Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 12
KOTA Kiang
Shi bukan hanya terkenal karena kota itu cukup ramai dengan perdagangan, akan
tetapi terutama sekali terkenal karena kota itu merupakan kota tempat hiburan.
Ingin mencari wanita-wanita pelacur yang terkenal paling cantik serta pandai
melayani kaum pria, golongan paling rendah hingga paling tinggi? Kiang-shi
tempatnya! Hendak mengadu peruntungan dengan perjudian sehingga dalam waktu
semalam saja seorang jutawan bisa kehabisan seluruh uangnya dan sebaliknya
seorang biasa mungkin saja, walau pun agak langka, mendadak menjadi jutawan? Di
Kiang-shi pula tempatnya!
"Trak-tak-trak-tak-tak!"
terdengar suara berirama yang ditimbulkan dari dua potong bambu yang dijepit di
antara jari-jari tangan.
Seorang
seniman jalanan sedang menceritakan keadaan kotanya yang tercinta itu dengan
sajak-sajak sederhana yang dinyanyikan dengan suara serak dan iramanya dituntun
oleh suara tadi, bernyanyi-nyanyi di depan toko-toko dan warung-warung sambil
mengharapkan sedekah orang.
Penyanyi-penyanyi
jalanan seperti ini kadang-kadang bisa menggambarkan keadaan kota Kiang-shi
dengan hidup sekali, bahkan tidak jarang di antara mereka yang memasukkan di
dalam nyanyiannya itu cerita-cerita sensasi dan gosip tentang orang-orang
tertentu di dalam kota itu sehingga banyak juga orang yang berminat
mendengarkan mereka untuk sekedar mengetahui berita apa yang sedang hangat dan
yang dapat memancing ketawa sinis mereka hanya dengan mengeluarkan sepotong
uang kecil.
Pada malam
hari itu, seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan
berjalan-jalan menyusuri jalan raya yang dipenuhi orang-orang yang berjalan
hilir-mudik di kedua tepi jalan, di mana toko-toko berjajar penuh dengan segala
jenis barang dagangan. Sinar-sinar penerangan berpencaran keluar dari toko-toko
itu sehingga suasana menjadi meriah dan semua orang yang lalu lalang itu
rata-rata berwajah gembira.
Sudah
beberapa pekan lamanya pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Bun Houw, pergi
meninggalkan Cin-ling-san dan pada sore hari itu sampailah dia di kota
Kiang-shi dalam penyelidikannya hendak mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai,
yaitu Lima Bayangan Dewa yang hanya dia ketahui nama-nama serta julukan mereka
akan tetapi sama sekali tidak diketahuinya di mana tempat tinggal mereka itu.
Setiap tokoh
kang-ouw yang ditanyai, tidak ada yang tahu dan agaknya mereka itu seperti
takut-takut membicarakan tentang mereka, sehingga Bun Houw menduga bahwa andai
kata ada yang mengetahui tempat tinggal mereka pun, agaknya dia itu tidak akan
berani menceritakan kepadanya. Maka pemuda itu lalu mengambil keputusan untuk
menyelidiki dengan cara lain, yaitu dia akan mendekati kaum sesat dan akan
masuk sebagai anggota kaum sesat sehingga dia akan dianggap ‘orang dalam’ dan
tentu akan lebih mudah untuk menyelidiki mereka.
Tiba-tiba
Bun Houw tertarik oleh seorang laki-laki setengah tua yang bernyanyi-nyanyi di
depan toko besar di mana banyak berkerumun orang-orang yang mendengarkan
nyanyian yang diiringi suara berketraknya bambu-bambu di antara jari-jari
tangan orang itu. Bun Houw segera mendekati dan ikut pula mendengarkan.
Suara orang
ini cukup merdu dan kata-kata yang keluar dari mulutnya lancar dan jelas
sehingga menarik perhatian banyak orang. Seperti para penyanyi jalanan lainnya,
orang ini pun menggambarkan keadaan kota Kiang-shi, akan tetapi kata-katanya
agak berbeda dengan para penyanyi-penyanyi lainnya yang hanya menghafal
sehingga syair yang terus diulang-ulang itu tidak menarik lagi. Orang ini
agaknya lain. Dia pandai mencari kata-kata sendiri yang selalu berubah-ubah,
jadi bukan hafalan.
Trak-tak,
trak-tak, trak-tak-tak…
Kiang-shi
kota tersayang
hidup malam
dan siang
Kiang-shi di
waktu siang
orang-orang
berdagang
saling catut
dan kemplang
bahkan di
waktu malam
berdagang
kesenangan
Kiang-shi
sebagai sorga
juga mirip
neraka
pusat suka
dan duka
panggung
tangis dan tawa!
Bun Houw
tersenyum mendengar syair sederhana yang dinyanyikan orang itu. Dia pun
melemparkan sekeping uang tembaga ke dalam topi yang ditelentangkan di atas
tanah seperti yang dilakukan oleh para penonton lainnya. Penyanyi ini bernyanyi
terus, kini lebih bersemangat. Syairnya lebih bebas, tidak lagi merupakan
baris-baris dari tujuh suku kata untuk mengimbangi bunyi iringan suara bambu
yang tujuh kali, melainkan kini merupakan syair dan nyanyian bebas yang seperti
kata-kata berirama, kadang-kadang diseling suara berketraknya bambu-bambu di
jari tangannya.
Isteri anda
di rumah cerewet
dan marah?
jangan
khawatir, pergilah kepada
rumah merah
terpencil
di belakang
kuil,
di sana
kerling dan senyum manis
dijual
murah,
besok pagi
ciuman mesra mengiring,
anda pulang
dengan saku
dan tulang
punggung kering!
Semua orang
tertawa mendengar kata-kata yang lucu ini. Bun Houw sendiri belum dapat
menangkap dengan jelas arti dari nyanyian itu, dan kalau pun dia ikut tersenyum
adalah karena dia mendengar dan melihat orang-orang lain tertawa. Memang
suasana di tempat itu sangat menggembirakan.
Bun Houw
memandang ke kanan kiri. Dia ingin mencari tempat penginapan dan dia tahu bahwa
rumah merah terpencil di belakang kuil, rumah Ciauw-mama itu, di mana kerling
dan senyum manis dijual murah, pasti bukanlah merupakan rumah yang dibutuhkan
untuk bermalam di malam itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan tempat itu,
dia mendengar lagi orang itu melanjutkan nyanyiannya.
Anda ingin
menjadi jutawan?
Pergilah ke
Hok-po-koan!
Kalau
bintang anda terang
dalam
semalam anda menjadi hartawan!
Kalau
bintang anda gelap?
Dalam
semalam
Menjadi
jembel kelaparan!
Kembali
semua orang tertawa. Kembali Bun Houw menaruh perhatian ketika penyanyi itu
melanjutkan nyanyiannya sesudah tersenyum lebar, menyambut suara ketawa
penonton dan pendengarnya.
Akan tetapi
hati-hatilah
jangan main
gila di Hok-po-koan!
Salah-salah leher
bisa putus
disambar
sinar pedang setan
belum lagi
kalau ketahuan
oleh Lima
Bayangan!
Bun Houw
terkejut sekali dan dia memandang penyanyi itu lebih teliti. Dia itu orang
biasa saja dan kini setelah nyanyiannya habis, dia mengumpulkan kepingan uang
tembaga dan berjalan meninggalkan tempat itu, agaknya untuk bernyanyi di lain
tempat lagi.
"Twako,
perlahan dulu..." Bun Houw menegurnya dari belakang.
Orang itu
segera berhenti dan membalikkan tubuhnya, memandang penuh keheranan dan
keraguan. Akan tetapi karena yang menegurnya itu hanya seorang pemuda
berpakaian biasa dan sederhana, hatinya lega dan dia bertanya apa yang
dikehendaki oleh pemuda itu.
"Twako,
aku tadi mendengar nyanyianmu yang amat indah dan aku ingin mengundangmu minum
arak sambil mengobrol..."
"Ahh,
hiante, engkau terlalu memuji. Aku hanya seorang miskin yang..."
"Jangan
merendahkan diri, twako. Engkau seorang seniman."
"Aku?
Seniman? Ha-ha-ha, jangan mengejek, hiante."
"Marilah,
twako. Ataukah engkau memandang rendah padaku sehingga menolak tawaran dan
ajakanku?"
"Ahh,
mana aku berani? Baiklah, dan terima kasih, hiante."
Mereka lalu
memasuki sebuah kedai arak. Bun Houw memesan mi, daging, serta arak. Mereka
makan minum dengan lahap dan setelah minum araknya dan mengelus perutnya, orang
itu berkata,
"Aihhh,
dasar perutku yang malam ini bernasib baik, bertemu dengan seorang dermawan
seperti engkau, hiante. Sekarang aku hendak bertanya secara sungguh-sungguh,
apakah benar engkau menganggap aku seorang seniman, hiante?"
"Tentu
saja! Mengapa tidak? Engkau seorang seniman dan kiraku tidak ada seorang yang
akan dapat membantah kenyataan ini," kata Bun Houw, bersungguh-sungguh
pula karena dia memang bukan berpura-pura atau menjilat.
"Ahh,
kalau saja semua orang mau berpendapat seperti engkau, alangkah menghiburnya
pendapat itu. Akan tetapi, orang muda, tidak banyak yang sudi menganggap aku
seorang seniman. Apa lagi mereka yang duduk di tempat tinggi, mereka yang
menganggap diri mereka kaum cendekiawan, kaum sasterawan, dan para sarjana dan
siucai. Mereka itu memandang rendah orang-orang macam kami, bahkan menganggap
kami merusak seni, menganggap kami seniman kampungan, picisan dan rendah, yang
katanya hanya menjual kesenian belaka, seorang pengemis yang mencari sesuai
nasi dengan menjual suara..."
"Itu
hanya pendapat orang-orang yang kepalanya besar akan tetapi berisi angin kosong
belaka, orang-orang yang menganggap diri sendiri sebagai sepandai-pandainya
orang dan sebersih-bersihnya orang. Orang-orang macam inilah yang sangat
berbahaya, mereka ini adalah orang-orang sombong yang tinggi hati, dan tidak
ada yang lebih bodoh dari pada mereka yang menganggap dirinya sendiri pandai.
Tidak ada orang yang lebih kotor dari pada mereka yang menganggap dirinya
sendiri bersih."
"Hayaaa...!
Sungguh baru sekarang aku mendengar pendapat seperti engkau ini, hiante! Aku
hanya penyanyi yang menjual suara..."
"Apa
salahnya dengan seorang seniman yang mendapatkan nafkah hidupnya dari karya
seninya? Seniman pun manusia biasa yang memerlukan makanan, pakaian dan
rumah!"
"Hiante,
jika begitu pendapatmu, bagimu apakah artinya kesenian? Apakah kesenian
itu?"
"Karya
seni adalah suatu karya yang mengandung keindahan keadaan dan macamnya tidak
bisa ditentukan oleh manusia, segi-segi keindahannya pun tidak bisa ditentukan
dan digariskan, karena kalau sudah digariskan itu bukan seni lagi namanya. Kalau
sifat karya seni ditentukan, maka yang menentukan itu ialah orang-orang yang
memiliki kecondongan suka atau tidak suka dan memang penilaian tergantung
sepenuhnya kepada rasa suka dan tidak suka itu. Alam merupakan seniman yang
maha besar dan satu di antara karya seninya adalah hujan. Apakah semua orang
menyukai hujan atau membencinya? Belum tentu! Tergantung dari untung rugi yang
diakibatkan oleh hujan itu bukan? Nah, karya seni pun demikian. Yang jelas,
jika sesuatu mengandung keindahan yang dapat dinikmati oleh segolongan orang,
itulah seni. Nyanyianmu tadi banyak yang menikmatinya dan bagi yang
menikmatinya tentulah dianggap baik, akan tetapi bagi orang lain mungkin saja
dianggap bukan seni bahkan merusak."
Penyanyi itu
bangkit berdiri lantas menjura kepada Bun Houw. "Sungguh hebat! Terima
kasih sekali, hiante. Engkau masih begini muda akan tetapi pandanganmu
mengandung keadilan besar dan sekaligus engkau sudah mengangkat aku dari dasar
jurang di mana aku selalu merasa rendah diri dan hina. Kini, aku akan lebih
berani lagi mengungkapkan segala keadaan dan kepincangan peri kehidupan manusia
di kota Kiang-shi, biarlah aku mewakili semua keadaan yang tidak adil itu dan
akan kunyatakan dalam nyanyianku. Kau dengar saja nanti!" Dia bersemangat
sekali nampaknya.
"Akan
tetapi apa kau tidak takut akan sinar pedang setan dan Lima Bayangan,
twako?" Bun Houw kini mengarahkan percakapan kepada tujuan
penyelidikannya.
"Heh?
Apa maksudmu?" orang itu bertanya.
Bun Houw
tersenyum. "Aku tak bermaksud apa-apa, hanya aku teringat tadi engkau juga
menyebut-nyebut sinar pedang setan dan Lima Bayangan di dalam nyanyianmu.
Bagian-bagian itu belum kumengerti benar. Apa dan siapakah pedang setan di
Hok-po-koan itu, twako?"
"Hemm,
agaknya engkau bukan orang Kiang-shi..."
"Memang
bukan. Aku baru saja memasuki Kiang-shi, maka aku mengharapkan petunjuk darimu,
twako."
"Jangan
khawatir, hiante. Aku lahir di sini dan aku mengenal semua keadaan di kota yang
kucinta ini. Kau boleh bertanya apa saja kepadaku."
"Aku
kadang-kadang suka juga bermain judi, twako. Hanya untuk iseng-iseng saja,
bukan ingin menjadi jutawan, apa lagi menjadi jembel kelaparan seperti dalam
nyanyianmu tadi."
Orang itu
tertawa.
"Aku
ingin mencoba peruntungan di Hok-po-koan, akan tetapi aku ragu-ragu mendengar
nyanyianmu mengenai sinar pedang setan dan Lima Bayangan. Harap kau menjelaskan
kepadaku."
"Ahh,
itukah?" Penyanyi itu menengok ke kanan kiri, lalu berbisik,
"Sebaiknya kita keluar dari sini dan bicara di jalan yang sunyi."
Bun Houw
mengangguk, membayar makanan dan mereka lalu berjalan keluar, menuju ke jalan
yang sunyi dan meyimpang dari jalan raya itu.
"Pemilik
Hok-po-koan adalah seorang bernama Liok Sun dan dia berjuluk Kiam-mo (Setan
Pedang). Kabarnya dia berkepandaian tinggi sekali dan karena itu di tempat
perjudiannya tidak ada yang berani bermain gila. Bahkan dahulu pernah ada tujuh
orang penjahat yang hendak merampas banyak uang di po-koan (tempat perjudian),
akan tetapi mereka semua roboh oleh pedang di tangan orang she Liok itu! Di
Kiang-shi, nama orang itu terkenal sekali, bahkan para pembesar bersahabat
dengannya. Nah, karena itu maka kusinggung dalam nyanyian agar orang yang
bermain judi di Hok-po-koan jangan bermain gila."
Bun Houw
mengangguk-angguk. "Dan tentang Lima Bayangan itu?" dia bertanya
sambil lalu seperti tidak menaruh perhatian khusus.
"Ah,
kau tidak tahu, hiante. Pada waktu itu, di dunia kang-ouw timbul kegemparan
karena Lima Bayangan..."
"Dewa?
Lima Bayangan Dewa kau maksudkan?"
"Ehhh...?"
Orang itu memandang Bun Houw dengan mata terbelalak. "Kau... tahu?"
Bun Houw
menggelengkan kepala. "Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh besar
muncul di dunia dan disebut Lima Bayangan Dewa! Mengapa kau sebut-sebut mereka
di dalam nyanyianmu?"
"Aku
hanya sering menengar bahwa Kiam-mo Liok Sun itu suka sekali memamerkan dan
menyombongkan di luaran bahwa dia adalah sahabat dari Lima Bayangan Dewa! Semua
orang tidak percaya, termasuk pula aku, maka untuk mengejek kesombongannya itu,
aku membawa Lima Bayangan dalam nyanyianku."
Bun Houw
memandang tajam. "Jadi engkau tidak tahu apa-apa tentang Lima Bayangan
Dewa?"
Orang itu
menggeleng.
"Dan
majikan Hok-po-koan (Tempat Perjudian Mujur) itu bilang bahwa dia sahabat Lima
Bayangan Dewa?"
Orang itu
mengangguk. "Demikian yang dikatakan orang."
"Banyak
terima kasih, twako. Nah, selamat malam dan jangan lupa bahwa engkau adalah
seorang seniman tulen dan jangan pedulikan mereka yang mencemoohkanmu. Anggap
saja mereka itu anjing-anjing menggonggong."
"Akan
tetapi mereka itu kaum sasterawan cabang atas, kaum cendekiawan..."
"Jika
begitu mereka itu pun hanya merupakan sekumpulan anjing-anjing bangsawan yang
menggonggong belaka dan anjing apa pun, gonggongannya tetap sama saja!"
Bun Houw berkata sambil membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan penyanyi itu.
Dia langsung
mencari keterangan mengenai tempat perjudian Hok-po-koan yang mudah saja dia
dapat dari orang yang berlalu-lalang karena semua orang tahu belaka di mana
adanya Hok-po-koan itu.
Hok-po-koan
adalah sebuah tempat judi terbesar di Kiang-shi. Kebetulan sekali tempat itu
berada di dekat sebuah losmen, maka Bun Houw lalu menyewa sebuah kamar di
losmen itu. Setelah mandi dan bertukar pakaian yang lebih bersih, pemuda ini
langsung pergi ke Hok-po-koan dengan lagak seperti seorang pemuda beruang yang
sudah biasa dengan perjudian. Tentu saja sebelumnya dia tidak pernah memasuki
tempat judi, apa lagi berjudi.
Dua orang
pelayan menyambutnya dengan senyum lebar dibuat-buat dan mempersilakan Bun Houw
masuk ke ruangan dalam. Dengan sikap dan lagak seorang kongcu, Bun Houw
mengangguk dan memasuki ruangan judi yang dipasangi lampu penerangan yang besar
dan banyak itu sehingga keadaan di situ seperti siang hari saja terangnya.
Kebisingan di antara kelompok-kelompok tamu yang sedang berjudi itu memenuhi
ruangan dan keringat mengalir di wajah-wajah yang penuh ketegangan.
Bun Houw
yang selama hidup baru pertama kali ini memasuki tempat seperti itu, dengan
jelas dapat melihat keadaan yang tidak nampak oleh mata orang-orang yang sudah
biasa berada di situ. Segala macam nafsu perasaan terbayang jelas pada
wajah-wajah mereka yang berkumpul di meja-meja judi.
Tawa riang,
kegembiraan melihat kemenangan sendiri dan kekalahan orang lain, kegelian hati
yang kejam menyaksikan penderitaan orang lain, harapan-harapan besar yang
sering terpancar dari mata mereka, keputus asaan yang mulai menyelubungi wajah
beberapa orang di antara mereka, kerling-kerling tajam mata yang membayangkan
kecerdikan dan kelicikan, kehausan akan uang yang bertumpuk di meja, semua ini
seolah-olah menampar mata dan hati Bun Houw.
"Kongcu
ingin bermain apa?" Seorang pelayan atau tukang pukul bertanya manis
ketika melihat Bun Houw yang baru masuk itu memandang ke kanan kiri, tahu bahwa
pemuda ini merupakan seorang tamu baru dan karenanya merupakan makanan lunak.
"Aku...
mau melihat-lihat dulu," jawab Bun Houw dan dia menghampiri sebuah meja
besar di mana diadakan permainan dadu.
Biar pun
selamanya Bun Houw belum pernah melihat perjudian dadu, akan tetapi karena amat
mudah, maka baru melihat sebentar saja dia sudah mengerti. Bandar judinya
adalah seorang pria pegawai po-koan itu yang bertubuh kurus dan berwajah
kekuning-kuningan, matanya tajam dan liar mengerling ke sana-sini, kumisnya kecil
panjang kelihatan seperti kumis palsu yang pemasangannya tidak rapi, kedua
lengan bajunya digulung sampai ke siku sehingga tampak kedua lengannya yang
hanya tulang terbungkus kulit dan jari-jemari tangannya yang panjang dan
cekatan.
Bandar ini
memegang sebuah mangkok dan di atas meja terdapat dua buah dadu. Setiap dadu
yang persegi itu pada enam permukaannya ditulisi nomor satu sampai nomor enam.
Di atas meja, bagian luar dan dekat dengan para tamu, terdapat lukisan
petak-petak yang ada nomornya pula, yaitu nomor satu sampai dengan nomor dua
belas. Ada pula dua petak di kanan kiri, dibagi dua dan bertuliskan huruf-huruf
GANJIL dan GENAP.
"Hayo
pasang... pasang... pasang...!" Si bandar kurus kering dan dua orang
pembantunya di kanan kiri yang bertugas menarik uang kemenangan dan membayar
uang kekalahan, berteriak-teriak dengan gaya dan suara yang khas. Seolah-olah
ada daya tarik terkandung dalam suara mereka yang agak serak itu.
Bun Houw
melihat betapa belasan orang tamu yang merubung meja itu segera menaruh
setumpuk uang di atas nomor pilihan masing-masing, ada yang sedikit akan tetapi
ada pula yang banyak. Sesudah semua orang meletakkan uang taruhan mereka, si
bandar kurus berteriak nyaring,
"Pemasangan
berhenti... dadu diputar...!"
"Kratak-kratak-kratakkk...!"
Dua buah
dadu itu dimasukkan ke dalam mangkok, ditutup telapak tangan kiri kemudian
dikocok sehingga mengeluarkan bunyi berkeratak, lalu dengan gerakan yang
cekatan dan cepat sekali mangkok dibalikkan dan ditaruh menelungkup di atas
meja, dengan dua butir dadu di bawahnya.
"Boleh
tambah pasangan...!" Dua orang pembantu bandar berteriak menantang.
Sibuk
orang-orang yang berjudi itu menambahkan sejumlah uang di atas tumpukan uang
pasangan mereka.
"Berhenti
semua... dadu dibuka...!"
Bandar kurus
berteriak dan tangan kanannya dengan jari-jari yang panjang itu membuka
mangkok. Semua mata memandang ke arah meja di mana kini tampak dua butir dadu
itu setelah mangkoknya dibuka. Yang sebutir memperlihatkan angka enam di atas dan
yang kedua memperlihatkan angka satu.
"Tujuh
menang... ganjil menang...!" bandar berteriak.
Terdengar
banyak mulut mengeluh dan muka-muka berkeringat dan muram ketika mata mereka
melihat dua orang pembantu bandar menarik semua uang pasangan yang berada di
atas nomor lain, kecuali yang berada di atas nomor tujuh dan kotak ganjil.
Akan tetapi
Bun Houw melihat bahwa yang menang hanya taruhan kecil saja dan biar pun kepada
yang menang itu pembayaran bandar membayar enam kali lipat, akan tetapi jelas
bahwa kemenangannya sekali tarik itu besar sekali. Juga yang menang dalam
bertaruh angka ganjil hanya mendapat jumlah kemenangan yang sama dengan
taruhannya.
Akan tetapi
semua ini tidak begitu menarik hati Bun Houw. Yang sangat mengherankan,
mengagetkan dan juga memarahkan hatinya adalah ketika tadi dia melihat cara si
kurus itu membuka mangkok. Mangkok dibuka cepat sekali, akan tetapi dalam
keadaan miring sehingga sebelum orang lain melihat letak dadu, si bandar lebih
dulu melihatnya dan Bun Houw yang menaruh tangannya di atas meja merasa ada
getaran aneh pada permukaan meja itu dan matanya yang berpenglihatan tajam itu
dapat melihat sebutir di antara dadu itu bergerak membalik, dari angka empat
menjadi angka satu.
Apa bila
tidak terjadi keanehan itu, tentu dadu itu menunjukkan adalah angka enam dan
empat, berarti yang menang adalah angka sepuluh dan angka genap. Dia melihat
betapa tadi pemasang angka sepuluh paling banyak, dan yang berpasang pada genap
jauh lebih banyak dari pada yang berpasang pada ganjil!
Biar pun Bun
Houw belum pernah berjudi, namun kecerdasannya membuat dia mengerti bahwa
bandar itu sudah berlaku curang dengan mempergunakan tenaga lweekang yang
digetarkan lewat permukaan meja untuk membalik-balik dadu agar keluar nomor
seperti yang dikehendakinya! Kini para pembantu bandar telah berteriak-teriak
lagi, menganjurkan para tamu supaya menaruh pasangan mereka.
Ada suatu
keanehan di dalam perjudian dan bagi yang mempunyai kepercayaan tahyul bahwa di
tempat seperti itu terdapat setannya. Karena itu maka fihak bandar judi selalu
memasang dupa, bukan hanya untuk menimbulkan suasana sedap di ruangan itu, akan
tetapi juga untuk menyenangkan setan-setan agar membantunya! Ada atau tidak
adanya setan, bukanlah hal penting, akan tetapi yang jelas ‘setan-setan’ di
dalam diri sendiri yang bersimaharajalela di dalam perjudian.
Mereka yang
kalah menjadi semakin serakah karena ingin membalas kekalahan mereka,
membayangkan bahwa satu kali saja taruhan mereka mengena dan mereka menerima
pembayaran enam kali lipat, kekalahan mereka akan tertebus sama sekali atau
sebagian. Sebaliknya, mereka yang tadi menarik kemenangan karena pasangan
mereka mengena, merasa menyesal dan kecewa mengapa mereka tadi memasang hanya
sedikit.
Kemenangan
sedikit itu tidak membuat mereka menjadi puas, sebaliknya mereka menjadi
semakin serakah, ingin memperoleh keuntungan atau kemenangan lebih banyak.
Karena itu, kebanyakan dari mereka yang kegilaan judi ini, baik yang pada
permulaannya menang atau kalah, sebagian besar berakhir dengan kantong kosong,
tubuh lesu dan putus asa!
Judi
merupakan permainan yang dengan amat jelas menggambarkan watak masyarakat,
watak manusia-manusia pembentuk masyarakat. Hanya satu sifat yong menonjol,
yang dapat dilihat jelas dalam perjudian akan tetapi agak tersamar dan
tersembunyi di dalam kehidupan sehari-hari, sungguh pun sifat yang tersembunyi
itu bukan berarti lemah, yaitu sifat SERAKAH, ingin memenuhi nafsu keinginan.
Seperti juga
di dalam perjudian, kita hidup sehari-hari mengejar keinginan kita yang dapat
saja berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan yang lebih
tinggi lagi menurut pandangan kita, seperti misalnya kedamaian, ketenteraman,
keabadian, nirwana atau sorga. Di dalam setiap pengejaran keinginan ini,
kepuasan hanya berlaku sementara saja sebab makin dituruti, keinginan makin
membesar dan meluas, makin haus sehingga apa yang diperoleh masih selalu kurang
dan tidak mencukupi.
Dan
celakanya, di dalam kenyataan hidup ini, demi mengejar keinginan yang
sebutannya diperhalus dan diperindah menjadi cita-cita atau ambisi dan
sebagainya, demi mencapai apa yang diinginkan itu kita main sikut-sikutan,
jegal-jegalan dan gontok-gontokan antara manusia, antara bangsa, bahkan antara
saudara sendiri! Kenyataan pahit ini hampir tidak tampak lagi, tapi bagi siapa
pun yang mau membuka mata melihat kenyataan, peristiwa menyedihkan itu terjadi
setiap saat, setiap hari, di mana saja di seluruh bagian dunia ini, dan dekat
sekali di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita sendiri!
Bun Houw
mengikuti semua gerak-gerik bandar kurus itu dengan penuh perhatian. Kini dia
melihat bahwa para penjudi itu sebagian besar memasangkan uang mereka kepada
angka sembilan karena ada di antara mereka yang berbisik bahwa biasanya di meja
ini, setelah keluar angka tujuh lalu disusul angka sembilan!
Tentu saja
hal itu hanya merupakan kebetulan saja, namun di dunia ini memang banyak
terjadi hal-hal yang kebetulan seperti itu. Sesudah semua orang menaruh
pasangannya dan bandar menelungkupkan mangkok di atas meja, dan tidak ada lagi
yang menambah pasangan, waktu ini tentu saja digunakan oleh bandar untuk
meneliti, nomor mana yang paling banyak dipasangi orang dan nomor mana yang
sebaliknya. Maka dia tahu bahwa jika biji-biji dadu menunjukkan angka sembilan,
berarti bandar akan menderita kekalahan yang tidak sedikit. Jadi baginya yang
panting hanya menjaga agar jangan sampai keluar angka sembilan!
"Berhenti
semua... dadu dibuka...!" Bandar itu seperti biasa berteriak dan cepat
membuka mangkok.
Dapat
dibayangkan alangkah kagetnya bandar itu melihat bahwa ketika mangkok dibuka
miring, dua dadu itu menunjukkan angka empat dan lima! Akan tetapi tentu saja
dia cepat menggetarkan tangan kirinya yang menekan meja sehingga permukaan meja
tergetar dan dadu itu bergerak.
Dia sudah
merasa yakin bahwa sebutir di antara dadu-dadu itu tentu akan rebah miring dan
memperlihatkan nomor lainnya sehingga jumlahnya bukan sembilan lagi. Akan
tetapi pada saat dia buka, jelas nampak bahwa nomor dua butir dadu itu masih
lima dan empat, berjumlah sembilan, sama sekali tidak berobah!
"Sem...
sem... bilan menang...!" Bandar berseru dengan suara gemetar dan kedua
mata terbelalak heran. Jelas bahwa dia tadi sudah menggetarkan tangannya,
mempergunakan lweekang untuk membuat dadu itu rebah, tetapi sekali ini
dadu-dadu itu ‘membangkang’!
Dua orang
pembantu bandar memandang kepada si bandar kurus dengan mata melotot, marah dan
heran. Terpaksa mereka membayarkan kekalahan bandar kepada beberapa orang yang
menerima kemenangan mereka dengan pandang mata berseri-seri dan muka kemerahan.
Sejenak mereka yang menang itu lupa bahwa kemenangan mereka belum tentu
berlangsung lama dan bahwa di antara mereka ada yang kalah jauh lebih banyak
dari pada yang mereka terima sekali ini.
Kembali
orang memasang. Kembali bandar mengocok dadu dan pada waktu dibuka, si bandar
sengaja memperlambat gerakannya. Matanya yang terlatih melihat betapa getaran
tenaga lweekang-nya membuat sebutir dadu terguling, akan tetapi betapa kagetnya
ketika dia melihat dadu yang sudah roboh itu bangkit lagi dan memperlihatkan
nomor semula!
Biar pun
sekali ini bandar tidak kalah banyak, namun hal itu membuat dia mengeluarkan
keringat dingin dan matanya mulai memandang para tamu yang merubung meja.
Sejenak pandangan matanya beradu dengan sinar mata Bun Houw yang masih berdiri
dengan tangan di atas meja dan menonton dengan asyik.
Akan tetapi
si bandar kurus melihat pemuda ini biasa saja, bahkan tidak ikut menaruh
pasangan maka kecurigaannya lenyap. Betapa pun juga, karena dia mendapat
kenyataan bahwa yang meletakkan tangannya di atas meja hanya pemuda itu, maka
sekarang dia memperhatikan sekali.
"Dadu
dibuka...!" Sekali ini bandar itu menekankan tangan kanan di atas meja
sedangkan tangan kiri yang membuka mangkok. Dia mengerahkan tenaga sekuatnya
sambil mencuri lihat dua butir dadu yang menunjuk angka satu dan tiga. Nomor
empat merupakan nomor yang lebih banyak dipasangi orang, maka kini dia kembali
mengerahkan lweekang-nya.
Akan tetapi
kedua butir dadu ini sama sekali tak berkutik! Dia masih terus mengerahkan
lweekang sambil memandang ke arah Bun Houw, dan dia melihat pemuda itu
tersenyum kepadanya, bahkan memberi tanda dengan memicingkan sebelah mata, ada
pun tangan kiri pemuda itu menekan meja.
Kini jelas
terasa oleh si bandar betapa ada getaran bergelombang yang amat kuat datang
dari arah pemuda itu dan tahulah dia siapa orangnya yang sedang ‘main-main’
dengan dia. Mangkok dibuka dan tetap saja dua butir dadu itu menunjukkan angka
empat.
Bandar
memberi isyarat kepada para tukang pukul yang berada di sekitar tempat itu.
Meja judi yang istimewa ini, karena memberi kemenangan berturut-turut kepada
banyak tamu, sekarang makin dirubung orang yang ingin pula merasakan
kemenangan.
Melihat
isyarat bandar, empat orang tukang pukul mendekati Bun Houw. Mereka adalah
orang-orang yang mempunyai bentuk tubuh tinggi besar, dengan lengan baju
tergulung sehingga nampak otot-otot lengan yang besar menggembung, wajah mereka
seram dan mencerminkan kekejaman orang yang biasa mengandalkan kekuatan untuk
memaksakan kehendak.
"Yang
tidak ikut berjudi harap keluar!" bentak bandar kurus sambil menuding ke
arah Bun Houw. "Orang muda, aku melihat engkau tidak pernah ikut bertaruh,
maka engkau tidak boleh berada di sini!"
Bun Houw
tersenyum tenang. Dia memang sedang memancing perhatian, maka dia lalu berkata,
"Kenapa di luar tidak dipasang peringatan seperti itu? Memang aku datang
ingin melihat-lihat dulu, mengapa disuruh keluar? Apakah kalian takut kalau aku
melihat ada yang main curang?"
"Mulut
lancang, siapa yang main curang? Hayo lekas pergi dari sini, atau kau ingin
kami memaksamu?" bentak salah seorang di antara empat tukang pukul itu.
Melihat peristiwa ini, para tamu menjauhkan diri, takut terlibat.
"Wah,
wah, apakah Hok-po-koan biasa mempergunakan kekerasan seperti ini? Hendak
kulihat, bagaimana cara kalian empat orang kasar hendak memaksaku keluar!"
Bun Houw mengejek dan menunjukkan lagak jagoan, seolah-olah dia telah biasa
pula mengandalkan kepandaiannya untuk menghadapi tantangan, lagak seorang
‘jagoan’.
"Eh, si
keparat, kau menantang?" bentak seorang di antara empat orang tukang pukul
itu dan serentak mereka maju memegang kedua lengan serta kedua pundak Bun Houw,
hendak diseretnya pemuda itu dan dilempar keluar.
Akan tetapi,
segera empat orang itu terkejut bukan main karena pemuda yang mereka pegang itu
sedikit pun tidak berkutik dan meski pun mereka sudah mengerahkan tenaga
sepenuhnya untuk menyeret dan menggusur, akan tetapi pemuda itu tidak dapat
berkisar sedikit pun dari tempatnya, seolah-olah mereka berempat sedang
berusaha menarik arca arca dari baja yang amat berat dan kokoh!
Empat orang
itu adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa menggunakan kekerasan kepada
orang-orang yang dianggap menantang tempat judi itu, mereka adalah kumpulan
orang kasar yang hanya memiliki tenaga kasar akan tetapi pandangan mereka
dangkal sehingga mereka tidak insyaf bahwa pemuda itu jelas mempunyai
kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada kekuatan mereka.
"Kau
ingin mampus?" bentak seorang di antara mereka dan seperti diberi komando
saja empat orang itu lalu bergerak menerjang dan memukul Bun Houw.
Akan tetapi,
kedua tangan pemuda ini bergerak cepat sekali dan semua orang di situ, termasuk
si empat orang tukang pukul, tidak tahu bagaimana dapat terjadi, akan tetapi
tahu-tahu empat orang itu terlempar dan terbanting ke atas lantai sambil
mengaduh-aduh dan memegang lengan kanan dengan tangan kiri, tidak berani
bangkit lagi karena lengan kanan mereka rasanya seperti remuk-remuk tulangnya!
Melihat ini
segera para tukang pukul yang lain mengepung Bun Houw. Jumlah mereka ada
belasan orang dan seorang bandar judi cepat masuk ke dalam untuk melaporkan hal
ini kepada majikan mereka yang tinggal di rumah mewah terletak di belakang
rumah judi itu.
Bun Houw
tersenyum saat melihat dirinya dikurung oleh para tukang pukul, juga beberapa
orang bandar judi yang tentu memiliki kekuatan lebih tinggi dari pada
tukang-tukang pukul kasar itu. Bahkan mereka semua sudah mencabut senjata, ada
yang memegang golok, pedang, dan toya.
Para tamu
sudah membubarkan diri, berlari ketakutan keluar dari pintu rumah judi. Akan
tetapi yang berhati tabah memberanikan diri untuk menonton, sambil berlindung
di balik meja-meja judi yang besar dan kuat.
Bun Houw
hanya ingin memancing perhatian, akan tetapi untuk melaksanakan siasatnya,
tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan kaki tangan Kiam-mo Liok Sun ini,
sungguh pun dia amat tidak senang menyaksikan betapa bandar-bandar judi itu
menipu para tamu yang datang berjudi dengan permainan-permainan curang.
"Hemm,
kalian ini sungguh aneh. Aku datang hanya melihat-lihat karena aku tertarik
akan nama besar Kiam-mo Liok loya (tuan besar Liok) dan ingin membantunya,
namun kalian menyambutku dengan kekerasan."
Tentu saja
mereka semua tidak mempedulikan omongan ini karena mereka sudah marah sekali
mendengar betapa tadi pemuda ini menentang bandar sehingga sang bandar kalah
dalam perjudian dadu itu dan melihat betapa pemuda ini sudah merobohkan empat
orang tukang pukul. Sambil berteriak-teriak mereka sudah menerjang maju dan
senjata tajam di tangan mereka gemerlapan tertimpa sinar penerangan.
Bun Houw
terpaksa membela diri mempergunakan kelincahannya melompat ke sana-sini di
antara meja-meja judi yang sekarang menjadi berantakan karena didorong oleh
para pengeroyok yang mengejarnya. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah Bun
Houw akan mampu merobohkan mereka semua dalam waktu singkat. Akan tetapi bukan
demikianlah yang dikehendakinya.
Dia hendak
menyelidiki Lima Bayangan Dewa dan menurut keterangan penyanyi jalanan tadi,
majikan tempat inilah yang mengaku kenal dengan Lima Bayangan Dewa, maka dia
harus dapat mendekatinya, apa bila perlu masuk menjadi anak buahnya. Untuk
keperluan ini, tidak baiklah kalau dia merobohkan mereka semua. Kalau tadi dia
merobohkan empat orang tukang pukul, hal itu hanya untuk memancing perhatian,
dan dia pun tidak melukai mereka secara hebat, bahkan tidak ada tulang yang
patah.
Keadaan di
dalam ruangan judi yang biasanya gaduh dengan suara orang berjudi, kini menjadi
makin gaduh dengan teriakan-teriakan para pengeroyok dan suara senjata yang
beradu dengan meja atau lantai, oleh karena senjata-senjata itu beterbangan
ketika luput mengenai tubuh Bun Houw dan sebagian ada yang terlepas dari tangan
pemegangnya karena terkena totokan jari tangan pemuda itu yang memperlihatkan
kelincahannya.
Semenjak
tadi Bun Houw maklum akan kedatangan seorang laki-laki berusia empat puluh
tahun lebih yang berpakaian mewah, berkumis rapi dan bermata tajam. Melihat
sebatang pedang pada punggung orang itu, sikapnya yang angkuh serta sikap
merendah beberapa orang yang datang bersamanya, Bun Houw sudah dapat menduga
bahwa yang datang itu tentulah Kiam-mo Liok Sun. Maka dia segera mengurangi
kecepatan geraknya walau pun dia masih tetap dapat menghindarkan diri dari para
pengeroyoknya yang terus mengejar dan menghujankan serangan kepadanya itu.
"Kalian
orang-orang yang tak mengenal maksud baik orang lain!" Bun Houw
berpura-pura kewalahan dan berteriak-teriak.
"Sudah
kukatakan, aku datang hendak bersahabat dan membantu Liok-loya yang terkenal
gagah, mengapa kalian memaksaku berkelahi?"
Sejak tadi
Kiam-mo Liok Sun menonton dengan hati tertarik. Meski pun gerakan pemuda tampan
itu kacau dan tidak membayangkan ilmu silat tinggi yang dikenalnya, akan tetapi
tampak jelas bahwa pemuda itu memiliki kelincahan dan kecepatan gerakan yang
sangat mengagumkan sehingga belasan orang kaki tangannya yang mengeroyok dengan
senjata di tangan sama sekali tidak mampu mendesaknya, apa lagi melukai dan
merobohkannya.
Kini
mendengar teriakan pemuda itu, dia makin tertarik. Tentu saja dia tidak begitu
bodoh untuk mempercayai kata-kata orang asing ini, akan tetapi diam-diam dia
mengakui bahwa apa bila dia bisa memperoleh pemuda gagah itu sebagai
pembantunya, dia mendapatkan keuntungan besar sekali.
Keadaan
menjadi sunyi setelah semua orang berhenti bergerak, sunyi yang menegangkan
karena semua orang menduga bahwa sebentar lagi tentu sinar pedang maut dari
pedang setan akan membuat kepala pemuda tampan itu terpisah dari badannya.
Tetapi alangkah heran hati mereka ketika Liok Sun menggerakkan tangan kemudian
dengan langkah lebar dia mengampiri Bun Houw.
Sejenak
mereka berdiri saling berhadapan, kemudian Liok Sun bertanya, "Aku
mendengar laporan bahwa engkau adalah seorang pemuda yang pandai sekali bermain
judi. Betulkah itu?"
"Ahh,
selama hidupku, belum pernah aku bermain judi, mana bisa disebut pandai?"
Bun Houw merendah.
"Orang
muda, engkau adalah seorang asing dan datang-datang menimbulkan keributan di
po-koan ini, sesungguhnya apakah yang kau kehendaki?" Liok Sun yang merasa
suka kepada pemuda ini bertanya.
"Apakah
saya berhadapan dengan Liok-loya sendiri?"
"Benar,
akulah Kiam-mo Liok Sun. Apakah engkau datang untuk menantangku?"
Laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah karena pakaian dan sikapnya itu
bertanya, tetapi nada suaranya mengejek.
"Sama
sekali tidak, Liok-loya. Saya memang telah lama mendengar nama besar loya dan
saya bahkan ingin menawarkan tenaga saya untuk membantu dan bekerja kepada
loya."
"Hemm,
orang muda. Siapakah namamu dan dari mana kau datang?"
"Nama
saya Bun Houw dan saya tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Karena sedang
kehabisan bekal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, ketika tiba di kota ini
dan mendengar akan kegagahan serta kedermawanan loya, saya lalu datang ke sini
hendak mencari loya dan minta pekerjaan."

Kiam-mo Liok
Sun memandang penuh selidlk. "Orang muda she Bun, agaknya engkau memiliki
kepandaian pula maka engkau berani mencari aku minta pekerjaan secara ini.
Jangan mengira bahwa akan mudah saja mendapatkan pekerjaan dariku, apa lagi
setelah engkau melakukan pengacauan di sini."
Bun Houw
maklum bahwa orang ini sudah salah menduga, mengira dia she Bun bernama Houw,
akan tetapi hal ini memang kebetulan karena dia tidak ingin memperkenalkan diri
sebagai putera Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.
"Maafkan
saya, Liok-loya. Bukan maksud saya untuk mengacau..."
"Sudahlah.
Karena engkau telah memperlihatkan kepandaianmu berjudi, biarlah sekarang aku
tantang engkau berjudi dengan aku..."
"Akan
tetapi... saya tidak pandai berjudi dan saya tidak mau..."
"Harus!
Engkau harus mau berjudi dengan aku. Apa bila engkau kalah, tidak perlu banyak
cakap lagi dan engkau harus dihukum sebab telah banyak merugikan aku dan
mengacau po-koan ini. Kalau engkau menang, nah... baru kita bicara tentang
pekerjaan itu."
Semua anak
buah Liok Sun tersenyum-senyum karena mereka mengira bahwa majikan mereka
hendak mempermainkan pemuda itu sebelum membunuhnya. Bun Houw juga maklum bahwa
Si Setan Pedang ini hendak mencobanya, maka sambil menarik napas dia berkata,
"Apa
boleh buat, caramu menerima pembantu baru sungguh aneh, Liok-loya."
Dengan
tersenyum Liok Sun melangkah, lantas duduk di belakang sebuah meja judi yang
tidak berantakan dan dengan isyarat tangan dia menyuruh Bun Houw duduk
menghadapi meja itu, bertentangan dengan dia. Dengan sikap seakan terpaksa Bun
Houw duduk di atas bangku. Liok Sun lalu minta dua butir dadu dan sebuah
mangkok. Dia memasukkan dadu itu di dalam mangkok lalu menggoyang-goyang
mangkok sehingga terdengar bunyi berkeratakan ketika dua butir dadu berputaran
di dalam mangkok yang ditutup dengan telapak tangan kirinya.
"Hanya
ada dua kemungkinan saja yang keluar," kata Liok Sun sambil tersenyum dan
memandang tajam kepada Bun Houw, "Yaitu nomor ganjil atau nomor genap, Nah
engkau boleh memilih, orang muda."
Bun Houw
melihat ke kanan kiri. Semua yang tampak di sekelilingnya hanya wajah-wajah
menyeringai yang seakan-akan sudah memastikan bahwa dia akan kalah dan menerima
hukuman! Dia tahu bahwa kehendak majikan po-koan ini tidak dapat dibantah lagi,
maka dengan suara tenang dia menjawab,
"Aku
memilih genap!"
"Bagus,
dan aku memilih ganjil. Engkau tahu bahwa angka yang tidak dapat dibagi dua
adalah ganjil!" kata Liok Sun.
"Dan
yang dapat dibagi dua adalah genap!" Bun Houw berkata pula.
"Lihat
baik-baik, aku membuka mangkok!" Majikan Hok-po-koan itu berteriak, dan
cepat mangkoknya menelungkup kemudian dibukanya.
Pandang mata
Bun Houw yang terlatih dengan cepat dapat melihat bahwa dua butir dadu itu
menunjukkan angka tiga dan lima, berarti berjumlah delapan, atau genap. Akan
tetapi tiba-tiba saja sebutir dadu bergerak terguling. Melihat ini, Bun Houw
yang juga menekan tangannya ke atas meja, mengerahkan sinkang dan dadu itu
kembali lagi ke nomor lima. Akan tetapi tentu saja Liok Sun tidak mau kalah, dan
dengan kedua tangan di atas meja dia mengerahkan tenaga dan dadu itu miring ke
angka enam!
Bun Houw
sudah mengukur tenaga orang ini dan dia tahu bahwa biar pun Liok Sin jauh lebih
kuat dari bandar judi tadi, akan tetapi kalau dia menggunakan sinkang melawannya,
dengan amat mudah dia akan dapat mengalahkan Liok Sun. Dia tidak mau
menyinggung perasaan Liok Sun, akan tetapi dia harus dapat mendekati orang ini,
maka dia pun cepat mengerahkan tenaganya dan... dadu itu tetap berdiri miring
antara nomor lima dan nomor enam, seolah-olah tenaga mereka seimbang, dan
dengan tenaga sinkang-nya yang luar biasa kuatnya, Bun Houw membuat dadu-dadu
itu melesak ke dalam papan kayu meja itu sehingga yang sebutir tetap
menunjukkan angka tiga ada pun yang sebutir lagi melesak miring antara nomor
lima dan enam! Semua orang yang melihat ini membelalakkan mata dengan
terheran-heran.
Liok Sun
juga merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu
memaksa dadu itu terlentang dengan nomor enam di atas. Akan tetapi dia pun
gembira melihat dadu itu tidak menunjukkan nomor lima, melainkan miring dan dia
mengira bahwa bertemunya dua tenaga, yaitu tenaganya dan tenaga pemuda itu,
sedemikian hebat dan kuatnya sehingga dadu itu sampai melesak di atas meja!
Giranglah hatinya, girang karena dia tidak kalah akan tetapi juga mendapat
kenyataan bahwa calon pembantunya ini hebat sekali kepandaiannya!
"Ha-ha-ha-ha,
yang keluar adalah nomor tiga dan nomor... lima setengah! Kita tidak kalah dan
tidak menang!" kata Liok Sun.
Bun Houw
tersenyum. "Sebaiknya begitu, Liok-loya, karena kalau dadu yang sebutir
ini rebah dengan angka lima atau enam di atas, berarti saya yang menang."
"Ehhh...?
Mengapa begitu? Kalau keluar angka enam, berarti aku yang menang, karena tiga
dan enam adalah sembilan, angka ganjil!"
Bun Houw
menggeleng kepalanya. "Dalam hal ini, loya bersikap cerdik dan salah
hitung. Kalau keluar angka sembilan, berarti saya yang menang, bahkan keluar
angka apa pun, dari satu sampai dua belas, saya yang menang."
"Gila!
Mana bisa begitu?"
"Lupakah
loya bahwa yang saya pegang adalah nomor..."
"Genap!"
"Ya,
dengan penjelasan bahwa nomor genap adalah nomor yang dapat dibagi dua!"
"Memang
begitu, dan kalau keluar nomor sembilan, tidak bisa dibagi dua!"
"Siapa
bilang, loya? Sembilan dibagi dua adalah empat setengah, bukan? Nah, siapakah
yang dapat menyangkal bahwa segala nomor, dari satu sampai dua belas atau
sampai selaksa sekali pun, semuanya dapat dibagi dua?"
Liok Sun
melongo, menatap wajah pemuda yang bersikap tenang itu dengan kedua mata
terbelalak, kemudian terdengar semua orang berbisik-bisik gaduh. Ucapan pemuda
aneh ini sama sekali tidak dapat disangkal memang!
"Apakah
bicaraku salah, Liok-loya?"
"Tidak...
tidak... hemm, kau benar. Bahkan keluar angka delapan setengah ini pun masih
dapat dibagi dua! Engkau menang, orang muda yang cerdik. Akan tetapi aku baru
mau menerimamu bekerja membantuku jika engkau dapat mengalahkan
pembantu-pembantu utamaku."
Dia menengok
ke belakangnya dan memberi isyarat kepada dua orang yang tadi keluar bersamanya
dan yang selalu menjaga di belakangnya. Dua orang itu menyeringai lantas
meloncat ke tengah ruangan. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian.
Yang seorang
bertubuh tinggi besar, kulitnya kehitaman, bermata lebar, kepalanya botak. Dia
berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan mengelus-elus
kumisnya yang dipelintir ke atas seperti dua buah golok menjungat ke atas di
kanan kiri hidungnya yang besar. Orang kedua adalah seorang laki-laki yang
usianya sebaya dengan si tinggi besar, kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh
pendek gendut dan matanya sipit, kulitnya kuning sekali seperti orang menderita
penyakit kuning, kuning sampai ke kuku jari dan ke matanya.
Bun Houw
sudah maju pula tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, menghadapi dua orang
pembantu utama dari Kiam-mo Liok Sun. "Silakan Ji-wi maju," katanya
tenang.
Dua orang
tukang pukul yang merupakan orang-orang paling kuat di antara anak buah Liok
Sun itu memandang ke arah majikan mereka. Tanpa perkenan majikan mereka, dua
orang ini tak berani sembarangan bergerak dan mereka masih ragu-ragu apakah
mereka berdua diharuskan melawan bocah yang masih amat muda ini.
Akan tetapi
Liok Sun yang sudah mengukur tenaga Bun Houw dan yakin akan kelihaian pemuda
ini, memberi isyarat dengan mata dan anggukan kepala, menyuruh dua orang
pengawalnya itu maju mengeroyok!
Dua orang
itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan bagaikan seekor gajah mengamuk, orang
yang tinggi besar itu sudah menerjang dengan sepasang lengannya yang panjang
menyambar dari kanan kiri, menyerang Bun Houw dengan dahsyat. Pemuda ini segera
menggerakkan tubuhnya, mengelak dengan cekatan ke kiri tetapi di sini dia
disambut oleh orang kedua yang gemuk pendek dan ternyata bahwa serangan si
gemuk pendek ini tidak kalah hebatnya oleh kawannya yang tinggi besar.
Namun, tentu
saja bagi Bun Houw dua orang tukang pukul itu bukan apa-apa dan kalau dia
menghendaki, dalam segebrakan saja dia akan mampu merobohkan mereka. Akan
tetapi, dia tidak ingin terlampau menonjolkan kepandaiannya kepada Liok Sun
karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaannya, maka dia hanya melakukan
perlawanan yang cukup untuk mengimbangi mereka berdua. Maka perkelahian itu
tampak sangat seru dan ramai, ditonton oleh Liok Sun dan semua anak buahnya
dengan penuh kekaguman.
Sesudah
lewat lima puluh jurus dan membiarkan dada serta pahanya dua kali terkena
pukulan lawan, akhirnya Bun Houw berhasil menendang sambungan lutut si tinggi
besar sehingga orang ini roboh tak mampu berdiri lagi, dan juga merobohkan si
pendek gendut dengan sodokan tangan terbuka ke lambungnya, membuat lawan ini
langsung menjadi mulas perutnya dan juga tidak mampu melanjutkan pertandingan.
Bukan main
girangnya hati Liok Sun. Ia cepat menghampiri Bun Houw dan menggandeng tangan
pemuda itu. Menurut penilaiannya pada saat menyaksikan pertandingan tadi, ilmu
kepandaian pemuda ini setingkat dengan dia! Dengan memperoleh pembantu selihai
ini, tentu saja dia akan menjadi makin kuat.
Bun-hiante,
kau hebat sekali! Aku menerima lamaranmu bekerja. Mulai saat ini, engkau
menjadi pengawal pribadiku!" katanya dengan girang dan dengan suara
lantang karena ucapan ini bukan hanya ditujukan kepada Bun Houw, melainkan juga
kepada semua anak buahnya.
"Terima
kasih atas kebaikan Liok-loya..."
"Ahh,
mulai sekarang jangan menyebut loya lagi, cukup Liok-twako saja," kata
majikan rumah judi itu yang kemudian menoleh kepada anak buahnya. "Hayo
bereskan semua meja dan buka kembali po-koan. Jangan sampai menimbulkan
keributan lagi supaya para langganan kita tidak menjadi jeri untuk bermain
judi." Sesudah berkata demikian, dia lalu mengajak Bun Houw masuk ke dalam
rumahnya yang terletak di belakang rumah judi itu.
Mulai saat
itu juga, berhasillah Bun Houw mendekati Kiam-mo Liok Sun, bahkan setelah
mereka bercakap-cakap, Liok Sun makin suka kepada pemuda ini yang selain tinggi
ilmu kepandaiannya ternyata juga bukan seorang jahat! Sebaliknya, Bun Houw
merasa amat terheran-heran bahwa majikan rumah judi ini ternyata bukan pula
seorang jahat! Bahkan hidupnya menduda dan agaknya dengan terpaksa sajalah Liok
Sun membuka rumah judi itu.
"Sekarang
berdagang sangat sukar memperoleh keuntungan, Bun-hiante," katanya.
"Aku tahu bahwa pekerjaan bandar judi tidaklah bersih dan kalau tidak
berani bermain curang tak akan mendapat untung. Akan tetapi aku memerlukan uang
untuk menyusun kekuatan, karena aku mempunyai seorang musuh besar yang harus
kubalas. Sekarang aku bertemu dengan engkau, sungguh membesarkan hatiku sebab
dengan bantuanmu, aku tidak takut lagi menghadapi musuh besarku itu."
Bun Houw
mengerutkan alisnya. "Apakah dia lihai sekali, twako?"
Sudah tiga hari
dia tinggal di rumah Liok Sun dan memperoleh pelayanan baik sekali dan dia
merasa akrab dengan ‘majikannya’ yang menganggapnya seperti sahabat baik ini.
"Dia
cukup lihai dan mempunyai banyak pengawal, selain kaya raya juga berpengaruh
karena dia adalah seorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan dan tinggal
di Koan-hu."
Bun Houw
terkejut, lalu dia teringat akan urusannya sendiri yang sedang menyelidiki Lima
Bayangan Dewa. "Maaf, twako, akan tetapi aku merasa heran mengapa twako
tidak dari dulu menghadapi musuh besar itu. Twako sendiri terkenal sebagai ahli
pedang yang lihai dan memiliki banyak pembantu..."
"Aihhh,
mereka itu hanya pandai berlagak akan tetapi kosong tanpa isi."
"Akan
tetapi kabamya twako juga mempunyai banyak sahabat orang-orang sakti di dunia
kang-ouw, bahkan aku pernah mendengar bahwa diam-diam twako bersababat dengan
Lima Bayangan Dewa."
Liok Sun
mengangkat muka memandang sambil tersenyum. "Eh, engkau juga mendengar
tentang mereka, hiante?"
"Siapa
yang tidak mendengarnya, twako? Seluruh dunia kang-ouw menjadi geger setelah
Lima Bayangan Dewa mengacau di Cin-ling-pai dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam.
Aku kagum sekali kepada mereka dan kalau benar twako bersahabat dengan mereka,
aku ingin sekali twako memperkenalkan aku dengan mereka."
Liok Sun
tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, mereka adalah orang-orang luar biasa, mana
aku ada kehormatan menjadi sahabat mereka? Memang aku mengenal baik seorang
yang mungkin sekali merupakan salah seorang di antara mereka atau setidaknya
mengenal siapa adanya Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu. Aku akan mengajakmu
berkenalan dengan dia setelah engkau membantu aku menghadapi musuh besarku itu,
hiante."
Bun Houw
menjadi bingung. Seujung rambut pun tidak ada maksudnya untuk menjadi pembantu
bandar judi ini! Tetapi agaknya dari orang inilah dia akan berhasil menemukan
musuh-musuh besarnya yang sudah sekian lamanya dicari tanpa ada hasilnya.
Betapa pun juga, dia tidak mau sembarangan turun tangan membantu Liok Sun
memusuhi orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya sama sekali,
apa lagi sebelum dia ketahui apa sebabnya Liok Sun memusuhi orang itu.
"Aku
telah menjadi pembantumu, sudah sepatutnya kalau aku membantumu, Liok-twako.
Akan tetapi, siapakah musuh besarmu itu, dan kalau boleh aku mengetahui supaya
jelas bagiku dan tidak meragukan tindakanku, mengapa twako bermusuhan dengan
dia?"
Liok Sun Si
Pedang Setan itu menghela napas panjang dan tiba-tiba wajah yang tampan itu
berubah keruh dan muram tanda bahwa pertanyaan itu menimbulkan kenangan yang
amat mendukakan hatinya.
"Semua
orang mengenalku sebagai Liok Sun Si Pedang Setan, akan tetapi sebenarnya baru
engkaulah yang mendengar bahwa dahulu namaku adalah Sun Bian Ek. Aku dahulu
bukan orang baik-baik sungguh pun aku juga tidak pernah berhati kejam kepada
siapa pun yang tidak bersalah, dan dahulu aku adalah seorang perampok tunggal
yang sudah mengundurkan diri dan bertobat, lalu aku menjadi pedagang hasil
bumi." Liok Sun mulai menuturkan keadaan dirinya.
Setelah
mengundurkan diri dari dunia hitam dan menjadi pedagang hasil bumi, Liok Sun
menikah dan hidup berbahagia bersama isterinya yang cantik sampai mereka
dikaruniai seorang anak perempuan yang mungil. Akan tetapi, mala petaka menimpa
keluarganya dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari cara hidupnya dahulu ketika
dia masih menjadi perampok.
Pihak
pemerintah mengadakan pembersihan, dan menangkapi banyak sekali orang-orang
dunia hitam di kota Koan-hu dan sekitarnya. Dalam pembersihan ini, Liok Sun
atau yang dahulu bernama Sun Bian Ek ikut pula ditangkap! Kepala pasukan
keamanan di kota itu yang bernama Phang Un agaknya tahu akan riwayat hidup
pedagang Sun Bian Ek maka biar pun semua orang terheran mengapa pedagang itu
ikut ditangkap, namun Sun Bian Ek sendiri tidak dapat menyangkal bahwa dia
dahulu adalah perampok dan dia tidak lepas dari pandang mata tajam dari Phang
Un.
"Aku
dijatuhi hukuman buang ke daerah utara untuk bekerja paksa memperbaiki saluran
kota raja." Liok Sun lalu melanjutkan penuturannya. "Semua itu tidak
menyakitkan hatiku karena aku pun maklum bahwa kesesatanku yang lalu sudah
sepatutnya mendapatkan hukuman. Akan tetapi, dapat kau bayangkan bagaimana rasanya
perasaanku ketika aku mendengar bahwa sebenarnya yang menjadi sebab mengapa aku
yang sudah mencuci tangan itu ditangkap, sama sekali bukan dikarenakan
dosa-dosaku yang lalu, melainkan karena isteriku..."
“Eh...? Apa
maksudmu, twako?" tentu saja Bun Houw terkejut dan heran mendengar arah
cerita yang sama sekali menyimpang dan tidak disangka-sangkanya itu.
"Sehari
setelah aku ditangkap, isteri dan anakku diboyong ke gedung si keparat Phang
Un!"
"Ahh,
jadi dia merampas isteri dan anakmu?"
Liok Sun
mengangguk. "Mula-mula kukira demikian. Di utara aku tertolong oleh
seorang tokoh hitam yang kusangka adalah seorang di antara Lima Bayangan Dewa,
orang yang kumaksudkan tadi. Setelah aku bebas, diam-diam aku mengganti namaku
dan membuka rumah judi di kota Kiang-shi ini. Sambil mengumpulkan harta dan
kekuatan, aku menanti kesempatan baik untuk membalas dendam. Ketika itu baru
aku mengerti bahwa di antara keparat itu dan isteriku memang sudah terjalin
hubungan sebelum peristiwa penangkapan itu terjadi. Kau tahu, aku adalah
seorang pedagang hasil bumi di waktu itu, sering keluar kota sampai
berhari-hari, dan Phang Un adalah kepala pasukan keamanan yang setiap malam
boleh saja meronda dan memeriksa, maka..."
Liok Sun
menarik napas panjang dan tidak melanjutkan, akan tetapi Bun Houw sudah dapat
membayangkan apa yang terjadi antara isteri yang tidak setia itu dan si kepala
pasukan keamanan yang mata keranjang.
"Hemm,
memang dia patut dihajar!" kata Bun Houw.
Demikianlah,
karena merasa simpati mendengar riwayat Liok Sun, maka pada suatu pagi beberapa
hari kemudian, berangkatlah kedua orang ini menuju ke kota Koan-hu yang tak
begitu jauh letaknya dari Kiang-shi. Malamnya, mereka berdua telah bergerak
seperti dua ekor kucing di atas genteng rumah-rumah orang, dan berhasil
meloncati pagar tembok yang mengurung gedung tempat tinggal Phang-ciangkun
(Perwira Phang) tanpa diketahui para perajurit yang berjaga di sekitar tempat
itu. Para penjaga itu memang agak lengah, karena mereka tidak percaya bahwa ada
orang yang berani mati mengganggu rumah perwira itu.
Dengan
berindap-indap, akhirnya Liok Sun dan Bun Houw mengintai dari sebuah jendela
kamar. Bun Houw melihat seorang wanita yang cantik berdandan mewah sedang duduk
menyulam di dalam kamar itu. Wanita yang berpakaian mewah dan pesolek, usianya
antara tiga puluh lima tahun, kulitnya putih dan pinggangnya ramping. Tidak ada
orang lain lagi di dalam kamar itu.
Bun Houw
merasa betapa napas temannya memburu dan tahulah dia bahwa wanita itulah
agaknya isteri tidak setia itu. Dengan gerak tangannya, Liok Sun menyuruh Bun
Houw berjaga-jaga di luar jendela dan dia sendiri hendak menerjang masuk. Bun
Houw hanya mengangguk. Tadi dia sudah berpesan kepada Liok Sun supaya
‘majikannya’ itu tidak sembarangan turun tangan dan hanya berurusan dengan
musuh-musuhnya saja, jangan melibatkan orang-orang lain dan pasukan keamanan
pemerintah.
Dengan
kekuatan tangannya, Liok Sun mendorong daun pintu yang patah kuncinya dan
seperti seekor burung dia melayang masuk ke dalam kamar itu. Bun Houw mengintai
di luar jendela.
Wanita itu
menjerit dan bangkit berdiri, seketika wajahnya menjadi pucat dan kain yang
disulamnya terlepas dari tangannya dan segulung benang sulam jatuh
menggelinding ke sudut kamar.
"Kanda...
Sun Bian Ek...!" Tubuh wanita itu menggigil dan suaranya menggetar.
"Kau... kau... masih hidup...?"
Liok Sun
atau Sun Bian Ek memandang dengan muka merah dan mata berapi, suaranya dingin
dan penuh penyesalan, "Perempuan hina, andai kata sudah mati pun pasti aku
akan bangkit untuk mengutukmu. Kau perempuan hina, isteri yang khianat hendak
kulihat bagaimana macamnya hatimu!"
Mata itu
semakin terbelalak, mukanya semakin pucat. "Tidak... ahhh, jangan kau
salah sangka...!" Wanita itu menangis dan menjatuhkan dirinya berlutut di
atas lantai di depan bekas suaminya itu. "Kau... suamiku... kau salah
sangka... aku... aku tidak berkhianat padamu..."
"Hemmm,
siapa percaya mulutmu yang palsu itu? Kau masih berani menyangkal bahwa sebelum
aku ditangkap dahulu, diam-diam engkau sudah menjual dirimu yang kotor dan hina
kepada si jahanam Phang Un?"
"Tidak...
tidak... itu hanyalah fitnah belaka... kau dengarlah... aku memang tidak pernah
berani berterus terang akan terjadinya mala petaka pada malam itu... pada suatu
malam ketika engkau pergi berdagang... dia datang dan mengancam akan membunuh anakku
kalau aku tidak mau melayaninya... dengan ujung golok di leher anakku, apa
dayaku...? Kanda Bian Ek... malam itu, untuk menyelamatkan nyawa anakku... aku…
aku terpaksa... melayaninya dan... dan setelah kau ditangkap, aku lalu diboyong
ke sini... apakah dayaku sebagai seorang wanita lemah?"
Liok Sun
memandang bekas isterinya itu. Dia amat mencinta wanita ini dan selama lima
tahun ini semenjak mereka berpisah, dia selalu mengenangkan kemesraan yang
pernah dialaminya bersama isterinya. Kini, mendengar cerita itu, dia tertegun
sehingga tidak tahu harus berbuat apa terhadap isterinya yang kini menangis
sesenggukan itu.
"Di
mana adanya anakku, di mana? Aku harus membawa dia pergi dari sini, dan di mana
jahanam itu? Akan kubunuh dia..."
Wanita itu
kelihatan terkejut sekali, lalu bangkit berdiri dan dengan sikap ketakutan dia
mundur-mundur sambil menggelengkan kepala berkali-kali dan berkata,
"Jangan... tidak... jangan...!"
Pada saat
itu terdengar suara ribut-ribut dari sebelah belakang dan tiba-tiba saja wanita
itu menoleh dan lari ke arah pintu belakang sambil menjerit, "Toloong...!
Ada penjahat...! Tolooooong...!"
"Keparat,
perempuan hina...!" Kiam-mo Liok Sun menjadi marah sekali.
Segala
keraguan akan kesalahan isterinya sesudah mendengar cerita tadi lenyap sama
sekali dan dia tahu bahwa isterinya tadi hanya membodohinya untuk mengulur
waktu agar para penjaga mendengar dan tahu akan kedatangan bekas suaminya ini.
Dalam
kemarahannya yang meluap, Liok Sun mencabut pedangnya dan sinar pedangnya
menyambar dari belakang tubuh bekas isterinya. Wanita itu menjerit mengerikan
lantas roboh dengan punggung tertusuk pedang sampai tembus ke dadanya.
"Ibu...!"
Tampak seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun berlarian
masuk. Melihat anak ini, Liok Sun cepat menyambarnya dengan tangan kiri.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari arah
samping diikuti dengan berkelebatnya bayangan sinar terang. Dia menggerakkan
pedang menangkis.
"Cringgg...!”
“Aduhhhhh...!"
Liok Sun berteriak karena pundaknya yang kanan tetap saja keserempet golok yang
dipegang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang telah menyerangnya secara
tiba-tiba. Karena tadi dia baru saja mencabut pedang dari tubuh bekas isterinya
kemudian menyambar anaknya dengan tangan kiri, maka ketika mendadak diserang,
tangkisannya kurang cepat sehingga dia terluka oleh laki-laki yang bukan lain
adalah Phang Un itu.
Melihat
betapa isterinya terbunuh dan anak tirinya dirampas, dan mengenal Sun Bian Ek,
perwira ini menjadi marah bukan main. Ia mengeluarkan teriakan untuk memanggil
semua pengawalnya, kemudian goloknya bergerak menerjang Liok Sun yang sudah
terluka.
"Plakkk...!"
Perwira itu
terhuyung dan goloknya langsung terlepas dari tangannya ketika Bun Houw yang
meloncat masuk menepuk bahu kanannya dari belakang. Pemuda ini tadi merasa
terkejut ketika melihat Liok Sun membunuh bekas isterinya, hal yang sama sekali
tidak disangka-sangkanya, sungguh pun dia maklum pula akan kepalsuan wanita
itu.
Akibat
tertegun menyaksikan peristiwa mengerikan antara suami isteri yang tentu
dulunya saling mencinta itu, maka dia terlambat menolong Liok Sun sehingga
‘majikannya’ itu terluka pundaknya. Baru ketika melihat Liok Sun terluka, dia
meloncat ke dalam dan sempat menggagalkan serangan maut Phang-ciangkun tadi.
"Keparat
busuk kau...!" Liok Sun membentak ketika melihat Phang Un terhuyung, biar
pun tangan kirinya memondong anak perempuan itu dan pundak kanan sudah terluka,
namun pedangnya masih berkelebat cepat sekali.
Phang Un
masih kaget oleh tamparan yang bukan main kuatnya tadi. Ia masih terhuyung
sambil memutar kepala untuk melihat siapa yang telah menamparnya ketika sinar
pedang berkelebat. Phang Un berusaha mengelak, akan tetapi hanya dua kali
berturut-turut dia mampu mengelak. Sambaran pedang yang ketiga kalinya mengena
sasaran dan robohlah Phang Un dengan leher yang hampir buntung terbabat pedang
Liok Sun.
Pada saat
itu, datanglah belasan orang perajurit dan pengawal ke tempat itu. Melihat Liok
Sun hendak mengamuk, Bun Houw cepat berkata,
"Liok-twako,
hayo kita pergi...!"
Liok Sun
juga maklum betapa berbahayanya untuk menentang penjaga keamanan, maka melihat
pembantunya itu sudah menerjang keluar kamar dan dengan mudahnya pemuda itu
membuat lima enam orang pengawal terlempar ke kanan kiri, dia pun lalu
mengikuti Bun Houw dan setelah Bun Houw kembali merobohkan beberapa orang,
mereka berdua berhasil meloncat ke atas genteng dan menghilang di kegelapan
malam....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment