Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 06
Sementara
itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah mereka berhasil
melemparkan kedua orang tosu ke dalam air.
"Jangan
ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada anggota-anggota
Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah bermaksud melepaskan
anak panah, terpaksa membatalkan niatnya.
Siu Bi juga
merasa gembira sekali. Dia sudah membuktikan bahwa dia suka membantu
Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah
pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan
berguna dalam menghadapi musuh besarnya.
"Adik
Siu Bi, bagaimana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang indah ini?
Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada
taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!"
Siu Bi
mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-lari menghampiri sebuah
perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Seperti
dua orang anak-anak sedang bermain-main, mereka dengan gembira melepaskan
perahu dan naik ke dalam perahu kecil itu. Ouwyang Lam mengambil dua buah
dayung, lalu keduanya mendayung perahu itu ke tengah telaga, diikuti pandang
mata penuh maklum oleh para anak buah Ang-hwa-pai.
"Wah,
kongcu mendapatkan seorang kekasih baru," kata seorang anggota yang kurus
kering tubuhnya, jelas dalam suaranya bahwa dia merasa iri.
"Hemmm,
tapi yang satu ini sungguh tak boleh dibuat main-main. Ilmu kepandaiannya
hebat. Saingan berat bagi pangcu...," kata temannya yang gendut.
"Sssttttt...
apa kau bosan hidup?" cela si kurus sambil pergi ketakutan.
Ouwyang Lam
dan Siu Bi tertawa-tawa gembira ketika mendayung perahu sekuat tenaga sehingga
perahu itu meluncur seperti anak panah cepatnya. Pemuda itu menerangkan keadaan
pulau dan Siu Bi beberapa kali berseru kagum. Memang bagus pulau ini, biar pun
tidak berapa besar akan tetapi mempunyai bagian-bagian yang menarik. Ada bagian
yang penuh bukit karang, ada bagian yang merupakan taman bunga yang amat indah.
"Lihat,
di sana itu adalah pusat ular-ular hijau. Tidak ada musuh yang berani menyerbu
ke Ching-coa-to, karena sekali kami melepaskan ular-ular itu, mereka akan
menghadapi barisan ular yang lebih hebat dari pada barisan manusia
bersenjata."
Siu Bi
bergidik. Dia melihat banyak sekali ular-ular besar dan kecil berwarna hijau,
keluar masuk di lubang-lubang batu karang. "Apakah binatang-binatang itu
tidak berkeliaran di seluruh pulau dan membahayakan kalian sendiri?"
tanyanya.
Ouwyang Lam
tersenyum. "Kami mempunyai minyak bunga yang ditakuti ular-ular hijau itu.
Sekeliling daerah batu karang telah kami sirami minyak dan para penjaga selalu
siap menyiram minyak baru jika yang lama sudah hilang pengaruhnya. Dengan pagar
minyak itu, ular hijau tidak berani berkeliaran."
"Tapi...
apa perlunya memelihara ular sebanyak itu?"
"Sebetulnya
tenaga mereka tidak berapa kami butuhkan. Hanya racunnya... hemm, racun mereka
kami ambil dan Nio-nio amat pandai membuat obat dan senjata dari racun-racun
itu."
"Ahhh...
hebat kalau begitu!" Siu Bi berseru kagum.
Perahu
digerakkan lagi.
"Lihat,
di sana itu adalah taman bunga kami. Bukan main senangnya beristirahat di sana,
hawanya nyaman, baunya harum dan keadaan di situ betul-betul dapat
menenteramkan perasaan orang."
"Aduh,
bagusnya... mari kita mendarat ke sana... wah, indahnya seruni-seruni di ujung
sana itu. Beraneka warna dan sedang mekar...!"
Ouwyang Lam
melirik dengan hati gembira ke arah nona cantik di sebelahnya ini. Betapa akan
bahagianya bila tiba saatnya ia dapat bersenang-senang dengan gadis ini di
taman, sebagai kekasihnya!
"Nanti
saja, Moi-moi, kita keliling dulu dengan perahu. Karena kau menjadi orang
sendiri, seluruh pulau dan isinya ini anggap saja tempatmu sendiri. Tetapi
untuk dapat menikmati tempat kita ini, terlebih dahulu kau harus mengenal
bagian-bagian yang berbahaya, yang indah dan lain-lain. Jangan khawatir, masih
banyak waktu untuk kau bermain sepuasmu di dalam taman itu. Di sana terdapat
beberapa pondok kecil yang nyaman dan aku akan minta pada Nio-nio agar kau
diperbolehkan menempati sebuah di antara pondok-pondok di taman itu. Aku juga
tinggal di sebuah di antara pondok-pondok kecil di sana."
Sambil
berkata demikian, Ouwyang Lam melirik dengan tajam, ingin melihat bagaimana
reaksi dari gadis itu. Akan tetapi, Siu Bi bersikap biasa saja, hanya dia
sangat gembira mendengar ini, namun sama sekali tidak memperlihatkan tanda
bahwa ia mengerti akan isyarat dalam ucapan Ouwyang Lam. Memang, dia adalah
seorang gadis remaja yang masih hijau, mana dia mengerti akan kata-kata
menyimpang itu?
Perahu
didayung lagi.
"Mari kita
sekarang melihat taman air..." ucapan Ouwyang Lam terhenti.
Pada saat
itu mereka berdua melihat sebuah perahu kecil yang meluncur laju dari depan.
Seorang gadis mendayung perahu itu sambil berdiri di tengah perahu, memandang
pada mereka dengan mata melotot.
Ouwyang Lam
merasa kagum, mengapa hari ini peruntungannya begitu baik sehingga matanya
kembali sempat melihat seorang gadis yang begini cantik jelita setelah bertemu
dengan Siu Bi. Sedangkan Siu Bi sendiri juga kagum karena di dalam pandang
matanya gadis yang sendirian di perahu itu mempunyai sifat yang gagah dalam
kesederhanaan pakaiannya.
Perahu
mereka kini sudah saling berhadapan dan kedua pihak menahan perahu dengan
gerakan dayung. Sejenak tiga orang ini saling pandang, penuh selidik. Ouwyang Lam
yang selalu tidak mau melewatkan kesempatan untuk mencari muka dan
bermanis-manis terhadap gadis cantik, segera mengangkat kedua tangan ke depan
dada memberi hormat sambil tersenyum dan menegur.
"Nona,
aku Ouwyang Lam tidak pernah bertemu muka denganmu. Agaknya Nona adalah seorang
tamu yang hendak mengunjungi Ang-hwa-pai. Kalau memang demikian halnya, dapat
Nona bicara dengan aku yang mewakili ketua Ang-hwa-pai."
Cui Sian
sudah menduga bahwa tentu dua orang ini yang tadi telah menghina tosu-tosu
Kun-lun-pai. Sekarang mendengar pemuda itu memperkenalkan nama, ia tidak
ragu-ragu lagi.
"Aku
seorang pelancong, sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Ang-hwa-pai atau
perkumpulan jahat mana pun juga!" Sengaja Cui Sian menjawab ketus karena
memang dia hendak mencari perkara kemudian memberi hajaran kepada orang-orang
muda yang dianggapnya jahat itu.
Siu Bi
mendengar ini dan tak dapat menahan tawanya. Memang Siu Bi wataknya aneh.
Senang ia melihat gadis itu berani menghina Ang-hwa-pai secara begitu terang-terangan
di depan Ouwyang Lam, maka ia tertawa, tentu saja mentertawakan pemuda itu.
Mendengar suara ketawa ditahan ini, Ouwyang Lam menjadi dongkol. Alisnya yang
tebal berkerut dan matanya memandang galak kepada Cui Sian. Akan tetapi karena
gadis di depannya itu benar-benar cantik jelita, tidak kalah oleh Siu Bi
sendiri, dia masih menahan kemarahannya dan mempermainkan senyum pada bibirnya.
"Nona
yang baik, ketahuilah bahwa telaga ini termasuk wilayah Ang-hwa-pai, jadi kau
kini sudah berada di dalam wilayah kami. Karena itu berarti kau sudah menjadi
tamu kami, maka tadi aku sengaja bertanya. Andai kata kau hanya pelancong biasa
dan tidak punya urusan dengan Ang-hwa-pai, akan tetapi karena tanpa sadar kau
telah menjadi tamuku, tiada buruknya kalau kita menjadi sahabat."
Kembali Siu
Bi tersenyum dan mengejek, "Wah, kau benar-benar amat sabar dan ramah,
Ouwyang-twako!"
Kalau Siu Bi
mengejek karena mengira Ouwyang Lam takut-takut dan jeri, adalah Cui Sian yang
menjadi muak perutnya. Gadis ini lebih berpengalaman atau setidaknya lebih
mengenal watak pria dari pada Siu Bi yang hijau maka ia dapat menangkap nada
suara kurang ajar dalam ucapan Ouwyang Lam. Dengan ketus ia menjawab,
"Kau
manusia sombong. Kurasa telaga ini adalah buatan alam, bagaimana Ang-hwa-pai
berani mengaku sebagai hak dan wilayahnya? Eh, bocah, apakah kau yang telah
berani menghina bahkan membunuh tosu dari Kun-lun-pai?"
Ouwyang Lam
terkejut dan hilang keramahannya. Juga Siu Bi hilang senyumnya. Mereka berdua
bangkit berdiri dan memandang Cui Sian dengan curiga. Kalau gadis ini datang
membela Kun-lun-pai, berarti dia itu musuh!
"Kalau
betul begitu, kau mau apakah?" teriak Ouwyang Lam. "Apakah kau anak
murid Kun-lun-pai yang hendak menuntut balas?"
”Aku bukan
anak murid Kun-lun-pai, juga tidak tahu-menahu tentang permusuhan kalian dengan
Kun-lun-pai. Akan tetapi kebetulan sekali aku berjumpa dengan dua orang tosu
Kun-lun-pai yang sudah kalian hina. Tosu-tosu Kun-lun-pai bukanlah orang-orang
jahat, maka kalau kalian sudah berani menghina mereka, berarti kalian
benar-benar merupakan orang-orang kurang ajar dan mengandalkan kepandaian. Jika
bicara tentang kegagahan, agaknya aku lebih condong menganggap kalianlah yang
bersalah dan jahat."
"Heei,
kau orang liar dari mana datang-datang membuka mulut asal bunyi saja?" Siu
Bi berseru marah. "Dua orang tosu bau itu memang kami berdua yang melempar
ke dalam air, habis kau mau apa?!”
"Hemmm,
aku tidak akan mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi aku pun tidak biasa
membiarkan orang berlaku sewenang-wenang. Kau menghina dan melempar orang ke
air, sekarang aku pun hendak melempar kalian ke dalam air!"
"Sombong
amat! Twako, mari kita lempar bocah sombong ini dari perahunya!" Cepat Siu
Bi menggerakkan dayungnya, diikuti oleh Ouwyang Lam yang bermaksud merobohkan
dan menawan gadis cantik yang sombong itu.
"Plakkk!
Plakkkkk!"
Siu Bi dan
Ouwyang Lam berseru kaget sekali karena dayung mereka tertangkis oleh dayung di
tangan Cui Sian. Demikian kuat dan hebatnya tangkisan itu sehingga hampir saja
Siu Bi dan Ouwyang Lam tak mampu menahan dan melepaskan dayung. Telapak tangan
mereka terasa panas dan sakit-sakit. Hal ini sama sekali tak pernah mereka duga
karena tadi mereka memandang rendah sekali, dan sesaat mereka kaget dan
bingung.
Sebelum
mereka dapat memperbaiki kedudukan, perahu mereka tertumbuk oleh perahu Cui
Sian dan dayung di tangan Cui Sian secara dahsyat sekali telah menerjang
mereka. Perahu miring, dua orang muda itu hampir terjengkang ke belakang dan
oleh karena kedudukan yang buruk sekali dan lemah ini, sampai dayung di tangan
Cui Sian tak dapat mereka tangkis lagi dan jalan satu-satunya bagi mereka untuk
menyelamatkan diri hanya melempar diri ke belakang.
“Byuurrrrr…!
Byuurrrrr…!”
Terdengar
suara keras dan air memercik tinggi ketika dua orang itu terlempar ke dalam
air, juga perahu mereka telah terbalik!
Ouwyang Lam
yang pandai berenang itu cepat menyambar lengan tangan Siu Bi yang gelagapan
dan menarik gadis itu ke arah perahu mereka yang terbalik. Karena dayung mereka
terlempar dan mereka berada di bawah ancaman dayung Cui Sian, mereka tak dapat
berbuat sesuatu apa pun kecuali memegangi perahu yang terbalik dengan muka dan
kepala yang basah kuyup!
"Ketahuilah,
aku bernama Tan Cui Sian, bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya seorang pelancong
yang kebetulan lewat dan tak senang melihat kekurang ajaranmu. Harap kali ini
kalian menganggap sebagai pelajaran agar lain kali jangan kurang ajar dan
sombong lagi." Setelah berkata demikian Cui Sian mendayung perahunya pergi
meninggalkan dua orang yang tak berdaya dan memegangi perahu terbalik itu.
"He,
manusia curang!" Siu Bi berteriak marah, memaki-maki. "Tunggu aku di
darat kalau kau memang benar-benar gagah dan kita bertanding sampai sepuluh
ribu jurus! Tidak bisa kau menghina Cui-beng Kwan Im dan pergi enak-enak begitu
saja!"
Cui Sian
menoleh dan tersenyum mengejek. "Julukannya saja Cui-beng (Pengejar Roh),
walau pun cantik seperti Kwan Im, tetap saja jahat. Bocah masih ingusan, siapa
takut padamu? Kutunggu kau di darat dan aku tanggung kau akan kulempar sekali
lagi ke dalam air!"
Siu Bi
memaki-maki, akan tetapi apa dayanya? Mengejar perahu itu terang tak mungkin.
Lain dengan Ouwyang Lam. Biar pun amat mendongkol dan malu, tetapi segera
bersuit nyaring memberi aba-aba kepada anak buahnya. Beberapa buah perahu hitam
meluncur cepat dari balik alang-alang, menghampiri Ouwyang Lam dan Siu Bi yang
kini sudah berhasil membalikkan perahu dan melompat ke dalam perahu dengan
pakaian basah kuyup.
"Kejar
iblis betina itu, gulingkan perahunya dan tangkap dia. Ingat, harus gulingkan
perahunya lebih dulu!"
Perintah
Ouwyang Lam ini segera ditaati oleh tiga buah perahu yang masing-masing
berpenumpang tiga orang. Sembilan orang ahli air Ang-hwa-pai melakukan
pengejaran. Ouwyang Lam dan Siu Bi mengikuti dari belakang setelah Ouwyang Lam
terjun dan berenang mengambil dayung-dayung mereka yang tadi terlempar.
Cui Sian
yang sama sekali tidak menduga bahwa dia akan dikejar, dengan hati puas
mendayung perahunya ke tengah telaga, tidak tergesa-gesa pergi mendarat karena
dia ingin melihat-lihat pulau itu dari dekat. Tak lama kemudian barulah dia
melihat tiga buah perahu hitam meluncur cepat mendekati perahunya.
la dapat
menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang Ang-hwa-pai, apa lagi setelah
dekat ia melihat bunga merah tersulam di baju mereka. Akan tetapi tentu saja ia
tidak takut, malah menanti kedatangan mereka dengan dayung di tangan, siap
menghantam dan menghajar mereka yang berani mengganggunya.
Akan tetapi,
ia mulai terkejut melihat sembilan orang di dalam tiga buah perahu itu semua
melompat ke dalam air dan tidak muncul lagi. Mereka menyelam! Segera Cui Sian
dapat menduga apa yang akan mereka lakukan. Cepat dia mendayung perahunya
meluncur pergi, namun terlambat. Perahunya berguncang hebat.
la berdiri
menggunakan ginkang-nya, mengatur keseimbangan tubuh agar jangan sampai
terjungkal ke dalam air. Bahkan dayungnya berhasil mengemplang punggung seorang
penyelam yang segera menyelam dan berenang pergi sambil merintih-rintih. Akan
tetapi akhirnya perahunya terguling!
Namun dengan
gerakan yang amat indah, tubuh Cui Sian mencelat ke atas dan dengan berjungkir
balik beberapa kali, tubuhnya cukup lama berada di atas sehingga ketika dia
meluncur turun, perahunya sudah terbalik dan terapung lagi. la mendarat di atas
perahu yang terbalik itu, siap dengan dayungnya. Para penyelam melihat ini
menjadi kagum sekali, juga penasaran. Mereka menyelam lagi mendekati dan
berusaha menggulingkan perahu yang sudah terbalik agar nona itu ikut tenggelam.
Namun Cui
Sian dengan dayungnya mempertahankan perahunya. Dua orang penyelam kena dihajar
tangan mereka sehingga tulangnya patah, seorang penyelam lagi terpaksa dibawa
pergi temannya karena kemplangan pada kepalanya membuat dia pingsan. Ouwyang
Lam dan Siu Bi sudah tiba di situ. Melihat betapa gadis kosen itu masih belum
dapat ditangkap, malah mengamuk dan mempertahankan perahu yang sudah terbalik
itu, melukai beberapa orang penyelam, dia menjadi marah dan diam-diam kaget
juga.
Gadis itu
benar-benar lihai. Hatinya tidak enak sekali. Kemudian dia bersuit memberi
tanda kepada ternan-temannya yang sudah muncul di permukaan air tetapi tidak
berani mendekati perahu terbalik itu. Kini hanya tinggal empat orang penyelam
yang belum terluka, akan tetapi mereka jeri, tidak berani mendekat. Setelah
Ouwyang Lam bersuit, mereka menyelam lagi.
Ouwyang Lam
mendayung perahunya yang meluncur cepat mendekati perahu Cui Sian yang
terbalik. "Adik Siu Bi, kesempatan kita untuk membalas!" katanya.
Siu Bi sudah
bersiap dengan dayungnya. Ketika perahu mereka sudah dekat, Ouwyang Lam dan Siu
Bi menggerakkan dayung. Kali ini mereka berlaku hati-hati, dayung mereka
menerjang hebat dengan pengerahan tenaga. Sebaliknya, Cui Sian berada dalam
keadaan yang amat buruk. Berdiri di atas perahu terbalik amat licin dan terlalu
sempit, sedangkan dua buah dayung yang menyerangnya itu pun tak boleh dibuat
main-main.
Tadi pun ia
sudah dapat kenyataan bahwa kedua orang muda ini memiliki kepandaian tinggi,
hanya karena tadi memandang rendah kepadanya maka dalam segebrakan saja ia
berhasil melempar mereka ke air. la maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali.
Namun, Cui Sian memiliki sifat yang amat tenang, juga tabah. la tidak menjadi
gentar, malah mengejek,
"Beginikah
cara orang gagah? Mengeroyok dengan cara yang licik?"
Merah muka
Siu Bi. Sesungguhnya ia benci akan cara demikian ini, akan tetapi semua itu
yang mengatur adalah Ouwyang Lam, ia sebagai tamu tak dapat berbuat lain. Untuk
diam saja tidak ikut mengeroyok juga tidak enak, apa lagi ia tadi sudah dibikin
basah kuyup dan merasa amat marah kepada gadis bernama Cui Sian itu. Dengan
tenaga dalamnya yang murni dan sangat kuat serta gerakan dayungnya yang hebat,
Cui Sian masih mampu mempertahankan diri dari desakan kedua buah dayung
lawannya. Akan tetapi tiba-tiba perahu yang diinjaknya berguncang hebat.
Kini ia
tidak mungkin dapat melawan orang-orang yang berada di dalam air karena dua
batang dayung yang mengancamnya dari depan sudah cukup berbahaya. la berusaha
mempertahankan diri, akan tetapi ketika tiba-tiba perahu yang diinjaknya itu
tenggelam, tak mungkin lagi ia mempertahankan diri.
la ikut
tenggelam dan pada lain saat ia gelagapan karena seperti juga Siu Bi, ia adalah
seorang puteri gunung dan tidak pandai berenang! Sungguh pun demikian, ketika
dua orang penyelam berusaha menangkap dan memeluknya, mereka itu memekik
kesakitan dan pingsan terkena sampokan tangannya!
Melihat ini,
Ouwyang Lam terjun ke air. Cui Sian sudah gelagapan dan menelan air, tentu saja
bukan lawan Ouwyang Lam yang selain berkepandaian tinggi, juga ahli bermain di
air. Sebelum Cui Sian sempat mempertahankan diri, sebuah sapu tangan merah yang
diambil pemuda itu dari saku bajunya, telah menutup mukanya. la mencium bau
harum dan tak ingat diri lagi.
Ouwyang Lam
menyeretnya sambil berenang. Ketika sampai di pinggir perahu, pemuda itu
memondongnya naik ke perahu, melempar tubuh yang pingsan dan basah kuyup itu ke
dalam perahu. Siu Bi mengerutkan keningnya. "Mau diapakan dia ini,
Ouwyang-twako?"
Mendengar
pertanyaan ini dan melihat pandang mata Siu Bi yang tajam penuh selidik,
Ouwyang Lam menjadi agak gagap ketika menjawab. "Diapakan? Dia... ehhh,
tentu saja harus ditawan. Soal ini harus dilaporkan kepada Nio-nio. Gadis ini
mencurigakan sekali, Siauw-moi (Adik Kecil). Kepandaiannya amat tinggi dan
andai kata dia betul-betul bukan orang Kun-lun-pai, mengapa ia memusuhi kita?
Dan mengapa pula ia berperahu di sini?"
"Kan ia
sudah bilang bahwa ia seorang pelancong...," bantah Siu Bi, tidak setuju
melihat gadis ini ditawan secara begitu.
Ouwyang Lam
tersenyum, maklum bahwa gadis ini mulai menaruh curiga. la harus lebih
berhati-hati, pikirnya. "Jangan kau khawatir, Moi-moi. Dia ini ditawan
hanya untuk ditanyai kelak. Bila ternyata benar dia itu hanyalah seorang
pelancong yang iseng dan gatal tangan, tentu saja kami akan membebaskannya.
Biar dia ditawan beberapa hari, hitung-hitung untuk membalas penghinaannya atas
diri kita berdua."
Puas hati
Siu Bi dengan jawaban ini. Sambil mendayung perahu kembali ke pulau, Siu Bi
diam-diam mengagumi kecantikan gadis yang telentang di depannya. Benar-benar
cantik jelita dan manis sekali. Sayang dia sombong, pikirnya, dan pernah
menghinaku. Kalau tidak, hemmm, senang juga mempunyai kawan yang juga memiliki
kepandaian tinggi ini.
la melihat
ada benda mengganjal di atas pinggang belakang. Dirabanya, ternyata gagang
pedang. Dengan perlahan disingkapnya baju luar itu dan ditariknya pedang itu.
Sebuah pedang pendek! Akan tetapi begitu Siu Bi mencabutnya dari sarung,
matanya silau oleh sinar yang putih gemerlapan.
"Wahhh,
pedang yang hebat, pusaka ampuh!" seru Ouwyang Lam. "Moi-moi, kau
benar. Pedang itu harus dirampas, kalau tidak dia bisa membikin kacau setelah
siuman."
Ucapan ini
membikin muka Siu Bi semakin merah. Sama sekali dia tidak mempunyai niat untuk
merampas pedang orang, hanya ingin melihat saja. Akan tetapi tiba-tiba ia
berpikir.
Pedang
pusakanya sendiri ia tinggalkan kepada Jaka Lola. la tidak bersenjata. Tak ada
salahnya ia menyimpan dulu pedang ini, dan kalau segala sesuatu beres, mudah
saja dia kembalikan kepada yang punya. Dari pada dirampas oleh Ouwyang Lam. Ia
masih belum percaya penuh kepada pemuda ini atau kepada ‘bibi Kui Ciauw’.
Dalam
keadaan masih pingsan, Cui Sian dibawa ke daratan pulau, dihadapkan kepada
Ang-hwa Nio-nio. Nenek ini mengerutkan alisnya ketika mendengar laporan Ouwyang
Lam. la memeriksa buntalan pakaian Cui Sian yang juga dibawa ke situ oleh anak
buah yang menemukannya dari perahu yang terbalik. Akan tetapi buntalan itu
isinya hanyalah beberapa potong pakaian dan sekantung uang emas. Tidak ada
sesuatu yang membuka rahasia tentang diri gadis aneh itu.
Ang-hwa
Nio-nio lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan warna biru, mengebutkan sapu
tangan itu ke arah hidung Cui Sian, kemudian dengan sapu tangan itu pula ia
menotok belakang leher. Ujung sapu tangan dapat dipergunakan untuk menotok
jalan darah, hal ini saja membuktikan kelihaian nenek ini. Kiranya sapu tangan
warna biru itu mengandung obat pemunah racun merah. Tak lama kemudian Cui Sian
menggerakkan pelupuk matanya dan pada waktu matanya terbuka, gadis ini sudah
melompat bangun dan berada dalam keadaan siap siaga!
la memandang
ke sekelilingnya, melihat muda-mudi bekas lawannya tadi berada di situ bersama
seorang nenek berpakaian serba merah dan beberapa orang laki-laki setengah tua
yang memakai tanda bunga merah di dada. Di pinggir berdiri pelayan-pelayan
wanita. Maklum bahwa dirinya dikepung musuh, Cui Sian meraba pinggangnya.
Pedangnya tidak ada! Akan tetapi gadis ini tenang-tenang saja, sama sekali
tidak menjadi gentar atau gugup. la malah tersenyum mengejek dan berkata,
"Bagus! Kiranya Ang-hwa-pai penuh tipu muslihat. Kalian secara curang
sudah berhasil menawan aku, mau apa?"
Ang-hwa
Nio-nio membentak ketus, "Bocah sombong, berani kau berlagak di depanku?!
Sudah diampuni jiwanya masih sombong. Kalau tadi kami turun tangan membunuhmu,
kau akan bisa apa?"
Cui Sian
memandang nenek itu, pandang matanya tajam bukan main, membuat si nenek
diam-diam tercengang dan menduga-duga, siapakah gerangan gadis yang bernyali
besar dan penuh wibawa ini.
"Agaknya
kau adalah ketua Ang-hwa-pai. Nah, katakan kehendakmu. Soal mati hidup, kau
membunuhku pun aku tidak takut, kau membebaskan aku pun tak merasa berhutang
budi."
"Bocah,
lebih baik larutkan keangkuhanmu ini dan lekas kau mengaku, siapakah yang
menyuruh kau datang memata-matai Ang-hwa-pai dan membikin kacau? Jika tidak ada
yang menyuruh, apa maksud kedatanganmu? Jawab sebenarnya, jangan membikin aku
habis sabar. Apa hubunganmu dengan Kun-lun-pai?"
"Tidak
ada yang menyuruhku, Kun-lun-pai tiada sangkut-pautnya denganku. Aku seorang
pelancong, kebetulan lewat dan berpesiar di telaga, lalu bertemu dengan dua
orang tosu Kun-lun-pai. Kuanggap dua orang bocah ini keterlaluan sekali, maka
aku sengaja hendak memberi hajaran. Dengan curang mereka berhasil menawan aku,
terserah kalian mau apa sekarang. Mau bertanding sampai seribu jurus,
hayo!"
Kembali
Ang-hwa Nio-nio tercengang dan diam-diam harus dia akui bahwa gadis seperti ini
tentu tak boleh dipandang ringan. "Siapakah kau dan dari mana kau
datang?"
"Sudah
kukatakan pada dua orang bocah ini, namaku Tan Cui Sian dan aku bukan orang
Kun-lun-pai, sungguh pun Kun-lun-pai adalah partai segolongan dengan
Thai-san-pai."
Berubah
wajah Ang-hwa Nio-nio. "Kau anak murid Thai-san-pai? Dan kau... kau she
Tan, apamukah Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San si kakek ketua Thai-san-pai?"
"Dia
ayahku..."
"Keparat!
Kiranya kini kau menyerahkan nyawa anakmu kepadaku, manusia she Tan?"
Sambil berseru keras Ang-hwa Nio-nio sudah menerjang maju, tangannya menghantam
dan sinar merah membayang pada pukulannya ini.
Cui Sian
sudah siap sejak tadi. la maklum bahwa nenek ini tentulah seorang sakti dan
alangkah kecewanya bahwa dia tadi sudah mengaku dan menyebut nama ayahnya dan
Thai-san-pai. Ternyata pengakuan itu hanya mendatangkan bahaya bagi dirinya
karena ternyata bahwa nenek ini kiranya adalah musuh ayahnya. Ayahnya, Si Raja
Pedang Tan Beng San, memang mempunyai banyak sekali musuh, terutama dari
golongan hitam. Setelah terlanjur membuat pengakuan, ia sekarang harus
menghadapi bahaya dengan tabah.
Cui Sian
bukan seorang gadis nekat seperti Siu Bi. Dia seorang yang berpemandangan luas,
cerdik dan dapat melihat gelagat. Tentu saja ia maklum bahwa, amatlah berbahaya
baginya untuk seorang diri saja menghadapi orang-orang Ang-hwa-pai di tempat
mereka sendiri. Apa lagi ia bertangan kosong, kalau ada Liong-cu-kiam di
tangannya masih boleh diandalkan. Maka, melihat datangnya pukulan maut yang
mengandung sinar merah, dia cepat-cepat miringkan tubuh dan mainkan jurus
Im-yang Kun-hoat yang ia warisi dari ayahnya. Kedua tangannya dengan pengerahan
dua macam tenaga Im dan Yang, menangkis sambaran tangan Ang-hwa Nio-nio yang
tak mungkin dapat dielakkan lagi itu.
"Dukkk!"
Tubuh Cui
Sian terlempar sampai ke luar dari pintu ruangan, ada pun ketua Ang-hwa-pai itu
kelihatan meringis kesakitan.
Terlemparnya
tubuh Cui Sian memang disengaja oleh gadis itu sendiri karena pertemuan tenaga
mukjijat itu memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri, atau setidaknya
keluar dari ruangan yang sempit itu agar kalau dikeroyok, ia dapat melawan
lebih leluasa di tempat yang luas di luar rumah.
"Bocah
setan, mau lari ke mana engkau?" Ang-hwa Nio-nio berseru, kemudian menoleh
kepada Siu Bi dan Ouwyang Lam berkata, "Kejar, ia dan ayahnya adalah
sekutu musuh besar kita, Pendekar Buta!"
Mendengar
seruan ini, Ouwyang Lam dan Siu Bi cepat berkelebat melakukan pengejaran di
belakang Ang-hwa Nio-nio. Juga para pembantu pengurus Ang-hwa-pai beramai-ramai
ikut mengejar. Tentu saja Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam dan Siu Bi yang paling
cepat gerakannya sehingga para pembantu itu tertinggal jauh.
Ternyata Cui
Sian memiliki ginkang yang hebat, larinya cepat seperti kijang. Akan tetapi
karena dia tidak mengenal tempat itu, tanpa dia ketahui dia telah lari ke
daerah karang. Melihat ini, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam tertawa dan sengaja
tidak mempercepat larinya, hanya mengejar dari belakang.
Siu Bi
merasa heran, tetapi segera ia melihat kenyataan dan mengetahui persoalannya.
Wajahnya seketika berubah pucat. Gadis yang dikejar itu telah lari memasuki
sarang ular hijau! Dia bergidik dan diam-diam dia merasa tidak senang. Boleh
saja mendesak dan menyerang musuh, akan tetapi tidak secara pengecut dan
menggunakan akal busuk.
Melihat di
depannya batu-batu karang yang sukar dilalui, apa lagi tiga orang pengejarnya
masih terus mengejar dari belakang, Cui Sian terpaksa berhenti, membalikkan
tubuh dan tersenyum mengejek.
"Kalian
bertiga hendak mengeroyokku yang bertangan kosong? Bagus, memang benar gagah
orang-orang Ang-hwa-pai! Setelah merampas pedang, kini mengeroyok."
Ouwyang Lam
yang tadinya tertarik sekali akan kecantikan Cui Sian sekarang timbul
kemarahannya. la telah dibikin malu, dan sekarang tiba saat baginya untuk
membalas. la memang pernah dirobohkan, akan tetapi hal itu terjadi karena dia
memandang rendah dan kejadian itu hanya dapat dialami secara tidak
tersangka-sangka.
Sekarang
mereka saling berhadapan dan dapat mengandalkan ilmu kepandaian mereka. la
tidak percaya bahwa dia takkan dapat menangkan seorang gadis! Mendengar ejekan
ini dia berkata, "Nio-nio, biarkan aku menghadapi gadis sombong ini!"
Dia melompat
maju dan dengan nada suara mengejek pula dia menjawab Cui Sian,
"Perempuan
sombong. Kau kira di dunia ini tidak ada yang dapat mengalahkanmu? Kau
bertangan kosong? Lihat, aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, kau
kira aku tidak berani? Akan tetapi kalau nanti kau tidak berlutut dan
minta-minta ampun tujuh kali kepadaku, aku tidak akan melepaskanmu!"
Cui Sian
menggigit bibirnya saking gemas dan marahnya. Baginya, ucapan pemuda ini pun
mengandung arti yang kotor dan menghina. Tak sudi ia banyak cakap lagi,
tubuhnya segera menerjang maju dengan seruan nyaring. "Lihat
pukulan!"
Seruan
begini adalah lazim dilakukan oleh pendekar-pendekar yang pantang menyerang
orang tanpa peringatan lebih dulu, berbeda dengan sifat rendah tokoh-tokoh
dunia hitam yang selalu menyerang secara sembunyi, malah menggunakan kesempatan
selagi lawan lengah untuk merobohkan lawan itu.
Ouwyang Lam
cepat mengelak dan sambaran angin pukulan gadis ini cukup meyakinkan hatinya
bahwa dia tidak boleh main-main menghadapinya. Maka dia pun lalu cepat-cepat
menggerakkan kaki tangan, memainkan Ilmu Silat Bintang Terbang sambil
mengerahkan tenaga Ang-tok-ciang sehingga dari dua tangannya itu
menyambar-nyambar sinar merah karena hawa beracun Ang-tok sudah memenuhi
pukulan-pukulan itu.
Akan tetapi,
Cui Sian bukanlah gadis sembarangan. Dia puteri Raja Pedang dan ketua Thai-san-pai
yang sakti, yang semenjak kecil telah menggemblengnya dengan ilmu-ilmu
kesaktian. Raja Pedang cukup mengenal ilmu-ilmu dari dunia hitam, maka
pengertiannya tentang hal ini ia turunkan semua kepada puterinya sehingga kini,
menghadapi pukulan-pukulan yang mengandung hawa beracun bersinar merah, Cui
Sian sama sekali tidak menjadi gentar. Kalau tadi ia dapat ditangkap, hal itu
adalah karena ia tidak pandai berenang. Sekarang, sama-sama menggunakan tangan
kosong, jangan harap Ouwyang Lam akan sanggup mengatasinya.
Dengan
jurus-jurus Im-yang Sin-kun yang luar biasa, Cui Sian mampu menolak semua
terjangan lawan, bahkan mulai balas mendesak dengan hebat. Ouwyang Lam terkejut
setengah mati. Selama menjadi murid dan kekasih Ang-hwa Nio-nio dan telah
mewarisi ilmu kesaktian wanita ini, belum pernah ia menemui tanding yang begini
hebat selain Siu Bi.
Dia menjadi
bingung oleh gerakan Cui Sian yang mengandung dua unsur tenaga yang berlawanan
itu. Di suatu saat, pukulan Cui Sian bersifat keras, di lain detik merupakan
pukulan lunak tetapi berbahaya. Memang di sini letak kehebatan Im-yang Sin-kun,
ilmu silat yang berbeda dengan ilmu silat lain.
Ilmu-ilmu
silat yang lain hanya mempunyai satu sifat, lembek atau keras, kalau lembek
mengandalkan tenaga Iweekang, kalau keras mengandalkan gwakang. Akan tetapi
gadis cantik ini mencampur aduk Iweekang dan gwakang, mencampur aduk hawa Im
dan Yang dalam terjangannya, pencampur adukan yang sangat rapi karena memang
menurut Ilmu Sakti Im-yang Sin-kun yang ia warisi dari ayahnya.
Setelah
lewat lima puluh jurus, Ouwyang Lam sudah tidak kuat lagi. Hendak mencabut
pedangnya, dia merasa malu karena di situ terdapat Siu Bi yang turut menonton.
Masa melawan seorang gadis, setelah tadi menyombong sama-sama dengan tangan
kosong, kini dia harus mencabut pedang? Memalukan sekali, lebih memalukan dari
pada kalau dia kalah dalam pertandingan ini. la mengerahkan tenaga mengumpulkan
semangat dan menerjang dengan buas. Kini dia menggunakan jurus Bintang Terbang
Terjang Bulan, tubuhnya melayang ke depan, dua tangannya mencengkeram ke arah
dada dan leher. Serangan hebat yang mematikan!
Seketika
wajah Cui Sian menjadi merah. Di samping kehebatannya, serangan ini pun tidak
sopan. la membiarkan kedua tangan lawan itu menyambar dekat, memperlihatkan
sikap gugup dan bingung. Ouwyang Lam girang sekali, akan berhasil agaknya dia
kali ini.
"Awas...!"
Ang-hwa Nio-nio berseru dan melompat ke depan.
Terlambat
sudah! Tubuh Ouwyang Lam terbanting dari samping dan pemuda ini roboh
bergulingan di atas tanah berbatu yang keras! Kiranya tadi sikap gugup dan
bingung Cui Sian hanya merupakan pancingan belaka membiarkan lawan menjadi
girang berbesar hati dan karenanya lemah kedudukannya.
Secepat
kilat Cui Sian membuang diri ke kiri, hanya tubuh bagian atas saja yang meliuk
ke kiri, sebatas lutut ke atas, namun kedua kakinya masih memasang kuda-kuda
yang kokoh kuat. Gerakan yang amat indah. Pada saat kedua tangan Ouwyang Lam
sudah menyambar lewat, Cui Sian balas menghantam dengan sampokan kedua
lengannya dari samping, jari-jari tangannya terbuka dan dua tangannya yang
mengandung dua macam tenaga, yang kiri menghentak dengan tenaga Im sedangkan
yang kanan mendorong dengan tenaga Yang.
Tak kuat
Ouwyang Lam mempertahankan diri dari serangan balasan yang mendadak dan tidak
terduga-duga ini sehingga dia terbanting cukup hebat. Untung baginya bahwa pada
saat itu, Ang-hwa Nio-nio sudah melompat datang dan menerjang Cui Sian tanpa
banyak cakap lagi. Bila tidak demikian halnya, dalam keadaan terbanting dan
kepalanya masih pening tadi, dengan amat mudahnya Cui Sian akan dapat
menyusulkan serangan berikutnya yang membahayakan keselamatannya.
Ouwyang Lam
bangun dengan muka merah. Hatinya panas mendongkol, apa lagi ketika dia menoleh
ke arah Siu Bi dilihatnya gadis itu memandang ke arah Cui Sian dengan sinar
mata penuh kekaguman. Dia merasa malu di depan Siu Bi. Terang bahwa dalam
pertandingan tangan kosong tadi, dia kalah oleh gadis lihai puteri Raja Pedang
ini.
Dalam
marahnya, ingin dia mencabut pedang dan menyerang lagi bekas lawannya, biar pun
Cui Sian pada saat itu sedang bertanding melawan Ang-hwa Nio-nio dengan hebat.
Akan tetapi kehadiran Siu Bi di situ membuat Ouwyang Lam terpaksa menahan sabar
dan tidak ada muka untuk melakukan pengeroyokan.
Sementara
itu, pertandingan antara Cui Sian dan Ang-hwa Nio-nio sudah berlangsung dengan
hebatnya. Dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ouwyang Lam, tentu saja
Ang-hwa Nio-nio jauh lebih tinggi. Cui Sian maklum dan merasakan hal ini, namun
gadis perkasa ini mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan ilmu kesaktian Im-yang
Sin-kun sehingga biar pun ia tidak mampu melakukan desakan macam tadi terhadap
ketua Ang-hwa-pai ini, namun pertahanannya kokoh kuat laksana benteng baja.
Seperti juga
Ouwyang Lam, ketua Ang-hwa-pai ini merasa malu untuk mempergunakan senjatanya,
bukan malu terhadap lawan, melainkan tak enak hati terhadap Siu Bi yang
dianggap sebagai tamu dan orang luar. Jika tidak ada Siu Bi di situ, sudah
tentu Cui Sian sejak tadi dikeroyok dan tak mungkin gadis perkasa itu dapat
menyelamatkan dirinya.
Di samping
hal ini, juga Ang-hwa Nio-nio merasa penasaran sekali. Ilmu silatnya sudah
mencapai tingkat yang tinggi, malah ia sudah mematangkan kepandaiannya sehingga
ia berpendapat bahwa tingkatnya sekarang sudah tak berbeda jauh dengan tingkat
musuh besarnya, Pendekar Buta. Akan tetapi mengapa menghadapi seorang gadis
muda saja ia tidak mampu mendesaknya?
Memang dia
sudah tahu akan kesaktian Raja Pedang. Akan tetapi puterinya ini baru dua puluh
usianya, betapa pun juga baru berlatih belasan tahun, bagaimana dapat menahan
dia yang telah melatih diri puluhan tahun? Inilah yang membuat hatinya
penasaran dan ia menguras semua ilmunya untuk memecahkan pertahanan Cui Sian.
Namun,
Im-yang Sin-kun adalah ilmu yang bersumber kepada Im-yang Bu-tek Cin-keng,
merupakan rajanya ilmu silat dan telah mencakup inti sari dari semua gerakan
silat. Ilmu silat yang dimiliki Pendekar Buta sendiri pun bersumber pada ilmu
silat ini, demikian pula ilmu-ilmu silat dari semua partai bersih. Andai masa
latihan Cui Sian sedemikian lamanya seperti Ang-hwa Nio-nio, jangan harap ketua
Ang-hwa-pai itu akan dapat menang.
Sekarang
pun, karena kalah matang dalam latihan, biar tak dapat mendesak lawan, akan
tetapi Cui Sian masih dapat mempertahankan diri dengan baik. Memang jika
dilanjutkan akhirnya dia akan kalah juga karena terus-menerus mempertahankan
diri tanpa mampu membalas, akan tetapi akan memakan waktu lama sekali.
Siu Bi
menonton pertempuran Itu dengan hati tegang. Matanya yang sudah terlatih akan
ilmu-ilmu silat tinggi dapat membedakan sifat-sifat kepandaian kedua orang yang
sedang bertanding itu.
Terjangan-terjangan
Ang-hwa Nio-nio bersifat ganas dan kasar, ditunjang dengan hawa pukulan
bersinar merah yang menyelubungi seluruh tubuh berpakaian serba merah itu.
Sebaliknya, Cui Sian bersilat dengan gerakan yang sifatnya tenang serta kokoh
kuat, indah dalam setiap gerakan dan hawa pukulan dari kedua tangannya
mengandung sinar jernih tak berwarna namun cukup kuat sehingga menolak bayangan
sinar merah lawan.
Saking
tegangnya dan memandang penuh perhatian, Siu Bi tidak melihat lagi kepada
Ouwyang Lam. Pemuda ini diam-diam mengeluarkan sebungkus bubuk berwarna putih,
menyebarkannya di sekeliling tempat mereka, kemudian memberi tanda isyarat
kepada para anak buah Ang-hwa-pai.
Tidak lama
kemudian terdengarlah suara melengking tinggi bagaikan suling ditiup, tiada
putus-putusnya datang dari empat penjuru, makin lama semakin melengking.
Beberapa menit kemudian, Siu Bi mengeluarkan seruan kaget.
Beratus-ratus
ekor ular mendesis-desis dan bergerak cepat dari semua jurusan menuju ke
pertempuran itu. Seekor ular hijau yang besar dan panjang, paling cepat sampai
di situ dan serta merta binatang ini mengangkat kepala dan meloncat dengan
mulut terbuka ke arah Cui Sian!
Gadis sakti
ini pun sudah melihat adanya ular-ular hijau yang datang menyerbu. Maka, begitu
mendengar desis keras dari arah kiri, cepat dia melangkah mundur dan tangan
kirinya dengan jari terbuka menyabet miring, tepat mengenai leher ular.
"Trakkk!"
Ular sebesar
pangkal lengan itu terpukul keras sehingga terlepas sambungan tulangnya, tak
berdaya lagi, lalu terbanting dan hanya ekornya saja yang masih
menggeliat-geliat, kepalanya tak dapat digerakkan lagi!
Akan tetapi,
Cui Sian harus menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan karena pada saat ia
menghadapi penyerangan ular tadi, Ang-hwa Nio-nio sudah melakukan serangan
hebat sekali yang amat berbahaya. Segulung sinar merah menerjang ke arah dada
dan lehernya, dan ternyata Ang-hwa Nio-nio sudah mencabut pedangnya dan
menyerangnya pada saat gadis itu tidak kuat kedudukannya.
Hanya dengan
cara membuang diri ke belakang dan bergulingan inilah Cui Sian mampu
menyelamatkan diri. Dia segera melompat bangun. Wajahnya merah, sepasang
matanya berapi-api saking marahnya.
Biar pun
lawan sudah memegang pedang dan di sekelilingnya sudah berkumpul ular-ular
hijau, namun dara perkasa ini sama sekali tidak menjadi gentar! la maklum bahwa
tak mungkin melarikan diri setelah ular-ular itu mendatangi dari segala
jurusan, jalan lari selain terhalang ular-ular berbisa dan gunung-gunungan batu
karang, juga di bagian lain berdiri Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya yang amat
banyak.
Cui Sian
maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dan besar kemungkinan ia akan tewas di
sini. Namun ia mengambil keputusan untuk melawan dengan nekat dan sampai titik
darah yang terakhir, tewas sebagaimana layaknya puteri pendekar besar dan ketua
Thai-san-pai!
"Ang-hwa-pai
tak tahu malu! Mengandalkan pengeroyokan dan bantuan ular-ular berbisa! Ang-hwa
Nio-nio, majulah, jangan kira aku takut menghadapi kecuranganmu!"
Ang-hwa
Nio-nio merasa penasaran, malu dan marah sekali. Memang amat memalukan kalau
dia tidak mampu mengalahkan gadis ini, gadis muda tak bersenjata, dan ia masih
dibantu ular-ular-hya. Kalau ia tidak mampu membunuh Cui Sian, sekali ini
benar-benar akan rusak nama besarnya.
"Iblis
cilik, siaplah untuk mampus!
"Nanti
dulu, Nio-nio!" Tiba-tiba Siu Bi berseru dan melompat ke depan.
Ang-hwa
Nio-nio kaget dan heran, lebih-lebih herannya ketika Siu Bi berkata lantang,
"Aku
tidak suka melihat ini! Aku pun benci dia karena dia adalah sahabat baik
Pendekar Buta musuh besarku, akan tetapi aku tak suka melihat pertandingan yang
berat sebelah ini. Ang-hwa Nio-nio, karena aku dan kau sudah bersahabat, aku
tidak mau sahabatku melakukan hal yang tidak pantas. Dia ini boleh saja
dibunuh, akan tetapi sedikitnya harus memberi kesempatan melawan, itulah
haknya. Ayah... ayahku selain menekankan bahwa dalam keadaan bagaimana pun
juga, aku harus bersikap gagah dan sama sekali tidak boleh curang. Hee, Cui
Sian, ini pedangmu, kukembalikan. Sebelum mampus, kau boleh melawan dan jangan
bilang bahwa aku menyembunyikan pedangmu. Tetapi berjanjilah, bila mana nanti
kau sudah mati, relakan pedangmu ini menjadi milikku!" Sambil berkata
demikian Siu Bi melemparkan Liong-cu-kiam kepada Cui Sian.
Sejenak Cui
Sian tertegun sambil memegangi Liong-cu-kiam di tangannya. Tentu saja hatinya
menjadi sebesar Gunung Thai-san sendiri setelah pedang pusakanya kembali di
tangannya. Namun dia menjadi terheran-heran melihat sikap dan mendengar
kata-kata gadis cilik itu.
Tahulah dia
bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan anak buah Ang-hwa-pai! Seorang tamu
agaknya, dan tentu gadis cilik yang juga lihai itu anak seorang tokoh hitam
pula. la tersenyum dan menatap mesra ke arah Siu Bi.
"Adik
manis, kau adalah batu kumala terbenam lumpur, biar sekelilingmu kotor kau
tetap cemerlang! Tentu saja, aku berjanji, rohku akan rela kalau setelah aku
mati, pedang ini menjadi milikmu. Namun sayangnya, aku tak akan mati, Adik
manis. Dan kelak akan tiba saatnya aku membalas kebaikanmu ini!"
Sementara
itu, Ang-hwa Nio-nio marah sekali. "Siu Bi, kau... kau amat lancang dan
tolol!”
Setelah
berkata demikian ketua Ang-hwa-pai ini menerjang dengan pedangnya. Sinar merah
berkelebat ketika pedangnya, pedang pusaka ampuh yang sudah direndam racun
kembang merah dan diberi nama sesuai pula, yaitu Ang-hwa-kiam, digerakkan
menusuk ke depan. Pada saat yang sama, empat ekor ular juga sudah menerjang
dari belakang, menggigit ke arah kaki Cui Sian.
Akan tetapi,
setelah kini Liong-cu-kiam ada di tangannya, Cui Sian seakan-akan menjadi
seekor harimau betina yang tumbuh sayap. Sinar putih berkilat-kilat menyilaukan
mata ketika Liong-cu-kiam di tangannya beraksi. Pedang pusaka ampuh ini sudah
menangkis Ang-hwa-kiam dan tenaga benturan itu ia manfaatkan dengan cara
mengayun pedang ke belakang sambil merubah kedudukan kaki dari kuda-kuda
melintang menjadi kuda-kuda membujur.
“Cringgg!”
Tenaga
benturan membuat Liong-cu-kiam bergerak cepat, mengeluarkan suara nyaring, dan
empat ekor ular yang menyerang dari belakang tubuhnya telah terbabat buntung
menjadi delapan potong!
"Hebat...!"
Siu Bi terbengong-bengong kagum tiada habisnya.
Indah sekali
gerakan itu dan ia maklum bahwa dengan pedang pusaka di tangannya, Cui Sian
benar-benar merupakan lawan berat dan ia sendiri masih sangsi apakah ia dengan
Cui-beng-kiam akan dapat mengimbangi kesaktian nona cantik langsing ini.
"Kenapa
kau membantunya...?"
Siu Bi
menengok. Alisnya berkerut ketika melihat bahwa yang mengeluarkan pertanyaan
dengan suara ketus itu bukan lain adalah Ouwyang Lam. Pemuda itu sekarang
berdiri dengan pedang terhunus, sikapnya mengancam.
Siu Bi
mengedikkan kepalanya. "Siapa membantunya? Aku tak sudi membantu sahabat
baik musuh besarku, akan tetapi aku pun tidak sudi membantu kecurangan, walau
pun yang curang adalah teman sendiri. Kau mau apa?!"
"Mari
kita keroyok dia. Dia lihai sekali dan kalau sampai dia terlepas, tentu hanya
akan menimbulkan kesulitan di belakang hari."
"Kau
mau keroyok, terserah. Twako, apakah kau tidak malu? Lihat, ketua Ang-hwa-pai
telah melawannya dengan bantuan ular-ular mengerikan itu. Hal itu saja sudah
tidak adil, masa kau mau ajak aku mengeroyok lagi? Aku tak sudi mengambil
kemenangan secara rendah begitu!"
"Tetapi,
Moi-moi, dia itu termasuk musuh kita. Ayahnya adalah ketua Thai-san-pai, bukan
saja sahabat baik Pendekar Buta, malah masih terhitung gurunya!"
"Ahhh..."
Ouwyang Lam
mengira bahwa seruan ini menyatakan perubahan di hati Siu Bi. Akan tetapi
sebetulnya bukan demikian. Siu Bi terkejut memang, akan tetapi ia terkejut
karena teringat bahwa gadis itu saja sudah begitu lihai, apa lagi Pendekar
Buta!
"Lihat,
Moi-moi, dia begitu lihai. Kalau kita tidak turun tangan, bisa berbahaya!"
Sesudah
berkata demikian, dengan pedang terhunus Ouwyang Lam lantas menerjang ke medan
pertempuran. Dia sudah menyebar bubuk anti ular pada sepatu serta celananya
sehingga seperti halnya Ang-hwa Nio-nio, dia tak akan diganggu lagi oleh
ular-ular itu.
Sesudah
Liong-cu-kiam berada di tangannya, Cui Sian memang hebat luar biasa. Boleh jadi
dalam hal keuletan, pengalaman, dan keahlian, dia masih belum mampu menandingi
Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi biar pun belum matang betul karena usianya masih
muda, akan tetapi ilmu pedang yang ia mainkan adalah raja sekalian ilmu pedang,
yaitu Im-yang Sin-kiam.
Ilmu pedang
inilah yang dulu sudah membuat ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, menjagoi
di dunia persilatan dan membuat Raja Pedang itu berhasil mengalahkan semua lawannya
yang sakti. Kini, dengan ilmu pedang sakti itu, ditambah pula dengan pedang
pusaka Liong-cu-kiam yang amat ampuh di tangannya, Cui Sian benar-benar
merupakan seorang lawan yang sukar dikalahkan.
Betapa pun
juga, keroyokan ular-ular itu membuat Cui Sian repot. Menghadapi Ang-hwa
Nio-nio saja dia sudah harus mengerahkan seluruh perhatiannya karena memang
wanita itu amat ganas dan berbahaya, apa lagi sekarang dibantu oleh Ouwyang Lam
yang tidak rendah kepandaiannya.
Oleh karena
itu, sambaran ular-ular dari belakang dan kanan kiri benar-benar membuat ia
sibuk sekali dan ngeri. la maklum bahwa sekali saja tergigit ular hijau, maka
nyawanya tidak akan dapat tertolong lagi. Sudah puluhan ekor ular terbabat mati
oleh pedangnya, sehingga bangkai ular itu bertumpuk serta berserakan di
sekelilingnya, menyiarkan bau yang amis dan memuakkan, bau yang mengandung
racun pula.
Cui Sian
terkejut bukan main. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menahan nafas sambil
mengerahkan sinkang melawan bau yang sangat memuakkan itu. Akan tetapi karena
di lain pihak ia diserang hebat oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dan
diancam pula oleh semburan ular-ular beracun, berkali-kali perhatiannya
terpecah dan tanpa sengaja ia menyedot dan terserang bau amis itu.
Kepalanya
mulai pening, pandang matanya berputaran. Pedangnya masih dia gerakkan secara
cepat, diputar-putar melindungi tubuhnya. Akan tetapi akibat matanya makin lama
semakin gelap, akhirnya dia terkena tusukan ujung pedang Ouwyang Lam yang
melukai pundaknya.
Dengan hati
merasa muak Siu Bi memandang dan hatinya merasa ngeri juga karena sebentar lagi
dia akan menyaksikan gadis perkasa itu roboh mandi darah dan dikeroyok
ular-ular hijau. Untuk menolong, dia tidak sudi karena bukankah gadis perkasa
itu masih sahabat bahkan saudara seperguruan dengan musuh besarnya?
la harus
membenci gadis itu, biar pun perasaan hatinya tak memungkinkannya menaruh rasa
itu, bahkan ada rasa kagum di lubuk hatinya. Namun, dia harus membenci semua
yang ‘berbau’ Pendekar Buta! Betapa pun juga, rasa bencinya yang dipaksakan ini
tidak melebihi rasa tidak senangnya terhadap Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam
yang dia anggap berjiwa pengecut dan curang, sama sekali tidak memiliki
sifat-sifat gagah sedikit pun juga.
"Tranggg!
Tranggg!" Bunga api berpijar.
Ang-hwa
Nio-nio, juga Ouwyang Lam, melompat ke belakang, kaget bukan main karena pedang
mereka tersambar sinar hitam, telapak tangan mereka menjadi sakit dan hampir
mereka terpaksa melepaskan pedang. Sinar hitam masih terus berkelebatan dan
matilah ular-ular yang berada di sekeliling Cui Sian dalam jarak dua meter!
Siu Bi
melompat kaget ketika melihat laki-laki yang memegang pedang bersinar hitam
itu. Itulah pedangnya dan laki-laki itu bukan lain adalah Yo Wan!
"Kau...?!?"
serunya, kaget dan heran.
Yo Wan cepat
merangkul pundak Cui Sian yang terhuyung dan tidak ingat diri dengan
Liong-cu-kiam masih tergenggam erat-erat. Kemudian Yo Wan menoleh ke arah Siu
Bi, tersenyum getir dan melemparkan Cui-beng-kiam. "Nona, ini pedangmu
kukembalikan. Terimalah!"
Pedang itu
melayang dengan gagang di depan ke arah Siu Bi yang menangkapnya dengan mudah.
Mata gadis ini terbelalak memandang. Entah bagaimana dia sendiri tidak tahu,
melihat Yo Wan memondong tubuh Cui Sian yang pingsan itu dan melangkah pergi
dengan cepat, hatinya menjadi panas dan marah!
Sementara
itu, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam sejenak tercengang. Heran mereka mengapa
hari ini, setelah Siu Bi muncul pula orang-orang muda yang amat lihai, padahal
orang-orang muda ini sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw.
Namun,
melihat betapa pemuda sederhana berpakaian putih itu memondong tubuh Cui Sian
yang pingsan, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam menjadi marah. Sambil berseru
keras Ang-hwa Nio-nio melompat diikuti oleh Ouwyang Lam.
"Jahanam,
jangan harap dapat keluar dari Ching-coa-to dalam keadaan bernyawa!" seru
Ang-hwa Nio-nio.
Tangannya
bergerak dan sinar kemerahan meluncur ke arah punggung Yo Wan. Itulah
Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang ampuh serta tak kalah jahatnya dengan
Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang dahulu dimiliki oleh majikan pulau itu.
Kedua-duanya
memang merupakan senjata rahasia yang ampuh dan sekali menyentuh kulit dan
menimbulkan luka, korban itu takkan tertolong lagi nyawanya. Akan tetapi, tentu
saja Ang-hwa Nio-nio lebih lihai dalam menggunakan senjata halus ini karena
memang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada mendiang Ching-toanio.
Oleh karena itu pelepasan jarum-jarum itu amat berbahaya.
Bagi si
penyambit dan orang lain, jarum-jarum yang sudah berubah menjadi segulungan
sinar merah itu agaknya pasti akan mengenai punggung Yo Wan yang lari memondong
tubuh Cui Sian. Akan tetapi, aneh bin ajaib akan tetapi nyata terjadi, pemuda
itu masih berlari-lari dan jarum-jarum itu melayang ke depan, hilang di antara
pepohonan, sama sekali tidak menyentuh baju Yo Wan!
Hal ini
sebenarnya tidak mengherankan, oleh karena dalam larinya, Yo Wan yang selalu
berhati-hati, apa lagi maklum bahwa dia dikejar orang-orang pandai, telah
menggunakan langkah ajaib Si-cap-it Sin-po. Dengan langkah-langkah ajaib ini,
apa lagi ditambah oleh pendengarannya yang sangat tajam karena terlatih
sehingga dia dapat mendengar angin sambaran senjata rahasia, tentu saja dengan
mudah dia dapat menghindarkan serangan gelap dari belakang.
Betapa pun
lihainya Yo Wan, dia adalah seorang asing di pulau itu, sama sekali tidak
mengenal jalan. Dia hanya berlari dengan tujuan ke pantai telaga, karena itu
dalam kejar mengejar ini sebentar saja Ouwyang Lam serta Ang-hwa Nio-nio yang
mengambil jalan memotong dapat menyusulnya. Bahkan dua orang ini tahu-tahu
sudah muncul di depan, menghadang larinya Yo Wan!
Yo Wan
mengeluh dalam hatinya. Tadinya dia tidak ingin bertempur, apa lagi dengan
tubuh gadis itu dalam pondongannya. Akan tetapi agaknya dia tak dapat
menghindarkan pertempuran kalau menghendaki selamat.
Segera dia
meraih pedang di tangan gadis itu yang walau pun dalam keadaan pingsan masih
memegangnya erat-erat. Sekali renggut dia dapat merampas pedang ini dan tepat
di saat itu, pedang Ang-hwa Nio-nio serta pedang Ouwyang Lam sudah menyerangnya
dengan ganas.
Yo Wan
memondong tubuh Cui Sian dengan lengan kirinya. Tangan kanannya memutar pedang
dan sekali bergerak dia berhasil menangkis dua pedang lawannya. Pertempuran
hebat segera terjadi dan karena tiga batang pedang itu kesemuanya merupakan pedang-pedang
pusaka, maka berhamburanlah bunga api setiap kali ada pedang beradu.
”Uuhhh..."
Cui Sian mengeluh meronta.
Yo Wan yang
memondongnya cepat-cepat melepaskan nona itu sambil menariknya ke belakang agar
menjauh dari sinar pedang dua orang pengeroyoknya.
"Nona,
kau sudah kuat betul?"
Cui Sian
adalah seorang gadis yang sudah digembleng oleh ayah bundanya sejak kecil.
Sinkang di tubuhnya sudah amat kuat, maka pengaruh racun tadi tidak lama
menguasai dirinya. Setelah siuman hanya sejenak ia nanar, akan tetapi segera
teringat akan segala pengalamannya dan seketika dia maklum bahwa pemuda yang
dikeroyok oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dengan mempergunakan pedangnya
secara aneh itu adalah penolongnya.
"Sudah,
terima kasih. Harap kau kembalikan pedangku dan biarkan aku melawan mereka yang
curang ini!"
Yo Wan
menggunakan tenaganya menangkis dan sekaligus menerjang ganas sehingga dua
orang lawannya terpaksa menghindar ke belakang. Kesempatan ini dia pergunakan
untuk mengembalikan pedang Liong-cu-kiam kepada pemiliknya. Dengan hati gemas
Cui Sian lalu memutar pedang itu dan menerjang kedua orang lawannya.
"Nona,
tidak baik mengacau tempat orang lain, lebih baik lari selagi ada
kesempatan," kata Yo Wan sambil mencabut pedang kayu dari balik jubahnya.
Pemuda ini
sebetulnya mempunyai sebatang pedang pusaka pula, yaitu pedang pusaka pemberian
isteri Pendekar Buta. Akan tetapi dia tidak pernah mempergunakan pedang ini dan
hanya menggunakan pedang kayu cendana yang dibuatnya sendiri di Pegunungan
Himalaya. Ilmu batin yang dalam dipelajarinya dari Bhewakala membuat hatinya
dingin terhadap pertempuran dan permusuhan, maka dia tak akan menggunakan
senjata tajam untuk menyerang orang apa bila keselamatannya sudah cukup
dilindungi dengan pedang kayunya.
Serangan Cui
Sian yang dahsyat diterima Ouwyang Lam. Ang-hwa Nio-mo menghadapi Yo Wan yang
dia tahu malah lebih lihai dari pada puteri Raja Pedang itu. Bukan main kaget,
heran, dan kagumnya pada saat dia mendapat kenyataan bahwa pedang kayu di
tangan pemuda itu sanggup menahan senjata pusakanya, Ang-hwa-kiam! Maklumlah
dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan muda yang tingkat kepandaiannya
sudah amat tinggi, merupakan lawan yang amat berat.
Ada pun
Ouwyang Lam yang kini menghadapi Cui Sian sendirian saja, dalam beberapa
gebrakan sudah nampak terdesak hebat. Untung baginya, Cui Sian dapat menangkap
kata-kata Yo Wan.
Gadis ini
diam-diam membenarkan bahwa tiada gunanya melanjutkan pertempuran. Biar pun dia
akan dapat menangkan pemuda ini, akan tetapi tempat itu merupakan sebuah pulau
yang terkurung air, dan anak buah Ang-hwa-pai amat banyak. Selain ini, pulau
itu sangat berbahaya dengan ular-ularnya, juga Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya
pandai menggunakan racun-racun jahat. Melanjutkan pertempuran hanya berarti
mengundang bahaya bagi diri sendiri. la pribadi tidak mempunyai urusan, apa
lagi permusuhan dengan orang-orang ini, apa perlunya bertempur mati-matian?
"Kau
benar, Sahabat, mari kita pergi!” katanya.
Yo Wan kagum
dan girang sekali. Gadis ini ternyata seorang yang berpengalaman dan
berpandangan jauh, alangkah bedanya dengan Siu Bi yang tindakannya amat
sembrono. Mereka berdua lalu melompat jauh ke belakang, kemudian lari
meninggalkan gelanggang pertempuran menuju ke pantai.
Ang-hwa
Nio-nio dan Ouwyang Lam maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu menangkan
dua orang itu, maka mereka tidak mengejar. Ang-hwa Nio-nio dengan muka keruh
memberi tanda rahasia dengan suitan nyaring kepada anak buahnya agar supaya
menghalangi kedua orang musuh itu, dan berusaha menangkap mereka di dalam air.
Akan tetapi,
Yo Wan dan Cui Sian sudah melompat ke sebuah perahu kecil dan begitu mereka
menggerakkan dayung di kanan kiri perahu, tidak mungkin lagi ada anak buah
Ang-hwa-pai yang akan dapat mengejar mereka. Perahu itu meluncur dengan
kecepatan luar biasa karena digerakkan oleh tangan-tangan sakti, maka gagallah
harapan terakhir Ang-hwa Nio-nio untuk menangkap mereka dengan cara
menggulingkan perahu.
Ketika dua
orang ini kembali ke tengah pulau, ternyata Siu Bi sudah lenyap, tidak berada
di situ lagi. Ouwyang Lam kelabakan dan mencari-cari, memanggil-manggil, namun
gadis yang dicarinya tidak ada, karena memang dalam keributan tadi, diam-diam
Siu Bi sudah lari meninggalkan pulau itu.
Setelah
kedua orang muda pelarian itu melompat ke darat dengan selamat, barulah Cui
Sian sempat berhadapan dengan Yo Wan. Dengan perasaan kagum gadis ini kemudian
menjura memberi hormat yang dibalas cepat-cepat oleh Yo Wan.
"Hari
ini saya, Tan Cui Sian, menerima bantuan yang amat berharga dari sahabat yang
gagah perkasa. Saya amat berterima kasih dan bolehkah saya mengetahui nama dan
julukan sahabat yang mulia?"
Akan tetapi
orang yang ditanya membelalakkan kedua matanya, lalu menatap wajah Cui Sian
penuh selidik. Kadang-kadang kepala pemuda itu miring ke kanan, kadang-kadang
ke kiri, wajahnya membayangkan rasa keheranan dan kegirangan yang besar.
Cui Sian
mengerutkan alisnya, dan kecewalah hatinya. Apakah pemuda yang tadinya ia
anggap luar biasa, gagah perkasa dan sederhana ini sebenarnya seorang laki-laki
yang kurang ajar? Kedua pipinya mulai menjadi merah, pandang matanya yang penuh
kagum dan hormat mulai berapi-api.
Akan tetapi
semua ini buyar seketika dan berubah menjadi keheranan ketika pemuda itu
tertawa bergelak dengan amat gembira, kemudian seperti orang gila hendak
memegang tangannya sambil berseru,
"Ya
Tuhan...! Benar sekali, tidak salah lagi... ahhh, kau Cui San... ehh, maksudku,
kau... ehhh, Tan-siocia (nona Tan). Ha-ha-ha, sungguh hal yang tidak
tersangka-sangka sama sekali. Serasa mimpi!"
Tentu saja
Cui Sian tidak membolehkan tangannya dipegang. Dia mengelak dan dengan suara
ketus dia bertanya, "Apa artinya ini? Siapa kau dan apa kehendakmu?"
"Ha-ha-ha,
tidak aneh kalau Anda lupa, sudah lewat dua puluh tahun! Nona Tan, saya adalah
Yo Wan!"
"...Yo
Wan..? Yang mana... siapa...?" Cui Sian mengingat-ingat.
"Wah,
sudah lupa benar-benar? Saya A Wan, masa lupa kepada A Wan yang dahulu
pernah... ha-ha-ha, pernah menggendongmu, bermain-main di Liong-thouw-san
bersama kakek Sin-eng-cu Lui Bok?"
Mendadak
wajah yang ayu itu berseri, matanya bersinar-sinar dan kini Cui Sian yang
melangkah maju dan memegang kedua tangan pemuda itu. "A Wan! Ahh, tentu
saja aku ingat...! A Wan, kau... kau A Wan? Ahh, siapa duga..."
Sejenak
jari-jari tangannya menggenggam tangan pemuda itu, namun segera dilepasnya
kembali dan kedua pipinya menjadi merah. "...ahhh... ehh, sungguh tidak
sangka... siapa kira kau sendiri yang akan menolongku? Tentu saja aku tak dapat
segera mengenalmu, kau sekarang menjadi begini... begini, gagah perkasa dan
lihai. Benar-benar aku kagum sekali!"
Wajah Yo Wan
juga menjadi merah karena jengah dan malu, biar pun hatinya berdebar girang
dengan pujian itu. "Kaulah yang hebat, Nona... tidak mengecewakan kau
menjadi puteri Raja Pedang Tan-locianpwe ketua Thai-san-pai."
"A Wan,
di antara kita tak perlu pujian-pujian kosong itu, dan apa artinya kau menyebut
nona kepadaku? Namaku Cui Sian, kau tahu akan ini. Aku mendengar dari ayah
bahwa Pendekar Buta hanya mempunyai seorang murid, yaitu engkau, akan tetapi
mengapa gerakan pedangmu tadi... serasa asing bagiku?"
Yo Wan
menarik nafas panjang, "Memang sebetulnya aku adalah murid suhu Kwa Kun
Hong, akan tetapi... aneh memang, aku menerima pelajaran ilmu dari orang lain,
yaitu dari mendiang Sin-eng-cu locianpwe dan mendiang Bhewakala
locianpwe."
Sejenak
kedua orang muda ini berdiri saling pandang. Yo Wan kagum, sama sekali tidak
mengira bahwa bocah perempuan yang dulu itu, yang sering digodanya akan tetapi
juga sering dia ajak bermain-main di Pegunungan Liong-thouw-san, dia carikan
kembang atau dia tangkapkan kupu-kupu, pernah ketika gadis ini jatuh dia
gendong di belakang, bocah yang dahulu itu sekarang telah menjadi seorang gadis
yang begini hebat. Berkepandaian amat tinggi, berpandangan luas, bersikap gagah
perkasa, wajahnya cantik sekali, bentuk tubuhnya langsing dan luwes. Pendeknya,
seorang dara yang hebat.
Cui Sian
segera menundukkan muka. Kedua pipinya menjadi makin merah, jantungnya
berdegupan secara aneh. Mengapa dadanya bergelora, jalan darahnya berdenyar
serta kepalanya menjadi pening? Mengapa ia yang tadinya berani menghadapi siapa
pun juga dengan hati terbuka, tabah dan tidak pemalu, sekarang tiba-tiba merasa
amat canggung dan malu terhadap pemuda ini, yang sama sekali bukanlah seorang
asing baginya? Dia merasa benar-benar bingung dan tidak mengerti. Belum pernah
Cui Sian merasakan hal seperti ini.
Biasanya dia
amat pandai membawa diri, pandai bicara dan tidak canggung meski pun berhadapan
dengan siapa pun juga. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan A Wan yang kini
telah berubah menjadi seorang lelaki yang berpakaian sederhana, wajah yang
membayangkan kematangan jiwa, dengan kepandaian yang sudah terbukti amat
tinggi, ia benar-benar kehilangan akal!
"Non...
eh, adik Cui Sian. Bagaimanakah kau bisa tersesat ke pulau yang menjadi sarang
orang-orang jahat berbahaya itu? Bukankah kau masih tetap tinggal di Thai-san
bersama orang tuamu?"
Di dalam
hatinya Yo Wan menghitung-hitung dan dapat menduga bahwa usia Cui Sian tentu
sekitar dua puluh tiga tahun. Dalam usia demikian, sudah semestinya kalau
puteri ketua Thai-san-pai ini telah menjadi isteri orang. Mungkin suaminya
tinggal tak jauh dari tempat ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak
berani bertanya secara langsung dan karenanya dia bertanya dengan cara memutar.
Cui Sian
amat cerdik. la setengah dapat menduga isi hati Yo Wan, maka cepat-cepat ia
menjawab, "Aku masih tinggal dengan ayah bundaku di Thai-san dan sekarang
ini... aku memang sedang merantau, turun gunung. Kebetulan di telaga ini aku
bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai yang dihina orang-orang Ang-hwa-pai.
Karena Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar dan kenalan baik ayahku, maka aku
tidak tinggal diam dan membantu mereka. Siapa sangka, dengan cara amat curang
Ang-hwa-pai menawanku..." selanjutnya dengan singkat ia menceritakan
pengalamannya di telaga itu.
"Baiknya
bagaikan dari langit turunnya, muncul engkau sehingga aku dapat terbebas dari
maut. Kau sendiri, bagaimana bisa kebetulan berada di sini? Apakah tempat
tinggalmu sekarang dekat-dekat sini... ehh, Twako? Kau lebih tua dari padaku,
sepatutnya kusebut twako, Yo-twako!"
Yo Wan
tersenyum. "Memang sebaiknya begitulah, Sian-moi (adik Sian). Tadi kau
tanya tentang tempat tinggalku? Ahh, aku tiada tempat tinggal, juga tiada sanak
kadang, hidup sebatang kara dan merantau tanpa tujuan."
"Oohhh..."
Cui Sian menghela nafas dan hatinya pun berbisik, "Dia masih... sendiri,
seperti aku, dia kesepian, seperti aku pula." Dengan kepala tunduk Cui
Sian lalu mendengarkan cerita Yo Wan.
"Datangku
ke Ching-coa-to hanya kebetulan saja, gara-gara... seorang gadis yang aneh. Dia
lihai, wataknya aneh, akan tetapi sebetulnya berjiwa gagah." Secara
singkat Yo Wan bercerita tentang pertemuannya dengan Siu Bi, betapa gadis
lincah galak itu karena menolong para petani yang tertindas, dimasukkan dalam
tahanan, kemudian dia bantu membebaskannya.
"Dia aneh
sekali," Yo Wan menutup ceritanya, "tanpa sebab dia menguji
kepandaian denganku, tetapi kemudian setelah terdesak, ia melarikan diri,
meninggalkan pedangnya. Aku lalu mengejarnya untuk mengembalikan pedang, dan
ternyata jejaknya membawaku ke Ching-coa-to dan agaknya bukan dia yang
membutuhkan pertolongan, melainkan kau yang sama sekali tak pernah
kuduga!"
Cui Sian
mengangguk. "Dia memang seorang gadis gagah, sayang dia bergaul dengan
orang-orang jahat dari Ang-hwa-pai. Bagaimana pun juga, dia telah menolongku
dengan mengembalikan pedangku ketika aku dikeroyok ular."
"Aku
pun heran sekali, sepak terjangnya gagah. Akan tetapi bagaimana dia bisa berada
di sana? Ahh, agaknya dia memang memiliki hubungan dengan Ang-hwa-pai...
sungguh tak kuduga sama sekali!" Wajah Yo Wan membayangkan kekecewaan
besar.
Diam-diam
Cui Sian yang menaruh perhatian, perasaannya tertusuk. Menurut cerita Yo Wan
tadi, pemuda ini baru saja bertemu dengan Siu Bi, akan tetapi agaknya telah
begitu tertarik dan amat memperhatikan keadaannya. Cui Sian mencoba untuk
membayangkan wajah Siu Bi. Gadis yang masih muda sekali, cantik jelita, akan
tetapi memiliki sifat-sifat keras dan ganas.
"Agaknya
dia hanya seorang tamu di sana. Sepanjang dugaanku ketika aku dikeroyok di
sana, dia tetap tidak sudi melakukan pengeroyokan biar pun mereka belum juga
berhasil merobohkan aku. Ini saja menjadi tanda bahwa dia berbeda dengan
orang-orang pulau itu. Akan tetapi, jika ia selalu berdekatan dengan mereka,
akhirnya ia pun mungkin akan rusak..."
Tiba-tiba saja
Cui Sian dan Yo Wan bergerak berbareng, melompat ke arah gerombolan pohon di
sebelah kiri.
Siu Bi
muncul dari balik pohon, pedang Cui-beng-kiam di tangan. Wajahnya keruh dan
matanya berapi-api memandang Cui Sian yang menjadi tercengang setelah mengenal
siapa orangnya yang bersembunyi di balik pohon-pohon itu. Juga Yo Wan
tercengang, sama sekali tidak disangkanya bahwa Siu Bi sudah menyusul.
Sebetulnya
bukan menyusul, malah Siu Bi lebih dulu meninggalkan Ching-coa-to. Ketika
melihat Yo Wan menolong Cui Sian dan memondongnya pergi, hatinya menjadi panas
dan tak senang. la marah-marah, dia sendiri tidak tahu marah kepada siapa,
pendeknya ia amat marah, kepada siapa saja. Kepada Ouwyang Lam, kepada Ang-hwa
Nio-nio dan kepada semua penghuni Ching-coa-to.
Diam-diam ia
lalu pergi dari situ, menggunakan sebuah perahu dan mendayungnya cepat ke
darat. Tak ada seorang pun anggota Ang-hwa-pai melihatnya karena mereka sedang
bingung dan bersiap-siap melakukan pengepungan terhadap musuh apa bila
diperintah. Andai ada yang melihatnya pun, mereka tentu tak akan berani
mengganggu. Bukankah gadis ini sudah menjadi ‘orang sendiri’ dan sahabat baik
kongcu?
Setibanya di
darat, Siu Bi duduk termenung dan ketika melihat munculnya perahu yang didayung
cepat oleh Cui Sian dan Yo Wan, ia cepat bersembunyi di balik pepohonan dan
sempat mendengarkan percakapan mereka. Ucapan-ucapan terakhir yang menyinggung
dirinya membuat ia tak dapat tenang, sehingga gerakannya segera dapat ditangkap
oleh pendengaran Cui Sian dan Yo Wan yang amat tajam dan terlatih.
"Kalian
berdua adalah orang-orang yang tak tahu malu! Kalau memang berani, hayo kita
bermain pedang, kalau perlu boleh aku kalian keroyok dua. Apa perlunya bermain
mulut, menggoyang lidah tak bertulang?"
"Eh-eh-ehh,
Nona. Datang-datang kau marah besar tidak karuan, ada apakah?" Yo Wan
mengangkat kedua alisnya, bertanya.
Cui Sian
juga memandang heran dan diam-diam ia harus akui akan kebenaran kata-kata Yo
Wan tadi, betapa aneh watak dara remaja itu. Akan tetapi diam-diam dia juga
harus mengakui, betapa cantik moleknya Siu Bi.
"Marah-marah
tidak karuan? Pandai memutar balikkan fakta!" Siu Bi membentak marah
sekali, pedangnya yang terhunus itu ia acung-acungkan. "Kalian yang
mengumbar mulut jahat, menggoyang lidah membicarakan orang semaunya dan tidak
karuan! Hayo mau bilang apa sekarang, apakah kalian kira aku tak mendengarkan kasak-kusuk
kalian yang busuk? Apakah ini sikap orang-orang gagah, laki-laki dan wanita
kasak-kusuk di tempat sunyi, membicarakan orang lain?"
Seketika
wajah Cui Sian menjadi merah. Tadinya ia kagum dan suka kepada Siu Bi, apa lagi
dara remaja itu sudah menolongnya di Ching-coa-to. Akan tetapi ucapan yang
galak ini benar-benar menyinggung hatinya, karena mengandung sindiran tentang
dia berdua Yo Wan.
"Nanti
dulu, adik yang baik. Kami memang telah bicara tentang dirimu, akan tetapi
bukan membicarakan hal yang buruk..."
"Cih!
Bicarakan hal buruk atau pun baik, aku melarang kalian bicara tentang diriku!
Apa peduli kalian kalau aku rusak atau tidak? Apa sangkutannya kalian dengan
apa yang aku lakukan, dengan siapa aku bergaul? Huh, sekarang aku sudah rusak,
nah, kalian mau apa? Puteri Raja Pedang, hayo cabut pedangmu, kita bertanding
sampai selaksa jurus, yang kalah boleh mampus!"
"Siu
Bi...!" dalam kagetnya Yo Wan lupa menyebut ‘nona’. Dia takut gadis aneh
ini akan kumat (kambuh) lagi penyakitnya, tiada hujan tiada angin menantang
orang bertanding. "Sungguh mati, Sian-moi (adik Sian) sama sekali tidak
bicara buruk tentang..."
"Diam
kau! Atau kau hendak membela moi-moi-mu yang manis ini? Boleh, boleh, kau boleh
maju sekalian mengeroyokku. Aku tidak takut!"
Celaka
benar, pikir Yo Wan kewalahan. Tanpa sengaja dia menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. Melihat ini, Cui Sian menahan senyumnya. Gadis ini sudah cukup
berpengalaman, cukup bijaksana sehingga dia tidak terseret ke dalam gelombang
kemarahan akibat sikap gadis muda yang liar ini.
Akan tetapi
hatinya terasa perih. Dia harus mengakui bahwa dalam pertemuan yang tidak
terduga-duga dengan Yo Wan ini, hatinya yang selama ini tegak, kini menunduk,
runtuh oleh kesederhanaan, kegagahan dan wajah Yo Wan. Akan tetapi berbareng ia
pun dapat menduga bahwa pemuda yang menjatuhkan hatinya ini agaknya mencinta
Siu Bi, dan kini, melihat sikap Siu Bi ia dapat menduga bahwa gadis remaja ini
menjadi marah-marah seperti itu karena cemburu dan cemburu adalah sahabat
cinta!
Dengan suara
lembut dia lalu berkata, "Bertanding sih mudah, memang bermain pedang
merupakan kesenanganku. Akan tetapi, aku selamanya tak sudi bertanding tanpa
alasan tepat. Di pulau tadi, kau tidak mau mengeroyokku, malah kau telah
membantuku dengan mengembalikan pedang ini. Sekarang kau menantangku, apa
alasannya?"
"Peduli
apa dengan alasan? Kalau memang kau berani, hayo lawan aku!"
"Berani
sih berani, adik yang manis. Akan tetapi tanpa alasan, aku tidak mau bertempur
dengan kau atau pun dengan siapa juga."
Panas hati
Siu Bi. Gadis ini demikian tenang, demikian sabar. Tentu akan kelihatan amat
baik hati dalam pandang mata Yo Wan! Atau agaknya karena di hadapan pemuda
itulah maka gadis ini bersikap begitu sabar dan tenang, biar dipuji!
"Kau
mau tahu alasannya? Karena kau puteri Raja Pedang, maka kutantang kau!”
"Itu
bukan alasan, Biar ayahku berjuluk Raja Pedang, tapi kau tidak kenal dengan
ayah, tak mungkin bermusuhan dengan ayah, mana bisa dijadikan alasan?"
"Aku
memusuhi ayahmu!"
"Ihhh,
kenapa?"
"Karena
ayahmu sahabat baik, bahkan gurunya Pendekar Buta!"
"Ahhh...!"
Yo Wan yang mengeluarkan suara ini dan makin panas hati Siu Bi.
Apakah nama
Pendekar Buta demikian besar dan hebatnya sehingga Yo Wan juga kaget ketika
mendengar dia memusuhi Pendekar Buta? Karena panasnya hati, ia melanjutkan,
suaranya lantang dan ketus.
"Aku
telah bersumpah, akan kubuntungi lengan Pendekar Buta, juga isterinya dan semua
keturunannya, dan tentu saja semua sahabat baiknya adalah musuhku. Ayahmu Si
Raja Pedang sahabat Pendekar Buta, kau pun tentu sahabatnya, maka kau musuhku.
Hayo, berani tidak? Tak sudi aku bicara lagi!"
Wajah Yo Wan
seketika menjadi pucat mendengar ini. Cui Sian maklum akan hal ini dan dapat
merasakan juga pukulan hebat yang diterima pemuda itu. la tahu bahwa Pendekar
Buta adalah penolong dan guru Yo Wan yang amat dikasihi, dan agaknya baru
sekarang pemuda ini mendengar kenyataan yang amat menusuk perasaan, yaitu
kenyataan bahwa gadis lincah dan liar ini adalah musuh besar Pendekar Buta.
Oleh karena
itu, Cui Sian hanya tersenyum masam dan memberi kesempatan kepada Yo Wan untuk
menguasai perasaannya yang tertikam. la tidak ingin menambah penderitaan Yo Wan
dengan melayani kenekatan Siu Bi. Sesudah berhasil menekan perasaannya yang
kacau balau, Yo Wan segera melangkah maju. Matanya memandang tajam kepada Siu
Bi ketika dia berkata,
"Nona,
kau... kau benar-benar sudah tersesat jauh sekali! Harap kau singkirkan
jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu, tidak mungkin itu... Beliau adalah
seorang pendekar yang berbudi, seorang gagah perkasa dan bijaksana yang tiada
duanya di dunia ini. Aku tak percaya bahwa kau pernah dibikin sakit hati oleh
Pendekar Buta. Mana mungkin kau bersumpah hendak membuntungi lengannya dan
lengan keluarganya? Tak mungkin ini!”
"Hemmm,
begitukah pendapatmu? Kiranya kau hanya berpura-pura berlaku baik padaku karena
hendak mengubah kehendakku? Tidak mungkin ini! Aku sudah mempertaruhkan
nyawaku. Biar Pendekar Buta seorang yang memiliki tiga buah kepala dan enam
buah lengan, aku tidak akan mundur setapak pun. Boleh jadi dia pendekar besar,
boleh jadi dia berbudi dan bijaksana terhadap orang lain, akan tetapi terhadap
mendiang kakek Hek Lojin, sama sekali tidak! Lengan Kakek Hek Lojin menjadi
buntung oleh Pendekar Buta, dan karena itu, aku bersumpah hendak membalaskan
sakit hati ini, aku telah bersumpah akan membuntungi lengan..."
"Jangan...
jangan kau berkata begitu...,” Yo Wan melompat dan laksana seorang gila dia
menggunakan tangannya mendekap mulut Siu Bi!
"Ahhh...
aku... uppp, lepaskan… lepaskan...!"
Siu Bi tentu
saja meronta ronta, berusaha memukulkan gagang pedangnya, bahkan dia lalu
membalikkan pedangnya hendak menusuk. Akan tetapi Yo Wan sudah memegangi
lengannya dan dia sama sekali tidak dapat melepaskan diri.
Diam-diam
Cui Sian menjadi terharu sekali, berseru nyaring, "Yo-twako, aku pergi
dulu ke Liong-thouw-san."
la melompat
dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. la memang seorang gadis yang luas
dan tajam pikirannya, dapat menggunakan pikiran mengatasi perasaan hatinya. Cui
Sian maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, lebih baik kalau dia pergi meninggalkan
dua orang itu.
Siu Bi
sedang dikuasai rasa cemburu dan tentu akan makin menggila dan menantangnya
sehingga dia khawatir kalau-kalau dia akhirnya tidak kuat menahan kesabarannya.
Juga, tak mungkin ia dapat memukul Siu Bi, pertama karena gadis liar itu pernah
menolongnya, kedua kalinya karena ia tidak mempunyai permusuhan dengannya.
la pernah
mendengar nama Hek Lojin dari ayah ibunya, dan maklum bahwa Hek Lojin adalah
seorang tokoh hitam yang amat jahat seperti iblis, juga berilmu tinggi. Siapa
duga, gadis yang tadinya dia sangka seorang gadis gagah perkasa itu, kiranya
cucu murid Hek Lojin. Pantas demikian aneh dan liar seperti setan!
Yo Wan
sedang gugup, bingung, berduka dan kecewa. Karena itulah maka dia hanya
menyesal sebentar bahwa Cui Sian pergi dalam keadaan seperti itu. Baru setelah
Siu Bi mengeluarkan suara seperti orang menangis terisak, dia sadar akan
perbuatannya yang luar biasa ini.
Dia sedang
merangkul Siu Bi, mendekap mulutnya dan memegangi lengannya. Setelah sadar,
dengan tersipu-sipu ia cepat melepaskan pegangannya. Mukanya sebentar merah
sebentar pucat.
"Kau...
kau... mau kurang ajaran, ya? Kau mengandalkan kepandaianmu? Karena kau sudah
dapat menangkan aku, kau lalu mengira boleh berbuat sesukamu kepadaku? Kau
laki-laki kurang ajar, kau laki-laki sombong, kau... kau... jangan kira aku
takut, kau harus mampus...!" Serta merta Siu Bi menerjang dengan
pedangnya.
Tentu saja
Yo Wan cepat mengelak dan berkata, "Siu Bi... ehh, Nona..., tunggu
dulu...”
"Tunggu
apa lagi? Tunggu kau kurang ajar lagi? Kau merangkul-rangkul aku, mendekap
mulutku, siapa beri ijin? Kurang ajar! Kau kira aku sama seperti Cui Sian, kau
kira aku akan tergila-gila kepadamu, karena kau tampan, karena kau gagah,
karena kau lihai? Cih, tak bermalu!" Pedangnya menusuk leher dan kembali
Yo Wan mengelak.
"Sabar...!"
Dia sempat berkata, tetapi cepat mengelak lagi karena sinar pedang hitam itu
sudah menyambar. "Siu Bi, jauh-jauh aku mengejarmu, di sepanjang jalan
penuh gelisah setelah menemukan sapu tanganmu ini..." la mencabut sapu tangan
kuning dari sakunya. "Kukira kau terancam bahaya maut... kiranya kau
menyambutku dengan serangan nekat begini. Aku takut kau terancam bahaya, kau
malah ingin aku mati..."
"Makan
ini!" kembali pedang Siu Bi menyambar, kini menyabet ke arah hidung.
Cepat Yo Wan
meloncat dan menggerakkan kedua kakinya dengan langkah ajaib karena penyerangan
gadis itu benar-benar tak boleh dipandang rendah.
"Kau
mau menggunakan lidah tak bertulang? Jangan coba bujuk aku, he... Jaka Lola tak
tahu diri. Kau bilang gelisah memikirkan aku, tetapi kenyataannya, dengan
menyolok kau hanya datang untuk membantu Cui Sian. Wah, kau gendong-gendong
dia. Mesra, ya? Cih, tak bermalu! Sekarang kau hendak membela Pendekar Buta
lagi? Nah, matilah!"
Mau tidak
mau Yo Wan tersenyum geli. Gadis ini memang luar biasa aneh. Tapi... tapi...
agaknya marah-marah karena dia telah menolong Cui Sian? Hatinya berdebar.
Benarkah dugaannya ini? Benarkah Siu Bi tak senang dia menolong gadis lain?
Cemburu? Susah berurusan dengan gadis yang begini galak, pikirnya.
"Nanti
dulu, Siu Bi, berhenti dulu...”
"Berhenti
kalau kau sudah mati!" teriak Siu Bi.
Siu Bi
mengirim tusukan cepat dan kuat sekali. Kalau terkena lambung Yo Wan, tentu
pemuda itu akan di ‘sate’ hidup-hidup. Akan tetapi langkah ajaib menolong Yo
Wan dan pedang itu meluncur lewat belakang punggungnya. Cepat dia memutar tubuh
ke kiri dan tangan berikut gagang pedang itu sudah dikempit di bawah lengannya.
Siu Bi tak dapat bergerak lagi!
"Nanti
dulu, dengarkan dulu omonganku. Bila sudah dengar dan tetap menganggap aku
salah, boleh kau sembelih aku dan aku Yo Wan tak akan mengelak lagi!"
Tangan kiri
Siu Bi tadinya sudah bergerak hendak mengirim pukulan. Mendengar ucapan ini dia
tampak ragu-ragu dan bertanya. "Betulkah itu? Kau tak akan mengelak lagi
kalau nanti kuserang?"
"Tidak,
tapi kau harus dengarkan dulu omonganku, bersabar dulu, jangan terlalu
galak."
"Sumpah?"
"Sumpah...?
Sumpah apa?"
"Sumpah
bahwa kau tak akan melanggar janji?"
"Pakai
sumpah segala?" Yo Wan melepaskan kempitannya dan menggaruk-garuk kepala yang
tidak gatal. "Aku..."
"Tidak
usah, bersumpah pun percuma! Mana bisa dipegang sumpah laki-laki? Sebagai
gantinya sumpah, hayo bersihkan tanganku ini!" la mengasurkan tangannya ke
depan.
Yo Wan
melongo. "Bersihkan tanganmu? Kenapa?" la mengerutkan alisnya. Tak
sudi dia demikian direndahkan, apakah dia akan diperlakukan sebagai seorang
bujang?
Siu Bi
merengut, marah lagi, terbayang pada matanya yang bersinar-sinar seperti akan
mengeluarkan api.
"Memang
kau tak bertanggung jawab, berani berbuat tak berani menanggung akibatnya. Kau
tadi mengempit tanganku di ketiakmu, apa tidak kotor?"
Hampir saja
Yo Wan meledak ketawanya, begitu geli hatinya sehingga perutnya terasa mengkal
dan mengeras. Gadis ini benar-benar... ah, gemas dia, kalau berani tentu sudah
dicubitnya pipi dara itu.
Tapi ia
maklum bahwa gadis ini tidak berpura-pura, memang benar-benar bersikap wajar,
sikap kanak-kanak yang nakal dan manja. Yo Wan lalu menggunakan ujung baju untuk
menyusuti tangan yang berjari dan berkulit halus itu. Makin berdebar jantungnya
hingga jari-jari tangannya agak gemetar ketika bersentuhan dengan jari-jari
tangan Siu Bi yang ‘dibersihkan’.
Tiba-tiba
Siu Bi merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Yo Wan. "Sudahlah...!
Lama-lama amat membersihkan saja, agaknya kau memang senang pegang-pegang
tanganku, ya?"
Tentu saja
kedua pipi Yo Wan seketika menjadi merah sekali saking malu dan jengah
mendengar teguran yang benar-benar tidak mengenal sungkan lagi ini akan tetapi
yang langsung menusuk hati dengan tepatnya.
"Nah,
sekarang kau omonglah! Awas, jika dari omonganmu ternyata kau masih bersalah
terhadapku, pedangku akan menyembelih lehermu!" Mata Siu Bi memandang ke
arah leher Yo Wan, penuh ancaman.
Akan tetapi
Yo Wan sama sekali tidak merasa ngeri. Meski gadis ini merupakan kenalan baru,
akan tetapi dia seperti telah mengenal luar dalam, sudah hafal akan wataknya
yang memang aneh itu. Dia yakin bahwa sampai mati Siu Bi tak akan sudi
melakukan hal itu, menyembelih orang yang tidak melawan seperti orang
menyembelih ayam saja!
Dia
tersenyum dan duduk di atas rumput. Ketika Siu Bi juga menjatuhkan diri duduk
di depannya, dia merasa gembira dan lega hatinya, timbul kembali rasa aneh yang
sangat bahagia di hatinya seperti ketika dia bersama gadis itu makan berdua
menghadapi api unggun.
"Aku
tidak berbohong, tak pernah membohong dan juga takkan suka membohong kalau
akibat perbuatan itu aku merugikan orang lain." Yo Wan mulai dengan
kata-kata memutar karena dia maklum bahwa menghadapi seorang seperti Siu Bi,
ada perlunya sekali-kali membohong, maka dia tadi sengaja menambahi kata-kata
‘kalau akibat membohong itu akan merugikan lain orang’! "Pada waktu kau
lari itu, pedangmu tertinggal. Aku menyesal sekali telah membikin kau marah dan
kecewa, maka aku mengambil pedangmu dan lari mengejar. Celaka, kiranya ilmu
lari cepatmu luar biasa sekali. Mana aku mampu untuk mengejar? Aku tidak dapat
mengejarmu dan ketika kulihat sapu tangan ini... ada darah di situ... aku menjadi
gelisah bukan main. Aku khawatir kalau-kalau kau terjatuh ke tangan orang
jahat...”
"Memang
aku terjatuh ke tangan orang jahat, anak buah Ang-hwa-pai yang menculikku
setelah membuat aku pingsan dengan bubuk racun merah yang harum."
"Ahhh...!
Sudah kukhawatirkan terjadi hal seperti itu...! Kemudian bagaimana?"
Siu Bi
meruncingkan bibirnya. Yo Wan terpaksa meramkan kedua matanya melihat mulut
yang kecil itu meruncing seperti hendak menusuk ulu hatinya. "Huh, yang
mau omong ini engkau atau aku? Kaulah yang harus meneruskan omonganmu. Hayo,
lalu bagaimana?"
Yo Wan
tersenyum. Timbul lagi kegembiraannya. Ah, alangkah akan nikmat dan bahagia
hidup jika bisa seperti ini terus. Heran dia, kenapa selalu terasa seperti ini,
bunga-bunga makin indah, daun hijau makin segar, bahkan batang-batang pohon
bentuknya menjadi penuh keindahan, semua hal aneh ini terjadi apa bila Siu Bi
berada di dekatnya, dengan sikapnya yang nakal, aneh, menggemaskan dan
kadang-kadang membingungkan.
"Aku
lalu menyimpan sapu tangan pembungkus rambutmu ini yang... ehhh, yang harum
baunya tapi ternoda darah... tadinya kusangka darahmu..."
"Bukan
darahku. Kupukul seorang penjahat sampai berdarah. Pada waktu aku pingsan,
agaknya dia sudah mengambil sapu tangan itu dan menggunakannya untuk mengusap
darahnya..."
"Celaka..."
pikir Yo Wan dan hidungnya dikernyitkan, alisnya berkerut.
"Ehhh,
kenapa kau? Mukamu seperti... seperti monyet kalau begitu!"
Yo Wan tidak
menjawab, hanya cemberut. Celaka, pikirnya. Teringat dia betapa kadang-kadang
dia menciumi sapu tangan berdarah itu, mengira itu darah Siu Bi. Kiranya darah
penjahat. Pantas baunya tak sedap.
"Sudahlah,
sapu tanganku itu boleh kau miliki, teruskan omonganmu. Sampai di sini aku
belum melihat kesalahan-kesalahan."
Belum ada
kesalahan? Kesalahan besar yang patut diberi hukuman tamparan tiga kali, pikir
Yo Wan.
"Aku
mengejar terus sampai akhirnya aku berhenti di pinggir Sungai Fen-ho. Di sana
aku dihadang oleh bajak sungai. Kukalahkan tiga orang itu, kutangkap seorang
dan kupaksa mengaku. Dari bajak itulah aku tahu bahwa kau telah menjadi tawanan
Ang-hwa-pai dan dibawa ke Ching-coa-to. Aku lalu melakukan pengejaran, akan
tetapi karena aku belum mengenal jalan dan di sepanjang jalan harus berhenti
untuk bertanya-tanya, maka tentu saja bajak itu sampai ke Ching-coa-to lebih
dulu."
"Stop
dulu! Awas, apakah pada bagian ini kau tidak membohong? Agaknya di jalan kau
bertemu dengan Cui Sian dan itulah yang menyebabkan kau terlambat datang."
"Tidak
sama sekali!"
"Kalau
tidak, bagaimana bisa begitu kebetulan? Nah, lanjutkanlah,"
"Ketika
mendarat di Ching-coa-to, aku sama sekali tidak tahu bahwa di situ ada Cui
Sian, malah aku tidak pernah kenal siapa dia. Yang kukhawatirkan tentu saja
kau, karena aku menyusul tergesa-gesa ke Ching-coa-to adalah karena hendak
menolongmu."
"Hemmm..."
Siu Bi menggerakkan mulut mengejek, tanda tak percaya.
"Teruskanlah..." kata-kata ini membayangkan bahwa dia amat tertarik.
Diam-diam Yo Wan geli hatinya.
"Tapi,
ketika aku tiba di tempat pertempuran, aku melihat hal yang amat aneh dan sama
sekali di luar dugaanku."
"Apa
itu?"
"Ehh,
kulihat kau yang kukhawatirkan setengah mati itu sedang berdampingan dengan
seorang pemuda tampan dan ganteng, sama sekali kau tidak ditawan, apa lagi
terancam! Sekali pandang saja aku maklum bahwa kau memang tidak membutuhkan
pertolongan, maka perhatianku lalu tertarik oleh keadaan Cui Sian yang terancam
bahaya maut. Tentu saja aku tidak bisa membiarkan orang-orang jahat menyiksa
orang seperti itu, maka aku kemudian turun tangan menolongnya. Karena maklum
bahwa berlama-lama di sana akan berbahaya, aku lalu membawa pergi Cui Sian yang
masih pingsan, melarikan diri dengan perahu meninggalkan Ching-coa-to."
"Tanpa
pedulikan aku lagi, ya?"
"Lho,
kau kan tidak apa-apa! Aku sama sekali tidak merasa khawatir meninggalkan kau
di sana karena agaknya kau tidak bermusuhan dengan orang-orang
Ang-hwa-pai."
"Hemmm,
tadi kau bilang tidak kenal Cui Sian, padahal sesudah kau dengan dia berada di
sini, kalian bicara kasak-kusuk begitu mesra. Kau menyebutnya moi-moi
segala!"
Yo Wan
tersenyum dan mukahya menjadi merah. Benar-benar gadis ini belum mengenal
sungkan, bicara secara blak-blakan tanpa malu-malu dan sungkan lagi, malah dia
yang menjadi jengah dan untuk sejenak tak mampu menjawab.
"Pringas-pringis!
Hayo beri keterangan, bagaimana? Atau, barangkali kau bohong ketika bilang
tidak mengenal dia?"
"Begini,
Nona..."
"Huh,
aku yang lebih dulu kau kenal, masih kau sebut nona-nona segala. Dia baru saja
kau jumpai, sudah kau sebut moi-moi. Coba pikir, bukankah hal ini sangat
memanaskan perut?"
Senyum Yo
Wan melebar. Benar-benar seperti anak kecil. "Kalau begitu, biar kusebut
kau moi-moi. Aku tadinya takut menyebut kau moi-moi, kau begitu galak sih.”
”Siapa
kegilaan dengan sebutanmu? Teruskan!”
"Begini
sebenarnya. Ketika aku menolong Cui Sian, aku benar-benar tidak mengenal dia,
dan aku menolong hanya karena tidak dapat berdiam diri saja melihat seorang
wanita muda terancam maut. Akan tetapi sesudah kami berdua bercakap-cakap, baru
aku tahu bahwa dia itu adalah seorang temanku bermain ketika kami masih kecil.
Ketika itu dia baru berusia tiga empat tahun, dan aku berusia enam tujuh tahun.
Tentu saja pertemuan yang tak terduga-duga itu menggembirakan dan kami bicara
tentang masa lalu."
Siu Bi
mengangguk-angguk, wajahnya agak berseri, tidak marah lagi seperti tadi.
"Dan
kalian kasak-kusuk? Bicara tentang diriku, ya?"
"Tapi
kami tidak bicara buruk. Cui Sian bukan macam gadis yang suka memburukkan orang
lain."
"Aku
tahu. Dia gagah perkasa memang. Tapi... tapi dia sahabatnya Pendekar Buta. Dan
kau...!" Tiba-tiba Siu Bi berdiri, "Kau juga hendak membela Pendekar
Buta? Mengapa? Kau siapa? Apamukah Pendekar Buta itu?"
"Eeittt,
sabar dan tenanglah. Aku sama sekali tidak membelanya. Dengar baik-baik, Siu Bi
Moi-moi. Aku mencegah kau memusuhi Pendekar Buta, sama sekali bukan dengan
maksud lain kecuali untuk mencegah kau menghadapi bahaya maut. Kau tahu,
Pendekar Buta adalah seorang yang teramat sakti, tak terkalahkan, dan mempunyai
banyak sekali sahabat-sahabat di dunia ini, sahabat-sahabat yang sakti-sakti
pula. Karena itu, harap kau jangan sembarangan bicara dan ingat baik-baik lebih
dulu sebelum memusuhinya, karena hal itu teramat berbahaya bagi
keselamatanmu."
Sejenak Siu
Bi termenung, kemudian matanya bersinar dan dia menyimpan pedangnya. Yo Wan
menarik nafas panjang, dadanya lapang.
"Yo-twako...
nah, aku pun menyebutmu Yo-twako, seperti Cui Sian tadi. Yo-twako..."
“Hemmm…”
"Waduh,
kau senang ya kusebut Yo-twako?"
"Tentu
saja senang, Bi-moi. Kau hendak berkata apa tadi?"
"Yo-twako,
apakah kau suka kepadaku?".....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment