Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 20
Di pihak Bun
Lim Kwi yang sekarang sudah kelihatan setengah tua dan masih gagah, ia tertawa
terbahak-bahak menyaksikan sikap calon menantunya yang malu-malu itu. Sikap
demikian adalah wajar, maka dia tidak merasa tersinggung malah tertawa
bergelak. Ada pun Bun Wan yang mengerling pada saat gadis itu tadi memberi
hormat kepada ayahnya, merasa jantungnya berdebar. Bukan main tunangannya itu!
Cantik jelita seperti bidadari, melampaui segala yang pernah ia impikan.
Diam-diam ia memberi selamat pada diri sendiri atas kemujuran ini.
Cui Bi
diam-diam gelisah sekali melihat betapa akrab pergaulan antara orang tuanya dan
Ketua Kun-lun-pai itu. Ia tetap bersembunyi sampai tamu-tamu yang disambut
hangat ini sudah dipersilakan duduk kembali ke daerah kursi kehormatan. Hidangan
berupa arak dan daging mulailah dikeluarkan dan keadaan menjadi semakin meriah.
Dengan amat singkat Beng San membuka pertemuan itu sambil berdiri di atas
panggung. Suaranya lantang terdengar jelas karena semua orang menghentikan
percakapan mereka untuk mendengarkan.
"Cuwi
sekalian yang terhormat. Sebagai Ketua Thai-san-pai, saya menghaturkan banyak
terima kasih dan selamat datang atas kunjungan dan perhatian saudara sekalian
sebagai saksi dari pendirian partai baru yang kami dirikan, yaitu Thai-san-pai.
Terima kasih pula kami ucapkan atas pemberian selamat dan bingkisan-bingkisan,
semoga hal ini akan bisa mempererat persaudaraan di antara kita dan semoga
Thian yang akan membalas segala kebaikan saudara sekalian. Kepada para saudara
yang datang dengan kandungan hati yang tulus ikhlas kami persilakan menikmati
hidangan sekedarnya. Ada pun mereka yang mengandung maksud lain, segala rasa
penasaran yang terpendam, sekaranglah kiranya terbuka kesempatan bagi mereka
itu untuk mengeluarkannya agar disaksikan oleh semua tamu yang terhormat."
Setelah
berpidato singkat ini, Beng San kembali ke tempat duduknya. Kata-katanya yang
terakhir itu singkat saja, namun langsung menikam mereka yang memang datang
bukan mengandung niat baik. Kata-kata ini diucapkan bukan tanpa alasan, tetapi
karena memang sudah ada kejadian yang menunjukkan bahwa di antara para tamu
yang datang terkandung pula niat yang buruk. Hal ini terbukti dari adanya orang
yang membunuh anak murid Thai-san-pai, juga mereka yang berusaha mati-matian untuk
memecahkan jalan rahasia, dan mereka yang telah menculik Cui Bi serta
mengeroyoknya.
Beng San
terpaksa mengeluarkan pernyataan ini karena dari atas panggung tadi ia masih
belum melihat tokoh-tokoh yang mengeroyoknya dua hari yang lalu, juga tidak
kelihatan adanya Giam Kin.
Dari tempat
ia duduk, sepasang mata Beng San yang amat tajam itu menyapu para tamu dan
terlihat jelas olehnya kini betapa di antara para tamu itu terdapat bekas-bekas
lawan dan orang-orang yang selama ini menganggapnya sebagai musuh. Diam-diam
pendekar ini menggolongkan para tamunya menjadi tiga golongan.
Pertama-tama
tentu saja golongan para sahabat baik yang datang khusus untuk memberi selamat
dan ikut bergembira dengan pendirian Thai-san-pai, mereka ini antara lain
adalah Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, tokoh-tokoh Pek-lian-pai dan beberapa tokoh
kang-ouw yang dikenalnya baik.
Golongan ke
dua adalah golongan yang selama ini memusuhinya dan di antara golongan ini ia
mengenal beberapa tosu Ngo-lian-kauw, orang-orang Bu-eng-pai yang dipimpin oleh
seorang wanita tua yang ia kenal, yaitu Ang Kim Nio. Juga ia melihat adanya
tokoh-tokoh bajak sungai dari Huang-ho yang tentu tidak senang hati mereka
sejak Ho-hai Sam-ong terbunuh oleh Li Cu.
Ada pula
Koai-sin-kiam Oh Tojin yang dulu membantu kakak kandungnya yang jahat, Tan Beng
Kui, dan masih banyak lagi orang-orang dari golongan jahat. Dia menduga bahwa
tokoh-tokoh besar yang mengeroyok kemarin dulu, tentu bersembunyi dan nanti
juga akan muncul kalau sudah tiba saatnya. Orang-orang itu memang termasuk
tokoh-tokoh aneh, tidak seperti kebanyakan.
Ada pun
golongan ke tiga adalah yang tidak mudah diraba bagaimana nanti sikapnya. Di
dalam golongan ini termasuk pula para wakil Siauw-lim-si, dan sungguh pun
Siauw-lim-pai tidak langsung memusuhinya, namun ia melihat dua orang di antara
mereka adalah Hek Tung Hwesio dan Pek Tung Hwesio yang dahulunya dianggap sudah
melarikan diri dari Siauw-lim-pai dan menjadi musuh mendiang Cia Hui Gan. Malah
pernah dua orang ini dikalahkah oleh Li Cu.
Juga guru
silat kota raja Lai Tang si pongah itu yang sukar dijajaki isi hatinya. Dan
masih banyak orang-orang aneh dari selatan yang tidak dikenalnya namun yang
jelas memiliki kepandaian tinggi. Suasana makin menegang ketika para tamu sudah
minum arak dan minuman keras ini agaknya membuat mereka mulai terlepas
bicaranya dan keadaan makin berisik. Namun keadaan tuan rumah dan orang-orang
muda yang menemaninya itu tetap tenang-tenang saja, seakan-akan tidak tahu akan
perbuatan ini.
Beng San
maklum bahwa perkumpulan yang baru didirikannya itu hanya mempunyai tiga puluh
lebih orang anggota, tak boleh dibilang cukup kuat untuk menghadapi bahaya.
Akan tetapi ia percaya kepada diri sendiri, apa lagi di situ ada isterinya yang
lihai dan terutama sekali karena sekarang di samping Cui Bi yang ia tahu tak
lihai dari ibunya, terdapat pula anaknya yang baru tiba, Sin Lee, Kong Bu.
Ia maklum
bahwa dua orang puteranya ini adalah bocah-bocah gemblengan, bahkan ia boleh
mengandalkan tenaga murid-murid Hoa-san-pai terutama Li Eng. Hui Cu memang
belum begitu tinggi ilmunya sedang Kun Hong tetap merupakan tokoh penuh rahasia
bagi Beng San.
Pemuda ini
sama sekali tidak pernah mau mengaku bahwa ia memiliki kepandaian tinggi, dan
karena Beng San merasa berhutang nyawa, maka pendekar ini tidak berani untuk
mencoba-coba. Biar pun masih amat muda, sikap Kun Hong seperti seorang yang
sudah tua, membuat orang tidak berani main-main kepadanya.
Di samping
kekuatan keluarga sendiri yang cukup membesarkan hati ini, di sana masih banyak
sahabat-sahabat yang kiranya takkan berpeluk tangan kalau melihat Thai-san-pai
diganggu penjahat. Terutama sekali tentu saja, calon besan dan calon mantunya
Bun Lim Kwi dan Bun Wan.
Cuma seorang
saja yang kadang-kadang membuat Beng San berdebar, yaitu Pak-thian Locu. Apa
bila kakek itu nanti muncul, tidak ada orang lain yang boleh diandalkan untuk
menghadapinya kecuali dia sendiri. Kakek itu terlampau lihai, dan tingkatnya
sudah tinggi sekali sehingga dia sendiri pun masih ragu-ragu apakah akan dapat
mengatasinya.
Beberapa
orang tamu sudah mulai mabuk dan tiba-tiba Lai Teng guru silat pongah yang
tinggi besar itu berdiri dari bangkunya. Agaknya teman-temannya semeja sudah
berhasil menghasutnya dan sekarang dia berdiri dengan kaki terpentang dan dia
bertepuk tangan beberapa kali untuk menarik perhatian.
Setelah
semua orang memandangnya, ia pun mulai berkata dengan suara nyaring,
"Heii! Thai-san-pai ini partai macam apa sih? Perkumpulan para pengejar
huruf, para pengejar konde, ataukah perkumpulan orang-orang gagah? Jika
ketuanya seorang ahli silat tinggi, seorang raja pedang, kenapa perayaan ini
begini adem? Membosankan!"
Ucapan ini
terang merupakan penghinaan yang sengaja dikeluarkan untuk memancing keributan.
Akan tetapi Beng San dan keluarganya hanya memandangnya dengan sikap
tenang-tenang saja.
Terdengarlah
pekik sorak di sana-sini, terutama dari mereka yang memang ingin segera
menyaksikan keributan terjadi di tempat itu. Ada suara dari sudut berseru,
"Lai-kauwsu, kau mempunyai julukan Si Cakar Naga, di kota raja siapa yang
tidak pernah mendengar nama besarmu? Tetapi di sini, jangan kau main-main. Apa
kau berani memperlihatkan kepandaianmu di panggung? Jangan-jangan kau akan
diketawai Thai-san-pai!"
Semua orang
menengok untuk melihat Si Pembicara, akan tetapi tidak ada yang tahu betul
siapa yang menguacapkan suara tadi. Hanya orang-orang pandai di antara tamu dan
tentu saja pihak tuan rumah yang tahu bahwa suara ini dikeluarkan oleh seorang
pandai yang mempunyai ilmu khikang tinggi sehingga dapat memindahkan arah
suaranya. Orang yang pandai dengan ilmu ini, biar pun ia berdiri di sebelah
barat, suaranya dapat terdengar seperti datang di sebelah timur.
Beng San
maklum bahwa orang yang memusuhinya mulai ‘membakar’ suasana. Namun dia tenang
saja dan memang sudah siap menghadapi segala kericuhan yang disengaja oleh para
lawannya. Sebagai sebuah partai baru, Thai-san-pai harus bisa memperlihatkan
keangkerannya, harus dapat menjaga nama, dan keadaan yang sekarang dia hadapi
ini merupakan ujian berat namun baik sekali.
Lai Tang Si
Cakar Naga ikut menengok juga akan tetapi karena tidak dapat melihat orang yang
mengeluarkan kata-kata itu, ia segera melihat ke arah panggung dan kemarahannya
sudah meluap.
"Siapa
takut diketawai dan siapa berani menertawai aku?"
Tubuhnya
melayang dan ia sudah naik ke atas panggung yang memang disediakan itu. Ketika
melayang ke atas papan panggung itu, tubuhnya seperti daun kering saja, amat
ringan dan sedikit pun tidak mengeluarkan suara. Menyaksikan ginkang yang cukup
hebat ini, para tamu yang muda dan yang tidak begitu tinggi tingkat ilmunya,
segera bertepuk tangan riuh-rendah memuji.
Lai Tang
yang disoraki ini ‘mendapat hati’. Sambil petantang-petenteng ia berkata ke
arah rombongan tuan rumah.
"Tidak
ada partai baru didirikan tanpa diuji. Thai-san-pai adalah partai baru, tapi
siapa pernah mendengar tentang ilmu silat Thai-san-pai? Dalam perayaan semacam
ini, sudah sepatutnya Thai-san-pai memperlihatkan isinya. Biarlah aku menjadi
orang pertama untuk belajar kenal dengan kelihaian ilmu siiat
Thai-san-pai!"
Kong Bu
bergerak dari bangkunya, juga Sin Lee mengepal tinju, akan tetapi Beng San
memberi isyarat kepada dua orang puteranya itu untuk menahan diri dan bersikap
sabar, kemudian ia menggapai kepada Oei Sun, murid kepala yang berdiri di
rombongan para murid Thai-san-pai.
Isyarat ini
cukup dapat dimengerti oleh Oei Sun yang dengan langkah tenang kemudian
menghampiri panggung. Setelah menjura ke depan Beng San dan Li Cu, murid kepala
ini lalu melompat ke atas panggung, menghadapi Lai Tang sambil tersenyum dan
memberi hormat.
"Lai-kauwsu,
atas perkenan ketua kami, saya diwajibkan melayani Kauwsu yang datang sebagai
tamu dan kami Thai-san-pai sebagai tuan rumah wajib melayani semua kehendak
tamu. Harap Kauwsu ketahui bahwa Thai-san-pai didirikan bukan sekali-kali
bermaksud untuk menjagoi, terlebih-lebih pula sama sekali bukan didirikan
dengan maksud mencari permusuhan dengan orang atau pihak mana pun juga."
"Ha-ha-ha-ha!"
Lai Tang tertawa bergelak. "Kalau begitu, apakah Thai-san-pai merupakan
sebuah perkumpulan yang mengajar seni tari, ataukah kebatinan, apakah
perkumpulan bermain judi? Apakah Thai-san-pai bukan perkumpulan silat?"
Merah muka
Oei Sun mendengar ejekan ini, namun mulutnya masih tersenyum ramah dan tenang.
"Lai-kauwsu, sudah tentu saja guru kami mendirikan sebuah perkumpulan
silat dan Thai-san-pai adalah perkumpulan silat karena ketuanya adalah seorang
ahli silat yang sudah dikenal oleh seluruh dunia. Akan sama sekali bukan
perkumpulan silat yang mendidik murid-muridnya untuk menjadi orang pongah dan
sombong. Semua anak murid Thai-san-pai mempelajari ilmu silat hanya untuk
memenuhi kehendak guru dan memenuhi sumpah Thai-san-pai, yaitu menggunakan
kepandaian silat untuk memberantas kejahatan dan kelaliman, menegakkan
kebenaran serta keadilan, mengabdi kebajikan, bukan untuk menjadi jagoan yang
berlagak tengik!"
Lai Tang
merasa disindir dan matanya melotot. "Bagus sekali! Kalau begitu ingin
sekali aku menguji ilmu silat Thai-san-pai, apakah sudah cukup tinggi untuk
sanggup membuat anak-anak muridnya menjadi pendekar. Silahkan ketuanya maju,
biar aku Lai Tang mohon sedikit pelajaran."
Oei Sun juga
sudah marah. "Lai-kauw-su, aku Oei Sun adalah murid Thai-san-pai. Suhu
sudah memerintahkan aku untuk melayanimu, jadi kalau kau sebagai tamu
menghendaki pertandingan untuk menguji ilmu silat, silakan, aku bisa
melayanimu."
"Ahh,
begitukah? Nah, kau terimalah seranganku ini!"
Lai Tang
serta merta menerjang dengan serangannya dan agaknya guru silat ini hendak
mencapai kemenangan dalam waktu singkat karena begitu menerjang dia telah
mainkan ilmu silatnya yang paling diandalkan dan yang membuat dia dijuluki Si
Cakar Naga, yaitu ilmu silat yang dia namakan Liong-jiauw-kang (Ilmu Cakar
Naga).
Ilmu silat
ini dimainkan dengan kedua tangan terbuka, dan jari-jari tangan dipergunakan
untuk mencengkeram sedangkan pukulan dilakukan oleh pangkal tangan. Disertai
tenaga lweekang yang kuat, ilmu Liong-jiauw-kang ini memang berbahaya sekali
karena selain memukul, kedua tangan itu dapat mencengkeram atau menangkap.
Pada
hakekatnya ilmu Liong-jiauw-kang ini tiada bedanya dengan ilmu Eng-jiauw-kang.
Akan tetapi dasar Lai Tang orangnya sombong, ia mengadakan perubahan pada ilmu
Silat Eng-jiauw-kang ini dan menganggap bahwa ilmu silat ini merupakan
ciptaannya, malah ia memakai julukan Si Cakar Naga segala!
Oei Sun
adalah murid pertama dari Beng San. Biar pun bakatnya tidak amat baik, namun
karena ketekunannya mempelajari ilmu silat selama belasan tahun, bahkan selama
dua puluh tahunan ini, tentu saja ilmu silatnya sudah cukup tinggi.
Beng San
serta Li Cu memang tidak melihat bakat baik pada dirinya, namun Oei Sun
memiliki kejujuran, kesetiaan dan keteguhan hati. Pasangan suami isteri ini
menemukan Oei Sun ketika pemuda ini di suatu dusun mengamuk menghadapi
pengeroyokan belasan orang perampok untuk membela penduduk di situ, padahal ia
sama sekali tidak tahu ilmu silat.
Sifat gagah
dan jiwa ksatria inilah yang menarik hati Beng San. Karena Oei Sun tidak
mempunyai sanak keluarga, dia lalu diajak ke Thai-san dan diberi pelajaran ilmu
silat. Oei Sun amat setia dan malah sampai sekarang dia tidak pernah beristeri.
Tentu saja
Beng San tidak menurunkan ilmu-ilmu seperti Im-yang Sin-hoat atau ilmu silat
isterinya Sian-li Kun-hoat kepada Oei Sun, hanya puteri mereka saja yang
mewarisi kedua ilmu ini. Namun Beng San mengajarnya Thai-san Kun-hoat yang dia
ciptakan bersama isterinya. Dalam Ilmu Silat Thai-san Kun-hoat ini terkandung
beberapa pukulan-pukulan penting dari kedua ilmu silat di atas.
Melihat
datangnya penyerangan Lai Tang yang cepat dan bertubi-tubi itu, Oei Sun dengan
tenang menggeser kaki ke belakang dan beberapa kali ia mengelak dengan cepat
sambil memperhatikan gaya permainan lawan. Memang beginilah sikap anak murid
Thai-san-pai, apa bila diserang lawan, tidak buru-buru membalas melainkan
menangkis atau mengelak beberapa kali sambil memperhatikan gaya lawan untuk
mencari kelemahannya.
Pada
hakekatnya, dasar ilmu silat Lai Tang tidaklah hebat, maka setelah mengelak
lima kali saja Oei Sun sudah dapat mengetahui kelemahan lawan. Cengkeraman yang
menjadi pokok penyerangan itu dilakukan dengan tangan bergerak dari depan dada
sehingga siku lengan itu menjulur ke depan dan inilah kelemahah Lai Tang.
Setelah
mengelak dan menangkis beberapa belas jurus lamanya, Oei Sun mulai mencari
kesempatan. Pada waktu dia mengelak dari cengkeraman tangan kanan, tangan kiri
Lai Tang sudah siap, lengannya ditekuk dengan tangan di depan dada. Saat itulah
Oei Sun cepat memukul ke depan, tepat pada siku kiri Lai Tang, mengarah ke
jalan darah pada sambungan siku.
"Aduh...!"
Lai Tang terhuyung mundur, mukanya pucat dan tangan kanannya memegangi siku
kiri yang terlepas sambungannya oleh pukulan tadi!
Oei Sun
cepat menjura sambil tersenyum, "Terima kasih bahwa Lai-kauwsu sudah suka
mengalah kepadaku."
'"Keparat!
Jangan sombong dulu, aku belum kalah!" teriak guru silat kasar ini dan
tangan kanannya tahu-tahu telah mencabut sebatang golok dari pinggangnya.
Biar pun
lengan kirinya sudah lumpuh karena sambungan sikunya terlepas ia masih dapat
bergerak cepat dan goloknya menyambar ke arah leher Oei Sun. Semua orang
terkejut melihat gerakan golok yang amat cepat datangnya, namun Beng San yang
menonton dari kursinya hanya tersenyum tenang saja. Muridnya itu biar pun
kurang berbakat, namun cukup teliti dan terlatih sehingga kalau hanya
menghadapi seorang lawan kasar macam Lai Tang saja pasti tak akan memalukan.
"Eh,
Lai-kauwsu hendak main-main dengan senjata?” seru Oei Sun sambil menundukkan
kepala dan menggeser kaki ke kiri, tangan kanannya bergerak dan tercabutlah
sebatang pedang dari pinggangnya.
Ketika golok
lawannya menyambar lagi dari samping, dia menangkis sambil menyelinap maju dan
tahu-tahu pedangnya sudah melanjutkan tenaga tangkisan atau benturan itu
merupakan tusukan ke arah lambung. Lai Tang dapat menangkis pula dan
bertandinglah dua orang ini dengan seru.
Harus dipuji
juga keuletan Lai Tang. Lengan kiri yang lumpuh itu menghambat
gerakan-gerakannya, tapi dia tidak mau menyerah mentah-mentah dan goloknya yang
digerakkan dengan tenaga besar menyambar-nyambar ganas.
Namun
menghadapi ilmu pedang Oei Sun, jelas bahwa ia kalah setingkat. Ilmu pedang
Thai-san-pai yang dimainkan Oei Sun adalah pecahan dari Im-yang Kiam-hoat dan
Sian-li Kiam-hoat, hebatnya bukan kepalang, juga amat indah ditonton.
Belum sampai
dua puluh jurus pandang mata Lai Tang menjadi kabur, kepalanya pening dan
melihat lawan seakan-akan sudah berubah menjadi banyak sekali. Baiknya Oei Sun
sebagai murid Beng San, bukanlah seorang kejam. Ketika mendapat kesempatan
baik, ia berhasil menggurat pergelangan tangan kanan Lai Tang sehingga guru
silat pongah ini berteriak sambil melepas goloknya. Darah bercucuran dari luka
di pergelangan tangan, luka yang tidak berbahaya tapi cukup mengeluarkan banyak
darah.
Oei Sun
sudah menyimpan pedangnya, membungkuk untuk memungut golok kemudian menyerahkannya
kepada Lai Tang sambil berkata, "Terima kasih bahwa Lai-kauwsu telah
mengalah dua kali kepadaku.”
Lai Tang
menerima goloknya dan memandang dengan mata mendelik, mendengus sekali lalu
meloncat turun dari panggung, diiringi sorak sorai tamu yang memuji-muji Oei
Sun. Di tengah sorak sorai itu, sebelum Oei Sun meloncat turun, tiba-tiba saja
nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu seorang tosu tua sudah berdiri
menghadapi Oei Sun di atas panggung.
Pendeta ini
berjubah kuning ringkas, pada punggungnya tampak gagang sebuah pedang. Sambil
tersenyum ia menjura dan berkata, "Kepandaian Sicu sangat hebat, tidak
kecewa menjadi murid Thai-san-pai. Lebih-lebih ilmu pedang tadi, amat indah
dilihat sungguh pun kegunaannya belum tentu sehebat keindahannya! Sicu, maukah
kau memperlihatkan ilmu pedang Thai-san-pai kepada pinto (aku)?"
Melihat tosu
ini, Beng San mengerutkan alisnya. Dia mengenal tosu itu yang bukan lain adalah
Koai-sin-kiam Oh Tojin, dahulu pun pernah membantu Tan Beng Kui, kakaknya. Dari
julukannya saja, Koai-sin-kiam (Pedang Sakti Aneh), dapatlah diduga bahwa tosu
ini merupakan seorang ahli pedang dan seingat Beng San muridnya itu tidak akan
menang menghadapi tosu ini yang lebih tinggi tingkatnya.
Akan tetapi,
melihat bahwa muridnya itu tak menolak tantangan tosu itu, sudah tentu saja dia
tidak dapat menyuruh muridnya untuk mundur sebelum mereka bergerak. Dia hanya
memandang dengan alis berkerut.
Ada pun Oei
Sun, sebetulnya dia adalah seorang yang cukup mempunyai kesabaran. Apa bila dia
yang dihina orang kiranya ia takkan mudah menjadi marah. Akan tetapi ucapan
tosu itu tadi merupakan penghinaan bagi Thai-san-pai, merupakan ucapan
memandang rendah ilmu pedang Thai-san-pai, maka ia menjadi penasaran dan
mengambil keputusan untuk menjaga nama baik suhu-nya dan partainya. Ia pun
balas memberi hormat sambil berkata,
“Tentu saja
sebagai tamu Totiang berhak meminta sesuatu dan sudah menjadi kewajiban tuan
rumah untuk melayani tamunya. Akan tetapi, siapakah Totiang ini, hendaknya sudi
memberi nama yang benar agar aku, Oei Sun murid Thai-san-pai, dapat terbuka
mata dan mengenalnya."
"Ha-ha-ha-ha,
kau orang muda yang pandai merendah, Oei-sicu. Bagus, karena sikapmu inilah kau
akan selamat dari tanganku. Ketahuilah, pinto adalah Oh Tojin, dan bergelar
Koai-sin-kiam. Seperti kau ketahui, dari julukan pinto itu sudah sepatutnya
pinto tertarik akan ilmu pedang. Nah, pergunakanlah pedangmu untuk menyerang,
supaya pinto dapat merasakan kelihaian ilmu pedang Thai-san-pai!"
Tanpa banyak
cakap Oei Sun mencabut pedangnya. "Harap Totiang suka mengeluarkan pedang
Totiang"
"Ha-ha-ha!"
tosu itu tertawa dengan sikap jumawa sekali. "Sudah kukatakan tadi,
sikapmu menolongmu. Pinto tak perlu menggunakan pedang karena sekali
menggunakan pedang, tentu kau celaka. Jangan ragu-ragu, kau pergunakanlah
pedangmu."
Oei Sun
mendongkol sekali. "Totiang sendiri yang minta, harap jangan menyesal.
Lihat pedang!"
Pedang Oei
Sun berkelebat menyambar. Tosu itu dengan gerakan yang baik dan cepat sekali
telah berhasil menghindarkan diri. Oei Sun menyerang terus dengan hati-hati,
akan tetapi benar-benar tosu di depannya ini tidak dapat dipersamakan dengan
Lai Tang yang sombong tadi.
Gerakan tosu
ini ringan sekali dan berdasarkan ilmu silat yang tinggi. Geseran-geseran
kakinya teratur dan walau pun bertangan kosong, belum pernah pedang Oei Sun
dapat menyentuh bajunya.
"Hemmm,
Oei Sun terlalu sungkan, kalau ia bersungguh melakukan serangan maut, tosu
badut itu tentu akan repot," kata Li Cu yang duduk di sebelah kiri
suaminya.
Beng San
mengangguk. "Memang, mendengar bahwa tosu itu takkan mencelakakannya,
cukup membuat Oei Sun juga ikut sungkan melukainya. Kesalahan besar, terhadap
orang yang begitu tinggi hati harus memberi hajaran. Tetapi betapa pun juga,
Oei Sun bukanlah lawannya."
Tosu itu
benar-benar mempermainkan lawannya. Sambil mengelak dan meloncat ke sana ke
mari, mulutnya terus mengoceh. "Ah, jurus ini seperti jurus Hoa-san-pai.
Orang muda, sudah banyak kuketahui tentang ilmu pedang, banyak yang
kelihatannya indah dan bagus tapi tidak berisi, seperti misalnya ilmu pedang
Hoa-san-pai itu. Memang bagus dipandang, tapi kalau dipergunakan dalam
pertempuran, tidak ada gunanya." Ia mengelak ke kiri dan menyambung.
"Seperti jurusmu yang ini, apa gunanya? Lihat, ini baru gerakan istimewa
yang disebut Udang Sakti Mencapit Ikan!"
Pada saat
itu, pedang Oei Sun menyambar dari atas ke bawah membacok pundaknya. Oh Tojin
miringkan tubuh dan pada saat pedang itu menyambar di dekat tubuhnya, tangan
kanannya bergerak dan tahu-tahu punggung pedang benar-benar telah di ‘capit’
oleh dua buah jari tangannya yang telah ditekuk.
Hebatnya,
betapa pun Oei Sun berusaha membetot kembali pedangnya, ia tidak berhasil.
Capitan atau jepitan kedua jari tangan yang ditekuk itu benar-benar sangat kuat
seperti jepitan baja!
"Ha-ha-ha,
inilah jurus saktiku, Oei-sicu. Tangan kirimu masih bebas, apakah kau hendak
memukul? Bisa, tapi jagalah capit saktiku," kata tosu itu sambil
tertawa-tawa.
Oei Sun
tentu saja tidak mau mengalah secara demikian. Meski pedangnya sudah dijepit
dan tak dapat ia tarik kembali, tapi ia belum boleh dibilang kalah. Mendengar
tantangan ini, ia lalu menggerakkan tangan kirinya memukul bukan ke arah tubuh
tosu itu melainkan ke arah tangan yang menjepit pedangnya. Usaha ini ia lakukan
supaya tangan itu suka melepaskan jepitannya dan pedangnya dapat terlepas.
Akan tetapi
sekarang tosu itu menggerakkan tangan kirinya pula dan...
"Capp!"
Lengan
tangan Oei Sun pada pergelangannya kena dijepit pula sehingga sekarang Oei Sun
tak dapat menggerakkan kedua lengannya sama sekali! Jepitan pada pergelangan
itu mengakibatkan rasa nyeri yang menusuk jantung.
"Ha-haha,
Oei-sicu, apakah kau belum menerima kalah?"
Oei Sun
adalah murid seorang pendekar sakti, mana bisa dia menyerah kalah sebelum
roboh? Ia menggeleng kepala, lalu kaki kanannya bekerja, menendang keras ke
depan. Tetapi tiba-tiba tubuhnya terdorong ke belakang dan karena kakinya sedang
menendang, otomatis ia terjengkang dan roboh.
Pedangnya
masih dalam jepitan tangan tosu lihai itu yang tertawa-tawa bergelak. Sekali
tangan kanan tosu itu bergerak, pedang yang dijepit itu sudah menancap ke atas
papan panggung sampai setengahnya!
Oei Sun
merayap bangun, berdiri dan menjura kepada tosu itu, "Aku Oei Sun mengaku
kalah, tingkat Totiang lebih tinggi dari padaku."
Setelah
berkata begitu, Oei Sun mengerahkan tenaga mencabut pedangnya dan meloncat
turun, memberi hormat kepada suhu-nya dengan wajah muram.
Beng San
hanya menegurnya singkat, "Lain kali jangan terlalu sungkan bila
berhadapan dengan lawan, Oei Sun!" Murid itu mengangguk dan berdiri di
pinggiran.
Pada saat
itu, Li Eng sudah berdiri di depan Beng San dan berkata, "Paman, aku akan
menghadapi Si Sombong itu!"
Anehnya, dia
berlari-lari menghampiri panggung berdua dengan Hui Cu. Beng San tidak
keberatan, namun terheran-heran dan ingin mencegah dua orang gadis itu naik
bersama. Apa maksud Li Eng? Apakah hendak mengeroyok?
Adanya Beng
San memberi persetujuan, karena ia maklum akan isi hati gadis itu. Tadi Oh
Tojin menyebut-nyebut dan memburuk-burukkan nama Hoa-san-pai, sudah sepatutnya
kalau gadis itu hendak membela nama baik perguruannya dan ia maklum bahwa
dengan kepandaiannya itu, Li Eng sudah pasti akan dapat mengatasi Oh Tojin.
Akan tetapi,
kalau gadis itu hendak maju berdua mengeroyok Oh Tojin, ahh, hal itu akan
sangat memalukan Hoa-san-pai! Sebelum ia sempat mencegah, dua orang gadis itu
telah melompat ke atas panggung dengan gerakan yang ringan dan cepat, gerakan
khas dari Hoa-san-pai.
Pada saat
itu, para tamu sedang bersorak dan bertepuk tangan memuji Oh Tojin. Setelah
mendengar pujian orang, tosu ini menjadi girang sekali dan lagaknya
dibuat-buat. Ia lalu menjura ke empat penjuru dan berkata nyaring,
''Tidak ada
harganya untuk dipuji! Pinto belum memperlihatkan kepandaian karena hanya
menghadapi seorang lemah, mana ada kesempatan memperlihatkan kepandaian
asli?"
Akan tetapi
tepuk tangan semakin bergemuruh. Ia mengira bahwa orang-orang itu sedang
memuji-muji dia, tidak tahunya yang disoraki adalah gerakan dua orang gadis
muda yang cantik-cantik dan yang gerakannya benar-benar mengagumkan itu. Oh
Tojin cepat-cepat menoleh, kemudian memandang dan senyumnya melebar.
"Aha,
kiranya Thai-san-pai mempunyai pula murid-murid wanita yang cantik dan pandai!
Tentunya kalian lebih pandai dari pada Oei Sun tadi. Akan tetapi kalian maju
berdua, ini bagus sekali. Memang sepatutnya... bagus sekali kalian maju berdua
jadi berimbang dan agar jangan dikatakan bahwa aku orang tua mau menang
sendiri. Ha-ha-ha!"
Li Eng
tertawa-tawa dan Hui Cu yang pendiam hanya berdiri tegak. Tadi memang Li Eng
yang membisikkan akalnya untuk menggoda tosu ini. Sebenarnya Hui Cu tak setuju,
tapi karena ia maklum akan kenakalan Li Eng dan pula memang ia mendongkol
mendengar betapa tosu ini menghina Hoa-san-pai, di samping kepercayaannya akan
kelihaian Li Eng, maka ia menuruti kehendak adiknya itu.
"Eh,
tosu tua yang bernama Oh Tojin berjuluk Koai-sin-kiam! Kami berdua ini juga
menjadi tamu-tamu Thai-san-pai dan kami naik ke sini karena kau tadi sudah
menyingung nama Hoa-san-pai, perguruan kami!"
"Ha-ha-ha-ha,
kalian anak murid Hoa-san-pai, ya? Aha, kalian naik mau apakah? Jangan
main-main, biar pun ilmu pedang Thai-san-pai yang diperlihatkan bocah tadi
tidak berapa hebat, akan tetapi kalau ditandingi dengan ilmu pedang Hoa-san-pai
saja kiraku belum tentu kalian akan dapat mengalahkan." Tosu itu memotong
ucapan Li Eng.
"Bukan
begitu, Totiang. Kami berdua tadi mendengar ocehanmu tentang keburukan ilmu
pedang Hoa-san-pai yang hanya indah dilihat namun tidak ada gunanya. Apakah
benar begitu anggapanmu?"
Oh Tojin
gelagapan mendengar pertanyaan Li Eng. Sebenarnya tadi dia berani mencela
Hoa-san-pai karena ia tidak melihat adanya tokoh-tokoh Hoa-san-pai hadir di
tempat itu. Sekarang muncul dua orang gadis muda ini yang mengaku sebagai murid
Hoa-san-pai, sedangkan ia sudah terlanjur mengeluarkan kata-kata mencela ilmu
pedang Hoa-san-pai, terpaksa ia tidak dapat mundur lagi.
"Jika
memang betul begitu, kalian mau apakah? Apakah kalian bisa membuktikan bahwa
ucapanku tadi tidak benar?" tantangnya sambil pringas-pringis.
Li Eng
tersenyum, bukan main manisnya kalau dia tersenyum sambil memainkan kedua
matanya itu. "Totiang, tentang keburukan ilmu pedang Hoa-san-pai, kami
sendiri tak akan menyombong dan aku yang muda tidak berani pula membantah. Akan
tetapi gerakanmu tadi ketika menjepit pedang Oei-enghiong agaknya tidak menang
hebatnya dengan jurus Hoa-san-pai yang bernama Kepiting Sakti Mencapit
Ikan!"
Tosu itu
melengak. "Tidak bisa jadi! Ilmu mencapit dengan dua buah jari itu
merupakan ciptaanku, mana bisa Hoa-san-pai memiliki ilmu seperti itu? Dan bukan
kepiting melainkan udang sakti. Jangan kau main-main!"
"Hi-hik,
siapa main-main? Kau mau bukti? Lihatlah! Eh, Enci Hui Cu, kau cabut pedangmu
dan bacok aku seperti yang dilakukan Oei-enghiong tadi!" kata Li Eng
kepada Hui Cu.
Mau tidak
mau Hui Cu menahan ketawanya sehingga ia tersenyum-senyum lalu mencabut
pedangnya. Dengan gerakan perlahan dan lambat sekali ia membacok ke arah Li
Eng.
Dengan lagak
dibuat-buat seperti lagak tosu tadi, Li Eng mengelak dan ketika pedang itu
begitu lambat menurun di dekatnya ia lalu mencapit pedang itu dengan dua jari
tangannya yang ditekuk. Gerakannya begitu persis dengan gerakan tosu tadi, akan
tetapi karena baik bacokan mau pun jepitan dilakukan perlahan dan lambat
sekali, terang bahwa dua orang gadis cantik itu mempermainkan Si Tosu.
Meledaklah
suara ketawa para tamu. Para tokoh-tokoh besar yang melihat pertunjukan ini
bahkan tidak sanggup menahan ketawa mereka. Benar-benar seorang bocah yang
nakal sekali, pikir mereka.
Li Cu tak
dapat menahan ketawanya, menutupi mulut dengan sapu tangannya, sedangkan Beng
San tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Cui Bi terkekeh-kekeh dan
memegangi perutnya, juga Sin Lee dan Kong Bu terbahak-bahak.
Hanya Kun
Hong yang menggeleng-geleng kepala sambil menggerutu. "Kurang ajar sekali
dia... kurang ajar sekali..."
Sementara
itu, Oh Tojin tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Anak setan, apakah kau
sengaja hendak menghina pinto?"
"Aih-aih,
siapa menghina, keledai tua? Siapa yang tadi mengatakan bahwa Hoa-san-pai
memiliki ilmu pedang yang tiada gunanya? Kau yang menghina perguruan kami,
sekarang kau berbalik bilang kami yang menghina. Hemm, sungguh tak tahu malu,
tosu bau hidung kerbau!"
Memang Li
Eng nakal dan pintar bicara, hal ini sudah pernah dialami oleh Kong Bu yang
ketika itu hampir terpelanting dari kursinya saking tertawa bergelak-gelak
melihat lagak kekasihnya mempermainkan tosu sombong itu.
"Perempuan
sombong! Bocah setan, apakah kau berani menghadapi pedangku?" Sambil
berkata begitu Oh Tojin mencabut pedangnya dan menggerak-gerakkan pedangnya
agar cahayanya berkilau tertimpa sinar matahari.
Li Eng
menunjukkan sikap ketakutan. "Wah-wah, Enci Hui Cu, lebih baik kau lekas
turun panggung, jangan-jangan kau keserempet pedang. Pedang tajam di tangan
orang mabuk yang tidak mampu main pedang, benar-benar lebih berbahaya dari pada
di tangan orang yang baru belajar."
Sambil
tersenyum-senyum saking gelinya Hui Cu melayang turun dari atas panggung lalu
menghampiri kembali tempat duduknya, disambut tertawa lebar semua orang yang
duduk di pihak Thai-san-pai. Juga para tamu tadi terpingkal-pingkal menyaksikan
ini, sehingga tempat itu benar-benar menjadi meriah seakan-akan di situ sedang
terdapat pertunjukan pelawak-pelawak yang pandai mengocok perut.
Kemarahan Oh
Tojin tak dapat ditahannya lagi. "Bocah setan, kau bersiaplah menghadapi
pedangku. Hemmm, kalau aku tidak bisa memberi hajaran kepadamu, jangan sebut
aku Koai-sin-kiam lagi!"
"Ehh,
betulkah? Nah, biarlah kini kau berkenalan dengan ilmu pedang Hoa-san-pai yang
kelihatan indah tapi tak berguna ini. Awas pedang!"
Tosu itu
tercengang, juga para tamu, karena gadis itu mengancam ‘awas pedang’ akan tetapi
belum kelihatan memegang pedang. Tiba-tiba saja, belum juga hilang keheranan Oh
Tojin, tahu-tahu di depan mukanya berkelebat sinar seperti kilat diikuti hawa
pedang yang dingin menyambat hidungnya!
"Ayaaa...!"
ia berseru kaget.
Cepat ia
mencelat ke belakang sambil menyabet-nyabetkan pedangnya ke depan untuk menjaga
diri. Ia masih berjumpalitan sambil menyabet-nyabetkan pedang dan baru berani
turun ketika ia tidak merasa adanya desakan. Ketika berdiri kembali, ia
mendengar suara tertawa ramai. Kiranya gadis itu masih berdiri di tempatnya
yang tadi, hanya sekarang tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang
berkilauan.
Hebat,
pikirnya dengan hati kecut. Jurus apa yang diperlihatkan gadis ini tadi? Ia
berlaku hati-hati dan tanpa menyombong lagi ia berkata,
"Majulah,
aku telah siap menghadapi pedangmu."
Li Eng
tersenyum mengejek.
Tiba-tiba
terdengar seruan orang, "Tahan dulu."
Dua orang
itu memandang, juga semua tamu. Kiranya Kun Hong yang berseru itu dan pemuda
ini menaiki anak tangga yang menuju ke panggung dengan tergesa-gesa.
Dari tempat
duduknya tadi, Kun Hong telah menyaksikan kepandaian Oh Tojin. Ia maklum bahwa
menghadapi Li Eng, tosu itu tak akan menang. Ia cukup mengenal pula watak Li
Eng yang selain jenaka dan nakal, juga keras hati. Mendengar bahwa Hoa-san-pai
dihina orang, ia kuatir kalau Li Eng mendendam dan menjatuhkan tangan besi
kepada tosu itu. Maka, tanpa dipikir panjang ia lalu berseru menahan
pertempuran dan naik ke panggung, tidak dengan cara meloncat seperti yang lain,
melainkan lari melalui anak tangga.
"Eng-ji,
kau hendak bermain pedang dengan totiang ini, berhati-hatilah jangan sampai kau
membunuhnya. Kau tahu aku tidak suka kau membunuh orang!"
Li Eng
tertawa, "Jangan kuatir, Paman Hong. Aku tidak akan membunuh orang
ini."
"Juga
tidak melukai secara hebat."
"Tidak,
aku hanya ingin membuat dia kapok supaya tidak menghina Hoa-san-pai lagi."
Sementara
itu, semua orang yang mendengarkan percakapan ini menjadi bengong dan
terheran-heran sejenak, kemudian meledaklah suara tawa mereka. Sikap Kun Hong
tadi seperti seorang nenek bawel yang memberi nasehat cucunya. Justru sikap
kedua orang ini menimbulkan kesan bahwa mereka amat memandang rendah kepada Oh
Tojin.
Kalau sampai
pemuda halus itu melarang gadis keponakannya membunuh atau melukai berat kepada
tosu itu, bukankah itu hanya boleh diartikan bahwa Si Pemuda ini sudah yakin
akan kemenangan keponakannya? Inilah yang lucu dan tentu saja Oh Tojin menjadi
marah dan mendongkol sekali.
Dari tempat
duduknya, Beng San berbisik kepada Li Cu, "Kulihat Kun Hong ini sungguh
seorang pemuda yang luar biasa wataknya, dan halus budi pekertinya."
Li Cu
tersenyum. "Dia seperti bayanganmu pada waktu kau masih muda." Kedua
suami isteri itu saling pandang lalu, tersenyum.
Sementara
itu, Kun Hong lega hatinya. Ia kembali menuruni anak tangga meninggalkan
panggung, dan juga Oh Tojin yang membanting-banting kakinya.
"Orang-orang
Hoa-san-pai memang benar-benar sombong luar biasa! Apa yang dia bilang tadi?
Kau tidak boleh membunuhku, tidak boleh melukai aku? Lihat, sebaliknya pintolah
yang akan merobohkanmu dalam beberapa jurus saja. Lihat pedangku!"
Dengan
gerakan yang penuh kemarahan pedangnya berkelebat menyambar ke arah Li Eng.
Tapi ia tertegun karena selain pedangnya hanya mengenai angin belaka, juga
gadis di depannya itu telah lenyap dari depan matanya. Selagi ia bingung, ia
mendengar suara ketawa lirih di belakangnya.
Cepat ia
membalik sambil mengayun pedang menyerang lagi. Tapi kembali ia kehilangan
lawannya yang ternyata dengan ginkang yang luar biasa telah lenyap dan sudah
berada di belakangnya. Berkali-kali ia menyerang akan tetapi hasilnya sama dan
tak pernah ia dapat melihat lawannya yang cepat sekali gerakannya, seperti
setan.
Suara ketawa
serta seruan kagum terdengar di sana sini ketika para tamu menyaksikan gerakan
tubuh gadis itu yang memang luar biasa cepatnya, melebihi cepatnya gerakan
pedang lawan. Tosu itu mulai marah, tapi diam-diam hatinya mengecil.
"Hai,
bocah setan. Jangan hanya melarikan diri, bertandinglah secara berdepan kalau
kau memang laki-laki!"
"Hi-hik,
tosu bau, apakah kau sudah-gila? Aku memang seorang wanita, bukan seorang
laki-laki!"
Suara ketawa
makin riuh-rendah menyambut kelakar ini dan wajah Oh Tojin makin merah. Kini ia
melihat gadis itu berdiri tegak di depannya dan ketika ia menyerang lagi, Li
Eng sengaja tidak mau mengelak melainkan menggunakan pedangnya untuk menangkis
dan balas menyerang.
Kini Li Eng
sengaja mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya berkelebat cepat laksana kilat
menyambar-nyambar sehingga dalam belasan jurus saja Oh Tojin sudah terdesak
hebat, mengelak dan menangkis ke sana ke mari tanpa dapat membalas sedikit pun
juga.
"Tosu
bau, kau bilang ilmu pedang Hoa-san-pai tak ada gunanya? Nah, rasakanlah ilmu
pedang yang kumainkan ini. Inilah Hoa-san Kiam-hoat!"
Oh Tojin
memang pernah menyaksikan ilmu pedang Hoa-san-pai, tetapi selama hidupnya tak
pernah dia mengira bahwa Hoa-san Kiam-hoat dapat dimainkan seperti ini
hebatnya. Diam-diam ia terkejut dan menyesal sekali. Wajah yang tadinya merah
sekarang menjadi pucat, napasnya terengah-engah dan makin sibuklah dia
menangkis hujan ujung pedang yang tak terhitung banyaknya itu.
"Koai-sin-kiam
Oh Tojin, jagalah serangan ilmu pedang Hoa-san-pai ini!" gadis itu berseru
keras dan pedangnya makin hebat menekan.
Oh Tojin
berteriak kaget, jenggotnya terbabat putus dan beterbangan ke bawah dan pada
detik berikutnya ia memekik kesakitan, tangannya berdarah dan pedangnya
terlepas dari pegangan! Sambil mengerang kesakitan tosu ini melompat turun dari
panggung dan terus melarikan diri tanpa menoleh lagi.
Terdengar
sorak-sorai riuh-rendah, sebagian menyoraki tosu yang lari itu, sebagian lagi
bersorak karena melihat Li Eng kini memperlihatkan pertunjukan hebat, yaitu
pedangnya sudah dapat menyambar pedang tosu itu dan pedang lawan itu sekarang
terputar-putar bagai kitiran di ujung pedangnya!
Melihat
lawannya lari tunggang-langgang, Li Eng berseru keras, "Oh Tojin, ini
pedangmu, terimalah kembali...!"
Sekali ia
mengerakkan pedang di tangannya, maka pedang lawan yang tadinya berputar cepat
seperti kitiran itu terlempar melayang ke arah Oh Tojin yang sedang berlari.
Hebat sekali bidikan Li Eng karena dengan tepat gagang pedang itu menimpa
kepala orang dan jatuh ke bawah.
Sejenak Oh
Tojin pucat saking kagetnya. Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa
kepalanya tidak bocor, ia cepat-cepat memungut pedangnya dan terus melarikan
diri pergi meninggalkan tempat itu diikuti gelak tawa para penonton. Gelak tawa
para penonton sirap kembali ketika mereka melihat seorang tosu tua sudah
meloncat ke atas panggung.
Tosu ini pun
berpakaian kuning dan rambutnya yang panjang digelung ke atas. Biar pun
pakaiannya kuning sederhana sebagai tosu, namun rambutnya dihias dengan lima
bunga teratai dan pada bajunya terdapat tanda-tanda jasa dari istana. Inilah
Thian It tosu, salah seorang di antara tujuh orang pengawal Pangeran Mahkota
Kian Bun Ti, juga seorang tokoh Ngo-lian-kauw dan pernah menjadi tangan kanan
Kim-thouw Thian-Li.
Melihat
naiknya tosu ini, Kun Hong yang mengenalnya menjadi tidak enak hatinya, lalu
berkata perlahan tapi cukup keras untuk didengar oleh Beng San.
"Heran
betul, dia itu seorang di antara pengawal-pengawal istana Pangeran Mahkota, mau
apa ke sini?"
Kagetlah
Beng San mendengar ucapan Kun Hong ini. Dia memandang penuh perhatian. Ia
maklum dari tanda bunga teratai itu bahwa tosu ini adalah seorang tosu
Ngo-lian-kauw, akan tetapi apakah orang ini muncul sebagai tokoh Ngo-lian-kauw,
ataukah dia sebagai pengawal istana Pangeran?
Tosu itu
sudah menjura ke arah tuan rumah dan berkata, suaranya yang rendah parau
membayangkan lweekang tinggi, "Pinto Thian It Tosu ingin sekali berkenalan
dengan ilmu silat Thai-san-pai. Syukur apa bila Ketua Thai-san-pai sendiri
berkenan memberi petunjuk karena pinto sudah lama mendengar nama
besarnya."
Sin Lee
segera menghadap Ayah, "Ayah, biarlah saya menghadapi tosu ini."
Beng San
mengangguk. Ia pun ingin mengenalkan putera-puteranya kepada para tokoh
kang-ouw yang datang dari pelbagai tempat itu.
"Boleh,
kau hati-hatilah. Dia seorang Ngo-lian-kauw, pandai menggunakan senjata rahasia
dan pandai ilmu sihir, biasanya curang, maka kau yang waspada. Juga karena dia
orang istana, jangan sampai membunuh."
Sin Lee
mengangguk. Ketika kakinya mengenjot tanah, tubuhnya dari tempat itu langsung
melayang ke atas panggung dengan kedua lengan tangan dikembangkan. Sorak sorai
menyambut kehadirannya dan Thian It Tosu kaget sekali menyaksikan cara melompat
yang seperti burung raksasa ini. Ia pun memandang pemuda tampan gagah itu penuh
selidik, lalu menegur,
"Orang
muda, caramu meloncat tadi tidak sama dengan gaya loncatan para anak murid Thai-san-pai
tadi. Siapakah kau dan pinto menantang Thai-san-pai atau ketuanya, kenapa kau
yang maju?"
"Thian-It
Tosu, memang jitu wawasanmu. Aku bukan anak murid Thai-san-pai, akan tetapi
Ketua Thai-san-pai adalah ayahku. Karena kau tadi menantang ayahku, sudah
sepatutnya bila aku mewakilinya untuk menghadapimu. Thian-It Tosu, kau sendiri
sekarang ini berdiri di sini mewakili siapakah? Apa bila kau sebagai tokoh
Ngo-lian-kauw datang menantang, bukanlah hal aneh dan akan kulayani. Akan
tetapi karena aku mendengar bahwa kau telah menjadi seorang pengawal istana
Pangeran Mahkota, maka kalau kedatanganmu ini sebagai pangawal istana, harap
kau turun lagi saja. Kami orang-orang dunia persilatan tidak mempunyai urusan
dengan kaki tangan kota raja.”
Terdengar
sorakan gembira menyambut ucapan ini, tanda bahwa sebagian besar orang kang-ouw
memang tidak melibatkan diri dengan orang-orang pemerintah. Wajah Thian It Tosu
menjadi merah karena sekaligus pemuda ini membuka kedoknya. Pada saat itu
terdengar lengking tinggi dan di atas panggung berkelebat bayangan orang,
tahu-tahu di situ telah berdiri seorang yang tua sekali. Alangkah kaget
gentarnya semua tamu ketika mengenal nenek ini sebagai tokoh yang dianggap
manusia iblis, bukan lain adalah Hek-hwa Kui-bo!
"Berikan
dia padaku! Dia pembunuh muridku!" teriaknya dengan suara parau.
Namun,
kembali orang-orang tercengang karena tanpa mereka lihat datangnya, tahu-tahu
Ketua Thai-san-pai sudah berdiri di situ pula menghadapi Hek-hwa Kui-bo. Beng
San berdiri tegak dengan sepasang mata berkilat-kilat, lalu berkata kepada
Hek-hwa Kui-bo, "Kui-bo, pertemuan ini kuadakan dengan peraturan dan
kesopanan. Apa bila kau mempunyai penasaran, tunggulah giliranmu, harap jangan
mengacau. Mundurlah!"
Sinar mata
Beng San berkilat-kilat seperti halilintar menyambar sehingga Hek-hwa Kui-bo
gentar juga menghadapi sikap musuh lamanya ini. Ia meragu. Ia tahu betul bahwa
orang ini telah terluka hebat dalam pengeroyokan kemarin dulu, akan tetapi
mengapa sekarang masih dapat meloncat seperti terbang saja cepatnya? Untuk
menutupi kegugupannya, ia tertawa,
"Hi-hi-hik,
Beng San, betul juga kata-katamu. Baiklah, aku menanti giliranku." Sambil
tertawa-tawa ia lalu melayang turun dan sekejap mata saja ia sudah lenyap entah
ke mana. Juga Beng San dengan tenang meloncat turun dan kembali ke tempat
duduknya. Semua tamu menahan napas, terhadap tokoh seperti Hak-hwa Kui-bo tentu
saja tak seorang pun berani mentertawai.
Keadaan
makin tegang setelah mereka ketahui bahwa ternyata tempat itu dihadiri pula
oleh tamu-tamu tak kelihatan yang sehebat Hek-hwa Kui-bo. Siapa tahu masih
banyak lagi tokoh-tokoh aneh seperti ini. Karena nenek itu tidak kelihatan
lagi, maka perhatian para tamu dialihkan kembali ke atas panggung, kepada tosu
Ngo-lian-kauw dan pemuda yang mengaku putera Ketua Thai-san-pai itu.
Tosu itu
memandang rendah kepada Sin Lee, lalu berkata, "Menjawab pertanyaanmu
tadi, orang muda, pinto datang ini boleh dibilang atas nama pribadi, juga bisa
disebut mewakili Ngo-lian-kauw, apa lagi mendengar tadi bahwa ketua kami tewas
di tanganmu. Sebagai pengawal istana aku pun mempunyai urusan, yaitu mengejar
larinya tiga orang buronan dari kota raja!"
Tosu itu
dengan mata tajam lalu memandang ke arah tiga anak murid Hoa-san-pai yang duduk
di rombongan tuan rumah.
"Kalau
yang kau maksud dengan ketuamu itu adalah Kim-thouw Thian-li, aku Tan Sin Lee
tak merasa telah membunuhnya. Akan tetapi kalau toh ia mampus oleh pukulanku,
hal itu pun aku tidak menyesal karena itu berarti bahwa aku telah melenyapkan
seorang jahat. Tentang kau mengejar buronan, itu bukanlah urusanku. Nah, kalau
memang kau hendak membalas sakit hati ketuamu, kau majulah!”
Thian It
Tosu memang telah mendengar bahwa Ketua Ngo-lian-kauw tewas dalam tangan
beberapa orang muda, akan tetapi ia tidak tahu siapakah pembunuhnya. Tadi
Hek-hwa Kui-bo muncul dan menerangkan bahwa pemuda ini adalah pembunuh
ketuanya, maka tentu saja ia menjadi marah dan ingin membalas dendam. Ia tidak
berani memandang rendah lagi karena kalau pemuda ini mampu merobohkan Kim-thouw
Thian-li berarti dia pasti lihai sekali. Apa lagi bila diingat bahwa pemuda ini
adalah putera Ketua Thai-san-pai.
Tosu ini
lalu melolos keluar sebatang pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan
kirinya mencabut hiasan rambutnya yang berupa lima bunga teratai itu. Hiasan
rambut ini terbuat dari benda berwarna putih, merupakan lima buah kembang yang
atasnya tertutup rapi berbentuk runcing, dan sekarang gagangnya dipegang oleh
tangan kiri tosu itu.
Mengingat
akan nasehat ayahnya tadi, Sin Lee selalu bersikap waspada dan tidak berani
memandang remeh pada hiasan rambut ini yang melihat ukuran dan bentuknya,
bukanlah merupakan senjata yang baik.
Sambil
mengeluarkan teriakan keras tosu itu menyerangnya dengan pedang, namun Sin Lee
cepat mengelak sedangkan pedangnya sendiri lalu menukik dari atas kiri menusuk
pundak lawan. Thian It Tosu terkejut dan maklum bahwa lawannya ini walau pun
masih muda ternyata mempunyai gerakan cepat dan ilmu pedang yang aneh namun
berbahaya sekali. Ia pun segera bertempur seru, makin lama makin cepat.
Baru
berjalan belasan jurus saja Thian It Tosu maklum bahwa ilmu pedang pemuda itu
betul-betul luar biasa dan ia sudah terdesak hebat. Tiba-tiba tangan kirinya
telah menjepit sebuah kembang buatan itu dan melesatlah jarum-jarum halus ke
arah lawannya.
Sin Lee
mengeluarkan suara melengking tinggi. Tubuhnya mendadak mencelat ke atas,
demikian cepat gerakannya bagaikan gerakan seekor burung dan semua senjata
rahasia halus yang tak dapat dilihat mata itu lewat di bawah kakinya.
Dari atas Sin
Lee membalas, pedangnya meluncur turun menyerang kepala tosu itu. Hal ini
sungguh-sungguh tidak pernah diduga oleh Thian It Tosu yang tadinya
mengharapkan penyerangannya akan berhasil, siapa duga bahwa orang yang diserang
secara mendadak itu malah menyerang dari atas.
Karena
menangkis sudah tidak ada waktu lagi, terpaksa untuk menyelamatkan dirinya tosu
ini membanting tubuh ke belakang dan bergulingan menjauhi kejaran pedang lawan.
Ia meloncat bangun dan sekarang ibu jari dan telunjuknya menjepit bunga teratai
kedua.
Terdengar
suara ledakan kecil dan dari tangan kirinya itu menyambar asap hitam ke arah
muka Sin Lee. Pemuda ini tidak kurang waspada, cepat ia melompat ke samping,
cukup jauh agar tidak terkena pengaruh asap beracun itu. Sambil menahan napas
lalu meniup ke arah asap itu sehingga buyar!
"Tosu
curang!" Sin Lee berseru keras.
Pedangnya
kini berkelebatan laksana kilat mencari korban. Ia sedikit pun tidak memberi
kesempatan kepada tosu itu untuk mempergunakan senjata rahasianya lagi, malah
ia lalu mengincar tangan kiri yang memegang bunga-bungaan itu, yang bahkan
dianggapnya lebih berbahaya dari pada pedang di tangan kanan.
Thian It
Tosu berusaha melawan, namun akhirnya ia berteriak keras ketika ujung pedang
Sin Lee mengancam pergelangan tangan atau jari-jari tangan kirinya. Terpaksa ia
menarik tangannya, akan tetapi…
“Crakk!”
terdengar suara dan hiasan rambut itu kini tinggal gagangnya saja yang berada
di tangannya.
Sin Lee
mengeluarkan suara menghina dan kakinya menendang bunga-bungaan itu ke bawah
panggung.
"Nah,
marilah kita bertanding pedang secara laki-laki, tidak main curang!" seru
Sin Lee, perlahan-lahan maju menghampiri tosu yang berdiri dengan muka pucat
itu.
Akan tetapi
Thian It Tosu tidak segera menggerakkan pedangnya. Ia hanya berdiri tegak,
mukanya pucat, matanya terbelalak memandang lawan, bibirnya komat-kamit.
"Hayo,
majulah, apakah kau takut?" kata Sin Lee mengejek sambil
menggerak-gerakkan pedangnya, siap menanti penyerangan lawannya.
Akan tetapi
tosu itu tetap tidak bergerak, dan mulutnya tetap bergerak-gerak. Orang lain
tidak ada yang mendengar suaranya, namun tiba-tiba Sin Lee mendengar suara yang
seolah-olah datang dari dasar bumi, suara yang penuh kekuasaan, penuh pengaruh,
yang berbisik-bisik dan mendesis-desis.
"Sin
Lee, pandang baik-baik pinto siapa! Pinto adalah pendeta, kau takkan bisa
menang melawan pinto, baru melihat saja kau sudah pening, tenagamu lemah,
pikiranmu kacau..." Ucapan ini diulang-ulang.
Mula-mula
Sin Lee hendak mentertawakannya, akan tetapi dia mulai bingung dan gugup karena
tiba-tiba dia merasa kepalanya pening.
Pada saat
itu Thian It Tosu sudah menyerangnya dan ia cepat menangkis, akan tetapi
benar-benar ia semakin gelisah karena tenaganya terasa amat lemah kepalanya
semakin pening dan pikirannya menjadi kacau-balau, malah ia mulai agak
ketakutan! Samar-samar Sin Lee teringat akan nasehat ayahnya bahwa tosu ini
merupakan seorang ahli sihir. Ia mengerahkan semangat hendak melawan, akan
tetapi ternyata dia telah masuk ke dalam perangkap dan sudah terpengaruh
sehingga usahanya sia-sia belaka karena pikirannya telah kacau.
Para
penonton terheran-heran betapa sekarang tosu itu melakukan penyerangan dengan
pedangnya sedangkan Sin Lee hanya menangkis dengan terhuyung-huyung seperti
orang mabuk.
Beng San
duduk menegang di kursinya. Dahinya berkerut, alisnya bergerak-gerak, sinar
matanya berkilat. Ia dapat menduga apa yang terjadi dan siap untuk menolong
puteranya jika terancam bahaya maut.
Pada saat
itu tampak Kun Hong berlari-lari ke bawah panggung. Setelah dekat panggung ia
menggunakan tangannya menggebrak-gebrak panggung sambil berkata nyaring,
"He,
pendeta murtad! Pendeta penuh dosa, pendeta nyeleweng!"
Orang-orang
mulai tertawa menyaksikan sikap pemuda ini dan Thian It Tosu yang sudah mulai
gembira melihat hasil ilmu hitamnya, kini terpecah perhatiannya dan marah
sekali. Ketika mendapat kesempatan, selagi Sin Lee terhuyung-huyung, ia
menyambar ke pinggir panggung dan menggunakan pedangnya membacok tangan Kun
Hong yang pada saat itu sedang mengebrak-gebrak papan.
Tentu saja
Kun Hong menarik tangannya, akan tetapi ia berpura-pura menjerit, "Aduh…
aduh…! Pendeta kejam kau!"
Dan pada
saat pandang mata Thian It Tojin yang penuh kemarahan itu sedetik bertemu
dengan pandang matanya, Kun Hong mengerahkan ilmu sihirnya dan ia berkata,
"Kau
pendeta murtad, tak patut menggunakan segala ilmu hitam. Kau patut dihukum
pukul kepala sepuluh kali" Setelah berkata demikian Kun Hong lari kembali
ke tempat duduknya.
Tiba-tiba
saja semua tamu terbelalak memandang kejadian yang amat aneh di panggung.
Setelah tosu itu menghentikan serangan-serangannya, Sin Lee masih
terhuyung-huyung dan tosu itu kini berteriak-teriak,
"Benar
sekali, pinto patut dihukum pukul kepala sepuluh kali"
Dan tangan
kirinya segera bekerja menampar muka, dan kepalanya sendiri dengan keras.
"Plak-plak-plak!" terdengar suara berkali-kali dan muka itu menjadi
bengkak-bengkak!
Sin Lee
agaknya sudah sadar kembali. Pemuda ini cepat berdiri tegak dan untuk sejenak
ia mengumpulkan hawa murni di tubuhnya sehingga pikirannya jernih kembali,
tenaganya pulih dan sekarang dia memandang terheran-heran kepada lawannya yang
sedang penuh semangat menghantami kepalanya sendiri itu.
Tiba-tiba
ada bayangan berkelebat dan Hek-hwa Kui-bo sudah berdiri di atas panggung.
"Memalukan saja, pergi!" tangannya bergerak dan tubuh Thian It Tosu
terlempar ke bawah panggung.
Tosu itu
roboh dan berbareng dengan jatuhnya itu agaknya ia pun sadar kembali. Dengan
bingung ia bangkit berdiri, memandang bingung ke kanan kiri lalu angkat kaki
lari dari tempat itu.
Beberapa
orang tamu yang masih melongo kemudian membuat tanda dengan telunjuk
dimiringkan ke depan kening, yaitu tanda orang yang miring otaknya. Mereka ini
mengira bahwa tosu itu tentu seorang yang berotak miring! Akan tetapi karena
peristiwa itu sudah lewat dan di atas panggung berdiri seorang tokoh yang
ditakuti, yaitu Hek-hwa Kui-bo, para tamu yang kini menjadi penonton memandang
dengan penuh ketegangan. Semua orang tahu bahwa tentu sekarang akan terjadi
pertandingan yang luar biasa hebatnya.
Hek-hwa Kui-bo
dengan muka yang merah dan mata mendelik sudah menghadapi Sin Lee, pedang
berkilauan di tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang sehelai sabuk
beraneka warna.
"Orang
muda, kau sudah menewaskan muridku. Akan tetapi kau mengatakan bahwa kau adalah
anak dari Tan Beng San. Hemm, jangan kau mencoba mengunakan nama Ketua
Thai-san-pai untuk menggertak orang. Aku tahu benar bahwa Cia Li Cu isteri Tan
Beng San hanya memiliki seorang anak perempuan, bagaimana kau bisa mengaku dia
sebagai ayahmu? Siapakah ibumu?"
Beng San di
tempat duduknya meremas jari-jari tangannya sendiri, hatinya mengharap supaya
Sin Lee tidak usah menjawab pertanyaan ini. Akan tetapi dengan sikap gagah Sin
Lee menjawab, suaranya nyaring,
"Hek-hwa
Kui-bo, kau kira aku tidak tahu akan isi hatimu. Kau sendiri sudah tahu siapa
ibuku, akan tetapi kau sengaja mengajukan pertanyaan ini di tempat umum, tentu
dengan maksud keji di hatimu yang memang tidak bersih itu. Akan tetapi aku Tan
Sin Lee sebagai seorang laki-laki sejati tidak akan menyembunyikan dan tidak
akan malu mengaku bahwa ayahku adalah Tan Beng San Ketua Thai-San-pai sedangkan
ibuku adalah Kwa Hong anak murid Hoa-san-pai! Nah, aku sudah mengaku, kau mau
bilang apa?" Suara pemuda itu nyaring.
Pada saat
itu wajah Beng San sebentar pucat sebentar merah. Dia merasa terpukul, menoleh
kepada isterinya dan berbisik, "Dia lebih jantan dari padaku... dia lebih
jantan dan gagah..."
Hek-hwa
Kui-bo tertawa terkekeh-kekeh. Wajah tuanya yang biasanya masih berbekas
kecantikannya itu setelah terkekeh-kekeh kelihatan buruknya. Mulutnya yang tak
bergigi lagi kelihatan kehitaman dan matanya berputar-putar liar.
"He-he-he-he,
kiranya kau anak haram. Ha-hah-heh-heh, memang sejak dahulu Tan Beng San
bukanlah orang baik-baik. Kapankah dia menikah dengan Kwa Hong? Kapankah dia
menjadi ayahmu? Tentu melalui hubungan gelap. Coba sekalian yang hadir pikir
dengan baik-baik, orang yang mempunyai anak haram apakah masih patut menjadi
ketua sebuah perkumpulan silat?"
Sin Lee
sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi, mukanya pucat matanya seperti
mengeluarkan api. Meski pun ia dengan gagah berani mengakui kenyataan dirinya,
akan tetapi jika mendengar hinaan yang diucapkan di depan umum secara begitu
merendahkan dan disertai kata-kata kotor, tentu saja ia tidak tahan
mendengarnya.
"Iblis
betina lihat pedangku!" Ia sudah menerjang dengan nafsu meluap.
Hek-hwa
Kui-bo terkekeh-kekeh, tetapi cepat menangkis serbuan pemuda ini, lalu sambil
melayani serangan Sin Lee yang bernafsu, ia masih sempat berkata,
"Kau
bocah haram harus kubikin mampus dulu, baru kemudian tiba giliran ibumu yang
tak tahu malu dan ayahmu yang hina!"
Makin naik
darah Sin Lee dan ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menikam
mati orang yang dibencinya ini. Dan inilah kesalahannya. Sebagai orang muda,
tentu saja ia berdarah panas dan tidak tahu akan siasat lawan yang jauh
berpengalaman dan yang terkenal sebagai seorang tokoh besar penuh tipu
muslihat.
Di samping
sengaja menghina tuan rumah, memang Hek-hwa Kui-bo sengaja membakar hati orang
muda ini pula sehingga kini Sin Lee lupa akan kewaspadaan dan menerjang dengan
nekat. Bagi seorang ahli silat tingkat tinggi, mengumbar nafsu amarah merupakan
pantangan besar.
Dalam
bersilat, apa lagi kalau menghadapi lawan berat, sekali-kali tidak boleh
dihinggapi kemarahan, karena nafsu ini akan menyesakkan dada serta mengurangi
ketelitian dan ketenangan. Apa bila bermain silat dengan diamuk kemarahan, maka
permainannya tidak tenang dan karenanya daya permainannya kurang kuat.
Hek-hwa
Kui-bo adalah seorang tokoh kawakan yang sebelum mendapatkan Ilmu Pedang Im-sin
Kiam-sut sudah merupakan tokoh jarang tandingun, Apa lagi setelah ia
mendapatkan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut, kepandaiannya menjadi hebat sekali dan
orang-orang yang dapat menandinginya hanyalah tokoh-tokoh besar seperti
Song-bun-kwi. Biar pun Sin Lee juga merupakan seorang pemuda gemblengan, namun
menghadapi Hek-hwa Kui-bo ia kalah setingkat, kalah akal dan kalah pengalaman.
Dalam
dorongan nafsunya, memang tampaknya Sin Lee yang mendesak Hek-hwa Kui-bo dengan
penyerangan bertubi-tubi. Ia menggunakan ilmu silatnya yang aneh malah tangan
kirinya beberapa kali ia putar-putar untuk melakukan pukulan Jing-tok-ciang.
Akan tetapi
pukulan-pukulan ini dapat dibikin buyar oleh tangkisan Hek-hwa Kui-bo yang
mempergunakan ilmu pukulan beracun Hwa-tok-ciang yang dilakukan dengan tangan
kiri sekalian untuk mengebutkan sabuknya yang dapat menjadi alat menotok jalan
darah yang ampuh itu. Nenek ini sengaja main mundur karena ia sengaja memancing
agar pemuda lawannya ini makin bernafsu hingga akan terbuka kesempatan baginya
untuk merobohkan lawannya sekaligus tanpa meleset lagi.
Beng San
memegangi tangan kursinya dengan erat, mukanya agak pucat. Celaka dia, pikirnya
gelisah. Sebagai seorang gagah yang memegang aturan kang-ouw, tentu saja tak
dapat ia melompat ke depan untuk menolong puteranya itu dan ia tahu betul betapa
Sin Lee terancam maut.
Hanya Beng
San seorang yang tahu akan hal ini, ada pun orang-orang lain, bahkan juga Cui
Bi, Li Eng dan Kong Bu yang berkepandaian tinggi, tidak dapat menduga akan hal
ini. Mereka memperlihatkan muka gembira. Hanya Kun Hong yang muram wajahnya
karena bukan saja ia juga mengerti seperti Beng San, melainkan pemuda itu
merasa sedih sekali karena sekali lagi ia harus menjadi saksi dari
pertempuran-pertempuran maut yang pasti akan membawa korban.
Pengertian
Beng San akan hal ini adalah karena dia sudah sangat menyelami keadaan
kepandaian Hek-hwa Kui-bo, maka ia dapat mengerti bahwa nenek itu sedang
mengintai kesempatan seperti maut mengintai korban. Betapa pun juga, ia bersiap
sedia menolong puteranya itu apa bila nyawanya nanti terancam. Ia tidak akan
mengeroyok, hanya akan menyelamatkan Sin Lee.
Ketika
kesempatan itu tiba, ketika pedang Sin Lee menusuknya, Hek-hwa Kui-bo melihat
pergelangan tangan pemuda itu tidak terjaga. Cepat sabuknya yang beraneka warna
itu menyambar dari samping sedangkan pedangnya menangkis.
Tentu saja
Sin Lee hanya mengira bahwa serangannya ini akan dihindarkan oleh lawan dengan
tangkisan ini. Tidak tahunya tangkisan ini hanya untuk memancing perhatiannya
dan yang penting bagi nenek itu adalah sabuknya yang kini telah menyambar
pergelangan tangan Sin Lee dan seperti seekor ular hidup sudah melibat-libat
pergelangan tangan berikut jari-jari yang memegang pedang!
Sin Lee
kaget sekali, berusaha membetot tangannya, namun sabuk itu ternyata terbuat
dari bahan aneh yang selain kuat dan ulet, juga dapat mulur maka tak dapat ia
menarik putus. Dan pada saat itu, pedang Hek-hwa Kui-bo sudah berkelebat
menyambar di atas kepalanya diiringi suara ketawa aneh nenek itu.
Pemuda itu
tak dapat mengelak, tak dapat melompat pergi karena lengan kanannya telah terbelit
sabuk, jalan satu-satunya baginya hanya menangkis bacokan itu dengan tangan
kiri karena untuk menggunakan tangan kiri memukul, sudah tidak keburu lagi.
Pada saat
yang amat berbahaya itu, terdengar lengking tinggi nyaring dan berkelebatlah
bayangan orang didahului sinar kehijauan.
"Trangggg!''
Pedang yang
akan membacok Sin Lee tertangkis oleh sebatang anak panah hijau dan kemudian
lima batang anak panah yang terikat pada ujung cambuk yang berujung lima,
menyambar-nyambar dan menyerang Hek-hwa Kui-bo.
"Jangan
menghina orang muda, Hek-hwa Kui-bo siluman tua bangka, akulah lawanmu,
lepaskan anakku!"
Hek-hwa
Kui-bo cepat melepaskan sabuk yang membelit lengan Sin Lee dan melompat mundur
sambil memutar pedangnya menangkis. Sementara itu orang yang baru datang ini
yang bukan lain adalah Kwa Hong sendiri, mendorong pundak Sin Lee dan berkata,
"Pergilah
kau kepada ayahmu, siluman ini akulah lawannya."
Dorongan ini
kuat sekali, tak dapat ditahan oleh Sin Lee yang terpaksa melompat turun dari
panggung, menduduki lagi tempat duduknya lalu dengan wajah pucat memandang ke
atas panggung. Melihat betapa Kwa Hong menggantikan putranya menghadapi Hek-hwa
Kui-bo, wajah Beng San dan semua keluarganya menegang.
Beng San
diam-diam merasa terharu sekali. Ia maklum bahwa di balik kebencian Kwa Hong
kepadanya, masih terdapat kasih terpendam dan akhirnya melalui putera mereka,
Sin Lee, agaknya Kwa Hong menyingkirkan sakit hati dan dendamnya sehingga di
depan umum Kwa Hong sekarang berhadapan dengan Hek-hwa Kui-bo yang sudah jelas
datang dengan maksud buruk terhadap Thai-san-pai.
Memang
mendongkol sekali hati Hek-hwa Kui-bo melihat Kwa Hong maju melawannya. Tentu
saja ia tidak takut, akan tetapi ia marah bukan main, lalu memaki,
"Aha,
inilah perempuan tidak tahu malu yang melahirkan pemuda tadi dari perbuatan
hina! He-he-heh, kau murid Hoa-san-pai murtad, wanita iblis sombong, memang
orang macam kau ini kalau tak dibikin mampus hanya akan mengotorkan dunia
persilatan saja!"
Kwa Hong
tidak menjawab, namun melengking keras dan tahu-tahu dia telah melakukan
serangan serentak dengan lima buah anak panah di ujung cambuk dan dengan pedang
di tangan kanannya. Hebat sekali serangan ini.
Hek-hwa
Kui-bo sendiri yang merupakan tokoh hebat dari selatan sampai berseru kaget dan
cepat melompat mundur. Ia merasa seakan-akan sekaligus diserang oleh lima enam
orang lawan! Nenek ini pun maklum bahwa kepandaian Kwa Hong tidak boleh
dipandang ringan. Maka ia tidak mau bicara lagi, segera kedua tangannya
bergerak, pedang dan sabuknya sudah menyambar-nyambar mengimbangi permainan
lawan.
Hebat sekali
pertempuran kali ini. Keduanya mempunyai ilmu silat yang ganas dan tak mengenal
kasihan. Hek-hwa Kui-bo segera merasa betapa ilmu pedang yang dimainkan oleh
Kwa Hong itu ganas dan aneh bukan main, maka ia pun lalu cepat mainkan Im-sin
Kiam-sut untuk melawannya, sedangkan sabuknya juga merupakan lawan dari cambuk
di tangan Kwa Hong.
Dua orang
jago betina bertempur mempergunakan pedang dan senjata-senjata aneh yang
mengandung racun, tentu saja pertandingan ini hebat dan seru, juga amat
menegangkan hati.
Tiba-tiba
terdengar suara parau, "Heee! Hek-hwa Kui-bo, Iblis betina itu adalah
untukku, jangan dibikin mampus dulu. Akulah yang berhak membunuhnya!"
Berbareng
dengan teriakan ini tubuh seorang yang mukanya seperti setan melayang ke atas
panggung. Sebagian besar para tamu tercengang dan merasa ngeri menyaksikan muka
seorang laki-laki yang begini menyeramkan, mata kiri bolong, mulut robek,
telinga kiri buntung dan tangan kiri kaku seperti cakar setan.
"Iblis
betina Kwa Hong, inilah Siauw-coa-ong Giam Kin! Kau sudah membikin wajahku
seperti ini, saat ini juga kau harus menebusnya!"
Seperti
orang gila Giam Kin memainkan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah suling ular,
dimainkan dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya yang berbentuk cakar
setan itu juga melakukan penyerangan yang hebat.
Dari pihak
tuan rumah berkelebat bayangan yang sangat gesit seperti burung terbang,
disusul bentakan nyaring halus, "Manusia muka setan, tidak boleh main
keroyokan. Dasar curang! Hayo sekarang hadapi pedangku secara laki-laki!"
Tanpa
memberi kesempatan lagi Cui Bi yang sudah berada di atas panggung langsung
menerjang Giam Kin dengan pedangnya. Gadis ini menyerang penuh kebencian,
karena itu gerakan pedangnya hebat bukan main, cepat dan kuat sekali.
Giam Kin
kaget dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Sulingnya terbuat dari
logam yang kuat dan dengan mengandalkan lweekang-nya, ia ingin membuat pedang
di tangan gadis itu terlepas. Namun alangkah kagetnya ketika tiba-tiba pedang
di tangan Cui Bi itu yang bagaikan hidup, melejit ke bawah dan melewati
sulingnya terus menusuk ke arah lambungnya!
"Celaka...!"
Giam Kin segera
membuang diri ke belakang dan terus bergulingan di atas papan untuk
menghindarkan diri. Ia tidak mengira bahwa gadis itu demikian cerdik dan ilmu
pedangnya demikian hebat.
Memang
sebelum melompat ke atas panggung tadi, telinga gadis ini mendengar bisikan,
suara ayahnya, "... jangan mengadu tenaga..."
Pesan inilah
yang membuat Cui Bi berhati-hati dan berlaku cerdik. Dia dapat menduga maksud
ayahnya dengan pesan ini. Tentu Si Muka setan ini memiliki tenaga lweekang yang
lebih kuat darinya, atau mungkin suling yang berbentuk ular itu mengandung
senjata rahasia yang akan bekerja kalau senjata itu beradu dengan senjata lain.
Setelah
meloncat bangun, Giam Kin menghadapi penyerangan gadis itu dengan hati-hati
sekali, menggunakan seluruh tenaga dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Namun
hatinya kecut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa makin lama pedang
gadis itu semakin kuat dan membingungkan.
Hal ini
takkan mengherankan hatinya kalau ia tahu bahwa untuk menghadapi orang yang
amat dibencinya ini Cui Bi telah mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, yaitu
Im-yang Sin-kiam-sut yang jarang tandingannya di dunia persilatan. Giam Kin
mulai menyesal.
Tadinya dia
menganggap dirinya sudah kuat benar, malah ia ingin menonjolkan namanya dengan
mengalahkan Beng San kalau bisa, karena dia sudah mendengar bahwa Ketua
Thai-san-pai itu telah terluka parah sekali. Siapa kira, baru menghadapi gadis
puteri Ketua Thai-san-pai ini saja ternyata sangat berat. Dan ia tahu pula
betapa bencinya gadis ini kepadanya, gadis yang kemarin dulu hampir mati
menjadi korbannya.
Para tamu
memandang ke atas panggung dengan hati yang penuh diliputi ketegangan.
Pertandingan antara Hek-hwa Kui-bo dan Kwa Hong sudah cukup hebat dan membuat
pandang mata menjadi kabur. Apa lagi sekarang ditambah dengan sebuah
pertandingan lagi antara manusia muka setan dan gadis cantik itu, benar-benar
membuat hati menjadi tegang bukan main. Melihat munculnya tokoh-tokoh besar
serta melihat ilmu silat yang demikian hebatnya, mereka yang tadinya ingin
mempertunjukkan kepandaiannya di atas panggung, sekarang menjadi kuncup hatinya
dan keinginan hati itu terbang jauh.
Ilmu pedang
Cui Bi hebat bukan main. Hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa ia telah
mendapat gemblengan dari ayah dan ibunya semenjak kecil. Tokoh seperti Giam
Kin, biar pun memiliki kepandaian yang tinggi, bukanlah lawannya bermain
pedang.
Segera
ternyata bahwa Si Muka Setan itu terdesak dan tertindih hebat sekali sampai tak
mampu membalas serangan Cui Bi. Dia hanya sanggup menangkis ke sana ke mari dan
meloncat ke kanan kiri untuk menghindarkan sambaran pedang yang akan merupakan
tangan maut baginya.
Desakan ini
membuat Giam Kin menjadi malu, penasaran, dan marah sehingga kemudian dia
menjadi nekat. Sambil menggereng seperti seekor binatang terpojok, dia
menangkis pedang dengan suling ularnya, lalu tangan kirinya yang seperti cakar
setan itu bergerak mencengkeram ke arah dada Cui Bi!
"Setan
tak bermalu!" Cui Bi memaki.
Cui Bi
menggeser kaki, miringkan tubuh jauh ke kanan, lalu dengan gerakan yang indah
dan tak terduga-duga pedangnya menyambar dan... terdengar seperti orang
membacok kayu ketika pedangnya membabat putus lengan kiri yang kering itu!
Tetapi lengan yang buntung itu sama sekali tidak mengeluarkan darah, agaknya
tangan itu memang sudah mati dan kering.
Kaget sekali
Cui Bi dan kekagetannya ini memperlambat gerakannya sehingga dia kena diserang
oleh Giam Kin yang menghantamkan suling ularnya ke arah punggung Cui Bi. Tetapi
gadis puteri tunggal Ketua Thai-san-pai ini hebat sekali.
Dia berada
dalam posisi berbahaya sekali, sehabis membacok tangan kelihatan tertegun dan
ngeri, dan sekarang punggungnya disambar senjata musuh yang lihai. Tidak
mungkin ia dapat menangkis dan untuk mengelak juga sukar karena suling ular itu
menghantam dari arah belakangnya.
Tapi dasar
ia gadis pendekar yang sudah tinggi ilmu silatnya, sehingga punggungnya pun
seakan-akan mempunyai ‘mata’ yaitu perasaan naluri yang membuat seorang ahli
silat dapat menangkis serangan di waktu ia sedang tidur sekali pun!
Melihat
dirinya terancam bahaya, Cui Bi tidak menjadi bingung, bahkan dia menerjang
dengan pedangnya menusuk ke arah ulu hati Giam Kin sambil diam-diam mengerahkan
lweekang pada punggungnya. Ia pikir, gerakannya tidak kalah dulu dan tidak
kalah cepat. Andai kata datangnya kedua senjata berbareng, pedangnya sudah
pasti akan menembus ulu hati, sedangkan pukulan suling itu belum tentu akan
berbahaya baginya karena sudah terjaga oleh pengerahan tenaga lweekang-nya!
"Ayaaaa...!"
Giam Kin
kaget setengah mati. Tentu saja ia tidak mau menukar pukulan pada punggung
dengan tusukan pada ulu hatinya karena selain rugi, juga sudah pasti nyawanya
akan melayang! Secepat kilat ia membanting tubuhnya ke kiri untuk menghindarkan
dirinya dari tusukan maut, akan tetapi otomatis pukulannya pada punggung lawan
juga menjadi batal.
Cui Bi
menjadi marah sekali. Selagi tubuh lawan bergulingan di atas papan, ia tidak
mau memberi hati, lantas menerjang maju, melakukan serangan bertubi-tubi dengan
gerakan pedang yang amat lihai.
Sambil
bergulingan Giam Kin berusaha menangkis, tapi gerakannya kalah cepat. Sebelum
ia meloncat bangun, Cui Bi sudah berhasil menusuk pergelangan tangan kanannya.
Giam Kin mengaduh dan suling ularnya terlepas dari pegangan.
Cui Bi
menyerang terus, membuat Giam Kin bergulingan ke sana ke mari menghindarkan
bacokan atau tusukan pedang. Darah mulai mengucur pada saat ujung pedang Cui Bi
menembus baju lalu mengenai pundak dan paha, akan tetapi Giam Kin bergulingan
terus berusaha menyelamatkan dirinya.
"Bi-moi,
jangan membunuh orang...!" tiba-tiba Kun Hong berseru sambil berdiri dari
tempat duduknya.
Mendengar
suara ini, Cui Bi menahan sebuah tusukan yang sedianya akan menamatkan riwayat
Si Muka Setan itu, lalu kakinya menendang. Tubuh Giam Kin terlempar ke bawah
panggung dibarengi jeritan kesakitan. Tubuh itu terbanting di atas tanah, dia
merangkak lalu lari terpincang-pincang dari tempat itu.
Pada saat
itu, pertempuran antara Kwa Hong dan Hek-hwa Kui-bo juga telah mencapai
puncaknya. Dengan jurus Im-Sin Kiam-sut yang istimewa gayanya, Hek-hwa Kui-bo
yang penasaran itu menyerang. Hebat serangan pedang ini sehingga biar pun Kwa
Hong sudah cepat mengelak, tetap saja pundak kirinya tertusuk dan darah
mengucur keluar.
Hek-hwa
Kui-bo tertawa bergelak, akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika pada saat
itu Kwa Hong yang tidak mempedulikan pundaknya yang tertusuk, sempat
mengerahkan cambuknya dan tiga di antara lima anak panah di ujung cambuk itu
menyambar ke tiga bagian tubuh Hek-hwa Kui-bo. Nenek ini masih dapat menangkis
dua anak panah yang menghantam pusar dan dada, akan tetapi masih ada sebatang
anak panah yang sedianya menghancurkan kepalanya, biar pun telah ia elakkan,
tetap saja menancap pada pinggir lehernya!
Hek-hwa
Kui-bo melepaskan pedangnya yang masih menancap pada pundak Kwa Hong, tangan
kanannya lantas menghantam sekuat tenaga ke depan. Kwa Hong yang melihat
hantaman ini, tidak sempat lagi mengelak, tangan kirinya melepaskan cambuk dan
sekali putar ia telah melancarkan pukulan Jing-tok-ciang menyambut pukulan
Hek-hwa Kui-bo.
Terdengar
suara keras, kemudian tubuh dua orang wanita itu terlempar turun panggung.
Kebetulan sekali tubuh Kwa Hong terlempar ke arah Giam Kin, yang sedang
merangkak bangun. Melihat musuh besarnya yang sudah membuat wajahnya yang
tampan menjadi seperti muka setan, Giam Kin girang dan menggunakan kesempatan
itu untuk mengayun tangan kanannya memukul Kwa Hong yang jatuhnya dekat sekali
dengan dirinya.
"Bukkk!"
Pangkal
leher Kwa Hong terpukul, tapi wanita ini sempat menggerakkan pedangnya dan…
"Cesss!"
pedang itu menusuk perut Giam Kin sampai tembus ke punggungnya.
Si Muka
Setan itu berkelojotan sebentar kemudian diam, putus napasnya. Kwa Hong juga
terguling roboh. Di lain tempat, Hek-hwa Kui-bo yang jatuh terbanting berusaha
bangun, tapi dua kali ia gagal, lalu roboh tak bernapas lagi. Kiranya anak
panah yang menancap di lehernya itu mengandung racun yang luar biasa jahatnya
sehingga seluruh tubuhnya telah keracunan, tak dapat ditolong lagi.
Sambil
berseru keras Sin Lee sudah melompat ke arah ibunya, menyambar tubuh ibunya dan
dibawa lari ke tempat rombongan tuan rumah. Segera Kwa Hong disambut oleh Beng
San, Li Cu, dan Kun Hong. Yang lain-lain mendekati dan memandang kuatir.
Keadaan Kwa
Hong hebat sekali. Lukanya parah, namun wanita ini tersenyum-senyum saja.
Melihat Sin Lee berlutut dengan muka pucat, Kwa Hong berbisik,
"Mana...
mana dia...?"
Sin Lee
maklum, menoleh kepada ayahnya. Beng San mendekat, berlutut.
"Hong-moi,
bagaimana luka-lukamu...?" tanyanya terharu.
"Tidak
usah bicara tentang aku, yang perlu anakku. Beng San, apakah kau benar mau
menerimanya sebagai puteramu?"
"Sudah
tentu, Hong-moi, Sin Lee memang puteraku."
"Kau
akan mendidiknya baik-baik seperti anak-anakmu yang lain?"
"Tentu!"
"Bersumpahlah!"
suara Kwa Hong masih keras dan seperti marah-marah.
Tanpa
ragu-ragu lagi Beng San bersumpah bahwa dia akan menerima Sin Lee sebagai
putera sendiri dan mendidiknya baik-baik.
Kwa Hong
nampak lega. “ Mana…. Li Cu?”
Li Cu memang
sedang berdiri di dekat situ, maka mendengar ini dia pun lalu mendekat dan
berlutut.
“Li Cu, kau
rela menerima Sin Lee sebagai anak tirimu?”
Li Cu
mengangguk, terharu. “Puteramu adalah putera suamiku, berarti dia itu puteraku
sendiri, tiada bedanya.”
“Enci Kwa
Hong, biarkan aku memeriksa luka-lukamu….” Tiba-tiba Kun Hong berkata,
mendekati wanita yang terluka parah itu.
“Siapa
kau?!” Kwa Hong membentak, suaranya ketus.
“Enci Hong,
ayahku bernama Kwa Tin Siong, Ibuku Liem Sian Hwa, kita adalah saudara tiri.”
Sejenak Kwa
Hong tercengang, lalu mengipatkan tangan Kun Hong yang menjangkaunya hendak
melakukan pemeriksaan. “Jangan sentuh aku! Aku anak… jahat, anak murtad.”
“Enci, Ayah
tidak pernah marah kepadamu, rindu sekali dan berkasihan kepadamu,” kata Kun
Hong dengan suara halus.
Kwa Hong
memandang tajam, agaknya tak percaya. Suaranya semakin lemah dan parau ketika
ia bertanya, “Ayah… Ayah mengampuni aku…?”
“Sejak
dahulu Ayah mengampunimu, Enci. Malah diharap-harap kembalimu ke Hoa-san. Enci,
biarkan aku memeriksamu, barangkali aku dapat mengobatimu.”
“Benar,
Hong-moi. Adikmu ini mempunyai kepandaian ilmu pengobatan, aku pun sudah
mendapatkan pertolongannya,” kata Beng San.
“Tidak! Biar
aku mati…. Ahhh, aku seorang jahat…. Li Cu, kau begini mulia, Ayah pun mengampuniku….
Semua orang baik-baik sedangkan aku… aku… Sin Lee… Jangan kau tiru Ibumu. Kau
ikutlah ayahmu menjadi orang baik-baik….”
Tubuh ini
menegang sebentar, kemudian lemas. Mulutnya tersenyum, matanya meram, napasnya
terhenti.
Sin Lee
menubruk ibunya, tetapi dua buah tangan tangan kuat memegang pundaknya. Ia
menoleh, melihat wajah ayahnya yang pucat. Sepasang mata ayahnya yang tajam itu
memperingatkannya bahwa tak selayaknya seorang gagah terlalu menyedihkan
kematian.
"Ibu...
ibu... selamat jalan..." Sin Lee terisak lalu menguatkan hatinya, mundur.
Beng San
memberi isyarat kepada anak muridnya dan memberi perintah supaya jenazah Kwa
Hong dibawa naik ke puncak dan dirawat di sana. Semua berjalan dengan tenang
dan para tamu dari tempat jauh tidak melihat nyata apa yang terjadi di situ.
Hanya setelah jenazah itu diangkat mereka tahu bahwa Kwa Hong yang dikenal
sebagai wanita iblis itu telah tewas.
Jenazah
Hek-hwa Kui-bo sudah diangkut oleh para anggota Ngo-lian-kauw, sedangkan
jenazah Giam Kin disingkirkan oleh Siauw-ong-kwi. Keadaan sementara menjadi
sunyi.
Pada saat
itu terdengar orang tertawa terkekeh-kekeh dan dua bayangan orang meloncat ke
atas panggung. Mereka ini ternyata adalah Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio.
Suara tertawa tadi adalah suara Toat-beng Yok-mo, dan sekarang Setan Obat itu
pun berkata nyaring dengan suaranya yang serak,
"Heh-heh-heh,
Ketua Thai-san-pai. Kau benar-benar licik sekali. Sejak tadi baru seorang anak
murid Thai-san-pai yang maju, lalu kedua orang putera-puterimu. Kau menggunakan
orang-orang muda untuk melindungi muka Thai-san-pai, malah mengadu domba antara
bekas musuh dengan musuh. Pintar! Aku memang tidak memiliki urusan penting
dengan Thai-san-pai, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan pemuda Kwa Kun
Hong yang berlindung di tempatmu. Kwa Kun Hong, kau sudah menghina kami berdua
dengan akal licik, hayo keluarlah untuk perhitungan di atas panggung ini!"
"Toat-beng
Yok-Mo!" suara Beng San amat keras menggeledek. "Tak usah kita
berbicara tentang pengeroyokan kemarin dulu, kau tidak menantang aku sudahlah.
Akan tetapi kau menantang seorang pemuda keponakanku dari Hoa-san-pai yang
sekarang menjadi tamu terhormat, Apakah kalian berdua tua bangka hendak
mengeroyok seorang pemuda?"
"Hi-hi-hi,
sama sekali tidak mengeroyok. Biarlah aku turun dulu dan menunggu
giliran." Ia menoleh kepada Tok Kak Hwesio "Hwesio yang baik, kau
boleh memberi hajaran kepada dia, tapi jangan dibunuh, biarkan aku yang
menghabisinya, heh-heh-heh!"
Setelah
Toat-beng Yok-mo melompat turun, Tok Kak Hwesio berkata ke arah Kun Hong.
"Siluman muda, hayo kau naik perlihatkan kepandaianmu!"
Kun Hong
mengerutkan keningnya. Dia tidak senang berkelahi, apa lagi di tempat umum
seperti itu, dijadikan tontonan! Ia ragu-ragu. Bila didiamkan saja, tentu
memalukan, bukan memalukan namanya, terutama sekali memalukan Hoa-san-pai dan
Thai-san-pai sebagai tuan rumah. Dilayani, ahh, mengapa melayani orang gila
yang mabuk nafsu membunuh?
Kong Bu
bangkit berdiri, memegang lengannya. "Saudara Kun Hong, jangan gelisah.
Aku akan menjadi wakilmu!"
Belum lagi
Kun Hong sempat menjawab, tubuh Kong Bu sudah melayang naik ke atas panggung.
Dengan muka kereng dan pandang mata tajam pemuda ini membentak,
"Hwesio
tua, sepanjang ingatanku, saudara Kwa Kun Hong adalah orang yang tidak suka
berkelahi, pantang membunuh dan selalu mengalah. Bagaimana seorang pendeta
seperti kau ini mendendam kepadanya? Biar pun dia itu seorang murid
Hoa-san-pai, namun ia mempelajari ilmu sastra saja, tidak suka akan ilmu silat.
Apakah tantanganmu ini tidak hanya merendahkan dirimu sendiri dan sekaligus
membuka watakmu yang tak tahu malu, menantang kepada seorang pemuda yang hanya
tahu ilmu sastra dan pengobatan? Jika memang kau hendak berlagak, akulah
tandinganmu!"
Tok Kak
Hwesio marah sekali. Ia mengenal pemuda ini yang kemarin sudah membantu Beng
San dalam pengeroyokan, dan sepanjang pendengarannya, pemuda ini katanya cucu
Song-bun-kwi. Bagaimana bisa begini dan apa artinya semua ini?
"Ehhh,
orang muda, sebenarnya kau ini siapakah? Ada hubungan apa kau dengan Ketua
Thai-san-pai dan apamu pula Kun Hong itu?"
"Hwesio,
aku tahu bahwa kau adalah Tok Kak Hwesio yang berjuluk Kauw-jiauw-kang Si Cakar
Monyet, bekas perampok besar! Kau belum kenal aku? Aku adalah putera Ketua
Thai-san-pai, namaku Tan Kong Bu."
"Ha-ha-ha,
semua mengaku putera Ketua Thai-san-pai? Orang bilang bahwa kau adalah cucu
Song-bun-kwi... Berapa orang sih isteri Ketua Thai-san-pai?"
"Benar!
Mendiang ibuku adalah puteri tunggal Kakek Song-bun-kwi. Nah, sekarang kau
sudah tahu jelas, apakah kau masih berani melawanku sebagai wakil saudara Kwa
Kun Hong seorang sahabatku yang baik?"
"Keparat,
kau sombong benar. Lihat seranganku!"
Hwesio itu
sudah marah sejak ia dimaki-maki sebagai perampok besar tadi, maka tanpa banyak
cakap lagi dia telah langsung menyerang mempergunakan cengkeramannya yaitu
Kauw-jiauw-kang. Lihai sekali ilmu ini, kedua tangannya sudah digembleng,
gerakannya cepat, penuh tenaga lweekang dan sekali lawan kena dicengkeram,
pasti kulitnya hancur dagingnya robek tulangnya remuk!
Kemarin dulu
ketika Kong Bu menolong ayahnya dari pengeroyokan, sudah melihat ilmu
kepandaian hwesio ini, maka ia tidak berani berlaku sembrono menghadapi
serangan ini. Ia mengelak dan membalas dengan jurus-jurus Yang-sin-hoat, ilmu
silat yang berdasarkan tenaga keras sehingga pukulannya mendatangkan hawa
panas.
Kong Bu
semenjak kecil digembleng hebat oleh Song-bun-Kwi dan karena Song-bun-kwi
tadinya bercita-cita supaya cucu ini kelak bertanding melawan Beng San, tentu
saja dia sudah menurunkan seluruh kepandaiannya. Siapa kira sekarang cucunya
bukan melawan ayahnya, bahkan sebaliknya di atas panggung ini membela dan
mempertahankan nama baik Thai-san-pai.
Sesudah
belasan jurus saling serang, diam-diam Tok Kak Hwesio mengeluh di dalam
hatinya. Dia tahu bahwa Song-bun-kwi adalah seorang tokoh besar yang sakti dan
yang jauh lebih tinggi ilmunya dari pada dia sendiri, akan tetapi sungguh ia
tidak mengira bahwa cucunya, seorang pemuda yang usianya baru dua puluhan
tahun, sudah pula memiliki kepandaian begini tinggi dan tenaga yang begini
kuat.
Di lain
pihak, Kong Bu juga merasa sukar untuk menjatuhkan hwesio itu karena dia tidak
berani melakukan tangkisan terhadap cengkeraman lawan. Dengan cara hanya
mengelak tiba-tiba ia dapat balas memukul sehingga biar pun ia dapat
mendesaknya dengan hujan pukulan, tapi masih kurang cepat dan selalu dapat
dielakkan oleh hwesio kosen itu. Apa lagi kalau hwesio itu menangkis sambil
mencengkeram, ia selalu harus menghindarkan tangannya dan menarik kembali
pukulannya.
Tiba-tiba dia
mendengar suara lirih di dekat telinganya, "Cengkeraman cakar bebek begini
saja takut apa? Paling-paling membikin lecet kulit"
Kong Bu
girang sekali. Itulah suara kakeknya! Sejak tadi ia melihat-lihat akan tetapi
di situ tidak kelihatan kakeknya muncul, dan sekarang tahu-tahu ada suaranya
yang dikirim dari tempat jauh.
Tadinya Kong
Bu meragu untuk membiarkan tangannya dicengkeram sambil membarengi memukul.
Sekarang mendengar bisikan ini, hatinya menjadi tabah. Ketika tangan kirinya
menjotos dada, kakek itu menangkis sambil mencengkeram lengan Kong Bu. Pemuda
ini sengaja berlaku lambat hingga pergelangan tangan kirinya betul-betul dapat
dicengkeram.
Tok Kak
Hwesio sudah menyeringai kegirangan. Akan tetapi mendadak terdengar suara
keras, dadanya terkena jotosan hebat dari tangan kanan Kong Bu. Hwesio itu
berteriak, tubuhnya terlempar ke bawah panggung dan roboh terbanting, bangkit
lagi lalu muntah darah segar, terus ngeloyor pergi dari situ!
Toat-beng
Yok-mo marah bukan main, tubuhnya telah melayang ke atas panggung. Akan tetapi
sebelum Kong Bu menghadapinya, Kun Hong sudah berlari-lari naik ke panggung
melalui anak tangga, terus menarik tangan Kong Bu yang kiri.
"Wah,
kau terkena racun!" bisiknya sambil menotok beberapa jalan darah di lengan
itu, mengurut sebentar lalu berkata, "Saudara Kong Bu, aku berterima kasih
bahwa kau sudah mewakili aku, tetapi aku tidak senang kau atas namaku menjotos
orang sampai muntah darah. Sekarang kau turunlah, minta Ayahmu supaya
mengeluarkan darah di pergelangan tanganmu dengan melukainya, kemudian kau
telanlah dua butir pel ini."
Dia
mengeluarkan dua butir pel hijau buatannya sendiri dari daun-daun yang
khasiatnya memunahkan racun. Kong Bu mengangguk dan hendak turun panggung, akan
tetapi dia memandang ragu kepada Toat-beng Yok-mo.
"Saudaraku,
apakah kau benar-benar dapat menghadapi iblis ini?" bisiknya.
"Biarlah,
itu tanggung jawabku, kau turunlah,'" jawab Kun Hong.
Ketika Kong
Bu menoleh ke arah ayahnya, ia melihat ayahnya memberi isyarat supaya ia turun,
maka ia pun lalu melompat turun.
Ada pun
Toat-beng Yok-mo pada saat melihat cara Kun Hong mengobati Kong Bu tadi,
memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia pun mencak-mencak saking marahnya
ketika ia mengenal bahwa cara pengobatan itu adalah pelajaran dari kitabnya.
"Pencuri,
kau harus mampus di tanganku untuk menebus dosamu!" teriaknya marah.
"Nanti
dulu, Toat-beng Yok-mo jangan sembarangan kau menuduh orang. Di sini banyak
orang gagah yang menjadi saksi, tak boleh kau menuduh sebagai pencuri. Coba
katakan orang yang kecurian tentu kehilangan sesuatu, dan kau kehilangan
apamukah?"
"Aku
tidak kehilangan sesuatu, tapi kau tetap mencuri, mencuri ilmuku pengobatan.
Hayo katakan, apakah kau tidak membaca habis semua kitab-kitabku tentang ilmu
pengobatan? Jawab!"
Kun Hong
menghadapi para tamu yang dengan penuh perhatian sedang mendengarkan perdebatan
itu. "Cu-wi sekalian mendengar jelas bahwa kakek ini tidak kehilangan
suatu, akan tetapi menuduh siauwte sebagai pencuri. Bukankah itu aneh? Yok-mo,
kau sudah membohong! Dulu pada saat kau terluka, kau minta aku menolongmu,
menggendongmu berhari-hari lamanya. Sementara itu, kau sudah memberi ijin
kepadaku untuk membaca kitab-kitabmu yang sudah kukembalikan pula. Jadi aku
tidak mencuri baca kitab-kitabmu karena kau sudah memberi perkenan. Ada pun
mengenai ilmu, ilmu itu bukankah milik pribadi siapa pun juga. Siapa pun dia
orangnya yang suka mempelajari, akan memiliki ilmu itu, yang suka mempelajari
akan mendapat ilmu, yang mengajar takkan kehilangan ilmu, karena ilmu bukanlah
milik pribadi manusia dan akan lenyap bersama manusia, kembali ke tangan
pemiliknya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Nah, sudah sadarkah kau
sekarang?"
"Sadar
perutmu!" Toat-beng Yok-mo memaki. “Siapa pun yang pernah kuobati dia
harus kubunuh, siapa yang memiliki ilmu pengobatanku dia pun harus
kubunuh!"
"Wah-wah-wah,
kalau begitu kau nyeleweng dari kebenaran. Kau nyeleweng dan tersesat jauh
sekali, orang tua. Benar kata-kata kuno yang menyatakan bahwa segala sesuatu,
baik buruknya tergantung kepada manusia yang bersangkutan. Pisau tetap pisau,
dapat dipergunakan untuk hal-hal yang baik misalnya pemotong sayur-sayur di
dapur sebagai alat pembuat perabot rumah tangga, dan lain-lain. Akan tetapi
pisau yang itu-itu juga dapat juga dipergunakan untuk hal yang buruk misalnya
menusuk perut sesama manusia! Segalanya tergantung kepada manusia yang
memegangnya. Hemm, Toat-beng Yok-mo ilmu pengobatan pun demikian, baik buruknya
tergantung pada manusia yang menguasai ilmu itu. Di tanganmu, ilmu itu menjadi
alat kejahatan."
"Sudah,
sekarang aku bukan datang untuk mendengar kuliahmu, tetapi untuk mencabut
nyawamu. Hayo berani kau melawan aku?"
"Berani
dan tidak bagiku tergantung dari persoalannya. Kalau aku berada di pihak benar,
aku takkan mengenal takut, sebaliknya kalau aku berada di pihak salah, aku tak
mengenal berani. Dalam persoalan antara kita, aku tidak bersalah, tentu aku
tidak takut, Yok-mo."
"Keparat,
lidahmu tak bertulang, bibirmu lemas seperti bibir perempuan, omonganmu pun
berbelit-belit. Keluarkan senjatamu!"
"Apakah
lidahmu bertulang? Bibirmu kaku?" Kun Hong menjawab.
Akan tetapi
karena maklum bahwa kakek ini berkepandaian tinggi, ia kemudian mencabut
pedangnya secara terbalik yaitu memegang gagang pedang dengan ujung pedang yang
menghadap ke dalam seperti orang memegang sebilah pisau belati.
"Awas
serangan!"
Yok-mo
segera menerjang maju dengan tongkatnya, ingin sekali pukul menghancurkan
kepala lawan, maka ia mengarah tubuh bagian atas ini.
"Wah,
galaknya!" Kwa Hong membungkuk dengan kaku.
Gerakannya
lucu seperti gerakan orang yang tidak pandai silat, namun anehnya, pukulan itu
tidak mengenai kepalanya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment