Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 05
Tak sampai
sepuluh menit habislah daging kelinci, tinggal tulang-tulangnya saja. Setelah
minum air dan mencuci mulut dengan air, keduanya lalu makan buah. Barulah Yo
Wan berkata, "Nona, kau baik sekali padaku. Terima kasih, daging kelinci
tadi amat gurih dan langsung mengenyangkan perut. Airnya jernih, segar sekali.
Dan buah-buah ini pun manis. Kau memang baik”.
"Terima
kasih segala, untuk apa? Tidak ada kau pun aku toh harus makan dan minum. Kau
berkali-kali menolongku, aku pun tidak bilang terima kasih padamu."
Yo Wan
tersenyum. Dekat dan bercakap dengan nona ini memaksanya untuk sering
tersenyum. "Aku tidak menolongmu, tak perlu berterima kasih, Nona."
"Siapakah
kau ini? Siapa namamu?"
Yo Wan
menggerakkan alisnya yang tebal. Baru terasa olehnya betapa lucu dan janggal
keadaan mereka berdua.
"Ahh,
kita sudah cekcok bersama, makan minum bersama, mengobrol bersama, tetapi masih
belum saling mengenal. Namaku… orang menyebutku Jaka Lola, Nona."
"Jaka
Lola? Ayah bundamu... sudah tiada?"
Yo Wan
mengangguk sunyi. Kemudian balas bertanya, "Kau sendiri? Siapakah namamu
kalau aku boleh bertanya?"
"Orang-orang
di dusun itu, para petani itu menyebutku Cui-beng Kwan Im. Sedangkan namaku...
ahh, kau juga tidak memperkenalkan namamu, masa aku harus menyebutkan
namaku?"
Kembali Yo
Wan tersenyum. "Namaku Yo Wan, hidupku sebatang kara, tiada sanak tiada
kadang, tiada tempat tinggal tertentu, rumahku dunia ini, atapnya langit,
lantainya bumi, dindingnya pohon, lampu-lampunya matahari, bulan dan
bintang."
Siu Bi
tertawa, lalu bangkit berdiri dan menirukan lagak serta suara Yo Wan ia
berkata, "Namaku Siu Bi, hidupku sebatang kara, tiada sanak kadang, tidak
punya tempat tinggal tertentu, rumahku di mana aku berada, atap, lantai dan
dindingnya, apa pun jadi!" Dan ia tertawa lagi.
Yo Wan mau
tidak mau ikut pula tertawa. Kalau gadis ini sedang berjenaka, sukar bagi orang
untuk tidak ikut gembira. Suara ketawa dan senyum gadis ini seakan menambah
gemilangnya sinar matahari pagi. "Nona, namamu bagus sekali. Akan tetapi
siapakah she-mu (nama keturunan)"
"Cukup
Siu Bi saja, tidak ada tambahan di depan mau pun embel-embel di belakangnya.
Nah, sekarang kita sudah tahu akan nama masing-masing. Kau bersiaplah dan keluarkan
senjatamu!" kata Siu Bi sambil mencabut Cui-beng-kiam yang tadinya ia
selipkan di ikat pinggangnya. Pedang itu berada di tangannya, digerakkan di
depan dada dengan sikap hendak menyerang.
Yo Wan
terkejut. "Eh… ehh… ehhh, apa pula ini?"
"Artinya,
aku hendak menguji kepandaianmu. Gerak-gerikmu penuh rahasia, aku masih belum
yakin benar apakah kau memang memiliki kelihaian seperti yang kusangka."
"Wah,
aneh-aneh saja kau ini, nona Siu Bi. Aku orang biasa, tidak punya kepandaian
apa-apa, jangan kau main-main dengan pedang itu, Nona."
"Tak
usah kau pura-pura, kau mau atau tidak, tetap harus melayani aku beberapa
jurus. Bersiaplah! Awas, pedang!"
Serta merta
Siu Bi menerjang dan mengirim tusukan secepat kilat.
"Wah,
gila...!" Yo Wan mengeluh di dalam hatinya. la cepat membuang diri
mengelak, maklum akan keampuhan pedang bersinar hitam itu. Akan tetapi Siu Bi
sudah menyerangnya secara bertubi-tubi, malah gadis itu sudah mulai
menggerakkan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Hek-in-kang!
Yo Wan yang
menangkis sambaran tangan kiri ini terpental. Ia merasa betapa lengannya yang
menangkis terasa panas dan sakit. Dia terkejut sekali dan timbul rasa gemasnya.
Gadis ini benar-benar liar pikirnya. Akan tetapi pedang bersinar hitam itu
sudah datang lagi mengirim tusukan bertubi-tubi diseling pula dengan pukulan
yang membawa uap berwarna kehitaman. Hebat! Gadis ini ternyata mempunyai ilmu
yang amat ganas dan dahsyat. Jika aku tidak memperlihatkan kepandaian, ia akan terus
berkepala batu dan tinggi hati.
Cepat tangan
kanan Yo Wan merogoh ke balik jubahnya dan di lain saat pedang kayu cendana
sudah berada di tangannya, pedang buatannya sendiri di Himalaya. Ketika sinar
hitam menyambar dia menangkis.
"Dukkk!"
Siu Bi melangkah
mundur tiga tindak, tangannya linu dan pegal. Heran ia kenapa pedang lawannya
itu ketika bertemu dengan pedangnya terasa seperti benda lunak, seperti kayu,
tidak menimbulkan suara nyaring. Ketika ia memandang lebih jelas, betul saja
bahwa pedang itu memanglah sebatang pedang kayu!
Mukanya
seketika menjadi amat merah. Ia penasaran, masa pedangnya, Cui-beng-kiam yang
ampuh itu hanya dilawan oleh Yo Wan dengan sebatang pedang kayu? la segera
mengeluarkan seruan keras dan kembali maju menerjang, mengerahkan seluruh
tenaga Hek-in-kang untuk membabat putus pedang kayu itu.
Akan tetapi
ia salah duga. Pedang di tangan Yo Wan biar pun hanya terbuat dari kayu cendana
yang mengeluarkan bau harum kalau diayun, namun yang mengerahkan adalah tangan
yang terisi ilmu, tangan yang mengandung hawa sinkang dan mempunyai tenaga
dalam yang sudah amat tinggi tingkatnya. Bukan saja pedang kayu itu tidak
rusak, malah dia sendiri beberapa kali hampir melepaskan pedangnya karena
tangannya terasa panas dan sakit apa bila kedua senjata itu bertemu.
Ia mulai
kagum bukan main. Tidak salah dugaannya. Pemuda ini lihai bukan main. Akan
tetapi di samping kekagumannya, dia pun penasaran dan marah sekali. Masa dia
yang berjulukan Cui-beng Kwan Im, hanya dilawan dengan pedang kayu saja? Bukan
pedang sungguh-sungguh, melainkan pedang-pedangan yang hanya patut dipakai
mainan anak kecil. Rasa penasaran dan marah membuat Siu Bi bergerak semakin
ganas dan dahsyat.
Yo Wan
diam-diam mengeluh. Kepandaian gadis ini kalau sudah matang, benar-benar
berbahaya sekali, apa lagi pukulan-pukulan tangan kiri yang melontarkan hawa
beracun, benar-benar sukar dilawan bila mana tidak mempergunakan sinkang yang
kuat. Dia pun mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu pedangnya dari
Sin-eng-cu.
Namun, ilmu
pedangnya itu hanya sanggup menandingi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dari Siu
Bi dan perlahan-lahan gadis itu mendesak dengan pukulan-pukulan Hek-in-kang.
Sekarang Siu Bi tidak hanya menguji ilmu atau main-main, melainkan menyerang
dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Kalau tidak dilayani dengan
sepenuhnya, tentu akan lama pertandingan itu dan akan berubah menjadi
pertandingan mati-matian.
"Benar-benar
kau aneh sekali, Nona,” seru Yo Wan ketika dia terpaksa berjungkir balik untuk
menghindarkan sebuah pukulan tangan kiri gadis itu.
Tangan kiri
itu kini mengeluarkan uap hitam dan makin lama makin dahsyat pukulannya
sehingga Yo Wan tidak berani menangkis, bukan takut kalau ia terluka, namun
khawatir kalau-kalau tangkisannya yang terlalu kuat akan mencelakai nona itu.
Sambil berjungkir balik ini, dia mencabut keluar cambuknya yang melingkar di
pinggang. Kini tangan kirinya memegang cambuk dan…
"Tar-tar-tar!"
cambuk itu menyambar-nyambar bagaikan petir di atas kepala Siu Bi.
“Ayaaa...!"
Siu Bi kaget bukan main. Apa lagi ketika melihat betapa cambuk itu berubah
menjadi lingkaran-lingkaran yang membingungkan.
Seketika itu
juga keadaan menjadi berubah Dia terdesak hebat, beberapa kali pedangnya hampir
terlibat cambuk lawan. Akan tetapi, bukan watak Siu Bi untuk menjadi gentar.
Dia malah makin bersemangat.
"Wah,
benar-benar keras hati dia...,” pikir Yo Wan dan cepat ia mempergunakan
langkah-langkah Si-Cap-it Sin-po.
Seketika Yo
Wan lenyap dari depan Siu Bi dan dalam kebingungannya, gadis itu cepat berbalik
ketika mendengar desir cambuk dari belakang. Baru satu kali tangkis, pemuda itu
kembali lenyap lagi dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya, lalu lenyap,
muncul di sebelah kiri, lenyap lagi, muncul di sebelah kanannya. Bingung ia
dibuatnya sehingga kepalanya menjadi pening!
"Sudahlah,
cukup, Nona. Kau lihai sekali...," berkali-kali Yo Wan berseru.
Namun mana
Siu Bi mau sudah dan mengalah? la menggigit bibir dan menerjang seperti seekor
harimau gila, nekat dan tidak takut mati.
"Awas
pedangmu!" Yo Wan berseru dan lenyap.
Pada waktu
Siu Bi membalik, terasa sesuatu membelit pundaknya. la merasa ngeri dan
menggeliat seakan-akan ada ular yang melilit pundak. Ternyata cambuk lawannya
yang sudah melilitnya, membuat ia sukar bergerak dan pada saat itu, ujung
pedang kayu Yo Wan menotok pergelangan tangan kanannya. Pedangnya jatuh!
Dengan marah
sekali Siu Bi berdiri di depan Yo Wan, lalu membanting-banting kaki dan memandang
penuh kebencian.
“Maaf, Nona,
aku... aku tidak sengaja. Kau telah mengalah..."
Akan tetapi
Siu Bi membanting kaki lagi, terisak lalu membalikkan tubuh dan lari cepat,
tidak peduli lagi akan pedangnya yang tergeletak di atas tanah.
"Heee,
nona Siu Bi... tunggu... pedangmu...!" Yo Wan mengambil pedang itu dan
cepat mengejar. Akan tetapi Siu Bi sudah berlari jauh dan menghilang di balik
pohon-pohon di dalam hutan.
Yo Wan
berhenti sebentar, menggeleng-geleng kepala dan menarik nafas panjang.
"Wah,
benar-benar luar biasa anak itu. Wataknya seperti setan!" Akan tetapi
diam-diam ia mengagumi kepandaian Siu Bi yang memang jarang dicari bandingnya.
"Entah anak siapa dia itu, dan entah siapa pula yang mewariskan kepandaian
dan watak segila itu."
Kemudian ia mengejar
lagi, tidak bermaksud segera menyusul karena ia maklum bahwa agaknya
membutuhkan beberapa lama untuk membiarkan hati gadis itu agak mendingin. Kalau
sedang panas dan marah seperti itu, agaknya tidak akan mudah dibujuk dan tentu
sukar bukan main diajak bicara secara baik-baik. Seorang gadis luar biasa yang
masih amat muda. Mengapa sudah merantau seorang diri di dunia ini? Benarkah dia
pun sebatang kara? Kasihan! Wataknya keras, berbahaya sekali kalau tidak ada
yang mengamat-amati. Sayang kalau seorang dara masih remaja seperti itu
mengalami mala petaka atau menjadi rusak.
Hati Yo Wan
mulai gelisah ketika sudah mengejar seperempat jam lebih, belum juga ia melihat
bayangan Siu Bi. "Nona Siu Bi! Tunggu...!" Yo Wan berseru sambil
mengerahkan khikang hingga suaranya bergema di seluruh hutan. Namun tidak ada
jawaban kecuali gema suaranya sendiri. la mengejar lebih cepat lagi.
Tiba-tiba ia
tersentak kaget dan berhenti melangkah. Di depan kakinya tergeletak sehelai
sapu tangan sutera kuning. Bukankah ini sapu tangan yang dia lihat tadi
mengikat rambut Siu Bi? Dipungutnya sapu tangan itu dan jari-jari tangannya
menggigil. Sapu tangan itu berlepotan darah! Sepasang matanya menjadi beringas
ketika ia menoleh ke kanan kiri, lalu dia meloncat ke atas pohon, memandang ke
sana ke mari.
"Nona
Siu Bi! Di mana kau...?!" la berseru memanggil. Tetap sunyi tiada jawaban.
"Celaka,
apa artinya ini...?" Yo Wan meloncat turun lagi, memandangi sapu tangan di
tangannya. "Jangan-jangan..." la tidak berani melanjutkan kata-kata
hatinya, melainkan mengantongi kain sutera itu dan berkelebat cepat ke depan
untuk melakukan pengejaran lebih cepat lagi. Apakah yang terjadi dengan diri
Siu Bi?
Gadis itu
merasa amat marah, penasaran, malu dan kecewa sekali setelah mendapat kenyataan
bahwa ilmu kepandaiannya jauh kalah oleh Yo Wan. Memang Siu Bi berwatak aneh,
mudah sekali berubah. Tadinya ia hendak menguji kepandaian Yo Wan dan kalau
ternyata Yo Wan benar lihai, akan dijadikan sahabatnya menghadapi musuh
besarnya. Akan tetapi sesudah ternyata dia kalah jauh, dia menjadi kecewa dan
marah, lalu pergi sambil menangis! Malah dia tinggalkan begitu saja pedangnya yang
terlepas dari tangan.
Siu Bi
menggunakan ilmu lari cepat. la maklum bahwa Yo Wan tentu akan mengejarnya,
maka ia lari sekuat tenaga. Kemudian, sampai di pinggir hutan ia melihat bahwa
daerah itu banyak terdapat batu-batu besar yang merupakan dinding lereng gunung
dan tampak bahwa tempat itu terdapat banyak goanya yang gelap dan terbuka
seperti mulut raksasa. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu membelok ke daerah ini,
memilih sebuah goa yang paling gelap dan besar, lalu menyelinap masuk.
Goa itu
gelap sekali dan lebar. Begitu masuk, tubuhnya langsung diselimuti kegelapan,
sama sekali tidak tampak dari luar. la masuk terus dan ternyata terowongan
dalam goa itu membelok ke kiri sehingga ia terbebas sama sekali dari sinar
matahari. Terlalu gelap di situ, melihat tangan sendiri pun hampir tidak
kelihatan. Siu Bi meraba-raba dan ketika mendapatkan sebuah batu yang licin dan
bersih, ia duduk di situ terengah-engah. Disusutnya air matanya dengan ujung
lengan bajunya.
Tiba-tiba ia
hampir menjerit saking kagetnya ketika terdengar suara orang tertawa, apa lagi
ketika disusul dengan dua buah tangan yang merangkul pundaknya! Secara otomatis
tangan kirinya bergerak, menghantam ke belakang. Karena terkejut, maka
sekaligus dia mengerahkan Hek-in-kang. Tangannya yang terbuka bertemu dengan
bagian perut yang lunak.
"Bukkk!"
orang yang punya perut itu merintih dan terlempar ke belakang.
Siu Bi
melompat bangun. Akan tetapi mendadak ia mencium bau harum yang luar biasa,
yang membuat kepalanya pening dan matanya melihat seribu bintang,
terhuyung-huyung dan roboh dalam pelukan dua buah lengan yang kuat!
Beberapa
detik kemudian, dua orang lelaki tinggi besar yang usianya kurang lebih empat
puluh tahun, melompat keluar dari dalam goa. Salah seorang di antara mereka,
yang berjenggot kaku, memondong tubuh Siu Bi yang pingsan. Setibanya di luar
goa, mereka memandang wajah Siu Bi dan si pemondong tertawa.
"Ha-ha-ha,
luar biasa sekali, Bian-te (adik Bian). Kita menangkap seorang bidadari!"
Kawannya
yang mukanya pucat tertawa masam. "Bidadari namun pukulannya seperti
setan! Kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengerahkan sinkang, kiranya isi
perutku sudah hancur dan hangus. Heran, gadis cilik secantik ini kepandaiannya
hebat dan pukulannya dahsyat."
"Dia
tentu murid orang pandai. Jangan-jangan berkawan yang lebih lihai lagi. Mari
kita cepat bawa pergi. Gong-twako bersama perahunya tentu berada di pantai.
Hayo, cepat!"
Dua orang
itu berlari cepat sekali menuju ke barat. Tidak lama kemudian mereka tiba di
pinggiran Sungai Fen-ho. Si muka pucat bersuit keras sekali dan tiba-tiba dari
rumpun alang-alang muncul sebuah perahu kecil cat hitam yang didayung oleh
seorang laki-laki berambut putih, berusia lima puluh tahunan.
"Hee,
kalian membawa seorang gadis, untuk apa? Siapa dia?"
Dua orang
tinggi besar itu melompat ke dalam perahu dengan gerakan yang ringan. Si
jenggot kasar merebahkan tubuh Siu Bi yang masih pingsan itu ke dalam bilik
perahu, kemudian ia keluar lagi untuk bercakap-cakap dengan dua orang temannya.
"Kami
tidak tahu dia siapa. Seorang bidadari!" katanya.
"Bidadari
yang pukulannya seperti setan!" sambung si muka pucat dan tiba-tiba
meringis, lalu muntahkan darah yang menghitam.
Dua orang
temannya kaget. Kakek rambut putih itu memandang dengan kening berkerut.
"Bian-te, kau terluka dalam yang hebat."
"Lekas
kita pergi ke Ching-coa-to. Gong-twako, gadis itu seorang yang cantik dan
pandai, tentu kongcu (tuan muda) akan senang sekali mendapatkannya, dan kita
akan mendapat jasa besar. Juga Bian-te perlu segera diobati. Agaknya hanya
toanio (nyonya) seorang yang mampu mengobatinya. Pukulannya hebat sekali dan
agaknya mengandung racun yang aneh."
Si rambut
putih bersuit dan muncullah perahu kedua, didayung seorang laki-laki muda.
"Kau menjaga di sini, kami akan ke pulau," pesannya dan didayunglah
perahu hitam itu dengan cepat sekali, mengikuti aliran sungai sehingga meluncur
dengan lajunya.
Beberapa jam
kemudian, si muka pucat muntah-muntah lagi, keadaannya makin payah. Dua orang
temannya berusaha untuk mengurut jalan darah dan menempelkan telapak tangan
pada punggungnya untuk membantu pengerahan sinkang, namun hasilnya tidak
banyak, hanya membuat si muka pucat itu dapat bernafas lebih leluasa. Mukanya
makin pucat dan matanya beringas.
"Keparat,
aku harus membalas ini." la bangkit hendak memasuki bilik perahu.
"Bian-te,
sabarlah," cegah si brewok.
"Perjalanan
ini masih lama, agaknya aku tak akan kuat. Tidak lama lagi aku mati, dan
sebelum mati, aku harus melampiaskan penasaran."
"Jangan
bunuh dia, Bian-te...," cegah si rambut putih. "Agaknya dia sudah
terkena bius racun merah kita, ia tidak berdaya lagi. Itu sudah merupakan
pembalasan dan nanti kalau ia terjatuh ke tangan kongcu, ha-ha-ha, tentu tak
lama lagi dihadiahkan kepadamu. Masih banyak waktu untuk membalas penasaranmu."
"Aku
tidak bisa menunggu lagi. Sesampainya di sana, tentu aku sudah menjadi mayat.
Gong-twako, lukaku hebat, aku merasa ini. Biarkan aku memilikinya sebelum aku
mati."
"Bian-te,
dia hendak kami berikan kepada kongcu. Kalau kau mendahuluinya, tentu kau akan
dihukum kongcu."
"Kongcu
tidak tahu tentang dia, laginya, kalau sebentar lagi aku mati, kongcu mau bisa
berbuat apa kepadaku?" Si muka pucat memasuki bilik dan dua orang kawannya
hanya saling pandang.
"Dia
sudah terluka hebat dan agaknya betul-betul tak akan dapat ditolong, biarkanlah
dia menebus kekalahan dan membalas dendam," kata si rambut putih sambil
mengeluarkan pipa tembakaunya dan mengisap. Si brewok juga mengangkat pundak.
Siu Bi sudah
kena bubuk beracun Ang-hwa-tok (Racun Kembang Merah) yang membuat dia mabuk dan
pingsan. Akan tetapi gadis ini adalah murid dari Hek Lojin, seorang tokoh dunia
hitam. Ketika gadis ini mempelajari Iweekang, latihannya dengan berjungkir
balik sehingga dalam pengerahan Hek-in-kang, jalan darahnya membalik dan
sinkang dalam tubuhnya membentuk hawa Hek-in-kang yang beracun hitam.
Oleh karena
itu, ketika ia terkena pengaruh racun Ang-hwa-tok, hanya sebentar saja ia
tercengkeram dan pingsan. Pada saat itu, ia telah mulai bergerak biar pun masih
pening, dan ketika ia membuka matanya, cepat ia meramkan lagi karena segala
yang tampak berputaran sedangkan darahnya di kepala berdenyut-denyut.
Cepat-cepat
ia mengerahkan sinkang untuk mengusir pengaruh memabukkan ini. Untung baginya,
pada saat tadi terkena racun Ang-hwa-tok, dia baru mengerahkan Hek-in-kang
sehingga tenaga mukjijat inilah yang menolak sebagian besar pengaruh racun.
Sekarang dengan sinkang ia berhasil mengusir hawa beracun, akan tetapi
pikirannya masih belum sadar benar dan ia merasa seakan-akan melayang di
angkasa, belum sadar benar dan belum ingat apa yang telah terjadi dengan
dirinya. la merasa seperti dalam alam mimpi.
Mendadak ada
orang menubruk dan memeluknya sambil mencengkeram pundak. Siu Bi kaget bukan main,
cepat membuka matanya. Hampir dia menjerit ketika melihat bahwa yang
menindihnya adalah seorang lelaki bermuka pucat bermata beringas dan mulutnya
menyeringai liar, dari ujung bibirnya bertetesan darah menghitam!
Dia tidak
tahu apa yang hendak dilakukan orang mengerikan ini terhadap dirinya. Dia
menyangka bahwa ia akan dibunuh dan dicekik, maka cepat Siu Bi mengerahkan
seluruh tenaga Hek-in-kang yang ada pada dirinya, kemudian sambil meronta ia
menggunakan kedua tangannya menghantam dengan pengerahan Hek-in-kang.
Lambung dan
leher orang yang bermuka pucat itu dengan tepat kena dihantam. Dia memekik
keras, tubuhnya terpental dan roboh terguling ke bawah dipan. Pada waktu Siu Bi
melompat bangun, ternyata orang itu sudah rebah dengan mata mendelik dan dari
mulutnya bercucuran darah, nafasnya sudah putus!
Siu Bi
bergidik mengenangkan bahaya yang hampir menimpa dirinya. Dengan penuh
kebencian ia lalu menendang mayat itu sehingga terlempar ke luar dari pintu
bilik kecil. Sementara itu, si brewok dan si rambut putih yang sedang
enak-enakan duduk di atas perahu, terkejut bukan main mendengar pekik tadi.
Cepat-cepat mereka melempar pipa tembakau ke samping dan melompat, langsung
menyerbu ke dalam bilik.
Sesosok
bayangan menyambar mereka. Si brewok menyampok dan bayangan itu adalah temannya
sendiri, si muka pucat yang sekarang sudah menjadi mayat! Tentu saja di samping
rasa kaget, mereka berdua marah sekali melihat seorang teman mereka tewas dalam
keadaan seperti itu. Bagaikan dua ekor beruang luka mereka berteriak keras dan
menyerbu ke dalam bilik.
Siu Bi
menjadi nekat. la sudah siap dan telah mengerahkan Hek-in-kang untuk melawan.
Akan tetapi sedikit banyak racun Ang-hwa-tok masih mempengaruhinya. Dia mencoba
untuk menerjang kedua orang yang menyerbu itu dengan pukulan Hek-in-kang.
Namun dua
orang lawannya bukanlah orang lemah. Mereka itu, terutama si rambut putih,
adalah jagoan-jagoan dari Ching-coa-to. Mereka sudah tahu akan kelihaian ilmu
pukulan Siu Bi, maka cepat mereka mengelak lalu balas menyerang.
"Gong-twako,
kita tangkap hidup-hidup!" seru si brewok.
Si rambut
putih maklum akan kehendak kawannya ini. Memang, setelah gadis ini berhasil
membunuh seorang kawan, bila dapat menangkapnya dan menyerahkannya hidup-hidup
kepada kongcu mereka di Ching-coa-to, jasanya tidak kecil. Pertama, dapat
menangkap musuh yang membunuh seorang anggota Ang-hwa-pai (Perkumpulan Kembang
Merah), kedua kalinya, dapat menghadiahkan seorang gadis yang cantik molek
kepada kongcu!
Siu Bi
melawan dengan nekat, menangkis sepenuh tenaga dan mencoba merobohkan mereka
dengan pukulan Hek-in-kang. Namun, kedua orang musuhnya ini amat kuat dan
gesit, sedangkan kepalanya masih terasa pening.
Tiba-tiba
tampak sinar merah. Siu Bi cepat-cepat menahan nafasnya, namun terlambat.
Kembali dia mencium bau yang amat harum dan tiba-tiba dia menjadi lemas dan
roboh pingsan lagi! Ternyata bahwa si rambut putih sudah berhasil merobohkannya
dengan bubuk racun merah, senjata rahasia yang menjadi andalan para tokoh
Ching-coa-to.
Siapa mereka
ini? Mereka bukan lain adalah tokoh-tokoh yang menjadi anggota sebuah
perkumpulan yang disebut Ang-hwa-pai. Sesuai nama perkumpulannya, para tokoh
ini memiliki tanda setangkai bunga berwarna merah, menghias sebagai sulaman
pada baju yang menutupi dada kiri. Ang-hwa-pai bersarang di Pulau Ching-coa-to,
yaitu Pulau Ular Hijau.
Kiranya para
pembaca cerita Pendekar Buta masih ingat akan nama Ching-coa-to. Pulau ini
adalah tempat tinggal Ching-toanio, ibu dari Giam Hui Siang dan ibu angkat dari
Hui Kauw isteri Pendekar Buta. Setelah Ching-toanio meninggal dan kedua orang
puterinya itu menikah serta meninggalkan Ching-coa-to, pulau itu menjadi
kosong, hanya ditinggali bekas anak buah Ching-toanio yang hidup sebagai
perampok dan bajak sungai.
Beberapa
bulan kemudian, muncul seorang wanita yang kulitnya agak kehitaman dengan
pakaiannya yang serba merah. Wanita galak yang genit, yang usianya sudah
mendekati lima puluh tahun, akan tetapi masih kelihatan pesolek dan genit
sekali. Dia ini bukanlah wanita sembarangan dan para pembaca dari cerita
Pendekar Buta tentu mengenalnya. Dia merupakan seorang di antara tiga saudara
Ang-hwa Sam-cimoi yang amat lihai ilmu silatnya.
Di dalam
cerita Pendekar Buta, tiga orang kakak beradik ini bertanding hebat melawan Pendekar
Buta. Dua di antara mereka, yaitu Kui Biauw dan Kui Siauw, tewas dan yang
tertua, Kui Ciauw, berhasil melarikan diri sambil membawa mayat dua orang
saudaranya. Wanita yang datang ke Ching-coa-to adalah Kui Ciauw inilah. Tentu
saja para anak buah Ching-coa-to telah mengenalnya.
Di dunia
hitam, siapa yang tidak mengenal Ang-hwa Sam-cimoi yang bahkan lebih lihai dari
pada suci mereka, si wanita iblis Hek-hwa Kui-bo yang sudah tewas pula? Karena
percaya akan kelihaian Kui Ciauw, para anak buah Ching-coa-to mengangkat Kui
Ciauw menjadi kepala dan wanita ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan yang
diberi nama Ang-hwa-pai, sesuai dengan julukannya, yaitu Ang-hwa Nio-nio.
la lalu
mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, dipilih yang memiliki kepandaian tinggi.
Malah ia lalu melatih mereka dan menurunkan kepandaian melepas bubuk racun
kembang merah kepada para pembantunya. Setelah masa peralihan kekuasaan, dengan
memanfaatkan keadaan yang kacau, perkumpulan hitam ini lantas merajalela,
merampok membajak dan keadaan mereka menjadi makin kuat karena banyak perampok
ternama dan lihai yang melihat kemajuan dan pengaruh Ang-hwa-pai, lalu
menggabungkan diri.
Ang-hwa
Nio-nio atau Kui Ciauw ini tidak pernah melupakan dendam hatinya terhadap
Pendekar Buta yang sudah membunuh dua orang adiknya. Akan tetapi maklum bahwa
tidak mudah membalas dendam kepada orang sakti itu, ia tekun memperdalam
ilmunya. Bahkan ia lalu menyusun kekuatan partainya dengan maksud kelak akan
menyerang ke Liong-thouw san.
Ang-hwa
Nio-nio, seperti lainnya para tokoh dunia gelap, biar pun sudah berusia hampir
setengah abad, namun masih merupakan seorang wanita cabul yang gila laki-laki.
Maka, bukan rahasia lagi bagi para anak buahnya akan kesukaan ketua ini
mengumpulkan pria yang masih muda dan tampan, menjadikan mereka itu kekasih
atau ‘selir’. Tentu saja banyak di antara mereka yang melakukan hal ini karena
dipaksa dengan ancaman maut.
Setelah
muncul seorang pemuda tampan bernama Ouwyang Lam, kerakusannya dalam
mengumpulkan pemuda-pemuda tampan baru berhenti. Ouwyang Lam adalah seorang
pemuda dari daerah Shan-tung, bertubuh tegap kuat berwajah tampan, anak seorang
bajak tunggal. Bersama ayahnya, Ouwyang Lam menggabungkan diri pada Ang-hwa-pai
dan tentu saja pemuda tampan ini tidak terlepas dari incaran Ang-hwa Nio-nio.
Akan tetapi, kali ini Ang-hwa Nio-nio betul-betul ‘jatuh hati’ kepada Ouwyang
Lam.
Agaknya
cinta tidak memilih umur sehingga dalam usia hampir setengah abad, Ang-hwa
Nio-nio kali ini benar-benar jatuh cinta! Segala kehendak Ouwyang Lam selalu
dituruti dan pertama-tama yang diminta oleh pemuda pintar ini adalah mengusir
atau membunuhi puluhan orang ‘selir’ laki-laki itu! la ingin memonopoli ketua
Ang-hwa-pai, bukan karena cantiknya, melainkan karena kedudukannya yang mulia
dan karena pemuda ini ingin pula mewarisi kepandaiannya.
Dan
demikianlah kenyataannya. Ouwyang Lam lalu diambil sebagai ‘putera angkat’ oleh
Ang-hwa Nio-nio, mendapat sebutan kongcu (tuan muda), dihormat oleh seluruh
anggota Ang-hwa-pai dan selain kedudukan yang tinggi ini, juga pemuda yang
cerdik ini setiap hari memeras ilmu-ilmu kesaktian dari ‘ibu angkat" alias
kekasihnya ini untuk dimilikinya.
Terdorong
cinta kasih yang membuatnya tergila-gila, Ang-hwa Nio-nio tidak segan-segan
menurunkan semua ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu beberapa tahun saja
ilmu kepandaian Ouwyang Lam sangat hebat. Bahkan Ilmu Pedang Hui-seng Kiam-sut
(Ilmu Pedang Bintang Terbang) yang menjadi kebanggaan Ang-hwa Sam-cimoi dahulu,
telah diajarkan kepada Ouwyang Lam.
Dasar Ouwyang
Lam memang pandai mengambil hati, maka dia bersumpah kepada kekasihnya bahwa
kelak dia sendiri yang akan membalaskan dendam kekasihnya itu kepada Pendekar
Buta. Tentu saja untuk ini dia memerlukan ilmu kepandaian yang tinggi agar
dapat berhasil. Tidak ini saja, malah pemuda tampan ini begitu dimanja sehingga
segala permintaannya dituruti, termasuk pula kegemarannya akan wanita cantik.
Ang-hwa Nio-nio yang sudah setengah tua itu tidak memiliki hati cemburu, bahkan
rela membagi cinta kasih Ouwyang Lam.
Demikianlah
sekelumit keadaan Ang-hwa-pai di Ching-coa-to. Kalau kepalanya bergerak ke
utara, tak mungkin ekornya menuju selatan demikian kata orang-orang tua. Dengan
pimpinan macam Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam, dapat dibayangkan betapa bobrok
moral para anak buah dan anggota Ang-hwa-pai.
Mereka
seperti mendapat contoh dan demikianlah, seluruh wilayah di sebelah barat dan
selatan kota raja, penuh dengan orang-orang Ang-hwa-pai yang bergerak dan
merajalela menjadi perampok atau bajak yang malang-melintang tanpa ada yang
berani melawan mereka. Asal ada penjahat yang memakai tanda bunga merah di dada
yang melakukan gerakan, tidak ada yang berani berkutik!
Ouwyang Lam
amat pandai dan cerdik sehingga untuk memperkuat kedudukannya, dia tidak
segan-segan mempergunakan uang untuk menyuap sana-sini, menghubungi para
pembesar dan menghamburkan uang secara royal kepada para pembesar korup yang
memenuhi negara pada masa itu. Para pembesar korup sangat berterima kasih dan
menganggap orang-orang Ang-hwa-pai amat baik. Mereka tidak peduli bahwa uang
yang dipakai menyogok dan menyuap mereka itu adalah uang hasil rampokan!
Siu Bi
sungguh malang nasibnya, terjatuh ke tangan tiga orang tokoh Ang-hwa-pai. Akan
tetapi baiknya ia memiliki wajah yang amat jelita sehingga hal ini menggerakkan
hati dua orang penawannya untuk mencari jasa hendak mempersembahkan dia kepada
Ouwyang Lam!
Tentu saja
hal ini baik baginya, karena dalam keadaan pingsan di perahu itu, nasibnya
sudah berada di tangan si rambut putih dan si brewok. Namun, mengingat akan
hadiah dan kedudukan yang mungkin dinaikkan, dua orang itu tidak berani
mengganggu Siu Bi, ingin mempersembahkan gadis ini kepada kongcu mereka dalam
keadaan utuh! Mereka hanya mengikat kaki tangan Siu Bi, kemudian cepat-cepat
mereka mendayung perahu, langsung menuju ke Ching-coa-to.
Dan inilah
sebabnya mengapa Yo Wan sia-sia saja mengejar. la tidak mengira bahwa Siu Bi
ditangkap orang di dalam goa kemudian dilarikan dengan perahu. Terlalu lama dia
mencari-cari di dalam hutan, berputar-putar tanpa hasil. Baru setelah menjelang
senja, ia sampai di pinggir Sungai Fen-ho, berdiri termangu-mangu di tepi
sungai….
Pada saat
tersadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya dalam keadaan terikat kaki
tangannya serta rebah di atas pembaringan dalam perahu, Siu Bi menjadi marah
dan mendongkol sekali. Ia merasa lega bahwa tubuhnya tidak merasakan sesuatu,
juga tidak menderita luka. Akan tetapi ketika ia mencoba untuk mengerahkan
tenaga melepaskan diri dari belenggu, ia mendapat kenyataan bahwa tali-tali
yang mengikat kaki tangannya amatlah kuat, tak mungkin diputus mempergunakan
tenaga.
la mengeluh
dan mulailah ia menyesal. Kenapa ia melarikan diri meninggalkan Yo Wan? Kalau
ada Yo Wan di dekatnya, tak mungkin ia sampai mengalami bencana seperti ini.
Lebih menyesal lagi ia mengapa pedangnya, Cui-beng-kiam, ia tinggalkan di depan
kaki Yo Wan. Kalau perginya membawa senjatanya yang ampuh itu lebih baik lagi.
Kalau ia tidak bertanding melawan Yo Wan, kalau... kalau... ahh, tidak akan ada
habisnya hal-hal yang sudah terlanjur dan sudah lalu disesalkan. Sesal kemudian
tiada guna. Perahu itu dengan cepatnya meluncur sepanjang Sungai Fen-ho, sampai
masuk Sungai Kuning di selatan. Kemudian membelok ke timur melalui Sungai
Kuning yang lebar dan diam.
Selama
beberapa hari melakukan perjalanan melalui air ini, Siu Bi tetap dalam
belenggu. Akan tetapi gadis ini tidak diganggu dan karena mengharapkan
sewaktu-waktu mendapat kesempatan membebaskan diri, Siu Bi tidak menolak
suguhan makan minum yang setiap hari diberi oleh dua orang penawannya. la harus
menjaga kesehatannya dan memelihara tenaga agar dapat dipergunakan sewaktu ada
kesempatan.
Perjalanan
dilanjutkan melalui darat. Kedua orang itu dengan mudah mendapatkan tiga ekor
kuda dari kawan-kawan mereka yang memang banyak terdapat di sekitar daerah itu,
merajalela dan boleh dibilang menguasai keadaan di sebelah selatan dan barat
dan kota raja.
Akhirnya
mereka menyeberang telaga dan mendarat di Pulau Ching-coa-to di tengah telaga.
Pulau ini sekarang berubah keadaannya jika dibandingkan belasan tahun yang
lalu. Setelah Ang-hwa-pai berdiri dan pulau ini dijadikan pusat, pulau ini
dibangun dan dari jauh saja sudah tampak bangunan-bangunar yang besar dan
megah. Taman bunga yang dulu menjadi kebanggaan Ching-toanio dan
puteri-puterinya, terpelihara baik-baik, malah dilengkapi pondok-pondok mungil
karena tempat ini terkenal pula sebagai tempat Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam
bersenang-senang.
Siu Bi
merasa heran dan kagum juga sesudah ia dibawa mendarat dari perahu yang
menyeberangi telaga. Pulau itu benar-benar indah, juga megah. Apa lagi ketika
mereka mendarat di pulau, mereka disambut oleh sepasukan penjaga yang
berpakaian lengkap, berseragam dan bersikap gagah. Di dada kiri mereka tampak
sebuah lencana, yaitu sulaman berbentuk bunga merah.
Si rambut
putih yang agaknya mempunyai kedudukan lumayan tinggi di pulau ini, segera
menyuruh seorang penjaga lari melapor kepada pangcu (ketua) dan kongcu (tuan
muda). Penjaga itu berlari cepat. Siu Bi digiring berjalan memasuki pulau itu
dengan perlahan, diiringkan sepasukan penjaga dan diapit oleh kedua orang
penawannya.
Tak lama
kemudian rombongan ini berhenti dan dari depan tampak serombongan orang
berjalan datang dengan cepat. Siu Bi membelalakkan mata, menatap penuh
perhatian.
la melihat
barisan wanita-wanita muda cantik yang gagah sikapnya, memegang pedang
telanjang di tangan, berjalan dengan teratur di kanan dan kiri. Di
tengah-tengah tampak berjalan dua orang.
Yang seorang
adalah wanita tua yang berkulit hitam dan pakaiannya biar pun terdiri dari
sutera mahal dan amat mewah, akan tetapi benar-benar tidak serasi karena
warnanya merah darah dan berkembang-kembang, amat tidak cocok dengan kulit
hitam itu. Apa lagi karena muka itu meski pun dibedaki dan ditutupi gincu,
tetap saja memperlihatkan keriput-keriput usia tua.
Seorang
nenek yang amat pesolek dan sinar matanya tajam dan liar. Akan tetapi langkah
kakinya sedemikian ringannya seakan-akan tidak menginjak bumi, menandakan bahwa
ginkang dari nenek ini luar biasa hebatnya. Orang kedua adalah seorang
laki-laki muda, kurang lebih dua puluh tahun. Tubuhnya tegap, agak pendek namun
wajahnya tampan sekali dengan kulit yang putih kuning, alis hitam panjang dan
matanya bersinar-sinar.
Mereka ini
bukan lain adalah Ang-hwa Nio-nio atau paicu, ketua dari Ang-hwa-pai, dan
Ouwyang Lam atau kongcu yang sesungguhnya mempunyai kekuasaan tertinggi di sana
karena si ketua itu berada di telapak tangan si pemuda ganteng!
Tempat itu
kini penuh dengan para anggota Ang-hwa-pai dan semua orang memandang Siu Bi
penuh perhatian. Mereka bersikap hormat ketika ketua mereka muncul. Si rambut
putih dan si brewok juga segera berlutut memberi hormat, lalu berdiri lagi.
Pandang mata Ouwyang Lam untuk sejenak menjelajahi Siu Bi, dari rambut sampai
ke kaki, kemudian dia menoleh kepada si rambut putih. Ada pun Ang-hwa Nio-nio
segera menegur.
"Betulkah
seperti yang kudengar bahwa bocah ini sudah membunuh A Bian? Mengapa kalian
tidak segera membunuhnya dan perlu apa dibawa-bawa ke sini?"
"Maaf,
kami sengaja menangkap dan membawanya ke sini supaya mendapat putusan sendiri
tentang hukumannya dari Paicu dan Kongcu," kata si rambut putih dengan
nada suara menjilat. "Lagi pula, bagaimana kami dapat membuktikan tentang
kematian A Bian kalau pembunuhnya tidak kami seret ke sini?"
"Hemmm,
bocah yang berani membunuh seorang pembantuku, apa lagi hukumannya selain
mampus? Biar aku sendiri membunuhnya!" Tangan nenek ini bergerak,
terdengar angin bercuitan ketika angin pukulan meluncur ke arah dada Siu Bi.
Gadis ini
terkejut bukan main. Hebat pukulan ini dan karena kedua tangannya masih
dibelenggu, hanya kedua kakinya saja yang bebas, ia terpaksa melompat cepat ke
kiri.
"Srrrttt…!"
Pinggir
bajunya tersambar angin pukulan, pecah dan hancur berantakan. Wajah Siu Bi
berubah. la maklum bahwa nenek ini merupakan lawan yang berat, seorang yang
amat lihai ilmunya.
"Ihhh,
kau berani mengelak?" Nenek itu memekik, suaranya melengking tinggi.
Kembali
tangannya bergerak, sekarang angin yang berciutan itu menyambar ke arah leher
Siu Bi. Gadis ini kembali mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga pundaknya
terhajar. Baiknya ia telah siap dan mengerahkan Hek-in-kang di tubuhnya, maka
ia tidak mengalami luka, hanya terhuyung dan roboh miring di atas tanah.
Muka nenek
itu berubah. Baru kali ini ia mengalami hal yang seaneh ini. Biasanya, kalau
pukulannya sudah dilakukan, tentu seorang lawan akan roboh binasa. Apa lagi
kalau pukulannya yang mengandung hawa racun merah ini mengenai sasaran, tentu
yang terkena akan terluka dalam.
Akan tetapi
gadis ini hanya terhuyung dan roboh, tetapi tidak terluka. Ini membuktikan
bahwa gadis ini ‘ada isinya’. Saking penasaran, ia lalu mengerahkan tenaga dan
hendak memukul lagi. Akan tetapi Ouwyang Lam mencegah, menyentuh lengan nenek
itu sambil berkata,
"Nio-nio,
harap sabar dulu..."
"Apa?"
Kau masih belum puas dengan mereka itu dan hendak mengambil dia? Hati-hati,
perempuan seperti ia bukan untuk hiburan, sekali ia lolos akan mendatangkan
bencana!" kata Ang-hwa Nio-nio sambil menuding ke arah Siu Bi yang sudah
melompat bangun lagi dan memandang mereka dengan mata terbelalak penuh hawa
amarah dan kebencian. Sedikit pun gadis ini tidak memperlihatkan rasa takut.
"Bukan
begitu, Nio-nio. Ingat, Nona ini mempunyai kepandaian, akan tetapi menghadapi
seorang nona muda, dua orang kita menawannya dan membelenggunya seperti itu,
sudah merupakan hal yang meremehkan nama besar kita. Apa lagi sekarang kau
hendak membunuhnya dalam keadaan terbelenggu, aku khawatir nama besarmu akan
ternoda. Nio-nio, biarkan aku menghadapinya setelah belenggunya dilepas,
agaknya ia lihai, patut aku berlatih dengannya. Ehh, Nona, sesudah kau lancang
tangan membunuh seorang pembantu kami dan kau telah ditangkap ke sini, kau
hendak berkata apa lagi?"
Siu Bi
mengerutkan alisnya, matanya seolah-olah mengeluarkan api ketika memandang
kepada wajah tampan itu. "Kenapa banyak cerewet lagi? Mau bunuh boleh
bunuh, siapa yang takut mampus? Pura-pura akan membebaskan, hemmm, kalau
benar-benar kedua kakiku bebas, aku akan membunuh kalian semua, tak seekor pun
akan kuberi ampun!"
Inilah
makian dan hinaan yang sangat hebat. Semua orang sampai melongo. Alangkah
beraninya bocah ini. Sudah tertawan, sedang berada di tangan musuh dan tak
berdaya, nyawanya tergantung di ujung rambut, tapi masih begitu besar nyalinya.
Benar-benar hal yang amat mengherankan untuk seorang gadis remaja seperti ini.
Akan tetapi
Ouwyang Lam tertawa girang. Hatinya amat tertarik kepada gadis ini. Cantik
jelita dan gagah perkasa. Walau pun baginya tidaklah sukar untuk mencari gadis
cantik, malah boleh jadi lebih cantik dari pada Siu Bi, akan tetapi takkan
mudah mendapatkan seorang gadis yang begini gagah perkasa dan bernyali harimau.
Kalau dia
bisa mendapatkan seorang seperti itu di sampingnya, selain dia mendapatkan
pasangan yang setimpal, juga gadis ini dapat merupakan tambahan tenaga yang
amat penting dan memperkuat kedudukan mereka. Memang Ouwyang Lam orangnya
cerdik, penuh tipu muslihat dan akal yang halus sehingga biar pun di hatinya
dia mempunyai niat yang tidak baik, namun pada lahirnya dia bisa kelihatan amat
baik dan peramah.
"Nona,
karena kau seorang gagah, maka kuberi kesempatan untuk membela diri. Kami dari
Ang-hwa-pai juga orang-orang gagah dan menghargai kegagahan. Kau kubebaskan
dari belenggu dan boleh membela diri dengan kepandaianmu!"
Tampak sinar
berkelebat dan tahu-tahu belenggu pada kedua tangan Siu Bi sudah putus. Kiranya
itu tadi adalah sinar pedang di tangan Ouwyang Lam!
Siu Bi
kagum. Ia maklum bahwa pemuda ini juga merupakan lawan yang berat. Namun, mana
ia menjadi gentar karenanya? la tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua
lengannya untuk mengusir rasa pegal.
Berhari-hari
sudah dia dibelenggu dan hal ini membuat kedua lengannya terasa pegal. la
mengerahkan tenaga sinkang untuk mendorong peredaran darahnya, terutama di
bagian kedua lengan sehingga ia dapat mengusir semua rasa kaku dan dapat
bergerak lincah kembali. Setelah merasa dirinya sehat kembali, ia lalu
menghadapi Ouwyang Lam dan berkata,
"Nah,
aku telah siap. Siapa yang akan maju menghadapi aku? Ataukah barangkali kalian
hendak mengandalkan kegagahan dengan cara pengeroyokan?" Ucapan ini
merupakan tantangan yang mengandung ejekan.
Saking
marahnya muka Ang-hwa Nio-nio yang hitam sampai berubah menjadi semakin hitam.
Gadis ini benar-benar memandang rendah Ang-hwa-pai. Akan tetapi Ouwyang Lam
tersenyum dan melangkah maju. Pedangnya masih berada di tangan, akan tetapi dia
tidak segera menyerang, melainkan berkata halus,
"Nona,
aku sudah siap dengan pedangku. Harap kau suka mengeluarkan senjatamu."
Diam-diam
Siu Bi menghargai sikap pemuda tampan ini, setidaknya pemuda ini memiliki watak
yang gagah, tidak seperti nenek yang tak tahu malu menyerangnya ketika masih
terbelenggu kedua tangannya tadi. Akan tetapi pedang Cui-beng-kiam dia
tinggalkan di depan kaki Yo Wan.
”Aku
mengandalkan kedua kepalan tangan dan kakiku. Kalau pedangku Cui-beng-kiam
berada di sini, mana orang-orangmu mampu menghinaku?"
Rasa kagum
Ouwyang Lam makin besar dan dia yakin bahwa gadis ini tentulah seorang pendekar
wanita yang gagah. Dia segera menyimpan kembali pedangnya dan berkata,
"Kalau begitu, marilah kita main-main dengan tangan kosong. Majulah,
Nona."
Siu Bi tak
mau sungkan-sungkan lagi. Setelah sekarang ia ditantang dan tidak dikeroyok,
ini merupakan keuntungannya dan ia harus membela diri sekuat tenaga. Sambil
berseru panjang ia lalu menerjang maju. Akan tetapi betapa pun juga, ia ingat
akan budi pemuda ini.
Biar pun
merupakan seorang musuh, pemuda ini harus ia akui telah menolong nyawanya tadi
ketika ia hendak dibunuh dalam keadaan terbelenggu oleh nenek yang lihai itu.
Maka ia pun hanya ingin merobohkan pemuda ini saja, kalau mungkin tanpa
melukainya, apa lagi membunuhnya. Oleh karena inilah maka ia lalu memainkan
ilmu silat biasa yang ia pelajari dari ayahnya dan dari Hek Lojin. Gerakannya
sangat gesit, serangannya ganas dan dahsyat, juga tenaga dalamnya amat kuat.
"Bagus!"
Ouwyang Lam berseru ketika menyaksikan ketangkasan lawannya.
la juga
menggerakkan kaki tangannya, bersilat dengan gaya yang indah. Dalam sekejap
mata saja, keduanya sudah saling terjang, saling serang dengan hebat. Gerakan
mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata karena bayangan
itu sudah menjadi satu. Angin pukulan dan gerakan tubuh menyambar-nyambar ke
kanan kiri dan empat puluh jurus lewat dengan amat cepatnya.
Diam-diam
Ang-hwa Nio-nio mendongkol melihat murid dan kekasihnya itu tidak segera
menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Hui-seng Kun-hoat, yaitu Ilmu Silat Bintang
Terbang yang merupakan ilmu silat tertinggi yang dimilikinya.
Sementara
itu, diam-diam Siu Bi mengeluh. Kiranya pemuda ini benar-benar lihai sekali
sehingga jangankan bicara tentang merobohkan tanpa melukai, mengalahkan pemuda
ini saja masih merupakan hal yang belum tentu kecuali kalau ia mainkan
Hek-in-kang. Akan tetapi kalau dia keluarkan ilmu ini, tak mungkin lagi
mengalahkan tanpa membahayakan jiwa lawannya.
"Kenapa
tidak keluarkan Hui-seng (Bintang Terbang)?" tiba-tiba saja nenek itu
berseru menegur murid dan kekasihnya.
Melihat
Ouwyang Lam sampai puluhan jurus belum juga mampu mengalahkan lawan, Ang-hwa
Nio-nio menjadi marah dan penasaran. Hal ini akan membikin malu dirinya,
merendahkan nama Ang-hwa Nio-nio sekaligus Ang-hwa-pai! Memang hal ini amat
luar biasa bagi para anggota Ang-hwa-pai.
Biasanya,
Ouwyang Kongcu adalah orang yang amat lihai, hanya kalah oleh Ang-hwa Nio-nio
dan begitu ia turun tangan semua tentu beres. Belum pernah para anggota ini
melihat ada lawan yang mampu melawan Ouwyang Kongcu lebih dari sepuluh jurus.
Namun sekarang, dara remaja yang menjadi tawanan dua orang pembantu itu
ternyata dapat menahan terjangan Ouwyang Kongcu sampai begitu lama tanpa
terlihat terdesak! Tentu saja hal ini tidak mengherankan bagi Ouwyang Kongcu
dan bagi Ang-hwa Nio-nio karena kedua orang ini cukup maklum bahwa dua orang
pembantu mereka sama sekali bukanlah lawan gadis ini. Mereka dapat menawannya
tentu karena hasil dari Ang-tok-san yaitu bubuk racun merah yang dapat membius
lawan.
Mendengar
seruan Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam menjadi ragu-ragu. Betapa pun juga, dia
belum kalah dan biar pun dia tidak dapat mendesak gadis itu, namun sebaliknya
dia pun tidak terdesak. Mereka sama kuat dan hal ini membuat hatinya gembira
dan kagum bukan main. Selama hidup belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis
yang begini hebat.
Tadinya dia
sama sekali tidak mengira bahwa Siu Bi akan begini kosen sehingga dapat
mengimbangi permainan silatnya. Tentu saja hal ini membuat rasa sayangnya
terhadap Siu Bi makin menebal. la tidak tega untuk mempergunakan ilmu silat
yang lebih dahsyat, khawatir kalau-kalau melukai Siu Bi dan membikin gadis itu
menjadi sakit hati. la hendak membaiki gadis ini, hendak memikat hatinya karena
dia betul-betul jatuh hati yang baru pertama kali ini dia alami.
Akan tetapi,
di pihak Siu Bi, seruan itu merupakan tanda bahaya. Jika lawannya memiliki
‘simpanan’ yang belum dikeluarkan, ini berbahaya. la tidak mau didahului, maka
tiba-tiba Siu Bi mengeluarkan seruan nyaring laksana pekik burung elang dan
kedua lengannya bergerak aneh, diputar-putar secara luar biasa.
Segera
tampak sinar menghitam menyambar-nyambar. Dari dua lengan itu tampak uap hitam
dan Ouwyang Lam merasakan sambaran hawa pukulan yang amat dahsyat. Ketika dia
menangkis, lengannya terasa panas sekali dan nyeri sampai menembus ke ulu hati.
Kagetlah dia dan sambil terhuyung-huyung dia mundur ke belakang dengan muka
pucat.
Akan tetapi
karena maklum bahwa lawannya ini betul-betul hebat, mempunyai simpanan ilmu
dahsyat yang baru sekarang ini dikeluarkan, segera Ouwyang Kongcu mengerahkan
tenaga mengusir rasa nyeri, berbareng dia membentak keras dan tubuhnya mumbul
ke atas, lalu menukik ke bawah melakukan penyerangan balasan. Inilah sebuah
jurus dari Ilmu Silat Hui-seng Kun-hoat, ilmu silat Bintang Terbang yang di
samping gerak-geriknya hebat sekali, juga mengandung hawa pukulan beracun,
racun ang-tok (racun merah)!
Pada waktu Siu
Bi menangkis dengan tenaga Hek-in-kang, keduanya terhuyung mundur dengan muka
berubah. Tahulah mereka bahwa masing-masing kini sudah mengeluarkan kepandaian
dan tenaga simpanan. Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang mengandung racun hitam kini
bertemu tanding dengan hawa pukulan racun merah.
Akan tetapi
keduanya menyesal bukan main karena apa bila dilanjutkan, mereka berdua
terpaksa akan mempergunakan dua macam ilmu dahsyat ini dan akibatnya, yang
kalah tentu akan celaka, apa bila tidak tewas paling sedikit tentu akan terluka
parah di sebelah dalam tubuh!
"Tahan
dulu...!" Tiba-tiba Ang-hwa Nio-nio berseru.
Tubuhnya
segera melayang menengahi kedua orang muda yang sedang bertanding itu. Karena
nenek ini menggunakan kedua tangan mendorong, dua orang muda itu terpaksa
meloncat ke belakang.
"Kau
mau mengeroyok?" Siu Bi mendahului membentak.
Bentakan
yang merupakan gertak belaka karena sesungguhnya di dalam hati ia merasa
khawatir kalau-kalau nenek ini benar-benar mengeroyoknya. Kalau benar demikian,
biar pun ia tidak akan mundur, akan tetapi boleh dipastikan bahwa ia akan kalah
dan roboh.
Dalam
pertemuan tenaga dengan pemuda itu tadi saja sudah dapat ia bayangkan bahwa
tidak akan mudah baginya mengalahkan Ouwyang Lam. Apa lagi kalau nenek ini yang
agaknya malah lebih lihai lagi dari pada si pemuda, turun tangan mengeroyoknya.
Akan tetapi
Ang-hwa Nio-nio tidak bergerak menyerang. Wajahnya kereng dan suaranya
berwibawa, "Bocah, kau jangan sombong terhadap Ang-hwa Nio-nio! Kau tadi
mainkan Hek-in-kang, orang tua Hek Lojin masih terhitung apamukah?"
Siu Bi
kaget. Baru kali ini semenjak ia turun gunung, ada orang yang mampu mengenal
Hek-in-kang. Banyak orang lihai dia temui, termasuk Jenderal Bun, isterinya,
puteranya dan Si Jaka Lola. Akan tetapi mereka semua tidak mengenal ilmunya.
Bagaimana nenek genit ini dapat mengenal Hek-in-kang? Malah tahu pula bahwa
Hek-in-kang adalah ilmu mendiang kakeknya, Hek Lojin yang dikenalnya pula?
Setelah
nenek ini mengetahui semuanya, agaknya tidak perlu lagi berbohong, malah dia hendak
menyombongkan kakeknya yang dia tahu amat lihai dan sangat terkenal di dunia
kang-ouw.
"Hek
Lojin adalah kakekku. Mau apa kau tanya-tanya?" jawab Siu Bi dengan nada
suara sombong dan tidak mau kalah.
”Kakekmu?!"
Keriput-keriput pada wajah nenek itu semakin mendalam. ”Bagaimana bisa jadi?
Maksudmu kakek guru? Kau mengenal The Sun?"
Berdebar
jantung Siu Bi. Terang bahwa nenek ini bukanlah orang asing bagi ayah dan
kakeknya. Biar pun di dalam hati ia tidak mau lagi mengakui The Sun sebagai
ayahnya karena ia pun maklum sekarang bahwa The Sun memang bukan ayahnya, akan
tetapi agaknya nama The Sun dan Hek Lojin akan dapat menolongnya pada saat itu.
Meski pun
Siu Bi seorang yang amat tabah dan tidak takut mati, namun ia bukan gadis
bodoh. la sangat cerdik dan ia maklum bahwa saat ini ia berada di sarang
harimau. la berada di pulau orang, musuh-musuhnya lihai dan berjumlah banyak.
Nekat memusuhi mereka berarti mati. Maka ia lalu menekan perasaannya dan
menjawab,
"Dia
adalah ayahku." Segan hatinya menyebut nama The Sun, maka ia hanya
menyebut ‘dia’ saja.
Tiba-tiba
terjadi perubahan hebat pada muka nenek itu. Sejenak dia memandang Siu Bi
dengan mata terbelalak, mulut ternganga, lalu perlahan-lahan kedua mata itu menitikkan
air mata dan ia kemudian lari merangkul Siu Bi sambil menangis! Tentu saja Siu
Bi jadi tercengang keheranan.
"Aihhh,
siapa kira... kita adalah orang-orang sendiri, anakku...!"
Meremang
bulu tengkuk Siu Bi dan tiba-tiba saja perutnya menjadi mulas mendengar ini
karena timbul dugaan yang mengerikan dalam hatinya. Jangan jangan... jangan
jangan... dia tidak saja bukan anaknya The Sun, akan tetapi juga bukan anak
ibunya dan... dan... perempuan mengerikan ini adalah ibu kandungnya!
Dengan muka
pucat diam-diam dia berdoa semoga dugaan ini tidak benar adanya. Akan tetapi
hatinya demikian risau, membuat tenggorokannya serasa tercekik sehingga ia
tidak mampu bertanya apa yang dimaksudkan oleh nenek ini dengan kata-kata
‘orang-orang sendiri’ tadi.
Adalah Ouwyang
Lam yang juga amat terheran-heran itu yang mengajukan pertanyaan,
"Nio-nio, apakah artinya ini? Siapakah Nona ini?"
Ang-hwa
Nio-nio tersenyum dibalik air matanya, melepaskan pelukan dan menggandeng
tangan Siu Bi.
"Mari
kita pulang, mari... kita adalah orang sendiri. Mari dengarkan semua
keteranganku di rumah... ahhh, untung tadi kau keluarkan Hek-in-kang itu,
anakku..."
Mual rasa
perut Siu Bi mendengar nenek ini menyebutnya ‘anakku’. Akan tetapi karena bekas
lawan bersikap begini ramah, tak mungkin ia mempertahankan sikap bermusuhan
lagi. Betapa pun juga, ia masih ragu-ragu. Siapa tahu ada apa-apanya di balik
sikap aneh ini. Siapa tahu ada kutang di balik baju… ehh, udang di balik batu!
"Sungguh
aneh sekali sikapmu, Paicu. Kalau memang benar aku ini orang sendiri, masa
orang-orangmu memperlakukan aku sedemikian rupa? Ini penghinaan besar yang
tiada taranya, menjadikan aku tawanan berhari-hari dan membelenggu kaki
tangan.”
"Ohhh,
mereka tidak tahu...."
"Kalau
pun tidak tahu, bila sudah melakukan penghinaan kepada orang sendiri, apa yang
akan kau lakukan kepada mereka?"
Ang-hwa
Nio-nio segera sadar dan mengedikkan kepalanya, memutar tubuh memandang ke sana
ke mari mencari-cari. Akhirnya dia dapat menemukan mereka dengan pandang
matanya, si rambut putih dan si brewok. Seakan-akan dari pandang matanya itu
keluar perintah, karena tanpa kata-kata lagi kedua orang ini sudah maju dan
menjatuhkan diri berlutut!
"Kami...
kami betul-betul tidak tahu...," kata si rambut putih, suaranya sudah
gemetar tak karuan.
"Kalian
menghina puteri sahabat baikku The Sun, kalian sudah menjadikan cucu murid
orang tua Hek Lojin sebagai tawanan? Ahh, kalau di Ang-hwa-pai masih ada
orang-orang macam kalian, perkumpulan kita takkan dapat lama berdiri
tegak."
Tiba-tiba,
tanpa peringatan lagi, kedua tangan Ang-hwa Nio-nio bergerak. Terdengar jerit
dua kali dan tubuh dua orang pembantu itu lantas terjengkang ke belakang, mata
mereka mendelik, muka mereka berubah merah laksana darah dan nafas mereka sudah
putus! Kedua orang itu sudah terkena pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga
beracun ang-tok sepenuhnya!
Ang-hwa
Nio-nio tersenyum ketika menoleh kepada Siu Bi. "Nah, itulah hukuman
mereka yang berani menghinamu, anakku. Mari, mari... marilah ikut bibi Kui Ciauw,
sahabat baik ayahmu..."
Siu Bi
merasa begitu lega, seolah-olah batu sebesar gunung yang tadi menindih hatinya
diangkat orang ketika mendengar ucapan terakhir itu. Kiranya nenek ini yang
bernama Kui Ciauw, berjuluk Ang-hwa Nio-nio, adalah sahabat baik ‘ayahnya’,
jadi bukanlah ibu kandung seperti yang ia khawatirkan. Oleh karena hati yang
lega dan puas ini, dia tidak membantah lagi ketika digandeng pergi, malah ia
tersenyum kepada ‘bibi Kui Ciauw’ dan membalas senyum Ouwyang Lam yang berjalan
di sebelahnya!
Sikap Kui
Ciauw atau Ang-hwa Nio-nio terhadap Siu Bi itu sebetulnya bukan dibuat-buat,
juga tidaklah aneh. Belasan tahun yang silam wanita ini bersama dua orang
saudaranya disebut Ang-hwa Sam-cimoi (Tiga Kakak Beradik Bunga Merah). Mereka
bertiga bekerja sama dengan The Sun dan Hek Lojin, melakukan perang terhadap
Pendekar Buta dan kawan-kawannya.
Kemudian
mereka semua ini dikalahkan oleh Pendekar Buta, malah dua orang adiknya tewas,
The Sun terluka hebat dan Hek Lojin buntung sebelah lengannya. Oleh karena
itulah, maka begitu mendengar bahwa gadis ini adalah puteri The Sun dan cucu
murid Hek Lojin, sikap Ang-hwa Nio-nio seketika berubah. la menganggap Siu Bi
sebagai orang segolongan yang menaruh dendam kepada Pendekar Buta.
Dia tadi
sudah menyaksikan betapa kepandaian Hek Lojin telah diwariskan kepada gadis
ini, maka sebagai orang segolongan, tentu saja dia menganggap gadis ini amat
penting untuk bersama-sama menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Buta.
Tentu saja mendapatkan tenaga bantuan seperti gadis ini jauh lebih berharga
dari pada orang-orang seperti si rambut putih dan si brewok, maka sebagai
pengganti mereka, ia rela menerima Siu Bi dan menewaskan dua orang pembantu itu
untuk menyenangkan hati Siu Bi.
Siu Bi kagum
bukan main ketika melihat bangunan-bangunan indah di atas pulau dan memasuki
gedung besar tempat tinggal Ang-hwa Nio-nio serta Ouwyang Lam. Perabot rumah
serba indah dan mahal, gambar-gambar indah, tulisan-tulisan dengan sajak-sajak
kuno menghias dinding, membuat gedung itu kelihatan seperti sebuah istana.
Setelah
mereka bertiga duduk di ruang tengah dan para pelayan cantik menghidangkan
minuman, Ang-hwa Nio-nio mulai bercerita, "Anak baik, ketahuilah, aku
adalah Ang-hwa Nio-nio atau ketua dari Ang-hwa-pai, namun kau boleh menyebutku
bibi Kui Ciauw saja, karena aku adalah sahabat baik dan teman seperjuangan
dengan ayahmu. Dia ini adalah muridku, Ouwyang Kongcu atau Ouwyang Lam, muridku
yang tersayang, dan karenanya dia ini masih terhitung saudara segolongan
denganmu. Anak baik, siapa namamu tadi?
"Namaku
Siu Bi."
"The
Siu Bi, hemmm, bagus sekali. Tak kunyana bahwa The Sun bisa memiliki seorang
anak secantik engkau. Dan ilmu kepandaianmu juga hebat, agaknya bahkan lebih
hebat dari pada ayahmu sendiri. Siu Bi, apakah ayah dan kakekmu sama sekali
tidak pernah bercerita tentang aku?"
Dengan jujur
Siu Bi menggeleng kepalanya, dan Ang-hwa Nio-nio mengerutkan alisnya. "Ah,
bagaimana mereka bisa begitu cepat melupakan aku? Tidak ingat akan perjuangan
bersama dan penderitaan senasib? Siu Bi, anakku yang baik, apakah mereka juga
tidak pernah bicara tentang Pendekar Buta?"
Mendengar
disebutnya musuh besarnya ini, bangkitlah semangat Siu Bi. "Aku memang
sengaja turun gunung untuk mencari Pendekar Buta. Aku hendak membalaskan dendam
mendiang kakek dan membuntungi lengan tangan Pendekar Buta sekeluarga."
Berubah
wajah Ang-hwa Nio-nio. "Tadi kau bilang... mendiang kakek? Apakah Hek
Lojin si orang tua sudah meninggal?"
Siu Bi
mengangguk dan wanita itu meramkan sepasang matanya. "Ahh, sungguh sayang
sekali. Akan tetapi, sekarang ada kau penggantinya, anakku. Biarlah, mari
sama-sama kita menggempur Pendekar Buta, kita hancurkan kepalanya, kita cabut
keluar jantungnya untuk kita pakai sembahyang kepada roh-roh yang
penasaran!"
Siu Bi boleh
jadi seorang gadis yang luar biasa tabah, akan tetapi mendengar ancaman
menyeramkan ini dia bergidik juga. "Bibi, aku sudah bersumpah hendak
mencarinya dan dengan tanganku sendiri aku akan membuntungi lengannya, juga
lengan isterinya serta anak-anaknya."
"Aku
akan membantumu..."
"Aku
tidak perlu bantuan, Bibi. Aku sendiri cukup untuk menghadapinya."
"Dia
lihai sekali."
"Tidak
peduli. Aku tidak takut!"
Ang-hwa
Nio-nio membelalakkan kedua matanya. Dia tak berdaya menghadapi gadis ini yang
begini sukar untuk diajak berunding. Dia mulai tidak sabar dan hal ini dapat
dilihat oleh Ouwyang Lam yang segera berkata sambil tersenyum.
”Tentu saja
adik Siu Bi tidak takut. Masa terhadap seorang musuh yang kedua matanya buta
saja takut? Kalau takut kan bukan orang gagah namanya! Akan tetapi kami yang
lemah memerlukan bantuan dan kami mohon bantuan adik Siu Bi yang gagah perkasa
untuk bersama-sama menghadapi Pendekar Buta. Kita memiliki kepentingan bersama
dan kita sama-sama bersakit hati terhadap dia."
Enak
didengar ucapan Ouwyang Lam ini dan seketika hati Siu Bi pun dapat dikalahkan.
Gadis ini menjadi tidak enak sendiri mendengar dia diangkat-angkat dan mereka
berdua yang ia tahu tidak kalah lihai itu merendahkan diri. Untuk menghilangkan
rasa tidak enak ini ia bertanya. "Mengapakah kalian juga bermusuh dengan
Pendekar Buta? Kalau kakek sudah terang dibuntungi lengannya."
Ang-hwa
Nio-nio girang melihat hasil bujukan dan kata-kata halus muridnya, maka kini ia
yang memberi penjelasan.
"Siu
Bi, agaknya kakek dan ayahmu tidak memberi penuturan yang lengkap kepadamu.
Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu, sebelum kau dilahirkan, ayahmu
merupakan musuh besar Pendekar Buta, dan karena ayahmu tidak sanggup menangkan
musuhnya, maka kakekmu Hek Lojin datang membantu. Tetapi ternyata kakekmu juga
kalah, malah lengannya dibuntungi. Ada pun aku sendiri, bersama dua orang adik
perempuanku, juga memusuhi Pendekar Buta untuk membalas dendam suci (kakak
seperguruan) kami, akan tetapi dalam pertempuran itu, dua orang adikku tewas,
hanya aku seorang yang berhasil menyelamatkan diri. Karena itulah, aku kemudian
bersumpah untuk membalas dendam atas kematian saudara-saudaraku dan juga atas
kekalahan para kawan segolonganku, termasuk ayah dan kakekmu. Dengan demikian,
bukankah kita ini orang sendiri dan satu golongan?"
Siu Bi
diam-diam terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa Pendekar Buta sedemikian
lihainya sehingga dikeroyok begitu banyak orang sakti masih dapat menang! Dia
semakin ragu-ragu, apakah dia akan dapat menangkap musuh besar itu? Dan
mulailah ia melihat kenyataan akan pentingnya bekerja sama dengan orang-orang
pandai seperti Ang-hwa Nio-nio dan muridnya yang tampan ini. Apa lagi dengan
adanya Ang-hwa Nio-nio akan lebih mudah baginya untuk bisa mengenal kelemahan-kelemahan
lawan karena Ang-hwa Nio-nio pernah bertempur menghadapi Pendekar Buta.
"Kau
betul, Bibi. Maafkan keraguanku tadi. Kalau begitu, marilah kita berangkat
bersama ke Liong-thouw-san mencari musuh besar kita."
Ang-hwa
Nio-nio tertawa. "Hi-hi-hik, kau benar-benar seorang gadis yang keras hati
dan penuh semangat Siu Bi. Tak mudah menyerbu ke Liong-thouw-san. Kita harus
lebih dulu menghubungi teman-teman segolongan. Banyak yang akan suka ikut
menyerbu ke sana untuk menyelesaikan perhitungan lama. Di antaranya ada pamanku
Ang Moko yang telah menyanggupi. Di samping itu, kau harus membantu kami lebih
dahulu, karena pada saat ini kami sedang menunggu kedatangan musuh-musuh kami
yang datang dari Kun-lun. Sebagai orang segolongan, tentu kau tidak suka melihat
kami dihina orang dan tentu kau mau membantu kami, bukan?"
"Tentu
saja, Bibi. Akan tetapi tidak enaklah membantu sesuatu tanpa mengetahui pokok
persoalannya. Mengapa kau bermusuhan dengan orang-orang Kun-lun itu? Aku pernah
mendengar dari kakek bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan yang
besar."
Ang-hwa
Nio-nio menarik nafas panjang dan mengangguk-angguk, "Sebetulnya, dengan
Kun-lun-pai langsung kami tak mempunyai urusan. Yang menjadi biang keladinya
adalah Bun-goanswe sehingga menyeret Kun-lun-pai berhadapan dengan kami."
"Jenderal
Bun di Tai-goan?" tanya Siu Bi, kaget.
Tercenganglah
Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam mendengar ini. "Kau kenal dia?"
"Tidak
kenal, tapi aku tahu. Pernah aku dijadikan tahanan di sana karena aku membantu
para petani yang ditindas."
"Dia
memang sombong!" kata Ouwyang Lam. "Puteranya juga sombong sekali.
Dumeh (mentang-mentang) jenderal itu putera dari ketua Kun-lun-pai dan sahabat
baik Pendekar Buta, sama sekali tidak memandang mata kepada orang-orang seperti
kita!"
Mendengar
bahwa Jenderal Bun itu adalah sahabat baik musuh besarnya, tentu saja Siu Bi
menjadi makin tak senang kepada keluarga Bun.
"Apakah
yang terjadi?" tanyanya.
"Ketahuilah,
adik Siu Bi. Kami dari Ang-hwa-pai selalu melakukan hubungan baik dengan para
pembesar, malah kami tak pernah berlaku pelit. Semua pembesar dari yang rendah
sampai yang tertinggi di wilayah ini, apa bila mengalami kesukaran, tentu minta
bantuan kami dan tidak pernah kami menolak mereka. Akan tetapi, Jenderal Bun
dan puteranya itu malah menghina kami, dan ada empat orang anak buah Ang-hwa-pai
mereka tangkap dan mereka jatuhi hukuman. Tiga orang anak buah kami yang
melawan mereka bunuh. Coba kau pikir, bukankah mereka itu sudah bertindak
sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kepandaian?"
"Hemmm,
lalu apa yang terjadi?"
"Agaknya
urusan ini terdengar oleh ketua Kun-lun-pai yang menjadi ayah dari Jenderal
Bun. Kun-lun-pai mengirim utusan memberi teguran kepada partai kami, dinyatakan
oleh partai Kun-lun bahwa sesudah negara menjadi aman, tidak semestinya kami
mengacau. Tentu saja aku tidak sanggup menahan kemarahan mendengar pernyataan
yang amat memandang rendah ini, kumaki utusan itu dan terjadi pertandingan yang
mengakibatkan utusan Kun-lun-pai itu tewas. Karena itu, dalam beberapa hari ini
kurasa akan datang pula utusan Kun-lun-pai ke sini. Apa bila terjadi keributan
dengan pihak Kun-lun-pai yang sombong, kuharap saja kau suka membantu kami,
adik Siu Bi."
Siu Bi
kembali mengangguk-angguk. Dia sendiri memang tidak suka kepada Jenderal Bun,
apa lagi karena jenderal itu adalah sahabat musuh besarnya. Dengan Kun-lun-pai
ia tak mempunyai hubungan apa-apa, sedangkan orang-orang Ching-coa-to ini
merupakan orang segolongan dengannya, sama-sama musuh besar Pendekar Buta.
"Baiklah,
tentu aku akan membantu. Setelah melihat lurah Bhong yang jahat itu dan sikap
Jenderal Bun, aku pun tidak suka kepada para pembesar itu. Kalau mereka
keterlaluan harus kita lawan."
Hidangan
yang mewah dikeluarkan oleh para pelayan cantik dan tiga orang ini berpesta
pora. Diam-diam Siu Bi merasa girang juga karena nenek dan pemuda itu
benar-benar sangat ramah kepadanya, bahkan pesta itu diadakan untuk
menghormatinya! la merasa beruntung bisa bertemu dengan Ang-hwa Nio-nio dan
Ouwyang Lam, sebab jelas bahwa pertemuan ini akan mendekatkan ia pada hasil
gemilang tujuan perjalanannya.
Juga di
samping ini, ia tertarik dan suka kepada Ouwyang Lam yang tampan, gagah perkasa
dan sangat manis budi terhadapnya. Tidak mengecewakan mempunyai seorang sahabat
seperti dia, pikirnya.
Baru saja
mereka selesai makan dan minum, seorang penjaga berlari masuk, memberi laporan
bahwa ada dua orang tosu sedang menyeberangi telaga dan datang berkunjung ke
pulau.
"Mereka
mengaku datang dari Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Paicu," penjaga
itu mengakhiri laporannya.
Ouwyang Lam
meloncat berdiri. "Biarkan aku saja yang pergi menemui mereka,"
katanya kepada Ang-hwa Nio-nio, kemudian menoleh kepada Siu Bi. "Adik Siu
Bi, adakah hasrat main-main dengan orang-orang Kun-lun-pai?"
Dasar Siu Bi
berwatak nakal dan pemberani. Mendengar bahwa dua orang Kun-lun-pai datang ke
pulau ini, tentu dengan maksud mencari perkara, dia menjadi ingin tahu dan
gembira sekali kalau dia dipercaya mewakili tuan rumah. Dia menoleh ke arah
Ang-hwa Nio-nio yang tersenyum kepadanya dan berkata,
"Pergilah,
Siu Bi, dan bergembiralah bersama kakakmu Ouwyang Lam."
Pemuda itu
sudah meloncat ke luar, diikuti Siu Bi dan dua orang muda ini berlari-lari
menuju ke pantai. Benar saja seperti yang dilaporkan oleh penjaga tadi, di
pantai berdiri dua orang tosu setengah tua yang sikapnya kereng dan angker.
Perahu mereka yang kecil telah berada di darat dan tak jauh dari tempat itu
tampak orang-orang Ang-hwa-pai berjaga-jaga sambil memasang mata penuh
perhatian.
Semenjak
terjadi peristiwa ada utusan Kun-lun-pai tewas di situ, mereka telah menerima
perintah dari ketua mereka supaya jangan bertindak sembrono apa bila bertemu
dengan orang-orang Kun-lun-pai, akan tetapi langsung melaporkan pada ketua.
Inilah sebabnya mengapa para anggota Ang-hwa-pai tidak mengganggu dua orang
tosu itu.
Saat melihat
munculnya dua orang muda-mudi yang tampan dan cantik jelita, dua orang tosu itu
menjadi tercengang dan saling pandang. Apa lagi ketika melihat dua orang muda
itu langsung menghampiri mereka kemudian menatap mereka sambil tersenyum-senyum
mengejek.
Ouwyang Lam
segera bertanya, "Apakah Ji-wi (Kalian) tosu dari Kun-lun-pai?"
Tosu yang
bertahi lalat besar di bawah mulutnya menjawab, "Betul, orang muda. Pinto
(Aku) adalah Kung Thi Tosu dan ini sute Kung Lo Tosu. Kami berdua mentaati
perintah ketua kami mengantar seorang suheng (kakak seperguruan) kami
menyampaikan pesan ketua kami kepada Ang-hwa-pai. Oleh karena itu, harap kau
orang muda suka memberi tahu kepada Ang-hwa-pai bahwa kami datang
berkunjung."
Ouwyang Lam
tertawa. "Totiang berdua tak perlu sungkan-sungkan. Kalau ada perkara,
beri tahukan saja kepadaku. Aku Ouwyang Lam mewakili ketua kami dan segala
urusan cukup kalian bicarakan dengan aku."
"Hemmm,
begitukah?" Kung Thi Tosu berkata sambil menatap tajam wajah Ouwyang Lam.
"Sudah lama pinto mendengar nama Ouwyang Kongcu. Kedatangan kami ini tidak
lain akan menanyakan tentang suheng kami yang beberapa hari yang lalu datang ke
sini. Di manakah suheng kami itu?"
Wajah yang
tampan itu menjadi muram. "Totiang, apa kau kira aku ini seorang gembala
keledai maka kau tanya-tanya kepadaku mengenai keledai yang hilang? Sudahlah,
lebih baik kalian pergi, cari di tempat lain. Pulau kami bukan tempat bagi para
tosu."
Meski pun
terdengar lemas akan tetapi jawaban ini sangat menghina dan menyakitkan hati
karena menyamakan suheng mereka dengan keledai! Kung Lo Tosu yang bermuka
kuning menjadi semakin pucat mukanya ketika dia melangkah maju dan berkata
dengan suara keras.
"Orang
muda she Ouwyang bermulut lancang! Kami dari Kun-lun-pai tidak biasa menelan
hinaan-hinaan tanpa sebab. Ketua kami mendengar tentang sepak terjang
Ang-hwa-pai yang mengacau ketenteraman, kemudian ketua kami mengutus suheng dan
kami berdua untuk datang mengunjungi kalian guna memberi peringatan secara
halus, mengingat kita sama-sama partai persilatan. Akan tetapi suheng yang
sangat hati-hati dan tidak ingin kalian salah paham, menyuruh kami menanti di
seberang dan suheng seorang diri yang datang ke sini empat hari yang lalu.
Suheng tidak kelihatan kembali, maka kami datang menyusul. Kiranya
datang-datang kami hanya kau sambut dengan ucapan menghina. Orang muda, lekas
katakan di mana adanya Kun Be Suheng”.
Berubah
wajah Ouwyang Lam, agak merah karena dia menahan kemarahannya.
”Aku tidak
tahu yang mana itu suheng-mu, akan tetapi beberapa hari yang lalu memang ada
seseorang kurang ajar yang mengacau di sini. Karena dia tidak mau disuruh
pergi, terpaksa aku turun tangan dan dia sudah tewas.”
”Keparat!
Jadi kau... kau membunuh suheng...?" Kun Thi Tosu kini pun menjadi marah
sekali. "Kalau begitu Ang-hwa-pai memang benar-benar jahat sekali,
membunuh seorang utusan..."
Ouwyang Lam
tertawa mengejek. "Tosu bau, dengarlah baik-baik. Kalau terjadi sesuatu
pertengkaran atau pun pertempuran, jelas bahwa yang salah adalah orang yang
datang menyerbu. Aku membela tempatku sendiri yang hendak dikacau orang lain,
mana bisa dianggap jahat? Adalah kalian ini yang bukan orang sini,
datang-datang mengeluarkan omongan besar, kalianlah yang jahat!"
"Ang-hwa-pai
partai gurem yang baru muncul berani memandang rendah Kun-lun-pai! Benar-benar
keterlaluan. Bocah sombong, kau harus mengganti nyawa suheng!”
Ouwyang Lam
menoleh ke arah Siu Bi. "Kau lihatlah, betapa menjemukan. Apa kau mau
membantuku melempar mereka ke dalam telaga?"
Siu Bi sudah
biasa dengan watak aneh kasar dan liar. Watak kakeknya, Hek Lojin, jauh lebih
kasar, liar dan aneh lagi. Semenjak tadi dia pun sudah jemu menyaksikan tingkah
orang-orang Kun-lun-pai ini dan dalam pertimbangannya, Ouwyang Lam berada di
pihak benar.
Orang
dihargai karena sikapnya, karena kebenarannya, dan sama sekali bukan karena
kedudukannya, atau karena partainya yang besar. Dalam urusan ini Kun-lun-pai
terlalu memandang rendah terhadap Ang-hwa-pai, tidak semestinya mencampuri
urusan partai orang lain, apa lagi menegur. Orang-orang Kun-lun-pai mencari
penyakit sendiri dengan sikap tinggi hati dan takabur.
"Mari...!"
kata Siu Bi, juga dengan senyum mengejek.
Dua orang
tosu itu sudah marah sekali mendengar betapa suheng mereka yang datang di pulau
ini sebagai utusan, telah ditewaskan. Serentak mereka menerjang maju, dengan
maksud untuk menangkap pemuda sombong ini untuk ditawan dan dipaksa ikut mereka
ke Kun-lun, dihadapkan kepada ketua mereka agar diadili.
Akan tetapi
mereka keliru apa bila mengira bahwa mereka akan dapat merobohkan dan menangkap
Ouwyang Lam dengan mudah. Begitu pemuda itu menggerakkan kaki dan tangan, dia
telah menyambut terjangan kedua orang ini dengan pukulan dan tendangan yang
dahsyat, memaksa dua orang tosu itu mengelak sambil menyusul dengan serangan
dari samping.
Akan tetapi,
pada saat itu pula Siu Bi sudah membentak nyaring dan menerjang Kung Lo Tosu
sehingga terpaksa tosu ini bertanding melawan Siu Bi. Hal ini tidak mengecilkan
hati kedua orang tosu Kun-lun-pai. Siu Bi hanya seorang gadis remaja, juga
Ouwyang Lam yang mereka pernah dengar sebagai Ouwyang Kongcu yang terkenal
kiranya hanya seorang pemuda biasa saja. Dengan cepat mereka memainkan kaki dan
tangan sambil mengeluarkan Ilmu Silat Kun-lun-pai.
Mereka
adalah tosu-tosu tingkat ke empat di Kun-lun-pai, ilmu kepandaian mereka
tinggi. Meski pun mereka percaya bahwa suheng mereka tewas, akan tetapi mereka
mengira bahwa tewasnya sang suheng itu adalah karena pengeroyokan, sama sekali
tidak pernah menyangka bahwa tewasnya Kung Be Tosu adalah karena bertanding
satu lawan satu dengan pemuda ini!
Setelah
bergebrak beberapa jurus, barulah kedua orang tosu itu kaget dan mendapatkan
kenyataan bahwa kedua orang lawannya ternyata lihai bukan main. Jangankan
hendak menangkap, menyerang saja mereka tidak mampu lagi, hanya dapat
mempertahankan diri, menangkis dan mengelak ke sana ke mari karena kedua orang
muda itu mendesak mereka dengan pukulan-pukulan yang cepat dan luar biasa.
Kung Lo Tosu
menjadi kabur matanya melihat sinar hitam bergulung-gulung dari kedua lengan
lawannya, dan pukulan-pukulan gadis remaja ini mengandung hawa yang panas bukan
main. Ada pun Kung Thi Tosu juga bingung menghadapi sinar merah dari pukulan
Ouwyang Lam, kepalanya pening mencium bau harum yang aneh.
"Adik
Siu Bi, kalau kita bunuh mereka, mereka tidak akan dapat mengingat-ingat akan
kelihaian kita. Hayo berlomba lempar mereka ke telaga!" Ouwyang Lam
berkata sambil tertawa.
Siu Bi
memang tidak mempunyai maksud untuk membunuh lawannya karena ia sendiri tidak
mempunyai permusuhan apa-apa dengan tosu Kun-lun-pai. Mendengar ajakan ini, ia
berseru keras dan tahu-tahu ia telah berhasil mencengkeram pundak lawannya dan
dengan hentakan cepat ia melemparkan tubuh Kung Lo Tosu ke air telaga di
depannya.
Tepat pada
saat itu juga, Ouwyang Lam berhasil pula melemparkan lawannya sehingga tubuh
dua orang tosu Kun-lun-pai ini melayang dan terbanting ke dalam air yang
muncrat tinggi-tinggi. Mereka gelagapan, tenggelam dan beberapa saat kemudian
timbul kembali megap-megap, berusaha berenang akan tetapi tak berani ke pinggir
karena para anggota Ang-hwa-pai sudah berdiri di situ sambil tertawa bergelak.
"Mereka
sudah diberi hajaran, biarkan mereka pergi," kata Siu Bi, kakinya bergerak
dan... perahu kecil itu sudah ditendangnya sampai terbang melayang ke air,
dekat kedua orang tosu yang gelagapan itu.
Cepat mereka
berenang mendekati dan meraih perahu, terus mendayung perahu dengan kedua
tangan mereka di kanan kiri perahu. Perahu bergerak perlahan ke tengah telaga,
diikuti sorak-sorai dan ejekan para anggota Ang-hwa-pai.
Dapat
dibayangkan alangkah malunya Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu. Mereka terus
berusaha sedapat mungkin menggerakkan perahu tanpa dayung, menjauhi pulau
dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Setelah perahu mereka bergerak
sampai tengah telaga, jauh dari pulau itu, barulah mereka menyumpah-nyumpah dan
mengancam akan melaporkan hal ini kepada ketua mereka.
"Pemuda
jahanam, gadis liar!" Kung Thi Tosu memaki gemas. "Awas kalian
orang-orang Ang-hwa-pai, Kun-lun-pai tidak akan mendiamkan saja penghinaan
ini!"
"Sudahlah,
Suheng. Mari kita gerakkan perahu mendarat dan cepat-cepat kita kembali ke
Kun-lun untuk melapor kepada sucouw (kakek guru)." Kung Lo Tosu menghibur.
Mereka terus
mendayung perahu menggunakan kedua lengan. Karena mereka memiliki kepandaian
tinggi dan tenaga mereka besar, walau pun perahu hanya didayung dengan tangan,
perahu dapat meluncur cepat menuju ke darat.
Tiba-tiba
saja dari sebelah kanan terlihat meluncur sebuah perahu kecil. Penumpangnya
hanya seorang wanita muda yang berdiri di tengah perahu dan menggerakkan dayung
ke kanan kiri sambil berdiri saja. Akan tetapi perahunya dapat meluncur laksana
digerakkan tenaga raksasa!
Melihat ini
saja, dua orang tosu itu dapat menduga bahwa gadis yang cantik dan gagah ini
tentulah seorang berilmu. Sebaliknya, gadis itu pun dapat mengerti bahwa dua
orang tosu yang mendayung perahu dengan hanya memakai tangan itu tentulah orang-orang
yang memiliki kepandaian tinggi.
Kung Thi
Tosu dan Kung Lo Tosu tidak mempedulikan gadis itu, malah mereka segera
membuang muka. Mereka menyangka bahwa gadis yang lihai ini tentulah juga
anggota Ang-hwa-pai, sama dengan gadis remaja yang tadi merobohkan Kung Lo
Tosu. Mereka tak mau mencari penyakit, tak mau mencari gara-gara, maka lebih
aman membungkam dan pura-pura tidak melihat.
Akan tetapi,
tidak demikian dengan gadis itu. la sengaja memotong jalan, menghadang perahu
mereka. Karena tidak ingin perahu mereka bertumbukan, terpaksa kedua tosu itu
menahan lajunya perahu dan memandang.
Yang berdiri
di tengah perahu kecil itu adalah seorang gadis yang masih muda, seorang gadis
yang cantik manis. Senyumnya selalu menghias bibir, sepasang matanya nampak
tajam serta berpengaruh, dan di balik kecantikan itu tersembunyi kegagahan.
Tubuhnya ramping padat, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang hitam dikuncir
ke belakang, melambai-lambai tertiup angin telaga.
Dengan
mempergunakan dayung, gadis itu menahan perahunya, memberi hormat sambil
membungkuk dalam-dalam dan mengangkat kedua tangan yang memegang dayung ke
depan dada, lalu berkata, suaranya halus merdu membayangkan watak yang halus
pula.
"Maaf,
Ji-wi Totiang. Bukan maksudku mengganggu Ji-wi, tetapi saya mohon bertanya,
telaga ini telaga apakah namanya dan pulau di depan itu pulau apa, siapa yang
tinggal di sana?"
Kung Thi
Tosu dan sute-nya saling pandang, kemudian Kung Thi Tosu bertanya, "Nona
bukan orang sana? Bukan anggota Ang-hwa-pai?"
Sekarang
gadis itu yang memandang heran, "Bukan, Totiang. Kalau saya orang pulau
itu, masa masih bertanya-tanya. Saya seorang pelancong yang tertarik akan
keindahan telaga ini, dan ingin sekali tahu nama telaga dan pulau itu."
"Wah,
kalau begitu lebih baik Nona lekas-lekas pergi dari tempat ini. Sangat
berbahaya, Nona. Pulau di depan itu adalah Ching-coa-to, pusat perkumpulan
Ang-hwa-pai. Kami berdua tosu dari Kun-lun-pai baru saja terlepas dari bahaya
maut."
"Akan
tetapi tidak terlepas dari penghinaan hebat!" sambung Kung Lo Tosu.
Gadis itu
tampak mengerutkan alisnya yang hitam dan bagus bentuknya.
"Di
sepanjang perjalanan sudah banyak kudengar sepak terjang yang sewenang-wenang
dari Ang-hwa-pai. Siapa sangka sampai-sampai berani melakukan penghinaan
terhadap Kun-lun-pai. Kiranya Ji-wi Totiang adalah anak murid Kun-lun-pai?
Harap Ji-wi Totiang sudi menceritakan kepada saya apakah yang telah terjadi
antara Ji-wi dan Ang-hwa-pai?"
"Nona
siapakah? Pinto tidak dapat menceritakan hal ini kepada orang luar yang tidak
pinto kenal, maaf," kata Kung Thi Tosu.
Nona itu
mengangguk. "Memang seharusnya begitu. Akan tetapi biar pun Ji-wi Totiang
tidak mengenal saya, tentu Bun Lo-sianjin ketua Kun-lun-pai tak akan asing
mendengar nama saya dan tak akan marah kepada Ji-wi kalau mendengar bahwa Ji-wi
menceritakan urusan ini kepada seorang gadis bernama Tan Cui Sian dari
Thai-san."
Dua orang
tosu itu belum pernah mendengar nama Tan Cui Sian, akan tetapi tentu saja
mereka tahu apa artinya Thai-san-pai bagi Kun-lun-pai. Ketua Thai-san-pai yang
berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Lawan) merupakan sahabat baik ketua
mereka dan kalau nona ini datang dari Thai-san, berarti seorang sahabat pula.
KungThi Tosu lalu menjura dan memberi hormat.
"Ternyata
Nona dari Thai-san-pai, maaf kalau tadi pinto ragu-ragu. Di antara sahabat
sendiri, tentu saja pinto suka menceritakan urusan ini yang membuat hati
menjadi sakit dan penasaran."
Kung Thi
Tosu lalu bercerita tentang semua peristiwa yang telah terjadi. Suheng mereka
yang menjadi utusan Kun-lun-pai dibunuh, dan mereka sendiri menerima hinaan
dari dua orang muda yang amat lihai.
Sepasang
mata gadis itu bersinar tajam, kerut keningnya mendalam. "Hemmm, terlalu
sekali mereka itu. Apakah yang Ji-wi Totiang hendak lakukan sekarang?"
"Kami
hendak pulang dan melaporkan hal ini kepada ketua kami."
"Memang
sebaiknya begitu. Ini adalah urusan antara Kun-lun-pai dan Ang-hwa-pai, tentu
saja saya tidak berhak mencampuri, tapi ingin sekali saya bertemu dengan pemuda
dan gadis yang telah menghina Ji-wi. Mereka itu kurang ajar sekali dan terlalu
mengandalkan kepandaian, hemmm..."
"Harap
Nona jangan main-main di tempat ini. Mereka itu benar-benar lihai. Baru yang
muda-muda saja sudah begitu lihai, belum lagi ketua mereka, Si nenek Ang-hwa
Nio-nio. Juga anggota mereka jumlahnya banyak sekali, jahat-jahat pula. Lebih
baik Nona cepat meninggalkan tempat ini agar jangan sampai mengalami
penghinaan."
Gadis itu
tersenyum. "Saya justru ingin mereka itu datang menghina saya. Selamat
jalan, Totiang. Mendayung perahu hanya dengan tangan tentu tidak dapat cepat.
Biarlah saya membantu sebentar!”
Sesudah
berkata demikian, nona ini menggunakan dayungnya yang panjang itu untuk
mendorong perahu kedua tosu. Tenaga dorongannya kuat bukan main sehingga perahu
ini seakan-akan digerakkan tenaga raksasa, meluncur ke depan dengan amat
cepatnya.
Kung Thi
Tosu dan sute-nya kaget, heran dan juga girang sekali. Perahu nona itu sudah
menyusul dan terus dia mendorong-dorong perahu di depan. Dengan cara begini,
benar saja, dua orang tosu itu dapat mencapai daratan dalam waktu singkat. Mereka
meloncat ke darat, memberi hormat ke arah nona berperahu yang sudah kembali
menggerakkan perahunya ke tengah telaga.
Kung Thi
Tosu menarik nafas panjang. "Sute, perjalanan kita kali ini benar-benar
sudah membuka mata kita bahwa kepandaian kita sama sekali belum ada artinya.
Dalam waktu sehari kita sudah bertemu dengan tiga orang muda yang mempunyai
kepandaian jauh melampaui kita. Aku berjanji akan berlatih lebih tekun lagi
kalau kita sudah kembali ke gunung," Mereka lalu membalikkan tubuh dan melakukan
perjalanan secepatnya pulang ke Kun-lun-pai.
Siapakah
sebenarnya gadis lihai berperahu itu? Dia bukanlah seorang pelancong biasa.
Para pembaca cerita Pendekar Buta tentu masih ingat akan nama ini, Tan Cui
Sian. Gadis ini adalah puteri dari ketua Thai-san-pai, Si Raja Pedang Tan Beng
San dan si pendekar wanita Cia Li Cu yang sekarang sudah menjadi kakek-kakek
dan nenek-nenek, memimpin perkumpulan Thai-san-pai yang makin maju dan
terkenal. Suami isteri ini telah berusia empat puluh tahun lebih ketika Cui Sian
terlahir, maka mereka sekarang menjadi tua setelah puteri mereka berusia dua
puluh tiga tahun.
Sebagai
puteri sepasang pendekar besar yang memiliki ilmu kesaktian, tentu saja sejak
kecilnya Cui Sian telah digembleng dan mewarisi kepandaian mereka berdua
sehingga kini Cui Sian menjadi seorang gadis yang sakti. Wataknya pendiam
seperti ayahnya, keras seperti ibunya, cerdik dan luas pandangannya.
Hanya satu
hal yang menjengkelkan ayah bunda Cui Sian, yang membuat ibunya sering kali
menangis sedih, yaitu watak bandel gadis ini mengenai perjodohan. Banyak sekali
pendekar-pendekar muda, bangsawan-bangsawan berkedudukan tinggi yang
tergila-gila kepadanya. Sudah banyak pula datang lamaran atas dirinya dari
orang-orang muda yang memenuhi syarat, baik dipandang dari watak baiknya,
kepandaian tinggi dan kedudukan yang mulia. Namun semua pinangan itu ditolak
mentah-mentah oleh Cui Sian!
"Ibu,
aku tidak mau terikat oleh perjodohan! Aku... aku tidak mau seperti enci Cui
Bi...," demikian keputusan Cui Sian di depan ayah bundanya, lalu lari
memasuki kamarnya.
Ketua
Thai-san-pai bersama isterinya saling pandang. Si Raja Pedang ini mengelus-elus
jenggotnya yang panjang sambil berkali-kali menarik nafas, memandang isterinya
yang menjadi basah pelupuk matanya. Teringatlah mereka pada mendiang Tan Cui
Bi, puteri mereka pertama yang tewas menjadi korban asmara gagal.
Dalam cerita
Rajawali Emas dituturkan betapa mendiang Cui Bi yang sudah ditunangkan dengan
Bun Wan (sekarang Jenderal Bun di Tai-goan) terlibat jalinan asmara dengan Kwa
Kun Hong (Pendekar Buta) sehingga karena gagal, Cui Bi lalu membunuh diri dan
Kun Hong membutakan matanya sendiri! Cerita tentang Cui Bi ini agaknya membuat
hati Cui Sian sekarang menjadi ngeri, membuat dia tidak mau berbicara tentang
perjodohan, bahkan membuat dia seperti membenci perjodohan.
"Dia
menjadi takut bayangan sendiri, takut akan terulang kesedihan dan mala petaka
yang menimpa diri cici-nya. Biarlah, kita serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, karena betapa pun juga, jodoh adalah kehendak Tuhan, tak dapat
dipaksakan. Kalau dia sudah bertemu jodohnya, tak usah kita paksa lagi, dia
tentu akan mau sendiri," demikian kata-kata hiburan ketua Thai-san-pai
kepada isterinya.
"Tapi...
tapi... tahun ini dia sudah berusia dua puluh tiga tahun..." Isterinya
tidak dapat melanjutkan kata-katanya, menahan isak dan menghapus air mata.
Kembali
Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San menarik nafas panjang. "Di dalam perjodohan,
usia tidak menjadi soal, isteriku. Beberapa kali anak kita itu mohon untuk
diberi ijin turun gunung dan kita selalu melarangnya karena khawatir
kalau-kalau terjadi hal seperti yang telah menimpa diri Cui Bi. Kurasa inilah
kesalahan kita. Biarkan ia turun gunung, biarkan ia mencari pengalaman, siapa
tahu dalam perjalanannya, ia akan bertemu |odohnya. Dia kini sudah dewasa dan
mengenai kepandaian, kurasa kita tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya.
Cui Sian mampu menjaga diri."
Pernyataan
suaminya bahwa si anak mungkin bertemu jodohnya dalam perantauan, melunakkan
hati nyonya ketua Thai-san-pai ini. Dan alangkah girang hati Cui Sian ketika
ibunya malam hari itu memberi tahu bahwa dia sekarang diperkenankan turun
gunung melakukan perantauan. Dari ibunya dia menerima pedang Liong-cu-kiam yang
pendek dan dari ayahnya ia dibekali pesan,
"Kau
sudah mencatat semua alamat dari sahabat-sahabat ayah bundamu. Jangan lupa
untuk mampir dan menyampaikan hormat kami kepada mereka. Terutama sekali jangan
lupa mengunjungi Liong-thouw-san, Hoa-san, Kun-lun dan kalau kau pergi ke kota
raja, jangan lupa singgah di rumah Jenderal Bun."
"Bekas
tunangan cici Cui Bi?" Cui Sian mengerutkan kening.
Ayahnya
tertawa. "Apa salahnya? Dahulu tunangan, tetapi sekarang hanya merupakan
sahabat baik, karena Bun Wan adalah putera Kun-lun, sedangkan ketua Kun-lun-pai
itu adalah sahabat baikku."
Setelah
menerima nasehat-nasehat dan pesan supaya hati-hati dari ibunya, berangkatlah
Cui Sian turun gunung, membawa bekal pakaian serta emas secukupnya, dengan hati
gembira tentu saja.
Demikianlah
sekelumit riwayat gadis yang kini berada di telaga itu, dekat Ching-coa-to dan
bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai. Karena Kun-lun-pai adalah partai
besar yang bersahabat dengan ayahnya, tentu saja Cui Sian menganggap kedua
orang tosu itu sebagai sahabat dan dia ikut merasa mendongkol sekali ketika
mendengar hinaan yang diderita orang-orang Kun-lun-pai dari dua orang muda
Ching-coa-to. Setelah mengantar kedua orang tosu Kun-lun itu ke darat, Cui Sian
lalu mendayung perahunya kembali ke tengah telaga, menyeberang hendak
melihat-lihat sekeliling pulau...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment