Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 19
Empat orang
ini menyerang dari empat penjuru, mengurung tubuh Beng San. Sedangkan kakek tua
renta itu tanpa menggeser kedua kakinya, dari tempat ia berdiri, ia mengirim
pukulan-pukulan jarak jauh ke arah Beng San. Beng San mengeluarkan seruan keras
sekali. Mukanya berubah merah lalu kehitaman. Ini menandakan bahwa kemarahan
mengganggu hatinya.
Cara
bertempur tokoh-tokoh hitam ini benar-benar licik dan curang sekali,
menggunakan jumlah banyak untuk mengeroyok. Padahal mereka semua itu, satu demi
satu merupakan tokoh-tokoh yang amat terkenal dan tak sepatutnya mengeroyok
musuh, apa lagi dengan begitu banyak melawan seorang lawan!
Pedangnya
digerakkan, berubah menjadi segulung sinar berkeredepan dan mengeluarkan bunyi
mengaung. Hujan serangan lima orang lawannya itu semua dapat tertangkis oleh
sinar pedangnya, malah tangan kirinya yang bergerak-gerak mengeluarkan hawa
pukulan dahsyat, selain menangkis serangan-serangan jarak jauh dari Pak-thian
Locu, sekaligus juga menanggulangi serangan-serangan Siauw-ong-kwi dan Tok Kak
Hwesio. Kwa Hong dan Sin Lee berdiri bengong, penuh kekaguman melihat bagaimana
Beng San mengeluarkan kepandaiannya menghadapi lima orang tokoh-tokoh besar
yang semuanya memiliki kepandaian tinggi itu. Terasa oleh ibu dan anak ini
betapa kalau tadi Beng San betul-betul mengeluarkan kepandaian, mereka tentu
sudah roboh olehnya.
Beng San
maklum bahwa kalau dia membiarkan dirinya terkurung menghadapi sekaligus lima
orang pengeroyoknya, sulit baginya memperoleh kemenangan. Maka sambil mainkan
ilmu pedangnya Im-yang Sin-kiam-sut yang hebat, yang sekaligus dapat dia
pergunakan untuk melayani serangan-serangan lawan yang dasarnya berbeda, baik
serangan dengan mengandalkan tenaga Yang-kang mau pun tenaga Im-kang, ia
menggunakan kegesitan melompat ke sana ke mari, menerjang dari seorang lawan
kepada lawan lain sehingga ia terbebas dari pengurungan yang ketat.
Akan tetapi
cara ini tidak dapat digunakan daya serangnya karena hanya sejurus saja lalu
harus menghadapi lain lawan, sedangkan semua lawannya adalah orang-orang yang
tidak mungkin dapat dirobohkan hanya dengan satu dua jurus serangan saja. Apa
lagi pukulan-pukulan jarak jauh dari Pak-thian Locu benar-benar hebat sekali,
mendatangkan angin berdesir yang hanya dapat dia tolak dengan pukulan tangan kiri
yang mengeluarkan uap putih. Dengan pukulan yang setingkat dengan Pek-in
Hoat-sut (Ilmu Gaib Awan Putih) ini dia mampu membuat setiap pukulan kakek tua
renta itu membalik, sehingga berkali-kali kakek ini mengeluarkan seruan memuji.
Pertandingan
yang tidak seimbang ini berjalan semakin seru dan hebat. Beng San harus
mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kepandaiannya, barulah ia bisa
mengimbangi pengeroyokan itu. Makin lama seruannya makin nyaring, hawa pukulan
yang menyambar dari sinar pedangnya makin kuat sehingga beberapa kali Hek-hwa
Kui-bo dan Toat-beng Yok-mo terpaksa harus meloncat jauh untuk menghindarkan
diri dari hawa maut yang menyambar dari sinar pedang Beng San.
Juga Tok Kak
Hwesio telah dua kali terhuyung hampir jatuh akibat tangkisan Ilmu Pukulan
Pek-in Hoat-sut yang hebat. Malah Siauw-ong-kwi pernah terpaksa menggulingkan
tubuh ke atas tanah ketika kedua ujung lengan bajunya membalik dan memukul
dirinya sendiri karena tangkisan pendekar yang sakti itu!
Kwa Hong
semakin kagum, akan tetapi kekagumannya itu kalah oleh dendam di hatinya
terhadap orang yang paling dicintanya ini. Melihat betapa pengeroyokan kelima
orang itu ternyata belum cukup kuat untuk merobohkan Beng San, ia lalu berseru
kepada Sin Lee,
"Anakku,
kesempatan baik tiba, hayo kita serbu dia!" Ia sendiri pun lalu menerjang
maju dengan pedang dan cambuknya.
"Ibu..."
Sin Lee meragu, tetap tidak bergerak dari tempat ia berdiri.
Memang ia
ikut pula membenci Beng San karena pengaruh ibunya, akan tetapi wataknya yang
menjunjung tinggi kegagahan itu tidak mengijinkan ia lalu melakukan
pengeroyokan seperti itu. Untuk membela ibunya, ia akan sanggup menghadapi Beng
San dan mengadu nyawa dengan ayahnya yang telah menyakiti hati ibunya, ia rela
mempertaruhkan jiwanya. Akan tetapi mengeroyok seperti ini? Ia tidak sanggup
melakukannya. Karena itu ia diam saja, tidak mau turun tangan biar pun Kwa Hong
sudah menerjang hebat ke arah Beng San.
Beng San
sama sekali tidak menduga bahwa Kwa Hong akan menyerangnya sehebat itu dari
belakang selagi ia tidak bersiap, tahu-tahu ujung pedang Kwa Hong telah
menyambar ke arah leher dan sebuah anak panah di ujung cambuk menghantam ke
arah dadanya. Secepat kilat ia miringkan kepala, membiarkan pedang itu lewat di
dekat kulit lehernya, sementara tangan kirinya menangkis anak panah yang tak
mungkin dapat ia elakkan pula, juga tak mungkin ditangkis karena pedangnya pada
detik itu sedang menangkis tongkat Yok-mo dan pedang Hek-hwa Kui-bo.
"Krakkk!"
Kwa Hong
menjerit dan anak panah di ujung cambuknya patah-patah, telapak tangannya
terasa sakit sekali dan hanya dengan melompat mundur ia dapat menguasai anak
panah lain yang membalik tidak karuan. Akan tetapi lengan Beng San luka membiru
dan baju pada lengannya itu robek. Kalau lain orang yang terkena ujung anak
panah hijau ini tentu akan terluka hebat yang akan mendatangkan kematian karena
ujung anak panah ini mengandung racun hijau. Namun di tubuh Beng San penuh
dengan hawa Im juga, maka tangkisan itu tidak melukai kulitnya, hanya membuat
kulit lengannya membiru dan terasa agak linu.
Hal ini
tidak mengecilkan hatinya, malah menimbulkan semangat perlawanan lebih hebat
lagi. Teriakan dan seruannya menggema di udara dan gerakan pedangnya makin
hebat!
Kwa Hong
melanjutkan pengeroyokannya. Ia marah karena anak panahnya rusak sebuah. Akan
tetapi ia lebih hati-hati lagi, menjaga agar jangan sampai senjatanya dirusak
pula. Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa mengerikan disusul ucapan
nyaring, “Beng San kau lihat, siapa ini? Menyerahlah, kalau tidak anakmu ini
akan kuhancurkan di depan matamu!"
Beng San
melirik dan seketika wajah yang merah menghitam itu berubah pucat dan hijau. Ia
melihat seorang manusia yang mengerikan sekali, seorang laki-laki berpakaian
kuning yang mukanya seperti setan.
Mata kiri
orang ini hanya tinggal lubangnya saja seperti mata tengkorak, tinggal mata
kanannya yang liar merah. Mulutnya robek melebar, kelihatan giginya sebelah
kiri. Telinga kirinya juga buntung tinggal kulit sedikit di dekat lubang.
Tangan kirinya kaku dan jari-jari tangan ini seperti cakar burung, bukan tangan
manusia lagi. Meremang bulu tengkuk Beng San melihat orang ini akan tetapi
berbareng hatinya terkejut bukan main karena orang yang sekarang ia kenal
sebagai Giam Kin ini tangan kanannya menangkap Cui Bi yang agaknya sudah
pingsan. Tubuh gadis ini lemas menggelantung pada lengan kanan Giam Kin!
"Giam
Kin iblis laknat, lepaskan anakku!"
Dengan
gelisah Beng San melompat ke arah Giam Kin, namun dia dihujani senjata oleh
para pengeroyoknya sehingga terpaksa ia menangkis dan tak dapat mendekati Giam
Kin. Hatinya gelisah bukan main.
"Giam
Kin pengecut, jangan ganggu anakku!"
"Ha-ha-he-heh,
baru sekarang kau ketakutan, ya? Kalau tidak ingin melihat anak gadismu yang
cantik molek ini celaka, kau harus menyerah!" jawab Giam Kin dengan
suaranya yang sekarang menjadi tidak karuan karena mulutnya sudah robek.
Lemas
seluruh tubuh Beng San. Bagaimana ia dapat mengorbankan puterinya yang dia
cinta setengah mati itu? Ia melompat mundur dan berkata lemah, "Aku
menyerah. Tetapi jangan ganggu puteriku..."
Akan tetapi
gerakannya yang menarik kembali pedang dan melompat mundur ini lantas dipergunakan
oleh musuh-musuhnya untuk mendesak.
"Dukkk!"
Sebatang
anak panah hijau di tangan Kwa Hong menghantam dadanya, membuat Beng San
terhuyung-huyung ke belakang. Ia masih sempat melindungi leher dan kepalanya
dari cengkeraman Tok Kak Hwesio dan hantaman ujung lengan baju Siauw-ong-kwi,
namun dalam keadaan terhuyung-huyung itu, ia tidak mampu mengelak dari hantaman
ujung selampai Hek-hwa Kui-bo yang mengenai pundak dekat leher, menotok jalan
darahnya.
Beng San
mengerahkan tenaga untuk melawan totokan ini, akan tetapi karena hantaman pada
dadanya oleh anak panah Kwa Hong tadi melumpuhkan sebagian tenaganya, maka
totokan ini masih membawa pengaruh hebat. Dia menjadi pening dan muntahkan
darah segar.
Pada saat
yang amat berbahaya itu, datang lagi dorongan pukulan Pak-thian Locu yang
mengakibatkan angin pukulan mendorong dadanya. Beng San tak mampu menahan dan
roboh telentang. Baiknya tubuhnya memang kuat sekali, maka ketika terjengkang
ini dia menahan napas dan menyalurkan hawa murni dalam tubuh untuk melawan
pengaruh tiga pukulan hebat itu, pada dada, pundak dekat leher dan ulu hati.
Sekali lagi
ia muntahkan darah segar. Wajahnya menjadi pucat dan ia melompat sambil memutar
pedangnya sekaligus menangkis hujan senjata.
"Curang...!"
serunya.
Sekarang kemarahannya
membuat uap putih mengebul keluar dari ubun-ubun kepalanya. Kemarahan membuat
gerakannya seperti seekor naga terbang. Dia menerjang maju dan terdengar
Hek-hwa Kui-bo menjerit sambil melompat mundur, selampainya putus terbabat
pedang dan lengannya masih tergores ujung pedang sehingga mengeluarkan darah.
Juga para pengeroyok lain terpaksa melangkah mundur setindak saking hebatnya
daya serang Beng San ini.
Beng San
hendak melompat ke arah Giam Kin lagi, akan tetapi para pengeroyoknya telah
menghalanginya pula.
"Giam
Kin, lepaskan anakku! Lepaskan dia dan aku akan menyerah!" bentak Beng
San, suaranya menggeledek.
"Ha-ha-ha,
jangan lepaskan, orang ini harus dibikin mampus bersama anaknya!"
tiba-tiba terdengar suara keras dan tahu-tahu Song-bun-kwi telah muncul di situ
bersama Kong Bu.
Datang-datang
kakek ini langsung saja menerjang sambil menggerakkan pedangnya yang mengaung
hebat, menggunakan Ilmu Silat Pedang Yang-sin Kiam-sut yang ganas sekali.
Melihat datangnya Song-bun-kwi, para pengeroyok timbul kembali semangat mereka
dan pengeroyokan makin hebat.
"Hi-hi-hik,
dasar dosamu sudah bertumpuk-tumpuk, Beng San!" Kwa Hong bersorak dan
kembali ia menganjurkan puteranya, "Sin Lee, hayo kau ambil bagian dalam
pesta ini!"
Namun Sin
Lee hanya berdiri tegak dengan wajah pucat, mata membelalak dan tubuh gemetar.
Muak ia melihat pengeroyokan itu dan makin lama makin bangga dan kagumlah ia
menyaksikan sepak terjang orang yang menjadi ayahnya ini.
Ada pun Kong
Bu pada waktu sampai di tempat itu, juga berdiri mematung dengan mata
seakan-akan mengeluarkan api. Ia tidak peduli melihat kakeknya yang sudah
menyerang mati-matian dan melihat jalannya pertempuran dengan hati tidak
karuan. Sedih ia melihat orang yang menjadi ayahnya itu dikeroyok sedemikian
rupa, mau membela, tapi ia segan kepada kakeknya.
Walau pun
sudah terluka di tiga tempat dan pengeroyoknya bertambah dengan seorang yang
sehebat Song-bun-kwi, namun permainan pedang Im-yang Sin-kiam-sut dari Beng San
benar-benar hebat sekali sehingga ia dapat melindungi tubuhnya dari hujan
senjata itu.
Akan tetapi,
kembali terdengar suara Giam Kin tertawa.
"Ha-ha-ha,
Beng San, lihatlah! Kau masih mau melawan terus? Lihat ini anakmu!"
Setelah berkata demikian, tangan kirinya yang berupa cakar mengerikan itu
bergerak dan…
"Brettt!"
baju luar yang dipakai Cui Bi terobek lebar, memperlihatkan baju dalamnya yang
berwarna merah muda.
Gelap
rasanya mata Beng San. "Giam Kin keparat...! Lepaskan anakku..."
Karena
perasaannya tertusuk, gerakannya sedikit terlambat. Pedang Song-bun-kwi yang
tadinya menusuk pusarnya itu kurang cepat ia elakkan sehingga pahanya telah
tertusuk pedang. Beng San menggulingkan tubuhnya ke belakang. Sinar pedangnya
berkelebat menjaga diri dan ketika ia melompat bangun lagi, darah keluar
bercucuran dari paha kanannya. Ia terpincang-pincang, darah mengucur banyak
sekali, namun pedangnya masih dimainkan rapi menghalau setiap senjata yang
hendak merenggut nyawanya. Tetapi ia tidak mampu balas menyerang karena
perhatiannya kini terbagi untuk mengawasi keadaan Cui Bi yang sama sekali tidak
berdaya di dalam tangan manusia iblis itu.
"Ha-ha-ha,
Beng San, kau takkan dapat melepaskan dirimu. Kau boleh mati dengan mata melek
karena anakmu ini tak akan dapat bebas pula. Ha-ha-ha!"
Suara ketawa
Giam Kin bergema di hutan itu ketika ia memanggul tubuh Cui Bi dan lari pergi
dari situ.
"Lepaskan
anakku!" Beng San menjerit, tangan kirinya menyambar sebuah batu kecil dan
dilemparkannya ke arah Giam Kin.
Hebat
lemparan ini, karena tubuh Giam Kin segera terguling. Akan tetapi manusia iblis
itu bangun lagi, kemudian sambil tertawa-tawa dia lari terus memanggul tubuh
Cui Bi.
"Kau
mau bawa ke mana anakku?!" Beng San memekik lagi.
Akan tetapi
mendadak sebuah pukulan ujung lengan baju Siauw-ong-kwi tepat mengenai kaki
kirinya, membuat ia terguling roboh. Ia berusaha bangun, akan tetapi tidak
mampu karena urat di dekat lututnya terpukul hebat.
Oleh karena
kakinya lumpuh, maka terpaksa sambil duduk Beng San menahan datangnya semua
senjata dengan cara memutar pedangnya secara luar biasa sekali. Akan tetapi,
dalam keadaan seperti itu tentu saja dia tidak mampu melawan tujuh orang lihai
itu yang seakan-akan berlomba hendak berdulu-duluan mencabut nyawanya.
Pundaknya tertusuk pedang lagi dan lengan kirinya juga dihantam tongkat hitam
Yok-mo, membuat lengan kirinya juga lumpuh.
Pada saat
itu terdengar teriakan menyeramkan. Sesosok bayangan menyerbu ke dalam
pengeroyokan itu dan tahu-tahu tubuh Beng San sudah dipondong orang yang
langsung memutar-mutar pedangnya menghadapi para pengeroyok itu. Orang ini
bukan lain adalah Kong Bu! Beng San yang dipondong juga masih memainkan
pedangnya untuk menangkis hujan senjata.
"Anakku...
anak Bi Goat... akhirnya kau... mau menolongku...?” terengah-engah Beng San
berkata, air mata menitik turun dari matanya.
"Kong-bu,
gilakah kau?!" seru Song-bun-kwi dan cepat kakek ini menggerakkan pedang
menangkis tongkat hitam Yok-mo yang hampir mengenai kepala cucunya.
"Kakek,
biar aku mati membela ayahku yang jauh lebih gagah dari pada kalian semua!”
teriak Kong Bu, matanya mengeluarkan cahaya berapi, pipinya basah oleh beberapa
butir air mata yang menitik turun.
"Ha-ha-ha-ha,
Song-bun-kwi tua bangka gila, cucumu sendiri mengkhianati kau!" Yok-mo
mengejek dan bersama yang lain-lain mereka lalu menerjang Kong Bu.
Sekali lagi
terdengar teriakan melengking yang tinggi dan nyaring, dan Sin Lee sekarang
memutar pedang membantu Kong Bu!
"Sin
Lee, mundurlah kau!" Kwa Hong menjerit.
"Tidak,
Ibu. Aku tidak suka melihat ini semua! Ayah seorang gagah perkasa, patut kubela
dengan taruhan nyawa! Majulah, kalau perlu aku akan melawan kau sendiri!"
Kwa Hong
menjerit dan menangis, menarik kembali senjatanya. Pada waktu itu, Yok-mo, Tok
Kak Hwesio, Siauw-ong-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan Pak-thian Locu yang telah menjadi
marah sekali lantas menerjang dua orang muda yang dengan semangat tinggi
melindungi Beng San, orang yang menjadi ayah mereka tetapi yang harus mereka
benci dan musuhi itu.
"Sin
Lee... terima kasih... ah, Thian Yang Maha Adil... aku rela mati
sekarang..." kata Beng San, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas dan ia
menjadi pingsan dalam pondongan Kong Bu.
Betapa pun
lihainya Kong Bu dan Sin Lee, menghadapi pengeroyokan lima orang tokoh besar
itu mereka menjadi repot sekali. Apa lagi Kong Bu yang harus memondong tubuh
ayahnya sehingga pada saat itu, ketika ia menangkis sambaran pedang Hek-hwa
Kui-bo yang membuat lengannya terasa kesemutan, ia tidak dapat menghindar lagi
dari pukulan mendorong yang dilakukan oleh kakek tua renta, Pak-thian Locu.
"Berani
kau menyerang cucuku?" Tiba-tiba Song-bun-kwi meloncat maju dan menangkis
pukulan ini.
"Dukkk!"
Hebat sekali
pertemuan dua lengan orang sakti ini, akan tetapi akibatnya Song-bun-kwi
terdorong mundur tiga langkah sedangkan kakek renta itu hanya bergoyang-goyang
saja tubuhnya. Kaget bukan main Song-bun-kwi, sedangkan Siauw-ong-kwi
tertawa-tawa,
"Ha-ha-ha,
Song-bun-kwi manusia iblis! Baru sekarang kau bertemu tanding, perkenalkan dia
adalah twa-suheng-ku Pak-thian Locu,"
"Aihh-aihhh,
kiranya setan tua bangkotan dari Utara. Jangan takabur, aku Song-bun-kwi
selamanya tidak pernah takut, baik kepadamu atau pun kepada twa-suheng-mu yang
mau mampus ini!" serentak Song-bun-kwi menerjang kakek itu dengan
pedangnya sehingga terjadilah pertandingan hebat.
Sementara
itu, melihat betapa Sin Lee kerepotan dikeroyok Yok-mo, Tok Kak Hwesio dan
sekarang Hek-hwa Kui bo juga menerjang Sin Lee karena Song-bun-kwi sudah
dihadapi Pak-thian Locu sedangkan Kong Bu diserang Siauw-ong-kwi. Kwa Hong
mengeluarkan suara melengking, dengan marah sekali ia menyerbu untuk menolong
puteranya!
Makin
hebatlah pertempuran itu. Akan tetapi, Song-bun-kwi perlahan-lahan terdesak
oleh Pak-thian Locu yang luar biasa. Kong Bu yang memondong tubuh Beng San juga
repot menghadapi Siauw-ong-kwi, sedangkan Sin Lee biar pun sudah dibantu
ibunya, tetap saja terkurung hebat oleh Toat-beng Yok-mo, Tok Kak Hwesio, dan
Hek-hwa Kui-bo.
Song-bun-kwi
mulai sibuk, apa lagi melihat Kong Bu terdesak hebat oleh Siauw-ong-kwi. Memang
di antara mereka semua, yang paling payah adalah Kong Bu. Di samping harus
menggendong Beng San yang tidak ingat atau pingsan, juga hati pemuda ini
gelisah sekali memikirkan nasib adik tirinya, Cui Bi yang tadi dibawa lari oleh
manusia bermuka iblis itu. Harus diakui bahwa di dalam hatinya, Kong Bu amat
sayang kepada adik tirinya itu.
Dia tadi
bermaksud menolong. Siapa tahu keadaan lawan sangat tangguh dan ayahnya sudah
pingsan sehingga tidak mampu melawan lagi. Hatinya gelisah, ditambah lawannya
Siauw-ong-kwi, merupakan tokoh utama dan utara yang kepandaiannya setingkat
dengan kakeknya!
"Bagus,
kau pemuda jahat kini harus membalas kematian muridku!" berkali-kali
Hek-hwa Kui-bo berteriak keras sambil mendesak Sin Lee dengan pedangnya.
Kwa Hong
maju hendak membantu puteranya. Akan tetapi, dia ditahan oleh Toat-beng Yok-mo
serta Tok Kak Hwesio, dua orang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi pula.
Permainan
pedang Hek-hwa Kui-bo adalah ilmu pedang Im-sin Kiam-sut, hebat bukan main dan
mempunyai daya serang yang mengandung tenaga Im-kang. Sin Lee juga amat kuat
ilmu pedangnya. Gerakan kakinya sangat membingungkan dan serangan-serangan yang
dilancarkannya ganas sekali. Namun menghadapi nenek ini, dia kalah pengalaman,
kalah tenaga, bahkan kalah segala-galanya. Biar pun telah mengerahkan
kepandaiannya, tetap saja ia terkurung oleh sinar pedang Hek-hwa Kui-bo, bahkan
terancam hebat.
Pada saat
yang amat berbahaya itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan-bentakan nyaring.
Seorang wanita yang bergerak bagai seekor naga betina menerjang dengan pedang
yang menyambar laksana kilat.
Siauw-ong-kwi
yang diserang oleh wanita ini sangat kaget dan menangkis dengan lengan baju.
Pedang wanita itu tertangkis, menyeleweng ke samping, akan tetapi ujung lengan
baju Siauw-ong-kwi robek!
"Orang-orang
tua pengecut!" wanita itu berteriak dan ia berseru kaget melihat keadaan
Beng San dalam pondongan Kong Bu.
Wanita ini
bukan lain adalah Cia Li Cu. Melihat suaminya mandi darah dan dengan muka pucat
pingsan di dalam pondongan Kong Bu, ia menjerit dan cepat menubruk. Kong Bu
memberikan tubuh Beng San kepada ibu tirinya ini dan sekarang dengan penuh
semangat ia memutar pedangnya menghadapi Siauw-ong-kwi.
"Jangan
kuatir, kami bantu!" terdengar suara wanita lain dan muncullah Li Eng dan
Hui Cu.
Li Eng
langsung membantu Kong Bu dan Hui Cu segera membantu Sin Lee. Hal ini terjadi
karena dorongan hati masing-masing melihat laki-laki perampas hati mereka itu
terdesak oleh lawan. Di belakang dua orang gadis ini muncul puluhan orang
anggota Thai-san-pai yang semua telah mencabut pedang.
Melihat ini
Hek-hwa Kui-bo berseru keras, "Cukup kita bermain-main! Biar besok pada
pembukaan Thai-san-pai dilanjutkan, ha-ha-ha-ha!"
Nenek ini
cepat melompat ke belakang, diturut oleh yang lain-lain karena mereka melihat
keadaan tidak menguntungkan pihak mereka. Apa lagi sesudah Beng San terluka
hebat, besok lusa mudah saja bagi mereka untuk menantang sekalian menggagalkan
pendirian Thai-san-pai, membalas dendam dan merusak nama Thai-san-pai dan
ketuanya di muka semua orang kang-ouw!
Sementara
itu, Li Cu yang melihat keadaan suaminya parah sekali, tidak sempat mencari
tahu lagi, juga tidak bertanya kepada Song-bun-kwi mau pun Kwa Hong yang tadi
ia lihat sekelebatan berkelahi di pihak suaminya. Sambil mengeluh penuh kegelisahan
nyonya ini memondong tubuh suaminya dan dibawa lari menuju puncak.
"Heii,
Kong Bu, kau hendak ke mana?!" Song-bun-kwi berteriak melihat cucunya
dengan pedang di tangan berlari cepat.
"Harus
kutolong adik Cui Bi dari tangan manusia bermuka iblis itu!" jawab Kong Bu
tanpa menengok.
"Aku
ikut!" Sin Lee juga berseru dan tubuhnya melompat jauh mengejar Kong Bu
dengan pedang di tangan.
Kong Bu
menoleh sambil lari, Sin Lee memandang. Dua orang pemuda ini berpandangan dan
biar pun mulut mereka tidak berkata apa-apa namun sinar mata mereka seakan-akan
telah saling dapat menemukan isi hati masing-masing. Tanpa sekecap pun
kata-kata dua orang muda seayah ini telah bersekutu!
Li Eng dan
Hui Cu saling pandang dan Hui Cu berkata kaget, "Eh, Adik Eng, mana Paman
Hong?"
Li Eng
menengok ke sana ke mari, berkata kuatir juga, “Tadi kulihat dia berlari di
belakang kita... ah, jangan-jangan dia ketinggalan jauh. Mari kita susul Bibi,
keadaan Paman Beng San kulihat tadi amat menguatirkan."
Dua orang
gadis ini lalu berlarian menyusul Li Cu, hendak membantu bibi itu dan juga
hendak mencari Kun Hong yang tadi datang bersama mereka. Para anggota
Thai-san-pai juga berbondong-bondong sudah mengikuti nyonya ketua mereka
kembali ke puncak.
Setelah
keadaan di situ sunyi, Kwa Hong dan Song-bun-kwi hanya bisa saling pandang
dengan muka kecewa. Keduanya merasa kecewa dan tertusuk hatinya karena sikap
cucu dan putera mereka. Lebih-lebih Kwa Hong. Sama sekali ia tidak menyangka
bahwa Sin Lee akan membalik dan memberontak, membela ayahnya dan menentangnya.
"Sin
Lee...!" Akhirnya ia memekik nyaring dan tubuhnya melesat ke satu jurusan,
agaknya hendak mengejar puteranya.
Song-bun-kwi
menampari kepalanya sendiri, bicara seperti orang gendeng, "Goblok kau,
tua bangka goblok! Mana bisa kau memisahkan anak dari ayahnya? Goblok kau
hendak mencelakakan cucumu sendiri, tolol!"
Dan ia pun
pergi dari situ dengan langkah gontai, wajahnya nampak makin tua dan sinar mata
yang semula liar itu menjadi lunak dan muram.
Bagaimanakah
Cui Bi, gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu sampai terjatuh ke dalam
tangan Giam Kin?
Pagi hari
itu Cui Bi sangat kuatir. Dia tidak melihat ayahnya berada di puncak, dan
setelah mencari ke mana-mana tetap tidak dapat menemukan ayahnya itu, bahkan
ibunya sendiri tidak tahu ke mana ayahnya pergi.
Cui Bi
maklum bahwa pertemuan antara ayahnya dengan dua orang puteranya itu amat
mengganggu hati serta pikiran ayahnya, apa lagi dua orang putera itu telah
dididik orang untuk memusuhinya. Ia maklum pula bahwa ayahnya amat berduka dan
gelisah.
Cui Bi amat
kuatir dan timbul dugaannya bahwa ayahnya tentu keluar dari puncak untuk pergi
mencari kedua orang puteranya itu. Karena itu dia pun lalu diam-diam keluar
dari terowongan, turun dari puncak mencari ayahnya.
Baru saja ia
menyeberangi rawa, ia mendengar suara suling yang amat aneh dan merdu dari arah
kiri. Cepat ia membelok ke arah ini dan dalam sebuah hutan kecil ia melihat
seorang laki-laki yang mukanya membuat Cui Bi terasa seram dan ngeri.
Laki-laki
ini mukanya seperti iblis yang mengerikan dengan mata kirinya yang bolong
kosong, mulutnya yang robek lebar, telinga kiri buntung, tangan kirinya yang
kaku seperti cakar setan. Namun sebagai puteri pendekar sakti yang sudah banyak
bertemu dengan tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw, hanya sebentar saja Cui Bi
telah dapat menguasai perasannya kembali dan ia mulai tertarik oleh perbuatan
laki-laki bermuka iblis itu.
Lelaki itu
dengan tangan kanannya yang normal sedang meniup suling. Bukan main aneh dan
indahnya suara suling itu dan yang lebih menarik hati Cui Bi lagi, di depan
laki-laki yang duduk bersila di bawah pohon itu, kelihatan lima ekor ular besar
tengah ‘berdiri’ di atas ekornya dan menari-nari, melenggak-lenggok amat
lemasnya!
Cui Bi
memang sudah beberapa kali pernah melihat ahli-ahli ular meniup suling membuat
ularnya menari-nari, akan tetapi baru kali ini ia melihat lima ekor ular
sekaligus menari dan dapat ‘berdiri’ setinggi itu. Benar-benar hebat dan lucu.
Tak tertahankan gadis itu tertawa dan datang menghampiri laki-laki itu, ikut
duduk dekatnya dan berkata,
"Bagus
dan lucu sekali...!"
Laki-laki
itu tidak menoleh, terus melanjutkan tiupannya akan tetapi mata kanannya itu
melirik ke arah Cui Bi lalu mengeluarkan sinar yang aneh. Sekali ini Cui Bi
mengenakan pakaian wanita yang ringkas sehingga ia kelihatan sebagai seorang
gadis muda remaja yang cantik dan manis. Pedang tergantung di punggung dan dari
senjata inilah orang akan dapat menduga bahwa dia adalah seorang gadis
kang-ouw.
Melihat
gadis cantik itu memandang kepada ular-ular itu dengan mata bersinar-sinar dan
wajah berseri, laki-laki itu tanpa menunda tiupan sulingnya bertanya, "Kau
siapa, Nona? Apakah tidak takut ular?"
Cui Bi
menoleh dan bukan main herannya. "Kau hebat sekali, Lopek (Uwa). Sekaligus
menyuling dan bicara. Bukan main! Kau tentu seorang di antara para tamu
Thai-san-pai, bukan? Apakah kau sudah kenal baik dengan Ayah? Tetapi Ayah belum
pernah bercerita kepadaku tentang seorang temannya yang pandai meniup suling
menjinakkan ular."
"He-he,
jadi kau puteri Ketua Thai-san-pai? Pantas saja tidak takut ular, akan tetapi
coba kau lihat ular-ularku yang lainnya, entah takut tidak?" Dia lalu
bangkit berdiri dan tiupan sulingnya berubah nyaring dan lebih aneh lagi.
Cui Bi
tadinya tersenyum-senyum saja karena mana dia takut segala macam ular? Sekali
gerakkan pedang ia sanggup membunuh lima ekor ular besar itu! Akan tetapi
tiba-tiba wajahnya berubah sedikit ketika ia mendengar suara berisik, suara
mendesis-desis yang datang dari segala penjuru.
Sebentar
kemudian puluhan, malah ratusan ekor ular merayap datang dari segala jurusan,
bahkan ada yang datang dari atas pohon, merayap-rayap turun dengan cepatnya
seperti memenuhi panggilan suara suling itu! Dalam beberapa menit saja mereka
berdua sudah dikurung oleh ratusan ekor ular besar kecil, di antaranya banyak
pula terdapat ular-ular berbisa.
Mau tak mau
Cui Bi menjadi pucat juga dan jijik. Ia merasa bulu di tubuhnya meremang dan
segera dia mencabut pedangnya untuk menjaga kalau-kalau ada ular yang hendak
menyerangnya.
"Jangan
kuatir, selama ada aku di sini, mereka takkan berani mengganggumu, Nona. Aku
hanya ingin memperlihatkan mereka padamu, mereka itu bagus dan menarik, bukan?
Apa kau mau melihat mereka itu semua menari-nari?"
Cui Bi
menggeleng kepala, menahan napas, bau yang amat amis memuakkan perutnya, bukan
main bau itu, amis dan menyengat.
"Cukup...
aku tidak ingin melihat mereka, Lopek, suruhlah mereka pergi..."
Laki-laki
itu yang bukan lain adalah Giam Kin mengangguk-angguk dan meniup sulingnya,
kini berlagu amat merdu dan... ular-ular itu merayap pergi semua,
berlenggang-lenggok menggelikan dan sebentar saja sudah lenyap semua, tak
seekor pun berada di situ. Cui Bi menarik napas lega dan menyimpan kembali pedangnya.
Mata Giam
Kin berkilat ketika ia melihat cara gadis itu tadi menarik keluar pedang dan
cara menyimpannya lagi. Matanya yang tinggal sebelah itu dapat melihat bahwa
gadis ini bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang ahli pedang yang lihai
sekali.
"Wah,
celaka.,.." Tiba-tiba Giam Kin berseru, nampak gugup dan bingung sekali,
matanya yang tinggal sebelah itu menatap wajah Cui Bi. "Aku... aku
kesalahan terhadap ayahmu, Nona. Ah, Tan Beng San Taihiap tentu akan marah
kepadaku."
"Kenapa,
Lopek? Kau tidak bersalah apa-apa."
"Celaka,
Nona yang baik. Kau... kau sudah terkena racun ular berbisa yang berbahaya
sekali!" Giam Kin membanting-banting kakinya, "Ayahmu tentu akan
marah kepadaku. Coba kau menarik napas dalam-dalam, bukankah tercium bau yang
amis? Apakah kau tidak merasa jantungmu berdebar-debar?"
Dengan muka
berubah Cui Bi menarik napas dalam. Memang, bau amis yang tadi masih teringat
olehnya sehingga ketika diingatkan, seakan-akan ia mencium bau amis itu makin
jelas terasa dari pada tadi, ia pun merasa jantungnya berdebar. Ia mengangguk
gelisah.
"Nah,
itu tanda kau keracunan. Cepat, kau pakai obat ini. Aku sendiri tidak
terpengaruh racun karena membawa bunga ajaib ini. Kau ciumlah dan sedot wangi
bunga ini, pasti sekaligus lenyap pengaruhnya racun itu."
Cui Bi
menerima setangkai bunga yang tadinya entah berwarna apa karena bunga itu sudah
melayu dan tinggal berwarna kuning gelap, warna daun mulai mengering. Ia masih
ragu-ragu.
"Tapi...
tapi... bagaimana aku bisa keracunan kalau tak ada seekor ular pun menyentuhku
tadi?"
"Ah,
kau tidak tahu, Nona. Di antara ular-ular tadi banyak ular beracun yang
berbahaya sekali. Pada saat melihat kita, sudah jamak ular-ular beracun tadi
berniat menggigit dan mengeluarkan racunnya, akan tetapi mereka itu tertahan
dan tidak berani dengan suara sulingku. Racun mereka yang keluar dari mulut
mereka berceceran di atas tanah dan hawa pagi ini banyak keluar dari dalam
tanah, membubung ke atas. Racun ular yang sudah berada di tanah itu hawanya
terbawa oleh hawa tanah, memasuki hidung kita dan kau yang tidak berdekatan
bunga penawar racun ini tentu saja keracunan, Sudahlah, kau segera cium obat
penawar ini, kalau tidak... nanti akan terlambat dan kau akan celaka.
Lekas..." Laki-laki itu nampak gugup dan bingung sekali.
Cui Bi
memang seorang gadis muda yang berkepandaian tinggi, sudah banyak merantau dan
pengetahuannya luas. Namun dalam hal tipu muslihat, berhadapan dengan Giam Kin
dia hanya seorang bocah yang masih hijau.
Melihat
sikap Giam Kin dan mendengar keterangannya itu, ia percaya betul dan tanpa
ragu-ragu lagi sekarang gadis itu mendekatkan bunga ke depan hidungnya dan
menyedot baunya. Ia mencium bau yang sangat harum dan enak memasuki hidung terus
turun dan lenyap di tenggorokan. Ia menyedot makin keras. Tiba-tiba ia merasa
kepalanya pening, pandang matanya berkunang.
"Celaka...!"
serunya sambil melempar kembang itu dan berusaha mencabut pedangnya.
"Ha-ha-ha-ha!”
Giam Kin tertawa. Sulingnya segera bergerak menotok leher Cui Bi yang tak mampu
bergerak lagi dan gadis ini roboh terguling, pingsan!
Sudah tentu
saja semua ocehan Giam Kin tentang racun tadi bohong belaka. Karena pandainya
ia bicara disesuaikan dengan suasana dan keadaan, tentu saja Cui Bi masih
merasa mencium bau amis dari ular-ular tadi dan karena pemberi tahuan Giam Kin
itu mengejutkannya, sudah semestinya kalau jantungnya berdebar pula.
Demikianlah,
dalam keadaan pingsan dan tak berdaya akibat jalan darahnya telah ditotok,
gadis ini dipanggul pergi oleh Giam Kin, kemudian seperti telah diceritakan
pada bagian depan, Giam Kin yang licik ini dapat mempermainkan gadis yang
ditawannya itu untuk mengacaukan pertahanan Beng San sehingga pendekar ini
terluka dalam pengeroyokan.
Sesudah melihat
Beng San terluka dan tidak mungkin lagi dapat menang menghadapi pengeroyokan
suhu-nya, supek-nya dan tokoh-tokoh lain, Giam Kin lalu membawa pergi Cui Bi.
Dia kuatir kalau-kalau keluarga pendekar itu muncul.
Giam Kin
sekarang berbeda jauh dengan Giam Kin belasan tahun yang lalu. Tidak hanya
berbeda dalam ilmu kepandaian yang makin meningkat karena selama ini ia tekun
sekali memperdalam ilmunya, juga wataknya berubah banyak.
Dahulu ia
adalah seorang laki-laki mata keranjang. Sekarang watak ini lenyap berbareng
dengan lenyapnya ketampanan wajahnya. Sekarang dia berubah menjadi manusia
iblis yang haus darah, yang haus akan balas dendam terhadap musuh-musuhnya.
Mukanya rusak oleh burung rajawali emas dan Kwa Hong, oleh karena itu tentu
saja dia sangat mendendam kepada Kwa Hong.
Akan tetapi
dia sekarang menjadi cerdik luar biasa, maka tadi bertemu dengan Kwa Hong ia
tidak bertindak apa-apa karena ia sedang memerlukan Kwa Hong dalam pengeroyokan
terhadap Beng San. Sekarang ia hendak melampiaskan dendamnya kepada Beng San,
kepada keluarganya. Maka setelah puteri Beng San terjatuh ke dalam tangannya,
tidak lain nafsu dalam dadanya kecuali menyiksa dan membunuh gadis anak
musuhnya ini.
Ia membawa
lari Cui Bi ke dalam hutan lain di sebelah timur, di lereng Gunung Thai-san,
jauh dari tempat para tamu berkumpul. Wajahnya yang buruk itu tertawa-tawa,
agaknya ia gembira sekali membayangkan siksa yang akan ia lakukan atas diri
anak musuhnya ini.
Tubuh gadis
itu ia lemparkan di atas tanah yang kering tak berumput, lalu ia mengambil
sehelai kain sutera, mengikat kaki serta tangan gadis itu, membalikkan tubuh
gadis itu telentang, kemudian ia membebaskan totokan pada tubuh gadis itu. Cui
Bi yang merasa betapa jalan darahnya pulih kembali, berusaha meronta, akan
tetapi ternyata tali itu kuat sekali.
Ketika ia
hendak membuka mulut untuk mengelurkan pekik pemberi tahuan kepada ayah
bundanya, ia kaget karena tak dapat ia mengeluarkan sedikit pun suara. Kiranya
iblis yang cerdik itu telah menotok jalan darah urat gagunya, membuat ia tidak
dapat mengeluarkan suara.
Terpaksa Cui
Bi hanya telentang dengan mata melotot marah, memandang kepada wajah manusia
iblis yang duduk bersila di atas tanah. Ngeri juga kalau ia memperhatikan wajah
manusia ini, sudah tak patut disebut manusia lagi baik bentuk mukanya mau pun
semua gerak-geriknya.
Mata kanan
yang kemerahan itu seperti matanya orang gila, sedangkan mata kiri yang kosong
menghitam itu seperti mata tengkorak, mata iblis. Mulut yang robek dan terbuka
memperhatikan deretan gigi yang masih rapi itu terlalu menyeringai dan menyeramkan
karena gusi-gusi kemerahan tampak di atas gigi pinggir yang runcing seperti
gigi setan.
Di samping
kengeriannya, diam-diam gadis ini juga menduga-duga siapa adanya tokoh buruk
rupa yang aneh ini dan kenapa pula memusuhi ayahnya. Ia dapat menduga bahwa
tentu orang ini musuh ayahnya yang sekarang hendak menjatuhkan dendam
kepadanya, puteri tunggal ayahnya. Namun sepanjang ingatannya, belum pernah
ayahnya bercerita tentang tokoh seperti iblis ini yang anggapannya malah jauh
lebih mengerikan dari pada tokoh-tokoh manusia iblis yang pernah ia dengar dari
ayahnya.
"He-he-heh,
matamu seperti ayahmu benar!" Giam Kin tertawa gembira. "Matamu penuh
pertanyaan mengapa aku melakukan hal ini kepadamu dan siapa adanya aku, bukan?
Nah, dengarlah, bocah. Dengarlah baik-baik supaya kau tidak mati penasaran. Aku
adalah Siauw-coa-ong (Raja Ular Kecil) Giam Kin, sahabat baik ayahmu,
he-he-heh!" Ia tertawa terpingkal-pingkal, tubuhnya berguncang-guncang.
Pandangan
Cui Bi tertuju pada tangan kiri yang kaku mati seperti cakar setan itu, dan
gadis ini kelihatan heran.
"Heh-heh,
kau kelihatan terheran-heran. Gadis cilik, dahulunya aku seorang laki-laki yang
tampan. Hemmm, dibandingkan dengan ayahmu, aku jauh lebih tampan. Celaka,
siluman betina Kwa Hong itu dengan rajawali emasnya mengubah aku menjadi
begini. Heh-heh, disangkanya aku sudah mati. Hah, awas kau Kwa Hong iblis
betina, kelak akan datang pembalasanku..."
"Aku
bertanding melawan Kwa Hong dan menjadi begini rupa karena gara-gara Lee Giok,
karena itu aku telah bersumpah, selain untuk membalas kepada ayahmu sekeluarga,
juga kepada Kwa Hong dan Lee Giok. Sayang hingga kini belum kudapatkan
kesempatan itu, ha-ha-ha, saat ini aku akan dapat memuaskan hatiku membalas
kepada Beng San. Aku mendengar bahwa puteri dari Lee Giok juga berada di
Thai-san sebagai tamu, lalu aku cepat mencari akal untuk menangkapnya, untuk
membalas pada anaknya, menyiksanya seperti juga ibunya telah menyebabkan aku
begini. Ehh, kiranya bukan dia yang muncul melainkan kau, anak Beng San! He-heh-heh,
jerat yang kupasang tak berhasil menjerat kelinci seperti yang kuharapkan,
malah lebih dari itu, ternyata telah menjerat seekor anak kijang. Heh-heh-heh,
senang hatiku. Nah, kau sudah mendengar semua dan telah siap menerima siksa
dariku? Heh-heh-heh-heh!"
Mengertilah
sekarang Cui Bi mengapa muka penjahat bernama Giam Kin yang pernah ia dengar
diceritakan ayahnya itu sekarang menjadi seperti iblis begini. Kiranya
gara-gara Kwa Hong lagi. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga lweekang-nya
membuka totokan pada lehernya, akan tetapi sia-sia belaka dan ini membuktikan
bahwa orang ini memiliki kepandaian yang tinggi.
Andai kata
dia berhasil mengeluarkan pekik keras, tentu orang ini akan segera turun tangan
pula. Cui Bi tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga ia mendengar bahwa ia
akan mengalami siksaan. Orang yang sudah bukan manusia lagi ini tentu mempunyai
cara-cara yang amat keji untuk menyiksa dan membunuh musuhnya.
Giam Kin
tertawa-tawa lagi lalu mengeluarkan sulingnya. Pada saat suling itu mulai ditiup,
tahulah Cui Bi, atau setidaknya dapatlah ia menduga siksaan apa yang akan ia
hadapi. Dan dugaannya itu ternyata benar karena tak lama kemudian ia mendengar
suara berisik, mendesis-desis dan menggelesernya tubuh banyak ular menuju ke
tempat itu.
Tidak lama
kemudian dia mencium bau yang amat amis dan kiranya ular-ular itu sudah dekat
sekali. Giam Kin menghentikan tiupannya, mengeluarkan setangkai bunga berwarna
kuning dan ular-ular itu berhenti bergerak, seolah-olah ketakutan melihat
kembang warna kuning itu!
"He-he-heh,
bocah anak Beng San. Ular-ular itu akan menuruti segala perintahku. Sekali
kuperintah, mereka akan menyerbu dan menggerogoti kulitmu yang halus dan
dagingmu yang lunak sampai tinggal tulang-tulangmu saja. Heh-heh-heh, dalam
waktu kurang dari satu jam, wajahmu yang cantik akan menjadi buruk, lebih buruk
dari wajahku. Rambutmu yang hitam panjang ini akan copot dari kepala, matamu
yang bagus-bagus itu akan masuk ke perut ular. Hanya tulangmu yang tinggal, kau
akan berubah menjadi kerangka dan ayah ibumu takkan mengenalmu lagi.
Heh-heh-heh! Aku akan menikmati pertunjukan ini, melihat kau menggeliat-geliat
kesakitan, melihat kau berkelahi melawan maut, melihat betapa hidungmu yang
bagus itu akan digigit ular, dan kulitmu yang halus akan dibeset, lalu dagingmu
diperebutkan. Heh-heh-heh!"
Cui Bi sudah
tak mendengarkan ini semua. Semenjak ular-ular itu datang ia tahu bahwa
nyawanya tidak akan dapat tertolong lagi. Ia tidak takut menghadapi kematian,
tidak pula takut menghadapi siksaan, akan tetapi pada saat ia berada ditepi
jurang kematian itu, terbayanglah wajah tiga orang, yaitu wajah ibunya, wajah
ayahnya dan wajah Kun Hong! Tak tertahankan lagi naik sedu sedan di
kerongkongannya dan beberapa titik air mata mengalir ke atas pipinya.
"Heh-heh-heh,
kau menangis? Heh-heh-heh-heh, bagus, menangislah. Aahhh, alangkah senangnya
kalau aku bisa memperlihatkan ini kepada jahanam Beng San! Heh-heh, dia sendiri
sekarang mungkin sudah mampus atau terluka hebat. Aahh, alangkah manisnya
pembalasan dendam!"
Giam Kin
berdiri, mundur dan kemudian duduk bersila di bawah pohon tak jauh dari situ.
Ia menyimpan kembali kembang kuning itu dan mulai meniup sulingnya. Matanya
yang tinggal sebelah itu bersinar-sinar memandang pertunjukan di depannya yang
akan segera di mulai.
Suling
ditiup, suaranya melengking tinggi mengalun sedih seperti ratap tangis yang
keluar dari neraka. Ular-ular itu mulai merayap maju, berlenggang-lenggok
menggeliat-geliat dan merayap ke arah Cui Bi yang masih menggeletak telentang.
"Mati
Bukan soal, tapi melawan sebisanya adalah wajib," pikir gadis ini.
Ia
mengerahkan seluruh tenaga lweekang yang ada di dalam tubuhnya, lalu tiba-tiba
saja tubuhnya menggeliat dan melompat ke atas. Dengan meliukkan pinggangnya ia
berhasil turun dalam keadaan berdiri. Badannya bergoyang-goyang, memang sukar
untuk dapat melakukan hal itu dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.
Diam-diam
Giam Kin kagum bukan main. Ginkang yang diperlihatkan gadis itu betul-betul
ginkang tingkat tinggi.
Melihat
ular-ular itu sudah mengurungnya dan jumlah mereka amat banyak sehingga di
sekelilingnya dalam jarak lima enam meter adalah ular belaka, Cui Bi maklum
bahwa tak mungkin ia dapat melompati jarak itu keluar dari lingkaran barisan
ular. Setelah ular-ular semakin dekat dan siap menerjang kakinya, ia
menggerakkan kedua tumit kakinya dan tubuhnya meloncat ke atas, lalu dengan
mengerahkan lweekang-nya ia turun lagi tepat mengarah pada kepala seekor ular
besar.
"Krakkk!"
Kepala ular
itu hancur lebur oleh injakan kaki Cui Bi yang secepatnya telah meloncat lagi
ke atas dan turun menginjakkan kedua kakinya pada kepala seekor ular besar
lainnya. Demikianlah, gadis yang luar biasa ini berkali-kali meloncat dan tiap
kali tubuhnya turun tentu seekor ular mati dengan kepala remuk. Makin lama
makin gembiralah Cui Bi karena meski pun ia maklum bahwa akhirnya ia akan roboh
dan tewas, namun ia telah berhasil membunuh banyak calon-calon pembunuhnya.
Gembira
sekali hati Giam Kin. Ia melihat betapa gadis itu makin lama makin menjadi
lemah. Tiap kali meloncat dan tiap kali menginjak remuk kepala seekor ular,
gadis itu pasti mengerahkan lweekang yang cukup besar makan tenaganya sehingga
setelah dua puluh ekor lebih ular yahg diinjaknya mati, gadis itu mulai mandi
peluh dan gerakannya lambat. Akhirnya seekor ular berhasii membelit kakinya
sehingga ketika Cui Bi melompat, ular itu terbawa naik.
Gadis itu
maklum bahwa sekali saja ular yang belang-belang kulitnya ini menggigit, akan
robohlah dia terkena racun. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya selagi meloncat
itu. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga sehingga lilitan tubuh ular itu
pada kakinya telepas dan ular itu terlempar sampai sepuluh meter lebih jauhnya!
"Hebat..."
Giam Kin memuji.
Lengking
sulingnya makin meninggi dan hal ini agaknya membuat ular-ular itu semakin
ganas saja.
Cui Bi
kehabisan tenaga dan maklum bahwa belum tentu ia kuat meloncat lima kali lagi.
Dan setelah ia tidak kuat meloncat, tentu ular-ular itu akan membelit kakinya
merayap ke atas, menggigiti kakinya sampai ia roboh untuk dikeroyok dan
diperlakukan seperti yang telah dibayangkan oleh Giam Kin tadi. Akan tetapi
baru saja meloncat tiga kali, ia sudah kehabisan tenaga dan injakannya tidak
mematikan seekor pun ular. Ia sudah tidak kuat meloncat lagi dan sudah meramkan
mata untuk menerima kematian yang amat mengerikan.
"Heh-heh-heh,
ha-ha-ha, kini pertunjukan mulai..." Giam Kin tertawa terkekeh-kekeh.
Akan tetapi
tiba-tiba suara ketawanya berhenti dan yang terdengar oleh telinga Cui Bi
adalah teriakan orang, nyaring sekali.
"Bi-moi...
lekas kau berloncatan lagi...! Loncat, pertahankan!"
Suara ini
seolah-olah aliran listrik yang memberi kekuatan baru kepada Cui Bi, menyendal
kembali harapannya untuk hidup yang tadi sudah terbang ke awang-awang. Dan
sebelum kakinya terbelit ular, sekuat tenaga ia meloncat ke atas, sambil
meloncat ia membuka kedua mata memandang.
"Hong-ko...!"
di dalam dadanya bergema teriakan hatinya ini sebab ia masih belum dapat
mengeluarkan suara sama sekali.
Dilihatnya
betapa pemuda itu dengan memegang dua batang obor kayu, menggunakan api obor
itu untuk mengamuk dan menyerang barisan ular, menyerbu ke arah tempatnya. Tak
terasa lagi air mata bercucuran di kedua mata Cui Bi, saking girang dan
terharunya. Akan tetapi, kekuatiran besar memenuhi hatinya kalau ia melihat
Giam Kin masih duduk bersila di tempat tadi sambil memandang ke arah Kun Hong
dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi mulutnya mengejek.
Seperti
binatang buas apa saja, ular pun sangat takut terhadap api. Mereka yang kurang
cepat menyingkir sudah berkelojotan terkena serangan Kun Hong. Ada yang mencoba
untuk menyerang pemuda itu, akan tetapi begitu tubuhnya tercium api, lalu
berkelojotan, menggigit bagian badan sendiri yang termakan api saking panas dan
sakitnya. Sebagian yang lainnya menyingkir ketakutan sehingga terbukalah jalan
bagi Kun Hong untuk berlari ke arah Cui Bi.
"Kau
pegang ini sebuah, Bi-moi!" teriak pula Kun Hong sambil menyerahkan obor
yang tadi dipegang oleh tangan kanannya.
Dengan penuh
semangat Cui Bi segera mengacung-acungkan sepasang lengannya yang terbelenggu
untuk memberi tahu bahwa tak mungkin ia melakukan apa yang diminta itu. Melihat
ini Kun Hong cepat meletakkan sebuah obor ke bawah, mencabut Ang-hong-kiam dan
membabat belenggu kaki dan tangan gadis itu. Ang-hong-kiam tajam bukan main dan
tenaga dalam dari Kun Hong juga hebat, maka dengan sekali babat saja putuslah
semua belenggu dan terbebaslah Cui Bi. Sesudah itu, dengan pedang dikempit
untuk membebaskan tangan kanannya, Kun Hong yang maklum bahwa gadis ini tentu
telah tertotok urat gagunya, menotok belakang leher dan menepuk punggung dua
kali.
"Hong-ko...!"
sekali ini suara itu keluar dari mulut Cui Bi, disusul isak tangis saking
girang dan terharunya.
Tiba-tiba
saja Cui Bi merampas pedang dari tangan Kun Hong, matanya memandang liar ketika
membalikkan tubuh memandang ke arah Giam Kin. Akan tetapi alangkah heran,
terkejut dan marahnya ketika ia tidak lagi melihat manusia iblis itu berada di
tempat tadi, sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.
"Ke
mana dia...?"
"Kau
mencari siapa, Adik Bi?" tanya Kun Hong.
"Manusia
iblis itu, Giam Kin si keparat, hendak kucincang hancur tubuhnya!"
"Ahh,
apa kau maksudkan pengemis buta sebelah yang meniup suling tadi? Aku sudah
terheran-heran tadi mengapa ia bisa terus bermain suling sedangkan di depannya
terjadi penyerangan ular-ular itu kepadamu. Kenapa ia tidak turun tangan
menolongmu?"
"Menolongku?
Ahh, Hong-ko dialah yang menyuruh ular-ular itu mengeroyokku. Dia itulah si
iblis bernama Giam Kin yang memusuhi Ayah dan karena itu dia hendak membalas
dendamnya melalui aku. Dia sengaja mendatangkan ular-ular itu sesudah menawanku
secara licik dan curang. Dia hendak melihat ular-ular itu merobohkan aku,
menggerogoti kulit dan dagingku, melihat aku berkelojotan melawan maut, melihat
aku berubah menjadi rangka, tinggal tulang-tulang saja, ahh... Hong-ko..."
Gadis itu
menubruk, merangkul pundak Kun Hong dan menangis tersedu-sedu. Kun Hong
bergidik dan membiarkan gadis itu memuaskan perasaannya, membiarkan dia
menangis sesenggukan. Memang inilah obat terbaik untuk menenangkan kembali
perasaannya yang tertindih dan tercekam hebat oleh pengalaman yang begitu
mengerikan. Baru saja gadis ini lolos dari lubang jarum, lolos dari cengkeraman
maut yang nyaris begitu pasti.
Diam-diam
Kun Hong berterima kasih kepada Tuhan bahwa ia tidak tertambat datang.
Terlambat beberapa menit lagi saja, bayangan ngeri dan seram seperti dikatakan
gadis ini tadi pasti akan terjadi.
"Hong-ko...
kau telah menolong nyawaku, Hong-ko..."
"Sudahlah,
jangan besar-besarkan hal itu, Bi-moi," jawab Kun Hong merendah, padahal
hatinya merasa bahagia bukan main.
"Girang
sekali hatiku bahwa kaulah yang berhasil menolongku, Hong-ko. Akhirnya kaulah
orangnya yang berhasil merenggut aku dari cengkeraman maut, maka sudah
sepatutnya pula kalau aku menghambakan diri kepadamu selama hidupku."
Mendengar kesanggupan
gadis ini, tanpa terasa lagi Kun Hong memeluk dan mendekap kepala orang yang
disayang dan dicintanya itu rapat-rapat ke dadanya.
"Bi-moi...
Bi-moi... semoga Tuhan memberkahi kita dan mengabulkan apa yang menjadi
cita-cita kita ini... ahh, mari kita lekas menyusul ke tempat ayahmu. Tadi
kulihat dia telah dikeroyok banyak orang jahat, dan ibumu serta Li Eng dan Hui
Cu juga sudah menyusul ke sana. Aku melihat kau ditawan orang dan dibawa lari,
maka cepat aku mengejar. Sama sekali tak kusangka bahwa orang itu adalah
pengemis buta sebelah tadi, dan sama sekali tidak kusangka dia itulah yang
bernama Giam Kin. Pernah aku mendengar dari ayahku tentang orang itu..."
"Baiklah,
Hong-ko, mari kita susul Ayah. Tapi aku tidak kuatir Ayah akan dikalahkan oleh
keroyokan orang jahat."
Cui Bi
merasa yakin sekali akan kepandaian ayahnya, maka mendengar bahwa ayahnya
dikeroyok orang, ia tidak menjadi gelisah. Apa lagi setelah dia mendengar bahwa
ibunya telah pula datang ke tempat itu, apa yang harus ditakuti dan dikuatirkan
lagi? Masih ada lagi Hui Cu yang cukup lihai dan terutama Li Eng yang
berkepandaian tinggi. Baru saja mereka keluar dari hutan itu, tampak dua orang
muda berlari cepat mendatangi dari depan. Mereka ini bukan lain adalah Kong Bu
dan Sin Lee.
"Adik
Cui Bi, kau tidak apa-apa?" teriak Kong Bu dari jauh, girang melihat Cui
Bi sudah berjalan di samping Kun Hong dalam keadaan sehat selamat, hanya
mukanya agak pucat.
Cui Bi juga
girang melihat Kong Bu, akan tetapi ketika mengingat akan peristiwa di depan
jalan terowongan dan ketika melihat Sin Lee juga berada di situ, dia meragu.
Betapa pun juga melihat sikap yang begitu memperhatikan, ia segera bertanya,
"Bu-ko
hendak ke manakah kau? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku terancam bahaya? Dan
dia ini...?” Ia mengerling ke arah Sin Lee yang berdiri tegak.
Kong Bu
tersenyum, lalu memegang kedua tangan adik tirinya. "Ahh, adikku, jangan
kau curiga. Aku tadi melihat kau dibawa lari oleh manusia iblis, lalu aku
sengaja mengejarnya. Dia ini juga membantuku turut mengejar untuk menolong adik
tirinya. Bukankah begitu?" pertanyaan terakhir ini diucapkan Kong Bu
sambil memandang Sin Lee.
Sin Lee
mengangguk, tanpa mengeluarkan kata-kata karena perasaannya masih penuh
keharuan, juga kebingungan sebab baginya, urusan antara ibu dan ayahnya itu
membuat dia ragu-ragu dan serba salah.
Cui Bi
terharu sekali, menghampiri Sin Lee dan memegang tangan pemuda ini, menatap
wajah Sin Lee dengan pandang mata tajam penuh selidik.
"Kau
juga kakakku, kakak tiri putera Ayah. Sin Lee Koko, apakah kau masih juga
hendak memusuhi Ayah, memusuhi Ibu, dan memusuhi aku?" Sinar mata yang
bening indah itu menatap wajah Sin Lee seakan-akan hendak menembus hatinya.
Sin Lee
tertegun, tak dapat menjawab.
"Adik
Cui Bi, tentu saja tidak. Tadi Ayah sudah dikeroyok oleh banyak tokoh lihai,
terluka dan hampir celaka. Aku dan dia ini turun tangan membantu Ayah, agaknya
hati kami tak dapat mengijinkan orang-orang membunuh ayah kami di depan mata
kami begitu saja. Ayah telah menderita luka-luka hebat dan sekarang telah
dibawa pulang oleh ibumu."
Wajah Cui Bi
menjadi pucat seketika. "Ayah terluka...? Ahhh, hayo kita pulang menengok
Ayah!" Ia lalu melompat dan berlari cepat menuju ke puncak.
Kong Bu dan
Sin Lee saling pandang, bersepakat dalam pandang mata masing-masing, lalu ikut
pula berlari. Cui Bi tiba-tiba berhenti dan memandang Kun Hong.
"Ahhh,
aku lupa... maaf, Hong-ko. Marilah kita bersama ke puncak. Bu-ko dan Lee-ko,
terpaksa kita berlari jangan terlalu cepat agar Hong-ko tidak
ketinggalan."
Kun Hong
tersenyum. "Larilah Bi-moi, dan aku akan coba mengikutimu dari
belakang."
Demikianlah,
keempat orang muda itu melanjutkan perjalanan melalui jalan rahasia yang
terdekat, dipimpin oleh Cui Bi sebagai penunjuk jalan, tidak terlalu cepat
karena mereka kuatir kalau-kalau Kun Hong tidak dapat mengimbangi kecepatan
mereka. Di sepanjang jalan dua orang putera Beng San itu mendengar penuturan
Cui Bi mengenai perbuatan biadab Giam Kin dan tentang pertolongan Kun Hong.
Meski pun
Kun Hong menjawab secara merendahkan diri namun diam-diam dua orang pemuda itu
menduga bahwa Kun Hong putera Ketua Hoa-san-pai itu tentulah mempunyai
kepandaian yang luar biasa sehingga sanggup mengejar Giam Kin dan dapat memberi
pertolongan kepada Cui Bi.
Kedatangan
mereka disambut anak murid Thai-san-pai dengan gembira, terutama sekali Hui Ci
dan Li Eng yang tidak saja gembira melihat bahwa paman mereka selamat, juga
lebih-lebih melihat Sin Lee dan Kong Bu ikut pula datang ke puncak.
"Paman
Beng San terluka hebat, sekarang sedang dirawat oleh Bibi," kata Li Eng.
Dengan wajah
penuh kegelisahan Cui Bi cepat-cepat memasuki rumah diikuti oleh Kong Bu, Sin
Lee, Hui Cu, Li Eng, dan Kun Hong. Mereka memasuki kamar dengan hati-hati dan
alangkah kagetnya dan sedih hati Cui Bi ketika melihat ayahnya duduk bersila
dengan wajah sepucat mayat, sedangkan ibunya duduk di belakang ayahnya,
menempelkan dua telapak tangannya pada punggung ayahnya.
Keduanya
meramkan mata. Napas Beng San terengah-engah dan berat, sedangkan Li Cu yang
sedang memberi saluran hawa murni ke tubuh suaminya untuk membantu suaminya
memulihkah tenaga dan mengobati luka di dalam, kelihatan sangat pucat dan
keringatnya membasahi leher dan muka.
Orang-orang
muda yang tahu akan ilmu silat tinggi itu maklum apa yang tengah dilakukan oleh
dua orang tua di atas pembaringan itu, maka mereka tidak berani mengganggu.
Tiba-tiba
Kun Hong melangkah maju dan berkata halus, "Bibi, harap kau suka mengaso,
sangat berbahaya bagi kesehatan Bibi sendiri. Biarlah aku yang bodoh
mencoba-coba mengobati Paman Beng San."
Semua orang
terkejut dan merasa bahwa ucapan Kun Hong ini lancang. Li Cu dan Beng San yang
mendengar ada suara orang, segera membuka mata, lalu memandang kepada mereka.
"Ayah,
Ibu, Kakak Kong Bu dan Kakak Sin Lee datang..." berkata Cui Bi, menahan
isak tangisnya melihat keadaan ayahnya.
Memang hebat
sekali penderitaan Beng San. Luka-lukanya adalah luka pukulan lweekang dan
senjata yang mengandung racun mematikan. Keadaannya amat berbahaya, cahaya
matanya sudah menghilang dan pandang matanya sayu. Akan tetapi begitu melihat
Kong Bu dan Sin Lee berdiri di situ, ia pun tersenyum, mengangguk-angguk dan
matanya yang pudar itu mengeluarkan cahaya bahagia.
Li Cu yang
maklum bahwa suaminya sedang berjuang melawan maut, tanpa melepaskan tangannya
berkata, "Anak-anak, harap jangan mengganggu kami, tunggulah di
luar."
Akan tetapi
Beng San memandang Kun Hong. Melihat pemuda aneh ini tunduk dan sinar mata
pemuda itu berkilat-kilat menjelajahi seluruh tubuhnya, dia berkata lemah,
"Biarlah...
biarlah dia... mengobatiku... kau beristirahatlah... dia benar... berbahaya
bagi kandunganmu..." Setelah berkata demikian, tubuhnya menjadi lemas dan
dia tidak kuat bersila lagi, roboh terguling dan dari mulutnya menyembur darah
segar.
Li Cu kaget
sekali, cepat-cepat menerima tubuh suaminya dan menidurkannya telentang sambil
menahan isaknya ketika turun dari pembaringan. Nyonya ini kelihatan lelah
sekali. Dia terlalu banyak mengeluarkan tenaga untuk membantu suaminya dengan
pengerahan tenaga lweekang yang berlebihan. Mukanya pucat kehijauan, napasnya
terengah-engah.
"Bi-moi,
tolong ambilkan kertas dan alat tulis. Ibumu harus segera diberi obat,"
kata Kun Hong setelah memandang sejenak ke arah Li Cu.
Cui Bi
terheran-heran. Ia tidak mengira bahwa orang yang dikasihinya ini ternyata
pandai ilmu pengobatan, maka cepat-cepat ia mengambilkan barang yang
dimintanya. Kun Hong lalu duduk di kursi, menuliskan huruf-huruf yang indah dan
cepat sekali di atas kertas dan memberikan kertas itu kepada Cui Bi.
"Carilah
obat ini, campur dengan air tiga mangkok, masak sampai tinggal semangkok lalu
beri minum kepada ibumu." Lalu ia menoleh ke arah Li Cu yang sedang
membersihkan darah yang dimuntahkan suaminya tadi dengan sehelai sapu tangan.
“Bibi, harap
kau suka mengaso untuk menjaga kesehatanmu.”
“Tidak, aku
harus menjaga dia….”
Mendengar
suara yang penuh cinta kasih dan kesetiaan ini, Kun Hong terharu sekali. Ia
dapat melihat bahwa keadaan nyonya ini sangatlah berbahaya, karena dalam
keadaan mengandung telah menyalurkan tenaga dalam dan hawa murni. Hal ini
benar-benar amat berbahaya, tidak saja bagi kandungannya, juga bagi kesehatan
tubuhnya.
“Bibi,
percayalah padaku. Apa bila Tuhan menghendaki, Paman Beng San akan sembuh.
Bi-moi, kau ajaklah Ibumu beristirahat dan segera kau menyuruh orang mencarikan
obat dari resep itu.”
Melihat
sikap kekasihnya yang begitu meyakinkan, Cui Bi tidak ragu-ragu lagi. Memang ia
selalu mempunyai dugaan bahwa kekasihnya ini bukan orang sembarangan, melainkan
seorang yang menyembunyikan kepandaiannya. Kiranya kepandaiannya adalah sebagai
ahli pengobatan. Ia memeluk Ibunya dan berkata,
“Ibu, kau
percayalah kepada Hong-ko, mari mengaso dan minum obat.”
Li Cu
memandang kepada Kun Hong dengan mata penuh perasaan, bahkan akhirnya ada air
mata yang perlahan-lahan berlinang keluar dari mata itu.
“Kun Hong,
kau putera Kwa Tin Siong Lo-enghiong, tentu saja aku percaya kepadamu. Semoga
kau betul-betul dapat menyembuhkannya….”
Kemudian ia
menahan isak ketika memandang lagi kepada suaminya yang sudah pingsan
terengah-engah itu, dan akhirnya keluar dari kamar sambil dituntun oleh
puterinya.
“Kuharap
kalian berempat suka pula keluar dan menunggu di luar. Terlalu banyak orang di
dalam kamar amatlah tak baik bagi si sakit. Li Eng, tolong kau minta kepada Cui
Bi agar memberiku jarum-jarum perak dan sepanci air panas mendidih.”
Tanpa
berkata apa-apa lagi Sin Lee, Kong Bu, Hui Cu dan Li Eng meninggalkan kamar,
tetapi tidak meninggalkan ruangan di luar kamar itu. Dari pintu kamar yang
tetap terbuka mereka dapat melihat ke dalam, melihat apa yang akan dilakukan
oleh Kun Hong untuk mengobati Beng San yang keadaannya nampak sudah amat payah
itu. Ada pun Li Eng cepat-cepat pergi mencari Cui Bi untuk minta barang-barang
yang dipesan oleh Kun Hong tadi.
Setelah
semua orang pergi, Kun Hong lalu mulai memeriksa luka-luka di tubuh Beng San.
Kening pemuda itu berkerut, dahinya berkeriput ketika ia mengerahkan segenap
kekuatan ingatannya untuk mencari hal-hal tentang pengobatan yang sudah
dihafalnya dari semua kitab milik Yok-mo. Ia memeriksa jalannya darah pada
nadi, ketukan jantung pada dada kiri, memeriksa jalan-jalan darah pada jalan
darah terpenting.
Kun Hong
mendapat kenyataan bahwa Beng San menderita luka dalam yang hebat pada tiga
tempat, dan darahnya telah terserang racun berbahaya dari luka-lukanya di luar
pula. Benar-benar amat parah.
Dengan
gerakan perlahan tetapi tepat dan tidak ragu-ragu, Kun Hong menotok beberapa
pusat jalan darah di tubuh Beng San, mengurut bagian leher dan dada untuk
mencegah menjalarnya racun dan mencegah darah keluar dari mulut, kemudian ia
membantu daya tahan ditubuh Beng San dengan pengerahan lweekang pada telapak
tangannya yang dia tempelkan pada ulu hati. Usahanya berhasil baik karena
pernapasan yang sakit itu tidak seberat tadi.
Pada saat Li
Eng datang memasuki kamar membawa air panas sepanci dan sebungkus jarum-jarum
perak, Kun Hong melepaskan tangannya dari si sakit, lalu memberi isyarat kepada
Li Eng untuk keluar kamar dan menutupkan pintunya.
Li Eng
memenuhi permintaan ini. Sekarang empat orang muda itu berdiri di luar kamar,
tidak dapat lagi melihat apa yang sedang dilakukan oleh Kun Hong di dalam kamar
itu, hanya dapat saling pandang penuh keheranan dan menduga-duga.
“Hebat
pamanmu itu,” kata Kong Bu akhirnya kepada Li Eng.
“Apakah kau
sebagai keponakannya tidak tahu bahwa dia itu pandai ilmu pengobatan?” Tanya
Sin Lee kepada Hui Cu.
Pertanyaan-pertanyaan
ini dilakukan berbisik dan secara otomatis empat orang muda itu terbagi menjadi
dua rombongan. Kong Bu berdekatan dengan Li Eng sedangkan Sin Lee berdekatan
dengan Hui Cu.
“Memang dia
orang aneh, mengaku tidak bisa apa-apa tetapi agaknya menyembunyikan kepandaian
luar biasa,” jawab Li Eng kepada Kong Bu.
“Aku sendiri
tidak tahu bahwa dia pandai ilmu pengobatan, dia tidak pernah bicara tentang
kepandaiannya, kecuali kepandaian membaca kitab-kitab,” bisik Hui Cu sebagai
jawaban kepada Sin Lee.
Pelayan
datang mengantarkan minuman untuk empat orang muda itu. Mereka berpencar lagi,
Kong Bu dengan Sin Lee duduk menghadapi meja kecil di sebelah kiri pintu kamar,
ada pun dua orang gadis itu duduk menghadapi meja di sebelah kanan pintu kamar.
Tak lama
kemudian muncullah Cui Bi di ruangan itu. “Ibu sudah minum obat dan sekarang
tidur nyenyak. Aku harus membantu Hong-ko.”
Tanpa
memberi kesempatan kepada empat orang muda itu untuk mencegahnya, ia terus saja
membuka pintu kamar, lalu masuk dan menutup pintu dari dalam. Empat orang itu
saling pandang dan tersenyum maklum. Li Eng dan Kong Bu, juga Sin Lee,
berseri-seri wajahnya. Hui Cu menunduk, kelihatan malu dan jengah.
Kun Hong
menoleh ketika mendengar ada orang memasuki kamar. Ketika melihat bahwa yang
masuk adalah Cui Bi, ia memandang dengan mata bertanya dan alis berkerut.
"Jangan
marah, Hong-ko. Aku harus membantumu. Ibu sudah minum obat dan sekarang sedang
tidur. Kebetulan obat-obat yang kau tulis itu tersedia di kamar obat
kami."
Kun Hong
tidak tega menolak permintaan kekasihnya. Ia hanya mengangguk kemudian
memasukkan belasan batang jarum ke dalam mangkok yang sudah dia isi dengan air
mendidih.
"Kalau
begitu, tolong kau buka baju ayahmu."
Dengan sigap
Cui Bi melakukan perintah ini. Dia gelisah sekali melihat luka-luka di tubuh
ayahnya, terutama sekali luka dalam yang hanya kelihatan membiru dan kemerahan
di tempat-tempat berbahaya seperti lambung, dada, dan leher. Dengan hati-hati
ia membuka baju ayahnya yang terkena noda darah yang dimuntahkan, lalu
menyingkirkan baju itu ke sudut kamar.
Ada pun Kun
Hong tetap melanjutkan pekerjaannya memasukkan jarum-jarum ke dalam air panas
tadi. Dengan isyarat tangan dia lalu minta bantuan Cui Bi untuk mengangkat
tubuh Beng San yang masih tak sadarkan diri dan membaringkan tubuh itu
telungkup.
"Bi-moi,
jangan dekat, kau mundurlah dan jangan mengeluarkan suara."
Mendengar
suara yang penuh wibawa ini, meremang bulu tengkuk Cui Bi. Bukan main laki-laki
ini, kadang-kadang dia kelihatan bodoh dan halus lemah lembut, akan tetapi pada
saat ini kelihatan amat berpengaruh, penuh wibawa dan suaranya mengandung
kekuatan dan kekuasaan yang hebat. Cui Bi cepat melangkah mundur dan berdiri di
sudut kamar, memandang penuh perhatian, penuh harapan, dan penuh kekaguman.
Kun Hong
mengeluarkan sembilan batang jarum perak dari dalam air panas, memegang
jarum-jarum itu pada tangan kiri, mengambil sebatang dengan tangan kanan,
dijepit di antara ibu jari dan telunjuk, lalu ia melangkah mundur tiga tindak
dari pembaringan.
Jarak antara
dia dengan tubuh Beng San ada satu setengah meter, matanya memandang tajam,
semangat dikumpulkan, napas ditahan, tenaga lweekang digerakkan dan tiba-tiba
dia menubruk ke depan. Jarum yang pertama telah dia tusukkan tepat pada jalan
darah tiong-cu-hiat yang letaknya di belakang leher.
Secepat cara
ia menusuk ke depan, ia telah melompat ke belakang pula, lalu mengambil jarum
kedua dan ditusukkan pada jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kanan, lalu jalan
darah hong-hu-hiat di belakang kedua pundak, di punggung bawah kanan kiri,
jalan darah sin-teng-hiat di kedua pergelangan tangan sampai sembilan batang
jarum itu semua habis ditusukkan, menancap di pelbagai jalan darah yang
penting.
Kun Hong
kemudian berdiri tegak dengan mata meram, dua tangan disilangkan, menarik napas
panjang memulihkan tenaga dalam yang tadi banyak dikeluarkan untuk melakukan
penusukan-penusukan jarum itu. Beberapa menit kemudian dia bergerak lagi, namun
kini melakukan totokan-totokan dengan jari telunjuk, menotok mulai dari belakang
kepala terus menurun sampai di lutut.
Caranya
menotok juga aneh karena ia mempelajari dari kitab pengobatan ajaib Toat-beng
Yok-mo. Seperti tadi, ia menotok dari jarak jauh, melompat dan menotok seperti
orang menyerang lawan, akan tetapi totokannya selalu tepat mengenai sasaran!
Melihat
semua gerakan Kun Hong ini, Cui Bi melongo saking herannya. Ia tidak mengenal
ilmu tusuk jarum itu, akan tetapi ilmu menotok tentu saja ia kenal baik. Yang
membuat ia kagum adalah cara menotok dengan sebuah jari ini.
Belum pernah
ia melihat cara menotok seperti itu. Dia hanya mendengar saja cerita dari
ayahnya bahwa di jaman dahulu ada semacam ilmu menotok yang disebut It-ci-san,
akan tetapi Tiam-hiat-hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah) ini sekarang hanya
tinggal dongengan saja. Ayahnya sendiri belum pernah melihat ada tokoh silat
yang menggunakan totokan ini dalam pertandingan. Akan tetapi sekarang dia
melihat Kun Hong menggunakan ilmu itu, hanya bukan untuk bertanding, melainkan
untuk mengobati secara hebat sekali.
Kali ini,
setelah menotok semua jalan darah yang penting, Kun Hong nampak lelah sekali,
Cepat ia duduk bersila di atas lantai untuk mengatur pernapasan dan memulihkan
tenaga sampai sepuluh menit lebih, baru ia bangun dan memeriksa detik nadi
tangan Beng San.
Wajahnya
nampak berseri karena tepat seperti petunjuk di dalam kitab pengobatan, cara
pengobatan pada babak pertama ini berhasil apa bila detik nadi menjadi cepat
luar biasa, dan detik nadi yang dipegangnya itu pun cepat sekali. Dengan tenang
tapi amat cepat ia mencabuti jarum-jarum itu dan memasukkannya kembali ke dalam
mangkok lainnya yang sudah diisi air panas. Air di mangkok itu segera berubah
menjadi kehitaman!
"Bi-moi,
mari bantu aku." Ia memerintah dan Cui Bi cepat-cepat melangkah maju,
penuh kekaguman.
Akan tetapi
Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan nona ini dan ia bersama Cui Bi
mengangkat tubuh Beng San untuk ditelentangkan kembali. Alangkah leganya hati
Cui Bi ketika melihat betapa wajah ayahnya yang tadinya pucat seperti mayat
sekarang merah kembali, malah terlalu merah dan pada saat ia membantu tadi,
tubuh ayahnya dirasakan panas seperti api.
Kun Hong
memberi isyarat supaya gadis itu mundur lagi, kemudian ia mulai lagi dengan
pengobatan babak ke dua, yaitu dengan cara menusuk-nusukkan sembilan batang
jarum perak ke pelbagai jalan darah di tubuh bagian depan. Setelah mengaso
sebentar, Kun Hong kembali melakukan totokan-totokan seperti tadi. Sekali ini
seluruh tubuh Kun Hong mengeluarkan peluh dan terpaksa ia beristirahat lebih
lama dari tadi.
Cui Bi
mendekat. Melihat wajah dan pernapasan ayahnya, girang bukan main hatinya. Ia
memandang pemuda yang bersila di lantai itu penuh kekaguman, penuh cinta kasih
dan ingin rasa untuk memeluknya. Ia berterima kasih sekali dan memandang dengan
mesra.
Cepat dia
menuangkan arak yang tersedia di kamar itu ke dalam sebuah cawan, lalu ikut
duduk bersila di dekat Kun Hong, cawan arak di tangannya, menanti sampai pemuda
itu menyudahi semedhinya.
Tercenganglah
Kun Hong ketika ia membuka mata, ia melihat Cui Bi duduk mendeprok di depannya,
memandang mesra dan mengangsurkan secawan arak.
"Kau
minumlah dulu...," suaranya merdu sekali, bisikan yang membuat wajah Kun
Hong seketika menjadi merah dan jantungnya berdebar keras.
Cepat ia
menindas perasaan ini, sambil tersenyum menerima cawan itu dan meminum isinya.
"Terima
kasih, memang perlu bagiku...," jawabnya sambil mengembalikan cawan yang
telah kosong.
Kemudian ia
mencabuti jarum-jarum itu dan terdengarlah Beng San mengeluh. Pendekar sakti
itu batuk-batuk tiga kali, kemudian membuka matanya. Dengan gerakan ringan dia
mengangkat kedua tangannya, lalu seperti orang kaget dan heran ia bangun duduk.
"Ayah,
kau sembuh...!" teriak Cui Bi.
"Ahhh...
Orang muda, kau benar-benar luar biasa...," kata Beng San.
"Harap
Paman jangan bergerak lebih dahulu, perlu mengembalikan tenaga dalam, maaf,
akan saya bantu, harap Paman mengerahkan tenaga dari pusar ke dalam rongga
dada, terutama ke sebelah kiri untuk memperkuat jantung. Bi-moi, kau hangatkan
arak untuk ayahmu nanti."
Sambil
berjingkrak-jingkak dan menari-nari kegirangan Cui Bi membuka pintu, keluar
dari kamar itu. Empat orang muda yang menunggu di luar kaget, akan tetapi
mereka girang sekali ketika dengan wajah berseri-seri dan mata bersinar-sinar
gadis itu berkata,
"Ayah
sembuh... ohh, Ayah sembuh... Hong-ko hebat...!" Ia lalu lari untuk
menghangatkan arak dan menyampaikan berita girang ini kepada ibunya.
Mendengar
ucapan ini, empat orang itu segera melongok melalui pintu kamar yang sudah
terbuka oleh Cui Bi tadi. Dengan penuh kekaguman dan juga keheranan mereka
melihat Beng San sudah duduk bersila tanpa baju. Wajahnya tampak merah,
bibirnya tersenyum dan matanya meram. Di belakangnya duduk Kun Hong bersila
pula sambil menempelkan tangan kiri di belakang leher dan tangan kanan di
belakang punggung Beng San. Pemuda ini juga memeramkan matanya.
Terdengar
tindak kaki tergesa-gesa dan ketika mereka menengok, ternyata Li Cu yang
berlari-lari datang, matanya berlinang air mata. Seakan-akan tidak melihat
adanya empat orang muda di depan pintu itu, dia terus langsung memasuki kamar,
terhenti di ambang pintu, dan menahan napas. Matanya memandang ke arah
suaminya, lalu ia terisak-isak ditahan dan menjatuhkan diri berlutut di depan
pembaringan, menangis perlahan.
Kong Bu dan
Sin Lee yang melihat ini semua tiba-tiba mendengar isak lirih di belakang
mereka dan ternyata ketika mereka menengok, Hui Cu dan Li Eng juga sedang
terisak menangis!
"Ehh,
mengapa menangis?" Sin Lee berbisik kepada Hui Cu.
"Karena
girang!" jawab Li Eng dan ternyata ketika menurunkan tangan, wajah gadis
ini berseri-seri.
"Girang
tapi menangis?" Kong Bu menyela. "Aneh, kalau girang menangis, habis
kalau berduka bagaimana?"
"Tentu
saja menangis juga," sekarang Hui Cu yang menjawab, dan baru kali ini
terdengar gadis pendiam ini bergurau, agaknya saking gembira hatinya melihat
betapa pamannya betul-betul dapat menyembuhkan Ketua Thai-san-pai itu.
Agaknya Beng
San mendengar juga isak tertahan itu. Ia membuka matanya memandang kepada Li Cu
yang sedang berlutut di pinggir pembaringan, lalu tersenyum. "Kwa-hiante,
cukuplah, aku sudah yakin sekarang bahwa aku akan sembuh. Kau turunlah."
Mendengar
ini, Kun Hong melepaskan kedua tangannya. Mukanya agak pucat, namun wajahnya
berseri. Ia segera turun dari pembaringan ketika isteri Beng San berlutut di
situ. Beng San memandang dengan wajah berseri.
"Tak
kusangka bahwa hari ini nyawaku tertolong oleh putera Kwa Tin Siong
Lo-enghiong. Hiante, tidak perlu aku mengucapkan terima kasih, cukup kalau
kunyatakan bahwa aku telah berhutang nyawa kepadamu. Hiante, kalau aku boleh
bertanya, dari siapakah kau mendapat ilmu pengobatan yang luar biasa ini?"
Kun Hong
sudah berdiri di tengah kamar, tunduk kemalu-maluan dan di belakangnya berdiri
empat orang muda yang tadi menanti di luar kamar, sedangkan Li Cu kini pun
sudah duduk di pinggir pembaringan.
Dengan
malu-malu dan merendah Kun Hong menjawab, "Paman sakit dan aku berusaha
merawat, soal seperti ini harap Paman jangan besar-besarkan. Andai kata saya
yang menderita sakit, saya yakin Paman juga tentu akan merawat saya. Ada pun
tentang ilmu pengobatan, saya membaca dari kitab-kitab pengobatan Toat-beng
Yok-mo."
Beng San
beserta isterinya saling pandang penuh keheranan. Toat-beng Yok-mo adalah
seorang tokoh jahat, seorang manusia berhati iblis yang selalu membunuh setiap
orang yang berobat kepadanya. Lalu bagaimana putera Ketua Hoa-san-pai ini dapat
membaca kitab-kitab pengobatannya?
Kalau sekali
membaca terus ingat hal ini tidak aneh bagi Beng San karena dia sendiri pun
seorang yang amat cerdas dan sanggup sekali membaca terus ingat. Akan tetapi,
hanya membaca saja, bagaimana dapat melakukan pengobatan-pengobatan yang
memerlukan tenaga lweekang?
"Hiante,
keteranganmu itu cukup, memang Yok-mo adalah seorang ahli pengobatan yang tiada
keduanya di dunia ini. Akan tetapi caramu mengerahkan lweekang membantu
penyaluran tenaga dalam padaku, hemmm, apakah itu kau pelajari pula dari
kitab-kitab Yok-mo? Aku tahu betul lweekang Hoa-san-pai tidak begitu, malah
lweekang yang kau salurkan tadi sejalan atau masih satu sumber dengan lweekang
Thai-san-pai. Sukakah kau memberi keterangan?"
Kun Hong
menjadi bingung sekali, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ia tidak suka
berbohong, akan tetapi juga tidak berani membuka rahasia gurunya yang sudah
tidak ada dan yang tidak pernah dilihatnya itu. Karena itu ia hanya menundukkan
muka tak dapat menjawab.
Melihat ini,
Li Cu memandang suaminya, berkedip yang hanya diketahui oleh mereka berdua,
lalu berkata,
"Hal
itu kukira tidaklah aneh betul. Aku mendengar bahwa kepandaian Yok-mo
sebetulnya adalah warisan yang terjatuh di tangannya, yaitu warisan dari
Yok-ong (Raja Obat), ada pun lweekang dari Yok-ong ini kabarnya sesumber dengan
lweekang dari Pendekar Sakti, nenek moyang perguruan kita."
Beng San
mengangguk-angguk dan tak bertanya lebih lanjut. Pada saat itu Cui Bi berlari
masuk membawa arak hangat.
"Hong-ko,
ini araknya!" katanya penuh kegembiraan dan memandang kepada pemuda itu
dengan sinar mata mesra.
Akan tetapi
ketika melihat semua orang berada di situ dan semua orang termasuk ibu dan
ayahnya memandangnya, ia menjadi sadar. Dengan malu-malu ia meletakkan mangkok
arak di atas meja, lalu menghampiri ayahnya.
"Ayah,
kau sudah sembuh betul?" Ia memeluk ayahnya.
"Bi-ji,
ayahmu sudah selamat, hanya tinggal memulihkan tenaga saja berkat pertolongan
Kwa Kun Hong Hiante. Dan kau sendiri, ahh... Cui Bi, karena melihat kau ada
dalam cengkeraman manusia iblis Giam Kin itulah yang membuat ayahmu ini sampai
menderita luka-luka. Bagaimana kau bisa selamat, anakku? Apakah kedua orang
kakakmu itu yang menolongmu?"
"Ayah
belum tahukah kau, Ayah? Yang menolongku adalah Hong-ko ini juga! Kalau tidak
lekas-lekas dia datang, sekarang aku sudah menjadi rangka, tinggal
tulang-tulang saja, daging dan kulitku tentu sudah habis..." sampai di
sini Cui Bi menangis, ngeri mengingat semua pengalamannya.
Kun Hong
merasa semakin tidak enak, ia memang pemalu dan tidak suka menghadapi pujian-pujian.
Ia cepat-cepat mengambil arak hangat dan diangsurkan kepada Beng San, katanya,
"Arak
hangat ini baik sekali untuk Paman, harap suka minum dan selanjutnya, untuk
waktu tiga hari sebaiknya minum obat yang akan saya buat resepnya. Maafkan,
Paman, saya hendak membuat resep di luar dan mengaso."
Saking
herannya mendengar keterangan Cui Bi tadi, Beng San menerima mangkok arak
hangat sambil memandang dengan bengong. Tidak disangkanya sama sekali bahwa
pemuda yang lemah-lembut itu, meski pun dia sudah dapat menduga dari sinar
matanya bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan, dapat menolong puterinya dari
tangan Giam Kin manusia iblis Si Raja Ular Kecil!
Ia lalu
minum araknya, dan memberi tanda kepada Kong Bu dan Sin Lee sambil berkata,
"Anak-anakku, kalian mendekatlah..."
Kong Bu dan
Sin Lee dengan terharu lalu melangkah maju dan berlutut pula dekat Cui Bi di
depan tempat tidur.
Melihat
betapa orang tua dan anak-anaknya itu berkumpul di situ diam-diam Hui Cu dan Li
Eng saling mengangguk. Mereka segera keluar dari kamar itu, mencari Kun Hong
yang ternyata sedang berjalan-jalan di dalam taman menghirup hawa udara segar.
Dua orang
gadis ini menggandeng tangan Kun Hong di kanan kiri dan keduanya tiada hentinya
memuji-muji dengan bangga sampai akhirnya Kun Hong membentak mereka disuruh
diam.
Ada pun di
dalam kamar itu tampak pemandangan yang amat mengharukan. Bergantian Beng San
memeluk dan membelai kepala puteranya, lalu mereka semua mendengarkan penuturan
Cui Bi tentang pertolongan Kun Hong.
Mendengar
cara Kun Hong menolong Cui Bi, kembali mereka semua menjadi tertegun dan
ragu-ragu. Kalau melihat cara mengusir ular-ular itu mempergunakan api, adalah
cara orang biasa, bukan cara seorang ahli silat tinggi.
"Aneh
sekali anak itu," Beng San berkata, "sepak terjangnya penuh
keberanian, memiliki kepandaian ilmu pengobatan yang luar biasa pula, tetapi
tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia pandai ilmu silat. Pernahkah kalian
melihat dia memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang ahli silat
kelas tinggi?"
Cui Bi
menceritakan pengalamannya ketika bertemu dengan lawan berat dan betapa Kun
Hong secara aneh sekali berani menantang kemudian mempermainkan Kang Houw yang
secara aneh memukuli batu sampai seratus kali, juga bagaimana pemuda itu
menantang dan dikeroyok oleh Tok Kak hwesio dan Toat-beng Yok-mo akan tetapi
akhirnya dua orang tokoh itu saling gebuk sendiri.
Mendengar
ini Beng San mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala seperti tidak percaya
akan semua penuturan aneh itu.
Demikianlah,
kalau di luar kamar dalam taman dua orang gadis Hoa-san-pai memuji-muji paman
mereka, adalah di dalam kamar itu Beng San yang baru saja bebas dari ancaman
maut, bergembira ria, bercakap-cakap dengan anak-anaknya dan mendengar
penuturan mereka seorang demi seorang…..
***************
Pada hari
yang ditentukan, hari ke lima belas bulan itu, pagi-pagi sekali Beng San telah
menampakkan diri. Mukanya masih agak pucat, tubuhnya masih agak lemah karena
biar pun sudah sehat kembali namun tenaganya belum pulih seluruhnya. Namun ia
kelihatan gagah tenang seperti biasa.
Keluarnya
pendekar ini diiringkan para anak muridnya yang mengangkat panji-panji dan
benda-benda pusaka yang akan dijadikan lambang partai baru ini. Beng San
berpakaian sederhana, pedangnya tergantung di punggung, hanya kelihatan
gagangnya saja yang menonjol di atas pundak. Sikapnya tenang dan kereng, tidak
merendah dan malu-malu seperti pada waktu mudanya. Langkahnya tegap dan
pribadinya membayangkan wibawa besar.
Di sebelah
kirinya berjalan Li Cu. Nyonya ini meski sedang mengandung tiga bulan, tidak
kelihatan kegendutan perutnya. Pakaiannya ringkas, mukanya tetap cantik jelita
biar pun usianya sudah hampir empat puluh tahun. Sinar matanya tajam menyapu ke
kanan kiri, ke arah para tamu. Gagang pedang yang persis sama dengan pedang
Beng San tampak di belakang pundaknya. Nyonya ini membayangkan sifat yang
berani, keras hati akan tetapi lemah lembut.
Yang menarik
perhatian semua orang, terutama para tamu muda, adalah tiga orang gadis yang
berjalan di belakang nyonya Ketua Thai-san-pai ini. Mereka ini adalah Cui Bi,
Li Eng, dan Hui Cu. Tiga orang gadis remaja ini kelihatan cantik-cantik manis,
masing-masing memiliki kelebihan sendiri, akan tetapi ketiganya nampak gagah
dan bersemangat, jelas membayangkan kepandaian ilmu silat tinggi.
Di belakang
Beng San berjalan dua orang pemuda yang tampan gagah, yang berjalan sambil
membusungkan dada, mengangkat dada tinggi-tinggi dan kepala tegak dengan mata
memandang lurus ke depan, dua orang muda yang membayangkan kekuatan hebat.
Mereka ini adalah Kong Bu dan Sin Lee.
Di belakang
dua orang muda ini, kelihatan Kun Hong yang kelihatan lemah lembut dan semua
orang tentu mengira bahwa dia merupakan seorang pemuda pelajar yang lemah.
Pedang Ang-hong-kiam dia simpan di balik jubahnya sehingga tidak kelihatan dari
luar. Langkahnya lambat dan lebar, bibirnya tersenyum akan tetapi pandang
matanya serius, seperti pandang mata orang-orang yang sudah tergembleng oleh
pengalaman dan derita hidup.
Memang Kun
Hong merasa agak kuatir, juga Li Cu. Kun Hong mengusulkan tadi agar hari
pendirian ini ditunda dan diundurkan. Kesehatan pamannya itu walau pun sudah
tidak menguatirkan lagi, akan tetapi tenaga dalamnya belum pulih sama sekali
sehingga kalau menghadapi orang pandai, bisa-bisa akan celaka.
Kun Hong
sudah dapat meramalkan bahwa dalam pertemuan itu sudah pasti orang-orang jahat
akan maju mempergunakan kesempatan ini untuk mengacau. Mendengar ini, Li Cu
juga membujuk suaminya supaya menunda dan mengundurkan hari itu. Akan tetapi
dengan bersikeras Beng San menolak.
"Pendirian
sebuah partai tidak boleh dibuat main-main. Kita sudah mengumumkan dan
orang-orang gagah dari semua penjuru membanjir datang, bagaimana dapat ditunda
lagi? Apa lagi kalau alasannya hanya karena aku kurang sehat. Hemmm, pendirian
ini lebih penting dari pada keselamatanku. Biarlah mereka yang bermaksud buruk
maju, aku masih ada kekuatan untuk melawannya."
"Tidak
usah Ayah maju, aku sendiri pun sanggup mewakilinya memberi hajaran kepada
manusia-manusia iblis!" seru Cui Bi dengan muka gemas karena ia teringat
kepada Giam Kin dan ingin sekali berhadapan dengan manusia licik itu.
"Ibu
tidak usah kuatir, aku Kong Bu tidak percuma berada di samping Ayah," kata
Kong Bu penuh semangat.
"Aku
pun tidak akan membiarkan orang menghina Ayah!" kata Sin Lee.
"Paman
dan Bibi, kalau membolehkan kami berdua juga sanggup untuk mewakili Paman
menghadapi orang-orang yang hendak mengacau," kata Li Eng dan Hui Cu
mengangguk membenarkan.
Mendengar
ucapan orang-orang muda yang penuh semangat ini, Beng San lalu tertawa gembira.
"Nah,
ke mana semangatmu yang dulu-dulu?" dia menegur isterinya. "Sikap
mereka ini mengingatkan aku akan semangatmu pada masa dahulu. Dahulu kau pun
bersemangat seperti bocah-bocah ini."
Mereka
tertawa dan Li Cu hilang kekuatirannya. Ia cukup maklum akan kelihaian dua
orang anak tirinya, juga maklum bahwa selain Cui Bi, Li Eng cukup boleh
diandalkan. Apa lagi di situ ada dia sendiri, takut apa lagi?
Juga tidak
semua tamu memusuhi mereka, banyak juga teman-teman baik yang tentu tak akan
membiarkan Thai-san-pai dikacau oleh orang jahat. Akan tetapi ada sesuatu yang
mengganjal hatinya dan hal ini tidak mau ia sembunyikan.
"Bukannya
aku kehilangan semangat," katanya kemudian. "Akan tetapi yang agak
berat dilawan adalah tosu itu. Entah siapa dia? Gerakan tangannya saja
menunjukkan tenaga lweekang yang hebat sekali."
Beng San
mengerutkan kening, "Ahh, kau maksudkan suheng dari Siauw-ong-kwi yang
bernama Pak-thian Locu itu? Memang dia hebat. Hemmm, tak usah kuatir, aku
sanggup menghadapinya."
Padahal
diam-diam Beng San harus mengakui bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, tak
mungkin ia dapat memandang rendah kepada kakek itu. Ia boleh mengandalkan ilmu
pedangnya, akan tetapi dalam hal tenaga, ia kalah jauh. Kalau di waktu sehat
saja ia sudah kalah lihai dalam tenaga dalam, apa lagi sekarang. Tenaganya
belum ada enam puluh prosen yang kembali. Tetapi kekuatiran ini ia tekan saja
di dalam hatinya dan tidak diperlihatkan keluar.
Setelah
rombongan tuan rumah ini sampai di tempat yang sudah disediakan, yaitu di
belakang panggung, Beng San memberi isyarat kepada anak muridnya.
Dengan rapi
dan teratur anak murid Thai-san-pai berbaris mendekati panggung. Beberapa orang
naik ke panggung dengan gaya loncatan khas Thai-san-pai, ringan dan gesit
tetapi tanpa kelihatan mengerahkan tenaga. Beberapa orang ini mengatur meja
sembahyang yang semenjak tadi memang sudah dipasang di sudut panggung. Dengan
hormat mereka menyalakan lilin, mengatur meja sembahyang lalu berdiri di kanan
kiri merupakan barisan penghormatan.
Beng San
melangkah maju, terus tubuhnya melayang ke atas panggung seperti seekor burung
terbang, menghampiri meja, memasang hio dan melakukan sembahyang dengan
khidmat. Dengan suara lantang pendekar ini mengucapkan sumpah dan mohon berkah
dari Tuhan Yang Maha Kuasa agar supaya Thai-san-pai dapat berdiri kokoh kuat
dan para murid tidak menyeleweng dari peraturan-peraturan yang disumpahkan itu.
Setelah Beng
San selesai bersembahyang, sebagai sumpah anggota, Li Cu dan Cui Bi meloncat ke
atas panggung. Ibu dan anak ini gerakannya ringan seperti bulu terbawa angin
saja, kemudian mereka lalu bersembahyang.
Kemudian
datanglah giliran para anggota yang jumlahnya tiga puluh tujuh orang itu untuk
melakukan sembahyang dan selesailah sudah upacara sembahyangan ini. Kini tiba
giliran para tamu untuk memberi selamat kepada Thai-san-pai dan menyampaikan
bingkisan-bingkisan sebagai tanda mata.
Bukan main
gembiranya suasana di saat itu. Apa lagi ketika berbondong-bondong datang
rombongan sahabat-sahabat Ketua Thai-san-pai, terjadilah gelak tawa, wajah
berseri-seri dan berisiklah orang bercakap-cakap. Betapa hati Beng San tidak
akan girang menerima sahabat-sahabat lama dari partai-partai persilatan besar
Siauw-lim-pai, Kong-thong-pai, dan Go-bi-pai. Bahkan yang membuat ia luar biasa
bergembira adalah hadirnya Ketua Kun-lun-pai, sahabat lamanya yang bernama Bun
Lim Kwi bersama puteranya, Bun Wan.
Tentu saja
sahabat dan calon besan ini mendapat penyambutan hangat sekali dan suami isteri
Thai-san-pai ini diam-diam merasa makin gembira melihat calon mantu mereka, Bun
Wan. Pemuda itu ternyata gagah sekali, dengan tubuh tinggi besar dan tegap.
Alisnya hitam berbentuk golok, matanya penuh kejujuran dan kesetiaan, sedang
gerak-geriknya membayangkan bahwa dia merupakan seorang pemuda yang tinggi ilmu
silatnya, patut menjadt putera ketua Kun-lun-pai, dan calon mantu Ketua
Thai-san-pai.
Akan tetapi,
ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah tunangannya, Cui Bi membuang muka dan
bersembunyi di belakang para anak murid Thai-san-pai. Ia diam-diam harus
mengakui bahwa tunangannya itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi karena
hatinya telah terampas oleh pemuda Hoa-san-pai yang sederhana itu, mana ia mau
memandang tunangannya lagi?
Ketika
ibunya menarik tangannya ke depan, terpaksa dia memberi hormat kepada ‘calon
ayah mertuanya’ tanpa sepatah kata-kata pun, lalu dia bersembunyi lagi...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment