Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 18
Kun Hong
menggigit bibir, kemudian menekan debar jantungnya dan menjawab, suaranya
bersungguh-sungguh, "Bi-moi, aku suka kepadamu, aku suka sekali kepadamu.
Entah mengapa, dahulu ketika kau menampar pipiku dan merampas pedangku, aku
benci sekali kepadamu. Aku benci dan selalu mendongkol kepadamu. Setelah itu
aku terheran sendiri mengetahui bahwa kebencian dan kemarahanku kepadamu itu
bukan karena pribadimu, melainkan karena aku merasa bahwa kau tidak suka
kepadaku! Aku tidak senang karena kau tidak suka padaku, begitu perkiraanku
dahulu. Setelah kita saling jumpa kembali, dan kau... kelihatan suka kepadaku,
tidak membenciku, malah membelaku, aku... ahh, sejak itu lenyap semua
kebencianku kepadamu, menjadi suka sekali. Ketika kau pergi, ahh... memalukan
sekali, aku merasa rindu, ingin bertemu, ingin berdekatan. Kuanggap kau sebagai
sahabat yang luar biasa, entah mengapa, rasa sayang memenuhi hatiku. Setelah
sekarang ternyata kau seorang wanita, ahhh... tak tahu aku, aku bingung,
Moi-moi."
Bulan
bersembunyi di balik awan sehingga Kun Hong tidak melihat betapa mata gadis itu
menjadi basah air mata, tapi mulut gadis itu tersenyum bahagia.
"Hong-ko,
katakan terus terang, apakah kau sekarang, setelah melihat bahwa sahabatmu ini
seorang wanita, masih sayang kepadaku?"
"Ahh,
soal itu... itu... ahh, mana aku berani begitu kurang ajar, Moi-moi? Mana aku
berani menyatakan hal demikian kurang ajar? Kau adalah puterinya Paman Tan Beng
San, kau berkepandaian tinggi, kau cantik jelita, sedangkan aku..."
"Kau
seorang pemuda luar biasa, Hong-ko, Belum pernah selama hidupku aku bertemu
dengan seorang seperti kau. Kau hebat, kau mengagumkan hatiku dan aku... aku
amat suka kepadamu, Hong-ko. Hanya sayang..."
"Sayang...
apakah, Moi-moi?"
"Hong-ko,
apakah kau benar-benar tidak mengerti ilmu silat? Enci Hui Cu dan Enci Li Eng
bercerita banyak tentang kau, katanya kau mengerti banyak teori ilmu silat,
tetapi tidak pernah melatihnya. Betulkah?"
"Hemm,
agaknya betul begitu."
"Kalau
begitu, mudah saja kau berlatih silat. Kau berbakat baik sekali. Aku yakin, apa
bila kau sudah berlatih, aku sendiri pun tak akan mampu melawanmu!" Cui Bi
tampak gembira sekali.
"Sstttt...!"
Tiba-tiba Kun Hong berdiri dan menoleh. Cui Bi juga menoleh dan masih dapat
melihat bayangan orang berkelebat cepat sekali, menghilang di dalam gelap.
"Ada
orang...," kata Cui Bi, terheran-heran mengapa ia kalah dulu oleh Kun Hong
melihat orang itu tadi.
Kun Hong
juga sadar bahwa tanpa terasa dia telah memperlihatkan kelihaian matanya, maka
cepat-cepat ia berkata, "Aku kebetulan menengok dan melihat bayangannya.
Adik Cui Bi, lebih baik kita berpisah, biarlah besok masih banyak waktu
bercakap-cakap. Tidak baik orang melihat kita bicara berdua di sini."
Cui Bi
mengangguk. "Dan... Hong-ko, apakah kau masih tetap bersikeras hendak
pergi meninggalkan aku?"
"Tidak,
tidak nanti!" kata Kun Hong.
"Selamanya?"
desak Cui Bi.
Makin
berdebar hati Kun Hong, apa lagi melihat gadis itu berdiri amat dekat. Tanpa
terasa lagi ia pun memegang kedua tangan gadis itu, ditekannya erat-erat untuk
beberapa detik sambil berkata, "Selamanya tidak akan kutinggalkan
kau..."
Begitu Kun
Hong melepaskan pegangan tangannya, gadis itu lari memasuki pondoknya,
meninggalkan suara keluhan panjang, setengah tertawa setengah menangis. Untuk
beberapa menit Kun Hong berdiri mematung di tempat itu, lalu perlahan berjalan
pulang ke pondoknya dengan wajah berseri-seri. Wajahnya berubah dan menjadi
merah ketika dia memasuki pondok. Dia melihat Kong Bu sudah berbaring di atas
dipan sambil memandang kepadanya dengan tersenyum.
"Kau
sudah pulang...?" Kun Hong bertanya untuk menyembunyikan kegugupannya.
Kong Bu
tersenyum lebar, "Sudah semenjak tadi aku menantimu. Ke manakah kau pergi,
Saudara Kun Hong?"
"Aku...
aku pergi buang air ke anak sungai di sana..."
"Ohh,
begitukah?"
Kun Hong tak
mau banyak bicara lagi dan segera merebahkan diri di atas dipan yang lain, lalu
pura-pura tidur. Padahal sampai jauh tengah malam ia tidak dapat tidur. Wajah
yang cantik itu terbayang-bayang terus di depan matanya. Lewat tengah malam
barulah dapat tidur.
Pagi-pagi
sekali Kun Hong telah terbangun akibat mendengar suara orang di luar pondok.
Ketika ia bangkit duduk, ia tidak melihat lagi Kong Bu, maka ia segera memburu
keluar. Tersipu-sipu pemuda ini ketika melihat Cui Bi sudah berada di luar
dengan pakaian pria. Ia tidak jadi keluar dan berhenti di belakang daun pintu.
Ia mendengar Cui Bi berkata,
"Kalau
kau tidak melayaninya dan mengalahkannya, dia akan selalu memandang rendah
kepadamu, Bu-ko."
"Aihh,
kau ini ada-ada saja. Bagaimana kalau terlihat oleh seorang tamu?"
"Tidak
mungkin," jawab Cui Bi, "aku yang akan membawa kalian ke tempat
rahasia. Kau ikutlah."
Kong Bu
mengomel tidak jelas dan agaknya ragu-ragu, akan tetapi mereka lalu berjalan
meninggalkan pondok. Kun Hong tertarik sekali, lalu diam-diam ia mengintai dan
setelah dua orang itu pergi jauh, ia cepat menyelinap keluar dan mengikuti dari
belakang. Udara amat dingin dan keadaan masih agak gelap, memudahkan ia
mengikuti mereka itu. Dua orang itu berhenti sebentar di depan pondok ke dua di
mana Li Eng dan Hui Cu telah menunggu. Empat orang muda itu lalu berjalan cepat
ke arah utara, menjauhi kelompok pondok para tamu.
Kun Hong
makin terheran-heran dan diam-diam ia terus mengikuti mereka. Ia melihat Cui Bi
memimpin perjalanan, memasuki hutan. Heran betul ia melihat cara gadis itu
membawa teman-temannya pergi. Pertama-tama masuk hutan, baru lewat seratus meter
membelok ke kanan dan... keluar lagi dari hutan, lalu masuk lagi dan keluar
lagi dari sebelah kiri. Kun Hong amat cerdik. Ia tadi sudah amat curiga ketika
Cui Bi bicara tentang tempat rahasia, maka diam-diam ia menaruh perhatian dan
selalu mengikuti jejak mereka. Karena perhatiannya itu maka ia mendapat
kenyataan bahwa gadis itu selalu berbelok sesudah mereka melewati sembilan buah
pohon besar.
Setelah
keluar masuk hutan sembilan kali, sampailah mereka di tempat terbuka, sebuah
padang rumput yang luas. Cui Bi dan teman-temannya berhenti. Kun Hong juga
berhenti tak jauh dari situ dan bersembunyi dalam segerombol pohon kembang. Ia
berjongkok dan mengintai. Ia melihat Cui Bi membuat guratan di atas tanah,
guratan yang merupakan garis kurung selebar sepuluh meter. Hebat gadis ini.
Dengan jari telunjuk ia menggurat dan rumput di atas tanah seperti dicabuti,
tampak nyata garis lingkaran itu seperti dipacul saja!
"Nah,
kalian sudah berjanji kalau bertemu kembali akan mengadu kepandaian. Keduanya
penasaran dan hal ini harus dilakukan untuk menentukan siapa di antara kalian
yang lebih pandai. Aku tidak suka melihat kalian saling mendendam dan
penasaran. Sekarang kalian bertandinglah, lapangan luas tidak ada yang
mengganggu. Siapa yang pedangnya jatuh terlempar atau badannya terdesak dari
lingkaran ini dianggap kalah. Setuju?"
Tanpa
menjawab Li Eng mengangguk dan mencabut pedangnya, dilintangkan di depan dada
dan memandang tajam kepada Kong Bu. Pemuda ini mula-mula nampak ragu-ragu, lalu
dengan sikap ‘apa boleh buat’ dari menggeleng-geleng kepala serta menarik napas
panjang, mencabut keluar pula pedangnya dan memasang kuda-kuda.
Kun Hong
terheran-heran dan mendongkol. Kenapa Cui Bi seolah-olah hendak mengadu
keponakannya itu dengan Kong Bu?
Semua ini
adalah gara-gara Cui Bi. Di dalam pondok, gadis ini menggoda Li Eng yang
dikatakannya menyukai Kong Bu. Li Eng menyangkal, malah menyatakan bahwa ia
akan menantang pemuda itu yang dijawab oleh Cui Bi dengan memanaskan hati.
Katanya Li Eng tak akan menang. Demikianlah, dengan perantaraan Cui Bi lalu
diajukan tantangan pertandingan ini.
Kun Hong
tidak tahu akan kecerdikan Cui Bi yang bermata tajam itu. Gadis ini sudah dapat
menduga bahwa kakak tirinya dan Li Eng ini saling mencinta, akan tetapi
keduanya berkeras kepala menyangkal. Maka jalan satu-satunya untuk ‘saling
menemukan’ mereka hanyalah memancing mereka bertanding!
Kedua orang
muda itu sudah mulai menggerakkan pedang masing-masing dan terjadilah
pertandingan pedang yang bukan main hebat dan serunya. Bayangan keduanya lenyap
ditelan sinar pedang masing-masing dan sebentar kemudian terdengarlah angin
bersuitan diseling suara nyaring kalau pedang itu bertemu mengeluarkan suara
berdenting disusul muncratnya bunga api.
Tadinya Kun
Hong hendak melompat keluar untuk mencegah, akan tetapi maksud hatinya ini ia
batalkan. Ia melihat sesuatu yang aneh dalam pertandingan itu. Ia memasang mata
dan memperhatikan.
Tidak salah
lagi! Dua orang muda yang tampaknya bertempur mati-matian itu sebetulnya saling
mengalah dan tidak rnenyerang dengan sungguh-sungguh! Li Eng menang cepat,
kalau ia mau mempergunakan kecepatannya, kiranya ia akan dapat melakukan
serangan maut yang akan membahayakan keselamatan Kong Bu. Sebaliknya, dengan
ilmu pedang yang ganas, yaitu Yang-sin Kiam-sut, pemuda ini sebetulnya menang
setingkat.
Dengan geli
hatinya Kun Hong melihat betapa setiap kali Kong Bu melancarkan serangan ganas
dan ujung pedangnya sudah mengancam lawan, akan tetapi tiba-tiba pedangnya itu
menyeleweng ke samping, tidak melanjutkan serangan. Kalau hanya terjadi sekali
dua kali saja hal ini kiranya tidak akan kentara, akan tetapi karena terlalu
sering, jelas bahwa hal itu ia sengaja karena ia tidak mau melukai lawannya!
Demikian
pula di pihak Li Eng. Kecepatan pedangnya pada saat ditangkis lawan, demikian
hebat sehingga kalau ia mau, menurut penglihatan Kun Hong yang tajam, pedang
itu bisa dilanjutkan untuk terus menusuk lawan, namun kerap kali Li Eng hanya
menarik pedang yang tertangkis, sama sekali tidak mau mencelakai lawan.
Dua ratus jurus
telah lewat dan agaknya sikap mengalah itu diketahui juga oleh keduanya,
buktinya muka mereka menjadi merah akan tetapi sinar mata mereka berseri.
Ketika Kun Hong melirik ke arah Cui Bi, gadis ini pun tertawa-tawa, hanya Hui
Cu yang tidak setinggi itu tingkatnya, memandang penuh kekuatiran dan tentu
saja berdoa untuk kemenangan Li Eng!
Kong Bu
mulai mundur teratur dan Li Eng dengan girang mendesaknya. Memang maksud
keduanya sama sekali tidak mau melukai lawan yang mereka ‘benci’, melainkan
hendak mencari kemenangan dengan mendesak lawan mundur dari lingkaran atau
memukul jatuh pedangnya.
Terdesaknya
Kong Bu ini bukanlah pura-pura lagi, karena memang saking terus-menerus
mengalah dan memang kalah dalam kegesitan, akhirnya Kong Bu yang terdesak. Hui
Cu berseri mukanya akan tetapi Cui Bi mengerutkan kening.
Ia maklum
bahwa kakak tirinya sebetulnya tidak kalah, kalau sampai keluar dari lingkaran,
bukankah akan memalukan dia juga? Ia mengepal tangan menggigit bibir dan pada
saat itu Kong Bu sudah tinggal selangkah lagi keluar dari lingkaran.
Li Eng
gembira, mendesak dengan tusukan digetarkan yang mengancam leher terus ke pusar
lawan. Kali ini mau tidak mau Kong Bu harus melompat keluar lingkaran!
"Tranggg!"
Kong Bu
benar-benar keluar lingkaran, akan tetapi pedangnya secepat kilat menangkis
dari atas ke bawah sambil mengerahkan tenaga sehingga pedang itu terlepas dari
cekalan tangan Li Eng.
Kong Bu
cepat mengambil pedang dan mengembalikan kepada Li Eng sambil berkata,
"Aku menyerah kalah, aku keluar dari lingkaran. Hebat benar ilmu pedangmu,
Nona."
Merah wajah
Li Eng namun wajahnya berseri. Ia menerima pedang dan menjura berkata,
"Bukan, akulah yang kalah. Pedangku terpukul jatuh."
Cui Bi
bertepuk-tepuk tangan sambil menari-nari. "Hi-hi-hi, bagus... bagus!
Kalian sudah saling mengalah, hi-hi-hi, bagus! Lenyaplah benci, muncullah
perasaan suci!"
"Idihhh...
kau... ceriwis...!"
Li Eng
melompat dan mencubit bibir Cui Bi, namun sekali mengelak serangan ini luput.
Li Eng lalu lari meninggalkan tempat itu.
"Eng-moi,
tunggu...!" Hui Cu yang kuatir kalau-kalau adiknya itu marah-marah lalu
segera mengejar.
"Heiii,
kalian jangan pergi, nanti tersesat jalan. Tidak mudah jalan pulang!" Cui
Bi berseru.
Akan tetapi
dua orang gadis Hoa-san-pai itu tidak mempedulikan seruannya dan terus berlari,
Li Eng lebih dulu, dikejar Hui Cu.
"Biarlah,
anak-anak nakal itu tidak kapok kalau belum kebingungan dan tersesat di sini.
Hemmm, biar mereka melihat kelihaian jalan rahasia Thai-san-pai!" kata Cui
Bi. "Jangan kuatir," katanya kepada Kong Bu, "nanti mereka akan
kucari."
Setelah
berkata demikian, Cui Bi menghampiri Kong Bu, menggandeng tangan pemuda itu
diajak duduk dl bawah pohon yang besar, agak jauh dari tempat sembunyi Kun
Hong. Pemuda ini kini hanya dapat memandang dari jauh akan tetapi tidak dapat
mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dia hanya melihat mereka
bercakap-cakap, kadang-kadang Cui Bi tertawa, kadang-kadang menggelengkan
kepala dan kelihatan berduka.
Apakah yang
dipercakapkan oleh dua orang muda itu?
"Hi-hi-hik
Bu-koko, sekarang apakah kau mau menyangkal lagi? Jelas kau mengalah dan tidak
tega melukai Enci Li Eng, itu hanya berarti bahwa kau sama sekali tidak
membenci dia, sebaliknya kau... mencintanya. Nah, coba kalau berani menyangkal
sekarang!" kata Cui Bi sambil tertawa-tawa menggoda.
Kong Bu
menarik napas panjang. "Sudahlah, aku mengaku. Memang dia itu amat menarik
hatiku, aku... aku kagum kepadanya."
"Katakanlah
cinta, masa hanya kagum?" desak Cui Bi.
"Kau
anak nakal! Ya, baiklah, aku cinta kepadanya. Akan tetapi, jangan kau kira aku
tidak tahu bahwa kau pun mencinta... kutu buku itu! Hayo, coba kalau kau berani
menyangkal setelah pertemuan kalian malam tadi."
Berubah
merah wajah Cui Bi ketika dengan mata terbelalak dia memandang kakak tirinya.
"Heee...?! Jadi bayangan itu... kaukah itu?"
Tiba-tiba
saja Cui Bi menutupi muka dengan kedua tangan dan terdengar dia menangis
terisak-isak.
Kong Bu
kaget dan memegang tangan adik tirinya itu, "Eh, Bi-moi, kenapa kau
menangis? Maafkan, aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu, maafkan godaanku
tadi."
Sambil
menangis tersedu-sedu Cui Bi menggeleng-gelengkan kepala, "Tidak... kau
tidak menggodaku... Bu-ko, memang aku... aku cinta kepadanya... tetapi, ahhh,
bagaimana tak akan hancur hatiku karena aku dipaksa berjodoh dengan orang
lain...?"
Saking sedih
dan hancur hatinya Cui Bi menjatuhkan diri, menubruk Kong Bu kemudian menangis
di atas dada kakak tirinya itu. Ayah dan ibunya hendak memaksa dia berjodoh
dengan lain orang, dan sekarang hanya ada kakak tirinya ini yang menjadi
satu-satunya orang yang kiranya dapat ia sambati, dapat ia mintai tolong.
"Tenanglah,
Moi-moi, tenanglah... nanti di depan Ayah, aku pasti akan bilang
untukmu..." Kong Bu dengan terharu mengusap-usap rambut kepala adiknya dan
membiarkan gadis itu menangis dan menyembunyikan muka di atas dadanya.
Di tempat
persembunyiannya, Kun Hong yang hanya dapat melihat adegan ini dari jauh tanpa
dapat mendengar pembicaraan mereka, seketika menjadi pucat. Seluruh tubuhnya
gemetar, kepalanya terasa berputar dan matanya berkunang-kunang. Hampir ia tak
dapat mempercayai adegan yang dilihatnya.
Dua orang
itu berpeluk-pelukan. Ahh, jahat benar cucu Song-bun-kwi, sejahat kakeknya. Dan
keji benar Cui Bi, setelah malam tadi demikian mesra sikapnya. Hemm, gadis keji
ini hendak mempermainkannya rupanya. Hati Kun Hong sakit sekali. Belum pernah
selama hidupnya ia merasa sakit hati seperti ini. Kedua matanya yang berapi-api
meneteskan dua butir air mata.
Kong Bu, kau
keparat...! Sudah jelas bahwa kau berusaha menarik hati Li Eng, terang dalam
pertandingan tadi kalian saling mengalah. Bahkan Cui Bi mengucapkan kata-kata
menyindir tentang perasaan Kong Bu dan Li Eng. Tapi sekarang... ahh, kalian dua
orang berhati binatang. Tak bermalu!
Hampir Kun
Hong tak kuat menahan hatinya, hampir ia melompat dan menerjang mereka dengan
kata-kata pedas. Akan tetapi dia menahan hatinya ketika melihat dua orang itu
bangkit berdiri, berjalan bergandengan tangan sampai dekat tempat ia
bersembunyi.
"Bu-ko,
biar sekarang kususul Enci Li Eng dan Enci Hui Cu. Akan kubawa kalian semua
menghadap Ayah."
Kong Bu
hanya mengangguk. Cui Bi lalu lari dari tempat itu, tubuhnya lenyap di antara
pohon-pohon. Kun Hong yang sudah tak dapat menahan hatinya lagi, melompat keluar.
Kong Bu
memandang kaget, "Ehh, Saudara Kun Hong, kau di sini?"
Kekagetan
Kong Bu bukan hanya disebabkan munculnya Kun Hong yang tidak disangka-sangkanya
itu, akan tetapi terutama sekali karena melihat pemuda ‘kutu buku’ ini beringas
mukanya, matanya berapi-api dan tangannya memegang sebatang pedang yang
sinarnya kemerahan.
Pemuda yang
biasanya sopan santun dan lemah lembut ini kelihatannya bengis sekali. Wajahnya
tersinar cahaya matahari pagi yang kini mulai menerobos dari celah-celah daun
pohon.
"Kong
Bu, cabut pedangmu!" tiba-tiba saja Kun Hong berkata, suaranya menggeledek
tak seperti biasanya.
Kong Bu
makin kaget dan heran.
"Ehh,
apa maksudmu, Saudara Kun Hong?" tanyanya bingung.
"Jangan
kau berpura-pura lagi. Aku sudah melihat semua perbuatanmu yang tak senonoh
dengan... Nona Tan Cui Bi. Kau... kau manusia rendah! Kau memikat hati Li Eng
dengan kepandaianmu, kau memperlihatkan sikap mengalah di dalam pertandingan
sehingga dia jatuh dan mengira bahwa kau cinta kepadanya. Kiranya kau hanya mempermainkannya,
diam-diam kau main gila dengan Nona Cui Bi! Hemmm, Kong Bu, aku seorang
penyabar, akan tetapi kali ini kita harus mengadu nyawa! Bersiaplah!"
Melihat
semua ini, melihat sikap menantang dari Kun Hong, melihat pula cara Kun Hong
memegang pedang seperti orang memegang pisau dapur, mendadak Kong Bu tak dapat
menahan gelak tawanya yang bergema di sekitar tempat itu.
"Keparat,
tak usah mentertawakan! Kalau kau memang jantan, cabut pedangmu!" Makin
panas hati Kun Hong, "Tak dapat aku membiarkan kau merusak hati Li
Eng!"
"Ha-ha-ha,
Saudara Kun Hong. Hebat benar kau! Aku kagum melihat keberanianmu. Akan tetapi
kenapa kalau aku merusak hati Nona Li Eng? Katakanlah saja aku merusak hatimu,
kau anggap aku merampas Cui Bi darimu! Ha-ha-ha, apa kau kira aku tidak tahu
akan pertemuanmu dengan Cui Bi malam tadi? Kau mencinta Cui Bi dan kini kau
cemburu kepadaku."
Wajah Kun
Hong menjadi merah sekali. "Hemm, apa lagi kalau sudah tahu akan hal itu,
berarti makin jahatnya hatimu dan rendahnya Bi-moi."
"Tak
boleh kau memaki Cui Bi!"
"Aku
tidak memaki, kenyataan yang amat rendah membuktikan."
"Ehh,
Kun Hong, kau makin menghina. Kau kira aku takut padamu?" Kong Bu mencabut
pula pedangnya. "Mari, mari... kalau kau ingin main-main denganku,
boleh!"
"Majulah,
tak usah banyak cakap!" Kun Hong menantang.
Melihat
betapa pemuda Hoa-san-pai itu memegang pedang dengan ujung pedang terseret di
atas tanah, Kong Bu makin geli dan ia menggertak, "Awas pedang!"
Cepat
seperti kilat menyambar pedangnya menusuk ke arah dada Kun Hong. Akan tetapi
secepat itu pula dia menarik kembali pedangnya ketika melihat betapa Kun Hong
sama sekali tidak melakukan gerakan untuk menangkis mau pun mengelak.
"Ehh,
benar-benarkah kau hendak mengadu pedang denganku?"
"Siapa
mau main-main denganmu?" jawab Kun Hong.
"Kenapa
kau tidak menangkis atau mengelak?"
"Hemmm,
pedangmu belum menyentuh bajuku, kau sudah ribut-ribut? Hayo seranglah, kalau
kau memang laki-laki!"
Kong Bu
kembali menggerakkan pedangnya, kali ini membacok ke arah leher lawannya itu.
Ketika pedangnya tinggal beberapa sentimeter lagi dari leher Kun Hong dan kali
ini juga Kun Hong tidak menangkis mau pun mengelak, Kong Bu terkejut sekali dan
cepat merubah arah pedang sehingga membabat atas kepala Kun Hong.
Kun Hong
tersenyum. Tentu saja dia sudah siap sedia dan dia dapat mengikuti gerakan
pedang itu dengan baik sekali sehingga dia tidak perlu menangkis atau mengelak
sebelum benar-benar dia terancam.
"Mengapa
tidak jadi menyerang? Apakah kau takut?" ejeknya.
Kong Bu
benar-benar kagum sekali. Belum pernah ia menemui seorang yang begini besar
keberaniannya, menanti datangnya pedang dengan mata tidak berkedip sedikit pun.
"Hebat!
Kau benar-benar gagah berani, Saudara Kun Hong. Biarlah tak perlu lebih lama
lagi aku menggodamu."
Kong Bu
menyimpan pedangnya. "Ketahuilah, kau yang gagah dan cerdik ini, kali ini
kau seakan-akan buta karena cinta kasih mengeruhkan hati dan pikiranmu sehingga
kau tidak melihat kenyataan bahwa apa yang kau lihat antara aku dan Cui Bi itu
bukanlah hal yang perlu kau ributkan. Ketahuilah, dia dan aku adalah saudara
tiri, kami sama-sama anak Ayah Tan Beng San, dia lahir dari Ibu Cia Li Cu dan
aku dari Ibu Kwee Bi Goat. Kau tahu apa yang kami bicarakan tadi? Dia menangis
karena cintanya kepadamu!"
Lemas seluruh
sendi tulang di tubuh Kun Hong. Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya dan memegang
lengan Kong Bu yang kuat, "Ahh, Saudaraku, aku benar-benar buta! Aku layak
kau maki, layak kau pukul. Hemmm, orang macam aku ini mana ada harga untuk
mencintanya?"
Kong Bu
tertawa gembira. "Sudahlah, Saudara Kun Hong, tak perlu kau merendahkan
diri. Salah mengerti ini sudah dapat dilenyapkan, itu bagus sekali. Tentang
adikku Cui Bi, tak usah kau kuatir, dia benar-benar mencintamu. Hanya aku masih
sangsi apakah cintamu kepadanya betul-betul sebesar perasaannya
terhadapmu."
"Saudara
Kong Bu," kata Kun Hong bernafsu. "Biarlah bumi dan langit menjadi
saksi, dan dengarlah sumpahku bahwa aku mencinta Bi-moi sepenuh jiwaku dan aku
rela berkorban nyawa untuknya!"
"Bagus!
Aku menjadi saksi!"
"Jangan
mau menang sendiri, Saudara Kong Bu. Sikapmu terhadap keponakanku Li Eng juga
tidak berterus terang. Dahulu kau mengalah dan membiarkan dirimu ditawan, lalu
tadi kau sengaja berlaku mengalah dalam pertandingan. Apa artinya? Seorang laki-laki
sejati tidak akan ragu-ragu untuk menyatakan perasaannya secara jujur."
Merah muka
Kong Bu, akan tetapi sambil tersenyum ia mengangkat dada berkata, "Kau
telah memberi contoh. Aku pun bersumpah bahwa aku betul-betul mencinta Nona Kui
Li Eng dengan sepenuh jiwaku."
Tiba-tiba
terdengar orang bertepuk tangan dan tertawa, "Bagus, bagus... sudah
kudengar sumpah dua orang. Awas, aku menjadi saksi utama!"
Muncullah
Hui Cu dari balik sebatang pohon. Gadis ini dengan wajah berseri-seri berkata
sambil menoleh ke belakang. "Adik Eng, Adik Cui Bi, keluarlah, kenapa
malu-malu kucing bersembunyi saja?"
Dengan muka
merah dan ditundukkan, dua orang gadis itu membiarkan mereka tertarik keluar
oleh Hui Cu. Kun Hong dan Kong Bu sangat terkejut dan tentu saja menjadi malu
sekali, wajah mereka merah sampai ke telinga.
Kiranya
tempat rahasia itu hebat sekali sehingga di tempat ini ada tiga orang gadis
muncul tanpa mereka ketahui sama sekali! Tentu mereka bertiga tadi telah
melihat dan sekaligus mendengar segala-galanya.
Terdengar Li
Eng berkata malu-malu kepada Cui Bi sambil merangkul gadis berpakaian pria itu,
"Adik Bi, maafkanlah aku..."
Apakah yang
terjadi? Seperti telah kita ketahui, Cui Bi pergi menyusul Hui Cu dan Li Eng.
Karena jalan rahasia itu memang sulit sekali, akhirnya Li Eng tersesat, malah
Hui Cu yang mengejarnya juga tersasar sehingga dua orang gadis ini terpisah,
makin lama makin jauh. Cui Bi yang mengenal jalan rahasia itu mengejar Li Eng
dan... tanpa disadari oleh Li Eng sendiri, sebetulnya Li Eng telah mengambil
jalan memutar kembali ke tempat semula.
Karena
inilah maka tadi ia sempat menyaksikan, seperti juga Kun Hong, adegan mesra
antara Cui Bi dan Kong Bu. Begitu melihat Cui Bi hendak mencarinya, Li Eng
sengaja menunggu dan segera memaki setelah melihat Cui Bi muncul di depannya,
"Bagus,
kau perempuan tak tahu malu! Kau mendorong-dorongku kepada Kong Bu, kau sendiri
menyatakan cintamu kepada Paman Hong, akan tetapi apa yang kau lakukan tadi?
Benar-benar tak tahu malu!"
Tentu saja
Cui Bi kaget sekali. Akan tetapi dia segera dapat menduga apa yang menjadi
sebabnya, maka ia tersenyum manis.
"Enci
Li Eng, kemarahanmu ini malah menggirangkan hatiku, tanda bahwa rasa cemburu di
hatimu ini membuktikan betapa besar cinta kasihmu kepada kakak tiriku Kong
Bu."
"Kakak
tiri? Apa maksudmu?"
"Dia
putera Ayah, dari Ibu Kwee Bi Goat, tentu saja dia kakak tiriku. Nah, apa kau
masih cemburu?"
Bukan main
menyesal dan malunya hati Li Eng maka ia hanya bengong saja dan tidak membantah
ketika Cui Bi menarik tangannya untuk menyusul Hui Cu. Setelah bertemu, mereka
bertiga kembali ke tempat tadi melalui jalan rahasia yang sangat dekat sehingga
mereka sempat menyaksikan keributan antara Kun Hong dan Kong Bu, bahkan sempat
pula mendengar sumpah cinta kasih mereka. Kini tibalah giliran Hui Cu untuk
menggoda mereka dan menyatakan kegembiraannya.
Pada
pertemuan yang serba menggembirakan ini, Kun Hong agak gelisah melihat betapa
wajah kekasihnya itu muram seperti matahari tertutup awan. Akan tetapi tentu
saja ia tidak berani untuk bertanya.
Di lain
pihak, Cui Bi yang masih amat sungkan dan likat, segera berkata, "Sekarang
tiba waktunya kita naik ke puncak menghadap Ayah. Hati-hati, jalan rahasia ini
amat sulit, dan aku kuatir kalau-kalau perjalanan kita ini ada yang mengikuti.
Kong Bu-koko, aku menjadi penunjuk jalan di depan dan biarlah kau jalan paling
belakang sambil meneliti kalau-kalau ada musuh yang mengikuti perjalanan kita
ke puncak."
"Adik
Bi, apakah kau melihat sesuatu yang mencurigakan?" Kong Bu bertanya.
"Agaknya
selama ini ada orang yang memata-matai kita. Malam itu..." Cui Bi melirik
ke arah Kun Hong yang juga teringat akan bayangan semalam.
"Apakah
itu bayanganmu Bu-koko?"
Kong Bu
menggeleng kepala, wajahnya serius. "Aku hanya melihat dari jauh dari
belakang pondok, mana bisa kau melihat bayanganku?"
"Hemm,
agaknya orang lain. Mari, jangan membuang waktu," berkata Cui Bi yang
segera memimpin perjalanan itu dengan hati-hati dan perlahan.
Jalan
rahasia itu memang amat sukar. Kalau bukan orang Thai-san-pai, takkan mungkin
dapat mencarinya. Jalan yang luas dihindari, akan tetapi gerombolan pohon yang
sangat lebat malah dimasuki, semua ini memakai perhitungan, dan sebagai
tanda-tanda hanyalah pohon-pohon yang tumbuh malang melintang tidak teratur di
sekitar puncak.
Cui Bi
membawa mereka menyusupi celah antara dua batang pohon yang berdampingan
sehingga mereka hanya dapat bergerak maju dengan tubuh miring, melewati
tetumbuhan penuh duri dan akhirnya mereka terhalang oleh sebuah rawa yang
lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter.
Di atas rawa
ini dipasangi jembatan bambu melintang, terdiri dari dua batang bambu yang
disambung-sambung tanpa pegangan. Jembatan itu sempit dan kalau dilalui orang
tentu memerlukan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Pendeknya, orang biasa
takkan mampu melewati jembatan yang cukup panjang ini.
Akan tetapi,
para muda itu terheran-heran melihat Cui Bi tidak mengajak menyeberangi rawa
melalui jembatan itu, melainkan langsung turun ke dalam rawa!
"Ehh,
ada jembatan mengapa menyeberang rawa yang airnya begitu kotor, dan siapa tahu
kalau membuat kita tenggelam?" teriak Li Eng yang berjalan di belakang Cui
Bi.
Cui Bi
berhenti, menoleh dan tertawa. "Di antara seratus orang, tentu tak ada
seorang pun yang tidak mengira bahwa perjalanan selanjutnya tentu melalui jembatan
yang sukar ini. Akan tetapi ini hanya perangkap bagi musuh yang mencoba-coba
memasuki jalan rahasia ini. Siapa yang menyeberang melalui bambu ini, akan
tersesat jauh dan akan menghadapi bahaya yang hebat di sebelah sana. Sekarang
ikutilah saja bekas jejak kakiku dan jangan sampai terpeleset!"
Dengan
perlahan supaya dapat diikuti dengan seksama oleh kawan-kawannya, Cui Bi lalu
melangkahkan kaki ke dalam rawa dan... kiranya di dekat permukaan air rawa yang
hitam itu dipasangi patok-patok tertentu yang cukup lebar sebagai injakan kaki.
Patok-patok ini dipasang sedemikian rupa sehingga hanya mereka yang telah hafal
saja yang akan dapat mencarinya.
Cui Bi
melangkah, ke kanan sembilan langkah, memutar ke kiri sembilan langkah, lurus
sembilan langkah lalu membelok lagi ke kanan dan kemudian melalui bawah
jembatan bambu itu, sama sekali tidak menyeberang, tapi menyusur sepanjang rawa
itu memanjang ke kiri. Dilihat dari jauh, lima orang muda itu seakan-akan
berjalan di atas air rawa! Sama sekali bukan seberang di mana jembatan itu
berakhir yang dituju oleh Cui Bi, melainkan membelok dan lenyap di tikungan
yang penuh dengan tetumbuhan liar.
Setelah
melangkah sebanyak sembilan puluh sembilan langkah, mereka tiba di seberang
sana dan meloncat ke daratan yang indah, penuh kembang dan rumput hijau.
"Kita
berhenti di sini, di sebelah sana ada terowongan yang menuju ke puncak. Biarlah
aku sendiri yang akan naik melapor kepada Ayah. Biasanya Ayah kalau hendak
menemui para murid tentu keluar dari terowongan itu. Tak sembarang orang
diperbolehkan melalui terowongan. Nah, kalian tunggu sebentar, aku segera
kembali bersama Ayah."
Lin Eng, Hui
Cu, Kun Hong dan Kong Bu terpaksa menanti di situ sungguh pun Kong Bu dan Li
Eng yang keras hati itu tidak sabar dan tidak puas mengapa diadakan peraturan
seperti ini. Mereka tentu saja tidak tahu betapa dulu Beng San mempunyai banyak
sekali musuh-musuh yang sangat lihai, yang selalu berusaha menyerbu tempat
tinggalnya untuk membalas dendam. Untuk menjaga keselamatan keluarganya, terpaksa
pendekar ini lalu membuat tempat yang penuh rahasia ini.
Baru saja
Cui Bi lenyap di sebuah tikungan, tiba-tiba Kun Hong yang kebetulan menengok ke
belakang berseru, "Ada orang datang!"
Semua orang
segera menengok dan cepat meloncat berdiri dari tempat duduk mereka di atas
tanah. Benar saja, sesosok bayangan dengan gerakan yang gesit dan ringan sekali
berloncatan dari patok ke patok, persis seperti yang mereka lakukan dengan
hati-hati dan perlahan tadi.
"Wah,
ia tentu mengikuti kita sejak tadi dan diam-diam memperhatikan jalan rahasia
untuk menyeberangi rawa!" Kata Li Eng sambil siap untuk menghadapi lawan.
Empat orang
muda ini maklum bahwa yang datang adalah seorang yang mempunyai ilmu
meringankan tubuh hebat sekali. Kong Bu melompat ke dekat rawa.
"Dia
lihai, biarlah aku menghadapinya!" dengan kata-kata demikian dia hendak
mencegah kekasihnya itu berhadapan dengan lawan yang demikian lihainya.
Orang yang
berloncatan itu tiba-tiba berhenti, agaknya menjadi ragu-ragu melihat bahwa
orang-orang yang diikutinya itu ternyata berhenti dan telah melihatnya. Tetapi
agaknya ia sudah merasa kepalang dan kini malah meloncat-loncat lagi dengan
cekatan dan lebih cepat dari tadi.
Kedua
lengannya berkembang ke kanan kiri, pakaian di tubuhnya berkibar, dipandang
dari jauh seperti seekor burung besar. Kun Hong hampir berseru kaget karena dia
mengenal bahwa langkah-langkah dan gerakan itu mirip betul dengan langkah ajaib
Kim-tiauw-kun.
"Dia
bukan musuh...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru. “Dia... dia Saudara
Tiauw...!"
Memang benar
dugaan gadis ini yang tak pernah dapat melupakan pemuda penolongnya itu
sehingga dari jauh saja dia sudah mengenalnya. Bayangan yang datang berlompatan
seperti terbang itu bukan lain adalah Sin Lee!
Akan tetapi
seruan Hui Cu tidak berpengaruh bagi Kong Bu yang tidak mengenal pemuda itu.
Dia membiarkan Sin Lee melakukan loncatan terakhir hingga berada di darat, lalu
dia memapaki dan berkata, suaranya ketus,
"Siapa
kau dan apa maksudmu mengikuti kami?"
Sin Lee
adalah seorang pemuda yang berwatak kasar, juga jujur dan tidak pernah merasa
takut terhadap siapa pun juga. Ia dapat merasakan ketusnya suara pemuda tampan
yang menyambutnya, maka ia menjawab sama ketusnya, "Tidak ada sangkut
pautnya dengan dirimu sobat, perlu apa kau banyak bertanya?"
Lalu ia
menoleh ke arah Hui Cu, mengangkat tangan memberi hormat pula kepada Kun Hong
sambil berkata, "Maafkan aku, sengaja aku menyusul ke sini sebab aku ingin
sekali bertemu dengan Ketua Thai-san-pai."
Di sini
sudah tidak ada Cui Bi dan tiga orang muda Hoa-san-pai itu termasuk tamu, tentu
saja mereka tidak berhak melarang orang lain yang juga hendak bertemu dengan
Ketua Thai-san-pai. Apa lagi Kun Hong dan dua orang keponakannya itu seperti
orang kesima melihat betapa dua orang muda yang sama gagah sama tampan itu
benar-benar mirip satu dengan yang lain!
Tetapi, Kong
Bu yang merasa bahwa sebagai putera Ketua Thai-san-pai ia pun berhak melindungi
kehormatan Thai-san-pai, segera membentak,
"Kau
datang memata-matai kami. Kau mengikuti kami dengan diam-diam, perbuatanmu ini
saja sudah cukup menyakinkan bahwa kau tentulah seorang jahat! Hayo mengaku kau
siapa dan apa maksud kedatanganmu?"
"Saudara
Kong Bu, dia bukan orang jahat!" serta merta Hui Cu membela, nada suaranya
mengandung kemarahan. "Dialah yang menolong aku ketika kakekmu
menculikku!"
Karena panas
mendengar penolongnya dimaki, Hui Cu tak dapat mengendalikan hatinya dan
sengaja ia mencela kakek Kong Bu. Hal ini tentu saja membuat Kong Bu makin tak
senang kepada pendatang ini.
Hemmm,
kiranya inilah orangnya yang oleh kakeknya dianggap lihai dan yang ternyata
berhasil merampas Hui Cu dari tangan kakeknya. Ia memandang tajam, sinar
matanya berapi-api.
Ada pun Sin
Lee ketika mendengar pembelaan Hui Cu, diam-diam merasa puas sekali, kemudian
dia bertanya, suaranya mengandung ejekan, "Sobat, kau bersikap seolah-olah
kau raja tempat ini. Apa hubunganmu dengan Ketua Thai-san-pai dan betulkah
kata-kata Nona Hui Cu bahwa kau cucu iblis tua Song-bun-kwi?"
Segera Kong
Bu memandang dengan mata melotot, "Keparat, tutup mulutmu yang kotor!
Song-bun-kwi memang kakekku dan Ketua Thai-san-pai ayahku, kau mau apa?"
"Bagus!
Kiranya kau si keparat, keturunan para pembunuh ayahku! Hemm, setelah kita
bertemu di tempat ini, jangan harap kau mampu lepas dari tanganku!" Sin
Lee mencabut pedangnya dan memandang penuh kebencian.
"Ho-ho-ho,
manusia sombong, bukan aku yang akan roboh, melainkan kau yang akan menggeletak
tak bernyawa di depan kakiku! Hayo, jika kau memang jantan katakan siapa namamu
dan mengenai kematian ayahmu. Memang entah sudah berapa ratus manusia jahat
yang tewas di tangan Ayah dan kakekku, agaknya termasuk ayahmu itulah!"
Kong Bu mengejek dan mencabut pula pedangnya.
Sin Lee
menggerakkan pedangnya, lalu menerjang sambil berkata, "Ibuku Kwa Hong dan
ayahku terbunuh oleh kakekmu. Mampuslah kau!"
Terjangan
ini hebat sekali, seperti seekor burung menyerbu. Akan tetapi Kong Bu sudah
waspada. Pemuda ini sudah mengerti bahwa kini ia menghadapi lawan yang tidak
boleh dipandang ringan. Cepat ia mengeluarkan suara melengking dan pedangnya
menangkis, tubuhnya menggeliat dan tiba-tiba ia sudah balas menyerang tidak kalah
cepatnya. Akan tetapi, serangan yang biasanya sukar dihindarkan oleh lawan ini
ternyata dengan mudah dielakkan oleh Sin Lee yang menggeser kakinya secara
aneh.
Segera dua
orang muda ini bertanding dengan hebat sekali. Pedang di tangan mereka
bersuitan, mengeluarkan angin yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin.
Mata pedang menyambar-nyambar mencari mangsa dan di antara mereka terdengar
lengking-lengking saling bersahut, suara yang menggetarkan jantung karena suara
ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam.
Melihat
‘kekasihnya’ bertempur, Li Eng sudah mencabut pedangnya pula, siap untuk maju
membantu. Akan tetapi Hui Cu menyentuh lengannya dan ketika Li Eng menengok,
dia terheran melihat bahwa Hui Cu menangis!
"Adik
Eng..., jangan... jangan serang dia... dia itu penolongku..."
Li Eng
bingung sekali. "Tapi... tapi... pertandingan ini begini hebat, salah
seorang tentu akan celaka..." katanya penuh kekuatiran. Tentu saja kuatir
kalau-kalau Kong Bu yang terluka.
Sementara
itu, Kun Hong sangat tertarik, terheran-heran melihat gerakan pedang serta
gerakan kaki yang dimainkan Sin Lee. Itulah Kim-tiauw-kun, pikirnya.
Kim-tiauw-kun yang tidak sempurna dan tidak lengkap namun dilengkapi dengan
ilmu silat lain yang aneh.
Melihat cara
dua orang pemuda itu bertanding, Kun Hong segera maklum bahwa dengan pedangnya
dia sanggup memisahkan mereka, sanggup melerai. Akan tetapi karena dia melihat
bahwa keduanya setingkat dan seimbang kepandaiannya, dia tidak terburu-buru
melerai. Dia ingin melihat lebih lama lagi ilmu silat yang dimainkan oleh Sin
Lee.
"Kalian
tak usah kuatir, mereka takkan celaka, keduanya sama tangguh, kita nonton
saja," katanya.
Li Eng
mengerutkan kening, juga Hui Cu. Entah mengapa, ada sesuatu perasaan yang
membuat mereka saling menjauhi! Memang keduanya terpisah oleh perasaan yang
saling bertentangan, yang seorang memihak Kong Bu yang seorang lagi memihak Sin
Lee. Biar pun mereka berdua merasa sungkan untuk membantu namun diam-diam
mereka sudah mengambil keputusan, terutama Li Eng, bahwa kalau sampai orang
yang dicintai terluka, tentu dia akan menyerbu dan menuntut balas.
Pertandingan
itu benar-benar seru sekali. Ketika di antara permainan pedangnya Sin Lee
kelihatan memutar-mutar tangan kiri, diam-diam Kun Hong menjadi gelisah dan
otomatis dia mengambil beberapa buah batu kecil siap untuk disambitkan ke arah
pergelangan tangan kiri Sin Lee andai kata ia melihat Kong Bu terancam bahaya.
Ia sudah
mengenal kehebatan pukulan tangan kiri dengan tangan diputar-putar ini. Pernah
ia melihat Sin Lee merobohkan Kim-thouw Thian-li dengan pukulan semacam ini
yang mengakibatkan luka dalam yang hebat dan mengandung hawa beracun.
Benar saja,
setelah memutar-mutar tangan kiri beberapa kali, Sin Lee lalu mengeluarkan
seruan dan mendorongkan tangan kirinya itu ke depan. Kun Hong sudah menegang
urat tangannya, akan tetapi dia menjadi lega ketika melihat Kong Bu
mengeluarkan seruan keras sekali, tangan kirinya juga mendorong ke depan dengan
jari tangan terbuka. Dua hawa pukulan yang sama hebatnya bertemu dan...
akibatnya keduanya terjengkang ke belakang!
"Ahh...
kau tidak apa-apa...?" Li Eng memburu Kong Bu.
Sedangkan
Hui Cu memburu Sin Lee, juga bertanya, "Kau tidak apa-apa...?"
Kedua orang
pemuda itu menggeleng kepala, lalu dengan beringas menerjang maju lagi,
bertanding lebih hebat dari pada tadi.
Li Eng dan
Hui Cu sudah mencabut pedang, agaknya sudah gatal-gatal tangan mereka hendak
membantu kekasih masing-masing. Tapi Kun Hong segera mendatangi mereka, menarik
tangan mereka diajak duduk di bawah pohon, menjauhi pertempuran.
"Kalian
bocah-bocah nakal, untuk apa mesti turut-turut? Yang seorang anak Bibi Bi Goat
dan paman Beng San, yang seorang lagi anak Enci Kwa Hong dan Paman Beng San,
mengapa turut-turut? Kulihat mereka sama pandai, sama kuat, nanti kalau memang
ada yang terdesak, barulah kita maju untuk melerai sebelum ada yang terdesak.
Kalau kita memisah, tentu mereka penasaran dan tidak mau menerima. Biarlah
saja, kita nonton di sini."
Sin Lee yang
selama ini belum pernah menemui tandingan berat kecuali pada waktu dia
bergebrak sejurus saja dengan Kakek Song-bun-kwi, menjadi penasaran sekali. Ia
lantas memekik-mekik dan tubuhnya kadang-kadang meloncat tinggi, kadang-kadang
menerjang dari kanan kiri seperti orang terhuyung-huyung, beberapa kali
mempergunakan gerakan seperti rajawali emas, menyerang dengan pedang akan
tetapi yang betul-betul merupakan serangan adalah pukulan tangan kiri,
kadang-kadang menerjang hebat dengan pedang, pukulan tangan kiri dan tendangan
bertubi-tubi dengan kedua kakinya! Ia mengerahkan seluruh kepandaian dan
tenaganya.
Akan tetapi
Kong Bu benar-benar kuat sekali penjagaannya. Juga cucu Song-bun-kwi ini merasa
sangat penasaran sampai mukanya menjadi merah, matanya mendelik marah.
Selamanya, kecuali ketika bertanding melawan Li Eng, belum pernah ia bertemu
tanding sehebat pemuda ini.
Kadang kala
ia dibikin bingung oleh gerakan-gerakan yang aneh dan ajaib, namun berkat gemblengan
kakeknya yang amat hati-hati mengajar cucunya, Kong Bu dapat menangkis semua
serangan lawan, bahkan dia pun mampu membalas tak kalah hebatnya. Ia malah
mengeluarkan Yang-sin Kiam-sut yang berhawa panas, dan setelah dia memainkan
ilmu pedang ini, benar saja ia mampu mendesak lawan.
Namun Sin
Lee dengan langkah ajaib yang ia warisi dari ibunya, dapat menghindarkan
kurungan-kurungan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut ini, sehingga walau pun dia
terdesak oleh ilmu pedang aneh ini, namun belum pernah pedang lawan dapat
menyentuh ujung bajunya. Sudah empat ratus jurus lebih dua orang muda itu
bertanding seperti dua ekor naga atau dua ekor singa. Kun Hong sudah mulai
ragu-ragu dan sudah timbul niat di hatinya untuk turun tangan melerai. Kalau ia
turun tangan, tentu saja berarti ia membuka rahasia sendiri, karena kalau bukan
seorang yang memiiiki ilmu silat tinggi tak mungkin dapat mendekati dua orang
muda yang sedang bertanding itu, apa pula memisah.
Pada saat
Kun Hong meragu itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang. Kun Hong melihat
bahwa orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih,
memelihara jengot pendek, pakaiannya sederhana dan tubuhnya sedang, matanya
berkilat-kilat bagai mata harimau, di punggungnya tergantung pedang.
Bayangan
orang ini langsung menyerbu ke dalam gelanggang pertandingan, gerakannya gesit
dan luar biasa sekali sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata. Tetapi
tahu-tahu dua orang yang bertanding tadi seperti terdorong oleh angin yang
mengandung kekuatan tak terlawan, keduanya terpental ke belakang,
terhuyung-huyung mundur masing-masing lebih dari tujuh langkah!
Beberapa
detik kemudian muncullah seorang wanita cantik, usianya juga hampir empat
puluh, dandanannya sederhana pula, ringkas dan rambutnya yang hitam itu digelung
ke atas, sebatang pedang menempel pula di punggung. Biar pun sudah setengah tua
wanita ini masih tangkas dan cantik, sepasang pipinya masih segar kemerahan dan
gerakannya tangkas biar pun melihat perutnya yang agak besar itu mudah
diketahui bahwa ia sedang mengandung muda.
Di belakang
wanita ini berlari-lari Cui Bi yang kini berpakaian sebagai seorang gadis
cantik sehingga untuk sejenak Kun Hong memandang dengan muka merah dan mata
melotot sukar dikejapkan!
Mudah diduga
bahwa laki-laki yang memisah pertandingan itu bukan lain adalah Si Raja Pedang
Tan Beng San sendiri, sedangkan wanita cantik yang mengandung itu adalah Cia Li
Cu.
Setelah
berhasil memisah dua orang muda yang bertanding hebat itu, Beng San berdiri
memandang dengan penuh kekaguman dan keheranan. Ia bingung juga karena menurut
puterinya, Cui Bi, di sini ia akan bertemu dengan puteranya, putera Bi Goat
yang bernama Kong Bu. Tidak tahunya sekarang ada dua orang pemuda yang
bertanding sedemikian hebatnya, sama-sama muda, sama-sama gagah dan yang aneh,
ia merasa seakan-akan sudah mengenal wajah keduanya!
Cui Bi serta
merta menghampiri Kong Bu dan menarik tangan kakak tirinya ini, dibawa mendekat
kepada ayahnya. "Bu-ko, inilah Ayah. Ayah, inilah Kakak Kong Bu!"
Keduanya
berdiri saling pandang seperti terpesona. Beberapa detik kemudian, menitiklah
dua air mata dari mata Beng San. Dia seakan-akan melihat Bi Goat dalam diri
Kong Bu, mulut itu, mata itu...
"Ayah...!"
Kong Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Beng San.
"Anakku...
kau anakku...!"
Beng San
lalu memeluk pundaknya, mendekap kepala puteranya itu seperti ia mendekap
kepala Bi Goat, isteri yang amat dikasihinya dahulu.
"Terima
kasih, Tuhan. Kau telah mempertemukan kami dalam keadaan begini..."
Memang
selama ini Beng San selalu berkuatir kalau-kalau anak-anaknya dari Bi Goat dan
Kwa Hong akan dididik orang untuk membenci dan memusuhinya.
"Ayah,
terus terang saja, memang tadinya anak datang mengandung pikiran yang tak baik
terhadap Ayah. Syukur anak bertemu dengan Adik Cui Bi...," kata Kong Bu
yang jujur.
Berseri
wajah Beng San. "Cui Bi anak baik!"
Ia berdiri
dan Li Cu lalu mendekati Kong Bu, memandang dengan wajah berseri.
"Kong
Bu-koko, ini ibuku," kata Cui Bi memperkenalkan.
Kong Bu
memandang sejenak, melihat wajah cantik berseri-seri, lalu ia pun menjatuhkan
diri berlutut. "Anak Kong Bu menghaturkan hormat."
Sepasang
mata yang bening itu menjadi basah. Suaranya menjadi serak karena terharu
ketika wanita ini merangkul Kong Bu sambil berkata, "Kau anakku! Belasan
tahun aku menanti-nanti datangnya saat ini. Ayahmu sangat banyak menderita
karena memikirkan kau, Anak."
Diam-diam
Kong Bu terharu sekali. Sama sekali tak pernah ia membayangkan bahwa ibu
tirinya adalah seorang wanita yang selain cantik jelita dan gagah, juga
demikian baik hati dan mau menerimanya sebagai anak dengan tulus ikhlas. Hal
ini tak dapat disangkal lagi, tidak mungkin sikap seperti ini dibuat-buat dan
diam-diam ia makin bersyukur bahwa ia telah percaya akan segala omongan adik
tirinya, Cui Bi.
Dalam
kegirangan dan keharuannya, Kong Bu teringat kepada lawannya, maka ia segera
berkata kepada ayahnya, "Ayah, dia adalah anak... siluman betina Kwa Hong
yang telah merusak hidup mendiang ibuku! Harap Ayah jangan kuatir, biar
kubinasakan dia!"
"Hemm,
Kong Bu bocah sombong, kau ingin mengandalkan teman banyak untuk menjual lagak?
Kau kira aku takut? Boleh maju mengeroyok, aku Sin Lee takkan mundur
setapak!"
Sementara
itu, ketika Beng San dan Li Cu mendengar kata-kata Kong Bu tadi, suami isteri
ini berdiri terkesima dan mereka memandang kepada Sin Lee seperti patung.
Anehnya, wajah Beng San pucat sekali dan air mata makin deras mengalir dari
sepasang mata Li Cu.
"Thian
Yang Maha Adil!" Beng San akhirnya mengeluh. "Sudah terasa di hatiku
tadi, aku... aku seperti mengenali wajahnya..."
Beng San
melangkah mendekati Sin Lee yang memandang dengan mata tajam curiga.
"Kau...
kau anak Hong Hong? Kau... kau juga anakku... anakku...!" Dengan kedua
lengan dikembangkan, Beng San hendak memeluk Sin Lee.
Pucat
seketika wajah Sin Lee dan ia cepat-cepat menghindarkan diri. "Bohong! Aku
bukan anakmu! Bukankah kau yang bernama Tan Beng San?"
Berseri
wajah Raja Pedang ini, girang bahwa puteranya, keturunan Kwa Hong, ternyata
mengenal namanya. Dengan penuh gairah dia menjawab, "Betul, anakku,
betul... akulah Tan Beng San!"
Muka Sin Lee
mengeras. "Bagus, memang kedatanganku ini hendak bertemu dengan Tan Beng
San Ketua Thai-san-pai. Menurut ibuku, engkaulah salah seorang di antara mereka
yang menjadi sebab kematian ayahku dan sebab kesengsaraan hidup ibuku. Tan Beng
San, kau harus ikut dengan aku ke Lu-liang-san untuk menghadap Ibuku dan
menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Ibu sendiri!"
Semuanya
kaget mendengar ini, kecuali Beng San yang mendengarnya dengan senyum duka.
"Kanda
Sin Lee...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru dan mendekati pemuda ini. Dalam
sedih dan bingungnya nona ini sampai lupa diri dalam panggilannya yang demikian
penuh perasaan dan mesra. "Jangan... jangan kau memusuhi Paman Tan Beng
San... ahh, kenapa jadi begini...?" Gadis itu lalu menangis terisak-isak.
Kening Sin
Lee berkerut. Kekerasaan hatinya tertusuk dan kelemahannya tersinggung. Akan
tetapi ia mengeraskan perasaan, menyentuh tangan Hui Cu yang diulurkan. Hanya
sedetik saja tangan mereka bersentuhan, dan pemuda ini berkata, suaranya halus
namun penuh ketegasan,
"Dinda
Hui Cu... menjauhlah kau... urusan ini tak dapat dirubah lagi. Ini kehendak Ibu
dan aku harus berbakti kepada Ibu, biar untuk itu aku harus berkorban nyawa
sekali pun. Ibu selamanya hidup menderita, ditinggal Ayah dan dihina banyak
orang, kalau aku sebagai putera tunggalnya tidak berbakti kepadanya, habis apa
balasku terhadap Ibu yang telah melahirkan aku? Dinda, jangan kau turut-turut,
jangan beratkan hatiku, mundurlah..."
"Kalau
begitu. kau memang patut mampus!" Tiba-tiba Kong Bu membentak dan pemuda
ini mengirim pukulan keras sekali.
Sin Lee
mendengus dan mengangkat tangan menangkis.
"Dukkk!"
Dua lengan
tangan yang sama kuatnya bertemu, membuat tubuh keduanya terpental ke belakang
tiga langkah. Kong Bu masih hendak menyerang lagi namun Beng San segera
berseru,
"Kong
Bu, tahan! Jangan kau serang dia! Sin Lee, kau adalah anakku, kau mau mengaku
atau tidak, kau adalah anakku!" Beng San berseru dengan suara parau.
Kong Bu terpaksa
melompat mundur dengan hati gemas, akan tetapi dia tidak berani membantah
kehendak ayahnya. Juga Cui Bi yang sudah tahu akan semua hal ini karena ia
pernah mendengar dari ibunya tentang Kwa Hong, sekarang mendekati Kong Bu dan
memegang tangannya, memberi isyarat agar supaya kakak tirinya ini tidak ikut
campur.
Melihat
betapa suaminya meratap-ratap dengan hati hancur, sementara Sin Lee berdiri
tegak dan tegap, sikapnya angkuh membayangkan sikap Kwa Hong dahulu, Li Cu
dapat merasakan betapa hancurnya hati suaminya itu, betapa suaminya saat ini
seperti ditampar mukanya, seperti dibuka matanya akan akibat dari perbuatannya
yang lalu.
Li Cu adalah
seorang wanita bijaksana, seorang yang berpandangan luas dan memang pada
dasarnya berbudi mulia. Ia tidak hanya berkasihan kepada suaminya yang
tercinta, akan tetapi juga kasihan kepada Sin Lee yang tidak berdosa apa-apa
tetapi seakan-akan sekarang memikul akibat dari dosa yang dilakukan ayah
bundanya.
"Aku
tidak percaya kau ayahkul" Sin Lee membentak. "Ayah sudah mati dan
kau adalah seorang di antara mereka yang menyebabkan kematiannya. Aku harus
percaya kepada ibuku seorang dan kau mau tidak mau harus ikut aku menghadap
ibuku!"
Li Cu
bergerak ke depan dan menghadapi Sin Lee. Ia menahan-nahan keluarnya air matanya.
Memang harus dikasihani wanita ini. Kalau ada wanita yang merasa perih dan
tertusuk hatinya menghadapi semua peristiwa ini dialah orangnya.
Pada waktu
yang sama, dia harus menyaksikan pertemuan antara suami dan dua orang anak yang
terlahir dari dua orang isteri suaminya yang lain. Akan tetapi dasar ia
berwatak baik, ia tidak merasa sakit hati malah merasa kasihan sekali, baik
kepada suaminya mau pun kepada anak-anaknya itu.
"Sin
Lee, aku adalah Cia Li Cu, isteri Tan Beng San. Akulah saksi utama bahwa kau
adalah benar-benar anak suamiku ini, kau anak Tan Beng San dan Kwa Hong, jangan
kau melawan ayahmu sendiri, Nak. Kau anak suamiku, juga anakku, meski pun anak
tiri tapi kuanggap kau anakku sendiri. Majulah, berilah hormat kepada ayahmu,
Sin Lee, seperti yang kau lihat tadi dilakukan oleh Kong Bu, juga anak kami
yang lahir dari Kwee Bi Goat. Berdosa melawan orang tua sendiri, Sin Lee."
Pemuda itu
memandang dengan mata terbelalak tajam. "Hanya Ibu yang kupercaya! Ibu
menyatakan bahwa Tan Beng San adalah musuh Ibu, yang harus kuseret ke depan Ibu
di Lu-liang-san. Malah Ibu bepesan, wanita yang bernama Cia Li Cu adalah musuh
besarnya dan harus kubunuh."
Terdengar
jerit kemarahan dan Cui Bi sudah melompat maju menerjang dengan pedang
terhunus.
"Traangggg!"
Pedang gadis
ini terangkis oleh pedang Sin Lee. Demikian keras pertemuan senjata ini sampai
keduanya mundur tiga langkah, saling pandang dengan mata berapi-api. Dengan
pedangnya Cui Bi menuding ke arah muka Sin Lee sambil berseru marah,
"Keparat
kau! Sombong dan jahat, seperti orang yang menjadi ibumu! Ketahuilah, ibumu
itulah yang jahat, bagaikan iblis betina. Dunia kang-ouw tahu belaka akan hal
ini. Ibunya iblis, anaknya pun setan!"
"Cui
Bi... diam kau...!" Li Cu membentak dan menarik tangan anaknya.
"Memang
betul ucapan Cui Bi!" Tiba-tiba saja Li Eng berteriak dan gadis ini pun
sudah mencabut pedang. "Siluman betina Kwa Hong orang terjahat di dunia,
anaknya pun bukan orang baik! Aku masih ada perhitungan dengan siluman Kwa Hong
yang belum kutagih!"
Seperti juga
Cui Bi tadi, Li Eng saking marah melihat anak musuh besarnya, menerjang dengan
pedang diputar. Hebat sekali serangan ini, sinar pedang itu sampai menyerupai
payung lebar yang mengurung diri Sin Lee. Kembali Sin Lee menggerakkan pedangnya
menangkis dan dua orang muda itu terpental ke belakang.
"Adik
Li Eng, jangan...!" Hui Cu mengejar sambil terisak-isak dan menarik tangan
Li Eng mundur. "Janganlah... kau jangan serang dia..." bisik Hui Cu
dengan muka pucat dan pipi basah air mata.
Menghadapi
Kong Bu, Cui Bi, dan Li Eng yang memandang padanya seolah-olah hendak
menelannya bulat-bulat itu, Sin Lee tersenyum mengejek, "Hemmm, ada kabar
akan didirikannya Thai-san-pai, yang katanya diketuai seorang ahli pedang yang
berkepandaian tinggi. Kiranya hanya tukang keroyok. Hayo Tan Beng San, kalau
memang kau tidak suka kuseret ke Lu-liang-san, terpaksa aku menggunakan
kekerasan. Ataukah engkau hendak menggunakan anak-anakmu untuk mengeroyok?
Majulah kalian, siapa takut kepadamu?"
"Jahanam
jangan sombong kau!" Kong Bu yang berdarah panas itu tak dapat menguasai
hatinya lagi, segera ia menerjang dengan pedang di tangannya.
Gerakan Kong
Bu ini otomatis disusul oleh Cui Bi dan Li Eng, sehingga sekaligus Sin Lee
menghadapi serangan tiga orang muda itu! Tingkatnya adalah tak berbeda jauh
dengan seorang di antara mereka, bahkan dibandingkan Cui Bi, kiranya sukarlah
dia mengatasi gadis ini. Akan tetapi Sin Lee memiliki keberanian yang tak kenal
batas dan ketabahan hatinya membuat dia nekat. Pedangnya diputar dan…
“Trang-trang-trang!”
terdengar suara nyaring disusul muncratnya bunga api.
Li Cu dan
Beng San berteriak-teriak melarang, juga Hui Cu berteriak-teriak memanggil nama
Li Eng. Hanya Kun Hong yang berdiri seperti patung, tak tahu harus berbuat apa.
Ia sudah mulai mengerti akan duduknya perkara, dan ia benar-benar merasa
bingung.
Kun Hong
menarik napas panjang dan berkata seorang diri, "Hukum karma... orang tua
yang menanam, anak-anak yang memetik buahnya!"
Mendadak
berkelebat bayangan orang yang didahului oleh lengking tinggi, sinar pedang
menderu dan bunyi cambuk berdetar-detar di udara sehingga membuat tiga orang
muda yang mengeroyok Sin Lee terkejut dan cepat meloncat mundur sambil
melindungi tubuh dengan pedang masing-masing karena entah dari mana datangnya,
ujung cambuk yang ada anak panahnya menyerang bagian-bagian berbahaya tubuh
mereka.
"Hi-hi-hi,
Beng San pengecut! Melepaskan anjing-anjing cilik untuk mengeroyok Sin Lee.
Anakku Sin Lee, jangan takut! Ibumu datang!"
Tahu-tahu di
situ telah berdiri seorang wanita cantik dan bermata liar, memegang cambuk yang
berekor lima batang anak panah hijau. Kwa Hong, wanita yang selama belasan
tahun menyembunyikan diri itu sekarang muncul tiba-tiba di tempat itu dengan
sinar mata penuh mengandung nafsu membalas dendam, sepasang mata yang masih
bening akan tetapi amat liar dan ganas!
"Hong-moi...!"
Beng San berseru.
Akan tetapi
suaranya terhenti karena lehernya serasa tercekik. Ia sudah melangkah maju dua
tindak lalu berdiri seperti patung, sinar matanya membayangkan kedukaan hebat.
"Ha-ha-ha-ha,
Beng San, masih merdu suaramu memanggil aku. Hong-moi... alangkah merdunya.
Ahh, Beng San, kau masih pandai merayu, hik-hik-hik!"
"Hong-moi,
apakah kau tidak dapat menyudahi saja urusan lama? Lihat, anak kita sudah
begitu besar, Hong-moi, dan demi Tuhan, janganlah kau bawa anak kita
terseret-seret ke dalam urusan kita...," kata pula Beng San dengan suara
menggetar.
Kembali Kwa
Hong tertawa. "Beng San, apakah kau tidak ingat betapa dahulu kau selalu
menyakiti hatiku, menolakku dan membiarkan aku hidup merana sendiri? Membiarkan
aku berubah menjadi iblis? Hi-hi-hik, sejak kecil kupelihara, kugembleng supaya
setelah besar dapat membalaskan sakit hatiku terhadapmu, sekarang tibalah
saatnya. Sin Lee, anakku, inilah orangnya yang sudah merusak hidup ibumu. Kau
turun tanganlah, bunuh dia. Kau jangan takut, ada ibumu di sini!"
Tangan Sin
Lee yang memegang pedang menegang, lalu menggetar, akan tetapi bibirnya
bertanya, lirih, "Ibu..., benarkah dia itu ayahku?"
"Tak
peduli dia itu apamu, dia seorang yang jahat melebihi binatang, patut kau
binasakan. Dia menyia-nyiakan kau. Dia makhluk jahat, perusak hati wanita.
Bunuh dia!"
Tiba-tiba Li
Eng yang sejak tadi memandang marah kepada Kwa Hong, menerjang maju
menggerakkan pedangnya mengancam Kwa Hong, "Kwa Hong, kau siluman betina
jahat, dengarlah! Aku Kui Li Eng dari Hoa-san-pai! Ingatkah kau betapa kau
mengusir ayah dan ibuku memasuki Im-kan-kok, membiarkan mereka mati tidak hidup
pun tidak? Sekarang kau hendak mengacau lagi di Thai-san, ahhh... dosamu sudah
bertumpuk-tumpuk, hari ini aku akan membalaskan sakit hati orang tuaku!"
Pedang gadis
ini menyerang seperti kilat cepatnya sehingga Kwa Hong menjadi terkejut juga
dan cepat mengelak. Untuk sejenak wanita ini tercengang, dan hanya mengelak ke
sana ke mari atas desakan Li Eng.
"Kau...
kau... anak Thio Bwee dan Kui Lok? Kau lahir di Im-kan-kok? He-he, lucu
sekali... kau berani melawan aku?" Mulailah ia menangkis dan balas
menyerang.
Sementara
itu, Sin Lee sudah memandang kepada Beng San dengan mata mendelik. Dan melihat
ibunya sudah bertempur, ia melempar semua keraguan dan menganggap bahwa dia dan
ibunya sedang berada di tempat musuh. Maka, cepat ia menusukkan pedang ke arah
dada Beng San sambil berseru,
"Kau
musuh ibuku, harus kubunuh!"
Beng San
mengeluarkan keluhan panjang. Peristiwa yang terjadi di hadapan matanya ini
membuat seluruh tubuhnya lemas, matanya berkunang dan hatinya rusak, maka
serangan Sin Lee puteranya sendiri itu tak dihiraukan.
"Trangggg!"
Pedang Sin
Lee membentur sebatang pedang lain yang digerakkan secepat kilat. Cui Bi sudah
menangkis pedang itu dengan mata berapi-api.
"Keparat,
jangan ganggu Ayahl"
Pedangnya
terus menyerang dan di lain detik Sin Lee sudah bertanding hebat melawan Cui
Bi.
Tadinya Kong
Bu hanya menonton saja. Biar pun munculnya Kwa Hong mendatangkan rasa panas di
hatinya karena teringat bahwa wanita inilah yang menyebabkan ibunya mati
ngenes, namun karena Kwa Hong sedang berhadapan dengan ayahnya, dia tidak berani
mencampuri dan menanti saat baik.
Sekarang
saat itu tiba, yaitu setelah Kwa Hong bertempur melawan Li Eng, kekasihnya.
Tentu saja ia tidak bisa tinggal diam, apa lagi karena maklum bahwa wanita itu
lihai sekali dan Li Eng bisa berbahaya kalau melawannya seorang diri saja.
"Kwa
Hong wanita busuk, ibuku Kwee Bi Goat meninggal dunia akibat merana karena
kejahatanmu. Lihat pedangku menamatkan riwayatmu!" bentaknya sambil
menerjang.
Tidak heran
hati Kwa Hong mendengar ini karena memang ia sudah tahu akan pemuda ini. Sudah
lama juga ia mengikuti puteranya sehingga ia tadi mendengar bahwa pemuda gagah
ini adalah putera Kwee Bi Goat. Tanpa berkata apa-apa ia segera menangkis dan
menghadapi Kong Bu dan Li Eng dengan gerakan aneh dari pedang dan cambuknya.
Beng San
susah sekali hatinya melihat pertempuran-pertempuran itu. Beberapa kali Li Cu
hendak mencabut pedang dan ikut menerjang maju, akan tetapi melihat betapa
suaminya menjadi amat sedih, ia pun tidak tega. Li Cu dapat menyelami
sepenuhnya kesedihan hati suaminya. Siapa tak akan sedih melihat kedatangan
seorang putera yang datang-datang menjadi musuh?
Kun Hong
yang bingung juga melihat Hui Cu dengan muka pucat berdiri memandang Sin Lee,
merasa bahwa enci tirinya itu memang keterlaluan. Kalau ada urusan lama,
mengapa diteruskan sampai sekarang, malah seorang anak disuruh melawan ayahnya
sendiri. Tak terasa lagi kakinya melangkah mendekati pertempuran, langsung ia
mendekati Kwa Hong dan berkata, suaranya lantang,
"Enci
Kwa Hong, kalau Ayah melihat kelakuanmu hari ini, tentu akan marah
sekali!"
Kwa Hong
kaget dan melirik heran. Biar pun dikeroyok dua oleh Kong Bu dan Li Eng, ia
masih sempat memperhatikan pemuda tampan yang aneh, yang berani menegurnya dan
memanggil enci ini.
"Bocah,
kau siapa?"
“Aku adalah
adik tirimu, ayahku Kwa Tin Siong ibuku Liem Sian Hwa! Kelakuanmu hari ini
sungguh tidak patut. Seharusnya kau mempertemukan anakmu dengan Tan Beng San
Taihiap sebagai anak dan ayah dengan mengubur persoalan-persoalan lama."
"Keparat,
tutup mulut kau!"
Sebuah anak
panah hijau di ujung cambuk menyambar pundak Kun Hong. Akan tetapi anehnya,
anak panah itu tidak mengenai sasaran biar pun tadi kelihatan sudah jitu. Kwa
Hong terkejut, apa lagi ketika melirik ke arah gerak kaki Kun Hong yang tidak
karuan itu.
"Siapa
namamu?"
"Kwa
Kun Hong. Enci, kau turutlah permintaanku...," kata Kun Hong girang.
"Kun
Hong, kau adikku, seharusnya kau membantuku. Tan Beng San itu orang jahat, dia
harus membayar hutangnya."
Terpaksa Kwa
Hong memutar cepat cambuknya untuk mendesak Li Eng dan Kong Bu karena selagi
dia bercakap-cakap, dua orang muda itu mendapatkan kesempatan untuk menekannya.
"Tidak
bisa, Enci Hong. Kau yang tidak patut..."
"Setan,
mampuslah!"
Kini dua
batang panah menyambar, satu ke ulu hati satu lagi ke arah kepala Kun Hong.
Serangan ini hebat sekali dan memang amat keji hati Kwa Hong, menyerang adik
tirinya sendiri secara mendadak seperti itu. Akan tetapi kembali ia melengak
karena dua batang anak panahnya tidak mengenai sasaran, sedangkan Kun Hong hanya
terhuyung-huyung saja.
Semakin
kuatir hati Kwa Hong. Baru orang-orang muda ini saja sudah begini hebat. Kalau
sampai Beng San dan Li Cu turun tangan, jangan harap ia akan dapat membalas
dendam, malah-malah sangat boleh jadi ia dan puteranya akan tewas di tempat
itu!
Sementara
itu, melihat Kwa Hong dan puteranya terdesak, Beng San tak dapat menahan lagi.
Betapa pun lihainya, tapi menghadapi Cui Bi yang marah itu Sin Lee mulai
terdesak, sedangkan Kwa Hong juga payah menanggulangi kemarahan Kong Bu dan Li
Eng yang amat lihai ilmu pedangnya. Tentu saja ia tidak ingin melihat
pertumpahan darah terjadi di antara keluarganya sendiri.
"Berhenti...!
Tahan senjata, hentikan pertempuran...!" serunya berkali-kali.
Ketika
orang-orang muda itu nekat tidak mau berhenti, Beng San menggerakkan kedua
lengannya berkali-kali dan... angin dingin yang luar biasa kuat menyambar ke
depan dan membuat mereka yang bertempur itu terhuyung-huyung ke belakang.
Kwa Hong
mengeluarkan bunyi lengking marah dan kecewa. "Sin Lee anakku, hayo kita
pergi saja!" Ia menyambar tangan Sin Lee dan membawanya pergi melompat
dari tempat itu.
Setetah
bayangan dua orang ini lenyap, terdengar suara Kwa Hong, melengking nyaring,
"Beng San manusia tak berjantung! Boleh kau tertawa atas kemenanganmu, akan
tetapi tunggu saja pada hari pembukaan, hendak kulihat apakah kau masih ada
muka menjadi Ketua Thai-san-pai, hi-hi-hik!"
"Bu-ko
mari kita kejar dan bunuh mereka!" Cui Bi berseru.
"Hayo!"
Kong Bu menjawab dan keduanya berlari maju hendak mengejar, malah Li Eng juga
tidak ketinggalan.
"Kong
Bu...! Kenapa kau tidak melakukan perintahku?!"
Mendadak
sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu seorang kakek tinggi besar
bermuka bengis sudah berdiri menghadang. Li Eng sampai mengeluarkan teriakan
saking kagetnya karena ia segera mengenal kakek ini yang pernah menculik dia
dan Hui Cu.
"Kongkong...!"
Kong Bu juga berseru, girang dan kaget.
Sementara
itu, ketika Beng San melihat munculnya kakek ini, wajahnya berubah. Cepat ia
mengangkat tangan menjura dan berkata, "Gak-hu (Ayah Mertua)..."
Song-bun-kwi,
kakek itu, tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, sebutan palsu itu masih saja kau
pakai? Siapa yang tidak tahu akan kepalsuan hatimu? Eh, Kong Bu, kenapa kau
berbaik dengan mereka ini?"
"Kakek,
aku mengejar Kwa Hong, bukankah dia musuh besar kita?"
"Betul,
akan tetapi kau melupakan laki-laki ini." Dia menuding ke arah Beng San.
"Dialah yang membuat ibumu tidak panjang usia. Dia tergila-gila pada
wanita lain, meninggalkan ibumu sampai ibumu mati merana. Kita harus memusuhi
dia!"
"Kakek...
akan tetapi dia… ayahku..."
"Huh!
Ayah macam apa! Kau kena dibujuk orang!" Matanya liar menyapu ke kanan
kiri. "Hayo pergi, tempat ini tak patut untukmu."
"Tapi...
Kongkong..." Kong Bu meragu dan menoleh kepada ayahnya.
"Tidak
ada tapi, hayo kau ikut aku pergi! Kau berat ayah keparat yang baru saja kau
lihat sekarang ini ataukah kakekmu yang memelihara dan mendidikmu sejak kau
masih bayi?" Suara Song-bun-kwi menggeledek dan matanya melotot.
Terjadi
pertarungan dalam hati Kong Bu. Baru saja dia mengalami kebahagiaan bertemu
dengan ayahnya, terutama sekali dengan Li Eng di tempat yang penuh damai itu.
Baru saja hatinya dipenuhi dengan kebanggaan akan ayahnya, yang menyentuh hati
baktinya untuk membela ayah dan memusuhi Kwa Hong.
Akan tetapi
kemunculan kakeknya ini sekaligus membuyarkan segala yang indah-indah itu,
membuka matanya bahwa di sana masih ada arwah ibunya yang menghendaki dia
menuntut balas, tidak hanya kepada Kwa Hong, akan tetapi juga kepada Beng San
yang meninggalkan ibunya. Hati dan perasaan Kong Bu ketika itu terbelah-belah,
terbagi-bagi, sebagian besar condong kepada Li Eng, sebagian lagi pada ayahnya
dan sebagian pula kepada kakeknya.
"Kong
Bu...!" Suara Song-bun-kwi menggetar penuh kemarahan. "Jika kau tidak
mau pergi bersamaku, biarlah mulai saat ini juga aku Song-bun-kwi bukan kakekmu
lagi, melainkan musuh besarmu, biarlah lain saat aku mengadu nyawa
denganmu!"
"Kongkong..."
Tetapi
Song-bun-kwi sudah tidak mau menjawab lagi, melainkan membalikkan tubuh dan
melompat pergi dari situ. Dengan muka pucat dan wajah sedih sekali Kong Bu
terpaksa melompat juga, kemudian mengikuti kakeknya meninggalkan tempat yang
disenanginya, orang-orang yang disayanginya.
Sunyi
keadaan di situ setelah kakek dan cucunya itu lenyap bayangannya. Li Eng dan
Hui Cu saling pandang dengan muka sedih dan kecewa. Kun Hong sejenak
berpandangan dengan Cui Bi, akan tetapi Cui Bi segera menundukkan muka, ngeri
melihat wajah Beng San yang berdiri di situ dengan kedua kaki terpentang, kedua
lengan bertumpang di atas dada. Li Cu memandang suaminya dengan mata basah.
Orang gagah
ini berdiri tegak. Mukanya yang tampan dan gagah itu merah sekali, malah hampir
hitam. Alisnya terangkat, matanya menakutkan seperti mengeluarkan api dan
kilat. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundak kirinya.
Beng San
melirik dan melihat wajah isterinya yang berusaha tersenyum membesarkan
hatinya. Perlahan-lahan warna merah kehitaman pada mukanya itu berubah menjadi
putih lalu kehijauan. Ia menarik napas berulang-ulang. Barulah ia menurunkan
dua tangannya dan memandang ke arah Kun Hong, Li Eng dan Hui Cu yang sudah
menghadap dengan sikap hormat.
"Inikah
mereka anak-anak Hoa-san-pai?" terdengar dia bertanya, suaranya masih agak
gemetar karena pukulan batin tadi.
Cui Bi
segera maju dan memperkenalkan tiga orang muda Hoa-san-pai itu kepada ayah
bundanya. Ketiga orang itu, dipimpin oleh Kun Hong, segera menjura dan
menghaturkan penghormatan mereka.
Kalau saja
Beng San tidak baru saja menderita pukulan batin yang sangat hebat, kiranya
pertemuan ini akan menggembirakannya sekali. Mereka ini adalah anak-anak para
tokoh Hoa-san-pai yang dikenalnya dengan baik. Akan tetapi karena perasaannya
sudah terluka oleh peristiwa tadi, ia hanya berkata kepada Cui Bi,
"Kau
ajaklah mereka masuk dan beristirahat di puncak."
Cui Bi
maklum akan keadaan hati ayahnya, maka ia lalu mengajak tiga orang muda itu
melalui jalan terowongan menuju ke puncak, tempat tinggal ayahnya. Ada pun Beng
San dan Li Cu yang ditinggalkan mereka, saling pandang penuh pengertian dan
keharuan.
"Aku
harus menyusul mereka, aku harus dapat merubah kekerasan hati
Hong-moi...," kata Beng San kemudian, seperti kepada diri sendiri.
Li Cu
mengerutkan keningnya. "Hatinya keras sekali, juga puteranya. Aku kuatir
kau tak akan berhasil. Kenapa tidak menanti sampai selesainya ucapara pendirian
Thai-san-pai?"
Beng San
menggeleng kepala. "Justru aku tidak mau dia muncul di waktu upacara.
Tentu dia akan mempergunakan urusan itu untuk merusak nama dan menggagalkan
pendirian Thai-san-pai, Soal namaku, aku tidak peduli, akan tetapi kalau
Thai-san-pai gagal berdiri, hal ini lebih hebat dari pada kehilangan
nyawa."
Li Cu
memegang tangan suaminya. "Akan tetapi, bagaimana kalau kau gagal? Kau
akan dihina, kau... kau... biarlah aku ikut bersamamu."
Beng San
cepat memegang kedua lengan istrinya. "Tidak! Jangan kau mencampurinya.
Ini urusan antara aku dan Kwa Hong. Kalau perlu aku pun bisa menggunakan
kekerasan. Kukira aku masih dapat mengatasi mereka ibu dan anak. Kau tak boleh
banyak bergerak, isteriku, kau ingatlah kandunganmu. Kau tunggu saja di rumah
dan percayalah padaku."
Li Cu
menatap wajah suaminya, terisak dan menjatuhkan kepala pada pundak suaminya
yang lalu mengelus-elus rambutnya. Awan gelap menyelubungi sepasang suami
isteri ini, awan gelap yang timbul dari urusan-urusan lama. Beberapa kali Beng
San menarik napas panjang, hatinya penuh penyesalan kepada diri sendiri. Akan
tetapi, sesal kemudian tiada guna…..
***************
"Ibu,
aku benar-benar tidak mengerti!" Sin Lee mendesak ibunya.
Mereka
berdua duduk di bawah pohon dalam tengah sebuah hutan yang gelap karena penuh
dengan pohon-pohon raksasa yang tinggi dan berdaun lebat.
"Kau
banyak cerewet!" Kwa Hong mengomel. "Sudah kukatakan dia adalah musuh
besar kita, habis perkara."
Sin Lee
mengerutkan kening, lalu menggeleng kepala. "Aku ingin mengetahui duduknya
perkara yang betul-betul, Ibu. Aku takkan suka diam kalau belum diberi
penjelasan. Dia mengaku ayahku, bagaimana kau bilang dia adalah musuh besarku
dan harus kubunuh? Bukankah ini aneh sekali? Ibu, dari pada berbohong kepadaku,
lebih baik kau berterus terang, apa betul Tan Beng San itu ayahku dan suamimu,
dan apa bila betul demikian mengapa terjadi permusuhan ini?"
Kwa Hong
meloncat bangun, membanting kaki sambil membentak, "Kau kepala batu! Dulu
kau tidak pernah begini cerewet!"
Sin Lee juga
meloncat berdiri dan menghadapi ibunya dengan tegak.
"Sudah
sepatutnya anak menanyakan ayahnya. Ibu yang terlalu jual mahal, kenapa terus
menyimpan rahasia?"
Dua orang
itu berdiri berhadapan, ibu dan anak yang sama keras hatinya, dua pasang mata
yang sama tajam saling tentang. Akhirnya Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa
aneh, lalu memeluk puteranya dan menarik tangannya untuk diajak duduk kembali.
"Kau
memang bandel sekali seperti... seperti dia! Baiklah kau mendengar kalau hendak
mengetahui. Tan Beng San itu memang ayahmu, tapi dia bukan suamiku."
"Bagaimana
pula ini? Dia ayahku tapi bukan suami ibu?"
"Karena
dia tidak mau mengawiniku, dan meninggalkan aku untuk kawin dengan wanita lain
anak Song-bun-kwi si iblis tua itu."
Sin Lee
adalah seorang yang cerdik, akan tetapi belum dapat ia menghubungkan cerita
yang disingkat-singkat ini. "Kau maksudkan Ayah tidak mau mengawini ibu,
pergi menikah dengan lain wanita? Kenapa begitu? Apakah Ayah tidak suka kepada
Ibu?"
Merah wajah
Kwa Hong, matanya memancarkan sakit hati. Ia menggelengkan kepalanya. "Dia
tidak cinta padaku, hanya suka seperti seorang kakak terhadap adiknya."
"Tapi...
tapi Ibu cinta kepadanya?"
Kwa Hong
mengangkat tangan hendak menampar, tetapi ditahannya. "Kau lancang mulut.
Sudahlah. Pendeknya dia itu meninggalkan kau dalam kandunganku dan tidak mau
peduli lagi, lalu menikah dengan Kwee Bi Goat. Malah ketika Bi Goat mati dia
menikah dengan isterinya yang sekarang itu, padaku ia sama sekali tidak mau
peduli."
Sin Lee
berpikir keras. "Jadi... dia telah melakukah perhubungan dengan ibu,
kemudian Ibu mengandung aku dan... dan Ibu ditinggalkan begitu saja?"
Wajah Sin
Lee sebentar pucat sebentar merah ketika melihat ibunya mengangguk dan dua
titik air mata keluar dari sepasang mata ibunya.
"Si
keparat... kalau begitu dia memang jahat...," kata Sin Lee dengan suara
mendesis dan dengan hati penuh dendam.
"Kwa
Hong, kau tidak adil! Kenapa tidak kau ceritakan tentang racun yang memabokkan
kita ketika itu?" tiba-tiba muncul Beng San, begitu tiba-tiba sehingga Sin
Lee dan Kwa Hong terkejut sekali.
Wanita ini
semenjak dulu amat gentar menghadapi ilmu kepandaian Beng San. Biar pun
sekarang di situ ada puteranya, namun ia masih ragu-ragu apakah mereka berdua
akan dapat menang menghadapi Beng San yang amat hebat kepandaiannya. Namun,
karena niatnya membalas dendam sudah ditahan-tahan semenjak bertahun-tahun, ia
pun menjadi nekat dan cepat mencabut senjatanya, diturut oleh Sin Lee yang
memandang Beng San dengan mata berapi-api.
"Hemmm,
kau mengejar kami?" tegurnya, penuh selidik.
Beng San
tersenyum pahit. "Kwa Hong, semenjak dulu kau selalu menyembunyikan diri,
menyembunyikan anak kita, kiranya kau sudah jejali dia dengan kebencian dan
dendam terhadap diriku. Sekarang aku sudah datang, seorang diri, coba katakan,
engkau hendak berbuat apakah terhadap diriku?"
"Aku...
aku hendak membunuhmu!"
"Kau
kira begitu mudah? Hong-moi, kau tahu bahwa kau takkan mampu melakukan hal itu
kepadaku."
"Akan
kucoba, bersama anakku. Kami akan mengadu nyawa! Sin Lee, hayo kita bunuh
keparat jahanam ini, musuh besar kita!"
Sin Lee
sudah menggerakkan pedangnya.
Beng San
bertanya, "Hong-moi, sebelum kau dan anak kita bergerak, maukah kau pergi
dengan tenang dan tidak mengganggu pendirian Thai-san-pai kalau nanti kalian
berdua ternyata dapat kukalahkan?"
"Tak
sudi! Aku akan bunuh kau, akan kubuka semua rahasia busukmu, hendak kulihat
apakah kau masih ada muka menjadi ketua Thai-san-pai!" Kwa Hong
berteriak-teriak dan mencak-mencak.
Beng San
mengerutkan keningnya. "Kwa Hong, dengarlah baik-baik! Semenjak dulu aku
sudah merasa menyesal dengan peristiwa yang terjadi antara kita. Kalau kau
hendak menyalahkan aku, biarlah kuterima. Bahkan dulu pun aku siap untuk
menerima kematian di tanganmu. Akan tetapi kau tahu, bagi seorang gagah nama
lebih berharga dari pada nyawa! Pendirian Thai-san-pai sangat penting dan siapa
pun juga, juga kau sendiri, tidak boleh menghalanginya!"
"Kalau
aku tetap hendak mengganggunya, kau mau apa?"
"Kwa
Hong, kesabaran manusia ada batasnya, Aku sudah cukup banyak mengalah, dan aku
berjanji, kalau kau pergi sekarang dengan baik-baik, aku akan datang ke
Lu-liang-san setelah selesai pendirian Thai-san-pai dan aku akan menurut apa
kehendakmu kelak, biar kau bunuh sekali pun."
"Aku
tidak sudi."
"Hemm…
hemm, tiada jalan lain bagiku kecuali menggunakan kekerasan, mengalahkan dan
menawan kalian sampai selesainya upacara pendirian Thai-san-pai." Sambil
berkata demikian, tangan Beng San bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang
berkilauan telah berada di tangannya. Itulah Liong-cu-kiam yang amat ampuh!
"Beng
San, jangan kau kira aku takut. Sin Lee, hayo serang!"
Ibu dan anak
itu lalu menggerakkan senjata mereka, serentak mereka menyerang Beng San dengan
hebat. Pada mulanya Sin Lee masih ragu-ragu, merasa betapa ibunya agak
keterlaluan tidak mau mendengar janji orang yang sebenarnya ayahnya ini.
Akan tetapi
begitu pedangnya terbentur pedang Beng San dan tangannya kesemutan, tahulah ia
bahwa Ketua Thai-san-pai ini benar-benar lihai bukan main. Maka ia pun tidak
ragu-ragu lagi dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk
mengeroyok.
Namun, dengan
rasa heran dan kagum, juga rasa penasaran memenuhi hatinya, Sin Lee merasa
seakan-akan semua serangannya itu lenyap tak berbekas, seperti menyerang
bayangan atau menyerang angin belaka. Semua jurus serangannya bagai tertelan
habis oleh gelombang permainan pedang Beng San, sama sekali tidak ada artinya.
Juga Kwa
Hong yang mainkan pedang dan cambuknya, merasa betapa akan sia-sia saja dia dan
puteranya mengeroyok orang ini. Kebenciannya semakin memuncak, akan tetapi
kekagumannya juga meningkat.
"Kwa
Hong kau benar-benar kejam sekali, menyuruh anakku sendiri memusuhi aku. Kwa
Hong, kau berdua takkan menang, lebih baik pulanglah. Kelak aku akan datang
padamu untuk menerima hukuman..." berkali-kali Beng San membujuk sambil
terus menangkis sambaran anak panah hijau yang mengarah bagian tubuh yang
berbahaya.
Diam-diam
Beng San gelisah juga kalau ingat bahwa tempat ini adalah tempat di luar dari
jalan rahasia, sehingga tiap saat bisa saja datang tamu-tamu yang mengandung
maksud jahat. Ia maklum bahwa di antara para tamunya, tentu tidak sedikit
terdapat bekas-bekas musuhnya yang sengaja datang untuk mengacau atau untuk
membalas dendam.
Oleh karena
itu, ia membujuk agar Kwa Hong suka mengalah dan segera pertempuran itu
selesai. Kalau ia mau, sudah tentu saja dengan mudah ia dapat merobohkan Kwa
Hong dan Sin Lee. Akan tetapi ia tak menghendaki hal ini terjadi, karena selain
ia harus melukai mereka, juga hal itu pastl akan menambah sakit hati Kwa Hong.
Merobohkan dua orang lawan selihai mereka tanpa melukai, merupakan hal yang
amat sukar, biar oleh dia sekali pun.
Tiba-tiba
terdengar suara tiupan suling yang aneh, disusul suara orang tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha-ha, ini namanya sekali tepuk mendapat dua lalat ditambah seekor
lalat cilik!" terdengar suara orang.
Mendengar
suara suling ini Beng San kaget sekali. Ia menahan serangan dua orang ibu dan
anak itu, akan tetapi ketika ia melompat mundur, Kwa Hong dan Sin Lee yang
sudah penasaran sekali terus saja menyerang. Terpaksa Beng San memutar
pedangnya untuk melindungi tubuhnya dan sementara itu ia memperhatikan
orang-orang yang baru datang dan yang sekarang sudah berada di hutan itu.
Beng San
menekan debar jantungnya ketika ia mengenal beberapa orang tokoh luar biasa
yang ia tahu tak akan mengandung maksud hati baik terhadapnya. Pertama-tama
adalah Hek-hwa Kui-bo, nenek yang sejak dahulu selalu memusuhinya itu. Orang ke
dua adalah Siauw-ong-kwi yang sudah nampak tua namun sepasang matanya masih
bergerak-gerak liar membayangkan kenakalan dan kejahatannya.
Kalau
Hek-hwa Kui-bo merupakan tokoh nomor satu dari selatan, adalah Siauw-ong-kwi
ini merupakan tokoh nomor wahid dari utara. Keduanya merupakan iblis-iblis di
samping tokoh besar seperti Song-bun-kwi.
Di samping
dua orang ini dia mengenal tokoh yang tidak kalah jahatnya, yaitu Toat-beng
Yok-mo dan Tok Kak Hwesio, yaitu seorang perampok tunggal yang setelah tua
menjadi hwesio dan yang telah ia ketahui pula macamnya. Empat orang ini saja
sudah merupakan lawan yang berbahaya, di samping Kwa Hong dan Sin Lee.
Apa lagi di
situ masih terlihat seorang tosu tua sekali yang memakai kopyah seperti anak
kecil, memegang tongkat berwarna merah dan kelihatannya lemah sekali,
seakan-akan kalau ada angin besar bertiup, kakek ini tentu akan roboh
terjengkang. Namun, kakek yang belum pernah dikenal Beng San ini malah yang
menimbulkan kekuatiran hatinya.
Di samping
ini, masih terdengar suara tiupan suling aneh itu, akan tetapi peniupnya tidak
kelihatan. Tiupan suling itu mengingatkan Beng San akan seorang tokoh yang
sering kali mendatangkan ular-ular dengan sulingnya, tokoh yang sudah belasan
tahun tak pernah ia dengar, yang kabarnya sudah mati, yaitu murid Siauw-ong-kwi
yang malah lebih jahat dari gurunya, bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin!
Akhirnya
perhatian Kwa Hong tertarik pula oleh rombongan ini dan ketika ia menengok,
wajahnya berubah. Cepat ia menarik tangan puteranya dan berseru, "Mundur
dulu!"
Setelah Sin
Lee melompat mundur di samping Ibunya, wanita ini berkata sambil tertawa,
"Kau lihat saja, Hi-hik-hik, hari ini keparat Beng San akan menerima
hukumannya!"
Sin Lee
tidak mengerti akan maksud kata-kata ibunya, dia hanya memandang dengan kening
berkerut dan pedang tetap terpegang di tangan kanan.
Tadinya agak
lega hati Beng San melihat Kwa Hong dan Sin Lee menghentikan serangan mereka,
akan tetapi mendengar ucapan Kwa Hong itu, dia tersenyum perih. Terpaksa ia
lalu menyimpan pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi rombongan itu.
"Cu-wi
Locianpwe jauh-jauh datang mengunjungi Thai-san, harap maafkan siauwte yang
tidak dapat melakukan penyambutan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, hari
pendirian Thai-san-pai masih dua malam dua hari lagi, harap Cu-wi sekalian sudi
untuk bersabar dan menanti di tempat peristirahatan yang sederhana dan yang
telah kami sediakan."
Siauw-ong-kwi
tertawa terkekeh-kekeh, juga Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio ikut tertawa,
kemudian orang-orang tua ini menggerakkan tubuh mengambil sikap mengurung.
Jelas bahwa mereka ini berusaha memotong jalan keluar dari Beng San.
Ada pun
kakek yang tua renta bertongkat merah itu lalu melangkah maju, langkahnya
gontai. Ketika sampai di depan Beng San dalam jarak dua meter ia berkata,
suaranya lirih agak menggigil seperti suara kakek yang sudah tua sekali,
"Inikah
Raja Pedang pengganti Cia Hui Gan? Masih muda sekali... masih muda sudah
menjagoi, selayaknya pinto (aku) memberi hormat!"
Kakek ini
mengempit tongkat merahnya lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil
membungkuk dengan sikap menjura. Sambaran hawa pukulan yang menimbulkan angin
halus mengejutkan Beng San.
Ia tidak
kaget karena diserang secara demikian karena hal seperti ini sudah biasa
terjadi di kalangan ahli-ahli silat tinggi. Namun yang mengejutkannya adalah
angin halus sekali yang menyambar ke arahnya, karena semakin halus angin yang
ditimbulkan oleh hawa pukulan, berarti makin hebatlah tenaga lweekang-nya.
Cepat dia
mengerahkan hawa murni di tubuhnya, balas menjura sambil berkata, "Siauwte
yang muda mana berani menerima penghormatan Locianpwe?"
Biar pun
kelihatannya ia menjura dengan hormat, namun diam-diam Beng San menangkis
pukulan yang tidak kelihatan itu dan sebagai seorang calon ketua, tentu saja ia
tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Sengaja dia menerima serangan gelap itu
dengan keras lawan keras!
Dua pasang
tangan diangkat ke depan dada, dua tenaga tak kelihatan bertemu di udara dan
biar pun kedua kaki Beng San masih tetap dalam kuda-kuda, tetapi ternyata ia
telah tergeser mundur tiga jengkal!
Juga kakek
itu bergoyang-goyang tubuhnya, lalu cepat ia menggunakan tongkat yang tadi
dikempitnya untuk menunjang tubuhnya sehingga dia tidak jadi terhuyung ke
belakang. Sejenak mata yang tua itu terbelalak kagum, lalu katanya,
"Hebat...
hebat... patut dipuji!"
"Ah,
Locianpwe terlalu merendah. Bolehkah siauwte yang bodoh mengetahui nama besar
Locianpwe?" tanya Beng San, diam-diam ia mengeluh karena kakek tua ini
benar-benar merupakan lawan yang paling berat yang pernah ia jumpai selama ia
berkecimpung di dalam dunia persilatan.
Kakek itu
tertawa sehingga kelihatan gusi mulutnya yang sudah tak bergigi lagi.
"Ha-ha-ha pinto orang gunung, mana ada nama? Di utara sana, pinto disebut
Pak-thian Locu (Nabi Locu dari utara), tentu saja Sicu tidak pernah
mendengarnya."
Memang nama
ini tak pernah dikenal Beng San.
Siauw-ong-kwi
segera berkata sambil mendengus, “Thai-san amat tinggi sehingga kadang kala
membuat orang lupa bahwa di atasnya masih ada langit! Calon ketua Thai-san-pai
sampai tak mengenal twa-suheng-ku (kakak seperguruan tua), benar-benar telah
merasa diri paling tinggi."
Beng-San
terkejut. Kiranya kakek ini twa-suheng dari Siauw-ong-kwi. Pantas saja begitu
hebat.
"Ah,
maafkan... maafkan... ini hanya menunjukkan bahwa siauwte kurang
pengalaman."
"Tan
Beng San, selama bertahun-tahun ini telah banyak kau menghina kami, dan secara
pengecut kau menyembunyikan diri di balik jalan-jalan rahasia. Kini dengan
sombong kau hendak mengumumkan pendirian Thai-san-pai. Heran, apakah kau sudah
merasa dirimu menjadi guru besar?" kata Toat-beng Yok-mo sambil melangkah
maju dan menggerakkan tongkatnya yang hitam.
"Hutangmu
kepadaku belum kau bayar lunas!" pekik Hek-hwa Kui-bo sambil mengerling ke
arah Kwa Hong dan Sin Lee. "Kalian dua anjing cilik tunggulah giliranmu."
Nenek yang mengerikan ini sudah mencabut pedang dan selampai yang beraneka
warna.
Melihat
betapa lima orang itu mengurungnya dan telah siap mengeroyoknya, Beng San
tersenyum lalu berkata dengan nada mengejek, "Aku tahu isi hati kalian!
Dua hari lagi, di atas panggung, disaksikan semua tokoh kang-ouw, sudah pasti
kalian takkan dapat maju mengeroyok, melainkan seorang lawan seorang. Hari ini
sengaja kalian menggerebek di sini dengan dalih membalas dendam sehingga kalian
punya kesempatan mengeroyokku, bagus!"
Namun
Hek-hwa Kui-bo sudah menyerbu dengan pedang dan selampainya, menyerang dari
kiri dan dibarengi oleh Siauw-ong-kwi yang menyerang dari kanan. Seperti biasa,
Siauw-ong-kwi menggunakan sepasang lengan bajunya yang menerjang untuk
melakukan totokan dengan ujung baju mengarah jalan darah. Serangan ini tak
kalah bahayanya dibandingkan dengan penyerangan Hek-hwa Kui-bo.
Toat-beng
Yok-mo dan Tok Kak Hwesio sambil tertawa juga menyerang cepat. Yok-mo
menggunakan tongkat hitamnya, ada pun Tok Kak Hwesio menggunakan kepandaiannya
yang diandalkan, yaitu cengkeraman monyet...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment