Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 13
Sesosok
bayangan berjalan lambat memasuki pekarangan istana itu. Orang ini sudah tua,
tubuhnya tinggi besar dan kokoh kekar, jalannya sempoyongan sedang
tenggorokannya mengeluarkan suara merintih-rintih bagaikan orang sedang
menangis. Akan tetapi mulutnya terdengar menggerutu, "Anak murid
Hoa-san-pai? Ha, anak murid Hoa-san-pai..."
Lima orang
perajurit pengawal yang bertugas menjaga Istana Kembang pada malam itu,
terheran-heran ketika melihat datangnya seorang kakek berpakaian putih di situ.
Mereka mengira bahwa tentulah kakek ini seorang pengemis gila, karena itu salah
seorang dari mereka segera membentak, "Hee! Kakek gila, keluar kau!"
Akan tetapi
kakek berpakaian putih ini seperti tidak mendengar bentakan itu. Dia terus
melanjutkan perjalanannya melewati pekarangan menuju ke pintu depan. Tentu saja
lima orang pengawal itu menjadi marah dan juga amat curiga. Dengan gerakan
cepat mereka melompat dan tahu-tahu mereka sudah berdiri menghadang di depan
kakek itu.
"He,
Kakek! Apa kehendakmu dan siapa kau?" tegur seorang di antara mereka
dengan sikap mengancam.
Kakek itu
tetap tidak mengacuhkan mereka, memandang pun tidak, hanya menggumam,
"Anak murid Hoa-san-pai..."
Lima orang
itu semakin curiga, malah mereka sudah meraba gagang golok dan pedang.
Jangan-jangan orang ini adalah teman gadis-gadis yang ditahan dan hendak
merampas mereka, pikir mereka.
"Siapa
kau?! Jangan main-main di sini, orang gila. Lekas keluar atau kau akan
merasakan tajamnya golokku!" seorang di antara mereka berseru sambil
mencabut goloknya. Empat orang yang lain juga sudah mencabut senjata
masing-masing.
Akan tetapi
kakek itu agaknya benar-benar gila. Rengek tangis di tenggorokannya masih
terdengar terus dan bibirnya tiada henti-hentinya berkata, "Serahkan
padaku anak murid Hoa-san-pai..."
Sementara
itu kedua kakinya masih terus melangkah ke arah pintu, agaknya dia hendak
memaksa memasuki istana itu.
"Orang
gila sudah bosan hidup!" teriak para pengawal marah.
Berbareng
mereka menggerakkan senjata, ada yang menusuk paha, ada yang membacok pundak,
pendeknya mereka hendak merobohkan orang tua itu tanpa membunuhnya. Akan tetapi
semua bacokan itu hanya mengenai angin belaka, padahal kakek itu kelihatannya
tidak mengelak sama sekali!
Para
pengawal itu terkejut bukan main dan mereka sadar bahwa orang gila ini bukanlah
orang sembarangan. Namun kesadaran mereka terlambat karena dengan sekali
renggut saja kakek itu sudah mencabut sebatang pohon bunga di depan istana.
Pohon sebesar paha orang itu tercabut berikut akar-akarnya, kemudian tanpa banyak
cakap lagi ia pun menghajar lima orang pengawal dengan pohon ini!
Kelima orang
pengawal itu mencoba sedapat mungkin untuk menangkis atau mengelak, meloncat ke
sana ke mari, namun sia-sia belaka. Tidak sampai lima menit mereka semua telah
roboh dengan kepala pecah dan tulang-tulang patah tanpa nyawa lagi!
Setelah
merobohkan lima orang ini, kakek gila tadi melemparkan batang pohon itu secara
sembarangan, lalu berjalan terus dengan langkah lebar menuju pintu. Pintu itu
terpalang dari depan, tapi sekali dorong daun pintu yang tebal itu terbuka,
palangnya patah-patah. Sambil mengomel panjang pendek dan rengek tangisnya
masih terdengar jelas, kakek ini melangkah masuk.
Dua orang
pelayan wanita muncul dengan kaget dari dalam. Mereka menjerit ngeri ketika
melihat seorang kakek aneh berjalan masuk dan daun pintu telah roboh dan pecah.
Kakek itu agaknya marah mendengar jeritan mereka. Tangannya cepat bergerak ke
arah mereka dan pelayan itu roboh terjungkal, mati tanpa dapat bersambat lagi.
Lalu kakek ini melangkah terus.
"Anak
murid Hoa-san-pai, mana anak murid Hoa-san-pai?" demikian terdengar ia
bicara perlahan. Semua pintu kamar dibukanya dan ia mencari terus sampai ke
kamar di sebelah belakang.
Pada waktu
itu, dengan lagak genit dan centil sekali dua orang selir Pangeran sedang
membujuk Li Eng dan Hui Cu yang terbelenggu di atas pembaringan. Mereka
membujuk terus agar supaya dua orang gadis itu menurut saja menjadi selir
Pangeran, malah tanpa malu-malu lagi dua orang wanita yang sudah tidak lagi
mengenal kesusilaan ini mulai menceritakan hal-hal yang tak patut didengar
telinga sopan, memuji-muji Pangeran yang muda dan tampan itu dan betapa
senangnya menjadi selirnya.
Mula-mula Li
Eng dan Hui Cu memaki-maki, akan tetapi lama-lama mereka lelah sendiri dan
meramkan mata, sama sekali tidak mau melihat atau mendengar lagi. Kalau saja
tangan mereka tidak terbelenggu, pasti sekali pukul mereka merobohkan dua orang
yang tak tahu malu ini. Sementara itu, dua orang pelayan wanita juga berada di
dalam kamar untuk melayani dua orang selir tadi.
Tiba-tiba
pintu kamar itu terdorong dari luar, dan setelah terbuka masuklah Si Kakek
tadi. Dua orang selir Pangeran itu bukanlah wanita-wanita lemah, segera mereka
melompat dan menyambar pedang masing-masing.
"Siapa
kau...?" Belum habis gema suara ini, dua orang selir itu telah terlempar
dan kepala mereka terbentur tembok hingga pecah dan tewaslah mereka.
Diam-diam
terkejut sekali hati Li Eng dan Hui Cu melihat betapa dengan gerakan kedua
tangannya, kakek ini melakukan pukulan jarak jauh yang dapat membinasakan dua
orang selir itu. Ada pun dua orang pelayan yang menjadi ketakutan segera
menjerit-jerit. Akan tetapi dua kali tendangan menamatkan hidup mereka.
Sekaligus
kakek ini telah membunuh empat orang di dalam kamar itu, dua orang lagi di luar
kamar dan lima orang di luar rumah. Kemudian ia menghampiri Li Eng dan Hui Cu,
memandang sejenak lalu terdengar ia berkata, "Anak murid
Hoa-san-pai...?"
Li Eng dari
Hui Cu tidak tahu siapakah kakek ini dan apa gerangan maksudnya dengan
perbuatannya yang mengerikan itu, tidak tahu pula apa maksudnya bertanya
tentang anak murid Hoa-san-pai. Akan tetapi karena dapat menduga bahwa kakek
itu tentulah seorang tokoh luar biasa di dunia kang-ouw dan tentu mengenal baik
Hoa-san-pai, Li Eng yang lebih tabah itu menjawab,
"Benar,
Locianpwe, kami berdua adalah murid Hoa-san-pai..."
Tiba-tiba
kakek itu menggerakkan kedua tangan dan pada lain saat tubuh Li Eng dan Hui Cu
telah dipanggulnya di kanan kiri atas pundaknya, kemudian bagaikan terbang ia
berlari keluar dari istana yang penghuninya telah dibunuhnya semua itu!
Ketika kota
raja geger dan pintu pintu gerbang kota raja sudah ditutup dan dijaga keras,
kakek ini telah lama meninggalkan kota raja dengan memanggul dua tubuh gadis
itu. Ia berlari terus secepat angin menembus gelap malam dan menjelang tengah malam
tibalah ia di sebuah hutan, langsung memasuki hutan itu dan menuju ke sebuah
kelenteng kuno yang sudah kosong.
Ia masuk di
ruangan belakang kelenteng itu yang ternyata bersih. Melihat betapa di dalam
gelap ia dapat bergerak leluasa, dapat diduga bahwa ia sudah hafal akan tempat
ini. Sambil merengek-rengek terus dia melepaskan dua tubuh dara itu ke atas
lantai secara kasar, mulutnya tiada hentinya berbisik, "Anak murid
Hoa-san-pai... hemmm, anak murid Hoa-san-pai..."
Li Eng dan
Hui Cu sudah terbebas dari totokan dan kini mereka berusaha melepaskan belenggu
yang mengikat kedua tangan mereka. Tentu saja mereka dapat menggerakkan kaki
dan andai kata menghadapi seorang biasa saja, dengan kaki mereka dua orang dara
perkasa ini sanggup merobohkannya. Akan tetapi kini mereka menghadapi seorang
kakek aneh yang sakti, tentu saja mereka tak berani berlaku sembrono menyerang
dengan kaki saja!
Mereka
mendapat kenyataan bahwa lantai itu licin dan bersih, dan mereka menduga-duga
apa yang akan dilakukan oleh kakek itu terhadap diri mereka. Tiba-tiba
terdengar bunyi benda-benda nyaring dan terjadilah api. Tak lama kemudian
ruangan itu menjadi terang oleh sebatang lilin yang dipasang oleh kakek itu di
atas sebuah meja sembahyang yang sudah butut.
Ngeri juga
hati dua orang gadis itu melihat wajah kakek yang tua dan menyeramkan tadi
tersinar cahaya lilin. Kakek itu kini tertawa terkekeh-kekeh sambil memandang
mereka.
"Heh-heh-heh-heh!
Anak-anak murid Hoa-san-pai! Muda-muda dan cantik, tetapi semua anak murid
Hoa-san-pai genit-genit, cabul dan tidak tahu malu!"
"Kakek
tua bangka gila!" Li Eng tak dapat menahan kemarahannya mendengar
kata-kata yang sangat menghina nama baik Hoa-san-pai ini. "Mulutmu kotor,
kau manusia ataukah iblis? Kami orang-orang Hoa-san-pai selalu memegang tinggi
kesopanan dan juga pribudi kebijaksanaan, jangan sembarangan kau menuduh!"
Kakek itu
tertegun kaget mendengar suara ini dan melihat sikap Li Eng yang berani. Akan
tetapi hanya sebentar karena ia terkekeh kembali.
"Heh-heh-heh!
Sama saja semua. Kelihatannya memang sopan-sopan, lagaknya seperti
pendekar-pendekar, akan tetapi begitu dekat laki-laki lalu menjadi cabul.
Mempunyai anak di luar pernikahan, coba bilang, apakah itu tidak cabul dan tak
tahu malu?"
"Keparat!
Tua bangka! Lepaskan belenggu ini dan mari kita bertanding untuk membela
pendirian kita. Kau akan mampus di tanganku untuk menebus ucapanmu yang
menghina Hoa-san-pai!" kata pula Li Eng.
"Heh-heh-heh,
hendak kulihat kau akan mampu berbuat apa nanti. Tetapi nanti, sekarang kau
harus mengalami penghinaan lebih dahulu. Semua wanita-wanita Hoa-san-pai harus
mengalami penghinaan, sesuai dengan watak Hoa-san-pai yang hinal" Ucapan
ini disusul gerakan tangannya menyambar ke arah tubuh Li Eng.
"Brettt!"
Baju yang
menempel di bagian atas tubuh Li Eng hancur berkeping-keping, kemudian
bertaburan seperti daun-daun kering tertiup angin. Li Eng menjerit dan cepat
menggunakan kaki menggulingkan tubuh sehingga yang hancur hanya pakaian bagian
pundak dan leher saja, namun cukup banyak sehingga membuat tubuh bagian atasnya
setengah telanjang. Mula-mula ia memaki-maki marah, akan tetapi makiannya
berubah menjadi jerit mengerikan ketika dia melihat kakek itu mendekatinya
dengan muka seperti iblis dan dari pandang matanya jelas tampak nafsu untuk
menghina, untuk membikin malu dan merendahkan dua orang gadis itu.
Sementara
itu, Hui Cu sudah bangkit berdiri dan memandang dengan muka pucat. Gadis ini
belum diganggu, mungkin karena semenjak tadi ia diam saja, tidak seperti Li Eng
yang memaki-maki sehingga agaknya kemarahan kakek aneh itu ditumpahkan kepada
Li Eng semua.
Melihat
kakek itu seperti gila, Li Eng menjadi nekat. Ia maklum bahwa akan sia-sia saja
membujuk kakek ini agar tidak melakukan hal-hal yang tidak patut. Pada waktu
kakek itu bergerak maju hendak mencengkeramnya, secepat kilat Li Eng mengangkat
kaki kanan menendang. Tendangannya amat hebat dan cepat, yang diarah adalah pusar
tempat yang paling berbahaya.
Tapi sambil
terkekeh-kekeh kakek itu menangkis ke bawah dengan tangan kiri, sedangkan
tangan kanannya menjangkau ke depan. Li Eng segera membuang dirinya ke
belakang, bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan kakek itu.
"Heh-heh-heh,
anak murid Hoa-san-pai, kau hendak lari ke mana?" katanya sambil terus
mengejar.
Pada saat
itu pula, dari belakangnya menyambar angin tendangan Hui Cu yang tak bisa
berdiam diri saja melihat Li Eng terancam. Tetapi tubuh Hui Cu malah terpental
dan gadis ini roboh terguling ketika tangan yang amat kuat menangkis kakinya.
"Enci
Cu, lari...!"
Tiba-tiba
lilin di atas meja padam. Ternyata Li Eng sudah mempergunakan kesempatan ketika
Hui Cu menyerang kakek itu tadi untuk melompat ke dekat meja dan meniup padam
lilin di atas meja, kemudian ia berteriak mengajak Hui Cu lari. Hui Cu maklum
bahwa usaha itu tidak banyak harapannya, tapi itulah jalan satu-satunya, yakni
mencoba untuk melarikan diri ke dalam hutan yang lebat itu. Ia pun lalu
meloncat berdiri dan secepat kilat ia lari menerobos pintu, keluar kelenteng.
Dua orang
gadis itu lari tersaruk-saruk dan jatuh bangun di dalam kegelapan. Akan tetapi
akhirnya mereka sampai juga di luar kelenteng dan ternyata keadaan di situ
tidak segelap di dalam karena bulan sudah muncul.
Namun,
alangkah mendongkol, gelisah dan kecewanya mereka ketika mereka tiba di luar
kelenteng, kakek gila tadi sudah berada di situ pula, berdiri tegak sambil
terkekeh-kekeh mengejek. Entah kapan kakek itu keluar, dan hal ini saja
menambah bukti betapa saktinya kakek aneh yang seperti orang gila ini.
"Locianpwe,
harap kau jangan menganggu kami," Hui Cu yang sejak tadi diam saja kini
mendadak mengeluarkan suara, menurutkan pikirannya yang mendapatkan sebuah
akal. "Kami sedang dalam perjalanan menuju Thai-san untuk memberi hormat
kepada paman kami Raja Pedang Tan Beng San. Harap kau orang tua memandang muka
Paman Tan Beng San dan suka membebaskan kami berdua!"
Hui Cu
mendapatkan akal ini untuk membawa-bawa nama Tan Beng San yang tentu saja
dikenal oleh semua tokoh persilatan, agar kakek itu menjadi sungkan dan mundur.
Siapa kira, mendengar kata-kata ini kakek itu menjadi makin menggila.
Ia
membanting-banting kakinya dan berteriak, "Tan Beng San si keparat
jahanam? Mana dia, biar kuhancurkan kepalanya seperti ini!" Ia menghantam
ke kiri dan sebatang pohon sebesar paha orang segera tumbang dengan sekali
pukul.
Kemudian dia
terkekeh-kekeh lebih menyeramkan. "Jadi kau keponakan Tan Beng San?
He-he-heh kebetulan sekali, kau harus merasakan bagaimana dihina dan disakiti
orang!" Kalau tadi ia menumpahkan kemarahannya kepada Li Eng yang
memaki-makinya kini ia mulai menubruk ke arah Hui Cu.
Gadis ini
terkejut dan mengelak ke kiri. Akan tetapi karena kedua tangannya terbelenggu,
ia pun terhuyung-huyung sehingga cengkeraman kakek itu mengenai tali rambutnya
dan membuat rambutnya terlepas, terurai ke atas pundaknya. Sambil
terkekeh-kekeh kakek itu menubruk lagi, namun kini Li Eng maju menolong Hui Cu,
mengirim tendangan berantai dari belakang.
Betapa pun
lihainya gadis ini, tetapi dengan kedua tangan yang terbelenggu ke belakang,
keseimbangan tubuhnya sukar diatur, maka tendangan berantai yang mestinya cepat
dan dahsyat itu menjadi kurang daya serangan. Apa lagi yang diserang adalah
seorang kakek yang sakti. Dengan sedikit miringkan tubuhnya dan membabat dengan
tangan kiri, tubuh Li Eng kena dibikin terpelanting dan untuk sekian kalinya
gadis ini rebah mencium tanah!
Kakek itu
kini melangkah perlahan mendekati Hui Cu yang sudah berdiri dengan tubuh
gemetar saking lelah dan gelisahnya. Dia sudah mengambil keputusan nekat, kalau
tidak dapat menghindarkan diri dari kakek gila ini, ia akan menyerang dengan
kepalanya untuk membunuh atau terbunuh!
Pada saat
yang amat berbahaya bagi Hui Cu ini, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam
disusul bentakan keras. "Kakek jahat, pergilah!"
Bayangan itu
menyambar ke arah kakek itu.
"Dukkk!"
Dua tangan
bertemu dan keduanya sama-sama terhuyung ke belakang, disusul seruan kaget
bayangan itu dan seruan heran Si Kakek tadi. Agaknya pertemuan dua tangan itu
membuat mereka kaget bukan main karena ternyata bahwa lawan amatlah tangguh.
Dengan gerakan yang luar biasa cepat bayangan itu kembali menyambar. Tangan
kirinya menghantam, akan tetapi segera disusul tangan kanan yang memukul
sedangkan tangan kiri ditarik pulang.
"Plak!
Plak!"
Kembali
keduanya terhuyung hampir roboh karena telah saling bertukar pukulan. Pukulan
bayangan itu tepat mengenai sasaran, tapi pada saat yang sama Si Kakek berhasil
pula memukulnya!
Di samping
kekagetannya, bayangan itu marah sekali. Terdengar ia mengeluarkan bunyi
melengking keras, lalu tubuhnya berkelebat menyerang kakek itu dengan dahsyat
sekali. Kakek itu pun tidak tinggal diam. Dia menggereng dan menyambut serangan
ini, malah kemudian kakek ini mengeluarkan suara melengking juga seperti orang
menangis.
Dua
lengkingan aneh bercampur menjadi satu dan Hui Cu pun cepat-cepat mengerahkan
lweekang-nya untuk menahan guncangan pada jantungnya. Demikian pula Li Eng
segera maklum bahwa dua orang itu adalah ahli-ahli Iweekeh yang amat tinggi
kepandaiannya.
Tiba-tiba
terdengar bunyi melengking dari jauh, lengking meninggi seperti tangisan,
persis lengking yang keluar dari tenggorokan kakek itu.
"Ha,
anak baik, lekas datang!" kakek itu berseru girang.
Bayangan
yang melawan kakek itu tampak gelisah, kemudian menyerang dahsyat lagi.
Serangan yang amat aneh, kedua lengan memukul, tubuh menerjang seperti terbang
dan kedua kakinya menendang di udara.
Kakek itu
berteriak keras dan menghadapi terjangan ini dengan keempat kaki tangannya
pula. Akibatnya kakek ini terguling karena ia telah terkena sebuah pukulan dan
sebuah tendangan, tetapi sebaliknya bayangan itu pun terhuyung karena pukulan
keras Si Kakek. Namun bayangan itu tidak memberi kesempatan lagi, cepat ia
menyambar Hui Cu pada pinggangnya dan membawa pergi gadis ini seperti burung
terbang cepatnya.
Kakek itu
yang agaknya maklum pula akan kelihaian lawan yang berhasil menculik atau
merampas seorang tawanannya. Ia tidak mengejar, sebaliknya, ia lalu menangkap
Li Eng dan menyeret gadis ini kembali ke dalam kelenteng.
Setelah
melempar gadis itu ke atas lantai, ia menyalakan lilin yang tadi padam.
Kemudian ia berbalik memandang Li Eng yang sudah bangkit berdiri kembali,
sikapnya mengancam dan berkata dengan suara parau,
"Kau
anak murid Hoa-san-pai, sekarang kau akan merasai penghinaan yang sebesarnya,
setelah itu kau mampus!" Ia melangkah mendekat.
Li Eng
melejit dan hendak lari, namun sekali sambar tangan gadis itu telah
dipegangnya. Li Eng mengangkat kaki menendang, namun tidak mengenai sasaran.
Gadis ini tak dapat melepaskan diri lagi, menjerit dan meronta.
"Kongkong
(Kakek), apa yang kau lakukan ini?" tiba-tiba terdengar suara nyaring
sekali dan tahu-tahu seorang pemuda gagah telah berdiri di dalam kamar itu.
Kakek itu
melepaskan tubuh Li Eng yang menjadi lemas dan terpelanting saking lelah dan
ngerinya tadi, kemudian kakek itu tertawa dan berkata, "Aku pun muak dan
sebal karena terpaksa harus melakukan perbuatan ini. Kalau saja dia bukan anak
murid Hoa-san-pai, tentu sekali pukul sudah kubikin remuk kepalanya, habis
perkara. Tapi dia anak murid Hoa-san-pai. Ha-ha-ha, Kong Bu, kau tahu apa
artinya itu. Anak murid Hoa-san-pai, terutama yang perempuan, semua merupakan
orang-orang hina. Pembunuh ibumu! Uh-uh, satu demi satu harus dibasmi, dihina
lebih dahulu baru dibelek dadanya dan dikeluarkan jantungnya."
Pemuda itu
melangkah maju, memandang kepada Li Eng lebih tajam penuh perhatian, kemudian
ia mendengus penuh kebencian. "Hemmm, Kongkong, seperti dia inikah anak
murid Hoa-san-pai pembunuh mendiang ibuku?"
"Ya ya,
seperti ini. Cantik menarik, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati
palsu dan berwatak hina. Kong Bu, kau sudah datang, kebetulan sekali.
Kuserahkan dia kepadamu, lakukanlah sesukamu terhadap dia, kau boleh hina dia,
boleh permainkan dia, kemudian bunuhlah. Aku akan mengejar yang seorang lagi,
yang tadi dirampas orang lain. Nah, aku pergi... heh-heh, kebetulan kau datang,
aku... aku muak dan sebal kalau harus menyentuh wanita... aku sudah tua."
Sekali berkelebat kakek itu sudah meluncur lewat dan lenyap.
"Kongkong,
di mana kita dapat bertemu kembali?"
Dari jauh
terdengar jawaban sayup-sayup, "...di Thai-san..."
Siapakah
kakek aneh dan sakti ini? Siapa pula pemuda yang menjadi cucunya bernama Kong
Bu ini? Kiranya pembaca telah dapat menduga siapa adanya kakek itu. Dia bukan
lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun Si Setan Berkabung, tokoh nomor satu di dunia
barat, seorang sakti yang berwatak aneh bukan main dan kadang-kadang dapat
bersikap kejam melebihi iblis.
Ada pun
pemuda gagah dan tampan bernama Kong Bu itu bukan lain adalah anak dari Kwee Bi
Goat dan Tan Beng San. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita
ini, bayi itu dibawa lari Song-bun-kwi dan dipeliharanya baik-baik, diajarkan
ilmu silat hingga menjadi seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya.
Tentu saja
mudah diketahui sebabnya, kenapa Song-bun-kwi bersikap demikian kejamnya
terhadap Li Eng dan Hui Cu. Secara kebetulan sekali Song-bun-kwi sedang berada
di kota raja dan ia mendengar dari para pengemis bahwa ada dua orang gadis
anak-anak murid Hoa-san-pai diundang oleh Pangeran Mahkota.
Di dalam
hati Song-bun-kwi, semenjak ia kematian anaknya, timbul dendam yang hebat
terhadap Hoa-san-pai. Bukankah Kwa Hong yang menyebabkan kematian anaknya itu
anak murid Hoa-san-pai? Oleh karena inilah, begltu mendengar tentang dua orang
gadis anak murid Hoa-san-pai di kota raja, ia menggunakan kesempatan ini untuk
menawan dua orang gadis itu untuk dihina dan dibunuhnya sebagai pembalasan
dendamnya terhadap Hoa-san-pai!
Memang jalan
pikiran seorang seperti Song-bun-kwi amat aneh dan kadang-kadang lebih ganas
dari iblis sendiri. Kong Bu semenjak kecil hidup bersama Song-bun-kwi, tentu
saja ia pun memiliki watak aneh seperti kakeknya. Namun pada dasarnya ia tidak
mempunyai watak kejam seperti Song-bun-kwi, malah agak pendiam seperti ibunya,
keras hati pula.
Semenjak
kecil pemuda ini dijejali rasa dendam oleh kakeknya. Diceritakan bahwa ibunya
yang tercinta mati karena kekejian anak murid Hoa-san-pai. Diceritai pula bahwa
ayahnya bernama Tan Beng San telah meninggalkan ibunya, karena tergoda oleh
siluman cantik murid Hoa-san-pai, sehingga ibunya ‘makan hati’ dan meninggal
dunia. Ditanamkan bibit kebencian dan dendam sejak kecil sehingga pemuda ini mau
tidak mau membenci apa pun yang ‘berbau’ Hoa-san-pai, malah selalu ditekan oleh
kongkong-nya, bahwa kelak ia harus dapat membalaskan sakit hati ibunya dengan
jalan membunuh ayahnya yang telah berdosa terhadap ibunya!
Demikianlah,
kini Kong Bu dihadapkan dengan seorang gadis dari Hoa-san-pai. Di bawah
penerangan api lilin, dia menatap wajah Li Eng yang kini perlahan-lahan bangkit
berdiri dan balas memandangnya. Bukan main cantik jelitanya gadis ini. Pakaian
sebelah atas yang koyak-koyak sebagian itu menambah hebatnya daya tarik
sehingga Kong Bu tak kuat memandang lebih lama lagi. Kong Bu membuang muka dan
merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, meremang dan terasa dingin pada tulang
punggungnya.
Cantik
jelita, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati palsu dan berwatak hina.
Itulah kata-kata kakeknya yang berkumandang dalam telinganya dan kembali Kong
Bu bergidik. Sifat siluman betina adalah merupakan iblis di dalam tubuh seorang
wanita cantik. Banyak sudah ia melihat wanita cantik, terutama kalau ia diajak
kakeknya menyusup ke dalam istana untuk sekedar melihat-lihat atau mencuri
makanan. Akan tetapi harus diakui bahwa belum pernah selama hidupnya ia
berhadapan atau melihat seorang gadis seperti ini!
Dan kakeknya
sudah menahan gadis ini, sekarang memberikannya kepada dia. Dia boleh berbuat
sesuka hatinya terhadap gadis ini, lalu membunuhnya. Dia boleh menghinanya,
mempermainkannya, hemm, apakah maksud kakeknya?
Sungguh pun
pikiran Kong Bu tidak sampai ke situ, namun perasaannya membuat dia dapat
menduga, penghinaan apakah yang paling hebat bagi seorang gadis. Melihat baju
yang koyak-koyak itu, yang memperlihatkan sebagian dari kulit yang halus,
jantungnya berdebar tidak karuan membuat ia membuang muka dan tidak berani lagi
memandang kulit di balik baju yang koyak itu.
Di lain
pihak, Li Eng merasa agak lega karena ia telah terlepas dari ancaman yang lebih
mengerikan dari pada maut di tangan kakek gila tadi. Malah kini ia mendapatkan
harapan untuk terlepas pula dari tangan pemuda ini. Tak mungkin pemuda ini
selihai kakek tadi. Kalau saja ada kesempatan bagiku, pikir Li Eng dan pandang
matanya mengukur-ukur sementara kedua kakinya menegang, siap mengirim tendangan
yang mematikan. Tetapi bagaimana kalau tendangannya tak berhasil? Li Eng
ragu-ragu.
Kalau saja
dua tanganku bebas. Ataukah lebih baik ia merayu pemuda ini dan membujuk dia
agar suka membuka belenggunya? Kalau sudah bebas kedua tangannya, kiranya tak
akan sukar membunuhnya!
Tapi pikiran
ini membuat mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar. Sampai mati sekali pun
tak mungkin ia dapat melakukan pekerjaan itu, membujuk rayu seorang lelaki! Ia
teringat kepada pamannya, Kwa Kun Hong. Biar pun lemah, pamannya itu cerdik.
Apa yang akan dilakukan pamannya dalam keadaan begini? Apakah dia masih terus
hendak mengalah saja?
Ahh,
bagaimana nasib pamannya? Bagaimana pula nasib Hui Cu yang tadi dilarikan oleh
seorang laki-laki yang luar biasa pula? Aku harus bebas dulu, baru dapat
menolong Enci Cu dan Paman Hong, pikirnya.
Tiba-tiba Li
Eng berseru keras dan kaki kanannya melayang menendang pusar pemuda yang sedang
berdiri bengong, Li Eng menahan seruannya ketika kakinya bertemu dengan benda
yang keras sekali, tetapi tubuh Kong Bu terlempar seperti tertiup angin,
terbanting pada dinding dan terpelanting jatuh. Akan tetapi seperti karet saja,
dia sudah berdiri lagi dan memandang kepada Li Eng dengan alis terangkat. Ia
tidak apa-apa.
Celaka, Li
Eng mengeluh dalam batin, kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dari kakek
tadi. Tendangannya tepat sekali, akan tetapi pemuda itu hanya terlempar, luka
sedikit pun tidak, malah kelihatannya tidak merasa sakit. Kini pemuda itu
berjalan lambat-lambat menghampiri, dengan mata memandang tajam dan alisnya
yang tebal itu bergerak-gerak.
"Kenapa
kau menendangku? Benar-benar berhati curang, kenapa kau menendangku?"
Li Eng
tertegun. Biar pun sama lihai, pemuda itu agaknya tidak seliar kakek tadi,
sungguh pun sama pula anehnya. Pertanyaan yang aneh pula, bagaimana ia bisa
menjawab?
"Hemmm,"
katanya dengan nada mengejek dan mengumpulkan semangat supaya jangan kelihatan
rasa takut dan gelisahnya, "kenapa aku menendangmu? Jawab dulu, mengapa
kau menawanku?"
Kening
pemuda itu semakin berkerut. "Karena kau anak murid Hoa-san-pai, yang
cantik, muda belia, lihai, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Orang yang
membikin celaka ibuku adalah anak murid Hoa-san-pai seperti kau. Karena itu
sekarang kau harus mati setelah mengalami siksaan dan hinaan lebih dulu."
Terbelalak
mata Li Eng. Ancaman penghinaan lebih hebat dari maut baginya. Biar pun ia
sendiri belum mengerti benar penghinaan apa yang dimaksudkan, akan tetapi
seperti juga keadaan pemuda itu sendiri, gadis ini dengan perasaannya dapat
menduga-duga yang membuat ia ketakutan dan ngeri setengah mati.
"Kau...
kau adalah pengecut besar!" tiba-tlba saja Li Eng berteriak dalam
kengerian dan kebingungannya. Makiannya ini ternyata tepat mengenai sasaran,
memukul kelemahan pemuda itu.
Mendengar
makian pengecut, Kong Bu meloncat dengan kedua tangan dikepal keras dan matanya
seakan-akan hendak membakar diri Li Eng. Ia akan menerima dan masih dapat
menahan dimaki apa saja, akan tetapi makian pengecut merupakan pantangan
baginya. Dalam anggapannya, tidak ada sifat yang lebih rendah dari sifat
pengecut!
"Apa
kau bilang tadi? Pengecut? Aku... pengecut?" Suaranya gemetar saking
marahnya. "Buktikan... setan kau, hayo buktikan kalau aku...
pengecut!"
Li Eng yang
cerdik itu menahan gejolak hatinya yang girang karena akalnya berhasil. Ia
sengaja menjebirkan bibirnya dengan lagak mengejek dan menghina.
"Seorang
laki-laki yang mengganggap diri sendiri gagah, beraninya berlagak hanya kalau
menghadapi lawan wanita yang dibelenggu kedua tangannya. Huh! Andai kata aku
tidak terbelenggu, kiranya kau sudah lari jatuh bangun ketakutan. Apa lagi
namanya kalau bukan pengecut paling rendah?"
Kong Bu
tidak sanggup menahan kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan suara melengking
tinggi yang membuat Li Eng amat kaget dan seram. Tiba-tiba pemuda ini
mendekatinya, menggerakkan kedua tangan dan... belenggu yang mengikat Li Eng
lantas putus menjadi beberapa potong!
"Nah,
putus sudah! Kau tidak terbelenggu lagi. Hayo, kau mau apa sekarang? Setan
betina, tarik kembali makianmu pengecut tadi. Setan, kau menghinaku, ya? Hayo,
cepat tarik kembali kata-kata pengecut tadi!"
Saking girangnya
karena telah bebas, Li Eng untuk sejenak tidak dapat menjawab, hanya
menggosok-gosok pergelangan dua tangannya yang masih kaku-kaku untuk memulihkan
jalan darahnya. Matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum manis, serta timbul
kembali keberaniannya dan kepercayaan kepada diri sendiri.
"Sudah
bebas kedua tanganku! Ehh, kau belum juga lari jatuh bangun?"
"Tidak
sudi! Mengapa harus lari? Aku bukan pengecut! Hayo cepat katakan, aku bukan
pengecut!" teriak Kong Bu makin marah.
Li Eng
memandang dengan senyum ejekan yang amat menyakitkan hati pemuda itu.
"Apa?
Kau tidak mau lari? Larilah, aku tidak akan mengejarmu sebagai upahmu sudah
membebaskan tanganku dari belenggu."
"Tidak
sudi!"
"Ah,
kalau begitu ternyata kau sudah bosan hidup. Terpaksa kedua tanganku mengantar
nyawamu ke neraka!"
Li Eng cepat
sekali menerjang maju dengan kedua tangannya memukul, susul-menyusul ke arah
pelipis dan lambung. Kong Bu yang marah sekali cepat menangkis kedua pukulan
itu dan balas menyerang dengan sama keras dan dahsyatnya.Tadinya Li Eng
memandang rendah dan mengejek, sedangkan Kong Bu juga memandang rendah dan
marah-marah. Akan tetapi makin lama mereka bertempur, makin lenyaplah perasaan
merendahkan lawan, lenyap pula rasa mengejek dan marah, terganti oleh rasa keheranan
besar dan sedikit kekaguman. Ternyata bahwa keduanya sama tangguhnya, atau
hanya sedikit selisihnya!
Kong Bu sama
sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis ini sedemikian hebat ilmu silatnya,
memiliki gerakan yang cepat bukan main bagaikan burung walet saja sehingga
kadang-kadang matanya berkunang. Di lain pihak, meski pun maklum bahwa pemuda
itu bukan orang lemah, namun sama sekali di luar sangkaan Li Eng bahwa ternyata
pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh, yang dapat mengimbangi Hoa-san Kun-hoat,
dan malah memiliki tenaga dahsyat sehingga lengannya sakit-sakit dan panas tiap
kali mereka harus beradu tangan.
Mulailah ia
merasa menyesal mengapa ia tidak bersenjata. Dengan pedang di tangan, kiranya
ia takkan terdesak seperti ini. Mulailah nona yang cerdik ini mencari akal.
Pada saat terdapat kesempatan baik, Li Eng berseru keras dan kedua kakinya
bergerak dengan Ilmu Tendangan Soan-hong-tui (Tendangan Angin Puyuh), yaitu
yang merupakan tendangan berantai dengan dua kaki seperti kitiran angin. Yang
dijadikan sasaran adalah pusar lawan.
Menghadapi
tendangan berantai yang amat berbahaya ini, Kong Bu berseru keras dan melompat
mundur. Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Li Eng untuk melompat ke dekat
meja dan menendang meja itu sehingga terbalik. Seketika keadaan menjadi gelap
pekat karena lilin di atas meja itu terlempar dan apinya padam. Inilah yang
dihendaki oleh Li Eng. Ia mempunyai pendengaran tajam dan lweekang yang sudah
tinggi, maka ia hendak mengandalkan dua kelebihan ini untuk melawan Kong Bu di
dalam gelap!
Akan tetapi,
sekali lagi ia kecele. Pemuda ini berseru keras, "Kau hendak lari ke
mana?"
Dan dari
angin gerakannya tahulah Li Eng bahwa pemuda itu menerjang ke arahnya
seakan-akan memiliki mata yang dapat menembus kegelapan. Terpaksa ia
mengerahkan ketajaman pendengarannya untuk menghadapi serbuan dalam gelap ini.
Kembali mereka bertempur, kini di dalam gelap dan ternyata malah makin seru
dari tadi. Karena keadaan gelap sama sekali, kedua orang muda yang berilmu
tinggi itu bertempur hanya mengandalkan ketajaman pendengaran dan kegesitan
gerakan saja.
Makin lama
makin terasa oleh Kong Bu akan kelihaian dara itu dan diam-diam ia merasa heran
bagaimana kakeknya mampu menangkap gadis selihai ini dengan mudah. Apa lagi
berdua dengan gadis lain yang tidak ia ketahui sampai di mana tinggi
kepandaiannya. Kalau dilihat keadaannya sekarang agaknya biar pun kakeknya
sendiri, belum tentu dapat mengalahkan gadis ini dengan mudah.
Dengan
penasaran sekali Kong Bu menggereng dan mengeluarkan ilmu yang paling ia
andalkan, yaitu Yang-sin-hoat. Ilmu ini adalah inti sari ilmu Yang-sin Kiam-sut
yang dulu didapatkan oleh Song-bun-kwi dan telah diturunkan kepada pemuda ini.
Yang-sin-hoat mengandalkan tenaga kasar dan ketika pemuda ini mainkan
Yang-sin-hoat, Li Eng menjadi kewalahan. Sebagai seorang wanita, oleh kedua
orang tuanya Li Eng dilatih dengan ilmu-ilmu yang berdasarkan kehalusan,
disesuaikan dengan keadaan tubuh dan sifat wanita.
Maka ketika
tadi lawannya menggunakan lweekang, ia masih sanggup melayani dengan baik.
Sekarang, begitu lawannya berkelahi secara kasar dan keras, di mana pertemuan
tenaga mungkin dapat mematahkan tulang dan melecetkan kulit, Li Eng menjadi
sibuk sekali. Ia mencari kesempatan dan begitu terdapat lowongan gadis ini
melompat keluar dari kamar terus lari keluar dari kelenteng.
"He,
kau hendak lari ke mana?"
Kong Bu
mengejar dengan lompatan keras sekali sehingga sekaligus ia dapat menyusul Li
Eng. Dengan lompatan yang amat cepat ini ia telah menubruk tubuh Li Eng dari
belakang. Segera ia menggunakan kedua lengan untuk menangkapnya dan dua orang
itu terguling roboh di luar kelenteng, bergumul di atas tanah. Namun Li Eng
kalah tenaga, juga ia disikap dari belakang dengan mendadak, maka ia tidak
berdaya dan Kong Bu berhasil menotok punggungnya, membuat gadis itu lemas tak
dapat menggerakkan kaki tangannya lagi. Li Eng hanya dapat memandang dengan
mata bersinar marah.
Kong Bu
melepaskan Li Eng dan bangkit berdiri, mengatur napas. Ia terengah-engah dan
lelah, juga tubuhnya sakit di sana-sini. Harus diakui bahwa baru kali inilah ia
betul-betul berkelahi melawan seorang yang amat tangguh. Sekali lagi ia
memandang ke arah di mana Li Eng rebah miring tak bergerak, di bawah sinar
bulan nampak seperti seorang gadis sedang tidur saja, ataukah seekor harimau
betina sedang mendekam?
"Gadis
liar!" gerutunya sambil mengelus lehernya yang mengeluarkan darah, terluka
oleh kuku-kuku tangan Li Eng ketika bergumul tadi.
Kong Bu
kemudian lari mengambil tali pengikat tangan Li Eng, lalu keluar lagi dan
setelah menyambung-nyambung tali yang kuat itu. Dia membelenggu lagi kedua
tangan Li Eng. Setelah itu ia membebaskan totokannya dan membentak,
"Hayo
bangun berdiri!"
Begitu
terbebas dari totokan, dengan kemarahan meluap-luap Li Eng meloncat bangun dan
langsung kedua kakinya yang bebas itu mengirim tendangan berantai!
Kong Bu
kaget sekali dan dengan gugup ia mengelak ke sana ke mari karena
tendangan-tendangan itu betul-betul mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya
dan mematikan. Akhirnya ia dapat menyambar kaki kiri Li Eng dan sekali dorong
tubuh Li Eng roboh lagi.
"Gadis
liar!" lagi-lagi ia memaki.
Li Eng sudah
meloncat bangun lagi, berdiri tegak, kepala dikedikkan, mata berapi-api, gigi
digeget, kemarahan memenuhi dadanya.
"Hayo
jalan, ikut denganku!" kata Kong Bu lagi.
"Tidak
sudi! Mau bunuh boleh bunuh!" balas Li Eng, tak kalah ketus.
"Kepala
batu!" Kong Bu memaki lagi.
Mendadak,
sebelum Li Eng sempat menduga apa yang akan dilakukannya, pemuda ini menubruk
ke depan, langsung menangkap dua kaki gadis itu dan mengangkat tubuhnya, terus
dipanggul di atas pundaknya. Li Eng meronta-ronta, menendang-nendang, akan
tetapi karena kedua tangannya diikat dan kedua kakinya dipeluk keras-keras oleh
pemuda yang besar sekali tenaganya itu, ia tak berhasil melepaskan dirinya.
Akan tetapi, dengan menggerak-gerakkan tubuh bagian atasnya, mulutnya berhasil
mendekati pundak dan dengan gemas dia menggigit pundak pemuda itu.
"Aduh...
perempuan liar!"
Kong Bu
terpaksa melepaskan tubuh Li Eng yang terpelanting ke atas tanah. Pemuda ini
memegangi dan mengusap-usap pundaknya yang luka berdarah dan bajunya yang robek
tertembus gigi yang kecil-kecil putih akan tetapi kuat bukan main itu.
Pundaknya sakit sekali, perih dan panas. Dengan marah ia maju lagi, mengangkat
tangan hendak memukul pecah kepala Li Eng. Akan tetapi entah bagaimana, pada
saat bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api dan penuh keberanian
itu, kepalannya berubah menjadi totokan dan kembali Li Eng telah tertotok jalan
darahnya, lemas dan tak dapat bergerak lagi.
"Hemmm,
perempuan liar. Anak murid Hoa-san-pai, cantik jelita, muda belia, lihai namun
berhati palsu dan berwatak hina. Kau harus disiksa dulu sebelum dibiarkan mati.
Keparat, rasakan kau nanti!" Ia lalu mengangkat tubuh Li Eng yang sekarang
tidak mampu meronta lagi itu, lalu memanggulnya.
Tiba-tiba ia
berseru, "Ihhhh!" dan melepaskan tubuh Li Eng yang untuk kesekian
kalinya lagi-lagi terbanting di atas tanah. Apa yang membuat pemuda itu berseru
kegelian dan melepaskan tubuh gadis itu? Li Eng sendiri tidak mengerti.
Sebetulnya
adalah karena ketika memanggul, kebetulan sekali sebagian pundak Li Eng yang
tidak tertutup bajunya yang sudah koyak-koyak itu menumpang pada pundak dan
leher Kong Bu, tepat di bagian baju yang robek oleh gigitan Li Eng tadi.
Sentuhan kulit halus hangat pada kulit leher dan pundaknya itulah yang membuat
Kong Bu kaget dan geli. Tubuhnya serasa dimasuki aliran listrik yang membuat ia
menggigil dan seketika membanting tubuh Li Eng ke atas tanah.
Pemuda itu
kini berdiri dengan leher terasa tebal dan tengkuknya berdiri semua. Akan
tetapi mukanya terasa panas dan jantungnya berdebar keras. Perlahan-lahan
dilepasnya baju luarnya, lalu diselimutkan pada tubuh atas Li Eng. Setelah
melihat bahwa pundak gadis itu yang telanjang telah tertutup rapat, barulah ia
membungkuk dan memanggul gadis itu kembali, dibawa lari secepatnya dari tempat
itu, memasuki hutan.
Sementara
itu, tanpa terasa selama dua orang ini ribut-ribut tadi, malam terganti fajar
dan ketika Kong Bu memanggul Li Eng berlari-lari, ayam hutan sudah mulai
berkokok. Namun pemuda itu berlari terus, menuju ke arah tertentu. Pemuda itu
tidak berkata apa-apa, juga Li Eng tidak mengeluarkan suara sungguh pun
kemarahan gadis itu membuat kedua matanya meneteskan air mata. Ia tidak takut,
hanya marah dan penasaran mengapa ia tidak mampu mengalahkan laki-laki gila
ini.
Tiba-tiba
terdengar suitan saling bersahutan di dalam hutan itu. Pada saat itu cuaca
mulai remang-remang karena dalam hutan penuh embun yang dingin menyusupi
tulang-tulang. Tak lama kemudian suara suitan makin sering dan makin keras.
Pada saat
tiba di dalam hutan yang penuh pohon-pohon besar, mendadak belasan orang
berlompatan dari balik batang pohon sehingga Kong Bu terkurung oleh enam belas
orang laki-laki yang tinggi besar, bercambang bauk dan membawa senjata tajam.
Melihat sikap mereka yang kasar, mudah diduga mereka tentulah sebangsa
perampok.
Kong Bu
sedikit pun tidak menjadi gugup. Ia menurunkan tubuh Li Eng setelah lebih dulu
membebaskan totokannya pada punggung gadis itu. Tadinya saking marah dan
lelahnya, Li Eng hampir pulas dalam panggulan pemuda itu. Sekarang ia terkejut
dan sadar ketika merasa tubuhnya terguling di atas tanah.
Cepat Li Eng
menggerakkan kaki dan girang mendapat kenyataan bahwa dia tidak lemas tertotok
lagi, maka ia meloncat berdiri. Ia terheran-heran melihat belasan orang
laki-laki kasar itu berdiri di situ dengan menyerigai dan sikap mengancam.
“Ada
keperluan apa kalian menghadang perjalananku?” Kong Bu membentak dan alisnya
yang tebal menghitam itu berkerut tanda kesal hati menghadapi gangguan ini.
Salah
seorang di antara mereka yang tubuhnya paling tinggi melangkah maju dan tertawa
bergelak sambil memandang ke arah Li Eng yang berdiri dengan dua tangan
terbelenggu.
“Ha-ha-ha,
kiranya saudara seorang ahli pemetik bunga! Wah, kawan-kawan, kita kecele kali
ini!”
Belasan
orang laki-laki itu mengeluarkan suara kecewa, akan tetapi ada pula beberapa
orang yang ketawa-tawa dan memuji-muji kecantikan Li Eng.
“Sebetulnya
kalian ini mau apakah?” Kong Bu membentak lagi.
Hati Kong Bu
tak senang mendengar pujian-pujian tentang kecantikan Li Eng. Dia lebih tidak
senang lagi melihat sikap mereka yang ceriwis terhadap gadis tawanannya.
“Hai,
saudara muda, karena kita sealiran, kami tidak akan mengganggu. Kau boleh pergi
melanjutkan perjalananmu, akan tetapi kau tinggalkan bunga ini untuk kami,
hitung-hitung tanda mata dan tanda persahabatan kita,” berkata pula pemimpin
gerombolan itu sambil memandang kepada Li Eng dengan mata berminyak.
“Apa
maksudmu? Bunga apa yang kau minta?” Kong Bu yang masih belum mengerti itu
membentak lagi.
“Aih… aihh…
kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Seorang perampok lainnya
berolok-olok, “Tentu saja perempuan ini yang ditinggal…” Baru saja sampai sini
ia bicara, mendadak tubuhnya terlempar jauh, lalu terbanting ke atas tanah dan
tidak dapat bangun kembali!
Bukan main
marahnya para perampok ketika melihat orang muda yang mereka sangka lemah itu
sekali tangkap sanggup melemparkan kawan tadi. Apa lagi kepalanya, dengan marah
berteriak, “Kawan-kawan, bunuh anjing jantan ini, biar aku tangkap yang
betina!”
Terjadilah
pengeroyokan hebat. Akan tetapi, alangkah kaget hati para pengeroyok itu saat
pemuda itu menggerakkan kaki tangan, empat orang perampok langsung roboh
kemudian mengaduh-aduh. Lebih-lebih kekagetan mereka ketika melihat pemimpin
mereka begitu mendekati gadis yang terbelenggu itu tiba-tiba saja dadanya
tertendang oleh gadis itu dan roboh sambil muntahkan darah segar.
Tidak
berhenti sampai di situ saja. Gadis yang terbelenggu ini menggerak-gerakkan
kedua kakinya dan sebentar saja empat orang perampok roboh pula tak dapat
bangun kembali. Juga Kong Bu yang sudah marah menghajar para perampok itu.
Sebentar saja beberapa orang roboh lagi.
Mereka
bagaikan rombongan laron mengeroyok api lilin. Setelah lebih setengah jumlah
mereka yang roboh, yang lain lalu melarikan diri menyelinap di antara gerombolan
pohon. Kong Bu tidak memperdulikan mereka, kemudian memandang kepada Li Eng.
Sejenak ia bengong terlongong, menatap wajah gadis itu yang juga memandang
kepadanya dengan mata terbelalak. Aduh hebatnya mata itu, demikian kesan
pertama dihati Kong Bu.
Malam tadi
dia tidak dapat melihat wajah Li Eng dengan terang, tidak sejelas sekarang.
Wajah yang luar biasa dan terutama matanya, seperti sepasang bintang pagi.
Tetapi ia teringat kembali akan kenyataan bahwa gadis ini adalah anak murid
Hoa-san-pai, maka kemarahannya timbul pula. Apa lagi bila teringat betapa
dengan susah payah malam tadi ia mengalahkan gadis ini, malah masih perih dan
panas pundaknya yang digigit.
Sebaliknya,
Li Eng juga tercengang ketika menyaksikan wajah yang tampan dan ganteng, yang sama
sekali jauh berlainan dengan wajah kakek malam tadi. Pemuda ini betul-betul
gagah. Mukanya lebar bulat, matanya jeli, alisnya hitam tebal, mulutnya
membayangkan kekerasan hati. Akan tetapi kalau dia teringat akan perlakuan
pemuda ini kepadanya, hatinya marah dan mendongkol bukan main. Dan dia telah
dipanggul setengah malaman oleh pemuda ini!
Tiba-tiba
saja Li Eng merasa mukanya panas dan ia berkata ketus. “Aku tidak sudi kau…
pondong lagi!”
Kedua pipi
Kong Bu langsung berubah merah. Dengan ketus pula dia menjawab, “Siapa yang
sudi memondongmu? Kalau kau tidak rewel dan mau jalan sendiri, aku pun tak sudi
memanggulmu!”
Sejenak
keduanya diam, saling pandang penuh kemarahan. Kong Bu marah mengapa gadis ini
begini kasar dan galak. Andai kata sikapnya halus dan penurut, agaknya ia tak
akan tega memperlakukannya seperti tadi.
Li Eng marah
mengapa pemuda itu bersikap sombong dan memandang rendah padanya. Andai kata
tidak demikian sikap pemuda itu, tentu dia akan menerangkan bahwa mereka
mempunyai musuh yang sama, yaitu Kwa Hong. Dia merasa yakin bahwa yang membuat
pemuda ini dan kakeknya membenci anak murid Hoa-san-pai terutama yang
perempuan, tentulah Kwa Hong.
“Kau hendak
memaksaku pergi ke mana?”
“Akan kau
lihat sendiri nanti!”
“Akan kau
apakan aku?”
“Hemm, kau
akan lihat sendiri!”
“Iblis kau!
Kalau hendak bunuh padaku, bunuhlah. Siapa takut mampus?”
“Terlalu
enak kalau kau dibunuh begitu saja. Kata kakek, semua anak murid Hoa-san-pai
terutama yang perempuan adalah siluman-siluman jahat, harus disiksa dan
dipermainkan dulu sebelum dibunuh.”
“Kakekmu
gila!”
“Mungkin,
tetapi tidak palsu dan hina seperti murid Hoa-san-pai yang menggoda ayahku dan
membunuh ibuku!”
“Ahhh, kau
juga gila!”
Kong Bu
memandang dengan mata berapi, kemudian ia balas memaki, “Kaulah seorang gadis
gila!”
“Kau hanya
bisa meniru-niru!”
“Tidak, kau
memang gila. Gadis normal tentu akan menangis dan minta ampun, tidak seperti
kau yang begini nekat menantang maut.”
“Aku tidak
takut!”
“Ha, ingin
aku melihat nanti apakah betul-betul kau tidak mengenal takut.”
“Mau kau
apakan aku?”
Kong Bu
tersenyum dan karena ia ingin melihat gadis ini membayangkan ketakutan pada
wajah yang cantik dan selalu menantang penuh keberanian itu, ia berkata, “Aku
hendak melepaskan kau di tempat yang penuh dengan anjing-anjing hutan, biar kau
dikeroyok oleh anjing hutan!”
Akan tetapi
keinginan hatinya tidak terpenuhi, malah gadis itu menjebikan bibirnya yang
merah sambil mengejek, “Phuhh, siapa mau percaya omong kosongmu? Anjing kaki
dua seperti kau saja aku tidak takut, apa lagi segala macam anjing hutan!”
Kong Bu
kalah bicara, kemudian berkata marah, “Sudah jangan cerewet! Hayo jalan, ikut
denganku!”
“Tidak
sudi!” Li Eng berjebi lagi.
“Kepala
batu!” Kong Bu menerjang maju, disambut tendangan oleh Li Eng.
Untuk
kesekian kalinya dua orang ini saling serang. Li Eng berusaha merobohkan dengan
tendangan-tendangannya yang amat dahsyat, sedangkan Kong Bu berusaha merobohkan
gadis itu untuk dapat dipanggulnya seperti malam tadi. Tentu saja dengan kedua
tangan terbelenggu dan tubuh lemas dan lelah, Li Eng tak dapat melakukan
perlawanan berarti. Akhirnya dia kena diringkus kedua kakinya, diangkat dan
dipanggul oleh Kong Bu yang lalu berlari cepat.
Li Eng
memaki-maki, meronta-ronta dan mencoba untuk menggigit lagi, namun Kong Bu
tidak pedulikan semua itu dan lari secepatnya menuju ke tengah hutan. Akhirnya
Kong Bu berhenti di sebuah lereng dan berkata,
“Nah, kau
lihat ke bawah!”
Li Eng yang
masih dipanggul itu melirik ke bawah. Di depannya terdapat sebuah lembah yang
curam dan di dalam lembah itu tampaklah puluhan ekor anjing yang berkeliaran.
Mereka nampak buas. Begitu melihat dua orang di atas lereng, mereka
menggonggong dan menyalak dengan muka ganas.
Ngeri juga hati
Li Eng, akan tetapi ia mengeraskan hati dan berkata, “Aku tidak takut!”
Kong Bu
mengeluarkan suara ketawa getir, hatinya kecewa kenapa gadis ini belum juga
menyerah kalah dan mengaku takut. Dengan mendongkol ia menurunkan Li Eng,
menotok jalan darahnya hingga gadis itu lemas kaki tangannya. Kemudian dengan
menggunakan sebuah pedang dia memutuskan tali belenggu kedua tangan Li Eng.
“Aku tak
sudi membunuhmu dengan kedua tangan sendiri, karena aku bukan pembunuh murahan.
Aku pun tak sudi menghina dan mempermainkanmu seperti yang dimaksudkan kakek,
karena aku bukanlah seorang manusia rendah dan hina. Akan tetapi karena kau
seorang anak murid Hoa-san-pai, untuk membalas sakit hati mendiang ibuku, kau
akan ku lempar ke dalam jurang lembah itu. Kau boleh melawan anjing-anjing itu,
bila kau menang dan dapat naik kembali dengan selamat, aku tak akan
mengganggumu.”
Tanpa
memberi kesempatan kepada gadis yang pandai itu untuk menjawab, Kong Bu
menggerakkan kedua tanggannya, yang kanan menotok punggung membebaskan aliran
jalan darah, yang kiri mendorong tubuh gadis itu ke dalam lembah yang curam
itu. Tanpa dapat menahan diri lagi tubuh Li Eng terdorong ke bawah. Tubuhnya
melayang ke tempat yang dalamnya lima enam meter itu. Segera ia mampu menguasai
diri dan cepat mengatur keseimbangan tubuhnya, lalu berjungkir balik dan dapat
turun ke dasar lembah dalam keadaan berdiri.
Suara hiruk
pikuk binatang-binatang itu menyambut kedatangannya. Puluhan ekor anjing yang
bermata merah dengan lidah terjulur keluar segera mengurungnya, menggonggong
dan memperlihatkan gigi dan taring yang runcing mengerikan. Gadis itu menyedot
napas dalam-dalam, mengumpulkan semangat dan tenaga, mengusir rasa jijik dan
takut, kemudian ia mendahului anjing-anjing itu, menendang dan memukul. Makin
berisiklah keadaan di lembah itu. Ada anjing yang terpukul mati seketika, hanya
dapat berkelojotan sebentar, ada yang berkuik-kuik, ada pula yang
meraung-raung.
Anjing-anjing
yang lain semua mengonggong dan menyalak marah. Mereka ini kemudian menyergap
dan mengeroyok Li Eng. Akan tetapi dengan gagahnya gadis ini mengamuk. Tangan
dan kakinya bergerak-gerak menghindar ke sana ke mari sambil memukul serta
menendang, lalu meloncat untuk mengelak. Di atas tebing lereng itu, Kong Bu
berdiri tegak menonton. Mula-mula mulutnya tersenyum mengejek dan matanya
membayangkan kekerasan hatinya. Tetapi ketika ia menyaksikan sepak terjang Li
Eng, senyumnya menghilang dan matanya berubah membayangkan rasa kekaguman yang
besar.
Bukan main
gadis ini pikirnya. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang gadis
demikian gagah beraninya. Jangankan melihat, malah mimpi pun belum pernah.
Sukarlah, malah tak mungkin kiranya, membayangkan seorang dara seperti ini
hebatnya! Dadanya berdebar dan kini ia memandang penuh perhatian.
Betapa pun
gagah dan lihainya Li Eng, gadis itu semalam suntuk tidak tidur, lagi pula
tubuhnya amat lelah dan berkali-kali ia harus mengerahkan tenaga menghadapi
Kong Bu. Kini dikeroyok puluhan ekor anjing yang liar itu, perlahan-lahan ia
mulai kehabisan tenaga dan berkuranglah kegesitannya.
Sudah dua
belas ekor anjing menggeletak jadi bangkai oleh pukulan dan tendangannya, namun
yang mengeroyoknya masih berpuluh-puluh! Pukulannya kini mulai kurang keras,
gerakannya juga sudah lemah dan limbung. Namun sedikit pun juga semangatnya
tidak pernah berkurang, dan tidak sedikit pun juga ia nampak takut atau
bingung.
Tiba-tiba
lima ekor anjing menyerangnya dengan serentak, menubruk dari kanan kiri dan
depan. Li Eng melompat mundur untuk menghindarkan diri. Akan tetapi malang
baginya, kebetulan sekali di sebelah belakang ada seekor anjing pula sehingga
kakinya terhalang dan ia terjengkang ke belakang. Serempak lebih dari sepuluh
ekor anjing menubruknya dengan moncong terbuka lebar!
Wajah Kong
Bu menjadi pucat seketika. Akan tetapi dia kagum bukan main ketika gadis itu
dengan kegesitan luar biasa telah menggulingkan tubuhnya cepat-cepat ke kiri
terus melompat berdiri. Namun ia tak dapat menghindar serangan seekor anjing
dari sebelah belakang yang menubruk kakinya dan menggigit betisnya. Kain celana
pada bagian betis robek berikut kulit betisnya.
Li Eng
menjerit tertahan, membalikkan tubuh dan sekali tangan kanannya menghantam maka
pecahlah kepala anjing itu! Demikian hebat amarahnya sehingga seketika timbul
kembali tenaganya, namun kini ia merasa kakinya yang tergigit tadi kaku dan
sakit-sakit. Sekilas ia mengerling ke atas dan melihat pemuda itu masih berdiri
tegak. Kemarahannya bangkit, sampai mati ia tidak akan memperlihatkan rasa
takut dan takkan mau menyerah, biar pemuda gila itu terbuka matanya bahwa dia
adalah seorang dara berdarah pendekar sejati.
Ia melawan
terus, memukul menendang, tapi pandang matanya mulai berkunang-kunang, tubuhnya
terhuyung-huyung dan kepalanya pening. Ia masih dapat melihat berkelebatnya
sosok bayangan orang diikuti sinar pedang yang membabati anjing-anjing yang sedang
mengeroyoknya, kemudian Li Eng mengeluh dan roboh pingsan!
Dalam
keadaan setengah sadar Li Eng merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya sedang
terbakar. Warna merah dan kuning menyelubungi dirinya, dan suara gonggongan
anjing terngiang-ngiang di telinganya. Kemudian ia juga melihat kepala-kepala
banyak anjing liar dengan moncong terbuka hendak menggigitnya. Ia merasa ngeri
sekali, kemudian kepala-kepala anjing ini menyuram, terganti kepala seorang
pemuda yang gagah dan ganteng.
“Kenapa kau
begini benci kepadaku…?” Li Eng berbisik, hatinya sakit sekali.
“Diamlah…”
ia tiba-tiba mendengar suara perlahan, “biar kuhisap keluar racun anjing itu.
Siapa tahu anjing tadi gila…” Lalu ia merasa amat sakit pada betis kaki
kirinya.
Li Eng
membuka mata. Ternyata ia sedang rebah terlungkup di bawah sebatang pohon,
beralaskan rumput hijau yang sangat sedap dan segar. Ia menggerakkan lehernya
dan melihat… pemuda ‘gila’ itu duduk di dekatnya, mengangkat kaki kirinya dan…
menyedot betisnya yang terasa panas dan sakit.
“Kurang
ajar! Kau! Lepaskan kakiku, lepaskan!” Li eng berteriak keras sekali. Meremang
seluruh bulu di badannya ketika mendapat kenyataan kakinya telah telanjang
sampai ke lutut dan betapa betisnya di ‘cium’ oleh mulut pemuda itu.
Kong Bu,
pemuda itu, menunda pekerjaannya, menoleh dengan kening berkerut.
“Rewel benar
kau!” bentaknya. “Kalau anjing yang menggigit betismu tadi gila, sebentar lagi
kau yang menjadi gila, tahukah kau? Aku sedang berusaha untuk menyedot keluar
racun dari luka di betismu, mengapa kau banyak cerewet?”
Li Eng
terkejut, takut, dan juga heran. Alangkah ngerinya kalau betul ucapan itu, dan
dia menjadi gila! Akan tetapi benar-benar amat mengherankan kenapa pemuda ini
menolong dirinya keluar dari lembah, malah sekarang hendak mengobatinya?
“Biarkan aku
duduk menyandar pohon, tak enak terlungkup begini…” akhirnya ia berkata.
“Sesukamulah,
tapi kalau terlalu lama penyedotan racun tertunda, aku tidak tanggung lagi
kalau kau menjadi gila, lebih gila dari pada anjing yang menggigitmu.”
Li Eng
menarik kakinya dan duduk, menyandarkan diri di batang pohon itu. Ia
melonjorkan kakinya yang agak parah bekas gigitan anjing. Rasa ngeri menyelinap
dalam hatinya.
“Apakah…
apakah… anjing yang menggigitku tadi benar-benar gila?” tanyanya perlahan,
tanpa memandang pemuda itu.
“Mudah-mudahan
tidak, tapi siapa tahu. Anjing-anjing hutan itu liar, hampir semua seperti
gila,” jawab pemuda itu. “Cara pengobatan satu-satunya harus menyedot racun
keluar dari luka itu.”
Setelah berkata
demikian, tanpa minta izin lagi ia kemudian mengulangi usahanya tadi,
membungkukkan badan, mendekatkan mulut kepada kaki Li Eng yang sudah
diangkatnya, lalu ia menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisapnya.
Li Eng
meramkan kedua matanya, mukanya merah padam. Celaka, ia telah menerima
penghinaan yang hebat dan terus-menerus dari pemuda ini. Ia sudah dikalahkan
dalam pertempuran, itu penghinaan pertama, kemudian ia dimaki-maki, itu
penghinaan kedua, lalu ia dipanggul sebagai tawanan, penghinaan ke tiga.
Kemudian ia dilempar ke dalam lembah anjing hutan, itu penghinaan ke empat dan
sekarang ini, penghinaan ke lima, yang paling hebat!
Pemuda itu
secara kurang ajar sekali telah menyentuh betis kakinya, memegangnya, dan tidak
itu saja, malah… di cucupnya betis kakinya dengan mulut. Inilah penghinaan yang
tak dapat diampuni lagi. Ia membuka kedua matanya. Melihat pemuda itu
membungkuk dengan penuh perhatian dan pengerahan tenaga Iweekang menyedot luka
untuk mengeluarkan racun, tiba-tiba Li Eng menggerakan tangan kanannya,
dipukulkan ke arah tengkuk Kong Bu dengan jari-jari terbuka.
“Bukkk!”
Tanpa dapat
bersambat lagi pemuda itu roboh terguling dalam keadaan pingsan! Pukulan Li Eng
hebat sekali dan tidak dapat ditangkis oleh pemuda itu yang sama sekali tidak
pernah menyangka dirinya akan diserang ini.
Li Eng
meloncat bangun, meringis karena betis kaki kirinya terasa perih sekali, namun
ditahannya. Cepat ia menotok punggung Kong Bu untuk mencegah pemuda itu
bergerak bila siuman nanti, kemudian ia mencari akar pohon dan dengan akar ini
ia membelenggu tangan Kong Bu ke belakang. Setelah ini ia membebaskan pemuda
itu dari pada totokan dan dengan merobek sedikit tali pinggang yang panjang ia
membalut luka betisnya.
Tidak lama
kemudian Kong Bu siuman dari pingsannya. Ia cepat meloncat berdiri, akan tetapi
sebuah tendangan membuat dia terjungkal lagi. Ia rebah miring dan mengangkat
kepala memandang kepada gadis yang berdiri sambil tersenyum mengejek dengan
amat manisnya itu. Lenyap kebingungan dan keheranan Kong Bu. Mengertilah ia
kini kenapa ia tadi pingsan dan kenapa pula kedua tangannya terbelenggu.
“Mengapa…?”
Kong Bu menahan kembali pertanyaannya kerena dari senyum dan sinar mata itu ia
sudah mendapat jawaban sejelasnya.
“Hi-hi-hik,
ada ubi ada talas, ada budi ada balas!” kata Li Eng, suaranya bening karena
kini dia telah bebas dan malah sudah pulih kembali kejenakaannya dan
keriangannya.
Berbeda
dengan sikap Kong Bu yang hanya memandang dengan penuh kagum. Entah bagaimana,
setelah Li Eng tidak galak dan pemarah seperti pada saat menjadi tawanan,
setelah gadis itu mendapatkan kembali sifat pribadinya yang lucu jenaka, dalam
pandang matanya gadis itu berubah menjadi sangat manis dan jelita.
"Kau
boleh bunuh aku. Memang aku patut dibunuh karena kebodohanku, bisa saja diakali
oleh seorang gadis liar macam kau. Hemmm, betul Kakek, gadis Hoa-san-pai mana
boleh dipercaya? Aku kurang hati-hati. Bunuhlah."
"Enak
saja dibunuh! Pemuda sombong dan gila seperti kau harus mengalami siksaan dan
penghinaan lebih dulu sebelum dibunuh!"
Kong Bu tak
dapat berkata apa-apa lagi karena ia maklum bahwa gadis ini tentu akan terus
meniru kata-katanya, ketika masih menjadi tawanannya.
"Sudahlah,
kau boleh lempar aku ke lembah itu biar dikeroyok anjing gila," katanya.
Li Eng
menjebirkan bibirnya, luar biasa manisnya dalam pandangan Kong Bu.
"Huh,
kau mau akali aku, ya? Biar digigit kakimu lalu biar aku menolongmu?"
"Habis,
apa yang hendak kau lakukan dengan diriku?"
Li Eng
meloncat bangun. "Hayo, bangun berdiri, dan ikut aku!"
Kini tiba
giliran Kong Bu untuk mempermainkan gadis itu, seperti ia dipermainkan ketika
menawannya.
"Aku
tidak sudi!" jawabnya. Baru kali ini pemuda itu memperlihatkan senyumnya,
senyum mengejek dan menggoda.
Wajah yang
tampan itu kelihatan berseri terang ketika tersenyum, lenyap sama sekali
bayangan watak keras dan aneh. Li Eng menggigit bibir dan membanting kaki.
"Kau
tidak mau turut perintahku?"
Kong Bu
menggeleng kepala. "Aku tidak sudi ikut kau, hendak kulihat kau mau
apa?"
Celaka,
pikir Li Eng dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah sekali ketika pandang matanya
bertemu dengan mata pemuda itu. Dari sinar mata pemuda itu ia dapat membaca
pikiran orang. Kiranya pemuda itu hendak melihat apakah dia juga akan
memanggulnya!
"Awas,
aku pun bisa menggigit pundakmu!" Kong Bu sengaja mengejek gadis itu
sambil tersenyum.
Li Eng
semakin merah mukanya. Dasar setan alas, sudah menjadi tawanan masih bisa
mempermainkan dirinya. Ia lupa betapa ketika ia sendiri menjadi tawanan, ia pun
tiada sudahnya mengejek dan memaki pemuda itu.
"Kau
kira aku akan sudi memanggulmu? Cih, tak punya malu!"
Li Eng lalu
menggunakan akar yang panjang dan kuat, diikatkan pada pinggang pemuda itu
dan... ia menyeret pemuda itu pergi dari situ! Kong Bu adalah seorang yang
memiliki kepandaian tinggi. Diseret seperti itu ia masih enak-enak saja
telentang dengan mata merem-melek, kelihatan keenakan sekali.
"Kau
akan membawaku ke mana?" beberapa kali ia mengajukan pertanyaan ini.
Karena
pertanyaan itu diulang-ulang, akhirnya Li Eng dengan gemas menjawab, "Aku
bukan seorang gila seperti engkau dan kakekmu. Karena kau menghina dan memusuhi
Hoa-san-pai, aku akan membawamu sebagai tawanan ke Hoa-san-pai, biar Supek yang
akan memberi keputusan apakah kau harus dilempar ke jurang ataukah digantung pada
pohon pek!"
"Ha-ha-ha-ha,
bocah sombong, jangan kau hendak membodohi aku," kata Kong Bu yang masih
diseret-seret. "Hoa-san-pai bukan di sebelah sana letaknya, kau mengambil
arah yang bertentangan."
"Huh,
aku bukan pembohong seperti kau. Aku mempunyai urusan ke Thai-san lebih dulu,
mungkin di Thai-san kau sudah bisa mendapat pengadilan dari Paman Tan Beng
San."
Pemuda itu
nampak terkejut sekali. "Ke... ke Thai-san...?"
"Sudahlah,
jangan banyak cerewet! Pendeknya kau sekarang menjadi tawananku. Kalau kakekmu
atau teman-temanmu tidak melepaskan Enci Hui Cu yang tertawan, kau pun tak akan
kulepaskan. Apa bila kalian mengganggu Enci Hui Cu, awas kau, takkan kuampuni lagi!"
Kali ini
Kong Bu betul-betul kelihatan gelisah. Ia tidak tahu siapakah itu Hui Cu dan
siapa pula yang menawan gadis itu. Menurut kakeknya, seorang gadis lain
dirampas orang dan kakeknya tengah mengejar orang itu. Karena itu ia pun diam
saja dan membiarkan dirinya diseret-seret sepanjang jalan...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment