong
menutup buku itu dan meletakkannya dalam bungkusan, lalu menoleh. Kakek itu
masih rebah telentang, nampak lemah dan kesakitan. Ia cepat menghampiri.
"Bagaimana, Yok-mo? Sudah sembuhkah tanganmu?"
Tiba-tiba
tangan kakek itu bergerak dan tahu-tahu pergelangan tangan Kun Hong sudah
dicengkeram erat-erat. Pemuda ini merasa tangannya amat kesakitan. Ia mencoba
untuk melepaskan cengkeraman itu, namun tak berhasil.
"Ehh,
kau ini ada apakah? Lepaskan tanganku!" teriak Kun Hong sambil terus
mencoba menarik tangannya.
"Tak
boleh kau membaca kitab-kitabku!"
"Baca
saja apa salahnya, sich? Kalau kau tidak membolehkannya, aku pun tidak memaksa.
Hemm, tanganmu panas sekali, lepaskan aku."
Yok-mo
melepaskan pegangannya. Dia mengeluh lagi dan berkata dengan napas sesak,
"Luka-lukaku... mengakibatkan demam panas... lekas kau carikan daun pohon
sari darah, akar buah ular dan cacing hitam..."
Kun Hong
menjadi bingung. "Ke mana aku mencari? Dan yang bagaimanakah macamnya daun
dan akar serta cacing yang kau sebutkan itu?"
"Ah...
benar juga... kau mana tahu? Celaka..., selain demam aku pun... banyak
kehilangan darah... ahh, kau tolonglah aku, orang muda..."
Kun Hong
merasa kasihan sekali. Ia meraba jidat kakek itu dan ternyata panas sekali.
"Ah, Yok-mo, aku benar-benar ingin sekali menolongmu. Akan tetapi
bagaimana caranya? Jika hanya mencarikan obat-obat yang kau sebutkan tadi aku
tentu mau, akan tetapi aku tidak tahu..."
"Tak
usah kau mencari... kau antarkan saja aku ke tempat tinggalku... di sana
terdapat segala obat yang kubutuhkan..."
"Mengantar
kau kembali ke tempat tinggalmu? Tentu, boleh saja. Mari kuantar kau..."
jawab Kun Hong cepat.
Tentu saja
pemuda yang berwatak jujur ini tidak tahu akan maksud kakek itu sebenarnya.
Toat-beng Yok-mo maklum bahwa dalam keadaan terluka seperti sekarang ini, kalau
dia sampai bertemu dengan musuh-musuhnya, dalam hal ini orang-orang
Hoa-san-pai, tentu ia akan celaka dan tidak dapat melakukan perlawanan. Dengan
membawa Kun Hong di dekatnya, ia dapat rnempergunakan pemuda ini sebagai
jaminan untuk keselamatannya!
"Kau
baik sekali... uhh... uhhh..." Ia mencoba berdiri akan tetapi kepalanya
terasa pusing dan terguling kembali.
"Bagaimana?
Apakah kau tidak bisa jalan...?" tanya Kun Hong kuatir dan penuh perasaan
iba.
Sebagai seorang
cerdik yang sudah banyak pengalaman, Toat-beng Yok-mo sudah dapat menyelami
watak Kun Hong, maka kembali ia sengaja mengeluh dan mengaduh untuk memperdalam
perasaan iba di hati pemuda itu. Kemudian, dengan suara bisik-bisik seperti
orang yang amat payah keadaannya, ia pun berkata, "Aku... aku tidak bisa
jalan... berdiri pun tidak kuat... ah, anak yang baik... kalau kau kasihan
kepada aku orang tua... kau gendonglah aku..."
Kun Hong
benar-benar sudah tergerak hatinya dan merasa amat kasihan kepada kakek itu.
"Baiklah, Yok-mo, kau akan kugendong."
Ia lalu
membungkus kembali bawaan kakek itu dan mengikatnya di punggung Toat-beng
Yok-mo, setelah itu lalu menggendong kakek ini di punggungnya sendiri dan
berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Toat-beng Yok-mo! Kun Hong bertubuh kuat
dan bertenaga besar, maka menggendong tubuh yang kecil kering dan tua itu
tidaklah sukar baginya. Akan tetapi karena tubuhnya tidak terlatih dan tidak biasa
bekerja berat, perjalanan mereka ini berlangsung lambat sekali dan sering kali
terpaksa beristirahat.
Diam-diam
Toat-beng Yok-mo terheran-heran mengapa Ketua Hoa-san-pai yang gagah itu
mempunyai seorang putera yang begini tidak ada gunanya. Karena ia membutuhkan
bantuan Kun Hong untuk menggendongnya dan dijadikan jaminan akan
keselamatannya, maka pada waktu istirahat ini dia mengajar Kun Hong cara
berduduk diam (bersemedhi), mengatur pernapasan untuk memperkuat daya tahan
tubuh sehingga membuat pemuda ini lebih tahan berjalan jauh.
"Toat-beng
Yok-mo, aku sudah membaca kitab-kitabmu biar pun hanya sedikit, dan aku
tertarik sekali. Baik sekali memiliki kepandaian untuk mengobati orang sakit.
Kalau kau suka mengajarku dalam ilmu pengobatan, aku suka menjadi
muridmu."
Diam-diam
kakek ini menyeringai. Dia sudah mengambil keputusan hendak membawa
kepandaiannya sampai mati, tidak akan ia turunkan kepada siapa pun juga.
Kecuali kalau ada murid yang suka berjanji bahwa murid itu akan membunuh setiap
orang yang sudah diobatinya. Akan tetapi ia tahu pula bahwa pemuda ini tak
mungkin mau menerima syarat itu, maka ia berpura-pura.
"Kau
anak baik sekali, tentu saja aku suka menerima kau menjadi muridku. Dan kau
tahu, pelajaran semedhi dan mengatur napas yang kuajarkan ini adalah tingkat
pertama dari ilmu pengobatan. Maka kau berlatihlah baik-baik setiap kali kita
beristirahat."
Oleh karena
kurang pengalaman, Kun Hong mempercayai omongan ini. Dan betul saja, ia
berlatih giat sekali di waktu beristirahat dan di waktu malam. Ia sama sekali
tidak tahu bahwa kakek itu melatih ia semedhi dan mengatur pernapasan agar
badannya kuat dan tahan lebih lama melakukan perjalanan jauh itu sambil
menggendong!
Baiknya
kakek itu ternyata mempunyai simpanan banyak emas dalam buntalan sehingga untuk
makan dan menyewa rumah penginapan bukan soal yang sulit lagi bagi mereka.
Sebetulnya, setelah makan obat yang dibeli di kota yang mereka lalui, kakek itu
sakitnya sudah banyak mendingan dan sudah kuat berjalan lagi. Akan tetapi,
kesehatannya belum pulih semua dan andai kata ia bertemu lawan tangguh, ia
masih belum sanggup melawan. Maka untuk membuat Kun Hong sungkan
meninggalkannya, ia berpura-pura masih tidak kuat jalan dan membiarkan pemuda
itu terus menggendongnya sepanjang jalan!
Pada suatu
hari, menjelang tengah hari yang panas bukan main, Kun Hong dan Yok-mo
beristirahat di sebuah hutan yang amat liar. Mereka sudah tiba di daerah lembah
Sungai Huai di mana banyak sekali terdapat hutan-hutan lebat dan gunung-gunung
yang masih liar. Daerah ini sudah dekat dengan tempat tinggal Toat-beng Yok-mo,
yaitu di pusat gerombolan Ngo-lian-kauw yang dikepalai oleh Kim-thouw Thian-li.
Karena
merasa bahwa dia sudah berada di daerah sendiri dan sekarang tidak mungkin
kiranya orang-orang Hoa-san-pai bisa mengejarnya, Yok-mo mengambil keputusan
untuk mencabut nyawa pemuda yang selama ini mengantar dan menggendongnya. Ia
tidak lagi memerlukan pemuda ini, baik sebagai pengantar mau pun sebagai
jaminan.
Sesungguhnya
dalam beberapa hari ini ia sudah merasa bosan sekali digendong oleh pemuda yang
tidak dapat berjalan cepat itu. Andai kata ia melakukan perjalanan sendiri,
dengan ilmunya berlari cepat, kiranya ia sudah sampai di rumahnya. Semata-mata
untuk menjamin keselamatannya belaka maka ia terpaksa membiarkan dirinya
digendong oleh Kun Hong.
Melihat
betapa pemuda ini sekarang sedang tekun duduk bersila, mengumpulkan panca
inderanya dan mengatur pernapasan, kakek ini tersenyum menyeringai. Diam-diam
dia harus mengakui bahwa pemuda ini sesungguhnya memiliki tulang bersih dan
bakat yang amat baik, pula amat cerdas sehingga sekali membaca atau mendengar
sudah hafal dan tak akan melupakannya lagi.
"He,
Kun Hong... bangunlah jangan tidur saja!" ia menegur.
Kun Hong
membuka matanya. Ia terheran-heran melihat kakek itu duduk bersandar pohon
seperti biasanya sambil tersenyum-senyum aneh.
"Yok-mo,
aku tidak tidur, melainkan melatih semedhi seperti biasa. Latihan ini baik
sekali, aku merasa sehat dan kuat semenjak berlatih. Kitabmu itu benar-benar
mengandung pelajaran pengobatan yang luar biasa."
"Heh-heh-heh,
apa kau ingin membaca lagi?"
Wajah Kun
Hong nampak kecewa. "Semenjak pertemuan kita dahulu kau sudah tahu jelas
bahwa tidak ada keinginan lain padaku kecuali membaca tiga kitabmu itu. Tapi
kau selalu melarang."
"Heh-heh-heh,
kau benar-benar ingin membacanya? Kun Hong, kau sudah melepas budi kepadaku,
merawat dan mengantarkan aku sampai sini. Jika sekarang aku membolehkan kau
membaca ketiga kitabku, apakah aku boleh menganggap budimu itu sudah terbalas
dan sudah lunas?"
Kun Hong
memang seorang yang berwatak polos dan bersih. Ia menolong kakek itu tanpa
pamrih apa-apa, tanpa mengharap balasan malah sama sekali tidak ada ingatan
dalam hatinya bahwa ia telah melepas budi kepada orang. Mendengar kakek itu
membolehkan ia membaca kitab-kitab itu, ia menjadi girang sekali dan berkata, "Terima
kasih, Yok-mo, kau baik sekali!"
Tanpa
mempedulikan yang lain-lain lagi ia lalu membuka buntalan yang ditaruh di bawah
pohon, lalu mengeluarkan ketiga kitab itu dan segera ia mulai membaca. Belum
lama ia membaca, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan
isi hutan itu.
Kun Hong
terkejut sekali dan lebih-lebih herannya ketika dia melihat kakek bongkok itu
sudah berdiri dengan tongkat di tangan, memandang ke depan dengan mata
terbelalak. Keheranannya ini bercampur rasa girang karena kalau kakek itu sudah
dapat berdiri, berarti kesehatannya sudah mulai pulih.
Akan tetapi
segera ia terkejut sekali melihat cahaya kuning emas menyambar turun dari atas,
tidak jauh dari tempat itu. Seekor burung yang sangat besar meluncur turun
untuk menyusup ke dalam semak-semak. Akan tetapi burung itu cepat sekali
gerakannya, dan tahu-tahu seekor kelinci sudah dapat dicengkeramnya. Akan
tetapi, sebelum burung itu dapat terbang kembali, dengan satu kali melompat
saja Toat-beng Yok-mo sudah berada di dekatnya.
"Rajawali
emas! Bagus sekali... aku harus dapat menangkap burung ini!" sambil
berkata demikian kakek itu menerjang dengan kedua tangan terpentang, siap
menangkap burung besar itu.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika burung itu tiba-tiba menggerakkan sayap kanannya
menghantam ke arah kepalanya. Yok-mo cepat mengelak akan tetapi tahu-tahu
tubuhnya sudah terpukul oleh sayap kiri burung itu yang ternyata menggunakan
cara penyerangan yang aneh sehingga kelihatannya sayap kanan yang menampar,
tidak tahunya sayap kiri yang betul-betul bergerak.
Akan tetapi
Yok-mo adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi. Pukulan itu membuat
tubuhnya terpental akan tetapi tidak melukainya. Ia cepat meloncat bangun dan
sepasang matanya bersinar-sinar.
"Hebat...!
Inilah kim-tiauw (rajawali emas) yang jarang ada bandingannya! Jantung dan
otaknya akan menjadi bahan obat kuat yang mukjijat!" Ia melompat lagi dan
kembali ia menyerang.
Burung itu
agaknya menjadi marah dan anehnya, ia tidak mau terbang pergi. Bahkan kini dia
melepaskan bangkai kelinci tadi dan berdiri tegak, seperti seorang pendekar
yang siap menghadapi datangnya penyerangan lawan. Toat-beng Yok-mo dengan
hati-hati sekali menerjang maju, siap untuk mencengkeram leher burung itu
sambil memperhatikan gerakan binatang ini, agar jangan tertipu seperti tadi. Ia
sengaja memukul ke arah dada burung dengan tangan kiri, sedangkan tangan
kanannya mencengkeram ke arah leher. Hebat sekali serangannya ini.
Akan tetapi
kembali ia melengak ketika melihat betapa dengan langkah-langkah kaki yang amat
aneh, diikuti gerakan kedua sayapnya, burung itu telah dapat mengelakkan kedua
serangannya ini dengan sangat mudahnya. Malah bukan sekedar mengelak, burung
itu dengan kecepatan yang luar biasa sudah menggerakkan kepala dan mematuk mata
kiri Toat-beng Yok-mo!
"Celaka...!"
Yok-mo cepat
melompat ke kanan. Tetapi gerakannya belum cepat karena kesehatannya memang
belum pulih benar-benar. Kagetnya bukan kepalang melihat penyerangan yang lebih
dahsyat dari pada tusukan pedang itu. Akan tetapi, sekali lagi ia tertipu
karena begitu ia melompat ke kanan, burung itu menarik kembali kepalanya dan
kaki kirinya bergerak ke depan menendang.
Sekali lagi
tubuh kakek itu terlempar, kali ini malah bergulingan seperti seekor
trenggiling! Hebatnya, gerakan kaki burung itu persis sekali dengan tendangan
kaki manusia, dan digerakkan secara cepat serta mengandung tenaga yang amat
kuat...
Yok-mo
mengeluh dan merangkak bangun. Bermacam perasaan mengaduk di hatinya ketika ia
memandang kepada burung itu dengan mata terbelalak. Heran, kaget dan marah sekali.
Sudah bertahun-tahun dia ingin mendapatkan seekor burung seperti ini, burung
rajawali emas yang jarang sekali terdapat di dunia ini dan hanya muncul dalam
dongeng-dongeng kuno.
Menurut
pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, jantung burung rajawali emas dapat
dibuat menjadi obat penguat tubuh yang luar biasa sedangkan otak burung itu
dapat dibuat menjadi bahan obat terhadap bermacam-macam luka berbisa. Sekarang,
tanpa terduga-duga olehnya, dia bertemu burung ini. Akan tetapi siapa sangka
bahwa burung ini ternyata bukanlah burung biasa, gerakan-gerakannya hebat
sekali bagai seorang ahli silat kelas tinggi!
Betapa pun
juga, Yok-mo menjadi penasaran. Ia masih belum mau kalah. Mungkin karena
tubuhnya masih belum pulih benar maka tenaganya berkurang dan kecepatannya pun
tak seperti biasanya sehingga dua kali dia dibikin roboh oleh burung itu.
Sekarang dia telah mengeluarkan tongkatnya, tongkat hitam yang selama ini dia
sembunyikan saja di balik bajunya. Dengan kemarahan meluap-luap kakek ini lalu
melompat maju dan menyerang burung itu dengan tongkat hitamnya.
Aneh sekali,
burung itu agaknya tahu akan keampuhan tongkat hitam itu. Ia mengeluarkan bunyi
melengking lalu terbang dan dari atas dia menyambar kepala Toat-beng Yok-mo.
Kakek ini sudah siap sedia, cepat mengelak dan membalas dengan tusukan
tongkatnya. Burung ini ternyata merasa gentar menghadapi tongkat hitam itu
sehingga serangannya selalu gagal karena ia harus mengelak dari sambaran
tongkat yang ampuh itu. Pertempuran itu menjadi seru sekali. Burung itu menang
gesit, tapi dengan mengandalkan tongkatnya yang ditakuti lawannya, Yok-mo dapat
mempertahankan dirinya, malah dapat balas menyerang dengan hebat.
Sementara
itu, semenjak tadi Kun Hong melongo. Kagumnya bukan main melihat burung yang
indah sekali, dengan bulu mengkilap berwarna kuning keemasan itu. Segera saja
ia merasa suka dan sayang kepada binatang itu. Lebih-lebih kagumnya pada saat
ia melihat betapa burung itu dengan mudah dapat membuat Toat-beng Yok-mo yang
berkepandaian tinggi itu terguling-guling.
Pemuda ini
sebetulnya mempunyai rasa kagum dan suka akan kegagahan sungguh pun ia benci
sekali terhadap pembunuhan dan penyiksaan. Baginya, kegagahan seharusnya
dipergunakan untuk menegakkan keadilan tanpa melakukan pembunuhan, cukup dengan
mengalahkan yang jahat dan memaksanya kembali ke jalan benar.
Melihat
burung indah itu mengalahkan Yok-mo, ia merasa kagum sekali. Akan tetapi rasa
kekagumannya itu berubah menjadi kekuatiran besar saat Yok-mo mengeluarkan
tongkat hitamnya yang mengerikan dan terjadi pertempuran seru antara dua lawan
yang memiliki gerakan cepat sehingga membuat ia bingung memandangnya itu.
Karena tadi
Kun Hong terpesona oleh keindahan burung dan sekarang menjadi bingung
menyaksikan pertempuran mati-matian itu, tanpa disadari tiga jilid kitab yang
dipegangnya itu ia masukkan dalam saku bajunya yang lebar. Ia lalu berdiri dan
menyambar tabung bambu terisi katak putih. Hanya itulah yang akan dapat
mengobati luka mengerikan yang diakibatkan oleh tongkat hitam itu, pikirnya. Sambil
membawa tabung itu dia lalu berlari sambil berteriak, "Jangan bunuh burung
itu, Yok-mo! Sayang sekali kalau sampai ia terluka...!"
Setelah
dekat dengan tempat pertempuran, Kun Hong semakin suka dan kagum melihat burung
itu yang memang indah luar biasa. Juga ia melihat adanya sebuah kalung mutiara
tergantung di leher burung itu. Maka tahulah ia bahwa burung ini tentulah ada
yang punya, tentu burung peliharaan orang. "Yok-mo, jangan bunuh dia,
tentu ada pemiliknya. Lihat kalung itu!"
Tentu saja
Toat-beng Yok-mo sudah melihat kalung mutiara besar-besar yang tergantung di
leher burung itu pula. Akan tetapi sudah tentu saja dia tidak ambil peduli. Ada
yang punya atau tidak, burung ini harus ia tangkap, ia bunuh untuk diambil
jantung dan otaknya. Ia memperhebat permainan tongkatnya dan semakin lama ia
bersilat, ia merasa bahwa kekuatannya mulai pulih kembali. Burung itu pun mulai
menjadi marah sekali. Apa lagi ketika ia meiihat Kun Hong datang berlari-lari,
dianggapnya bahwa tentu ia akan dikeroyok. Ia memekik keras dan menerjang
Yok-mo dengan serbuan yang dahsyat sekali.
Yok-mo juga
kaget, tak menduga bahwa burung itu dapat melakukan serangan demikian hebatnya.
Dalam kegugupannya melihat sepasang sayap berikut sepasang cakar serta sebuah
paruh yang kuat dan runcing itu sekaligus menyerangnya, Yok-mo cepat memutar
tongkatnya untuk melindungi diri. Akan tetapi, secara aneh sekali cakar kiri
burung itu dapat menyelinap di antara gulungan sinar tongkatnya dan
mencengkeram ke arah muka Yok-mo.
"Mati
aku...!" Yok-mo berteriak kaget dan ia menjadi nekat.
Ia menarik
tongkatnya itu lalu ia tusukkan ke arah kaki berkuku runcing mengerikan yang
hendak mencengkeram mukanya. Tepat sekali ujung tongkatnya menusuk telapak kaki
burung itu. Akan tetapi, pada saat itu pula sayap kanan burung itu menghantam
kepala dan pundaknya.
"Blukkk!"
Tubuh
Toat-beng Yok-mo terlempar jauh dan kakek ini lantas roboh pingsan. Bukan main
hebatnya hantaman sayap tadi yang akan dapat menghancurkan kepala seekor
harimau. Burung itu menjerit-jerit kesakitan dan anehnya, kaki kirinya menjadi
putih sekali seperti kaki mati. Dalam kesakitan itu ia menjadi makin marah dan
segera ia melompat ke arah tubuh Yok-mo.
"Hee...
jangan... dia sudah kalah, jangan kau serang lagi!" Kun Hong berteriak
mencegah sambil menghadang di antara Yok-mo dan burung itu.
Kebetulan
sekali tadi tubuh Yok-mo terlempar ke arahnya sehingga ia dapat mendahului
burung itu dan menghadang di tengah jalan sambil mengacungkan tabung bambu
untuk menakuti. Akan tetapi burung itu mana takut terhadap Kun Hong? Ia memekik
keras dan menerjang. Sebelum Kun Hong tahu apa yang terjadi, dia merasa
tubuhnya melayang ke atas dan kiranya baju pada punggungnya telah dicengkeram
oleh kaki kanan burung itu dan dibawa terbang tinggi!
Dulu, di
waktu ia dikerek oleh Li Eng ke atas sebatang pohon tinggi, ia sudah ketakutan
sekali. Sekarang ia dibawa terbang jauh lebih tinggi lagi di atas pohon-pohon
yang paling tinggi, bagaimana ia tidak akan ketakutan setengah mati? Melihat
pohon-pohon yang ada di bawahnya makin lama makin kecil, Kun Hong
berteriak-teriak.
"Heee...
lepaskan aku... ehh, jangan lepas… jangan lepas! Kau... turunkanlah aku, burung
yang baik..."
Akan tetapi
jawaban burung itu hanya memekik-mekik marah dan kesakitan. Mendengar ini, Kun
Hong teringat bahwa burung itu terluka kaki kirinya. Ia memandang dan melihat
betapa kaki kiri burung itu berubah putih semua, seputih kukunya. Ia teringat
akan tabung yang masih dipegangnya. Cepat ia membuka sumbat tabung itu dan
berkata, "Kau terluka oleh tongkat Yok-mo, lekas kau minumlah sedikit
darah katak putih di dalam tabung ini..."
Baru saja
dia berkata demikian, dia melihat bayangan putih melompat keluar dari dalam
tabung. Kun Hong kaget sekali sampai tabung kosong itu terlepas dari tangannya.
"Celaka... dia terlepas lagi..."
Akan tetapi
burung itu segera berbunyi nyaring. Tubuhnya menyambar ke depan sampai Kun Hong
merasa matanya berkunang karena tubuhnya sendiri pun terbawa melayang cepat ke
depan. Dengan paruhnya yang runcing dan terbuka lebar, burung itu mematuk katak
yang tadi melompat keluar dari dalam tabung, kemudian langsung menelan katak
itu sehingga binatang kecil itu lenyap ke dalam perutnya!
Kembali ia
melengking girang sampai berkali-kali. Tiba-tiba ia melepaskan cengkeraman
kakinya pada baju Kun Hong. Setelah dilepaskan, tentu saja tubuh pemuda ini
melayang ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia merasa makin ketakutan.
"Waah...!"
teriaknya ketika makin lama semakin cepatlah tubuhnya meluncur ke bawah,
disambut pohon-pohon yang makin membesar dan kelihatan mengerikan sekali.
Tiba-tiba
Kun Hong yang sudah setengah pingsan itu merasa tubuhnya terapung lagi ke atas,
tertahan luncurannya ke bawah tadi. Kiranya burung itu sudah menangkapnya lagi
dan mencengkeram bajunya dengan tepat. Kemudian perlahan-lahan burung itu
melayang turun dan sesampainya di atas tanah ia melepaskan Kun Hong. Kun Hong
yang tadinya sudah ketakutan dan tidak mengharapkan akan dapat hidup lagi,
serta merta memeluk burung itu.
"Kim-tiauw-heng
(Kakak Rajawali Emas) yang baik, kau telah menolong nyawaku. Terima
kasih!" Ia menjura di depan burung itu seolah-olah ia sedang berhadapan
dengan seorang manusia!
Aneh sekali!
Burung itu mengeluarkan bunyi mencicit dan... segera berlutut kemudian mendekam
di depan Kun Hong. Ketika pemuda ini dengan terheran-heran melihat dengan
teliti, ternyata bahwa kaki kiri burung itu sudah pulih menjadi merah seperti
sedia kala. Ia menengok ke kanan kiri mencari-cari, akan tetapi ternyata
Toat-beng Yok-mo telah lenyap bersama tongkat dan buntalan pakaiannya.
"Dia
sudah dapat berjalan sendiri, mengapa selama ini menipu?" Gemas juga kalau
ia teringat betapa setiap hari ia harus menggendong kakek itu yang sebetulnya
malah lebih kuat dari padanya.
"Kim-tiauw-heng,
kau datang dari manakah? Aku suka sekali kepadamu, kau baik dan mengenal budi
orang, tidak seperti Toat-beng Yok-mo yang hati dan pikirannya penuh terisi
kehendak jahat. Kim-tiauw-heng, kau tentu milik seorang gagah, siapakah
pemilikmu dan di mana tempat tinggalmu?"
Burung itu
mengeluarkan bunyi mencicit lagi, kemudian dia maju mendekati Kun Hong. Dengan
lehernya yang berbulu halus dan hangat itu ia membelai leher Kun Hong, lalu ia
berlutut dan dari belakang menyelinapkan kepalanya di bawah kedua kaki pemuda
itu. Dengan begini maka Kun Hong duduk pada punggungnya, lalu burung itu
menggerakkan kedua sayapnya membawa Kun Hong terbang lagi!
"Heee...
bagaimana ini... aduh, aku bisa jatuh...!” Kun Hong panik lagi dan ketakutan.
Akan tetapi
karena burung itu terbang perlahan dan tubuhnya sama sekali tak bergoyang, Kun
Hong akhirnya dapat duduk dengan enak. Ia mulai menyesuaikan, malah ia segera
berpegang pada kalung yang melingkari leher burung itu. Makin lama burung itu
terbang makin tinggi, berputaran di atas hutan itu dan makin memuncak pula
ketakutan Kun Hong.
Akan tetapi
segera ia tertarik oleh pemandangan di bawah dan tak terasa lagi mulutnya
berseru kegirangan. "Aduh... bagus sekali, betapa indahnya pemandangan
alam di bawah itu. Hee, hati-hati Kim-tiauw-heng, jangan sampai aku
jatuh!"
Demikianlah,
di antara rasa takut dan rasa girang serta kekaguman melihat keindahan
pemandangan di bawah, Kun Hong tak berdaya membiarkan dirinya dibawa terbang
oleh burung rajawali emas yang aneh itu. Mudah saja diduga burung apakah yang
telah membawa terbang Kun Hong itu. Memang dugaan Toat-beng Yok-mo tidak keliru
bahwa burung seperti itu tak ada dicari keduanya di dunia ini. Burung itu bukan
lain adalah burung rajawali emas sakti, yang pernah kita kenal sebagai burung
tunggangan Kwa Hong, juga burung yang secara tidak langsung menjadi guru dari
Kwa Hong.
Seperti
telah kita ketahui bahwa tujuh belas tahun yang lalu, pada saat Kwa Hong untuk
penghabisan kali mendatangi Hoa-san-pai dan hendak membunuh Thio Ki, dia
bertemu muka dengan ayahnya, Kwa Tin Siong sehingga hampir saja ia tewas karena
membiarkan dirinya diserang oleh ayahnya yang marah itu.
Burung
rajawali emas menolongnya dan membawanya pergi, kembali ke tempat ia semula
tinggal, yaitu di puncak Pegunungan Lu-liang-san. Semenjak itu, Kwa Hong tidak
berani lagi memperlihatkan mukanya di dunia ramai. Ketika ia pergi ke Hoa-san
itu, ia pun meninggalkan puteranya yang baru berusia setahun dalam asuhan
seorang inang pengasuh yang ia dapatkan dari penduduk di kaki Gunung
Lu-liang-san. Semenjak saat itu, Kwa Hong berdiam di Lu-liang-san, jauh dari
keramaian dunia dan agaknya sudah tak mau mengurus persoalan duniawi lagi.
Semua perhatiannya ia tumpahkan kepada puteranya yang ia beri nama Sin Lee.
Betapa pun
juga, wanita ini belum juga dapat melupakan cinta kasih terhadap Beng San
berikut perasaan iri hati dan cemburu terhadap wanita yang telah berhasil
menjadi isteri kekasihnya itu. Oleh karena ini pula ia tekun mendidik puteranya
itu yang semenjak kecil sudah dilatihnya dengan ilmu silat sehingga semenjak
kecilnya Sin Lee menjadi seorang anak laki-laki yang bertubuh kuat dan
bertenaga besar.
Sudah
menjadi sifat pembawaan bahwa anak laki-laki lebih nakal dari pada anak-anak
perempuan karena anak laki-laki pada umumnya lebih bandel dan lebih berani.
Kenakalan anak laki-laki bisa dikendalikan oleh perhatian orang tuanya yang
mendidik dan menuntun agar kebandelan dan keberanian ini menjurus kepada
kebenaran.
Akan tetapi
Kwa Hong yang mendidik anaknya seorang diri tanpa disertai suami, hanya
mencurahkan perhatian kepada ilmu silat saja, malah terlalu memanjakan
puteranya. Hal inilah kiranya yang menjadi sebab hingga Sin Lee menjadi seorang
anak yang luar biasa nakalnya, luar biasa berani dan nekatnya. Tidak ada orang
di dunia ini yang ditakutinya, dan satu-satunya orang yang kiranya akan ia
takuti, yaitu ibunya, terlalu menyayangnya sehingga ia menjadi seorang anak
yang tak kenal takut lagi.
Anak yang
masih kecil ini kalau tidak bermain-main dengan burung rajawali emas, tentu
pergi jauh ke bawah gunung dan bermain-main dengan anak-anak penduduk di situ.
Dan sebentar saja semua anak sudah takut kepadanya karena siapa yang tidak mau
menuruti kehendaknya tentu dipukulnya. Bahkan setelah ia berusia sepuluh tahun,
tak seorang pun laki-laki dewasa berani menentangnya. Kalau ada yang menentang,
biar orang tua akan ia pukul.
Mula-mula,
pada waktu ia masih belum kuat benar, orang-orang itu takut mengganggunya
karena takut kepada Toanio (Nyonya besar) yang tinggal di puncak. Akan tetapi
setelah Sin Lee menjadi seorang anak yang benar-benar memiliki kepandaian silat
yang hebat, orang-orang takut kepadanya karena memang takut dipukuli oleh anak
yang luar biasa itu.
Sudah
terlalu sering Sin Lee membuat gara-gara. Apa bila tidak memukul orang, ia
tentu menyerang kampung lain yang belum dikenalnya dan memaksa orang-orang
kampung itu mengakui dia sebagai ‘jagoan cllik’ yang tak terkalahkan!
Pada suatu
hari ia malah membikin ribut di sebuah kelenteng yang berada di kaki gunung
sebelah timur. Kelenteng tua ini hanya ditinggali oleh lima orang hwesio dan
menjadi tempat sembahyang para penduduk kampung di sekitar kaki Gunung
Lu-liang-san.
Lima orang
hwesio ini hidup dengan aman dan tenteram. Setiap hari mereka bekerja di
ladang, menanam sayur-sayuran atau buah-buahan untuk bahan makanan mereka dan
melayani setiap keperluan bersembahyang dari penduduk. Karena tidak ada
pekerjaan lain, maka tanaman sayuran mereka terpelihara baik dan ladang sayuran
hwesio-hwesio itu terkenal sebagai ladang sayuran yang paling subur dan
menghasilkan sayur-sayuran pilihan.
Pada suatu
hati yang cerah, seorang hwesio tinggi besar tengah bekerja di ladang sayur itu
dengan wajah berseru gembira. Betapa tidak? Ladang itu ditumbuhi bermacam-macam
sayur yang sangat subur, juga buah labu yang sudah dekat masanya dipetik,
besar-besar dan gemuk-gemuk menyenangkan. Hwesio itu tengah bekerja mencabuti
rumput liar yang mengganggu kesuburan tanaman.
Tiba-tiba
serombongan anak-anak berusia antara sepuluh sampai tiga belas tahun, semua
laki-laki, muncul dari lereng gunung. Jumlah mereka ada sekitar lima belas
orang dan kelihatannya nakal-nakal. Setelah dekat dengan ladang itu, kemudian
terdengar mereka berteriak-teriak.
"Lo-suhu,
minta labunya!"
"Lo-suhu,
berilah kami seorang satu!"
Simpang siur
anak-anak itu berteriak-teriak sambil tertawa-tawa.
Hwesio
tinggi besar itu bangkit berdiri menoleh dan dengan muka sabar ia tersenyum
lalu menjawab, "Belum waktunya, anak-anak. Labu-labu ini belum waktunya
dipetik.. Nanti apa bila pinceng panen labu, tentu selebihnya pinceng
bagi-bagikan kepada orang tua kalian, sudahlah, main-main ke sana, jangan
mengganggu pinceng yang sedang bekerja."
Seperti
telah diatur sebelumnya, anak-anak itu segera berteriak-teriak.
"Hwesio
pelit!"
"Hwesio
medit, kikir!"
Hwesio itu
diam saja, tidak ambil peduli dan mulai bekerja lagi mencabuti rumput-rumput
liar. Anak-anak itu makin berani, malah ada yang memaki-makinya.
"Kalau
malam babi-babi hutan mengambil labu kau diam saja, tapi kalau kami yang minta
tidak diberi. Dasar hwesio busuk!" terdengar suara seorang anak.
Hwesio itu
kembali berdiri. Keningnya berkerut ketika ia memandang kumpulan anak-anak
nakal itu.
"Hemmm,
karena mereka itu babi hutan termasuk golongan binatang maka mereka tidak
mengenal aturan dan makan apa saja yang ada karena mereka lapar. Akan tetapi
kalian adalah anak manusia, mengerti aturan. Apakah kalian mau jika pinceng
samakan dengan anak-anak babi hutan?"
"Ahh..
hwesio pelit. Banyak alasan untuk menutupi kepelitannya!" anak-anak itu
ribut-ribut lagi, mengejek dan memaki.
Sesabar-sabarnya
orang, namun menghadapi ejekan dan makian anak-anak ini memang merupakan ujian
berat. Jarang sekali ada orang mampu mempertahankan kesabarannya.
Hwesio itu
mulai membelalakkan kedua matanya. Akan tetapi karena ia masih ingat akan
kesabaran, maka ia pun bertanya, "Anak-anak, kalian minta labu untuk
apakah? Apakah kalian lapar dan hendak memakannya?"
"Aku
mau yang bundar untuk main bola!"
"Aku
yang panjang untuk bikin kereta!"
Hwesio itu
menjadi marah. "Enak saja kalian bicara! Pinceng menanam sayur dan labu untuk
bahan makan, bukan untuk main-main. Hayo kalian pergi, tidak boleh minta
labu!"
Kembali
anak-anak itu memaki-maki, tetapi hwesio itu tidak mempedulikan mereka lagi,
malah melanjutkan pekerjaannya. Sekarang ia ke ladang sayur-sayuran untuk
memeriksa kalau-kalau sayur-sayurnya dihinggapi ulat. Kesempatan ini
dipergunakan oleh anak-anak nakal itu untuk menyerbu ladang dan mengambil labu
yang besar-besar.
"Ehh,
anak-anak nakal, kalian tiada bedanya dengan babi hutan!"
Hwesio itu
melompat dan menampar anak-anak yang dekat dengannya. Anak-anak itu
berteriak-teriak, ada yang menangis dan mereka berserabutan lari.
"Kalian
perlu dihajar supaya kelak tidak menjadi manusia-manusia berwatak babi
hutan!" hwesio itu masih memaki sambil menempiling anak-anak yang
terdekat.
Pada waktu
itu, sesosok bayangan berkelebat di belakangnya dibarengi bentakan suara
anak-anak, "Hwesio gundul, berani kau memukuli teman-temanku?"
Hwesio itu
kaget sekali. Akan tetapi ia tak sempat membalikkan tubuhnya sebab tiba-tiba
bayangan yang ternyata adalah Sin Lee anak berusia sepuluh tahun itu sudah
menampar kepalanya yang gundul. Walau pun hanya tamparan seorang anak kecil,
namun karena tamparan itu menggunakan gerakan ilmu silat dan tangan anak itu
semenjak kecil sudah terlatih, hwesio ini menjadi pening dan terhuyung-huyung
lalu roboh tertelungkup.
Sin Lee
berseru girang dan menindih tubuh hwesio yang tertelungkup di atas tanah itu
dan memukulinya. Malah ia berteriak-teriak, "Kawan-kawan, hayo kalian
hajar hwesio ini!"
Anak-anak
yang tadi berlari serabutan, sekarang dengan girang lalu datang dan dengan
tangan-tangan kecil mereka anak-anak itu memukuli tubuh dan kepala hwesio tadi!
Tentu saja hwesio yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat itu tak
merasakan pukulan anak-anak itu. Akan tetapi pukulan yang jatuh oleh tangan Sin
Lee benar-benar membuat ia luka-luka parah juga sehingga membuat ia pingsan.
"Omitohud...
anak-anak, jangan nakal!" tiba-tiba terdengar bentakan halus.
Nampak
seorang hwesio tua menggerakkan dua lengan bajunya ke arah anak-anak yang
memukuli hwesio tinggi besar tadi. Lima orang anak langsung terlempar, kemudian
jatuh bergulingan. Mereka menangis, lalu semua orang anak itu berlari pergi.
Hwesio tua
itu terheran-heran melihat seorang anak kecil tidak bergeming oleh sambaran
lengan bajunya tadi, malah sekarang anak itu sudah meloncat bangun dan berdiri
tegak di depannya dengan mata bersinar-sinar marah!
"Hwesio
tua! berani kau memukul teman-temanku? Tidak malukah kau? Aturan mana yang
membolehkan orang tua seperti kau ini memukul anak-anak kecil?"
Diam-diam
hwesio tua itu tertegun. Ucapan anak nakal berusia antara sepuluh tahun ini
tidak patut keluar dari mulut seorang anak sekecil ini. Dan melihat keadaan
muridnya yang pingsan itu sudah dapat diduga bahwa tentulah anak ini yang
merobohkannya. Diam-diam ia heran dan kagum.
Jika anak
sekecil ini bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu, apa lagi dapat merobohkan
muridnya, sudah dapat dipastikan bahwa anak ini bukanlah anak sembarangan dan
kalau bukan putera tentulah murid seorang pandai. Maka berhati-hatilah kakek
itu dan sambil tersenyum sabar ia bertanya,
"Ehh,
anak yang baik, kalau kau bilang bahwa seorang kakek seperti pinceng memberi
penghajaran kepada anak-anak nakal adalah tidak menurut aturan, apakah kau
bersama teman-temanmu yang menyerang dan memukul seorang hwesio sampai pingsan
ini juga termasuk aturan benar?"
"Tentu
saja benar! Tadi hwesio ini tidak mau memberi labu kepada anak-anak dan ketika
anak-anak mengambil sendiri, malah dia pukul."
Kembali
hwesio tua itu melengak. Memang amat tidak patut apa bila anak-anak kecil itu
mengeroyok dan memukuli muridnya, akan tetapi lebih keterlaluan lagi kalau
muridnya itu yang telah menjadi hwesio, berurusan dengan anak-anak kecil saja
tak mampu menahan nafsu dan menggunakan tangan memukul.
Dia menarik
napas panjang memandang muridnya. Sebagai seorang ahli silat yang sudah matang
kepandaiannya, ia mengerti bahwa biar pun mukanya matang biru dan kepalanya
benjol-benjol, muridnya itu hanya terluka di luar saja dan tidak berbahaya.
"Sudahlah,
jika betul murid pinceng ini yang salah, pinceng yang memintakan maaf. Kau
pergilah."
"Tidak
bisa!" Sin Lee membantah. "Kau pun tadi sudah mempergunakan
kepandaianmu memukul teman-temanku. Kau mengandalkan kegagahan sendiri, apa
kaukira aku takut?"
Merah muka
kakek itu. Anak ini benar-benar aneh dan liar silatnya.
"Hemm...
hemmm... kalau begitu kau mau apakah?"
"Aku
harus balas memukulmu."
"Begitu?
Kau benar-benar nekat. Nah, kau boleh coba pukul kalau bisa, anak bandel."
Sin Lee
mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya seperti seekor burung saja menerjang
maju. Dua kepalannya yang kecil memukul bertubi-tubi dari kanan kiri, sulit
diketahui yang mana yang betul-betul memukul dan sementara itu, kedua kakinya
menendang-nendang.
"Omitohud..."
hwesio tua itu menyebut nama Buddha saking merasa kagum dan heran serta
kagetnya.
Akan tetapi
sekali mengibaskan ujung lengan bajunya saja tubuh Sin Lee terguling seperti
tertiup angin puyuh. Sebentar Sin Lee nanar, akan tetapi dia segera merangkak
bangun. Ia kembali menyerang, malah lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi
kembali ia terguling, bahkan lebih hebat lagi.
Beberapa
kali ia bangun dan menyerang lagi, akan tetapi semakin keras ia menyerang,
semakin keras pula ia roboh sehingga akhirnya ia menyerah. Ia maklum bahwa ia
tidak mampu menandingi kakek tua itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia bangun
setelah agak lama ia nanar, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.
"Hee...
anak yang aneh, kau tunggu dulu, aku hendak bicara denganmu!" Hwesio tua
itu mengejar.
Tiba-tiba
Sin Lee membalikkan tubuh, sikapnya angkuh dan matanya berapi.
"Aku
sudah kalah, kenapa kau masih banyak cerewet lagi?" Setelah berkata
demikian ia mengeluarkan bunyi melengking keras.
Pada saat
itu juga dari udara terdengar bunyi lengking yang lebih nyaring lagi dan seekor
burung menyambar turun seperti kilat menyambar. Sin Lee meloncat ke atas
punggung burung itu yang segera terbang meninggi, meninggalkan kakek tua itu
yang masih berdiri terlongong di bawah.
"Omitohud...
apakah itu yang oleh orang-orang disebut kim-tiauw milik orang sakti yang
dipanggil toanio dan anak itu, kiranya puteranya... benarkah di dunia ada hal
seaneh dan sehebat ini...?” Ia menarik nafas berulang-ulang dan diam-diam dia
menguatirkan bahwa kelak di dunia kang-ouw pasti akan muncul seorang tokoh luar
biasa, yaitu bocah tadi.
“Semoga ia
tidak tersesat..." demikian doanya.
Betapa pun
juga nakalnya, Sin Lee memiliki watak gagah yang jarang terdapat dalam diri
anak kecil berusia sepuluh tahun. Contohnya, kekalahan terhadap hwesio tua itu
sama sekali tidak ia beri tahukan kepada ibunya. Ia tidak mendendam malah tidak
ada dalam pikirannya sama sekali pada waktu itu untuk minta bantuan burungnya.
Juga ia tidak mau minta ibunya supaya membalaskan kekalahannya.
Banyak
sekali kenakalan dilakukan oleh Sin Lee, akan tetapi semenjak kekalahannya oleh
kakek itu, ia mendapat pengalaman pahit sekali. Belum pernah ia mengalami
kekalahan dalam perkelahian, maka semenjak ia kalah oleh kakek tua itu, ia
makin tekun belajar ilmu silat dari ibunya. Tentu saja Kwa Hong yang tidak
menyangka sesuatu, menjadi gembira sekali dan menurunkan seluruh kepandaiannya.
Watak keras
yang dulu dimiliki Kwa Hong kiranya menurun pula kepada Sin Lee, malah lebih
hebat lagi. Ketika ia berusia enam belas tahun, Sin Lee melakukan perbuatan
yang amat merugikan dia sendiri dan ibunya.
Sudah
menjadi kebiasaan binatang peliharaan, sekali-kali tentu ingin bebas lepas tak
ingin terganggu. Demikian pula burung rajawali emas. Meski pun kelihatan amat
setia kepada Kwa Hong dan Sin Lee, namun ada kalanya burung ini terbang pergi
sampai beberapa hari tidak kembali. Mungkin burung ini terbang untuk pergi
mencari teman-temannya, atau mungkin juga mencari mangsa di tempat-tempat jauh.
Ini hanya
dugaan Kwa Hong dan Sin Lee saja. Padahal sebenarnya burung itu sering kali
pergi pulang ke tempat asalnya, yaitu di puncak sebuah gunung yang tak pernah
didatangi manusia, tempat di mana ia tinggal sebelum ia bertemu dengan Kwa Hong
dan kemudian dipeliharanya.
Pada suatu
hari, seperti sudah sering kali tejadi, Sin Lee marah-marah karena rajawali itu
tidak pulang. Sudah hampir sebulan rajawali itu tidak pulang dan telah payah
pula Sin Lee mencari ke dalam hutan-hutan, bersuit-suit memanggil tanpa ada
jawaban.
Pemuda berusia
enam belas tahun ini sampai tak enak makan tak enak tidur memikirkan burungnya.
Dan ia menjadi marah bukan main ketika pada suatu pagi, burung itu datang!
"Keparat,
kau benar-benar menggemaskan!" kata Sin Lee yang menyambut kedatangan
burungnya.
Tanpa banyak
pikir lagi ia lalu... mencabuti bulu-bulu sayap burung itu. Bukan sekali-kali
ia bermaksud untuk menyiksa, melainkan saking marahnya ia bermaksud untuk
menghukum burung itu agar burung itu tidak mampu terbang lagi.
Burung
adalah seekor binatang biasa. Kalau ia dibaiki tentu ia akan membalas kebaikan
itu dengan kesetiaan. Akan tetapi kalau ia disakiti, siapa pun yang
melakukannya tentu akan dilawannya.
Sekali dua
kali bulunya dicabut ia diam saja, hanya memekik-mekik. Akan tetapi setelah Sin
Lee terus saja mencabuti bulunya, ia menjadi marah dan menampar. Pemuda itu
yang tidak menduga akan ditampar, terlempar tubuhnya.
"Setan,
kau menantang berkelahi?”
Bagi Sin
Lee, siapa pun yang menantangnya berkelahi pasti akan dilayani. Kemarahannya
memuncak ketika burung yang ia anggap bersalah dan hendak ia hukum itu malah
berani menyerangnya.
"Kita
lihat siapa yang akan menang! Kalau aku kalah, aku tidak akan mencabuti bulumu,
akan tetapi kalau kau yang kalah, tidak hanya sayapmu, malah ekormu akan kucabut
habis untuk hukumanmu!" Kemudian ia menerjang maju, menyerang burungnya.
Sudah
menjadi kebiasaan Kwa Hong di waktu Sin Lee masih kecil untuk melatih anaknya
itu bertempur melawan rajawali, akan tetapi dalam latihan ini rajawali emas tak
bertempur sungguh-sungguh. Betapa pun juga, makin besar anak itu, semakin hebat
kepandaiannya dan akhirnya dalam setiap latihan, akhirnya burung itulah yang
kalah. Sin Lee pun tidak mau menyakitinya, apa lagi membunuhnya, cukup dia
dianggap menang kalau ia dapat menangkap leher burung dalam kempitannya membuat
burung itu tak mampu bergerak lagi.
Akan tetapi
sekarang keduanya berhadapan sebagai lawan yang sungguh-sungguh akan bertempur.
Sin Lee dalam kemarahannya hendak menghukum burung yang dianggapnya jahat itu,
sebaliknya rajawali emas itu dengan nalurinya merasa bahwa pemuda ini hendak
berbuat jahat kepadanya, hendak menyakitinya, maka ia pun tidak mau main-main
lagi.
Melihat
penyerangan hebat dari Sin Lee, burung rajawali emas itu pun cepat mengelak dan
mengibaskan sayapnya. Biar pun burung itu sudah termasuk berusia tua, akan
tetapi tenaganya tidak berkurang semenjak dahulu. Kibasan sayapnya memiliki
tenaga ratusan kati.
Sin Lee yang
melihat tamparan sayap ini pun maklum bahwa burungnya tidak main-main, maka ia
menjadi makin marah. Cepat tubuhnya berkelebat mengelak dan dengan keras ia
memukul kepala binatang itu.
Gerakan
rajawali emas tetap gesit. Serangan itu dapat ia elakkan pula dan dibalasnya
dengan tendangannya yang biasanya hebat sekali. Namun Sin Lee yang sudah hafal
akan semua gerakan burungnya, dapat menghindar.
Terjadilah
pertandingan yang bukan main serunya. Tubuh burung dan manusia itu sama
berkelebatan sampai tidak kelihatan lagi, hanya tampak gulungan sinar kuning
emas dan bayangan-bayangan yang menjadi satu. Debu mengebul tinggi dan
daun-daun pohon di dekat tempat pertandingan itu bergerak-gerak bagaikan
tertiup angin, malah daun-daun yang sudah menguning pada rontok berhamburan.
Sejam lebih
mereka bertempur, akhirnya burung itu harus mengakui keunggulan Sin Lee. Dua
kali dadanya terkena pukulan dan segenggam bulu di lehernya sudah copot karena
cengkeraman pemuda itu. Sambil mengeluarkan keluhan panjang burung itu lalu
terbang pergi. Ia tidak mau turun kembali, biar pun dipanggil dan dimaki-maki
oleh Sin Lee.
Kwa Hong
menyesal sekali setelah mendengar tentang pertempuran ini. Dia mendapat
kenyataan bahwa kali ini burung rajawali itu benar-benar tak mau pulang ke
Lu-liang-san. Akan tetapi Sin Lee tidak pernah memperlihatkan rasa sesalnya.
"Bila
dia tidak mau lagi ikut kita, kenapa kita harus menyesal? Biarlah dia tidak
kembali lagi, tidak apa-apa."
"Lee-ji,
kenapa kau berkata begini? Burung itu sudah belasan tahun ikut dengan aku, aku
sayang padanya dan... ah, bukankah kalau ada dia mudah sekali kita hendak pergi
ke mana-mana? Dia adalah seekor binatang tunggangan yang jarang ada keduanya di
dunia ini."
"Aku
masih mempunyai kedua kakiku, kalau tidak ada dia, aku dapat pergi ke mana saja
dengan jalan kaki. Ibu, bukankah ibu sering kali mengatakan bahwa hidup di
dunia ini terutama sekali harus mengandalkan diri sendiri dan tidak boleh
bersandar kepada orang lain?"
Kwa Hong
telalu menyayangi puteranya, maka dia pun tidak tega untuk memarahinya.
Diam-diam ia girang karena anaknya ini ternyata mendapatkan kemajuan pesat
sehingga burung rajawali emas yang tidak mudah dikalahkan orang itu akhirnya
kalah juga ketika menghadapi puteranya. Maka, ia kemudian lebih tekun
menggembleng Sin Lee sehingga akhirnya dia sendiri dengan pedang di tangan
kanan dan cambuk anak panah di tangan kiri tidak mampu menandingi pedang
puteranya, lebih dari lima puluh jurus!
Usia Sin Lee
sudah delapan belas tahun ketika Kwa Hong membuka rahasia hatinya yang
terpendam selama belasan tahun ini.
"Lee-ji
puteraku sayang, kau sekarang telah mewarisi semua kepandaian ibumu, dan kau
sudah terlalu besar untuk tinggal terus di puncak gunung ini. Sudah tiba
waktunya kau harus turun gunung memperluas pengetahuan dan... mencari
jodoh."
"Aku
tidak inginkan jodoh!" Sin Lee memotong cepat dengan kedua pipinya
kemerahan.
Ibunya
memandang penuh kasih, dengan mata berseri-seri sambil tersenyum. Alangkah
tampan puteranya, melampaui Beng San! Teringat Beng San, jantungnya berdebaran
dan terbayanglah semua peristiwa yang lalu dan perasaannya menjadi panas.
"Dengar,
puteraku. Dulu kau sering kali menanyakan ayahmu dan selalu kujawab bahwa
ayahmu telah mati. Itu memang benar, akan tetapi baru sekarang hendak
kuceritakan kepadamu sebab kematian ayahmu."
Sin Lee
segera memandang ibunya dan mendengarkan penuh perhatian. Sejak kecil dia
merasa berduka dan kecewa sekali mendengar bahwa ayahnya telah mati.
"Apakah
sebab kematian ayahku, Ibu?" tanyanya mendesak.
Kwa Hong
menarik napas panjang berulang-ulang, agaknya berat hendak mengeluarkan
kata-kata. Akhirnya ia bicara dengan suara serak.
"Anakku...,
ayahmu she Tan jadi namamu Tan Sin Lee. Ada pun kematian ayahmu tidak
sewajarnya, melainkan dibunuh orang."
Tldak ada
reaksi apa-apa pada pemuda itu. Memang Sin Lee aneh orangnya. Ia tidak bisa
menaruh hati dendam karena selama ia hidup di gunung itu ia tidak pernah
menghadapi sesuatu dan segala peristiwa yang menimpa siapa pun juga ia anggap
sudah sewajarnya, pasti ada sebab menjadikan peristiwa itu.
Umpamanya
ketika ia kalah oleh hwesio tua, ia anggap hal itu terjadi karena ia memang
kalah pandai dan habis perkara. Ia tidak menaruh dendam. Dan kini, mendengar
ayahnya mati dibunuh orang, otomatis ia menganggap bahwa ayahnya dibunuh akibat
kalah dalam pertempuran, jadi menurut pendapatnya, ayahnya yang bersalah mengapa
sampai kalah!
"Banyak
orang yang membunuh ayahmu. Pertama-tama adalah seorang lelaki bernama... Tan
Beng San!" ia berhenti sebentar dan menahan air matanya, memandang
puteranya.
Sin Lee
kelihatan mengerutkan keningnya karena terheran-heran. "Dia pun she Tan,
Ibu? Bukankah orang yang sama she-nya itu berarti masih keluarga?"
"Tidak...
tidak... banyak orang she-nya sama tapi bukan apa-apa," jawab Kwa Hong
cepat.
"Hemmm,
lalu siapa lagi, Ibu?"
"Orang
ke dua adalah seorang wanita bernama Cia Li Cu, isteri dari Tan Beng San
itu."
Ia memang
sudah mendengar bahwa Beng San sudah menikah dengan Li Cu, maka dia menyebut
nama wanita yang dibencinya karena iri hati dan cemburu ini.
"Ada
pun orang ke tiga... dia adalah Song-bun-kwi Kwee Lun. Nah, tiga orang itulah
yang telah membunuh ayahmu dan yang membuat ibumu hidup menderita. Kau harus
mencari mereka. Kau bunuhlah Cia Li Cu dan Song-bun-kwi Kwee Lun, tapi... kau
jangan bunuh Tan Beng San, kau tangkap saja dan kau seret dia ke sini!"
Sin Lee
memandang ibunya dengan mata membelalak, "Kenapa, Ibu? Kenapa aku harus
membunuh mereka? Mereka tidak mempunyai urusan apa-apa denganku."
Kwa Hong
balas memandang dengan marah. "Apa?! Kau tidak mau mewakili ibumu untuk
membalas sakit hati? Percuma sajakah aku mempunyai seorang anak laki-laki
seperti kau, hidup menderita untukmu dan menurunkan semua kepandaianku
untukmu?"
Sin Lee
cepat-cepat memeluk ibunya yang telah menangis. "Sudahlah, Ibu. Sama
sekali bukan begitu maksudku. Aku hanya menyatakan isi hatiku bahwa aku tidak
mempunyai permusuhan dengan mereka. Akan tetapi jika Ibu memerintah anakmu ini,
biar pun harus melawan naga berapi akan kujalani. Terangkanlah maksud Ibu
bagaimana, anak akan segera melaksanakan semua kehendakmu."
Dengan
terharu dan girang Kwa Hong memeluk puteranya, lalu berkata dengan
sungguh-sungguh.
"Tugas
yang kuserahkan kepadamu ini bukanlah tugas ringan, Anakku. Tiga orang yang
kusebut-sebut tadi adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian luar biasa
tingginya. Song-bun-kwi Kwee Lun adalah seorang kakek sakti yang kepandaiannya
dahsyat sekali. Dia terkenal dengan ilmu pedangnya Yang-sin Kiam-sut dan suling
tangisnya yang dapat melumpuhkan semangat lawan. Dahulu, Song-bun-kwi Kwee Lun
ini adalah tokoh nomor satu dari barat. Nah, kau harus cari orang ini di puncak
Min-san, bunuhlah dia karena dia telah menjadi sebab rusaknya kehidupan
ibumu," sambil berkata demikian, dengan gemas Kwa Hong mengenangkan Bi
Goat yang dianggap telah merampas cinta kasih Beng San.
Sekarang Bi
Goat sudah meninggal dunia, maka ia anggap sudah semestinya kalau dia menyuruh
puteranya membunuh kakek itu. Padahal ia mempunyai maksud lain dengan perintah
ini. Ia tahu bahwa putera Bi Goat diambil oleh Song-bun-kwi maka mencari kakek
itu berarti mencari putera Bi Goat dan Beng San!
"Kalau
kau sudah bertemu dengan kakek itu, selain dia kau harus pula membinasakan
seorang pemuda sebaya engkau yang menjadi cucunya atau putera seorang wanita
bernama Bi Goat."
Sin Lee
mengerutkan keningnya, di dalam hatinya sebetulnya ia tidak setuju dengan tugas
membunuh-bunuhi orang yang sama sekali tak dikenalnya itu. Akan tetapi ia tidak
mau mengecewakan hati ibunya, orang yang amat dikasihinya itu.
"Hemmm,
jadi kakek itu tinggal di Min-san, Ibu? Lalu yang lain-lain itu tinggal di
mana?"
"Orang
yang harus kau bunuh lagi adalah Cia Li Cu. Kau harus sangat berhati-hati kalau
berhadapan dengan dia ini. Dia adalah murid mendiang Raja Pedang. Ilmu
pedangnya hebat sekali. Dia tinggal di Thai-san bersama... orang ke tiga itu,
yang bernama Tan Beng San."
"Jadi
Cia Li Cu itu isteri dari Tan Beng San?" tanya Sin Lee.
"...ehh,
hemm... betul. Cia Li Cu harus kau bunuh. Kemudian kau seret Tan Beng San itu
ke sini, kau hadapkan padaku. Ingat betul, jangan kau bunuh dia itu, boleh kau
lukai kalau dia melawan, akan tetapi jangan sekali-kali kau bunuh. Aku yang
hendak membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri!"
Melihat
pandang mata dan gerakan tangan ibunya, diam-diam Sin Lee terkejut sekali.
"Ibu, kenapa kau amat membenci Tan Beng San ini?"
Sampai lama
Kwa Hong tak dapat menjawab. Mata yang tadinya bersinar ganas dan liar itu
pelan-pelan melunak dan air matanya hampir menitik turun. Cepat-cepat ia
mengusap kedua matanya, kemudian berkata perlahan, "Dia itulah yang
menghancurkan hidupku, memaksa ibumu hidup menyendiri di puncak gunung ini. Kau
harus berhasil menangkap dia, tak peduli apa pun yang terjadi. Dia harus kau
tangkap, kau seret ke sini, Anakku..."
Suaranya
ibunya yang penuh permohonan ini membanjirkan perasaan haru dan kasihan dalam
dada Sin Lee. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan ibunya
ini, apa pun yang akan terjadi dengan dirinya. "Ibu, agaknya aku akan
berhasil menangkapnya dan menyeretnya ke depan kakimu. Akan tetapi... dia itu
orang macam apakah?"
Kwa Hong
menarik napas panjang. "Kau tidak boleh memandang rendah Song-bun-kwi Kwee
Lun, kau harus berhati-hati terhadap Cia Li Cu. Akan tetapi menghadapi orang
ini, Anakku... aku sungguh-sungguh sangsi apakah kau akan mampu melawannya. Dia
itulah Raja Pedang sesungguhnya. Ilmu pedang serta ilmu silatnya luar biasa
sekali, belum pernah aku melihat dia dikalahkan orang. Dia hebat... dia
hebat..."
Kwa Hong
merenung, wajahnya agak berseri. Bangkit kembali cinta kasihnya kalau dia
merenungkan bekas kekasihnya itu. "Dia laki-laki hebat..." kembali ia
berkata dan kali ini dengan keluhan.
Panas hati
Sin Lee mendengar ini. Biasanya ibunya hanya menganggap bahwa dialah orang yang
paling pandai di dunia ini, sekarang ibunya memuji seorang musuh! "Ibu,
aku bersumpah akan menyeret Tan Beng San itu ke hadapan kakimu. Kalau belum
terjadi hal ini, aku bersumpah tak akan kembali ke sini."
Sin Lee
segera berkemas, membawa pedang pusaka pemberian ibunya dan membuntal pakaian
serta membawa beberapa potong emas, lalu turun gunung. Kwa Hong mengantar
puteranya sampai di lereng gunung dan membekalinya banyak nasihat dan
memesannya agar berhati-hati......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment