Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 03
Melihat
sikap seperti ini, Kui Sanjin hanya tersenyum-senyum sabar dan begitu sampai di
depan rombongan tamu, dia mengangkat tangan di depan dada sebagai penghormatan.
Juga suhengnya, Thian Beng Tosu, mengangkat kedua tangan memberi hormat. Namun
Sin-tung Lo-kai sama sekali tidak membalas penghormatan ini, malah langsung
bertanya, suaranya kaku,
"Yang
manakah ketua Hoa-san-pai?"
Para tosu
anak buah Hoa-san-pai amat marah mendengar pertanyaan yang memandang rendah
ini, namun rombongan pemimpin Hoa-san-pai itu tersenyum sabar. Hoa-san-pai
merupakan sebuah partai besar, patut mempunyai pimpinan yang bijaksana dan
memiliki kesabaran tinggi, sikap orang-orang besar. Kui Sanjin melangkah maju
dan menjawab,
"Sayalah
yang mendapat kehormatan menjadi ketua Hoa-san-pai. Kalau saya tidak keliru
sangka, sahabat ini tentu ketua dari Sin-tung Kaipang, bukan?"
Sin-tung
Lo-kai tidak segera menjawab, melainkan menatap tuan rumah penuh selidik.
Seorang kakek kurang lebih enam puluh tahun, pakaiannya sederhana seperti
pertapa, sikapnya lemah-lembut dan tidak kelihatan sesuatu yang aneh pada
dirinya. Meski pun demikian Sin-tung Lo-kai tidak berani memandang rendah
karena dia sudah mendengar akan kebesaran Hoa-san-pai.
"Bagus!
Ketua Hoa-san-pai, pagi ini kami sengaja datang berkunjung dengan maksud ingin
minta penjelasan kenapa Hoa-san-pai amat menghina terhadap Sin-tung Kaipang?
Apakah kini Hoa-san-pai merasa sebagai perkumpulan yang paling besar sehingga
boleh malang-melintang dan melakukan penghinaan sesuka hatinya pada perkumpulan
lain?"
Kui Sanjin
mengerutkan alisnya, bertukar pandang dengan Thian Beng Tosu, kemudian
menjawab, "Sin-tung Kaipangcu, saya harap kau suka bicara yang jelas.
Sesungguhnya kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan dengan penghinaan itu.
Memang harus kami akui bahwa telah terjadi bentrokan disebabkan salah paham
antara beberapa anak muridmu dengan anak murid kami, akan tetapi hal itu telah
diselesaikan dan didamaikan, bahkan oleh Suheng-ku ini, Thian Beng Tosu
sendiri. Kami anggap urusan kecil antara anak murid yang masih berdarah panas
itu telah selesai. Mengapa kau sekarang datang menyatakan bahwa kami sudah
melakukan penghinaan? Penghinaan yang mana harap kau jelaskan."
"Hemmm,
bagus sekali! Hoa-san-pai kabarnya merupakan perkumpulan yang besar dan
berpengaruh, ternyata ketuanya tidak tahu apa yang terjadi di depan matanya
sendiri! Pangcu (Ketua), karena hendak memperbaiki hubungan antara perkumpulan
kita yang pernah retak oleh perbuatan anak-anak murid kita, kemarin pagi aku
sengaja mengutus dua orang anak muridku untuk naik ke Hoa-san-pai dan
menyampaikan surat undangan penghormatan dari Sin-tung Kaipang kepadamu."
"Akan
tetapi, kami tidak pernah menerimanya, Pangcu," jawab Kui Sanjin.
"Hemmm,
tentu saja tidak pernah menerimanya!” Sin-tung Kaipangcu berkata sambil
membanting ujung tongkatnya sampai menancap di atas tanah berbatu di depan
kakinya. "Di tengah jalan, dua orang utusanku itu diserang oleh tukang
kuda Hoa-san-pai, malah dua ekor kuda tunggangan mereka pun dirampas!"
Semua orang
menjadi kaget sekali mendengar ini. "Ahh, mana bisa terjadi hal itu?"
Kui Sanjin berseru, tidak percaya. Tidak mungkin ada anak muridnya yang berani
melakukan perbuatan seperti itu. Merampas kuda? Tidak bisa jadi!
"Hemmm,
tentu saja tidak percaya!" Sin-tung Lo-kai mendengus, kemudian melambaikan
tangan kepada dua orang anak buahnya. "Ceritakan kepada mereka!"
perintahnya.
Dua orang pengemis
melangkah maju dan berdiri membungkuk. Salah seorang di antara mereka yang
berkumis panjang lalu bercerita, sedangkan temannya yang berambut putih hanya
menundukkan muka.
"Kami
berdua sedang menunggang kuda mendaki kaki gunung ketika tiba-tiba seorang
pemuda melepaskan kuda yang hampir menubruk kami. Karena merasa kaget dan untuk
menyelamatkan diri dari tubrukan, terpaksa saya menggerakkan kaki menendang
kuda yang menubruk kami itu. Kuda itu mati. Tukang kuda Hoa-san-pai itu
marah-marah, biar pun kami sudah berjanji hendak membicarakan hal itu dengan
ketua Hoa-san-pai, karena kami adalah utusan dari Sin-tung Kaipang untuk
menyampaikan undangan. Akan tetapi orang muda itu tetap tidak mau melepaskan
kami, malah segera menyerang kami dan merampas dua ekor kuda tunggangan kami.
Maka terpaksa kami kembali turun gunung dan melapor kepada ketua kami."
Setelah
berkata demikian, dua orang pengemis ini cepat-cepat mengundurkan diri lagi ke
belakang ketua mereka. Mereka merasa amat malu harus bercerita bahwa mereka
kalah oleh seorang kacung kuda Hoa-san-pai.
Kui Sanjin
tertegun. Cerita ini benar-benar tidak masuk akal. Dua orang pengemis tadi dia
lihat memiliki gerakan-gerakan yang tangkas dan kuat, dan sudah bisa membuat
mati seekor kuda hanya dengan sekali tendangan saja, cukup membuktikan
kepandaiannya. Masa mereka berdua dikalahkan oleh tukang kuda Hoa-san-pai?
Padahal tukang kuda Hoa-san-pai yang sudah tua itu telah meninggal dunia, dan
selama belum mendapatkan tukang kuda baru, pekerjaan merawat kuda dilakukan
oleh seorang tosu, kalau tak salah Can Tosu yang gendut dan yang dia tahu
kepandaiannya rendah sekali.
Kui Sanjin
menoleh ke belakang, mencari-cari dengan pandang matanya, mencari Can Tojin,
ada pun mulutnya berkata, "Kami tidak memiliki kacung kuda yang masih
muda..."
Ketua
Sin-tung Kaipang mengeluarkan suara ketawa mengejek. Pada saat itu dua orang
tosu maju dan berlutut di depan Kui Sanjin. Itulah dua orang tosu yang kemarin
bersama Kwa Swan Bu menyerahkan kuda mereka kepada Yo Wan.
"Mohon
ampun sebesarnya kepada Suhu," kata seorang di antara mereka,
"Sebenarnya teecu berdua yang sudah menerima kacung itu. Kemarin pagi pada
waktu teecu berdua mengantar Swan Bu berlatih panah dan sampai di kaki gunung,
teecu melihat seorang pemuda yang keadaannya miskin dan seperti kelaparan.
Tadinya teecu kira dia adalah tukang kuda baru yang dijanjikan oleh lurah
dusun, akan tetapi ternyata bukan dan dia menyatakan suka bekerja membantu
kita. Karena teecu kasihan kepadanya, maka teecu lalu menerimanya sebagai
tukang kuda, dan teecu baru akan melaporkan hari ini kepada Suhu. Siapa duga
bocah itu menimbulkan onar. Mohon ampun sebesarnya, Suhu."
Kui Sanjin
terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi sebelum dia bicara, Swan Bu sudah
melangkah maju dan dengan suara lantang berkata kepadanya,
"Supek,
benar kata kedua muridmu ini. Memang tadinya sudah kucurigai dia." Dia
lalu menoleh ke arah kakek pengemis dan berkata, suaranya tetap lantang,
"Hai, Pangcu dari Sin-tung Kaipang! Kau dengar sendiri, tukang kuda itu
bukanlah anak murid Hoa-san-pai dan ketua kami tidak tahu menahu tentang
keributan itu. Namun, kami dapat memberi hajaran kepada pengacau itu, jangan
kau merembet-rembet nama Hoa-san-pai ."
"Swan
Bu, diam kau...!" Kwa Kun Hong membentak dan seketika Swan Bu diam.
Akan tetapi
tiba-tiba bocah ini meloncat ke depan. Tangan kirinya meraih anak panah,
dipasangnya pada gendewanya dan menjepretlah tali gendewa sehingga anak
panahnya meluncur ke kiri. Semenjak tadi Yo Wan sudah mendengarkan semua
pembicaraan itu. Pagi-pagi tadi dia sudah pergi mencari rumput dan ketika dia
melihat rombongan pengemis yang tampak marah mendaki naik puncak, hatinya
berdebar tidak enak. Sudah tentu ada hubungannya dengan urusan kemarin,
pikirnya.
Oleh karena
dia merasa bahwa dia yang menjadi biang keladinya, maka dia lalu pergi
mengikuti mereka sampai ke puncak. Yo Wan bersembunyi di balik pohon dan
mengintai semua perdebatan tadi. Setelah namanya disebut-sebut oleh dua orang
tosu dan Swan Bu, dia segera muncul dengan maksud mengakui semuanya dan untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Dari balik
batang pohon tadi Yo Wan merasa amat terharu dan sedih melihat suhu dan
subo-nya. Sekarang, maklum bahwa perbuatannya itu dapat mengakibatkan
keributan, dia mengambil keputusan untuk mempertanggung jawabkan sendiri supaya
Hoa-san-pai, terutama suhu dan subo-nya jangan sampai terbawa-bawa. Dengan
pikiran inilah dia lalu muncul keluar dari tempat persembunyiannya dan berjalan
menuju ke tempat pertemuan.
Sama sekali
tidak diduganya bahwa Swan Bu yang pertama melihat dan mengenalnya, malah bocah
itu sudah pula melepaskan sebatang anak panah kepadanya. Semua tokoh
Hoa-san-pai yang tidak mengenal siapa dia, hanya bisa tertegun dan heran, juga
kaget melihat Swan Bu memanah orang muda itu, tanpa sempat mencegah lagi.
Yo Wan tentu
saja akan dapat mengelak dengan mudah. Namun dia sedang berduka bahwa dalam
pertemuan dengan suhu-nya ini dia sudah mendatangkan keributan hebat, apa lagi
mengingat bahwa bocah itu adalah putera suhu-nya yang dibangga-banggakan, dia
tidak tega untuk mengelak dan mendatangkan malu.
Sambil
mengerahkan tenaga sinkang yang dia latih dari Sin-eng-cu dan Bhewakala, dia
sengaja menerima anak panah itu dengan pundak kirinya, akan tetapi cepat-cepat
dia menutup jalan darah pada bagian ini sehingga anak panah yang menancap satu
dim dalamnya itu hanya melukai kulit dan dagingnya saja. Dengan anak panah
menancap di pundak, dia berjalan terus menghampiri mereka.
"Swan
Bu, kau lancang..!”
Yo Wan
mendengar subo-nya berteriak mencela puteranya. Di dalam hatinya Yo Wan
bersyukur bahwa subo-nya masih tetap seorang wanita budiman seperti dulu,
sehingga dia menjadi semakin tidak tega untuk membiarkan suhu, subo serta
putera mereka itu menanggung akibat dari perbuatannya.
Dia
berpura-pura tidak melihat pandang mata subo-nya yang diarahkan kepadanya dan
seakan-akan subo-nya itu hampir mengenalnya! Dia juga tak peduli akan pandang
mata semua orang di sana yang memandangnya dengan tatapan heran dan tercengang.
Yo Wan langsung menghampiri Kui Sanjin dan membungkuk sampai dalam sambil
berkata,
"Lopek
(Paman Tua), memang betul seperti dikatakan oleh kedua Lopek tadi, saya telah
menerima pekerjaan sebagai kacung kuda. Di tengah jalan saya bertengkar dengan
dua orang pengemis. Akan tetapi hal itu adalah urusan saya sendiri, sama sekali
tidak ada sangkut-pautnya dengan Hoa-san-pai. Ini hanyalah urusan seorang
kacung kuda dengan para pengemis, harap para lopek di sini melegakan hati
karena sekarang juga saya akan bereskan urusan ini dengan para pengemis.”
"Dia...
dia... A Wan...!" terdengar Kun Hong berseru.
"Yo
Wan...!" Hui Kauw juga menahan teriakannya.
Akan tetapi
Yo Wan yang terkejut sekali mendengar suhu dan subo-nya sudah berhasil
mengenalnya, segera menghampiri rombongan pengemis dan dengan berdiri tegak dia
berkata lantang,
"Kakek
pengemis, jika benar kau ketua dari Sin-tung Kaipang, sebaiknya kau memeriksa
keadaan anak-anak muridmu sendiri sebelum kau menyalahkan orang lain. Urusan
anak muridmu dengan aku si kacung kuda sama sekali berada di luar tanggung
jawab pihak Hoa-san-pai karena aku belum diterima secara resmi menjadi tukang
kuda Hoa-san-pai. Kenapa kalian ini tak tahu malu membikin ribut di
Hoa-san-pai? Akulah yang seharusnya bertanggung jawab!"
Sin-tung
Lo-kai marah bukan main. Ingin sekali gebuk dia membikin remuk kepala bocah
itu, akan tetapi sebagai seorang ketua kaipang yang tersohor, tentu saja dia
tidak mau melakukan hal yang akan merendahkan namanya. Maka dia hanya melotot
memandang Yo Wan, lalu membentak,
"Bocah
setan! Apa kau mengaku telah merampas dua ekor kuda anak muridku?"
Yo Wan
menggeleng kepala, tersenyum mengejek. "Siapa yang merampas? Aku sedang
menuntun tiga ekor kuda naik puncak, tiba-tiba dua orang pengemis itu membentak
dari belakang. Kuda yang kupegang kaget, seekor meloncat dan hampir menubruk
pengemis kumis panjang. Ehh, si kumis itu memamerkan kepandaiannya, kuda itu
ditendang mati. Tentu saja aku minta ganti dan siapa pun mereka itu, harus
mengganti kuda yang mati karena aku bertanggung jawab atas keselamatan
kuda-kuda itu."
"Apa
kau tidak dengar bahwa mereka itu merupakan utusan Sin-tung Kaipang?"
Ketua ini membentak.
"Baik
mereka itu utusan dari raja pengemis atau raja neraka sekali pun, karena sudah
membunuh kuda yang menjadi tanggung jawabku, mereka harus menggantinya. Ehhh,
mereka marah-marah sehingga terpaksa aku membela diri karena mereka
menyerangku. Kemudian mereka berdua lari meninggalkan kuda mereka. Apakah yang
begini dapat disebut aku merampas kuda?"
"Keparat
kau tukang kuda, mulutmu besar dan sombong sekali! Kau sudah menghina
murid-muridku, menghina Sin-tung Kaipang, apakah nyawamu rangkap?"
"Kakek
pengemis, kau mau menang sendiri. Kau bilang aku yang menghina, tetapi dua
orang muridmu itu hendak membunuhku, malahan malam tadi, siapa yang melepas api
hendak membakar kandang kalau bukan orang-orangmu? Hemmm, sebetulnya, kau pun
harus mempertanggung jawabkan perbuatan anak-anak muridmu."
"Suheng,
menghadapi anak anjing yang menggonggong seperti ini, kenapa pakai banyak
aturan? Banting saja mampus, habis perkara!" mendadak salah seorang
pengemis yang hidungnya bengkok ke kiri, yang memegang toya, berkata marah.
"Pangcu,
harap kau bersabar," tiba-tiba Kui Sanjin berkata lembut. "Sesudah
pinto (aku) mendengar omongan bocah ini, kiranya harus diselidiki lebih dulu
apakah betul dia yang bersalah. Dalam segala hal, tak baik untuk bertindak
sembrono, menghukum orang yang tidak bersalah."
Ternyata
ketua Hoa-san-pai ini telah dibikin kagum oleh sikap Yo Wan. la maklum bahwa
pemuda itu adalah seorang pemuda yang bodoh dan sederhana, agaknya tidak pandai
ilmu silat karena kalau memang pandai ilmu silat, bagaimana tidak mampu
mengelak dari anak panah yang dilepaskan Swan Bu tadi?
Akan tetapi,
jelas bahwa pemuda itu memiliki daya tahan yang luar biasa dan memiliki rasa
tanggung jawab yang kiranya jarang dimiliki oleh orang-orang yang mengaku
dirinya gagah perkasa. Buktinya, dengan anak panah menancap pada pundak, pemuda
itu sama sekali tak mengeluh, bahkan juga tidak tampak nyeri, malah menghadapi
para pengemis dengan penuh ketabahan serta penuh tanggung jawab, agaknya jelas
hendak mencuci nama Hoa-san-pai dari urusan itu.
"Hoa-san-ciangbunjin
(ketua Hoa-san)! Apamukah bocah ini? Apa dia adalah anak murid Hoa-san-pai?
Ataukah dia ini menjadi tanggung jawab Hoa-san-pai maka engkau hendak
membelanya?" bentak Sin-tung Kaipangcu.
"Dia...
A Wan...," kembali terdengar suara perlahan Kwa Kun Hong,
"Sstttt..."
Dengan sudut
matanya Yo Wan melihat betapa subo-nya menyentuh lengan suaminya. Yo Wan
melempar kerling penuh terima kasih kepada Hui Kauw yang memandangnya penuh
pengertian.
Memang Hui
Kauw amat cerdik dan halus perasaannya. Agaknya nyonya muda ini telah dapat
menduga apa yang menjadi maksud hati murid itu, maka dia hendak membantu,
memberi kebebasan kepada Yo Wan untuk melanjutkan maksud hatinya, akan tetapi
tentu saja nyonya muda ini bersiap sedia untuk membantu muridnya. Dia dapat
melihat lebih jelas dari pada apa yang dapat didengar oleh telinga suaminya
yang buta.
"Heh,
Pangcu dari para pengemis! Kenapa kau selalu mendesak Hoa-san-pai? Agaknya kau
merasa jeri untuk menjatuhkan hukuman terhadap diriku, maka kau selalu berpaling
dan mencari-cari kesalahan kepada Hoa-san-pai! Huh, tak tahu malu. Kalau kalian
para pengemis hendak membalas dendam kepadaku, lekaslah turun tangan. Apa kau
kira aku takut menghadapi kematian?"
"Sin-tung
Kaipangcu, jangan ladeni omongan seorang bocah nekat!" tiba-tiba Thian
Beng Tosu berseru keras. "Hee, bocah tak melihat keadaan, apakah kau sudah
menjadi gila? Jangan main-main terhadap Sin-tung Kaipang!"
Akan tetapi
dengan tenang Yo Wan memberi hormat sambil membungkuk kepadanya, lalu berkata,
"Urusan ini adalah urusan saya sendiri, harap para lopek yang terhormat
dari Hoa-san-pai jangan ikut campur. Hee, pengemis kelaparan, masih tidak
berani turun tangan terhadap kanak-kanak seperti aku? Memalukan benar!"
Terdengar
teriakan marah dan si pengemis hidung bengkok yang memegang toya sudah melompat
maju. Dia adalah sute (adik seperguruan) dari ketua pengemis itu, lihai sekali
permainan toya besinya dan dia diberi julukan Tiat-pang Sin-kai (Pengemis Sakti
Bertoya Besi). Wataknya lebih keras berangasan dari pada para tokoh Sin-tung
Kaipang yang lain. Mendengar ucapan yang menantang-nantang dari Yo Wan, dia
tidak mau bersabar lagi.
"Ada
hubungan dengan Hoa-san-pai atau tidak, kau bocah setan sekarang juga harus
mampus!" bentaknya dan toyanya yang berat itu menyambar cepat,
mendatangkan desir angin gemuruh.
Yo Wan sudah
bertekad tidak akan membawa-bawa suhu dan subo-nya, sungguh pun tadi dia
bersikap seakan-akan hendak membersihkan Hoa-san-pai, padahal sebenarnya dia
tidak hendak menyeret suami isteri itu. Maka sekarang menghadapi sambaran toya,
dia tidak mau mempergunakan langkah-langkah ajaib yang dia pelajari dari Kun
Hong. la siap menerima kematian karena memang hanya kematian saja yang dapat
dia harapkan dalam menghadapi orang-orang berilmu tinggi seperti pimpinan
Sin-tung Kaipang ini.
Namun dia
juga tidak mau mati konyol begitu saja tanpa perlawanan. Melihat datangnya
toya, otomatis kaki tangannya bergerak dan dengan amat mudah dia membiarkan
toya itu menyambar lewat tanpa dapat menyentuh tubuhnya sedikit pun juga.
Karena tanpa disadarinya dia sudah memiliki kesaktian ilmu silat yang mendarah
daging, maka sesuai dengan daya tahan dan daya serang yang berganti-ganti
diturunkan Sin-eng-cu beserta Bhewakala kepadanya, tentu saja setiap kali
menghadapi serangan, begitu mengelak terus saja Yo Wan membalas serangan itu.
Dan bukan
hal kebetulan kalau pada saat itu dia menggunakan sebuah jurus dari Ilmu Silat
Ngo-sin Hoan-kun (Lima Lingkaran Sakti) yang telah dia pelajari atau lebih
tepat dia ‘mainkan’ menurut petunjuk Bhewakala. Hal ini adalah karena jurus
serangan toya yang dilakukan oleh Tiat-pang Sin-kai tadi sifatnya hampir sama
dengan jurus-jurus serangan Sin-eng-cu, maka otomatis tubuhnya lalu bergerak
mainkan jurus ilmu yang diturunkan oleh Bhewakala kepadanya sebagai lawannya.
Ilmu Silat
Ngo-sin Hoan-kun adalah ilmu silat ciptaan pendeta Nepal, pertapa di Gunung
Himalaya yang sakti itu, gerakannya dahsyat dan aneh. Tiat-pang Sin-kai melihat
betapa dua lengan pemuda itu terus berputar membuat lingkaran-lingkaran yang
mengaburkan pandangan matanya dan dia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.
Betapa ingin dia memukul dengan toya, akan tetapi ujung toyanya seakan-akan
terlibat oleh sebuah di antara lingkaran itu dan tak dapat digerakkan.
Tiba-tiba
dia merasa tubuhnya berpusing laksana tenggelam dalam pusingan angin dan
sebelum dia tahu apa yang terjadi dengan dirinya, tubuhnya itu sudah terlempar
sambil berputaran dan robohlah dia dengan kepala di bawah kaki di atas. Dia
menjadi pening, kepalanya benjol, toyanya terlempar entah ke mana dan sampai
lama dia hanya rebah sambil menggerak-gerakkan kepala mengusir kepeningan
dengan mata menjadi juling!
"Ahhh...!"
"Hebat...!"
"Aneh...!"
Seruan-seruan
ini keluar dari mulut para tokoh Hoa-san-pai. Peristiwa itu sungguh amat
mengejutkan. Kui Sanjin dan yang lain-lain memang sudah siap untuk menolong
orang muda yang tabah itu kalau pihak Sin-tung Kaipang hendak membunuhnya.
Siapa tahu, hanya dalam dua gebrakan saja seorang tokoh Sin-tung Kaipang yang
cukup lihai sudah dibikin melayang seperti itu dengan gerakan tangan dan kaki
yang luar biasa, ilmu silat yang membentuk lingkaran-lingkaran ajaib. Ilmu
apakah yang dipergunakan pemuda ini?
Hanya Hui
Kauw dan Kun Hong yang tidak mengeluarkan suara sama sekali. Hui Kauw memandang
kagum dan juga heran karena sepanjang pengetahuannya, murid ini hanya baru
menerima dasar-dasar ilmu silat dan di saat terakhir hanya ditinggali Ilmu
Langkah Si-cap-it Sin-po oleh Kun Hong. Tadi Hui Kauw sengaja memperhatikan
gerak kaki anak itu untuk melihat apakah Yo Wan sudah mahir melakukan langkah-langkah
itu, karena kalau sudah mahir, tentu anak itu sanggup menyelamatkan diri dengan
langkah-langkah ajaib.
Anehnya,
langkah yang dipergunakan Yo Wan sama sekali bukan langkah ajaib ajaran Kun
Hong, sungguh pun gerak dan langkah yang dilakukan anak itu pun amat aneh dan
asing! Ketika Hui Kauw melirik ke arah suaminya, ia melihat suami ini miringkan
kepala mengerutkan kening dan bibirnya menggumam, "Hemmm...
hemmm...."
Sebetulnya,
robohnya Tiat-pang Sin-kai hanya dalam satu jurus ini bukan semata-mata karena
kelihaian Yo Wan, melainkan sebagian besar disebabkan kesalahan pengemis itu
sendiri. la terlalu memandang rendah bocah itu, dianggapnya hanya sekali pukul
dengan toya akan remuk kepalanya.
Oleh karena
memandang rendah inilah maka sekali balas saja Yo Wan langsung berhasil
merobohkannya. Andai kata pengemis itu lebih hati-hati, biar pun tak mungkin
dia dapat mengalahkan Yo Wan yang sudah mewarisi ilmu-ilmu sakti, namun kiranya
dia pun tidak akan roboh hanya dalam satu dua jurus saja!
"Bocah
setan! Berani kau menghina saudaraku?" Kakek pengemis di sebelah kiri
ketua pengemis meloncat ke depan, lantas menghadapi Yo Wan sambil mencabut
pedang di pinggangnya. "Hayo keluarkan senjatamu dan kau lawan aku!"
Sikap
pengemis ini jauh lebih gagah dari pada Tiat-pang Sin-kai dan memang dia tidak
memandang rendah kepada Yo Wan, karena dia menduga bahwa Yo Wan tentu memiliki
kepandaian yang tinggi. Memang dia adalah seorang yang cukup berpengalaman dan
tidak bersikap sembrono seperti temannya tadi. Pengemis ini menjadi pembantu
Sin-tung Lo-kai karena ilmu pedangnya membuat dia jarang menemukan tandingan.
Dia bernama Souw Kiu, seorang ahli pedang dan ahli tenaga Iweekang.
Hati Yo Wan
tergetar keras. la tidak pernah mengalami pertandingan-pertandingan, yaitu
pertandingan yang sungguh-sungguh, sebab pertandingan yang dia saksikan selama
tiga tahun di puncak Liong-thouw-san adalah pertandingan ‘teori’.
Saat dia
merobohkan dua orang pengemis kemarin dan pengemis bertoya tadi, dia sama
sekali tidak mengira bahwa demikian mudah dia mencapai kemenangan. Disangkanya
bahwa memang tiga orang pengemis itu hanyalah orang-orang sombong yang tidak
ada gunanya. Sekarang, menghadapi Souw Kiu yang tenang, bermata tajam dan
memegang pedang dengan sikap yang kokoh serta kuat, mau tak mau dia menjadi
gentar pula untuk menghadapinya dengan tangan kosong.
"Tukang
kuda, kau pakailah pedangku ini!" Tiba-tiba Swan Bu berseru sambil
mencabut pedangnya yang amat indah.
Yo Wan
tersenyum. Lenyap sudah rasa sakit di pundaknya oleh anak panah yang masih
menancap itu. Sikap Swan Bu ini sekaligus sudah menjatuhkan hatinya dan
meluapkan rasa maafnya terhadap putera dari suhu-nya itu. Dia tersenyum lebar
sambil menoleh ke arah Swan Bu.
"Tuan
Muda, terima kasih. Tidak berani aku merusakkan pedangmu," jawabnya dengan
sungguh-sungguh dan jujur.
Yo Wan sama
sekali dia tidak tahu bahwa jawabannya ini membuat wajah Hui Kauw dan Kun Hong
menjadi merah. Ayah dan ibu ini merasa terpukul dengan jawaban muridnya kepada
puteranya yang tadi memperlakukan Yo Wan secara sewenang-wenang.
Yo Wan
maklum bahwa untuk menghadapi pedang lawan, maka dia harus menggunakan senjata
pula dan dia anggap bahwa senjata terbaik adalah melawan dengan pedang pula.
Lupa bahwa pedangnya hanya sebatang pedang kayu saja, dia segera membuka jubah
dan mengeluarkan pedang kayunya yang panjangnya hanya tiga puluh sentimeter,
terbuat dari kayu cendana yang harum itu.
Meledak suara
ketawa dari anak buah Hoa-san-pai dan anak buah pengemis, akan tetapi
tokoh-tokohnya sama sekali tidak tertawa, malah memandang dengan wajah
tercengang. Gilakah anak ini? Ataukah memang dia begitu sakti sehingga cukup
menghadapi lawan ini dengan pedang kayu saja?
"Itukah
senjatamu?!" Souw Kiu membentak dengan suara kecewa. "Apakah kau
hendak main-main?" Dia seorang tokoh ilmu silat, mana enak hatinya apa
bila dihadapi seorang lawan begini muda yang mempergunakan pedang kayu?
"Memang
inilah senjataku dan aku tidak main-main, pengemis tua."
"Jangan
menyesal nanti dan bilang aku berlaku sewenang-wenang!" kata pula Souw
Kiu, masih meragu. Pertandingan ini disaksikan oleh banyak tokoh Hoa-san-pai,
sebab itu dia harus memperlihatkan kegagahannya.
"Aku tak
akan menyesal. Kalian memang sudah bertekad untuk membunuhku, tentu saja aku
pun bertekad untuk mempertahankan nyawaku sedapat mungkin. Aku tidak biasa
memegang pedang tulen, biasa bermain-main dengan pedangku ini. Kalau kau memang
berkukuh hendak membunuhku, silakan."
"Awas
pedang!"
Sesudah
mengeluarkan bentakan ini, dengan secepat kilat Souw Kiu menerjang dengan
pedangnya. Gerakan pedangnya sangat cepat dan mengeluarkan suara berdesing yang
mengerikan.
Namun bagi
Yo Wan, gerakan pengemis itu tidaklah terlalu hebat, apa lagi cepat. Kalau
dibandingkan dengan jurus-jurus yang dikeluarkan Sin-eng-cu atau Bhewakala,
gerakan itu seperti anak kecil main-main belaka!
Dengan
tenang dia kemudian memainkan jurus-jurus yang sesuai dengan pedang yang
dipegangnya, yaitu Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang diturunkan oleh Sin-eng-cu
padanya. Memang pedang kayu itu adalah senjata buatan Sin-eng-cu yang dahulu
dia pakai untuk menghadapi cambuk dari Bhewakala. Maka ketika dia bersilat
pedang dengan jurus-jurus dari Sin-eng-cu, seketika pedang kayu di tangannya
itu berubah menjadi puluhan batang banyaknya dalam pandang mata lawannya!
“Whir-whir-whirrr…!”
Pedang kayu
ini menerbitkan bunyi angin dibarengi kilatan sinar yang membingungkan hati
Souw Kiu.
Karena
maklum bahwa bocah ini benar-benar pandai, Souw Kiu segera mengerahkan seluruh
tenaga dalam dan mengeluarkan semua jurus simpanannya untuk mendapatkan
kemenangan. Dia sengaja hendak mengadu senjata, karena merasa yakin bahwa
sekali pedang kayu itu bertemu dengan pedangnya, tentu pedang kayu itu akan
patah dan dia akan mudah merobohkan lawan.
Hui Kauw
memandang dengan kagum sekali. Ilmu pedang yang dimainkan Yo Wan itu
benar-benar merupakan ilmu pedang yang selain indah, juga amat luar biasa. Dia
sendiri belum tentu dapat mainkan pedang kayu seperti itu. Ketika dia melirik
ke arah suaminya, wajah Kun Hong tegang sekali dan bibir Pendekar Buta ini
menggumam lirih,
"Ahhh...
mana mungkin...?"
Memang,
dapat dibayangkan betapa heran hati Kun Hong ketika telinganya menangkap
gerakan ilmu silat Yo Wan yang kali ini cara bersilatnya sama sekali berlawanan
dengan dua gerakan ketika merobohkan lawan pertama tadi. Tidak demikian saja,
bahkan ilmu pedang yang dimainkan ini mengandung jurus-jurus Ilmu Silat Kim-tiauw-kun,
yaitu ilmu silatnya sendiri! Padahal dia sama sekali belum pernah mengajarkan
ilmu itu meski pun hanya sejurus kepada muridnya.
Para tokoh
Hoa-san-pai adalah tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Apa lagi ketuanya, Kui
Sanjin yang dikenal sebagai seorang ahli pedang Hoa-san Kiam-sut, di samping
isterinya yang juga hadir di situ. Mereka semua kini berdiri bengong, kagum
bukan main. Siapa orangnya yang tidak kagum kalau melihat betapa kacung kuda
itu dengan hanya sebatang pedang kayu dapat menghadapi seorang ahli pedang
seperti Souw Kiu? Dan kadang-kadang pedang di tangan pengemis itu dengan
hebatnya menggempur pedang kayu, akan tetapi jangan kata pedang kayu itu
menjadi patah karenanya, malah tampak jelas betapa lengan dan tangan Souw Kiu
yang memegang pedang tergetar hebat.
Ini hanya
menjadi bukti bahwa bocah itu mempunyai tenaga sinkang yang ampuh sekali,
tenaga yang bukan sewajarnya dimiliki seorang pemuda tanggung berusia enam
belas tahun. Diam-diam mereka menduga-duga, murid siapakah gerangan pemuda ini
dan apa maksud orang muda yang memiliki kesaktian itu naik ke Hoa-san-pai dan
berpura-pura menjadi tukang kuda? Mengandung maksud tersembunyi yang
bagaimanakah? Mereka juga merasa gelisah, menduga bahwa tentulah pemuda itu
mengandung suatu maksud tertentu.
Yang paling
bingung dan kaget setengah mati adalah Souw Kiu sendiri. Pedang kayu di tangan
bocah itu bukan main hebatnya. Gerakannya aneh, daya tahannya amat kokoh kuat
dan setiap kali beradu dengan pedangnya sendiri, tangannya tergetar hebat. Dia menjadi
penasaran sekali. Masa dia harus mengaku kalah terhadap seorang kacung kuda?
Jika dia dikalahkan oleh salah seorang tokoh Hoa-san-pai, masih tidak apa, akan
tetapi oleh seorang kacung kuda? Dan masih bocah lagi!
Dua puluh
jurus telah lewat dan dalam penasarannya, Souw Kiu tiba-tiba mengeluarkan
bentakan nyaring sekali lalu pedangnya melakukan terjangan kilat. Hui Kauw
menutup mulutnya dan seluruh urat tubuhnya menegang. Sebagai seorang ahli
pedang, dia pun maklum bahwa pengemis itu melakukan serangan nekat, mengajak
adu nyawa. Dia sudah siap untuk menyambar dan menolong muridnya, tetapi dia
tidak mau tergesa-gesa karena bila keadaan Yo Wan tidak berbahaya lalu dia
menolongnya, hal itu akan merendahkan diri sendiri.
Yo Wan sudah
mempelajari banyak sekali jurus-jurus ampuh dan ada kalanya Sin-eng-cu mau pun
Bhewakala dalam keadaan terdesak pun mengeluarkan jurus-jurus yang nekat.
Karena itu, menghadapi serangan ini dia tidak menjadi gugup. Dari pada dia
terluka atau terpaksa membunuh orang, lebih baik mengorbankan pedang kayunya,
pikirnya cepat. Melihat pedang lawan menyambar dengan babatan kilat, dia cepat
menangkis dengan pedang kayunya, tetapi dia sengaja tidak menyalurkan tenaga
kepada pedang kayu ini.
"Krakkk!"
Pedang kayu
patah menjadi dua, tubuh Souw Kiu terdorong ke depan dan di lain saat dia sudah
roboh terguling oleh pukulan tangan kiri Yo Wan yang tepat mengenai pundak
kanannya sedangkan pedangnya entah bagaimana sudah berpindah ke tangan pemuda
itu!
Souw Kiu
bangkit berdiri, akan tetapi tiba-tiba dia muntahkan darah merah. Ternyata satu
kali pukulan Yo Wan itu sudah mendatangkan luka parah di dalam dadanya. Hal ini
tidak mengherankan karena Yo Wan menggunakan pukulan Iweekang dari Sin-eng-cu
sebagai timpalan permainan pedangnya tadi.
Tanpa dapat
ditahan lagi, para tosu Hoa-san-pai bertepuk tangan memuji. Setelah ketua
mereka berpaling dan memandang tajam, baru mereka berhenti. Walau pun
tokoh-tokoh Hoa-san-pai tidak ada yang terang-terangan memuji dan berpihak,
namun wajah mereka yang berseri menjadi tanda bahwa mereka merasa puas melihat
rombongan Sin-tung Kaipang yang sombong itu diberi hajaran oleh orang luar yang
mengaku sebagai kacung kuda Hoa-san-pai!
Baru seorang
pelamar kacung kuda saja sudah begini hebatnya, apa lagi orang-orang
Hoa-san-pai sendiri! Meski pun tidak secara langsung, pemuda yang luar biasa
itu sudah mengangkat tinggi derajat dan nama Hoa-san-pai dengan sepak
terjangnya menghadapi Sin-tung Kaipang ini. Yo Wan sendiri sama sekali tidak
mempunyai pikiran untuk memusuhi Sin-tung Kaipang. Dia tahu bahwa kemarin dia
telah membuat onar. Hanya untuk menjaga agar nama suhu serta subo-nya jangan
sampai terbawa-bawa, maka dia mempertanggung jawabkannya sendiri. Akan tetapi
tentu saja dia tidak mau dibunuh tanpa melawan.
Hatinya
girang luar biasa setelah berhasil mengalahkan dua orang lawan. Semangatnya
timbul dan dia mulai mengerti, mulai terbuka mata hatinya bahwa jika dia mau
melawan, belum tentu orang-orang kasar ini mampu membunuhnya!
Sementara
itu, Sin-tung Lo-kai sampai menjadi pucat mukanya saking marah. la merasa
terhina sekali. Dua orang pembantu yang paling dia andalkan, sudah
berturut-turut roboh secara mudah oleh seorang kacung kuda.
"Orang-orang
Hoa-san-pai!" bentaknya sambil mengangkat tongkatnya ke depan dada.
"Apakah kalian diamkan saja bocah setan ini menghina kami?"
"Urusanmu
dengan anak ini tak ada sangkut-pautnya dengan kami, Pangcu," berkata Kui
Sanjin dengan suara tenang.
Kakek ketua
Hoa-san-pai ini sekarang timbul kepercayaannya terhadap Yo Wan. Pantas saja
bocah ini hendak membereskan sendiri, kiranya dia memiliki ilmu kepandaian yang
begitu hebat. Dia masih tidak mengerti kenapa bocah ini suka menutupi dan
melindungi Hoa-san-pai, akan tetapi jalan satu-satunya bagi ketua Hoa-san-pai
ini untuk membalas budi hanya membiarkan bocah itu melanjutkan maksud hatinya.
Inilah sebabnya maka dia sengaja menjawab seperti itu.
"Hemmm,
biarlah kubikin mampus dahulu bocah ini, baru kami akan bicara lagi dengan
Hoa-san-pai!" Sin-tung Lo-kai berseru marah. "Bocah setan, lekas kau
memilih senjata. Aku tidak sudi menyerang lawan tanpa senjata. Kalau kau butuh
pedang, orang-orangku bisa memberi pinjam untukmu."
Yo Wan
maklum bahwa lawannya ini tentu seorang yang pandai. Kemantapan gerakan tongkat
itu saja sudah membayangkan tenaga Iweekang yang amat hebat. la tidak berani
memandang ringan, maka dilolosnya cambuk peninggalan pertapa Bhewakala. Cambuk
ini hitam warnanya, panjang dan berat, tetapi di tangan Yo Wan terasa ringan
dan enak. Maklum, selama tiga tahun dia main-main dengan cambuk ini.
"Ketua
Sin-tung Kaipang, sesungguhnya aku tidak suka berkelahi dengan siapa pun juga,
aku tak ingin mencari perkara dengan siapa juga. Akan tetapi bila kau masih
tetap nekat hendak membunuhku, tentu saja aku akan berusaha menyelamatkan
diri," jawab Yo Wan sambil memegang gagang cambuk dengan tangan kanannya,
sedangkan tangan kirinya membelai-belai ujung cambuk.
"Tak
usah cerewet, lihat tongkatku!" Ketua pengemis itu menggerakkan tongkatnya
dan berkelebatlah sinar beraneka warna seperti pelangi menyilaukan mata.
Yo Wan kaget
dan bingung seketika karena gerakan tongkat itu hebat serta menyilaukan
warnanya. Juga para tokoh Hoa-san-pai menahan nafas. Sekali ini mereka
benar-benar khawatir karena tingkat kepandaian Sin-tung Lo-kai benar-benar
tidak boleh dipandang ringan. Anak muda remaja ini mana mampu mempertahankan
diri?
"Tar-tar-tarrr...!"
Lecutan
cambuk bertubi-tubi terdengar nyaring disusul berkelebatnya sinar cambuk yang
hitam, bergerak-gerak bagai ular naga hitam bermain di angkasa. Yo Wan telah
mainkan ilmu cambuknya Ngo-sin Hoan-kun dan ujung cambuk itu kini
melecut-lecut, menyambar-nyambar setelah membentuk lingkaran-lingkaran aneh di
udara. Kagetlah semua orang. Hui Kauw melihat betapa suaminya sambil
mengerutkan kening telah mengepal tinjunya.
"Bhewakala...
siapa lagi... tentu Bhewakala...," terdengar suaminya bersungut-sungut.
Yang paling
kaget adalah Sin-tung Lo-kai sendiri. Permainan cambuk lawannya amatlah
hebatnya, bagaikan gelombang samudera sedang mengamuk. Lingkaran-lingkaran yang
bergelombang lima kali itu benar-benar sangat dahsyat, menyembunyikan ujung
cambuk yang kadang-kadang mematuk dan melecut bagai petir menyambar.
Inilah ilmu
cambuk yang luar biasa aneh, yang belum pernah disaksikan Sin-tung Lo-kai
selama hidupnya. la mengertak gigi, mengerahkan seluruh kepandaian dan mainkan
ilmu tongkatnya untuk menahan gelombang dan petir itu. Akan tetapi Yo Wan tidak
mau memberi hati kepadanya. Pemuda ini memilih jurus-jurus serangan dari
Ngo-sin Hoan-kun sehingga belum lewat tiga puluh jurus, ketua pengemis itu
sudah mundur-mundur dan hanya dapat menangkis serta mengelak ke sana ke mari,
tidak mampu membalas dan keadaannya repot sekali.
Tiba-tiba
pengemis tua itu mengeluarkan bentakan keras dan sinar-sinar hijau langsung
menyambar ke arah Yo Wan. Inilah sinar senjata rahasia berupa paku-paku hijau
yang beracun, yang tadi disambitkan secara diam-diam, merupakan senjata gelap
yang sangat berbahaya.
"Curang...!"
Hui Kauw berseru, namun dia tahu bahwa dia sendiri tidak mampu menolong karena
senjata-senjata gelap itu dilempar dari jarak yang amat dekat, yaitu selagi
kedua orang itu bertanding berhadapan.
Yo Wan
adalah seorang pemuda yang belum berpengalaman dalam urusan bertempur. Sungguh
pun dia telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat, tetapi dia tidak tahu akan adanya
akal-akal busuk dari lawan macam Sin-tung Lo-kai. Akan tetapi dia seorang yang
amat cerdik. Melihat berkelebatnya sinar-sinar hijau dan juga mendengar seruan
subo-nya, dia cepat menggunakan langkah ajaib. Kini terpaksa dia membuka
rahasia dirinya dan memainkan langkah-langkah yang dia pelajari dari suhu-nya
karena dia maklum bahwa benda-benda yang menyambarnya itu amat berbahaya.
Dan benar
saja, dengan langkah-langkah ajaib yang dia mainkan, tujuh buah benda kecil
kehijauan itu meluncur lewat di samping tubuhnya, tak ada sebuah pun mengenai
dirinya. Teringat akan bahaya ini, timbul kemarahan Yo Wan. la mencabut anak
panah dengan tangan kiri, pecutnya kembali menerjang maju dan kini dibarengi
dengan sambitan anak panah.
Sin-tung
Lo-kai tadi terkejut bukan main melihat pemuda aneh itu dapat menghindarkan
diri dengan gerakan kaki seperti orang mabuk. Selagi dia kecewa dan terkejut,
cambuk lawannya menerjang seperti hujan badai. Cepat dia mengangkat tongkat
menangkis dan melompat mundur.
Tetapi
tiba-tiba dia berteriak keras dan roboh, anak panah itu menancap pada dadanya
sebelah kanan! Baiknya anak panah itu tidak terlalu dalam menembus kulit dada,
namun cukup membuat ketua Sin-tung Kaipang itu mengerang kesakitan dan tidak
bisa bangun kembali. Anak buahnya cepat memberi pertolongan. Tanpa pamit lagi
Sin-tung Lo-kai menyuruh anak buahnya memanggulnya turun gunung! Mereka
bagaikan serombongan anjing yang disiram air panas, lari tersaruk-saruk sambil
tunduk, tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun lagi.
Andai kata
mereka memiliki buntut, sudah tentu buntut itu mereka kempit di antara kaki.
Kekalahan yang diderita sekali ini benar-benar membuat mereka kuncup dan
selamanya mereka takkan berani memusuhi Hoa-san-pai. Baru melawan seorang
kacung kuda saja, ketua mereka dirobohkan dengan mudah!
Setelah
musuh pergi, Yo Wan tidak dapat menyembunyikan diri lagi. la menghampiri Kwa
Kun Hong dan Kwee Hui Kauw, serta merta dia menjatuhkan diri berlutut lalu
berkata dengan suara gemetar penuh keharuan.
"Suhu...!
Subo...!" la tinggal berlutut, meletakkan mukanya di atas tanah dan
meramkan kedua matanya, mulutnya berkata lirih, "...teecu datang
menyusul..."
"Wan-ji
(anak Wan)! Kenapa baru sekarang kau datang...?" Hui Kauw berkata dan siap
merangkul murid itu. Akan tetapi nyonya muda ini menahan kedua tangannya pada
saat melihat wajah suaminya. Jelas bahwa suaminya kelihatan marah.
"A Wan,
apa maksudmu datang seperti ini?"
Yo Wan tak
dapat menjawab dan pada saat itu, para tokoh Hoa-san-pai sudah datang
menghampiri. Dengan senyum lebar Kui Sanjin berkata,
"Ahhh,
kiranya anak ini murid Kun Hong? Pantas begini lihai! Ha-ha-ha-ha, benar-benar
Sin-tung Kaipang tidak tahu diri, dan senang sekali hati pinto mengetahui bahwa
anak yang memberi hajaran kepada mereka kiranya adalah orang sendiri! Ha-ha-ha!"
Para tokoh
Hoa-san-pai sungguh-sungguh merasa gembira dan bangga. Kehebatan ilmu
kepandaian Pendekar Buta tentu saja sudah mereka ketahui dengan baik, dan meski
pun Pendekar Buta terhitung golongan muda di Hoa-san, akan tetapi dialah
sebetulnya yang menjadi andalan untuk membikin besar nama Hoa-san-pai.
Kelihaian anak muda yang sudah mengusir para tokoh Sin-tung Kaipang ini
merupakan bukti akan kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Buta.
Tentu saja
mereka tidak mengerti bahwa Pendekar Buta sendiri berpikir lain pada saat itu.
Tidak tahu bahwa Kun Hong amat marah kepada Yo Wan, hanya menahan hatinya
karena dia tidak ingin memarahi muridnya di depan banyak orang.
"A Wan
kau ikut aku...!" kata Kun Hong kepada anak muda itu.
Yo Wan
mengerti bahwa suhu-nya marah, sebab itu dengan kepala tunduk dia mengikuti
gurunya masuk ke dalam, diikuti pula oleh Kwee Hui Kauw yang menggandeng tangan
Swan Bu. Para tokoh Hoa-san-pai yang masih bergembira itu juga mengundurkan
diri, membiarkan guru dan murid itu menikmati pertemuan tanpa diganggu.
"Nah,
sekarang ceritakan tentang sikapmu yang aneh itu, A Wan. Aku ingin mendengar
selengkapnya dan sejujurnya. Mengapa kau datang menyusul kami secara sembunyi
dan pura-pura menjadi kacung kuda?" tanya Kun Hong, suaranya perlahan.
Akan tetapi Yo
Wan maklum bahwa suhu-nya sedang tak senang hati. Menggigil dia dan cepat-cepat
dia berlutut di depan suhu-nya yang duduk di atas sebuah kursi lain, ada pun
Swan Bu berdiri memandang dengan matanya yang lebar tajam.
Dengan suara
lirih Yo Wan lalu menceritakan pengalamannya sejak suhu dan subo-nya turun
gunung meninggalkannya seorang diri. Tentang niatnya menyusul ke Hoa-san-pai
tiga tahun yang lalu, dan betapa dia bertemu dengan Sin-eng-cu serta Bhewakala
yang sedang bertanding dan keduanya terluka, betapa kemudian dia menolong
mereka dan selama tiga tahun menjadi perantara dalam adu ilmu sampai Sin-eng-cu
meninggal dunia karena tua dan Bhewakala kembali ke dunia barat.
"Kemudian
teecu menyusul ke Hoa-san, Suhu, dan sungguh tidak teecu kehendaki telah terjadi
keributan di sini, bahkan teecu-lah yang menjadi biang keladinya. Teecu mengaku
salah dan siap menerima hukuman apa pun juga dari Suhu dan Subo."
"Mengapa
kemarin kau tidak langsung naik menemui kami, tapi malah bersembunyi dan
menyamar sebagai tukang kuda?" suara Kun Hong masih bengis karena hatinya
belum puas.
"Teecu
merasa ragu-ragu dan takut kalau-kalau Suhu tidak menghendaki kedatangan teecu
kebetulan teecu bertemu dengan dua orang tosu dan putera Suhu ini... teecu
ditawari pekerjaan tukang kuda, teecu lalu menerimanya, ingin melihat gelagat
lebih dulu sebelum teecu berani menghadap Suhu. Celakanya, di tengah jalan
seekor di antara tiga kuda yang harus teecu bawa ke puncak dibunuh pengemis
itu. Teecu tak ingin berkelahi, hanya minta ganti seekor kuda yang hidup,
kiranya mereka marah dan menyerang teecu. Akhirnya mereka lari dan meninggalkan
kedua ekor kuda mereka, terpaksa teecu bawa sekalian ke puncak, dan kuda yang
mati teecu kubur di pinggir jalan."
"Yang
mati itu kudaku! Ayah, suruh murid Ayah ini mencarikan pengganti kudaku, dialah
yang bertanggung jawab karena dia yang membawanya,” Swan Bu berseru nyaring.
"Hushhh,
diam kau!" Kun Hong membentak puteranya lalu bertanya, "A Wan,
setelah kau tahu rombongan Sin-tung Kaipang datang mengapa kau masih pura-pura
tidak mengenal kami dan melayani mereka seorang diri mengandalkan ilmu silatmu?
Apakah kau hendak pamerkan kepandaian di Hoa-san-pai?"
Yo Wan
mengangguk-angguk mencium lantai. “Ahhh tidak... Suhu, sama sekali tidak...,”
katanya gagap dan takut. "Mana teecu berani begitu kurang ajar pamerkan
kepandaian sedangkan teecu tidak bisa apa-apa? Hanya kebetulan saja teecu bisa
menang padahal sama sekali teecu tidak bermaksud demikian. Sesudah melihat
bahwa peristiwa kemarin itu menimbulkan keributan hebat, teecu menjadi takut
kalau Hoa-san-pai terbawa-bawa, terutama sekali kalau Suhu dan Subo
terbawa-bawa oleh gara-gara yang teecu lakukan kemarin. Maka dari itu, teecu
sengaja pura-pura tidak ada hubungan dengan Suhu dan Subo, juga dengan
Hoa-san-pai. Teecu ingin mempertanggung-jawabkan sendiri, kalau perlu teecu
rela mati untuk menebus kesalahan, asal tidak sampai menyeret Hoa-san-pai dan
terutama sekali Suhu berdua. Akan tetapi, tentu saja seberapa dapat teecu
hendak mempertahankan diri terhadap pengemis-pengemis yang jahat itu."
Kun Hong
mengangguk-angguk dan pada sepasang mata Hui Kauw tampak dua butir air mata.
Nyonya muda itu menjadi terharu sekali melihat murid yang amat setia itu.
Diam-diam dia memperhatikan dan menjadi kagum sekali. Muridnya ini sekarang
bukan seorang anak kecil lagi, melainkan sudah menjadi seorang jejaka tanggung
yang tampan dan sederhana, pandai merendahkan diri biar pun memiliki kepandaian
yang amat tinggi.
"Yo
Wan, apakah kehendakmu sekarang?" Kun Hong bertanya, suaranya halus kini.
"Suhu,
tidak ada keinginan lain dalam hati teecu semenjak dahulu selain ikut Suhu dan
Subo, bekerja untuk Suhu dan mengharapkan belas kasihan berupa pelajaran ilmu
silat agar dapat teecu pakai kelak untuk membalas dendam terhadap The
Sun."
Kun Hong
menggeleng kepala. "Tidak mungkin, Yo Wan, tidak bisa kau ikut dengan kami
di sini..."
"Suhu,
biarlah teecu menjadi tukang kuda, menjadi kacung pelayan, teecu akan bekerja
apa saja, biarkan teecu melayani Suhu berdua, dan adik... adik Swan Bu, asal
teecu boleh berdekatan dengan Suhu berdua...," suara Yo Wan menggetar
karena terharu dan khawatir kalau-kalau dia tidak akan diterima oleh suhu-nya.
"Yo
Wan, kau bukan kanak-kanak lagi! Kau sudah dewasa, masa selama hidupmu hanya
ingin menjadi kacung saja? Tidak, aku tak mau menerimamu di sini, sekarang
sudah tiba waktunya kau hidup sendiri, mengejar ilmu dan pengalaman, mengisi
hidupmu dengan perbuatan-perbuatan yang berguna bagi orang lain dan bagi dirimu
sendiri, kau tak boleh tinggal di sini."
"Suhu,
teecu ingin menerima pelajaran ilmu silat dari Suhu..."
"Tidak
bisa, Yo Wan. Ilmu silat dariku tidak boleh dicampur aduk. Kau sudah menerima
warisan ilmu silat yang tinggi dan hebat dari susiok-couw-mu dan dari
Bhewakala. Hanya belum kau selami inti sarinya dan belum matang saja.
Kepandaianmu sudah cukup dan kalau kau menerima pelajaran dariku, salah-salah
bisa rusak malah."
"Suhu,
teecu bukanlah murid kakek Sin-eng-cu, juga bukan murid Bhewakala locianpwe.
Teecu tidak belajar dari mereka. Apa yang teecu ketahui dari mereka boleh teecu
buang dan mulai saat ini juga dan teecu akan mulai belajar dari suhu."
Tiba-tiba
ada angin pukulan mendesir dari arah belakang menyerang tengkuk Yo Wan, disusul
sinar pedang yang menusuk lambungnya. Otomatis Yo Wan membuang diri, lantas
bergulingan dan cambuknya berbunyi nyaring ketika bergerak melingkar-lingkar
melindungi bagian belakang tubuhnya. Betapa terkejut hatinya pada saat dia
melihat bahwa yang menyerangnya tadi ternyata adalah subo-nya sendiri, Kwee Hui
Kauw yang kini telah duduk kembali sambil menyarungkan pedangnya.
"Suhu
mu bicara benar, Yo Wan. Ilmu silat kedua orang kakek sakti itu sudah mendarah
daging padamu, tak mungkin dibuang begitu saja lalu mulai belajar ilmu silat
baru. Akan merusak segala-galanya. Kau lihat sendiri tadi, begitu ada bahaya
mengancam, otomatis tubuhmu melakukan gerakan sesuai dengan jurus-jurus dari
kedua orang kakek itu. Ilmu silatmu sudah cukup tinggi, tak perlu belajar lagi
dari kami."
Yo Wan
tertegun, lalu menjatuhkan diri berlutut, air matanya bertitik perlahan.
"Suhu dan Subo... perkenankan teecu membalas budi Suhu berdua dengan
pelayanan, tidak diberi pelajaran silat juga tidak apa, asal teecu dapat
melayani Suhu berdua..."
Kun Hong
meraba kepala Yo Wan dengan perasaan terharu. Hui Kauw menghapus dua butir air
matanya dengan sapu tangan. "Yo Wan, kami mengusirmu bukan karena kami
tidak cinta padamu. Sama sekali tidak. Semua peristiwa, baik yang terjadi di
Liong-thouw-san mau pun di sini, bukan salahmu. Aku mengusirmu turun gunung
sekarang juga bukan dengan maksud tak baik, muridku, namun dengan maksud untuk
kebaikanmu sendiri. Kau bukan anak murid Hoa-san-pai, juga tidak bisa dibilang
muridku dan kau sudah dewasa. Kau harus mencari kedudukan dan membuat nama baik
di dunia."
"Apakah
Suhu mengira bahwa teecu sudah boleh pergi mencari The Sun dan membalas sakit
hati ibu?"
Kun Hong
menghela nafas panjang. "Dendam... balas membalas... tiada habisnya, tidak
akan aman dunia ini selamanya. Yo Wan, mengapa kau tidak membalas dendam dengan
kasih?"
Yo Wan
bingung, tidak mengerti apa yang dimaksudkan suhu-nya.
"Bagaimana,
Suhu? The Sun menyebabkan kematian ibu, sudah seharusnya kalau teecu mencarinya
dan balas membunuhnya."
"Ha-ha-ha,
anak bodoh. Siapakah The Sun itu yang bisa mendatangkan kematian pada
seseorang? la hanya menjadi lantaran, karena memang nyawa ibumu sudah
semestinya kembali pada saat itu, sudah dikehendaki oleh Thian Yang Maha
Kuasa!"
Yo Wan makin
bingung, dia menoleh kepada subo-nya. Nyonya muda itu maklum bahwa suaminya
sedang kambuh, yaitu tenggelam dalam lautan filsafat kebatinan, maka ia lalu
berkata halus, "Yo Wan ingin mendengar apa yang selanjutnya harus dia
lakukan. Bicara tentang filsafat yang tidak dimengerti olehnya, membuang waktu
sia-sia saja."
Kun Hong
sadar dari lamunannya, keningnya berkerut. "Yo Wan, jangan kau kira bahwa
akan mudah saja menghadapi seorang seperti The Sun. Ilmu silatnya tinggi
sekali, dan kepandaian yang kau warisi dari kedua orang kakek itu masih mentah.
Coba kau berdiri dan siap menghadapi seranganku, aku akan mengujimu!"
Yo Wan
girang karena ini berarti dia akan mendapat petunjuk. Cepat dia bangkit
berdiri, dan secepat kilat Kun Hong telah menerjang. Yo Wan melihat gurunya
memukul dengan gerakan cepat akan tetapi pukulan itu amat lambat tampaknya. Dia
tidak berani berlaku sembrono.
Melihat
betapa ilmu pukulan suhu-nya itu serupa benar dengan Liong-thouw-kun yang dia
pelajari dari Sin-eng-cu, segera dia mengeluarkan jurus-jurus Ngo-sin Hoan-kun
dari Bhewakala. Sampai lima jurus dia dapat mengimbangi gurunya, tapi pada
jurus ke enam, suhu-nya melakukan gerakan serangan yang aneh sekali dan
tahu-tahu pundak kirinya terdorong. Dorongan perlahan yang cukup hebat, membuat
Yo Wan terpelanting.
"Aduhhh..."
Yo Wan menahan keluhannya.
Dorongan itu
mestinya tidak menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi karena kebetulan yang
didorong adalah pundak kiri yang tadi terluka oleh anak panah Swan Bu, terasa
perih dan sakit sekali.
"...ehhh,
kenapa pundakmu...?" Kun Hong bertanya kaget. Diam-diam dia kagum karena
muridnya yang masih mentah ilmunya ini ternyata mampu mempertahankan diri
sampai lima jurus!
"...ti...
tidak apa-apa, Suhu... dorongan Suhu hebat bukan main, teecu rasa biar sampai seratus
tahun teecu belajar, tanpa bimbingan Suhu teecu tetap takkan mampu menjadi
seorang ahli..."
"Hushh,
goblok jika kau berpikir begitu. Kau hanya kurang matang itulah. Pundak kirimu
itu... coba kau mendekat." Yo Wan mendekat dan Kun Hong lalu meraba. "Ehh,
terluka senjata? Kapan terjadinya? Dalam pertempuran tadi kau sama sekali tidak
terluka, kan?"
"Ayah,
luka di pundaknya itu adalah karena terkena anak panahku!" Swan Bu berkata
lantang. "Ketika tadi dia muncul, kuanggap dia itu mengacau di Hoa-san, maka
kupanah dia, kena pundaknya. Akan tetapi dia memiliki ilmu sihir, Ayah. Panahku
terus menancap di pundaknya ketika dia bertempur tadi, bahkan ketika melawan
Sin-tung Lo-kai, anak panahku itu dia pergunakan untuk melukai lawannya. Apakah
itu bukan ilmu hitam?"
"Swan
Bu...! Ahh, bagaimana kau menjadi rusak oleh kemanjaan seperti ini? Setan, kau
lancang sekali. Hayo lekas minta maaf kepada Yo Wan koko!"
Swan Bu
bersungut-sungut. "Aku tidak merasa salah, mengapa minta maaf?"
"Suhu,
sudahlah. Adik Swan Bu masih kecil, dan dia mempunyai watak gagah perkasa.
Kalau tidak mengira bahwa teecu seorang jahat dan musuh Hoa-san-pai, kiranya
dia tak akan melepaskan anak panah. Dia tidak bersalah, Suhu."
Kun Hong
menarik nafas panjang. "Yo Wan, setelah kau menerima semua ilmu itu, tak
mungkin lagi kau menjadi muridku. Hanya Thian yang tahu betapa kecewa hatiku,
karena mencari murid seperti kau, agaknya selama hidupku takkan dapat
kutemukan. Sekarang kau ingat baik-baik pesanku. Turunlah dari sini dan kau
carilah Bhewakala. Hanya dialah yang dapat menyempurnakan dan mematangkan ilmu
yang ada padamu, karena selain sebagian ilmu itu dari dia datangnya, juga dalam
pertandingan selama tiga tahun itu tentu dia dapat menyelami ilmu dari susiok-couw-mu
pula. Kau harus mematangkan ilmu yang kau miliki itu di bawah petunjuk
Bhewakala. Nah, sesudah kepandaianmu matang, baru kau boleh datang lagi
kepadaku untuk bicara tentang The Sun."
Yo Wan
merasa berduka sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah. Hui Kauw lalu
melangkah maju dan memegang kedua pundaknya. Sepasang mata bening subo-nya itu
berair.
"Yo
Wan, kau tahu betapa besar kasih sayang kami padamu. Percayalah, semua pesan
Suhu-mu adalah demi kebaikan dirimu sendiri. Taati pesannya itu, Yo Wan.
Perjalanan mencari pendeta barat itu tentu sukar dan jauh, akan tetapi untuk
mencapai sesuatu, makin jauh dan makin sukar akan semakin baik. Terimalah ini
untuk bekal di perjalanan." Hui Kauw meloloskan pedang dari pinggangnya,
memberikan pedangnya itu kepada Yo Wan, kemudian dia menyerahkan pula sekantung
uang emas.
Bukan main
terharunya hati Yo Wan. Ingin dia menangis menggerung-gerung oleh kasih sayang
yang besar, yang dilimpahkan mereka padanya. Akan tetapi dia maklum bahwa
suhu-nya tidak suka akan sikap cengeng semacam ini, maka dia menekan
perasaannya, lalu berpamit. Takut kalau-kalau air matanya bercucuran, sesudah
mendapat ijin dia lalu melangkah ke luar dengan langkah lebar, lalu berlari
secepatnya meninggalkan tempat itu agar tidak ada orang melihat betapa air
matanya bercucuran di sepanjang jalan.
Akan tetapi
sepasang suami isteri yang sakti itu mengetahui hal ini. Hui Kauw terisak
menangis. "Dia anak baik...," katanya.
"Sebaliknya
anak kita yang akan rusak bila terus-terusan mendapat kemanjaan yang luar biasa
di sini. Hui Kauw, kita harus pergi dari sini, kembali ke Liong thouw-san,
sekarang juga."
Bukan main
girangnya hati Hui Kauw mendengar ini. Memang inilah yang sudah menjadi
idam-idaman hatinya, akan tetapi tadinya Kun Hong menaruh keberatan karena dia
ingin membiarkan puteranya hidup bahagia, dekat saudara-saudara di Hoa-san-pai
yang amat mencinta anak itu. Siapa tahu, terlalu banyak cinta kasih yang
dilimpahkan membuat anak itu tidak pernah dan tidak mau tahu akan kesukaran,
membuatnya manja dan selalu ingin dituruti kehendaknya karena semenjak kecil
tidak pernah ada yang menolak semua keinginannya….
Perjalanan
yang dilakukan Yo Wan sangat sukar dan jauh. la mentaati pesan Kun Hong, juga
dia ingat akan pesan Bhewakala bahwa pendeta itu selalu menanti kedatangannya
di Anapurna, yaitu sebuah puncak di Pegunungan Himalaya. Perjalanan yang amat
jauh dan membutuhkan ketekatan yang bulat serta keuletan yang tahan uji.
Baiknya dia membawa bekal sekantung uang emas pemberian Hui Kauw. Kalau tidak,
perjalanannya tentu akan lambat karena dia harus berhenti-henti untuk bekerja
sekedar mencari pengisi perut. Sekarang dia dapat melakukan perjalanan dengan
lancar, terus ke barat, hanya mau berhenti kalau kemalaman di jalan atau kalau
sudah amat lelah.
Melakukan
perjalanan ke timur atau ke selatan jauh lebih cepat dari pada perjalanan ke
barat atau ke utara. Hal ini adalah karena semua sungai mengalir ke selatan
atau ke timur, dan pada masa itu, di waktu perjalanan darat amatlah sukarnya,
jalan satu-satunya yang paling cepat adalah perjalanan melalui air.
Namun Yo Wan
adalah seorang pemuda yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Larinya cepat
bagaikan kijang dan setiap kali melalui hutan atau gunung yang sukar, dia masih
dapat berlari cepat. Juga sebagai seorang pemuda yang berpakaian sederhana,
nampak tidak membawa apa-apa, dia selalu terbebas dari gangguan para perampok
yang hanya memperhatikan orang-orang yang membawa barang-barang berharga.
Setelah tiba
di Pegunungan Himalaya, barulah pemuda itu mengalami kesukaran hebat. Beberapa
kali hampir saja dia mendapat celaka ketika perjalanannya sampai di bagian yang
tertutup salju. Dinginnya hampir tak tertahankan lagi. Malah pernah ada gunung
es longsor, gugur dan kalau dia tidak cepat melompat ke dalam jurang dan
berlindung, tentu dia akan terkubur hidup-hidup di dalam salju.
Kurang lebih
sudah sebulan dia melalui perjalanan yang amat sukar dan sunyi ini. Hanya
kadang-kadang dia berjumpa kelompok pengembara atau singgah di gubuk pertapa.
Di tempat seperti ini, uang sudah tidak ada artinya lagi, tak dapat menolong
seseorang dari kesengsaraan. Hanya sikap yang baik dapat menolongnya, karena
pertolongan datang dari orang-orang yang tidak terbeli oleh harta, melainkan
oleh keramahan. Dari para pertapa inilah Yo Wan akhirnya sampai juga di
Anapurna, tempat pertapaan Bhewakala. Pendeta itu amat girang melihat
kedatangan Yo Wan yang sekarang berlutut di depannya dan menceritakan semua
pengalamannya di Hoa-san.
"Ha-ha-ha,
Pendekar Buta memang hebat dan dia cukup menghargai orang lain, maka dia
menyuruh kau datang ke sini, muridku. Memang dia betul, meski pun ilmu-ilmu
yang pernah kau latih dari aku dan Sin-eng-cu telah mendarah daging pada
tubuhmu, namun masih mentah karena kau belum mampu menyelami inti sarinya. Nah,
mulai hari ini kau belajarlah baik-baik muridku."
Bhewakala
tidak hanya menggembleng Yo Wan dalam ilmu silat untuk menyempurnakan ilmunya,
akan tetapi juga memberi gemblengan-gemblengan ilmu batin kepada Yo Wan. Makin
lama pemuda ini semakin betah tinggal di Himalaya, pelajaran kebatinan semakin
meresap ke dalam hatinya, dan walau pun dia masih buta huruf karena tidak
pernah mempelajarinya, namun kini mata hatinya sudah terbuka dan dapatlah dia
meneropong ke dalam penghidupan manusia.
Mengertilah
dia kini akan ucapan Kun Hong tentang dendam dan balas-membalas, dan makin lama
makin tipislah keinginan hatinya untuk mencari The Sun dan membunuhnya. Telah
lenyap pula hasratnya untuk merantau di dunia ramai karena di samping gurunya,
di tempat sunyi dan dingin ini, dia sudah menemukan ketenteraman hidup, kebahagiaan
sejati manusia yang tidak digoda oleh kehendak nafsu, sedikit demi sedikit
melepaskan diri dari lingkaran karma….
****************
Waktu
berjalan pesat bagai anak panah terlepas dari busurnya. Sembilan tahun lamanya
Yo Wan berada di Himalaya dan pada suatu hari Bhewakala yang sudah tua itu
jatuh sakit. Pendeta ini maklum bahwa waktu hidupnya sudah tiba pada saat
terakhir. la tidak ingin muridnya yang terkasih itu menyia-nyiakan hidupnya
sebagai pertapa selagi masih begitu muda. Dipanggilnya Yo Wan dan dengan suara
lirih dan nafas tinggal satu-satu pendeta ini meninggalkan pesan.
"Yo
Wan, saat bagiku untuk meninggalkan dunia sudah hampir tiba. Aku girang dengan
peristiwa ini, karena selain berarti kebebasanku, juga kau akan terlepas dari
ikatanmu dengan aku. Kini ilmu yang kau miliki telah cukup untuk bekal hidup.
Bertahun-tahun kau selalu menolak perintahku untuk turun gunung dan pergi
merantau, dengan alasan ingin melayani aku yang sudah tua sebagai pembalas
budi. Kau masih terikat oleh budi, tentu tak mudah melepaskan diri dari ikatan
dendam. Akan tetapi kau sudah masak sekarang, matang lahir batin. Pesanku
terakhir ini harus kau taati, Yo Wan. Apa bila aku meninggal dunia, kau harus
membakar jenazahku di pondok ini, bakar semua yang berada di sini. Kemudian kau
harus meninggalkan tempat ini, kembali ke timur."
"Tapi...
Guru…”
"Tidak
ada tapi, kau sebagai seorang anak tidak boleh menjadi anak yang puthauw (tidak
berbakti). Di sana terdapat kuburan ayahmu, juga ada kuburan ibumu, siapa yang
akan merawatnya? Lagi pula, kau bukan ditakdirkan hidup menjadi pertapa. Kau
harus turun gunung, kembali ke dunia ramai, mencari jodoh, mempunyai keturunan
seperti manusia-manusia lain. Soal The Sun, terserah kebijaksanaanmu
sendiri."
"Ahh,
Guru..."
Bhewakala
tersenyum lebar, kembali berkata, "Biarkan dirimu menjadi permainan hidup,
menjadi permainan kekuasan Tuhan, karena untuk itu kau telah diberi hak hidup
disertai kewajiban-kewajibannya. Apa bila kau mengingkari pesanku ini,
selamanya kau tak akan dapat tenteram, karena kau tentu tidak akan suka
mengecewakan aku."
Yo Wan tidak
dapat membantah lagi karena dia maklum bahwa semua yang dikatakan gurunya itu
betul belaka. la tidak mungkin mau mengecewakan orang yang sudah begitu baik
terhadap dirinya, sungguh pun masa depan di dunia ramai tidak menarik hatinya,
bahkan menggelisahkan. Pada malam harinya, Bhewakala menghembuskan nafas
terakhir di hadapan Yo Wan. Pemuda yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun
lebih itu menyambut kematian ini dengan wajar, tidak menangis, meski pun ada
juga penyesalan akibat dari perpisahan dengan orang yang disegani dan
dihormati.
la
melaksanakan pesan gurunya itu dengan baik-baik, membakar jenazah berikut
pondok dan segala benda yang berada di sana. Tiga hari tiga malam dia berkabung
di tempat yang sudah menjadi gundul dan kosong itu, kemudian mulailah dia turun
gunung. Pagi-pagi dia berangkat ke arah munculnya matahari yang
kemerah-merahan. Bergidik dia melihat keindahan ini, sebab dia merasa
seakan-akan sedang berjalan menuju ke api neraka yang merah, dahsyat dan akan
menelannya…..
***************
Kita
tinggalkan dahulu Yo Wan yang sedang turun dari Pegunungan Himalaya, memulai
perjalanannya yang amat sunyi dan jauh serta sukar untuk mulai dengan
perantauannya, dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Siu Bi, gadis
lincah dan berhati tabah itu. Seperti sudah dituturkan di bagian depan dari
cerita ini, Siu Bi, puteri tunggal The Sun, meninggalkan Go-bi-san dengan hati
sakit. Setelah mengetahui bahwa dia bukan puteri The Sun, bukan keturunan
keluarga The, simpatinya lalu tertumpah pada mendiang Hek Lojin yang telah
terbunuh oleh The Sun. Dia merasa menyesal dan kecewa. Kiranya dia bukan puteri
The Sun. Siapakah orang tuanya? Apakah dia bukan anak ibunya pula?
Mengingat
ini, menangislah Siu Bi di sepanjang jalan. Dia sangat mencinta ibunya, dan
sekarang dia pergi tanpa pamit. Biar pun orang yang selama ini mengaku ayahnya
telah mengecewakan hatinya dengan memukul mati Hek Lojin dan dengan kenyataan
bahwa orang itu bukan ayahnya yang sejati, namun ibunya tidak pernah melukai
hatinya. Ibunya selalu sayang kepadanya sehingga andai kata dia bukan ibunya
yang sejati, Siu Bi tetap akan mencintanya.
Betapa pun
juga, Siu Bi dapat menguasai perasaannya. Ia melakukan perjalanan dengan tabah.
Tujuannya hanyalah satu, yaitu mencari dan membalas dendam kepada Kwa Kun Hong!
la akan menantang Pendekar Buta itu sebagai wakil dari Hek Lojin dan berusaha
sedapatnya untuk membuntungi sebelah lengan Pendekar Buta itu, juga lengan
isterinya dan anak-anaknya. la telah bersumpah di dalam hati kepada
kongkong-nya, Hek Lojin. la merasa yakin akan dapat melakukan tugas ini.
Sesudah mewarisi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang, ia
merasa dirinya cukup kuat dan tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimana pun
juga.
Ingat akan
hal ini, Siu Bi menjadi bersemangat dan di bawah sebatang pohon besar ia
berhenti kemudian berlatih dengan kedua ilmu silat itu. Memang hebat sekali
ilmunya ini. Pedangnya hanya sebatang pedang biasa saja, namun berubah menjadi
gulungan sinar putih yang naik turun menyambar-nyambar di antara awan menghitam
yang merupakan uap dari pukulan-pukulan Hek-in-kang.
Ketika ia
berhenti berlatih satu jam kemudian, di bawah pohon sudah penuh daun-daun pohon
yang terbabat putus tangkainya oleh sinar pedangnya dan yang rontok oleh hawa
pukulan Hek-in-kang! Siu Bi berdiri tegak, kepalanya tunduk memandangi
daun-daun itu dengan hati puas. Pendekar Buta, pikirnya, lenganmu dan
lengan-lengan anak isterimu akan putus seperti daun-daun ini!
Sebagai
seorang gadis remaja, gadis yang baru berusia tujuh belas tahun lebih, Siu Bi
melakukan perjalanan yang amat jauh dan sulit. Go-bi-san merupakan pegunungan
yang luas sedang jalan menuruni pegunungan ini sama sukarnya dengan jalan
pendakiannya. Namun, dengan kepandaiannya yang tinggi Siu Bi tidak menemui
kesukaran. Tubuhnya bergerak lincah dan ringan, kadang kala dia harus melompat
jurang. Dengan ginkang-nya yang amat tinggi ia dapat melompat bagaikan terbang
saja, tubuhnya ringan meluncur di atas jurang, dilihat dari jauh tidak ada
ubahnya seorang dewi dari kahyangan yang terbang melayang turun ke dunia.
Pakaiannya
yang terbuat dari sutera halus berwarna merah muda, biru dan kuning itu
berkibar-kibar tertiup angin ketika ia melompat. Ronce-ronce pedang yang
tergantung di punggungnya menambah kecantikan dan kegagahannya. Berpekan-pekan
Siu Bi keluar masuk hutan, naik turun gunung, melalui banyak dusun di kaki
gunung dan melalui beberapa kota pegunungan. Setiap kali dia bertemu orang,
tentu dia menjadi pusat perhatian. Apa lagi kaum pria, melihat seorang gadis
remaja demikian cantik jelitanya, memandang penuh kekaguman.
Namun tiada
orang berani mengganggu, karena tidak hanya pedang di punggung Siu Bi yang
membuktikan bahwa gadis remaja jelita itu seorang ahli silat. Akan tetapi juga
Siu Bi tidak menyembunyikan gerak-geriknya yang lincah dan ringan, sehingga
setiap orang tahu bahwa dia adalah seorang pendekar wanita muda yang tak boleh
dibuat main-main!
Pada suatu
hari tibalah ia di kota Pau-ling di tepi Sungai Huang-ho, setelah melakukan
perjalanan sebulan lebih ke selatan. Sebetulnya Pau-ling tidak patut disebut
kota, tetapi sebuah dusun yang menghasilkan banyak padi dan gandum. Tanah di
lembah Sungai Huang-ho ini amat subur sehingga pertanian banyak maju dan
hasilnya berlimpah-limpah. Karena letaknya dekat dengan sungai besar, maka
dusun ini makin lama makin ramai dengan perdagangan melalui sungai. Hasil-hasil
sawah ladang diangkut melalui sungai dengan perahu-perahu besar.
Ketika Siu
Bi lewat di pelabuhan sungai, ia melihat banyak orang mengangkat padi dan
gandum berkarung-karung ke atas perahu-perahu besar. Orang-orang ini bekerja
dengan wajah muram, tubuh mereka kurus-kurus dan pakaian mereka penuh tambalan.
Beberapa orang yang memegang cambuk dan berpakaian sebagai mandor,
membentak-bentak dan ada kalanya mengayunkan cambuk ke punggung seorang
pengangkut yang kurang cepat kerjanya. Ada lima enam orang mandor yang
galak-galak, dan melihat Siu Bi lewat, mereka tertawa-tawa sambil memandang
dengan mata kurang ajar. Ada yang bersiul-siul dan menuding-nuding ke arah Siu
Bi.
Panas hati
Siu Bi. Namun ia menahan sabar, karena ia tidak mau kalau perjalanannya tertunda
hanya karena ada beberapa orang laki-laki yang memperlihatkan kekaguman
terhadap kecantikannya secara kurang ajar. la mempercepat langkahnya dan
sebentar saja ia sudah tiba di luar dusun Pau-ling.
Akan tetapi
kembali di luar dusun, di kanan kiri jalan di mana sawah ladang membentang
luas, ia disuguhi pemandangan yang amat mencolok mata. Belasan orang laki-laki
yang keadaannya miskin dan bertubuh kurus seperti para kuli angkut karung
gandum dan padi tadi, tampak sedang menuai gandum di sawah. Tampak pula belasan
orang wanita yang juga bekerja.
Mereka
bekerja dengan penuh semangat, tapi jelas bukan semangat yang mengandung
kegembiraan, melainkan semangat karena ketakutan. Beberapa orang mandor menjaga
mereka dengan cambuk di tangan pula. Di sana-sini terdengar cambuk berbunyi
ketika melecut punggung, diiringi jerit kesakitan.
Siu Bi
berdiri terpaku. Hatinya mulai panas. Akan tetapi kiranya ia tak akan
sembarangan mau mencampuri urusan orang bila saja tidak melihat kejadian yang
membuat wajahnya yang jelita menjadi kemerahan saking marahnya.
la melihat
betapa seorang wanita setengah tua yang tampaknya sakit, roboh terpelanting
sesudah menerima cambukan pada punggungnya. Seorang gadis yang usianya sebaya
dengan dia menjerit dan menubruk wanita itu, menangisi ibunya yang telah
pingsan. Dua orang mandor cepat menghampiri mereka, lalu dengan sekali sambar
yang seorang telah mengangkat tubuh gadis itu dan... menciuminya sambil
terkekeh-kekeh dan berkata,
"Ha-ha-ha,
jangan kau besar kepala setelah terpakai oleh majikan! Lain hari kau tentu akan
diberikan kepadaku. Ha-ha-ha…!"
Ada pun
mandor kedua dengan marahnya menghajar wanita setengah tua itu dengan cambuk,
memaki-maki, "Anjing betina! Siapa suruh kau pura-pura mampus di sini?
Hayo berdiri dan bekerja, kalau tidak kucambuki sampai hancur badanmu!"
Siu Bi tidak
dapat menahan kesabarannya lagi. "Keparat jahanam, lepaskan mereka!"
Bagaikan
seekor burung walet cepat dan ringannya, tubuh Siu Bi sudah melayang dekat
orang yang menciumi gadis tadi. Sekali kakinya bergerak menendang terdengar
suara berdebuk dan mandor yang galak serta ceriwis itu terlempar sampai empat
meter lebih kemudian jatuh terbanting ke dalam lumpur.
“Ngekkk!”
terdengar suara lain beberapa detik kemudian.
Ternyata
orang kedua yang mencambuki wanita setengah tua itu terlempar pula oleh
tendangan Siu Bi, hampir menimpa kawannya yang baru merangkak-rangkak bangun.
Semua
pekerja serentak menghentikan pekerjaan mereka, berdiri terpaku. Muka mereka
pucat dan hampir saja mereka tidak percaya apa yang mereka lihat tadi. Seperti
dalam mimpi saja. Siapakah orangnya berani melawan para mandor? Kiranya hanya
seorang gadis yang cantik jelita, seorang gadis remaja.
"Kwan
Im Pouwsat (Dewi Kwa Im) menolong kita...," bisik seorang lelaki tua dan
serentak mereka menjatuhkan diri berlutut menghadapi Siu Bi.
Di jaman itu
kepercayaan orang-orang, terutama orang-orang dusun, tentang kesaktian Dewi
Kwan Im yang sering kali muncul atau menjelma untuk membersihkan kekeruhan
dunia dan menolong orang-orang sengsara, masih amat tebal. Dewi Kwan Im
terkenal sebagai Dewi Welas Asih, dewi lambang kasih sayang dan penolong yang
juga terkenal amat cantik jelita. Kini melihat seorang dara jelita berani
melawan dua orang mandor, dan sekali tendang dapat membuat dua orang mandor
galak itu terpelanting dan roboh, otomatis mereka menganggap bahwa Dewi Kwan Im
yang menolong mereka.
Namun dua
orang mandor itu tidak berpendapat demikian. Mereka adalah orang-orang kang-ouw
yang kasar, yang tahu akan wanita-wanita pandai ilmu silat semacam Siu Bi.
Mereka malu dan marah sekali, akan tetapi untuk beberapa menit mereka tidak
berdaya karena ketika terbanting tadi, muka mereka mencium lumpur sehingga kini
mereka sibuk membersihkan lumpur dari wajah mereka, menyumpah-nyumpah dan
meludah-ludah.
Empat orang
kawan mereka sudah datang berlari, diikuti para pekerja yang ingin melihat apa
yang sedang terjadi di situ. Pada saat para pekerja melihat teman-temannya
berlutut menghadapi Siu Bi dan melihat pula dua orang mandor merangkak dengan
muka penuh lumpur seperti monyet, mereka segera mengerti atau dapat menduga
duduknya perkara. Tanpa banyak komentar lagi mereka segera menjatuhkan diri
berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Dewi Kwan Im yang menjelma
sebagai gadis cantik jelita dan sedang menolong mereka itu!
Empat orang
mandor tadinya masih belum menduga apa yang terjadi, akan tetapi dua orang
mandor yang merangkak di lumpur itu segera berkaok-kaok, “Tangkap gadis setan
itu, berikan padaku nanti!"
Mendengar
ini, empat orang mandor lari menghampiri Siu Bi. Seorang di antara mereka yang
berkumis tikus membentak, "Bocah, siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?"
"Yang
menjadi persoalan adalah apa yang kalian lakukan, bukan apa yang aku
lakukan," suara Siu Bi merdu dan nyaring sehingga para pekerja miskin itu
makin percaya bahwa dara ini, tentulah penjelmaan Kwan Im Pouwsat!
"Kalian
berenam ini manusia ataukah sekumpulan binatang buas, menekan orang-orang
miskin ini, mencambuki mereka, menghina wanitanya. Yang barusan kulakukan
hanyalah menendang dua orang kawanmu itu sebagai pelajaran. Apa bila ternyata
kalian serupa dengan mereka, kalian berempat pun akan kuberi tendangan seorang
sekali."
Dapat
dibayangkan betapa marahnya empat orang itu. Mereka adalah mandor-mandor jagoan
alias para tukang pukul dari Bhong-loya (tuan tua she Bhong) yang menjadi lurah
dan orang paling kaya di Pau-ling. Semua sawah ladang adalah milik Bhong-loya,
semua perahu besar adalah milik Bhong-loya.
Siapa berani
menentang Bhong-loya yang mempunyai pengaruh besar pula di kota raja? Para
pembesar dari kota raja merupakan teman-temannya, para buaya darat adalah kaki
tangannya, serta para mandor adalah bekas-bekas jagoan dan perampok yang
memiliki kepandaian. Sekarang anak perempuan yang masih hijau itu berani
memandang rendah mereka?
"Bocah
setan, kau harus diseret ke hadapan Bhong-loya dan ditelanjangi, terus dipecut
seratus kali sampai kau menjerit-jerit minta ampun, baru tahu rasa!"
bentak seorang di antara mereka. Akan tetapi baru saja mulutnya tertutup,
tubuhnya sudah terlempar ke dalam lumpur oleh sebuah tendangan kaki kiri Siu
Bi!
Gerakan Siu
Bi tadi cepat bukan main, tendangannya hanya tampak perlahan saja akan tetapi
akibatnya terlihat oleh semua orang. Tubuh si tukang pukul yang tinggi besar
itu melayang bagaikan sehelai daun kering tertiup angin.
Tiga mandor
yang lain dengan marah menerkam maju. Mereka tak menggunakan aturan perkelahian
lagi, karena di samping kemarahan mereka, juga mereka merasa kagum dan
tergila-gila akan kecantikan serta kejelitaan yang jarang bandingannya di kota
Pau-ling. Maka seakan berlomba mereka berusaha meringkus dan memeluk gadis
galak itu untuk memuaskan kemarahan dan kegairahan mereka.
"Brukkk!"
Ketiga orang
itu mengaduh karena mereka saling tabrak dan saling adu kepala. Dalam kegemasan
tadi mereka menubruk berbareng, bagaikan tiga ekor kucing menubruk tikus. Akan
tetapi yang ditubruk hilang, yang menubruk saling beradu kepala.
Siu Bi tidak
mau bertindak kepalang tanggung. Dengan gerakan yang cepat sekali kedua kakinya
menendang dan di lain saat tiga orang tukang pukul itu juga sudah terpelanting
masuk ke dalam lumpur di sawah.
"Lopek,
kenapa mereka itu amat kejam terhadap kalian?" tanya Siu Bi kepada seorang
petani tua yang berlutut paling dekat di depannya, sama sekali ia tidak peduli
lagi pada enam orang mandor yang kini sibuk berusaha membuka mata yang
kemasukan lumpur.
"Pouwsat
(Dewi) yang mulia... kami adalah petani-petani dusun yang sengsara dan amat
miskin... tolonglah kami, karena sekarang sekedar untuk dapat makan kami telah
diperas dan ditekan oleh Bhong-loya... mereka itu adalah tukang-tukang pukul
Bhong-loya..."
"Tan-lopek,
mengapa kau begitu lancang mulut...?" tegur seorang petani di belakangnya
yang nampak ketakutan sekali. "Apa kau tidak takut akan akibatnya kalau
Pouwsat sudah kembali ke kahyangan?"
Siu Bi
menahan senyum, geli hatinya mendengar bahwa ia disebut Pouwsat. Dianggap Kwan
Im! Mengapa tidak? Kwan Im Pouwsat merupakan seorang dewi yang penuh kasih
kepada manusia. Kata kongkong-nya, dunia kang-ouw banyak orang-orang pandai
yang mempunyai nama julukan. Dia telah mewarisi kepandaian tinggi, maka sudah
sepatutnya memiliki nama julukan pula. Kwan Im? Nama julukan yang baik sekali.
"Jangan
takut. Aku akan membela kalian dan memberi hajaran kepada mereka yang jahat.
Apakah mandor-mandor ini jahat terhadap kalian?"
"Jahat?"
Petani tua yang disebut Tan-lopek oleh temannya tadi mengulang kata-kata ini,
mukanya memperlihatkan bayangan kemarahan yang memuncak. "Mereka itu lebih
jahat dari pada Bhong-loya sendiri! Mereka seperti serigala-serigala kelaparan,
entah berapa banyak di antara kami yang mereka bunuh, mereka aniaya menjadi
manusia-manusia cacad dan selanjutnya hidup sebagai jembel."
Semakin
panaslah hati Siu Bi. Orang-orang jahat yang suka menganiaya dan membunuh orang
patut dihukum, pikirnya. Ketika ia membalikkan tubuh ke arah enam orang mandor
itu, ternyata mereka telah bangkit dari lumpur, berhasil mencuci muka dengan
air sawah, lalu sekarang melangkah lebar sambil mencabut pedang. Dengan sikap
penuh ancaman mereka menghampiri Siu Bi, pedang di tangan, nafsu membunuh
terbayang pada mata mereka yang merah.
"Setan
betina. Berani kau main gila dengan para ngohouw (tukang pukul) Bhong-loya?
Bersiaplah untuk mampus dengan tubuh tercincang hancur!" teriak si kumis
tikus sambil menerjang lebih dulu dengan ayunan pedangnya.
Melihat
gerakan mereka, Siu Bi memandang rendah. Mereka itu hanyalah orang-orang kasar
yang mengandalkan kekuasaan saja, sama sekali tidak memiliki ilmu kepandaian
yang berarti. Oleh karena ini ia merasa tak perlu harus menggunakan pedangnya.
Tanpa mencabut pedang, ia menghadapi serangan si kumis tikus.
Dengan
ringan ia miringkan tubuh, tangan kirinya menyambar. Pada waktu itu tangan kiri
Siu Bi sudah amat terlatih dan penuh terisi hawa Hek-in-kang. Ada bayangan
sinar hitam berkelebat ketika tangan kirinya bergerak. Tahu-tahu si kumis tikus
berteriak keras dan terpelanting roboh, pedang di tangan kanannya sudah
berpindah ke tangan Siu Bi. Cepat laksana kilat menyambar, pedang itu membabat
ke bawah dan buntunglah tangan kanan si kumis tikus itu sebatas siku. Orangnya
menjerit dan pingsan!
Lima orang
kawannya segera menerjang dengan marah. Namun kali ini Siu Bi tidak mau memberi
ampun lagi. Pedang rampasan di tangannya berkelebat dan lenyap bentuknya
sebagai pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung.
Terdengar
jeritan susul-menyusul dan dalam beberapa jurus saja, lima orang itu sudah
kehilangan lengan kanan mereka sebatas siku. Agaknya, teringat akan janjinya
kepada kakeknya, Hek Lojin, gadis ini apa bila marah terdorong oleh nafsu
membuntungi lengan orang, terutama orang-orang jahat, seperti enam orang mandor
ini, dan seperti Pendekar Buta Kwa Kun Hong beserta anak isterinya!
Dengan
tenang Siu Bi membalikkan tubuh menghadapi para petani yang masih berlutut dan
yang kini semua pucat wajahnya karena ngeri menyaksikan peristiwa pembuntungan
enam orang mandor itu. Di dalam hati mereka merasa puas sebab ada ‘Sang Dewi’
yang membalaskan dendam mereka terhadap mandor-mandor yang kejam itu, tetapi
mereka juga amat takut akan akibatnya. Alangkah akan marahnya Bhong-loya, pikir
mereka.
"Para
paman dan bibi, jangan kalian takut. Sekarang mari antarkan aku ke rumah orang
she Bhong yang sewenang-wenang itu. Jangan takut, aku akan menanggung semua
perkara ini, kalian hanya mengantar dan menonton saja."
Pada mulanya
para petani itu ketakutan. Mendatangi rumah Bhong-loya? Sama dengan mencari
penyakit, mencari celaka. Akan tetapi petani tua itu bangkit berdiri.
"Mari,
Pouwsat, saya antarkan. Biar nanti aku akan dipukul sampai mati, aku sudah puas
melihat ada yang berani membela kami dan memberi hajaran kepada manusia-manusia
berwatak binatang itu."
Melihat
semangat empek tua ini banyak pula yang ikut bangkit, tetapi hanya beberapa
belas orang saja dan semua laki-laki. Yang lain-lain tetap berlutut tak berani
mengangkat muka. Akan tetapi bukan maksud Siu Bi untuk mengajak banyak orang,
karena yang ia kehendaki hanya petunjuk jalan agar ia tidak usah mencari-cari
di mana rumah manusia she Bhong itu.
Dengan wajah
membayangkan perasaan geram dan nekat, belasan orang laki-laki yang sebagian
besar bertelanjang kaki dan berpakaian penuh tambalan itu mengantar Siu Bi
menuju ke dalam dusun. Rombongan ini tentu saja menarik perhatian banyak orang,
apa lagi ketika mereka mendengar dari para pengiring Siu Bi tentang perbuatan
gadis jelita itu membuntungi lengan enam orang mandor di sawah.
Seketika
keadaan dusun Pau-ling menjadi gempar, lebih-lebih saat para petani miskin itu
menyatakan tanpa keraguan bahwa dara jelita yang sedang mereka iringkan ini
adalah penjelmaan Kwan Im Pouwsat! Segera banyak orang ikut mengiringkan walau
pun dari jarak agak jauh sebagai penonton, karena mereka tidak ingin
menimbulkan kemarahan Bhong-loya, maka tidak menggabungkan diri dengan
rombongan petani itu, melainkan sebagai rombongan penonton.
Gedung besar
yang menjadi tempat tinggal Bhong-loya memang amat besar dan amat menyolok
kalau dibandingkan dengan kemelaratan di sekelilingnya. Bhong-loya seorang
laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, menjadi lurah di dusun itu sudah
bertahun-tahun. Karena korupsi besar-besaran dan penghisapan atas tenaga murah
para petani yang dulunya sebagian besar merupakan pengungsi dari banjir besar
Sungai Huang-ho, maka dia menjadi kaya-raya.
Betapa pun
juga harus diakui bahwa Bhong-loya (tuan tua Bhong) yang sesungguhnya bernama
Bhong Ciat itu tidaklah seganas atau sekeji orang-orangnya. Bukan menjadi
rahasia lagi bahwasannya anjing-anjing peliharaan penjaga rumah jauh lebih
galak dan ganas dari pada majikannya. Para petugas rendahan merupakan
serigala-serigala buas yang selalu mengganggu rakyat miskin, tentu saja dengan
bersandar kepada kekuasaan dan pengaruh Bhong Ciat.
Ransum untuk
para pekerja kasar yang telah ditentukan oleh Bhong Ciat hanya sebagian kecil
saja sampai di tangan para pekerja itu. Upah pun demikian pula, dicatut,
dipotong, dikurangi banyak tangan-tangan kotor sebelum sisanya yang tidak
berapa itu masuk ke kantong para pekerja.
Celakanya,
Bhong Ciat sudah terlalu mabuk dengan kesenangan serta kemuliaan, sama sekali
tidak memperhatikan keadaan rakyatnya, tidak tahu bahwa orang-orangnya sudah
melakukan tekanan yang amat keji. Dikiranya bahwa semua berjalan lancar dan
licin, dan dia merasa bahagia di dalam rumah gedungnya, setiap hari menikmati
makanan lezat dilayani oleh selir-selir muda dan cantik.
Lebih celaka
lagi bagi para penduduk miskin di Pau-ling, lurah Bhong memiliki seorang anak
laki-laki, bukan anak sendiri tetapi anak pungut karena Bhong Ciat tidak
mempunyai keturunan sendiri, yaitu seorang anak laki-laki yang sudah dewasa
bernama Bhong Lam.
Pemuda
inilah yang membuat keadaan menjadi makin berat bagi para penduduk karena Bhong
Lam merupakan pemuda yang selalu mengumbar nafsu-nafsu buruknya. Tak ada
seorang pun wanita yang muda dan cantik di dusun itu yang dapat hidup aman.
Tidak peduli anak orang, isteri orang, siapa saja asal gadis itu termasuk
keluarga miskin, pasti akan dicengkeramnya.
Untuk
maksud-maksud keji ini, Bhong Lam tidak segan-segan menghambur-hamburkan uang
ayah angkatnya. Setiap hari dia berpesta-pora, kadang-kadang bila sudah bosan
di dusun lalu pergi pesiar ke kota-kota lain diikuti rombongan tukang pukulnya
dan di kota inilah dia menghamburkan uang dan main gila.
Bhong Lam
tidak hanya ditakuti karena dia putera angkat Bhong-loya, akan tetapi juga
karena dia merupakan seorang pemuda yang lihai ilmu silatnya. Dia pernah
belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim perantauan, dan terutama
sekali permainan toyanya amat kuat sehingga semua tukang pukul keluarga Bhong
tidak seorang pun yang dapat mengalahkannya. Agaknya kepandaiannya inilah yang
membuat Bhong Lam makin lama semakin bertingkah, merasa seakan-akan dia sudah
menjadi seorang pangeran!
Sebagai
keluarga yang paling berkuasa di Pau-ling, tentu saja banyak kaki tangannya.
Banyak pula petani-petani miskin yang berbatin rendah sehingga suka menjadi
penjilat. Oleh karena itu, peristiwa di sawah tadi sudah pula sampai kabarnya
di rumah gedung Bhong Ciat sebelum rombongan yang mengiringkan Siu Bi tiba di
situ. Ada saja petani miskin yang lari lebih dulu dan dengan maksud menjilat
mencari muka, lalu melaporkan peristiwa di sawah kepada Bhong-loya.
Pada waktu
itu, kebetulan sekali Bhong Lam juga berada di rumah. Mendengar tentang
peristiwa itu marahlah pemuda ini. Cepat-cepat dia menyambar toyanya dan
menyatakan kepada ayah angkatnya bahwa orang tua itu tidak perlu khawatir
karena dia sendiri yang akan memberi hajaran kepada ‘dewi palsu’ itu.
Dengan geram
Bhong Lam melompat dan lari keluar dari dalam gedung saat mendengar suara
ribut-ribut di luar gedung karena rombongan petani itu memang sudah tiba di
sana. Kemarahan Bhong Lam memuncak. Akan dia bunuh wanita jahat itu dan semua
petani yang mengiringkannya. Tidak seorang pun akan diberi ampun karena hal ini
perlu untuk menakuti hati para petani agar tidak memberontak lagi.
"Setan
betina, berani kau main gila?!" Bhong Lam melompat keluar sambil
menudingkan telunjuknya.
Akan tetapi
tiba-tiba dia berdiri terpaku dan biar pun telunjuk kirinya masih menuding dan
toyanya dipegang di tangan erat-erat, namun matanya terbelalak mulutnya
ternganga. la melongo tanpa dapat mengeluarkan suara, memandang wajah Siu Bi,
seperti terpesona dan kehilangan semangat. Sungguh mati dia tidak mengira sama
sekali bahwa wanita yang telah membuntungi lengan enam orang mandornya adalah
dara secantik bidadari. Pantas saja disebut-sebut sebagai Dewi Kwan Im!
Belum pernah
selama hidupnya dia melihat dara secantik ini, kecuali dalam alam mimpi dan
dalam gambar. Lebih suka dia rasanya untuk maju berlutut dan menyatakan cinta
kasihnya dari pada harus menghadapi dara ini sebagai lawan yang harus
dibunuhnya.
Dibunuh?
Wah, sayang! Lebih baik ditangkap dan... ah, belum pernah dia mendapatkan
seorang dara pendekar. Alangkah baiknya kalau dia berjodoh dengan gadis yang
pandai ilmu silat pula seperti dia! Senyum lebar menghias wajahnya yang tampan
juga dan kini mulutnya dapat bergerak.
"Nona...
eh, kau siapakah dan... eh, kudengar kau bertengkar dengan orang-orang kami?
Bila mereka berbuat salah terhadap Nona, jangan khawatir, aku yang akan menegur
dan menghukum mereka!"
Jika saja
dalam perjalanan ke rumah keluarga Bhong itu Siu Bi tak mendengar penuturan
petani tua tentang keadaan Bhong Ciat dan putera angkatnya, Bhong Lam, tentu ia
akan tercengang dan heran menyaksikan sikap dan mendengar omongan pemuda ini.
Karena ia sudah mendengar bahwa pemuda yang menjadi putera angkat keluarga
Bhong, seorang ahli main toya, adalah pemuda yang paling jahat dan yang mata
kerajang, maka baginya sikap Bhong Lam ini merupakan sikap ceriwis, bukan sikap
ramah tamah. Berkerut aiisnya yang kecil panjang ketika Siu Bi menodongkan
pedang rampasannya sambit bertanya, "Kaukah yang bernama Bhong Lam?"
"Aduh
mati aku..." Bhong Lam bersambat dalam batinnya mendengar suara yang merdu
itu. Baru bertanya dengan nada marah saja sudah begitu merdu, apa lagi kalau
suara itu dipergunakan untuk merayunya.
"Hayo
jawab!" Siu Bi tak sabar lagl melihat pemuda itu memandangnya tak
berkedip.
Bhong Lam
sadar dan tersenyum dibuat-buat. "Betul, Nona. Silakan Nona masuk."
Pada para petani itu Bhong Lam berseru, "Kalian pergilah, kembali ke
sawah. Tak ada urusan apa-apa di sini. Nona ini adalah tamu agung kami, kesalah
pahaman di sawah tadi habis sampai di sini saja."
"Siapa
sudi mendengar omongan manismu yang beracun?!" Siu Bi membentak. "Kau
adalah seorang yang sangat jahat, mengandalkan kedudukan orang tua, mengandalkan
harta benda dan kekuasaan untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Manusia
macam engkau ini tidak ada harganya diberi hidup lebih lama lagi."
Memang Siu
Bi sangat marah dan benci kepada pemuda ini setelah tadi ia mendengar penuturan
para petani betapa pemuda ini sudah menghabiskan semua gadis muda dan cantik di
dusun itu, juga merampas isteri-isteri orang sehingga banyak timbul hal-hal
yang mengerikan, banyak di antara wanita-wanita itu membunuh diri. Sekarang
melihat sikap pemuda ini yang ceriwis, matanya yang berminyak itu menatap
wajahnya dengan lahap, kemarahannya memuncak.
"Nona,
antara kita tidak ada permusuhan. Aku mengundang Nona menjadi tamu..."
"Jahanam
perusak wanita! Tidak usah kau berkedok bulu domba karena aku sudah tahu bahwa
kau adalah seekor serigala yang busuk dan jahat!"
Bhong Lam
adalah seorang pemuda yang selalu dihormati serta ditakuti orang. Selama
hidupnya, baru sekali inilah dia dimaki-maki dan dihina. Walau pun dia
tergila-gila akan kecantikan Siu Bi, namun darah mudahnya bergolak ketika dia
dimaki-maki seperti itu. Mukanya menjadi merah sekali, apa lagi melihat betapa
para petani itu masih belum mau pergi, memandang kepadanya dengan mata penuh
kebencian.
"Keparat,
kau benar-benar lancang mulut, tidak bisa menerima penghormatan orang. Kau kira
aku takut kepadamu? Kalau belum dihajar, kau belum tahu rasa, karena itu
biarlah aku memaksamu tunduk kepadaku dengan jalan kekerasaan!" Setelah
berkata demikian, Bhong Lam menerjang maju sambil memutar toyanya.
Dengan
senyum mengejek Siu Bi berkelebat, menghindarkan terjangan toya dan balas
menyerang. la mendapat kenyataan bahwa kepandaian pemuda ini memang jauh lebih
tinggi dari pada para mandor dan tukang pukul yang tiada gunanya tadi, namun
baginya, pemuda ini pun merupakan lawan yang empuk saja.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment