Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 17
Biasanya
kakeknya hanya mengatakan secara singkat bahwa ayahnya sudah tergila-gila
kepada wanita lain sehingga ibunya mati karena duka. Melihat perhatian Kong Bu
itu, Cui Bi melanjutkan ceritanya penuh semangat, matanya berapi-api, kedua
pipinya merah.
"Kemudian
terjadilah mala petaka menimpa. Kwa Hong ternyata sudah mengandung dari
hubungan yang berlangsung di luar kesadaran Tan Beng San itu. Malah Kwa Hong
yang tak tahu malu itu mengunjungi ibumu di Min-san, dan melahirkan anaknya di
sana. Hal itu terjadi ketika kakekmu sedang merantau dan ayahmu, Tan Beng San
itu, sedang sibuk pula membantu perjuangan. Setelah Kwa Hong pergi bersama
anaknya, ibumu menjadi berduka sekali, maklumlah hati wanita, penuh sakit hati,
penuh iri dan cemburu, merasa bahwa cinta kasihnya yang mendalam itu
dicemarkan. Dan... saking tak kuasa menahan kesedihan hatinya, ia meninggal
dunia setelah melahirkan kau..." Sampai di sini suara Cui Bi terdengar
serak. Isaknya dalam dada jelas membayangkan keharuan hatinya.
Kong Bu
merasa dadanya sesak, sedu-sedan naik ke kerongkongannya. Akan tetapi dia
menguatkan hati, menggigit bibirnya sehingga hanya kedua matanya saja yang
nampak menjadi merah, sikapnya menakutkan.
"Kau
tahu bagaimana keadaan ayahmu ketika dia mendengar tentang kematian isterinya
yang tercinta itu? Dia menjadi... menjadi gila..." kembali suara itu parau
dan lirih, dan Cui Bi terpaksa berhenti karena terbatuk-batuk, agaknya menahan
keharuan hatinya.
"Gi...
gila...?" Kong Bu sempat bertanya di antara sedu-sedan yang kembali naik
lagi ke kerongkongannya.
"Ya,
gila, atau hilang ingatan. Pada waktu itu... hemm, di antara dia dan... Cia Li
Cu..."
“Isterinya
yang sekarang?"
"Ya, di
antara mereka itu terjalin persahabatan yang amat erat, akan tetapi jangan
salah artikan. Tan Beng San tetap tidak dapat mencinta lain orang kecuali
isterinya, ini terbukti ketika mendengar kematian isterinya dia lalu lupa
segalanya, yang diingat hanya isterinya itu. Melihat hal ini, Cia Li Cu amat
terharu. Harus diakui Cia Li Cu mencintanya sepenuh jiwa. Ia hendak menghibur
pendekar ini, namun apa yang terjadi? Dalam pandangan Tan Beng San yang sudah
hilang ingatan itu, Li Cu terlihat seperti ibumu yang telah meninggal dan
seterusnya menganggap bahwa Cia Li Cu adalah Kwee Bi Goat!"
"Ahh..."
Kong Bu menahan napas, amat tertarik dia dan keharuan bergumul di hatinya.
"Cia Li
Cu, puteri Raja Pedang Tanpa Tanding Cia Hui Gan, demi cintanya mengorbankan
nama baiknya, malah nekat menantang ayahnya, memelihara Tan Beng San dengan
hati hancur karena melihat orang yang dicintanya itu menganggapnya sebagai
wanita lain. Adakah pengorbanan lebih besar dari ini? Adakah cinta kasih yang
lebih besar dari ini?" Cui Bi nampak bangga.
Kong Bu
mulai bingung. Kalau betul begini jalan ceritanya, ahh, ayahnya tidak bersalah,
malah patut dikasihani.
"Nah,
kau tahu, sampai sekarang pun Cia Li Cu yang kini sudah menjadi isteri sah dari
Tan Beng San yang akhirnya mendapatkan kembali ingatannya dan mengawini Cia Li
Cu, sama sekali tidak ada hati yang memusuhi mendiang Kwee Bi Goat ibumu, apa
lagi kau sebagai putera suaminya yang semenjak kecil dibawa lari oleh kakekmu.
Kau dicari-cari oleh ayahmu, tetapi tidak bertemu dan kakekmu hendak mengadu
kau dengan ayahmu sendiri."
Kong Bu
menundukkan mukanya, mukanya merah sekali dan ia berusaha keras menahan
sedu-sedan yang sudah hampir meledak di dadanya.
"Ibu...
Ayah...," bisiknya, keadaannya mengharukan sekali.
Pemuda itu
teringat betapa ia tidak pernah melihat ibunya yang sudah mati, juga tidak
pernah melihat ayahnya yang harus diakui sangat mendatangkan rasa rindu di
hatinya. Tapi bujukan-bujukan kakeknya membuat ia membenci ayahnya yang
disangkanya telah menyeleweng dan menyakiti hati ibunya. Siapakah yang benar?
Cerita kakeknya ataukah cerita orang ini? Siapakah orang ini? Apakah dia tidak
berbohong?
Ia cepat
mengangkat kepala memandang dan kagetlah dia, pemuda tampan di depannya itu
memandang kepadanya dengan mata merah, air mata membanjir di kedua pipinya, dan
bibirnya yang gemetar itu dikatupkan menahan isak tangis!
Wajah Kong
Bu pucat sekali. Mukanya membayangkan hati yang hancur. Seorang yang bagaimana
pun keras hatinya sekali pun tentu akan kasihan melihatnya pada saat itu. Makin
deras air mata mengalir sepanjang pipi Cui Bi dan tiba-tiba pemuda tampan ini
memegang kedua tangan Kong Bu, bibirnya berbisik perlahan dan menggetar.
"Aduh...,
kasihan sekali kau... Koko..."
Kong Bu
tersentak kaget dan balas memegang tangan pemuda itu.
"Kau...
kau siapakah?" Tentu saja ia heran dan kaget mendengar pemuda itu
memanggil dirinya koko (kakak).
Dengan
lengan bajunya pemuda tampan itu mengusap air matanya pada kedua pipinya
sebelum menjawab, akan tetapi air matanya mengalir terus.
"Aku...
aku adalah adik tirimu... aku... aku anak dari ayahmu dan ibuku adalah Cia Li
Cu..."
Kong Bu
merenggutkan tangannya terlepas, meloncat mundur sambil berdiri dan berseru,
suaranya keras sekali, "Bohong! Kau penipu, pembohong! Sudah sering aku
mendengar bahwa... Ayah dan Cia Li Cu hanya mempunyai seorang anak tunggal,
seorang anak perempuan... bagaimana kau ini...?"
Cui Bi sudah
berdiri pula, air matanya masih membasahi kedua pipinya.
"Koko,
tidak tahukah kau bahwa aku...?"
Ia menggosok
kedua anak telinganya sehingga tampak lubang anak telinga yang tadinya ditutup
semacam bedak, dibukanya penutup kepala sehingga terurailah rambutnya yang
panjang dan halus berombak.
Muka Kong Bu
makin pucat. "Kau... kau seorang gadis...?"
"Koko,
tidak dapatkah kau melihat bahwa ilmu pedangku adalah warisan Ayah dan Ibu?
Koko, Ayah banyak menderita kalau memikirkan kau, kau amat dirindukan Ayah...
juga Ibu, percayalah, Ibu sama sekali tidak menganggap kau sebagai orang lain,
demikian pula aku... kau sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri..."
Tak dapat
tertahan lagi, air mata yang sejak tadi sudah menekan di kedua mata Kong Bu, kini
berlinang jatuh menetes. Pemuda itu menutupkan kedua tangan di depan muka untuk
menyembunyikan tangis, namun air mata yang tak banyak itu tetap menetes keluar
dari celah-celah jari tangannya, sedangkan sedu-sedan yang ditahan-tahannya
membuat dua pundaknya yang bidang itu bergerak-gerak.
"Koko...,"
suara halus itu dekat sekali karena gadis itu sudah mendekatinya.
Kong Bu
menurunkan kedua tangan, melihat wajah yang memandang penuh iba, penuh
permohonan agar diakui sebagai saudara, dengan air mata membasahi pipi.
"Moi-moi
(adik perempuan)..."
Kong Bu
memeluk dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya, kepalanya berdongak dan kedua
matanya meram, air matanya bertetesan ke atas rambut Cui Bi.
"Ibu...
semoga kau mengampuni anakmu..."
Sampai
beberapa lamanya kedua orang muda seayah ini saling peluk dan bertangisan.
Akhirnya keduanya mampu menguasai hati masing-masing dan dengan agak malu-malu
mereka melepaskan pelukan, kemudian saling pandang.
Setelah
keharuan mereda, mereka saling memandang kagum. Perlahan-lahan tersembul senyum
di bibir Cui Bi yang ternyata adalah seorang gadis yang amat cantik jelita itu.
"Koko,
alangkah bahagianya hatiku. Ayah dan Ibu setiap hari menangis kalau mengingat
kau. Mereka amat kuatir kalau-kalau hatimu sudah diracuni, kuatir kalau-kalau
kau akan datang dan mengganggu Ayah Ibu sebagai musuh besar. Syukur bahwa kau
ternyata memiliki jiwa ksatria, seperti yang diharapkan ayah karena kata Ayah,
ibumu pun seorang yang berbudi halus."
"Aku
pun bahagia sekali dapat bertemu dengan kau, Moi-moi. Ah, alangkah
bodohku..." ia menghela napas panjang. "Aku memang tahu akan watak
Kakek yang keras dan aneh... dan diam-diam aku sudah tidak cocok. Baiknya aku
bertemu dengan kau dan insyaf. Ah, kalau tidak... bagaimana mungkin aku dapat
menjual lagak memamerkan kebodohanku di depan ibumu, sedangkan terhadap kau
saja aku sudah kalah jauh?"
Cui Bi
tertawa dan memegang tangan kanan kakaknya. "Iihh, kau memang amat pandai
merendah. Siapa bilang kau akan kalah jauh? Hemmm, sedangkan kau belum menerima
apa-apa dari Ayah saja, sudah setengah mampus aku melawanmu, apa lagi kalau kau
sudah menerima warisan dari ayah, pendeknya aku bukan apa-apa bagimu."
"Moi-moi,
kau manis sekali, ahhh, alangkah bangga hatiku mempunyai adik seperti
kau!" Kong Bu meraba dagu gadis itu dengan hati penuh kasih sayang.
Cui Bi
melengos, manja. "Ahh, bisa saja kau, siapa tidak tahu bahwa aku jelek?
Kaulah yang gagah perkasa, benar-benar Ayah akan menari kegirangan kalau nanti
melihatmu. Ehhh, Koko, bagaimana kita ini? Kakak beradik tetapi tidak saling
mengetahui namanya!" Keduanya berpandangan lalu tertawa bergelak!
Memang, dua
orang ini adalah keturunan orang sakti dan aneh, maka watak mereka juga aneh.
Lebih-lebih jiwa muda mereka membuat mereka mudah merasa gembira.
"Namaku
Kong Bu, Tan Kong Bu. Namamu siapa, adikku yang manis?"
"Aku
Cui Bi, Tan Cui Bi."
"Bi-moi,
mengapa kau menyamar sebagai seorang pemuda? Ha, hampir saja aku kena terpedaya
olehmu. Benar-benar tidak dapat diduga bahwa kau seorang gadis yang manis,
pandai benar kau menyamar sebagai seorang pemuda tampan dan ganteng lagi
pesolek. Sampai-sampai lubang daun telingamu dapat kau tutupi dengan baik,
tidak kentara sama sekali."
Heran
sekali, Kong Bu melihat wajah adiknya yang tadinya berseri-seri itu tiba-tiba
saja menjadi muram.
"Menyamar
sebagai pria sudah biasa kulakukan, Ko-ko, dan dalam hal ini Ayah dan Ibu
memberi nasehat-nasehatnya. Memang kalau melakukan perjalanan di dunia
kang-ouw, aku lebih leluasa kalau menyamar sebagai seorang laki-laki. Akan
tetapi kali ini... ah, tidak apa aku berterus terang, bukankah kau kakakku
sendiri? Dan siapa tahu, kau akan dapat membantu aku meringankan penderitaan
yang amat membingungkan hatiku ini, Bu-ko."
"Ehh,
semuda ini, segembira ini dapat menderita kesusahan? Ada apakah, Bi-moi? Apa
yang kau susahkan? Tentu saja aku siap sedia menolongmu."
Gadis ini
menarik tangan kakaknya, diajaknya duduk di tempat yang teduh. Lalu menarik
napas panjang, kelihatan berduka.
"Kau
tidak tahu, Bu-ko. Kali ini aku bukan melakukan perjalanan untuk
bersenang-senang seperti biasa, melainkan... aku telah lari dari Thai-san,
pergi meninggalkan rumah tanpa pamit!"
"Heee?!
Kenapa? Kau dimarahi ayah ibumu?"
"Bukan,
bukan mereka yang marah, melainkan akulah yang marah kepada mereka."
"Aaiiih,
kenapa kau ini? Tak baik marah-marah kepada orang tua, durhaka kau nanti."
"Panjang
ceritanya, Bu-ko. Tapi biar kusingkat saja. Kau tahu, Koko, selama aku berada
di Thai-san bersama orang tuaku, entah sudah berapa belas kali, bahkan mungkin
puluhan kali selama dua tahun ini, orang tuaku menerima lamaran orang atas
diriku."
Gadis yang
masih berpakaian pria itu merah sekali wajahnya, akan tetapi Kong Bu justru
tertawa tergelak.
"Mengapa
kau tertawa-tawa?" tanyanya cemberut.
"Ha-ha-ha,
kau gadis cantik jelita dan manis, usiamu juga tentu ada tujuh belas tahun, apa
anehnya jika menerima banyak lamaran? Andai kata bukan kakakmu, aku sendiri mau
melamar. Ha-ha-ha!"
"Iihh,
ceriwis kau!" Wajah itu semakin merah. "Jangan mentertawakan aku,
Koko, hatiku benar-benar baru resah, nih!"
"Ya
sudahlah, kau teruskan ceritamu."
"Ayah
dan Ibu sudah merasa jengkel sekali karena aku selalu menolak keras kalau ada
pinangan orang. Akhirnya, Ayah dan Ibu menerima pinangan putera Ketua
Kun-lun-pai, katanya puteranya seorang she Bun yang menjadi Ketua Kun-lun-pai
dan yang menjadi sahabat baik Ayah. Malah menurut cerita Tan-pek-hu di kota
raja yang dahulunya adalah tokoh Pek-lian-pai yang terkenal dalam perjuangan,
orang she Bun itu adalah keturunan pendekar besar dari Kun-lun-pai sedangkan
isterinya merupakan keturunan dari patriot pemimpin Pek-lian-pai, she
Thio."
"Waduh,
kiong-hi... kiong-hi (selamat, selamat), adikku...!"
"Selamat
hidungmu!" Cui Bi memotong dan melerok, mulutnya cemberut marah.
"Orang berkeluh-kesah, berduka dan bingung, kok justru diberi selamat.
Bukankah kau ini malah memperolok aku, Koko? Bagus benar ya menjadi kakak orang
begini kejam!"
"Lho-lho-lho,
nanti dulu, jangan marah-marah tidak karuan. Orang muda she Bun itu dilihat
dari keturunannya, baik dari ayah mau pun dari ibunya, benar-benar hebat. Kalau
ayah bundamu sudah menerima pinangan itu, bukankah berarti pemuda she Bun itu
menjadi calon adik iparku? Tentu saja aku senang sekali mempunyai calon adik
ipar keturunan orang-orang ternama dan gagah begitu. Apakah kau tidak senang
menjadi... eh, anunya?"
Dengan gemas
Cui Bi mengulur tangan dan mencubit lengan kakaknya sampai Kong Bu
mengaduh-aduh kesakitan.
"Kau
nakal benar, Bu-ko. Benci aku kalau begini. Kau mau menolong adikmu atau
tidak?"
"Tentu,
tentu... tapi lepaskan dulu cubitanmu, ahh, bisa pecah-pecah kulit lenganku
nanti. Teruskanlah ceritamu, aku berjanji tak akan menggodamu lagi."
Kong Bu yang
baru sekarang merasakan kenikmatan bergurau dengan seseorang yang mendatangkan
rasa sayang, benar-benar gembira sekali, akan tetapi juga kuatir melihat betapa
adiknya itu bersungguh-sungguh.
"Tentu
saja aku menolak keras. Aku tidak sudi menikah apa lagi dengan orang yang sama
sekali belum pernah kulihat. Ayah dan Ibu marah-marah, aku pun marah dan
akhirnya aku lari meninggalkan rumah tanpa pamit. Aku bersembunyi di rumah
Pek-hu di kota raja. Nah, Bu-ko, sukakah kau menolongku kalau nanti kau bertemu
dengan Ayah dan Ibu. Kau bujuklah mereka supaya jangan memaksa aku menikah,
supaya pinangan yang sudah diterima itu dibatalkan saja dan katakan bahwa aku
masih kecil."
Mau tak mau
Kong Bu menahan ketawanya. Senang dan sayang benar ia kepada adiknya yang lucu
ini.
"Usiamu
berapa sih, Moi-moi."
"Kata
Ayah, hanya selisih dua tahun denganmu."
"Nah,
kalau begitu sudah tujuh belas tahun. Mana bisa dibilang masih kecil?"
"Kau
menggoda lagi. Mau tidak membantuku?"
"Ya,
baik... baik... biar kelak aku membujuk orang tuamu."
Cui Bi
memegang tangan kakaknya dan ditarik bangun, menari-nari seperti orang yang
kegirangan sekali. "Terima kasih, terima kasih... wah, aku percaya bahwa
Ayah pasti akan meluluskan permintaanmu, kau seorang anak yang disayang, dan
baru saja bertemu. Eh, Bu-ko, kau nakal sekali, ya? Gadis Hoa-san-pai yang
cantik manis itu, hemmm, kau telah pura-pura kena ditawan. Hemmm, senang
sekali, ya? Hi-hi-hik, kau pembohong besar. Katanya benci perempuan murid
Hoa-san-pai, tetapi yang satu ini, aku berani bertaruh potong kepala bebek
bahwa kau suka kepadanya!"
Kong Bu
merenggut lepas tangannya, melotot. "Gila kau! Jangan main-main, ya? Siapa
suka perempuan galak seperti setan itu?"
"Galak-galak
tetapi manis, seperti setan tetapi menarik hati, bukan begitu? Ah, Koko, aku
tidak boleh kau bohongi, ya? Biarlah aku berjanji, kelak kalau kau benar-benar
sudah menolongku sehingga ikatanku dengan pemuda Ku-lun-pai itu dapat
dibatalkan, aku akan membalas budimu. Aku akan menjadi perantara, akan kubujuk
Ayah agar supaya pergi mengajukan pinangan ke Hoa-san!"
"Hush,
jangan ngaco!" Kong Bu mendelik dan membentak-bentak, akan tetapi ia
sendiri merasa aneh mengapa jantungnya jadi berdebar begini macam?
"Bimoi,
aku heran sekali kenapa kau dapat melihat kedatanganku di kuil dengan... ehm,
gadis Hoa-san-pai itu? Kulihat tadi yang berada di kuil itu hanyalah seorang
pemuda dari Hoa-san-pai yang bijaksana dan halus budi, seorang pemuda lemah
akan tetapi bicaranya menusuk perasaan benar, tepat dan bijaksana. Menurut
pengakuannya dia adalah paman dari gadis Hoa-san-pai itu."
"Ahh,
kau maksudkan Hong-ko?"
"Ehh,
Hong-ko siapa? Kau kenal dia?"
Cui Bi
tersenyum. "Seorang kutu buku, tetapi dia itu putera tunggal Ketua
Hoa-san-pai, pandai ilmu surat tidak pandai ilmu silat. Memang dia orang yang
luar biasa. Tentu saja aku kenal dia, malah berhari-hari aku melakukan
perjalanan bersama dia."
"Hee...?"
"Jangan
memandang seperti itu. Ihhh, pikiranmu agaknya penuh dengan dugaan yang
bukan-bukan dan fitnah-fitnah keji. Sampai sekarang dia menganggap aku sebagai
laote (adik laki-laki)." Cui Bi tertawa geli dan Kong Bu juga tertawa.
"Sudahlah,
mari kita cepat-cepat pulang ke Thai-san, Bu-ko. Kalau bersamamu aku berani pulang.
Akan tetapi karena Ayah hendak merayakan pendirian perkumpulan Thai-san-pai,
lebih baik kita melihat-lihat di kaki Gunung Thai-san dulu dan menyelidiki
kalau-kalau ada orang jahat hendak datang mengacau. Kau tahu, sudah terlalu
banyak Ayah membasmi golongan-golongan jahat sehingga dapat diduga bahwa akan
banyak musuh yang datang mengacau dan berusaha menggagalkan pendirian
Thai-san-pai. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu Ayah."
Kong Bu
hanya mengangguk-angguk. Berangkatlah dua orang kakak beradik ini. Mereka
sengaja menguji kepandaian masing-masing dan berlari cepat. Betapa kagum hati
mereka karena dalam kemahiran ilmu lari cepat ini mereka berimbang. Cui Bi
menang ringan tubuhnya dan menang gesit gerakannya, akan tetapi ia kalah napas
melawan kakak tirinya itu…..
***************
"Apa
kau bilang, Li Eng? Jadi pemuda gagah tadi punya sakit hati terhadap
Hoa-san-pai? Mengapa demikian?" tanya Kun Hong.
'Dia cucunya
Song-bun-kwi dan Song-bun-kwi agaknya benci sekali kepada Hoa-san-pai karena...
hmmm, apakah kau belum pernah dengar tentang... Enci (Kakak Perempuan) tirimu,
Paman Hong?"
"Enci
tiri? Mana aku mempunyai Enci tiri? Ayah dan Ibu tak pernah bercerita tentang
itu!"
Sebetulnya
Li Eng juga tidak berani lancang bercerita, akan tetapi keterangan Kun Hong ini
malah membangkitkan keinginan hatinya untuk menyampaikan rahasia itu. Dia
sendiri merasa heran mengapa orang tidak menceritakan hal Kwa Hong kepada
pamannya ini.
"Paman
Hong, dulu sebelum ayahmu menikah dengan ibumu yang menjadi sumoi sendiri dari
ayahmu, ayahmu sudah memiliki seorang anak perempuan bernama Kwa Hong. Nah,
Bibi Kwa Hong inilah yang menimbulkan permusuhan hebat di mana-mana, karena
sepak terjangnya yang... hemmm, malah orang tuaku sendiri pun mendendam sakit
hati kepada Bibi Kwa Hong yang betul-betul seperti iblis wanita itu."
"Li
Eng, yang betul kau bicara. Kalau memang benar dia itu kakak tiriku, berarti
dia itu masih bibimu. Bagaimana kau bisa bicara tentang bibimu sendiri?"
"Ah,
ternyata kau tidak tahu apa-apa, Paman Hong. Nah kau dengarlah aku bercerita,
tapi jangan tersinggung, ya? Aku hanya menceritakan apa yang kudengar dari Ayah
dan Ibu. Ingatkah dahulu ketika kau bercerita kepada aku dan Enci Hui Cu
tentang burung rajawali emas dan kami bertanya kepadamu tentang dia, siluman
betina? Nah, yang kami maksud dahulu itu bukan lain adalah Kwa Hong, enci-mu
itulah!"
"Hemmm,
kau benar-benar kurang ajar. Kalau benar aku mempunyai kakak perempuan berarti
dia bibimu."
"Memang
betul, akan tetapi bibi macam bagaimana? Kau dengarlah!"
Li Eng lalu
menceritakan tentang Kwa Hong. Betapa wanita ini karena jebakan musuh,
mengadakan hubungan dengan Tan Beng San dan betapa wanita ini lalu berubah
seperti Siluman, naik burung rajawali emas dan mengacau ke mana-mana. Bahkan
Kwa Hong hampir membunuh ayah bunda Li Eng, mengusirnya dan menduduki
Hoa-san-pai sebagai ketua. Ia menceritakan pula kenapa Song-bun-kwi mendendam,
yaitu dalam hubungannya dengan puterinya, Kwee Bi Goat yang menjadi nyonya Tan
Beng San dan yang akhirnya meninggal dunia karena berduka.
"Dia
jahat luar biasa, Paman Hong. Dia seperti iblis betina, naik burung rajawali
menyebar maut di mana-mana. Entah bagaimana, menurut Ayah dan Ibu,
kepandaiannya hebat sekali sampai-sampai Sucouw Lian Bu Tojin, guru ayahmu,
juga tewas di tangannya. Dia telah menyakitkan hati isteri Paman Tan Beng San
sehingga tak kuat menahan dan tewas setelah melahirkan... heeiii! Tentu dia
orangnya!" Tiba-tiba Li Eng meloncat berdiri dan termenung.
"Dia siapa?
Apa maksudmu?" tanya Kun Hong.
Li Eng
menepuk-nepuk pahanya.
"Siapa
lagi kalau bukan dia?! Pemuda itu, cucu Song-bun-kwi, si keparat itu, siapa
lagi kalau bukan putera Kwee Bi Goat, putera Paman Tan Beng San."
"Apa?!
Pemuda gagah perkasa tadi putera Paman Tan Beng San yang lahir dari Bibi Kwee
Bi Goat itu?"
Kun Hong
tertarik sekali akan cerita tadi dan diam-diam ia merasa menyesal bukan main
bahwa semua hal yang sekarang menimbulkan permusuhan hebat itu adalah gara-gara
kakak perempuannya, Kwa Hong. Tahulah dia sekarang mengapa ayahnya begitu keras
kepadanya, melarang dia berlatih ilmu silat. Kiranya di sinilah letak
rahasianya. Ayahnya sudah kapok, tidak ingin melihat anaknya rusak lagi karena
kepandaian silat! Wajahnya pun menjadi muram.
"Ahh, nasib
Ayah yang buruk... ahhh, ingin aku bertemu dengan Enci Kwa Hong, ingin aku
nasehatkan padanya agar minta ampun kepada ayah, kepada semua orang yang pernah
disakiti hatinya."
"Hemmm,
aku sangsi apakah dia akan mau... haiii, di sana ada orang bertempur?"
Li Eng
menunjuk ke depan. Ketika Kun Hong memandang, benar saja ia melihat seorang
pemuda dengan hebatnya bertempur dikeroyok oleh dua orang lawannya. Cepat-cepat
ia mengikuti Li Eng yang sudah lari lebih dulu ke tempat pertempuran itu.
"Enci
Hui Cu...!" Di lain saat Li Eng sudah berpelukan dengan Hui Cu.
"Eng-moi...!"
Paman Hong...!"
Saking
girangnya, Hui Cu menangis dalam rangkulan Li Eng. Sama sekali tidak pernah
disangkanya bahwa dua orang itu berada dalam keadaan selamat, malah dapat
bertemu dengannya di situ. Mereka belum dapat bicara banyak karena perhatian
mereka kembaii tertuju kepada pertempuran hebat yang masih berlangsung.
Hebat sekali
pemuda itu. Akan tetapi kedua orang pengeroyoknya pun luar biasa, yaitu seorang
nenek tua sekali dan seorang wanita tua yang masih berwajah cantik. Siapakah
mereka ini? Pemuda itu tak lain adalah Sin Lee, ada pun pengeroyoknya adalah
Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li!
"Adik
Eng..., lekas, kau bantulah dia..." berkata Hui Cu kepada Li Eng.
"Aku... aku sendiri sudah terluka..."
Semenjak
tadi Kun Hong bengong karena menyaksikan sesuatu yang membuat dia amat
terheran-heran, yaitu gerakan pemuda gagah yang dikeroyok itu. Ilmu silat
pemuda itu! Bukankah gerakan kaki itu mirip benar dengan Kim-tiauw-kun? Kaki
yang meloncat-loncat itu, kedua lengan yang dikembangkan seperti sayap burung.
Ahh, meski pun menyimpang dari aslinya, namun tidak salah lagi, pemuda itu
tentu pernah mempelajari Kim-tiauw-kun. Inilah yang membuat dia bengong dan
membuat dia lengah, tidak melihat bahwa Hui Cu telah terluka.
Sekarang
mendengar ucapan ini, cepat ia memandang dan berseru, "Ahhh, Hui Cu. Kau
terluka dengan senjata beracun!"
Cepat ia
memegang tangan kiri gadis itu dan menariknya dekat. Tanpa ragu-ragu lagi ia
merobek lengan baju bagian atas dan benar saja, di balik lengan baju yang sudah
sedikit robek dan berdarah itu tampak kulit pangkal lengan dekat pundak hitam
membengkak!
Li Eng
mengeluarkan seruan tertahan, namun ia segera bertanya, "Enci, ia siapakah
dan kenapa harus dibantu?"
"Lekas...
dua orang itu, Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li. Mereka amat jahat dan
lihai. Tolong bantulah dia... dia itu... ehhh, dia penolongku."
Li Eng tak
usah diperintah dua kali. Mendengar bahwa pemuda gagah itu adalah penolong Hui
Cu, apa lagi sesudah mendengar bahwa nenek buruk rupa saking tuanya itu adalah
Hek-hwa Kui-bo dan wanita tua yang cantik itu Kim-thouw Thian-li, Li Eng cepat
mencabut pedang dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran sambil berseru,
"Bagus
sekali! Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, sudah lama aku mendengar nama
kalian yang busuk, lihat, aku Kui Li Eng dari Hoa-san-pai datang untuk menagih
semua hutang-hutangmu kepada Hoa-san-pai!"
Memang gadis
ini sudah mendengar dari ayah bundanya mengenai kejahatan dua orang tokoh ini,
terutama tentang perbuatan Kim-thouw Thian-li yang dulu banyak berbuat jahat
terhadap Hoa-san-pai.
Hek-hwa
Kui-bo dan muridnya kaget sekali melihat serbuan seorang gadis cantik yang
mengaku sebagai murid Hoa-san-pai itu. Tadinya mendengar suara Li Eng, mereka
tidak pandang sebelah mata, karena apa sih kepandaian seorang anak murid
Hoa-san-pai yang masih begitu muda? Namun begitu pedang di tangan Li Eng
berkelebat, mereka menjadi terkejut sekali. Menghadapi pemuda ini saja, walau
pun mereka berhasil mendesak dengan keroyokan mereka, akan tetapi tak mudah
untuk merobohkannya. Apa lagi sekarang muncul seorang gadis yang demikian ganas
ilmu pedangnya.
"Kau
bereskan anak iblis ini, biar kubunuh gadis liar ini!" kata Hek-hwa Kui-bo
kepada muridnya.
Ia percaya
bahwa Kim-thouw Thian-li akan dapat menahan Si Pemuda sedangkan ia akan cepat-cepat
membunuh gadis itu sebelum dua orang muda yang lain itu dapat membantu. Akan
tetapi, bicara memang mudah. Kepandaian Sin Lee hebat sekali dan sekarang
menghadapi Kim-thouw Thian-li seorang diri saja, segera keadaan berubah hebat.
Bila tadi Sin Lee terdesak, hal itu tidaklah amat mengherankan.
Hek-hwa
Kui-bo adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, setingkat dengan
tokoh-tokoh besar seperti Song-bun-kwi dan lainnya. Lebih-lebih nenek ini
mengandalkan ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Im-sin Kiam-hoat. Apa lagi karena
nenek ini dibantu oleh muridnya yang hampir sama lihainya, Kim-thouw Thian-li
ketua dari Ngo-lian-kauw.
Betapa pun
lihainya Sin Lee, dia terdesak hebat juga oleh dua orang pengeroyoknya itu.
Kim-touw Thian-li hebat permainan goloknya yang dibantu sehelai selampai merah
yang mengandung racun. Gurunya, Hek-hwa Kui-bo juga menggunakan dua buah
senjata, yaitu sebatang pedang serta sehelai sapu tangan beraneka warna yang
racunnya lebih jahat lagi.
Juga Hek-hwa
Kui-bo kecele apa bila tadi ia memandang rendah gadis muda belia yang cantik
murid Hoa-san-pai ini. Sejak dahulu Hek-hwa Kui-bo memandang rendah kepada
Hoa-san-pai, sama sekali ia tak tahu bahwa di Hoa-san-pai telah terjadi
perubahan besar.
Hoa-san-pai
sekarang jauh bedanya dengan Hoa-san-pai pada dua puluh tahun yang lalu.
Setelah Kui Lok dan isterinya, Thio Bwee, dua orang anak murid Hoa-san-pai ini
mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai asli dari Lian Ti Tojin, yang sekarang diwarisi
pula oleh Kui Li Eng, hebatlah ilmu silat Hoa-san-pai itu.
Baru kini
Hek-hwa Kui-bo mendapat kenyataan bahwa sama sekali salah bila memandang rendah
golongan lain. Begitu mulai serang menyerang dengan Li Eng, nenek itu kaget dan
terpaksa segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang ampuh, Im-sin Kiam-hoat
dibantu permainan sapu tangan aneka warna yang mengeluarkan bau yang memuakkan.
Li Eng harus
mengerahkan seluruh kepandaiannya dan menjaga diri dari pengaruh racun itu
dengan hawa murni. Beberapa kali selama perjalanannya, dia sudah bertemu dengan
orang-orang sakti. Hal ini membuat Li Eng berhati-hati kali ini.
Sementara
itu, setelah memeriksa sebentar, Kun Hong pun berkata, "Hui Cu, jahat
benar orang yang melepas Hwa-tok-ciam (Jarum Racun Bunga) ini. Jarum yang halus
itu masih berada di lenganmu. Kau diamlah, kendurkan semua urat dilengan
kananmu!"
Hui Cu
memandang pamannya dengan keheranan, akan tetapi mentaati permintaan ini. Kun
Hong lalu menggunakan jari telunjuknya menotok beberapa jalan darah di siku
serta pundak dan seketika gadis itu merasa lengannya lumpuh!
"Diam
saja, sakit sedikit, hendak kuambil keluar jarum itu," kata Kun Hong dan
pemuda ini segera memijit-mijit lengan yang luka itu.
Tidak lama
kemudian, ujung jarum dari luka itu mulai tersembul. Hui Cu menggigit bibir
menahan sakit. Sekali lagi Kun Hong memencet, jarum itu keluar dari luka. Jarum
yang amat lembut, sebesar ujung rambut.
"Nah,
sekarang sudah tidak berbahaya lagi, tunggu kelak kita akan mencari obat untuk
menyembuhkannya sama sekali. Biar kukeluarkan dulu sebagian darah yang
teracun."
Ia mengurut
lengan itu dari atas ke bawah dan dari luka itu keluarlah darah menghitam.
Setelah itu ia membebaskan totokannya.
"Aih,
Paman Hong. Tidak kusangka... ternyata kau begini pandai..." Hui Cu
berkata, penuh kekaguman.
"Pandai
apa? Hanya sedikit ilmu pengobatan yang kuketahui dari membaca kitab-kitabnya
Yok-mo. Lihat, Li Eng dan penolongmu itu masih bertempur hebat."
Keduanya
lalu memandang ke arah pertempuran. Ternyata Sin Lee kini dapat mendesak
Kim-thouw Thian-li dengan hebatnya. Pedang pemuda ini amat kuat dan aneh
gerakannya dan sekali lagi Kun Hong tertegun karena ia mengenal ilmu pedang ini
yang mengandung inti Ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Akan tetapi sifatnya sudah
berubah, ganas dan merupakan tangan maut mengintai korban.
"Ahh,
ganas... ganas...," katanya penuh kekuatiran.
Ia semakin
terheran-heran ketika mengenal bahwa inti sari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun yang dimainkan
pemuda itu bercampur dengan ilmu pedang Hoa-san-pai sehingga merupakan ilmu
silat kombinasi yang tidak menyerupai Hoa-san Kiam-hoat mau pun Kim-tiauw-kun
lagi.
Desakan-desakan
Sin Lee terhadap Kim-thouw Thian-li semakin dahsyat. Kini wanita itu benar-benar
merasa kewalahan menghadapi serangan-serangan yang banyak memakai gerak-gerak
tipu ini. Mulailah ia ketakutan setelah pundaknya tercium oleh ujung pedang
lawannya. Hebat serangan Sin Lee. Mula-mula pedangnya menyambar ke arah pusar.
Pada waktu Kim-thouw Thian-li menangkis sambil mengebutkan sabuk merah ke arah
muka Sin Lee, pemuda ini mengibaskan tangan kiri menangkis dengan hawa
pukulannya, melanjutkan dengan tusukan pedang yang diputar-putar di depan muka
wanita itu.
Mata
Kim-thouw Thian-li menjadi silau dan cepat-cepat menarik pedang untuk menangkis
lagi. Siapa kira, serangan ini hanya pancingan belaka supaya ia mengangkat
pedangnya karena tahu-tahu pemuda itu mengirim pukulan keras ke arah ulu hati,
menggunakan tangan kiri yang diputar-putar lebih dulu.
Kim-thouw
Thian-li mengeluarkan jeritan kaget karena hawa pukulan tangan kiri pemuda itu
mendatangkan angin dingin yang luar biasa, membuat tubuhnya menggigil dan
lemas. Cepat-cepat wanita itu mengerahkan lweekang-nya sambil membanting tubuh
ke kanan untuk menghindarkan diri dari pukulan dahsyat itu, namun ujung pedang
Sin Lee sudah menyambar datang memenggal leher!
"Celaka!"
Kim-thouw
Thian-li menggerakkan kepalanya menjauh, akan tetapi pundaknya masih saja
tercium ujung pedang, bajunya robek berikut kulit pundak dan sedikit dagingnya.
Mulailah ia menjadi gentar, apa lagi ketika Sin Lee terus menerus mendesaknya
dengan serangan pedang yang gencar diselingi pukulannya yang dahsyat itu. Kun
Hong yang menyaksikan pukulan dengan tangan lebih dulu diputar-putar ini,
menjadi bingung. Di dalam Kim-tiauw-kun tidak ada pukulan macam itu.
Memang, ilmu
pukulan ini merupakan ilmu dari kaum sesat yang hanya dipergunakan oleh
golongan hitam. Inilah ilmu pukulan Jing-tok-ciang (Pukulan Racun Hijau) yang
Sin Lee warisi dari ibunya dan di lain pihak Kwa Hong ibunya itu dahulu
menerimanya dari Koai Atong. Dahsyat bukan main Jing-tok-ciang ini karena baru
angin pukulannya saja sudah mengandung hawa luar biasa yang dapat mematikan
lawan.
Dengan marah
sekali Kim-thouw Thian-li mengebutkan sabuk merahnya sambil berseru nyaring.
Debu kemerahan langsung menyambar ke arah Sin Lee. Inilah racun berbahaya yang
keluar dari dalam sabuk itu, yang dipergunakan Ketua Ngo-lian-kauw hanya kalau
menghadapi lawan yang tangguh. Debu merah ini berbau harum sekali, begitu
harumnya sampai dapat merampas ingatan dan semangat orang!
Namun sudah
banyak Sin Lee mendengar tentang Ketua Ngo-lian-kauw ini dari ibunya, dan sudah
tahu pula ia apa artinya debu merah ini. Ia tidak berani memandang rendah,
terdengar dia melengking tinggi dan tubuhnya meloncat ke atas dengan kedua
tangan dikembangkan.
Hebatnya,
dari udara dia dapat melakukan gerakan menerjang ke depan bawah sambil memutar
dari kiri sehingga tidak bertemu dengan awan debu merah. Pedangnya cepat
dikerjakan dan tangan kirinya juga diputar-putar, siap melakukan pukulan.
Kim-thouw
Thian-li berhasil menangkis tusukan pedang Sin Lee, namun sebuah pukulan
Jing-tok-ciang yang tak tersangka-sangka datangnya, mengenai pundak kirinya.
Perlahan saja pukulan itu, namun ketika jari-jari tangan pemuda itu menyentuh
pundaknya, wanita ini memekik keras dan terhuyung-huyung lalu roboh!
Dengan
sekuat tenaga dia menghimpun hawa Im-sin-kang di tubuhnya untuk melawan pukulan
yang membuat seluruh isi dadanya terasa membeku. Pada saat itu Sin Lee sudah
tidak mau memberi hati lagi, menerjang dengan pedang diputar lalu ditusukkan
seperti lagak seekor burung mematuk mangsanya.
"Heee,
jangan bunuh orang...!" Kun Hong sudah sampai di situ dan menyelinap di antara
sinar pedang Sin Lee.
Hui Cu kaget
sekali dan hendak menarik tangan pamannya ketika dia melihat pamannya dengan
gerakan tidak karuan dan kacau menubruk Sin Lee. Akan tetapi secara aneh
sambarannya meleset dan tubuh Kun Hong terus menyerbu ke depan.
Hui Cu
hampir menjerit karena kuatir kalau-kalau pamannya itu yang tidak pandai silat
terkena senjata Sin Lee. Akan tetapi ia melihat Sin Lee mencelat mundur sambil
berseru.
"Kau…?!"
Kuatir
kalau-kalau Sin Lee akan menyerang Kun Hong, Hui Cu segera lari menghampiri dan
berkata, "Jangan... dia adalah pamanku."
Sin Lee
tertegun. Tadi dia terpaksa harus menarik kembali pedangnya dan meloncat ke
belakang karena pemuda aneh itu yang menyelinap masuk sudah memasang dua jari
tangannya memapaki tangannya yang memegang pedang sehingga kalau ia meneruskan
tusukannya kepada Kim-thouw Thian-li, sudah tentu pergelangan tangannya akan
tertotok dan pedangnya akan terlepas.
Heran ia
bagaimana paman dari Hui Cu dapat mengenal kelemahan pergerakannya tadi? Dan
sama sekali ia tidak pernah mengira bahwa ‘paman’ ini masih seorang muda sebaya
dia!
"Dia...
dia pamanmu yang bernama Kun Hong itu?" tanyanya memandang ke arah Kun
Hong yang menghampiri Kim-thouw Thian-li yang sudah duduk bersila dan
mengerahkan lweekang untuk melawan hawa dingin yang menyerang isi dadanya.
"Ya,
maklumlah dia... dia paling anti bunuh membunuh, karena itu maka tadi mencegah
kau membunuh Kim-thouw Thian-li..."
"Kau...
tidak apa-apa?" tanya Sin Lee memandang penuh perhatian.
"Tidak,
Paman Hong sudah mengobatiku, tidak kusangka dia pandai. Saudara Tiauw, kau
tolong bantulah adik Li Eng melawan Hek-hwa Kui-bo."
Pada saat
itu pertempuran antara Li Eng dan Hek-hwa Kui-bo masih berjalan seru sekali.
Akan tetapi, betapa pun lihainya Li Eng, menghadapi tokoh sakti ini dia jadi
terdesak juga. Apa lagi pedang nenek itu menyambar-nyambar ganas dengan ilmu
pedangnya Im-sin Kiam-sut.
Mendengar
permintaan Hui Cu, Sin Lee cepat melompat dan langsung menerjang nenek itu
dengan pedangnya.
"Iblis
tua, kau mampuslah!"
Pedangnya
menyambar-nyambar bagai kilat dan Hek-hwa Kwi-bo terpaksa mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda yang memiliki
kepandaian tinggi itu.
Li Eng
diam-diam merasa lega bahwa dia mendapat bantuan seorang yang begini kuat.
Diam-diam ia membandingkan pemuda ini dengan cucu Song-bun-kwi. Ada persamaan
wajah serta bentuk badan di antara dua orang pemuda ini, hanya cucu
Song-bun-kwi itu lebih kekar dan lebih tampan dalam pandangannya. Juga dalam
ilmu kepandaian, keduanya sama-sama hebat.
Kun Hong
menghampiri Kim-thouw Thian-li yang duduk bersila. Wajah wanita itu muram,
mengandung cahaya kehijauan yang aneh. Kun Hong tahu bahwa wanita ini telah terluka
berat, luka dalam yang mengandung hawa pukulan beracun. Ia pernah bertemu
dengan Ketua Ngo-lian-kauw ini dan ia dapat menduga bahwa orang ini bukanlah
orang baik-baik, tetapi hatinya yang penuh welas asih membuat ia berkasihan
melihat orang itu terluka dan bermaksud untuk mengobatinya.
"Kauwcu,
kau terluka hebat"
Tanpa
ragu-ragu ia memegang pergelangan tangan kiri wanita tua itu. Beberapa detik ia
memeriksa keadaan orang melalui ketukan jalan darahnya, dan ia kaget sekali.
"Kauwcu,
kau telah terkena racun hawa pukulan yang mengandung daya Im-kang. Jangan
kerahkan tenaga keluar, jangan pula kau melawan dari dalam. Aku akan berusaha
untuk menolongmu." Setelah berkata demikian, Kun Hong menotok ke bagian
pundak dan mengurut bagian punggung.
Kim-thouw Thian-li
membuka matanya. Dia kaget bukan main melihat bahwa orang yang bicara hendak
menolongnya adalah orang Hoa-san-pai yang pernah datang ke tempatnya kemudian
dibawa pergi Song-bun-kwi. Orang ini terang pihak musuh, mana ia percaya hendak
mengobatinya? Tentu hendak menipunya dan hendak mencelakainya. Ia cepat
mengangkat tangan mengirim pukulan keras.
"Eh,
jangan kerahkan tenaga, berbahaya!” Kun Hong berseru namun terlambat, tubuhnya
mencelat dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya!
"Paman
Hong... kau... kau tidak apa-apa?" Hui Cu mendekati, melupakan lukanya
sendiri.
Dia
terheran-heran melihat pamannya ini merangkak bangun, sama sekali tidak
terluka, hanya keningnya yang bertumbukan dengan batu pada saat ia terlempar
tadi agak benjol setengah telur besarnya.
Pemuda ini
menggeleng kepala dan memandang ke arah Kim-thouw Thian-li, lalu menarik napas
panjang.
"Kehendak
Thian tak dapat diubah... dia seperti membunuh diri..."
Hui Cu tidak
mengerti dan menengok ke arah Ketua Ngo-lian-kauw dan... ternyata wanita itu
telah rebah telentang dengan wajah kehijauan. Ketika dia mendekati, ternyata
bahwa Kim-thouw Thian-li telah tewas! Diam-diam Hui Cu girang sekali, karena ia
benci wanita Ketua Ngo-lian-kauw yang terkenal jahat dan yang dahulu sudah
banyak membikin susah orang-orang tua di Hoa-san-pai.
Hek-hwa
Kui-bo benar-benar hebat sekali. Nenek ini usianya sudah amat tua, mukanya
sudah penuh keriput dan matanya cekung seperti mata tengkorak. Dilihat begitu
saja, ia merupakan seorang nenek yang sudah mendekati lubang kubur.
Namun dalam
pertempuran dia benar-benar bagaikan iblis betina. Tenaga lweekang-nya masih
mengatasi kedua orang muda yang mengeroyoknya itu, juga ilmu pedangnya yang
berdasarkan ilmu sakti Im-sin Kiam-sut bercampur dengan ratusan macam gerakan
ilmu silat yang dimilikinya, membuat dua orang pengeroyoknya itu harus
mengerahkan seluruh kepandaian untuk menekannya. Kali ini nenek ini benar-benar
menghadapi lawan berat.
Sin Lee
adalah putera Kwa Hong yang telah mewarisi kepandaian ibunya yang luar biasa,
kepandaian campuran antara ilmu silat Hoa-san-pai, Ilmu Silat Jing-tok-ciang
ditambah lagi ilmu silat yang dipelajari oleh Kwa Hong dari rajawali emas. Ada
pun Kui Li Eng mempunyai ilmu silat Hoa-san-pai yang asli, yang tadinya masih
merupakan rahasia bagi Hoa-san-pai sendiri sebelum ayah bundanya bertemu dengan
Lian Ti Tojin. Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat yang asli ini berlipat kali lebih
lihai dari ilmu pedang Hoa-san-pai yang dimiliki oleh tokoh-tokoh Hoa-san-pai
lainnya.
Perlahan
tapi tentu, Hek-hwa Kui-bo mulai terdesak. Dua buah pedang di tangan dua orang
muda itu benar-benar membuat dia sebentar-sebentar memekik marah dan heran.
Akan tetapi ketika nenek ini melihat bahwa muridnya yang terkasih itu tewas
sebagai akibat pukulan pemuda yang sekarang mengeroyoknya, ia menjadi marah
sekali dan juga kuatir.
Sambil
memekik keras, sabuknya lalu dikebut-kebutkan sehingga mengepullah debu yang
bermacam-macam warnanya dan di antara kepulan debu ini berkelebatan sinar-sinar
yang menyembunyikan jarum-jarum lembut yang mengandung racun sama hebatnya
dengan racun debu beraneka warna itu! Inilah penyerangan hebat luar biasa yang
jarang dapat dihindarkan oleh lawan yang bagaimana tangguh pun.
"Awas...!"
teriakan ini sekaligus keluar berbareng dari mulut Li Eng dan Sin Lee.
Dan
berbareng pula seperti mendengar komando, dua orang muda ini membanting tubuh
ke belakang, berjungkir balik dan menggelundung pergi seperti binatang
trenggiling turun gunung.
Kiranya
keduanya sudah mendengar dari orang tua masing-masing mengenai kelihaian
Hek-hwa Kui-bo dan tentang senjata rahasia yang amat ampuh dari nenek iblis
ini, yaitu debu beracun yang disebut Ngo-hwa Tok-san (Bubukan Racun Lima
Kembang) dan juga jarum-jarum beracun Ngo-hwa Tok-ciam.
Karena
inilah maka mereka berdua tidak berani menyambut atau menangkis, melainkan
membuang diri dengan cara pengelakan yang paling tepat untuk menghindarkan diri
dari serangan debu dan jarum-jarum itu. Biar pun begitu, kedua orang muda ini
merasa angin berseliweran di atas punggung mereka, hanya beberapa senti meter
saja jauhnya, tanda bahwa jarum-jarum beracun itu hampir saja mengenai tubuh
mereka.
Setelah
menggelundung jauh, keduanya lalu berloncatan bangun dengan keringat dingin
mengucur. Hampir saja mereka menjadi korban. Keduanya segera memutar tubuh
untuk menghadapi nenek yang ganas itu, akan tetapi nenek itu sudah tidak
kelihatan lagi. Kiranya ketika melihat dua orang pengeroyoknya bergulingan
tadi, Hek-hwa Kui-bo yang tahu betul bahwa melanjutkan pertempuran melawan
kedua orang muda itu merupakan bahaya sedangkan muridnya telah tewas, cepat
melompat kemudian menyambar jenazah Kim-thouw Thian-li dan membawanya lari
secepat terbang dari tempat itu.
Kun Hong dan
Hui Cu yang melihat ini, hanya dapat memandang saja. Bagi Hui Cu yang maklum
akan tingkat kepandaiannya, tidak berani dia menghalangi, ada pun Kun Hong
memang tidak mau menghalangi, malah ia bersyukur bahwa jenazah Ketua
Ngo-lian-kauw itu ada yang membawa pergi dan mengurusnya. Hui Cu dengan muka gembira
memperkenalkan Sin Lee kepada Li Eng dan Kun Hong. Li Eng yang berwatak lincah
gembira itu menjura dan berkata,
"Tiauw-enghiong
benar-benar gagah perkasa dan lihai sekali, membuat aku kagum sekali. Apa lagi
karena Tiauw-enghiong telah menolong Enci Hui Cu dari tangan Song-bun-kwi,
benar-benar merupakan budi yang tak akan pernah dilupa oleh... Enci Hui
Cu." Setelah berkata demikian ini, dengan sinar mata yang nakal sekali Li
Eng mengerling kepada Hui Cu yang menjadi merah dadu warna pipinya.
"Menyesal
sekali bahwa dahulu itu aku tidak sempat pula menolongmu dari tangan kakek itu,
Nona, karena kakek itu memang lihai sekali. Terpaksa aku hanya dapat mengajak
Nona Hui Cu pergi," jawab Sin Lee yang tadi merasa tersindir mengapa
dahulu itu yang ditolongnya hanya Hui Cu seorang.
Sementara
itu, Kun Hong memandang kepada Sin Lee dengan mata tajam penuh selidik. Ia
mengenal ilmu silat pemuda ini. Oleh karena otaknya yang cerdik, dia lalu
membuat rangkaian dan dugaan. Gurunya, Bu-beng-cu sudah lama meninggal dunia.
Kiranya sampai mati pun guru besar itu tidak pernah menerima murid, buktinya
ilmunya ditinggalkan dalam bentuk kitab. Kalau ada orang lain mampu mewarisi
Kim-tiauw-kun, tentulah melalui burung rajawali emas itu. Dan Kim-tiauw-kun
yang dimainkan oleh pemuda ini kacau-balau dan tercampur dengan ilmu-ilmu silat
lain, malah ada pula ilmu silat dari Hoa-san-pai di dalamnya. Satu-satunya
orang selain dia, yang ada hubungannya dengan rajawali emas, seperti yang ia
dengar dari dua orang murid keponakannya, hanyalah Kwa Hong, kakak perempuannya
lain ibu itu. Jadi pemuda ini kiranya tak akan terlalu ngawur kalau ia menduga
bahwa pemuda ini tentulah anak dari Kwa Hong.
"Saudara
Sin Lee she Tiauw, bukan? Bagus, she yang bagus akan tetapi juga jarang ada.
Membikin aku teringat akan burung rajawali raksasa. Ehh, Saudara Tiauw Sin Lee,
apa kau pernah melihat seekor burung rajawali emas raksasa yang memakai kalung
mutiara?"
Wajah Sin
Lee segera berubah. Jantungnya berdebar keras. Tadi ketika diperkenalkan, ia
mendengar bahwa orang muda yang halus gerak-gerik serta tutur sapanya ini
bernama Kwa Kun Hong, putera Ketua Hoa-san-pai. Ini saja sudah membuat ia
berdebar-debar karena Kwa Kun Hong yang berdiri di depannya ini adalah adik
ibunya! Adik lain ibu, jadi adik tirinya, berarti Kwa Kun Hong ini adalah paman
tirinya sendiri.
Akan tetapi
tentu saja dia tidak berani memperkenalkan diri dengan sesungguhnya. Dia adalah
anak Kwa Kun Hong dan kepergiannya ke Thai-san mempunyai maksud menyeret Tan
Beng San ke hadapan ibunya. Orang-orang muda ini sedang menuju ke Thai-san,
agaknya mempunyai hubungan baik dan erat sekali dengan Ketua Thai-san-pai.
Apa bila ia
mengaku dan menceritakan maksudnya, sudah tentu akan terjadi hal-hal yang tidak
enak sekali. Oleh karena itu ia harus tetap memalsukan shenya. Siapa kira di
sini ia bertemu dengan paman tirinya, yang entah dengan cara bagaimana, agaknya
mengetahui rahasianya!
Bagaimana
paman tirinya ini tahu tentang kim-tiauw pula? Sudah tentu saja ia mengenal
rajawali emas yang berkalung mutiara. Siapa tidak mengenal kalau kalung yang
berada di leher burung itu adalah dia sendiri yang memasangnya?
Mendengar ini,
baik Hui Cu mau pun Li Eng menjadi kaget dan heran, lalu memandang kepada Sin
Lee. Terutama sekali Li Eng. Sebagai seorang gadis yang cerdik sekali, ia pun
dapat menghubung-hubungkan sesuatu.
"Kalau
pernah melihat kim-tiauw berkalung mutiara tentu pernah melihat... dia!"
Li Eng memandang tajam.
Mendengar
ini Hui Cu mengeluarkan seruan tertahan. Benarkah dugaan Li Eng bahwa pemuda
penolongnya dan yang sekaligus perampas hatinya ini ada hubungan dengan... dia
yang dimaksudkan tentu Kwa Hong?
Ada pun Sin
Lee ketika mendengar ucapan Kun Hong dan kemudian Li Eng, melihat pula pandang
mata Hui Cu dan yang lain-lain, berubah air mukanya. Tidak mengakui tentang
kim-tiauw bukanlah hal yang sukar baginya, akan tetapi bagaimana ia bisa tidak
mengakui tentang ibunya sendiri? Ia menjadi gugup dan gelisah karena merasa
rahasianya hampir terbongkar.
"Aku...
aku... ah, tidak tahu siapa yang kalian maksudkan... setelah Nona Hui Cu
bertemu dengan kalian, biarlah aku pergi!" Setelah berkata demikian,
tubuhnya berkelebat dan dia sudah melompat jauh sekali.
"Saudara
Sin Lee...!" Tak terasa lagi Hui Cu berseru memanggil dan lari mengejar,
namun ia segera menahan kakinya dan mukanya berubah merah ketika teringat bahwa
sikapnya ini benar-benar telah membuka perasaan hatinya, sedangkan di situ
terdapat Kun Hong dan Li Eng!
Dari jauh,
lapat-lapat terdengar suara pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu,
"Nona Thio Hui Cu, selamat tinggal, kelak kita pasti akan saling bertemu
kembali..."
"Enci
Hui Cu, jangan kuatir, aku yakin kau akan bertemu lagi dengan dia. Hemm, dia
baik sekali kepadamu, Cu-cici." Li Eng lalu tertawa dan Hui Cu menjadi
makin merah mukanya.
"Adik
Eng, jangan kau main-main!"
"Siapa
main-main? Memang dia... ehh, hebat sekali, bukan begitukah pendapatmu?"
"Kau...
nakal...!"
Hui Cu maju
sambil mengulur tangan hendak mencubit pipi Li Eng yang menggodanya. Li Eng
mengelak dan menjerit-jerit.
"Ehh...
ehhh, jangan... uhh, kenapa marah-marah? Lihat, tuh dia datang kembali!"
Seketika Hui
Cu berhenti dan menengok ke arah perginya pemuda tadi. Ketika dia tidak melihat
siapa-siapa, Hui Cu menjadi semakin jengah, maklum bahwa sekali lagi ia digoda
oleh adik misan yang nakal itu.
"Sudahlah,
jangan bergurau saja. Kita harus bersyukur bahwa akhirnya kita bertiga dapat
berkumpul kembali dengan selamat."
Sambil
melanjutkan perjalanan, tiga orang muda ini lalu saling menuturkan pengalaman
mereka masing-masing…..
***************
Puncak
Thai-san yang sangat tinggi menjadi tempat tinggal Raja Pedang Tan Beng San dan
isterinya Cia Li Cu. Seperti telah kita ketahui dalam permulaan cerita Rajawali
Emas, Tan Beng San setelah mengalami banyak sekali derita hidup, dipermainkan
oleh asmara yang membuatnya banyak mengalami pahit getir penghidupan, akhirnya
berjodoh dengan Li Cu dan hidup sebagai suami isteri yang penuh kebahagiaan di
Thai-san ini.
Tentu saja,
sebagai sepasang pendekar yang berjiwa gagah, mereka tidak dapat terus menerus
menyembunyikan diri di tempat sunyi ini. Kadang-kadang mereka bersama sama atau
Tan Beng San seorang diri, turun gunung untuk menjalankan tugas sebagai seorang
pendekar pembasmi kejahatan serta penegak kebenaran dan keadilan, sehingga nama
sepasang pendekar itu makin terkenal di seluruh dunia.
Tan Beng San
adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, pewaris dari Ilmu Silat
Im-yang Sin-hoat. Ada pun isterinya Li Cu, adalah puteri tunggal Bu-tek
Kiam-ong Cia Hui Gan. Dengan keadaan demikian, tentu saja sepasang suami isteri
ini mempunyai cita-cita untuk mengembangkan kepandaian mereka, membentuk sebuah
partai persilatan di Thai-san yang akan menyebar luaskan ilmu dari mereka dan
dijadikan sebagai modal untuk membantu usaha pembasmian kejahatan di dunia ini.
Cita-cita
inilah yang membuat mereka akhirnya sepakat untuk mendirikan partai persilatan
Thai-san-pai. Mereka lalu memilih orang-orang atau lebih tepat anak-anak yang
berbakat, diambil dari dusun-dusun dan dipilih anak-anak yang telantar untuk
dididik dan dijadikan murid mereka.
Kebahagiaan
hidup mereka terasa meningkat ketika setahun kemudian terlahir seorang anak
perempuan yang mereka beri nama Tan Cui Bi. Tentu saja anak kesayangannya ini
mendapat gemblengan dari kedua orang tuanya sehingga sesudah berusia tujuh
belas tahun, Cui Bi menjadi seorang gadis yang selain cantik jelita, juga
berkepandaian tinggi.
Namun,
sebagai anak tunggal, Cui Bi amat manja. Darah ayah bundanya, darah ksatria,
mengalir dalam tubuhnya dan semenjak berusia lima belas tahun tanpa dapat
ditahan lagi oleh kedua orang tuanya, anak ini kadang-kadang melakukan
perantauan seorang diri dan melakukan perbuatan-perbuatan gagah berani yang
menggemparkan dunia kang-ouw.
Dalam setiap
perjalanan ia selalu berpakaian sebagai laki-laki. Hal ini adalah nasehat dari
ayahnya yang maklum bahwa betapa pun tingginya kepandaian puterinya, namun
dalam pakaian laki-laki Cui Bi akan dapat melakukan perjalanan lebih leluasa,
dari pada sebagai seorang gadis cantik dan muda.
Semestinya
Tan Beng San serta isterinya akan merasa sangat bahagia setelah mereka mendapatkan
murid-murid yang cukup banyak untuk dapat dijadikan anggota Thai-san-pai yang
akan mereka resmikan pendiriannya. Akan tetapi, sebagaimana lajimnya kehidupan
manusia di dunia ini, selalu tidak mungkin sempurna, tidak ada kebahagiaan
sempurna selama manusia masih hidup, pasti ada saja gangguan.
Hal yang
sangat menggelisahkan hati dua orang gagah ini adalah sikap Cui Bi dalam hal
perjodohan. Telah banyak sekali datang pinangan-pinangan, baik dari putera
orang-orang berpangkat, putera tokoh-tokoh kenamaan di dunia kang-ouw, atau
pendekar-pendekar muda yang sepak terjangnya benar-benar mengagumkan. Akan
tetapi semua pinangan itu selalu ditolak mentah-mentah oleh Cui Bi, sampai
akhirnya datang pinangan dari Ketua Kun-lun-pai yang menjadi sahabat baik dari
Tan Beng San sendiri.
Pembaca
kiranya masih ingat kepada Bun Lim Kwi, pendekar Kun-lun-pai yang terjodoh
dengan Thio Eng puteri tokoh Pek-lian-pai dan murid Tai-lek-sin Swi Lek
Hosiang. Setelah Ketua Kun-lun-pai yang sudah tua meninggal dunia, Bun Lim Kwi
diangkat menjadi ketua baru dari Kun-lun-pai. Bun-paicu ini mempunyai seorang
putera tunggal dan diberi nama Bun Wan.
Bun Wan
seorang pemuda yang ganteng dan gagah, bertubuh tinggi besar dan berwatak
jujur, ilmu silatnya pun amat tinggi. Ketika dalam perantauan, Tan Beng San dan
isterinya pernah singgah di Kun-lun dan pernah melihat Bun Wan ini yang
mendatangkan kesan baik dalam hati mereka.
Oleh karena
itulah, ketika datang lamaran dari Kun-lun, serta merta Tan Beng San dan
isterinya setuju karena dalam pandangan mereka, sudah patut sekali kalau puteri
mereka menjadi isteri pemuda Bun Wan itu. Bun Wan tampan dan gagah, keturunan
orang-orang gagah, putera Ketua Kun-lun-pai yang besar dan terkenal, mau apa
lagi? Sukar kiranya mencari mantu yang melebihi Bun Wan ini.
Maka,
setelah bersepakat, suami isteri Thai-san ini menerima pinangan itu, tanpa
pernah bertanya lagi kepada Cui Bi karena gadis ini sedang merantau. Bun Lim
Kwi yang datang sendiri ke Thai-san menjadi girang dan amat berterima kasih,
lalu kembali ke Kun-lun-pai setelah mendapat keterangan dari suami isteri
Thai-san bahwa persoalan itu selanjutnya akan ditentukan hari pernikahannya
sehabis peresmian pendirian Thai-san-pai.
Akan tetapi
alangkah mengkal dan duka hati suami isteri ini ketika Cui Bi datang dan diberi
tahu tentang ikatan jodoh ini. Gadis itu marah-marah, bahkan pada malam harinya
lari pergi dari Thai-san tanpa memberi tahukan ayah bundanya.
"Hemm,
anak itu terlalu manja!" Beng San membanting kaki dan mendongkol sekali.
“Kali ini ia mau tidak mau harus menurut kehendak kita! Aku akan menyusul dan
mencarinya."
Li Cu
memegang tangan suaminya. "Jangan, terburu nafsu. Ingatlah bahwa Cui Bi
baru berusia tujuh belas, mungkin perkawinan merupakan hal asing yang
menakutkan hatinya. Tidak perlu disusul dan dipaksa, jangan-jangan ia akan
semakin keras kepala dan nekat menolak. Tunggulah, aku yakin sekali dia akan
pulang menjelang pendirian Thai-san-pai dan perlahan-lahan nanti kita bujuk.
Serahkan saja kepadaku untuk membujuknya."
Beng San
mengerutkan keningnya. "Ahh, kau selalu memanjakan dia, maka sekarang dia
begitu keras kepala, selalu hendak membantah kehendak orang tua."
"Suamiku,
bagaimana takkan begitu jadinya kalau Bi-ji itu merasa bahwa dia adalah anak
tunggal kesayangan kita? Aku memang bersalah," ia menundukkan mukanya.
"Aku terlalu memanjakan dia. Tapi... tapi kiraku kalau adiknya ini sudah
terlahir, dia tidak akan begitu manja lagi..." Li Cu meraba perutnya yang
sudah mengandung empat bulan lebih itu.
Beng San
berubah mukanya. Cepat ia memegang kedua tangan isterinya dan dibawanya ke
muka, diciuminya. "Ahh, maafkan aku... Li Cu, kau tahu, aku tidak
menyalahkan kau, bukan begitu maksudku... ahh, aku hanya terlalu bingung dan
gelisah memikirkan Cui Bi. Kita sudah menerima pinangan dari Kun-lun-pai,
bagaimana jika kelak dia tetap berkeras menolaknya?"
Li Cu
menarik kedua tangannya, memandang pada suaminya dengan penuh cinta kasih.
"Kau selalu baik sekali. Percayalah, aku akan membujuk Bi-ji (Anak
Bi)."
Suami isteri
ini mengatur persiapan perayaan yang dilakukan oleh para anggota Thai-san-pai.
Murid Thai-san-pai jumlahnya ada tiga puluh orang lebih dan mereka ini
rata-rata sudah berusia tiga puluh tahun lebih. Malah mereka yang sudah berumah
tangga dan tinggal di luar, sekarang pada datang untuk membantu.
Ramai dan
gembira keadaan di puncak Thai-san ini. Selain mengatur hiasan-hiasan, juga
pada beberapa tempat dibangun pondok-pondok darurat untuk para tamu yang diduga
akan membajiri Thai-san-pai.
Para murid
ini telah menerima pelajaran ilmu silat yang cukup tinggi juga, yaitu Ilmu
Silat Thai-san Kun-hoat yang diciptakan oleh Tan Beng San dengan jalan menggabung
ilmu silatnya dan ilmu silat isterinya yang mengutamakan keindahan, kecepatan
dan cara yang praktis untuk merobohkan lawan tanpa membunuh, sesuai dengan jiwa
Beng San yang tidak suka membunuh orang.
Telah
dituturkan di bagian depan cerita ini bahwa Beng San dan isterinya melanjutkan
usaha Cia Hui Gan, yaitu membuat jalan rahasia yang menuju ke puncak tempat
tinggal mereka. Hanya mereka berdua, anak mereka, dan para murid saja yang tahu
akan jalan rahasia yang amat sulit ini.
Jika dilihat
dari jauh, agaknya tak mungkin mendatangi puncak di mana terdapat tempat
tinggal mereka atau yang menjadi pusat dari Thai-san-pai, karena puncak itu
dikurung jurang-jurang yang amat terjal dan tak mungkin dilalui manusia,
kecuali kalau manusia itu dapat terbang seperti burung. Bahkan anak murid yang
belum tamat, tidak diberi tahu tentang jalan rahasia ini dan karenanya mereka
tak dapat meninggalkan puncak sebelum pelajaran mereka tamat. Karena adanya
jalan rahasia inilah maka musuh-musuh besar suami isteri itu, di antaranya
Song-bun-kwi, tidak berdaya menyerbu Thai-san-pai.
Jalan
rahasia ini setiap saat bisa dirubah-rubah sehingga andai kata ada seorang
musuh yang berhasil mendapatkan rahasia pada hari itu, pada lain harinya
pengetahuannya itu akan sia-sia belaka karena setelah dirubah, rahasia itu akan
jauh berlainan dengan yang sudah-sudah.
Untuk
menjaga rahasia gunungnya, Beng San sengaja hendak mengadakan perayaan
pendirian Thai-san-pai itu di bawah puncak, sehingga ia tidak usah mendatangkan
para tamu ke puncak dan karenanya tidak perlu pula ia membuka rahasia itu.
Para anak
murid Thai-san-pai sudah siap siaga di bawah puncak. Sebelum hari ditetapkan
tiba, kurang satu minggu anak murid sudah siap menyambut para tamu, mewakili
ketua mereka. Beng San sendiri tidak mau turun dari puncak sebelum hari yang
ditentukan tiba. Ia dan isterinya sedang menanti datangnya para anak murid yang
bertempat tinggal jauh, juga menanti datangnya puteri mereka, Tan Cui Bi.
Para tamu
mulai berdatangan dan sibuklah anak murid Thai-san-pai menyambut mereka. Yang
mewakili Beng San mengadakan penyambutan dan menyampaikan maaf ketuanya karena
sibuk sehingga baru akan muncul pada hari yang sudah ditetapkan, adalah Oei
Sun, murid tertua, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berusia empat puluh
tahun.
Macam-macam
sikap para tamu saat menerima penyambutan yang hanya dilakukan oleh murid
tertua Thai-san-pai ini. Mereka ini kesemuanya amat menghormat dan mengagumi
Raja Pedang Tan Beng San, namun apakah artinya murid Thai-san-pai yang baru
saja berdiri ini?
Ada yang
menerima penyambutan dengan hormat, ada yang berterima kasih dan berdiam diri
saja, akan tetapi ada pula yang bersungut-sungut, mereka menganggap bahwa Ketua
Thai-san-pai tidak memandang mata kepada mereka. Akan tetapi, karena sungkan
kalau mendatangkan keributan, mereka menerima saja dan mendiami tempat
masing-masing, yaitu bangunan-bangunan darurat yang sudah disediakan untuk
mereka.
Seorang di
antara para tamu, Lai Tang yang berjuluk Cakar Naga, seorang guru silat dari
kota raja yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan berwatak kasar pongah,
ketika mendapat sambutan ini segera berkata sambil berjalan ke arah pondok yang
ditunjukkan baginya.
"Hemm,
hemm, Thai-san-pai Ciangbunjin (Ketua) sedang sibuk dan tidak ada kesempatan
menyambut kedatanganku? Membikin kakiku terasa berat saja menaiki
Thai-san."
Semua tamu
mendengar ini dan beberapa orang di antaranya lalu berseru kagum ketika melihat
betapa jejak kaki guru silat tinggi besar ini tercetak di tanah dan
memperlihatkan bekas sedalam sepuluh sentimeter lebih pada tanah yang keras
itu!
Demonstrasi
yang diperlihatkan Lai Tang itu menunjukkan bahwa tenaga lweekang-nya cukup
hebat, agaknya sengaja ia perlihatkan untuk mengejek bahwa seorang anak murid
Thai-san-pai yang tidak ada nama itu tak cukup berharga untuk menyambut seorang
tamu yang berkepandaian selihai dia!
Terdengar
Oei Sun tertawa ramah, lalu berkata, "Maaf, maaf, Lai-kauwsu (Guru Silat
Lai), Suhu telah memesan agar menyampaikan maafnya dan memesan supaya siauwte
dapat melayani semua tamu dengan hormat. Biarlah siauwte yang meringankan kalau
Kauwsu merasa berat kaki."
Setelah
berkata demikian, dengan tenang dia berjalan pula melangkah di dekat jejak kaki
guru silat itu dan... bekas kaki yang amblas sepuluh senti meter itu segera
lenyap karena tanahnya sudah rata kembali!
Semua tamu
kembali berseru memuji dan guru silat Lai itu menengok, melihat apa yang
dilakukan oleh Oei Sun. Mukanya segera menjadi merah dan ia cepat-cepat
membalikkan tubuh dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Oei Sun.
"Panglima
yang pandai mempunyai prajurit yang hebat pula! Sahabat, dengan kepandaian
seperti yang kau miliki ini, tentu saja aku sudah merasa cukup terhormat bisa
mendapat penyambutanmu!"
Sesudah
berkata demikian, Lai Tang berjalan menuju ke pondoknya sambil tertawa tulus.
Senang hati Oei Sun karena meski pun pongah dan kasar, kiranya guru silat she
Lai itu cukup jujur dan terbuka hatinya.
Di kaki
puncak itu telah dibuat tanah datar yang amat luas dan di tengah dibangun
teratak tinggi, setinggi dua meter dengan bentuk persegi empat berukuran lima
meter. Di ujung teratak yang lantainya terbuat dari papan tebal dan
tiang-tiangnya di bawah dari balok besar-besar ini dipasangi meja sembahyang.
Teratak
tanpa atap inilah yang nanti akan menjadi tempat dilakukannya upacara pendirian
Thai-san-pai dan sengaja dibuat dalam bentuk seperti biasa orang membuat
panggung lui-tai di mana orang akan dapat bermain silat cukup leluasa. Bukan
hal aneh kalau setiap pertemuan di antara para jago-jago silat atau dalam
partai-partai persilatan, dibuat teratak semacam ini untuk memberi kesempatan
orang bermain silat atau bertanding kepandaian silat.
Banyak juga
tamu yang datang, sampai tak kurang dari lima puluh orang yang mendapat tempat
istirahat di pondok-pondok darurat di kaki puncak. Namun rombongan-rombongan
besar dari partai-partai terkenal seperti dari Kun-lun-pai, Bu-tong-pai,
Siauw-lim-pai dan lain-lain, adalah partai-partai yang dipimpin oleh orang-orang
terkenal.
Mereka
adalah orang-orang tahu diri dan tidak suka mendesak-desak, maka sebelum tiba
hari yang ditentukan, mereka tidak mau naik ke kaki puncak, tapi berhenti di
lereng-lereng dan mencari tempat peristirahatan di dalam hutan-hutan yang
pemandangannya indah dan hawanya sejuk. Juga tokoh-tokoh besar perorangan belum
ada yang muncul ke kaki puncak karena orang-orang seperti mereka ini pun tentu
saja bersikap ‘jual mahal’ dan tidak muncul sebelum Ketua Thai-san-pai keluar
dari sarangnya.
Pendeknya, biar
pun yang terlihat berkumpul di kaki puncak hanya ada lima puluh orang, namun di
lereng-lereng Thai-san telah datang banyak orang yang masih menyembunyikan diri
di tempat peristirahatan masing-masing, di dalam hutan-hutan yang banyak
terdapat di seluruh permukaan Pegunungan Thai-san itu.
Selama
menunggu datangnya hari penentuan itu, mereka yang datang ke Thai-san, baik
yang sudah diterima oleh murid kepala mau pun yang masih berdiam menanti di
lereng, setiap hari berjalan-jalan menikmati pemandangan alam yang indah bukan
main. Mereka yang datang dari gunung-gunung lain lalu membandingkan pemandangan
di situ dengan tamasya alam di tempat masing-masing.
Rata-rata
mereka memuji akan keindahan Thai-san dan diam-diam menyatakan kagum kepada
Raja Pedang Tan Beng San yang pandai memilih tempat untuk dijadikan pusat
perkumpulannya. Ada pula yang memuji nasib baik Raja Pedang itu karena telah
menjadi mantu Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan yang dahulu merajai daerah pegunungan
ini. Namun, banyak pula di antara tamu yang merasa penasaran melihat bahwa
tempat upacara dan pertemuan tidak diadakan di puncak, melainkan di kaki
puncak.
"Hemmm,
Ketua Thai-san-pai sungguh tidak memandang kepada kita!" beberapa orang di
antara mereka berkata, "Apakah puncak tempat tinggal mereka itu terlalu
bersih sehingga takut dikotori kaki kita?"
Ada pula
yang mengomel, "Kabarnya jalan rahasia Thai-san-pai benar-benar amat hebat
dan yang paling sukar dipecahkan di antara tempat-tempat rahasia di dunia ini.
Aku ingin mendapat kesempatan ini untuk melihatnya. Siapa tahu, Ketua
Thai-san-pai begini pelit sehingga tidak mau memperlihatkan puncak. Apakah dia
takut kalau kita akan mencuri barang-barang yang berharga?"
Macam-macam
pendapat orang, pada pokoknya banyak yang merasa penasaran. Malah perasaan ini
mendatangkan bermacam-macam kejadian, bahkan ada pula yang hebat akibatnya.
Beberapa kelompok bahkan berusaha untuk mencari sendiri jalan rahasia itu,
bermaksud untuk mendaki puncak dan mencari jalannya. Akan tetapi akibatnya,
mereka ini berkeliaran di hutan-hutan, sesat tidak karuan dan selama dua hari
baru dapat keluar dari hutan-hutan yang sulit dilalui, dengan tubuh lemas dan
perut lapar, malah ada yang hampir mati dikeroyok ular atau binatang lain!
Lebih celaka
lagi, ada yang pergi seorang diri, diam-diam mempergunakan kepandaian menawan
seorang anak murid Thai-san-pai, menyeretnya ke dalam hutan dan memaksa anak
murid itu untuk mengaku dan membuka rahasia jalan ke puncak. Orang ini terlalu
memandang rendah anak murid Thai-san-pai.
Biar pun
murid yang ia lawan itu tidak sanggup melawannya karena kalah tinggi tingkat
kepandaiannya, tetapi setiap orang murid Thai-san-pai adalah orang pilihan yang
memiliki kesetiaan luar biasa. Murid Thai-san-pai itu tidak mau membuka rahasia
pertanyaannya, biar pun ia disiksa oleh Si Penawannya, malah kemudian sampai
tewas dan ditinggalkan mayatnya begitu saja di dalam hutan itu.
Si Penawan
ternyata gagal mendapatkan rahasia Thai-san-pai dan dengan hati kecut ia
meninggalkan tawanannya yang sudah menjadi mayat, takut kalau-kalau akan
ketahuan rahasianya. Dengan wajah biasa dan sikap tenang orang ini kembali di
antara para tamu. Ributlah para anak murid Thai-san-pai ketika mereka
mendapatkan seorang saudaranya tewas di dalam hutan. Namun mereka tidak
memperlihatkan kegugupannya.
Oei Sun yang
mendengar tentang ini, dengan tenang menyuruh seorang murid melapor kepada
suhu-nya serta membawa mayat saudara seperguruannya itu naik ke puncak pula
untuk diperiksa oleh ketua mereka. Kejadian ini berlangsung tanpa banyak
menimbulkan keributan, namun tentu saja berita ini tersiar luas di antara para
tamu sehingga mereka ini diam-diam menjadi tegang karena menduga bahwa tentu
akan terjadi pertandingan hebat antara Thai-san-pai dengan orang-orang yang
memusuhinya, di antaranya orang-orang yang telah membunuh anak murid
Thai-san-pai itu!
Lima hari
sebelum bulan pertama, yaitu hari pendirian Thai-san-pai, datanglah Tan Cui Bi
bersama Tan Kong Bu ke tempat penyambutan. Para anak buah murid Thai-san-pai
tentu saja menyambut kedatangan Cui Bi dengan gembira.
Akan tetapi
Oei Sun memandang sumoi-nya (adik perempuan seperguruan) ini dengan mata
diliputi kemuraman, lalu menarik tangan sumoi-nya masuk ke dalam pondok. Sambil
tertawa Cui Bi memberi tanda kepada Kong Bu untuk turut pula ke dalam. Ketika
Oei San melihat ini, keningnya berkerut, akan tetapi Cui Bi berkata,
"Oei-suheng,
dia ini bukan orang luar. Dia... hemm, belum waktunya kau mengetahui hal ini.
Aku dan Kong Bu-koko ini tidak akan segera naik menemui Ayah Ibu, karena kami
berdua hendak menanti datangnya tiga orang murid Hoa-san-pai. Aku sendiri yang
harus menyambut mereka dan setelah mereka mendapat pondokan yang baik, barulah
aku akan menghadap Ayah Ibu. Eh, Suheng, kenapa kau kelihatan tak senang dan
gelisah? Apakah yang terjadi?"
Walau pun
Cui Bi merupakan adik seperguruan, namun tentu saja Oei Sun menganggap gadis
muda ini seperti atasannya karena gadis ini adalah puteri gurunya dan dia
maklum bahwa dalam hal kepandaian, ia tidak ada setengahnya sumoi-nya yang
nakal ini.
"Sumoi,
aku merasa agak kecewa bahwa kau sama sekali tidak muncul lebih siang untuk
membantu keperluan kita. Kau tahu, baru saja kemarin terjadi hal yang
menggemaskan."
Lalu murid
tertua ini bercerita tentang tewasnya seorang murid Thai-san-pai secara aneh
itu.
"Ternyata
di antara para tamu terdapat musuh-musuh curang dari Suhu sehingga mereka itu
melakukan pembunuhan sebelum Suhu sendiri turun dari puncak. Bukankah ini amat
menggemaskan?" berkata Oei Sun sambil membanting-banting kaki.
"Thai-san-pai belum diresmikan pendiriannya saja sudah harus menelan
penghinaan ini. Hemmm, ingin sekali aku mengetahui siapa yang melakukan
perbuatan ini dan ingin aku berhadapan dengan dia!"
Tentu saja
Cui Bi juga marah mendengar ini. "Benar-benar jahat dan curang sekali!
Kalau memang mau mencari perkara dengan kita, kenapa tidak terang-terangan
saja? Hemmm, coba dia berani memperkenalkan diri, tak akan mau sudah aku kalau
belum kupenggal batang lehernya. Suheng, sambil menanti datangnya teman-teman
dari Hoa-san-pai, aku akan memasang mata. Kurasa, orang yang membunuh itu tentu
telah menculik saudara kita itu untuk dipaksa memberi tahu tentang rahasia
jalan ke puncak. Apakah di tubuh Suheng itu terdapat tanda luka-luka
berat?"
Oei Sun
memandang kagum. Memang harus ia akui bahwa sumoi-nya ini biar pun masih muda,
akan tetapi memiliki kecerdikan luar biasa. "Kau benar, Sumoi. Memang
begitulah agaknya, akan tetapi derita yang dialami oleh Sute itu hebat, seperti
ditusuk benda panas, tentu sebelum meninggal dia menderita sekali."
Cui Bi lalu
minta disediakan sebuah pondok yang letaknya agak jauh dan tersembunyi karena
dia hendak melakukan pengintaian selama menanti kedatangan Kun Hong dan Li Eng.
Juga ia mengharapkan kedatangan Hui Cu yang sampai sekarang belum ia ketahui
bagaimana nasibnya itu.
Sebentar
saja kedukaan akan kematian seorang suheng-nya telah tak berbekas pula. Di
dalam pondok ia menggoda kakak tirinya.
"Bu-ko,
hatimu tentu berdebar-debar, bukan?"
"Apa
maksudmu? Mengapa kita harus menanti di sini? Bukankah lebih baik terus saja ke
puncak menemui... Ayah?" Kaku juga pemuda ini menyebut ayah yang selamanya
belum pernah ia lihat itu.
"Hishh,
benarkah kau begitu terburu-buru? Ataukah kau diam-diam ingin segera melihat
kedatangan... dia?"
"Bi-moi,
kau selalu menggodaku tentang Nona Kui Li Eng itu. Hmmm, tahukah kau apa yang
akan terjadi apa bila aku dan dia bertemu? Kami berdua sudah saling menantang,
kalau sekali lagi bertemu akan mengadu pedang!"
Akan tetapi
Cui Bi tidak heran malah tertawa manis. "Tentu saja, maksud dia itu hendak
menjatuhkan hatimu, bukan pedangmu. Padahal, tanpa usaha itu pun kau sudah
jatuh. Bukan begitu?"
Kong Bu
benar-benar merasa bohwat (tak berdaya) menghadapi adik tirinya yang nakal ini.
"Sudahlah... sudahlah, Moi-moi. Siapa tidak tahu, bahwa kaulah yang rindu
kepada... kutu buku itu?"
Seketika
wajah Cui Bi berubah, matanya membelalak. Seakan-akan hal ini merupakan hal
yang baru baginya, atau sesuatu yang baru saja teringat olehnya. Hatinya
berdebar keras, membuat wajahnya seketika menjadi merah sekali.
Ia seorang
gadis yang jujur, tak suka berpura-pura, apa lagi terhadap kakak tirinya yang
baginya sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri itu. Ia menunduk,
termenung, tak dapat berkata-kata lagi, seakan-akan lupa bahwa kakak tirinya
berada di situ.
Melihat
adiknya tiba-tiba menunduk dan termenung itu, Kong Bu kuatir kalau ia membuat
adiknya tidak senang. Ia menyentuh pundaknya dan berkata, "Kau kenapa? Aku
hanya main-main, jangan marah. Kau tukang menggoda orang, tapi jika digoda
sedikit saja, lalu ngambek!"
Akan tetapi
ketika adiknya itu mengangkat muka memandangnya, hati Kong Bu tertegun. Adiknya
ini tidak ngambek, tidak pula marah, tetapi kelihatan terharu dan bingung!
"Bu-ko,
apakah kau pikir betul-betul aku rindu kepadanya?"
"Lho,
mengapa urusan begitu kau bertanya kepadaku? Habis, kau sendiri
bagaimana?"
"Aku...
aku tidak tahu, Bu-ko, aku tak tahu. Hanya terus terang saja, aku memang...
ingin sekali melihatnya. Lucunya ia mengira aku seorang laki-laki. Ah, Bu-ko,
aku meragu. Apa yang harus kulakukan?"
Kong Bu
terharu. Adik tirinya ini benar-benar seorang yang berhati polos, dan terhadap
dia tidak mau menyimpan rahasia apa-apa, begitu jujur dan menaruh kepercayaan
yang besar sekali. Hal ini membuatnya terharu dan makin mendalam rasa sayangnya
kepada adik tiri ini.
“Aku harus
membelanya, harus melindunginya. Aku ingin melihat dia berbahagia, adikku
sayang ini,” pikirnya.
"Bu-ko,
kau lihat orang she Kwa itu orang yang bagaimana?" tanya pula Cui Bi dengan
mendadak.
"Hemm,
mana aku tahu? Hanya sebentar aku bertemu dengan dia. Dia memang orang aneh,
semuda itu kata-katanya mengandung filsafat-filsafat tinggi. Kau kau yang sudah
cukup lama melakukan perjalanan bersama dia tentu lebih mengenal sifat-sifatnya.
Tetapi dia itu... kutu buku yang lemah, seperti yang kau katakan sendiri.
Apakah sifat ini sesuai dengan kau... seorang gadis yang memiliki kepandaian
tinggi dan jiwa gagah perkasa?"
Cui Bi
menggeleng kepalanya berkali-kali. "Entahlah... entahlah... dia aneh,
Koko. Ah, aku bingung..."
Kedatangan
dua orang itu tidak menarik perhatian para tamu. Siapa memperhatikan dua orang
muda yang bersahaja itu? Hanya dua orang pemuda yang ganteng, tidak ada apa pun
yang aneh. Tentu saja tidak ada di antara mereka yang tahu bahwa seorang di
antara dua pemuda itu adalah puteri dari Ketua Thai-san-pai dan tidak ada yang
tahu pula bahwa pemuda yang seorang lagi adalah cucu yang tergembleng dari
Kakek Song-bun-kwi!
Alangkah
girangnya hati Cui Bi, dan diam-diam juga hati Kong Bu, ketika pada keesokan
harinya tiba tiga orang muda yang bukan lain adalah Kun Hong, Li Eng, dan Hui
Cu di kaki puncak itu! Lebih besar lagi kegirangan Cui Bi karena melihat bahwa Hui
Cu juga sudah berada dengan pemuda itu dalam keadaan selamat.
Berlari-larian
dia menyambut kedatangan tiga orang itu, diikuti oleh Kong Bu yang agak meragu
berjalan di belakangnya.
"Adik
Cui Bi...!" Kun Hong berseru dan tanpa ragu-ragu lagi dia memegang kedua
tangan sahabat ini. "Alangkah girangku melihat kau di sini! Ahh, adik yang
nakal, kenapa tempo hari kau pergi begitu saja tanpa pamit? Aku... aku hendak
memperkenalkan kau dengan keponakan-keponakanku. Ini dia Li Eng yang sering
kali kuceritakan kepadamu, dan ini Hui Cu. Anak-anak, inilah pemuda aneh murid
Thai-san-pai yang sering kali kuceritakan kepada kalian. Dia hebat!"
Diam-diam
Cui Bi yang mukanya menjadi merah sekali itu bertukar pandang dengan Kong Bu
yang juga sudah sampai di situ.
"Ehhh,
kau juga di sini? Bersama-sama Bi-laote?" Kun Hong menegur kaget dan heran
melihat Kong Bu berada pula di situ dengan sahabatnya itu.
Akan tetapi
yang ditegur hanya mengerling kepada Li Eng yang sebaliknya memandang kepadanya
dengan mata marah!
Panas rasa
dada Li Eng. Tentu saja panas melihat pemuda yang dibencinya itu berada bersama
Cui Bi! Hemm, dia tidak sebodoh pamannya. Akan tetapi terpaksa ia menahan panas
hatinya itu karena Cui Bi sudah merangkapkan kedua tangan dan memberi hormat
kepadanya serta kepada Hui Cu.
"Syukur
kalian sudah datang!" Cui Bi berseru gembira. "Aku sudah menyediakan
sebuah pondok yang besar untuk kalian. Mari, marilah silakan ke pondok untuk
beristirahat sambil bercakap-cakap. Hong-ko kita masih banyak waktu, masih
empat hari lagi dari hari yang ditentukan. Kalian bisa beristirahat sambil
menikmati keindahan tempat kami."
Cui Bi
kemudian menggandeng tangan Kun Hong ke pondok besar yang agak menyendiri
letaknya, berdekatan dengan pondok Cui Bi sendiri. Memang untuk sahabat-sahabatnya
dari Hoa-san-pai dia sengaja memilih dua pondok berjajar yang agak terpisah
jauh dari pondok-pondok para tamu itu.
Pada saat
melihat bahwa pondok itu tidak mempunyai kamar-kamar terpisah. Kun Hong menjadi
agak bingung. "Ahhh, mengapa pondok ini tanpa kamar? Habis, bagaimana kita
bisa bermalam di sini?” Ia memandang kepada dua orang keponakannya.
Li Eng
tertawa, lalu berkata, "Mengapa bingung? Aku dan Enci Hui Cu tentu saja
tidur sepondok dengan dia! Hayo, Saudara Cui Bi, kita mengobrol di pondok yang
satunya."
Tanpa
ragu-ragu lagi Li Eng menggandeng tangan Cui Bi, ditariknya memasuki pondok
kedua diikuti oleh Hui Cu yang tersenyum-senyum.
Kun Hong
melongo, kemudian membentak, "Eng-ji, apa kau gila...?!"
Akan tetapi
alangkah herannya ketika dia melihat Cui Bi tidak menjadi marah atau malu,
malah tertawa-tawa sambil merangkul Li Eng, juga Hui Cu lalu mendekat dan
merangkul sehingga tiga orang itu, Cui Bi di tengah-tengah, dirangkul oleh dua
gadis keponakannya, memasuki pondok sambil tertawa-tawa!
"Gila...!
Mereka gila semua... ataukah aku yang gila...?" Kun Hong berkata seorang
diri dengan mata tetap terbelalak.
Diam-diam
Kong Bu memperhatikan pemuda Hoa-san-pai itu dan ia menjadi geli hatinya.
Pemuda Hoa-san-pai ini benar-benar tidak berpura-pura dan memang tak pernah
mengira bahwa Cui Bi adalah seorang wanita. Ia tidak terlalu menyalahkannya
karena dia sendiri juga tadinya tertipu oleh adik tirinya yang nakal itu.
Agaknya dua
orang gadis Hoa-san-pai itu, oleh karena sama-sama wanita, begitu bertemu sudah
dapat mengenal keadaan sesungguhnya dari Cui Bi.
"Saudara
Kwa Kun Hong, bukan mereka yang gila, juga kau tidak gila, hanya kau itu telah
tertipu. Adik Cui Bi bukanlah seorang pria, melainkan seorang gadis, puteri
tunggal Ketua Thai-san-pai."
"Ohhh..."
Kun Hong makin melongo, kemudian mukanya tiba-tiba berubah merah sekali.
Dia teringat
betapa tadi dalam pertemuan itu dia begitu girang dan memegang kedua tangan
‘pemuda’ itu begitu mesra. Kalau ia tahu ia seorang gadis…!
Kalau tahu
mau apa? Ia pernah ditempeleng, pernah dihina dimaki. Tapi, mengapa gadis itu
mau melakukan perjalanan bersama dia? Mau membelanya? Ahhh, apa artinya semua
ini…?
Kong Bu
tertawa dan menepuk-nepuk Kun Hong.
"Tidak
usah heran, aku sendiri pun pernah tertipu olehnya. Sudahlah, kau kelihatan
lelah sekali, sekarang kau mengasolah. Malam ini aku mempunyai tugas penting,
tak usah kau menunggu aku. Nanti akan ada anak murid Thai-san-pai yang
mengantarkan hidangan untukmu.”
Sebelum Kun
Hong sempat bicara, pemuda itu telah pergi meninggalkannya, keluar dari pondok.
Kun Hong tidak berani mencegah karena ia belum mengenal betul pemuda cucu
Song-bun-kwi itu.
Otaknya
diputar. Banyak hal menimbulkan keheranan dan kebingungannya. Banyak hal hendak
dia tanyakan kepada pemuda itu, namun pemuda itu telah meninggalkannya dan
betul-betul ia merasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh itu.
Benar saja,
menjelang malam, seorang anak murid Thai-san-pai yang gagah dengan sikap hormat
sekali mengantarkan hidangan sederhana. Anak murid ini pendiam sekali dan penuh
hormat sehingga Kun Hong merasa tidak enak bahwa sebagai seorang tamu ia banyak
bertanya-tanya, apa lagi mengenai diri puteri Ketua Thai-san-pai.
Ia makan
seorang diri, lalu merebahkan diri di atas pembaringan kayu yang berada di
dalam pondok. Mengapa Hui Cu atau Li Eng tidak muncul? Apakah mereka juga
lelah? Ahh, aku harus mencari mereka.
Tidak enak
sekali rasa hatinya. Kalau ia teringat akan pengalamannya dengan Cui Bi yang
selama ini disangkanya seorang pria itu, ia merasa amat malu. Bagaimana ia akan
berani berhadapan dengan Paman Tan Beng San? Ke mana ia harus menaruh mukanya
kalau nanti bertemu dengan Cui Bi?
Malam itu
terang bulan, akan tetapi banyak awan hitam di angkasa raya yang
sebentar-sebentar menutupi bulan. Kun Kong keluar dari pondoknya. Memang pondok
ini agak jauh dari pondok-pondok lain yang penuh tamu. Pondok-pondok lain itu
tidak kelihatan dalam kegelapan malam, hanya sinar api penerangan yang
berkelap-kelip nampak dari jauh.
Siapa tahu
kalau-kalau dua orang keponakannya itu lagi berada di luar pondok mereka,
pikirnya. Dia berjalan hati-hati menghampiri pondok yang hanya terpisah
beberapa puluh meter itu dari pondoknya. Sunyi sekali di pondok itu, malah api
penerangannya juga telah padam. Agaknya tiga orang itu sudah tidur.
Hati-hati
sekali Kun Hong menghampiri. Ketika bulan menyinarkan cahayanya menembus awan
tipis, hatinya girang melihat bayangan seorang gadis duduk di belakang pondok,
di atas sebuah batu besar.
Tak salah
lagi, itulah Hui Cu, seorang diri melamun! Hui Cu duduk membelakanginya dan
dengan hati-hati tapi cepat Kun Hong menghampirinya.
"Ssttt,
Hui Cu, kau belum tidur?" bisiknya menghampiri.
Hui Cu diam
saja, seakan-akan tidak mendengarnya.
"Cu-ji
(Anak Cu), celaka sekali..." Kun Hong kini mendekat dan berdiri di
belakang gadis itu. "Kita harus lekas-lekas pergi meninggalkan tempat ini!
Ahhh, celaka, tak mungkin aku dapat menghadap Paman Tan Beng San setelah semua
kejadian ini. Tak mungkin dapat aku berhadapan dengan... dia. Ahh, siapa tahu,
kiranya ia seorang gadis..."
Terdengar
Hui Cu tertawa perlahan, ditahan-tahan, tubuhnya bergerak sedikit akan tetapi
mukanya tidak kelihatan jelas karena bulan tertutup awan hitam.
"Hui
Cu, kau malah mentertawakan aku? Kau tidak tahu, betapa memalukan dan tak patut
kelakuanku terhadap dia. Aku maki dia pemuda pesolek, aku mengatakan dia banci,
aku marah dan dia agaknya benci kepadaku, lalu dia menampar pipiku, memaki aku
pemuda sombong. Ahh, kau tidak tahu, Hui Cu, aku tidak ada muka untuk bertemu
dengannya. Lekas kau beri tahukan Li Eng, bangunkan perlahan-lahan dan kita
pergi meninggalkan tempat ini. Kalau kau dan Li Eng tidak mau, terpaksa aku
sendiri akan pergi, aku tidak berani bertemu dengan dia dan orang tuanya."
Hui Cu sudah
turun dari batu dan berdiri di depannya. Melihat keponakannya ini diam saja,
Kun Hong memegang kedua tangannya diguncang-guncang dan ia berkata penuh
permintaan, "Hui Cu, jangan anggap hal ini sebagai main-main. Aku
benar-benar malu, kenapa kau acuh tak acuh? Lekas masuk ke pondok dan beri tahu
Li Eng, malam ini juga aku akan pergi."
Perlahan-lahan
awan hitam tertiup angin meninggalkan bulan sehingga perlahan-lahan sinar bulan
menerangi tempat itu.
"Hui
Cu, mengapa kau diam saja? Mengapa... aihhhh, kau ini siapa... ahhh..."
Kun Hong terbelalak dan mulutnya ternganga memandang wajah gadis yang
disangkanya Hui Cu itu.
Wajah yang
seperti bulan purnama itu sendiri, gilang gemilang dengan sepasang mata bening
bersinar-sinar. Hidungnya kecil mancung, di atas sepasang bibir yang setengah
tersenyum mengejek, yang manis luar biasa, yang pernah membuat dia kehilangan
rasa bencinya… wajah seorang gadis cantik jelita melebihi bidadari kahyangan,
wajah... Cui Bi!
"Aduh,
celaka... aduh... aku tolol... ah..." Kun Hong gagap-gugup akan tetapi
lupa bahwa sejak tadi ia masih memegangi kedua tangan gadis itu!
"Hong-ko..."
suara merdu yang sudah amat dikenalnya, terlalu dikenalnya, suara yang dahulu
pun ketika gadis ini dikiranya pria, sering mendatangkan rasa nikmat dan nyaman
di hatinya.
"Hong-ko,
kenalkah kau padaku?"
"Hemm,
ehh, tentu saja, kau... ehh, kau Bi-laote (adik laki-laki Bi)."
Cui Bi
tertawa, suara ketawanya perlahan, ditahan-tahan menyatakan bahwa ia merasa
geli sekali. "Bi-laote...?" ia mengulang, matanya bersinar-sinar,
wajahnya berseri tertimpa cahaya bulan keemasan. Bibirnya tersenyum lebar sehingga
nampak gigi putih berkilau sebentar.
"Eh...
Oh... bagaimana aku ini...? Kau... Nona Tan..." Kemudian Kun Hong yang
hendak mengangkat tangan memberi hormat baru sadar bahwa sejak tadi dia
memegangi kedua tangan orang!
"Maaf...
maaf sebanyak-banyaknya..." ia cepat melepaskan pegangannya dan menjura
sambil membungkuk-bungkuk, "maafkan aku, Nona."
"Hong-ko,
apa-apaan kau ini? Mendadak sontak menyebut nona-nonaan segala? Kalau begitu
lebih baik kau seterusnya menyebut aku laote (adik laki-laki) saja!" Suara
Cui Bi terdengar merajuk dan manja. Juga sikap ini amat dikenal oleh Kun Hong
dan suara inilah yang dahulu membuat ia memaki Cui Bi sebagai anak manja, anak
pesolek!
"Maaf...
habis, bagaimana...?"
"Kau
lebih tua dari pada aku. Kalau aku laki-laki, kau memanggil laote, kalau
perempuan, masa kau tidak tahu harus memanggil apa? Kau menyebut ayahku paman,
bukankah aku ini adik perempuanmu, adik misanmu?"
"Ohh,
ya... ya, baiklah Siauw-moi (Adik Perempuan Cilik)."
"Hei,
aku sudah berusia tujuh belas kau masih menyebut siauw-moi? Apakah kau anggap
aku ini masih bocah?"
"Bi-moi-moi...,"
Kun Hong membetulkan kesalahannya.
Cui Bi
nampak puas, lalu tiba-tiba ia menyambar tangan Kun Hong, dipegangnya seperti
tadi Kun Hong memegang tangannya, seperti dahulu sebagai ‘Cui Bi pria’ ia
memegang tangan sahabatnya.
"Hong-ko,
marahkah kau kepadaku? Aku sudah menipumu."
"Tidak,
tidak... kenapa mesti marah? Aku yang tolol."
"Tidak
senangkah hatimu mendapat kenyataan bahwa sahabat baikmu itu ternyata adalah
seorang wanita?"
"Tentu,
senang... senang sekali, ehhh, aku..." Bingung Kun Hong teringat akan
semua ucapannya tadi.
"Kau...
apa? Kau datang ini hendak ke manakah? Hendak mencari Enci Hui Cu? Atau Li
Eng?" Cui Bi melihat kebingungan pemuda itu sengaja menggoda.
"Tidak.
Aku... aku tadi hendak... ehh, mencari tempat buang air..."
Mendengar
jawaban yang tidak tersangka-sangka ini, Cui Bi menahan gelak tawanya, membuat
Kun Hong makin bingung.
"Aiih,
perutmu sakit, Hong-ko? Di sana itu, di belakang kelompok pohon kate itu, ada
sebatang anak sungai, di sana kau bisa buang air. Hendak ke sanakah?"
"Ahh,
tidak... maksudku, ehh, tidak jadi sakit Aku... aduh, Bi-moi, kenapa menggodaku?
Bukankah kau sudah mendengar semua tadi? Aku malu, lebih-lebih sekarang aku
malu sekali, Moi-moi..."
Cui Bi
mempererat genggaman tangannya. "Hong-ko, kenapa malu? Seharusnya akulah
yang malu kepadamu, karena aku yang banyak berbuat tak baik terhadapmu."
"Tidak,
tidak! Akulah yang bodoh, yang buta, bagaimana aku berani kurang ajar terhadap
puteri Paman Tan Beng San?"
"Aku
sudah pernah menampar pipimu. Hong-ko, kau sudah berjanji takkan melaporkan hal
itu kepada ayahku, tapi aku masih merasa salah kepadamu. Kau boleh menampar aku
sekarang sebagai pembalasan."
"Wah,
mana bisa? Malah aku akan girang kalau kau mau mengulang tamparanmu itu, untuk
semua ucapanku yang kurang patut."
Cui Bi
melepaskan pegangannya, berkata lembut, "Hong-ko duduklah."
Kun Hong
dengan kikuk duduk di atas batu, gadis itu duduk di depannya. Mereka saling
pandang di antara cahaya bulan yang kadang-kadang terang kadang-kadang gelap.
Kun Hong merasa seakan-akan kerongkongannya tersumbat, hatinya berdebar tidak
karuan dan dia tidak tahu harus berkata apa. Kikuk sekali rasanya sesudah
berhadapan dengan sahabat baiknya yang ternyata seorang gadis itu.
"Hong-ko,
sore tadi kau menyatakan amat girang bertemu denganku. Apakah sekarang kau juga
masih merasa girang?"
"Aku
girang sekali."
"Hong-ko,
kau... sukakah kau kepadaku?"
Bukan main
gadis ini, pikir Kun Hong. Gadis yang jujur dan terbuka hatinya. Pertanyaan itu
seperti todongan pedang tajam di depan ulu hatinya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment