Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 10
TERINGATLAH
dia betapa di dalam hutan dia telah merobohkan seorang di antara mereka, betapa
kemudian enam orang itu dengan cara yang aneh telah membuat dia tidak dapat
melawan, bahkan dia lalu tidak ingat apa-apa lagi. Dia tentu telah kena sihir!
Ingatan ini membuat Mei Lan menjadi marah sekali dan tiba-tiba dia bangkit
berdiri, membalik dan memandang si muka merah dan tiga orang lain yang agaknya
menjaga di situ.
"Ehhhh...!"
Tiga orang
penjaga yang mukanya juga mengerikan sudah bangkit dan menghampirinya,
sedangkan si muka merah dengan mengangkat tangannya ke arah muka Mei Lan terus
membuat gerakan-gerakan dengan jari tangannya.
"Nona...
kau minumlah arak itu... minumlah... minum...!" Suaranya mengandung
getaran yang amat berpengaruh.
Hampir saja
Mei Lan menggerakkan tangan yang memegang cawan itu ke mulutnya. Akan tetapi
karena dia sudah teringat dan sadar, dia maklum bahwa suara berpengaruh itu
adalah suara musuh yang tidak seharuanya diturut, maka dengan marah dia
langsung melemparkan cawan arak itu ke arah si muka merah sambil membentak,
"Minumlah
sendiri!"
Si muka
merah terkejut, cepat mengelak akan tetapi tetap saja arak yang muncrat dari
cawan itu mengenai mukanya. Tiga orang lainnya sudah menubruk maju karena
melihat bahwa dara itu sudah mampu melepaskan diri dari ikatan sihir. Akan
tetapi kini Mei Lan sudah sadar benar dan dia menggerakkan kaki tangannya
menghadapi tiga orang itu.
Kaki dan
tangan Mei Lan berukuran kecil saja, namun mengandung tenaga yang sangat
dahsyat karena dia menggerakkannya dengan pengerahan tenaga sinkang. Dua orang
lantas roboh akibat tamparan kedua tangannya ada pun orang ketiga yang menubruk
dari belakangnya, bertemu dengan kaki Mei Lan yang melakukan tendangan sambil
memutar tubuh. Kakinya melayang tinggi ke atas, tepat menghantam muka orang
ketiga itu.
"Desss...
auughhh...!"
Orang itu
terpelanting lantas roboh terguling dan Mei Lan melihat betapa tendangannya
yang tepat mengenai dagu orang itu membuat topeng orang itu terbuka!
Wajah-wajah menyeramkan itu ternyata hanyalah topeng belaka, topeng yang samhat
baik buatannya sehingga kalau dipakai hampir tidak terlihat seperti topeng dan
di balik topeng itu adalah wajah seorang laki-laki yang biasa saja!
Hal ini
membesarkan hati Mei Lan dan dia sudah meloncat ke depan pada waktu melihat si
muka merah menyambar sebatang toya kuningan dari sudut kamar. Toya itu langsung
memapakinya dan menyambar secepat kilat ke arah leher. Mei Lan menundukkan
muka, merendahkan sedikit tubuhnya dan dari bawah tangan kirinya yang dikepal
menyambar ke depan, kakinya bergerak maju dan pukulan tangan kiri itu mengarah
dada lawan.
Akan tetapi
si muka merah itu agaknya pandai juga ilmu silat. Dia cepat-cepat meloncat ke
samping dan toyanya kembali telah menyambar ke arah kaki Mei Lan dengan sebuah
serampangan yang kuat sekali. Akan tetapi tiba-tiba si muka merah terkejut
setengah mati karena dara itu lenyap dari depannya! Dia adalah seorang yang
biasa menyamar seperti setan akan tetapi kini dia menjadi ngeri melihat dara
itu bisa ‘menghilang’ seperti setan pula!
"Setan
muka merah, aku di sini!" Mei Lan mengejek dan memang anak ini pada
dasarnya berwatak jenaka. Kini setelah dia betul-betul sadar dan dapat
menguasai keadaan, timbul kenakalannya sehingga dia mempermainkan si muka merah
atau si topeng merah.
Lawannya
menggereng marah, membalik sambil menggerakkan toyanya yang sekarang dimainkan
secara cepat, diputar-putar dan secara bertubi-tubi menerjang ke arah Mei Lan
yang meloncat dan mengelak ke sana ke mari dengan enak dan mudah saja.
"Sialan!"
Mei Lan mengejek. "Kiranya kalian hanya setan-setan palsu saja! Aku tidak
mau membunuh kalian hanya karena mengingat bahwa tadi kalian sudah memberi
makan dan minum kepadaku. Hayo buka kedok merahmu itu!"
Akan tetapi
si muka merah yang menjadi makin marah itu menyerang terus, dan Mei Lan menjadi
repot juga. Cepat ia meloncat tinggi ke atas dan seperti tadi, dia hendak
melewati kepala lawan. Akan tetapt sekali ini si muka merah sudah maklum bahwa
gadis cilik itu lihai sekali ginkang-nya, maka dia sudah mengejarnya dengan
sodokan toya dari bawah. Melihat ini, Mei Lan menangkap ujung toya dan kakinya
menotok ke bawah.
"Aduhhhhh...!"
Si muka merah berteriak, toyanya terlepas dan dia menggunakan kedua tangan
untuk menutupi muka karena hidungnya yang tercium ujung kaki kiri Mei Lan telah
remuk tulang mudanya sehingga berdarah!
Pada waktu
Mei Lan meloncat turun ke bawah dan membalik, ternyata di pintu sudah muncul
sembilan orang bertopeng setan dan dipimpin oleh seorang kakek bermuka putih
yang cepat berkata, "Tangkap dia dan jangan lukai dia! Pangcu (ketua)
menghendaki dia dalam keadaan utuh dan segar!"
Sembilan
orang itu menubruk. Mei Lan melawan sekuatnya dan membagi-bagi pukulan akan
tetapi karena sembilan orang itu maju berbareng dan meringkusnya, apa lagi
kakek muka putih itu lihai sekali dan telah berhasil menotok pundaknya,
akhirnya gadis cilik ini dapat diringkus dan dibelenggu kaki tangannya,
kemudian digotong keluar dari kamar itu, menuju ke sebuah ruangan yang besar
dan dia dibaringkan di atas sebuah dipan kayu.
Mei Lan
berusaha mengerahkan tenaga untuk membebaskan diri dari belenggu itu, tetapi
sia-sia belaka. Belenggu yang mengikat kedua kaki dan tangannya itu terbuat
dari kulit kerbau yang sangat kuat sehingga memaksanya putus sama dengan
melukai kulit kaki tangannya. Maka dia bersikap tenang dan memutar leher
memandang ke ruangan itu.
Ruangan itu
luas sekali dan tak jauh dari situ, di tengah ruangan, dia melihat beberapa
orang duduk mengitari meja besar dan bercakap-cakap. Mereka terdiri dari lima
orang, agaknya merupakan pimpinan dari perkumpulan manusia setan itu. Kakek tua
bermuka putih yang tadi memimpin anak buah menangkapnya juga duduk di situ,
bersama dengan tiga orang yang lain menghadap seorang kakek yang membuat Mei
Lan menggigil karena merasa ngeri.
Kakek ini
memang luar biasa sekali. Tubuhnya bongkok, pada punggungnya ada tonjolan,
pakaiannya serba putih dan mukanya luar biasa mengerikan. Kepalanya gundul,
matanya hanya tampak putihnya saja, tidak ada manik matanya, hidungnya bengkok
dan mulutnya yang tidak bergigi lagi itu kelihatan mengejek. Mukanya sudah
penuh dengan keriput dan dia kelihatan sudah tua sekali, terlalu tua untuk
hidup! Dan ternyata bahwa kakek gundul ini adalah ketua mereka, karena
terdengar kakek bermuka putih bertanya kepadanya.
"Pangcu,
apa yang akan kita lakukan terhadap gadis cilik yang liar itu?"
Kakek gundul
itu menoleh ke arah Mei Lan dan kembali Mei Lan menggigil. Setelah kakek itu
sekarang menoleh sehingga wajahnya kelihatan jelas, benar-benar sangat
menjijikkan dan menyeramkan.
Mata itu
betul-betul tidak ada hitamnya, putih semua dan bergerak-gerak. Mata dan wajah
seperti itu tidak pantas menjadi wajah manusia, pantasnya menjadi wajah setan
di neraka! Akan tetapi jangan-jangan dia memakai topeng seperti anak buahnya,
pikir Mei Lan.
"Heh-heh,
kalian tidak tahu. Bocah seperti inilah yang selalu kucari-cari. Kebetulan
sekali kalian menemukan dia di hutan pada saat kita hendak mengadakan upacara
sembahyang pada bulan purnama. Selain dia ini seorang perawan yang berdarah
bersih, juga tubuhnya sangat terlatih dan hawa murni yang dilatih mengitari
tubuhnya membuat darahnya lebih bermanfaat lagi. Tunggu saja kalian malam
nanti, beberapa tetes darahnya akan dapat memperkuat tenaga batin kalian dan akan
meningkatkan kekuatan sihir kalian."
Mereka
tertawa-tawa dengan girang sambil menoleh ke arah Mei Lan. Tentu saja Mei Lan
menjadi terkejut dan juga takut sekali ketika mendengar percakapan itu. Mereka
itu bukan manusia! Mereka adalah iblis-iblis yang ingin menghisap darahnya!
"Lepaskan
aku...!" Mei Lan tiba-tiba menjerit dengan keras.
Lima orang
itu bangkit dari bangku mereka dan memandang ke arah Mei Lan yang terus
meronta-ronta. Kakek gundul lalu berkata,
"Biarkan
dia mengerahkan tenaganya, itu baik sekali untuk memperkuat jalan darahnya
sehingga kita akan memperoleh darah segar malam nanti."
Maka makin
takutlah hati Mei Lan. Wajah lima orang kakek itu benar-benar menyeramkan
sekali, dan membayangkan betapa darahnya akan disedot oleh iblis-iblis ini, dia
merasa ngeri sehingga tanpa tertahankan lagi dia menjerit dengan pengerahan
khikang-nya. Jerit melengking yang terdengar sampai jauh dan bergema di seluruh
bukit.
Ketua itu
sangat terkejut dan sekali dia meloncat, tubuhnya sudah melayang dekat Mei Lan,
tangan yang kasar dan seperti dipenuhi koreng serta penyakit gatal, kemerahan
dan bernanah itu langsung bergerak menotok jalan darah di leher Mei Lan.
Seketika gadis itu kehilangan suaranya dan dia memandang penuh kengerian kepada
kakek ini, kemudian memejamkan mata karena tidak tahan saking jijiknya.
Kakek itu
lalu berjalan kembali ke meja di tengah ruangan sambil berkata, "Malam
nanti kumpulkan semua anggota. Sesudah upacara sembahyang kita akan berpesta semeriah
mungkin untuk menghormati semua arwah yang kita undang malam nanti. Apakah
untuk keperluan hidangan dan lain-lain sudah cukup semua?"
"Sudah,
pangcu. Para hartawan di Liong-si-jung sekali ini menyumbang sepuluh ekor babi
di samping uang untuk segala keperluan makanan, sedangkan lurah dan hartawan
dusun Beng-nam-jung di sebelah utara bukit menyumbangkan uang secukupnya dan
lima puluh guci besar arak wangi."
"Bagus...
tidak percuma kita melindungi kedua dusun itu," kakek gundul berkata.
Selanjutnya
mereka bercakap-cakap mengatur rencana pesta malam nanti, akan tetapi Mei Lan
sudah tidak mendengarkan lagi karena gadis ini sibuk dengan kekhawatirannya
sendiri. Dia adalah seorang gadis yang pemberani, akan tetapi sekali ini,
berada di dalam cengkeraman manusia-manusia seperti iblis itu, dia merasa ngeri
dan takut sekali.
Air matanya
mengalir dan diam-diam dia menyesal kenapa dia telah meninggalkan rumah ayahnya
yang aman dan tenteram. Hatinya kini menjerit-jerit memanggil ayah dan ibunya,
dan kenyataan bahwa ibunya bukanlah ibu kandungnya sudah tak teringat lagi pada
saat seperti itu. Kalau ada ayahnya dan ibunya, iblis-iblis ini tentu akan
dibasmi habis dan dia akan dapat diselamatkan!
"Ayah...!
Ibu...! Tolonglah aku... tolonglah...!" hatinya menjerit-jerit karena
mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi.
Orang-orang
macam apakah yang mendirikan perkumpulan seaneh ini? Kakek gundul itu adalah
seorang bekas tokoh dari perkumpulan rahasia Pek-lian-kauw. Semua tokoh-tokoh
Pek-lian-kauw mempelajari ilmu sihir dan kakek ini tadinya juga merupakan
seorang tosu Pek-lian-kauw yang diusir dari perkumpulan kebatinan itu karena
dia sudah menyeleweng dari peraturan Pek-lian-kauw dan menggunakan kepandaian
demi keuntungan diri pribadi.
Setelah
terusir dari Pek-lian-kauw dan tidak diakui lagi, tosu ini lalu menggunduli
rambut kepalanya dan ia kemudian menggunakan kepandaian silat dan sihirnya
untuk mendirikan perkumpulan baru, perkumpulan kebatinan yang memuja roh-roh
dan melatih sihir yang katanya akan membuat batin menjadi kuat, dan dengan
bantuan roh-roh itu kelak akan dapat memperoleh tempat yang menyenangkan
setelah mati!
Dengan
kepandaian silat dan ilmu sihirnya, bekas tokoh Pek-lian-kauw yang kini memakai
nama julukan Jeng-hwa Sianjin (Manusia Dewa Beribu Bunga) itu bisa mengelabui
rakyat di dusun-dusun sehingga banyaklah yang menjadi murid dan anak buahnya.
Banyak pula suami isteri dari dusun-dusun yang suka rela menyumbangkan segala
milik mereka untuk mengalami kenikmatan ‘sorga dunia’ di bawah pimpinan kakek
yang kini mukanya seperti iblis itu.
Sebenarnya,
sebelum dikeluarkan dari Pek-lian-kauw, tokoh ini sudah dihukum oleh para
pimpinan Pek-lian-kauw hingga mukanya menjadi rusak, punggungnya bongkok dan
dua matanya buta. Namun, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia masih dapat
menggunakan keburukan mukanya ini sebagai modal sehingga bahkan menimbulkan
kepercayaan dari orang-orang yang selalu mengejar keanehan-keanehan di dunia
ini.
Sedikit
pelajaran sihir dan sulap, juga ilmu silat, membuat para anggotanya makin
tunduk dan percaya kepada kakek ini yang kemudian membentuk perkumpulan yang
diberi nama Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Seribu Bunga). Salah satu di antara
beberapa kepercayaan yang disebarkan oleh Jeng-hwa Sianjin adalah bahwa untuk
dapat ‘bersahabat’ dengan para roh, setan dan iblis yang kelak akan menjadi
pembantu-pembantu mereka, muka para anggota itu harus menggunakan topeng yang
seburuk-buruknya, makin buruk makin baik sehingga para iblis dan setan tidak
merasa rendah bercampuran dengan manusia-manusia yang mukanya buruk itu.
Inilah
sebabnya maka semua anggota yang aktip membantu kakek itu, semua memakai topeng
setan dan si ketua sendiri karena memang mukanya sudah buruk, tanpa topeng pun
sudah paling jelek dan menakutkan di antara mereka semua. Dan memang sebab
terutama yang menggerakkan ketua itu mengeluarkan kepercayaan aneh ini adalah
untuk mengangkat harga dirinya yang dirasa menurun karena mukanya yang buruk.
Akan tetapi,
bukan hanya karena sekedar menerima ilmu-ilmu sihir dan sulap saja yang telah
menarik hati para anggota pembantu dan anggota luar yang terdiri dari
orang-orang dusun. Berbondong-bondong mereka datang dan masuk menjadi anggota,
bukan hanya sendirian melainkan membawa pula isteri-isteri mereka.
Yang sangat
menarik hati mereka adalah setiap kali diadakan pesta pada waktu bulan purnama,
pesta yang berlangsung sebulan sekali setelah diadakan upacara sembahyang
kepada para roh dan dewa termasuk iblis-iblis yang berkeliaran di permukaan
bumi. Pesta itulah yang menarik hati mereka karena dalam saat-saat pesta itu
berlangsung, mereka benar-benar merasakan ‘sorga dunia’ yang amat luar biasa.
Pesta yang
bagi orang-orang biasa tentunya dianggap mesum dan kotor, akan tetapi bagi
mereka yang melakukan semua itu di luar kesadaran mereka akibat mereka telah
berada di bawah pengaruh sihir mukjijat, sama sekali bukan mesum dan kotor,
tetapi merupakan tanda betapa roh-roh itu benar-benar telah menjadi
sahabat-sahabat mereka, dan merasa sebagai jaminan untuk kelak setelah mereka
pun menjadi roh-roh tanpa jasmani lagi.
Di dalam
pesta itu, setelah mereka semua berada dalam keadaan tidak sadar, roh-roh itu
‘meminjam’ tubuh mereka untuk bersenang-senang. Maka terjadilah kemesuman
diantara mereka, di tempat terbuka sehingga terjadi permainan cinta yang kotor,
bertukar isteri dan suami begitu saja tanpa ada yang merasa tersinggung, tanpa
ada rasa malu karena yang melakukan itu adalah ‘roh-roh’ yang bersenang-senang.
Mereka itu hanya ‘meminjamkan’ tubuh mereka saja untuk menyenangkan roh-roh dan
setan-setan itu agar kelak para roh dan setan suka membantu mereka sesudah
mereka meninggal dunia!
Malam itu
bulan purnama muncul dengan cerahnya, tanpa ada awan yang menghalang, dan cahayanya
sejuk menerangi seluruh ruangan terbuka yang menjadi tempat pesta dari
perkumpulan Jeng-hwa-pang itu. Mei Lan masih terikat kaki tangannya dan
sekarang dia dibaringkan terlentang di atas dipan yang diletakkan di pinggir
lapangan terbuka itu.
Ketua Jeng-hwa-pang
telah duduk di atas sebuah kursi, tersenyum-senyum dan wajahnya yang putih
pucat itu bersinar-sinar, kelihatan girang sekali, akan tetapi dalam pandangan
Mei Lan kelihatan makin mengerikan. Para pembantu kakek itu, si kakek muka
putih dan beberapa belas orang yang mukanya bermacam-macam warnanya, sudah
hadir pula di situ, jumlah mereka ada tujuh belas orang. Ada beberapa orang
yang memukul tambur dan canang, dan sebagian lagi dari mereka membereskan
meja-meja yang penuh dengan hidangan dan minuman arak.
Dari luar
datanglah berbondong-bondong anggota-anggota luar, yaitu para penduduk dua buah
dusun di selatan dan di utara bukit, yaitu dusun Liong-si-jung di selatan dan
dusun Beng-nam-jung di utara. Tentu saja tidak semua penduduk merasa tertarik
dan memasuki perkumpulan kebatinan ini, akan tetapi mereka yang tidak setuju
tidak berani menentang sesudah tahu bahwa Jeng-hwa-pang yang hanya terdiri dari
belasan orang pimpinan itu ternyata memiliki ketua yang sangat lihai.
Lebih-lebih lagi setelah para penjahat di kedua dusun itu semuanya ditundukkan
oleh Jeng-hwa-pang, maka tidak ada orang yang berani menentangnya.
Lebih dari
tiga puluh pasang suami isteri, dan sebagian besar masih muda-muda karena
orang-orang yang terlalu tua tak diperkenankan menjadi anggota, kini berbondong
datang. Muka mereka semua tertutup topeng sehingga mereka itu tidak saling
mengenal dan hal ini pun merupakan akal dari Jeng-hwa Sianjin karena dengan
muka bertopeng, mereka dapat melakukan perbuatan mesum tanpa malu-malu atau
takut-takut akan dikenal oleh tetangga atau teman-teman sedusun mereka!
Kalau pesta
yang gila sudah memuncak dan tidak ada lagi tubuh yang tertutup pakaian,
sedangkan semua wajah tersembunyi di balik topeng yang sama anehnya, siapakah
yang akan saling mengenal? Biarkan para ‘roh’ yang menguasai mereka dan memilih
pasangan masing-masing!
Dan dalam
kesempatan itu, tentu saja ketujuh belas anggota pembantu Jeng-hwa Sianjin
kebagian pasangan dalam pesta gila ini sebab mereka semua akan melakukan
perbuatan mesum secara bergantian dan berapa kali saja sepuasnya hati mereka.
Hanya Jeng-hwa Sianjin yang tidak ikut-ikut dalam pasta mesum ini, karena dia
sendiri sudah tidak tertarik lagi melakukan kemesuman itu, lebih senang
menonton sambil memanfaatkan keadaan itu untuk mengumpulkan hawa mukjijat dari
semua kemesuman yang tiada taranya itu, di mana membubung tinggi hawa-hawa
mukjijat dari kemaksiatan yang dapat ditampungnya dan dipergunakan untuk
memperkuat ilmu hitamnya.
Sesudah
semua orang berkumpul dan duduk bersila di atas lantai yang luas itu, semua
menghadap ke arah Jeng-hwa Sianjin yang duduk di atas bangkunya, kakek gundul
ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas. Berhentilah semua
suara, para pemukul tambur dan canang juga berhenti dan mereka semua menekuk
tubuh ke depan memberi hormat kepada ketua mereka yang sekarang berdiri dengan
punggung bongkok seperti iblis itu.
Mei Lan
menoleh lantas memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Kakek gundul
itu mengucapkan kata-kata yang tidak dimengertinya, yang merupakan kata-kata
rahasia perkumpulan itu sebagai isyarat kepada para anggota untuk bersembahyang
atau memuja kepada dewa bulan.
Kini semua
orang mengangkat kedua lengan dengan tangan terbuka dan telapak tangan
menghadap bulan purnama, kemudian mereka semua mengeluarkan nyanyian yang aneh
dan pendek, dengan jari-jari tangan digerak-gerakkan.
Mei Lan
terbelalak memandang jari-jari tangan yang menyeramkan itu dan melirik ke arah
bulan. Kebetulan ada awan putih lewat di bawah bulan dan entah kenapa
pemandangan ini menjadi amat menyeramkan, seolah-olah awan yang berbentuk aneh
itu muncul tidak sewajarnya, seolah ada hubungannya dengan gerakan jari-jari
tangan dan suara nyanyian pujian itu!
Suasana
menjadi penuh hikmat dan orang-orang yang berlutut sambil bernyanyi memuja
bulan itu mulai seperti orang-orang kesurupan, tubuh mereka mulai menggigil dan
jari-jari tangan mereka bagaikah hidup di luar kekuasaan mereka. Wajah-wajah
bertopeng yang sangat menyeramkan menambah suasana menjadi makin aneh.
Sang ketua
menurunkan kedua lengannya sambil berseru keras dan semua orang kini juga
menurunkan lengan mereka, kini kembali menghadap dan memandang kakek gundul
itu.
"Anak-anakku
semua...!" Suara kakek itu halus dan perlahan, namun karena dikeluarkan
dengan dorongan tenaga khikang maka terdengar jelas oleh mereka semua dan suara
itu menjadi penuh kekuatan yang bergetar.
"Pada
malam hari ini kita semua patut bergembira karena malam ini semua roh-roh halus
dan para dewa telah menurunkan berkahnya yang berlimpah kepada kita. Tandanya,
lihat betapa dewi bulan tersenyum ramah kepada kita dan kedua, roh-roh halus
yang mencintai kita malam ini sudah sengaja mengirim seorang anak dara yang
berdarah murni kepada kita."
Kakek itu
menuding ke arah Mei Lan sehingga semua mata memandang kepada gadis ini. Banyak
di antara mereka, terutama yang pria, segera bersorak gembira. Akan tetapi ada
beberapa orang, sebagian besar wanita, kelihatan meragu dan memandang dengan
mata mengandung kegelisahan.
"Anak-anakku
yang tercinta, harap kalian jangan khawatir." Jeng-hwa Sianjin yang entah
bagaimana dengan kedua matanya yang seperti buta itu bisa mengerti akan kekhawatiran
ini, berkata pula. "Roh-roh halus yang menjadi sahabat-sahabat kita selalu
senang dengan korban, dan sekali ini mereka telah memilih sendiri korban yang
berupa dara cantik jelita dan darahnya murni ini. Darah anak ini akan
mengangkat kalian setingkat lebih tinggi dan lebih dekat dengan roh-roh halus
yang malam ini pasti akan berdatangan dengan rasa bahagia."
"Akan
tetapi saya… saya takut dengan pembunuhan..." Terdengar suara seorang
wanita di antara mereka itu.
"Saya
juga takut..." Dan dua tiga orang wanita lagi mengeluarkan suaranya yang
semua menyatakan ngeri dan takut.
Jeng-hwa
Sianjin tertawa dan mengangkat kedua lengannya ke atas. "Apa artinya mati
dan hidup bagi roh-roh halus dan bagi kita yang telah bersahabat baik dengan
mereka? Ahh, apakah selama ini menerima ajaran-ajaranku kalian masih belum
mengerti? Tak ada yang membunuh atau dibunuh... anak dara ini hanya
menyumbangkan darahnya kepada kita. Andai kata dia kemudian menjadi roh halus
juga, jasanya sangat besar dan dia akan memperoleh tempat baik dan kelak juga
akan menjadi sahabat kita di antara roh-roh halus lainnya. Nah, bersyukurlah
untuk kemurahan roh-roh halus itu!"
Tujuh belas
orang anak buah Jeng-hwa Sianjin bersorak dan segera diikuti oleh mereka semua.
Agaknya jalan pikiran orang-orang dusun itu sudah begitu dikuasai oleh Jeng-hwa
Sianjin sehingga apa pun yang diucapkan oleh kakek itu mudah saja mereka
percaya dan telan bulat-bulat.
"Sekarang
marilah kita mulai dengan mengundang roh-roh yang kita cintai untuk berpesta
malam ini."
Ucapan kakek
ini disambut dengan sorak gembira oleh mereka semua. Dengan bantuan beberapa
orang anggota dalam, kakek itu lalu memasang lilin di empat penjuru sebuah meja
yang sudah dipersiapkan, kemudian memasang dupa dan bersembahyang. Setelah menaruh
hio (dupa) di atas tempat dupa di meja itu, delapan orang pembantunya duduk
mengelilingi meja dan menaruh tangan mereka di atas meja.
Kakek gundul
itu membaca mantera berulang-ulang, mengacungkan kedua tangannya ke atas dan
delapan orang pembantunya itu memejamkan mata. Tak lama kemudian, meja itu
mulai bergerak-gerak, keempat kakinya bergetar dan perlahan-lahan mulai
terangkat dari atas lantai!
Seorang
pembantu lain, kakek berambut dan bermuka pucat yang merupakan pembantu utama
dari Jeng-hwa Sianjin, cepat maju sambil membawa sebuah keranjang yang telah
diperlengkapi seperti kalau orang bermain jailangkung. Keranjang itu telah
dipasangi kayu melintang seperti dua lengan, diberi baju dan pada tengahnya
dipasangi sebatang pensil bulu.
Jeng-hwa
Sianjin mengambil keranjang ini dan meletakkan keranjang di atas meja yang
sudah bergerak-gerak itu, lalu dia menyalakan dupa, bersembahyang dan
menancapkan dupa pada bagian atas keranjang. Dua orang pembantu maju memegangi
keranjang dari kanan kiri dan sesudah mereka membaca mantera, keranjang itu pun
mulai bergoyang-goyang!
Para anggota
memandang semua ini dengan sinar mata penuh takjub dan kagum, dan kini mereka
sudah diperbolehkan maju seorang demi seorang untuk minta kepada setan
keranjang itu memanggilkan roh dari seorang yang mereka cintai, yaitu
orang-orang yang telah mati. Ada yang memanggil roh ayahnya, ibunya atau
saudara atau kawan-kawan mereka yang sudah mati. Setiap kali ada seorang
anggota memanggil roh, keranjang itu bergerak-gerak, pensil di tengahnya turut
bergerak dan setelah dicelupkan tinta lalu pensil itu menuliskan sebuah nama,
yaitu nama roh orang yang dipanggil, ke atas kain putih yang sudah disediakan
di depannya!
Sekarang
berpuluh-puluh roh halus telah dipanggil dan mulailah ada yang kesurupan. Ada
yang tiba-tiba saja jatuh dan berkelojotan, ada yang tertawa-tawa, dan tak lama
kemudian keadaan di situ menjadi amat menyeramkan bagi Mei Lan yang semenjak
tadi menonton sambil terlentang. Semua orang itu telah kesurupan atau kemasukan
roh! Kacau-balau di situ, tingkah laku mereka seperti orang-orang gila.
"Sahabat-sahabat
roh halus yang hadir dipersilakan untuk menikmati hidangan!" terdengar
Jeng-hwa Sianjin berseru dan mulailah para anggota itu menyerbu
hidangan-hidangan di atas meja-meja tadi dengan tingkah laku kasar, seolah-olah
mereka itu sudah lama sekali tidak pernah makan. Mereka makan dengan lahap,
menuang arak ke dalam mulut dan tempat itu menjadi kacau tidak karuan.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring seorang laki-laki. "Penjahat-penjahat keji,
bebaskan gadis itu!"
Entah dari
mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang gerakannya gagah perkasa,
berpakaian sederhana berwarna kuning, dan pemuda ini langsung melangkah ke arah
Mei Lan yang terikat di atas dipan.
"Berhenti!"
Tiba-tiba para pembantu Jeng-hwa Sianjin bergerak dan sudah menghadang di depan
pemuda itu. Delapan orang sudah mengurungnya dipimpin oleh kakek berambut
putih, karena para pembantu yang lainnya masih berada di sekeliling meja tadi
dalam keadaan tidak sadar.
"Siapakah
engkau berani mengotori tempat upacara kami yang suci ini?" Bentak kakek
berambut putih tadi sambil memandang dengan mata melotot kepada pemuda itu.
"Aku
siapa bukanlah soal penting. Akan tetapi kalian telah menawan seorang gadis
yang tidak berdosa dan tadi aku mendengar bahwa dia hendak dijadikan korban
dalam upacara sembahyang setan ini. Segera lepaskan dia, kalau tidak terpaksa
aku akan turun tangan dan membasmi perkumpulan setan ini!"
"Tangkap
dia!" Tiba-tiba Jeng-hwa Sianjin yang sejak tadi hanya menonton, kini
berteriak marah.
Delapan
orang itu lalu menubruk maju, akan tetapi berturut-turut terdengar suara mereka
mengaduh dan tampaklah tubuh mereka terlempar ke belakang ketika pemuda itu
sudah menggerakkan kaki tangannya. Cepat dan kuat bukan main gerakannya
sehingga dalam segebrakan saja delapan orang itu semuanya sudah mendapat bagian
pukulan mau pun tendangan. Kemudian dia meloncat mendekati dipan di mana Mei
Lan rebah terlentang.
"Bocah
lancang...!" Terdengar suara kakek berambut putih dan tubuhnya menerjang
maju.
Mendengar
datangnya angin pukulan yang dahsyat juga, pemuda itu langsung membalik, lalu
menggunakan tangan menangkis pukulan kakek itu.
"Dukkkk!"
Kakek itu
terkejut bukan main karena tangan itu kuat sekali, dan si pemuda sudah cepat
menggerakkan kaki menendang, akan tetapi berhasil ditangkis pula oleh si kakek
rambut putih.
Sementara
itu, delapan orang yang tadi roboh sudah bangun kembali dan bahkan mereka yang
tadi bertugas memanggil roh telah disadarkan oleh ketua mereka dan sekarang
ikut mengepung pemuda itu. Bahkan mereka telah memegang senjata masing-masing
dengan sikap mengancam. Anehnya, para penduduk dusun laki-laki dan wanita
melihat ini seperti tidak peduli atau tidak melihat saja, dan mereka itu masih
makan minum dengan gembira, tetap dengan sikap kasar seperti orang-orang yang
tidak waras lagi otaknya.
"Tahan...
jangan bunuh dia...!" Tiba-tiba Jeng-hwa Sianjin berseru dan dengan
beberapa loncatan saja dia sudah tiba di tempat itu, membuka kepungan dan
menghadapi pemuda itu.
Sejenak
kedua orang itu saling pandang dan jelas bahwa wajah kakek itu telah membuat si
pemuda perkasa menjadi ngeri dan jijik.
"Orang
muda, aku adalah Jeng-hwa Sianjin, ketua dari Jeng-hwa-pang yang pada saat ini
sedang mengadakan upacara sembahyangan. Siapakah engkau orang muda yang berani
mengganggu upacara suci kami?" tanyanya, suaranya halus dan penuh wibawa.
"Namaku
Tio Sun dan aku kebetulan saja lewat di tempat ini. Pangcu. Aku sama sekali tak
ingin mencampuri urusan orang lain, apa lagi mengganggu upacara sembahyanganmu
betapa pun anehnya hal itu. Akan tetapi melihat bahwa engkau telah menawan
seorang gadis, tentu saja aku tidak dapat mendiamkannya saja dan aku menuntut
agar gadis ini dibebaskan sekarang juga!"
"Ha-ha-ha-ha,
engkau tidak tahu, orang muda. Ehh, Tio Sun, ketahuilah bahwa gadis ini memang
dipilih oleh para roh halus untuk menjadi korban, dan engkau sendiri, Tio Sun,
kedatanganmu ini adalah atas kehendak roh-roh halus yang datang sebagai
undangan kami malam ini. Engkau adalah seorang pemuda perkasa, seorang perjaka
murni yang tentu akan menggembirakan roh-roh wanita yang hadir pada malam
ini."
Pemuda itu
mengerutkan kedua alisnya yang tebal dan memandang tajam. "Apa... apa
maksudmu...?" Dia bertanya bingung dan melihat kakek itu kini menggerakkan
sepasang tangan ke atas, dengan jari-jari tangan bergerak cepat sambil mulutnya
berkemak-kemik, dia bertanya lagi, "Apa... apa yang kau lakukan
itu...?"
Pemuda itu
boleh jadi seorang yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, akan tetapi
agaknya dia belum berpengalaman menghadapi ahli-ahli sihir seperti Jeng-hwa
Sianjin ini. Tanpa disadarinya, perhatiannya itu membuat dia terjebak ke dalam
perangkap kakek lihai itu.
"Tio
Sun... berlututlah... engkau adalah pemuda pilihan roh-roh halus...
berlututlah, karena engkau tak mungkin melawan kekuatan roh-roh halus yang
memancar melalui sinar bulan purnama... berlututlah engkau...!"
Sungguh luar
biasa sekali. Pemuda itu menjatuhkan dirinya berlutut! Melihat ini, Mei Lan
yang tadinya sudah merasa girang sekali karena ada orang datang hendak
menolongnya, tiba-tiba menjerit,
"Jangaaannn...!"
Akan tetapi terlambat karena pemuda itu telah tunduk dan dicengkeram kekuatan
gaib yang pada saat itu memenuhi suasana tempat itu.
"Tio
Sun, engkau tidak akan melawan, engkau telah dipilih untuk menyenangkan hati
para roh halus. Engkau layani mereka bersenang-senang dan engkau tidak ingat
apa-apa lagi kecuali hanya menjadi pelayan mereka..." Suara ketua yang
berkepala gundul itu penuh getaran. "Engkau mengerti...?"
Tio Sun yang
masih berlutut menjawab dengan anggukan, "Aku mengerti..."
Jeng-hwa
Sianjin tertawa dan meninggalkan Tio Sun yang masih berlutut di tempat itu.
"Dia tidak berbahaya lagi dan akan menambah kemeriahan pesta nanti,"
katanya kepada anak buahnya. Pesta makan minum dilanjutkan lagi sampai habis
semua masakan dan minuman di atas meja.
Atas isyarat
ketua gundul itu, dua orang anak buahnya menabuh tambur dan canang, dan dengan
mata terbelalak Mei Lan melihat mereka semua kini bangkit lantas menari-nari!
Tarian lenggak-lenggok tidak karuan, hanya mengikuti irama tambur dan canang,
akan tetapi makin lama mereka semakin bersemangat menari-nari, dan sebagian
besar menari dengan mata terpejam.
Kemudian
mulailah baju-baju beterbangan karena mereka itu mulai menanggalkan baju mereka
sambil terus menari dan terdengar suara ketawa cekikikan ketika beberapa orang
wanita yang hampir telanjang menghampiri Tio Sun yang masih berlutut, kemudian
lima enam orang wanita itu sambil tertawa-tawa cekikikan mengeroyok pemuda ini,
ada yang menciumi, memeluk dan ada yang mulai merenggut-renggut pakaian pemuda
itu.
Dan yang
lain-lain juga sudah memilih pasangan masing-masing sehingga terjadilah hal
yang mengerikan di tempat itu. Mei Lan tak kuat memandang terus karena mereka
itu ada yang mulai menanggalkan seluruh pakaiannya, bertelanjang bulat tanpa
malu-malu lagi dan di atas semua kebisingan suara mereka, terdengar suara
ketawa Jeng-hwa Sianjin!
"Siancai...
siancai... betapa kotornya tempat ini...! Hai manusia-manusia tersesat,
ingatlah akan kemanusiaan kalian...!" Ucapan yang tiba-tiba terdengar ini
disusul pekik melengking yang amat dahsyat, yang mengejutkan semua orang bahkan
membuat banyak di antara mereka yang roboh terguling seperti disambar petir.
Tio Sun juga
sangat terkejut dan lebih kaget lagi ketika baru sekarang dia tersadar akan keadaannya,
di-‘keroyok’ oleh enam orang wanita yang setengah telanjang, bahkan ada yang
telanjang bulat sama sekali, sedangkan dia sendiri pun hampir telanjang.
"Aihhhh...!"
Dia berteriak keras dan enam orang wanita itu terjengkang ke kanan kiri ketika pemuda
itu meronta dan mendorong, kemudian sambil membereskan pakaiannya, Tio Sun
meloncat dan menyambar pedangnya yang tadi menggeletak tak jauh dari situ.
Ketika
pemuda itu menoleh ke arah gadis yang tadi terbelenggu di atas dipan, dia
melihat seorang kakek tua renta berpakaian putih dengan rambut, kumis dan
jenggotnya sudah putih semua, menghampiri dipan itu. Dia dapat menduga bahwa
tentu kakek aneh inilah yang tadi mengeluarkan teriakan-teriakan dahsyat itu.
Dia melihat betapa kakek gundul Jeng-hwa Sianjin mengeluarkan seruan keras
sekali, segera menerjang kakek berpakaian putih sambil menggerakkan tongkat
ular di tangannya.
"Plakk...
krekkk... desssss…!"
Kakek
berpakaian putih ini hanya mengangkat lengannya menangkis dan... tongkat ular
itu patah-patah sedangkan Jeng-hwa Sianjin terlempar ke belakang.
"Si
keparat laknat!" Jeng-hwa Sianjin berteriak dan kini dia berdiri
berhadapan dengan kakek berpakaian putih yang kelihatan tenang-tenang saja itu.
"Sababat,
kau insyaflah betapa kedua kakimu sudah berada di lumpur kesesatan! Masih belum
terlambat bagi siapa pun untuk keluar dari lumpur kesesatan dan kembali ke
jalan kebenaran," kakek itu berkata, suaranya halus dan lembut.
Akan tetapi
Jeng-hwa Sianjin mengeluarkan suara gerengan bagai seekor serigala terluka.
"Manusia sombong, lihatlah ini... dan engkau akan mati menjadi setan
penasaran!"
Tio Sun
mengeluarkan seruan kaget dan Mei Lan menjerit ketakutan ketika dari kedua
tangan kakek itu kini muncul seekor binatang seperti naga, matanya bercahaya,
mulutnya mengeluarkan api bernyala-nyala, kemudian naga itu menerkam ke arah si
kakek yang menghadapinya dengan tenang. Kembali kakek itu hanya mengangkat
tangannya untuk menangkis, menyambut naga yang dahsyat itu sambil berseru,
"Siancai...!
Segala kepalsuan akan menghancurkan diri sendiri, orang murtad!"
"Darrrrr...!"
Naga itu
meledak dan lenyap, dan Jeng-hwa Sianjin terbanting ke atas tanah, dari mulut,
hidung serta telinganya mengalir darah, lalu dia berkelojotan seperti orang
sekarat! Kakek itu menggelengkan kepalanya sambil menarik napas panjang,
kemudian dia membalikkan tubuhnya dan sekali raba saja belenggu kaki dan tangan
Mei Lan patah semua.
"Locianpwe,
teecu Yap Mei Lan menghaturkan terima kasih..." Dara remaja itu segera
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang memandangnya dengan
tersenyum.
Sementara
itu, orang-orang dusun yang tadi sekaligus sadar kembali dan seakan-akan semua
ibils serta roh jahat yang memasuki tubuh mereka lari minggat terusir oleh pekik
dahsyat dari kakek tadi, kini kelihatan panik, mencari pasangan atau suami
isteri masing-masing, menyambar pakaian mereka lantas lari pontang-panting
meninggalkan tempat itu untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.
Setelah
berada dalam keadaan sadar, tentu saja mereka menjadi amat ketakutan melihat
pertempuran tadi. Apa lagi ketika para anak buah Jeng-hwa-pang yang tujuh orang
itu kini sudah berteriak-teriak marah melihat ketua mereka roboh dan dengan
senjata di tangan mereka sudah maju untuk menerjang kakek berpakaian putih itu.
Akan tetapi
tiba-tiba tampak sinar pedang berkelebat dan robohlah empat orang anggota
Jeng-hwa-pang. Semua orang terkejut lalu memandang, dan ternyata Tio Sun yang
sudah menghadang di hadapan mereka. Serentak mereka maju mengeroyok dan
mengamuklah pemuda itu.
Kini setelah
dia tidak lagi berada di bawah pengaruh sihir, jelas kelihatan betapa hebatnya
pemuda ini memainkan pedangnya. Tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dan
pedangnya yang tertimpa sinar bulan itu bergulung-gulung laksana seekor naga
mengamuk. Tangan kirinya pun tidak tinggal diam dan setiap kali pukulan tangan
kirinya itu mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu yang terpukul itu roboh
dan tak dapat bangun kembali karena pemuda itu memukul dengan pengerahan lweekang
yang amat kuat.
Baru tampak
bahwa pemuda itu sesungguhnya adalah seorang pendekar muda yang amat lihai
sehingga gentarlah hati semua pengeroyoknya. Sesudah dua belas orang roboh dan
tewas, yang lima orang cepat melarikan diri tunggang-langgang.
"Keparat
keji, hendak lari ke mana kalian?" Pemuda lihai itu hendak mengejar, akan
tetapi terdengar suara halus mencegahnya,
"Cukup,
Sicu. Cukup mengerikan pembunuhan-pembunuhan ini...!"
Tio Sun
menghentikan pengejarannya dan menengok. Dia hanya melihat kakek tua renta tadi
menuntun Mei Lan lantas sekali berkelebat kakek itu lenyap dari tempat itu,
tangan kanan menuntun gadis tadi, tangan kiri membawa sebuah peti hitam yang
tadi berada di atas meja dekat ketua Jeng-hwa-pang.
Tio Sun
maklum bahwa kakek tadi adalah seorang yang amat sakti, maka dia cepat-cepat
berlutut kemudian berseru ke arah menghilangnya kakek itu, "Teecu mohon
tanya nama Locianpwe yang mulia!"
Hening
sejenak, kemudian, seperti terbawa angin bersilir, terdengarlah olehnya jawaban
halus. "Aihhh... apalah artinya nama? Jangan khawatir, Sicu, gadis ini
berada di bawah perlindungan Bun Hoat Tosu..."
"Ahhh...!"
Tio Sun terkejut dan sampai lama dia berlutut di situ.
Pernah dia
mendengar dari ayahnya bahwa yang bernama Bun Hoat Tosu, yang sampai kini tidak
ada orang tahu di mana tempat tinggalnya, entah masih hidup ataukah sudah mati,
adalah seorang yang mempunyai kesaktian luar biasa, dan kakek itu adalah bekas
ketua Hoa-san-pai, satu di antara tokoh-tokoh besar sejak puluhan tahun yang
lalu!
Pemuda ini
adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia masih hijau dan
belum ada nama di dalam dunia kang-ouw, karena baru sekarang dia diperkenankan
oleh ayahnya yang sekaligus menjadi gurunya sendiri untuk merantau. Tio Sun
adalah putera tunggal dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, bekas pengawal Panglima
The Hoo yang mendapat kepercayaan penuh dan yang memiliki kepandaian tinggi.
Seperti
sudah diceritakan pada bagian depan dari cerita ini, bekas pengawal Ban-kin-kwi
(Setan Bertenaga Selaksa Kati) Tio Hok Gwan itu bersama Hong Khi Hoatsu
kebetulan sedang bersama-sama mengunjungi Cin-ling-san pada waktu mereka
melihat tokoh-tokoh Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han sudah
tewas terbunuh oleh mereka yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa.
Tio Hok Gwan
turut merasa berduka dan marah. Akan tetapi karena dia sendiri merasa bahwa
dirinya sudah terlalu tua untuk turun tangan sendiri, maka dia segera pulang ke
rumahnya dan mengutus putera tunggalnya itu untuk mewakili dia membantu
Cin-ling-pai guna mencari Lima Bayangan Dewa dan membasmi orang-orang jahat
itu.
Tio Sun
adalah seorang pemuda yang berusia dua puluh tahun, berperawakan tegap dan
bersikap gagah. Wajahnya tidak terlalu tampan, matanya terlalu sipit persis
seperti mata ayahnya, akan tetapi mata yang kecil itu bersinar tajam dan
wajahnya yang biasa saja itu membayangkan kegagahan, kejujuran, sikapnya halus
akan tetapi tegas dan terbuka.
Setelah
dapat menenteramkan hatinya yang terguncang akibat kagum mendengar bahwa kakek
yang menolong dara remaja tadi ternyata adalah manusia sakti Bun Hoat Tosu, Tio
Sun lalu bangkit berdiri dan memeriksa keadaan di tempat itu. Kakek gundul yang
seperti iblis itu, Jeng-hwa Sianjin telah tewas karena ilmu sihirnya yang
membalik dan menyerang dirinya sendiri tadi, dan amukannya tadi telah membuat
dua belas orang pembantu kakek gundul itu tewas semua.
Teringatlah
dia akan cara persembahyangan mereka yang menyeramkan tadi, dan dia heran
apakah roh tiga belas orang ini benar-benar akan diterima oleh roh-roh halus
itu dan diberi tempat yang enak, yang jelas mereka itu mati dalam keadaan yang
tidak enak dilihat akibat dari perbuatan mereka sendiri. Tio Sun lalu menyalakan
api dan membakar semua bangunan di perkampungan yang penuh kemaksiatan ini
sehingga api berkobar tinggi membakar bangunan-bangunan itu berikut mayat tiga
belas orang Jeng-hwa-pang. Dia sendiri lalu pergi dari situ.
Pada
keesokan harinya, Tio Sun pergi mengunjungi dua buah dusun di sebelah selatan
dan utara bukit, yaitu dusun Liong-si-jung dan Beng-nam-jung. Ditemuinya
kepala-kepala dusun itu kemudian diceritakannya tentang penduduk yang telah
terpikat menjadi anggota perkumpulan pemuja iblis itu. Dia menganjurkan kepada
kepala-kepala dusun itu supaya memperingatkan penduduknya agar jangan sampai
mudah terpikat lagi oleh orang-orang jahat yang berlindung di balik
perkumpulan-perkumpulan kebatinan yang menyesatkan dengan membonceng kebodohan
dan ketahyulan para penduduk dusun.
Setelah
pemuda itu menceritakan bahwa perkumpulan itu telah dibasmi dan dibakar, dua
orang kepala dusun segera menghaturkan terima kasih dan tentu saja mereka lalu
berani bertindak. Para penduduk dusun dikumpulkan dan mereka yang pernah
menjadi anggota Jeng-hwa-pang ditegur dan diancam hukuman apa bila masih berani
melanjutkan upacara sembahyangan yang menyesatkan itu.
Tio Sun lalu
melanjutkan perjalanannya, memasuki dunia kang-ouw sambil mencari-cari di mana
adanya Lima Bayangan Dewa yang telah mengacau Cin-ling-pai dan telah mencuri
pedang Siang-bhok-kiam.
***************
Dengan
pakaian kotor terkena lumpur yang basah dan kini sudah kering lagi, Kun Liong
duduk bersila di depan kuburan isterinya tercinta. Dia sudah dapat menekan
kedukaannya yang sangat hebat. Wajahnya pucat sekali, matanya kehilangan gairah
hidup dan dalam waktu tiga hari saja rambut di kepalanya sudah banyak yang
menjadi putih!
Duka mau pun
suka timbul dari pikiran. Segala sesuatu yang terjadi di dalam dunia ini, yang
menimpa diri manusia, adalah peristiwa yang sudah terjadi, yang merupakan fakta
dan yang setelah terjadi tidak lagi dapat dirubah oleh siapa pun juga. Apakah
peristiwa itu mandatangkan duka mau pun suka, tergantung sepenuhnya pada
penanggapan manusia terhadap fakta itu.
Jika pikiran
yang menanggapi, maka timbullah duka atau suka. Pikiran mengingat-ingat,
membanding-bandingkan keadaan sebelum dan sesudah peristiwa terjadi, kerugian
bagi dirinya sendiri, yang menyenangkan dan yang menyedihkan, yang semuanya itu
berpusat pada diri pribadi.
Sama sekali
tak ada gunanya menenggelamkan diri di dalam gelombang suka-duka yang
diakibatkan oleh permainan pikiran yang mengingat-ingat. Di dalam hal kematian
seorang yang kita cinta, kalau memang benar kita mencinta orang yang mati itu,
mencinta demi dia, bukan demi diri sendiri, kiranya berduka demi si mati adalah
tidak wajar, karena kita tidak tahu apakah benar keadaannya itu patut kita
dukakan.
Kita tidak
tahu bagaimana keadaannya sesudah mati, agaknya tak akan lebih buruk dari pada
waktu hidup di dalam dunia yang penuh dengan kesengsaraan ini, maka kedukaan
kita biasanya ditujukan kepada rasa iba diri karena kita ditinggalkan orang
yang kita cinta, karena kita kehilangan seorang yang memberi kesenangan pada
kita.
Biasanya,
sudah menjadi pendapat umum bahwa rasa duka macam ini, yang sebetulnya
mendukakan diri sendiri, dianggap sebagai tanda cinta kepada si mati! Padahal,
faktanya si mati tetap mati dan tak akan berubah oleh tangis air mata darah
kita! Betapa pun pahit kenyataan ini, akan tetapi sudah sepatutnya kalau kita
membuka mata akan kenyataan hidup yang serba palsu ini sehingga kita sadar apa
yang kita lakukan.
Yap Kun
Liong adalah seorang pendekar yang mempunyai kepandaian dan memiliki batin yang
kuat. Akan tetapi mala petaka yang menimpa dirinya terlalu hebat baginya.
Isterinya yang terkasih tewas terbunuh orang, dan puterinya yang tercinta
melarikan diri tanpa ada yang tahu apa yang menyebabkannya. Karena itu pukulan
batin ini membuat dia seperti lumpuh dan kehilangan semangat.

Pada saat
itu dia sudah berhasil menekan kehancuran hatinya dan sudah pula mengambil
keputusan untuk meninggalkan kuburan isterinya dan pergi mencari Mei Lan lebih
dahulu sebelum menyelidiki tentang kematian isterinya yang amat aneh, karena
betapa pun juga, dia masih sangsi apakah benar Giok Keng sampai hati membunuh
isterinya. Dan andai kata benar Giok Keng yang membunuh Hong Ing, apa pula yang
menjadi penyebabnya karena sepanjang pengetahuannya, isterinya tidak punya
hubungan dengan puteri ketua Cin-ling-pai itu.
"Yap
Kun Liong, apa yang kau lakukan di sini?"
Pertanyaan
yang tiba-tiba dengan suara besar dan nyaring serta mengandung getaran amat
kuat ini mengejutkan Kun Liong. Cepat dia meloncat berdiri membalikkan
tubuhnya, akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika dia melihat bahwa yang
menegurnya itu bukan lain adalah Kok Beng Lama pendeta sakti dari Tibet yang
menjadi ayah mertuanya itu! Tentu saja kehadiran orang ini seolah-olah merobek
lagi luka di hatinya yang sudah mulai mengering dan dia lalu menjatuhkan diri
berlutut sambil berkata,
"Gak-hu...
gak-hu... ahh... Hong Ing... isteriku...!" Dia tak dapat melanjutkan
kata-katanya karena saking sedihnya pendekar ini sudah terguling dan roboh
pingsan lagi!
"Huh,
cengeng dan lemah...!" Kok Beng Lama bersungut-sungut.
Dengan
langkah-langkah lebar dia menghampiri Kun Liong, memeriksa detak jantung dan
pernapasan, dan dia kaget juga memperoleh kenyataan bahwa menantunya itu
ternyata mengalami tekanan batin yang amat hebat. Cepat dia lalu menotok beberapa
jalan darah di tengkuk dan punggung sehingga Kun Liong siuman kembali.
"Bocah
lemah, hayo lekas katakan mengapa engkau menjadi begini cengeng dan lemah,
menangis di kuburan! Kuburan siapa yang kau tangisi ini?" Kakek itu
menuding ke arah gundukan tanah yang masih baru itu.
"Gak-hu
(ayah mertua)... ini... ini adalah kuburan... Hong Ing..."
Kedua mata
yang lebar itu terbelalak dan alis yang tebal itu terangkat ke atas.
"Hahh...?! Apa kau bilang? Hong Ing...?"
"Dia...
dia tewas terbunuh orang ketika saya sedang pergi...," Kun Liong berlutut
sambil menutupi mukanya.
"Dan
kau sudah membalas kematiannya? Sudah kau tangkap pembunuhnya?"
"Saya...
saya belum tahu siapa dia..."
"Bodoh!
Cengeng! Hentikan tangismu dan cepat ceritakan apa yang telah terjadi atas diri
anakku, Hong Ing!"
Suara kakek
raksasa itu bagaikan petir menyambar-nyambar, nyaring dan menggetarkan jantung
sehingga mengejutkan Kun Liong yang segera maklum betapa marah hati ayah
mertuanya ini.
"Saya
sedang pergi meninggalkan rumah untuk menemui adik saya," dia lantas
bercerita dan menguatkan hatinya sedapat mungkin, "ketika saya pulang,
saya mendapatkan isteri saya… telah tewas. Menurut penuturan dua orang pelayan
di rumah, Hong Ing kedatangan seorang tamu, yaitu puteri ketua Cin-ling-pai,
Cia Giok Keng kakak dari Cia Bun Houw murid gak-hu sendiri... dan menurut dua
orang pelayan, lalu terjadi pertengkaran bahkan kemudian perkelahian antara
isteri saya dan Giok Keng, dan... dan dua orang pelayan itu yang hendak melerai
juga dipukul pingsan... Pada saat mereka siuman Giok Keng sudah tidak ada
dan... dan Hong Ing sudah tewas dengan dada terluka tusukan pedang..."
"Dan
engkau hanya menangis di sini? Keparat, percuma saja kuberikan anakku menjadi
isterimu!"
"Gak-hu...!"
"Desssss...!"
Tubuh Kun
Liong mencelat dan bergulingan di atas tanah akibat terkena tendangan ayah
mertuanya itu.
"Keparat
engkau! Isterinya dibunuh orang, hanya menangis saja di depan kuburan seperti
anak kecil, dan pembunuhnya kau biarkan saja! Hemmm, manusia lemah macam engkau
ini pantasnya kubunuh sekalian!"
Kok Beng
Lama yang sudah seperti gila saking marahnya mendengar puterinya dibunuh orang
sedangkan anak mantunya diam saja dan hanya berkabung di situ tanpa membalas
kematian itu, sudah meloncat dekat sambil mengirim pukulan ke arah kepala Kun
Liong. Kalau pukulan ini dibiarkan saja dan mengenai kepala Kun Liong, tak
dapat disangsikan lagi pendekar itu tentu akan tewas seketika, menyusul nyawa
isterinya. Alangkah akan senangnya kalau begitu, pikir Kun Liong. Akan tetapi
dia teringat akan puterinya, Mei Lan, maka cepat dia mengangkat lengannya
menangkis.
“Dessss…!”
Kembali dia
terpental dan bergulingan, akan tetapi tubuh Kok Beng Lama tergetar juga.
"Tahan
dulu, gak-hu. Bukannya saya tidak mau membalaskan kematian isteri saya yang
tercinta. Akan tetapi urusan ini amat aneh dan mencurigakan. Saya mengenal
betul Giok Keng, kiranya mustahil kalau dia membunuh Hong Ing. Dan juga anak
saya, Mei Lan, pada malam hari itu lenyap pula meninggalkan rumah. Karena hati
saya masih terlalu berduka atas kematian Hong Ing, maka sampai ini hari saya
berada di sini..."
"Cukup,
apa gunanya tangis-tangisan ini. Hayo, kita ajak saksi-saksi itu pergi
mengambil Cia Giok Keng dan minta keadilan kepada ketua Cin-ling-pai!" Kok
Beng Lama kemudian memegang pergelangan tangan Kun Liong dan langsung menyeret
pendekar itu pulang ke rumahnya.
Kun Liong
menahan air matanya ketika dia menoleh dan meninggalkan kuburan isterinya,
kemudian terpaksa dia pun harus mengerahkan ilmu berlari cepat karena mertuanya
itu berlari cepat sekali.
Giam Tun dan
Khiu-ma, dua orang pelayan dan pembantu di rumah Kun Liong, menjadi terkejut
dan ketakutan ketika secara kasar kakek raksasa itu memaksa mereka untuk ikut
pergi pada saat itu juga, sama sekali tidak memberi waktu kepada mereka untuk
berganti pakaian dan membawa bekal.
Kun Liong
segera membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian mereka berangkat pada
hari itu juga, menuju ke kota Sin-yang yang terletak di kaki Pegunungan
Tapie-san. Di dalam perjalanan, dua orang pelayan itu diminta oleh Kok Beng
Lama menceritakan lagi pengalaman mereka pada malam hari terbunuhnya Hong Ing
itu.
Karena
melakukan perjalanan bersama Giam Tun dan Khiu-ma, tentu saja perjalanan itu
tidak dapat dilakukan dengan cepat dan hal ini membuat Kok Beng Lama menjadi
tidak sabar dan sering kali dia mengomel. Semenjak ditinggal pergi Cia Bun
Houw, muridnya yang oleh ayahnya dipanggil pulang ke Cin-ling-san, pendeta tua
ini merasa kesepian sekali di Tibet. Ia sering kali merasa gelisah dan disiksa
oleh kesunyian yang ditimbulkan oleh pikirannya sendiri.
Kesunyian
timbul kalau kita terikat oleh sesuatu atau seseorang kemudian kita berpisah
dari sesuatu atau seseorang itu. Memang berat akibatnya apa bila kita terikat
yang sama halnya dengan kebiasaan sehingga membuat kita terbius dan sukar
melepaskan diri atau berjauhan dengan yang sudah mengikat kita. Terpisah dari
seseorang yang mengikat kita membuat kita merasa kesepian dan derita dari
kesepian ini memang amat hebat.
Bahkan
seorang sakti seperti Kok Beng Lama sekali pun tak dapat menahan derita akibat
kesepian ini! Pikirannya tiada hentinya mengenangkan orang yang telah mengikat
hatinya, yang kini pergi, tiada henti membayangkan waktu Bun Houw masih berada
di dekatnya. membayangkan segala perasaan gembira dan senang di waktu pemuda
itu masih menjadi muridnya dan dekat dengan dia.
Kenangan dan
bayangan akan semua ini membuat hidupnya menjadi sunyi dan kosong, dan dia
merasa tidak kerasan lagi berada di Tibet. Maka dia lalu turun gunung dan pergi
ke timur, tidak kuat melawan kesunyian yang melanda hatinya. Dan muncullah dia
di kota Leng-kok, tempat tinggal Yap Kun Liong, mantunya.
Bahagia
hanya dapat dirasakan oleh orang yang bebas dari segala ikatan, baik ikatan
lahir mau pun ikatan batin. Bukan berarti bahwa kita harus acuh atau tidak
peduli, sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, orang yang bebas dari segala
ikatan memperhatikan apa pun yang terjadi di luar dan dalam dirinya tidak dapat
memilih-milih dan pilih kasih. Orang yang bebas dari ikatan adalah orang yang
sendirian, bukan berarti mengasingkan diri. Ikatan hanya memperbudak diri.
***************
Cia Giok
Keng tinggal di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Pegunungan Tapie-san,
bersama suaminya, Lie Kong Tek dan dua orang anaknya. Mereka mempunyai dua
orang anak, yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Lie Seng,
sedangkan yang kedua adalah seorang perempuan yang diberi nama Lie Ciauw Si.
Lie Seng barusia dua belas tahun sedangkan adiknya berusia sepuluh tahun.
Selama
belasan tahun berumah-tangga, suami isteri ini hidup dengan rukun dan tenteram
di kota itu. Lie Kong Tek bekerja sebagai pedagang kayu bangunan yang banyak
terdapat di Tapie-san dan sering kali mengirimkan kayu-kayu balok melalui
Sungai Huai hingga ke kota-kota lain. Kehidupan keluarga Lie ini tenteram dan
berkecukupan, dan barulah timbul gelombang dalam kehidupan mereka ketika mereka
menerima undangan tokoh Go-bi-pai, yaitu Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han.
Di tempat
ini, tanpa disangka-sangka, Giok Keng bentrok dengan Yap In Hong, adik Kun
Liong yang ketika itu telah bersikap keras sehingga dianggap menghina adik
kandungnya di depan umum. Maka sepulangnya dari kota Wu-han, Giok Keng yang
memang berwatak keras itu segera pergi ke Leng-kok dengan maksud mengunjungi
Kun Liong dan menegur adik pendekar ini. Akan tetapi Kun Liong kebetulan tidak
ada sehingga terjadilah peristiwa hebat di rumah pendekar itu yang
mengakibatkan kematian Hong Ing.
Ketika Kun
Liong, Kok Beng Lama, serta dua orang pembantu rumah tangga Kun Liong tiba di
depan rumah mereka, Giok Keng dan suaminya cepat keluar menyambut. Wajah Giok
Keng merah sekali tanda bahwa dia merasa terguncang hatinya karena dia maklum
bahwa tentu Kun Liong datang hendak menegurnya yang pernah marah-marah kepada
isterinya, bahkan sudah memukul pingsan isteri Kun Liong di dalam pertempuran
antara mereka.
Akan tetapi
karena hatinya masih panas teringat akan sikap adik pendekar ini di dalam
pesta, dia tidak merasa menyesal, bahkan begitu berjumpa dia lantas menudingkan
jari telunjuknya kepada Kun Liong sambil berkata. "Yap Kun Liong, bagus
sekali ya perbuatan adikmu yang bernama In Hong itu...!"
Akan tetapi
sebelum Kun Liong menjawab, Kok Beng Lama sudah melangkah maju dan berkata
dengan suara nyaring, matanya terbelalak lebar, "Apakah engkau yang
bernama Cia Giok Keng?"
Giok Keng
terkejut, memandang pendeta berbaju Lama warna merah ini, hatinya meragu,
kemudian bertanya, "Siapakah locianpwe ini?"
"Dia
adalah ayah mertuaku, Kok Beng Lama..."
"Guru
Bun Houw...?" Giok Keng terkejut dan memberi hormat, juga suaminya memberi
hormat.
"Tidak
perlu banyak penghormatan yang palsu itu. Cia Giok Keng, engkau tentu pernah
mendengar bahwa Pek Hong Ing adalah anakku, bukan?" Pendeta itu bertanya,
suaranya kaku dan dingin.
Giok Keng
mengangguk dan tahulah dia sekarang kenapa kakek yang dia dengar adalah guru
dari Bun Houw, seorang pendeta Lama di Tibet yang sakti ini, datang bersama Kun
Liong. Agaknya kakek ini pun hendak mencampuri urusan itu!
"Cia
Giok Keng, demi Tuhan dan segala dewa, mengapa engkau membunuh anakku?"
Giok Keng
terkejut sekali, segera menoleh kepada Kun Liong dengan penuh pertanyaan. Juga
Lie Kong Tek yang sejak tadi hanya mendengarkan, mendengar bentakan kakek itu
menjadi kaget sekali dan dia sudah melangkah maju dan bertanya kepada Kun
Liong.
"Saudara
Kun Liong, apa artinya semua itu? Siapa membunuh siapa?"
Kun Liong
menjawab sambil memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh selidik.
"Yang terbunuh adalah isteriku, Hong Ing. Dan yang membunuh agaknya adalah
Giok Keng..."
"Ihhh...!"
Giok Keng berseru kaget sekali, matanya terbelalak memandang Kun Liong.
"Ahhh...?"
Lie Kong Tek sebaliknya kini menoleh dan memandang isterinya dengan alis
berkerut.
Isterinya
sudah menceritakan kepadanya tentang kunjungannya ke Leng-kok dan tentang
percekcokannya dengan isteri Kun Liong. Isterinya yang jujur menceritakan
segalanya, betapa dalam kemarahannya dia membuka rahasia Mei Lan sehingga
nyonya Kun Liong marah dan mereka bertanding sampai akhirnya dia merobohkan
Hong Ing hingga pingsan bersama dua orang pelayannya.
Untuk hal
itu, Lie Kong Tek telah menegur isterinya dengan keras dan dia bersedia untuk
meminta maaf kepada Kun Liong. Siapa tahu sekarang kenyataannya bahkan lebih
hebat lagi. Isteri Kun Liong tewas dan yang disangka menjadi pembunuhnya adalah
Giok Keng.
"Bukan
agaknya lagi!" Kok Beng Lama berkata. "Jelas bahwa nyonya muda yang
keras hati inilah yang membunuh anakku. Cia Giok Keng, hayo jawab mengapa
engkau sampai membunuh anakku?"
"Tidak...!
Tidak...! Aku tidak membunuhnya!" Wajah Giok Keng menjadi pucat bukan main
karena dia tidak mengira bahwa Hong Ing akan dibunuh orang pada malam hari itu
juga setelah dia pergi meninggalkan rumahnya.
"Hemm,
membohong pun tidak ada gunanya, lebih baik berterus terang!" Kok Beng
Lama berkata lagi dengan nada penuh ancaman.
Melihat ayah
mertuanya kelihatan tidak sabar lagi itu, Kun Liong merasa khawatir dan dia
langsung berkata, "Giok Keng, di antara kita semua terdapat hubungan yang
amat erat, bahkan ayah mertuaku adalah guru dari adikmu. Oleh karena itu,
sebaiknya kalau engkau ceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi antara
engkau dan mendiang isteriku."
Lie Kong Tek
melihat kebijaksanaan ini, maka dia pun menjura ke arah Kok Beng Lama sambil
berkata, "Harap locianpwe dan saudara Kun Liong suka duduk di dalam agar
dapat kita membicarakan urusan ini dengan baik."
Akan tetapi
dengan sepasang mata melotot dan lambaian tangan tidak sabar, Kok Beng Lama
membentak, "Tidak perlu! Hayo cepat ceritakan!"
Giok Keng
adalah seorang wanita yang berhati keras dan tidak mengenal takut. Melihat
sikap kakek itu, dia pun menjadi sangat penasaran dan segera dia menceritakan
tentang pertemuannya dengan Yap In Hong di tempat pesta dari Phoa Lee It.
Setelah menuturkan peristiwa itu panjang lebar, dia mengakhiri dengan ucapan
marah kepada Kun Liong,
"Kau
pikir saja, Kun Liong. Adikmu menghina aku di muka umum, menghina Bun Houw
seperti itu. Kalau tidak ada suamiku yang mencegah, tentu antara aku dan adikmu
sudah terjadi pertempuran di tempat pesta itu! Hati siapa yang tidak menjadi
marah? Adikku, Cia Bun Houw direncanakan akan dijodohkan dengan adikmu, akan
tetapi adikmu itu malah menghina adikku di muka umum. Karena itu aku lalu
mengunjungimu di Leng-kok dengan maksud untuk menegur agar kau dapat menghukum
adikmu yang lancang mulut itu. Akan tetapi engkau tidak ada, dan aku dalam
kemarahanku memaki-maki engkau dan adikmu. Isterimu membela dan kami
bertempur."
"Hemmm...
dan kau mengandalkan kepandaianmu membunuh anakku!" Kok Beng Lama
membentak.
"Tidak,
aku tidak membunuhnya!" Giok Keng membalik, menghadapi kakek itu dan balas
membentak.
"Giok
Keng, dua orang pelayan ini menjadi saksi betapa engkau dan Hong Ing
bertanding, bahkan mereka pun roboh pingsan kau pukul... dan anakku, Mei Lan,
mengapa pula dia lari dan sampai sekarang belum kembali?" Kun Liong
menuntut.
Giok Keng
teringat akan hal itu. Dia merasa bersalah akan tetapi dengan terus terang dia
berkata lantang, "Karena hatiku panas sekali dan engkau yang manjadi orang
yang kucari tidak ada, maka ketika anakmu itu hendak membela ibunya, aku
terlanjur mengeluarkan kata-kata bahwa dia bukanlah anak kandung isterimu. Anak
itu lalu melarikan diri..."
"Ahhhh...!"
Kun Liong berseru dan mukanya menjadi merah. "Kau benar-benar keterlaluan
sekali, Giok Keng! Anak itu tidak bersalah apa-apa dan isteriku pun tak
berdosa, kenapa engkau..."
"Aku
tidak membunuhnya! Dia memang roboh dan pingsan, aku lalu pergi... tetapi aku
tidak membunuhnya."
“Dia
bohong...!" Khiu-ma menudingkan telunjuknya. "Tidak ada orang lain di
rumah itu, dan setelah kami berdua pingsan, begitu kami sadar kami melihat
nyonya telah tewas...! Siapa lagi kalau bukan dia yang membunuhnya? Engkau
wanita kejam sekali!" Khiu-ma lalu menangis.
"Cia
Giok Keng, engkau telah membunuh anakku, maka sudah selayaknya kalau aku pun
sekarang membunuh engkau!"
"Locianpwe,
harap jangan sembarangan menuduh! Aku memang sudah merobohkannya sampai
pingsan, akan tetapi aku tidak membunuh Hong Ing! Sampai mati pun aku tidak
akan mengaku, karena aku memang tidak membunuhnya."
Kok Beng
Lama sudah bergerak ke depan, akan tetapi Kun Liong cepat menghadang di depan
ayah mertuanya itu sambil berkata, "Harap gak-hu bersabar..."
"Keparat!
Anakku dibunuh orang dan kau minta aku bersabar?"
"Gak-hu,
saya percaya bahwa gak-hu tidak akan bertindak ceroboh sehingga mempersulit
persoalan ini. Biar pun saksi-saksi memberatkan dan keadaannya seolah-olah Giok
Keng yang membunuh isteri saya, akan tetapi Giok Keng tidak mengaku dan bukti
pun tidak ada. Apa bila sekarang gak-hu membunuh dia, bukankah keadaan menjadi
berlarut-larut? Ingatlah, dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai..."
"Aku
tidak takut! Biar ketua Cin-ling-pai dan senenek moyangnya maju semua, aku
tidak takut membalas kematian anakku!"
"Gak-hu,
ingatlah. Locianpwe Cia Keng Hong adalah orang yang berjiwa besar, seorang
pendekar yang terkenal amat bijaksana dan budiman. Sedangkan Bun Houw ialah
murid gak-hu sendiri, bagaimana gak-hu kini akan membunuh kakaknya begitu saja?
Sebaiknya kita besikap bijaksana, mengajak Giok Keng untuk menghadap ke
Cin-ling-pai. Di sana barulah kita minta keadilan dan saya percaya bahwa
Cia-locianpwe tentu akan memberi keputusan yang seadil-adilnya."
Reda juga
kemarahan Kok Beng Lama. Dia mangangguk sambil menarik napas panjang.
"Omonganmu benar juga. Hayo kita bersama ke Cin-ling-pai menuntut
keadilan."
"Giok
Keng, kuharap engkau suka ikut bersama kami ke Cin-ling-pai menghadap ayahmu
supaya persoalan ini dapat diputuskan dengan seadil-adlinya." Kun Liong
berkata kepada Glok Keng.
Akan tetapi
Giok Keng memandang kepadanya dengan marah. "Aku tidak sudi! Aku tidak
bersalah, dan aku tidak sudi menjadi tawanan. Aku akan menghadap sendiri kepada
ayah kalau perlu!"
"Giok
Keng, kalau begitu engkau tidak ingin membereskan persoalan!"
"Kun
Liong, yang mati adalah isterimu, maka engkaulah yang mempunyai persoalan. Aku
tidak membunuh isterimu, aku tidak mempunyai persoalan apa-apa!"
"Hemm,
perempuan galak ini harus dipaksa!" Kok Beng Lama membentak marah.
Memang watak
Kok Beng Lama dan Cia Giok Keng sama kerasnya, maka jika keduanya dipertemukan
sebagai flhak yang bertentangan, tentu saja terjadi geger.
"Bagus!
Hendak kulihat siapa yang akan berani memaksaku!" Giok Keng sudah meloncat
ke belakang sambil menghunus pedangnya. Pedang Gin-hwa-kiam mengeluarkan sinar
putih berkilat ketika dicabut.
"Bocah
sombong dan keras kepala!" Kok Beng Lama langsung menerjang ke depan,
menggerakkan kedua tangannya. Giok Keng, yang sudah marah cepat menyambuthya
dengan pedang dkelebatkan.
"Giok
Keng, jangan...!" Kun Liong sudah mencegah, akan tetapi terlambat karena
wanita itu dengan penuh kemarahan telah menyerang dengan pedangnya, menyambut
terjangan Kok Beng Lama dengan sinar pedang bergulung-gulung.
Akan tetapi
Giok Keng tidak tahu akan kesaktian kakek raksasa itu. Biar pun usia kakek ini
sudah delapan puluh tahun lebih namun tenaganya tidak menjadi berkurang, bahkan
tubuhnya menjadi kebal. Pedang Gin-hwa-kiam yang merupakan pedang pusaka tajam
dan ampuh itu disambut begitu saja dengan tangannya sehingga Giok Keng menjadi
terkejut sekali.
"Tak-tak...
plakkk!"
Giok Keng
terhuyung ke belakang ketika pedangnya tertangkis oleh lengan tangan Kok Beng
Lama. Tangannya yang memegang pedang tergetar hebat dan dia terkejut bukan
main. Pada saat itu Kun Liong yang khawatir kelau-kalau ayah mertuanya yang
keras hati itu membunuh Giok Keng, sudah mendahului Kok Beng Lama, meloncat ke
arah Giok Keng, dan mencengkeram ke arah pundak wanita itu.
"Kun
Liong, berani engkau menghinaku?!" Giok Keng membentak kemudian pedangnya
berkelebat membabat le arah lengan pendekar itu.
Namun itulah
yang dikehendaki oleh Kun Liong. Cengkeramannya tadi hanya merupakan pancingan
saja supaya wanita itu menangkis dan menggerakkan pedang. Begitu pedang
berkelebat, Kun Liong sudah menggerakkan tangannya dengan cepat sekali, lebih
cepat dari pedang itu, dan dengan tenaga Pek-in-ciang dia menggetarkan siku
kanan Giok Keng sehingga wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas karena
lengannya mendadak terasa seperti lumpuh. Kemudian sebelum Giok Keng dapat
mengelak, Kun Liong telah menotok pundaknya dan Giok Keng menjadi lemas, tentu
roboh kalau saja tidak cepat disambut oleh tangan Kun Liong.
"Lepaskan
isteriku!" Lie Kong Tek yang melihat isterinya dirobohkan, sudah mencabut
pedang Gin-hong-kiam yang juga bersinar perak, melompat dan menerkam ke arah
Kun Liong dengan tusukan pedangnya.
Akan tetapi
dari samping menyambar angin dahsyat. Ternyata Kok Beng Lama sudah menggunakan
kekuatan sinkang-nya untuk mendorong dari samping. Pukulan ini biar pun hanya
dilakukan dari jarak jauh, tapi sedemikian hebatnya sehingga tubuh Lie Kong Tek
terlempar dan pedangnya terlepas, orangnya terbanting dan pingsan!
"Mari
kita pergi!" Kok Beng lama berkata.
Kun Liong
memondong tubuh Giok Keng dan pergilah dia bersama Kok Beng Lama, diikuti oleh
Khiu-ma dan Giam Tun dua orang pelayannya itu.
"Ayah...!"
"Ibu...!
Ibu ke mana...?"
Dua orang
anak kecil, Lie Song dan Lie Ciauw Si, berlari-lari keluar dari dalam rumah dan
melihat ayahnya menggeletak di atas tanah di halaman depan, mereka cepat
berlutut dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya sambil memanggil-manggil. Tidak
lama kemudian para pelayan dan tetangga mereka berlarian keluar dan segera
mengangkat tubuh Lie Kong Tek masuk ke dalam rumahnya.
Sesudah
siuman dari pingsannya, Lie Kong Tek hanya menggelengkan kepala terhadap
pertanyaan para pelayan dan tetangga. Dia merasa khawatir sekali terhadap
keselamatan isterinya. Karena itu, setelah dia menyerahkan kedua orang anaknya
dalam asuhan para pelayan, suami yang gelisah ini lalu membawa pedangnya dan
berangkat menyusul ke Cin-ling-san!
***************
Hukum karma
merupakan sebab dan akibat yang saling membelit, merupakan mata rantai atau
lingkaran setan yang tidak ada habisnya jika kita melibatkan diri ke dalamnya.
Suatu peristiwa yang oleh kita dianggap sebab tentu menimbulkan akibat, dan
kalau kita terseret di dalamnya, akibat ini pun menjadi sebab dari akibat lain
pula yang akan datang! Sebab dan akibat bersambung terus tak ada habisnya, seperti
masa lalu bersambung ke masa kini memasuki masa depan, terus bersambung karena
kita sendiri yang menyambungnya!
Kita sendiri
yang menghubungkannya. Suatu peristiwa adalah suatu peristiwa, apakah dia
menjadi sebab ataukah akibat, tergantung dari kita yang menilainya. Segala
sesuatu tentu saja menjadi ada kalau kita mengadakannya, menjadi persoalan atau
problem kalau kita mempersoalkannya.
Alangkah
akan bahagianya kalau saja kita dapat menghadapi setiap peristiwa apa pun,
menyenangkan mau pun sebaliknya, seperti apa adanya dan selesai pada saat itu
juga! Bukan sebab, bukan pula akibat, melainkan hanya suatu peristiwa, suatu
kejadian, suatu kewajaran yang tidak meninggalkan bekas apa-apa...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment