Monday, July 16, 2018

Cerita Silat Serial Rajawali Emas Jilid 07



























            Cerita Silat Kho Ping Hoo
           Serial Rajawali Emas

                     Jilid 07


Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa sambil menangkis dengan sepasang pedangnya. Akan tetapi suara ketawanya tak berlangsung lama karena ia segera menjadi repot sekali oleh pengeroyokan dua orang itu. Hek-hwa Kui-bo mainkan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut sedangkan Song-bun-kwi memainkan Yang-sin Kiam-sut dan mereka dapat bekerja sama secara baik sekali.

Menghadapi pasangan ilmu pedang sakti ini, Kwa Hong segera terdesak hebat. Masih untung baginya ia sudah paham betul akan gerakan dan perubahan geseran kaki menurut gerakan rajawali emas, sehingga biar pun terdesak hebat ia masih dapat menyelamatkan diri secara aneh. Akhirnya ia melengking keras minta bantuan rajawali. Rajawali emas segera menyambar-nyambar di atas kepala kedua orang itu. Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo tadi sudah menyaksikan ketika rajawali itu merampas pedang dari tangan Cia Hui Gan, maka mereka kaget dan cepat-cepat meloncat dan menjatuhkan diri.

Kesempatan ini dipergunakan Kwa Hong untuk meloncat ke atas punggung burungnya, sambil tertawa-tawa ia berkata, "Aku tidak ada waktu untuk main-main dengan kalian dua orang tua bangka!"

Cepat burungnya terbang meninggalkan dua orang itu yang menyumpah-nyumpah saking mendongkol dan marahnya.

"Ahh, kenapa bisa begini tolol? Aku harus menangkap Beng San keparat!" tiba-tiba saja Song-bun-kwi teringat akan urusannya dan tanpa menoleh lagi kepada Hek-hwa Kui-bo ia berlari cepat mengejar ke arah larinya Beng San dan Li Cu tadi.

Hek-hwa Kui-bo datang bersama Beng Kui. Memang dia dimintai tolong oleh orang muda itu setelah Beng Kui mendengar bahwa Beng San kini sudah kehilangan kepandaian dan ingatannya. Seperti telah dituturkan pada bagian atas, antara Hek-hwa Kui-bo dan Beng Kui terdapat kerja sama lagi ketika mereka bersama-sama membantu pemberontak-pemberontak yang ingin menggulingkan kedudukan Kaisar pertama dari Kerajaan Beng. Sekarang Beng Kui berhasil dengan usahanya, yaitu menculik Beng San dan Li Cu.

Akan tetapi, di belakang orang muda itu mengejar Song-bun-kwi dan mungkin juga Kwa Hong, siapa tahu? Sudah menjadi tugasnya untuk membantu Beng Kui, maka ia pun lalu meninggalkan tempat itu dan menyusul Beng Kui karena ia sudah tahu ke mana pemuda itu membawa pergi dua orang korbannya itu.

Dalam kempitan Beng Kui, Beng San tidak berdaya. Akan tetapi diam-diam ia memutar terus otaknya yang sejak pertempuran di Thai-san tadi mengalami guncangan-guncangan hebat. Banyak hal yang membingungkannya. Sekarang kakak kandungnya menangkap dia dan isterinya. Apakah kesalahannya? Apa pula kesalahan isterinya? Dan ke manakah mereka berdua hendak dibawa? Lalu hendak diapakan?

Seingatnya, isterinya adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, yang juga merupakan puteri dari Song-bun-kwi. Dan baru teringat ia sekarang, kenapa tadi Song-bun-kwi tidak menolongnya dan menolong isterinya?

"Aku tidak peduli itu semua...," akhirnya hatinya memutuskan karena kepalanya serasa pecah karena kepeningan ketika dia mencoba memecahkan semua rahasia itu. "...asal saja Bi Goat jangan diganggu..."

Ia merasa kuatir sekali kalau-kalau isterinya diganggu orang. Dan apa bila sampai terjadi demikian, biar pun yang mengganggunya adalah kakak kandungnya, biar pun dia sendiri tak bisa silat, hemm... dia akan mencegahnya dan melawan mati-matian mempertaruhkan nyawanya sendiri.

"Kui-ko, mengapa kau menangkap kami suami isteri dan ke mana kau hendak membawa kami?" Beng San akhirnya bertanya.

Akan tetapi yang ditanya tidak menjawab, melainkan berlari makin cepat lagi. Beng San mengulang-ulang pertanyaannya, namun Beng Kui tetap tidak menjawab sedangkan Li Cu tidak dapat bersuara karena jalan darah di lehernya telah tertotok.

Semenjak Beng Kui gagal dalam rencana pemberontakannya dulu, hatinya menjadi lebih sakit dan menaruh dendam besar terhadap Beng San. Ia sudah mendengar betapa adik kandungnya itulah yang telah menggagalkan pencegatan terhadap Kaisar, malah dia juga mendengar betapa dengan kerja sama antara Beng San dan Li Cu, Ho-hai Sam-ong telah tewas pula dalam pertempuran.

Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan betapa gurunya sendiri pun turun tangan di kota raja menghadapinya, maka ia menaruh sakit hati terhadap bekas gurunya, terhadap Li Cu dan terutama sekali terhadap Beng San. Inilah yang menyebabkan mengapa ia lalu sengaja datang ke Thai-san bersama Hek-hwa Kui-bo ketika ia mendengar berita bahwa Beng San yang ia takuti itu telah kehilangan kepandaiannya dan menjadi orang gila. Sebagai seorang bekas pemberontak, tentu saja Beng Kui tidak dapat bergerak bebas. Ia menyembunyikan diri sambil menanti saat baik, malah membuat tempat persembunyian tidak jauh dari Puncak Thai-san.

Di sebuah hutan ia telah mendirikan rumah besar dan ia mempunyai banyak kaki tangan yang masih setia kepadanya. Pada saat berada di tempatnya ini Beng Kui menganggap diri sendiri seolah-olah sudah menjadi seorang ‘raja kecil’. Isterinya, puteri pangeran yang bertubuh lemah, tidak ia ajak dalam perantauan dan persembunyiannya ini, melainkan ia tinggalkan di tempat persembunyiannya di dekat kota raja.

Menjelang senja Beng Kui telah memasuki sebuah hutan besar di kaki Gunung Thai-san sebelah utara. Hutan itu gelap dan amat liar, tidak pernah didatangi manusia. Akan tetapi ternyata di tengah-tengah hutan besar itu terdapat sebuah rumah besar yang dikelilingi oleh rumah-rumah berukuran agak kecil. Inilah ‘perkampungan’ kecil yang menjadi tempat persembunyian Beng Kui bersama pengikut-pengikutnya.

Kedatangan Beng Kui disambut beberapa orang kaki tangannya. Dia langsung memasuki rumahnya kemudian membanting tubuh Beng San ke atas lantai. Pemuda ini terbanting dan bergulingan, lalu terdengar beberapa orang anak buah Beng Kui tertawa mengejek.

"Kui-ko, di manakah ini? Rumah siapa dan apa yang hendak kau lakukan terhadap kami? Kau lepaskan isteriku!" Beng San tak pedulikan tubuhnya yang sakit-sakit lalu merangkak bangun.

Andai kata Beng Kui tidak semarah itu, kiranya hal ini akan menimbulkan keheranannya. Akan tetapi dia lupa bahwa tadi dia sudah menotok jalan darah di tubuh Beng San yang membuat adiknya itu lumpuh.

"Kau mau tahu apa yang hendak kulakukan? Ha-ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu sekarang! Kau harus melihat dulu apa yang akan kulakukan terhadap perempuan tak tahu malu ini!" ia melempar Li Cu ke atas sebuah dipan diruangan itu.

Gadis itu jatuh lemas dan tidak dapat bergerak, hanya kedua matanya yang memandang tajam penuh kemarahan dan kebencian. Beng Kui mengejar maju dan sekali tangannya bergerak ia telah membebaskan totokan pada leher gadis itu sehingga Li Cu dapat bicara kembali. Tetapi, saking marahnya sampai gadis itu tidak mampu mengeluarkan perkataan apa pun!

"Kui-ko, kau tahu bahwa aku tidak takut mati. Kau mau bunuh aku, boleh bunuh. Akan tetapi kau harus membebaskan Bi Goat, dia itu tidak mempunyai dosa apa-apa terhadap dirimu. Kalau kau benci kepadaku, kalau kau marah kepadaku, boleh kau perlakukan aku sesukamu, tapi jangan ganggu Bi Goat!" kembali Beng San memohon kepada kakaknya.

Beng Kui tertawa mengejek. "Sudah kukatakan tadi, kau tidak akan kubunuh sekarang. Kau perlu hidup untuk menyaksikan betapa aku akan membuat wanita tak tahu malu ini sebagai barang permainanku. Ya, aku harus membalas, dia harus menjadi permainanku, ha-ha-ha... dan di depan matamu, Beng San! Nanti kalau aku sudah bosan, baru kurusak mukanya dan kubebaskan dia dan kau pun akan kulempar ke dalam jurang di belakang rumah. Sudah terlalu sering kau merusak rencanaku, sudah terlalu banyak usahaku yang kau gagalkan."

Ia ketawa lagi dan berpaling kepada beberapa orang anak buahnya yang berada di situ, berdiri seperti patung. "Sediakan hidangan untukku!"

Orang-orang itu memberi hormat sambil berlutut lalu mengundurkan diri. Beng Kui tertawa lagi.

"Lihat Beng San, lihatlah baik-baik. Biar pun kau sudah menggagalkan semua rencanaku, akan tetapi aku tetap dapat hidup sebagai raja. Dan kau akan kujadikan anjing, manusia bukan binatang pun bukan, hidup tidak mati pun belum. Dan dia... ha-ha, perempuan yang mencintamu ini, yang melempar aku memilih kau, dia akan melihat bahwa aku jauh lebih berharga dari padamu."

Beng San sukar menangkap arti semua ucapan itu. Dia berusaha mengingat-ingat dan memeras otaknya, maka terlihat ia berdiri bengong seperti patung batu. Ada pun Li Cu saking marahnya sampai seperti gagu tak dapat bicara, hanya pancaran matanya yang berapi-api seperti hendak membakar tubuh Beng Kui dengan api kebencian yang berkobar-kobar. Akan tetapi di samping kebencian dan kemarahannya ini, diam-dian Li Cu menjadi terheran-heran.

Selama hidup belum pernah ia melihat suheng-nya itu seperti sekarang ini. Alangkah jauh bedanya dengan dahulu. Rasa herannya makin memuncak ketika hidangan yang mewah disediakan di atas meja. Beng Kui makan minum seorang diri dengan sikap berlebihan. Orang-orang yang melayaninya kelihatan amat menghormat seolah-olah sedang melayani seorang kaisar saja. Dilihat keadaannya sekarang dan bila dibandingkan dengan dahulu, agaknya lebih pantas kalau dikatakan bahwa Beng Kui telah berubah pikirannya atau tidak waras lagi pikirannya.

Setelah selesai makan, Beng Kui melemparkan beberapa potong tulang kepada Beng San sambil tertawa dan berkata, "He, anjing... nih kuberi tulang, makanlah! Ha-ha-ha!"

Beng San berdiri tak bergerak, hanya memandang kepada kakak kandungnya yang sudah seperti orang gila itu. "Kui-ko ingatlah... kenapa kau menjadi begini...? Kau seperti orang gila..."

"Keparat!" Tubuh Beng Kui bergerak tangannya kiri kanan menampar dan…

"Plak-plak-plak!" muka Beng San sudah dihujani tamparan yang keras sehingga Beng San terhuyung-huyung dan kedua pipinya menjadi merah.

"Bersihkan meja dan tinggalkan kami. Tutup pintu depan, lalu jaga baik-baik!" Beng Kui memberi perintah kepada orang-orangnya yang dengan sigap lalu mengerjakan perintah orang muda itu. Tak lama kemudian mereka bertiga sudah ditinggalkan pergi oleh para pelayan.

Beng San masih berdiri tegak, bekas tamparan kakaknya masih tampak di kedua pipinya. Setelah semua pelayan pergi, Beng Kui kemudian mencabut pedang Liong-cu-kiam dari pinggangnya. Dia menghampiri Beng San yang berdiri dengan sikap tegak, sama sekali tidak kelihatan takut. Kiranya biar pun kehliangan ingatan dan kepandaian, namun Beng San tidak pernah kehilangan keberanian dan ketabahannya.

"Hemm, kau hendak bunuh aku, Kui-ko? Mau bunuh boleh bunuh, aku tidak takut. Akan tetapi jangan sekali-kali kau mengganggu isteriku. Dia... dia tidak berdosa, mengapa kau menawannya? Lekas kau bebaskan dia!"

"Beng San keparat, hayo kau lekas berlutut! Hayo!"

Akan tetapi Beng San berdiri tegak dan memandang dengan matanya yang kini bersinar tenang dan bodoh. Teringat ia akan segala pelajaran filsafatnya dan ia menjawab, "Kui-ko, aku hanya dapat berlutut kepada Tuhan, kepada nenek moyang, kepada ayah bunda, kepada guru, kepada pemimpin dan kepada orang yang telah kuperlakukan dengan keliru sehingga aku patut minta ampun kepadanya. Padamu aku tidak salah apa-apa, kenapa harus berlutut?"

"Keparat!" Kaki Beng Kui bergerak dan lutut Beng San keduanya sudah kena ditendang dengan cepat. Beng San tak dapat mempertahankan diri lagi dan jatuh berlutut.

Beng Kui tertawa bergelak-gelak, "Ha-ha-ha, akhirnya kau berlutut juga di hadapanku. Hemmm, kau mengaku adik kandungku, akan tetapi semenjak pertemuan kita kau selalu menjadi perintang, selalu menjadi penghalang dan selalu menjadi pengacau hidupku! Sudah sepatutnya kalau kau kubunuh!"

"Beng Kui, kau ini manusia apakah? Cih, kau tak tahu malu, curang, dan benar-benar pengecut besar! Kau berani bertingkah setelah melihat Beng San kehilangan ingatannya. Coba kalau dia masih seperti biasa, aku berani bertaruh kau akan lari tunggang-langgang kalau bertemu dengan dia! Huh, muak perutku melihat mukamu!" Ucapan ini keluar dari mulut Li Cu yang marah bukan main menyaksikan betapa Beng Kui memperlakukan Beng San seperti itu.

Pucat muka Beng Kui mendengar cacian yang luar biasa menghinanya ini. Selama hidup belum pernah Li Cu berani bicara seperti ini kepadanya, kepada dia yang menjadi kakak seperguruannya, juga menjadi bekas tunangan! Benar-benar penghinaan yang melampaui batas. Sekali melompat ia telah berada di pinggir dipan, memandang kepada Li Cu yang rebah miring di atas dipan karena masih tertotok, namun sepasang matanya memandang tajam penuh kebencian.

"Kau berani menghinaku? Apakah kau kira aku pun tidak sanggup mempermainkan dan menghinamu?" Pedangnya berkelebat dan…

"Brettt" robeklah baju Li Cu.

Baju luar berwarna merah itu robek lebar sekali sehingga tampak baju dalamnya yang berwarna merah muda. Beng Kui tertawa terbahak-bahak sedangkan Li Cu menjadi pucat sekali, tak berani mengeluarkan kata-kata lagi saking ngerinya melihat perbuatan bekas suheng-nya yang seperti kemasukan iblis itu.

"Kui-ko, jangan kau ganggu isteriku!" Beng San lari menghampiri dan mengangkat tangan hendak mencegah kakaknya bertindak lebih jauh.

Akan tetapi sambil membalikkan tubuh Beng Kui menendang lagi dengan keras sehingga tubuh Beng San terlempar dan terbanting pada dinding. Namun Beng San sudah nekat. Ia bangun lagi, menghampiri dan berseru.

"Tak boleh kau menghina isteriku... Tak boleh..."

Sekali lagi ia terjungkal karena tendangan Beng Kui pada perutnya. Kali ini agak sukar Beng San untuk bangkit. Tendangan itu membuat napasnya menjadi sesak. Akan tetapi sambil merangkak mendekati kakaknya lagi dan merangkul kedua kakinya.

"Kui-ko, jangan... jangan kau menggangu isteriku..., bunuhlah aku kalau kau kehendaki, tapi bebaskan dia..."

Beng Kui mehjadi gemas sekali, pedang di tangannya berkelebat ke arah Beng San. Li Cu menjerit dan rambut di kepala Beng San terbabat putus. Li Cu terisak-isak saking kuatirnya, akan tetapi Beng San sama sekali tidak kelihatan gentar biar pun tadi pedang itu hampir saja membabat putus batang lehernya.

"Kui-ko, sekali lagi kuminta, jangan kau ganggu isteriku."

"Bangsat, kalau aku mau mengganggunya kau mau apa? Hayo kau mau apa?” Beng Kui menantang.

"Biar pun aku tidak pandai silat, aku akan melawanmu!" kata Beng San sambil berusaha untuk berdiri.

"Ha-ha-ha-ha, kau hendak melawan? Nah, terimalah bacokan ini!" Pedang di tangannya berkelebat dan kini benar-benar melayang ke arah batang leher Beng San dengan cepat dan kuat.

"Beng San...!" Li Cu menjerit lagi dengan sekuat tenaga dan ia hampir pingsan melihat pedang itu menyambar leher kekasihnya.

Beng San terjungkal dan tak bergerak. Akan tetapi lehernya tidak putus dan tidak ada setetes pun darah keluar. Kiranya tadi Beng Kui hanya menakut-nakuti saja dan membalik pedangnya sehingga punggung pedangnya yang menghantam belakang kepala Beng San, bukan mata pedangnya. Pukulan ini keras sekali dan Beng San tersungkur, tak mampu bangun kembali. Ia merasa seperti melayang-layang dari tempat yang sangat tinggi penuh bintang beraneka warna beterbangan di sekelilingnya. Ia jatuh terus ke bawah, makin lama semakin cepat.

Mula-mula melalui ruangan yang putih seperti salju, lalu ruangan merah seperti darah, Kemudian setelah melalui beberapa ruangan yang beraneka warna ia tidak melihat apa pun lagi. Hanya perasaannya yang menyatakan bahwa ia masih terus melayang-layang ke bawah. Telinganya mendengar suara yang sangat mengerikan, mengiang-ngiang dan mendengung-dengung, kadang-kadang rendah, lalu disusul suara ketawa terbahak-bahak yang bergema di sekelilingnya, disusul suara tangis yang memilukan!

Apakah aku sudah mati? Di mana aku berada? Bukan aku yang mati, melainkan Bi Goat! Ah, Bi Goat sudah mati dan ia mengunjungi kuburannya. Bi Goat isterinya yang tercinta, telah mati. Apakah aku juga sudah menyusulnya dan sekarang terseret?

"Bi Goat... Bi Goat..." Ia mencoba untuk memanggil, namun tidak terdengar suaranya.

"Beng San...!" Teriakan ini seperti terdengar dari tempat yang amat jauh.

Beng San merasa seakan-akan ia berhenti melayang. Tahu-tahu ia merasa telah berada di atas bumi. Mimpikah aku? Siapa yang memanggilku tadi? Apakah Bi Goat? Ia merasa kini bahwa tubuhnya sedang rebah tertelungkup. Ahh, tentu ia mimpi, tapi...

"Beng San...!" Makin keras panggilan ini, suara wanita dan jerit itu menyayat hati benar.

Ia membuka mata. Benar saja, ia sedang rebah tertelungkup. Akan tetapi mengapa di atas lantai? Kedua kakinya terasa sakit dan lehernya juga sakit. Ia menoleh ke atas. Apa yang dilihatnya membuat ia bengong dan terbelalak. Gilakah dia? Kenapa dia melihat semua ini? Ia melihat Beng Kui kakaknya dan Li Cu yang rebah tidak dapat bergerak di atas dipan, sedangkan Beng Kui yang berdiri di dekat dipan terus tertawa-tawa.

"Beng San...!" Kembali Li Cu memekik dan kembali Beng Kui tertawa,

"Ha-ha-ha, kau boleh seribu kali memanggilnya. Dia tak dapat bangun lagi, anjing lemah itu. Ha-ha, Li Cu, benar-benar aku masih hampir tak dapat percaya kalau kau dapat jatuh cinta kepada orang gila!"

“Beng Kui, mengapa kau begini kejam? Apakah kau hendak membunuh adik kandungmu sendiri? Apakah kesalahannya? Kalau begitu, kau bunuh aku juga, Beng Kui."

"Tidak, kau tak akan kubunuh. Sayang kecantikanmu. Aku masih cinta kepadamu, Li Cu. Dan kau, mau tidak mau, harus menemaniku di dalam hutan ini."

"Tidak! Aku lebih baik mati! Beng Kui, ingatlah. Aku... aku hanya cinta kepada Beng San. Aku mau mati atau hidup bersama dia. Kalau kau sudah membunuhnya, kau bunuhlah aku. Jika kau lakukan itu, aku bersumpah takkan menaruh dendam kepadamu. Bunuhlah aku." Li Cu terisak-isak menangis.

"Benar-benar aneh kau ini, Li Cu. Beng San sudah gila, dia selain gila juga menjadi orang lemah. Kau dianggapnya isterinya yang bernama Bi Goat, yang sudah mati. Sudah jelas bahwa ia tidak mencintamu sebagai Li Cu, tetapi mencintamu sebagai Bi Goat. Kenapa kau bisa membalas cinta kasih orang gila macam itu? Aku belum membunuhnya, Li Cu. Akan tetapi, kalau kau dengan suka rela mau menjadi isteriku, aku akan bebaskan dia. Sebaliknya, kalau kau tetap keras kepala, aku akan membunuhnya setelah menyiksanya seperti anjing gila, dan kau tetap akan kujadikan isteriku!"

Sepasang mata Li Cu terbelalak lebar dan kemarahannya tidak mampu ditahannya lagi. "Keparat, kau! Iblis kau! Tuhan akan mengutukmu, jahanam!"

"Ha-ha-ha, kau hendak mengamuk lagi? Ha-ha, Li Cu, mati hidupmu di tanganku, tahu?"

"Aku tidak takut! Kau iblis bermuka manusia. Terkutuklah kau!"

"Ha-ha-ha, semakin manis saja kalau kau marah-marah." Pedangnya bergerak perlahan dan…

"Brettt!" sekarang pakaian dalam yang menempel di tubuh Li Cu robek pula oleh ujung pedang.

Li Cu menjerit ngeri dan menutupkan matanya yang penuh air mata. Akan tetapi apa dayanya? Tubuhnya tak mampu bergerak.

Tiba-tiba tubuh Beng Kui terlempar ke belakang, menimpa meja yang tadi ia pakai makan minum sampai kaki meja itu patah-patah! Kaget bukan main Beng Kui yang tadi merasa seakan-akan tubuhnya bisa terbang melayang begitu saja.

Cepat ia meloncat bangun sambil mempersiapkan pedang yang masih terpegang olehnya. Ketika ia membalikkan tubuh memandang, matanya terbelalak lebar seakan-akan hendak meloncat keluar dari tempatnya. Ia melihat Beng San sudah berdiri di hadapannya dengan sepasang mata yang bersinar sinar penuh api kemarahan. Sepasang mata itu kini bercahaya ganjil dan menyeramkan seperti dahulu!

Ia masih belum mau percaya kalau Beng San yang tadi melemparkannya. Tidak mungkin! Bukankah tadi setelah ia hantam belakang kepala Beng San dengan punggung pedang, adiknya itu roboh dan pingsan? Tentu saja manusia yang sudah mabok kemenangan dan mabok pangkat ini tidak sadar bahwa di dunia ini kekuasaan manusia sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan.

Manusia yang merasa dirinya menang, yang merasa dirinya kuat sendiri, yang merasa dirinya benar sendiri, menyatakan bahwa manusia seperti ini adalah manusia yang berjiwa rendah. Atau setidaknya, pada saat itu hati nuraninya dikuasai oleh iblis.

Segala kemenangan, kekuatan dan kebenaran seluruhnya terletak di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Merupakan rahmat-Nya bagi manusia. Oleh karena itu, segala rahmat dari Tuhan harus dipersembahkan kemudian kepada-Nya dengan jalan mengakui dengan segala kerendahan hati bahwa kesemuanya itu datang dari pada-Nya. Pengakuan yang tulus akan hal ini akan menjauhkan manusia dari mabok kemenangan serta kekuasaan.

Pada saat punggung pedang di tangan Beng Kui tadi menghantam belakang kepala Beng San, Tuhan memperlihatkan kekuasaan-Nya. Hantaman itu tepat mengenai jalan darah yang menjurus ke kepala, menggetarkan urat saraf di kepala Beng San yang terganggu ketika dia dahulu terpukul oleh kedukaan karena kematian isterinya.

Bagaikan air yang mengalir kembali setelah bendungannya dibuka, ingatan Beng San kembali perlahan-lahan dan semua ini ditambah oleh pendengarannya ketika Beng Kui dan Li Cu berdebat. Terbukalah semua ingatan dan pengertiannya, sekaligus membuat ia marah bukan main. Baiknya ia dapat cepat sadar kembali dan dapat mencegah sebelum Beng Kui melakukan perbuatan yang lebih biadab lagi.

"Beng San...!" Li Cu berseru lirih, namun di dalam seruan lirih ini terkandung jerit yang memecahkan kesunyian angkasa, penuh kekagetan, penuh keheranan, penuh gairah dan harapan.

Beng San melirik ke arah Li Cu, akan tetapi cepat-cepat ia membuang muka pada saat melihat keadaan nona itu yang tubuhnya bagian atas tidak tertutup lagi baik-baik karena bajunya yang koyak-koyak lebar itu. Tanpa banyak cakap ia segera meloloskan bajunya sendiri dan melemparkan bajunya ini di atas tubuh Li Cu yang tidak tertutup. Barulah ia berani berpaling.

Mereka berpandangan sejenak, keduanya dengan mata berlinangan air mata. Beng San sudah tahu semua ketika tadi ia mendengar percakapan antara Li Cu dan Beng Kui.

"Nona, biarlah kubebaskan kau dari totokan..."

"Beng San, awas!" teriak Li Cu.

Beng San dengan tenang tapi cepat menggeser kakinya dan tangannya bergerak ke kiri. Pedang Liong-cu-kiam menyambar lewat di pinggir kepalanya.

"Beng Kui, kau benar-benar tidak tahu diri...," dia mencela sambil melompat ke tengah ruangan, terpaksa belum dapat membuka totokan atas diri Li Cu.

Akan tetapi kemarahan Beng Kui sudah memuncak. Sepasang matanya menjadi merah dan berputar-putar liar.

"Kau orang gila banyak tingkah... mampuslah!" bentak Beng Kui dan pedangnya kembali menyambar-nyambar.

Banyak orang bilang bahwa orang gila menganggap diri sendiri waras dan menganggap orang waras sebagai orang gila. Kiranya keadaan Beng Kui cocok dengan pendapat ini. Dia memaki gila akan tetapi dia sendirilah yang mengamuk seperti orang gila.

Pedangnya mengeluarkan suara kemudian berubah menjadi segulung sinar panjang yang melayang-layang dan menyambar-nyambar hebat ke arah Beng San. Namun, sekaligus Beng San sudah mendapatkan kembali semua kepandaiannya yang memang tak pernah hilang, hanya ‘terlupa’ oleh otaknya. Secara otomatis kakinya bergerak-gerak dan semua serangan pedang itu dapat ia hindarkan dengan amat mudahnya.

"Beng Kui, kau orang tua yang tidak mau dihormati adiknya. Sekali lagi sekarang aku beri kesempatan kepadamu untuk pergi dari sini dengan aman. Kau pergilah, tetapi tinggalkan Liong-cu-kiam."

"Jangan banyak cakap!" Beng Kui malah memaki dan pedangnya terus menyerang.

Tiga kali Beng San minta kepada kakaknya untuk pergi dengan aman, namun jawabannya selalu serangan maut yang ditujukan kepadanya secara nekat.

"Kau memang keras kepala!" seru Beng San kemudian.

Saat itu pedang di tangan Beng Kui menusuk dadanya. Beng San tiba-tiba menggunakan gerakan merendahkan tubuh, kemudian dari bawah tangannya bergerak ke atas, yang kanan merampas gagang pedang yang kiri memukul dengan pukulan Pek-in Hoat-sut.


Hawa pukulan yang mengandung uap putih itu melumpuhkan seluruh tenaga Beng Kui dan dengan mudah pedang di tangannya berpindah tempat! Ia masih hendak menerjang dengan tangan kosong, namun kaki kiri Beng San menendangnya sehingga dia tepental keluar ruangan itu dan bergulingan sampai jauh. Beberapa orang anak buah Beng Kui menyerbu ke dalam.

"Pergilah kalian!"

Seruan Beng San ini demikian berpengaruh, apa lagi disertai dorongan tangan kirinya ke depan yang membuat sekaligus tiga orang terjengkang tanpa tersentuh tubuhnya sedikit pun, sehingga mereka semua menjadi kaget dan jeri. Pada saat itu, terdengar hiruk pikuk di luar dan terdengar pula suara banyak orang berlari-lari pergi meninggalkan tempat itu, seakan-akan takut menghadapi sesuatu yang hebat.

"Song-bun-kwi setan tua, jangan ganggu orang-orang ini! Nona Kwa Hong, orang-orang ini adalah teman-teman Tan Beng Kui-enghiong, jangan kau ganggu!" Terdengar suara Hek-hwa Kui-bo.

Beng San terheran-heran dan hanya berdiri di tengah ruangan itu, pedang Liong-cu-kiam di tangan. Celananya robek-robek pada bagian yang ditendang Beng Kui tadi, sedangkan tubuhnya bagian atas telanjang karena bajunya tadi sudah ia lemparkan kepada Li Cu. Ia kelihatan seperti seorang bajak sungai!

Berturut-turut mereka meloncat masuk. Mula-mula Song-bun-kwi, disusul Kwa Hong dan kemudian sekali Hek-hwa Kui-bo. Tiga orang itu begitu memasuki ruangan berdiri tertegun seperti melihat setan di tengah hari!

Ada pun Beng San begitu melihat Song-bun-kwi, segera dia menjura dengan hormat dan berkata memanggil, "Gak-hu (Ayah Mertua)..."

Song-bun-kwi masih mengira bahwa Beng San kehilangan kepandaiannya, karena itu ia membentak, "Aku bukan ayah mertuamu! Keparat, kau pembunuh anakku Bi Goat dan karenanya sekarang akan kupatahkan batang lehermu!" Ia menerjang ke depan.

Tapi sinar hijau menyambar dan menghalangi gerakan kakek ini. Sinar itu tidak lain adalah panah-panah hijau dari Kwa Hong.

"Perlahan dulu Song-bun-kwi!" Memang Kwa Hong tidak ingin melihat Beng San terbunuh oleh orang lain. Mati atau hidupnya Beng San dialah sendiri yang berhak memutuskan, begitu pikirnya.

"Hong-moi kau juga di sini?" tegur Beng San dengan suara halus.

Kwa Hong seketika menjadi pucat, apa lagi ketika melihat pedang Liong-cu-kiam di tangan pemuda itu. "Kau...sudah ingatkah...?"

"Bangsat, kau sudah membunuh anak perempuanku. Kalau kau sudah ingat, tentu kau tak akan mungkir lagi!" Song-bun-kwi membentak sambil melangkah maju.

Beng San tersenyum sedih, "Gak-hu, aku amat mencinta Bi Goat. Bagaimana aku dapat membunuhnya? Bi Goat meninggal karena berduka dan marah yang ditimbulkan oleh Hong-moi. Memang aku lama meninggalkan Bi Goat, akan tetapi hal itu adalah karena aku merasa amat berduka dan menyesal serta malu karena perbuatanku bersama Kwa Hong dahulu. Kemudian aku membantu orang-orang gagah untuk melindungi Kaisar dari pengkhianatan beberapa orang, maka pulangku terlambat. Aku menyesal sekali, Gak-hu, tapi sesungguhnya bukan aku yang menyebabkan kematian isteriku. Dia tahu bahwa aku mencintanya. Tapi Tuhan lebih kuasa dari segala di dunia ini..."

Beng San nampak sangat berduka.

"Keparat, kau bisa saja memutar omongan. Isteri melahirkan anak sampai mati tapi kau sebagai suami tidak menjaganya!"

"Ahh, Gak-hu. Memang aku benar-benar merasa berdosa. Sekarang di manakah anakku itu, Gak-hu? Biarlah aku akan merawatnya penuh kasih sayang, sebagai pengganti Bi Goat dan..."

"Tutup mulut! Kau laki-laki mata keranjang, kau laki-laki hina-dina, kau... kau sudah main gila dengan perempuan lain. Hemmm hendak menyangkal, kau?"

Kakek ini menudingkan telunjuknya ke arah Li Cu yang masih rebah terselimut baju luar Beng San, rebah miring tak bergerak di atas dipan! Semua mata lalu memandang dan Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa genit penuh arti ketika melihat baju Beng San menyelimuti tubuh Li Cu.

Wajah Li Cu sebentar pucat sebentar merah sekali. Namun Beng San tetap tenang.

"Aku tidak pernah main gila dengan siapa pun juga. Mungkin karena kehilangan ingatan aku menjadi seperti gila dan syukurlah... berkat pertolongan Nona Cia yang berbudi mulia sampai sekarang aku masih terlindung. Gak-hu, kau berikanlah puteraku."

"Putera apa? Pedang inilah yang akan menghabisi nyawamu!"

"Nanti dulu, Song-bun-kwi. Aku pun hendak bicara dengan Beng San!" Kwa Hong cepat menghadang di depan dan terpaksa Song-bun-kwi menunda penyerangannya.

Kwa Hong kini menghadapi Beng San. Orang muda itu menjadi agak pucat. Baginya jauh lebih berat menghadapi Kwa Hong dari pada menghadapi musuh yang mana pun juga.

"Adik Hong, apakah selama ini kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya halus sewajarnya karena di lubuk hatinya orang muda ini benar-benar merasa kasihan sekali kepada gadis itu.

Tersedu kerongkongan Kwa Hong mendengar pertanyaan yang halus ini. Akan tetapi dia segera menjawab, "Baik-baik saja, San-ko, aku sengaja mencarimu dan syukurlah kalau kau sudah sembuh kembali. Marilah kau ikut dengan aku, San-ko. Mari kita pelihara anak kita baik-baik. Tentang musuh-musuhmu ini, jangan kuatir, San-ko, Hong-moi-mu ini dapat membunuh mereka seperti orang membunuh anjing!" Setelah berkata demikian, Kwa Hong tertawa, suara ketawanya melengking menyeramkan sekali.

Ucapan terakhir dan suara ketawa Kwa Hong itu menusuk jantung Beng San, karena ia maklum bahwa Kwa Hong sekarang sudah bukan Kwa Hong yang dulu lagi. Wajahnya jelas membayangkan watak yang sombong, kejam, dan tidak wajar.

"Hong-moi, kau tahu bahwa tak mungkin aku memenuhi permintaanmu ini. Kau dan aku telah melakukan perbuatan terkutuk, itu memang benar. Akan tetapi hal itu terjadi di luar kesadaran kita, Hong-moi. Tentang anak itu kau sendiri hendak mendidiknya syukurlah. Kalau kau keberatan, boleh kau berikan kepadaku karena anak itu juga menjadi tanggung jawabku."

"Kau... kau...!” Kwa Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis terisak-isak.

Hatinya sedih bukan kepalang. Tadinya dia mengharapkan akan dapat membawa Beng San dengan secara paksa karena Beng San sudah kehilangan kepandaiannya dan dia sanggup merampas Beng San dari tangan siapa pun juga. Akan tetapi sekarang Beng San kelihatannya sudah sembuh kembali, bagaimana mungkin?

"Beng San, katakan di mana adanya Beng Kui? Pedangnya kau pegang, kau apakan dia?" kali ini Hek-hwa Kui-bo yang bertanya, menggunakan kesempatan selagi Kwa Hong sedang menangis.

"Dia sudah pergi...," jawab Beng San acuh tak acuh, kemudian ia menoleh ke arah Li Cu dan berkata "Nona Cia, agaknya lebih baik kita segera pergi dari tempat ini. Tetapi aku harus membebaskan kau dari totokan lebih dulu..."

Ia melangkah maju. Tapi sebelum ia sempat menyembuhkan Li Cu, tiga bayangan orang berkelebat dan angin-angin pukulan dahsyat datang menyambar dari tiga jurusan disusul berkelebatnya senjata-senjata tajam! Beng San maklum bahwa tiga orang sakti itu ‘sudah turun tangan’. Ia menarik napas panjang dengan sedih, akan tetapi tubuhnya bergerak didahului sinar pedang Liong-cu-kiam tangannya.

Tiga orang itu menyerang dengan sungguh-sungguh, mengerahkan seluruh kepandaian mereka. Namun Beng San sekarang memegang Liong-cu-kiam panjang. Kalau ia boleh diumpamakan seekor harimau, sekarang harimau itu tumbuh sayap dan pandai terbang.

Memang ilmu silatnya yang paling hebat adalah ilmu Im-yang Sin-kiam-sut. Sekarang ilmu pedang ini dimainkan dengan sebatang pedang seperti Liong-cu-kiam yang panjang, tentu saja hebatnya bukan kepalang.

Tiga orang itu, walau pun masing-masing mempunyai kepandaian luar biasa, akan tetapi menghadapi Beng San mereka tidak sanggup berdaya banyak, seakan-akan menghadapi benteng baja yang tidak saja sulit tembus, malah dari dalam benteng kadang menyambar ujung-ujung pedang runcing dan ampuh, setiap saat mengancam nyawa mereka.

Beng San bukanlah orang yang suka membunuh orang. Sebetulnya dia mempunyai watak yang pantang membunuh orang. Apa lagi sekarang yang dia hadapi adalah orang-orang yang sedikit banyak sudah ada hubungan dengannya, yang sudah dikenalnya baik. Tidak mungkin ia mau membunuh mereka.

Kelihaiannya bermain pedang memungkinkannya menggoreskan luka ringan pada pundak Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi. Dua orang tua ini menjadi malu dan jeri. Sambil mengeluh mereka berturut-turut lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu.

Kwa Hong yang ditinggalkan seorang diri menghadapi Beng San, tadinya menjadi nekat. Pedang Hoa-san Po-kiam di tangan kirinya, sedangkan di tangan kanannya memegang pedang Liong-cu-kiam yang pendek. Permainan pedangnya hebat dan liar, dahsyat bukan main sehingga diam-diam Beng San terkejut juga. Akan tetapi ilmu pedang itu dimainkan dengan cara yang masih mentah.

Lebih-lebih terhadap Kwa Hong, Beng San, sama sekali tidak mau melukainya. Setelah ia menindih pedang Hoa-san Po-kiam dengan pedangnya sendiri, tangannya lalu bergerak mencengkeram ke depan sehingga di lain saat pedang Liong-cu-kiam yang pendek telah berpindah ke tangan kirinya.

"Kembalikan pedang itu!" teriak Kwa Hong sambil menangis.

"Yang ini bukan pedangmu, Hong-moi. Tak boleh kau merampasnya," jawab Beng San.

Dengan pekik panjang Kwa Hong memanggil burungnya. Terdengar suara genteng yang hancur berantakan, langit-langit di atas ruangan itu tiba-tiba menjadi rusak dan berlubang besar di mana menerobos masuk seekor burung rajawali emas. Beng San pernah melihat burung ini dan kembali ia menjadi kagum bukan main.

Kwa Hong terisak, kemudian meloncat ke punggung burung. Akhirnya burung itu terbang menerobos melalui pintu depan dan sebentar saja menghilang dari situ.

Sampai beberapa lamanya Beng San berdiri bengong. Pedang Liong-cu-kiam berada di kedua tangannya. Kemudian ia membalikkan tubuh menghampiri Li Cu yang masih rebah tak bergerak dan semenjak tadi menonton semua itu dengan hati terharu. Ternyata bahwa pengorbanannya terhadap diri Beng San tidak sia-sia. Buktinya baru saja sembuh Beng San lagi-lagi telah melindungi dan membebaskannya dari ancaman bahaya maut.

"Nona Cia, maafkan kelancanganku!" kata Beng San.

Tangan Beng San bergerak cepat menotok dua jalan darah di tubuh Li Cu, lalu mengurut punggungnya sebentar. Setelah itu ia membalikkan tubuh dan berkata, "Nona, setelah kau dapat bergerak, harap bajuku itu kau pakai dulu."

Muka Li Cu menjadi merah. Ia bergerak perlahan, tubuhnya masih sakit semua rasanya. Ketika ia bangun, baju yang menyelimuti tubuhnya itu jatuh dan cepat-cepat ia menutupi dadanya. Tapi usahanya ini sebetulnya tak perlu karena Beng San berdiri membelakangi dirinya.

Karena terpaksa dan tidak mungkin hanya memakai bajunya yang sudah dikoyak-koyak pedang Beng Kui tadi, ia cepat-cepat mengenakan baju Beng San yang terlalu besar itu. Setelah selesai, ia berkata, "Kenapa... kau tidak membunuh mereka?"

"Membunuh siapa?" tanya Beng San tanpa menoleh.

"Beng Kui jahanam itu..."

"Dia itu jelek-jelek kakak kandungku, bagaimana aku tega membunuhnya?" jawab Beng San cepat.

"Hek-hwa Kui-bo yang pernah melukaiku dengan racun dan hampir saja membunuhku..." desak pula Li Cu yang merasa penasaran mengapa semua orang yang jahat itu dibiarkan pergi oleh Beng San.

"Dahulu dia itu pernah menurunkan ilmu silat kepadaku, secara tidak resmi dia adalah guruku pula. Bagaimana aku dapat membunuhnya? Dan pula, Nona, bukankah akhirnya kau selamat terhindar dari racunnya itu?" Jantung Beng San berdebar ketika ia teringat cara ia menolong gadis itu dari pengaruh racun di paru-parunya!

Di belakangnya, wajah Li Cu juga tiba-tiba menjadi merah. Gadis ini merasa heran bukan kepalang. Hampir dua tahun ia merawat Beng San, otomatis ia sudah merasa menjadi isteri Beng San biar pun hanya dalam sebutan. Akan tetapi kenapa sekarang ia menjadi begini canggung, sungkan dan malu-malu kepada Beng San? Diam-diam rasa kuatir dan gelisah menggerogoti hatinya.

Beng San yang kehilangan ingatannya, mau saja hidup di sampingnya, malah selama ini menganggap dia sebagai isterinya yang bernama Bi Goat. Akan tetapi setelah sekarang sadar dan mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia masih mau hidup seperti itu? Apakah ini bukan berarti saat perpisahan?

"Kwa Hong itu... kenapa juga tidak kau bunuh...?" Ia berusaha menekan hatinya dengan melanjutkan pertanyaan ini.

"Tak mungkin, Nona. Dia itu... secara tidak sadar... telah menjadi ibu anakku... perbuatan terkutuk di luar kesadaran kami berdua... dia sudah amat menderita... karena aku, mana mungkin aku membunuhnya? Walau pun dia akan membunuhku, agaknya aku tetap akan mengalah..."

"Hemm..." suara Li Cu terdengar kaku dan kalau Beng San melihat sinar matanya ia akan tahu-bahwa gadis itu marah! "Dan Song-bun-kwi...?"

"Apa lagi dia. Dia adalah ayah mertuaku, sama juga dengan ayahku. Mana boleh aku membunuh ayah Bi Goat?"

Sudah jelas kini! Beng San sekarang sudah kembali ingatannya. Beng San yang terlalu mencinta isterinya, Bi Goat. Sampai-sampai mengorbankan Kwa Hong. Mana sudi hidup bersama dia? Teringat akan ini, tak tertahankan lagi Li Cu terisak menangis.

Beng San cepat membalikkan tubuh. "Ehh, kenapa kau menangis, Nona?"

Suara ini mengandung penuh perhatian sehingga tangis Li Cu makin menghebat. Beng San sampai menjadi bingung, lalu menyerahkan pedang Liong-cu-kiam pendek.

"Ini... ini pedangmu... jangan kau menangis..."

Li Cu menerima pedang tanpa berkata apa-apa.

"Nona Cia, setelah semua pertanyaanmu kujawab, mengapa kau menangis?" Beng San bertanya, matanya yang tajam memandang penuh selidik.

Li Cu yang sekarang menjadi gugup. Tentu saja ia tidak sudi menyatakan isi hatinya. Ia mencari alasan dan pada saat itu ia teringat akan ayahnya. Wajahnya menjadi pucat dan serentak ia meloncat sampai Beng San menjadi kaget.

"Celaka! Ayahku...! Mereka tadi mengeroyoknya... tak mungkin bisa sampai ke sini kalau tidak... ahhh, Ayah...!" Li Cu menjerit lalu melompat keluar dan berlari cepat sekali.

Beng San baru saja kembali ingatannya, maka yang diketahui olehnya hanyalah semenjak saat ia sembuh tadi. Sebelum itu gelap baginya. Karena itu ia tidak ingat betapa Bu-tek Kiam-ong untuk melindunginya telah dikeroyok oleh tiga orang tokoh sakti tadi.

Meiihat Li Cu yang berlari-lari sambil menjerit memanggil-manggil ayahnya dan menangis, ia pun ikut pula berlari. Sebentar saja ia dapat menyusul gadis itu, lalu lari di sebelahnya tanpa banyak bertanya.

Setibanya di puncak Gunung Thai-san, kedua orang muda ini melihat betapa penduduk perkampungan di kaki gunung itu sedang sibuk mengurus dan menangisi jenazah Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan!

"Ayaaaahhh...!" Li Cu menubruk mayat ayahnya dan roboh pingsan.

Li Cu jatuh sakit. Demam panas menyerang tubuhnya setelah dia berkali-kali pingsan. Sampai sepekan ia rebah di pembaringan dalam keadaan setengah sadar. Selama itu Beng San merawat dan melayaninya dengan penuh perhatian.

Beng San mengalami hal-hal aneh ketika ia berhadapan dengan para penduduk yang dulu membantu Cia Hui Gan merampungkan rencana tempat tinggalnya. Mereka menyebutnya ‘tuan muda’ yang dianggapnya sebagai suami dari ‘nyonya muda’ yang sekarang sakit. Kemudian, sesudah mereka semua menyatakan kegembiraan hati bahwa nyonya muda dan suaminya dapat kembali dengan selamat, mereka lalu menyatakan kegirangan pula bahwa tuan muda sudah sembuh dari sakitnya lupa ingatan.

Mereka pulalah yang menceritakan tentang pertempuran itu sehingga terbuka mata Beng San akan segala yang telah terjadi kepada dirinya selama hampir dua tahun ini. Tahulah ia bahwa ia sebagai seorang gila menganggap Li Cu sebagai isterinya, sebagai Bi Goat dan betapa selama hampir dua tahun ini Li Cu merawatnya penuh kecintaan. Juga ia tahu sekarang bahwa Cia Hui Gan tewas dalam membela dia!

Semua ini ditambah lagi dengan keadaan Li Cu yang mengigau pada saat demam panas menyerangnya. Li Cu mengigau tentang masa lalu, tentang cinta kasihnya kepada Beng San. Semua ini membuat Beng San demikian terharu sehingga ia menitikkan air mata ketika duduk di pinggir pembaringan gadis itu. Dengan amat tekun ia merawat Li Cu dan siang malam tidak pernah meninggalkan kamar itu.

Sembilan hari kemudian demam meninggalkan tubuh Li Cu dan gadis ini pada pagi hari itu sadar. Dilihatnya Beng San sedang tertidur sambil duduk di kursi! Namun suara gerakan Li Cu cukup untuk membangunkan Beng San. Mereka berpandangan sejenak.

"Kau... kau masih di sini...?"

"Di mana lagi kalau tidak di sini...?" jawab Beng San halus, sinar matanya gembira sekali.

"Ayah... bagaimana...?" Matanya meragu dan dia memandang ke arah pintu kamarnya, agaknya ingin menjenguk keluar.

"Sudah beres, sudah kuurus pemakamannya."

Li Cu menarik napas panjang. Hatinya menjerit-jerit, namun air matanya sudah kering. "Berapa lama aku rebah di sini...?"

"Kau terserang demam, Nona. Sembilan hari sembilan malam kau dalam keadaan tidak sadar. Karena itulah aku lancang mewakilimu mengurus pemakaman ayahmu."

Li Cu bergerak hendak duduk. Melihat kelemahan gadis itu, Beng San segera bangkit membantunya. Ia merasa kasihan sekali dan cepat ia menghibur, "Harap kau kuatkan hatimu. Nona. Ingatlah bahwa mati hidup seorang manusia berada di tangan Tuhan. Apa bila Tuhan sudah menghendaki kematian seseorang, ada saja yang menjadi lantarannya. Ayahmu tewas sebagai seorang gagah perkasa, mati dikeroyok tokoh-tokoh besar dalam melindungi... aku yang tak berharga..."

"Tidak! Bukan melindungi kau, melainkan membela aku!" Cepat Li Cu membantah.

"Apa bedanya, Nona? Membela engkau karena kau berusaha melindungi aku."

"Kau merawatku terus-menerus selama aku sakit?" cepat Li Cu memotong omongan Beng San, mukanya yang tadinya pucat menjadi agak merah.

Beng San mengangguk dan memandang dengan mata penuh perasaan. "Nona Cia, apa artinya perawatan sembilan hari kalau dibandingkan dengan perawatanmu selama hampir dua tahun? Kau amat mulia, kau mengorbankan..."

"Kau dalam sakit, kau kehilangan ingatan!" Li Cu cepat memotong, mukanya kini menjadi merah sekali. "Siapa lagi kalau bukan aku yang akan merawatmu? Kau pun beberapa kali sudah menyelamatkan nyawaku, sudah sepatutnya aku membalas kebaikanmu."

Dengan keras kepala Beng San melanjutkan setelah menggelengkan kepalanya untuk menyangkal alasan Li Cu yang lemah itu. "Kau mengorbankan dirimu, mengorbankan nama baik ayahmu. Dalam gilaku aku menganggap kau isteriku, menganggap kau Bi Goat. Namun... kau menerima semua itu, kau malah memaksa ayahmu membawaku ke sini mengorbankan segalanya untuk aku, malah berusaha membuat tempat perlindungan yang aman untukku. Li Cu... Nona Cia... mengapa kau lakukan semua itu?"

Li Cu menunduk, menyembunyikan muka di belakang bantal yang diangkatnya. Suaranya terdengar lirih bertanya, "Semua itu bohong. Kau yang kehilangan ingatan bagaimana kau bisa tahu itu semua? Bohong..."

"Aku mendengar percakapanmu dengan Beng Kui pada saat aku sadar. Kemudian aku mendengar penuturan saudara-saudara yang berada di sini, dan ketika kau sakit, kau sering mengigau..."

Cepat bantal itu diturunkan dan sepasang mata itu memandangnya penuh pertanyaan. Wajah itu merah dan tidak tampak lagi bahwa gadis ini habis sakit kecuali tubuhnya yang agak kurus itu.

"Beng San..." terhenti kata-kata Li Cu ketika ia teringat betapa janggal panggilan ini yang begitu saja keluar dari bibirnya dengan suara mesra.

"Ya...? Kau hendak bilang apakah, Nona...?"

Li Cu semakin gugup. Biasanya, ketika belum sembuh, Beng San selalu menyebutnya ‘isteriku’ sehingga ia sudah biasa benar dengan sebutan itu. Sekarang, orang yang telah ia anggap sebagai suaminya dalam batin itu, menyebutnya nona!

"...andai kata benar semua itu..., tapi waktu itu keadaanmu dalam lupa ingatan. Kau mau tinggal di sini karena... karena kau mengira bahwa aku Bi Goat. Kau mengira bahwa aku isterimu yang sudah meninggal dunia itu...," ia berhenti lagi.

"Betul, Nona. Lalu bagaimana?" Beng San bertanya tenang dan sabar,

"...sekarang kau sudah sembuh..., kau telah mendapatkan kembali ingatanmu... kau tahu bahwa aku bukan isterimu Bi Goat... kau tahu bahwa aku hanya seorang gadis yatim piatu sebatang kara..." Sampai di sini ia terisak dan menutup mukanya dengan bantal. Beng San tidak berkata apa-apa hanya menanti dengan sabar.

"...aku... aku bukan apa-apamu... tak berhak menahanmu... dan kau tentu akan pergi dari sini." Tiba-tiba ia menurunkan bantalnya dan dengan mata basah ia bertanya, "Mengapa kau masih belum juga pergi dari sini? Aku bukan Bi Goat!"

Wajah Beng San tiba-tiba menjadi pucat dan matanya membayangkan kegelisahan besar. "Tapi... tapi kau... isteriku..."

Li Cu menggigit bibirnya, bukan main jengahnya. Ia merasa malu sekali kalau teringat akan semua perbuatannya itu. Tapi ia harus rnembela diri, tak mungkin ia mengaku begitu saja bahwa ia mencinta Beng San. Ia harus mencari alasan mengapa ia berbuat demikian, untuk membela diri.

"Isterimu adalah Bi Goat..."

"Tapi.... bukankah hampir dua tahun kau mengaku sebagai isteriku...?"

Li Cu membuang muka. "Karena kau menganggap aku Bi Goat. Aku harus merawatmu dan karenanya tiada lain jalan kecuali membiarkan kau menganggap aku isterimu Bi Goat. Sekarang kau sudah sembuh, sudah sadar dan ingat bahwa aku bukanlah isterimu Bi Goat, bahwa aku bukan apa-apamu dan kau boleh pergi meninggalkanku sekarang juga!"

Beng San merasa tubuhnya lemas, seakan-akan dilolos semua urat-urat dari tubuhnya. Jantungnya terasa ringan kosong, perasaannya hampa.

Ahh, mengapa aku tidak tahu diri, pikirnya. Sudah terang bahwa Li Cu melakukan semua itu hanya karena hendak membalas budi pertolongannya karena kasihan, apa lagi? Tidak mungkin gadis seperti Li Cu bisa cinta kepadanya, seorang laki-laki yang menjadi hina namanya karena urusannya dengan Kwa Hong, seorang duda yang sudah mempunyai anak. Dua malah anaknya, satu anak Kwa Hong, ke dua anak Bi Goat. Mana sudi Li Cu kepadanya?

"...ah... maaf... maaf... sungguh aku tak tahu diri..."

Bagaikan mimpi kedua kakinya bergerak menuju ke pintu kamar, dengan langkah limbung seperti orang mabuk arak ia keluar dari kamar itu...

Jiwanya menjerit-jerit, musnah semua harapannya untuk dapat hidup mengenyam kebahagiaan. Hanya sekelumit harapan untuk hidup baru setelah ditinggal Bi Goat.

“Li Cu, Li Cu....!” Jerit hatinya, “tak kuat aku berpisah dari sisimu!”

Ia tidak melihat betapa dari atas pembaringan Li Cu memandangnya dengan wajah pucat pula dan sepasang mata itu mengucurkan air mata yang jatuh berderai membasahi kedua pipinya. Tak tahu ia betapa gadis itu turun perlahan-lahan dari pembaringan dan berjalan pula mengikutinya keluar dari kamar itu. Dia tak tahu pula betapa jiwa Li Cu menjerit-jerit minta ia kembali pula.

Jeritan jiwa menggetar-getar penuh kekuatan gaib. Seakan-akan terasa oleh kedua orang muda itu. Dalam detik itu juga terjadilah peluapan rasa melalui bibir dan gerakan mereka masing-masing. Pada saat itu pula Li Cu menjatuhkan diri berlutut. Berbareng pula jerit mereka keluar dari lubuk hati melalui bibir-bibir yang bergetar.

"Li Cu, tak kuat aku berpisah dari sisimu...!"

"Beng San, kembalilah Beng San...!"

Keduanya terpaku kaget oleh suara masing-masing dan setelah pengertian mereka dapat menangkap apa yang diucapkan oleh yang lain, Beng San segera berlari maju dengan kedua lengan terbuka dan diterima oleh Li Cu dengan kedua lengan terbuka pula. Beng San menjatuhkan diri berlutut dan kedua orang itu saling berdekapan sambil berlutut, tak kuasa mengeluarkan suara kecuali isak dan sedu.

Sunyi senyap pada saat itu, sunyi yang membahagiakan hati masing-masing yang merasa seakan-akan baru saja mereka mendapatkan kembali semangat mereka yang tadi hampir hilang. Sampai lama mereka berpelukan tanpa mengeluarkan suara. Akhirnya terdengar Li Cu berkata tanpa mengangkat mukanya yang bersembunyi di dada Beng San.

"Tapi... kau hanya mencinta Bi Goat..."

"Itu dahulu, Li Cu. Setelah dia meninggal... kaulah orang yang menggantikannya... lebih dari pada itu malah... kau mulia, setia, penuh pengorbanan. Ahhh... alangkah mulianya engkau... aku cinta kepadamu, Li Cu dan aku tidak kuat untuk berpisah dari sisimu."

"Beng San..." Li Cu menangis penuh kebahagiaan dan keharuan.

"Li Cu... cintakah kau kepadaku? Dan bersediakah kau menjadi isteriku?"

"Masih perlukah kau bertanya, Beng San? Pada waktu kau sakit dan hilang ingatan, aku sudah suka menjadi isterimu walau pun hanya sebutan belaka. Apa lagi sekarang setelah engkau sembuh. Dan tentang cinta... belum pernah selama hidupku aku mencinta orang seperti cintaku kepadamu."

"Li Cu, dewiku sayang..."

Hening lagi sejenak dan keduanya terbenam dalam lautan madu, mabok oleh kemesraan asmara yang bergelora dalam hati masing-masing.

"Beng San, orang bilang kau mata keranjang. Betulkah?"


cerita silat karya kho ping hoo


Beng San tersenyum ditahan. "Memang aku mata keranjang. Akan tetapi, bidadari dari kahyangan sekali pun belum tentu dapat menggerakkan hatiku. Hanya engkaulah yang membuat aku lupa segala, melihat engkau aku jadi mata keranjang! Ahh, andai kata ada seribu engkau, aku akan sanggup untuk mencinta semua!"


"Ahh, kau memang mata keranjang!" tegur Li Cu manja.

"Bertemu dengan seorang dewi seperti engkau, Li Cu, siapa orangnya takkan mencinta? Siapa orangnya takkan jatuh hati? Kau cantik jelita melebihi bidadari kahyangan, kau setia dan gagah perkasa, pendekar wanita sejati, kau berbudi mulia seperti Kwan Im, kau dewi pujaan hatiku, cinta kasihmu suci murni, semoga aku dapat mengimbanginya..." Beng San merayu.

"Iihh, kau selain mata keranjang juga... ceriwis!"

Hati siapa takkan ikut merasa bahagia menyaksikan kebahagiaan sepasang orang muda seperti Li Cu dan Beng San? Hati siapa takkan turut merasa senang melihat orang lain bahagia? Hanya hati yang dikotori iblis iri cemburu jua yang tak tahan menyaksikan orang lain berbahagia. Untung, di dunia ini tak banyak orang demikian. Kita merasa berbahagia melihat orang lain seperti sepasang orang muda itu berbahagia dalam pertemuan dua hati menjadi satu, diikat dan dikekalkan oleh cinta kasih nan suci.

Sayang, selain mereka yang berbahagia oleh asmara, banyak pula yang sengsara akibat asmara yang sama. Memang asmara mendatangkan bahagia dan sengsara silih berganti, menimbulkan banyak cerita yang aneh-aneh. Beng San sendiri hampir saja binasa karena asmara kandas, untungnya dia bertemu dengan Li Cu dan sebaliknya malah menemukan kembali kebahagiaan hidup.

Memang demikianlah hidup di dunia ini. Kebahagiaan duniawi takkan kekal, berubah ubah dan hal yang demikian ini memang berlaku bagi segala benda, mati atau hidup, di dunia ini. Ada siang ada malam, ada dingin ada panas, ada kalanya hujan ada kalanya terang, ada kalanya sengsara ada kalanya bahagia.

Kebahagiaan datang tidak terduga-duga seperti halnya kebahagiaan Beng San. Demikian pula kesengsaraan datang tanpa disadari seperti halnya penderitaan Bi Goat yang telah tiada.

Kenyataan ini merupakan pelajaran hidup yang amat penting, yaitu bahwa manusia tidak perlu berputus asa pada waktu menghadapi kegagalan, juga tidak semestinya bangga dan tidak mabok di kala mendapatkan kemenangan. Tidak membanjir pada waktu pasang, tak kering pada waktu surut, seperti air laut yang tenang teguh sehingga sanggup menerima perubahan keadaannya tanpa menderita kerusakan.

Di antara sekian banyaknya orang yang sedang ‘surut’ nasibnya, adalah Thio Ki. Telah diceritakan di depan betapa Thio Ki dan isterinya, Lee Giok, diserbu oleh Kim-thouw Thian-li yang dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo dan Giam Kin sehingga akhirnya Lee Giok terculik oleh Siauw-coa-ong Giam Kin.

Seperti kita ketahui, Thio Ki terbebas dari pada kematian karena mendapat bantuan Li Cu dan kemudian Beng San. Atas permintaan Beng San, Thio Ki lalu pergi ke Hoa-san untuk berobat dan membereskan urusan Hoa-san-pai yang dikacau oleh Kwa Hong.

Besarlah hati para tosu di Hoa-san-pai ketika mereka melihat munculnya Thio Ki, karena pada waktu itu Hoa-san-pai benar-benar sudah kacau-balau, tidak ada yang mengurusnya semenjak Lian Bu Tojin tewas di tangan Kwa Hong.

Bukan main sedihnya hati Thio Ki ketika mendengar dari para tosu tentang nasib Lian Bu Tojin dan Hoa-san-pai. Ia merasa amat marah dan gemas kepada Kwa Hong, juga amat terheran-heran mengapa Kwa Hong sekarang berubah seperti iblis dan juga amat lihai?

Para tosu tadinya hendak mengangkatnya sebagai Ketua Hoa-san-pai, namun Thio Ki menolak keras. "Mana bisa aku menjadi Ketua Hoa-san-pai?" teriaknya kaget. "Tingkatku di Hoa-san-pai amat rendah, pula aku masih muda. Banyak para susiok dan supek di sini, bagaimana aku berani mengangkat diri menjadi Ketua? Pula, orang dengan kepandaian seperti Sukong Lian Bu Tojin sendiri masih tidak kuat menjaga keselamatan Hoa-san-pai, apa lagi orang seperti aku? Tidak, aku tidak berani menjadi ketua, tetapi aku sanggup untuk sementara berada di sini untuk mempertanggung jawabkan Hoa-san-pai. Biarlah kita menanti sampai kembalinya Tan Beng San Taihiap, karena kiranya hanya dia yang akan dapat menolong kita."

Akan tetapi sampai berbulan-bulan Thio Ki dan para tosu Hoa-san-pai menunggu dengan sia-sia. Malah akhirnya dia minta bantuan para tosu yang disebarnya ke segenap penjuru untuk melakukan penyelidikan, bahkan kemudian dia sendiri lalu pergi mencari isterinya atau Beng San. Hasilnya juga nihil.

Sama sekali Thio Ki tidak tahu apa yang terjadi atas diri isterinya, juga tidak tahu bahwa pada waktu itu Beng San sendiri juga menghadapi mala petaka yang amat hebat. Hatinya semakin risau dan di dalam hatinya ia mendapat firasat tidak enak bahwa isterinya tentu mengalami mala petaka besar. Ia berduka sekali, terutama kalau teringat bahwa isterinya itu sedang mengandung.

Beberapa bulan kemudian, pada suatu hari selagi Thio Ki berlatih silat membimbing para tosu di belakang kuil, tiba-tiba terdengar suara melengking aneh. Para tosu menjadi pucat mendengar ini. Dahulu mereka pernah mendengar suara ini, yaitu suara burung rajawali emas yang menjadi binatang tunggangan Kwa Hong.

Bagaikan anak-anak kelinci takut mendengar auman harimau, mereka berlari ke belakang Thio Ki dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, jantung berdebar keras. Thio Ki sendiri terkejut dan menengok ke atas di mana ia melihat seekor burung yang besar dan indah terbang berkeliling.

"Ehh, burung apakah itu? Besar sekali!" katanya.

"...celaka... dia datang kembali...!" seorang tosu tua berkata.

Seketika Thio Ki teringat akan cerita yang ia dengar tentang Kwa Hong dan rajawalinya, maka ia pun terkejut dan menanti penuh perhatian. Ketika ia menengok, ia melihat dengan heran dan kaget bahwa semua tosu yang berada di belakangnya sudah pada berlutut!

Burung itu terbang semakin dekat, menukik ke bawah dan terdengarlah bentakan nyaring. "Siapa ini berani menyambut Ketua Hoa-san-pai tanpa berlutut? Apa kau sudah bosan hidup?" Ucapan ini disusul menyambarnya sinar hijau ke arah kepala Thio Ki.

"Hong-moi...!" Thio Ki berteriak.

Teriakan Thio Ki ini menyelamatkan nyawanya karena sinar itu mendadak menyeleweng tidak jadi mengenai kepalanya, akan tetapi ada hawa pukulan yang demikian dahsyatnya sehingga tanpa dapat ia pertahankan lagi Thio Ki terguling dan terbanting ke atas tanah!

"Sumoi...!" Thio Ki memanggil lagi sambil merangkak bangun.

Kiranya Kwa Hong sudah berdiri di atas tanah. Burung raksasa itu telah terbang ke atas sambil bercuitan. Thio Ki cepat bangun, akan tetapi kaki kiri Kwa Hong bergerak ke arah lututnya dan... untuk kedua kalinya Thio Ki roboh lagi.

Thio Ki mengangkat muka dengan heran. Bukan main terkejutnya ketika ia melihat Kwa Hong. Jelas bahwa wanita ini adalah Kwa Hong, wajahnya masih semanis dan secantik dahulu. Akan tetapi tarikan mulut itu benar-benar menimbulkan kengerian padanya.

"Heh, kiranya engkau? Thio Ki, biar pun engkau sendiri juga harus berlutut di depanku, di depan Ketua Hoa-san-pai!"

"Sumoi, apakah kau sudah gila?" Thio Ki segera melompat bangun. "Betulkah kau telah membunuh Sukong, mengangkat diri menjadi Ketua Hoa-san-pai? Sumoi, kenapa begitu? Kau yang dulu berjiwa gagah..."

Kata-kata Thio Ki terhenti karena ia sudah roboh kembali, kini agak parah karena ia kena ditampar pundaknya oleh tangan kiri Kwa Hong yang memiliki hawa pukulan luar biasa dahsyatnya. Mata Kwa Hong berkilat marah.

"Memang aku bunuh dia. Kau pun akan kubunuh karena kau berani bersikap kurang ajar kepadaku! Kau bicara tentang kegagahan? Hi-hi-hik, kau sendiri gagah apanya? Isterimu dibawa lari orang lain dan dipermainkan, kau enak saja di sini. Huh, laki-laki apa kau ini? Lebih baik mampus!"

Thio Ki seketika bangun lagi, lupa akan rasa nyeri luar biasa pada pundaknya. Mukanya pucat. "Sumoi... kau melihat Lee Giok? Di mana dia? Bagaimana dengan dia...? Apakah si bangsat Giam Kin..." Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi, napasnya sesak karena gelisah dan marah.

"Hi-hik-hik, isterimu dibawa lari orang, dipermainkan orang. Syukur, baru senang rasanya terpisah dari orang yang kau kasihi, ya? Hu-hu-huuuu..." Mendadak Kwa Hong menangis tersedu-sedu karena dia teringat akan dirinya sendiri yang juga tidak dapat berkumpul dengan orang yang dia cinta.

Thio Ki terkejut dan juga bingung, akan tetapi berita itu terlalu mengguncangkan hatinya sehingga ia tidak pedulikan lagi yang lain. Ia bangun dan memegang tangan Kwa Hong. "Sumoi... demi Tuhan... katakanlah, di mana Giam Kin yang menculik isteriku...?"

Kwa Hong menghentikan tangisnya, lalu matanya liar lagi, penuh kebengisan. "Kau mau mencari dia? Boleh kuantar kau menyusul dia ke akhirat. Dia sudah kubunuh!"

"Dan Lee Giok bagaimana...? Ahh, sumoi..." mata Thio Ki terbelalak dan sikapnya penuh ancaman, "apakah kau juga membunuh dia...?"

Kwa Hong tertawa lagi, tertawa menyeramkan. "Kalau betul, kau mau apa?"

"Kau... kau... iblis kejam....!"

Dengan nekat Thio Ki menerjang bekas adik seperguruannya itu. Akan tetapi pada waktu itu tingkat kepandaiannya masih jauh lebih rendah, tak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kwa Hong. Dengan sekali menangkis dan sekali mendorong saja kembali Kwa Hong berhasil merobohkannya.

Kwa Hong tertawa lagi sambil mengeluarkan pedang Hoa-san Po-kiam. "Hi-hik-hik, kau manusia rendah berani melawan Ketua Hoa-san-pai? Mampuslah kau!"

Pedang Hoa-san Po-kiam itu diangkat tinggi-tinggi untuk ditebaskan ke arah leher Thio Ki. Pada saat itu sebutir batu kecil menyambar ke arah pedang itu sehingga gerakan pedang tertahan di udara, disusul bentakan nyaring.

"Hong Hong!"

Kwa Hong kaget bukan main. Sambaran batu itu hebat sekali akan tetapi baginya tidaklah terlalu mengagetkan. Yang membuat ia sangat kaget adalah suara bentakan tadi. Cepat ia memandang dan... tubuhnya tiba-tiba gemetar dan pedang yang dipegangnya itu terlepas, jatuh ke atas tanah.

Kwa Hong berdiri terpaku laksana patung, matanya terbelalak memandang laki-laki yang melangkah lebar menghampirinya, lelaki setengah tua yang berwajah kereng dan gagah perkasa, yang tangan kirinya putus sebatas pergelangan tangan.

"Ayah...!" Hati Kwa Hong menjerit, akan tetapi bibirnya hanya mengeluarkan suara yang serak.

Di lain saat laki-laki itu sudah berdiri di hadapannya dengan mata berapi-api dan alisnya terangkat naik. Wajahnya membayangkan kemarahan, kedukaan dan sesal yang sangat besar. Laki-laki itu memang ayah Kwa Hong, yaitu Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong.

Di dalam cerita Raja Pedang telah dituturkan betapa murid pertama dari mendiang Lian Bu Tojin ini melarikan diri dari Hoa-san bersama sumoi-nya, Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa setelah tangan kirinya buntung oleh pedang gurunya sendiri dalam usahanya menolong nyawa sumoi-nya dari serangan pedang Lian Bu Tojin.

Kwa Tin Siong tidak dapat menyangkal bahwa ia memang jatuh cinta kepada Liem Sian Hwa, sumoi-nya sendiri itu. Sebaliknya Sian Hwa juga diam-diam mencinta suheng-nya ini setelah hatinya hancur lebur oleh kelakuan tunangannya, yaitu mendiang Kwee Sin murid Kun-lun-pai.

Setelah melarikan diri dari Hoa-san, keduanya lalu mengasingkan diri, hidup berdua saja di sebuah puncak gunung. Mereka merasa malu untuk turun gunung dan karena senasib, pula karena mereka memang saling mencinta, maka keduanya lalu bersumpah saling setia dan menjadi suami isteri.

Dengan tekun kedua orang ini lalu memperdalam ilmu silat mereka dan karena keduanya memang telah mewarisi ilmu silat tinggi dari Hoa-san-pai, memiliki dasar-dasar yang amat kuat, maka ketekunan mereka berhasil baik sehingga ilmu kepandaian mereka maju pesat sekali.

Betapa pun juga, ketika Kwa Tin Siong mendengar akan sepak terjang puterinya terhadap Hoa-san-pai, bahkan sudah membunuh Lian Bu Tojin, dia tidak dapat terus tinggal diam berpeluk tangan mendengar Hoa-san-pai dirusak dan dikacau oleh puterinya sendiri yang terkasih. Setelah bermufakat dengan isterinya, ia lalu turun dari gunung dan pergi menuju ke Hoa-san-pai.

Kedatangannya tepat pada saat Kwa Hong hendak membunuh Thio Ki sehingga ia dapat mencegahnya. Di belakang Kwa Tin Siong terlihat seorang wanita cantik dan gagah yang menggendong seorang anak kecil. Inilah Liem Sian Hwa dan anak itu adalah Kun Hong, anak suami isteri ini.

Kita kembali ke pertemuan antara ayah dan anak yang menegangkan ini. Para tosu yang segera mengenal Kwa Tin Siong segera bangkit dari berlutut dan memandang penuh ketegangan, juga kelegaan hati.

"Hong Hong, jadi benarkah semua berita yang kudengar? Benarkah kau berubah menjadi iblis, membunuh Lian Bu Tojin sukong-mu sendiri, lalu merampas pula kedudukan ketua Hoa-san-pai, membunuh banyak orang tosu Hoa-san-pai, dan sekarang kulihat kau malah hendak membunuh Thio Ki? Hong Hong..., bagaimana kau bisa berubah begini...?"

Naik sedu-sedan dari dada Kwa Hong. Dua butir air mata menitik turun ke pipinya dan ia hanya dapat berbisik, "Ayah..."

"Kau membunuh Suhu, malah membunuh Supek Lian Ti Tojin, mengusir Kui Lok dan Thio Bwee, melakukan perbuatan gila-gilaan di luar! Aku mendengar bahwa kau telah memiliki kepandaian yang luar biasa. Hemmm, sekarang aku, Kwa Tin Siong ayahmu telah berada di sini. Coba kau keluarkan kepandaianmu itu untuk membunuh ayahmu sendiri! Hayo, kau tunggu apa lagi?" Suara Kwa Tin Siong yang tadinya bengis sekarang berubah serak mengandung penyesalan besar yang menusuk hatinya.

"Ayah..."

"Tak usah kau ragu-ragu. Lawanlah aku! Kau boleh mencoba membunuh ayahmu ini, kalau tidak akulah yang akan membunuhmu!"

"Ayah...!"

"Kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya takkan luntur selama dunia belum kiamat, tapi kasih sayang seorang gagah selalu berdasarkan kebenaran dan keadilan! Demi kasih sayangnya, seorang ayah yang gagah takkan segan-segan menghukum anaknya sendiri yang menyeleweng dari keadilan dan kebenaran. Perbuatan-perbuatanmu itu melampaui segala garis, hukumannya hanyalah mati! Apa bila aku tidak sanggup menghukum mati kepadamu, lebih baik aku mati dalam tanganmu. Majulah!"

"Ayah...!"

Kemarahan Kwa Tin Siong memuncak. Keraguan anaknya ini dianggapnya sebagai sifat pengecut. "Terimalah hukuman dariku!" Ia membentak.

Kwa Tin Siong menerjang ke depan dengan tangan kanannya. Pukulan yang ia lakukan adalah pukulan Hoa-san-pai yang amat hebat, pukulan penuh tenaga lweekang yang akan dapat membikin pecah sebuah batu besar. Maksudnya dengan sekali pukul saja hendak membunuh anaknya agar lekas selesai urusan yang menghancurkan hatinya itu.

Juga pukulan ini adalah jurus yang disebut Pukulan Dewa Mabuk yang biasa digunakan kalau keadaan sudah amat terdesak sehingga tak ada jalan keluar lagi. Walau pun amat hebat dan berbahaya bagi yang diserang, namun tidak kurang berbahayanya bagi yang menyerang sendiri karena sekali dapat dielakkan atau ditangkis, kedudukan Si Penyerang menjadi lemah sekali dan tidak terjaga sehingga mudah dirobohkan lawan yang mampu menghindarkan pukulan ini.

Akan tetapi, alangkah kaget hati Kwa Tin Siong ketika melihat betapa puterinya itu sama sekali tidak mengelak! Betapa pun marahnya terhadap anaknya ini, tapi perasaan sayang dan kasih di hatinya masih lebih besar lagi. Karena itu, melihat sikap puterinya yang tidak mengelak atau melawan dan hanya meramkan mata menanti kematian, murid tertua Lian Bu Tojin ini perasaannya lantas melayang terbang.

Tadi Kwa Tin Siong sengaja melakukan pukulan ini karena ia sudah mendengar betapa lihai Kwa Hong sehingga gurunya sendiri, Lian Bu Tojin, tak mampu melawannya. Tentu ia sudah memperhitungkan bahwa Kwa Hong pasti akan dapat menghindarkan serangan ini dan berbalik akan merobohkannya. Ia rela mati di tangan anaknya untuk menebus dosa yang diperbuat oleh Kwa Hong.

Demikian sucinya kasih sayang orang tua ini terhadap puterinya. Oleh karena inilah maka ia kaget sekali ketika pukulannya sama sekali tidak ditangkis mau pun dielakkan oleh Kwa Hong yang menerimanya dengan mata meram! Untuk menarik kembali pukulan itu tidak mungkin lagi.

Tiba-tiba bayangan kuning emas menyambar dan tepat pada saat pukulan Kwa Tin Siong mengenai tubuh Kwa Hong, jago Hoa-san-pai ini terlempar ke belakang karena dipukul sayap rajawali emas. Kwa Hong terjengkang roboh dan nyawanya tertolong. Serbuan oleh rajawali emas itu menyebabkan pukulan ayahnya hanya menyisakan setengah kekuatan saja ketika mengenai tubuhnya.

Sambil melengking keras rajawali itu mengamuk, menerjang dengan marah ke arah Kwa Tin Siong yang terlempar empat meter lebih jauhnya. Akan tetapi sambil membentak marah Liem Sian Hwa sudah menerjang maju dengan pedang di tangan.

Wanita muda ini berjuluk Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang), gerakannya gesit bukan main dan permainan pedangnya lihai sekali. Biar pun serangannya dapat dielakkan oleh burung itu, namun ia berhasii menyelamatkan suaminya dari cengkeraman kim-tiauw.

Sementara itu, para tosu serentak bangkit dan mengeroyok dengan pedang mereka. Juga Kwa Tin Siong yang tidak terluka berat, sudah bangun dan menyambar pedang Hoa-san Po-kiam yang jatuh dari tangan Kwa Hong. Sekarang burung itu dikeroyok oleh Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa dan puluhan orang tosu Hoa-san-pai.

Hujan pedang menyambar ke arah tubuh kim-tiauw yang melawan dengan hebat sekali. Tiap kali sayapnya menampar, sedikitnya ada dua orang tosu roboh. Patuk dan cakarnya sudah membinasakan banyak lawan.

Tapi jumlah pengeroyoknya terlampau banyak sehingga setiap kali ada pedang mengenai tubuhnya, beberapa helai bulu rontok beterbangan. Juga pedang di tangan Liem Sian Hwa sudah berhasil melukai kakinya sehingga mengeluarkan darah. Namun burung itu terus mengamuk dan sekali lagi Kwa Tin Siong yang agaknya paling ia benci itu terpukul roboh oleh kibasan sayapnya yang lihai.

Kwa Hong yang telah siuman kembali tiba-tiba mengeluarkan bunyi melengking panjang. Rajawali itu cepat terbang menyambar tubuh Kwa Hong, dicengkeramnya baju di bagian punggung dan membawa nonanya itu terbang pergi dengan kecepatan yang luar biasa.

Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa serta para tosu hanya dapat berdongak memandang dengan penuh kengerian dan kekaguman sampai burung itu lenyap dari pandangan mata. Kwa Tin Siong menarik napas panjang ketika melihat betapa dalam pertempuran yang hanya sebentar itu ada delapan orang tosu yang tewas dan banyak yang terluka!

Pertemuan ini mendatangkan banjir air mata dan Kwa Tin Siong tak dapat menolak ketika para tosu mengangkatnya sebagai ketua Hoa-san-pai. Ketika Kwa Tin Siong mendengar tentang Lee Giok yang katanya pun terbunuh oleh Kwa Hong, ia menggigit bibirnya dan menghibur Thio Ki.

"Dia terlampau lihai," katanya. "Baru burungnya saja tak terlawan oleh kita, untungnya tadi dia tidak berani melawanku. Andai kata dia turun tangan, kita semua kiranya takkan dapat hidup lagi."

Semenjak saat itu Kwa Tin Siong memimpin para tosu dan memperhebat latihan ilmu silat di antara para murid Hoa-san-pai untuk menjaga kalau-kalau kelak terjadi penyerbuan ke Hoa-san-pai. Juga Thio Ki tekun memperdalam ilmu silatnya.

Kwa Tin Siong lalu menyebar para tosu, berusaha menyelidiki untuk mencari kebenaran berita tentang Lee Giok. Dia juga berusaha mencari Li Cu dan Beng San yang mereka harapkan akan dapat memberi keterangan mengenai isteri Thio Ki itu. Akan tetapi semua usahanya sia-sia belaka.

Akhirnya karena putus asa, Thio Ki bahkan meninggalkan keduniaan dan masuk menjadi seorang tosu. Ia sekarang tekun mempelajari Agama To sambil memperdalam ilmu silat di bawah pimpinan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa.

Di bawah pimpinan suami isteri yang perkasa ini, lambat laun Hoa-san-pai mendapatkan kembali keangkerannya dan merupakan partai persilatan yang kuat. Hanya terdapat satu hal yang aneh, yaitu pada diri Kwa Kun Hong, putera Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa.

Semua orang kiranya akan menduga bahwa pasangan suami isteri ini tentu akan memberi gemblengan istimewa kepada putera mereka agar kelak menjadi seorang berkepandaian tinggi yang gagah perkasa. Namun dugaan ini keliru.

Mungkin sekali karena melihat akibat buruk pada diri puterinya, Kwa Hong, maka ketua Hoa-san-pai itu agaknya merasa kuatir kalau-kalau puteranya kelak pun akan mengalami nasib buruk karena pandai ilmu silat. Ia sama sekali tidak melatih ilmu silat kepada Kun Hong, sebaliknya melatih bun (ilmu kesusastraan) dan tentang agama….


                   ***************


‘Kakek Waktu’ mempunyai kekuasaan yang amat mengherankan dan tidak dapat dilawan oleh siapa dan apa pun juga. Segala yang berada di dalam dunia ini ditelan oleh waktu, tanpa pengecualian, mempergunakan daya keampuhannya yang berupa usia tua. Benda paling keras macam besi pun akhirnya menyerah kepada waktu, diganyang hancur oleh usia tua. Manusia yang paling pandai, yang paling gagah perkasa dengan kedudukan tertinggi, kekuasaan terbesar, akhirnya akan menyerah kepada ‘Kakek Waktu’. Semua akan musnah sedangkan waktu akan berjalan terus, menelan segala apa yang berada di hadapannya.

Yang sudah lampau hanya merupakan kenangan sepintas lalu saja, seakan-akan masa puluhan tahun hanya terjadi dalam sekejap mata. Sebaliknya, semua yang akan datang merupakan dugaan dan teka-teki yang takkan diketahui oleh seorang pun manusia. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa saja yang dapat menguasai ‘Kakek Waktu’, karena Tuhanlah sang pengatur dan pengisi waktu dengan segala macam peristiwa di dunia seperti yang dikehendaki-Nya.

Waktu memang amat aneh. Kalau diperhatikan dan diikuti jalannya, amatlah lambat ia merayap, lebih lambat dari pada jalannya siput. Akan tetapi kalau tidak diperhatikan, amat cepatlah ia melewat, lebih cepat dari pada terbangnya pesawat jet atau roket sekali pun.

Demikian pula dengan keadaan waktu di dalam cerita ini. Tanpa kita sadari lagi, tahu-tahu kita sudah dibawa oleh waktu terbang cepat tujuh belas tahun lamanya semenjak Kwa Tin Siong datang kembali ke Hoa-san-pai dan menjadi Ketua Hoa-san-pai sebagai pengganti gurunya, Lian Bu Tojin yang telah tewas oleh Kwa Hong dan Koai Atong. Tujuh belas tahun telah lewat bagaikan dalam sekejap mata saja!

Selama itu, tidak terjadi hal-hal penting. Memang harus diakui bahwa setelah Kaisar yang baru berhasil menghalau dan membasmi semua bekas teman seperjuangan yang hendak memberontak, keadaan pada umumnya menjadi aman tenteram.

Di Puncak Hoa-san-pai juga terlihat aman dan damai semenjak terjadi keributan belasan tahun yang lalu akibat sepak terjang Kwa Hong. Sekarang banyak kelihatan para tosu Hoa-san-pai bekerja di sawah ladang, memikuli kaleng-kaleng air dari sumber. Bahkan dengan gembira mereka selalu terlihat berlatih ilmu silat Hoa-san-pai di halaman belakang kuil Hoa-san-pai yang besar itu.

Berbeda dengan belasan tahun yang lalu ketika Hoa-san-pai masih diketuai oleh Lian Bu Tojin, kini Hoa-san-pai tak lagi memiliki murid-murid muda yang bukan tojin. Orang-orang kelihatan berlatih ilmu silat di situ semua adalah tosu-tosu Hoa-san-pai belaka.

Para tosu amatlah maju kalau dibandingkan dengan dahulu. Dulu para tosu Hoa-san-pai kurang memperhatikan pelajaran ilmu silat yang agaknya diborong oleh murid-murid yang bukan tosu. Akan tetapi sekarang para tosu itu lekas kelihatan amat maju dalam pelajaran ini. Ilmu silat yang mereka mainkan amat baik dan gerakan mereka menunjukkan latihan matang.

Tujuh belas tahun bukanlah waktu singkat untuk mematangkan ilmu silat bagi para murid Hoa-san-pai yang tadinya memang sudah mempunyai kepandaian dasar. Apa lagi yang melatih mereka adalah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, sepasang suami isteri yang sudah mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai, terutama sekali ilmu pedangnya.

Juga Thio Ki yang sekarang telah menjadi tosu itu amat maju. Kini dia merupakan murid kepala dan sering kali mewakili Ketua Hoa-san-pai untuk melatih para tosu di pelataran belakang kuil.

Thio Ki yang sudah menjadi tosu mempunyai nama pendeta Thian Beng Tosu dan ia merupakan tosu yang amat tekun mempelajari ilmu kebatinan untuk menghibur hatinya yang tertekan hebat. Patut dikasihani nasib Thio Ki. Kalau ia terkenang kepada isterinya, Lee Giok yang menurut anggapannya sudah terbunuh oleh Kwa Hong, hatinya menjadi sangat perih. Hanya dengan membaca kitab-kitab Agama To yang membuat kedukaannya dapat terhibur.

Berbeda dengan Thio Ki yang sudah menjadi tosu, Kwa Tin Siong tidak masuk menjadi tosu. Hal ini adalah karena ia mempunyai isteri, maka biar pun ia sudah menjadi Ketua Hoa-san-pai, namun ia tetap menjadi ‘orang biasa’ dan bukan pendeta. Oleh karena itu pula, sebagai ketua umum Hoa-san-pai, ia lalu mengangkat Thian Beng Tosu (Thio Ki) menjadi ketua bagian Agama To, dibantu oleh beberapa orang tosu tua yang menjadi ahli dalam keagamaan ini.

Kwa Tin Siong sendiri hidup rukun damai dengan isterinya dan puteranya. Pekerjaannya sehari-hari selain memimpin para tosu Hoa-san-pai dalam ilmu silat, juga sering kali tampak ketua ini bekerja di sawah ladang bersama para tosu lainnya.

Seperti juga halnya dengan keadaan apa saja di jagat ini, bahwa segala sesuatu takkan kekal adanya, tak akan ada hujan atau terang tiada akhir, tak akan pula ada kedukaan atau kesenangan tiada akhir. Selama Kwa Tin Siong menjadi Ketua Hoa-san-pai, keadaan di puncak bukit itu memang tampak aman tenteram, penuh damai yang menyamankan hati.

Pada suatu hari yang amat sejuk hawa udaranya, amat nyaman cahaya matahari pagi menembusi halimun gunung, tanpa disangka-sangka datanglah hal-hal yang mengganggu ketenteraman Hoa-san-pai. Gangguan itu mula-mula terjadi pada malam hari tanpa ada seorang pun anggota Hoa-san-pai yang tahu.

Ketika pagi-pagi hari para tosu mulai dengan pekerjaan mereka sehari-hari, tiba-tiba saja seorang tosu berseru heran sambil menuding ke arah atas kuil. Seperti biasa, di puncak kuil itu berkibar bendera Hoa-san-pai yang berdasar kuning dengan tuiisan biru, tanda dari perkumpulan Hoa-san-pai.

Akan tetapi sekarang bendera itu agak turun dan di puncak tiang bendera berkibar sebuah bendera kecil yang asing. Akan tetapi dari bawah jelas terlihat bahwa bendera itu adalah sebuah bendera berdasar warna merah dengan sulaman macan hitam. Menaruh bendera di atas bendera Hoa-san-pai hanya mempunyai satu arti, yaitu orang hendak menghina dan merendahkan Hoa-san-pai.

Ribut-ribut di luar kuil ini menarik hati Thian Beng Tosu yang segera berlari keluar. Melihat bendera kecil itu, wajahnya segera berubah merah dan dia mengepal tinjunya menahan marah.

Tidak lama kemudian Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa juga berlari keluar diikuti oleh seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang berwajah tampan dan bersikap halus. Dia ini bukan lain adalah Kwa Kun Hong. Mereka diberi laporan oleh seorang tosu tentang peristiwa itu, maka tergesa-gesa keluar untuk rnenyaksikan.

Kwa Tin Siong sendiri, juga isterinya, tidak mengenal bendera merah dengan gambar harimau hitam itu. Akan tetapi ketika Kwa Tin Siong melihat sikap Thian Beng Tosu (Thio Ki) yang nampak marah, ia segera bertanya,

"Apakah kau mengenal bendera itu? Apa artinya ini?"

Thian Beng Tosu segera menjawab pertanyaan supek-nya. "Teecu mengenal baik. Tak nyana sama sekali bahwa kumpulan bangsat itu berani mengejar teecu (murid) ke sini, malah berani menghina Hoa-san-pai!" Ia menarik napas panjang. "Hemmm, tentu mereka telah mempunyai pimpinan orang pandai sehingga pada malam hari tanpa kita ketahui sama sekali dapat memasangkan bendera itu."

Liem Sian Hwa adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang semenjak dulu berwatak keras dan gagah. Kedua telinganya sudah merah ketika ia menyaksikan penghinaan bendera itu. Sekarang mendengar kata-kata murid keponakannya ia menjadi makin panas hatinya. "Huh, memasang bendera begitu saja apa sih hebatnya?"

Baru saja ia berkata demikian, tubuhnya sudah melesat ke atas dengan gerakan ringan sekali dan tahu-tahu ia sudah meloncat tinggi di puncak tiang bendera! Tangan kirinya bergerak menyambar tiang bendera sehingga tubuhnya berjungkir-balik dengan lurus, lalu tangan kanannya membetot bendera kecil itu hingga lepas dari tiang. Kemudian, dengan sebelah tangan pula ia menaikkan bendera Hoa-san-pai di puncak tiang seperti semula.

Setelah semua ini ia lakukan dengan berjungkir balik dan dengan tangan kiri menahan tubuh di puncak tiang itu, ia menekan tiang dan tubuhnya melayang turun lagi. Ia hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara dan mukanya sedikit pun tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah mempergunakan banyak tenaga.

Para tosu berseru kagum dan memuji Sang Nyonya Ketua yang memang patut dipuji. Tak percuma Liem Sian Hwa mendapat julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang), karena memang ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya telah mencapai tingkat tinggi sekali.

Kun Hong bersorak memuji, "Hebat...! Ibu seperti burung saja, ah... bukan main indahnya gerakan Hui-liong Cai-thian (Naga Terbang ke Langit) tadi!"

Seketika wajah Liem Sian Hwa dan Kwa Tin Siong berubah terheran-heran. Mereka saling pandang, kemudian keduanya memandang kepada putera mereka dengan mata penuh selidik dan penuh pertanyaan.

Tentu saja mereka amat terheran-heran karena bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa gerakan tadi adalah gerakan Hui-liong Cai-thian? Padahal di antara para tosu, kiranya hanya Thian Beng Tosu seorang yang tahu akan ilmu meloncat Hoa-san-pai yang sukar ini, sedangkan Kun Hong sama sekali tidak pernah belajar silat semenjak kecilnya.

Hampir saja Kwa Tin Siong mengajukan pertanyaan, akan tetapi perhatian mereka tertarik oleh seruan Thian Beng Tosu, "Ahh, surat apakah yang tertempel di bendera itu?"

Semua orang melihat. Benar saja. Pada bendera kecil itu ada sehelai surat yang ditempel dengan tusukan jarum. Liem Sian Hwa lalu menyerahkan bendera berikut surat kepada suaminya yang segera mengambil surat itu dan membacanya. Keningnya berkerut setelah membaca, dan berkatalah Ketua Hoa-sanpai ini kepada semua tosu yang mengerumuni tempat itu.

"Gerombolan penjahat bermaksud buruk terhadap kita. Mulai saat ini kalian semua boleh terus bekerja seperti biasa, akan tetapi jangan berpisahan, harus berkelompok sedikitnya lima orang. Kalau ada orang asing naik ke gunung, jangan sembrono dan jangan mencari perkara. Langsung laporkan kepada kami."

Sambil berbisik-bisik dengan hati tegang para tosu itu ialu melanjutkan pekerjaan mereka. Kwa Tin Siong seanak isteri lalu masuk ke dalam mengajak Thian Beng Tosu.

"Ki-ji (Anak Ki)," kata Kwa Tin Siong. Memang sudah biasa ia memanggil Thio Ki dengan sebutan anak Ki, maka sampai Thio Ki menjadi tosu pun masih disebut demikian. "Apakah kau mengenal penulis surat ini?" Ia menyerahkan surat kecil itu kepada Thian Beng Tosu yang segera membacanya.

Apa bila dalam waktu dua belas jam Thio Ki tidak turun untuk mengantarkan nyawanya ke Im-kan-kok, terpaksa kami tidak melihat muka Ketua Hoa-san-pai lagi dan akan menyerbu Hoa-san-pai untuk mengambil nyawa Thio Ki.

Surat itu ditandai gambar harimau hitam dan tulisannya kasar lagi buruk, bukan tulisan seorang ahli. Membaca ini, seketika wajah Thio Ki atau sekarang bernama Thian Beng Tosu ini menjadi pucat, giginya beradu dan tangannya mengepal, surat itu diremasnya.

"Keparat betul Bhe Lam Si Macan Hitam itu!" katanya.

Thio Ki atau Thian Beng Tosu lalu bercerita. Dahulu sebelum ia menjadi tosu Hoa-san-pai dan masih menjadi seorang piauwsu (pengawal barang) di Sin-yang, pernah pada suatu hari barang kawalannya dirampok oleh segerombolan perampok yang dipimpin Hek-houw Bhe Lam. Seorang pembantunya tewas dan barang kawalan itu dirampas.

Thio Beng Tosu atau dahulu masih bernama Thio Ki bersama isterinya, Lee Giok, lalu mendatangi sarang perampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya mereka dapat mengalahkan Bhe Lam dan merampas kembali barang kawalannya. Bhe Lam berhasil melarikan diri setelah menderita luka berat.

"Demikianlah, Supek. Agaknya Bhe Lam itu tidak melupakan urusan lama dan biar pun teecu sudah menjadi tosu di sini, dia masih terus mencari teecu dan hendak membalas dendam. Perkenankan teecu pergi untuk menemuinya dan sekali ini teecu tidak akan tanggung-tanggung membasminya agar ia tidak mengacau ketenteraman dunia." Setelah berkata demikiah Thian Beng Tosu lalu bergerak hendak pergi mencari musuh besarnya.

Kwa Tin Siong menggerakkan tangan mencegah. "Nanti dulu, jangan kau terlalu sembrono dan tergesa-gesa. Kalau dahulu dia pernah kau kalahkan dan sekarang berani datang menantang, sudah tentu dia mempunyai andalan yang kuat. Kalau tidak demikian, tak mungkin ia bersikap menantang. Pula, kalau hendak menuntut balas, mengapa harus sampai belasan tahun lamanya? Kita harus hati-hati dan jangan gegabah. Dengan mendatangi Hoa-san-pai, memasang bendera untuk menghina bendera kita, itu saja menunjukkan bahwa ia memandang rendah kepada Hoa-san-pai. Setelah ia berbuat demikian jauh, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?"

"Yang amat mengherankan adalah tempat ia menanti di Im-kan-kok," kata Liem Sian Hwa sambil mengerutkan keningnya. "Im-kan-kok adalah tempat suci yang juga menjadi tempat larangan bagi kita, kenapa musuh justru menanti di sana? Thio Ki, kau harus berhati-hati, benar pendapat supek-mu, kita semua harus menghadapi urusan ini bersama."

Tiba-tiba Kun Hong tertawa, "Orang itu sungguh tak tahu diri sekali berani mengganggu Hoa-san-pai. Twa-suko jangan takut, orang itu memberi waktu dua belas jam, tentu nanti tengah hari ia datang. Biarkan ia datang, hendak kita lihat bagaimana macamnya. Untuk mendatangi undangannya ke Im-kan-kok hanya akan membuat dia lebih leluasa mengatur jebakan."

"Hushh, kau tahu apa tentang urusan ini?" ibunya membentak.

Kwa Tin Siong teringat akan sesuatu dan dia lalu bertanya dengan suara bengis, "Kun Hong, kau tadi tahu akan gerakan ibumu, dari mana kau tahu? Hayo bicara, jangan kau sembunyikan sesuatu dariku!"

Leher Kun Hong mengkeret ketika ia dibentak ayahnya, wajahnya menjadi merah dan ia menjawab gugup, "Ahh, tidak sekali-kali aku melanggar larangan Ayah. Aku tidak pernah mempelajari ilmu silat, hanya aku telah membaca catatan Ayah dan Ibu tentang ilmu silat Hoa-san-pai. Mempelajari tidak boleh, kalau membaca kan tidak ada larangan, bukan? Aku memang suka membaca apa saja, Ayah."

Diam-diam Ketua Hoa-san-pai ini tertegun. Membaca begitu saja tanpa mempelajari prakteknya, namun sudah dapat melihat gerakan orang, benar-benar hal ini amat luar biasa dan membutuhkan kecerdikan yang jarang bandingannya. Ia kagum dan juga bangga sekali, akan tetapi mulutnya berkata, "Hemm, lain kali kau tidak boleh membaca segala macam kitab pelajaran ilmu silat"

"Baik, Ayah," kata Kun Hong sambil tunduk.

Karena menguatirkan keselamatan puteranya yang tidak pandai ilmu silat, Kwa Tin Siong hendak menyuruh puteranya itu tinggal saja di kamarnya. Akan tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan perintah, tiba-tiba seorang tosu masuk dan melaporkan bahwa ada tiga orang tosu tua yaitu Pak-thian Sam-lojin datang berkunjung. Wajah Kwa Tin Siong menunjukkan perasaan girang dan heran akan kunjungan yang tak disangka-sangka ini...
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12