Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 15
Pemuda itu
dengan lagak angkuh sudah berjalan pergi ke jurusan yang berlawanan. Dia
ragu-ragu. Betulkah kata pemuda itu bahwa ia menuju ke arah yang berlawanan
dengan Thai-san? Tadi dalam kegugupannya ketika dibawa lari Song-bun-kwi, dia
tidak sempat memperhatikan jalan lagi. Karena ia tidak kenal jalan dan pemuda
itu agaknya tidak asing lagi dengan wilayah itu, terpaksa ia lalu berjalan ke
arah perginya pemuda itu dengan hati mengkal.
Akan tetapi,
di samping rasa mendongkol terhadap pemuda yang penuh aksi dan angkuh itu, juga
hatinya amat senang karena Ang-hong-kiam telah dikembalikan. Ia tidak mengira
bahwa pemuda congkak itu begitu mudah mau mengembalikan pedangnya, padahal jika
melihat gerak-gerik pemuda itu, kiranya dia mempunyai kepandaian silat yang tinggi
juga. Biasanya orang di kalangan kang-ouw bila melihat senjata pusaka, menjadi
amat tamak dan ingin memilikinya.
Ketika
melewati sebuah dusun di luar hutan, Kun Hong mencari keterangan dan dengan
lega mendengar bahwa memang arah Thai-san yang ditempuh pemuda itu betul. Maka
ia lalu mempercepat jalannya, akan tetapi tak dapat menyusul pemuda itu yang
melakukan perjalanan cepat sekali. Beberapa hari kemudian Kun Hong tiba di
sebuah kota kecil yang cukup ramai. Karena hari sudah menjelang senja ketika ia
tiba di kota Tiang-bun ini, ia lalu menuju ke sebuah rumah penginapan. Seorang
pelayan datang menyambut dengan muka menyesal sambil berkata, "Maaf, Tuan
Muda. Semua kamar di sini sudah terisi penuh, sayang sekali kau terlambat
datang karena kamar terakhir yang cukup besar telah disewa oleh seorang
kongcu."
Kun Hong
kecewa sekali. "Apakah di kota ini tidak terdapat rumah penginapan
lain?"
Pelayan itu
menggelengkan kepala dan memandang dengan kasihan melihat pemuda ini kelihatan
lelah sekali. "Ada dua jalan untuk menolongmu, Tuan Muda. Pertama, harap
kau menjumpai kongcu yang menyewa kamar besar itu karena dia hanya seorang diri
dan kamar itu cukup besar sehingga jika dia tidak keberatan, tentu kongcu itu
dapat membagi kamarnya denganmu. Jalan ke dua, kalau toh dia berkeberatan,
yaaah, untuk melepas lelah saja, kiranya Tuan Muda dapat tidur di bangku di
ruangan tengah.”
Kun Hong
menghela napas. Apa boleh buat, dalam keadaan seperti itu terpaksa harus
menerima usul ini. "Sebetulnya aku tidak suka mengganggu lain orang, akan
tetapi karena menurut katamu dia seorang kongcu, kiraku tiada salahnya untuk
mencoba. Twako, antarkan aku ke kamar pemuda itu."
Dengan
gembira karena mengharapkan hadiah, pelayan itu segera mendahuluinya. Kun Hong
yang berjalan di belakang pelayan itu ketika sampai di ruangan tengah, melihat
dua orang laki-laki tinggi besar duduk menghadapi arak di atas meja. Ketika Kun
Hong lewat, dua orang yang tadinya bercakap-cakap itu tiba-tiba berhenti dan
biar pun mereka tidak berkata apa-apa, namun mereka memandang penuh kecurigaan
ketika melihat pelayan itu membawa Kun Hong ke kamar yang berada di ujung
belakang.
Kun Hong
bermata tajam dan ia dapat melihat betapa sinar mata kedua orang itu amat tajam
dan mengandung kecurigaan terhadap dirinya. Akan tetapi dia tidak mengacuhkan
mereka karena tidak merasa mengenal orang-orang itu. Sementara itu, pelayan
tadi sudah mengetuk pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara yang tidak
begitu jelas karena pintu itu rapat sekali.
"Siapa?"
"Maaf,
Kongcu, aku pelayan!" kata pelayan itu dengan suara manis, "Harap
Kongcu suka membuka pintu sebentar, ini ada seorang tuan muda yang tidak
kebagian kamar, hendak mohon Kongcu sudi membagi kamar dengan dia."
"Hemm,
aku tidak suka diganggu!" terdengar jawaban dan pintu kamar di buka dari
dalam.
Begitu pintu
kamar dibuka dan Kun Hong melihat seorang pemuda di ambang pintu, dia segera
membuang muka dan menarik tangan pelayan itu sambil berkata, "Twako, aku
lebih suka tidur di bangku di luar atau kalau perlu di emper rumah penginapan
ini dari pada tidur di kamar ini!"
Kemarahan
dan kemendongkolan hati Kun Hong ini dapat dimengerti ketika ia mengenal
‘kongcu’ itu bukan lain adalah Si Pesolek tadi.
"Hemm,
siapa sudi tidur sekamar dengan kutu buku jembel ini?" kata Si Pemuda
dengan nada menghina sambil menutupkan pintunya kembali, akan tetapi seperti
kilat pandang matanya menyambar ke arah dua orang laki-laki tinggi besar yang
mendengar dan melihat semua itu dari ruangan tengah.
Pelayan itu
hanya bisa melongo dan mengangkat pundak, tapi dengan baik hati dia lalu
menyediakan sebuah bangku panjang yang dia letakkan di dalam ruang belakang
untuk memberi tempat istirahat kepada Kun Hong. Setelah mandi dan makan, saking
lelahnya Kun Hong langsung saja menggeletak berbaring di atas bangku panjang,
berselimutkan sebuah baju luar yang lebar.
Ia masih
dapat mendengar betapa pemuda sombong itu berteriak memanggil pelayan dan
memerintahkan pelayan menyediakan air hangat untuk mandi, banyak sekali air
yang dimintanya, kemudian memesan makanan yang mahal-mahal. Hemmm, seorang
pemuda kaya yang mewah dan pesolek, pikirnya.
Juga
dilihatnya betapa dua orang laki-laki tinggi besar tadi beberapa kali memandang
ke arah kamar pemuda itu sambil mereka bicara berbisik-bisik. Diam-diam ia
menaruh curiga. Dasar pemuda mewah yang bodoh, pikirnya. Melakukan perjalanan
dengan cara demikian mencolok, jelas sekali membayangkan bahwa kantongnya penuh
berbekal emas sehingga menarik perhatian kaum penjahat.
Biar pun dia
sendiri masih belum matang pengalamannya dalam perjalanan jauh, akan tetapi
kiranya tidak setolol pemuda itu. Akan tetapi karena ia masih merasa jengkel
akibat beberapa kali dimaki kutu-buku, jembel, ia pun tidak mengacuhkan pemuda
itu dan kalau pemuda itu keluar kamar, ia pura-pura tidur mendengkur. Akan
tetapi entah mengapa, mungkin karena gangguan kegemasannya terhadap pemuda yang
tentu enak sekali tidur di dalam kamar yang hangat, tidak seperti dia yang
kedinginan karena angin malam bebas menghembus memasuki ruangan itu, dia tidak
segera dapat pulas.
Keadaan
rumah penginapan itu sudah sunyi sekali, agaknya semua tamu sudah tertidur
pulas. Hanya Kun Hong saja masih gelisah dan mendongkol karena bayangan nyamuk
yang mengiang-ngiang di sekitar telinganya. Ia menimpakan kemendongkolannya
kepada pemuda sombong itu. Andai kata pemuda itu tidak sesombong itu, atau
andai kata tamu itu orang lain, sudah tentu ia akan mendapat bagian di dalam
kamar dan tidak menderita seperti ini.
Dalam
kemendongkolannya, Kun Hong tidak ingat bahwa sebenarnya bukan hawa dingin atau
nyamuk yang membuat ia tidak dapat tidur karena biasanya ia dapat tidur nyenyak
walau di atas atau di bawah pohon dalam hutan. Sesungguhnya, wajah pemuda itu
selalu terbayang di pelupuk matanya, mendatangkan rasa mengkal di dalam
hatinya. Tiba-tiba saja ia mendengar suara perlahan sekali. Dari balik
selimutnya ia mengintai dan melihat sesosok bayangan melayang turun ke dalam
ruangan itu. Ternyata dia adalah seorang laki-laki tinggi kurus yang gerakannya
amat gesit dan ringan, tanda bahwa orang itu memiliki kepandaian tinggi.
Orang itu
menghampiri kamar dua orang laki-laki tinggi besar tadi dan mengetuk perlahan.
Pintu segera dibuka dan orang itu masuk, lalu pintu kamar segera ditutup lagi.
Kun Hong menjadi curiga sekali dan merasa tidak enak hatinya. Dua orang tinggi
besar tadi selalu memandang ke arah kamar Si Pemuda, sekarang ada tamu yang
demikian mencurigakan dan aneh, tentu mereka mempunyai niat yang tidak baik.
Pikirannya berjalan cepat. Ia lalu mengatur bantalnya memanjang dan
diselimutinya seperti orang tidur berselimut, sedangkan dia sendiri lalu
melompat turun dengan hati-hati, kemudian dengan menggunakan ilmunya
meringankan tubuh ia lantas melompat ke atas genteng.
Hatinya
berdebar keras karena baru sekarang inilah ia mempergunakan ilmu yang telah
dipelajarinya di puncak itu untuk melompat naik ke atas genteng dengan maksud
akan mengintai kamar orang lain! Di puncak dahulu dia sudah biasa melompati
jurang-jurang lebar, tentu saja meloncat ke atas genteng merupakan pekerjaan
mudah baginya.
Akan tetapi
karena belum terbiasa, ia menjadi berdebar dari berhati-hati sekali. Cepat ia
bersembunyi di belakang wuwungan rumah, kemudian memasang telinga mendengarkan
percakapan di dalam kamar dua orang laki-laki tinggi besar itu. Segera dia
mendengar suara orang laki-iaki yang parau, agaknya suara orang yang baru
datang tadi.
"Ji-wi
laote, Twako kita melarang kalian untuk mengganggu pemuda yang hendak pergi ke
Thai-san itu. Menurut Twako, apa bila kita turun tangan di sini, paling banyak
hanya dapat merampas bekal dan pedangnya, sedangkan resikonya kalau sampai hal
ini terdengar oleh Thai-san-pai, tentu mereka akan berhati-hati."
"Hemm,
habis, apa yang harus kita lakukan?" terdengar suara lain.
"Sekarang
Twako sedang mengumpulkan semua saudara kita, malah kabarnya Ji-ko dan Sam-ko
(Kakak ke Dua dan ke Tiga) juga datang, bersama Hui-liong Sam-heng-te yang
bersedia membantu pula. Twako menyuruhku datang memberi tahu Ji-wi (Kalian
Berdua) untuk bersamaku sekarang juga datang ke sana, mendengar
petunjuk-petunjuk lebih jauh dan mengadakan perundingan."
"Baiklah."
Terdengar
jendela dibuka dari dalam kemudian berturut-turut tiga sosok bayangan orang
melesat keluar terus meloncat ke atas genteng. Kun Hong bersembunyi cepat dan
ia berhati-hati sekali, tidak segera memperlihatkan diri. Perbuatannya ini
menolongnya karena dia melihat bayangan lain yang gerakannya cepat sekali
berkelebat mengejar tiga sosok bayangan yang sudah berlari lebih dulu itu.
Ia menahan
napas. Untung tadi ia tidak cepat-cepat muncul, kalau demikian halnya tentu
orang ke empat itu akan melihatnya. Ia merasa heran, menduga-duga siapakah
adanya orang ke empat itu yang seperti juga dia, melakukan pengintaian. Muka
orang itu tidak terlihat, hanya bayangannya memperlihatkan tubuh yang ramping
kecil. Karena ia tidak ingin dilihat orang, baik oleh tiga orang pertama mau
pun oleh orang ke empat yang mengikuti tiga orang itu, Kun Hong sengaja berlari
mengejar dari jauh.
Kurang lebih
sejam mereka berkejaran di dalam gelap dan akhirnya ternyata tiga orang itu
memasuki sebuah kuil tua yang sudah rusak, terletak di luar kota dekat sebuah
rawa yang sunyi. Kun Hong membiarkan pengintai di depannya itu melompat ke atas
genteng lebih dulu, baru kemudian dia menyelinap di antara pohon-pohon di
belakang kuil dan mencari tempat sembunyi dan pengintaian dari sebuah jendela
yang sudah tidak dipakai dan rusak daun jendelanya.
Di dalam
kuil itu terdapat ruang yang luas dan kotor, akan tetapi sekarang di situ
tengah berkumpul beberapa orang mengelilingi meja bobrok, agaknya bekas meja
sembahyang. Lima batang lilin menyala menerangi ruangan dan keadaan amat seram
dengan beberapa patung rusak menghias pojok ruangan. Seorang penakut tentu akan
menyangka mereka itu setan-setan yang berpesta-pora di dalam kuil tua itu.
Karena ruangan itu cukup terang, Kun Hong dapat melihat wajah mereka itu.
Pertama-tama
ia melihat wajah dua orang laki-laki tinggi besar yang berada di rumah
penginapan. Dua orang laki-laki ini berusia empat puluh tahun. Orang ke tiga
yang duduk dekat mereka agaknya adalah orang yang menyusul ke rumah penginapan
tadi, orangnya kecil kurus dengan muka ciut seperti tikus dan pada punggungnya
tergantung pedang, agaknya pedang pasangan karena kelihatan dua gagang pedang.
Sekarang Kun
Hong mencurahkan perhatian kepada orang-orang yang duduk di kepala meja. Ia
seorang bertubuh pendek gemuk berperut besar, berusia lima puluh tahun lebih
tetapi mukanya segar kemerahan dan bundar seperti muka kanak-kanak.
Gerak-geriknya halus, akan tetapi setelah membaca kitab-kitab ilmu pengobatan
dari Yok-mo, Kun Hong tahu bahwa orang itu adalah seorang ahli Iweekeh (tenaga
dalam) yang sangat lihai. Dari percakapan mereka, orang inilah yang dipanggil Twako
(Kakak Tertua) tadi.
Orang di
sebelah kirinya adalah seorang yang usianya lebih tua, rambutnya sudah putih
semua. Tubuhnya sedang akan tetapi punggungnya agak bongkok. Matanya juling,
pada punggungnya tampak gagang senjata ruyung. Orang ini disebut Ji-ko (Kakak
ke Dua). Orang yang disebut Sam-ko (Kakak ke Tiga) oleh Si Muka Tikus adalah
seorang yang masih muda, paling banyak baru tiga puluh lima tahun usianya.
Wajahnya tampan dan di pinggangnya kelihatan ruyung lemas semacam cambuk.
Diam-diam
Kun Hong heran dengan panggilan-panggilan mereka itu. Kakak ke dua lebih tua
dari pada kakak tertua, sedangkan yang disebut kakak ke tiga oleh Si Muka Tikus
adalah seorang yang masih muda. Ia tidak tahu bahwa empat orang termasuk Si
Muka Tikus ini adalah tokoh-tokoh terkenal di daerah selatan yang disebut
Lam-thian Si-houw (Empat Harimau Dunia Selatan)!
Girang hati
Kun Hong ketika ia mendengar Si Muka Tikus itu tiba-tiba memperkenalkan dua
orang tinggi besar tadi dengan tiga orang yang duduk berendeng di sebelah kanan.
Hal ini sama dengan memberi tahu kepadanya siapa adanya orang-orang itu. Dari
perkenalan itu ia tahu bahwa tiga orang yang berendeng di sebelah kanan itulah
yang tadi oleh Si Muka Tikus disebut Hui-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik
Si Naga Terbang). Ada pun dua orang laki-laki tinggi besar yang bermalam di
rumah penginapan itu adalah dua orang saudara she Kam, lengkapnya Kam Ki Hoat
dan Kam Siong.
"Ji-wi
Kam-laote," antara lain Si Twako yang bermuka kanak-kanak itu berkata
kepada kedua orang saudara Kam, "menurut keterangan Si-te (Adik Ke Empat),
Ji-wi (Kalian Berdua) hendak mengenyahkan seorang muda dari Thai-san-pai.
Betulkah itu?"
"Betul
sekali, karena dua pasang mata kami tak akan salah melihat orang. Sungguh pun
tldak jelas bagi kami siapa sebenarnya dia, namun yang sudah pasti sekali kami
pernah melihat dia itu di Thai-san. Siapa tahu dia itu orang Thai-san-pai yang
sengaja bertugas memata-matai gerakan kita, bukankah celaka kalau begitu? Kami
rasa lebih baik turun tangan di jalan sebelum terlambat. Akan tetapi Twako
menghendaki lain, habis bagaimana selanjutnya?"
Twako itu
tersenyum. "Seorang muda dari Thai-san-pai memata-matai kita? Heh-heh,
lucu kalau benar demikian. Apakah dia berkepala tiga berlengan enam?"
Kun Hong
yang mendengar pertanyaan ini bingung, tidak tahu maksudnya. Akan tetapi Kam Ki
Hoat menjawab,
"Lagaknya
bagaikan seorang pemuda kaya raya yang ahli dalam bun (ilmu sastra) dan sedikit
mengerti ilmu silat. Akan tetapi aku sendiri sangsi apakah dia itu ada
isinya."
"Kalau
begitu, kenapa harus takut dia dapat memata-matai kita? Jangan pedulikan bocah
masih ingusan itu, Ji-wi Kam-laote. Sekarang dengarlah rencanaku yang tadi
sudah kuberi tahukan kepada Hui-liong Sam-heng-te. Kita naik ke Thai-san dengan
cara berpencaran, mempergunakan kesempatan pembukaan berdirinya Thai-san-pai.
Kita mengaku sebagai orang-orang kang-ouw yang hendak memberi ucapan selamat
dan menghaturkan sekedar sumbangan atau barang perkenalan. Akan tetapi setelah
tiba di sana kita semua harus dapat berkumpul di dekat meja penerimaan
sumbangan dan hadiah. Seorang tokoh besar seperti orang she Tan itu, sudah
pasti akan menerima barang-barang luar biasa dari para tokoh kang-ouw di empat
penjuru. Nah, bila telah saatnya tiba, mudah untuk kita sembilan orang menyikat
barang-barang itu, tentu saja yang tidak berharga kita tinggalkan."
"Twako,
apakah kau sudah merasa yakin benar bahwa saat keributan itu pasti akan
tiba?" Kam Ki Hoat bertanya ragu.
Si Twako ini
tertawa lagi, mukanya menjadi makin bulat. "Siapa bilang tak akan tiba?
Aku yakin dan berani bertaruh memotong daun telinga! Saat ini sudah pasti akan
digunakan oleh mereka yang pernah dihina oleh Si Raja Pedang. Bahkan aku dapat
menduga bahwa iblis-iblis dari empat penjuru akan muncul, berlomba untuk
menjatuhkan Si Sombong yang hendak membentuk Thai-san-pai itu."
Kun Hong
yang mendengarkan semua ini mulai agak mengerti persoalannya. Dia dapat menduga
bahwa orang-orang ini yang berjumlah sembilan dan terdiri dari tiga rombongan
atau tiga golongan, adalah sekumpulan orang jahat yang hendak merampok
Thai-san-pai, mempergunakan kesempatan di waktu pertemuan itu kacau karena
terjadinya keributan.
Agaknya Tan
Beng San yang amat dikagumi ayahnya, yang sudah sering kali ia dengar namanya,
yang digelari orang Raja Pedang itu, sudah menanam bibit permusuhan yang banyak
sekali. Diam-diam Kun Hong mengerutkan keningnya. Andai kata sembilan orang
yang ada di ruangan kuil bobrok ini mempunyai hati dendam terhadap Tan Beng San
dan ingin membalasnya dengan cara bertempur, tentu ia takkan dapat berpihak
sebelum tahu sebab-sebab permusuhannya. Akan tetapi sembilan orang ini hendak
merampok benda-benda berharga.
Hemm, kalau
sudah begini tak perlu diselidiki lagi sebab-sebab permusuhan, karena jelas
bahwa mereka ini bukan orang-orang baik. Aku harus dapat mendahului mereka,
pikirnya, mendahului mereka naik ke Thai-san dan memberi tahukan apa yang ia
lihat ini kepada Tan Beng San. Apa bila sudah diberi tahu tentu dapat
berjaga-jaga dan kalau sembilan orang ini kelak naik ke Thai-san boleh diusir
saja!
Baru saja
dia hendak keluar dari tempat persembunyian dan pergi, tiba-tiba pengintai di
depan itu pun bergerak perlahan dan segera lari meninggalkan tempat itu. Kun Hong
heran. Siapakah dia itu? Gerakannya demikian gesit dan ringan, sebentar saja
lenyap. Ahh, kiranya kalau tadi ia dapat mengikuti bayangan itu adalah karena
bayangan itu pun mengikuti Si Muka Tikus dan dua orang saudara Kam. Maka
gerakan dan larinya juga tidak begitu cepat. Sekarang kembalinya, karena tidak
mengikuti orang-orang yang lebih rendah tingkatnya, ternyata bayangan ini dapat
melesat seperti burung terbang cepatnya, membuat Kun Hong melongo dan makin
kagum terheran-heran.
Hati-hati ia
memasuki rumah penginapan, tersenyum melihat bantal guling yang tadi dia
selimuti masih tetap tidak berubah, lalu tidur lagi, pulas sampai pagi hari.
Dia terbangun karena mendengar suara pemuda pesolek itu berteriak-teriak
memanggil pelayan,
"Hee,
pelayan, tulikah engkau? Lekas ambilkan air hangat, cepat! Aku hendak berangkat
pagi-pagi!"
Kun Hong
memang malam tadi berniat bangun dan berangkat pagi-pagi untuk mendahului
orang-orang itu ke Thai-san. Akan tetapi pada saat melihat pemuda itu
ribut-ribut tanpa menghiraukan orang lain yang masih tidur, ia mendongkol dan
berkata, "Benar-benar tak tahu adat! Apakah tidak melihat orang lain masih
tidur?"
Pemuda itu
hanya menoleh dan mencibirkan bibirnya mengejek, kemudian masuk lagi ke kamar
tanpa mempedulikan Kun Hong. Dengan hati mengkal Kun Hong lalu berkemas,
membersihkan mata dan membeli sarapan di warung depan rumah penginapan. Ketika
ia kembali ke rumah penginapan untuk membayar sewa bermalam, ia mendapat
kenyataan bahwa pemuda yang menyebalkan hatinya itu telah berangkat.
"Hemm,
anak manja itu sudah pergi?" tanyanya kepada pelayan yang memberinya
tempat bermalam.
Pelayan itu
tertawa, mengangguk. "Anak orang kaya memang sudah biasa dimanja, Tuan
Muda," katanya. "Segala keinginannya harus terkabul."
Pada saat
itu Kun Hong melihat dua orang laki-laki tinggi besar semalam, yaitu Kam Ki
Hoat dan Kam Siong, juga sudah siap. Dengan suara keras mereka memanggil
pelayan, mengadakan perhitungan lalu meninggalkan rumah penginapan itu tanpa
menoleh sedikit pun kepada Kun Hong. Pemuda ini kaget. Ahh, sama sekali ia
tidak mengira kalau mereka pun berangkat sepagi itu. Lebih baik jika ia
mengikuti mereka. Tidak akan terlambat kiranya mendahului mereka kelak di kaki
Gunung Thai-san.
Siapa tahu
dengan mengikuti mereka secara diam-diam, nanti ia akan dapat lebih banyak
memberi keterangan penting kepada Paman Tan Beng San, demikian pikirnya. Dan
siapa tahu kalau-kalau mereka yang memusuhi Raja Pedang ini ternyata juga ada
hubungannya dengan mereka yang menculik Li Eng dan Hui Cu.
Akan tetapi
alangkah kaget dan kecewa hatinya ketika melihat betapa ternyata dua orang itu
mempunyai dua ekor kuda yang dititipkan di dalam kandang kuda di belakang rumah
penginapan dan sekarang mereka sudah menunggang kuda dan membalap keluar. Mau
rasanya Kun Hong menempeleng kepalanya sendiri. Mengapa ia tidak menduga akan
hal ini?
Terpaksa dia
melanjutkan perjalanan dengan bersungut-sungut. Tidak mungkin dia harus
berlari-lari mengejar dua ekor kuda itu. Hal ini tentu akan menimbulkan
keheranan dan kecurigaan orang-orang yang melihatnya. Setelah dia keluar dari
dusun itu dan berada di tempat yang sunyi, barulah dia berani berlari-lari
cepat untuk sedapat mungkin menyusul dua orang penunggang kuda tadi.
Dia telah
sampai di dalam hutan malam tadi dan dari jauh ia sudah melihat kuil tua yang
dijadikan tempat pertemuan orang-orang yang memusuhi Tan Beng San.
Berdebar-debar hatinya melihat beberapa orang di depan kuil dan mendengar suara
pertengkaran. Cepat ia menyusup-nyusup di antara pohon dan semak-semak
mendekati tempat itu.
Alangkah
kaget dan herannya ketika dia melihat pemuda pesolek sombong itu berdiri di
depan kuil berhadapan dengan sembilan orang yang semalam telah dia lihat di
dalam kuil. Dia merasa kuatir sekali karena dapat menduga bahwa akhirnya
sembilan orang penjahat itu toh akan mengganggu juga pemuda yang mereka anggap
sebagai seorang anak murid Thai-san-pai.
Yang membuat
Kun Hong mendongkol adalah melihat sikap pemuda itu sendiri. Di depan sembilan
orang yang terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw dengan julukan nama-nama
menyeramkan, kenapa dia masih tersenyum-senyum dengan bibir yang selalu
mengejek? Alangkah sombongnya!
Meski
hatinya menjadi gemas dan ingin dia melihat pemuda pesolek macam ini menerima
hajaran keras, akan tetapi mengingat bahwa pemuda itu boleh jadi benar-benar
adalah orang Thai-san-pai, tak enak kalau ia harus membiarkan saja pemuda itu
dalam bahaya. Diam-diam Kun Hong bersiap sedia, apa bila nanti melihat pemuda
itu terancam, pasti ia akan keluar dan membantunya. Sementara ini, ia akan
mencari persembunyian yang lebih dekat dan menonton saja.
Orang pendek
gemuk bermuka kanak-kanak yang mengepalai rombongan sembilan orang itu
terdengar berkata sambil tertawa, "Orang muda, apakah niatmu menghadang
kami di sini? Siapakah kau?"
Pemuda itu
dengan lagak sombong mengerutkan kening, menjawab, "Kong Houw si perut
gendut, tidak usah kau berpura-pura lagi. Kau tahu bahwa aku datang dari
Thai-san-pai, akulah anak murid Thai-san-pai."
"Kau
kenal namaku?" Si Gendut itu berseru kaget.
"Hemm,
siapa tidak mengenal nama busukmu? Kau tokoh tertua dari Lam-thian Si-houw, di
selatan menjadi momok yang ditakuti rakyat. Akan tetapi jangan kira
Thai-san-pai takut kepadamu!"
Kang Houw
melirik pada teman-temannya, kemudian ia tertawa lagi dengan muka ramah dan
berkata, "Aha, kiranya saudara ini adalah orang Thai-san-pai. Bagus
sekali, kalau begitu kita adalah orang-orang sendiri. Saudara muda, ketahuilah
bahwa kami sembilan orang ini adalah orang-orang yang mengagumi ketuamu, Raja
Pedang Tan-Taihiap dan kami sengaja hendak pergi ke Thai-san untuk memberi
selamat dan hormat atas pendirian Thai-san-pai. Harap kau orang muda jangan
salah duga."
Orang muda
itu mencibirkan bibirnya, satu kebiasaan yang memanaskan perut Kun Hong karena
gerakan ini benar-benar membuat orang menjadi gemas dan mendongkol!
"Kang
Houw si perut gendut! Siapa sudi membeli daganganmu? Kalian hanya pura-pura
saja hendak memberi selamat kepada Thai-san-pai, akan tetapi kalian sebetulnya
adalah kumpulan maling-maling kecil yang sudah mengilar begitu mengingat akan
barang-barang sumbangan yang berada di meja penerimaan di Thai-san-pai! Siapa
yang tidak tahu akan hal itu? Hemmm, kalian ini sama dengan tikus-tikus kecil
yang mau coba-coba meraba kumis harimau."
Mendengar
kata-kata ini, sikap sembilan orang itu berubah, juga Kun Hong yang berada di
tempat persembunyiannya tercengang keheranan. Bagaimana pemuda itu bisa tahu
akan hal ini? Hatinya berdebar penuh dugaan. Jangan-jangan bayangan yang
bergerak cepat bagai iblis malam tadi ialah dia ini! Mungkinkah pemuda sombong
ini memiliki kepandaian begitu tinggi?
"Twako,
ternyata dia mata-mata seperti yang kami sangka. Menghadapi bocah seperti ini
perlu apa banyak bicara lagi? Twako, biarlah kami berdua membereskannya di
sini, siapa yang akan tahu?" kata Kam Ki Hoat.
Ketika
melihat Kang Houw si gendut muka kanan-kanak itu mengangguk perlahan, Kam Ki
Hoat berkata kepada adiknya, "Mari kita tamatkan setan ini."
Dengan sikap
mengancam dan menakutkan, kedua orang tinggi besar yang kelihatan amat kuat itu
menghampiri pemuda yang tubuhnya kecil dan kelihatan lemah itu.
"Bocah
yang telalu lebar telinganya, terlalu besar matanya dan terlalu lebar mulutnya!
Kau bersiaplah menghadap raja akhirat!" teriak Kam Ki Hoat.
Kun Hong
memandang tajam. Akan tetapi melihat sikap yang tenang sekali dari pemuda itu,
ia merasa yakin bahwa pemuda itu belum terancam bahaya. Oleh karena itu ia
hanya memegangi dua buah batu kecil di kedua tangannya, siap menolong.
Pemuda itu
benar-benar nampak amat tenang menghadapi dua orang yang tinggi besar dan
mengancamnya itu. Dengan tersenyum mengejek ia berkata, "Dua ekor monyet
besar menjual lagak. Siapa takut gertakanmu?"
Kam Ki Hoat
dan Kam Siong berseru keras, dengan berbareng mereka maju menerjang dari kanan
kiri. Kam Ki Hoat menggunakan gerakan Harimau Menerkam Domba, kedua tangannya
meluncur ke arah leher pemuda itu untuk memukul patah atau mencengkeram leher
itu.
Dari kiri
Kam Siong menggunakan gerakan Kilat Menyambar Batu. Kedua tangannya yang
terkepal sebesar kepala orang itu memukul bergantian ke arah lambung serta ulu
hati lawan.
Sekaligus
pemuda itu diserang dari kanan kiri ke arah atas dan bawah tubuhnya, dengan
penyerangan yang dahsyat dan penuh tenaga yang amat kuat. Anehnya, pemuda itu
diam saja tak bergerak, seakan-akan tidak tahu bahwa dia diserang orang dari
kanan kiri!
Akan tetapi,
ketika empat buah tangan itu sudah mendekati tubuhnya, tiba-tiba tubuhnya
berkelebatan, tangan kakinya bergerak dan... dua orang saudara Kam itu lantas
berteriak kesakitan. Apa yang terjadi?
Ternyata
serangan Kam Hoat malah berbalik mengancam leher Kam Siong, sedangkan
pukulan-pukulan Kam Siong mengancam ulu hati dan lambung kakaknya! Mereka kaget
dan berusaha menarik kembali serangan, akan tetapi tetap saja masih saling
menggebuk yang membuat keduanya terpental dan jatuh terduduk, saling memandang
dengan mata melotot heran. Ada pun pemuda itu masih berdiri di tempat tadi,
tersenyum penuh ejekan yang memanaskan perut.
Tujuh orang
lainnya yang melihat ini menjadi terbelalak, terheran-heran karena mereka tidak
dapat melihat nyata gerakan pemuda itu, tahu-tahu dua orang saudara Kam sudah
saling memukul sendiri. Sudah gilakah dua orang saudara Kam itu? Ataukah memang
tadi gerakan mereka itu keliru dan justru saling bertentangan?
Hanya Kun
Hong yang diam-diam kagum sekali juga kaget bukan main karena ternyata olehnya
bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang pandai sekali. Sekarang semakin besar
dugaannya bahwa bayangan hitam tadi tentulah pemuda ini pula orangnya.
Ia tidak
mengenal gerakan Si Pemuda ketika menjatuhkan kedua lawan tadi, akan tetapi
dapat mengikuti dengan pandang matanya. Ia tahu bahwa tadi pemuda itu
menggunakan kelincahannya dalam ilmu ‘menggunakan sedikit tenaga meminjam
tenaga lawan’. Sambil mengelak cepat sekali ia menggencet kaki kedua lawannya
bergantian selagi kedua lawan itu menyerang, melejit ke kanan mendorong Kam Ki
Hiat ke depan sehingga tanpa dapat dicegah lagi dua saudara itu berubah arah
penyerangan mereka dan terjadi saling gebuk sendiri!
Tentu saja
Kam Ki Hoat dan Kam Siong marah sekali, juga malu karena terang-terangan mereka
tadi dipermainkan oleh pemuda itu. Sambil mengeluarkan gerengan bagai macan
kelaparan, keduanya menerjang kembali dari kanan kiri.
Kam Ki Hoat
mengeluarkan ilmu tendangan yang jarang dapat dihadapi lawan, tendangan geledek
yang akan sanggup menumbangkan sebatang pohon besar. Sedangkan dari kiri Kam
Siong juga mengeluarkan ilmu pukulannya, pukulan geledek yang tentu akan dapat
meremukkan kepala seekor harimau! Pendeknya, sekali ini dua orang saudara ini
hendak menghancurkan tubuh pemuda kurus itu dari atas dan bawah agar menjadi
hancur dan lumat seperti tahu dicacah!
Seperti juga
tadi, pemuda itu kelihatannya tenang saja dan sama sekali tak bergerak dari
tempatnya. Kini tujuh orang penjahat lainnya memandang penuh perhatian. Takkan
salah lagi, pikir mereka, sekarang pemuda ini pasti akan mampus!
Hanya Kun
Hong yang diam-diam tersenyum karena timbul kekaguman dan kepercayaan besar
dalam hatinya terhadap kelihaian pemuda ini. Ia juga memandang penuh perhatian,
ingin sekali melihat dengan cara apa pemuda ini akan mengalahkan
lawan-lawannya. Dan Kun Hong kembali terkagum-kagum melihat cara pemuda itu
berkelebat mengelak sambil mengerahkan ginkang-nya, menyelinap di antara
pukulan dan tendangan.
Pada saat
kaki Kam Ki Hoat menyambar lewat, tangan kirinya bergerak menangkap tumit lawan
dan mendorong. Pada saat yang hampir bersamaan, pukulan geledek Kam Siong juga
meluncur lewat, dan tangan kanannya bergerak menangkap pergelangan tangan itu
kemudian mendorong.
Akibatnya...
tubuh Kam Ki Hoat terlempar ke atas sampai tiga meter, sedangkan tubuh Kam
Siong terdorong ke depan berjungkir-balik lantas terguling-guling sampai lima
enam meter! Kedua orang ini agak nanar, menggerak-gerakkan kepala dengan mata
menjuling dan berkunang-kunang.
Beberapa
waktu kemudian keduanya dapat merangkak bangun dan kemarahan mereka memuncak.
Tampak benda berkilat ketika kedua orang saudara Kam ini mencabut golok mereka
yang besar, tajam dan meruncing.
"Bocah
iblis, rasakan pembalasanku!" Kam Ki Hoat berteriak sambil lari menerjang.
"Mampuslah
kau, setan!" Kam Siong juga berseru marah sambil memutar-mutar goloknya
menyerang.
Agak kuatir
juga hati Kun Hong melihat betapa dua orang tinggi besar itu mainkan golok yang
demikian tajamnya. Mengerikan sekali. Apa lagi karena ia dapat melihat bahwa
ilmu mereka bermain golok agaknya lebih lihai dari pada ilmu pukulan mereka.
Bagaikan
kilat menyambar-nyambar, dua batang golok itu menyerang dari kanan dan kiri,
sedangkan pemuda itu tetap saja bertangan kosong, tidak mau mencabut pedangnya
dan malah enak-enak saja menanti datangnya dua batang golok yang mengancamnya!
Serangan
maut kali ini akibatnya hebat sekali. Tujuh orang penjahat itu sampai
terbelalak mata mereka saking kaget dan herannya. Hanya tampak dua tubuh
saudara Kam yang tinggi besar itu seperti bola-bola yang ditendang melayang ke
arah pohon besar, disusul melayangnya dua benda gemerlapan dan tahu-tahu kedua
orang saudara Kam itu sudah tergantung di batang pohon dengan leher baju mereka
terpantek pada batang itu oleh golok mereka sendiri!
Agaknya
pemuda yang aneh dan luar biasa itu secara cepat bukan main sudah berhasil
melontarkan tubuh mereka ke arah pohon sambil merampas goloknya, lalu
menggunakan golok-golok itu sebagai golok terbang yang langsung memantek dua
orang tinggi besar itu melalui leher baju mereka. Sekarang tubuh dua orang itu
tergantung, kedua kaki mereka bergerak-gerak dan mereka kelihatan ketakutan
sekali karena golok mereka sendiri begitu dekat dengan leher!
Kun Hong
mengerutkan keningnya. Hatinya memang girang sekali melihat bahwa pemuda ini
walau pun sombong, kiranya tidak kejam dan tidak mau menbunuh atau melukai
berat kepada lawan. Akan tetapi diam-diam dia mulai ragu apakah perlu dia
membantu karena melihat gerakan-gerakan tadi, terutama pada waktu menyambit
dengan golok-golok itu, ia sangsi apakah dia sendiri becus melakukannya. Ia
juga sangsi apakah dia sendiri mampu mengalahkan pemuda yang benar-benar luar
biasa ini.
Dua buah
batu yang tadi dipegangnya dalam persiapan untuk menolong, tanpa terasa lagi
terlepas dari tangannya dan ia menonton kembali dengan penuh perhatian dan
dengan hati tertarik.
Tiba-tiba
dua bayangan orang melesat ke arah pohon itu dan cepat sekali dua bayangan itu
sudah kembali melayang turun lagi sambil mengempit tubuh kedua saudara Kam dan
memegang golok yang tadi memantek dua orang ini pada pohon. Hebat sekali
gerakan itu, sekaligus melayang, mencabut golok dan mengempit orang sambil
melayang turun kembali.
Kiranya
kedua bayangan ini adalah dua orang di antara Hui-liong Sam-heng-te. Setelah
menurunkan kedua orang saudara Kam itu, tiga orang kakak beradik Si Naga
Terbang ini maju menghampiri pemuda tadi. Sikap mereka tenang akan tetapi
pandang mata mereka penuh ancaman.
Tiga orang
ini berusia lebih dari empat puluh tahun, bertubuh kurus-kurus sesuai dengan
keahlian mereka, yaitu ilmu meringankan tubuh sehingga membuat mereka dijuluki
Naga Terbang. Mereka ini adalah kakak beradik she Cong berasal dari daerah
Kang-lam dan nama mereka sudah amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai
ahli-ahli ginkang dan ahli pedang yang jarang bandingnya.
Pemuda itu
tersenyum. "Ah, memang pantas bila kalian dijuluki Hui-liong (Naga
Terbang), hanya sayang bahwa julukan itu terlalu muluk untuk tiga saudara
maling kecil. Sayang sekali orang-orang yang sudah memiliki kepandaian sebaik
itu merusak nama sendiri dan menjadi maling-maling tak tahu malu."
Tiga orang
itu terkejut juga. Pemuda ini kelihatannya masih hijau, akan tetapi ternyata
sudah mengenal nama mereka. Apakah karena nama mereka yang sudah terlalu
populer. Akan tetapi berbareng mereka juga merasa marah sekali dimaki sebagai
maling-maling kecil.
"Bocah
bermulut lancang! Kami Hui-liong Sam-heng-te bukanlah sebangsa maling-maling
kecil, keparat!"
"Ahhh?
Betulkah? Kalau begitu tentulah maling-maling besar. Bukankah kalian juga ingin
mencuri barang-barang berharga dari Thai-san-pai nanti?"
Merah muka
tiga orang kurus itu. Tidak dapat disangkal lagi, memang mereka menerima ajakan
Lam-thian Si-houw untuk merampok barang-barang hadiah di Thai-san-pai, akan
tetapi hal itu bukan hanya karena barang-barang itu tentulah merupakan
barang-barang pusaka yang luar biasa, melainkan juga untuk melampiaskan dendam
kemarahan mereka terhadap Raja Pedang yang pernah merobohkan mereka beberapa
tahun yang lalu. Niat usaha mereka ini sama sekali tak boleh dianggap sebagai
perbuatan ‘maling-maling kecil’!
"Jika
kami bermusuhan dengan Tan Beng San Ketua Thai-san-pai ada sangkutan apakah
denganmu? Kau siapa?" tanya seorang di antara mereka, yang tertua.
Pemuda itu
tersenyum mengejek, matanya berkilat. "Bukankah kalian tadi menganggap
bahwa aku adalah anak murid Thai-san-pai? Nah, aku memang murid Thai-san-pai.
Dan kalian ini monyet-monyet kurus memiliki kemampuan apakah berani bermusuhan
dengan Ketua Thai-san-pai? Ih, benar-benar tak tahu diri! Bercerminlah terlebih
dahulu dan lihat, apakah monyet-monyet macam kalian ini cukup patut untuk
mengganggu Thai-san-pai!"
Kemarahan
Hui-liong Sam-heng-te tidak dapat mereka kendalikan lagi. Sekali bergerak,
mereka telah mencabut pedang mereka yang tajam berkilauan. Pemuda tampan itu
tetap tersenyum-senyum tenang, seperti seorang tua melihat kenakalan tiga orang
bocah.
Tiba-tiba
tiga orang kurus itu menggerakkan pedang dan berpencar mengurung pemuda itu
dari tiga jurusan. Berbareng mereka memekik dan pedang mereka serentak
berkelebat menyerang. Pemuda itu berkelebat dan tiga serangan tadi mengenai
tempat kosong.
"Ehh,
ehhh, kalian menggunakan jurus-jurus dari Kun-lun-pai!" pemuda itu
berseru.
Tiga orang
itu tertegun dan saling memandang, karena herannya menunda penyerangan mereka.
"Hemmm,
lucu benar. Melakukan jurus-jurus Kun-lun Kiam-hoat saja kalian masih belum
becus, sudah menyerang aku. Hi-hi, melihat tingkat, kalian ini lebih patut
menyebut kakek guru kepadaku!"
"Bocah
sombong, kau tahu apa tentang Kun-lun Kiam-hoat?" teriak orang yang
termuda.
"Ehh,
kalian tidak percaya? Nih, lihat!"
Pemuda itu
lalu memungut sebatang ranting kering dan memegangnya di tangan kanan seperti
sebatang pedang.
"Kalian
tadi menggunakan jurus Iblis Menukar Bayangan, yang seorang lagi menyerang
dengan gerakan Burung Sakti Membuka Sayap, dan yang ke tiga dengan jurus Ayam
Emas Mematuk Gabah. Bukankah begitu? Nah, jurus-jurus yang kalian mainkan tadi
salah semua, bukan ilmu Kun-lun yang asli, melainkan sudah campur aduk seperti
masakan cap-cai! Kalau tidak percaya, jurus-jurus kalian tadi dapat dipunahkan
semua dengan ilmu pedang Kun-lun-pai yang bernama Ilmu Pedang Lima
Serangkai."
Tiga orang
Naga Terbang itu saling pandang, lalu tertawa. Memang tepat sekali ucapan
pemuda itu saat menyebutkan jurus-jurus yang mereka mainkan. Memang
mengherankan sekali bagaimana dalam keadaan diserang berbareng, selain dapat
menyelamatkan diri, juga sekaligus pemuda itu dapat mengenal jurus-jurus
mereka.
Namun
mendengar bahwa pemuda itu akan menggunakan Ilmu Pedang Lima Serangkai dari
Kun-lun-pai, mereka mau tidak mau tertawa. Karena ilmu pedang yang disebutkan
itu adalah ilmu pedang yang paling rendah dari Kun-lun-pai, merupakan dasar
pelajaran bagi para murid yang baru akan belajar ilmu pedang. Mana dapat
dipakai untuk menghadapi mereka? Biar pun mereka bukan murid-murid asli dari
Kun-lun-pai, namun ilmu pedang Kun-lun-pai yang tinggi telah mereka pelajari
dan dicampur dengan ilmu-ilmu pedang lain.
"Manusia
sombong, kau agaknya sudah ingin mampus! Nah, sambutlah kami dengan Ilmu Pedang
Lima Serangkai! Keluarkan pedangmu," orang tertua dari ketiga Naga Terbang
itu berkata.
Pemuda itu
hanya membolang-balingkan ranting di tangannya. "Menghadapi ilmu pedang
cap-cai kalian itu untuk apa harus menggunakan pedang. Dengan ranting ini dan
dengan Ilmu Pedang Lima Serangkai, aku akan menghadapi kalian. Majulah!"
Selama
mereka hidup, tiga orang ini belum pernah dihina seperti sekarang. Mereka malu
sekali kalau harus mengeroyok seorang pemuda yang hanya bersenjata ranting.
Akan tetapi karena sikap pemuda itu benar-benar amat menghina, mereka tidak
mempedulikan aturan-aturan di kalangan kang-ouw lagi dan serentak mereka
menyerang, mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai. Bagaikan tiga
ekor naga terbang, pedang mereka berubah menjadi gulungan sinar panjang yang
menyambar dari tiga jurusan ke arah pemuda itu.
Alangkah
besar keheranan mereka ketika pemuda itu benar-benar memainkan Ilmu Silat
Pedang Lima Serangkai! Mereka menahan gelak ketawa mereka dan dengan
sungguh-sungguh mereka menyerang untuk merobohkan pemuda sombong ini.
Akan tetapi,
ranting yang digerakkan secara lambat dan perlahan itu kiranya benar-benar
dapat menyusup di antara pedang mereka sedemikian rupa dan mengancam jalan
darah pergelangan tangan mereka bertiga! Tentu saja mereka tak mau membiarkan
jalan darah yang terpenting ini tertotok dan tidak pernah jurus serangan mereka
dapat dilanjutkan.
Nampaknya
memang lucu sekali. Tiap kali salah seorang di antara mereka menusuk atau
membacok, sebelum serangan ini mengenai tubuh Si Pemuda, sudah buru-buru
ditarik kembali oleh penyerangnya untuk diubah dengan jurus lain.
"Ha-ha,
lihat, bukankah ilmu pedang cap-cai kalian ini tidak ada gunanya sama
sekali?" pemuda ini masih dapat mengejek ketika ia melompat ke sana ke
mari untuk memapaki setiap serangan dengan totokan-totokan yang benar-benar
dilakukannya sesuai dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Lima Serangkai!
Tiga orang
itu betul-betul dibikin bingung dan tidak mengerti. Akhirnya mereka penasaran,
merasa malu dan marah sekali, lalu melakukan serangan bertubi-tubi secara nekat
dan lebih gencar. Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan seruan panjang. Ranting di
tangannya cepat sekali berkelebat dan di lain saat ia sudah melompat keluar
dari gelanggang pertempuran sambil tertawa-tawa.
Kun Hong
kagum bukan main, akan tetapi enam orang teman penjahat itu menjadi merah muka
mereka melihat betapa Hui-liong Sam-heng-te itu ternyata berdiri seperti
patung, dalam sikap masing-masing, sikap orang bersilat. Mereka telah kaku tak
dapat bergerak karena masing-masing telah kena ditotok oleh pemuda itu. Melihat
hal ini, Kang Houw Si Twako melangkah maju mendekati tiga orang yang telah
tertotok itu, lalu berseru tiga kali sambil menotok dengan dua jari tangannya.
Seketika itu terbukalah jalan darah tiga orang yang segera mengeluh dan roboh
terguling.
Demikian
hebatnya pengaruh totokan pemuda itu sehingga tubuh mereka terasa lemas dan
baru beberapa lama kemudian mereka dapat berdiri kembali. Akan tetapi mereka
sekarang seperti tiga ekor naga yang sudah dicabuti kuku dan siungnya, tidak
berani lagi mengeluarkan suara.
Sementara
itu, Si Pemuda dengan lagak sombong kemudian berkata, "Ehh, bagaimana
sekarang? Apakah Lam-thian Si-houw juga hendak memperlihatkan kuku dan
taringnya? Kalau begitu, majulah dan rasai kelihaian anak murid Thai-san-pai
sebelum kalian tak tahu diri berani naik ke Thai-san."
Wajah Kang
Houw menjadi merah. Ia merasa marah, penasaran, dan malu bukan main. Benarkah
pemuda ini adalah anak murid Thai-san-pai? Jika hanya anak murid yang masih
muda saja begini lihai, ahh, kiranya tak akan mungkin bergerak di Thai-san.
"Tuan
Muda, sebenarnya siapakah kau?"
"Hi-hi-hik,
sudah kalian tahu, anak murid Thai-san-pai, mengapa tanya-tanya lagi?"
Bi Houw Si
Muka Tikus melangkah maju. "Twako, biarkanlah Si-te mencoba-coba bocah
ini."
Twako-nya
mengangguk.
"He-he-he,
Si Muka Tikus yang suka merayap ke penginapan!" seru Si Pemuda.
"Apakah kehendakmu? Lebih baik kau ajak saja tiga orang saudaramu itu maju
bersama, supaya segera beres urusan ini!"
Bi Houw
mencabut pedangnya yang ternyata adalah pedang pasangan yang berhiaskan
benang-benang merah. "Bocah mulut besar, tuanmu saja sudah cukup untuk
memenggal lehermu."
Pemuda itu
mengulur lehernya yang kecil panjang, seperti lagak seekor kura-kura.
"Ihh,
leher hanya sebuah hendak dipenggal? Habis ke mana aku mencari gantinya nanti?
Jangan sembrono, tikus, jangan-jangan ekormu malah yang akan kau penggal
sendiri."
"Bangsat,
lihat pedang!"
Dua gulung
sinar pedang menyambar ke arah pemuda itu yang berseru lucu, "Hayaaaa, ada
tikus bermain siang-kiam (pedang pasangan). Jangan-jangan buntutmu sendiri yang
akan putus!"
Karena
melihat betapa pemuda itu dengan mudah bisa menghindarkan diri dari sambaran
sepasang pedangnya, Bi Houw lalu mempercepat gerakan pedangnya yang
menyambar-nyambar dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan atau sebaliknya.
Sungguh mengagumkan sekali gerakan pemuda itu. Seperti sebuah bayang-bayang
saja, tubuhnya tak pernah terbabat pedang. Atau, lebih tepat seperti asap saja
tubuhnya, selalu menyelinap di antara sinar pedang dengan gerakan seenaknya.
"Awas,
pedangmu beradu!" pemuda itu berseru di antara bacokan-bacokan itu dan…
"Traaanggg!"
Benar saja!
Dengan sentuhan-sentuhan dan sentilan di belakang telapak tangan Si Muka Tikus,
membuat pedang kanan Bi Houw itu menyeleweng dan membentur pedang kirinya
sendiri...
"Iihhh!"
Bi Houw sampai melompat kaget atas kejadian yang luar biasa ini, namun ia tidak
menghentikan serangannya, bahkan makin gencar ia membabat.
"Awas,
buntutmu putus!"
Entah
bagaimana pedang yang tadinya menyambar leher pemuda itu, tahu-tahu menyelonong
balik dan membabat leher Bi Houw sendiri. Tentu saja Bi Houw kaget bukan main
dan menahan gerakan tangannya itu. Akan tetapi, agaknya tangan kanannya sudah
tidak mau menurut perintah hatinya sehingga..."Brettt!" kepalanya
terbabat pedang membuat ikat kepala dan rambutnya putus, membuat ia setengah
gundul!
"Heh-heh-heh,
tikus gundul... tikus gundul...!"
Bi Houw yang
marah hendak, menubruk , dengan pedangnya, namun tahu-tahu ia merasa tubuhnya
terlempar ke belakang dan pedangnya terlepas dari kedua tangan. Ia berusaha
untuk menahan diri, namun tidak kuat dan tubuhnya menggelinding terus.
Tahu-tahu tubuhnya tertahan sesuatu dan ketika ia melihat, ternyata yang
menahannya itu adalah sepasang pedangnya yang entah datang dari mana tahu-tahu
sudah menancap di atas tanah dan menahan tubuhnya yang menggelinding tadi!
Dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya, Si Muka Tikus ini
berdiri dan mencabut sepasang pedangnya, kemudian hanya dapat memandang pemuda
itu dengan mata melotot tanpa berani membuka suara.
"Bocah,
kau benar-benar menghina orang!" terdengar seruan. Orang ke tiga dari
Lam-thian Si-houw yang tampan dan berusia tiga puluhan lebih, sudah menerjang
maju sambil meloloskan senjatanya, yaitu sebuah cambuk baja yang panjang.
"Eh,
kau ini gembala bebek hendak berlagak? Lebih baik kakakmu yang matanya juling
itu kau suruh maju!" Pemuda itu mengejek sambil menudingkan telunjuknya
kearah orang ke dua yang berambut putih, bertubuh bongkok dan bermata juling.
"Sombong,
rasakan cambukku!"
Orang ketiga
yang bernama Teng Houw segera menyerang. Cambuknya mengeluarkan bunyi
bergeletar keras dan ujung cambuk itu bergerak-gerak menyambar di atas kepala
pemuda itu. Akan tetapi hebat sekali pemuda ini. Ia hanya sejenak mengerling ke
arah ujung cambuk dan sama sekali tidak mau mengelak kalau ujung cambuk itu
belum mendekati tubuhnya benar. Agaknya dia maklum bahwa Si Pemegang Cambuk itu
membunyikan cambuk dan mengamang-amangkannya hanya untuk menggertak saja.
Melihat hal
ini, Teng Houw menjadi panas hatinya. Seperti juga saudara-saudaranya, dia
tadinya merasa jengah pula untuk menyerang seorang pemuda bertangan kosong
dengan cambuknya yang sudah amat terkenal ganas dan entah sudah merenggut
berapa banyak nyawa lawan. Akan tetapi pemuda aneh itu hanya tersenyum-senyum
sambil memandang cambuknya seperti sebuah benda mainan yang tiada harganya.
"Awas
senjata!" Akhirnya ia berseru dan kali ini cambuknya betul-betul menerjang
dengan serangan yang amat dahsyat dan ganas.
Namun,
pemuda itu masih tersenyum-senyum ketika tubuhnya mulai bergerak mendahului
gerakan cambuk. Sedikit pun juga ujung cambuk tak pernah dapat menyentuh
tubuhnya. Bahkan dia masih mengejek ke arah Si Mata Juling yang maju mendekat
dengan maksud mempelaiari gerakan-gerakan pemuda lihai itu.
"Hei
mata juling, kenapa hanya menonton saja dan tidak ikut turun tangan? Matamu
akan menjadi makin juling nanti kalau kau banyak menonton."
Si Mata
Juling agaknya tak dapat dibikin panas hatinya, hanya berdiri menonton dengan
penuh perhatian. Akan tetapi tidak lama kemudian, benar saja matanya menjadi
semakin juling pada waktu ia melihat betapa pemuda itu bergerak bagaikan seekor
lalat gesitnya, berputar-putar beterbangan di sekeliling tubuh Teng Houw. Orang
ke tiga dari Lam-thian Sin-houw ini masih mencoba menyabet bayangan lawannya
yang luar biasa gesitnya itu dengan cambuknya, namun sia-sia belaka. Dia hanya
dapat menyerang dengan sabetan-sabetan yang membabi buta, seolah-olah sedang
menyerang bayangan setan.
Tiba-tiba
saja terdengar pemuda itu tertawa dan Teng Houw terkejut bukan main. Entah
bagaimana, tahu-tahu ujung cambuknya telah melilit batang lehernya sendiri. Ia
berusaha membetot gagangnya, namun makin dibetot semakin erat lilitan itu
sehingga ia mendelik karena lehernya tercekik!
Kiranya dalam
kegesitannya, pemuda itu tadi dapat menyambar ujung cambuk kemudian
melilitkannya di leher lawannya sambil tertawa-tawa. Saking bingung dan
kuatirnya, Teng Houw melompat keluar dari kalangan dengan mata melotot dan
lidah terjulur keluar. Baru setelah twako-nya menghampiri dan melepaskan
lilitan cambuknya, ia sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali
saking malunya, dan di lehernya terlihat garis-garis merah bekas lilitan
cambuknya sendiri. Orang ini tidak bisa berbuat lain kecuali memandang ke arah
pemuda itu dengan heran dan gentar.
"Sudah
kukatakan tadi, lebih baik maju sekaligus agar cepat beres. Kalian benar-benar
tak tahu diri, Lam-thian Si-houw!" Pemuda itu menantang dan menertawakan
ketika melihat Si Mata Juling, Ban Houw, melangkah maju dengan ruyung di tangan
kanan.
Ban Houw ini
adalah seorang jagoan tua yang jarang menemui tandingannya di daerah pantai
selatan. Dia sudah memiliki banyak pengalaman, maka tak berani ia memandang
rendah kepada pemuda aneh itu. Melihat gerak-gerik pemuda ini dalam
pertempuran-pertempuran sebelumnya, diam-diam kakek juling ini dapat menduga
bahwa pemuda ini tentulah murid seorang yang sangat sakti. Diam-diam ia
menghubungkan pemuda ini dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, yang hanya pernah
ia dengar namanya dan kelihaiannya.
"Orang
muda, kau benar-benar lihai sekali. Sebegini muda sudah mempunyai kepandaian
sehebat itu. Orang muda, aku tak percaya bahwa kau hanyalah seorang anak murid
biasa saja dari Thai-san-pai. Si Raja Pedang Ketua Thai-san-pai itu
apamukah?"
Pemuda itu
memang kurang ajar sekali. Orang tua bicara baik-baik, ia tetap menyambut
dengan ejekan, "Ehh, kakek mata juling, kau tanya-tanya tentang aku apakah
kau ingin menarik aku sebagai mantumu? Apakah anak gadismu tidak juling seperti
kau? Sudahlah, jangan banyak tanya dan cukup kukatakan kalau aku anak murid
Thai-san-pai. Kalian ini orang-orang banyak lagak, akan tetapi tidak becus
apa-apa dan berani hendak mengacau Thai-san-pai? Hayo, kalian boleh kalahkan
aku lebih dulu, murid kecil dari Thai-san-pai!”
Diam-diam
Kun Hong mendongkol juga menyaksikan sikap pemuda itu. Harus dia akui bahwa
kepandaian pemuda itu hebat sekali. Dari gerak-geriknya tadi ketika bertempur,
ia dapat mengambil kesimpulan bahwa walau pun masih amat muda, orang itu
benar-benar telah matang kepandaiannya dan mempunyai dasar yang amat kuat, baik
lweekang mau pun ginkang-nya dari tingkat tinggi.
Akan tetapi
ia menganggap pemuda itu terlalu sombong dan agaknya mata keranjang pula. Sudah
dua kali ia mendengar pemuda itu bicara tentang perempuan, yaitu ketika di
gedung Tan-taijin dahulu pemuda ini menyatakan iri hati kepada Pangeran Mahkota
yang selalu rnendapatkan wanita cantik untuk menjadi selir. Sekarang terhadap
Si Mata Juling lagi-lagi pemuda ini memperlihatkan sikap ceriwisnya.
Ban Houw
tidak marah mendengar ejekan-ejekan pemuda itu. Dia melintangkan ruyung di
depan dadanya, lalu berkata, "Orang muda, setidaknya kau tentu suka
memberi tahukan siapa namamu? Kau sudah mengenal kami semua, memang kau
mempunyai mata yang amat tajam, dan harus kuakui bahwa kami tidak dapat menduga
siapakah sebetulnya kau orang muda yang lihai ini?"
Agaknya
kesabaran dan ketenangan Ban Houw ini membuat pemuda ini berhati-hati, hal ini
ternyata dari jawabannya yang tidak main-main lagi.
"Orang
tua, namaku tidak ada artinya bagimu. Jika kuberi tahu juga kau takkan pernah
mendengarnya dan tidak akan mengenalnya. Yang jelas bahwa aku adalah anak murid
Thai-san-pai dan jika kalian hendak mengganggu Thai-san-pai, harus dapat
mengalahkan aku lebih dulu."
Kakek juling
itu mengangguk-angguk. "Kau memang takabur, akan tetapi juga sesuai dengan
kepandaianmu. Marilah kau layani ruyungku ini! Apakah menghadapi aku kau pun
akan bertangan kosong saja?"
Pemuda itu
sejenak meragu. Biar pun ia masih muda, namun agaknya ia sudah mengerti bahwa
menghadapi seorang lawan yang begini tenang, ia harus berhati-hati sekali. Akan
tetapi dasar wataknya memang manja seperti biasanya anak orang berpangkat atau
orang kaya, agaknya ia sudah biasa dipuji dan diangkat, maka kini pun ia merasa
segan untuk mengurangi kesan setelah beberapa kali ia mendapat kemenangan.
"Kau
sudah tua, aku masih muda sudah sepatutnya kalau aku mengalah sedikit, boleh
kau serang aku, kakek juling."
Ucapan ini
betul-betul amat takabur sebab keadaannya terbalik. Yang patut mengeluarkan
kata-kata itu adalah Si Tua, bukan Si Muda karena dalam hal ilmu silat, pada
umumnya yang lebih tua itu lebih matang dan mempunyai pengalaman lebih banyak
sehingga lebih patut pula kalau yang tua yang mengalah.
Akan tetapi
kakek juling itu tidak menjadi panas perutnya seperti yang dimaksudkan dan
dikehendaki oleh pemuda itu, sebaliknya kakek ini lalu memasang kuda-kuda dan
berkata, "Kau sendiri yang menetapkan, jangan menyesal nanti. Nah, kau
lihat senjataku!"
Baru saja
habis ucapannya ini, ruyung sudah menyambar dekat sekali dengan kepala pemuda
itu. Bukan main cepatnya gerakan kakek itu dan yang paling hebat, ruyungnya
yang amat berat itu bergerak tanpa mendatangkan angin dan tahu-tahu sudah
mendekati kepala lawannya!
"Bagus!"
Pemuda itu berseru nyaring.
Ia
benar-benar kaget dan tahu bahwa lawannya kali ini benar-benar seorang yang
‘berisi’, jauh bedanya dengan yang sudah-sudah. Maka dia berlaku waspada, cepat
menggeser kedua kakinya dan mempergunakan langkah-langkah yang amat teratur dan
amat indah, sementara kedua tangannya bergerak-gerak untuk mengimbangi tubuh
dan kadang kala juga digunakan untuk balas menyerang. Anehnya, dua tangan itu
gerakannya sama sekali berlainan dan bahkan berlawanan sehingga memperlihatkan
cara bersilat yang janggal sekali, aneh, dan membingungkan.
Kalau tadi
pemuda ini hanya mempermainkan sekalian lawannya, kali ini ia tidak hanya main
loncat dan kelit, akan tetapi tiap kali mendapat kesempatan juga balas
menyerang dengan sengit. Hebatnya tidak pernah ada serangan lawan yang tidak
dibalasnya. Sambil mengelak atau mendorong ruyung dari samping, tentu ia segera
balas menyerang dengan pukulan atau tendangan.
Berkali-kali
kakek juling itu harus berseru memuji karena segera ternyata bahwa serangan
balasan pemuda itu dengan tangan atau kakinya ternyata tidak kalah hebatnya
dengan serangan ruyungnya. Dan yang sangat membingungkan hatinya adalah gerakan
tangan pemuda itu. Sebegitu jauh belum juga ia dapat mengenal ilmu silat itu.
Maka ia segera menggerakkan ruyungnya lebih gencar pula agar pemuda itu
mengeluarkan simpanannya dan dia dapat mengenal ilmu silatnya.
Hebat
gerakan ruyung ini. Kalau tadi gerakannya sama sekali tidak mendatangkan angin,
sekarang begitu ruyung diputar, angin menderu dan terdengar angin mengiung.
Ruyung itu kelihatannya menjadi puluhan buah banyaknya, mengancam pemuda ini
dari segala jurusan.
Melihat hal
ini, Kun Hong mengerutkan keningnya dan otomatis kedua tangannya sudah memegang
lagi dua buah batu kecil yang tadi dilepasnya. Si Juling ini benar-benar hebat,
pikirnya, sekali saja kepala pemuda itu terlanggar ruyung, tentu akan pecah
berantakan dan habislah riwayat pemuda sombong dan nakal ini.
Betapa pun
tidak senangnya terhadap pemuda itu, melihat orang membela mati-matian kepada
Thai-san-pai yaitu perkumpulan yang didirikan oleh Tan Beng San, orang yang
dipuji-puji dan dihormati ayahnya, tentu saja ia tak akan membiarkan pemuda ini
tertimpa bencana. Di samping ini, dia pun mempunyai kesan baik atas sikap
pemuda yang tidak mau membunuh lawannya itu.
Dua hal
inilah, yaitu membela Thai-san-pai dan tidak mau membunuh lawan, merupakan
penawar dari kebenciannya terhadap Si Pemuda, kebencian yang dia sendiri tidak
tahu mengapa bisa mengotori hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bisa
membenci orang seperti perasaannya terhadap pemuda ini. Banyak sudah ia melihat
orang sombong, juga banyak melihat orang manja, akan tetapi belum pernah dia
merasakan kebencian dalam hatinya seperti terhadap pemuda ini.
Agaknya
desakan ruyung yang dimainkan secara ganas itu membuat si pemuda harus
mengerahkan seluruh kepandaiannya dan bersilat dengan sungguh-sungguh.
Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring sekali sampai memekakkan telinga, lalu
tubuhnya melesat ke sana ke mari sambil kedua tangannya mengirim
serangan-serangan jarak jauh yang membuat si pemegang ruyung beberapa kali
mengeluarkan seruan tertahan.
Pada saat si
mata juling menghantamkan ruyungnya untuk menyerang pinggang, pemuda itu
meloncat ke atas dengan gerakan yang sangat ringan seperti burung walet
terbang. Akan tetapi lawannya juga gesit sekali karena ruyung itu tidak
dibiarkan melewat, hanya langsung ia babatkan ke atas untuk memukul kedua kaki
pemuda yang tubuhnya masih berada di udara itu!
Kedua tangan
Kun Hong sudah gemetar dan menegang, siap melontarkan sambitan batu untuk
menolong si pemuda ketika terjadi pertunjukan yang amat luar biasa oleh pemuda
itu. Biar pun dirinya diserang selagi berada di udara, pemuda itu tidak menjadi
gugup, malah ujung kaki kirinya dari samping ditotolkan kepada ujung ruyung
lawannya dan… tubuhnya mencelat mumbul lagi ke atas berjungkir-balik. Ketika
tubuhnya turun dan dia disambut hantaman ruyung, kembali dia menotolkan ujung
kaki pada ruyung dan kembali tubuhnya mencelat ke atas.
Pertunjukan
ini amat hebat sampai-sampai semua orang yang memandang mengeluarkan seruan
memuji. Betul-betul ginkang yang sangat hebat disertai kelincahan dan kegesitan
yang luar biasa! Agaknya si mata juling menjadi penasaran. Ia sudah menang di
atas angin, pemuda itu tak dapat turun lagi dan posisinya amat buruk, masa ia
tidak mampu mengalahkannya? Dengan penuh semangat, ketika pemuda itu kembali
melayang turun, ruyungnya segera melakukan hantaman dari kiri ke kanan sehingga
tak mungkin disambut oleh kaki pemuda itu lagi!
"Cringgg!
Aduhhh...!"
Tampaklah
bunga api berpijar dan Si Mata Juling terhuyung-huyung ke belakang dengan ujung
ruyungnya yang sudah sapat, sedangkan pemuda itu sudah turun dengan wajah
tersenyum dan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya berada pada
tangan kanannya!
Entah kapan
ia mencabut pedangnya, tahu-tahu ia sudah dapat mempergunakan itu, tidak hanya
untuk menangkis saja, bahkan untuk membikin sapat senjata lawan dan sekaligus
mendesak lawannya mundur terhuyung-huyung.
"Lepas
senjata!” serunya dengan suara nyaring.
Tahu-tahu
tubuhnya melayang ke depan, pedangnya bergerak seperti kilat berputaran ke arah
tangan Si Pemegang Ruyung dan... mau tak mau Si Mata juling harus melepaskan
ruyungnya karena pedang lawan yang hebat itu sudah berputaran di sekitar
pergelangan tangannya yang memegang gagang ruyung!
Pemuda itu
melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya. Dengan wajah pucat Si Mata
Juling memandang, mulutnya berkata gagap, "Kau... kau… apanya Si Raja
Pedang...?"
Pemuda itu
hanya tersenyum tidak menjawab, sebaliknya menghadapi orang pertama dari
Lan-thouw Si-houw, yaitu orang berusia lima puluhan tahun yang bertubuh pendek
gemuk berperut gendut dengan muka seperti kanak-kanak.
"Kau
adalah orang pertama dari Lam-thian Si-houw. Nah, sesudah semua bawahanmu
kalah, apakah kau pun ingin coba-coba?"
Si Gendut
ini tersenyum lebar, matanya jelas membayangkan kekaguman. "Hebat...
hebat... aku orang kasar yang puluhan tahun berkelana di dunia kang-ouw, belum
pernah bertemu dengan seorang muda seperti kau ini! Beranikah kau menyambut
sebuah pukulanku?"
Pemuda itu
memandang tajam, bibirnya tersenyum manis tetapi matanya bergerak-gerak penuh
kecerdikan. "Mengapa tidak berani? Kau adalah seorang ahli lweekang, akan
tetapi Thai-san-pai tidak pernah gentar terhadap ahli lweekang!”
"Bagus,
kau boleh coba menyambut ini!"
Kakek gendut
itu lalu memukul dengan tangan kiri terbuka jari-jarinya ke arah ulu hati Si
Pemuda. Melihat ini, pemuda itu dengan berani sekali segera menyambut pukulan
dengan tangan kanannya.
“Celaka!”
Kun Hong yang melihat dari tempat persembunyiannya diam-diam berseru.
Kun Hong
maklum bahwa Si Gendut itu mempunyai tenaga lweekang yang sangat lihai,
bagaimana pemuda itu demikian bodoh menyambut? Tidak tahukah bahwa pemuda itu
kena dipancing dan dijebak oleh Si Gemuk?
Terang bahwa
Si Gemuk maklum akan kelihaian permainan pedang pemuda itu, maka ia sengaja
mengajak adu tenaga lweekang dan sengaja pula menggunakan tangan kiri agar
disambut tangan kanan pemuda itu. Kalau tangan kanan pemuda itu sudah tertempel
di tangan kirinya, lalu datang lain serangan, tentu pemuda itu takkan dapat
menggunakan pedangnya! Sekali lagi batu-batu kecil tergenggam erat tangan Kun
Hong.
Begitu dua
telapak tangan itu bertemu, tubuh keduanya tergetar. Akan tetapi bukan main
kaget hati Si Gemuk ketika merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan kulit
yang halus dan lunak seperti kapas, akan tetapi yang memiliki dasar kuat sekali
sehingga tidak bergeming oleh daya dorongannya. Ia kini maklum bahwa pemuda
lihai itu karena merasa kalah tenaga, telah mempergunakan tenaga lemas dan
menyerah saja di ‘tempel’.
Inilah yang
dia kehendaki. Sambil tersenyum tangan kanannya lalu mengeluarkan sehelai
cambuk yang dililitkan pada pinggangnya, memutar-mutar cemeti itu di atas
kepala lalu cemeti atau cambuk itu menyambar ke arah leher lawan! Akan tetapi
tangan kiri pemuda itu bergerak cepat. Tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu
tangan kiri itu telah memegang sebatang pedang yang digunakan untuk membabat
cambuk.
Si Gemuk
menarik kembali cambuknya dan mainkan cambuk itu dengan hebat sehingga cambuk
bergulung-gulung di atas kepalanya seperti seekor ular hidup. Ia mengira bahwa
dengan pedang di tangan kiri tentu Si Pemuda tidak akan dapat main dengan baik.
Siapa kira gerakan pemuda itu dengan tangan kirinya sangat cekatan dan tangkas tidak
kalah oleh gerakan tangan kanan. Ia tidak dapat menghindar lagi ketika pedang
itu menyambar, terpaksa menangkis dengan cambuk dan...
"Bretttt…!"
ujung cambuknya putus.
"Ayaaaa…!"
Si Gemuk
mengerahkan tenaga mendorong sehingga perlahan kedua telapak tangan itu
terlepas. Dia sendiri cepat-cepat menggulingkan tubuh di atas tanah untuk
membebaskan diri dari tenaga lweekang yang membalik. Sedangkan pemuda itu
dengan teriakan nyaring melompat dan berjumpalitan di udara.
Sama-sama
mereka membebaskan diri dari serangan tenaga lweekang yang membalik. Namun
tentu saja jauh lebih indah gerakan pemuda itu dengan berjungkir-balik beberapa
kali di udara, membuat salto yang amat manisnya. Si Gemuk bangun berdiri dengan
pakaian kotor semua. Pemuda itu telah turun kembali, berdiri tegak dengan
senyum dan pedang di tangan kiri. Jelas bahwa dalam pertandingan gebrakan
pertama ini Si Gemuk kalah setingkat karena ujung cambuknya telah putus.
"Twako,
buat apa memberi ampun kepadanya? Mari kita serbu bersama!" teriak Bi Houw
Si Muka Tikus dengan marah sambil memegang kedua pedang di tangan kanan kiri,
juga yang lain sudah mengambil senjata dan mengurung pemuda itu.
"Ha-ha-ha,
sudah semenjak tadi kukatakan, lebih baik maju bersama, biar kalian merasai
ketajaman pedangku!" kata pemuda itu dengan sikap menantang dan sama
sekali tidak gentar.
Merah muka
Si Gemuk. Sebagai pemimpin rombongan itu, dia merasa tepukul dan malu sekali.
Masa mereka sembilan orang lelaki gagah yang namanya tidak asing lagi di dunia
persilatan, kini hendak mengeroyok seorang pemuda yang masih setengah
kanak-kanak? Akan tetapi, jika pemuda ini tidak dibinasakan, tidak saja usaha
mereka akan gagal, juga nama mereka akan rusak, maka ia lalu melangkah maju dan
membentak,
"Orang
muda, biar pun kau berkepala tiga berlengan enam, menghadapi kami sembilan
orang tentu kau tak dapat keluar dengan selamat!"
Pemuda itu
sekali lagi tersenyum, pedangnya lalu bergerak-gerak indah sekali di depan
dadanya. Gerakan yang amat aneh, akan tetapi indah bukan main seperti seorang
penari ulung memperlihatkan keahliannya.
"Siapa
takut kepada kalian? Kalau aku tidak sanggup merobohkan kalian sembilan tikus
kecil, percuma saja aku mengaku datang dari Thai-san-pai!"
Kun Hong
mengerutkan kening. Pertempuran ini harus dicegah, pikirnya. Kalau pemuda itu
dikeroyok, keadaannya benar-benar berbahaya. Walau pun seorang melawan seorang
dia sudah menang, akan tetapi dikeroyok sembilan orang yang kesemuanya
merupakan ahli-ahli silat pandai ini, bukanlah hal yang boleh dipandang ringan
begitu saja.
Selain ini,
bila dikeroyok kiranya pemuda itu takkan dapat mengalahkan tanpa membunuh
seperti tadi dan tentulah akan terjadi pembunuhan besar-besaran. Ia harus turun
tangan mencegah.
Setelah
berpikir sejenak, pemuda ini lalu melompat keluar dari tempat persembunyiannya
dan berseru keras, "Tahan dulu, jangan berkelahi!"
Semua orang
menunda gerakan masing-masing dan menoleh heran. Terutama sekali dua orang
saudara Kam yang tinggi besar dan pemuda pesolek itu, yang mengenal Kun Hong.
Pemuda itu sendiri tampak kaget karena ia sama sekali tidak mengira akan dapat
bertemu dengan Kun Hong di tempat ini.
"Kau
siapa? Mau apa?" Kang Houw bertanya dengan suara bentakan.
Kun Hong
cepat mengerahkan tenaga batin seperti yang dia pelajari dari kitab pemberian
Sin-eng-cu Lui Bok, menatap wajah sembilan orang itu berganti-ganti, kemudian
dengan suara aneh ia berkata, "Kalian ini sembilan orang benar-benar tak
tahu diri. Kalian sudah kalah semua, tidak tahukah betapa lihainya saudara muda
ini? Tidak melihatkah kalian bahwa dia benar-benar berkepala tiga dan berlengan
enam? Lihatlah baik-baik dan akan lebih selamat kalau kalian lekas pergi saja
sebelum mampus oleh manusia berkepala tiga berlengan enam ini!"
Hampir saja
pemuda itu tertawa bergelak mendengar kata-kata yang dianggapnya lucu ini.
Benar-benar keterlaluan Si Kutu Buku ini, pikirnya. Tapi mulutnya yang sudah
tersenyum itu tiba-tiba terbuka, ternganga keheranan melihat orang-orang itu.
Muka
sembilan orang itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak memandang kepadanya.
Tubuh kedua saudara Kam menggigil dengan bibir yang membiru. Tiga saudara
Hui-liong Sam-heng-te memandang dengan mata melotot, biji mata mereka
seakan-akan hendak keluar dari ruangnya.
Si Muka
Tikus gemetar seluruh tubuhnya sampai giginya mengeluarkan bunyi. Teng Houw
berdiri bagai patung, memegang cambuk dan menggigit gagang cambuknya. Kakek
juling itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk ‘mengatur’ matanya yang juling,
seakan-akan tidak percaya akan pandangan matanya yang semakin menjuling.
Yang lucu
adalah sikap Kang Houw Si Gendut. Ia menggosok-gosok kedua matanya, lalu
menggaruk-garuk rambutnya, menggosok-gosok lagi matanya, akhirnya dia
berteriak,
"Siluman...!"
"Iblis...!"
"Setan!
Lebih baik pergi."
"Lari...!"
teriak Kang Houw yang tak dapat menahan rasa takutnya lagi.
Berserabutan
mereka lari. Ada yang masih mencoba untuk menengok, akan tetapi begitu menengok
dia menjadi makin ketakutan sampai jatuh bangun ketika lari.
Pemuda itu
berdiri bengong. Bulu tengkuknya meremang dan otomatis ia pun menengok ke
belakangnya. Mana siluman atau iblis yang ditakuti mereka? Ia memandang ke sana
ke mari, akhirnya memandang Kun Hong yang berdiri tersenyum-senyum saja.
"Kenapa...
kenapa mereka itu...?" pemuda itu berkata dengan suara perlahan, masih belum
lenyap keheranannya melihat peristiwa yang luar biasa anehnya itu.
"Kenapa
lagi kalau tidak takut kepadamu, orang berkepala tiga berlengan enam?"
jawab Kun Hong, nadanya mengejek.
Pemuda itu
matanya berkilat, marah. "Jangan main-main kau!"
"Ehhh,
siapa main-main? Bukankah mereka bilang kau berkepala tiga berlengan enam?
Apakah tidak senang berkepala tiga berlengan enam?"
"Siapa
sudi jadi tontonan orang?!"
"Kan
bagus jadi tontonan orang, tinggal masuk pasar pukul tambur mengumpulkan
uang."
"Ehh,
kutu buku busuk! Jangan kau mempermainkan aku, ya?"
"Siapa
yang mempermainkan? Aku sama sekali tidak ingin mempermainkan orang, apa lagi
mengandalkan kepandaian. Ahh, aku tidak berkepandaian apa-apa."
Pemuda ini
merasa dirinya disindir, tangannya diangkat hendak menampar, akan tetapi
ditahannya kembali. Kun Hong melangkah maju, mukanya merah sekali saking
marahnya. Ia maklum apa arti gerakan tangan seperti seorang dewasa menggertak
anak kecil yang hendak ditempeleng itu.
"Kau
mau pukul lagi? Boleh, pukullah. Memang kau manusia sombong, manja dan selalu
mengandalkan kepandaian, bisanya cuma pukul orang. Huh!"
Mata pemuda
itu semakin membara. "Siapa sombong? Kau sendiri yang sombong, kutu buku!
Orang macam kau ini berani memaki-maki Tan-pek-hu! Kau berlagak pintar, berani
memberi nasihat kepada Tan-pek-hu. Sudah patut kalau kutampar. Aku tidak
menyesal menamparmu dahulu itu."
Dada Kun
Hong terasa panas seakan hendak meledak. "Kau memang anak jahat. Heran aku
mengapa Thai-san-pai bisa mempunyai murid begini jahat."
Pemuda itu
tiba-tiba membentak, "He, kenapa kau mengintai aku? Kenapa kau mengikuti
aku?"
"Setan,
siapa mengintai? Siapa yang mengikuti? Aku hendak ke Thai-san, apa urusannya
dengan kau?"
Kun Hong
diam-diam merasa heran sekali mengapa setelah berhadapan dengan pemuda ini, ia
tak dapat menguasai diri lagi dan menjadi pemarah. Dan ia tidak tahu pula
kenapa ia marah-marah, mungkin sebal karena melihat sikap pemuda itu
terhadapnya demikian sombong dan memandang rendah.
"Kau
hendak ke Thai-san? Mau apa ke sana? Apakah mau mengacau seperti sembilan ekor
tikus tadi?"
"Jangan
kau menyangka yang bukan-bukan. Aku datang hendak mengunjungi Paman Tan Beng
San, menyampaikan hormatku dan salam dari Ayah. Ketua Thai-san-pai merupakan
sahabat yang amat baik dari Ayahku, seperti saudara saja, masa aku hendak
mengacau, bagaimana caranya? Aku tidak becus apa-apa."
Pemuda itu
tersenyum, agak berkurang marahnya. "Kau anak siapa, sih? Gampang saja
mengaku-aku sahabat Ketua Thai-san-pai."
Mengkal
bukan main hati Kun Hong. Bocah ini terlalu sekali, terlalu memandang rendah
kepadanya. Ia segera menjawab, "Jelek-jelek aku ini adalah orang
Hoa-san-pai."
Pemuda itu
mendengus, "Siapa yang tidak tahu? Dua orang gadis itu keponakanmu, jika mereka
anak Hoa-san-pai, kau pun tentulah orang Hoa-san-pai. Anehnya kau tidak belajar
silat, malah belajar menjadi kutu buku dan menjadi sombong."
"Tidak
sesombong engkau! Padahal kau hanya anak murid Thai-san-pai biasa saja, biar
pun kepandaianmu tinggi. Hemmm, hendak kulihat nanti apa kata Paman Tan Beng
San kalau mendengar tentang sepak terjang muridnya seperti kau ini!”
Pemuda itu
nampak terkejut sekali, terbelalak memandang Kun Hong. "Hee! Apa kau mau
mengadu kepada... Ketua Thai-san-pai tentang aku? Siapa sih kau berani berbuat
begitu? Siapa ayahmu?"
"Ayah
hanyalah Ketua Hoa-san-pai."
Pemuda itu
kelihatan makin kaget. Ia tak menyembunyikan kekagetannya saat bertanya,
"Apa? Kau... kau anak dari... Kwa Tin Siong Lo-enghiong, yang berjuluk
Hoa-san It-kiam, ketua dari Hoa-san-pai?"
Kun Hong
merasa dadanya mengembung. Mungkin kalau orang lain yang bersikap begini, dia
akan merendahkan diri, lahir batin. Akan tetapi terhadap pemuda ini,
benar-benar sikapnya membuat ia merasa bangga.
"Betul,
Kwa Tin Siong adalah ayahku, karena itu aku hendak menjumpai Paman Tan Beng San
di Thai-san."
Pemuda itu
semakin panik. "Jadi kau... kau hendak mengadukan aku kepada... kepada…
pamanmu itu?"
"Hemm,
kau maksud gurumu? Bukankah kau ini anak murid Thai-san-pai dan kau menjadi
murid Paman Tan Beng San?"
"Betul,"
suara pemuda itu sekarang terdengar perlahan dan lemah, mukanya menunduk.
"Kau akan mengadu kepada Suhu tentang apa?"
"Tentang
apa lagi? Tentang kesombonganmu, tentang sikapmu terhadap aku, tentang..."
Tanpa terasa Kun Hong mengusap kedua pipinya, seakan-akan masih terasa gaplokan
di pipinya.
Pemuda itu
mengangkat muka memandang. "Ah, kau mau mengadukan bahwa aku telah
menampar pipimu?"
"Hemmm,
mungkin juga. Dan tentang kesombonganmu yang tidak mau membagi kamar, tentang
sikapmu yang takabur. Tidak patut kau menjadi murid seorang pendekar perkasa
seperti Paman Tan Beng San."
"Apakah
kau pernah bertemu dengan dia?"
"Belum,
akan tetapi kalau Paman mendengar bahwa aku anak Kwa Tin Siong, kiraku dia akan
percaya."
Hening
sejenak, pemuda itu duduk di atas rumput, tangannya mencabuti rumput, nampak
bingung sehingga diam-diam Kun Hong tersenyum dengan puas. Rasakan kau sekarang
anak manja. Kau ketakutan sekarang!
Pemuda itu
kemudian mengangkat mukanya memandang Kun Hong, berkata perlahan dan dengan
memohon, "Kuharap kau tidak akan menceritakan hal begini kepada
Suhu!"
Kun Hong
tersenyum mengejek. Kepalanya dikedikkan, bukan main girang hatinya akan
kemenangan ini.
"Mengapa
tidak? Orang seperti kau ini memang patut diberi hajaran, biarlah kulihat nanti
betapa Paman Tan Beng San akan memaki, mungkin memukulmu. Ha-ha-ha!"
Kun Hong
membereskan bungkusan, siap untuk melanjutkan perjalanan.
"Kakak
yang baik..., jangan kau adukan aku..."
Makin girang
hati Kun Hong. Ia mencibirkan bibirnya, membuang muka seperti orang tak peduli.
Namun aneh sekali, dadanya berdebar saking girangnya. Huh, baru sekarang kau
menyebutku kakak yang baik, pikirnya. Heran bukan main akan dirinya sendiri.
Kenapa sekarang kebenciannya terhadap pemuda itu lenyap seperti awan tipis
dihembus angin?
Akan tetapi
mulutnya hanya mendengus, "Huhh...!"
"Kakak
yang baik, aku... aku minta maaf kepadamu. Kalau kau suka, nih... kau boleh
tampar pipiku sebagai pembalasan..."
Kun Hong
menoleh dan melihat pemuda itu mengajukan mukanya, memberikan pipinya yang
putih halus itu untuk ditampar. Kembali Kun Hong menjadi heran. Kalau tadinya
ia ingin sekali menampar muka bocah ini, sekarang mendadak ia menjadi tidak
tega dan penyesalan serta permohonan maaf bocah ini sudah lebih dari cukup,
sudah menebus sakit hatinya, habislah yang sudah-sudah, tak teringat lagi.
"Aku
bukan orang yang suka menampar muka orang!" Ia masih memaksa diri berkata
ketus.
Pemuda itu
memandang penuh pertanyaan. "Jadi... kau masih tetap hendak melaporkan
aku...?"
"Hemmm..."
Kun Hong pura-pura merasa ragu.
Akan tetapi
agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tak mengandung
kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka
yang tampan itu menjadi berseri.
"Twako
(Kakak) yang baik, kau benar-benar sudi memaafkan aku? Tidak mendendam
lagi?"
"Hemmm,
aku bukanlah orang yang suka menaruh dendam dan tentang maaf, ehhh...
sebetulnya, ehhh... tidak ada apa-apa yang harus dimaafkan."
Kun Hong
memaki dirinya sendiri. Mengapa hati ini begini lemah? Hemm, keenakan benar
bocah ini!
Pemuda itu
dengan girang kemudian menyambar tangan Kun Hong, akan tetapi segera
dilepaskannya kembali, bagaikan sikap seorang anak kecil yang kegirangan akan
tetapi malu-malu.
"Ahh,
Twako yang baik, terima kasih. Kau tentu takkan melaporkan aku kepada... Suhu,
bukan?"
Mau tak mau
Kun Hong tertawa juga, walau pun hanya tertawa ditahan. Sikap bocah ini
mengingatkan ia akan sikap Li Eng. Hemm, setelah dilihat dari dekat, pemuda ini
nampak benar-benar masih bocah. Heran sekali, kenapa sedemikian tinggi ilmu
silatnya.
"Tidak,
siapa hendak melapor? Aku bukan seorang yang panjang mulut."
"Aduh,
terima kasih. Kau berjanji?"
"Janji!"
"Sumpah?"
Kun Hong
cemberut. "Janji seorang laki-laki lebih berharga dari nyawa. Selama hidup
aku tak pernah bersumpah!"
"Ahh,
Twako, harap jangan marah. Aku percaya kepadamu!"
Tiba-tiba ia
melompat ke atas dan kelihatan girang sekali, wajahnya berseri-seri, matanya
yang amat tajam itu bersinar-sinar. Kun Hong melongo. Bukan main tampannya anak
ini, pikirnya. Tak mungkin orang bisa benci kepadanya. Akan tetapi kenapa
sebelum ini dia amat benci, ya amat membencinya sehingga ingin dia memukulnya?
Ia benar-benar tidak mengerti.
"Ehh,
kau tadi bilang siapa namamu, Twako?"
"Aku
tidak pernah bilang siapa namaku."
"Ahh,
ya. Aku yang lupa. Siapa sih namamu, Twako? Kau tentu she Kwa, dan namamu
siapa?"
"Hemm,
kau lebih muda. Kau harus memperkenalkan lebih dulu."
Pemuda itu
tertawa. Makin tampan wajahnya pada waktu tertawa. "Namaku Cui Bi. Nah,
sekarang katakan, siapa namamu, Twako?"
"Namaku
Kun Hong."
"Kwa
Kun Hong. Hemm, kalau begitu kau kupanggil Hong-ko (Kakak Hong)."
Sejenak
mereka diam. Nama pemuda itu sama sekali tidak menarik perhatian Kun Hong. Dia
lebih tertarik oleh gerak-gerik pemuda yang lincah jenaka dan gembira ini.
"Hong-ko,
kedua orang keponakanmu itu lenyap. Ke manakah mereka?"
"Siapa
tahu mereka di mana? Yang menculik mereka adalah Song-bun-kwi, aku pernah
mendengar sendiri waktu iblis itu mengaku di depan para pengawal istana. Karena
itu aku hendak minta pertolongan Paman Tan Beng San untuk menolong
mereka."
Pemuda itu
nampak terkejut sekali. "Song-bun-kwi...? Ah, sudah kuduga...! Celaka, dia
itu lihai sekali... apakah kau betul-betul telah bertemu dengan
Song-bun-kwi?"
"Siapa
membohong padamu? Aku melihat sendiri Song-bun-kwi mengaku di depan para
pengawal istana, di tempat kediaman Ngo-lian-kauw, kemudian Song-bun-kwi
dikeroyok oleh para pengawal, dibantu oleh Toat-beng Yok-mo dan Ngo-lian
Kauwcu. Song-bun-kwi lalu lari sambil menyeret aku, dan ia bertemu dengan iblis
yang bernama Siauw-ong-kwi. Mereka kemudian bertempur dan aku lari lalu...
bertemu dengan kau."
Cui Bi
pemuda itu menggeleng-geleng kepala, nampak keheranan sekali.
"Aneh
benar, Hong-ko. Kau putera Ketua Hoa-san-pai, tetapi tidak pandai silat. Kau
tidak pandai silat, namun bertemu dengan tokoh-tokoh jahat seperti
Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, Ngo-lian Kauwcu dan lain-lain. Hebat!"
Pemuda ini menggeleng-geleng kepala dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan
bunyi berdecak tanda bahwa dia benar-benar keheranan.
Kun Hong
tiada hentinya memandangi wajah pemuda ini, makin dipandang ia pun makin kagum.
Pemuda ini benar-benar tampan dan lincah. Ahhh, alangkah cocoknya dengan Li
Eng!
"Hong-ko,
apakah selama ini kau melakukan perjalanan dengan dua orang keponakanmu itu?
Siapa sih mereka itu? Siapa saja nama mereka? Aku ingin sekali berkenalan
dengan mereka."
Kembali ada
rasa tidak enak di hati Kun Hong. Teringat dia akan sikap pemuda ini yang
agaknya mata keranjang! Hemm, perlu diperkenalkan supaya pemuda ini tahu anak
siapa mereka itu sehingga tidak akan berani main-main.
"Yang
seorang bernama Kui Li Eng, anak Paman Kui Lok dan Bibi Thio Bwee. Seorang lagi
bernama Thio Hui Cu, anak Paman Thio Ki dan Bibi Lee Giok."
Wajah Cui Bi
makin berseri, "Kau maksudkan Bibi Lee Giok? Bukankah itu bibi guruku,
murid dari Sukong Cia Hui Gan?"
"Betul,
karena itu kau tidak boleh main-main."
Cui Bi
mengerling dan memainkan bibirnya, setengah tersenyum ketika berkata, agaknya
sengaja memanaskan hati, "Hong-ko, apakah... apakah mereka itu... ehh,
cantik jelita?"
Merah wajah
Kun Hong dan kembali hatinya tak sedap rasanya. Ia memandang tajam dan
membentak, "Kau tanya-tanya mau apa sih?"
Cui Bi
tertawa. "Ahh, tanya saja apa salahnya? Hong-ko, engkau mengadakan
perjalanan bertiga saja dengan mereka. Hemmm, senang sekali, ya?"
"Kau
bilang apa?!" Kun Hong mendelik marah.
"Hisss,
jangan marah, Twako. Aku hanya main-main. Kok engkau gampang sekali marah.
Pemarah benar kau, ya?"
"Siapa
suruh kau bercakap-cakap tidak karuan?"
"Twako,
bukanlah menggirangkan hati kalau mendengar bahwa aku mempunyai saudara-saudara
seperguruan? Mareka itu, apa lagi... Nona Hui Cu itu, terhitung masih saudara
seperguruan denganku karena ia pun cucu murid dari kakek guruku, bukan? Nah,
sudah sepatutnya kalau aku ingin mendengar tentang diri mereka. Katakanlah,
apakah mereka itu cantik? Bagaimana kepandaian mereka?"
Diam-diam
Kun Hong harus membenarkan kata-kata ini. Pula, bocah masih sebegini kecil,
masih kekanak-kanakan, masa mempunyai pikiran yang bukan-bukan?
"Tunggu
saja, kalau kau sudah bertemu dengan Li Eng. Hemmm, pasti kau takkan bisa
bicara main-main. Kau akan kalah bicara dengan dia."
"Cantik
benarkah dia?"
"Cantik,
seperti bidadari, seperti... seperti bunga mawar hutan."
Cui Bi
tertawa geli. "Aha, kiranya kau pria yang amat romantis, Twako. Pintar
mengambil perumpamaan. Mengapa kau bilang dia seperti bunga mawar hutan?"
Merah wajah
Kun Hong. Bocah ini benar-benar menggemaskan, kadang-kadang dia kalah bicara
dengannya, selalu kena goda. Benar-benar harus bertemu dengan Li Eng, baru tahu
rasa kau, pikirnya.
"Dia
tidak hanya cantik, namun juga jenaka, gembira, lincah dan pandai bicara,
sifat-sifat liar menarik yang ada pada bunga mawar hutan."
"Aih-aih...
hebat sekali. Dan kepandaiannya?"
"Wah,
jangan ditanya soal kepandaiannya. Ilmu silatnya hebat sekali. Dialah
satu-satunya orang yang paling pandai tentang ilmu silat Hoa-san-pai pada saat
ini."
Cui Bi
melengak, suaranya tidak main-main lagi ketika dia bertanya, "Aneh sekali,
Twako. Bukankah ayahmu yang terpandai?"
Kun Hong
menggeleng kepala. "Bukan, yang terpandai adalah ayah bunda Li Eng itulah.
Mereka telah bertemu dengan Sukong Lian Ti Tojin yang telah memiliki dan
mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai yang asli dan mengangkat mereka sebagai murid.
Li Eng mewarisinya dari ayah bundanya. Lihainya bukan main. Kau akan kalah
segala-galanya dengan dia."
Aneh benar.
Pemuda itu kelihatan penasaran.
"Hemm,
hemm... ingin aku bertemu dengannya dan mencoba-coba!"
Pada saat ia
menoleh dan bertemu pandang dengan Kun Hong yang memandang tajam penuh selidik,
ia tersenyum lagi, lenyap wajah bersungguh-sungguh tadi dan ia bertanya,
"Dan bagaimana dengan... Nona Hui Cu, saudara seperguruanku itu? Apakah
dia juga cantik dan pandai? Seperti... bunga apakah dia?"
"Dia?
Hemmm, dia seperti bunga seruni, alim pendiam, serius dan pandangannya jauh,
pikirannya luas dan cerdik. Tentang ilmu silat, dia kalah oleh Li Eng, akan
tetapi dia pun lihai karena selain menerima pelajaran ilmu silat Hoa-sai-pai,
dia pun sudah mempelajari ilmu pedang dari ibunya."
"Heee,
kalau begitu ilmu pedangnya tentu sama dengan ilmu pedang Subo (Ibu Guru).
Wah-wah-wah, dan kau selama ini melakukan perjalanan dengan dua orang bidadari?
Hemm, kau pamannya, tapi masih begini muda... agaknya kau dan mereka tidak
banyak selisih usianya, bukan?"
"Hush,
kau bicara apa? Aku bukan laki-laki seperti kau!"
"Betulkah?"
Cui Bi mengerling dengan sikap menggoda dan tidak percaya.
"Sudahlah.
Hatiku gelisah mengingat nasib mereka, kau hanya bicara main-main saja."
Agaknya
pemuda itu baru ingat akan hal ini. "Ah, betul juga. Hayo kita cepat-cepat
pergi ke Thai-san menjumpai Suhu. Kalau Suhu turun tangan, jangankan baru
Song-bun-kwi, biar ada sepuluh Song-bun-kwi tak perlu takut lagi!"
Mereka lalu
berjalan meninggalkan tempat itu. Diam-diam Kun Hong mendapat kesan aneh akan
diri pemuda di sampingnya ini. Sombong, sudah jelas. Ucapan terakhir tentang
suhu-nya saja amat sombong. Binal, seperti kuda liar. Gembira dan jenaka,
hampir sama dengan Li Eng. Kadang-kadang mendatangkan rasa suka, kadang-kadang
menimbulkan kegemasan yang luar biasa.
Pemuda yang
aneh, pikirnya. Akan tetapi Pamannya Tan Beng San itu, kabarnya adalah seorang
Raja Pedang, seorang sakti. Seorang sakti tentu aneh dan tidak mengherankan
kalau muridnya pun aneh. Hanya saja, masih begini muda...!
Mereka
berhenti istirahat di sebuah hutan. Hari itu sangat terik. Sudah tiga hari
mereka melakukan perjalanan dan selalu bermalam di hutan. Malam tadi tak dapat
tidur karena banyak sekali nyamuk di hutan itu. Karena kurang tidur, hari ini
baru berjalan setengah hari saja mereka sudah lelah dan beristirahat di situ.
Namun
kegembiraan dan kejenakaan Cui Bi banyak menolong menggembirakan suasana.
Pandai benar pemuda ini bicara, dan selalu ada saja yang dipercakapkan. Pandai
pula dia memancing-mancing sehingga banyak Kun Hong bercerita tentang dirinya,
walau pun ia berhasil menyembunyikan segala kepandaian silat yang pernah
dipelajarinya. Tentu saja Kun Hong tidak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa
sedikit banyak dia mengerti ilmu silat. "Aku hanya mempelajari teorinya,
tidak suka mempelajari prakteknya. Ayah tidak membolehkan," demikian
katanya.
"Hong-ko,
betul-betulkah kau sama sekali tidak bisa mainkan ilmu silat?" sambil
duduk mengaso di bawah pohon yang teduh, pemuda itu bertanya.
Kun Hong
hanya menggelengkan kepala, menguap dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon,
mencoba untuk tidur. Melihat kawannya ini lelah benar, Cui Bi tidak mau
mengganggu lebih jauh lagi dan ia pun menyandarkan tubuhnya pada batang pohon
yang berdekatan. Angin semilir menggerakkan daun-daun pohon, menimbulkan suara
yang berirama dan mendatangkan hawa yang nyaman, membuat kedua orang muda itu
terkantuk-kantuk dan tidur ayam. Mendadak terdengar suara keras,
"Nah,
inilah mereka!"
Kun Hong dan
Cui Bi terkejut dan membuka mata. Tiba-tiba melayang sebuah benda di dekat
kedua orang muda itu, terdengar ledakan keras dan asap tebal memenuhi tempat
itu.
"Celaka,
Hong-ko... awas...!" terdengar suara Cui Bi dan selanjutnya sunyi.
Kun Hong
mencium bau yang amat harum menyengat hidung. Cepat ia menekan hawa murni dari
pusar ke atas dan mendorong keluar asap yang sedikit memasuki dadanya, kemudian
dengan pengerahan tenaga murni ini ia dapat menahan napas dan terhuyung-huyung
menghampiri Cui Bi. Dilihatnya Cui Bi bergerak lemah, merangkak hendak pergi
dari daerah berasap.
Melihat
keadaan pemuda itu, Kun Hong cepat menangkap tangannya dan diseret, dibawa lari
ke tempat bersih. Untung bahwa asap itu sebentar saja lenyap, terbawa angin
yang bertiup agak kencang. Akan tetapi dengan lemas Cui Bi menjatuhkan tubuhnya
di atas tanah ketika Kun Hong melepaskan tangannya. Kun Hong tidak apa-apa, dan
ia amat kuatir melihat keadaan Cui Bi yang agaknya jatuh pingsan itu. Ia
berdiri dan menoleh ke belakang. Alangkah kagetnya ketika ia melihat tiga orang
berdiri di situ.
Seorang
adalah Kang Houw, orang tertua dari Lam-thian Si-houw yang gemuk pendek bermuka
kanak-kanak. Orang kedua adalah seorang hwesio tinggi kurus berkepala gundul
licin dan beralis tebal sampai hampir menutupi kedua matanya, dan orang ke tiga
adalah Toat-beng Yok-mo sendiri!
Kun Hong
menjadi gelisah dan gugup. Jelas bahwa kedatangan tiga orang ini tidak akan
mendatangkan kebaikan, buktinya datang-datang mereka lantas menyerang dengan
obat peledak dengan racun memabukkan, sehingga Cui Bi yang boleh ia harapkan
akan dapat melawan mereka ini sekarang pingsan dan tidak berdaya.
Tentu saja
Kun Hong tidak tahu bahwa Cui Bi hanya sebentar saja nanar. llmu lweekang
pemuda ini juga sudah tinggi sekali, maka sebentar saja ia bisa mendorong asap
beracun itu dari tubuhnya, keluar dan ia sudah tidak apa-apa lagi...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment