Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 02
IN HONG
adalah seorang dara yang amat mencinta gurunya. Bagi dia, Yo Bi Kiok adalah
seorang guru, seorang ketua, sahabat, dan juga kakak atau pengganti ibu
sendiri! Hanya Bi Kiok seoranglah yang dipandangnya di dunia ini. Maka tidak
mengherankan apa bila dia amat mencinta dan taat kepada gurunya ini.
Di dalam
pertandingan ini, ketika melihat gurunya dikeroyok oleh ketua Kwi-eng-pang dan
empat pembantunya yang dia tahu jauh lebih lihai dari pada dua puluh enam orang
yang mengeroyoknya, maka dia tidak mau merobohkan seorang pun lawan sebelum
gurunya lebih dahulu merobohkan para pengeroyoknya. Dia tidak mau mendahului
gurunya karena hal ini dianggapnya akan dapat menimbulkan perasaan tak senang
di hati gurunya! Inilah sebabnya mengapa In Hong hanya menghindarkan diri dari
semua tangan itu tanpa mau membalas sama sekali.
Haiiiiitttttttt...!"
Tiba-tiba
saja Kiang Ti memekik keras saking marahnya ketika pukulan-pukulannya selalu
mengenai tempat kosong. Kedua tangannya kini mendorong ke depan, ke arah dada
Bi Kiok dan dari kedua telapak tangannya yang sangat hitam itu menyambar hawa
pukulan dahsyat disertai bau yang amat amis.
Sekali ini
Bi Kiok tidak mengelak, bahkan dia juga menggerakkan kedua lengan, dengan kedua
tangan terbuka menyambut dorongan telapak tangan lawan itu.
"Ahh,
engkau mau mencari mampus," demikian suara hati Kiang Ti sambil
mengerahkan Hek-tok-ciang sekuat tenaganya hingga kedua lengannya berubah
menjadi hitam sekali, mengkilap dan mengeluarkan bau yang amis memuakkan.
"Plakkkk!"
Dua pasang
telapak tangan itu bertemu, saling tempel dan saling dorong dengan kekuatan
yang sangat dahsyat. Tubuh Kiang Ti tergetar hebat dan ketua Kwi-eng-pang ini
segera mengerahkan seluruh tenaganya dengan keyakinan bahwa wanita ini tentu
akan roboh dengan tubuh hitam semua karena racun dari hawa pukulan
Hek-tok-ciang.
Akan tetapi
Bi Kiok berdiri tegak dengan kedua lengan lurus, tubuhnya sedikit pun tidak
bergoyah, sedangkan mata dan mulutnya membayangkan ejekan yang membuat Kiang Ti
makin penasaran dan makin marah.
"Haaaahhhhhhhh…!"
Dia kembali
mengerahkan tenaga dan bukan main kagetnya pada saat dia merasa bahwa dua tangannya
bertemu dengan hawa yang amat panas dan tenaga yang amat dahsyat sehingga
membendung semua tekanan hawa pukulan Hek-tok-ciang, bahkan mendorong tenaga
Hek-tok-ciang membalik, kemudian hawa panas itu mulai menyerangnya, keluar dari
telapak tangan halus itu, mula-mula memasuki ujung jari-jari tangannya,
kemudian makin lama makin jauh memasuki tangannya.
Kiang Ti
terkejut bukan main. Jari-jari tangannya seperti dibakar rasanya. Dia
cepat-cepat berusaha untuk melepaskan kedua tangannya, akan tetapi ternyata dua
tangan itu sudah melekat pada tangan lawan, sedikit pun tidak dapat
direnggangkan, apa lagi dilepaskan! Beberapa kali dia berusaha menarik kembali
kedua tangan, namun akhirnya dia maklum bahwa hal itu tidak mungkin.
Maka dia
menjadi nekat, tenaga Hek-tok-ciang makin dia kerahkan, namun semua sia-sia
belaka. Hawa panas mendesak semakin jauh, melalui pergelangan tangan, terus
naik ke lengannya dan ketika sampai di atas siku, dia tidak kuat lagi bertahan
saking panas dan nyerinya sehingga Kiang Ti, ketua Kwi-eng-pang itu
menjerit-jerit!
"Aduhh...
panas... panasss... aduhhhh, lepaskan...!" Tanpa malu-malu lagi Kiang Ti
yang selama ini terkenal sebagai seorang ketua Kwi-eng-pang yang sangat
ditakuti, sekarang berteriak-teriak. Mukanya pucat sekali dan penuh dengan
keringat dingin, dua lengannya kemerahan seperti dipanggang api, kedua kaki
menggigil menahan kenyerian yang amat hebat.
Bi Kiok
tersenyum lebar, sepasang tangannya menggigil ketika dia mengerahkan tenaga
sinkang-nya sehingga serangannya menjadi makin hebat, membuat kedua lengan
Kiang Ti ikut menggigil.
"Aduhhh...
aduhhhh... am... punnn...!" Kiang Ti yang kini merasa betapa seturuh
tubuhnya seperti ditusuki jarum dan dipanggang di atas api itu mengeluh dan
minta-minta ampun.
"Krekk!
Krekk! Augghhhh...!"
Tubuh Kiang
Ti menjadi lemas, lantas dia roboh pingsan ketika Bi Kiok menarik kembali kedua
tangannya setelah dengan pengerahan sinkang-nya dia membuat tulang-tulang dari
kedua lengan lawannya itu retak-retak.
"In
Hong, sudahi main-mainmu dengan mereka!" Bi Kiok berkata kepada muridnya
ketika dia menengok dan melihat betapa muridnya itu masih dikepung dan
dikeroyok dua puluh enam orang pria itu tanpa membalas, hanya mengelak ke
sana-sini dengan cekatan bagai seekor burung walet.
"Baik,
Subo!" In Hong berkata sesudah dia melihat betapa subo-nya sudah
merobohkan semua orang lawannya. Dia menggerakkan kedua tangannya berkali-kali
sambil berseru, "Robohlah...!"
Hebat bukan
main akibatnya. Berturut-turut dua puluh enam orang itu roboh dan tidak dapat
bangun kembali sehingga tubuh mereka malang-melintang dan tumpang-tindih di
atas tanah. Cepat sekali pengeroyokan itu selesai dan kini yang tampak hanya In
Hong di tengah-tengah dua puluh enam tubuh orang yang malang-melintang di
sekelilingnya.
Mereka semua
menjadi korban sasaran Siang-tok-swa (Pasir Racun Harum) yang tadi disebar oleh
dara itu. Racun yang berupa pasir ini memang hebat sekali, mengeluarkan sinar
dingin hijau dan berbau harum, tetapi tidak hanya dapat merobohkan dan membuat
lawan pingsan seperti halnya dua puluh enam orang itu, bahkan kalau dikehendaki
oleh In Hong, dapat pula mencabut nyawa lawan! Tadi melihat betapa gurunya
merobohkan lima orang pengeroyoknya tanpa membunuh, dia pun hanya merobohkan kedua
puluh enam orang itu dengan pasir tanpa membunuh, hanya membuat mereka pingsan
saja.
Pada saat
itu, perahu-perahu yang ditumpangi oleh anak buah Giok-hong-pang telah tiba di
pulau. Berkat petunjuk para tawanan, yaitu orang-orang Kwi-eng-pang yang menyerah
dan takluk, para anggota Giok-hong-pang dapat mendarat di pulau dengan selamat.
Bi Kiok lalu
memerintah para anak buahnya membawa semua tawanan itu ke ruangan besar di mana
dia dan In Hong duduk di atas kursi, juga memerintahkan supaya semua keluarga
anggota Kwi-eng-pang, baik yang terluka atau yang tidak, pendeknya mereka yang
belum mati, dikumpulkan di ruangan itu, dijaga oleh para anggota
Giok-hong-pang.
Kiang Ti dan
para anggotanya sudah siuman kembali dan kini dia duduk di atas lantai di depan
Bi Kiok dengan muka pucat. Segera tahulah dia bahwa riwayatnya sebagai ketua
Kwi-eng-pang habis sampai di situ saja. Tidak pernah diduganya bahwa kini Yo Bi
Kiok memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya, jauh lebih hebat dari
kepandaiannya sendiri, bahkan dia yakin lebih hebat dari pada tingkat
kepandaian mendiang gurunya, Kwi-eng Niocu atau guru Bi Kiok, Siang-tok Mo-li!
Kalau saja
dia tahu akan hal itu, tentu saja tidak akan begitu bodoh untuk melawannya. Dan
dia bergidik kalau mengingat akan apa yang sudah dia lakukan terhadap lima
orang wanita anggota Giok-hong-pang beberapa hari yang lalu itu!
Rasa takut
mendatangkan kebencian yang hebat dan sekiranya kedua lengan tangannya tidak
patah-patah tulangnya sehingga kedua lengannya itu lumpuh tidak dapat
digerakkan lagi, tentu Kiang Ti akan mengamuk dan melawan sampai tewas. Dia
mengerti bahwa dirinya tidak tertolong lagi dan dia tidak mungkin bisa
mengharapkan pengampunan dari wanita yang seperti iblis itu, wanita cantik yang
sikapnya dingin menyeramkan, yang kini bersama dara jelita yang amat lihai itu
duduk di hadapannya, memandang dengan mata seperti hendak membunuhnya dengan
sinar matanya.
Suasana
sunyi, tidak ada seorang pun yang berani bergerak, bahkan semua anak buah
Kwi-eng-pang seperti menahan napas saking tegang dan takutnya. Di sana-sini
terdengar isak tertahan dari isteri dan keluarga para anggota Kwi-eng-pang yang
telah tewas dalam penyerbuan anak buah Giok-hong-pang itu.
"Kiang
Ti, apakah engkau sudah mengetahui akan dosamu?" Tiba-tiba terdengar suara
halus ketua Giok-hong-pang, membuat para pendengarnya terkejut dan semua mata
kini tertuju kepada Kiang Ti yang duduk di atas lantai sambil menundukkan
mukanya. Ketua Kwi-eng-pang itu mengangkat muka.
"Yo Bi
Kiok, aku sudah kalah, mau bunuh terserah, tak perlu lagi banyak cakap!"
Yo Bi Kiok
tersenyum. "Engkau dan keempat orang pembantumu ini melakukan kekejian
terhadap Lui Hwa, dan sekarang dia sedang menanti kalian berlima di alam baka
untuk membuat perhitungan dengan kalian."
Kiang Ti
menunduk. Maklumlah dia bahwa perbuatannya itu merupakan kebodohan dan
kelalaiannya, memandang rendah kepada orang lain. Kesenangan dan kenikmatan
yang didapatnya saat dia mempermainkan Lui Hwa sungguh tak sepadan dibandingkan
dengan hukumannya, dengan kematian yang sudah membayang di depan mata.
Menyesal?
Tidak, orang seperti Kiang Ti tidak pernah mengenal sesal, karena bagi orang
seperti dia, hidup berarti pengejaran kesenangan, dan mati adalah resikonya!
"Memang
aku telah melakukan itu, habis kau mau apa?" tantangnya untuk menutupi
rasa takutnya, karena betapa pun juga, ada perasaan takut dan ngeri menghadapi
kematian, meninggalkan semua kesenangan dunia dan menghadapi suatu keadaan lain
yang masih rahasia, yang tidak dapat dibayangkannya akan bagaimana jadinya
sesudah mati, akan tetapi banyak dongeng tentang neraka telah membuatnya ngeri
juga.
"Pangcu...
harap pangcu sudi mengampuni hamba...," seorang di antara empat pembantu
Kiang Ti terdengar memohon dengan suara ketakutan.
"Pangcu,
ampunkan kami... kami hanya menjalankan tugas..."
"Kami
hanya diperintah oleh pangcu kami..."
Bibir yang
tersenyum manis itu tiba-tiba saja berubah menjadi cemberut. Sejenak Bi Kiok
menyapu empat orang itu dengan tatap mata penuh penghinaan, melihat betapa
empat orang itu sambil berlutut mengangguk-anggukkan kepala sampai dahi mereka
menyentuh lantai dan mulut mereka tiada henti-hentinya mengeluarkan suara
seperti orang menangis sambil minta-minta pengampunan.
"Pengecut
hina dan busuk!" Tiba-tiba Bi Kiok membentak, cepat tangannya bergerak dan
tampaklah sinar berkilat menyambar ke arah empat orang itu yang segera menjerit
dan roboh terlentang, berkelojotan seperti ayam-ayam disembelih dengan leher
putus!
Kiang Ti
memandang empat orang pembantunya itu dengan muka berubah pucat, akan tetapi
hatinya puas karena dia pun mendongkol sekali menyaksikan sikap mereka tadi.
"Kiang
Ti, engkau manusia busuk dan kejam, akan tetapi sikapmu cukup gagah, maka
engkau patut menerima hukuman yang lebih ringan. Nah, kau temuilah Lui Hwa di
sana!"
Kembali
sinar kilat menyambar dari tangan Bi Kiok disusul robohnya Kiang Ti yang tidak
dapat bergerak lagi karena lehernya sudah terbabat putus oleh sinar pedang
tadi. Hebat bukan main cara Bi Kiok mencabut dan menggerakkan pedangnya
sehingga tidak dapat diikuti pandang mata semua orang yang berada di situ
kecuali In Hong.
Cepat bukan
main gerakannya sehingga yang tampak hanyalah sinar berkilat dari pedang
Lui-kong-kiam (Pedang Sinar Kilat) yang menyilaukan mata. Kemudian dengan
tepatnya pedang itu menyambar, merobohkan empat orang yang baru mati sesudah
berkelojotan dan mengalami siksaan yang agak lama, sedangkan Kiang Ti roboh dan
tewas seketika sehingga mungkin saja arwahnya masih belum sadar bahwa dia telah
meninggalkan raga karena selain lehernya putus juga lebih dulu jantungnya
tertembus pedang!
Semua orang
memandang dengan wajah pucat lalu menundukkan muka. Orang-orang Kwi-eng-pang
gemetar dan ketakutan, bahkan para anggota Giok-hong-pang juga tidak ada yang
berani bersuara. Mereka maklum bahwa kalau ketua mereka yang cantik itu sedang
marah, dia menjadi berbahaya bukan main.
"Sekarang,
mereka yang dahulu memperkosa dan mempermainkan empat orang anggota
Giok-hong-pang sampai mati, majulah semua!" Suara ini halus, akan tetapi
mengandung sesuatu yang membuat mereka yang merasa berdosa menggigil ketakutan.
Tentu saja tak ada seorang pun di antara mereka yang berani berkutik, apa lagi
maju ke depan wanita luar biasa itu.
Bi Kiok
mengerutkan alisnya. Dari penuturan mendiang Lui Hwa, dia mendengar bahwa Lui
Hwa diperkosa dan dihina oleh Kiang Ti dan empat orang pembantunya yang semua
sudah dia bunuh sebagai hukuman. Akan tetapi menurut Lui Hwa pula, empat orang
anak buahnya yang lain itu telah direjang dan diperkosa di tempat terbuka oleh
banyak sekali anggota Kwi-eng-pang, diperkosa di depan umum secara bergantian
sehingga mereka itu tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan.
Bi Kiok
mulai menyapu semua orang yang berada di ruangan luas itu dengan pandang
matanya dan pandang mata itu berhenti di kelompok keluarga ini. Dari nenek dan
kakek sampai anak-anak semuanya menundukkan muka dan kelihatan ketakutan serta
berduka, kecuali seorang wanita muda yang berwajah manis dan berusia paling banyak
tiga puluh tahun. Wanita ini memandang ke arah tubuh Kiang Ti yang tak
berkepala lagi dan tubuh empat orang pimpinan Kwi-eng-pang yang berkelojotan
dalam sekarat itu dengan mata bersinar-sinar penuh kepuasan dan kebencian!
“Heiiii, kau
ke sinilah!" Bi Kiok menggapai dengan tangannya.
Wanita itu
terkejut dan baru sekarang kelihatan ketakutan. Akan tetapi Bi Kiok tersenyum
dan berkata, "Jangan takut karena mulai saat ini juga engkau kuangkat
menjadi seorang pelayanku. Engkau akan terlindung dan tak seorang pun akan
berani mengganggumu!"
Wanita
cantik itu melangkah maju lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Kiok,
"Terima kasih atas kebaikan pangcu yang terhormat." Sikap dan
kata-kata wanita ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang pernah
terdidik, bukan seorang wanita kasar isteri penjahat atau perkumpulan sesat.
"Siapa
namamu?"
"Saya
bernama Bhe Kiat Bwee, pangcu."
"Bagaimana
engkau bisa berada di tempat ini?"
Mendengar
pertanyaan ini, air mata bercucuran dari sepasang mata Kiat Bwee dan dia lalu
bercerita dengan suara tersendat-sendat. Kiranya wanita muda ini, yang menjadi
isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti, merupakan wanita culikan
seperti sebagian besar wanita lain yang berada di situ. Dia sedang menjadi
pengantin ketika orang-orang Kwi-eng-ang menyerbu perkampungannya dan dia
dilarikan, kemudian dipaksa menjadi isteri seorang di antara empat pembantu
Kiang Ti. Dia merasa sakit hati, dia membenci suaminya dan semua orang
Kwi-eng-pang, akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya dan harus menelan segala
kesengsaraannya.
"Hari
ini, dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan betapa semua sakit hati saya
terbalas oleh pangcu, betapa puas dan berterima kasih hati saya terhadap
pangcu..." Dia menangis lagi.
Bi Kiok
tersenyum. Tidak salah dugaannya. "Kiat Bwee, mulai sekarang engkau
menjadi anggota Giok-hong-pang. Engkau sendiri mengalami kebiadaban kaum pria
Kwi-eng-pang ini, maka sekaranglah tiba saatnya untuk menghukum mereka. Engkau
tentu tahu siapa di antara mereka yang dahulu telah melakukan pemerkosaan
biadab terhadap empat orang rekanmu itu."
Kiat Bwee
mengangguk. "Saya tahu, pangcu, saya juga menyaksikan semua perbuatan
biadab itu dengan mata kepala sendiri."
"Nah,
kau tunjuklah mereka seorang demi seorang." Bi Kiok lantas menunjuk tiga
orang pembantunya. "Kalian melaksanakan hukumannya!"
Tiga orang
wanita yang ditunjuk itu tersenyum, mengangguk kemudian mencabut pedang
masing-masing. Mereka lalu mengikuti Kiat Bwee yang tampak sangat gembira dan
tidak kalah ganasnya dibandingkan dengan ketiga orang wanita Giok-hong-pang
yang dengan penuh gairah hendak melaksanakan hukuman sebagai algojo-algojo bagi
orang-orang Kwi-eng-pang itu.
"Nah,
ini dia, dan itu, dan itu...!" Kiat Bwee menudingkan telunjuknya.
Setiap kali
Kiat Bwee menuding, tampaklah cahaya pedang berkelebat disusul suara jerit
mengerikan dan robohlah lelaki yang dituding oleh Kiat Bwee, roboh dalam
keadaan amat mengerikan karena tiga batang pedang itu selalu menyambar ke bawah
dan membacok ke arah anggota kelamin para pria itu.
Darah
muncrat-muncrat dan ruangan itu banjir darah. Pekik dan jerit susul-menyusul
dan dalam beberapa menit saja ruang itu sudah penuh dengan orang-orang yang
berkelojotan dalam sekarat! Lebih dari lima puluh orang laki-laki tewas sebagai
akibat tudingan telunjuk yang kecil mungil dari Kiat Bwee! Wanita ini nampak
puas sekali, matanya berkilat-kilat, wajahnya kemerahan dan berseri-seri! Tidak
disangkanya bahwa hari itu dia akan dapat membalas dendam sedemikian puasnya!
Setelah
penjagalan manusia secara hebat ini, Bi Kiok kemudian mengajak In Hong untuk
memeriksa dan melihat-lihat pulau dengan bangunan-bangunannya, diantarkan oleh
Kiat Bwee. Ruangan yang tadinya menjadi tempat pembantaian manusia itu telah
dibersihkan oleh para anggota Giok-hong-pang yang memerintahkan sisa-sisa
keluarga dan anggota Kwi-eng-pang.
Mulai saat
itu, sisa anggota Kwi-eng-pang yang jumlahnya masih ada empat puluh orang lebih
itu menjadi budak yang ketakutan dari para anggota Giok-hong-pang, juga
keluarga mereka mengalami perubahan hebat, yang wanita otomatis menduduki
tingkat yang lebih tinggi dari pada yang laki-laki.
Mulai saat
itu pula Telaga Kwi-ouw menjadi daerah yang dikuasai oleh Giok-hong-pang, dan
pulau itu dijadikan sarang mereka. Kwi-eng-pang otomatis musnah, sedangkan sisa
orang-orang Kwi-eng-pang sudah mulai melupakan perkumpulan Kwi-eng-pang itu
karena mereka kini menjadi budak-budak Giok-hong-pang, bukan anggota tapi
budak-budak yang setiap hari harus bekerja keras di ladang, mencari ikan dan
pekerjaan berat yang lainnya. Tidak ada seorang pun yang berani melawan, apa
lagi melarikan diri, karena mereka juga maklum bahwa melarikan diri berarti
mati dalam keadaan mengerikan seperti yang dialami oleh beberapa orang teman
mereka.
Yap In Hong,
dara remaja yang cantik jelita itu, menyaksikan semua peristiwa ini tanpa ada
sepatah kata pun terlontar dari mulutnya, tanpa ada perasaan apa pun membayang
di dalam sinar matanya, seakan-akan dia tidak peduli dengan semua yang
dilakukan oleh gurunya. Benarkah dara ini, yang masih begitu muda, yang pada
lahirnya memperlihatkan kecantikan yang demikian mempesonakan, kehalusan yang
demikian mengharukan, tapi memiliki hati yang dingin membeku, yang tidak
memiliki perasaan lagi?
Hal ini
sukar sekali untuk ditentukan, karena dara itu sendiri pun masih belum mengenal
sifat dirinya sendiri. Sejak kecil dia berada di dalam lingkungan wanita-wanita
pembenci pria dan segala cerita yang didengarnya mengenai pria selalu buruk dan
mendatangkan kesan jahat, maka tentu saja di dalam hatinya tumbuh perasaan tak
senang kepada pria.
Apa lagi
karena pria-pria Kwi-eng-pang yang menerima hukuman mengerikan sekali itu
adalah pria-pria yang sudah melakukan perbuatan biadab dan keji terhadap lima
orang anggota Giok-hong-pang, maka tidak ada perasaan kasihan yang timbul di
hatinya ketika melihat mereka semua dibunuh seperti itu. Betapa pun juga,
alisnya berkerut tanda tidak setuju ketika dia menyaksikan
pembunuhan-pembunuhan seperti itu, karena membunuh lawan yang sudah tidak mampu
mengadakan perlawanan atau pembelaan diri baginya merupakan hal yang amat
memalukan.
Tentu saja
dia tidak mau menyatakan perasaan tak setujunya ini secara berterang karena dia
terlalu mencinta gurunya dan tidak mau membuat gurunya tidak senang hati.
Bahkan pada saat dia mendengar penuturan yang lebih jelas dari gurunya tentang
kepatahan hati gurunya dalam kegagalan cintanya terhadap Yap Kun Liong, kakak
kandungnya, secara diam-diam dia merasa tidak senang kepada kakak kandungnya
itu!
Sesudah Giok-hong-pang
berhasil merampas pulau di Telaga Kwi-ouw, dengan tenteram dan senang mereka
hidup di tempat yang indah ini. Para anggota Giok-hong-pang makin tekun pula
mempelajari ilmu silat dan memperkuat diri, sehingga Giok-hong-pang menjadi
perkumpulan yang sangat kuat dan mulai terkenal di dunia kaum sesat sebagai
sebuah perkumpulan yang dipimpin oleh seorang wanita sakti.
In Hong
sendiri amat suka dengan keindahan tempat di sekeliling Telaga Kwi-ouw. Akan
tetapi, dia merasa muak dengan kehidupan para anggota Giok-hong-pang. Melihat
betapa anggota Giok-hong-pang yang terdiri dari wanita-wanita itu memperbudak
kaum prianya, bahkan tidak jarang melakukan perbuatan yang menindas dan
menyiksa, kemudian dia melihat pula betapa ada beberapa orang anggota Giok-hong-pang
yang mempergunakan budak-budak bekas orang-orang Kwi-eng-pang itu untuk
kesenangan diri sendiri, untuk memuaskan nafsu birahi mereka yang di balik
kebencian mereka terhadap pria kadang-kadang timbul dan perlu disalurkan.
Gurunya yang
juga tahu akan hal ini, tidak melarang! Meski pun gurunya adalah seorang wanita
pembenci pria yang sama sekali pantang berdekatan dengan pria, yang hatinya
sudah membeku terhadap pria, namun gurunya sendiri agaknya maklum akan
kebutuhan para wanita anggota Giok-hong-pang dan tidak melarang mereka bermain
cinta dengan para budak!
Hal ini
memuakkan hati In Hong yang melihat seolah-olah para anggota Giok-hong-pang itu
sebagai pemerkosa-pemerkosa, tidak ada bedanya dengan para pria Kwi-eng-pang
yang pernah memperkosa wanita. Hanya bedanya, kini wanita yang memperkosa pria,
yang mempergunakan pria sebagai alat untuk menyenangkan dirinya, untuk
memuaskan nafsu birahinya. Hal ini membuat dia mulai tidak betah tinggal di
Kwi-ouw dan pada suatu hari dia berpamit kepada gurunya untuk pergi merantau.
Yo Bi Kiok
tidak melarang karena maklum bahwa muridnya memang perlu memperoleh pengalaman
dan tidak mungkin mengurung gadis yang telah dewasa itu untuk selamanya tinggal
di Kwi-ouw. Dia hanya berpesan agar In Hong tidak lupa untuk pulang ke Kwi-ouw.
Hubungan
merupakan inti dari kehidupan. Hidup berarti berhubungan, baik berhubungan
antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan benda, atau manusia dengan
pikirannya, dengan nafsu-nafsunya. Hubungan antara manusia menjadi tidak bersih
lagi, menjadi tidak wajar lagi sehingga pasti akan mendatangkan pertentangan,
mendatangkan permusuhan dan mendatangkan kesengsaraan, kekecewaan dan
penderitaan apa bila di dalam hubungan ini dimasuki niat penggunaan.
Hubungan
yang bagaimana dekat pun, seperti hubungan antara pria dan wanita, antara suami
dan isteri, akan menjadi sumber pertentangan apa bila di sana terdapat
keinginan untuk saling mempergunakan demi kesenangan diri pribadi. Sikap kepada
manusia lain, baik manusia lain itu berbentuk suami, isteri, anak, orang tua,
atau pun sahabat akan merupakan sikap yang palsu apa bila sikap itu timbul
dikarenakan suatu keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Dan
sikap palsu ini, seperti semua kepalsuan yang tentu saja tidak wajar, selalu
akan mendatangkan hal-hal yang bertentangan dan mendatangkan duka.
***************
Seperti pada
semua pegunungan atau di tepi laut, pendeknya di tempat-tempat sunyi di mana
tampak membentang luas alam yang belum tersentuh tangan manusia, di mana segala
sesuatu nampak megah, penuh kekuatan dan kedamaian, maka di Cin-ling-san pun
pemandangan alam amat megah dan indahnya.
Di dekat
sumber air Sungai Han-sui yang keluar dari salah sebuah lereng Cin-ling-san,
pemandangan sangat indahnya dan tempat inilah yang menjadi pusat dari
perkumpulan Cin-ling-pai yang di waktu itu amat terkenal sebagai sebuah
perkumpulan yang besar dan kuat, dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang juga
sangat dikenal di dunia kang-ouw, bahkan yang pernah dianggap sebagai tokoh
nomor satu di antara para datuk persilatan yang lihai.
Ketua
Cin-ling-pai itu bernama Cia Keng Hong, seorang kakek yang usianya sudah enam
puluh tahun lebih, atau tepatnya enam puluh tiga tahun, seorang laki-laki tua
yang amat sederhana dan kelihatan sebagai seorang petani atau penduduk
dusun-dusun di gunung yang bersahaja, akan tetapi ada sesuatu di dalam
sikapnya, terutama di dalam pandang matanya, yang mengandung kegagahan dan
keagungan.
Perkumpulan
Cin-ling-pai sama terkenalnya dengan ketuanya yang sudah bertahun-tahun jarang
memperlihatkan diri di dunia ramai. Ketua itu sendiri jarang menangani
persoalan yang dihadapi Cin-ling-pai karena semua urusan telah dipercayakan
oleh ketua ini kepada murid-murid kepala yang kesemuanya berjumlah sebelas orang.
Pada waktu
itu, tidak ada seorang pun tokoh dunia kang-ouw yang tidak mengenal Cap-it
Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-san, yaitu murid-murid kepala dari
Cin-ling-pai ini! Sudah sering sekali, entah berapa puluh bahkan berapa ratus
kali, Cin-ling-san Cap-it Ho-han ini menggegerkan dunia persilatan dengan
kegagahan mereka, dengan berbagai sepak terjang mereka yang selalu didasari
untuk membela kaum lemah yang tertindas, menentang kekuasaan sewenang-wenang,
membela kebenaran dan melawan kejahatan. Pernah sebelas orang pendekar ini
mengobrak-abrik dunia kaum sesat sehingga nama mereka menjulang tinggi,
disegani kawan ditakuti lawan.
Para pembaca
cerita Pedang Kayu Harum dan cerita Petualang Asmara tentu sudah mengenal baik
nama Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai itu. Pendekar sakti ini di samping
memiliki ilmu-ilmu yang amat tinggi, juga memiliki ilmu mukjijat seperti
Thai-kek Sin-kun dan Thi-khi I-beng, dua macam ilmu yang amat hebat. Hanya
sebagian saja dari Thai-kek Sin-kun mampu dikuasai oleh Cap-it Ho-han sebagai
murid-murid kepala, ada pun Thi-khi I-beng sampai saat itu hanya dimiliki atau
dikuasai oleh Cia Keng Hong sendiri dan orang kedua yang menguasainya adalah
Yap Kun Liong.
Isteri ketua
ini juga bukan orang sembarangan. Wanita yang kini telah menjadi seorang nenek
berusia enam puluh tahun, dahulu pada waktu masih gadis tidak kalah terkenalnya
dengan suaminya. Dia bernama Sie Biauw Eng dan dahulu dijuluki orang Song-bun
Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena kesukaannya berpakaian putih. Ilmu
silatnya juga amat tinggi, mengenal bermacam-macam ilmu silat tetapi terutama
sangat hebat permainannya dengan Pek-in Sin-pian yang merupakan sehelai sabuk
sutera putih, dan juga pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun).
Seperti
telah dituturkan di dalam cerita Petualang Asmara, suami isteri yang hidup
rukun dan saling mencinta ini memiliki dua orang anak. Yang pertama bernama Cia
Giok Keng dan sekarang telah menjadi isteri dari Lie Kong Tek, seorang pendekar
gagah perkasa. Ada pun yang kedua ialah Cia Bun Houw, yang sekarang telah
menjadi seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun. Pemuda ini
semenjak beberapa tahun yang lalu sudah diambil murid oleh Kok Beng Lama,
seorang pendeta Lama yang tinggi sekali ilmu silatnya dan yang tinggal di Tibet.
Pada saat
itu, ketua Cin-ling-pai dan isterinya sedang tidak berada di rumah. Suami
isteri ini tengah pergi ke kota Leng-kok untuk mengunjungi Yap Kun Liong,
pendekar sakti yang memiliki hubungan dekat sekali dengan keluarga ketua
Cin-ling-pai ini. Kunjungan mereka ini selain untuk melepas kerinduan, juga
untuk membicarakan soal yang sangat penting, yaitu urusan perjodohan antara
putera ketua Cin-ling-pai itu, Cia Bun Houw yang masih berada di Tibet, dengan
Yap In Hong, adik kandung dari Yap Kun Liong yang seperti kita ketahui, telah
menjadi murid dari ketua Giok-hong-pang!
Selain suami
isteri ketua Cin-ling-pai, juga empat orang di antara Cap-it Ho-han sedang
meninggalkan Cin-ling-pai karena diutus oleh ketua mereka untuk pergi ke Tibet
menyusul Cia Bun Houw dan menyerahkan surat ketua mereka kepada pendeta Kok
Beng Lama.
Biar pun
ketua mereka tidak berada di rumah, namun para anggota Cin-ling-pai bekerja
seperti biasa dan hidup dalam keadaan aman dan tenteram. Jumlah mereka ada
kurang lebih seratus keluarga yang tinggal di lereng Cin-ling-san, dan mereka
bekerja sebagai petani-petani dan pemburu-pemburu, di samping berlatih ilmu
silat.
Ada pula
beberapa puluh orang anggota yang sudah terjun ke masyarakat ramai, ada yang
bekerja sebagai penjaga keamanan, pengawal, guru silat dan lain pekerjaan yang
mengandalkan kepandaian silat mereka. Namun di mana pun mereka berada, apa pun
pekerjaan mereka, murid-murid Cin-ling-pai selalu disegani karena mereka itu
rata-rata telah memperoleh pendidikan lahir batin dan menjadi orang-orang yang
dapat dipercaya, sungguh pun mereka itu berasal dari keluarga petani-petani
sederhana.
Pagi hari
itu matahari baru saja muncul, mendatangkan suasana baru dan kehidupan kepada
seluruh permukaan bumi. Para anggota Cin-ling-pai telah tampak sibuk dan asap
mulai mengepul dari genteng-genteng pondok mereka, tanda bahwa penghuninya
sudah bangun semua dan dapur-dapur rumah telah mulai menghidupkan apinya.
Tujuh orang
murid kepala, yaitu tujuh di antara sebelas orang Cap-it Ho-han, karena yang
empat orang pergi ke Tibet, pagi-pagi itu seperti biasa telah meninggalkan
kamar masing-masing untuk berlatih napas dan semedhi di atas bukit di belakang
kompleks perumahan Cin-ling-pai. Tempat ini dipilih sebagai tempat berlatih
karena memang merupakan tempat yang amat hening, indah, dan bersih, memiliki
hawa yang murni. Sebentar saja mereka sudah hanyut dalam latihan, dan tujuh
orang laki-laki yang duduk bersila di atas rumput hijau itu tiada ubahnya
seperti arca-arca mati.
Pagi hari
itu hawa udara di puncak bukit amat dinginnya, dingin sejuk menyusup tulang.
Akan tetapi tujuh orang laki-laki yang duduk bersila itu sama sekali tidak
merasakan hawa dingin ini, bahkan kini tampak uap putih mengepul dari tubuh dan
kepala mereka! Itulah tanda pertemuan antara hawa panas yang mengalir di
seluruh tubuh mereka dan hawa dingin dari udara di luar tubuh mereka. Dengan berlatih
Yang-kang atau tenaga sakti yang panas hawanya ini, tubuh mereka terasa hangat
di dalam udara dingin itu.
Udara yang
mereka hisap melalui hidung tidak nampak, akan tetapi sesudah keluar dari dalam
dada mereka, tampaklah uap tebal putih memanjang seperti seekor ular keluar
dari hidung atau pun mulut mereka. Bermacam-macam cara mereka mengeluarkan hawa
dari dalam dada ketika latihan pernapasan ini. Ada yang mengeluarkan hawa dari
mulut, ada yang dari hidung, dan ada pula yang mengeluarkannya dari satu lubang
hidung saja, ada yang bergantian keluarnya, dari lubang hidung kiri dan kanan.
Tujuh orang
laki-laki ini memang telah mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Mereka adalah
murid-murid kepala Cin-ling-pai yang menerima gemblengan langsung dari Pendekar
Sakti Cia Keng Hong, ketua atau guru mereka.
Setelah
lebih dari dua puluh tahun berlatih, sejak mereka masih berupa pemuda-pemuda
dusun di pegunungan itu hingga kini menjadi orang-orang setengah tua yang
usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun lebih, mereka telah menguasai
ilmu-ilmu silat yang tinggi dan mereka terkenal sebagai jagoan-jagoan
Cin-ling-pai dengan julukan sederhana, yaitu Sebelas Pendekar dari
Cin-ling-pai.
Pakaian
mereka seperti pakaian petani karena memang tujuh orang ini bersama empat orang
yang diutus ke Tibet, berasal dari petani-petani sederhana di sekitar
Pegunungan Cin-ling-san. Hingga sekarang mereka tetap hidup bertani, hidup
sederhana, tanpa banyak keinginan, sebagian ada yang telah membentuk keluarga,
menikah dengan wanita-wanita dusun pula sehingga keluarga mereka pun amat
sederhana, sebagian lagi ada pula yang membujang. Dalam keadaan hidup sederhana
dan selalu tenang tenteram penuh damai ini, tentu saja mereka memiliki
kesehatan lahir batin dan ketekunan mereka melatih diri membuat mereka menjadi
orang-orang gemblengan yang lihai, menjadi orang-orang yang ‘berisi’ sungguh
pun pada lahirnya mereka tidak ada bedanya dengan bapak-bapak petani miskin
sederhana.
Sejak
pagi-pagi sekali tadi, lama sebelum matahari mengirim cahayanya sebagai pelopor
atau pembuka jalan bagi munculnya sang raja siang, tujuh orang lihai ini sudah
berlatih di puncak bukit itu. Kini matahari muda yang merah dan hangat sudah
mengintai dari balik puncak di timur, namun mereka masih tenggelam ke dalam
keheningan.
"Suheng...!
Suheng...! Harap turun dari puncak... ada urusan penting...!"
Teriakan-teriakan
dari beberapa buah mulut yang terdengar datang dari bawah puncak itu
menyadarkan mereka. Dengan tenang mereka membuka mata, menghela napas panjang
dan mulai menggerakkan anggota badan, melepaskan kedua kaki yang tadi bersila
saling menindih paha.
"Jit-wi
suheng... (kakak seperguruan bertujuh)!" kembali terdengar teriakan.

Seorang di
antara mereka, yang tertua, usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih dan
dahinya lebar, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya juga tebal pendek, tubuhnya
kekar dan membayangkan kekasaran seorang petani akan tetapi pandang matanya
amat halus, bangkit berdiri dan berkata, "Sute (adik seperguruan)
sekalian, marilah kita lihat apa yang terjadi di bawah."
Orang ini
adalah murid kepala ke lima dan karena murid-murid kepala pertama sampai ke
empat diutus ke Tibet, maka sekarang dia menjadi yang tertua di antara para
sute-nya. Dia bernama Sun Kiang, seorang di antara yang tinggal hidup
membujang, tak mau menikah. Setelah berkata demikian, dengan tenang dia lalu
meninggalkan puncak bersama enam orang sute-nya sambil berseru ke bawah dengan
suara nyaring,
"Kami
sedang turun...!" Suaranya menggema di seluruh lereng puncak bukit itu,
maka dari bawah tidak lagi terdengar teriakan-teriakan yang memanggil-manggil
mereka.
Di lereng
itu mereka disambut oleh belasan orang murid Cin-ling-pai yang semua terlihat
tegang. Namun tujuh orang itu tenang-tenang saja dan Sun Kiang lalu bertanya,
"Apakah
yang terjadi?"
"Celaka,
Sun-suheng (kakak seperguruan Sun)...!" Seorang di antara mereka berkata
dengan muka pucat. "Bendera kita yang di puncak menara itu diambil orang
dan di ujung tiangnya terdapat sebuah benda lain, seperti sehelai kain
putih...!"
Sun Kiang
mengerutkan alisnya yang tebal.
"Hemm,
apakah ada yang melihat siapa yang melakukan itu?"
"Tidak
ada yang melihatnya. Mungkin perbuatan itu dilakukan pada waktu malam, dan tadi
kebetulan ada salah seorang di antara anak-anak kita yang melihatnya dan
berteriak keheranan," kata orang yang melapor itu.
"Dan
hebatnya, tidak ada bekas-bekasnya orang naik ke menara, Sun-suheng! Menara itu
terjaga pintunya siang malam, tak mungkin ada yang dapat naik ke menara melalui
anak tangga tanpa diketahui penjaga," kata yang ke dua.
Sun Kiang
bersama enam orang sute-nya tidak berkata apa-apa, hanya bergegas turun dari
tempat itu menuju ke kompleks perumahan mereka dan langsung menuju ke menara
yang dimaksudkan. Mereka memandang ke atas dan benar saja, jauh di atas menara,
di mana terdapat tiang bendera, kini bukan lagi bendera Cin-ling-pai yang
melambai di ujung tiang bendera, namun sehelai kain putih yang dari bawah
tampak ada titik-titik hitamnya. Menara itu tinggi, berloteng empat dan tiang
itu dipasang di puncak menara, dikeluarkan dari jendela tingkat teratas,
panjang tiang ada tiga tombak dan bendera itu berkibar di ujungnya.
"Sun-suheng,
apa bila dia tidak melalui anak tangga menara dan langsung mengambilnya melalui
genteng, sungguh hebat kepandaiannya," salah seorang di antara Cap-it
Ho-han berkata.
Sun Kiang
mengangguk. "Agaknya kain itu mengandung tulisan, biar aku mengambilnya
dengan cara seperti ketika benda itu dipasangkan orang."
Setelah
berkata demikian, Sun Kiang menggenjot tubuhnya dan melayanglah tubuh tokoh ke
lima dari Cap-it Ho-han ini ke atas, tangannya menyambar pinggiran loteng
pertama, bergantung lantas menggenjot lagi tubuhnya ke atas berjungkir balik
sehingga tubuh itu meluncur ke tingkat dua, kembali menyambar pinggiran loteng,
menggenjot lagi ke atas sampai akhirnya dia berhasil menangkap tiang bendera pada
puncak menara dan meraih kain putih di ujung tiang bendera, kemudian dia
melayang turun dari tingkat ke tingkat seperti tadi dan tiba di atas tanah.
Semua ini dilakukan dengan cepat dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, dan
ketika dia sudah berdiri kembali di tempat tadi, napasnya biasa saja tidak
terengah, hanya mukanya yang menjadi agak merah.
Tepuk sorak
bergemuruh menyambut perbuatan yang hebat ini, karena para anak murid
Cin-ling-pai benar-benar kagum menyaksikan kelihaian suheng mereka. Akan tetapi
Sun Kiang mengangkat tangan ke atas minta agar mereka tidak menimbulkan bising.
Bersama
dengan enam orang sute-nya, Sun Kiang membaca huruf-huruf yang tertulis di atas
kain putih itu. Kain itu terbuat dari sutera dan agaknya merupakan sehelai sapu
tangan putih yang tidak begitu bersih dan melihat coretan yang kasar, tentu
huruf-huruf itu ditulis dengan telunjuk yang dicelupkan tinta bak. Tulisannya
bergores kuat sungguh pun tidak dapat disebut indah.
LIMA
BAYANGAN DEWA MENANTI KEHADIRAN KETUA CIN-LING-PAI DAN CAP-IT HO-HAN DI
RESTORAN KOAI-LO KOTA HAN-TIONG HARI INI MENJELANG SENJA
“Hemmm...
Lima Bayangan Dewa? Siapakah mereka dan apakah maunya?" berkata Sun Kiang
sambil mengerutkan alisnya.
"Kurang
ajar! Surat ini berupa tantangan bagi kita!" kata seorang sute-nya.
"Ini
penghinaan namanya! Bendera kita dirampas, juga dia menantang suhu dan Cap-it
Ho-han!" kata yang lain.
Sun Kiang
memberi tanda dengan tangan kepada para sute-nya. "Mari kita masuk dulu ke
dalam dan merundingkan urusan ini. Coa-sute, kau perintahkan para murid untuk
bekerja seperti biasa, akan tetapi agar mereka waspada dan mengawasi
gerak-gerik orang asing yang kelihatan di daerah kita, juga penjagaan harus
diperkuat apa lagi pada waktu malam di sekitar menara."
Sesudah
melakukan pesan suheng-nya, Coa Seng Ki, yakni tokoh termuda dari Cap-it Ho-han
yang usianya tiga puluh delapan tahun, cepat memasuki ruangan dalam di mana
para suheng-nya sudah berkumpul untuk merundingkan urusan itu.
"Nama
perkumpulan kita sudah amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi karena suhu
melarang kita mencampuri urusan luar, maka kita sendiri kurang mengenal
tokoh-tokoh golongan putih atau hitam yang kini menjagoi dunia kang-ouw. Betapa
pun juga, karena banyaknya murid Cin-ling-pai yang terjun di dunia ramai, tentu
terjadi hubungan-hubungan di luar tahu kita. Lima Bayangan Dewa ini tidak kita
kenal, tetapi mereka tentu merupakan tokoh-tokoh besar maka sudah berani
mengundang suhu dan Cap-it Ho-han mengadakan pertemuan di Han-tiong. Sayang
bahwa suhu sedang tidak ada, bahkan twa-suheng dan ji-suheng (kakak tertua dan
kakak kedua) juga pergi, padahal biasanya mereka berdua yang memutuskan segala
perkara kalau suhu sedang tidak ada. Mereka pergi bersama sam-suheng dan
si-suheng sehingga yang ada hanya kita bertujuh."
"Kita
tidak perlu takut, Sun-suheng!" Coa Seng Ki, orang termuda yang paling
berani dan keras hatinya di antara mereka cepat berkata. "Mereka hanya
lima orang, dan kita masih ada tujuh orang, sudah lebih dari cukup untuk
menghadapi mereka. Bahkan kalau suheng menghendaki, saya sendiri pun sama
sekali tak merasa gentar untuk mewakili Cin-ling-pai menghadapi mereka di
Han-tiong."
"Coa-sute,
sikapmu ini tidak bijaksana. Apa engkau sudah lupa akan pesan suhu bahwa saat
menghadapi apa pun juga kita harus berkepala dingin? Hati yang panas merupakan
bekal yang sangat melemahkan diri sendiri dalam menghadapi persoalan!" Sun
Kiang lalu menegur sute-nya.
Coa Seng Ki
cepat menundukkan kepalanya. "Maafkan saya, Suheng. Karena ada orang
menghina suhu maka hati saya menjadi panas."
Hening
sejenak, kemudian Sun Kiang berkata pula, "Kita tak mengenal mereka dan
tidak tahu apa maksud hati mereka mengundang suhu dan Cap-it Ho-han. Kita belum
dapat memastikan apakah mereka itu mengandung niat baik ataukah buruk, akan
tetapi melihat betapa mereka telah mengambil bendera Cin-ling-pai, tentu mereka
tidak mempunyai niat yang baik. Karena aku tidak mau berbuat sembrono, maka
kita rundingkan dulu baik-baik apakah kita harus melayani mereka ataukah
tidak."
Setelah
berunding sampai lama, akhirnya ditetapkan bahwa mereka bertujuh akan pergi ke
Han-tiong memenuhi undangan Lima Bayangan Dewa, karena apa bila mereka tidak
melakukan hal ini, tentu urusan itu akan tinggal gelap. Mereka bukan hendak
berangkat untuk mencari permusuhan, namun untuk mempelajari apa sebenarnya yang
dikehendaki oleh Lima Bayangan Dewa itu, dan untuk memperlihatkan kepada siapa
pun juga bahwa biar pun di Cin-ling-pai hanya ada tujuh orang dari Cap-it
Ho-han, Cin-ling-pai tak pernah merasa gentar menghadapi apa dan siapa pun
juga.
Sebelum
berangkat, Sun Kiang memesan lagi kepada para adik seperguruannya. "Kalian
ingat baik-baik, terutama Coa-sute. Kita tidak boleh bersikap lancang, apa lagi
jika sampai menimbulkan permusuhan. Hal ini dilarang keras oleh suhu. Kita ke
situ hanya memenuhi undangan untuk mengenal siapa mereka serta mengetahui apa
maksud dari undangan mereka."
"Saya
mengerti, Suheng. Akan tetapi, bagaimana kalau mereka itu mengeluarkan sikap
dan kata-kata yang menghina Cin-ling-pai atau menghina suhu? Mungkin mereka
adalah musuh-musuh suhu di waktu suhu masih muda!" Coa Seng Ki membantah.
"Kalau
ternyata mereka menghina, serahkan saja kepadaku untuk menghadapi mereka. Kalian
semua tidak boleh turun tangan secara lancang."
"Bagaimana
kalau mereka menyerang kita? Apakah kita juga harus diam saja?" Coa Seng
Ki membantah.
"Hemm,
Coa-sute, kalau sampai terjadi seperti itu, perlukah bertanya lagi? Tentu saja
kita harus bergerak untuk membela diri. Yang dilarang oleh suhu ialah bila kita
menggunakan kekerasan mencari permusuhan. Kalau kita diserang, tentu saja kita
harus membela diri."
Coa Seng Ki
mengangguk-angguk dan kelihatan girang. "Mereka itu bukan orang-orang
baik, aku yakin akan hal ini dan mereka tentu akan menyerang kita."
Setelah
meninggalkan pesan kepada para anggota Cin-ling-pai dan juga kepada keluarga
mereka, berangkatlah tujuh orang jagoan Cin-ling-pai ini menuju ke kota
Han-tiong yang berada di kaki Pegunungan Cin-ling-pai. Karena maklum bahwa
mereka akan menghadapi orang-orang pandai, maka mereka tentu saja membawa bekal
senjata mereka masing-masing untuk berjaga-jaga dan mereka seperti biasa tidak
ingin menonjolkan diri sebagai ahli-ahli silat dan menyembunyikan senjata
masing-masing di bawah jubah petani mereka yang longgar.
Tidak semua
anak murid Cin-ling-pai bersenjata pedang. Sungguh pun ketua Cin-ling-pai yaitu
Pendekar Sakti Cia Keng Hong merupakan seorang ahli pedang yang sukar dicari
tandingnya, apa lagi kalau dia menggunakan pedang pusakanya, yaitu pedang
Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw,
namun tidak semua murid kepala menjadi ahli pedang.
Ketua
Cin-ling-pai ini mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi kepada para murid kepala
yang disesuaikan dengan bakat masing-masing. Oleh karena itu, di antara tujuh
orang jagoan ini, yang bersenjata pedang hanya Sun Kiang, Coa Seng Ki dan dua
orang lagi, ada pun dua orang bersenjata golok sedangkan yang seorang
bersenjata tongkat yang ujungnya dilapis baja.
Kota
Han-tiong berada di tepi Sungai Han-sui yang mata airnya bersumber di
Pegunungan Cin-ling-san kemudian terus mengalir ke timur, menampung air dari
sungai-sungai yang mengalir dari selatan seperti Sungai Siang-kiang dan
Kan-kiang, untuk kemudian terjun ke Lautan Kuning. Kota Han-tiong merupakan
kota yang cukup ramai karena merupakan pelabuhan besar pertama dan dari kota
ini banyak pedagang membawa hasil bumi dan hasil hutan menuju ke timur melalui
sungai dengan perahu-perahu besar. Banyak pula pedagang, kesemuanya dari timur
datang ke kota ini untuk mencari dagangan karena rempah-rempah dari daerah ini
amat terkenal karena banyaknya dan mutunya yang baik.
Restoran
Koai-lo adalah restoran terbesar di kota Han-tiong. Restoran ini besar dan
terdiri dari dua tingkat. Ruangan atas merupakan ruangan istimewa karena sering
kali tempat ini digunakan sebagai tempat pesta para pembesar, dan tempat
pertemuan para pedagang-pedagang kaya sehingga tempat istimewa ini mempunyai
tarip makanan yang lebih mahal dan lebih mewah. Orang-orang biasa atau umum
selalu memilih tempat duduk di tingkat bawah yang lebih murah.
Biasanya,
ruangan atas ini selalu ramai dengan tamu-tamu kaya, bahkan sering terdengar
suara musik dan penyanyi dalam suasana pesta karena sering kali para pembesar
dan hartawan memang makan minum bermabok-mabokan di atas loteng itu sambil
memanggil wanita-wanita pemain musik dan penyanyi sebagai penghibur mereka.
Akan tetapi
pada siang hari itu, ruangan atas ini sunyi saja. Bahkan ketika ada langganan
yang hendak naik ke tingkat atas melalui anak tangga yang terjaga oleh pelayan,
pelayan itu melarang mereka dengan mengatakan bahwa tingkat atas itu telah
‘diborong’ dan tentu saja tidak ada tamu lain yang diperbolehkan naik ke sana.
"Gila!
Siapa yang main borong begini, hah? Apakah dia orang yang paling kaya, ataukah
pembesar dari lain tempat?" bentak seorang hartawan yarig hendak naik ke
loteng akan tetapi dicegah oleh pelayan itu.
Hartawan ini
adalah seorang penduduk Han-tiong yang terkenal dan semua pejabat atau pembesar
di kota itu semua adalah teman-temannya. Ia juga menjadi langganan restoran
Koai-lo dan terkenal sebagai seorang yang royal dengan persen-persennya kepada
para pelayan.
"Loya,
maafkanlah saya, maafkanlah kami semua. Kalau yang menyewa hanya pembesar atau
hartawan setempat, mana berani saya menolak loya? Akan tetapi yang menyewa
ini..." Pelayan itu menoleh ke kanan kiri. "...mereka adalah
orang-orang kang-ouw yang menyeramkan... dan... dan tamu-tamu mereka adalah
Cap-it Ho-han..."
Mendengar
disebutnya nama Cap-it Ho-han, wajah orang yang marah-marah itu berobah dan dia
segera mengangguk-angguk. Betapa pun juga, nama Cin-ling-pai dengan Cap-it
Ho-han sudah terlalu dikenal oleh semua penduduk Han-tiong, bahkan pernah
beberapa tahun yang lalu ketika ada segerombolan penjahat mengacau Han-tiong
dan para penjaga keamanan sudah kewalahan, penduduk kota itu dibebaskan dari
ancaman para pengacau itu oleh dua orang di antara Cap-it Ho-han yang membunuh
para pimpinan perampok dan mengusir semua anak buahnya.
"Aihh,
kiranya dipakai oleh Cin-ling-pai... kalau begitu sudah sepantasnya kalau
tempat di atas ini tidak diganggu," kata si hartawan berangasan itu sambil
meninggalkan restoran.
Lewat tengah
hari restoran itu masih penuh dengan tamu yang makan siang, yaitu mereka yang
menjamu para pedagang yang menjadi tamu. Suasana cukup gembira walau pun mereka
semua terpaksa harus mengambil tempat di ruangan bawah, karena semua tamu yang
tinggal di Han-tiong tidak ada seorang pun berani mengganggu ruangan yang telah
dipesan untuk Cin-ling-pai.
Berita ini
sebentar saja sudah menjalar sampai ke mana-mana dan terdengar oleh semua
penduduk. Bahkan di luar restoran itu sudah terdapat banyak orang yang
kebetulan tidak memiliki kesibukan apa-apa, mereka berkumpul karena ingin
melihat Cap-it Ho-han yang namanya mereka puja-puja dan yang kabarnya akan
mengunjungi restoran Koai-lo. Para pelayan juga telah menanti-nanti dengan
tegang, dan lima orang pelayan sudah disiapkan untuk menjadi pelayan-pelayan
khusus bagi para tamu agung itu.
Orang-orang
yang menanti di luar itu berbisik-bisik dan suasana menjadi tegang ketika dari
luar datang empat orang yang aneh keadaannya. Empat orang ini entah dari mana
datangnya, tahu-tahu telah berada di luar restoran, berdiri di depan pintu dan
memandang ke kanan kiri. Sekelebatan saja dapat diduga bahwa mereka adalah
orang-orang aneh yang asing, dengan pakaian dan sikap yang luar biasa.
Seorang di
antara mereka adalah wanita yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun,
tetapi mukanya berbedak tebal sampai menjadi putih seperti tembok. Bibirnya
yang tebal dicat merah sekali, juga kedua pipinya diberi pemerah pipi,
rambutnya digelung rapi dan licin mengkilap oleh minyak yang mengeluarkan bau
terlalu wangi hingga tercium sampai jauh.
Rambut itu
dihias dengan emas permata yang berkilauan, telinganya terhias anting-anting
yang besar terbuat dari emas pula, juga pakaiannya serba mewah dan mahal.
Pendek kata, wanita ini adalah seorang pesolek besar dari ujung rambut sampai
ke ujung kakinya yang dibungkus sepatu baru.
Mulut yang
berbibir merah itu mesam-mesem genit, matanya melirik-lirik bagaikan sikap
seorang dara muda yang cantik jelita. Akan tetapi sebatang pedang membayang
dari balik gaunnya, dan kulit di buku-buku jari kedua tangannya tampak tebal
dan keras kehitaman seperti besi!
Orang kedua
adalah seorang yang melihat jubah dan kepalanya seperti seorang hwesio (pendeta
beragama Buddha). Kepalanya yang gundul itu terhias penutup ubun-ubun yang
meruncing berwarna putih berkilauan, tubuhnya yang gendut itu hanya terbungkus kain
yang dilibat-libatkan seperti jubah, mukanya halus mengkilap dan licin seperti
diminyaki, dan seuntai tasbeh yang terbuat dari batu-batu berwarna hijau
melingkar di pundaknya. Dengan matanya yang bulat lebar hwesio itu memandang ke
kanan kirl dengan sikap tak pedulian.
Orang ketiga
adalah seorang lelaki tinggi kurus bermuka seperti monyet saking kurusnya.
Matanya cekung dan kedua pipinya juga cekung, hidungnya pesek dan mulutnya
lebar. Dibandingkan dengan hwesio yang usianya tentu sudah hampir enam puluh
tahun itu, laki-laki tinggi kurus ini kelihatan muda, sungguh pun tentu dia
juga sudah berusia empat puluh tahun lebih. Kulitnya kuning pucat seperti orang
yang menderita penyakit berat.
Orang
keempat agaknya menjadi pimpinan mereka, atau setidaknya tentu yang paling tua.
Orang ini memakai jubah luar berwarna hitam, berkantung terlampau lebar,
mukanya membayangkan kekasaran dan pandang matanya selalu memandang rendah
kepada apa pun yang dipandangnya, hidungnya besar panjang agak bengkok ke
bawah, kepalanya memakai sebuah topi. Seperti juga laki-laki kurus kering itu,
dia tidak kelihatan membawa senjata apa pun, namun dari sikap dan pandang
matanya jelas dapat diduga bahwa dia bukanlah orang sembarangan dan ada sesuatu
yang mengerikan terbayang pada sikap empat orang ini.
"Kenapa
harus berjalan naik? Aku mengambil jalan terdekat dan termudah!" kata
wanita pesolek itu dan mendadak tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia sudah
meloncat ke dalam ruangan loteng yang tinggi itu!
Tentu saja
perbuatan ini membuat semua orang yang melihatnya menjadi bengong, kaget dan
juga kagum. Kiranya banyak juga orang pandai yang dapat meloncat ke loteng itu,
namun cara nenek pesolek itu melompat benar-benar sangat luar biasa, bukan
melompat lagi melainkan terbang!
"Omitohud…,
melayang seperti itu di tempat asing sungguh sembrono dan berbahaya. Pinceng
lebih suka berhati-hati dan memeriksa keadaan yang belum kita kenal!"
Hwesio itu berseru sambil mengangguk-angguk, kemudian dia menghampiri tembok
dekat pintu.
Mendengar kata-katanya,
orang mengira bahwa dia hendak berjalan masuk melalui pintu seperti biasa, akan
tetapi orang-orang yang melihatnya menjadi bengong ketika melihat hwesio itu
bukan memasuki pintu, tetapi menghampiri tembok, kemudian menggunakan tangan
dan kakinya untuk merayap naik bagaikan seekor cecak saja! Setiap kali telapak
tangannya menempel tembok, telapak tangan itu melekat dan pada saat telapak
tangan dilepaskan untuk menempel ke atas lagi, terdengar suara,
"Ceplokk!".
Semua orong,
baik para tamu yang berada di dalam restoran dan mereka yang berada di luar,
terbelalak penuh keheranan dan kekaguman, mengikuti gerakan hwesio itu dengan
pandang mata mereka ketika hwesio itu terus memanjat tembok bagaikan seekor
cecak besar sehingga akhirnya dia tiba di loteng dan meloncat masuk.
"Heh-heh-heh,
Hok Hosiang benar-benar amat tergesa, apakah khawatir kehabisan arak? Tunggu
aku, jangan dihabiskan!" Tiba-tiba orang laki-laki kurus seperti monyet
itu tertawa, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, bayangannya telah lenyap dari
tempat itu dan yang tampak hanya bayang-bayang seperti setan berkelebatan
melalui anak tangga, tahu-tahu dia sudah berada di loteng pula, disambut dengan
tertawa-tawa oleh wanita pesolek dan hwesio berilmu cecak tadi.
Laki-laki
yang bertopi dan berhidung besar itu menggeleng kepala. "Aihhh...
anak-anak itu masih senang bermain-main di mana pun mereka berada!"
Ucapannya ini cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang.
Seorang
pelayan yang berjaga di kaki anak tangga segera menyambutnya karena dialah yang
memesan tempat di atas loteng itu. Pelayan ini tadi juga bengong menyaksikan
ulah semua tamunya yang aneh-aneh itu, dan kini dengan senyum lebar dia menjura
kepada kakek bertopi sambil berkata, "Kiranya loya (tuan besar) dan para
sahabathya telah tiba. Selamat datang dan silakan naik. Apakah hidangannya
harus disajikan sekarang?"
Kakek itu
memandang dengan sikap merendahkan, lalu berkata, "Kami berempat adalah
fihak tuan rumah, tamu-tamu yang kami undang belum datang. Keluarkan saja arak
lebih dulu empat guci besar!"
Mata pelayan
itu terbelalak. Untuk empat orang saja harus menyajikan empat guci besar?
Seguci pun cukup untuk diminum lima orang sampai mabok! Akan tetapi dia tidak
berani membantah dan ketika dia hendak pergi melaksanakan perintah ini,
tiba-tiba dia berdiri torlongong memandang kakek yang kini melangkah
perlahan-lahan naik ke tangga loteng.
Juga para
tamu memandang dan bangkit berdiri, mata mereka terbelalak ketika melihat
betapa pada lantai dan papan-papan anak tangga bekas kaki orang bertopi itu nampak
bekas injakan yang dalamnya setengah jari, lantai dan papan itu melesak ke
dalam!
Setelah
kakek itu tiba di loteng, semua orang mulai ramai berbisik-bisik membicarakan
kehebatan empat orang aneh itu. Ada yang merasa ngeri dan cepat-cepat
meninggalkan restoran karena menganggap bahwa empat orang itu pasti bukan
manusia, melainkan iblis-iblis dan siluman! Akan tetapi, beberapa orang tamu
yang mengerti akan ilmu-ilmu silat dapat mengenal orang-orang yang memiliki
kepandaian amat tinggi maka tertariklah mereka, ingin tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya antara orang-orang aneh ini dengan tokoh-tokoh
Cin-ling-pai.
Dugaan
mereka ini memang benar. Empat orang itu bukanlah orang sembarangan, akan
tetapi datuk-datuk dalam dunia persilatan dan lebih terkenal lagi di antara
golongan hitam atau kaum sesat. Kakek bertopi dan berhidung besar itu bernama
Gu Lo It dan terkenal dengan julukannya Liok-te Sin-mo (Si Iblis Bumi) dan
dalam rombongan empat orang ini dialah yang paling tua dan agaknya paling
disegani oleh teman-temannya.
Hwesio yang
merayap tembok seperti cecak itu juga amat terkenal di dunia hek-to (jalan
hitam, dunia penjahat), karena dia hanya seorang hwesio palsu, seorang penjahat
besar yang menyembunyikan diri di balik jubah pendeta serta kepala gundulnya.
Dia memakai nama pendeta Hok Hosiang, dan di samping ini memakai nama julukan
yang amat hebat membayangkan kesombongannya, karena julukannya itu adalah
Sin-ciang Siauw-bin-sian (Si Dewa Tertawa Bertangan Sakti)!
Wanita tua
yang pesolek itu pun bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Ciok Lee Kim yang
berjuluk Hui-giakang (Kelabang Terbang) dan amat terkenal sebagai seorang
maling tunggal yang dahulu pernah menggegerkan istana karena selama satu bulan
dia berani mengganggu kamar-kamar di istana untuk mencuri benda-benda berharga
sehingga dia hampir tertangkap oleh para pengawal dan tidak berani muncul lagi.
Ada pun orang yang keempat, laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang
bermuka kurus seperti monyet itu, bernama Bu Sit dan berjuluk Toat-beng-kauw
(Monyet Pencabut Nyawa).
Karena kota
Han-tiong yang termasuk daerah Pegunungan Cin-ling-san itu selalu aman dan
sejak Cin-ling-pai berdiri di Cin-ling-san keadaan menjadi tenteram, semua
penjahat tidak ada yang berani beraksi di daerah itu, maka orang-orang yang
berada di situ tidak ada yang mengenal empat orang datuk kaum sesat ini.
Sesungguhnya,
empat orang ini hanya merupakan anggota-anggota dari rombongan yang terdiri
dari lima orang dan yang terkenal dengan sebutan yang mereka buat sendiri,
yaitu Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa). Yang seorang lagi adalah pemimpin
mereka dan kehadiran mereka di restoran itu adalah atas perintah orang pertama
yang menjadi orang tertua dan menjadi kakak tertua mereka.
Lima
Bayangan Dewa ini telah menjadi saudara-saudara angkat yang saling bekerja sama
dengan baik hingga kekuatan mereka yang tergabung itu membuat mereka amat
ditakuti, baik oleh kaum sesat sendiri, karena memang tak mudah untuk
mengalahkan lima orang yang bergabung ini dan sudah menjadi saudara angkat yang
bersumpah untuk sehidup semati!
Biar pun
para tamu di ruangan bawah restoran itu tidak mengenal mereka yang berada di
loteng, namun para tamu yang berani tetap tinggal di situ dapat menduga bahwa
empat orang aneh itu tentulah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan
karena mereka semua percaya akan perlindungan Cin-ling-pai, maka mendengar
bahwa empat orang itu mengundang Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, mereka
bersikap tenang-tenang saja dan ingin menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kepala
pelayan kemudian dihujani pertanyaan oleh para tamu dan kepala pelayan ini
menceritakan dengan gembira karena dia mendapat kesempatan untuk menonjolkan
diri dan menjadi pusat perhatian, bahwa kakek bertopi itulah yang mengatur
pesanan untuk menggunakan loteng itu sebagai tempat perjamuan menyambut
tamu-tamu mereka, yaitu Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai.
"Tentu
saja tadinya saya keberatan kalau loteng itu diborongnya, akan tetapi mendengar
bahwa mereka itu hendak menjamu Cap-it Ho-han, siapa yang berani menentang?
Kami malah berbahagia sekali dapat menyenangkan hati Cap-it Ho-han, bukan? Dan
kiranya, empat orang itu pun adalah orang-orang yang memiliki kepandaian sangat
hebat! Pantas menjadi sahabat-sahabat Cap-it Ho-han!"
Akan tetapi
di antara para tamu itu ada pula yang diam-diam menyangsikan apakah benar empat
orang ini adalah sahabat-sahabat dari Cap-it Ho-han. Mereka sudah mengerti
betul siapa adanya Cap-it Ho-han, yaitu tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang sangat
terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, pembela kebenaran dan keadilan dan
yang hidup sederhana seperti petani-petani biasa.
Sedangkan
empat orang ini ternyata memiliki watak yang amat sombong, suka
menonjol-nonjolkan ilmu kepandaian mereka seperti terbukti tadi betapa mereka
berempat terang-terangan sengaja mendemonstrasikan ilmu kepandaian mereka di
hadapan orang banyak dengan sikap amat sombongnya.
Agaknya amat
aneh apa bila para pendekar seperti Cap-it Ho-han itu bersahabat dengan
orang-orang sombong seperti itu, biar pun harus diakui mereka berempat itu
mempunyai kepandaian yang sangat hebat. Apa lagi ketika mendengar betapa empat
orang di atas loteng itu segera terdengar tertawa-tawa dengan kasarnya, agaknya
minum arak sambil bersenda gurau, lagak mereka sama sekali tidak pantas menjadi
orang-orang yang dapat disejajarkan dengan para pendekar dari Cin-ling-pai itu.
Betapa pun
juga, semua orang merasa tertegun dan terheran bukan main ketika tak lama
kemudian pelayan-pelayan yang bertugas di atas itu sudah sibuk mengangkat empat
guci arak lagi, dibawa ke atas untuk menambah empat guci pertama yang agaknya
telah habis pindah ke dalam perut empat orang aneh itu.
Menjelang
senja, terdengar suara berisik di luar restoran itu. Orang-orang mulai
berdesak-desakan untuk melihat dan menyambut munculnya tujuh orang jagoan
Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang di antara Cap-it Ho-han yang datang memenuhi
undangan Lima Bayangan Dewa yang bernada menantang. Sikap tujuh orang pendekar
ini tenang saja dan pakaian mereka seperti para petani dusun, dan mereka hanya
tersenyum sambil mengangguk ke kanan kiri membalas penghormatan para penduduk
Han-tiong yang mengenal mereka.
Para pelayan
restoran menyambut mereka penuh penghormatan ketika Sun Kiang dan keenam orang
sute-nya memasuki restoran itu, kemudian dengan tenang mereka naik ke loteng
melalui anak tangga. Mereka hanya memandang tanpa peduli akan tanda bekas kaki
yang dibuat oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It tadi ketika kakek itu naik ke ruangan
atas.
Tentu saja
mereka yang tadi mengiringkan tujuh orang pendekar ini tidak berani ikut naik
dan mereka hanya menonton dari luar restoran. Dari luar rumah makan, mereka dapat
melihat keadaan di ruangan loteng yang terbuka itu, hanya tertutup oleh langkan
setinggi satu meter sehingga mereka dapat melihat kepala orang-orang yang duduk
di loteng...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment