Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 21
Tongkat itu
lewat kemudian langsung membabat kembali dan menyerang dada. Kun Hong
terhuyung-huyung mundur, kakinya bergerak…
"Set-set-set!"
Dengan tubuh
melengkung ke sana ke mari, dua tangannya dikembangkan, kadang kala ia berdiri
di kedua ujung jari kakinya seperti penari balet! Gerakannya lucu seperti badut
menirukan penari-penari balet, namun hebatnya, semua serangan Toat-beng Yok-mu
tak pernah menyentuh kulitnya. Sin Lee, Cui Bi, Li Eng dan Hui Cu biar pun
sudah mengenal baik pemuda itu, kini tetap meragu dan gelisah.
"Wah,
Saudara Kun Hong benar-benar gegabah sekali. Kakek itu lihai dan
berbahaya," kata Kong Bu perlahan.
Sin Lee
melongo dan memandang dengan mata terbelalak. "Aneh... aneh..."
Ia
mengucapkan kata-kata ini berkali-kali karena makin lama makin jelas melihat
gerakan-gerakan yang menyerupai gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari
ibunya. Kaki itu, tangan itu yang dikembangkan, memang agak berbeda dan tidak
‘asli’ lagi, tapi lebih praktis lebih hebat. Apakah hal ini kebetulan saja?
Akan tetapi
orang-orang ini menjadi tenang ketika mendengar suara Beng San perlahan,
"Tak usah kuatir. Yok-mo takkan dapat menangkan Kun Hong. Hebat... Hebat
orang muda itu..."
Toat-beng
Yok-mo menjadi merah mukanya seperti udang direbus. Ia merasa penasaran sekali,
juga merasa dipermainkan di depan banyak tokoh kang-ouw. Tongkatnya bergerak
makin cepat tenaganya dikerahkan sehingga tongkatnya itu seakan-akan berubah
menjadi puluhan batang yang menghadang dan menyerang tubuh Kun Hong dari segala
penjuru.
Akan tetapi
gerakan pemuda itu hebat sekali. Kelihatannya terhuyung-huyung, jongkok,
berdiri, berloncatan ke kanan kiri, malah ada kalanya membanting tubuh
bergulingan, ada kalanya menari-menari dengan kedua lengan dikembangkan dan
berdiri di ujung jari kaki. Akan tetapi seluruh gerakan ini seirama dengan
jurus-jurus serangan Toat-beng Yok-mo sehingga semua penyerangan itu gagal.
Menyerang pemuda ini sama susahnya dengan menyerang bayangan sendiri!
"Iblis!
Siluman! Hayo balas serang kalau kau memang laki-laki!" teriak Yok-mo
dengan suara keras, saking marahnya.
"Sudahlah,
Yok-mo. Kau tidak bisa mengalahkan aku, tidak bisa merobohkan aku, apakah kau
masih belum mau terima juga?" kata Kun Hong sambil mengelak lagi dari
sambaran tongkat dengan cara yang aneh, yaitu tubuhnya bagian atas meliuk ke
kanan kiri tanpa menggeser kaki, seperti sebatang rumput alang-alang tertiup
angin besar.
Para
penonton mulai bersorak-sorak dan terheran-heran. Bahkan golongan tua yang juga
menonton pertunjukan ini saling pandang tidak percaya. Apakah Yok-mo yang
main-main ataukah mata mereka yang sudah tidak terang lagi? Benar-benar belum
pernah mereka melihat hal semacam itu, bahkan teori persilatan yang mana pun
belum pernah mereka mendengar apa lagi melihat.
Hanya Beng
San seorang yang mengangguk-angguk puas. Dugaannya ternyata tidak keliru.
Pemuda itu ternyata mempunyai kepandaian tinggi, malah dia dapat merasa bahwa
dasar ilmu yang berupa langkah-langkah sakti itu mirip dengan dasar ilmu
silatnya sendiri, mirip dengan dasar Im-yang Sin-hoat.
Hanya
bedanya, kalau Im-yang Sin-hoat dikembangkan menjadi ilmu pedang yang sakti,
adalah ilmu yang dimiliki pemuda itu bercampur dengan gerakan-gerakan seekor
burung sakti. Cara mengelak itu tidak salah lagi mempergunakan unsur Im dan
Yang, akan tetapi gayanya adalah gaya pengelakan seekor burung.
Ia makin
kagum, lebih-lebih kalau ia ingat betapa pemuda itu dengan rapat sekali dapat
menjaga menutupi kepandaiannya yang jelas membayangkan sifat merendah, watak
yang tidak suka menonjolkan diri, apa lagi berdasar watak welas asih yang tidak
suka melihat bunuh-bunuhan.
"Iblls
cilik, buat apa kau memegang pedang? Hayo serang aku bila kau memang memiliki
kepandaian!"
"Aku
tidak berkepandaian apa-apa, akan tetapi kalau kau minta aku balas menyerang,
boleh, Nah, jaga pedangku ini!"
Kun Hong
menggerakkan pedangnya yang masih terbalik cara memegangnya itu. Tangan
kanannya bergerak seperti memukul biasa dan tahu-tahu pedang itu membabat di
pinggir lengannya, seperti seekor ayam jantan menggunakan jalu kakinya untuk
menyerang, atau seperti seekor burung menerjang lawan menggunakan kakinya.
Yok-mo
menangkis sambil mengerahkan tenaga dengan maksud membuat pedang lawan
terlepas. Akan tetapi, begitu terdengar suara nyaring beradunya dua senjata
itu, Yok-mo merasa lengannya sakit-sakit dan tubuh Kun Hong terpental ke atas!
Ternyata
tubuh itu ringan sekali sehingga benturan senjata dapat membuat dia terpental,
tetapi tidak mempengaruhi keadaannya, malah dari atas ia lalu menukik ke bawah
seperti seekor burung mematuk. Pedangnya mendahuluinya menusuk, kedua kakinya
bergantian menendang sedangkan tangan kirinya juga menampar dari samping.
Sekaligus Yok-mo menghadapi dua tendangan, satu tamparan dan satu tusukan!
"Ahhhh!"
Sin Lee berseru sambil berdiri dari kursinya. Itulah gerakan Rajawali Mematuk!
Tapi yang ini hebat sekali, lebih hebat dari pada gerakannya sendiri.
Yok-mo
terkejut bukan main, cepat dia menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah
pedang sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba gerakan tongkatnya
terhenti dan tahu-tahu tongkat itu sudah dicengkeram oleh tangan kiri Kun Hong!
Ketika Yok-mo hendak membetot, kaki Kun Hong sudah menendang ke arah tangannya
sehingga kakek ini terpaksa melepaskan tongkatnya dan melompat mundur. Akan
tetapi terlambat, ujung pedang Kun Hong sempat menggaris tengkuknya, membuat
luka memanjang yang tidak dalam namun cukup merobek baju dan kulit.
"Ahhh,
aku menyesal sekali. Aku tidak sengaja..." Kun Hong berseru dan
mengembalikan tongkat kepada Yok-mo.
Saking
malunya, muka Yok-mo menjadi merah menghitam. Dia segera menerima tongkat dan
tiba-tiba ia menekuk tubuhnya, membungkuk-bungkuk dan merintih-rintih,
"Aduh...
aduh... perutku... kambuh sakitnya..."
Kun Hong
adalah seorang yang penuh welas asih, sama sekali tidak menaruh dendam kepada
kakek itu. Melihat muka orang yang menyeringai kesakitan, dia cepat menyimpan
pedangnya dan menghampiri.
"Ada
apa? Apanya yang sakit? Biarlah aku memeriksanya, Yok-mo."
Ia lalu
berlutut dan mengulurkan kedua tangan memeriksa bagian perut kakek itu. Akan
tetapi tiba-tiba Yok-mo menggerakkan tongkatnya menghantam kepala Kun Hong
sambil menendang dengan kaki ke arah dada pemuda itu!
"Heh!
Curang!" Tubuh Beng San melayang ke atas panggung.
Juga para
penonton berteriak-teriak, "Curang... curang...!"
Kun Hong
kaget sekali, tapi dengan cepat tubuhnya meliuk ke belakang, pukulan tongkat
pada kepalanya meleset, akan tetapi dadanya kena tendang sehingga ia
terjengkang dan bergulingan ke belakang. Anehnya, ia bangun lagi dan sama
sekali tidak apa-apa! Namun sebaliknya, Yok-mo muntah-muntah darah lantas roboh
dan napasnya putus!
Apa yang
terjadi? Kiranya tadi Kun Hong benar-benar hendak mengobatinya dan ketika itu
pemuda ini dengan kedua tangannya sudah mencengkeram jalan darah di kanan kiri
perut kakek itu. Tentu saja ia melakukan hal ini dengan maksud baik karena
hendak mengobati. Siapa kira kakek itu malah memukul dan menendangnya.
Gerakan ini
sebetulnya sama sekali pantang bagi orang yang urat perutnya dicengkeram, maka
begitu menendang, kakek itu merasa perutnya mual dan sakit. Kiranya urat-urat
di dalam perutnya sudah hancur dan membanjir ke dalam perut sehingga nyawanya
tidak dapat diselamatkan lagi.
Kun Hong
berdiri melongo. Ia masih belum tahu apa yang menjadi sebab kematian kakek itu.
Wajahnya menjadi agak pucat.
"Aku...
aku tidak bermaksud membunuhnya... aku tidak membunuh...," katanya
berulang kali kepada Beng San yang sudah berada di panggung.
Beng San
menepuk-nepuk pundak Kun Hong lalu diajaknya pemuda itu turun panggung. Dia
lalu memerintahkan anak buah Thai-san-pai untuk menurunkan mayat Yok-mo dan
mengurusnya baik-baik.
"Jangan
berduka, Kun Hong, Yok-mo tewas karena kesalahannya sendiri, bukan karena
kau." Beng san menghibur, melihat wajah muram pemuda itu. "Kau hendak
menolongnya, sebaliknya ia justru membalas dengan tendangan dan pukulan, memang
telah kehendak Thian bahwa siapa yang jahat takkan selamat."
Pada saat
itu di atas panggung sudah muncul seorang kakek tua bertubuh kecil dengan muka
tersenyum-senyum dan sepasang mata liar. Inilah Siauw-ong-kwi, kakek tokoh dari
utara yang amat terkenal di dunia kang-ouw.
Kakek ini
sebetulnya jeri menghadapi Beng San yang dia tahu memiliki ilmu silat hebat.
Akan tetapi karena dalam pengeroyokan kemarin dulu dia yakin betul bahwa Beng
San telah terluka dalam parah sekali, sekarang ia hendak mempergunakan
kesempatan untuk mengalahkan musuh ini dan mengangkat nama sendiri, sekalian
untuk membalas dendam atas kematian muridnya, Giam Kin, di tempat itu. Giam Kin
celaka dan tewas oleh Kwa Hong, tapi sekarang Kwa Hong sudah tewas pula, maka
sudah sepatutnya ia membalas kepada Beng San.
"Aku
menantang kepada Ketua Thai-san-pai untuk menunjukkan kepandaiannya sebagai
Ketua Thai-san-pai. Jika ketua Thai-san-pai bersembunyi di belakang orang-orang
muda, biarlah kuanggap dia tak berani karena aku tidak sudi melawan orang-orang
muda."
Beng San
maklum bahwa kakek dari utara ini sengaja menantang dia karena tahu bahwa dia
kemarin dulu terluka. Malah harus ia akui bahwa sekarang pun tenaganya belum
pulih kembali sedangkan Siauw-ong-kwi terkenal sebagai seorang ahli ilmu silat
tangan kosong yang mengandalkan tenaga dalam.
Tentu saja
kakek ini baginya bukan apa-apa kalau ia tidak terluka sedemikian hebatnya
sehingga hampir saja nyawanya melayang kalau tidak tertolong oleh Kun Hong.
Sekarang pun andai kata mereka harus bertanding dengan senjata, pedangnya sudah
pasti akan dapat mengatasi kakek ini. Ia bangkit dari tempat duduknya
perlahan-lahan.
"Perlu
apa melayani orang gila itu?" Li Cu segera melarang. "Biarlah aku
saja yang maju melayaninya."
Beng San
menggeleng kepalanya dan memberi isyarat kepada isterinya supaya duduk kembali,
"Kau tidak boleh bertempur, jaga kandunganmu," jawabnya perlahan.
"Ayah,
aku sanggup menghadapinya!" Cui Bi bangkit. "Kesehatanmu belum pulih,
biar aku mewakilimu menghajar kakek gila itu."
"Aku
pun sanggup menghadapinya," kata Kong Bu.
"Biar
aku saja, Ayah," kata pula Sin Lee.
"Paman
masih belum sehat benar, biarlah saya mewakili Paman," bahkan Li Eng pun
tak mau ketinggalan.
Beng San
tersenyum dan hatinya bangga, tapi ia menggeleng kepalanya lagi.
"Siauw-ong-kwi
tadi menyatakan takkan melayani orang muda dan ia sengaja menantang kepadaku.
Walau pun aku harus menghemat tenaga memulihkan kesehatan, akan tetapi
setidaknya satu kali aku harus naik panggung, kalau tidak demikian Thai-san-pai
akan dipandang rendah orang. Biarlah, aku masih kuat melayani dia.”
Setelah
berkata demikian, Beng San lalu berjalan menuju panggung dengan langkah lebar
dan tenang, kemudian meloncat ke atas panggung disambut sorak-sorai para tamu
yang mengaguminya. Dengan hormat Beng San menjura kepada tamunya, lalu menjura
kepada Siauw-ong-kwi yang kini berdiri di hadapannya sambil memandang tajam dan
tersenyum menyeringai.
"Siauw-ong-kwi
apakah kau merasa penasaran karena kegagalan kemarin dulu dan ingin merobohkan
aku selagi terluka hebat? Mengapa kau begini membenciku, juga membenci
Thai-san-pai yang pendiriannya sama sekali tidak merugikan dan
menganggumu?"
Sikap sabar
mengalah dari Beng San ini diterima keliru oleh Siauw-ong-kwi, dikira bahwa
Ketua Thai-san-pai ini takut.
"Ha-ha-ha,
kau berani mendirikan perkumpulan persilatan baru, sudah sepatutnya berani
menghadapi tantangan. Kebetulan sekali perhitungan lama dapat dibereskan
sekarang, kini perlihatkanlah kemampuanmu mempertahankan nama Thai-san-pai yang
kau dirikan dengan mengalahkan aku, ha-ha-ha!"
"Siauw-ong-kwi,
semenjak dulu kau gemar berkelahi, gemar memperlihatkan kepandaian, apa kau
kira di dunia ini tidak ada lain orang yang lebih pandai dari padamu? Kau tahu
aku terluka karena pengeroyokan curang, sekarang kau hendak menggunakan
keadaanku untuk mendapatkan kemenangan, apakah ini sikap yang patut dipuji dari
seorang tokoh besar sepertimu?"
"He,
Ketua Thai-san-pai. Apakah kau takut? Ha-ha-ha, lihatlah, aku akan menghadapimu
dengan tangan kosong, kalau takut, pakailah pedangmu, pedang Liong-cu-kiam,
biar aku bertangan kosong saja karena kau bilang bahwa kau sedang tidak enak
badan," kakek itu tertawa-tawa lagi. Ucapannya ini dikeluarkan dengan keras
agar semua tamu mendengar.
Beng San
maklum bahwa kata-kata itu dikeluarkan justru agar ia tidak mempergunakan
pedangnya. Dia maklum akan kelicikan orang ini, maka ia mengeraskan hatinya,
hendak melawan Siauw-ong-kwi tanpa pedang! Ia hendak memperlihatkan bahwa biar
pun dalam keadaan terluka, biar pun tanpa pedang, dia masih sanggup
mempertahankan kebesaran Thai-san-pai yang baru saja didirikannya.
"Siauw-ong-kwi,
dengan senjata mau pun tidak, aku selalu siap melayanimu!" jawabnya dengan
tenang, tapi di dalam suaranya yang tenang ini terkandung kekerasan.
Terdengar
suara Kun Hong berseru nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu, "Ketua
Thai-san-pai sedang menderita sakit, tenaganya belum pulih semua, bagaimana
orang tak tahu malu menantangnya berkelahi? Kalau dengan senjata masih
mendingan, tapi tanpa senjata, bukankah itu berarti orang mempergunakan tipu
muslihat dan hendak mencapai kemenangan secara curang?"
Beng San
berterima kasih kepada Kun Hong, akan tetapi ia menoleh dan memberi isyarat
dengan tangan agar supaya pemuda itu duduk kembali.
Benar saja,
keterangan Kun Hong ini mendatangkan suara berisik di antara para tamu yang
sekarang menganggap bahwa Siauw-ong-kwi bersikap licik sekali. Sudah tahu akan
keadaan tuan rumah tapi hendak menggunakan kesempatan itu mencapai kemenangan.
Dan
diam-diam mereka amat kagum melihat tuan rumah, biar pun tengah menderita sakit
tapi berani menyambut tantangan tanpa senjata. Hati mereka berdebar penuh
ketegangan karena maklum bahwa sebentar lagi tentu terjadi pertempuran
mati-matian.
Siauw-ong-kwi
tidak senang mendengar seruan pemuda itu, maka supaya jangan sampai
berlarut-larut pikiran dan pendapat para tamu, ia segera menerjang sambil
berseru, "Tan Beng San, jagalah pukulanku ini!"
Beng San
menangkis pukulan pertama itu.
"Dukk!"
dua lengan bertemu.
Siauw-Ong-kwi
mundur tiga langkah dan Beng San hanya mundur selangkah, akan tetapi Ketua
Thai-san-pai ini merasa dadanya sesak sehingga diam-diam ia mengeluh.
Ia tadi
sengaja hendak mencoba tenaga lawan, juga hendak memeriksa keadaan sendiri.
Ternyata walau pun tenaganya sebagian besar sudah pulih dan dia sanggup
mengatasi lawan, tetapi pengerahan tenaga yang terlalu besar akan membuat
lukanya di dalam dada kambuh kembali!
Di lain
pihak, Siauw-ong-kwi kaget setengah mati. Sama sekali tak pernah disangkanya
bahwa Beng San masih akan mempunyai tenaga sehebat itu. Bukankah kemarin dulu
ia melihat sendiri betapa hebat luka-luka yang diderita Ketua Thai-san-pai?
Yok-mo
sendiri sebagai seorang ahli pengobatan kemarin dulu menyatakan bahwa Ketua
Thai-san-pai itu tidak akan dapat hidup lebih dari tujuh hari melihat
luka-lukanya. Mengapa sekarang tidak saja kelihatan sehat, malah tenaganya
masih sehebat itu? Diam-diam ia meragu dan mulai menyesal mengapa ia gegabah
menantang. Kemarin dikeroyok begitu banyak orang saja mereka tidak mampu
menewaskan Beng San, apa lagi sekarang satu lawan satu.
Akan tetapi
karena sudah tidak dapat mundur lagi, Siauw-ong-kwi menjadi nekat. Sambil
mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring tokoh dari utara ini kembali menerjang
maju, menggunakan ilmunya yang paling lihai, yaitu pukulan-pukulan dengan ujung
lengan baju yang menyembunyikan pukulan-pukulan tangannya yang mengandung
tenaga lweekang hebat, di samping ini diselingi pula dengan ilmu menangkap dan
mencengkeram model Mongol.
Makin lama
Beng San merasa dadanya makin sesak. Akan tetapi seujung rambut pun ia tidak
mundur, sama sekali ia tidak memperlihatkan penderitaannya, malah ia menandingi
serangan Siauw-ong-kwi dengan cara keras lawan keras. Semua serangan serta
pukulan kakek itu ia tolak mundur dengan pukulan-pukulannya yang mengandung uap
putih.
Akan tetapi
pukulan-pukulan ini membutuhkan pengerahan lweekang yang hebat, maka tentu saja
makin lama keadaan dalam tubuh Beng San semakin payah dan tidak dapat dicegah
pula, gerakannya menjadi lambat meski pun ia masih bertekad mempergunakan
tenaga dalamnya sekuat mungkin tanpa mempedulikan keselamatan sendiri.
Kelambatan
gerakan Beng San ini, kepucatan wajahnya dan sedikit darah yang keluar dari
pinggir bibirnya, membuat Siauw-ong-kwi girang sekali. Kini tahulah kakek itu
bahwa lawannya ini sebetulnya terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya akan
tetapi nekat dan pura-pura tidak menderita.
Melihat
gerakan lawan menjadi kendur, cepat seperti kilat Siauw-ong-kwi mencengkeram
dan tidak dapat dicegah lagi pergelangan tangan kanan Beng San terancam
cengkeraman yang berbahaya sekali. Tidak ada lain jalan bagi Beng San kecuali
melawan keras dengan keras. Dia membuka jari-jari tangan kanannya dan menyambut
cengkeraman itu dengan cengkeraman pula.
Siauw-ong-kwi
tertawa mengejek. Ilmu mencengkeram merupakan ilmu khusus baginya, sedangkan
Beng San adalah seorang ahli pedang dan ahli pukulan, bagaimana dalam keadaan
terluka dalam berani menyambut cengkeramannya?
Dua buah
tangan itu bertemu, tak dapat dicegah lagi jari-jarinya saling cengkeram. Beng
San merasa dadanya bagaikan tertusuk-tusuk. Akan tetapi ia menahan napas,
kemudian mengerahkan tenaga melawan desakan tenaga dalam lawan.
Sambil
menggereng seperti binatang, Siauw-ong-kwi mengangkat tangan kanannya untuk
menghantam ke arah kepala Beng San. Ketua Thai-san-pai ini tentu saja tidak mau
begitu saja menerima hantaman. Ia mangangkat juga tangan kirinya dan menyambut
hantaman itu dengan jotosan pula.
"Dukkk!"
Dua pukulan
tangan bertemu di udara, sementara tangan yang satunya masih saling cengkeram.
Siauw-ong-kwi mengeluarkan suara seperti orang kena ditendang perutnya
sedangkan Beng San gemetar seluruh tubuhnya. Dengan nekat Siauw-ong-kwi memukul
lagi, segera diterima lagi oleh kepalan tangan Beng San. Setiap kedua pukulan
bertemu, Siauw-ong-kwi tentu mengeluarkan suara,
"Hukkk!"
seperti tertendang perutnya sedangkan tubuh Beng San makin keras menggigil.
Akan tetapi
kakek itu yang menjadi penasaran dan nekat, memukul terus, selalu ditangkis
seperti tadi oleh Beng San.
Pergulatan
mati-matian ini diikuti oleh para tamu dengan hati penuh ketegangan dan pihak
tuan rumah tentu saja merasa cemas bukan main. Sin Lee, Cui Bi dan Kong Bu
sudah berdiri dengan pucat. Hanya karena pencegahan Li Cu saja ketiga orang
muda ini tidak meloncat ke atas panggung untuk menolong ayah mereka.
"Jangan
bantu, jangan...," Li Cu berkata perlahan dengan suara mengandung isak,
"ayah kalian akan marah... hal itu akan hina baginya dan lebih hebat dari
pada mati..."
Dapat dibayangkan
alangkah gelisah hati Li Cu. Akan tetapi nyonya ini kenal betul akan watak
suaminya. Malah ia sendiri pun sebagai puteri pendekar besar dan isteri
pendekar sakti, juga mempunyai pandangan yang sama.
Dalam
pertandingan satu lawan satu seperti itu, biar pun harus menyaksikan suami
tewas di depan mata, tidak mungkin dia mau turun tangan membantu. Berbeda
soalnya kalau suaminya dikeroyok seperti yang terjadi kemarin dulu.
Sekarang
mereka bertempur di atas panggung, disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw, dan
Siauw-ong-kwi tadi mengajukan tantangan yang diterima oleh Beng San. Tidak ada
kecurangan atau main paksa di sini, yang ada hanya pertandingan bebas seorang
lawan seorang, cukup adil biar pun keadaan suaminya sedang sakit.
Kun Hong
beberapa kali menutup mukanya. Dia tidak tahan melihat pertandingan yang
merupakan perjuangan antara mati dan hidup ini. Namun telinganya masih
mendengar pertemuan dua kepalan bertubi-tubi itu.
"Dukk...!
Dukk...!"
Ingin dia
mencegahnya. Akan tetapi mendengar ucapan Li Cu tadi, dia pun tidak berani
bergerak. Tak tega ia melihat muka Beng San karena tadi ia terlihat pucat dan
bahkan kehijauan seperti bukan muka manusia lagi, lebih pucat dari muka mayat.
Dia memang
tidak mengenal keadaan Beng San yang sebenarnya, tidak tahu bahwa di dalam
tubuh pendekar sakti ini sudah mengalir hawa Im dan Yang, yaitu dua hawa yang
bertentangan dan amat kuat, yang menghuni tubuhnya sehingga sewaktu-waktu
mukanya bisa merah sampai menghitam, dan ada kalanya muka yang gagah itu bisa
berubah pucat sampai menghijau. Perubahan warna wajah Beng San adalah pengaruh
dari dua macam hawa sakti di tubuhnya itu, terdorong dari keadaan dan
perasaannya di waktu itu.
"Dukk...!
Dukk...! Dukk...!"
Kedua
kepalan tangan itu masih saling bertemu bertubi-tubi dan makin lama makin
keras. Siauw-ong-kwi yang merasa penasaran memandang dengan mata mendelik,
sebaliknya Beng San yang mukanya kehijauan itu menatap tajam.
Keduanya
berhenti sebentar, tangan mereka yang saling mencengkeram masih menjadi satu,
napas mereka terengah-engah. Kemudian Siauw-ong-kwi meramkan dua matanya,
menahan napas atau lebih tepat menarik napas dalam, mengumpulkan seluruh
tenaganya pada tangan kanannya. Beng San yang maklum akan hal ini pun
mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya pada lengan kiri sehingga lengan itu
mengeluarkan uap putih.
Siauw-ong-kwi
mengayunkan tangan kanan, jari-jarinya dibuka, dengan tangan terbuka menghantam
ke depan hebat bukan main. Beng San juga mengayun tangan kiri dengan jari-jari
terbuka, didahului uap putih.
"Dessss!"
Kedua
telapak tangan berseru, hampir tak mengeluarkan suara, namun akibatnya hebat
sekali. Tubuh Siauw-ong-kwi terpelanting sampai ke bawah panggung, bergulingan
di atas tanah, sedangkan tubuh Beng San terpental ke belakang,
terhuyung-huyung, akan tetapi pendekar ini masih dapat berdiri, lalu tiba-tiba
mulutnya dibuka dan... ia muntahkan darah segar banyak sekali.
Li Cu
merintih dan mencelatlah tubuhnya ke atas panggung, lalu memeluk suaminya dan
dituntun turun panggung perlahan-lahan.
Ada pun
Siauw-ong-kwi, sesudah bergulingan kemudian merangkak bangun, tertawa-tawa
dengan suara menyeramkan, namun melihat mukanya yang membiru, para tokoh
berilmu di sana maklum bahwa kakek ini menderita luka dalam yang luar biasa
parahnya. Dari pinggir mulutnya juga mengalir darah menghitam!
Sambil
terkekeh-kekeh Siauw-ong-kwi menengok ke sana ke mari, lantas menghampiri
tempat tamu di mana rombongan Kun-lun-pai duduk. Ia menghampiri Ketua
Kun-lun-pai, Bun Lim Kwi yang segera berdiri dengan ragu-ragu dan curiga karena
kakek aneh itu jelas hendak mendekatinya. Siauw-ong-kwi berdiri di depan Bun
Lim Kwi dan Bun Wan yang juga sudah bangkit berdiri di sebelah ayahnya menjaga
segala kemungkinan.
Siauw-ong-kwi
meroboh saku bajunya, mengeluarkan kertas yang digumpal-gumpal lalu...
menyambitkan kertas ini ke arah Bun Wan. Pemuda ini cepat-cepat mengulur tangan
dan menyambut gumpalan kertas itu. Dia merasa tangannya tergetar namun kertas
itu dapat ditangkapnya. Ini saja menandakan bahwa ia telah mewarisi kepandaian
ayahnya.
"Heh-heh-heh,
selamat... selamat...!"
Secara aneh
Siauw-ong-kwi mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi selamat.
"Selamat berbesan dengan ketua Thai-san-pai yang sakti!" Lalu ia
membalikkan tubuh, terhuyung-huyung, menghampiri Pak-thian Lo-cu, berkata
perlahan,
"Suheng,
balaskan nyawaku..." lalu ia melompat dan lari terhuyung-huyung, sebentar
saja lenyap dari tempat itu.
Bun Wan dan
ayahnya duduk kembali. Pemuda ini membuka gumpalan kertas, kedua matanya
membaca, wajahnya tiba-tiba pucat dan matanya terbelalak seakan-akan tidak
percaya akan isi kertas bertulis itu. Ayahnya melihat hal ini, lalu mengambil
kertas dari tangan anaknya dan membacanya. Ketua Kun-lun-pai ini juga
membelalakkan sepasang matanya, mukanya merah sekali.
Dia melihat
Bun Wan bergerak di kursinya hendak berdiri, lalu ia menyentuh lengannya,
diberi isyarat supaya tenang dan duduk kembali. Kadang-kadang dia menengok ke
arah rombongan tuan rumah, mukanya sebentar pucat sebentar merah.
Dengan cepat
Kun Hong memeriksa keadaan Beng San setelah Ketua Thai-san-pai ini duduk
kembali di kursinya.
"Syukur..."
bisik pemuda ini perlahan, "isi dada Paman memang tergetar hebat, tenaga
dalam hampir habis, akan tetapi benar-benar Paman hebat sekali, dapat menahan
semua itu. Tak berbahaya, dengan istirahat beberapa pekan akan sembuh kembali.
Tapi Paman sekarang tidak boleh mengerahkan tenaga dalam lagi, bisa berbahaya sekali."
Beng San
mengangguk dan tersenyum duka. Tidak disangkanya bahwa perkumpulannya baru
dibuka saja sudah harus menghadapi persoalan sehebat ini. Ia juga menyesal akan
kenekatan Siauw-ong-kwi yang ia tahu menderita luka parah dan agaknya sukar
tertolong nyawanya. Pihak tuan rumah demikian sibuk dan gelisah tadi
menyaksikan keadaan Beng San sehingga peristiwa di rombongan Kun-lun-pai tadi
tak seorang pun di antara mereka melihatnya.
Sementara
itu, di atas panggung berdiri seorang kakek tua renta. Kakek ini bukan lain
adalah Pak-thian Locu, Di atas panggung ia kelihatan begitu tua dan
kelihatannya lemah sekali sehingga tubuhnya tak pernah dapat berdiri diam,
selalu bergoyang-goyang seperti rumput tertiup angin. Agaknya kalau ada angin
keras tubuh itu takkan kuat berdiri lagi. Tapi dalam penglihatan para ahli,
tubuh yang bergoyang-goyang ini bahkan menandakan bahwa kakek ini memiliki
tenaga lweekang yang sudah mencapai puncaknya!
"Haaii,
Ketua Thai-san-pai! Kau benar-benar kosen, sudah mampu menewaskan sute-ku. Hayo
jangan kepalang, majulah lagi dan lawanlah aku, suheng dari Siauw-ong-kwi.
Kalau hari ini aku Pak-thian Locu tewas di tanganmu, aku pun takkan merasa
penasaran lagi!"
Mendengar
suara ini, Beng San bergerak dalam kursinya. Akan tetapi Li Cu merangkul dan
membujuknya, "Kau tidak mungkin sanggup melawannya. Kau tidak boleh
bertanding lagi!"
"Ayah,
biarkan aku mewakilimu!" kata-kata ini hampir berbareng keluar dari mulut
Cui Bi, Kong Bu dan Sin Lee.
Beng San
menggoyang-goyang tangannya. "Tidak boleh... tidak boleh... dia lihai
sekali. Pukulannya penuh hawa yang tak terlawan, aku pun hampir tidak kuat
menandinginya. Tidak boleh kalian maju, kalian... anak-anakku... bisa celaka di
tangannya!" Ia bangkit berdiri. "Hanya aku seorang yang kuat
menghadapi tenaganya yang mukjijat."
"Jangan...
sekarang kau sudah terluka hebat, mana bisa melawannya? Biarlah aku yang
melawannya, belum tentu pula aku kalah melawan tua bangka itu!" Li Cu
berkata sambil memandang marah ke arah panggung.
"Apa
aku gila membiarkan kau dan anak yang kau kandung terancam bahaya? Tidak, ini
adalah urusan Thai-san-pai, urusanku. Apa artinya mati dalam mempertahankan
nama dan kehormatan? Anak-anak pun tidak boleh maju karena aku tahu pasti bahwa
seorang di antara kalian bukan lawannya. Aku seoranglah yang bertanggung
jawab!"
"Paman!"
tiba-tiba Kun Hong memegang tangan Beng San dan berkata tegas, "Aku tidak
mendahului kehendak Tuhan. Akan tetapi aku yakin betul bahwa kalau kali ini
Paman bertanding, jangankan bertemu dengan ahli lweekang, biar pun bertemu
dengan seorang yang lebih rendah tingkatannya dari Siauw-ong-kwi tadi, Paman
akan terluka hebat dan sukar ditolong lagi. Paman biarlah aku saja
menandinginya, aku mempunyai akal untuk mengalahkannya."
Beng San
tersenyum, menepuk-nepuk bahu pemuda itu. "Kau memang hebat, akan tetapi
kakek itu lain lagi, Kun Hong. Tak bisa kau samakan dengan Yok-mo. Kau memang
bisa mengendalikan langkah-langkah ajaib itu untuk menyelamatkan diri dari
semua serangan cepat, akan tetapi tak mungkin kau dapat menggunakannya untuk
menghindarkan diri dari pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga lweekang luar
biasa. Tidak, tidak layak aku mengorbankan kau yang sudah berjasa sangat besar
terhadap Thai-san-pai dan aku." Keputusan Beng San sudah bulat, ia sudah
nekat.
Di atas
panggung, kakek itu tertawa-tawa, "He, Ketua Thai-san-pai. Apakah kau
sedang meninggalkan pesan-pesan terakhir kepada sanak keluargamu? Mengapa kau
tak juga muncul? Ataukah barangkali kau takut mati? Kalau begitu kau tak patut
menjadi pendiri Thai-san-pai."
Beng San
sudah berdiri dan tangan kanannya meraba gagang pedang di punggungnya.
"Dengan ilmu pedangku aku akan dapat mengatasinya," katanya lirih.
"Paman,
aku mempunyai satu cara untuk membangkitkan tenaga dalammu dalam waktu singkat.
Harap Paman suka duduk, biarlah aku mengerjakannya."
Karena sudah
percaya betul akan kepandaian Kun Hong mengobati, Beng San percaya saja bahwa
pemuda aneh ini benar-benar akan dapat melakukan hal yang luar biasa ini.
Memang ia merasa betapa hawa murni di dalam dirinya berputaran kacau, dan ia
merasa lemah sekali. Ia lalu duduk dan meramkan mata hendak menerima pengobatan
aneh itu.
Kun Hong
mendekatinya, berkedip aneh kepada Li Cu, meraba punggung dan leher lalu
menotok jalan darah kedua tempat itu dengan amat cepatnya. Seketika Beng San
menjadi lemas, tak mampu bergerak lagi dan tidak mampu mengeluarkan suara lagi.
Pendekar ini
kaget bukan main, akan tetapi apa dayanya. Ia hanya dapat memandang kepada
pemuda itu yang sekarang telah berjalan menuju ke panggung, kemudian tubuh
pemuda itu tahu-tahu melayang ke atas panggung.
Sekarang Kun
Hong tidak mau berpura-pura lagi. Ia menghadapi keadaan gawat, maka ia
mempergunakan kepandaiannya naik ke panggung. Gerakan ini disambut
seruan-seruan heran, bahkan juga dari mulut Li Cu dan para muda.
Li Eng dan
yang lain sama sekali tidak tahu cara apa yang dipergunakan oleh Kun Hong untuk
melayang naik. Tidak kelihatan pemuda itu menggerakkan kaki mengenjot tanah,
tidak kelihatan menekuk lutut untuk menghimpun tenaga meloncat, tapi tahu-tahu
kedua lengannya berkembang dan tubuhnya naik ke panggung seperti burung terbang
saja. Sin Lee mengenal gerakan ini, akan tetapi ia sendiri tidak akan mampu
melakukannya tanpa menekuk dan mengenjot tanah.
Kakek tua
renta menyambut kedatangan Kun Hong dengan senyum mengejek kemudian mendengus,
"Huh, kau pemuda yang melawan Yok-mo tadi? Apakah, Thai-san-pai begitu
pengecut untuk ajukan seorang bocah semacammu? Apa kehendakmu ke sini? Jangan
main-main, usiamu masih muda, sayang kalau kau mampus sia-sia saja, orang muda.
Heee, Thai-san-pai, lebih baik mengirim tokoh yang lebih sakti dan matang,
jangan malah mengirim seorang bocah cilik!"
"Locianpwe,
tenanglah dan dengarlah lebih dulu omonganku, biar disaksikan oleh sekalian
cianpwe yang hadir di sini," Kun Hong berkata, suaranya terdengar aneh dan
menggema seperti suara yang datang dari angkasa sehingga membuat terkejut semua
orang, juga kakek itu sendiri.
"Tak
perlu disembunyikan lagi bahwa Paman Tan Beng San Ketua Thai-san-pai sedang
menderita luka parah dan tidak mungkin dapat bertanding pula. Mungkin para
Cianpwe tidak mengetahui, tapi hal ini kau mengetahui baik-baik Locianpwe,
bahwa Paman telah menderita luka berat akibat pengeroyokan yang curang. Kau pun
termasuk pengeroyok-pengeroyoknya. Namun karena semangatnya sebagai seorang
gagah sejati, Paman tadi masih mau melayani Siauw-ong-kwi sehingga berhasil
mengalahkan Siauw-ong-kwi, biar pun lukanya menjadi makin parah. Sekarang Paman
tidak mungkin dapat melawanmu. Kalau kau orang tua begini bernafsu hendak
bertanding melawan Paman Tan Beng San, kau kembalilah barang tiga empat pekan
lagi, tentu dengan senang hati Paman akan melayanimu. Kami bersumpah takkan
mengeroyokmu seperti yang kau lakukan kemarin dulu terhadap pamanku itu.
Sekarang kalau kau suka bersabar dan menanti sampai tiga empat pekan, kau
pergilah dan Paman akan menanti kembalimu. Akan tetapi kalau kau hendak
mempergunakan kelicikan, menantang Paman selagi beliau tak dapat bergerak,
benar-benar kau tidak tahu malu dan biarlah aku yang muda mewakili Paman untuk
menghadapimu!"
Semua orang
yang hadir tercengang mendengar ucapan yang bergema ini. Mereka heran akan
keberanian pemuda ini, dan juga terkejut mendengar betapa Tan Beng San sudah
terluka kemarin dulu karena dikeroyok. Orang-orang menjadi berisik.
"Heii,
bocah sombong, kau siapakah? Siapa namamu dan apakah kau juga anak murid
Thai-san-pai?"
"Namaku
Kwa Kun Hong, aku bukan anak murid Thai-san-pai, melainkan anak dari Ketua
Hoa-san-pai. Biar pun aku tidak berkepandaian, akan tetapi aku menyediakan
selembar nyawaku untuk memberantas ketidak adilan ini. Kakek tua, kau sudah
tua, seharusnya kau mencari jalan terang. Pergilah dan padamkan nafsumu, atau
kalau kau tetap hendak berkelahi dengan Paman, kembalilah empat pekan
lagi."
"Keparat,
aku tetap menantang Ketua Thai-san-pai sekarang juga!"
"Kalau
begitu, akulah lawanmu."
"Kau
berani melawan aku, bocah ingusan?"
"Yang
benar tidak akan penah mengenal takut, kalah menang bukan soal."
"Monyet
kecil, bila kau tidak roboh dalam sepuluh jurus pukulanku, kau akan
kusembah!"
"Aku
tidak butuh kau sembah, kalau mau pukul terserah."
Tidak
kelihatan tangan kakek itu bergerak, tapi tahu-tahu angin menyambar mendahului
gerakan tangan kanan kakek itu mendorong ke arah tubuh Kun Hong.
Pemuda ini
sudah kuat sekali nalurinya, maka dia segera mengerjakan langkah-langkah
Kim-tiauw-kun. Ujung bajunya berkibar terkena angin pukulan, akan tetapi
tubuhnya sama sekali tidak terkena. Angin pukulan ke dua datang menyambar.
Kakek itu masih berdiri di tempatnya, hanya kini kuda-kudanya miring, tangan
kirinya mendorong dari samping.
Kun Hong
masih terus melangkah terhuyug-huyung dan…
"Brakkk!"
Papan di
belakang Kun Hong amblong terkena angin pukulan yang hebat itu! Para tamu
mengeluarkan suara kaget. Ilmu pukulan sehebat itu baru sekali ini mereka
saksikan dan tadinya mereka sangka hanya terdapat dalam dongeng belaka.
Makin lama
makin penasaran kakek itu, pukulannya makin hebat sehingga di sana-sini papan
menjadi pecah dan amblong. Namun dengan gerakan tenang tetapi aneh, bukan main
pemuda itu menjalankan langkah-langkah ajaibnya sehingga pukulan terdekat hanya
membuat rambutnya berkibar awut-awutan, namun belum juga mengenai tubuhnya.
“Sudah
sepuluh jurus!" terdengar teriakan dari bawah panggung, teriakan seorang
tamu yang merasa penasaran terhadap kakek itu.
Pak-thian
Locu berhenti, tubuhnya bergoyang-goyang, tertawa lalu tiba-tiba ia berlutut.
"Orang
muda, sekarang aku akan menyembahmu!" Kedua tangannya bergerak dan pada
saat itu terdengar seruan nyaring sekali.
"Orang
muda, awasss!"
Akan tetapi
terlambat! Kun Hong yang tadinya terheran-heran karena melihat kakek itu
benar-benar berlutut dan hendak menyembah, tiba-tiba merasa ada angin yang luar
biasa keras dan kuatnya menyambar dari depan. Ia cepat merendahkan dirinya,
melipat diri dan menutupi muka seperti trenggiling melingkar sambil mengerahkan
hawa murni di dalam tubuhnya.
Tubuhnya
seperti didorong oleh tenaga raksasa dan melayang keluar hingga turun dari
panggung! Ia terbanting dan bergulingan, akan tetapi segera meloncat berdiri
dan tidak apa-apa! Dengan tenang sekali Kun Hong melompat lagi ke atas
panggung.
Akan tetapi
di atas panggung telah berdiri seorang kakek tinggi besar, Song-bun-kwi yang
memandang kepada Pak-thian Lo-cu dengan mata mendelik.
"Tua
bangka gila! Tak tahu malu benar engkau, melawan seorang bocah mempergunakan
akal muslihat curang!"
"He-he-heh,
Song-bun-kwi iblis jahat. Apakah kau pun sekarang hendak menjilat pantat
Thai-san-pai?"
Dari bawah
panggung terdekar suara Beng San. "Gak-hu (Ayah Mertua), harap jangan
mengeroyok!"
Ternyata
setelah Kun Hong bertempur, Li Cu membebaskan totokan pada diri suaminya
sehingga pendekar ini dapat bergerak dan bersuara lagi. Ia tahu bahwa betapa
pun juga, dalam diri Kun Hong bersembunyi kepandaian yang sukar dijajaki, maka melihat
cara Kun Hong menerima pukulan tadi, ia menjadi lega dan harapannya membesar.
Karena
pemuda ini sedang berjuang atas nama Thai-san-pai, maka dia tidak setuju kalau
mertuanya membantu, membikin cemar nama Thai-san-pai, sungguh pun ia girang
sekali menyaksikan perubahan sikap ayah mertua yang aneh ini.
"Kakek,
jangan mengeroyok, memalukan saja!" Kong Bu juga berseru kepada kakeknya.
Song-bun-kwi
menoleh, matanya mendelik, "Tak puas hatiku kalau aku belum memukul!"
tubuhnya merendah hampir berjongkok, kedua tangannya mendorong ke depan.
Itulah ilmu
pukulan jarak jauh dari Ilmu Silat Yang-sin Kun-hoat yang paling diandalkan.
Kakek tua renta itu cepat menolak dengan kedua tangannya pula dan tubuh
Song-bun-kwi terlempar sampai dua meter ke belakang, hampir saja terguling dari
atas panggung.
"Hebat
tenagamu, tua bangka!" berseru Song-bun-kwi dan ia tak dapat turun tangan
pula karena pada saat itu Kun Hong sudah berkelebat lewat di sampingnya.
"Orang
muda Hoa-san-pai, kau berhati-hatilah!" Song-bun-kwi berseru sambil
melompat turun.
Kakek yang
gagah ini baru sekarang selama hidupnya melihat orang muda yang begini aneh,
malah lebih aneh dari pada Beng San ketika masih muda dahulu, maka timbullah
simpatinya. Melihat Kun Hong tidak apa-apa dan sudah naik, kakek itu
tercengang, lalu ia mengeluarkan sebatang pedang yang tipis dan ringan sekali
berwarna putih seperti perak.
Ia tahu
bahwa biar pun lawannya masih muda sekali, namun agaknya memiliki kesaktian,
maka ia tidak mau mencoba-coba lagi seperti tadi. Melihat kakek tua itu
mengeluarkan pedang, Kun Hong juga mencabut Ang-hong-kiam dari balik jubahnya.
Sinar merah lantas memancar ketika ia mencabut pedangnya.
"Heh,
bukankah itu Ang-hong-kiam? Dari mana kau dapat?" Kakek itu menegur,
kelihatan kaget.
Akan tetapi
dasar manusia licik, sebelum dijawab pedangnya sudah menerjang dengan lambat
sekali, tapi jangan dikira tidak berbahaya karena angin serangan pedang ini
sudah cukup memisahkan kepala lawan dari badannya!
Kun Hong
cepat mengelak dan bersilat dengan Ilmu Silat Kim-tiauw-kun yang dahulu ia
latih di dalam goa. Gerakan-gerakannya aneh sekali, caranya memegang gagang pedang
juga aneh dan lucu. Berkali-kali Kun Hong diserang dan ia masih belum juga
membalas. Ia sedang memperhatikan cara lawan mempergunakan pedang, akan tetapi
sebegitu jauh belum dapat ia menjajaki.
Ilmu pedang
lawannya juga aneh dan banyak ragamnya. Memang kakek setua ini sudah terlalu
banyak mempelajari ilmu silat sehingga jurusnya ia robah-robah dan ia
ganti-ganti. Baiknya Kun Hong terus menggunakan langkah-langkah ajaib sehingga
dapat menghindar dengan tepat.
"Hong-ko,
balas serangan!" tiba-tiba terdengar suara merdu dan nyaring.
Itulah suara
Cui Bi. Suara ini membuat dua orang di antara para tamu menengok dengan mata
terbelalak marah, yaitu mata Bun Lim Kwi dan Bun Wan.
Mendengar
seruan ini, barulah Kun Hong teringat bahwa di dalam pertempuran, ia harus
membalas serangan kalau tidak mau kalah. Maka dia lalu mulai menyerang. Akan
tetapi alangkah ganjilnya, pedangnya tidak menyerang tubuh orang melainkan
menyerang udara di sekitar tubuh lawan itu.
Hebatnya,
kakek itu berseru keras dan selalu menangkis atau mengelak tiap kali pedang Kun
Hong berkelebat. Kiranya hanya gayanya saja menyerang udara untuk membuat lawan
lengah, padahal dilanjutkan dengan serangan yang berbahaya dan jitu. Tiba-tiba
malah Kun Hong membentak dan pedangnya menusuk ke arah dadanya sendiri!
Cui Bi
sampai terteriak kaget melihat ini, tapi ayahnya menyentuh tangannya menyuruh
ia diam. Sejenak kakek tua renta itu pun kaget dan heran, akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika pedang yang hampir menyentuh dada Kun Hong itu, tiba-tiba
saja membalik dan mempergunakan kesempatan selagi ia terheran-heran, ujung
pedang sudah dekat sekali dengan lehernya.
"Celaka,
mengelaklah, orang tua!" seru Kun Hong.
Jurus ini
adalah jurus yang mukjijat dari ilmu Silat Kim-tiauw-kun, maka tak dapat ia
tarik kembali dan ia sudah ngeri melihat betapa ujung pedangnya akan menembus
leher kakek itu. Hanya dengan menggulingkan diri ke atas papan saja kakek itu
dapat menyelamatkan diri. Ia bergulingan terus dan…
"Brakk!"
tahu-tahu kakinya terjeblos kedalam lubang di papan yang tadi amblong oleh
pukulannya sendiri.
Lucu sekali
keadaan kakek itu. Ia terperosok sampai ke pinggangnya, dan hanya badan bagian
atas saja yang tampak, kedua tangannya melambai-lambai ke atas.
"Tolongg...!"
Dasar sudah
tua sekali ia menjadi pikun. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu saja
dengan mudah ia dapat keluar dari lubang itu. Akan tetapi ketuaannya dan
kepikunannya membuat ia kebingungan setengah mati dan berseru minta tolong!
Di antara
para tamu ada yang tertawa-tawa dan bersorak-sorak saking gelinya melihat ini.
Para tokoh tua, termasuk Song-bun-kwi, menyumpah-nyumpah dan menggeleng-geleng
kepala.
Kalau Kun
Hong pada saat itu menyerang, kiranya kakek itu takkan mampu membela diri lagi
karena sedang kebingungan, berkutetan dalam usahanya membetot tubuhnya keluar.
Akan tetapi, bukan kakek itu saja yang pikun sehingga kelakuannya aneh, pemuda
ini malah lebih aneh lagi. Ia memegang pedang dengan tangan kiri, lalu
mengulurkan tangan kanan mendekati kakek itu dan berkata lembah-lembut bagai
seorang dewasa menolong seorang kanak-kanak.
"Mari
kubantu, Locianpwe, peganglah tanganku nanti kutarik keluar."
Pak-thian
Locu girang. Dia memegang tangan kanan Kun Hong yang segera menariknya keluar
dari lubang itu. Akan tetapi begitu dirinya sudah tertolong kakek itu ingat
kembali akan pertandingan mereka. Pedang di tangan kanannya mendadak menyambar
ke arah leher Kun Hong.
Pada saat
itu, tangan kanan Kun Hong masih saling berpegang dengan tangan kiri kakek itu sedangkan
pedangnya masih ia pegang dengan tangan kiri, keadaannya amat tidak
menguntungkan. Namun berkat nalurinya yang tajam, menghadapi serangan ini ia
dapat bereaksi cepat sekali. Tangan kirinya mengangkat pedang dan menangkis
sambil menarik kembali tangan kanan yang menolong kakek itu tadi.
"Tranggg!"
Dua pedang
bertemu, pedang putih dan pedang merah, dan... Kun Hong langsung roboh
terguling-guling saking hebatnya tenaga kakek ini.
Pak-thian
Locu tertawa senang, pedangnya terus menyambar ke arah tubuh Kun Hong yang
cepat mengelak sambil bergulingan dan segera meloncat berdiri lagi. Akan tetapi
kini permainan pedang kakek itu aneh sekali gerakan-gerakannya, membuat ia
bingung dan hanya dapat berloncatan ke sana ke mari mengandalkan
langkah-langkah ajaib. Memang kepandaian kakek itu amat tinggi, lebih tinggi
dari pada kepandaian Kun Hong.
Sekali ini
Kun Hong sama sekali tidak ada kesempatan untuk balas menyerang, bahkan
langkah-langkah ajaibnya hampir tidak manjur lagi setelah bertempur seratus
jurus lebih lamanya. Pak-thian Locu bukanlah orang yang terlalu bodoh. Setelah
langkah-langkah ini terus menerus dilakukan oleh Kun Hong, maka Pak-thian Lo-cu
mulai dapat mengikutinya dan dapat mengocar-ngacirkan gerak langkah Kun Hong.
Sekarang pemuda itu mulai didesak hebat, kadang-kadang langkahnya bahkan
dipapaki serangan, membuat dia bingung dan kacau gerakan kakinya.
Pak-thian
Locu mulai gembira, tertawa-tawa dan terkekeh-kekeh. Kadang kala ia sengaja
membentak sebagai gertakan supaya Kun Hong terkejut, padahal serangannya
terhenti di tengah-tengah. Kakek ini seperti seorang anak kecil menemukan
sebuah barang mainan baru, atau bagaikan seekor kucing tua menemukan seekor
tikus. Jelas bahwa Kun Hong dibuat main-main dulu sebelum ditusuk mati.
Tiba-tiba
saja Kun Hong membentak dengan suara aneh, "Pak-thian Locu, sekarang kau
hadapi seranganku. Awas!"
Pak-thian
Lo-cu kaget luar biasa. Dia cepat-cepat menghindar sambil memutar pedangnya
menangkis, terus saja ia menangkis ke sana ke mari seakan-akan ia didesak hebat
oleh lawannya. Padahal Kun Hong hanya berdiri dan memalangkan pedang di depan
dada, sama sekali tidak menyerang. Ternyata pemuda ini setelah terdesak hebat,
terpaksa mempergunakan ilmu sihir yang ia pelajari dari Sin-eng-cu Lui Bok.
"Eh,
hayo lekas menyerang! Mana seranganmu?" Tiba-tiba kakek itu berhenti
menangkis-nangkis sendiri dan berbalik menyerang Kun Hong.
Pemuda itu
terkejut dan cepat mengelak dan pada lain saat kembali ia dihujani serangan.
Diam-diam ia kaget dan dapat menduga bahwa tenaga dalam kakek ini sudah
sedemikian tingginya sehingga kekuatan batinnya ketika menyihir tadi hanya
dapat menguasai kakek itu sebentar saja.
Cepat-cepat
ia mengerahkan seluruh kekuatan batin di dalam tubuhnya dan membentak lagi,
"Awas serangan ilmu pedangku!"
Kembali
kakek itu melompat mundur dan menangkis ke sana ke mari, mengelak ke kanan
kiri. Para tamu melongo menyaksikan pertempuran yang aneh bukan main ini.
Mereka hanya mengira bahwa dua orang aneh itu menggunakan ilmu yang demikian
tingginya sehingga penyerangan-penyerangan mereka tak dapat dilihat oleh mata
orang lain.
Beng San
memandang dengan kagum. Tapi setelah kini melihat betapa Kun Hong malah duduk
bersila di tengah panggung dengan sikap seperti seorang sedang semedhi, dengan
pedangnya diacungkan ke depan muka, tepat di depan hidung, kemudian Pak-thian
Locu sekarang bersilat sendiri, menyerang dan menangkis memutari Kun Hong,
pendekar sakti Ketua Thai-san-pai ini melongo.
Memang
pemandangan di atas panggung sekarang aneh dan lucu bukan main. Kun Hong duduk
bersila, pedangnya diacungkan di depan wajahnya, keningnya dikerutkan, ia tidak
bergerak sama sekali. Di lain pihak, Pak-thian Locu seperti orang yang
kemasukan setan, mencak-mencak tidak karuan bagaikan orang bertanding mati-matian
melawan bayangan sendiri, maju mundur mengitari tubuh Kun Hong, pedangnya
berkelebatan akan tetapi tak pernah mendekati tubuh Kun Hong. Bahkan agaknya
kakek itu tidak melihat Kun Hong dan sedang bertanding mati-matian melawan
musuh yang tidak tampak.
Akan tetapi,
setelah Beng San melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap
putih, keheranannya lalu berubah menjadi kekaguman hebat. Bukan main, pikirnya.
Kiranya pemuda itu sedang mempergunakan semacam ilmu yang aneh dan tinggi, ilmu
yang membutuhkan pengerahan tenaga batin dan hawa murni di dalam tubuh. Ia
melihat Cui Bi bergerak gelisah dan Li Eng sudah bangun dari kursinya sambil
tangannya meraba gagang pedang.
"Sstt,
kalian duduklah kembali," Beng San berkata perlahan. "Jangan ganggu, Kun
Hong sedang berjuang mati-matian melawan kakek itu."
Mendengar
ini, orang-orang muda itu kembali duduk dan hati mereka berdebar gelisah, akan
tetapi juga merasa sangat heran. Kun Hong duduk bersila, lawannya ‘mengamuk’ di
sekelilingnya, bagaimana bisa dibilang sedang berjuang mati-matian? Apakah
bukannya Kun Hong sudah terluka hebat dan menanti kematiannya sedangkan kakek
itu berubah gila?
Para tamu
saling berbisik-bisik dan keadaan menjadi tegang, aneh, serta berisik pula.
Orang-orang mulai tidak sabar menyaksikan pertandingan yang luar biasa ini.
Akan tetapi Beng San dan juga Song-bun-kwi serta tokoh-tokoh tua makin tegang
karena maklum bahwa pertandingan itu makin hebat juga.
Kini seluruh
tubuh Kun Hong menggigil dan bercucuran peluh! Akan tetapi, kakek itu pun
bercucuran peluh pada dadanya. Mukanya pucat dan gerakan-gerakannya makin
lemah, kelihatan lemah bukan main karena terlampau banyak mengeluarkan tenaga,
baik luar mau pun dalam.
Tiba-tiba
saja kakek itu memekik tinggi dan tubuhnya roboh di atas panggung, napasnya
empas-empis dan tidak lama kemudian napas itu pun terhenti. Ada pun Kun Hong
masih duduk seperti patung dengan pedang mengacung ke depan, sama sekali tidak
bergerak.
Cui Bi
berseru lirih, tubuhnya melesat ke atas panggung. Tanpa ragu-ragu ia
menghampiri Kun Hong, menempelkan dua telapak tangan di punggung dan tengkuk
pemuda itu sambil mengerahkan tenaga lweekang disalurkan melalui kedua telapak
tangannya. Hampir dia menjerit ketika tangannya menempel, sebab tubuhnya
tergetar hebat. Akan tetapi dengan mengerahkan tenaga gadis itu memaksa diri,
akhirnya seluruh hawa murni di tubuhnya dapat dibuka dan dipaksa memasuki tubuh
Kun Hong.
Para tamu
melihat ini makin terheran-heran, kecuali mereka yang berilmu tinggi maklum
bahwa puteri Thai-san-pai itu sedang menolong Kun Hong. Ketua Kun-lun-pai ayah
dan anak menyaksikan ini dengan muka merah sekali.
Melihat
perbuatan puterinya, Beng San sebetulnya tidak setuju dan hendak mencegah.
Namun melihat bahwa tubuh puterinya tadi tergetar hebat, sekarang dia maklum
bahwa jika dicegah mungkin puterinya itu malah mendapat luka berat. Maka ia
mendiamkannya saja.
Kun Hong
bergerak, menoleh perlahan, lalu tersenyum dan perlahan-lahan ia melepaskan
kedua tangan gadis itu dari tempelannya. Lalu ia berdiri akan tetapi tampak
kaget sekali melihat tubuh Pak-thian Locu sudah telentang di atas papan tanpa
bergerak sedikit pun. Cepat ia berjongkok memeriksa dan pemuda ini berduka
sekali melihat bahwa lawannya sudah tak bernapas lagi.
Kun Hong
memberi isyarat kepada Cui Bi supaya turun panggung, sedangkan dia sendiri
setelah menyimpan pedangnya lalu berdiri menghadapi para tamu dan berkata,
suaranya penuh kedukaan, tapi juga berpengaruh, "Cuwi sekalian yang hadir
di sini, sudah cukup menyaktikan betapa nafsu-nafsu beberapa orang tokoh untuk
bertempur mengakibatkan kematian-kematian yang amat menyedihkan. Pamanku Tan Beng
San Taihiap mendirikan Thai-san-pai tidak sekali-kali dengan maksud menanam
bibit permusuhan, akan tetapi untuk menyebar luaskan ilmu silatnya sehingga
kepandaian ini dapat berkembang biak kemudian dapat dipergunakan untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah menumpas si jahat. Maka
biarlah di sini aku Kwa Kun Hong, yang muda dan bodoh, mohon dengan hormat dan
sangat kepada Cuwi sekalian, agar supaya pertandingan-pertandingan ini disudahi
saja. Kepada mereka yang memang tidak mempunyai niat untuk menjual kepandaian
dan mencari permusuhan serta mengacaukan pertemuan ini, kami menghaturkan
banyak terima kasih, dan kepada mereka yang bernafsu untuk berkelahi, kami
harap sudi membuang jauh-jauh nafsu yang tidak baik itu."
Baru sampai
di sini pidato Kun Hong, mendadak dari bawah panggung terdengar seruan keras,
"Kwa Kun Hong, kau dan dua orang keponakanmu harap menyerahlah untuk kami
tangkap dan kami bawa kembaii ke kota raja!"
Kun Hong
memandang dan kagetnya bukan main melihat Thian It Tosu bersama enam orang lain
sedang berdiri berjajar di bawah panggung. Itulah tujuh orang pengawal istana,
lengkap! Mereka bukan lain adalah Tiat-jiu Souw Ki, Thian it Tosu, Bu Sek dan
Bu Tai, Bhong-lokoai, Sin-twa-to Liong Ki Nam, dan Ang-moko. Tentu para
pengawal ini disuruh oleh pangeran mata keranjang itu untuk menangkap kedua
anak keponakannya.
"Celaka...
Li Eng, Hui Cu, hayo kita lari pergi!" Kun Hong sudah melompat dan berlari
ke arah dua orang keponakannya itu.
Akan tetapi
Beng San mencegah mereka yang ketakutan ini lari. "Tenanglah, biar aku
yang mengurusnya."
Namun, pada
saat ketujuh orang pengawal istana itu melompat naik ke atas panggung,
tiba-tiba terdengar suara orang tertawa keras dan tahu-tahu Song-bun-kwi telah
melayang naik pula.
"Ha-ha-ha-ha,
kalian tujuh anjing penjilat pantat! Dahulu yang mengacau di istana adalah aku,
Song-bun-kwi. Hayo, kalian mau apa? Kalian datang ke sini apakah ingin menerima
gebukan-gebukan dari aku? Ha-ha-ha!"
Dua saudara
kembar Bu Sek dan Bu Tai, juga Thian It Tosu, sudah pernah merasakan kelihaian
Song-bun-kwi di markas Ngo-lian-kauw dahulu, maka sekarang karena mereka
bertujuh dan di situ terdapat pula Ang-moko dan Bhong-lokoai, mereka menjadi
tabah dan segera menyerbu Song-bun-kwi tanpa banyak cakap lagi.
Dalam sekejap
mata saja Song-bun-kwi telah dikeroyok oleh tujuh orang pengawal istana itu
yang semuanya menggunakan senjata andalan mereka masing-masing. Terang bahwa
pertempuran kali ini bukanlah adu kepandaian, melainkan pertempuran
sungguh-sungguh antara dua pihak bermusuhan dan semua penyerangan ditujukan
untuk mematikan lawan.
Para tamu
mulai geger, malah sudah ada yang diam-diam meninggalkan tempat itu untuk turun
gunung. Memang sebagian besar para tamu segan kalau harus berurusan dengan
petugas-petugas dari istana.
Melihat
kakeknya dikeroyok tujuh, Kong Bu berseru marah. Tubuhnya melayang ke atas
panggung, lantas membantu kakeknya mengamuk. Suara ketawa Song-bun-kwi semakin
terbahak, seakan-akan pengeroyokan atas dirinya beserta cucunya ini merupakan
sebuah peristiwa yang amat menyenangkan hatinya!
Pada saat
itu, para tamu makin gelisah dan banyak yang sudah pergi. Tiba-tiba kelihatan
pasukan orang-orang Ngo-lian-kauw yang memegang pedang dan menyerbu, kemudian
mengurung tempat itu. Mereka yang terdiri dari lima puluh orang lebih ini
berteriak-teriak,
"Bayar
kembali nyawa ketua kami!"
Beng San
terkejut melihat ini. Celaka, pikirnya, tentu akan terjadi perang kecil yang
akan mendatangkan banyak korban, apa lagi ia melihat di belakang pasukan ini
masih terdapat barisan lain dari Ngo-lian-kauw yang semua tidak kurang dari dua
ratus orang jumlahnya! Sedangkan pertempuran di atas panggung masih amat seru
dan ramai.
Tiba-tiba
terdengar letusan-letusan. Kiranya orang-orang Ngo-lian-kauw sudah memasang
banyak petasan dan obat peledak, mungkin merupakan tanda-tanda atau mungkin
juga untuk mengacaukan keadaan.
Tempat tamu
sudah banyak yang kosong karena ditinggalkan. Pada saat itulah terdengar
sorak-sorai dan dari lereng gunung berlari-lari satu pasukan yang panjang.
Setelah dekat, kiranya pasukan ini adalah barisan orang-orang pengemis dan di
belakang pasukan ini berlari-lari pula sepasukan kecil prajurit kota raja
mengiringkan seorang perwira bertubuh tinggi besar. Samua menuju ke tempat itu.
Agaknya
memang sudah ada dendam lama antara orang-orang Ngo-lian-kauw dan para pengemis
itu karena begitu bertemu, segera terjadi pertempuran keroyokan. Melihat ini,
Kun Hong segera berlari-lari ke depan dan berseru,
"Hee,
bukankah kalian ini anggota-anggota Hwa-i Kaipang? Berhenti, jangan
bertempur!"
Pada waktu
para pengemis itu menengok dan melihat siapa yang bicara, mereka segera
meninggalkan lawan, lari-lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di
depan pemuda itu. Kun Hong mengenal Coa-lokai yang memimpin pasukan itu. Segera
dia memegang tangannya dan berkata girang, "Coa-lokai kau yang datang? Saudara-saudara,
bangunlah tak usah berlutut. Coa-lokai ceritakanlah mengapa kalian datang dan
mau apa?"
“Mendengar
bahwa Pangcu ditawan Pangeran, kami mengirim berita ke Hoa-san-pai lalu membawa
teman-teman menyusul sampai ke sini. Syukur Pangcu selamat saja, padahal kami
semua telah gelisah bukan main."
Pasukan yang
dikepalai oleh perwira tinggi besar juga sudah sampai di situ dan segera
terdengar perwira itu berseru sambil berlari mendekati Beng San, "Adikku
Beng San, apa artinya keributan ini?"
"Twako...!"
Beng San berdiri dan dua orang ini berangkulan. Kiranya perwira ini bukan lain
adalah Tan Hok atau Tan-taijin, "Memang aku sedang sial, mendirikan
perkumpulan juga memancing datangnya keributan-keributan."
Tan Hok
menoleh dan melihat betapa tujuh orang pengawal istana sedang mengeroyok dua
orang. Ia kaget ketika mengenal bahwa satu di antara dua orang yang dikeroyok
itu adalah Kakek Song-bun-kwi! Segera ia melompat maju dan beseru,
"Tujuh
saudara pengawal harap berhenti dan turun. Tidak boleh kalian membikin ribut di
sini!" Suara Tan-taijin berpengaruh sekali dan pula sangat dikenal oleh
para pengawal, maka segera mereka berlompatan turun dari panggung.
Kiranya
keadaan mereka amat payah, hampir semuanya sudah menderita luka-luka dan kepala
bocor. Di atas panggung, Song-bun-kwi berpelukan dengan cucunya. Wajah kakek
ini berseri-seri, matanya terbelalak dan pipinya sebelah kiri mengucurkan darah
karena tersayat senjata lawan.
Ketika tujuh
orang pengawal itu melapor bahwa mereka hendak menangkap tiga buronan Pangeran,
Tan Hok menegur mereka, malah memperlihatkan sehelai surat keputusan dari
Kaisar sendiri bahwa mereka tidak boleh mengganggu para anak murid partai
persilatan Hoa-san-pai. Melihat cap dan tanda tangan Kaisar, dengan tubuh
gemetaran tujuh orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Sudahlah,
kalian pulang ke kota raja, jangan membikin ribut lagi dan usir para anggota
Ngo-lian-kauw yang hendak mengacau itu."
Terhadap
pembesar yang menjadi kepercayaan Kaisar ini, tujuh orang pengawal itu tentu
saja mati kutu dan atas perintah Thian It Tosu, orang-orang Ngo-lian-kauw
kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Juga anggota Hwa-i Kaipang setelah
dijamu lalu disuruh pulang kembali oleh Kun Hong.
Para tamu
sudah pulang semua, banyak yang tidak sempat berpamit. Yang masih tinggal di
situ hanyalah Ketua Kun-lun-pai, Bun Lim Kwi dan Bun Wan, juga Song-bun-kwi
yang sekarang sudah ‘jinak’ dan baik kembali, dan Tan Hok. Sebelum mereka
beramai diajak ke puncak, tiba-tiba dari lereng gunung berlari-lari beberapa
orang menuju tempat itu dan setelah dekat, segera Kun Hong, Hui Cu, dan Li Eng
berlari-lari menyambut.
Mereka ini
bukan lain adalah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai, Lim Sian Hwa isterinya, Lee
Giok ibu Hui Cu, dan Thio Bwee ibu Li Eng. Tokoh-tokoh Hoa-san-pai ini menyusul
ke Thai-san setelah mendengar berita dari anggota pengemis Hwa-i Kaipang bahwa
ketiga anak mereka tertawan Pangeran di kota raja tapi lolos secara aneh.
Karena gelisah akan keselamatan mereka, empat orang tua ini menyusul,
menyelidik dan akhirnya sampai juga ke Thai-san biar pun sudah agak terlambat.
Kegembiraan
keluarga Thai-san-pai sukar dilukiskan. Apa lagi Beng San, bertemu dengan
orang-orang yang semenjak dahulu dikenalnya begitu baik, orang-orang
Hoa-san-pai yang mendatangkan banyak peristiwa dalam hidupnya, ia menjadi
terharu dan juga gembira. Apa lagi karena ia sudah mendengar dari Cui Bi bahwa
kedua orang puteranya saling mencinta dengan dua orang gadis Hoa-san-pai itu, dua
orang gadis anak dari Thio Bwee dan Thio Ki, teman-teman lamanya di waktu ia
masih kecil! Alangkah akan bahagianya merangkapkan jodoh mereka.
Juga pihak
Hoa-san-pai amat gembira melihat anak-anak mereka selamat, malah dapat bertemu
dengan orang-orang yang memang sudah lama mereka rindukan. Yang nampak kurang
gembira adalah Bun Lim Kwi dan puteranya.
Akan tetapi
dalam suasana penuh kegembiraan itu, tiba-tiba buyar dan berubah menjadi
suasana penuh duka ketika orang-orang Hoa-san-pai ini mendengar mengenai
kematian Kwa Hong yang sekarang jenazahnya masih berada di puncak. Tentu saja
yang paling berduka adalah Kwa Tin Siong, sebagai ayah dari Kwa Hong.
Beramai-ramai
mereka dipersilakan naik ke puncak melalui jalan rahasia dan terowongan.
Jenazah Pak-thian Locu yang lain-lain sudah pula diurus oleh anak buah
Thai-san-pai. Sin Lee menangis mengguguk di depan peti mati ibunya, membuat
semua menjadi terharu, terutama Hui Cu yang juga menangis sampai kedua matanya
menjadi merah.
Song-bun-kwi
duduk di kursi menarik napas panjang, lalu terdengar suaranya yang parau dan
dalam, "Ahhh, kalau sudah menjadi begini, barulah kita semua merasa betapa
hidup ini tidak akan langgeng. Sekali waktu akan datang maut merenggut nyawa
kita dan kita semua akhirnya akan menjadi mayat, habis sudah semua riwayat. Apa
bila sudah begini baru kita ingat betapa semua pertikaian, semua keributan dan
kegaduhan, semua urusan musuh-memusuhi, berlomba kepandaian, dan lain-lain itu
hanyalah perbuatan orang gila saja." Kemudian kakek yang tinggi besar itu
berdiri berdongak ke atas dan berseru keras, "Betapa banyak sudah aku
membunuh manusia, aku dijadikan alat oleh Maut. Apakah Maut akan berterima
kasih kepadaku? Tidak, sekali waktu Maut akan merenggut nyawaku pula. Aku
menyesal! Ah, Beng San mantuku, sediakanlah sebuah goa kecil untuk aku, aku
hendak mengasingkan diri, menghukum diri menebus dosa!"
Tiba-tiba
terdengar suara aneh dari angkasa, "Ho-ho, Song-bun-kwi, akhirnya kau
insyaf juga, tetapi amat terlambat, tanganmu sudah terlampau kotor berdarah.
Betapa pun juga, keinsyafanmu berguna pula bagi anak keturunanmu, menjadi
pengingat dan penyadar!"
Semua orang
kaget memandang ke atas dan tampaklah seekor burung rajawali berbulu emas
ditunggangi oleh seorang kakek tua renta berpakaian butut. Burung itu menukik
ke bawah dan kakek itu meloncat turun.
"Kim-tiauw-ko....!"
Sin Lee dan
Kun Hong berbareng lari menghampiri burung itu dan dua orang pemuda ini
serentak memeluk leher burung rajawali yang berbulu indah bagai emas itu.
Mereka saling pandang dan sekarang mengertilah keduanya mengapa mereka melihat
dasar-dasar yang sama dalam ilmu silat mereka.
Burung itu
pun mengenal Kun Hong dan Sin Lee. Dengan mengeluarkan suara girang ia
menggosok-gosokkan leher dan kepalanya pada dua pemuda itu. Kemudian Kun Hong
berlutut memberi hormat kepada kakek yang bukan lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok
ini.
"Ha-ha,
Sin-eng-cu Lui Bok! Kalau saja kemarin kau datang, tentu aku akan menantang kau
bertanding!" kata Song-bun-kwi sambil tertawa, sikap orang aneh ini sudah berubah
pula.
"Bagus,
kau sudah insyaf sekarang, tulang-tulangku yang tua selamat dari
gebukanmu," jawab kakek itu.
Beng San
yang sudah mendengar nama besar Sin-eng-cu Lui Bok segera mempersilakan kakek
itu duduk.
Akan tetapi
kakek itu menolak dan berkata, "Kedatanganku hanya untuk bicara sedikit
dengan Kun Hong."
Ia menoleh
kepada pemuda itu sambil mengerutkan kening dan berkata, "Kun Hong, aku
tidak hendak mendahului kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Tapi aku minta
kepadamu, orang muda yang kukasihi, aku meminta kepadamu dengan sangat,
sekarang juga kau ikutlah bersamaku. Marilah kita bertapa dan menjauhkan diri
dari keruwetan dunia."
"Tapi...
tapi... Susiok, aku..." Ia memandang kepada orang tuanya, kepada orang-orang
yang dikasihinya dan terutama kepada Cui Bi. ''Biarlah lain kali aku
mengunjungi Susiok."
Kakek itu
berdongak ke angkasa, lalu menarik napas panjang. "Thian Yang Maha Kuasa,
kehendak-Mu selalu terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini yang mampu mengubah
kehendak-Mu. Sudahlah, selamat tinggal semua."
Sin-eng-cu
Lui Bok meloncat ke atas punggung rajawali. Burung ini segera terbang sambil
mengeluarkan pekik panjang, agaknya ucapan selamat tinggal pula.
Upacara
penguburan dilakukan sederhana. Sesudah selesai, Beng San dan isterinya lalu
mempersilakan para tamunya untuk makan bersama. Hari itu adalah hari ke tujuh
sejak terjadinya keributan pada hari pendirian Thai-san-pai itu.
Mereka makan
minum dengan asyik dan gembira. Para tokoh Hoa-san-pai mendengarkan penuh
keheranan dan ketakjuban ketika mendengar cerita mengenai sepak terjang Kun
Hong. Terutama sekali Kwa Tin Siong yang mendengar semua perihal puteranya itu,
dia terheran-heran dan berkali-kali menggelengkan kepala.
"Aku
sengaja melarang dia belajar ilmu silat dengan maksud supaya dia jangan sampai
tersesat seperti enci-nya. Siapa tahu dia malah mendapatkan ilmu lebih jahat
dari pada Kwa Hong," katanya.
Song-bun-kwi
tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kwa-sicu mengapa bicara begitu? Tidak ada
ilmu yang jahat, tergantung dari orangnya. Kalau ilmu digunakan untuk
kejahatan, maka menjadi ilmu jahat, kalau dipergunakan untuk kebaikan, ilmu
yang itu juga menjadi ilmu baik. Puteramu benar-benar luar biasa sekali, dan
kalau kau berbesan dengan mantuku, ha-ha-ha, akan benar-benar cocok
sekali!" Kakek ini tertawa bergelak, kemudian minum araknya.
Pucat wajah
Beng San setelah mendengar omongan mertuanya yang lancang sekali ini. Ia
melihat betapa Bun Lim Kwi dan Bun Wan menjadi merah sekali mukanya, maka cepat
ia berkata sambil tertawa,
"Ahhh,
Gak-hu tidak tahu persoalannya maka bicara main-main. Baiknya kuberi tahukan
kepada semua yang hadir bahwa anakku yang bodoh, Tan Cui Bi, sebenarnya sudah
kuikatkan jodoh dengan putera Kun-lun-pai, Bun Wan putera dari sahabatku Bun
Lim kwi ini."
Song-bun-kwi
hanya berkata, "ah-oh-ah-oh" lalu minum araknya lagi untuk
menghilangkan ketidak enakan hatinya. Namun muka Kun Hong menjadi pucat seperti
mayat. Baiknya pemuda ini cepat dapat menguasai hatinya sehingga mukanya berubah
merah lagi.
Tentu saja
hal ini tidak lepas dari pandangan mata Cui Bi dan Kong Bu yang sudah tahu akan
persoalannya. Li Eng dan Hui Cu hanya memandang paman mereka dengan penuh iba,
lalu menoleh kepada Cui Bi dengan marah. Ada pun gadis Thai-san-pai itu tak
dapat menahan dua butir air matanya yang meloncat turun ke atas kedua pipinya,
tetapi cepat diusapnya dan ia menundukkan muka.
Keadaan
sunyi senyap, tak ada seorang pun bergerak. Suasana yang mencekam dan tak
menyenangkan ini membuat Beng San cepat-cepat bertindak. Dia berkata lagi,
suaranya mengandung keramahan dan kegembiraan paksaan,
"Ayah
mertuaku Song-bun-kwi tadi hanya main-main saja. Mana bisa terjadi aku berbesan
dengan Ketua Hoa-san-pai? Ketua Hoa-san-pai adalah kakek dari anakku Sin Lee,
berarti ayah mertuaku pula. Mana ada mantu berbesan dengan mertua? Gak-hu,
katakan bahwa kau tadi hanya main-main saja."
Song-bun-kwi
tertawa bergelak, lalu minum araknya lagi. Setelah mengusap mulut dengan ujung
lengan baju, ia berkata, "Ah, mulut lancang! Aku tidak ingat akan semua
itu. Ha-ha, memang aku hanya main-main!"
Pada saat
itu, Bun Wan menggebrak meja di depannya. "Ayah, aku tidak dapat menahan
lagi!" suaranya serak dan ia lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Semua orang
memandang dengan heran dan tidak mengerti, karena itu kini semua mata ditujukan
kepada Bun Lim Kwi, ketua dari Kun-lun-pai yang pendiam itu. Orang setengah tua
ini wajahnya mengeras, agak pucat dan ia kemudian bangkit berdiri, kedua
tangannya dikepalkan dah suaranya jelas membayangkan perasaan yang tertindih.
"Sepekan
sudah kami ayah dan anak menahan perasaan karena tak baik mengemukakan urusan
ini selagi tuan rumah menjalankan perkabungan. Akan tetapi benar kata anakku,
tak mungkin kami berdua dapat menahan-nahan hal ini yang benar-benar amat
menindih perasaan kami."
"Saudara
Bun, demi Tuhan, demi persahabatan kita, katakanlah, apa yang telah
terjadi?" Beng San berkata penuh kegelisahan.
Suara Bun
Lim Kwi terdengar amat pahit, menyatakan keperihan hatinya ketika ia berkata
sambil mengeluarkan segumpal kertas dari sakunya.
"Memang
urusan ini amat menyakitkan hati dan menyinggung perasaan. Tetapi saudara Beng
San, kita sebagai orang-orang gagah paling suka akan urusan yang terus terang,
kita bersama menjunjung nama kehormatan lebih tinggi dibandingkan nyawa.
Kun-lun-pai boleh dibilang perkumpulan kecil, apa lagi ketuanya macam aku ini
mana ada harganya? Dapat berbesan dengan Thai-san-pai benar-benar merupakan
kehormatan yang jatuh dari langit. Akan tetapi betapa pun rendahnya keadaan aku
dan anakku, kiranya tidak patut menjadi buah tertawaan orang dan bahan permainan,
apa lagi ejekan."
"Saudara
Bun, bicaralah sejujurnya, demi Tuhan, apa yang kau maksudkan ini?" Beng
San berseru keras.
"Sebelum
pergi, Siauw-ong-kwi menghina kami dan menyerahkan tulisan pada kertas ini.
Berhari-hari aku menunggu dan menahan, akan tetapi melihat gelagatnya, tak
boleh tidak kertas bertulis itu harus kuserahkan padamu dan aku mesti
menginsyafi akan kerendahan kami. Nah, kau terimalah kertas ini, baca dan boleh
kalian perbincangkan sendiri. Ada pun kami... ah, kami memohon diri. Tentang
perjodohan, baik kita bicarakan belakangan saja, itu pun kalau kau merasa perlu
untuk mengajakku bicara, Saudaraku."
Ketua ini
dengan tajam menatap semua orang yang berada di situ, lalu menarik tangan
anaknya. "Wan-ji, mari kita pulang."
Ayah dan
anak itu bangkit dan menuju ke pintu.
Beng San
berseru, "Saudara Bun, mengapa pergi? Kalau ada urusan, baik kita
bicarakan yang betul. Duduklah kembali."
Akan tetapi
melihat calon besannya itu tak menjawab, terpaksa Beng San berkata kepada Oei
Sun yang duduk di luar ruangan. "Oei Sun, kau antar tamu kita
keluar."
Dia menyuruh
anak muridnya karena kuatir kalau-kalau kedua orang tamunya itu akan tersesat
jalan dan tak dapat keluar dari tempat yang penuh jalan rahasia itu. Kemudian
setelah mereka pergi, Beng San mengambil surat di atas meja yang ditinggalkan
Bun Lim Kwi itu. Dibukanya surat itu dan seketika wajahnya berubah merah padam
malah hampir menghitam.
Li Cu dan
Cui Bi maklum akan sifat Ketua Thai-san-pai ini. Tentu Beng San amat marah
membaca surat itu, maka mereka menunggu dengan hati berdebar. Beng San menoleh
kepada Cui Bi, suaranya gemetar ketika ia menyerahkan surat itu
"Cui
Bi, apa artinya ini?” surat itu melayang di atas meja depan Cui Bi.
Tubuh gadis
itu mengigil dan tidak berani menjamah surat itu, hanya matanya membaca
huruf-huruf besar yang ditulis di situ.
DI BAWAH
SINAR BULAN PURNAMA PUTERI THAI-SAN-PAI DAN PUTRA HOA-SAN-PAI BERSUMPAH SALING
MENCINTA, MEMBIARKAN KUN-LUN-PAI DITERTAWAI DUNIA.
Seketika
pucatlah wajah Cui Bi. Kun Hong yang duduk di seberang gadis itu dapat pula
membaca tulisan ini, demikian pula yang lain-lain.
"Kun
Hong, apa yang kau lakukan? Betulkah isi tulisan itu?" Kwa Tin Siong
membentak kepada puteranya dengan pandang mata tajam.
"Cui
Bi, jawablah, tulisan Siauw-ong-kwi itu fitnah ataukah kenyataan?"
Cui Bi tak
dapat menjawab, tiba-tiba ia malah menelungkupkan mukanya di atas meja dan
menangis! Kun Hong sejenak menatap pandang mata ayahnya, lalu dia bangkit
berdiri perlahan dan berkata, suaranya gemetar,
"Aku
bersalah... aku berdosa... telah menggoda Bi-moi... aku siap menerima
hukuman..."
"Brakkk!"
Cawan arak
di depan Kwa Tin Siong melayang menghantam pipi Kun Hong yang kanan sehingga
kulit pipinya berlubang dan darah mengucur. Saking marahnya Kwa Tin Siong sudah
menyambit muka puteranya dengan cawan itu yang kini jatuh menggeletak di atas
meja, berlumuran darah dari pipi Kun Hong.
"Anak
celaka! Kiranya engkau mendatangkan cemar lebih hebat dari pada yang diperbuat
Hong Hong...," suara Ketua Hoa-san-pai mengandung isak, mukanya pucat
sekali.
"Tidak...
tidak... Hong-ko tidak bersalah!" tiba-tiba Cui Bi meloncat bangun,
mukanya yang pucat penuh dengan air mata. "Akulah yang bersalah! Memang
aku bersalah karena tidak memberi tahu kepadanya bahwa aku telah ditunangkan,
ditunangkan dengan paksa oleh orang tuaku. Ayah... ibu... aku... cinta kepada
Hong-ko, sebaliknya dia pun mencintaiku. Aku tidak sudi menikah dengan orang
lain!"
Beng San dan
Li Cu saling pandang bingung, tak tahu harus berbuat atau berkata apa. Akhirnya
Beng San berkata lirih, "Kun Hong banyak jasanya kepada kita, malah dia
telah menolong nyawaku... tapi... tapi... tapi ini soal kehormatan dan nama
baik..."
"Ayah,
lebih baik aku mati kalau dinikahkan dengan orang lain. Aku dan Hong-ko saling
mencinta, sudah bersumpah..."
"Brakkk!"
Kun Hong
menggebrak meja dan ternyata empat kaki meja itu ambles ke bawah saking
hebatnya ia menahan gelora hati dan mempergunakan tenaga dalam tanpa ia sadari.
"Bi-moi,
tak boleh begini! Kau sudah ditunangkan dengan putera Kun-lun-pai. Urusan ini
menyangkut nama serta kehormatan Kun-lun-pai dan Thai-san-pai. Nama kehormatan
yang harus dijaga lebih gigih dari pada menjaga nyawa. Apa lagi hanya cinta.
Bi-moi, tak mungkin aku membiarkan kau melanggar aturan, menyusahkan orang tua,
merusak nama Thai-san-pai, menyebabkan permusuhan dengan Kun-lun-pai hanya
untuk memuaskan diriku saja. Tak mungkin! Cintaku tak serendah itu, bukan untuk
mementingkan diri sendiri. Kau harus menjaga nama orang tuamu, menikah dengan
putera Kun-lun-pai."
"Tidak...!
Tidak sudi...! Lebih baik aku mati. Hong-ko... Hongko... sudah lupakah kau akan
sumpahmu? Hong-ko, tak boleh kau mengorbankan aku hanya untuk aturan-aturan
lapuk. Hong-ko...," gadis itu tersedu-sedu tak dapat melanjutkan
kata-katanya lagi.
"Kun
Hong! Perbuatanmu amat memalukan. Kau benar-benar sudah mencemarkan nama
orang-orang tua. Kun Hong, mulai saat ini aku tak mau mengakui kau sebagai anak
lagi!"
"Ayah...!"
Kun Hong pucat, memandang ayahnya, kemudian kepada ibunya yang hanya dapat
menunduk dan menangis.
Dalam keadaan
segawat itu, karena menghadapi urusan besar yang menyangkut nama serta
kehormatan Hoa-san-pai, Kun-lun-pai, dan Thai-san-pai, nyonya ini sama sekali
tak dapat mengeluarkan perasaan hatinya yang penuh cinta dan kasihan kepada
puteranya. Diam-diam ia membandingkan nasib kedua orang muda itu dengan
nasibnya sendiri yang pernah mengalami kehancuran dalam pertunangan dahulu.
Dengan tubuh
gemetar, wajah pucat serta hati hancur, Kun Hong berdiri perlahan-lahan dari
tempat duduknya, kakinya menggigil ketika melangkah, kata-katanya perlahan
seperti orang berbisik,
"Aku
berdosa... aku durhaka... tak patut hadir di sini...," Ia melangkah hendak
keluar dari ruangan besar itu.
"Hong-ko...!"
Cui Bi melompat dari tempat duduknya, berlari mengejar, menjatuhkan diri berlutut
di depan Kun Hong, sambil merangkul kedua kakinya, menangis tersedu-sedu,
"Hong-ko... jangan tinggalkan aku...!"
Dia
mendongak. Mukanya yang pucat penuh dengan air mata, rambutnya awut-awutan,
keadaan gadis itu sungguh mengiris jantung Kun Hong.
Kun Hong
menunduk, memandang lekat wajah kekasihnya, menelan ludah beberapa kali,
menggigit bibir menahan air mata, lalu meramkan mata dan menggelengkan
kepalanya keras-keras.
"Tidak,
Bi-moi, tidak boleh...! Kau harus menjaga nama baik keluargamu... aku... aku
tidak bisa melanggar aturan, kesopanan dan kesusilaan!"
"Hong-ko...,!"
Tapi dengan
cepat Kun Hong mengipatkan kedua tangan Cui Bi. Gadis itu tergelimpang,
menangis sampai hampir tak dapat bernapas dan Kun Hong melangkah terus keluar.
"Ayah,
ini tidak boleh terjadi!" tiba-tiba Kong Bu berteriak kepada ayahnya.
"Cui Bi sudah berterus terang kepadaku, dia mencinta Kun Hong dan aku
sudah berjanji kepadanya hendak bicara dengan Ayah tentang hal ini! Batalkan
perjodohan dengan Kun-lun-pai dan terima Kun Hong sebagai suami Adik Bi!"
Beng San
merah mukanya, matanya meram dan ia hanya menggeleng-geleng kepalanya,
kelihatan betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum. Li Cu juga menangis dan
menahan hatinya yang ingin sekali menubruk serta memeluk puterinya. Akan tetapi
tentu saja ia menahan hatinya karena dalam urusan ini, puterinya boleh dibilang
telah melakukan suatu hal yang amat memalukan! Akan tetapi bagaimana dengan dia
sendiri? Ia teringat akan semua pengalamannya dahulu, betapa ia pun bertekad
dan melawan ayahnya sendiri karena cinta kasihnya kepada Beng San.
Sin Lee yang
juga merasa sayang terhadap adik tirinya, mukanya menjadi merah dan matanya
meliar. Dia sedang terbenam kedukaan karena kematian ibunya, dan sekarang
menghadapi keadaan Cui Bi, satu-satunya orang di samping ayahnya yang amat ia
kasihi, ia tak kuat menahan. Tiba-tiba ia melengking keras dan tubuhnya sudah
mencelat keluar dari ruangan mengejar Kun Hong.
Ia berdiri
di depan Kun Hong dengan beringas. "Kun Hong! Kau harus berani bertanggung
jawab! Kau sudah menjatuhkan hati Cui Bi, tidak boleh kau sekarang
meninggalkannya. Apa pun yang terjadi, kau harus melanjutkan cinta kasihmu itu,
kau harus menjadi suami Bi-moi!"
Kun Hong
menggigit bibirnya, kerongkongannya serasa tersumbat. Sesudah menghela napas
dan menelan ludah berapa kali, barulah ia dapat menjawab,
"Sin
Lee, justru sebagai orang berani bertanggung jawab, aku menjauhkan diri. Lebih
baik aku sengsara dari pada melihat nama baik orang-orang tua dan nama baik
Bi-moi sendiri hancur ternoda."
"Kau
harus kembali, harus, kataku!" Sin Lee membentak dan maju mendorong Kun
Hong untuk memaksa pemuda itu kembali ke ruangan. Akan tetapi sekali mengelak
serangan itu luput dan Kun Hong sudah melewati tubuh Sin Lee terus berjalan pergi.
"Kun
Hong, tunggu dulu!" tiba-tiba Kong Bu juga sudah menghadangnya, malah
dengan pedang di tangan, sikapnya mengancam!
"Kau
mau apa, Kong Bu?" suara Kun Hong mengerikan, suara tanpa irama, seperti
suara dari balik lubang kubur.
"Kun
Hong, tidak ingatkah kau akan sumpahmu dahulu? Bahwa kau mencinta sangat Adik
Bi dan bersedia mengorbankan nyawa untuknya? Mengapa sekarang kau malah hendak
menghancurkan kebahagiaannya dan meninggalkannya?"
"Aku
tetap cinta padanya, aku tetap bersedia mengorbankan segalanya untuknya. Kong
Bu, tak tahukah kau bahwa pengorbanan yang kulakukan ini bahkan lebih berat
dari pada berkorban nyawa?" Kini suara itu bercampur sedu-sedan dan pada
kedua pipi Kun Hong tampak air mata bercucuran.
"Tidak,
kau harus kembali dan meminta Bi-moi dari Ayah. Jangan pedulikan pandangan
orang lain, kalau pihak Kun-lun-pai marah serahkan saja kepadaku!" bentak
Kong Bu.
Kun Hong
menggelengkan kepala. "Kau keliru. Aku tidak mau demi cinta kasihku, demi
kebahagiaanku, harus mengorbankan hal-hal yang lebih penting lagi. Tidak, Kong
Bu, kau kembalilah."
"Aku
akan memaksamu!" Kong Bu mengayun pedangnya.
Tapi sekali
melejit Kun Hong mengelak dan menyentil dengan jari telunjuknya yang tepat
mengenai pergelangan tangan Kong Bu, membuat pemuda ini hampir saja melepaskan
pedangnya, sementara itu Kun Hong sudah melewatinya.
"Hong-ko...
tunggu...! Hong-ko...!"
Cui Bi
berlari-lari mengejar Kun Hong. Gadis ini tadi melihat sendiri betapa kedua
orang kakak tirinya membujuk-bujuk, malah dengan kekerasan, namun semuanya
tidak berhasil. Maka ia sendiri lalu berlari mengejar.
Mendengar
suara kekasihnya ini, Kun Hong berhenti, seakan-akan kedua kakinya terpaku di
tanah, tak dapat digerakkan lagi. Ia berhenti berdiri tegak tanpa menoleh,
bahkan ia pun tidak menunduk ketika Cui Bi sudah berlutut lagi di depannya
sambil menangis.
"Hong-ko...
demi Tuhan, Hong-ko... jangan kau tinggalkan aku. Aku... aku tidak akan kuat
menahan, Hong-ko... aku takkan dapat hidup bila harus berpisah denganmu dan
menikah dengan orang lain... Hong-ko, kau kasihanilah diriku..."
Kun Hong
meramkan mata, tunduk pun ia tak berani. Ia tahu bahwa sekali ia memandang
wajah Cui Bi yang sangat dikasihinya itu, kekerasan hatinya akan hancur dan dia
akan melupakan kesopanan, melupakan aturan, melupakan nama dan kehormatan, dan
hanya akan memuaskan cinta kasih dan kebahagiaan perasaan hatinya sendiri. Maka
seperti orang dalam mimpi ia meramkan mata dan bibirnya berulang-ulang
berbisik,
"Tidak,
Bi-moi... tidak... tidak... tidak..."
Tiba-tiba
Kun Hong mendengar keluhan panjang.
"Hong-ko...!"
suara Cui Bi ini sedemikian anehnya dan ia mendengar gadis itu roboh.
Kun Hong
membuka matanya dan ia terbelalak, menjerit,
"Tidak...
ahhh, tidak... jangan, Bi-moi... aduh, Bi-moi...!"
Ia menubruk
ke depan, menubruk tubuh yang masih hangat itu, yang kini telah telentang
dengan pedang menembus dadanya, dengan mata masih terbuka memandangnya penuh
permohohan, dengan bibir masih berkomat-kamit memanggil namanya, berbisik-bisik
lirih, "Hong-ko... Hong-ko..."
"Cui
Bi...! Dewiku! Ahh, Cui Bi, kekasihku... ahhh, Cui Bi...!" Kun Hong
menjerit-jerit dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya sambil menangis dan
memanggil-manggil.
Darah
mengalir keluar dari dada serta punggung gadis itu, membasahi baju Kun Hong.
Ketika ia memandang melalui air matanya ia melihat Cui Bi tersenyum puas dan
bahagia, bibirnya bergerak, "Hong-ko, aku cinta padamu..." Dan ucapan
ini merupakan hembusan napas terakhir.
Gadis jelita
itu mati dalam pelukan kekasihnya, mati dalam keadaan bahagia, terbukti dari
bibir yang tersenyum itu. Orang-orang di dalam ruangan itu berlari-lari memburu
keluar. Segera terdengar pekik dan jerit memilukan. Li Cu menubruk ke depan,
merampas tubuh anaknya dari pelukan Kun Hong, akan tetapi pemuda itu tidak
memberikannya.
"Biar
dia kupondong..." katanya sambil berdiri, memondong tubuh gadis itu sambil
berjalan lambat-lambat kembali ke ruangan tadi.
Langkahnya
satu-satu, kaku, matanya memandang lurus ke depan seperti mata patung, mukanya
yang tadi dipergunakan untuk mencium dan mendekap gadis itu penuh air mata
bercampur darah. Tubuh Cui Bi terkulai dalam pondongannya, rambut gadis itu
terlepas dan terurai ke bawah, kedua kakinya yang masih lemas tergantung dan
bergerak-gerak ketika Kun Hong membawanya berjalan ke ruangan.
Li Cu
menjerit-jerit, masih mencoba merampas mayat anaknya. Beng San memegang
lengannya dan merangkulnya, menuntunnya ke dalam ruangan itu, tapi Li Cu masih
terus menjerit-jerit.
"Dia
anakku...! Kembalikan anakku...! Ah, mana anakku? Ya Tuhan, Kun Hong, kau telah
membunuh anakku. Aduhai, Cui Bi... Cui Bi anakku sayang... kenapa menjadi
begini? Kun Hong, kau... kau membunuh Cui Bi. Ah, Cui Bi, biji mataku... Cui Bi
bangunlah, anakku."
Beng San
merangkul isterinya. "Tenang, kuatkan hatimu..." ia menghibur.
"Tenang
bagaimana? Menguatkan hati bagaimana? Aku kehilangan biji mataku dan harus
tenang? Ya, dia lebih berharga dari pada biji mataku!"
Nyonya itu
menangis lagi sambil menjerit-jerit, membuat semua orang merasa terharu dan
terutama sekali Li Eng dan Hui Cu, Lee Giok dan Thio Bwee. Lee Giok yang masih
adik seperguruan Li Cu merangkul suci-nya itu dan membujuk-bujuk sambil
menangis. Hui Cu dan Li Eng memeluki mayat Cui Bi yang oleh Kun Hong sudah
diletakkan di atas bangku panjang. Sin Lee dan Kong Bu berdiri mematung, pucat
dan juga dari kedua mata mereka runtuh beberapa butir air mata. Hanya
Song-bun-kwi terus menerus menenggak arak, agaknya untuk menguatkan hatinya
yang hampir lumer menyaksikan semua itu.
Kun Hong
telah membaringkan tubuh Cui Bi di atas bangku, lalu berlutut di depan Li Cu.
"Bibi, memang aku yang menyebabkan kematian Bi-moi. Kau kehilangan biji
mata, Bibi? Ahhh, aku pun kehilangan, kehilangan matahari hidupku. Bibi, aku
tidak dapat mengganti seorang Cui Bi kepadamu, akan tetapi aku sanggup
mengganti dengan biji mata pula, apa artinya biji mata bagiku kalau aku tak
dapat melihat matahari lagi. Terimalah ini, Bibi, biji mataku..."
Sebelum
orang lain dapat menduga apa yang hendak dilakukan, tiba-tiba saja Kun Hong
menggerakkan jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya, ditusukkan ke
matanya dan di lain saat dua biji matanya telah ia korek keluar dan berada di
telapak tangannya yang sekarang diangsurkan kepada Li Cu.
Semua orang
berteriak tertahan. Kun Hong masih berlutut tegak dengan tangan kanan
diangsurkan dan di atas telapak tangan itu terdapat dua butir mata yang
berlumuran darah. Ada pun mukanya yang pucat itu sekarang menjadi mengerikan sekali.
Darah bercucuran keluar dari kedua matanya yang sudah berlubang.
Li Cu
memandang dengan mata terbelalak, "Kau... kau... aduh, Kun Hong...!"
Li Cu
memeluk pemuda itu yang lalu terguling dan pingsan! Beng San menarik isterinya
perlahan, lalu menyerahkan kepada Lee Giok, minta supaya diajak ke dalam.
Kwa-Tin-Siong
dengan muka pucat memegangi lengan isterinya yang kini menjerit-jerit, sebentar
memandang pada puteranya yang menggeletak dengan muka berlumur darah, lalu
tidak kuat dia dan membuang muka, memandang lagi dan kalau tidak dipegangi
suaminya tentu ia sudah menubruk anaknya itu.
Wajah Kwa
Tin Siong seperti Beng San yang berdiri di hadapannya. Kedua orang ini
berpandangan penuh pengertian, penuh sesal, penuh kedukaan dan akhirnya Beng
San lalu membungkuk memondong tubuh Kun Hong yang pingsan itu, dibawa ke dalam
untuk dirawat.
Sunyi di
ruangan itu, hanya isak tangis yang terdengar, bahkan kini Song-bun-kwi yang
tadinya minum terus-menerus sekarang menjatuhkan muka ke atas meja, menutupi
muka dengan dua lengan dan menangis seperti anak kecil, memanggil-manggil nama
isterinya, dan nama anaknya, Bi Goat, yang sudah meninggal….
***************
Betapa pun
janggalnya, namun bukanlah hal yang aneh atau tak mungkin terjadi apa bila kita
melihat seorang yang menurut penilaian, kita adalah seorang baik, namun
mengalami nasib yang amat menyedihkan. Semua ini adalah kehendak Tuhan dan hal
ini merupakan rahasia bagi manusia.
Ada kalanya,
apa bila Tuhan menghendaki, seorang yang hidupnya terkenal jahat dapat
mengalami hidup yang serba menyenangkan, sebaliknya seorang yang hidupnya
terkenal baik dapat mengalami hidup yang sengsara. Tampaknya tidak adil, tetapi
sesungguhnya bukan demikian. Ada sebab-sebab tertentu yang menjadi rahasia
Tuhan, dan Tuhan tetap Maha Adil. Betapa pun ganjilnya, betapa pun anehnya,
manusia wajib menerima, karena baik yang menyenangkan mau pun yang sebaliknya,
kesemuanya itu tetap adalah karunia Tuhan.
Setelah
jenazah Cui Bi dimakamkan, Kun Hong tetap dirawat di Thai-san-pai sampai
sembuh. Matanya menjadi buta, tidak berbiji lagi. Beng San sendiri yang
merawatnya, bahkan di samping merawatnya, Beng San membisiki semua rahasia Ilmu
Silat Im-yang Kun-hoat kepada orang muda itu dan melatihnya mempergunakan
telinga bagai pengganti mata.
Kwa Tin
Siong dan isterinya serta semua tokoh Hoa-san-pai, termasuk Li Eng dan Hui Cu,
telah kembail ke Hoa-san setelah mendapat janji dari Beng San bahwa lain waktu
Ketua Thai-san-pai ini akan mengunjungi Hoa-san-pai untuk membicarakan tentang
perjodohan kedua puteranya dengan Hui Cu dan Li Eng. Dengan penuh keharuan Liem
Sian Hwa memeluk anaknya yang sudah buta itu, minta supaya kalau sudah sembuh
anaknya akan segera kembali ke Hoa-san-pai.
Di samping
Beng San yang amat tekun merawat Kun Hong, juga Song-bun-kwi sering kali
mengajak pemuda itu bercakap-cakap, bergurau dan malah pada suatu hari Song-bun-kwi
memberi hadiah sebatang tongkat kepada Kun Hong. Ketika Kun Hong menerima dan
memeriksa dengan rabaan tangannya, ternyata tongkat itu bukan sekedar tongkat
untuk membantunya mencari jalan, akan tetapi tongkat yang di dalamnya tersimpan
pedang Ang-hong-kiam, pedangnya. Ternyata oleh kakek sakti itu, pedang
Ang-hong-kiam telah diberi sarung pedang berupa tongkat….
***************
Beberapa
bulan kemudian, di kala Hoa-san-pai merayakan pesta pernikahan yang amat meriah
dari Hui Cu dan Li Eng yang menikah dengan Sin Lee dan Kong Bu, Kun Hong juga
hadir. Pada malam harinya, malam yang amat bahagia bagi dua pasang pengantin
itu, semua orang mencari-cari Kun Hong, akan tetapi orang muda buta ini tidak
nampak bayangannya.
Kalau kita
menengok jauh ke lereng Bukit Hoa-san-pai, akan terlihatlah bayangan orang buta
itu berjalan perlahan, dibantu tongkat pedangnya, meninggalkan Hoa-san,
berjalan di bawah cahaya bulan purnama. Bibirnya terus tersenyum-senyum
seakan-akan dia dapat pula merasakan kebahagiaan dua pasang mempelai yang
merupakan orang-orang yang sangat disayangnya.
T A M A T
Serial Selanjutnya : Pendekar Buta
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment