Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 07
Kwa Hong
mengeluarkan suara ketawa sambil menangkis dengan sepasang pedangnya. Akan
tetapi suara ketawanya tak berlangsung lama karena ia segera menjadi repot
sekali oleh pengeroyokan dua orang itu. Hek-hwa Kui-bo mainkan Ilmu Pedang
Im-sin Kiam-sut sedangkan Song-bun-kwi memainkan Yang-sin Kiam-sut dan mereka
dapat bekerja sama secara baik sekali.
Menghadapi
pasangan ilmu pedang sakti ini, Kwa Hong segera terdesak hebat. Masih untung
baginya ia sudah paham betul akan gerakan dan perubahan geseran kaki menurut
gerakan rajawali emas, sehingga biar pun terdesak hebat ia masih dapat
menyelamatkan diri secara aneh. Akhirnya ia melengking keras minta bantuan
rajawali. Rajawali emas segera menyambar-nyambar di atas kepala kedua orang
itu. Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo tadi sudah menyaksikan ketika rajawali itu
merampas pedang dari tangan Cia Hui Gan, maka mereka kaget dan cepat-cepat
meloncat dan menjatuhkan diri.
Kesempatan
ini dipergunakan Kwa Hong untuk meloncat ke atas punggung burungnya, sambil
tertawa-tawa ia berkata, "Aku tidak ada waktu untuk main-main dengan
kalian dua orang tua bangka!"
Cepat
burungnya terbang meninggalkan dua orang itu yang menyumpah-nyumpah saking
mendongkol dan marahnya.
"Ahh,
kenapa bisa begini tolol? Aku harus menangkap Beng San keparat!" tiba-tiba
saja Song-bun-kwi teringat akan urusannya dan tanpa menoleh lagi kepada Hek-hwa
Kui-bo ia berlari cepat mengejar ke arah larinya Beng San dan Li Cu tadi.
Hek-hwa
Kui-bo datang bersama Beng Kui. Memang dia dimintai tolong oleh orang muda itu
setelah Beng Kui mendengar bahwa Beng San kini sudah kehilangan kepandaian dan
ingatannya. Seperti telah dituturkan pada bagian atas, antara Hek-hwa Kui-bo
dan Beng Kui terdapat kerja sama lagi ketika mereka bersama-sama membantu
pemberontak-pemberontak yang ingin menggulingkan kedudukan Kaisar pertama dari
Kerajaan Beng. Sekarang Beng Kui berhasil dengan usahanya, yaitu menculik Beng
San dan Li Cu.
Akan tetapi,
di belakang orang muda itu mengejar Song-bun-kwi dan mungkin juga Kwa Hong,
siapa tahu? Sudah menjadi tugasnya untuk membantu Beng Kui, maka ia pun lalu
meninggalkan tempat itu dan menyusul Beng Kui karena ia sudah tahu ke mana
pemuda itu membawa pergi dua orang korbannya itu.
Dalam
kempitan Beng Kui, Beng San tidak berdaya. Akan tetapi diam-diam ia memutar
terus otaknya yang sejak pertempuran di Thai-san tadi mengalami
guncangan-guncangan hebat. Banyak hal yang membingungkannya. Sekarang kakak
kandungnya menangkap dia dan isterinya. Apakah kesalahannya? Apa pula kesalahan
isterinya? Dan ke manakah mereka berdua hendak dibawa? Lalu hendak diapakan?
Seingatnya,
isterinya adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, yang juga merupakan
puteri dari Song-bun-kwi. Dan baru teringat ia sekarang, kenapa tadi
Song-bun-kwi tidak menolongnya dan menolong isterinya?
"Aku
tidak peduli itu semua...," akhirnya hatinya memutuskan karena kepalanya
serasa pecah karena kepeningan ketika dia mencoba memecahkan semua rahasia itu.
"...asal saja Bi Goat jangan diganggu..."
Ia merasa
kuatir sekali kalau-kalau isterinya diganggu orang. Dan apa bila sampai terjadi
demikian, biar pun yang mengganggunya adalah kakak kandungnya, biar pun dia
sendiri tak bisa silat, hemm... dia akan mencegahnya dan melawan mati-matian
mempertaruhkan nyawanya sendiri.
"Kui-ko,
mengapa kau menangkap kami suami isteri dan ke mana kau hendak membawa
kami?" Beng San akhirnya bertanya.
Akan tetapi
yang ditanya tidak menjawab, melainkan berlari makin cepat lagi. Beng San
mengulang-ulang pertanyaannya, namun Beng Kui tetap tidak menjawab sedangkan Li
Cu tidak dapat bersuara karena jalan darah di lehernya telah tertotok.
Semenjak
Beng Kui gagal dalam rencana pemberontakannya dulu, hatinya menjadi lebih sakit
dan menaruh dendam besar terhadap Beng San. Ia sudah mendengar betapa adik
kandungnya itulah yang telah menggagalkan pencegatan terhadap Kaisar, malah dia
juga mendengar betapa dengan kerja sama antara Beng San dan Li Cu, Ho-hai
Sam-ong telah tewas pula dalam pertempuran.
Semua ini
ditambah lagi dengan kenyataan betapa gurunya sendiri pun turun tangan di kota
raja menghadapinya, maka ia menaruh sakit hati terhadap bekas gurunya, terhadap
Li Cu dan terutama sekali terhadap Beng San. Inilah yang menyebabkan mengapa ia
lalu sengaja datang ke Thai-san bersama Hek-hwa Kui-bo ketika ia mendengar
berita bahwa Beng San yang ia takuti itu telah kehilangan kepandaiannya dan
menjadi orang gila. Sebagai seorang bekas pemberontak, tentu saja Beng Kui
tidak dapat bergerak bebas. Ia menyembunyikan diri sambil menanti saat baik,
malah membuat tempat persembunyian tidak jauh dari Puncak Thai-san.
Di sebuah
hutan ia telah mendirikan rumah besar dan ia mempunyai banyak kaki tangan yang
masih setia kepadanya. Pada saat berada di tempatnya ini Beng Kui menganggap
diri sendiri seolah-olah sudah menjadi seorang ‘raja kecil’. Isterinya, puteri
pangeran yang bertubuh lemah, tidak ia ajak dalam perantauan dan
persembunyiannya ini, melainkan ia tinggalkan di tempat persembunyiannya di
dekat kota raja.
Menjelang
senja Beng Kui telah memasuki sebuah hutan besar di kaki Gunung Thai-san
sebelah utara. Hutan itu gelap dan amat liar, tidak pernah didatangi manusia.
Akan tetapi ternyata di tengah-tengah hutan besar itu terdapat sebuah rumah
besar yang dikelilingi oleh rumah-rumah berukuran agak kecil. Inilah ‘perkampungan’
kecil yang menjadi tempat persembunyian Beng Kui bersama pengikut-pengikutnya.
Kedatangan
Beng Kui disambut beberapa orang kaki tangannya. Dia langsung memasuki rumahnya
kemudian membanting tubuh Beng San ke atas lantai. Pemuda ini terbanting dan
bergulingan, lalu terdengar beberapa orang anak buah Beng Kui tertawa mengejek.
"Kui-ko,
di manakah ini? Rumah siapa dan apa yang hendak kau lakukan terhadap kami? Kau
lepaskan isteriku!" Beng San tak pedulikan tubuhnya yang sakit-sakit lalu
merangkak bangun.
Andai kata
Beng Kui tidak semarah itu, kiranya hal ini akan menimbulkan keheranannya. Akan
tetapi dia lupa bahwa tadi dia sudah menotok jalan darah di tubuh Beng San yang
membuat adiknya itu lumpuh.
"Kau
mau tahu apa yang hendak kulakukan? Ha-ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu
sekarang! Kau harus melihat dulu apa yang akan kulakukan terhadap perempuan tak
tahu malu ini!" ia melempar Li Cu ke atas sebuah dipan diruangan itu.
Gadis itu
jatuh lemas dan tidak dapat bergerak, hanya kedua matanya yang memandang tajam
penuh kemarahan dan kebencian. Beng Kui mengejar maju dan sekali tangannya
bergerak ia telah membebaskan totokan pada leher gadis itu sehingga Li Cu dapat
bicara kembali. Tetapi, saking marahnya sampai gadis itu tidak mampu mengeluarkan
perkataan apa pun!
"Kui-ko,
kau tahu bahwa aku tidak takut mati. Kau mau bunuh aku, boleh bunuh. Akan
tetapi kau harus membebaskan Bi Goat, dia itu tidak mempunyai dosa apa-apa
terhadap dirimu. Kalau kau benci kepadaku, kalau kau marah kepadaku, boleh kau
perlakukan aku sesukamu, tapi jangan ganggu Bi Goat!" kembali Beng San
memohon kepada kakaknya.
Beng Kui
tertawa mengejek. "Sudah kukatakan tadi, kau tidak akan kubunuh sekarang.
Kau perlu hidup untuk menyaksikan betapa aku akan membuat wanita tak tahu malu
ini sebagai barang permainanku. Ya, aku harus membalas, dia harus menjadi
permainanku, ha-ha-ha... dan di depan matamu, Beng San! Nanti kalau aku sudah
bosan, baru kurusak mukanya dan kubebaskan dia dan kau pun akan kulempar ke
dalam jurang di belakang rumah. Sudah terlalu sering kau merusak rencanaku,
sudah terlalu banyak usahaku yang kau gagalkan."
Ia ketawa
lagi dan berpaling kepada beberapa orang anak buahnya yang berada di situ,
berdiri seperti patung. "Sediakan hidangan untukku!"
Orang-orang
itu memberi hormat sambil berlutut lalu mengundurkan diri. Beng Kui tertawa
lagi.
"Lihat
Beng San, lihatlah baik-baik. Biar pun kau sudah menggagalkan semua rencanaku,
akan tetapi aku tetap dapat hidup sebagai raja. Dan kau akan kujadikan anjing,
manusia bukan binatang pun bukan, hidup tidak mati pun belum. Dan dia... ha-ha,
perempuan yang mencintamu ini, yang melempar aku memilih kau, dia akan melihat
bahwa aku jauh lebih berharga dari padamu."
Beng San
sukar menangkap arti semua ucapan itu. Dia berusaha mengingat-ingat dan memeras
otaknya, maka terlihat ia berdiri bengong seperti patung batu. Ada pun Li Cu
saking marahnya sampai seperti gagu tak dapat bicara, hanya pancaran matanya
yang berapi-api seperti hendak membakar tubuh Beng Kui dengan api kebencian
yang berkobar-kobar. Akan tetapi di samping kebencian dan kemarahannya ini,
diam-dian Li Cu menjadi terheran-heran.
Selama hidup
belum pernah ia melihat suheng-nya itu seperti sekarang ini. Alangkah jauh
bedanya dengan dahulu. Rasa herannya makin memuncak ketika hidangan yang mewah
disediakan di atas meja. Beng Kui makan minum seorang diri dengan sikap
berlebihan. Orang-orang yang melayaninya kelihatan amat menghormat seolah-olah
sedang melayani seorang kaisar saja. Dilihat keadaannya sekarang dan bila
dibandingkan dengan dahulu, agaknya lebih pantas kalau dikatakan bahwa Beng Kui
telah berubah pikirannya atau tidak waras lagi pikirannya.
Setelah
selesai makan, Beng Kui melemparkan beberapa potong tulang kepada Beng San
sambil tertawa dan berkata, "He, anjing... nih kuberi tulang, makanlah!
Ha-ha-ha!"
Beng San
berdiri tak bergerak, hanya memandang kepada kakak kandungnya yang sudah
seperti orang gila itu. "Kui-ko ingatlah... kenapa kau menjadi begini...?
Kau seperti orang gila..."
"Keparat!"
Tubuh Beng Kui bergerak tangannya kiri kanan menampar dan…
"Plak-plak-plak!"
muka Beng San sudah dihujani tamparan yang keras sehingga Beng San
terhuyung-huyung dan kedua pipinya menjadi merah.
"Bersihkan
meja dan tinggalkan kami. Tutup pintu depan, lalu jaga baik-baik!" Beng
Kui memberi perintah kepada orang-orangnya yang dengan sigap lalu mengerjakan
perintah orang muda itu. Tak lama kemudian mereka bertiga sudah ditinggalkan
pergi oleh para pelayan.
Beng San
masih berdiri tegak, bekas tamparan kakaknya masih tampak di kedua pipinya.
Setelah semua pelayan pergi, Beng Kui kemudian mencabut pedang Liong-cu-kiam
dari pinggangnya. Dia menghampiri Beng San yang berdiri dengan sikap tegak,
sama sekali tidak kelihatan takut. Kiranya biar pun kehliangan ingatan dan
kepandaian, namun Beng San tidak pernah kehilangan keberanian dan ketabahannya.
"Hemm,
kau hendak bunuh aku, Kui-ko? Mau bunuh boleh bunuh, aku tidak takut. Akan
tetapi jangan sekali-kali kau mengganggu isteriku. Dia... dia tidak berdosa,
mengapa kau menawannya? Lekas kau bebaskan dia!"
"Beng
San keparat, hayo kau lekas berlutut! Hayo!"
Akan tetapi
Beng San berdiri tegak dan memandang dengan matanya yang kini bersinar tenang
dan bodoh. Teringat ia akan segala pelajaran filsafatnya dan ia menjawab,
"Kui-ko, aku hanya dapat berlutut kepada Tuhan, kepada nenek moyang,
kepada ayah bunda, kepada guru, kepada pemimpin dan kepada orang yang telah
kuperlakukan dengan keliru sehingga aku patut minta ampun kepadanya. Padamu aku
tidak salah apa-apa, kenapa harus berlutut?"
"Keparat!"
Kaki Beng Kui bergerak dan lutut Beng San keduanya sudah kena ditendang dengan
cepat. Beng San tak dapat mempertahankan diri lagi dan jatuh berlutut.
Beng Kui
tertawa bergelak-gelak, "Ha-ha-ha, akhirnya kau berlutut juga di hadapanku.
Hemmm, kau mengaku adik kandungku, akan tetapi semenjak pertemuan kita kau
selalu menjadi perintang, selalu menjadi penghalang dan selalu menjadi pengacau
hidupku! Sudah sepatutnya kalau kau kubunuh!"
"Beng
Kui, kau ini manusia apakah? Cih, kau tak tahu malu, curang, dan benar-benar
pengecut besar! Kau berani bertingkah setelah melihat Beng San kehilangan
ingatannya. Coba kalau dia masih seperti biasa, aku berani bertaruh kau akan
lari tunggang-langgang kalau bertemu dengan dia! Huh, muak perutku melihat
mukamu!" Ucapan ini keluar dari mulut Li Cu yang marah bukan main
menyaksikan betapa Beng Kui memperlakukan Beng San seperti itu.
Pucat muka
Beng Kui mendengar cacian yang luar biasa menghinanya ini. Selama hidup belum
pernah Li Cu berani bicara seperti ini kepadanya, kepada dia yang menjadi kakak
seperguruannya, juga menjadi bekas tunangan! Benar-benar penghinaan yang
melampaui batas. Sekali melompat ia telah berada di pinggir dipan, memandang
kepada Li Cu yang rebah miring di atas dipan karena masih tertotok, namun
sepasang matanya memandang tajam penuh kebencian.
"Kau
berani menghinaku? Apakah kau kira aku pun tidak sanggup mempermainkan dan
menghinamu?" Pedangnya berkelebat dan…
"Brettt"
robeklah baju Li Cu.
Baju luar
berwarna merah itu robek lebar sekali sehingga tampak baju dalamnya yang
berwarna merah muda. Beng Kui tertawa terbahak-bahak sedangkan Li Cu menjadi
pucat sekali, tak berani mengeluarkan kata-kata lagi saking ngerinya melihat
perbuatan bekas suheng-nya yang seperti kemasukan iblis itu.
"Kui-ko,
jangan kau ganggu isteriku!" Beng San lari menghampiri dan mengangkat
tangan hendak mencegah kakaknya bertindak lebih jauh.
Akan tetapi
sambil membalikkan tubuh Beng Kui menendang lagi dengan keras sehingga tubuh
Beng San terlempar dan terbanting pada dinding. Namun Beng San sudah nekat. Ia
bangun lagi, menghampiri dan berseru.
"Tak
boleh kau menghina isteriku... Tak boleh..."
Sekali lagi
ia terjungkal karena tendangan Beng Kui pada perutnya. Kali ini agak sukar Beng
San untuk bangkit. Tendangan itu membuat napasnya menjadi sesak. Akan tetapi
sambil merangkak mendekati kakaknya lagi dan merangkul kedua kakinya.
"Kui-ko,
jangan... jangan kau menggangu isteriku..., bunuhlah aku kalau kau kehendaki,
tapi bebaskan dia..."
Beng Kui
mehjadi gemas sekali, pedang di tangannya berkelebat ke arah Beng San. Li Cu
menjerit dan rambut di kepala Beng San terbabat putus. Li Cu terisak-isak
saking kuatirnya, akan tetapi Beng San sama sekali tidak kelihatan gentar biar
pun tadi pedang itu hampir saja membabat putus batang lehernya.
"Kui-ko,
sekali lagi kuminta, jangan kau ganggu isteriku."
"Bangsat,
kalau aku mau mengganggunya kau mau apa? Hayo kau mau apa?” Beng Kui menantang.
"Biar
pun aku tidak pandai silat, aku akan melawanmu!" kata Beng San sambil
berusaha untuk berdiri.
"Ha-ha-ha-ha,
kau hendak melawan? Nah, terimalah bacokan ini!" Pedang di tangannya
berkelebat dan kini benar-benar melayang ke arah batang leher Beng San dengan
cepat dan kuat.
"Beng
San...!" Li Cu menjerit lagi dengan sekuat tenaga dan ia hampir pingsan
melihat pedang itu menyambar leher kekasihnya.
Beng San
terjungkal dan tak bergerak. Akan tetapi lehernya tidak putus dan tidak ada
setetes pun darah keluar. Kiranya tadi Beng Kui hanya menakut-nakuti saja dan
membalik pedangnya sehingga punggung pedangnya yang menghantam belakang kepala
Beng San, bukan mata pedangnya. Pukulan ini keras sekali dan Beng San
tersungkur, tak mampu bangun kembali. Ia merasa seperti melayang-layang dari
tempat yang sangat tinggi penuh bintang beraneka warna beterbangan di
sekelilingnya. Ia jatuh terus ke bawah, makin lama semakin cepat.
Mula-mula
melalui ruangan yang putih seperti salju, lalu ruangan merah seperti darah,
Kemudian setelah melalui beberapa ruangan yang beraneka warna ia tidak melihat
apa pun lagi. Hanya perasaannya yang menyatakan bahwa ia masih terus
melayang-layang ke bawah. Telinganya mendengar suara yang sangat mengerikan,
mengiang-ngiang dan mendengung-dengung, kadang-kadang rendah, lalu disusul
suara ketawa terbahak-bahak yang bergema di sekelilingnya, disusul suara tangis
yang memilukan!
Apakah aku
sudah mati? Di mana aku berada? Bukan aku yang mati, melainkan Bi Goat! Ah, Bi
Goat sudah mati dan ia mengunjungi kuburannya. Bi Goat isterinya yang tercinta,
telah mati. Apakah aku juga sudah menyusulnya dan sekarang terseret?
"Bi
Goat... Bi Goat..." Ia mencoba untuk memanggil, namun tidak terdengar
suaranya.
"Beng
San...!" Teriakan ini seperti terdengar dari tempat yang amat jauh.
Beng San
merasa seakan-akan ia berhenti melayang. Tahu-tahu ia merasa telah berada di
atas bumi. Mimpikah aku? Siapa yang memanggilku tadi? Apakah Bi Goat? Ia merasa
kini bahwa tubuhnya sedang rebah tertelungkup. Ahh, tentu ia mimpi, tapi...
"Beng
San...!" Makin keras panggilan ini, suara wanita dan jerit itu menyayat
hati benar.
Ia membuka
mata. Benar saja, ia sedang rebah tertelungkup. Akan tetapi mengapa di atas
lantai? Kedua kakinya terasa sakit dan lehernya juga sakit. Ia menoleh ke atas.
Apa yang dilihatnya membuat ia bengong dan terbelalak. Gilakah dia? Kenapa dia
melihat semua ini? Ia melihat Beng Kui kakaknya dan Li Cu yang rebah tidak
dapat bergerak di atas dipan, sedangkan Beng Kui yang berdiri di dekat dipan
terus tertawa-tawa.
"Beng
San...!" Kembali Li Cu memekik dan kembali Beng Kui tertawa,
"Ha-ha-ha,
kau boleh seribu kali memanggilnya. Dia tak dapat bangun lagi, anjing lemah
itu. Ha-ha, Li Cu, benar-benar aku masih hampir tak dapat percaya kalau kau
dapat jatuh cinta kepada orang gila!"
“Beng Kui,
mengapa kau begini kejam? Apakah kau hendak membunuh adik kandungmu sendiri?
Apakah kesalahannya? Kalau begitu, kau bunuh aku juga, Beng Kui."
"Tidak,
kau tak akan kubunuh. Sayang kecantikanmu. Aku masih cinta kepadamu, Li Cu. Dan
kau, mau tidak mau, harus menemaniku di dalam hutan ini."
"Tidak!
Aku lebih baik mati! Beng Kui, ingatlah. Aku... aku hanya cinta kepada Beng
San. Aku mau mati atau hidup bersama dia. Kalau kau sudah membunuhnya, kau
bunuhlah aku. Jika kau lakukan itu, aku bersumpah takkan menaruh dendam
kepadamu. Bunuhlah aku." Li Cu terisak-isak menangis.
"Benar-benar
aneh kau ini, Li Cu. Beng San sudah gila, dia selain gila juga menjadi orang
lemah. Kau dianggapnya isterinya yang bernama Bi Goat, yang sudah mati. Sudah
jelas bahwa ia tidak mencintamu sebagai Li Cu, tetapi mencintamu sebagai Bi
Goat. Kenapa kau bisa membalas cinta kasih orang gila macam itu? Aku belum
membunuhnya, Li Cu. Akan tetapi, kalau kau dengan suka rela mau menjadi
isteriku, aku akan bebaskan dia. Sebaliknya, kalau kau tetap keras kepala, aku
akan membunuhnya setelah menyiksanya seperti anjing gila, dan kau tetap akan
kujadikan isteriku!"
Sepasang
mata Li Cu terbelalak lebar dan kemarahannya tidak mampu ditahannya lagi.
"Keparat, kau! Iblis kau! Tuhan akan mengutukmu, jahanam!"
"Ha-ha-ha,
kau hendak mengamuk lagi? Ha-ha, Li Cu, mati hidupmu di tanganku, tahu?"
"Aku
tidak takut! Kau iblis bermuka manusia. Terkutuklah kau!"
"Ha-ha-ha,
semakin manis saja kalau kau marah-marah." Pedangnya bergerak perlahan
dan…
"Brettt!"
sekarang pakaian dalam yang menempel di tubuh Li Cu robek pula oleh ujung
pedang.
Li Cu
menjerit ngeri dan menutupkan matanya yang penuh air mata. Akan tetapi apa
dayanya? Tubuhnya tak mampu bergerak.
Tiba-tiba
tubuh Beng Kui terlempar ke belakang, menimpa meja yang tadi ia pakai makan
minum sampai kaki meja itu patah-patah! Kaget bukan main Beng Kui yang tadi
merasa seakan-akan tubuhnya bisa terbang melayang begitu saja.
Cepat ia
meloncat bangun sambil mempersiapkan pedang yang masih terpegang olehnya.
Ketika ia membalikkan tubuh memandang, matanya terbelalak lebar seakan-akan
hendak meloncat keluar dari tempatnya. Ia melihat Beng San sudah berdiri di
hadapannya dengan sepasang mata yang bersinar sinar penuh api kemarahan.
Sepasang mata itu kini bercahaya ganjil dan menyeramkan seperti dahulu!
Ia masih
belum mau percaya kalau Beng San yang tadi melemparkannya. Tidak mungkin!
Bukankah tadi setelah ia hantam belakang kepala Beng San dengan punggung
pedang, adiknya itu roboh dan pingsan? Tentu saja manusia yang sudah mabok
kemenangan dan mabok pangkat ini tidak sadar bahwa di dunia ini kekuasaan
manusia sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kekuasaan
Tuhan.
Manusia yang
merasa dirinya menang, yang merasa dirinya kuat sendiri, yang merasa dirinya
benar sendiri, menyatakan bahwa manusia seperti ini adalah manusia yang berjiwa
rendah. Atau setidaknya, pada saat itu hati nuraninya dikuasai oleh iblis.
Segala
kemenangan, kekuatan dan kebenaran seluruhnya terletak di tangan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Merupakan rahmat-Nya bagi manusia. Oleh karena itu, segala rahmat
dari Tuhan harus dipersembahkan kemudian kepada-Nya dengan jalan mengakui
dengan segala kerendahan hati bahwa kesemuanya itu datang dari pada-Nya.
Pengakuan yang tulus akan hal ini akan menjauhkan manusia dari mabok kemenangan
serta kekuasaan.
Pada saat
punggung pedang di tangan Beng Kui tadi menghantam belakang kepala Beng San,
Tuhan memperlihatkan kekuasaan-Nya. Hantaman itu tepat mengenai jalan darah
yang menjurus ke kepala, menggetarkan urat saraf di kepala Beng San yang
terganggu ketika dia dahulu terpukul oleh kedukaan karena kematian isterinya.
Bagaikan air
yang mengalir kembali setelah bendungannya dibuka, ingatan Beng San kembali
perlahan-lahan dan semua ini ditambah oleh pendengarannya ketika Beng Kui dan
Li Cu berdebat. Terbukalah semua ingatan dan pengertiannya, sekaligus membuat
ia marah bukan main. Baiknya ia dapat cepat sadar kembali dan dapat mencegah
sebelum Beng Kui melakukan perbuatan yang lebih biadab lagi.
"Beng
San...!" Li Cu berseru lirih, namun di dalam seruan lirih ini terkandung
jerit yang memecahkan kesunyian angkasa, penuh kekagetan, penuh keheranan,
penuh gairah dan harapan.
Beng San
melirik ke arah Li Cu, akan tetapi cepat-cepat ia membuang muka pada saat
melihat keadaan nona itu yang tubuhnya bagian atas tidak tertutup lagi
baik-baik karena bajunya yang koyak-koyak lebar itu. Tanpa banyak cakap ia
segera meloloskan bajunya sendiri dan melemparkan bajunya ini di atas tubuh Li
Cu yang tidak tertutup. Barulah ia berani berpaling.
Mereka
berpandangan sejenak, keduanya dengan mata berlinangan air mata. Beng San sudah
tahu semua ketika tadi ia mendengar percakapan antara Li Cu dan Beng Kui.
"Nona,
biarlah kubebaskan kau dari totokan..."
"Beng
San, awas!" teriak Li Cu.
Beng San
dengan tenang tapi cepat menggeser kakinya dan tangannya bergerak ke kiri.
Pedang Liong-cu-kiam menyambar lewat di pinggir kepalanya.
"Beng
Kui, kau benar-benar tidak tahu diri...," dia mencela sambil melompat ke
tengah ruangan, terpaksa belum dapat membuka totokan atas diri Li Cu.
Akan tetapi
kemarahan Beng Kui sudah memuncak. Sepasang matanya menjadi merah dan
berputar-putar liar.
"Kau
orang gila banyak tingkah... mampuslah!" bentak Beng Kui dan pedangnya
kembali menyambar-nyambar.
Banyak orang
bilang bahwa orang gila menganggap diri sendiri waras dan menganggap orang
waras sebagai orang gila. Kiranya keadaan Beng Kui cocok dengan pendapat ini.
Dia memaki gila akan tetapi dia sendirilah yang mengamuk seperti orang gila.
Pedangnya
mengeluarkan suara kemudian berubah menjadi segulung sinar panjang yang
melayang-layang dan menyambar-nyambar hebat ke arah Beng San. Namun, sekaligus
Beng San sudah mendapatkan kembali semua kepandaiannya yang memang tak pernah
hilang, hanya ‘terlupa’ oleh otaknya. Secara otomatis kakinya bergerak-gerak
dan semua serangan pedang itu dapat ia hindarkan dengan amat mudahnya.
"Beng
Kui, kau orang tua yang tidak mau dihormati adiknya. Sekali lagi sekarang aku
beri kesempatan kepadamu untuk pergi dari sini dengan aman. Kau pergilah,
tetapi tinggalkan Liong-cu-kiam."
"Jangan
banyak cakap!" Beng Kui malah memaki dan pedangnya terus menyerang.
Tiga kali
Beng San minta kepada kakaknya untuk pergi dengan aman, namun jawabannya selalu
serangan maut yang ditujukan kepadanya secara nekat.
"Kau
memang keras kepala!" seru Beng San kemudian.
Saat itu
pedang di tangan Beng Kui menusuk dadanya. Beng San tiba-tiba menggunakan
gerakan merendahkan tubuh, kemudian dari bawah tangannya bergerak ke atas, yang
kanan merampas gagang pedang yang kiri memukul dengan pukulan Pek-in Hoat-sut.
Hawa pukulan
yang mengandung uap putih itu melumpuhkan seluruh tenaga Beng Kui dan dengan
mudah pedang di tangannya berpindah tempat! Ia masih hendak menerjang dengan
tangan kosong, namun kaki kiri Beng San menendangnya sehingga dia tepental
keluar ruangan itu dan bergulingan sampai jauh. Beberapa orang anak buah Beng
Kui menyerbu ke dalam.
"Pergilah
kalian!"
Seruan Beng
San ini demikian berpengaruh, apa lagi disertai dorongan tangan kirinya ke
depan yang membuat sekaligus tiga orang terjengkang tanpa tersentuh tubuhnya
sedikit pun, sehingga mereka semua menjadi kaget dan jeri. Pada saat itu,
terdengar hiruk pikuk di luar dan terdengar pula suara banyak orang
berlari-lari pergi meninggalkan tempat itu, seakan-akan takut menghadapi
sesuatu yang hebat.
"Song-bun-kwi
setan tua, jangan ganggu orang-orang ini! Nona Kwa Hong, orang-orang ini adalah
teman-teman Tan Beng Kui-enghiong, jangan kau ganggu!" Terdengar suara
Hek-hwa Kui-bo.
Beng San
terheran-heran dan hanya berdiri di tengah ruangan itu, pedang Liong-cu-kiam di
tangan. Celananya robek-robek pada bagian yang ditendang Beng Kui tadi,
sedangkan tubuhnya bagian atas telanjang karena bajunya tadi sudah ia lemparkan
kepada Li Cu. Ia kelihatan seperti seorang bajak sungai!
Berturut-turut
mereka meloncat masuk. Mula-mula Song-bun-kwi, disusul Kwa Hong dan kemudian
sekali Hek-hwa Kui-bo. Tiga orang itu begitu memasuki ruangan berdiri tertegun
seperti melihat setan di tengah hari!
Ada pun Beng
San begitu melihat Song-bun-kwi, segera dia menjura dengan hormat dan berkata memanggil,
"Gak-hu (Ayah Mertua)..."
Song-bun-kwi
masih mengira bahwa Beng San kehilangan kepandaiannya, karena itu ia membentak,
"Aku bukan ayah mertuamu! Keparat, kau pembunuh anakku Bi Goat dan
karenanya sekarang akan kupatahkan batang lehermu!" Ia menerjang ke depan.
Tapi sinar
hijau menyambar dan menghalangi gerakan kakek ini. Sinar itu tidak lain adalah
panah-panah hijau dari Kwa Hong.
"Perlahan
dulu Song-bun-kwi!" Memang Kwa Hong tidak ingin melihat Beng San terbunuh
oleh orang lain. Mati atau hidupnya Beng San dialah sendiri yang berhak
memutuskan, begitu pikirnya.
"Hong-moi
kau juga di sini?" tegur Beng San dengan suara halus.
Kwa Hong
seketika menjadi pucat, apa lagi ketika melihat pedang Liong-cu-kiam di tangan
pemuda itu. "Kau...sudah ingatkah...?"
"Bangsat,
kau sudah membunuh anak perempuanku. Kalau kau sudah ingat, tentu kau tak akan
mungkir lagi!" Song-bun-kwi membentak sambil melangkah maju.
Beng San
tersenyum sedih, "Gak-hu, aku amat mencinta Bi Goat. Bagaimana aku dapat
membunuhnya? Bi Goat meninggal karena berduka dan marah yang ditimbulkan oleh
Hong-moi. Memang aku lama meninggalkan Bi Goat, akan tetapi hal itu adalah
karena aku merasa amat berduka dan menyesal serta malu karena perbuatanku
bersama Kwa Hong dahulu. Kemudian aku membantu orang-orang gagah untuk
melindungi Kaisar dari pengkhianatan beberapa orang, maka pulangku terlambat.
Aku menyesal sekali, Gak-hu, tapi sesungguhnya bukan aku yang menyebabkan
kematian isteriku. Dia tahu bahwa aku mencintanya. Tapi Tuhan lebih kuasa dari
segala di dunia ini..."
Beng San
nampak sangat berduka.
"Keparat,
kau bisa saja memutar omongan. Isteri melahirkan anak sampai mati tapi kau
sebagai suami tidak menjaganya!"
"Ahh,
Gak-hu. Memang aku benar-benar merasa berdosa. Sekarang di manakah anakku itu,
Gak-hu? Biarlah aku akan merawatnya penuh kasih sayang, sebagai pengganti Bi
Goat dan..."
"Tutup
mulut! Kau laki-laki mata keranjang, kau laki-laki hina-dina, kau... kau sudah
main gila dengan perempuan lain. Hemmm hendak menyangkal, kau?"
Kakek ini
menudingkan telunjuknya ke arah Li Cu yang masih rebah terselimut baju luar
Beng San, rebah miring tak bergerak di atas dipan! Semua mata lalu memandang dan
Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa genit penuh arti ketika melihat baju
Beng San menyelimuti tubuh Li Cu.
Wajah Li Cu
sebentar pucat sebentar merah sekali. Namun Beng San tetap tenang.
"Aku
tidak pernah main gila dengan siapa pun juga. Mungkin karena kehilangan ingatan
aku menjadi seperti gila dan syukurlah... berkat pertolongan Nona Cia yang
berbudi mulia sampai sekarang aku masih terlindung. Gak-hu, kau berikanlah
puteraku."
"Putera
apa? Pedang inilah yang akan menghabisi nyawamu!"
"Nanti
dulu, Song-bun-kwi. Aku pun hendak bicara dengan Beng San!" Kwa Hong cepat
menghadang di depan dan terpaksa Song-bun-kwi menunda penyerangannya.
Kwa Hong
kini menghadapi Beng San. Orang muda itu menjadi agak pucat. Baginya jauh lebih
berat menghadapi Kwa Hong dari pada menghadapi musuh yang mana pun juga.
"Adik
Hong, apakah selama ini kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya halus
sewajarnya karena di lubuk hatinya orang muda ini benar-benar merasa kasihan
sekali kepada gadis itu.
Tersedu
kerongkongan Kwa Hong mendengar pertanyaan yang halus ini. Akan tetapi dia
segera menjawab, "Baik-baik saja, San-ko, aku sengaja mencarimu dan
syukurlah kalau kau sudah sembuh kembali. Marilah kau ikut dengan aku, San-ko.
Mari kita pelihara anak kita baik-baik. Tentang musuh-musuhmu ini, jangan
kuatir, San-ko, Hong-moi-mu ini dapat membunuh mereka seperti orang membunuh
anjing!" Setelah berkata demikian, Kwa Hong tertawa, suara ketawanya
melengking menyeramkan sekali.
Ucapan
terakhir dan suara ketawa Kwa Hong itu menusuk jantung Beng San, karena ia
maklum bahwa Kwa Hong sekarang sudah bukan Kwa Hong yang dulu lagi. Wajahnya
jelas membayangkan watak yang sombong, kejam, dan tidak wajar.
"Hong-moi,
kau tahu bahwa tak mungkin aku memenuhi permintaanmu ini. Kau dan aku telah
melakukan perbuatan terkutuk, itu memang benar. Akan tetapi hal itu terjadi di
luar kesadaran kita, Hong-moi. Tentang anak itu kau sendiri hendak mendidiknya
syukurlah. Kalau kau keberatan, boleh kau berikan kepadaku karena anak itu juga
menjadi tanggung jawabku."
"Kau...
kau...!” Kwa Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis
terisak-isak.
Hatinya
sedih bukan kepalang. Tadinya dia mengharapkan akan dapat membawa Beng San
dengan secara paksa karena Beng San sudah kehilangan kepandaiannya dan dia
sanggup merampas Beng San dari tangan siapa pun juga. Akan tetapi sekarang Beng
San kelihatannya sudah sembuh kembali, bagaimana mungkin?
"Beng
San, katakan di mana adanya Beng Kui? Pedangnya kau pegang, kau apakan
dia?" kali ini Hek-hwa Kui-bo yang bertanya, menggunakan kesempatan selagi
Kwa Hong sedang menangis.
"Dia
sudah pergi...," jawab Beng San acuh tak acuh, kemudian ia menoleh ke arah
Li Cu dan berkata "Nona Cia, agaknya lebih baik kita segera pergi dari
tempat ini. Tetapi aku harus membebaskan kau dari totokan lebih dulu..."
Ia melangkah
maju. Tapi sebelum ia sempat menyembuhkan Li Cu, tiga bayangan orang berkelebat
dan angin-angin pukulan dahsyat datang menyambar dari tiga jurusan disusul
berkelebatnya senjata-senjata tajam! Beng San maklum bahwa tiga orang sakti itu
‘sudah turun tangan’. Ia menarik napas panjang dengan sedih, akan tetapi
tubuhnya bergerak didahului sinar pedang Liong-cu-kiam tangannya.
Tiga orang
itu menyerang dengan sungguh-sungguh, mengerahkan seluruh kepandaian mereka.
Namun Beng San sekarang memegang Liong-cu-kiam panjang. Kalau ia boleh
diumpamakan seekor harimau, sekarang harimau itu tumbuh sayap dan pandai
terbang.
Memang ilmu
silatnya yang paling hebat adalah ilmu Im-yang Sin-kiam-sut. Sekarang ilmu
pedang ini dimainkan dengan sebatang pedang seperti Liong-cu-kiam yang panjang,
tentu saja hebatnya bukan kepalang.
Tiga orang
itu, walau pun masing-masing mempunyai kepandaian luar biasa, akan tetapi
menghadapi Beng San mereka tidak sanggup berdaya banyak, seakan-akan menghadapi
benteng baja yang tidak saja sulit tembus, malah dari dalam benteng kadang
menyambar ujung-ujung pedang runcing dan ampuh, setiap saat mengancam nyawa
mereka.
Beng San
bukanlah orang yang suka membunuh orang. Sebetulnya dia mempunyai watak yang
pantang membunuh orang. Apa lagi sekarang yang dia hadapi adalah orang-orang
yang sedikit banyak sudah ada hubungan dengannya, yang sudah dikenalnya baik.
Tidak mungkin ia mau membunuh mereka.
Kelihaiannya
bermain pedang memungkinkannya menggoreskan luka ringan pada pundak Hek-hwa
Kui-bo dan Song-bun-kwi. Dua orang tua ini menjadi malu dan jeri. Sambil
mengeluh mereka berturut-turut lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu.
Kwa Hong
yang ditinggalkan seorang diri menghadapi Beng San, tadinya menjadi nekat.
Pedang Hoa-san Po-kiam di tangan kirinya, sedangkan di tangan kanannya memegang
pedang Liong-cu-kiam yang pendek. Permainan pedangnya hebat dan liar, dahsyat
bukan main sehingga diam-diam Beng San terkejut juga. Akan tetapi ilmu pedang
itu dimainkan dengan cara yang masih mentah.
Lebih-lebih
terhadap Kwa Hong, Beng San, sama sekali tidak mau melukainya. Setelah ia
menindih pedang Hoa-san Po-kiam dengan pedangnya sendiri, tangannya lalu
bergerak mencengkeram ke depan sehingga di lain saat pedang Liong-cu-kiam yang
pendek telah berpindah ke tangan kirinya.
"Kembalikan
pedang itu!" teriak Kwa Hong sambil menangis.
"Yang
ini bukan pedangmu, Hong-moi. Tak boleh kau merampasnya," jawab Beng San.
Dengan pekik
panjang Kwa Hong memanggil burungnya. Terdengar suara genteng yang hancur
berantakan, langit-langit di atas ruangan itu tiba-tiba menjadi rusak dan
berlubang besar di mana menerobos masuk seekor burung rajawali emas. Beng San
pernah melihat burung ini dan kembali ia menjadi kagum bukan main.
Kwa Hong
terisak, kemudian meloncat ke punggung burung. Akhirnya burung itu terbang
menerobos melalui pintu depan dan sebentar saja menghilang dari situ.
Sampai
beberapa lamanya Beng San berdiri bengong. Pedang Liong-cu-kiam berada di kedua
tangannya. Kemudian ia membalikkan tubuh menghampiri Li Cu yang masih rebah tak
bergerak dan semenjak tadi menonton semua itu dengan hati terharu. Ternyata
bahwa pengorbanannya terhadap diri Beng San tidak sia-sia. Buktinya baru saja
sembuh Beng San lagi-lagi telah melindungi dan membebaskannya dari ancaman
bahaya maut.
"Nona
Cia, maafkan kelancanganku!" kata Beng San.
Tangan Beng
San bergerak cepat menotok dua jalan darah di tubuh Li Cu, lalu mengurut
punggungnya sebentar. Setelah itu ia membalikkan tubuh dan berkata, "Nona,
setelah kau dapat bergerak, harap bajuku itu kau pakai dulu."
Muka Li Cu
menjadi merah. Ia bergerak perlahan, tubuhnya masih sakit semua rasanya. Ketika
ia bangun, baju yang menyelimuti tubuhnya itu jatuh dan cepat-cepat ia menutupi
dadanya. Tapi usahanya ini sebetulnya tak perlu karena Beng San berdiri
membelakangi dirinya.
Karena
terpaksa dan tidak mungkin hanya memakai bajunya yang sudah dikoyak-koyak
pedang Beng Kui tadi, ia cepat-cepat mengenakan baju Beng San yang terlalu
besar itu. Setelah selesai, ia berkata, "Kenapa... kau tidak membunuh
mereka?"
"Membunuh
siapa?" tanya Beng San tanpa menoleh.
"Beng
Kui jahanam itu..."
"Dia
itu jelek-jelek kakak kandungku, bagaimana aku tega membunuhnya?" jawab
Beng San cepat.
"Hek-hwa
Kui-bo yang pernah melukaiku dengan racun dan hampir saja membunuhku..."
desak pula Li Cu yang merasa penasaran mengapa semua orang yang jahat itu
dibiarkan pergi oleh Beng San.
"Dahulu
dia itu pernah menurunkan ilmu silat kepadaku, secara tidak resmi dia adalah
guruku pula. Bagaimana aku dapat membunuhnya? Dan pula, Nona, bukankah akhirnya
kau selamat terhindar dari racunnya itu?" Jantung Beng San berdebar ketika
ia teringat cara ia menolong gadis itu dari pengaruh racun di paru-parunya!
Di
belakangnya, wajah Li Cu juga tiba-tiba menjadi merah. Gadis ini merasa heran
bukan kepalang. Hampir dua tahun ia merawat Beng San, otomatis ia sudah merasa
menjadi isteri Beng San biar pun hanya dalam sebutan. Akan tetapi kenapa sekarang
ia menjadi begini canggung, sungkan dan malu-malu kepada Beng San? Diam-diam
rasa kuatir dan gelisah menggerogoti hatinya.
Beng San
yang kehilangan ingatannya, mau saja hidup di sampingnya, malah selama ini
menganggap dia sebagai isterinya yang bernama Bi Goat. Akan tetapi setelah
sekarang sadar dan mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia masih mau hidup
seperti itu? Apakah ini bukan berarti saat perpisahan?
"Kwa
Hong itu... kenapa juga tidak kau bunuh...?" Ia berusaha menekan hatinya
dengan melanjutkan pertanyaan ini.
"Tak
mungkin, Nona. Dia itu... secara tidak sadar... telah menjadi ibu anakku...
perbuatan terkutuk di luar kesadaran kami berdua... dia sudah amat menderita...
karena aku, mana mungkin aku membunuhnya? Walau pun dia akan membunuhku,
agaknya aku tetap akan mengalah..."
"Hemm..."
suara Li Cu terdengar kaku dan kalau Beng San melihat sinar matanya ia akan
tahu-bahwa gadis itu marah! "Dan Song-bun-kwi...?"
"Apa
lagi dia. Dia adalah ayah mertuaku, sama juga dengan ayahku. Mana boleh aku
membunuh ayah Bi Goat?"
Sudah jelas
kini! Beng San sekarang sudah kembali ingatannya. Beng San yang terlalu
mencinta isterinya, Bi Goat. Sampai-sampai mengorbankan Kwa Hong. Mana sudi
hidup bersama dia? Teringat akan ini, tak tertahankan lagi Li Cu terisak
menangis.
Beng San
cepat membalikkan tubuh. "Ehh, kenapa kau menangis, Nona?"
Suara ini
mengandung penuh perhatian sehingga tangis Li Cu makin menghebat. Beng San
sampai menjadi bingung, lalu menyerahkan pedang Liong-cu-kiam pendek.
"Ini...
ini pedangmu... jangan kau menangis..."
Li Cu
menerima pedang tanpa berkata apa-apa.
"Nona
Cia, setelah semua pertanyaanmu kujawab, mengapa kau menangis?" Beng San
bertanya, matanya yang tajam memandang penuh selidik.
Li Cu yang
sekarang menjadi gugup. Tentu saja ia tidak sudi menyatakan isi hatinya. Ia
mencari alasan dan pada saat itu ia teringat akan ayahnya. Wajahnya menjadi
pucat dan serentak ia meloncat sampai Beng San menjadi kaget.
"Celaka!
Ayahku...! Mereka tadi mengeroyoknya... tak mungkin bisa sampai ke sini kalau
tidak... ahhh, Ayah...!" Li Cu menjerit lalu melompat keluar dan berlari
cepat sekali.
Beng San
baru saja kembali ingatannya, maka yang diketahui olehnya hanyalah semenjak
saat ia sembuh tadi. Sebelum itu gelap baginya. Karena itu ia tidak ingat
betapa Bu-tek Kiam-ong untuk melindunginya telah dikeroyok oleh tiga orang
tokoh sakti tadi.
Meiihat Li
Cu yang berlari-lari sambil menjerit memanggil-manggil ayahnya dan menangis, ia
pun ikut pula berlari. Sebentar saja ia dapat menyusul gadis itu, lalu lari di
sebelahnya tanpa banyak bertanya.
Setibanya di
puncak Gunung Thai-san, kedua orang muda ini melihat betapa penduduk
perkampungan di kaki gunung itu sedang sibuk mengurus dan menangisi jenazah
Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan!
"Ayaaaahhh...!"
Li Cu menubruk mayat ayahnya dan roboh pingsan.
Li Cu jatuh
sakit. Demam panas menyerang tubuhnya setelah dia berkali-kali pingsan. Sampai
sepekan ia rebah di pembaringan dalam keadaan setengah sadar. Selama itu Beng
San merawat dan melayaninya dengan penuh perhatian.
Beng San
mengalami hal-hal aneh ketika ia berhadapan dengan para penduduk yang dulu
membantu Cia Hui Gan merampungkan rencana tempat tinggalnya. Mereka menyebutnya
‘tuan muda’ yang dianggapnya sebagai suami dari ‘nyonya muda’ yang sekarang
sakit. Kemudian, sesudah mereka semua menyatakan kegembiraan hati bahwa nyonya
muda dan suaminya dapat kembali dengan selamat, mereka lalu menyatakan
kegirangan pula bahwa tuan muda sudah sembuh dari sakitnya lupa ingatan.
Mereka
pulalah yang menceritakan tentang pertempuran itu sehingga terbuka mata Beng
San akan segala yang telah terjadi kepada dirinya selama hampir dua tahun ini.
Tahulah ia bahwa ia sebagai seorang gila menganggap Li Cu sebagai isterinya,
sebagai Bi Goat dan betapa selama hampir dua tahun ini Li Cu merawatnya penuh
kecintaan. Juga ia tahu sekarang bahwa Cia Hui Gan tewas dalam membela dia!
Semua ini
ditambah lagi dengan keadaan Li Cu yang mengigau pada saat demam panas
menyerangnya. Li Cu mengigau tentang masa lalu, tentang cinta kasihnya kepada
Beng San. Semua ini membuat Beng San demikian terharu sehingga ia menitikkan
air mata ketika duduk di pinggir pembaringan gadis itu. Dengan amat tekun ia
merawat Li Cu dan siang malam tidak pernah meninggalkan kamar itu.
Sembilan
hari kemudian demam meninggalkan tubuh Li Cu dan gadis ini pada pagi hari itu
sadar. Dilihatnya Beng San sedang tertidur sambil duduk di kursi! Namun suara
gerakan Li Cu cukup untuk membangunkan Beng San. Mereka berpandangan sejenak.
"Kau...
kau masih di sini...?"
"Di
mana lagi kalau tidak di sini...?" jawab Beng San halus, sinar matanya
gembira sekali.
"Ayah...
bagaimana...?" Matanya meragu dan dia memandang ke arah pintu kamarnya,
agaknya ingin menjenguk keluar.
"Sudah
beres, sudah kuurus pemakamannya."
Li Cu
menarik napas panjang. Hatinya menjerit-jerit, namun air matanya sudah kering.
"Berapa lama aku rebah di sini...?"
"Kau
terserang demam, Nona. Sembilan hari sembilan malam kau dalam keadaan tidak
sadar. Karena itulah aku lancang mewakilimu mengurus pemakaman ayahmu."
Li Cu
bergerak hendak duduk. Melihat kelemahan gadis itu, Beng San segera bangkit
membantunya. Ia merasa kasihan sekali dan cepat ia menghibur, "Harap kau
kuatkan hatimu. Nona. Ingatlah bahwa mati hidup seorang manusia berada di
tangan Tuhan. Apa bila Tuhan sudah menghendaki kematian seseorang, ada saja
yang menjadi lantarannya. Ayahmu tewas sebagai seorang gagah perkasa, mati
dikeroyok tokoh-tokoh besar dalam melindungi... aku yang tak berharga..."
"Tidak!
Bukan melindungi kau, melainkan membela aku!" Cepat Li Cu membantah.
"Apa
bedanya, Nona? Membela engkau karena kau berusaha melindungi aku."
"Kau
merawatku terus-menerus selama aku sakit?" cepat Li Cu memotong omongan
Beng San, mukanya yang tadinya pucat menjadi agak merah.
Beng San
mengangguk dan memandang dengan mata penuh perasaan. "Nona Cia, apa
artinya perawatan sembilan hari kalau dibandingkan dengan perawatanmu selama
hampir dua tahun? Kau amat mulia, kau mengorbankan..."
"Kau
dalam sakit, kau kehilangan ingatan!" Li Cu cepat memotong, mukanya kini
menjadi merah sekali. "Siapa lagi kalau bukan aku yang akan merawatmu? Kau
pun beberapa kali sudah menyelamatkan nyawaku, sudah sepatutnya aku membalas
kebaikanmu."
Dengan keras
kepala Beng San melanjutkan setelah menggelengkan kepalanya untuk menyangkal
alasan Li Cu yang lemah itu. "Kau mengorbankan dirimu, mengorbankan nama
baik ayahmu. Dalam gilaku aku menganggap kau isteriku, menganggap kau Bi Goat.
Namun... kau menerima semua itu, kau malah memaksa ayahmu membawaku ke sini
mengorbankan segalanya untuk aku, malah berusaha membuat tempat perlindungan
yang aman untukku. Li Cu... Nona Cia... mengapa kau lakukan semua itu?"
Li Cu
menunduk, menyembunyikan muka di belakang bantal yang diangkatnya. Suaranya
terdengar lirih bertanya, "Semua itu bohong. Kau yang kehilangan ingatan
bagaimana kau bisa tahu itu semua? Bohong..."
"Aku
mendengar percakapanmu dengan Beng Kui pada saat aku sadar. Kemudian aku
mendengar penuturan saudara-saudara yang berada di sini, dan ketika kau sakit,
kau sering mengigau..."
Cepat bantal
itu diturunkan dan sepasang mata itu memandangnya penuh pertanyaan. Wajah itu
merah dan tidak tampak lagi bahwa gadis ini habis sakit kecuali tubuhnya yang
agak kurus itu.
"Beng
San..." terhenti kata-kata Li Cu ketika ia teringat betapa janggal
panggilan ini yang begitu saja keluar dari bibirnya dengan suara mesra.
"Ya...?
Kau hendak bilang apakah, Nona...?"
Li Cu
semakin gugup. Biasanya, ketika belum sembuh, Beng San selalu menyebutnya
‘isteriku’ sehingga ia sudah biasa benar dengan sebutan itu. Sekarang, orang yang
telah ia anggap sebagai suaminya dalam batin itu, menyebutnya nona!
"...andai
kata benar semua itu..., tapi waktu itu keadaanmu dalam lupa ingatan. Kau mau
tinggal di sini karena... karena kau mengira bahwa aku Bi Goat. Kau mengira
bahwa aku isterimu yang sudah meninggal dunia itu...," ia berhenti lagi.
"Betul,
Nona. Lalu bagaimana?" Beng San bertanya tenang dan sabar,
"...sekarang
kau sudah sembuh..., kau telah mendapatkan kembali ingatanmu... kau tahu bahwa
aku bukan isterimu Bi Goat... kau tahu bahwa aku hanya seorang gadis yatim
piatu sebatang kara..." Sampai di sini ia terisak dan menutup mukanya
dengan bantal. Beng San tidak berkata apa-apa hanya menanti dengan sabar.
"...aku...
aku bukan apa-apamu... tak berhak menahanmu... dan kau tentu akan pergi dari
sini." Tiba-tiba ia menurunkan bantalnya dan dengan mata basah ia
bertanya, "Mengapa kau masih belum juga pergi dari sini? Aku bukan Bi
Goat!"
Wajah Beng
San tiba-tiba menjadi pucat dan matanya membayangkan kegelisahan besar.
"Tapi... tapi kau... isteriku..."
Li Cu
menggigit bibirnya, bukan main jengahnya. Ia merasa malu sekali kalau teringat
akan semua perbuatannya itu. Tapi ia harus rnembela diri, tak mungkin ia
mengaku begitu saja bahwa ia mencinta Beng San. Ia harus mencari alasan mengapa
ia berbuat demikian, untuk membela diri.
"Isterimu
adalah Bi Goat..."
"Tapi....
bukankah hampir dua tahun kau mengaku sebagai isteriku...?"
Li Cu
membuang muka. "Karena kau menganggap aku Bi Goat. Aku harus merawatmu dan
karenanya tiada lain jalan kecuali membiarkan kau menganggap aku isterimu Bi
Goat. Sekarang kau sudah sembuh, sudah sadar dan ingat bahwa aku bukanlah
isterimu Bi Goat, bahwa aku bukan apa-apamu dan kau boleh pergi meninggalkanku
sekarang juga!"
Beng San
merasa tubuhnya lemas, seakan-akan dilolos semua urat-urat dari tubuhnya.
Jantungnya terasa ringan kosong, perasaannya hampa.
Ahh, mengapa
aku tidak tahu diri, pikirnya. Sudah terang bahwa Li Cu melakukan semua itu
hanya karena hendak membalas budi pertolongannya karena kasihan, apa lagi?
Tidak mungkin gadis seperti Li Cu bisa cinta kepadanya, seorang laki-laki yang
menjadi hina namanya karena urusannya dengan Kwa Hong, seorang duda yang sudah
mempunyai anak. Dua malah anaknya, satu anak Kwa Hong, ke dua anak Bi Goat.
Mana sudi Li Cu kepadanya?
"...ah...
maaf... maaf... sungguh aku tak tahu diri..."
Bagaikan
mimpi kedua kakinya bergerak menuju ke pintu kamar, dengan langkah limbung
seperti orang mabuk arak ia keluar dari kamar itu...
Jiwanya
menjerit-jerit, musnah semua harapannya untuk dapat hidup mengenyam
kebahagiaan. Hanya sekelumit harapan untuk hidup baru setelah ditinggal Bi
Goat.
“Li Cu, Li
Cu....!” Jerit hatinya, “tak kuat aku berpisah dari sisimu!”
Ia tidak
melihat betapa dari atas pembaringan Li Cu memandangnya dengan wajah pucat pula
dan sepasang mata itu mengucurkan air mata yang jatuh berderai membasahi kedua
pipinya. Tak tahu ia betapa gadis itu turun perlahan-lahan dari pembaringan dan
berjalan pula mengikutinya keluar dari kamar itu. Dia tak tahu pula betapa jiwa
Li Cu menjerit-jerit minta ia kembali pula.
Jeritan jiwa
menggetar-getar penuh kekuatan gaib. Seakan-akan terasa oleh kedua orang muda
itu. Dalam detik itu juga terjadilah peluapan rasa melalui bibir dan gerakan
mereka masing-masing. Pada saat itu pula Li Cu menjatuhkan diri berlutut.
Berbareng pula jerit mereka keluar dari lubuk hati melalui bibir-bibir yang
bergetar.
"Li Cu,
tak kuat aku berpisah dari sisimu...!"
"Beng
San, kembalilah Beng San...!"
Keduanya
terpaku kaget oleh suara masing-masing dan setelah pengertian mereka dapat
menangkap apa yang diucapkan oleh yang lain, Beng San segera berlari maju
dengan kedua lengan terbuka dan diterima oleh Li Cu dengan kedua lengan terbuka
pula. Beng San menjatuhkan diri berlutut dan kedua orang itu saling berdekapan
sambil berlutut, tak kuasa mengeluarkan suara kecuali isak dan sedu.
Sunyi senyap
pada saat itu, sunyi yang membahagiakan hati masing-masing yang merasa
seakan-akan baru saja mereka mendapatkan kembali semangat mereka yang tadi
hampir hilang. Sampai lama mereka berpelukan tanpa mengeluarkan suara. Akhirnya
terdengar Li Cu berkata tanpa mengangkat mukanya yang bersembunyi di dada Beng
San.
"Tapi...
kau hanya mencinta Bi Goat..."
"Itu
dahulu, Li Cu. Setelah dia meninggal... kaulah orang yang menggantikannya...
lebih dari pada itu malah... kau mulia, setia, penuh pengorbanan. Ahhh...
alangkah mulianya engkau... aku cinta kepadamu, Li Cu dan aku tidak kuat untuk
berpisah dari sisimu."
"Beng
San..." Li Cu menangis penuh kebahagiaan dan keharuan.
"Li
Cu... cintakah kau kepadaku? Dan bersediakah kau menjadi isteriku?"
"Masih
perlukah kau bertanya, Beng San? Pada waktu kau sakit dan hilang ingatan, aku
sudah suka menjadi isterimu walau pun hanya sebutan belaka. Apa lagi sekarang
setelah engkau sembuh. Dan tentang cinta... belum pernah selama hidupku aku
mencinta orang seperti cintaku kepadamu."
"Li Cu,
dewiku sayang..."
Hening lagi
sejenak dan keduanya terbenam dalam lautan madu, mabok oleh kemesraan asmara
yang bergelora dalam hati masing-masing.
"Beng
San, orang bilang kau mata keranjang. Betulkah?"
Beng San
tersenyum ditahan. "Memang aku mata keranjang. Akan tetapi, bidadari dari
kahyangan sekali pun belum tentu dapat menggerakkan hatiku. Hanya engkaulah
yang membuat aku lupa segala, melihat engkau aku jadi mata keranjang! Ahh,
andai kata ada seribu engkau, aku akan sanggup untuk mencinta semua!"
"Ahh,
kau memang mata keranjang!" tegur Li Cu manja.
"Bertemu
dengan seorang dewi seperti engkau, Li Cu, siapa orangnya takkan mencinta?
Siapa orangnya takkan jatuh hati? Kau cantik jelita melebihi bidadari
kahyangan, kau setia dan gagah perkasa, pendekar wanita sejati, kau berbudi
mulia seperti Kwan Im, kau dewi pujaan hatiku, cinta kasihmu suci murni, semoga
aku dapat mengimbanginya..." Beng San merayu.
"Iihh,
kau selain mata keranjang juga... ceriwis!"
Hati siapa
takkan ikut merasa bahagia menyaksikan kebahagiaan sepasang orang muda seperti
Li Cu dan Beng San? Hati siapa takkan turut merasa senang melihat orang lain
bahagia? Hanya hati yang dikotori iblis iri cemburu jua yang tak tahan
menyaksikan orang lain berbahagia. Untung, di dunia ini tak banyak orang
demikian. Kita merasa berbahagia melihat orang lain seperti sepasang orang muda
itu berbahagia dalam pertemuan dua hati menjadi satu, diikat dan dikekalkan
oleh cinta kasih nan suci.
Sayang,
selain mereka yang berbahagia oleh asmara, banyak pula yang sengsara akibat
asmara yang sama. Memang asmara mendatangkan bahagia dan sengsara silih
berganti, menimbulkan banyak cerita yang aneh-aneh. Beng San sendiri hampir
saja binasa karena asmara kandas, untungnya dia bertemu dengan Li Cu dan
sebaliknya malah menemukan kembali kebahagiaan hidup.
Memang
demikianlah hidup di dunia ini. Kebahagiaan duniawi takkan kekal, berubah ubah
dan hal yang demikian ini memang berlaku bagi segala benda, mati atau hidup, di
dunia ini. Ada siang ada malam, ada dingin ada panas, ada kalanya hujan ada
kalanya terang, ada kalanya sengsara ada kalanya bahagia.
Kebahagiaan
datang tidak terduga-duga seperti halnya kebahagiaan Beng San. Demikian pula
kesengsaraan datang tanpa disadari seperti halnya penderitaan Bi Goat yang
telah tiada.
Kenyataan
ini merupakan pelajaran hidup yang amat penting, yaitu bahwa manusia tidak
perlu berputus asa pada waktu menghadapi kegagalan, juga tidak semestinya
bangga dan tidak mabok di kala mendapatkan kemenangan. Tidak membanjir pada
waktu pasang, tak kering pada waktu surut, seperti air laut yang tenang teguh
sehingga sanggup menerima perubahan keadaannya tanpa menderita kerusakan.
Di antara
sekian banyaknya orang yang sedang ‘surut’ nasibnya, adalah Thio Ki. Telah
diceritakan di depan betapa Thio Ki dan isterinya, Lee Giok, diserbu oleh
Kim-thouw Thian-li yang dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo dan Giam Kin sehingga
akhirnya Lee Giok terculik oleh Siauw-coa-ong Giam Kin.
Seperti kita
ketahui, Thio Ki terbebas dari pada kematian karena mendapat bantuan Li Cu dan
kemudian Beng San. Atas permintaan Beng San, Thio Ki lalu pergi ke Hoa-san
untuk berobat dan membereskan urusan Hoa-san-pai yang dikacau oleh Kwa Hong.
Besarlah
hati para tosu di Hoa-san-pai ketika mereka melihat munculnya Thio Ki, karena
pada waktu itu Hoa-san-pai benar-benar sudah kacau-balau, tidak ada yang
mengurusnya semenjak Lian Bu Tojin tewas di tangan Kwa Hong.
Bukan main
sedihnya hati Thio Ki ketika mendengar dari para tosu tentang nasib Lian Bu
Tojin dan Hoa-san-pai. Ia merasa amat marah dan gemas kepada Kwa Hong, juga
amat terheran-heran mengapa Kwa Hong sekarang berubah seperti iblis dan juga
amat lihai?
Para tosu
tadinya hendak mengangkatnya sebagai Ketua Hoa-san-pai, namun Thio Ki menolak
keras. "Mana bisa aku menjadi Ketua Hoa-san-pai?" teriaknya kaget.
"Tingkatku di Hoa-san-pai amat rendah, pula aku masih muda. Banyak para
susiok dan supek di sini, bagaimana aku berani mengangkat diri menjadi Ketua?
Pula, orang dengan kepandaian seperti Sukong Lian Bu Tojin sendiri masih tidak
kuat menjaga keselamatan Hoa-san-pai, apa lagi orang seperti aku? Tidak, aku
tidak berani menjadi ketua, tetapi aku sanggup untuk sementara berada di sini
untuk mempertanggung jawabkan Hoa-san-pai. Biarlah kita menanti sampai
kembalinya Tan Beng San Taihiap, karena kiranya hanya dia yang akan dapat
menolong kita."
Akan tetapi
sampai berbulan-bulan Thio Ki dan para tosu Hoa-san-pai menunggu dengan
sia-sia. Malah akhirnya dia minta bantuan para tosu yang disebarnya ke segenap
penjuru untuk melakukan penyelidikan, bahkan kemudian dia sendiri lalu pergi
mencari isterinya atau Beng San. Hasilnya juga nihil.
Sama sekali
Thio Ki tidak tahu apa yang terjadi atas diri isterinya, juga tidak tahu bahwa
pada waktu itu Beng San sendiri juga menghadapi mala petaka yang amat hebat.
Hatinya semakin risau dan di dalam hatinya ia mendapat firasat tidak enak bahwa
isterinya tentu mengalami mala petaka besar. Ia berduka sekali, terutama kalau
teringat bahwa isterinya itu sedang mengandung.
Beberapa
bulan kemudian, pada suatu hari selagi Thio Ki berlatih silat membimbing para
tosu di belakang kuil, tiba-tiba terdengar suara melengking aneh. Para tosu
menjadi pucat mendengar ini. Dahulu mereka pernah mendengar suara ini, yaitu
suara burung rajawali emas yang menjadi binatang tunggangan Kwa Hong.
Bagaikan
anak-anak kelinci takut mendengar auman harimau, mereka berlari ke belakang
Thio Ki dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, jantung berdebar keras. Thio Ki
sendiri terkejut dan menengok ke atas di mana ia melihat seekor burung yang
besar dan indah terbang berkeliling.
"Ehh,
burung apakah itu? Besar sekali!" katanya.
"...celaka...
dia datang kembali...!" seorang tosu tua berkata.
Seketika
Thio Ki teringat akan cerita yang ia dengar tentang Kwa Hong dan rajawalinya,
maka ia pun terkejut dan menanti penuh perhatian. Ketika ia menengok, ia melihat
dengan heran dan kaget bahwa semua tosu yang berada di belakangnya sudah pada
berlutut!
Burung itu
terbang semakin dekat, menukik ke bawah dan terdengarlah bentakan nyaring.
"Siapa ini berani menyambut Ketua Hoa-san-pai tanpa berlutut? Apa kau sudah
bosan hidup?" Ucapan ini disusul menyambarnya sinar hijau ke arah kepala
Thio Ki.
"Hong-moi...!"
Thio Ki berteriak.
Teriakan
Thio Ki ini menyelamatkan nyawanya karena sinar itu mendadak menyeleweng tidak
jadi mengenai kepalanya, akan tetapi ada hawa pukulan yang demikian dahsyatnya
sehingga tanpa dapat ia pertahankan lagi Thio Ki terguling dan terbanting ke
atas tanah!
"Sumoi...!"
Thio Ki memanggil lagi sambil merangkak bangun.
Kiranya Kwa
Hong sudah berdiri di atas tanah. Burung raksasa itu telah terbang ke atas
sambil bercuitan. Thio Ki cepat bangun, akan tetapi kaki kiri Kwa Hong bergerak
ke arah lututnya dan... untuk kedua kalinya Thio Ki roboh lagi.
Thio Ki
mengangkat muka dengan heran. Bukan main terkejutnya ketika ia melihat Kwa
Hong. Jelas bahwa wanita ini adalah Kwa Hong, wajahnya masih semanis dan
secantik dahulu. Akan tetapi tarikan mulut itu benar-benar menimbulkan
kengerian padanya.
"Heh,
kiranya engkau? Thio Ki, biar pun engkau sendiri juga harus berlutut di
depanku, di depan Ketua Hoa-san-pai!"
"Sumoi,
apakah kau sudah gila?" Thio Ki segera melompat bangun. "Betulkah kau
telah membunuh Sukong, mengangkat diri menjadi Ketua Hoa-san-pai? Sumoi, kenapa
begitu? Kau yang dulu berjiwa gagah..."
Kata-kata
Thio Ki terhenti karena ia sudah roboh kembali, kini agak parah karena ia kena
ditampar pundaknya oleh tangan kiri Kwa Hong yang memiliki hawa pukulan luar
biasa dahsyatnya. Mata Kwa Hong berkilat marah.
"Memang
aku bunuh dia. Kau pun akan kubunuh karena kau berani bersikap kurang ajar
kepadaku! Kau bicara tentang kegagahan? Hi-hi-hik, kau sendiri gagah apanya?
Isterimu dibawa lari orang lain dan dipermainkan, kau enak saja di sini. Huh,
laki-laki apa kau ini? Lebih baik mampus!"
Thio Ki
seketika bangun lagi, lupa akan rasa nyeri luar biasa pada pundaknya. Mukanya
pucat. "Sumoi... kau melihat Lee Giok? Di mana dia? Bagaimana dengan
dia...? Apakah si bangsat Giam Kin..." Ia tak dapat melanjutkan
kata-katanya lagi, napasnya sesak karena gelisah dan marah.
"Hi-hik-hik,
isterimu dibawa lari orang, dipermainkan orang. Syukur, baru senang rasanya
terpisah dari orang yang kau kasihi, ya? Hu-hu-huuuu..." Mendadak Kwa Hong
menangis tersedu-sedu karena dia teringat akan dirinya sendiri yang juga tidak
dapat berkumpul dengan orang yang dia cinta.
Thio Ki
terkejut dan juga bingung, akan tetapi berita itu terlalu mengguncangkan
hatinya sehingga ia tidak pedulikan lagi yang lain. Ia bangun dan memegang
tangan Kwa Hong. "Sumoi... demi Tuhan... katakanlah, di mana Giam Kin yang
menculik isteriku...?"
Kwa Hong
menghentikan tangisnya, lalu matanya liar lagi, penuh kebengisan. "Kau mau
mencari dia? Boleh kuantar kau menyusul dia ke akhirat. Dia sudah
kubunuh!"
"Dan
Lee Giok bagaimana...? Ahh, sumoi..." mata Thio Ki terbelalak dan sikapnya
penuh ancaman, "apakah kau juga membunuh dia...?"
Kwa Hong
tertawa lagi, tertawa menyeramkan. "Kalau betul, kau mau apa?"
"Kau...
kau... iblis kejam....!"
Dengan nekat
Thio Ki menerjang bekas adik seperguruannya itu. Akan tetapi pada waktu itu
tingkat kepandaiannya masih jauh lebih rendah, tak berarti apa-apa jika
dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kwa Hong. Dengan sekali menangkis dan
sekali mendorong saja kembali Kwa Hong berhasil merobohkannya.
Kwa Hong
tertawa lagi sambil mengeluarkan pedang Hoa-san Po-kiam. "Hi-hik-hik, kau
manusia rendah berani melawan Ketua Hoa-san-pai? Mampuslah kau!"
Pedang
Hoa-san Po-kiam itu diangkat tinggi-tinggi untuk ditebaskan ke arah leher Thio
Ki. Pada saat itu sebutir batu kecil menyambar ke arah pedang itu sehingga
gerakan pedang tertahan di udara, disusul bentakan nyaring.
"Hong
Hong!"
Kwa Hong
kaget bukan main. Sambaran batu itu hebat sekali akan tetapi baginya tidaklah
terlalu mengagetkan. Yang membuat ia sangat kaget adalah suara bentakan tadi.
Cepat ia memandang dan... tubuhnya tiba-tiba gemetar dan pedang yang
dipegangnya itu terlepas, jatuh ke atas tanah.
Kwa Hong
berdiri terpaku laksana patung, matanya terbelalak memandang laki-laki yang
melangkah lebar menghampirinya, lelaki setengah tua yang berwajah kereng dan
gagah perkasa, yang tangan kirinya putus sebatas pergelangan tangan.
"Ayah...!"
Hati Kwa Hong menjerit, akan tetapi bibirnya hanya mengeluarkan suara yang
serak.
Di lain saat
laki-laki itu sudah berdiri di hadapannya dengan mata berapi-api dan alisnya
terangkat naik. Wajahnya membayangkan kemarahan, kedukaan dan sesal yang sangat
besar. Laki-laki itu memang ayah Kwa Hong, yaitu Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong.
Di dalam
cerita Raja Pedang telah dituturkan betapa murid pertama dari mendiang Lian Bu
Tojin ini melarikan diri dari Hoa-san bersama sumoi-nya, Kiam-eng-cu Liem Sian
Hwa setelah tangan kirinya buntung oleh pedang gurunya sendiri dalam usahanya
menolong nyawa sumoi-nya dari serangan pedang Lian Bu Tojin.
Kwa Tin
Siong tidak dapat menyangkal bahwa ia memang jatuh cinta kepada Liem Sian Hwa,
sumoi-nya sendiri itu. Sebaliknya Sian Hwa juga diam-diam mencinta suheng-nya
ini setelah hatinya hancur lebur oleh kelakuan tunangannya, yaitu mendiang Kwee
Sin murid Kun-lun-pai.
Setelah
melarikan diri dari Hoa-san, keduanya lalu mengasingkan diri, hidup berdua saja
di sebuah puncak gunung. Mereka merasa malu untuk turun gunung dan karena
senasib, pula karena mereka memang saling mencinta, maka keduanya lalu
bersumpah saling setia dan menjadi suami isteri.
Dengan tekun
kedua orang ini lalu memperdalam ilmu silat mereka dan karena keduanya memang
telah mewarisi ilmu silat tinggi dari Hoa-san-pai, memiliki dasar-dasar yang
amat kuat, maka ketekunan mereka berhasil baik sehingga ilmu kepandaian mereka
maju pesat sekali.
Betapa pun
juga, ketika Kwa Tin Siong mendengar akan sepak terjang puterinya terhadap Hoa-san-pai,
bahkan sudah membunuh Lian Bu Tojin, dia tidak dapat terus tinggal diam
berpeluk tangan mendengar Hoa-san-pai dirusak dan dikacau oleh puterinya
sendiri yang terkasih. Setelah bermufakat dengan isterinya, ia lalu turun dari
gunung dan pergi menuju ke Hoa-san-pai.
Kedatangannya
tepat pada saat Kwa Hong hendak membunuh Thio Ki sehingga ia dapat mencegahnya.
Di belakang Kwa Tin Siong terlihat seorang wanita cantik dan gagah yang
menggendong seorang anak kecil. Inilah Liem Sian Hwa dan anak itu adalah Kun
Hong, anak suami isteri ini.
Kita kembali
ke pertemuan antara ayah dan anak yang menegangkan ini. Para tosu yang segera
mengenal Kwa Tin Siong segera bangkit dari berlutut dan memandang penuh
ketegangan, juga kelegaan hati.
"Hong
Hong, jadi benarkah semua berita yang kudengar? Benarkah kau berubah menjadi
iblis, membunuh Lian Bu Tojin sukong-mu sendiri, lalu merampas pula kedudukan
ketua Hoa-san-pai, membunuh banyak orang tosu Hoa-san-pai, dan sekarang kulihat
kau malah hendak membunuh Thio Ki? Hong Hong..., bagaimana kau bisa berubah
begini...?"
Naik
sedu-sedan dari dada Kwa Hong. Dua butir air mata menitik turun ke pipinya dan
ia hanya dapat berbisik, "Ayah..."
"Kau
membunuh Suhu, malah membunuh Supek Lian Ti Tojin, mengusir Kui Lok dan Thio
Bwee, melakukan perbuatan gila-gilaan di luar! Aku mendengar bahwa kau telah
memiliki kepandaian yang luar biasa. Hemmm, sekarang aku, Kwa Tin Siong ayahmu
telah berada di sini. Coba kau keluarkan kepandaianmu itu untuk membunuh ayahmu
sendiri! Hayo, kau tunggu apa lagi?" Suara Kwa Tin Siong yang tadinya
bengis sekarang berubah serak mengandung penyesalan besar yang menusuk hatinya.
"Ayah..."
"Tak
usah kau ragu-ragu. Lawanlah aku! Kau boleh mencoba membunuh ayahmu ini, kalau
tidak akulah yang akan membunuhmu!"
"Ayah...!"
"Kasih
sayang seorang ayah terhadap anaknya takkan luntur selama dunia belum kiamat,
tapi kasih sayang seorang gagah selalu berdasarkan kebenaran dan keadilan! Demi
kasih sayangnya, seorang ayah yang gagah takkan segan-segan menghukum anaknya
sendiri yang menyeleweng dari keadilan dan kebenaran. Perbuatan-perbuatanmu itu
melampaui segala garis, hukumannya hanyalah mati! Apa bila aku tidak sanggup
menghukum mati kepadamu, lebih baik aku mati dalam tanganmu. Majulah!"
"Ayah...!"
Kemarahan
Kwa Tin Siong memuncak. Keraguan anaknya ini dianggapnya sebagai sifat
pengecut. "Terimalah hukuman dariku!" Ia membentak.
Kwa Tin
Siong menerjang ke depan dengan tangan kanannya. Pukulan yang ia lakukan adalah
pukulan Hoa-san-pai yang amat hebat, pukulan penuh tenaga lweekang yang akan
dapat membikin pecah sebuah batu besar. Maksudnya dengan sekali pukul saja
hendak membunuh anaknya agar lekas selesai urusan yang menghancurkan hatinya
itu.
Juga pukulan
ini adalah jurus yang disebut Pukulan Dewa Mabuk yang biasa digunakan kalau
keadaan sudah amat terdesak sehingga tak ada jalan keluar lagi. Walau pun amat
hebat dan berbahaya bagi yang diserang, namun tidak kurang berbahayanya bagi
yang menyerang sendiri karena sekali dapat dielakkan atau ditangkis, kedudukan
Si Penyerang menjadi lemah sekali dan tidak terjaga sehingga mudah dirobohkan
lawan yang mampu menghindarkan pukulan ini.
Akan tetapi,
alangkah kaget hati Kwa Tin Siong ketika melihat betapa puterinya itu sama
sekali tidak mengelak! Betapa pun marahnya terhadap anaknya ini, tapi perasaan
sayang dan kasih di hatinya masih lebih besar lagi. Karena itu, melihat sikap
puterinya yang tidak mengelak atau melawan dan hanya meramkan mata menanti
kematian, murid tertua Lian Bu Tojin ini perasaannya lantas melayang terbang.
Tadi Kwa Tin
Siong sengaja melakukan pukulan ini karena ia sudah mendengar betapa lihai Kwa
Hong sehingga gurunya sendiri, Lian Bu Tojin, tak mampu melawannya. Tentu ia
sudah memperhitungkan bahwa Kwa Hong pasti akan dapat menghindarkan serangan
ini dan berbalik akan merobohkannya. Ia rela mati di tangan anaknya untuk
menebus dosa yang diperbuat oleh Kwa Hong.
Demikian
sucinya kasih sayang orang tua ini terhadap puterinya. Oleh karena inilah maka
ia kaget sekali ketika pukulannya sama sekali tidak ditangkis mau pun dielakkan
oleh Kwa Hong yang menerimanya dengan mata meram! Untuk menarik kembali pukulan
itu tidak mungkin lagi.
Tiba-tiba
bayangan kuning emas menyambar dan tepat pada saat pukulan Kwa Tin Siong
mengenai tubuh Kwa Hong, jago Hoa-san-pai ini terlempar ke belakang karena
dipukul sayap rajawali emas. Kwa Hong terjengkang roboh dan nyawanya tertolong.
Serbuan oleh rajawali emas itu menyebabkan pukulan ayahnya hanya menyisakan
setengah kekuatan saja ketika mengenai tubuhnya.
Sambil
melengking keras rajawali itu mengamuk, menerjang dengan marah ke arah Kwa Tin
Siong yang terlempar empat meter lebih jauhnya. Akan tetapi sambil membentak
marah Liem Sian Hwa sudah menerjang maju dengan pedang di tangan.
Wanita muda
ini berjuluk Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang), gerakannya gesit bukan main dan
permainan pedangnya lihai sekali. Biar pun serangannya dapat dielakkan oleh
burung itu, namun ia berhasii menyelamatkan suaminya dari cengkeraman
kim-tiauw.
Sementara
itu, para tosu serentak bangkit dan mengeroyok dengan pedang mereka. Juga Kwa
Tin Siong yang tidak terluka berat, sudah bangun dan menyambar pedang Hoa-san
Po-kiam yang jatuh dari tangan Kwa Hong. Sekarang burung itu dikeroyok oleh Kwa
Tin Siong, Liem Sian Hwa dan puluhan orang tosu Hoa-san-pai.
Hujan pedang
menyambar ke arah tubuh kim-tiauw yang melawan dengan hebat sekali. Tiap kali
sayapnya menampar, sedikitnya ada dua orang tosu roboh. Patuk dan cakarnya
sudah membinasakan banyak lawan.
Tapi jumlah
pengeroyoknya terlampau banyak sehingga setiap kali ada pedang mengenai
tubuhnya, beberapa helai bulu rontok beterbangan. Juga pedang di tangan Liem
Sian Hwa sudah berhasil melukai kakinya sehingga mengeluarkan darah. Namun
burung itu terus mengamuk dan sekali lagi Kwa Tin Siong yang agaknya paling ia
benci itu terpukul roboh oleh kibasan sayapnya yang lihai.
Kwa Hong
yang telah siuman kembali tiba-tiba mengeluarkan bunyi melengking panjang.
Rajawali itu cepat terbang menyambar tubuh Kwa Hong, dicengkeramnya baju di
bagian punggung dan membawa nonanya itu terbang pergi dengan kecepatan yang
luar biasa.
Kwa Tin
Siong dan Liem Sian Hwa serta para tosu hanya dapat berdongak memandang dengan
penuh kengerian dan kekaguman sampai burung itu lenyap dari pandangan mata. Kwa
Tin Siong menarik napas panjang ketika melihat betapa dalam pertempuran yang
hanya sebentar itu ada delapan orang tosu yang tewas dan banyak yang terluka!
Pertemuan
ini mendatangkan banjir air mata dan Kwa Tin Siong tak dapat menolak ketika
para tosu mengangkatnya sebagai ketua Hoa-san-pai. Ketika Kwa Tin Siong
mendengar tentang Lee Giok yang katanya pun terbunuh oleh Kwa Hong, ia
menggigit bibirnya dan menghibur Thio Ki.
"Dia
terlampau lihai," katanya. "Baru burungnya saja tak terlawan oleh
kita, untungnya tadi dia tidak berani melawanku. Andai kata dia turun tangan,
kita semua kiranya takkan dapat hidup lagi."
Semenjak
saat itu Kwa Tin Siong memimpin para tosu dan memperhebat latihan ilmu silat di
antara para murid Hoa-san-pai untuk menjaga kalau-kalau kelak terjadi
penyerbuan ke Hoa-san-pai. Juga Thio Ki tekun memperdalam ilmu silatnya.
Kwa Tin
Siong lalu menyebar para tosu, berusaha menyelidiki untuk mencari kebenaran
berita tentang Lee Giok. Dia juga berusaha mencari Li Cu dan Beng San yang
mereka harapkan akan dapat memberi keterangan mengenai isteri Thio Ki itu. Akan
tetapi semua usahanya sia-sia belaka.
Akhirnya
karena putus asa, Thio Ki bahkan meninggalkan keduniaan dan masuk menjadi
seorang tosu. Ia sekarang tekun mempelajari Agama To sambil memperdalam ilmu
silat di bawah pimpinan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa.
Di bawah
pimpinan suami isteri yang perkasa ini, lambat laun Hoa-san-pai mendapatkan
kembali keangkerannya dan merupakan partai persilatan yang kuat. Hanya terdapat
satu hal yang aneh, yaitu pada diri Kwa Kun Hong, putera Kwa Tin Siong dan Liem
Sian Hwa.
Semua orang
kiranya akan menduga bahwa pasangan suami isteri ini tentu akan memberi
gemblengan istimewa kepada putera mereka agar kelak menjadi seorang berkepandaian
tinggi yang gagah perkasa. Namun dugaan ini keliru.
Mungkin
sekali karena melihat akibat buruk pada diri puterinya, Kwa Hong, maka ketua
Hoa-san-pai itu agaknya merasa kuatir kalau-kalau puteranya kelak pun akan
mengalami nasib buruk karena pandai ilmu silat. Ia sama sekali tidak melatih
ilmu silat kepada Kun Hong, sebaliknya melatih bun (ilmu kesusastraan) dan
tentang agama….
***************
‘Kakek
Waktu’ mempunyai kekuasaan yang amat mengherankan dan tidak dapat dilawan oleh
siapa dan apa pun juga. Segala yang berada di dalam dunia ini ditelan oleh
waktu, tanpa pengecualian, mempergunakan daya keampuhannya yang berupa usia
tua. Benda paling keras macam besi pun akhirnya menyerah kepada waktu,
diganyang hancur oleh usia tua. Manusia yang paling pandai, yang paling gagah
perkasa dengan kedudukan tertinggi, kekuasaan terbesar, akhirnya akan menyerah
kepada ‘Kakek Waktu’. Semua akan musnah sedangkan waktu akan berjalan terus,
menelan segala apa yang berada di hadapannya.
Yang sudah
lampau hanya merupakan kenangan sepintas lalu saja, seakan-akan masa puluhan
tahun hanya terjadi dalam sekejap mata. Sebaliknya, semua yang akan datang
merupakan dugaan dan teka-teki yang takkan diketahui oleh seorang pun manusia.
Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa saja yang dapat menguasai ‘Kakek Waktu’, karena
Tuhanlah sang pengatur dan pengisi waktu dengan segala macam peristiwa di dunia
seperti yang dikehendaki-Nya.
Waktu memang
amat aneh. Kalau diperhatikan dan diikuti jalannya, amatlah lambat ia merayap,
lebih lambat dari pada jalannya siput. Akan tetapi kalau tidak diperhatikan,
amat cepatlah ia melewat, lebih cepat dari pada terbangnya pesawat jet atau
roket sekali pun.
Demikian
pula dengan keadaan waktu di dalam cerita ini. Tanpa kita sadari lagi,
tahu-tahu kita sudah dibawa oleh waktu terbang cepat tujuh belas tahun lamanya
semenjak Kwa Tin Siong datang kembali ke Hoa-san-pai dan menjadi Ketua
Hoa-san-pai sebagai pengganti gurunya, Lian Bu Tojin yang telah tewas oleh Kwa
Hong dan Koai Atong. Tujuh belas tahun telah lewat bagaikan dalam sekejap mata
saja!
Selama itu,
tidak terjadi hal-hal penting. Memang harus diakui bahwa setelah Kaisar yang
baru berhasil menghalau dan membasmi semua bekas teman seperjuangan yang hendak
memberontak, keadaan pada umumnya menjadi aman tenteram.
Di Puncak
Hoa-san-pai juga terlihat aman dan damai semenjak terjadi keributan belasan
tahun yang lalu akibat sepak terjang Kwa Hong. Sekarang banyak kelihatan para
tosu Hoa-san-pai bekerja di sawah ladang, memikuli kaleng-kaleng air dari
sumber. Bahkan dengan gembira mereka selalu terlihat berlatih ilmu silat
Hoa-san-pai di halaman belakang kuil Hoa-san-pai yang besar itu.
Berbeda
dengan belasan tahun yang lalu ketika Hoa-san-pai masih diketuai oleh Lian Bu
Tojin, kini Hoa-san-pai tak lagi memiliki murid-murid muda yang bukan tojin.
Orang-orang kelihatan berlatih ilmu silat di situ semua adalah tosu-tosu
Hoa-san-pai belaka.
Para tosu
amatlah maju kalau dibandingkan dengan dahulu. Dulu para tosu Hoa-san-pai
kurang memperhatikan pelajaran ilmu silat yang agaknya diborong oleh
murid-murid yang bukan tosu. Akan tetapi sekarang para tosu itu lekas kelihatan
amat maju dalam pelajaran ini. Ilmu silat yang mereka mainkan amat baik dan
gerakan mereka menunjukkan latihan matang.
Tujuh belas
tahun bukanlah waktu singkat untuk mematangkan ilmu silat bagi para murid
Hoa-san-pai yang tadinya memang sudah mempunyai kepandaian dasar. Apa lagi yang
melatih mereka adalah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, sepasang suami isteri
yang sudah mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai, terutama sekali ilmu pedangnya.
Juga Thio Ki
yang sekarang telah menjadi tosu itu amat maju. Kini dia merupakan murid kepala
dan sering kali mewakili Ketua Hoa-san-pai untuk melatih para tosu di pelataran
belakang kuil.
Thio Ki yang
sudah menjadi tosu mempunyai nama pendeta Thian Beng Tosu dan ia merupakan tosu
yang amat tekun mempelajari ilmu kebatinan untuk menghibur hatinya yang
tertekan hebat. Patut dikasihani nasib Thio Ki. Kalau ia terkenang kepada
isterinya, Lee Giok yang menurut anggapannya sudah terbunuh oleh Kwa Hong,
hatinya menjadi sangat perih. Hanya dengan membaca kitab-kitab Agama To yang
membuat kedukaannya dapat terhibur.
Berbeda
dengan Thio Ki yang sudah menjadi tosu, Kwa Tin Siong tidak masuk menjadi tosu.
Hal ini adalah karena ia mempunyai isteri, maka biar pun ia sudah menjadi Ketua
Hoa-san-pai, namun ia tetap menjadi ‘orang biasa’ dan bukan pendeta. Oleh
karena itu pula, sebagai ketua umum Hoa-san-pai, ia lalu mengangkat Thian Beng
Tosu (Thio Ki) menjadi ketua bagian Agama To, dibantu oleh beberapa orang tosu
tua yang menjadi ahli dalam keagamaan ini.
Kwa Tin
Siong sendiri hidup rukun damai dengan isterinya dan puteranya. Pekerjaannya
sehari-hari selain memimpin para tosu Hoa-san-pai dalam ilmu silat, juga sering
kali tampak ketua ini bekerja di sawah ladang bersama para tosu lainnya.
Seperti juga
halnya dengan keadaan apa saja di jagat ini, bahwa segala sesuatu takkan kekal
adanya, tak akan ada hujan atau terang tiada akhir, tak akan pula ada kedukaan
atau kesenangan tiada akhir. Selama Kwa Tin Siong menjadi Ketua Hoa-san-pai,
keadaan di puncak bukit itu memang tampak aman tenteram, penuh damai yang
menyamankan hati.
Pada suatu
hari yang amat sejuk hawa udaranya, amat nyaman cahaya matahari pagi menembusi
halimun gunung, tanpa disangka-sangka datanglah hal-hal yang mengganggu
ketenteraman Hoa-san-pai. Gangguan itu mula-mula terjadi pada malam hari tanpa
ada seorang pun anggota Hoa-san-pai yang tahu.
Ketika
pagi-pagi hari para tosu mulai dengan pekerjaan mereka sehari-hari, tiba-tiba
saja seorang tosu berseru heran sambil menuding ke arah atas kuil. Seperti
biasa, di puncak kuil itu berkibar bendera Hoa-san-pai yang berdasar kuning dengan
tuiisan biru, tanda dari perkumpulan Hoa-san-pai.
Akan tetapi
sekarang bendera itu agak turun dan di puncak tiang bendera berkibar sebuah
bendera kecil yang asing. Akan tetapi dari bawah jelas terlihat bahwa bendera
itu adalah sebuah bendera berdasar warna merah dengan sulaman macan hitam.
Menaruh bendera di atas bendera Hoa-san-pai hanya mempunyai satu arti, yaitu
orang hendak menghina dan merendahkan Hoa-san-pai.
Ribut-ribut
di luar kuil ini menarik hati Thian Beng Tosu yang segera berlari keluar.
Melihat bendera kecil itu, wajahnya segera berubah merah dan dia mengepal
tinjunya menahan marah.
Tidak lama
kemudian Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa juga berlari keluar diikuti oleh
seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang berwajah tampan dan bersikap
halus. Dia ini bukan lain adalah Kwa Kun Hong. Mereka diberi laporan oleh
seorang tosu tentang peristiwa itu, maka tergesa-gesa keluar untuk
rnenyaksikan.
Kwa Tin Siong
sendiri, juga isterinya, tidak mengenal bendera merah dengan gambar harimau
hitam itu. Akan tetapi ketika Kwa Tin Siong melihat sikap Thian Beng Tosu (Thio
Ki) yang nampak marah, ia segera bertanya,
"Apakah
kau mengenal bendera itu? Apa artinya ini?"
Thian Beng
Tosu segera menjawab pertanyaan supek-nya. "Teecu mengenal baik. Tak nyana
sama sekali bahwa kumpulan bangsat itu berani mengejar teecu (murid) ke sini,
malah berani menghina Hoa-san-pai!" Ia menarik napas panjang. "Hemmm,
tentu mereka telah mempunyai pimpinan orang pandai sehingga pada malam hari
tanpa kita ketahui sama sekali dapat memasangkan bendera itu."
Liem Sian
Hwa adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang semenjak dulu berwatak keras dan
gagah. Kedua telinganya sudah merah ketika ia menyaksikan penghinaan bendera
itu. Sekarang mendengar kata-kata murid keponakannya ia menjadi makin panas
hatinya. "Huh, memasang bendera begitu saja apa sih hebatnya?"
Baru saja ia
berkata demikian, tubuhnya sudah melesat ke atas dengan gerakan ringan sekali
dan tahu-tahu ia sudah meloncat tinggi di puncak tiang bendera! Tangan kirinya
bergerak menyambar tiang bendera sehingga tubuhnya berjungkir-balik dengan
lurus, lalu tangan kanannya membetot bendera kecil itu hingga lepas dari tiang.
Kemudian, dengan sebelah tangan pula ia menaikkan bendera Hoa-san-pai di puncak
tiang seperti semula.
Setelah
semua ini ia lakukan dengan berjungkir balik dan dengan tangan kiri menahan
tubuh di puncak tiang itu, ia menekan tiang dan tubuhnya melayang turun lagi.
Ia hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara dan mukanya sedikit pun tidak
menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah mempergunakan banyak tenaga.
Para tosu
berseru kagum dan memuji Sang Nyonya Ketua yang memang patut dipuji. Tak
percuma Liem Sian Hwa mendapat julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang), karena
memang ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya telah mencapai tingkat
tinggi sekali.
Kun Hong
bersorak memuji, "Hebat...! Ibu seperti burung saja, ah... bukan main
indahnya gerakan Hui-liong Cai-thian (Naga Terbang ke Langit) tadi!"
Seketika
wajah Liem Sian Hwa dan Kwa Tin Siong berubah terheran-heran. Mereka saling
pandang, kemudian keduanya memandang kepada putera mereka dengan mata penuh
selidik dan penuh pertanyaan.
Tentu saja
mereka amat terheran-heran karena bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa gerakan
tadi adalah gerakan Hui-liong Cai-thian? Padahal di antara para tosu, kiranya
hanya Thian Beng Tosu seorang yang tahu akan ilmu meloncat Hoa-san-pai yang
sukar ini, sedangkan Kun Hong sama sekali tidak pernah belajar silat semenjak
kecilnya.
Hampir saja
Kwa Tin Siong mengajukan pertanyaan, akan tetapi perhatian mereka tertarik oleh
seruan Thian Beng Tosu, "Ahh, surat apakah yang tertempel di bendera
itu?"
Semua orang
melihat. Benar saja. Pada bendera kecil itu ada sehelai surat yang ditempel
dengan tusukan jarum. Liem Sian Hwa lalu menyerahkan bendera berikut surat
kepada suaminya yang segera mengambil surat itu dan membacanya. Keningnya
berkerut setelah membaca, dan berkatalah Ketua Hoa-sanpai ini kepada semua tosu
yang mengerumuni tempat itu.
"Gerombolan
penjahat bermaksud buruk terhadap kita. Mulai saat ini kalian semua boleh terus
bekerja seperti biasa, akan tetapi jangan berpisahan, harus berkelompok
sedikitnya lima orang. Kalau ada orang asing naik ke gunung, jangan sembrono
dan jangan mencari perkara. Langsung laporkan kepada kami."
Sambil
berbisik-bisik dengan hati tegang para tosu itu ialu melanjutkan pekerjaan
mereka. Kwa Tin Siong seanak isteri lalu masuk ke dalam mengajak Thian Beng
Tosu.
"Ki-ji
(Anak Ki)," kata Kwa Tin Siong. Memang sudah biasa ia memanggil Thio Ki
dengan sebutan anak Ki, maka sampai Thio Ki menjadi tosu pun masih disebut
demikian. "Apakah kau mengenal penulis surat ini?" Ia menyerahkan
surat kecil itu kepada Thian Beng Tosu yang segera membacanya.
Apa bila
dalam waktu dua belas jam Thio Ki tidak turun untuk mengantarkan nyawanya ke
Im-kan-kok, terpaksa kami tidak melihat muka Ketua Hoa-san-pai lagi dan akan
menyerbu Hoa-san-pai untuk mengambil nyawa Thio Ki.
Surat itu ditandai
gambar harimau hitam dan tulisannya kasar lagi buruk, bukan tulisan seorang
ahli. Membaca ini, seketika wajah Thio Ki atau sekarang bernama Thian Beng Tosu
ini menjadi pucat, giginya beradu dan tangannya mengepal, surat itu diremasnya.
"Keparat
betul Bhe Lam Si Macan Hitam itu!" katanya.
Thio Ki atau
Thian Beng Tosu lalu bercerita. Dahulu sebelum ia menjadi tosu Hoa-san-pai dan
masih menjadi seorang piauwsu (pengawal barang) di Sin-yang, pernah pada suatu
hari barang kawalannya dirampok oleh segerombolan perampok yang dipimpin
Hek-houw Bhe Lam. Seorang pembantunya tewas dan barang kawalan itu dirampas.
Thio Beng
Tosu atau dahulu masih bernama Thio Ki bersama isterinya, Lee Giok, lalu
mendatangi sarang perampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya mereka
dapat mengalahkan Bhe Lam dan merampas kembali barang kawalannya. Bhe Lam
berhasil melarikan diri setelah menderita luka berat.
"Demikianlah,
Supek. Agaknya Bhe Lam itu tidak melupakan urusan lama dan biar pun teecu sudah
menjadi tosu di sini, dia masih terus mencari teecu dan hendak membalas dendam.
Perkenankan teecu pergi untuk menemuinya dan sekali ini teecu tidak akan
tanggung-tanggung membasminya agar ia tidak mengacau ketenteraman dunia."
Setelah berkata demikiah Thian Beng Tosu lalu bergerak hendak pergi mencari
musuh besarnya.
Kwa Tin
Siong menggerakkan tangan mencegah. "Nanti dulu, jangan kau terlalu
sembrono dan tergesa-gesa. Kalau dahulu dia pernah kau kalahkan dan sekarang
berani datang menantang, sudah tentu dia mempunyai andalan yang kuat. Kalau
tidak demikian, tak mungkin ia bersikap menantang. Pula, kalau hendak menuntut
balas, mengapa harus sampai belasan tahun lamanya? Kita harus hati-hati dan
jangan gegabah. Dengan mendatangi Hoa-san-pai, memasang bendera untuk menghina
bendera kita, itu saja menunjukkan bahwa ia memandang rendah kepada
Hoa-san-pai. Setelah ia berbuat demikian jauh, bagaimana aku bisa tinggal diam
saja?"
"Yang
amat mengherankan adalah tempat ia menanti di Im-kan-kok," kata Liem Sian
Hwa sambil mengerutkan keningnya. "Im-kan-kok adalah tempat suci yang juga
menjadi tempat larangan bagi kita, kenapa musuh justru menanti di sana? Thio
Ki, kau harus berhati-hati, benar pendapat supek-mu, kita semua harus
menghadapi urusan ini bersama."
Tiba-tiba
Kun Hong tertawa, "Orang itu sungguh tak tahu diri sekali berani
mengganggu Hoa-san-pai. Twa-suko jangan takut, orang itu memberi waktu dua
belas jam, tentu nanti tengah hari ia datang. Biarkan ia datang, hendak kita
lihat bagaimana macamnya. Untuk mendatangi undangannya ke Im-kan-kok hanya akan
membuat dia lebih leluasa mengatur jebakan."
"Hushh,
kau tahu apa tentang urusan ini?" ibunya membentak.
Kwa Tin
Siong teringat akan sesuatu dan dia lalu bertanya dengan suara bengis,
"Kun Hong, kau tadi tahu akan gerakan ibumu, dari mana kau tahu? Hayo
bicara, jangan kau sembunyikan sesuatu dariku!"
Leher Kun
Hong mengkeret ketika ia dibentak ayahnya, wajahnya menjadi merah dan ia
menjawab gugup, "Ahh, tidak sekali-kali aku melanggar larangan Ayah. Aku
tidak pernah mempelajari ilmu silat, hanya aku telah membaca catatan Ayah dan
Ibu tentang ilmu silat Hoa-san-pai. Mempelajari tidak boleh, kalau membaca kan
tidak ada larangan, bukan? Aku memang suka membaca apa saja, Ayah."
Diam-diam
Ketua Hoa-san-pai ini tertegun. Membaca begitu saja tanpa mempelajari
prakteknya, namun sudah dapat melihat gerakan orang, benar-benar hal ini amat
luar biasa dan membutuhkan kecerdikan yang jarang bandingannya. Ia kagum dan
juga bangga sekali, akan tetapi mulutnya berkata, "Hemm, lain kali kau
tidak boleh membaca segala macam kitab pelajaran ilmu silat"
"Baik,
Ayah," kata Kun Hong sambil tunduk.
Karena
menguatirkan keselamatan puteranya yang tidak pandai ilmu silat, Kwa Tin Siong
hendak menyuruh puteranya itu tinggal saja di kamarnya. Akan tetapi sebelum ia
sempat mengeluarkan perintah, tiba-tiba seorang tosu masuk dan melaporkan bahwa
ada tiga orang tosu tua yaitu Pak-thian Sam-lojin datang berkunjung. Wajah Kwa
Tin Siong menunjukkan perasaan girang dan heran akan kunjungan yang tak
disangka-sangka ini...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment