Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 08
Tiga Orang
Tua dari Utara itu adalah sahabat-sahabat baik mendiang gurunya, Lian Bu Tojin.
Tentu saja kunjungan ini sangat menyenangkan hatinya, apa lagi terjadi pada
waktu Hoa-san-pai sedang menghadapi ancaman musuh. Dari tiga orang kakek yang
memiliki kepandaian tinggi itu dapat diharapkan bantuannya.
"Persilakan
mereka masuk," katanya, lalu dia bersama isterinya, juga Thian Beng Tosu
yang masih ingat akan nama tiga orang kakek itu segera menyambut di pintu
ruangan.
Tidak lama
kemudian masuklah tiga orang kakek itu. Usia mereka sudah tua sekali, akan tapi
sikap mereka masih gagah. Tiga orang tosu itu mengenakan pakaian longgar,
dengan wajah kereng dan tindakan kaki ringan, tanda bahwa mereka memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Melihat mereka, Kwa Tin Siong, isterinya dan Thian Beng Tosu
segera menjura dengan hormat. Tiga orang kakek itu mengelus jenggot dan seorang
di antara mereka yang tertua dan yang berjenggot panjang sekali segera berkata,
"Sudah
lama kami mendengar bahwa Hoa-san-pai sudah berganti ketua. Menyesal kami tidak
dapat datang ketika terjadi mala petaka di Hoa-san. Mula-mula memang kami ingin
datang dan membalaskan sakit hati sahabat kami Lian Bu Tojin, akan tetapi
kemudian kami mendengar bahwa Sicu telah menggantikan kedudukan mendiang sahabat
kami itu. Betapa pun juga, kami ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bahwa Hoa-san-pai sudah bangun kembali. Siapa kira di tengah perjalanan kami
melihat adanya gerombolan orang jahat yang mengancam Hoa-san-pai. Apakah Sicu
sudah mengetahuinya?"
Kwa Tin
Siong mempersilakan para tamunya duduk, lalu ia menghaturkan terima kasih.
"Sam-wi Locianpwe benar-benar sudah mencapaikan diri untuk memperhatikan
keadaan Hoa-san-pai. Untuk budi kecintaan itu kami menghaturkan banyak terirna
kasih. Memang benar seperti yang Locianpwe katakan tadi, ada segerombolan
penjahat hendak datang mengganggu, akan tetapi kiranya hal ini tidak patut
untuk membikin Sam-wi capai hati. Hanya urusan kecil saja."
Kui Tosu,
yaitu tosu tertua dari tiga kakek itu, mengerutkan alisnya yang sudah putih. Ia
memang berwatak berangasan. "Hemm, Sicu sebagai murid dari Lian Bu Tojin
sudah tentu telah mewarisi ilmu yang hebat dari Hoa-san-pai. Akan tetapi harap
diketahui bahwa kepandaian tiada batasnya dan kiraku hari ini belum tentu
kepandaian Hoa-san-pai akan dapat diandalkan untuk mengalahkan musuh. Apakah
Sicu sudah tahu siapa yang datang mengganggu?"
Diam-diam
Kwa Tin Siong tidak senang mendengar ucapan ini. Dia adalah seorang gagah yang
tidak pernah takut menghadapi lawan. Akan tetapi, oleh karena tiga orang kakek
ini datang sebagai tamu dan merupakan sahabat-sahabat mendiang gurunya, dia
menahan kesabaran dan bertanya, "Yang baru saya ketahui hanyalah bahwa
orang yang memimpin gerombolan pengacau itu bernama Bhe Lam, seorang penjahat Sin-yang
berjuluk Hek-houw (Harimau Hitam). Penjahat cilik macam itu perlu apa
diributkan?"
Tosu termuda
dari tiga orang kakek itu yang bernama Lai Tosu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Kalau hanya harimau hitam saja apa artinya? Besar atau kecil
kalau hanya Hek-houw saja tak lebih dari pada seekor kucing hitam! Ketahuilah,
Kwa-sicu, di belakang si Harimau Hitam itu masih ada dua makhluk yang lebih
menakutkan lagi. Kau tahu siapa mereka? Yang seorang adalah Kim-thouw Thian-li
Ketua Ngo-lian-kauw dan yang ke dua adalah Toat-beng Yok-mo (Setan Obat
Pencabut Nyawa)!"
Kwa Tin
Siong terkejut sekali mendengar nama-nama ini. Tentu saja ia sudah mengenal
Kim-thouw Thian-li yang sudah berkali-kali membikin keruh keadaan Hoa-san-pai,
bahkan wanita inilah yang mula-mula merusak Hoa-san-pai sehingga terjadi hal
yang berlarut-larut dan permusuhan yang menjadi-jadi.
Kim-thouw
Thian-li merupakan musuh besar Hoa-san-pai, berarti musuh besarnya pula.
Kepandaian wanita itu memang hebat sekali, akan tetapi dia sama sekali tidak
merasa gentar untuk menghadapinya. Yang membikin Ketua Hoa-san-pai ini kaget
sekali adalah disebutnya nama Toat-beng Yok-mo. Kakek iblis itu sudah belasan
tahun menghilang dari dunia kangouw, mengapa sekarang bisa muncul bersama
Kim-thouw Thian-li membantu Hek-houw Bhe Lam?
Melihat
kekuatiran di wajah tuan rumah, Bu Tosu orang ke tiga dari Pak-khia Sam-lojin
dengan sombong berkata, "Kwa-sicu tidak usah kuatir, Kim-thouw Sian-li dan
Toat-beng Yok-mo boleh menakuti orang lain, akan tetapi lihat saja, ada pinto
bertiga di sini yang siap untuk meghancurkannya!"
Kwa Tin
Siong belum hilang rasa kagetnya dan ia berkata, "Terima kasih atas janji
Sam-wi untuk membantu kami. Akan tetapi benar-benar saya tidak mengerti mengapa
Toat-beng Yok-mo dapat berada dengan mereka?"
"Ha-ha-ha-ha,
Kwa-sicu masih belum mendengar? Agaknya karena belasan tahun sibuk mengurus
Hoa-san-pai, tidak tahu akan kejadian di dunia luar! Kakek tua bangka tukang
obat itu tergila-gila kepada Kim-thouw Thian-li dan kabarnya ia telah memperisteri
Ketua Ngo-lian-kauw itu. Ha-ha-ha, benar-benar tua bangka tak tahu malu!"
kata Lai Tosu.
"Akan
tetapi Sicu tak perlu merasa kuatir," sambung Kui Tosu tenang.
"Biarkan mereka datang, kita akan atur jebakan untuk mereka. Para tosu
supaya mengatur bai-hok (barisan terpendam) di sekeliling puncak, siap dengan
senjata lengkap. Kami sudah melihat bahwa gerombolan mereka hanya terdiri dari
tiga puluh orang lebih. Jumlah kita menang banyak. Kita biarkan mereka masuk
dan Sicu boleh menghadapi Bhe Lam sedangkan kami bertiga akan menggempur
Toat-beng Yok-mo. Tentang Kim-thouw Thian-li, kami rasa cukup bila dihadapi
oleh isterimu dan murid-muridmu. Sementara itu, para tosu datang mengurung dan
mengeroyok anak buah mereka yang tidak banyak jumlahnya itu. Dengan cara ini,
kami rasa kita akan dapat membunuh mereka semua, jangan ada yang bisa lolos
supaya kelak mereka tidak mendatangkan bencana pula!"
Kwa Tin
Siong dan Liem Sian Hwa mengangguk-angguk, setuju dengan rencana siasat ini.
Akan tetapi
tiba-tiba Kun Hong berseru marah, "Tidak boleh...! Tidak boleh, jahat
sekali itu! Masa kita Hoa-San-pai harus membunuhi orang-orang itu? Tidak boleh,
mana ada aturan manusia membunuh manusia lain? Ini perbuatan terkutuk oleh
Thian!"
Semua orang
kaget, apa lagi Pak-thian Sam-lojin. Mereka menengok memandang kepada pemuda
itu dengan heran.
"Kwa-sicu,
siapakah orang muda ini?" tanya Kui Tosu.
"Dia
adalah Kun Hong, anak kami yang bodoh," Kwa Tin Siong menjawab dan ia
sudah melototkan matanya untuk menegur anaknya.
Akan tetapi
Kui Tosu sudah mendahuluinya, bertanya dengan kereng. "Orang muda, kalau
kau menganggap rencana kami itu tidak boleh dijalankan, habis kalau menurut
pikiranmu bagaimana baiknya menghadapi musuh-musuh yang akan menyerbu?"
"Ha-ha,
bocah berlagak pintar!" kata Lui Tosu. "Apakah kau ingin agar mereka
itu datang menyerbu dan membunuh kita semua?"
"Tidak
demikian maksudku. Harap Sam-wi Totiang tidak salah sangka," jawab Kun
Hong, suaranya tetap dan tegas. "Kalau ada seorang gila memaki-maki
seorang waras, lalu si waras itu balas memaki-maki si gila, lalu bagaimana
perbedaan antara mereka? Mana si waras dan mana pula si gila? Demikian juga
kalau ada orang jahat berencana hendak membunuh kita, lalu kita berencana pula
untuk membunuh mereka, bukankah watak kita tiada bedanya dengan orang jahat
itu? Mereka hendak membunuh kita, kita pun hendak membunuh mereka. Siapa di
antara kita yang jahat? Siapa benar siapa salah?"
Kwa Tin
Siong sendiri melengak mendengar omongan puteranya ini. Memang ia sudah tahu
bahwa watak puteranya sangat keras dan juga amat berani dalam mengemukakan
pendapatnya, akan tetapi tidak disangkanya akan seberani ini.
Tiga orang
kakek itu saling pandang dengan terheran-heran. Kui Tosu lalu membantah.
"Tentu ada bedanya! Kita hendak membunuh mereka dengan dasar hendak
membasmi orang-orang jahat!"
"Apa
Totiang mengira bahwa mereka tidak mempunyai dasar dengan kehendak mereka
membunuh kita? Setiap perbuatan tentu ada dasarnya, yaitu dasar untuk
kemenangan diri sendiri, untuk kebaikan sendiri. Pendapat seorang takkan sama,
dasar yang dipakai orang tidak sama pula. Semua orang memperebutkan kebenaran,
kebenaran diri sendiri tentu!"
"Habis,
kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" Kui Tosu mulai marah.
Oleh karena
bocah ini adalah putera Ketua Hoa-san-pai, maka ia mau melayaninya. Kalau bukan
putera Kwa Tin Siong, tentu tidak sudi bicara dengannya.
"Maaf,
Totiang. Harap Totiang, juga Ayah dan Ibu beserta para susiok dan suheng suka
menjawab dulu pertanyaanku. Kalau kukatakan bahwa yang berhak atas sesuatu
benda adalah pembuatnya, apakah salah kata-kataku ini?"
"Tentu
saja begitu," jawab Thian Beng Tosu karena yang lain-lain tidak menjawab.
"Nah,
Suheng sudah menjawab dan membetulkan kata-kataku. Yang berhak atas sesuatu
adalah pembuatnya. Lalu, siapakah yang membuat manusia ini hidup di dunia?
Salahkah kalau kukatakan bahwa Tuhan yang memberi hidup?"
Kembali
pemuda ini berhenti dan memandangi mereka dengan sepasang matanya yang bersinar
tajam.
"Benar
pula, Kun Hong," jawab Thian Beng Tosu.
"Nah,
kalau kita semua mengakui bahwa yang memberi hidup adalah Tuhan, berarti hidup
kita ini millk Tuhan. Oleh karena itu pula, hanya Tuhanlah yang berhak untuk
mengakhiri hidup kita, jadi hanya Tuhan pula yang berhak membunuh manusia.
Kalau kita sudah tahu akan hal ini, mudah saja bagi kita menjawab. Perbuatan
membunuh itu baik atau jahat?"
Tidak ada
yang menjawab, Kun Hong penasaran dan menghadapi ayahnya. "Ayah selalu
mengajar agar supaya aku hanya mengatakan apa yang menjadi isi hatiku. Mengapa
sekarang pertanyaanku tidak ada yang menjawab? Ayah, bukankah menurut
sebab-sebab tadi, membunuh itu adalah perbuatan jahat?"
"Memang,
membunuh adalah perbuatan yang tidak baik," akhirnya ayahnya pun berkata
perlahan.
Mata Kun
Hong berseri-seri dan bersinar-sinar. "Nah, apa bila perbuatan membunuh
ini termasuk perbuatan jahat, mengapa kita malah merencanakan hendak membunuh
orang? Mengapa kita hendak membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau
orang lain yang hendak membunuh termasuk golongan penjahat, habis kita ini
golongan apa kalau juga meniru perbuatan mereka? Membalas perbuatan baik dengan
kebaikan pula adalah sikap seorang budiman. Membalas kejahatan dengan kebaikan
hanya mungkin dapat dilakukan oleh alam, hanya mungkin dapat dilakukan oleh
Tuhan. Hanya manusia yang sudah dapat menyatukan diri dengan alam saja yang
akan mencapai kebajikan ini, yaitu membalas kejahatan dengan kebaikan. Tapi
seorang manusia bijaksana, seorang budiman biar pun belum dapat membalas
kejahatan dengan kebaikan, paling sedikit harus bisa membalas kejahatan dengan
keadilan!"
Semua orang
yang berada di situ maklum bahwa semua yang dikemukakan oleh pemuda itu adalah
ajaran-ajaran dalam agama dan filsafat yang memang telah dipelajarinya sejak ia
kecil.
"Semua
orang sudah mempelajari kebenaran, akan tetapi tidak berani mempertahankan dan
membela kebenaran yang dipelajarinya itu! Ayah dan ibu beserta semua susiok dan
suheng, Hoa-san pai tak akan bernama kalau dibangun dengan darah dan
pembunuhan. Hoa-san-pai merupakan perkumpulan untuk menuntun orang-orang
mempelajari Agama Tao supaya manusia dapat membersihkan diri dari pada
kejahatan, bagaimana mungkin mengajar orang membersihkan diri dari kejahatan
dengan jalan terjun ke dalam kejahatan itu sendiri?"
Melihat
pemuda ini makin lama semakin bersemangat, Kwa Tin Siong merasa tidak enak
hati, maka dia lalu membentak, "Kun Hong, kau ini anak kecil hendak
memberi pelajaran kepada orang-orang tua? Kalau soal begitu saja, kita semua
sudah tahu, apa lagi Sam-wi Locianpwe ini. Yang kau kemukakan itu adalah
pelajaran-pelajaran yang masih rendah dan semua juga sudah mengetahuinya."
“Tahu tidak
sama dengan mengerti, malah mengerti pun tidak sama dengan sadar, Ayah! Tahu
saja tanpa mengerti isinya percuma. Mengerti sekali pun tanpa kesadaran tak
akan ada gunanya. Yang penting tahu, lalu mengerti akan isinya, dan sadar untuk
menerapkan pengertian ini dengan batinnya, kemudian harus disusul dengan
ketaatan bulat terhadap pengertian ini. Apa gunanya kalau kita hanya tahu dan
mengerti bahwa membunuh itu jahat, akan tetapi kita malah nekat melakukannya?
Pendeknya, anak tidak setuju kalau Hoa-san-pai mempunyai orang-orang yang suka
menjadi pembunuh sesama manusia!"
"Hemm,
hemmm, aneh sekali anakmu ini, Kwa-sicu!" kata Kui Tosu dengan muka merah.
Tosu tua yang berangasan ini tak dapat menahan lagi kesabarannya.
"Ehhh,
kongcu cilik, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana kita akan menghadapi
gerombolan Harimau Hitam itu?"
"Alam
mempunyai hukum yang diatur oleh Tuhan. Manusia pun mempunyai hukum yang diatur
oleh pemerintahan negara. Kita sebagai manusia harus tunduk kepada hukum pula.
Masyarakat telah diatur dengan adanya petugas-petugas yang berkewajiban
mengatur hukum-hukum itu. Kalau ada hal yang tidak beres dan melanggar hukum,
merekalah yang wajib mengurusnya. Sekarang gerombolan itu kalau sudah datang ke
sini, kita ajak bicara secara aturan. Kalau mereka tidak mau terima uluran dan
hendak melanggar hukum, biar kita laporkan kepada lurah dan para petugas di
dusun, tak jauh di kaki gunung sana."
Meledak
suara ketawa tiga orang tosu tua itu pada saat mendengar omongan ini. Kwa Tin
Siong menjadi amat merah mukanya sebab sikap Kun Hong ini jelas membuka
kenyataan bahwa puteranya itu tidak tahu menahu tentang dunia persilatan, di
mana hukum yang dipakai adalah hukum persilatan yang jauh bedanya dengan hukum
pemerintah.
"Kwa-sicu,
kau benar-benar aneh sekali mendidik anakmu seperti ini! Ha-ha-ha, tak nyana
mendiang Lian Bu Tojin mempunyai cucu murid seperti ini!" Kun Tosu
tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking geli.
"Locianpwe,
harap maafkan puteraku. Memang semenjak kecil dia tidak pernah diberikan
pendidikan ilmu silat, melainkan hanya ilmu surat dan filsafat. Betapa pun
juga, menurut pendapatku yang bodoh, jauh lebih baik tidak tahu akan ilmu silat
sehingga jauh dari pada bermusuh-musuhan seperti dalam penghidupan kita
orang-orang persilatan."
Pada saat
itu terdengar suara nyaring di luar pintu, suara wanita yang berteriak-teriak,
"Hayo, mana dia si orang she Kwa? Suruh dia lekas keluar menyerahkan
pedang Hoa-san Po-kiam dan kepalanya!"
Semua orang
kaget sekali. Bagaimana bisa ada seorang musuh datang begitu saja tanpa
diketahui oleh para penjaga yang sudah diatur serapi-rapinya? Kwa Tin Siong
menyangka bahwa yang datang tentulah Kim-thouw Thian-li, maka dia lalu
melangkah keluar, diikuti semua orang termasuk Pak-thian Sam-lojin.
Setelah
mereka tiba di luar, semua orang ini dibikin bengong saking herannya. Bukan
Kim-thouw Thian-li yang berdiri di situ, melainkan seorang gadis tanggung
berusia sekitar tujuh belas tahun, yang berdiri dengan tegak di tengah
pelataran depan kuil. Gadis ini cantik sekali. Sepasang matanya tajam
bergerak-gerak cepat memandang ke kiri kanan, mulut kecil yang berbibir merah
itu manis tersenyum-senyum setengah mengejek. Pakaiannya sangat sederhana,
hanya terbuat dari kain kasar dengan jahitan sederhana seperti biasanya pakaian
gadis-gadis gunung, juga tidak kelihatan membawa senjata apa pun sehingga
benar-benar seperti seorang dara gunung yang cantik manis sekali.
Karena ia
tidak bersenjata, maka ia mirip seorang gadis yang kurang waras pikirannya.
Kalau tidak demikian, bagaimana seorang gadis seperti dia berani bicara tidak
karuan di Hoa-san-pai? Berbeda kiranya kalau dia membawa senjata, tentu dia
merupakan seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat maka berani membuka
suara besar.
Melihat
banyak orang keluar dari kuil dan sikap mereka rata-rata gagah, gadis itu
kembali berteriak, suaranya nyaring, meski pun merdu dan halus akan tetapi
jelas bernada keras mengancam, "Mana Ketua Hoa-san-pai she Kwa?"
Dengan
tenang dan sabar Kwa Tin Siong melangkah maju dan balas bertanya, "Nona
siapa dan dari mana? Ada keperluan apakah kau mencari Ketua Hoa-san-pai she
Kwa?"
Dengan
pandang matanya yang tajam gadis itu memandang Kwa Tin Siong penuh selidik,
lalu berkata, "Sudah kukatakan tadi, dia harus menyerahkan Hoa-san Po-kiam
kepadaku, juga kepalanya. Pedang dan kepalanya harus kubawa pergi."
Jawaban ini
demikian sewajarnya sehingga para pendengarnya menjadi bengong. Banyak tosu
menganggap bahwa gadis ini tentu miring otaknya, apa bila tidak demikian,
masakah mengajukan permintaan yang begitu gila?
Kwa Kun Hong
menjadi marah. Dengan mata melotot ia melangkah maju dan berdiri dekat sekali
di depan gadis itu. Lagaknya seperti seorang guru memarahi muridnya yang
goblok. Telunjuknya menuding ke arah muka yang cantik. "Nona cilik, apakah
kau tidak pernah diajar orang tuamu? Ucapan apa yang kau keluarkan itu? Sungguh
tidak patut! Mana ada aturan orang seperti kau ini hendak membunuh orang dan
minta kepalanya? Ah, dosa... dosa..., benar-benar kau berdosa besar sekali. Apa
kau tidak takut ditangkap oleh yang berwajib dan dijebloskan ke dalam penjara?
Kalau terjadi demikian, aduh… kasihan sekali kau yang masih begini muda!"
Gadis muda itu
nampak bingung dan memandang kepada Kun Hong dengan hati tertarik.
"Penjara? Apa itu? Yang berwajib itu siapa? Kenapa aku hendak
ditangkap?"
Kun Hong
mengira bahwa gadis itu tentu takut dengan gertakannya, karena itu hatinya
menjadi girang. "Nah, belum apa-apa kau sudah takut! Maka jangan
sembarangan bicara. Yang berwajib itu tentu saja petugas pemerintah yang
menjadi penegak hukum. Penjara adalah tempat orang-orang jahat dihukum. Nona,
kau masih muda, seorang gadis yang semestinya bersikap lemah lembut dan
membantu pekerjaan ibu di rumah. Aku kasihan sekali kepadamu dan sungguh mati
aku tidak ingin melihat kau sampai ditangkap dan dimasukkan penjara."
Kwa Tin
Siong dan Liem Sian Hwa hanya bisa menarik napas panjang menyaksikan sikap
putera mereka yang tentu dianggap tolol oleh semua orang itu. Akan tetapi
karena gadis itu pun kelihatannya bodoh, maka mereka itu mendiamkannya saja.
Tiba-tiba
gadis muda itu kelihatan marah. "Siapa berani menangkap aku? Aku tidak
takut! Kau ini... kau menakut-nakuti aku. Apakah kau she Kwa?"
Kun Hong
tersenyum lebar. "Ehh, ehh, kiranya kau sudah mengenal aku? Di mana kita
pernah bertemu? Bagiku, mimpi pun belum pernah bertemu dengan kau yang lucu
ini."
"Siapa
pernah bertemu dengan engkau? Apakah kau she Kwa?"
"Kalau
belum pernah bertemu, bagaimana kau mengenalku dan mengerti bahwa aku she Kwa?
Aneh sekali, aku memang betul she Kwa!"
Secepat
kilat tangan gadis itu bergerak dan tahu-tahu leher baju Kun Hong telah
berhasil ditangkapnya dan sekali tarik Kun Hong sudah berada di dalam
kekuasaannya. Semua orang kaget, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa sudah bersiap
menolong puteranya. Akan tetapi gadis itu hanya mengancam.
"Apakah
kau Ketua Hoa-san-pai?"
Kun Hong
kaget bukan main, lalu berkata gemas, "Kau ini wanita apa laki-laki?
Tenagamu amat besar dan kau tarik-tarik aku mau apa sih?"
"Kalau
kau Ketua Hoa-san-pai akan kupenggal kepalamu!"
Kun Hong
meleletkan lidahnya mengejek. "Kau kira aku takut dengan ancamanmu? Andai
kata aku benar-benar Ketua Hoa-san-pai, tentu aku akan mengaku dan tidak takut
kau sembelih seperti ayam. Sayangnya aku bukan Ketua Hoa-san-pai."
Gadis itu
melepaskan leher bajunya dan mendorongnya perlahan, akan tetapi dorongan ini
cukup membuat Kun Hong terlempar dan terguling. "Benar-benar kau jahat
sekali, tak tahu dikasihani orang!" kata Kun Hong setelah bangkit berdiri.
Gadis itu
mengomel, "Syukur kau bukan Ketua Hoa-san-pai, aku tidak senang kalau harus
membunuh orang lemah seperti kau. Lagi pula tak mungkin kalau kau Ketua
Hoa-san-pai. Menurut keterangan ibu, Ketua Hoa-san-pai sangat jahat. Kau...
tidak mungkin jahat, kau laki-laki lemah tak berguna."
Kun Hong
hendak membantah lagi, akan tetapi Kwa Tin Siong menariknya ke belakang lalu
menghadapi gadis itu. Suaranya kereng ketika dia bertanya, "Nona,
sebenarnya kau ini siapa dan apa kehendakmu mengacau di Hoa-san-pai?"
"Apakah
kau she Kwa? Dan siapa Ketua Hoa-san-pai?"
"Betul,
akulah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai."
Gadis itu
memandang tajam, tampaknya ragu-ragu. "Kau pun tidak pantas menjadi orang
amat jahat. Jangan kau membohong. Kalau benar kau orang she Kwa Ketua
Hoa-san-pai, mana pedang pusaka Hoa-san Po-kiam?"
Kwa Tin
Siong tersenyum. Sikap gadis cilik itu amat menarik hatinya, biar pun aneh dan
agak sombong, namun lucu dan banyak memiliki sifat-sifat yang dapat menimbulkan
rasa sayang. Ia mencabut Hoa-san Po-kiam sambil berkata,
"Inilah
Hoa-san Po-kiam. Nah, apakah sekarang kau sudah percaya bahwa aku adalah Ketua
Hoa-san-pai? Sekarang katakanlah, kau ini bernama siapa dan sesungguhnya apa
yang menyebabkan kau bersikap begini aneh?"
Gadis itu
tak menjawab, hanya matanya memandang tajam ke arah wajah Kwa Tin Siong.
Sejenak kemudian, mendadak gadis itu menggerakkan kedua tangannya dan menyerang
Ketua Hoa-san-pai itu dengan pukulan-pukulan yang cepat dan bertubi-tubi.
Kwa Tin
Siong kaget bukan kepalang. Bukan kaget akibat diserang, baginya sudah terlalu
biasa menghadapi serangan-serangan mendadak. Akan tetapi dia kaget dan heran
sekali melihat cara menyerang dari gadis itu.
Melihat
gerakan lengan kiri yang pertama-tama memukul dadanya, tak bisa salah lagi itu
merupakan gerak tipu Burung Hong Mematuk Hati dari ilmu silat Hoa-san-pai. Akan
tetapi digerakkan amat aneh dan dengan kecepatan luar biasa sehingga hampir
saja dadanya kena pukul!
Sebelum ia
kehilangan kagetnya setelah berhasil mengelak, serangan ke dua sudah tiba pula.
Kali ini juga sebuah gerak tipu dari ilmu silat Hoa-san-pai yang disebut
Sepasang Naga Mengejar Awan. Lagi-lagi ia melengak dan repot sekali menggunakan
tangan kirinya menangkis sambil membuang diri ke belakang karena kedua kepalan
gadis itu bergerak terlalu cepat dan juga aneh sekali.
Dia adalah
Ketua Hoa-san-pai, dan semenjak kecil ia sudah melatih diri dengan ilmu silat
Hoa-san-pai dan sudah hafal, malah ilmu silat ini sudah mendarah daging dalam
dirinya. Akan tetapi mengapa diserang dua kali dengan tipu dari ilmu silat ini
dia menjadi repot sekali?
Yang amat
hebat adalah perubahan-perubahan yang susul-menyusul dari serangan gadis itu.
Karena begitu Kwa Tin Siong membuang diri ke belakang, tahu-tahu gadis itu
sudah menyerangnya lagi, sekarang dengan gerak tipu yang amat dahsyat, yaitu
yang disebut Harimau Sakti Menerkam Kuda. Dengan kedua tangan terbuka gadis itu
sudah meloncat dan menyambar ke arah punggungnya dengan jari-jari tangan
terbuka.
Tentu saja
Kwa Tin Siong merasa amat tidak enak untuk balas menyerang seorang gadis cilik
seperti itu. Apa lagi gadis itu ternyata selalu mempergunakan jurus-jurus dari
ilmu silat Hoa-san-pai dalam menyerangnya.
Akan tetapi
karena diam-diam ia mengakui bahwa gerakan gadis ini agak berbeda dengan ilmu
silatnya sendiri walau pun jurus-jurus itu sama benar, malah diam-diam ia
terkejut karena daya penyerangan gadis cilik ini amat dahsyat, ia lalu
mengambil keputusan untuk memberi sedikit hukuman kepadanya.
Melihat
gadis itu kembali menerjangnya dengan gerakan Harimau Sakti Menerkam Kuda, ia
membiarkan gadis itu sudah melayang dekat, lalu tiba-tiba ia menggerakkan
tangan kiri menangkis ke depan dengan pengerahan tenaga lweekang-nya. Terdengar
seruan kaget dari kedua pihak.
Gadis itu
kaget sekali saat tangan kanannya tergetar dalam pertemuan dengan tangkisan
Ketua Hoa-san-pai itu sampai seluruh tubuhnya ikut tergetar. Akan tetapi, Kwan
Tin Siong kaget bukan main ketika dalam keadaan seperti itu, tanpa
tersangka-sangka sama sekali, tangan kiri gadis itu tiba-tiba sudah menotok ke
arah pergelangan tangan kanannya yang memegang pedang dan sekaligus dapat
merampas pedang itu dari tangannya!
Merah kini
wajah Kwa Tin Siong. Pedang pusaka Hoa-san-pai dapat terampas dari tangan Ketua
Hoa-san-pai, benar-benar hal ini merupakan hal yang amat memalukan! Ia harus
mengakui bahwa gerakan-gerakan gadis ini dalam ilmu silat Hoa-san-pai amat
mahir dan juga amat aneh, akan tetapi perampasan pedang tadi terjadi karena ia
tidak menyangka sama sekali dan karena ia sudah banyak mengalah terhadap gadis
muda itu.
"Bocah
tidak tahu diri! Kau benar-benar semakin kurang ajar. Hayo lekas kau kembalikan
pedangku!" katanya kereng.
Gadis muda
itu menjebirkan bibirnya yang merah. "Pedang ini aku yang berhak. Karena
aku merasa bahwa bukan kau orang yang kumaksudkan, maka kau tidak kubunuh.
Orang yang kumaksudkan itu biar pun she Kwa juga, akan tetapi jauh lebih jahat
dari padamu."
Diam-diam
hati Kwa Tin Siong berdebar. Tidak salah lagi, tentu yang dimaksudkan oleh
gadis ini adalah Kwa Hong. "Kau siapakah? Siapa namamu dan siapa orang
tuamu?"
"Namaku
Li Eng, orang tuaku... hemm, mereka tak ada sangkut-pautnya dengan urusanku
ini, kau tidak perlu mengenal mereka." Setelah berkata demikian, gadis itu
menengok ke belakang dan agaknya takut-takut.
"Ha,
kau bocah nakal!" mendadak Kun Hong berseru sambil tertawa. "Aku tahu
sekarang! Kau tentu minggat di luar tahunya orang tuamu, maka kau tidak berani
menyebut nama mereka karena takut kami memberi tahu orang tuamu."
Gadis ini
nampak semakin ketakutan. "Jangan..." katanya seperti anak kecil
ditakut-takuti. "Jangan katakan kepada orang tuaku...!"
Kun Hong
tertawa menggoda. "Nah, begitu baru anak baik, takut kepada orang tua!
Hayo lekas kau kembalikan pedang ayah jika kau tak mau telingamu dijewer oleh
ibumu nanti!"
Gadis itu
ragu-ragu. "Tapi... tapi... kata ibu... pedang ini adalah hak ayah ibu
dan... dan..."
"Lekas
berikan, jika tidak awas, nanti kuberi tahukan ayah ibumu!" Kun Hong
mengancam. "Tidak boleh mempergunakan pedang untuk membunuh orang."
"Aku
tidak membunuh... boleh kau bawa dulu pedang ini, tetapi aku harus mencoba dulu
sampai di mana hebatnya kepandaian Ketua Hoa-san-pai, mengapa dia berani
menghina orang lain. Bawalah, tapi jangan kau berikan kepada siapa pun
juga."
"Nah,
begitu baru disebut gagah! Memang sudah sepantasnya bila kau hendak mencoba
kepandaianmu. Tanpa pedang ini mana kau mampu mengalahkan ayahku? Baik, kubawa
pedang ini dan kau boleh coba-coba dengan ayah. Kalau kau kalah, kau harus
mengaku semuanya dan minta ampun atas kekurang ajaranmu."
"Huh,
enak saja. Mana mungkin aku bisa kalah? Kalau aku menang, pedang itu harus kau
kembalikan kepadaku dan Ketua Hoa-san-pai harus meninggalkan Hoa-san!"
"Ha-ha-ha,
boleh, boleh...," kata Kun Hong yang tidak mau percaya kalau ayahnya akan
kalah oleh gadis ini. "Gerakanmu ketiga-tiganya tadi salah semua. Agaknya
kau pun telah mempelajari ilmu silat Hoa-san-pai, mana bisa kau menandingi ayah
dalam ilmu silat ini? Gerakanmu yang pertama Burung Hong Mematuk Hati, kemudian
disusul Sepasang Naga Mengejar Awan lalu yang terakhir tadi Harimau Sakti
Menerkam Kuda semuanya salah dan aneh, jelas bukan ilmu silat Hoa-san-pai yang
asli, sama sekali tidak cocok dengan catatan ayah!"
Lagi-lagi
Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa melengak terheran karena sekali lagi putera
mereka membuktikan bahwa hanya dengan melihat catatan anak itu sudah bisa
mengenal ilmu yang dimainkan oleh gadis aneh ini.
Juga gadis
itu terheran, tapi makin penasaran. Ia memberikan pedang Hoa-san Po-kiam kepada
Kun Hong, lalu memasang kuda-kuda menghadapi Kwa Tin Siong.
"Kalau
benar engkau adalah Ketua Hoa-san-pai, majulah. Hendak kulihat sampai di mana
kepandaianmu," tantangnya.
Semenjak
tadi Kwa Tin Siong sudah menaruh curiga kepada anak perempuan itu. Tidak salah
lagi bahwa gerakan-gerakannya tadi adalah Hoa-san Kun-hoat, namun bagaimana
gerakannya demikian aneh? Memang betul Kun Hong, gerakan-gerakan itu agak
berbeda dan menurut pandangannya sendiri adalah dilakukan dengan keliru, akan
tetapi harus ia akui bahwa kekeliruan itu justru agaknya memperhebat daya
penyerangannya!
Kwa Tin
Siong menjadi ragu-ragu. Siapakah gadis ini dan apa maksud kedatangannya? Siapa
yang menyuruhnya?
"Hayo,
apakah kau takut kepadaku?" gadis itu menantang lagi melihat keraguan Kwa
Tin Siong.
"Bocah
tak tahu diri!" Liem Sian Hwa yang memang berwatak keras tak dapat menahan
kemarahannya lagi. "Sudah jelas bahwa ilmu silatmu adalah ilmu silat
Hoa-san-pai, biar pun kurang matang. Bagaimana kau sekarang datang menantang
Ketua Hoa-san-pai? Kau terhitung murid Hoa-san-pai juga, walau pun entah dari
mana kau mencuri ilmu silat kami. Pergilah, kami tidak sudi berurusan dengan
anak kecil!"
Gadis itu
memandang Sian Hwa dengan matanya yang jeli. "Hemm, kau cantik, seperti
ibu. Apakah kau juga she Kwa? Kalau kau she Kwa, kau majulah!"
"Hush,
jangan kau kurang ajar kepada ibuku!” Kun Hong membentak dari samping.
"Aha,
jadi dia ini ibumu? Kalau begitu juga tidak becus apa-apa seperti kau?"
Kui Tosu,
orang pertama dari Pak-thian Sam-lojin, walau pun usianya sudah hampir tujuh
puluh tahun tapi wataknya amat berangasan. Sebagai tamu terhormat dia menjadi
marah sekali menyaksikan lagak bocah itu, maka sekarang sambil mengebutkan
ujung lengan bajunya, ia melangkah maju dan berkata,
"Siancai...
siancai... alangkah buruk takdir Hoa-san-pai. Saudara Lian Bu Tojin tewas di
tangan murid jahat, sekarang agaknya ada lagi murid Hoa-san-pai yang jahat dan
datang-datang hendak mengacau perguruannya sendiri. Ehh, bocah, cepatlah kau
minggat dari sini. Kami bersama Kwa-sicu sedang menghadapi urusan penting,
tiada waktu meladeni anak-anak macam kau ini!"
Gadis itu
memandang lucu, tertawa-tawa geli ketika melihat jenggot yang panjang dari Kui
Tosu. "He-he-he, kau ini seperti kambing tua mengembik saja. Baru
menghadapi penjahat kecil yang berkumpul di Im-kan-kok sudah ribut-ribut. Aku
datang untuk berurusan dengan Ketua Hoa-san-pai she Kwa, kau ini kambing tua
datang-datang menjual lagak mau apa sih?"
"Bocah
kurang ajar!" Kui Tosu tak dapat menahan kemarahannya lagi, lalu tangan
kirinya bergerak dan ujung lengan baju yang lebar itu menyambar merupakan
tamparan keras ke arah kepala gadis itu.
"Ehh-ehh,
kambing tua keluar tanduknya? Suruh dua ekor kambing tua temanmu itu maju
semual" Gadis yang mengaku bernama Li Eng itu mengejek.
Serangan
yang hebat itu dapat ia elakkan hanya dengan penggeseran kaki ke belakang dan
miringkan kepala saja. Hebatnya, sambil mengelak ini kakinya yang kiri
menyambar ke depan, ke arah lambung kakek itu!
Kui Tosu
kaget sekali melihat tendangan yang amat cepat dan hebat ini. Ia sudah lama
mengenal Lian Bu Tojin, karena itu ia pun sudah mengenal ilmu silat
Hoa-san-pai. Jelas bahwa tendangan dan gerakan gadis ini adalah dari ilmu silat
Hoa-san-pai.
Andai kata
yang mainkan ilmu silat itu adalah Lian Bu Tojin sendiri atau setidaknya Kwa
Tin Siong, ia tidak akan merasa aneh kalau melihat kehebatan ilmu silat itu.
Akan tetapi sekarang yang memainkannya hanya seorang gadis belasan tahun
usianya, bagaimana bisa demikian cepat dan juga aneh?
Serangan
balasan dengan tendangan ini sebetulnya tidak pada tempatnya untuk melayani
tamparan tadi, bahkan membahayakan si penendang sendiri. Maka Kui Tosu juga
tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk memberi hajaran dan membikin
malu gadis nekat ini. Tangan kirinya menyambar dari bawah dengan maksud
menangkap kaki yang menendang untuk kemudian didorong supaya gadis itu jatuh.
Akan tetapi
begitu tangan kakek ini menyentuh sepatu Li Eng, dengan kaget ia terhuyung
mundur karena pada saat itu tanpa disangka-sangka sama sekali Li Eng dapat
memutar kakinya yang langsung menendang ke pundak Kui Tosu. Serangan ini sama
sekali tidak tersangka-sangka olehnya karena amat aneh, maka tanpa dapat ia
hindarkan, pundaknya telah didorong ujung sepatu, biar pun tidak mengakibatkan
luka parah, akan tetapi cukup membuat ia terhuyung-huyung dan kehilangan muka!
Marah sekali
kakek ini. Tanpa berkata apa-apa ia kemudian menerjang kembali, sekarang
mengeluarkan serangan yang hebat. Bahkan kakek ke dua, Bu Tosu, juga membentak
sambil menyerang.
"Heh-heh,
kambing tua yang satu lagi kenapa tidak maju?" Li Eng mengejek.
Tahu-tahu
tubuhnya sudah berkelebatan ke sana ke mari, menyelinap di antara serangan dua
orang kakek dari utara itu. Bagaikan seekor burung walet yang amat gesit
tubuhnya berloncatan, menyelundup, mengelak dan semua itu digerakkan dengan
langkah-langkah ilmu silat Hoa-san-pai yang amat sempurna sehingga Kwa Tin
Siong dan Liem Sian Hwa, dua orang ahli ilmu silat Hoa-san-pai, yang melihat
itu jadi saling pandang dengan penuh keheranan.
Apa lagi
ketika Lie Eng menggunakan langkah-langkah Hoa-san Pat-kwa-pouw, tak terasa
lagi Kwa Tin Siong berbisik kepada isterinya, "Dari mana dia mempelajari
ini?"
Sementara
itu, Kui Tosu dan Bu Tosu menjadi makin penasaran karena sudah beberapa belas
jurus mereka menyerang, belum juga mampu mengalahkan gadis aneh itu. Jangan
kata mengalahkan, menyentuh ujung bajunya saja tak mampu.
Melihat ini,
Lai Tosu tiba-tiba teringat akan sesuatu dan ia maju pula sambil membentak,
"Siluman cilik, apakah kau anggota rombongan di Im-kan-kok yang hendak
mengacau Hoa-san-pai?"
"Hi-hik,
kambing tua, kau majulah sekalian, mengapa banyak bertanya? Kalau benar aku
anggota rombongan, apakah kau takut?"
"Bagus,
kalau begitu kami akan menangkapmu lebih dulu!"
Lai Tosu
segera menyerbu dan pertandingan menjadi makin ramai karena sekarang Lie Eng di
keroyok tiga oleh Pak-thian Sam-lojin. Sungguh pemandangan yang luar biasa lucu
apa bila melihat betapa seorang gadis belasan tahun kini dikeroyok tiga oleh
tokoh-tokoh ternama seperti Pak-thian Sam-lojin.
Kwa Tin
Siong mengerutkan kening. Dua macam perasaan mengaduk dan menguatirkan hatinya.
Pertama-tama, sungguh pun Pak-thian Sam-lojin adalah tamunya dan bertindak
untuk membantu Hoa-san-pai, namun sungguh amat tidak layak kalau tiga orang
tokoh persilatan mengeroyok seorang gadis cilik. Kedua kalinya, jika betul
gadis ini adalah anggota rombongan yang menyerbu Im-kan-kok, benar-benar
berbahaya sekali. Baru gadis cilik ini saja sudah begini lihai, apa lagi yang
lain-lain?
Heran dia,
bagaimana seorang seperti Hek-houw Bhe Lam dapat mengajak seorang gadis selihai
ini? Dan lebih aneh lagi, kini jelas baginya bahwa gadis ini benar-benar
seorang ahli silat Hoa-san Kun-hoat, sungguh pun gerakan-gerakannya sangat aneh
dan bahkan lebih cepat dan lebih hebat dari pada ilmu silat Hoa-san-pai yang
asli.
Selagi ia
hendak turun tangan mencegah dilanjutkannya pertempuran yang seimbang itu,
tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara suitan panjang yang mengagetkan semua
orang. Apa lagi setelah melihat betapa tubuh gadis itu lenyap berubah bayangan
yang cepat bukan main.
Tiga orang
kakek itu mengeluarkan suara kaget, apa lagi Kui Tosu dan Bu Tosu karena entah
bagaimana caranya, tahu-tahu gadis itu sudah dapat menyambar jenggot mereka
yang panjang, lalu melilitnya menjadi satu, dan menarik-narik jenggot itu
sehingga dengan gerakan kacau-balau dua orang tosu ini terpaksa berjingkrakan.
Mereka
merasa kesakitan. Apa lagi sekarang Li Eng lari berputaran dan dalam keadaan
yang kacau balau itu dia malah memutari tubuh Lai Tosu sehingga tosu ke tiga
ini terbelit jenggot-jenggot itul Tiga orang tosu itu saling bertabrakan dengan
kacau dan dua orang tosu yang dipegangi jenggotnya berteriak-teriak,
"Lepaskan jenggot! Lepaskan jenggot!"
Keadaan
benar-benar sangat lucu dan terdengarlah suara ketawa Kun Hong, "Ha-ha-ha,
lucu sekali."
"Apakah
yang lucu?" Kwa Tin Siong membentak marah. "Bocah itu kurang ajar
sekali." Ia melompat maju dan mencengkeram ke arah lengan tangan gadis itu
sambil membentak, "Bocah kurang ajar, pergilah!"
Serangan Kwa
Tin Siong ini hebat bukan main karena ia telah menggunakan jurus Dewa Menangkap
Geledek. Namun ternyata bocah itu lebih lihai lagi karena dengan kecepatan luar
biasa ia lalu mencengkeram jenggot-jenggot itu sambil berseru keras. Seketika
itu pula jenggot-jenggot itu putus di tengah-tengah dan sebelum sempat tangan
Kwa Tin Siong menyentuhnya ia telah menyambitkan rambut jenggot dalam
genggamannya itu ke arah muka Ketua Hoa-san-pai.
"Aiiih!"
Kwa Tin Siong cepat membuang diri ke samping dan rambut jenggot itu meluncur
cepat di samping kepalanya. Bukan main hebatnya tenaga dalam gadis itu yang
mampu menyambitkan rambut menjadi senjata rahasia yang ampuh.
Sementara
itu, Pak-thian Sam-lojin benar-benar marah. Hinaan ini membuat mereka bagai
kebakaran jenggot dan mencak-mencak saking marahnya. Juga Lai Tosu yang tidak
putus jenggotnya, yang tadi tubuhnya terbelit jenggot kedua saudaranya sampai
pakaiannya robek-robek, menjadi marah sekali.
Seperti
dikomando saja ketiganya menggerakkan tangan dan tahu-tahu tangan mereka telah
memegang sebatang pedang. Dengan muka merah mata melotot dan sikap penuh
ancaman, ketiganya menghadapi Li Eng yang tersenyum-senyum mengejek.
Kwa Tin
Siong hendak membuka mulut mencegah tiga orang tamunya itu mengeroyok gadis
aneh tadi dengan pedang di tangan. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
keras, "Aih, tiga orang tua bangka mengeroyok seorang bocah? Ha-ha,
betul-betul tak tahu malu Pak-thian Sam-lojin menghadapi lawan yang patut
menjadi cucunya!"
Ucapan ini
keras dan parau, lalu disusul melayangnya sesosok tubuh ke tengah pelataran
itu. Ketika tubuh ini jatuh berdebuk di atas tanah kiranya itu adalah tubuh
seorang tosu Hoa-san-pai yang sudah mati dan tubuhnya hitam hangus seperti
terbakar.
Li Eng gadis
aneh itu tertawa, lalu sekali mengenjot tubuhnya ia telah meloncat ke atas
sebuah pohon, duduk ‘nongkrong’ di atas cabang pohon itu, duduk dengan enak
seperti orang hendak menonton pertunjukan yang menarik hati.
Dan
sementara itu, dari luar pelataran datang beberapa orang aneh. Yang paling
depan adalah seorang kakek tua yang bongkok, giginya sudah ompong dan matanya
besar sebelah, pakaiannya tambal-tambalan dan tangan kanannya memegang sebatang
tongkat hitam. Di sampingnya berjalan seorang wanita yang biar pun usianya
sudah lima puluh tahun lebih namun pakaiannya masih mewah dan wajahnya masih
cantik.
Kwa Tin
Siong dan isterinya, juga Pak-thian Sam-lojin segera mengenal dua orang ini
yang bukan lain adalah Toat-beng Yok-mo dan Kim-thouw Thian-li, dua orang
kang-ouw yang sudah tersohor karena kejahatan dan kelihaiannya.
Toat-beng
Yok-mo, sesuai dengan nama julukannya Yok-mo (Setan Obat), adalah ahli
pengobatan yang tiada duanya di dunia kang-ouw. Kepandaiannya mengobati luar
biasa sekali sehingga boleh dibilang segala macam penyakit ia sanggup
mengobatinya sampai sembuh. Akan tetapi hebatnya, setelah orang yang diobati
sembuh, ia tentu akan turun tangan membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa ia
mendapat julukan Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa). Ada pun
Kim-thouw Thian-li adalah Ketua Ngo-lian-kauw yang terkenal jahat, kejam, dan
curang sekali.
Di belakang
dua orang tokoh ini kelihatan seorang laki-laki tinggi besar dengan mata
bundar, di punggungnya terlihat sebatang golok yang mengkilap dan besar. Kwa
Tin Siong dan yang lain-lain tidak mengenal orang ini, akan tetapi Thio Ki atau
Thian Beng Tosu segera mengenalnya. Itulah musuh lamanya, Hek-houw Bhe Lam! Di
belakang tiga orang ini masih terdapat sekelompok orang berjumlah tiga puluh
dan rata-rata mempunyai air muka yang kasar dan kejam.
Dengan
keberanian luar biasa, sebelum orang lain bergerak, Kun Hong sudah melangkah
lebar menyambut kedatangan rombongan yang dikepalai oleh kakek bongkok seperti
iblis itu. Dengan nada suara marah Kun Hong berkata, "Apakah kalian ini
yang menulis surat dan hendak mengacau Hoa-san-pai?"
Kim-thouw
Thian-li yang semenjak dulu berwatak genit dan gila laki-laki, melihat pemuda
yang tampan ini menjadi tertarik hatinya dan memandang kagum. Ia selamanya
kagum sekali melihat pemuda tampan yang mempunyai keberanian besar seperti Kun
Hong ini. Diam-diam ia mengira bahwa pemuda ini tentu seorang pendekar muda
yang memiliki kepandaian tinggi.
Sementara
itu, Toat-beng Yok-mo tertawa ha-ha-he-he lalu menjawab, "Yang menulis
surat adalah Bhe-sicu ini, aku hanya turut datang saja. Orang muda, kau mau
apakah? Orang tidak memiliki ilmu silat seperti kau ini tak perlu maju.
Heh-heh!" Sekali pandang dapat melihat bahwa Kun Hong tidak mengerti ilmu
silat, hal ini saja sudah membuktikan ketajaman mata kakek ini.
"Aku
tidak akan bicara tentang ilmu silat, juga tentang maksud kedatangan kalian
biar kita bicarakan belakangan. Yang sekarang penting untuk kita bicarakan
adalah tentang ini!" Kun Hong makin marah ketika menudingkan telunjuknya
ke arah muka tosu yang rebah menggeletak di atas tanah dalam keadaan mengerikan
itu.
"Apakah
kalian yang membunuh seorang saudara kami ini?"
"He-heh-heh..."
Toat-beng Yok-mo terkekeh geli dan bertukar pandang dengan Kim-thouw Thian-li.
Wanita genit
ini merasa semakin kagum saja menyaksikan ketabahan pemuda tampan itu. Diam-diam
ia masih tidak percaya kata-kata Toat-beng Yok-mo yang tadi menganggap pemuda
ini tiada kepandaian. Seorang tanpa kepandaian silat mana seberani ini?
"Pemuda
tolol, kalau betul kami yang membunuh lalu kau mau apa?" Kakek ompong itu
kembali tertawa sehingga tampak mulutnya yang tak bergigi lagi.
Kun Hong
makin marah. "Mana ada aturan ini? Kalian ini benar-benar jahat sekali,
apa kalian tidak patut dihukum? Mana bisa kalian membunuh begitu saja? Aku
tidak terima!"
"Habis,
kau mau apa?" Hek-houw Bhe Lam melangkah maju menantang.
"Apa
kau yang bernama Hek-houw?" Kun Hong bertanya.
"Betul
Kau siapa dan apa maksudmu berlagak?" jawab kepala rampok ini.
“Betul-betul
tak kenal aturan. Datang-datang membunuh orang. Jika kulaporkan kau tentu
ditangkap dan dihukum mati. Apa bila kau dan teman-temanmu datang hendak
mengadu kepandaian, itu sih masih mendingan. Akan tetapi kalian datang-datang
telah melakukan pembunuhan, benar-benar penasaran! Tunggu saja aku akan
menyuruh seorang saudara melaporkan kepada kepala kampung di kaki gunung, kau
tentu akan ditangkap dan diseret ke pengadilan!"
Hek-Houw Bhe
Lam melengak heran dan terdengarlah suara ketawa ramai di antara para pendatang
itu. Bhe Lam akhirnya tertawa juga, tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha,
kiranya di Hoa-san-pai ada orang gila berotak miring. Jangan banyak mulut,
pergilah!" Tangannya bergerak memukul dada Kun Hong.
Kwa Tin
Siong kaget sekali dan melompat hendak menolong puteranya, akan tetapi...
Tiba-tiba
dari atas pohon meluncur benda panjang hitam yang secara kilat telah membelit
pinggang Kun Hong dan... pemuda itu seperti terbang melayang ke atas pohon. Kun
Hong berteriak-teriak kaget dan tahu-tahu dia sudah duduk di atas cabang pohon
dekat Li Eng yang tertawa-tawa sambil mengomel.
"Kenapa
kau begini tolol, membiarkan dirimu menjadi buah tertawaan orang dan menjadi
bahan pukulan? Lebih baik duduk di sini menonton, kan enak?"
Kun Hong
berpegangan kuat-kuat pada batang pohon yang didudukinya, masih kaget dan
terheran-heran. Ketika ia melihat, ternyata bahwa gadis itu tadi telah
mengereknya naik dengan sehelai sabuk sutera yang hitam dan panjang sekali.
Diam-diam ia merasa kagum dan juga heran. Akan tetapi wajahnya segera berubah
pucat karena tubuhnya bergoyang, ia merasa ngeri duduk di tempat yang begitu
tinggi.
"Apa
kau takut jatuh?"
"Ti...tidak!"
Kun Hong dapat menetapkan hatinya.
Ia merasa
malu kepada gadis cilik ini kalau duduk di atas cabang pohon saja ketakutan. Ia
memandang ke bawah dan melihat bahwa semua orang sedang memandang ke atas. Kwa
Tin Siong dan Liem Sian Hwa tadinya terkejut sekali, akan tetapi sesudah
melihat putera mereka duduk dengan aman di dekat gadis bernama Li Eng itu serta
mendengar percakapan mereka, kini keduanya merasa lega dan juga geli. Di atas
pohon itu putera mereka akan aman, apa lagi gadis aneh itu agaknya
melindunginya.
Karena ada
urusan yang lebih penting dihadapi, maka mereka lalu menujukan perhatian pada
Hek-houw Bhe Lam dan teman-temannya. Sekarang Kwa Tin Siong bisa menduga dengan
hati lega bahwa gadis yang amat lihai itu kiranya bukan teman rombongan musuh
ini, buktinya tadi menyambit tangan Bhe Lam untuk menolong Kun Hong.
Li Eng
berbisik di dekat telinga Kun Hong, "Kakek ompong itu lihai sekali. Dia
membunuh tosu itu dengan racun ular laut hitam yang sangat berbahaya. Hemmm,
hendak kulihat siapa yang berani menjamah mayat itu..."
Kun Hong
bergidik, "Dia pembunuh keji, harus ditangkap, harus diseret ke
pengadilan!"
Gadis itu
terkikik tertawa lalu menutup telinga Kun Hong seperti anak kecil bermain-main
menggoda temannya. "Kau ini orang aneh... hi-hi-hi, menggelikan sekali.
Bagaimana bisa menangkap dia?"
"Tak
peduli dia lihai, dia harus tunduk kepada hukum!"
"Ssttt,
jangan ribut-ribut, kau lihat saja...," gadis itu berbisik lagi.
Kun Hong
merasa tidak enak sekali. Gadis itu duduk terlalu dekat dengannya, tidak hanya
berendeng melainkan berhimpitan sehingga pundaknya menyentuh pundak gadis itu.
Saat gadis itu berbisik, lehernya tertiup napas hangat dan hidungnya mencium
bau harum yang keluar dari rambut gadis itu yang berkibar tertiup angin
mengenai leher dan mukanya.
Ingin ia
menjauhkan diri, akan tetapi ia tidak berani bergerak karena cabang itu
demikian kecil dan bergoyang-goyang terus. Mengerikan! Terpaksa dia mengalihkan
perhatiannya dan memandang ke bawah. Pak-thian Sam-lojin baru saja menderita
penghinaan hebat dari Li Eng. Oleh gadis cilik itu mereka seolah-olah
dipermainkan di depan anggota Hoa-san-pai. Betul-betul memalukan betapa tiga
orang tokoh besar seperti mereka telah dipermainkan sedemikian rupa oleh gadis
yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw, malah yang mempergunakan
ilmu silat Hoa-san-pai untuk mempermainkan mereka itu.
Mereka bertiga
dapat menduga bahwa meski di luarnya Ketua Hoa-san-pai tidak senang melihat
gadis itu mempermainkan mereka, namun karena gadis itu memainkan ilmu silat
Hoa-san-pai, sudah barang tentu para tosu Hoa-san-pai sedikit banyak merasa
bangga dan senang. Hati mereka masih penuh dengan dendam dan amarah, maka
kedatangan rombongan musuh-musuh Hoa-san-pai ini hendak mereka gunakan untuk
‘mencuci muka’ mereka dan memperlihatkan kegagahan.
Orang
pertama yang melangkah maju adalah Bu Tosu yang jenggotnya tinggal sepotong,
sekarang panjangnya hanya sebatas leher karena tadi telah direnggut putus oleh
Li Eng yang nakal. Begitu melangkah maju ia membuka mulut dan berkata dengan
nyaring,
"Yok-mo,
keadaan negara sedang aman dan damai, mengapa kau orang tua mencari perkara di
Hoa-san-pai? Kau lihat, kami bertiga orang-orang tua dari Pak-thian sengaja
datang ke Hoa-san untuk bertemu dan beramah-tamah dengan Ketua Hoa-san-pai, Kwa
Sicu yang gagah. Setelah melihat kami bertiga, apa kau tidak dapat mengingat
hubungan lama dan menjadi tamu yang terhormat agar kita dapat minum arak
bersama?"
"Heh-heh-heh,
Pak-thian Sam-lojin benar-benar seperti bunglon, plin-plan!" kata Yok-mo
sambil tertawa terkokeh-kekeh, "Dahulu kau menjadi begundal Kaisar,
diam-diam dahulu menganggap Hoa-san-pai sebagai musuh, walau pun di luarnya
kalian berpura-pura baik. Sekarang kalian mendekati Hoa-san-pai, he-he-heh,
bukankah karena kalian tertarik oleh kedudukan Ketua Hoa-san-pai? Memang bagus
sekali, bagus untuk kalian tentu, itu pun kalau kalian bisa memimpin para tosu
di Hoa-san."
Wajah tiga
orang tosu itu menjadi merah sekali. Diam-diam Kwa Tin Siong merasa heran
mendengar ini dan memandang ke arah tiga orang tamunya dengan tajam penuh
selidik.
"Isteriku
yang manis, katakan, bukankah tiga orang keledai tua ini teman seperjuanganmu
membantu Kaisar Mongol? Heh-heh-heh."
Kim-thouw
Thian-li menjebirkan bibirnya yang masih digincu merah sekali. "Memang
betul, tetapi mereka ini hanya mendesak-desak apa bila ada rejeki untuk
dibagikan, sebaliknya segera kabur pada waktu ada bahaya mengancam. Siapa sudi
mengaku mereka sebagai teman?"
Makin merah
wajah tiga orang kakek itu. "Jangan buka mulut seenaknyal" kata Kui
Tosu sambil mencabut pedangnya. "Apakah kalian kira kami Pak-thian
Sam-lojin takut kepada kalian?"
Bu Tosu
segera menyambung. “Yok-mo, tadi aku bicara baik padamu tetapi kau malah
menghina. Menurut pendapat kami, sesungguhnya tidak ada perlunya kalian
memusuhi Hoa-san-pai. Apa lagi datang-datang kalian sudah membunuh seorang tosu
Hoa-san-pai, benar-benar ini keterlaluan. Kalau kau mau bicara tunggulah aku
menyingkirkan mayat ini, kasihan sekali saudara ini menggeletak di sini."
Dari atas
pohon Kun Hong bicara perlahan, "Hemmm, aneh sekali. Tadinya ketiga orang
kakek itu sombong dan keras, kenapa sekarang tosu itu begitu baik
hatinya?"
"Hi-hi-hik,
baik apanya? Sebentar lagi ia akan mampus!" jawab Li Eng.
"Apa
maksudmu...?" Kun Hong kaget bukan main. Memang ia merasa paling ngeri
kalau mendengar orang bicara tentang mati begitu gampangnya.
"Begitu
ia menyentuh mayat ia akan mati...," kata pula Li Eng tak pedulikan.
Kun Hong
terkejut dan cepat memandang ke bawah. Pada saat itu, dengan lagak gagah, dan
hal ini terutama sekali untuk ‘mencuci muka’ mereka dari semua hinaan dan untuk
memamerkan di depan para tosu Hoa-san-pai bahwa dia adalah seorang yang berhati
penuh welas asih, Bu Tosu berlutut dan mengangkat mayat itu dengan kedua
tangannya. Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget.
Disusul oleh
suara ketawa terkekeh-kekeh dari Yok-mo, Bu Tosu melepaskan lagi mayat itu. Ia
cepat meloncat berdiri, akan tetapi segera terhuyung-huyung ke belakang.
"Kenapakah,
Suheng...?" tanya Lai Tosu dan hendak memegang kakak seperguruannya.
"Mundur
dan jangan sentuh!" seru Kui Tosu sambil mendorong pergi Lai Tosu.
Sungguh
keadaan Bu Tosu amat mengerikan. Kedua tangannya menjadi kehitaman dan dia
menjerit-jerit kesakitan.
"Maaf
Ji-sute, terpaksa untuk menolong nyawamu!" Kui Tosu berseru dan
menggerakkan pedangnya membacok.
"Crokkk!"
Kedua lengan
Bu Tosu terbabat putus sebatas pergelangan tangan. Dua buah tangan yang sudah
hitam sekali itu jatuh ke atas tanah dan sedikit pun tidak ada darah keluar.
Mengerikan sekali.
"Bagaimana,
Ji-sute?" Kui Tosu melihat penuh perhatian.
Bu Tosu
masih menjerit-jerit dan ternyata warna kehitaman sudah menjalar di lengannya
yang sebelah kanan, ada pun lengan kirinya yang buntung mulai mengeluarkan
darah. Hal ini berarti bahwa racun itu sudah menjalar terus ke lengannya yang
kanan.
Melihat ini,
dengan muka sedih sekali Kui Tosu kembali menggerakkan pedangnya dan...
“Crokk!”
Lengan kanan
Bu Tosu sebatas pundak terbabat putus! Dari luka di pundak itu mengucur darah
merah, berarti bahwa racun itu sudah tidak berada di tubuhnya.
"Tertolong
jiwamu, Ji-sute...," kata Kui Tosu dengan lega.
Akan tetapi
tiba-tiba Bu Tosu mengeluarkan suara serak yang amat keras dan tubuhnya yang
sudah tak bertangan lagi itu menerjang maju, kepalanya menyeruduk ke arah perut
Yok-mo.
Kakek iblis
ini terkekeh-kekeh lagi, tangan kanannya bergerak dan ujung tongkat hitamnya
menotok ubun-ubun kepala lawannya. Tanpa mengeluarkan suara lagi Bu Tosu
langsung roboh dan... tubuhnya berubah menjadi hitam. Kiranya ujung tongkat itu
mengeluarkan racun yang amat hebatnya.
"Keparat
keji!" teriak Kui Tosu dan Lai Tosu yang cepat mengerjakan pedang mereka
menggempur Yok-mo.
Oleh karena
urusan Hoa-san-pai belum disinggung-singgung dan pertempuran antara tiga orang
tamunya melawan pihak musuh ini terjadi karena pembunuhan atas diri Bu Tosu,
maka Kwa Tin Siong ragu-ragu dan belum mau turun tangan. Dia hanya melihat
betapa dua orang tosu itu mengeroyok Yok-mo.
Juga dari
pihak Yok-mo, hanya seorang iblis tua ini saja yang bergerak dan menghadapi
pengeroyokan itu. Kim-thouw Thian-li, Bhe Lam yang lain-lain hanya menonton.
Bahkan Kim-thouw Thian-li hanya tersenyum mengejek saja, seolah-olah
pertempuran yang terjadi antara suaminya dan dua orang tosu itu hanya main-main
saja.
Di atas
pohon terjadi keributan. Dengan muka pucat Kun Hong melihat semua itu. Hatinya
ngeri bukan main, tubuhnya menggigil, tapi ia masih dapat memandang kepada Li
Eng dengan mata melotot marah.
"Kau...
kau gadis berhati kejam. Jadi kau sudah tahu bahwa siapa yang memegang mayat
itu akan mati?"
Li Eng balas
memandang, masih tersenyum lalu mengangguk lucu. Bibirnya tertutup tapi
mulutnya bergerak-gerak seakan-akan giginya menggigit-gigit sesuatu dan
kebiasaan ini membuat ia nampak makin manis saja.
Bukan
kepalang kemarahan Kun Hong. "Kau... kau patut dihajar!"
Tangannya
diangkat, lalu digerakkan menampar pipi kiri gadis itu. Li Eng dengan enaknya
menundukkan kepalanya sehingga tamparan itu mengenai angin saja dan... tubuh
Kun Hong terguling dari atas cabang.
Dalam
kemarahannya tadi ia sampai lupa kalau ia duduk di atas cabang pohon, maka ia
berani menampar sekuat tenaga. Karena tamparannya tidak mengenai sasaran, maka
ia terpelanting dan jatuh!
Tubuh Kun
Hong tiba-tiba terhenti di tengah udara. Ia merasa pinggangnya dilibat sutera
hitam, lalu perlahan-lahan tubuhnya dikerek naik, bukan di cabang yang tadi,
melainkan di sebuah cabang yang berada paling tinggi di pohon itu. Di situlah
ia didudukkan, di atas cabang yang kecil sehingga cabang itu melengkung dan
bergoyang-goyang pada saat ia duduk diatasnya. Li Eng sambil tertawa turun lagi
dan duduk di atas cabang besar yang tadi, jauh di bawah Kun Hong.
"Heee...,
turunkan aku...!" Kun Hong berteriak-teriak sambil memeluk ranting-ranting
yang berada di dekatnya. Bukan main ngerinya melihat ke bawah, begitu tinggi
tempatnya dan cabang itu bergoyang-goyang keras.
Li Eng
menoleh ke atas, tersenyum mengejek. "Diamlah, jangan berteriak-teriak dan
lebih baik nonton pertunjukan hebat di bawah. Kalau kali ini kau banyak
bergerak dan jatuh, aku malas untuk menolongmu lagi."
Menghadapi
gadis yang nakal itu, Kun Hong yang biasanya pandai berdebat dan tak mau kalah,
menjadi diam dan memeluk cabang kuat-kuat sambil memandang ke bawah. Apa yang
dilihatnya di bawah membuat ia semakin ngeri. Ia melihat betapa kedua pihak,
yaitu pihak Hoa-san-pai dan pihak Bhe Lam dan teman-temannya, kini sudah mulai
bertempur sehingga terlihat seperti perang kecil.
Ternyata
bahwa Kui Tosu dan Lai Tosu tak dapat menandingi permainan tongkat Yok-mo yang
luar biasa dan amat ganas itu. Kakek ompong bongkok ini biar pun dikeroyok dua
oleh Kui Tosu dan Lai Tosu yang memiliki tingkat ilmu pedang yang tinggi, tidak
menjadi gugup. Terutama sekali ia mengandalkan kepada tongkat hitamnya yang
benar-benar membuat dua orang tosu itu agak jeri dan ngeri mengingat akan
keampuhan racun yang berada dalam tongkat itu. Makin lama makin terdesaklah Kui
Tosu dan Lai Tosu.
Melihat
keadaan demikian itu, hati Kwa Tin Siong menjadi tidak enak sekali. Memang
harus diakui bahwa kedua orang tosu ini bertempur untuk membalas kematian
saudara mereka, dan tak ada hubungannya dengan Hoa-san-pai. Akan tetapi maksud
kedatangan mereka mula-mula adalah untuk membantu Hoa-san-pai sungguh pun tadi
ia meragukan akan maksud-maksud tersembunyi lain yang masih belum terbukti.
Andai kata tiga orang tosu tua itu tidak datang ke Hoa-san-pai di saat
Hoa-san-pai didatangi musuh-musuh, sudah pasti mereka takkan menemui kesulitan,
Bu Tosu tak akan tewas dan kedua orang tosu itu tidak akan bertempur melawan
Yok-mo yang lihai itu.
Namun, Kwa
Tin Siong tetap merasa enggan untuk ikut mencampuri pertempuran ini. Dia adalah
seorang Ketua Hoa-san-pai, maka untuk menjaga nama baik Hoa-san-pai, segala
sepak terjangnya ia perhitungkan betul. Pada saat ia meragu, tiba-tiba saja
Hek-houw Bhe Lam sambil tertawa melangkah maju menghadapi Thian Beng Tosu dan
berkata, "Thio Ki, meski pun kau sudah menyamar sebagai tosu, jangan kira
kau akan terlepas dari tanganku!"
"Bhe
Lam, sungguh sayang sekali bahwa selama belasan tahun ini kau masih belum mau
kembali ke jalan benar. Pinto tidak menyamar, memang pinto sekarang bukan Thio
Ki lagi melainkan Thian Beng Tosu dan kalau kau masih saja menaruh dendam atas
hukuman yang jatuh kepadamu ketika kau melakukan kejahatan dahulu, majulah.
Kali ini pinto tidak akan memberi ampun lagi kepadamu."
"Ha-ha-ha,
keledai busuk yang sombong. Kematian sudah di depan mata masih hendak berlagak
lagi?"
Hek-houw Bhe
Lam meloloskan golok besarnya dan segera maju menerjang. Thian Beng Tosu juga
sudah mencabut pedangnya dan dua orang musuh lama ini segera bertanding.
Melihat
betapa pihak lawan sudah mulai menyerang, Kwa Tin Siong membuang keraguan
hatinya dan segera dia berseru keras, "'Toat-beng Yok-mo, sebagai seorang
tokoh besar tidak seharusnya kau mengacau Hoa-san-pai. Aku yang bertanggung jawab
di sini, tidak bisa membiarkan kau menyebar kematian!"
Dengan
Hoa-san Po-kiam di tangannya dia lantas melompat ke gelanggang pertempuran,
membantu Kui Tosu dan Lai Tosu yang sudah terdesak hebat sekali oleh tongkat
hitam di tangan Yok-mo itu. Makin hebat pertandingan itu, dan Toat-beng Yok-mo
tetap melayani tiga orang lawannya sambil terkekeh-kekeh.
Kim-thouw
Thian-li sudah mencabut pedangnya dan di lain saat ia sudah dihadapi oleh Liem
Sian Hwa yang juga sudah memegang pedang telanjang. Dua orang musuh besar ini
saling berhadapan dan saling memandang penuh kebencian.
Memang
semenjak dahulu Sian Hwa sangat membenci Ketua Ngo-lian-kauw ini. Wanita inilah
yang mendatangkan segala penderitaan bagi dia dan Hoa-san-pai, membuat dirinya
harus kehilangan tunangannya, yaitu Kwee Sin murid Kun-lun-pai. Gara-gara
wanita ini pula maka ia dan suaminya yaitu Kwa Tin Siong bekas suheng-nya, lari
dari Hoa-san-pai dan suaminya itu sampai terbabat putus tangan kirinya.
Kini wanita
ini berani kembali datang mengacau Hoa-san-pai, mengacau penghidupannya yang
sudah belasan tahun dalam ketenteraman. Dapat dibayangkan betapa kemarahan dan
kebenciannya memuncak. "Siluman betina dari Ngo-lian-kauw, hari ini aku
Liem Sian Hwa harus mengadu nyawa denganmu!"
"Hemmm,
perempuan tak tahu malu, kebetulan sekali kalau kau sudah bosan hidup. Hayo
majulah, aku akan mengantarmu ke neraka!" Kim-thouw Thian-li mengejek.
Sian Hwa
berseru keras dan pedangnya berkelebat menyerang, ditangkis oleh Kim-thouw
Thian-li. Mereka pun segera terlibat dalam pertempuran dahsyat yang
mati-matian.
Sementara
itu, tanpa dikomando lagi, para tosu Hoa-san-pai sudah maju menyerang tiga
puluh orang pengikut Bhe Lam dan terjadilah perang kecil yang diikuti
teriakan-teriakan sehingga keadaan di puncak Hoa-san-pai yang biasanya tenang
dan damai itu sekarang menjadi kacau dan gaduh.
Dalam hal
ini Hek-houw Bhe Lam salah hitung. Ia masih mengira bahwa tosu Hoa-san-pai
adalah tosu-tosu yang hanya pandai membaca kitab saja. Ia tidak tahu akan
perubahan di Hoa-san-pai semenjak Kwa Tin Siong menjadi ketua.
Sekarang
jauh berbeda dengan dulu. Setiap orang tosu Hoa-san-pai adalah ahli-ahli silat
yang tekun melatih diri sehingga rata-rata mereka mempunyai kepandaian yang
lumayan. Apa lagi jumlah mereka jauh lebih banyak dari pada anak buah Bhe Lam
sehingga anak buahnya itu setiap orang harus melawan sedikitnya tiga orang
tosu!
Memang, apa
bila melihat para pemimpinnya, terlihat Bhe Lam sudah memperhitungkan
masak-masak bahwa tokoh-tokoh yang menyertainya itu akan mampu mengalahkan para
pimpinan Hoa-san-pai. Akan tetapi, dalam hal anak buahnya, benar-benar ia salah
hitung.
Anak buahnya
memang para perampok yang kejam dan yang sudah biasa menghadapi pertempuran.
Akan tetapi berhadapan dengan jumlah banyak, apa lagi yang memiliki ilmu silat
Hoa-san-pai asli, anak buahnya tak dapat berkutik. Sebentar saja korban di
pihaknya bergelimpangan!
Toat-beng
Yok-mo tidak saja amat hebat dalam ilmu pengobatan, juga ilmu silatnya bukan
main tingginya. Hal ini tidaklah aneh jika diingat bahwa ia masih keturunan
langsung dari pada Yok-ong (Raja Obat) yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw
ratusan tahun yang lalu. Walau pun dikeroyok tiga, ia masih mampu mengimbangi
permainan tiga orang lawannya, malah dengan tongkatnya ia mampu mendesak Kui
Tosu dan Lai Tosu.
Baiknya Kwa
Tin Siong tadi segera maju. Terhadap pedang Ketua Hoa-san-pai ini dia tak
berani main-main. Ilmu pedang Hoa-san-pai yang dimainkan Kwa Tin Siong
benar-benar telah mencapai tingkat tinggi sehingga mengganggu pergerakannya.
Apa lagi pedang itu adalah pedang Hoa-san Po-kiam yang ampuh.
Pertandingan
antara Thian Beng Tosu dan Hek-houw Bhe Lam juga ramai sekali. Boleh dibilang
kepandaian dua orang ini berimbang karena ternyata selama ini Bhe Lam sudah
memperdalam ilmu kepandaiannya. Si Macan Hitam itu mainkan goloknya dengan ilmu
golok dari utara yang mengandalkan tenaga, maka sekarang dilayani dengan ilmu
pedang Hoa-san-pai yang mengandalkan tenaga lembut serta kecepatan, pertempuran
ini ramai sekali dan seimbang. Sinar golok dan pedang bergulung-gulung
menyilaukan mata dan di antara siutan desing kedua senjata ini terdengar
seruan-seruan dan bentakan Hek-houw Bhe Lam.
Sementara
itu, di lain bagian, Kim-thouw Thian-li mendesak Liem Sian Hwa dengan hebat.
Ketua Ngo-lian-kauw ini seperti biasa bersenjatakan sebatang golok dan sehelai
selampai merah. Ilmu pedang Liem Sian Hwa cepat dan ganas, gerakan tubuhnya
ringan bagaikan burung menyambar-nyambar.
Memang tak
mengecewakan nyonya ini memiliki julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) karena
permainan pedangnya demikian cepat sehingga sinar pedang itu bergulung-gulung
menelan lenyap bayangannya sendiri. Akan tetapi kini menghadapi Kim-thouw
Thian-li, ia menemukan tandingan yang berat.
Tingkat
kepandaian Ketua Ngo-lian-kauw ini memang lebih tinggi dari padanya, apa lagi
setelah Kim-thouw Thian-li mewarisi ilmu pedang Im-sin Kiam-sut dari gurunya,
Hek-hwa Kui-bo, biar pun hanya beberapa jurus. Di samping ini, ilmu pedangnya
Ngo-lian Kiam-sut yang dibantu dengan sambaran-sambaran selampai merahnya,
benar-benar sangat lihai dan berbahaya. Setelah mengerahkan seluruh
kepandaiannya, barulah Sian Hwa dapat mengimbanginya, namun tetap saja pihak
lawan lebih sering melancarkan serangan dari padanya.
Pada suatu
saat, secara aneh selampai merah itu menyambar dan melibat pedang Sian Hwa.
Terjadilah tarik menarik dan dalam saat yang berbahaya ini, golok di tangan
kanan Kim-thouw Thian-li menyambar ke arah leher Sian Hwa!
Bingung
sekali Sian Hwa menghadapi ini. Pedangnya belum dapat ia lepaskan dari libatan
selampai dan serangan golok itu tak mungkin ia elakkan tanpa meloncat mundur.
Apakah ia harus melepaskan pedangnya?
Selagi ia
kebingungan, tiba-tiba Kim-thouw Thian-li menjerit, "Keparat curang!"
Dan Ketua
Ngo-lian-kauw ini menarik kembali golok dan selampainya sambil melangkah
mundur. Ternyata dari atas pohon sudah menyambar sebutir buah mentah yang tepat
menghantam jalan darah di dekat sikunya sehingga ia merasa tangannya lumpuh.
Itulah perbuatan Li Eng yang sekarang tertawa-tawa di atas pohon sambil
menonton jalannya pertandingan. Tadi ketika ia melihat keadaan Sian Hwa
terancam bahaya, ia segera turun tangan dan membantu.
Baik Sian
Hwa mau pun Kim-thouw Thian-li tahu akan campur tangan gadis di atas pohon itu,
karena tadi pun mereka sudah melihat kelihaian gadis aneh itu yang menolong Kun
Hong dari serangan Bhe Lam menggunakan sambitan serupa.
"Siluman
cilik, apa kau sudah bosan hidup?" Kim-thouw Thian-li memaki sambil
goloknya diacung-acungkan ke arah Li Eng di atas pohon.
"Hi-hi-hi,
siluman besar, kau sudah tua tentu kau akan mati lebih dulu dari padaku!"
jawab Li Eng. Sambil menjawab sekaligus kedua tangannya diayun ke depan, maka
puluhan butir buah mentah itu menyambar ke arah delapan belas jalan darah di
tubuh Kim-thouw.
Ketua
Ngo-lian-kauw ini kaget sekali. Ia cepat memutar goloknya menangkis, akan
tetapi masih ada tiga butir ‘senjata rahasia’ yang mengenai tubuhnya. Baiknya
buah itu biar pun masih mentah tapi tidak seberapa keras dan lweekang-nya
sendiri sudah amat kuat maka ia tidak terluka parah, hanya merasa gemetar dan
lumpuh di bagian yang kena sambit.
Pada saat
itu, Sian Hwa tidak mau menyia-nyiakan waktu dan kesempatan ini. Bagaikan
seekor burung walet ia lalu menerjang maju, pedangnya berkelebatan menyilaukan
mata. Kim-thouw Thian-li berusaha menangkis, namun meleset tangkisannya karena
pada saat itu ia masih belum dapat menguasai dirinya karena sambitan Li Eng
tadi.
Pedang di
tangan Sian Hwa bagaikan kilat menyambar menusuk lehernya. Ia membuang diri ke
belakang sambil miringkan bagian atas tubuhnya sehingga pedang itu tidak tepat
mengenai leher melainkan menyambar pundaknya.
Kim-thouw
Thian-li menjerit kesakitan, pundaknya tertusuk pedang. Cepat dia melompat
berjungkir-balik ke belakang lalu... melarikan diri secepatnya dengan pundak
bercucuran darah!
Sebetulnya
Lim Sian Hwa hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu ia mendengar pekik
mengerikan dan ketika ia menengok ke arah gelanggang pertempuran, ternyata Kui
Tosu terkena tusukan tongkat Toat-beng Yok-mo hingga tubuhnya menjadi hangus,
sedangkan di saat berikutnya Lai Tosu terkena hantaman tangan kiri kakek
bongkok yang lihai itu sehingga kepalanya pecah dan tewas di saat itu juga!
Bukan main hebatnya kepandaian Yok-mo yang merobohkan dua orang lawannya dalam
keadaan tertawa-tawa.
Terkejut
hati Liem Sian-Hwa. Ia membatalkan niatnya mengejar Kim-thouw Thian-li dan
cepat ia melompat dekat suaminya lalu langsung mengeroyok Yok-mo. Kalau tadi
dibantu oleh dua orang tosu tua itu saja suaminya tidak mampu mengalahkan
Yok-mo, apa lagi sekarang seorang diri. Karena inilah maka Sian Hwa lalu
membantu suaminya dan suami isteri ini dengan mati-matian lalu mengeroyok
Yok-mo yang masih saja melayani mereka sambil tertawa-tawa.
Baru setelah
melihat Sian Hwa menerjangnya, kakek bongkok itu nampak kaget. "Ehh,
ehhh... mana isteriku?"
"Sudah
terluka pundaknya dan kabur. Sekarang giliranmu untuk mampus!" bentak Sian
Hwa.
Ucapan ini
membuat Yok-mo marah bukan main. Dengan seruan seram seperti teriakan binatang
buas ia menerjang dengan tongkatnya yang hebat, kini tidak tertawa-tawa lagi,
dan gerakan tongkatnya benar-benar luar biasa sekali membuat suami isteri itu
terdesak hebat.
Pertempuran
antara anak-anak buah Hek-houw Bhe Lam dan para tosu Hoa-san-pai tidak
berlangsung lama. Karena kalah banyak dan para tosu Hoa-san-pai sekarang
rata-rata juga pandai ilmu silat, sebentar saja tiga puluh orang pengikut Bhe
Lam itu roboh semua, tewas atau terluka. Tak seorang pun berhasil melarikan
diri.
Melihat
keadaan ini, apa lagi tadi melihat Kim-thouw Thian-li sudah melarikan diri,
hati Bhe Lam menjadi keder juga dan karena itu permainan goloknya lantas
menjadi kacau-balau. Kesempatan baik ini dipergunakan oleh Thian Beng Tosu
untuk mempercepat permainan pedangnya dan dengan serangan miring dari samping
kiri, sesudah memancing dengan sebuah tendangan, ia berhasil melukai lengan
kanan Bhe Lam.
Kepala
rampok ini terluka parah. Dia berteriak marah dan menyambitkan piauw dengan
tangan kirinya ke depan. Thian Beng Tosu cepat membuang diri ke kanan dan dua
buah senjata rahasia piauw meluncur lewat di dekat lehernya. Ketika ia
memperbaiki kembali posisinya, ternyata lawannya sudah lari jauh.
"Hek-houw,
kau hendak lari ke mana?" Thian Beng Tosu cepat melompat dan mengejar
musuh besarnya itu.
Ada pun Kun
Hong yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri pembunuhan secara
besar-besaran yang terjadi di dalam pertempuran ini, mukanya menjadi pucat,
napasnya sesak dan matanya melotot lebar.
"Celaka...
celaka... bagaimana Hoa-san-pai bisa menjadi begini...?" Berulang-ulang
dia berseru dengan ngeri dan panik.
Sekarang
yang bertempur di bawah hanya tinggal kedua orang tuanya yang mengeroyok
Toat-beng Yok-mo. Melihat betapa semua teman kakek bongkok itu tewas atau
terluka dan ada yang lari, Kun Hong menjadi kasihan sekali. Peristiwa hebat
yang ia saksikan di bawah itu sama sekali tak pernah terduga dapat terjadi.
Ia yang
selalu belajar tentang kebajikan, tentang KeTuhanan dan peri kemanusiaan, tentu
saja dalam mimpi pun belum pernah melihat manusia saling bunuh seperti ini.
Semua ini membuat ia lupa akan ketakutan berada di atas cabang kecil di tempat
begitu tinggi. Ia melihat gadis nakal itu masih saja duduk dengan kedua kaki
tergantung dan tertawa-tawa.
Ia teringat
bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang aneh. Maka cepat Kun Hong melorot
turun dari cabang yang didudukinya dan tanpa takut sedikit pun ia melalui
cabang-cabang mendekati Li Eng. Gadis itu sampai terkaget-kaget ketika
tahu-tahu pemuda itu berada di dekatnya.
"Ehhh,
kau berani turun?" tanyanya heran.
"Kau...
kau tolonglah aku... kau turunlah dan pergunakan kepandaianmu untuk melerai
mereka. Jangan biarkan ayah ibu membunuh orang atau terbunuh..."
Gadis itu
tersenyum lebar sehingga kelihatan deretan giginya putih mengkilap dan teratur
rapi seperti mutiara berderet. "Jadi kau ini anak mereka? Anak Ketua
Hoa-san-pai? Kok aneh benar, orang-orang Hoa-san-pai itu biar pun kepandaiannya
tidak tinggi tapi cukup bersemangat dan gagah, kenapa anaknya keluar tikus
seperti kau?"
"Kau
mau menolong tidak?" tanya Kun Hong gemas.
Gadis itu
menggelengkan kepala. "Ketua Hoa-san-pai she Kwa adalah orang yang harus
kubunuh, juga kakek bongkok itu aku tidak suka, mengapa aku harus melerai
mereka? Biarlah mereka saling bunuh. Hi-hi-hik!"
Kun Hong
tahu bahwa dia tidak dapat memaksa gadis itu, maka dia lalu melorot turun
dengan susah payah dari pohon itu, ditertawai oleh gadis itu yang kembali
menggodanya. "Hi-hi-hik, kau seperti anak monyet menuruni pohon!"
Kun Hong
tidak pedulikan lagi padanya. Setelah tiba di bawah dia lalu lari menghampiri
medan pertempuran. Ia bergidik pada waktu berlari melalui mayat-mayat manusia
yang menggeletak di kanan kiri, ngerinya bukan main.
"Ayah...
Ibu... sudahlah, jangan berkelahi lagi... sudah terlalu banyak korban...!"
teriaknya berulang-ulang sambil mendekati pertempuran yang sedang
hebat-hebatnya itu.
"Kun
Hong, pergi...!" ibunya berteriak kaget melihat puteranya berani mendekati
tempat itu.
Akan tetapi
Kun Hong nekat dan makin dekat. "Jangan bunuh orang lagi, Ibu... ah,
celaka sekali... bagaimana Hoa-san bisa menjadi tempat penyembelihan
manusia...?" Kun Hong hampir menangis.
Akan tetapi
pada saat itu ayahnya berseru, "Pergi kau...!"
Dan sebuah
tendangan membuat Kun Hong terpelanting sejauh lima meter lebih. Ayahnya telah
menendangnya! Biar pun ia tidak merasa sakit, tapi Kun Hong merangkak bangun dengan
mata terpentang lebar. Bagaimana ayahnya sudah berubah begitu ganas? Dia
sendiri malah ditendangnya!
Tentu saja
pemuda ini sama sekali tidak mengetahui bahwa dengan mendekati tempat
pertempuran itu, nyawanya berada di dalam bahaya karena gerakan tongkat Yok-mo
dan pedang ayah serta ibunya mengandung tenaga lweekang yang hawa pukulannya
saja akan cukup membuat Kun Hong tewas. Tidak tahu pula ia bahwa tendangan
ayahnya tadi adalah usaha untuk menjauhkan dia dari tempat berbahaya itu.
Kebetulan
sekali Kun Hong terpelanting ke dekat tumpukan mayat-mayat para anak buah
perampok. Ia melihat mayat-mayat itu dalam keadaan luka hebat, malah ada di
antaranya yang belum mati, terluka parah dan mengaduh-aduh. Darah berceceran di
mana-mana. Kun Hong merasa hendak muntah melihat itu semua. Ia lalu bangkit
berdiri, memegangi kepalanya sambil mengeluh, "Keji... kejam sekali... ah,
tak sudi aku melihatnya...," Ia lalu lari tersaruk meninggalkan Puncak
Hoa-san.
Sementara
itu, Toat-beng Yok-mo masih terus mendesak suami isteri itu dengan tongkat
hitamnya. Makin lama makin beratlah bagi Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa.
Ternyata baik dalam tenaga lweekang, apa lagi dalam ilmu silat, kakek bongkok
itu masih setingkat lebih tinggi dari pada mereka. Apa lagi setelah Toat-beng
Yok-mo mendengar tentang terlukanya Kim-thouw Thian-li. Ia menjadi marah bukan
main sehingga gerakan-gerakan tongkatnya mengandung ancaman maut karena
digerakkan dengan penuh nafsu membalas dendam dan membunuh.
Kwa Tin
Siong dan Liem Sian Hwa repot sekali menghadapi amukan kakek bongkok itu.
Mereka maklum bahwa jika pertandingan ini dilanjutkan, mereka tentu akan
celaka. Anak buah Hoa-san-pai tidak ada yang berani mencoba untuk membantu
tanpa menerima perintah ketua mereka. Selain ini, mereka juga tidak berani
sembarangan mendekati pertempuran yang demikian dahsyatnya, karena maklum pula
bahwa kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat mereka yang sedang
bertanding.
Namun
demikian, jika Kwa Tin Siong mau mengeluarkan perintah, para murid Hoa-san-pai
tentu tidak akan ragu-ragu dan takut-takut untuk menyerbu. Meski di antara
mereka tentu banyak yang roboh binasa, kakek bongkok itu sendiri sudah pasti
takkan kuat menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang.
Akan tetapi,
Kwa Tin Siong adalah seorang yang berjiwa gagah. Mana mungkin ia mau
mengeluarkan perintah kepada para muridnya untuk melakukan pengeroyokan? Di
dalam hukum persilatan, mengandalkan banyak teman untuk mengeroyok adalah
perbuatan hina yang akan menjatuhkan nama baik. Sedangkan nama baik bagi
seorang gagah lebih berharga dari pada selembar nyawa. Karena inilah maka baik
Kwa Tin Siong mau pun isterinya, biar pun sudah terdesak hebat dan berada dalam
ancaman maut, mereka tidak mau membuka mulut minta bantuan para murid
Hoa-san-pai dan melawan mati-matian.
Pada saat
itu terdengarlah teriakan dari atas pohon, "Heiii, kakek bongkok buruk!
Ketua Hoa-san-pai masih ada urusan dengan aku, tak boleh kau membunuhnya!"
Suara ini
adalah suara Li Eng yang segera dapat mengetahui bahwa suami isteri Ketua
Hoa-san-pai itu tidak akan menang melawan Si Kakek Bongkok yang mengerikan dan
amat lihai itu. Kedua tangannya segera bekerja, menyambit-nyambitkan buah
mentah dari pohon yang ia duduki cabangnya itu.
Sambitan
gadis ini bukan main-main dan tidak boleh dipandang ringan karena dilakukan
dengan pengerahan tenaga lweekang yang luar biasa. Sambitannya susul-menyusul
dan walau pun kakek bongkok itu dikeroyok dua oleh suami isieri Hoa-san-pai
sehingga tubuh ketiga orang itu berkelebatan dan berloncatan ke sana ke mari,
namun sambitan-sambitan Li Eng selalu tepat menuju sasarannya, yaitu
bagian-bagian lemah dan jalan-jalan darah di tubuh Toat-beng Yok-mo! Akan
tetapi alangkah kaget hati Li Eng ketika melihat bahwa semua buah mentah yang
ia sambitkan itu, jatuh runtuh berserakan begitu mengenai tubuh Toat-beng
Yok-mo.
"Siluman
cilik, tunggu saja kau, akan datang giliranmu nanti!" Yok-mo membentak
dengan nada mengejek sambil memperhebat tekanan tongkat hitamnya kepada suami
isteri yang sudah mandi keringat dan sudah mulai kehabisan tenaga itu.
Li Eng
segera memutar otaknya. Ia dapat menduga bahwa tentu kakek itu memiliki daya
kekebalan yang dapat menutup jalan darah yang terkena sambitan, maka tidak
terluka oleh sambitannya. Ia segera berseru nyaring mentertawakan,
"Hee,
kakek ompong! Kau hendak menyombongkan kepandaianmu, ya? Baiklah, matamu yang
besar sebelah itu amat tidak menyenangkan hatiku, hendak kubikin meram
semua!"
Kembali
kedua tangan Li Eng bergerak. Bagaikan peluru-peluru besi buah-buah mentah itu
meluncur susul-menyusul, kini yang dijadikan sasaran adalah mata yang besar
sebelah di muka Toat-beng Yok-mo!
Kali ini
terdengar Tok-mo berseru marah sekali. Betapa pun saktinya, tidaklah mungkin
manusia dapat membikin sepasang biji matanya kebal! Dan ia maklum bahwa satu
kali saja matanya terkena sambitan itu, ia akan menjadi buta.
Repot juga
tangan kirinya bergerak-gerak menyampok runtuh ‘senjata-senjata rahasia’ yang
tiada habisnya menyerang matanya itu. Tentu saja perhatiannya menjadi terpecah,
malah boleh dibilang sebagian besar ditujukan untuk menyelamatkan kedua matanya
dari serangan hebat dari atas pohon itu.
Oleh karena
inilah maka Kwa Tin Siong dan isterinya mendapatkan ‘angin baru’. Melihat
kekosongan-kekosongan dan kelemahan-kelemahan pada lawan, maka mereka tak ingin
menyia-nyiakan kesempatan baik ini dan segera menghujankan serangan-serangan
maut.
"Ceppp!"
Ujung pedang
di tangan Liem Sian Hwa menancap di pundak kiri Yok-mo. Terdengar raungan
mengerikan, tangan kiri Yok-mo mencengkeram ke depan dan...“Pletakk!” ujung
pedang Sian Hwa patah.
Akan tetapi,
sekali lagi Yok-mo meraung hebat ketika pedang Kwa Tin Siong menusuk
lambungnya. Cepat ia miringkan tubuh dan tongkat hitamnya menghantam pedang
itu. Bukan main kagetnya Kwa Tin Siong dan Sian Hwa. Tangkisan tongkat hitam
itu hampir saja membuat pedang Hoa-san Po-kiam terlempar dari tangannya. Kwa
Tin Siong cepat melompat mundur dan terhuyung-huyung, sedangkan Sian Hwa
melompat mundur sambil melihat pedangnya yang sudah buntung. Bukan main hebatnya
kakek tua itu, biar pun terluka di pundak dan lambung, namun masih demikian
hebatnya sehingga hampir Kwa Tin Siong suami isteri celaka.
"Aduh,
keparat...!" Yok-mo menjerit ketika pinggir mata kirinya tersambar buah
mentah.
"Hi-hi-hik,
siluman tua, sekarang kedua matanya sipit, tidak besar sebelah lagi, tapi lebih
menjijikkan...!" Li Eng menggoda.
Kemarahan
Yok-mo tak tertahankan lagi. Ia telah menderita dua luka tusukan oleh suami
isteri Hoa-san-pai, dan luka di pinggir mata oleh gadis nakal di atas pohon
itu. Semua ini adalah gara-gara gadis di pohon itu, maka kemarahannya segera
tertumpah kepada Li Eng.
"Siluman
cilik, kau harus mampus sekarang!"
Tubuhnya
dienjot dan dengan cepat sekali ia telah melayang naik ke atas pohon sambil
memutar tongkatnya karena ia hendak membunuh gadis itu dengah sekali serang
untuk melampiaskan kemarahan hatinya.
"Celaka...
kita harus bantu dia...," kata Kwa Tin Siong kepada Sian Hwa.
Isterinya
mengangguk menyetujui karena sepadang suami isteri ini maklum bahwa tadi mereka
telah ditolong dan dibantu oleh sambitan-sambitan gadis itu. Bagaikan sepasang
burung garuda, kedua suami isteri ini meloncat dan menerjang Yok-mo dari
belakang.
"Krakkk...
bruuuukk!"
Cabang yang
tadi dipakai duduk Li Eng menjadi patah dan tumbang oleh pukulan tongkat hitam
Yok-mo. Akan tetapi Li Eng tidak ikut jatuh karena tanpa diketahui penyerangnya
gadis itu telah berada di cabang yang lebih tinggi lagi.
"Hi-hi-hik,
kakek bongkok ompong, aku di sini!"
Akan tetapi
Toat-beng Yok-mo sekarang terpaksa melayani suami isteri yang ternyata sudah
mengejar dan menyerangnya.
"Hei,
kakek bongkok yang tak tahu malu, apakah kau sudah menyerah dan tidak berani
mengejarku? Hi-hi-hik, beranimu hanya terhadap suami isteri yang tiada guna
itu. Dan kalian, suami isteri Ketua Hoa-san-pai she Kwa, jangan begitu tak tahu
malu. Aku tidak minta bantuan kalian, tahu?"
Mendengar
ini, Yok-mo mengeluarkan seruan marah dan kembali dia meloncat ke atas dengan
tongkat hitam diputar.
Li Eng sudah
siap menanti, malah dia sempat berteriak, "Manusia she Kwa jangan bantu
aku, aku tidak sudi!"
Ucapan ini
tentu saja membuat Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa membatalkan niat mereka
membantu dan membuat mereka marah juga malu. Terpaksa mereka lalu berdiri di
tengah lapangan sambil menonton.
Kembali
terdengar suara hiruk-pikuk. Cabang-cabang serta ranting-ranting pohon besar
itu susul-menyusul patah dan tumbang karena hantaman tongkat Yok-mo. Akan tetapi,
cepat dan ringan seperti seekor burung Li Eng sudah berpindah-pindah cabang
sehingga dalam waktu yang tak begitu lama pohon itu sudah menjadi pohon gundul,
hanya tinggal batangnya. Kemana perginya Li Eng?
Gadis yang
lihai ini ternyata sudah melompat jauh dan telah berada di sebuah pohon lain
yang lebih besar dan tinggi.
"Hi-hi-hik,
Toat-beng Yok-mo. Benar-benarkah engkau hendak mencabut nyawaku? Aku berani
mempertaruhkan kepalamu bahwa kau tak akan mampu?"
Digoda
seperti ini, Yok-mo menjadi kehilangan kewaspadaannya, menjadi makin marah.
Dengan tekad bulat untuk membunuh Li Eng, ia melompat juga mengejar ke arah
pohon itu. Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika tiba-tiba ada sinar hitam
meluncur memapaki tubuh yang masih terapung di udara dalam lompatannya tadi.
Benda itu bagaikan seekor ular hidup yang besar dan panjang, telah mematuk ke
arah leher, dada dan pusarnya dengan gerakan bertubi-tubi dan berganti-ganti.
Kalau dia
tidak sedang meloncat tentu dengan mudah dia akan menghadapi serangan macam itu,
akan tetapi celakanya kini tubuhnya sedang di udara. Ia memutar tongkatnya
untuk menangkis, akan tetapi tiba-tiba sinar hitam yang ternyata adalah sehelai
sutera itu telah melibat-libat tongkat di tangannya. Yang hebat, sutera itu
seperti hidup saja karena dengan tenaga terbagi-bagi sekarang membetot-betot
tongkat hitamnya dengan kekuatan yang mengagetkan.
Karena
Yok-mo memaksa diri mempertahankan tongkatnya agar jangan sampai dirampas
lawan, maka kekuatan lompatannya menjadi patah setengah jalan dan sekarang
tubuhnya mulai jatuh ke bawah. Ia masih memegangi tongkatnya yang terlibat
sutera, karena itu sekarang ia jadi menggantung pada tongkatnya!
"He-he,
Yok-mo, kau seperti seekor laba-laba besar hendak bertelur!" Li Eng
mengejek sambil menarik-narik suteranya sehingga tubuh kakek itu pun ikut
‘menari-nari’ di bawah gantungan.
"Siluman
cilik, akan kubetot jantungmu, akan kukorek otakmu, dan kujadikan bahan obat
jin-sin-tan!" Yok-mo memaki-maki sekaligus mengancam, kemudian ia merambat
ke atas melalui tongkatnya.
Sebentar
kemudian ia telah berhasil menyambar sabuk hitam itu, melepaskan tongkatnya dan
dengan sikap liar yang mengerikan ia mulai merayap naik melalui sabuk hitam,
makin mendekati tempat Li Eng duduk, yaitu di sebuah cabang besar.
"Hemmm,
bocah liar itu mencari penyakit!" gumam Kwa Tin Siong.
Ia
sebetulnya tidak ingin melihat gadis yang aneh dan pandai ilmu silat
Hoa-san-pai itu celaka di tangan Yok-mo, akan tetapi karena bocah itu sendiri
melarang ia membantu, tentu saja ia malu untuk turun tangan.
"Melihat
sikapnya, ia pun tentu bukan murid orang baik," kata Liem Sian Hwa.
"Akan tetapi dia demikian cantik dan muda, kasihan kalau sampai
mengorbankan nyawa di tangan Yok-mo. Apa lagi disengaja mau pun tidak dia tadi
telah menolong kita. Tunggu saja, bila dia terancam, tidak peduli dia tidak
suka dibantu, kita turun tangan."
Kwa Tin
Siong menyetujui usui isterinya ini. Maka, mereka lalu siap-siap di bawah pohon
untuk membantu apa bila sewaktu-waktu gadis itu terancam bahaya di tangan
Yok-mo yang mukanya sudah merah hitam saking marahnya itu.
"Monyet
tua, kau mau buah mentah? Nih, makan!"
Dan segera
menghujanlah buah-buah mentah ke arah tubuh dan muka Yok-mo. Karena sambaran
buah-buah itu sebagian besar ditujukan pada kedua matanya, terpaksa Yok-mo
menundukkan muka, meramkan mata dan menutup jalan-jalan darah yang berbahaya
agar jangan sampai tertotok oleh sambitan-sambitan itu.
Sementara
itu ia merambat terus ke atas, semakin mendekati Li Eng. Ia merasa betapa
luka-luka di pundak dan lambungnya mengucurkan darah dan terasa sakit sekali.
Akan tetapi dengan mengeraskan hati, kakek yang sudah marah karena dipermainkan
Li Eng ini terus mengerahkan tenaga merayap ke atas. Hampir ia mencapai tempat
Li Eng dan ia pun telah mengangkat tongkat hitamnya untuk menyerang gadis itu.
Tiba-tiba saja tubuh Yok-mo meluncur ke bawah dan baru berhenti setelah ia hampir
menyentuh tanah.
Yok-mo
memaki-maki, kiranya sutera hitam itu diulur oleh Li Eng! Sambil memaki-maki
Yok-mo merayap lagi, merambat ke atas dengan cepat sekali. Sebaliknya, Li Eng
juga memaki-maki, mengejek sambil menyambit muka kakek itu dengan buah-buah
mentah. Biar pun kakek itu kebal dan tidak terluka oleh sambitan-sambitan itu,
namun ia sedikitnya merasa mukanya sakit dan pedas. Ia mempercepat rambatannya
ke atas dan sebentar saja ia sudah mendekati Li Eng lagi. Akan tetapi...
tiba-tiba tubuhnya meluncur turun lagi sampai dekat tanah.
Sambil
memutar tongkatnya melindungi muka dari sambitan buah, Yok-mo memandang dan
dengan girang ia melihat bahwa kini gadis itu memegangi ujung sutera hitam. Hal
ini berarti bahwa sutera yang panjang itu sudah habis dan tak akan dapat diulur
lagi.
"Keparat
cilik, kau hendak lari ke mana sekarang?" teriaknya sambil merambat lagi
ke atas dengan cepat.
"Keparat
gede!" Li Eng balas memaki. "Aku tidak lari ke mana-mana, kaulah yang
jangan lari."
Begitu tubuh
kakek itu sudah sampai di atas, gadis yang nakal ini sekaligus melepaskan
sutera yang dipegangnya. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh kakek itu jatuh ke
bawah!
Baiknya ia
memang lihai sekali sehingga jatuhnya enak saja dengan kedua kaki di atas
tanah. Akan tetapi, bukan main herannya Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa ketika
melihat betapa tiba-tiba kakek itu berteriak-teriak kesakitan, melepaskan
tongkatnya, memandang kepada kedua tangannya yang sudah menjadi hitam dan
sambil menjerit-jerit kakek itu lantas lari secepatnya meninggalkan puncak
Hoa-san-pai, diiringi suara ketawa nyaring gadis itu yang cepat-cepat melompat
ke bawah.
"Hi-hi-hi-hik,
termakan racunmu sendiri kau sekarang!" katanya puas sambil menggulung
kembali sabuk suteranya.
Tahulah
sekarang Kwa Tin Siong dan istarinya bahwa tadi ketika sabuk melibat tongkat,
sabuk itu telah terkena racun yang keluar dari ujung tongkat...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment