Tuesday, August 7, 2018

Cerita Silat Serial Jaka Lola Jilid 09



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
              Serial Jaka Lola

                         Jilid 09


Swan Bu maklum bahwa nyawanya berada di ujung pedang lawan, namun karena dia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, Swan Bu hanya dapat memandang dengan mata tidak berkedip sedikit pun juga.

Orang-orang lain yang berada di situ hanya memandang sambil tertawa, karena pemuda Liong-thouw-san ini memang anaknya musuh besar, berarti musuh pula, apa lagi sudah mengacaukan usaha mereka di Kong-goan, kalau tidak dibunuh mau diapakan lagi?

"Cringgg...!"

Ouwyang Lam kaget dan melompat mundur. Pedangnya yang hampir menancap di dada Swan Bu telah terbentur pedang lain yang telah menangkisnya sehingga muncrat bunga api saking kerasnya benturan itu. Pada waktu semua orang memandang, kiranya yang menangkis itu adalah Siu Bi!

"Eh, kau lagi? Bi-moi, terus terang saja, kau sebetulnya berpihak siapa? Ketika di Ching-coa-to kami hendak membunuh puteri Raja Pedang, kau pun telah menghalangi maksud kami!” kata Ouwyang Lam penasaran.

Sepasang mata yang tajam bening itu berkilat, "Aku berpihak pada diriku sendiri. Bocah ini adalah anak Pendekar Buta, berarti musuh besarku. Aku sudah bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, isterinya serta anaknya, membuntungi lengannya hidup-hidup! Kalau dia dibunuh, apa artinya membuntungi lengannya lagi?"

"Tapi... tapi bukan kau yang merobohkan dia, kau tidak berhak. Kami yang merobohkan dan menawannya, maka kami yang berhak melakukan apa saja terhadap dirinya!"

"Siapa saja yang membunuh dia berarti ingin menghalang-halangi aku untuk membalas dendam dan melaksanakan sumpahku. Tentang siapa yang merobohkan, memang betul kalian yang merobohkan, akan tetapi perempuan ini aku yang merobohkan. Sekarang aku ingin menukarkan dia dengan anak Pendekar Buta ini. Ouwyang-twako, kau boleh ambil dia, biarkan aku membuntungi lengan anak Pendekar Buta tanpa membunuhnya!"

Ouwyang Lam menengok ke arah Lee Si yang menggeletak telentang. Dalam keadaan tertotok dan telentang di atas tanah itu dengan pakaian kusut, gadis cantik ini kelihatan menarik sekali, sangat menggairahkan hati Ouwyang Lam yang memang berwatak mata keranjang. Segera dia mengilar ketika pandang matanya menjelajahi tubuh Lee Si dan sambil menyeringai dia berkata, "Aku... aku boleh... memiliki dia...?"

Pada saat itu, Bo Wi Sianjin berkata, "Eh, Maharsi, bukankah gadis ini cucu Raja Pedang yang pernah kita kejar?"

Maharsi memandang. "Aha, betul! Betul dia! Wah, Bhok-losuhu tentu akan girang sekali. Sumoi, benar-benar kita telah mendapatkan tawanan penting. Seorang putera Pendekar Buta, yang seorang lagi cucu Raja Pedang. Baiknya kita jangan bunuh mereka, jadikan tangkapan untuk memaksa musuh-musuh besar itu menyerah!"

"Bagus, itu betul sekali!" seru Bo Wi Sianjin karena baik dia mau pun Maharsi sebetulnya masih merasa jeri untuk bertanding melawan Pendekar Buta serta Raja Pedang yang terkenal sakti.

"Suheng, kau tadi menyebut nama Bhok-losuhu? Siapakah yang kau maksudkan?"

Maharsi tertawa. "Siapa lagi kalau bukan Bhok Hwesio itu tokoh besar yang sakti dari Siauw-lim-pai? Dia pun sudah siap untuk membasmi Pendekar Buta dan Raja Pedang dan dia datang bersama kami ke Kong-goan, akan tetapi tentu saja tidak mau ke sini. Kuharap kau suka mengunjunginya di kelenteng sebelah timur kota, Sumoi."

Girang sekali hati Ang-hwa Nio-nio, apa lagi setelah dia diperkenalkan dengan Bo Wi Sianjin sebagai sute dari Ka Chong Hoatsu yang menaruh dendam kepada Raja Pedang. Dengan begini banyaknya orang pandai di pihaknya, tentu akan terlaksana idam-idaman hatinya, yaitu menebus kematian dua orang adiknya….

Pada saat itu, dengan tergesa-gesa seorang anggota Ang-hwa-pai berlari menghampiri Ang-hwa Nio-nio dan melapor, "Paicu, seorang yang bernama Tan Kong Bu, kabarnya ketua Min-san-pai, mencari Tan Lee Si yang katanya adalah puterinya, sedang menuju ke sini!"

Ang-hwa Nio-nio membelalakkan sepasang matanya, lalu tertawa mengikik. "Wah-wahh, sungguh-sungguh malam baik sekali sekarang. Seorang demi seorang anggota keluarga mereka berdatangan sehingga membuat kita mudah untuk membasminya. Suheng, aku mempunyai rencana yang bagus sekali. Lam-ji (anak Lam), kau bawa dua orang tawanan kita itu ke dalam kuil, tapi jangan ganggu mereka!" perintahnya kepada Ouwyang Lam.

Pemuda ini mengangguk tersenyum, lalu membungkuk, memondong tubuh Lee Si dan menyeret tubuh Swan Bu dengan menjambak rambutnya.

"Twako, serahkan anak Pendekar Buta itu kepadaku!" Siu Bi melompat maju. "Aku harus melaksanakan sumpah pembalasanku!"

"Ihhh, Siu Bi. Apakah kau sudah tergila-gila melihat pemuda yang tampan dan gagah itu? Hi-hi-hik!"

Bukan main marahnya hati Siu Bi mendengar ejekan Ang-hwa Nio-nio ini. Seketika itu mukanya menjadi merah sekali, matanya berapi-api, tangannya yang memegang pedang gemetaran. "Bibi Kui Ciauw! Aku bukan seperti engkau"

Ang-hwa Nio-nio juga marah. "Siu Bi, kuperingatkan kau! Kami tidak butuh bantuanmu. Apa bila kau mau bekerja sama dengan kami untuk menghadapi Pendekar Buta silakan tinggal bersama kami akan tetapi harus menurut apa yang kami rencanakan. Kalau tidak mau, kami tidak akan menahanmu.”

"Nio-nio... Bi-moi... sudahlah, di antara kita sendiri mengapa mesti ribut-ribut?" Ouwyang Lam cepat melerai dengan suara halus, kemudian dia melanjutkan pekerjaannya, yaitu memondong Lee Si dan menyeret tubuh Swan Bu dibawa masuk ke dalam kuil.

Siu Bi merengut, hatinya mendongkol sekali. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia maklum bahwa untuk melawan pun ia akan kalah. Maka tanpa berkata sesuatu ia lalu berjalan pergi dari depan Ang-hwa Nio-nio, menahan isak tangis saking gemasnya.

"Siapakah dia?" Maharsi bertanya.

"Ahh, dia...? Cucu Hek Lojin, juga musuh Pendekar Buta."

"Hek Lojin? Pantas dia begitu liar, kiranya cucu iblis itu!" Bo Wi Sian-jin berkata sambil mengangguk-angguk.

Mereka lalu memasuki kuil dan Ang-hwa Nio-nio memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengatur rencananya yang dianggap amat baik. Apakah yang direncanakan oleh ketua Ang-hwa-pai ini? Kebenciannya pada Pendekar Buta dan Raja Pedang membuat nyonya tua ini pandai mencari cara yang paling keji untuk melampiaskan dendamnya. Marilah kita ikuti bersama apa yang direncanakan.

Seperti sudah dilaporkan oleh seorang anak buah Ang-hwa-pai tadi, di kota Kong-goan malam hari itu kedatangan seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan tegap, sikapnya gagah, bicaranya kasar, keras dan nyaring sekali. Orang ini bukan lain adalah Tan Kong Bu yang sudah meninggalkan puncak Min-san untuk mencari puterinya yang diam-diam meninggalkan puncak.

Seperti telah kita ketahui, sejak datangnya murid kepala Raja Pedang, yaitu Su Ki Han telah terjadi Perubahan hebat di Min-san. Lee Si, puteri tunggal itu telah meninggalkan puncak tanpa memberi tahu dan Su Ki Han sendiri yang merasa tidak enak, segera berpamit turun gunung untuk berusaha mengejar Lee Si. Seperginya Su Ki Han, Kong Bu merasa tidak enak dan menyatakan kepada isterinya untuk pergi mengejar puteri mereka itu.

“Tentu saja ia tak boleh dibandingkan dengan adikku Cui Sian," demikian kata pendekar itu. "Kepandaian Lee Si memang sudah cukup untuk menjaga diri, akan tetapi ia masih hijau dan tidak tahu akan bahayanya dunia kang-ouw. Sedikitnya ia harus mendengarkan dulu cerita dari kita tentang kejahatan di dunia kang-ouw sehingga ia dapat menjaga diri. Tinggal kau pilih, kau atau aku yang pergi mengejar?"

Demikianlah, Tan Kong Bu lalu turun dari puncak, mencari puterinya. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ulung, akhirnya Kong Bu pun berhasil mengikuti jejak puterinya dan menuju ke Kong-goan, hanya selisih setengah hari saja dengan puterinya.

la mendengar tentang keributan yang terjadi di rumah Lo-ciangkun, maka dia mempunyai dugaan bahwa agaknya Lee Si terlibat dalam hal ini. la mencari sampai ke losmen di mana Lee Si bermalam, dengan cara kasar dan keras dia mengancam pengurus losmen yang biar mati pun tidak akan mampu memberi keterangan ke mana perginya gadis itu yang pergi melalui genteng dan tidak terlihat oleh siapa pun juga.

Kong Bu lalu berputar-putar di kota Kong-goan sampai jauh malam, akan tetapi dia tidak dapat menemukan jejak Lee Si dan tidak ada yang dapat memberi keterangan ke mana perginya gadis itu. Dalam keadaan gelisah Kong Bu berlari-larian keluar masuk lorong gelap, sementara keadaan kota Kong-goan sudah sepi.

Tiba-tiba dia cepat menghindar ke kiri. Hampir saja dia bertubrukan dengan seorang pria kecil kurus yang juga berlari-lari seperti dia dan mereka bertemu di sebuah tikungan jalan kecil. Pria itu kelihatan gugup sekali, tanpa bicara sesuatu terus melarikan diri dengan cepat.

Kong Bu merasa curiga. Jelas bahwa orang itu memiliki kepandaian silat yang lumayan melebihi orang biasa. Larinya cepat dan gerakannya gesit. Dengan beberapa lompatan jauh akhirnya Kong Bu dapat menyusul dan mengejar orang itu.

Si kecil kurus yang berkumis panjang itu kaget bukan main ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar, apa lagi saat dia mengenalnya sebagai laki-laki yang hampir bertubrukan dengannya tadi. Tanpa banyak cakap lagi dia membalikkan tubuh dan lari lagi, akan tetapi dia mengeluh ketika pundaknya tiba-tiba dipegang tangan yang memiliki jari-jari tangan sekuat cepitan baja.

"Kau siapa dan ada apa malam-malam begini kau berlari-larian seperti pencuri? Hayo mengaku terus terang, kalau tidak, tulang-tulang pundakmu akan kuhancurkan!" bentak Kong Bu yang sedang gelisah sehingga menjadi pemarah itu.

"Ampun, Ho-han (Orang Gagah)... ampunkan saya. Saya Ciu Ti, bukan pencuri... saya... saya sedang bingung dan hendak mencari pertolongan. Ada... ada penjahat menyeret seorang gadis cantik ke dalam kuil di mana saya biasanya bermalam... maaf, saya tiada keluarga tiada tempat tinggal... saya... saya berusaha menolong nona cantik itu, tapi... saya kalah. Penjahat muda itu terlampau kuat, dan agaknya ia... ia seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)..."

Kong Bu tertarik hatinya. "Di mana dia? Betulkah dia penjahat pemetik bunga?"

"Mungkin, saya... saya tidak jelas. Hanya pada saat dia merobohkan saya tadi, dia... dia mengaku bahwa dia she Kwa... kemudian mengusir saya pergi. Gadis itu pingsan, pada pinggangnya tergantung pedang... ehh, pedang kuning seperti emas..."

Cengkeraman pada pundak itu mengeras dan si kecil kurus menyeringai kesakitan.

"Bagaimana kau bisa tahu pedang yang tergantung itu pedang kuning?"

"Aduh... lepaskan pundak saya... aduh, mana saya bisa tahu kalau jai-hwa-cat itu tidak mempergunakannya untuk melawan saya? Pedang itu ampuh sekali, golok saya lantas patah begitu beradu..."

Kong Bu tidak sabar lagi, segera menyeret tangan orang itu. "Hayo cepat, antarkan aku ke sana. Cepat... kubanting mampus kau, hayo cepat"

Orang itu mengeluh dan setengah diseret karena betapa pun dia mengerahkan tenaga dan ilmu lari cepatnya, agaknya masih kurang cepat saja sehingga dia seperti diseret dan kedua kakinya tidak menginjak bumi lagi karena tubuhnya seperti menggantung kepada lengan Kong Bu yang kuat.

"Di sinikah tempatnya?" tanya Kong Bu.

"Betul... di dalam... di ruangan belakang, aku... aku takut, harap kau suka masuk sendiri, Ho-han..."

Kong Bu mendorong orang itu sampai terjengkang, kemudian dia melompat naik ke atas genteng kuil tua itu. Hati jago tua ini berdebar tidak karuan. Di mana pun dia berada dan siapa pun gadis yang menjadi korban jai-hwa-cat, jika dia mendengarnya pasti dia akan turun tangan membasmi si penjahat.

Akan tetapi sekarang lain lagi halnya. la sedang mencari puterinya yang dia tahu berada di kota itu, akan tetapi lenyap tak meninggalkan bekas, sedangkan buntalan pakaiannya masih ada di kamar losmen. Dan gadis yang pingsan serta menjadi korban jai-hwa-cat itu berpedang kuning. Oei-kong-kiam!

Mana lagi ada pedang kuning selain Oei-kong-kiam, pedang yang dibawa Lee Si? Inilah yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan, bahkan kedua kakinya agak menggigil dan hampir dia terpeleset ketika dia melompat ke atas genteng yang gelap itu.

Dari atas genteng dia melihat api penerangan di sebelah belakang kuil. Cepat-cepat dia melompat dengan hati-hati ke bagian belakang, di atas tempat yang diterangi lampu di sebelah bawah. Dengan hati-hati dia membongkar genteng, lalu mengintai ke bawah.

Kong Bu memandang dengan mata melotot, kemudian menggosok-gosok dua matanya, memandang lagi, otot-otot pada lehernya menegang, wajahnya tiba-tiba pucat sekali, lalu terdengar giginya berkerot-kerot.

"Bedebah! Keparat biadab...! Kubunuh kau...! Kubunuh...!" teriakan ini mula-mula hanya terdengar bagaikan gerengan harimau marah, kemudian melengking tinggi dan akhirnya terdengar nyaring sekali.

Apakah yang dilihat oleh jago Min-san ini? Pemandangan di dalam ruangan di bawah itu benar-benar membuat darahnya mendidih, matanya tiba-tiba gelap dan dadanya serasa meledak.

Mereka berbaring di atas lantai, dua orang itu, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik jelita. Siapa lagi kalau bukan Lee Si, puterinya? Betapa tidak akan hancur hatinya melihat puterinya itu rebah terlentang, dan entah bagaimana keadaannya karena tubuhnya tertutup selimut sebatas leher, akan tetapi yang jelas puterinya itu menangis terisak-isak dan kelihatan lemah sekali. Tentu dalam keadaan tertotok jalan darahnya, pikirnya dengan hati hancur.

Dan laki-laki tampan itu mukanya seperti perempuan, terlalu tampan. Patut menjadi muka seorang kongcu hidung belang atau seorang penjahat jai-hwa-cat yang lihai! Dan yang lebih memanaskan hatinya, laki-laki tampan itu rebah miring menghadapi Lee Si, tubuh bagian atasnya telanjang.

"Ayaaahhh...!" terdengar Lee Si menjerit, suaranya lemah sekali, bercampur isak.

"Keparat... jahanam...!" Kubunuh engkau, kukeluarkan isi perutmu, kuminum darahmu...!" Kong Bu berteriak lagi, kini diseling suara melengking tinggi yang menggetarkan kuil itu, seperti bukan suara manusia lagi.

Akan tetapi selagi dia hendak membongkar genteng dan menerobos ke bawah tiba-tiba beberapa batang lilin yang menyala di ruangan itu padam, membuat keadaan menjadi gelap pekat. Betapa pun marahnya hati Kong Bu, dia adalah seorang jagoan kang-ouw yang sudah ulung, tentu saja dia tidak mau secara membuta melompat ke dalam ruang yang gelap gulita dan tidak dikenalnya itu.

"Paman Kong Bu... dengarlah... saya adalah Kwa Swan Bu... putera ayah Kwa Kun Hong di Liong-thouw-san.., Paman..."

Teringat Kong Bu akan penuturan si kurus tadi bahwa jai-hwa-cat itu she Kwa. Darahnya makin bergolak. "Tak peduli kau anak setan dari mana, hayo keluar! Hayo kau lawan aku mengadu nyawa. Penghinaan ini baru bisa lunas bila ditebus dengan darah dan nyawa! Keluar!! Kurobek dadamu, kukeluarkan jantungmu!"

Tiba-tiba dari dalam gelap di sebelah bawah terdengar desir angin yang sangat halus. Kong Bu cepat memiringkan tubuh dan pedang yang sudah dicabutnya itu menangkis beberapa batang jarum halus yang menyambar ke arahnya dari bawah sebelah kiri. Itulah jarum rahasia dan mendengar bunyinya yang halus berdesir dapat diketahui bahwa penyambitnya tentu memiliki Iweekang yang amat kuat.

Kong Bu cepat melompat ke bawah sambil memutar pedangnya, melayang ke arah dari mana datangnya jarum-jarum tadi. Akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak tanah, dari arah kanannya menyambar angin pukulan yang amat kuat dan dahsyat.

Kong Bu cepat menggeser kaki, lalu memasang kuda-kuda yang amat rendah sambil menyampok dengan lengan kirinya dan mengerahkan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi hampir saja dia terguling karena ternyata bahwa sambaran angin pukulan itu kuat bukan main.

Ia terkejut sekali, akan tetapi tidak heran. Kalau bangsat itu betul putera Pendekar Buta Kwa Kun Hong tentu saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Makin panas hatinya! Bagaimanakah putera Kun Hong bisa melakukan perbuatan yang begini biadab?

Kong Bu adalah putera Raja Pedang yang dahulu menerima gemblengan ilmu silat dari kakeknya, yaitu mendiang Song-bun-kwi Kwee Lun. Tentu saja dia mewarisi kepandaian tinggi dan dia tidak gentar meski menghadapi lawan yang bagaimana sakti pun. Apa lagi sekarang dia sedang marah dan nekat karena ingin membela kehormatan puterinya.

Akan tetapi, pada waktu ia memutar pedangnya sambil mengeluarkan suara melengking-lengking tinggi untuk menerjang lawannya yang mengirim pukulan dari tempat gelap, di situ tidak tampak lagi ada orang. Makin kagetlah dia. Terang bahwa lawannya tadi selain memiliki tenaga kuat, juga memiliki kegesitan yang luar biasa.

"Jai-hwa-cat biadab! Kalau memang jantan, hayo kau tandingi aku secara laki-laki. Aku Tan Kong Bu ketua Min-san-pai, sebelum dapat mengeluarkan isi perutmu, aku takkan berhenti berusaha. Kau atau aku yang mati untuk mencuci noda ini!" pekiknya sambil membacokkan pedangnya pada sebuah tiang kuil. Tiang itu terbabat putus dan genteng di atasnya banyak yang rontok karena penahan genteng menjadi miring.

"Hayo keluar! Jangan sembunyi kau, pengecut, jahanam keparat, manusia biadab! Walau pun kau anak Kwa Kun Hong atau putera malaikat sekali pun, jangan harap bisa terlepas dari tanganku!"

Akan tetapi ketika dia hendak menyerbu ke dalam ruangan belakang itu, mendadak ada sambaran angin pukulan jarak jauh lagi, dan kini dari arah belakangnya. Cepat-cepat dia menggeser kaki, memutar-mutar tubuh sehingga pukulan itu meleset.

la melihat bayangan orang berkelebat di belakangnya, cepat dia mengejar. Bayangan itu gesit sekali dan melompat-lompat ke arah pagar ternbok yang mengelilingi kuil, lalu dia menerobos keluar.

"Keparat, hendak lari ke mana kau?" Kong Bu mengejar, pedangnya diputar dan siap untuk melancarkan serangan maut.

Di depan kuil yang agak gelap, bayangan itu berhenti dan Kong Bu segera menghujani serangan-serangan dengan pedangnya. Akan tetapi ternyata bayangan itu gerakannya cepat luar biasa, meski bertangan kosong, namun selalu dapat mengelak dari sambaran pedangnya.

Keadaan yang gelap membuat Kong Bu tidak dapat mengenal wajah orang ini, namun dia masih dapat melihat bayangan seorang pemuda yang tampan. Belum sepuluh jurus dia menyerang, pemuda itu melompat dan menghilang di dalam gelap.

"Jai-hwa-cat, jangan lari kau!" seru Kong Bu sambil mengejar.

Akan tetapi bayangan itu lenyap. Setelah mengejar agak jauh, Kong Bu teringat akan puterinya. Cepat dia membalik dan lari ke arah kuil kembali, sekarang dengan nekat dia menerobos masuk ke dalam kuil sambil menjaga diri dengan pedangnya, langsung dia menuju ke ruangan belakang.

Dengan sekali tendangan, pintu ruangan belakang yang memang sudah reyot itu runtuh berantakan. Kong Bu menerjang lagi ke dalam. Gelap! Dengan kakinya dia meraba-raba, akan tetapi ternyata ruangan itu kosong melompong. Baik pemuda jai-hwa-cat tadi mau pun puterinya, telah lenyap.

Kong Bu mencari ke seluruh ruangan kuil kuno, akan tetapi tidak menemukan seorang pun. Dia memaki-maki, memanggil-manggil nama anaknya, berteriak-teriak menantang. Sia-sia belaka. Bukan main kecewa dan menyesalnya.

la telah ditipu oleh pemuda jai-hwa-cat tadi. Terang bahwa tadi dia sengaja dipancing ke luar, kemudian jai-hwa-cat itu tentu telah kembali ke gedung membawa lari Lee Si yang tidak berdaya melawan.

“Keparat jahanam! Kau anak Kwa Kun Hong! Awas kau! Kwa Kun Kong, si buta, keparat, kau harus mempertanggung jawabkan kebiadaban puteramu. Awas kau!”

Sambil memaki-maki dan menyumpah-nyumpah, Kong Bu lalu berlari seperti orang gila, keluar dari kuil itu. Tujuan hatinya hanya satu, yaitu ke Liong-thouw-san, dan menuntut kepada Kun Hong agar supaya puteranya diserahkan kepadanya, untuk disodet perutnya agar terbebas penghinaan yang hebat ini….

“Wah, baik sekali hasilnya. Sumoi, kau betul-betul amat cerdik dan licin sekali. Ha-ha-ha, antara keturunan Raja Pedang dan keturunan Pendekar Buta sudah terdapat bentrokan yang agaknya hanya dapat diredakan dengan darah dan nyawa. Bagus sekali, Sumoi!"

Maharsi tertawa sambil memuji-muji sumoi-nya setelah pada keesokan harinya pagi-pagi mereka berkumpul di sebuah hutan tidak jauh dari kuil di kota Kong-goan itu. Mereka berkumpul di situ, lengkap seperti kemarin, kecuali Siu Bi. Gadis ini tidak tampak mata hidungnya.

“Ah, Suheng. Kalau tidak sedemikian besar dendamku terhadap mereka, agaknya takkan terpikirkan akal seperti itu olehku. Ketika kau dan Ouwyang Lam memancing Tan Kong Bu menjauhi kuil, sengaja kubebaskan puterinya. Tentu saja gadis itu malu sekali dan tidak ada muka berjumpa dengan ayahnya. Hi-hi-hik, betapa pun dia akan membela diri, siapa percaya bahwa dia tidak tercemar oleh putera Pendekar Buta?"

"Tapi di mana adanya Kwa Swan Bu, dan mana pula adik Siu Bi?" tanya Ouwyang Lam.

"Huh, gadis tiada guna itu! Tadinya Swan Bu kusingkirkan dalam keadaan tertotok, tapi kemudian ia lenyap, tentunya dibawa pergi oleh Siu Bi. Gadis tak tahu malu itu jika tidak tergila-gila kepada pemuda tampan itu, entah mau apa dia...!"

Diam-diam Ang-hwa Nio-nio merasa iri hati dan cemburu kepada Siu Bi karena agaknya kekasihnya, Ouwyang Lam, tergila-gila kepada gadis Go-bi-san itu, maka kesempatan ini ia pergunakan untuk memaki-maki dan memburukkan nama Siu Bi.

Ada pun Ouwyang Lam diam-diam merasa kecewa sekali karena si jelita Lee Si yang diincar-incar dan hendak dijadikan korbannya, telah dibebaskan. Ini belum apa-apa, yang menjengkelkan hatinya adalah perginya Siu Bi! la pun mengomel,

"Ahh, Nio-nio terlalu curiga. Terang bahwa adik Siu Bi membawa pergi Kwa Swan Bu untuk melampiaskan dendamnya. Kita lihat saja, tak lama lagi kita pasti akan mendengar bahwa putera Pendekar Buta kehilangan sebelah lengannya."

"Kalau belum menjadi bangkai!" kata pula Ang-hwa Nio-nio. "Orang gila dari Min-san itu mengejar-ngejarnya. Aha, betapa ramainya nanti di Liong-thouw-san. Tentu Raja Pedang akan terseret-seret pula. Dan selagi mereka saling cekcok memperebutkan kebenaran, kita serbu mereka. Suheng, dan Sianjin, mari kita mengunjungi Bhok-losuhu!"

Biar pun hatinya mendongkol, Ouwyang Lam tidak dapat bicara apa-apa lagi, hanya di dalam hatinya dia mengharapkan kembalinya Siu Bi menggabung kepada rombongan mereka yang makin kuat ini. la percaya bahwa lambat-laun dia pasti akan dapat berhasil memikat hati gadis yang mengguncangkan jantungnya itu.

Dugaan Ang-hwa Nio-nio memang tepat. Ketika terjadi tipu muslihat yang dilakukan oleh Ang-hwa Nio-nio, Siu Bi melihat dengan jelas. Akan tetapi dia tidak ambil pusing, hanya mulutnya tersenyum menghina. la muak dengan cara-cara yang dikerjakan oleh Ang-hwa Nio-nio.

Akan tetapi ia selalu mencari kesempatan untuk memuaskan nafsu hatinya sendiri, yaitu membalas kepada Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta. Urusan orang lain tidak terlalu dia pedulikan, yang penting ia harus melaksanakan tugas dan sumpahnya.

Ketika orang yang dinanti-nanti, yaitu yang katanya adalah putera Raja Pedang, ketua Min-san-pai bernama Tan Kong Bu ayah Lee Si yang tertawan itu datang, ia kagum juga. Bukan main sepak terjang laki-laki tinggi besar itu. Mengingatkan ia akan kakeknya, Hek Lojin.

Akan tetapi ketika dia melihat laki-laki itu dipancing menjauhi kuil dan melihat Ang-hwa Nio-nio menyeret Swan Bu keluar dan meninggalkannya di bagian belakang kuil untuk membebaskan Lee Si, diam-diam dia menyelinap dan mengempit tubuh Swan Bu, terus dibawa lari cepat sekuatnya meninggalkan tempat itu. Yang lain-lain ia tidak peduli, yang penting baginya hanyalah Kwa Swan Bu, putera Pendekar Buta, musuh besarnya!

Siu Bi maklum bahwa Ang-hwa Nio-nio dan teman-temannya adalah orang-orang yang amat sakti, bukan lawannya. Dia akan terpaksa menyerahkan Swan Bu kembali, bahkan dia sendiri mungkin tak bebas dari hukuman apa bila mereka dapat menyusulnya. Oleh karena inilah maka gadis itu terus lari secepatnya, menyusup-nyusup ke dalam hutan dan tidak pernah berhenti sampai malam berganti pagi.

Akhirnya dia tidak kuat berlari lagi. Di dalam sebuah hutan kecil ia pun berhenti, nafasnya terengah-engah lalu melempar tubuh Swan Bu ke atas tanah. Dia berdiri mengatur nafas, menyusut keringat pada leher dan jidatnya dengan sapu tangan, memandang sekilas ke arah pemuda yang terbanting ke atas tanah itu.

la melihat pemuda itu bergerak perlahan, menggerak-gerakkan lengan dan kaki, agaknya sudah terbebas dari totokan, lalu mencoba untuk bangun dan duduk. Siu Bi kaget sekali, teringat betapa lihainya pemuda ini dan kalau tenaganya sudah pulih, tentu sulit baginya untuk mengalahkannya. Segera ia menerjang maju dan tangannya bergerak cepat.

Swan Bu yang tahu bahwa dia diserang, tidak dapat menangkis atau mengelak, karena jalan darahnya belum pulih seluruhnya. Kembali dia roboh dan tak berkutik karena jalan darahnya yang membuat dia lemas sudah ditotok oleh gadis galak itu.

Setelah merasa yakin bahwa lawannya tak akan mampu bergerak, Siu Bi yang merasa kedua kakinya berdenyut-denyut linu dan lelah sekali, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput, melanjutkan kerjanya yang tadi tertunda, yaitu menghapus keringatnya. Kemudian ia mengebut-ngebut sapu tangan, dipakai mengipasi lehernya sambil menatap wajah di depan kakinya itu.

Wajah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah. Alis yang hitam tebal berbentuk golok dengan sepasang mata yang penuh ketabahan. Kebetulan sekali Swan Bu juga memandang kepadanya. Dua pasang mata itu bertemu pandang, penuh amarah, saling serang dan akhirnya Siu Bi yang menunduk lebih dulu.

"Perlu apa kau melarikan diriku ke sini?” tanya Swan Bu, suaranya tenang akan tetapi agak ketus.

"Perlu apa lagi? Tentu saja untuk membuntungi lengan kirimu, untuk membalas sakit hati mendiang kakekku!"

Swan Bu terdiam, memutar otak. Namun dia tidak melihat jalan keluar untuk menolong dirinya. Gadis ini wataknya keras dan aneh, liar dan ganas. Betapa pun juga, kalau gadis ini tidak menculiknya ke sini mungkin jiwanya justru terancam bahaya. Bahaya yang lebih mengerikan lagi.

Dia bukan takut mati. Akan tetapi mati di tangan paman Tan Kong Bu dengan tuduhan melakukan tindakan maksiat, berjinah dengan Lee Si, benar-benar merupakan kematian yang amat pahit dan penasaran.

Betapa pun juga, jika direnungkan benar-benar, gadis liar ini malah sudah menolongnya, menolong kehormatannya, karena meski pun dia akan dibuntungi lengan kirinya, namun dia tidak mati dan selama dia masih hidup dia akan bisa membersihkan namanya, akan dapat membuktikan kepada pamannya, Tan Kong Bu, bahwa dia sama sekali tak berbuat jinah dengan puteri pamannya itu. Juga, walau pun lengannya tinggal sebuah, dia masih akan mendapat kesempatan membalas kepada Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya yang telah membuat fitnah keji terhadap dirinya dan Lee Si itu.

"Huh, wajahmu pucat! Kau ketakutan, ya? Ngeri mengingat lengan kirimu akan buntung? Ya, akan kubuntungi lengan kirimu, biar kau tahu rasa, biar kau merasakan bagaimana sengsaranya kakekku setelah lengan kirinya dibuntungi ayahmu. Dan setelah kau, ayah dan ibumu akan menerima gilirannya!"

"Hemmm, kau ini bocah bermulut besar, amat sombong dan tak tahu malu. Membuntungi lenganku saja kalau tidak secara pengecut, tidak akan becus kau lakukan. Macam kau hendak membuntungi lengan ayah ibuku? Hah, cacing tanah pun akan terbahak geli bila mendengar kata-katamu tadi!"

Tadinya Siu Bi mengira bahwa Swan Bu merasa ngeri serta ketakutan. Hatinya sudah merasa amat girang sebab ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kiranya sekarang malah ucapan pemuda itu bagaikan api yang membakar dadanya, membuat ia melompat bangun, berdiri dengan kedua mata mendelik, muka berwarna merah padam, hidungnya kembang-kempis.

"Nah, marahlah! Hayo, keluarkan kegagahanmu, marahlah sekuatmu kemudian coba kau bebaskan aku kalau berani. Kalau aku bebas, boleh kau mencoba untuk membuntungi lenganku, hendak kulihat kau becus atau tidak. Hemmm, meski kau memegang pedang setan hitam itu dan aku bertangan kosong saja menghadapimu, bukan lenganku yang buntung, melainkan... hemmm hidungmu yang kembang-kempis itu yang akan kucabut copot dari mukamu!"

Dapat dibayangkan betapa memuncak kemarahan Siu Bi ketika mendengar ejekan yang dianggapnya penghinaan hebat ini. la membanting-banting kakinya dan hampir menangis pada saat pedangnya berkelebatan di depan muka Swan Bu dan tangannya menuding-nuding, bibirnya komat-kamit meneriakkan maki-makian yang tidak keluar dari mulut.

"Kau... kau setan, kau... kau... manusia sombong. Hihh, lehermu yang akan kubuntungi, bukan lenganmu. Dengar? Lehermu akan kupenggal dengan pedang ini!"

Namun Swan Bu adalah putera tunggal Kwa Kun Hong, seorang yang meski pun masih muda namun memiliki dasar satria yang tidak takut mati. Selain ini dia pun keras hati dan tidak sudi tunduk kalau merasa dirinya benar. Mendengar ancaman dan melihat pedang berkelebatan di dekat lehernya itu, dia malah tertawa, tertawa nyaring.

"Hee?!"

Siu Bi menahan gerakan pedangnya dan memandang heran. Memang sama sekali ia tidak mengira, orang yang sudah hampir dipenggal lehernya dapat tertawa segembira itu!

"Wah, kau sudah miring otak, ya? Kau sudah menjadi gila saking takut, ya?"

"He, perempuan liar, kaulah yang gila. Kau boleh mengeluarkan seribu macam ancaman, seperti kebiasaan setan-setan dan iblis, akan tetapi seorang gagah tidak takut mati. Aku paling ngeri kalau menjadi pengecut, lebih baik mati dari pada menjadi pengecut macam kau ini. Berani menjual lagak hanya kepada orang yang sudah tidak mampu melawan. Huh, beri aku kesempatan untuk melawanmu, baru kau tahu rasa, barulah akan terbuka matamu bahwa kau harus belajar lima puluh tahun lagi sampai kau menjadi nenek-nenek kempot keriput baru boleh menandingi aku! Mau bunuh, hayo lekas bunuhlah. Sabetkan pedangmu dengan tanganmu yang curang itu ke leherku, siapa takut?"

Siu Bi tertegun. Kali ini bukan karena marahnya melainkan karena heran dan kagumnya. Belum pernah selama hidupnya ia melihat orang begini tabah, begini tenang dan penuh keberanian menghadapi kematian. Hampir dia tidak dapat percaya. Mungkin hanya aksi belaka, pikirnya. Kalau sudah diberi rasa sakit, tentu akan menguik-nguik minta ampun seperti anjing dipecuti.

"Kau betul tidak takut mampus? Nah, rasakan ini!"

Pedangnya lalu digerakkan perlahan-lahan ke arah leher Swan Bu sambil menatap tajam wajah tampan itu. Dia melihat betapa wajah itu tetap tenang, sepasang mata tajam itu memandang penuh tantangan, berkedip pun tidak, sampai ujung pedangnya menggores kulit pundak yang telanjang itu dan kulit pecah darah merah mengucur. Namun wajah itu tetap tenang, bibir itu tetap dalam senyum mengejek dan mata menantang, berkedip pun tidak! Bukan main!

"Hayo, kenapa berhenti? Bukan aku yang takut mampus, kaulah yang takut melanjutkan perbuatanmu yang curang dan pengecut!"

Pucat wajah Siu Bi mendengar ini. "Setan kau!"

Pedangnya kembali diangkat dan kini agak cepat menyambar.

"Crattt!"

Pedang, itu menancap pada pundak beberapa senti meter saja dalamnya karena segera ditahannya, dan ketika dicabut, darah mengucur banyak. Tapi tetap saja wajah Swan Bu tidak berubah, matanya tidak berkedip, senyumnya makin mengejek.

”Nah, kembali kau tidak berani. Melawanku dengan pedang sedang aku hanya bertangan kosong pun tidak berani. Huh, kau pengecut kepalang tanggung!"

Siu Bi menggigit bibirnya. "Sombong! Kau kira aku tidak tahu akan akal bulusmu? Kau sengaja memanas-manasi hatiku, sengaja membakarku agar aku menjadi panas hati dan membebaskanmu. Huh, siapa yang tidak tahu bahwa kau lihai dan jika dibandingkan aku takkan menang? Tapi jangan kira aku sebodoh itu, aku tidak dapat kau pancing! Padahal kalau betul-betul kau bertangan kosong melawan aku bersenjata pedang, dalam belasan jurus saja kau pasti akan roboh. Kau sengaja membuka mulut besar, dan kalau sudah kubebaskan dari totokan, kau tentu akan melarikan diri dan aku tidak dapat mengejarmu, sampai kau mendapatkan senjata dan melawanku. Bukankah begitu akalmu, Bulus?"

Diam-diam Swan Bu mengeluh. Cerdik betul bocah ini. Tidak ada gunanya menipu gadis seperti ini. Akan tetapi memang ucapannya tadi bukan semata-mata hendak mengejek dan memancing supaya dibebaskan, melainkan betul-betul keluar dari perasaannya yang penasaran dan marah.

"Bocah, tak perlu menjual lagak. Kau pintar atau bodoh bukan urusanku, yang terang kau pengecut. Aku seorang laki-laki sejati, ayahku Pendekar Buta terkenal di kolong jagat ini sebagai seorang pendekar besar. Menyelamatkan diri dengan jalan menipu, apa lagi jika menipu seorang bocah masih ingusan macam engkau, bukanlah perbuatan orang gagah. Kau mau melihat bukti bahwa aku mampu mengalahkan engkau yang berpedang dengan hanya tangan kosong? Bebaskan aku, akan kubuktikan. Aku tidak akan lari, kalau sudah membuktikan omonganku, boleh kau tawan aku lagi, aku tidak akan melawan."

"Huh, siapa percaya omonganmu?" Siu Bi mencibirkan bibirnya yang merah.

Swan Bu mengerutkan alisnya. Terlalu cantik manis dara liar ini apa bila sudah mencibir seperti itu.

"Percaya atau tidak terserah, aku pun tidak akan memaksa kau percaya. Akan tetapi yang jelas, kau berani atau tidak melawan aku bertangan kosong?"

Siu Bi duduk termenung. Tanpa disadarinya jari-jari tangan kirinya bergerak-gerak dan ujungnya memukul-mukul pahanya sendiri. la penasaran sekali. la maklum bahwa ilmu pedang pemuda ini hebat sekali, tadi malam ia sudah menyaksikannya. Akan tetapi kalau bertangan kosong melawan ia berpedang? Ah, tidak mungkin ia akan kalah!

Lagi pula, kalau membuntungi lengannya dalam keadaan tertotok seperti ini, benar-benar sukar baginya untuk melakukannya. Lebih baik membebaskan dia dan tantang berkelahi, kemudian pada kesempatan itu ia akan membuntungi lengannya. Dengan begitu barulah perbuatan gagah.

"Kau tidak akan lari?"
"Kata-kata lari tidak terdapat dalam kamus hatiku."
"Berani sumpah?"
Hampir Swan Bu tertawa. Gadis ini aneh, liar, akan tetapi juga lucu.

"Ucapan yang keluar dari mulut orang gagah dengan sendirinya sudah menjadi sumpah yang lebih berharga dari pada nyawa."

"Baik, kau kubebaskan dan kau lawanlah pedangku dengan tangan kosong. Bila mana kau melarikan diri, tidak apa, aku akan menganggap kau seorang yang paling curang dan pengecut di seluruh permukaan bumi ini."

Sebelum pemuda itu sempat menjawab yang menyakitkan hati, Siu Bi sudah menerjang maju, tangan kirinya menotok dan terbebaslah Swan Bu.

Pemuda ini bergerak dan bangkit berdiri, kaki tangannya kesemutan dan masih terasa kaku. la menggerak-gerakkan lengan dan kakinya sampai jalan darahnya pulih kembali sambil mengatur nafas mengerahkan sinkang. Terasa hawa panas mengelilingi seluruh bagian tubuhnya dan beberapa detik kemudian dia sudah merasa segar kembali. Inilah cara memulihkan jalan darah dan tenaga warisan ajaran ayahnya.

la melirik ke arah pundaknya di mana terdapat guratan dan tikaman pedang. Lukanya tidak berbahaya, akan tetapi terasa sedikit perih dan darahnya cukup banyak. Swan Bu menggerakkan jari tangan menekan pinggir luka, darahnya berhenti dan dia menghadapi Siu Bi dengan senyum mengejek tak pernah meninggalkan bibirnya.

"Kalau kau betul jantan, lawanlah pedangku. Awas pedang!" Siu Bi segera menerjang dengan kecepatan kilat. la sudah maklum bahwa putera Pendekar Buta ini benar-benar lihai, maka begitu menerjang ia sudah menggunakan jurus-jurus yang berbahaya sambil membarengi dengan pukulan Hek-in-kang dari tangan kirinya.

Biar pun baru segebrakan saja Swan Bu pernah melawan Siu Bi, namun dia tahu bahwa gadis itu selain memiliki ilmu pedang yang aneh dan sangat ganas, juga tangan kirinya mengandung hawa pukulan yang keji, hawa pukulan beracun yang mengeluarkan uap hitam.

Oleh karena inilah maka serta merta dia menggunakan ilmu langkah ajaib Kim-tiauw-kun dan memainkan jurus-jurus Im-yang Sin-hoat yang sukar dicari tandingnya itu. Tubuhnya bergerak aneh, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang jongkok, berdiri miring, lantas membungkuk dan berloncatan, seperti bukan orang main silat.

Melihat gerakan ini, hampir saja Siu Bi tak dapat menahan seruan heran dari mulutnya. la mengenal gerakan ini. Pernah dia dibikin tidak berdaya oleh gerakan-gerakan seperti ini, yang dimainkan oleh Yo Wan! Malah sebelum berpisah dari Yo Wan secara menyedihkan, dia pernah minta supaya Yo Wan mengajarkan ilmu langkah ajaib itu karena dengan ilmu langkah itu saja ia pernah dibikin tidak berdaya. Dan sekarang pemuda ini menggunakan ilmu langkah itu! Saking kaget dan herannya, penyerangannya berhenti.

"He, kenapa berhenti? Kau takut?" Swan Bu mengejek.

"Takut hidungmu! Aku hanya heran... apa engkau kenal orang yang bernama Yo Wan Si Jaka Lola?"

Swan Bu tertegun. Gadis aneh, ada-ada saja pertanyaannya, pertanyaan yang aneh dan tak terduga-duga pula.

"Yo Wan? Tentu saja kenal, dia itu suheng-ku, murid ayahku. Mau apa kau sebut-sebut dia?"

Mampus kau! Hampir saja di depan Swan Bu dia mengeluarkan ucapan ini, dan betapa herannya Swan Bu ketika melihat tiba-tiba gadis itu menampar kepalanya sendiri

"Ehh, apa kau gila?"

Siu Bi tidak mendengar pertanyaan ini, pikirannya berputaran tujuh keliling. Siapa kira siapa duga, Yo Wan itu malah murid Pendekar Buta! Dan dia sudah mengajak Yo Wan bersekongkol membantunya melawan Pendekar Buta. Anehnya, mengapa Yo Wan mau saja? Dan pemuda yatim piatu itu baru marah dan meninggalkannya setelah mengetahui bahwa ia adalah puteri tiri The Sun yang katanya membunuh ibunya.

Wah, wah, kalau Yo Wan itu murid Pendekar Buta, celaka dua belas. Sampai mati pun mana mungkin ia menang melawan Pendekar Buta? Tapi, ia sudah menantang pemuda ini, harus dapat memenangkannya, kalau tidak, lagi-lagi ia akan menderita malu.

"Bagaimana kau mengenal suheng-ku itu? Di mana dia?"

"Aku tidak kenal dia! Kau makanlah pedangku ini!"

Siu Bi menerjang lagi, kini gerakannya lebih dahsyat lagi karena ia telah mengeluarkan jurus yang paling lihai sesudah maklum bahwa pemuda ini adalah adik seperguruan Yo Wan dan karenanya tentu mempunyai ilmu yang sakti seperti Yo Wan pula sehingga ia khawatir kalau-kalau ia akan kalah, biar pun hanya dilawan dengan tangan kosong.

Swan Bu cepat mengelak dan di lain saat mereka telah bertempur lagi dengan seru. Sebentar saja puluhan jurus telah lewat dan sama sekali Siu Bi belum dapat mendesak lawannya, sungguh pun bagi Swan Bu juga tidak mudah untuk mengalahkan gadis yang gesit dan memiliki ilmu kepandaian tinggi dan luar biasa itu.

Kalau saja dia berpedang, agaknya tidak akan begitu sukar baginya untuk menundukkan Siu Bi. Dengan ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam, kiranya dia akan dapat mengalahkannya. Betapa pun juga, kekerasan hatinya tak mengijinkan Swan Bu untuk mengalah terhadap gadis liar yang hendak membuntungi lengannya ini.

Pada saat pertempuran sedang berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan orang, "Ini dia! Mari bantu nona The! Serang dan bunuh dia!"

Jarum-jarum halus menyambar ke arah Swan Bu ketika tiga orang yang baru muncul ini menggerakkan tangan mereka, kemudian menyusul serangan senjata halus itu mereka menerjang maju dengan golok, menyerang Swan Bu dengan hebat.

Mereka ini bukan lain adalah tiga orang anggota Ang-hwa-pai yang tentu saja tidak tahu akan tipu muslihat Ang-hwa Nio-nio sebab hal itu memang dirahasiakan sehingga setahu mereka hanya bahwa pemuda putera Pendekar Buta yang tertawan itu sudah berhasil lolos. Dan kini melihat pemuda itu bertanding melawan Siu Bi, tentu saja mereka segera membantu karena mereka maklum bahwa nona The Siu Bi adalah ‘keponakan’ dari ketua mereka.

Pada saat mereka menyerang dengan jarum-jarum halus itu, Siu Bi sedang mengurung Swan Bu dengan sinar pedang dan pukulan Hek-in-kang. Swan Bu sibuk menghadapi serangan dahsyat ini, maka betapa kagetnya ketika dia merasa adanya sambaran angin halus dari sebelah belakang. Cepat dia menggunakan tangan kirinya menyampok sambil mengerahkan sinkang sehingga angin pukulannya menyambar ke belakang.

Namun, di antara jarum-jarum halus yang dapat dia sampok runtuh itu terdapat sebatang yang menyelinap dan menancap pada pundak kanannya. Swan Bu merasa pundaknya kaku dan gatal-gatal, maka tahulah dia bahwa dia sudah menjadi korban senjata rahasia halus yang beracun!

Namun dengan nekat dia lalu melawan. Cepat dia menghindar dari sambaran tiga batang golok dan pada waktu tubuhnya miring itu, kakinya lantas melayang sehingga seorang pengeroyok roboh dengan tulang iga patah!

Sementara itu, Siu Bi juga marah sekali melihat munculnya tiga orang Ang-hwa-pai yang tanpa diminta telah lancang turun tangan membantunya. Dia lalu berseru keras, "Cacing busuk, siapa butuh bantuan kalian? Mundur!"

Akan tetapi dua orang Ang-hwa-pai ketika melihat seorang teman mereka roboh, mana mau mundur. Yang memerintah mereka kali ini bukan seorang pemimpin Ang-hwa-pai, tentu saja mereka tidak peduli dan terus menerjang Swan Bu dengan hebat.

"Trang-trang...!"

Golok di tangan mereka terpental dan sebelum mereka dapat mengelak, mereka sudah roboh dengan pangkal lengan dan paha pecah kulit dan dagingnya dimakan pedang Siu Bi! Mereka begitu kaget sehingga mudah roboh karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka akan diserang oleh gadis itu.

"Lancang!" Siu Bi memaki lagi.

Kini pedangnya bergulung-gulung menyambar ke arah Swan Bu yang cepat menjatuhkan diri ke samping, lalu bergulingan menyelamatkan diri. Ketika Siu Bi mendesak, pemuda ini sudah berhasil melompat berdiri dan kembali mereka bertanding hebat.

Ada pun tiga orang Ang-hwa-pai itu, setelah dapat merangkak bangun, segera pergi dari situ terpincang-pincang. Dua orang yang terluka pedang Siu Bi, dengan susah payah dan sedapat mungkin menggotong temannya yang masih pingsan akibat tendangan Swan Bu mematahkan sedikitnya dua buah tulang iganya. Mereka bergegas pergi untuk mencari bala bantuan.

Sekarang perlawanan Swan Bu tidak lagi segesit tadi. Pemuda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan kelemahan, tidak sudi mengaku bahwa dirinya sudah terluka oleh jarum beracun. la melakukan perlawanan sedapat mungkin meski lengan kanannya kini terasa setengah lumpuh.

Diam-diam Siu Bi merasa amat kagum. Benar-benar hebat pemuda ini dan seperti yang ia khawatirkan, sama sekali ia tidak mampu merobohkannya. Padahal pemuda ini hanya bertangan kosong dan ia memegang Cui-beng-kiam, malah menggunakan Hek-in-kang. Bukan main!

Di dalam hatinya, Siu Bi merasa sayang sekali mengapa pemuda sehebat ini ditakdirkan menjadi putera musuh besar kakeknya yang harus dia buntungi lengannya. Kalau saja tidak demikian halnya, alangkah akan senangnya memiliki seorang sahabat seperti dia ini, sebagai pengganti Yo Wan yang sekarang telah memusuhinya akibat perbuatan ayah tirinya.

Siu Bi diam-diam merasa menyesal bukan main. Mau rasanya dia menangis, apa lagi ditambah dengan kejengkelan hatinya bahwa begitu lama ia masih juga belum berhasil mengalahkan dan membuntungi lengan Swan Bu.

Akan tetapi tiba-tiba saja Swan Bu mengeluh, terhuyung-huyung ke belakang lalu jatuh terduduk. Siu Bi menahan pedangnya, kaget dan terheran-heran. Terang bahwa bukan dia yang merobohkan pemuda itu.

Baru saja pemuda itu menangkis pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Hek-in-kang di tangan kiri. Swan Bu tak dapat mengelak dan terpaksa harus menangkis dengan tangan kanan. Dalam pertemuan tenaga ini, Siu Bi merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat.


cerita silat online karya kho ping hoo


Ia makin kagum karena jarang ada orang bisa menangkis tenaga Hek-in-kang demikian rupa sampai dia tergetar ke belakang. Dan sehabis menangkis itulah, ketika ia menerjang lagi dengan pedangnya, Swan Bu mengelak lantas terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh terduduk, meringis menahan sakit sambil menekan pundak kanannya.


Siu Bi melangkah maju, memandang penuh perhatian. Dilihatnya kulit di pundak kanan yang putih itu ternoda oleh bintik merah membengkak.

"Kau terluka Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)!" serunya di luar kesadarannya.
Swan Bu mengangguk lesu. "Tiga orang tadi..."
"Kalau tidak segera dikeluarkan, kau akan mati..."
"Lebih baik begitu, jadi kau tidak usah bersusah-payah lagi..."
Siu Bi maju lagi dan berlutut.
"Kau tidak boleh mati! Kalau mati aku tak akan dapat melaksanakan sumpahku. Jangan bergerak, biar kukeluarkan jarum itu!”

Siu Bi memegang pedangnya dekat ujung, kemudian dengan hati-hati ia merobek kulit di pundak itu, Swan Bu menggigit bibir menahan rasa sakit, jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Siu Bi hanya berjarak beberapa senti saja dari pipi kanannya.

Jelas dia melihat kulit muka yang putih halus, dengan rambut hitam dari sinom rambut kacau terurai di jidat dan melingkar indah di depan telinga. Melihat bibir yang basah itu bergerak dan saling himpit dalam ketekunan usaha membedah dan mengeluarkan jarum di pundaknya. Hidung kecil mancung itu menyedot dan mengeluarkan nafas panas halus yang membelai leher dan pipinya, dua mata seperti bintang itu tanpa berkedip menuntun jari-jari tangan halus bekerja.

Ahhh, wajah seperti ini pantasnya dimiliki oleh dewi kahyangan, bukan iblis betina yang kejam.

Akhirnya Siu Bi berhasil menjepit keluar jarum halus itu dari dalam pundak Swan Bu. Dibuangnya jarum itu sambil berkata, "Nah, sudah keluar sekarang. Akan tetapi racunnya tentu telah mengotori darah, sebaiknya kau mendorongnya keluar dengan sinkang.”

Sebagai putera Pendekar Buta, tentu saja Swan Bu maklum akan hal ini, bahkan andai kata tadi Siu Bi tidak mengeluarkan jarum itu dengan jalan membedah kulit dan daging pundak, dia sendiri pun sanggup melakukannya. Sekarang dia duduk bersila dan meramkan mata, mengerahkan sinkang, tidak saja untuk membersihkan darah dan mendorong racun merah keluar melalui luka, namun sebagian besar lagi untuk menenteramkan jantungnya yang bergolak tidak karuan tadi. Gangguan ini membuat usahanya kacau karena sukar baginya untuk mengerahkan panca indera. Yang terbayang jelas adalah wajah Siu Bi, sinom rambut, bibir, hidung mancung, mata bintang, serta nafas hangat halus yang membelai leher dan pipinya!

Siu Bi mengerutkan kening. Celaka, pikirnya. Mengapa darah yang teracuni belum juga keluar dari luka? Apakah pemuda yang memiliki ilmu silat sehebat ini sudah begini lemah sinkangnya oleh racun jarum merah itu?

Dia menjadi tidak sabar lagi. Tanpa berkata sesuatu Siu Bi mengulurkan tangan kirinya, menempelkan telapak tangannya yang halus itu kepada dada kanan Swan Bu, kemudian menyalurkan sinkang dan membantu pemuda itu mendorong keluar racun jarum merah!

Merasa betapa telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas di dadanya, Swan Bu lalu membuka mata dan memandang heran, akan tetapi kedua matanya segera ditutupnya kembali. Jantungnya makin berdebar, usahanya mengumpulkan panca indera juga makin kacau-balau. Gadis itu duduk begitu dekat di depannya! Tangan yang halus itu serasa membakar kulit dadanya! Kemudian dia merasakan betapa hawa panas yang keluar dari telapak tangan halus itu menyusup ke dalam tubuhnya, semakin lama semakin panas dan seakan-akan hendak membakar jantung. Swan Bu kaget dan bergidik.

Kiranya gadis yang berwajah bagai dewi kahyangan ini benar-benar seorang iblis betina dan agaknya malah hendak membunuhnya dengan penyaluran sinkang. Cepat-cepat dia mengumpulkan tenaganya dan mengerahkan sinkang ke arah dada serta pundak kanan untuk menjaga diri. Tiba-tiba Siu Bi membuka kedua matanya yang tadi dipejamkan, memandang heran dan kaget. Mereka berdua merasa betapa tenaga sinkang mereka berhantaman hebat. Dua pasang mata beradu, mengeluarkan sinar berapi. Tiba-tiba saja Siu Bi menjerit perlahan, badannya serasa terbakar. Swan Bu bergoyang-goyang badannya, lalu keduanya roboh terguling. Pingsan!

Apa yang terjadi? Kiranya tanpa mereka sadari, dua orang muda ini telah mencelakakan diri sendiri. Dalam usahanya membantu Swan Bu mengusir racun merah, Siu Bi sudah mengerahkan sinkang-nya, disalurkan ke dalam dada dan pundak Swan Bu karena dia mengira bahwa pemuda itu kurang kuat untuk mengusir racun. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dasar pelajaran yang dia dapatkan dari kakeknya dahulu sama sekali berlawanan dengan dasar pelajaran yang dimiliki Swan Bu. Oleh karena ini, hasil kekuatan di dalam tubuhnya, yaitu hawa sakti yang dimilikinya, juga berlawanan dengan sinkang dari Swan Bu.

Maka ketika ia menyalurkan sinkang ke dalam tubuh Swah Bu, ia sama sekali bukan membantu, malah merusak dan mengacaukan penyaluran sinkang pemuda itu, sehingga tanpa ia sadari kekuatan mukjijat dari Hek-in-kang malah menyerang pemuda itu secara hebat. Inilah yang menyebabkan Swan Bu terkejut dan bahaya maut yang mengancamnya ini membuat kekacauan perasaannya yang tadi terganggu oleh kecantikan gadis itu segera lenyap dan cepat dia mengerahkan tenaga dalam untuk menolak bahaya itu. Akibatnya dua macam hawa sakti yang berlawanan sifatnya, lalu bertemu dan beradu dengan amat hebatnya.

Siu Bi kalah kuat, pada dasarnya memang ia kalah setingkat. Pertemuan tenaga sinkang itu membuat tenaganya membalik dan menghantam diri sendiri. Sebaliknya Swan Bu yang lebih dulu menerima serangan, tidak terluput dari luka dalam, sehingga keduanya roboh berbareng dalam keadaan pingsan dan terluka hebat di sebelah dalam tubuh. Pada saat Swan Bu tersadar karena kaget mendengar jerit halus, dia membuka matanya. Tadinya dia serasa mimpi, mimpi sedang tenggelam di antara ombak besar yang hendak menelan dirinya bersama Siu Bi. la berhasil memeluk gadis itu dan dalam menghadapi maut ditelan ombak, dia merasakan kenikmatan yang luar biasa, merasakan kebahagian karena gadis itu berada dalam pelukannya.

Kemudian Siu Bi meronta, mengambil pedang dan membacok lengannya! Swan Bu amat marah dan memukulkan tangannya yang tidak buntung ke dada Siu Bi sehingga gadis itu menjerit dan lenyap ditelan ombak. Agaknya jeritan inilah yang menyadarkannya. Dengan nafas terengah-engah Swan Bu membuka matanya. Tubuhnya serasa lemas tak bertenaga. Sejenak dia bingung, akan tetapi segera dia teringat akan segala yang terjadi. Tadi dia roboh berbareng dengan Siu Bi, di tengah hutan. Akan tetapi sekarang dia tidak berada di hutan lagi, akan tetapi di dalam sebuah ruangan yang sangat kasar, ruangan sebuah goa yang kotor dan lembab.

Dan di sudut sana, di dekat dinding batu goa, dia melihat Siu Bi rebah telentang, mata gadis itu membelalak ketakutan dan bajunya bagian atas robek dekat pundak kiri. Yang membuat Swan Bu terkejut adalah makhluk yang berdiri dekat Siu Bi. Makhluk mengerikan, bentuknya setengah manusia setengah monyet. Atau mungkin juga manusia hutan atau manusia gila. Makhluk ini seorang laki-laki, sukar menaksir usianya, akan tetapi jelas tidak muda lagi. Bertelanjang, kecuali sehelai cawat dari kulit harimau. Tubuhnya yang tinggi tampak pendek karena agak bongkok, kedua tangan dan kakinya berbulu. Rambutnya riap-riapan, matanya merah.

"He-heh-heh... ha-hah-hah... cantik... muda...," terdengar dia bicara, suaranya parau dan kata-katanya kurang jelas.

Tangan yang lengannya berbulu itu meraih ke bawah, mencengkeram baju Siu Bi yang sudah robek. Sekali tangan itu menarik, terdengar kain robek dan tampaklah baju dalam berwarna merah muda. Siu Bi menjerit. Heran, pikir Swan Bu. Suara gadis itu sekarang menjadi lirih sekali dan gerakannya begitu lemah. Teringatlah dia. Tentu Siu Bi juga terluka parah, sama seperti dia.

Siu Bi berusaha untuk melompat bangun, namun ia roboh lagi dan mengeluh, "Jangan... bunuh saja... bunuh aku..."

"He-he-he, Sayang! Kau jadi isteriku, cocok, heh-heh-heh!"

"Bedebah! Binatang! Aku tidak sudi... kau bunuh saja aku...!" Dalam kelemahannya, Siu Bi masih galak dan memaki kalang-kabut.

"Ha-hah-hah, kau perempuan, tidak ada yang punya. Aku laki-laki, aku pun belum punya isteri... apa salahnya? Kau jadi isteriku... hah-hah-hah, dan dia itu jadi bujang kita..."

"Hee, tunggu dulu!" Swan Bu melompat, akan tetapi seperti juga Siu Bi tadi, dia jatuh terduduk dan mengeluh. Dadanya terasa sangat sakit. Maklumlah dia bahwa pertemuan tenaga dalam tadi telah melukai isi dadanya, luka yang cukup parah. la tahu bahwa hal itu akan membuat dirinya kehilangan tenaga dalamnya untuk sementara. Mungkin untuk beberapa hari lamanya, sebelum pulih kembali kesehatannya.

Agaknya juga demikian halnya dengan Siu Bi. Dalam beberapa hari lamanya mereka berdua akan menjadi orang-orang lemah, tidak mungkin dapat menolong diri sendiri, dan orang liar itu kelihatannya kuat sekali.

"Heh-heh-heh, orang muda lemah tiada guna. Kau mau bilang apa? Wah, kau begini lemah, menjadi bujang pun kurang berharga. Huh!"

Diam-diam agak lega hati Swan Bu mendengar omongan itu. Ucapan itu membayangkan bahwa kakek liar atau gila itu tidak dapat disebut ahli ilmu silat karena tidak mengerti bahwa kelemahannya ini adalah karena luka dalam. Hal ini mendatangkan harapan. Kalau kakek gila ini tidak pandai ilmu silat, biar pun memiliki tenaga besar, lebih mudah dilawan apa bila dia atau Siu Bi tidak selemah ini. Mungkin istirahat dua tiga hari cukup. Sekarang paling perlu harus bisa mencari akal, agar supaya kakek itu... agar dia jangan mengganggu Siu Bi.

"Lopek, harap kau jangan mengganggu dia..."

"Eeehhhhh, kau bilang apa? Dia ini akan kuambil sebagai isteriku. Peduli apa kau? Kau menjadi bujang kami, dan mulai sekarang kau harus hormat dan taat kepada dia ini, dia isteriku yang muda... heh-heh-heh, yang cantik... heh-heh-heh. Aku laki-laki kesunyian, bertahun-tahun..., dia perempuan... tidak ada yang punya... cocok sekali...!"

"Lopek, tidak boleh begitu. Dia itu punyaku!"

Tiba-tiba kedua tangan yang tadinya sudah menyentuh pundak Siu Bi hendak merangkul itu, cepat-cepat melepaskan pundak dan tubuh bongkok itu serentak membalik dengan gerakan yang cepat sekali.

"Apa kau bilang?! Perempuan ini punyamu? Bagaimana...? Apa maksudmu?"

Swan Bu menelan ludah dan memandang kepada Siu Bi yang melotot padanya. "Lopek, dia ini... dia isteriku yang sangat kucinta, kau tidak boleh mengganggu isteri orang lain!"

"Heh...? Hoh...? Isterimu...?!" Kakek itu nampak bimbang ragu, mukanya yang liar jelas membayangkan kekecewaan besar.

"Bohong dia!" Tiba-tiba Siu Bi berseru, akan tetapi suaranya tidak seketus dan sekeras biasanya.

Tenaganya sangat lemah sehingga untuk berseru keras saja tidak mampu dia. Namun ucapan ini cukup membuat Swan Bu merasa kepalanya terpukul, dan pandang matanya gelap. Celaka, pikirnya, gadis tolol! Sebaliknya kakek liar itu nampak gembira, mulutnya yang lebar, berbibir tebal dan giginya besar-besar nyongat ke sana-sini, lalu tertawa-tawa girang.

"Hah? Dia bohong, ya? Bukan isterinya, kan? Ha-ha-hah, kau bukan isterinya? Kau tidak ada yang punya? Ha-ha-hah! Akulah yang akan memilikimu, kau punyaku, kau isteriku..." Kakek itu menggerakkan tangannya, hendak meraih tubuh Siu Bi.

Gadis ini menjadi pucat. "Tidak... tidak...! Bukan begitu...! Aku... aku... isterinya!"

Kembali tangan berbulu itu serentak kaget dan tidak jadi ke bawah.

"Apa? Kau betul isterinya? Kenapa bilang bohong?"

"Ohhh..." sejenak Siu Bi bingung dan lehernya serasa tercekik saking gemasnya melihat betapa Swan Bu tersenyum-senyum!

"Dia tidak bohong bahwa aku isterinya, tetapi... tetapi dia bohong bahwa dia sangat... mencintaiku."

Muka liar itu berkerut-kerut. "Huh...? begitukah? Kalau tidak mencinta lagi, cerai dahulu, baru aku mengambilmu sebagai isteri dan bekas suamimu itu jadi bujangmu. Senang, kan?"

Kakek itu kini melangkah maju mendekati Swan Bu, berkata dengan suara membujuk, "Orang muda, kau ceraikan dia, ya? Kau ceraikan dia dan berikan kepadaku, biar dia menjadi isteriku. Kau tidak cinta lagi, untuk apa? Kau baik, ya? Berikan saja padaku, aku akan mencintanya melebihi diriku sendiri, hah-hah-hah!"

Swan Bu tersenyum. Jelas sekarang bahwa kakek ini adalah orang yang berotak miring. Agaknya terlalu lama terasing di dalam hutan dan berubah seperti binatang. Akan tetapi agaknya masih belum lupa akan ‘kesopanan’ di antara manusia, antara lain bahwa tidak boleh mengambil isteri orang lain sebelum dicerai!

la melirik ke arah Siu Bi yang mukanya pucat dan matanya terbelalak ketakutan seperti mata kelinci dikejar harimau. Puas kau, pikirnya. Kau yang bertingkah, mengatakan aku bohong tadi.

"Lopek, terserah kepada dia. Terserah kepada isteriku itu, apakah dia sudah tidak suka lagi kepadaku. Kalau sudah tidak suka dan minta cerai, apa boleh buat, akan kulepaskan dia dan boleh dia menjadi isterimu."

Kakek itu tiba-tiba memeluk Swan Bu dan... mencium pipinya. "Ha-ha-ha, anak baik! Kau baik sekali. Terima kasih, ya? Bagus… bagus, dia sudah tidak cinta lagi padamu, boleh menjadi isteriku..." Setelah berkata demikian dia meninggalkan Swan Bu yang menggosok-gosok pipinya dengan jijik karena di situ tertinggal ludah dari mulut kakek gila.

Kini Siu Bi yang kelabakan karena kakek itu sudah mendekatinya lagi. Sebelum kakek itu bicara ia telah mendahului, suaranya penuh rasa takut, "Tidak, dia main-main saja! Aku... aku cinta kepadanya. Kakek baik, aku isterinya..,.. aku cinta padanya. Dan dia pun cinta kepadaku... kami hanya bertengkar sedikit... aku tidak mau cerai, juga aku tidak minta cerai."

Kakek itu tersentak kaget dan kecewa bukan main. "Aahhh? Kau lebih suka kepada dia yang lemah itu? Wah... celaka... aku tetap kesepian..."

"Kakek yang baik. Kau sudah tua, aku lebih patut menjadi anakmu, tidak pantas menjadi isterimu..."

"Heh, kau suka padaku?"

"Tentu saja, aku suka padamu seperti kepada ayahku sendiri. Tetapi aku... aku... cinta padanya, pada suamiku..."

Biar pun mulutnya berkata demikian, namun sepasang mata Siu Bi memandang melotot marah kepada Swan Bu yang hampir tak dapat menahan tawanya. Dia tersenyum lebar dan memandang Siu Bi dengan mata mengejek dan menggoda.

"Bagus! Aku memang tidak punya anak. Heh-heh-heh, bagus!"

Dan kakek itu berjingkrak-jingkrak, menari-nari kegirangan! Swan Bu dan Siu Bi saling pandang, bingung akan tetapi juga lega bahwa mereka terlepas untuk sementara dari bahaya.

Akan tetapi tiba-tiba kakek itu berhenti menari dan menoleh ke arah Swan Bu dengan sikap marah. "Kau suaminya, kau anak mantuku. Tetapi kau tidak baik kepadanya, ya? Berani kau tidak mencinta anakku? Dia susah dan marah, tapi kau diam saja? Keparat, hayo kau senangkan hatinya. Awas, ya? Sekali lagi berani kau membikin marah anakku, kupecahkan kepalamu!"

Kedua tangannya yang berbulu itu diayun ke kanan kiri, tiba-tiba memukul dinding batu padas dan somplakan dinding itu terkena pukulan tangannya yang kuat.

"Nah, kepalamu akan seperti ini kalau kau berani membikin marah anakku lagi. Dia cinta padamu maka kau pun harus cinta padanya, kalau dia tidak cinta padamu, dia menjadi isteriku. Huh-huh-huh! Sekarang aku ingin sekali punya cucu, ha-ha-ha-ha, cucu laki-laki. Sebaiknya kalian lekas punya anak laki-laki sebelum kesabaranku hilang!"

Swan Bu mengeluh di dalam hatinya. Kakek itu benar-benar gila, bicaranya kacau-balau tidak karuan. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Siu Bi, biar pun tadinya dia merasa geli dan gembira melihat gadis itu terpojok, akan tetapi kini dia dapat mengerti betapa hebat ucapan si gila itu menyinggung perasaan seorang gadis.

"Lopek, kami tentu akan perhatikan pesanmu. Sekarang, kuharap kau suka mengasihani. Kami sedang terluka dan sakit, terutama sekali perlu mendapat perawatan. Kami hampir mati kelaparan..."

Kakek itu mendengus seperti lembu, lalu menoleh ke arah Siu Bi. "Kau benar laparkah, anakku? Kucarikan buah-buahan untukmu, ya?"

Siu Bi sudah tidak mampu bersuara lagi. Ucapan kakek yang kacau-balau tentang anak segala macam tadi membuat wajahnya sebentar pucat seperti kertas lalu sebentar merah seperti dicat. la kini hanya mampu mengangguk-angguk saja.

"Ha-ha-ha, bagus. Tunggulah sebentar, akan kucarikan buah-buahan yang masak dan manis!" Kakek itu tertawa-tawa lalu berlari keluar dari dalam goa itu. Terdengar suaranya di tempat jauh, tertawa-tawa.

Dari sini saja Swan Bu maklum bahwa kakek itu mampu berlari cukup cepat sehingga dalam keadaan terluka dan lemah seperti itu, mereka berdua tidak ada harapan untuk melarikan diri, karena tentu akan tersusul. Kakek itu selain dapat berlari cepat, pasti juga sudah hafal akan keadaan di dalam hutan.

Tiba-tiba dia melihat Siu Bi dengan susah payah berusaha bangun, berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang menahan sakit, lalu berjalan menghampirinya. Pada wajah cantik itu terbayang sikap mengancam dan kemarahan yang ditahan-tahan. Setelah tiba di depan Swan Bu yang masih duduk bersila, Siu Bi berteriak-teriak, akan tetapi suaranya seperti orang berbisik karena sesungguhnya ia sudah kehabisan tenaga.

"Monyet kau! Keledai jahat kau! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Kau berani bilang .aku... aku… isterimu...? Keparat!"

Swan Bu tersenyum mengejek. "Kaulah yang bodoh seperti keledai! Satu-satunya jalan untuk menolong kau terhina oleh kakek itu hanya dengan mengakuimu sebagai isteriku. Kau marah, ya? Hemmm, apakah kau lebih suka menjadi isteri kakek itu?"

”Keparat! Kubunuh kau...!"

Siu Bi mengepal tinju dan terhuyung maju hendak memukul kepala Swan Bu. Akan tetapi dia mengeluh dan terguling roboh! Namun dengan terengah-engah dia bangun kembali, berusaha merangkak mendekati Swan Bu.

"Hemmm, perempuan liar! Kita sama-sama terluka hebat, tidak mampus sekarang pun masih untung. Masa kau masih banyak lagak lagi? Lebih baik lekas bersila, menyehatkan kembali luka di dalam tubuh dengan pernafasan baru. Setelah kita sama-sama sehat, baru kita boleh bicara lagi dan bersama-sama mengatasi kakek gila itu!"

Setelah berkata demikian, Swan Bu tidak mempedulikan lagi kepada Siu Bi. Dia bersila sambil meramkan matanya dan melakukan semedhi. Akan tetapi keadaan gadis itu amat mengganggunya sehingga kembali dia gagal dan terpaksa mengintai Siu Bi dari balik bulu matanya. Siu Bi duduk terengah-engah dan kedua pipinya basah oleh air mata. Agaknya ia marah sekali. Bibir yang agak pucat itu bergerak-gerak dan Swan Bu dapat mendengar suara perlahan, “…kubunuh kau... kubunuh kau..."

Terpaksa dia membuka matanya dan berkata tenang, "Kau tenanglah dan pikir baik-baik. Aku tidak takut kau bunuh, tetapi kalau kau membunuhku, kau tentu akan diambil isteri oleh kakek gila itu. Sebaliknya apa bila aku melawan dan kau yang mampus, aku tentu akan dibunuhnya pula...”

Siu Bi memandang marah. "Kubunuh kau kemudian aku melarikan diri!" katanya sambil merangkak makin dekat.

Akan tetapi Swan Bu sudah meramkan mata lagi dan tidak mempedulikan Siu Bi. Tentu saja dia hanya berpura-pura begini karena diam-diam dia siap siaga menjaga serangan tiba-tiba. Betapa pun juga, dia tidak sudi untuk dibunuh begitu saja.

Agaknya kemarahan Siu Bi sudah bertumpuk-tumpuk kepadanya. Pertama, dia hendak membuntungi lengan tangannya tetapi belum berhasil, ditambah pertempuran yang juga belum dapat ditentukan kalah menangnya. Kemudian pengakuan Swan Bu bahwa gadis itu isterinya, ditambah lagi omongan kacau-balau mengenai anak segala oleh kakek gila. Tentu saja Siu Bi tidak mau menerima hal ini dan menganggapnya sebagai penghinaan yang tiada taranya. Setelah dekat, Siu Bi lalu mengayun tangan memukul.

Swan Bu yang tidak meram betul, tapi mengintai dari balik bulu matanya, cepat miringkan tubuh dan menarik kepala ke belakang. Pukulan mengenai angin dan tubuh Siu Bi yang berjongkok itu hampir tertelungkup. Begitu lemah dia sekarang.

la menyeringai dan dadanya terasa makin sakit, kemudian ia terbatuk. Darah segar pun muncrat dari mulutnya.

”Tenanglah, bernafas yang panjang dan kumpulkan sinkang..." Swan Bu berkata khawatir sekali karena maklum bahwa setiap kali memukul, gadis itu memukul ke dalam dadanya sendiri yang membuat lukanya semakin parah. la tidak ingat lagi bahwa gadis ini adalah musuhnya, dan tidak ingat bahwa sungguh janggal betapa ia mengkhawatirkan keadaan gadis ini.

Namun Siu Bi tidak mau menurut, bahkan dengan nekat lalu menerjang lagi. Kini kedua tangannya bergerak menghantam, yang kiri menyodok ulu hati sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah leher. Swan Bu maklum bahwa jika dia menangkis atau mengelak, maka gadis itu akan terluka semakin parah. Cepat dia menggerakkan kedua tangannya dan pada lain saat dia telah menangkap kedua pergelangan tangan Siu Bi.

"Lepaskan... lepaskan...!" Siu Bi meronta-ronta.

Akan tetapi Swan Bu tentu saja tidak mau melepaskannya karena maklum bahwa sekali lepas, gadis itu akan kembali mengirim pukulan dari jarak dekat. Sekali dia kena pukul, mungkin dia tak akan kuat menahannya, sebaliknya kalau pukulan itu tidak kena, Siu Bi yang mungkin akan tewas. Maka dia memegang kedua pergelangan tangan itu erat-erat, tidak mau melepaskannya.

Selagi mereka bersitegang, berkutetan bagai orang bergulat itu tiba-tiba terdengar suara, "Heh-heh-heh, kalian berkelahi...?"

Siu Bi dan Swan Bu terkejut sekali. Kalau kakek itu tahu mereka berkelahi, hanya dua akibatnya, Swan Bu akan dibunuh dan Siu Bi akan dipaksa menjadi isterinya!

"Lekas...," bisik Swan Bu.

Mendadak ia melepaskan kedua pergelangan tangan Siu Bi, kemudian kedua lengannya merangkul leher gadis itu, dipeluk dan didekapnya. Ketika matanya mengerling dan dia melihat kakek itu masih ragu-ragu berdiri melihat mereka, Swan Bu lalu menarik kepala Siu Bi ke atas dan... dia menciumi muka Siu Bi.

"Auhhh... ahhh..."

Hampir saja Siu Bi pingsan ketika merasa betapa pemuda itu menciumi pipinya, bibirnya, hidungnya, matanya. Serasa kepalanya disambar petir menjadi tujuh keliling, matanya melihat seribu bintang menari-nari dan telinganya mendengar seribu suara melengking-lengking, akhirnya… dia roboh pulas atau setengah pingsan di atas pangkuan dan dada Swan Bu!

"Heh-heh-heh, bagus... bagus. Nah begitulah seharusnya! Kalau begitu aku akan lekas mendapatkan cucu laki-laki, heh-heh-heh!"

Kakek itu melangkah maju dan menurunkan banyak sekali buah-buah yang baru masak, kemerahan dan harum baunya. Swan Bu melihat betapa pedang hitam milik Siu Bi kini terselip pada ikat pinggang kakek itu, berlepotan getah, agaknya pedang itu oleh si kakek dipergunakan untuk menebang pohon!

"Aku memanggang daging di luar, kalian beristirahat. Akan tetapi kelak bila mana sudah sembuh, kalian yang harus melayani aku. Wah, masa orang tua disuruh bersusah-payah melayani anak dan mantu. Aturan mana ini?" Kakek itu mengomel panjang pendek.

"Maafkanlah, Lopek. Kini kami berdua sedang sakit dan terluka. Tunggulah paling lama sepekan, kami tentu akan sehat kembali dan dapat melayanimu."

Kakek itu masih saja tetap mengomel sambil berjalan keluar dari dalam goa. Langkahnya bagai langkah monyet berjalan. Swan Bu mengusap peluhnya, peluh dingin. Hampir saja, pikirnya. Mereka berdua tadi sudah berada di ambang jurang maut! la melirik ke arah Siu Bi yang masih ‘pulas’ di atas pangkuannya. Swan Bu tersenyum pahit dan jantungnya berdetak aneh.

Tanpa dia sengaja atau sadari, jari-jari tangannya membelai rambut halus. Wajah Siu Bi yang pingsan itu hanya membayangkan kecantikan yang mendatangkan gelora di dada, cantik jelita dan menimbulkan iba. Sedikit pun wajah itu tidak lagi dinodai keliaran atau kemarahan, tidak lagi galak seperti pada waktu marah. Swan Bu merasa seakan-akan jantungnya ditusuk-tusuk, perasaannya diremas-remas dan seperti dalam mimpi dia lalu menunduk dan menciumi muka itu.

"Siu Bi... jangan marah padaku, Siu Bi... jangan memusuhi aku..." la berbisik-bisik dekat telinga gadis itu.

Siu Bi bermimpi. Dalam mimpi yang amat indahnya, ia berada dalam alam di mana tiada permusuhan antara dia dan Swan Bu, malah ia menjadi isteri Swan Bu. Mereka berada di dalam taman nan indah, bersendau-gurau, bermain-main dan suami tercinta membelai, mencumbu rayu. la pun membalas dengan mesra, penuh cinta kasih.

Siu Bi sadar. Pening dan kacau pikirannya, sejenak ia bingung. la berada dalam pelukan Swan Bu, malah dia sendiri merangkul leher pemuda itu, dan ia diciumi! Hampir Siu Bi menjerit. Sekarang semua teringat olehnya. Dengan seruan tertahan ia merenggut diri, berusaha melompat mundur akan tetapi kelemasan tubuhnya membuat ia terguling guling.

"Kau... kau..." la tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya memandang ke arah Swan Bu melalui linangan air mata.

"Aku cinta padamu, Siu Bi." Kata-kata ini singkat namun padat, diucapkan dengan penuh perasaan. "Tetapi sekarang bukan waktunya kita bicara. Kau cepat pulihkan tenagamu, sembuhkan luka di dalam tubuhmu agar kita dapat menghadapi si gila itu."

Sesudah berkata demikian, Swan Bu yang duduk bersila meramkan matanya, nafasnya panjang-panjang. Di wajahnya yang tampan itu terbayang ketenangan dan kebahagiaan. Melihat ini, Siu Bi mengusir semua bayangan yang mengacaukan pikirannya, lalu duduk bersila dan meramkan matanya pula. Beberapa kali dadanya terisak, dan beberapa kali matanya terbuka memandang ke arah Swan Bu.

Sukar baginya untuk melakukan siulian. Wajah Swan Bu bergantian dengan wajah kakek Hek Lojin terbayang di hadapan matanya. Cumbu rayu pemuda itu bergantian dengan lengan buntung kakeknya, mengaduk-aduk hati dan perasaannya. Akan tetapi akhirnya ia dapat juga menindas ini semua. Mulailah ia mengumpulkan hawa sakti dalam tubuh, perlahan-lahan menyalurkan sinkang ke arah bagian dada yang terluka di sebelah dalam.

Tiga hari lamanya kakek gila itu mencarikan makan minum untuk Swan Bu dan Siu Bi. Dan selama tiga hari itu, kedua orang muda ini bertekun dalam siulian, menyembuhkan luka masing-masing. Hampir setiap hari secara terpaksa Swan Bu merangkul dan selalu memperlihatkan sikap mesra terhadap Siu Bi, yaitu di kala kakek itu kumat gilanya dan menuduh mereka tidak saling mencinta.

Dan Siu Bi menerima kemesraan Swan Bu ini dengan mata meram, hanya diam tanpa memperlihatkan sikap apa-apa. Semenjak ‘mimpi’ itu Siu Bi menjadi pendiam, bahkan jarang mengadu pandang mata secara langsung dengan Swan Bu.

Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali kakek gila itu sedang tertawa-tawa seorang diri menghadapi api unggun di depan goa, membakar daging kijang yang ditangkapnya malam tadi. Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Pada saat menengok, dia melihat Siu Bi berdiri tegak. Sinar api unggun yang jatuh pada bayangan gadis itu membuatnya bercahaya merah di antara keredupan embun pagi, luar biasa cantiknya seakan-akan sang dewi pagi turun dari kahyangan menemuinya. Untuk sejenak kakek itu terpesona, kemudian dia terkekeh.

"Ha-ha-ha, kau sudah dapat keluar? Hendak menemani aku? Bagus, kau tentu bosan dengan suamimu si lemah itu. Ha-ha-ha, mari mendekat, Manis..."

Akan tetapi kata-katanya terhenti di situ karena mendadak Siu Bi sudah menerjangnya dengan hebat. Tiga kali pukulan Hek-in-kang, biar pun hendak ditangkis juga percuma, tepat mengenai dada sedangkan tangan kiri Siu Bi juga telah berhasil mencabut pedang Cui-beng-kiam yang terselip di ikat pinggang kakek itu.

"Aduhh... auhhh..." tubuh kakek itu bergulingan, dan sebelum sempat meloncat bangun, Cui-beng-kiam datang menyambar dan tubuh kakek itu rebah tidak bergerak lagi. Darah menyemprot ke luar dari lehernya yang sudah putus, kebetulan menyemprot ke arah api unggun yang secara perlahan-lahan menjadi padam.

Dengan pedang Cui-beng-kiam yang berlumuran darah di tangan, Siu Bi segera berlari memasuki goa. Di bawah cahaya remang-remang dia melihat Swan Bu masih duduk bersila. Wajah yang cantik itu menjadi sangat beringas, sepasang matanya yang bening mengeluarkan cahaya, bibirnya yang merah digigit.

"Swan Bu, terimalah pembalasan kakekku!" Siu Bi berseru.

Swan Bu terkejut dan sadar, otomatis mengangkat kedua lengannya sambil membuka mata. Sinar hitam berkelebat, lengan kiri pemuda itu terbabat buntung sebatas sikunya, darah menyembur keluar dan Swan Bu roboh terguling, pingsan.

Sejenak Siu Bi tertegun, bagaikan kena pesona darah merah yang mengalir keluar dari lengan buntung. Wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil. Tiba-tiba dia melempar pedang, menjerit lalu berlutut dekat tubuh Swan Bu yang tidak bergerak dan mukanya pucat seperti mayat.

Dengan gugup dan bingung Siu Bi menotok jalan darah di dekat pangkal lengan yang buntung. Kemudian dia menangis tersedu-sedu, memangku kepala Swan Bu, menciumi muka pemuda itu yang mengeluh panjang pendek menyebut namanya.

Kurang lebih satu jam Swan Bu pingsan. Tiba-tiba kepala di pangkuan Siu Bi itu bergerak dan sepasang mata itu memandang sayu, mulutnya tersenyum mengejek, amat menusuk perasaan.

"Siu Bi... kini kau sudah puas...? Ahh, alangkah cantiknya engkau... alangkah manisnya, alangkah kejam, kau iblis wanita berwajah bidadari..." Seperti orang gila, mulut Swan Bu tersenyum-senyum.

Siu Bi menahan pekiknya dengan menutup mulut, kemudian dengan sekali renggut dia melepaskan kepala dari pangkuan, melompat berdiri, menyambar pedangnya lalu berlari keluar dari goa. Isak tangisnya terdengar bergema di dalam goa ketika Swan Bu dengan gerakan lemah bangkit dan duduk.

Sejenak Swan Bu merasa kepalanya nanar, lalu matanya terbelalak memandang lengan kirinya yang kini menggeletak di atas tanah seperti lengan tangan boneka, dan kemudian dia memegang lengannya yang tinggal separuh sebatas siku, yang ujungnya terbungkus kain putih halus dan harum, kain pengikat rambut Siu Bi.

Dengan lemah dia bangkit berdiri dan terhuyung-huyung berjalan keluar. Di luar goa tidak tampak Siu Bi atau bayangannya, yang tampak hanya mayat kakek gila terlentang di atas tanah, kepalanya terpisah dari badan. Puing api unggun masih mengebulkan asap dan daging yang dipanggang masih menyebarkan bau sedap gurih….

Lee Si melarikan diri di dalam kegelapan sambil menangis tersedu-sedu. Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum beracun kalau ia teringat akan pengalamannya. la harus lari, berlari cepat meninggalkan semuanya, bahkan kalau mungkin meninggalkan dunia. Tak berani ia bertemu dengan ayahnya, malu bukan main. Betapa mungkin dia dapat berhadapan dengan ayahnya lagi setelah ayahnya itu melihat ia... tidur di bawah satu selimut dengan Swan Bu? Masih jelas teringat olehnya betapa ia sudah hampir pingsan saking malu ketika dalam keadaan tertotok ia direbahkan di samping Swan Bu yang juga tertotok, sedangkan Swan Bu tidak memakai baju!

Tadinya ia sama sekali tidak dapat menduga apa maksud dan kehendak orang-orang Ang-hwa-pai itu dengan perlakuan ini. Mengapa ia dan Swan Bu tidak dibunuh melainkan diperlakukan seperti ini? Akan tetapi saat tiba-tiba ia mendengar suara makian ayahnya, dan melihat ayahnya muncul di atas genteng, kagetnya bukan main dan sekaligus dia pun tahu bahwa para penjahat itu agaknya sengaja memancing ayahnya datang supaya orang tua ini dapat menyaksikan keadaan yang amat memalukan dan menghina ini.

la mengerti sekarang. la mengerti pula mengapa ia sengaja dibebaskan setelah ayahnya muncul dan menyaksikan adegan itu. Penghinaan yang luar biasa melebihi maut! Dia sudah mengenal watak ayahnya yang keras. Tidak mungkin ayahnya dapat diberi penjelasan sesudah dengan kedua mata sendiri menyaksikan adegan itu. Dan dia malu bertemu Swan Bu, malu bertemu siapa saja! Lebih baik mati! Mati?

Tidak, belum waktunya. la harus bisa membasmi penjahat-penjahat Ang-hwa-pai berikut teman-temannya itu sebelum dia sendiri mati. Dengan pakaian kusut serta hati penuh kegemasan dan sakit hati terhadap Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya, Lee Si beriari terus secepatnya.

Tujuan perjalanannya sekarang adalah... ke Liong-thouw-san! Ia harus bertemu dengan Pendekar Buta, ia harus bicara dengan ayah bunda Swan Bu, harus ia ceritakan tentang semua pengalamannya dengan Swan Bu. Memang amat memalukan dan ia sudah bisa membayangkan betapa akan sukarnya mulutnya bercerita tentang semua itu, akan tetapi hal ini penting sekali. Penting untuk membersihkan namanya, juga nama Swan Bu, dan agar orang tua Swan Bu dapat menghadapi kemarahan ayahnya dengan tenang.

Siapa lagi yang akan dapat mendinginkan hati ayahnya yang panas bergelora itu kalau bukan Pendekar Buta yang amat dihormati dan dipuji ayahnya? la dapat membayangkan bahwa kalau ayahnya tidak berhasil mencari dan membunuh Swan Bu, tentu ayahnya akan mendatangi orang tua pemuda itu dan mengamuk di sana. Alangkah akan hebatnya bencana yang timbul dari urusan ini! Dan mengingat itu semua makin besarlah dendam dan sakit hati Lee Si terhadap Ang-hwa-pai.

Pada suatu hari, karena hari amat panas terik dan ia sudah merasa amat lelah, Lee Si melangkahkan kakinya ke sebuah kelenteng kosong yang sudah tua dan rusak. Akan tetapi ketika ia sampai di ruangan depan, ia kaget dan menjadi ragu-ragu melihat bahwa di situ sudah terdapat belasan orang laki-laki yang agaknya juga sedang mengaso dan berlindung dari sengatan sinar matahari yang luar biasa panasnya.

Mereka ini sedang bercakap-cakap dan ada yang bersendau-gurau, hanya seorang pria muda dan tampan duduk menyendiri di satu pojok, melenggut seperti orang mengantuk. Melihat banyak laki-laki di dalam kuil itu, Lee Si menahan kakinya dan membalikkan tubuh, dia hendak berteduh di luar saja.

"Eh, A-liuk, apakah kita tidak mimpi? Bidadari kahyangan turun di siang hari? Wah-wah... kok pergi lagi...?"

"lya... nona manis, kenapa tidak jadi masuk? Di sini teduh nyaman... kita bisa mengobrol, mari ke sinilah!" kata seorang lain, disusul gelak tawa teman-temannya.

Lee Si yang baru saja mengalami mala petaka, tidak sudi mencari perkara baru sungguh pun hatinya sudah amat panas dan ingin sekali kaki tangannya memberi hajaran kepada orang-orang kurang ajar itu. Maklum bahwa kalau ia berada di sana tentu setidaknya telinganya akan mendengar suara-suara busuk, gadis ini lalu melangkah keluar lagi dari pekarangan kelenteng tua, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat peristirahatan lain.

Akan tetapi daerah ini kering, pohon-pohon kehilangan daunnya sehingga tidak ada lagi tempat yang teduh. Terpaksa Lee Si berjalan terus menuju ke daerah yang dari jauh tampak banyak gundukan batu-batu besar dengan harapan mendapatkan tempat teduh di situ.

“Hee, nona manis, berhenti dulu...!"

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan ketika Lee Si menengok, dilihatnya banyak laki-laki yang tadi duduk di dalam kelenteng kini berlari-lari mengejarnya. Di depan sendiri tampak seorang laki-laki brewok yang berpakaian seperti tentara, golok besarnya tergantung di pinggang. la ingat bahwa memang tadi di dalam kelenteng ada si brewok ini yang hanya memandangnya dengan mata melotot dan mulut menyeringai.

"Hemmm, manusia-manusia keparat ini tak akan kapok kalau tidak diberi hajaran!" pikir Lee Si sambil berhenti dan membalikkan tubuhnya, siap menanti mereka.

Hanya ada enam orang yang mengejarnya, dan biar mereka itu semua adalah laki-laki yang kasar dan membawa senjata, dia tidak takut. Dia berdiri tenang-tenang saja, berdiri dengan sikap biasa bagai seorang gadis muda yang hendak nonton lewatnya rombongan arak-arakan.

Mendadak berkelebat bayangan yang gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berdiri menghadang larinya rombongan itu.

"Sahabat-sahabat harap berhenti dahulu untuk bicara!" laki-laki ini berkata dengan suara tenang.

Dia adalah pemuda berpakaian putih yang tadi duduk melenggut di pojok. Pemuda ini sikapnya tenang, namun sepasang matanya memancarkan ketajaman dan ketabahan.

Si brewok yang berpakaian komandan tentara itu membelalakkan mata dan membentak. "Heh, bukankah kau pengemis muda yang tadi mengantuk di dalam kuil? Mau apa kau?"

Pemuda itu mengangkat sedikit mukanya dan sepasang matanya dipicingkan, pandang matanya tajam sekali menerobos di antara bulu matanya yang bergetar. Mulutnya agak tersenyum sebelum ia bicara dengan suara lantang,

"Bukankah kau ini komandan she Gak yang membawa anak buahmu kumpulan tukang pukul ini menjelajahi ke dusun-dusun untuk memeras rakyat dengan dalih kerja paksa membuat saluran? Orang she Gak, ketahuilah bahwa semua rahasiamu sudah terbuka, aku sudah tahu bahwa kau bukanlah seorang komandan tapi seorang kepala perampok yang menyamar sebagai komandan tentara untuk melakukan pemerasan. Beberapa hari sudah aku mengikuti jejak kalian, sekarang kalian akan menambah kejahatan pemerasan dengan mengganggu wanita baik-baik. Hemmm, dosa kalian sudah cukup besar..."

"Setan muda, mampuslah kau!”

Tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar ketika ‘komandan’ itu menggerakkan golok besarnya yang sudah dicabut cepat dan dipergunakan untuk membacok leher pemuda itu.

Diam-diam pemuda itu terkejut juga. Kiranya si komandan gadungan ini pandai juga ilmu goloknya. Namun dengan gerakan mudah saja, yaitu dengan sedikit miringkan tubuh dan menekuk sebelah lutut, golok itu hanya menyambar lewat di atas kepalanya, beberapa sentimeter saja selisihnya.

Akan tetapi tanpa ditarik kembali golok itu sudah langsung memutar ke bawah dan kini membabat ke arah pinggang, disusul jotosan tangan kiri yang keras sekali menuju kepala pemuda itu. Sebuah serangan yang hebat juga!

"Bagus!" Pemuda itu berseru.

Tubuhnya melompat ke atas sehingga golok yang membabat pinggangnya itu meluncur lewat di bawah kakinya, sedangkan selagi tubuhnya berada di udara, kakinya bergerak menendang ke arah kepalan tangan kiri lawan!

"Bagus...!" Kini seruan memuji kagum ini keluar dari mulut Lee Si.

Gadis muda ini berdiri menonton dan kagumlah dia menyaksikan gerakan pemuda itu. Menendang untuk menangkis pukulan selagi tubuh masih berada di udara hanya mampu dilakukan oleh seorang yang ahli.

Namun orang she Gak itu pun ternyata lihai sekali. Cepat dia menarik kepalannya dan sebelum tubuh pemuda itu turun, goloknya sudah menusuk lagi, kini memapaki turunnya tubuh itu dari bawah seakan-akan goloknya hendak menyate tubuh itu dari bawah ke atas. Serangan maut ini masih dia tambahi dengan sebuah tendangan kilat yang amat keras.

Agaknya di samping kemahirannya dalam gerakan golok dan pukulan, si brewok ini ahli tendangan pula. Malah bagi pemuda itu, tusukan golok hendak menyate tubuh itu malah tak sehebat tendangan yang amat berbahaya ini karena tendangan itu dilakukan dengan gerakan kaki memutar sehingga sukar diduga bagian mana yang hendak di ‘makan’ oleh tendangan kaki kiri ini!

"Hebat...!" kembali Lee Si berseru sambil menyaksikan gerakan pemuda pakaian putih itu.

Orang tentu akan merasa heran karena pemuda itu baru saja bergerak, belum kelihatan hasilnya, gadis ini sudah memuji setengah mati. Akan tetapi kiranya pujian itu memang tidak salah karena akibatnya memang hebat. Dengan gerakan tangan kiri yang sangat luar biasa, pemuda itu turun dengan tubuhnya miring-miring seperti mau jatuh, akan tetapi berhasil mengelak dari golok lawan yang menusuknya. Malah tangan kiri itu sekali berkelebat telah mencengkeram tangan kanan yang memegang golok, dan sekali renggut gagang golok telah pindah tangan, sedangkan tendangan maut itu diterima dengan tangan kanan yang disabetkan ke bawah dengan jari-jari tangan terbuka.

"Dukkk!"

Aneh memang, akan tetapi nyata. Tangan kanan yang disabetkan miring itu bertemu dengan kaki yang besar dan terbungkus sepatu tebal yang berlapis besi. Kalau menurut perhitungan dan logika, tentunya si tangan yang akan remuk, setidaknya tulangnya tentu akan patah-patah dan kulitnya pecah-pecah. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian.

Tangan itu tidak apa-apa, juga tubuh si pemuda sama sekali tidak bergeming, sebaliknya tubuh si penendang yang tinggi besar itu terpelanting jatuh, menggelinding dan akhirnya baru berhenti setelah sebuah batu besar menahannya di tengah jalan dan kepala yang menumbuk batu itu pecah retak-retak, dan yang punya kepala terhenti menjadi manusia hidup!

Pemuda itu melirik ke arah Lee Si, tersenyum dan mengangguk-angguk. Di dalam hati pemuda ini kagum juga akan ketenangan gadis itu yang masih berdiri menjadi penonton. Lima orang tukang pukul itu tentu saja menjadi marah sekali melihat ‘komandan’ mereka tewas. Dengan teriakan-teriakan marah dan makian-makian kotor mereka lalu menerjang pemuda itu dengan bermacam-macam senjata. Dua orang bersenjata pedang panjang, seorang bersenjata toya, seorang bersenjata golok dan seorang lagi yang kepalanya botak dan tidak bertopi bersenjatakan sebatang pecut baja. Ketika mereka ini bergerak, kembali Lee Si terkejut karena lima orang ini kiranya bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, boleh dibilang setingkat dengan si komandan gadungan tadi.

Melihat ini, teganglah seluruh urat syaraf di dalam tubuh Lee Si. Tak mungkin ia berdiam diri saja menonton pemuda itu dikeroyok lima orang yang tak boleh dipandang ringan ini. Pemuda itu tak salah lagi, berusaha menolongnya. Kalau sampai pemuda itu celaka atau terluka, hal ini sungguh amat tidak baik. la sudah bersiap untuk segera melayang dan membantu kalau-kalau pemuda itu terancam.

Akan tetapi tiba-tiba hatinya berdebar tegang dan seperti terpaku di tempatnya. Pemuda berpakaian putih itu kini bergerak-gerak seperti orang mabuk, menggunakan langkah-langkah aneh sekali yang ia kenal seperti langkah-langkah yang dipergunakan oleh Swan Bu. Sama sekali pemuda itu tidak terdesak oleh pengeroyokan lima orang, malah sambil menyelinap di antara senjata-senjata itu dia berkata, "Tentara gadungan itu sudah sepatutnya mampus. Kalian boleh hidup, akan tetapi harus mengakhiri kejahatan. Lain kali aku tidak dapat memberi ampun lagi!"

Tiba-tiba pemuda itu berkelebat. Tubuhnya seperti lenyap dari pandangan mata kelima orang pengeroyoknya, yang tampak hanya sesosok bayangan yang didahului sinar golok rampasan tadi. Terdengar pekik kesakitan berturut-turut dan senjata-senjata itu berturut-turut melayang runtuh dibarengi mengucurnya darah dari kedua pundak dan kedua paha. Dalam sekejap mata saja lima orang itu sudah roboh merintih-rintih.

Kiranya selain senjata merekar terlepas, juga ujung kedua pundak dan atas kedua lutut mereka terluka oleh golok, luka yang tidak berbahaya tetapi cukup mengeluarkan banyak darah dan membuat mereka merasa ngeri. Bila mana pemuda itu menghendaki, agaknya menewaskan mereka tidak lebih sukar dari pada membalikkan telapak tangan.

"Nah, kuharap kalian kapok dan suka menghentikan praktek-praktek jahat!" seru pemuda itu sambil melempar golok rampasannya ke tanah, kemudian dia membungkuk ke depan Lee Si sambil berkata,

"Silakan Nona melanjutkan perjalanan. Selamat berpisah!" Sehabis berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuhnya dan berkelebat cepat sekali. Sebentar saja dia sudah lenyap di balik batu-batu besar...



                        





















Terima kasih telah membaca Serial ini.





No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12