Monday, July 16, 2018

Cerita Silat Serial Rajawali Emas Jilid 12



























        Cerita Silat Kho Ping Hoo
          Serial Rajawali Emas

                    Jilid 12


Istana Kembang berada di lingkungan istana yang paling pinggir, termasuk pinggir kota yang sunyi. Di sekitar istana itu penuh hutan-hutan yang ditanami banyak pohon-pohon yang indah, pohon-pohon buah dan pohon-pohon kembang. Sekeliling istana merupakan taman bunga yang besar dan luas, di mana ditanam segala macam bunga. Di sana-sini terdapat empang ikan yang selain menjadi tempat peliharaan ikan-ikan emas yang indah-indah, juga menjadi tempat tumbuhnya bunga teratai yang berwarna-warni.

Kereta berhenti di depan gedung yang tidak begitu besar, akan tetapi bentuknya mungil dan seluruh bagian bangunan ini penuh dengan hasil-hasil seni ukir dan seni lukis. Begitu turun dari kereta, ketiga orang muda yang berasal dari pegunungan ini berdiri ternganga. Istana dan keindahan sekitarnya bagi mereka begitu aneh dan begitu indah yang biasanya hanya dapat mereka bayangkan dalam alam mimpi saja.

Beberapa orang pelayan yang pakaiannya juga seperti pembesar-pembesar cepat-cepat datang menyambut, "Sudah sejak tadi putera mahkota menanti kedatangan Sam-wi yang terhormat. Sam-wi (Tuan Bertiga) dipersilakan langsung menuju ke ruangan istirahat di mana Thaicu sudah menanti," begitulah kata mereka.

Seperti dalam mimpi tiga orang muda itu mengikuti para pelayan menuju ke pintu depan istana. Begitu memasuki pintu ini, tiga orang muda itu tiada habisnya mengagumi segala keindahan yang terdapat di situ. Lukisan-lukisan kuno, ukir-ukiran yang menghiasi ruangan dalam, perabot-perabot yang terbuat dari kayu harum, sutera-sutera yang berkilauan, batu-batu kemala dalam bentuk hiasan-hiasan, permadani halus yang menghias dinding dan lantai. Bukan main!

Li Eng yang biasanya bebas dan tidak mau tunduk itu kini merasa dirinya kecil sehingga tanpa ia sadari lagi berpegang erat-erat pada lengan kanan Kun Hong. Malah Hui Cu yang biasanya agak pemalu dan juga masih sungkan-sungkan bersikap terlalu intim terhadap pamannya, kini pun tanpa ia sadari lagi menggandeng tangan kiri Kun Hong.

Sungguh sikap tiga orang muda ini seperti tiga ekor kelinci memasuki goa macan! Hanya Kun Hong yang biar pun tampak kagum sekali, masih dapat bersikap tenang, sedikit pun tidak ada perasaan takut seperti yang terdapat dalam pikiran dua orang dara remaja itu. Di setiap lorong atau ruangan baru, berganti pelayan yang bertugas mengantar mereka.

Istana itu dari luar tampaknya kecil mungil, akan tetapi setelah dimasuki ternyata luas dan ruangan istirahat yang dimaksudkan itu ternyata jauh juga dari pintu depan. Kiranya ruang itu ada di sebelah belakang, merupakan ruangan terbuka dengan atap berbentuk payung besar, tanpa dinding sehingga kelihatannya seperti dikelilingi oleh kembang-kembang. Di empernya terdapat empang ikan yang lebar dan di tengah-tengahnya terdapat air mancur yang keluar dari mulut seekor naga batu. Benar-benar ruangan istirahat ini sangat indah dan berhawa sejuk, tepat menjadi tempat beristirahat menghilangkan lelah.

Seorang lelaki muda duduk menghadapi empang, kelihatannya sedang melamun. Usianya sebaya Kun Hong, wajahnya tampan dan pakaiannya indah sekali, terbuat dari sutera dan berlukiskan burung Hong. Topinya juga aneh dan bersulamkan gambar naga, akan tetapi agaknya pemuda itu sedang kurang gembira sehingga rambut hitamnya yang keluar dari bawah topi didiamkannya saja.

"Yang Mulia, tiga orang tamu yang dinanti-nantikan sudah datang menghadap!" seorang pelayan melapor sambil menjatuhkan diri berlutut.

Pelayan lain sebelum berlutut berbisik kepada Kun Hong bertiga, "Harap Sam-wi berlutut memberi hormat."

Akan tetapi Kun Hong, apa lagi Li Eng juga Hui Cu, tidak mengerti akan bisikan ini, dan hanya memberi hormat seperti biasanya mereka memberi hormat kepada orang lain yang sebaya usianya, yaitu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke dada. Orang muda itu cepat bangkit dari duduknya dan gerakannya cepat sekali sehingga Hui Cu dan Li Eng segera dapat menduga bahwa orang itu tentu mempunyai kepandaian ilmu silat yang lumayan juga.

Setelah berhadapan, ternyata bahwa laki-laki muda itu lebih berwajah gagah dari pada tampan. Terutama sepasang matanya membuat orang tidak berani menentang pandang matanya lama-lama, penuh wibawa dan gerak-geriknya agung. Hal ini mungkin sudah ia biasakan untuk disesuaikan dengan kedudukannya, putera mahkota! Inilah dia Kian Bun Ti, putera mahkota yang sebetulnya adalah cucu dari Kaisar, putera dari mendiang Putera Mahkota atau putera sulung dari Kaisar.

Berdebar keras hati Li Eng dan Hui Cu ketika melihat betapa sepasang mata yang agak lebar itu memandang kepada mereka penuh perhatian, lalu terpancar sinar kagum dari mata itu sebelum mulutnya tersenyum dan suaranya terdengar ramah,

"Ahhh, Taihiap yang menjadi Sin-kai Pangcu (Ketua Perkumpulan pengemis baru) serta kedua Lihiap (Pendekar Wanita)! Girang sekali hatiku karena Sam-wi suka datang untuk bercakap-cakap!"

Ia melangkah maju dan pandang matanya bergantian menelan wajah Li Eng dan Hui Cu. Kemudian dia menoleh kepada pelayan dan berkata dengan suara yang jauh berbeda, yaitu suara memerintah yang berpengaruh dan angker.

"Sediakan arak Sian-ciu (Arak Dewa) dan daging kering, kemudian enyahlah dari sini, beri tahu para cianpwe supaya menunggu dan tidak boleh menghadap sebelum dipanggil!"

Pelayan-pelayan itu sambil merangkak mengundurkan diri dan tak lama kemudian mereka datang membawa hidangan yang diminta, lalu mengundurkan diri lagi. Pangeran Kian Bun Ti dengan ramah lalu mempersilakan tiga orang muda itu mengambil tempat duduk di dekat empang. Sikapnya yang ramah serta budi bahasanya yang manis mengusir rasa sungkan dari tiga orang itu. Malah Li Eng dengan cepat menguasai kembali kelincahan dan kebebasannya.

"Aduh, indahnya ikan-ikan ini... Enci Cu, kau lihatlah yang di sudut itu... yang di sana itu... hi-hi-hi, seperti ada jenggotnya!" Ia menarik tangan Hui Cu dan menuding-nuding dengan telunjuknya yang kecil runcing.

Pangeran Kian Bun Ti memandang kagum kepada dua orang gadis itu, terutama kepada Li Eng. Ia mendengar bahwa dua orang gadis itu mempunyai kepandaian ilmu silat yang hebat. Tadi begitu bertemu, ia sudah heran bukan main karena sama sekali di luar dugaannya bahwa dua orang wanita kang-ouw yang menjadi jagoan ternyata adalah dua orang dara remaja yang begini manis cantik jelita dengan bentuk tubuh yang tidak kalah oleh puteri-puteri istana. Apa lagi sekarang, melihat mereka tertawa-tawa senang melihat ikan-ikan dengan sikap bebas dan sewajarnya, jauh bedanya dengan sikap puteri-puteri istana atau selir-selirnya, benar-benar menggugah rasa sayang di hati Pangeran ini.

Akan tetapi diam-diam ia pun meragukan dan sangsi, apakah benar-benar dua orang dara remaja jelita ini memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi? Rasa-rasanya tidak mungkin kalau melihat kehalusan sifat mereka dan usia mereka yang masih amat muda.

Pangeran mahkota ini lalu mengalihkan perhatiannya kepada Kun Hong. Seorang pemuda sederhana yang halus budi dan bersikap sopan, begitu penilaiannya. Akan tetapi ketika Pangeran ini mengajak tamunya bicara tentang ketata negaraan, ia amat kecewa karena ternyata bahwa pemuda aneh yang baru saja dipilih sebagai ketua baru dari perkumpulan Hwa-i Kaipang yang baru itu, ternyata sama sekali buta politik kenegaraan. Kata-katanya penuh mengandung inti dari filsafat dan kebatinan sebagai penuntun manusia ke arah kebajikan.

Hemm, orang muda yang berbakat menjadi pendeta, pikirnya kecewa. Orang seperti ini sama sekali tiada gunanya bagiku, demikian Pangeran Mahkota itu berkata kepada dirinya sendiri. Perhatiannya kemudian diarahkan kembali kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih mengagumi keindahan kembang-kembang, ikan-ikan dan arca serta ukiran indah yang menghias taman.

"Pangcu, apakah kedua orang Lihiap itu benar-benar keponakanmu? Kau masih begini muda, tidak akan jauh selisihnya usiamu dengan mereka, bagaimana bisa menjadi paman mereka?" akhirnya Pangeran itu bertanya kepada Kun Hong.

Pemuda ini sebetulnya merasa kurang enak mendapat sebutan pangcu itu. Akan tetapi karena memang kenyataannya ia telah menerima kedudukan ketua Hwa-i Kaipang, maka ia pun tidak dapat membantah.

Mendengar pertanyaan ini, Kun Hong tersenyum. "Sebenarnya bukan keponakan dalam hubungan keluarga, Pangeran, melainkan dalam hubungan perguruan. Ayah saya adalah supek (uwa guru) dari ayah ibu mereka, oleh karena itulah maka saya terhitung sebagai paman guru mereka."

Pangeran Mahkota itu mengangguk-angguk. "Kalau begitu, Pangcu sebagai putera Ketua Hoa-san-pai dan sebagai paman dari kedua orang lihiap ini, tentu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali."

Li Eng dan Hui Cu yang kini sudah duduk kembali di dekat Kun Hong, menahan senyum mereka mendengar ucapan ini. Kun Hong sendiri menjadi merah mukanya ketika ia menjawab, "Ah, saya seorang yang bodoh, mana tahu akan ilmu silat? Ayah dan Ibu pun melarang saya untuk belajar ilmu silat semenjak kecil. Berbeda dengan kedua orang keponakanku ini, sedikit-sedikit mereka mengerti ilmu silat, Pangeran."

Pangeran Kian Bun Ti memandang pada dua orang dara itu. Li Eng menentang pandang mata itu dengan sinar mata yang terbuka dan berani, sebaliknya Hui Cu hanya membalas tenang-tenang kemudian menundukkan pandang matanya.

"Alangkah senangnya memiliki kepandaian siiat tinggi seperti Ji-wi Siocia ini dan alangkah akan merasa aman di hati kalau mempunyai teman seperti Ji-wi Lihiap," demikian kata Pangeran itu penuh kekaguman dan sepasang matanya memancarkan cahaya ganjil.

Akan tetapi Li Eng masih terlalu muda dan tidak ada pengalaman sehingga pandang mata seperti ini dianggapnya bukan apa-apa. Hui Cu lebih tajam dan perasa sehingga gadis ini berdebar-debar dan tidak berani lagi menentang pandang mata Pangeran muda itu.

"Ah, Pangeran terlalu memuji!" Li Eng malah berani membantah. "Sedikit ilmu silat seperti yang kami miliki ini apakah artinya dibandingkan dengan keadaan Pangeran? Tinggal di tempat begini indah, terjaga oleh pasukan penjaga yang sangat kuat, setan pun tidak ada yang berani mengganggu!"

"Ha-ha-ha-ha, Nona pintar sekali bicara!" Pangeran itu gelak terbahak. "Kau sama sekali tidak tahu betapa kedudukan seorang pangeran tidaklah seenak yang orang kira. Bahaya selalu mengancam dari kanan kiri, nyawa pun selalu dalam bahaya. Sebab itulah tadi aku mengatakan betapa akan senang dan amannya jika dapat selalu berteman dengan Nona berdua yang pandai ilmu silat dan yang tentu akan dapat menghalau setiap orang jahat yang datang hendak mengambil nyawaku!"

Kun Hong mengerutkan keningnya. Di dalam hatinya ia tidak senang mendengar ucapan yang mengandung maksud hati seorang pria terhadap wanita ini. Akan tetapi ia tidak mau sembarangan mengeluarkan ketidak senangannya, apa lagi karena Li Eng dan Hui Cu agaknya sama sekali tidak dapat menangkap maksud sebenarnya yang bersembunyi di balik pujian-pujian Pangeran itu.

Pada saat itu mendadak terdengar bentakan keras, "Hendak kami lihat siapa akan dapat membelamu, Pangeran! Kematianmu sudah di depan mata, siaplah!"

Dan tahu-tahu dua orang laki-laki setengah tua dengan gerakan ringan dan cepat sekali telah datang melayang ke tempat itu, masing-masing tangan mereka memegang sebatang pedang dan langsung mereka itu menerjang Pangeran Kian Bun Ti.

"Celaka...!" Pangeran itu menjadi pucat dan ketakutan.

"Bangsat hina jangan menjual lagak!"

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Li Eng sudah melompat ke depan, diikuti oleh Hui Cu yang juga telah mencabut pedangnya. Terdengar suara nyaring ketika dua pasang pedang itu bertemu di udara dan dua orang laki-kaki itu berteriak kaget sambil melangkah mundur satu tindak.

"Li Eng, Hui Cu, jangan membunuh orang!" Kun Hong dalam kagetnya berteriak kepada dua orang keponakannya itu.

Sementara itu, dua orang itu sudah menerjang maju, sekarang sasaran mereka bukanlah Pangeran Kian Bun Ti yang sudah lari bersembunyi di belakang pilar. Penyerang yang seorang, bertubuh pendek berkepala besar, dilayani oleh Hui Cu karena Li Eng sudah mendahuluinya menerjang orang ke dua yang kurus kering berusia lima puluh tahun lebih.

Li Eng bermata tajam. Begitu melihat gerakan dua orang ini ketika menyerang Pangeran tadi segera dapat tahu bahwa orang ke dua yang kurus kering inilah yang terlihai di antara keduanya. Maka, ia mendahului Hui Cu memapaki orang ini.

Memang tidak salah dugaan Li Eng. Orang kurus kering itu selain lihai dan cepat ilmu pedangnya, juga memiliki tenaga lweekang yang tinggi sehingga pedang di tangannya itu tergetar-getar mengeluarkan hawa pukulan yang dahsyat.

Pedangnya berkelebat seperti burung elang menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar putih. Tangan kirinya tak hanya digunakan untuk mengimbangi gerakan pedang di tangan kanan, bahkan kadang-kadang masih membantu serangan pedang dengan melancarkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam yang berhawa panas! Pendeknya, orang ini adalah ahli silat kelas tinggi yang hanya dapat digolongkan dengan tingkat para busu pengawal pribadi kaisar.

Namun kali ini ia ketemu batunya dalam menghadapi Li Eng. Dengan jurus-jurus gerakan Tian-mo Po-in (Payung Kilat Menyapu Awan) dari Hoa-san-pai gadis ini dapat memapaki gulungan sinar pedang lawannya sehingga gulungan sinar pedang itu menjadi buyar dan kacau. Ada pun pukulan-pukulan lawan dengan tangan kirinya itu dapat ia elakkan dengan mengandalkan kegesitannya.

"Ehh, mengapa gerakan Tian-mo Po-in begini hebat?" tiba-tiba laki-laki itu berseru keras. "Jurus ini adalah jurus Hoa-san Kiam-hoat yang paling hebat, tapi kenapa begini aneh? Ayaaa!" Dia berseru makin kaget ketika pedang gadis itu hampir saja menusuk lehernya kalau ia tidak lekas-lekas membuang diri ke belakang.

Aneh sekali sikap lawan ini, pikir Li Eng. Agaknya orang ini mengenal baik ilmu pedang Hoa-san-pai, akan tetapi mengapa berkata keras-keras seperti hendak memberi tahukan kepada seseorang? Dengan gemas Li Eng lalu merubah ilmu pedangnya dan menyerang dengan dahsyat. Kembali orang itu berteriak keras sambil memutar-mutar pedang untuk menjaga diri.

"Ehh, Hoa-san Kiam-hoat mengapa begini ganas? Kau campur dengan ilmu pedang dari manakah? Kau murid siapa?"

Panas juga perut Li Eng ketika mendengar betapa orang ini agaknya mengenal baik ilmu pedangnya. Sambil mengirim tusukan bertubi-tubi ia berseru, "Orang macam kau perlu apa bicara tentang ilmu silat Hoa-san-pai? Kalau memang gagah, kau hadapi ini!"

Tiba-tiba sinar hitam berkelebat dari tangan kiri Li Eng. Ternyata dia sudah mengeluarkan sabuk sutera hitamnya dan kini pedang dan sutera hitam itu menyambar-nyambar dahsyat sekali, mengurung lawan itu dari segala penjuru!

Orang itu lagi-lagi mengeluarkan seruan kaget, masih mencoba untuk menyebutkan satu per satu semua jurus yang dimainkan Li Eng. Akan tetapi akhirnya ia tak dapat membuka mulut lagi karena sibuk menghadapi serangan yang membuat dia harus memeras tenaga dan kepandaian untuk melindungi tubuhnya.

Sementara itu, lawan yang menghadapi Hui Cu juga ikut berteriak-teriak, "Bocah ini ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-hoat tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu pedang apa ini yang begini indah?"

"Tidak usah banyak mulut, terimalah ini!" Hui Cu membentak dan menyerang lebih hebat lagi.

Akan tetapi orang itu ternyata memiliki kepandaian yang tinggi juga sehingga ia mampu menangkis dan membalas. Malah ia masih terus berkata keras-keras, "Eh, mengingatkan aku akan ilmu pedang dari Bu-tek Kiam-ong! He, bocah, kau pernah apa dengan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan?"

Ketika nama guru ibunya itu disebut, Hui Cu kaget juga. Akan tetapi tanpa menjawab ia menyerang terus bertubi-tubi dengan ilmu pedangnya yang amat indah.

"Hebat... hebat...!" Orang itu lagi-lagi memuji dan terpaksa berlaku lebih hati-hati karena menghadapi dara remaja yang lihai ini ia maklum tak boleh bersikap sembrono.

Ada pun Kun Hong yang bangun berdiri dan menonton dari pojok, maklum bahwa Li Eng dengan mudah akan mampu mengalahkan lawannya, sedangkan kepandaian Hui Cu juga seimbang dengan lawan yang seorang lagi. Tanpa dia sadari, Kun Hong sudah memiliki pengertian mendalam mengenai ilmu silat dan terutama sekali Hoa-san Kiam-hoat yang pernah dibacanya sampai tamat.

Ia juga melihat betapa gerakan-gerakan Li Eng amat berbeda dengan ilmu yang pernah dibacanya, lebih ganas dan juga aneh. Sedangkan ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Cu adalah Hoa-san Kiam-hoat yang bercampur dengan ilmu pedang yang indah gerakan-gerakannya. Betapa pun juga, melihat gerakan kaki gadis ini ia terheran-heran karena ia merasa pernah mengenal gerakan-gerakan ini.

Tiada hentinya pemuda ini berseru penuh kekuatiran, "Li Eng! Hui Cu! Hati-hati jangan kalian membunuh orang!"

Ia sama sekali tak menguatirkan keselamatan dua orang keponakannya itu karena di luar kesadarannya ia telah dapat mengikuti pertandingan itu dan melakukan penilaian. Akan tetapi ia amat kuatir kalau-kalau kedua orang keponakannya itu melakukan pembunuhan, perbuatan yang amat dibenci-nya.

Pangeran Kian Bun Ti dengan mata berseri-seri memperhatikan dua orang gadis yang amat lihai itu, akan tetapi keningnya berkerut sebentar ketika dia menyaksikan sikap Kun Hong. Pikirnya, "Orang muda itu cerdik luar biasa, aneh dan baik budinya, tentu jujur dan setia. Akan tetapi sayang, hatinya lemah. Mana bisa aku memakai orang seperti ini?"

Biar pun wataknya jenaka dan nakal, namun entah bagaimana, Li Eng amat taat kepada pamannya atau lebih tepat lagi, dia tidak mau membikin marah atau susah kepada Kun Hong. Kalau menurut wataknya, orang yang jahat datang menyerang Pangeran ini patut ia bunuh kedua-duanya.

Akan tetapi mendengar suara Kun Hong dan mengingat akan watak yang amat aneh dari pamannya ini, dia lalu memperhebat permainan sabuk suteranya sedangkan pedangnya hanya dipakainya untuk menangkis atau mengancam saja. Akhirnya lawannya tidak dapat menahan lagi.

“Tar-tar-tar!” terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi.

Orang itu memekik kesakitan, pedangnya terlepas dari tangannya dan ia meloncat tinggi kemudian berjungkir-balik ke belakang. Muka, lengan dan lehernya penuh luka-luka bekas cambukan sabuk sutera sedangkan beberapa bagian bajunya pecah-pecah.

"Si-te, lari!" teriaknya kepada temannya.

Akan tetapi temannya pun amat bingung karena sedang didesak hebat oleh Hui Cu. Biar pun ia mampu mempertahankan diri, namun ia sama sekali tidak dapat mendesak gadis yang ilmu pedangnya indah dan lihai itu.

"Enci Cu, kata Paman tidak boleh dia dibunuh. Biarkan aku membagi hadiah kepadanya!" kata Li Eng sambil tertawa-tawa tanpa mengejar lawannya yang sudah kalah. Sebaliknya sabuk suteranya menyambar dan kini yang dijadikan bulan-bulanan adalah lawan Hui Cu.

"Tar-tar-tar!"

Orang ini pun menjerit dan pedangnya terlepas, muka dan badannya babak-belur dimakan cambuk. Karena Hui Cu tidak menyerangnya lagi dan gadis nakal itu hanya menggunakan sabuk sutera untuk menghajarnya, ia lalu melompat jauh mengikuti temannya yang sudah lari terlebih dulu, meloncat pagar taman dan menghilang.

"Hebat! Bagus sekali...!” Pangeran Kian Bun Ti bertepuk tangan memuji sambil keluar dari belakang pilar, terus menghampiri Li Eng dan Hui Cu yang masih memegang pedang di tangan. Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan wajah berseri,

"Nona berdua telah menyelamatkan nyawaku, entah dengan cara apa aku bisa membalas budi kalian!"

Dua orang dara remaja itu hanya tersenyum. Wajah mereka juga berseri girang. Mereka tidak saja telah menolong tuan rumah yang amat ramah, akan tetapi lebih dari itu, telah menolong Pangeran, Pangeran Mahkota lagi!

Akan tetapi Kun Hong mengerutkan keningnya! Perasaannya yang halus dan tajam dapat menangkap nada tersembunyi di dalam kata-kata itu tadi. Segera dia maju dan menjura kepada Pangeran Kian Bun Ti sambil berkata, "Harap Pangeran jangan berkata demikian. Sudah semestinya bila dua orang keponakan saya membela Pangeran dari penyerangan orang-orang jahat tadi. Dua orang keponakan saya tidak menanam budi dan Paduka tidak perlu berterima kasih."

Pangeran Kian Bun Ti menatap pandang mata pemuda ini dan untuk sejenak keduanya berpandangan, seakan-akan hendak menjenguk isi hati masing-masing dan seperti orang ‘mengukur tenaga’. Pangeran itu hendak marah, dadanya sudah panas, akan tetapi dia menekan perasaannya lalu bertepuk tangan tiga kali. Sambil tersenyum ia berkata,

"Kegagahan dua orang Nona ini yang amat hebat, sepatutnya dihormati dengan pesta dan perkenalan dengan para pembantuku."

Selagi tiga orang muda itu terheran-heran dan tidak mengerti, dari pintu dalam tiba-tiba bermunculan beberapa orang, setelah berkumpul semua ternyata mereka berjumlah tujuh orang. Ada yang berpakaian seperti pendeta, ada yang bertubuh gagah tinggi besar, ada pula yang lemah-lembut, akan tetapi semua orang ini segera memberi hormat kepada Pangeran Mahkota dengan cara masing-masing. Melihat bahwa semua membawa senjata di pinggang atau di punggung, dapat diduga bahwa tujuh orang ini tentulah orang-orang yang pandai ilmu silat.

Pangeran Kian Bun Ti memperkenalkan tujuh orang pembantunya itu dan menyebut nama mereka, akan tetapi Kun Hong dan dua orang keponakannya tidak memperhatikan biar pun mereka menjura dengan hormat. Hati dua orang dara itu mulai tidak senang karena pandang mata tujuh orang ini mengandung sikap kurang ajar.

"Ha-ha-ha, kalian lihatlah. Dua orang Nona inilah baru patut disebut pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik jelita! Pernahkah kalian melihat dua orang dara remaja sehebat ini? Dengan tangkas dan mudahnya mereka berdua berhasil mengusir dua orang jagoan lari tunggang-langgang!"

Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan tadi dikenalkan sebagai Souw Ki berjuluk Tiat-jiu Busu (Jagoan Tangan Besi), tersenyum pada waktu dia berkata, "Pilihan Paduka tepat sekali, Pangeran. Hamba menghaturkan selamat!"

"Ha-ha-ha! Benar-benar menggirangkan hati, Pangeran. Dengan adanya dua orang siuli (puteri-puteri istana) segagah ini, pinto dan teman-teman tidak akan begitu kuatir lagi apa bila tidak sedang berada dekat Paduka!"

Orang yang tertawa-tawa ini adalah seorang berpakaian pendeta tosu berambut panjang yang tadi diperkenalkan dengan nama Thian It Tosu. Ia mengelus-elus jenggotnya yang panjang pula sambil memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan mata berkedip-kedip seperti seorang yang mengajak bermain mata.

Bukan main sebalnya hati dua orang dara itu melihat kakek ini beraksi seperti monyet mencium terasi. Sebelum Li Eng dan Hui Cu mengerluarkan suara untuk mengatakan kesebalan hati mereka, tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari pintu yang menembus ke dalam gedung mungil itu berlari-larian keluar lima orang wanita muda yang cantik-cantik.

Wanita-wanita ini masih muda, usianya tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun dan pakaian mereka benar-benar membuat Li Eng dan Hui Cu memandang bengong. Pakaian mereka itu mencolok sekali, terbuat dari sutera halus tipis sehingga samar-samar tampak pakaian dalam mereka yang berwarna-warni. Selain tipis membayang, juga amat ketat menempel pada tubuh mereka.

Mereka ini rata-rata cantik jelita, ditambah dengan hiasan dan riasan pada muka dengan warna penghitam dan pemerah. Lima orang wanita muda ini semua memegang sebatang pedang terhunus yang mengkilap saking tajamnya! Munculnya lima orang wanita cantik berlenggang genit ini langsung membuat tujuh orang tokoh jagoan itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik.

Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti segera menegur, juga sambil tersenyum, "Eh-ehh, kalian ini Lima Macan Cantik datang-datang membawa pedang telanjang mau apakah?"

Seorang yang agaknya tertua di antara mereka berlima, menjawab dengan sikap manja dan genit kepada Pangeran Mahkota itu, "Hamba berlima mendengar bahwa Paduka telah menerima dua orang baru yang dibanggakan berkepandaian tinggi. Karena selama ini kami berlima yang menjadi selir-selir pengawal, maka dengan diterimanya selir pengawal baru, kami ingin sekali mengukur kepandaian mereka." Setelah berkata demikian, dia dan empat orang temannya menoleh serta memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan pandang mata tajam dan marah.

Pangeran Mahkota itu tertawa bergelak, juga tujuh orang pembantunya tertawa. Mereka baru mengerti bahwa Lima Macan Cantik ini ternyata menjadi cemburu dan iri hati setelah mendengar perihal dua orang pendekar wanita tu.

"Ha-ha-ha, meski pun kalian cukup lihai, tak mungkin kalian dapat menangkan dua orang Nona perkasa ini."

Kata-kata ini bagi lima orang wanita itu merupakan ijin, maka cepat mereka bergerak menghadapi Li Eng dan Hui Cu yang berdiri berdampingan dan yang memandang serta mendengar semua ini dengan kening berkerut. Ketika lima orang wanita yang indah-indah pakaiannya itu menghampiri mereka, keduanya juga balas memandang tajam dan penuh selidik. Mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang ini benar-benar cantik dan bergaya lembut tapi angkuh seperti lagak puteri-puteri bangsawan.

Setelah berdiri sejajar di depan dua orang gadis ini dengan pedang melintang di depan dada, yang tertua lantas menudingkan telunjuk tangan kiri kepada mereka berdua sambil membentak, "Dua bocah dari gunung, kalian mengandalkan apa berani memikat perhatian Pangeran? Coba kalian hadapi pedang kami!"

Li Eng dan Hui Cu saling pandang. Gilakah perempuan ini? Siapa yang memikat perhatian Pangeran? Sementara itu, Kun Hong sudah melangkah maju dan menjura ke depan lima orang wanita itu.

"Ngo-wi Toanio (Nyonya Besar Berlima), harap sudi bersabar dan tidak salah duga. Dua orang keponakanku ini sama sekali tidak hendak memikat perhatian siapa-siapa dan kami percaya penuh bahwa Ngo-wi tentu paling cantik dan paling pandai. Dua keponakanku ini tidak berani melawan Ngo-wi..."

Li Eng dan Hui Cu tidak senang sekali mendengar kata-kata paman mereka yang amat merendah ini. Akan tetapi lima orang wanita-wanita itu jelas kelihatan bangga dan juga girang.

Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa mereka berlima bukanlah wanita-wanita yang boleh dipermainkan, wanita yang tertua segera menudingkan ujung pedangnya ke arah Kun Hong sambil membentak,

"Kau ini siucai jembel tidak tahu aturan! Apa kau kira kami berlima ini adalah perempuan-perempuan sembarangan yang boleh diajak bicara oleh segala macam laki-laki seperti kau? Untuk dosamu ini seharusnya kupenggal kepalamu, tapi karena Pangeran terkenal sebagai seorang besar yang budiman dan pengampun, biarlah kupotong telingamu yang kiri agar kau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat main-main!" Setelah berkata demikian, pedang ditangannya berkelebat ke arah telinga kiri Kun Hong.

Pemuda ini di dalam hatinya terkejut sekali akan sikap yang berlebihan dari wanita-wanita ini. Terpaksa dia melangkah mundur terhuyung-huyung menurutkan gerak langkah ajaib. Wanita itu makin penasaran karena sabetannya luput. Cepat ia melangkah maju lagi dan kembali mengayunkan pedangnya ke arah telinga kiri Kun Hong. Pemuda ini tetap saja terhuyung-huyung ke belakang, tetapi sabetan-sabetan pedang itu tak pernah mengenai telinganya.

"Toanio, telinga adalah alat untuk mendengar, mana boleh dipotong?" berkata Kun Hong, suaranya tetap tenang-tenang saja.

Dan inilah yang lucu karena suaranya demikian tenang, akan tetapi ia terhuyung-huyung dan kelihatan gerak-geriknya seperti kebingungan. Memang, bagi yang tidak tahu, gerak langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun memang lebih mirip gerakan orang yang ketakutan atau kebingungan. Maka tertawalah tujuh orang jagoan yang berdiri di situ.

Mendengar suara ketawa ini, wanita itu salah duga, mengira bahwa dialah yang sedang ditertawai, maka naiklah darahnya. Kini pedangnya tak hanya ditujukan untuk memotong telinga Kun Hong, malah digunakan untuk menyerang membabi-buta untuk merobohkan pemuda itu. Kelihatannya makin repotlah Kun Hong, terjengkang-jengkang dan terhuyung-huyung, namun tak pernah tersentuh pedang yang menyambar-nyambar itu.

"Tranggg!"

Wanita itu memekik kaget dan melompat ke belakang, tangannya terasa gemetar dan sakit. Kiranya Hui Cu sudah berdiri menghadapinya dengan pedang di tangan dan dengan sikap marah.

"Perempuan tak tahu malu! Berani kau menghina pamanku yang tak bersalah apa-apa?"

Wanita itu hanya sebentar saja kaget, lalu ia tersenyum sambil menoleh kepada empat orang temannya. "Adik-adik, lihat baik-baik. Perempuan ini mengakui keparat itu sebagai pamannya, Hi-hi-hi, siapa orangnya dapat dibohongi begitu saja? Orang muda itu usianya tidaklah tua, sebaya dengannya, juga biar pun jembel dan kotor, mukanya tidaklah buruk bagi seorang laki-laki. Hemm… hemm, bocah gunung, bilang saja dia itu kekasihmu, kami akan percaya sepenuhnya, jangan bilang pamanmu."

"Tutup mulutmu yang kotor!" Hui Cu yang memang tak pandai bicara itu memaki, matanya yang bening berkilat bercahaya akan tetapi kedua pipinya merah karena jengah.

"Adik-adik, mari kita beramai menghajar bocah gunung ini!" wanita itu berseru dan berlima mereka siap menerjang Hui Cu dengan pedang mereka. Gerakan mereka cukup kuat dan pasangan kuda-kuda mereka ternyata serupa, tanda bahwa mereka adalah sealiran.

"Bagus, kalian sudah bosan hidup!" Hui Cu menggetarkan pedang di tangannya.

Akan tetapi tiba-tiba di belakangnya Kun Hong membentak, "Hui Cu, tahan! Mundurlah dan simpan pedangmu. Li Eng, kaulah yang maju menghadapi kelima orang nyonya besar ini, akan tetapi ingat, jangan sekali-kali membunuh orang!"

Hui Cu kecewa, akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak pamannya. Dengan mata berkilat ia menarik kembali pedangnya, menyimpannya dan melangkah mundur. Li Eng sambil tersenyum-senyum kini menggantikannya maju. Gadis lincah jenaka ini sudah tahu apa maksud pamannya menyuruh dia menggantikan Hui Cu.

Memang sesungguhnya melihat Hui Cu yang sudah marah sekali itu, Kun Hong menjadi sangat kuatir kalau-kalau Hui Cu salah tangan membunuh orang. Apa lagi dalam sebuah pertempuran yang ramai, sukarlah untuk mengalahkan lawan tanpa membunuh. Berbeda dengan Li Eng yang ia tahu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari Hui Cu. Apa lagi Li Eng memiliki senjata istimewa, yaitu sabuk sutera yang lemas, maka lebih mudahlah bagi Li Eng untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.

Anehnya, melihat pertempuran yang akan pecah ini, baik Pangeran Kian Bun Ti mau pun tujuh orang jagoannya sama sekali tidak mencampurinya. Malah mereka berdiri menonton dengan wajah berseri, seakan-akan yang terjadi di depan mereka adalah sebuah adegan sandiwara yang menyenangkan dan menarik.

Hal ini saja menimbulkan kerut di kening Kun Hong dan pemuda ini mengambil keputusan bahwa kalau Li Eng sudah berhasil mengalahkan lima orang wanita galak itu, ia segera akan minta pamit kemudian mengajak dua orang keponakannya meninggalkan tempat ini. Malah harus cepat-cepat meninggalkan kota raja dengan segalanya yang serba aneh.

Li Eng yang dapat menangkap maksud hati pamannya, dengan gerakan tenang sekali lalu meloloskan sabuk suteranya yang hitam panjang dan menggulungnya di tangan kanan. Dengan senyum dikulum dan mata berseri dia memandang kepada lima orang puteri di depannya itu, menatap seorang demi seorang, kemudian berkata dengan suaranya yang nyaring dan mengandung ejekan,

"Eh, lima orang nenek siluman betina, sungguh kau tak tahu diri. Kalau tidak paman kami yang menaruh kasihan, bukankah sekarang kalian berlima sudah rebah menjadi bangkai di bawah pedang enci-ku?"

Li Eng memang berani bersikap demikian karena ia sudah tahu pasti bahwa lima orang ini bukanlah lawan Hui Cu, apa lagi lawan dia. Dari gerakan orang pertama ketika menyerang Kun Hong tadi saja tahulah dia bahwa lima orang wanita ini hanya lagaknya saja hebat, pada hakekatnya tidak memiliki kepandaian berarti.

Dimaki sebagai nenek apa lagi siluman betina, karuan saja lima orang selir Pangeran itu menjadi marah bukan main. Tanpa banyak cakap lagi mereka berlima segera menerjang maju sambil menggerakkan pedang menyerang Li Eng.

Li Eng tak mau berlaku sungkan lagi. Kedua tangannya bergerak, sinar hitam berkelebat.

“Tar-tar-tar-tar!” terdengarlah bunyi nyaring berulang kali.

Lima orang pengeroyoknya itu selama hidupnya belum pernah mengalami pertempuran seperti ini. Mereka merasa seakan-akan ada petir menyambar-nyambar di atas kepala dan berturut-turut lima batang pedang melayang jauh terlepas dari pegangan lima orang wanita itu.

Li Eng menggerakkan sabuk suteranya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah mengeluarkan bunyi melecuti muka dan tubuh kelima orang pengeroyoknya.

"Tar-tar-tar-tar-tar!"

Lima orang wanita itu menjerit-jerit, perih dan sakit kulit mereka yang terkena cambukan. Lalu, sambil menutupi muka dengan tangan, mereka lari meninggalkan tempat itu kembali ke dalam. Amat lucu melihat mereka lari sambil dikejar sabuk sutera yang masih sempat mencambuki tubuh belakang mereka, membuat mereka memindahkan tangan dari muka ke tubuh belakang yang sakit semua akibat dihajar cambuk!

"Cukup, Li Eng!" Kun Hong berteriak dan Li Eng menyimpan kembali sabuknya, lalu dia berdiri di dekat pemuda ini.

"Harap Paduka memaafkan keponakanku." Kun Hong menjura. "Dan perkenankan kami bertiga mohon diri, kami hendak melanjutkan perjalanan."

Pangeran Kian Bun Ti menggerak-gerakkan tangan, lalu tertawa, "Ah, Saudara Kun Hong apakah marah karena peristiwa tadi? Mereka berlima hanyalah selir-selirku yang bodoh, yang merasa diri sendiri pintar. Kalau mereka tadi bersikap kurang ajar, biarlah sekarang juga kusuruh masukkan ke dalam penjara."

Mendengar ini terkejutlah Kun Hong. "Ah, tidak... tidak... mereka tidak apa-apa, Pangeran. Tak usah dihukum..."

"Baik, dan untuk menebus kelancangan mereka, biarlah mulai sekarang mereka berlima menjadi pelayan dua orang keponakanmu ini."

Pucatlah muka Kun Hong sedangkan Hui Cu dan Li Eng saling pandang, masih belum mengerti apa sebetulnya maksud hati dan kehendak Pangeran yang tampan dan selalu tersenyum-senyum itu.

Lagi-lagi Kun Hong menjura dan bicara seperti orang yang belum mengerti akan maksud pangeran itu, "Banyak terima kasih atas anugerah Paduka kepada dua orang keponakan saya, juga terima kasih atas penyambutan dan kehormatan besar yang kami bertiga telah terima dari Paduka. Akan tetapi terpaksa kami bertiga mohon diri, Pangeran. Perjalanan kami masih jauh dan harus kami lanjutkan sekarang juga."

"Perjalanan itu boleh dibatalkan atau ditunda!" Suara Pangeran itu sekarang terdengar sungguh-sungguh dan ketus. "Saudara Kun Hong, mulai saat ini aku mengangkat Li Eng sebagai selir pertama dan Hui Cu sebagai selir ke dua dan kedudukan mereka merangkap sebagai selir pengawal pribadiku!"

Baru sekaranglah dua orang dara remaja itu tahu akan maksud hati Pangeran itu. Muka mereka otomatis menjadi merah bagai udang direbus, mata mereka berkilat saking marah dan jengah. Keduanya tanpa terasa telah meraba gagang pedang.

Dengan dahi berkerut-kerut saking gelisah dan bingungnya, Kun Hong pun berulang-ulang menjura kepada Pangeran Mahkota itu, lalu bertanya, "Pangeran, sejak jaman nenek moyang kita dahulu, bangsa kita selalu memegang teguh peraturan dan kesopanan. Dua orang keponakanku ini masih mempunyai orang tua, maka kiranya untuk urusan ini sebaiknya kalau Paduka berurusan dengan ayah bunda mereka seperti lazimnya. Sekarang, karena kami bertiga masih mempunyai tugas yang penting sedangkan perjalanan masih sangat jauh, perkenankanlah kami untuk mengundurkan diri dan keluar dari sini."

"Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong benar-benar mengagumkan, hafal akan segala pelajaran filsafat dan ujar-ujar kuno. Aku sama sekali tidak melanggar peraturan, karena bukankah kau adalah paman dari mereka? Dalam hal ini, seorang paman boleh menjadi wakil dan pengganti orang tua. Oleh karena itulah, di hadapanmu aku mengajukan pinangan untuk menjadikan dua orang nona ini sebagai selir-selirku yang terkasih. Ada pun kau sendiri, sesuai dengan bakat serta kepintaranmu, kuangkat menjadi pembesar yang mengurus perpustakaan istana!"

Tujuh orang jagoan itu mengeluarkan seruan kagum dan mereka segera menjura kepada Kun Hong sambil bersuara saling tunjang, "Kionghi, kionghi (selamat)! Begini muda sudah menerima anugerah pangkat yang tinggi. Juga kionghi kepada dua orang Lihiap ini!"

Akan tetapi Kun Hong cepat mengangkat kedua tangannya dan menggoyang-goyangnya tanda bahwa ia menolak kesemuanya itu. Juga Li Eng dan Hui Cu sudah hampir tak dapat menahan kemarahan mereka. Mereka merasa terhina sekali oleh sikap Pangeran ini yang begitu mau menang sendiri, mengambil orang sebagai selirnya tanpa bertanya dulu, baik kepada yang bersangkutan mau pun kepada orang tuanya. Apakah dikiranya mereka itu seperti lima orang wanita tadi, dan dianggap sebagai perempuan murahan belaka?

"Terpaksa saya tidak dapat menerima semua itu, Pangeran. Pertama, saya yang muda mana berani mewakili orang tua mereka? Apa lagi dalam soal perjodohan. Sama sekali saya tidak berani! Ke dua, saya merasa amat bodoh dan tidak terpelajar, bagaimana saya berani menerima kedudukan dari Paduka? Tidak, meski pun saya berterima kasih sekali, akan tetapi terpaksa saya menolak dan harapan saya hanya perkenan Paduka agar kami bertiga dapat pergi dari sini."

Merah wajah Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Selama hidup baru kali ini ia menghadapi orang-orang yang tidak lekas-lekas berlutut menghaturkan terima kasih setelah dia beri anugerah seperti itu. Wanita mana yang tidak ingin, bahkan saling berebut untuk menjadi selir terkasih dari Pangeran Kian Bun Ti yang terkenal muda, tampan, halus budi, dan calon kaisar? Laki-laki mana yang tidak ingin menjadi pembesar dan kedudukannya diberi sendiri oleh Pangeran Mahkota?

Akan tetapi, pandang matanya tidak buta, pendengarannya tidak tuli. Kali ini benar-benar dua orang dara muda, yang hendak diambil menjadi selirnya itu malah berdiri dengan muka marah sedangkan orang yang hendak diangkatnya menjadi pembesar perpustakaan malah terang-terangan menampik pula! Saking heran, marah dan kecewanya, Pangeran ini hanya berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak.

Seorang di antara tujuh jagoan pengawal Pangeran itu melompat maju. Orang ini usianya sudah lewat lima puluh tahun, mukanya merah dan matanya jelas membayangkan bahwa ia adalah seorang yang pemarah dan sombong. Dia inilah yang terkenal dengan julukan Sin-toa-to (Golok Besar Sakti) bernama Liong Ki Nam. Di daerah Selatan namanya sudah amat terkenal dan ilmu goloknya memang hebat, boleh dibilang belum pernah ia menemui tandingan.

Watak orang ini memang paling berangasan dari teman-temannya, maka melihat sikap tiga orang muda dan mendengar jawaban Kun Hong tadi, ia segera memaki,

"Bocah! Kau diberi hati tetapi makin melonjak. Pangeran telah berlaku amat baik hati dan menghormat, kau malah makin besar kepala. Kau berani membantah perintah Pangeran, berarti memberontak! Apakah kau sudah bosan hidup?"

Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti nampak kesal, lalu ia berkata kepada tujuh orang jagoannya, "Harap para busu membereskan ini, aku menanti kabar."

Tanpa menoleh lagi kepada Kun Hong atau kepada dua orang dara remaja itu, Pangeran ini membalikkan tubuh dan dengan langkah yang membayangkan keagungan seorang calon kaisar, Pangeran ini memasuki rumah gedung.

Setelah Pangeran itu pergi, tosu rambut panjang, Thian It Tosu, mendekati Kun Hong dan berkata dengan suara halus, "Orang muda, harap kau pikirkan baik-baik dan janganlah membawa kemauan sendiri yang tidak wajar. Ingatlah, semua orang muda, bahkan yang tua-tua sekali pun, di seluruh negeri akan mengiri bila melihat peruntunganmu yang amat bagus ini. Kau diangkat menjadi pembesar dalam istana dan dua orang keponakanmu ini dapat merebut hati Pangeran Mahkota. Siapa tahu kelak kalau Pangeran sudah menjadi kaisar, dua orang keponakanmu itu akan tetap menjadi kekasih, tentu kau akan diangkat menjadi menteri!"

Kun Hong tersenyum lemah dan menggerakkan kepala. "Tidak bisa, Totiang. Sama sekali aku tidak bermaksud membantah Pangeran, apa lagi memberontak. Akan tetapi sungguh-sungguh aku tidak dapat menerima jabatan itu karena aku memang tidak suka menjadi pembesar. Ada pun tentang persoalan jodoh, kedua orang keponakanku ini mempunyai orang tua-orang tua, bagaimana aku berani melancangi mereka?"

"Eh, bocah goblok. Kau masih berkepala batu?" Sin-toa-to Liong Ki Nam membentak lagi dengan mata melotot. "Tidak usah banyak cerewet, pilih mana. Kau dan dua orang nona ini menurut dan menerima kemuliaan ataukah kalian ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, mungkin dihukum penggal kepala!"

Tentu saja Kun Hong tidak takut mendengar ancaman maut ini. Baginya, di dunia ini tidak ada sesuatu apa pun yang bisa menimbulkan takut dalam hatinya asalkan ia yakin akan kebenarannya. Dan dalam hal ini ia sama sekali tidak merasa telah melakukan sesuatu kesalahan.

Ia menarik napas panjang dan berkata, "Belum pernah aku mendengar tentang pinangan dan pemberian anugerah yang bersifat paksaan. Baru saja dua orang keponakanku telah menolong pangeran dari bahaya maut akibat penyerangan dua orang jahat, akan tetapi sekarang dua orang keponakanku hendak dipaksa untuk menjadi selir dengan ancaman hukuman penjara kalau tidak mau menurut. Benar-benar di tempat yang mewah ini tidak dikenal lagi kebenaran dan keadilan!"

Tujuh orang jagoan itu tertawa, agaknya geli mendengar ucapan ini. Malah Thian It Tosu lalu berkata, "Orang muda, kau benar-benar seperti katak di dalam tempurung, berlagak pintar akan tetapi bodoh. Kau tidak tahu sampai di mana kekuasaan Pangeran Mahkota. Beliau adalah calon kaisar, tahukah kau? Mana bisa orang jahat sembarangan hendak menyerang dan membunuh beliau? Kau kira kedua keponakanmu tadi sudah menolong Pangeran dari penyerangan orang jahat? Ha-ha-ha! Sebenarnya hanya karena Pangeran yang suka melihat dua orang gadis ini ingin menguji sampai di mana tinggi kepandaian kedua Nona ini."

Tosu itu bertepuk tangan dan dari luar berlari datang dua orang yang lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tujuh orang jagoan itu...

Ketika Kun Hong dan dua orang keponakannya memandang, mereka ini terkejut sekali karena mengenal bahwa kedua orang yang baru datang ini bukan lain adalah dua orang penjahat yang tadi menyerang Pangeran dan dihajar oleh Li Eng dan Hui Cu. Kun Hong bengong. Tahulah dia sekarang bahwa kiranya Pangeran hanya ingin menguji kepandaian dua orang keponakannya. Selagi ia kebingungan mengingat urusan sulit yang dihadapinya, terdengar Li Eng membentak keras dan mencabut pedangnya.

"Aturan dari mana semua ini? Biar Pangeran sekali pun, tidak boleh memaksa orang lain sesuka hatinya. Kami tidak sudi menuruti kehendak Pangeran, habis kalian ini mau apa?" Dengan gagah gadis ini berdiri tegak dengan pedang di tangan kanan dan sabuk sutera di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan perbuatannya ini segera diturut oleh Hui Cu.

"Li Eng, jangan...!" Kun Hong mencegah.

"Paman Hong, betapa pun baik dan sabarnya hati orang, tidak mungkin bisa memenuhi kehendakmu, mau dan diperhina oleh orang lain. Kita menolak paksaan mereka dan kalau mereka hendak menggunakan kekerasan, boleh kita lihat. Orang-orang dari Hoa-san-pai bukanlah sebangsa pengecut yang takut mati demi membela kebenaran!" Suara Lie Eng penuh semangat dan baru kali ini terhadap Kun Hong ia bicara sungguh-sungguh, walau pun dengan nada keras dan menentang.

"Kalian tidak boleh membunuh orang!" kata pula Kun Hong ketika melihat dua orang dara remaja itu sudah siap dengan pedang mereka dan tujuh orang jagoan itu pun tampaknya sudah siap untuk turun tangan.

"Kalau orang lain hendak mencelakakan kita, masa kita harus diam saja? Kalau orang lain hendak membunuh kita, masa kita harus mandah saja?" kata pula Li Eng penasaran.

"Lebih baik dibunuh dari pada membunuh!" Kun Hong tetap membantah.

Sementara itu, ketujuh orang jagoan itu saling pandang. Mereka ini rata-rata memandang rendah terhadap Li Eng dan Hui Cu. Harus diketahui bahwa tujuh orang ini merupakan tokoh-tokoh besar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka bukanlah jago-jago biasa macam dua orang yang tadi pura-pura menyerang Pangeran, melainkan tokoh-tokoh yang benar-benar termasuk ahli silat kelas tinggi.

Tiat-jiu Souw Ki yang bermuka hitam dan tinggi besar adalah seorang bajak tungal yang dahulu namanya bahkan lebih tenar dari pada nama Ho-hai Sam-ong, tiga raja bajak di Huang-ho itu. Sesuai dengan nama julukannya, Tiat-jiu berarti Kepalan Besi, tenaga luar dari tubuhnya hebat sekali, kepalan tangannya juga sekeras besi sehingga orang kata sekali pukul ia mampu membikin remuk kepala seekor harimau. Di samping kedahsyatan pukulan tangannya ini, ia pun seorang ahli bermain silat ruyung dengan ruyung bajanya yang besar dan berat.

Thian It Tosu adalah seorang tosu yang tingkatnya di perkumpulan Ngo-lian-kauw sudah tinggi, boleh dibilang ia merupakan tangan kanan dari Ketua Ngo-lian Kauwcu Kim-thouw Thian-li. Thian-It Tosu ini selain ilmu silatnya tinggi, tenaga dalam di tubuhnya amat kuat, juga sebagai seorang tosu ia mahir ilmu sihir dari Ngo-lian-kauw.

Semenjak dulu perkumpulan Ngo-lian-kauw ini memang selalu mencari kesempatan baik untuk menempel pihak yang menang, merupakan perkumpulan yang bersifat plin-plan. Sekarang, melihat betapa Pangeran Kian Bun Ti merupakan satu-satunya orang terkuat untuk menjadi calon pengganti Kaisar, perkumpulan ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, lalu menempel Pangeran ini. Sebagai tokoh besar Ngo-lian-kauw, bahkan Thian It Tosu sendiri masuk menjadi pengawal Pangeran Kian Bun Ti.


cerita silat karya kho ping hoo


Orang ke tiga dan ke empat dari tujuh jagoan istana ini adalah sepasang saudara kembar dari Ho-pak. Dua orang yang usianya empat puluh lima tahun ini mempunyai muka yang sama bentuknya sehingga orang luar akan sukar untuk membedakan mereka kalau saja muka mereka tidak berbeda warnanya. Bu Sek yang lebih tua bermuka kuning, sedangkan Bu Tai yang ke dua bermuka merah. Mereka berdua ini terkenal dengan sebutan Ho-pak Siang-sai (Sepasang Singa Ho-pak). Ilmu pedang mereka amat terkenal sebagai ilmu pedang warisan dari keluarga Bu yang sudah turun-temurun menjadi panglima perang.


Apa lagi kalau sepasang saudara kembar ini maju bersama, ilmu pedang mereka menjadi ilmu pedang pasangan yang amat sukar dilawan. Sebagai saudara kembar, mereka tidak hanya memiliki persamaan dalam segala gerak-gerik, juga mereka mempunyai hubungan rasa yang sangat erat sehingga permainan ilmu pedang mereka dapat digabung menjadi satu seolah-olah hanya seorang saja yang mainkan dua buah pedang.

Orang kelima adalah seorang kakek yang memegang sebuah tongkat bengkok, tongkat hitam yang terbuat dari kayu yang aneh dan kelihatan seperti sebatang tongkat pengemis. Kakek ini pendiam sekali dan kelihatan selalu seperti orang yang kurang semangat dan mengantuk, sama sekali tidak patut kalau disebut seorang jagoan. Usianya sudah enam puluh lima tahun lebih.

Akan tetapi jangan dikira bahwa dia itu kurang bersemangat atau lemah. Apa bila orang mendengar namanya, apa lagi orang-orang kang-ouw, tentu akan terkejut setengah mati karena dia ini bukan lain adalah Bhong Lo-koai yang terkenal disebut Koai-tung (Tongkat Gila). Ilmu tongkatnya, untuk bagian tenggara tidak ada yang dapat menandingi!

Orang keenam adalah orang yang paling berangasan dan sombong, yaitu si ahli golok Sin-toa-to Liong Ki Nam. Usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi ia terkenal pemarah dan bertenaga amat besar. Juga dia ini mempunyai ilmu golok tunggal yang tidak dikenal asal-usulnya.

Dahulunya Sin-toa-to Liong Ki Nam ini adalah seorang guru silat bayaran. Akan tetapi ternyata ia hanya memeras uang dari orang-orang kaya dan tidak pernah menurunkan ilmunya yang terkenal, yaitu ilmu goloknya. Ia hanya menurunkan ilmu silat pasaran saja sehingga tak pernah ia mempunyai murid yang berarti.

Betapa pun juga, tak ada orang berani mengganggu murid-muridnya itu, karena biar pun Si Murid ini tidak memiliki kepandaian berarti, sebaliknya Liong Ki Nam ini benar-benar seorang yang tangguh dan kosen, sukar dikalahkan. Akhirnya dia ditarik oleh Pangeran Kian Bun Ti dan dijadikan pengawal. Orang ke tujuh adalah orang yang paling kuat, usianya sudah enam puluh tahun lebih dan dialah yang paling aneh di antara tujuh jagoan ini. Orangnya tinggi kurus, sudah tua tapi pakaiannya selalu serba merah!

Melihat mukanya yang terus menerus tersenyum-senyum dan kalau bicara lucu, orang lain tak akan menyangka bahwa dia seorang tokoh yang dihormati di istana. Kiranya lebih patut kalau ia dianggap orang yang miring otaknya. Namun kalau ada yang mendengar namanya, yaitu Ang-moko (Setan Merah), orang lalu akan bergidik mengingat kekejaman kakek kurus ini yang bisa membunuh orang sambil tersenyum seperti orang menyembelih ayam saja!

Jangan dikira bahwa Ang-moko ini tidak lihai dan kalah oleh enam orang yang lain itu. Biar pun tidak pernah kelihatan membawa senjata namun ilmu kepandaiannya ternyata malah paling tinggi di antara mereka yang berada di situ. Dalam hal kekejaman dan ketenaran namanya dia hanyalah di bawah tokoh-tokoh besar seperti Song-bun-kwi, Siauw-ong-kwi, Swi Lek Hosiang dan Hek-hwa Kui-bo, yaitu empat besar di dunia persilatan!

Demikianlah kedaan tujuh orang pengawal atau pembantu Pangeran Kian Bun Ti, maka juga tidaklah terlalu mengherankan apa bila mereka ini sebagai tokoh tua memandang rendah kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih belum ada nama. Kemenangan dua orang dara ini atas diri dua orang yang tadi pura-pura menyerang Pangeran, tidaklah berkesan apa-apa pada mereka karena tingkat kepandaian dua orang ini pun hanya patut menjadi murid mereka.

Mendengar ucapan Li Eng dan melihat pula sikap dua orang gadis yang menantang itu, Sin-toa-to Liong Ki Nam yang berangasan itu tak dapat menahannya lagi. Ia melangkah maju dan membentak, "Bocah cilik, kalian sombong sekali! Lebih baik lekas kau berlutut dan mentaati perintah Pangeran, jangan sampai membuat guru besarmu ini marah dan kehabisan kesabaran, lalu turun tangan kepadamu.”

Li Eng adalah seorang yang juga memiliki kekerasan hati. Dengan mata berkilat ia lantas memandang Liong Ki Nam, lalu mengeluarkan dengus mengejek dan berkata, "Keledai sombong! Keluarkan golok babimu itu, kutanggung dalam beberapa jurus kau akan minta ampun kepadaku!"

Berdiri alis Liong Ki Nam. "Keparat, gadis liar! Kau tidak tahu siapa aku? Akulah Sin-toa-to Liong Ki Nam! Bila sudah kucabut, golok saktiku ini harus membikin melayang jiwa orang, dan kau berani menyebutnya golok babi?"

"Hi-hi-hik, mungkin untuk menyembelih babi juga masih kurang tajam. Entah kalau untuk memotong leher ayam. Ehh, manusia sombong, tentu sudah banyak jiwa ayam kau bikin melayang dengan golokmu itu, ya? Asal jangan ayam tetangga masih boleh juga," Li Eng melampiaskan kemarahannya dengan cara mengejek dan menghina.

"Setan perempuan!"

Tampak sinar berkelebat disusul gulungan sinar yang menyambar ke arah Li Eng. Kiranya dengan amat cepat Si Golok Sakti ini sudah mencabut senjatanya dan membacok ke arah Li Eng. Memang gerakannya hebat dan luar biasa cepatnya, namun kini ia menghadapi Li Eng, dara perkasa yang sudah mewarisi ilmu sakti dari Im-kan-kok (Lembah Akhirat).

"Trangg! Tar-tar!"

Bunga api berpijar. Terpaksa Si Golok Sakti ini meloncat ke belakang untuk menghindari serangan ujung sabuk sutera hitam itu. Sebaliknya diam-diam Li Eng terkejut sekali karena telapak tangannya terasa menggetar ketika ujung sabuk suteranya menangkis golok lawan tadi. Ia pun maklum bahwa lawan ini benar-benar tak boleh dibuat main-main. Akan tetapi ia masih mengejek, "Hi-hik, kenapa mundur? Takutkah?"

Di pihak Sin-toa-to Liong Ki Nam yang sudah banyak pengalaman, ia pun terkejut karena mendapat kenyataan bahwa dara remaja ini benar-benar lihai, tidak saja dapat menangkis serangan goloknya, bahkan mampu membalas dengan serangan sabuk sutera hitam yang aneh itu. Namun tentu saja ia tidak takut. Ia mengeluarkan suara menggereng pada saat mendengar ejekan ini, lalu ia membentak,

"Siluman betina, kau tunggu golokku menamatkan riwayatmu!" Goloknya lalu diputar-putar di atas kepalanya, berubah menjadi gulungan sinar mengerikan yang mengeluarkan suara mendesing-desing.

Tiba-tiba tampak sebatang sinar hitam berkelebat memasuki gulungan sinar putih itu dan tahu-tahu terdengar Liong Ki Nam berseru tertahan disusul loncatannya ke belakang dan ia berjungkir-balik lalu memandang kepada Bhong Lo-koai yang sudah berdiri di depannya bersandarkan tongkat hitam, matanya penuh pertanyaan dan teguran mengapa temannya ini tadi menahannya.

"Liong-kauwsu, sudah sering kali aku memberi tahu bahwa amatlah tidak baik menurutkan nafsu amarah karena membuat orang lupa diri. Kau pun tadi tak mampu mengendalikan kemarahan sampai kau lupa bahwa yang hendak kau serang itu adalah siuli-siuli pilihan Pangeran. Andai kata kau dapat membunuh mereka, apakah yang akan dikatakan kelak oleh Pangeran?"

Muka yang merah dari Liong Ki Nam tiba-tiba berubah pucat dan ingatlah ia bahwa tadi ia sudah menurutkan nafsu dan sama sekali tidak ingat bahwa hampir saja dia mencelakai dirinya sendiri. Memang, sudah jelas bahwa Pangeran tergila-gila kepada dua orang gadis manis ini dan Pangeran menyerahkan persoalan ini, yaitu agar supaya dua orang gadis ini dapat menjadi selir-selir terkasih.

Apa bila sampai dia salah tangan membunuh mereka, bukankah ia akan mendapat marah dari Pangeran? Bukan tak mungkin karena sudah mengecewakan dan menyusahkan hati Pangeran, lehernya sendiri akan terpenggal tanpa ia sanggup mempertahankannya lagi. Karena ini ia cepat mundur, menyimpan goloknya dan tidak berani berkata apa-apa lagi.

Sementara itu Bhong Lo-koai sudah melangkah maju. Tongkatnya yang hitam dan buruk itu bergerak perlahan ke arah Li Eng dan Hui Cu. Dua orang gadis ini adalah ahli-ahli silat tinggi. Mereka tidak dapat ditipu dengan gerakan yang tampaknya lemah dan lembut ini, segera keduanya mengangkat pedang menangkis. Dua batang pedang di tangan gadis itu bertemu dengan tongkat dan... tanpa sedikit pun mengeluarkan suara dua batang pedang itu menempel pada tongkat, tak dapat dilepaskan lagi seperti dua batang jarum menempel pada besi sembrani yang amat kuat.

"Nona berdua, lebih baik menyerah saja. Tiada gunanya memberontak terhadap perintah Pangeran, kalian akan berdosa besar," kata kakek aneh itu, matanya yang sipit itu makin meram.

Diam-diam kakek ini mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, karena selain ia harus menempel pedang dua orang gadis itu, juga ia berusaha menarik dan merampasnya. Tapi alangkah terkejutnya ketika dia menghadapi perlawanan tenaga lweekang yang juga tidak lemah, apa lagi dari pihak Li Eng.

Demikianlah, walau pun tampaknya tiga orang ini tidak bergerak dengan senjata mereka yang saling tempel, sebetulnya mereka sedang mengadu hawa sakti dalam tubuh untuk mencapai kemenangan. Suasana hening mencekam karena tiga orang itu diam tiada yang bergerak. Li Eng tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Orang-orang ini menganggap dia orang apakah maka mereka berani main gila? Dengan seruan nyaring dan merdu tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar ke leher Bhong Lo-koai. Cepat sekali sambaran ini dan dengan jitu mengarah jalan darah yang amat berbahaya bagi keselamatan kakek itu.

Bhong Lo-koai mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan marahnya. Tiba-tiba saja tongkatnya melepaskan tempelannya pada dua batang pedang, lalu bergerak menangkis sabuk sutera itu. Ia mengalami kekagetan hebat namun berhasil menyelamatkan diri. Ada pun Li Eng terkejut ketika merasa betapa sabuk suteranya terbetot dan lengannya kesemutan ketika tongkat itu menangkisnya. Malah Hui Cu terhuyung sedikit pada waktu pedangnya terlepas dari tempelan tongkat. Ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga lweekang dari kakek ini luar biasa.

Sekarang maklumlah Li Eng dan Hui Cu bahwa mereka berdua menghadapi lawan-lawan tangguh. Baru dua orang itu saja, Sin-toa-to Liong Ki Nam dan terutama kakek ini, Bhong Lo-koai, memiliki kepandaian yang tinggi, malah Li Eng dapat menduga bahwa tingkat dua orang ini lebih tinggi dari tingkat Hui Cu, dan agaknya kakek aneh ini bukan merupakan lawan ringan baginya. Apa lagi kalau tujuh orang itu semuanya maju, siapa tahu di antara mereka malah ada yang lebih lihai dari Bhong Lo-koai.

Akan tetapi urusan ini menyangkut kehormatan mereka, tidak mungkin mereka menyerah menjadi selir Pangeran! Walau pun mereka harus mempertaruhkan nyawa, mereka akan melawan sekuat tenaga. Dengan mata berkilat-kilat Li Eng dan Hui Cu cepat memasang kuda-kuda dan Lie Eng berteriak marah,

"Anjing-anjing penjilat! Majulah kalian, majulah semua. Jangan harap kami akan menyerah sebelum leher kami putus!"

Ang-moko, yaitu seorang di antara para jagoan, yang tertua dan yang sejak tadi hanya tersenyum saja, kini berkata, "Kalau kalian tidak berhasil menawan dua ekor kuda betina liar ini, tidak saja Pangeran akan marah kepada kalian, juga nama kalian akan menjadi rusak. Masa tua bangka-tua bangka seperti kalian ini tidak mampu menangkap dua ekor kuda betina yang muda ini? Heh-heh-heh, memalukan sekali!"

"He, Ang-moko kakek tua! Kau hanya membuka mulut saja tapi tidak mau turun tangan. Habis apa kerjamu di sini?" teriak Souw Ki kasar.

Ang-moko tertawa lagi terpingkal-pingkal. "Aku suka mengurus pekerjaan besar, bukan segala macam usaha menangkap kuda betina yang liar. Kau lebih patut untuk pekerjaan macam ini."

"Sudahlah, untuk apa melayani kegilaan Ang-moko?" kata Sin-toa-to Liong Ki Nam. "Kita beramai tangkap dan tawan dua orang gadis ini, tangkap hidup-hidup jangan sampai lolos atau terluka." Enam orang itu memasang kuda-kuda, ada pun Ang-moko hanya menonton sambil tertawa-tawa.

"Paman Hong, kalau nanti aku mati di sini, tolong sampaikan kepada Ayah dan Ibu bahwa anaknya mati sebagai seorang gagah!" berkata Li Eng tanpa mengalihkan perhatiannya kepada para jagoan yang sudah siap hendak menerjangnya itu.

"Sampaikan hormatku kepada ayah ibuku, Hong susiok," kata Hui Cu, berbeda dengan Li Eng suaranya agak terharu dan sungguh-sungguh.

Kun Hong menjadi gelisah sekali, seperti diremas rasa hatinya. Dia tak kuasa mencegah pertempuran yang pasti akan berlangsung hebat ini, karena ia maklum bahwa dua orang keponakannya itu sudah tentu lebih baik berjuang sampai mati dari pada menyerah untuk menjadi selir Pangeran mata keranjang itu.

Akan tetapi tidak benar ini, pikirnya. Melawan pemerintah, sama pula memberontak. Biar pun tidak salah, dunia akan mengecapnya sebagai pemberontak dan pengkhianat dan hal ini juga akan menyeret nama baik seluruh keluarga. Tidak boleh ia membiarkan dua orang keponakannya itu melakukan dosa seperti ini.

Dikumpulkannya tenaga batinnya yang gelisah, dipusatkan hawa sakti di tubuhnya, semua ditarik ke pusat pandangan mata kemudian dia membentak, "Li Eng dan Hui Cu! Simpan pedangmu dan jangan melawan."

Ketika ia berteriak demikian itu, para jagoan sudah mulai bergerak maju mengeroyok Li Eng dan Hui Cu. Suara beradunya senjata sudah terdengar bertubi-tubi dan tubuh kedua orang gadis itu sudah lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka sendiri. Namun begitu teriakan ini terdengar, dua orang gadis itu melompat ke dekat Kun Hong seperti ditarik oleh tenaga gaib.

"Baiklah, Paman Hong," kata keduanya seperti dari satu mulut. Berbareng pula keduanya menyimpan pedang dan berdiri tegak menghadapi para jagoan itu yang saling pandang dan merasa terheran-heran.

Hanya dua orang gadis itu saja yang merasakan betapa hebat dan ampuhnya pengaruh suara Kun Hong tadi, suara yang tak mungkin terbantah oleh mereka, suara yang harus mereka turut dan taati karena seakan-akan adalah suara dari hati mereka sendiri yang melumpuhkan seluruh daya kemauan.

Kun Hong sendiri sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan yang menggelisahkan dan tegang tadi, ia sudah menggunakan tenaga batin dari ilmu hoat-sut yang ia baca dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok sehingga ia telah ‘menyihir’ dua orang keponakannya sendiri sampai dua orang dara itu menuruti perintah tanpa syarat lagi!

"Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Kiranya tidak keliru Pangeran memilih kau sebagai pengurus perpustakaan. Agaknya kau tidak sebodoh yang kami kira," kata Thian It Tosu. "Memang jauh lebih baik menyerah kemudian hidup penuh kemuliaan di sini dibandingkan melawan kekuasaan Pangeran karena akan membuang nyawa sia-sia belaka."

"Kami bertiga menyerah untuk ditawan, bukannya menyerah untuk menerima kedudukan," jawab Kun Hong dengan suara dingin.

Kembali tujuh orang itu saling pandang, lalu Thian It Tosu mengangkat pundak.

"Kalian orang-orang aneh, tapi urusan kami sudah selesai, biarlah selanjutnya Tan-taijin yang akan mengurus kalian. Serahkan senjata!"

Li Eng dan Hui Cu tidak melawan ketika pedang mereka dan sabuk sutera Li Eng dilucuti, sedangkan pedang di pinggang Kun Hong tidak ada yang menganggap karena memang tidak ada yang tahu. Siapakah orangnya dapat menduga bahwa pemuda yang lemah ini membawa-bawa pedang?

Mereka ditahan dalam tempat terpisah dan sebelum berpisah, Kun Hong berkata kepada dua orang gadis itu, "Jangan kalian kuatir, aku akan berdaya upaya untuk menginsyafkan Pangeran agar kita dibebaskan kembali. Kita tidak berdosa. Jangan kalian menggunakan kekerasan. Percayalah, orang yang benar pasti dilindungi Tuhan Yang Maha Adil."

Akan tetapi alangkah kaget hati Kun Hong ketika tiba-tiba Ang-moko dan Bhong Lo-koai bergerak ke depan menggerakkan tangan menyerang dua orang gadis itu. Karena Li Eng dan Hui Cu sama sekali tidak mengira akan datangnya serangan mendadak ini, mereka tak dapat mengelak dan roboh lemas dalam keadaan tertotok.

Kiranya dua orang jagoan tua ini telah saling memberi tanda-tanda. Karena mereka tidak ingin melihat dua orang gadis yang kosen ini akan menimbulkan kerewelan lagi, keduanya lalu turun tangan menotok jalan darah mereka.

"He, apa yang kalian lakukan ini?" Kun Hong berteriak-teriak. "Akan kulaporkan ini, kalian akan dihukum! Kami sudah menyerah, kenapa kalian masih tetap merobohkan dua orang keponakanku? Jahat sekali kalian..."

Akan tetapi tujuh orang itu tidak mempedulikannya lagi, malah ia segera diseret ke lain jurusan sedangkan dua orang gadis yang sudah lemas tidak berdaya lagi itu dibawa ke tempat lain. Percuma saja Kun Hong berteriak-teriak sampai suaranya serak. Ia dilempar ke dalam sebuah kamar kosong yang berjendela kecil beruji besi. Hanya ada sebuah bangku panjang dan sebuah meja kecil di kamar ini, selebihnya kosong. Dengan hati risau Kun Hong melempar diri ke atas bangku dan dengan gelisah memikirkan nasib kedua orang keponakannya.

Pembesar yang oleh Kaisar dikuasakan untuk mengatur semua urusan yang timbul dan terjadi di lingkungan istana, adalah Tan-taijin. Tan-taijin ini orang yang berwatak jujur dan setia, orangnya tinggi besar seperti raksasa dan mempunyai wibawa besar.

Kiranya para pembaca masih ingat akan tokoh dalam cerita ini yang bernama Tan Hok, pemimpin kaum Pek-lian-pai yang berjasa amat besar terhadap perjuangan. Malah dalam pergolakan belasan tahun yang lalu saat para bekas pejuang saling berebutan kedudukan malah ada yang memberontak kepada Kaisar, kembali Tan Hok memperlihatkan jasanya dan menolong Kaisar dari serbuan kaum petualang yang hendak merebut kekuasaan.

Akhirnya, Tan Hok yang tubuhnya tinggi besar dan gagah ini diangkat oleh Kaisar menjadi pengawal pribadinya. Kemudian malah diberi pangkat untuk mengurus segala persoalan yang terjadi di lingkungan istana. Karena ini maka Tan Hok yang sekarang disebut Tan-taijin ini mempunyai pengaruh yang amat besar. Semua kata-katanya dipercaya oleh Kaisar dan sebagai seorang jujur dan keras hati, ia ditakuti dan disegani oleh seluruh kerabat istana.

Seperti telah kita ketahui dalam bagian depan dari cerita ini, antara Tan Hok dan Tan Beng San terdapat pertalian persahabatan yang sangat erat, malah pendekar sakti Tan Beng San menganggap raksasa ini sebagai kakak angkatnya. Oleh karena inilah maka semenjak Tan Beng San bersama isterinya, Cia Li Cu, tinggal di Thai-san, kedua orang gagah ini sering kali mengadakan hubungan.

Tan-taijin sering kali pergi mengunjungi Thai-san, malah sudah beberapa kali Tan Beng San sekeluarganya berkunjung ke kota raja dan bermalam di gedung Tan-taijin. Karena Tan-taijin sendiri yang menikah dengan seorang gadis kota raja tidak memiliki keturunan, maka sering kali puteri tunggal Tan Beng San tinggal di situ sampai berbulan-bulan.

Malah atas anjurannya, juga karena terlalu disayang oleh ayah bundanya, puteri tunggal ini mempelajari segala kerajinan tangan wanita di kota raja sehingga selain mewarisi ilmu silat sakti dari ayah ibunya, gadis ini pun memiliki kepandaian puteri-puteri istana seperti sastra, menyulam, bermain musik, bermain catur dan lain-lain.

Urusan Kun Hong dan dua orang keponakannya pun otomatis terjatuh ke dalam tangan Tan-taijin, karena urusan itu merupakan urusan dalam. Para jagoan sudah maklum akan kelihaian Tan-taijin dalam menyelesaikan urusan yang sulit-sulit, maka sesudah mereka menjebloskan Kun Hong ke dalam penjara di dalam istana dan memasukkan dua orang gadis itu ke dalam kamar para selir Pangeran, mereka kemudian melaporkannya kepada Tan-taijin.

Mula-mula Tan-taijin mengomel pada saat mendengar bahwa secara mendadak Pangeran Mahkota mengangkat seorang pemuda menjadi pengurus perpustakaan serta dua orang gadis begitu saja menjadi selir. Watak orang muda omelnya, segala serba tergesa-gesa menurutkan nafsu hati.

Tetapi dia segera tertarik sekali mendengar bahwa ‘pemuda kepala batu’ yang menolak anugerah besar ini ternyata adalah seorang dari Hoa-san-pai, demikian pula dua orang gadis yang katanya menolak pula anugerah Pangeran. Tadinya ia pun hampir tak dapat percaya kalau ada dua orang gadis muda yang menolak diangkat sebagai selir Pangeran Mahkota, akan tetapi setelah ia mendengar bahwa dua orang dara remaja itu adalah orang-orang Hoa-san-pai, ketidak percayaannya berubah dan ia tertarik sekali.

Ia cukup mengenal watak pendekar-pendekar wanita yang tak boleh disamakan dengan wanita-wanita biasa. Kalau yang menolak anugerah tertinggi itu adalah para pendekar wanita dari Hoa-san-pai, hal itu bukanlah hal yang aneh. Dia harus dapat mengurus hal ini, mengatasinya dan mencari jalan pemecahannya yang baik.

Karena ia mendengar bahwa pemuda yang diangkat menjadi pengurus perpustakaan itu adalah paman dari kedua gadis tadi, maka ia segera memberi perintah agar supaya pemuda bandel itu malam itu juga diantar ke gedungnya, akan ditemui dan diperiksa. Diam-diam ia menduga-duga siapakah pemuda ini dan putera siapa karena ia mengenal semua tokoh Hoa-san-pai.

Sebagai seorang tawanan, biar pun orang-orang tahu bahwa dia seorang laki-laki yang lemah, dua tangan Kun Hong dibelenggu ketika orang membawanya untuk menghadap Tan-taijin di ruangan tengah. Pada waktu itu hari sudah gelap dan di ruangan itu dipasangi lampu yang amat terang.

Tan-taijin sendiri duduk menghadapi meja besar dalam pakaian kebesarannya karena ia sedang memeriksa seorang tahanan. Pembesar ini amat gagah dalam pakaiannya yang mentereng seperti Kwan Kong saja. Sunguh-sungguh berwibawa! Setiap orang pesakitan tentu akan tunduk dan takut kalau diperiksa oleh seorang seperti Tan-taijin ini.

Melihat seorang pemuda kurus dan tampaknya lemah digiring masuk, Tan-taijin langsung merasa kecewa. Tak patut pemuda ini menjadi murid Hoa-san-pai. Tadinya ia menduga akan bertemu dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang kesatria keturunan pendekar besar. Akan tetapi pemuda itu mempunyai keistimewaan pada matanya, yang mengingatkan Tan-taijin kepada sahabat dan saudara yang tercinta, pendekar besar Tan Beng San Si Raja Pedang!

Banyak persamaan antara mata kedua orang itu, pikirnya, begitu tajam, begitu cemerlang dan berani menentang segalanya. Setelah pemuda itu berlutut di depan meja, Tan-taijin memberi isyarat kepada dua orang pengawal untuk meninggalkan ruangan itu. Ia ingin bicara empat mata dengan pemuda ini, ingin melakukan pemeriksaan mendalam tanpa disaksikan orang lain. Sejenak ia melihat kepala yang menunduk itu, lalu terdengar suaranya yang besar, tetap dan nyaring,

"Orang muda, kau berdirilah!"

Kun Hong bangkit berdiri dan mereka berpandangan. Sejenak sinar mata mereka saling mengukur, saling menentang, kemudian meragu dan masing-masing seperti sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang lawan yang tidak mudah menyerah kalah.

"Orang muda, siapakah namamu, dari mana asalmu dan mengapa kau sampai ke kota raja sehingga menjadi seorang tahanan. Ceritakanlah semua dari awal sejelasnya, siapa tahu dari pengakuanmu itu aku akan dapat membebaskanmu."

Suara Tan-taijin jelas, lambat, keras dan sekata demi sekata berkesan di dalam hati Kun Hong. Akan tetapi, saat pemuda ini tadi melihat pakaian yang indah mentereng, ruangan yang angker serta sikap yang agung dari pembesar yang memeriksanya, diam-diam dia mengeluh dan tidak dapat banyak mengharapkan keadilan. Mendengar pertanyaan yang sekaligus dapat mencakup seluruh persoalan yang harus ia ceritakan itu, Kun Hong menjawab singkat tanpa mengangkat mukanya yang menunduk memandang lantai.

"Nama saya Kwa Kun Hong dan berasal dari Hoa-san, tidak sengaja sampai ke kota raja karena bersama dua orang keponakanku hanya hendak melihat-lihat saja. Tapi kebetulan terdengar oleh Pangeran dan kami menerima undangan. Siapa tahu, Pangeran hendak memaksa dua keponakan saya untuk menjadi selirnya sedangkan saya menjadi pengurus perpustakaan. Kami tidak mau dan ditahan.”

Melihat sikap pemuda yang tenang-tenang dan sama sekali tak merasa takut ini, Tan-taijin diam-diam kagum juga. Apa lagi mendengar nama keturunan pemuda ini Kwa. Pernah apakah dengan Kwa Tin Siong?

Pada saat itu, pintu sebelah dalam terbuka dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali, dengan sepasang mata bersinar-sinar bagai bintang. Kun Hong sejenak terbelalak kagum, akan tetapi segera timbul ketidak senangannya karena ia melihat bahwa pemuda yang tampan itu ternyata hanya pemuda pesolek yang terlalu halus gerak-geriknya. Sebaliknya pemuda tampan itu seakan-akan tak melihat kehadiran Kun Hong yang berdiri dengan kedua tangan terbelenggu, langsung berkata kepada Tan-taijin.

"Pek-hu (uwa), kau tolonglah... aku mendengar ada dua orang gadis muda jelita berasal dari Hoa-san-pai sedang ditahan dan hendak dipaksa menjadi selir oleh Pangeran!"

Tan-taijin dengan gerak matanya memberi isyarat bahwa di situ ada orang lain. Pemuda itu mencari dan melihat Kun Hong, maka ia segera melanjutkan, "Pangeran sudah terlalu banyak selir-selirnya. Yang sudah punya banyak ingin tambah terus, dan aku yang belum punya seorang pun tidak kebagian!"

Semakin muak perasaan Kun Hong terhadap pemuda tampan itu, maka ia memandang dengan mata melotot, terang-terangan ia menyatakan kemarahannya.

Pemuda itu balas memandang, mengerutkan alisnya kemudian bertanya, "Ahh, kiranya aku mengganggu Pek-hu. Bajingan apakah yang Pek-hu periksa malam-malam begini? Apakah dia tukang colong ayam istana? Ataukah tukang copet? Jangan-jangan dia maling kuda, kabarnya banyak kuda hilang secara aneh dari kandang istana. Tapi dia tidak patut menjadi pencuri kuda, pantasnya menjadi maling ayam!" Jelas bahwa pemuda ini sedang sengaja menghina Kun Hong yang melotot marah itu.

Begitu pemuda tampan itu muncul wajah Tan-taijin yang tadinya bersungguh-sungguh berubah terang berseri. Ia segera menggerakkan tangannya dan berkata, "Kau duduklah, Tan-ji (Anak Tan) dan justru dua gadis yang kau bicarakan itu ada hubungannya dengan orang ini. Kau duduk dan dengarlah."

Pemuda itu duduk tak jauh dari meja, duduk di atas bangku dan menumpangkan paha kiri di atas paha kanannya, dengan sikap angkuh memandang Kun Hong yang menjadi makin gemas. Tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut, turun dari bangku, menghampiri Kun Hong dan begitu tangannya bergerak ia telah mengambil pedang di balik baju Kun Hong.

"Ih, dia menyembunyikan pedang, Pek-hu!" katanya memperlihatkan pedang itu.

Diam-diam Kun Hong terkejut dan kecewa. Tadinya ia sudah merasa girang bahwa tidak ada orang menaruh curiga padanya. Kiranya pemuda ini dapat melihat pedangnya, malah kini pedang itu dirampasnya.

Kening pembesar itu berkerut. "Hemmm, menurut laporan kau adalah seorang pemuda sastrawan yang lemah. Mengapa kau menyembunyikan pedang?"

Sekarang marahlah Kun Hong. Ia menentang pandang mata pembesar itu dan menjawab, "Pedang tetap pedang, benda yang tak berdosa. Tergantung tangan yang memegangnya. Pedang itu adalah pemberian orang suci kepadaku, mengapa takkan kubawa? Tapi sama sekali bukan untuk... membunuh orang atau untuk beraksi seperti dia itu!"

Matanya memandang pemuda yang kini sudah mencabut pedang itu dari sarungnya dan memegang serta memandanginya seperti seorang ahli!

"Hemmm, sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang baik. Eh, dari mana dia mencuri pusaka ini?"

Pemuda tampan itu menoleh dan pandang matanya tajam penuh selidik, mengiris jantung, bukan karena keindahannya namun karena penghinaannya yang bagi Kun Hong terasa amat perih. Saking marahnya Kun Hong sampai tak dapat mengeluarkan suara. Dia sendiri merasa heran mengapa terhadap pemuda pesolek yang terlalu tampan ini ia mudah sekali tersinggung dan marah, padahal menghadapi segala sesuatu biasanya ia tenang dan sabar saja. Pada saat bertemu pandang, sengaja ia membuang muka seperti orang melihat binatang yang menjijikkan.

Sementara itu, Tan-taijin tidak begitu heran melihat Kun Hong menyembunyikan pedang di balik jubahnya. Sebagai seorang murid Hoa-san-pai sudah tentu saja soal membawa pedang bukan merupakan soal yang aneh lagi. Yang aneh hanya karena pemuda ini tak pandai ilmu silat, mengapa membawa pedang segala?

"Kwa Kun Hong," berkata pula pembesar itu dengan suara kereng, "Pangeran Mahkota begitu baik kepadamu, belum kenal telah diundang, diadakan pesta, kemudian malah kau diberi anugerah pangkat. Mengapa kau menolaknya? Penolakanmu itu berarti kau tidak kenal budi, berarti kau tidak taat dan tidak menghormat kepada putera Kaisar. Padahal aku mendengar laporan bahwa kau menerima ketika diangkat menjadi ketua perkumpulan pengemis, kenapa sekarang kau malah menolak ketika diberi kedudukan betul-betul oleh Pangeran Mahkota. Bukankah itu menunjukkan bahwa kau tidak setia kepada junjungan dan punya hati memberontak?"

"Eh-ehh, orang macam ini jadi raja pengemis?" lagi-lagi terdengar suara pemuda tampan itu yang membuat kedua telinga Kun Hong serasa dibakar.

Kun Hong mengangkat muka, berdiri tegak dan suaranya menggeledek ketika menjawab pembesar itu, jawaban yang diselimuti oleh kemarahannya yang bangkit karena sikap dan kata-kata Si Pemuda Tampan tadi.

"Taijin, saya ingin bicara terus terang, kalau menyinggung harap Taijin suka maafkan atau mau hukum, terserah. Setelah melihat keadaan di dalam istana-istana kerajaan, melihat kerajaan, melihat pembesar-pembesar istana, selaksa kali saya lebih suka menjadi ketua pengemis jembel dari pada menjadi pembesar di istana! Menjadi ketua pengemis paling tidak masih mengingat akan nasib para pengemis, meski tampak hina namun merupakan pekerjaan yang mulia. Akan tetapi sebaliknya, orang-orang yang menyebut dirinya sendiri pembesar, yang hidup bergelimang dengan kemewahan, kemuliaan, dan kesenangan, apakah jasa mereka terhadap rakyat jelata? Pembesar-pembesar seperti Taijin ini, yang sangat banyak jumlahnya di kota raja, pernahkah memikirkan nasib si kecil? Pernahkah mimpi bahwa kalau Taijin sedang tidur nyenyak di dalam gedung istana indah, ratusan ribu rakyat di gunung-gunung kedinginan karena dinding gubuk bobrok dan atap daun bocor? Kalau Taijin sedang makan masakan kota raja yang enak dan lezat, ingatkah akan ratusan ribu rakyat yang mengerang kelaparan, bahkan ada yang mati karena perutnya kosong? Kalau setiap pagi dan sore berganti pakaian-pakaian indah dan mempersolek diri seperti Tuan Muda ini, pernahkah ingat akan ratusan ribu rakyat yang telanjang dan harus kedinginan? Padahal..." Sampai di sini Kun Hong menarik napas panjang, kemudian dia menyambung lebih bersemangat lagi,

"padahal kalau tidak ada rakyat, takkan ada raja, takkan ada pembesar seperti Taijin ini, tak akan ada istana-istana indah ini. Hemmm, sudah banyak kubaca tentang orang-orang yang menyebut diri sendiri pemimpin dan pembesar seperti Taijin dan sebangsanya. Di waktu perang? Ahh, ada rakyat yang maju! Di waktu banjir? Musim kering panjang? Ada rakyat yang menanggulangi. Tetapi kalau sudah mabuk penghidupan mewah dan enak, segera rakyat dilupakan!"

Saking kaget, heran dan kagumnya, wajah Tan-taijin berubah-ubah dan wajah pemuda tampan itu kini menjadi merah sekali. Melihat wajah pembesar itu, Kun Hong menjadi semakin bersemangat.

"Ah, Taijin terheran? Ha-ha, aku berani bertaruh bahwa orang seperti Taijin ini tak pernah keluar dari kota raja, setiap hari hanya mencium wangi masakan sedap, melihat wanita cantik dan memakai pakaian indah. Cobalah Taijin tengok ke dusun-dusun, dan juga ke gunung-gunung, ke pinggir-pinggir laut, tengoklah kehidupan rakyat kecil di sana. Mungkin mata Taijin akan terbuka dan tidak berani lagi menari-nari di atas kemelaratan rakyat, berlaku sewenang-wenang, menangkap orang-orang tak berdosa, merampas gadis-gadis begitu saja..."

"Tutup mulutmu! Kau tak tahu dengan siapa kau bicara!"
Tiba-tiba pemuda tampan itu melompat maju dan…
"Plak! Plak!" kedua pipi Kun Hong ditamparnya kanan kiri.
Mata pemuda tampan itu berapi-api, marah sekali ia rupanya.

"Jangan, Tan-ji...! Mundurlah! Bagaimana pun juga, dia bicara tentang kenyataan, tentang kebenaran dan keadilan!"

"Tapi ia kurang ajar, Pek-hu. Ahh, muak perutku melihatnya!" Pemuda tampan itu dengan marah lalu meninggalkan ruangan.

Tan-taijin lalu bangkit dari bangkunya dan maju melepaskan belenggu tangan Kun Hong. Pemuda ini tidak merasa girang atau heran, hanya mengangkat kedua tangan mengusap kedua pipinya yang masih ada tanda lima jari merah bekas ditampar tadi. Panas tamparan tadi, tapi lebih panas lagi hatinya.

"Huh, laki-laki macam apa dia? Pesolek dan galak, seperti banci saja!" gerutu Kun Hong dengan hati mengkal.

Tan-taijin tersenyum ketika berkata, "Kau maafkanlah dia, dia itu masih seperti anak kecil saja. Kwa-sicu, semua omonganmu tadi memang tepat, akan tetapi kau hanya tahu ekor tak melihat kepalanya, tahu satu tidak tahu dua. Kau mengaku dari Hoa-san dan she Kwa, sebetulnya kau masih ada hubungan apakah dengan Ketua Hoa-san-pai, Kwa Tin Siong Taihiap?"

"Saya... anaknya..." jawab Kun Hong agak gagap, sama sekali dia tidak mengira bahwa agaknya pembesar ini mengenal ayahnya.

"Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga!" kata Tan-taijin girang, kemudian ia mengelus jenggot dan menarik napas panjang. "Kau bersemangat seperti ayahmu. Hemm, tapi sebagai putera Ketua Hoa-san-pai, bagaimana kau tidak pandai ilmu silat? Tapi, hal itu bukan urusanku. Sekarang tentang dua orang gadis itu, kau bilang mereka itu adalah keponakanmu. Kalau begitu..." Pembesar itu mengingat-ingat, "apakah mereka itu keturunan dari Saudara Thio Ki ataukah Saudara Kui Lok!"

Makin heranlah Kun Hong. Kiranya pembesar ini banyak mengenal keluarga Hoa-san-pai!

"Dugaan Taijin tidak keliru, Li Eng adalah puteri Paman Kui Lok, sedangkan Hui Cu ialah puteri Paman Thio Ki," katanya cepat dan kini mulai memperhatikan wajah yang tampan dan gagah dari pembesar bertubuh raksasa itu.

Bukan main kagetnya hati Tan-taijin. "Ahh, aku harus cepat membebaskan mereka! Kwa Kun Hong, ketahuilah, aku adalah sahabat baik dari ayahmu beserta semua orang-orang Hoa-san-pai, bahkan sahabat seperjuangan. Sekarang terpaksa kau berdiam dulu dalam kamar tahanan, aku perlu pergi ke Istana Kembang membebaskan dua orang gadis itu."

Kun Hong merasa girang sekali, tetapi sebelum ia sempat menyatakan terima kasihnya, pembesar itu menepuk tangan dan masuklah beberapa orang pengawal.

"Antarkan kembali pemuda ini ke dalam kamar tahanan, akan tetapi jangan dibelenggu dan perlakukan sebagai tamuku!"

Para pengawal itu memberi hormat dan dengan halus Kun Hong digandeng pergi dari ruangan itu. Dengan sudut matanya Kun Hong berusaha mencari pemuda tampan yang tadi menampar pipinya, akan tetapi tidak terlihat dan diam-diam ia berjanji kelak akan membalas tamparan ini. Baru kali ini bisa timbul dendam di hati Kun Hong, suatu hal yang baginya sendiri teramat aneh.

Tergesa-gesa Tan-taijin malam hari itu juga pergi menuju ke Istana Kembang dengan maksud membebaskan Li Eng dan Hui Cu dari tahanan. Ia kuatir sekali kalau-kalau kedatangannya terlambat. Kalau sampai dua orang gadis itu diganggu oleh Pangeran, hal ini akan mempunyai akibat yang hebat sekali.

Mereka adalah putera-puteri tokoh Hoa-san-pai, kalau terjadi hal ini berarti Pangeran telah menodai nama baik Hoa-san-pai. Tidak saja pihak Hoa-san-pai takkan dapat menerima hal itu, malah dunia kang-ouw akan geger karenanya, terutama sekali saudara angkatnya, Si Raja Pedang Tan Beng San yang memiliki hubungan erat dengan Hoa-san-pai, tentu akan menyesal bukan main.

Paling perlu ia membebaskan dua orang gadis itu dahulu, baru pada keesokan harinya ia boleh bicara dengan Pangeran Mahkota. Jika ia menceritakan keadaan yang sebenarnya dan tentang jasa-jasa Hoa-san-pai, kiranya Pangeran Mahkota takkan menyesal dengan dibebaskannya dua orang gadis itu. Andai kata Pangeran tetap menyesal, ia masih dapat menggunakan pengaruh Kaisar untuk meredakannya atau kalau perlu, demi kepentingan ini, ia rela mengundurkan diri, kembali ke dusun.

Kata-kata Kun Hong tadi membangkitkan semangatnya, membuat ia terkenang akan keadaan dahulu dan diam-diam ia harus mengaku bahwa selama bertahun-tahun ia hidup di istana, memang hampir terlupa olehnya bahwa rakyat hingga sekarang masih banyak yang menderita!

Akan tetapi, setibanya ia di Istana Kembang, ternyata kedatangannya telah terlambat! Bukan terjadi seperti yang ia kuatirkan. Pangeran Mahkota tidak sempat mengganggu dua orang gadis itu karena belum datang malam itu, masih di istana. Akan tetapi terjadi lain hal yang hebat, yaitu, dua orang gadis itu telah berhasil melarikan diri.

Seluruh penghuni Istana Kembang itu, dua orang selir Pangeran yang bertugas membujuk dua orang gadis itu, empat orang pelayan wanita yang bertugas melayani, dan lima orang perajurit pengawal yang tinggi juga kepandaiannya, semua telah tewas! Dua orang gadis Hoa-san-pai itu lenyap dan sebelas orang manusia terbunuh. Istana Kembang yang indah, yang biasanya menjadi tempat peristirahatan Pangeran, sekarang malah menjadi tempat menyeramkan dengan darah berceceran dan mayat bergelimpangan!

Tan-taijin kaget sekali, membanting-banting kedua kaki. Ia menyesal mengapa Pangeran begitu gegabah, bermain kasar terhadap murid-murid Hoa-san-pai. Juga dia menyesal sekali mengapa dua orang gadis itu setelah berhasil melarikan diri, berlaku begini ganas dan kejam? Cepat ia melakukan pemeriksaan dan sebentar saja para jagoan dari istana berdatangan ketika mendengar peristiwa hebat itu. Sebetulnya apakah yang telah terjadi?

Seperti telah kita ketahui, karena sama sekali tidak menyangka akan diserang dan juga karena memang kepandaian Ang-moko dan Bhong Lo-koai amat tinggi, Li Eng dan Hui Cu secara tiba-tiba tertotok roboh dan mereka ini sama sekali tidak melawan ketika dibawa ke dalam Istana Kembang dan ditahan di dalam sebuah kamar yang indah dan mewah.

Sebelum meninggalkan dua orang gadis tawanan ini kepada dua orang selir Pangeran yang diserahi tugas untuk membujuk secara halus, lebih dahulu Bhong Lo-koai mengikat tangan nona itu agar kalau nanti kembali dari totokan, takkan mengamuk. Kemudian para jagoan meninggalkan Istana Kembang untuk memberi laporan kepada Pangeran yang tadi pulang terlebih dulu.

Pada malam hari itu juga, selagi Tan-taijin memeriksa Kun Hong dan Pangeran Mahkota dengan girang mendengarkan laporan para jagoannya bahwa kedua orang dara remaja yang dirindukannya itu sudah tertawan, terjadilah hal yang hebat di Istana Kembang itu...
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12