Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 08
Kepandaian
Bhok Hwesio memang amat hebat. Hawa sinkang dalam tubuhnya menjadi berlipat
kuatnya setelah dia bertapa selama dua puluh tahun, berlatih setiap hari dengan
tekun. Memang dasar latihan semedhi dan peraturan bernafas dari Siauw-lim-pai
sangat kuatnya, berasal dari sumber yang bersih dan diperuntukkan bagi para
pendeta Buddha untuk menguatkan batin dan mencapai kesempurnaan.
Agaknya
dalam hal ini, Bhok Hwesio sudah mencapai tingkat yang amat tinggi, sungguh pun
setelah sampai pada batas yang tinggi, akhirnya ilmunya menjadi menyeleweng
dari garis kesempurnaan karena dikotori oleh rasa dendam dan sakit hati
sehingga tak dapat menembus rintangan yang dibentuk oleh nafsunya sendiri…..
Andai kata
Bhok Hwesio tidak dikotori oleh dendam dan nafsu, kiranya dia akan mampu
mencapai tingkat yang bahkan lebih tinggi dari pada yang pernah dicapai oleh
semua tokoh Siauw-lim-pai karena memang pada dirinya terdapat bakat yang amat
besar. Thian Ti Losu baru sadar akan kehebatan bekas suheng-nya ini sesudah
pertandingan berjalan selama lima puluh jurus. la terdesak hebat dan sinar
tongkatnya selalu terbentur membalik oleh hawa pukulan lawan yang kuat sekali.
Akan tetapi,
bagi tokoh Siauw-lim-pai ini, kiranya membela kebenaran merupakan tugas hidup
dan merupakan pegangan sehingga dia tidak merasa gentar menghadapi apa pun.
Mati dalam membela kebenaran adalah mati bahagia. la mengerahkan tenaga dan
memutar tongkatnya lebih cepat, berusaha sekuatnya untuk menghancurkan benteng
hawa pukulan yang terus menghimpitnya itu. Dengan gerakan melingkar tongkatnya
melepaskan diri dari tekanan ujung lengan baju, lalu dari samping dia mengirim
tusukan ke arah lambung. Gerakan ini boleh dikatakan nekat karena dalam
menyerang, dia membiarkan dirinya tidak terlindung. Jika lawannya membarengi
dengan serangan balasan, walau pun tongkatnya akan mencapai sasaran dia sendiri
tentu akan celaka.
Bhok Hwesio
mengeluarkan dengus mengejek. la tidak mempergunakan kesempatan itu untuk balas
menyerang, melainkan cepat sekali kedua ujung lengan baju dia sentakkan ke
samping dan pada lain saat tongkat itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju,
sedang ujung kedua menotok ke arah leher lawannya.
Thian Ti
Losu kaget luar biasa, mengerahkan tenaga untuk merenggut lepas tongkatnya.
Namun hasilnya sia-sia, tongkatnya seperti sudah berakar dan tak dapat dicabut
kembali. Sementara itu, ujung lengan baju kiri Bhok Hwesio seperti seekor ular
hidup sudah amat dekat meluncur. Terpaksa sekali, untuk dapat menyelamatkan
diri, Thian Ti Losu melepaskan tongkatnya dan melempar tubuh ke belakang sambil
bergulingan. la selamat dari totokan maut, tetapi tongkatnya telah dirampas
lawan. Bhok Hwesio tertawa pendek, tangannya lalu bergerak dan... tongkat itu
amblas ke dalam tanah sampai tidak kelihatan lagi!
"Thian
Ti Losu, terang kau bukanlah lawanku. Sekali lagi, cepatlah kau pergi dan
jangan menggangguku lagi, aku akan maafkan kekurang ajaranmu untuk terakhir
kali mengingat bahwa kau hanya menjalankan perintah. Nah, pergilah!"
Namun, mana
Thian Ti Losu sudi mendengarkan kata-kata ini? Melarikan diri dari tugas hanya
karena takut kalah atau mati adalah perbuatan pengecut dan akan mencemarkan
nama baiknya dan terutama sekali, nama besar Siauw-lim-pai. Mati dalam
menunaikan tugas jauh lebih mulia dari pada hidup sebagai pengecut yang
mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai. Sekarang Bhok Hwesio bekas suheng-nya,
menganjurkan dia menjadi pengkhianat atau pengecut. Thian Ti Losu menengadahkan
mukanya ke atas, tertawa bergelak kemudian mengerahkan seluruh lweekang-nya dan
di lain saat dia sudah menerjang maju dengan kepala yang mengepulkan uap di
depan, menubruk Bhok Hwesio.
Inilah jurus
mematikan yang berbahaya bagi lawan dan diri sendiri! Karena jurus seperti ini,
yang menggunakan kepala untuk menghantam tubuh lawan, merupakan tantangan untuk
mengadu tenaga terakhir untuk menentukan siapa akan menang dan siapa harus
mati. Kalau dielakkan, hal ini akan menunjukkan kelemahan yang diserang, tanda
bahwa dia tidak berani menerima tantangan adu nyawa. Bagi seorang jagoan, apa
lagi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio, tentu saja ini merupakan hal yang
akan memalukan sekali.
"Huh,
kau keras kepala!" ejek Bhok Hwesio sambil berdiri tegak, perutnya yang
gendut besar ditonjolkan ke depan.
Bagaikan
seekor lembu mengamuk, Thian Ti Losu menyeruduk ke depan, kepalanya dia arahkan
perut bekas suhengnya.
"Cappp!"
Kepala
hwesio itu bertemu dengan perut suheng-nya dan menancap atau lebih tepat lagi
amblas ke dalam ketika perut itu menggunakan tenaga menyedot. Hebatnya, tubuh
Thian Ti Losu lurus seperti sebatang kayu balok. Kedua tangannya bergerak
hendak memukul atau mencengkeram, namun Bhok Hwesio yang sudah siap
mendahuluinya, mengetuk kedua pundaknya.
Terdengar
suara tulang patah dan kedua lengan Thian Ti Losu menjadi lemas seketika,
tergantung pada kedua pundak yang sudah patah sambungan tulangnya. Bhok Hwesio
masih meneruskan gerakan tangannya. Tiga kali dia mengetuk punggung Thian Ti
Losu dan tubuh yang tegak lurus itu menjadi lemas, tanda bahwa tenaganya
lenyap. Ada pun kepala tokoh Siauw-lim-pai itu masih menancap di ‘dalam’ perut
Bhok Hwesio.
"Nah,
pergilah!" seru Bhok Hwesio. Perutnya yang tadinya menyedot itu lalu
dikembungkan dan tubuh Thian Ti Losu yang sudah lemas itu terlempar ke belakang
sampai lima meter lebih jauhnya, roboh di atas tanah dalam keadaan setengah
duduk.
Thian Ti
Losu maklum apa yang telah menimpa dirinya. Bhok Hwesio sudah melakukan
tindakan yang amat kejam, bukan membunuhnya melainkan mematahkan tulang kedua
pundak, tulang punggung dan menghancurkan saluran hawa sakti di punggung
sehingga mulai saat itu dia tidak akan mungkin lagi mempergunakan Iweekang atau
sinkang dan sudah menjadi seorang tapa daksa selama sisa hidupnya!
"Manusia
keji...!" katanya terengah-engah sambil menahan nyeri, akan tetapi
sepasang matanya masih memandang tajam, "bunuh saja aku sekalian..."
"Huh-hu-huh,
Thian Ti Losu. Kau benar-benar seorang yang tak kenal budi. Aku sengaja tidak
membunuhmu agar kau dapat kembali ke Siauw-lim-pai dan membuktikan bahwa kau
seorang yang setia dan dapat menunaikan tugas sampai batas kemampuan terakhir.
Dan kau masih mengomel?"
"Lempar
saja dia ke dalam jurang!" kata Bo Wi Sianjin yang masih merasa penasaran
dan marah karena tadi dia terbanting masuk ke dalam tanah oleh tokoh
Siauw-lim-pai itu.
"Heeeiii...!
Mana dia...?!"
Seruan
Maharsi itu membuat Bhok Hwesio dan Bo Wi Sianjin menengok. Baru sekarang
mereka teringat akan diri gadis cucu Raja Pedang ketua Thai-san-pai itu.
"Wah,
dia melarikan diri. Hayo kejar, dia penting sekali harus kita tawan!" Bhok
Hwesio berseru.
Ketiga orang
kakek ini segera meloncat dan lenyap dari tempat itu mengejar Lee Si,
meninggalkan Thian Ti Losu yang hanya dapat memandang dengan hati mendongkol.
la ditinggal dalam keadaan cacad, bersama mayat dua orang temannya, yaitu Sung
Bi Tosu tokoh Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pai. Ke manakah
perginya Lee Si? Apakah betul dugaan Bhok Hwesio tadi?
Pada saat
gadis ini melihat bahwa di antara para kakek sakti itu timbul pertengkaran, dia
maklum bahwa kehadirannya di situ sangat berbahaya dan bahwa saat itu merupakan
kesempatan baik sekali baginya. Diam-diam ia menyelinap pergi pada saat
pertandingan pertama terjadi. Setelah menyelinap di antara pepohonan dia lalu
berlari cepat sekali, sengaja mengambil jalan melalui hutan-hutan lebat.
Sepuluh hari kemudian, Lee Si yang kali ini berlari menuju ke timur tanpa
disengaja tiba di sebuah kota. Di tempat ini barulah dia mendapat kenyataan
dari keterangan yang dia dapat bahwa selama ini dia telah salah jalan dan
tersesat amat jauh.
Kota ini
adalah Kong-goan, sebuah kota di Propinsi Secuan sebelah utara, cukup besar dan
ramai, di lembah Sungai Cia-ling. Karena ketika tiba di kota ini hari sudah
menjelang senja, setelah mendapatkan keterangan itu Lee Si lalu menyewa sebuah
kamar di rumah penginapan yang kecil akan tetapi cukup bersih. Sehabis makan
dia berjalan keluar dari kamarnya, terus ke depan rumah penginapan dengan
maksud hendak keliling kota. Tiba-tiba ia mengangkat muka dan hatinya berdebar.
Entah apa sebabnya, saat bertemu pandang dengan seorang pemuda yang kebetulan
lewat di depannya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Lee Si bingung
dan heran sendiri.
Pemuda itu
tampan sekali, mukanya putih dan halus seperti muka wanita, alisnya hitam
tebal. Pakaiannya sederhana saja akan tetapi tak menyembunyikan tubuhnya yang
kuat dan tegap. Gerak-geriknya jelas membayangkan ‘isi’, yaitu bahwa orang muda
ini tentu memiliki kepandaian.
Agaknya yang
kemasukan aliran ‘stroom’ aneh bukan hanya Lee Si karena pemuda itu yang
tadinya berjalan dengan kepala menunduk, tiba-tiba saja mengangkat mukanya dan
memandang Lee Si, bahkan setelah lewat, beberapa kali dia masih menengok
sehingga dua pasang mata bertemu dan sinarnya seakan-akan menembus jantung!
Sejenak Lee
Si berdiri termenung, memeras otak dan mengingat-ingat di mana ia pernah
bertemu dengan pemuda tadi dan mengapa dia menjadi tertarik seperti ini. Akan
tetapi tetap saja dia tidak dapat ingat di mana dan bila dia pernah melihat
wajah itu, wajah yang seakan-akan tidak asing baginya dan yang membuat darah di
tubuhnya berdenyut lebih cepat dari biasanya. Akan tetapi setelah melihat
betapa pemuda itu beberapa kali menengok memandangnya, timbul kemarahan di hati
Lee Si. Betapa pun juga, pemuda itu amat kurang ajar, berani memandanginya
seperti itu. Selain kurang ajar juga mencurigakan.
Lee Si cepat
kembali memasuki kamarnya untuk mengambil pedangnya, dan tidak lama kemudian
tubuhnya sudah berkelebatan di atas genteng yang mulai gelap dan langsung
mengejar ke arah perginya pemuda tadi. Gerakannya cepat dan gesit sekali
sehingga sebentar saja dia sudah melihat pemuda itu berjalan perlahan melalui
jalan kecil yang gelap, kemudian terus keluar kota sebelah timur.
Siapakah
pemuda tampan itu? Bukan pemuda biasa. Pemuda itu adalah Kwa Swan Bu, putera
tunggal Pendekar Buta Kwa Kun Hong. Sudah lama sekali kita meninggalkan
Pendekar Buta dan anak isterinya. Setelah suami isteri beserta putera mereka
ini pindah kembali ke tempat lama, yaitu di Liong-thouw-san, Swan Bu tidak
begitu dimanja lagi seperti ketika dia berada di Hoa-san. Dia sangat tekun
berlatih ilmu kepandaian di bawah bimbingan ayah bundanya, terutama sekali
ayahnya.
Pada suatu
hari, masih pagi-pagi sekali seperti biasa, Swan Bu turun dari puncak
Liong-thouw-san dan pergi ke lereng sebelah kanan di mana terdapat jembatan
tambang yang menghubungkan Liong-thouw-san dengan dunia luar. la duduk di atas
sebuah batu besar dan memandang ke timur. Sudah menjadi kesukaan Swan Bu untuk
menanti munculnya matahari yang merah dan besar. Kadang kala dia memandang
dengan hati penuh kerinduan, bukan rindu kepada matahari melainkan kepada dunia
ramai. Bagi seorang pemuda seperti dia, tentu saja tinggal di puncak
Liong-thouw-san hanya bersama ayah bundanya, merupakan keadaan yang
kadang-kadang menyiksanya, tersiksa oleh kesunyian dan rindu dengan keramaian
dunia.
Tentu saja
Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, maklum dan dapat merasakan kesunyian
hidup putera mereka, dan maklum pula betapa besar hasrat di hati Swan Bu untuk
meninggalkan puncak itu dan merantau di dunia ramai. Akan tetapi, mereka selalu
melarangnya dengan alasan bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh dari cukup
untuk dijadikan bekal merantau di dunia ramai karena di sana terdapat banyak
sekali penjahat-penjahat yang berilmu tinggi.
Selagi Swan
Bu masih duduk termenung sambil menikmati bola merah besar yang mulai tampak
muncul dari balik puncak sebelah timur, tiba-tiba saja dia dikejutkan oleh
sesosok bayangan manusia yang bergerak cepat meloncat ke sana ke mari. Jelas
bahwa orang itu datang mendaki puncak itu yang memang tidak mudah dilalui. Swan
Bu tetap duduk tak bergerak, memandang penuh perhatian. Dari jarak sejauh itu,
dan di dalam cuaca pagi yang masih remang-remang, dia tidak dapat mengenali
siapa adanya orang yang datang ini. Terang bukanlah penduduk di sekitar
Pegunungan Liong-thouw-san, karena tidak ada penduduk gunung yang dapat
bergerak secepat itu.
Timbul
kegembiraan di hati Swan Bu. Tentu seorang di antara anak murid Hoa-san-pai!
Siapa lagi kalau bukan orang Hoa-san-pai yang datang berkunjung ini? Hatinya
gembira karena semua anak murid Hoa-san-pai telah dia kenal baik.
Swan Bu
melihat betapa orang itu meloncat ke atas jembatan tambang. Sesungguhnya
bukanlah jembatan, melainkan sehelai tambang yang direntang dari seberang
jurang dan untuk melalui ‘jembatan’ ini, orang harus memiliki kepandaian dan
ginkang. Sekali saja terpeleset, mulut jurang yang menganga lebar mengerikan
telah menanti di bawah untuk menelan lenyap tubuh si penyeberang yang jatuh!
Swan Bu
dapat melihat betapa tambang itu bergoyang sedikit ketika orang tadi meloncat
di atasnya dan kini berlari melalui tambang. Bergoyangnya tambang ini saja
sudah cukup dijadikan ukuran oleh Swan Bu bahwa ginkang si pendatang ini belum
begitu sempurna. Teringat dia betapa ibunya melatih ginkang dan tambang inilah
yang dijadikan ukuran. Selama dia belum dapat berlari-lari di atas tambang
tanpa menggoyangkan tambang itu sedikit pun juga, dia diharuskan terus
berlatih! Tentu saja sekarang dia dapat berlari-lari di atas tambang itu tanpa
menggoyangkan tambang itu sama sekali.
Setelah
orang itu datang mendekat, Swan Bu terheran-heran. Orang itu adalah seorang
pemuda, sebaya dengannya. Seorang pemuda yang tampan, pakaiannya indah, pedang
yang bersarung indah tergantung di pinggang, kepalanya ditutup sebuah topi
lebar yang dihias sehelai bulu merak, membuat wajahnya tampak makin tampan.
Yang membuat Swan Bu terheran-heran adalah bahwa dia sama sekali tidak mengenal
orang ini. Orang ini bukanlah anak murid Hoa-san-pai! Dia cepat berdiri dan
menghadang di situ.
Sesudah
melompat ke seberang setelah melalui jembatan tambang, pemuda itu melihat Swan
Bu dan cepat dia menghampiri. Wajahnya yang tampan itu berseri dan mulutnya
tersenyum. Cepat dia mengangkat kedua tangan memberi salam sambil berkata,
"Kalau tidak salah dugaanku, saudara ini adalah Kwa Swan Bu, putera dari
paman Kwa Kun Hong, bukan?"
Kening Swan
Bu berkerut dan dia menjadi makin curiga. Akan tetapi dengan hati tabah dia
menjawab, "Dugaanmu betul. Siapakah engkau dan apa maksudmu mendaki puncak
Liong-thouw-san?"
Pemuda itu
tersenyum, tidak marah oleh sikap Swan Bu yang tidak manis. "Aku Bun Hui
dari Tai-goan, ayahku adalah sahabat baik ayahmu."
"Ayahmu
siapakah? She Bun...? Apakah ada hubungannya dengan Bun Lo-sianjin ketua
Kun-lun-pai?"
"Beliau
adalah kakekku!" seru Bun Hui gembira. "Ayahku adalah Jenderal Bun
Wan yang bertugas di Tai-goan, dengan ayahmu terhitung sahabat baik."
Swan Bu lalu
mengangguk-angguk. Tahulah dia sekarang siapa adanya pemuda tampan berpakaian
indah dan mewah tetapi sikapnya ramah dan sederhana ini. Tentu saja dia telah
banyak mendengar tentang tokoh-tokoh di dunia kang-ouw dari ayah bundanya, baik
tokoh-tokoh yang tergolong kawan mau pun yang tergolong lawan. Juga sudah sering
kali ayah bundanya menyebut-nyebut nama keluarga Bun dari Kun-lun-pai, malah
dia pun tahu bahwa ibu dari pemuda ini masih terhitung bibinya sendiri karena
ibu pemuda ini adalah adik angkat ibunya. Jadi mereka berdua masih dapat
disebut saudara misan.
Dia segera
menjura dan berkata, "Maafkan penyambutanku yang kaku karena aku tidak
tahu sebelumnya. Kiranya saudara adalah puteranya paman Bun Wan. Betul
dugaanmu, aku adalah Kwa Swan Bu. Bolehkah aku mendengar urusan penting apa
gerangan yang mendorong saudara datang ke sini jauh-jauh dari Tai-goan? Kuharap
saja tidak terjadi sesuatu yang buruk atas diri paman berdua di Tai-goan."
Bun Hui
tersenyum, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa ternyata Swan Bu tidak
sesombong tampaknya tadi. "Gembira sekali hatiku dapat bertemu muka
denganmu, adik Swan Bu. Sudah lama aku mendengar akan dirimu dari ayah bundaku,
dan aku tahu bahwa usia kita sebaya, hanya aku lebih tua beberapa bulan saja
darimu. Jangan kau khawatir, ayah bundaku dalam keadaan baik-baik saja. Kedatanganku
ini diutus oleh ayah, selain untuk menyampaikan hormat kepada ayah bundamu,
juga untuk memberi peringatan bahwa kini sudah mulai bermunculan musuh-musuh
besar yang berusaha membalas dendam."
Berubah
wajah Swan Bu yang tampan. Alisnya yang tebal hitam itu berkerut, matanya
memancarkan sinar kemarahan. "Hemmm, kakak Bun Hui, berilah tahu kepadaku,
siapa gerangan musuh-musuh yang berusaha untuk membalas dendam kepada
ayah?"
"Ayahku
lebih mengetahui akan hal itu dan agaknya ayah telah mencatat secara lengkap
dalam suratnya yang kubawa untuk ayahmu. Sejauh pengetahuanku, agaknya penghuni
Ching-coa-to yang telah mengumpulkan kekuatan untuk memusuhi ayahmu. Juga
ada... orang dari Go-bi-san..."
Melihat
keraguan Bun Hui, Swan Bu makin tertarik. "Siapakah dia, Twako? Juga musuh
besar ayah?"
Bun Hui
menelan ludah dan mengangguk. Beratlah hatinya untuk menyebut nama Siu Bi. Dia
tidak ingin melihat Siu Bi bermusuhan dengan Liong-thouw-san, dan terlebih lagi
dia tidak ingin dia melihat Siu Bi menjadi korban karena sudah pasti gadis itu
akan menemui bencana kalau berani memusuhi Pendekar Buta.
"Ia
datang dari Go-bi-san di mana terdapat dua orang bekas musuh besar ayahmu,
yaitu Hek Lojin serta muridnya, The Sun. Mereka ini memiliki kepandaian hebat
dan agaknya tak akan mau berhenti sebelum dapat membalas kekalahan mereka
belasan tahun yang lalu."
"Hemmm,
dan penghuni Ching-coa-to itu, siapakah?"
"Sepanjang
pengetahuanku, kini di sana menjadi sarang Ang-hwa-pai yang dipimpin oleh ketua
mereka yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio. Juga ada bekas jagoan di istana selatan
yang memiliki julukan Ang Mo-ko, juga amat lihai biar pun tidak sehebat Ang-hwa
Nio-nio kepandaiannya. Masih banyak lagi teman-teman mereka yang tidak
kuketahui."
"Twako,
di manakah letaknya Ching-coa-to? Di mana pula tempat tinggalnya Ang Mo-ko dan
apakah orang-orang Go-bi-san itu sudah turun gunung? Mereka berkumpul di mana
sekarang?"
Bun Hui
memandang curiga. "Adikku yang gagah, agaknya engkau bernafsu sekali ingin
mengetahui tempat mereka, mau apakah kau?"
"Tidak
apa-apa, twako. Bukankah lebih baik kalau mengetahui kedudukan dan keadaan
lawan?"
Bun Hui lalu
memberi tahu di mana letak Ching-coa-to. "Mungkin Ang Mo-ko yang tidak
tentu tempat tinggalnya itu pun kini sudah berada di Ching-coa-to. Tentang
orang-orang Go-bi-san, aku sendiri tidak tahu pasti di mana mereka berada.
Hanya... kabarnya sudah turun gunung."
Benar-benar
berat hati Bun Hui untuk bicara mengenai Siu Bi, dan ini pula yang sangat
menggelisahkan hatinya di dalam perjalanan itu karena dia merasa khawatir
kalau-kalau ayahnya memberi tahu perihal Siu Bi di dalam suratnya kepada
Pendekar Buta.
"Twako,
silakan kau naik ke puncak menghadap ayah dan ibu. Apa bila mereka bertanya
tentang aku, tolong katakan bahwa aku hendak turun gunung mencegah kutu-kutu
busuk itu mengganggu ketenteraman Liong-thouw-san!"
"Ehh,
adik Swan Bu... jangan begitu... tak boleh tergesa-gesa dan berlaku
sembrono...!" Bun Hui berseru gugup.
Namun Swan
Bu tersenyum dan dagunya mengeras membayangkan kekerasan hatinya. "Mengapa
jangan? Bukankah lebih baik kita mendahului lawan supaya jangan memberi kesempatan
kepada mereka untuk bergerak? Apakah artinya aku menjadi putera tunggal ayah
ibu jika aku tidak becus membasmi musuh-musuh ayah dan ibu sehingga
bangsat-bangsat itu tidak akan berani mengganggu orang tuaku? Selamat berpisah,
Twako dan terima kasih atas pemberi tahuanmu. Bila mana selesai tugasku, aku
pasti akan mampir di Tai-goan untuk menghaturkan terima kasih kepada ayah
bundamu."
Bun Hui
menyesal bukan main mengapa dia tadi banyak bicara kepada pemuda yang berwatak
keras itu. Cepat-cepat dia mendaki ke atas puncak agar dapat memberi tahu
kepada paman serta bibinya sehingga mereka akan dapat mencegah Swan Bu turun
gunung. la maklum bahwa Swan Bu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, akan
tetapi mana bisa pemuda ini menghadapi musuh-musuh tangguh itu jika hanya
seorang diri? Baru Siu Bi, gadis remaja itu saja sudah demikian hebat
kepandaiannya, apa lagi musuh-musuh lain yang lebih tua usianya. Ia juga sudah
mendengar betapa Ang-hwa Nio-nio memiliki ilmu yang amat tinggi.
Tergesa-gesa
dia mendaki puncak melalui tangga tambang. Pada saat dia tiba di depan pondok,
dia melihat seorang lelaki berusia sebaya ayahnya sedang duduk di atas bangku
menjemur diri di bawah sinar matahari pagi. Di sebelahnya duduk seorang wanita
sebaya ibunya, lebih tua sedikit, cantik sekali, keduanya bercakap-cakap dengan
sikap tenang. Meski sudah sering kali dia mendengar ayahnya menyanjung-nyanjung
dan memuji-muji Pendekar Buta, namun Bun Hui belum pernah bertemu muka dengan
pendekar itu atau pun isterinya. Akan tetapi, melihat kesederhanaan mereka yang
sekarang sedang duduk di depan pondok, dia dapat menduga bahwa mereka tentulah
paman dan bibinya itu.
Apa lagi
sekarang jelas kelihatan betapa sepasang mata laki-laki setengah tua itu tidak
pernah berkedip dan ketika dia berjalan mendekat, tampak olehnya betapa kedua
mata itu kosong tak berbiji! Sebatang tongkat kayu yang bersandar pada bangku
laki-laki buta itu menarik perhatiannya. Diam-diam tengkuknya meremang sebab ia
sering mendengar dari ayahnya tentang keampuhan tongkat itu yang telah
merobohkan banyak tokoh besar dunia kang-ouw.
Kini mereka
berhenti bercakap-cakap dan menengok ke arahnya. Terkejut hati Bun Hui pada
waktu bertemu pandang dengan sepasang mata nyonya itu. Alangkah tajam, penuh
wibawa dan seakan-akan menembus langsung ke dalam dadanya! Seakan-akan mata
nyonya itu mewakili pula mata suaminya yang buta sehingga kekuatan pandangannya
bagaikan pandangan mata dua orang digabung menjadi satu. Segera dia maju dan
menjatuhkan diri berlutut di hadapan mereka tanpa mempedulikan tanah yang agak
basah oleh embun pagi dan mengotori celana pakaiannya yang indah.
"Bangunlah,
Hui-ji (anak Hui), tak perlu kau terlalu sungkan. Lihat, pakaianmu kotor oleh
tanah basah!" Wanita itu, Kwee Hui Kauw, menegur Bun Hui.
Bun Hui
tercengang. Bagaimana nyonya itu dapat mengetahui bahwa dia adalah Bun Hui?
Selamanya baru kali ini dia bertemu muka dengan suami isteri pendekar ini!
"Betul
kata isteriku, orang muda. Kau bangkit dan duduklah, mari kita bicara yang
enak."
"Paman...
Bibi... mohon ampun sebesarnya... saya telah berbicara dengan adik Swan Bu
dan..."
Pendekar
Buta Kwa Kun Hong tersenyum, menggerakkan tangannya mencegah pemuda itu
melanjutkan kata-katanya. "Dan dia pergi turun gunung? Tidak apa, anakku.
Memang sudah waktunya dia turun gunung dan menambah pengalaman. Lebih baik kau
serahkan surat ayahmu kepadaku."
Untuk kedua
kalinya Bun Hui tercengang. Bagaimana suami isteri itu dapat mengetahui
semuanya? Dapat tahu bahwa dia datang membawa surat ayahnya, tahu pula tentang
perginya Swan Bu turun gunung dan tahu bahwa dia itu Bun Hui padahal baru kali
ini bertemu muka. Satu-satunya jawaban yang menerangkan keanehan ini hanyalah
bahwa suami isteri ini tentu tadi sudah melihat kedatangannya dan mendengar
percakapannya dengan Swan Bu, tanpa dia sendiri mengetahui akan kehadiran
mereka! Ini saja sudah membuktikan kelihaian mereka!
la segera
mengambil surat ayahnya dan menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong. Tak enak
hatinya, sebab bagaimana dia dapat menyerahkan surat kepada seorang yang buta
kedua matanya? Untuk memberi tahu bahwa surat sudah dia keluarkan, bibirnya
lantas bergerak hendak bicara agar paman yang buta itu dapat mengetahui. Tapi
sebelum dia membuka mulut, Kun Hong sudah menggerakkan tangannya menerima surat
itu dengan gerakan sewajarnya seperti seorang yang tidak buta. Seakan-akan dia
betul-betul melihat surat itu dan menerimanya tanpa ragu-ragu lagi. Tentu saja
Bun Hui menjadi kaget setengah mati dan mulailah dia meragukan kebutaan Kwa Kun
Hong.
Akan tetapi
keraguannya lenyap ketika Kun Hong menyerahkan surat itu kepada isterinya untuk
dibaca. Dengan suaranya yang halus dan merdu Kwee Hui Kauw membaca surat itu
yang isinya hampir sama dengan apa yang telah diceritakan Bun Hui kepada Swan
Bu tadi, hanya bedanya bahwa di dalam surat itu juga disebut nama Siu Bi
sebagai seorang musuh besar yang mengancam hendak membuntungi tangan Pendekar
Buta serta anak isterinya!
Kwa Kun Hong
tersenyum pahit dan berkata lirih sesudah isterinya selesai membaca,
"Hemmm, benci-membenci, dendam-mendendam, permusuhan, bunuh-membunuh, apa
senangnya hidup bila dunia penuh dengan amukan nafsu ini? Isteriku, aku sudah
bosan dengan segala urusan itu. Mudah-mudahan saja Swan Bu akan dapat mengingat
semua nasehatku dan tidak suka menanam bibit permusuhan dengan siapa pun juga
di dunia ini..."
"Tak
perlu digelisahkan semua itu," jawab isterinya dengan suara tetap tenang,
halus dan merdu, "Orang lain boleh meracuni hati sendiri dengan menanam
kebencian, orang lain boleh mengikat diri dengan dendam dan permusuhan, akan
tetapi kita yang sadar akan penyelewengan hidup itu tidak akan menuruti bujukan
nafsu dan setan. Orang membenci kita, orang memusuhi kita, asalkan kita tak
membenci dan tidak memusuhi mereka, maka kitalah yang menang. Bukanlah begitu
kata-katamu sendiri? Nah, kalau ada yang hendak memusuhi kita, biarkan saja
mereka datang. Kalau boleh, kita peringatkan mereka, kita sadarkan mereka,
kalau tidak, apa boleh buat, selama masih hidup kita wajib membela diri. Kalau
kita yang diberi anugerah hidup tidak mau melakukan kewajiban membela dan
menjaga diri, berarti kita kurang terima dan tak bisa menghargai anugerah itu.
Bukankah begitu apa yang sering kau katakan, suamiku?"
Kwa Kun Hong
menarik nafas panjang, kepalanya mengangguk-angguk. Bun Hui berdiri bengong,
hatinya terharu sekali dan tak kuat dia menentang wajah kedua orang itu yang
membuatnya tunduk lahir batin. Baru kali ini selama hidupnya dia menyaksikan
keadaan penuh damai, penuh cinta kasih, penuh pengertian dan penuh kata-kata
yang memiliki arti begitu dalam pada sepasang suami isteri. la menunduk dan
sikap serta kata-kata suami isteri itu saja sudah lebih dari cukup untuk
membuat hati anak muda ini menjadi kagum dan tunduk.
"Hui-ji,
kami sangat berterima kasih kepada ayahmu yang penuh perhatian dan tentu juga
kepadamu yang sudah melakukan perjalanan sejauh ini. Kuharap kau suka
beristirahat di sini barang sepekan, agar kita dapat bercakap-cakap dan kami
bisa mendengar ceritamu tentang keadaan orang tuamu dan juga keadaan dunia ramai,"
kata Kwa Kun Hong.
"Saya
akan mentaati perintah Paman dan sementara itu, saya yang muda dan bodoh banyak
mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Paman dan Bibi."
Senang hati
suami isteri itu melihat sikap dan mendengar kata-kata yang amat baik dari Bun
Hui. Begitulah, pemuda ini tinggal sampai sepuluh hari di puncak
Liong-thouw-san dan selama itu, selain menceritakan segala hal tentang keadaan
di kota raja dan lain-lain yang ditanyakan kedua orang tua itu, juga dia
menerima banyak petunjuk-petunjuk yang amat diperlukan untuk menyempurnakan
kepandaian silatnya, terutama ilmu pedangnya Kun-lun Kiam-sut banyak mendapat
kemajuan oleh petunjuk Kwa Kun Hong….
Sementara
itu, Kwa Swan Bu sudah berlari cepat sekali turun dari puncak. Dia merasa agak
bersalah karena tidak berpamitan kepada ayah bundanya, akan tetapi dia sengaja
meninggalkan pesan saja kepada Bun Hui karena dia dapat menduga bahwa meski pun
ayahnya tidak akan melarangnya, akan tetapi ibunya tentu akan menyatakan
keberatan. Sudah sering kali dia menyatakan ingin turun gunung dan selalu
dicegah ibunya yang berkata bahwa kepandaiannya kurang cukup untuk dipakai
menjaga diri dari gangguan orang-orang jahat yang banyak terdapat di dunia
kang-ouw.
Sekarang
Swan Bu tak ragu-ragu lagi. Tadinya, memang dia meragu dan membenarkan ibunya,
maka dia menunda keinginan hatinya untuk turun gunung. Akan tetapi begitu
melihat Bun Hui, keraguannya lenyap.
Dari gerakan
Bun Hui pada saat menyeberangi jembatan tambang, jelas tampak olehnya bahwa
tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh tingkat yang dimiliki Bun Hui. Kalau Bun
Hui sudah diperbolehkan ayahnya melakukan perjalanan jauh seorang diri, mengapa
dia tidak boleh? Pendapat ini lebih diperkuat lagi oleh dorongan hatinya yang
menjadi panas mendengar betapa orang tuanya diancam oleh banyak bekas musuh
lama.
Pada suatu
hari sampailah dia di kota Kong-goan di tepi Sungai Cia-ling. la bermaksud
untuk melanjutkan perjalanan melalui Sungai Cia-ling, terus ke selatan sampai
di Sungai Yang-ce-kiang kemudian melanjutkan perjalanan ke timur melalui sungai
besar itu. Akan tetapi, pada waktu dia tiba di tepi sungai dan hendak menyewa
perahu yang suka mengantarnya sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, dia melihat dua
orang pengemis tengah menggotong seorang pengemis lain yang agaknya sakit
keras, wajahnya pucat, tubuhnya lemah dan dari mulutnya keluar darah.
Tadinya Swan
Bu tak mau mencampuri urusan orang lain sungguh pun sekilas pandang tahulah ia
bahwa kakek pengemis yang digotong itu telah terluka hebat di sebelah dalam
tubuhnya. Akan tetapi perhatiannya segera tertarik pada waktu dia melihat
pakaian para pengemis yang penuh tambalan itu. Pakaian penuh tambalan itu
berwarna-warni dan berkembang-kembang. Teringat ia akan cerita ayahnya bahwa
perkumpulan pengemis Hwa-i Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah
suatu perkumpulan pengemis yang patriotik dan ayahnya sendiri menjadi ketua
kehormatan!
"Lopek,
berhenti dulu! Biarkan aku mencoba untuk menolong orang tua yang menderita luka
pukulan Ang-see-ciang ini!"
Dua orang
pengemis yang menggotong si sakit memandang curiga. Akan tetapi kakek pengemis
yang terluka itu membuka mata, memandang heran, lalu berkata dengan nafas
terengah-engah, "Turunkan aku... biarkan Kongcu ini memeriksaku..."
Dua orang
pengemis itu terheran, akan tetapi mereka tidak berani membantah. Tubuh kakek
itu tidak jadi dimasukkan ke dalam perahu, akan tetapi diletakkan di atas tanah
pasir. Swan Bu tidak mau membuang banyak waktu lagi. Jalur-jalur merah pada
leher itu jelas menampakkan tanda korban pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir
Merah). Dia segera menghampiri, berlutut dan menggunakan jari telunjuk serta
jari tengah kanannya untuk menotok dua kali pada pundak kanan kiri, kemudian
sekali dia menekan punggung dan mengurutnya ke bawah sambil mengerahkan tenaga,
kakek itu terbatuk dan muntahkan segumpal darah merah yang sudah mengental,
sebesar kepala ayam.
Dua orang
pengemis yang menggotong tadi terkejut sekali dan mereka melompat maju, malah
sudah mengepal tinju siap untuk menerjang Swan Bu.
"Kau...
kau membunuh Susiok (Paman Guru)...!" bentak seorang di antara mereka
sambil menubruk maju dan memukul.
Swan Bu yang
maklum bahwa orang ini salah duga, tidak mempedulikannya. Tubuhnya yang masih
berjongkok itu bergerak sedikit dan penyerangnya langsung terlempar ke depan,
melalui atas pundaknya kemudian terbanting ke air sungai sehingga air muncrat
tinggi dan orang itu gelagapan sambil berenang ke pinggir.
Kawannya
hendak menyerang, tapi tiba-tiba kakek yang sakit tadi membentak, "Goblok!
Apa mata kalian sudah buta?"
Si pengemis
kedua tidak jadi menyerang, sedang pengemis pertama yang telah berhasil
berenang ke pinggir, sekarang memandang dengan heran, juga girang. Kiranya
kakek pengemis yang tadinya sudah empas-empis nafasnya, sekarang sudah bangkit
duduk, malah dengan perlahan lalu bangun berdiri dan menjura ke depan Swan Bu!
"Orang
muda yang gagah perkasa, kau sudah menolong nyawa seorang pengemis tua bangka
yang tiada gunanya. Sicu, bolehkah aku mengetahui namamu?"
"Lopek,
tidak usah banyak sungkan. Bukankah Lopek bertiga ini orang-orang dari Hwa-i
Kaipang?"
Pertanyaan
Swan Bu ini disambut biasa saja oleh tiga orang kakek itu karena memang Hwa-i
Kaipang bukan perkumpulan yang tidak terkenal, apa lagi mudah saja diketahui
dari pakaian mereka. Kakek itu mengangguk dan menjawab,
"Tak
keliru dugaanmu, Sicu. Aku adalah kakek Toan-kiam Lo-kai (Pengemis Tua Pedang
Pendek), sebuah julukan yang kosong melompong, dan dua orang ini adalah
murid-murid keponakanku. Sicu masih begini muda sudah luas pandangannya, sekali
pandang tahu akan bekas pukulan Ang-see-ciang, siapakah nama Sicu yang mulia
dan dari perguruan mana?
"Lopek,
mari kita bicara di tempat yang enak," kata Swan Bu sambil mengerling ke
arah orang-orang yang banyak berkumpul karena tertarik oleh kejadian ini.
Toan-kiam
Lo-kai dapat menangkap isyarat ini, dia lalu menggerakkan kedua lengannya ke
arah orang-orang di situ sambil berkata, "Saudara-saudara harap sudi
meninggalkan kami agar kami dapat bicara leluasa."
Heran,
orang-orang itu segera pergi tanpa banyak membantah lagi. Hal ini membuktikan
kepada Swan Bu bahwa di daerah ini agaknya Hwa-i Kaipang bukan tidak mempunyai
pengaruh. Setelah semua orang pergi, Swan Bu berkata,
"Lopek,
ketahuilah bahwa aku she Kwa bernama Swan Bu, dari Liong-thouw-san...”.
Serta merta
kakek itu bersama kedua orang murid keponakannya lalu menjatuhkan diri berlutut
di depan Swan Bu!
"Ah,
kiranya Siauw-hiap (Pendekar Muda) yang telah menolong saya! Ah, sungguh suatu
kebetulan yang sangat membesarkan hati. Bagaimana kabarnya dengan Taihiap
berdua di Liong-thouw-san?"
"Ayah
dan ibuku baik-baik saja, terima kasih."
"Kiranya
putera ketua kehormatan kita!" Kakek itu hampir bersorak kegirangan.
"Kalau begitu tidak heran jika sekali pandang saja sudah tahu akan luka
pukulan Ang-see-ciang! Wah, Siauwhiap tentu telah mewarisi ilmu kepandaian yang
sakti dari Taihiap, ilmu silat dan ilmu pengobatan!"
"Ahh,
aku yang muda dan masih hijau mana mampu mewarisi semua kepandaian ayah.
Sudahlah, tidak ada gunanya segala puji-memuji ini. Lopek, lebih baik sekarang
engkau ceritakan kepadaku, mengapa kau sampai terluka hebat oleh pukulan
Ang-see-ciang dan siapakah pemukulmu, apa pula sebab-sebabnya?"
Toan-kiam
Lo-kai menarik nafas panjang. "Siauwhiap, perubahan besar telah terjadi
pada Hwa-i Kaipang sejak suhu Hwa-i Lo-kai meninggal dunia. Apa lagi sesudah
Kwa-taihiap diketahui tidak pernah turun dari puncak Liong-thouw-san. Hwa-i
Kaipang tidak dipandang mata lagi orang-orang kang-ouw. Tentu kau sudah
mendengar dari ayahmu bahwa sudah semenjak dahulu, perkumpulan Hwa-i Kaipang
bukan perkumpulan pengemis biasa saja. Selain itu para anggotanya memiliki
tugas untuk menolong kaum lemah yang tertindas, bahkan ikut pula menjaga
keamanan kota dari gangguan para penjahat. Akan tetapi, dengan kedatangan
pembesar dari kota raja yang bertugas mengumpulkan tenaga-tenaga suka rela
untuk membangun terusan dan tembok besar atas perintah kaisar, banyak anak buah
Hwa-i Kaipang ditangkapi dan dipaksa menjadi sukarelawan. Orang-orang biasa,
terutama yang kaya, dibebaskan asal bisa membayar uang tebusan. Bukankah hal
ini menggemaskan?"
"Hemmm,
pembesar macam itu sepatutnya diberi hajaran!" kata Swan Bu.
"Itulah!
Kami sudah berusaha memberi peringatan kepada Lo-ciangkun (komandan Lo) yang
memimpin pengerahan bantuan itu, akan tetapi kami malah dianggap memberontak
terhadap perintah kaisar! Karena percekcokan ini, terjadilah keributan dan
pertengkaran yang berekor pertempuran."
"Ahh,
kalau begitu keliru juga, Lopek. Tidak baik melawan dengan kekerasan, hal itu
bisa menimbulkan kesan bahwa Hwa-i Kaipang sudah memberontak."
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Memang benar, tetapi kami pun harus membela anak buah
kami yang sudah ditahan dan dipaksa, serta membebaskan pula orang-orang muda
miskin yang tidak mampu membayar uang tebusan dan ditahan juga. Mereka itu,
untuk memberi makan keluarganya saja sudah setengah mati. Sesudah mereka
ditangkap dan dibawa pergi untuk kerja paksa yang disebut suka rela itu,
keluarganya tentu akan mati kelaparan!”
"Akan
tetapi kita dapat mengambil jalan lain, misalnya menemui komandan itu secara
langsung."
"Hal
itu sudah kulakukan dan hasilnya aku terluka parah inilah, Siauwhiap. Komandan
itu dibantu oleh seorang iblis wanita yang sangat lihai, seorang pendatang baru
dari barat. Kabarnya karena munculnya wanita itu maka para pembesar di daerah
ini amat berubah, berani berlaku sewenang-wenang. Orang-orang gagah yang
mencoba menentangnya, semua tewas atau roboh oleh Ang-jiu Toanio, iblis wanita
itu. Karena ingin menyingkirkan biang keladi penyalah-gunaan kekuasaan dengan
mengandalkan orang kuat itu, sengaja aku mendatangi Ang-jiu Toanio dan
kesudahannya aku terluka..."
Sudah
bergolak darah Swan Bu mendengar ini. Akan tetapi dia pun terheran, mengapa
seorang wanita tua, seorang tokoh kang-ouw, membantu pembesar she Lo itu.
"Lopek, mari kau antarkan aku pergi menemui Lo-ciangkun itu. Biarkan aku
yang bicara dengannya, apa bila dia masih bertindak sewenang-wenang dan hendak
mengandalkan Ang-jiu Toanio, biar aku akan coba-coba menghadapinya."
Girang hati
kakek itu. "Akan tetapi, harap kau suka berhati-hati, Siauwhiap.
Ketahuilah, Ang-jiu Toanio benar-benar luar biasa sekali. Tinggalnya di kuil
rusak di sebelah selatan kota, keadaannya penuh rahasia, seperti iblis saja.
Tidak ada orang yang pernah dapat memasuki kuil itu. Semua orang gagah,
termasuk aku sendiri, roboh di halaman kuil oleh pukulan-pukulan Ang-see-ciang
yang luar biasa."
"Biar
aku akan mencobanya, Lopek. Mari!"
Toan-kiam
Lo-kai dengan hati besar lalu mengiringi Swan Bu menuju ke rumah gedung tempat
tinggal Lo-ciangkun. Gedung besar itu dijaga beberapa orang pengawal yang
bersenjata tombak dan golok. Begitu para penjaga itu melihat Toan-kiam Lo-kai,
mereka terkejut dan panik. Baru kemarin pengemis tua itu telah membikin onar
dan mereka yang tidak melihat sendiri sudah mendengar bahwa pengemis itu telah
dirobohkan oleh Ang-jiu Toanio, bagaimana sekarang berani muncul di gedung ini
lagi?
"He,
berhenti! Kalian siapa dan mau apa?" bentak mereka dan berbarislah belasan
orang pengawal menjaga di depan pintu, sebagian lagi lari ke dalam untuk
melaporkan kepada Lo-ciangkun.
"Aku
hendak bicara dengan Lo-ciangkun. Kalian ini para penjaga harap jangan bikin
ribut, aku tidak ada urusan dengan kalian. Lebih baik lekas melaporkan kepada
Lo-ciangkun bahwa aku Swan Bu minta bicara dengannya," kata Swan Bu dengan
tenang, kemudian dia melangkah terus maju melalui pintu gerbang menuju ke
ruangan depan.
Para
pengawal itu hanya mengurung, namun tidak berani menghalangi, terutama sekali
mereka takut terhadap Toan-kiam Lo-kai yang diam saja, hanya melirik ke kanan
dan kiri dengan matanya yang sipit.
"Orang
muda, berhenti, tidak boleh masuk! Apa kami harus menggunakan kekerasan?!"
Komandan jaga membentak dan mengacung-acungkan tombaknya.
"Apa
bila Lo-ciangkun tidak mau keluar menemuiku, aku akan terus maju mencarinya ke
dalam rumah sampai ketemu, soal kekerasan, terserah kalau hendak
menggunakannya!" jawab Swan Bu, masih tetap tenang dan kakinya masih
bergerak maju.
Pengemis tua
itu diam-diam merasa khawatir dan mengikuti dari belakang. Dia anggap perbuatan
Swan Bu itu biar pun gagah berani, akan tetapi sembrono sekali. Bagaimana boleh
memasuki mulut harimau secara begini sembrono?
Tentu saja
terhadap para penjaga itu dia tidak takut sama sekali, tetapi dia pun maklum
bahwa selain Lo-ciangkun sendiri seorang pandai, juga di situ terdapat banyak
jago yang tangguh. Siapa tahu kalau-kalau wanita iblis itu berada di situ pula.
Para penjaga itu sudah mengurung dan bersiap menerjang dengan senjata mereka
yang berkilauan tajam. Akan tetapi tiba-tiba mata mereka silau oleh gulungan
sinar putih yang panjang berkelebatan, disusul suara nyaring.
Sinar itu
segera lenyap dan hanya tampak tangan pemuda itu bergerak mengembalikan pedang
ke belakang punggung dan belasan batang tombak di tangan para pengawal itu
tinggal gagangnya saja! Dengan gerakan yang sulit diikuti mata saking cepatnya,
dan dengan cara yang amat luar biasa, pemuda itu telah mencabut pedang dan
membuntungi belasan batang tombak tanpa mereka ketahui. Malah cara pemuda itu
tadi mencabut pedang, menggerakkan, kemudian menyimpannya kembali, tak seorang
pun di antara mereka dapat melihat jelas. Seperti sulap saja.
Toan-kiam
Lo-kai sendiri mengangguk-angguk dan bukan main kagum di hatinya. Itulah
gerakan ilmu pedang yang luar biasa, kesaktian yang hanya mungkin dimiliki oleh
putera Pendekar Buta.
"Kalian
lihat, aku tidak berniat buruk, buktinya leher kalian tidak putus. Aku hanya
ingin bicara dengan Lo-ciangkun!" kata pula Swan Bu, suaranya tetap
tenang.
Paniklah
para penjaga itu, untuk mundur mereka takut meninggalkan tugas, maju pun jeri
menghadapi pemuda yang luar biasa itu. Mereka hanya berdiri mengurung di
ruangan depan itu, muka pucat dan badan gemetar. Swan Bu dan pengemis tua itu
duduk di atas bangku yang banyak terdapat di ruangan itu.
"Lekas
laporkan kepada Lo-ciangkun!" tiba-tiba pengemis itu membentak, suara
galak.
"Sudah
lapor... sudah lapor...,“ seorang penjaga menjawab ketakutan.
Tiba-tiba
pintu sebelah dalam terbuka lebar dan muncullah seorang laki-laki tinggi kurus.
Pria berpakaian perwira ini di dampingi oleh empat orang yang tinggi tegap,
berpakaian ringkas dengan sikap seperti jagoan-jagoan.
"Ada
apakah ribut-ribut di sini...? Ehh, kau berani datang lagi? Benar-benar kau
hendak memberontak!" bentak perwira tinggi kurus itu sambil melotot ke
arah Toan-kiam Lo-kai.
Swan Bu
cepat bangun berdiri, tegak dan gagah. "Kaukah yang disebut
Lo-ciangkun?" tanyanya, suaranya nyaring.
Komandan itu
memandang marah. "Betul, aku Lo-ciangkun. Orang muda, kau tampan dan
gagah, jangan kau ikut-ikut jembel pemberontak ini..."
"Lo-ciangkun,
Lopek ini hanya mengantar aku ke sini. Akulah yang sengaja datang ingin bicara
denganmu tentang perbuatan sewenang-wenang yang kau lakukan di kota ini dan
daerahnya. Kau memaksa orang-orang yang tidak mampu memberi uang tebusan untuk
kerja paksa mengerjakan tembok besar dan terusan, dengan alasan bahwa itu
adalah perintah kaisar. Orang-orang miskin, pengemis-pengemis, kau paksa serta
kau tahan, akan tetapi mereka yang mampu membayar uang tebusan, yang mampu
menyogok kau bebaskan. Benarkah ada perbuatan sewenang-wenang macam ini?"
Walau pun
sejak kecil Swan Bu tinggal di gunung-gunung, pertama di Hoa-san kemudian
pindah ke Liong-thouw-san, namun dia banyak mendengar dari ayah bundanya
tentang keadaan kota raja dan sejarahnya.
Wajah
perwira itu menjadi merah saking marahnya. "Keparat, kau ini mempunyai kedudukan
apa berani bicara macam itu kepadaku? Anak kecil yang masih ingusan dan belum
tahu apa-apa, sikapmu yang kurang ajar ini akan mencelakakan kau sendiri.
Mengingat akan usiamu yang muda, biarlah kuampuni. Hayo pergi dan jangan banyak
rewel lagi!"
Diam-diam
Swan Bu berpikir…..
Melihat
sikap ini, Lo-ciangkun bukanlah seorang yang sangat kejam dan menggunakan
kedudukannya bertindak sewenang-wenang. Buktinya masih memperlihatkan kesabaran
terhadap seorang pemuda seperti dia, padahal menurut pendapat umum, sikapnya
tadi itu sudah tentu merupakan pelanggaran yang tidak boleh diampuni lagi
terhadap seorang pembesar pemerintah.
"Lo-ciangkun,
para lopek dari Hwa-i Kaipang sudah berusaha untuk memberi peringatan kepadamu
bahwa sepak terjangmu ini sudah melanggar keadilan, akan tetapi kau malah
menggunakan kedudukanmu untuk menindas mereka dengan alasan memberontak. Kau
insyaflah dan ubahlah peraturan yang tidak adil itu sebelum terlambat!”.
“Orang muda
sombong!" teriak seorang di antara empat jagoan tinggi besar itu.
Tanpa perlu
komando lagi, empat orang itu sudah menerjang maju dengan golok besar di
tangan. Jelas bahwa mereka ini hendak membunuh Swan Bu dan si pengemis tua.
"Lopek,
jangan ikut-ikut!" kata Swan Bu.
Mendengar
ini, Toan-kiam Lo-kai enak-enakan duduk saja menonton dan tubuh Swan Bu
berkelebat cepat ke depan didahului gulungan sinar perak dan keempat orang itu
roboh malang-melintang, golok mereka terbabat buntung dan lengan mereka
tergurat pedang sampai berdarah, sedangkan dada mereka masing-masing sudah
tercium ujung sepatu Swan Bu.
"Anjing-anjing
tukang menyiksa orang!" Toan-kiam Lo-kai berkata sambil tertawa.
"Tidak lekas mengempit ekor dan lari, apa mau tunggu digebuk lagi?"
Empat orang
itu masih belum kehilangan rasa kagetnya. Mereka terbelalak memandang ke arah
Swan Bu, kemudian lari tunggang-langgang ke luar!
"Lo-ciangkun,
kau saksikan sendiri betapa aku bertekad untuk membela pendirianku, bila perlu
dengan pertumpahan darah, karena yang kulakukan ini adalah demi nasib ribuan
orang yang tidak berdosa," kata Swan Bu, berdiri tegak dan gagah.
Para
pengawal yang berdiri di dekat dinding mengurung tempat itu, hanya terbelalak
dan tidak berani berkutik, menanti komando komandan mereka. Akan tetapi
Lo-ciangkun tidak memberi komando itu, malah menarik nafas panjang, lalu menggerakkan
tangan berkata, "Mereka sudah pergi, sekarang boleh kita bicara. Orang
muda, kau ini siapakah dan hak apakah yang kau miliki untuk mencampuri
tugasku?"
"Aku
Kwa Swan Bu, hanya rakyat biasa. Kau seorang pembesar yang digaji dengan uang
hasil keringat rakyat, karena itu setiap orang berhak untuk menilai dan mencela
tugasmu jika kau menyeleweng, ketahuilah bahwa pada puluhan tahun yang lalu,
nenek moyang dan ayahku berjuang mati-matian membela negara dan rakyat, bahkan
ayahku ikut pula membantu perjuangan kaisar sekarang, namun tidak murka akan
kedudukan. Pamanku seorang pejuang yang besar jasanya, sekarang menjadi
Jenderal Bun yang terkenal jujur dan berwibawa sebagai jaksa agung di Tai-goan.
Sedangkan kau ini, mungkin tak pernah ikut berjuang, tetapi setelah sekarang
menemukan pangkat sedikit saja lalu kau gunakan untuk memeras rakyat jelata,
berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu. Hemmm, mana bisa aku
mendiamkan saja kau membunuhi rakyat yang tidak berdosa?"
Pucat wajah
Lo-ciangkun. Tentu saja dia amat mengenal siapa adanya Bun-goanswe di Tai-goan.
Ternyata pemuda perkasa ini adalah keponakan jenderal itu! Dengan tubuh lemas
dia menjatuhkan diri duduk di atas bangkunya.
"Siapa
membunuh ? Mereka itu disuruh bekerja, dijamin..."
"Omong kosong!"
Kini Toan-kiam Lo-kai yang bicara. "Mereka meninggalkan anak isteri yang
harus makan setiap hari. Kalau mereka dibawa pergi, anak isterinya harus makan
apa? Pula, di tempat kerja mereka hampir tidak diberi makan."
"Sudahlah...
sudahlah, semua itu terjadi akibat terpaksa..." akhirnya Lo-ciangkun
berkata dengan muka pucat. "Bukan salahku... bukan salahku...." Dia
menutupi mukanya seperti orang ketakutan.
"Lo-ciangkun,
tidak perlu main sandiwara lagi, apa artinya semua ini?" Swan Bu berkata,
keningnya berkerut.
"Kau
lihat empat orang tadi... mereka bukanlah orangku, mereka adalah orang-orang...
dia..."
"Dia
siapa?" Swan Bu mendesak, terheran-heran melihat pembesar itu begitu
ketakutan.
"Peraturan
dari kota raja sudah cukup adil. Memang yang dapat menyumbangkan harta boleh
dibebaskan dari kerja suka rela, dan uang itu diperlukan untuk menjamin para
suka relawan serta menjamin keluarga mereka yang ditinggalkan selama tiga bulan
sebelum diganti dengan rombongan lain. Semua sudah diatur, orang yang sakit tak
akan dipaksa, hanya yang sehat dan tidak mempunyai pekerjaan penting... tapi...
tapi... di daerah ini... dikuasai dia... kami terpaksa menyerahkan uang tebusan,
bila tidak... ahhhh!" Pembesar itu tiba-tiba roboh terguling.
Swan Bu
cepat-cepat melompat ke luar melalui sebuah jendela sambil menendang daun
jendela. Pedangnya merupakan gulungan sinar putih menerjang keluar dan
terdengarlah jeritan di luar jendela. Seorang bermuka kuning yang kecil pendek
roboh mandi darah.
"Siapakah
kau?! Mengapa menyerang Lo-ciangkun dengan jarum beracun?" Swan Bu
membentak,
"Aku...
aku... atas perintah... Toanio...!" Orang itu berhenti bicara dan nafasnya
putus.
Kiranya terjangan
Swan Bu tadi tidak saja melukai lehernya, akan tetapi juga beberapa batang
jarum beracun yang tadi sudah meluncur masuk, kena ditangkis pedangnya lalu
membalik dan melukai si penyambit sendiri.
Geger di
ruangan itu. Lo-Ciangkun rebah dengan muka biru dan nafas putus!
Toan-kiam
Lo-kai berkata lirih, "Nah, agaknya Ang-jiu Toanio dan orang-orangnya yang
tadi turun tangan. Siauwhiap, terang bahwa para pembesar itu diperas dan
dipaksa oleh Ang-jiu Toanio. Sekarang, apa yang hendak kau lakukan?"
"Lopek,
agaknya wanita yang bernama Ang-jiu Toanio itu memiliki banyak kaki tangan.
Yang menyambit jarum itu tentulah kaki tangannya yang tidak menghendaki
Lo-ciangkun membuka rahasia. Lopek, harap kau suka kumpulkan kawan-kawanmu
Hwa-i Kaipang dan kita menyerbu ke kuil itu. Biarkan aku menghadapi Ang-jiu
Toanio dan kalau anak buahnya bergerak, kau dan teman-teman membasmi
mereka."
Gembira
wajah kakek itu. "Baik, Siauwhiap. Sedikitnya ada tujuh orang temanku di
sini, cukup untuk membasmi setan-setan itu."
Demikianlah,
pada petang hari itu juga Swan Bu melakukan perjalanan ke kuil di sebelah
selatan kota setelah siang tadi dia menyelidiki tempat itu. Dan secara
kebetulan sekali dia bertemu dengan Lee Si yang bermalam di kamar hotel. Swan
Bu terkejut sekali dan merasa heran mengapa hatinya menjadi tidak karuan ketika
sepasang matanya bentrok dengan sepasang mata yang seperti mata burung hong
itu. Beberapa kali dia menengok, sehingga akhirnya dia merasa malu kepada diri
sendiri dan mempercepat langkahnya meninggalkan nona cantik jelita yang sedang
berdiri di depan pintu rumah penginapan itu.
Dari
gerak-gerik si nona dia dapat menduga bahwa gadis jelita itu tentulah bukan
orang sembarangan. Mungkin seorang tamu rumah penginapan itu, dan melihat
kebebasannya, tentu seorang wanita kang-ouw. Akan tetapi karena dia menghadapi
urusan besar, Swan Bu mengusir bayangan nona itu dari ingatannya dan dia
langsung menuju ke kuil tua yang berdiri sunyi di pinggir kota.
Setelah tiba
di depan kuil yang sunyi itu, dia berhenti. la maklum bahwa di kanan kiri kuil,
bersembunyi di balik pohon-pohon, terdapat Toan-kiam Lo-kai yang berjaga-jaga
sambil menyembunyikan diri. Hati Swan Bu jadi meragu. Kuil itu sudah tua, kotor
dan agaknya kosong. Jangan-jangan Ang-jiu Toanio yang menjadi biang keladi
penindasan di kota Kong-goan sudah melarikan diri. Tak mungkin, pikirnya.
Wanita itu tentu memiliki kepandaian tinggi, sebelum bertanding melawannya mana
mungkin mau lari?
Tempat itu
menyeramkan, sunyi seperti kuburan akan tetapi tidak gelap karena berada di
tempat terbuka sehingga matahari yang sudah hampir menyelam itu masih menerangi
halaman depan. Halaman kuil tadinya tertutup pagar tembok yang tinggi, tetapi
karena pagar tembok itu banyak yang runtuh, sekarang menjadi terbuka dan di
sana-sini tampak ada pintu yang terbentuk dari tembok runtuh berlubang. Rumah
tua yang menyeramkan, kotor dan sunyi, patutnya menjadi tempat tinggal
siluman-siluman.
Tiba-tiba
dari pintu yang butut itu keluarlah seorang wanita tua, wanita yang
tersenyum-senyum dan sanggul rambutnya dihias oleh setangkai bunga merah.
Wanita itu setibanya di halaman kuil berkata, suaranya penuh ejekan,
"Bocah
she Kwa, kau masih berani datang ke sini? Lihatlah di sebelah kiri kuil di mana
teman-temanmu sudah mendapat hukuman!"
Mendengar
ini, Swan Bu terkejut, teringat akan Toan-kiam Lo-kai dan teman-temannya
anggota Hwa-I Kaipang. Dengan gerakan cepat dia melompat dan berlari ke arah
kiri kuil dan... wajahnya berubah merah sekali. Nenek itu ternyata tidak
membohong. Di pelataran pinggir itu tampak tujuh mayat bergelimpangan, di
antaranya adalah Toan-kiam Lo-kai dan yang enam lagi jelas anggota Hwa-i
Kaipang karena pakaian mereka semua penuh tambalan berkembang!
Dengan kemarahan
memuncak Swan Bu lari kembali ke depan kuil, berdiri di luar tembok dan
menghadap nenek yang masih berada di situ dari balik pecahan pagar tembok.
"Apakah kau yang bernama Ang-jiu Toanio?" tanya Swan Bu, suaranya
ditekan supaya tidak terdengar menggigil saking marahnya. "Dan kaukah yang
membunuh tujuh orang Hwa-i Kaipang itu?"
Nenek itu
tersenyum, kembang merah di atas kepalanya bergoyang-goyang. "Dan kau Kwa
Swan Bu putera Pendekar Buta Kwa Kun Hong, bukan? Hi-hik-hik, kebetulan sekali
kita berjumpa di sini. Di sini aku disebut Ang-jiu Toanio, akan tetapi di
tempatku aku adalah Ang-hwa Nio-nio, ketua Ang-hwa-pai, musuh besar ayahmu. Kau
berani masuk ke sini dan mengadu kepandaian melawanku?"
Bila tadi
Swan Bu sudah marah sekali, sekarang serasa meledak dadanya. Kiranya inilah
orang yang mengumpulkan teman-teman untuk menyerbu Liong-thouw-san? Kebetulan
sekali! "Siapa yang takut padamu? Orang semacam kau inikah yang hendak
menantang ayah? Ha-ha-ha-ha, nenek tua hampir mampus, tidak usah dengan ayah
ibu, cukup dengan aku puteranya!"
Sekali
menggerakkan kakinya, tubuh Swan Bu sudah melayang masuk dan menghadapi Ang-hwa
Nio-nio yang sudah siap memasang kuda-kuda dengan sikap mengejek itu.
Pembaca
tentu heran mengapa Ang-hwa Nio-nio, ketua Ang-hwa-pai di Ching-coa-to itu bisa
berada di Kong-goan? Ini bukanlah hal kebetulan karena memang sengaja Ang-hwa
Nio-nio beserta rombongannya datang ke Kong-goan ini untuk menyambut
suheng-nya, Maharsi. Kedatangan Ang Mo-ko, bekas tokoh pengawal istana dari
kaisar sebelumnya, juga ikut, demikian pula Ouwyang Lam dan Siu Bi.
Seperti kita
ketahui, gadis ini menangis ketika ditinggalkan Si Jaka Lola Yo Wan setelah dia
mengaku bahwa dia adalah puteri angkat The Sun. Dalam keadaan berduka ini dia
diketemukan oleh Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya yang tentu saja mempergunakan
kesempatan bagus ini untuk membujuknya, kembali menggabungkan diri dengan
mereka untuk menghadapi musuh besarnya, Pendekar Buta.
Tadinya Siu
Bi menyandarkan harapannya pada bantuan Yo Wan, akan tetapi setelah Yo Wan
ternyata adalah musuh besar ayah tirinya dan tidak mungkin mau membantunya,
memang paling baik baginya adalah menggabungkan diri dengan rombongan Ang-hwa
Nio-nio yang kuat. Kong-goan, Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya mengambil tempat
di kuil tua itu karena memang di tempat itulah dia berjanji dalam pesannya
kepada Maharsi untuk menyambut kedatangan suheng-nya dari barat ini. Dan tentu
saja, untuk melayani segala keperluan mereka, Ang-hwa Nio-nio diikuti pula oleh
serombongan anak buahnya yang cukup kuat.
Karena pada
dasarnya memang penjahat, di Kong-goan Ang-hwa Nio-nio segera melihat
kesempatan baik untuk mendapatkan uang banyak ketika datang pembesar dari kota
raja untuk mengumpulkan orang yang dijadikan suka relawan yang pada masa itu
dibutuhkan sekali untuk memperbaiki bangunan tembok besar dan saluran air.
Kong-goan
terletak amat jauh dari kota raja, merupakan kota yang terpencil dan dengan
kepandaiannya yang tinggi Ang-hwa Nio-nio mampu menguasai pembesar-pembesar
itu, mengancam mereka untuk melakukan pemerasan dalam kesempatan mengumpulkan
tenaga-tenaga kerja paksa. Mudah saja ia lakukan hal ini tanpa khawatir akan
terganggu, sebab ia menaruh beberapa orang anak buahnya untuk ‘menjaga’ para
pembesar yang bersangkutan, di antaranya Lo-ciangkun.
Tentu saja
mula-mula dia mendapatkan tentangan hebat, namun sesudah banyak orang roboh
oleh pukulan tangannya yang berubah merah, ia mendapat julukan Ang-jiu Toanio
(Nyonya Besar Tangan Merah) dan tak seorang pun beran membantahnya lagi.
Akhirnya para pengemis Hwa-i Kaipang mendengar mengenai hal ini dan turun
tangan. Akan tetapi mereka roboh pula di tangan Ang-jiu Toanio atau Ang-hwa
Nio-nio bersama teman-temannya yang amat lihai itu.
Demikianlah
ringkasan tentang kehadiran Ang-hwa Nio-nio di Kong-goan. Kita kembali ke depan
kuil di mana Swan Bu sedang berhadapan dengan nenek itu. Swan Bu maklum bahwa
lawannya ini lihai, namun melihat nenek itu tidak menggunakan senjata, dia pun
tak mau mengeluarkan Gin-seng-kiam yang tersimpan di balik jubahnya. Matanya
yang tajam memandang ke arah kedua tangan nenek itu yang perlahan-lahan berubah
merah ketika nenek itu mengerahkan Ang-see-ciang.
Swan Bu
tidak menjadi gentar, dia telah mendengar banyak tentang Tangan Pasir Merah ini
dari ayah bundanya dan karenanya ia pun maklum bagaimana harus menghadapinya.
Cepat-cepat dia menyalurkan sinkang di tubuhnya dan ‘mengisi’ dua lengannya
dengan tenaga lemas yang mengandung Im-kang hingga kedua tangannya menjadi
lunak halus dan gerakannya mengeluarkan hawa dingin seperti es.
Akan tetapi
sebelum nenek itu menyerangnya, Swan Bu mendengar ada gerakan orang di sebelah
belakangnya. Segera dia menggeser kakinya, mengubah kuda-kuda menjadi miring
dan matanya mengerling ke arah luar. Kiranya di tempat itu telah berdiri
belasan orang anggota Ang-hwa-pai yang memegang senjata, berjajar menutup jalan
keluar, di antara mereka terdapat empat orang yang dia robohkan di gedung
Lo-ciangkun! Mengertilah dia bahwa dia kini berada di goa harimau dan harus
berjuang mati-matian sebab agaknya lawan berusaha sungguh-sungguh untuk
menjebaknya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk lolos dari tempat itu.
Pada saat
itu juga, muncul pula tiga orang dari pintu kuil. Mereka ini bukan lain adalah
Ouwyang Lam, Siu Bi, dan seorang kakek yang pakaiannya serba merah dan mukanya
tersenyum-senyum. Usianya sudah sangat tua, sedikitnya tujuh puluh lima atau
delapan puluh tahun, memegang sebatang tongkat bambu yang digunakan menunjang
tubuhnya yang agak bongkok. Kakek ini bukan lain adalah Ang Mo-ko, seorang
tokoh yang cukup terkenal selama puluhan tahun di kota raja.
Sejenak Swan
Bu tertegun ketika bertemu pandang dengan gadis yang cantik jelita itu.
Teringat dia akan pertemuannya di depan rumah penginapan tadi. Hampir serupa
gadis ini dengan gadis tadi, tetapi malah lebih jelita, terutama sepasang
matanya yang begitu lincah dan tajam. Siu Bi juga memandang Swan Bu penuh
perhatian, pandang matanya menjadi bimbang dan ragu. Inikah putera Pendekar
Buta? Betulkah seperti yang dia dengar dari Ang-hwa Nio-nio bahwa putera
tunggal Pendekar Buta akan datang menyerbu? Dan pemuda yang luar biasa tampan
dan gagahnya inikah musuh besarnya? Diam-diam Siu Bi tertegun dan terpesona.
Belum pernah ia melhat seorang pemuda sehebat ini.
Wajahnya
berkulit halus putih kemerahan seperti wajah perempuan, akan tetapi alisnya
yang tebal hitam, dagunya yang berlekuk sedikit tengahnya, pandang mata yang
amat berwibawa, dada bidang yang membayangkan kekuatan, semua itu membayangkan
sifat jantan yang mengagumkan. Akan tetapi teringat lagi bahwa pemuda ini
adalah putera musuh besar yang akan dibalasnya, matanya bernyala penuh
kebencian.
Swan Bu
dengan tenang menghadapi pengepungan ini, bahkan dia tersenyum karena memang hatinya
girang sekali mendapat kenyataan bahwa musuh-musuh orang tuanya ternyata adalah
orang-orang jahat.
"Ang-hwa
Nio-nio, memang betul kata-katamu tadi. Amat kebetulan kita dapat bertemu di
sini karena sebenarnya aku hendak pergi ke Ching-coa-to untuk mewakili orang
tuaku yang kabarnya hendak kau cari dan kau tantang. Sekarang, melihat sepak
terjangmu dan kawan-kawanmu, hatiku lega bukan main. Kiranya macam beginilah
musuh-musuh orang tuaku, atau lebih tepat lagi, orang-orang yang memusuhi orang
tuaku karena aku yakin bahwa orang tuaku tidak akan mau mencari permusuhan. Apa
bila orang-orang yang memusuhi orang tuaku jahat-jahat belaka, jelas bahwa di
waktu dahulu orang tuaku tidak berada di pihak yang salah."
Baru saja
Swan Bu menutup mulutnya, Ang-hwa Nio-nio sudah menerjang maju sambil
membentak, "Bocah sombong rasakan tanganku!"
Kedua
tangannya yang sudah berubah menjadi merah itu menerjang maju dan mengirim
pukulan beruntun. Jangan dipandang rendah pukulan ini karena inilah
pukulan-pukulan Ang-see-ciang yang amat hebat. Jangankan sampai tangan-tangan
merah itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk
merobohkan lawan yang tidak begitu tinggi ilmu kepandaiannya. Kedua tangan yang
merah itu terbuka jari-jarinya, agak melengkung dan hawa pukulan yang menyambar
dari telapak tangan itu sangat panas seperti api membara.
Akan tetapi
Swan Bu yang sudah mengerahkan Im-kang pada kedua lengannya, bahkan sengaja
kakinya melangkah maju dan menyambut pukulan-pukulan itu dengan tangkisan lengannya.
Dia hendak menguji kekuatan lawan sambil sekaligus juga memperlihatkan
kepandaiannya. Nenek itu girang, juga heran sekali melihat pemuda ini berani
menerima Ang-see-ciang. Ia pastikan bahwa pemuda itu tentu akan roboh dalam
segebrakan saja. la menambah tekanan pada kedua lengannya.
"Duk!
Dukkk!!"
Dua kali
lengan mereka bertemu susul-menyusul dalam waktu yang singkat sekali dan
hasilnya... Ang-hwa Nio-nio melompat ke belakang dua meter jauhnya sambil
meringis kesakitan karena kedua lengannya serasa akan patah, sedangkan pemuda
itu masih berdiri tetap dan tenang, biar pun diam-diam dia kaget karena kedua
pundaknya serasa tergetar, tanda bahwa nenek itu benar-benar hebat
kepandaiannya.
"Bibi
Kui Ciauw, biarkan aku menghadapi musuh besarku ini!"
Tiba-tiba
saja Siu Bi sudah melompat ke depan Swan Bu dengan pedang Cui-beng-kiam di
tangannya. Sikapnya sangat angkuh ketika dia menggerak-gerakkan pedang di depan
dada sambil membentak,
"Orang
she Kwa, bersiaplah kau untuk menerima hukuman dariku atas dosa ayahmu!"
Swan Bu
mengerutkan keningnya. Sombongnya anak ini, pikirnya. Menyebut Ang-hwa Nio-nio
bibi, tentu keponakannya dan karena itu, tentu bukan orang baik-baik. Akan
tetapi ucapan Siu Bi tadi membuat dia penasaran.
"Memberi
hukuman adalah urusan mudah, tapi jelaskan apa dosa ayahku dan hukuman apa yang
hendak kau jatuhkan kepadaku," jawabnya tenang.
Tak enak
juga hati Siu Bi menyaksikan sikap begini tenang. Segala gerak-gerik pemuda ini
membayangkan seorang gagah yang baik, tiada cacad celanya sehingga hatinya
tidak senang. Andai kata putera Pendekar Buta ini seorang pemuda berandalan dan
kurang ajar, hatinya akan lebih senang untuk memusuhinya. Akan tetapi ia
mengeraskan hatinya dan membentak,
"Ayahmu
si buta itu sudah membuntungi lengan kakekku Hek Lojin, oleh karena itu aku
telah bersumpah untuk membalas dendam, membuntungi lengan Pendekar Buta beserta
anak isterinya. Karena kau adalah puteranya, sekarang aku akan membuntungi
sebelah lenganmu agar roh kakekku dapat tenteram!"
Swan Bu
tersenyum mengejek. "Roh orang jahat mana mungkin tenteram keadaannya?
Tentu sudah dilempar ke neraka dan selamanya akan terbakar api derita! Apa bila
ayah membuntungi lengan kakekmu, itu berarti bahwa kakekmu adalah orang
jahat...!”
"Setan,
lancang amat mulutmu!" Siu Bi menjerit sambil menggerakkan pedangnya
disusul dengan pukulan tangan kirinya. Hebat serangan ini, pedangnya menjadi
segulung sinar hitam menuju leher dan tangan kirinya membayangkan uap hitam
menerjang dada.
"Aihhh,
ganas...!" Diam-diam Swan Bu mengeluh. Cepat dia melempar diri ke belakang
berjumpalitan sambil mencabut pedang Gin-seng-kiam.
"Trang!
Tranggg!!"
Sepasang
pedang hitam dan putih bertemu, bunga api berpijar menyilaukan mata dan Siu Bi,
seperti halnya Ang-hwa Nio-nio tadi, melompat ke belakang dengan lengan kanan
serasa lumpuh. Ternyata bahwa dia kalah kuat dalam tenaga sinkang sehingga
dalam pertemuan senjata tadi hampir saja dia melepaskan pedangnya.
"Jangan
takut, Bi-moi moi, aku membantumu!" seru Ouwyang Lam yang sudah melompat
maju, siap mengeroyok.
"Aku
tidak membutuhkan bantuanmu!" bentak Siu Bi masih mendongkol dan penasaran
karena sekali tangkis saja ia hampir keok tadi. Kalau dalam segebrakan saja dia
sudah dibantu Ouwyang Lan dan mengeroyok Swan Bu, bukankah hal ini sangat memalukan
dirinya?
"Kau
akan kalah, dia lihai...!" kata Ang-hwa Nio-nio yang juga melangkah maju.
Swan Bu
menggerak-gerakkan pedang di depan dadanya, tersenyum mengejek, "Hayo
kalian keroyoklah! Aku tidak takut dan memang aku tahu, pengecut-pengecut semacam
kalian kalau tidak main keroyokan mana berani maju?"
"Pemuda
sombong, lihat tongkat!"
Ang Mo-ko
sudah menyapu dengan tongkat bambunya. Biar pun tongkat ini terbuat dari bambu
yang ringan, ketika menyambar mengeluarkan suara bersiutan sehingga Swan Bu
tidak berani memandang ringan. Ia lalu melompat ke atas menyelamatkan diri
sambil memutar pedang menangkis pedang Ouwyang Lam yang sudah menusuknya.
Ouwyang Lam adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Maklum bahwa tadi gurunya
dan juga Siu Bi tidak kuat melawan tenaga Swan Bu, dia tidak mau mengadu
pedang, cepat menarik pedangnya dan dari samping dia mengirim bacokan kilat
yang juga dapat dielakkan oleh Swan Bu.
Pemuda
Liong-thouw-san ini sudah memutar pedang mendahului Ang-hwa Nio-nio yang sudah
mengeluarkan pedang pula, akan tetapi serangannya dapat ditangkis oleh ketua
Ang-hwa-pai itu. Dari luar mendatangi anak buah Ang-hwa-pai dan sebentar saja
Swan Bu sudah dikurung dan dikeroyok banyak orang lawan.
"Tak
sudi aku! Tak sudi! Masa satu orang dikeroyok begini banyak. Aku tak sudi
dibantu!" berkali-kali Siu Bi berteriak-teriak penuh kemarahan, berdiri di
pinggir sambil memegangi pedangnya.
Hatinya
kecewa bukan main. Biar pun dia tak akan ragu-ragu untuk membalas dendam,
membuntungi lengan kiri pemuda tampan putera Pendekar Buta itu namun ia merasa
jijik dan rendah sekali bila harus mengeroyok seorang musuh dengan begitu
banyak teman. Sungguh perbuatan yang amat memalukan dan rendah sekali.
Diam-diam ia
memperhatikan Swan Bu, mengagumi gerakan ilmu pedangnya yang amat aneh dan
kuat, lalu membandingkan pemuda musuh itu dengan Ouwyang Lam. Seperti burung
hong dibandingkan dengan burung gagak. Bagaikan seekor naga dibandingkan dengan
ular beracun. Sebetulnya, biar pun dikeroyok begitu banyak lawan, Swan Bu tidak
gentar sedikit pun juga, karena andai kata dia terdesak menghadapi tiga orang
terlihai di antara mereka, yaitu Ang-hwa Nio-nio, Ang Mo-ko, dan Ouwyang Lam
dengan mudah dia akan mampu menerjang keluar menyelamatkan diri.
Akan tetapi,
mendengar teriakan Siu Bi tadi, dia tertegun dan merasa bingung. Terang bahwa
gadis itu memiliki watak yang gagah perkasa dan sama sekali tidak patut menjadi
anggota gerombolan ini. Dan mempunyai seorang musuh yang wataknya begitu gagah
perkasa, benar-benar malah mendatangkan rasa gelisah di hatinya.
Ketika Swan
Bu mainkan Im-yang Sin-kiam, pedangnya bergulung seperti seekor naga perak
menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat, lima orang anak buah Ang-hwa-pai
roboh terluka tak mampu melawan lagi. Ang-hwa Nio-nio kaget dan kagum, akan
tetapi juga penasaran. Kalau sekarang mereka tidak sanggup mengalahkan putera Pendekar
Buta, bagaimana mereka akan mampu menyerbu Liong-thouw-san, berhadapan dengan
Pendekar Buta sendiri?
Di lain
pihak, Swan Bu harus mengakui bahwa ketiga orang lawannya itu benar-benar
tangguh sekali. Ilmu pedang Ang-hwa Nio-nio hebat serta ganas, ditambah lagi
tangan kirinya yang memainkan selingan pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun
Merah) yang sebetulnya adalah Ilmu Pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah).
Ilmu silat
pemuda tampan pendek itu serupa dengan nenek ini, hanya masih kalah satu tingkat.
Ada pun Ang Mo-ko Si Iblis Merah itu juga tidak boleh dipandang ringan. Tongkat
bambunya menyambar-nyambar laksana kitiran tertiup angin taufan, mengeluarkan
bunyi nyaring dan mengandung tenaga besar.
Andai kata
tidak dikeroyok, dengan ilmu pedangnya yang hebat, kiranya Swan Bu akan mampu
mengalahkan seorang di antara mereka dengan mudah. Kini, dikeroyok tiga, dia
hanya sanggup mengimbangi saja karena melihat kelihaian daya serangan mereka,
dia harus lebih mengutamakan gerakannya pada penjagaan diri sehingga daya
serangannya sendiri menjadi kurang kuat. Akan tetapi pertahanannya kuat sekali
sehingga betapa pun juga kerasnya tiga orang itu menekannya, dia sama sekali
tidak terdesak.
Tiba-tiba
saja terdengar bentakan nyaring, "Sungguh tak tahu malu serombongan orang
melakukan pengeroyokan!"
Lalu tampak
berkelebat sesosok bayangan yang ringan sekali, didahului menyambarnya sinar
pedang kuning dan robohnya tiga orang anak buah Ang-hwa-pai lainnya. Kiranya
yang datang ini adalah seorang gadis yang cantik jelita yang rambutnya dikuncir
dua dan tergantung di belakang punggungnya. Gadis ini bukan lain adalah Lee Si.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Lee Si yang merasa curiga melihat
gerak-gerik Swan Bu, juga sekaligus tertarik hatinya, diam-diam lalu mengikuti
Swan Bu menuju ke sebelah selatan kota. Dia mengintai dari jauh dan ketika Swan
Bu melompat masuk ke dalam halaman kuil, kemudian berindap-indap mendekati dan
dapat mendengar semua percakapan.
Bukan main
kaget dan girang hatinya ketika mendengar bahwa pemuda yang menarik hatinya itu
tidak lain adalah putera Liong-thouw-san, putera Pendekar Buta. Benar-benar
pertemuan yang sama sekali tidak terduga-duga. Hal ini membuat jantungnya
berdebar tidak karuan, membuat la bimbang dan bingung, tidak tahu apa yang
harus ia lakukan.
la dapat
menduga bahwa putera Liong-thouw-san tentu saja memiliki kepandaian yang luar
biasa, yang jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka ia merasa
serba salah untuk turun tangan membantu. Ia khawatir kalau hal itu akan
merendahkan, tetapi kalau tidak membantu bagaimana? Maka dia hanya mengintai
saja. Kagumlah dia ketika menyaksikan sepak terjang Swan Bu.
Memang sejak
kecil Lee Si tidak banyak kesempatan untuk berjumpa dengan keluarga ayah
bundanya. Hal ini adalah karena keluarga itu terpencar dan tempat tinggalnya
amat jauh. Hanya dengan putera pamannya di Lu-liang-san sajalah pernah ia
bertemu sampai tiga kali, ketika ia masih kecil dan yang terakhir ketika ia berusia
empat belas tahun.
Putera
pamannya di Lu-liang-san itu empat tahun lebih tua darinya, bernama Tan Hwat
Ki. Pamannya, Tan Sin Lee ketua Lu-liang-pai itu hanya mempunyai seorang
putera. Ada pun keluarga lainnya, biar pun dia sudah banyak mendengar penuturan
ayah bundanya dan tahu pula akan nama-nama mereka, tetapi dia jarang sekali,
bahkan ada yang tidak pernah bertemu. Di antara mereka yang belum pernah dia
temui adalah Kwa Swan Bu inilah.
Tentu saja
ia sudah sering kali mendengar ayah bundanya memuji-muji Kwa Kun Hong Si
Pendekar Buta yang sakti. Oleh karena itu, ia dapat menduga bahwa putera
Pendekar Buta tentu lihai pula. Ternyata sekarang secara kebetulan sekali ia
dapat menyaksikan sendiri kepandaian putera Pendekar Buta itu!
Akan tetapi
ketika menyaksikan betapa lihainya tiga orang yang mengeroyok Swan Bu, ditambah
lagi banyak anak buah Ang-hwa-pai maju dari belakang mencari kesempatan untuk
mengirim serangan menggelap, ia tidak dapat tinggal diam lebih lama lagi.
Dengan pedang Oie-kong-kiam di tangan ia menerjang sambil membentak nyaring dan
akibatnya tiga orang anak buah Ang-hwa-pai roboh oleh sinar pedangnya!
Sekilas
pandang ia dapat melihat betapa Swan Bu menoleh kepadanya dan memandang dengan
sinar mata penuh keheranan dan juga kaget karena agaknya pemuda itu masih dapat
mengenalinya dari pertemuan di depan losmen tadi. Sedetik wajah yang cantik itu
menjadi merah, jantungnya berdebar dan untuk menguasai rasa jengah ini Lee Si
segera memperkenalkan diri,
"Kita
masih orang sendiri, aku Tan Lee Si, ayahku ketua di Min-san!"
Kaget dan
girang bukan main hati Swan Bu. Tentu saja dia sudah mendengar nama ini dari
ayah bundanya. Ternyata masih saudaranya sendiri. Saudara? Sebenarnya bukan
apa-apa. Hanya ayahnya masih terhitung paman guru ibunya Lee Si, sungguh pun
usia mereka sebaya. Sebaliknya, ayahnya sebagai orang yang pernah menerima
pelajaran dari Raja Pedang kakek gadis ini, masih terhitung paman guru gadis
ini sendiri!
"Bagus!"
Swan Bu berseru gembira, bukan karena mendapat bantuan melainkan karena
mendapat kenyataan bahwa gadis yang tadi membuat hatinya berdenyut aneh ketika
dia melihatnya di depan losmen itu kiranya bukanlah orang lain!
"Mari
kita basmi kawanan penjahat ini!"
Akan tetapi
pada saat itu Siu Bi sudah melompat dengan gerakan gesit sekali, dengan pedang
mendahuluinya merupakan sinar kehitaman. Dengan pedang melintang di depan dada
Siu Bi menghadapi Lee Si, sejenak pandang matanya menjelajahi gadis Min-san itu
dari atas sampai ke bawah, lalu terdengar dia membentak,
"Kau
tidak suka akan keroyokan, aku pun sangat membenci keroyokan. Hayo sekarang
kita sama-sama muda, sama-sama wanita, tanpa keroyokan, kita mengadu
kepandaian!"
Lee Si tadi
sudah melihat sikap Siu Bi dan biar pun ia dapat menduga bahwa gadis ini
berbeda dengan orang-orang yang lain, namun tetap saja merupakan musuh dan
tentu bukan seorang gadis baik-baik. Akan tetapi karena ia tidak memiliki
permusuhan dengan Siu Bi, juga bahwa ia hanya mau bertanding untuk membantu
Swan Bu yang dikeroyok, maka ia merasa ragu-ragu untuk melayani gadis cantik
yang pedangnya bersinar hitam itu.
"Perempuan
liar, di antara kita tidak ada permusuhan, perlu apa aku melayani kau?"
Dimaki
perempuan liar, tentu saja Siu Bi seketika menjadi naik darah!
"Kau
yang liar, kau yang buas, kau yang ganas! Siapa saja yang menjadi sahabat atau
keluarga dia itu adalah musuhku. Sambut pedangku!" Dengan gerakan yang
amat lincah dan kuat Siu Bi sudah menerjang maju, didahului gulungan sinar
hitam pedangnya.
Tentu saja
Lee Si juga cepat mengangkat pedangnya menangkis dan beberapa menit kemudian
bayangan dua orang gadis yang sama lincahnya ini sudah lenyap, terbungkus oleh
gulungan sinar pedang hitam dan kuning yang saling libat, saling dorong dan
saling tekan. Pertandingan antara kedua orang dara remaja yang sama gesitnya
ini selain amat menegangkan, juga indah sekali dipandang.
Akan tetapi
Lee Si segera menjadi kaget sekali ketika beberapa kali tangan kiri Siu Bi
melancarkan pukulan Hek-in-kang yang amat kuat. Segera dia menjadi sibuk
mengelak karena maklum bahwa pukulan itu adalah semacam pukulan jarak jauh yang
berbahaya sekali.
Tahulah dia
bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang tinggi lagi jahat. Oleh karena itu
ia berlaku sangat hati-hati, kemudian mainkan bagian-bagian Hoa-san Kiam-sut
untuk mempertahankan diri serta bagian Yang-sin Kiam-sut untuk balas menyerang.
Sayang bahwa penggabungan kedua ilmu pedang itu belum sempurna benar sehingga
untuk melayani Cui-beng Kiam-sut dan Hek-in-kang yang memang luar biasa itu ia
pun merasa terdesak hebat.
Memang boleh
diakui bahwa ilmu silat yang telah dipelajari Lee Si merupakan ilmu silat
golongan bersih, karena itu dasarnya lebih kuat dan sifatnya tidaklah liar
seperti ilmu silat yang dimiliki Siu Bi. Akan tetapi oleh karena memang tingkat
kepandaian Hek Lojin jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Tan Kong Bu
dan isterinya, maka tentu saja tingkat Siu Bi juga lebih tinggi dari pada
tingkat Lee Si.
Kalau saja
Siu Bi tidak mempunyai Ilmu Hek-in-kang dan hanya mengandalkan Cui-beng
Kiam-sut, agaknya Lee Si masih sanggup mempertahankan diri. Akan tetapi
sekarang Siu Bi mendesaknya dengan Hek-in-kang yang membuat ia sibuk sekali,
harus melompat ke sana ke mari mengelak dari sambaran uap hitam itu, ditambah
lagi harus menghadapi sinar pedang hitam yang mengurung dirinya dan menutup
semua jalan keluar!
Sementara
itu, pertempuran antara Swan Bu dengan para pengeroyoknya juga berjalan amat
seru. Sekarang tidak ada anak buah Ang-hwa-pai yang berani maju, mereka hanya berjaga-jaga
saja karena setiap kali ada yang maju, baru segebrakan saja tentu roboh mandi
darah disambar sinar pedang putih di tangan Swan Bu.
Akan tetapi,
biar pun pengeroyoknya hanya tiga orang, namun ketiganya adalah ahli-ahli silat
kelas tinggi yang memiliki ilmu kepandaian hebat. Swan Bu memang telah mewarisi
kesaktian ayah bundanya, akan tetapi dia masih kurang pengalaman bertempur.
Andai kata ayahnya berada di situ, tanpa turun tangan membantunya, hanya dengan
nasehat-nasehat saja sudah pasti dia akan dapat menangkan pertandingan ini.
Oleh karena
kekurangan pengalaman inilah dia kekurangan taktik sehingga kurang dapat
menangkap dengan cepat kelemahan-kelemahan lawan, dan terlampau hati-hati dalam
menjaga diri sehingga walau pun pertahanannya rapat sekali, namun daya
serangannya kurang kuat dan kurang berhasil. Apa lagi pada waktu dengan sudut
matanya dia dapat melihat betapa Lee Si sedang terdesak hebat oleh sinar hitam
pedang Siu Bi, hatinya menjadi gelisah sekali.
Pada saat
itu pula terdengar suara ketawa aneh dan muncullah dua orang kakek, yang
seorang tinggi jangkung yang seorang lagi pendek.
"Heh-heh-heh,
sudah ada pesta keramaian di sim!" kata si jangkung dengan suaranya yang
aneh dan asing.
"Suheng!"
Ang-hwa Nio-nio berseru girang sekali ketika mengenal kakek tinggi jangkung
itu, yang bukan lain orang adalah Maharsi si pendeta dari barat. Ada pun si
pendek itu adalah Bo Wi Sian Jin!
"Bantulah
kami menangkap dua bocah setan ini!".
"Heh-heh-heh,
Sianjin. Ini Sumoi (Adik Seperguruan). Kau tangkaplah yang betina, biar aku
tangkap yang jantan!"
Setelah
berkata demikian Maharsi melangkah panjang ke dalam pertempuran, tangannya
mencengkeram dan kagetlah Swan Bu ketika tiba-tiba ada angin keras menyambar
dari atas dan tahu-tahu lengan yang panjang itu mengancamnya. Cepat-cepat
pedangnya dia kibaskan ke atas untuk membuat buntung lengan itu.
"Wah,
boleh juga!" Maharsi memuji.
Perlu
diketahui bahwa Ilmu Silat Pai-san-jiu dari pendeta barat yang tinggi ini,
seperti juga Ilmu Katak Sakti dari Bo Wi Sianjin, adalah ilmu pukulan sakti
yang mengandung sinkang tingkat tinggi sehingga pukulan-pukulan dari dua ilmu
silat ini tidak perlu harus menyentuh tubuh lawan, dari jauh saja sudah cukup
kuat untuk merobohkan lawan yang biasa. Akan tetapi pemuda itu bukan saja tidak
terpengaruh banyak oleh sambaran hawa pukulannya, malah masih dapat membabat
dengan pedangnya yang cukup berbahaya. Karena inilah Maharsi memuji.
Akan tetapi
sambil menarik kembali lengannya, pendeta jangkung ini sudah mengirimkan
serangan bertubi-tubi, susul-menyusul dan angin pukulannya menderu-deru seperti
angin taufan mengamuk. Swan Bu benar-benar kaget sekali. Maklumlah dia bahwa si
jangkung ini benar-benar amat berbahaya. Apa lagi pada saat itu, Ang-hwa
Nio-nio, Ouwyang Lam dan Ang Mo-ko masih terus menerjangnya dengan sengit, maka
pemuda Liong-thouw-san ini betul-betul berada dalam keadaan yang amat
berbahaya.
Ada pun Lee
Si yang menghadapi Siu Bi dan terdesak hebat, tiba-tiba melihat munculnya
seorang kakek pendek yang serta merta menggerakkan tangan menyelonong maju dan
dengan pukulan-pukulan serta dorongan-dorongan kuat menerjang... Siu Bi,
diiringi suara ketawanya terbahak-bahak. Kakek ini adalah Bo Wi Sianjin yang
memandang rendah lawan karenanya dia tidak menggunakan Pukulan Katak Sakti,
namun mendesak dengan pukulan-pukulan jarak jauh biasa. Akan tetapi dia salah
kira dan bukan menyerang Lee Si, malah menerjang Siu Bi.
"Eh-eh-ehh,
Locianpwe, bukan dia musuh kita. Yang seorang lagi...!" seru Ouwyang Lam
kaget sambil melompat mendekati, meninggalkan Swan Bu yang kini telah terdesak
amat hebat itu.
"Hah?!
Yang mana?" Bo Wi Sianjin menghentikan serangannya, tertegun dan bingung.
Sementara
itu, Siu Bi marah sekali. la tadi sedang mendesak Lee Si, sama sekali tidak
membutuhkan bantuan karena ia berada di pihak yang unggul, maka majunya kakek
itu baginya merupakan gangguan yang menjengkelkan.
”Aku tidak
butuh bantuan! Mundur!" serunya dan pedangnya dikerjakan lebih hebat.
Lee Si yang
maklum bahwa dirinya tidak dapat tertolong lagi kalau ada orang lain maju
mengeroyok, menjadi gugup dan sebuah pukulan Hek-in-kang dari Siu Bi tidak
dapat dia hindarkan, mengenai pundaknya sehingga dia terhuyung-huyung.
Kesempatan baik ini digunakan oleh Siu Bi untuk menyapu kaki Lee Si sehingga
gadis ini roboh dan sebuah totokan membuatnya lemas tak dapat bergerak lagi.
Swan Bu yang
sudah terdesak hebat, melihat robohnya Lee Si, menjadi marah sekali.
"Keparat, lepaskan dia!" la membentak.
Tubuhnya
laksana kilat menyambar ke arah Lee Si untuk menolong gadis itu. Akan tetapi
tiba-tiba dari kanan menyambar tongkat bambu Ang Mo-ko menotok lambung. la
cepat menangkis dan melanjutkan gerakannya menolong Lee Si, namun angin
menyambar dari kiri dan Swan Bu merasa seolah-olah tubuhnya didorong oleh
tenaga yang amat dahsyat.
Swan Bu
terlempar dan sebelum dia sempat bergerak, dua buah lengan panjang Maharsi yang
tadi memukulnya sudah mencengkeram pundaknya dan menotok jalan darah pada
punggungnya, membuat dia tidak berdaya lagi. Sepasang orang muda itu telah
tertawan oleh musuh-musuh besarnya.
"Siapakah
dia ini?" Maharsi bertanya kepada sumoi-nya sambil menuding ke arah Swan
Bu yang sudah rebah miring di atas tanah. Mau tak mau pendeta dari barat itu
kagum bukan main karena semuda itu Swan Bu telah memiliki kepandaian yang
hebat.
"Suheng,"
kata Ang-hwa Nio-nio dengan muka berseri. "Kebetulan sekali kau datang dan
amat kebetulan memang, karena bocah ini bukan lain adalah putera Pendekar Buta.
Ular menghampiri penggebuk, bukan?"
"Sudah
terang anak musuh besar, tidak dibunuh tunggu apa lagi?" Ouwyang Lam yang
merasa iri melihat ketampanan dan kegagahan pemuda itu, jauh melebihi dirinya,
cepat mengangkat pedangnya menusuk ke arah dada Swan Bu....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment