Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Rajawali Emas
Jilid 12
Istana
Kembang berada di lingkungan istana yang paling pinggir, termasuk pinggir kota
yang sunyi. Di sekitar istana itu penuh hutan-hutan yang ditanami banyak
pohon-pohon yang indah, pohon-pohon buah dan pohon-pohon kembang. Sekeliling
istana merupakan taman bunga yang besar dan luas, di mana ditanam segala macam
bunga. Di sana-sini terdapat empang ikan yang selain menjadi tempat peliharaan
ikan-ikan emas yang indah-indah, juga menjadi tempat tumbuhnya bunga teratai
yang berwarna-warni.
Kereta
berhenti di depan gedung yang tidak begitu besar, akan tetapi bentuknya mungil
dan seluruh bagian bangunan ini penuh dengan hasil-hasil seni ukir dan seni
lukis. Begitu turun dari kereta, ketiga orang muda yang berasal dari pegunungan
ini berdiri ternganga. Istana dan keindahan sekitarnya bagi mereka begitu aneh
dan begitu indah yang biasanya hanya dapat mereka bayangkan dalam alam mimpi
saja.
Beberapa
orang pelayan yang pakaiannya juga seperti pembesar-pembesar cepat-cepat datang
menyambut, "Sudah sejak tadi putera mahkota menanti kedatangan Sam-wi yang
terhormat. Sam-wi (Tuan Bertiga) dipersilakan langsung menuju ke ruangan
istirahat di mana Thaicu sudah menanti," begitulah kata mereka.
Seperti
dalam mimpi tiga orang muda itu mengikuti para pelayan menuju ke pintu depan
istana. Begitu memasuki pintu ini, tiga orang muda itu tiada habisnya mengagumi
segala keindahan yang terdapat di situ. Lukisan-lukisan kuno, ukir-ukiran yang
menghiasi ruangan dalam, perabot-perabot yang terbuat dari kayu harum,
sutera-sutera yang berkilauan, batu-batu kemala dalam bentuk hiasan-hiasan,
permadani halus yang menghias dinding dan lantai. Bukan main!
Li Eng yang
biasanya bebas dan tidak mau tunduk itu kini merasa dirinya kecil sehingga
tanpa ia sadari lagi berpegang erat-erat pada lengan kanan Kun Hong. Malah Hui
Cu yang biasanya agak pemalu dan juga masih sungkan-sungkan bersikap terlalu
intim terhadap pamannya, kini pun tanpa ia sadari lagi menggandeng tangan kiri
Kun Hong.
Sungguh
sikap tiga orang muda ini seperti tiga ekor kelinci memasuki goa macan! Hanya
Kun Hong yang biar pun tampak kagum sekali, masih dapat bersikap tenang,
sedikit pun tidak ada perasaan takut seperti yang terdapat dalam pikiran dua
orang dara remaja itu. Di setiap lorong atau ruangan baru, berganti pelayan yang
bertugas mengantar mereka.
Istana itu
dari luar tampaknya kecil mungil, akan tetapi setelah dimasuki ternyata luas
dan ruangan istirahat yang dimaksudkan itu ternyata jauh juga dari pintu depan.
Kiranya ruang itu ada di sebelah belakang, merupakan ruangan terbuka dengan
atap berbentuk payung besar, tanpa dinding sehingga kelihatannya seperti
dikelilingi oleh kembang-kembang. Di empernya terdapat empang ikan yang lebar
dan di tengah-tengahnya terdapat air mancur yang keluar dari mulut seekor naga
batu. Benar-benar ruangan istirahat ini sangat indah dan berhawa sejuk, tepat
menjadi tempat beristirahat menghilangkan lelah.
Seorang
lelaki muda duduk menghadapi empang, kelihatannya sedang melamun. Usianya
sebaya Kun Hong, wajahnya tampan dan pakaiannya indah sekali, terbuat dari
sutera dan berlukiskan burung Hong. Topinya juga aneh dan bersulamkan gambar
naga, akan tetapi agaknya pemuda itu sedang kurang gembira sehingga rambut
hitamnya yang keluar dari bawah topi didiamkannya saja.
"Yang
Mulia, tiga orang tamu yang dinanti-nantikan sudah datang menghadap!"
seorang pelayan melapor sambil menjatuhkan diri berlutut.
Pelayan lain
sebelum berlutut berbisik kepada Kun Hong bertiga, "Harap Sam-wi berlutut
memberi hormat."
Akan tetapi
Kun Hong, apa lagi Li Eng juga Hui Cu, tidak mengerti akan bisikan ini, dan
hanya memberi hormat seperti biasanya mereka memberi hormat kepada orang lain
yang sebaya usianya, yaitu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke
dada. Orang muda itu cepat bangkit dari duduknya dan gerakannya cepat sekali
sehingga Hui Cu dan Li Eng segera dapat menduga bahwa orang itu tentu mempunyai
kepandaian ilmu silat yang lumayan juga.
Setelah
berhadapan, ternyata bahwa laki-laki muda itu lebih berwajah gagah dari pada
tampan. Terutama sepasang matanya membuat orang tidak berani menentang pandang
matanya lama-lama, penuh wibawa dan gerak-geriknya agung. Hal ini mungkin sudah
ia biasakan untuk disesuaikan dengan kedudukannya, putera mahkota! Inilah dia
Kian Bun Ti, putera mahkota yang sebetulnya adalah cucu dari Kaisar, putera
dari mendiang Putera Mahkota atau putera sulung dari Kaisar.
Berdebar
keras hati Li Eng dan Hui Cu ketika melihat betapa sepasang mata yang agak
lebar itu memandang kepada mereka penuh perhatian, lalu terpancar sinar kagum
dari mata itu sebelum mulutnya tersenyum dan suaranya terdengar ramah,
"Ahhh,
Taihiap yang menjadi Sin-kai Pangcu (Ketua Perkumpulan pengemis baru) serta
kedua Lihiap (Pendekar Wanita)! Girang sekali hatiku karena Sam-wi suka datang
untuk bercakap-cakap!"
Ia melangkah
maju dan pandang matanya bergantian menelan wajah Li Eng dan Hui Cu. Kemudian dia
menoleh kepada pelayan dan berkata dengan suara yang jauh berbeda, yaitu suara
memerintah yang berpengaruh dan angker.
"Sediakan
arak Sian-ciu (Arak Dewa) dan daging kering, kemudian enyahlah dari sini, beri
tahu para cianpwe supaya menunggu dan tidak boleh menghadap sebelum
dipanggil!"
Pelayan-pelayan
itu sambil merangkak mengundurkan diri dan tak lama kemudian mereka datang
membawa hidangan yang diminta, lalu mengundurkan diri lagi. Pangeran Kian Bun
Ti dengan ramah lalu mempersilakan tiga orang muda itu mengambil tempat duduk
di dekat empang. Sikapnya yang ramah serta budi bahasanya yang manis mengusir
rasa sungkan dari tiga orang itu. Malah Li Eng dengan cepat menguasai kembali
kelincahan dan kebebasannya.
"Aduh,
indahnya ikan-ikan ini... Enci Cu, kau lihatlah yang di sudut itu... yang di
sana itu... hi-hi-hi, seperti ada jenggotnya!" Ia menarik tangan Hui Cu
dan menuding-nuding dengan telunjuknya yang kecil runcing.
Pangeran
Kian Bun Ti memandang kagum kepada dua orang gadis itu, terutama kepada Li Eng.
Ia mendengar bahwa dua orang gadis itu mempunyai kepandaian ilmu silat yang
hebat. Tadi begitu bertemu, ia sudah heran bukan main karena sama sekali di
luar dugaannya bahwa dua orang wanita kang-ouw yang menjadi jagoan ternyata
adalah dua orang dara remaja yang begini manis cantik jelita dengan bentuk
tubuh yang tidak kalah oleh puteri-puteri istana. Apa lagi sekarang, melihat
mereka tertawa-tawa senang melihat ikan-ikan dengan sikap bebas dan sewajarnya,
jauh bedanya dengan sikap puteri-puteri istana atau selir-selirnya, benar-benar
menggugah rasa sayang di hati Pangeran ini.
Akan tetapi
diam-diam ia pun meragukan dan sangsi, apakah benar-benar dua orang dara remaja
jelita ini memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi? Rasa-rasanya tidak
mungkin kalau melihat kehalusan sifat mereka dan usia mereka yang masih amat
muda.
Pangeran
mahkota ini lalu mengalihkan perhatiannya kepada Kun Hong. Seorang pemuda
sederhana yang halus budi dan bersikap sopan, begitu penilaiannya. Akan tetapi
ketika Pangeran ini mengajak tamunya bicara tentang ketata negaraan, ia amat
kecewa karena ternyata bahwa pemuda aneh yang baru saja dipilih sebagai ketua
baru dari perkumpulan Hwa-i Kaipang yang baru itu, ternyata sama sekali buta
politik kenegaraan. Kata-katanya penuh mengandung inti dari filsafat dan
kebatinan sebagai penuntun manusia ke arah kebajikan.
Hemm, orang
muda yang berbakat menjadi pendeta, pikirnya kecewa. Orang seperti ini sama
sekali tiada gunanya bagiku, demikian Pangeran Mahkota itu berkata kepada
dirinya sendiri. Perhatiannya kemudian diarahkan kembali kepada Li Eng dan Hui
Cu yang masih mengagumi keindahan kembang-kembang, ikan-ikan dan arca serta
ukiran indah yang menghias taman.
"Pangcu,
apakah kedua orang Lihiap itu benar-benar keponakanmu? Kau masih begini muda,
tidak akan jauh selisihnya usiamu dengan mereka, bagaimana bisa menjadi paman
mereka?" akhirnya Pangeran itu bertanya kepada Kun Hong.
Pemuda ini
sebetulnya merasa kurang enak mendapat sebutan pangcu itu. Akan tetapi karena
memang kenyataannya ia telah menerima kedudukan ketua Hwa-i Kaipang, maka ia
pun tidak dapat membantah.
Mendengar
pertanyaan ini, Kun Hong tersenyum. "Sebenarnya bukan keponakan dalam
hubungan keluarga, Pangeran, melainkan dalam hubungan perguruan. Ayah saya
adalah supek (uwa guru) dari ayah ibu mereka, oleh karena itulah maka saya
terhitung sebagai paman guru mereka."
Pangeran
Mahkota itu mengangguk-angguk. "Kalau begitu, Pangcu sebagai putera Ketua
Hoa-san-pai dan sebagai paman dari kedua orang lihiap ini, tentu memiliki ilmu
silat yang tinggi sekali."
Li Eng dan
Hui Cu yang kini sudah duduk kembali di dekat Kun Hong, menahan senyum mereka
mendengar ucapan ini. Kun Hong sendiri menjadi merah mukanya ketika ia
menjawab, "Ah, saya seorang yang bodoh, mana tahu akan ilmu silat? Ayah
dan Ibu pun melarang saya untuk belajar ilmu silat semenjak kecil. Berbeda
dengan kedua orang keponakanku ini, sedikit-sedikit mereka mengerti ilmu silat,
Pangeran."
Pangeran
Kian Bun Ti memandang pada dua orang dara itu. Li Eng menentang pandang mata
itu dengan sinar mata yang terbuka dan berani, sebaliknya Hui Cu hanya membalas
tenang-tenang kemudian menundukkan pandang matanya.
"Alangkah
senangnya memiliki kepandaian siiat tinggi seperti Ji-wi Siocia ini dan
alangkah akan merasa aman di hati kalau mempunyai teman seperti Ji-wi
Lihiap," demikian kata Pangeran itu penuh kekaguman dan sepasang matanya
memancarkan cahaya ganjil.
Akan tetapi
Li Eng masih terlalu muda dan tidak ada pengalaman sehingga pandang mata
seperti ini dianggapnya bukan apa-apa. Hui Cu lebih tajam dan perasa sehingga
gadis ini berdebar-debar dan tidak berani lagi menentang pandang mata Pangeran
muda itu.
"Ah,
Pangeran terlalu memuji!" Li Eng malah berani membantah. "Sedikit
ilmu silat seperti yang kami miliki ini apakah artinya dibandingkan dengan
keadaan Pangeran? Tinggal di tempat begini indah, terjaga oleh pasukan penjaga
yang sangat kuat, setan pun tidak ada yang berani mengganggu!"
"Ha-ha-ha-ha,
Nona pintar sekali bicara!" Pangeran itu gelak terbahak. "Kau sama
sekali tidak tahu betapa kedudukan seorang pangeran tidaklah seenak yang orang
kira. Bahaya selalu mengancam dari kanan kiri, nyawa pun selalu dalam bahaya.
Sebab itulah tadi aku mengatakan betapa akan senang dan amannya jika dapat
selalu berteman dengan Nona berdua yang pandai ilmu silat dan yang tentu akan
dapat menghalau setiap orang jahat yang datang hendak mengambil nyawaku!"
Kun Hong
mengerutkan keningnya. Di dalam hatinya ia tidak senang mendengar ucapan yang
mengandung maksud hati seorang pria terhadap wanita ini. Akan tetapi ia tidak
mau sembarangan mengeluarkan ketidak senangannya, apa lagi karena Li Eng dan
Hui Cu agaknya sama sekali tidak dapat menangkap maksud sebenarnya yang
bersembunyi di balik pujian-pujian Pangeran itu.
Pada saat
itu mendadak terdengar bentakan keras, "Hendak kami lihat siapa akan dapat
membelamu, Pangeran! Kematianmu sudah di depan mata, siaplah!"
Dan
tahu-tahu dua orang laki-laki setengah tua dengan gerakan ringan dan cepat
sekali telah datang melayang ke tempat itu, masing-masing tangan mereka
memegang sebatang pedang dan langsung mereka itu menerjang Pangeran Kian Bun
Ti.
"Celaka...!"
Pangeran itu menjadi pucat dan ketakutan.
"Bangsat
hina jangan menjual lagak!"
Tiba-tiba
tampak bayangan berkelebat dan Li Eng sudah melompat ke depan, diikuti oleh Hui
Cu yang juga telah mencabut pedangnya. Terdengar suara nyaring ketika dua
pasang pedang itu bertemu di udara dan dua orang laki-kaki itu berteriak kaget
sambil melangkah mundur satu tindak.
"Li
Eng, Hui Cu, jangan membunuh orang!" Kun Hong dalam kagetnya berteriak
kepada dua orang keponakannya itu.
Sementara
itu, dua orang itu sudah menerjang maju, sekarang sasaran mereka bukanlah
Pangeran Kian Bun Ti yang sudah lari bersembunyi di belakang pilar. Penyerang
yang seorang, bertubuh pendek berkepala besar, dilayani oleh Hui Cu karena Li
Eng sudah mendahuluinya menerjang orang ke dua yang kurus kering berusia lima
puluh tahun lebih.
Li Eng
bermata tajam. Begitu melihat gerakan dua orang ini ketika menyerang Pangeran
tadi segera dapat tahu bahwa orang ke dua yang kurus kering inilah yang
terlihai di antara keduanya. Maka, ia mendahului Hui Cu memapaki orang ini.
Memang tidak
salah dugaan Li Eng. Orang kurus kering itu selain lihai dan cepat ilmu
pedangnya, juga memiliki tenaga lweekang yang tinggi sehingga pedang di
tangannya itu tergetar-getar mengeluarkan hawa pukulan yang dahsyat.
Pedangnya
berkelebat seperti burung elang menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar putih.
Tangan kirinya tak hanya digunakan untuk mengimbangi gerakan pedang di tangan
kanan, bahkan kadang-kadang masih membantu serangan pedang dengan melancarkan
pukulan-pukulan dengan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam yang berhawa
panas! Pendeknya, orang ini adalah ahli silat kelas tinggi yang hanya dapat
digolongkan dengan tingkat para busu pengawal pribadi kaisar.
Namun kali
ini ia ketemu batunya dalam menghadapi Li Eng. Dengan jurus-jurus gerakan
Tian-mo Po-in (Payung Kilat Menyapu Awan) dari Hoa-san-pai gadis ini dapat
memapaki gulungan sinar pedang lawannya sehingga gulungan sinar pedang itu
menjadi buyar dan kacau. Ada pun pukulan-pukulan lawan dengan tangan kirinya
itu dapat ia elakkan dengan mengandalkan kegesitannya.
"Ehh,
mengapa gerakan Tian-mo Po-in begini hebat?" tiba-tiba laki-laki itu
berseru keras. "Jurus ini adalah jurus Hoa-san Kiam-hoat yang paling
hebat, tapi kenapa begini aneh? Ayaaa!" Dia berseru makin kaget ketika
pedang gadis itu hampir saja menusuk lehernya kalau ia tidak lekas-lekas
membuang diri ke belakang.
Aneh sekali
sikap lawan ini, pikir Li Eng. Agaknya orang ini mengenal baik ilmu pedang
Hoa-san-pai, akan tetapi mengapa berkata keras-keras seperti hendak memberi
tahukan kepada seseorang? Dengan gemas Li Eng lalu merubah ilmu pedangnya dan
menyerang dengan dahsyat. Kembali orang itu berteriak keras sambil
memutar-mutar pedang untuk menjaga diri.
"Ehh,
Hoa-san Kiam-hoat mengapa begini ganas? Kau campur dengan ilmu pedang dari
manakah? Kau murid siapa?"
Panas juga
perut Li Eng ketika mendengar betapa orang ini agaknya mengenal baik ilmu
pedangnya. Sambil mengirim tusukan bertubi-tubi ia berseru, "Orang macam
kau perlu apa bicara tentang ilmu silat Hoa-san-pai? Kalau memang gagah, kau
hadapi ini!"
Tiba-tiba
sinar hitam berkelebat dari tangan kiri Li Eng. Ternyata dia sudah mengeluarkan
sabuk sutera hitamnya dan kini pedang dan sutera hitam itu menyambar-nyambar
dahsyat sekali, mengurung lawan itu dari segala penjuru!
Orang itu
lagi-lagi mengeluarkan seruan kaget, masih mencoba untuk menyebutkan satu per
satu semua jurus yang dimainkan Li Eng. Akan tetapi akhirnya ia tak dapat
membuka mulut lagi karena sibuk menghadapi serangan yang membuat dia harus
memeras tenaga dan kepandaian untuk melindungi tubuhnya.
Sementara
itu, lawan yang menghadapi Hui Cu juga ikut berteriak-teriak, "Bocah ini
ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-hoat tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu pedang
apa ini yang begini indah?"
"Tidak
usah banyak mulut, terimalah ini!" Hui Cu membentak dan menyerang lebih
hebat lagi.
Akan tetapi
orang itu ternyata memiliki kepandaian yang tinggi juga sehingga ia mampu
menangkis dan membalas. Malah ia masih terus berkata keras-keras, "Eh,
mengingatkan aku akan ilmu pedang dari Bu-tek Kiam-ong! He, bocah, kau pernah
apa dengan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan?"
Ketika nama
guru ibunya itu disebut, Hui Cu kaget juga. Akan tetapi tanpa menjawab ia
menyerang terus bertubi-tubi dengan ilmu pedangnya yang amat indah.
"Hebat...
hebat...!" Orang itu lagi-lagi memuji dan terpaksa berlaku lebih hati-hati
karena menghadapi dara remaja yang lihai ini ia maklum tak boleh bersikap
sembrono.
Ada pun Kun
Hong yang bangun berdiri dan menonton dari pojok, maklum bahwa Li Eng dengan
mudah akan mampu mengalahkan lawannya, sedangkan kepandaian Hui Cu juga
seimbang dengan lawan yang seorang lagi. Tanpa dia sadari, Kun Hong sudah
memiliki pengertian mendalam mengenai ilmu silat dan terutama sekali Hoa-san
Kiam-hoat yang pernah dibacanya sampai tamat.
Ia juga
melihat betapa gerakan-gerakan Li Eng amat berbeda dengan ilmu yang pernah
dibacanya, lebih ganas dan juga aneh. Sedangkan ilmu pedang yang dimainkan oleh
Hui Cu adalah Hoa-san Kiam-hoat yang bercampur dengan ilmu pedang yang indah
gerakan-gerakannya. Betapa pun juga, melihat gerakan kaki gadis ini ia
terheran-heran karena ia merasa pernah mengenal gerakan-gerakan ini.
Tiada
hentinya pemuda ini berseru penuh kekuatiran, "Li Eng! Hui Cu! Hati-hati
jangan kalian membunuh orang!"
Ia sama
sekali tak menguatirkan keselamatan dua orang keponakannya itu karena di luar
kesadarannya ia telah dapat mengikuti pertandingan itu dan melakukan penilaian.
Akan tetapi ia amat kuatir kalau-kalau kedua orang keponakannya itu melakukan
pembunuhan, perbuatan yang amat dibenci-nya.
Pangeran
Kian Bun Ti dengan mata berseri-seri memperhatikan dua orang gadis yang amat
lihai itu, akan tetapi keningnya berkerut sebentar ketika dia menyaksikan sikap
Kun Hong. Pikirnya, "Orang muda itu cerdik luar biasa, aneh dan baik
budinya, tentu jujur dan setia. Akan tetapi sayang, hatinya lemah. Mana bisa
aku memakai orang seperti ini?"
Biar pun
wataknya jenaka dan nakal, namun entah bagaimana, Li Eng amat taat kepada
pamannya atau lebih tepat lagi, dia tidak mau membikin marah atau susah kepada
Kun Hong. Kalau menurut wataknya, orang yang jahat datang menyerang Pangeran
ini patut ia bunuh kedua-duanya.
Akan tetapi
mendengar suara Kun Hong dan mengingat akan watak yang amat aneh dari pamannya
ini, dia lalu memperhebat permainan sabuk suteranya sedangkan pedangnya hanya
dipakainya untuk menangkis atau mengancam saja. Akhirnya lawannya tidak dapat
menahan lagi.
“Tar-tar-tar!”
terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi.
Orang itu
memekik kesakitan, pedangnya terlepas dari tangannya dan ia meloncat tinggi
kemudian berjungkir-balik ke belakang. Muka, lengan dan lehernya penuh
luka-luka bekas cambukan sabuk sutera sedangkan beberapa bagian bajunya
pecah-pecah.
"Si-te,
lari!" teriaknya kepada temannya.
Akan tetapi
temannya pun amat bingung karena sedang didesak hebat oleh Hui Cu. Biar pun ia
mampu mempertahankan diri, namun ia sama sekali tidak dapat mendesak gadis yang
ilmu pedangnya indah dan lihai itu.
"Enci
Cu, kata Paman tidak boleh dia dibunuh. Biarkan aku membagi hadiah
kepadanya!" kata Li Eng sambil tertawa-tawa tanpa mengejar lawannya yang
sudah kalah. Sebaliknya sabuk suteranya menyambar dan kini yang dijadikan
bulan-bulanan adalah lawan Hui Cu.
"Tar-tar-tar!"
Orang ini
pun menjerit dan pedangnya terlepas, muka dan badannya babak-belur dimakan
cambuk. Karena Hui Cu tidak menyerangnya lagi dan gadis nakal itu hanya
menggunakan sabuk sutera untuk menghajarnya, ia lalu melompat jauh mengikuti
temannya yang sudah lari terlebih dulu, meloncat pagar taman dan menghilang.
"Hebat!
Bagus sekali...!” Pangeran Kian Bun Ti bertepuk tangan memuji sambil keluar
dari belakang pilar, terus menghampiri Li Eng dan Hui Cu yang masih memegang
pedang di tangan. Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan wajah berseri,
"Nona
berdua telah menyelamatkan nyawaku, entah dengan cara apa aku bisa membalas
budi kalian!"
Dua orang
dara remaja itu hanya tersenyum. Wajah mereka juga berseri girang. Mereka tidak
saja telah menolong tuan rumah yang amat ramah, akan tetapi lebih dari itu,
telah menolong Pangeran, Pangeran Mahkota lagi!
Akan tetapi
Kun Hong mengerutkan keningnya! Perasaannya yang halus dan tajam dapat
menangkap nada tersembunyi di dalam kata-kata itu tadi. Segera dia maju dan
menjura kepada Pangeran Kian Bun Ti sambil berkata, "Harap Pangeran jangan
berkata demikian. Sudah semestinya bila dua orang keponakan saya membela
Pangeran dari penyerangan orang-orang jahat tadi. Dua orang keponakan saya
tidak menanam budi dan Paduka tidak perlu berterima kasih."
Pangeran
Kian Bun Ti menatap pandang mata pemuda ini dan untuk sejenak keduanya
berpandangan, seakan-akan hendak menjenguk isi hati masing-masing dan seperti
orang ‘mengukur tenaga’. Pangeran itu hendak marah, dadanya sudah panas, akan
tetapi dia menekan perasaannya lalu bertepuk tangan tiga kali. Sambil tersenyum
ia berkata,
"Kegagahan
dua orang Nona ini yang amat hebat, sepatutnya dihormati dengan pesta dan
perkenalan dengan para pembantuku."
Selagi tiga
orang muda itu terheran-heran dan tidak mengerti, dari pintu dalam tiba-tiba
bermunculan beberapa orang, setelah berkumpul semua ternyata mereka berjumlah
tujuh orang. Ada yang berpakaian seperti pendeta, ada yang bertubuh gagah
tinggi besar, ada pula yang lemah-lembut, akan tetapi semua orang ini segera
memberi hormat kepada Pangeran Mahkota dengan cara masing-masing. Melihat bahwa
semua membawa senjata di pinggang atau di punggung, dapat diduga bahwa tujuh
orang ini tentulah orang-orang yang pandai ilmu silat.
Pangeran
Kian Bun Ti memperkenalkan tujuh orang pembantunya itu dan menyebut nama
mereka, akan tetapi Kun Hong dan dua orang keponakannya tidak memperhatikan
biar pun mereka menjura dengan hormat. Hati dua orang dara itu mulai tidak
senang karena pandang mata tujuh orang ini mengandung sikap kurang ajar.
"Ha-ha-ha,
kalian lihatlah. Dua orang Nona inilah baru patut disebut pendekar wanita yang
gagah perkasa dan cantik jelita! Pernahkah kalian melihat dua orang dara remaja
sehebat ini? Dengan tangkas dan mudahnya mereka berdua berhasil mengusir dua
orang jagoan lari tunggang-langgang!"
Seorang di
antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan tadi dikenalkan
sebagai Souw Ki berjuluk Tiat-jiu Busu (Jagoan Tangan Besi), tersenyum pada
waktu dia berkata, "Pilihan Paduka tepat sekali, Pangeran. Hamba menghaturkan
selamat!"
"Ha-ha-ha!
Benar-benar menggirangkan hati, Pangeran. Dengan adanya dua orang siuli
(puteri-puteri istana) segagah ini, pinto dan teman-teman tidak akan begitu
kuatir lagi apa bila tidak sedang berada dekat Paduka!"
Orang yang
tertawa-tawa ini adalah seorang berpakaian pendeta tosu berambut panjang yang
tadi diperkenalkan dengan nama Thian It Tosu. Ia mengelus-elus jenggotnya yang
panjang pula sambil memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan mata
berkedip-kedip seperti seorang yang mengajak bermain mata.
Bukan main
sebalnya hati dua orang dara itu melihat kakek ini beraksi seperti monyet
mencium terasi. Sebelum Li Eng dan Hui Cu mengerluarkan suara untuk mengatakan
kesebalan hati mereka, tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari pintu yang
menembus ke dalam gedung mungil itu berlari-larian keluar lima orang wanita
muda yang cantik-cantik.
Wanita-wanita
ini masih muda, usianya tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun dan pakaian
mereka benar-benar membuat Li Eng dan Hui Cu memandang bengong. Pakaian mereka
itu mencolok sekali, terbuat dari sutera halus tipis sehingga samar-samar
tampak pakaian dalam mereka yang berwarna-warni. Selain tipis membayang, juga
amat ketat menempel pada tubuh mereka.
Mereka ini
rata-rata cantik jelita, ditambah dengan hiasan dan riasan pada muka dengan
warna penghitam dan pemerah. Lima orang wanita muda ini semua memegang sebatang
pedang terhunus yang mengkilap saking tajamnya! Munculnya lima orang wanita
cantik berlenggang genit ini langsung membuat tujuh orang tokoh jagoan itu
tersenyum-senyum dan melirik-lirik.
Sementara
itu, Pangeran Kian Bun Ti segera menegur, juga sambil tersenyum, "Eh-ehh,
kalian ini Lima Macan Cantik datang-datang membawa pedang telanjang mau
apakah?"
Seorang yang
agaknya tertua di antara mereka berlima, menjawab dengan sikap manja dan genit
kepada Pangeran Mahkota itu, "Hamba berlima mendengar bahwa Paduka telah
menerima dua orang baru yang dibanggakan berkepandaian tinggi. Karena selama
ini kami berlima yang menjadi selir-selir pengawal, maka dengan diterimanya
selir pengawal baru, kami ingin sekali mengukur kepandaian mereka."
Setelah berkata demikian, dia dan empat orang temannya menoleh serta memandang
kepada Li Eng dan Hui Cu dengan pandang mata tajam dan marah.
Pangeran
Mahkota itu tertawa bergelak, juga tujuh orang pembantunya tertawa. Mereka baru
mengerti bahwa Lima Macan Cantik ini ternyata menjadi cemburu dan iri hati
setelah mendengar perihal dua orang pendekar wanita tu.
"Ha-ha-ha,
meski pun kalian cukup lihai, tak mungkin kalian dapat menangkan dua orang Nona
perkasa ini."
Kata-kata
ini bagi lima orang wanita itu merupakan ijin, maka cepat mereka bergerak
menghadapi Li Eng dan Hui Cu yang berdiri berdampingan dan yang memandang serta
mendengar semua ini dengan kening berkerut. Ketika lima orang wanita yang
indah-indah pakaiannya itu menghampiri mereka, keduanya juga balas memandang
tajam dan penuh selidik. Mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang ini
benar-benar cantik dan bergaya lembut tapi angkuh seperti lagak puteri-puteri
bangsawan.
Setelah
berdiri sejajar di depan dua orang gadis ini dengan pedang melintang di depan
dada, yang tertua lantas menudingkan telunjuk tangan kiri kepada mereka berdua
sambil membentak, "Dua bocah dari gunung, kalian mengandalkan apa berani
memikat perhatian Pangeran? Coba kalian hadapi pedang kami!"
Li Eng dan
Hui Cu saling pandang. Gilakah perempuan ini? Siapa yang memikat perhatian
Pangeran? Sementara itu, Kun Hong sudah melangkah maju dan menjura ke depan
lima orang wanita itu.
"Ngo-wi
Toanio (Nyonya Besar Berlima), harap sudi bersabar dan tidak salah duga. Dua
orang keponakanku ini sama sekali tidak hendak memikat perhatian siapa-siapa
dan kami percaya penuh bahwa Ngo-wi tentu paling cantik dan paling pandai. Dua
keponakanku ini tidak berani melawan Ngo-wi..."
Li Eng dan
Hui Cu tidak senang sekali mendengar kata-kata paman mereka yang amat merendah
ini. Akan tetapi lima orang wanita-wanita itu jelas kelihatan bangga dan juga
girang.
Akan tetapi,
untuk menyatakan bahwa mereka berlima bukanlah wanita-wanita yang boleh
dipermainkan, wanita yang tertua segera menudingkan ujung pedangnya ke arah Kun
Hong sambil membentak,
"Kau
ini siucai jembel tidak tahu aturan! Apa kau kira kami berlima ini adalah perempuan-perempuan
sembarangan yang boleh diajak bicara oleh segala macam laki-laki seperti kau?
Untuk dosamu ini seharusnya kupenggal kepalamu, tapi karena Pangeran terkenal
sebagai seorang besar yang budiman dan pengampun, biarlah kupotong telingamu
yang kiri agar kau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat main-main!" Setelah
berkata demikian, pedang ditangannya berkelebat ke arah telinga kiri Kun Hong.
Pemuda ini
di dalam hatinya terkejut sekali akan sikap yang berlebihan dari wanita-wanita
ini. Terpaksa dia melangkah mundur terhuyung-huyung menurutkan gerak langkah
ajaib. Wanita itu makin penasaran karena sabetannya luput. Cepat ia melangkah
maju lagi dan kembali mengayunkan pedangnya ke arah telinga kiri Kun Hong.
Pemuda ini tetap saja terhuyung-huyung ke belakang, tetapi sabetan-sabetan
pedang itu tak pernah mengenai telinganya.
"Toanio,
telinga adalah alat untuk mendengar, mana boleh dipotong?" berkata Kun
Hong, suaranya tetap tenang-tenang saja.
Dan inilah
yang lucu karena suaranya demikian tenang, akan tetapi ia terhuyung-huyung dan
kelihatan gerak-geriknya seperti kebingungan. Memang, bagi yang tidak tahu,
gerak langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun memang lebih mirip gerakan orang yang
ketakutan atau kebingungan. Maka tertawalah tujuh orang jagoan yang berdiri di
situ.
Mendengar
suara ketawa ini, wanita itu salah duga, mengira bahwa dialah yang sedang
ditertawai, maka naiklah darahnya. Kini pedangnya tak hanya ditujukan untuk
memotong telinga Kun Hong, malah digunakan untuk menyerang membabi-buta untuk
merobohkan pemuda itu. Kelihatannya makin repotlah Kun Hong,
terjengkang-jengkang dan terhuyung-huyung, namun tak pernah tersentuh pedang
yang menyambar-nyambar itu.
"Tranggg!"
Wanita itu
memekik kaget dan melompat ke belakang, tangannya terasa gemetar dan sakit.
Kiranya Hui Cu sudah berdiri menghadapinya dengan pedang di tangan dan dengan
sikap marah.
"Perempuan
tak tahu malu! Berani kau menghina pamanku yang tak bersalah apa-apa?"
Wanita itu
hanya sebentar saja kaget, lalu ia tersenyum sambil menoleh kepada empat orang
temannya. "Adik-adik, lihat baik-baik. Perempuan ini mengakui keparat itu
sebagai pamannya, Hi-hi-hi, siapa orangnya dapat dibohongi begitu saja? Orang
muda itu usianya tidaklah tua, sebaya dengannya, juga biar pun jembel dan
kotor, mukanya tidaklah buruk bagi seorang laki-laki. Hemm… hemm, bocah gunung,
bilang saja dia itu kekasihmu, kami akan percaya sepenuhnya, jangan bilang
pamanmu."
"Tutup
mulutmu yang kotor!" Hui Cu yang memang tak pandai bicara itu memaki,
matanya yang bening berkilat bercahaya akan tetapi kedua pipinya merah karena
jengah.
"Adik-adik,
mari kita beramai menghajar bocah gunung ini!" wanita itu berseru dan
berlima mereka siap menerjang Hui Cu dengan pedang mereka. Gerakan mereka cukup
kuat dan pasangan kuda-kuda mereka ternyata serupa, tanda bahwa mereka adalah
sealiran.
"Bagus,
kalian sudah bosan hidup!" Hui Cu menggetarkan pedang di tangannya.
Akan tetapi
tiba-tiba di belakangnya Kun Hong membentak, "Hui Cu, tahan! Mundurlah dan
simpan pedangmu. Li Eng, kaulah yang maju menghadapi kelima orang nyonya besar
ini, akan tetapi ingat, jangan sekali-kali membunuh orang!"
Hui Cu
kecewa, akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak pamannya. Dengan mata
berkilat ia menarik kembali pedangnya, menyimpannya dan melangkah mundur. Li
Eng sambil tersenyum-senyum kini menggantikannya maju. Gadis lincah jenaka ini
sudah tahu apa maksud pamannya menyuruh dia menggantikan Hui Cu.
Memang
sesungguhnya melihat Hui Cu yang sudah marah sekali itu, Kun Hong menjadi
sangat kuatir kalau-kalau Hui Cu salah tangan membunuh orang. Apa lagi dalam
sebuah pertempuran yang ramai, sukarlah untuk mengalahkan lawan tanpa membunuh.
Berbeda dengan Li Eng yang ia tahu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari
Hui Cu. Apa lagi Li Eng memiliki senjata istimewa, yaitu sabuk sutera yang
lemas, maka lebih mudahlah bagi Li Eng untuk mengalahkan lawannya tanpa
membunuhnya.
Anehnya,
melihat pertempuran yang akan pecah ini, baik Pangeran Kian Bun Ti mau pun
tujuh orang jagoannya sama sekali tidak mencampurinya. Malah mereka berdiri
menonton dengan wajah berseri, seakan-akan yang terjadi di depan mereka adalah
sebuah adegan sandiwara yang menyenangkan dan menarik.
Hal ini saja
menimbulkan kerut di kening Kun Hong dan pemuda ini mengambil keputusan bahwa
kalau Li Eng sudah berhasil mengalahkan lima orang wanita galak itu, ia segera
akan minta pamit kemudian mengajak dua orang keponakannya meninggalkan tempat
ini. Malah harus cepat-cepat meninggalkan kota raja dengan segalanya yang serba
aneh.
Li Eng yang
dapat menangkap maksud hati pamannya, dengan gerakan tenang sekali lalu
meloloskan sabuk suteranya yang hitam panjang dan menggulungnya di tangan
kanan. Dengan senyum dikulum dan mata berseri dia memandang kepada lima orang
puteri di depannya itu, menatap seorang demi seorang, kemudian berkata dengan
suaranya yang nyaring dan mengandung ejekan,
"Eh,
lima orang nenek siluman betina, sungguh kau tak tahu diri. Kalau tidak paman
kami yang menaruh kasihan, bukankah sekarang kalian berlima sudah rebah menjadi
bangkai di bawah pedang enci-ku?"
Li Eng
memang berani bersikap demikian karena ia sudah tahu pasti bahwa lima orang ini
bukanlah lawan Hui Cu, apa lagi lawan dia. Dari gerakan orang pertama ketika
menyerang Kun Hong tadi saja tahulah dia bahwa lima orang wanita ini hanya
lagaknya saja hebat, pada hakekatnya tidak memiliki kepandaian berarti.
Dimaki
sebagai nenek apa lagi siluman betina, karuan saja lima orang selir Pangeran
itu menjadi marah bukan main. Tanpa banyak cakap lagi mereka berlima segera
menerjang maju sambil menggerakkan pedang menyerang Li Eng.
Li Eng tak
mau berlaku sungkan lagi. Kedua tangannya bergerak, sinar hitam berkelebat.
“Tar-tar-tar-tar!”
terdengarlah bunyi nyaring berulang kali.
Lima orang
pengeroyoknya itu selama hidupnya belum pernah mengalami pertempuran seperti
ini. Mereka merasa seakan-akan ada petir menyambar-nyambar di atas kepala dan
berturut-turut lima batang pedang melayang jauh terlepas dari pegangan lima
orang wanita itu.
Li Eng
menggerakkan sabuk suteranya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah
mengeluarkan bunyi melecuti muka dan tubuh kelima orang pengeroyoknya.
"Tar-tar-tar-tar-tar!"
Lima orang
wanita itu menjerit-jerit, perih dan sakit kulit mereka yang terkena cambukan.
Lalu, sambil menutupi muka dengan tangan, mereka lari meninggalkan tempat itu
kembali ke dalam. Amat lucu melihat mereka lari sambil dikejar sabuk sutera
yang masih sempat mencambuki tubuh belakang mereka, membuat mereka memindahkan
tangan dari muka ke tubuh belakang yang sakit semua akibat dihajar cambuk!
"Cukup,
Li Eng!" Kun Hong berteriak dan Li Eng menyimpan kembali sabuknya, lalu
dia berdiri di dekat pemuda ini.
"Harap
Paduka memaafkan keponakanku." Kun Hong menjura. "Dan perkenankan
kami bertiga mohon diri, kami hendak melanjutkan perjalanan."
Pangeran
Kian Bun Ti menggerak-gerakkan tangan, lalu tertawa, "Ah, Saudara Kun Hong
apakah marah karena peristiwa tadi? Mereka berlima hanyalah selir-selirku yang
bodoh, yang merasa diri sendiri pintar. Kalau mereka tadi bersikap kurang ajar,
biarlah sekarang juga kusuruh masukkan ke dalam penjara."
Mendengar
ini terkejutlah Kun Hong. "Ah, tidak... tidak... mereka tidak apa-apa,
Pangeran. Tak usah dihukum..."
"Baik,
dan untuk menebus kelancangan mereka, biarlah mulai sekarang mereka berlima
menjadi pelayan dua orang keponakanmu ini."
Pucatlah
muka Kun Hong sedangkan Hui Cu dan Li Eng saling pandang, masih belum mengerti
apa sebetulnya maksud hati dan kehendak Pangeran yang tampan dan selalu
tersenyum-senyum itu.
Lagi-lagi
Kun Hong menjura dan bicara seperti orang yang belum mengerti akan maksud
pangeran itu, "Banyak terima kasih atas anugerah Paduka kepada dua orang
keponakan saya, juga terima kasih atas penyambutan dan kehormatan besar yang
kami bertiga telah terima dari Paduka. Akan tetapi terpaksa kami bertiga mohon
diri, Pangeran. Perjalanan kami masih jauh dan harus kami lanjutkan sekarang
juga."
"Perjalanan
itu boleh dibatalkan atau ditunda!" Suara Pangeran itu sekarang terdengar
sungguh-sungguh dan ketus. "Saudara Kun Hong, mulai saat ini aku
mengangkat Li Eng sebagai selir pertama dan Hui Cu sebagai selir ke dua dan
kedudukan mereka merangkap sebagai selir pengawal pribadiku!"
Baru
sekaranglah dua orang dara remaja itu tahu akan maksud hati Pangeran itu. Muka
mereka otomatis menjadi merah bagai udang direbus, mata mereka berkilat saking
marah dan jengah. Keduanya tanpa terasa telah meraba gagang pedang.
Dengan dahi
berkerut-kerut saking gelisah dan bingungnya, Kun Hong pun berulang-ulang
menjura kepada Pangeran Mahkota itu, lalu bertanya, "Pangeran, sejak jaman
nenek moyang kita dahulu, bangsa kita selalu memegang teguh peraturan dan
kesopanan. Dua orang keponakanku ini masih mempunyai orang tua, maka kiranya
untuk urusan ini sebaiknya kalau Paduka berurusan dengan ayah bunda mereka
seperti lazimnya. Sekarang, karena kami bertiga masih mempunyai tugas yang
penting sedangkan perjalanan masih sangat jauh, perkenankanlah kami untuk
mengundurkan diri dan keluar dari sini."
"Ha-ha-ha,
Saudara Kun Hong benar-benar mengagumkan, hafal akan segala pelajaran filsafat
dan ujar-ujar kuno. Aku sama sekali tidak melanggar peraturan, karena bukankah
kau adalah paman dari mereka? Dalam hal ini, seorang paman boleh menjadi wakil
dan pengganti orang tua. Oleh karena itulah, di hadapanmu aku mengajukan
pinangan untuk menjadikan dua orang nona ini sebagai selir-selirku yang
terkasih. Ada pun kau sendiri, sesuai dengan bakat serta kepintaranmu, kuangkat
menjadi pembesar yang mengurus perpustakaan istana!"
Tujuh orang
jagoan itu mengeluarkan seruan kagum dan mereka segera menjura kepada Kun Hong
sambil bersuara saling tunjang, "Kionghi, kionghi (selamat)! Begini muda sudah
menerima anugerah pangkat yang tinggi. Juga kionghi kepada dua orang Lihiap
ini!"
Akan tetapi
Kun Hong cepat mengangkat kedua tangannya dan menggoyang-goyangnya tanda bahwa
ia menolak kesemuanya itu. Juga Li Eng dan Hui Cu sudah hampir tak dapat menahan
kemarahan mereka. Mereka merasa terhina sekali oleh sikap Pangeran ini yang
begitu mau menang sendiri, mengambil orang sebagai selirnya tanpa bertanya
dulu, baik kepada yang bersangkutan mau pun kepada orang tuanya. Apakah
dikiranya mereka itu seperti lima orang wanita tadi, dan dianggap sebagai
perempuan murahan belaka?
"Terpaksa
saya tidak dapat menerima semua itu, Pangeran. Pertama, saya yang muda mana
berani mewakili orang tua mereka? Apa lagi dalam soal perjodohan. Sama sekali
saya tidak berani! Ke dua, saya merasa amat bodoh dan tidak terpelajar,
bagaimana saya berani menerima kedudukan dari Paduka? Tidak, meski pun saya
berterima kasih sekali, akan tetapi terpaksa saya menolak dan harapan saya
hanya perkenan Paduka agar kami bertiga dapat pergi dari sini."
Merah wajah
Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Selama hidup baru kali ini ia menghadapi
orang-orang yang tidak lekas-lekas berlutut menghaturkan terima kasih setelah
dia beri anugerah seperti itu. Wanita mana yang tidak ingin, bahkan saling
berebut untuk menjadi selir terkasih dari Pangeran Kian Bun Ti yang terkenal
muda, tampan, halus budi, dan calon kaisar? Laki-laki mana yang tidak ingin
menjadi pembesar dan kedudukannya diberi sendiri oleh Pangeran Mahkota?
Akan tetapi,
pandang matanya tidak buta, pendengarannya tidak tuli. Kali ini benar-benar dua
orang dara muda, yang hendak diambil menjadi selirnya itu malah berdiri dengan
muka marah sedangkan orang yang hendak diangkatnya menjadi pembesar
perpustakaan malah terang-terangan menampik pula! Saking heran, marah dan
kecewanya, Pangeran ini hanya berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak.
Seorang di
antara tujuh jagoan pengawal Pangeran itu melompat maju. Orang ini usianya
sudah lewat lima puluh tahun, mukanya merah dan matanya jelas membayangkan
bahwa ia adalah seorang yang pemarah dan sombong. Dia inilah yang terkenal
dengan julukan Sin-toa-to (Golok Besar Sakti) bernama Liong Ki Nam. Di daerah
Selatan namanya sudah amat terkenal dan ilmu goloknya memang hebat, boleh
dibilang belum pernah ia menemui tandingan.
Watak orang
ini memang paling berangasan dari teman-temannya, maka melihat sikap tiga orang
muda dan mendengar jawaban Kun Hong tadi, ia segera memaki,
"Bocah!
Kau diberi hati tetapi makin melonjak. Pangeran telah berlaku amat baik hati
dan menghormat, kau malah makin besar kepala. Kau berani membantah perintah
Pangeran, berarti memberontak! Apakah kau sudah bosan hidup?"
Sementara
itu, Pangeran Kian Bun Ti nampak kesal, lalu ia berkata kepada tujuh orang
jagoannya, "Harap para busu membereskan ini, aku menanti kabar."
Tanpa
menoleh lagi kepada Kun Hong atau kepada dua orang dara remaja itu, Pangeran
ini membalikkan tubuh dan dengan langkah yang membayangkan keagungan seorang
calon kaisar, Pangeran ini memasuki rumah gedung.
Setelah Pangeran
itu pergi, tosu rambut panjang, Thian It Tosu, mendekati Kun Hong dan berkata
dengan suara halus, "Orang muda, harap kau pikirkan baik-baik dan
janganlah membawa kemauan sendiri yang tidak wajar. Ingatlah, semua orang muda,
bahkan yang tua-tua sekali pun, di seluruh negeri akan mengiri bila melihat
peruntunganmu yang amat bagus ini. Kau diangkat menjadi pembesar dalam istana
dan dua orang keponakanmu ini dapat merebut hati Pangeran Mahkota. Siapa tahu
kelak kalau Pangeran sudah menjadi kaisar, dua orang keponakanmu itu akan tetap
menjadi kekasih, tentu kau akan diangkat menjadi menteri!"
Kun Hong
tersenyum lemah dan menggerakkan kepala. "Tidak bisa, Totiang. Sama sekali
aku tidak bermaksud membantah Pangeran, apa lagi memberontak. Akan tetapi
sungguh-sungguh aku tidak dapat menerima jabatan itu karena aku memang tidak
suka menjadi pembesar. Ada pun tentang persoalan jodoh, kedua orang keponakanku
ini mempunyai orang tua-orang tua, bagaimana aku berani melancangi
mereka?"
"Eh,
bocah goblok. Kau masih berkepala batu?" Sin-toa-to Liong Ki Nam membentak
lagi dengan mata melotot. "Tidak usah banyak cerewet, pilih mana. Kau dan
dua orang nona ini menurut dan menerima kemuliaan ataukah kalian ditangkap dan
dijebloskan ke dalam penjara, mungkin dihukum penggal kepala!"
Tentu saja
Kun Hong tidak takut mendengar ancaman maut ini. Baginya, di dunia ini tidak
ada sesuatu apa pun yang bisa menimbulkan takut dalam hatinya asalkan ia yakin
akan kebenarannya. Dan dalam hal ini ia sama sekali tidak merasa telah
melakukan sesuatu kesalahan.
Ia menarik
napas panjang dan berkata, "Belum pernah aku mendengar tentang pinangan
dan pemberian anugerah yang bersifat paksaan. Baru saja dua orang keponakanku
telah menolong pangeran dari bahaya maut akibat penyerangan dua orang jahat,
akan tetapi sekarang dua orang keponakanku hendak dipaksa untuk menjadi selir
dengan ancaman hukuman penjara kalau tidak mau menurut. Benar-benar di tempat
yang mewah ini tidak dikenal lagi kebenaran dan keadilan!"
Tujuh orang
jagoan itu tertawa, agaknya geli mendengar ucapan ini. Malah Thian It Tosu lalu
berkata, "Orang muda, kau benar-benar seperti katak di dalam tempurung,
berlagak pintar akan tetapi bodoh. Kau tidak tahu sampai di mana kekuasaan
Pangeran Mahkota. Beliau adalah calon kaisar, tahukah kau? Mana bisa orang
jahat sembarangan hendak menyerang dan membunuh beliau? Kau kira kedua
keponakanmu tadi sudah menolong Pangeran dari penyerangan orang jahat?
Ha-ha-ha! Sebenarnya hanya karena Pangeran yang suka melihat dua orang gadis
ini ingin menguji sampai di mana tinggi kepandaian kedua Nona ini."
Tosu itu
bertepuk tangan dan dari luar berlari datang dua orang yang lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan tujuh orang jagoan itu...
Ketika Kun
Hong dan dua orang keponakannya memandang, mereka ini terkejut sekali karena
mengenal bahwa kedua orang yang baru datang ini bukan lain adalah dua orang
penjahat yang tadi menyerang Pangeran dan dihajar oleh Li Eng dan Hui Cu. Kun
Hong bengong. Tahulah dia sekarang bahwa kiranya Pangeran hanya ingin menguji
kepandaian dua orang keponakannya. Selagi ia kebingungan mengingat urusan sulit
yang dihadapinya, terdengar Li Eng membentak keras dan mencabut pedangnya.
"Aturan
dari mana semua ini? Biar Pangeran sekali pun, tidak boleh memaksa orang lain
sesuka hatinya. Kami tidak sudi menuruti kehendak Pangeran, habis kalian ini
mau apa?" Dengan gagah gadis ini berdiri tegak dengan pedang di tangan
kanan dan sabuk sutera di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan perbuatannya ini
segera diturut oleh Hui Cu.
"Li
Eng, jangan...!" Kun Hong mencegah.
"Paman
Hong, betapa pun baik dan sabarnya hati orang, tidak mungkin bisa memenuhi
kehendakmu, mau dan diperhina oleh orang lain. Kita menolak paksaan mereka dan
kalau mereka hendak menggunakan kekerasan, boleh kita lihat. Orang-orang dari
Hoa-san-pai bukanlah sebangsa pengecut yang takut mati demi membela
kebenaran!" Suara Lie Eng penuh semangat dan baru kali ini terhadap Kun
Hong ia bicara sungguh-sungguh, walau pun dengan nada keras dan menentang.
"Kalian
tidak boleh membunuh orang!" kata pula Kun Hong ketika melihat dua orang
dara remaja itu sudah siap dengan pedang mereka dan tujuh orang jagoan itu pun
tampaknya sudah siap untuk turun tangan.
"Kalau
orang lain hendak mencelakakan kita, masa kita harus diam saja? Kalau orang
lain hendak membunuh kita, masa kita harus mandah saja?" kata pula Li Eng
penasaran.
"Lebih
baik dibunuh dari pada membunuh!" Kun Hong tetap membantah.
Sementara
itu, ketujuh orang jagoan itu saling pandang. Mereka ini rata-rata memandang
rendah terhadap Li Eng dan Hui Cu. Harus diketahui bahwa tujuh orang ini
merupakan tokoh-tokoh besar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka
bukanlah jago-jago biasa macam dua orang yang tadi pura-pura menyerang
Pangeran, melainkan tokoh-tokoh yang benar-benar termasuk ahli silat kelas
tinggi.
Tiat-jiu
Souw Ki yang bermuka hitam dan tinggi besar adalah seorang bajak tungal yang
dahulu namanya bahkan lebih tenar dari pada nama Ho-hai Sam-ong, tiga raja
bajak di Huang-ho itu. Sesuai dengan nama julukannya, Tiat-jiu berarti Kepalan
Besi, tenaga luar dari tubuhnya hebat sekali, kepalan tangannya juga sekeras
besi sehingga orang kata sekali pukul ia mampu membikin remuk kepala seekor
harimau. Di samping kedahsyatan pukulan tangannya ini, ia pun seorang ahli
bermain silat ruyung dengan ruyung bajanya yang besar dan berat.
Thian It
Tosu adalah seorang tosu yang tingkatnya di perkumpulan Ngo-lian-kauw sudah
tinggi, boleh dibilang ia merupakan tangan kanan dari Ketua Ngo-lian Kauwcu
Kim-thouw Thian-li. Thian-It Tosu ini selain ilmu silatnya tinggi, tenaga dalam
di tubuhnya amat kuat, juga sebagai seorang tosu ia mahir ilmu sihir dari
Ngo-lian-kauw.
Semenjak
dulu perkumpulan Ngo-lian-kauw ini memang selalu mencari kesempatan baik untuk
menempel pihak yang menang, merupakan perkumpulan yang bersifat plin-plan.
Sekarang, melihat betapa Pangeran Kian Bun Ti merupakan satu-satunya orang
terkuat untuk menjadi calon pengganti Kaisar, perkumpulan ini tidak
menyia-nyiakan kesempatan, lalu menempel Pangeran ini. Sebagai tokoh besar
Ngo-lian-kauw, bahkan Thian It Tosu sendiri masuk menjadi pengawal Pangeran
Kian Bun Ti.
Orang ke
tiga dan ke empat dari tujuh jagoan istana ini adalah sepasang saudara kembar
dari Ho-pak. Dua orang yang usianya empat puluh lima tahun ini mempunyai muka
yang sama bentuknya sehingga orang luar akan sukar untuk membedakan mereka
kalau saja muka mereka tidak berbeda warnanya. Bu Sek yang lebih tua bermuka
kuning, sedangkan Bu Tai yang ke dua bermuka merah. Mereka berdua ini terkenal
dengan sebutan Ho-pak Siang-sai (Sepasang Singa Ho-pak). Ilmu pedang mereka
amat terkenal sebagai ilmu pedang warisan dari keluarga Bu yang sudah
turun-temurun menjadi panglima perang.
Apa lagi
kalau sepasang saudara kembar ini maju bersama, ilmu pedang mereka menjadi ilmu
pedang pasangan yang amat sukar dilawan. Sebagai saudara kembar, mereka tidak
hanya memiliki persamaan dalam segala gerak-gerik, juga mereka mempunyai
hubungan rasa yang sangat erat sehingga permainan ilmu pedang mereka dapat
digabung menjadi satu seolah-olah hanya seorang saja yang mainkan dua buah
pedang.
Orang kelima
adalah seorang kakek yang memegang sebuah tongkat bengkok, tongkat hitam yang
terbuat dari kayu yang aneh dan kelihatan seperti sebatang tongkat pengemis.
Kakek ini pendiam sekali dan kelihatan selalu seperti orang yang kurang
semangat dan mengantuk, sama sekali tidak patut kalau disebut seorang jagoan.
Usianya sudah enam puluh lima tahun lebih.
Akan tetapi
jangan dikira bahwa dia itu kurang bersemangat atau lemah. Apa bila orang
mendengar namanya, apa lagi orang-orang kang-ouw, tentu akan terkejut setengah
mati karena dia ini bukan lain adalah Bhong Lo-koai yang terkenal disebut
Koai-tung (Tongkat Gila). Ilmu tongkatnya, untuk bagian tenggara tidak ada yang
dapat menandingi!
Orang keenam
adalah orang yang paling berangasan dan sombong, yaitu si ahli golok Sin-toa-to
Liong Ki Nam. Usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi ia terkenal pemarah
dan bertenaga amat besar. Juga dia ini mempunyai ilmu golok tunggal yang tidak
dikenal asal-usulnya.
Dahulunya
Sin-toa-to Liong Ki Nam ini adalah seorang guru silat bayaran. Akan tetapi
ternyata ia hanya memeras uang dari orang-orang kaya dan tidak pernah
menurunkan ilmunya yang terkenal, yaitu ilmu goloknya. Ia hanya menurunkan ilmu
silat pasaran saja sehingga tak pernah ia mempunyai murid yang berarti.
Betapa pun
juga, tak ada orang berani mengganggu murid-muridnya itu, karena biar pun Si
Murid ini tidak memiliki kepandaian berarti, sebaliknya Liong Ki Nam ini
benar-benar seorang yang tangguh dan kosen, sukar dikalahkan. Akhirnya dia
ditarik oleh Pangeran Kian Bun Ti dan dijadikan pengawal. Orang ke tujuh adalah
orang yang paling kuat, usianya sudah enam puluh tahun lebih dan dialah yang
paling aneh di antara tujuh jagoan ini. Orangnya tinggi kurus, sudah tua tapi
pakaiannya selalu serba merah!
Melihat
mukanya yang terus menerus tersenyum-senyum dan kalau bicara lucu, orang lain
tak akan menyangka bahwa dia seorang tokoh yang dihormati di istana. Kiranya
lebih patut kalau ia dianggap orang yang miring otaknya. Namun kalau ada yang
mendengar namanya, yaitu Ang-moko (Setan Merah), orang lalu akan bergidik
mengingat kekejaman kakek kurus ini yang bisa membunuh orang sambil tersenyum
seperti orang menyembelih ayam saja!
Jangan
dikira bahwa Ang-moko ini tidak lihai dan kalah oleh enam orang yang lain itu.
Biar pun tidak pernah kelihatan membawa senjata namun ilmu kepandaiannya
ternyata malah paling tinggi di antara mereka yang berada di situ. Dalam hal
kekejaman dan ketenaran namanya dia hanyalah di bawah tokoh-tokoh besar seperti
Song-bun-kwi, Siauw-ong-kwi, Swi Lek Hosiang dan Hek-hwa Kui-bo, yaitu empat
besar di dunia persilatan!
Demikianlah
kedaan tujuh orang pengawal atau pembantu Pangeran Kian Bun Ti, maka juga tidaklah
terlalu mengherankan apa bila mereka ini sebagai tokoh tua memandang rendah
kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih belum ada nama. Kemenangan dua orang dara
ini atas diri dua orang yang tadi pura-pura menyerang Pangeran, tidaklah
berkesan apa-apa pada mereka karena tingkat kepandaian dua orang ini pun hanya
patut menjadi murid mereka.
Mendengar
ucapan Li Eng dan melihat pula sikap dua orang gadis yang menantang itu,
Sin-toa-to Liong Ki Nam yang berangasan itu tak dapat menahannya lagi. Ia
melangkah maju dan membentak, "Bocah cilik, kalian sombong sekali! Lebih
baik lekas kau berlutut dan mentaati perintah Pangeran, jangan sampai membuat
guru besarmu ini marah dan kehabisan kesabaran, lalu turun tangan kepadamu.”
Li Eng
adalah seorang yang juga memiliki kekerasan hati. Dengan mata berkilat ia
lantas memandang Liong Ki Nam, lalu mengeluarkan dengus mengejek dan berkata,
"Keledai sombong! Keluarkan golok babimu itu, kutanggung dalam beberapa
jurus kau akan minta ampun kepadaku!"
Berdiri alis
Liong Ki Nam. "Keparat, gadis liar! Kau tidak tahu siapa aku? Akulah
Sin-toa-to Liong Ki Nam! Bila sudah kucabut, golok saktiku ini harus membikin
melayang jiwa orang, dan kau berani menyebutnya golok babi?"
"Hi-hi-hik,
mungkin untuk menyembelih babi juga masih kurang tajam. Entah kalau untuk
memotong leher ayam. Ehh, manusia sombong, tentu sudah banyak jiwa ayam kau
bikin melayang dengan golokmu itu, ya? Asal jangan ayam tetangga masih boleh
juga," Li Eng melampiaskan kemarahannya dengan cara mengejek dan menghina.
"Setan
perempuan!"
Tampak sinar
berkelebat disusul gulungan sinar yang menyambar ke arah Li Eng. Kiranya dengan
amat cepat Si Golok Sakti ini sudah mencabut senjatanya dan membacok ke arah Li
Eng. Memang gerakannya hebat dan luar biasa cepatnya, namun kini ia menghadapi
Li Eng, dara perkasa yang sudah mewarisi ilmu sakti dari Im-kan-kok (Lembah
Akhirat).
"Trangg!
Tar-tar!"
Bunga api
berpijar. Terpaksa Si Golok Sakti ini meloncat ke belakang untuk menghindari
serangan ujung sabuk sutera hitam itu. Sebaliknya diam-diam Li Eng terkejut
sekali karena telapak tangannya terasa menggetar ketika ujung sabuk suteranya
menangkis golok lawan tadi. Ia pun maklum bahwa lawan ini benar-benar tak boleh
dibuat main-main. Akan tetapi ia masih mengejek, "Hi-hik, kenapa mundur?
Takutkah?"
Di pihak
Sin-toa-to Liong Ki Nam yang sudah banyak pengalaman, ia pun terkejut karena
mendapat kenyataan bahwa dara remaja ini benar-benar lihai, tidak saja dapat
menangkis serangan goloknya, bahkan mampu membalas dengan serangan sabuk sutera
hitam yang aneh itu. Namun tentu saja ia tidak takut. Ia mengeluarkan suara
menggereng pada saat mendengar ejekan ini, lalu ia membentak,
"Siluman
betina, kau tunggu golokku menamatkan riwayatmu!" Goloknya lalu
diputar-putar di atas kepalanya, berubah menjadi gulungan sinar mengerikan yang
mengeluarkan suara mendesing-desing.
Tiba-tiba
tampak sebatang sinar hitam berkelebat memasuki gulungan sinar putih itu dan
tahu-tahu terdengar Liong Ki Nam berseru tertahan disusul loncatannya ke
belakang dan ia berjungkir-balik lalu memandang kepada Bhong Lo-koai yang sudah
berdiri di depannya bersandarkan tongkat hitam, matanya penuh pertanyaan dan
teguran mengapa temannya ini tadi menahannya.
"Liong-kauwsu,
sudah sering kali aku memberi tahu bahwa amatlah tidak baik menurutkan nafsu
amarah karena membuat orang lupa diri. Kau pun tadi tak mampu mengendalikan
kemarahan sampai kau lupa bahwa yang hendak kau serang itu adalah siuli-siuli
pilihan Pangeran. Andai kata kau dapat membunuh mereka, apakah yang akan
dikatakan kelak oleh Pangeran?"
Muka yang
merah dari Liong Ki Nam tiba-tiba berubah pucat dan ingatlah ia bahwa tadi ia
sudah menurutkan nafsu dan sama sekali tidak ingat bahwa hampir saja dia
mencelakai dirinya sendiri. Memang, sudah jelas bahwa Pangeran tergila-gila
kepada dua orang gadis manis ini dan Pangeran menyerahkan persoalan ini, yaitu
agar supaya dua orang gadis ini dapat menjadi selir-selir terkasih.
Apa bila
sampai dia salah tangan membunuh mereka, bukankah ia akan mendapat marah dari
Pangeran? Bukan tak mungkin karena sudah mengecewakan dan menyusahkan hati
Pangeran, lehernya sendiri akan terpenggal tanpa ia sanggup mempertahankannya
lagi. Karena ini ia cepat mundur, menyimpan goloknya dan tidak berani berkata
apa-apa lagi.
Sementara
itu Bhong Lo-koai sudah melangkah maju. Tongkatnya yang hitam dan buruk itu
bergerak perlahan ke arah Li Eng dan Hui Cu. Dua orang gadis ini adalah
ahli-ahli silat tinggi. Mereka tidak dapat ditipu dengan gerakan yang tampaknya
lemah dan lembut ini, segera keduanya mengangkat pedang menangkis. Dua batang
pedang di tangan gadis itu bertemu dengan tongkat dan... tanpa sedikit pun
mengeluarkan suara dua batang pedang itu menempel pada tongkat, tak dapat
dilepaskan lagi seperti dua batang jarum menempel pada besi sembrani yang amat
kuat.
"Nona
berdua, lebih baik menyerah saja. Tiada gunanya memberontak terhadap perintah
Pangeran, kalian akan berdosa besar," kata kakek aneh itu, matanya yang
sipit itu makin meram.
Diam-diam
kakek ini mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, karena selain ia harus menempel
pedang dua orang gadis itu, juga ia berusaha menarik dan merampasnya. Tapi
alangkah terkejutnya ketika dia menghadapi perlawanan tenaga lweekang yang juga
tidak lemah, apa lagi dari pihak Li Eng.
Demikianlah,
walau pun tampaknya tiga orang ini tidak bergerak dengan senjata mereka yang
saling tempel, sebetulnya mereka sedang mengadu hawa sakti dalam tubuh untuk
mencapai kemenangan. Suasana hening mencekam karena tiga orang itu diam tiada
yang bergerak. Li Eng tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Orang-orang ini
menganggap dia orang apakah maka mereka berani main gila? Dengan seruan nyaring
dan merdu tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar ke leher Bhong
Lo-koai. Cepat sekali sambaran ini dan dengan jitu mengarah jalan darah yang
amat berbahaya bagi keselamatan kakek itu.
Bhong
Lo-koai mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan marahnya. Tiba-tiba saja
tongkatnya melepaskan tempelannya pada dua batang pedang, lalu bergerak
menangkis sabuk sutera itu. Ia mengalami kekagetan hebat namun berhasil
menyelamatkan diri. Ada pun Li Eng terkejut ketika merasa betapa sabuk
suteranya terbetot dan lengannya kesemutan ketika tongkat itu menangkisnya.
Malah Hui Cu terhuyung sedikit pada waktu pedangnya terlepas dari tempelan
tongkat. Ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga lweekang dari kakek ini luar
biasa.
Sekarang
maklumlah Li Eng dan Hui Cu bahwa mereka berdua menghadapi lawan-lawan tangguh.
Baru dua orang itu saja, Sin-toa-to Liong Ki Nam dan terutama kakek ini, Bhong
Lo-koai, memiliki kepandaian yang tinggi, malah Li Eng dapat menduga bahwa
tingkat dua orang ini lebih tinggi dari tingkat Hui Cu, dan agaknya kakek aneh
ini bukan merupakan lawan ringan baginya. Apa lagi kalau tujuh orang itu
semuanya maju, siapa tahu di antara mereka malah ada yang lebih lihai dari
Bhong Lo-koai.
Akan tetapi
urusan ini menyangkut kehormatan mereka, tidak mungkin mereka menyerah menjadi
selir Pangeran! Walau pun mereka harus mempertaruhkan nyawa, mereka akan
melawan sekuat tenaga. Dengan mata berkilat-kilat Li Eng dan Hui Cu cepat
memasang kuda-kuda dan Lie Eng berteriak marah,
"Anjing-anjing
penjilat! Majulah kalian, majulah semua. Jangan harap kami akan menyerah
sebelum leher kami putus!"
Ang-moko,
yaitu seorang di antara para jagoan, yang tertua dan yang sejak tadi hanya
tersenyum saja, kini berkata, "Kalau kalian tidak berhasil menawan dua
ekor kuda betina liar ini, tidak saja Pangeran akan marah kepada kalian, juga
nama kalian akan menjadi rusak. Masa tua bangka-tua bangka seperti kalian ini
tidak mampu menangkap dua ekor kuda betina yang muda ini? Heh-heh-heh,
memalukan sekali!"
"He,
Ang-moko kakek tua! Kau hanya membuka mulut saja tapi tidak mau turun tangan.
Habis apa kerjamu di sini?" teriak Souw Ki kasar.
Ang-moko
tertawa lagi terpingkal-pingkal. "Aku suka mengurus pekerjaan besar, bukan
segala macam usaha menangkap kuda betina yang liar. Kau lebih patut untuk
pekerjaan macam ini."
"Sudahlah,
untuk apa melayani kegilaan Ang-moko?" kata Sin-toa-to Liong Ki Nam.
"Kita beramai tangkap dan tawan dua orang gadis ini, tangkap hidup-hidup
jangan sampai lolos atau terluka." Enam orang itu memasang kuda-kuda, ada
pun Ang-moko hanya menonton sambil tertawa-tawa.
"Paman
Hong, kalau nanti aku mati di sini, tolong sampaikan kepada Ayah dan Ibu bahwa
anaknya mati sebagai seorang gagah!" berkata Li Eng tanpa mengalihkan
perhatiannya kepada para jagoan yang sudah siap hendak menerjangnya itu.
"Sampaikan
hormatku kepada ayah ibuku, Hong susiok," kata Hui Cu, berbeda dengan Li
Eng suaranya agak terharu dan sungguh-sungguh.
Kun Hong
menjadi gelisah sekali, seperti diremas rasa hatinya. Dia tak kuasa mencegah
pertempuran yang pasti akan berlangsung hebat ini, karena ia maklum bahwa dua
orang keponakannya itu sudah tentu lebih baik berjuang sampai mati dari pada
menyerah untuk menjadi selir Pangeran mata keranjang itu.
Akan tetapi
tidak benar ini, pikirnya. Melawan pemerintah, sama pula memberontak. Biar pun
tidak salah, dunia akan mengecapnya sebagai pemberontak dan pengkhianat dan hal
ini juga akan menyeret nama baik seluruh keluarga. Tidak boleh ia membiarkan
dua orang keponakannya itu melakukan dosa seperti ini.
Dikumpulkannya
tenaga batinnya yang gelisah, dipusatkan hawa sakti di tubuhnya, semua ditarik
ke pusat pandangan mata kemudian dia membentak, "Li Eng dan Hui Cu! Simpan
pedangmu dan jangan melawan."
Ketika ia
berteriak demikian itu, para jagoan sudah mulai bergerak maju mengeroyok Li Eng
dan Hui Cu. Suara beradunya senjata sudah terdengar bertubi-tubi dan tubuh
kedua orang gadis itu sudah lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka
sendiri. Namun begitu teriakan ini terdengar, dua orang gadis itu melompat ke
dekat Kun Hong seperti ditarik oleh tenaga gaib.
"Baiklah,
Paman Hong," kata keduanya seperti dari satu mulut. Berbareng pula
keduanya menyimpan pedang dan berdiri tegak menghadapi para jagoan itu yang
saling pandang dan merasa terheran-heran.
Hanya dua
orang gadis itu saja yang merasakan betapa hebat dan ampuhnya pengaruh suara
Kun Hong tadi, suara yang tak mungkin terbantah oleh mereka, suara yang harus
mereka turut dan taati karena seakan-akan adalah suara dari hati mereka sendiri
yang melumpuhkan seluruh daya kemauan.
Kun Hong
sendiri sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan yang menggelisahkan dan
tegang tadi, ia sudah menggunakan tenaga batin dari ilmu hoat-sut yang ia baca
dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok sehingga ia telah ‘menyihir’ dua orang
keponakannya sendiri sampai dua orang dara itu menuruti perintah tanpa syarat
lagi!
"Ha-ha-ha-ha,
bagus sekali! Kiranya tidak keliru Pangeran memilih kau sebagai pengurus
perpustakaan. Agaknya kau tidak sebodoh yang kami kira," kata Thian It
Tosu. "Memang jauh lebih baik menyerah kemudian hidup penuh kemuliaan di
sini dibandingkan melawan kekuasaan Pangeran karena akan membuang nyawa sia-sia
belaka."
"Kami
bertiga menyerah untuk ditawan, bukannya menyerah untuk menerima
kedudukan," jawab Kun Hong dengan suara dingin.
Kembali
tujuh orang itu saling pandang, lalu Thian It Tosu mengangkat pundak.
"Kalian
orang-orang aneh, tapi urusan kami sudah selesai, biarlah selanjutnya
Tan-taijin yang akan mengurus kalian. Serahkan senjata!"
Li Eng dan
Hui Cu tidak melawan ketika pedang mereka dan sabuk sutera Li Eng dilucuti,
sedangkan pedang di pinggang Kun Hong tidak ada yang menganggap karena memang
tidak ada yang tahu. Siapakah orangnya dapat menduga bahwa pemuda yang lemah
ini membawa-bawa pedang?
Mereka
ditahan dalam tempat terpisah dan sebelum berpisah, Kun Hong berkata kepada dua
orang gadis itu, "Jangan kalian kuatir, aku akan berdaya upaya untuk
menginsyafkan Pangeran agar kita dibebaskan kembali. Kita tidak berdosa. Jangan
kalian menggunakan kekerasan. Percayalah, orang yang benar pasti dilindungi
Tuhan Yang Maha Adil."
Akan tetapi
alangkah kaget hati Kun Hong ketika tiba-tiba Ang-moko dan Bhong Lo-koai
bergerak ke depan menggerakkan tangan menyerang dua orang gadis itu. Karena Li
Eng dan Hui Cu sama sekali tidak mengira akan datangnya serangan mendadak ini,
mereka tak dapat mengelak dan roboh lemas dalam keadaan tertotok.
Kiranya dua
orang jagoan tua ini telah saling memberi tanda-tanda. Karena mereka tidak
ingin melihat dua orang gadis yang kosen ini akan menimbulkan kerewelan lagi,
keduanya lalu turun tangan menotok jalan darah mereka.
"He,
apa yang kalian lakukan ini?" Kun Hong berteriak-teriak. "Akan
kulaporkan ini, kalian akan dihukum! Kami sudah menyerah, kenapa kalian masih
tetap merobohkan dua orang keponakanku? Jahat sekali kalian..."
Akan tetapi
tujuh orang itu tidak mempedulikannya lagi, malah ia segera diseret ke lain
jurusan sedangkan dua orang gadis yang sudah lemas tidak berdaya lagi itu
dibawa ke tempat lain. Percuma saja Kun Hong berteriak-teriak sampai suaranya
serak. Ia dilempar ke dalam sebuah kamar kosong yang berjendela kecil beruji
besi. Hanya ada sebuah bangku panjang dan sebuah meja kecil di kamar ini,
selebihnya kosong. Dengan hati risau Kun Hong melempar diri ke atas bangku dan
dengan gelisah memikirkan nasib kedua orang keponakannya.
Pembesar yang
oleh Kaisar dikuasakan untuk mengatur semua urusan yang timbul dan terjadi di
lingkungan istana, adalah Tan-taijin. Tan-taijin ini orang yang berwatak jujur
dan setia, orangnya tinggi besar seperti raksasa dan mempunyai wibawa besar.
Kiranya para
pembaca masih ingat akan tokoh dalam cerita ini yang bernama Tan Hok, pemimpin
kaum Pek-lian-pai yang berjasa amat besar terhadap perjuangan. Malah dalam
pergolakan belasan tahun yang lalu saat para bekas pejuang saling berebutan
kedudukan malah ada yang memberontak kepada Kaisar, kembali Tan Hok
memperlihatkan jasanya dan menolong Kaisar dari serbuan kaum petualang yang
hendak merebut kekuasaan.
Akhirnya,
Tan Hok yang tubuhnya tinggi besar dan gagah ini diangkat oleh Kaisar menjadi
pengawal pribadinya. Kemudian malah diberi pangkat untuk mengurus segala
persoalan yang terjadi di lingkungan istana. Karena ini maka Tan Hok yang
sekarang disebut Tan-taijin ini mempunyai pengaruh yang amat besar. Semua
kata-katanya dipercaya oleh Kaisar dan sebagai seorang jujur dan keras hati, ia
ditakuti dan disegani oleh seluruh kerabat istana.
Seperti
telah kita ketahui dalam bagian depan dari cerita ini, antara Tan Hok dan Tan
Beng San terdapat pertalian persahabatan yang sangat erat, malah pendekar sakti
Tan Beng San menganggap raksasa ini sebagai kakak angkatnya. Oleh karena inilah
maka semenjak Tan Beng San bersama isterinya, Cia Li Cu, tinggal di Thai-san,
kedua orang gagah ini sering kali mengadakan hubungan.
Tan-taijin
sering kali pergi mengunjungi Thai-san, malah sudah beberapa kali Tan Beng San
sekeluarganya berkunjung ke kota raja dan bermalam di gedung Tan-taijin. Karena
Tan-taijin sendiri yang menikah dengan seorang gadis kota raja tidak memiliki
keturunan, maka sering kali puteri tunggal Tan Beng San tinggal di situ sampai
berbulan-bulan.
Malah atas
anjurannya, juga karena terlalu disayang oleh ayah bundanya, puteri tunggal ini
mempelajari segala kerajinan tangan wanita di kota raja sehingga selain
mewarisi ilmu silat sakti dari ayah ibunya, gadis ini pun memiliki kepandaian
puteri-puteri istana seperti sastra, menyulam, bermain musik, bermain catur dan
lain-lain.
Urusan Kun
Hong dan dua orang keponakannya pun otomatis terjatuh ke dalam tangan
Tan-taijin, karena urusan itu merupakan urusan dalam. Para jagoan sudah maklum
akan kelihaian Tan-taijin dalam menyelesaikan urusan yang sulit-sulit, maka
sesudah mereka menjebloskan Kun Hong ke dalam penjara di dalam istana dan
memasukkan dua orang gadis itu ke dalam kamar para selir Pangeran, mereka
kemudian melaporkannya kepada Tan-taijin.
Mula-mula
Tan-taijin mengomel pada saat mendengar bahwa secara mendadak Pangeran Mahkota
mengangkat seorang pemuda menjadi pengurus perpustakaan serta dua orang gadis
begitu saja menjadi selir. Watak orang muda omelnya, segala serba tergesa-gesa
menurutkan nafsu hati.
Tetapi dia
segera tertarik sekali mendengar bahwa ‘pemuda kepala batu’ yang menolak
anugerah besar ini ternyata adalah seorang dari Hoa-san-pai, demikian pula dua
orang gadis yang katanya menolak pula anugerah Pangeran. Tadinya ia pun hampir
tak dapat percaya kalau ada dua orang gadis muda yang menolak diangkat sebagai
selir Pangeran Mahkota, akan tetapi setelah ia mendengar bahwa dua orang dara
remaja itu adalah orang-orang Hoa-san-pai, ketidak percayaannya berubah dan ia
tertarik sekali.
Ia cukup
mengenal watak pendekar-pendekar wanita yang tak boleh disamakan dengan
wanita-wanita biasa. Kalau yang menolak anugerah tertinggi itu adalah para
pendekar wanita dari Hoa-san-pai, hal itu bukanlah hal yang aneh. Dia harus
dapat mengurus hal ini, mengatasinya dan mencari jalan pemecahannya yang baik.
Karena ia
mendengar bahwa pemuda yang diangkat menjadi pengurus perpustakaan itu adalah
paman dari kedua gadis tadi, maka ia segera memberi perintah agar supaya pemuda
bandel itu malam itu juga diantar ke gedungnya, akan ditemui dan diperiksa.
Diam-diam ia menduga-duga siapakah pemuda ini dan putera siapa karena ia
mengenal semua tokoh Hoa-san-pai.
Sebagai
seorang tawanan, biar pun orang-orang tahu bahwa dia seorang laki-laki yang
lemah, dua tangan Kun Hong dibelenggu ketika orang membawanya untuk menghadap
Tan-taijin di ruangan tengah. Pada waktu itu hari sudah gelap dan di ruangan
itu dipasangi lampu yang amat terang.
Tan-taijin
sendiri duduk menghadapi meja besar dalam pakaian kebesarannya karena ia sedang
memeriksa seorang tahanan. Pembesar ini amat gagah dalam pakaiannya yang
mentereng seperti Kwan Kong saja. Sunguh-sungguh berwibawa! Setiap orang
pesakitan tentu akan tunduk dan takut kalau diperiksa oleh seorang seperti
Tan-taijin ini.
Melihat
seorang pemuda kurus dan tampaknya lemah digiring masuk, Tan-taijin langsung
merasa kecewa. Tak patut pemuda ini menjadi murid Hoa-san-pai. Tadinya ia menduga
akan bertemu dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang kesatria
keturunan pendekar besar. Akan tetapi pemuda itu mempunyai keistimewaan pada
matanya, yang mengingatkan Tan-taijin kepada sahabat dan saudara yang tercinta,
pendekar besar Tan Beng San Si Raja Pedang!
Banyak
persamaan antara mata kedua orang itu, pikirnya, begitu tajam, begitu cemerlang
dan berani menentang segalanya. Setelah pemuda itu berlutut di depan meja,
Tan-taijin memberi isyarat kepada dua orang pengawal untuk meninggalkan ruangan
itu. Ia ingin bicara empat mata dengan pemuda ini, ingin melakukan pemeriksaan
mendalam tanpa disaksikan orang lain. Sejenak ia melihat kepala yang menunduk
itu, lalu terdengar suaranya yang besar, tetap dan nyaring,
"Orang
muda, kau berdirilah!"
Kun Hong
bangkit berdiri dan mereka berpandangan. Sejenak sinar mata mereka saling
mengukur, saling menentang, kemudian meragu dan masing-masing seperti sadar
bahwa mereka berhadapan dengan seorang lawan yang tidak mudah menyerah kalah.
"Orang
muda, siapakah namamu, dari mana asalmu dan mengapa kau sampai ke kota raja
sehingga menjadi seorang tahanan. Ceritakanlah semua dari awal sejelasnya,
siapa tahu dari pengakuanmu itu aku akan dapat membebaskanmu."
Suara
Tan-taijin jelas, lambat, keras dan sekata demi sekata berkesan di dalam hati
Kun Hong. Akan tetapi, saat pemuda ini tadi melihat pakaian yang indah
mentereng, ruangan yang angker serta sikap yang agung dari pembesar yang
memeriksanya, diam-diam dia mengeluh dan tidak dapat banyak mengharapkan keadilan.
Mendengar pertanyaan yang sekaligus dapat mencakup seluruh persoalan yang harus
ia ceritakan itu, Kun Hong menjawab singkat tanpa mengangkat mukanya yang
menunduk memandang lantai.
"Nama
saya Kwa Kun Hong dan berasal dari Hoa-san, tidak sengaja sampai ke kota raja
karena bersama dua orang keponakanku hanya hendak melihat-lihat saja. Tapi
kebetulan terdengar oleh Pangeran dan kami menerima undangan. Siapa tahu,
Pangeran hendak memaksa dua keponakan saya untuk menjadi selirnya sedangkan
saya menjadi pengurus perpustakaan. Kami tidak mau dan ditahan.”
Melihat
sikap pemuda yang tenang-tenang dan sama sekali tak merasa takut ini,
Tan-taijin diam-diam kagum juga. Apa lagi mendengar nama keturunan pemuda ini
Kwa. Pernah apakah dengan Kwa Tin Siong?
Pada saat
itu, pintu sebelah dalam terbuka dan muncullah seorang pemuda yang tampan
sekali, dengan sepasang mata bersinar-sinar bagai bintang. Kun Hong sejenak
terbelalak kagum, akan tetapi segera timbul ketidak senangannya karena ia
melihat bahwa pemuda yang tampan itu ternyata hanya pemuda pesolek yang terlalu
halus gerak-geriknya. Sebaliknya pemuda tampan itu seakan-akan tak melihat
kehadiran Kun Hong yang berdiri dengan kedua tangan terbelenggu, langsung
berkata kepada Tan-taijin.
"Pek-hu
(uwa), kau tolonglah... aku mendengar ada dua orang gadis muda jelita berasal
dari Hoa-san-pai sedang ditahan dan hendak dipaksa menjadi selir oleh
Pangeran!"
Tan-taijin
dengan gerak matanya memberi isyarat bahwa di situ ada orang lain. Pemuda itu
mencari dan melihat Kun Hong, maka ia segera melanjutkan, "Pangeran sudah
terlalu banyak selir-selirnya. Yang sudah punya banyak ingin tambah terus, dan
aku yang belum punya seorang pun tidak kebagian!"
Semakin muak
perasaan Kun Hong terhadap pemuda tampan itu, maka ia memandang dengan mata
melotot, terang-terangan ia menyatakan kemarahannya.
Pemuda itu
balas memandang, mengerutkan alisnya kemudian bertanya, "Ahh, kiranya aku
mengganggu Pek-hu. Bajingan apakah yang Pek-hu periksa malam-malam begini?
Apakah dia tukang colong ayam istana? Ataukah tukang copet? Jangan-jangan dia
maling kuda, kabarnya banyak kuda hilang secara aneh dari kandang istana. Tapi
dia tidak patut menjadi pencuri kuda, pantasnya menjadi maling ayam!"
Jelas bahwa pemuda ini sedang sengaja menghina Kun Hong yang melotot marah itu.
Begitu
pemuda tampan itu muncul wajah Tan-taijin yang tadinya bersungguh-sungguh
berubah terang berseri. Ia segera menggerakkan tangannya dan berkata, "Kau
duduklah, Tan-ji (Anak Tan) dan justru dua gadis yang kau bicarakan itu ada
hubungannya dengan orang ini. Kau duduk dan dengarlah."
Pemuda itu duduk
tak jauh dari meja, duduk di atas bangku dan menumpangkan paha kiri di atas
paha kanannya, dengan sikap angkuh memandang Kun Hong yang menjadi makin gemas.
Tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut, turun dari bangku, menghampiri Kun Hong
dan begitu tangannya bergerak ia telah mengambil pedang di balik baju Kun Hong.
"Ih,
dia menyembunyikan pedang, Pek-hu!" katanya memperlihatkan pedang itu.
Diam-diam
Kun Hong terkejut dan kecewa. Tadinya ia sudah merasa girang bahwa tidak ada
orang menaruh curiga padanya. Kiranya pemuda ini dapat melihat pedangnya, malah
kini pedang itu dirampasnya.
Kening
pembesar itu berkerut. "Hemmm, menurut laporan kau adalah seorang pemuda
sastrawan yang lemah. Mengapa kau menyembunyikan pedang?"
Sekarang
marahlah Kun Hong. Ia menentang pandang mata pembesar itu dan menjawab,
"Pedang tetap pedang, benda yang tak berdosa. Tergantung tangan yang
memegangnya. Pedang itu adalah pemberian orang suci kepadaku, mengapa takkan
kubawa? Tapi sama sekali bukan untuk... membunuh orang atau untuk beraksi
seperti dia itu!"
Matanya
memandang pemuda yang kini sudah mencabut pedang itu dari sarungnya dan
memegang serta memandanginya seperti seorang ahli!
"Hemmm,
sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang baik. Eh, dari mana dia mencuri pusaka
ini?"
Pemuda
tampan itu menoleh dan pandang matanya tajam penuh selidik, mengiris jantung,
bukan karena keindahannya namun karena penghinaannya yang bagi Kun Hong terasa
amat perih. Saking marahnya Kun Hong sampai tak dapat mengeluarkan suara. Dia
sendiri merasa heran mengapa terhadap pemuda pesolek yang terlalu tampan ini ia
mudah sekali tersinggung dan marah, padahal menghadapi segala sesuatu biasanya
ia tenang dan sabar saja. Pada saat bertemu pandang, sengaja ia membuang muka
seperti orang melihat binatang yang menjijikkan.
Sementara
itu, Tan-taijin tidak begitu heran melihat Kun Hong menyembunyikan pedang di
balik jubahnya. Sebagai seorang murid Hoa-san-pai sudah tentu saja soal membawa
pedang bukan merupakan soal yang aneh lagi. Yang aneh hanya karena pemuda ini
tak pandai ilmu silat, mengapa membawa pedang segala?
"Kwa
Kun Hong," berkata pula pembesar itu dengan suara kereng, "Pangeran
Mahkota begitu baik kepadamu, belum kenal telah diundang, diadakan pesta,
kemudian malah kau diberi anugerah pangkat. Mengapa kau menolaknya? Penolakanmu
itu berarti kau tidak kenal budi, berarti kau tidak taat dan tidak menghormat
kepada putera Kaisar. Padahal aku mendengar laporan bahwa kau menerima ketika
diangkat menjadi ketua perkumpulan pengemis, kenapa sekarang kau malah menolak
ketika diberi kedudukan betul-betul oleh Pangeran Mahkota. Bukankah itu
menunjukkan bahwa kau tidak setia kepada junjungan dan punya hati
memberontak?"
"Eh-ehh,
orang macam ini jadi raja pengemis?" lagi-lagi terdengar suara pemuda
tampan itu yang membuat kedua telinga Kun Hong serasa dibakar.
Kun Hong
mengangkat muka, berdiri tegak dan suaranya menggeledek ketika menjawab
pembesar itu, jawaban yang diselimuti oleh kemarahannya yang bangkit karena
sikap dan kata-kata Si Pemuda Tampan tadi.
"Taijin,
saya ingin bicara terus terang, kalau menyinggung harap Taijin suka maafkan
atau mau hukum, terserah. Setelah melihat keadaan di dalam istana-istana
kerajaan, melihat kerajaan, melihat pembesar-pembesar istana, selaksa kali saya
lebih suka menjadi ketua pengemis jembel dari pada menjadi pembesar di istana!
Menjadi ketua pengemis paling tidak masih mengingat akan nasib para pengemis,
meski tampak hina namun merupakan pekerjaan yang mulia. Akan tetapi sebaliknya,
orang-orang yang menyebut dirinya sendiri pembesar, yang hidup bergelimang
dengan kemewahan, kemuliaan, dan kesenangan, apakah jasa mereka terhadap rakyat
jelata? Pembesar-pembesar seperti Taijin ini, yang sangat banyak jumlahnya di
kota raja, pernahkah memikirkan nasib si kecil? Pernahkah mimpi bahwa kalau
Taijin sedang tidur nyenyak di dalam gedung istana indah, ratusan ribu rakyat
di gunung-gunung kedinginan karena dinding gubuk bobrok dan atap daun bocor?
Kalau Taijin sedang makan masakan kota raja yang enak dan lezat, ingatkah akan
ratusan ribu rakyat yang mengerang kelaparan, bahkan ada yang mati karena
perutnya kosong? Kalau setiap pagi dan sore berganti pakaian-pakaian indah dan
mempersolek diri seperti Tuan Muda ini, pernahkah ingat akan ratusan ribu
rakyat yang telanjang dan harus kedinginan? Padahal..." Sampai di sini Kun
Hong menarik napas panjang, kemudian dia menyambung lebih bersemangat lagi,
"padahal
kalau tidak ada rakyat, takkan ada raja, takkan ada pembesar seperti Taijin
ini, tak akan ada istana-istana indah ini. Hemmm, sudah banyak kubaca tentang
orang-orang yang menyebut diri sendiri pemimpin dan pembesar seperti Taijin dan
sebangsanya. Di waktu perang? Ahh, ada rakyat yang maju! Di waktu banjir? Musim
kering panjang? Ada rakyat yang menanggulangi. Tetapi kalau sudah mabuk
penghidupan mewah dan enak, segera rakyat dilupakan!"
Saking
kaget, heran dan kagumnya, wajah Tan-taijin berubah-ubah dan wajah pemuda
tampan itu kini menjadi merah sekali. Melihat wajah pembesar itu, Kun Hong
menjadi semakin bersemangat.
"Ah,
Taijin terheran? Ha-ha, aku berani bertaruh bahwa orang seperti Taijin ini tak
pernah keluar dari kota raja, setiap hari hanya mencium wangi masakan sedap,
melihat wanita cantik dan memakai pakaian indah. Cobalah Taijin tengok ke
dusun-dusun, dan juga ke gunung-gunung, ke pinggir-pinggir laut, tengoklah
kehidupan rakyat kecil di sana. Mungkin mata Taijin akan terbuka dan tidak berani
lagi menari-nari di atas kemelaratan rakyat, berlaku sewenang-wenang, menangkap
orang-orang tak berdosa, merampas gadis-gadis begitu saja..."
"Tutup
mulutmu! Kau tak tahu dengan siapa kau bicara!"
Tiba-tiba
pemuda tampan itu melompat maju dan…
"Plak! Plak!"
kedua pipi Kun Hong ditamparnya kanan kiri.
Mata pemuda
tampan itu berapi-api, marah sekali ia rupanya.
"Jangan,
Tan-ji...! Mundurlah! Bagaimana pun juga, dia bicara tentang kenyataan, tentang
kebenaran dan keadilan!"
"Tapi
ia kurang ajar, Pek-hu. Ahh, muak perutku melihatnya!" Pemuda tampan itu
dengan marah lalu meninggalkan ruangan.
Tan-taijin
lalu bangkit dari bangkunya dan maju melepaskan belenggu tangan Kun Hong.
Pemuda ini tidak merasa girang atau heran, hanya mengangkat kedua tangan
mengusap kedua pipinya yang masih ada tanda lima jari merah bekas ditampar
tadi. Panas tamparan tadi, tapi lebih panas lagi hatinya.
"Huh,
laki-laki macam apa dia? Pesolek dan galak, seperti banci saja!" gerutu
Kun Hong dengan hati mengkal.
Tan-taijin
tersenyum ketika berkata, "Kau maafkanlah dia, dia itu masih seperti anak
kecil saja. Kwa-sicu, semua omonganmu tadi memang tepat, akan tetapi kau hanya
tahu ekor tak melihat kepalanya, tahu satu tidak tahu dua. Kau mengaku dari
Hoa-san dan she Kwa, sebetulnya kau masih ada hubungan apakah dengan Ketua
Hoa-san-pai, Kwa Tin Siong Taihiap?"
"Saya...
anaknya..." jawab Kun Hong agak gagap, sama sekali dia tidak mengira bahwa
agaknya pembesar ini mengenal ayahnya.
"Ha-ha-ha-ha,
sudah kuduga!" kata Tan-taijin girang, kemudian ia mengelus jenggot dan
menarik napas panjang. "Kau bersemangat seperti ayahmu. Hemm, tapi sebagai
putera Ketua Hoa-san-pai, bagaimana kau tidak pandai ilmu silat? Tapi, hal itu
bukan urusanku. Sekarang tentang dua orang gadis itu, kau bilang mereka itu
adalah keponakanmu. Kalau begitu..." Pembesar itu mengingat-ingat,
"apakah mereka itu keturunan dari Saudara Thio Ki ataukah Saudara Kui
Lok!"
Makin
heranlah Kun Hong. Kiranya pembesar ini banyak mengenal keluarga Hoa-san-pai!
"Dugaan
Taijin tidak keliru, Li Eng adalah puteri Paman Kui Lok, sedangkan Hui Cu ialah
puteri Paman Thio Ki," katanya cepat dan kini mulai memperhatikan wajah
yang tampan dan gagah dari pembesar bertubuh raksasa itu.
Bukan main
kagetnya hati Tan-taijin. "Ahh, aku harus cepat membebaskan mereka! Kwa
Kun Hong, ketahuilah, aku adalah sahabat baik dari ayahmu beserta semua
orang-orang Hoa-san-pai, bahkan sahabat seperjuangan. Sekarang terpaksa kau
berdiam dulu dalam kamar tahanan, aku perlu pergi ke Istana Kembang membebaskan
dua orang gadis itu."
Kun Hong
merasa girang sekali, tetapi sebelum ia sempat menyatakan terima kasihnya,
pembesar itu menepuk tangan dan masuklah beberapa orang pengawal.
"Antarkan
kembali pemuda ini ke dalam kamar tahanan, akan tetapi jangan dibelenggu dan
perlakukan sebagai tamuku!"
Para
pengawal itu memberi hormat dan dengan halus Kun Hong digandeng pergi dari
ruangan itu. Dengan sudut matanya Kun Hong berusaha mencari pemuda tampan yang
tadi menampar pipinya, akan tetapi tidak terlihat dan diam-diam ia berjanji
kelak akan membalas tamparan ini. Baru kali ini bisa timbul dendam di hati Kun
Hong, suatu hal yang baginya sendiri teramat aneh.
Tergesa-gesa
Tan-taijin malam hari itu juga pergi menuju ke Istana Kembang dengan maksud
membebaskan Li Eng dan Hui Cu dari tahanan. Ia kuatir sekali kalau-kalau
kedatangannya terlambat. Kalau sampai dua orang gadis itu diganggu oleh
Pangeran, hal ini akan mempunyai akibat yang hebat sekali.
Mereka
adalah putera-puteri tokoh Hoa-san-pai, kalau terjadi hal ini berarti Pangeran
telah menodai nama baik Hoa-san-pai. Tidak saja pihak Hoa-san-pai takkan dapat
menerima hal itu, malah dunia kang-ouw akan geger karenanya, terutama sekali
saudara angkatnya, Si Raja Pedang Tan Beng San yang memiliki hubungan erat
dengan Hoa-san-pai, tentu akan menyesal bukan main.
Paling perlu
ia membebaskan dua orang gadis itu dahulu, baru pada keesokan harinya ia boleh
bicara dengan Pangeran Mahkota. Jika ia menceritakan keadaan yang sebenarnya
dan tentang jasa-jasa Hoa-san-pai, kiranya Pangeran Mahkota takkan menyesal
dengan dibebaskannya dua orang gadis itu. Andai kata Pangeran tetap menyesal,
ia masih dapat menggunakan pengaruh Kaisar untuk meredakannya atau kalau perlu,
demi kepentingan ini, ia rela mengundurkan diri, kembali ke dusun.
Kata-kata
Kun Hong tadi membangkitkan semangatnya, membuat ia terkenang akan keadaan
dahulu dan diam-diam ia harus mengaku bahwa selama bertahun-tahun ia hidup di
istana, memang hampir terlupa olehnya bahwa rakyat hingga sekarang masih banyak
yang menderita!
Akan tetapi,
setibanya ia di Istana Kembang, ternyata kedatangannya telah terlambat! Bukan
terjadi seperti yang ia kuatirkan. Pangeran Mahkota tidak sempat mengganggu dua
orang gadis itu karena belum datang malam itu, masih di istana. Akan tetapi
terjadi lain hal yang hebat, yaitu, dua orang gadis itu telah berhasil
melarikan diri.
Seluruh
penghuni Istana Kembang itu, dua orang selir Pangeran yang bertugas membujuk
dua orang gadis itu, empat orang pelayan wanita yang bertugas melayani, dan
lima orang perajurit pengawal yang tinggi juga kepandaiannya, semua telah
tewas! Dua orang gadis Hoa-san-pai itu lenyap dan sebelas orang manusia
terbunuh. Istana Kembang yang indah, yang biasanya menjadi tempat peristirahatan
Pangeran, sekarang malah menjadi tempat menyeramkan dengan darah berceceran dan
mayat bergelimpangan!
Tan-taijin
kaget sekali, membanting-banting kedua kaki. Ia menyesal mengapa Pangeran
begitu gegabah, bermain kasar terhadap murid-murid Hoa-san-pai. Juga dia
menyesal sekali mengapa dua orang gadis itu setelah berhasil melarikan diri,
berlaku begini ganas dan kejam? Cepat ia melakukan pemeriksaan dan sebentar
saja para jagoan dari istana berdatangan ketika mendengar peristiwa hebat itu.
Sebetulnya apakah yang telah terjadi?
Seperti
telah kita ketahui, karena sama sekali tidak menyangka akan diserang dan juga
karena memang kepandaian Ang-moko dan Bhong Lo-koai amat tinggi, Li Eng dan Hui
Cu secara tiba-tiba tertotok roboh dan mereka ini sama sekali tidak melawan
ketika dibawa ke dalam Istana Kembang dan ditahan di dalam sebuah kamar yang
indah dan mewah.
Sebelum
meninggalkan dua orang gadis tawanan ini kepada dua orang selir Pangeran yang
diserahi tugas untuk membujuk secara halus, lebih dahulu Bhong Lo-koai mengikat
tangan nona itu agar kalau nanti kembali dari totokan, takkan mengamuk.
Kemudian para jagoan meninggalkan Istana Kembang untuk memberi laporan kepada
Pangeran yang tadi pulang terlebih dulu.
Pada malam
hari itu juga, selagi Tan-taijin memeriksa Kun Hong dan Pangeran Mahkota dengan
girang mendengarkan laporan para jagoannya bahwa kedua orang dara remaja yang
dirindukannya itu sudah tertawan, terjadilah hal yang hebat di Istana Kembang
itu...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment