Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 07
Yo Wan
tersentak kaget. Benar-benar gila! Mana ada seorang gadis bertanya tentang hal
ini seperti orang bertanya mengenai perut lapar atau tubuh lelah saja. Begitu
biasa dan sederhana! Begitu langsung dan terus terang. Apakah tidak luar biasa?
"Tentu saja, Bi-moi. Aku... aku… suka kepadamu."
"Betul?
Tidak bohong? Jangan-jangan di mulut bilang begitu, di hati berbunyi
lain!"
"Sungguh
mati, Bi-moi. Aku memang suka padamu, suka betulan, tidak main-main dan tidak
bohong!"
"Betul
suka? Dan kau mau menolongku, mau membantuku?"
"Tentu
saja!"
Siu Bi
memegang kedua tangan Yo Wan dan meloncat-loncat kecil seperti orang menari,
wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar, kedua pipinya merah, bibirnya yang
manis dan merah membasah itu sedikit terbuka, terhias oleh senyum. Bukan main
cantik manisnya, membuat Yo Wan terpesona dan tubuhnya serasa dingin.
"Yo-koko
yang baik, koko yang perkasa. Terima kasih! Aku pun suka sekali kepadamu!
Yo-twako, mari kau bantu aku untuk mencari Pendekar Buta dan membuat
perhitungan, membalas sakit hati kakek Hek Lojin!"
Kepala Yo
Wan serasa disambar geledek. Mampuslah kau sekarang! Mau rasanya dia menggejil
(memukul dengan buku jari) kepalanya sendiri. Mampus kau si sembrono! Cih,
terbujuk dan tertipu oleh kanak-kanak! Ingin dia marah marah kepada diri
sendiri, marah kepada Siu Bi. Akan tetapi dia tidak tega memarahi dara yang
begini gembira ria dan bahagia. Dia harus berlaku cerdik. Boleh juga membohong
demi keselamatan hubungan mereka, demi kesenangan Siu Bi.
"Tentu
saja aku akan membantumu dalam segala hal, Bi-moi. Tetapi mari kita duduk dulu
dan kau ceritakan padaku riwayat hidupmu. Siapakah kakekmu yang bernama Hek
Lojin itu? Dan mengapa kau memusuhi Pendekar Buta? Kemudian, kau juga belum
ceritakan bagaimana kau yang tadinya terculik oleh anggota Ang-hwa-pai itu
tahu-tahu bisa bebas dan kelihatannya tidak dimusuhi lagi di Ching coa to”.
Siu Bi duduk
di atas rumput, wajahnya masih berseri. "Engkau baik sekali, Yo-twako. Aku
sekarang takkan marah lagi padamu. Maafkan kelakuanku yang sudah-sudah,
ya?"
Yo Wan
terharu. Seorang gadis yang baik, baik sekali pada dasarnya. Kasihan, agaknya
tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya di waktu kecil. "Tidak
ada yang perlu dimaafkan, adikku. Kau seorang gadis yang baik sekali.”
"Sebetulnya
aku tidak suka menceritakan riwayatku kepada siapa pun juga, Twako. Akan tetapi
kepadamu lain lagi."
Aduhhh,
jantung Yo Wan serasa cesssss... bagai direndam air es. la memandang wajah itu
dan kedua matanya seakan-akan bergantung pada bibir yang bergerak-gerak lincah.
"Aku
mau ceritakan semua, akan tetapi kau harus berjanji akan memberi pelajaran ilmu
silat kepadaku, Twako."
"Ilmu
silat? Tapi... ilmu silatmu sudah hebat sekali!"
"Hebat
apanya? Cara engkau menghindarkan pedangku tadi. Bukan main! Aku ingin kau
mengajarkan aku cara mengelak seperti itu, Twako."
Yo Wan
terkejut, Si-cap-it Sin-po atau ilmu langkah ajaib itu dia pelajari dari
Pendekar Buta! Mana boleh diajarkan kepada orang lain, apa lagi kepada orang
yang jelas berniat memusuhi Pendekar Buta? Tetapi dia segera mendapat sebuah
pikiran yang cerdik dan bagus, maka dia mengangguk. "Baiklah, nanti
kuajarkan itu kepadamu!"
Siu Bi mulai
dengan ceritanya secara singkat. "Aku anak tunggal seorang janda, sampai
sekarang aku tak tahu siapa ayahku sebab ibu merahasiakannya. Aku lalu diambil
anak oleh ayah angkatku, juga aku menerima pelajaran dari kakek guruku, yaitu
Hek Lojin itu. Semenjak kecil aku belajar silat di Go-bi-san dan kakek Hek
Lojin amat sayang padaku. Dia kehilangan lengannya, buntung sebatas siku kiri,
dibuntungi oleh Pendekar Buta saat bertempur melawannya. Karena kakek amat baik
padaku, dia sudah menurunkan semua ilmunya kepadaku dan aku sudah bersumpah
sebelum dia meninggal dunia bahwa aku pasti akan mencari Pendekar Buta kemudian
membalaskan dendam hatinya dengan cara membuntungi lengan Pendekar Buta dan
anak isterinya."
"Mengapa
kakekmu bertempur dengan Pendekar Buta? Apakah dia tidak menceritakan kepadamu
sebab-sebabnya sehingga kau dapat mengerti apakah sebetulnya kesalahan Pendekar
Buta terhadap kakekmu?" Dengan hati-hati dan secara berputar, Yo Wan lalu
bertanya dengan maksud mengingatkan gadis ini bahwa tidak baik mengancam hendak
membuntungi lengan orang-orang tanpa tahu kesalahan mereka yang sesungguhnya.
Akan tetapi
dia keliru. Siu Bi menggerakkan alisnya yang hitam panjang dan kecil seperti
dilukis. "Apa peduliku tentang itu? Bukan urusanku! Urusan antara mendiang
kakek dan Pendekar Buta, tiak ada sangkut-pautnya dengan aku. Urusanku dengan
Pendekar Buta hanya untuk membalaskan sakit hati kakek yang sudah dibuntungi
lengannya, tentu saja berikut tambahan bunganya karena kakek sudah menderita
puluhan tahun lamanya. Ada pun bunganya adalah lengan isteri dan anak Pendekar
Buta."
Jawaban ini
membuat Yo Wan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik nafas panjang.
"Ehh,
kau tidak setuju? Bukankah kau bilang hendak membantuku menghadapi
mereka?"
Cepat Yo Wan
menjawab. "Memang, aku akan membantumu dalam segala hal, Bi-moi. Akan
tetapi, aku hanya ingin mengatakan bahwa tugasmu itu sama sekali bukanlah hal
yang mudah dilaksanakan. Pendekar Buta Kwa Kun Hong ialah seorang pendekar
besar yang sangat sakti. Isterinya pun memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga puteranya.
Mereka bertiga merupakan keluarga yang sukar sekali dilawan, apa lagi
dikalahkan secara yang kau katakan tadi, membuntungi lengan mereka. Wahhh, hal
ini kurasa tak akan mungkin dapat kau lakukan."
"Hemmm,
Yo-twako, kenapa kau begini kecil hati dan penakut? Aku sih sama sekali tidak
takut! Apa lagi ada kau di sampingku yang akan membantuku, Menghadapi
iblis-iblis dari neraka pun aku tidak takut! Kau tak usah khawatir, Twako.
Kalau kita sudah berhadapan dengan mereka, biarkan aku menghadapi mereka sendiri.
Kau tak usah ikut campur atau turun tangan. Terserah kepadamu apakah kau mau
membantuku kalau melihat aku kalah oleh mereka. Aku hanya minta kau temani aku
ke Liong-thouw-san. Bagaimana?"
Yo Wan
merasa kasihan sekali dan hatinya tidak tega untuk menolak. Sungguh seorang
gadis yang patut dikasihani. Tidak tahu siapakah ayahnya? Adakah kenyataan yang
lebih pahit dari ini? "Bi-moi, aku sendiri merasa heran mengapa ibumu
merahasiakan siapa adanya ayahmu. Akan tetapi, siapakah itu ayah angkatmu?"
"Dia suami
ibu!"
"Ahhh...!"
Tak dapat Yo Wan menahan seruannya ini, karena memang sama sekali tidak
disangka-sangkanya. Melihat gadis itu memandang tajam karena seruan kagetnya,
dia cepat-cepat menyambung. "Kalau begitu, dia itu bukan ayah angkatmu,
melainkan ayah tirimu. Begitukah?"
Siu Bi
mengangguk, lalu terus menundukkan mukanya. Betapa pun juga, hatinya tertusuk
dan merasa sakit. Semenjak kakeknya terbunuh oleh The Sun dan ia mendengar
bahwa orang yang selama itu ia anggap ayahnya ternyata bukan ayahnya sejati,
timbul rasa tak senang, bahkan benci kepada diri ayah tirinya itu.
"Benar,
dia itu ayah tiriku, namanya The Sun. Selama ini aku memakai she The, padahal
bukan... ehh, kau kenapa?”
Ketika
mengangkat muka memandang, Siu Bi melihat betapa Yo Wan melompat berdiri tegak,
mukanya pucat bukan main dan sepasang matanya memandang padanya dengan
terbelalak. Cepat dia menghampiri dan hendak memegang pundak pemuda itu sambil
berkata gemas, "Yo-twako, kau kenapa? Sakitkah kau?"
"Tidak...
tidak... jangan sentuh aku!" teriak Yo Wan sambil melompat mundur.
"Yo-twako,
kenapakah...?” Siu Bi benar-benar gelisah melihat keadaan Yo Wan yang seperti
tiba-tiba menjadi gila itu.
"Kenapa?"
suara Yo Wan parau dan tiba-tiba dia tertawa, tetapi seperti mayat tertawa.
"Huh-huh-huh kenapa katamu? Ayah tirimu itu, The Sun itu adalah pembunuh
ibuku!" Sesudah berkata demikian, Yo Wan berkelebat dan sebentar saja dia
sudah lenyap dari depan Siu Bi.
Gadis ini
tercengang, berusaha mengejar, akan tetapi hatinya sendiri terlampau tegang
sehingga kedua kakinya menjadi lemas. la berusaha memanggil, akan tetapi tidak
ada suara yang dapat keluar dari mulutnya. Kemudian ia bersungut-sungut dan
berbisik lirih, penuh kemarahan dan kegemasan.
"The
Sun, kau benar-benar telah merusak hidupku... aku benci padamu... aku benci...!"
dan gadis ini lalu menangis terisak-isak di bawah pohon.
Sementara
itu, dengan hati perih dan perasaan tidak karuan Yo Wan berlari-larian cepat
sekali, menjauhkan diri sejauh mungkin dari gadis yang ternyata adalah anak
tiri dari The Sun. Dan anak tiri musuh besarnya yang sudah menghina ibunya dan
menyebabkan kematian ibunya ini, sekarang bermaksud akan membuntungi lengan
suhu dan subo-nya serta putera mereka…..!
Tan Kong Bu
bersama isterinya, Kui Li Eng dengan penuh kebahagiaan menikmati hidup mereka
di puncak Min-san. Para pembaca cerita Rajawali Emas tentu sudah mengenal siapa
adanya suami isteri pendekar ini, yang keduanya memiliki ilmu kepandaian sangat
tinggi.
Tan Kong Bu
adalah putera Raja Pedang Tan Beng San, sedangkan isterinya, Kui Li Eng adalah
puteri dari Kui Sanjin ketua Hoa-san-pai. Yang laki-laki putera ketua
Thai-san-pai, yang wanita puteri ketua Hoa-san-pai. Tentu saja mereka merupakan
pasangan yang hebat. Akan tetapi, suami isteri ini lebih suka bersunyi diri,
menjauhkan keramaian dunia, memperdalam ilmu dan menerima belasan orang murid
di Min-san sehingga kelak akan muncul sebuah partai persilatan baru yang
terkenal, yaitu Min-san-pai. Walau pun belasan orang anak murid Min-san-pai itu
merupakan anak-anak pilihan yang berbakat sehingga rata-rata mereka itu dapat
mewarisi kepandaian yang diturunkan oleh kedua suami isteri pendekar ini, namun
mereka itu tidak dapat menyamai kemajuan yang diperoleh puteri tunggal guru
mereka.
Tan Kong Bu
dan isterinya memang hanya mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama
Tan Lee Si. Seorang gadis yang kini berusia sembilan belas tahun, cantik dan
berwajah agung, berwatak keras seperti ibunya dan jujur seperti ayahnya. Biar
pun merupakan anak tunggal, Lee Si tidak biasa dimanja dan ia dapat berdiri
dengan teguh di atas kaki sendiri, dalam arti kata segala sesuatu ingin ia
putuskan dan laksanakan sendiri sehingga meski pun masih amat muda, namun ia
telah mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang luar biasa.
Ilmu silat
yang dimiliki Lee Si memang aneh, merupakan percampuran dari ilmu kedua orang
tuanya. Ayahnya, Tan Kong Bu, memiliki ilmu warisan dari mendiang Song-bun-kwi
Kwee Lun, terutama sekali Ilmu Silat Yang-sin-kun! Ada pun ibunya, Kui Li Eng,
mewarisi ilmu silat asli dari Hoa-san-kun. Karena dia menerima gemblengan dari
ayah bundanya, maka Lee Si tentu saja paham akan kedua ilmu itu, bahkan kedua
ilmu yang sudah sangat mendarah daging di tubuh dan urat syarafnya itu telah
bercampur dan terciptalah ilmu silat campuran yang aneh dan lihai.
Ayahnya
memberi hadiah sebuah pedang yang bersinar kuning, sebuah pedang pusaka ampuh
yang bernama pedang Oei-kong-kiam. Ada pun ibunya yang merupakan seorang ahli
senjata rahasia Hoa-san-pai, setelah melatih puterinya dengan ilmu senjata
rahasia, menghadiahi sekantung gin-ciam (jarum perak). Tidak sembarang ahli
silat mampu mempergunakan gin-ciam ini, karena jarum-jarum itu amatlah
lembutnya, jika dipergunakan hampir tidak mengeluarkan suara dan sukar diikuti
pandangan mata. Cara menggunakannya harus mengandalkan sinkang dan latihan yang
masak.
Pada suatu
pagi yang cerah, Lee Si berlatih ilmu silat pedang di dalam kebun di belakang
rumahnya. Sejak kemarin dia melatih jurus campuran dari Yan-sin-kiam jurus ke
delapan dengan Hoa-san Kiam-sut jurus ke lima. Kedua jurus ini mempunyai
persamaan, akan tetapi mengandung daya serangan yang amat berlainan sehingga
kalau kedua jurus ini dapat dikawinkan, akan merupakan jurus yang ampuh.
Akan tetapi
Lee Si menemui kesulitan. Setiap kali dia memainkan kedua jurus ini dalam
gerakan campuran, ia merasakan dadanya sesak. Beberapa kali sudah ia mencoba
dan akhirnya ia kembali menyarungkan pedangnya di punggung, kemudian berdiri
tegak dan mengumpulkan nafas, suatu ilmu berlatih nafas secara aneh yang pernah
diajarkan oleh ayahnya untuk mengerahkan tenaga Yang-kang. Beberapa menit
kemudian ketika sesak pada dadanya sudah lenyap, dia membuka matanya dan
menarik nafas panjang. Pada saat itu terdengarlah suara orang perlahan,
"Anak
baik, mengapa kau tidak mencoba dengan barengi cara Pi-ki Hu-hiat (Tutup Hawa
Lindungi Jalan Darah)? Jurusmu itu terlalu kacau dan berbahaya, jika
diulang-ulang bisa membahayakan diri sendiri."
Lee Si
menengok dan tampaklah olehnya seorang lelaki berusia kurang lebih lima puluh
tahun duduk berjongkok di atas tembok kebun. Orang itu dapat berada di sana
tanpa ia ketahui sudah membuktikan bahwa dia adalah seorang yang berkepandaian
tinggi.
Lee Si
berpandangan luas. Walau pun hatinya tidak senang ada orang tak dikenal berani
menegur dan malah memberikan nasehat kepadanya yang berarti bahwa orang itu
telah memandang rendah, namun ia dapat menekan perasaannya dan berkata,
"Orang tua, siapakah kau dan apa perlunya kau berada di sini mengintai
orang?"
Laki-laki
itu tersenyum dan wajahnya yang tenang itu berseri. "Aku adalah sahabat
baik ayahmu, sengaja datang ke Min-san. Kebetulan tadi aku sempat mendengar
sambaran angin pedangmu, membuat aku tertarik sekali dan secara lancang menonton.
Gerakan-gerakanmu menyatakan bahwa kau tentulah puteri Kong Bu."
Keterangan
ini dapat diterima, akan tetapi karena Lee Si belum pernah bertemu dengan orang
ini dan sering kali ia mendengar dari ayah bundanya bahwa mereka dahulu banyak
dimusuhi orang-orang jahat di dunia kang-ouw, maka ia tetap menaruh curiga.
"Maaf,
Lopek (Paman Tua), kalau memang kau adalah seorang tamu dari ayah, kenapa tidak
langsung masuk saja dari pintu depan? Sebelum bertemu dengan ayah, maaf kalau
saya tidak berani melayanimu lebih jauh."
Orang itu
tertawa. "Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Puteri Kong Bu benar-benar seorang
yang berhati-hati dan tidak sembrono. Ketahuilah, anak baik, aku datang dari
Thai-san. Beri tahukan ayahmu bahwa... ahhh, itu dia sendiri datang!"
Lee Si menengok
dan kagumlah dia akan kelihaian orang tua itu. Benar saja, bayangan ayahnya
tampak berkelebat keluar dari pintu belakang. Begitu ayahnya melihat laki-laki
yang berjongkok di atas pagar tembok, dia tercengang sejenak, kemudian
terdengar dia berseru girang,
"Haiii...
bukankah ini suheng (kakak, seperguruan) Su Ki Han yang datang
berkunjung?" Suara Kong Bu keras dan nyaring.
Pendekar ini
biar pun usianya sudah empat puluh tahun lebih, masih tampak muda dan gagah. la
tertawa dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah berada di dalam kebun.
Tak lama kemudian berkelebat bayangan yang gesit dari seorang wanita cantik.
"Lihat
siapa yang datang berkunjung ini!" Kong Bu berseru.
Wanita itu
berdiri memandang, lalu tersenyum manis dan sepasang matanya yang masih bening
itu bersinar-sinar. "Ahh, kiranya seorang tamu agung dari Thai-san!"
Kui Li Eng wanita ini, juga berlompatan dalam kebun.
Lee Si
menjadi girang sekali. Ia pun cepat memberi hormat kepada laki-laki yang sudah
melompat turun dari atas pagar tembok dan kini berpelukan dengan Kong Bu itu.
"Sudah lama saya mendengar nama Supek, harap maafkan kekurang ajaran saya
tadi."
"Wah,
kau anak nakal. Apakah tadi kau sudah berlaku kurang ajar kepada
Su-suheng?" bentak Kong Bu.
"Ehh,
jangan galak-galak, Sute. Dia anak baik, baik sekali, sama sekali tidak nakal
atau kurang ajar. Malah aku yang tidak tahu diri, menerobos memasuki rumah
orang melalui kebun belakang seperti maling dan mulutku yang gatal ini berani
memberi komentar atas latihannya bermain pedang."
"Bagus
sekali! Hayo cepat kau haturkan terima kasih kepada Supek-mu atas petunjuknya
yang berharga!" kata Li Eng kepada puterinya.
Lee Si
kembali menjura dengan hormat. "Supek, saya haturkan banyak terima kasih
atas petunjuk Supek tadi yang tentu akan saya coba dan saya perhatikan."
Su Ki Han
menggoyang-goyang kedua tangannya ke atas. "Wah-wah, kalian ini memang
orang-orang yang berjiwa satria, pandai merendah diri. Pantas saja anak ini
demikian maju dan hebat kepandaiannya, kiranya bermodalkan sikap merendahkan
diri yang amat baik untuk mencapai kemajuan! Petunjukku tadi masih belum nampak
buktinya, belum juga dicoba, bagaimana patut ditebus dengan ucapan terima
kasih?"
"Supek,
sebenarnya telah berhari-hari saya bingung menghadapi dua jurus yang hendak
saya satukan itu, tapi belum menemukan jalan pemecahannya. Malah dada saya
terasa sesak ketika bernafas."
"Kau
memang sangat bandel!" Kong Bu mencela puterinya. "Ilmu silatku dan
ilmu silat Ibumu semenjak dulu memang berlawanan, sudah berkali-kali Ibumu dan
aku bertanding, selalu tiada yang menang tiada yang kalah. Bagaimana bisa kau
satukan?"
"Ayah
dan Ibu buktinya bisa bersatu, mengapa ilmunya tidak bisa?"
"Ehh,
anak gila...!" Li Eng berseru dengan muka menjadi merah sekali.
"Ha-ha-ha,
anak kalian ini memang benar. Meski pun ilmu silat itu berlawanan sifatnya,
namun bukan tak mungkin dapat disatukan, asal pandai mengaturnya. Sifat Im dan
Yang memang berlawanan, inilah yang menjadikan segala apa di dunia ini.
Bukankah dalam kitab Ya-keng disebut bahwa IT IM IT YANG WI CI TO (sebuah Im
dan sebuah Yang, itulah yang disebut TO)? Kekuasaaan alam selalu bekerja
berdasarkan Im dan Yang, dua unsur berlawanan yang saling menarik juga saling
menolak, saling menghancurkan tetapi juga saling menghidupkan. Dan dengan
adanya perpaduan Im dan Yang, barulah tercipta Ngo-heng, sari pati dari SUI HO
BOK KIM THO (air, api, kayu, logam, tanah). Cara kerja Ngo-heng pun berdasarkan
Im dan Yang, saling menghidupkan juga saling mematikan. Air akan menghidupkan
kayu, kayu menghidupkan api, api menghidupkan tanah, tanah menghidupkan logam,
dan logam menghidupkan air. Sebaliknya, air mematikan api, api mematikan logam,
logam mematikan kayu, kayu mematikan tanah, dan tanah mematikan air. Tentu saja
arti kata menghidupkan boleh diganti menghasilkan, ada pun mematikan boleh
memusnahkan atau memakan habis. Wah, aku jadi ngacau terus... ha-ha-ha!"
"Bagus,
bagus, Supek. Saya mulai dapat menangkap rahasia Im dan Yang!" teriak Lee
Si sambil bertepuk tangan kegirangan.
"Supek-mu
adalah murid tertua dari kakekmu, tentu saja dia telah mewarisi Ilmu Im-yang
Sin-hoat," kata Kong Bu tersenyum.
Kembali
sambil tertawa Su Ki Han mengangkat kedua lengannya ke atas menolak pujian itu.
"Kalau tentang ilmu kepandaian silat, mana bisa aku dibandingkan dengan
Ayah dan Ibumu? Anak baik, kalau belajar ilmu silat, ayah bundamu inilah
gurunya. Akan tetapi jika hanya mempelajari teori tentang Im Yang, mungkin aku
akan dapat memberi penjelasan. Karena tadi kulihat bahwa gerakanmu dalam
mempersatukan dua jurus itu mengandung hawa Im dan Yang, dua hawa yang
berlawanan, maka kau gagal dan dadamu merasa sesak. Satu-satunya cara untuk
mengatasi hal ini hanyalah dengan Pi-ki Hu-hiat, karena dengan demikian kau
akan dapat mengatur dua hawa yang berlawanan itu secara teratur dan bergiliran
sehingga dapat menghasilkan jurus yang lihai dan sukar diduga lawan."
"Lee
Si, sesudah mendapat petunjuk dari Supek-mu, mengapa tidak segera dicoba agar
apa bila ada kekurangannya dapat minta penjelasan lagi?" kata Li Eng
kepada puterinya. Ibu yang amat mencinta puterinya ini tentu saja menggunakan
setiap kesempatan untuk kepentingan dan keuntungan puterinya.
"Singgg...!"
Sinar kuning berkelebat ketika Lee Si mencabut pedang Oei-kong-kiam.
"Supek,
mohon petunjuk Supek apa bila ada kekeliruan," katanya.
Sekali lagi,
seperti yang sudah ia lakukan di luar tahu ayah bundanya selama beberapa hari
ini tanpa hasil, ia bersilat mainkan jurus yang digabung itu. la mentaati
petunjuk Su Ki Han dan sambil bersilat ia mengerahkan Ilmu Menutup Hawa
Melindungi Jalan Darah. Gerakan kedua jurus itu ia satukan dan ia berhasil
melakukannya dengan baik.
"Ehh,
seperti Yang-sin-kiam jurus ke delapan!" seru Kong Bu.
"Tidak,
seperti jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut!" seru Li Eng.
Dengan
girang sekali Lee Si menghentikan gerakannya lantas bersorak, "Aku
berhasil! Ayah, Ibu, memang itu tadi jurus ke delapan dari Yang-sin-kiam
digabung dengan jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut. Supek, terima kasih."
Mereka tertawa-tawa
dengan girang.
"Wah,
kita ini tuan dan nyonya rumah macam apa?" Kong Bu tiba-tiba berseru
mencela diri sendiri dan isterinya "Ada tamu agung yang datang, bukan
lekas-lekas disambut dan dijamu, malah direpotkan dengan anak kita. Inilah
kalau kita terlalu memanjakan anak!"
"Ahh,
di antara saudara sendiri, mana ada aturan sungkan-sungkan segala macam?"
Su Ki Han membantah.
Akan tetapi
dia segera mengikuti mereka memasuki rumah di mana pemilik rumah cepat
menyuguhkan minuman dan menanyakan keselamatan ayah bunda mereka di Thai-san.
Tan Kong Bu adalah putera Raja Pedang Tan Beng San dan mendiang Kwee Bi Goat.
Nyonya Tan Beng San yang sekarang, yaitu Cia Li Cu, ibu Tan Cui Sian adalah ibu
tiri Kong Bu.
"Keadaan
suhu dan subo (ibu guru) sehat-sehat dan selamat. Juga Thai-san-pai semakin
berkembang, tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk."
"Supek,
mengapa bibi Cui Sian tidak ke sini? Saya sudah kangen betul. Sepuluh tahun
sudah tak pernah bertemu dengannya. Tentu dia lihai sekali dan cantik jelita,
ya?"
"Karena
bibimu itulah maka hari ini aku berada di sini. Sumoi sudah sebulan lebih turun
gunung ketika datang putera Bun-goanswe yang mengabarkan bahwa ada anak murid
Hek Lojin yang sedang mencari Pendekar Buta untuk membalas dendam. Malah putera
Jenderal Bun itu pun menceritakan pula bahwa kini ada kawanan penjahat yang
bernama Ang-hwa-pai, bermarkas di Pulau Ching-coa-to dan dipimpin oleh Ang-hwa
Nio-nio serta banyak orang sakti lainnya. Mereka juga tengah mengumpulkan
tenaga untuk menyerbu Liong-thouw-san. Dalam perjalanannya ke Liong-thouw-san
untuk memberi kabar, putera Jenderal Bun itu sengaja mampir ke Thai-san,
seperti yang dipesankan oleh ayahnya. Mendengar berita ini, suhu menjadi tidak
enak hatinya. Permusuhan berlarut-larut yang kini mengancam keselamatan
keluarga Pendekar Buta sebenarnya terjadi karena suhu, sedangkan Pendekar Buta,
Kwa-taihiap, hanya membantu suhu. Maka aku lalu disuruh turun gunung, mencari
sumoi untuk bersama-sama pergi ke Liong-thouw-san, bila perlu membantu
Kwa-taihiap menghadapi musuh-musuh yang menyerbu."
Mendengar
ini, Kong Bu malah tertawa. "Ah, ayah terlalu mengkhawatirkan keselamatan
Kwa Kun Hong, sungguh lucu! Suheng, di jaman ini siapakah orangnya yang akan
dapat mengalahkan Pendekar Buta dan isterinya? Bila ada yang sakit hati dan
ingin membalas dendam, biarkan saja mereka pergi menandingi Pendekar Buta, biar
mereka tahu rasa. Ingin aku melihat mereka itu seorang demi seorang
dirobohkan."
"Biar
pun Paman Hong sudah buta, tapi penjahat-penjahat itu akan dapat berbuat apakah
terhadapnya? Akan tetapi, ayah mertua benar juga. Adik Cui Sian tentu akan
mendapat pengalaman yang amat berharga bila sempat menyaksikan paman Kun Hong
menghajar para penjahat yang hendak menyerbu ke Liong-thouw-san."
Ucapan Li
Eng ini disertai suara yang mengandung kebanggaan. Kwa Kun Hong masih terhitung
pamannya seperguruan, oleh karena itu dia patut berbangga akan kelihaian dan
ketenaran nama pamannya.
Su Ki Han
tersenyum mendengar kata-kata suami isteri ini. Ternyata mereka ini masih sama
dengan dahulu, tabah, berani dan gagah perkasa, juga jujur kalau bicara. Suami
isteri yang cocok sekali, pantas mempunyai puteri sehebat Lee Si.
"Memang
tak dapat disangkal bahwa Kwa-taihiap memiliki kepandaian yang sakti. Suhu sendiri
sering kali memuji-mujinya, apa lagi karena sumber ilmu kepandaian Kwa-taihiap
dan suhu adalah sama, yaitu dari kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan
tetapi menurut suhu, sekarang banyak bermunculan orang-orang sakti di dunia
hitam, apa lagi yang datang dari barat dan utara. Kaisar sendiri sampai
bersusah payah dalam usahanya memperkuat serta memperbaiki Tembok Besar untuk
mencegah perusuh dari barat dan utara. Namun, banyak tokoh-tokoh sakti mereka
itu yang berhasil menerobos masuk dan selain melakukan penyelidikan untuk
mengukur keadaan, juga mereka banyak menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh hitam
di sini. Karena itulah, menurut suhu, sudah tiba saatnya kita semua harus
bangkit, siap sedia membela negara dan bangsa menghadapi mereka itu. Pada saat
ini, agaknya pribadi Pendekar Buta menjadi pusat perhatian para tokoh hitam
yang banyak menaruh dendam. Karena itu, Kwa-taihiap boleh diumpamakan sebagai
umpan untuk memancing datang tokoh-tokoh itu dan kita harus membantunya
membasmi mereka agar negara ini bersih dari gangguan mereka. Bagaimana
pendapat, Sute?"
Kong Bu
mengangguk-angguk. "Ayah, selalu berpandangan luas. Tentu saja kami di
sini, biar pun hanya terdiri dari kami bertiga dan beberapa belas anak murid
yang kaku dan bodoh, selalu siap membantu apa bila diperlukan."
"Bagus!"
Li Eng menyambung. "Belasan tahun pedangku tinggal bersembunyi di dalam
sarungnya, membuat aku menjadi malas. Berilah aku lawan yang jahat dan kuat,
dan kegembiraan lama akan timbul kembali!"
"Wah-wah,
kau kambuh lagi? Apa tidak takut ditertawakan anakmu? Kita sudah tua, tidak
perlu menonjolkan semangat seperti di waktu muda." Kong Bu menggoda
isterinya.
"Ayah,
aku setuju dengan Ibu. Ibu gagah dan bersemangat, mengapa dicela? Dan aku
percaya, kalau Ibu ikut terjun, segala macam penjahat itu mana berani menjual
lagak?" Lee Si membela ibunya.
Su Ki Han
tertawa bergelak. "Anak baik, apa bila Ibumu tidak begitu bersemangat dan
gagah perkasa, mana bisa menjadi isteri Ayahmu? Sute berdua, kedatanganku ke
sini, seperti sudah kukatakan tadi, adalah hendak mencari sumoi. Tadinya
kusangka bahwa sumoi mengunjungi kalian. Apakah sumoi tak pernah datang ke
sini?"
"Tidak,
Su-suheng."
"Heran
sekali, ke mana dia pergi? Apakah ke Lu-liang-san, ke rumah sute Tan Sin Lee?
Ataukah pergi ke Hoa-san-pai? Dalam penyelidikanku, pernah dia terlihat di
dekat daerah Taingpan, malah kabarnya dia telah pergi mengunjungi Pulau
Ching-coa-to! Akan tetapi sekarang dia tidak berada di sana, malah ketika
kutanyakan kepada Bun-goanswe, juga tidak singgah di sana."
"Mana
bisa mencari seorang yang sedang merantau? Suheng, lebih baik kau mendahului ke
Liong-thouw-san dan menanti di sana. Akhirnya Cui Sian tentu juga akan singgah
ke sana."
"Memang
senang sekali melakukan perantauan seorang diri seperti Cui Sian. Dengan
sebatang pedang menjelajah seribu gunung, memberi kesempatan kepada pedang
untuk menghadapi seribu macam kesulitan. Wah, kau takkan berhasil mencarinya,
Su-suheng. Memang sebaiknya kau menanti di Liong-thouw-san. Kelak kalau dia
muncul di sini, tentu akan kuberi tahu," kata Li Eng dengan wajah berseri.
Nyonya ini
dahulunya merupakan seorang gadis yang lincah dan suka sekali merantau. Tadi
dia teringat akan masa mudanya dan timbul kegembiraannya.
"Cui
Sian tidak seperti kau!" sela Kong Bu. "Kau dahulu selalu mencari
perkara. Kalau semua gadis muda seperti kau akan kacaulah dunia. Ada gadis
seperti kau lima saja, pasti dunia kang-ouw akan geger." Mereka
tertawa-tawa lagi.
Pertemuan
dengan murid kepala Thai-san-pai ini ternyata mendatangkan kegembiraan luar
biasa dan mereka bertiga lalu bercakap-cakap sambil tertawa-tawa sampai hampir
semalam suntuk. Banyak arak dan daging melewati tenggorokan mereka, dan
ketiganya tidak memperhatikan lagi betapa sore-sore Lee Si sudah masuk ke
kamarnya.
Baru pada
keesokan harinya suami-isteri ini mendapat kenyataan bahwa puteri mereka tidak
berada di dalam kamarnya dan bahwa pembaringannya tak pernah ditiduri malam
itu. Di atas meja dalam kamar Lee Si terdapat kertas bertulisan huruf-huruf
halus yang berbunyi,
TURUN GUNUNG
MENCARI BIBI CUI SIAN
"Bocah
lancang!" seru Kong Bu yang cepat memanggil murid-muridnya yang tinggal di
puncak dalam bangunan lain.
Para murid
yang berjumlah tiga belas orang ini juga tidak ada yang melihat bila Lee Si
pergi turun gunung, karena malam hari itu, tahu bahwa suhu dan subo mereka
menjamu seorang tamu dari Thai-san, maka para murid ini tidak berani berada di
dalam bangunan tempat tinggal mereka.
"Mengapa
ribut-ribut? Biarkan dia turun gunung mencari pengalaman. Dia bukan anak kecil
lagi," kata Li Eng yang tidak puas melihat suaminya seperti seekor ayam
kehilangan anaknya.
"Meski
pun dia sudah dewasa dan kepandaiannya cukup, tetapi dia masih hijau. Dunia ini
banyak sekali orang jahat, bagaimana kalau dia tertimpa bencana?"
"Ahhh,
kau sebagai ayah terlalu memanjakannya! Apa bila dia tidak digembleng dengan
kesulitan dan bahaya, mana patut menjadi puteri kita?"
Su Ki Han
menjadi tidak enak. "Ahhh, akulah gara-garanya. Kalau tidak muncul di
sini, agaknya Lee Si tidak akan pergi turun gunung. Biarlah aku minta diri
sekarang dan akan kususul dia!"
"Jangan
menyalahkan dirimu sendiri, Suheng. Memang sudah lama anak itu ingin sekali
turun gunung, tetapi selalu ditahan ayahnya. Sekarang ada kesempatan dan ada
alasan, yaitu untuk mencari bibinya, Cui Sian, biar sajalah," kata Li Eng
menghibur.
Juga Kong Bu
menghibur, menyatakan bahwa bukan kesalahan Su Ki Han yang sudah menyebabkan
Lee Si pergi. Akan tetapi Su Ki Han tetap pamit dan segera turun gunung dengan
maksud mengejar Lee Si dan membujuk anak perempuan itu pulang ke puncak
Min-san. Atau setidaknya ia bisa mengamat-amati dan menjaganya. Akan tetapi,
betapa pun cepat dia menggunakan ilmunya lari turun gunung, tetap dia tak dapat
menyusul Lee Si.
Gadis ini
bukanlah orang bodoh dan ia pun tahu bahwa ayahnya tidak suka membiarkan ia
pergi. Oleh karena itu, malam tadi ia berangkat dengan cepat dan
menyusup-nyusup hutan, tidak mau melalui jalan besar.
Karena baru
kali ini ia turun gunung dan ia tidak ingin ayahnya dapat mengejar lantas
memaksanya kembali, ia sengaja turun dari lereng sebelah barat dan sesukanya ia
lari tanpa tujuan sehingga tanpa ia sadari, gadis ini melakukan perjalanan
menuju ke barat! Dari Pegunungan Min-san ke barat, melalui daerah pegunungan
yang tak ada habisnya, dan beberapa pekan kemudian gadis ini masih belum
terbebas dari daerah pegunungan karena ternyata ia telah masuk daerah
Pegunungan Bayangkara!
Penduduk
dusun di pegunungan ini adalah orang-orang gunung yang sama sekali tidak pernah
meninggalkan daerah pegunungan. Karena itu tak seorang pun yang dijumpainya
dapat menerangkannya ke mana jalan menuju ke Liong-thouw-san atau ke kota raja.
Hanya ada
dua tempat di dunia ini yang menarik hati Lee Si dan yang mendorong dia turun
gunung, yaitu pertama di Liong-thouw-san karena ia ingin sekali berjumpa dengan
paman dari ibunya yang terkenal dengan nama Pendekar Buta, dan kedua, ia ingin
sekali menyaksikan bagaimana keadaan kota raja yang hanya pernah didengarnya
dari cerita ibunya.
Pada suatu
hari, ketika ia menuruni sebuah puncak di Pegunungan Bayangkara dan baru saja
keluar dari sebuah hutan, ia mendengar suara aneh. Suara melengking tinggi dan
suara seperti seekor katak buduk ‘bernyanyi’ di musim hujan. Sebagai puteri
suami-isteri pendekar yang berilmu tinggi, ia segera dapat menduga bahwa
suara-suara itu tentulah suara yang keluar dari mulut orang-orang sakti yang
mengerahkan khikang tinggi. Cepat dia menyusup di antara pepohonan dan
mengintai. Betul seperti telah diduganya, dari balik batang pohon dia mengintai
dan melihat ada dua orang laki-laki aneh sedang berhadapan.
Yang
melengking tinggi dan nyaring, lebih nyaring dari pada lengking suara ayahnya
bila mengerahkan khikang, adalah seorang kakek berjenggot pendek yang tubuhnya sangat
tinggi, lebih dua meter tingginya. Laki-laki ini berpakaian seperti orang
asing, jubahnya berwarna kuning dan kepalanya dibungkus kain sorban warna
kuning pula. Telinganya memakai anting-anting, dan melihat bentuk hidungnya
yang panjang melengkung serta kulitnya yang agak coklat gelap, terang bahwa si
jangkung ini adalah seorang asing.
Ada pun
orang kedua yang memasang kuda-kuda dengan kedua lutut ditekuk setengah
berjongkok dan mengeluarkan suara berkokok bagai suara katak buduk, adalah
seorang kakek yang tubuhnya pendek gemuk berkepala gundul, kumisnya persis
seperti tikus dan jenggotnya pendek. Dengan hati tertarik Lee Si memandang.
Pasangan kuda-kuda kakek pendek gendut itu baginya tidaklah asing. Itu adalah
pasangan kuda-kuda yang sangat umum dan banyak dilakukan oleh ahli silat dari
utara.
Akan tetapi
pasangan kuda-kuda si jangkung itulah yang amat mengherankan hatinya. Si
jangkung itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lurus, berdirinya bukan
menghadapi lawan melainkan miring sehingga lawannya berada di sebelah kanannya,
kedua lengan dikembangkan dengan jari-jari terbuka. Mukanya bagai orang
kemasukan setan dan dari mulutnya keluarlah bunyi lengkingan yang kadang-kadang
mendesis-desis.
Lee Si dapat
menduga bahwa kedua orang itu tentu sedang berada dalam tahap awal
pertandingan. Dia tidak mengenal mereka, juga tidak tahu mengapa dua orang aneh
ini seperti hendak bertempur, maka dia hanya mengintai dan menjadi penonton.
Tiba-tiba si pendek gendut makin merendahkan tubuhnya dan terdengar suara berkokok
dari mulutnya semakin dalam, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan. Kedua
lengan itu tampak menggetar, penuh dengan tenaga mukjijat yang menerjang ke
depan. Si tinggi itu menggerakkan kedua lengan seperti orang menangkis, namun
tetap saja dia terhuyung ke kiri, mukanya berubah merah sekali.
Lee Si
terkejut bukan kepalang. Hebat si pendek itu. Entah ilmu pukulan jarak jauh apa
yang diperlihatkan tadi, akan tetapi terang bahwa si jangkung sudah terdesak
hebat dan keadaannya berbahaya. Mendadak si jangkung mengeluarkan suara
melengking tinggi. Tubuhnya berjungkir balik tiga kali dan tahu-tahu dia telah
melayang ke tempat yang tadi, kemudian dua lengannya bergerak dari atas kepala
ke bawah seperti orang sedang menekan. Dari kedua lengan yang panjang ini lalu
menyambar hawa pukulan sakti yang membuat debu mengebul di depan kakinya!
Si pendek
gendut yang menerima serangan ini dengan dua tangannya, kali ini langsung
terdorong mundur sampai satu meter lebih. Hanya dengan melempar tubuh ke
belakang kemudian bergulingan seperti bola karet ia bisa mematahkan daya
serangan lawan yang menggunakan pukulan jarak jauh mengandalkan tenaga
mukjijat. Keduanya lalu melompat dan berdiri berhadapan dalam keadaan biasa.
Keduanya agak pucat dan si pendek gendut tertawa dengan suaranya yang parau dan
dalam.
"Ha-ha-ha-ha,
sobat Maharsi, sungguh hebat bukan main pukulanmu tadi. Aha, agaknya inilah
Pai-san-jiu (Pukulan Mendorong Gunung) yang terkenal hebat itu!"
"Hemmm,
Bo Wi Sianjin, kami orang-orang barat hanya mempunyai sedikit hasil latihan,
mana dapat disamakan dengan engkau, seorang tokoh utara yang hidupnya menentang
keadaan alam yang buas dan kuat? Sudah lama aku mendengar bahwa Ilmu Pukulan
Katak Sakti darimu tiada bandingnya dan ternyata hari ini aku telah membuktikan
sendiri kehebatannya. Kalau kau tidak memandang persahabatan, agaknya aku tadi
takkan kuat menahan!"
"Ha-ha-ha-ha,
kau orang barat memang pandai sekali mengelus hati merayu perasaan dengan
pujian muluk! Bagiku, tidak ada kesenangan yang melebihi bertanding ilmu untuk
membuktikan sampai di mana hasil jerih payah yang kita derita selama puluhan
tahun. Akan tetapi, karena kita perlu sekali menyatukan tenaga menghadapi lawan
yang lihai, biarlah aku bersabar dan kelak masih banyak waktu bagi kita untuk memuaskan
hati dan menengok siapakah di antara kita yang lebih berhasil."
"Hemmm,
aku selalu akan mengiringi keinginan hatimu, Sahabat. Akan tetapi betul sekali
kata-katamu tadi, sekarang kita perlu menghimpun tenaga. Lawan-lawan kita
bukanlah orang-orang yang mudah dikalahkan," jawab si jangkung dengan
bahasa yang terdengar kaku namun cukup jelas bagi Lee Si yang masih mengintai
sambil mendengarkan.
"Engkau
benar, Maharsi. Kau katakan tadi bahwa kau menerima permintaan bantuan dari
adik seperguruanmu Ang-hwa Nio-nio? Jadi sekarang kau hendak pergi
mengunjunginya ke Ching-coa-ouw (Telaga Ular Hijau)?"
"Betul,
Sianjin. Adikku Kui Ciauw itu sekarang sudah menjadi ketua Ang-hwa-pai di Pulau
Ching-coa-to. Memang dulu telah kujanjikan akan membantu dia sebab dua orang
adikku Kui Biauw dan Kui Siauw telah tewas di tangan Pendekar Buta beserta
teman-temannya. Dan kau sendiri, kukira turun dari pegunungan utara untuk
urusan kematian suheng-mu Ka Chong Hoatsu. Bukankah begitu?"
"Betul,
Maharsi. Kakak seperguruanku itu tewas di tangan Raja Pedang yang sekarang
menjadi ketua Thai-san-pai.”
"Hemmm,
lawan kita memang berat. Pendekar Buta walau pun masih muda akan tetapi
kepandaiannya luar biasa sekali. Untuk menghadapinya maka selama hampir dua
puluh tahun aku melatih dengan Pai-san-jiu."
Si pendek
gendut itu mengangguk-angguk. "Sama halnya dengan aku, Sahabat. Bu-tek
Kiam-ong Tan Beng San memiliki ilmu kepandaian yang lihai, terutama ilmu
pedangnya Im-yang Sin-kiam. Karena itulah maka aku menyembunyikan diri selama
dua puluh tahun lebih, khusus untuk melatih Ilmu Pukulan Katak Sakti guna
menghadapinya. Semoga jerih payah kita tidak akan sia-sia dan roh-roh saudara
kita akan dapat tenteram."
Lee Si yang
mendengarkan percakapan ini menjadi terkejut sekali. Baiknya dia seorang gadis
yang cukup cerdik dan tidak sembrono. Dia dapat menduga bahwa dua orang ini
merupakan lawan-lawan yang sangat tangguh, maka dia tidak mau sembarangan
keluar dari tempat persembunyiannya.
Pada saat
itu pula terdengar suara orang tertawa bergelak, tepat di belakang Lee Si dan
sebelum gadis ini sempat berbuat sesuatu, pundaknya sudah dicengkeram orang dan
ternyata yang menangkapnya adalah seorang hwesio yang sudah sangat tua, mukanya
pucat bagaikan mayat, tubuhnya tinggi besar dan kedua matanya selalu meram
seperti orang buta. Bajunya yang terbuat dari kain kasar itu terbuka lebar pada
bagian dadanya sehingga memperlihatkan sebagian perut yang gendut.
"Tokoh-tokoh
utara dan barat diintai bocah di luar tahu mereka, benar-benar aneh!" kata
hwesio itu dengan suara tak acuh, kemudian tangannya bergerak dan... tubuh Lee
Si melayang ke arah dua orang aneh itu seperti sehelai daun kering tertiup
angin!
Tentu saja
Lee Si yang tadinya sudah kaget, kini menjadi takut setengah mati. la maklum
bahwa tubuhnya melayang ke arah dua orang aneh itu dan tidak tahu bagaimana
akan jadinya dengan dirinya. Tentu saja dengan mempergunakan ginkang, setelah
kini terbebas dari pegangan hwesio sakti itu, dia dapat melayang ke samping
untuk melarikan diri. Akan tetapi dia pun cukup maklum bahwa hal ini akan
sia-sia belaka. Tak mungkin dia melarikan diri dari tiga orang aneh ini kalau
mereka tidak menghendaki demikian.
Dia teringat
akan cerita ayah bundanya tentang keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia
persilatan. Jalan satu-satunya bagi dia hanya menyerah tanpa mengeluarkan
kepandaian sehingga tiga orang itu akan merasa malu untuk mengganggu seorang
lawan yang tidak memiliki kepandaian seimbang. Ia harus menggunakan kecerdikan
sebab kepandaiannya takkan dapat menolongnya. Oleh karena inilah, ia hanya
memutar agar dalam melayang ini ia dapat memandang kepada kedua orang tokoh
dari barat itu…..
Siapakah
tiga orang sakti ini? Seperti dapat diketahui dari percakapan antara si
jangkung dan si pendek yang didengarkan oleh Lee Si tadi, si jangkung adalah
seorang tokoh dari barat berbangsa India sebelah timur, seorang pertapa dan
pendeta yang disebut Maharsi (Pendeta Agung). Maharsi ini merupakan kakak
seperguruan dari Ang-hwa Sam-cimoi, yaitu Kui Ciauw, Kui Biauw dan Kui Siauw.
Sebagaimana kita ketahui, Kui Biauw dan Kui Siauw sudah tewas ketika Ang-hwa
Sam-cimoi bentrok dengan Pendekar Buta beserta teman-temannya, ada pun Kui
Ciauw sekarang menjadi ketua Ang-hwa-pai yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio.
Sudah
bertahun-tahun lamanya Ang-hwa Nio-nio menaruh dendam pada Pendekar Buta karena
kematian kedua orang saudaranya, dan untuk membalas dendam dia telah minta
bantuan Maharsi. Tetapi, karena maklum betapa lihainya Pendekar Buta, mereka
berdua menunda niat membalas dendam ini dan masing-masing menggembleng diri
lebih dahulu untuk membuat persiapan menghadapi musuh lama yang amat sakti itu.
Ada pun si pendek itu adalah seorang tokoh dari daerah Mongol. Bo Wi Sianjin
dahulu mempunyai seorang suheng (kakak seperguruan) bernama Ka Chong Hoatsu
yang telah tewas di tangan Raja Pedang Tan Beng San.
Oleh karena
maklum betapa lihainya musuh besar ini, Bo Wi Sianjin tidak tergesa-gesa dan
berlaku sembrono, tetapi dia malah menyembunyikan diri untuk meyakinkan sebuah
ilmu ampuh untuk menghadapi musuhnya. Dia lalu menggembleng diri selama dua
puluh tahun lebih dan sekarang dia mulai turun dari tempat persembunyiannya
untuk mencari musuh lamanya, yaitu Raja Pedang ketua Thai-san-pai. Di tengah
perjalanan kebetulan dia bertemu dengan Maharsi dan kebetulan pula terlihat
oleh Lee Si.
Hwesio tua
renta yang tinggi besar dan amat lihai itu bukanlah seorang yang tak dikenal
para pembaca cerita Pendekar Buta. Dia bukan lain adalah Bhok Hwesio, seorang
tokoh yang amat terkenal dari perkumpulan besar Siauw-lim-pai. Akan tetapi,
berbeda dengan para hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal sebagai pendeta-pendeta
berbudi yang hidup suci dan biasanya menggunakan ilmu silat dari Siauw-lim-pai
yang hebat untuk membela kebenaran dan keadilan, Bhok Hwesio ini semenjak dulu
merupakan seorang anak murid atau tokoh yang murtad. Ilmu kepandaiannya memang
tinggi dan lihai sekali. Bahkan boleh dibilang bahwa jarang ada tokoh
Siauw-lim-pai yang dapat menandinginya, kecuali para pimpinan dan ketuanya
saja.
Di dalam
cerita Pendekar Buta diceritakan betapa Bhok Hwesio ini, dua puluh tahun yang
lalu, dapat terbujuk oleh mereka yang memusuhi Pendekar Buta serta
kawan-kawannya. Akhirnya dia ditawan oleh Thian Ki Losu, yaitu seorang tokoh
Siauw-lim-pai yang sakti dan menjadi suheng-nya sendiri, lalu dibawa kembali ke
Siauw-lim-pai.
Seperti
sudah menjadi peraturan keras Siauw-lim-pai bila ada anak murid menyeleweng,
Bhok Hwesio di ‘hukum’ di dalam ‘kamar penunduk nafsu’ selama sepuluh tahun! la
tidak boleh keluar dari kamar yang pintunya di ‘segel’ dengan tulisan ‘hu’
(surat jimat), hanya diberi makan melalui lubang sehari sekali, dan diharuskan
bersemedhi serta menindas hawa nafsu duniawi.
Karena yang
menjaga agar hukuman ini terlaksana baik adalah Thian Ki Losu sendiri, Bhok
Hwesio tidak berdaya dan terpaksa dia menyerah. Suheng-nya itu terlampau sakti
baginya. Akan tetapi sesungguhnya hanya pada lahirnya saja dia menyerah. Di
dalam hatinya dia menjadi marah dan sakit hati terhadap Pendekar Buta, Raja
Pedang, serta lain-lainnya yang dianggapnya menjadi biang keladi penderitaannya
ini. Diam-diam dia bersemedhi untuk menggembleng diri, memupuk tenaga dan
mendalami ilmu silat dan ilmu kesaktian di dalam kamar kecil dua meter persegi
itu!
Saking
tekunnya melatih diri, sudah sepuluh tahun lewat dan sudah lama Thian Ki Losu
yang amat tua itu meninggal dunia, akan tetapi dia malah tidak mau keluar dari
kamar hukuman ketika pintu dibuka sendiri oleh ketua Siauw-lim-pai, yaitu Thian
Seng Losu. Akhirnya dia dibiarkan saja karena hal ini dianggap malah amat baik
dan bahwa Bhok Hwesio agaknya sudah mendekati ambang pintu ‘kesempurnaan’!
Demikianlah,
setelah bertapa menyiksa diri selama dua puluh tahun, pada suatu malam para
hwesio Siauw-lim-pai kehilangan hwesio tua yang mereka anggap hampir berhasil
dalam tapanya itu. Tidak ada seorang pun di antara para tokoh Siauw-lim-si itu
menduga bahwa kepergian Bhok Hwesio kali ini adalah untuk mencari
musuh-musuhnya yang dia anggap telah membuat dia menderita selama dua puluh
tahun untuk membalas dendam!
Dan secara
kebetulan sekali dia melihat Maharsi dan Bo Wi Sianjin yang sudah dia kenal
namanya. Gembira hatinya mendengar bahwa mereka berdua itu pun mempunyai tujuan
yang sama, maka ia kemudian muncul sambil menangkap dan melemparkan tubuh gadis
yang dia ketahui sejak tadi mengintai.
Sengaja dia
menggunakan tenaga sakti dalam lemparan itu untuk ‘menguji’ kelihaian dua orang
tokoh utara dan barat yang akan menjadi teman seperjuangan dalam menghadapi
musuh-musuh besarnya yang sakti, yaitu Pendekar Buta, Raja Pedang dan
teman-teman mereka.
Maharsi dan
Bo Wi Sianjin selama dua puluh tahun bersembunyi di tempat pertapaan
masing-masing dan sudah lama tidak turun gunung. Karena itu mereka tidak
mengenal hwesio tua renta yang tinggi besar dan bermuka pucat seperti mayat
itu.
Ketika
mereka tadi memandang wajah pucat tak berdarah itu, sebagai orang-orang sakti
hanya dengan sekilas pandang saja mereka maklum bahwa hwesio tua itu
benar-benar sudah menguasai ilmu mukjijat yang dinamakan I-kiong Hoan-hiat
(Memindahkan Jalan Darah)! Hanya orang yang sinkang atau hawa sakti dalam
tubuhnya sudah dapat diatur secara sempurnalah yang akan dapat menguasai ilmu
‘hoan-hiat’ ini yang berarti bahwa hwesio itu sudah mencapai titik yang sukar
diukur tingginya.
Sekarang
melihat tubuh seorang gadis muda melayang ke arah mereka, tahulah kedua orang
itu bahwa hwesio tua ini hendak menguji kesaktian. Mereka tidak mengenal Lee Si
dan biar pun jelas bahwa gadis itu mengintai, namun mereka tidak tahu apakah
gadis ini musuh atau bukan.
Namun karena
gadis itu sudah dilontarkan ke arah mereka, Maharsi mengeluarkan suara
melengking tinggi sambil mendorongkan kedua lengannya ke depan, ke arah tubuh
Lee Si sambil mengerahkan sinkang dengan tenaga lembut.
Demikian
pula Bo Wi Sianjin yang mengeluarkan suara berkokok sambil mendorongkan
lengannya, juga dengan tenaga lembut karena seperti Maharsi, dia pun tak mau
melukai atau mencelakakan gadis yang tak dikenalnya.
Untung bagi
Lee Si bahwa dia telah berlaku hati-hati dan cerdik, tadi tidak menggunakan
ginkang untuk berusaha melarikan diri, karena ternyata Bhok Hwesio hanya
sementara saja melepaskan dirinya. Begitu kedua orang kakek itu menyambut, Bhok
Hwesio sudah menggerakkan lengan lagi ke arah tubuh yang melayang itu.
Lee Si
merasa betapa ada tenaga berhawa panas yang hebat sekali datang menyambar dan
menyangga punggungnya dari belakang. Ketika itu, dari depan datang menyambar
dua tenaga gabungan dari kakek jangkung dan kakek pendek. Gabungan tenaga ini
lalu bertemu dengan tenaga Bhok Hwesio sehingga tubuh Lee Si yang tergencet di
tengah-tengah di antara dua tenaga sakti yang saling bertentangan itu berhenti
di tengah udara, seakan-akan tertahan oleh tenaga mukjijat dan tidak dapat
jatuh ke bawah.
Memang hal
ini sebetulnya tampak amat tidak masuk di akal, karena menyalahi hukum alam.
Akan tetapi harus diakui bahwa di dalam tubuh manusia terdapat banyak sekali
rahasia-rahasia yang belum mampu dimengerti oleh manusia sendiri, dan sudah
banyak yang mengakui bahwa terdapat tenaga-tenaga mukjijat yang masih merupakan
rahasia di dalam diri manusia. Di antaranya adalah sinkang (hawa sakti) yang selalu
terdapat dalam diri setiap orang manusia. Hanya sebagian besar orang tidak
pernah sadar akan hal ini dan karena tidak mengenalnya maka tidak kuasa pula
mempergunakannya.
Sebagai
puteri suami-isteri pendekar yang berilmu tinggi, sungguh pun tingkatnya belum
setinggi itu, namun Lee Si sudah maklum apa yang terjadi dengan dirinya. Dia
dijadikan alat untuk mengukur tenaga sinkang. Andai kata diambil perumpamaan,
dia merupakan sebatang tongkat yang dijadikan alat untuk main dorong-dorongan
mengadu tenaga otot. Hanya dalam hal ini, bukan tenaga otot yang
dipertandingkan, melainkan tenaga sinkang yang merupakan dorongan-dorongan dari
jarak jauh!
Lee Si tidak
begitu bodoh untuk mencoba-coba mengerahkan sinkang-nya sendiri dalam arena
pertandingan ini, karena hal ini akan membahayakan nyawanya. Kecuali kalau dia
memiliki tenaga yang mengatasi tenaga tiga orang itu, atau setidaknya
mengimbangi.
Dia sengaja
mengendurkan seluruh tenaga dan sedikit pun tidak melawan, tetapi dengan penuh
perhatian dia lalu merasakan getaran-getaran hawa sakti yang saling mendorong
melalui tubuhnya itu. Segera dia dapat menduga bahwa di antara tiga orang kakek
itu, si hwesio tinggi besar inilah yang paling hebat tenaganya, juga tenaga
sinkang hwesio ini yang mencengkeramnya.
Akan tetapi
bila dibandingkan dengan tenaga si jangkung dan si pendek yang digabung menjadi
satu, ternyata hwesio tua itu masih kalah kuat sedikit. Inilah yang perlu
diselidiki oleh Lee Si dalam waktu singkat.
Tentu saja
ia tak sudi menjadi ‘alat’ mengukur sinkang seperti itu, karena kalau dibiarkan
saja, akibatnya amatlah buruk. Jika hanya berakibat tenaga sinkang-nya sendiri
melemah saja masih belum apa-apa, akan tetapi kalau ada kurang hati-hati
sedikit saja dari ketiga orang itu, ia bisa menderita luka parah di sebelah
dalam tubuhnya.
Lee Si sudah
tahu apa yang harus dia lakukan. Setelah mengukur tenaga semua orang yang
bertanding, tiba-tiba saja ia mengeluarkan jeritan keras sekali sambil
mengerahkan sinkang di tubuhnya, membantu atau lebih tepatnya ‘menunggangi’
tenaga gabungan Si Jangkung dan Si Pendek, kemudian dia turut mendorong hawa
hwesio tinggi besar yang mencengkeramnya.
Benar saja
perhitungannya. Bhok Hwesio yang sudah merasa lelah dan tahu bahwa jika adu
sinkang ini dilanjutkan dengan dikeroyok dua dia tentu akan kalah, tiba-tiba
menjadi terkejut karena dorongan pihak lawan menjadi makin kuat. Terpaksa dia
mendengus dan menurunkan kedua lengannya.
Begitu
terlepas dari gencetan dari kedua pihak, tubuh Lee Si terlempar ke bawah. Namun
gadis cerdik ini sudah menggunakan ginkang-nya dan melompat dengan selamat ke
atas tanah. Sedikit pun ia tidak terpengaruh atau menjadi gugup meski baru saja
ia terbebas dari ancaman bahaya maut. la malah segera menggunakan kesempatan
untuk mengadu mereka demi keselamatannya sendiri, karena kalau tiga orang itu
bersatu memusuhinya, terang ia akan celaka.
"Hemmm,
hwesio sudah tua renta, mestinya berlaku alim dan budiman terhadap orang muda,
kiranya justru sebaliknya, datang-datang kau menghina. Jelas bahwa kau sengaja
hendak menyombongkan kepandaianmu kepada aku orang muda dan selain itu kau pun
memandang rendah pada dua orang Locianpwe (Orang Tua Gagah) ini. Hemmm, hwesio
tua renta, betapa pun ingin kau menyombongkan kepandaian, kenyataannya dalam
adu tenaga tadi kau telah kalah!"
Bhok Hwesio
tercengang, demikian pula Maharsi dan Bo Wi Sianjin. Ucapan terakhir dari gadis
itu membuktikan bahwa Lee Si bukanlah orang sembarangan dan malah mengerti akan
adu sinkang tadi serta dapat mengetahui pula siapa kalah siapa menang!
Perhitungan
Lee Si memang tepat. Ucapannya tadi membuat kedua telinga Bhok Hwesio menjadi
merah sehingga kelihatannya aneh sekali, mukanya demikian pucat tapi kedua
telinga merah seperti dicat!
"Siapa
yang kalah? Biar Maharsi dari barat dan Bo Wi Sianjin dari utara terkenal
lihai, dikeroyok dua sekali pun pinceng tidak akan kalah! Bocah liar, kau
lancang mulut!" Bhok Hwesio menggoyang-goyang lengan bajunya.
Akan tetapi
Lee Si yang cerdik tidak bergerak dari tempatnya.
"Kalau
menyerang dan merobohkan aku orang yang patut jadi cucu buyutmu, apa sih
gagahnya? Tetapi mengalahkan kedua orang Locianpwe yang sakti ini? Huh, omong
sih gampang! Kalau kau bisa menangkan mereka tak usah kau bunuh aku akan
menggorok leherku sendiri di depanmu!"
Di ‘bakar’
seperti itu, keangkuhan Bhok Hwesio langsung tersinggung. la tersenyum lebar
menghampiri Maharsi dan Bo Wi Sianjin, mementang kedua lengannya sambil
berkata, "Hayo kalian layani aku beberapa jurus, baru tahu bahwa pinceng
(aku) lebih unggul dari pada kalian!" Setelah berkata demikian, hwesio tua
tinggi besar ini sudah menggerakkan kedua lengan bajunya yang meniupkan angin
pukulan seperti taufan.
Maharsi dan
Bo Wi Sianjin sangat terkejut. Akan tetapi sebagai orang-orang sakti yang
berkedudukan tinggi, tentu saja mereka tidak sudi dihina oleh hwesio yang tidak
mereka kenal ini. Cepat mereka bersiap, Maharsi menangkis dengan gerakan lengan
dari atas ke bawah, ada pun Bo Wi Sianjin telah berjongkok dan dari mulutnya keluar
suara berkokok seperti katak buduk.
Di lain
saat, tiga orang sakti ini sudah bertempur dengan gerakan lambat namun setiap
gerakan mengandung sinkang dan Iweekang yang sanggup membunuh lawan dari jarak
jauh. Hebat bukan main!
Inilah yang
diharapkan oleh Lee Si. Jalan satu-satunya bagi keselamatan dirinya adalah
mengadu tiga orang sakti itu agar supaya dia dapat menggunakan kesempatan itu
untuk melarikan diri. Maka begitu tiga orang itu saling gempur dengan gerakan
lambat namun mengandung tenaga dahsyat, Lee Si segera menyelinap ke belakang
batang pohon dan siap hendak melarikan diri.
"Hendak
lari ke mana kau, bocah liar?" Suara ini adalah suara Bhok Hwesio.
Tiba-tiba
ada hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lee Si. Gadis ini terkejut
bukan main, cepat mengelak sambil melompat dan...
"Brakkk!"
pohon di sebelahnya tadi patah dan tumbang!
Wajah Lee Si
menjadi pucat. Bukan main hebatnya hwesio tua itu yang dalam keadaan dikeroyok
dua oleh Maharsi dan Bo Wi Sianjin, tetapi masih tetap dapat melihatnya dan
mengetahui niatnya melarikan diri, bahkan dari jarak jauh dapat mengirim
serangan yang demikian dahsyatnya.
"Huh,
kau kira dapat lari dari Bhok Hwesio?"
Hwesio
tinggi besar itu dengan sebelah tangannya menahan serangan Maharsi dan Bo Wi
Sianjin, sedangkan tangan kirinya kembali melancarkan pukulan-pukulan jarak
jauh yang membuat Lee Si melompat ke sana kemari dengan cepat.
"Ahh,
kiranya Bhok-taisuhu (Guru Besar) dari Siauw-lim-pai? Maaf... maaf..."
Bo Wi
Sianjin melompat mundur. Juga Maharsi yang sudah mendengar nama ini segera
menghentikan serangannya.
Lee Si
terkejut dan gelisah. Celaka, pikirnya. Tiga orang itu sudah saling mengenal
dan agaknya tidak akan bermusuhan lagi, dan hal ini berarti dia akan celaka!
Menggunakan kesempatan terakhir selagi Bhok Hwesio terpaksa membalas
penghormatan dua orang itu, ia cepat melompat dan mengerahkan ginkang-nya.
Akan tetapi
tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang. Lee Si secepat kilat membanting
diri ke kiri sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan merogoh gin-ciam
(jarum perak) dengan tangan kiri. Sambil membalik dengan gerakan Lee-hi Ta-teng
(Ikan Lele Meloncat) dia segera menggerakkan tangan kirinya, menyerang dengan
jarum perak ke arah bayangan Bhok Hwesio yang sudah melangkah lebar
mengejarnya. Dalam keadaan terpojok ini, Lee Si lenyap rasa takutnya dan siap
untuk melawan dengan gagah berani sebagaimana sikap seorang pendekar sejati.
Penyerangan
Lee Si dengan jarum-jarum perak itu bukanlah hal yang boleh dipandang ringan.
Ilmunya melepas jarum perak adalah ilmu senjata rahasia yang dia pelajari dari
ibunya dan boleh dibilang dia telah mahir dengan Ilmu Pek-po Coan-yang (Timpuk
Tepat Sejauh Seratus Kaki).
Serangannya
tadi sebetulnya lebih bersifat menjaga diri, sambil membalik melepaskan
segenggam jarum sebanyak belasan batang untuk mencegah desakan lawan. Biar pun
jarum-jarum itu hanya disambitkan dengan sekali gerakan, namun benda-benda
halus itu meluncur dalam keadaan terpisah dan langsung menerjang ke arah
bagian-bagian yang berbahaya pada perut, dada, leher, dan mata.
Serangan ini
masih disusul oleh terjangan Lee Si sendiri yang telah memutar pedangnya
melakukan serangan. Ternyata gadis muda yang cerdik ini, yang sekarang tahu
bahwa tidak mungkin dia akan dapat membebaskan diri kalau hanya lari dari
hwesio kosen itu, telah menggunakan taktik menyerang lebih dulu untuk mencari
kedudukan baik sehingga dapat mengurangi besarnya bahaya menghadapi lawan yang
lebih tangguh.
"Eh,
kau anak Hoa-san-pai?" Bhok Hwesio berseru pada saat lengan bajunya
dikibaskan menyampok runtuh semua jarum perak dan cepat dia menggerakkan tubuh
ke belakang karena melihat bahwa sinar pedang gadis muda itu tak boleh
dipandang ringan.
"Kalau
sudah tahu, masih berani menghinaku?" Lee Si menjawab dan kembali
tangannya yang sudah menggenggam jarum perak bergerak menyambitkan jarum.
Sekarang
karena berhadapan dan dapat mencurahkan perhatian, Lee Si memperlihatkan
kepandaiannya, yaitu ia telah melepas jarum-jarum peraknya dengan gerakan
Boan-thian Hoa-i (Hujan Bunga di Langit), gerakan yang tidak saja sangat indah,
akan tetapi juga hasilnya luar biasa sekali karena jarum-jarum itu tersebar
mekar laksana payung, atau seperti hujan mengurung tubuh Bhok Hwesio. Hebatnya,
jarum-jarum itu kini mengarah jalan-jalan darah yang amat penting.
"Ho-hoh-hoh,
siapa takut Hoa-san-pai?" Bhok Hwesio berseru.
Tubuhnya
tiba-tiba rebah bergulingan dan di lain saat dia sudah melompat berdiri sambil
menggerakkan kedua tangannya. Benda-benda hijau lalu meluncur ke depan,
menangkis jarum-jarum itu sehingga di lain saat rumput dan daun hijau yang
tertancap jarum perak runtuh ke atas tanah.
Kini Lee Si
yang kaget setengah mati. Kiranya kepandaian hwesio itu luar biasa sekali,
sudah amat tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada ibunya dalam hal menggunakan
senjata rahasia.
Baru saja
hwesio tua itu mendemonstrasikan kelihaiannya menggunakan senjata rahasia
dengan ilmu Cek-yap Hui-hwa, yaitu ilmu melepas senjata rahasia menggunakan
bunga dan daun. Tadi hanya dengan rumput-rumput dan dedaunan yang direnggutnya
sambil bergulingan, Bhok Hwesio berhasil memukul runtuh semua jarum yang
dilepas oleh Lee Si.
Namun Lee Si
sama sekali tidak menjadi gentar atau putus asa. Cepat pedangnya sudah bergerak
dengan jurus-jurus yang dia gabungkan dari kedua ilmu pedang warisan ayah
bundanya.
Bhok Hwesio
tercengang ketika dia mengelak dan mengebutkan ujung lengan bajunya. la
mengenal baik Ilmu Pedang Hoa-san-pai, akan tetapi yang diperlihatkan gadis ini
hanya mirip-mirip Ilmu Pedang Hoa-san-pai, bukan Ilmu Pedang Hoa-san-pai asli,
namun malah lebih hebat!
Yang amat
mengherankan hatinya adalah hawa pukulan yang terkandung di dalam ilmu pedang
ini, karena kadang kala mengandung hawa Im yang menyalurkan tenaga lemas, akan
tetapi di lain detik berubah menjadi hawa Yang dengan tenaga kasar. Mirip
dengan ilmu kepandaian yang dimiliki musuh besarnya, yaitu Pendekar Buta dan
terutama Raja Pedang yang menjadi pewaris dari Ilmu Im-yang Sin-hoat.
Selama dua
puluh tahun ini, di dalam kamar kecil yang menjadi tempat dia menderita hukuman
‘penebus dosa’ dan sekaligus menjadi tempat dia bertapa dan menggembleng diri,
memang dia khusus mencari ilmu untuk menghadapi Im-yang Sin-hoat. Karena itu,
sekarang menghadapi ilmu pedang Lee Si yang memang mengandung penggabungan
kedua hawa yang bertentangan ini, dia tidak menjadi bingung. Sepasang lengan
bajunya lantas bergerak seperti sepasang ular hidup yang mengandung dua macam
tenaga pula sehingga sebentar saja Lee Si sudah terdesak hebat!
Memang kalau
bicara tentang tingkat ilmu, tingkat Lee Si masih jauh di bawah tingkat kakek
ini. Bhok Hwesio usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan selain memiliki
ilmu yang amat iinggi dari Siauw-lim-pai, juga dia mempunyai pengalaman
bertempur puluhan tahun lamanya. Hanya dua hal yang membuat Lee Si dapat
bertahan sampai tiga puluh jurus lebih. Pertama, karena gadis ini memang
memiliki ilmu kepandaian asli yang bersih dan sakti, kedua karena Bhok Hwesio
sendiri merasa rendah untuk merobohkan gadis yang patut menjadi cucu buyutnya
seperti dikatakan Lee Si tadi.
Apa bila dia
mau mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang mematikan, agaknya sudah sejak tadi
Lee Si roboh. Namun, kini Lee Si benar-benar terdesak hebat, pedangnya tidak
leluasa lagi gerakannya karena sudah terbungkus oleh gulungan sinar dua ujung
lengan baju Bhok Hwesio. Gulungan sinar itu bagaikan lingkaran besar yang luar
biasa kuatnya, yang meringkus sinar pedangnya, makin lama lingkaran itu menjadi
makin kecil dan sempit. Ruang gerak pedang Lee Si juga makin sempit.
Gadis itu
mulailah mengeluarkan peluh dingin. Maklum dia bahwa hwesio ini benar-benar
amat kosen dan sekarang sengaja hendak mengalahkannya dengan tekanan yang makin
lama makin berat untuk memamerkan kepandaiannya. Dia tahu bahwa akhirnya dia
tak akan dapat menggerakkan pedangnya lagi kecuali untuk membacok tubuhnya
sendiri!
"Hayo
cepat kau berlutut dan minta ampun, mengaku murid siapa dan apa hubunganmu
dengan ketua Thai-san-pai!" berkali-kali Bhok Hwesio membentak.
Karena
melihat betapa ilmu pedang gadis ini mengandung gabungan hawa Im dan Yang, dia
menduga bahwa tentu ada hubungan antara gadis ini dengan musuh besarnya, Si
Raja Pedang. Lee Si maklum bahwa hwesio ini tentu bukan sahabat baik kakeknya
Si Raja Pedang. Akan tetapi ia pun mengerti bahwa akhirnya ia akan mati, maka
lebih baik baginya mati sebagai cucu Raja Pedang yang berani dan tak takut mati
dari pada harus mengingkari kakeknya yang merupakan seorang pendekar sakti yang
bernama besar.
"Hwesio
jahat! Tak sudi aku menyerah. Kalau mau tahu, Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San
ketua Thai-san-pai adalah kakekku!"
Bhok Hwesio
tidak menjadi kaget karena sudah menduga akan hal ini. Akan tetapi dia girang
sekali karena sedikitnya dia dapat membalas penasaran terhadap Raja Pedang
kepada cucunya.
"Bhok-taisuhu,
kita tawan saja cucunya!" tiba-tiba Bo Wi Sianjin berteriak.
"Betul
kita jadikan cucunya sebagai jaminan!" Maharsi menyambung.
Akan tetapi,
tepat pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang dan terdengar seorang di
antara mereka berseru, "Bhok-suheng, tahan...!"
Bhok Hwesio
mengeluarkan seruan rendah bagaikan kerbau mendengus. Akan tetapi dia
cepat-cepat mundur sehingga Lee Si merasa terhindar dari tekanan hebat.
Wajah Lee Si
pucat, mukanya yang cantik penuh dengan keringat, akan tetapi sepasang matanya
berapi-api penuh ketabahan. Menggunakan kesempatan ini, Lee Si melompat mundur
dan memandang kepada tiga orang pendatang baru yang menyelamatkannya itu dengan
teliti.
Orang
pertama yang tadi berseru kepada Bhok Hwesio adalah seorang pendeta pula,
seorang hwesio tua, sedikitnya berusia tujuh puluh tahun. Mukanya hitam dan ada
cacad bekas korban penyakit cacar. Biar pun mukanya bopeng dan buruk, tapi
sepasang mata hwesio ini membayangkan kehalusan budi dan kesabaran seorang
pendeta yang sudah masak jiwanya.
Hwesio ini
membawa sebatang tongkat kuningan dan kini dia berdiri tegak menghadapi Bhok
Hwesio. Mereka saling pandang seolah-olah keduanya sedang mengukur kekuatan
masing-masing dengan pandang mata.
Hwesio ini
memang bukan orang sembarangan, sebab dia adalah Thian Ti Losu, seorang tokoh
tingkat tiga dari Siauw-lim-pai, masih terhitung adik seperguruan Bhok Hwesio.
Ada pun dua orang yang lainnya adalah tosu-tosu dari Kun-lun-pai dan
Kong-thong-pai, yaitu Sung Bi Tosu tokoh tingkat tiga dari Kun-lun-pai dan Leng
Ek Cu tosu tingkat dua dari Kong-thong-pai.
Thian Ti
Losu ini adalah seorang utusan Siauw-lim-pai yang sengaja keluar dari pintu
kuil untuk mencari Bhok Hwesio yang menghilang dari dalam kamar hukumannya. Di
tengah jalan dia berjumpa dengan Leng Ek Cu, sahabat baiknya. Kemudian setelah
mendengar bahwa suheng-nya itu tengah dalam perjalanan melalui Pegunungan
Bayangkara, ia lalu mengejar dan ditemani oleh Leng Ek Cu yang maklum betapa
lihai serta berbahayanya suheng temannya itu.
Belum lama
mereka memasuki daerah pegunungan ini, mereka bertemu dengan Sung Bi Tosu yang
juga mereka kenal sebagai tokoh Kun-lun-pai. Tosu ini sedang pulang menuju
Kun-lun-san di sebelah barat, maka mereka kemudian mengadakan perjalanan
bersama. Kebetulan sekali mereka datang pada saat Lee Si berada di ambang
kematian di tangan Bhok Hwesio, maka cepat-cepat Thian Ti Losu mencegahnya.
"Thian
Ti Sute, mau apa kau datang ke sini?" Bhok Hwesio menegur sute-nya dengan
pandang mata penuh selidik dan curiga.
"Bhok-suheng,
siauwte diutus oleh ketua kita untuk mencari Suheng, dan mengajak Suheng
kembali ke Siauw-lim-si," jawab Thian Ti Losu dengan suara tenang.
Sepasang
mata Bhok Hwesio yang biasanya setengah meram itu kini terbuka sebentar,
memandang dengan sinar kemarahan, tapi lalu terpejam lagi, hanya mengintai dari
balik bulu mata.
"Sute,
pulanglah dan jangan membikin kacau pikiranku. Aku tidak punya urusan apa-apa
lagi dengan kau atau dengan Siauw-lim-si."
"Tapi,
Suheng. Siauwte hanya utusan dan ketua kita memanggilmu pulang."
"Cukup!
Thian Seng Suheng boleh jadi ketua Siauw-lim-si, akan tetapi aku bukan orang
Siauw-lim-pai lagi. Hukuman yang dijatuhkan padaku telah cukup kujalani sampai
penuh. Mau apa lagi? Pergilah!"
"Kau
tahu sendiri, Bhok-suheng, apa artinya menjadi utusan ketua. Biar dengan
taruhan nyawa, tugas tetap harus dilaksanakan. Dan kau pun cukup maklum, lebih
maklum dari pada siauwte yang lebih muda dari padamu, apa artinya tidak
mentaati perintah ketua kita, berarti penghinaan. Marilah, Suheng, kau ikut
denganku kembali menghadap ketua kita dan percayalah, apa bila kau minta diri
dengan baik-baik, Suheng kita yang menjadi ketua itu tentu akan
meluluskanmu."
"Thian
Ti! Kau tonjol-tonjolkan nama Thian Seng Suheng untuk menakut-nakuti aku? Huh,
jangankan baru kau atau dia sendiri, biar Thian Ki Lo-suheng sendiri bangkit
dari lubang kuburnya, aku tidak akan takut dan tidak sudi kembali ke
Siauw-lim-si. Nah, kau mau apa lagi?"
"Inilah
pengkhianatan paling hebat! Suheng, kalau ada seorang anak murid Siauw-lim-pai
yang murtad dan berkhianat, setiap orang anak murid yang setia harus
menentangnya. Suheng, sekali lagi, kau mau taat dan ikut dengan aku pulang atau
tidak?"
Bhok Hwesio
hanya tertawa mengejek. Dia maklum bahwa sute-nya ini juga mempunyai kepandaian
hebat, terkenal dengan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai tingkat tinggi, terkenal
pula sebagai seorang ahli lweekang yang tenaganya hampir sama dengan tingkat
yang dimiliki mendiang Thian Ki Losu sendiri. Akan tetapi dia tidak takut dan
merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan sute-nya ini.
"Bhok-taisuhu,
mengapa masih terlalu banyak sabar menghadapi adik seperguruan yang
cerewet?" tiba-tiba Bo Wi Sianjin berseru dari samping kanan Bhok Hwesio.
"Kalau mau bicara tentang ketaatan, maka seorang adik seperguruanlah yang
harusnya taat kepada suheng-nya!"
"Ha-ha-ha,
benar-benar lucu ini. Bo Wi Sianjin dari Mongol bukannya anak kecil, bagai mana
dapat bersikap begini tidak tahu malu mencampuri urusan dalam dua orang murid
Siauw-lim-pai?" Sung Bi Tosu sudah melangkah maju menghadapi Bo Wi Sianjin
dan memandang tajam.
Bo Wi Sianjin
si kakek pendek gendut tertawa mengejek. Kenyataan bahwa tosu itu bisa mengenal
namanya sedangkan dia sendiri tidak mengenal tosu itu membuktikan bahwa dia
cukup dikenal oleh para tokoh kang-ouw.
"Ehh,
kau ini tosu bau dari mana berani lancang mulut? Aku bicara dengan
Bhok-taisuhu, ada sangkut-paut apa denganmu?"
"Pinto
adalah Sung Bi Tosu dari Kun-lun-pai. Memang pinto tidak ada urusan denganmu,
akan tetapi kau juga tidak ada urusan sama sekali untuk mencampuri persoalan
saudara seperguruan Siauw-Lim-pai."
”Eh,
keparat. Apa yang kau lakukan, bagaimana kau bisa ikut campur? Tosu Kun-lun-pai
selamanya sombong, apa kau kira aku takut mendengar nama Kun-lun? Heh-heh-heh,
tosu cilik, berani kau menentangku?"
"Menentang
kelaliman adalah tugas setiap orang yang menjunjung kebenaran! Kalau kau
mencari perkara, pinto tidak akan mundur setapak pun!" jawab tokoh
Kun-lun-pai dengan suara gagah.
Si kakek
pendek gendut dari Mongol mengeluarkan suara ketawa yang serak. "Bagus,
kau sudah bosan hidup!"
Setelah
berkata demikian, dia melompat maju ke depan Sung Bi Tosu, lalu memasang
kuda-kuda dengan tubuh jongkok sehingga tubuh yang sudah pendek itu tampak
menjadi semakin pendek lagi. Dari mulutnya terdengar suara berkokok, sedangkan
kedua kakinya berloncatan dengan gerakan berbareng seperti katak meloncat.
”Hemmm,
pendeta liar dari Mongol, apakah kau mau membadut di sini...?" Belum habis
Sung Bi Tosu bicara, tiba-tiba kakek gendut pendek itu menggerakkan kedua
tangan ke depan.
Tubuh Sung
Bi Tosu terjengkang ke belakang, lantas roboh telentang dan bergulingan.
Ternyata dia sudah terkena pukulan ilmu Katak Sakti yang dahsyat. Akan tetapi,
sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang lihai, begitu tadi merasai datangnya
pukulan jarak jauh yang luar biasa, dia telah mengerahkan sinkang-nya, sehingga
biar pun dia telah terpukul dan roboh terjengkang, dia tidak tewas. Orang lain
yang terkena hawa pukulan sehebat itu tentu akan tewas di saat itu juga, akan
tetapi tokoh Kun-lun-pai ini hanya terluka dan masih kuat melompat bangun
dengan muka pucat dan mata merah.
"Iblis
jahat!" serunya. Tubuhnya sudah melayang maju, dan sinar pedangnya
berkelebat cepat menyambar.
Akan tetapi
sekali lagi terdengar suara berkokok dan sambil mengelak dari sambaran pedang,
kakek gendut pendek itu sudah mengirim dua kali pukulannya. Pukulan pertama
membuat pedang Sung Bi Tosu terpental, pukulan kedua membuat tubuhnya terlempar
sampai lima meter lebih dan tosu Kun-lun-pai itu roboh tak bangun lagi karena
nyawanya sudah melayang meninggalkan tubuhnya!
Muka Leng Ek
Cu tokoh Kong-thong-pai menjadi pucat saking marahnya menyaksikan pembunuhan
atas diri teman baiknya ini. Diam-diam dia juga merasa kagum dan ngeri
menyaksikan kehebatan ilmu pukulan Bo Wi Sianjin yang demikian hebatnya
sehingga seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah amat tinggi tingkatnya bisa
terpukul binasa hanya oleh tiga pukulan jarak jauh.
"Keji...
keji sekali...!" katanya sambil melangkah maju. "Mati hidup manusia
bukanlah hal aneh, seperti angin lalu. Akan tetapi mengandalkan kepandaian
untuk merenggut nyawa orang lain hanya untuk urusan tak berarti, benar-benar
keji sekali. Apa lagi kalau yang melakukan itu seorang yang sudah menamakan
dirinya tua dan pertapa pula. Bo Wi Sianjin, untuk kekejianmu itulah pinto
terpaksa bertindak!" Sambil berkata demikian, Leng Ek Cu sudah mencabut
pedangnya dan bersiap menghadapi lawannya yang tangguh.
Akan tetapi
mendadak dia cepat miringkan tubuh dan menggeser kaki kiri ke belakang sambil
mengibaskan pedangnya karena tahu-tahu dari sebelah kanan menyambar hawa
pukulan. Kiranya pendeta tinggi bersorban itulah yang sudah menggerakkan
lengannya yang panjang untuk mencengkeram pundaknya tanpa berkata sesuatu.
"Heh,
siapa kau?! Pendeta asing, jangan mencampuri urusan orang lain!" bentak
tokoh Kong-thong-pai itu sambil melintangkan pedang di depan dada.
Penyerangnya
adalah Maharsi. Pendeta India yang jangkung ini lalu mengeluarkan suara tertawa
seperti suara burung hantu, lalu berkata dengan kata-kata yang kaku dan suara
asing. "Sudah berani mencabut pedang tentu berani menghadapi siapa juga,
termasuk aku, Maharsi orang bodoh dari barat."
Setelah
berkata demikian, dari kerongkongannya terdengar suara melengking tinggi yang
memekakkan telinga. Dua lengannya mendorong-dorong setelah tubuhnya miring-miring
dalam kedudukan kuda-kuda yang ganjil. Akan tetapi dari dua lengannya itu
menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat. Inilah ilmu Pukulan Pai-san-jiu!
Leng Eng Cu
adalah tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai. Ilmu pedangnya merupakan ilmu
pedang kebanggaan partainya, cepat dan bergulung-gulung panjang, lagi pula dia
memiliki ginkang yang membuat dia dapat bergerak cepat sekali. Tingkat
kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkat Sung Bi Tosu.
Melihat
gerakan aneh dari pendeta asing ini, Leng Ek Cu tak berani memandang rendah dan
tidak mau menyambut langsung. Dia mengandalkan ginkang-nya, dengan lincah dia
mengelak dan tubuhnya meliuk ke samping, terus balas mengirim tusukan diiringi
tenaga Iweekang yang membuat pedang itu berdesing menuju ke arah sasarannya,
yaitu perut si pendeta India!
Maharsi
kembali mengeluarkan lengking tinggi dan tubuhnya tanpa berubah sedikit pun
juga, agaknya tidak mengelak dan bersedia menerima tusukan pedang. Namun
tidaklah demikian kiranya karena sebelum pedang itu mencium kulit perutnya
lewat baju, tiba-tiba perutnya melesak ke dalam, lalu tangannya yang berlengan
panjang itu telah menyambar ke depan mengarah leher dan kepala lawan.
Hebat memang
pendeta ini, sebab begitu dia menjulurkan lengannya dan mengempiskan perutnya,
selain pedang lawan tidak dapat mengenai perutnya, juga lengannya itu lebih
panjang jangkauannya. Kalau Leng Ek Cu melanjutkan tusukannya, tentu lehernya
akan patah dicengkeram dan kepalanya akan bolong-bolong!
Tentu saja
Leng Ek Cu tidak sudi diperlakukan demikian. Andai kata tadi Sung Bi Tosu tidak
berlaku sembrono dan tidak memandang rendah lawannya seperti halnya Leng Ek Cu
sekarang, belum tentu dia dapat dirobohkan demikian mudahnya oleh Bo Wi Sianjin
yang memiliki Ilmu Katak Sakti.
Leng Ek Cu
amat hati-hati, dapat menduga bahwa lawannya, pendeta asing ini, memiliki
kepandaian yang luar biasa dan aneh. Karena itu dia cepat-cepat menarik
pedangnya yang dikelebatkan merupakan lingkaran membabat kedua lengan lawan.
Gerakan ini dia lakukan dengan pengerahan tenaga Iweekang.
"Bagus!"
Maharsi berseru gembira.
Memang
demikianlah wataknya. Makin tinggi tingkat kepandaian lawan, semakin gembira
pula hatinya untuk melayaninya. Ilmu silatnya yang aneh, sebagian besar
mengandalkan tenaga sinkang mukjijat yang bercampur dengan ilmu sihir, namun
harus diakui bahwa tubuhnya yang jangkung itu dapat bergerak lemas dan lincah,
walau pun kedua kakinya jarang sekali dipindahkan dengan cara diangkat, hanya
selalu digeser-geserkan dengan menggerakkan kedua tumit.
Sepasang
lengannya yang panjang itu bagaikan sepasang ular hidup, tapi setiap gerakan
mengandung tenaga dahsyat dari ilmu pukulan sakti Pai-san-jiu. Makin lama makin
cepat kedua lengannya bergerak. Kini kedua tangan dikembangkan jari-jarinya,
sepuluh buah jari itu bergerak-gerak bagai ular-ular kecil dan terbentanglah
jari-jemari yang menggeliat-geliat mengaburkan pandangan mata. Sepuluh batang
jari itu bergerak-gerak amat cepat menjadi ratusan dan dari jari-jari itu
menyambar hawa pukulan Pai-san-jiu!
Inilah ilmu
yang hebat! Leng Ek Cu, tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai yang memiliki
kiam-hoat pilihan, berusaha mengurung dirinya dengan selimut sinar pedangnya,
namun dia hanya dapat bertahan sampai dua puluh lima jurus saja. Pandang
matanya kabur, sinar pedangnya makin membuyar dihantam hawa pukulan yang
merayap masuk antara sinar pedangnya bagaikan titik-titik air hujan.
Pertahanannya semakin lemah, kepalanya pusing dan tubuhnya bermandi peluh.
Maharsi
makin kuat saja. Kini hawa pukulan yang dapat menyelinap di antara sambaran
sinar pedang makin membesar tenaganya, mengenai tubuh Leng Ek Cu bagaikan
ribuan jarum beracun menusuk-nusuk. Pakaian tosu Kong-thong-pai itu sudah
bolong-bolong, kulit tubuhnya yang terkena hawa pukulan mengakibatkan
titik-titik hitam dan makin lama pukulan-pukulan yang sebetulnya hanyalah
merupakan sentilan-sentilan jari tangan yang sepuluh buah banyaknya itu makin
gencar datangnya.
Leng Ek Cu
seorang gagah sejati, sedikit pun tidak mengeluh biar pun rasa nyeri pada
tubuhnya hampir tidak tertahankan lagi. Akhirnya dia melakukan serangan balasan
yang nekat, pedangnya membacok dengan disertai tenaga sepenuhnya, tubuhnya
seolah-olah dia tubrukkan dengan tubuh lawan supaya bacokannya tidak dapat
dihindarkan Maharsi.
Maharsi
melengking tinggi. Dua tangannya bergerak dan dari atas dia mendahului lawan
dengan pukulan Pai-san jiu sekerasnya.
"Hukkk!"
Demikianlah
suara yang keluar dari mulut Leng Ek Cu. Tubuhnya sejenak berdiri tegak,
seakan-akan tubuh itu kemasukan aliran listrik dari sambaran halilintar,
kemudian tubuh yang tegak itu menggigil, makin lama semakin keras dan robohlah
Leng Ek Cu dengan pedang di tangan. Tubuhnya tetap kaku, tapi sudah tak bernafas
lagi!
Dapat
dibayangkan betapa marah dan sedihnya hati Thian Ti Losu melihat kejadian ini.
Dua orang tosu itu, tokoh Kun-lun-pai dan tokoh Kong-thong-pai, keduanya
merupakan orang-orang gagah yang melakukan perjalanan bersamanya. Sekarang
mereka berdua tewas dalam keadaan yang sangat menyedihkan, semua gara-gara
urusan dia dengan suheng-nya, Bhong Hwesio yang murtad. Kalau tidak ada urusan
Bhok Hwesio, kiranya tidak akan terjadi peristiwa ini dan kedua orang temannya
itu tidak akan mengorbankan nyawa.
"Bhong-suheng,
benar-benar kau telah tersesat jauh sekali," serunya dengan suara keras
penuh kemarahan. "Kau membiarkan kawan-kawanmu membunuh dua orang tosu
tidak berdosa dari Kun-lun dan Kong-thong. Bhok-suheng, kau insyaflah, jauhkan
dirimu dari pergaulan sesat dan mari pulang bersama siauwte, menghadap
twa-suheng Thian Seng Losu dan menebus dosa menghadap perjalanan ke alam
asal!"
Akan tetapi
Bhok Hwesio yang telah menyimpan rasa sakit hati dan juga rasa penasaran
terhadap Siauw-lim-pai, mana mau mendengar nasehat ini? la membuka kedua
matanya dan menegur,
"Thian
Ti Losu, kau dan aku bukan saudara bukan teman bukan segolongan lagi, kenapa
banyak cerewet? Mengingat akan perkenalan kita yang sudah puluhan tahun, mau
aku mengampunimu. Lekaslah kau pergi dari sini dan jangan menggangguku
lagi."
"Bhok
Hwesio, kau benar-benar tidak mau insyaf? Terpaksa pinceng mentaati perintah
twa-suheng, menjalankan peraturan Siauw-lim-pai yang kami junjung tinggi.
Berlututlah!"
Thian Ti
liosu mengangkat tangan kanan tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya
dengan jari-jari terbuka ditaruh miring berdiri di depan dada. Inilah pasangan
kuda-kuda yang sudah biasa dilakukan oleh seorang tokoh Siauw-lim-pai untuk
memberi hukuman kepada murid murtad.
Menurut
peraturan, murid-murid yang sudah tak diakui lagi oleh Siauw-lim-pai menerima
hukuman yang paling berat, yaitu dimusnahkan kepandaiannya sehingga ia akan
menjadi seorang pendeta cacad di dalam tubuh yang tak dapat disembuhkan lagi,
membuatnya menjadi seorang yang lemah dan tidak memiliki sinkang lagi.
"Hu-huh-huh,
siapa sudi mendengar ocehanmu?!" bentak Bhok Hwesio marah.
"Bhok-taisuhu,
kenapa begini sabar? Biarlah aku mewakilimu memberi hajaran kepada si sombong
ini!" Bo Wi Sianjin si pendek gendut membentak marah, lalu melompat maju
menghadapi Thian Ti Losu, tubuhnya berjongkok dan kedua lengannya didorongkan
ke depan sambil mengeluarkan bunyi berkokok dari kerongkongannya.
"Omitohud,
pendeta sesat!" Thian Ti Losu mengeluarkan teguran.
Dia pun
mendorongkan kedua lengannya ke depan. Karena si pendek itu mendorong dari
bawah ke atas, untuk mengimbangi tenaganya dari arah yang berlawanan, maka hwesio
Siauw-lim ini mendorong dari atas ke bawah. Dua pasang telapak tangan itu
tampaknya perlahan saja bertemu, akan tetapi akibatnya hebat.
Tubuh Thian
Ti Losu mencelat ke atas sampai dua kakinya meninggalkan tanah setinggi
setengah meter, ada pun tubuh Bo Wi Sianjin melesak ke dalam tanah sampai
pinggang dalamnya! Ini saja telah membuktikan bahwa Ilmu Katak Sakti yang
mengandung tenaga sinkang luar biasa itu ternyata masih belum sanggup melawan
kekuatan si hwesio tokoh Siauw-lim-pai.
"Bi Wi
Sianjin, biar pinceng bereskan sendiri bocah ini!" kata Bhok Hwesio.
Bhok Hwesio
lalu menggerakkan kedua kakinya melangkah maju menghampiri sute-nya. Mereka
berdiri berhadapan dan saling pandang seperti dua ekor jago tua yang sedang
mengukur kekuatan dan keberanian hati sebelum mulai bertanding.
Ada pun
Maharsi lalu menghampiri Bo Wi Sianjin. Sekali kakek jangkung ini menyendal
tangan temannya, tokoh Mongol itu sudah ‘tercabut’ keluar dari tanah. Wajahnya
menjadi merah karena dalam segebrakan tadi saja sudah bisa dibuktikan bahwa
ilmu kepandaian tokoh Siauw-lim-pai itu masih terlampau kuat baginya. Diam-diam
dia harus mengakui kehebatan Siauw-lim-pai yang bukan kosong. Dua orang hwesio
ini sudah cukup menyatakan bahwa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai memang hebat.
Sementara itu,
Bhok Hwesio dan Thian Ti Losu sudah mulai bertanding. Karena maklum betapa
lihainya hwesio murtad itu, Thian Ti Losu menyerang dengan senjata tongkatnya.
Begitu bergebrak, dia telah mempergunakan ilmu tongkatnya yang amat kuat.
Tongkat itu mengeluarkan bunyi mengaung-aung dan ujungnya bergetar lalu pecah
menjadi banyak sekali, langsung menyerang bagian-bagian tubuh yang berbahaya.
Bo Wi
Sianjin dan Maharsi memandang kagum penuh perhatian. Mereka sudah sering
menyaksikan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai yang tersohor dimainkan orang, akan
tetapi baru kali ini melihat permainan tongkat yang demikian dahsyatnya. Bhok
Hwesio sendiri pun maklum akan kelihaian sute-nya ini. Tentu saja sebagai tokoh
Siauw-lim-pai, dia mengenal baik ilmu tongkat dari Siauw-lim, maka dengan
tenang tapi tangkas dia melayani tongkat itu dengan kedua ujung lengan bajunya.
Thian Ti
Losu baru merasa terkejut ketika gerakan tongkatnya menyeleweng setiap kali
bertemu dengan dua ujung lengan baju Bhok Hwesio. Hal ini menandakan bahwa
bekas suheng-nya itu luar biasa kuatnya dan dia kalah banyak dalam hal tenaga
sakti. Selain ini, dia melihat gerakan suheng-nya amat aneh. Meski pun
dasar-dasarnya masih memakai dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai yang kokoh kuat,
akan tetapi perkembangannya berubah banyak seakan-akan jurus-jurus
Siauw-lim-pai yang tidak asli lagi.
Memang
demikianlah halnya. Selama dua puluh tahun menjalankan hukumannya sambil
bertapa di dalam kamar, Bhok Hwesio sudah menciptakan ilmu pukulan dengan kedua
lengan bajunya, yang sedianya dia ciptakan untuk menghadapi musuh-musuhnya yang
lihai.
Ilmu pukulan
ini dasarnya memang ilmu Silat Siauw-lim-pai yang dia pelajari sejak kecil,
akan tetapi perkembangannya dia ciptakan sendiri, khusus untuk melayani ilmu
silat yang mengandung penggabungan hawa Im dan Yang, karena kedua orang musuh
besarnya, Pendekar Buta dan Raja Pedang, adalah ahli-ahli dalam hal ilmu silat
gabungan tenaga itu. Kini, menghadapi bekas sute-nya dia malah mendapat
kesempatan untuk sekali lagi, setelah tadi mencobanya atas diri Bo Wi Sianjin
dan Maharsi, menggunakan sekaligus mencoba ilmu ciptaannya itu...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment