Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 05
PADA waktu
para wanita itu merangkak bangun kembali dan mengumpulkan pedang, siap hendak
mengeroyok lagi, dengan muka merah Bi Kiok cepat membentak, "Pergilah
kalian manusia-manusia tak berguna!"
Setelah para
anak buahnya itu menyingkir dengan muka pucat dan tunduk, Bi Kiok lantas
menggerakkan tangannya.
"Singgggg...!"
Tampak sinar
berkilauan dan tangan kanan ketua Giok-hong-pang ini sudah memegang sebatang
pedang yang menggetar-getar dan mengeluarkan dengung menggema.
Kun Liong
terkejut. "Bi Kiok, nanti dulu! Sungguh mati jauh-jauh aku datang ke sini
bukan untuk memusuhimu. Maafkan aku kalau tadi terpaksa merobohkan anak buahmu,
habis... hemmm, aku ngeri sih dikeroyok demikian banyaknya wanita cantik!"
In Hong
mengerutkan alisnya. Kakak kandungnya ini memang pandai sikapnya, lincah,
jenaka dan lucu.
"Kun
Liong, bersiaplah untuk mengadu nyawa. Aku tahu engkau lihai, akan tetapi
jangan mengira bahwa aku takut menghadapimu!"
"Aihh...
aihhh... Bi Kiok, mengapa engkau berkeras hendak membunuhku? Ingat, dahulu
engkau sudah menolong nyawaku, masa sekarang engkau tega hendak mencabutnya?
Lupakah engkau dahulu? Engkau baru berusia delapan tahun, aku seorang bocah
gundul sepuluh tahun. Engkau dan kakek Yo Lokui menyelamatkan aku dari air
sungai dan aku berhutang nyawa kepadamu. Kemudian engkau lagi-lagi
menyelamatkan aku dari kejaran para datuk hitam. Dan aku menyelamatkan engkau
dari Toat-beng Hoatsu. Ehh, Bi Kiok, ingatkah engkau ketika kita bersembunyi di
dalam goa itu? Aihh, dan sekarang engkau tega hendak membunuhku?"
Gemetar
tangan wanita yang memegang pedang itu. Dia pejamkan matanya, terbayang semua
pengalamannya bersama pemuda ini, terbayang betapa saat mereka bersembunyi di
goa terancam bahaya maut, pemuda itu telah mencium matanya yang selalu dipuji-puji
keindahannya oleh Kun Liong!
Hatinya
terasa tertusuk, kebekuan dan kekerasannya bobol dan dia mengejap-ngejapkan
mata, menahan air mata namun tetap saja dua butir air mata menitik turun ketika
dia membuka matanya yang indah. Sekarang mata itu memandang kepada Kun Liong
penuh permohonan.
"Yap
Kun Liong, tentu saja aku masih ingat sekali dan justru karena itulah aku
menderita kesengsaraan hidup yang tetap kupertahankan sampai detik ini. Kun
Liong, katakanlah bahwa engkau akan suka menemani aku hidup di sini... setahun
saja... dan aku akan menurut segala perintahmu, akan kembali ke jalan benar dan
aku akan mengusahakan agar adikmu kembali kepadamu..."
"Bi
Kiok, aku sudah menikah..."
"Kun
Liong, setahun saja, kuminta padamu..."
"Betapa
mungkin itu..."
"Setengah
tahun saja, supaya... terobati penyakit batinku... kemudian, mati pun aku akan
rela... Kun Liong, aku mohon kepadamu, setengah tahun saja..."
In Hong yang
melihat dan mendengar itu semua, tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia
menggigit bibirnya dan matanya terasa panas. Betapa besar rasa cinta di hati
gurunya terhadap kakaknya! Alangkah akan bahagianya hati gurunya apa bila dapat
menjadi isteri kakak kandungnya. Dan dia sendiri pun akan merasa bahagia!
Terimalah
dia, koko! Terimalah dia! Demikian bisik hatinya.
Akan tetapi
Kun Liong berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Yo Bi Kiok, tidak nanti
kau mau menggunakan kesempatan berbuat seperti itu, dan aku tahu bahwa engkau
pun adalah seorang wanita yang mulia dan terhormat. Engkau hanya terseret oleh
keadaan sekelilingmu setelah engkau menjadi murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci.
Kini kita tinggal menjadi sahabat dan meski pun engkau sekarang tidak begitu
muda lagi, kiranya engkau akan dapat memilih seorang pria yang bebas, yang
tepat menjadi jodohmu. Insyaflah, Bi Kiok, kita berdua tidak berjodoh dalam
penghidupan ini, entah di lain kehidupan kelak."
"Kau...
kau... tetap menolak?"
Kun Liong
menarik napas panjang. "Tidak ada jalan lain, Bi Kiok. Kau kasihanilah aku
dan dirimu sendiri, kita bukan jodoh..."
"Cukup!
Manusia keji, laki-laki kejam! Setelah engkau mencuri hatiku, menjatuhkan
hatiku, kemudian engkau mengingkari! Setelah engkau dulu bermanis-manis
kepadaku, bahkan... menciumku di dalam goa, sekarang mengatakan tidak jodoh!
Engkau manusia rendah, Kun Liong! Aku masih menanti-nanti, bahkan hingga tadi
aku masih memohon kepadamu, bukan selamanya melainkan setahun saja, setengah
tahun saja, aku telah merendahkan diriku, mengemis cinta sedikit saja, namun
engkau tetap menolak. Kini, engkau atau aku yang harus mampus!" Bi Kiok
berkata-kata setengah menjerit dan pedangnya langsung meluncur karena dia sudah
mulai menyerang.
"Bi
Kiok...!" Kun Liong memprotes akan tetapi percuma saja, pedang itu telah
menyerang lehernya dengan kecepatan yang amat mengejutkan sekali sehingga biar
pun dia sudah mengelak cepat, tetap saja bajunya di pundak terobek ujung
pedang!
"Ah,
engkau terlalu memaksaku, Bi Kiok." Kun Liong berkata, meloncat tinggi ke
belakang. Bi Kiok mengejar dengan geseran-geseran kaki cepat sekali, lalu
pedangnya menusuk ke arah dada Kun Liong yang masih meloncat itu.
“Cringgg...!"
Bunga api berpijar ketika pedang Bi Kiok yang menusuk itu ditangkis oleh pedang
di tangan Kun Liong yang mencabutnya ketika meloncat tadi.
Kini kedua
orang yang memiliki kepandaian hebat itu mulai bertanding. Mula-mula Kun Liong
hanya menggunakan pedangnya untuk membela diri saja, akan tetapi dengan kaget
dia mendapat kenyataan bahwa gerakan Bi Kiok sungguh-sungguh luar biasa cepat dan
anehnya, juga tenaga sinkang-nya kini amat kuat. Hampir dia tidak percaya bahwa
ini adalah Bi Kiok yang dahulu itu!
Untuk
mempercepat pertandingan itu dan menyudahinya, Kun Liong lalu menggerakkan
pedangnya dan mainkan Siang-liong-kiam yang diimbangi dengan totokan-totokan
tangan kirinya, ilmu silat tinggi yang dia pelajari dari kakek Bun Hwat Tosu.
Akan tetapi ternyata ilmu pedang ini sama sekali tidak dapat mengatasi ilmu
pedang yang dimainkan oleh Bi Kiok, bahkan perlahan-lahan dia mulai terdesak.
Sesungguhnya
ilmu yang dimainkannya itu aslinya adalah Siang-liong-pang atau Tongkat
Sepasang Naga yang harus dimainkan dengan sepasang tongkat, maka kini dimainkan
hanya dengan sebatang pedang dibantu tangan kiri masih kurang kuat seakan
kehilangan keasliannya, sedangkan ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Kiok
merupakan ilmu silat pedang asli yang amat tinggi mutunya.
Sesudah
lewat lima puluh jurus, Kun Liong semakin terdesak! Hal ini adalah karena dia
mengirim serangan-serangan balasan hanya untuk mengurangi gelombang serangan Bi
Kiok dan sama sekali bukan dengan niat melukai wanita itu.
Cepat Kun
Liong merobah permainan pedangnya, kini pedangnya berkelebat merupakan
bianglala atau sinar pelangi melengkung panjang yang laksana seekor naga
menyambar ke mana pun sinar pedang lawan berkelebat. Inilah ilmu pedang
gabungan yang sudah diciptakannya sendiri, diambil dari gerakan-gerakan semua
ilmu pedang yang dikenalnya lalu dihimpun dengan dasar Ilmu Sakti Keng-lun
Tai-pun, yaitu kitab peninggalan Bun Ong yang terjatuh ke tangannya.
"Aihhh...!"
Bi Kiok berseru, kaget dan kagum sekali.
Sinar pedang
melengkung itu lihai bukan main. Semua desakannya menghadapi benteng sinar yang
sangat kuat, bahkan beberapa kali pedangnya menyeleweng dan mengancam dirinya
sendiri! Kalau saja tidak sedemikian besar kebenciannya terhadap Kun Liong yang
dianggapnya manusia yang telah menghancurkan hidupnya, tentu tidak malu-malu
lagi dia mengaku kalah. Dia maklum bahwa kalau Kun Liong menghendaki, pendekar
sakti itu akan mampu merobohkannya dengan ilmu pedang mukjijat yang sangat kuat
ini, namun Kun Liong tidak pernah melakukan serangan maut.
"Mampuslah!"
teriaknya dan ketika terdapat lowongan, pedangnya menusuk dengan cepat
sedangkan tangan kirinya segera melakukan pukulan tangan kosong dengan jari
terbuka didorongkan ke arah dada Kun Liong.
"Cringggg...!"
Pedangnya
terpental dan lagi-lagi bertemu dengan sinar pedang yang seperti bianglala itu,
akan tetapi hantaman jarak jauh tangan kirinya berhasil karena Kun Liong
agaknya tak menyangka bahwa pukulan sinkang itu akan sehebat itu.
"Desssss...!"
Hawa pukulan
yang amat kuat dan dahsyat tepat menghantam dada Kun Liong sehingga membuat
pendekar ini terjengkang roboh bergulingan. In Hong menggigit jari tangannya,
membayangkan kakak kandungnya akan dibunuh di depan matanya. Dia tidak tahu
harus membantu siapa!
"Hebat
sekali engkau...!" Kun Liong memuji.
Dia sudah
meloncat bangun dan kembali cahaya pedangnya membentuk benteng kokoh kuat. Dia
benar-benar merasa kagum karena tidak disangkanya tamparan atau dorongan
telapak tangan kiri dari Bi Kiok itu sedemikian dahsyat dan kuatnya, agaknya
tidak kalah dibandingkan dengan ilmunya Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih)!
Kun Liong
mulai merasa bingung. Bagaimana dia akan dapat menyudahi pertandingan ini tanpa
melukai Bi Kiok kalau wanita ini sedemikian lihainya? Tidak ada jalan lain,
pikirnya, kecuali mempergunakan Ilmu Mukjijat Thi-khi I-beng!
Ilmu Thi-khi
I-beng ini merupakan ilmu mukjijat yang berdasarkan tenaga sinkang yang amat
kuatnya, dipelajarinya dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Puluhan tahun yang
lalu, ilmu ini menjadi ilmu yang diperebutkan di dunia persilatan, akan tetapi
akhirnya hanya pendekar Cia Keng Hong seorang saja yang menguasainya.
Kemudian,
karena melihat puterinya, Cia Giok Keng, kurang kuat untuk mewarisi ilmu ini,
dan melihat bakat pada diri Kun Liong, Cia Keng Hong lalu mengajarkannya kepada
Yap Kun Liong. Kehebatan ilmu ini, di samping membuat tubuh kebal terhadap
segala macam senjata juga dapat menyedot tenaga sinkang lawan apa bila bagian
tubuh mereka saling bersentuhan sehingga tubuh lawan melekat dan tenaga
sinkang-nya disedot habis!
Kun Liong
yang tidak ingin melukai Bi Kiok, menanti kesempatan baik. Pada saat pedang
lawan itu menyambarnya, dia segera menindih pedang itu dari atas lantas
mengerahkan sinkang-nya sehingga pedang itu melekat dengan pedangnya, tidak
dapat dilepaskan lagi.
Betapa pun
Bi Kiok mengerahkan tenaganya, akan tetapi pedangnya tetap melekat pada pedang
Kun Liong. Hal ini membuat dia makin marah, maka sambil berseru keras tangan
kirinya yang kuat itu menghantam lagi, kini mengarah lambung Kun Liong.
"Bhukkkk!"
Kun Liong
sengaja menerima pukulan tangan kiri Bi Kiok itu dengan lambungnya sambil
mengerahkan Thi-khi I-beng. Tangan Bi Kiok langsung melekat! Biasanya dalam
keadaan begini, melalui bagian tubuh yang dipukul itu, Kun Liong dapat menyedot
tenaga lawan.
"Huhhhhh...!"
Tiba-tiba
saja Bi Kiok mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya, kakinya menekan
tanah dengan keras, tubuhnya memutar dan tangannya yang melekat pada lambung
Kun Liong terlepas! Di lain saat, pedangnya yang juga sudah terlepas itu sudah
menyambar lagi menusuk ke arah mata Kun Liong, disusul tamparan maut yang
menyerang perut!
"Ehhh...?!"
Kun Liong terkejut bukan main.
Cepat-cepat
dia meloncat ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali, baru dia dapat
menyelamatkan diri dari serangan yang susul-menyusul itu. Bukan main! Bi Kiok
malah sudah menguasai ilmu yang merupakan tandingan dari Thi-khi I-beng! Tidak
mempan lagi diserang dengan ilmu itu!
Diam-diam
Kun Liong menjadi semakin kagum. Kiranya bokor emas itu sudah memberi ilmu-ilmu
yang demikian hebatnya kepada Bi Kiok. Namun, tetap saja wanita ini hidupnya
sengsara karena... dia! Padahal, menjadi pewaris bokor emas yang ternyata
merupakan pusaka luar biasa itu sebetulnya merupakan hal yang amat hebat dan
beruntung sekali.
Kini dia
maklum bahwa mengalahkan Bi Kiok tanpa melukainya adalah hal yang sama sekali
tak mungkin. Tingkat kepandaiannya tidaklah terlalu jauh selisihnya dengan
tingkat kepandaian Bi Kiok, dan andai kata dia akan memaksakan kemenangan
dengan melukai wanita ini pun agaknya bukan pula merupakan hal yang cukup
mudah. Dan hal itu sama sekali tidak dikehendakinya, karena tentu akan membuat
Bi Kiok merasa makin sakit hati kepadanya.
Kun Liong
lalu memperhebat gerakan pedangnya. Hanya dengan ilmu pedang ciptaannya yang
berdasarkan pada ilmu dari kitab Keng-lun Tai-pun saja dia dapat menahan semua
serangan yang dilancarkan oleh Bi Kiok, dapat menutupi tubuhnya dengan benteng
sinar pedangnya yang melengkung panjang seperti bianglala.
"In
Hong, demi mendiang ayah dan bunda kita, engkau harus menemui aku! Kita harus
saling bicara... demi masa depanmu... ingatlah pada orang tua kita,
adikku...!" Kun Liong berkata dan In Hong yang mendengar ini tidak
menjawab, hanya berdiri dengan muka pucat.
"In
Hong, hayo cabut pedangmu dan bantu aku!" Bi Kiok berseru, suaranya penuh
dengan wibawa.
"Subo...!"
Suara In Hong terdengar gemetar dan matanya terbelalak.
"Kau
melawan perintah subo-mu? Hayo cepat pilih, kau bantu aku atau bantu dia!"
Bi Kiok membentak sambil terus menyerang Kun Liong.
"Baik,
Subo!" In Hong mencabut pedangnya dan menyerang ke depan.
"Cringgg...
tranggg...!"
Kun Liong
terkejut bukan main. Setelah In Hong turut menyerang, sekarang terdapat dua
kekuatan yang menerjang gulungan sinar pedangnya dan ternyata gerakan dara itu
sama cepat dan sama kuatnya dengan Bi Kiok sehingga pertahanan gulungan sinar
pedangnya bobol. Dua kali dia menangkis pedang Bi Kiok dan In Hong hingga dia
terdesak mundur!
Celaka,
pikirnya. Apa bila kepandaian adik kandungnya sudah sehebat ini dan betul-betul
mengeroyoknya, bukan tidak mungkin dia akan tewas di ujung pedang dua orang
wanita itu!
"In
Hong, engkau adik kandungku... engkau menyerang aku...?" Kun Liong
membentak, akan tetapi sebenarnya dia tidak begitu heran melihat ini, mengingat
betapa sejak kecil dara itu dipelihara dan dididik penuh kasih sayang oleh Bi
Kiok.
"Kau
penuhilah permintaan Subo!" In Hong berkata, lirih dan gemetar suaranya.
Kun Liong
segera meloncat jauh ke luar dari tempat itu, dikejar oleh Bi Kiok.
"Keparat, engkau hendak lari ke mana? Jangan harap akan dapat terlepas dari
tanganku! In Hong, mari kita kejar!"
Akan tetapi
sekali ini In Hong tidak memenuhi perintah subo-nya. Dia memang bergerak juga,
akan tetapi tidak cepat dan tertinggal jauh oleh Kun Liong dan Bi Kiok yang
berlari cepat menuju ke pantai telaga.
"Kun Liong,
berhenti kau! Seorang di antara kita harus mampus sekarang juga!" Bi Kiok
berteriak-teriak.
Beberapa
kali dia menyerang dengan Siang-tok-swa, yaitu senjata rahasia pasir harum yang
beracun, dan juga beberapa kali dia menimpukkan hui-kiam (pedang terbang),
yaitu pedang-pedang pendek yang disambitkan, yang cepat dan bahayanya tidak
kalah dengan anak panah.
Namun semua
itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Kun Liong yang terus melarikan diri.
Untung baginya bahwa dalam hal ilmu berlari cepat, tampaknya Bi Kiok masih
belum mampu menandinginya, maka dia dapat meninggalkan wanita itu, kembali ke
pantai, lalu meloncat ke perahu dan mendayung perahu dengan cepat meninggalkan
pulau.
Bi Kiok
membanting-banting kaki di pinggir telaga, lantas berteriak-teriak memanggil
anak buahnya, memerintahkan mereka untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi,
perahu Kun Liong sudah meluncur jauh sekali karena pendekar itu mempergunakan
tenaga saktinya untuk mendayung sehingga perahunya meluncur luar biasa
cepatnya.
Sambil membanting-banting
kaki di tepi telaga, Bi Kiok memandang ke arah perahu Kun Liong yang makin
menjauh.
"Subo,
biarkan saja dia pergi dan mari kita melupakan dia."
Bi Kiok
membalikkan tubuhnya, memandang muridnya dengan mata bersinar-sinar penuh
kemarahan. "Kenapa engkau tidak ikut mengejar tadi?"
"Subo,
bagaimana pun juga, dia adalah kakak kandungku sendiri..." In Hong
menjawab dengan muka tunduk.
Tiba-tiba Bi
Kiok menangis, In Hong terkejut bukan main dan cepat dia memeluk pundak
subo-nya.
"Aku...
aku... aku mencintainya... aku cinta kepadanya..." demikian keluhan dan
rintihan yang terdengar oleh In Hong.
Peristiwa
itu berkesan dalam sekali di hati In Hong, membuat dia semakin ngeri akan
hubungan pria dengan wanita yang dianggapnya hanya mendatangkan mala petaka dan
kesengsaraan belaka, membuat dia makin tidak suka kepada pria, sungguh pun dia
tidak dapat melihat kesalahan kakak kandungnya terhadap Bi Kiok.
Kakak
kandungnya sudah berterus terang bahwa dia tidak berjodoh dengan gurunya ini,
bahkan sudah menikah dengan orang lain, dan kakak kandungnya tidak mau menerima
uluran tangan Bi Kiok karena menjaga kehormatan mereka berdua. Dan dia tahu
pula bahwa kalau kakaknya menghendaki, bukan tidak mungkin kalau subo-nya akan
terluka atau tewas. Diam-diam dia amat kagum akan kelihaian kakak kandungnya
itu.
Dua hari
kemudian, ketika In Hong berpamit kepada subo-nya, Bi Kiok yang masih pucat dan
lemah seperti orang yang baru saja menderita sakit keras itu memandangnya
dengan wajah muram. Karena sudah memberi persetujuan sebelumnya, dia tidak mau
menarik kembali, hanya dia minta supaya In Hong berjanji kepadanya untuk tidak
kembali kepada kakaknya dan pulang ke Kwi-ouw setahun sekali. Dan In Hong
dengan hati tulus berjanji kepada subo-nya, karena memang tidak ada niat di
hatinya untuk ikut kakaknya.
Dengan
diantar pandang mata subo-nya maka berangkatlah In Hong meninggalkan pulau,
menumpang perahu yang didayung oleh anggota-anggota Giok-hong-pang. Sebenarnya
ada rasa rindu di hati Bi Kiok kepada dunia, untuk merantau seperti dulu, namun
teringat akan sakit hatinya, dia membalikkan tubuhnya dan kembali ke dalam
gedung, memasuki kamarnya.
Sementara
itu, In Hong melambaikan tangannya kepada para anggota Giok-hong-pang yang
mengantar dirinya sampai ke seberang telaga. Setelah memasuki hutan, barulah In
Hong merasa betapa dia berjalan seorang diri dan mulailah dia merasakan
kegembiraan dan ketegangan, seakan-akan dengan hutan yang dimasukinya itu dia
memulai sebuah kehidupan baru dan dia bisa segera melupakan semua kehidupan di
pulau tengah Telaga Kwi-ouw yang makin membosankan hatinya itu.
***************
Kota Tai-lin
di tepi Sungai Kuning itu cukup ramai, meski pun kota itu jauh dari kota-kota
lain dan kota terdekat dengan Tai-lin adalah kota besar Tai-goan yang letaknya
di utara dan masih ada seratus li jauhnya. Keramaiannya adalah karena terletak
di pinggir Sungai Huang-ho itulah karena sungai ini merupakan alat perhubungan
yang amat ramai, selain untuk mengangkat barang-barang dagangan juga karena
daerah ini kaya dengan ikan.
Pada pagi
hari itu, di sebuah restoran besar, satu-satunya restoran di kota Tai-lin,
sudah dipenuhi tamu yang makan pagi sambil bercakap-cakap. Keadaan di restoran
itu atau di seluruh kota Tai-lin kelihatannya tenang dan tenteram saja, dan di
antara para tamu itu yang terdiri dari penduduk Tai-lin dan juga para pedagang,
tidak menyangka sama sekali bahwa di antara mereka itu terdapat orang-orang
yang sesungguhnya bukan tamu-tamu biasa, melainkan orang-orang dari golongan
hek-to (jalan hitam), yaitu orang-orang dari kalangan Liok-lim (kaum penjahat)
yang mulai berani bermunculan lagi di kota-kota untuk mencari mangsa.
Memang hanya
golongan hitam saja yang tahu akan perubahan besar di dunia kang-ouw yang sudah
terjadi di saat itu. Berita tentang dirampasnya Siang-bhok-kiam, pusaka atau
lambang kebesaran Cin-ling-pai yang ditakuti semua penjahat, juga mengenai
tewasnya Cap-it Ho-han seperti dikabarkan, tewas oleh datuk-datuk baru dari
dunia kaum sesat, merupakan suatu kemenangan golongan hitam.
Hal ini
tidak saja disambut dengan gembira oleh kaum penjahat karena merasa bahwa dunia
mereka kini lebih kuat dari pada golongan putih, akan tetapi juga membesarkan
hati mereka dan mereka merasa lebih leluasa untuk melakukan pekerjaan mereka
secara lebih terbuka karena bukankah kini fihak kaum sesat lebih kuat?
Seperti
memperoleh dorongan semangat baru, kaum penjahat di sekitar kota Tai-lin kini
juga mulai beraksi. Maka tidaklah mengherankan apa bila di antara para tamu di
restoran itu terdapat beberapa orang golongan hitam yang ikut makan pagi tanpa
diketahui orang lain.
Di dalam
dunia kaum sesat, hanya penjahat-penjahat kecil sajalah yang bersikap kasar dan
berlagak jagoan, akan tetapi penjahat-penjahat yang lebih tinggi tingkatnya,
tidak ada yang mengenalnya karena mereka itu kadang kala menyamar sebagai
pedagang, sebagai pelajar dan orang-orang yang tergolong tinggi derajatnya.
Penjahat-penjahat yang seperti ini tidak mau melakukan pekerjaan-pekerjaan
remeh seperti yang dilakukan oleh penjahat rendahan, misalnya seperti tidak mau
membayar makanan di restoran atau sewa kamar di hotel, mencopet dan mencuri
barang-barang yang tidak begitu berharga, dan sebagainya. Mereka ini tidak
serakah akan barang-barang kecil, akan tetapi menunggu saatnya dan sekali pukul
harus memperoleh hasil yang cukup banyak.
Tiba-tiba
semua tamu di restoran itu menghentikan percakapan mereka dan semua mata
memandang keluar ketika seorang dara muda memasuki pintu depan restoran itu.
Mata para tamu itu terbelalak, mulut mereka ternganga, dan mereka tak
menyembunyikan rasa kagum mereka ketika melihat dara itu melangkah memasuki
restoran. Hal ini memang tak mengherankan karena dara itu memang cantik bukan
main.
Wajahnya
yang bulat telur berkulit putih halus tanpa bedak, sepasang pipinya kemerahan
tanpa yanci dan bibirnya merah tanpa gincu. Wajah itu agak berkeringat, dan
rumbutnya agak kusut dengan anak rambut berjuntai di atas dahi yang agak basah
oleh peluh akan tetapi kekusutan rambut dan wajah berkeringat itu malah
menambah keaslian wajah yang cantik jelita itu. Hanya sayangnya, mata yang
tajam dan mulut yang manis itu kelihatan membayangkan hati yang dingin dan
tidak acuh terhadap sekelilingnya.
Rambutnya
digelung ke atas, panjang sekali rambut itu hingga gelungnya juga menjulang
tinggi di atas kepala, dihias oleh sebuah perhiasan dari batu kemala yang indah
berbentuk seekor burung hong. Sebatang pedang dengan hiasan ronce-ronce merah
tergantung di punggungnya, menambah angker dan gagah wajah yang dingin itu.
Tubuhnya
tinggi semampai dengan lekuk lengkung kematangan sempurna seorang dara.
Pakaiannya sederhana namun bersih dan tangan kanannya memegang sebuah buntalan
kain kuning yang agaknya berisi pakaian namun juga kelihatan agak berat sungguh
pun dara itu membawanya dengan mudah.
Pada waktu
dia melangkah masuk mencari sebuah meja kosong, lenggangnya yang seenaknya itu
membayangkan tubuh yang lemah gemulai. Pinggulnya bergerak seperti menari-nari,
dan lenggang yang tidak dibuat-buat melainkan sewajarnya itu demikian indah
bagaikan sebuah tarian yang terlatih. Bagi beberapa orang yang mengerti ilmu
silat dan yang duduk di tempat itu, akan maklum bahwa memang demikianlah
langkah seorang wanita yang ‘berisi’, yaitu di balik keluwesan serta kelemasan
tubuhnya itu bersembunyi tenaga yang hebat, yang membuat dia dapat bergerak dan
melangkah seenaknya dengan wajar tetapi penuh keagungan dan gaya.
Melihat dara
ini melakukan perjalanan seorang diri dan membawa-bawa pedang, semua orang
dapat menduga bahwa dara ini tentulah seorang dara kang-ouw yang melakukan
perjalanan seorang diri mengandalkan pedang serta kepandaiannya. Dan sikap
pendiam dan dingin, terutama pedang panjang yang kini dilepaskan dari punggung
dan diletakkan di atas meja bersama buntalannya itu, membuat orang-orang tidak
berani memandang secara langsung.
Dara ini
bukan lain adalah Yap In Hong! Telah hampir selama dua pekan dia melakukan
perantauannya dan tiba di kota itu, kota besar pertama kali yang dimasukinya
semenjak meninggalkan Kwi-ouw. Kini dia lelah sekali karena telah melakukan
perjalanan jauh naik turun gunung dan masuk keluar hutan, dan sudah dua hari
dua malam dia hanya makan hasil buruan di hutan dan buah-buah yang dapat dia
temukan di dalam hutan, bersama air jernih saja.
Begitu dia
memasuki restoran, seleranya segera bangkit. Perutnya sudah berbunyi ketika
hidungnya mencium bau bumbu masakan yang mengepul keluar dari dalam dapur.
Seorang
pelayan tua terbungkuk-bungkuk menghampiri In Hong. "Nona hendak makan dan
minum apakah?" tanyanya sambil mengerling ke arah pedang di atas meja.
"Nasi
putih, mi bakso dan daging ayam rebus dengan saus tomat. Minumnya teh wangi
yang hangat saja."
Pelayan itu
mengangguk-angguk dan karena merasa heran mendengar seorang wanita kang-ouw
tidak memesan arak, dia bertanya hati-hati, "Tidak pakai arak, nona?"
In Hong
memang tidak begitu doyan arak yang keras. "Apakah ada anggur yang tidak
keras?" tanyanya.
Pelayan itu
menggeleng kepala. "Hanya ada arak yang wangi dan tua, arak kami terkenal
sekali, nona!"
"Tidak,
aku tidak suka. Eh, kalau ada tolong aku minta disediakan satu panci air hangat
untuk cuci muka, paman."
"Baik,
baik..." Pelayan itu pergi dengan hati senang.
Sikap dara
kang-ouw itu tidak seperti wanita-wanita kang-ouw lainnya yang angkuh dan
kasar, bahkan ketika minta air hangat memakai kata ‘tolong’. Hatinya senang dan
setelah dia menyampaikan pesanan In Hong ke bagian dapur, dia sendiri membawa
sepanci air hangat untuk nona itu.
In Hong
menaruh air itu di atas bangku, kemudian mencuci mukanya, menggosok-gosok
mukanya dengan keras untuk menghilangkan debu dari muka serta lehernya, juga
kedua tangannya. Setelah itu dia lalu menggosok leher, muka dan tangan itu
dengan selembar sapu tangan bersih sampai kering. Kini mukanya semakin berseri,
kedua pipinya makin merah sehingga kagumlah semua orang yang duduk tak jauh
dari tempat itu.
In Hong
duduk kembali dan mengerling ke kiri. Dia tahu bahwa sejak tadi ada seorang
lelaki tua bertopi hitam yang terus mengikuti gerak-geriknya dengan sikap
mencurigakan. Melihat orang-orang lain memandangnya dengan kagum, dia tidak
menganggap aneh biar pun hatinya muak menyaksikan sikap laki-laki itu karena
semenjak dia merantau, hampir setiap kali berjumpa dengan pria dia selalu
melihat pandang mata seperti itu. Akan tetapi laki-laki tua bertopi itu lebih
memperhatikan buntalannya! Dan itulah yang mencurigakan hatinya.
Laki-laki
tua itu sedang makan mi dengan sumpitnya. Cepat sekali sumpitnya bergerak
menjepit mi dan mendorongnya ke mulut. In Hong menelan ludah. Perutnya rasa
makin lapar melihat orang makan selahap itu.
Kecepatan
jari-jari tangan kanan mempermainkan sepasang sumpit itu menarik hatinya. Cepat
sekali dan amat kuat, pikirnya. Berbeda dengan gerak tangan orang-orang biasa.
Tentu bukan orang biasa, pikirnya pula dengan hati makin curiga. Akan tetapi
dia duduk tenang saja, tidak menoleh ke kanan atau kiri, tidak membalas pandang
mata banyak pria yang ditujukan kepadanya dengan kagum.
Walau pun
baru setengah bulan dia melakukan perjalanan, dia sudah melihat banyak tentang
kehidupan di luar lingkungan Giok-hong-pang dan diam-diam dia menjadi makin
tidak suka melihat kenyataan tentang kekuasaan kaum pria terhadap wanita. Dia
melihat wanita-wanita sebagai kaum lemah yang diperbudak laki-laki, yang
bersikap mengalah, manja, dan minta dilindungi. Di mana-mana dia melihat gejala
ini, dan melihat sikap pria yang selalu ingin menang, yang memandang wanita
seperti benda permainan belaka.
Hampir semua
pria yang dijumpainya memandang kepadanya dengan mata buas, tidak terkecuali,
baik yang sudah beristeri mau pun yang belum. Pandang mata yang haus dan kurang
ajar, yang seolah-olah hendak menelanjangi dan menggerayangi tubuhnya.
Pantas kalau
subo dan para bibi di Giok-hong-pang membenci pria, pikirnya. Mulailah dia
melihat betapa perbuatan para bibi di Kwi-ouw terhadap pria-pria Kwi-eng-pang
yang menjadi budak itu sebagai pembalasan dendam dari mereka terhadap kaum
pria! Betapa pun juga, dia bukanlah seekor binatang buas yang haus akan darah
pria seperti mereka itu, pikirnya. Dia belum pernah disakiti hatinya oleh pria,
maka biar pun dia tidak senang, namun dia tidak memiliki perasaan benci
terhadap pria pada umumnya seperti mereka.
Tidak semua
pria sejahat itu, pikirnya pula. Buktinya, sikap kakak kandungnya yang baik dan
jenaka, dan subo-nya yang terkenal pembenci pria itu ternyata masih cinta
kepada kakak kandungnya!
Makanan yang
dipesannya datang diantarkan oleh pelayan tadi yang mempersilakannya dengan
sikap hormat.
"Silakan,
nona."
"Terima
kasih, paman. Engkau baik sekali," jawab In Hong. Karena sikap sopan itu
dia menganggap si pelayan jauh lebih baik dari pada semua pria yang berada di
situ.
Pelayan itu
gembira dan mengangkat pergi panci air hangat yang tadi dipakai mencuci muka In
Hong. Dara itu pun mulai makan. Bukan main lezatnya makan di waktu perut sudah
lapar sekali dan selera sudah penuh keinginan sejak tadi.
Dia tidak
peduli betapa banyak mata mengincarnya, seolah-olah gerakan mulutnya ketika
makan amat menarik hati mereka. Bagaimana pun juga, dia merasa tidak enak
sehingga dia menutupi mulutnya dengan mangkok nasi dan ketika mengunyah makanan
dia tidak membuka mulutnya. Mi bakso itu enak, terutama baksonya yang pulen dan
gurih, daging ayam rebus saus tomat itu pun lezat, empuk dan manis sausnya
sedang baunya harum dan sedap karena dicampur sedikit arak.
Setelah
selesai makan, In Hong memanggil pelayan, membayar harga makanan dengan
menambah persen untuk pelayan itu. Dia mengambil uang perak dari dalam
pundi-pundi uangnya yang terisi perak dan emas, bekal yang diberikan oleh
subo-nya. Pelayan itu melongo ketika melihat demikian banyaknya emas dan perak
dalam pundi-pundi, dan dia berkata perlahan.
"Aihh,
nona membawa uang begitu banyak, harap hati-hati di jalan."

In Hong
tersenyum dan orang-orang yang kebetulan melihatnya menjadi terpesona. Nona itu
mempunyai senyum yang bukan main manisnya, dan lenyaplah semua sifat dingin itu
begitu dia tersenyum, seakan-akan awan-awan hitam yang lenyap oleh sinar
matahari yang cerah dan yang muncul tiba-tiba. Sayang bahwa nona itu jarang
tersenyum!
"Terima
kasih, paman. Jangan khawatir." Sambil berkata demikian, In Hong menyambar
pedangnya dan kembali menggantungkannya di punggung, mengikatkan kain pengikat
pedang di depan dada, di antara sepasang buah dadanya sehingga talian itu
membuat pakaiannya makin mengetat dan tonjolan dadanya makin tampak membusung.
Kemudian dia memanggul buntalan pakaiannya dan hendak pergi dari sana ketika
telinganya yang berpendengaran tajam itu menangkap bisikan halus dari arah
kiri,
"...Giok-hong-pang..."
In Hong
bertanya kepada pelayan itu dengan suara cukup keras sambil menoleh ke kiri,
sekaligus pandang matanya menyapu ke arah orang yang menyebut nama perkumpulan
subo-nya itu, "Paman, berapa jauhnya perjalanan dari sini ke kota
Tai-goan?"
"Wah,
masih jauh sekali, nona. Ke utara dulu lalu membelok ke timur, lebih dari
seratus li jauhnya. Apakah nona membutuhkan seekor kuda?"
"Tidak,
paman. Aku akan berjalan kaki saja."
Sekarang In
Hong sudah melihat dengan jelas bahwa dua orang yang tadi membisikkan nama
perkumpulan subo-nya adalah dua orang lelaki muda, yang seorang berkumis dan
berjenggot pendek, bertubuh tinggi besar dan matanya lebar, yang kedua masih
muda, memakai topi, mukanya kurus dan tampan agak pucat.
Sesudah
melihat jelas, In Hong bersikap seperti tidak ada apa-apa, kemudian dia keluar
dari restoran itu dan melanjutkan perjalanannya.
Hatinya lega
setelah dia keluar dari kota Tai-lin, berjalan sendirian saja di atas jalan
yang sunyi dan di sisi kanan kirinya terdapat tanah yang penuh dengan rawa
kering. Sampai belasan hari lamanya dia melakukan perjalanan dan tak pernah
terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya, tidak seperti yang sering
didengung-dengungkan para bibinya di Giok-hong-pang bahwa dunia ini kejam,
terutama kaum prianya. Buktinya, selama ini dia tidak pernah mengalami
gangguan! Dan jika sebagian besar pria seperti pelayan restoran itu, hidup ini
tidaklah begitu sengsara bagi wanita!
Jalan itu
memasuki sebuah hutan kecil dan tiba-tiba perhatian In Hong tertarik ke depan.
Pandang matanya yang amat tajam dan terlatih itu dapat melihat berkelebatnya
bayangan orang di balik pohon-pohon yang jarang di depan itu. Akan tetapi dia
tidak menjadi gentar, bahkan tidak curiga karena mengira bahwa mungkin sekali
bayangan itu adalah tukang-tukang kayu atau pemburu-pemburu yang biasa
berkeliaran di hutan-hutan.
Akan tetapi
ketika dia tiba di tempat di mana tadi dia melihat bayangan orang berkelebat,
tiba-tiba dia berhenti karena mendengar suara kaki orang, dan tepat seperti
yang sudah diduganya, dia melihat dua orang laki-laki muncul dari balik batang
pohon, satu dari kanan dan seorang lagi dari sebelah kiri.
Kecurigaannya
baru timbul pada waktu dia mengenal mereka itu sebagai dua orang tamu di
restoran yang tadi membisikkan nama perkumpulan Giok-hong-pang. Namun In Hong
masih tetap tenang dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun, hanya memandang
pada mereka secara bergantian dengan sinar mata yang amat tajam menyelidik.
"Maafkan
kami, lihiap!" Tiba-tiba saja orang muda yang bertopi dan bermuka kurus
pucat itu berkata sambil menjura dengan hormat, sedangkan kawannya juga menjura
dengan senyum tertahan. Kini mereka berdua berdiri di depannya.
"Kalian
mau apa?" tanya In Hong dengan suara datar dan dingin.
"Maafkan
kami berdua, akan tetapi sejak kami bertemu dengan lihiap di dalam restoran di
kota Tai-lin pagi tadi, kami sangat tertarik dan ingin kami bertanya apakah
lihiap seorang anggota Giok-hong-pang yang amat terkenal di Telaga
Kwi-ouw?"
In Hong
memandang dengan lirikan merendahkan, kemudian menjawab datar, "Betul, aku
adalah murid pangcu dari Giok-hong-pang, habis mengapa?"
Mendengar
ini, dua orang itu saling pandang, lalu mereka menjura makin dalam lagi.
"Ah, maaf... maaf... karena tidak yakin maka kami tadi tidak berani
bertanya. Ternyata lihiap adalah seorang tokoh penting dari Giok-hong-pang.
Ketahuilah, lihiap, bahwa di antara kami dan Giok-hong-pang masih segolongan
dan dengan berpindahnya Siang-bhok-kiam ke tangan golongan kita maka
persahabatan di antara kita perlu dibina. Oleh karena itu, kami mengundang
kepada lihiap sukalah dalam perjalanan lihiap ini datang mengunjungi tempat
kami di hutan depan untuk mempererat persahabatan."
In Hong
pernah mendengarkan penuturan subo-nya tentang dua golongan, yaitu golongan
putih dan hitam dan secara samar subo-nya mengatakan bahwa Giok-hong-pang boleh
jadi digolongkan sebagai golongan hitam. Menurut subo-nya, golongan putih
terdiri dari orang-orang yang sombong dan merasa diri sendiri paling bersih dan
paling pandai. Ada pun golongan hitam banyak terdapat orang-orang yang
melakukan perbuatan jahat. Oleh karena itu, subo-nya juga tidak pernah
melakukan hubungan dengan golongan mana pun juga.
Akan tetapi
dia pernah mendengar subo-nya bercerita tentang Siang-bhok-kiam sebagai pedang
pusaka yang pernah menggegerkan dunia persilatan, milik dari seorang pendekar
sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Maka kini mendengar
ucapan orang itu bahwa Siang-bhok-kiam telah berpindah ke tangan golongan
hitam, dia merasa heran dan ingin mengetahui lebih banyak.
"Kalian
siapakah?"
Si jenggot
pendek yang tinggi besar dan berkulit kehitaman itu tersenyum lebar kemudian
berkata, "Nona, kami adalah dua orang di antara Fen-ho Su-liong (Empat
Naga Sungai Fen-ho) yang bukan tidak terkenal di seluruh daerah Tai-goan dan
Tai-lin. Twa-suheng dan ji-suheng kami tentu akan merasa bangga sekali menerima
kunjunganmu, nona. Marilah, tempat kami tidaklah jauh, hanya di hutan depan
itu."
Si muka
pucat juga tersenyum dan menyambung, "Harap lihiap jangan khawatir dan
takut, kami menjamin keselamatan lihiap."
Ucapan si
muka pucat itu mengusir semua keraguan di hati In Hong. Tadinya dia merasa ragu
dan tidak ingin mengunjungi sarang mereka, akan tetapi begitu orang bertopi
yang mukanya pucat itu menghiburnya supaya tidak khawatir dan takut, harga
dirinya langsung memberontak. Dia khawatir? Dia takut?
"Hemm...!"
Dia menggeram lirih. "Baiklah, hendak kulihat apa yang akan kalian
lakukan!"
Jawaban ini
pun jelas merupakan tantangan, akan tetapi dua orang itu seolah-olah tidak
mengerti dan dengan hati girang mereka mengajak In Hong memasuki hutan kedua yang
besar, yang berdampingan dengan hutan kecil itu.
"Biar
kubawakan buntalanmu, nona," si muka pucat berkata.
"Tidak
perlu, aku bawa sendiri," jawab In Hong.
Si muka
pucat ini berusaha untuk bersikap hormat dan ramah, namun berbeda dengan
keramahan pelayan restoran yang amat wajar dan menyenangkan, sebaliknya
keramahan orang muda ini mencurigakan dan tidak menyenangkan karena terlalu
jelas dibuat-buat dan pandang mata pemuda ini pun tiada bedanya dengan pandang
mata kaum pria yang begitu menjemukan dan kurang ajar.
"Terserah
kepadamu, lihiap, hanya kami biasa berjalan cepat, takut membuat lihiap lelah
jika harus membawa barang berat." Setelah berkata demikian, si muka kurus
itu bersama temannya lalu menggunakan ilmu lari cepat, berkelebatan memasuki hutan
besar itu.
In Hong
melihat betapa gerakan mereka itu cepat juga, tanda bahwa mereka mempunyai
ginkang yang cukup tinggi. Namun dia bergerak seenaknya mengikuti dan tidak
pernah ketinggalan sehingga dua orang yang kadang-kadang menoleh ke belakang itu
menjadi kagum juga.
Karena
melakukan perjalanan cepat, sebentar saja mereka telah sampai di tengah hutan
besar di mana terdapat sebuah sungai, yaitu Sungai Fen-ho dan ternyata sarang
mereka itu berada di tepi sungai, terdiri dari pondok-pondok yang berdiri
tersembunyi di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar.
Kedatangan
mereka segera disambut oleh dua orang laki-laki lain yang juga bertubuh tinggi
besar dan kelihatan kuat, yang tersenyum lebar dan yang keluar dari dalam
pondok terbesar. Dan In Hong melihat betapa masih ada belasan orang laki-laki
bermunculan dari tempat-tempat tersembunyi, mereka itu kelihatan terdiri dari
orang-orang kasar.
"Ha-ha-ha-ha,
sam-sute (adik ketiga) dan si-sute (adik keempat) sungguh hebat, pulang membawa
anak ayam yang begini mulus! Ha-ha-ha!" Orang yang bertahi lalat di tengah
hidungnya yang besar berkata sambil tertawa-tawa.
"Twa-suheng,
nona ini adalah murid dari ketua Giok-hong-pang di Kwi-ouw. Mengingat akan nama
besar Giok-hong-pang, maka sengaja kami persilakan untuk singgah di sini untuk
berkenalan dengan twa-subeng dan ji-suheng," kata si muka pucat.
"Ahhh…,
begitukah? Ternyata seorang naga betina dari Giok-hong-pang? Bagus, silakan
masuk, nona," kata si tahi lalat.
In Hong yang
tidak ingin dianggap takut, hanya mengangguk dan mengikuti empat orang
laki-laki itu memasuki pondok terbesar di mana dia dipersilakan duduk
menghadapi meja dan tak lama kemudian jamuan makan dikeluarkan.
"Aku
hanya berhenti sebentar dan akan melanjutkan perjalananku ke Tai-goan," In
Hong berkata sambil mengerutkan alisnya.
"Perjalanan
ke Tai-goan hanya dekat, nona. Kita berbincang dulu dan silakan menikmati
hidangan seadanya," kata si tahi lalat yang ternyata adalah orang pertama
dari Empat Naga dari Fen-ho itu. "Kami mendengar bahwa Giok-hong-pang
telah merampas Kwi-ouw dari tangan Kwi-eng-pang dan juga membasmi Kwi-eng-pang.
Benarkah? Kami kenal baik dengan Kiang Ti, ketua Kwi-eng-pang, lalu bagaimana
dia sekarang?"
"Dia
telah tewas," In Hong menjawab pendek.
"Ahhh...!"
Si tahi lalat berseru. "Kalau Hek-tok-ciang Kiang Ti sampai tewas,
kepandaian subo-mu itu tentu hebat bukan main!"
In Hong
tidak menjawab dan ketika dipersilakan makan, dia hanya mengambil beberapa
sayur dan daging, kemudian minta disediakan air teh karena dia tidak suka arak.
"Aku
tadi mendengar mengenai Siang-bhok-kiam, apakah kalian dapat menceritakan apa
yang terjadi dengan pedang pusaka Cin-ling-pai ini?" Akhirnya dia bertanya
karena dia tidak ingin lama-lama berada di situ dan sebetulnya dia tadi hanya
ikut untuk mengetahui lebih banyak tentang berita mengenai pedang pusaka itu.
"Ha-ha-ha,
apakah Giok-hong-pang belum mendengar berita hebat itu? Ha-ha, akhirnya
Cin-ling-pai dengan Cap-it Ho-han-nya menemui tanding! Cap-it Ho-han yang disohorkan
lihai seperti dewa itu akhirnya mampus di tangan Lima Bayangan Dewa, bahkan
pedang pusaka Siang-bhok-kiam dirampas! Ha-ha-ha, ingin sekali aku menyaksikan
muka ketua Cin-ling-pai!" Si tahi lalat berkata dengan nada girang bukan
main.
In Hong tidak
pernah mendengar subo-nya bercerita mengenai Cap-it Ho-han, dia hanya mendengar
bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang kakek pendekar yang oleh subo-nya
disebut nomor satu di dunia! Kalau sampai pedang pusaka Cin-ling-pai dapat
terampas, tentu para perampasnya itu hebat sekali.
"Siapakah
Lima Bayangan Dewa?" tanyanya.
"Kami
sendiri pun belum mendapatkan kehormatan untuk mengenalnya. Akan tetapi tentu
mereka merupakan datuk-datuk baru dari golongan kita. Sesudah ada datuk-datuk
baru sehebat itu, yang mampu mengacau Cin-ling-pai, kita takut apa lagi?
Ha-ha-ha, sekarang kaum kang-ouw tentu akan geger."
In Hong
bangkit berdiri. "Sudahlah, terima kasih atas jamuan kalian. Sekarang aku
akan melanjutkan perjalananku."
"Ehh,
ehhh, nona... nanti dulu! Kami harap nona suka menginap di sini untuk beberapa
malam, atau setidaknya untuk malam ini! Bukan merupakan hal biasa dapat menjamu
seorang seperti nona, dan kami merasa sangat beruntung dengan pertemuan ini
yang harus dirayakan malam nanti," si hidung besar bertahi lalat berkata.
"Nona,
rasa rindu kami belum terlampiaskan, mengapa tergesa-gesa pergi?" kata si
muka pucat dengan nada merayu. Akan tetapi karena In Hong belum berpengalaman,
dia tidak mengerti akan kekurang ajaran yang tersembunyi di balik kata-kata
itu.
Tiba-tiba
terdengar ribut-ribut di sebelah luar dan serombongan orang kasar itu masuk ke
pondok sambil menyeret seorang lelaki yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal
orang atau barang kiriman) yang terikat erat-erat laksana seekor babi yang
hendak disembelih. Lima orang kasar itu mendorong piauwsu itu ke atas lantai di
depan Fen-ho Su-liong.
"Siapa
dia? Apa perlunya kalian membawa babi ini datang ke sini?!" bentak Si tahi
lalat marah. Sementara itu, sesudah melihat kejadian ini, In Hong tidak jadi
pergi dan duduk sambil menonton penuh perhatian.
"Twako,
harap maafkan kami! Kami berhasil menahan sebuah perahu besar, akan tetapi
waktu kami minta pajak kepada mereka seperti biasa, lima orang piauwsu yang
mengawal perahu melawan dan memaki kami. Terpaksa kami turun tangan
menggulingkan perahu sebab piauwsu-piauwsu itu amat lihai. Kami berhasil
menawan tiga ekor anak ayam untuk twako dan kepala piauwsu yang menjadi biang
keladinya ini kami seret ke sini. Sayang bahwa sebagian besar harta di perahu
itu ikut tenggelam."
Si tahi
lalat menjadi merah mukanya. "Bodoh! Kenapa harus menggulingkan
perahu?"
"Piauwsu-piauwsu
itu sangat lihai, terutama kepalanya ini. Tanpa menggulingkan perahu kami tidak
mampu mengalahkan mereka."
"Plakkk!"
Si tahi lalat menampar dan pelapor itu tergelimpang kena ditampar pipinya.
"Memalukan
saja, di hadapan tamu bicara memperlihatkan kelemahan!" Dia lalu menoleh
kepada In Hong sambil berkata, "Coba nona lihat, apakah tidak memalukan
mempunyai anggota seperti ini?"
"Maafkan
kami, twako..."
"Hayo
buka ikatannya!" Si tahi lalat memerintah sambil menuding ke arah piauwsu
yang sudah mulai siuman itu.
Pakaian
piauwsu itu basah kuyup dan mukanya pucat karena tadi dia dikeroyok ketika
tercebur ke air dan di dalam air dia sama sekali tidak mampu menandingi ilmu
renang para bajak sungai ini sehingga akhirnya dia pingsan dan diikat.
"Tapi...
twako...," anggota bajak itu terkejut karena maklum akan kelihaian piauwsu
ini.
"Buka...!"
Si tahi lalat membentak lagi lalu tertawa bergelak sambil minum araknya. Sejak
tadi dia sudah minum arak terlalu banyak sampai mukanya menjadi merah dan dia
sudah agak mabok. "Hendak kulihat sampai di mana kelihaiannya sehingga dia
berani melawan anak buah Fen-ho Su-liong!"
In Hong
memandang dengan tenang saja dan bibirnya membentuk senyum mengejek saat
menyaksikan lagak si tahi lalat itu. Dia tidak peduli dan tidak merasa kasihan
kepada piauwsu itu karena merasa bahwa apa yang dihadapinya sama sekali tidak
ada sangkut pautnya dengan dirinya, dan diam-diam dia pun ingin sekali
menyaksikan sampai di mana kelihaian Empat Naga Sungai Fen-ho yang sombong ini
dan yang menganggap sebagai ‘sahabat’ dari Giok-hong-pang.
Piauwsu itu
segera dibebaskan dan sejenak dia duduk sambil mengumpulkan napas dan
kekuatannya. Dia maklum bahwa dia berada di sarang bajak sehingga tidak ada
harapan baginya untuk dapat hidup. Akan tetapi setidaknya dia akan
mempertahankan diri sebagai seorang gagah.
"Hayo
bangun, jangan pura-pura mampus!" Si muka pucat menghardiknya.
Piauwsu itu
sudah berusia lebih dari lima puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya
gagah. Dihardik demikian, dia mengangkat muka, lalu memandang kepada empat
orang itu satu demi satu dan dia tercengang ketika melihat ada seorang gadis
cantik jelita duduk bersama empat orang kepala bajak itu. Akan tetapi pandang
matanya kepada In Hong juga tidak ada bedanya dengan ketika dia memandang
bajak-bajak itu karena dia mengira bahwa tentu wanita muda yang cantik ini pun
kaki tangan bajak!
Dengan
perlahan dia pun bangkit berdiri dan langsung menghadapi si tahi lalat yang dia
tahu adalah ketuanya karena tadi disebut twako.
"Kalau
tak salah, su-wi (kalian berempat) adalah yang disebut Su-liong (Empat Naga)
dari Fen-ho. Sungguh mengherankan sekali, biasanya antara su-wi dengan kami
dari golongan piauwsu tidak ada permusuhan sama sekali, bahkan ada kerja sama
yang baik. Seingat saya pula, Pek-eng Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Garuda
Putih) tak pernah menolak permintaan sumbangan dari semua sahabat di sekitar
Fen-ho. Tapi kenapa hari ini su-wi mengganggu kami?"
"Ha-ha-ha,
piauwsu busuk! Bicara manis pun tak ada gunanya! Tak perlu kau merengek-rengek
karena kami tidak akan mengampunimu!" kata si jenggot pendek.
Piauwsu itu
membusungkan dadanya. "Saya tidak mengharapkan pengampunan. Setelah kami
gagal mengawal, pemilik barang tewas tenggelam serta barang-barangnya hilang,
isteri dan anak-anaknya perempuan kalian culik, kami pun tidak mengharapkan
hidup lagi. Kami hanya ingin tahu kenapa terjadi perubahan ini di fihak
kawan!" Suaranya tegas dan tidak menghormat lagi.
"Ha-ha-ha-ha!"
si tahi lalat tertawa. "Kalau kami merobah sikap, kalian mau apa? Boleh
panggil semua jagoan kang-ouw, pendekar-pendekar yang sakti di kolong langit!
Apakah mau minta bantuan ketua Cin-ling-pai, ataukah Cap-it Ho-han?
Ha-ha-ha!"
Piauwsu itu
mengerutkan alianya. Dia mengerti. Kiranya berita yang menggegerkan dunia
kang-ouw mengenai kematian tokoh-tokoh Cin-ling-pai, tentang tercurinya pedang
Siang-bhok-kiam itulah yang merobah sikap para golongan hitam!
"Bagus!
Kami bukanlah pengecut-pengecut yang suka minta bantuan kepada siapa pun. Untuk
pekerjaan kami, kami sendirilah yang bertanggung jawab. Sekarang sesudah kalian
membebaskan ikatanku, apakah kehendak kalian?"
"Ha-ha-ha,
piauwsu cerewet!" Si tahi lalat tertawa dan segera menerjang dengan
pukulan tangan kanannya ke arah kepala piauwsu itu.
"Dukkk!"
Piauwsu itu
menangkis dan keduanya terpental ke belakang, tanda bahwa tenaga mereka
seimbang.
"Haii,
kau berani melawanku?!" Si tahi lalat membentak marah dan kembali
menyerang dengan ganas.
Ternyata si
tahi lalat yang tinggi besar itu memiliki gerakan yang cepat juga, serangannya
bertubi-tubi, susul-menyusul dengan pukulan dan tendangan kedua kaki tangannya,
tidak mau memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang sehingga
piauwsu itu terhuyung-huyung ke belakang dan berusaha untuk mengelak dan
menangkis. Namun tubuhnya memang sudah lemah dan tangannya belum pulih kembali
dan orang pertama dari Fen-ho Su-liong itu memang lihai bukan main, maka
piauwsu itu segera terdesak hebat.
"Bukkk!"
Tiba-tiba
saja orang kedua dari Fen-ho Su-liong menendang dari belakang dan tepat
mengenai pinggul si piauwsu yang tentu saja terhuyung ke samping dengan kaget.
"Plakkk!"
Si jenggot
pendek menampar dari samping. Biar pun piauwsu itu sudah mengelak, tetap saja
serangan tiba-tiba ini mengenai pundaknya, membuat dia hampir terpelanting.
"Desssss…!"
Dengan gaya
yang gagah si muka pucat menghantam dari belakang dan tepat mengenai punggung
piauwsu itu sehingga muntah darah.
"Bagus,
kalian pengecut-pengecut hina! Jangan kira aku takut!" Piauwsu itu
membentak dan dia menjadi nekat menyerang empat orang itu dengan niat untuk
mengadu nyawa.
Akan tetapi
karena tingkat kepandaian empat orang itu rata-rata lebih tinggi sedikit kalau
dibandingkan dengan dia, sedangkan dia sudah sangat kelelahan dan empat orang
itu mengeroyoknya, tentu saja dia segera menjadi permainan mereka, dipukul dan
ditendang ke sana ke mari sampai akhirnya sebuah tonjokan si tahi lalat yang
mengenai perutnya membuat dia terjungkal dan tak dapat bangkit kembali.
In Hong
melihat ini semua dan dia kini berkata perlahan, "Bagus! Jadi begini
gagahkah yang berjuluk Empat Naga? Mengeroyok orang yang sudah tak bertenaga
lagi?"
Empat orang
yang sudah hendak memukuli piauwsu yang tidak mampu melawan lagi itu mundur dan
menyeringai agak malu. "Ha-ha-ha, biar ada sepuluh orang seperti dia, mana
mampu melawan kami? Nona, bagaimana kau lihat tonjokanku dengan jurus Naga
Sakti Mencuri Mustika tadi, hebat tidak?" Si tahi lalat bertanya kepada In
Hong.
"Ha-ha-ha-ha,
twako lebih pandai lagi mencuri hati wanita!" si kurus pucat berkata
sambil tertawa-tawa, tidak tahu betapa In Hong sudah mulai merasa mual dan
panas perutnya.
In Hong
mengambil keputusan untuk segera pergi saja meninggalkan orang-orang yang
menjijikkan itu, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara tangis wanita dan
melihat tiga orang wanita diseret-seret menuju ke tempat itu. Yang seorang
adalah selir saudagar yang menjadi korban pembajakan, seorang wanita berusia
tiga puluhan tahun yang masih cantik dan berkulit putih sekali, sedangkan yang
dua orang adalah gadis-gadis berusia tujuh belas dan lima belas tahun,
puteri-puteri saudagar itu. Dengan kasar para bajak mendorong tiga orang wanita
itu sehingga jatuh berlutut di depan Fen-ho Su-liong.
"Aihhh...,
inikah anak-anak ayam itu?" Si tahi lalat menghampiri mereka seorang demi
seorang, memegang dagu mereka dan mengangkat muka itu untuk dilihat.
"Bagus,
lumayan, masih mulus! Biarlah mereka untuk kalian bertiga, Sute, sedangkan aku
sudah mempunyai nona Giok-hong-pang ini. Nona, mari kita bersenang-senang di
dalam kamarku, kita adalah orang sendiri dan sahabat baik, engkau nanti
kupersilakan memilih simpanan benda-benda perhiasan yang paling berharga dariku
dan..."
"Manusia-manusia
biadab! Keluarlah karena saat ini adalah saat kematian kalian semua di
tanganku!" In Hong tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Suaranya dingin,
seperti bukan suara orang yang marah dan anehnya, bibir yang biasanya diam dan
dingin agak cemberut itu kini membayangkan senyum manis.
In Hong
telah melempar buntalannya ke atas tanah dan sekali meloncat, tubuhnya sudah
melayang ke depan pondok itu. Dia tidak mau turun tangan di dalam pondok karena
dia ingin mengalihkan perhatian mereka kepadanya agar tak sempat mengganggu
tiga orang wanita itu.
Andai kata
di tempat itu tidak ada peristiwa penculikan tiga orang wanita yang dihina itu,
agaknya belum tentu In Hong akan menjadi marah dan mau turun tangan. Bahkan dia
tadi sudah ingin cepat-cepat pergi. Akan tetapi, melihat ketiga orang wanita
itu hendak dihina merupakan puncak bagi kesabaran In Hong.
Empat orang
Fen-ho Su-liong saling pandang lalu tertawa. "Wah, kiranya dia juga seekor
kuda binal yang tidak mau ditunggangi begitu saja dengan jinak, twako!"
berkata si muka pucat.
"Ha-ha-ha,
lebih baik lagi kalau begitu. Aku memang lebih suka kuda betina yang binal, yang
melawan sebelum menjadi jinak penurut. Hayo kalian bantu aku menangkapnya dan
menjinakkannya, Sute bertiga!"
Sambil
tertawa-tawa empat orang laki-laki itu kemudian berlompatan keluar. Tugas untuk
mengurung dan menjinakkan dara cantik jelita ini tentu saja diterima dengan
gembira oleh tiga orang sute itu, karena memang kecantikan In Hong sangat
mempesona hati mereka dan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan tiga
orang wanita yang dibajak itu.
In Hong
berdiri tegak tanpa bergerak sedikit pun, kedua tangannya tergantung di kanan
kiri tubuhnya, hanya matanya yang melirik ke kanan kiri ketika keempat orang
itu sudah mengurungnya dari kanan kiri sambil tertawa-tawa.
"Haaai-hooohhhh!"
Si tahi lalat menggertak dan berpura-pura menggerak-gerakkan kedua tangannya
seperti orang mau menangkap.
Akan tetapi
In Hong tidak bergerak karena tahu bahwa itu hanyalah gertakan saja. Empat
orang Fen-ho Su-liong tertawa-tawa dan beberapa kali menggertak, lalu tiba-tiba
mereka berempat menubruk secara berbareng dan menerkam tubuh In Hong seperti
empat ekor harimau menerkam seekor domba dari empat penjuru.
"Bressssss...!"
Mereka
berteriak kesakitan dan bingung karena mereka saling bertubrukan sedangkan dara
yang mereka tubruk itu telah lenyap. Cepat mereka meloncat mundur dan melihat
In Hong berdiri dengan tenangnya di sebelah kiri sambil memandang mereka dengan
sikap mengejek.
Sementara
itu, para anggota bajak sudah keluar semua dari pondok-pondok mereka pada waktu
mendengar bahwa empat orang pimpinan mereka sedang ‘menjinakkan’ seorang wanita
cantik yang pandai ilmu silat, yang tadi menjadi tamu terhormat. Mereka semua
telah mendengar bahwa tamu itu adalah anggota Giok-hong-pang yang secara
diam-diam dimusuhi oleh pimpinan mereka karena mendengar bahwa wanita-wanita
Giok-hong-pang membasmi Kwi-eng-pang dan mendengar pula betapa wanita-wanita
itu pembenci kaum pria!
Tentu akan merupakan
tontonan yang menarik melihat bagaimana empat orang pimpinan mereka menjinakkan
wanita pembenci kaum pria yang cantik ini. Mereka bahkan masih tertawa-tawa
pada saat melihat empat orang pimpinan mereka tadi gagal menubruk, dan memuji
bahwa wanita itu cepat juga gerakannya ketika meloncat keluar dari kepungan
pada saat mereka menubruk.
Sekarang
empat orang itu mengepung In Hong dari depan dan belakang. Dari belakang, si
muka pucat dan si tahi lalat di hidung menghampiri berindap-indap dengan sikap
masih bermain-main sedangkan dari depan si jenggot serta suheng-nya menghampiri
dengan gaya seperti hendak menubruk katak hijau...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment