Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 01
TELAGA itu
luas sekali, dari tepinya tampak seolah-olah lautan bebas, dengan pulau-pulau
di tengahnya yang kelihatan subur penuh dengan pohon-pohon lebat. Telaga itu
dikelilingi pegunungan yang kaya akan hutan sehingga merupakan cermin besar
yang menampung bayangan pohon-pohon di dalamnya, membuat air telaga kadang kala
terlihat hijau jernih.
Pada waktu
matahari naik tinggi, apabila kita memandang ke telaga itu, seolah-olah kita
sedang berhadapan dengan sebuah dunia ajaib di mana segala-galanya nampak terbalik,
dan telaga itu seperti sebuah mangkok wasiat yang menelan seluruh dunia,
pohon-pohon gunung-gunung, bahkan langit pun ditelannya!
Amat indah
pemandangan di sekitar telaga, indah tenteram, penuh suasana damai, sunyi
senyap dan tenang. Sepantasnya tempat seperti itu menjadi contoh penggambaran
taman sorga. Akan tetapi tidak demikianlah kenyataannya. Keadaan di situ sangat
sunyi senyap karena memang orang-orang, yaitu para penghuni dusun-dusun di
sekitar daerah itu, tak ada yang berani mendekati telaga ini. Telaga Kwi-ouw
(Telaga Setan), demikianlah telaga ini dinamakan orang!
Tidak ada
yang tahu bagaimana riwayatnya sampai telaga seindah itu dinamakan Telaga
Setan. Akan tetapi puluhan tahun yang lalu telaga ini menjadi sumber nafkah
bagi ratusan orang penghuni di sekitar daerah itu yang setiap hari dan terutama
malam mencari ikan yang banyak terdapat di dalam air telaga.
Akan tetapi
semenjak salah sebuah di antara pulau-pulau di Telaga Setan itu, yaitu yang
terbesar, menjadi sarang golongan hek-to (golongan jalan hitam), yaitu kaum
sesat yang membentuk perkumpulan yang bernama Kwi-eng-pang (Perkumpulan
Bayangan Setan), maka tempat itu menjadi sepi, menjadi tempat yang amat
berbahaya sehingga tidak ada lagi penduduk yang berani mendekatinya.
Belasan
tahun yang lampau, perkumpulan Kwi-eng-pang yang bersarang di atas pulau itu
seakan-akan menjadi pemilik dan menguasai Telaga Kwi-ouw, diketuai oleh
pendirinya, yaitu seorang datuk kaum sesat wanita yang sangat terkenal dengan
julukannya Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu). Akan tetapi perkumpulan yang
terdiri dari kaum sesat dan amat ditakuti rakyat ini, kurang lebih lima belas tahun
yang lalu sudah dihancurkan oleh pasukan pemerintah yang dibantu oleh
orang-orang gagah.
Si Bayangan
Hantu yang menjadi ketuanya tewas dan para pembantu-pembantunya yang merupakan
pimpinan Kwi-eng-pang terbasmi habis. Bahkan sebagian besar dari anggota
Kwi-eng-pang tewas dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah, adapun sisanya
melarikan diri cerai berai meninggalkan pulau di Telaga Setan itu.
Bertahun-tahun
pulau itu kosong, akan tetapi Telaga Setan tetap menyeramkan, dan tetap saja
sunyi senyap karena rakyat masih tak berani mendekati telaga yang terkenal
angker dan amat berbahaya ini. Apalagi sekarang, setelah rakyat melihat betapa
pulau di tengah telaga itu ‘hidup’ kembali, terdapat berita bahwa Kwi-eng-pang
yang pernah dihancurkan pemerintah itu kini dibangun kembali, bahkan kabarnya
lebih ganas dan lebih jahat dari pada dahulu sebelum dibasmi pemerintah!
Memang sukar
menentukan mana yang lebih ganas dan kejam antara Kwi-eng-pang yang dahulu dan
yang sekarang karena berita seperti itu biasanya sering dilebih-lebihkan oleh
mereka yang merasa ketakutan. Akan tetapi memang benar bahwa sekarang
orang-orang Kwi-eng-pang telah kembali ke pulau di tengah Telaga Setan itu!
Sisa para
anggota Kwi-eng-pang yang sempat menyelamatkan diri, kini kembali bersama
banyak anggota baru, diketuai oleh seorang lelaki berusia hampir lima puluh
tahun yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan berjuluk Hek-tok-ciang (Si
Tangan Beracun Hitam). Hek-tok-ciang ini bernama Kiang Ti dan dia adalah murid
dari mendiang Si Bayangan Hantu.
Pada waktu
subo-nya (ibu gurunya) masih menjadi ketua Kwi-eng-pang, Kiang Ti ini telah
menjadi ketua dari perkumpulan Ui-hong-pang yang berada di lembah Sungai
Huang-ho, di lereng Bukit Ui-tiong-san. Kini, melihat betapa pulau bekas sarang
gurunya itu kosong, dan banyak pula anggota Kwi-eng-pang yang berhasil lolos
dari pembasmian pemerintah, maka sebagai murid kepala, Kiang Ti lalu
mengumpulkan mereka, digabung dengan para anggotanya sendiri, kemudian setelah
lewat belasan tahun pemerintah tidak lagi menaruh perhatian kepada Telaga
Setan, Kiang Ti memboyong anak buahnya pindah ke pulau di tengah Telaga Setan
dan tempat itu menjadi sarang mereka yang kembali memakai nama Kwi-eng-pang
untuk melanjutkan perkumpulan yang pernah dipimpin gurunya.
Dasar mata
pencaharian mereka adalah menangkap ikan yang banyak terdapat di telaga, juga
bertani di tepi telaga dan di pulau yang tanahnya subur itu. Akan tetapi, di
samping pekerjaan yang halal ini, mereka tak segan-segan untuk melakukan
pekerjaan sampingan apa saja asal menguntungkan, termasuk membajak, merampok
dan mengganggu dusun dusun di sekitar daerah itu!
Dengan
‘pekerjaan’ yang banyak macamnya ini, Kiang Ti berhasil mengumpulkan banyak
kekayaan sehingga dapat memperbaiki bahkan menambah bangunan-bangunan di pulau
itu. Para anggotanya juga mulai membentuk keluarga-keluarga dengan
isteri-isteri yang rata-rata cantik karena wanita-wanita ini adalah
pilihan-pilihan mereka yang mereka culik dari dusun-dusun sekitarnya dan dari
mana saja!
Pagi hari
itu pemandangan di tepi telaga sangatlah indahnya. Matahari yang baru timbul
menyinarkan cahaya keemasan, belum menyilaukan mata tapi membuat daun-daun muda
di puncak pohon-pohon bermandikan cahaya keemasan, membuat puncak-puncak pohon
menjadi berkilauan penuh seri bahagia, penuh nikmat hidup. Sebagian dari cahaya
yang terlalu banyak sehingga tidak tertampung oleh daun-daun di puncak pohon,
menerobos melalui celah-celah pohon, melalui ranting dan dahan, membentuk
sinar-sinar keputihan dengan garis-garis lurus penuh kekuatan dan daya cipta,
sempat menyentuh rumput dan lumut yang tumbuh di bawah pohon-pohon yang lebat
daunnya itu.
Dua ekor
burung kecil berbulu biru putih berloncatan di atas dahan pohon, lalu berhenti
di bagian yang tertimpa cahaya matahari pagi, menggoyang-goyang tubuh sehingga
semua bulu pada tubuhnya mengembang berdiri, membersihkan bulu sayap dan ekor
dengan paruhnya yang kecil kemerahan. Terdengar kicau burung teman-teman mereka
dari kejauhan dan mereka segera melupakan lagi pekerjaan mereka yang
mengasyikkan itu, lalu membalas kicauan itu dan terbang menuju ke arah suara
teman-teman mereka, lincah dan gembira karena hidup baru telah dimulai pagi
itu, penuh kebahagiaan dan keindahan yang dapat dinikmati setiap saat.
Rumput-rumput
di tepi telaga yang jarang diinjak kaki manusia itu tampak segar berseri,
dihiasi dengan mutiara-mutiara air embun pagi yang masih belum mau menyerah
kalah oleh sinar matahari yang masih terlalu lembut, masih belum cukup kuat
untuk mencairkan kekentalan air embun dan memaksanya turun meresap ke dalam
tanah dihisap akar-akar rumput yang tidak pernah kekeringan.
Air telaga
itu sendiri tenang, sama sekali tidak bergerak, tidak ada keriput, seperti
sebuah cermin besar yang menampung segala keindahan di sekelilingnya. Dan matahari
sendiri langsung terjun ke dalam air telaga, bundar kemerah-merahan, mulai
menyilaukan mata dan sinarnya membentuk cahaya memanjang di atas permukaan air.
Kicau burung
bertambah riuh gembira. Dua ekor burung berbulu putih yang agak besar berkejaran
di atas rumput dekat telaga, sejenis burung belibis putih yang agaknya tengah
bercumbuan di pagi hari itu, menyambut keindahan pagi dengan pernyataan cinta
birahi yang tiba-tiba saja mendesak di seluruh syaraf dan perasaan. Dengan
gerakan indah dan ringan, burung jantan menyambar hinggap di atas punggung yang
betina, yang mengelak manja seolah-olah mentertawakan menambah gairah, berlari
setengah terbang di antara rerumputan membuat embun-embun mutiara beterbangan,
dikejar oleh yang jantan sambil mengeluarkan pekik kemenangan.
"Wirrrr...
plokkk!"
Tiba-tiba
burung jantan itu terpelanting dan roboh terlentang tidak bergerak lagi. Burung
betina menjerit dan terbang ketakutan, menghilang di antara daun-daun pohon.
Sekarang
keindahan tak dapat dinikmati lagi, dan kekerasan serta keganasan yang kejam
selalu muncul apa bila terdapat manusia, makhluk yang merasa dirinya paling
suci dan paling unggul. Lima orang wanita sambil tertawa-tawa muncul dari balik
pohon-pohon dan melangkah ringan mendekati burung jantan yang telah mati.
"Hi-hi-hi-hik,
bidikanmu tepat sekali, adik Lui Hwa! Selagi dia mengejar betina yang patut
dikasihani itu, engkau menyambitnya tepat menghancurkan kelakiannya.
Hi-hik!" berkata salah seorang di antara mereka sesudah memungut bangkai
burung itu lalu memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa burung itu terkena
sambitan batu tepat di bawah ekornya sehingga bagian itu hancur dan mati
seketika.
"Sudah,
tak perlu memuji, enci. Kalian berempat belum memperoleh seekor pun binatang
untuk makan pagi kita!"
"Jangan
khawatir, tempat ini banyak binatang dan burungnya."
"Tapi
hati-hati, jangan salah membunuh yang betina!"
"Mana
mungkin salah! Aku tidak sudi makan daging binatang betina!"
Dengan
gerakan yang amat cepat, empat orang di antara lima orang wanita ini berpencar,
menyusup di antara pohon-pohon dan tidak lama kemudian sambil tertawa-tawa
mereka berkumpul kembali di tepi telaga, ada yang membawa bangkai seekor
kelinci, ada yang membawa burung dan ada pula ayam hutan. Akan tetapi hebatnya,
semua binatang itu adalah jantan dan semua disambit tepat mengenai alat
kelaminnya!
Sambil
tertawa-tawa mereka kemudian membersihkan bangkai-bangkai itu, membuat api
unggun, menggarami serta membumbui daging-daging itu dengan bumbu yang mereka
bawa sebagai bekal, dan dipangganglah daging-daging itu. Mereka duduk
mengelilingi api unggun sambil bercakap-cakap dan bersenda gurau.
Kelima orang
ini adalah wanita-wanita yang usianya paling banyak tiga puluh tahun dan
berpakaian seragam atau sama semua. Rata-rata wajah mereka cantik-cantik dan
gagah, dengan pedang di punggung dan rambut yang sanggulnya dihias sebuah
mainan burung hong terbuat dari batu kemala!
Yang tadi
disebut bernama Lui Hwa adalah yang termuda dan tercantik di antara mereka,
berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun dan biar pun dia merupakan orang
termuda, akan tetapi agaknya dialah yang menjadi pimpinan rombongan wanita
cantik yang aneh ini. Dan memang sesungguhnya demikianlah.
Mereka
adalah lima orang anggota perkumpulan Giok-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong
Kemala) dan orang termuda bernama Lui Hwa itu merupakan orang yang memiliki
kepandaian lebih tinggi dari pada empat orang yang lainnya.
Setelah
makan bersama daging-daging panggang itu dan minum air telaga yang jernih,
mereka lalu duduk di tepi telaga menghadap ke arah pulau besar di tengah telaga
yang menjadi sarang perkumpulan Kwi-eng-pang.
"Bagaimana
kita dapat menyeberang ke pulau itu?"
"Mengapa
begini sepi, tidak ada seorang pun di tepi telaga?"
"Kita
harus mencari tepi yang terdekat dengan pulau itu."
"Lalu
bagaimana kita dapat menyelidiki kalau kita tidak berada di sana?" Lui Hwa
berkata sebagai jawaban keempat orang kawannya itu. "Keterangan yang sudah
kita peroleh dari penduduk daerah ini memang menyatakan bahwa tempat ini amat
sunyi karena tidak ada penduduk yang berani mendekati. Dan kurasa kita hanya
dapat menyeberang ke sana dengan perahu. Menurut penyelidikan, para anggota Kwi-eng-pang
sering mencari ikan, tentu nanti akan ada perahu yang mendekati pantai, dan
kita boleh menyergapnya."
"Hwa-moi
(adik Hwa), tempat ini terlihat penuh rahasia dan menyeramkan, tentu engkau
sudah hafal benar dan tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap, bukan?"
"Jangan
khawatir, teman-teman!" Lui Hwa berkata. "Pangcu (ketua) kita sudah
memberi keterangan sejelas-jelasnya. Dengar baik-baik agar kalian juga dapat
mengenal keadaan. Pantai di sini merupakan pantai terdekat dari pulau besar dan
merupakan pantai teraman, sehingga mereka yang mencari ikan dari pulau itu
tentu akan pergi ke sini. Arah perahu dari sini ke pulau harus lurus dari
pantai ini dan mendarat di pulau itu tepat pada tonjolan teluk pulau yang ada
pohon kembarnya yang nampak dari sini itu, sedangkan penunjuk pantai ini adalah
batu besar berbentuk rumah di belakang kita ini. Jalan ini paling aman, karena
yang sebelah kiri penuh dengan kembang teratai putih itu, di bawahnya terdapat
banyak tanaman air yang dapat melibat dan menahan lajunya perahu, bahkan juga
dapat menahan perahu sehingga tak dapat bergerak lagi. Di sebelah kanan yang
penuh dengan kembang teratai merah itu banyak terdapat batu-batu karang besar
mendekati permukaan air yang tertutup daun-daun teratai sehingga dapat merusak
perahu yang membenturnya, juga banyak dipasangi alat rahasia di situ. Nah,
cukup sekian dulu, nanti kalau kita sudah berhasil mendarat di antara dua pohon
kembar di seberang sana itu, akan kuberi tahukan lagi rahasia memasuki pulau
itu dengan aman."
Empat orang
wanita yang lainnya mendengarkan penuh perhatian sambil memandang ke arah
tempat-tempat yang ditunjukkan oleh Lui Hwa.
"Indah
dan mengagumkan, juga tempat ini aman sekali apa bila dapat dijadikan sarang
perkumpulan kita."
"Pantas
saja pangcu mengutus kita untuk menyelidiki keadaan Kwi-eng-pang dan berniat
mengajak kita semua pindah ke sini."
"Akan
tetapi bagaimana dengan para anggota Kwi-eng-pang? Aku benci bila harus hidup
bersama laki-laki, di tempat yang betapa indah pun."
"Aku
pun tidak sudi, bisa pendek umurku!"
"Hushhh,
kalian jangan bicara sembarangan." Lui Hwa berkata. "Apakah kau kira
pangcu juga sudi? Pangcu lebih membenci pria dari pada kita semua, dan ini
kalian sudah tahu, mengapa meragukan niat pangcu. Kalau memang pangcu berkenan
pindah ke sini, tentu semua pria akan diusir atau dibasmi habis dari pulau itu
dan dari sekitar daerah ini."
"Bagus!"
teriak yang bertahi lalat merah kecil di bawah dagunya. "Berikan beberapa
belas orang laki-laki itu untuk mampus di tanganku!"
"Ingat,
enci, pangcu sudah berkali-kali memperingatkan kita bahwa betapa pun bencinya
kita kepada kaum pria, kita tidak boleh membunuh mereka begitu saja tanpa
sebab. Kita bukan kaum penjahat yang haus darah, melainkan segolongan wanita
yang telah dirusak hidupnya dan disakitkan hatinya oleh kaum pria dan kini
telah dibina oleh pangcu menjadi kesatuan yang kokoh kuat dan tidak lagi sudi
menjadi korban keganasan kaum pria. Kita bukan lagi menjadi alat pemuas nafsu
birahi kaum pria, menjadi budak selama hidup dari kaum pria! Akan tetapi kita
pun bukan pembunuh-pembunuh keji dan manusia-manusia rendah."
Empat orang
itu memandang kepada Lui Hwa dan kelihatan takut, mengangguk dan tidak berani
lagi mengutarakan kebencian mereka terhadap kaum pria secara berlebihan.
Tiba-tiba
saja Lui Hwa memberi tanda. Mereka berlima cepat meloncat dan dalam sekejap
mata saja mereka telah lenyap, bersembunyi di balik batu besar dan mengintai ke
arah telaga. Tampaklah dua perahu kecil meluncur cepat dari pulau menuju ke
tengah telaga dengan membawa alat-alat penangkap ikan seperti jala dan pancing.
Setiap perahu kecil ditumpangi oleh dua orang dan mereka mendayung
perahu-perahu itu dengan cepat dan makin mendekati tepi di mana terdapat batu
besar itu.
"Kalian
pancing mereka supaya mendarat di tepi," Lui Hwa berkata kepada empat
orang teman-temannya. "Sembunyikan pedang kalian dan berpura-puralah
sebagai pelancong-pelancong dari daerah lain yang tidak tahu-menahu mengenai
telaga dan ingin menikmati keindahan telaga ini. Usahakan agar mereka semuanya
keluar dari perahu dan mendarat, baru aku akan muncul dan kita bunuh mereka
semua. Kalau tidak dibunuh, mereka bisa membahayakan tugas penyelidikan kita.
Mengertikah semua?"
"Adik
Lui Hwa, bolehkah aku membunuh seorang di antara mereka?" tanya yang
bertahi lalat merah kecil di bawah dagunya.
"Nanti,
tunggu komandoku dulu, jangan lancang tangan. Kalau sampai di antara mereka ada
yang lolos dan dapat melarikan diri dengan perahu, kita tidak akan mampu
mengejar dan menangkapnya."
Sekarang
perahu itu semakin dekat, bahkan yang sebuah sudah berhenti dan dua orang
penumpangnya mulai memeriksa jala. Tiba-tiba saja empat orang penumpang perahu
itu terkejut mendengar teriakan-teriakan suara wanita dan mereka bengong
terheran-heran ketika menengok ke tepi telaga dan melihat ada empat orang
wanita yang berteriak-teriak, memanggil dan melambai-lambai tangan.
"Heiii...!
Tukang perahu...!"
"Kami
ingin pesiar naik perahu!"
"Kami
ingin menyewa perahu kalian!"
"Kami
adalah pelancong-pelancong dari luar daerah!"
Empat orang
laki-laki itu saling pandang dan tersenyum.
"Aneh,"
kata seorang di antara mereka. "Dari mana datangnya empat orang wanita
itu?"
"Jangan-jangan
mereka itu mata-mata musuh..."
"Ahh,
tidak mungkin. Mereka adalah wanita-wanita lemah... hemm, cantik-cantik dan
lihat potongan tubuh mereka...!"
"Masih
muda-muda lagi, dan tentu bukan wanita kang-ouw sebab mereka tidak membawa
senjata."
"Betapa
pun juga mereka mencurigakan, sebaiknya kita tangkap dan hadapkan kepada
pangcu."
Sementara
itu, keempat orang wanita itu melambai-lambaikan tangan dan jelas nampak oleh
empat orang anggota Kwi-eng-pang betapa mereka itu tersenyum-senyum manis dan
bersikap genit! Dua buah perahu itu lalu didayung dan meluncur cepat menuju ke
tepi telaga.
Perahu
berhenti di pinggir dan sekarang empat orang anggota Kwi-eng-pang memandang
kagum. Setelah dekat, mereka melihat jelas bahwa empat orang wanita itu adalah
wanita-wanita yang telah matang, usianya kurang lebih tiga puluh tahun,
berpotongan tubuh yang ramping menggiurkan, berwajah rata-rata manis dengan
hiasan rambut berbentuk burung hong kemala yang amat menarik hati.
“Siapakah
nona sekalian dan bagaimana bisa sampai di tempat sunyi ini?" tanya
seorang di antara empat anggota Kwi-eng-pang.
Wanita
bertahi lalat kecil merah di bawah dagu mewakili kawan-kawannya. Dia adalah
yang paling manis di antara empat orang itu dan kini dia berkata dengan sikap
menarik,
"Aihh...
kami adalah pelancong-pelancong dan sesampainya di tepi telaga ini, rombongan
kami hendak berburu binatang di pegunungan itu. Kami lelah dan sengaja menanti
di sini. Telaga begini indah akan tetapi tidak ada perahu, hati kami menjadi
kesal. Melihat kalian berperahu, kami ingin menyewa perahu kalian..."
"Kami...
kami bukan tukang perahu!"
Wanita itu
tersenyum sehingga nampak deretan gigi yang putih dan rapi. "Tukang perahu
atau bukan, yang penting bagi kami adalah perahu-perahunya. Kalian minta upah
berapa pun kami sanggup membayarnya."
"Kami
tidak butuh uang!"
"Kalau
begitu, kalian minta upah apakah?" Si tahi lalat itu tersenyum sambil
melirik genit, sedangkan tiga orang temannya menjadi merah mukanya.
Melihat muka
mereka merah dan sikap genit itu, empat orang anggota Kwi-eng-pang itu berdebar
hatinya. Mereka mengira bahwa empat orang wanita ini tentulah wanita-wanita
iseng yang kini timbul gairah di tempat sunyi romantis itu. Warna merah di pipi
mereka dianggapnya sebagai tanda malu-malu kucing, jinak-jinak merpati. Tentu
saja mereka tak pernah mimpi bahwa warna merah di pipi itu adalah warna
kemarahan yang meluap-luap!
"Ehh,
nona. Benarkah kalian berempat mau memberi upah apa saja kepada kami kalau kami
mau membawa nona ke dalam perahu?"
Si tahi
lalat menahan ketawa, menutupkan punggung tangan dengan sikap genit ke depan
mulutnya yang kecil dan berbibir merah. "Hi-hik, bicara soal itu patutkah
berteriak-teriak seperti itu? Malu ah, terdengar orang lain. Apakah kalian
tidak bisa ke sini, dan bicarakan soal upah itu dengan baik-baik di sini, tanpa
berteriak-teriak seperti itu?"
Setelah
berkata demikian, si tahi lalat segera mundur dan duduk di atas tanah berumput,
sengaja duduk dengan gaya memikat dan membusungkan dadanya. Tiga orang temannya
juga melakukan hal yang sama, bahkan sengaja duduk agak saling menjauh.
Seperti sekelompok
anak kecil yang dipikat dengan kembang gula, empat orang anggota Kwi-eng-pang
itu tertawa-tawa dan segera mendaratkan perahu, lalu mengikat tali perahu ke
batang pohon. Mereka saling pandang dan saling bermufakat, yaitu satu lawan
satu!
Rejeki nomplok
di pagi hari ini seperti hadiah para dewa dan tentu saja tidak mau mereka
lewatkanbegitu saja. Setelah menikmati tantangan, baru mereka akan memikirkan
tentang menawan mereka itu kemudian menghadapkan mereka kepada ketua, karena
jika sudah berada di depan ketua mereka, tentu tidak mungkin akan terbuka
kesempatan baik seperti itu, mengingat bahwa mereka hanyalah anggota tingkat
bawahan saja!
Sambil
tersenyum dan dengan jantung berdebar-debar, mereka lalu berjalan menghampiri
empat orang wanita cantik itu, dan seperti sudah diatur saja, masing-masing
menghampiri wanita yang telah dipilihnya dari jauh.
Mendadak
mereka berempat terkejut sekali ketika melihat bayangan berkelebat cepat ke
arah belakang mereka. Pada saat mereka membalik, mereka melihat seorang wanita
lain yang lebih cantik, kini telah berdiri di belakang mereka, menghadang
antara mereka dan perahu mereka, lalu dengan wajah dingin wanita muda ini
berkata,
"Bunuh
mereka semua!" Wanita ini bukan lain adalah Lui Hwa yang telah muncul
keluar dari tempat sembunyinya.
Empat orang
anggota Kwi-eng-pang itu menjadi terkejut dan juga marah bukan main. Kini
tahulah mereka bahwa lima orang wanita ini adalah mata-mata dari pihak yang
memusuhi Kwi-eng-pang.
"Srat-sratt...
singggg...!"
Mereka
langsung mencabut golok besar yang tergantung pada pinggang masing-masing lalu
menerjang ke depan, ke arah empat orang wanita itu sambil membentak, "Keparat,
kalian ternyata adalah mata-mata!"
Akan tetapi,
keempat orang wanita Giok-hong-pang itu telah menghunus pedang masing-masing
yang tadi disembunyikan di balik jubah dan sambil tersenyum mengejek mereka
menyambut serbuan empat orang laki-laki yang marah itu.
"Cring-cring-trang-tranggg...!"
Bunga api
berhamburan pada waktu empat batang golok bertemu dengan empat batang pedang,
dan empat orang laki-laki itu kaget bukan kepalang karena tangan mereka yang
memegang golok menjadi tergetar hebat, dan hampir saja lengan mereka terluka
saking cepatnya para wanita itu menggerakkan pedang melanjutkan tangkisan
dengan serangan mereka.
Terjadilah
pertempuran yang mati-matian di tepi telaga yang sunyi itu dan Lui Hwa tidak
membantu empat orang temannya karena dia melihat betapa empat orang
Kwi-eng-pang itu bukan merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi, melihat
betapa teman-temannya mempermainkan empat orang itu, hanya mempergunakan ujung
pedang mereka untuk menggores sana-sini sehingga pakaian dan kulit empat orang
lawan itu pecah-pecah dan mandi darah, dia membentak tidak sabar,
"Hayo
cepat habiskan mereka, tidak banyak waktu untuk bermain-main!"
"Hi-hi-hik,
adik Lui Hwa, engkau tak sabaran sekali. Habislah kita berpesta kalau
begitu!"
Si tahi
lalat merah kecil tertawa dan pedangnya lantas berkelebat disusul jerit
mengerikan lawannya yang roboh dan mati seketika karena anggota kelaminnya
sudah terbacok putus bersama robeknya perut bagian bawah. Jerit itu disusul
oleh tiga orang kawannya.
Sambil
tersenyum empat orang wanita itu lalu membersihkan pedang pada baju korban
masing-masing dan kembali menyarungkan pedang sambil meludah ke arah onggokan
daging berdarah yang terlepas dari tubuh itu. Empat orang anggota Kwi-eng-pang
itu mati semua dengan luka yang sama, yaitu terbacok putus anggota kelaminnya.
Mereka tewas dalam keadaan mengerikan, mata terbelalak lebar dan mulut
menyeringai kesakitan!
Burung-burung
beterbangan sambil mengeluarkan bunyi ketakutan, agaknya merasa ngeri
menyaksikan kekejaman manusia, kekejaman yang jarang mereka lihat tetapi yang
kini terjadi berturut-turut di tepi telaga itu sejak lima orang wanita itu
muncul. Rumput-rumput yang pagi tadi masih segar kehijauan dihias oleh
butiran-butiran embun, sekarang dihias warna merah dari darah empat orang
laki-laki itu. Namun bumi menerima dan menghisap darah itu setenang menghisap
air embun yang menyegarkan, tanpa perbedaan karena bagi bumi semua adalah wajar
dan sudah semestinya.
Lui Hwa
sudah melepaskan tali perahu dan tidak lama kemudian, kelima orang wanita itu
telah mendayung perahu menuju ke pohon kembar di pulau yang sudah tampak dari
situ. Mereka menggunakan dua buah perahu, yang sebuah diisi dua orang, yang
sebuah lagi diisi tiga orang, dengan Lui Hwa berdiri di kepala perahu.
Mereka
berlima tidak tahu betapa seorang laki-laki setengah tua dengan muka pucat dan
mata terbelalak menyaksikan semua peristiwa itu dan sekarang laki-laki itu
dengan cepat berlari-lari di sepanjang tepi telaga, kemudian di tempat tertentu
melepaskan anak panah berapi ke arah pulau!
"Heiiii,
apa itu...?" Lui Hwa menudingkan telunjuknya ke udara. Mereka berlima
melihat sinar yang meluncur di atas udara menuju ke pulau itu.
"Seperti
panah berapi!"
"Ahh,
tentu ada yang melihat kedatangan kita!"
"Tenanglah,
kita tidak perlu takut. Kalau memang betul kedatangan kita mereka ketahui,
menurut pangcu, nama pangcu tentu dikenal pula oleh ketua Kwi-eng-pang yang
bernama Kiang Ti itu. Kalau nama pangcu tidak menolong, masih ada pedang di
tangan kita," kata Lui Hwa dengan tenang.
Dugaan
mereka memang tidak keliru. Laki-laki yang tadi melepaskan panah berapi adalah
anggota Kwi-eng-pang yang bertugas sebagai penjaga di luar telaga dan setelah
melepas anak panah berapi, dia lalu mengumpulkan teman-temannya yang bertugas
jaga di luar sekitar telaga itu, berjumlah dua belas orang, dengan menggunakan
sebuah perahu besar lalu meluncurkan perahu melakukan pengejaran.
Lima orang
wanita itu masih mendayung perahu menuju ke pulau dan sedikit pun tidak merasa
gentar. Mereka adalah para anggota Giok-hong-pang yang berkepandaian tinggi dan
mereka mengandalkan nama ketua mereka. Seperti semua anggota Giok-hong-pang,
mereka pun merupakan wanita-wanita yang amat membenci pria karena semua anggota
Giok-hong-pang adalah wanita-wanita yang pernah hatinya disakitkan oleh kaum
pria!
Sebagian
besar dari mereka adalah janda-janda yang ditinggalkan atau disia-siakan oleh
suaminya, bahkan ada pula yang menjadi korban perkosaan, pendek kata semua
adalah wanita-wanita yang menaruh dendam hebat terhadap lelaki, atau setidaknya
yang paling ringan adalah wanita yang merasa kecewa dalam percintaannya dengan
seorang pria. Itulah sebabnya mengapa lima orang wanita ini amat membenci kaum
pria, membunuh empat orang lawannya itu secara mengerikan dengan membuntungi
alat kelamin mereka, bahkan ketika mencari binatang untuk dimakan pun, mereka
hanya memilih yang jantan dan merusak alat kelamin binatang jantan itu!
Pada saat
dua buah perahu yang ditumpangi lima orang wanita Giok-hong-pang itu sudah
mendekati pantai pulau di mana terdapat dua batang pohon pek kembar, mendadak
dari balik alang-alang muncul sebuah perahu besar yang membawa belasan orang
laki-laki dan perahu ini didayung cepat menyambut dua buah perahu kecil.
"Kalian
hati-hatilah, sudah ada penyambut yang muncul," Lui Hwa berkata tenang.
"Dan
dari belakang juga datang perahu besar yang agaknya mengejar kita," si
tahi lalat berkata setelah tadi dia menengok ke belakang. Lui Hwa dan yang
lain-lain juga menoleh dan benar saja, dari belakang datang sebuah perahu besar
yang meluncur cepat dibantu layar yang berkembang.
"Perahu-perahu
di depan, berhenti!" Laki-laki tinggi besar yang berdiri pada kepala
perahu yang menyambut itu berseru keras sambil mengacungkan golok besarnya.
"Kalian ini lima orang wanita asing, siapakah dan mengapa berani melanggar
wilayah Kwi-eng-pang?"
Lui Hwa
berkata dengan suara lantang dan juga tenang, "Kami adalah utusan-utusan
dari Giok-hong-pang, dan kami ingin bicara dengan ketua kalian yang bernama
Kiang Ti untuk menyampaikan pesan pangcu (ketua) kami!"
Lelaki
tinggi besar itu mengerutkan alisnya, kemudian menjawab marah, "Kalian
sungguh sombong! Siapakah itu ketua Giok-hong-pang yang berani merendahkan
pangcu kami?"
Lui Hwa
tersenyum mengejek. "Kalian tak cukup berharga untuk mengenal pangcu kami.
Biarkan kami bicara dengan Kiang Ti, dan dia tentu mengenal baik siapa adanya
pangcu kami dari Giok-hong-pang. Kami datang dengan baik sebagai utusan, karena
itu jangan menimbulkan kemarahan kami!"
Pada saat
itu, perahu besar yang mengejar dari belakang sudah tiba, dan laki-laki yang
tadi mengirim tanda rahasia dengan panah berapi, cepat berseru, "Chi-twako
(kakak Chi), jangan percaya dengan omongan mereka! Mereka secara keji sudah
membunuh empat orang kawan kita!"
"Ehh...?
Tangkap mereka!" Si tinggi besar berteriak marah dan dua buah perahu besar
itu lalu mendekati dua perahu kecil dari depan dan belakang!
Dari perahu
besar depan meloncat tiga orang, sedangkan dari perahu besar di belakang juga
meloncat tiga orang ke arah dua perahu kecil, dengan golok terangkat dan mereka
lantas menyerang dengan ganas. Akan tetapi segera terdengar pekik mengerikan
karena enam orang laki-laki ini begitu meloncat turun, disambut oleh gerakan
pedang yang amat kuat dan cepat sehingga mereka terlempar ke air dalam keadaan
luka parah!
Melihat ini,
terkejutlah orang tinggi besar she Chi itu. Dia maklum dengan melihat gerakan
lima orang wanita itu bahwa mereka adalah ahli-ahli pedang yang tidak boleh
dipandang ringan.
"Gulingkan
perahu mereka dari bawah air!"
Mendengar
ini, kurang lebih dua puluh orang meloncat dari dua buah perahu besar, cepat
berenang dan menyelam dari sekeliling dua buah perahu itu.
Lima orang
wanita Giok-hong-pang terkejut sekali. Akan tetapi dengan marah dan sama sekali
tidak mengenal takut mereka menjaga perahu mereka dan setiap kali ada gerakan
di dalam air dekat perahu, pedang mereka menyambar. Terdengar teriakan-teriakan
dan terjadi gerakan-gerakan hebat di sekitar perahu-perahu kecil itu dan air
telaga di sekeliling perahu-perahu itu menjadi merah! Jelas bahwa banyak juga
anggota Kwi-eng-pang yang menjadi korban kelihaian lima pedang di tangan
wanita-wanita itu.
Akan tetapi
sekarang dua buah perahu itu mulai terguncang hebat! Kiranya para anggota
Kwi-eng-pang berhasil menyelam ke bawah perahu dan berusaha menggulingkan
perahu-perahu itu.
Kini lima
orang wanita itu baru terkejut dan khawatir. Mereka berusaha menyerang ke bawah
perahu dengan pedang dan dayung yang lebih panjang melalui pinggiran perahu,
akan tetapi tentu saja hal ini sukar dilakukan dan kini bahkan si tinggi besar
pemimpin anak buah Kwi-eng-pang mengajak seluruh sisa teman-temannya untuk
terjun ke air dan membantu teman-teman mereka yang sudah banyak yang terluka
itu.
Dan
akhirnya, berturut-turut dua buah perahu kecil itu terguling dan lima orang
wanita itu menjerit, mau tidak mau terlempar ke air. Terjadilah pergulatan di
dalam air. Akan tetapi ternyata bahwa sesudah terlempar ke air, lima orang
wanita itu kehilangan kelihaiannya. Baru melawan air saja telah membuat mereka
gelagapan dan terpaksa minum banyak air telaga, apa lagi dikeroyok banyak.
Mereka lalu dibenam-benamkan oleh banyak tangan sampai lemas dan hampir
pingsan.
"Jangan
bunuh mereka! Kita tawan untuk dihadapkan kepada pangcu!" Si tinggi besar
memberi perintah.
Perintah ini
menyelamatkan lima orang wanita itu, karena kalau tidak, tentu mereka akan
dibenamkan sampai mati oleh anggota-anggota Kwi-eng-pang yang sudah marah
melihat banyak teman-teman mereka terluka dan ada yang tewas itu. Setelah lima
orang wanita itu tak dapat bergerak lagi, mereka lalu diseret dan dengan kasar
mereka diseret naik ke dalam perahu besar yang segera digerakkan ke pulau.
Lui Hwa
siuman lebih dulu dari pada empat orang temannya dan dia mendapatkan dirinya
bersama empat orang temannya yang sudah menggeletak di atas lantai, di dalam
sebuah ruang yang luas dan menjadi tontonan banyak orang. Tak jauh dari situ
terdapat seorang laki-laki yang usianya hampir lima puluh tahun, pakaiannya
serba kuning dan tubuhnya tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya sipit.
Lui Hwa
memandang ke sekeliling. Mereka dikurung banyak orang dan ternyata ruangan itu
berada di atas loteng, ada pun di bawah loteng juga tampak banyak laki-laki,
juga ada wanitanya, yang memandang penuh perhatian.
Pada saat
empat orang temannya juga siuman dan berturut-turut bangkit duduk, mereka
berempat segera meloncat berdiri dan sambil berteriak mereka hendak mengamuk.
Akan tetapi Lui Hwa menghadang mereka dan mencegah mereka.
"Biarkan
aku bicara...," bisiknya.
Laki-laki
tinggi kurus yang duduk di atas kursi itu memandang gerak-gerik mereka dengan
penuh perhatian, kemudian tersenyum dan berkata, "Aneh, yang termuda dan
tercantik agaknya yang menjadi kepala rombongan. Ehhh…, perempuan-perempuan
liar, siapakah kalian ini dan mengapa kalian mengacau daerah kami, membunuh
beberapa orang anak buah kami?"
Lui Hwa yang
sudah berdiri tegak dengan pakaian basah kuyup seperti kawan-kawannya,
memandang dengan sinar mata tajam. Pakaian yang basah kuyup itu menempel ketat
di tubuh mereka, mencetak tubuh mereka sehingga nampak jelas lekuk lengkungnya,
dan rambut yang agak awut-awutan dan basah itu masih terhias burung hong kemala.
Dengan lantang Lui Hwa lalu berkata,
"Kami
adalah utusan dari pangcu kami, ketua dari Giok-hong-pang untuk bicara dengan
pangcu Kwi-eng-pang. Karena kami diserang, terpaksa kami membela diri dan
akibatnya anak buah Kwi-eng-pang ada yang tewas dan terluka."
Laki-laki
tinggi kurus itu meraba-raba jenggotnya. "Giok-hong-pang? Aku
Hek-tok-ciang Kiang Ti, tak pernah berurusan dengan perkumpulan yang bernama
Giok-hong-pang dan tidak mengenalnya."
"Hemm,
jadi engkaukah pangcu dari Kwi-eng-pang? Pangcu kami berpesan bahwa tentu
Kwi-eng-pangcu mengenal pangcu yang dahulu berjuluk Giok-hong-cu (Si Burung
Hong Kemala)..."
"Aihhh!
Kiranya dia? Bukankah namanya Yo Bi Kiok dan dahulu murid dari si jahanam
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?" teriak Kiang Ti sambil menepuk lengan
kursinya.
Kini dia
teringat akan julukan Giok-hong-cu itu. Belasan tahun yang lalu, gurunya,
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, pendiri dan ketua Kwi-eng-pang mempunyai seorang
sahabat baik, juga seorang datuk golongan sesat yang mempunyai julukan Siang-tok
Mo-li (Iblis Betina Racun Harum) dan wanita iblis ini mempunyai murid yang
bernama Yo Bi Kiok, seorang gadis yang amat cantik. Gurunya suka kepada gadis
ini dan bahkan memberinya sebuah hadiah, yaitu hiasan rambut berupa burung hong
kemala, sehingga Yo Bi Kiok akhirnya memperoleh julukan Giok-hong-cu di dunia
kang-ouw.
"Benar
dugaanmu, Kiang-pangcu," kata Lui Hwa dengan hati girang karena dia
menduga bahwa ketua Kwi-eng-pang ini tentu mengenal baik pangcu-nya sehingga
akan bersikap baik pula.
"Hemm,
lalu apa maksudnya mengutus kalian mengacau di Kwi-eng-pang dan membunuh banyak
anak buahku? Mengapa si cantik bermata indah itu berani memandang rendah kepada
Hek-tok-ciang?"
Lui Hwa
terkejut juga mendengar dan melihat sikap yang tidak bersahabat ini. Dia lantas
membusungkan dadanya sehingga buah dadanya membayang jelas di balik baju yang
basah kuyup.
"Pangcu
kami yang mulia mengutus kami untuk memberi tahukan bahwa beliau berkenan
mempergunakan pulau kosong yang dahulu pernah ditinggalinya di dekat pulau ini
untuk menjadi tempat tinggalnya yang baru, maka mengirim kami untuk memberi
tahu kepada Kwi-eng-pang."
Kiang Ti
melotot dan meloncat turun dari kursinya. "Keparat! Lancang betul dia!
Patutnya dia datang berlutut dan memohon kepadaku, baru mungkin aku mau
mempertimbangkan permohonannya. Kalian bersikap sombong sekali dan sudah
membunuh orang-orangku, kini sudah tertawan pun masih berlagak sombong."
"Huh!"
Empat orang teman Lui Hwa meludah ke lantai!
"Kiang
Ti, jangan kira bahwa kami takut kepadamu. Engkau toh hanya seorang laki-laki
belaka, seorang makhluk yang jahat dan hina!"
"Perempuan
iblis, kalian sudah bosan hidup semua!" Kiang Ti membentak marah.
Lui Hwa
berteriak dan segera menyerang Kiang Ti, akan tetapi sekali ketua Kwi-eng-pang
ini menangkis langsung membuat Lui Hwa terpelanting ke atas lantai! Hal ini
mengejutkan dan membikin marah empat orang wanita yang lain. Sambil berteriak
seperti empat ekor kucing terpijak ekornya, mereka segera maju menyerang.
Akan tetapi
Kiang Ti menggerakkan tangannya empat kali dan mereka ini pun langsung
terpelanting pula! Tidak kuat mereka menghadapi kedahsyatan Si Tangan Racun
Hitam itu! Para pembantu Kiang Ti sudah menubruk dan membuat lima orang wanita
itu tidak berdaya.
"Hukum
mereka! Bunuh mereka... ehhh…, nanti dulu...!" Kiang Ti yang marah sekali
itu memandang kepada Lui Hwa, menjambak rambut wanita itu dan menariknya
dekat-dekat, dipandanginya seluruh tubuh dan muka Lui Hwa.
"Seret
yang empat ke luar dan kebawah, kuberikan kepada kalian, siapa saja yang suka,
nikmati mereka di ruangan bawah, aku akan menonton dari sini dan biarkan yang
satu ini menemaniku. Sudah, kalian semua boleh keluar!"

Terdengar
sorak-sorai para anggota Kwi-eng-pang dan empat orang itu lalu diseret turun
dari atas ruangan loteng. Mereka berempat tidak menangis, melainkan memaki-maki
dan meronta-ronta. Akan tetapi apa daya, mereka menghadapi begitu banyak orang.
Kiang Ti sendiri lalu memeluk dan menjambak rambut Lui Hwa, diseret ke pinggir
ruangan loteng itu dari mana dia dapat menyaksikan apa yang terjadi di bawah
loteng.
"Lihat,
ha-ha-ha, lihat baik-baik. Begitulah nasib wanita-wanita yang berani memandang
rendah Kwi-eng-pang dan yang sudah membunuh beberapa orang anak buahku.
Ha-ha-ha-ha!"
Dalam
keadaan dipeluk dan dihimpit, Lui Hwa terpaksa memandang ke bawah. Matanya
terbelalak ngeri, mukanya pucat bukan main, apa yang disaksikan di bawah itu
betul-betul mengerikan!
"Bunuh
saja mereka! Bunuh saja kami. Kami sudah kalah dan tertawan, kami tidak takut
mati!" teriak Lui Hwa.
"Ha-ha-ha-ha,
terlalu enak kalau dibunuh begitu saja. Mereka akan mati, tentu saja. Akan
tetapi mereka harus membalas terlebih dahulu semua perbuatan mereka, harus
menebus hutang mereka dengan tubuh mereka. Dan engkau... hemm, engkau pun akan
mampus, kecuali kalau engkau bisa melayani aku dan bisa menyenangkan hatiku,
ha-ha-ha! Atau kau lebih suka ikut bersama dengan teman-temanmu, mengalami
nasib seperti mereka?"
Lui Hwa
memandang lagi dan bergidik, memejamkan matanya. Empat orang kawannya itu masih
meronta-ronta dan memaki-maki, direjang oleh banyak laki-laki, pakaian mereka
dirobek-robek dan mereka mengalami penghinaan yang paling mengerikan bagi
seorang wanita, diperkosa serta digagahi oleh banyak orang di tempat umum
seperti itu! Padahal mereka adalah wanita-wanita yang paling muak dan membenci
kaum pria!
Membayangkan
betapa dirinya, tubuhnya diperlakukan seperti empat orang kawannya itu, air
matanya menetes dan Lui Hwa menggeleng kepalanya. Dia maklum bahwa melawan pun
tidak akan ada gunanya dan kalau dia nekat sampai tewas, maka kematiannya dan
kematian teman-temannya merupakan mati konyol dan tidak akan ada yang membalas
sehingga mereka akan menjadi setan-setan penasaran.
Tidak,
kematian kawan-kawannya, terutama sekali penghinaan ini harus dibalas dan dia
tahu bahwa satu-satunya orang yang dapat membalas hanyalah pangcunya! Oleh
karena itu, dia harus tetap hidup untuk dapat menyampaikan dendam ini kepada
ketuanya. Maka, sambil memejamkan mata dan air matanya menetes turun, dia
mengangguk dan berkata lirih,
"Jangan
berikan aku kepada mereka... aku... aku akan melayanimu dan mentaati semua
perintahmu..."
Matanya
dipejamkannya makin rapat ketika dia merasa betapa mulutnya dicium dengan penuh
nafsu oleh Kiang Ti dan dia tidak melawan ketika dia dipondong pergi.
***************
Wanita yang
duduk di atas kursi itu usianya sudah tiga puluh lima tahun, akan tetapi
wajahnya masih kelihatan cantik sekali dan bentuk tubuhnya masih seperti
seorang gadis berusia belasan tahun. Pandang matanya sangat menyeramkan karena
biar pun bentuk mata itu indah sekali, bahkan merupakan bagian yang
keindahannya paling menonjol di antara semua kecantikan wajahnya, namun
sepasang mata itu mengeluarkan sinar dingin menyeramkan.
Seperti juga
bentuk tubuhnya yang padat dan masih seperti tubuh seorang gadis, rambut
hitamnya juga digelung seperti rambut gadis-gadis yang belum menikah, dan di
atasnya dihias dengan sebuah permainan berbentuk burung hong yang terbuat dari
batu kemala indah sekali. Dan memang wanita yang usianya tiga puluh lima tahun
ini adalah seorang gadis, seorang perawan yang belum pernah menikah selama
hidupnya! Dia inilah ketua Giok-hong-pang, yang bernama Yo Bi Kiok dan berjuluk
Giok-hong-cu!
Di dalam
cerita Petualang Asmara diceritakan betapa Yo Bi Kiok ini dahulunya adalah
murid dari salah seorang di antara para datuk kaum sesat yang bernama Bu Leng
Ci dan berjuluk Siang-tok Mo-li, seorang iblis betina yang sangat lihai. Akan
tetapi, gurunya itu tewas dalam perebutan pusaka bokor emas milik Panglima
Sakti The Hoo.
Tetapi,
dengan mempergunakan kecerdikan, yaitu membuat bokor emas palsu, akhirnya bokor
emas yang tulen, sebuah pusaka yang dulu diperebutkan oleh semua tokoh dunia
persilatan baik golongan putih mau pun golongan hitam itu terjatuh ke dalam
tangan Yo Bi Kiok tanpa ada yang mengetahuinya!
Yo Bi Kiok
lalu melarikan diri dan menyembunyikan diri, akan tetapi diam-diam dia sudah
menemukan tempat penyimpanan kitab-kitab pusaka dan harta pusaka dari petunjuk
dan peta di dalam bokor emas itu! Setelah menemukan pusaka yang dijadikan
perebutan ini, Bi Kiok lalu memusnahkan bokor emas, kemudian diam-diam dia
menggembleng dirinya dengan ilmu-ilmu yang terkandung di dalam kitab-kitab itu
sehingga dia memperoleh ilmu kepandaian yang amat tinggi dan hebat!
Sungguh amat
patut disayangkan bahwa seorang wanita yang demikian cantiknya, dan demikian
tinggi ilmunya seperti Yo Bi Kiok, yang memang sejak kecilnya telah memiliki
watak pendiam dan keras oleh pengaruh pendidikan gurunya, seorang datuk kaum
sesat, telah mengalami patah hati dalam percintaan sehingga kini, walau pun dia
masih amat cantik jelita, dia telah menjadi seorang wanita pembenci pria, yang
kadang-kadang dapat melakukan kekejaman yang mengerikan! Kekejaman yang hanya
ditujukan kepada kaum pria.
Semua ini,
pembentukan watak seperti iblis ini, timbul dari rasa dendam dan sakit hatinya
karena cinta pertamanya, bahkan satu-satunya pria yang pernah dicinta dengan
sepenuh hatinya, telah menolak perasaan cintanya itu. Di dalam cerita Petualang
Asmara sudah diceritakan betapa Yo Bi Kiok jatuh cinta kepada Yap Kun Liong,
akan tetapi lelaki ini dengan terang-terangan menolak cintanya dan kepatahan
hatinya ini membuat Yo Bi Kiok selamanya tidak mau berbaik dengan kaum pria,
apa lagi bermain cinta atau menikah!
Kebenciannya
terhadap kaum pria ini pula yang membuat dia, ketika membentuk sebuah
perkumpulan dan tinggal di lereng Bukit Liong-san, hanya menerima wanita-wanita
yang pernah menjadi korban pria, yang bersakit hati kepada pria saja untuk
menjadi anggota perkumpulannya yang diberi nama Giok-hong-pang. Sekarang, anak
buahnya yang juga menjadi murid-murid itu berjumlah lima puluh orang lebih dan
semua terdiri dari wanita-wanita yang membenci pria.
Dengan harta
pusaka yang ditemukannya bersama kitab-kitab ilmu silat yang amat tinggi, dia
mampu membiayai perkumpulannya, bahkan setiap orang anggota perkumpulannya
mempunyai hiasan kepala berbentuk burung hong dari batu kemala, sungguh pun
batu kemala di kepala itu tidak seindah yang menghias kepala sang pangcu.
Di atas
kursi yang lain, yaitu di sebelah kiri pangcu (ketua) dari Giok-hong-pang ini,
duduk seorang wanita lain. Mata siapa pun, terutama sekali mata kaum pria,
pasti akan langsung terpesona jika memandang wanita ini.
Dia seorang
gadis yang masih muda, tidak akan lebih dari delapan belas atau sembilan belas
tahun usianya, dan wajahnya cantik sekali, seakan-akan tidak ada cacat celanya.
Wajah ketua Giok-hong-pang yang sudah amat cantik itu seolah-olah menjadi suram
jika dibandingkan dengan kecantikan wajah gadis remaja ini.
Setiap
anggota di tubuhnya seolah-olah memiliki daya tarik yang khas dan luar biasa,
dan terutama sekali sepasang mata serta mulutnya, takkan ada jemunya mata
memandang, dan setiap kerling mata serta gerak bibirnya mengandung suatu daya
pikat yang mampu membangkitkan gairah dan birahi pria yang mana pun. Pendek
kata, jarang dapat ditemui seorang gadis secantik dia.
Seperti juga
sang ketua, di rambut gadis ini terdapat hiasan burung hong kemala yang amat
bagus, jauh lebih bagus dari pada yang dipakai oleh para anggota
Giok-hong-pang, meski pun masih kalah indah kalau dibandingkan dengan hiasan
yang menghias rambut kepala ketua Giok-hong-pang itu.
Dara jelita
ini adalah Yap In Hong, murid dalam arti yang sebenarnya dari Giok-hong-cu Yo Bi
Kiok, karena para anggota Giok-hong-pang yang lain hanya menerima ilmu silat
yang diseragamkan sehingga merupakan 'kulitnya' saja, sedangkan In Hong
seoranglah yang digembleng oleh gurunya secara sungguh-sungguh, malah dara ini
telah hampir mewarisi semua ilmu yang dimiliki gurunya.
Yap In Hong
ini sebetulnya adalah adik kandung satu-satunya dari Pendekar Sakti Yap Kun
Liong, yaitu pria yang menjadi gara-gara kepatahan hati Yo Bi Kiok. Ayah bunda
Yap Kun Liong dan Yap In Hong ini dahulu terbunuh oleh para datuk kaum sesat,
dan sejak masih kecil sekali, Yap In Hong tak pernah berkumpul dengan kakak
kandungnya sampai dia ditolong oleh gurunya itu. Pada waktu melihat gurunya dan
kakak kandungnya saling bertentangan memperebutkan dirinya, dia memihak gurunya
atau penolongnya itu, tidak mau dibawa pergi oleh kakak kandungnya.
Semenjak
kecil Yap In Hong telah digembleng oleh Yo Bi Kiok yang mencintanya seperti
keponakan atau seperti adik sendiri, bahkan seperti anak sendiri. Demikian pula
In Hong mencinta gurunya dan sekaligus seperti menemukan pengganti ayah
bundanya.
Akan tetapi,
keadaan di sekeliling kita selalu membentuk perwatakan kita! Bagi seorang
wanita yang sudah menghayati kebebasan sejati, yaitu bebas dari segala bentuk
ikatan, keadaan sekelilingnya tentu saja tidak mendatangkan pengaruh apa-apa.
Akan tetapi bagi kebanyakan dari kita, keadaan sekeliling merupakan guru yang
paling berkuasa sehingga tanpa kita sadari, kita terhanyut dan terbawa-bawa
sehingga mau tidak mau kita menjadi ‘anggota’ dari keadaan sekeliling itu yang
membentuk watak dan kepribadian kita.
Demikian
pula dengan In Hong, dara jelita itu. Karena sejak kecil dia ikut dengan
gurunya, yaitu seorang wanita yang membenci kaum pria, kemudian sesudah gurunya
mendirikan perkumpulan, In Hong berada di tengah-tengah sekumpulan wanita yang
amat membenci pria, maka secara otomatis In Hong menjadi dewasa dalam suasana
seperti itu sehingga wataknya pun terbentuk sebagai seorang dara pembenci kaum
pria!
Memang aneh
kalau dipikir, oleh karena dara ini sama sekali belum pernah berhubungan dengan
pria, apa lagi disakitkan hatinya. Akan tetapi, karena setiap hari melihat
sikap dan mendengar cerita serta dongeng dari para anggota Giok-hong-pang
mengenai kebusukan kaum pria dan betapa mereka membencinya, juga gurunya
membencinya, maka dia pun sangat membenci kaum pria yang dianggapnya sebagai
makhluk yang sejahat-jahatnya dan seganas-ganasnya!
Pada pagi
hari itu, guru dan murid yang kini duduk di atas kursi itu memandang seorang
wanita yang berlutut sambil menangis terisak-isak di depan sang ketua.
Giok-hong-cu Yo Bi Kiok mengepal tangan kanannya, matanya mengeluarkan sinar
berapi-api, sedangkan In Hong juga terbelalak memandang wanita itu, kedua
tangan dikepal dan kemarahannya jelas nampak di wajahnya yang cantik.
"Lui
Hwa, ceritamu sukar untuk dapat kupercaya!" terdengar Yo Bi Kiok berkata,
suaranya halus, tetapi mengandung getaran yang mengiris jantung. "Coba kau
ulangi lagi apa yang telah terjadi dengan kalian berlima!"
Wanita itu,
yaitu Lui Hwa yang telah kita kenal, orang yang termuda di antara lima orang
anggota Giok-hong-pang yang pergi menyelidik ke Telaga Setan, kini menggunakan
ujung lengan bajunya untuk menghapus air matanya dan berusaha untuk bicara
tanpa diganggu isaknya, lalu menuturkan dengan sejelas-jelasnya. Dia
menceritakan pengalaman mereka semenjak merampas perahu sampai kemudian
terpaksa mereka menyerah kalah karena kedua buah perahu itu digulingkan oleh
para anggota Kwi-eng-pang.
Dengan suara
terputus-putus dia mengulangi ceritanya, betapa keempat orang temannya direjang
dan diperkosa oleh para anggota Kwi-eng-pang seperti empat ekor domba yang
diserbu segerombolan serigala di tembat terbuka, bahkan di hadapan matanya
karena dia dipaksa untuk menonton oleh ketua Kwi-eng-pang, melihat betapa empat
orang teman itu tak mampu melawan sama sekali sehingga keempatnya tewas dalam
keadaan yang amat mengerikan, terhina secara memalukan sekali.
Kemudian
betapa dia hanya dapat menangis ketika dia sendiri terpaksa melayani segala
kehendak Kiang Ti yang mempermainkan dirinya, memperkosanya, menghinanya bahkan
kemudian menyerahkan dia untuk dipermainkan serta diperkosa pula oleh empat
orang pembantu ketua itu sebagai balas jasa atas penangkapan lima orang wanita
itu!
"Sepekan
lamanya saya ditahan, mengalami penghinaan siang malam, dan akhirnya saya
dibebaskan, diantar dengan perahu ke tepi telaga oleh empat orang pembantu
ketua yang lihai itu. Dan di dalam perahu itu pun saya harus mengalami
penghinaan dan perkosaan yang sudah tak terhitung lagi banyaknya..." Lui
Hwa menangis terisak-isak.
"Plakkk!"
Tubuh Lui
Hwa terpelanting dan tangisnya semakin mengguguk ketika dia bangkit berlutut
lagi. Bibirnya mengalirkan darah dan pipinya yang ditampar oleh Bi Kiok menjadi
merah sekali.
"Perempuan
tak tahu malu! Dan engkau masih ada muka untuk pulang dan menceritakan semua
itu kepadaku, ya? Seratus kali mampus masih lebih baik dari pada kau tetap
hidup mengenang penghinaan itu!"
"Ampun,
pangcu...! Sama sekali saya tidak ingin hidup lagi... sama sekali saya tidak
sudi mengenangkannya... saya menyerah kepada mereka, saya terus mempertahankan
hidup sampai saat ini... hanya.... hanya supaya dapat melapor kepada pangcu...
karena hanya itulah harapan saya agar dendam kami terbalas... harap pangcu
tidak melupakan mereka, Kiang Ti si jahanam beserta empat orang pembantunya...
kami .... kami berlima menanti pembalasan itu..."
Tiba-tiba
Lui Hwa meloncat ke belakang, mencabut pedangnya dan sekali menggerakkan kedua
tangan yang memegang gagang pedang, dia membalikkan pedangnya menusuk dada
sendiri.
"Crotttttt...!"
Pedang itu
menembus ulu hatinya sampai ujung pedang keluar dari punggungnya!
Guru dan
murid itu tidak bergerak sedikit pun. Mata mereka menerima kenyataan yang
mengerikan itu tanpa berkedip dan hal ini saja sudah membuktikan betapa
kerasnya hati mereka, dan betapa kuat perasaan mereka. Yo Bi Kiok tersenyum
mengangguk, agaknya girang melihat bahwa anggota atau muridnya itu bukan
seorang wanita lemah yang takut mati. Sambil memandang tubuh yang tertembus
pedang itu, dia berkata lirih,
"Tenangkan
hatimu, Lui Hwa, mereka akan menebus semua ini!"
Dengan
anggukan kepala ketua Giok-hong-pang ini memberi isyarat kepada para penjaga
wanita yang berada di situ untuk menyingkirkan dan mengurus baik-baik jenazah
Lui Hwa, setelah dia mencabut pedang Lui Hwa dan menyuruh In Hong menyimpan
pedang itu.
"Pedang
inilah yang akan menghukum mereka," katanya. "Simpan baik-baik, In
Hong."
"Subo,
mengapa tidak sekarang juga kita berangkat ke Kwi-ouw dan membasmi iblis-iblis
Kwi-eng-pang?" In Hong sudah bangkit berdiri dan mengangkat pedang Lui Hwa
itu ke atas kepala.
"Duduklah,
In Hong. Ingat, hati boleh saja panas akan tetapi kepala harus tetap dingin,
itu merupakan syarat yang terutama bagi seorang ahli silat. Jika menuruti
perasaan amarah, pikiran menjadi kalut dan kita tidak dapat menguasai gerakan
kita dengan sempurna dan hal ini berarti sudah kehilangan sebagian dari daya
tahan dan kewaspadaan kita."
In Hong
menunduk, kagum dan harus membenarkan pendapat gurunya itu. "Baik, Subo,
dan maafkan kesembronoan teecu (murid)."
"Tidak
apa, muridku. Ketahuilah, si bedebah Kiang Ti yang sekarang telah menjadi ketua
Kwi-eng-pang adalah murid kepala dari mendiang Kwi-eng Niocu pendiri
Kwi-eng-pang. Ilmunya cukup hebat, terutama sekali Hek-tok-ciang (Tangan Racun
Hitam) yang menjadi andalannya. Selain beracun tangannya juga amat kuat, bahkan
dia berani menggunakan tangannya untuk langsung menangkis senjata tajam. Kiang
Ti memang sengaja melepas dan membebaskan Lui Hwa, tak dibunuhnya seperti empat
orang yang lain, tentu karena kesombongannya dan dia sengaja memberi kesempatan
kepada Lui Hwa untuk melapor ke sini. Hal itu berarti sebuah tantangan! Dan
orang yang sudah berani menantang tentu sudah percaya kepada kekuatan sendiri
dan tentu sudah siap sedia menanti kedatangan kita! Maka kita tidak boleh bodoh
dan sembrono, muridku."
"Perlukah
kita takut, subo?" In Hong bertanya penasaran. "Biarkan teecu
berangkat untuk memimpin semua anggota kita menyerbu dan membasmi Kwi-eng-pang
sampai habis!"
"Berhati-hati
dan bersiasat bukanlah tanda takut, In Hong, melainkan tanda kecerdikan. Kiang
Ti bersama anak buahnya tidak perlu ditakuti, akan tetapi kedudukan Telaga
Setan benar-benar sangat berbahaya. Tidak ingatkah kau akan cerita Lui Hwa
betapa mereka menjadi tak berdaya karena perahu-perahu mereka digulingkan? Kita
sendiri, bahkan aku sekali pun, akan mampu berbuat apa kalau sampai terjatuh ke
dalam air yang dalam dan kita tidak pandai renang? Tentu semua ilmu kita tidak
akan banyak gunanya! Kesukaran kita menyerbu Kwi-eng-pang adalah pada penyeberangannya.
Apa bila telah mendarat di pulau itu, tidak ada kesulitan apa-apa lagi. Karena
itu kita harus menggunakan siasat."
In Hong
kembali mengangguk-angguk membenarkan gurunya. Dia merasa ngeri juga bila
membayangkan betapa sebelum berhasil mendarat di pulau sarang musuh itu, dia
sudah terjatuh ke dalam air yang amat dalam!
Bi Kiok lalu
mengumpulkan semua anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang. Saat mereka
semua diberi tahu akan keputusan ketua mereka untuk menyerbu Kwi-eng-pang,
wanita-wanita itu bersorak girang karena semua telah mendengar akan kematian
Lui Hwa dan empat orang temannya yang mengerikan, dan mereka semua merasa sakit
hati ingin membalaskan kematian teman-teman mereka.
Dengan penuh
perhatian mereka mendengarkan siasat yang diatur oleh ketua mereka dan pada
hari yang sudah ditentukan, berangkatlah semua anggota Giok-hong-pang ini
secara berpencaran merupakan kelompok-kelompok kecil supaya tidak menarik
perhatian orang, menuju ke Telaga Setan.
Ketika semua
anggota tiba di hutan di tepi telaga itu sebagaimana yang telah ditentukan
semula, Bi Kiok dan In Hong telah lebih dahulu tiba dan menanti di tempat itu.
Guru dan murid ini sekali lagi merundingkan siasat dengan para anak buah
Giok-hong-pang, lalu Yo Bi Kiok mengajak muridnya untuk menggunakan ilmu
berlari cepat menuju ke tepi telaga sebelah utara dan perjalanan ini biar pun
dilakukan dengan cepat sekali masih memakan waktu sampai setengah hari lamanya!
Pada
menjelang tengah hari, seperti yang direncanakan pagi tadi sebelum ketua mereka
pergi meninggalkan mereka, lima puluh orang anggota Giok-hong-pang itu mulai
bersolek, menambah pupur dan yanci (pemerah pipi) dan membereskan pakaian
mereka, kemudian beramai-ramai mereka memperlihatkan diri di pinggir pantai
telaga sambil berteriak-teriak menantang Kwi-eng-pang!
Para anggota
Kwi-eng-pang yang sedang bertugas menjaga di sekeliling telaga itu tentu saja
sudah mengetahui akan kedatangan rombongan wanita Giok-hong-pang ini. Saat itu
para anggota mereka yang bertugas mencari ikan juga telah mendengar ribut-ribut
di tepi telaga.
Dengan
jantung berdebar-debar penuh ketegangan, juga penuh gairah ketika melihat lima
puluh orang wanita yang hampir semua cantik-cantik dan muda-muda itu, para
anggota Kwi-eng-pang cepat-cepat melaporkan hal ini kepada ketua mereka dengan
harapan nanti mereka itu akan kebagian kalau wanita-wanita itu dapat ditawan
seperti yang telah terjadi dengan lima orang tawanan tempo hari. Kini melihat
banyaknya anggota Giok-hong-pang yang cantik-cantik itu, mereka semua tentu
akan memperoleh bagian!
Kiang Ti
tertawa bergelak ketika mendengar laporan bahwa di tepi selatan telaga itu
telah datang kurang lebih lima puluh orang wanita cantik para anggota
Giok-hong-pang yang kini sedang berteriak-teriak, memaki-maki dan menantang.
"Ha-ha-ha-ha,
mereka datang dan hanya menantang di tepi telaga? Ha-ha-ha-ha, mereka tidak
dapat menyeberang, akan tetapi akan memalukan sekali jika kita tidak menyambut
tantangan mereka. Apa sih kemampuan wanita-wanita itu kecuali menghibur kita di
dalam kamar? Kita berjumlah lebih banyak! Sambut mereka dengan seratus orang
dan sedapat mungkin tawan mereka hidup-hidup. Mereka cantik-cantik dan
muda-muda? Bagus, hal ini berarti kalian tidak perlu repot-repot menculiki
gadis-gadis dusun lagi, ha-ha-ha!"
Kiang Ti
mengumpulkan anggota-anggota perkumpulannya dan memerintahkan seorang
pembantunya untuk membawa seratus orang menghadapi para anggota Giok-hong-pang.
Dia bukan seorang bodoh. Dahulu sebelum menjadi ketua Kwi-eng-pang, dia sudah
lama menjadi ketua Ui-hong-pang dan sudah berpengalaman, maka ketika mendengar
laporan bahwa lima puluh orang wanita Giok-hong-pang itu datang tanpa ketua
mereka, dia pun merasa curiga.
Karena
itulah dia hanya mengirim seratus orang anggota yang dianggapnya sudah cukup
untuk menghadapi lima puluh wanita itu, ada pun dia sendiri bersama-sama sisa
anggota perkumpulannya, kurang lebih ada tiga puluh orang, tetap berada di
pulau untuk menjaga kalau-kalau ketua Giok-hong-pang menggunakan siasat
‘memikat harimau meninggalkan sarang’.
Berbondong-bondong
seratus orang anggota Kwi-eng-pang itu pergi meninggalkan pulau, menggunakan
perahu-perahu besar kecil menuju ke pantai telaga di mana para wanita itu masih
berteriak-teriak menantang. Dengan sebuah teropong di tangannya Kiang Ti
sendiri mengamati dari tepi pulau.
Dia bangga
sekali dengan teropong ini, teropong milik seorang asing dari barat, seorang
yang bermata biru berambut kuning, yang pernah menjadi tamu gurunya di pulau
itu dan yang sudah meninggalkan teropong itu di situ sehingga kini menjadi
miliknya. Dengan alat ini yang pada waktu itu masih langka, dia dapat mengikuti
gerakan orang-orangnya di tepi telaga.
Sambil
berteriak-teriak penuh kegarangan, seratus orang anggota Kwi-eng-pang itu sudah
menyerbu ke darat, langsung disambut oleh para wanita Giok-hong-pang. Segera
terjadi pertempuran kacau-balau yang sangat seru di tengah-tengah debu yang
mengebul tinggi dan teriakan-teriakan mereka yang bercampur aduk.
Karena
jumlah orang-orang Kwi-eng-pang dua kali lipat lebih banyak, maka boleh
dibilang setiap orang wanita Giok-hong-pang dikeroyok oleh dua orang pria. Akan
tetapi, dengan gerakan pedang yang cepat dan rapi, para anggota Giok-hong-pang
itu mampu membela diri dengan baik sekali dan dengan kagum Kiang Ti melihat
betapa wanita-wanita itu sama sekali tidak terdesak oleh jumlah lawan yang
lebih banyak.
"Kiang
Ti manusia hina, bersiaplah engkau untuk mampus!"
Suara yang
halus akan tetapi nyaring dan menggetar aneh ini membuat Kiang Ti terkejut
sekali. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan dengan kaget melihat bahwa di
hadapannya sudah berdiri dua orang wanita yang sangat luar biasa cantiknya,
terutama sekali yang muda!
Meski pun
sudah belasan tahun tidak pernah bertemu, namun dia masih dapat mengenal Yo Bi
Kiok, yang dahulu merupakan seorang gadis yang cantik sekali dan pernah tinggal
di pulau sebelah utara. Dia tersenyum mengejek. Dugaannya ternyata tepat
sekali. Yo Bi Kiok hendak menggunakan siasat memancing orang-orangnya berikut
dia meninggalkan pulau kemudian secara diam-diam wanita ini mendarat di pulau
melalui utara yang tentu saja tak terjaga karena semua perhatian ditujukan
kepada wanita-wanita Giok-hong-pang yang sengaja mengacau di tepi selatan.
Akan tetapi,
melihat bahwa yang muncul hanyalah Yo Bi Kiok seorang bersama seorang gadis
muda, hatinya menjadi besar dan segera dia bersuit memberi tanda. Berserabutan
datanglah tiga puluh orang yang sudah dipersiapkan dan dalam sekejap mata saja
Yo Bi Kiok dan In Hong sudah dikepung!
Yo Bi Kiok
tersenyum mengejek. "Kiang Ti, tentu engkau sudah tahu akan dosa-dosamu
terhadap lima orang anggota kami, lekas kau berlutut dan menyerah!"
kembali Yo Bi Kiok berkata halus, akan tetapi di dalam kehalusan suaranya itu
terkandung sesuatu yang sangat menyeramkan karena senyum mengejek dan pandang
mata seperti ujung pedang itu mengandung ancaman maut.
"Ha-ha-ha-ha!
Bukankah engkau Giok-hong-cu Yo Bi Kiok yang dulu itu? Hemmm, sudah belasan
tahun tidak jumpa, engkau menjadi makin matang dan cantik saja! Giok-hong-cu,
jangan salahkan aku tentang lima orang anggotamu itu. Engkaulah sendiri yang
bersalah. Di antara kita masih ada ikatan, engkau murid Siang-tok Mo-li ada pun
aku murid Kwi-eng Niocu, kenapa engkau mengirim orang-orang untuk menyelidiki
tempatku dan melakukan penghinaan serta membunuh empat orangku? Apa bila engkau
bersama para anggotamu memang ingin pindah ke sini, mengapa tidak datang secara
baik-baik dan berdamai saja? Jika kita bersatu, bukankah kita akan merupakan
kekuatan yang hebat? Engkau menjadi isteriku, dan para anggotamu boleh memilih
suami di antara anggotaku, bukankah itu baik sekali?"
"Tutup
mulutmu yang busuk itu!" Yo Bi Kiok memaki marah, akan tetapi Kiang Ti
hanya tertawa mengejek.
"Yo Bi
Kiok, tak perlu engkau bersikap sombong seperti ini. Jumlah orang-orangmu hanya
lima puluh orang dan sekarang tentu telah ditawan semua oleh seratus orang
anggotaku, dan engkau sendiri bersama nona jelita ini telah dikepung...!"
"Engkau
yang buta dan tidak tahu bahwa kematian telah berada di depan hidung! Lihatlah
baik-baik apa yang terjadi di seberang sana." Yo Bi Kiok menunjuk ke arah
tepi telaga di mana terjadi pertempuran.
Dengan
teropongnya Kiang Ti langsung menengok ke arah seberang telaga dan seketika
mukanya berubah. Dengan jelas dia melihat betapa sebagian dari orang-orangnya
sudah roboh dan sebagian lagi kini telah menyerah, ditodong pedang dan tidak
ada seorang pun di antara anggotanya yang berani melawan lagi! Tidak disangkanya
pertempuran berjalan secepat itu dengah kekalahan fihaknya yang berjumlah dua
kali jumlah lawan banyaknya.
"Pengecut...!"
Dia berteriak, lalu menurunkan teropongnya dan membalik menghadapi dua orang
wanita itu sambil berseru kepada para pembantunya, "Tangkap mereka
berdua!"
Melihat
kekalahan fihaknya, timbul keinginan di hati Kiang Ti untuk menawan hidup-hidup
ketua Giok-hong-pang ini dan menjadikannya sebagai sandera untuk menaklukkan
semua anggota Giok-hong-pang.
Tiga puluh
orang anak buah Kwi-eng-pang mengepung ketat dan mereka telah siap untuk
menangkap dua orang wanita itu. Hati mereka masih terasa besar karena mereka
yang tidak menggunakan teropong tentu saja masih belum tahu apa yang telah
terjadi dengan kawan-kawan mereka yang menyerbu ke darat. Sekarang, menghadapi
hanya dua orang wanita cantik saja, tentu mereka memandang rendah.
"In
Hong, kau hajar anjing-anjing itu, biar aku yang menangkap serigalanya!"
Yo Bi Kiok berkata sambil tersenyum kepada muridnya.
Sikap mereka
tenang sekali seakan-akan yang mengepung dan mengancam mereka itu bukan
manusia, hanya boneka-boneka hidup belaka yang tidak perlu dikhawatirkan!
Kiang Ti
yang terlalu percaya pada kepandaian sendiri dan mengandalkan jumlah banyak,
menjadi marah sekali. Dia ingin menangkap hidup-hidup dua orang musuh ini, maka
dia pun berkata nyaring, "Kalian semua tangkap nona muda itu, awas jangan
sampai kulitnya yang halus itu lecet-lecet! Kalian berempat membantu aku
menghadapi iblis cantik ini!" Perintah yang terakhir ini dia tujukan
kepada empat orang pembantunya yang merupakan tokoh-tokoh terpandai sesudah dia
di Kwi-eng-pang.
Tanpa
menjawab In Hong mentaati perintah gurunya, dan sekali meloncat tubuhnya telah
mencelat ke kiri, menjauhi gurunya sehingga para pengepung yang kini juga
berpencar dan terpecah menjadi dua itu cepat mengepung gadis ini dengan ketat,
dengan pandang mata bersinar-sinar penuh gairah karena biar pun mereka ini tahu
bahwa gadis secantik ini tentu akan diambil sendiri oleh sang ketua, namun
setidaknya dalam menangkapnya mereka memperoleh kesempatan untuk memuaskan
tangan-tangan mereka.
Dua puluh
enam orang lelaki yang merupakan pasukan inti dari Kwi-eng-pang, sekaligus
pengawal-pengawal setia dari Kiang Ti karena mereka ini semua adalah bekas
anggota Ui-hong-pang, kini mengepung seorang dara remaja yang kelihatan sangat
tenang berdiri di tengah kepungan, sedikit pun tidak kelihatan gentar, bahkan
masih tak mau mencabut pedangnya, berdiri dengan kedua kaki agak terpentang
lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri tubuh, renggang dari badan, tegak
dengan muka menghadap ke depan, sama sekali tidak bergerak, dan hanya sepasang
mata yang indah seperti mata burung hong itu saja yang bergerak, melirik ke
kanan dan kiri dengan lambat, dan ada bayangan senyum tersembunyi di balik
sepasang bibir yang merah membasah itu.
Demikian
pula dengan Yo Bi Kiok. Wanita ini pun berdiri seperti sikap muridnya, hanya
bedanya, bila In Hong berdiri dengan wajah dingin dan senyum yang seolah
membayang atau bersembunyi di balik bibirnya itu hanya tampak karena memang
bentuk mulutnya amat manis seolah-olah selalu tersenyum, sebaliknya Bi Kiok memang
benar tersenyum, senyum mengejek dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh
semangat, atau mungkin itu adalah suatu kemarahan yang terselubung di balik
ejekan sikapnya.
Matanya
melirik ke arah Kiang Ti dan keempat orang pembantunya itu berganti-ganti dan
di dalam telinganya berdengung kembali ucapan terakhir Lui Hwa, "...harap
pangcu tidak melupakan mereka, Kiang Ti si jahanam dan empat orang
pembantunya..."
"Tidak,
Lui Hwa, aku tidak akan melupakannya!" Tiba-tiba dia berkata pada saat
Kiang Ti dan empat orang pembantunya menerjangnya dari lima penjuru.
Kiang Ti
yang dahulu pernah mengenal Yo Bi Kiok, memandang rendah. Maka dia dan keempat
orang pembantunya tidak menggunakan senjata, melainkan langsung menerjang
dengan tangan kosong. Pertama, karena dia memandang rendah dan merasa amat
yakin bahwa mereka berlima sudah pasti akan dapat mengalahkan ketua
Giok-hong-pang ini, dan kedua, karena memang dia ingin menawan hidup-hidup
wanita yang amat cantik ini.
Kepercayaan
pada diri sendiri diperkuat pula dengan adanya Ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun
Hitam) yang dahsyat, apa lagi karena empat orang pembantu itu juga merupakan
murid-murid kepala yang sudah melatih diri mereka dengan Hek-tok-ciang pula,
sungguh pun keampuhan tangan beracun mereka masih belum dapat menyamai guru
mereka.
Akan tetapi,
Bi Kiok menghadapi serangan bertubi mereka itu dengan sikap tenang saja,
tubuhnya hanya mengelak sedikit dan kedua tangannya dikebutkan ke kanan kiri
serta ke atas bawah.
"Plak-plak-plak-plak-plak...!"
Beruntun
lima kali tangan lima orang pria yang mengandung getaran tenaga Hek-tok-ciang
itu bertemu dengan bayangan tangan Bi Kiok dan akibatnya, keempat orang
pembantu Kiang Ti terhuyung ke belakang dengan mulut menyeringai kesakitan,
sedangkan Kiang Ti sendiri meloncat ke belakang dan memegangi lengan kanannya
yang terasa panas dan nyeri! Dia memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi
Bi Kiok hanya berdiri tegak sambil tersenyum, memandang mereka bergantian
dengan sikap mengejek sekali.
"Aughhh...!"
Kiang Ti menggerakkan kedua lengannya yang membentuk gerakan-gerakan saling
bersilang, kedua tangan laksana cakar harimau dan kedua lengan tergetar makin
lama makin keras dan lengan itu mulai berubah menjadi hitam! Inilah pengerahan
tenaga Hek-tok-ciang yang dahsyat!
Karena tadi
mereka memandang rendah, tentu saja mereka hanya ingin mengalahkan wanita ini
tanpa harus menggunakan Hek-tok-ciang. Akan tetapi, begitu merasa betapa
kuatnya tangkisan wanita itu, kuat dan cepat sekali, mereka segera maklum bahwa
ketua Giok-hong-pang ini memang amat hebat, maka Kiang Ti Ialu mengerahkan
Hek-tok-ciang. Empat orang pembantunya pun kemudian mengeluarkan pekik dahsyat
dan seperti yang dilakukan ketua mereka, empat orang ini pun menggerak-gerakkan
kedua lengan sampai lengan mereka mulai tampak kehitaman, sungguh pun tidak
sehitam lengan Kiang Ti.
"Hemm,
itukah Hek-tok-ciang? Hanya permainan anak-anak saja!" Yo Bi Kiok
mengejek.
"Serang
perempuan sombong ini!" Kiang Ti memberi aba-aba.
Dia masih
tidak ingin sekaligus membunuh wanita cantik ini, maka dia hanya menyuruh empat
orang pembantunya, karena kalau dia sendiri yang maju menyerang menggunakan
Hek-tok-ciang, ia khawatir kalau wanita ini akan roboh tewas seketika!
Empat orang
pembantunya juga menjadi penasaran dan mulai marah oleh ejekan wanita itu.
Mereka tidak memperdulikan lagi perintah guru dan ketua mereka untuk menangkap
Bi Kiok, maka sekali maju, mereka langsung mengerahkan tenaga Hek-tok-ciang
untuk menyerang dengan pukulan-pukulan maut!
"Haaaaiiiiikkkkk…!"
Hampir
berbareng mereka mengeluarkan teriakan keras, lantas menerkam maju sambil
memukul dengan tangan terbuka yang berwarna kehitaman dan mengeluarkan bau amis
seperti darah membusuk.
Dengan
tenang Bi Kiok mengelak ke kanan kiri, dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat,
lenyap dari dalam kepungan empat orang itu! Empat orang itu terkejut, memandang
ke kanan kiri mencari-cari.
"Dia di
atas...!" Kiang Ti berseru, kaget juga melihat betapa tadi tubuh wanita
itu mencelat ke atas dengan kecepatan kilat.
Empat orang
itu cepat memandang ke atas dan melihat bayangan lawan menukik turun. Dengan
penuh kemarahan mereka menyambut dengan pukulan-pukulan Hek-tok-ciang, akan
tetapi kembali tubuh itu berkelebat dan lenyap.
"Robohlah...!"
Terdengar bentakan halus dan berturut-turut empat orang itu terpelanting dalam
keadaan lemas karena jalan darah pada belakang pundak mereka sudah tertotok,
membuat mereka roboh tanpa dapat bergerak lagi, lemas seluruh tubuh dan hanya
mata mereka saja yang dapat melotot memandang kepada wanita itu dengan penuh
kengerian.
Kiang Ti
menjadi marah bukan main. Dia menyangka bahwa wanita itu takut menghadapi
Hek-tok-ciang, maka tadi telah mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh)
yang amat luar biasa untuk mengalahkan para pembantunya. Tapi kalau hanya
mengandalkan ginkang, dia tidak takut, karena Hek-tok-ciang di tangannya luar
biasa kuatnya, dan sekali saja wanita ini kena dipukul olehnya, bahkan terkena
sambaran hawa pukulannya saja, tentu akan roboh!
Sementara
itu, In Hong juga sudah dikeroyok oleh dua puluh enam orang pria. Karena hendak
mentaati perintah ketua mereka, juga karena berebut ingin dapat memeluk dan
menggerayangi tubuh gadis yang cantik sekali itu dengan tangan mereka yang
sudah gatal-gatal rasanya, dua puluh enam orang itu tidak menggunakan senjata,
bahkan tidak memukul hanya menubruk dan hendak memeluk dan menangkap In Hong.
Akan tetapi, terjadilah keanehan luar biasa.
Gadis itu
hanya mengelak ke sana-sini dan tidak ada sebuah pun di antara tangan yang
sebegitu banyaknya itu pernah berhasil menyentuhnya! Bahkan kalau ada tangan
yang tidak keburu dielakkan saking banyaknya, belum sampai tangan itu menyentuh
kulit tubuh In Hong, tangan itu sudah terpental seperti ada yang menangkis,
seperti terdorong oleh tangan yang tidak kelihatan.
In Hong sama
sekali tidak membalas, hanya mengelak, bukan karena takut tertangkap karena
dengan sinkang-nya yang mukjijat dia sanggup melindungi kulitnya dengan hawa
yang cukup kuat untuk membuat tangan mereka terpental, akan tetapi dia mengelak
untuk menjauhkan diri, karena dikepung seperti itu dia merasa jijik, apa lagi
karena kepungan ketat oleh dua puluh enam orang pria itu menimbulkan bau apek
dan kecut dari keringat dan mulut mereka...!
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment