Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 14
Kita
tinggalkan dulu Li Eng dan Kong Bu, dua orang muda yang sama-sama berwatak aneh
dan berhati keras, yang bersitegang di sepanjang jalan, saling mengejek dan
saling menawan. Marilah kita mengikuti kisah Hui Cu yang pada malam hari itu
dirampas oleh seorang tak dikenal, sesosok bayangan yang amat lihai sehingga
dapat merampas gadis ini dari tangan Kakek Song-bun-kwi yang sakti.
Bayangan
lihai yang sanggup menggempur Song-bun-kwi kemudian merampas Hui Cu itu
ternyata ialah seorang pemuda tampan yang bibirnya selalu tersenyum-senyum,
matanya lebar dan tajam pandangannya, hidungnya mancung dan membayangkan
kejujuran dan kekerasan hati. Tubuhnya tinggi semampai, gerak-geriknya gagah
membayangkan tenaga yang kuat. Siapakah dia? Kita sudah mengenalnya. Dia ini bukan
lain adalah Tan Sin Lee, putera dari Kwa Hong!
Seperti
sudah kita ketahui, Sin Lee turun dari puncak Lu-liang-san, turun gunung untuk
melaksanakan tugas yang sudah diberikan kepadanya oleh ibunya. Ia disuruh
mencari musuh-musuh ibunya, disuruh membunuh mereka itu dan disuruh pula
menangkap dan menyeret Tan Beng San ke Lu-liang-san, ke depan kaki ibunya. Di
dalam hatinya Sin Lee tidak dapat menerima tugas membunuh-bunuhi orang yang
tidak bermusuhan dengannya itu, akan tetapi ia sudah berjanji untuk memenuhi
permintaan ibunya dan menyeret Tang Beng San ke Lu-liang-san.
Dalam
perjalanannya, orang muda ini tertarik pula untuk melihat keadaan kota raja
selatan yang tersohor indah dan ramai. Dan kebetulan sekali pada malam hari itu
dia melihat seorang kakek tinggi besar berlari secepat terbang sambil mengempit
tubuh dua orang wanita muda. Kakek ini adalah Song-bun-kwi yang berhasil
merampas Hui Cu dan Li Eng dari dalam Istana Kembang.
Diam-diam
Sin Lee menjadi penasaran dan mengikuti dari belakang. Ia kaget sekali ketika
melihat betapa larinya kakek itu cepat sekali, tanda bahwa kakek itu memiliki
kepandaian tinggi. Ia tidak berani gegabah turun tangan karena selain maklum
bahwa kakek itu tentu seorang berilmu tinggi, juga dia tidak tahu urusan
mereka, tidak tahu siapa salah siapa benar. Karena itulah maka ia terus secara
diam-diam mengikuti dari jauh dan mengintai ketika kakek itu masuk ke dalam
kelenteng.
Ketika ia
mendengar kata-kata kakek itu bahwa dua orang gadis ini adalah anak murid
Hoa-san-pai, Sin Lee semakin kaget dan menaruh perhatian. Kata ibunya,
kongkong-nya, kakeknya adalah ketua dari Hoa-san-pai! Jadi dua orang gadis ini
adalah anak murid dari kakeknya! Kagum dia ketika menyaksikan keberanian dua
orang gadis itu menghadapi kakek ini yang ia tidak tahu siapa adanya.
Keheranan
Sin Lee makin meningkat ketika ia melihat dua orang itu nekat melarikan diri
keluar dari kelenteng dikejar oleh kakek itu dan mendengar ucapan Hui Cu yang
hendak membujuk kakek itu agar jangan mengganggu mereka karena mereka adalah
keponakan-keponakan dari Tan Beng San dan hendak pergi ke Thai-san!
Mendengar
ini, Sin Lee mendapat pikiran baik sekali. Ia harus menolong dua orang gadis
itu karena mereka adalah anak murid Hoa-san-pai, berarti anak murid kakeknya
pula, dan selain itu, mereka itu bisa menjadi perantara agar ia dapat naik ke
Thai-san tanpa banyak rintangan, mencari Tan Beng San dan menangkapnya!
Inilah
sebabnya maka tanpa ragu-ragu lagi Sin Lee menyerang kakek itu dan alangkah
heran serta kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu ternyata
mempunyai kepandaian yang hebat sekali. Ia menjadi gembira dan sekiranya ia
tidak memiliki maksud menolong dua orang gadis itu, ingin dia menguji
kepandaiannya dan melawan kakek itu sampai puas. Akan tetapi keinginannya ini
buyar ketika ia mendengar suara melengking dari jauh dan segera tahu bahwa
kakek ini mempunyai pembantu yang sama lihainya, maka cepat ia menyambar Hui Cu
dan dibawa lari dari tempat itu. Dari pada tidak menolong sama sekali, lumayan
juga dapat menolong seorang di antara kedua murid Hoa-san-pai itu.
Hui Cu
merasa sangat kaget ketika tahu-tahu ia dibawa lari seperti terbang oleh
seorang laki-laki yang tidak ia lihat mukanya karena keadaan gelap. Ia tidak
tahu apakah orang ini lawan ataukah kawan, akan tetapi dalam pondongan orang
ini ia sama sekali tidak dapat bergerak. Sin Lee berlari terus cepat-cepat
karena ia tidak ingin kakek itu bersama pembantunya mengejarnya. Andai kata ia
tidak hendak menolong orang, tentu saja ia tidak takut. Akan tetapi dengan
adanya gadis yang ditolongnya ini, tentu takkan leluasa ia bergerak dan
akhirnya gadis ini pun akan tertawan pula.
Sampai malam
terganti pagi Sin Lee masih terus berlari keluar hutan. Pada waktu Hui Cu
mendapat kesempatan memandang wajah pemondongnya di antara kesuraman cuaca
fajar, gadis ini melihat wajah seorang pemuda yang gagah dan tampan. Hatinya
berdebar penuh kekuatiran, terutama sekali kalau dia teringat akan nasib Li Eng
di tangan kakek yang menyeramkan itu.
"Kau
siapakah? Kawan ataukah lawan? Ke mana kau membawaku pergi?" Dia tak dapat
menguasai hatinya, akhirnya Hui Cu lalu bertanya.
Sin Lee juga
kaget sekali. Ia tadi berlari sambil termenung memikirkan apa yang telah ia
lakukan. Selama hidupnya baru sekali ini ia memondong wanita. Jangankan
memondong, biasanya bercakap-cakap atau berdekatan pun belum pernah!
Benar-benar pengalaman yang membikin ia bingung dan mendebarkan jantungnya.
Ia sampai
kaget mendengar suara halus di pinggir kepalanya itu yang menyeret ia kembali
kepada kesadarannya. Segera dia berhenti berlari, kemudian menurunkan gadis itu
dari pondongannya, dan akhirnya memandang dengan muka merah. Dadanya makin
berdebar tak karuan saat ia menatap wajah yang cantik manis, penuh ketenangan
dan keberanian. Apa lagi sesudah dia bertemu pandang dengan sepasang mata
bening yang memandang kepadanya penuh selidik, seakan-akan sinar mata gadis itu
mampu menembus dada dan menjenguk isi hatinya.
"Ehh...
maaf... aku bukanlah kawan bukan pula lawan. Tapi... aku harus menyelamatkan
Nona dari tangan kakek iblis itu," katanya agak gugup.
Hui Cu cepat
mengangkat kedua tangannya memberi hormat. "Banyak terima kasih atas
pertolongan Saudara, akan tetapi... ahh, mengapa Saudara kepalang tanggung
menolong kami? Apa artinya aku dapat bebas kalau adikku masih di sana? Sekali
lagi terima kasih dan selamat tinggal." Hui Cu lalu membalikkan tubuhnya
dan lari kembali ke arah hutan.
"Ehh,
Nona... mau ke manakah kau?"
"Ke
mana lagi kalau tidak kembali ke sana? Aku harus menolong adikku!" jawab
Hui Cu tanpa mengurangi kecepatannya berlari.
Pemuda itu
melompat dan cepat mengejarnya. Mereka kini lari berendeng.
"Apa
kau gila? Kakek itu lihai sekali, kau akan ditawannya kembali."
"Jangankan
ditawan, biar harus berkorban nyawa, aku rela untuk menolong adikku. Kami
berdua berangkat bersama, harus pulang bersama atau mati bersama."
Sinar mata
pemuda itu membayangkan kekaguman besar. "Kau hebat sekali, Nona. Inilah
namanya setia kawan. Dan ilmu lari cepatmu pun boleh juga."
Senang hati
Hui Cu dipuji oleh pemuda penolongnya yang ia tahu kepandaiannya sangat tinggi
itu. "Ahh, mana bisa dibandingkan dengan kau?"
Ia melirik,
justru Sin Lee pun mengerling. Dua pasang mata bertemu dalam kerlingan, dua
buah mulut tersenyum dan sekaligus dua muka para remaja itu menjadi merah,
jantung mereka berdetak liar. Mereka berlari terus tanpa mengeluarkan kata-kata
lagi.
"Ehh,
ke arah mana jalannya? Aku bingung, tidak ingat lagi..." kata Hui Cu.
Malam tadi ia dipondong, tentu saja tidak tahu jalan.
Pemuda itu
tersenyum lalu berkata singkat, "Kau ikutilah aku!" kemudian ia
membelok dan memasuki hutan.
Sin Lee
sengaja tidak mau mengambil jalan semalam karena ia masih kuatir kalau-kalau
bertemu dengan para pengejarnya. Ia kuatir kalau-kalau gadis yang luar biasa
ini akan tertawan lagi oleh lawan-lawan yang amat sakti itu. Akan tetapi ia
mengambil jalan yang terdekat menuju ke tengah hutan di mana terdapat kelenteng
tua itu.
Ketika
kelenteng itu sudah tampak, Sin Lee menahan Hui Cu. "Nona, kau
bersembunyilah di sini. Biar aku yang pergi menyelidiki ke sana dan kalau ada
kesempatan, akan kucoba untuk merampas adikmu itu."
Hui Cu
maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu penolongnya ini
melawan kakek yang sakti itu. Maka, ia mengangguk dan memandang kepada Sin Lee
dengan mesra, penuh pernyataan syukur dan terima kasih.
Jantung
pemuda ini serasa berloncatan ketika ia melihat pandang mata itu. Dengan hati
senang sekali mulailah ia menyelinap dan menyusup ke dalam semak-semak,
berloncatan di antara pohon-pohon mendekati kelenteng.
Dari jauh
Hui Cu memandang dengan kagum karena gerakan Sin Lee memang luar biasa sekali
gesitnya. Kadang kala pemuda itu melayang ke atas pohon seperti seekor burung
garuda saja sikapnya.
Tak lama
kemudian, Sin Lee sudah kembali ke depan Hui Cu. Wajah pemuda ini kelihatan
kecewa dan suaranya membayangkan kekecewaan pula ketika ia berkata, "Nona,
aku tak melihat seorang pun di antara mereka di sana. Kelenteng itu kosong sama
sekali."
Wajah Hui Cu
seketika menjadi pucat. Dengan isak tertahan gadis ini melompat dan lari menuju
kelenteng itu, diikuti dari belakang oleh Sin Lee. Hui Cu langsung menyerbu ke
dalam kelenteng, mencari ke depan, ke belakang sambil terus memanggil-manggil
nama Li Eng. Namun sia-sia belaka, di sana sunyi tidak terdapat orang yang
dicarinya, bahkan bekasnya pun tidak nampak.
"Eng-moi...
aduh Eng-moi... bagaimana nasibmu...?"
Hui Cu
menjatuhkan diri terduduk di atas lantai dan menutupi muka. Ia tidak menangis
keras-keras, akan tetapi dari pundaknya yang bergoyang-goyang dan dari
celah-celah jari tangan yang membasah tahulah Sin Lee bahwa gadis ini menangis
sedih sekali. Akhirnya Hui Cu dapat menguasai perasaannya dan ia bangun
berdiri, mengeringkan air mata yang membasahi pipinya, lalu memandang kepada
Sin Lee dengan sedih dan berkata sambil membanting kaki,
"Celaka
sekali, kemana aku harus mencari Eng-moi? Ahh, kalau dia sampai kena celaka,
bagaimana aku harus bicara dengan Paman dan Bibi?"
Sin Lee
mengerutkan keningnya tanda bahwa ia pun ikut berpikir keras. Ia mengandung
maksud hati hendak mempergunakan anak murid Hoa-san-pai yang mengaku sebagai
keponakan Tan Beng San ini untuk memaksa musuh besar ibunya itu supaya memenuhi
permintaannya, yaitu pergi menghadap ibunya di Lu-liang-san.
Diam-diam ia
tadinya hendak menjadikan gadis ini sebagai tawanannya untuk memaksa Tan Beng
San. Akan tetapi satelah ia melihat wajah Hui Cu dan melihat keadaan gadis ini,
entah bagaimana timbul perasaan kasihan dalam hatinya.
"Nona,
menyesal sekali malam tadi aku tidak mampu menolong adikmu. Jadi dia itu anak
pamanmu? Hemm, agaknya dia dibawa pergi oleh kakek siluman itu. Kalau saja kau
bisa beri tahukan kepadaku siapa adanya kakek iblis itu, kiranya aku suka untuk
membantumu mengejarnya dan merampas kembali adik misanmu. Siapakah kakek
itu?"
"Aku
sendiri tidak tahu." Hui Cu menarik napas panjang, bingung sekali tampaknya.
"Ah... benar-benar nasib kami buruk. Paman Hong masih belum kuketahui
bagaimana nasibnya di tangan Pangeran jahat itu, sekarang Adik Eng terculik
oleh kakek iblis pula..."
"Paman
Hong siapakah?"
Karena Sin
Lee dianggapnya satu-satunya orang yang pada saat itu boleh ia ajak bicara,
dengan singkat Hui Cu lalu menceritakan pengalamannya, yaitu semenjak ia dan Li
Eng turun dari Hoa-san dengan tujuan pergi ke Thai-san menghadiri pesta upacara
pendirian partai Thai-san-pai, mewakili Hoa-san-pai.
Kemudian di
tengah jalan mereka bertemu dengan Kwa Kun Hong, paman seperguruan mereka dan
bersama melanjutkan perjalanan dengan singgah ke kota raja. Diceritakannya pula
tentang undangan Pangeran Kian Bun Ti yang menyebabkan mereka ditahan karena
menolak pemberian anugerah.
"Aku
dan Adik Eng dipisahkan dari Paman Hong. Kemudian pada malam hari itu kakek
iblis merampas kami dari tempat tahanan di Istana Kembang, lalu kakek itu
membawa kami ke kelenteng ini, sampai akhirnya kau datang menolongku."
Sin Lee
tertarik sekali, terutama mendengar tentang maksud gadis ini pergi ke Thai-san
untuk memberi selamat kepada Tan Beng San. Ingin ia bertanya lebih jelas
tentang ini, akan tetapi Sin Lee adalah orang yang cerdik. Ia tak mau
mengutarakan rahasia hatinya dan ia berkata heran,
"Aneh
sekali kakek iblis itu. Mengapa dia begitu benci kepada kau dan adik misanmu,
Nona? Apakah di antara dia dan kalian ada permusuhan?"
Hui Cu
menggeleng kepalanya. Akan tetapi entah bagaimana, ia menaruh kepercayaan besar
kepada pemuda yang telah menolongnya ini, maka ia berkata secara terus terang,
"Melihat sikap dan mendengar bicaranya, dia amat membenci Hoa-san-pai, apa
lagi anak murid Hoa-san-pai yang wanita. Agaknya kakek itu mengandung sakit
hati yang sangat hebat terhadap seorang wanita anak murid Hoa-san-pai."
Dia mengangguk-angguk untuk meyakinkan dugaannya.
Jantung Sin
Lee berdebar-debar. "Siapakah anak murid wanita Hoa-san-pai yang dapat
membuat sakit hati seorang kakek begitu lihai?"
"Aku
sendiri pun tidak tahu, akan tetapi aku dapat menduga... hemmm, tidak bisa
lain, kalau ada tokoh kang-ouw seperti kakek itu bisa sakit hati terhadap
seorang murid wanita Hoa-san-pai, tentulah... dia, siapa lagi?"
"Dia...
dia siapakah, Nona? Atau... barangkali sebagai orang luar aku tidak berhak
untuk mengetahui?"
Mendengar
suara pemuda itu mengandung kekecewaan, hati Hui Cu menjadi tak enak. Tidak apa
diberi tahu, pikirnya.
"Menurut
dugaanku, murid wanita dari Hoa-san-pai yang sangat banyak musuhnya adalah bibi
guruku sendiri, namanya Hong, she Kwa, entah di mana dia sekarang..."
Sin Lee
menjadi pucat sekali mukanya. Dia cepat-cepat membungkuk sambil pura-pura
membersihkan sepatunya yang penuh lumpur. Pada waktu ia mengangkat lagi
tubuhnya, mukanya menjadi merah sekali.
"Apakah...
apakah bibi gurumu itu... dahulunya amat jahat maka banyak musuhnya?" dia
bertanya, suaranya biasa akan tetapi perlahan sekali.
"Banyak
orang bilang begitu, tetapi ibuku tidak! Kata Ibu, Bibi Kwa Hong itulah yang
telah menyelamatkan nyawa Ibu dan aku ketika dalam kandungannya, dan kata Ibu,
Bibi Kwa Hong jadi berubah perangainya karena patah hati, entah apa maksudnya
Ibu tidak mau menceritakan kepadaku."
Sunyi
sesaat, dan suara Sin Lee semakin perlahan ketika dia bertanya, sambil lalu
saja, "Jadi kau tidak membencinya?"
"Ahh,
tidak...! Malah aku kasihan kepada Bibi Kwa Hong dan ingin sekali aku bertemu
dengannya. Kata Ibu, Bibi Kwa Hong orangnya lincah gembira seperti Adik Eng dan
cantik sekali."
Gadis itu
tidak tahu bahwa ucapannya ini membuat hati Sin Lee girang bukan main! Mana dia
tahu bahwa orang yang dibicarakan itu, yaitu Kwa Hong, adalah ibu dari pemuda
yang sekarang berada di depannya.
"Nona,
percayalah, aku Sin Lee akan berusaha menemukan kembali adik misanmu Nona Li
Eng itu dan aku... aku sekarang dapat menduga siapa adanya kakek iblis itu.
Hemmm, kalau saja aku tahu sebelumnya bahwa dia adalah iblis itu, takkan
mungkin kutinggalkan dia sebelum berhasil membunuhnya. Kiranya ia benar-benar
jahat sekali."
"Kau...
kau tahu siapa kakek itu?"
"Aku
dapat menduga, kalau tidak salah dialah yang berjuluk Song-bun-kwi."
"Ahh,
dia...?" Wajah Hui Cu menjadi pucat. "Pernah Ibu bercerita kepadaku
tentang dia... dia tokoh besar puluhan tahun yang lalu. Benarkah dia itu
Song-bun-kwi?"
"Kiraku
tidak keliru dugaanku. Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?"
Pandang mata
Hui Cu menunduk. Pemuda ini benar-benar amat baik, sopan dan ramah, tapi juga
agak aneh sikapnya. "Aku Hui Cu, she Thio. Kau sendiri she apakah?"
"Aku
she Tiauw, Tiauw Sin Lee." Ia sengaja menggunakan she (nama keturunan)
Tiauw yang berarti rajawali karena setelah gadis ini tahu soal ibunya, ia tidak
berani memakai she Kwa atau she Tan agar gadis ini tidak mencurigainya.
"Sekarang
apa yang hendak kau lakukan, Nona? Apakah kau akan melanjutkan kembali
perjalananmu ke Thai-san?"
Hui Cu
menggelengkan kepala. "Mana bisa aku pergi ke sana kalau Paman Hong masih
ditahan di kota raja? Aku harus berusaha membebaskan Paman Hong dari
tahanan."
"Di
dalam ceritamu tadi kau bilang bahwa pamanmu Kwa Kun Hong itu adalah putera
tunggal Ketua Hoa-san-pai, Kakek gurumu. Tentu ia lihai sekali, lalu bagaimana
ia bisa tertawan?"
Hui Cu menarik
napas panjang. "Kau tidak tahu tentang Paman Hong. Dia itu orang aneh
sekali. Biar pun dia itu putera Ketua Hoa-san-pai, namun sedikit pun ia tidak
pandai ilmu silat, malah tidak pernah belajar ilmu silat. Ia adalah ahli dalam
ilmu kesusastraan, akan tetapi keberaniannya luar biasa melebihi jago silat
yang mana pun juga."
Lalu ia
menceritakan betapa Kun Hong berani menolak anugerah Pangeran, bahkan juga
menceritakan betapa pamannya yang tidak pandai ilmu silat itu menggegerkan
pemilihan ketua Hwa-i Kaipang dan akhirnya malah diangkat menjadi ketua
perkumpulan pengemis yang berpengaruh itu!
Sin Lee
mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman. "Hebat pamanmu itu,
ingin sekali aku berjumpa dan bercakap-cakap dengan dia. Marilah kita tolong
dia keluar dari tahanan, Nona. Akan tetapi karena kau sudah banyak dikenal,
tentu kemunculanmu di kota raja akan mendatangkan keributan dan kesukaran, maka
kurasa lebih baik kau bersembunyi di luar tembok kota dan biarlah aku seorang
diri pergi menyelidiki keadaan pamanmu itu. Kalau mungkin aku akan turun
tangan, kalau sekiranya sukar, kita berdua bisa bergerak malam nanti.”
Hui Cu
girang sekali. "Saudara Tiauw, kau benar-benar telah melepas budi amat
banyak kepadaku. Kau baik hati sekali dan ilmu silatmu amat lihai. Tidak tahu
kau ini murid siapa dan dari golongan manakah?"
Sin Lee tersenyum.
"Tak usah merasa sungkan, Nona. Sudah semestinya manusia saling menolong
dalam kesukaran dan sudah menjadi kewajibanku untuk menentang yang jahat
membela yang tertindas. Ada pun ilmu silatku yang masih dangkal ini kupelajari
dari ibuku sendiri, bukan dari golongan mana pun juga. Harap kau jangan memuji
terlalu tinggi."
Demikianlah,
keduanya kemudian meninggalkan kelenteng itu menuju ke kota raja. Inilah
sebabnya Song-bun-kwi tidak dapat mengejar mereka karena kakek itu tentu saja
sama sekali tak pernah mengira bahwa dua orang itu malah kembali ke kelenteng
mengambil jalan lain kemudian malah pergi kota raja!
Ditemani Sin
Lee yang gagah perkasa sopan terhadap dirinya, Hui Cu menjadi besar hati dan ia
hampir merasa yakin bahwa kalau pemuda ini mau membantunya, pasti pamannya akan
dapat dibebaskannya dan agaknya soal Li Eng juga akan dapat dibereskan.
Pada saat
itu Hui Cu sedang diliputi kekuatiran hebat, kuatir memikirkan nasib Kun Hong.
Oleh karena inilah maka ia tidak dapat merasa terlalu sungkan berduaan dengan
Sin Lee, pemuda kenalan barunya itu. Andai kata dia tidak sedang menghadapi dua
perkara yang menggerogoti hatinya ini, kiranya ia akan merasa sungkan dan malu
untuk mengadakan perjalanan berdua saja dengan seorang pemuda asing.
Setibanya di
luar tembok kota raja, Hui Cu lalu bersembunyi di suatu tempat dan Sin Lee
meninggalkannya, masuk seorang diri ke kota raja. Segera dia mencari keterangan
dan kabar untuk mengetahui di mana ditahannya pemuda Hoa-san-pai yang bernama
Kwa Kun Hong itu. Tetapi keterangan yang ia dapatkan membuat ia terkejut dan
juga bingung.
Keterangan
apakah yang ia dapat? Tidak hanya dari satu dua orang. Malah ia sengaja
menangkap seorang pengawal istana dan di tempat tersembunyi ia mengancam
pengawal itu untuk mengaku dan memberi keterangan mengenai Kwa Kun Hong. Dan
keterangan pengawal ini sama dengan keterangan yang ia dapat di luaran, yaitu
bahwa pemuda dari Hoa-san-pai yang telah ditahan karena berani membangkang
terhadap perintah Pangeran Mahkota itu sudah ditolong oleh... setan dan lenyap
tak berbekas!
"Hanya
setan yang dapat menolong dia secara itu," demikian keterangan yang ia
dapat. "Pemuda itu tahu-tahu lenyap dari dalam kamar tahanan dan sebagai
gantinya Pangeran Mahkota sendiri yang berada di sana, yang marah-marah kepada
penjaga minta segera dibebaskan. Setelah para penjaga membuka pintu, Pangeran
Mahkota keluar kemudian memerintahkan semua penjaga masuk dalam kamar tahanan
lalu dikunci dari luar. Nah, bukankah itu aneh? Padahal Pangeran Mahkota berada
di dalam istananya, tidak pernah keluar, apa lagi ke kamar tahanan. Masa pemuda
itu dapat berubah menjadi Pangeran? Hanya setan yang dapat menolongnya seperti
itu."
Hui Cu juga
bengong terlongong mendengar cerita Sin Lee atas hasil penyelidikannya ini.
"Heran sekali, mana bisa terjadi begitu? Paman Hong memang sangat aneh dan
berani, akan tetapi ia sama sekali tidak mempunyai kepandaian silat. Siapa
gerangan yang telah menolongnya? Apa bila memang ada seorang sakti yang
menolongnya, mengapa caranya seaneh itu?"
Sin Lee
tersenyum. "Berita ini tidak bohong, aku malah mendapatkan keterangan ini
dari seorang pengawal istana yang kutangkap. Setan atau pun bukan, sudah terang
pamanmu telah ditolong dan sudah tidak ditahan lagi. Sekarang, apa kehendakmu,
Nona?"
"Semua ini
aneh sekali. Adik Eng berada di tangan seorang sakti, juga Paman Hong kalau
dibawa oleh penolongnya, berarti dia berada di tangan orang yang sakti dan
aneh. Kupikir lebih baik aku pergi ke Thai-san menjumpai Paman Tan Beng San
yang oleh ayah ibuku dianggap orang terpandai di dunia ini. Kalau tidak Paman
Tan Beng San yang menolong, siapa lagi?"
Ucapan gadis
ini menimbulkan perasaan campur aduk di hati Sin Lee. Ia girang karena memang
itulah kehendaknya, dapat pergi ke Thai-san bersama gadis ini yang hendak ia
pergunakan sebagai alat untuk memaksa agar Tan Beng San mau menghadap ibunya.
Akan tetapi ia juga tak senang mendengar betapa gadis ini memuji Tan Beng San
musuh besar ibunya itu sebagai ‘orang terpandai di dunia’. Huh, ingin dia
membuktikan sendiri sampai di mana kelihaian Tan Beng San itu.
"Baiklah
kalau begitu, Nona Thio. Mari kuantar kau ke Thai-san."
Merah wajah
Hui Cu. Kalau begini sudah keterlaluan, pikirnya. "Ah, Saudara Tiauw, mana
aku berani membikin kau repot? Budimu sudah terlalu besar bagiku, tak usah kau
tambah lagi dengan mengantar aku ke Thai-san. Kau membikin aku menjadi malu
saja."
Sin Lee
tersenyum, diam-diam ia makin kagum akan sikap gadis ini. Sederhana, tenang,
tabah, dan bicaranya sungguh-sungguh tanpa dibuat-buat serta memiliki pandangan
jauh.
"Nona,
sama sekali bukan begitu. Mana bisa kau merepotkan aku kalau aku sendiri pun
juga hendak pergi ke sana? Aku memang hendak mengunjungi Thai-san, hendak
melihat upacara serta hendak bertemu dengan Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San yang
namanya bahkan lebih tinggi dari pada puncak Gunung Thai-san itu." Dalam
kata-kata terakhir ini terkandung ejekan.
"Betulkah
begitu?" Hui Cu berkata girang, "Kalau memang begitu, tentu saja
aku... senang sekali dapat melakukan perjalanan bersama denganmu, Saudara
Tiauw."
Sin Lee
menjura dan tersenyum "Syukur sekali kau sudi, Nona, inilah jawaban yang
amat kuharapkan."
Demikianlah,
dua orang muda itu melakukan perjalanan bersama menuju ke Thai-san. Mula-mula
Hui Cu memang merasa agak tidak enak dan likat harus melakukan perjalanan
bersama seorang pemuda yang bukan kerabatnya. Akan tetapi berkat sikap Sin Lee
yang sopan dan memang pemuda ini wataknya riang gembira, akhirnya lenyap
ketidak enakan hati gadis itu dan mereka bergaul seperti sahabat-sahabat lama….
***************
Sekarang
kita perlu menyelidiki mengenai keadaan Kun Hong. Betulkah pemuda ini sudah
ditolong setan atau ditolong seorang sakti? Seperti telah kita ketahui, Kun
Hong diperiksa oleh Tan-taijin yang dahulu adalah sahabat baik tokoh-tokoh
Hoa-san-pai dan karenanya merasa suka dan simpati kepada putera Ketua
Hoa-san-pai ini.
Oleh karena
Tan-taijin ingin sekali menolong dua orang gadis murid Hoa-san-pai itu dari
cengkeraman Pangeran Mahkota, maka dia menyuruh para pengawal menahan kembali
Kun Hong dalam penjara dengan pesan agar Kun Hong diperlakukan sebagai tamu.
Tapi betapa pun juga, para pengawal yang tidak mau mengambil resiko terlalu
besar tentu saja tidak membiarkan Kun Hong bebas. Pemuda ini tidak dibelenggu,
akan tetapi dimasukkan kamar tahanan yang terkunci dari luar dan pemuda ini
kelihatan dari luar melalui sebuah jendela yang dipalangi ruji-ruji besi.
Setelah
dimasukkan lagi ke dalam kamar tahanan. Kun Hong merenung. Celaka, pikirnya,
sama sekali ia tidak sangka akan begini berlarut-larut urusan itu. Ia
memikirkan nasib dua orang keponakannya. Bagaimana andai kata pangeran mata
keranjang itu menggunakan kekuasaannya dan melakukan paksaan?
Ahhh, dialah
yang harus bertanggung jawab atas keselamatan dua orang keponakannya. Bukankah
mereka itu hanya dua orang gadis muda dan bukankah dia menjadi pamannya?
Celaka,
semua adalah salahku. Seandainya mereka tidak bertemu dengan aku, kiranya
mereka takkan mengalami nasib seperti sekarang ini. Ah, bagaimana pun juga aku
harus menolong mereka, menolong mereka bebas dari cengkeraman Pangeran Mahkota.
Harus! Aku harus menolong mereka. Tapi, bagaimana caranya?
Ketika
seorang pengawal membuka pintu kamarnya membawa satu baki penuh dengan hidangan
yang lezat, teringatlah Kun Hong peristiwa dengan Sin-eng-cu Lui Bok yang
dahulu menyihirnya sehingga roti kering berubah menjadi roti lunak dan air
tawar berubah menjadi arak! Mengapa tidak ia coba kepandaian ini?
Sudah lama
ia mempelajari ilmu menguasai semangat yang kitabnya ia terima dari kakek sakti
itu. Belum pernah ia mencobanya, akan tetapi sekarang menghadapi mala petaka
yang mengancam kedua orang keponakannya, terpaksa harus dia coba dalam usahanya
menolong mereka.
"Orang
muda, silakan makan. Masih baik nasibmu bahwa Tan-taijin memerintahkan agar
supaya kau diperlakukan dengan baik, kalau tidak, hemm... jangan harap bisa
mendapat hidangan seperti ini," kata pengawal itu yang merasa mendongkol
juga.
Biasanya,
apa bila ada seorang tahanan, ia dan teman-temannya mendapat kesempatan untuk
memeras tahanan itu sehingga keluarga si tahanan mengeluarkan ‘uang arak’ agar
si tahanan diperlakukan baik-baik. Tapi terhadap Kun Hong mereka tidak bisa
memeras karena takut kepada Tan-taijin.
Kun Hong
tiba-tiba bangkit berdiri dari bangkunya dan membentak sambil memandang tajam,
"Heii, pengawal! Terhadap aku, Pangeran Mahkota, kau berani bersikap
kurang ajar? Apa kau minta dihukum mati?"
Pengawal itu
kaget, memandang dan... matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Yang berdiri
di depannya bukanlah pemuda itu tadi, tapi Pangeran Mahkota yang memandang
marah. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut.
"Ini...
ahhh, bagaimana... hamba mohon beribu ampun..." katanya gagap dengan
seluruh tubuh menggigil ketakutan.
Gembira
sekali hati Kun Hong ketika melihat percobaan ilmunya itu berhasil. Ia sudah
berhasil menguasai semangat dan pikiran pengawal ini dengan pengaruh ilmunya.
"Lekas
panggil semua pengawal ke sini. Cepat!" bentaknya.
Pengawal itu
mengangguk-angguk lalu merangkak mundur, keluar dari kamar tahanan itu dan
berlari-lari memanggil teman-temannya.
Sementara
itu Kun Hong mengerahkan seluruh kekuatan ilmunya untuk dapat menguasai belasan
orang pengawal yang memasuki kamar tahanan itu. Mereka semua menjatuhkan diri
berlutut di dalam kamar itu, seperti pengawal tadi mereka mohon ampun!
"Karena
orang muda itu tak bersalah, aku telah membebaskannya. Kalian ceroboh benar,
sampai tidak melihat masukku dan keluarnya orang muda itu. Hemm! kalian semua
harus dihukum," bentaknya.
Belasan
orang itu cepat-cepat mengangguk-angguk minta ampun. Takut bukan main hati
mereka karena Pangeran Mahkota terkenal bengis terhadap para pengawal.
“Sementara
kalian tinggal di kamar ini, jangan keluar. Berikan kuncinya!"
Pengawal
yang mengantar makanan tadi cepat merangkak maju dan menyerahkan kunci kamar
itu. Kun Hong segera menyambarnya, terus berjalan keluar dengan tenangnya dan
mengunci pintu kamar tahanan itu dari luar. Kemudian, seperti orang berjalan
keluar dari rumahnya sendiri, dia keluar dari rumah tahanan itu tanpa ada yang
merintanginya karena semua pengawal sudah ia keram dalam kamar tahanan.
Ia berjalan
terus di jalan besar, bercampur dengan orang banyak dan pergi menuju ke Istana
Kembang. Akan tetapi alangkah susah hatinya ketika ia mendengar peristiwa hebat
yang menjadi buah bibir penduduk kota raja, yaitu tentang seorang kakek yang
menyerbu Istana Kembang, membunuhi para pengawal dan seisi istana, dan menculik
pergi dua orang keponakannya.
Ia bingung
dan tidak tahu siapakah kakek itu, penolongkah atau penjahatkah? Bila dilihat
bahwa dua orang keponakannya dibebaskan dari istana, berarti menolong, akan
tetapi kalau diingat bahwa kakek itu sangat kejam, membunuhi semua pengawal dan
pelayan, benar-benar mengerikan sekali, seperti bukan perbuatan manusia.
Ke mana aku
harus mencari mereka? Ke mana gerangan kakek iblis itu membawa pergi Li Eng dan
Hui Cu? Benar-benar gelisah hati Kun Hong memikirkan nasib kedua orang
keponakannya itu dan menyesallah ia mengapa ia mengajak mereka menerima
undangan Pangeran Mahkota. Alangkah gembira tadinya mereka bertiga melakukan
perjalanan, dan sekarang, gara-gara pangeran mata keranjang, mereka berpisah
dan ia tidak tahu harus menyusul ke mana.
Ke mana lagi
jika tidak ke Thai-san, pikirnya. Li Eng dan Hui Cu bermaksud hendak pergi ke
Thai-san. Bukan tidak mungkin sesudah ditolong oleh kakek itu, mereka
melanjutkan perjalanan ke Thai-san.
Hanya satu
hal yang membuat ia ragu-ragu. Kalau dua orang gadis itu selamat, mengapa
mereka tidak berusaha menolongnya? Ia merasa yakin bahwa dua orang keponakannya
itu pasti tidak akan meninggalkannya begitu saja.
Tak ada lain
jalan lagi bagiku, pikirnya, selain melanjutkan perjalanan ke Thai-san. Syukur
kalau di sana aku dapat bertemu dengan mereka, bila tidak, aku akan minta
pertolongan Paman Tan Beng San untuk mempergunakan kekuatannya sebagai seorang
tokoh besar dunia persilatan, untuk mencari dan menolong Li Eng dan Li Cu.
Setelah
mendapat keterangan tentang jurusan jalan menuju ke Thai-san, Kun Hong tidak
mau membuang waktu lagi, langsung ia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke
Thai-san. Sekarang ia melakukan perjalanan seorang diri, maka ia melakukan
perjalanan cepat. Keindahan pemandangan di sepanjang jalan tidak terasa indah
lagi karena hatinya terganggu oleh persoalan hilangnya Li Eng serta Hui Cu yang
masih belum dia ketahui nasibnya.
Tanpa ia
sadari, Kun Hong sekarang telah mempunyai tubuh yang amat kuat dan dapat
melakukan perjalanan dengan cepat. Hatinya risau kalau ia teringat akan
pengalaman-pengalamannya di kota raja. Menguatirkan keadaan Li Eng dan Hui Cu,
juga kecewa dan mendongkol sekali kalau ia teringat tentang pedang
Ang-hong-kiam yang dirampas oleh pemuda pesolek yang kurang ajar di rumah
Tan-taijin itu.
Kalau saja
dia tidak ingin cepat-cepat ke Thai-san untuk mencari kalau-kalau dua orang
keponakannya selamat berada di sana, tentu lebih dulu ia akan mencari pemuda
tampan yang menampar pipinya itu di rumah Tan-taijin untuk ia minta kembali
pedangnya. Biarlah, sepulangnya dari Thai-san, kalau semua urusan ini sudah
beres, dia pasti akan mencari pemuda itu di rumah Tan-taijin dan dengan baik ia
akan minta kembali pedangnya. Kalau tidak diberikan, terpaksa ia akan
menggunakan kekerasan.
Pedang itu
adalah pemberian dari gurunya Bu Beng Cu. Meski sebenarnya ia tidak suka
membawa-bawa apa lagi menggunakan pedang, ia tahu bahwa pedang itu benda pusaka
dan akan ia berikan kepada ayahnya. Ketika ia mulai memasuki sebuah hutan yang
besar dan penuh ditumbuhi pohon-pohon raksasa, tiba-tiba dari jauh ia melihat
tiga bayangan orang berlari cepat sekali. Semenjak mengalami hal-hal yang pahit
di kota raja, Kun Hong menjadi sangat hati-hati.
Cepat ia
menyelinap ke belakang sebatang pohon besar dan mengintai. Tiga orang itu makin
dekat dan berdebarlah hati Kun Hong ketika mengenal mereka sebagai tiga orang
di antara tujuh jagoan istana pengawal Pangeran Mahkota!
Ia
mengingat-ingat tujuh orang jagoan yang pernah diperkenalkan kepadanya dan tahu
bahwa yang sekarang berlari cepat memasuki hutan itu adalah Tiat-jiu Souw Ki Si
Tangan Besi yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam bersama sepasang
saudara kembar Ho-pak Siang-sai (Sepasang Singa dari Ho-pak). Setelah mereka
lewat, Kun Hong diam-diam mengikuti mereka dari belakang, menyelinap di antara
pepohonan. Mereka itu adalah kaki tangan Pangeran Mahkota, sangat boleh jadi
kedatangannya ini ada hubungannya dengan dua orang keponakannya.
Heran hati
Kun Hong ketika ia mengikuti tiga orang itu sampai di tengah hutan ia melihat
sebuah sungai besar dan di pinggir sungai itu di antara pohon-pohon tampak
bangunan tembok. Kiranya di tempat terpencil ini terdapat bangunan yang sangat
berbeda dengan dusun-dusun biasa, pikirnya. Ia mengikuti terus. Ketika tiga
orang itu berhenti di depan sebuah jembatan, ia pun berhenti, bersembunyi dan
mengintai.
Ternyata
bahwa bangunan-bangunan yang besar-besar berjumlah lima, terkurung pagar tembok
yang tinggi dan di sekeliling pagar tembok itu terdapat anak sungai yang
agaknya menjadi cabang sungai besar yang mengalir di sebelah utara dusun ini.
Jalan dari darat menuju ke dalam dusun itu hanya dihubungkan dengan jembatan
kecil itu, jembatan yang bentuknya seperti bunga teratai, terbuat dari kayu
berukir indah dan di atas jembatan ini terdapat belasan orang penjaga yang
berpakaian seperti pendeta Agama To.
Kun Hong
memperhatikan dan menduga-duga. Apakah dusun itu merupakan sekumpulan kuil
besar dari para tosu. Namun, biasanya tosu-tosu kuil pegangannya hanya
kitab-kitab, tasbeh dan paling-paling kipas atau kebutan, kenapa belasan orang
tosu yang menjaga di jembatan itu tubuhnya tegap-tegap dan semua membawa
senjata pedang atau golok?
Tiga orang
pengawal Pangeran itu berdiri di mulut jembatan dan agaknya mereka tidak
diperkenankan masuk. Kun Hong bisa mendengar suara Tiat-jiu Souw Ki yang parau
dan keras,
"Heii,
para tosu Ngo-lian-kauw! Kalian menganggap kami orang apakah? Bukalah mata dan
telingamu baik-baik, aku adalah Tiat-jiu Souw Ki dan dua orang temanku lni
adalah Ho-pak Siang-sai! Kami mana bisa bicarakan urusan dengan kalian? Hayo
lekas kalian beri tahukan kepada Ngo-lian Kauwcu (Ketua Perkumpulan Agama Lima
Teratai), bahwa kami bertiga adalah utusan-utusan Pangeran Mahkota, perlu
bertemu dan bicara dengan Toat-beng Yok-mo!"
Jelas sekali
kelihatan para tosu itu kaget dan gentar, juga Kun Hong ketika mendengar
disebutnya nama Yok-mo, menjadi kaget dan heran. Apakah kakek itu berada di
tempat ini?
"Ahh,
kiranya para busu istana utusan Pangeran Mahkota yang datang. Harap Sam-wi
(Tuan Bertiga) sudi menanti sebentar, kami hendak melaporkan kepada Kauwcu (Ketua
Agama) tentang maksud kedatangan Sam-wi,” kata para tosu itu dengan sikap
berubah hormat sekali.
Tiat-jiu
Souw Ki dan dua orang temannya kelihatan tidak puas dan uring-uringan, akan
tetapi karena mengindahkan nama besar dari Ngo-lian-kauw, mereka menanti di
ujung jembatan dengan tidak sabar. Tak lama kemudian terdengar bunyi seruling
ditiup orang, banyak sekali sehingga suaranya amat nyaring dan meriah.
Dari pintu
di ujung jembatan sebelah dalam itu muncullah pasukan terdiri dari dua puluh
orang wanita yang berpakaian lima warna dan di kepala masing-masing anggota
pasukan terhias bunga-bunga teratai. Rata-rata para wanita ini cantik dan
usianya takkan lebih dari tiga puluh tahun. Setiap anggota pasukan memegang
pedang telanjang yang melintang di depan dada, nampak gagah dan berpengaruh
sekali.
Di tengah
pasukan ini berjalan seorang wanita tua. Umurnya tidak akan kurang dari lima
puluh tahun, akan tetapi mukanya yang memang sudah cantik itu masih dibedaki
dan diberi merah-merah. Pakaiannya mewah sekali, di punggungnya tergantung
pedang dan pinggangnya diikat dengan sehelai sabuk merah.
Inilah Ketua
Ngo-lian-kauw, Ngo-lian Kauwcu yang berjulukan Kim-thouw Thian-li (Dewi Kepala
Emas) yang sangat terkenal di dunia kang-ouw. Di sebelahnya berjalan seorang
kakek bongkok yang umurnya sudah tua sekali. Mulutnya yang selalu melongo itu
sudah ompong semua sedangkan matanya besar sebelah. Kakek ini memegang sebuah
tongkat hitam yang bengkak-bengkok. Inilah dia Toat-beng Yok-mo yang beberapa
tahun terakhir ini mempunyai hubungan erat dengan Ketua Ngo-lian-kauw.
"Sungguh
merupakan penghormatan besar sekali tempat kami yang buruk ini mendapat
kunjungan Sam-wi Busu dari istana. Entah ada urusan apakah sampai Pangeran
Mahkota mengutus Sam-wi datang ke sini?" terdengar Kim-thouw Thian-li
bertanya, suaranya jelas menyatakan kebanggaan hatinya.
Tiga orang
jagoan istana itu cukup mengenal siapa wanita di depan mereka itu. Bukan
tergolong tokoh baik, malah dahulu terkenal sebagai pembela Kaisar Mongol dan
dalam pemberontakan para pembesar belasan tahun yang lampau wanita ini pun
turut campur. Pendeknya dalam perkara yang buruk-buruk sudah terlalu sering
wanita ini mengotorkan tangannya. Oleh karena itu dengan suara keras dan angkuh
Souw Ki berkata,
"Kami
bertiga memang utusan Pangeran Mahkota, akan tetapi Pangeran Mahkota sama
sekali tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Ngo-lian-kauw dan tidak mengutus
kami pergi ke sini, melainkan mengutus kami menyelidiki seorang kakek yang
telah mengacau di Istana Kembang."
Kim-thouw
Thian-li merasa juga akan keangkuhan pengawal istana itu yang agaknya tak
memandang mata kepada Ngo-lian-kauw, maka mukanya menjadi merah dan ia bertanya
dengan nada mengejek, "Jika memang tidak ada urusan dengan Ngo-lian-kauw,
kenapa Sam-wi Busu mencapaikan diri datang ke sini? Urusan di istana sudah
tentu saja kami tidak bisa membantumu."
Tiat-jiauw
Souw Ki adalah seorang bekas bajak. Wataknya keras dan kasar, tidak takut
kepada siapa pun juga karena ia mengandalkan kedudukan dan teman-temannya.
"Kami pun tak membutuhkan bantuan Ngo-lian-kauw. Akan tetapi kakek yang
berani mengacau Istana Kembang, yang kami ketahui hanya seorang saja yang
tinggal di Ngo-lian-kauw. Eh Toat-beng Yok-mo, mengaku sajalah, bukankah kau
yang main-main di Istana Kembang? Kalau betul, kau menyerahlah kami tangkap,
dan kembalikan dua orang gadis yang kau culik."
Mata Yok-mo
yang besar sebelah itu menjadi semakin besar sebelah, yang besar jadi melotot
dan yang kecil sampai meram, mulutnya mengeluarkan bunyi, "he-he-heh"
tiada hentinya.
Bu Sek, yang
pertama dari Ho-pak Sian-sai, berkata tak sabar, "Seorang laki-laki harus
berani mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Sudah berani mengacau Istana
Kembang, masa takut mengakui?"
Mendadak
Yok-mo tertawa bergelak, "He-heh-heh, lucunya! Di sini pun tidak
kekurangan gadis-gadis yang cantik manis, mengapa harus menculik ke istana?
Harap kalian jangan main-main dengan seorang tua seperti aku!"
Souw Ki
saling pandang dengan sepasang saudara kembar itu, lalu Si Tangan Besi berkata,
"Bagaimana kami dapat meyakininya bahwa kau tidak melakukan perbuatan itu,
Toat-beng Yok-mo?"
"Heh-heh-heh,
urusan menculik tentu ada buktinya. Kalian bertiga boleh mencari, apakah benar
dua orang gadis itu berada di sini, heh-heh-heh!"
Sebetulnya
Yok-mo sudah marah sekali dan kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin ia turun
tangan memberi hajaran terhadap ketiga orang ini. Akan tetapi mengingat bahwa
mereka adalah utusan Pangeran Mahkota, tentu saja ia tidak berani bertindak
sembrono, maklum akan hebatnya pengaruh pangeran itu yang tentu akan membuat
hidupnya tidak aman lagi kalau ia sampai mengadakan permusuhan.
"Baiklah,
kami akan melakukan penggeledahan di Ngo-lian-kauw. Kalau betul-betul tidak
terdapat dua orang gadis yang kami cari, untuk sementara kami akan mencabut
tuduhan kami."
Setelah
berkata demikian Souw Ki mengajak dua orang temannya untuk menyeberangi
jembatan itu. Akan tetapi tiba-tiba Kim-thouw Thian-li memberi tanda dan
pasukan wanita yang mengawalnya tadi bergerak memenuhi jembatan, menghadang
tiga orang busu ini.
"Hemmm,
apa pula artinya ini?" Souw Ki membentak sambil menoleh kepada Kim-thouw
Thian-li.
Wanita ini
tertawa, masih genit suara ketawanya dan masih terbayang kecantikan wajah nenek
yang sudah tua ini.
"Tiat-jiu
Souw Ki dan Ho-pak Sian-sai! Sudah lama aku mendengar nama besar kalian sebagai
tiga di antara tujuh orang jagoan istana yang amat terkenal. Sebaliknya kiraku
kalian bertiga juga sudah mendengar nama Ngo-lian-kauw yang selamanya tidak
akan mengijinkan orang luar masuk tanpa persetujuanku. Andai kalian membawa
surat perintah Pangeran Mahkota, sudah tentu kami sebagai rakyat tidak akan
berani membangkang, karena bukan maksud kami akan rnemberontak terhadap
pemerintah. Akan tetapi, kalian datang tanpa surat perintah, siapa tahu kalau
kalian hanya mengandalkan kepandaian sendiri dan nama Pangeran untuk menghina
kami? Bicara tentang kepandaian, kaiian mengandalkan apakah hendak melanggar
larangan Ngo-lian-kauw?"
Tiat-jiu
Souw Ki merupakan seorang tokoh yang terkenal dengan kekuatannya sehingga
tangannya dianggap sebagai tangan besi. Juga permainan senjata ruyung bajanya
amat terkenal, senjata yang sesuai dengan tenaganya yang besar. Mendengar
ejekan Ketua Ngo-lian-kauw ini, mukanya yang hitam menjadi semakin gelap. Dia
menghampiri sebuah singa-singaan batu di sebelah kiri jembatan, lalu berkata,
"Singa-singaan
batu ini mengandalkan kekerasannya, akan tetapi aku ini mengandalkan apakah?
Tak lain mengandalkan tanganku ini!" Tangan kanannya lalu bergerak memukul
perlahan dan kepala singa batu itu remuk berhamburan.
Souw Ki
tertawa bergelak, "Ha-ha, hanya kelihatannya saja keras singa batu ini,
kiranya begini lunak!"
"Saudara
Souw, setelah kami berdua datang, sepasang singa batu ini memang tidak berhak
berdiri lagi. Tetapi mengapa kau hanya melenyapkan kepalanya?" kata Bu
Sek, seorang di antara Ho-pak Siang-sai yang bermuka kuning dan karenanya
memiliki julukan Ui-bin-sai (Singa Muka Kuning).
Adiknya, Bu
Tai yang berjuluk Ang-bin-sai (Singa Muka Merah) juga tertawa dan berkata,
"Sungguh tak enak melihat Souw-twako menghancurkan singa-singa batu. Bagi
yang tidak tahu dikiranya Souw-twako menghina kami!"
Dua orang
saudara kembar itu menggerakkan tubuhnya, tiba-tiba tampak sinar pedang
berkelebat, sebuah ke sebelah kiri jembatan, satu lagi ke sebelah kanannya dan
tahu-tahu terdengar suara keras. Singa batu yang sudah pecah kepalanya tadi
tahu-tahu terguling roboh, sedangkan yang berada di sebelah kanan jembatan juga
roboh terbabat pedang. Gerakan pedang sepasang saudara kembar ini cepat sekali
dan hanya kelihatan sinar pedangnya saja, dapat diduga bahwa ilmu pedang mereka
memang hebat.
"Bagus,
bagus! Tiga orang busu dari Pangeran Mahkota benar-benar hebat dan gagah, sudah
menang melawan dua ekor singa batu, heh-heh-heh!" Toat-beng Yok-mo
tertawa, setengah mengejek.
Akan tetapi
Kim-thouw Thian-li menjadi merah mukanya saking menahan marah. Kalau bukan
utusan Pangeran yang melakukan perusakan terhadap hiasan jembatannya, tentu ia
sudah langsung turun tangan sendiri memberi hajaran.
"Yok-mo,
kalau kami belum menggeledah ke dalam, bagaimana kami bisa merasa yakin bahwa
kau tidak bersalah?" Souw Ki berkata nyaring, namun Kakek Setan Obat itu
hanya tertawa ha-ha he-he saja.
"Souw-busu,
Toat-beng Yok-mo hanya tamuku saja dan yang bertanggung jawab tentang tempat
ini adalah aku. Ketahuilah bahwa tidak sembarang orang boleh memasuki tempat
kami, kecuali orang yang dianggap cukup berharga dan gagah. Andai kata Sam-wi
Busu sanggup melewati barisan Ngo-lian-tin kami yang ada tiga lapisan, biarlah
kami anggap Sam-wi cukup berharga dan gagah untuk memasuki tempat kami."
Kim-thouw
Thian-li memberi isyarat dengan tangannya dan para pengawalnya tadi segera
bergerak. Lima belas orang di antara para pengawalnya dengan pedang di tangan
lalu berpencaran menjadi tiga kelompok, masing-masing terdiri dari lima orang,
sekelompok menjaga dekat kepala jembatan, sekelompok kanan kiri. Mereka berdiri
berjajar, sekelompok lima orang.
Souw Ki
saling pandang dengan dua orang saudara kembar itu, lalu tertawa.
"Kim-thouw Thian-li, kau benar-benar memandang rendah kepada kami. Jika
kami tidak menunjukkan kepandaian, tentu kau tidak mengenal kelihaian
kami!" kata Souw Ki sambil mengeluarkan ruyung bajanya yang berat.
"Bu-Siang-te,
hayo kita gempur Ngo-lian-tin ini, tidak perlu kita sungkan-sungkan lagi!"
Bu Sek dan
Bu Tai juga mencabut pedang mereka, kemudian masing-masing melompat menghadapi
sekelompok Ngo-lian-tin. Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai) ini merupakan
ciptaan Kim-touw thian-li sendiri, sebuah barisan terdiri dari lima orang
wanita yang semua gerak-geriknya diatur berdasarkan pada Ngo-heng-tin. Lima
orang wanita yang cukup tinggi ilmu pedangnya dilatih untuk bergerak saling
bantu dengan cara yang amat berbahaya bagi lawan...
Tiga orang
busu ini cepat menggerakkan senjata mereka dan masing-masing menyerbu satu
kelompok Ngo-lian-tin. Ruyung baja di tangan Souw Ki mengeluarkan angin ketika
ia memutarnya dan menerjang lima orang wanita cantik yang cepat menggunakan
pedang untuk menghadapinya dalam bentuk Ngo-lian-tin itu. Kaget juga jagoan
istana ini ketika seorang anggota Ngo-lian-tin yang diserangnya sama sekali
tidak mengelak, hanya mengangkat pedang menangkis. Akan tetapi empat batang
pedang lainnya membarengi gerakannya, dari empat jurusan menyerang empat bagian
berbahaya dari tubuhnya.
Terpaksa dia
menarik kembali senjatanya dan menangkis serangan-serangan itu dengan memutar
ruyung sekuat tenaga. Empat orang wanita itu mengeluarkan seruan tertahan
karena hampir saja pedang mereka terlempar dari tangan, begitu hebat tenaga Si
Tangan Besi ini. Souw Ki kini maklum bahwa jika ia menyerang seorang lawan,
yang empat tentu akan membarengi serangannya sehingga dasar Ngo-lian-tin ini
adalah mengorbankan seorang anggota untuk mengalahkan lawan. Tentu saja ia
tidak mau dan ia segera mengerahkan tenaganya memutar ruyungnya, mengambil
keuntungan dari tenaganya yang besar untuk mengadu senjata dengan lima batang pedang
itu. Usahanya itu berhasil baik karena lima orang wanita yang menjadi lawannya
terdesak mundur sampai ke tengah jembatan!
Juga
sepasang saudara kembar she Bu itu ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat dan
cepat hingga kelompok Ngo-lian-tin yang mengeroyok mereka tak dapat
mengimbanginya. Terdengar jerit susul-menyusul ketika beberapa orang wanita
anggota Ngo-lian-tin terluka oleh pedang mereka, lantas disusul Souw Ki yang
berhasil pula menendang dua orang pengeroyoknya masuk ke dalam anak sungai! Benar-benar
tingkat kepandaian para busu yang menjadi tangan kanan Pangeran Mahkota ini tak
boleh dipandang rendah.
Sampai pucat
muka Kim-thouw Thian-li saking malu dan marahnya. Akan tetapi apa yang dapat ia
lakukan? Tadi ia sudah berjanji bahwa kalau tiga orang itu dapat mengalahkan
Ngo-lian-tin, mereka diperbolehkan masuk ke dalam untuk melakukan
penggeledahan. Sebagai Ketua Ngo-lian-kauw tentu saja ia tidak suka menjilat
ludah sendiri. Ia memberi isyarat dengan tepukan tangan dan sisa barisan
Ngo-lian-tin itu yang tahu bahwa mereka tidak akan dapat menang, cepat
mengundurkan diri. Souw Ki tertawa bergelak dan bersama kedua Saudara Bu ia
lalu menyeberangi jembatan memasuki lima bangunan berbentuk bunga teratai itu.
Mereka melakukan penggeledahan, memasuki semua kamar dan ruangan, tetapi tentu
saja mereka tidak bisa mendapatkan dua orang gadis pilihan Pangeran yang terculik
pada malam itu, karena memang bukan Yok-mo penculiknya.
Tiga orang
itu menjadi kecewa sekali oleh karena tadinya mereka menduga keras bahwa
satu-satunya kakek yang selihai itu, yang berani mengacau Istana Kembang, siapa
lagi kalau bukan kakek ini? Apa lagi kalau dipikir bahwa Yok-mo menjadi ‘teman
baik’ Ketua Ngo-lian-kauw yang dahulu pernah memusuhi Kaisar.
Sementara
itu, Kun Hong yang sedang bersembunyi sambil mengintai, melihat betapa
jagoan-jagoan istana itu mencurigai Yok-mo, diam-diam juga ikut menjadi curiga.
Ia cukup mengenal Yok-mo yang berwatak palsu, bukan tidak mungkin kakek ini
yang menculik Li Eng dan Hui Cu! Maka ia menanti hasil penyelidikan tiga orang
jagoan itu dengan hati berdebar. Ia pun ikut kecewa ketika tiga orang itu
keluar dengan tangan kosong dan wajah muram.
Yok-mo
terkekeh-kekeh mentertawakan, lalu berkata, "Heh-heh-heh, apakah kalian
sudah menemukan dua orang gadis itu?"
Souw Ki
semakin marah ketika ditertawakan. "Kakek jahat! Siapa tahu kalau kau
sudah menyembunyikan dua orang gadis itu di tempat lain?"
"Heh-heh,
andai kata memang benar kusembunyikan, kewajibanmulah untuk mencari dan
menemukannya."
Souw Ki dan
kedua orang Saudara Bu marah, akan tetapi karena tak ada bukti, mereka tidak
dapat berbuat apa-apa. Mereka sudah hendak pergi, akan tetapi Kim-thouw
Thian-li tiba-tiba menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke
depan tiga orang itu, menghadang mereka. Mulut Ketua Ngo-lian-kauw ini
tersenyum mengejek, "Hemmm, kalian sewenang-wenang datang merusak hiasan
jembatan, lalu memasuki tempat tinggal kami dengan fitnah jahat. Setelah semua
itu, apakah kalian hendak pergi begitu saja?"
"Kim-thouw
Thian-li, sesudah Ngo-lian-tin yang kau ajukan itu sanggup kami hancurkan,
apakah kau masih belum puas juga?" Souw Ki mengejek sambil melintangkan
ruyungnya di depan dada.
"Justru
karena Sam-wi Busu telah memecahkan Ngo-lian-tin, aku yang bodoh ingin sekali
berkenalan dengan kelihaian Sam-wi. Tak sekali-kali Ngo-lian-kauw hendak
memandang rendah kepada Pangeran Mahkota, akan tetapi ini adalah urusan
mengenai pribadi kita, tidak tahu apakah Sam-wi Busu sudi memberi
petunjuk?" Biar pun kata-kata ini sifatnya halus, namun jelas mengandung
tantangan.
Orang
seperti Tiat-jiu Souw Ki yang semenjak mudanya mengumbar nafsu berkelahi, tak
mau mengalah dan selalu menganggap diri sendiri paling jagoan, mana bisa
menghadapi tantangan tanpa melayaninya? Ia tertawa bergelak lalu berkata,
"Kim-thow
Thian-li! Telah lama aku mendengar namamu yang amat tenar. Tentu saja aku pun
ingin sekali merasai kelihaianmu dan urusan di antara kita ini tiada
sangkut-pautnya dengan Pangeran. Setelah kami bertindak sebagai utusan,
sekarang kami akan bertindak atas nama diri pribadi kami sendiri. Kalau kau ada
kepandaian, boleh memberi petunjuk!"
Kim-thouw
Thian-li mendengus lalu tangannya bergerak, tahu-tahu tangan kanan sudah
memegang pedang dan tangan kiri memegang sehelai sabuk berwarna merah.
"Tiat-jiu
Souw Ki, ingin sekali aku berkenalan dengan ruyung bajamu yang ganas!"
Sambil berkata demikian, pedangnya berubah menjadi sinar ketika bergerak
menusuk ke arah dada Souw Ki.
Orang tinggi
besar ini tidak berani memandang remeh karena ia pun sudah mendengar bahwa
Ketua Ngo-lian-kauw ini adalah seorang wanita yang ganas dan dahsyat sekali
sepak terjangnya. Cepat ia menggeser kakinya ke kiri sambil menyabetkan
ruyungnya ke arah sinar pedang untuk menangkis.
Akan tetapi,
Kim-thouw Thian-li telah menahan pedangnya dan sebagai gantinya, tangan kiri
wanita itu bergerak dan sinar merah melayang-layang menotok ke arah ulu hati
Souw Ki. Jangan dipandang rendah sabuk merah di tangan kiri Kim-thouw Thian-li
ini. Biar pun hanya sehelai kain halus, namun, di tangan wanita ini berubah
menjadi senjata yang amat ampuh, yang ujungnya mampu merobek jalan darah lawan
dan karena lemasnya maka lebih berbahaya dan sukar dilawan oleh sebatang
pedang!
Souw Ki
mengeluarkan seruan panjang. Ruyungnya lantas diputar menjadi benteng baja
melindungi dirinya sehingga totokan ujung sabuk sutera ini pun dapat
ditangkisnya. Akan tetapi Kim-thouw Thian-li kembali mengeluarkan suara
mendengus penuh ejekan, lalu pedangnya bergerak menjadi gulungan sinar
memanjang, menyambar-nyambar tubuh Souw Ki dari pelbagai jurusan sehingga
jagoan istana ini menjadi kaget dan sibuk sekali.
Kim-thouw
Thian-li adalah murid tersayang dari tokoh besar Hek-hwa Kui-bo Si Iblis
Betina, malah ilmu pedang Im-sin Kiam sut yang luar biasa hebatnya itu sebagian
telah diajarkan kepada Kim-thouw Thian-li. Biar pun hanya sebagian saja Im-sin
Kiam-sut yang dimiliki oleh Ketua Ngo-lian-kauw ini, namun cukup untuk
menghadapi lawan yang sakti.
Souw Ki
boleh mengagulkan dirinya sebagai jagoan yang bertangan besi dan bersenjata
ruyung yang dahsyat, namun menghadapi Kim-thouw Thian-li dia repot sekali.
Andai kata Ketua Ngo-lian-kouw ini hanya bermain pedang saja, ia pun sudah
repot dan takkan dapat melawan wanita itu dengan ruyungnya, apa lagi sekarang
Kim-thouw Thian-li membantu permainan pedangnya dengan sabuk merahnya, membuat
jagoan yang galak itu menjadi makin kewalahan.
Untung
sekali baginya bahwa Kim-thouw Thian-li masih jeri untuk mencelakai orangnya
Pangeran Mahkota. Andai kata tidak, sekali saja Ketua Ngo-lian-kauw ini
mengeluarkan senjata-senjatanya yang paling ampuh, yaitu senjata rahasia yang
mengandung racun berbahaya, kiranya dalam waktu tak lama Souw Ki tentu akan
roboh.
Sepasang
saudara Bu yang tadinya hanya menonton pertandingan ini, pada saat melihat
bahwa teman mereka terdesak hebat dan sekarang hanya main mundur dan berputaran
untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan yang amat gencar itu, kini menjadi
marah. Selama ini, tujuh orang jagoan istana pengawal Pangeran Mahkota adalah
jagoan-jagoan yang ditakuti, yang sudah dianggap sebagai sekelompok jagoan
tanpa tanding. Apa bila sekarang seorang di antara mereka dijatuhkan lawan,
berarti nama tujuh orang jagoan ini akan tercemar.
Oleh karena
itu, keduanya saling bertukar pandang, kemudian sepasang saudara kembar ini
menggerakkan pedang dan Bu Sek membentak, "Kim-thouw Thian-li, jangan
menjual lagak di depan kami!"
Ilmu pedang
dari sepasang saudara Bu ini adalah ilmu pedang keturunan yang bersumber pada
ilmu pedang Go-bi Kiam-hoat dari Go-bi-pai. Karena mereka adalah dua saudara
kembar, maka dalam permainan pasangan ini mereka seakan-akan merupakan pasangan
yang sangat cocok, laksana dua orang satu perasaan saja sehingga kalau maju
bersama mereka kelihatan amat hebat.
Tadi saja
mereka masing-masing bisa memecahkan Ngo-lian-tin, ini berarti bahwa tingkat
mereka bukanlah tingkat jago silat sembarangan. Kini mereka maju bersama
mengeroyok Kim-thouw Thian-li, sekali serang merupakan gulungan sepasang sinar
pedang yang amat kuat.
Ketua
Ngo-lian-kauw itu diam-diam amat terkejut. Ia cepat menahan desakannya terhadap
Souw Ki untuk menghadapi dua orang lawan barunya ini. Cepat dan kuat gerakan
dua pedang dari saudara kembar itu, maka terpaksa Kim-thouw Thian-li harus
mengeluarkan Im-sin Kiam-sut lagi untuk menghadapinya. Wanita tua Ketua
Ngo-lian-kauw ini sungguh hebat sekali, biar pun dikeroyok tiga ia masih dapat
mengimbangi permainan lawannya.
Kun Hong
yang menonton di balik batang pohon, merasa gembira juga karena sekarang ia
dapat menonton dengan penuh pengertian. Ia dapat mengikuti semua permainan itu,
bahkan dia dapat menduga bahwa kalau pertandingan ini dilanjutkan, Kim-thouw
Thian-li akan kalah, biar pun mungkin wanita ini akan dapat melukai seorang di
antara tiga orang pengeroyoknya. Ia ingin melerai mereka, akan tetapi dia pun
merasa bahwa pertandingan itu bukanlah urusannya dan ia tidak mempunyai
kepentingan sama sekali.
Agaknya
penilaian Kun Hong ini sama persis dengan penilaian Yok-mo. Setan Obat ini pun
maklum bahwa setelah dua saudara Bu itu ikut memasuki gelanggang pertempuran,
Kim-thouw Thian-li tentu takkan kuat menahan. Tentu saja kalau ia membantu
Ketua Ngo-lian-kauw itu, takkan sulit bagi mereka berdua untuk mengalahkan tiga
orang busu ini. Akan tetapi mengingat bahwa mereka merupakan utusan-utusan
Pangeran Mahkota, amatlah berbahaya untuk bermusuhan dengan ketiga orang ini.
Maka ia
segera meloncat ke tengah lapangan, tongkat hitamnya bergerak dan mulutnya
berseru, "Cukup... cukup...! Untuk apa bertempur terus?"
“Trang!
Trang!”
Terdengar
bunyi beradunya senjata. Baik ruyung baja di tangan Souw Ki mau pun pedang dl
tangan kedua orang saudara Bu itu terpental ke belakang saat terbentur tongkat
hitam. Tiga orang busu ini kaget dan melompat ke belakang, diam-diam mengakui
kelihaian Si Setan Obat.
"Sam-wi
Busu, setelah Sam-wi mendapat kenyataan bahwa aku bukan pengacau Istana
Kembang, harap laporkan kepada Pangeran dan jangan melanjutkan pertempuran yang
tak ada artinya ini. Kauwcu (Ketua), harap kau mengalah."
Kim-thouw
Thian-li tersenyum dan mendengus lalu mengejek, "Ah, sekarang aku merasa
sendiri betapa lihainya Sam-wi Busu!"
Wajah ketiga
orang jagoan itu menjadi merah. Mereka merasa disindir karena tadi jelas bahwa
mereka bertiga tidak mampu mengalahkan Ketua Ngo-lian-kauw yang lihai itu, apa lagi
Yok-mo yang sekali menggerakkan tongkat telah mampu membuat senjata mereka
terpental.
Mereka
maklum bahwa Ketua Ngo-lian-kauw dan Yok-mo itu telah berlaku dan bersikap
mengalah karena takut akan nama Pangeran Mahkota, maka mereka pun tidak bodoh
untuk tidak tahu diri dan mencari perkara. Kedatangan mereka untuk menyelidik
tentang kakek yang mengacau Istana Kembang, setelah sekarang tidak terdapat
bukti, kiranya tak perlu mengacau di situ lebih lama lagi.
"Kauwcu
sungguh lihai," berkata Souw Ki, "dan Yok-mo, karena tidak ada bukti
terpaksa sementara ini kami mencabut dakwaan kami. Selamat tinggal!"
Setelah
berkata demikian, tiga orang busu itu kemudian meninggalkan tempat itu dengan
mengangkat dada. Betapa pun juga mereka belum kalah, dan andai kata mereka
datang bertujuh, biar pun di situ ada Yok-mo, tanggung mereka takkan mendapat
malu dan akan dapat mengalahkan pihak Ngo-lian-kauw. Setelah tiga orang itu
pergi, Yok-mo dan Kim-thouw Thian-li tertawa. Kim-thouw Thian-li lalu
memerintahkan para pengawalnya untuk kembali ke dalam benteng Ngo-lian-kauw.
Akan tetapi
Yok-mo tiba-tiba berkata, "Nanti dulu, ada tamu yang sejak tadi
bersembunyi, harus kita sambut dulu." Dia lalu memandang ke arah tempat
sembunyi Kun Hong dan berseru keras, "Sahabat tak perlu bersembunyi lagi,
kalau ada perlu, keluarlah!"
Kun Hong
kaget sekali dan diam-diam memuji ketajaman mata Yok-mo. Tentu tadi dalam
keasyikannya menonton pertempuran dia kurang hati-hati dan sempat
memperlihatkan diri dari balik batang pohon sehingga terlihat oleh kakek itu.
Ia berjalan keluar dan berkata,
"Toat-beng
Yok-mo, aku memang datang hendak menemui engkau untuk mengembalikan
kitab-kitabmu!" Ia segera berjalan menghampiri dan mengambil tiga buah
kitab dari dalam kantong bajunya yang selama ini ia simpan dan ia pelajari.
Sejenak
Toat-beng Yok-mo memandang heran. Akan tetapi begitu melihat tiga buah kitab di
tangan pemuda itu, ia segera teringat dan berseru girang dan heran,
"Kau... kau masih hidup...?"
Tentu saja
ia sekarang ingat akan pemuda yang telah menggendongnya ketika ia terluka dari
Bukit Hoa-san, pemuda yang ia kira mati digondol burung rajawali emas yang
lihai itu. Ia bukan girang karena pemuda itu masih hidup, tetapi girang karena
tiga buah kitabnya yang ia sangka sudah lenyap itu kini ternyata masih utuh.
Cepat dia menyambar tiga buah kitab itu dan segera disusulnya pertanyaan,
"Dan
manakah katak putih dalam tabung itu?"
"Ahhh,
menyesal sekali, Yok-mo, katak itu sudah ditelan habis oleh Kim-thiauw-ko
(Kakak Rajawali Emas)." Lalu pemuda ini segera balas bertanya,
"Yok-mo, aku tadi mendengar mengenai urusan para busu mencari dua orang
gadis. Gadis-gadis itu adalah dua orang keponakanku. Betulkah kau tidak melihat
mereka, Yok-mo?"
Pada saat
itu, sebelum Yok-mo menjawab, terdengarlah suara, "Bagus sekali, Toat-beng
Yok-mo, kau telah menipu kami!"
Dan
muncullah Souw Ki, dua orang saudara kembar Bu, dan seorang tosu. Tosu ini
bukan lain adalah Thian It Tosu tokoh Ngo-lian-kauw, tangan kanan Kim-thouw
Thian-li. Seperti kita ketahui, Thian It Tosu menggabungkan diri dan menjadi
seorang di antara tujuh jagoan istana. Inilah sebabnya mengapa Kim-thouw
Thian-li berlaku mengalah dan tadi tidak suka bermusuhan dengan Souw Ki
bertiga, tetapi juga ini yang menyebabkan ia merasa penasaran melihat sikap
Souw Ki yang sombong dan tidak mengindahkannya.
Pada saat Souw
Ki bertiga kembali ke istana, di tengah jalan bertemulah mereka dengan teman
mereka, Thian It Tosu. Tiga orang ini berterus terang tentang kecurigaan mereka
terhadap Toat-beng Yok-mo dan menceritakan pula peristiwa di Ngo-lian-kauw
tadi. Thian It Tosu mencela mereka dan merasa menyesal telah terjadi peristiwa
itu.
"Marilah
kita kembali ke sana, kalau tidak begitu, sungguh pinto akan merasa tidak enak
sekali terhadap Kauwcu."
Souw Ki dan
dua orang saudara kembar itu menurut, maka keempat orang ini segera kembali ke
situ dan kebetulan sekali mereka melihat Kun Hong bercakap-cakap dengan
Toat-beng Yok-mo, Tentu saja Souw Ki menjadi marah dan mengeluarkan bentakan
tadi. Mereka mengenal Kun Hong sebagai pemuda yang lenyap secara aneh dari
tahanan. Sekarang ternyata pemuda ini bercakap-cakap dengan Yok-mo, siapa lagi
kalau bukan Setan Obat yang menolongnya keluar dari tahanan?
Juga Thian
It Tosu menjadi curiga. Tosu ini memang diam-diam merasa iri hati dan tidak
suka melihat hubungan antara Yok-mo dengan ketuanya. Sebelum Yok-mo datang,
dialah orang yang paling ‘dekat’ dengan Kim-thouw Thian-li dan setelah ia
menjadi pengawal Pangeran lalu mendengar kedatangan Yok-mo tentu saja ia
menjadi iri hati dan cemburu.
"Toat-beng
Yok-mo, kau tadi bilang tidak tahu menahu mengenai pengacauan di Istana
Kembang, namun ternyata kau mengenal baik orang muda ini. Hemmm, andai kata
benar bukan kau yang mengacau di Istana Kembang, tapi sudah dapat dipastikan
bahwa yang menolong pemuda ini keluar dari tahanan adalah kau!" kata Souw
Ki dengan suara marah.
"Toat-beng
Yok-mo, dengan perbuatanmu menentang Pangeran Mahkota ini, jangan kau
menyeret-nyeret nama baik Ngo-lian-kauw. Seorang lelaki harus berani
mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri!" berkata Thian It Tosu
sambil melirik ke arah Kim-thouw Thian-li yang masih berdiri di jembatan.
Melihat
empat orang jagoan istana ini bersikap hendak menyerangnya, Toat-beng Yok-mo
hanya terkekeh lalu berkata, "Tidak kusangkal bahwa aku mengenal pemuda
ini, habis kalian mau apakah? Heh-heh-heh!"
"Yok-mo,
kami harus menangkap kau dan pemuda ini!" seru Souw Ki.
Sementara
itu, pada saat Kun Hong melihat datangnya empat orang pengawal istana ini,
mukanya segera menjadi pucat. Celaka, pikirnya, tentu aku akan ditangkap lagi.
Ketika mendengar kata-kata Souw Ki yang terakhir, tanpa pikir panjang lagi Kun
Hong segera membalikkan tubuh dan lari dari situ!
"Hee,
hendak lari ke mana kau?!"
Souw Ki
melompat dan ruyungnya digunakan untuk menyerampang kaki Kun Hong dari
belakang. Ia memang gemas kepada pemuda ini dan ingin memberi hajaran. Akan
tetapi alangkah herannya ketika sudah yakin hatinya akan dapat mematahkan dua
kaki pemuda itu, ternyata ruyungnya hanya mengenai angin karena kaki pemuda itu
bergeser ke arah yang berlawanan dan secara aneh sekali.
Ternyata
dalam keadaan berbahaya itu Kun Hong sudah mempergunakan langkah dari Ilmu
Silat Kim-tiauw-kun sehingga dengan mudah ia dapat menghindarkan kedua kakinya
dari sambaran ruyung. Setelah terhindar dari serangan ruyung itu, segera kaki
Kun Hong melanjutkan langkahnya melarikan diri.
Melihat
pemuda itu hendak lari, sepasang saudara kembar Bu dan Thian It Tosu juga lari
mengejar. Kun Hong lalu terkurung oleh empat orang busu. Sejenak pemuda ini
bingung, lalu dia mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmu yang telah
dipelajarinya, yaitu Kim-tiauw-kun untuk melakukan perlawanan. Kalau tidak
terpaksa sekali, pemuda ini tidak suka mempergunakan ilmu ini untuk bertanding
dengan orang lain.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara parau yang disusul dengan suara melengking yang
menusuk telinga dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tinggi besar
yang berpakaian serba putih. Melihat kakek ini, Toat-beng Yok-mo serta
Kim-thouw Thian-li segera menghampiri, lalu memberi hormat dan menegur,
"Kiranya Locianpwe Song-bun-kwi yang datang, silakan... silakan."
Empat orang
pengawal itu tentu saja pernah mendengar nama besar Song-bun-kwi, maka serantak
mereka menegok. Thian It Tosu yang juga sudah pernah melihat kakek ini, cepat
memberi hormat kepada Song-bun-kwi, akan tetapi kakek itu menerimanya acuh tak
acuh. Souw Ki dan dua orang saudara kembar, walau pun mereka pernah mendengar
nama Song-bun-kwi, akan tetapi belum pernah bertemu muka. Mereka adalah
pengawal istana kepercayaan Pangeran Mahkota, maka tentu saja sikap mereka
angkuh dan terhadap Song-bun-kwi mereka tak memandang sebelah mata! Setelah
memandang sejenak, Souw Ki dan dua orang saudara itu lalu mengurung Kun Hong
lagi.
"Yok-mo,
siapakah tiga manusia ini?" Song-bun-kwi bertanya.
Diam-diam
kakek ini merasa heran sekali karena tadi ia melihat geseran kaki Kun Hong yang
dalam pandangannya merupakan ilmu langkah yang ajaib sekali. Yok-mo tertawa,
"Heh-heh-heh, mereka adalah pengawal-pengawal istana yang datang dengan
fitnah bahwa aku telah mengacau Istana Kembang, kemudian mengira lagi bahwa aku
telah mengeluarkan pemuda itu dari dalam tahanan. Lucu sekali!"
"Ah,
kiranya anjing-anjing istana. Hei, dengarlah kalian. Yang mengacau Istana
Kembang, menculik dua orang gadis adalah aku. Kalian mau apa?"
Bukan main
kagetnya Souw Ki dan teman-temannya, juga Thian It Tosu. Kalau Thian It Tosu
merasa kaget dan gelisah, adalah Souw Ki dan kedua saudara Bu kaget berbareng
girang.
"Aha,
dicari susah payah tidak ketemu, sekarang datang sendiri menyerahkan diri.
Bagus! Kakek, dosamu sudah terlalu besar, kau menyerahlah saja dari pada rusak
badanmu oleh ruyungku!" Souw Ki menggertak dan serta merta bersama
teman-temannya lupa akan Kun Hong, meninggalkan pemuda itu dan menghampiri
Song-bun-kwi.
Song-bun-kwi
tertawa bergelak dan ia melengking tinggi ketika melihat sambaran ruyung Souw
Ki. Hebat dan dahsyat sekali sambaran ruyung baja itu dan sekiranya mengenai
kepala kakek ini, kiranya akan pecah berhamburan karena ruyung baja ini di
tangan Souw Ki sanggup menghancurkan batu karang yang keras. Karena maklum
bahwa kakek ini sakti, di samping hantaman ruyungnya ke arah kepala, tangan
kiri Souw Ki juga mengirim pukulan ke arah dada.
Hebat sekali
Song-bun-kwi. Diserang seganas itu, kakek ini berdiri tak bergerak, dalam arti
kata mengelak, seakan-akan dia tidak melihat datangnya dua serangan dahsyat
itu. Setelah ruyung tinggal satu dim lagi dari keningnya barulah kakek ini
membabat senjata lawan itu dari bawah dengan tangan kiri dimiringkan, sedangkan
tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menerima pukulan tangan kiri Souw Ki.
"Souw-busu,
jangan...!" Thian It Tosu coba untuk mencegah temannya yang sembrono
menyerang Song-bun-kwi, namun terlambat.
Terdengar
suara keras. Ruyung baja itu terpental dari tangan Souw Ki, melayang jauh, dan
disusul jeritan Souw Ki ketika kepalan tangan kirinya kena dicengkeram oleh
tangan kanan kakek itu.
Sambil
tertawa bergelak-gelak Song-bun-kwi mendorong tubuh Souw Ki yang melayang
seperti daun kering tertiup angin dan jatuh ke dalam air di dekat jembatan.
Thian It Tosu cepat meloncat dan menolong Souw Ki keluar dari air, namun jagoan
ini terpaksa harus digotong karena tulang tangan kirinya remuk dan mukanya biru
serta matanya mendelik! Baiknya, Song-bun-kwi tidak menghendaki nyawa Souw Ki
maka jagoan yang galak ini tidak sampai mati.
"Song-bun-kwi,
iblis tua, lihat pedang!"
Sepasang
saudara kembar she Bu itu marah sekali melihat teman mereka dirobohkan demikian
mudahnya oleh kakek ini. Pedang mereka berkelebat dan mengurung diri kakek itu
dengan ganas. Mereka bekerja sama baik sekali dan dalam gebrakan pertama Bu Sek
menikam sedangkan Bu Tai melindungi kakaknya dari samping dengan memutar-mutar
pedangnya, bersiap menanti kesempatan untuk menyerang apa bila serangan
kakaknya gagal.
Song-bun-kwi
mengeluarkan lengking tinggi tanda bahwa dia sudah marah sekali. Tentu saja
sama sekali ia tidak gentar menghadapi serangan pedang ini. Dengan mengebutkan
lengan bajunya arah pedang itu meleset sedangkan tangan Bu Sek serasa hendak
robek kulitnya. Malah Bu Tai yang memutar pedangnya, terhuyung mundur dua langkah
karena sambaran angin kebutan ujung lengan baju itu.
Thian It
Tosu yang melihat betapa dua orang saudara kembar itu sudah maju bertempur
mengeroyok Song-bun-kwi, segera meloncat pula ke depan sambil berkata,
"Locianpwe Song-bun-kwi, terpaksa pinto kini berlaku kurang ajar karena
kau sudah berani menghina utusan-utusan Pangeran Mahkota!"
Tosu ini
mencabut pedangnya dan menerjang ke depan, pedangnya membabat ke arah pinggang
Song-bun-kwi yang cepat mengelak sambil tertawa mengejek. Dikeroyok tiga orang
jagoan istana yang lihai ini, Song-bun-kwi enak saja melayaninya dengan tangan
kosong. Serangan senjata tiga orang lawannya itu apa bila tidak dilegos, tentu
ditangkis dengan ujung lengan bajunya, kadang-kadang malah dengan tangan yang
dimiringkan!
Kim-thouw
Thian-li dan Toat-beng Yok-mo saling pandang. Wanita Ketua Ngo-lian-kauw itu
merasa serba salah. Akan tetapi setelah melihat Thian It Tosu terjun dalam
lapangan pertempuran, ia segera dapat memilih pihak mana yang harus dibantu.
Memihak
Song-bun-kwi tidak ada keuntungannya sama sekali, sebaliknya kalau dia tidak
membantu utusan-utusan Pangeran Mahkota, tentu akan menjadi bahaya bagi
berdirinya Ngo-lian-kauw. Ia pun cepat melolos pedang dan sabuk merahnya,
tubuhnya ringan ketika meloncat ke depan dan suaranya halus membentak,
"Song-bun-kwi,
melawan utusan-utusan Pangeran Mahkota berarti memberontak dan aku harus
menghalangimu!" Pedangnya menyambar-nyambar diikuti sinar merah sabuknya.
"Ha-ha-ha,
Kim-thouw Thian-li, semenjak kapan kau menjadi anjing Pangeran? Baik, baik,
bagus, majulah hendak kulihat apakah kau sudah mempelajari Im-sin Kiam-sut
dengan baik!"
Marahlah
Kim-thouw Thian-li dan benar saja ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang
hebat, Im-sin Kiam-sut! Sementara itu, Toat-beng Yok-mo setelah mengantongi
tiga buah kitabnya lalu maju pula dengan tongkatnya.
"Song-bun-kwi,
kau semakin tua semakin jahat, suka membikin kacau saja! Perbuatanmu mengacau
Istana Kembang sudah membuat namaku rusak, orang mengira akulah yang
melakukannya. Kau harus mencuci namaku!" Tongkatnya melayang dan sekali
bergerak telah mengirim lima totokan ke arah tubuh kakek itu.
"Ha-ha-ha,
maju semua, hayo majulah!" Song-bun-kwi berteriak.
Tiba-tiba
dia mengeluarkan lengking tinggi memanjang dan tahu-tahu kedua saudara Bu telah
menjerit kaget akibat pedang mereka terpental dan tangan mereka sampai berdarah
sedangkan Thian It Tosu terjengkang ke belakang keserempet ujung lengan baju.
Song-bun-kwi
tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat ke dekat Kun Hong, "Hayo kau ikut
aku!"
Tangan Kun
Hong sudah dicekalnya kemudian pemuda ini dibawanya lari seperti terbang
cepatnya! Biar pun ganas dan tidak takut terhadap siapa pun juga, Song-bun-kwi
masih cukup cerdik untuk menanam permusuhan dengan Ngo-lian-kauw. Maka ia lalu
pergi saja setelah memperlihatkan kelihaiannya. Dia membawa pergi Kun Hong,
karena tadi melihat gerakan pemuda itu yang aneh sekali ketika mengelak dari
serangan Souw Ki.
"Heii,
kakek tua, hendak kau bawa ke mana aku?" Kun Hong berteriak-teriak
sepanjang jalan, akan tetapi kakek itu membisu saja dan menarik tangannya yang
dicekal erat.
"Kakek
tua, kalau kau ada urusan denganku, mari kita bicara baik-baik, kenapa kau lari
seperti orang dikejar setan? Apakah kau takut kalau mereka itu
mengejarmu?"
Kalau saja
Kun Hong mengeluarkan ucapan lain, agaknya kakek aneh ini tidak akan mempedulikannya
dan lari terus. Akan tetapi sekali Kun Hong mengucapkan sangkaan takut, kakek
itu tiba-tiba berhenti dan memandang marah,
"Aku
takut kepada mereka? Ehh, bocah, kau tidak tahu siapa aku!"
"Tentu
saja aku tahu. Kau adalah seorang tokoh di Min-san bernama Kwee Lun berjuluk
Song-bun-kwi," jawab Kun Hong.
Kakek tua
itu nampak tercengang. Di Ngo-lian-kauw tadi, orang-orang hanya menyebut
julukannya, bagaimana bocah ini bisa kenal namanya yang jarang disebut-sebut
dunia kang-ouw?
"Bocah,
kau siapakah dan bagaimana kau bisa kenal namaku?"
"Locianpwe,
namaku Kwa Kun Hong dan aku telah banyak mendengar tentang Locianpwe dari
Ayah."
"Siapa
ayahmu? Lekas katakan!"
"Ayah
adalah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai."
Tiba-tiba
kakek itu mendelikkan matanya. "Kau anak Kwa Tin Siong? Kau adik siluman
betina? Ha-ha-heh-heh, bagus sekali! Tak kusangka untungku sebaik ini. Ha-ha,
Bi Goat anakku, lihat betapa adik musuhmu ini akan kuhancurkan kepalanya dan
kucabut keluar jantungnya!" Dengan buas ia lalu maju menerkam Kun Hong.
Pemuda ini
terkejut setengah mati karena penyerangan yang sama sekali tidak pernah
disangkanya itu. Disangkanya tadi bahwa dengan mengenalkan nama ayahnya sebagai
seorang tokoh kang-ouw juga, kakek ini tak akan mengganggunya lagi, siapa tahu
justru nama ayahnya membuat kakek ini marah sekali.
Akan tetapi
yang kaget sekali ternyata malah Song-bun-kwi sendiri ketika tubrukannya
mengenai angin dan tubuh pemuda itu sudah melejit seperti seekor belut dengan
geseran kaki yang ajaib. Tanpa menghentikan gerakannya Song-bun-kwi melempar
tubuh ke kiri mengejar, sekarang tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala
dan tangan kirinya menyambar lambung dengan gerak tipu yang ampuh dan tidak
mungkin dapat ditangkis atau dihindarkan oleh orang yang diserangnya. Angin
yang panas hawanya mendahului serangan ini.
Sekarang
Song-bun-kwi mengeluarkan suara gerengan keras saking marah dan herannya karena
kembali penyerangannya tadi hanya mengenai angin belaka, jangankan mengenai
tubuh Si Pemuda, menyentuh ujung bajunya pun tidak. Kemarahan dan penasarannya
memuncak. Kakek ini lantas menyerang lagi dengan segenap tenaga dan
kepandaiannya, memukul-mukul dan menendang-nendang sambil terus mengeluarkan
suara melengking.
Kun Hong
mengerahkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk menahan isi dadanya
yang mendadak tergetar-getar karena suara lengkingan itu. Untuk menghadapi
serangan-serangan Song-bun-kwi, dia terpaksa mengeluarkan langkah-langkah ajaib
dari Kim-tiauw-kun. Namun belum pernah ia balas menyerang karena memang tidak
ada niat di hatinya untuk menyerang orang yang sama sekali tak dikenalnya dan
tidak mempunyai urusan dengannya ini.
"Locianpwe,
kenapa kau menyerangku? Apa salahku?" berkali-kali ia bertanya.
Akan tetapi
hal ini bahkan merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan
Song-bun-kwi karena masih dapatnya pemuda itu mengajukan pertanyaan berarti
bahwa semua serangannya itu dipandang rendah saja. Kalau saja ia tidak ingat
bahwa lawannya seorang pemuda, tentu telah ia cabut pedangnya.
Song-bun-kwi
adalah seorang tokoh sakti. Biar pun sampai belasan jurus ia belum mampu
memukul roboh Kun Hong, namun sebenarnya dia cukup membuat pemuda itu bingung
sekali. Hanya karena gerakan-gerakannya yang aneh serta langkah-langkah yang
ajaib maka sebegitu lama pemuda ini masih dapat menyelamatkan diri.
Akan tetapi,
karena ia tidak balas menyerang, kalau ia terus-menerus mengelak, kiranya
lambat-laun kakek itu akan mengenal gerakan-gerakannya dan akan dapat
memecahkan rahasia lalu memukulnya. Sekali saja terkena pukulan kakek ini,
kiranya akan celakalah pemuda itu.
Kun Hong
tidak berani mencobakan ilmu sihirnya atas diri kakek yang sakti ini. Celaka,
pikirnya, apakah dia gila mendadak? Lebih baik lari saja.
Setelah
berpikir demikian, ia menunggu kesempatan baik. Ketika dilihatnya Song-bun-kwi
tiba-tiba berjongkok dengan dua tangan dibuka di kanan kiri seperti seekor
katak hendak melompat, tanpa pikir panjang lagi Kun Hong lalu memutar tubuh dan
melarikan diri.
Ia merasa
datangnya hawa pukulan yang luar biasa dari belakang, cepat kakinya digeser ke
kanan dan tubuhnya seperti terhuyung-huyung ke depan sedangkan kedua tangannya
diam-diam menggunakan gerakan Dewa Menyambut Mustika. Ia merasa dua tangannya
itu bertemu dengan hawa yang panas, akan tetapi dengan pengerahan lweekang yang
dilatih selama berada di puncak bukit, ia dapat menolak serangan itu.
Kembali
Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan heran dan kagum, lalu ia mengejar sambil
mengerahkan ginkang-nya. Beberapa kali lompatan saja membuat ia dapat menyusul
Kun Hong. Akan tetapi anehnya, ketika sudah dekat, tiba-tiba tubuh pemuda itu
bergerak aneh dan sudah menjauh lagi beberapa tombak jauhnya. Ada kalanya kalau
ia melompat menyusul, tahu-tahu pemuda itu seperti mundur sehingga lompatannya
terlewat jauh. Kalau sudah berhasil ia mendekat, selalu uluran tangannya tak
berhasil mencengkeram pemuda aneh itu.
Keringat
dingin mulai membasahi tubuh Song-bun-kwi. Belum pernah selama hidupnya ia
mengalami hal seaneh ini. Banyak sudah dia menghadapi lawan-lawan sakti dan
sering mengalami pertempuran-pertempuran mati-matian dan hebat, akan tetapi
belum pernah ia menghadapi perlawanan begini aneh.
Pemuda itu
laksana bayangan saja, susah dijamah, akan tetapi juga sama sekali tidak pernah
membalas. Ia kelihatan takut-takut dan bingung, bagai orang tidak bisa ilmu
silat. Gerakan-gerakannya itu pun tidak patut disebut ilmu silat, lebih mirip
seperti ayam dikejar atau seperti burung.
Mereka terus
berkejaran keluar masuk hutan dan sudah setengah jam lebih Song-bun-kwi mengejar,
belum juga ia dapat memegang pemuda itu. Saking marahnya ia lalu mencabut
keluar pedangnya dan membentak, "Anak setan, rasakan ketajaman
pedangku!"
Ia masih
merasa malu kepada dirinya sendiri jika harus mempergunakan senjata rahasia.
Menggunakan pedang saja sebetulnya sudah merupakan hal yang amat memalukan, apa
lagi kalau harus menggunakan senjata gelap!
Sekali ini
kehormatannya benar-benar tersinggung sekali. Diam-diam Song-bun-kwi hanya
mengharap jangan sampai perbuatannya ini diketahui lain orang. Akan tetapi
pengharapannya itu ternyata bahkan sebaliknya karena mendadak terdengar suara
orang mengejek, "Ha-ha, sejak kapan Song-bun-kwi tua bangka menjadi
pengecut, mengejar-ngejar seorang pemuda dengan pedang di tangan?
Ha-ha-ha!"
Kaget bukan
main Song-bun-kwi, mukanya menjadi merah padam dan otomatis ia lantas
menghentikan pengejarannya, kemudian membalikkan tubuh. Ia melihat seorang
kakek bertubuh sedang, agak membungkuk saking tuanya. Segera ia mengenal kakek
ini dan makin malulah ia. Dari malu ia menjadi marah sekali.
"Siauw-ong-kwi,
berani kau mengatakan aku pengecut? Kau sudah bosan hidup!"
Cepat ia
lalu menyerang kakek itu dengan pedangnya tanpa memberi kesempatan lagi. Kakek
itu memang benar Siauw-ong-kwi adanya, seorang tokoh besar dari utara. Belasan
tahun kakek ini tidak pernah lagi memperlihatkan diri di dunia kang-ouw,
seperti halnya Song-bun-kwi sendiri.
Seperti
pembaca masih ingat, dalam cerita Raja Pedang sudah pernah diceritakan bahwa
Siauw-ong-kwi ini adalah seorang di antara Empat Besar dan dia adalah jago
nomor satu dari utara, guru dari Giam Kin. Mengapa ia tiba-tiba bisa muncul di
situ?
Seperti
telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Giam Kin telah bertemu
dengan Kwa Hong dan disiksa setengah mati oleh rajawali emas dan Kwa Hong
ketika Giam Kin menculik Lee Giok. Semenjak itu Giam Kin tak pernah ada kabar
ceritanya lagi. Karena inilah maka sekarang Siauw-ong-kwi yang selama ini
mengasingkan diri, menjadi kuatir akan keselamatan muridnya. Sengaja ia
sekarang turun gunung untuk mencarinya, sekalian ia hendak datang pada upacara
pembukaan Thai-san-pai karena sebagai tokoh besar ia pun ingin mencoba lagi
kelihaian Si Raja Pedang Tan Beng San yang menjadi pendiri dari Thai-san-pai.
Kebetulan
sekali di hutan ini dia melihat Song-bun-kwi sedang mengejar-ngejar seorang
pemuda yang kelihatan lari ketakutan, maka ia lalu muncul dan mengejek. Ketika
dengan marah Song-bun-kwi menyerangnya, Siauw-ong-kwi mengeluarkan teriakan
keras sambil menggerakkan kedua lengan bajunya yang merupakan senjatanya yang
ampuh.
Dua orang
tokoh besar ini segera bertempur dengan hebatnya. Sambaran angin pukulan mereka
membuat daun-daun di puncak pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar.
Pertempuran hebat ini diselingi teriakan-teriakan aneh Siauw-ong-kwi serta
suara melengking dari tenggorokan Song-bun-kwi. Selain bertarung dengan
kepandaian silat, kedua tokoh ini juga saling mengadu kekuatan khikang mereka.
Sementara
itu, untuk sejenak Kun Hong hanya berdiri bengong. Bukan main kagumnya dia
menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu sampai pandang matanya berkunang
melihatnya. Diam-diam ia menarik napas panjang dan harus mengakui bahwa dua
orang kakek itu benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Ketika teringat
bahwa mungkin ia akan celaka kalau tertawan oleh dua orang ini, segera ia
mengangkat kaki melarikan diri secepat mungkin pergi dari tempat itu.
Ia masih
berlari-lari ketika tiba-tiba ada orang menegurnya, "Heii, kenapa kau
berlari-lari seperti dikejar setan?"
Kun Hong
menoleh dengan kaget karena mengira bahwa yang berseru itu adalah kakek yang
hendak menawannya. Akan tetapi ketika ia melihat seorang pemuda yang tampan
sekali, timbul kemendongkolan hatinya. Ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda
tampan pesolek yang pernah menampar pipinya di rumah gedung Tan-taijin! Segera
dia berhenti dan memandang dengan muka merengut.
"Ada
keperluan apa kau mencampuri urusanku?"
Pemuda itu
balas memandang dan agaknya baru sekarang ia bisa mengenal Kun Hong. Alisnya
yang hitam itu bergerak-gerak, matanya berkilat dan ia lalu tersenyum.
"Ehhh,
kiranya kaukah ini? Kutu buku yang sombong itu?" katanya dengan nada
seakan kecewa sudah menegurnya tadi. Tanpa bilang apa-apa lagi pemuda itu lalu
melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah dari mana Kun Hong datang.
Kun Hong
mendongkol sekali kepada pemuda itu. Hemm, sampai-sampai di dalam hutan begini
dan dalam melakukan perjalanan, pemuda itu masih berpakaian indah dan bersih,
sepertl orang berjalan-jalan menjual aksi saja. Dan alangkah angkuh dan
sombongnya!
Akan tetapi
ketika melihat pemuda itu menuju ke arah dari mana ia datang, ia menjadi kuatir
juga. Betapa pun juga, pemuda itu yang menyebut Tan-taijin pek-hu (uwa),
berarti masih keponakan pembesar itu dan Tan-taijin berkesan baik di hati Kun
Hong.
Apa lagi
pembesar itu dulu menyatakan bahwa dia adalah sahabat baik ayahnya. Kalau
sampai pemuda angkuh ini bertemu dengan dua orang kakek sakti itu dan tertimpa
mala petaka, tentu Tan-taijin akan menjadi susah hatinya.
"Heii,
tunggu dulu!" teriaknya mengejar.
Pemuda itu
menoleh. "Mau apa kau?" caranya bertanya memandang rendah sekali.
Kun Hong
menahan gemas hatinya. "Jangan kau pergi ke sana, di sana ada dua orang
kakek sakti sedang bertanding. Kalau kau terlihat oleh mereka, kau akan
celaka!"
Pemuda itu
mencibirkan bibir mengejek, "Huh, mana aku takut dengan segala obrolan
kosongmu?"
"Sombong
kau! Siapa mengobrol kosong? Song-bun-kwi dan seorang kakek lain bernama
Siauw-ong-kwi sedang bertempur hebat di sana. Mereka benar-benar sakti dan
jahat."
Berubah
wajah pemuda itu mendengar nama-nama ini dan diam-diam Kun Hong merasa girang.
Nah, baru tahu kau sekarang, baru takut mendengar dua nama itu.
Akan tetapi
pemuda itu segera mencabut pedang dan berseru, "Betulkah Song-bun-kwi di
sana?"
Tanpa banyak
cakap lagi pemuda itu kemudian berlari meninggalkan Kun Hong menuju ke hutan di
depan. Sejenak Kun Hong hanya terlongong. Apakah orang muda itu sudah gila?
Ataukah saking sombongnya maka tidak mengenal keadaan seperti seekor anak
kerbau yang tak gentar menghadapi singa?
Celaka, dia
tentu mampus, pikirnya. Kembali ia merasa tidak enak terhadap Tan-taijin dan di
luar kehendaknya kedua kakinya sudah bergerak, mengejar pemuda itu!
"Heee,
jangan ke sana...!" serunya berkali-kali.
Kun Hong
kagum sekali pada saat melihat betapa pemuda itu berlari cepat sekali laksana
terbang. Tubuhnya demikian ringan sehingga terlihat dari belakang seakan-akan
pemuda itu tidak menginjak tanah! Ia juga mempergunakan ilmu lari cepat yang ia
miliki tanpa ia sadari, akan tetapi Kun Hong menjaga supaya jangan sampai dia
menyusul pemuda itu, melainkan mengikuti dari belakang.
Ketika ia
tiba di dalam hutan di mana tadi Song-bun-kwi bertempur, ia melihat pemuda itu
berdiri tegak seorang diri, menanti kedatangannya dengan wajah tak senang.
Begitu Kun Hong datang, pemuda itu menyambutnya dengan suara marah, "Kau
pembohong besar! Mana dia Song-bun-kwi? Bayangannya pun tidak ada di
sini?"
Kun Hong
berpura-pura terengah-engah napasnya karena dia tidak ingin diketahui orang
bahwa ia pun pandai ilmu lari cepat. "Wah! Kau lari seperti kijang
melompat. Bagus sekali Song-bun-kwi sudah pergi, kalau tidak kau tentu akan
dipukul mati dan aku pun tidak diampuni. Tadi dia berada di sini bertempur
dengan kakek aneh itu. Siapa membohong? Hayo kau kembalikan pedangku yang kau
rampas tempo hari!"
Pemuda itu
mendengus marah. "Orang macam kau, mana pantas mempunyai pedang
pusaka?"
"Ehh-ehh,
soal pantas atau tidak bukan urusanmu. Yang terang pedang Ang-hong-kiam adalah
pedangku, apakah kau nekat hendak merampas pedang orang? Benar-benar tak
bermalu!"
Mendengar
kata-kata ini, pemuda itu marah sekali. Pedang Ang-hong-kiam yang masih
tergantung di pinggangnya itu segera diambilnya dan sekali tangannya diayun
pedang itu berikut sarungnya amblas ke tanah sampai setengahnya!
"Nah,
nih pedangmu pemotong ayam!"
Kun Hong
menghampiri pedang itu dan dengan kedua tangannya mencabut. Pemuda itu
memandang dengan mulut mengejek. Melihat sikap orang itu, Kun Hong malah
sengaja berpura-pura mengerahkan seluruh tenaganya sehingga ketika pedang itu
dapat tercabut ia terjengkang ke belakang dengan pedang di tangan.
Pemuda itu
pun terkekeh geli, "Kutu buku macam kau mempunyai pedang itu untuk apa?
Paling-paling di tengah jalan dirampas orang jahat. Kau telah berhasil lari
dari tahanan, siapa yang menolongmu? Apakah Song-bun-kwi? Dan dua orang gadis
Hoa-san-pai itu, ke mana mereka?"
"Aku...
aku tidak tahu bagaimana aku bisa keluar. Ehhh... para penjaga tahanan yang
mengeluarkan aku, kukira Tan-taijin yang memerintahkannya. Ada pun tentang dua
orang keponakanku itu, justru aku hendak mencari mereka."
"Ke
mana kau hendak mencari mereka?"
"Mungkin
mereka ke Thai-san... ehhh, kau... kenapa kau memperhatikan mereka?" Kun
Hong memandang dengan tajam penuh curiga.
Melihat
pandang mata Kun Hong ini, pemuda itu mencibirkan bibir dan berkata,
"Kudengar mereka cantik-cantik, aku senang gadis-gadis jelita!"
Wajah Kun
Hong merah sekali. Dengan telunjuknya ia menuding ke arah hidung pemuda itu.
Dengan lagak seorang tua memberi peringatan seorang anak nakal, ia lalu
berkata, "Hemm, kau bocah kurang ajar, dengarlah baik-baik! Kalau bukan
keponakan Tan-taijin yang menjadi sahabat ayahku, takkan sudi aku memberi
nasihat kepadamu. Jangan kau mengumbar nafsumu yang bejat, janganlah kau
bertingkah seperti laki-laki yang gagah sendiri, yang tampan sendiri, yang kaya
sendiri. Kau berlagak seperti... seperti seorang banci, laki-laki pesolek yang
mata keranjang. Apa kau kira semua perempuan akan jatuh olehmu? Awas kau kalau
kau berani mengganggu kedua orang keponakanku, hemm..."
Pemuda itu
membusungkan dada, mengedikkan kepalanya kemudian berkata menantang,
"Kalau aku ganggu mereka, kau mau apakah? Apa kau berani berkelahi
melawanku?"
Merah muka
Kun Hong. Ia tidak suka berkelahi, tidak sudi, apa lagi dengan pemuda yang
seperti kanak-kanak ini. Juga ia tidak mau memperlihatkan kepada siapa pun juga
bahwa ia pandai ilmu silat. Akan tetapi pemuda ini benar-benar memanaskan
perutnya.
"Huh,
lagakmu! Kalau kau berani mengganggu kedua orang keponakanku, hemmm, tentu ada
seorang laki-laki muda penuh aksi yang roboh dan mampus oleh dua orang gadis
keponakanku itu! Sudah, tak sudi aku bicara lagi denganmu!"
Dengan marah
Kun Hong lalu membalikkan tubuh hendak melanjutkan perjalanannya. Di dalam
hatinya ia betul-betul marah kepada pemuda ini, belum pernah seingatnya ia
marah dan mendongkol kepada orang lain seperti kepada orang muda sombong ini.
"He!
kau bilang hendak ke Thai-san. Kenapa ke sana?"
Tanpa
menoleh Kun Hong menjawab, "Banyak cerewet! Kalau ke sana mengapa?"
Terdengar
pemuda itu tertawa mengejek, "Soalnya, tolol, Thai-san berada di sebelah
sini, bukan sana!"
Kalau
tadinya Kun Hong mengambil sikap tidak peduli, ketika mendengar kata-kata itu
ia kaget dan cepat-cepat menghentikan tindakannya dan menengok...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment