Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 11
Cin-ling-san
masih diliputi keadaan berkabung, masih diliputi suasana duka nestapa sejak
peristiwa pencurian pedang Siang-bhok-kiam hingga kematian tujuh orang anggota
Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Cia Keng Hong, pendekar sakti yang
menjadi ketua Cin-ling-pai, bersama isterinya tinggal di Cin-ling-san dengan
hati dipenuhi keprihatinan, menanti-nanti datangnya berita dari putera mereka,
Cia Bun Houw, bersama empat orang murid kepala, yaitu empat orang dari Cap-it
Ho-han yang melakukan penyelidikan secara terpisah, mencari Lima Bayangan Dewa
yang sudah melakukan pencurian pedang dan pembunuhan itu.
Isteri ketua
Cin-ling-pai itu, yang bernama Sie Biauw Eng, meski pun sudah berusia enam
puluh tahun namun masih ada sisa kekerasan hatinya dan merasa tidak puas
mengapa suaminya tidak bersama dia melakukan penyelidikan sendiri, namun
membiarkan putera mereka yang belum berpengalaman itu pergi melakukan
penyelidikan.
"Isteriku,
tidak semestinya kalau kita berdua yang sudah tua mencari permusuhan," Cia
Keng Hong menghibur isterinya.
"Siapa
mencari permusuhan? Kita tinggal dengan tenteram di sini, orang lain yang
datang membunuh anak murid kita dan mencuri pedang pusaka! Merekalah yang telah
mencari permusuhan," bantah isterinya.
Cia Keng
Hong menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Aku tahu, akan tetapi
aku mempunyai perasaan bahwa Lima Bayangan Dewa itu tentulah ada hubungannya
dengan musuh-musuh yang telah kita basmi di masa yang lalu. Kalau tidak ada
dendam sakit hati, tidak mungkin mereka itu tanpa suatu sebab melakukan
perbuatan keji itu. Aku sudah merasa menyesal sekali mengapa di waktu muda
dahulu aku terlalu mengandalkan kepandaian, menanam bibit permusuhan dengan
banyak orang sehingga kini setelah tua, aku dimusuhi orang."
"Hemm,
apakah setelah tua engkau menjadi penakut?" isterinya menegur.
"Sama
sekali tidak. Kalau aku seorang yang dimusuhi, hal itu sudah lumrah dan akan
kuhadapi dengan tabah karena memang sudah semestinya kalau aku yang menanam dan
sekarang aku pula yang memetik buahnya. Akan tetapi celakanya, murid-murid yang
tidak tahu apa-apa terseret ke dalam akibat dari perbuatanku di waktu
dahulu..."
"Sudahlah,
suamiku, yang penting adalah bahwa kita semenjak muda dahulu sampai tua
sekarang, berada di fihak yang benar! Kita membasmi orang-orang jahat, biar
mereka itu akan mendendam sakit hati dan melakukan pembalasan, akan tetapi
hingga mati pun kita akan terus menentang kejahatan. Bukankah itu sudah menjadi
tugas seorang pendekar?"
Kembali
ketua Cin-ling-pai itu menghela napas panjang dan mengelus-elus jenggotnya.
"Memang begitulah pendirian kita. Kita selalu menganggap diri sendiri
benar. Akan tetapi sayangnya, orang lain pun, termasuk orang-orang yang kita
musuhi itu, juga menganggap mereka benar. Siapakah yang benar jika kedua belah
fihak sudah merasakan kebenaran masing-masing? Kita semua telah terseret oleh
kekacauan dunia yang melahirkan semua perbuatan yang jahat, isteriku. Tidak
mungkin kejahatan di dunia ini dapat dibasmi dengan kekerasan, karena sebab-sebab
timbulnya kejahatan itu masih tetap ada. Seribu macam kejahatan boleh dibasmi,
akan tetapi seribu macam kejahatan yang lain lagi akan timbul, seperti halnya
penyakit. Penyakit yang telah timbul dapat saja diobati dan disembuhkan, namun
penyakit-penyakit lain akan bermunculan dan perang terhadap penyakit tidak akan
pernah habis, seperti juga perang terhadap kejahatan. Tidak, isteriku,
kejahatan tak akan pernah habis selama kejahatan itu dapat memasuki hati siapa
pun juga. Yang hari ini baik mungkin besok menjadi jahat, sebaliknya yang hari
ini jahat, besok mungkin menjadi baik. Kejahatan seperti penyakit, dan orang
yang melakukan kejahatan seperti orang yang sedang sakit, tentu saja orang
sakit bisa sembuh, sebaliknya, yang waras pun bisa saja jatuh sakit
sewaktu-waktu!"
"Jadi
engkau hendak mengatakan bahwa orang-orang seperti kita ini pun sekali waktu
bisa saja jatuh sakit, maksudmu menjadi jahat?"
"Kenapa
tidak, isteriku? Kejahatan hanya suatu penyelewengan, bukan milik orang-orang
tertentu, seperti juga penyakit, siapa pun bisa saja terkena bila tidak
waspada. Siapa pun bisa menyeleweng dari kebenaran kalau terdorong oleh
sebab-sebab dari kejahatan."
"Dan
apakah sebab kejahatan, suamiku? Engkau bicara seperti bukan seorang pendekar
saja, seperti seorang pendeta!"
"Aihh,
pendekar mau pun pendeta pun hanya manusia-manusia biasa saja yang tak akan
terluput dari pada ancaman penyakit itu. Penyebab semua kejahatan sumbernya
berada di dalam diri sendiri, isteriku, didorong oleh nafsu-nafsu berupa kebencian,
kemarahan, iri hati, dendam yang kesemuanya akan menyeret kita ke dalam lembah
pertentangan dan permusuhan, maka timbul perbuatan-perbuatan yang merugikan
orang lain dan karena ini, oleh yang dirugikan disebutlah kejahatan. Oleh
karena itu, baik dia pendekar mau pun pendeta, setiap saat dapat saja
kejangkitan penyakit itu kalau dia tidak waspada setiap saat terhadap dirinya
sendiri."
Percakapan
mereka terpaksa berhenti pada saat seorang anak murid Cin-ling-pai dengan sikap
tegang melaporkan bahwa di luar terdapat tamu-tamu yang ingin bertemu dengan
ketua Cin-ling-pai dan isterinya! Melihat sikap anak murid yang mukanya agak
pucat dan sinar matanya mengandung ketegangan itu, Cia Keng Hong cepat-cepat
berkata kepada isterinya,
"Mari
kita keluar!"
Sie Biauw
Eng sudah mengenal benar watak dan sikap suaminya, maka begitu suaminya
mengeluarkan kata-kata itu, dia pun segera menjadi waspada karena tentu ada
sesuatu yang menegangkan hati suaminya. Tanpa banyak cakap dia mengikuti
suaminya keluar menyambut tamu yang sudah berada di ruangan depan dan agaknya
sudah dipersilakan duduk oleh anak murid Cin-ling-pai yang menjaga di luar.
Begitu
mereka keluar, Kun Liong telah membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng dan
nyonya ini terhuyung-huyung memanggil ayah bundanya, menjatuhkan diri berlutut,
dan berkata dengan suara terisak,
"Ayah...
ibu... mereka telah menghinaku...!"
Melihat
puterinya berlutut dan menangis, Biauw Eng menjadi kaget sekali. Nenek ini juga
berlutut dan merangkul puterinya. "Keng-ji, apa yang terjadi...?"
Akan tetapi Giok Keng tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena dia sudah
menangis tersedu-sedu.
Cia Keng
Hong yang melihat bahwa yang datang adalah Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama
bersama dua orang yang kelihatannya sebagai pelayan biasa, menjadi terkejut dan
juga terheran-heran. Cepat dia menjura dengan hormat kepada Kok Beng Lama
sambil berkata, "Kiranya losuhu Kok Beng Lama yang datang dan engkau Kun
Liong. Agaknya ada urusan yang sangat penting sekali sehingga mengejutkan kami.
Apakah yang sudah terjadi...?"
Kun Liong
tak mampu menjawab. Berhadapan dengan pendekar sakti yang dihormat dan
dijunjungnya tinggi itu, dia menjadi sungkan sekali sehingga tidak berani
bicara. Kok Beng Lama yang berkata,
"Hemm...
urusan yang amat buruk, Cia-taihiap. Harap kau tanyakan kepada puterimu itu
saja."
Makin
terkejutlah hati Cia Keng Hong melihat sikap Kun Liong dan mendengar jawaban
Kok Beng Lama itu, maka dia pun menoleh kepada Giok Keng yang masih menangis di
pundak ibunya.
"Giok
Keng, apa yang sudah terjadi? Hayo jawab!" Keng Hong berkata kepada
puterinya yang masih menangis.
"Ayah..."
Giok Keng menjawab tanpa mengangkat mukanya dari pundak ibunya. "Mereka
telah menghinaku, mereka telah menawanku dengan cara kekerasan, membawaku ke
sini dengan kekerasan dan dengan paksa. Mereka menotokku dan menyeretku ke
sini, ayah... mereka betul-betul telah menghinaku dan menuduh aku menjadi
pembunuh...!" Giok Keng menangis lagi.
Mendengar
ucapan puterinya ini, seketika Sie Biauw Eng bangkit berdiri dan melepaskan
rangkulan puterinya. Mukanya menjadi merah, sepasang matanya bersinar-sinar
laksana mengeluarkan api dan dia memandang berganti-ganti kepada Kun Liong dan
Kok Beng Lama seolah-olah kedua orang itu hendak ditelannya.
"Keparat...!"
Sie Biauw Eng sudah berseru dengan kemarahan meluap-luap. "Sungguh tak
memandang sebelah mata kepada ayah dan ibu Cia Giok Keng, berani benar bersikap
sewenang-wenang dan menghina anakku! Kok Beng Lama, apa artinya ini? Kun Liong,
apakah engkau hendak menantang kami?" Nyonya tua itu sudah marah sekali
dan kalau saja lengannya tidak dipegang oleh suaminya, agaknya dia sudah
menerjang maju dan menyerang kedua orang itu.
"Supek...
dan supek-bo (uwa guru)... saya... isteri saya..." Kun Liong tidak sanggup
lagi melanjutkan karena dia menjadi gugup sekali.
Memang dia
tahu bahwa perbuatan mereka memaksa Giok Keng ke Cin-ling-pai adalah sebuah
penghinaan, akan tetapi hal itu dilakukannya untuk mencegah Kong Beng Lama
membunuh Giok Keng. Memang sukar bagi dia menghadapi Kok Beng Lama yang keras
hati dan kini menghadapi ibu Giok Keng yang tidak kalah galaknya.
"Hayo
lekas katakan! Mengapa kalian menghina Giok Keng? Apa hubungannya dengan
isterimu?" Sie Biauw Eng membentak, makin marah.
"Isteri
teecu... mati terbunuh..."
Cia Keng
Hong terkejut sekali mendengar itu dan mukanya berubah, pandang matanya
ditujukan kepada Kun Liong dengan penuh iba dan alisnya berkerut.
Akan tetapi
Sie Biauw Eng yang baru saja mengalami kedukaan karena delapan orang anak
muridnya dibunuh orang dan pedang pusaka dicuri orang, kini masih marah karena
keadaan Giok Keng, maka tanyanya dengan suara masih ketus, "Isterimu mati
dibunuh orang, apa hubungannya dengan Giok Keng? Mengapa kau menghinanya?"
"Toanio,
kami datang minta keadilan. Anakku Pek Hong Ing itu dibunuh oleh anak nyonya
ini."
Ucapan Kok
Beng Lama itu membuat Cia Keng Hong menjadi makin terkejut sekali. Dia
mengeluarkan seruan keras sekali lalu meloncat ke belakang, menoleh dan
memandang kepada puterinya dengan mata terbelalak. Juga Sie Biauw Eng terkejut
bukan main, akan tetapi ibu ini tentu saja membela anaknya dan dia segera
mendekati Giok Keng sambil bertanya,
"Keng-ji,
benarkah engkau membunuh isteri Kun Liong? Dan jika benar, apa sebabnya?"
Jelas bahwa membunuh atau tidak, Sie Biauw Eng siap untuk membela anaknya itu!
"Ohh,
ibuuu...!" Kembali Giok Keng menubruk dan merangkul kaki ibunya, lalu
menangis. "Aku tidak membunuhnya, ibu. Aku tidak membunuhnya!"
"Cukup!
Hentikan tangismu dan tenanglah! Biar setan sekali pun akan kulawan kalau dia
berani menuduhmu yang bukan-bukan. Hayo, lekas bangkit dan berdirilah!"
Sie Biauw Eng membentak dan Giok Keng lalu bangkit berdiri, kepalanya menunduk,
Sie Biauw Eng kini melangkah ke depan, menghadapi Kun Liong dan Kok Beng Lama,
hidungnya kembang-kempis, matanya seperti mengeluarkan api saking marahnya.
"Hmm,
kalian sungguh tak tahu aturan! Kalian menggunakan kepandaian untuk menghina
anakku, memaksa dan menawannya seolah-olah dia seorang penjahat! Aku yang
menjadi ibunya tidak terima akan perlakuan dan penghinaan ini!"
"Omitohud...!
Kasih seorang ibu memang membuta, walau anaknya berdosa sekali pun, tetap akan
dibelanya. Anakmu itu telah membunuh anakku, dan aku minta diganti dengan
nyawa!"
"Kau
menuduh dengan membuta, Kok Beng Lama! Dan andai kata anakku membunuh
seseorang, itu pun tentu dilakukan karena suatu hal. Kau minta ganti nyawa?
Nyawamu sendiri gantinya!"
"Jangan...!"
Cia Keng Hong berseru.
Akan tetapi
Sie Biauw Eng sudah menerjang dengan dahsyatnya, menghantam ke arah dada dan
lambung Kok Beng Lama dengan pukulan bertubi-tubi dari Ilmu Ngo-tok-ciang
(Tangan Lima Racun) yang selain mengandung racun juga didorong oleh tenaga yang
amat dahsyat dan kuat.
"Plak-plak-desss...!"
Sie Biauw
Eng kalah tenaga dan dia terlempar ke belakang, terhuyung sampai beberapa
langkah.
"Losuhu,
tak baik memamerkan kepandaian di sini!" Cia Keng Hong menjadi tidak
senang melihat isterinya terdesak. Dia sudah menggerakkan tangannya, siap untuk
menghadapi Lama yang sebetulnya adalah guru dari puteranya sendiri itu.
Akan tetapi
pada saat itu pula Kun Liong moloncat di tengah-tengah dan cepat dia berkata
dengan suara lantang, "Supek! Gak-hu! Tahan dulu...! Tidak ada gunanya
pertempuran di antara kita sendiri. Ada urusan dapat diurus dengan kebenaran.
Supek, sebelum Supek dan Supek-bo mendengarkan urusannya, kenapa telah
menyalahkan kami? Harap Supek berdua suka lebih dulu mendengarkan apa yang
telah terjadi, baru mengambil keputusan. Apa bila Supek berdua menganggap saya
bersalah dalam urusan ini, saya menyerahkan nyawa saya kepada Supek berdua
untuk kedosaan saya memaksa Giok Keng ikut datang ke Cin-ling-pai."
Mendengar
ucapan Kun Liong itu, Cia Keng Hong menjadi sadar maka dia cepat-cepat memegang
lengan isterinya, mencegah isterinya yang sudah melolos sabuk sutera putih yang
merupakan senjata yang amat ampuh itu.
"Kun
Liong betul, kita tidak boleh menuruti nafsu amarah, biarlah kita dengarkan apa
yang telah terjadi sebetulnya. Kun Liong, ceritakanlah apa yang telah terjadi,
mari kita duduk sambil bicara dengan baik-baik."
Biar pun
masih marah, akan tetapi Sie Biauw Eng tidak mau membantah suaminya, maka dia
menggandeng tangan puterinya, diajak memasuki ruang tamu di mana mereka semua
duduk. Cia Keng Hong memberi isyarat kepada semua murid Cin-ling-pai untuk
menjauh dan jangan mendekati tempat itu karena yang akan dibicarakan adalah
urusan keluarga.
"Nah,
berceritalah," Cia Keng Hong berkata kepada Kun Liong.
Dengan suara
penuh duka, Kun Liong lalu menceritakan mengenai kepergiannya mencari Yap In
Hong untuk membujuk adiknya itu dan memberi tahukan tentang perjodohannya
dengan Bun Houw seperti yang ditetapkan oleh Cia Keng Hong. Kemudian betapa
ketika dia pulang ke rumahnya, tahu-tahu dia menemukan isterinya telah tewas
dibunuh orang dan menurut penuturan kedua orang pelayannya, isterinya itu baru
saja bercekcok dan bertempur melawan Cia Giok Keng.
"Saya
sendiri tidak berani menuduh adik Giok Keng yang membunuh isteri saya, akan
tetapi Supek dan Supek-bo dapat mendengarkan sendiri penuturan kedua orang
pelayan saya yang sudah sengaja saya bawa ke sini untuk menjadi saksi."
Kun Liong menutup penuturannya dan menghapus dua butir air mata yang menitik
keluar dari matanya karena dia teringat kepada isterinya.
Cia Keng
Hong dan Sie Biauw Eng mendengarkan dengan muka berubah pucat. Beberapa kali
mereka menoleh kepada puteri mereka, akan tetapi Giok Keng hanya menundukkan
mukanya yang juga menjadi pucat.
Dengan suara
tenang namun agak tergetar Cia Keng Hong lalu minta kepada dua orang pelayan
itu untuk bercerita. Khiu-ma yang lebih bernyali dari pada Giam Tun kemudian
menceritakan semua pengalaman mereka pada malam itu, kadang-kadang diselingi
oleh Giam Tun yang memperkuat keterangan pelayan itu, betapa Giok Keng
malam-malam datang sambil marah-marah, kemudian betapa nona majikan Yap Mei Lan
melarikan diri, kemudian Giok Keng bertempur dengan nyonya majikan mereka,
betapa ketika melerai keduanya dipukul pingsan oleh Giok Keng. Dan akhirnya,
ketika mereka sadar, mereka melihat nyonya majikan mereka sudah tewas di atas
lantai! Tentu saja Khiu-ma bercerita sambil menangis dan kembali Cia Keng Hong
dan Sie Biauw Eng saling pandang dengan muka pucat.
"Hemm,
Cia-taihiap dan Toanio. Ketahuilah bahwa ketika saya datang ke Leng-kok, saya
melihat Kun Liong hanya menangis di hadapan kuburan seperti orang gila. Akulah
yang memaksa dia untuk menuntut atas kematian anakku dan memaksa puterimu untuk
ikut bersama kami ke Cin-ling-pai karena kami menuntut keadilan. Aku tahu bahwa
Cia-taihiap adalah seorang yang bijaksana dan adil, seorang pendekar besar yang
menjunjung tinggi kebenaran, maka harap saja keadilannya tidak goyah sesudah
menghadapi urusan yang dilakukan oleh anak sendiri."
Ucapan ini
membangkitkan semangat Cia Keng Hong. Dia menekan lengan isterinya yang sudah
ingin membantah, kemudian dia menoleh kepada puterinya, dengan suara kereng dia
memanggil,
"Cia
Giok Keng...!"
"Ayahhh...!"
Giok Keng menjawab sambil menundukkan mukanya.
"Berlututlah,
engkau menghadapi pertimbangan yang harus dilakukan seadil-adilnya!"
Mendengar
suara ayahnya yang kereng, Giok Keng tidak berani membantah dan dia lalu
menjatuhkan diri berlutut di tengah ruangan itu. Dengan tekanan tangan dan
pandangan mata Cia Keng Hong melarang isterinya yang hendak menghampiri
puterinya sehingga ibu yang penuh kekhawatiran ini hanya memandang pucat.
"Cia
Giok Keng, seorang gagah lebih menjunjung kebenaran dari pada nyawa! Kehilangan
nyawa bukan apa-apa, akan tetapi kehilanqan nama dan kehormatan merupakan
kutukan bagi keluarga turun-temurun. Hayo ceritakan semua dengan jelas, dari
awal sampai akhir tentang perbuatanmu di rumah Yap Kun Liong dan apa yang
mendorong kau melakukan perbuatan itu!"
Cia Keng
Hong bukanlah seorang bodoh. Biar pun dia memegang keras kebenaran dan
keadilan, akan tetapi sebagai ayah tentu saja dia pun ingin menolong anaknya,
maka dia menuntut anaknya menceritakan semua termasuk sebab-sebab yang membuat
anaknya itu menyerbu ke rumah Kun Liong!
Dengan suara
lirih namun jelas Giok Keng lalu bercerita, dimulai dari peristiwa di dalam
pesta Phoa Lee It di mana dia bentrok dengan Yap In Hong yang dianggap menghina
adiknya. Dia bercerita dengan terus terang, tentang kemarahannya dan tentang
cegahan suaminya yang tidak dihiraukan.
Betapa
dengan kemarahan meluap dia lalu mendatangi rumah Kun Liong dengan maksud
menegur Kun Liong tentang kelakuan adiknya, akan tetapi Kun Liong sedang tidak
berada di rumahnya. Juga dia tidak melewatkan peristiwa dengan Mei Lan, puteri
Kun Liong yang membangkitkan kemarahannya pula hingga dalam kemarahannya itu,
dia telah membuka rahasia anak itu sehingga anak itu melarikan diri.
"Karena
saya membuka rahasia anak itu, Hong Ing menjadi marah lantas menyerangku.
Kemudian kami bertempur dan saya memukulnya pingsan. Dua orang pelayan ini
datang dan kuanggap hendak membela nyonya majikan mereka, maka juga kupukul
pingsan. Kemudian saya pergi meninggalkan rumah itu. Demikianlah, ayah..."
Wajah Cia
Keng Hong menjadi sebentar pucat sebentar merah, karena dia merasa marah sekali
dengan kelakuan puterinya.
"Karena
terbukanya rahasia itu, anak saya Mei Lan melarikan diri sampai kini belum juga
dapat ditemukan ke mana larinya," kata Kun Liong dengan sedih.
"Walau
pun dia tidak mengaku telah membunuh anakku, akan tetapi andai kata dia tidak
membuat anakku pingsan kemudian meninggalkannya seperti itu, belum tentu anakku
mati! Perbuatannya itu sama juga dengan membunuh anakku!" Kok Beng Lama
berkata marah.
Cia Keng
Hong mengepal tinjunya, menggigit bibirnya. Perbuatan Giok Keng dianggapnya
keterlaluan. Dengan mata terbelalak penuh kemarahan dia memandang puterinya.
Agaknya Giok
Keng merasa akan pandang mata ayahnya ini. Dia mengangkat muka dan melihat
pandang mata ayahnya dia meratap, "Ayah... ampunkan... aku benar-benar
tidak membunuhnya, ayah...!"
"Anak
durhaka! Engkau hanya menodai nama keluargamu, nama orang tuamu! Engkau ribut
dengan Yap In Hong, mengapa menimpakan kesalahan kepada Kun Liong? Engkau marah
kepada In Hong dan Kun Liong, mengapa engkau menimpakannya pula kepada Mei Lan
dan Hong Ing yang tidak berdosa sehingga mengkibatkan matinya Hong Ing dan
minggatnya Mei Lan? Masih belum tahukah engkau akan kedosaanmu yang amat besar
itu?"
"Ayah...
aku... aku bersalah, harap ayah mengampunkan aku..."
"Hemm,
orang tua tentu saja mengampuni anaknya, akan tetapi mereka yang kehilangan
isteri, kehilangan anak tentu saja tidak akan dapat mengampunimu. Apa kau kira
kami akan dapat melindungi dan membela orang berdosa, meski pun dia itu anak
kami sendiri? Kau tentu tahu apa yang patut dilakukan seorang gagah yang sudah
menyadari akan kedosaannya!" berkata demikian, tangan Cia Keng Hong
bergerak dan sebatang pedang meluncur dan menancap di depan Giok Keng, di atas
lantai, sampai gagang pedang itu tergetar dan mengeluarkan bunyi mengaung.
“Aihhh...!"
Sie Biauw Eng menjerit.
"Ayahhh...!"
Giok Keng juga menjerit.
Akan tetapi
Cia Keng Hong memegang lengan isterinya. Sie Biauw Eng meronta-ronta.
"Tidak...! Jangan...! Tidak boleh begitu! Tidak boleh! Suamiku, kau tidak
boleh menyuruh dia membunuh diri! Tidak... tidaaaakkk...!"
Biauw Eng
meronta-ronta hendak melepaskan diri dari pegangan tangan suaminya. Cia Keng
Hong kemudian menggerakkan jari tangannya dan cepat sekali menotok tengkuk
isterinya. Sie Biauw Eng menjadi lemas dan pingsan di atas kursinya, dirangkul
suaminya yang memandangnya dengan muka pucat sekali.
"Cia
Giok Keng, dari pada melihat engkau terbunuh dan terhukum di tangan orang lain,
lebih baik melihat engkau mati sebagai seorang gagah yang menebus dosanya
sendiri!" kata Cia Keng Hong pula, dengan suara dingin, sambil merangkul
isterinya yang pingsan dan memandang kepada puterinya yang masih berlutut.
Dengan muka
pucat Giok Keng memandang pedang yang masih tergetar itu, lalu dia pun
mengangkat muka memandang ayahnya. Tiba-tiba sinar mata itu mengeluarkan cahaya
kekerasan, dan suaranya tidak tergetar atau menangis lagi ketika dia berkata,
"Ayah!
Untuk yang terakhir kali kukatakan bahwa demi nama Langit dan Bumi, aku tidak
membunuh isteri Kun Liong. Akan tetapi kalau memang betul bahwa aku
melampiaskan kemarahanku di rumah Kun Liong itu mencemarkan nama ayah dan
mengotorkan muka ayah, biarlah aku akan mencuci muka ayah dengan darahku!"
Cia Giok
Keng mencabut pedang itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dari luar
ruangan tamu itu, "Isteriku... tunggu dulu...!"
Dan
muncullah Lie Kong Tek yang tinggi besar dengan muka pucat.
"Suamiku...!"
"Isteriku,
Giok Keng, apa yang akan kau lakukan ini...?" Lie Kong Tek menubruk.
Mereka
berangkulan di atas lantai. Giok Keng menangis tersedu-sedu, dan Lie Kong Tek
segera merampas pedang yang telah dicabut oleh Giok Keng. Dengan muka kereng
Lie Kong Tek menoleh ke arah Cia Keng Hong dan sejenak mereka saling beradu
pandang mata.
"Gak-hu,
hati saya amat kecewa menyaksikan keadaaan di sini. Gak-hu terkenal sebagai
seorang pendekar sakti, sebagai ketua Cin-ling-pai yang besar, tapi ternyata
gak-hu telah melanggar hak seorang suami! Dahulu, pada waktu masih kecil,
memang Cia Giok Keng adalah puterimu sehingga segala hal tentang dirinya adalah
tanggung jawab dan hakmu. Akan tetapi sekarang dia adalah nyonya Lie Kong Tek,
maka sebagai suaminya, sebagai ayah dari anak-anaknya, akulah yang bertanggung
jawab penuh dan mempunyai hak pula mengenai mati hidupnya! Mengadili seorang
isteri tanpa sepengetahuan suaminya, hal itu benar-benar merupakan perbuatan
yang paling tidak tahu aturan!"
Ucapan dan
sikap yang amat gagah itu seperti menikam ulu hati Cia Keng Hong, dan dia
berkata, "Lie Kong Tek, engkau benar, maafkanlah aku. Akan tetapi isterimu
itu... anakku itu... dia melakukan dosa besar sekali... dia harus menebusnya
sebagai seorang gagah, kalau tidak, dia akan menodai nama keluarga kita semua
turun-temurun."
"Baik,
kesalahan isteri adalah tanggung jawab suaminya pula. Kematian orang yang sama
sekali bukan dibunuh oleh isteriku, akan tetapi tuduhannya dijatuhkan kepada
diri isteriku, biarlah ditebus dengan nyawa pula. Istriku, Giok Keng, harap kau
jaga baik-baik dua anak kita... selamat tinggal!"
"Aihh,
jangaaaan...!"
Akan tetapi
terlambat, Lie Kong Tek sudah menusuk dadanya sendiri dengan pedang itu sampai
menembus punggungnya!
Giok Keng
menjerit dan menubruk suaminya, Lie Kong Tek memaksa tersenyum sambil memandang
isterinya. "Giok Keng... semua noda tercuci oleh darahku... kau
rawatlah... Seng-ji dan Ciauw Si..."
Laki-laki
gagah perkasa yang usianya baru empat puluh tahun kurang itu memejamkan mata
dan kepalanya terkulai di atas pangkuan isterinya. Giok Keng menjerit dan
terguling pingsan di atas mayat suaminya!
Sunyi sekali
di situ untuk beberapa saat. Sie Biauw Eng masih pingsan di dalam pelukan
suaminya. Giok Keng juga pingsan di atas mayat suaminya. Semua orang memandang
dengan mata terbelalak dan menahan napas, Khiu-ma terisak menangis. Sunyi
sekali, kesunyian yang mencekik leher. Kemudian terdengar suara Cia Keng Hong,
lemah dan gemetar bercampur isak tertahan,
"Apakah
kalian berdua sudah puas sekarang...?"
Kun Liong
menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan suara penuh penyesalan dia berkata,
"Supek... teecu menyesal sekali, teecu yang menyebabkan semua ini terjadi,
teceu telah tertimpa mala petaka dan kini teecu menyeret Supek sekeluarga ikut
menderita pula..."
"Yap
Kun Liong, aku tidak bisa menyalahkan engkau. Selama orang menuruti nafsu hati
sendiri, timbullah sebab dan akibat yang saling berkait dan tiada berkeputusan.
Memang kita semua sedang dilanda kemalangan. Baru beberapa hari saja delapan
orang murid Cin-ling-pai dibunuh orang dan pedang pusaka Siang-bhok-kiam
dicuri, terjadi ketika kami mengunjungimu. Dan sekarang, isterimu dibunuh orang
dan... suami Giok Keng menebus dengan nyawanya. Ya Tuhan, dosa apa gerangan
yang kita lakukan semua...?"
"Supek..."
Kun Liong terkejut sekali dan dia semakin menyesal mengapa terjadi peristiwa
yang sedemikian hebatnya. Semestinya dia mencegah mertuanya melakukan kekerasan
seperti ini.
Giok Keng
telah kematian suaminya, dan biar pun demikian, tetap saja Hong Ing tak akan
hidup kembali! Sungguh kematian Lie Kong Tek itu amat sia-sia dan dia merasa
menyesal sekali. Semua peristiwa mengerikan sekarang ini hanya menjadi hasil
dari pemikiran yang penuh dengan kemarahan, dendam, serta kebencian, sehingga
tentu saja menghasilkan hal yang amat buruk.
Dia sendiri
masih tetap sangsi apakah benar Giok Keng yang telah membunuh isterinya. Apa
bila ternyata tidak demikian, bukankah perbuatannya ini sama dengan menyebabkan
kematian suami Giok Keng! Sama dengan dia sendiri yang membunuh Lie Kong Tek?
Dalam saat
pendek itu, sesudah menyaksikan kematian Lie Kong Tek, melihat Giok Keng
pingsan di atas mayat suaminya, melihat supekbonya pingsan dalam rangkulan
supeknya yang wajahnya menjadi pucat, matanya sayu dan dilanda tekanan batin
yang amat besar itu, seakan-akan terbukalah mata batin Kun Liong.
Peristiwa
kematian Hong Ing adalah suatu kejadian yang tak dapat dirobah oleh apa pun
juga. Isterinya sudah mati. Ini merupakan suatu kenyataan. Pikirannya yang
mengacau perasaan hatinya dan membuat dia berduka. Kedukaan mengeruhkan batin,
menimbulkan kemarahan dan dendam kebencian, lebih-lebih lagi dengan kedatangan
Kok Beng Lama sehingga menimbulkan pula tindakan kekerasan yang dilakukan
mereka terhadap Giok Keng. Maka terjadilah bunuh diri dari Lie Kong Tek dan
akibat ini tentunya akan menjadi sebab dari peristiwa lain yang akan berekor
panjang. Dia menyesal sekali!
"Supek,
kematian saudara Lie Kong Tek adalah karena kecerobohan teeeu..."
Cia Keng
Hong menggeleng kepalanya. "Yang sudah terjadi tidak dapat dirobah lagi,
Kun Liong. Meski pun agaknya bukan tangan Giok Keng yang membunuh isterimu,
akan tetapi kiranya sama saja, kematian isterimu pun mungkin karena kecerobohan
yang dilakukan Giok Keng. Penyesalan tiada gunanya. Giok Keng sudah melakukan
kesalahan besar dan dia kini menanggung akibatnya..."
Laksana
tertikam rasa ulu hati Kun Liong ketika mendengar ucapan yang keluar dengan
suara penuh duka dan kesabaran itu. Kematian isterinya mungkin juga disebabkan
oleh penyelewengan dalam kehidupannya dan kini seperti ada penerangan memasuki
otaknya!
Hong Ing
kiranya tidak akan bertempur melawan Giok Keng kalau saja isterinya itu tidak
marah mendengar Giok Keng membuka rahasia Mei Lan, dan kalau saja tidak
bertempur melawan Giok Keng, isterinya tidak akan pingsan sehingga mudah saja
dibunuh orang! Jadi penyebabnya adalah karena adanya Mei Lan di situ, dan Mei
Lan adalah hasil dari hubungan gelapnya dengan ibu kandung anak itu, yaitu Lim
Hwi Sian!
Kalau tidak
ada Mei Lan, kalau perbuatannya yang menyeleweng dengan Hwi Sian tidak pernah
terjadi, agaknya belum tentu kalau isterinya tercinta itu dibunuh orang! Inikah
yang dinamakan hukum karma? Semua sebab akibat sebenarnya adalah hasil dari
perbuatan dia sendiri! Yang penting setiap saat sadar akan segala gerak-gerik
diri pribadi lahir batin, bukan membiarkan diri terseret ke dalam lingkaran
setan berupa sebab dan akibat!
"Supek
benar sekali! Biarlah teecu siap untuk menanggung segala yang akan terjadi. Dan
harap supek maklum bahwa sebaiknya teecu bersama gak-hu mohon diri dan pergi
dari sini sekarang juga."
Cia Keng
Hong memandang kepada isterinya dan kepada puterinya yang masih pingsan, lalu
mengangguk. "Kurasa sebaiknya begitulah, Kun Liong." Dan kepada Kok
Beng Lama ketua Cin-ling-pai itu berkata. "Selamat jalan, Losuhu, dan
harap maafkan penyambutan kami yang begini tidak menyenangkan atas kunjungan Losuhu."
Pendeta
gundul itu sejak tadi termenung dan memandang kepada mayat Lie Kong Tek, hanya
mendengarkan percakapan mereka dan tampak seperti orang linglung. Mendengar
ucapan Cia Keng Hong, dia lalu berkata, suaranya seperti orang yang hendak
menangis, "Sambutanmu baik sekali, Taihiap, terlampau baik malah! Anakku
mati, dan di sini aku malakukan dosa besar. Hong Ing, ayahmu telah menjadi
gila...!" Setelah berkata begitu, tanpa pamit lagi pendeta itu berkelebat
dan lenyap dari tempat itu.
Cia Kong
Hong menghela napas panjang dan hanya mengangguk pada waktu Kun Liong berpamit
dan memandang pendekar itu pergi diikuti oleh dua orang pelayannya. Pikiran
pendekar sakti ini melayang-layang.
Betapa
sayang dia kepada Kun Liong, betapa kagum dan suka dia kepada pendekar itu yang
dahulu ingin sekali dia ambil menjadi menantunya, menjadi suami Giok Keng. Akan
tetapi, kalau pemuda itu mau memenuhi permintaannya, adalah Giok Keng yang
tidak setuju dan puterinya itu akhirnya menikah dengan seorang pria lain,
pilihannya sendiri, yaitu Lie Kong Tek.
Dan
sekarang, putrinya menimbulkan gara-gara, menyebabkan kematian isteri Kun Liong
dan peristiwa ini lalu disusul pula dengan kematian suami Giok Keng. Mengapa di
antara kedua orang yang dahulu dia inginkan menjadi jodoh masing-masing itu
kini nampaknya seolah-olah selalu timbul pertentangan di antara mereka?
"Keng-ji...
mana anakku...?" Sie Biauw Eng sudah siuman, dan begitu sadar dia segera
mencari-cari Giok Keng dengan pandang matanya. Ketika melihat Giok Keng yang
masih menggeletak pingsan di atas mayat suaminya, dia menjerit dan menubruk.
"Giok
Keng...! Eh, mantuku... apa yang terjadi...?" Sie Biauw Eng memeriksa dan
melihat bahwa Giok Keng tidak apa-apa, hanya pingsan, akan tetapi Lie Kong Tek
sudah tewas dengan pedang menancap di dada menembus hingga punggung. Dia
mencelat ke depan suaminya dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Apa
yang terjadi? Kenapa Kong Tek mati? Dan mana iblis-iblis keparat tadi?"
Matanya jelalatan ke kanan kiri seperti mata orang gila.
Cia Keng
Hong menahan kegetiran hatinya dan dia cepat bangkit lalu memeluk isterinya
dengan penuh kasih sayang. Betapa isterinya yang tercinta ini di hari tuanya
mengalami kegoncangan batin yang demikian hebat!
"Tenanglah,
isteriku. Tenanglah, segalanya telah terjadi dan tidak dapat dirobah lagi oleh
kegelisahan dan kegoncangan kita. Giok Keng tidak apa-apa, akan tetapi suaminya
telah mengambil keputusan pendek, dia mewakili isterinya dan membunuh diri
untuk menebus dosa isterinya."
"Ohhh...!
Si keparat Kun Liong! Iblis tua Kok Beng Lama! Di manakah mereka? Biar aku
mengadu nyawa dengan mereka!" Sie Biauw Eng menjerit-jerit, tetapi
suaminya langsung merangkulnya dan mendekapnya sambil berbisik-bisik menghibur.
"Biauw
Eng... isteriku... apakah setelah tua engkau malah tak mau tunduk
kepadaku...?"
Mendengar
bisikan suaminya ini, lemaslah seluruh tubuh Sie Biauw Eng kemudian dia
menangis di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi mendengar penjelasan suaminya
yang dilakukan dengan sabar sambil berbisik-bisik, dia mulai bisa melihat
kenyataan dan mulai sadar bahwa bagaimana pun juga, Kun Liong yang menerima
pukulan batin hebat karena isterinya mati dibunuh orang itu, sama sekali tidak
dapat disalahkan dan betapa pun juga, Giok Keng telah melakukan kesalahan hingga
mengakibatkan puteri Kun Liong melarikan diri dan isterinya dalam keadaan
pingsan terpukul oleh Giok Keng telah dibunuh orang!
Karena itu,
dalam keadaan sadar ini Sie Biauw Eng sambil bercucuran air mata dapat
menghibur Giok Keng ketika puterinya ini siuman dan menangis sesenggukan,
menangisi kematian suaminya yang mengorbankan diri untuk mewakilinya menebus
dosa!
Cia Keng
Hong mengumpulkan semua anggota Cin-ling-pai dan dengan suara kereng dia
memperingatkan semua anak buah Cin-ling-pai supaya merahasiakan semua yang
sudah terjadi di Cin-ling-san pada hari itu, hanya mengabarkan bahwa mantu
ketua Cin-ling-pai telah meninggal dunia karena menderita sakit.
Para anak
buah Cin-ling-pai memang tak ada yang melihat bagaimana matinya Lie Kong Tek,
akan tetapi karena mereka melihat bahwa pada waktu itu Cin-ling-pai kedatangan
pendekar Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang pelayan dari
Leng-kok, secara diam-diam mereka menduga bahwa kematian mantu ketua mereka
tentunya ada hubungannya dengan para tamu itu! Namun mereka tidak berani
menduga sembarangan sehingga semua menutup mulut setelah menerima pesan dan
peringatan keras dari ketua mereka.
Untuk kedua
kalinya selama beberapa pekan saja, Cin-ling-pai kembali berkabung dan jenazah
Lie Kong Tek dikubur di lereng Gunung Cin-ling-san, dihadiri oleh para penduduk
di sekitar pegunungan itu. Cia Giok Keng kelihatan tenang-tenang saja dan sudah
tidak banyak menangis lagi, akan tetapi wajahnya agak pucat, sinar matanya sayu
dan muram, rambutnya agak awut-awutan dan kering. Pakaian berkabung berwarna
putih itu bahkan menambah kemuraman wajahnya.
***************
Hidup!
Betapa penuh rahasia,
manusia
tenggelam timbul
dalam
permainannya,
terhimpit di
antara suka dan duka,
matang
mengeriput di antara
tangis dan
tawa.
Selalu
mengejar kesenangan
selalu
menghindari ketidak-senangan
menimbulkan
perbandingan
dan pilihan
oleh dwi unsur
(im-yang)
manusia
dipermainkan.
Mengapa
suka?
mengapa
duka?
mengapa
mengejar kepuasan?
mengapa
menghindari kekecewaan?
Hadapilah
semua ini
dengan
kewaspadaan wajar dan murni,
tidak
menolak tidak menerima
hanya
memandang apa adanya!
Bebas dari
pengalaman dan pengetahuan
tidak
mencari tidak menyimpan
di dalam apa
adanya, kenyataan
mengandung
keindahan,
cinta kasih,
kebenaran!
Dua orang
anak yang baru datang setelah disusul ke Sin-yang oleh lima orang anak murid
Cin-ling-pai itu berlutut dan bersembahyang sambil menangis di hadapan peti
mati ayah mereka. Mereka itu adalah Lie Seng, putera Lie Kong Tek yang berusia
dua belas tahun, dan Lie Ciauw Si, puterinya yang berusia sepuluh tahun. Giok
Keng yang menemani dua anaknya bersembahyang, tidak dapat menahan isaknya
sungguh pun dia telah menahan-nahannya.
"Ibu,
kenapa ayah mati?" Lie Seng bertanya setelah selesai bersembahyang,
memandang kepada ibunya dan matanya yang tajam dan membayangkan kekerasan hati
seperti mata ibunya itu memancarkan pertanyaan yang penuh sedih dan kecurigaan.
"Ayahmu
meninggal dunia karena sakit mendadak yang amat berat, Seng-ji," jawab
Giok Keng yang sudah dipesan oleh ayahnya supaya tidak menceritakan semua
peristiwa itu kepada anak-anaknya karena hal itu hanya akan menanamkan bibit
dendam yang kelak akan melibat kehidupan anak-anak itu sendiri.
"Akan
tetapi, ketika ayah berangkat dia berada dalam keadaan sehat, sama sekali tidak
sakit!" Lie Ciauw Si berkata. Anak ini lebih mirip ayahnya, pendiam, akan
tetapi serius dan cerdas.
"Ayah
kalian meninggal karena sakit mendadak yang amat berat, anak-anakku,"
kembali Giok Keng berkata.
"Ibu,
ayah pernah bilang bahwa terlalu sering seorang yang mempelajari ilmu silat
mati terbunuh lawan. Apakah ayah mati terbunuh orang?" kembali Lie Seng
bertanya.
"Dan
andai kata ayah terserang penyakit mendadak, di sini ada kongkong (kakek yang
memiliki kepandaian tinggi, masa tidak bisa mengobatinya sampai sembuh?"
Lie Ciauw Si bertanya lagi.
Mendengar
pertanyaan anak-anaknya yang sangat mendesaknya itu, Giok Keng menjadi
kebingungan akan tetapi untung ada Cia Keng Hong yang juga mendengar
pertanyaan-pertanyaan itu. Ketua Cin-ling-pai ini lalu berkata,
"Lie
Seng, sungguh pun benar seperti kata-kata mendiang ayahmu, bahwa orang yang
mempelajari ilmu silat sering mati terbunuh lawan, akan tetapi matinya itu
bukan karena mempelajari ilmu silat, melainkan karena ulahnya sendiri yang
senang berlawanan atau bermusuhan. Dan ayahmu, meski sejak kecil mempelajari
ilmu silat, tidak pernah mencari permusuhan dengan orang lain. Tidak, dia tidak
mati terbunuh orang, dan engkau harus percaya kepada keterangan ibumu. Ciauw
Si, kongkong-mu ini hanya seorang biasa saja, dan memang mungkin dapat
mengobati orang sakit yang belum semestinya mati, akan tetapi mana punya
kekuasaan untuk menentukan mati hidupnya seseorang? Sudahlah, cucu-cucuku, ayah
kalian telah meninggal dunia dan hal ini tidak dapat dirobah lagi, dan tidak
ada gunanya apa bila kalian merasa berduka dan menyesal. Yang penting sekarang
kalian harus menumpahkan semua kasih sayang kalian kepada ibu dan selalu
mendengar kata-kata ibu kalian yang tentu lebih mengerti dari pada kalian.
Mengertikah?"
"Baik,
kongkong." Kedua orang anak itu mengangguk, akan tetapi saat melihat mulut
dan pandang mata mereka, maklumlah Cia Keng Hong bahwa hati kedua orang anak
kecil ini masih merasa penasaran.

Sesudah peti
jenazah Lie Kong Tek dikubur, Cin-ling-pai masih berada dalam suasana
berkabung. Cia Giok Keng yang biasanya lincah itu sekarang menjadi pendiam,
wajahnya selalu muram dan diam-diam dia menyesali semua perbuatannya sendiri
karena dia pun kini insyaf dan sadar bahwa kematian suaminya itu sesungguhnya
menjadi akibat dari perbuatannya sendiri, merupakan rentetan dari sebab-sebab
yang dimulai oleh sikapnya yang pemarah.
Karena dia
sendiri merasakan betapa pedihnya hati ditinggal mati suami, maka kini dia
dapat pula membayangkan betapa hancurnya rasa hati Kun Liong melihat isterinya
mati dibunuh orang! Dan dia merasa manyesal sekali. Setelah kini kemarahannya
mereda, dia dapat memaklumi sikap Kun Liong dan Kok Beng Lama yang memaksanya
agar ikut ke Cin-ling-pai karena mereka menuntut keadilan dari ketua
Cin-ling-pai.
Minta
keadilan dari ayahnya dan tidak mau turun tangan sendiri saja sudah membuktikan
betapa Kun Liong menghormati ayahnya. Andai kata dia sendiri yang menjadi Kun
Liong, agaknya dia akan turun tangan secara langsung saja untuk membalas
dendam!
Akan tetapi,
menginsyafi kesalahan sendiri memang merupakan hal yang paling sukar dilakukan
di dunia ini oleh manusia. Giok Keng memang sudah menyadari kesalahannya, akan
tetapi dia secara tidak sadar masih menutupi kesalahan itu dengan menyalahkan
In Hong yang dianggapnya menjadi biang keladinya! Kalau saja In Hong tidak
menghinanya di pesta itu, tentu tidak mungkin dia datang marah-marah ke rumah
Kun Liong.
***************
Pada suatu
hari, masih pagi-pagi sekali, Cin-ling-san kedatangan dua orang tamu wanita.
Keduanya masih muda dan wajahnya cantik-cantik, dan kepada para anggota
Cin-ling-pai yang berjaga di luar mereka menyatakan hendak berjumpa dengan
ketua Cin-ling-pai.
Semenjak
terjadinya peristiwa menyedihkan itu, para anggota Cin-ling-pai mengadakan
penjagaan siang malam. Cia Keng Hong sudah memerintahkan agar tidak membolehkan
siapa pun juga memasuki pintu gerbang sebelum melapor kepada ketua dan
memperoleh ijin ketua sendiri. Hal ini perlu untuk mencegah terjadinya hal-hal
yang tidak baik, karena agaknya Cin-ling-pai selalu dikelilingi oleh
bencana-bencana yang mengancam.
Melihat dua
orang wanita muda yang cantik jelita, yang seorang membawa pedang pada
punggungnya, dan yang kedua lebih muda dan memiliki kecantikan yang kelihatan
aneh, memandang dengan wajah berseri dan penuh harapan, para penjaga lalu
bertanya siapa adanya mereka dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan ketua
Cin-ling-pai.
"Aku
tidak mempunyai urusan dengan kalian anak murid Cin-ling-pai maka aku tidak
perlu pula memperkenalkan nama. Urusanku hanya dengan ketua Cin-ling-pai maka
aku hanya akan memperkenalkan nama kepada dia saja." Gadis cantik yang
membawa pedang menjawab dengan suara dingin dan pandang mata tajam.
"Aihh,
kalau begitu bagaimana kami harus melapor kepada ketua kami, nona?"
Seorang di antara anak murid Cin-ling-pai berseru, agak penasaran karena nona
yang cantik jelita dan kelihatan gagah ini tidak mau memperkenalkan nama.
Tiba-tiba
saja gadis remaja yang lebih muda itu berkata. "Namaku Yalima dan aku
ingin bertemu dengan kanda Cia Bun Houw, harap kau suka berbaik hati memanggilkan
dia keluar!"
Mendengar
ini dua orang anak murid lalu berlari-lari ke dalam untuk melaporkan. Memang
dua orang dara itu adalah Yalima dan Yap In Hong. Sesudah dengan paksa merampas
dara Tibet itu dari tangan Go-bi Sin-kouw, In Hong mengajak Yalima pergi ke
Cin-ling-san untuk menuntut supaya Cia Bun Houw mengawini gadis ini, dan dengan
sendirinya dia sekalian hendak memutuskan tali perjodohan antara dia dengan
pemuda putera ketua Cin-ling-pai.
Tentu saja
dia sama sekali tidak tahu akan peristiwa yang baru saja terjadi di
Cin-ling-san. Kedatangannya didorong hati tidak senang akan sikap Cia Bun Houw
yang dianggapnya tidak setia, sudah berpacaran dengan Yalima akan tetapi masih
hendak mengikat jodoh dengan dia!
Mendengar
bahwa dua orang gadis yang datang bertamu hendak bertemu dengan dia, ada pun
yang seorang mengaku bernama Yalima hendak bertemu dengan Cia Bun Houw, ketua
Cin-ling-pai menjadi sangat terheran-heran. Sesudah banyak peristiwa aneh
terjadi dan menimbulkan mala petaka, hati ketua Cin-ling-pai ini diliputi penuh
keraguan, maka dia tidak melarang ketika dia menanti kunjungan kedua orang
tamunya itu ditemani oleh isterinya dan oleh Giok Keng.
Yap In Hong
dan Yalima memasuki pintu gerbang, dan biar pun dia melihat banyak anak murid
Cin-ling-pai yang memandangnya penuh kecurigaan dan keadaan mereka seperti
dalam keadaan siap siaga, In Hong berjalan dengan langkah tenang saja. Akan
tetapi diam-diam dia memperhatikan sekelilingnya.
Para anggota
Cin-ling-pai itu kelihatan gagah-gagah dan lincah, gerak-gerik mereka jelas
menunjukkan dasar ilmu silat yang tinggi, maka dia merasa heran mengapa tempat
yang sekuat ini sampai dapat dibobolkan musuh yang berhasil mencuri pedang
pusaka terkenal dari Cin-ling-pai itu.
Sebaliknya,
Yalima yang sudah mengharapkan akan dapat segera berhadapan dengan kekasihnya,
tidak memperhatikan apa pun kecuali memandang ke depan dengan wajah
berseri-seri. Otomatis tangannya membereskan rambutnya yang terurai dan
pakaiannya yang kusut.
Cia Keng
Hong dan Sie Biauw Eng memandang dua orang gadis cantik jelita itu dengan sinar
mata kagum dan heran karena suami isteri tua ini tidak mengenal mereka. Memang
dua orang gadis itu amat mengagumkan. Yap In Hong memiliki kecantikan yang
gagah dan sikapnya menimbulkan segan di hati orang yang memandangnya, sebab
jelas tampak bahwa orang tidak boleh main-main dengan dara yang kecantikannya
diliputi kedinginan membeku itu.
Sebaliknya,
Yalima yang masih remaja dan masih kekanak-kanakan itu berwajah cerah dan
ramah, sinar matanya berseri-seri dan mulutnya tersenyum penuh gairah hidup,
akan tetapi mata gadis ini mencari-cari karena dia tidak melihat adanya Bun
Houw di sana. Sebaliknya, In Hong juga memandang tajam penuh selidik dan
alisnya agak berkerut ketika dia melihat Cia Giok Keng berada pula di tempat
itu.
Dapatlah
dibayangkan betapa munculnya Yap In Hong ini membuat Giok Keng merasa
seolah-olah api di dalam dadanya yang sudah hampir padam itu berkobar lagi,
kepanasan hatinya membara, mendatangkan kebencian dan kemarahan yang tak
tertahankan lagi.
"Yap In
Hong, bocah hina! Engkau datang mengantar kematian!" bentak Giok Keng dan
dia telah menerjang maju dengan pedang Gin-hwa-kiam di tangannya, segera
melakukan serangan kilat dan maut karena dia maklum betapa lihai adik Kun Liong
ini.
Yap In Hong
dengan sikapnya yang dingin dan tenang, memang sudah selalu siap akan
menghadapi segala kemungkinan. Dia tersenyum mengejek, kemudian dengan
kecepatan mengagumkan dia mengelak ke kiri dan sekali tangannya meraba
punggung, tampaklah sinar berkilat sebab pedangnya telah dicabut dan terus
balas menyerang dengan tusukan kilat ke arah lambung Giok Keng.
"Tranggg...
cringgg... cringgg...!"
Bunga api
muncrat berhamburan ketika berkali-kali dua batang pedang bertemu, akan tetapi
pertemuan pedang terakhir itu membuat Giok Keng terhuyung ke belakang sampai
lima langkah.
"Engkau
menyambut tamu dengan pedang? Bagus! Jangan kau kira aku takut!" In Hong
mengejek.
Kini dia
menerjang ke depan dengan serangannya. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar
bergulung-gulung yang cepat dan kuat sekali sehingga ketika Giok Keng memutar
pedangnya menangkis, kembali nyonya muda ini terdesak hebat.
Melihat ini,
Sie Biuww Eng sudah mengeluarkan seruan nyaring dan nenek yang dahulu terkenal
dengan ginkang-nya yang hebat itu sudah mencelat ke depan, bagaikan seekor
burung rajawali saja dia terbang ke situ kemudian dari atas dia mencengkeram
dengan pengerahan tenaga Ngo-tok-ciang.
Mendengar
ada sambaran angin dahsyat dari atas, In Hong terkejut sekali. Pedangnya sedang
bergulat dengan sinar pedang Giok Keng, maka menggunakan pedangnya berarti
membuka diri untuk serangan pedang dari depan, maka kini tangan kirinya yang
bergerak ke atas hendak menangkap lengan nenek yang menyerangnya dari atas
secara hebat itu.
"Dukkk!"
Tubuh In
Hong tergetar. Akan tetapi nenek Sie Biauw Eng juga terlempar dan begitu
kakinya tiba di atas tanah, dia sudah melolos senjatanya yang amat ampuh yaitu
Pek-in Sin-pian, sabuk sutera putih yang dulu pernah mengangkat namanya di
dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun Siu-li!
In Hong
cepat meloncat ke belakang, melintangkan pedangnya di depan dada, lantas dia
memandang dengan mata mengejek dan senyum memandang rendah. "Bagus,
kiranya beginikah Cin-ling-pai yang tersohor itu, menyambut tamu dengan serangan-serangan
senjata? Apakah engkau ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu, mengapa tidak sekallan
maju mengeroyok aku biar ramai?"
Wajah Cia
Keng Hong menjadi merah sekali. Pertama-tama, dia marah kepada isteri dan
puterinya yang terburu nafsu, dan kedua dia marah kepada gadis yang mulutnya
amat tajam, lebih tajam dari pedangnya itu. Juga dia terkejut menyaksikan
gerakan ilmu pedang dari gadis itu, yang selain aneh juga sangat lihai, bahkan
tenaga sinkang dari gadis ini sudah tentu lebih kuat dari pada tenaga
isterinya!
"Kalian
mundurlah! Sungguh tidak semestinya menuruti hati panas!"
Ditegur
dengan suara kereng ini, Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng mundur, akan tetapi
tidak menyimpan senjata mereka dan mata mereka masih memandang ke arah In Hong
dengan penuh kemarahan.
Cia Keng
Hong lalu menghadapi In Hong yang masih memegang pedang dan dengan halus dia
pun berkata, "Harap nona maafkan puteri kami. Menurut laporan, nona hendak
bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, nah, akulah ketua Cin-ling-pai. Nona siapa
dan ada keperluan apa nona datang ke sini?"
Walau pun
tadi mendengar puterinya menyebut nama dara ini, dan kini melihat wajah In Hong
yang persis dengan wajah mendiang sumoi-nya, Gui Yan Cu yang cantik jelita, dia
tidak meragu lagi bahwa dara ini adalah adik kandung Kun Liong. Namun Cia Keng
Hong bersikap kereng karena melihat sikap dara itu pun dingin dan garang.
Sejenak In
Hong memandang kepada dua orang wanita yang tadi menyerangnya, lalu menoleh
kepada Cia Keng Hong, menarik napas panjang dan menyarungkan pedangnya kembali,
kemudian dia menjura kepada ketua Cin-ling-pai itu.
"Harap
Locianpwe yang memaafkan saya karena kelancangan saya. Sudah lama saya
mendengar akan nama besar ketua Cin-ling-pai dan ternyata memang sikap
Locianpwe amat mengagumkan hati saya. Saya bernama Yap In Hong dan... kiranya
Locianpwe telah tahu siapa saya..."
"Hemmm,
kalau tidak salah, engkau adalah puteri dari mendiang sumoi Gui Yan Cu dan
suaminya, sahabatku yang baik Yap Cong San. Engkau adalah adik kandung dari Yap
Kun Liong, bukan?"
"Dugaan
Locianpwe benar, dan karena ibuku adalah sumoi dari Locianpwe, semestinya
Locianpwe adalah supek saya. Akan tetapi karena semenjak lahir tidak ada
hubungan, maafkan kalau saya menyebut dengan sebutan Locianpwe."
Cia Keng
Hong menarik napas panjang. Tidak disangkanya bahwa anak perempuan dari
sumoi-nya yang lenyap semenjak kecil itu kini bersikap seperti itu, kaku dan
dingin, sama sekali berbeda dengan sikap Gui Yan Cu dahulu yang ramah, lincah,
jenaka dan gembira serta hangat, seperti sinar matahari pagi.
"Jika
memang demikian yang kau kehendaki, terserah padamu, nona. Kemudian, urusan
apakah yang kau bawa ke sini dan siapa pula gadis asing ini?"
"Locianpwe,
kedatangan saya ini adalah untuk membicarakan urusan ikatan jodoh yang diusulkan
antara saya dan putera Locianpwe, seperti yang pernah saya dengar dari kakak
kandung saya Yap Kun Liong."
Kembali Cia
Keng Hong menyesal sekali mengapa gadis ini menyebutkan nama kakak kandungnya
tanpa perasaan bersaudara sama sekali, seakan-akan yang bernama Yap Kun Liong
adalah seorang asing baginya.
"Memang
demikianlah, tadinya hasrat hati kami untuk menyambung kembali hubungan antara
orang tuamu dengan kami. Lalu bagaimana kehendakmu?"
"Saya
datang untuk membatalkan perjodohan itu. Ikatan yang dilakukan di luar tahu
saya itu harus diputuskan."
"Perempuan
sombong! Siapa kesudian mempunyai adik ipar seperti engkau?" Mendadak Giok
Keng membentak, marah sekali.
"Hemmm,
gadis ini benar-benar lancang mulut dan tidak memandang mata kepada kita."
Sie Biauw Eng berkata kepada suaminya, "Sungguh tidak patut menjadi puteri
Yap Cong San dan Gui Yan Cu!"
Cia Keng
Hong mengangkat tangan memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk diam,
kemudian dia menghadapi In Hong, berkata dengan suara kereng, "Tidak ada
yang akan memaksamu berjodoh dengan putera kami, nona."
In Hong
merasa tidak enak juga, karena kata-kata serta sikapnya seakan-akan hendak
merendahkan keluarga ini, maka cepat-cepat dia berkata, "Harap Locianpwe
maafkan. Tidak ada maksud lain di dalam penolakanku itu kecuali adanya
kenyataan bahwa putera Locianpwe itu yang bernama Cia Bun Houw sudah mempunyai
calon isteri, maka amatlah tidak baik kalau dijodohkan lagi kepada saya."
"Ehh,
lancang mulut! Apa maksudmu menghina puteraku?" Sie Biauw Eng berseru.
"Hemm,
nona. Apa maksud kata-katamu itu?" Cia Keng Hong juga bertanya, heran dan
mulai tidak senang.
"Locianpwe,
saya hanya mengatakan apa adanya dan tidak bermaksud menghina. Adik Yalima dari
Tibet ini adalah calon isteri Cia Bun Houw dan mereka sudah saling mencinta,
oleh karena itu tidaklah semestinya kalau Cia Bun Houw dijodohkan dengan orang
lain. Demi keadilan, saya menuntut agar adik Yalima dijodohkan dengan Cia Bun
Houw..."
"Lancang!
Siapa kau yang hendak menentukan jodoh puteraku? Keparat!" Sie Biauw Eng
memaki.
"Sudahlah,
isteriku, jangan membikin urusan semakin ruwet. Nona Yalima, benarkah apa yang
diceritakan oleh nona Yap In Hong tadi?" Cia Keng Hong kini memandang
kepada Yalima.
Seorang dara
yang manis sekali dan tidak aneh kalau puteranya itu suka kepada nona ini. Akan
tetapi nona ini masih terlampau muda, masih kekanak-kenakan, sungguh pun harus
diakuinya bahwa Yalima amat cantik jelita dan penuh semangat.
Muka Yalima
menjadi merah sekali akan tetapi karena dia sudah bertekad untuk mencari Bun
Houw, maka dengan suara lancar namun agak kaku, dia lalu menceritakan tentang
keadaan dirinya, betapa dia dengan Bun Houw sudah saling mencinta, betapa Bun
Houw menolong dia ketika dia hendak diserahkan kepada pangeran di Lhasa oleh
ayahnya dan betapa sesudah Bun Houw pulang, kembali dia hendak dipaksa ayahnya
untuk menjadi selir pangeran di Lhasa. Maka dia lalu minggat dan ditolong oleh
Go-bi Sin-kouw, betapa kemudian dia hampir diperkosa oleh orang jahat dan
ditolong oleh In Hong.
"Demikianlah,
locianpwe, karena satu-satunya orang di dunia ini yang saya percaya dan saya
cinta ialah Houw-koko seorang, maka saya berusaha untuk menemuinya dan untuk
menghambakan diri selama hidup saya kepadanya," akhirnya Yalima menutup
ceritanya dengan kata-kata yang diucapkan dengan suara penuh harapan ini.
Sie Biauw
Eng mengerutkan alisnya, hatinya amat kecewa dan tidak senang sama sekali
mendengar semua itu. Tidak jadi bermantukan Yap In Hong tak apa-apa baginya,
bahkan menyaksikan sikap nona itu dia pun tidak sudi lagi untuk mengambilnya
sebagai mantu, akan tetapi kalau puteranya harus berjodoh dengan gadis Tibet
ini, tanpa campur tangan dia dan suaminya, sungguh dia merasa terhina dan tidak
setuju!
Akan tetapi,
Cia Keng Hong yang bijaksana melihat betapa Yalima benar-benar setia dan
mencinta Bun Houw, sungguh pun gadis itu masih terlampau muda dan dia sendiri
bukan berarti suka mempunyai mantu gadis Tibet ini. Akan tetapi untuk menyudahi
urusan yang bisa menimbulkan keruwetan dengan In Hong yang sikapnya amat keras
itu, dia berkata kepada In Hong,
"Nona Yap
In Hong, urusan jodoh adalah urusan pribadi keluarga kami. Hubungan antara kami
dengan nona hanyalah mengenai jodoh antara nona dan putera kami. Karena jelas
bahwa nona tidak menerima ikatan jodoh itu, maka mulai saat ini rencana
perjodohan itu kita batalkan saja. Ada pun mengenai jodoh putera kami
selanjutnya, tidak ada orang lain yang boleh mengaturnya. Harap saja engkau
maklum akan hal ini!" Suara Cia Keng Hong ketika mengatakan kalimat
terakhir itu bernada keras dan sejenak dia dan Yap In Hong saling beradu
pandang mata.
Akhirnya In
Hong menundukkan matanya, tidak tahan menghadapi sinar mata yang tajam dan
penuh wibawa itu dan dia berkata, "Saya tidak hendak mencampuri perjodohan
orang lain, akan tetapi bagaimana dengan adik Yalima ini? Sebagai sesama wanita
saya harus memperhatikan nasib dirinya yang terlunta-lunta karena mencari
putera Locianpwe."
"Itu
pun adalah urusan kami sendiri. Sebagai sahabat putera kami tentu saja Yalima
kami terima sebagai tamu dan biarlah dia menunggu di sini sampai putera kami
pulang. Saya ulangi lagi, hal jodoh di antara mereka adalah urusan kami
sekeluarga sendiri!"
Yap In Hong
mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia bersikeras, berarti
dialah yang tidak benar, maka dia hanya mengangguk pendek dan berkata,
"Baik, saya akan pergi sekarang. Saya percaya bahwa adik Yalima berada di
tangan keluarga baik-baik. Akan tetapi kelak saya pasti akan menyelidiki
tentang nasibnya di sini. Selamat tinggal dan maafkan saya, Locianpwe."
Sesudah berkata demikian, Yap In Hong segera membalikkan tubuhnya pergi dari
situ dengan sikap angkuh.
"Setan...!"
dengan pedang terhunus Giok Keng hendak mengejar.
Juga Sie
Biauw Eng memandang dengan kemarahan meluap. "Memang bocah itu kurang ajar
benar!"
Akan tetapi
Cia Keng Hong meloncat dan menghadang mereka. "Ingat, dia adalah puteri
mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dan sikapnya seperti itu bukanlah
pembawaan wataknya. Tidak mungkin keturunan mereka berwatak demikian. Dia
seperti itu tentulah karena gemblengan gurunya yang sejak kecil diikutinya.
Sungguh kasihan dia..."
Yalima yang
melihat ini semua menjadi bingung. Dia merasa kehilangan saat ditinggalkan In
Hong, akan tetapi dia pun tidak mau meninggalkan orang-orang tua yang dia tahu
adalah ayah dan ibu Bun Houw itu. "Enci In Hong adalah seorang yang amat
baik budi, dia telah melawan dan menentang Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya
yang jahat untuk menolong saya. Memang sikapnya dingin, akan tetapi hatinya
terbuat dari emas..."
Ucapan
Yalima ini diterima oleh Cia Keng Hong dengan mengangguk-angguk, akan tetapi
Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng tidak setuju sungguh pun mereka hanya menyimpan
rasa mendongkol dan tak senangnya di dalam hati saja.
"Ayah
dan Ibu, saya pun hendak mohon diri untuk pergi sekarang juga!" Tiba-tiba
Giok Keng berkata.
Ayah dan
ibunya terkejut, cepat menoleh dan memandang penuh selidik. "Keng-ji,
sudah kukatakan bahwa tidak perlu engkau melanjutkan permusuhanmu yang tidak
ada artinya itu terhadap In Hong. Dia marah kepada Bun Houw karena mendengar
bahwa Bun Houw sudah mencinta gadis lain, hal itu adalah lumrah!" Ayahnya
menegur, menyangka bahwa puterinya hendak mengejar In Hong, padahal dia tahu
benar bahwa puterinya itu sama sekali bukan lawan In Hong yang dia tahu amat
lihai.
"Tidak,
Ayah. Aku bukan hendak mengejar dan memusuhi In Hong, tetapi aku ingin pergi
melakukan penyelidikan dan berusaha menangkap pembunuh isteri Kun Liong.
Sebelum pembunuhnya tertangkap, hatiku takkan merasa lega dan hidupku selalu
akan menderita batin. Seakan-akan roh suamiku mendesak kepadaku untuk mencari
pembunuh itu, Ayah dan Ibu. Maka, boleh atau tidak, aku harus pergi mencari
pembunuh Hong Ing, karena hanya dengan tertangkapnya pembunuh itulah maka nama
keluarga kita akan tercuci dari noda."
Sie Biauw
Eng memegang lengan puterinya sambil terisak. "Engkau benar, anakku, dan
andai kata ayahmu memperbolehkan, aku akan menemanimu."
"Tidak!
Biarkan dia pergi sendiri. Dan aku pun setuju dengan tekadmu itu, Keng-ji.
Bahkan aku bangga dengan keputusanmu itu, karena engkau pun turut bertanggung
jawab atas kematian Hong Ing."
"Aku
hanya titip... titip anak-anakku... ibu..."
Kedua orang
wanita itu saling berpelukan. "Jangan khawatir, anakku. Aku akan menjaga
cucu-cucuku...," kata Sie Biauw Eng.
"Keng-ji,
niatmu itu baik sekali. Akan tetapi ingatlah baik-baik akan pesanku ini.
Suamimu sudah mati dan tidak ada orang lain yang membunuhnya. Kun Liong dan Kok
Beng Lama hanya menuntut keadilan dan sama sekali tidak memaksa suamimu
membunuh diri. Oleh karena itu, kalau engkau kelak menaruh dendam dan memusuhi
mereka, hal itu berarti bahwa engkau sudah menanam bibit permusuhan yang akan
mendatangkan akibat yang panjang."
"Aku
mengerti, ayah."
"Dan In
Hong, dia pun bukan musuhmu. Dia bersikap marah-marah kepada Bun Houw karena
menganggap Bun Houw menyia-nyiakan Yalima dan mempermainkannya. Tidak ada
permusuhan pribadi antara dia dan kita. Jangan engkau memusuhi dia pula."
Agak berat
kini Giok Keng menjawab, akan tetapi akhirnya keluar juga dari bibirnya.
"Baik, Ayah."
Maka
berangkatlah Giok Keng diantar tangis ibunya yang merasa kasihan sekali kepada
puterinya itu. Akan tetapi kepergian Giok Keng memang perlu dan penting sekali,
bukan hanya untuk menebus kesalahan tindakannya akan tetapi juga untuk mencuci
bersih noda yang mengotori keharuman nama keluarga mereka.
Tak lama,
hanya dua hari setelah Giok Keng pergi, muncul Hong Khi Hoatsu, guru dari Lie
Kong Tek di Cin-ling-pai! Kakek yang biasanya gembira dan jenaka ini telah
mengunjungi muridnya di Sin-yang, akan tetapi mendengar dari para tetangga
bahwa semua keluarga pergi ke Cin-ling-pai, maka dia cepat menyusul ke
Cin-ling-pai.
Dapat dibayangkan
betapa kaget dan duka hatinya ketika dia mendengar akan kematian muridnya!
Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun ini menjatuhkan diri di atas
kursi, mukanya pucat dan seperti kehilangan semangatnya pada saat dia
mendengarkan penuturan Cia Keng Hong yang menceritakan semua dengan
sejelas-jelasnya sehingga mengakibatkan Lie Kong Tek membunuh diri untuk
mewakili isterinya yang disangka telah membunuh orang itu.
Namun,
sebagai seorang ahli kebatinan yang bertingkat tinggi, akhirnya kakek ini
menarik napas panjang dan menggoyangkan pundak.
"Aihh,
begitulah hidup manusia! Ribut-ribut di kala masih hidup, kalau sudah mati
habislah semuanya! Kematian datang tanpa disangka-sangka... ahhh, keadaanmu
jauh lebih hebat dari pada penderitaan batinku mendengar kematian muridku yang
seperti anakku sendiri, Cia-taihiap. Baru saja delapan orang muridmu tewas,
pusaka dicuri orang, kini puterimu kehilangan suami secara menyedihkan. Ahhh,
di mana adanya cucu-cucuku?"
Ketika Lie
Seng dan Lie Ciauw Si yang diberi tahu datang berlarian lalu menangis sambil
memeluk kakek yang telah mereka kenal baik dan yang mereka sayang karena Hong
Khi Hoatsu juga sering sekali mengunjungi mereka, amat menyayang mereka dan
kakek yang lucu ini pandai menghibur mereka, tak dapat kakek itu menahan
keharuan hatinya dan air matanya bertitik di atas kedua pipinya yang penuh
keriput!
Beberapa
hari kemudian, Hong Khi Hoatsu minta dengan sangat kepada Cia Keng Hong supaya
diperkenankan membawa Lie Seng bersamanya, kembali ke Sin-yang menempati rumah
muridnya itu sampai Giok Keng kembali. Dia merasa kesunyian setelah muridnya
meninggal dan menantunya pergi, padahal kakek yang suka merantau ini menganggap
rumah muridnya di Sin-yang sebagai tempat peristirahatan terakhir pada hari tuanya.
Dia ingin ditemani oleh cucunya yang disayangnya itu.
Cia Keng
Hong maklum akan penderitaan kakek itu. Setelah bersepakat dengan isterinya dan
melihat betapa Lie Seng juga suka ikut bersama kakek itu, maka mereka
menyetujui dan berangkatlah Hong Khi Hoatsu bersama Lie Seng kembali ke
Sin-yang.
***************
Suasana
berkabung masih meliputi Cin-ling-pai. Sejak terjadi peristiwa yang
bertubi-tubi menimpa keluarganya itu, Cia Keng Hong lebih sering berada di
dalam kamarnya untuk bersemedhi.
Kalau dia
teringat akan nasib yang menimpa suami isteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dua
orang yang paling dikasihinya di samping isteri dan anak-anaknya sendiri, dia
merasa terharu dan kasihan sekali. Peristiwa-peristiwa menyedihkan menimpa
suami isteri itu, kemudian mereka berdua itu terbunuh musuh-musuh di waktu usia
mereka masih muda. Dan sekarang putera mereka juga mengalami nasib yang buruk,
kematian isterinya yang tercinta secara tidak wajar karena terbunuh orang
dengan menggelap, dan puteri mereka berobah menjadi seorang dara yang walau pun
berkepandaian sangat tinggi akan tetapi wataknya dingin dan menyeramkan!
Sie Biauw
Eng juga mengalami pukulan batin yang berat, akan tetapi berkat adanya cucunya,
Lie Ciauw Si, dia memperoleh hiburan dan setiap hari dia tidak pernah terpisah
dari cucunya ini yang digemblengnya sendiri dengan ilmu-ilmu bun (tulis) dan bu
(silat). Cin-ling-pai berada dalam keadaan prihatin!
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment