Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 04
Pada saat
itu, terdengar suara berisik dan para tukang pukul berdatangan ke tempat itu
sambil membawa senjata. Jumlah tukang pukul keluarga Bhong ada dua puluh orang,
dan kini mendengar berita bahwa gedung majikan mereka didatangi seorang wanita
yang mengamuk, tergesa-gesa mereka lari mendatangi. Ketika mendengar bahwa ada
enam orang teman mereka yang dibuntungi lengannya, mereka menjadi marah sekali.
Apa lagi saat melihat betapa Bhong-siauw-ya (tuan muda Bhong) mereka sekarang
telah bertempur melawan wanita itu dan sedang berada dalam keadaan terdesak,
kemarahan mereka memuncak dan tanpa diberi komando lagi, empat belas orang
tukang pukul itu serentak maju mengeroyok.
Siu Bi tadi
sudah mendengar keterangan para petani bahwa lurah itu mempunyai dua puluh orang
tukang pukul, maka melihat serbuan ini, maklumlah ia bahwa mereka semua sudah
lengkap berkumpul di situ. Memang inilah yang ia kehendaki, maka tadi ia tidak
lekas-lekas merobohkan Bhong Lam, yaitu hendak memancing datangnya semua tukang
pukul, baru ia hendak turun tangan.
"Para
paman, lihatlah aku membalaskan dendam kalian!" terdengar bentakan merdu
dan nyaring di antara hujan senjata itu. Para petani sudah gelisah sekali dan
menggigil, maka mereka menjadi girang mendengar suara ini.
Seiring
dengan bentakan merdu dan nyaring itu, lenyaplah tubuh Siu Bi, berubah menjadi
bayangan berkelebat yang dibungkus sinar kehitaman. Pedang Cui-beng-kiam
(Pedang Pengejar Roh) dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang dipergunakan oleh gadis itu,
dan akibatnya mengerikan sekali. Jerit dan tangis terdengar susul-menyusul.
Tubuh para
tukang pukul roboh bergelimpangan satu demi satu dengan cara yang cepat sekali.
Paling akhir Bhong Lam yang tadinya mainkan toya dengan ganas itu pun roboh
tersungkur tak dapat berkutik lagi. Tak sampai seperempat jam lamanya, empat
belas orang tukang pukul itu roboh semua dengan lengan kanan terbabat putus.
Sedangkan Bhong Lam sendiri roboh tak berkutik dan darah mengucur dari dadanya
yang telah tertembus pedang. Mandi darah dan hujan rintihan memenuhi halaman
itu.
Para petani
yang tadinya menonton dengan jantung berdebar-debar, sekarang tak berani
memandang lagi. Mereka adalah korban-korban kekejaman yang sudah sering
disiksa, akan tetapi menyaksikan ini membuat mereka menggigil dan tak berani
memandang lagi. Mereka memang menaruh dendam dan ingin sekali menyaksikan para
penyiksa mereka itu terbalas dan terhukum, akan tetapi apa yang barusan
dilakukan oleh ‘Dewi Kwan Im’ ini benar-benar amat menyeramkan.
Empat belas
orang dan enam orang mandor di sawah dibuntungi lengannya, sedangkan
Bhong-kongcu tewas. Semua tukang pukul merintih-rintih memegangi lengan kanan
yang buntung dengan tangan kiri, bingung melihat darahnya sendiri mengucur
bagai pancuran. Siu Bi bagaikan seekor harimau betina mencium darah. Dengan
sikap beringas karena mengira bahwa akan datang lagi antek-antek keluarga
Bhong, dia kemudian menantang, "Hayo, bila masih ada binatang-binatang
keji penindas orang-orang miskin, majulah dan inilah lawanmu, aku Cui-beng Kwan
Im!"
Seorang
laki-laki setengah tua, yaitu Bhong-loya sendiri, alias lurah Bhong Ciat,
diiringi isterinya, berlari tersaruk-saruk keluar gedung dan menangislah
pasangan suami isteri ini setelah melihat putera tunggal mereka menggeletak
mandi darah tak bernyawa lagi. Pada waktu itu terdengar derap kaki kuda dan
datanglah serombongan orang berkuda. Melihat pakaian mereka, terang bahwa
mereka adalah prajurit-prajurit istana, berjumlah dua puluh empat orang,
dikepalai oleh seorang muda yang amat gagah dan tampan.
"Minggir!
Bun-enghiong (pendekar Bun) telah datang...!" teriak orang-orang yang
tadinya berkumpul memenuhi tempat itu, menonton kejadian yang hebat di depan
gedung lurah Bhong.
Pemuda
tampan itu memberi tanda dengan tangan, menyuruh barisannya berhenti. Dia
sendiri melompat turun dan atas kudanya dan lari memasuki pekarangan. Alisnya
yang tebal itu bergerak-gerak dan matanya terbelalak heran menyaksikan empat
belas orang tukang pukul merintih-rintih dengan lengan buntung serta
Bhong-kongcu tewas ditangisi ayah bundanya.
Ada pun
Bhong Ciat, ketika mendengar seruan orang-orang dan melihat pemuda gagah itu,
segera menangis sambil menyambut dan berlutut di depan pemuda itu.
"Aduh,
Bun-enghiong... tolonglah kami... malapetaka telah menimpa keluarga kami, anak
kami tewas... orang-orang kami buntung semua lengan mereka... penasaran...
sungguh penasaran...."
"Paman
Bhong, siapa yang melakukan perbuatan keji itu?" Si pemuda tampan
bertanya, pandang matanya mencari-cari.
"Aku
yang melakukan!" tiba-tiba terdengar bentakan halus.
Pemuda itu
cepat memandang dan dia melongo. Sinar matanya yang tajam itu jelas tidak
percaya, dan sampai lama dia memandang Siu Bi. Kemudian dia tersenyum, sama
sekali tidak mau percaya ketika dia berkata,
"Nona,
harap kau jangan main-main dalam urusan yang begini hebat. Lebih baik Nona
tolong memberi tahu siapa mereka yang telah melakukan pengamukan seperti
ini."
"Siapa
yang main-main? Huh, kalau hanya memberi hajaran kepada anjing-anjing ini saja
apa sih sukarnya? Biar mereka ada sepuluh kali banyaknya, semua akan aku
robohkan!" Siu Bi menyombong, ada pun pedangnya digerakkan melintang di
depan dada, gerakan yang amat indah dan gagah.
Seketika
berubah wajah pemuda tampan itu, sinar matanya menyinarkan kekerasan dan
kekagetan. "Nona siapakah?"
"Huh,
baru bertemu tanya-tanya nama segala, mau apa sih? Kau sendiri siapa, lagaknya
kayak pembesar, datang-datang main urus persoalan orang lain!"
Pemuda itu
cepat-cepat memberi hormat sambil menjura, bibirnya tersenyum dan untuk sedetik
matanya menyinarkan kegembiraan. "Nona, ketahuilah, aku yang rendah adalah
Bun Hui. Bolehkah sekarang aku tahu, siapa Nona?"
"Aku
Cui-beng Kwan Im!" jawab Siu Bi berlagak, mengedikkan kepala membusungkan
dada serta pandang matanya menantang, memandang rendah, sungguh pun diam-diam
dia kagum melihat pemuda yang tampan dan gagah ini,
Bun Hui
tercengang. Dia tahu bahwa nona itu menggunakan nama samaran atau nama julukan.
Julukan yang hebat dan tepat. Memang cantik jelita seperti Kwan Im, dan ganas
seperti setan pengejar nyawa!
Dia
mengingat-ingat. Sudah banyak dia mengenal tokoh-tokoh di dunia kang-ouw, lebih
banyak lagi yang sudah dia dengar namanya, namun belum pernah dia mendengar
nama julukan Cui-beng Kwan Im! Apa lagi kalau yang mempunyai nama itu seorang
dara jelita seperti ini!
Sementara
itu, petani tua yang tadi mempelopori kawan-kawannya kini mendekati Siu Bi dan
berbisik, "Pouwsat (dewi), dia adalah Bun-enghiong, putera Bun-goanswe
(Jenderal Bun) yang amat berkuasa di kota raja dan terkenal sebagai keluarga
yang amat adil dan ditakuti pembesar macam Bhong-loya."
Siu Bi
mengangguk-angguk, akan tetapi hatinya merasa dongkol. Jadi pemuda ini putera
pembesar tinggi yang ditakuti semua orang? Hemmm, dia tidak takut!
"Ehh,
orang she Bun, kiranya kau putera pembesar yang katanya adil? Huh, siapa sudi
percaya? Apa bila kau atau ayahmu benar-benar adil, tentu tidak akan membiarkan
para penduduk miskin dusun ini ditekan dan dicekik oleh lurah Bhong beserta
kaki tangannya. Karena kau dan ayahmu, meski pun merupakan pembesar-pembesar
tinggi namun tidak becus memberi hajaran kepada bawahanmu semacam anjing-anjing
ini, maka aku yang turun tangan memberi hajaran. Sekarang kau mau apa? Mau
membela mereka? Boleh! Aku tidak takut!"
Bun Hui
terheran-heran dan diam-diam dia amat kagum di samping kemarahannya akan
kesombongan dara ini. Ia menoleh ke arah Bhong Ciat yang masih berlutut, lalu
bertanya, "Betulkah apa yang dikatakan Nona ini, paman Bhong?"
Bhong Ciat
adalah seorang yang pandai mengambil hati, karena kekayaannya dia pandai
bermuka-muka sehingga banyak pembesar di kota raja yang dapat dikelabui,
mengira dia seorang yang baik dan pandai mengurus kewajibannya. Tadinya Bun Hui
juga mendapat kesan baik akan diri lurah ini, maka hari itu dia hendak
membelokkan tugas kelilingnya ke dusun Pau-ling.
"Bohong,
Bun-enghiong, Nona itu mengatakan fitnah!" Bhong Ciat segera membantah.
"Siapa yang menindas orang? Harap tanyakan saja kepada para saudara
petani."
Akan tetapi
belum juga Bun Hui melakukan pertanyaan, para petani itu sudah serempak
berteriak-teriak,
"Memang
benar ucapan Pouwsat! Bertahun-tahun kami ditindas dan hidup sengsara di bawah
telapak kaki Bhong-kongcu dan kaki tangannya yang kejam! Bhong-loya tak tahu
apa-apa, enak-enak saja di dalam gedung tidak peduli akan keganasan puteranya,
selalu berpihak kepada puteranya!"
Biar pun
orang-orang itu bicara tidak karuan dan saling susul, namun isi
teriakan-teriakan itu adalah cukup bagi Bun Hui. Dia kini menghadapi Siu Bi
kembali, yang masih berdiri tegak menantang.
"Nah,
apakah kau masih hendak memihak lurah yang bejat moralnya ini? Boleh, aku tetap
berpihak kepada mereka yang tertindas!"
"Sabar,
Nona. Aku tak berpihak kepada siapa-siapa, melainkan berpihak kepada hukum.
Ketahuilah, oleh yang mulia kaisar, ayahku diberi tugas untuk meneliti serta
mengawasi sepak-terjang para petugas negara. Kini, sebagai wakil ayah, aku
menghadapi peristiwa ini. Bukanlah kewajibanku untuk mengambil keputusan di
sini, khawatir kalau-kalau aku terpengaruh oleh salah satu pihak kemudian
dianggap tidak adil. Oleh karena itu, aku persilakan Nona suka ikut bersamaku,
juga paman Bhong, dan beberapa orang saudara petani sebagai saksi. Apakah Nona
berani menghadapi pemeriksaan pengadilan yang berwenang?"
Biar pun
masih muda, baru dua puluh lewat usianya, Bun Hui memiliki kecerdikan yang
berhubungan dengan tugasnya mewakili ayahnya. Karena kecerdikannya inilah dia
dapat menghadapi Siu Bi. Dia dapat menyelami watak dara lincah yang tidak
mungkin mau mengalah itu, oleh karena itu sengaja dia menantang apakah Siu Bi
berani menghadapi pemeriksaan pengadilan. Benar saja dugaannya, dengan mata
berapi gadis itu langsung membentaknya,
"Mengapa
tidak berani? Hayo, biar pun malaikat sendiri datang mengadili, aku tidak takut
karena aku membela keadilan!" serunya.
"Bagus
sekali!" Bun Hui berseru girang. "Nona betul-betul gagah perkasa.
Banyak orang kang-ouw yang tak mau tahu akan pemeriksaan pengadilan negara,
seolah-olah mereka itu tidak bernegara dan tidak mengenal hukum. Mereka lebih
suka menjadi hakim sendiri menurut kehendak hati mereka, sehingga terjadilah
balas-membalas dan permusuhan di mana-mana."
Siu Bi
mengerutkan keningnya. Ucapan ini tidak menyenangkan hatinya, sebab ia sendiri
menganggap dirinya merupakan seorang tokoh kang-ouw pula, biar pun belum
ternama. "Karena mereka itu tidak berani!" serunya ingin menang.
"Memang,
karena mereka itu tidak berani, dan Nona tentu saja berani menghadapi apa
saja."
"Tentu
aku berani, takut apa? Kalau aku tidak bersalah, siapa pun juga akan kulawan
dan kuhadapi dengan pedangku!"
Bun Hui
tersenyum. Ia segera memberi perintah kepada anak buahnya agar menyiapkan kuda.
la sendiri lalu memberikan kudanya kepada Siu Bi.
"Mari,
Nona, ayo kita berangkat." Kepada para petani yang tidak ikut menjadi
saksi, dia berkata, "Paman sekalian harap rawat mereka yang terluka. Mulai
saat ini juga di dusun Pau-ling tak lagi boleh terjadi keributan, tidak boleh
ada yang menggunakan kekerasan. Kalau terjadi sesuatu penasaran, harap lapor
kepadaku."
Berangkatlah
rombongan itu. Siu Bi naik kuda di samping Bun Hui, di depan barisan. Lurah
Bhong dan enam orang petani saksi berada di tengah rombongan. Para penduduk
Pau-ling mengantar rombongan itu dengan pandangan mata mereka. Banyak yang
berlinang air mata karena girang, terharu akan tetapi juga khawatir akan
keselamatan Siu Bi. Nama Cui-beng Kwan Im akan tetap terukir di sanubari para
petani miskin di Pau-ling karena sesungguhnya, sejak Siu Bi turun tangan,
penderitaan mereka lenyap, setelah di dusun itu diperintah oleh seorang lurah
baru yang adil sehingga tidak ada lagi terjadi pemerasan dan penindasan di
situ.
Tak ada
seorang pun yang tahu bahwa semenjak Siu Bi dikeroyok tadi, semua peristiwa
dilihat oleh sepasang mata yang sangat tajam, yang tadi memandang kagum,
kemudian memandang khawatir ketika melihat gadis itu turut pergi bersama
rombongan Bun Hui. Tanpa diketahui siapa pun, pemilik sepasang mata ini
diam-diam mengikuti rombongan. Hebatnya, biar pun rombongan itu berkuda, dia
dapat berlari cepat dan tetap mengikuti di belakang rombongan. Dia adalah
seorang laki-laki muda, kurang dari tiga puluh tahun, pakaiannya sederhana,
sikapnya halus dan pendiam. Siapa lagi kalau bukan Si Jaka Lola, Yo Wan!
Seperti
diketahui, Yo Wan meninggalkan Pegunungan Himalaya, dalam perantauannya menuju
ke timur. Tiba-tiba saja timbul pikirannya untuk mengunjungi Hoa-san. Ketika
dia mengenangkan peristiwa di Hoa-san beberapa tahun yang silam, dia
menyesalkan akan sikapnya sendiri yang telah mendatangkan gara-gara di sana. la
tidak perlu merasa takut, karena maksud kedatangannya sekarang hanya ingin
mengunjungi suhu dan subo-nya, untuk memberi hormat dan melihat keadaan kedua
orang tua itu.
Gembira juga
hatinya kalau memikirkan bahwa tentu sekarang Swan Bu, anak yang dulu sangat
manja itu, kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah.
Tampan dan gagah, tak salah lagi. Dahulu pada waktu kecil saja sudah memperlihatkan
ketampanan dan kegagahan. la akan merasa bangga melihat adik seperguruan ini.
Pada hari
itu, secara kebetulan sekali dia tiba di dusun Pau-ling dan mendengar adanya
keributan. Ketika dia memasuki dusun, tepat dilihatnya seorang gadis remaja
dikeroyok oleh banyak orang. Dia tidak tahu akan persoalannya, maka
ditanyakannya kepada seorang petani di antara banyak penonton itu. Dan apa yang
didengarnya benar-benar membuatnya kagum luar biasa. Gadis itu, yang berjuluk
Cui-beng Kwan Im, ternyata membela para petani miskin yang ditindas lurah, dan
sekarang tengah dikeroyok oleh tukang pukul-tukang pukul yang biasanya menyiksa
penghidupan para petani miskin.
la kagum,
akan tetapi juga khawatir kalau-kalau gadis pendekar itu akan celaka di tangan
para tukang pukul yang galak. Akan tetapi, betapa kagumnya menyaksikan sepak
terjang gadis itu, sepak terjang yang amat ganas dengan ilmu pedang serta ilmu
pukulan yang dahsyat dan ganas pula. Uap hitam yang keluar dari tangan kiri
gadis itu! Terang merupakan ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun,
sedangkan ilmu pedang yang juga bersinar hitam, semua ini membuktikan bahwa
gadis itu memiliki ilmu kepandaian dari golongan hitam. Akan tetapi harus
diakui bahwa kepandaian gadis itu benar-benar luar biasa!
Munculnya
pemuda bernama Bun Hui mengagumkan hatinya, juga gerak-gerik pemuda itu
mendatangkan rasa suka di hatinya. Sekali pandang saja Yo Wan dapat menduga
bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Langkah kakinya yang mantap, semua
gerak-geriknya yang ringan, terang menjadi tanda-tanda seorang ahli silat
tinggi.
Maka
diam-diam dia mentertawai gadis itu yang amat tinggi hati. Kau terlalu
memandang rendah pemuda ini, pikirnya. Betapa pun juga, dia mengkhawatirkan
gadis perkasa yang agaknya masih hijau ini dan diam-diam dia mengikuti dari
jauh. Gembira juga hati Siu Bi, kegembiraan yang timbul oleh kebanggaan. Ketika
rombongan memasuki kota Tai-goan, sebuah kota besar di sebelah barat kota raja,
rombongan itu lantas menjadi tontonan banyak orang. Dan terutama sekali,
dirinya yang menjadi pusat perhatian para penonton. Dengan lagak angkuh ia
duduk di atas kudanya yang berjalan berendeng dengan kuda Bun Hui.
Di sepanjang
jalan tadi ia tidak mempedulikan pemuda ini, juga Bun Hui tidak satu kali pun
bicara dengan Siu Bi. Walau pun di dalam hatinya Bun Hui amat kagum dan
tertarik dengan gadis ini, akan tetapi dia adalah seorang pemuda gagah yang
menjunjung tinggi kesopanan, maka dia menahan perasaannya dan tidak mau
mengajak bicara Siu Bi di depan orang banyak.
Akan tetapi
tidak sedetik pun perhatiannya beralih dari diri gadis di sampingnya. la heran
sekali bagaimana seorang gadis semuda dan sejelita ini dapat bersikap demikian
ganas. Diam-diam dia menduga-duga, murid siapakah gerangan gadis ini, siapa
pula namanya. Ingin dia segera sampai di kota raja agar dalam pemeriksaan dia
akan dapat mendengar riwayat dara yang telah menjatuh bangunkan hatinya itu.
Siapakah
pemuda ini sesungguhnya? Para pembaca cerita Pendekar Buta tentu telah mengenal
ayah pemuda ini yang bukan lain adalah Bun Wan, putera tunggal dari ketua
Kun-lun-pai! Di dalam cerita Pendekar Buta telah dituturkan bahwa Bun Wan
menikah dengan seorang gadis lihai puteri majikan Pulau Ching-coa-to (Pulau
Ular Hijau) yang bernama Giam Hui Siang.
Kemudian,
karena jasa-jasanya dalam perjuangan membantu Raja Muda Yung Lo yang
mengalahkan keponakannya sendiri, setelah Yung Lo menggantikan kedudukan
sebagai kaisar dan memindahkan ibu kota dari selatan ke utara, Bun Wan diberi
kedudukan tinggi sesuai dengan jasanya, malah pernah menjabat sebagai seorang
jenderal. Dari perkawinannya dengan Giam Hui Siang, dia memperoleh seorang
putera yang diberi nama Hui. Kemudian, melihat watak Jenderal Bun yang sangat
jujur keras dan adil, oleh kaisar Jenderal Bun diangkat menjadi pengawas dan
pemeriksa semua alat negara.
Kekuasaannya
amat tinggi sehingga dengan pedang kekuasaannya yang diberikan oleh kaisar,
Jenderal Bun berkuasa memeriksa semua petugas, dari yang terendah sampai yang
paling tinggi. Inilah yang menyebabkan dia ditakuti dan disegani oleh para
menteri sekali pun, karena jenderal ini terkenal sebagai seorang yang
berdisiplin, keras dan adil, tak mungkin bisa disuap dan tidak mengenal ampun
pada para pembesar yang korup.
Di samping
keseganan, tentu saja Jenderal Bun ini mendapatkan banyak sekali musuh yang
membencinya secara diam-diam. Tetapi siapakah orangnya berani menentangnya
secara berterang? Jenderal Bun selain lihai ilmu silatnya, memiliki
prajurit-prajurit pilihan, disayang dan dipercaya kaisar, dan di samping ini,
masih ada Kun-lun-pai sebagai partai persilatan besar yang seratus persen
berdiri di belakangnya!
Jenderal Bun
adalah seorang ahli silat Kun-lun-pai yang memiliki kepandaian tinggi. Juga
Giam Hui Siang isterinya adalah seorang ahli silat tinggi yang telah mewarisi
kepandaian Ching-toanio majikan Pulau Ching-coa-to. Tentu saja, sebagai putera
Bun Hui semenjak kecil digembleng ayah bundanya sendiri sehingga memiliki
kepandaian yang hebat. Pemuda ini mewarisi watak ayahnya, keras, jujur dan
adil. Oleh karena inilah maka dia dipercaya oleh ayahnya dan sering kali
mewakili ayahnya yang sibuk dengan pekerjaan di Tai-goan, untuk mengadakan
pemeriksaan di wilayah yang dikuasakan oleh kaisar.
Pada hari
itu, Bun-goanswe (Jenderal Bun) yang tengah sibuk di kamar kerjanya menjadi
terheran-heran ketika melihat puteranya pulang bersama seorang gadis cantik
jelita yang sikapnya angkuh dan gagah, diiringkan pula oleh lurah Bhong dari
dusun Pau-ling dan beberapa orang petani miskin. Lurah Bhong dan para petani
segera menjatuhkan diri berlutut di depan meja jenderal itu. Akan tetapi Siu Bi
tentu saja tidak sudi berlutut, malah berdiri tegak dan memandang pria tinggi
besar yang duduk di belakang meja.
Dia melihat
seorang laki-laki yang gagah, berusia sepantar ayahnya, pakaiannya seperti
seorang panglima perang. Matanya yang sebelah kanan buta, akan tetapi hal ini
malah menambah keangkerannya. Mau tidak mau Siu Bi menaruh segan dan hormat
terhadap orang tua ini, maka dia diam saja, hanya memandang. Sejenak
Bun-goanswe menatap wajah Siu Bi, maklum bahwa gadis ini tentulah seorang gadis
kang-ouw yang tinggi hati dan merasa dirinya paling pandai. Maka dia tersenyum
di dalam hati dan tidak menjadi kurang senang melihat gadis remaja itu tidak
mau memberi hormat kepadanya.
Dengan
tenang Bun-goanswe mendengarkan penuturan Bun Hui mengenai keributan di dusun
Pau-ling. Tampak mata yang tinggal sebelah itu bersinar marah dan alisnya yang
tebal hitam berkerut. Segera dia menoleh ke arah lurah Bhong yang masih
berlutut tanpa berani mengangkat mukanya.
"Lurah
Bhong, benarkah pendengaranku bahwa kau memperlakukan penduduk desamu secara
tidak adil, melakukan tindakan sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu?"
"Mohon
ampun, Taijin... hamba... hamba tidak merasa melakukan perbuatan
sewenang-wenang. Ham... hamba sudah tua... sudah jarang bekerja di luar...
semua urusan hamba serahkan kepada petugas petugas hamba..."
"Hemmm,
sudah keenakan lalu bermalas-malasan dan bersenang di dalam gedung saja, ya?
Melalaikan kewajiban, tidak peduli akan keadaan penduduk, bersikap masa bodoh
asal kau sendiri senang? Begitukah sikap seorang kepala kampung? Tentang
keributan antara anakmu dan orang-orangmu dengan Nona ini, bagaimana?"
"Hamba
kurang jelas... hanya gadis liar ini datang menyerang, membunuh anak hamba...
juga melukai semua petugas, membuntungi lengan mereka, tidak seorang pun
selamat. Hamba... hamba mohon Taijin sudi menghukum gadis liar ini, dia sangat
jahat!"
Bun-goanswe
menoleh ke arah Siu Bi, sinar matanya penuh selidik. Dia tak senang juga
mendengar gadis ini sudah membunuh orang dan membuntungi lengan dua puluh orang
lebih. Sungguh ganas!
Akan tetapi
Siu Bi menentang pandang matanya dengan berani, bahkan berkedip pun tidak.
Sepasang mata yang amat tajam, penuh ketabahan dan kekerasan hati. Seorang
gadis berbahaya, apa lagi kalau berkepandaian tinggi.
"Nona,
kau siapakah?"
"Orang-orang
dusun menyebutku Kwan Im Pouwsat, tetapi aku lebih senang memakai nama Cui-beng
Kwan-im," jawab Siu Bi, suaranya merdu dan lantang.
Bun-goanswe
tak dapat menahan senyumnya, senyum maklum dan setengah mengejek. la pernah
muda, pernah dia melihat gadis-gadis kang-ouw seperti ini di waktu mudanya.
Malah isterinya sendiri, dahulu lebih ganas dari pada gadis ini!
"Namamu
siapa? Siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu?"
Siu Bi
mengerutkan kening. Untuk apa tanya-tanya orang tua ini, pikirnya. Akan tetapi
ia tidak berani menjawab secara kurang ajar, hanya menjawab sewajarnya,
"Tentang orang tuaku, kiranya tidak perlu disebut-sebut di sini. Namaku
Siu Bi, dan mengenai guruku... hemmm, mendiang guruku berjuluk Hek Lojin."
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Bun-goanswe mendengar nama ini. Di dalam
cerita Pendekar Buta telah diceritakan betapa dia dan isterinya pernah bertemu
dengan Hek Lojin dan terluka hebat, mungkin binasa kalau tidak ditolong oleh
Kwan Kun Hong Si Pendekar Buta!
Hek Lojin
adalah seorang kakek iblis, yang dulu pernah hampir membunuh dia bersama
isterinya. Dan sekarang muridnya, gadis yang tentu juga seorang gadis iblis
pula, berdiri di depannya Kalau saja Bun-goanswe bukan seorang tua yang
pengalamannya sudah matang, berwatak adil dan pandai menyembunyikan perasaan,
tentu dia sudah melompat untuk menerjang murid bekas musuhnya ini. la menekan
perasaannya dan mengangguk-angguk.
“Mengapa kau
membunuh putera lurah Bhong dan membuntungi lengan banyak orang?"
tanyanya, sikapnya masih tetap tenang akan tetapi suaranya sekarang tidak
sehalus tadi, terdengar agak ketus sehingga Bun Hui yang mengenal watak
ayahnya, mengangkat muka memandang.
Siu Bi
mengedikkan kepala, mengangkat kedua pundak, gerakan yang membayangkan bahwa
dia tidak peduli. "Harap kau orang tua suka tanya saja kepada para petani
ini bagaimana duduknya perkara yang sebenarnya. Kalau benar seperti yang
kudengar dari paman tani bahwa kau seorang pembesar yang adil, tentu kau akan
menghukum lurah brengsek ini, kalau tidak, akulah yang akan turun tangan
memberi hajaran kepadanya!" Siu Bi mengerling kepada lurah Bhong dengan
pandang mata jijik.
Merah muka
Bun-goanswe. Seorang bocah berbicara seperti itu di depan banyak orang,
benar-benar hal ini amat merendahkannya. Akan tetapi dia bertanya, "Dengan
cara apa kau hendak menghajarnya?"
Siu Bu
menepuk gagang pedangnya. "Dengan ini! Mungkin akan kulepaskan kedua daun
telinganya yang terlalu lebar itu.”
Menggigil
tubuh lurah Bhong mendengar ini, bahkan kedua telinganya bergerak-gerak seperti
telinga kelinci saking ngeri hatinya. Bun Hui yang otomatis melirik ke arah
telinga lurah itu, menahan rasa geli di dalam hatinya.
Bun-goanswe
lalu bertanya kepada para petani. Mereka ini serta-merta, sambil berlutut dan
menempelkan jidat pada lantai, menceritakan penderitaan mereka sedusun, tentang
perbuatan sewenang-wenang dari Bhong-kongcu dan para kaki tangannya, juga
tentang perampasan wanita, perampasan sawah ladang, pemerasan dan mengenai upah
yang tidak cukup mereka makan sendiri. Kemarahan Bun-goanswe membuat mukanya
semakin merah lagi. Ada seorang lurah macam ini di dalam wilayah yang
dikuasakan kepadanya, benar-benar amat memalukan!
"Hemmm,
urusan ini harus kuselidiki sendiri di Pau-ling. Kalau betul lurah ini
sewenang-wenang, akan kuhukum dan kuganti. Sebaliknya, pembunuhan dan
penganiayaan berat sampai membuntungi lengan dua puluh orang, bukanlah hal
kecil seakan-akan di sini tak ada hukum yang berlaku lagi. Perkara ini akan
diputuskan besok setelah aku meninjau ke sana. Nona, kau harus ditahan semalam
ini, serahkan pedangmu padaku. Tidak ada tahanan yang boleh membawa pedang atau
senjata lain."
Siu Bi merah
mukanya, hendak marah. Akan tetapi Bun Hui melangkah maju dan berkata halus,
"Harap Nona suka mengindahkan peraturan dan hukum di sini, percayalah
bahwa ayah akan memberi keadilan yang seadil-adilnya. Melawan akan
menjerumuskan Nona ke dalam urusan yang lebih besar lagi. Pedang itu hanya
disimpan dulu di sini, tidak akan hilang. Besok kalau urusan selesai, Nona
tentu akan menerimanya kembali."
Karena sikap
Bun Hui yang ramah dan halus sopan, Siu Bi mengalah. Dia pikir tidak ada
gunanya mengamuk di sini. Dia melihat jenderal mata satu itu sangat berwibawa,
juga tampaknya gagah perkasa, demikian pula pemuda ini. Dan di situ tampak pula
barisan pengawal yang bersenjata lengkap, sungguh tak boleh dipandang ringan.
Jika melawan seorang pembesar tinggi sama dengan memberontak, pengetahuan ini
sedikit banyak ia dapatkan dari ayah dan mendiang kakek gurunya.
"Boleh,
andai kata tidak dikembalikan pun, apakah aku tidak akan dapat mengambilnya
kembali?" Siu Bi berkata sambil meloloskan pedang berikut sarung
pedangnya. Pedang Cui-beng-kiam ia letakkan di atas meja depan Bun-goanswe yang
memandangnya penuh selidik.
Bun-goanswe
memerintahkan orang-orangnya untuk menggiring Bhong Ciat serta enam orang petani
ke dalam kamar tahanan, kemudian setelah semua orang itu dibawa pergi, dia
berkata kepada puteranya, "Bawa Nona ini ke kamar tahanan di belakang,
suruh jaga, jangan boleh dia bermain gila sebelum urusan ini selesai."
Mendongkol
juga hati Siu Bi mendengar ini, "Orang tua, kuharap saja besok urusan ini
sudah harus selesai. Aku tidak punya banyak waktu untuk tinggal di sini, apa
lagi menjadi orang tahanan. Aku mempunyai urusan penting di
Liong-thouw-san!"
Mendengar
ini makin terkejutlah Bun-goanswe. Liong-thouw-san adalah tempat tinggal
Pendekar Buta, sahabat sekaligus penolongnya. Mau apa murid Hek Lojin ini pergi
ke Liong-thouw-san?
"Hemmm,
ke Liong-thouw-san, ada urusan apakah? Atau, kau tidak berani mengatakan
kepadaku karena di sana hendak melakukan sesuatu yang jahat?" Ternyata
jenderal ini menggunakan akal seperti yang dipakai puteranya, memancing dengan
memanfaatkan ketinggian hati gadis itu!
"Mengapa
tidak berani? Apa yang hendak kulakukan di sana, siapa pun di dunia ini tidak
bisa melarangku! Aku akan... membuntungi lengan beberapa orang di sana!"
Gadis itu memandang Bun-goanswe dengan pandang mata seakan berkata, "kau
mau apa?!"
Bun-goanswe
tercengang. "Lengan siapa yang hendak kau buntungi lagi? Agaknya kau
mempunyai penyakit ingin membuntungi lengan orang!" serunya.
Akan tetapi
tanpa dijawab dia sudah dapat menduga. Lengan siapa lagi kalau bukan lengan
Pendekar Buta yang akan dibuntungi gadis itu? Dia sudah mendengar tentang
pertempuran hebat antara Pendekar Buta dan musuh-musuhnya, dan betapa lengan
Hek Lojin buntung dalam pertandingan itu oleh Pendekar Buta.
Mengingat
betapa gadis yang masih hijau ini mengancam hendak membuntungi lengan Pendekar
Buta, tak dapat ditahan lagi Bun-goanswe tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha,
kau hendak membuntungi lengannya dengan pedang ini?" Dia lalu mencabut
pedang itu dan tiba-tiba dia terbelalak.
Pedang itu
adalah pedang yang mempunyai sinar hitam dan mengandung hawa dingin yang amat
jahat. Diam-diam dia bergidik dan memasukkan kembali pedang itu ke dalam
sarungnya.
"Hui-ji
(anak Hui), antarkan dia ke dalam tahanan besar."
"Mari,
Nona," ajak Bun Hui yang mukanya berubah pucat.
Pemuda ini
tadi juga kaget sekali mendengar maksud gadis ini pergi ke Liong-thouw-san
untuk membuntungi lengan orang. Dia sudah mendengar dari ayahnya tentang
Pendekar Buta, pendekar besar yang menjadi sahabat dan penolong ayahnya, orang
yang paling dihormati ayahnya di dunia ini. Dan gadis ini hendak pergi ke sana
membuntungi lengan pendekar itu!
Dia mengerti
kehendak ayahnya. Gadis ini berbahaya dan merupakan musuh besar dari Pendekar
Buta, harus ditahan di dalam kamar tahanan besar, yaitu kamar tahanan di
belakang yang paling kuat, berpintu besi dengan jeruji baja yang amat kuat,
cukup kuat untuk mengeram seekor harimau yang liar sekali pun!
Bun Hui
berduka. Dia amat tertarik kepada gadis ini, ingin dia melihat gadis ini
menjadi sahabat baiknya, melihat gadis ini berbahagia. Siapa duga, keadaan
menghendaki lain. Gadis ini harus dikeram dalam kamar tahanan, dan justru dia
yang harus melakukannya. Dia sedih, akan tetapi tanpa bicara sesuatu dia
mengantarkan Siu Bi ke belakang. Gadis itu pun tanpa banyak cakap mengikuti,
mengagumi gedung besar yang menjadi kantor dan rumah tinggal Jenderal Bun.
"Silakan
masuk, Nona. Jangan khawatir, ayah adalah seorang yang adil. Nona pasti akan
diperlakukan dengan baik," katanya, akan tetapi suaranya agak gemetar
karena dia tidak percaya kepada omongannya sendiri.
Begitu Siu
Bi masuk, pintu ditutup dan dikunci dari luar oleh Bun Hui. Siu Bi kaget dan
marah. "Kenapa harus dikurung seperti binatang liar? Tempat apa ini?"
teriaknya.
Bun Hui
menjawab sambil menunduk. "Nona, sungguh aku menyesal sekali. Akan tetapi,
kau... kau..." Bun Hui tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan segera
berlari pergi dari situ. Wajahnya pucat, nafasnya terengah-engah dan dia
langsung lari ke kamarnya untuk menenteramkan hatinya yang tidak karuan
rasanya.
Siu Bi
membanting-banting kedua kakinya. Didorongnya daun pintu, akan tetapi daun
pintu yang dicat seperti daun pintu kayu itu ternyata terbuat dari besi yang
amat kuat. la memeriksa ruangan tahanan itu. Cukup luas, akan tetapi di kanan
kiri tembok tebal, di sebelah belakang terbuka dan dihalangi jeruji baja yang
besar dan kokoh kuat.
Tidak
mungkin dia sanggup merusak pintu atau jeruji itu untuk membebaskan diri hanya
mengandalkan tenaganya saja. Namun Siu Bi masih penasaran. la mengerahkan
tenaga Hek-in-kang, lalu menghantamkan kedua tangan ke arah jeruji.
Terdengar
suara berdengung keras dan bergema, seluruh kamar tahanan itu tergetar, akan
tetapi jeruji tidak menjadi patah. Dia mencoba pula untuk menarik jeruji agar
lebar lubangnya supaya ia dapat lolos keluar, akan tetapi sia-sia. Jeruji baja
itu amat kuat dan tenaga gwakang (tenaga luar) yang ia miliki tidak cukup
besar. Tenaga Iweekang (tenaga dalam) memang tiada artinya lagi kalau
menghadapi benda mati yang tak dapat bergerak seperti pintu dan jeruji yang
terpasang mati di tempat itu.
Siu Bi
membanting-banting kedua kakinya, berjalan hilir-mudik seperti seekor harimau
liar yang baru saja dimasukkan kerangkeng. Biar pun besok ia akan dibebaskan,
ia merasa terhina dengan dimasukkan dalam kamar tahanan seperti kerangkeng
binatang ini.
Sore hari
itu, hanya beberapa jam kemudian, seorang penjaga datang dan mengulurkan sebuah
baki terisi mangkok nasi dan masakan, juga minuman yang cukup mahal. Namun
hampir saja pengawal itu remuk lengannya kalau saja dia tidak cepat-cepat
menariknya keluar karena Siu Bi sambil memaki telah menerkam tangan itu untuk
dipatahkan!
Siu Bi marah
sekali, lalu memaki-maki sambil menyambar baki dan isinya. Mangkok dan sumpit
beterbangan menyambar keluar dari sela-sela jeruji dan menyerang pengawal itu
yang segera lari tunggang-langgang! Siu Bi makin jengkel apa bila mengingat
betapa dia telah menyerahkan pedangnya kepada Jenderal Bun. Andai kata pedang
Cui-beng-kiam berada di tangannya, tentu dia dapat membabat putus jeruji-jeruji
ini.
Malam tiba
dan Siu Bi menjadi agak tenang. Akhirnya dia berpendapat bahwa semua
kemarahannya itu tiada gunanya sama sekali. Tubuhnya menjadi letih sekali,
pikirannya bingung dan... perutnya lapar! Mengapa dia tidak menerima sabar saja
sampai besok. Kalau dia sudah bebas dan mendapatkan pedangnya kembali, mudah
saja baginya untuk mengumbar nafsu amarah. Sedikitnya dia akan memaki-maki
jenderal dan puteranya itu sebelum dia melanjutkan perjalanannya.
Pikiran ini
membuat dia tenang. Dibaringkannya tubuhnya yang sangat lelah itu di atas sebuah
dipan kayu yang terdapat di ujung kamar tahanan. Lebih baik mengaso sambil
memulihkan tenaga, siapa tahu besok ia harus menggunakan banyak tenaga,
pikirnya. la kemudian bangkit dan duduk bersila, bersemedhi mengumpulkan tenaga
serta mengatur pernafasan.
"Nona...
maafkan aku..."
Semenjak
tadi memang agak sukar bagi Siu Bi untuk dapat bersemedhi dengan tenang.
Perutnya sangat terganggu, berkeruyuk terus! la membuka mata dan menoleh. Biar
pun kamar tahanan itu buruk, sedikitnya di waktu malam tidak gelap, mendapat
sinar lampu besar yang dipasang di luar. Bun Hui berdiri di luar jeruji,
membawa sebuah baki terisi makanan dan minuman.
"Mau
apa kau?!" bentak Siu Bi timbul kembali kemarahannya.
"Nona,
maafkan kalau tadi pelayan yang mengantar makanan kurang sopan. Sekarang aku
sendiri yang mengantar makanan dan minuman, harap Nona sudi menerima. Tidak
baik membiarkan perut kosong. Silakan, Nona."
Dengan kedua
tangannya Bun Hui mengulurkan dan memasukkan baki itu ke dalam kamar tahanan
melalui sela-sela jeruji yang cukup lebar untuk dimasuki baki yang kecil dan
panjang itu.
Sejenak
timbul niat di hati Siu Bi untuk membikin celaka pemuda putera Jenderal Bun ini
dengan cara menangkap dan mematahkan kedua lengannya. Akan tetapi niat ini
segera diurungkannya ketika dia memandang wajah yang ramah, tampan dan
kelihatan agak bersedih ini.
"Ayahmu
menahanku dalam kerangkeng, mengapa kau pura-pura berbaik hati padaku? Jangan
kira kau akan dapat menyuapku hanya dengan makanan dan minuman ini. Apa artinya
kau mengantar sendiri ini? Hayo katakan, kalau hendak menyuap, lebih baik aku
mati kelaparan!"
"Ahh,
kau terlalu berprasangka yang bukan-bukan dan yang buruk terhadap diriku, Nona.
Di antara kita tak ada permusuhan, kenapa kami akan mencelakakanmu? Hanya
karena persoalan itu baru beres besok, terpaksa ayah menahanmu, juga lurah
Bhong dan para saksi. Harap Nona suka memaafkan aku dan suka bersabar untuk
semalam ini."
”Hemmmm,
begitukah? Muak aku akan segala aturan dan hukum ini!" kata Siu Bi, akan
tetapi suaranya tidak seketus tadi.
Bun Hui
girang hatinya, lalu berkata, "Silakan makan, Nona, aku takkan
mengganggumu lagi."
Dan pemuda
itu segera pergi dari situ. Andai kata pemuda itu tetap berada di tempat itu,
agaknya Su Bi takkan sudi menyentuh makanan dan minuman itu. Akan tetapi
sekarang, ditinggalkan seorang diri, matanya mulai melirik baki dan melihat
masakan mengepulkan uap yang sedap dan gurih, perutnya makin menggeliat-geliat.
Setelah
celingukan ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang yang
melihatnya, mulailah Siu Bi makan. Setelah kenyang, ia sengaja melemparkan baki
dan semua isinya keluar jeruji sehingga mangkok-mangkok itu pecah. Isinya,
yaitu sisa yang ia makan, tumpah ruah tidak karuan. Dengan begitu, takkan ada
yang tahu apakah tadi ia makan dan minum isi baki ataukah tidak!
Suara
berisik ini diikuti datangnya Bun Hui. "Kenapa...? Kenapa kau buang
makanan dan minuman itu, Nona?"
"Ihhh,
siapa sudi…?" Siu Bi tidak melanjutkan kata-katanya dan diam-diam dia
mengusap pinggir mulutnya dengan lengan baju.
"Nona,
maafkan aku. Aku sengaja datang untuk bicara sedikit denganmu."
"Mau
bicara, bicaralah, mengapa banyak cerewet?" Siu Bi sengaja bersikap galak.
Pemuda itu
makin bingung dibuatnya, tampak maju mundur untuk mengeluarkan isi hati.
"Nona Siu Bi, aku tidak tahu mengapa kau berniat mengacau ke
Liong-thouw-san. Akan tetapi, ketahuilah bahwa yang tinggal di sana adalah
pendekar besar Kwa Kun Hong yang terkenal dengan julukan Pendekar Buta. Beliau
adalah seorang pendekar besar yang menjagoi dunia persilatan, tidak hanya
terkenal karena kesaktiannya, juga karena kegagahan dan pribudinya. Oleh karena
itu Nona, kuharap dengan sangat, apa pun juga alasannya, kau batalkan saja
niatmu itu.”
Siu Bi
melotot. "Apa?! Apa pedulimu? Apamukah Pendekar Buta?"
"Bukan
apa-apa, hanya dia satu-satunya manusia yang paling dihormati ayah!”
"Wah,
celaka! Aku masuk perangkap musuh! He, orang she Bun, kalau memang kau dan
ayahmu orang-orang gagah, kalau memang mau membela Pendekar Buta, hayo cepat
lepaskan aku, kembalikan pedangku lalu kita bertempur dengan cara orang-orang
gagah. Mengapa menggunakan akal curang untuk menahanku di sini?"
"Wah,
harap Nona bersabar dan jangan salah sangka. Niatku hanya untuk menolongmu
keluar dari kesulitan, Nona. Aku tak akan mencampuri urusanmu dengan siapa pun
juga, sungguh pun sedih hatiku melihat engkau memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san.
Maksudku, kalau saja besok kau suka berkata kepada ayah bahwa kau membatalkan
niatmu memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san, tentu kau akan mudah
dibebaskan. Setelah bebas, terserah kepadamu. Ini hanya untuk menolongmu,
Nona..."
"Ihhh, apa
maksudmu dengan pertolonganmu ini? Hayo bilang, orang she Bun, jangan
bersembunyi di balik kata-kata manis. Kenapa kau begini ngotot hendak
menolongku?"
Wajah pemuda
itu merah seluruhnya. Sukar sekali menjawab pertanyaan yang berupa serangan
tiba-tiba ini. "Kenapa? Ah... kenapa, ya? Aku sendiri tidak tahu pasti,
Nona... hanya agaknya... aku tidak suka bila melihat kau mendapatkan kesukaran.
Aku kagum kepadamu, Nona... aku... aku ingin menjadi sahabatmu. Nah, itulah!
Aku ingin menjadi sahabat baikmu karena aku kagum dan suka padamu."
Kini Siu Bi
yang tiba-tiba menjadi merah sekali wajahnya. Celaka, pikirnya. Pemuda ini
benar-benar tidak tahu malu, terang-terangan bilang suka dan kagum dan ingin
menjadi sahabat baik! Sekarang dia yang kebingungan dan tidak segera dapat
membuka mulut.
"Sejak
aku melihat kau menolong petani-petani miskin, lalu dengan gagah kau melawan
tukang-tukang pukul jahat di Pau-ling itu, aku amat kagum dan tertarik
kepadamu, Nona. Aku tahu, juga ayah tentu yakin bahwa dalam urusan ini kau
tidak bersalah malah kau berjasa bagi peri kemanusiaan, bagi kebenaran dan
keadilan, kau telah menolong yang tergencet, menghajar yang menindas. Akan
tetapi, hukum tetap hukum yang harus ditaati dan dilaksanakan dengan tertib.
Bila mana ayah mengambil keputusan begitu saja tanpa mengadili terus
membenarkan kau, apa akan kata orang? Terhadap urusan di Pau-ling itu, aku
tidak khawatir sama sekali. Akan tetapi urusan kedua ini... ahhh, kau tidak
tahu, Nona. Ayah pasti akan mencegah maksud hatimu itu, bukan sekedar karena
menjadi sahabat baik, akan tetapi masih ada ikatan keluarga. Ketahuilah bahwa
isteri Pendekar Buta adalah enci angkat dari ibuku. Nah, kau tahu betapa tidak
bijaksananya kalau kau mengaku akan hal itu di depan ayah!"
"Ahhh,
begitukah? Jadi kau masih keponakan isteri musuh besarku? Wah, celaka, aku
terjebak. Tentu kau mengajakku ke sini untuk menipuku... ahhh, mengapa aku
begitu bodoh?"
"Nona,
harap jangan bicara begitu. Urusan itu baru kami ketahui setelah kau berada di
sini dan mengakuinya di depan ayah. Aku... aku tidak memandang kau sebagai
musuh, sebaliknya dari itu. Aku bersedia menolongmu, Nona. Aku akan membujuk
ayah untuk membebaskanmu, asal saja kau suka berjanji kepada ayah bahwa kau
takkan memusuhi Pendekar Buta..."
"Aku
mau memusuhi siapa pun juga, apa pedulinya dengan kau?"
"Nona..."
suara Bun Hui penuh penyesalan, akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya
karena pada saat itu berkelebat bayangan orang dan seorang wanita setengah tua
yang cantik telah berdiri di sebelah Bun Hui.
"Ibu...
kau di sini...?" Bun Hui bertanya gagap.
"Hui-ji
(anak Hui), aku mendengar dari ayahmu bahwa ada seorang gadis liar yang
mengancam hendak menyerbu ke Liong-thouw-san dan membuntungi lengan Kun Hong
dan enci Hui Kauw? Mana dia? Apakah ini?" telunjuk yang runcing menuding
ke arah Siu Bi yang memandang dengan bengong.
Wanita itu
bukan main cantiknya, suaranya nyaring, matanya bersinar-sinar. Pakaiannya
sangat indah namun tidak mengurangi gerakannya yang gesit tanda bahwa nyonya
ini mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Siu Bi kagum. Alangkah jauh bedanya
dengan ibunya sendiri. Ibunya wanita lemah.
"Betul,
Ibu. Aku... aku sedang membujuknya supaya tidak melanjutkan maksud hatinya
itu," kata Bun Hui sambil menundukkan muka, khawatir kalau-kalau ibunya
akan dapat membaca isi hatinya.
Wanita itu
adalah Giam Hui Siang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita ini
adalah puteri dari Ching-toanio. Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan di waktu
mudanya ia sendiri merupakan seorang gadis yang selain cantik dan lihai, juga amat
ganas, malah pernah bentrok dengan cici angkatnya dan Kwa Kun Hong. Kini dia
melangkah maju dan memandang Siu Bi penuh perhatian.
"Kau
anak siapa? Kenapa hendak memusuhi Pendekar Buta dan isterinya?" la
bertanya memandang tajam.
Ditanya
tentang orang tuanya, hati Siu Bi menjadi panas dan jengkel. la bukan anak The
Sun yang semenjak kecil ia anggap seperti ayah sendiri. Semenjak rahasia bahwa
ia bukan anak The Sun ia ketahui dari ucapan Hek Lojin, ia pun tidak mau
mengaku The Sun sebagai ayahnya lagi. la sendiri tidak tahu siapakah orang
tuanya, atau lebih tepat lagi, siapa ayahnya. la tidak pernah meragu bahwa ia
bukan anak ibunya. Mudah saja diketahui akan hal ini. Wajahnya serupa benar
dengan wajah ibunya. Akan tetapi ayahnya? la tidak tahu!
Karena pertanyaan
itu membuatnya mendongkol, maka ia menjawab seenaknya. "Sejak tadi sudah
kukatakan bahwa orang tuaku tidak perlu disebut-sebut di sini. Aku memusuhi
Pendekar Buta karena aku benci kepadanya, karena dia memang musuh besarku.
Habis perkara."
Giam Hui
Siang tercengang mendengar jawaban dan melihat sifat berandalan ini. Dia lalu
teringat akan masa mudanya. Dia dahulu juga seperti nona ini, penuh keberanian,
penuh kepercayaan akan kepandaian sendiri. Apakah nona ini selihai dia?
Mungkinkah ia dapat mengalahkan Pendekar Buta dan cici-nya yang amat lihai itu?
Diam-diam ia
mengharapkan akan ada orang yang dapat mengalahkan Pendekar Buta, kalau perlu
dapat membuntungi lengannya dan lengan Hui Kauw! Diam-diam nyonya ini masih
merasa mendendam dan benci kepada Pendekar Buta dan isterinya. Hal ini ada
sebabnya.
Pertama
karena ketika dia masih muda, dua orang itu pernah menjadi musuhnya. Kedua
kalinya, karena suaminya, Bun Wan, menjadi buta sebelah matanya karena Pendekar
Buta pula. Sungguh pun suaminya itu membutakan sebelah mata sendiri karena malu
dan menyesal atas perbuatannya sendiri yang menyangka buruk kepada Pendekar
Buta, tapi secara tidak langsung, suaminya buta karena Pendekar Buta!
Inilah
sebabnya terselip rasa dendam di sudut hati kecil nyonya ini. Akan tetapi,
apakah mungkin dara remaja yang masih setengah kanak-kanak ini dapat melawan
Kun Hong?
"Lihat
senjata!" tiba-tiba Giam Hui Siang berseru nyaring.
Tangannya
bergerak dan sinar hijau menyambar ke arah Siu Bi, melalui sela-sela jeruji
baja. Itulah belasan batang jarum Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau), senjata
rahasia maut dari Ching-coa-to yang sangat ditakuti lawan karena selain halus
juga amat cepat menyambarnya, apa lagi racunnya amat ampuh. Lebih hebat lagi,
serangan ini masih ia susul dengan pukulan jarak jauh oleh sepasang lengannya
yang didorongkan ke depan!
"Ibu...!"
Bun Hui
terkejut bukan main, namun tidak sempat mencegah karena gerakan ibunya itu sama
sekali tidak pernah disangka sebelumnya. Dia maklum akan kehebatan serangan
ibunya ini, maka dengan muka pucat dia memandang kepada Siu Bi.
Siu Bi juga
terkejut menghadapi serangan mendadak itu. Akan tetapi karena sejak tadi ia
sudah mengambil sikap bermusuhan, tentu saja ia waspada dan tidak kehilangan
akal. la mengerahkan Hek-in-kang kemudian menggerakkan dua lengannya menyampok
sambil mendoyongkan tubuh ke kiri, lalu ia susul dengan dorongan ke muka yang
mengandung tenaga Hek-in-kang yang amat kuat.
Giam Hui
Siang dan Bun Hui hanya melihat uap menghitam bergulung dari kedua lengan Siu
Bi dan pada lain saat tubuh Hui Siang sudah terhuyung-huyung ke belakang.
Hampir saja nyonya ini roboh terjengkang kalau dia tidak lekas-lekas melompat
dan berjungkir balik. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Hebat...!
Kau cukup lihai untuk menghadapi dia! Hui-ji, hayo kita pulang."
Bun Hui
menghadapi Siu Bi, suaranya terdengar sedih, "Nona, harap kau suka maafkan
ibuku yang sebetulnya hanya hendak mencoba kepandaianmu."
"Hemmm...!"
Siu Bi mendengus, masih belum hilang kagetnya.
Nyonya itu
benar-benar ganas dan galak, juga lihai bukan main. Jarum-jarum yang lewat di
dekat tubuhnya tadi mengandung hawa panas yang luar biasa, juga pukulan jarak
jauh tadi amat kuat. Baiknya ia memiliki Hek-in-kang, jika tidak, tentu ia akan
menjadi korban jarum atau pukulan sinkang.
Setelah ibu
dan anak itu pergi, Siu Bi kembali duduk di atas pembaringan di sudut kamar,
berusaha untuk istirahat sambil mengumpulkan tenaga. la dapat duduk tenang,
kemudian menjelang tengah malam yang sunyi, mendadak ia berjungkir balik,
kepala di bawah dan kaki yang tetap bersila itu di atas, untuk melatih Iweekang
menurut ajaran Hek Lojin. Belum ada setengah jam ia berlatih, terdengar suara
orang perlahan.
"Selagi
kesempatan lari terbuka, mengapa membiarkan diri terkurung?"
Cepat sekali
gerakan Siu Bi, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke dekat jeruji. Di luar
jeruji berdiri seorang laki-laki yang mengeluarkan seruan kagum akan gerakannya
yang memang luar biasa tadi. Laki-laki ini berdiri tegak, bersedekap dan
memandang kepadanya dengan alis berkerut. Sukar menduga apa yang berada di
dalam pikiran laki-laki ini. Siu Bi memandang tajam, memperhatikan dan siap
untuk memaki atau menyerang melalui sela-sela jeruji.
Akan tetapi
dia mendapat kenyataan bahwa laki-laki itu bukanlah seorang penjaga atau
pengawal. Pakaiannya sederhana berwarna serba putih, rambutnya digelung ke atas
dan dibungkus kain putih. Mukanya membayangkan ketenangan luar biasa dengan
sepasang mata yang sayu, membayangkan kematangan jiwa dan penderitaan lahir batin.
Orang ini bukan lain adalah Si Jaka Lola, Yo Wan.
Seperti
diketahui, Yo Wan melihat bagaimana gadis yang luar biasa dan mengagumkan
hatinya itu merobohkan para tukang pukul, lalu ikut bersama pemuda yang
memimpin barisan. la tidak tergesa turun tangan menolong karena ingin ia
melihat apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, dan apa pula yang akan
dilakukan oleh gadis itu untuk bisa menolong dirinya sendiri. Alangkah herannya
ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu membiarkan dirinya ditahan.
Malam tadi
dia diam-diam memasuki bagian belakang gedung ini dan ia sempat melihat betapa
ibu pemuda itu tiba-tiba menyerang dengan jarum hijau dan pukulan sinkang. la
kaget sekali, akan tetapi kembali ia dibuat kagum oleh kepandaian Siu Bi. la
tidak sempat mendengar percakapan mereka tentang niat Siu Bi untuk membuntungi
lengan Pendekar Buta, karena kedatangannya tepat pada waktu Giam Hui Siang
melakukan penyerangan tadi
Dia
benar-benar merasa heran akan sikap tiga orang itu. Lebih-lebih lagi rasa
herannya kenapa gadis ini membiarkan dirinya dijebloskan kamar tahanan. Oleh
karena itu, ketika menyaksikan sampai jauh malam betapa gadis itu tidak
berusaha melarikan diri, tetapi malah berlatih Iweekang secara aneh, dia tak
dapat menahan keheranannya dan muncul sambil mengucapkan kata-kata tadi.
Kenapa ia
terlambat muncul? Tadi ketika berhasil memasuki gedung, diam-diam Yo Wan
menculik seorang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya. la lalu melompati tembok
dan membawa lari penjaga itu ke luar kota, lalu memaksanya bercerita tentang
gadis itu.
Si penjaga
ketakutan setengah mati karena ia tidak dapat melihat siapa penculiknya dan
baru dilepaskan ketika berada di tempat yang gelap dan sunyi di luar kota, di
bawah pohon yang besar. Dia hanya merasa tubuhnya tidak mampu berkutik dan
seakan-akan dibawa terbang. Saking takutnya mengira bahwa ia diculik iblis,
tubuhnya menggigil dan ia tak berani membantah.
Dengan suara
gemetar ia menceritakan betapa Bun-goanswe menahan gadis itu karena urusan ini
akan diselidiki ke Pau-ling pada esok hari oleh Goanswe sendiri, dan besok baru
akan diberi keputusannya. Juga ia menceritakan betapa gadis itu tidak
membantah, malah menyerahkan pedangnya.
Demikianlah,
dengan penuh keheranan Yo Wan cepat kembali ke dalam gedung setelah menotok penjaga
itu dan meninggalkannya di tempat sunyi. la tahu bahwa penjaga itu tak mungkin
akan dapat melepaskan diri sebelum besok pagi.
Dia tidak
langsung mencari tempat gadis itu ditahan akan tetapi mencuri masuk secara
diam-diam ke dalam kamar Bun-goanswe dan dengan kepandaiannya yang luar biasa
ia berhasil mencuri pedang Siu Bi yang disimpan di dalam kamar itu! Setelah
menyimpan pedang di balik jubahnya, barulah dia mencari tempat tahanan di
belakang dan tepat kedatangannya pada saat Hui Siang menyerang Siu Bi.
Siu Bi kini
berdiri dekat jeruji. Mereka saling pandang dan gadis itu berdebar jantungnya
karena merasa seram melihat laki-laki itu berdiri seperti patung di luar kamar
tahanan.
"Kau
siapa? Apa maksud ucapanmu tadi?" Akhirnya ia menegur, sambil menatap
wajah yang tampan dan agak pucat, tubuhnya yang kurus sehingga tulang pundaknya
tampak menjendul di balik bajunya yang sederhana.
"Maksud
ucapanku tadi sudah jelas, Nona. Selagi ada kesempatan untuk lari, mengapa
membiarkan dirimu terkurung di sini?”
Siu Bi
merasa heran. Apa kehendak orang ini dan siapa dia? Apa yang diucapkan orang
ini memang menjadi suara hatinya. Memang ingin ia melarikan diri, tidak sudi
ditahan seperti binatang buas. Akan tetapi bagaimana ia dapat melarikan diri
kalau ia tidak kuat membongkar daun pintu dan jeruji baja? Bahkan pedangnya pun
ditahan, bagaimana ia suka pergi tanpa mendapatkan pedangnya kembali?
Akan tetapi
untuk menjawab kenyataan ini, tentu saja dia tidak sudi. Hal itu hanya akan
merendahkan dirinya sendiri, mengakui kebodohan serta kelemahan dirinya. Maka
ia pun menjawab dengan suara ketus,
"Kau
peduli apa? Aku harus tunduk kepada hukum, aku bukan manusia liar yang tidak
mengenal hukum."
Laki-laki
muda itu tertawa, hanya sebentar saja. Akan tetapi dalam waktu beberapa detik
itu, selagi tertawa, laki-laki itu dalam pandang mata Siu Bi kelihatan tampan
dan lenyap semua kekeruhan pada mukanya. Akan tetapi hanya sebentar saja,
senyum dan tawa itu melenyap, kembali wajah itu tampak suram muram.
"Hukum,
kau bilang? Nona, aku lebih banyak mengalami hal-hal yang berkaitan hukum.
Semua pembesar bicara tentang hukum, bersembunyi di belakang hukum, dan tahukah
kau apa arti hukum sebenarnya? Hukum hanya menjadi alat penyelamat mereka
belaka, bahkan alat menindas mereka yang lebih lemah! Hukum dapat mereka putar
balik, dapat ditekuk-tekuk ke arah yang menguntungkan dan memenangkan mereka.
Kau nanti akan kecewa kalau kau mempercayakan keselamatanmu kepada hukum, Nona.
Karena itu, pokok yang terpenting, kau tak bersalah dalam suatu persoalan.
Perbuatanmu membela para petani miskin yang tertindas itu adalah perbuatan
orang gagah, sama sekali tidak seharusnya dihukum atau ditahan."
Di dalam
hatinya, Siu Bi setuju seribu persen. Tetapi bagaimana dia dapat menyatakan
setuju kemudian menyatakan pula bahwa dia tidak mampu keluar?
"Eh,
kau ini siapakah, berlagak pandai dan membelaku? Hemmm, lagaknya saja hendak
menolong. Apa sih yang dapat kau lakukan untuk menolongku? Lagi pula, aku pun
tidak membutuhkan pertolonganmu, dan andai kata kau mau menolong, mengapa pula
kau yang sama sekali tidak kukenal ini hendak menolongku? Apakah bukan maksudmu
untuk mencari muka belaka?"
Yo Wan
tersenyum kecut. la kagum menyaksikan sepak terjang gadis ini, juga senang
menyaksikan ketabahan dan kelincahannya, akan tetapi watak gadis ini sangat
sombong. Yo Wan sudah mencapai tingkat tinggi, baik dalam ilmu silat mau pun
ilmu batin, berkat gemblengan selama sepuluh tahun di puncak Pegunungan
Himalaya. Karena itu ia tidak menjadi marah oleh sikap kasar dan ketus dari
gadis itu.
Dengan
tenang dia kemudian mengeluarkan pedang Cui-beng-kiam dari balik jubahnya,
menaruh pedang itu di atas lantai, lalu dia menggunakan kedua tangannya memegang
jeruji baja, mengerahkan sedikit sinkang dan jeruji-jeruji itu pun melengkung,
membuka lubang yang cukup lebar untuk dilalui tubuh orang!
"Aku
datang sekedar memenuhi kewajiban membantu yang benar, tidak perlu berbicara
tentang pertolongan. Tentang kau mau ke luar atau tidak, adalah menjadi hakmu
untuk menentukan, Nona. Pedangmu ini tadi kuambil dari kamar Bun-goanswe. Tidak
baik bila seorang gagah berjauhan dari senjatanya. Selamat tinggal."
Siu Bi
bengong terlongong. Dia berdiri seperti patung memandang bayangan laki-laki itu
yang berjalan perlahan, pergi meninggalkannya dan menghilang di dalam gelap.
Setelah bayangan orang itu tidak tampak, baru ia sadar. Kerangkeng terbuka,
pedangnya di situ, mau tunggu apa lagi?
Cepat ia
menyelinap ke luar di antara dua jeruji yang sudah melengkung, disambarnya
pedang Cui-beng-kiam dan di lain saat ia sudah melompat ke atas genteng,
memandang ke sana ke mari. Namun sunyi di atas gedung itu, tidak tampak
bayangan laki-laki tadi.
Hatinya
merasa bimbang. Apakah ia akan pergi melarikan diri sekarang juga ke luar kota.
Memang sesungguhnya lebih baik dan lebih aman begitu. Akan tetapi, setelah
Jenderal Bun itu melakukan hal yang tidak patut terhadapnya, mengurungnya dalam
kerangkeng seperti binatang, lalu nyonya jenderal itu tanpa sebab menyerangnya
dengan jarum dan pukulan, masa ia harus pergi begitu saja seperti orang lari
ketakutan?
Tidak, tidak
ada penghinaan yang tidak dibalas. Sebelum pergi meninggalkan tempat itu dia
harus menunjukkan kelihaiannya dan memberi sedikit hajaran kepada Jenderal Bun
dan isterinya yang galak. Tentu saja Bun Hui tidak termasuk dalam daftarnya
untuk diberi hukuman, karena pemuda itu bersikap baik sekali kepadanya.
Pikiran ini
mendorong Siu Bi membatalkan niatnya untuk melarikan diri. Tubuhnya lantas
bergerak-gerak bagaikan seekor kucing ringannya, meloncati genteng di atas
gedung itu menuju ke bangunan besar, kemudian ia mengintai dan mencari di mana
adanya kamar Jenderal Bun dan isterinya, mendekam serta mendengarkan. Mendadak
dia mendengar suara Jenderal Bun dan isterinya.
"Masa
tengah malam begini hendak pergi? Urusan bagaimana pentingnya pun, kan bisa
diurus besok pagi?" terdengar suara nyonya Jenderal Bun, suara yang merdu
dan halus.
"Harus
sekarang juga kuselesaikan. Selain menyelidiki ke Pau-ling, aku juga harus
cepat menyuruh seorang pengawal yang tangkas untuk mengabarkan kepada Kwa Kun
Hong di Liong-thouw-san tentang ancaman gadis liar itu." Suara yang berat
dari Jenderal Bun ini mendebarkan hati Siu Bi yang mendengarkan terus.
"Ahh,
tentang urusan itu, apa sangkut-pautnya dengan kita? Kalau dia memiliki dendam
pribadi dengan Kun Hong, biarkan dia menyelesaikannya sendiri. Urusan pribadi
orang lain, bagaimana kita dapat ikut campur?" Isterinya mencela.
"Orang
lain? Kurasa Kwa Kun Hong dengan keluarganya tidaklah dapat dikatakan orang
lain!" Bun-goanswe berseru keras, suaranya mengandung penasaran besar.
"Bukankah isterinya adalah cici-mu (kakakmu)?"
"Enci
Hui Kauw hanyalah saudara pungut."
Hening
sejenak, lalu terdengar suara jenderal itu penuh penyesalan.
"Hui
Siang, isteriku, harap kau jangan merusak perasaan hatiku dengan sikapmu
seperti ini terhadap mereka. Aku tahu bahwa kau masih menaruh dendam akan
urusan lama, bukankah itu merupakan sifat kanak-kanak? Kita bukan kanak-kanak
lagi. Perbuatanmu tadi mendatangi kamar tahanan dan menyerang gadis itu, juga
merupakan sisa dari sifat di waktu mudamu. Ahh, Hui Siang, aku dapat menduga
isi hatimu, setelah kau menguji gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa dia
cukup lihai, kau ingin sekali melihat dia itu mengacau Liong-thouw-san.
Begitukah?"
Nyonya itu
berseru kaget. "Kau... kau mengintai...?" Kemudian disusul suaranya
bernada menantang, "Benar, aku... aku memang masih benci terhadap Kun Hong
dan enci Hui Kauw!" Disusul isak tangis tertahan dan tarikan nafas panjang
jenderal itu,
"Hui
Siang, mengapa kau masih juga belum dapat memadamkan api dendam terhadap
mereka? Lupakah kau bahwa Kun Hong adalah penolong kita? Dia seorang pendekar
besar yang telah terkenal kegagahan dan budi pekertinya. Dia merupakan penolong
kita!"
Isak tangis
itu semakin keras. "Aku... aku pun tidak bisa lupa... bahwa kau... kau
sudah membutakan mata kananmu karena dia...!”
Bun-goanswe
tertawa. "Ha-ha-ha-ha, itukah yang membuat dendammu tak dapat hilang?
Tidak usah dipusingkan, isteriku. Kebutaan sebelah mataku ini dapat membuka
kebutaan mata hatiku, bukankah itu baik sekali?"
"Lalu,
apa yang hendak kau lakukan terhadap gadis itu?"
"Aku
akan membujuknya agar supaya ia membatalkan niatnya mengacau tempat tinggal Kun
Hong. Kalau dia bersikeras, apa boleh buat, aku akan memasukkannya ke dalam
tahanan sampai dia bertobat."
"Jenderal
busuk, kau benar-benar ingin menggunakan hukum untuk mencari kebenaran dan
kemenangan sendiri. Aku, Cui-beng Kwan Im, mana sudi kau perlakukan
demikian?" Sesosok bayangan melayang turun dari jendela dan sinar pedang
hitam lalu menerjang Bun-goanswe.
Jenderal ini
kaget sekali, cepat dia menghunus pedangnya dan menangkis. Ada pun Hui Siang,
isteri jenderal itu, terkejut dan khawatir, untuk sejenak hanya dapat memandang
dengan kaget. Akan tetapi, beberapa menit kemudian nyonya ini sudah mendapatkan
pedangnya lalu menyerbu dan mengeroyok Siu Bi.
Dara ini
tidak menjadi gentar, malah berseru keras. Segera pedangnya berubah menjadi
gulungan sinar kehitaman, diselingi oleh pukulan-pukulannya yang mengandung
tenaga Hek-in-kang! Memang hebat gadis ini. Ilmunya tinggi nyalinya pun sebesar
nyali harimau, akan tetapi dia terlalu memandang rendah orang lain.
Terjangannya yang dahsyat dan ganas itu memang membuat suami isteri itu kaget
dan terdesak mundur.
Akan tetapi,
jenderal itu adalah Bun Wan, putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja ilmu
kepandaiannya juga hebat. Dan isterinya adalah puteri dari Ching-toanio yang
juga memiliki ilmu silat segolongan dengan Siu Bi, yaitu golongan hitam. Biar
pun tingkat ilmu silat kedua orang suami isteri ini tidak sedahsyat ilmu silat
Siu Bi warisan dari kakek sakti Hek Lojin, tapi gadis itu kalah ulet dan kalah
pengalaman sehingga semua terjangannya meski pun mendesak dan mengejutkan,
namun belum mampu merobohkan mereka.
Pada saat
itu, Bun Hui datang berlari-lari dengan muka pucat. Cepat pemuda yang juga
lihai ini memutar pedangnya menahan pedang Cui-beng-kiam, lalu dia berkata,
suaranya menggetarkan penuh perasaan, "Nona...! Mengapa kau tidak memegang
janjimu, malah melarikan diri dan menyerbu ke sini? Ah... Nona, kenapa kau
menyerang ayah bundaku? Mengapa kau lakukan hal ini... Kau, yang kupandang
gagah perkasa..."
Getaran
suara yang terkandung di dalam ucapan Bun Hui ini tidak lagi menyembunyikan
perasaannya. Jelas terdengar dan terasa, baik oleh Siu Bi mau pun oleh ayah
bunda pemuda itu, bahwa Bun Hui menaruh hati cinta kepada gadis ini!
"Hui-ji,
mundur kau!" bentak Jenderal Bun.
"Hui-ji,
kenapa kau merengek-rengek kepada bocah ini?" seru pula ibunya penuh teguran
dan suami isteri itu sudah menerjang Siu Bi dengan hebat.
Terpaksa Siu
Bi mundur tiga langkah karena terjangan kedua orang itu dalam serangan balasan
bukanlah main-main. Namun dengan Hek-in-kang, dia berhasil mengusir mundur lagi
kedua orang pengeroyoknya. Ternyata Hek-in-kang ampuh luar biasa, hawanya saja
cukup membuat kedua orang suami isteri tokoh persilatan yang berkepandaian
tinggi itu tergetar mundur dan tidak berani terlalu mendekat.
Mendengar
suara ribut-ribut ini, beberapa orang pengawal menerjang masuk dan melihat
betapa Jenderal Bun bersama isterinya bertempur melawan gadis tahanan yang
entah bagaimana kini telah berada di situ, mereka cepat mencabut senjata
masing-masing dan bersiap.
Sementara
itu, dengan hati hancur saking menyesal dan kecewa, Bun Hui menggunakan
pedangnya membantu ayah bundanya sambil berkata lirih, "Betapa pun berat
bagiku, aku harus memihak ayah bundaku, Nona."
"Cih,
cerewet amat. Mau keroyok, keroyoklah. Hayo semua orang di sini boleh masuk
mengeroyokku. Aku Cui-beng Kwan Ini tidak gentar seujung rambut pun!"
Bukan main
marahnya Bun-goanswe. "Hayo tangkap dia! Jangan bunuh, tangkap kataku.
Mana akal kalian? Masa tidak mampu menangkap hidup-hidup seorang bocah
nakal?"
Belasan
orang pengawal yang cukup tinggi kepandaiannya datang, mereka membawa tali-tali
yang besar dan kuat. Dengan senjata ini mereka mengurung Siu Bi dari segala
penjuru, kemudian mereka mengayunkan tambang itu ke arah kaki untuk merobohkan
Siu Bi.
Gadis ini
kaget sekali karena suami isteri yang kosen itu, dibantu puteranya yang tak
boleh dipandang ringan, membuat ia cukup repot menjaga diri. Sekarang ada
tambang-tambang yang menyambar dari segala jurusan, melibat dan menjegal kedua
kakinya.
Dia terpaksa
berloncatan untuk menyelamatkan diri, menendang sana sini sambil tetap melayani
tiga orang lawannya. Akan tetapi, mana dapat gadis yang kurang pengalaman
bertempur ini memecah perhatiannya menghadapi serangan yang sekian banyaknya.
Tiga batang
pedang dengan dahsyat mengurungnya dan mengancamnya dari atas, ini saja sudah
membutuhkan pemusatan perhatian sebab tiga batang pedang itu digerakkan oleh
tangan-tangan ahli. Belasan jurus dia masih sanggup bertahan, akan tetapi
karena kebingungannya, akhirnya kakinya terlibat tambang dan tanpa dapat ia
pertahankan lagi, kakinya kena dijegal sehingga ia terguling dengan pedang
masih di tangan.
Ketika itu,
selagi Bun-goanswe dan para pengawalnya siap menubruk dan menangkap Siu Bi,
mendadak mereka kelabakan karena lampu penerangan tiba-tiba menjadi padam.
Perubahan seketika antara keadaan terang benderang menjadi gelap ini
benar-benar membingungkan mereka.
"Pasang
lampu...! Lekas pasang lampu...!" bentak Bun-goanswe.
Tak ada
seorang pun berani menubruk ke depan untuk meringkus Siu Bi. Mereka cukup
maklum akan kelihaian nona itu yang masih memegang pedang. Di dalam keadaan
gelap itu, mana ada yang berani mempertaruhkan nyawa?
Setelah
suasana gelap yang hiruk-pikuk ini diakhiri dengan penerangan lampu, keributan
lain timbul ketika mereka melihat bahwa gadis yang tadinya terguling miring itu
sudah tiada di tempatnya lagi. Gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, tidak
meninggalkan bekas.
Bun-goanswe
cepat memerintah para pengawalnya melakukan pengejaran. Dia sendiri menjatuhkan
diri di atas kursi, penasaran, malu dan marah. Hui Siang dan Bun Hui saling
pandang.
"Wah,
dia dapat melarikan diri!" Kata Hui Siang, diam-diam girang karena
sesungguhnya ia ingin sekali mendengar gadis itu menyerbu rumah tangga Kun
Hong, apa lagi setelah sekarang ia yakin benar akan kelihaian gadis itu.
"Siapa
bilang lari?" Jawab jenderal itu marah. "Terang ada orang sakti yang
menolong dan membawanya lari. Siapa yang memadamkan lampu serentak seperti itu
tadi? Tentu bukan gadis itu. Dan cara ia meloloskan diri, sama sekali tidak
terdengar olehku."
"Mudah-mudahan
ia tidak membikin ribut lagi...," Bun Hui menggumam seorang diri.
"He,
kau Hui-ji. Sikapmu tadi sungguh memalukan! Apa maksudmu? Apakah kau sudah
tergila-gila kepada gadis liar itu?"
Bentakan
ayahnya ini membuat Bun Hui merah mukanya. Ia tergagap mencari jawaban,
"Aku... aku... tidak begitu, Ayah. Aku hanya... kagum akan sepak
terjangnya dan aku... aku kasihan…”
"Hemmm,
menilai seseorang, apa lagi wanita, jangan sekali-kali dari kecantikan wajah
atau kepandaiannya. Akan tetapi wataknya! Gadis itu wataknya keranjingan,
seperti iblis betina. Hui-ji, besok pagi-pagi kau berangkatlah ke
Liong-thouw-san menemui pamanmu Kwa Kun Hong kemudian berikan sepucuk suratku.
Urusan ini terlampau penting untuk kuserahkan kepada seorang pengawal, maka
harus kau sendiri yang membawanya ke Liong-thouw-san."
"Baik,
Ayah."
Diam-diam pemuda
ini menjadi girang juga, karena memang sudah amat lama ia ingin bertemu dengan
orang yang selalu disebut-sebut ayahnya dengan penuh penghormatan, yaitu Kwa
Kun Hong Si Pendekar Buta….
Siu Bi
mencoba tenaganya untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi sia-sia saja.
Orang itu memanggulnya dengan menekan tengkuk serta punggungnya, di mana pusat
tenaganya ditekan sehingga kekuatannya menjadi hilang. Dia merasa dibawa lari
cepat sekali, sementara angin dingin membuat dia mengantuk sekali. Akhirnya, saking
lelahnya bertempur tadi dan semalam tidak tidur sedikit pun juga, ia tertidur
di atas pundak orang yang memanggulnya itu.
Ketika Siu
Bi sadar dari tidurnya, sedetik ia tertegun, hendak mengulet (menggeliat) tidak
dapat. Tubuhnya serasa kesemutan, sedangkan pipi kanannya yang berada di
sebelah atas terasa panas. Kiranya matahari sudah menyorot agak tinggi juga.
Segera ia teringat. la masih berada di atas pundak orang, masih dipanggul!
Sejak lewat tengah malam sampai sekarang, lewat pagi! Dan dia tertidur di dalam
pondongan orang! Dan selama itu ia masih belum tahu siapa orang yang
menculiknya ini, yang membawa lari tubuhnya dari dalam gedung Jenderal Bun
selagi dia roboh dalam keroyokan para pengawal.
"Hemmm,
perawan macam apa ini? Dipondong orang sejak malam, tapi enak-enak tidur
mendengkur. Malas dan manja, ihhh, benar-benar celaka..." Orang yang
memanggulnya itu terdengar bersungut-sungut.
Kemarahan
memenuhi kepala Siu Bi. "Siapa mendengkur? Aku tak pernah mendengkur kalau
tidur. Hayo lepaskan kau laki-laki kurang ajar!"
"He?
Kau sudah bangun? Nah, turunlah!" Dengan gerakan tiba-tiba orang itu
melepaskan pondongan sambil mendorong sedikit sehingga tubuh Siu Bi terlempar
dan jatuh berdiri di depannya dalam jarak dua meter.
Dapat
dibayangkan betapa kaget, heran, dan marahnya ketika melihat bahwa orang yang
memanggulnya tadi adalah laki-laki muda sederhana berpakaian putih yang tadi
malam mengunjunginya di dalam kerangkengnya!
"Heeeiiiii!
Kenapa kau memondongku? Aku bukan anak kecil!" Siu Bi membanting kaki
dengan gemas.
Yo Wan,
orang itu, tersenyum kecil. Cahaya matahari pagi serasa lebih gemilang bila
menghadapi seorang dara lincah nakal ini.
"Kau
masih kanak-kanak," katanya tenang.
"Siapa
bilang? Aku bukan anak kecil, aku bukan kanak-kanak lagi!" Siu Bi
bersitegang.
Disebut
kanak-kanak baginya sama dengan penghinaan. Masa dia yang sudah memiliki
julukan Cui-beng Kwan Im sekarang di-‘cap’ kanak-kanak?
"Aku
Cui-beng Kwan Im, aku seorang dewasa. Jangan kau main-main!"
"Bagiku
kau masih kanak-kanak," kata pula Yo Wan, memalingkan muka seperti seorang
yang tidak acuh.
Padahal
pemuda ini memalingkan muka karena merasa ‘silau’ akan kecantikan wajah Siu Bi.
Kebetulan sekali cahaya matahari yang menerobos melalui celah-celah daun pohon
menyoroti muka dan rambut itu, sehingga wajah gadis itu gilang gemilang dan
rambutnya membayangkan warna indah, benar-benar laksana Dewi Kwan Im turun
melalui sinar matahari pagi. Yo Wan memalingkan muka agar jangan melihat
keindahan di depannya ini, yang membuat isi dadanya tergetar.
"Wah,
kau ini kakek-kakek, ya? Aksinya!" Siu Bi membentak gemas.
"Aku
jauh lebih tua dari padamu." Suara Yo Wan perlahan, seperti berkata kepada
diri sendiri.
Memang ini
suara hatinya yang membantah gelora di dalam dada, untuk memadamkan api aneh
yang mulai menyala dengan peringatan bahwa dia jauh lebih tua dari pada gadis
remaja yang berdiri di depannya dengan sikap menantang itu.
"Hanya
beberapa tahun lebih tua. Hemmm, lagakmu seperti kakek-kakek berusia lima puluh
tahun saja. Kurasa kau belum ada tiga puluh."
"Dua
puluh enam tahun umurku, dan kau ini paling banyak lima belas..."
"Siapa
bilang? Ngawur! Sudah tujuh belas lebih, hampir delapan belas aku."
"Ya
itulah, masih kanak-kanak kataku."
"Setan
kau. Delapan belas tahun kau anggap kanak-kanak? Kau baru umur dua puluh enam
tahun sudah berlagak tua bangka. Biarlah kusebut kau lopek (paman tua) kalau
begitu. Heh, Lopek yang sudah pikun, kenapa kau tadi memondongku? Siapa yang
beri ijin kepadamu?"
Yo Wan panas
perutnya. Masa dia disebut lopek? Ngenyek (ngece) benar bocah ini. Dia
mengebut-ngebutkan ujung lengan baju di lehernya, seakan-akan kepanasan. Memang
ada rasa panas, tapi bukan di kulit melainkan di hati. Lalu dia memilih akar
yang bersih, akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah. Didudukinya akar
itu tanpa menjawab pertanyaan Siu Bi.
"Hee,
Lopek Apakah kau sudah terlalu tua sehingga telingamu sudah setengah
tuli?" bentak Siu Bi dengan suara nyaring.
"Kau
anak kecil jangan kurang ajar terhadap orang tua. Duduklah, anakku, duduk yang
baik dan kakekmu akan mendongeng, kalau kau mendengarkan baik-baik, nanti
kuberi mainan."
Siu Bi
meloncat-loncat marah. "Nak-nak-nak? Aku bukan anakmu, juga bukan cucumu.
Jangan sebut nak, aku bukan anak kecil!" la menjerit-jerit, kedua pipinya
merah padam, kemarahannya melewati takaran.
Yo Wan
bersungut-sungut, "Kalau kau bukan anak kecil, aku pun bukan kakek-kakek
yang sudah tua renta, kenapa kau sebut aku lopek?"
"Kau
yang mulai dulu!"
"Siapa
mulai? Kau yang mulai," jawab Yo Wan mulai mendongkol hatinya.
"Kau
yang mulai."
"Kau."
"Kau!
Kau! Kau! Nah, aku bilang seribu kali, kau yang mulai, mau apa?" kata Siu
Bi menantang.
Yo Wan
mengeluh, kemudian menarik nafas panjang, menggeleng-gelengkan kepalanya.
Benar-benar dara lincah nakal ini sudah menyeretnya kembali ke alam kanak-kanak
dan berhasil mengaduk isi dada dan isi perutnya menjadi panas. Sepuluh tahun ia
bertapa di Himalaya menguasai tujuh macam perasaan, sekarang perasaannya
diawut-awut oleh gadis remaja ini.
"Dibebaskan
dari bahaya, dipondong sampai setengah malam suntuk, tahu-tahu upahnya hanya
diajak bertengkar. Di dunia ini mana ada aturan bo-cengli tidak benar macam
ini?" Ia mengomel panjang pendek.
"Siapa
suruh kau mondong aku? Siapa? Aku tidak sudi kau pondong, tahu?"
"Tidak
sudi masa bodoh, pokoknya aku gudah memondongmu sampai setengah malam, tangan
dan pundakku sampai pegal rasanya.”
Siu Bi
semakin marah, kedua tangannya dikepal. "Aku tidak sudi, tidak sudi, tidak
sudi! Hayo jawab, kenapa kau memondongku? Kalau kau tidak jawab, jangan
menyesal kalau aku marah dan menghajarmu. Aku Cui-beng Kwan Im, ingat?"
"Kenapa
aku memondongmu? Habis kalau tidak dipondong, apa minta digendong? Atau harus
kuseret? Kau dikepung, berada dalam bahaya maut, tetapi masih membuka mulut
besar. Tak tahu diri benar!"
"Biar
aku dikepung, biar dicengkeram maut, apa pedulimu? Aku tak sudi pertolonganmu,
mengapa kau menolong aku?"
"Aku
pun tidak bermaksud menolongmu. Aku hanya tidak senang melihat seorang gadis
dikeroyok oleh para pengawal jenderal itu, oleh karena itu aku berusaha
menggagalkan pengeroyokan mereka dan membawamu pergi."
Siu Bi
seakan-akan tidak mendengarkan omongan Yo Wan, ia termenung lalu berkata penuh
penyesalan, "Celaka betul, karena kau membawaku pergi, pedangku hilang!
Ahh, Cui-beng-kiam itu tentu ketinggalan di tempat pertempuran dan..."
Siu Bi
menghentikan kata-katanya karena melihat sinar kehitaman pada saat pedang itu
dicabut oleh Yo Wan dari balik jubahnya. Tanpa berkata sesuatu Yo Wan
memberikan pedang kepada Siu Bi yang cepat menyambarnya.
"Kebetulan
aku juga melihat pedang ini terlepas dari tanganmu, aku tidak ingin
pengawal-pengawal itu merampasnya, maka kubawa sekalian. Nah, kiranya sudah
cukup obrolan kita yang amat menyenangkan hati ini. Aku tak pernah tolong kau
dan kau tak pernah ada urusan denganku. Kita sama-sama bebas, tak ada urusan
apa-apa. Selamat tinggal." Yo Wan berdiri, lalu berjalan perlahan
meninggalkan Siu Bi.
Seperti
malam tadi, Siu Bi memandang dengan mata tak berkedip. Ketika bayangan Yo Wan
hampir lenyap pada sebuah tikungan, ia baru teringat sesuatu dan cepat melompat
mengejar sambil berseru,
"Heee,
berhenti dulu!!"
Yo Wan
berhenti dan perlahan membalikkan tubuhnya. Dilihatnya gadis itu berloncatan
sambil membawa pedang. Hemmm, jangan-jangan gadis itu akan menyerangnya, siapa
dapat menduga isi hati gadis liar dan buas seperti itu?
"Ada
apa lagi? Hendak menghajarku?" tanyanya.
Siu Bi
menggelengkan kepala, akan tetapi mulutnya masih cemberut. "Tergantung
dari jawabanmu," katanya, lalu disambungnya cepat-cepat, "Aku tidak
pernah mendengkur kalau tidur. Kau tadi bilang aku mendengkur, kau bohong! Aku
tidak pernah mendengkur, memalukan sekali!"
Hampir Yo
Wan ketawa terbahak-bahak. Benar-benar gadis yang liar dan aneh. Masa
menyusulnya hanya akan bicara tentang itu?
"Tidak
mendengkur, hanya... ngo…rok..."
"Bohong!
Kau berani sumpah? Aku tak pernah ngorok, mendengkur pun tidak."
"Ngorok
pun mana kau bisa tahu? Kan kau sedang tidur? Yang tahu hanya orang lain
tentu."
"Tidak,
tidak! Aku tidak ngorok, hayo katakan, aku tidak pernah ngorok!"
Siu Bi
hampir menangis ketika membanting-banting kaki di depan Yo Wan. la marah dan
malu sekali, kedua matanya sudah merah, air matanya sudah hampir runtuh. la
bukan seorang gadis cengeng, malah jauh dari itu, menangis sebetulnya merupakan
pantangan baginya. Hatinya amat keras, nyalinya besar, tak pernah ia mengenal
takut. Akan tetapi dikatakan ngorok dalam tidur, sungguh-sungguh merupakan hal
yang menyakitkan hati, memalukan dan menjengkelkan.
Kasihan juga
hati Yo Wan melihat keadaan gadis ini. "Ya sudahlah, tidak mengorok ya
sudah. Agaknya karena terlampau lelah bertanding dan terlalu enak kau pulas,
nafasmu menjadi berat seperti orang mengorok. Tidurmu memang enak sekali sampai
aku tidak tega untuk membangunkan dan terpaksa memondongmu terus sampai kau
bangun."
Memang watak
Siu Bi aneh. Mana bisa tidak aneh watak gadis ini yang semenjak kecil hidup
dekat Hek Lojin, manusia aneh yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw? Kini dia
memandang kepada Yo Wan dengan sinar mata berseri, melalui selapis air mata
yang tidak jadi tumpah.
"Kau
baik sekali..."
Yo Wan
tertegun. Alangkah bedanya dengan tadi. Kini dia benar-benar melihat seorang
Dewi Kwan Im di depannya, seorang dewi yang cantik jelita, yang bersuara lembut
dan yang matanya bersinar mesra.
"Ahhh...
sama sekali tidak baik, biasa saja," katanya. "Aku melihat kau
menolong para petani miskin, tentu saja aku tidak suka melihat kau celaka di
tangan para pengawal."
Hening
sejenak, agaknya Yo Wan sudah lupa bahwa baru saja ia mengucapkan selamat
tinggal. Juga Siu Bi bagaikan orang termenung, tidak memandang Yo Wan,
melainkan memandang ke tempat jauh di sebelah kiri. Mendadak dia menengok, agak
berdongak untuk mencari mata Yo Wan dengan pandangannya,
"Kau...
lapar...?"
Yo Wan
melongo beberapa detik.
"Lapar?
Tentu saja..." jawabnya otomatis, karena memang perutnya terasa perih
minta diisi.
Wajah Siu Bi
berseri gembira. "Kau tunggu di sini sebentar, kutangkap kelinci gemuk di
sana itu!" Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan pada lain saat dia telah
menguber-uber seekor kelinci putih yang gemuk.
Yo Wan
kembali tertegun, kemudian dia tersenyum geli dan menggaruk-garuk belakang
telinganya yang tidak gatal. Lalu dia mengumpulkan daun dan ranting kering
serta duduk di atas sebuah batu, menunggu dengan sabar.
Siu Bi
datang sambil berloncatan dan menari-nari kegirangan. Seekor kelinci yang gemuk
sekali meronta-ronta di bawah pegangannya. Siu Bi memegang kedua telinga itu.
"Lihat,
wah gemuk sekali! Masih muda lagi!" teriaknya sambil tertawa-tawa.
Wajah Yo Wan
berseri dan untuk sejenak lenyaplah kemuraman wajahnya.
”Hemmm,
tentu lezat sekali dagingnya. Biar kubuatkan api."
la lalu
membuat api sambil matanya melirik ke arah gadis itu yang dengan cekatan sekali
menyembelih kelinci dengan pedangnya, lalu mengulitinya dengan cepat. Sambil
bekerja, Siu Bi bersenandung dan Yo Wan beberapa kali melirik ke arah gadis
ini. Seorang gadis yang benar-benar aneh, pikirnya. Watak yang luar biasa dan
sukar diselami.
"Lihat
nih, gajihnya sampai tebal? Hemmm... Makin lapar perutku," kata Siu Bi
sambil mengangkat daging kelinci tinggi-tinggi.
"Lekas
panggang, tak kuat lagi aku." Yo Wan berkata sambil beberapa kali menelan
air ludah sendiri.
Bagaikan
seorang anak kecil, sambil tertawa-tawa gembira Siu Bi lalu menusuk daging
kelinci dengan bambu dan memanggangnya. Bau yang sedap gurih segera memenuhi
udara, menambah rasa lapar di perut. Selama mengerjakan itu, Siu Bi tidak
bicara, hanya beberapa kali melirik ke arah Yo Wan, tetapi kalau pemuda itu
membalas pandangnya, ia mengalihkan kerling sambil tersenyum. Biar pun mulutnya
tidak berkata sesuatu, namun di dalam hatinya Siu Bi tiada hentinya
berkata-kata. Pikirannya diputar terus. Pemuda ini baik, pikirnya. Tidak kurang
ajar, biar pun kelihatan agak tolol. Terang bahwa dia itu lihai sekali, sudah
berkali-kali dibuktikan biar pun tidak berterang.
Dapat
memasuki rumah gedung Jenderal Bun tanpa diketahui, seperti setan saja, dapat
membebaskannya dari kerangkeng, kemudian ia harus mengakui bahwa ketika ia
roboh terjegal kakinya oleh tambang-tambang itu, keadaannya memang amat
berbahaya. Pemuda itu tiba-tiba saja muncul dalam gelap, dapat membawanya pergi
tanpa diketahui semua pengeroyok, malah tidak lupa membawa pula pedangnya.
Kalau tidak lihai sekali mana mungkin dia melakukan semua itu?
Kembali dia
melirik Yo Wan duduk termenung, tapi lubang hidungnya kembang-kempis, jakunnya
naik turun, jelas bahwa dalam termenung, pemuda itu tergoda hebat oleh asap
panggang kelinci yang sedap dan gurih. Melihat ini, Siu Bi tertawa mengikik
sehingga dia terpaksa menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Ibunya yang selalu
marah kalau melihat ia ketawa tanpa menutupi mulutnya dan terlalu sering Siu Bi
melupakan hal ini. Baiknya sekarang ia tidak lupa, mungkin karena sadar bahwa
ada orang lain di dekatnya, laki-laki pula.
"Hemmm,
mengapa kau tertawa?" Yo Wan bertanya, kaget dan sadar dari lamunannya.
"Tidak
apa-apa, tidak bolehkah orang tertawa?" Siu Bi menjawab sambil melirik
nakal, tangannya memutar-mutar daging kelinci di atas api.
Jawaban ini
merupakan tangkisan yang membuat Yo Wan gelagapan. "A... a... aku tidak
melarang... tentu saja, siapa pun boleh tertawa. Kau mentertawai aku?"
Siu Bi hanya
tersenyum saja, tidak menjawab, melirik pun tidak. Daging itu sudah hampir
matang. Yo Wan juga tidak mendesak, tapi cukup mendongkol hatinya. Gadis remaja
ini benar-benar pandai mengobrak-abrik hati orang dengan sikapnya yang aneh,
sebentar marah, sebentar ramah, sebentar kemudian menggoda. Pemuda ini terang
pandai sekali, Siu Bi melanjutkan lamunannya. Apa bila aku berbaik kepadanya
dan kemudian mendapat bantuannya, agaknya akan lebih besar hasilnya di
Liong-thouw-san.
Menurut
ucapan Bun Hui pemuda putera jenderal itu, Pendekar Buta adalah seorang sakti
yang sangat tinggi kepandaiannya. Tentu saja ia tidak takut, akan tetapi
bagaimana kalau dia gagal? Tentu akan mengecewakan sekali jika dia tidak
berhasil membalaskan dendam kakek Hek Lojin. Akan tetapi kalau bisa mendapat
bantuan pemuda ini, hemmm, kepandaian mereka berdua dapat disatukan untuk
menghadapi dan mengalahkan Kwa Kun Hong si Pendekar Buta.
Akan tetapi
apakah benar-benar pemuda ini lihai? Kembali dia melirik. Yo Wan tampak
mengantuk, sepasang matanya hampir meram dan kepalanya terangguk-angguk ke kiri
dan kanan, seakan-akan lehernya tidak kuat pula menyangga kepalanya. Kasihan!
Tentu dia sangat mengantuk, mengantuk dan lapar karena semalam tidak tidur sama
sekali, memondongnya pergi sejauh ini. Kalau sedang mengantuk dan ‘tidur ayam’
begini sama sekali tidak patut menjadi seorang yang berkepandaian tinggi. Juga
tidak nampak membawa senjata.
Makin dia
perhatikan, semakin tidak memuaskan kesan di hati Siu Bi. Pemuda yang tidak
muda lagi, sungguh pun belum tua. Rambutnya kering akibat tidak terpelihara
baik-baik. Wajahnya biar pun tampan, akan tetapi tampak muram seperti orang
yang sedih selalu. Pakaiannya yang serba putih itu tidak bersih lagi, juga ada
beberapa bagian yang robek. Pemuda miskin!
Tiba-tiba Yo
Wan yang benar-benar sangat mengantuk itu terangguk ke depan, menjadi kaget dan
membuka matanya, memandang bingung.
"Hi-hi-hik...!"
kembali Siu Bi terkekeh. Lucu sekali keadaan pemuda itu.
"Kenapa
kau tertawa?"
"Siapa
yang tidak tertawa melihat kau terkantuk-kantuk seperti ayam keloren (menderita
penyakit kelor)? Hayo bangun, dagingnya sudah matang!" Siu Bi mengangkat
panggang daging kelinci dan menaruhnya di atas daun-daun bersih yang sudah
disediakan di situ, di depan Yo Wan.
"Wah,
gurih baunya!" Yo Wan memuji. "Hayo, kau ambil dulu."
"Kau
ambillah dulu."
"Kau
yang tangkap dan masak kelinci, masa aku harus makan dulu?"
"Sudahlah,
kau ambil dulu, mengapa sih? Aku tidak selapar engkau!"
Yo Wan tidak
berlaku sungkan lagi. Dengan penuh gairah ia segera merobek daging itu,
mengambil bagian yang ada tulangnya, lalu langsung menggerogotinya dengan
lahap.
"Wah,
hebat...! Lezat bukan main...!" katanya sambil mengunyah.
Memang
kelinci itu gemuk sekali, gajihnya banyak sehingga begitu daging tergigit,
gajih yang mencair oleh api itu menitik dari kanan kiri bibir Yo Wan.
"Sayang
tidak ada arak...Heee! Kau ke mana, Nona?"
"Tunggu
dulu sebentar, aku ambil air minum!" Cepat Siu Bi berlari meninggalkan Yo
Wan.
Pemuda ini
mengunyah lambat-lambat dan pikirannya makin penuh oleh keadaan Siu Bi. Gadis
itu benar-benar hebat, wataknya aneh sekali. Sekarang sangat ramah dan baik
kepadanya. Siapakah dia ini?
Siu Bi
kembali membawa dua buah kulit labu yang penuh air jernih, dan selain air, juga
ia membawa banyak buah-buah manis yang dipetiknya dari dalam hutan. Dengan
hati-hati agar jangan tumpah, dia menaruh kulit labu yang dipakai menjadi
tempat air itu di atas tanah, kemudian ia pun mulai makan daging kelinci.
Keduanya makan dengan lahap, tanpa bicara, hanya kadang-kadang pandangan mata
mereka bertemu sebentar. Yo Wan duduk di atas batu, Siu Bi duduk bersila di
atas tanah berumput. Api bekas pemanggang daging masih bernyala sedikit...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment