Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 03
KETIKA tujuh
orang pendekar Cin-ling-pai itu memasuki ruangan loteng, mereka melihat bahwa
meja di situ telah diatur memanjang. Di bagian dalam duduklah empat orang yang
sedang minum-minum dan pada bagian luar meja terdapat sebelas buah bangku
kosong!
Melihat
sikap empat orang aneh yang duduk minum-minum di sana dan tidak ada orang lain
di ruangan atas ini, maka Sun Kiang mengerutkan alisnya. Tidak salah lagi,
tentulah mereka ini yang mengirim undangan, akan tetapi mengapa Lima Bayangan
Dewa hanya ada empat orang?
Melihat
mereka berempat itu minum-minum dan agaknya sama sekali tak mempedulikan
kedatangan mereka, Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han, segera
berkata,
"Suheng,
agaknya kita sudah salah masuk. Aku tidak melihat ada bayangan dewa-dewa atau
setan di sini!"
Sun Kiang
melirik kepada sute-nya yang bungsu itu, akan tetapi dia tidak marah karena
sute-nya itu tidak langsung menghina orang, sungguh pun dia tahu bahwa sute-nya
tentu mendongkol menyaksikan sikap empat orang itu yang diduganya tentu para
pengundang mereka.
Mendengar
ucapan ini, Liok-te Sin-mo Gu Lo It mengangkat mukanya memandang tujuh orang
petani itu dan menatap dengan penuh selidik. Tidak ada tanda sedikit pun bahwa
ketujuh orang ini adalah pendekar-pendekar besar, kecuali bahwa sikap mereka
tenang sekali.
"Omitohud...
ha-ha-ha!" Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang tertawa, kepalanya yang
gundul bergerak-gerak ke belakang karena dia tertawa dengan muka menengadah
hingga perutnya yang gendut berguncang-guncang. "Ha-ha-ha-ha, pinceng
sungguh tidak dapat menjawab, kalau para pendekar menjadi petani, para petani
lalu menjadi apa, sebaliknya kalau para petani menjadi pendekar, para pendekar lalu
menjadi apa? Ha-ha-ha!"
Mendengar
kata-kata ejekan ini, kembali Coa Seng Ki yang tidak dapat menahan dirinya,
akan tetapi karena dia segan untuk melanggar perintah dan pesan suheng-nya, dia
tidak langsung menjawab, melainkan hanya menatap langit-langit loteng sambil
berkata seperti bersajak,
"Petani
dan pendekar sama saja, keduanya sama-sama mempunyai tugas penting. Tanpa
adanya petani-petani, para pemalas gendut akan kelaparan dan tanpa adanya
pendekar-pendekar, penjahat-penjahat di dunia merajalela!"
"Sute...!"
Sun Kiang menegur sute-nya karena ucapan sute-nya itu sudah terlalu pedas.
Sun Kiang
yang melihat sikap empat orang itu seolah-olah tak mengacuhkan kedatangan
mereka, sebetulnya juga merasa mendongkol sekali. Akan tetapi, menurut tulisan
di ujung tiang bendera, yang mengundang adalah Lima Bayangan Dewa, mengapa yang
berada di tempat itu hanya empat orang? Dia khawatir kalau-kalau keliru dan
empat orang aneh ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan para pengundang
mereka. Karena itu sambil menekan perasaan mendongkolnya dia menjura ke arah
mereka sambil berkata,
"Harap
maafkan kami jika mengganggu, kami bertujuh dari Cin-ling-pai datang memenuhi
suatu undangan, akan tetapi yang mengundang kami berjumlah lima orang..."
Gu Lo It,
orang tua bertopi serta berhidung besar itu, bangkit berdiri dengan perlahan,
diturut oleh tiga orang kawannya dan kini kedua fihak berdiri saling
berhadapan. Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga mengangkat kedua tangannya membalas
penghormatan Sun Kiang sambil berkata, suaranya parau,
"Kami
adalah empat orang di antara Lima Bayangan Dewa, akan tetapi yang kami undang
adalah ketua Cin-ling-pai dan sebelas orang Cap-it Ho-han."
"Ketua
kami sedang pergi, dan di antara sebelas orang Cap-it Ho-han, yang ada hanya
kami bertujuh, karena itu kami bertujuh mewakili ketua dan para suheng kami
memenuhi undangan itu," jawab Sun Kiang dengan sikap tenang.
"Ahhh,
kiranya jit-wi (anda bertujuh) adalah para anggota Cap-it Ho-han. Maafkan
karena tidak mengenal, kami tidak sejak tadi menyambut. Silakan jit-wi
duduk!" Gu Lo It berkata.
Dari pandang
matanya, juga dari suara ketawa hwesio gendut itu, ditambah sikap nenek yang
mengerling genit penuh ejekan, dan pandang nista dingin lelaki kurus yang
bermuka kuning, mengertilah ketujuh orang Cap-it Ho-han bahwa empat orang itu
sengaja hendak mempermainkan mereka.
Akan tetapi
dengan tenang Sun Kiang mengangguk, lalu duduk di tengah-tengah antara sebelas
kursi yang berjajar itu, membiarkan empat kursi di sebelah kanannya kosong,
karena dia menganggap bahwa empat kursi yang pertama merupakan tempat duduk
para suheng-nya yang tidak dapat hadir. Para sute-nya juga duduk di sebelah
kiri Sun Kiang, sesuai dengan urutan tingkat mereka dan yang paling ujung kiri
duduklah Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han.
"Terima
kasih atas kebaikan Lima Bayangan Dewa yang sudah mengundang kami dari
Cin-ling-pai. Setelah kita saling bertemu di sini, kami mewakili Cin-ling-pai
untuk bertanya apa maksud dari Lima Bayangan Dewa mengundang kami secara tidak
sewajarnya itu." Sun Kiang berkata dengan sikap masih halus menghormat,
biar pun kata-katanya cukup jelas merupakan peneguran.
Gu Lo It
tertawa dan tiga orang kawannya juga tertawa, suara ketawa mereka memenuhi
ruangan itu dengan nada mengejek. Hampir saja Coa Seng Ki orang termuda dari
Cap-it Ho-han tidak dapat menahan kemarahannya lagi, akan tetapi mengingat akan
pesan Sun Kiang, dia menahan diri, hanya memandang dengan mata bersinar-sinar
kepada empat orang itu.
"Ha-ha-ha-ha!
Sudah lama kami mendengar nama Cin-ling-pai dan para tokohnya, Cap-it Ho-han
yang menjulang tinggi, maka kami sengaja mengirim undangan untuk berkenalan dan
menjamu cu-wi di restoran ini." Tanpa menanti jawaban, dengan sikap kasar
Gu Lo It lalu menoleh, bertepuk tangan kemudian berteriak kepada para pelayan,
"Cepat
keluarkan hidangan dan tambah lagi arak wangi!"
Para pelayan
yang tadinya berdiri menjauh dengan hati berdebar tegang, kini cepat hilir
mudik mengatur hidangan yang memang telah disiapkan di dapur, turun naik anak
tangga membawa baki-baki berisi masakan-masakan dan mengaturnya di atas meja di
hadapan sebelas orang itu.
"Cap-it
Ho-han dari Cin-ling-pai, silakan makan minum bersama kami!" Gu Lo It
berkata lantang dan dia bersama tiga orang temannya segera mulai makan dengan
lahapnya.
Melihat
sikap empat orang itu, Sun Kiang terheran-heran dan juga saling pandang dengan
saudara-saudaranya, hatinya terasa agak lega karena kiranya empat orang di
antara Lima Bayangan Dewa ini agaknya merupakan orang-orang luar biasa yang
hendak mengenal mereka saja! Karena itu, Sun Kiang mengangguk memberi tanda kepada
para sute-nya, dan mereka pun mulai menggunakan sendok dan sumpit untuk
menerima hidangan biar pun tetap hati-hati karena mereka belum yakin benar apa
yang tersembunyi di balik sikap ramah kasar dan aneh dari empat orang di depan
mereka itu.
Empat orang
itu memang kasar sekali sikapnya. Mereka makan tanpa sungkan-sungkan lagi, dan
hanya Hui-giakang Ciok Lee Kim nenek pesolek itu saja yang makan dengan agak
berhati-hati karena takut kalau bibir merahnya sampai terhapus oleh kuah
masakan yang dimasukkannya ke mulut. Akan tetapi begitu daging yang disumpitnya
sudah masuk ke dalam mulutnya dengan aman tanpa merusak pemerah bibirnya, dia
mengunyah dan terdengarlah suara berdecapan seperti bunyi babi makan.
Sambil makan
dengan lahap, tiada henti-hentinya empat orang itu memerintahkan kepada pelayan
untuk mengambilkan kecap, cuka, sebentar minta ini dan minta itu sehingga para
pelayan menjadi sibuk hilir-mudik. Diam-diam para pelayan itu mulai muak
menyaksikan sikap empat orang ini, sebaliknya kagum bercampur bangga melihat
sikap jagoan-jagoan mereka, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han itu yang
bersikap demikian tenang dan juga penuh kesopanan.
"Heh-heh-heh-heh,
Cap-it Ho-han terkenal hebat, sebagai jagoan-jagoan atau tokoh-tokoh utama dari
Cin-ling-pai. Kami gembira sekali dapat berkenalan!" Gu Lo It berkata
sambil menyapu tujuh orang di depannya itu dengan pandang matanya, dan dia
mengusap arak dari pinggir mulutnya.
Sun Kiang
membungkuk. "Cu-wi terlalu memuji dan maafkan karena kami selalu tinggal
di pegunungan yang sunyi maka kami belum sempat mengenal nama besar dari cu-wi
(anda sekalian)."
"Ha-ha-ha,
sekarang pun belum terlambat bagi Cap-it Ho-han untuk mengenal nama Lima
Bayangan Dewa, yah, sekarang belum terlambat!" Tiba-tiba Sin-ciang
Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata dan menepuk-nepuk perutnya yang gendut.
Gu Lo It
memandang pada Sun Kiang dan dengan sinar mata tajam dia memperkenalkan diri
serta kawan-kawannya, "Saya adalah orang ke dua dari Lima Bayangan Dewa,
saya Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dan dia ini adalah orang ke tiga, Sin-ciang
Siauw-bin-sian Hok Hosiang, yang ke empat ini adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim,
dan yang ke lima adalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Sedangkan saudara tertua kami,
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, sedang pergi melakukan suatu urusan yang amat
penting."
Tujuh orang
Cin-ling-pai itu merasa terkejut ketika mendengar nama terakhir tadi sebagai
orang pertama dari Lima Bayangan Dewa. Mereka telah mendengar nama Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok dari guru sekaligus ketua mereka. Menurut guru mereka,
Pat-pi Lo-sian ini ialah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok (Raja
Ular Selaksa Racun) yang tewas di tangan guru mereka, Pendekar Sakti Cia Keng
Hong.
Maka kini
mereka mulai menduga-duga. Kalau empat orang ini merupakan sekutu Pat-pi
Lo-sian, tentu mereka berlima mempunyai niat yang tidak baik terhadap
Cin-ling-pai. Akan tetapi dengan tenang Sun Kiang mengangguk.
"Nama-nama
besar cu-wi tidak akan kami lupakan."
Gu Lo It
berkata dengan suaranya yang parau sambil menatap tajam. "Apakah engkau
yang menjadi orang pertama dari Cap-it Ho-han?"
Sun Kiang
tersenyum dan menggelengkan kepala. "Saya yang bodoh bernama Sun Kiang dan
hanya menjadi murid ke lima. Empat orang suheng-ku sedang pergi dari
Cin-ling-san untuk melaksanakan sebuah tugas, maka saya dan enam orang sute-ku
datang mewakili Cin-ling-pai memenuhi undangan cu-wi."
"Ha-ha-ha,
baguslah kalau begitu! Saat ini engkau adalah orang pertama dari Cin-ling-pai,
seperti juga aku di saat ini merupakan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa
karena suheng-ku tidak ada. Nah, saya mewakili Lima Bayangan Dewa memberi
penghormatan semangkok arak kepada engkau sebagai wakil Cin-ling-pai.
Terimalah!"
Sesudah berkata
demikian, Gu Lo It lalu menuangkan arak di mangkok bekas dia makan tadi,
kemudian dia melontarkan mangkok itu ke atas! Semua orang memandang dan para
pelayan menjadi ketakutan saat melihat cara menghormat yang aneh ini, bahkan
seorang pelayan yang sedang mengambil tambahan kecap seperti yang diminta oleh
Hok Hosiang yang gembul, menjadi takut untuk mendekat meja.
Mangkok
berisi arak itu berputaran di udara dan Gu Lo It tidak menurunkan tangannya,
bahkan meluruskan sepasang lengannya ke arah mangkok yang berputaran di udara
itu kemudian kedua tangannya tergetar dan mangkok itu meluncur turun menyambar
ke arah Sun Kiang.
"Hemmm..."
Sun Kiang maklum akan perbuatan lawan yang mungkin hendak mengujinya dengan
mendemonstrasikan tenaga sinkang yang hebat itu.
Dengan
tenang dia pun mengangkat kedua tangannya, lurus ke depan dengan sepuluh jari
tangannya terbuka dan dia sudah menyalurkan sinkang melalui sepasang lengannya
itu sehingga ketika kedua tangannya bergerak, tenaga mukjijat terhembus keluar
dari telapak tangannya menyambar mangkok arak yang meluncur ke arahnya.
Terjadilah
suatu keanehan seperti permainan sulap atau sihir saja. Mangkok yang terisi
arak setengahnya itu terhenti di udara seperti dipegangi oleh tangan yang tidak
kelihatan, terhimpit antara dua tenaga raksasa yang menyambar keluar dari kedua
telapak tangan Gu Lo It dan Sun Kiang.
Maka
terjadilah adu tenaga sinkang yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang duduk
di sekeliling meja, yang memandang dengan sikap tegang. Para pelayan berdiri
melongo sambil memandang penuh keheranan, tidak mengerti apa yang terjadi hanya
memandang mangkok yang bergerak-gerak di udara itu dengan hati bingung.
Kedua fihak
terkejut sekali ketika merasa betapa tenaga lawan amat kuatnya. Mula-mula
mangkok itu condong ke arah Sun Kiang dan nampak betapa Gu Lo It menggetarkan
dua lengannya, dan tenaga mukjijat yang amat kuatnya mendorong mangkok atau
setidaknya membuat mangkok miring ke arah lawan agar isinya menyiram muka
lawan!
Pelan-pelan
mangkok itu mulai miring ke arah orang kelima dari Cap-it Ho-han sehingga semua
sute-nya memandang ke arah Sun Kiang dengan hati cemas. Sun Kiang sendiri
maklum akan kekuatan lawan dan mukanya sudah mulai berpeluh, karena itu
terpaksa dia mengeluarkan tenaga simpanannya, yaitu Thai-kek Sinkang, ilmu
rahasia yang diturunkan oleh Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala
ini.
"Uhhhhhh...!"
Suara dari dalam dada Sun Kiang ini membubung melalui tenggorokan, dan
setibanya di mulut hanya terdengar seperti keluhan, mukanya menjadi pucat dan
kedua telapak tangannya perlahan-lahan berubah merah.
Gu Lo It
terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja kekuatan lawan menjadi hebat sekali.
Dia cepat mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak kuat dia menahan
sehingga kini mangkok di udara itu mulai condong dan miring ke arahnya, isinya
mulai mengancam untuk menyiram mukanya!
Hati para
murid Cin-ling-pai menjadi lega. Akan tetapi diam-diam mereka segera maklum
bahwa kakek bertopi itu ternyata lihai bukan main hingga suheng mereka terpaksa
harus mengerahkan Thai-kek Sinkang, baru dapat mengimbangi.
Tingkat
kepandaian Lima Bayangan Dewa sudah amat tinggi dan terutama sekali Liok-te
Sin-mo Gu Lo It memiliki sinkang yang kuat. Dibandingkan dengan murid-murid
kepala Cin-ling-pai, tingkat kelima orang datuk kaum sesat itu lebih tinggi,
dan pada umumnya, tenaga Sun Kiang juga tidak dapat melawan tenaga Gu Lo It.
Akan tetapi, sinkang dari murid kelima Cin-ling-pai ini adalah Thai-kek Sinkang
yang amat murni, yang diturunkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong kepada
sebelas orang murid kepala itu sebagai ilmu simpanan, maka dengan mengandalkan
sinkang ini Sun Kiang masih dapat mengimbangi bahkan mendesak lawan yang lebih
kuat!
Akan tetapi,
para murid Cin-ling-pai ini adalah orang-orang jujur yang pengalamannya di
dunia kangouw masih kurang sekali, apa lagi menghadapi datuk-datuk kaum sesat
yang selain berilmu tinggi juga amat curang dan mempunyai banyak tipu muslihat
busuk itu.
Tidak ada
seorang pun di antara mereka yang tahu bahwa ketika dengan kaget sekali melihat
kanyataan betapa tenaga sinkang murid Cin-ling-pai itu demikian hebatnya dan
mangkok arak itu mengancam akan menyiram mukanya, diam-diam Mok-te Sin-mo Gu Lo
It meluruskan kaki kirinya di bawah meja dan ujung sepatunya diarahkan ke perut
Sun Kiang yang duduk di depannya di seberang meja.
Tiba-tiba saja
diangkatnya kakinya dan dihentakkan tumitnya di atas lantai dl bawah meja dan
seketika meluncurlah sinar hitam ke depan dan tentu saja tanpa dapat dicegah
dan diketahui oleh siapa pun, benda hitam itu menyambar ke perut Sun Kiang!
"Uhhhh...
hukkkk...!" Sun Kiang terbelalak, bangkit berdiri dan tubuhnya menggigil.
Mangkok arak
itu kini terdorong oleh tenaga sakti Gu Lo It sehingga meluncur ke arah
kepalanya, membalik dan arak menyiram muka Sun Kiang yang kini sudah
menggunakan kedua tangan mendekap perutnya, kemudian mangkok itu terbang
kembali ke tangan Gu Lo It yang tertawa.
"Ha-ha-ha,
terima kasih bahwa engkau telah menerima suguhan arakku!"
Akan tetapi
enam orang murid-murid Cin-ling-pai yang lain tidak melihat hal itu sebagai
kekalahan mengadu sinkang dari suheng mereka. Mereka terbelalak memandang ke
arah perut Sun Kiang yang kini tampak setelah suheng mereka itu berdiri. Darah
membasahi baju dan celana sekitar perut dan Sun Kiang melotot memandang ke arah
Gu Lo It.
"Kau...
kau...!" Tangannya mencengkeram ke atas meja.
"Kroookkkk...!"
Pinggiran
meja itu remuk, lantas Sun Kiang terhuyung ke belakang, bangkunya terguling
kemudian tubuhnya roboh terjengkang dan tewaslah orang ke lima dari Cap-it
Ho-han itu dengan mata melotot! Paku hitam yang meluncur keluar dari sepatu
rahasia Gu Lo It itu mengandung racun yang amat hebat sehingga Sun Kiang tidak
dapat bertahan lagi.
"Cuatt-cuatt-cuattt...!"
Dari sepatu Gu Lo It yang berada di bawah meja kembali meluncur tiga batang
paku beracun.
Kini enam orang
murid kepala Cin-ling-pai sudah tahu akan kecurangan lawan. Mereka marah sekali
dan bergerak meloncat ke belakang, akan tetapi tetap saja dua di antara tiga
batang paku itu mengenai sasaran karena dilepas dari bawah dan dalam jarak yang
dekat sekali tanpa dilihat atau diketahui oleh mereka yang diserang. Maka roboh
pula dua orang murid Cin-ling-pai yang lihai, berkelojotan dan tewas seketika
tanpa sempat melakukan perlawanan apa pun!
"Iblis-iblis
keji, kalian bermain curang!" Coa Seng Ki membentak marah sambil mencabut
pedang dari balik bajunya.
Tiga orang
suheng-nya juga telah mencabut senjata masing-masing, seorang memegang pedang,
seorang memegang golok dan orang ke empat mengeluarkan senjatanya yang berupa
tongkat berlapis baja.
"Ha-ha-ha-ha-ha,
kami Lima Bayangan Dewa memang hendak membunuh Cap-it Ho-han dan ketua
Cin-ling-pai!" Gu Lo It tertawa bergelak dan bersama tiga orang temannya
dia sudah meloncati meja dan menerjang empat orang murid Cin-ling-pai itu.
Segera terjadi pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam ruangan atas dari
restoran itu.
Para pelayan
menjadi kaget dan ketakutan. Mereka melempar baki dan kain putih yang tadinya
selalu tersampir di pundak, kemudian lari menuruni loteng itu, demikian takut
dan tergesa-gesa sampai hampir menggelundung dari loteng ke ruangan bawah.
Bubarlah
semua tamu yang berada di bawah pada waktu mendengar ribut-ribut dan suara
beradunya senjata di atas ruangan itu. Mereka berlarian keluar dan bersembunyi
di luar sambil menonton ke ruangan atas yang tampak dari jauh, dengan hati
penuh perasaan khawatiran karena mendengar para pelayan itu bercerita betapa
tiga orang anak murid Cin-ling-pai telah roboh dan tewas secara aneh sebelum
terjadi pertempuran.
Pertempuran
di atas restoran itu berlangsung dengan hebat dan mati-matian. Para murid
kepala Cin-ling-pai segera maklum bahwa keempat orang manusia iblis itu
menghendaki nyawa mereka, maka mereka membela diri dengan mati-matian dan juga
ingin membunuh musuh untuk membalas kematian tiga orang saudara mereka yang
sudah menjadi korban kecurangan fihak musuh itu.
Orang ke
enam dari Cap-it Ho-han yang memakai senjata tongkat, yang tingkatnya tepat di
bawah Sun Kiang menurut urutan tingkat sebelas orang Cap-it Ho-han, telah
menerjang Gu Lo It dan dihadapi oleh Liok-te Sin-mo ini dengan tangan kosong
saja! Dua orang lain menghadapi Hok Hosiang yang mempergunakan tasbeh batu
hijau sebagai senjata serta Toat-beng-kauw Bu Sit yang memainkan sebatang toya
panjang dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sehingga tubuhnya lenyap
terbungkus gulungan sinar toyanya! Ada pun Coa Seng Ki, orang termuda dari
Cap-it Ho-han melawan Ciok Lee Kim, nenek genit yang mainkan dua helai sapu
tangan merah secara hebat sekali sambil terkekeh-kekeh genit.
"Siluman
betina, mampuslah kau!" Coa Seng Ki yang kemarahannya sudah memuncak
karena melihat kematian tiga orang suheng-nya secara mengerikan dan menjadi
korban serangan gelap yang amat curang, menggerakkan pedangnya dengan dahsyat,
menusuk ke arah mata kanan lawannya.
"Singgg...
wuuutttt...!"
Pedang itu
menyeleweng arahnya ketika terbentur dari samping oleh benda lembut, yaitu sapu
tangan di tangan kanan wanita yang tertawa mengejek itu.
"Hi-hik,
kau yang termuda dan paling ganteng di antara Cap-it Ho-han. Haiiit, sayang
tidak kena!" Dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sekali, ketika pedang
itu menyambar dengan bacokan dari samping, wanita itu sudah melesat ke
belakang.
Ciok Lee Kim
berjuluk Si Kelabang Terbang, tentu saja julukan ini diperolehnya karena memang
ilmunya meringankan tubuh amat lihai, gerakannya ringan dan lincah sekali, bila
meloncat seperti terbang saja. Sedangkan julukan Kelabang adalah karena dia
seorang ahli racun dan sepasang sapu tangan merah yang lebar itu, yang
dimainkannya seperti seorang penari sedang beraksi di panggung menari-nari akan
tetapi yang sesungguhnya merupakan senjata yang amat ampuh, mengandung racun
yang amat berbahaya.
Ilmu pedang
yang dimainkan Coa Seng Ki sebetulnya adalah ilmu pedang yang murni dan kuat
bukan main. Akan tetapi karena memang dia kalah tingkat, kalah dalam ilmu
ginkang mau pun tenaga sinkang, maka ilmu pedangnya itu tidak banyak menolong.
Lawannya,
nenek yang tersenyum-senyum genit itu memang luar biasa sekali. Dua helai sapu
tangan merah pada tangannya itu kadang-kadang bisa kaku dan keras seperti baja,
kadang-kadang melurus bagaikan tongkat besi, kadang-kadang juga lemas kembali
akan tetapi amat kuat seperti cambuk yang ujungnya dapat dipergunakan sebagai
alat penotok.
Getaran
pedang yang hebat dari Coa Sang Ki menjadi musnah kekuatannya setiap kali
bertemu dengan sapu tangan yang lunak, dan beberapa kali ujung sapu tangan itu
sudah menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang berbahaya, akan tetapi pada
saat-saat terakhir sengaja ditarik kembali oleh nenek itu sambil terkekeh.
"Ahhh…,
sayang kalau membunuhmu! Bagaimana kalau malam ini kau menemani dan
menghiburku?"
Sikap dan
ucapan ini membuat Coa Sang Ki makin marah. Dia maklum bahwa lawannya lihai
sekali dan bahwa dia sengaja dipermainkan karena kalau wanita itu menghendaki,
sudah semenjak tadi dia roboh. Maka sambil menggereng keras dia mainkan
pedangnya semakin hebat dan dengan nekat dia melakukan serangan dengan
jurus-jurusnya yang paling ampuh.
Namun
kecepatan wanita itu membuat semua serangannya gagal. Bahkan ketika Ciok Lee
Kim berkelebatan kadang-kadang lenyap kadang-kadang tampak, dia mulai menjadi
pening dan seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat.
Apa lagi
ketika berturut-turut terdengar teriakan dan keluhan disusul robohnya tiga
orang suheng-nya, Coa Seng Ki menjadi makin marah dan duka. Sekali pandang saja
dia pun maklum bahwa tiga orang suheng-nya itu, seperti tiga orang suheng
pertama, telah roboh untuk tidak bangun kembali.
Enam orang
suheng-nya telah tewas semua! Mala petaka yang terjadi secara serentak dan
tiba-tiba ini sama sekali tidak pernah terduga-duga, dalam mimpi pun tidak!
Betapa enam orang dari Cap-it Ho-han roboh dan tewas begitu saja, begitu
mudahnya!
Coa Seng Ki
menjadi mata gelap dan sambil menggigit bibir dan air matanya berlinangan, dia
menubruk dan melakukan serangan bertubi-tubi kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim.
Akan tetapi wanita tua ini seperti menari-nari, selalu mengelak dan
kadang-kadang saja menangkis dengan sapu tangan merahnya.
"Omitohud...!
Si Genit kenapa masih main-main dengan dia? Lekas bunuh dia!" Sin-ciang
Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang biasanya menyebut Si Kelabang Terbang itu Si
Genit, berseru saat melihat nenek itu hanya mempermainkan Coa Seng Ki dan tidak
cepat-cepat membunuhnya.
"Hi-hi-hik,
Hok Hosiang, aku merasa sayang kalau membunuhnya. Habis siapa yang akan
menemaniku malam nanti? Kepala gundulmu sudah membosankan aku, hi-hik!"
Nenek itu menjawab sambil mengelak dari satu tusukan, kemudian menggunakan
jari-jari tangannya mengusap pipi Coa Seng Ki dengan mesra. Coa Seng Ki makin
marah dan dengan nekat menyerang terus.
"Memang
dia tidak perlu dibunuh!" Tiba-tiba Gu Lo It berkata. "Kalau dia
mampus, siapa yang akan melaporkan kepada ketua Cin-ling-pai? Kita lukai saja
dia, biar mati perlahan-lahan. Akan tetapi hayo sudahi main-mainmu,
Hui-giakang, kita tidak mempunyai banyak waktu, malam sudah tiba!"
"Aih,
sayang...!" Ciok Lee Kim berkata akan tetapi agaknya dia tidak berani
membantah perintah Si Iblis Bumi.
Tiba-tiba
saja dua helai sapu tangan merahnya berkelebat menjadi gulungan sinar merah
berputaran menyambar-nyambar dan pedang di tangan Coa Seng Ki sudah dapat
dilibat, lalu sekali ujung sapu tangan menotok pergelangan tangan, pedang itu
pun terlepas dari tangan pemiliknya dan terampas.
Ciok Lee Kim
tertawa, mengebutkan sapu tangannya yang merampas pedang sehingga pedang itu
segera meluncur ke depan ke arah Hok Hosiang, dibarengi bentakannya, "Hok
Hosiang, kau terimalah pedangnya!"
"Omitohud,
kau main-main saja!" dengan ujung lengan bajunya yang besar, Hok Hosiang
mengebut pedang itu menyeleweng ke bawah dan…
"Crappp!"
pedang itu menancap di dada mayat Sun Kiang.
Melihat
betapa pedangnya sendiri menancap di dada suheng-nya, Coa Seng Ki menjadi
hampir gila saking marahnya dan sambil berteriak keras dia menubruk ke arah
pendeta gendut itu. Akan tetapi Hok Hosiang sudah langsung menyambutnya dengan
dorongan tangan terbuka dan kekuatan dahsyat.
"Plakkk!"
Pundak Coa Seng Ki terkena dorongan dan tubuhnya terlempar ke arah Gu Lo It.
"Dukkk!"
Gu Lo It menyambutnya dengan tamparan yang mengenai dadanya.
"Huakkkkkk…!"
Darah merah tersembur keluar dari mulut Coa Seng Ki ketika tubuhnya terlempar
ke arah Toat-beng-kaw Bu Sit.
“Dessss…!
Krekk-krekk!" Toya di tangan Bu Sit menghantam perut dan kedua lututnya,
mematahkan kedua tulang kaki orang termuda dari Cap-it Ho-han itu yang
terlempar ke arah Ciok Lee Kim.
"He-heh-heh,
tampan, kau sudah tidak berharga lagi untuk mendekatiku!" Nenek genit itu
terkekeh, tangan kirinya mencakar dan lima kuku jarinya mencakar muka Coa Seng
Ki sehingga kulit mukanya robek-robek dan berdarah.
Coa Seng Ki
terbanting roboh dan tidak sadarkan diri lagi, dengan mulut memuntahkan darah,
muka tergores dan berdarah. Pukulan pada pundak, dada dan perutnya membuat dia
terluka dalam secara hebat dan kedua tulang kakinya patah-patah!
Empat orang
itu tertawa bergelak, lalu turun melalui anak tangga dengan lagak sombong
karena kemenangan mereka. Melihat para pelayan sedang menggigil dan berkumpul
di sudut ruangan bawah, Liok-te Sin-mo Gu Lo It menoleh ke arah mereka sambil
berkata,
"Semua
harga makanan dan kerusakan perabot di atas akan dibayar oleh Cin-ling-pai!"
Sambil
tertawa-tawa puas, keempat orang itu lalu keluar dari restoran dan sebentar
saja mereka sudah menghilang di dalam kegelapan malam. Lama sesudah empat orang
itu pergi, barulah para pelayan dan orang-orang yang menonton pertandingan hebat
dari luar restoran itu berani berindap-indap naik dan segera mereka terkejut
dan ngeri sekali ketika menyaksikan keadaan ketujuh orang tokoh Cin-ling-pai
itu. Keadaan menjadi geger, para petugas keamanan baru berani muncul untuk
mengadakan pemeriksaan dan beberapa orang diperintahkan untuk memberi kabar ke
Cin-ling-pai di dekat puncak gunung.
Akan tetapi
pada saat itu juga, tampak lima orang anggota Cin-ling-pai datang berlari-lari
memasuki restoran Koai-lo dengan maksud untuk mencari ketujuh orang Cap-it
Ho-han. Wajah mereka semua pucat dan tegang, dan mereka hendak melaporkan
sesuatu kepada para pimpinan mereka.
Dapat
dibayangkan alangkah kaget hati mereka dan serta merta mereka menubruk para
suheng mereka yang sudah rebah malang melintang di ruangan atas restoran itu
sambil menangis. Dunia seakan-akan kiamat bagi mereka.
Baru saja
mereka mengalami kekagetan dan kecemasan hebat di Cin-ling-pai dan mereka kini
dihadapkan dengan mala petaka yang lebih hebat pula, yaitu kematian enam orang
Pimpinan Cin-ling-pai dan yang seorang terluka hebat.
Apakah yang
telah terjadi di pusat Cin-ling-pai hingga lima orang anggotanya itu bergegas
pergi ke Han-tiong menyusul tujuh orang murid kepala yang sedang memenuhi
tantangan fihak lawan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa itu?
Ternyata di
malam itu terjadi hal yang hebat pula di Cin-ling-pai. Karena semua anggota
Cin-ling-pai telah diberi tahu mengenai tantangan Lima Bayangan Dewa, dan
karena tujuh orang murid kepala pergi mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi
para penantang, maka para anggota Cin-ling-pai menjadi prihatin dan mereka
melakukan penjagaan yang ketat. Mereka semua merasa amat tegang karena mengerti
bahwa para pimpinan mereka pergi ke Han-tiong untuk menghadapi lawan yang
tangguh yang dapat dilihat dari cara mereka memasang surat tanda tantangan di
puncak menara, di ujung tiang bendera.
Keadaan di
markas Cin-ling-pai yang dikurung oleh pagar tembok itu menjadi amat sunyi.
Penjagaan ketat segera dilakukan oleh para anggotanya, terutama sekali di semua
pintu gerbang dan di sekitar menara karena tempat itu merupakan tempat
penyimpanan pusaka Cin-ling-pai, juga menjadi tempat kediaman ketua mereka yang
pada waktu itu sedang bepergian. Perondaan juga dilakukan tiada hentinya,
secara bergiliran mengelilingi pagar tembok.
Semenjak
senja tadi, wanita dan kanak-kanak sudah dilarang untuk berada di luar rumah.
Semua telah berlindung di dalam rumah dan para ibu juga siap sedia dengan
senjata di dekatnya kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak tersangka-sangka
terhadap keluarganya. Pendek kata, semua anggota Cin-ling-pai dan keluarga
mereka bersiap sedia dengan hati penuh ketegangan.
Mereka hanya
berharap supaya para pimpinan mereka segera kembali membawa berita bahwa
semuanya sudah beres dan tidak ada apa-apa lagi yang perlu dikhawatirkan. Biar
pun mereka itu percaya akan kelihaian para murid kepala, yaitu Cap-it Ho-han
yang pada waktu itu hanya ada tujuh orang, namun tetap saja mereka merasa agak
gelisah karena ketua mereka tidak berada di situ. Mereka merasa seolah-olah
seperti sekelompok anak ayam ditinggalkan induknya.
Lewat senja,
ketika keadaan belum gelap benar, akan tetapi sejak tadi lampu-lampu telah
dipasang, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan serta keributan di pintu
gerbang sebelah berat, yaitu di belakang markas itu. Terdengar senjata-senjata
dan teriakan-teriakan para penjaga.
Tentu saja
para penjaga segera berlarian ke tempat itu dan ternyata di tempat itu terjadi
pertempuran yang sangat aneh. Belasan orang anggota Cin-ling-pai mengeroyok
seorang laki-laki yang tidak bersenjata, akan tetapi anehnya, semua serangan
senjata di tangan para anggota Cin-ling-pai itu tidak ada yang pernah dapat
menyentuh tubuh orang itu, biar pun orang itu kelihatannya tenang saja,
seolah-olah senjata yang menghampiri tubuhnya itu tiba-tiba saja menyeleweng
sendiri seperti tertolak oleh hawa yang melindungi seluruh tubuh orang itu!
Melihat
kedatangan banyak orang lagi untuk mengeroyoknya, orang laki-laki itu tertawa
bergelak, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah dia dari tengah-tengah para
pengeroyoknya! Kemudian, selagi semua orang bingung mencari-cari, mendadak di
pintu gerbang sebelah timur, di depan markas itu, terjadi keributan dan kiranya
laki-laki itu telah berada di situ menghadapi pengeroyokan para penjaga yang
bertugas menjaga di tempat itu!
Kembali
semua anak murid Cin-ling-pai berlari-lari ke tempat itu. Lelaki itu kelihatan
muda dan berwajah tampan, rambutnya dikuncir panjang, pakaiannya sederhana
serba putih, hanya sepatunya saja yang hitam. Sulit mengira-ngira usianya, kelihatannya
baru berusia tiga puluh tahun saja.
Gerak-geriknya
halus, akan tetapi tiap gerakan kaki tangannya membawa angin pukulan yang amat
dahsyat sehingga lima enam orang murid Cin-ling-pai terlempar sekaligus oleh
sambaran angin dari kebutan lengan bajunya! Dan semua senjata segera
menyeleweng dan terpental begitu kena disambar angin tangkisannya.
Hanya
sebentar saja orang itu mengacau di pintu gerbang timur dan meski pun belasan
orang roboh terpelanting ke kanan kiri akibat sambaran angin pukulan tangannya,
namun tidak ada seorang pun yang terluka hebat apa lagi tewas. Agaknya orang
ini hanya ingin mempermainkan mereka saja dan kembali dia tertawa, berkelebat
lenyap, untuk muncul lagi di pintu gerbang sebelah selatan!
Dengan
perbuatannya yang sangat aneh ini, semua anggota Cin-ling-pai menjadi kacau
balau dan geger. Jelas bahwa yang datang mengacau hanya satu orang saja, akan
tetapi orang itu mempunyai kepandaian sedemikian tingginya sehingga sanggup
menggegerkan seluruh anggota Cin-ling-pai yang dibikin kocar-kacir dan
kacau-balau lari ke sana ke mari mencari-cari lawan yang sebentar-sebentar
menghilang itu.
Pada saat
untuk kelima kalinya orang itu meloncat kemudian menghilang, para anak buah
Cin-ling-pai segera menjadi panik dan bingung sekali. Mereka mencari-cari, akan
tetapi sekali ini orang itu menghilang sampai lama. Dicari ke mana pun tidak
dapat ditemukan dan para anak murid Cin-ling-pai sudah mengira bahwa pengacau
itu akhirnya melarikan diri karena gentar menghadapi pengeroyokan sedemikian
banyak orang.
Sementara
itu, lima orang murid tingkat dua yang langsung menjadi murid-murid kepala di
bawah asuhan Cap-it Ho-han dengan diam-diam melakukan perondaan di atas genteng
perumahan Cin-ling-pai di sekitar menara. Mereka berlima merupakan orang-orang
yang tingkat kepandaiannya paling tinggi pada saat itu, dan mereka berlima
telah mewarisi Ilmu Silat Tangan Kosong San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan
Gunung) yang dahsyat, karena itu mereka pun tidak membawa senjata, karena
keistimewaan mereka adalah gerakan kaki tangan mereka yang sudah tergembleng
kuat dan terlatih baik.
Mereka
berlima lalu berjaga di sekitar menara dan merasa aman karena di sebelah dalam
menara itu juga telah dijaga ketat. Untuk dapat naik ke puncak menara di mana
tersimpan benda-benda pusaka milik ketua, orang harus melalui pasukan penjaga
yang berlapis lima dan setiap penjagaan terdapat lima orang penjaga yang sudah
terlatih.
Setengah jam
lewat dan biar pun semua anggota masih mencari-cari, namun hati mereka telah
menjadi lega karena jelas bahwa pengacau itu telah lenyap, agaknya telah
melarikan diri keluar dari markas Cin-ling-pai. Akan tetapi, mendadak terdengar
bentakan-bentakan keras disusul suara ketawa yang menyeramkan tadi, suara si
pengacau yang tadi selalu tertawa kalau hendak menghilang.
Kiranya
pengacau itu muncul lagi secara tiba-tiba, meloncat turun dari puncak menara
dan lengan kanannya mengempit sebatang pedang dalam sarungnya. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya lima orang murid kepala Cap-it Ho-han itu pada
waktu mengenal pedang Siang-bhok-kiam yang sekarang dikempit oleh lengan orang
itu! Pedang pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai telah dicuri orang!
"Pencuri
hina...!"
"Kembalikan
Siang-bhok Pokiam!"
Lima orang
itu cepat berloncatan di atas genteng dan mengejar. Namun gerakan pencuri
pedang itu hebat bukan main. Sukar sekali mendekatinya karena dia berloncatan
dari genteng ke genteng lain seperti seekor burung terbang saja.
Ketika ada
seorang di antara lima jagoan Cin-ling-pai itu berhasil mendekati, dia langsung
mengirimkan pukulannya yang ampuh, mempergunakan jurus yang paling lihai dari
San-in Kun-hoat, yaitu In-keng Hong-wi (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan),
tangan kanannya menonjok lurus ke depan disertai tenaga sinkang yang ampuh.
"Dukkk!"
Pukulan itu
dengan tepat mengenai bahu kanan orang itu, akan tetapi yang dipukul hanya
tertawa saja dan si pemukul merasakan betapa kepalan tangannya seperti memukul
karet yang amat lunak namun kuat sekali sehingga tenaga pukulannya laksana
tenggelam dan lenyap kekuatannya. Selagi dia berteriak kaget, pencuri itu telah
tertawa panjang kembali dan tubuhnya mencelat jauh ke depan.
"Tangkap
pencuri...!"
"Dia
mencuri Siang-bhok Pokiam!"
Lima orang
itu berteriak-teriak karena tidak dapat menyusul dan melihat pencuri itu telah
tiba di rumah terakhir. Para anak murid yang mengejar dari bawah melihat
pengacau itu mengempit pedang. Mendengar betapa pusaka keramat Cin-ling-pai
sudah dicuri, mereka menjadi marah sekali.
Bagaikan
hujan saja senjata-senjata rahasia menyambar ke arah tubuh pencuri itu ketika
dia meloncat turun dari atas genteng. Semua orang terbelalak memandang betapa
sekian banyaknya senjata rahasia secara tepat mengenai tubuh orang itu, akan
tetapi semuanya itu runtuh tak berbekas dan si pencuri masih tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha,
katakan kepada Cia Keng Hong bahwa Lima Bayangan Dewa mengirim salam dan
menitipkan nyawanya sampai tahun depan!" Setelah berkata demikian, orang
itu lalu berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
"Pengecut,
tinggalkan namamu!" teriak seorang murid Cin-ling-pai dengan suara
nyaring. Akan tetapi tiba-tiba saja orang yang berteriak ini roboh terjengkang,
dan ketika kawan-kawannya memandang, ternyata dia telah tewas! Dan dari jauh
terdengar suara tertawa.
"Ha-ha-ha,
tidak ada orang boleh hidup setelah memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian Phang
Tui Lok!"
Tentu saja
orang-orang Cin-ling-pai menjadi geger luar biasa. Lima orang murid lihai yang
digembleng oleh Cap-it Ho-han itu segera bergegas meninggalkan Cin-ling-pai
menuju ke Han-tiong untuk menyusul para suheng mereka dan melaporkan akan mala
petaka yang menimpa markas Cin-ling-pai hingga pedang pusaka Siang-bhok-kiam
lenyap dicuri oleh orang, bahkan seorang anak murid tewas oleh si pencuri yang
lihai dan yang mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok itu.
Akan tetapi
dapat dibayangkan alangkah kaget dan sedih hati lima orang murid ini ketika
mereka melihat tujuh orang suheng mereka itu tertimpa mala petaka yang lebih
hebat dan mengerikan lagi di dalam rumah makan Koai-lo sebab enam orang di
antara mereka telah tewas dan Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han
menderita luka-luka sangat hebat sehingga nyawanya juga seolah-olah bergantung
kepada sehelat rambut!
Dengan penuh
kedukaan mereka lalu mengangkut enam mayat serta Coa Seng Ki yang terluka parah
itu ke Cin-ling-pai, di mana mereka disambut oleh jerit-jerit tangisan yang
memilukan dari semua anak murid Cin-ling-pai dan terutama sekali dari keluarga
mereka yang tewas.
Bermacam-macam
sikap anggota keluarga yang ditinggal mati oleh salah seorang dalam keluarga
itu. Akan tetapi pada umumnya mereka itu berduka atau memperlihatkan wajah
duka. Bermacam-macam pula rasa duka yang mendatangkan goresan muka yang sama
itu. Ada yang berduka karena merasa iba kepada yang mati, akan tetapi sebagian
besar adalah berduka karena merasa iba kepada dirinya sondiri yang tinggalkan
oleh yang mati. Merasa betapa hidupnya kehilangan sesuatu yang dicintainya,
yang disandarinya, atau yang diharap-harapkannya. Merasa kehilangan ini yang
mendatangkan duka.
Ada pula
yang tidak merasa apa-apa namun ‘demi kesopanan’ terpaksa menarik muka agar
kelihatan berduka. Ada pula yang terbawa oleh suasana duka, karena tangis,
seperti juga tawa, mudah sekali menular kepada orang lain. Sukar sekali menahan
diri, terutama sekali kaum wanita, untuk tidak mencucurkan air mata melihat banyak
orang menangis tersedu-sedu, apa lagi jika disertai dengan keluh-kesah dan
ratapan, lebih sulit dari pada menahan tawa kalau melihat banyak orang tertawa
gembira.
Yang hebat,
lucu serta aneh, banyak pula keluarga yang kematian hendak menyatakan bahwa mereka
benar-benar berkabung dengan ‘menyewa’ tukang menangis! ‘Para tukang menangis’
ini dibayar dan tugasnya hanya untuk menangis sehebat mungkin, meratap dengan
suara yang paling menyedihkan untuk ‘memancing’ air mata para keluarga yang
sudah hampir mengering.

Memang
suasana pada keluarga yang kematian amat menyedihkan. Apa lagi pada pagi hari
itu di ruangan depan dari rumah besar di Cin-ling-pai. Memang menyedihkan
sekali melihat tujuh buah peti mati berjajar-jajar di ruangan itu, dikelilingi
dan dikerumuni oleh para sanak keluarga dan para anggota Cin-ling-pai yang
tiada hentinya menangis dan bergilir melakukan sembahyang di depan peti-peti
mati itu. Tujuh buah peti mati itu berisi mayat-mayat enam orang anggota Cap-it
Ho-han serta seorang anak murid Cin-ling-pai yang tewas karena berani memaki
pengecut kepada Pat-pi Lo-sian.
Suasana di
ruangan itu menjadi makin menyedihkan jika melihat para anggota keluarga para
korban yang memakai pakaian serba putih, topi putih dan muka pucat, mata sayu
kemerahan dan pipi kotor bekas air mata dan debu. Ruangan yang luas itu menjadi
seram karena asap hio yang bergulung-gulung dan bau dupa wangi yang dibakar
sejak malam tadi.
Akan tetapi
Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah. Biar pun sejak kemarin sampai
malam tadi para keluarga korban tiada hentinya menangisi ayah, saudara atau
suami mereka, namun pagi ini mereka telah dapat menekan perasaan mereka sebagai
orang-orang atau keluarga-keluarga orang gagah sehingga tidak ada lagi
terdengar suara tangisan. Mereka masih bersembahyang dan berkabung, namun wajah
mereka semua membayangkan duka dan dendam bercampur menjadi satu, dengan
tarikan muka keras membayangkan kemarahan hati terhadap fihak musuh yang telah
menyebar kematian di antara tokoh-tokoh Cin-ling-pai.
Kini mereka
tidak lagi mengucurkan air mata dan meratap, terutama sekali hal ini mereka
paksakan terhadap perasaan mereka sendiri untuk memperlihatkan sikap gagah
kepada para penghuni dusun yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir
kepada para korban. Bukan hanya para penghuni dusun-dusun pegunungan di sekitar
tempat itu, juga dari kota Han-tiong datang tamu berduyun-duyun untuk
bersembahyang dan tidak lupa memberi sumbangan kepada keluarga yang ditimpa
duka nestapa itu.
Sejak pagi
hingga tengah hari tiada hentinya para tamu datang, bersembahyang, memberi
sumbangan sambil mengucapkan kata-kata yang nadanya menghibur, memuji kegagahan
Cap-it Ho-han sebaliknya mengutuk penjahat-penjahat yang melakukan pembunuhan
keji, kemudian pergi lagi dengan perasaan lega bagaikan orang-orang yang sudah
melakukan sesuatu yang amat baik dan berharga. Bahkan komandan penjaga keamanan
dari kota Han-tiong juga datang menyatakan duka cita dan dia mengatakan kepada
para anggota Cin-ling-pai bahwa dia akan mengerahkan pasukannya untuk mencari
serta menangkap penjahat-penjahat yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa
itu.
Akan tetapi,
para murid Cin-ling-pai maklum bahwa ucapan komandan itu tidak mungkin dapat
diandalkan dan harapan satu-satunya bagi mereka untuk dapat membalas dendam
kematian ini hanyalah guru mereka, karena para penjahat itu adalah orang-orang
lihai ada pun para petugas keamanan itu biasanya, sebagian besar hanya galak
kalau menghadapi rakyat lemah yang tidak mampu melawan dan yang dapat diharapkan
menjadi sapi-sapi perahan.
Sesudah
lewat tengah hari, makin berkuranglah tamu yang datang bersembahyang dan
menjelang senja sudah tidak ada lagi tamu yang datang. Dengan bergiliran,
murid-murid Cin-ling-pai melakukan penjagaan karena yang lain harus beristirahat,
akan tetapi tentu saja para keluarga korban tetap di dekat peti mati dalam
keadaan berkabung.
Sesudah
semua orang mengira bahwa tidak akan ada lagi tamu yang datang, tiba-tiba
muncullah dua orang dari pintu depan. Mereka ini adalah orang-orang tua, yang
seorang adalah wanita tua, nenek-nenek yang usianya tentu telah enam puluh
tahun lebih dengan pakaian serba hitam dan kain kepala berwarna hitam pula,
berjalan sambil menundukkan muka, sedangkan yang kedua adalah seorang kakek
tinggi kurus yang berpakaian seperti seorang tosu (pendeta To), yang melangkah
masuk kemudian mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan para
penjaga pintu yang mempersilakan kedua orang ini terus memasuki ruangan di mana
terdapat tujuh peti mati yang berjajar-jajar.
Nenek itu
menerima beberapa batang hio yang sudah dinyalakan oleh seorang murid
Cin-ling-pai yang bertugas melayani mereka yang hendak bersembahyang, ada pun
kakek tosu itu dengan suaranya yang amat halus bertanya tentang mereka yang
mati sehingga seorang murid Cin-ling-pai lain menceritakan bahwa yang tewas
adalah enam orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai
lainnya. Tosu itu mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya, kelihatan tidak
senang.
Sementara
itu, nenek tua yang berpakaian serba hitam sudah bersembahyang di depan peti
mati itu, kemudian berhenti di depan peti mati pertama yang terisi mayat Sun
Kiang. Di sini dia berdiri dan berkata lirih,
"Sayang,
sayang... sungguh penasaran sekali kenapa kalian mati di tangan orang
lain...!"
Semua anak
murid Cin-ling-pai terkejut dan heran sekali mendengar ucapan aneh itu, dan
mereka makin heran ketika melihat betapa nenek itu kini menancap-nancapkan hio
atau dupa biting itu ke atas peti mati yang terbuat dari kayu tebal dan keras.
Sukar dipercaya betapa dupa biting yang rapuh itu dapat ditancapkan ke atas
peti mati, seolah-olah papan peti mati yang sangat keras itu hanya terbuat dari
agar-agar saja! Dan perbuatan ini selain mendatangkan kekagetan serta
keheranan, juga membuat para anak murid Cin-ling-pai menjadi marah sekali.
Nenek itu
mundur tiga langkah setelah menjura ke arah peti-peti mati, kemudian tosu itu
melangkah mendekati peti-peti itu, tangan kanannya menepuk-nepuk tutup setiap
peti dan mulutnya berkata lirih akan tetapi cukup keras untuk terdengar oleh
mereka yang berada di ruangan itu. "Memang sayang sekali, akan tetapi
kalian mati di tangan Lima Bayangan Dewa sudah cukup terhormat, karena yang
pantas mati di tangan pinto (aku) hanyalah ketua Cin-ling-pai..."
Semua orang
semakin kaget, apa lagi melihat betapa di setiap peti kini terdapat bekas
telapak tangan kakek itu yang tadi menepuk-nepuk tutup peti mati, tampak tanda
telapak tangan menghitam di atas peti, melesak sedalam satu senti seperti
diukir saja!
Para anak
murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang sudah lama mengenal ilmu silat, maka
tentu saja mereka mengerti bahwa tosu dan nenek yang agaknya seorang pertapa
pula itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi karena jelas bahwa
mereka berdua sudah menghina Cin-ling-pai dan bersikap memusuhi guru mereka,
para murid itu sudah menjadi marah sekali dan siap untuk turun tangan
mengeroyok!
Akan tetapi
dengan terjadinya peristiwa hebat itu membuat mereka seperti pasukan yang
kehilangan komandan, merasa tak berdaya dan bingung, sehingga sekarang mereka
pun ragu-ragu dan menunggu sampai ada seorang di antara mereka yang memulai.
Tiba-tiba saja terdengar suara nyanyian dari luar, suaranya dekat sekali akan
tetapi orangnya tidak nampak!
Sikap, nama,
harta dan kedudukan
bukanlah
ukuran jiwa
seorang
manusia,
semua itu
hanya kulit belaka
yang tidak
dapat menentukan
nilai isi.
Betapa
banyaknya berkeliaran
di dunia
hartawan
yang jiwanya miskin
pembesar
yang jiwanya kecil
dan pendeta
yang menumpuk dosa!
Kakek dan
nenek itu kelihatan terkejut, saling pandang kemudian membalikkan tubuhnya ke
arah pintu depan. Kini tampak muncullah dua orang kakek lain, yang pertama
sangat menarik hati karena anehnya.
Dia seorang
kakek tua yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Pakaiannya
kedodoran terlalu besar, dan warna pakaiannya amat menyolok mata! Bajunya
kembang-kembang, celananya kotak-kotak, kepalanya yang berambut putih itu
tertutup topi kopyah seperti yang biasanya dipakai oleh seorang bayi, mukanya
selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar!
Ada pun
orang kedua juga seorang kakek yang juga sudah tua, tentu sudah enam puluh
tahun lebih, namun sikapnya masih gagah. Tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya
sederhana dan matanya sipit seperti dipejamkan.
Dua orang
kakek yang baru datang ini agaknya tidak mempedulikan tosu serta tokouw
(pendeta wanita) itu, mereka langsung bersembahyang seperti biasa, kemudian
menaruh hio di tempat dupa di depan peti. Akan tetapi tiba-tiba kakek yang
pakaiannya aneh itu tertawa, menuding ke arah hio-hio yang tertancap di atas
peti mati pertama tadi sambil berkata,
"Ehh,
dupa-dupa jahat, mengapa kalian begitu kurang ajar, berada di tempat yang tidak
semestinya? Hayo kalian turun dan berkumpul dengan teman-temanmu di
bawah!"
Ucapan ini
sudah aneh, seperti ucapan seorang gila karena ditujukan kepada hio-hio itu.
Akan tetapi kenyataannya lebih aneh lagi sehingga membuat semua orang jadi
melongo. Siapa yang tak akan terkejut dan merasa heran saat mereka melihat
betapa hio-hio yang tadi oleh tokouw itu ditancapkan secara luar biasa di atas
peti mati yang keras, sekarang seolah-olah bernyawa dan hidup, mentaati
perintah kakek berpakaian kembang-kembang, bergerak dan ‘berjalan’ turun dari
peti mati lalu menancapkan diri sendiri di tempat hio bersama hio-hio yang
lain!
Sebelum
orang-orang yang berada di situ habis keheranan mereka, kakek yang kedua itu
berjalan-jalan di antara peti-peti mati, berkata perlahan, "Hemm, kenapa
buatan peti-peti ini demikian kasar sehingga masih ada telapak tangannya?
Biarlah kuratakan."
Dengan
tangannya dia lantas mengusap di atas bekas telapak tangan tosu tadi sehingga
lenyaplah bekas-bekas telapak tangan menghitam tadi meski pun tentu saja
permukaan peti yang sudah rusak itu tidak dapat menjadi rata dan halus kembali.
Tosu dan
tokouw yang menyaksikan perbuatan dua orang kakek yang baru datang itu,
terkejut dan segera maklum bahwa mereka berhadapan dengan dua orang pandai.
Tosu itu menjura dari jauh dan berkata, "Siapakah di antara ji-wi (anda
berdua) yang bernama Cia Keng Hong?"
Kakek yang
memakai baju kembang menjawab tertawa, "Pertanyaan aneh! Seorang tamu
tidak mengenal tuan rumahnya. Betapa aneh! Kami berdua pun hanya tamu, akan
tetapi tentu saja kami mengenal Cia Keng Hong yang ternyata tidak berada di
rumah."
Tosu dan
tokouw itu segera saling pandang. Mereka tidak ingin melibatkan diri dengan
permusuhan terhadap orang-orang lain lagi yang begini lihai, sedangkan Cia Keng
Hong ketua Cin-ling-pai itu saja sudah merupakan musuh yang amat tangguh.
"Kami
hanya membutuhkan Cia Keng Hong, bukan orang lain!" Setelah berkata
demikian, tosu itu menjura lalu melangkah keluar, diikuti oleh tokouw tadi.
Dua orang
kakek itu hanya memandang dan tidak berkata apa-apa. Setelah mereka yakin bahwa
dua orang itu sudah pergi jauh, kakek tinggi kurus yang lebih muda itu menghela
napas panjang dan berkata, "Sungguh berbahaya...!"
Kakek
berbaju kembang-kembang juga menghela napas. "Kita harus memetik buah dari
pohon yang kita tanam sendiri, tak mungkin dapat dihindarkan lagi! Cinke
(sebutan untuk besan) Cia Keng Hong di waktu mudanya menanam banyak sekali
permusuhan sehingga sampai dia menjadi kakek-kakek sekali pun selalu masih ada
musuh yang mencarinya! Sayang sekali..." Dia menggeleng-geleng kepala.
Para murid
Cin-ling-pai sekarang baru berani maju dan murid-murid tertua segera berlutut
di depan dua orang kakek itu. Seorang di antara mereka berkata kepada kakek
berbaju kembang-kembang, "Locianpwe, mengapa locianpwe tidak memberi
hajaran kepada dua orang penjahat berpakaian pendeta tadi?"
Kakek itu
tertawa. "Ho-ho-ho, mudah saja bicara! Kalian kira aku dapat menang
melawan mereka? Aha, kalau tidak dengan sedikit permainan hoatsut (sihir) dan
berhasil membikin jeri mereka, agaknya kalian terpaksa harus menyediakan sebuah
peti mati baru lagi untuk mayatku!"
Para murid
Cin-ling-pai itu mengenal kakek berbaju kembang ini karena kakek ini bukan lain
adalah Hong Khi Hoatsu, seorang kakek aneh yang lihai dan ahli dalam ilmu
hoatsut (sihir), yang selalu tertawa dan gembira, yang sudah beberapa kali
datang mengunjungi Cin-ling-pai karena dia adalah besan dari ketua
Cin-ling-pai.
Ketua
Cin-ling-pai, yakni Pendekar Sakti Cia Keng Hong, mempunyai dua orang anak,
yang pertama adalah Cia Giok Keng dan yang kedua adalah Cia Bun Houw yang kini
sedang belajar memperdalam ilmu silatnya di Tibet. Anak pertama, seorang puteri
yang bernama Cia Giok Keng telah menikah dengan murid yang sudah dianggap anak
sendiri oleh Hong Khi Hoatsu, yaitu yang bernama Lie Kong Tek. Semua ini sudah
dituturkan dengan jelas di dalam cerita Petualang Asmara. Karena itu maka
murid-murid Cin-ling-pai mengenal baik pendeta perantau berbaju kembang ini.
Ada pun
kakek kedua yang lebih muda dari Hong Khi Hoatsu, yang tadi dengan usapan
tangannya dapat meratakan kembali permukaan peti-peti mati dari bekas telapak
tangan tosu tadi, juga merupakan seorang tokoh besar dalam cerita Petualang
Asmara. Namanya adalah Tio Hok Gwan, bekas pengawal dari Panglima Besar The
Hoo. Dia memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi serta bertenaga besar
sekali sehingga mendapat julukan Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati).
Sudah sering
kali dia bekerja sama dengan Cia Keng Hong di waktu dahulu sehingga dia menjadi
sahabat ketua Cin-ling-pai itu. Sekarang kakek ini telah pensiun. Ia
meninggalkan pekerjaannya sebagai pengawal beberapa tahun yang lalu semenjak
Panglima Besar The Hoo meninggal dunia.
Pengalaman
orang she Tio ini hebat bukan main, karena dia telah mengikuti perantauan
Panglima The Hoo ketika menjelajahi banyak negara aneh di seberang lautan,
mengalami banyak pertempuran dan sudah menghadapi banyak sekali orang-orang
yang mempunyai kepandaian aneh dan hebat di bagian-bagian dunia lain di
seberang lautan itu.
Karena itu
dia sudah memiliki pandangan yang awas, dan dia pun maklum bahwa tingkat
kepandaian tokouw dan tosu tadi amat tinggi sehingga andai kata terjadi
bentrokan antara mereka dengan dia, dia tidak berani memastikan apakah dia yang
akan keluar sebagai pemenang. Itulah sebabnya dia bersikap hati-hati dan
membiarkan dua orang itu pergi, sungguh pun dia maklum bahwa dua orang itu
tentulah musuh-musuh dari sahabatnya, Cia Keng Hong.
Sebagai
besan dari ketua Cin-ling-pai, Hong Khi Hoatsu lalu dipersilakan duduk bersama
Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Kakek berbaju kembang itu segera bertanya apa yang
telah terjadi di Cin-ling-pai sampai ada tujuh anggotanya yang tewas terbunuh.
Beberapa murid Cin-ling-pai segera menceritakan tentang semua mala petaka yang
terjadi dan menimpa perkumpulan itu.
Terkejut
juga hati kedua orang kakek itu ketika mendengar bahwa pedang pusaka
Siang-bhok-kiam telah dicuri orang dan bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah Lima
Bayangan Dewa yang memiliki kepandaian tinggi. Pada waktu mendengar bahwa
pencuri pedang itu mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Tio Hok Gwan
mengepal tinjunya.
"Ahhh,
pantas...! Aku pernah mendengar nama Dewa Tua Berlengan Delapan itu! Dia adalah
sute dari datuk kaum sesat Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun) Ouwyang
Kok yang dulu tewas di tangan Cia-taihiap! Tentu dia datang mengacau
Cin-ling-pai untuk membalas dendam kematian suheng-nya. Akan tetapi, siapakah
empat orang temannya yang bersama dia memakai nama Lima Bayangan Dewa
itu?"
Akan tetapi
tidak ada seorang pun di antara para murid Cin-ling-pai yang tahu.
"Yang
mengetahui tentu hanya ketujuh orang suheng yang menjumpai mereka di restoran
Koai-lo di Han-tiong, akan tetapi enam di antara mereka tewas dan yang seorang
lagi luka parah..." murid Cin-ling-pai menerangkan.
"Di
mana dia yang terluka itu? Biar kami memeriksanya," Hong Khi Hoatsu berkata.
Dengan hati
girang dan penuh harapan, para murid Cin-ling-pai lalu mengantarkan Hong Khi
Hoatsu dan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan ke dalam kamar di mana Coa Seng Ki rebah
dalam keadaan empas-empis napasnya dan mukanya pucat kebiruan, matanya
terpejam.
Beberapa
orang murid Cin-ling-pai menjaga di kamar itu dengan muka penuh khawatir karena
biar pun mereka sudah berusaha sedapatnya untuk mengobati korban ini, tetap
saja keadaan Coa Seng Ki tidak kelihatan menjadi baik. Mereka sudah menjadi
putus asa dan mereka kini hanya menanti datangnya ketua mereka cepat-cepat dan
mengharapkan Coa Sang Ki akan bisa bertahan sampai ketua mereka pulang. Orang
termuda dari Cap-it Ho-han itu masih belum sadar, masih pingsan sejak dia rebah
di ruang atas rumah makan Koai-lo sampai saat itu.
Hong Khi
Hoatsu dan Tio Hok Gwan bergantian memeriksa keadaan Coa Sang Ki. Akan tetapi
mereka berdua segera maklum bahwa keadaan orang itu sudah tidak ada harapan
lagi, bahwa luka-luka yang diderita oleh orang itu amat hebat dan tak dapat
disembuhkan lagi karena selain di sebelah dalam tubuhnya sudah terluka parah
juga darahnya sudah keracunan. Paling lama Coa Seng Ki hanya akan bertahan
sampai dua tiga hari lagi saja.
"Bagaimana
pendapatmu, Hoatsu?" tanya Tio Hok Gwan kepada temannya.
Hong Khi
Hoatsu menggeleng-geleng kepalanya. "Seperti telah kau ketahui, dia tak
dapat disembuhkan lagi, luka-luka di sebelah dalam terlampau parah."
Tio Hok Gwan
menarik napas panjang. "Hanya dia seorang yang mengetahui nama-nama empat
orang di antara Lima Bayangan Dewa."
Hong Khi
Hoatsu mengerutkan alisnya. "Dengan kekuatan sihir mungkin aku masih dapat
membuat dia sadar dan membantunya untuk menceritakan siapa adanya empat orang
itu, akan tetapi pengerahan tenaga paksaan itu mungkin akan membuat
luka-lukanya makin parah."
Ban-kin-kwi
Tio Hok Gwan berpikir sejenak, lalu berkata, "Betapa pun juga, dia tak
dapat disembuhkan lagi sedangkan nama-nama empat orang penjahat itu sangat
penting untuk diketahui. Kalau dia dibiarkan demikian saja sampai mati, tidak
ada gunanya sama sekali. Kurasa Hoatsu tentu mengerti akan hal ini."
Hong Khi
Hoatsu mengangguk. "Memang aku pun berpikir demikian. Ehh, bagaimanakah
pendapat kalian?" tanyanya kepada para murid Cin-ling-pai yang menunggu di
kamar itu.
Mereka
saling pandang. Mereka tadi sudah mendengarkan percakapan antara dua orang
kakek itu dan mengerti apa yang mereka maksudkan. Kemudian salah seorang di
antara mereka berkata,
"Karena
Ketua tidak ada dan Cap-it Ho-han yang mewakili suhu juga tidak ada lagi, yang
ada hanya Coa-suheng yang sakit ini, maka kami semua juga tidak dapat mengambil
keputusan. Terserah kepada Ji-wi locianpwe saja yang kami percaya
sepenuhnya."
"Baiklah,
dan kami pun bertanggung jawab penuh terhadap cinke (besan) atas perbuatan kami
ini. Nah, sekarang mundurlah kalian, biarlah aku mencoba untuk menyadarkan dia.
Siapa namanya tadi?"
Seorang
murid memberi tahukan nama si sakit kepada kakek aneh itu.
Hong Khi
Hoatsu segera mendekati si sakit, mengurut-urut serta memijit-mijit kepala dan
punggung orang sakit itu, kemudian dengan dua tangan terbuka, menggetar dan
digerak-gerakkan di atas kepala si sakit, terdengarlah dia berkata, suaranya
penuh wibawa dan mengandung getaran amat kuat hingga semua orang yang berada di
situ merasa seram dan ikut tergetar batinnya, terbawa oleh pengaruh yang
terkandung di dalam suara itu.
"Coa
Seng Ki...! Dengarkan baik-baik... dengar dan lakukan apa yang kuminta...! Aku
mewakili suhu-mu, aku adalah besan suhu-mu, engkau harus taat kepadaku.
Dengarkah engkau? Jawablah...!"
Semua mata
ditujukan ke arah wajah Coa Seng Ki yang pucat membiru, wajah yang diam tidak
bergerak seperti mayat. Perlahan-lahan tampaklah cahaya kemerahan membayang
pada wajah itu, mula pada lehernya, terus naik ke atas pipi sampai ke dahinya,
lalu bulu mata itu menggetar, bibir itu bergerak-gerak!
"Jawablah,
Coa Seng Ki, jawablah... demi kesetiaan dan kebaktianmu terhadap suhu-mu dan
Cin-ling-pai, jawablah...!" Hong Khi Hoatsu berkata lagi, suaranya semakin
kuat dan kedua tangannya menggigil, mukanya penuh dengan keringat.
Dia telah
mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya yang membutuhkan penyaluran tenaga sakti
dari dalam pusarnya dan dia harus menyatukan seluruh kemauannya supaya dapat
memaksa si sakit, seperti membangunkannya, seperti membangkitkan lagi orang
yang sudah tiga seperempat mati ini untuk hidup kembali. Hal ini membutuhkan
tenaga mukjijat yang amat kuat sehingga kakek itu kelihatan berkeringat dan
mukanya menjadi pucat, dan dari kepala yang tertutup kopyah itu mengepul uap
putih.
Diam-diam
Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan memandang penuh kekhawatiran. Walau pun dia tidak
mengenal ilmu hoatsut, akan tetapi dia maklum betapa kakek itu telah
mengerahkan sinkang sekuatnya, hal yang amat berbahaya. Tetapi dia tidak berani
membantu, khawatir kalau-kalau malah mengacaukan usaha Hong Khi Hoatsu.
"Jawablah,
Coa Seng Ki...! Apakah engkau mendengarku?"
Bibir yang
bergerak-gerak dari si sakit itu sekarang bergerak semakin lebar dan terdengar
jawaban seperti bisikan, "...teecu (murid) mendengar..."
"Bagus,
Coa Seng Ki, sekarang jawablah baik-baik semua pertanyaanku ini. Amat penting
bagi suhu-mu kelak untuk mengetahui siapakah adanya empat orang yang membunuh
enam orang suheng-mu di restoran Koai-lo di kota Han-tiong. Siapakah Lima
Bayangan Dewa itu?"
Hening
sejenak. Bibir pucat itu tergetar hebat, menggigil bagaikan orang sakit
kedinginan, kemudian terdengar jawaban yang lemah dan gemetar, namun cukup
dapat dimengerti, "...iblis-iblis itu... Liok-te Sin-mo Gu Lo It...
Sin-cian Siauw-bin-sian Hok Hosiang... lalu Hui-giakang Ciok Lee Kim...
ahhhh..." Suara itu kini berobah menjadi seperti suara orang mengeluh dan
mengerang.
"Pertahankan,
Coa Seng Ki. Siapa yang seorang lagi?"
Dada itu
turun naik, terengah-engah dan akhirnya bibir itu dapat juga mengeluarkan suara
lagi, "...Toat... beng... kauw... Bu Sit... dan orang pertama adalah...
adalah... Pat-pi.... uhhhhh...!"
Kini kepala
itu terkulai lemas dan Hong Khi Hoatsu menurunkan kedua tangannya, cepat
memeriksa nadi tangan dan meraba dada. Dengan muka pucat dan tubuh basah kuyup
oleh peluhnya sendiri dia menggeleng kepala dan memandang kepada Ban-kin-kwi.
"Berakhirlah
sudah...," katanya.
Tio Hok Gwan
lalu menggunakan jari tangannya untuk menutupkan mata dan mulut yang agak
terbuka itu dan terdengar isak tangis dari para anak murid Cin-ling-pai ketika
mereka maklum bahwa Coa Seng Ki sudah menghembuskan napas terakhir!
"Harap
kalian tidak terlalu berduka." Hong Khi Hoatsu berkata setelah mengatur
kembali pernapasannya. "Dia memang tidak dapat disembuhkan lagi dan
kematiannya yang lebih cepat ini hanya mengurangi penderitaannya dan kalian
harus berterima kasih kepadanya karena sebelum mati dia masih sempat
meninggalkan nama para musuh besar itu."
Dua orang
kakek itu lalu keluar dari kamar dan duduk di ruangan depan, sedangkan para
anak murid segera mengurus jenazah Coa Seng Ki. Kini semua murid Cin-ling-pai
sudah tahu siapa saja nama kelima orang musuh besar itu, yang menamakan diri
mereka Lima Bayangan Dewa. Karena biar pun orang pertama tidak sempat
disebutkan namanya oleh Coa Seng Ki, tapi mereka semua tahu bahwa yang
dimaksudkan tentulah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang telah mencuri pedang
Siang-bhok-kiam.
"Sayang
bahwa Cia-taihiap tidak berada di sini. Andai kata dia ada, tidak mungkin
terjadi hal yang menyedihkan ini," Tio Hok Gwan berkata. "Aku sudah
terlalu tua, sudah malas untuk bertanding, akan tetapi mengingat akan mala
petaka yang telah menimpa keluarga Cin-ling-pai, biarlah aku akan menyuruh
puteraku untuk membantu, menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa itu dan membantu
menghadapi mereka. Aku akan pulang kembali ke kota raja, Hoatsu."
Hong Khi
Hoatsu mengangguk dan dia lalu berkata, "Baiklah, Tio-taihiap. Dan aku
sendiri akan pergi mengunjungi murid dan mantuku di Sin-yang. Siapa tahu
kalau-kalau lima iblis itu akan mengganggu mantuku sebagai puteri cinke Cia
Keng Hong."
Yang
dimaksudkan oleh Hong Khi Hoatsu itu adalah Cia Giok Keng, puteri Cia Keng Hong
yang kini sudah menjadi isteri Lie Kong Tek muridnya, dan suami isteri itu
tinggal di kota Sin-yang di kaki Pegunungan Tapie-san.
Maka
berangkatlah dua orang kakek itu meninggalkan Cin-ling-san, Ban-kin-kwi Tio Hok
Gwan menuju ke utara untuk pergi ke kota raja di mana dia hidup bertiga dengan
putera tunggalnya dan isterinya yang jauh lebih muda darinya karena dia memang
menikah agak terlambat, hidup di kota raja sebagai seorang pensiunan pengawal
yang terhormat dan terjamin.
Ada pun Hong
Khi Hoatsu menuju ke timur untuk mengunjungi Sin-yang, tempat tinggal muridnya.
Mereka berangkat setelah lebih dulu menghadiri pemakaman delapan jenazah
murid-murid Cin-ling-pai itu
***************
Seluruh
wilayah Negara Tibet berupa daerah pegunungan yang sambung-menyambung,
pegunungan yang tinggi dan luas sekali dengan Pegunungan Himalaya sebagai
benteng panjang yang menjulang tinggi di perbatasan selatan. Ibu kota atau kota
rajanya adalah Lhasa di mana terdapat istana kerajaan, ada pun golongan yang
paling berkuasa di sana adalah para pendeta Lama.
Karena
seperti lajimnya di dunia ini, yang berkuasa tentu memperoleh kedudukan tinggi
serta mulia, maka tentu saja terjadi pula perebutan kekuasaan di antara para
pendeta Lama sehingga terjadilah pemecahan dan terbentuklah golongan-golongan
yang kadang kala saling bertentangan untuk memperoleh kekuasaan. Pada waktu
itu, yang berkuasa di samping raja adalah para pendeta Lama golongan Jubah
Kuning dan kedudukan mereka sedemikian kuatnya sehingga tidak ada golongan lain
yang berani memberontak.
Beberapa
puluh li jauhnya dari Lhasa, di sebelah selatan, di mana sungai yang mengalir
memasuki sungai besar Yalu-cangpo, terdapat sebuah kuil besar. Dahulu kuil ini
menjadi pusat dari gerakan Lama Jubah Merah yang pernah memberontak, akan
tetapi berhasil dibasmi oleh pasukan Tibet yang dibantu oleh Pemerintah Beng.
Kini para Lama Jubah Merah masih ada, namun mereka tidak lagi aktip dan hidup
dengan penuh tenteram dan damai, bertani dan menekuni hidup sebagai pertapa
yang saleh.
Ketua dari
para Lama yang jumlahnya hanya tinggal dua puluh orang lebih ini adalah seorang
yang memiliki kesaktian luar biasa dan bernama Kok Beng Lama. Di dalam cerita
Petualang Asmara telah diceritakan bahwa Kok Beng Lama ini adalah ayah kandung
dari Pek Hong Ing isteri dari Pendekar Sakti Yap Kun Liong. Sekarang usia
pendeta Lama ini sudah delapan puluh tiga tahun akan tetapi tubuhnya masih sehat,
kokoh kekar dan tinggi besar seperti raksasa.
Karena
ketuanya tidak mempunyai keinginan sesuatu, maka semua anggota Lama Jubah Merah
juga tak menginginkan sesuatu kecuali hidup aman tenteram dan sehat di lembah
pegunungan dekat sungai yang tanahnya subur itu. Melihat betapa Kok Beng Lama
hanya tekun melatih ilmu kepada murid tunggalnya, maka para Lama itu pun ikut
terbawa-bawa, tekun melatih ilmu-ilmu mereka yang memang sudah tinggi sehingga
kepandaian mereka menjadi semakin masak...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment