Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 06
TIBA-TIBA
terdengar suara melengking tinggi dan dahsyat sekali, suara ini keluar dari
mulut In Hong dan tampaklah sinar berkilat menyilaukan mata, disusul
pekik-pekik mengerikan. Semua orang terbelalak dan menggigil!
Ternyata,
sama sekali tak terduga-duga saking cepatnya, membarengi suara lengkingnya yang
sangat dahsyat, In Hong sudah bergerak. Entah kapan dia mencabut pedang dari
punggungnya, karena tahu-tahu pedang pada tangan kanannya itu telah menusuk
tembus dada si jenggot pendek dan suheng-nya yang berdiri depan belakang!
Sesudah
pedang itu menembus dada dua orang itu, pada detik berikutnya tangan kirinya
bergerak menampar ke belakang dua kali, tepat mengenai kepala si muka pucat dan
si tahi lalat. Terdengar suara keras dan mereka menjerit berbareng dengan jerit
dua orang yang ‘disate’ itu, kemudian roboh dengan mulut, hidung, mata dan
telinga mengeluarkan darah! In Hong meloncat ke belakang sambil mencabut
pedangnya. Dua orang disate itu terjungkal dan roboh saling tindih,
berkelojotan di dalam darah mereka sendiri.
Dua puluh
orang bajak menjadi panik. Seujung rambut pun mereka tidak pernah mengira akan
terjadi peristiwa seperti itu! Belasan orang segera mencabut senjata dan
mengurung In Hong, akan tetapi beberapa orang yang cukup cerdik cepat melarikan
diri dari situ.
Empat belas
orang anak buah bajak yang tak tahu diri itu menggerakkan senjata mereka
menyerang, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar-sinar kilat yang membuat mereka
laksana buta karena tidak melihat lagi di mana adanya wanita yang hendak mereka
keroyok dan tahu-tahu mereka sudah roboh satu demi satu, tak dapat bangun
kembali karena mereka telah tewas semua!
Piauwsu itu
hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri. Dia tadi siuman dan dengan
susah payah merangkak keluar. Sampai di depan pintu dia masih sempat melihat
empat orang kepala bajak tewas kemudian disusul dengan empat belas orang bajak
yang mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dalam waktu singkat sekali.
Kini dia
hanya melongo memandang kepada dara jelita yang sudah tidak berpedang lagi karena
pedangnya sudah kembali ke dalam sarung pedang di punggung. Dengan sikap dingin
In Hong lalu menghampiri buntalannya, menyambar buntalan itu dan melangkah
pergi.
"Lihiap...!
Tunggu sebentar...!" Piauwsu itu berseru sambil memaksa dirinya untuk
berlari menghampiri.
In Hong
menoleh, matanya seakan bertanya apa yang dikehendaki orang itu. Piauwsu itu
mengenal orang pandai dan serta merta dia menjatuhkan diri berlutut.
"Lihiap,
banyak terima kasih atas pertolonganmu. Bolehkah saya mengetahui nama besar
lihiap...?"
"Kau
urus wanita-wanita itu, antar mereka pulang!"
"Baik,
lihiap...!" Piauwsu itu bengong karena ketika dia mengangkat mukanya, dia
hanya melihat bayangan berkelebat dan wanita itu telah lenyap dari hadapannya!
Dia
terbelalak, menoleh ke kanan kiri yang penuh dengan mayat malang melintang. Tak
seorang pun di antara delapan belas orang itu yang hidup, semua mati dengan
cara dua macam, kalau tidak retak kepalanya tentu dadanya tembus oleh pedang.
Dia bergidik.
"Cantik
bagaikan Dewi... akan tetapi ganas seperti Elmaut...!" Bergegas Piauwsu
ini lalu menghampiri tiga orang wanita yang masih menangis itu, mengajak mereka
pergi dari situ dengan sebuah perahu karena kalau sampai sisa bajak-bajak itu
datang kembali, dalam keadaan terluka parah seperti itu tentu dia tidak akan
mampu melindungi mereka.
Puas rasa
hati In Hong. Dia telah membasmi laki-laki yang suka menghina wanita! Andai
kata tidak terjadi penghinaan terhadap diri tiga orang wanita itu, tentu dia
tidak akan turut mencampuri urusan Fen-ho Su-liong. Dalam hatinya dia berjanji
akan terus menggunakan ilmunya menentang kaum pria yang suka mempermainkan
wanita!
Bukan semua
pria, pikirnya maklum. Ada pria yang baik, misalnya pelayan restoran dan
piauwsu itu. Piauwsu itu gagah perkasa, patut dikagumi dan pelayan restoran itu
ramah dan wajar, patut dijadikan sahabat. Tidak, dia bukanlah pembenci pria
seperti subo-nya atau seperti para bibi anggota Giok-hong-pang!
Dia tak akan
memusuhi kaum pria secara membuta. Karena sering mendengar cerita para anak
buah subo-nya, dia tahu bahwa kebanyakan pria adalah pengganggu wanita. Akan
tetapi dia hanya akan menentang mereka yang sudah terbukti melakukan penghinaan
terhadap kaum wanita.
Pengalaman
di sarang bajak itu, pertemuannya dengan piauwsu yang gagah perkasa itu,
menarik hatinya dan membuat dia berpikir. Betapa buruknya golongan hitam
seperti para bajak itu. Dan kalau golongan putih seperti piauwsu itu, sungguh
mengagumkan!
Sikap
piauwsu itu bukanlah suatu kesombongan ketika dia menghadapi Fen-ho Su-liong,
melainkan sikap gagah dan jantan. Dia juga tertarik mendengar mengenai
terampasnya Siang-bhok-kiam dan tanpa dia ketahui sebabnya, secara aneh dia
ingin mencari pedang pusaka yang terampas itu, ingin melihat bagaimana macamnya
pedang Siang-bhok-kiam yang oleh subo-nya diceritakan sebagai Pedang Kayu Harum
yang pernah diperebutkan oleh tokoh-tokoh persilatan, seperti halnya bokor emas
yang terjatuh ke tangan subo-nya.
Karena
gangguan perjalanan itu, hari sudah mulai gelap ketika dia tiba di kota
Tai-goan. Kota yang besar sekali dan membuat dia takjub. Ketika memasuki kota,
dia benar-benar seperti orang dusun memandang ke kanan kiri penuh kagum melihat
rumah-rumah besar, toko-toko yang penuh barang-barang indah, dan keramaian kota
yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Karena tidak
dapat memilih, pada waktu melihat sebuah rumah penginapan, dia langsung masuk.
Sebetulnya banyak sekali rumah penginapan yang besar-besar di kota Tai-goan,
akan tetapi karena dia tidak tahu, In Hong memasuki rumah penginapan pertama
yang dilihatnya.
Hampir dia
tersenyum saat sedang diantar oleh pelayan ke sebuah kamar. Di antara para tamu
yang berseliweran di tempat itu dia melihat seorang laki-laki tua bertopi yang
segera dikenalnya sebagai kakek bertopi yang dijumpainya di restoran di kota
Tai-lin pagi tadi, laki-laki yang melirik ke arahnya dan yang selalu
memperhatikan buntalannya. Anehnya, laki-laki itu juga memandang kepadanya dan
jelas kelihatan laki-laki tua itu girang dan lega, seolah-olah menemukan
kembali orang yang dicari-carinya!
Hampir dia
tersenyum ketika sedang diantar oleh pelayan ke sebuah kamar, dia melihat di
antara para tamu yang berseliweran di situ seorang laki-laki tua bertopi yang
segera dikenalnya sebagai kakek bertopi yang dijumpainya di restoran di kota
Tai-lin pagi tadi, laki-laki yang melirik ke arahnya dan yang selalu
memperhatikan buntalannya. Anehnya, laki-laki itu juga memandang kepadanya dan
jelas kelihatan laki-laki tua itu girang dan lega, seolah-olah menemukan
kembali orang yang dicari-carinya!
Setelah
mandi dan memesan makanan, lalu makan kenyang dan mengaso sambil duduk bersila
dan berlatih siulian sebentar, In Hong lantas menutup pintu dan jendela,
menaruh buntalan pakaian dan uang di atas meja, meletakkan pedang di bawah
bantal dan dia pun tidur. Dia tidak memadamkan lilin karena sudah menjadi
kebiasaannya tidur dalam kamar yang terang. Dia akan membiarkan lilin itu
sampai padam sendiri setelah dia pulas.
Menjelang
tengah malam dia mendengar ada suara napas orang di balik jendela! Dengan
perlahan dia membalikkan muka dan memandang. Dilihatnya asap kebiruan memasuki
kamarnya melalui celah-celah daun jendela! Asap beracun!
Dengan
tenang In Hong cepat-cepat mengambil hawa murni melalui hidungnya sebanyak
mungkin dan mengumpulkannya di dada, lalu menahan napas. Tak lama kemudian
kamar itu sudah penuh dengan asap kebiruan itu. Perlahan-lahan daun jendela
terbuka dan In Hong membalikkan muka setelah melirik.
Lihai juga
orang itu, pikirnya. Tentu dia mempunyai obat penawar asap beracun dan cara
membuka jendelanya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia sudah
bersiap-siap. Biar pun dia kini membalikkan muka dan tidak melihat orang itu,
namun dengan pendengaran telinganya dia dapat mengikuti segala gerak-gerik
orang itu!
Apa bila
orang itu hendak mengganggunya, tentu dia akan meloncat dan menangkapnya. Akan
tetapi sungguh aneh sekali, orang itu sama sekali tidak memasuki kamar, hanya
mengulurkan tangannya dan meraih buntalannya di atas meja yang kebetulan
berdiri di dekat jendela itu! Kiranya orang itu hanya seorang pencuri yang
mengincar buntalannya!
In Hong
tidak mau ribut-ribut sehingga menimbulkan geger dan menarik perhatian orang
yang bermalam di penginapan itu. Dia membiarkan orang itu menyambar
buntalannya, dan ketika orang itu melarikan diri, barulah dia meloncat turun
dengan hati-hati, memakai sepatunya secara cepat, kemudian sambil membawa
pedangnya dia meloncat keluar dari jendela. Dilihatnya bayangan berkelebat di
sebelah belakang hotel itu, maka dia segera mengejar. Ketika tiba di belakang
hotel, bayangan itu meloncat ke atas genteng dengan tubuh ringan.
In Hong
terkejut sekali. Ketika bayangan itu menoleh, dari lampu di belakang hotel dia
mengenal muka laki-laki tua bertopi! Kiranya dia maling itu! Dan melihat cara
orang itu meloncat ke atas genteng, agaknya tingkat kepandaian orang ini tidak
di sebelah bawah tingkat kepandaian Fen-ho Su-liong! Maka agar jangan sampai
kehilangan pakaian dan uang, In Hong mengerahkan tenaganya, tubuhnya melesat
naik melakukan pengejaran.
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati maling itu ketika dia menoleh dan melihat nona
yang tidur pulas terkena asap beracunnya yang merupakan obat bius nomor satu di
dunia permalingan itu kini tahu-tahu sudah mengejar dekat sekali! Dia lalu
mengerahkan seluruh tenaga dan ginkang-nya, tubuhnya melesat cepat sekali
seperti tukang ngebut.
Dia
tersenyum sendiri. Mana mampu engkau mengejar aku si jago kebut, pikirnya. Akan
tetapi ketika dia melayang turun ke atas tanah dan kembali berlari cepat,
mengira bahwa pengejarnya tentu telah ketinggalan, dia mendengar bentakan
halus,
"Maling
sial, mau lari ke mana kau?!"
"Wah...!"
Dia segera lari lagi, akan tetapi ketika mendengar angin di belakangnya, secara
tiba-tiba dia menjatuhkan tubuhnya melintang di jalan.
In Hong
menjerit dan cepat meloncat karena kalau tidak tentu dia akan menginjak tubuh
itu atau akan jatuh tersandung. Dia meloncati tubuh orang itu dan ketika
membalik, orang itu sudah lari lagi!
In Hong
menjadi gemas, merasa dipermainkan dengan akal kanak-kanak, maka cepat dia
membalik dan mengejar. Kalau dia menghendaki, dengan Siang-tok-swa, senjata
rahasia pasirnya itu, tentu dengan mudah dia dapat merobohkan maling ini. Akan
tetapi dia tidak mau turun tangan membunuhnya sebelum tahu akan duduknya
perkara, mengapa maling itu mengikutinya. Dengan beberapa loncatan jauh dia
dapat menyusul.
"Kembalikan
buntalanku!" bentaknya dan tangannya sudah meraih untuk merampas.
Akan tetapi,
tiba-tiba saja maling itu melemparkan buntalannya ke samping dan tubuhnya
bergulingan kemudian tangannya menyambar lagi buntalan itu, terus melompat dan
lari sekuatnya! Kembali In Hong kena diakali sehingga maling itu dapat
melarikan diri lagi.
"Gila!"
bentaknya dan dengan sekali lompatan jauh dan cepat sekali tubuhnya melayang ke
depan, sekaligus sudah menubruk dan dengan tangan kirinya dia menyambar
buntalan sedangkan tangan kanannya menampar pundak.
"Waduuuhhh...!"
Orang tua itu memekik dan roboh terguling.
Buntalan itu
berhasil dirampas kembali oleh In Hong. Maling itu merangkak bangun dan segera
berlutut sambil berkata,
"Ampunkan
saya, lihiap. Sungguh malam ini saya Jeng-ci Sin-touw mengaku kalah dan bertemu
dengan gurunya!"
Kemarahan di
hati In Hong terganti rasa geli melihat maling itu berlutut dan minta ampun
sambil memperkenalkan dirinya yang mempunyai julukan begitu hebat. Jeng-ci
Sin-touw (Copet Sakti Berjari Seribu)! Biar pun memang harus diakuinya bahwa
maling ini memiliki kepandaian dan kecepatan yang mengagumkan, namun julukan
itu pun amat berlebihan.
Sebelum In
Hong sempat bicara, maling itu kembali memberi hormat, lalu bangkit berdiri,
menjura dan berkata lagi, suaranya penuh permohonan. "Saya memiliki mata
akan tetapi seperti buta sehingga berani mengganggu seorang pendekar wanita
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi menjulang hingga ke langit, biarlah
kegagalan ini menjadi hukuman bagi Jeng-ci Sin-touw dan terima kasih atas
pengampunan lihiap. Permisi!"
Dia kemudian
membalikkan tubuhnya hendak lari, akan tetapi secepat kilat In Hong sudah
menggerakkan kakinya. Ujung sepatunya menotok belakang lutut kanan orang itu
hingga untuk kedua kalinya maling itu roboh terpelanting.
"Aduhh,
ampun, apakah lihiap hendak membunuh saya?" Maling tua itu berteriak.
"Buntalanku
tidak lengkap seperti tadi!" In Hong mengangkat tinggi buntalannya.
"Begini ringan, tentu ada yang kau ambil dari dalamnya. Hayo
kembalikan!"
Maling itu
merangkak bangun, menyeringai karena selain kakinya terasa sakit, juga amat
kecewa karena wanita muda yang cantik ini ternyata tidak dapat diakali. Dengan
wajah membayangkan putus asa dia merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan
kantung uang yang tadinya berada di dalam buntalah sambil mengomel.
"Celaka
tiga belas! Benar saja makian lihiap tadi bahwa saya benar-benar sial malam
ini, bertemu dengan seorang seperti lihiap yang begini lihai. Sungguh sial,
padahal menurut taksiran saya, di dalam kantung ini terdapat tiga puluh tail
emas dan sedikitnya sepuluh tail perak. Hasil yang lumayan, sesuai dengan jerih
payah saya tadi! Akan tetapi semua sia-sia belaka."
In Hong
terkejut dan kagum sekali. Maling ini tadi begitu merampas buntalan terus lari
dan dikejarnya. Tetapi bukan saja maling itu dapat menyembunyikan kantung uang
dari dalam buntalan ke dalam saku jubahnya, bahkan maling itu bisa menduga
hampir persis jumlah isinya!
"Hemmm,
kulihat engkau bukan orang tolol! Kenapa engkau menggunakan asap beracun di
kamarku tadi? Hayo jawab, kalau kau membohong dan aku kehabisan sabar, aku
tidak akan segan-segan membunuhmu!"
"Apa
artinya asap mainan itu bagi lihiap? Buktinya lihiap tidak apa-apa!"
Maling itu masih hendak mengelak.
"Simpan
saja kepura-puraanmu itu! Asap itu beracun dan dapat membius orang! Kenapa kau
lakukan itu terhadap aku? Siapa kau dan apa maksudmu mengintai dan membayangi
sejak dari Tai-lin sampai di sini kemudian mencuri buntalanku?"
Maling itu
menarik napas panjang. "Dasar sial dangkalan! Tidak hanya gagal malah kini
awakku sudah dicurigai dan dituduh yang bukan-bukan! Baiklah, harap lihiap
dengarkan baik-baik pengakuanku ini. Nama saya Can Pouw dan dijuluki orang
Jeng-ci Sin-touw. Di Tai-goan, nama saya dikenal oleh semua orang, terutama
kaum hartawan yang selalu ketakutan kalau-kalau saya menjadi tamu yang tak
diundang. Sejak kecil pekerjaan saya mempergunakan kesempatan selagi orang
lengah..."
"Jangan
memutar balikkan omongan, pakai kata-kata mempergunakan kesempatan selagi orang
lengah, bilang saja pencopet!" In Hong membentak tak sabar.
"Yaahhh...
kan semua ada seninya! Lihiap tidak mengerti akan seninya mencopet atau maling
yang istilahnya menggunakan kesempatan selagi orang bermalas-malasan. Amat jauh
bedanya dengan perampok atau bajak, lihiap! Mereka itu adalah orang-orang kasar
yang mempergunakan kekerasan mengandalkan kepandaian merampas dengan paksa,
berbeda dengan kami yang bekerja dengan cara halus tidak mau menyinggung
perasaan orang lain sehingga yang kehilangan barang tidak pernah tahu siapa
yang mengambilnya. Bukankah itu mengandung seni yang bermutu tinggi dan
halus...?"
"Cerewet!
Kau ingin main-main dengan aku, ya?" In Hong menghunus sedikit pedangnya
dan tampak sinar berkilat.
"Eh,
eh... oh... tidak, lihiap! Maafkan saya! Sampai di mana cerita saya tadi? Wah,
lihiap membikin saya ketakutan setengah mati. Baiklah, tadi saya terpaksa
menggunakan asap pembius karena saya telah menduga bahwa lihiap adalah seorang
yang amat lihai. Siapa sangka, asap pembius yang cukup kuat untuk membikin
pulas sepuluh orang itu agaknya hanya merupakan minyak wangi saja bagi lihiap.
Dasar saya yang sialan!"
"Dan
mengapa engkau membayangi aku sejak di restoran di kota Tai-lin?"
"Wah,
sejak itu lihiap sudah curiga kepada saya? Hebat! Ketahuilah, lihiap. Saya
bukan menyombongkan diri, namun pengalaman saya yang sudah puluhan tahun
membuat saya dapat menduga bahwa isi buntalan yang lihiap bawa itu, selain
pakaian tentu mengandung emas atau perak, terbukti dari beratnya. Melihat ikan
kakap, seorang pengail seperti saya ini mana tidak tertarik untuk mengikuti
betapa jauhnya pun?"
"Bicara
yang benar! Apa itu kakap dan pengail?" In Hong membentak, semakin
tertarik karena sikap dan bicara orang ini memang luar biasa dan lucu.
"Ehh,
maaf. Jika seorang ahli memindahkan barang..."
"Bilang
saja pencopet! Pencopet! Maling!" In Hong membentak tidak sabar.
"Iya,
iya... jika seorang pencopet atau maling tangan panjang melihat calon korban
yang membawa barang-barang berharga, maka istilahnya adalah kakap dan si...
ehh, pencopet menganggap dirinya seperti pengail yang akan menangkap ikan kakap
itu. Saya melihat nona, maka tentu saja saya tertarik dan saya ikuti terus.
Akan tetapi saya sudah putus harapan ketika melihat nona pergi bersama Fen-ho
Su-liong. Mereka adalah perkumpulan bajak yang kuat, saya seorang diri tak
berani mencampuri urusan mereka, maka terpaksa saya menggigit jari dan
melanjutkan perjalanan ke Tai-goan dengan hati mengkal, merasa betapa ikan
kakap itu dicaplok buaya. Tidak tahunya, eh... nona muncul di penginapan itu!
Tidak saya sangka nona dapat lolos dari Fen-ho Su-liong!"
"Mereka
telah mampus semua!" In Hong berkata tanpa disadarinya mengapa dia menjadi
suka bercakap-cakap dengan maling ini.
Maling itu
terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali dan kembali dia menjatuhkan dirinya
berlutut. "Lihiap telah membunuh mereka semua? Aduhh... kalau begitu saya
tentu akan mampus juga. Lihiap harap ampunkanlah kelancangan saya berani
mengganggu harimau betina..."
"Hayo
ceritakan, mengapa engkau begitu nekat mencoba untuk mencuri!"
Dan
tiba-tiba saja maling itu menangis! In Hong mengerutkan alisnya, berhati-hati
karena takut kalau-kalau kena diakali oleh maling yang pandai bermain gila ini.
"Huh! apa-apaan lagi engkau ini?"
"Uhu-huhu-huuu...!
Saya terpaksa melakukan ini, lihiap. Di rumah terdapat seorang isteri cerewet
yang selalu minta dibelikan ini itu yang serba mahal, sedangkan anak saya ada
tujuh orang..."
Hampir saja
In Hong tertawa karena geli hatinya.
"Nah,
kau terimalah ini untuk anak isterimu, kalau engkau berbohong, biar uang ini
akan mendatangkan mala petaka kepadamu!" In Hong melemparkan dua potong
uang perak kepada maling itu, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari
situ.
"Heiiiii...
lihiap, tungguuuuuu...! Saya memang berbohong, tapi tunggu, saya mempunyai
berita yang lebih penting lagi"
Tampak
bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong sudah berada di depannya sehingga
maling itu menutup mulutnya yang berteriak-teriak. Dia memandang kagum.
"Bukan main kehebatan ginkang dari lihiap."
"Hayo
ceritakan, berita apakah itu?"
"Lihiap
begini lihai, tentu lihiap merupakan seorang tokoh besar dari
Giok-hong-pang."
Mendengar
suara yang sungguh-sungguh itu, kini In Hong menduga bahwa maling lucu ini
tentu tidak main-main lagi. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Sudah
sejak di restoran itu saya menduga bahwa tentu lihiap seorang Giok-hong-pang,
melihat perhiasan kepala lihiap berupa burung hong dari batu kemala itu.
Sesungguhnya karena saya telah mendengar bahwa para wanita Giok-hong-pang
adalah pembenci kaum pria, maka saya sengaja membayangi dan hendak mengganggu
lihiap dengan mencuri buntalan lihiap. Ternyata lihiap berilmu tinggi sekali,
dan sikap lihiap bukan pembenci pria sungguh pun ngeri saya membayangkan betapa
gerombolan bajak Fen-ho itu terbunuh semua. Maka mudah saja saya menduga bahwa
tentu lihiap adalah seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang."
"Dugaanmu
memang benar, paman Can Pouw. Aku merupakan murid tunggal dari ketua
Giok-hong-pang."
"Paman...?
Lihiap menyebutku paman...? Ohhhh, terima kasih!" Kakek itu kelihatan
girang sekali, matanya bersinar-sinar di bawah cahaya bulan yang terang di
malam itu.
"Mengapa?"
In Hong terheran.
"Siapa
tidak akan girang disebut paman oleh seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang?
Lihiap baik sekali! Kalau boleh saya mengetahui nama lihiap yang mulia..."
"Jangan
menjilat-jilat, aku menjadi benci mendengarnya! Namaku Yap In Hong dan lekas
katakan, berita apa yang kau katakan penting tadi?"
"Seorang
tokoh besar yang lihai seperti lihiap telah keluar ke dunia ramai, sudah pasti
ada hubungannya dengan geger di dunia kang-ouw tentang tercurinya pedang pusaka
Siang-bhok-kiam, bukan?"
In Hong
terkejut. Dia memang tertarik dengan urusan lenyapnya pusaka Cin-ling-pai yang
dicuri orang itu.
"Kalau
benar demikian, mengapa?"
"Lihiap,
untuk kebaikan lihiap yang telah mengampuni saya, telah memberi hadiah uang
kepada saya dan terutama sekali yang memanggil saya paman, biarlah saya membuka
rahasia ini. Saya tahu siapa yang mencuri Siang-bhok-kiam itu!"
In Hong
terkejut lagi. "Bagaimana engkau bisa tahu?" tanyanya curiga, takut
kalau-kalau dibohongi lagi.
"Demi
Thian dan semua Dewa, saya tidak bohong, lihiap!" Maling itu agaknya
merasa bahwa dia dicurigai. "Dan tentu saja saya tahu. Bagi Jeng-ci
Sin-touw seorang maling sakti yang terkenal, di dunia ini tak ada berita yang
lebih menarik dari pada berita tentang permalingan, terutama permalingan yang
hebat-hebat seperti dicurinya Siang-bhok-kiam itu. Ingat, saya mempunyai
julukan Seribu Jari, bukan hanya pandai mencopet akan tetapi juga mempunyai
ribuan kawan yang dapat menyelidiki."
"Hemmm,
apa anehnya itu? Aku pun sudah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu adalah Lima
Bayangan Dewa."
"Semua
orang agaknya tahu bahwa mereka adalah Lima Bayangan Dewa, akan tetapi tahukah
lihiap siapa sesungguhnya kelima orang sakti itu dan terutama sekali di mana
mereka itu berada?"
In Hong
benar-benar tertarik. "Dan engkau tahu, paman Can Pouw?"
"Tentu
saja! Dengarlah baik-baik, lihiap, dan sebaiknya kalau lihiap jangan
mencoba-coba untuk menentang mereka tanpa bantuan yang cukup banyak dan kuat.
Mereka itu adalah tokoh-tokoh baru yang memiliki kepandaian hebat, lima orang
sakti yang bersatu menjadi Lima Bayangan Dewa, yang semuanya adalah musuh-musuh
pribadi ketua Cin-ling-pai. Orang pertama adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok.
Mendengar julukannya saja, Pat-pi Lo-sian (Dewa Tua Berlengan Delapan) tentu
sudah dapat dibayangkan kelihaiannya. Dia seorang yang aneh dan penuh rahasia,
kabarnya datang dari utara dan masih keturunan Mongol, terkenal dengan
pakaiannya yang serba putih mengerikan!"
"Hemm,
baru delapan lengannya apa sih hebatnya? Masih kalah oleh engkau yang berjari
seribu."
"Lihiap
mengejek! Dia itu kabarnya sakti sekali, bahkan kabarnya malah lebih sakti dari
pada mendiang suheng-nya, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang pernah menjadi datuk
kaum sesat. Sedangkan orang kedua adalah Liok-te Sin-mo (Iblis Bumi) Gu Lo It
yang kabarnya memiliki tenaga bagai seratus ekor kuda jantan! Kemudian orang
ketiga adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang tentu saja hanya
seorang tokoh hitam yang menyamar sebagai pendeta, kabarnya kesaktiannya tidak
kalah oleh yang dua itu, pandai merayap tembok seperti cecak dan kepalanya
merupakan senjata ampuh."
In Hong
mencatat dalam hatinya. Walau pun kepandaian seperti itu tidak aneh baginya,
namun dia tahu bahwa hal itu membuktikan betapa lihai adanya orang-orang dari
Lima Bayangan Dewa itu.
"Orang
keempat adalah seorang iblis betina yang amat mengerikan, yaitu Hui-giakang
(Kelabang Terbang) Ciok Lee Kim. Tentu saja mengerikan. Seekor kelabang sudah
amat berbahaya dan beracun, apa lagi kalau pandai terbang. Kabarnya dia memang
pandai terbang! Huh, mengerikan sekali. Aku tidak sudi berjumpa berdua saja
dengan dia ini di tempat gelap!"
In Hong
menahan senyumannya. Maling tua ini memang lucu, kata-katanya jenaka dan tidak
dibuat-buat, bahkan kalau sudah berbicara sungguh-sungguh dan lenyap wataknya
yang suka bersenda gurau dan membohong, dia memiliki kejujuran.
"Sedangkan
orang kelima bernama Toat-beng-kauw Bu Sit. Dari julukannya saja sudah ketahuan
bahwa dia seperti monyet, juga kecepatannya. Nah, lengkaplah lima orang dari
Lima Bayangan Dewa itu, lihiap."
In Hong
mengangguk-angguk, secara diam-diam dia mencatat semua nama dan julukan itu.
"Terima kasih atas keteranganmu, paman. Memang berita ini penting sekali
bagiku."
"Ada
yang lebih penting lagi!" Can Pouw berseru. "Yaitu sarang
mereka!"
"Di
mana?"
"Di
lembah Sungai Kuning, di sebelah timur kota Cin-an. Kurang lebih dua puluh li
dari Cin-an terdapat lembah Sungai Hoang-ho yang penuh dengan hutan. Di dalam
sebuah hutan dekat sungai yang bermuara, di sanalah letak pedusunan
Ngo-sian-chung (Dusun Lima Dewa) dan di sana pulalah lima orang sakti itu
tinggal dalam sebuah gedung besar, sedangkan para penghuni dusun kecil itu yang
tidak berapa banyak semua adalah anak buah dan murid-murid mereka. Akan tetapi
harap hati-hati, lihiap, jangan sekali-kali lihiap memberanikan diri mendekati
tempat itu. Mereka bukanlah penjahat-penjahat biasa, tidak pernah melakukan
kejahatan malah merupakan pelindung dan sahabat-sahabat baik para pembesar di
kota Cin-an dan sekitarnya. Mereka itu kaya raya dan para anggotanya melakukan
pekerjaan dagang. Pada saat saya dan kawan-kawan menyelidik ke sana, dari
sepuluh orang hanya saya dan seorang teman saja yang mampu keluar dalam keadaan
hidup. Yang delapan orang lenyap entah ke mana!"
In Hong
mengerutkan sepasang alisnya. Hebat juga berita ini. Dia merogoh saku hendak
mengeluarkan sepotong uang emas, akan tetapi segera didahului oleh Jeng-ci
Sin-touw yang berkata, "Harap lihiap jangan memberi uang kepada saya.
Perkenalan ini saja sudah cukup mengherankan hati saya dan kalau sewaktu-waktu
lihiap membutuhkan saya, asal lihiap datang ke Tai-goan dan bertemu dengan
seorang di antara seniman-seniman copet di pasar lalu menanyakan saya, tentu
akan dapat berjumpa."
In Hong
tersenyum. Semenjak dia pergi meninggalkan Kwi-ouw, baru sekali ini dia sempat
bercakap-cakap selama itu dengan seseorang dan anehnya, sungguh tak pernah
diduga-duganya, orang itu adalah seorang laki-laki dan lebih lagi, seorang
pencuri malah!
"Terima
kasih, paman Can, mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa lagi
dalam keadaan yang lebih baik." Sesudah berkata demikian, sekali
berkelebat dara itu lenyap dari hadapan Can Pouw yang menjadi bengong.
Sudah banyak
dia berjumpa orang pandai, bahkan dia sendiri mempunyai ginkang yang cukup
tinggi sehingga dia terkenal, akan tetapi gerakan dara yang bernama Yap In Hong
itu benar-benar mengejutkan hatinya, seakan-akan dara itu pandai menghilang
seperti setan!
“Demi
dewa...!" Dia berkata lirih, "berani aku mempertaruhkan julukanku,
bahwa Yap In Hong ini kelak akan menjadi seorang yang menggegerkan dunia!"
Dia tidak
tahu bahwa In Hong yang tadi mencelat hanya bersembunyi di atas pohon dan
mendengar semua ini. Dara ini berlaku hati-hati dan sengaja bersembunyi untuk
melihat apa yang akan dilakukan oleh maling yang mencurigakan, tahu segala, dan
banyak cakap akan tetapi lucu itu.
Mendengar
maling itu akan mempertaruhkan julukannya, In Hong menutup mulutnya dan tertawa
geli. Benar-benar tolol dan lucu. Siapa sudi bertaruh dengan dia apa bila yang
dipertaruhkan itu julukannya, betapa mentereng sekali pun julukan itu?
Setelah
maling tua itu pergi, baru In Hong meloncat turun dan melanjutkan
perjalanannya. Timbul suatu hasrat aneh di dalam hatinya yang terdorong oleh
kata-kata maling tua itu. Dia akan menjadi orang yang menggegerkan dunia! Dan
dia ingin hal ini benar terjadi, menggegerkan dunia persilatan! Dan hal itu
hanya dapat terlaksana bila mana dia dapat merampas kembali Siang-bhok-kiam
dari tangan Lima Bayangan Dewa!
***************
Mereka itu
bukan lain adalah Lima Bayangan Dewa yang kini telah pulang dan merayakan pesta
kemenangan mereka, sesudah mereka berhasil menewaskan tujuh orang Cap-it Ho-han
dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Sambil tertawa-tawa, empat orang
menceritakan jalannya pertandingan ketika mereka membunuhi tokoh-tokoh
Cin-ling-pai di ruangan atas loteng rumah makan Koai-lo di kota Han-tiong itu,
sedangkan Pat-pi Losian Phang Tui Lok juga menceritakan pengalamannya yang berhasil
baik ketika dia menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka
Siang-bhok-kiam.
"Sungguh
menyebalkan," Phang Tui Lok menutup ceritanya sambil menghunus sebatang
pedang kayu yang mengeluarkan bau harum semerbak, "…pedang kayu macam ini
saja pada puluhan tahun yang lalu pernah diperebutkan oleh para tokoh kang-ouw.
Padahal pedang ini biasa saja, hanya sebatang pedang kayu harum yang biar pun
mengandung hawa mukjijat namun tidak lebih berguna dari pada sebatang pedang
baja yang baik."
"Tentu
dahulu lain lagi, Phang-suheng," kata Liok-te Sin-mo Gu Lo It.
"Dahulu pedang ini menyimpan rahasia tempat pusaka terpendam yang akhirnya
terjatuh ke tangan Cia Keng Hong. Akan tetapi sekarang pedang ini hanya menjadi
lambang kebesaran Cin-ling-pai belaka."
"Yang
sudah beralih ke tangan kita, ha-ha-ha." Pat-pi Lo-sian tertawa dan
mukanya yang kelihatan muda itu menjadi makin muda dan tampan tiada ubahnya
muka seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun saja. Padahal tokoh ini sudah
berusia enam puluh lima tahun!
Phang Tui
Lok adalah seorang peranakan keturunan Mongol, terlahir dari ibu seorang Wanita
Han yang menjadi tawanan kemudian dipaksa menjadi selir seorang kepala Suku
Mongol. Dia adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang di
samping suheng-nya, juga sudah seperti kakaknya sendiri karena dari tokoh ini
dia sudah banyak berhutang budi.
Oleh karena
itu, ketika mendengar akan kematian Ouwyang Kok, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok
menjadi kaget dan berduka sekali. Pada saat itu usianya baru empat puluh tahun
lebih dan dia merasa tidak berdaya untuk membalas dendam atas kematian
suheng-nya terhadap seorang musuh yang saktinya seperti ketua Cin-ling-pai.
Maka diam-diam dia memperdalam ilmunya selama belasan tahun dan selama itu dia
selalu berpakaian putih tanda berkabung terhadap kematian suheng-nya.
Sesudah
merasa dirinya cukup kuat, dia lalu merantau ke selatan, melewati perbatasan
dan Tembok Besar dan akhirnya dia berhasil menarik empat orang itu sebagai
sekutunya, karena empat orang itu juga merupakan orang-orang yang merasa sakit
hati terhadap ketua Cin-ling-pai. Karena bersatu tujuan, mereka kemudian saling
mengangkat saudara sebagai saudara-saudara seperguruan, sesudah Phang Tui Lok
menurunkan ilmu tentang racun kepada mereka.
Ilmu racun
ini didapatnya dari mendiang Ouwyang Kok sehingga ikatan ilmu ini membuat
mereka merasa seperti saudara-saudara seperguruan. Karena Phang Tui Lok
merupakan yang tertua dan juga yang terlihai di antara mereka, maka dialah yang
menjadi pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, yaitu nama yang mereka pakai sebagai
julukan mereka, yang diambil dari nama dusun di mana mereka tinggal, yaitu
Dusun Lima Dewa.
"Ingin
sekali aku melihat muka Cia Keng Hong apa bila dia pulang dan mendengar akan
kematian Cap-it Ho-han dan hilangnya pedang Siang-bhok-kiam! Tentu dia akan
bingung mendengar nama Lima Bayangan Dewa!" kata pula Toat-beng-kauw Bu
Sit, Si Monyet Pencabut Nyawa.
"Biar
dia mencari-cari sampai setengah mampus!" Hui-giakang Ciok Lee Kim tertawa
dan menenggak araknya.
"Omitohud...
pinceng tidak akan merasa heran kalau besok atau lusa dia akan muncul di sini.
Orang macam dia tentu tidak membutuhkan waktu lama untuk mencari tempat
kita."
"Ehh,
hwesio murtad, apa engkau takut?" Pat-pi Lo-sian bertanya, "Engkau
meramalkan kedatangannya seolah-olah engkau takut menghadapinya."
"Ha-ha-ha,
siapa takut kepadanya? Apanya yang harus ditakuti? Aku malah ingin sekali
mencoba Thi-khi I-beng dengan ilmu cecakku, hendak kulihat sampai di mana
kekuatan daya sedotnya."
Memang ada
persamaan antara Thi-khi I-beng dengan ilmu yang dikuasai oleh hwesio ini
sehingga membuat dia dapat merayap di tembok seperti seekor cecak, yaitu
penggunaan sinkang untuk menyedot dari telapak tangan. Tentu saja hwesio yang
sombong ini tidak tahu bahwa Thi-khi I-beng adalah ilmu mukjijat yang langka,
yang tidak hanya menyedot seperti dilakukan oleh telapak tangannya menyedot
tembok sehingga dapat melekat, akan tetapi Thi-khi I-beng menyedot sinkang
orang hingga membanjir keluar dari dalam tubuh!
"Bagus,
memang kita sudah menanti-nanti kedatangannya untuk membikin perhitungan.
Betapa pun juga, mengingat bahwa Cia Keng Hong mempunyai keluarga yang terdiri
dari orang-orang sakti, juga banyak kawan-kawannya yang lihai, sebaiknya kalau
kita juga menghimpun tenaga dari golongan kita. Setelah mendengar akan
keberanian kita mencuri Siang-bhok-kiam, kiraku tentu banyak tokoh hitam yang
akan suka membantu kita."
Tiba-tiba
terdengar suara halus seorang wanita, "Bagus! Lima Bayangan Dewa sungguh
bernyali besar sekali!"
Lima orang
itu amat terkejut dan karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi,
mereka segera dapat menekan kekagetan mereka dan tetap duduk di tempat, sungguh
pun mereka cepat menengok dan memandang ke arah orang yang mengeluarkan suara
itu. Seorang nenek tua berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berdiri di dalam
ruangan itu tanpa ada penjaga yang melihatnya.
"Memang
mengagumkan sekali dan kita perlu mengetahui dulu sampai di mana kelihaian
mereka maka berani mengganggu Cin-ling-pai!" terdengar suara kedua dan
tahu-tahu di situ muncul pula seorang kakek yang usianya sudah jauh lebih tua.
Kakek dan nenek ini keduanya berpakaian seperti pendeta.
Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok maklum bahwa dua orang ini tentulah orang-orang pandai, akan
tetapi karena sikap mereka tidak bermusuhan dia pun lalu meraba sepasang sumpit
dan secawan arak dari atas meja. Dia ingin menguji dahulu kepandaian dua orang
tamu itu sebelum dia mengambil keputusan sikap apa yang akan diambilnya untuk
menyambut mereka.
"Kedua
tamu yang tak diundang, silakan!" kata orang pertama dari Lima Bayangan
Dewa itu dan tiba-tiba sepasang sumpit gading meluncur ke arah nenek itu,
sedangkan secawan penuh arak meluncur ke arah si kakek tua.
Dua orang
itu berdiri tenang saja, kemudian nenek itu menggerakkan tangan kanan dan
sekaligus jari-jari tangannya dapat menjepit sepasang sumpit itu dengan enaknya
seperti orang mengambil sumpit dari atas meja saja. Cawan arak yang meluncur ke
arah muka kakek itu tiba-tiba terhenti di udara, lantas berputaran dan ketika
kakek itu menggerakkan tangannya, cawan itu berhenti tepat di atas kepalanya
kemudian pelan-pelan mendoyong sehingga araknya mengucur perlahan-lahan. Kakek
itu membuka mulutnya sehingga arak itu masuk ke mulut dan diminumnya.
"Nenek
tua, terimalah suguhan dari pinceng!" Hok Hosiang juga menggunakan
sumpitnya mengambil potongan-potongan daging dengan cepat sekali dan
melempar-lemparkan ke arah nenek itu dengan kecepatan seperti sambitan
senjata-senjata rahasia yang sangat berbahaya.
"Wut-wut-wut...
cap-cap-cappp!"
Hebatnya,
nenek itu berhasil menerima tiga potong daging dengan sepasang sumpitnya,
kemudian perlahan-lahan dia memasukkan daging-daging itu ke dalam mulutnya
sambil mengunyah. Dia lalu melemparkan sumpit ke atas meja dan kedua sumpit itu
menancap di hadapan Pat-pi Lo-sian, disusul oleh terbangnya cawan kosong yang
juga hinggap di depan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu tanpa
terbanting keras seakan-akan diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!
Menyaksikan
ini, lima orang itu terkejut dan maklum bahwa dua orang kakek dan nenek itu
sangat lihai. Mereka segera bangkit berdiri dan menjura kepada mereka berdua,
dan Phang Tui Lok berkata, "Maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan
ji-wi sehingga tidak menyambut lebih cepat."
"Siancai,
Lima Bayangan Dewa terlalu sungkan! Kamilah yang seharusnya merasa malu, datang
tanpa diundang dan begitu tiba turut menikmati hidangan, ha-ha-ha!" kakek
yang berpakaian seperti tosu itu berkata sambil tertawa. "Sebagai tamu-tamu
tak diundang, biarlah pinto memperkenalkan diri..."
"Nanti
dulu!" Liok-te Sin-mo Gu Lo it berseru, "Biarkan kami menduga-duga
siapa adanya ji-wi!"
Lima orang
itu lalu memandang dengan penuh perhatian pada wajah dan pakaian mereka berdua
yang tersenyum-senyum saja. Akhirnya Liok-te Sin-mo yang lebih dahulu berseru.
"Aku
mau didenda minum tiga cawan arak kalau dugaanku meleset bahwa locianpwe ini
adalah Hwa Hwa Cinjin"

Tosu tinggi
kurus itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Lima Bayangan Dewa
memang hebat, bermata tajam di samping nyalinya yang amat besar."
"Dan
siapa lagi tokouw ini kalau bukan Hek I Siankouw?" Hui-giakang Ciok Lee
Kim juga berseru. Pendeta wanita berpakaian hitam itu lalu menjura sambil
tersenyum pula.
"Kalian
memang hebat dan mengagumkan, bukan hanya karena sudah berani mengejek ketua
Cin-ling-pai, tapi juga berani menanggung resikonya dan menghadapi pembalasan
mereka. Kami berdua pasti suka membantu kalian," kata Hek I Siankouw.
Dua orang
kakek dan nenek ini memang merupakan tokoh-tokoh yang terkenal juga biar pun
mereka jarang menampakkan dirinya di dunia kang-ouw. Kakek yang hanya dikenal
julukannya sebagai Hwa Hwa Cinjin itu adalah sute dari Toat-beng Hoatsu,
seorang datuk kaum sesat yang dahulu tewas di tangan Panglima Besar The Hoo
sendiri ketika terjadi perebutan bokor emas, di mana Cia Keng Hong menjadi
pembantu utama dari The Hoo.
Karena kini
Panglima The Hoo sudah meninggal, dan memang tidak mungkin bagi kaum sesat
untuk membalas kepada seorang panglima besar yang sangat kuat kedudukannya
seperti Panglima The Hoo, maka sekarang semua dendam dilimpahkan kepada Cia
Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Apa lagi setelah mendengar bahwa Cin-ling-pai
berhasil diserbu dan dikacau oleh Lima Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin cepat
mengajak Hek I Siankouw untuk mengunjungi Cin-ling-pai. Dengan dalih ikut
berduka cita dan ingin bersembahyang, mereka telah melakukan penghinaan di
Cin-ling-pai karena Cia Keng Hong tidak ada dan mereka segera pergi melihat
munculnya kakek sakti Tio Hok Gwan dan ahli sihir Hong Khi Hoatsu.
Nenek tokouw
itu sebetuInya adalah bekas kekasih Hwa Hwa Cinjin pada masa lampau.
Penyelewengan mereka menuruti nafsu birahi inilah yang kemudian membuat mereka
terpaksa melarikan diri dari golongan pendeta dan menjadi pendeta-pendeta
perantau yang wataknya sudah bukan seperti pendeta suci lagi sampai mereka
menjadi kakek dan nenek.
Hanya aneh
dan lucunya, sampai mereka menjadi kakek berusia tujuh puluh tahun dan nenek
berusia enam puluh tahun, mereka masih tetap rukun dan ke mana pun mereka
berduaan terus! Setelah Hwa Hwa Cinjin dikenal oleh Liok-te Sin-mo, tentu saja
mudah untuk mengenal Hek I Siankouw karena sudah terkenal betapa keduanya ini
tak pernah berpisah.
Pat-pi
Lo-sian lalu mempersilakan mereka duduk dan dia lantas memperkenalkan diri dan
juga para adik seperguruannya. Ketika dia memperkenalkan diri sebagai sute
mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong, Hwa
Hwa Cinjin langsung menepuk meja.
"Ahhh,
ternyata sicu adalah sute mendiang Ban-tok Coa-ong! Sungguh kebetulan sekali
karena mendiang suheng-mu itu merupakan sahabat baik dari mendiang suheng-ku,
yaitu Toat-beng Hoatsu yang tewas oleh Panglima The Hoo. Bagus, kini kita dapat
berkumpul dan bekerja sama, dan memang sudah tiba waktunya untuk melakukan
balas dendam kepada Cia Keng Hong beserta keluarganya."
Pelayan
dipanggil, makanan dan minuman ditambah dan mereka makan minum sambil mengatur
rencana untuk mengadakan persekutuan menghadapi keluarga Cia Keng Hong yang
amat terkenal sebagai keluarga yang sakti itu.
"Aku
memiliki seorang sahabat baik yang kiranya perlu sekali diajak untuk
bersama-sama menghadapi musuh. Dia pasti bersedia, karena dia pun tidak suka
kepada keluarga ketua Cin-ling-pai itu. Dia amat lihai dan kalau dia membantu
kita, persekutuan kita tentu akan lebih kuat," Hek I Siankouw berkata.
"Bagus
sekali, Siankouw. Siapakah gerangan sababatmu itu?" tanya Sin-ciang
Siauw-bin-sian Hok Hosiang, yang kagum melihat nenek berpakaian hitam itu sudah
tua namun masih tetap cantik!
"Dia
adalah Go-bi Sin-kouw dan kalau kita sendiri mengundangnya, tentu dia akan mau
bergabung dan datang ke sini."
Sampai
sehari penuh mereka berpesta dan berunding. Akhirnya mereka bersepakat untuk
mengundang orang-orang pandai dari golongan hitam, untuk bersama-sama
menghadapi Cin-ling-pai dan menghancurkan keluarga pendekar Cia Keng Hong yang
mereka anggap merupakan pusat kekuatan golongan putih yang selalu menentang
golongan hitam.
Mereka
berangkat berpencar setelah menentukan satu tanggal dan bulan untuk berkumpul
kembali di dusun Ngo-sian-chung sambil mengajak bantuan dari orang-orang sakti
yang mereka undang. Untuk menjaga keselamatan, maka seluruh penduduk
Ngo-sian-chung juga pergi semua bersembunyi dan hanya diam-diam melakukan
pengintaian ke dusun mereka yang ditinggal pergi karena mereka tidak berani
tinggal di situ selama lima orang pemimpin mereka tidak ada.
***************
"Adik
In Hong...!"
In Hong
terkejut dan menghentikan langkahnya. Tempat itu sunyi dan matahari telah naik
tinggi. Tidak kelihatan seorang pun manusia akan tetapi suara panggilan tadi
terdengar dekat sekali. Kemudian dia melihat bayangan orang berlari cepat dari
belakang dan dia terkejut.
Orang itu
telah memanggil namanya dari jarak yang demikian jauhnya, akan tetapi suara
panggilannya begitu dekat seolah-olah terdengar di sisi telinganya! Maklumlah
dia bahwa pemanggilnya itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan
tahu pula dia siapa orang itu, maka dia menanti sambil berdiri tegak dan
jantung berdebar tegang.
Tidak lama
kemudian Kun Liong sudah berdiri di depannya, tersenyum dan memandang tajam
wajah yang cantik jelita itu.
"Yap In
Hong, adikku, adik kandungku..."
In Hong
mengerutkan alisnya. Tak diduganya bahwa dia akan bertemu dengan kakaknya di
situ, atau lebih tepat lagi, kakaknya itu agaknya mengejar dan menyusulnya.
"Semenjak
aku terusir dari Pulau Kwi-ouw, aku menanti kesempatan baik. Melihat engkau
melakukan perjalanan seorang diri, secara diam-diam aku membayangimu dari jauh,
dan dari jauh pula aku melihat segala sepak terjangmu. Engkau hebat, adikku,
hanya sayang pada saat menghadapi Fen-ho Su-liong, engkau terlampau ganas.
Mereka memang bajak sungai yang kejam, akan tetapi belum tentu di antara mereka
itu tidak dapat sadar dan kembali ke jalan benar jika diberi kesempatan. Hampir
aku kehilangan kau ketika engkau malam-malam pergi mengejar maling, dan untung
hari ini aku masih dapat menyusulmu."
"Engkau...
engkau mau apakah?" Akhirnya In Hong dapat mengajukan pertanyaan itu.
Hatinya
berdebar-debar tidak karuan, dan bermacam perasaan bergelora dalam dadanya.
Harus diakuinya bahwa ada semacam kebahagiaan dan keharuan terasa di hatinya
ketika dia berhadapan dengan orang yang menjadi kakak kandungnya itu, namun
juga terdapat rasa kekhawatiran dan tidak senang ketika dia teringat bahwa
penghidupan gurunya yang tercinta dirusak oleh kakaknya ini.
"In
Hong, aku adalah kakak kandungmu yang mencari-carimu, dan sesudah kita bertemu
bagaimana engkau dapat mengajukan pertanyaan seperti itu? Aku adalah kakakmu,
dan karena ayah bunda kita sudah tiada, maka aku adalah walimu, pengganti ayah
bundamu."
“Aku... aku
tidak mempunyai urusan apa-apa denganmu dan... dan semenjak kecil pun di antara
kita tidak ada hubungan apa-apa. Sudahlah, kita tidak perlu saling mengganggu,
jalan hidup kita terpisah dan aku tidak mau terlibat dengan urusanmu atau siapa
pun juga."
"In
Hong! Dengar baik-baik, aku bertindak selaku kakak dan wakil orang tuamu. Aku
harus melakukan kebaktian terakhir terhadap orang tua kita dengan mengatur
urusan masa depanmu. Dengarlah, baru-baru ini Cia Keng Hong locianpwe, ketua
Cin-ling-pai datang berkunjung ke rumahku dan beliau mengulurkan tangan menjodohkan
puteranya yang bernama Cia Bun Houw denganmu! Tentu saja aku setuju karena
menjadi mantu ketua Cin-ling-pai merupakan kehormatan besar sekali dan
sekaligus akan mengangkat nama mendiang orang tua kita. Cia Bun Houw telah
berguru kepada Kok Beng Lama, yaitu ayah mertuaku yang sakti dan kini tentu
kepandaiannya sudah hebat bukan main, dan menurut penuturan ketua Cin-ling-pai,
sekarang sedang dijemput untuk pulang ke Cin-ling-san."
Kun Liong
yang mengucapkan kata-kata itu dengan hati gembira dan menyangka bahwa sebagai
seorang gadis muda tentu muka adiknya akan menjadi merah karena dibicarakan
tentang urusan jodohnya, kini menghentikan kata-katanya kemudian memandang
dengan heran. Wajah adiknya itu biasa saja, bahkan dingin dan sama sekali tidak
peduli, tampak agak termenung seperti orang terkejut.
Memang bukan
urusan perjodohan itu yang menarik hati In Hong, melainkan mendengar betapa
ketua Cin-ling-pai baru saja datang ke rumah kakaknya itu membicarakan urusan
pernikahan. Berarti bahwa waktu ketua itu pergi ke rumah kakaknya itulah Lima
Bayangan Dewa datang menyerbu kemudian mencuri Siang-bhok-kiam. Dan jelas bahwa
kakaknya ini belum mendengar mengenai peristiwa yang menggegerkan itu, maka
bicara enak saja tentang perjodohan, tidak tahu bahwa di tempat yang
mengusulkan perjodohan itu terjadi mala petaka yang menggegerkan.
"In
Hong, karena itu maka sekarang engkau ikutlah pulang bersamaku. Percayalah
bahwa selama ini aku beserta kakak iparmu selalu mengenangmu. Aku tidak ingin
memperhebat kebencian subo-mu kepadaku maka selama ini aku tidak mau
menggunakan kekerasan untuk merampasmu. Pula, aku tidak ingin menggunakan
paksaan terhadap dirimu, hanya kuharap engkau dapat sadar bahwa tempatmu adalah
di samping kakak kandungmu."
"Koko,
sudahlah, lupakan saja bahwa engkau mempunyai seorang adik kandung seperti aku.
Engkau telah merusak kehidupan subo-ku, mana mungkin sekarang aku menyakiti
hatinya dengan berbaik kepadamu? Marilah kita berpisah dengan baik dan
selanjutnya tidak perlu kita saling bertemu kembali." Setelah berkata
demikian, In Hong membalikkan tubuhnya hendak pergi.
"In
Hong...!" Kun Liong berseru keras dan sekali berkelebat dia sudah
menghadang di depan gadis itu. "Sadarlah, engkau adalah puteri pendekar
besar Yap Cong San dan Gui Yan Cu, sama sekali bukan keturunan golongan hitam!
Dan aku telah menyetujui tentang ikatan jodohmu dengan putera ketua
Cin-ling-pai! Engkau adalah calon mantu Pendekar Sakti Cia Keng Hong!"
"Kalau
begitu, mengapa tidak engkau saja yang menjadi mantunya, Koko?" jawab In
Hong dengan nada mengejek.
Wajah Kun
Liong berubah karena ucapan itu benar-benar menancap di hatinya, terasa benar
kena dan tepatnya. Memang sebenarnya dialah yang dahulu hendak dijodohkan
dengan puteri pendekar sakti itu, yaitu Cia Giok Keng. Akan tetapi dia jatuh
cinta kepada Pek Hong Ing sehingga ikatan jodoh itu gagal.
Sekarang
baru dia sadar bahwa desakan-desakannya kepada adiknya ini sebagian besar
adalah untuk ‘menebus dosa’ atau menyambung kembali yang dahulu putus olehnya.
Dia tak ingat bahwa dalam hal perjodohan, adiknya sama dengan dia, berhak
menentukannya sendiri! Ucapan adiknya tadi bagaikan halilintar menyambar
kepalanya dan membuatnya sadar, membuatnya tak mampu lagi bicara, hanya
memandang wajah adiknya yang cantik itu dengan muka muram.
Melihat
wajah kakaknya, In Hong menjadi sabar. "Koko, aku mohon kepadamu,
habisilah urusan ini sampai di sini saja. Aku diperkenankan merantau oleh subo,
dan aku sudah berjanji kepadanya untuk tidak kembali kepadamu, maka selamat
berpisah dan semoga hidupmu bahagia, Koko. Aku akan mencari jalanku sendiri,
harap kau tidak mencampuri urusanku seperti aku pun tidak akan mencampuri
urusanmu."
In Hong
meloncat dan berlari pergi. Kun Liong tidak lagi mengeiar, hanya memandang
dengan mata sayu. Bibirnya bergerak seperti berdoa, "Ayah dan ibu, anakmu
ini semejak dulu tidak pernah berbakti kepada orang tua, sekarang mengurus adik
pun tidak mampu. Ampunilah aku..."
Sampai lama
dia berdiri termenung di tempat itu. Hatinya perih ketika dia mengenangkan
adiknya. Dari sepak terjang adiknya yang dilihat dari jauh pada saat In Hong
membasmi Fen-ho Su-liong, dia tahu bahwa adiknya sudah ketularan watak keras
dan ganas dari Bi Kiok sehingga andai kata adiknya menjadi menantu ketua
Cin-ling-pai dan tidak dapat merobah wataknya, tentu malah akan mendatangkan
hal-hal yang tidak baik.
Perlahan-lahan
dia lalu meninggalkan tempat itu untuk pulang dan mengabarkan kepada isterinya
tentang adiknya ini dan selama melakukan perjalanan beberapa pekan ini. Kun
Liong menjadi agak kurus. Batinnya tertekan dan tertindih apa bila dia teringat
kepada In Hong.
***************
Sementara
itu, In Hong meninggalkan kakaknya, perasaan marah dan penasaran segera
menghapus keharuannya. Mereka itu terlalu menghinanya, terlalu memandang rendah
kepadanya, pikirnya. Keluarga ketua Cin-ling-pai dan kakaknya itu!
Dia tidak
dianggap sebagai manusia! Apakah dia itu kucing atau anjing, mau dikawinkan
begitu saja dan sudah dirundingkan masak-masak, sudah diikat perjodohan sebelum
dia sendiri tahu akan persoalannya? Belum apa-apa dia sudah ditentukan sebagai
jodoh atau calon jodoh seorang pria yang sama sekali tak pernah dilihatnya,
yang bernama... ehh, siapa lagi tadi? Cia Bun Houw? Biar dia pendekar sakti
seperti dewa sekali pun, apakah dia dikira seorang perempuan yang gila pria,
mau menurut begitu saja dicarikan jodoh? Terlalu! Hatinya menjadi panas,
terutama sekali kepada keluarga Cia yang begitu mudah saja menarik dia sebagai
calon mantu.
"Lihat
saja kalian nanti!" gerutunya. "Aku bukan benda mati atau binatang
peliharaan yang dapat kalian perlakukan seenak hati kalian sendiri!"
Dengan hati
panas dia lalu melanjutkan perjalanannya, perantauannya yang tanpa tujuan
tertentu itu.
**************
Sulit
dibayangkan betapa hebat pukulan batin yang diderita oleh Pendekar Sakti Cia
Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, ketika mereka berdua pulang ke
Cin-ling-san setelah mereka mengunjungi rumah Yap Kun Liong di kota Leng-kok.
Padahal perjalanan itu amat menggembirakan hati kedua orang suami isteri yang
sudah menjadi kakek nenek berusia enam puluh tahun lebih itu. Perjalanan yang
amat menyegarkan dan menyehatkan setelah belasan tahun mereka tidak lagi
melakukan perjalanan keluar dari Cin-ling-san.
Cia Keng
Hong menggigit bibir dan mengepal kedua tinju tangannya, sedangkan isterinya
hampir pingsan, kemudian menangis menjatuhkan diri di atas kursi ketika mereka
berdua disambut dengan ratap tangis oleh anak buah dan anak murid mereka. Apa
lagi pada saat mendengar penuturan mereka tentang matinya tujuh orang di antara
Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Wajah Keng Hong berubah menjadi
pucat sekali.
"Biar
aku pergi mencari mereka! Si bedebah Lima Bayangan Dewa biar akan bersembunyi
di neraka sekali pun, akan kucari sampai dapat dan kucincang kepala mereka
sampai hancur!" Nenek itu berteriak-teriak sambil mengepal tinju.
Menghadapi
malapetaka yang demikian hebat, nenek itu kembali menjadi Sie Biauw Eng, bekas
pendekar wanita yang tidak pernah mengenal takut dan yang dulu namanya pernah
menggemparkan dunia kang-ouw ketika dia masih berjuluk Song-bun Siu-li!
Kakek ketua
Cin-ling-pai itu menghibur isterinya dan mereka duduk berdampingan di atas
kursi dengan muka sebentar pucat sebentar merah ketika anak-anak murid
Cin-ling-pai menceritakan dengan sejelasnya tentang penyerbuan di Cin-ling-pai
oleh Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan pembunuhan atas diri para murid
Cin-ling-pai di restoran Koai-lo di kota Han-tiong.
"Tadinya
teecu sekalian bingung karena tidak ada yang mengetahui nama empat orang lain
dari Lima Bayangan Dewa, sedangkan yang tahu hanya suheng Coa Seng Ki yang pada
saat itu belum tewas namun terluka amat hebat..." Pembicara itu menghapus
air matanya. "Untung datang Hong Khi Hoatsu locianpwe bersama locianpwe
Tio Hok Gwan yang dapat memberi kekuatan sementara kepada Coa-suheng untuk
memberi tahukan nama-nama mereka."
"Lekas
kau sebutkan nama-nama mereka itu!" Cia Keng Hong berkata, suaranya penuh
kegemasan dan kemarahan tertahan. Maka disebutlah satu demi satu nama serta
julukan empat orang di antara Lima Bayangan Dewa itu yang dicatat baik-baik di
dalam hati oleh Cia Keng Hong dan isterinya.
"Hemm,
tentu semua ini gara-gara Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok," Cia Keng Hong
berkata marah. "Dia adalah sute dari Ouwyang Kok dan tentu dia yang
menggerakkan yang lain untuk membalas dendam. Dasar pengecut hina! Mengapa dia
datang pada saat aku tidak berada di Cin-ling-san?"
Peristiwa
dicurinya Siang-bhok-kiam tidak begitu menyedihkan hati Cia Keng Hong, tidak
seperti kematian tujuh orang Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lainnya. Akan
tetapi isterinya berkata,
"Biar
pun pedang itu tidak sangat berharga, akan tetapi benda itu adalah pusaka
lambang kebesaran Cin-ling-pai! Bahkan lebih dari itu, Siang-bhok-kiam sudah
terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai lambang kemenangan dari kebaikan
melawan kejahatan. Karena itu lenyapnya Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai tentu
akan menggegerkan dunia persilatan dan memberanikan hati kaum sesat untuk
beraksi."
Cia Keng
Hong mengangguk-angguk membenarkan pendapat isterinya itu. "Bagaimana
juga, aku sendiri akan bergerak mencari kembali Siang-bhok-kiam dan membasmi
para pengecut itu. Akan tetapi kita harus menanti datangnya Kin Ta berempat
yang menjemput Bun Houw."
Ketika suami
isteri ini mendengar tentang kedatangan seorang tosu bersama tokouw yang
agaknya hendak mengacau di waktu peti-peti mati disembahyangi dan kedua orang
aneh itu pergi ketika Tio Hok Gwan dan Hong Khi Hoatsu muncul, Keng Hong
menarik napas panjang dan berkata kepada isterinya,
"Tidak
kusangka, dalam usia setua ini aku masih terus dikejar-kejar musuh. Aihhh...
jalan kekerasan memang selalu mendatangkan kekerasan lain sampai selama kita
hidup. Akan tetapi aku tak menyesal, memang sudah resikonya begini dan sampai
mati pun aku akan selalu membela kebenaran dan menentang kejahatan!"
Isterinya setuju dengan pendirian suaminya ini dan berjanji akan membela
suaminya sampai akhir hayat.
Berhari-hari
suami isteri yang sudah tua ini menanti dalam keadaan berkabung. Ketika pada
suatu hari Cia Bun Houw bersama empat orang tertua dari Cap-it Ho-han datang, mereka
disambut dengan tangis dan ratap menyedihkan.
Dapat
dibayangkan betapa marah dan terkejut hati Kwee Kin Ta dan para sute-nya ketika
mendengar penuturan mengenai kematian tujuh orang sute-nya serta lenyapnya
pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Sambil mengeluarkan teriakan keras Kwee Kin Ta
yang sudah berusia enam puluh tahun lebih, sebaya dengan ketuanya, roboh
pingsan!
"Ayah,
akan percuma sajalah anak berlatih ilmu selama bertahun-tahun kalau aku tidak
dapat mencari mereka, merampas kembali Siang-bhok-kiam dan membalaskan kematian
para suheng itu!" kata Bun Houw sambil menahan air matanya. Dia tidak
dapat menahan air matanya ketika melihat ayah dan ibunya yang sudah tua itu
sampai menangis.
Cia Keng
Hong menyadarkan Kin Ta dan dengan suara kereng lalu berkata, "Cukuplah
semua kelemahan ini! Cin-ling-pai bukan perkumpulan orang-orang cengeng! Mati
dalam mempertahankan kebenaran bukanlah mati konyol dan tak perlu terlalu
disedihkan benar. Mereka itu tewas sebagai murid-murid Cin-ling-pai yang tidak
memalukan, menghadapi kejahatan dengan gagah perkasa dan mati pun tidak
sia-sia. Habiskan semua kedukaan yang hanya melemahkan hati kita sendiri dan
marilah kita bicarakan bagaimana baiknya untuk mencari kembali Siang-bhok-kiam
dan menghukum Lima Bayangan Dewa."
Cia Keng
Hong dan isterinya lalu berunding dengan Bun Houw dan empat orang tertua Cap-it
Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta dan adiknya, Kwee Kin Ci, Louw Bi dan Un Siong Tek
yang usianya masing-masing telah lima puluh tahun. Di dalam perundingan ini,
Bun Houw kukuh dengan keinginannya untuk mencari pusaka yang hilang dan
menghukum musuh-musuhnya.
Ketika
ayahnya menyatakan keputusannya hendak pergi sendiri bersama ibunya, Bun Houw
membantah keras. "Ayah dan ibu sudah tua, dan biar pun urusan ini adalah
urusan ayah dan ibu, akan tetapi bukankah anak berhak untuk mewakili orang tua?
Pula, lima pengecut hina itu adalah pengecut-pengecut yang hanya berani
bergerak di waktu ayah dan ibu tidak ada, maka kurasa kepandaian mereka tidak
berapa hebat. Sudah cukuplah kalau anak sendiri yang menghadapi mereka dan anak
mempertaruhkan nyawa untuk tugas ini! Di samping itu, pengalaman yang sudah
menjadi pelajaran bahwa apa bila ayah dan ibu meninggalkan Cin-ling-pai, para
pengecut berani bermain gila. Sebaiknya kalau ayah dan ibu tetap tinggal di
sini, siapa tahu mereka itu akan datang lagi."
Cia Keng
Hong saling bertukar pandang dengan isterinya. Bagaimana pun juga, mereka masih
khawatir untuk melepas Bun Houw pergi sendiri karena anak itu baru saja datang
setelah pergi selama lima tahun dan sungguh pun kepandaiannya mungkin sudah
tinggi, namun masih kurang pengalaman. Akan tetapi, untuk menolak dan melarang
begitu saja pun sukar, selain tidak ada alasan kuat, juga amat tidak baik,
berarti menekan semangat kependekaran putera sendiri.
"Mari
kita semua ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat)!" Tiba-tiba Cia Keng
Hong berkata kepada putera dan murid-muridnya.
Setelah tiba
di ruangan bersilat yang amat luas ini, Kwee Kin Ta dan tiga orang sute-nya
duduk di atas bangku di pinggir, sedangkan Cia Keng Hong segera berkata kepada
Bun Houw, "Kau bersiaplah melawanku dan waspadalah, aku
bersungguh-sungguh!"
Bun Houw
adalah anak pendekar yang sejak kecil digembleng dengan ilmu silat. Tanpa
banyak cakap dia telah mengerti bahwa ayahnya tidak rela membiarkan dia pergi
mencari pedang Siang-bhok-kiam karena ayahnya masih belum percaya dengan
kepandaiannya. Apa bila dia tidak bisa mengalahkan ayahnya, atau setidaknya
mengimbangi kepandaian ayahnya, jangan harap ayahnya akan memperbolehkan dia
pergi melakukan tugas yang amat berbahaya itu.
Cepat dia
mengencangkan pakaian, lalu meloncat ke tengah ruangan itu dan berdiri tegak
sambil berkata, "Aku sudah siap, ayah!"
Cia Keng
Hong berbisik kepada isterinya, kemudian mengeluarkan bentakan nyaring dan
tubuhnya sudah mencelat ke tengah ruangan itu. "Awas serangan...!"
Langsung dia
menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan yang dahsyat bukan main, menggunakan
jurus-jurus pilihan dari San-in Kun-hoat. Hebat bukan kepalang Ilmu Silat
San-in Kun-hoat ini karena begitu dimainkan, dua telapak tangan pendekar tua
itu lantas mengeluarkan uap putih, sesuai dengan nama ilmu silatnya, yaitu
San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung).
"Haiiitttttt...!"
Bun Houw
juga mengeluarkan suara pekik dahsyat dan cepat dia menggerakkan kaki tangannya
menyambut serangan ayahnya, bukan mengelak melainkan menangkis sambil
mengerahkan sinkang-nya. Terdengar suara dak-duk-dak-duk ketika berkali-kali
lengan ayah dan anak itu saling beradu dan hanya beberapa kali saja Bun Houw
agak tergeser ke belakang namun tidak membuat dia sampai terhuyung.
Tentu saja
dia sudah hafal benar akan Ilmu Silat San-in Kun-hoat ini sehingga dia dapat
mengimbangi permainan ayahnya, bahkan dia juga membalas dengan jurus-jurus
pilihan dari ilmu silat ini. Gerakan mereka makin lama makin cepat sehingga
sukarlah bagi orang biasa untuk dapat mengikuti bayangan-bayangan yang sudah
menjadi satu itu.
Kwee Kin Ta
dan para sute-nya memandang kagum karena sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi
mereka pun dapat melihat betapa ketua mereka sedang mengerahkan kepandaian dan
tenaga, dan betapa putera ketua mereka itu melawan dengan kekuatan yang tidak
kalah hebatnya!
Setelah
mengeluarkan suara keras tiba-tiba Cia Keng Hong merobah gerakannya dan kini
dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bun Houw terkejut dan berlaku hati-hati
sekali. Dia sendiri sudah melatih diri dengan ilmu silat mukjijat ini, akan
tetapi karena dia maklum bahwa ayahnya adalah seorang ahli yang sulit dicari
bandingannya, maka dia tentu kalah matang, dan karena itu dia mengimbanginya
dengan Thai-kek Sin-kun yang dicampurnya dengan ilmu yang selama lima tahun ini
dia peroleh dari gurunya di Tibet. Kedua tangan Bun Houw menggetar-getar
mengeluarkan tenaga mukjijat karena dia telah mengerahkan Ilmu Thian-te
Sin-ciang (Tangan Sakti Langit dan Bumi) yang membuat kedua tangan Kok Beng
Lama dapat menahan segala senjata pusaka!
Cia Keng
Hong terkejut dan girang sekali ketika merasakan betapa dari kedua tangan
puteranya itu menyambar hawa yang luar biasa, ada rasa panas dan ada rasa
dingin, dan semua gerakan serangannya yang terlalu cepat dan terlalu hebat
sehingga mendesak puteranya, ternyata membalik dan tertahan oleh hawa aneh dari
kedua tangan puteranya itu!
Dia
menyerang terus, dan juga menjaga diri karena Bun Houw tidak membiarkan dirinya
diserang tanpa membalas. Dia membalas jurus dengan jurus, terjangan dengan
terjangan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga di sekeliling ayah dan anak ini,
dalam jarak empat meter terasa angin yang menyambar-nyambar, kadang-kadang
panas sekali, tapi kadang-kadang amat dinginnya.
Dua ratus
jurus telah lewat dan belum juga Cia Keng Hong dapat mengalahkan puteranya,
bahkan kini dia mulai terdesak karena betapa pun usianya yang sudah enam puluh
tahun lebih itu mengurangi tenaga dan napasnya.
Hyyyyaaaaattt...!"
Tiba-tiba Sie Biauw Eng mengeluarkan suara melengking nyaring dan wanita tua
ini telah terjun ke dalam medan pertandingan, langsung menyerang puteranya
dengan pukulan-pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun)!
Bun Houw
sudah melatih diri dengan pukulan-pukulan ini pula, akan tetapi dia berlaku
hati-hati dan cepat mengelak sambil membalas dengan serangan terhadap ibunya
karena dia maklum bahwa kalau dia menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang
terhadap ibunya, dia khawatir ibunya tak akan kuat bertahan dan akan menderita
luka. Maka dikeroyoklah pemuda itu oleh kedua ayah bundanya dan inilah agaknya
yang tadi dibisikkan oleh Cia Keng Hong kepada isterinya, yaitu untuk maju
mengeroyok apa bila dalam dua ratus jurus dia masih belum mampu mengalahkan
puteranya.
Pertandingan
menjadi makin seru dan kini bahkan Kwee Kin Ta dan adik-adiknya sendiri menjadi
pening mengikuti gerakan mereka yang luar biasa cepatnya. Empat orang tertua
dari Cap-it Ho-han ini merasa terkejut dan kagum bukan main.
Diam-diam
mereka harus mengakui bahwa bila dibandingkan dengan Bun Houw, tingkat mereka
kalah jauh sekali. Mereka menduga-duga bahwa mungkin kepandaian pemuda itu kini
sudah mengimbangi kepandaian ayahnya.
"Hyaaaaatttt…!"
"Haiiiiiiikkkkk…!"
Cia Keng
Hong dan isterinya memekik nyaring ketika pukulan Bun Houw menyambar ke arah
mereka. Mereka tidak mengelak melainkan menyambut pula dengan telapak tangan
mereka sehingga sepasang tangan pemuda itu menempel pada tangan ayah dan
ibunya. Suami isteri itu mengerahkan tenaga dan tubuh Bun Houw terangkat, kedua
tangannya masih menempel di tangan ayah bundanya dan kakinya ditarik ke atas.
"Aaaaahhhhh…!"
Suami isteri
itu mengerahkan tenaga lantas melemparkan tubuh putera mereka dengan dorongan
keras. Tubuh Bun Houw terlempar ke atas, akan tetapi bukannya terbanting jatuh,
sebaliknya malah berjungkir balik di udara sampai dua kali dan pada saat
tubuhnya melayang turun, kedua kakinya sudah mengancam pundak kedua orang tua
mereka!
"Ihhhhh...!"
Sie Biauw Eng memekik kaget dan cepat dia menangkap kaki yang hendak menotok
pundaknya itu.
Juga Keng
Hong menangkap kaki kedua dan kembali mereka mendorong kedua kaki itu ke atas.
Kini Bun Houw terlempar jauh dan dia berjungkir balik lagi, lalu hinggap di
atas lantai dengan kedua kakinya agak dibengkokkan.
Pada saat
itu, ayah bundanya sudah meloncat ke atas dan membalas dengan serangan kaki
dari atas. Ini memang merupakan jurus yang amat berbahaya dan yang tadi sudah
digunakan oleh Bun Houw dengan baik sekali sehingga kalau saja bukan ayah
bundanya yang diserang, tentu akan roboh terkena totokan ujung kakinya.
Kini ayah
bundanya menyerang dengan berbareng. Bun Houw terkejut sekali, akan tetapi dia
pun dapat menangkap dua buah kaki, masing-masing sebuah dari ayah bundanya dan
tanpa menanti kaki kedua menyerang, dia sudah melemparkan ayah bundanya dengan
pengerahan tenaga sinkang.
Kakek dan
nenek itu terlempar dan berjungkir balik seperti yang dilakukan putera mereka
tadi. Mereka hinggap di atas lantai dan memandang dengan wajah berseri dan
kagum.
"Jaga
ini...!" Tiba-tiba Cia Keng Hong berseru keras dan dia sudah kembali
menerjang sendirian sambil mengirim pukulan ke arah puteranya. Bun Houw
cepat-cepat menangkis dan kembali bertemulah lengan mereka.
"Dukkk!"
Bun Houw
terkejut karena lengannya melekat pada lengan ayahnya dan dia langsung
merasakan tenaga sedotan hebat sekali. Tahulah dia bahwa ayahnya telah
menggunakan Thi-khi I-beng, ilmu yang paling hebat dan mukjijat dari ayahnya.
"Wuuutttt…!
Plakkk!"
Dia
mengerahkan tenaga, membuat gerakan memutar lantas cepat sekali jari tangannya
menotok ke arah dada ayahnya. Totokan maut yang sangat berbahaya dan pada waktu
Cia Keng Hong menangkisnya, tahu-tahu Bun Houw telah berhasil melepaskan
lengannya yang menempel tadi!
Cia Keng
Hong terkejut dan heran, kembali menyerang dan setiap kali lengan mereka
bersentuhan, dia cepat menggunakan Thi-khi I-beng, akan tetapi selalu Bun Houw
dapat melepaskan bagian tubuhnya yang melekat pada tubuh ayahnya. Akhirnya
mengertilah Cia Keng Hong bahwa Thi-khi I-beng tidak lagi mampu mengalahkan
pemuda itu, maka dia meloncat ke belakang dan berkata,
"Cukup!"
Bun Houw
maju dengan muka gembira. "Bagaimana pendapat ayah dan ibu? Luluskah
aku?"
"Engkau
hebat, aku tidak lagi sanggup menandingimu, Houw-ji (anak Houw)!" Sie
Biauw Eng berseru gembira.
"Aku
girang sekali melihat bahwa gurumu telah membimbingmu sehingga engkau bahkan
dapat menghadapi Thi-khi I-beng! Engkau tahu mengapa aku tidak menurunkan ilmu
itu kepadamu, anakku?" Cia Keng Hong berkata.
"Aku
mengerti, ayah. Ilmu itu hanya dapat diturunkan kepada satu orang saja, dan
ayah sudah memberikannya kepada suheng Yap Kun Liong. Aku tidak merasa iri,
ayah."
"Bagus,
kalau engkau sudah mengerti. Sekarang coba kau bersilat pedang, aku hendak
melihat sampai di mana kemajuanmu."
Ayah dan ibu
itu sudah mandi keringat ketika mengeroyok Bun Houw tadi, akan tetapi Bun Houw
hanya berkeringat di leher dan dahi saja, dan sama sekali tidak kelihatan
lelah. Dia mengangguk, meloncat ke tengah ruangan, lalu mencabut pedangnya dan
dia pun mulai bersilat pedang.
Mula-mula
Kwee Kin Ta dan tiga orang sute-nya masih dapat mengenal gerakan pedang yang
indah dari ilmu pedang Cin-ling-pai yang juga mereka kuasai, kemudian meningkat
pada Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang gerakannya membuat pedang itu berubah
menjadi gulungan sinar yang selalu bersilang-silang. Memang keistimewaan Ilmu
Pedang Siang-bhok Kiam-sut terdapat pada gerakannya yang bersilang-silang.
Akan tetapi
ketika makin lama Bun Houw mempercepat gerakannya dan merobah ilmu pedangnya,
empat orang murid tertua dari Cin-ling-pai itu menjadi bengong karena selain
mata mereka menjadi silau, juga mereka tidak mampu lagi mengenali ilmu pedang
yang dimainkan oleh Bun Houw. Yang tampak hanyalah gulungan sinar pedang
disertai angin menyambar-nyambar, bahkan mereka yang berada di sudut ruangan
itu dapat merasakan sambaran angin dingin itu.
Sesudah Bun
Houw menghentikan permainan pedangnya, Cia Keng Hong mengangguk-angguk. Tadi
dia telah saling berbisik dengan isterinya bahwa kepandaian putera mereka itu
sudah cukup tinggi dan boleh diandalkan, sudah lebih dari cukup untuk putera
mereka pergi menentang bahaya mencari dan merampas kembali pusaka Cin-ling-pai.
"Baiklah,
kau boleh pergi mencari mereka dan merampas kembali pedang kita, Houw-ji. Akan
tetapi ingatlah baik-baik bahwa hanya ilmu silat tinggi saja masih belum cukup
kuat untuk menjaga diri. Engkau harus berhati-hati terhadap segala macam tipu
muslihat lawan yang curang dan untuk menghadapi itu bekalnya hanya ketenangan
dan kewaspadaan."
Selama dua
hari beristirahat di Cin-ling-san, tiada hentinya Bun Houw menerima nasehat dan
pesan-pesan dari ayah dan bundanya mengenai keadaan di dunia kang-ouw, tentang
kecurangan-kecurangan para tokoh kaum sesat dengan menuturkan pengalaman mereka
pada waktu muda. Sungguh pun puteranya itu sudah pula mewarisi ilmu pukulan
beracun Ngo-tok-ciang, akan tetapi karena maklum betapa banyaknya ahli tentang
racun di dunia kaum sesat, Sie Biauw Eng lalu memberikan tusuk kondenya yang
berbentuk bunga bwee kepada puteranya.
"Setiap
makanan atau minuman yang mencurigakan, kau coba dengan ujung tusuk konde ini.
Bila ujungnya berwama hijau, di situ terdapat racun yang membius atau
memabokkan, kalau berwarna hitam, terdapat racun yang mematikan,"
pesannya.
Sesudah
beristirahat selama dua hari, maka berangkatlah Cia Bun Houw meninggalkan
Cin-ling-san untuk menyelidiki tentang Lima Bayangan Dewa, membawa bekal
pakaian, uang, dan pedangnya. Sehari setelah dia berangkat, Kwee Kin Ta dan
tiga orang sute-nya juga berpamit dari guru atau ketua mereka untuk berusaha
mencari jejak musuh-musuh besar itu, dan mengingat akan kedukaan serta
kehilangan para muridnya ini, Cia Keng Hong tidak tega untuk menolak.
Maka
berangkat pulalah keempat orang tua ini, dan mereka berempat sudah bersepakat
bahwa mereka tidak akan kembali ke Cin-ling-pai sebelum mereka berhasil
melaksanakan tugas, yaitu mendapatkan di mana adanya musuh-musuh besar itu,
membalas dendam dan merampas kembali pedang pusaka.
Cia Keng
Hong sendiri bersama isterinya yang sudah berusia lanjut itu hanya menanti di
Cin-ling-san dan hanya dapat berprihatin sambil berjaga-jaga kalau-kalau ada
lagi musuh yang datang mengacau Cin-ling-pai.....
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment