Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 04
MURID
tunggal dari Kok Beng Lama ini adalah Cia Bun Houw, putera dari Pendekar Sakti
Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai. Semenjak berusia lima belas tahun, tepat
seperti telah dijanjikan oleh Cia Keng Hong dan isterinya, maka Bun Houw
dikirim ke tempat sunyi ini untuk belajar ilmu dari Kok Beng Lama selama lima
tahun. Perjanjian ini diadakan ketika Bun Houw diculik oleh para Lama yang
dahulu memberontak terhadap Pemerintah Tibet.
Dengan amat
tekunnya pendeta itu menurunkan ilmu-ilmunya yang paling tinggi sehingga makin
meningkat pula kepandaian Bun Houw yang sebelumnya sudah sangat tinggi, hasil
penggemblengan ayah bundanya yang sakti di Cin-ling-pai. Pemuda itu pun sangat
suka akan ilmu silat, karena itu dia pun rajin sekali berlatih sehingga dengan
mudahnya semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh gurunya dapat dia terima dan
kuasai dengan mudahnya.
Tanpa
terasa, lima tahun telah hampir lewat selama Bun Houw hidup di tempat sunyi
itu. Tetapi dia tidak merasa kesunyian karena dia diberi kebebasan secukupnya
oleh gurunya, bahkan dia diperkenankan mengunjungi dusun-dusun di sekitar
tempat itu sehingga dia dapat berhubungan dengan rakyat Tibet yang cara
hidupnya aneh dan asing baginya. Berkat pergaulan ini, sebentar saja Bun Houw
sudah pandai berbahasa Tibet dan setelah tinggal di situ selama lima tahun, dia
telah mempunyai banyak kenalan dan sahabat.
Kini Cia Bun
Houw telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Karena ayah dan
ibunya dulu terkenal sebagai pria yang tampan dan wanita yang cantik sekali,
maka tidaklah mengerankan apa bila pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang gagah
dan wajah yang tampan pula. Dan berbeda dengan watak enci-nya Cia Giok Keng
yang galak dan keras hati, sebaliknya watak pemuda in halus dan manis budi,
romantis dan sama sekali tidak suka akan kekerasan!
Agaknya
watak ini terbentuk karena selama lima tahun dia hidup di tengah-tengah para
Lama yang hidup penuh damai itu, serta pergaulannya dengan rakyat Tibet yang
masih jujur, polos dan wajar sikapnya dalam cara hidupnya sehari-hari. Bun Houw
suka akan segala yang indah-indah, dia dapat menikmati keindahan alam sampai berjam-jam
tanpa bosan, melihat keindahan matahari terbit mau pun matahari terbenam,
melihat keindahan kembang-kembang, atau duduk termenung di tepi sungai melihat
air yang mengalir tiada hentinya sambil berdendang gembira.
Kegagahannya,
ketampanannya, dan kemanisan budinya itu tentu saja membuat semua orang suka
kepadanya, terutama sekali dara-dara Tibet yang berwatak polos dan wajar.
Diam-diam banyak sekali dara Tibet yang jatuh cinta kepada Bun Houw. Akan
tetapi Bun Houw bersikap manis kepada mereka semua, dan terutama sekali kepada
seorang dara puteri ketua dusun yang bernama Yalima, seorang dara berusia lima
belas tahun, cantik rupawan seperti setangkai bunga teratai ungu.
Dara ini
begitu cantik dan selalu gembira sehingga Bun Houw merasa suka sekali kepada
Yalima, dan sering kali dua orang muda ini berjalan-jalan, bersenda gurauan,
bahkan Bun Houw berkenan mengajarkan ilmu silat sekedarnya kepada dara ini.
Atas permintaan Bun Houw, dara Tibet ini menyebutnya koko (kakak) sedangkan dia
sendiri menyebut moi-moi (adik) kepada dara itu.
Mereka
masing-masing saling mengajar Bahasa Han dan Tibet, dan berkat bantuan dara
inilah maka Bun Houw pandai berbicara dalam Bahasa Tibet secara lancar
sedangkan Yalima, biar pun dapat juga mengerti Bahasa Han, namun dia hanya
dapat mengucapkan kata-kata Han dengan kaku dan lucu. Tidak pernah ada sepatah
pun kata cinta keluar dari mulut kedua orang muda ini, akan tetapi tidak saling
berjumpa dua tiga hari saja mereka merasa tersiksa dan rindu!
Pada suatu
senja, pada waktu Bun Houw sudah lelah berlatih ilmu pedang dan duduk
beristirahat seorang diri di tempat yang disukainya, yaitu di sebuah puncak
dari mana dia dapat menyaksikan matahari terbenam, pemuda ini termenung dan
tenggelam ke dalam keindahan pemandangan alam yang dihadapinya.
Jauh di
balik puncak-puncak gunung di barat, matahari terbenam meninggalkan cahaya
merah, kuning, biru yang luar biasa indahnya. Gumpalan-gumpalan mega dan awan
yang biasanya berwarna kehitaman dan putih, kini seakan-akan terbakar oleh cahaya
matahari itu, menimbulkan percampuran warna sehingga terciptalah segala macam
warna di dunia ini, terlukiskan di langit yang biru muda.
Gumpalan-gumpalan
awan itu menciptakan bermacam bentuk yang berubah-ubah dan bergerak perlahan,
hampir tidak dapat diikuti pandangan mata sehingga bentuk-bentuk itu tahu-tahu
telah berobah. Warna yang tak menyilaukan mata, sedap dipandang dan amat
berkesan di dalam hati. Keindahan yang serba baru, yang tidak ada hubungannya
dengan keindahan matahari terbenam di waktu kemarin atau yang sudah-sudah
karena memang tidak pernah sama. Keindahan yang hidup, tidak mati seperti
lukisan tangan manusia.
"Koko...!"
Suara itu
dikenalnya seketika. Siapa lagi yang mempunyai suara merdu jernih seperti itu,
yang menyebut kata ‘koko’ dengan tekanan suara dan nada seperti itu kalau bukan
Yalima? Suara yang merupakan keindahan baru bagi telinga, dan ketika dia
menoleh dan memandang, agaknya keindahan alam pada waktu matahari terbenam itu
masih kalah indahnya oleh dara yang kini berdiri di depannya.
Akan tetapi,
mendadak Bun Houw meloncat bangun dan memandang dengan kaget dan heran. Wajah
yang biasanya segar, dengan sepasang pipi merah muda, sepasang mata yang
bersinar-sinar, bibir merah basah yang tersenyum manja penuh tantangan terhadap
kehidupan, sekarang tampak layu dan tak bersinar lagi, biar pun masih seindah
matahari terbenam!
"Moi-moi!
Ada apakah...?" tanyanya sambil meloncat mendekat dan memegang tangan yang
halus kulitnya akan tetapi agak kasar telapak tangannya karena setiap hari
harus bekerja berat itu.
Mendengar
pertanyaan orang yang selalu dikenangnya ini, tiba-tiba saja Yalima menangis
sesenggukan sambil menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw! Sejenak Bun Houw
menengadah dan memejamkan matanya. Aneh rasanya! Baru sekali ini dia begitu
dekat dengan Yalima, meski pun hampir setiap hari mereka bersenda gurau. Dara
ini merangkul pinggangnya dan mendekapkan muka pada dadanya, terisak menangis
dengan penuh kesedihan.
Bun Houw
menekan jantungnya yang berdebar tegang sehingga dia berhasil melupakan
ketegangan yang aneh itu, namun sekarang kekhawatiran menguasai hatinya.
Tangannya mengusap rambut hitam halus yang sangat panjang dan dikuncir jadi dua
itu. Diusapnya rambut di kepala yang berbau harum bunga itu.
"Aih,
moi-moi, tenangkanlah hatimu dan ceritakan apa yang terjadi maka engkau yang
belum pernah kulihat menangis menjadi begini berduka. Ceritakanlah dan aku
pasti akan menolongmu."
Mendengar
ucapan ini, Yalima melepaskan rangkulan kedua lengannya pada pinggang pemuda
itu dan melangkah mundur. Mukanya menjadi merah sekali, matanya juga agak merah
dan air mata membasahi sepasang pipinya, juga baju dalam Bun Houw menjadi
basah. Sepasang alis kecil hitam melengkung indah seperti dilukis itu agak
berkerut, akan tetapi terkilas di pandang matanya sikap yang agak canggung dan
malu, agaknya baru teringat olehnya betapa tadi dia memeluk pemuda itu dan
mendekap begitu erat.
Bun Houw
lalu menuntun tangan dara itu duduk di atas batu-batu licin bersih yang sering
mereka gunakan sebagai bangku-bangku di waktu mereka bercakap-cakap dan
bersenda gurau di tempat itu. Bun Houw mengeluarkan sehelai sapu tangan bersih
dan kering dari sakunya karena dara itu memegang sapu tangan yang sudah basah
semua.
"Keringkanlah
air matamu dan hidungmu!" katanya tersenyum menghibur.
Yalima
menerima sapu tangan itu, menyusut air matanya, juga hidungnya karena di waktu
menangis tadi, bukan hanya matanya yang mengeluarkan air, melainkan juga
hidungnya. Tanpa malu-malu karena memang mereka sudah akrab, Yalima lalu
menyusut hidungnya yang kecil mancung, kemudian dia mengembalikan sapu tangan
yang menjadi basah itu akan tetapi sebelum Bun Houw menerimanya, dia telah menariknya
kembali dan berkata, suaranya agak parau karena tangis,
"Biar
kucuci dulu!"
"Ahhh,
mengapa pula kau ini? Tidak usah dicuci juga tidak apa!" Bun Houw
mengambil kembali sapu tangannya dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.
"Terima
kasih...," dara itu berkata, menyedot hidungnya dan menahan isak.
"Moi-moi,
apakah yang terjadi? Kau benar-benar mengejutkan hatiku."
"Koko,
benarkah engkau akan menolongku?"
"Tentu
saja!"
Gadis cilik
itu menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. "Tidak mungkin, koko. Kau
tidak akan bisa menolongku."
"Ceritakanlah
dulu apa persoalannya, jangan kau mudah putus harapan."
Dara itu
memandang wajah Bun Houw, lalu tiba-tiba dia memegang tangan pemuda itu.
Dikepalnya tangan kanan pemuda itu dengan jari-jari kedua tangannya yang kecil,
lantas diguncangnya dan didekapnya sekuat tenaganya ketika dia berkata,
"Koko, kau tolonglah aku, tolonglah aku! Ayah hendak membawaku ke
Lhasa!"
Bun Houw
memandang aneh. "Ah, kenapa engkau minta tolong? Bukankah sudah sering
engkau diajak ayahmu ke Lhasa?"
"Akan
tetapi sekali ini untuk selamanya, koko. Aku tidak akan kembali ke sini
lagi."
"Ehh?
Mengapa begitu?"
"Aku...
aku... akan dihaturkan kepada seorang pangeran..." Gadis itu kembali
terisak dan memandang Bun Houw dengan mata basah. "Koko, kau… tolonglah
aku... akan tetapi... bagaimana mungkin... ahh, bagaimana baiknya, koko?"
Bun Houw
memegang kedua pundak dara itu sambil temenyum. "Engkau ini aneh sekali,
moi-moi. Setiap orang wanita di daerah ini tentunya akan menceritakan berita
ini sambil tertawa-tawa penuh bahagia. Bukankah setiap wanita, terutama setiap
orang gadisnya di daerah ini selalu mengharapkan supaya dapat dihaturkan kepada
seorang pangeran yang berkuasa di Lhasa? Kau akan berganti pakaian indah setiap
hari, tidak usah bekerja di sawah dan bekerja berat, berenang di atas uang dan
perhiasan, terhormat dan senang..."
"Aku
tidak mau! Aku tidak suka!"
"Hemmm,
kau lebih suka tetap menjadi seorang petani miskin di sini...?"
"Biar!
Aku lebih suka menjadi petani miskin di sini!"
"Dan...
kelak menikah dengan seorang petani miskin pula, lalu selama hidup menderita
kurang makan dan pakaian?"
"Tidak!
Ayahku kepala dusun, dia sudah cukup..."
"Tetap
saja kelak engkau akan menikah dengan seorang petani..."
"Tidak!
Aku tidak sudi menikah dengan petani!"
"Habis,
dapat pangeran tidak mau, petani tidak mau..."
"Pendeknya
aku tidak mau pergi meninggalkan tempat ini, tidak mau pergi meninggalkan
engkau, koko!"
Bun Houw
tersentak kaget, sejenak termenung memandang langit yang telah mulai gelap,
cahaya kemerahan sudah mulai menipis. Dara itu terisak lagi.
"Moi-moi,
bagaimana... aku dapat menolongmu?"
"Hu-hu-huuuk...
aku sudah tahu... kau tidak akan dapat menolongku... hu-huuh!" Yalima
menangis lagi.
"Tenang
dan dengarlah, moi-moi. Aku akan berusaha. Besok aku akan menemui ayahmu dan
membujuknya. Akan tetapi lebih dulu ceritakan, mengapa ayahmu yang telah
menjadi kepala dusun, yang tidak kekurangan sesuatu, hendak mempersembahkan
engkau pada seorang pangeran?"
Yalima
menyusuti air matanya dan menghentikan tangisnya, kemudian sesudah berulang
kali menghela napas dia berkata, "Seperti sudah kau ketahui, koko, aku
mempunyai dua orang kakak laki-laki. Ayah ingin agar kedua orang kakakku itu
kelak berhasil memperoleh kedudukan baik di Lhasa dan jalan satu-satunya
hanyalah memasukkan mereka bekerja membantu seorang pangeran yang berpengaruh.
Untuk dapat mengambil hati pangeran itu, uang tidak ada gunanya karena kekayaan
ayah hanya sedikit dan pangeran itu tidak membutuhkan uang. Maka ayah lalu
mengambil keputusan untuk mempersembahkan aku kepadanya. Pangeran itu sangat
berpengaruh sehingga kalau aku dapat berada di sana tentu semua keluarga akan
terangkat dan terutama kedua orang kakakku akan mudah memperoleh kedudukan yang
baik. Pangeran itu kabarnya tua sekali, tapi kedudukannya tinggi. Aku tidak
suka, koko, sungguh mati, aku tidak suka!"
Bun Houw
menarik napas panjang. "Moi-moi, ingatkah engkau bahwa dulu kita pernah
membicarakan nasib wanita di sini? Di sini, bahkan juga di negeriku sana,
wanita seperti barang dagangan saja, tidak seperti manusia. Kaum wanita tidak
mempunyai hak untuk menentukan nasib dirinya sendiri, hanya menurut saja kepada
orang tua untuk diberikan atau dijual kepada siapa pun juga. Jelas bahwa demi
kemakmuran keluargamu, engkau hendak dikorbankan oleh ayahmu, dijual dengan
cara halus kepada pangeran itu. Tentu ayahmu menganggap hal itu wajar dan baik
saja, karena kebiasaan itu sudah berjalan ratusan tahun. Kaulah yang aneh dan
dianggap salah kalau kau menolak, hal itu dianggap sebagai suatu pemberontakan
terhadap kebiasaan yang sudah turun-menurun dan akan dianggap tidak berbakti
terhadap orang tua."
"Akan
tetapi aku tidak suka meninggalkan... engkau, koko!"
Bun Houw
menggigit bibirnya, hatinya terguncang tanpa dia tahu mengapa. Ucapan itu bagai
menusuk hatinya. "Moi-moi, besok pagi-pagi aku akan menemui ayahmu.
Sekarang pulanglah agar engkau tidak dicari dan dimarahi ayahmu. Biasanya dia
sangat suka dan hormat kepadaku, siapa tahu dia akan mendengar bujukanku dan
merobah niatnya itu."
"Ahh,
terima kasih, koko! Malam ini aku tidak akan tidur, aku akan terus
bersembahyang semalam suntuk agar ayah suka menurut kata-katamu." Setelah
berkata demikian, dara itu bangkit berdiri, melepaskan tangan Bun Houw dengan
perlahan-lahan dan ragu-ragu seakan-akan dia merasa sayang melepaskannya,
kemudian dia barlari dari situ dengan lincahnya.
Sampai lama
Bun Houw mengikuti bayangan dara itu menuruni puncak. Setelah bayangan itu
menghilang di balik batu besar, barulah dia bangkit berdiri dan dengan gerakan
cepat sekali dia berlompatan dan berlari-lari pulang ke kuil. Hatinya terasa
tidak enak sekali sehingga malam itu dia tidak bisa makan dan setelah berada di
dalam kamarnya dia tidak dapat tidur nyenyak.
Sepanjang
malam dia gelisah dan kalau dapat pulas terganggu oleh mimpi buruk tentang
Yalima. Hatinya gelisah dan penuh penasaran mengingat betapa Yalima akan
diberikan sebagai sebuah benda berharga kepada seorang pangeran tua.
Terbayanglah olehnya betapa dara muda itu dengan penuh kengerian harus
menyerahkan diri dijadikan barang permainan seorang pangeran tua! Betapa
mengerikan!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah keluar dari kuil dan berlatih
silat pedang di belakang kuil. Hatinya dipenuhi dengan rasa penasaran yang
mendekati kemarahan. Bayangan betapa Yalima menangis dan meronta-ronta dalam
pelukan seorang pangeran tua, merintih dan minta tolong kepadanya, membuat Bun
Houw seperti diamuk api yang panas hatinya.
Dia bersilat
pedang dengan sangat ganasnya. Pedang pada tangannya lenyap berubah menjadi
cahaya putih bergulung-gulung sangat panjang dan lebarnya, menimbulkan angin
yang mengeluarkan bunyi bercuitan memekakkan telinga, dan daun-daun pohon
tergetar bahkan ujungnya berhamburan ke bawah seperti dibabat senjata tajam
ketika pedang itu bergerak dengan sinarnya ke atas.
Berkali-kali
Bun Houw meneriakkan bentakan-bentakan nyaring seakan-akan dia sedang
merobohkan semua orang yang sedang memaksa Yalima menuju ke pelukan pangeran tua.
Akan tetapi, betapa pun kemarahan sedang menguasai dirinya, dia tidak melupakan
ilmu pedang yang sudah diajarkan oleh gurunya, bahkan dengan semangat
meluap-luap dia mencoba mainkan jurus simpanan yang amat sukar dilatih, yaitu
jurus rahasia yang oleh suhu-nya dinamakan jurus Hong-tian Lo-te (Angin dan
Kilat Mengacau Bumi).
Tiba-tiba
terdengar bunyi berdesing, pedang itu melayang ke udara dan pada waktu itu,
kedua tangan Bun Houw terkepal, dengan tenaga sinkang yang dahsyat kepalan
kirinya menghantam ke arah pohon besar dan kepalan tangan kanannya melayang ke
arah batu di tempat itu.
"Krakkk...!
Pyarrrr...!"
Pohon itu
tumbang dan batu pecah berhamburan, sedangkan pedang itu sudah melayang turun
kembali, cepat disambar oleh tangan kanan pemuda itu dan empat kali pedang itu
berkelebat maka sisa batang pohon terbabat putus dua kali dan sisa batu juga
pecah dua kali oleh pedang itu!
Mata Bun
Houw terbelalak dan mukanya agak pucat, hatinya terkejut bukan main ketika
menyaksikan akibat latihannya mainkan jurus ampuh itu. Bukan saja jurus itu
dapat dia mainkan dengan baik, juga sesaat tadi dia lupa sama sekali, lupa diri
hingga dia merusak pohon dan batu yang sama sekali tak bersalah, bahkan yang
merupakan penghias tempat itu.
Dengan mata
kosong dia memandang bekas tempat pohon dan batu besar dan merasa malu kepada
diri sendiri. Dia mengerti bahwa kebingungan dan kemarahan membuat dia lupa
diri dan bertindak seperti orang gila.
"Omitohud...
mengerikan sekali melihat engkau mainkan Hong-tian Lo-te!"
Bun Houw
membalikkan tubuhnya dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng
Lama.
"Harap
suhu sudi memaafkan teecu. Teecu telah berhasil melatih Hong-tian Lo-te, akan
tetapi teecu telah merusakkan batu dan pohon ini."
"Siancai...
pinceng (aku) melihat engkau seperti sedang kemasukan setan. Muridku, ayo cepat
katakan kepada gurumu, kenapa engkau tiba-tiba berubah menjadi pemarah seperti
ini!"
Bun Houw
tidak sanggup mengelabui pandang mata gurunya yang walau pun sudah tua akan
tetapi masih amat tajam itu, dan ia pun berpendapat bahwa mungkin gurunya dapat
memberi jalan yang baik, bagaimana supaya Yalima tidak sampai dipaksa menjadi
selir pangeran tua di Lhasa.
"Memang
teecu sedang merasa penasaran bukan main, Suhu, mendengar cerita seorang
sahabat teecu yang bernama Yalima, puteri kepala dusun di bawah puncak. Dia
hendak dipersembahkan kepada seorang pangeran tua di Lhasa, padahal anak itu
tidak mau dan kemarin dia telah menemui teecu dan sambil menangis minta tolong
kepada teecu. Oleh karena merasa tak mampu menolongnya, maka teecu menjadi amat
penasaran sehingga pada waktu berlatih tadi tanpa disadari teecu sudah
melampiaskan kemarahan dan rasa penasaran teecu..."
"Terhadap
sebatang pohon dan sebongkah batu yang tak berdosa. Ha-ha-ha-ha! Betapa
lucunya! Coba ceritakan dengan jelas kepada pinceng."
Dengan suara
penuh semangat Bun Houw lalu menceritakan kepada suhu-nya mengenai diri Yalima.
Gurunya hanya mendengarkan sambil tersenyum. Setelah Bun Houw selesai
bercerita, dia bertanya,
"Lalu,
apa yang hendak kau lakukan untuk menolong gadis itu?"
"Teecu
hendak menjumpai ayahnya yang telah teecu kenal dengan baik dan teecu akan
membujuknya agar dia mengurungkan niatnya itu."
Kembali Kok
Beng Lama tertawa bergelak, kemudian dia meninggalkan muridnya setelah berpesan
agar muridnya melanjutkan latihannya pagi hari itu, setelah selesai latihan
baru boleh pergi. Bun Houw lalu berlatih penuh semangat dan latihan yang
sungguh-sungguh ini membuat tubuhnya lelah sehingga tidak memberi kesempatan
kepada pikirannya untuk membayangkan hal yang amat tidak disukanya, yaitu
bayangan Yalima di dalam pelukan pangeran tua!
Sesudah
selesai berlatih dan sehabis mandi bersih, barulah dia bertukar pakaian lalu
dia meninggalkan kuil, turun dari puncak menuju dusun tempat tinggal Yalima dan
langsung mendatangi rumah kepala dusun yang merupakan rumah terbesar di dusun
itu.
Kepala dusun
menyambutnya dengan ramah dan mempersilakannya duduk di ruangan dalam. Bun Houw
sudah amat dikenal di dusun itu, dan sudah beberapa kali dia datang di rumah
kepala dusun ini untuk bercakap-cakap.
Ketika dia
duduk, dia melihat Yalima dengan muka masih pucat tapi mata bersinar penuh
harapan berkelebat di ruangan belakang, memandang padanya. Keraguan hatinya
lenyap, maka ketika tuan rumah menanyakan keperluannya datang di rumah itu,
dengan suara tenang Bun Houw berkata,
"Harap
paman memaafkan saya. Kedatangan saya ini ada hubungannya dengan berita yang
saya dengar bahwa paman hendak mempersembahkan adik Yalima kepada seorang
pangeran tua di Lhasa, benarkah berita itu?"
"Wahai
orang muda! Urusan ayah dengan anak perempuannya sebetulnya adalah urusan
pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Akan tetapi karena engkau adalah
orang Han, maka biarlah tidak mengapa, apa lagi memang engkau adalah murid
tunggal yang mulia Kok Beng Lama dan sahabat baik puteriku. Memang benar berita
itu, Cia-kongcu (tuan muda Cia)."
"Maaf,
paman. Akan tetapi, Yalima tidak suka dipersembahkan kepada pangeran tua itu,
mengapa harus demikian?"
Orang tua
itu menarik napas panjang. "Ahh, kongcu tidak mengerti keadaan kami di
sini. Satu-satunya harapan bagi rakyat Tibet untuk dapat hidup terpandang dan
berkecukupan hanyalah apa bila bisa memperoleh kedudukan di Lhasa dan jalan
satu-satunya untuk itu hanya melalui orang-orang yang mempunyai pengaruh
seperti para pangeran. Saya hanya seorang kepala dusun yang miskin dan tidak
ada cara lain untuk bisa mendekati seorang pangeran kecuali lewat anak
perempuanku yang kebetulan terlahir cantik menarik. Hanya itulah modal kami,
kongcu. Kalau kami melakukan persembahan itu, yang kuyakin akan diterima karena
Yalima amat cantik menarik, maka kami sekeluarga akan hidup bahagia. Yalima
akan menjadi seorang wanita bangsawan yang terhormat dan kaya raya, orang
tuanya juga akan terangkat derajatnya sedangkan dua orang kakaknya akan
memperoleh kedudukan mulia di sana."
"Tapi...
tapi... kesenangan keluarga paman didapatkan dengan mengorbankan Yalima! Itu
tidak adil namanya! Yalima akan hidup menderita tekanan batin karena
sesungguhnya dia tidak suka menjadi selir pangeran tua."
"Sebagian
besar gadis muda juga begitu sebelum mereka sampai di Lhasa. Akan tetapi
setelah berada di sana, mereka akan merasa bangga dan gembira sekali. Pula,
apakah kongcu melihat jalan lain supaya keluarga kami dapat hidup baik sampai
keturunan kami kelak?"
Bun Houw
tidak mampu menjawab. Sampai lama dia mengerutkan keningnya, lalu dia berkata,
"Betapa pun juga, perbuatan ini tidak adil dan kejam, paman!"
"Hemmm,
Cia-kongcu. Hanya ada satu jalan, dan agaknya kalau kongcu sudah demikian
memperhatikan nasib Yalima, tentu berarti kongcu mencintanya, bukan?"
Bun Houw
terkejut bukan main seperti disengat ular berbisa. Hampir dia meloncat dari
bangku yang didudukinya.
"Men...
mencinta...?" teriaknya.
"Tentu
kongcu mencinta anak kami."
"Aku...
aku tidak tahu... saya suka kepadanya dan kasihan, paman."
"Begini,
Cia-kongcu. Kalau kongcu mencintanya dan kongcu suka mengambilnya sebagai
isteri, nah, biarlah saya akan membatalkan niat mempersembahkan dia kepada
pangeran tua di Lhasa. Mempunyai mantu seperti kongcu juga sudah mengangkat
derajat kami dan kelak kami harap kongcu dapat membantu kedua orang kakaknya
itu."
Bun Houw
tercengang dan melongo bagaikan seekor monyet mendengar petasan. "Ini...
ini... saya tidak bisa memutuskan begitu saja, paman. Ini... ini adalah urusan
penting yang harus disetujui orang tuaku dan... dan seujung rambut pun saya
belum memikirkan untuk menikah..."
Kepala dusun
itu menarik napas panjang. "Hemmm, kalau begitu, apa boleh buat... kami
harus membawanya ke Lhasa."
Bun Houw
merasa diperas, maka dia lalu berkata dengan muka merah. "Terserah kepada
paman karena dia adalah puteri paman. Yalima tentu akan memaafkan saya karena
saya sudah berusaha membujuk paman. Kalau paman berkeras hendak menjual puteri
sendiri, saya tak bisa melarang, hanya selamanya saya akan menganggap bahwa paman
adalah seorang ayah yang amat keji! Selamat tinggal, paman."
"Ehh,
nanti dulu, orang muda!" Kepala dusun itu berkata dan ikut bangkit pula.
"Duduklah dulu dan jangan tergesa-gesa." Bun Houw duduk kembali
karena sadar bahwa sikapnya terlampau kasar, hal ini terdorong oleh
kecemasannya memikirkan nasib Yalima.
"Semua
ucapan kongcu berkesan sekali di hati saya, karena merupakan hal yang baru
pertama kali ini terjadi. Selamanya belum pernah ada orang menganggap seorang
ayah berlaku keji terhadap puterinya yang dipersembahkan kepada pangeran! Dan
juga baru sekarang ini ada orang luar yang berani mencampuri urusan antara ayah
dengan anak perempuannya. Baiklah kongcu. Selama kongcu menjadi sahabat kami,
dan juga sahabat puteriku Yalima, selama kongcu berada di sini, saya berjanji
tidak akan mengantar Yalima ke Lhasa."
Hati Bun
Houw sudah sedemikian gembiranya sehingga dia tidak mendengarkan dengan teliti.
Dia meloncat dan merangkul kepala dusun itu, menepuk-nepuk pundaknya, bahkan
hampir saja dia suka mencium pipi yang brewokan itu saking gembira hatinya.
"Terima
kasih, paman. Terima kasih...!" katanya girang dan khawatir kalau-kalau
kepala dusun itu akan menarik kembali janjinya yang tidak disangka-sangkanya
itu. Dia segera berpamit dan kembali ke kuil.
"Suhu,
teecu berhasil! Teecu berhasil!"
Kok Beng
Lama memandang muridnya yang bersorak-sorak seperti anak kecil itu dengan mulut
tersenyum. Tentu saja dia sudah tahu akan semua yang terjadi di rumah kepala
dusun, karena sebetulnya sebelum muridnya mengunjungi ayah Yalima tadi, dia
sudah lebih dulu menemui kepala dusun itu dan semua jawaban kepala dusun
termasuk janjinya kepada Bun Houw tadi adalah menurut petunjuknya yang ditaati
sepenuhnya oleh kepala dusun itu!
"Bun
How, cinta benarkah engkau kepada dara itu?"
Seperti tadi
ketika mendengar perkataan tentang cinta dari kepala dusun, kini Bun Houw
terkejut, bahkan lebih kaget dari pada tadi karena yang berkata adalah
suhu-nya. Seluruh mukanya berubah menjadi merah saat dia mengangkat muka
memandang wajah gurunya.
"Suhu...
teecu suka dan kasihan kepada adik Yalima..."
"Itu
tandanya cinta, maka engkau membelanya mati-matian."
"Teecu
tidak tahu, teecu tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan cinta, dan tentang
pembelaan itu... andai kata Yalima itu seorang gadis lain yang mengalami nasib
sama, di luar kehendaknya hendak dipaksa dipersembahkan kepada seorang pangeran
tua, kiranya teecu juga akan membelanya. Apa lagi dia yang selama ini menjadi
sahabat baik teecu..."
Kok Beng
Lama menghela napas. "Pinceng mengerti, muridku. Akan tetapi pembelaanmu
ini tentu saja menimbulkan harapan-harapan di dalam hati keluarganya, dan di
dalam hati dara itu sendiri."
Bun Houw
tidak mengerti dan menjawab seperti hendak membela diri, "Dia menangis dan
minta pertolongan teecu..."
"Sudahlah,
Bun Houw. Memang sebaiknya kalau engkau tidak jatuh cinta kepada dara itu,
karena hal itu hanya akan mendatangkan keruwetan saja di dalam hidupmu. Ah,
agaknya engkau lupa bahwa waktu yang kita janjikan, yaitu lima tahun, sudah
lewat tanpa terasa oleh kita. Kurasa dalam hari-hari mendatang ini ayahmu akan
datang untuk menjemputmu pergi dari sini."
"Ohhh...!
Sudah lima tahun?" Bun Houw terkejut, akan tetapi juga girang.
Betapa
selama ini dia sering merindukan ayah bundanya, merindukan Cin-ling-san serta
para anak murid Cin-ling-pai. Setelah sekarang dia hampir dapat melupakan
kerinduannya karena kehidupan yang mulai menarik di Tibet, tahu-tahu lima tahun
telah lewat dan dalam waktu singkat dia akan ikut ayahnya kembali ke
Cin-ling-san!
"Aihh,
teeeu senang tinggal di sini, suhu, dan teecu sedang berlatih dengan
giat..."
"Muridku,
ada waktunya berkumpul tentu akan tiba pula saatnya berpisah. Mengenai ilmu,
semua ilmu yang kukenal telah kuberikan kepadamu, dan ditambah dengan ilmu yang
kau pelajari dari ayahmu, kiranya engkau sekarang sudah melebihi pinceng
sendiri. Nah, kau bersiap-siaplah sebelum ayahmu tiba-tiba datang mengajakmu
pergi supaya engkau tidak menjadi kaget."
Bun Houw
pergi meninggalkan suhu-nya dengan perasaan tidak karuan rasanya. Ada rasa
girang, akan tetapi juga ada rasa sedih meninggalkan tempat yang mulai
disukanya itu. Dia naik ke puncak yang menjadi tempat kesukaannya itu dan duduk
termenung di atas batu.
Apa lagi
ketika tempat ini mengingatkan dia kepada Yalima karena baru kemarin dara itu
menangis dan menemuinya di tempat ini, seketika lenyap kegembiraannya untuk
pulang ke Cin-ling-san. Teringatlah dia sekarang mengapa Yalima menolak dan
menangis ketika hendak dibawa pergi ke Lhasa oleh ayahnya, apa kata gadis itu?
Bahwa Yalima tidak bisa meninggalkan tempat ini, tidak bisa meninggalkan dia!
Dan sekarang tiba giliran dia yang harus pergi dan dia merasa alangkah beratnya
meninggalkan pegunungan ini, alangkah beratnya meninggalkan Yalima!
"Houw-ko
(kakak Houw)...!"
Bun Houw
menengok dan tersenyum melihat Yalima berlari-lari naik ke puncak itu. Ketika
tiba di depannya, seluruh wajah yang halus itu kemerahan dan napasnya
terengah-engah karena dia tadi berlari terus pada jalan yang mendaki.
Betapa
segarnya sepasang pipi itu, kemerahan seperti digosok yanci. Betapa beningnya
sepasang mata yang bersinar-sinar itu, bagian putihnya amat bersih dan manik
hitamnya berkilauan. Dan mulut itu. Tersenyum lebar, segar kemerahan dan alangkah
manisnya, dengan bibir basah dan penuh, terhias lesung pipit di sebelah kiri
ujung mulut.
"Koko,
terima kasih...," katanya dan langsung dia berlutut di hadapan Bun Houw
sambil memegang tangan pemuda itu, digenggamnya erat-erat dengan dua tangannya.
"Terima kasih, Houw-ko. Engkau telah menghidupkan kembali Yalima!"
Bun Houw
tersenyum. Rasa kebahagiaan yang aneh dan hangat menyelinap ke dalam hatinya,
benar-benar terasa olehnya. Dia membalas genggaman jari-jari tangan kecil itu
dan berkata, "Aku girang melihat engkau bergembira, Yalima adikku yang
manis."
Sambil
mengguncang-guncang tangan Bun Houw akibat gelora perasaannya, dara itu lalu
bercerita, "Aku mendengarkan semua percakapan antara engkau dan ayah!
Waktu itu aku bersembunyi di balik bilik itu dan tahukah apa yang menjadi
keputusanku pada saat itu? Kalau engkau tidak berhasil, kalau ayah bersikeras
memaksaku, aku akan bunuh diri!"
"Aihh,
moi-moi...!"
"Benar,
koko. Akan tetapi ketika mendengar ayah akhirnya berjanji kepadamu tidak akan
membawaku ke Lhasa, hampir aku berteriak-teriak saking senangku, akan tetapi
aku tidak berani berteriak dan aku hanya menari-nari saja. Ahhh, Houw-ko...
engkau membikin aku bahagia sekali, sampai mati aku tidak akan melupakan
pertolonganmu, koko!"
Terdorong
oleh gelora hatinya yang dipenuhi dengan kelegaan dan kebahagiaan, merasa bahwa
dirinya sudah terlepas dari ancaman yang sangat mengerikan baginya, Yalima lalu
membawa tangan pemuda yang digenggamnya itu ke depan mukanya, dibelainya dengan
hidung, bibir, dan pipinya.
Jantung Bun
Houw berdebar keras, tangannya yang sedang diciumi oleh dara itu menjadi
gemetar dan dia cepat-cepat menarik tangannya, lalu merangkul sehingga Yalima
rebah di atas dadanya dan tidak dapat lagi menciumi tangannya. Yalima seperti
tidak bertulang lagi, begitu lemas dan lunak rebah di atas dadanya, kepalanya
bersandar di atas dada dan kedua lengan Bun Houw tanpa disengaja memeluk
pinggangnya.
Yalima juga
melingkarkan kedua lengannya di atas lengan pemuda itu, memegangi jemari
tangannya seakan-akan tidak ingin kedua lengan pemuda itu terlepas lagi dari
rangkulan pada punggungnya. Duduk seperti itu, bersandar pada dada seraya
dipeluk pinggangnya, mendatangkan rasa aman dan nyaman sehingga dia merasa
bagai terayun-ayun di antara gumpalan awan putih di langit biru, begitu penuh
damai, tenteram bahagia dan bebas dari segala ancaman. Yalima memejamkan mata,
takut kalau-kalau yang dialaminya ini hanya mimpi lagi saja seperti yang
terlalu sering dia mimpikan, dia tidak ingin pengalaman ini, biar dalam mimpi
sekali pun, untuk berakhir, ingin rebah seperti itu selama hidupnya!
Sampai lama
dua orang muda itu duduk seperti itu. Bun Houw di belakang dan Yalima di depan
setengah rebah di dadanya, kedua lengannya melingkari pinggang yang amat kecil
itu dan jari-jari tangan Yalima tergetar-getar dan halus seperti anak-anak ayam
yang baru menetas, hinggap di atas kedua tangannya.
Bun Houw
juga memejamkan matanya, timbul tenggelam di antara perasaan nikmat dan
sungkan, dibuai oleh gelora hatinya sendiri. Getaran-getaran aneh di tubuhnya
membuat Bun Houw merasa cemas juga, dan dia segera mengambil keputusan untuk
memecahkan kesunyian yang nikmat akan tetapi mencemaskan itu dengan kata-kata
yang keluar agak tersendat dan gemetar.
"Moi-Moi,
aku... aku dapat merasakan kedukaanmu ketika hendak pergi, karena... aku pun
merasa demikian... setelah diingatkan suhu bahwa aku pun akan pergi dari
sini...!"
Jerit halus
meluncur keluar dari mulut Yalima dan dengan gerakan cepat laksana seekor ular
dia membalikkan tubuh menghadapi Bun Houw. Begitu cepat gerakannya sehingga kedua
lengan Bun Houw masih melingkari pinggangnya dan kini kedua tangan dara itu
mencengkeram dada baju Bun Houw, mukanya begitu dekat hampir bersentuhan dengan
muka Bun Houw dan kedua matanya memandangi penuh selidik dan penuh kecemasan
seperti mata seekor kelinci yang ketakutan dikejar harimau.
"Apa
katamu tadi, koko? Kau... kau mau pergi...? Pergi meninggalkan tempat ini,
pergi meninggalkan... aku...?" Suaranya tersendat-sendat, dan muka yang
tadi kemerahan dan berseri itu kini menjadi pucat.
Bun Houw
merasa betapa kecemasan hebat terbawa oleh pertanyaan itu, dan demikian
dekatnya muka dara itu sehingga ketika berkata-kata itu hembusan napas dan
hawanya terasa meniup pipinya dengan halus. Dia hanya mengangguk, akan tetapi
anggukan ini datang seperti palu godam menghantam kepala Yalima.
"Houw-ko...
ehh, Houw-ko, aku ikut...! Kalau kau pergi, bawalah aku, Houw-ko... biar aku
akan menjadi pelayanmu, menjadi budakmu, menjadi apa saja... akan tetapi
bawalah aku bersamamu..."
Melihat
sepasang mata lebar dan indah itu terbelalak penuh kecemasan, hidung yang kecil
mancung itu kembang kempis cupingnya seperti mau menangis, mulut yang mungil
dengan bibir yang merah basah itu tergetar dan gigi-gigi kecil putih bagaikan
mutiara itu menggigit bibir bawah yang merah penuh seakan-akan mudah pecah itu
untuk menahan tangis, Bun Houw merasa terharu sekali.
"Hushhh...
moi-moi... hushhh, jangan berkata begitu, Yalima..."
"Bawalah
aku bersamamu, koko, biar aku menjadi anjingmu, kudamu dan ahhh…"
Yalima tidak
dapat melanjutkan kata-katanya lagi. Bagaimana dia mampu mengeluarkan kata-kata
apa bila mulutnya yang setengah ternganga itu tiba-tiba saja ditutup oleh mulut
Bun Houw?
Selama
hidupnya pemuda ini belum pernah mengenal cinta, selama hidupnya baru kali ini
berdekatan dengan seorang dara, dan tentu saja dalam mimpinya pun dia belum
pernah mencium seorang wanita, apa lagi beradu mulut seperti itu. Tadi, pada
waktu mendengar kata-kata Yalima yang rela menjadi anjing atau kudanya, dia
tidak tahan lagi untuk tidak menghentikan kata-kata yang merendahkan diri itu.
Sepasang tangannya masih memeluk pinggang, dan dia setengah mati terpesona oleh
keindahan mulut yang berada demikian dekatnya, mulut yang mengeluarkan ucapan
yang harus dihentikannya itu, maka agaknya hanya naluri saja yang menggerakkan
dia untuk menghentikan kata-kata itu dengan cara menutup mulut Yalima dengan
mulutnya sendiri!
Yalima
merasa seolah-olah tubuhnya kemasukan getaran yang hebat bukan main, yang
membuatnya setengah pingsan dan begitu merasa mulutnya tersumbat, kedua matanya
terbelalak, akan tetapi mata itu segera terpejam karena kenyataan bahwa yang
menutup mulutnya adalah bibir Bun Houw mendatangkan perasaan demikian nikmat
dan hangat sehingga dia hanya mengerang dan tanpa disadarinya bibirnya pun
bergerak mempererat ciuman yang terjadi tiba-tiba tanpa direncanakan lebih dulu
itu!
Entah berapa
lamanya sepasang mulut itu bertemu, dan bagi mereka pada saat seperti itu waktu
laksana lenyap artinya, diri sendiri dilupakan dan yang hidup hanyalah
pengalaman itu, sampai mereka terpaksa melepaskan mulut akibat kehabisan napas,
tersendat-sendat dan terengah-engah.
Bun Houw
melepaskan mulutnya, membuka mata yang tadi terpejam tanpa disadarinya dan kini
dia memandang wajah Yalima dengan penuh keheranan, seolah-olah baru saat itu
dia mengenal wajah dara ini. Yalima membuka sedikit matanya yang menjadi sayu,
bulu matanya gemetar, matanya sukar dibuka seperti mata orang yang mengantuk,
dan bibirnya berbisik tanpa suara, hanya membentuk kata-kata dengan gerakan
bibirnya yang menjadi makin basah dan merah.
"Koko...
Houw-ko..."
Melihat
wajah yang sedemikian dekatnya itu, mata yang setengah terpejam, hidung yang
kembang-kempis, mulut yang setengah terbuka, dada yang terengah-engah dan
jantung yang berdetak keras sehingga terasa karena terhimpit dadanya sendiri,
timbul perasaan aneh di dalam hati Bun Houw. Timbul desakan serta dorongan yang
tidak dimengertinya, tidak dikenalnya, yang membuat dia ingin sekali....
membelai seluruh bagian muka itu, membelai dengan hidungnya, dengan bibirnya,
bahkan ingin dia menjilat mata, hidung dan mulut itu! Seperti tidak sadar, dia
hanya menjadi budak dari dorongan hasrat itu, dan ketika dia membelai mulut
Yalima dengan hidung, bibir dan lidahnya, dara itu mengerang dan naiklah
sedu-sedan dari dadanya.

Begitu
mendengar suara sedu-sedan ini, seketika Bun Houw sadar. Dia berseru keras,
melepaskan pelukannya dan meloncat turun dari atas batu itu. Gerakannya ini
tiba-tiba sekali sehingga hampir saja Yalima terguling dari atas batu kalau
tidak cepat-cepat Bun Houw menyambar tangannya. Mereka kini berdiri saling
berhadapan, agak jauh, muka mereka pucat dan dari kedua mata Yalima mengalir
air mata.
"Yalima...
maafkan... maafkan aku..."
"Houw-ko..."
"Apa...
apa yang kulakukan tadi...? Maafkan aku..."
"Ahh…
Houw-ko..." Yalima yang tidak dapat mengeluarkan kata-kata itu hanya
menyebut namanya dan terisak.
"Moi-moi,
aku... aku pulang dulu ke kuil...!" Tanpa menanti jawaban, pemuda itu
meloncat dan laksana terbang cepatnya dia sudah lari meninggalkan Yalima yang
masih menangis terisak-isak.
Sampai tiga
hari lamanya pengalaman yang dianggapnya merupakan pengalaman yang paling aneh
dan paling hebat selama hidupnya itu terus mencekam perasaan Bun Houw, membuat
dia tidak enak makan tak nyenyak tidur! Dia merasa bingung, merasa bersalah,
malu, akan tetapi juga harus diakuinya bahwa tidak sedetik pun wajah dengan
mata sayu dan mulut setengah terbuka itu dapat terlupa olehnya.
Kemesraan
yang dialaminya itu menggores kuat-kuat di dalam hatinya dan diam-diam dia
mengakui bahwa selama hidup belum pernah dia mengalami saat-saat bahagia
seperti itu. Diam-diam dia merasa berbahagia akan tetapi juga amat khawatir
karena dia merasa seperti memasuki suatu bagian hidup yang aneh dan asing, yang
sama sekali tak dikenal dan tidak dimengertinya.
Pada hari ke
empat baru dia mengambil keputusan untuk pergi mencari Yalima. Tadinya, selama
tiga hari itu, perasaan rindunya tertahan oleh rasa malu yang sangat besar, dan
oleh perasaan khawatir kalau-kalau dara itu akan marah dan membenci kepadanya
atas semua perbuatan yang telah dilakukannya, yang sekarang kalau dikenangnya
merupakan perbuatan yang amat menghina dara itu agaknya. Akan tetapi pagi hari
ke empat ini, dia mengeraskan hatinya, hendak menjumpai Yalima dan minta maaf.
Dia percaya bahwa dara yang amat baik budi itu akan suka memaafkannya.
Ada suatu
hal yang merupakan rahasia baginya, yang tidak mungkin terpecahkan karena dia
tidak akan berani bertanya kepada Yalima. Yaitu, pada waktu mereka beradu bibir
dan mulut mereka saling bertemu, benarkah bibir dara ini juga bergerak-gerak
menyambutnya, mengecupnya, dan terasa olehnya ada dua lengan kecil halus
melingkari lehernya?
Setelah
mengenakan pakaiannya yang terbaik, Bun Houw lalu keluar dari kamarnya, akan
tetapi tiba-tiba suara suhu-nya di ruangan depan memanggilnya. Pada saat dia
memasuki ruangan itu, dia melihat ada empat orang laki-laki yang berusia antara
lima puluh sampai enam puluh tahun lebih, bersikap sederhana namun gagah
sekali, duduk di ruangan itu berhadapan dengan suhu-nya.
"Twa-suheng...
(kakak seperguruan pertama)...! Ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)...!"
Bun Houw segera berlari masuk dan cepat menjura dengan hormat kepada empat
orang tamu itu yang bukan lain adalah empat orang pertama dari Cap-it Ho-han,
murid-murid kepala ketua Cin-ling-pai yang diutus oleh guru mereka untuk
menjemput Bun Houw pulang.
Dua orang
pertama, Kwee Kin Tan dan adiknya, Kwee Kin Ci, amat sayang kepada Bun Houw
yang biar pun terhitung adik seperguruan mereka namun bagi mereka seperti anak
atau keponakan sendiri yang mereka kenal sejak lahir dan sejak kecilnya.
"Aih,
Sute, engkau telah menjadi seorang pemuda perkasa!" Kwee Kin Ta yang
sekarang sudah menjadi seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih itu berseru
gembira sambil memegang lengan pemuda itu.
"Tentu
sekarang kepandaianmu sudah meningkat hebat sekali, Sute!" Kwee Kin Ci
juga memuji, dan demikian pula orang ke tiga serta ke empat dari Cap-it Ho-han
menyatakan kegembiraan hatinya.
"Kami
diutus oleh ayahmu untuk menjemputmu pulang, Sute," kata pula Kwee Kin Ta.
Bun Houw
mengangguk, terhimpit antara perasaan suka dan duka. Akan tetapi sebagai
seorang pemuda gemblengan dia telah dapat membuat air mukanya biasa saja,
bahkan kelihatan girang ketika dia menjawab, "Beri aku waktu dua hari,
twa-suheng. Aku harus pamit dulu kepada seluruh sahabatku di daerah ini."
Empat orang
Cap-it Ho-han itu tidak menaruh keberatan karena di samping mereka tidak
tergesa-gesa, juga mereka merasa senang dengan tempat yang indah itu, dan
perjalanan jauh itu melelahkan sehingga beristirahat barang dua tiga hari
sangat baik bagi mereka.
Para pendeta
Lama segera mempersiapkan sebuah kamar tamu untuk mereka, dan Kok Beng Lama
kemudian meninggalkan muridnya agar dapat bercakap-cakap dengan para suheng-nya
itu. Memang telah beberapa bulan ini Kok Beng Lama jarang meninggalkan kamarnya
di mana dia selalu duduk bersemedhi dengan tenangnya.
Hampir
sehari lamanya Bun Houw bercakap-cakap dengan keempat orang suheng-nya, saling
menuturkan keadaan selama lima tahun ini. Mendengar bahwa ayah bundanya dan
Cin-ling-pai dalam keadaan baik-baik saja, maka senanglah hati Bun Houw dan
penuturan empat orang suheng-nya itu menimbulkan rasa rindu kepada kampung
halamannya.
Sore hari
itu dan keesokan harinya dipergunakan Bun Houw untuk berpamit kepada para
penghuni dusun-dusun di sekitar tempat itu, namun dia masih belum berani
mengunjungi dusun Yalima. Dia merasa bingung dan ngeri jika harus berpamit dari
Yalima, sedangkan urusan kemarin dulu itu pun belum dibereskannya. Dan selama
itu, tidak nampak Yalima datang mencarinya. Agaknya dara itu marah dan benci
kepadanya. Dan kalau dia harus datang hanya untuk berpamit pergi meninggalkan
Yalima, sungguh tugas ini sangat berat dan pertemuan itu tentu tidak
menyenangkan.
Karena itu,
setelah bersangsi sampai lama di puncak, memandang ke arah dusun tempat tinggal
Yalima, akhirnya dia memutuskan untuk mengunjungi dusun itu dan minta diri dari
Yalima dan keluarganya besok pada hari terakhir saja sebelum berangkat. Maka
dia lalu menuruni puncak dan berjalan perlahan-lahan pulang kembali ke kuil.
Kunjungan terakhir di puncak itu benar-benar membuat dia lemas karena
teringatlah semua pengalamannya yang hebat dengan Yalima di puncak itu.
Dalam
perjalanan ke kuil ini, Bun Houw melangkah perlahan-lahan dan pikirannya
bekerja keras. Dia memang ingin pulang, rindu kepada ayah bundanya, dan juga
tidak mungkin dia harus bersembunyi di tempat sunyi ini, karena, seperti kata
gurunya, kepandaiannya akan terpendam dan jerih payahnya semenjak kecil melatih
diri dengan banyak ilmu akan sia-sia belaka kalau tidak dipergunakan untuk
kemanusiaan.
Memang
seluruh perasaannya sudah menariknya untuk segera pulang ke Cin-ling-san. Akan
tetapi setiap kali teringat kepada Yalima, jantungnya menjadi perih rasanya.
Baru beberapa hari ini dia telah melakukan hal yang amat tidak patut kepada
dara itu, dan kini dia akan meninggalkannya. Teringat akan hal ini, lenyaplah
semua kegembiraannya akan pulang ke Cin-ling-san dan dia menjadi bingung.
Sebagian hatinya ingin segera pulang ke Cin-ling-san, akan tetapi sebagian lagi
ingin selalu berdekatan dengan Yalima!
Seperti
biasa, dia memasuki kuil melalui pintu belakang yang berbentuk bulan purnama
dan yang menembus taman bunga di belakang bangunan-bangunan kuil. Pada waktu
dia hendak memasuki pintu bulan itu, terdengar suara berkeresekan.
Pendengarannya amat tajam dan dia cepat menengok, hanya untuk terpaku pada
tempatnya karena dia melihat Yalima berdiri dengan pakaian dan rambut kusut,
wajah pucat dan pandang mata sayu, mata layu karena banyak menangis agaknya.
"Yalima...!"
"Houw-ko...!"
Dara itu terisak. "Aku... aku mendengar... dari orang-orang… bahwa kau...
kau akan... pergi...?"
"Yalima...!"
"Houw-ko...!"
Seperti
ditarik oleh besi sembrani, kedua orang muda itu lari saling menghampiri dengan
kedua pasang tangan mereka terkembang dan di lain saat mereka sudah saling
dekap. Kedua lengan Bun Houw melingkari punggung dan kedua lengan Yalima
melingkari leher. Di antara isak tangis Yalima, seperti tak disengaja, kembali
dua mulut itu bertemu dalam suatu ciuman yang mesra, yang disertai oleh seluruh
gairah perasaan yang menggelora, yang panas dan menjadi pelepasan seluruh
kerinduan hati.
"Yalima...!"
"Koko,
aku ikut... demi para Dewa... aku ikut... jangan kau tinggalkan aku,
Houw-ko...!"
Mereka
mengeluh, merintih dan saling berciuman seolah-olah seluruh kehidupan mereka
bergantung dari pertemuan yang asyik masyuk ini.
Bun Houw
memegang kedua pundak dara itu, kemudian secara halus memaksanya untuk melepaskan
pelukan mereka. Sejenak mereka saling pandang, air mata masih bercucuran
menimpa sepasang pipi yang kini menjadi agak kemerahan itu, dan banyak air mata
itu juga telah membasahi muka Bun Houw ketika mereka berciuman tadi.
"Yalima,
kau... kau memaafkan aku... tentang kemarin dulu...?" Bun Houw berkata
gugup dan seketika sadar betapa bodohnya pertanyaannya itu. Bagaimana dia
mengharapkan maaf tentang ‘kesalahannya’ menciumi gadis itu kalau sekarang
begitu berjumpa mereka sudah saling berciuman lagi?
"Houw-ko,
aku tidak akan memaafkan apa-apa karena kau tidak bersalah apa-apa..."
dara itu mulai bicara lancar, akan tetapi kembali tersendat-sendat bila
teringat betapa pemuda ini akan meninggalkannya. "Akan tetapi... jangan
tinggalkan aku... kau bawalah aku pergi bersamamu, koko..."
"Tenang
dan sabarlah, moi-moi. Mari kita duduk dan bicara dengan baik."
Dia lalu
menuntun tangan gadis itu dan mereka duduk di bawah pohon di luar taman itu,
terhalang oleh pagar tembok. Dengan kedua pasang tangan masih saling
berpegangan, Bun Houw lalu berkata lirih,
"Yalima,
aku terpaksa akan pulang dulu ke Cin-ling-san karena ayahku sudah mengutus
empat orang suheng-ku untuk menjemputku. Dan engkau tentu mengerti bahwa
tidaklah mungkin untuk mengajakmu begitu saja. Selain orang tuaku tentu tidak
akan menyetujui, juga orang tuaku mungkin akan marah-marah kepadaku kalau aku
membawa anak gadis orang begitu saja."
Yalima
mengusap air matanya, menahan isaknya sambil menundukkan muka dengan alis
berkerut dan rambut kusut. Melihat keadaan dara ini, timbul keinginan luar
biasa kuatnya di hati Bun Houw untuk meraihnya, memeluk tubuh itu dan mendekap
kepala itu, untuk menghibur dan membujuknya agar jangan berduka. Hatinya ingin
meraih gadis itu dengan penuh rasa haru dan iba.
"Nasibku
memang..." terdengar suaranya lirih. "Aku tidak jadi dibawa ke Lhasa,
engkau yang pergi meninggalkan aku. Apa bedanya...?"
"Yalima..."
“Kini aku
sadar betul bahwa ketidak relaanku dibawa ayah ke Lhasa semata-mata karena ada
engkau di sini, Houw-ko. Kalau engkau pergi, aku... aku... tidak peduli apa-apa
lagi..."
"Yalima,
jangan berkata demikian! Aku tidak akan melupakan engkau begitu saja! Aku...
aku suka dan kasihan padamu... aku tidak suka melihat engkau menderita atau
berduka hanya... sementara ini, tidak mungkin aku mengajakmu ke Cin-ling-san.
Betapa pun, aku berjanji akan bicara dengan ayah bundaku tentang dirimu. Jangan
engkau membikin berat perjalananku yang jauh ke Cin-ling-san dengan kedukaanmu,
moi-moi."
Kepala
Yalima makin menunduk, sejenak seperti orang berpikir, kemudian menghapus air
matanya dan dia bangkit berdiri, senyum paksaan membayang di wajahnya.
"Baik,
koko! Baiklah, pulanglah engkau, dan aku menghaturkan selamat jalan. Memang aku
bodoh, mengapa minta yang bukan-bukan dan yang tidak mungkin? Apa pun yang akan
terjadi dengan diriku, aku sudah merasa bahagia karena... karena... engkau...
ehh, suka dan kasihan kepadaku. Selamat jalan, koko...!" Dia lalu
membalikkan tubuhnya dan lari, menahan isaknya.
"Moi-moi...!"
Sekali meloncat, Bun Houw sudah berada di depan gadis itu, menghalang jalan.
Mereka berdiri berhadapan.
"Houw-ko...!"
Yalima tidak dapat menahan jeritnya dan dia lalu menubruk, merangkul dan
kembali dua orang muda itu saling rangkul dan saling dekap dengan ketat seolah-olah
hendak melebur tubuh masing-masing menjadi satu agar jangan sampai terpisah
lagi.
Terdengar
suara orang terbatuk-batuk dari balik pintu bulan. Bun Houw cepat melepaskan
pelukan dan ciumannya. Dua butir air mata berlinang di pelupuk matanya dan baru
sekali ini dia begitu terharu sampai melinangkan air mata! Cepat dia menengok
dan mukanya berubah menjadi merah sampai ke lehernya ketika dia melihat bahwa
yang batuk-batuk itu adalah Kwee Kin Ta, twa-suheng-nya!
"Twa-suheng...
ini... dia ini... ehh…, Yalima sahabatku..."
"Sute,
kita harus berangkat sekarang juga, harap engkau bersiap-siap," suara
suheng-nya agak kering karena betapa pun juga, hati murid pertama dari
Cin-ling-pai ini terkejut dan tidak suka menyaksikan perbuatan sute-nya yang
berdekapan dan berciuman di tempat terbuka seperti itu dengan seorang dara
Tibet.
"Maaf...
maafkan saya...," Yalima berkata sambil menjura kepada Kwee Kin Ta dengan
suara gemetar, kemudian sekali lagi dia memandang dengan sinar mata mengandung
seribu satu macam perasaan ke arah wajah Bun Houw, kemudian membalikkan
tubuhnya dan pergi dari situ.
"Maaf,
Suheng...," Bun Houw berkata sambil menundukkan mukanya. "Dia... dia
sahabat baik... ehh, seperti adik sendiri, dan... dia... amat berduka oleh
perpisahan ini..."
"Tidak
apa, Sute, aku mengerti perasaan hati orang muda, asal engkau hati-hati dan
tidak mudah tunduk terhadap perasaan muda yang menggelora dan amat berbahaya
dan tidak sembarangan memilih! Hatiku terasa tidak enak, maka aku sudah
memutuskan bersama para suheng-mu yang juga merasa tidak enak, untuk berangkat
sekarang juga. Malam ini terang bulan dan perjalanan di pegunungan di malam
terang bulan tentu indah sekali."
"Baik,
Suheng."
Setelah
berkemas, Bun Houw serta empat orang suheng-nya berpamit kepada Kok Beng Lama
yang masih tetap duduk bersemedhi di dalam kamarnya. Kakek ini sama sekali tak
membuka matanya ketika lima orang itu berlutut dan minta diri, akan tetapi
ketika mereka berlima meninggalkan kamar itu, Bun Houw dapat mendengar suara
gurunya berbisik di telinganya,
"Selamat
berpisah, muridku, dan lupakan saja Yalima!"
Bun Houw
tidak terkejut karena maklum bahwa suhu-nya telah mempergunakan ilmunya yang
disebut Coan-im Jip-bit (Ilmu Mengirim Suara Dari Jauh) yang dia pun sudah
dapat melakukannya, yaitu mempergunakan khikang yang kuat menujukan suara hanya
untuk telinga orang yang ditujunya.
Akan tetapi
dia merasa sangat terkejut mendengar pesan supaya dia melupakan Yalima!
Mungkinkah ini? Dia tidak percaya bahwa dia akan mampu melupakan dara itu. Dia
lupa akan janji ayah Yalima kepadanya, yaitu bahwa selama Bun Houw berada di
tempat itu, kepala dusun itu tidak akan membawa Yalima ke Lhasa. Tentu saja
sekarang setelah Bun Houw pergi dan tidak berada di tempat itu, lain lagi
persoalannya.
**************
Laki-laki
yang berdiri termenung di tepi Telaga Kwi-ouw itu adalah seorang yang bertubuh
sedang namun tegap dan membayangkan kekuatan dahsyat. Pakaiannya sederhana saja
namun pakaian dalamnya ringkas tertutup jubah lebar dan lengan panjang yang
digulung di bagian pergelangannya. Di balik jubah lebar itu dia membawa
sebatang pedang yang tergantung di pinggang, agak ke atas sehingga ujungnya
tidak sampai tersembul keluar dari jubah lebar itu.
Kepalanya
tertutup rambut yang hitam tebal, dikumpulkan ke belakang menjadi sehelai
kuncir yang besar dan tebal, dan pada saat itu kuncirnya melibat pundak dan
lehernya. Seorang laki-laki yang bersikap gagah, berwajah tampan dengan
sepasang mata yang amat tajam, berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun.
Agaknya dia
telah cukup lama termenung di tepi telaga, dan memang demikianlah. Telaga
Kwi-ouw ini mendatangkan kenang-kenangan hebat dalam ingatannya,
kenang-kenangan manis dan pahit menjadi satu.
Pria ini
adalah Pendekar Sakti Yap Kun Liong yang kini tinggal di Leng-kok, yaitu tempat
tinggal mendiang ayah bundanya, dengan isteri tercintanya yang bernama Pek Hong
Ing, puteri dari Kok Beng Lama dan Yap Mei Lan, seorang anak mereka, anak
tunggal yang sebetulnya hanyalah anak tiri dari Pek Hong Ing.
Seperti
telah diceritakan dalam cerita Petualang Asmara, Pendekar Sakti Yap Kun Liong
pernah melakukan hubungan badan, bermain cinta dengan seorang wanita bernama
Lim Hwi Sian yang sekarang sudah meninggal dunia. Hubungan yang terjadi karena
cinta sefihak dari Lim Hwi Sian ini menghasilkan seorang anak perempuan, dan
sebelum Lim Hwi Sian serta suaminya yang syah meninggal dunia, wanita yang
mencintai Yap Kun Liong ini menyerahkan anak mereka kepada pendekar ini.
Pek Hong Ing
adalah seorang wanita yang bijaksana dan mencinta suaminya dengan hati murni,
maka pengakuan Kun Liong tentang anak ini diterimanya dengan penuh pengertian
dan kesabaran sehingga anak itu kemudian mereka pelihara dan tidak ada orang
lain kecuali Kun Liong serta beberapa orang tokoh yang dekat hubungannya dengan
mereka mengerti bahwa Yap Mei Lan, demikian nama anak perempuan itu, adalah
anak tiri Pek Hong Ing. Anak itu sendiri tidak tahu dan menganggap bahwa Pek
Hong Ing adalah ibu kandungnya.
Karena
teringat akan mendiang ayah bundanya, Kun Liong mengajak isteri dan anaknya
tinggal di Leng-kok di mana dulu orang tuanya tinggal dan mengalami mala petaka
dalam hidup mereka. Di kota ini dia melanjutkan usaha orang tuanya, yaitu
membuka toko obat, karena dia juga mewarisi kitab tentang pengobatan dari
ibunya.
Karena Kun
Liong dan isterinya tidak pernah menonjolkan diri, maka tidak ada seorang pun
mengira bahwa suami dan isteri itu adalah pasangan pendekar yang berilmu
tinggi, terutama sekali Kun Liong yang mempunyai kepandaian amat tinggi dan
sukar dicarikan bandingnya. Kun Liong juga tidak mengambil murid, hanya melatih
anaknya sendiri, Mei Lan yang pada waktu itu sudah berusia empat belas tahun,
seorang dara remaja yang lincah jenaka, memiliki mulut yang sangat indah
seperti mulut ibu kandungnya, Lim Hwi Sian, yang pernah membuat Kun Liong
tergila-gila hanya karena keindahan mulutnya.
Beberapa
pekan yang lalu, tanpa tersangka-sangka Kun Liong kedatangan seorang yang cepat
disambutnya dengan penuh kehormatan sebab orang itu bukan lain adalah seorang
di antara guru-gurunya dan merupakan orang yang paling dihormatinya, yaitu Cia
Keng Hong, kakek yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama isterinya.
Kun Liong
beserta isterinya menyambut tergopoh-gopoh dengan penuh kehormatan dan
kegembiraan, dan mereka berempat mengobrol sampai jauh malam sebelum suami
isteri dari Cin-ling-pai itu dipersilakan mengaso dalam kamar tamu. Yap Mei Lan
yang terheran melihat ayah bundanya begitu menghormat tamu-tamu itu, mendengar
penuturan ayah bundanya tentang Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang menjadi ketua
Cin-ling-pai, dan dara remaja ini pun menjadi kagum sekali.
Kegembiraan
Kun Liong bertambah besar ketika pada esok harinya mendengar bahwa kedatangan
dua orang terhormat itu adalah untuk membicarakan mengenai perjodohan putera
ketua Cin-ling-pai itu dengan Yap In Hong, adiknya!
"Putera
kami tinggal seorang, demikian pula keturunan orang tuamu tinggal adikmu itu,
Kun Liong. Maka besar harapan kami agar pertalian antara kami dan orang tuamu
dapat disambung dengan perjodoban ini. Karena orang tuamu sudah tidak ada, maka
tentu saja engkau menjadi wali dari adikmu itu," demikian antara lain Keng
Hong ketua Cin-ling-pai itu berkata.
Mendengar
ini, Kun Liong mengangguk-angguk dan terbayanglah semua peristiwa yang lalu.
Pernah dia hendak dijodohkan dengan Cia Giok Keng, puteri dari pendekar sakti
ini, namun karena tidak saling mencinta, akhirnya perjodohan itu gagal. Giok
Keng menikah dengan Lie Kong Tek murid Hong Khi Hoatsu, sedangkan dia menikah
dengan Pek Hong Ing puteri Kok Beng Lama.
Agaknya hati
ketua Cin-ling-pai ini masih penasaran dan kini ingin menyambung pertalian
keluarga itu antara putera mereka dan adiknya. Akan tetapi, betapa pun juga
usul yang amat menggembirakan hatinya ini dibarengi dengan kekhawatiran yang
amat besar pula. Sejak kecil adiknya itu, Yap In Hong, dipelihara sebagai murid
terkasih oleh Yo Bi Kiok yang karena cinta terhadap dirinya tidak terbalas
berbalik menjadi benci kepadanya dan memusuhinya!
"Teecu
(murid) akan berusaha untuk mencari dan memberi tahu kepada adik In Hong
tentang usul perjodohan yang amat baik ini." Hanya demikian
kesanggupannya, karena meski pun dia sudah mendengar bahwa Yo Bi Kiok telah
menjadi ketua Giok-hong-pang dan kini bermarkas di Kwi-ouw, akan tetapi masih
ragu-ragu apakah perintahnya kepada adik kandungnya untuk menerima perjodohan
dengan putera ketua Cin-ling-pai ini dapat ditaati oleh adiknya. Terutama
sekali karena di sana terdapat Yo Bi Kiok yang mengambil sikap sebagai
musuhnya.
Demikianlah,
setelah ketua Cin-ling-pai yang tinggal selama sepekan di kota Leng-kok itu
pulang bersama isterinya kembali ke Cin-ling-san, Yap Kun Liong lalu pergi
untuk mencari adik kandungnya.
Melihat
latar belakang hubungan antara Yo Bi Kiok dan suaminya, maka Pek Hong Ing
mengerti bahwa kalau dia ikut pergi, hal itu hanya akan menambah kacau keadaan
saja. Dia percaya bahwa suaminya tentu akan dapat mengatasi Yo Bi Kiok dan akan
dapat membujuk In Hong, maka dia hanya berpesan agar suaminya berhati-hati,
sedangkan dia menjaga rumah dan toko bersama dengan Mei Lan, puterinya.
Terhadap Mei Lan, wanita cantik ini amat mencinta anak tirinya itu, karena dia
sendiri tidak memperoleh keturunan selama pernikahannya yang sudah belasan tahun
dengan suami terkasih itu.
Sungguh pun
selama ini dia tidak pernah mencari In Hong, namun Kun Liong tidak pernah dapat
melupakan adiknya itu. Ketika dia melakukan penyelidikan dan mendengar tentang
perkumpulan wanita yang bernama Giok-hong-pang di lereng Bukit Liong-san, dia
dapat menduga bahwa tentu perkumpulan itu dipimpin oleh Bi Kiok, karena dia
tahu bahwa Bi Kiok berjuluk Giok-hong-cu.
Berkat
kepandaiannya yang tinggi, dia dapat menyelidik tanpa diketahui dan giranglah
dia ketika mendapat kenyataan bahwa memang tepat dugaannya. Perkumpulan itu
dipimpin oleh Yo Bi Kiok dan adiknya menjadi seorang dara cantik dan gagah,
murid terkasih dari ketua Giok-hong-pang. Hal ini lalu dia sampaikan kepada
isterinya yang memberi nasehat bahwa tidak baik kalau suaminya itu dengan paksa
hendak memisahkan adik kandung itu dari Bi Kiok.
“Ingat,
suamiku. Biar pun Bi Kiok bukan ibu atau kakak sendiri dari adikmu itu akan
tetapi jelas bahwa Bi Kiok amat sayang pada adikmu. Setelah bertahun-tahun
adikmu dididiknya dan dipeliharanya, tentu saja adikmu juga lebih dekat dengan
dia dari pada denganmu, biar engkau kakak kandungnya sendiri. Ingat anak kita.
Bukankah aku juga amat sayang kepadanya dan dia amat sayang kepadaku?"
Karena
nasehat-nasehat isterinya yang tercinta, Kun Liong mendiamkan saja dan tidak
pernah dia mendatangi adiknya. Bahkan ketika dia mendengar betapa
Giok-hong-pang sekarang sudah memindahkan pusatnya di Kwi-ouw, dia juga tidak
memiliki pikiran untuk mengganggu ketenteraman hidup In Hong bersama gurunya
itu. Dia mengerti bahwa pertemuan antara dia dan Bi Kiok hanya akan menimbulkan
keributan belaka dan hal ini sama sekali tidak ada kebaikannya bagi dia sendiri
mau pun bagi In Hong.
Akan tetapi,
munculnya Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya yang membicarakan soal
perjodohan antara putera ketua Cin-ling-pai itu dengan adik kandungnya
menggugah semangatnya. Bagaimana pun juga, adik kandungnya adalah puteri dari
ayah bundanya, sepasang pendekar ternama!
Tidak
mungkin dia membiarkan saja adiknya itu terseret ke dalam dunia kaum sesat dan
berjodoh dengan seorang tokoh hitam! Tidak, ini merupakan tugas dan
kewajibannya yang terakhir untuk berbakti kepada mendiang orang tuanya, yaitu
mengatur supaya In Hong berjodoh dengan putera ketua Cin-ling-pai,
sahabat-sahabat baik sekali dari orang tuanya dahulu.
Pagi hari
itu Kun Liong sudah sampai di tepi Telaga Kwi-ouw dan termenung mengingat semua
peristiwa yang terjadi dan yang dialaminya pada saat dia masih menjadi seorang
pemuda dahulu, belasan tahun yang lalu di telaga ini. Teringat dia akan
perebutan bokor emas yang merupakan pusaka milik Panglima The Hoo yang
diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw baik dari kalangan putih mau pun hitam
sehingga akhirnya bokor emas itu tanpa ada yang mengetahuinya terjatuh ke
tangan Yo Bi Kiok.
Dahulu dia
pernah menyerbu pulau di tengah Telaga Kwi-ouw itu, maka kini dia pun tidak
ragu-ragu lagi karena sudah tahu bagaimana cara mendatangi pulau di tengah
telaga itu tanpa terjebak perangkap yang banyak dipasang orang di sekitar
daerah Telaga Setan ini.
Pada saat
itu, telah lebih dari tiga bulan Giok-hong-pang merampas Telaga Kwi-ouw dan
menjadikan pulau di tengah telaga itu sebagai markas besarnya. Yo Bi Kiok
tinggal di telaga itu, di dalam gedung mewah di tengah pulau bersama muridnya
Yap In Hong yang telah memperlihatkan kelihaiannya pada waktu bersama gurunya
menyerbu pulau itu dan menaklukkan orang-orang Kwi-eng-pang.
Seperti
telah diceritakan pada bagian depan, para anggota Giok-hong-pang yang menjadi
wanita-wanita kejam pembenci pria akibat hati mereka disakiti oleh kaum pria,
kini setelah mempunyai hamba-hamba taklukan dari para anggota Kwi-eng-pang, mulai
tergoda oleh nafsu birahi mereka sendiri sebagai manusia-manusia biasa yang
perlu menyalurkan nafsu birahinya itu sehingga mulailah mereka mempergunakan
pria-pria taklukan itu untuk menjadi pelayan mereka dalam bermain cinta yang
hanya didasari atas nafsu birahi saja.
Yo Bi Kiok
sendiri tidak pernah melakukan hal ini, akan tetapi tidak melarang terjadinya
hal itu karena dia maklum akan keadaan para anak buahnya dan sangatlah
berbahaya kalau hal itu dilarangnya. Akan tetapi In Hong menjadi muak dan jijik
melihat betapa para anggota itu kini menjadi pemerkosa-pemerkosa, menjadi
budak-budak nafsu birahi yang melampiaskannya dengan cara memaksa para pria
tawanan itu. Dia mulai muak dan tidak tahan terhadap segala kekasaran serta
kekejaman para anggota Giok-hong-pang, merasa tidak puas melihat sikap dingin
seperti mayat hidup dari gurunya dan mulailah dia merasa tidak kerasan tinggal
di sana bersama gurunya dan para anggota Giok-hong-pang yang merupakan
wanita-wanita kejam.
Yo Bi Kiok
tidak melarang saat In Hong menyatakan keinginannya untuk merantau. "Aku
tidak keberatan, muridku. Akan tetapi hati-hatilah engkau melakukan perjalanan
seorang diri. Dunia ini amat kejam, terutama bagi wanita. Memang engkau perlu
untuk meluaskan pengetahuanmu dan melihat dunia ramai, berhubungan dengan
masyarakat. Akan tetapi, engkau sudah memiliki bekal ilmu kepandaian yang
kurasa akan cukup untuk melindungi keselamatanmu. Dengan ilmu-ilmu yang selama
ini kuajarkan kepadamu, tidak akan ada orang yang dapat mudah mengalahkanmu. Akan
tetapi engkau tetap harus waspada dan hati-hati, terutama sekali menghadapi
pria! Bukan kekasarannya yang perlu ditakuti, akan tetapi justru bujukan mulut
manisnya! Lihat betapa banyaknya kaum wanita yang rusak hidupnya oleh bujukan
manis mulut pria."
"Teecu
mengerti, Subo," jawab In Hong karena peringatan akan berbahayanya bujukan
mulut manis pria ini sudah didengarnya ratusan kali sejak dia kecil, tidak
hanya dari mulut gurunya melainkan juga dari mulut para anggota Giok-hong-pang
hingga di dalam hatinya tumbuh pula perasaan tidak senang dan tidak percaya
terhadap kaum pria.
"Dan
setahun sekali engkau harus kembali ke sini agar aku dapat melihat keadaanmu.
Kalau engkau tidak pulang, aku akan mencarimu dan menegurmu, In Hong."
"Teecu
tidak akan melupakan pesan Subo."
"Kalau
begitu bersiaplah, sepekan lagi engkau boleh pergi meninggalkan tempat ini
untuk mulai dengan perantauanmu."
Hari itu,
ketika Kun Liong tiba di tepi Telaga Kwi-ouw, In Hong masih belum berangkat,
waktunya untuk pergi masih dua hari lagi. Akan tetapi dia sudah bersiap-siap
dan hatinya sudah diliputi ketegangan dan kegembiraan karena dia akan segera
meninggalkan tempat yang membosankan itu dan akan hidup bebas bagaikan seekor
burung yang terlepas di angkasa, sendirian saja menghadapi segala tantangan,
bertanggung jawab sendiri tanpa menurut siapa pun juga. Betapa akan senangnya
hidup seperti itu!
Akan tetapi
pada hari itu menjelang tengah hari ketika Bi Kiok sedang duduk di beranda
depan yang teduh, dan In Hong duduk tidak jauh dari gurunya, keduanya membaca
kitab tentang sejarah kuno karena sejak kecil In Hong juga dilatih
kesusasteraan oleh Bi Kiok, tiba-tiba terdengar suara orang bagaikan suara
setan saja karena tidak diketahui kapan orang itu tiba di dekat mereka.
"Tidak
salah lagi, engkau tentulah Yo Bi Kiok dan dia... dia itu tentu In Hong."
Bagai
disambar halilintar Bi Kiok melempar kitabnya dan meloncat bangun, menghadapi
Kun Liong yang sudah muncul di sana, berdiri di hadapannya sambil tersenyum,
dengan senyum dan pandang matanya yang masih seperti dulu, begitu jenaka dan
nakal!
"Kau...?
Bagaimana kau..." Bi Kiok berseru dengan kaget dan heran sekali bukan
hanya karena dia bertemu kembali dengan Kun Liong secara begitu mendadak, juga
bagaimana orang ini dapat muncul di situ tanpa diketahui penjaga, padahal
tempat itu dijaga sangat ketat dan penuh dengan tempat-tempat rahasia penuh
perangkap.
"Hemm,
agaknya engkau lupa bahwa dahulu aku sudah pernah menyerbu ke tempat ini ketika
tempat ini masih dikuasai oleh Kwi-eng Niocu. Apakah engkau sudah lupa lagi, Bi
Kiok?"
Bi Kiok
memandang dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Suara itu, pandang mata
itu, masih seperti dulu, penuh sikap bergurau!
"Aku
sangat berterima kasih padamu, Bi Kiok. Ternyata engkau merawat adikku
baik-baik sehingga dia telah menjadi seorang dara yang cantik jelita dan gagah.
In Hong, engkau tentu tidak lupa kepada kakak kandungmu, bukan?"
Akan tetapi
In Hong hanya memandang dengan wajah pucat. Dia tahu siapa laki-laki gagah dan
gembira ini. Biar pun baru satu kali dia bertemu dengan kakak kandungnya, akan
tetapi wajah kakaknya tidak pernah dapat dia lupakan. Akan tetapi dia tahu
harus bersikap bagaimana karena dia tahu betapa bencinya wanita yang menjadi
gurunya itu terhadap kakak kandungnya, maka dia hanya berdiri mematung dan
memandang dengan wajah pucat.
Akan tetapi
Bi Kiok sudah dapat menenangkan kembali hatinya yang tadi terguncang dan panik
tidak karuan karena pertemuan yang begitu tiba-tiba dengan satu-satunya pria
yang pernah dicintanya itu. Kini wajahnya sudah kembali menjadi dingin, dan
suaranya dingin menyeramkan ketika dia berkata,
"Bagus
sekali, Yap Kun Liong! Aku belum sempat mencarimu untuk mencabut nyawamu,
sekarang engkau sendiri telah datang mengantar nyawa!"
Kun Liong
merasa betapa suara itu amat dingin mengandung kebencian mendalam. Dia pun
menarik napas panjang dan berkata, "Aih, Yo Bi Kiok, urusan belasan tahun
yang lalu antara kita hanyalah urusan orang-orang muda yang hidupnya masih
belum matang. Kini kita sudah sama-sama hampir tua, apakah engkau masih saja
menyimpan urusan itu di hatimu?"
"Semenjak
dulu engkau memang pandai sekali membujuk. Aku tidak perlu banyak bicara lagi
denganmu karena aku yakin bahwa kedatanganmu ini tentu berniat buruk. Nah, kau
bersiaplah untuk mampus!"
"Bi
Kiok, nanti dulu! Lupakah engkau akan persahabatan antara kita yang amat akrab
di waktu muda dahulu? Aku datang bukan dengan maksud buruk. Aku hanya datang
untuk menengok adik kandungku yang hanya satu-satunya ini dan untuk bicara
dengan dia. Aku tidak akan mengganggu ketenangan di sini dan..."
Akan tetapi
Bi Kiok sudah bertepuk tangan, maka muncullah belasan orang murid atau
pengawalnya. "Kalian bodoh dan lengah! Lihat, ada orang jahat masuk ke
sini dan kalian sama sekali tidak tahu. Hayo serbu dan bunuh dia!"
Kun Liong
tidak dapat banyak protes lagi karena dia telah dikurung dan diserbu oleh lima
belas orang wanita dengan pedang di tangan. Karena mereka menerima perintah
ketua atau guru mereka, tentu saja lima belas orang wanita yang kesemuanya
pembenci pria itu segera menyerang kalang kabut dengan pedang mereka.
Sungguh pun
kelihatannya kalang kabut penuh dengan semangat dan nafsu membunuh, namun
gerakan mereka itu teratur karena lima belas orang ini semua adalah
anggota-anggota Ngo-heng-tin, yaitu barisan pedang yang diciptakan oleh Bi Kiok
dan terdiri dari masing-masing lima orang yang dapat bekerja sama dengan lihai
sekali. Karena mereka berjumlah lima belas, otomatis di situ terdapat tiga
kelompok barisan pedang Ngo-heng-tin dan lima belas batang pedang itu
berkelebatan dan menyerang dengan bertubi-tubi dan sambung-menyambung dengan
kecepatan yang makin lama makin hebat sehingga tubuh Kun Liong lenyap
terbungkus gulungan sinar pedang-pedang itu.
Sambil
mengelak ke kanan kiri, Kun Liong masih berusaha mengingatkan Bi Kiok dengan
suara nyaring, "Yo-pangcu (ketua Yo), aku datang sebagai tamu yang tidak
ingin mencari permusuhan, pantaskah kalau disambut seperti ini?" Dia
sengaja menyebut Yo-pangcu untuk menghormati Bi Kiok di depan para anak
buahnya.
Namun Bi
Kiok hanya berdiri dengan wajah dingin, menyaksikan gerakan anak buahnya,
sedangkan In Hong berdiri meremas-remas tangannya sendiri, tak tahu harus
berbuat apa melihat kakak kandungnya dikeroyok belasan orang dengan barisan
Ngo-heng-tin yang dia tahu amat lihai itu.
Melihat
betapa seruannya tidak dipedulikan dan lima belas orang wanita itu menyerang
makin hebat dengan tusukan dan bacokan maut yang benar-benar menghendaki
jiwanya, Kun Liong terpaksa menunjukkan kelihaiannya. Dia mengeluarkan pekik
melengking yang amat keras.
In Hong terkejut
bukan main dan cepat dia mengerahkan sinkang-nya untuk bertahan karena
mendengar suara ini, jantungnya berdebar telinganya terngiang-ngiang dan kedua
kakinya menggigil. Setelah dia mengerahkan sinkang baru dia dapat bertahan,
akan tetapi dia melihat dengan penuh kekagetan betapa lima belas orang wanita
yang mengeroyok kakak kandungnya itu semua robon bergulingan dan seperti lumpuh
kaki tangannya!
Kun Liong
berdiri dengan sikap tenang dan baru menghentikan lengking suaranya setelah
melihat semua pengeroyoknya terguling. Suasana menjadi sunyi sekali setelah
pendekar itu menghentikan suaranya, sunyi yang amat tidak enak dan terasa
mencekam sesudah suara mukjijat tadi dihentikan.
Mengertilah
In Hong sekarang bahwa kakaknya tadi menggunakan Ilmu Sai-cu Ho-kang, semacam
bentakan yang mengandung khikang seperti gerengan seekor singa yang dapat
melumpuhkan calon korban dan mangsanya. Di dalam hutan, singa-singa dan
harimau-harimau cukup menggereng saja untuk membuat korbannya lumpuh dan tak
mampu lari, dan sekarang Kun Liong telah memgunakan ilmu itu untuk merobohkan
lima belas orang pengeroyoknya. Bukan main kagumnya hati In Hong!.....
Terima kasih telah membaca Seral ini.
No comments:
Post a Comment