Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 16
Hanya tadi
karena keheranan melihat Kun Hong juga tidak apa-apa dan bahkan dapat
menolongnya, timbul keinginan hati pemuda ini untuk mencoba Kun Hong yang
berkali-kali menyatakan tidak mempunyai kepandaian. Ia sengaja pura-pura
pingsan sambil diam-diam siap sedia melindungi Kun Hong. Ingin ia melihat
bagaimana Kun Hong akan menghadapi tiga orang lawan berat ini.
"Susiok,
(Paman Guru), inilah pemuda Thai-san-pai itu. Lebih baik kubinasakan saja agar
jangan berkepanjangan!" Kata Si Muka Kanak-kanak kepada hwesio itu.
Tertegun
hati Kun Hong mendengar bahwa hwesio itu masih paman guru Kang Houw. Murid
keponakannya saja sudah sedemikian lihainya, apa lagi paman gurunya. Dan di
situ masih ada Toat-beng Yok-mo yang dia ketahui bagaimana jahat wataknya. Akan
tetapi melihat bahwa paman gurunya itu adalah seorang pendeta Buddha, timbul
harapannya.
"Jangan
main bunuh!" Kun Hong berseru sambil mengangkat tangannya ke atas.
"Losuhu, katakanlah kepada murid keponakanmu itu bahwa membunuh dilarang
dalam agama."
Akan tetapi
hwesio itu tersenyum menyeringai memperlihatkan deretan gigi kuning, malah
mengangguk ke arah Kang Houw. Si Gendut ini lalu meloloskan sabuk yang
merupakan cambuk senjatanya, melompat ke arah Cui Bi.
"Hei,
tidak boleh kau membunuh dia! Selama aku masih hidup dan berada di sini, kau
tak boleh membunuh orang! Losuhu, kau ini seorang hwesio, bukankah membunuh
orang itu bertentangan keras dengan pelajaran agamamu?"
Melihat
dengan nekat Kun Hong menghadangnya, Kang Houw menjadi marah. "Kau ini
kutu busuk jembel, mau apa petentang-petenteng? Lebih baik kau kubunuh lebih
dulu agar jangan banyak rewel!"
''Hemmm,
Kang Houw, alangkah jahatnya kau! Apa kau kira aku takut kepadamu? Lihat
baik-baik, aku Kwa Kun Hong berjanji tidak akan lari dan sanggup menerima pukulanmu
seratus kali. Bagaimana? Kalau aku lari atau mampus sebelum kau pukul seratus
kali, barulah kau boleh mengganggu temanku ini."
Diam-diam
Cui Bi memaki pemuda yang dianggapnya tolol dan gila itu. Andai kata orang
berkepandaian juga, mana mungkin bisa menahan pukulan seorang ahli lweekang
sampai seratus kali? Bila saja tidak ingat bahwa pemuda itu berbuat demikian
penuh keberanian dan pengorbanan untuk melindungi dirinya, tentu ia sudah
meloncat bangun dan memaki kebodohannya.
Diam-diam
pemuda ini mengintai dan siap untuk menolong apa bila Kun Hong terancam bahaya.
Ia tidak segera turun tangan karena ingin benar melihat apa yang akan dilakukan
Kun Hong selanjutnya sebagai akibat dari tantangan yang tak masuk akal terhadap
Kang Houw yang lihai itu. Orang she Kang itu tertawa bergelak sampai tubuhnya
yang gendut itu bergerak-gerak semua. "Ha-ha-ha! Betulkah janjimu ini? Aku
akan menggebukmu dengan cambukku ini seratus kali dan kau tak akan lari dan
menerima begitu saja?"
"Siapa
akan membohongimu? Kau boleh menggebuk terus menerus sampai seratus kali jangan
berhenti."
"Bagus,
kalau kau mampus, dagingmu akan hancur lebur, tidak usah ribut dikubur lagi.
Jika sampai seratus kali kau benar-benar tidak apa-apa, biarlah aku Kang Houw
mengaku kalah dan berlutut seratus kali kepadamu. Ha-ha-ha!"
"Mulailah,
dan hitung baik-baik!" kata Kun Hong.
Suaranya
tiba-tiba berubah aneh seperti suara yang datang dari angkasa, bergema kuat
membuat Toat-beng Yok-mo dan hwesio itu saling pandang dan nampak kaget. Bahkan
Cui Bi juga terkejut sekali mendengar suara ini. Ia lalu teringat bahwa ketika
pemuda itu mula-mula muncul di hutan tiga hari yang lalu, juga pernah bersuara
seperti itu.
"Awas,
lihat cambuk. Satuuu...!"
“Tarrr!”
terdengar bunyi susulan keras sekali.
Cui Bi sudah
siap melompat, akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Kun Hong
betul-betul tidak bergeming dari tempatnya dan anehnya... cambuk itu bukan
digebukkan kepada kepala Kun Hong, melainkan kepada sebuah batu besar di
sebelah kiri pemuda itu.
"Duaa...
tarrr!”
Kang Houw
mencambuk lagi, kelihatannya penasaran dan marah sekali. Debu-debu batu
beterbangan terkena hantaman cambuk yang digerakkan tenaga lweekang raksasa
itu.
"Tigaaa...
tarrr!"
Kang Houw
mencambuk terus sambil menghitung, peluh membasahi jidatnya. Sedangkan Kun Hong
enak-enak berdiri, bahkan dengan tenang ia meninggalkan tempat itu, berjalan
menghampiri Toat-beng Yok-mo dan hwesio itu yang berdiri terlongo-longo
menyaksikan peristiwa luar biasa ini.
Cui Bi lupa
akan peranannya berpura-pura pingsan tadi. Dia bangun dan duduk bengong
menyaksikan betapa Kang Houw menggebuki batu sambil menghitung terus!
"Yok-mo,
kau juga mencari aku mau apakah?" Kun Hong bertanya tenang-tenang saja
kepada Yok-mo.
Sejenak
kakek ini bingung. Ia memandang kepada Kun Hong lalu menoleh kepada Kang Houw,
sampai lama berganti-ganti ia memandang. Sesudah terbatuk-batuk kemudian dia
berkata, "Orang muda yang aneh, aku datang hendak bertanya kepadamu,
apakah kau telah membaca habis tiga buah kitabku yang kau kembalikan itu?"
"Tentu
saja! Bukankah dulu kau sendiri yang memberi ijin padaku untuk
membacanya?" jawab Kun Hong sewajarnya, karena memang ia tidak membohong.
"Hemm,
kalau begitu kau harus mampus. Tak seorang pun boleh mempelajari ilmuku."
"Nanti
dulu, Yok-mo. Mampus ya mampus, tetapi biarlah aku bicara dulu dengan Losuhu
ini. Losuhu, kau sebagai paman dari Kang Houw, apakah kau juga bermaksud
membunuh aku?"
Hwesio itu
nampak bingung. Sudah beberapa kali pemuda ini menyindirnya mengenai pelajaran
Agama Buddha. Memang pada waktu itu banyak juga penjahat yang mencukur rambut
masuk menjadi hwesio agar terbebas dari pengejaran yang berwajib. Selain ini,
dengan menjadi hwesio mereka lebih leluasa melakukan kejahatan sambil
memperdalam ilmu silat yang banyak dimiliki para hwesio. Hwesio ini adalah
seorang di antara mereka itu.
"Pinceng
(aku) datang untuk menangkap pemuda Thai-san-pai itu, pinceng tiada urusan
denganmu. Lebih baik kau lekas pergi dari sini, jangan mencampuri urusan
pinceng."
"Hemm,
enak saja kau bicara, Losuhu. Sebetulnya, walau pun kau berjubah hwesio dan
kepalamu gundul, namun isi hatimu tiada bedanya dengan orang sebangsa Kang
Houw. Sebetulnya aku tak sudi melayani orang palsu seperti engkau, juga aku tidak
sudi untuk berurusan dengan Yok-mo yang wataknya plin-plan ini. Akan tetapi
karena kalian sudah datang, yang seorang hendak membunuh aku, seorang lagi
hendak membunuh temanku, padahal temanku itu lagi tak dapat melawan dan akulah
yang melindunginya. Nah, kalian berdua majulah berbareng. Kalau maju seorang
demi seorang, aku tidak sudi melayani, seorang saja kurang berharga bagiku.
Hayo, majulah jika memang berani melawan aku!" Setelah berkata demikian,
Kun Hong mencabut pedang Ang-hong-kiam dari balik bajunya.
Cui Bi
diam-diam memperhatikan dan ingin sekali ia melihat apakah betul-betul Kun Hong
seorang ahli pedang seperti yang dia sangka. Akan tetapi hampir saja dia
terkekeh geli saat melihat cara Kun Hong memegang pedang, sama persis seperti
seorang pemotong kambing memegang golok penyembelihan atau seperti seorang
tukang mencacah bakso memegang goloknya. Juga Yok-mo dan hwesio itu saling
pandang dengan ragu-ragu. Gilakah pemuda ini?
"Hayo
maju, boleh kalian merasakan ilmu pedangku! Lihat baik-baik, pedang pusaka ini
akan membereskan kalian dengan mudah saja. Ha-ha-ha!"
"Bocah
edan, apakah kau betul-betul sudah bosan hidup?" Hwesio itu membentak.
"Kun
Hong, kau pernah menggendongku. Kalau kau suka minta ampun dan bersumpah tak
akan mengingat lagi isi kitab-kitabku, biarlah kuampuni jiwamu dan hanya
mengambil sepuluh buah jari tanganmu agar kau tidak melanggar janji," kata
Toat-beng Yok-mo.
Bergidik Kun
Hong. Benar-benar dua orang ini iblis-iblis yang tidak patut disebut manusia
lagi. Ia menyimpan kembali pedangnya dengan hati-hati. Lalu ia menepuk kedua
telapak tangannya.
"Hemm,
kalau aku menggunakan pedang, tentu darah kalian tercecer dan akan menjadi
sialan bagiku kalau sampai terkena darah kalian berdua. Aku hanya akan
membagi-bagi tempelengan kepadamu, majulah dua ekor iblis tua!"
Toat-beng
Yok-mo adalah tokoh besar yang jarang bandingannya, juga hwesio itu yang
bernama Tok Kak Hwesio, merupakan tokoh besar yang sangat lihai ilmunya, apa
lagi ilmunya Kauw-jiauw-kang (Cengkeraman Tangan Monyet) sukar sekali dilawan,
biar oleh lawan bersenjata sekali pun. Sekarang bocah yang lagaknya seperti
orang berotak miring ini menantang mereka berdua maju bersama. Alangkah
gilanya. Penghinaan yang tiada taranya.
"Yok-mo,
bukan kita akan mengeroyok, tapi marilah kita berlomba, siapa yang lebih dulu
mematahkan batang leher bocah ini, dialah yang menang!"
"Heh-heh-heh,
bagus, Tok Kak Hwesio, mari mulai!"
Dua orang
kakek itu lalu menubruk ke depan, seperti orang-orang menubruk swike (Katak
Hijau) saja. Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depan mereka.
Keduanya bingung dan Kun Hong sudah tertawa di belakang mereka. "He, aku
di sini!"
Keduanya
membalik dan secepat kilat menerjang maju, mempergunakan pukulan-pukulan yang
mematikan. Diam-diam Cui Bi menonton dengan mata terbelalak. Sekali lagi dia
melihat Kun Hong terhuyung-huyung ke samping, kedua lengan berkembang, tubuhnya
berputaran dengan pantat ditarik-tarik ke atas seperti lagak burung hendak
terbang. Lucu sekali gerakannya, akan tetapi anehnya, sekali lagi serangan
kedua orang tokoh besar itu mengenai angin!
"Hayo
serang terus... serang terus, aku membalas, awas. Heeiiiitt, ayaaa... awas,
kanan... kiri... muka... belakang...!"
Cui Bi
sekarang bangun berdiri. Bukan hanya matanya yang terbuka lebar melotot, malah
mulutnya yang kecil itu juga terbuka lebar-lebar. Ia berdiri seperti patung
saking herannya. Ia melihat Kun Hong berjalan melenggang tenang dan enak sekali
keluar dari kalangan pertempuran dan dua orang jago tua itu kini saling serang
dengan hebatnya!
"Ehh,
kau berdiri dengan mulut terbuka lebar seperti itu, bagaimana kalau ada lalat
yang masuk?"
Buru-buru
Cui Bi menutup mulutnya dan ia seperti baru sadar dari mimpi. Saking heran dan
bingungnya, ia merasa bulu tengkuknya berdiri dan ia menurut saja ketika Kun
Hong menarik tangannya dan mengajaknya lari dari tempat itu.
Sekali lagi
ia menengok dan memandang tajam. Sungguh gila betul! Apakah dia sudah gila
sehingga pandang matanya kacau? Ataukah mereka bertiga itu yang gila? Ia masih
melihat Kang Houw menggebuki batu yang sudah setengah hancur sambil menghitung,
"Lima puluh empat... tarrr!"
Juga masih
terlihat Yok-mo bersama hwesio itu terengah-engah dan mati-matian saling gebuk,
saling jotos! Sekali lagi ia mengkirik, lalu tak menoleh lagi, menurut saja
diseret oleh Kun Hong. Hari telah mulai gelap ketika keduanya berhenti dan
memasuki sebuah kuil kosong di luar sebuah kampung kecil. Dengan napas
terengah-engah, aneh sekali, bukan karena lelah melainkan saking ngeri dan
seramnya, Cui Bi menjatuhkan diri di atas lantai yang kasar dan kotor,
memandang Kun Hong.
"Eh,
kenapa kau memandangku begini rupa? Laote (Adik), kulihat kau tadi sudah berdiri.
Kau tidak pingsan lagi, kenapa kau tidak segera mempergunakan kepandaianmu
memberi hajaran kepada mereka?" tanya Kun Hong.
Diam-diam
Kun Hong merasa tidak enak karena ilmu yang dia pergunakan itu membuat pemuda
ini terheran-heran dan sekarang ia sibuk mencari alasan untuk menyembunyikan
kepandaiannya.
"Hong-ko...
apa yang kau lakukan tadi…? Mimpikah aku…? Bagaimana mereka itu bisa...
bisa..."
"Bisa
apa?"
"Bisa
begitu... ahhh, ngeri aku melihatnya. Apakah tiba-tiba Kang Houw itu sudah
menjadi gila, memukuli batu seperti itu? Dan kenapa pula Yok-mo malah bertempur
sendiri dengan hwesio itu?"
"Ha-ha-ha-ha,
apanya yang aneh? Laote, agaknya kau tadi pingsan, kau tidak mendengar jelas
percakapan kami. Aku menantang dia supaya mencambuki batu seratus kali, kalau
batu itu dapat dihabiskan aku mengaku kalah. Ada pun Yok-mo dan hwesio itu,
mereka berkelahi karena berebutan untuk membunuh aku. Mereka tidak mau saling
mengalah, hendak berlomba untuk membunuhku. Memang untungku, juga untungmu,
bisa terlepas dari tangan orang-orang jahat itu."
Cui Bi
memandang tajam, tentu saja dia tidak dapat mempercayai keterangan ini. Akan
tetapi kalau tidak begitu, habis apa pula sebabnya terjadi peristiwa yang
begitu aneh? Ia benar-benar tidak mengerti.
"Hong-ko,
apakah benar-benar kau tidak pandai bersilat? Apakah kau bukannya tengah
berpura-pura padahal kau telah mewarisi semua kepandaian ayahmu?"
Kun Hong
tersenyum. "Laote, sudah kuceritakan bahwa Ayah tidak suka aku belajar
silat, bagaimana aku bisa mewarisi kepandaiannya? Tentu saja aku juga tahu
banyak tentang Hoa-san Kun-hoat karena aku telah membaca semua kitab-kitabnya."
Cui Bi
benar-benar tidak mengerti bagaimana orang bisa membaca kitab pelajaran ilmu
silat tanpa melatihnya. Apa gunanya? Ada pun pemuda ini... benar-benar
mengherankan!
Dikatakan
pandai silat, gerakan-gerakannya tadi ketika berhadapan dengan lawan begitu
kaku dan kacau, jelas membayangkan bahwa dia memang tidak pandai bersilat. Akan
tetapi, dikatakan tak pandai, mengapa sikapnya demikian tabah dan berani, malah
dapat menyelamatkan diri dari ancaman tokoh-tokoh seperti Song-bun-kwi, Toat-beng
Yok-mo, dan yang lain-lain secara begitu aneh!
Malam hari
itu mereka bermalam di dalam kuil kosong, memilih tempat yang agak bersih di
sebelah belakang. Cui Bi mengeluarkan roti kering yang dibelinya di dalam dusun
yang mereka lewati tadi, lalu membaginya dengan Kun Hong. Mereka makan roti
kering dan minum air dari sumur yang berada di belakang kuil. Kemudian mereka
merebahkan diri, Cui Bi di atas meja sembahyang yang sudah tidak ada isinya
apa-apa lagi, Kun Hong menemukan bangku panjang dan berbaring di situ.
Malam itu
tidak terjadi sesuatu yang penting. Namun pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali dua orang muda itu mendengar suara orang di depan kuil. Kun Hong dan Cui
Bi saling pandang ketika mendengar suara seorang laki-laki, suara yang keras
dan nyaring penuh nada mengejek,
"Heeei,
semalam suntuk kau nekat berjalan terus, setelah pagi malah berhenti! Agaknya
sudah tidak waras otakmu!"
Terdengar
jawaban, nyaring, akan tetapi ketus, "Tutup mulut! Kau tawananku,
ingatkah? Aku hendak berbuat apa yang kusuka, kau tak punya hak membuka mulut
mencampuri urusanku, mengerti?"
Mendengar
suara ini seketika Kun Hong berseri wajahnya. Ia hendak menyerbu keluar. Cui Bi
yang melihat gerakannya, cepat-cepat menangkap lengan tangan Kun Hong dan
menaruh telunjuk pada bibirnya, minta temannya itu supaya jangan berisik.
"Dia
itu... dia itu Li Eng...," bisik Kun Hong dekat telinga Cui Bi, akan
tetapi segera ia menjauhkan mukanya dan bergidik karena mencium bau harum dari
sekitar telinga itu. Alangkah pesoleknya laki-laki ini, memakai minyak segala!
Cui Bi
nampak terkejut, akan tetapi dia tetap memberi isyarat supaya temannya tidak
membuat gaduh dan mereka akan mengintai dahulu. Berindap-indap mereka keluar
dan mengintai ke ruangan depan. Kun Hong menuruti kehendak temannya karena ia
pun lalu ingat bahwa mungkin Li Eng datang bersama musuh-musuh tangguh, juga ia
ingin tahu siapakah laki-laki yang bicara dengan Li Eng itu. Benar juga dugaan
Kun Hong. Memang yang datang sepagi itu di kuil ini adalah Li Eng dan
tawanannya.
Seperti
telah kita ketahui, karena mempergunakan kesempatan selagi Kong Bu, pemuda yang
menawannya itu berusaha menyedot keluar racun dari luka di kakinya, Li Eng lalu
memukul roboh Kong Bu dan balas menawannya. Tentu saja Li Eng tak sudi
memanggul tubuh Kong Bu yang sengaja membalasnya dengan sikap ketus dan
melawan, sehingga terpaksa gadis ini yang sudah membelenggu kaki Kong Bu, lalu
mengikatnya dengan akar dan menyeretnya sepanjang jalan!
Li Eng cukup
cerdik untuk mengambil jalan yang sunyi melalui hutan-hutan dan gunung-gunung.
Sewaktu-waktu kalau terpaksa melalui dusun-dusun, ia berhenti dan melanjutkan
perjalanan pada waktu malam. Ia tidak mau dijadikan tontonan karena tentu saja
mereka menjadi perhatian orang. Mana ada seorang gadis melakukan perjalanan
sambil menyeret seorang laki-laki yang terbelenggu?
Demikianlah,
pagi hari itu dia tiba di kuil tua. Semalam suntuk dia telah berjalan sambil
menyeret tubuh Kong Bu, lelahnya dan ngantuknya bukan main, maka ia lalu
berhenti dan mengambil keputusan untuk beristirahat dan tidur di kuil tua ini.
Tentu saja ia sama sekali tidak penah menyangka bahwa pamannya berada di
belakang kuil dan bahwa sekarang ‘Paman Hong’ itu sedang mengintainya.
Jalan masuk
ke dalam kuil itu melalui anak tangga, lumayan juga tingginya, ada satu
setengah meter.
"Hayo
bangkit, kita masuk ke kuil! Tidak mau aku orang yang lewat di depan ini
mellhat kita." Li Eng membentak sambil menarik-narik ujung tali akar yang
kuat itu.
Kong Bu
masih rebah telentang di atas tanah. Tubuh pemuda ini sudah tidak karuan lagi
macamnya. Mukanya kotor penuh debu, rambutnya awut-awutan dan pakaian di bagian
punggungnya sudah habis, robek-robek ketika tubuhnya terseret. Akan tetapi
hebatnya, tiada sedikit pun kulit tubuhnya yang rusak biar pun gadis itu
menyeretnya sepanjang hari.
Mendengar
perintah Li Eng, Kong Bu tersenyum dan memandang dengan mata bersinar-sinar
penuh ejekan, "Memang aku ingin sekali orang-orang melihat kita. Biarlah
mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa liar dan buasnya gadis murid
Hoa-san-pai. Ha, kau benar-benar hendak menyebarkan kebusukan Hoa-san-pai di
depan umum. Seorang gadis menyeret-nyeret tawanannya seperti seekor binatang,
hemm, di dunia ini mana ada keganasan melebihi ini? Huh, anak murid
Hoa-san-pai, memang benar kata-kata Kakek. Anak murid Hoa-san-pai terutama yang
perempuan, jahat seperti siluman."
"Tutup
mulutmu!" Li Eng memekik marah. "Kau yang jahat, kau yang seperti
iblis, kaulah yang palsu. Setelah menjadi tawananku, kau sengaja tidak mau
menurut, tidak mau jalan mengikuti. Bila tidak menyeretmu, habis bagaimana aku
bisa membawamu ke Thai-san? Dasar kau yang licik dan jahat."
"Itulah
kalau dasarnya jahat. Ketika aku menawanmu, kau kugendong ke mana-mana, dan
sekarang setelah kau berbalik menawan aku, kau seret-seret!"
"Cihhh,
tak bermalu! Masa aku harus menggendongmu? Puuhhh! Hayo naik, masuk ke dalam
kuil."
"Tidak
sudi!" Kong Bu menjawab, tetap tersenyum mengejek, tersenyum lebar
sehingga deretan giginya yang putih dan rata serta kuat itu tampak berkilat di
atas dagunya yang membayangkan kekerasan hati yang luar biasa.
"Kepala
batu!" seru Li Eng dan sekali ia membetot ujung tali akar itu, tubuh Kong
Bu melayang melewati anak tangga, ke dalam kuil. Akan tetapi ketika tubuh itu
turun ke atas lantai kuil, seperti sehelai daun kering saja, sama sekali tidak
terbanting keras.
Diam-diam
Cui Bi yang mengintai bersama Kun Hong, terkejut dan kagum sekali melihat ini.
Cara gadis cantik jelita ini membetot tali dan membuat tubuh pemuda itu
melayang ke dalam kuil, membuktikan kehebatan lweekang Si Gadis dan hanya
seorang ahli silat tinggi saja yang dapat melakukan hal itu. Di lain pihak
tubuh pemuda itu turun seperti sehelai daun kering, hal ini membuktikan pula
kehebatan ginkang dari Si Pemuda. Jelas dalam pandang mata Cui Bi bahwa
sepasang muda-mudi yang bermusuhan ini adalah dua orang yang memiliki
kepandaian hebat!
Sementara
itu, Kun Hong yang sejak tadi mengerutkan keningnya, tidak dapat menahan
kemarahannya lagi melihat ‘keponakannya’ memperlakukan seorang tawanan seperti
itu. Tanpa dapat dicegah lagi oleh Cui Bi, ia melompat keluar sambil berseru,
"Eng-ji,
benar-benar kelakuanmu sekali ini tidak patut!"
Li Eng
menengok kaget, wajahnya lalu berseri dan matanya bersinar-sinar. Tanpa terasa
ia melepaskan ujung tali dan lari menubruk Kun Hong.
"Paman
Hong...!” Gadis itu memegang kedua lengan Kun Hong, meloncat-loncat seperti
anak kecil diberi permen. "Aduh, Paman Kun Hong... siapa mimpi bertemu
dengan kau di sini?"
Kun Hong
mengerutkan keningnya, menggeleng-geleng kepala dan berkata, suaranya tenang
akan tetapi berpengaruh sekali. "Li Eng, sebelum kita bicara lebih dulu
kau harus lepaskan belenggu dia itu!"
Ia menuding
ke arah Kong Bu yang memandang pertemuan itu dengan mata tajam, akan tetapi ia
tidak mengerti siapa adanya pemuda yang pakaiannya seperti anak sekolah akan
tetapi sudah butut, sikapnya lemah lembut dan dipanggil paman oleh Li Eng ini.
"Aih,
mana bisa, Paman Hong! Dia ini adalah cucu dari iblis tua Song-bun-kwi yang
telah menawan aku dan Enci Hui Cu. Enci Hui Cu dirampas pula oleh orang lain
entah siapa, sedangkan aku oleh iblis tua Song-bun-kwi diserahkan kepada...
iblis muda ini. Baiknya aku dapat... ehhh..."
"...
menipu, berlaku curang dan membalas susu dengan air tuba," Kong Bu
menyambung.
"Diam
kau, setan alas!" Li Eng memaki.
"Li
Eng, segala urusan dapat didamaikan, kesukaran dapat diatasi, pertikaian juga
dapat dirundingkan. Tak patut kau memperlakukan seorang manusia seperti ini.
Hayo, kau buka ikatan tangannya."
"Tetapi...
tetapi dia berbahaya sekali, Paman Hong. Kalau dia terlepas, mungkin... aku...
belum tentu dapat menguasainya. Dia lihai dan kejam sekali, seperti binatang
buas..."
Sementara
itu, Kun Hong memandangi wajah Kong Bu dengan penuh perhatian dan tajam sekali.
Serasa dia mengenal wajah ini, akan tetapi entah di mana. Tidak mungkin wajah
segagah dan setampan ini dihuni watak yang rendah.
"Kau
lepaskan, aku yang tanggung."
Li Eng
adalah seorang gadis yang manja dan selalu ingin menang sendiri. Akan tetapi
sejak bertemu dengan Kun Hong, ia menjadi penurut dan lenyaplah segala
kekerasannya. Baginya serasa tak mungkin ia membantah perintah pamannya yang
muda ini.
Setelah
menarik napas berulang-ulang, dia melangkah maju, mencabut pedangnya dan sekali
tebas dia hendak memutuskan belenggu pada kedua tangan Kong Bu. Akan tetapi
tiba-tiba dia melompat ke belakang tidak melanjutkan babatannya, matanya
memandang dengan terbelalak dan wajahnya berubah.
Kiranya Kong
Bu sambil tertawa sudah memberontak, menggerakkan kedua tangannya dan...
belenggu akar pohon itu seketika putus-putus! Dengan gerakan ringan sekali Kong
Bu meloncat bangun, berdiri dengan baju bagian belakang hancur sehingga
punggungnya yang kuat itu tampak nyata berlumur debu. Pemuda ini dengan berdiri
tegak memandang kepada Li Eng dengan mata memancarkan sinar penuh ejekan.
Gadis itu
merah seluruh mukanya, hatinya mengkal bukan main. Kiranya pemuda itu kalau
mau, dalam perjalanan mereka itu mampu melepaskan belenggunya. Kiranya, pemuda
itu membiarkan dirinya ditawan, hanya untuk menggodanya.
"Setan
kau!" desisnya dan pedangnya berkelebat hendak menyerang.
"Eng-ji,
jangan…!" bentak Kun Hong dan... dengan lemas gadis itu menurunkan kembali
pedangnya.
"Dia...
dia musuh kita, Paman Hong. Dia menghina Hoa-san-pai, hendak kuseret dia ke
depan Sukong (Kakek Guru) agar dihukum!"
Kun Hong
bukanlah seorang bodoh. Biar pun ia kelihatan tak suka menonjolkan diri, akan
tetapi sesungguhnya dia seorang yang cerdas dan cerdik. Dia pun dapat menduga
bahwa pemuda yang gagah di depannya itu tertawan oleh Li Eng hanya pura-pura
menyerah saja. Ginkang yang didemonstrasikan tadi, juga tenaga memutuskan tali
yang terbuat dari akar yang amat kuat, cukup membuat ia dapat menduga bahwa
kepandaian pemuda ini tidak di bawah tingkat Li Eng.
"Sahabat,
harap kau maafkan jika keponakanku ini melakukan kekerasan terhadap dirimu. Aku
percaya kau cukup jantan untuk menyudahi perselisihan dengan seorang gadis,
yaitu keponakanku ini. Kau boleh meninggalkan kami tetapi kuharap kau suka
memberi tahu mengapa kakekmu Song-bun-kwi menawan dua orang keponakanku dan ke
mana pula perginya keponakanku yang seorang lagi."
Kalau tadi
perhatian Kong Bu hanya tertuju kepada Li Eng untuk menggodanya, sekarang ia
memandang kepada pemuda yang mengaku paman dari Li Eng ini. Dan ia tertegun.
Mata itu. Terang bukanlah mata biasa, begitu tajam menusuk jantung, penuh
wibawa dan kekuasaan. Dan kata-kata yang halus itu! Diam-diam dia kagum, akan
tetapi mendengar pertanyaan terakhir ini, ia tertawa!
"Sahabat,
memang beralasan kalau kakekku membenci semua anak murid Hoa-san-pai. Ibuku
mati karena anak murid perempuan Hoa-san-pai. Kakek menawan dua orang murid
Hoa-san-pai, yang seorang sudah dirampas oleh orang lain, entah siapa, dan
seorang lagi diserahkan kepadaku. Aku tawan keponakanmu ini, aku malah telah
melemparnya kepada anjing-anjing hutan untuk dimakan. Akan tetapi aku
menolongnya dan sepanjang jalan aku memanggulnya. Kemudian aku tertipu dan
tertawan olehnya. Dia lalu menyeret-nyeret aku sepanjang jalan. Balas membalas
sudah punah, sudah lunas untuk sementara ini. Tidak ada yang harus dimaafkan
dan memaafkan. Kita sudah seri. Aku tidak mau menyalahkan siapa-siapa, tetapi
juga tidak mau disalahkan."
Kun Hong
mengerutkan kening. Begitu melihat dan mendengar omongan pemuda ini, ia dapat
meraba isi hati orang, dapat menaksirkan watak orang. Pemuda ini berjiwa gagah,
jujur dan sama sekali tidak jahat. Hanya keras hati dan aneh. Ia menggeleng
kepala.
"Apakah
yang menyebabkan kematian ibumu itu seorang di antara kedua keponakanku
ini?" tanyanya menegur.
"Bukan!
Akan tetapi mereka pun anak murid perempuan Hoa-san-pai."
"Hemmm,
kau teracun oleh nafsu dendam kakekmu, sahabat. Salah seorang anak murid
Hoa-san-pai membuatmu penasaran, apakah oleh karena itu kau harus memusuhi
semua orang Hoa-san-pai? Bila begitu pendirianmu, apakah kalau ada seorang
petani menyakiti hatimu, kau lalu memusuhi seluruh petani di permukaan bumi
ini? Lagi, kalau kau disakiti hatimu oleh seorang manusia, apakah kau pun akan
memusuhi seluruh manusia di jagat ini?"
"Ngaco!"
Kong Bu membentak. "Itu lain lagi!"
"Bukan
ngaco, apa bedanya? Kalau ada anak murid Hoa-san-pai yang bersalah, belum tentu
semua anak murid Hoa-san-pai juga bersalah, sama halnya bila ada seorang petani
bersalah, belum tentu seluruh petani harus bersalah, atau kalau ada seorang
manusia bersalah, tidak semestinya kita menyalahkan seluruh umat manusia. Apa
lagi kalau diingat bahwa menyalahkan orang lain sama mudahnya dengan
membalikkan telapak tangan, setiap orang pun bisa melakukannya. Cobalah tengok
diri sendiri dan mencari kesalahan sendiri, kalau bisa berbuat begitu barulah
terhitung seorang gagah sejati."
Kong Bu
termenung, memandang aneh, lalu menggaruk-garuk kepalanya. Dia kemudian
membalikkan tubuh dan berkata, "Sudahlah, aku pergi!" Sambil
mengerling ke arah Li Eng ia berkata, "Sampai berjumpa lagi."
"Apa?!"
Li Eng menyerang ketus. "Sekali lagi berjumpa, kalau tidak ada Paman Hong
aku ingin bertempur seribu jurus denganmu sampai seorang di antara kita
menggeletak tak bernyawa!"
Kong Bu
tertawa mengejek, "Bagus, boleh sekali. Akan kunanti saat itu."
Kemudian ia meloncat jauh dan berlari cepat, sebentar saja lenyap di sebuah
tikungan jalan.
Kun Hong
menarik napas panjang, berbalik memandang Li Eng yang masih merah kedua
pipinya. "Kenapa kau begitu membencinya, Li Eng?"
"Aku
benci padanya! Benci... benci setengah mati! Dia kurang ajar sekali, Paman.
Masa dia bilang semua murid Hoa-san-pai adalah orang jahat dan hina. Dia tidak
memandang sebelah mata kepadaku!" Suara gadis ini makin parau seakan-akan
ia hendak menangis, saking gemas dan mendongkolnya.
Kun Hong
tersenyum. "Benci atau cinta itu sama saja..."
"Husss!
Kau bilang apa, Paman...?" Li Eng berseru sambil memandang dengan kedua
matanya terbelalak.
Indah sekali
sepasang mata itu dan Kun Hong harus mengakui dalam hatinya bahwa yang paling
indah di antara seluruh anggota tubuh keponakannya ini adalah matanya yang
seperti bintang itulah. Ia kagum sejenak, lalu menyambung sambil tersenyum,
"Baik
cinta mau pun benci hanyalah merupakan pencetusan perasaan yang dipengaruhi
oleh keadaan, berdasarkan sifat keakuan (egoisme) yang sudah menjadi watak
dasar dari setiap manusia. Siapa yang menguntungkan dan menyenangkan akan
diupah rasa cinta, sebaliknya siapa yang merugikan dan tidak menyenangkan
diupah rasa benci. Karena itu, kalau hari ini kita membenci seseorang, bukan
tak mungkin esok hari kita mencintanya."
"Apa...?"
Merah sekali kedua pipi Li Eng, menambah kecantikannya. "Kau mau bilang
aku akan mencinta... dia...?"
Kun Hong
mengangkat tangan seperti hendak menangkis tamparan. Andai kata ia bukan paman
Li Eng, agaknya gadis ini akan menamparnya.
"Bukan
kau... bukan kau... aku hanya bicara menurutkan renungan, semua orang bisa saja
mengalami hal ini dan... heee, mana dia?"
"Dia
siapa?" Li Eng menengok ke kanan kiri belakang.
"Dia
tadi berada di dalam kuil bersamaku. Heee, Bi-te (Adik Bi)... keluarlah!"
Kun Hong memanggil-manggil, malah segera masuk ke dalam mencari-cari.
Namun orang
yang dicarinya, Cui Bi, tidak nampak mata hidungnya lagi. Dan di belakang
pintu, pada sebuah tiang kayu yang keras di mana mereka berdua tadi bersembunyi
dan mengintai, terdapat tuiisan, ditulis dengan tekanan jari tangan pada kayu
yang keras itu.
‘Hong-ko,
aku pergi dulu, sampai jumpa pula’.
"Siapakah
dia itu, Paman Hong?" tanya Li Eng tertarik setelah ia ikut membaca
tulisan ini. "Hebat juga lweekang-nya!"
Kun Hong
menarik napas panjang lalu tersenyum, sinar matanya berseri karena ia teringat
akan persamaan watak antara Li Eng dan pemuda itu.
"Dia
anak murid Thai-san-pai, ilmu silatnya lihai. Ahh, sayang dia pergi. Aku tidak
tahu kenapa dia buru-buru pergi, aku ingin sekali mengenalkan dia kepadamu
Eng-ji. Biarlah, kelak kita pasti akan bertemu juga dengan dia. Sekarang lebih
baik kita lekas-lekas pergi ke Thai-san, banyak hal kita jumpai di jalan yang
ada hubungannya dengan Thai-san-pai, agar supaya kita dapat memberi tahu kepada
Paman Tan Beng San dan di sana dapat bersiap-siap menghadapi maksud orang-orang
jahat."
"Baiklah,
Paman Hong. Sayang, kalau aku ingat kepada Cici Hui Cu..." Li Eng nampak
gelisah dan berduka.
"Jangan
kuatir. Orang yang tidak melakukan kejahatan pasti akan dilindungi oleh Tuhan
Yang Maha Adil. Semoga saja kita akan dapat bertemu dengan Hui Cu dan aku
seperti mendapat firasat bahwa kita akan berjumpa dengan dia di Thai-san
juga."
Berangkatlah
kedua orang muda itu dan aneh sekali, baik Li Eng mau pun Kun Hong melakukan
perjalanan dengan wajah muram. Mereka itu seperti hendak memberi kesan kepada
masing-masing bahwa mereka murung memikirkan Hui Cu, padahal keduanya merasai
sesuatu yang kosong di dalam dada, yang diam-diam hendak mereka bantah sendiri
bahwa hal itu bukan dikarenakan perpisahan mereka dengan orang-orang yang
mereka ‘benci’ dan yang membikin mengkal hati mereka selama ini….
Kong Bu
berlari cepat keluar masuk hutan. Bayangan Li Eng terbayang-bayang di pelupuk
mata, tak mau lenyap biar pun ia berusaha mengusirnya. Ah, anak murid
Hoa-san-pai, mengapa harus diingat-ingatnya? Tapi senyumnya, sinar mata yang
indah itu... ahhh!
Tiba-tiba ia
berhenti, lalu merenung memandang daun-daun di depannya. Hatinya serasa kosong
dan sunyi. Aneh sekali, sekelilingnya tampak sunyi tak berarti, alangkah
bedanya dengan perasaan ketika ia masih diseret-seret tadi.
Ia menepuk
kepala sendiri. "Bodoh kau! Dia benci dan tidak suka kepadamu, kau adalah
musuhnya, kenapa dipikir-pikir? Tolol… celaka!" Dan ia lalu lari lagi
cepat-cepat.
Mendadak ia
melihat ada bayangan berkelebat di sebelahnya dan terdengar suara orang
berseru, "Sahabat, berhenti dulu!"
Kong Bu
tidak lari secepat ia bisa, akan tetapi cukup cepat sehingga gerakan bayangan
yang menyusulnya itu cukup membuat ia terkejut dan maklum bahwa orang ini
memiliki ilmu lari yang hebat juga. Ia berhenti dan memandang. Seorang pemuda,
masih amat muda, tampan sekali, berdiri di depannya. Mata yang tajam
memandangnya penuh selidik. Pakaian pemuda ini amat indah dan rapi, juga
kuku-kuku tangannya terpelihara baik-baik, segalanya begitu bersih, sedangkan
dirinya sendiri begini kotor. Kong Bu menghela napas.
"Kau
siapa dan mau apa menahan perjalananku?" tanyanya, suaranya penuh
kecurigaan dan ketidak senangan. Memang hatinya sedang risau, sedang tak senang
karena ia tidak puas dengan keadaan hatinya sendiri.
"Apakah
Song-bun-kwi itu kakekmu?" pemuda tampan yang bukan lain adalah Cui Bi itu
bertanya.
"Tak
perlu aku sembunyikan hal itu. Benar, Song-bun-kwi adalah kakekku. Kau siapa
dan mau apa?"
"Orang
tuamu... apakah mendiang ibumu bernama Kwee Bi Goat dan ayahmu bernama Tan Beng
San?" Pemuda tampan itu bertanya terus tanpa mempedulikan pertanyaan Kong
Bu sama sekali.
Kong Bu
terkejut sekali. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Tak
peduli bagaimana aku bisa tahu. Cucu Song-bun-kwi, cabutlah pedangmu, hendak
kulihat sampai di mana kelihaian cucu dari Song-bun-kwi!" setelah berkata
demikian, Cui Bi menggerakkan tangan kanannya dan…
"Srattt!"
pedangnya telah berada di tangan.
Kong Bu
membelalakkan matanya, membusungkan dadanya yang bidang. "Sombong kau!
Tanpa sebab kau menantangku, kau kira aku takut kepadamu?"
Dengan marah
ia pun lalu mencabut pedangnya. Diam-diam ia bersyukur bahwa Li Eng gadis liar
itu tidak merampas pedangnya ketika gadis itu menawannya.
Cui Bi
tersenyum mengejek, "Hendak kukenal dengan ilmu pedangmu. Lihat
pedangku!"
Tanpa banyak
rewel lagi pemuda tampan ini lalu menggerakkan pedangnya menusuk. Melihat datangnya
tusukan yang cepat dan kuat seperti kilat menyambar, Kong Bu sangat terkejut.
Itulah gerakan yang sangat hebat dan ia tidak berani memandang ringan. Cepat
ditangkisnya sepenuh tenaga.
"Trangggg!"
Bunga api
berpijar dan Cui Bi merasa tangannya tergetar. Diam-diam ia memuji tenaga dari
pemuda gagah itu. Akan tetapi dia tidak memberi hati dan segera bersilat pedang
dengan amat cepat dan indahnya. Kong Bu kagum sekali. Amat indah
gerakan-gerakan ilmu pedang ini, lagi pula cepat dan berbahaya. Ujung pedang
itu berkembang menjadi banyak, dan setiap bayangan ujung pedang mengarah jalan
darah yang penting. Ia pun berseru keras dan tanpa ragu-ragu lagi lalu mainkan
ilmu pedang yang paling ia andalkan, yaitu warisan dari kakeknya, Ilmu Pedang
Yang-sin Kiam-hoat.
Sampai
mengaung-ngaung suara pedangnya memecah udara, menimbulkan tiupan angin di
sekeliling tubuhnya. Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang
hendak menelan lawan.
"Yang-sin
Kiam-hoat! Bagus, hayo keluarkan semua kepandaianmu!" seru Cui Bi sambil
menangkis dan balas menyerang tak kalah hebatnya.
Sekali lagi
Kong Bu terkejut. Pemuda tampan itu tidak hanya segera bisa mengenal ilmu
pedangnya yang jarang dikenal oleh orang-orang kang-ouw itu, bahkan sekaligus
dapat mengimbanginya, agaknya mengenal pula jurus-jurus Yang-sin Kiam-hoat.
Heran benar, semuda ini tapi sudah begitu lihai, siapa dia? Namun pikiran ini
tidak lama mengganggunya karena ia harus mencurahkan seluruh kepandaiannya
untuk menghadapi lawan yang benar-benar berat ini.
Begitu cepat
gerakan kedua orang muda itu sehingga tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan
pedang mereka yang saling membelit. Makin lama Kong Bu menjadi semakin
terheran-heran. Tidak saja semua jurus Yang-sin Kiam-sut yang ia mainkan itu
dapat dihindarkan oleh lawan, malah setiap jurusnya tertindih oleh tangkisan
Yang-sin Kiam-sut juga yang disusul serangan jurus-jurus yang asing baginya,
akan tetapi merupakan kebalikan dari Yang-sin Kiam-sut.
Sama sekali
Kong Bu tidak pernah mimpi bahwa pemuda tampan ini ternyata memiliki Ilmu
Pedang Im-yang Sin-kiam-sut. Jadi artinya kalau ia hanya mengenal setengahnya,
pemuda itu telah mengenal selengkapnya! Tentu saja ia kalah angin dan segera
terdesak hebat.
Namun, Kong
Bu adalah seorang anak gemblengan yang sejak kecil sudah digembleng secara
hebat oleh Song-bun kwi. Tidak hanya Yang-sin Kiam-hoat yang ia warisi, tetapi
semua kepandaian kakeknya yang banyak sekali macamnya. Selain ini, dalam hal
tenaga, ternyata Kong Bu lebih menang setingkat sehingga dengan mengandalkan
kesemuanya ini, ia masih dapat mempertahankan diri dan sengaja ia hendak
mengadu pedang untuk memukul jatuh pedang lawan.
Siapa kira,
pemuda tampan itu walau pun usianya lebih muda darinya, ternyata memiliki
kecerdikan tinggi. Buktinya, pemuda tampan itu sama sekali tidak mau mengadu
pedang karena agaknya maklum bahwa tenaganya kalah besar. Ia mengandalkan
kegesitan di samping kelihaian llmu pedangnya untuk terus mendesak hebat.
Yang membuat
Kong Bu terheran-heran, setelah tiga ratus jurus lebih mereka bertempur,
mulailah ia merasa bahwa andai kata pemuda tampan itu menghendaki, ia tentu
sudah terkena sasaran pedang lawan. Anehnya, pemuda tampan itu agaknya tidak
bertempur sungguh-sungguh, atau setidaknya, tidak mempunyai maksud buruk untuk
merobohkan dia, lebih tepat disebut menguji kepandaiannya.
Hal ini
malah mendatangkan rasa penasaran di hatinya karena dia merasa terhina dan
dipermainkan. Sambil mengeluarkan lengking meninggi seperti orang menjerit
menangis, Kong Bu memutar pedangnya dan melakukan tekanan-tekanan dengan
serangan maut!
"Wah,
ganas... ganas...!" Cui Bi berseru.
Ia merasa
tergetar jantungnya mendengar lengking yang dikeluarkan dengan pengerahan
tenaga khikang serta lweekang ini. Ia harus mengempos semangat dan hawa murni
di dalam tubuhnya agar jangan terpengaruh.
Memang hebat
sekali Kong Bu. Setelah mengeluarkah lengking yang aneh ini, tenaga serangannya
seakan-akan menjadi jauh lebih kuat dan walau pun tadi ia sudah terdesak hebat
terkurung oleh ilmu pedang lawan yang sangat luar biasa itu, sekarang ia dapat
mengimbangi lagi permainan lawan. Cui Bi dapat merasa betapa dalam jarak satu
meter jauhnya, pedang lawannya itu sudah mengeluarkan tenaga pukulan yang kuat!
Lima ratus
jurus telah lewat, dan kedua orang muda itu sudah mulai berkeringat. Tiba-tiba
Cui Bi membentak nyaring, pedangnya berkelebat dengan gerakan bergelombang,
sukar sekali ditangkis dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah pusar Kong Bu.
Kong Bu berseru keras saking kagetnya karena dia melihat betapa pedang lawan
yang sedianya sudah menusuk lambung itu tiba-tiba menyeleweng dan…
"Brettt!"
ujung bajunya yang terbabat putus.
Saking
kagetnya melihat pedang itu tadi hendak menusuk lambungnya, ia mengerahkan
seluruh tenaga, menangkis dari bawah ke atas dan…
"Tranggg!"
Cui Bi
menjerit lirih, pedangnya terlepas dari pegangan, melayang ke atas. Bagai
seekor burung walet, pemuda tampan ini sudah meloncat ke atas dan pada lain
detik pedangnya yang ‘terbang’ tadi sudah ditangkapnya kembali.
Kini mereka
berhadapan, saling pandang, pedang melintang di tangan. Diam-diam Kong Bu harus
mengakui di dalam hatinya bahwa ia sudah kalah. Bahwa lawannya tadi telah
memperlihatkan kelebihannya dan sekaligus membuktikan bahwa lawan ini tidak
memiliki maksud jahat. Kalau demikian halnya tentu ia telah roboh dengan pusar
tertusuk pedang. Cui Bi memandang tajam, matanya bersinar-sinar sedangkan
wajahnya berseri-seri, lalu ia menyimpan kembali pedangnya.
"Kau...
kau hebat, patut menjadi putera Raja Pedang di Thai-san!" katanya.
Merah sekali
wajah Kong Bu. Ia pun menyarungkan pedangnya, menarik napas panjang beberapa
kali.
"Lebarnya
dunia tidak dapat diukur, dalamnya lautan sukar dijajaki, kepandaian manusia
sukar dibatasi. Sahabat, aku benar-benar takluk padamu, belum pernah seumur
hidupku aku bertemu dengan tandingan seperti kau. Siapakah kau dan apa maksudmu
menahan aku dan mengajakku main-main seperti ini?"
"Kau...
kau puteranya... kenapa kau memusuhi orang-orang Hoa-san-pai, dan... mengapa
kau tidak mencari ayahmu...?" Cui Bi berkata perlahan, suaranya gemetar.
Kong Bu
terheran. Ia menduga-duga siapa adanya pemuda aneh ini. Akan tetapi ia tidak
dapat mengirakannya.
"Untuk
apa kau bertanya-tanya? Apa pedulimu dengan urusanku?"
"Ada
hubungannya erat sekali dan aku ingin sekali tahu. Ahh... agaknya kau tidak
berani mengaku," Cui Bi menarik napas panjang.
Memang ia
cerdik. Begitu bertemu dia sudah dapat menduga bahwa pemuda gagah ini tentu
memiliki jiwa gagah juga, dan biasanya orang yang menghargai kegagahan, paling
pantang jika disebut ‘tidak berani’. Maka barusan ia sengaja mengatakan
demikian untuk membakar hati orang.
Akalnya
berhasil baik. Kong Bu menjadi merah mukanya, matanya terbelalak mendelik dan
suaranya menggeledek, "Siapa tidak berani? Bocah, jangan kau sombong. Biar
pun harus kuakui bahwa kepandaianmu hebat sekali, namun aku belum mampus di
tanganmu dan sewaktu-waktu takkan mundur menghadapi kau atau siapa pun juga.
Kau bilang aku tidak berani mengaku? Baik dengarlah! Ibuku meninggal karena
seorang anak perempuan Hoa-san-pai, karena itulah maka semua perempuan murid
Hoa-san-pai kumusuhi! Nah, tahukah kau sekarang?"
"Hemm,
kau tentu maksudkan perempuan Hoa-san-pai bernama Kwa Hong itu, bukan?
Sayangnya kau ngawur dan membabi buta, sampai-sampai dua orang gadis yang tidak
ikut apa-apa kau ganggu juga. Hemm, kau tersesat. Kenapa kau tidak mencari
ayahmu di Thai-san?"
Kong Bu
tercengang. Bagaimana bocah ini dapat mengetahui segalanya? Ingin ia balas
bertanya, akan tetapi karena tidak mau dianggap ‘tidak berani’ ia mengaku,
"Ayahku Tan Beng San di Thai-san adalah seorang laki-laki yang sudah
menghancurkan penghidupan mendiang ibuku. Dia telah tergila-gila kepada
perempuan Hoa-san-pai siluman betina itu. Mengapa aku harus mencarinya? Huh,
aku bahkan ingin bertemu untuk menantangnya bertempur, untuk membalaskan sakit
hati ibuku!"
Tiba-tiba
Cui Bi membentak marah, "Jangan mengacau! Kau agaknya sudah dirusak oleh
kebohongan dan fitnahan-fitnahan Song-bun-kwi. Kau menurutkan nafsu yang
dikobarkan oleh kakekmu yang jahat itu. Kau mau tahu duduknya perkara yang
betul? Nah dengarlah aku bercerita."
Cui Bi lalu
duduk di atas sebuah akar pohon yang menonjol keluar dari pohon. Kong Bu tidak
peduli, tetap berdiri dan memandang penuh curiga. Bocah ini tahu banyak sekali,
entah apa kehendaknya, akan tetapi karena ingin tahu ia diam saja,
mendengarkan.
"Kau
tidak adil sekali menyumpahi dan memaki ayahmu sendiri. Dia seorang pendekar
besar, seorang gagah perkasa, seorang berbudi mulia yang nasibnya buruk dan
patut dikasihani. Akan tetapi kau puteranya, kau malah memaki-makinya dan
bahkan hendak menantangnya. Cih, sungguh memualkan perutku! Kau mau mendengar
kenyataan? Nah, dengarlah. Tan Beng San sama sekali tidak tergila-gila kepada
perempuan Hoa-san-pai, atau kepada perempuan yang mana pun juga, kecuali kepada
Kwee Bi Goat, mendiang ibumu. Biar pun kakekmu telah memperlakukannya dengan
jahat, tetap saja dia mencinta Kwee Bi-Goat dengan sepenuh jiwa raganya. Memang
tak dapat disangkal bahwa Tan Beng San pernah mengadakan hubungan dengan Kwa
Hong, akan tetapi hal itu terjadl sebelum ia menjadi suami ibumu, pula hal itu
terjadi karena muslihat musuh, karena dia keracunan dan dalam keadaan tidak
sadar. Biar pun sudah terjadi hal itu, dia menolak menjadi suami Kwa Hong dan
tetap mencari ibumu lalu menikah dengan ibumu atas dasar saling cinta yang suci
murni..."
Cui Bi
berhenti sebentar dan Kong Bu sudah menjadi begitu tertarik sehingga tanpa
terasa lagi ia pun duduk di atas batu, di depan pemuda tampan itu. Belum pernah
ia mendengar cerita tentang ayah bundanya sejelas ini.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment