Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 09
Swan Bu
maklum bahwa nyawanya berada di ujung pedang lawan, namun karena dia tak dapat
menggerakkan kaki tangannya, Swan Bu hanya dapat memandang dengan mata tidak
berkedip sedikit pun juga.
Orang-orang
lain yang berada di situ hanya memandang sambil tertawa, karena pemuda
Liong-thouw-san ini memang anaknya musuh besar, berarti musuh pula, apa lagi
sudah mengacaukan usaha mereka di Kong-goan, kalau tidak dibunuh mau diapakan
lagi?
"Cringgg...!"
Ouwyang Lam
kaget dan melompat mundur. Pedangnya yang hampir menancap di dada Swan Bu telah
terbentur pedang lain yang telah menangkisnya sehingga muncrat bunga api saking
kerasnya benturan itu. Pada waktu semua orang memandang, kiranya yang menangkis
itu adalah Siu Bi!
"Eh,
kau lagi? Bi-moi, terus terang saja, kau sebetulnya berpihak siapa? Ketika di
Ching-coa-to kami hendak membunuh puteri Raja Pedang, kau pun telah menghalangi
maksud kami!” kata Ouwyang Lam penasaran.
Sepasang
mata yang tajam bening itu berkilat, "Aku berpihak pada diriku sendiri.
Bocah ini adalah anak Pendekar Buta, berarti musuh besarku. Aku sudah bersumpah
hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, isterinya serta anaknya, membuntungi
lengannya hidup-hidup! Kalau dia dibunuh, apa artinya membuntungi lengannya
lagi?"
"Tapi...
tapi bukan kau yang merobohkan dia, kau tidak berhak. Kami yang merobohkan dan
menawannya, maka kami yang berhak melakukan apa saja terhadap dirinya!"
"Siapa
saja yang membunuh dia berarti ingin menghalang-halangi aku untuk membalas
dendam dan melaksanakan sumpahku. Tentang siapa yang merobohkan, memang betul
kalian yang merobohkan, akan tetapi perempuan ini aku yang merobohkan. Sekarang
aku ingin menukarkan dia dengan anak Pendekar Buta ini. Ouwyang-twako, kau boleh
ambil dia, biarkan aku membuntungi lengan anak Pendekar Buta tanpa
membunuhnya!"
Ouwyang Lam
menengok ke arah Lee Si yang menggeletak telentang. Dalam keadaan tertotok dan
telentang di atas tanah itu dengan pakaian kusut, gadis cantik ini kelihatan
menarik sekali, sangat menggairahkan hati Ouwyang Lam yang memang berwatak mata
keranjang. Segera dia mengilar ketika pandang matanya menjelajahi tubuh Lee Si
dan sambil menyeringai dia berkata, "Aku... aku boleh... memiliki
dia...?"
Pada saat
itu, Bo Wi Sianjin berkata, "Eh, Maharsi, bukankah gadis ini cucu Raja
Pedang yang pernah kita kejar?"
Maharsi
memandang. "Aha, betul! Betul dia! Wah, Bhok-losuhu tentu akan girang
sekali. Sumoi, benar-benar kita telah mendapatkan tawanan penting. Seorang
putera Pendekar Buta, yang seorang lagi cucu Raja Pedang. Baiknya kita jangan
bunuh mereka, jadikan tangkapan untuk memaksa musuh-musuh besar itu
menyerah!"
"Bagus,
itu betul sekali!" seru Bo Wi Sianjin karena baik dia mau pun Maharsi
sebetulnya masih merasa jeri untuk bertanding melawan Pendekar Buta serta Raja
Pedang yang terkenal sakti.
"Suheng,
kau tadi menyebut nama Bhok-losuhu? Siapakah yang kau maksudkan?"
Maharsi
tertawa. "Siapa lagi kalau bukan Bhok Hwesio itu tokoh besar yang sakti
dari Siauw-lim-pai? Dia pun sudah siap untuk membasmi Pendekar Buta dan Raja
Pedang dan dia datang bersama kami ke Kong-goan, akan tetapi tentu saja tidak
mau ke sini. Kuharap kau suka mengunjunginya di kelenteng sebelah timur kota,
Sumoi."
Girang
sekali hati Ang-hwa Nio-nio, apa lagi setelah dia diperkenalkan dengan Bo Wi
Sianjin sebagai sute dari Ka Chong Hoatsu yang menaruh dendam kepada Raja
Pedang. Dengan begini banyaknya orang pandai di pihaknya, tentu akan terlaksana
idam-idaman hatinya, yaitu menebus kematian dua orang adiknya….
Pada saat
itu, dengan tergesa-gesa seorang anggota Ang-hwa-pai berlari menghampiri
Ang-hwa Nio-nio dan melapor, "Paicu, seorang yang bernama Tan Kong Bu,
kabarnya ketua Min-san-pai, mencari Tan Lee Si yang katanya adalah puterinya,
sedang menuju ke sini!"
Ang-hwa
Nio-nio membelalakkan sepasang matanya, lalu tertawa mengikik. "Wah-wahh,
sungguh-sungguh malam baik sekali sekarang. Seorang demi seorang anggota
keluarga mereka berdatangan sehingga membuat kita mudah untuk membasminya.
Suheng, aku mempunyai rencana yang bagus sekali. Lam-ji (anak Lam), kau bawa
dua orang tawanan kita itu ke dalam kuil, tapi jangan ganggu mereka!"
perintahnya kepada Ouwyang Lam.
Pemuda ini
mengangguk tersenyum, lalu membungkuk, memondong tubuh Lee Si dan menyeret
tubuh Swan Bu dengan menjambak rambutnya.
"Twako,
serahkan anak Pendekar Buta itu kepadaku!" Siu Bi melompat maju. "Aku
harus melaksanakan sumpah pembalasanku!"
"Ihhh,
Siu Bi. Apakah kau sudah tergila-gila melihat pemuda yang tampan dan gagah itu?
Hi-hi-hik!"
Bukan main
marahnya hati Siu Bi mendengar ejekan Ang-hwa Nio-nio ini. Seketika itu mukanya
menjadi merah sekali, matanya berapi-api, tangannya yang memegang pedang
gemetaran. "Bibi Kui Ciauw! Aku bukan seperti engkau"
Ang-hwa
Nio-nio juga marah. "Siu Bi, kuperingatkan kau! Kami tidak butuh
bantuanmu. Apa bila kau mau bekerja sama dengan kami untuk menghadapi Pendekar
Buta silakan tinggal bersama kami akan tetapi harus menurut apa yang kami
rencanakan. Kalau tidak mau, kami tidak akan menahanmu.”
"Nio-nio...
Bi-moi... sudahlah, di antara kita sendiri mengapa mesti ribut-ribut?"
Ouwyang Lam cepat melerai dengan suara halus, kemudian dia melanjutkan
pekerjaannya, yaitu memondong Lee Si dan menyeret tubuh Swan Bu dibawa masuk ke
dalam kuil.
Siu Bi
merengut, hatinya mendongkol sekali. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia
maklum bahwa untuk melawan pun ia akan kalah. Maka tanpa berkata sesuatu ia
lalu berjalan pergi dari depan Ang-hwa Nio-nio, menahan isak tangis saking
gemasnya.
"Siapakah
dia?" Maharsi bertanya.
"Ahh,
dia...? Cucu Hek Lojin, juga musuh Pendekar Buta."
"Hek
Lojin? Pantas dia begitu liar, kiranya cucu iblis itu!" Bo Wi Sian-jin
berkata sambil mengangguk-angguk.
Mereka lalu
memasuki kuil dan Ang-hwa Nio-nio memberi perintah kepada anak buahnya untuk
mengatur rencananya yang dianggap amat baik. Apakah yang direncanakan oleh
ketua Ang-hwa-pai ini? Kebenciannya pada Pendekar Buta dan Raja Pedang membuat
nyonya tua ini pandai mencari cara yang paling keji untuk melampiaskan
dendamnya. Marilah kita ikuti bersama apa yang direncanakan.
Seperti
sudah dilaporkan oleh seorang anak buah Ang-hwa-pai tadi, di kota Kong-goan
malam hari itu kedatangan seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi
besar dan tegap, sikapnya gagah, bicaranya kasar, keras dan nyaring sekali.
Orang ini bukan lain adalah Tan Kong Bu yang sudah meninggalkan puncak Min-san
untuk mencari puterinya yang diam-diam meninggalkan puncak.
Seperti
telah kita ketahui, sejak datangnya murid kepala Raja Pedang, yaitu Su Ki Han
telah terjadi Perubahan hebat di Min-san. Lee Si, puteri tunggal itu telah
meninggalkan puncak tanpa memberi tahu dan Su Ki Han sendiri yang merasa tidak
enak, segera berpamit turun gunung untuk berusaha mengejar Lee Si. Seperginya
Su Ki Han, Kong Bu merasa tidak enak dan menyatakan kepada isterinya untuk
pergi mengejar puteri mereka itu.
“Tentu saja
ia tak boleh dibandingkan dengan adikku Cui Sian," demikian kata pendekar
itu. "Kepandaian Lee Si memang sudah cukup untuk menjaga diri, akan tetapi
ia masih hijau dan tidak tahu akan bahayanya dunia kang-ouw. Sedikitnya ia
harus mendengarkan dulu cerita dari kita tentang kejahatan di dunia kang-ouw
sehingga ia dapat menjaga diri. Tinggal kau pilih, kau atau aku yang pergi
mengejar?"
Demikianlah,
Tan Kong Bu lalu turun dari puncak, mencari puterinya. Sebagai seorang tokoh
kang-ouw yang ulung, akhirnya Kong Bu pun berhasil mengikuti jejak puterinya
dan menuju ke Kong-goan, hanya selisih setengah hari saja dengan puterinya.
la mendengar
tentang keributan yang terjadi di rumah Lo-ciangkun, maka dia mempunyai dugaan
bahwa agaknya Lee Si terlibat dalam hal ini. la mencari sampai ke losmen di
mana Lee Si bermalam, dengan cara kasar dan keras dia mengancam pengurus losmen
yang biar mati pun tidak akan mampu memberi keterangan ke mana perginya gadis
itu yang pergi melalui genteng dan tidak terlihat oleh siapa pun juga.
Kong Bu lalu
berputar-putar di kota Kong-goan sampai jauh malam, akan tetapi dia tidak dapat
menemukan jejak Lee Si dan tidak ada yang dapat memberi keterangan ke mana
perginya gadis itu. Dalam keadaan gelisah Kong Bu berlari-larian keluar masuk
lorong gelap, sementara keadaan kota Kong-goan sudah sepi.
Tiba-tiba
dia cepat menghindar ke kiri. Hampir saja dia bertubrukan dengan seorang pria
kecil kurus yang juga berlari-lari seperti dia dan mereka bertemu di sebuah
tikungan jalan kecil. Pria itu kelihatan gugup sekali, tanpa bicara sesuatu
terus melarikan diri dengan cepat.
Kong Bu
merasa curiga. Jelas bahwa orang itu memiliki kepandaian silat yang lumayan
melebihi orang biasa. Larinya cepat dan gerakannya gesit. Dengan beberapa
lompatan jauh akhirnya Kong Bu dapat menyusul dan mengejar orang itu.
Si kecil
kurus yang berkumis panjang itu kaget bukan main ketika tiba-tiba ada bayangan
berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki tinggi
besar, apa lagi saat dia mengenalnya sebagai laki-laki yang hampir bertubrukan
dengannya tadi. Tanpa banyak cakap lagi dia membalikkan tubuh dan lari lagi,
akan tetapi dia mengeluh ketika pundaknya tiba-tiba dipegang tangan yang
memiliki jari-jari tangan sekuat cepitan baja.
"Kau
siapa dan ada apa malam-malam begini kau berlari-larian seperti pencuri? Hayo
mengaku terus terang, kalau tidak, tulang-tulang pundakmu akan
kuhancurkan!" bentak Kong Bu yang sedang gelisah sehingga menjadi pemarah
itu.
"Ampun,
Ho-han (Orang Gagah)... ampunkan saya. Saya Ciu Ti, bukan pencuri... saya...
saya sedang bingung dan hendak mencari pertolongan. Ada... ada penjahat
menyeret seorang gadis cantik ke dalam kuil di mana saya biasanya bermalam...
maaf, saya tiada keluarga tiada tempat tinggal... saya... saya berusaha
menolong nona cantik itu, tapi... saya kalah. Penjahat muda itu terlampau kuat,
dan agaknya ia... ia seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)..."
Kong Bu
tertarik hatinya. "Di mana dia? Betulkah dia penjahat pemetik bunga?"
"Mungkin,
saya... saya tidak jelas. Hanya pada saat dia merobohkan saya tadi, dia... dia
mengaku bahwa dia she Kwa... kemudian mengusir saya pergi. Gadis itu pingsan,
pada pinggangnya tergantung pedang... ehh, pedang kuning seperti emas..."
Cengkeraman
pada pundak itu mengeras dan si kecil kurus menyeringai kesakitan.
"Bagaimana
kau bisa tahu pedang yang tergantung itu pedang kuning?"
"Aduh...
lepaskan pundak saya... aduh, mana saya bisa tahu kalau jai-hwa-cat itu tidak
mempergunakannya untuk melawan saya? Pedang itu ampuh sekali, golok saya lantas
patah begitu beradu..."
Kong Bu
tidak sabar lagi, segera menyeret tangan orang itu. "Hayo cepat, antarkan
aku ke sana. Cepat... kubanting mampus kau, hayo cepat"
Orang itu
mengeluh dan setengah diseret karena betapa pun dia mengerahkan tenaga dan ilmu
lari cepatnya, agaknya masih kurang cepat saja sehingga dia seperti diseret dan
kedua kakinya tidak menginjak bumi lagi karena tubuhnya seperti menggantung
kepada lengan Kong Bu yang kuat.
"Di
sinikah tempatnya?" tanya Kong Bu.
"Betul...
di dalam... di ruangan belakang, aku... aku takut, harap kau suka masuk
sendiri, Ho-han..."
Kong Bu
mendorong orang itu sampai terjengkang, kemudian dia melompat naik ke atas
genteng kuil tua itu. Hati jago tua ini berdebar tidak karuan. Di mana pun dia
berada dan siapa pun gadis yang menjadi korban jai-hwa-cat, jika dia
mendengarnya pasti dia akan turun tangan membasmi si penjahat.
Akan tetapi
sekarang lain lagi halnya. la sedang mencari puterinya yang dia tahu berada di
kota itu, akan tetapi lenyap tak meninggalkan bekas, sedangkan buntalan
pakaiannya masih ada di kamar losmen. Dan gadis yang pingsan serta menjadi
korban jai-hwa-cat itu berpedang kuning. Oei-kong-kiam!
Mana lagi
ada pedang kuning selain Oei-kong-kiam, pedang yang dibawa Lee Si? Inilah yang
membuat jantungnya berdebar tidak karuan, bahkan kedua kakinya agak menggigil
dan hampir dia terpeleset ketika dia melompat ke atas genteng yang gelap itu.
Dari atas
genteng dia melihat api penerangan di sebelah belakang kuil. Cepat-cepat dia
melompat dengan hati-hati ke bagian belakang, di atas tempat yang diterangi
lampu di sebelah bawah. Dengan hati-hati dia membongkar genteng, lalu mengintai
ke bawah.
Kong Bu
memandang dengan mata melotot, kemudian menggosok-gosok dua matanya, memandang
lagi, otot-otot pada lehernya menegang, wajahnya tiba-tiba pucat sekali, lalu
terdengar giginya berkerot-kerot.
"Bedebah!
Keparat biadab...! Kubunuh kau...! Kubunuh...!" teriakan ini mula-mula
hanya terdengar bagaikan gerengan harimau marah, kemudian melengking tinggi dan
akhirnya terdengar nyaring sekali.
Apakah yang
dilihat oleh jago Min-san ini? Pemandangan di dalam ruangan di bawah itu
benar-benar membuat darahnya mendidih, matanya tiba-tiba gelap dan dadanya
serasa meledak.
Mereka
berbaring di atas lantai, dua orang itu, seorang pemuda tampan dan seorang
gadis cantik jelita. Siapa lagi kalau bukan Lee Si, puterinya? Betapa tidak
akan hancur hatinya melihat puterinya itu rebah terlentang, dan entah bagaimana
keadaannya karena tubuhnya tertutup selimut sebatas leher, akan tetapi yang
jelas puterinya itu menangis terisak-isak dan kelihatan lemah sekali. Tentu
dalam keadaan tertotok jalan darahnya, pikirnya dengan hati hancur.
Dan
laki-laki tampan itu mukanya seperti perempuan, terlalu tampan. Patut menjadi
muka seorang kongcu hidung belang atau seorang penjahat jai-hwa-cat yang lihai!
Dan yang lebih memanaskan hatinya, laki-laki tampan itu rebah miring menghadapi
Lee Si, tubuh bagian atasnya telanjang.
"Ayaaahhh...!"
terdengar Lee Si menjerit, suaranya lemah sekali, bercampur isak.
"Keparat...
jahanam...!" Kubunuh engkau, kukeluarkan isi perutmu, kuminum
darahmu...!" Kong Bu berteriak lagi, kini diseling suara melengking tinggi
yang menggetarkan kuil itu, seperti bukan suara manusia lagi.
Akan tetapi
selagi dia hendak membongkar genteng dan menerobos ke bawah tiba-tiba beberapa
batang lilin yang menyala di ruangan itu padam, membuat keadaan menjadi gelap
pekat. Betapa pun marahnya hati Kong Bu, dia adalah seorang jagoan kang-ouw
yang sudah ulung, tentu saja dia tidak mau secara membuta melompat ke dalam
ruang yang gelap gulita dan tidak dikenalnya itu.
"Paman
Kong Bu... dengarlah... saya adalah Kwa Swan Bu... putera ayah Kwa Kun Hong di
Liong-thouw-san.., Paman..."
Teringat
Kong Bu akan penuturan si kurus tadi bahwa jai-hwa-cat itu she Kwa. Darahnya
makin bergolak. "Tak peduli kau anak setan dari mana, hayo keluar! Hayo
kau lawan aku mengadu nyawa. Penghinaan ini baru bisa lunas bila ditebus dengan
darah dan nyawa! Keluar!! Kurobek dadamu, kukeluarkan jantungmu!"
Tiba-tiba
dari dalam gelap di sebelah bawah terdengar desir angin yang sangat halus. Kong
Bu cepat memiringkan tubuh dan pedang yang sudah dicabutnya itu menangkis
beberapa batang jarum halus yang menyambar ke arahnya dari bawah sebelah kiri.
Itulah jarum rahasia dan mendengar bunyinya yang halus berdesir dapat diketahui
bahwa penyambitnya tentu memiliki Iweekang yang amat kuat.
Kong Bu
cepat melompat ke bawah sambil memutar pedangnya, melayang ke arah dari mana
datangnya jarum-jarum tadi. Akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak
tanah, dari arah kanannya menyambar angin pukulan yang amat kuat dan dahsyat.
Kong Bu
cepat menggeser kaki, lalu memasang kuda-kuda yang amat rendah sambil menyampok
dengan lengan kirinya dan mengerahkan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi hampir
saja dia terguling karena ternyata bahwa sambaran angin pukulan itu kuat bukan
main.
Ia terkejut
sekali, akan tetapi tidak heran. Kalau bangsat itu betul putera Pendekar Buta
Kwa Kun Hong tentu saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Makin panas
hatinya! Bagaimanakah putera Kun Hong bisa melakukan perbuatan yang begini
biadab?
Kong Bu
adalah putera Raja Pedang yang dahulu menerima gemblengan ilmu silat dari
kakeknya, yaitu mendiang Song-bun-kwi Kwee Lun. Tentu saja dia mewarisi
kepandaian tinggi dan dia tidak gentar meski menghadapi lawan yang bagaimana
sakti pun. Apa lagi sekarang dia sedang marah dan nekat karena ingin membela
kehormatan puterinya.
Akan tetapi,
pada waktu ia memutar pedangnya sambil mengeluarkan suara melengking-lengking
tinggi untuk menerjang lawannya yang mengirim pukulan dari tempat gelap, di
situ tidak tampak lagi ada orang. Makin kagetlah dia. Terang bahwa lawannya
tadi selain memiliki tenaga kuat, juga memiliki kegesitan yang luar biasa.
"Jai-hwa-cat
biadab! Kalau memang jantan, hayo kau tandingi aku secara laki-laki. Aku Tan
Kong Bu ketua Min-san-pai, sebelum dapat mengeluarkan isi perutmu, aku takkan
berhenti berusaha. Kau atau aku yang mati untuk mencuci noda ini!"
pekiknya sambil membacokkan pedangnya pada sebuah tiang kuil. Tiang itu
terbabat putus dan genteng di atasnya banyak yang rontok karena penahan genteng
menjadi miring.
"Hayo
keluar! Jangan sembunyi kau, pengecut, jahanam keparat, manusia biadab! Walau
pun kau anak Kwa Kun Hong atau putera malaikat sekali pun, jangan harap bisa
terlepas dari tanganku!"
Akan tetapi
ketika dia hendak menyerbu ke dalam ruangan belakang itu, mendadak ada sambaran
angin pukulan jarak jauh lagi, dan kini dari arah belakangnya. Cepat-cepat dia
menggeser kaki, memutar-mutar tubuh sehingga pukulan itu meleset.
la melihat
bayangan orang berkelebat di belakangnya, cepat dia mengejar. Bayangan itu
gesit sekali dan melompat-lompat ke arah pagar ternbok yang mengelilingi kuil, lalu
dia menerobos keluar.
"Keparat,
hendak lari ke mana kau?" Kong Bu mengejar, pedangnya diputar dan siap
untuk melancarkan serangan maut.
Di depan
kuil yang agak gelap, bayangan itu berhenti dan Kong Bu segera menghujani
serangan-serangan dengan pedangnya. Akan tetapi ternyata bayangan itu
gerakannya cepat luar biasa, meski bertangan kosong, namun selalu dapat
mengelak dari sambaran pedangnya.
Keadaan yang
gelap membuat Kong Bu tidak dapat mengenal wajah orang ini, namun dia masih
dapat melihat bayangan seorang pemuda yang tampan. Belum sepuluh jurus dia
menyerang, pemuda itu melompat dan menghilang di dalam gelap.
"Jai-hwa-cat,
jangan lari kau!" seru Kong Bu sambil mengejar.
Akan tetapi
bayangan itu lenyap. Setelah mengejar agak jauh, Kong Bu teringat akan
puterinya. Cepat dia membalik dan lari ke arah kuil kembali, sekarang dengan
nekat dia menerobos masuk ke dalam kuil sambil menjaga diri dengan pedangnya,
langsung dia menuju ke ruangan belakang.
Dengan
sekali tendangan, pintu ruangan belakang yang memang sudah reyot itu runtuh
berantakan. Kong Bu menerjang lagi ke dalam. Gelap! Dengan kakinya dia
meraba-raba, akan tetapi ternyata ruangan itu kosong melompong. Baik pemuda jai-hwa-cat
tadi mau pun puterinya, telah lenyap.
Kong Bu
mencari ke seluruh ruangan kuil kuno, akan tetapi tidak menemukan seorang pun.
Dia memaki-maki, memanggil-manggil nama anaknya, berteriak-teriak menantang.
Sia-sia belaka. Bukan main kecewa dan menyesalnya.
la telah
ditipu oleh pemuda jai-hwa-cat tadi. Terang bahwa tadi dia sengaja dipancing ke
luar, kemudian jai-hwa-cat itu tentu telah kembali ke gedung membawa lari Lee
Si yang tidak berdaya melawan.
“Keparat
jahanam! Kau anak Kwa Kun Hong! Awas kau! Kwa Kun Kong, si buta, keparat, kau
harus mempertanggung jawabkan kebiadaban puteramu. Awas kau!”
Sambil
memaki-maki dan menyumpah-nyumpah, Kong Bu lalu berlari seperti orang gila,
keluar dari kuil itu. Tujuan hatinya hanya satu, yaitu ke Liong-thouw-san, dan
menuntut kepada Kun Hong agar supaya puteranya diserahkan kepadanya, untuk
disodet perutnya agar terbebas penghinaan yang hebat ini….
“Wah, baik
sekali hasilnya. Sumoi, kau betul-betul amat cerdik dan licin sekali. Ha-ha-ha,
antara keturunan Raja Pedang dan keturunan Pendekar Buta sudah terdapat
bentrokan yang agaknya hanya dapat diredakan dengan darah dan nyawa. Bagus
sekali, Sumoi!"
Maharsi
tertawa sambil memuji-muji sumoi-nya setelah pada keesokan harinya pagi-pagi
mereka berkumpul di sebuah hutan tidak jauh dari kuil di kota Kong-goan itu.
Mereka berkumpul di situ, lengkap seperti kemarin, kecuali Siu Bi. Gadis ini
tidak tampak mata hidungnya.
“Ah, Suheng.
Kalau tidak sedemikian besar dendamku terhadap mereka, agaknya takkan
terpikirkan akal seperti itu olehku. Ketika kau dan Ouwyang Lam memancing Tan
Kong Bu menjauhi kuil, sengaja kubebaskan puterinya. Tentu saja gadis itu malu
sekali dan tidak ada muka berjumpa dengan ayahnya. Hi-hi-hik, betapa pun dia
akan membela diri, siapa percaya bahwa dia tidak tercemar oleh putera Pendekar
Buta?"
"Tapi
di mana adanya Kwa Swan Bu, dan mana pula adik Siu Bi?" tanya Ouwyang Lam.
"Huh,
gadis tiada guna itu! Tadinya Swan Bu kusingkirkan dalam keadaan tertotok, tapi
kemudian ia lenyap, tentunya dibawa pergi oleh Siu Bi. Gadis tak tahu malu itu
jika tidak tergila-gila kepada pemuda tampan itu, entah mau apa dia...!"
Diam-diam
Ang-hwa Nio-nio merasa iri hati dan cemburu kepada Siu Bi karena agaknya
kekasihnya, Ouwyang Lam, tergila-gila kepada gadis Go-bi-san itu, maka
kesempatan ini ia pergunakan untuk memaki-maki dan memburukkan nama Siu Bi.
Ada pun
Ouwyang Lam diam-diam merasa kecewa sekali karena si jelita Lee Si yang
diincar-incar dan hendak dijadikan korbannya, telah dibebaskan. Ini belum
apa-apa, yang menjengkelkan hatinya adalah perginya Siu Bi! la pun mengomel,
"Ahh,
Nio-nio terlalu curiga. Terang bahwa adik Siu Bi membawa pergi Kwa Swan Bu
untuk melampiaskan dendamnya. Kita lihat saja, tak lama lagi kita pasti akan
mendengar bahwa putera Pendekar Buta kehilangan sebelah lengannya."
"Kalau
belum menjadi bangkai!" kata pula Ang-hwa Nio-nio. "Orang gila dari
Min-san itu mengejar-ngejarnya. Aha, betapa ramainya nanti di Liong-thouw-san.
Tentu Raja Pedang akan terseret-seret pula. Dan selagi mereka saling cekcok
memperebutkan kebenaran, kita serbu mereka. Suheng, dan Sianjin, mari kita
mengunjungi Bhok-losuhu!"
Biar pun
hatinya mendongkol, Ouwyang Lam tidak dapat bicara apa-apa lagi, hanya di dalam
hatinya dia mengharapkan kembalinya Siu Bi menggabung kepada rombongan mereka
yang makin kuat ini. la percaya bahwa lambat-laun dia pasti akan dapat berhasil
memikat hati gadis yang mengguncangkan jantungnya itu.
Dugaan
Ang-hwa Nio-nio memang tepat. Ketika terjadi tipu muslihat yang dilakukan oleh
Ang-hwa Nio-nio, Siu Bi melihat dengan jelas. Akan tetapi dia tidak ambil
pusing, hanya mulutnya tersenyum menghina. la muak dengan cara-cara yang
dikerjakan oleh Ang-hwa Nio-nio.
Akan tetapi
ia selalu mencari kesempatan untuk memuaskan nafsu hatinya sendiri, yaitu
membalas kepada Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta. Urusan orang lain tidak
terlalu dia pedulikan, yang penting ia harus melaksanakan tugas dan sumpahnya.
Ketika orang
yang dinanti-nanti, yaitu yang katanya adalah putera Raja Pedang, ketua
Min-san-pai bernama Tan Kong Bu ayah Lee Si yang tertawan itu datang, ia kagum
juga. Bukan main sepak terjang laki-laki tinggi besar itu. Mengingatkan ia akan
kakeknya, Hek Lojin.
Akan tetapi
ketika dia melihat laki-laki itu dipancing menjauhi kuil dan melihat Ang-hwa
Nio-nio menyeret Swan Bu keluar dan meninggalkannya di bagian belakang kuil
untuk membebaskan Lee Si, diam-diam dia menyelinap dan mengempit tubuh Swan Bu,
terus dibawa lari cepat sekuatnya meninggalkan tempat itu. Yang lain-lain ia
tidak peduli, yang penting baginya hanyalah Kwa Swan Bu, putera Pendekar Buta,
musuh besarnya!
Siu Bi
maklum bahwa Ang-hwa Nio-nio dan teman-temannya adalah orang-orang yang amat
sakti, bukan lawannya. Dia akan terpaksa menyerahkan Swan Bu kembali, bahkan
dia sendiri mungkin tak bebas dari hukuman apa bila mereka dapat menyusulnya.
Oleh karena inilah maka gadis itu terus lari secepatnya, menyusup-nyusup ke
dalam hutan dan tidak pernah berhenti sampai malam berganti pagi.
Akhirnya dia
tidak kuat berlari lagi. Di dalam sebuah hutan kecil ia pun berhenti, nafasnya
terengah-engah lalu melempar tubuh Swan Bu ke atas tanah. Dia berdiri mengatur
nafas, menyusut keringat pada leher dan jidatnya dengan sapu tangan, memandang
sekilas ke arah pemuda yang terbanting ke atas tanah itu.
la melihat
pemuda itu bergerak perlahan, menggerak-gerakkan lengan dan kaki, agaknya sudah
terbebas dari totokan, lalu mencoba untuk bangun dan duduk. Siu Bi kaget
sekali, teringat betapa lihainya pemuda ini dan kalau tenaganya sudah pulih,
tentu sulit baginya untuk mengalahkannya. Segera ia menerjang maju dan
tangannya bergerak cepat.
Swan Bu yang
tahu bahwa dia diserang, tidak dapat menangkis atau mengelak, karena jalan
darahnya belum pulih seluruhnya. Kembali dia roboh dan tak berkutik karena
jalan darahnya yang membuat dia lemas sudah ditotok oleh gadis galak itu.
Setelah
merasa yakin bahwa lawannya tak akan mampu bergerak, Siu Bi yang merasa kedua
kakinya berdenyut-denyut linu dan lelah sekali, lalu menjatuhkan diri duduk di
atas tanah berumput, melanjutkan kerjanya yang tadi tertunda, yaitu menghapus
keringatnya. Kemudian ia mengebut-ngebut sapu tangan, dipakai mengipasi
lehernya sambil menatap wajah di depan kakinya itu.
Wajah
seorang pemuda yang amat tampan dan gagah. Alis yang hitam tebal berbentuk
golok dengan sepasang mata yang penuh ketabahan. Kebetulan sekali Swan Bu juga
memandang kepadanya. Dua pasang mata itu bertemu pandang, penuh amarah, saling
serang dan akhirnya Siu Bi yang menunduk lebih dulu.
"Perlu
apa kau melarikan diriku ke sini?” tanya Swan Bu, suaranya tenang akan tetapi agak
ketus.
"Perlu
apa lagi? Tentu saja untuk membuntungi lengan kirimu, untuk membalas sakit hati
mendiang kakekku!"
Swan Bu
terdiam, memutar otak. Namun dia tidak melihat jalan keluar untuk menolong
dirinya. Gadis ini wataknya keras dan aneh, liar dan ganas. Betapa pun juga,
kalau gadis ini tidak menculiknya ke sini mungkin jiwanya justru terancam
bahaya. Bahaya yang lebih mengerikan lagi.
Dia bukan
takut mati. Akan tetapi mati di tangan paman Tan Kong Bu dengan tuduhan
melakukan tindakan maksiat, berjinah dengan Lee Si, benar-benar merupakan
kematian yang amat pahit dan penasaran.
Betapa pun
juga, jika direnungkan benar-benar, gadis liar ini malah sudah menolongnya,
menolong kehormatannya, karena meski pun dia akan dibuntungi lengan kirinya,
namun dia tidak mati dan selama dia masih hidup dia akan bisa membersihkan
namanya, akan dapat membuktikan kepada pamannya, Tan Kong Bu, bahwa dia sama
sekali tak berbuat jinah dengan puteri pamannya itu. Juga, walau pun lengannya
tinggal sebuah, dia masih akan mendapat kesempatan membalas kepada Ang-hwa
Nio-nio dan kawan-kawannya yang telah membuat fitnah keji terhadap dirinya dan
Lee Si itu.
"Huh,
wajahmu pucat! Kau ketakutan, ya? Ngeri mengingat lengan kirimu akan buntung?
Ya, akan kubuntungi lengan kirimu, biar kau tahu rasa, biar kau merasakan
bagaimana sengsaranya kakekku setelah lengan kirinya dibuntungi ayahmu. Dan
setelah kau, ayah dan ibumu akan menerima gilirannya!"
"Hemmm,
kau ini bocah bermulut besar, amat sombong dan tak tahu malu. Membuntungi
lenganku saja kalau tidak secara pengecut, tidak akan becus kau lakukan. Macam
kau hendak membuntungi lengan ayah ibuku? Hah, cacing tanah pun akan terbahak
geli bila mendengar kata-katamu tadi!"
Tadinya Siu
Bi mengira bahwa Swan Bu merasa ngeri serta ketakutan. Hatinya sudah merasa
amat girang sebab ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kiranya sekarang malah
ucapan pemuda itu bagaikan api yang membakar dadanya, membuat ia melompat
bangun, berdiri dengan kedua mata mendelik, muka berwarna merah padam,
hidungnya kembang-kempis.
"Nah,
marahlah! Hayo, keluarkan kegagahanmu, marahlah sekuatmu kemudian coba kau
bebaskan aku kalau berani. Kalau aku bebas, boleh kau mencoba untuk membuntungi
lenganku, hendak kulihat kau becus atau tidak. Hemmm, meski kau memegang pedang
setan hitam itu dan aku bertangan kosong saja menghadapimu, bukan lenganku yang
buntung, melainkan... hemmm hidungmu yang kembang-kempis itu yang akan kucabut
copot dari mukamu!"
Dapat
dibayangkan betapa memuncak kemarahan Siu Bi ketika mendengar ejekan yang
dianggapnya penghinaan hebat ini. la membanting-banting kakinya dan hampir
menangis pada saat pedangnya berkelebatan di depan muka Swan Bu dan tangannya
menuding-nuding, bibirnya komat-kamit meneriakkan maki-makian yang tidak keluar
dari mulut.
"Kau...
kau setan, kau... kau... manusia sombong. Hihh, lehermu yang akan kubuntungi,
bukan lenganmu. Dengar? Lehermu akan kupenggal dengan pedang ini!"
Namun Swan
Bu adalah putera tunggal Kwa Kun Hong, seorang yang meski pun masih muda namun
memiliki dasar satria yang tidak takut mati. Selain ini dia pun keras hati dan
tidak sudi tunduk kalau merasa dirinya benar. Mendengar ancaman dan melihat pedang
berkelebatan di dekat lehernya itu, dia malah tertawa, tertawa nyaring.
"Hee?!"
Siu Bi
menahan gerakan pedangnya dan memandang heran. Memang sama sekali ia tidak
mengira, orang yang sudah hampir dipenggal lehernya dapat tertawa segembira
itu!
"Wah,
kau sudah miring otak, ya? Kau sudah menjadi gila saking takut, ya?"
"He,
perempuan liar, kaulah yang gila. Kau boleh mengeluarkan seribu macam ancaman,
seperti kebiasaan setan-setan dan iblis, akan tetapi seorang gagah tidak takut
mati. Aku paling ngeri kalau menjadi pengecut, lebih baik mati dari pada
menjadi pengecut macam kau ini. Berani menjual lagak hanya kepada orang yang
sudah tidak mampu melawan. Huh, beri aku kesempatan untuk melawanmu, baru kau
tahu rasa, barulah akan terbuka matamu bahwa kau harus belajar lima puluh tahun
lagi sampai kau menjadi nenek-nenek kempot keriput baru boleh menandingi aku!
Mau bunuh, hayo lekas bunuhlah. Sabetkan pedangmu dengan tanganmu yang curang
itu ke leherku, siapa takut?"
Siu Bi
tertegun. Kali ini bukan karena marahnya melainkan karena heran dan kagumnya.
Belum pernah selama hidupnya ia melihat orang begini tabah, begini tenang dan
penuh keberanian menghadapi kematian. Hampir dia tidak dapat percaya. Mungkin
hanya aksi belaka, pikirnya. Kalau sudah diberi rasa sakit, tentu akan
menguik-nguik minta ampun seperti anjing dipecuti.
"Kau
betul tidak takut mampus? Nah, rasakan ini!"
Pedangnya
lalu digerakkan perlahan-lahan ke arah leher Swan Bu sambil menatap tajam wajah
tampan itu. Dia melihat betapa wajah itu tetap tenang, sepasang mata tajam itu
memandang penuh tantangan, berkedip pun tidak, sampai ujung pedangnya menggores
kulit pundak yang telanjang itu dan kulit pecah darah merah mengucur. Namun
wajah itu tetap tenang, bibir itu tetap dalam senyum mengejek dan mata
menantang, berkedip pun tidak! Bukan main!
"Hayo,
kenapa berhenti? Bukan aku yang takut mampus, kaulah yang takut melanjutkan
perbuatanmu yang curang dan pengecut!"
Pucat wajah
Siu Bi mendengar ini. "Setan kau!"
Pedangnya
kembali diangkat dan kini agak cepat menyambar.
"Crattt!"
Pedang, itu
menancap pada pundak beberapa senti meter saja dalamnya karena segera ditahannya,
dan ketika dicabut, darah mengucur banyak. Tapi tetap saja wajah Swan Bu tidak
berubah, matanya tidak berkedip, senyumnya makin mengejek.
”Nah,
kembali kau tidak berani. Melawanku dengan pedang sedang aku hanya bertangan
kosong pun tidak berani. Huh, kau pengecut kepalang tanggung!"
Siu Bi
menggigit bibirnya. "Sombong! Kau kira aku tidak tahu akan akal bulusmu?
Kau sengaja memanas-manasi hatiku, sengaja membakarku agar aku menjadi panas
hati dan membebaskanmu. Huh, siapa yang tidak tahu bahwa kau lihai dan jika
dibandingkan aku takkan menang? Tapi jangan kira aku sebodoh itu, aku tidak
dapat kau pancing! Padahal kalau betul-betul kau bertangan kosong melawan aku
bersenjata pedang, dalam belasan jurus saja kau pasti akan roboh. Kau sengaja
membuka mulut besar, dan kalau sudah kubebaskan dari totokan, kau tentu akan
melarikan diri dan aku tidak dapat mengejarmu, sampai kau mendapatkan senjata
dan melawanku. Bukankah begitu akalmu, Bulus?"
Diam-diam
Swan Bu mengeluh. Cerdik betul bocah ini. Tidak ada gunanya menipu gadis
seperti ini. Akan tetapi memang ucapannya tadi bukan semata-mata hendak
mengejek dan memancing supaya dibebaskan, melainkan betul-betul keluar dari
perasaannya yang penasaran dan marah.
"Bocah,
tak perlu menjual lagak. Kau pintar atau bodoh bukan urusanku, yang terang kau
pengecut. Aku seorang laki-laki sejati, ayahku Pendekar Buta terkenal di kolong
jagat ini sebagai seorang pendekar besar. Menyelamatkan diri dengan jalan
menipu, apa lagi jika menipu seorang bocah masih ingusan macam engkau, bukanlah
perbuatan orang gagah. Kau mau melihat bukti bahwa aku mampu mengalahkan engkau
yang berpedang dengan hanya tangan kosong? Bebaskan aku, akan kubuktikan. Aku
tidak akan lari, kalau sudah membuktikan omonganku, boleh kau tawan aku lagi,
aku tidak akan melawan."
"Huh,
siapa percaya omonganmu?" Siu Bi mencibirkan bibirnya yang merah.
Swan Bu
mengerutkan alisnya. Terlalu cantik manis dara liar ini apa bila sudah mencibir
seperti itu.
"Percaya
atau tidak terserah, aku pun tidak akan memaksa kau percaya. Akan tetapi yang
jelas, kau berani atau tidak melawan aku bertangan kosong?"
Siu Bi duduk
termenung. Tanpa disadarinya jari-jari tangan kirinya bergerak-gerak dan
ujungnya memukul-mukul pahanya sendiri. la penasaran sekali. la maklum bahwa
ilmu pedang pemuda ini hebat sekali, tadi malam ia sudah menyaksikannya. Akan
tetapi kalau bertangan kosong melawan ia berpedang? Ah, tidak mungkin ia akan
kalah!
Lagi pula,
kalau membuntungi lengannya dalam keadaan tertotok seperti ini, benar-benar
sukar baginya untuk melakukannya. Lebih baik membebaskan dia dan tantang
berkelahi, kemudian pada kesempatan itu ia akan membuntungi lengannya. Dengan
begitu barulah perbuatan gagah.
"Kau
tidak akan lari?"
"Kata-kata
lari tidak terdapat dalam kamus hatiku."
"Berani
sumpah?"
Hampir Swan
Bu tertawa. Gadis ini aneh, liar, akan tetapi juga lucu.
"Ucapan
yang keluar dari mulut orang gagah dengan sendirinya sudah menjadi sumpah yang
lebih berharga dari pada nyawa."
"Baik,
kau kubebaskan dan kau lawanlah pedangku dengan tangan kosong. Bila mana kau
melarikan diri, tidak apa, aku akan menganggap kau seorang yang paling curang
dan pengecut di seluruh permukaan bumi ini."
Sebelum
pemuda itu sempat menjawab yang menyakitkan hati, Siu Bi sudah menerjang maju,
tangan kirinya menotok dan terbebaslah Swan Bu.
Pemuda ini
bergerak dan bangkit berdiri, kaki tangannya kesemutan dan masih terasa kaku.
la menggerak-gerakkan lengan dan kakinya sampai jalan darahnya pulih kembali
sambil mengatur nafas mengerahkan sinkang. Terasa hawa panas mengelilingi
seluruh bagian tubuhnya dan beberapa detik kemudian dia sudah merasa segar
kembali. Inilah cara memulihkan jalan darah dan tenaga warisan ajaran ayahnya.
la melirik
ke arah pundaknya di mana terdapat guratan dan tikaman pedang. Lukanya tidak
berbahaya, akan tetapi terasa sedikit perih dan darahnya cukup banyak. Swan Bu
menggerakkan jari tangan menekan pinggir luka, darahnya berhenti dan dia menghadapi
Siu Bi dengan senyum mengejek tak pernah meninggalkan bibirnya.
"Kalau
kau betul jantan, lawanlah pedangku. Awas pedang!" Siu Bi segera menerjang
dengan kecepatan kilat. la sudah maklum bahwa putera Pendekar Buta ini
benar-benar lihai, maka begitu menerjang ia sudah menggunakan jurus-jurus yang
berbahaya sambil membarengi dengan pukulan Hek-in-kang dari tangan kirinya.
Biar pun
baru segebrakan saja Swan Bu pernah melawan Siu Bi, namun dia tahu bahwa gadis
itu selain memiliki ilmu pedang yang aneh dan sangat ganas, juga tangan kirinya
mengandung hawa pukulan yang keji, hawa pukulan beracun yang mengeluarkan uap
hitam.
Oleh karena
inilah maka serta merta dia menggunakan ilmu langkah ajaib Kim-tiauw-kun dan
memainkan jurus-jurus Im-yang Sin-hoat yang sukar dicari tandingnya itu.
Tubuhnya bergerak aneh, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang jongkok, berdiri
miring, lantas membungkuk dan berloncatan, seperti bukan orang main silat.
Melihat
gerakan ini, hampir saja Siu Bi tak dapat menahan seruan heran dari mulutnya.
la mengenal gerakan ini. Pernah dia dibikin tidak berdaya oleh gerakan-gerakan
seperti ini, yang dimainkan oleh Yo Wan! Malah sebelum berpisah dari Yo Wan
secara menyedihkan, dia pernah minta supaya Yo Wan mengajarkan ilmu langkah
ajaib itu karena dengan ilmu langkah itu saja ia pernah dibikin tidak berdaya.
Dan sekarang pemuda ini menggunakan ilmu langkah itu! Saking kaget dan
herannya, penyerangannya berhenti.
"He,
kenapa berhenti? Kau takut?" Swan Bu mengejek.
"Takut
hidungmu! Aku hanya heran... apa engkau kenal orang yang bernama Yo Wan Si Jaka
Lola?"
Swan Bu
tertegun. Gadis aneh, ada-ada saja pertanyaannya, pertanyaan yang aneh dan tak
terduga-duga pula.
"Yo
Wan? Tentu saja kenal, dia itu suheng-ku, murid ayahku. Mau apa kau sebut-sebut
dia?"
Mampus kau!
Hampir saja di depan Swan Bu dia mengeluarkan ucapan ini, dan betapa herannya
Swan Bu ketika melihat tiba-tiba gadis itu menampar kepalanya sendiri
"Ehh,
apa kau gila?"
Siu Bi tidak
mendengar pertanyaan ini, pikirannya berputaran tujuh keliling. Siapa kira
siapa duga, Yo Wan itu malah murid Pendekar Buta! Dan dia sudah mengajak Yo Wan
bersekongkol membantunya melawan Pendekar Buta. Anehnya, mengapa Yo Wan mau
saja? Dan pemuda yatim piatu itu baru marah dan meninggalkannya setelah
mengetahui bahwa ia adalah puteri tiri The Sun yang katanya membunuh ibunya.
Wah, wah,
kalau Yo Wan itu murid Pendekar Buta, celaka dua belas. Sampai mati pun mana
mungkin ia menang melawan Pendekar Buta? Tapi, ia sudah menantang pemuda ini,
harus dapat memenangkannya, kalau tidak, lagi-lagi ia akan menderita malu.
"Bagaimana
kau mengenal suheng-ku itu? Di mana dia?"
"Aku
tidak kenal dia! Kau makanlah pedangku ini!"
Siu Bi menerjang
lagi, kini gerakannya lebih dahsyat lagi karena ia telah mengeluarkan jurus
yang paling lihai sesudah maklum bahwa pemuda ini adalah adik seperguruan Yo
Wan dan karenanya tentu mempunyai ilmu yang sakti seperti Yo Wan pula sehingga
ia khawatir kalau-kalau ia akan kalah, biar pun hanya dilawan dengan tangan
kosong.
Swan Bu
cepat mengelak dan di lain saat mereka telah bertempur lagi dengan seru.
Sebentar saja puluhan jurus telah lewat dan sama sekali Siu Bi belum dapat
mendesak lawannya, sungguh pun bagi Swan Bu juga tidak mudah untuk mengalahkan
gadis yang gesit dan memiliki ilmu kepandaian tinggi dan luar biasa itu.
Kalau saja
dia berpedang, agaknya tidak akan begitu sukar baginya untuk menundukkan Siu
Bi. Dengan ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam, kiranya dia akan dapat mengalahkannya.
Betapa pun juga, kekerasan hatinya tak mengijinkan Swan Bu untuk mengalah
terhadap gadis liar yang hendak membuntungi lengannya ini.
Pada saat
pertempuran sedang berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan orang, "Ini
dia! Mari bantu nona The! Serang dan bunuh dia!"
Jarum-jarum
halus menyambar ke arah Swan Bu ketika tiga orang yang baru muncul ini
menggerakkan tangan mereka, kemudian menyusul serangan senjata halus itu mereka
menerjang maju dengan golok, menyerang Swan Bu dengan hebat.
Mereka ini
bukan lain adalah tiga orang anggota Ang-hwa-pai yang tentu saja tidak tahu
akan tipu muslihat Ang-hwa Nio-nio sebab hal itu memang dirahasiakan sehingga
setahu mereka hanya bahwa pemuda putera Pendekar Buta yang tertawan itu sudah
berhasil lolos. Dan kini melihat pemuda itu bertanding melawan Siu Bi, tentu
saja mereka segera membantu karena mereka maklum bahwa nona The Siu Bi adalah
‘keponakan’ dari ketua mereka.
Pada saat
mereka menyerang dengan jarum-jarum halus itu, Siu Bi sedang mengurung Swan Bu
dengan sinar pedang dan pukulan Hek-in-kang. Swan Bu sibuk menghadapi serangan
dahsyat ini, maka betapa kagetnya ketika dia merasa adanya sambaran angin halus
dari sebelah belakang. Cepat dia menggunakan tangan kirinya menyampok sambil
mengerahkan sinkang sehingga angin pukulannya menyambar ke belakang.
Namun, di
antara jarum-jarum halus yang dapat dia sampok runtuh itu terdapat sebatang
yang menyelinap dan menancap pada pundak kanannya. Swan Bu merasa pundaknya
kaku dan gatal-gatal, maka tahulah dia bahwa dia sudah menjadi korban senjata
rahasia halus yang beracun!
Namun dengan
nekat dia lalu melawan. Cepat dia menghindar dari sambaran tiga batang golok
dan pada waktu tubuhnya miring itu, kakinya lantas melayang sehingga seorang
pengeroyok roboh dengan tulang iga patah!
Sementara
itu, Siu Bi juga marah sekali melihat munculnya tiga orang Ang-hwa-pai yang
tanpa diminta telah lancang turun tangan membantunya. Dia lalu berseru keras,
"Cacing busuk, siapa butuh bantuan kalian? Mundur!"
Akan tetapi
dua orang Ang-hwa-pai ketika melihat seorang teman mereka roboh, mana mau
mundur. Yang memerintah mereka kali ini bukan seorang pemimpin Ang-hwa-pai,
tentu saja mereka tidak peduli dan terus menerjang Swan Bu dengan hebat.
"Trang-trang...!"
Golok di
tangan mereka terpental dan sebelum mereka dapat mengelak, mereka sudah roboh
dengan pangkal lengan dan paha pecah kulit dan dagingnya dimakan pedang Siu Bi!
Mereka begitu kaget sehingga mudah roboh karena sama sekali tidak pernah
mengira bahwa mereka akan diserang oleh gadis itu.
"Lancang!"
Siu Bi memaki lagi.
Kini
pedangnya bergulung-gulung menyambar ke arah Swan Bu yang cepat menjatuhkan
diri ke samping, lalu bergulingan menyelamatkan diri. Ketika Siu Bi mendesak,
pemuda ini sudah berhasil melompat berdiri dan kembali mereka bertanding hebat.
Ada pun tiga
orang Ang-hwa-pai itu, setelah dapat merangkak bangun, segera pergi dari situ
terpincang-pincang. Dua orang yang terluka pedang Siu Bi, dengan susah payah
dan sedapat mungkin menggotong temannya yang masih pingsan akibat tendangan
Swan Bu mematahkan sedikitnya dua buah tulang iganya. Mereka bergegas pergi
untuk mencari bala bantuan.
Sekarang
perlawanan Swan Bu tidak lagi segesit tadi. Pemuda ini tentu saja tidak sudi
memperlihatkan kelemahan, tidak sudi mengaku bahwa dirinya sudah terluka oleh
jarum beracun. la melakukan perlawanan sedapat mungkin meski lengan kanannya
kini terasa setengah lumpuh.
Diam-diam
Siu Bi merasa amat kagum. Benar-benar hebat pemuda ini dan seperti yang ia
khawatirkan, sama sekali ia tidak mampu merobohkannya. Padahal pemuda ini hanya
bertangan kosong dan ia memegang Cui-beng-kiam, malah menggunakan Hek-in-kang.
Bukan main!
Di dalam
hatinya, Siu Bi merasa sayang sekali mengapa pemuda sehebat ini ditakdirkan
menjadi putera musuh besar kakeknya yang harus dia buntungi lengannya. Kalau
saja tidak demikian halnya, alangkah akan senangnya memiliki seorang sahabat
seperti dia ini, sebagai pengganti Yo Wan yang sekarang telah memusuhinya
akibat perbuatan ayah tirinya.
Siu Bi
diam-diam merasa menyesal bukan main. Mau rasanya dia menangis, apa lagi
ditambah dengan kejengkelan hatinya bahwa begitu lama ia masih juga belum
berhasil mengalahkan dan membuntungi lengan Swan Bu.
Akan tetapi
tiba-tiba saja Swan Bu mengeluh, terhuyung-huyung ke belakang lalu jatuh
terduduk. Siu Bi menahan pedangnya, kaget dan terheran-heran. Terang bahwa
bukan dia yang merobohkan pemuda itu.
Baru saja
pemuda itu menangkis pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga
Hek-in-kang di tangan kiri. Swan Bu tak dapat mengelak dan terpaksa harus
menangkis dengan tangan kanan. Dalam pertemuan tenaga ini, Siu Bi merasa betapa
lengan kirinya tergetar hebat.
Ia makin
kagum karena jarang ada orang bisa menangkis tenaga Hek-in-kang demikian rupa
sampai dia tergetar ke belakang. Dan sehabis menangkis itulah, ketika ia
menerjang lagi dengan pedangnya, Swan Bu mengelak lantas terhuyung-huyung ke
belakang dan jatuh terduduk, meringis menahan sakit sambil menekan pundak
kanannya.
Siu Bi
melangkah maju, memandang penuh perhatian. Dilihatnya kulit di pundak kanan
yang putih itu ternoda oleh bintik merah membengkak.
"Kau
terluka Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)!" serunya di luar kesadarannya.
Swan Bu
mengangguk lesu. "Tiga orang tadi..."
"Kalau
tidak segera dikeluarkan, kau akan mati..."
"Lebih
baik begitu, jadi kau tidak usah bersusah-payah lagi..."
Siu Bi maju
lagi dan berlutut.
"Kau
tidak boleh mati! Kalau mati aku tak akan dapat melaksanakan sumpahku. Jangan
bergerak, biar kukeluarkan jarum itu!”
Siu Bi
memegang pedangnya dekat ujung, kemudian dengan hati-hati ia merobek kulit di
pundak itu, Swan Bu menggigit bibir menahan rasa sakit, jantungnya berdebar
ketika dia melihat wajah Siu Bi hanya berjarak beberapa senti saja dari pipi
kanannya.
Jelas dia
melihat kulit muka yang putih halus, dengan rambut hitam dari sinom rambut
kacau terurai di jidat dan melingkar indah di depan telinga. Melihat bibir yang
basah itu bergerak dan saling himpit dalam ketekunan usaha membedah dan
mengeluarkan jarum di pundaknya. Hidung kecil mancung itu menyedot dan
mengeluarkan nafas panas halus yang membelai leher dan pipinya, dua mata
seperti bintang itu tanpa berkedip menuntun jari-jari tangan halus bekerja.
Ahhh, wajah
seperti ini pantasnya dimiliki oleh dewi kahyangan, bukan iblis betina yang
kejam.
Akhirnya Siu
Bi berhasil menjepit keluar jarum halus itu dari dalam pundak Swan Bu.
Dibuangnya jarum itu sambil berkata, "Nah, sudah keluar sekarang. Akan
tetapi racunnya tentu telah mengotori darah, sebaiknya kau mendorongnya keluar
dengan sinkang.”
Sebagai
putera Pendekar Buta, tentu saja Swan Bu maklum akan hal ini, bahkan andai kata
tadi Siu Bi tidak mengeluarkan jarum itu dengan jalan membedah kulit dan daging
pundak, dia sendiri pun sanggup melakukannya. Sekarang dia duduk bersila dan
meramkan mata, mengerahkan sinkang, tidak saja untuk membersihkan darah dan
mendorong racun merah keluar melalui luka, namun sebagian besar lagi untuk
menenteramkan jantungnya yang bergolak tidak karuan tadi. Gangguan ini membuat
usahanya kacau karena sukar baginya untuk mengerahkan panca indera. Yang
terbayang jelas adalah wajah Siu Bi, sinom rambut, bibir, hidung mancung, mata
bintang, serta nafas hangat halus yang membelai leher dan pipinya!
Siu Bi
mengerutkan kening. Celaka, pikirnya. Mengapa darah yang teracuni belum juga
keluar dari luka? Apakah pemuda yang memiliki ilmu silat sehebat ini sudah
begini lemah sinkangnya oleh racun jarum merah itu?
Dia menjadi
tidak sabar lagi. Tanpa berkata sesuatu Siu Bi mengulurkan tangan kirinya,
menempelkan telapak tangannya yang halus itu kepada dada kanan Swan Bu,
kemudian menyalurkan sinkang dan membantu pemuda itu mendorong keluar racun
jarum merah!
Merasa
betapa telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas di dadanya, Swan Bu lalu
membuka mata dan memandang heran, akan tetapi kedua matanya segera ditutupnya
kembali. Jantungnya makin berdebar, usahanya mengumpulkan panca indera juga
makin kacau-balau. Gadis itu duduk begitu dekat di depannya! Tangan yang halus
itu serasa membakar kulit dadanya! Kemudian dia merasakan betapa hawa panas
yang keluar dari telapak tangan halus itu menyusup ke dalam tubuhnya, semakin
lama semakin panas dan seakan-akan hendak membakar jantung. Swan Bu kaget dan
bergidik.
Kiranya
gadis yang berwajah bagai dewi kahyangan ini benar-benar seorang iblis betina
dan agaknya malah hendak membunuhnya dengan penyaluran sinkang. Cepat-cepat dia
mengumpulkan tenaganya dan mengerahkan sinkang ke arah dada serta pundak kanan
untuk menjaga diri. Tiba-tiba Siu Bi membuka kedua matanya yang tadi
dipejamkan, memandang heran dan kaget. Mereka berdua merasa betapa tenaga
sinkang mereka berhantaman hebat. Dua pasang mata beradu, mengeluarkan sinar
berapi. Tiba-tiba saja Siu Bi menjerit perlahan, badannya serasa terbakar. Swan
Bu bergoyang-goyang badannya, lalu keduanya roboh terguling. Pingsan!
Apa yang
terjadi? Kiranya tanpa mereka sadari, dua orang muda ini telah mencelakakan
diri sendiri. Dalam usahanya membantu Swan Bu mengusir racun merah, Siu Bi
sudah mengerahkan sinkang-nya, disalurkan ke dalam dada dan pundak Swan Bu
karena dia mengira bahwa pemuda itu kurang kuat untuk mengusir racun. Sama
sekali ia tidak tahu bahwa dasar pelajaran yang dia dapatkan dari kakeknya
dahulu sama sekali berlawanan dengan dasar pelajaran yang dimiliki Swan Bu.
Oleh karena ini, hasil kekuatan di dalam tubuhnya, yaitu hawa sakti yang
dimilikinya, juga berlawanan dengan sinkang dari Swan Bu.
Maka ketika
ia menyalurkan sinkang ke dalam tubuh Swah Bu, ia sama sekali bukan membantu,
malah merusak dan mengacaukan penyaluran sinkang pemuda itu, sehingga tanpa ia
sadari kekuatan mukjijat dari Hek-in-kang malah menyerang pemuda itu secara
hebat. Inilah yang menyebabkan Swan Bu terkejut dan bahaya maut yang
mengancamnya ini membuat kekacauan perasaannya yang tadi terganggu oleh
kecantikan gadis itu segera lenyap dan cepat dia mengerahkan tenaga dalam untuk
menolak bahaya itu. Akibatnya dua macam hawa sakti yang berlawanan sifatnya,
lalu bertemu dan beradu dengan amat hebatnya.
Siu Bi kalah
kuat, pada dasarnya memang ia kalah setingkat. Pertemuan tenaga sinkang itu
membuat tenaganya membalik dan menghantam diri sendiri. Sebaliknya Swan Bu yang
lebih dulu menerima serangan, tidak terluput dari luka dalam, sehingga keduanya
roboh berbareng dalam keadaan pingsan dan terluka hebat di sebelah dalam tubuh.
Pada saat Swan Bu tersadar karena kaget mendengar jerit halus, dia membuka
matanya. Tadinya dia serasa mimpi, mimpi sedang tenggelam di antara ombak besar
yang hendak menelan dirinya bersama Siu Bi. la berhasil memeluk gadis itu dan
dalam menghadapi maut ditelan ombak, dia merasakan kenikmatan yang luar biasa,
merasakan kebahagian karena gadis itu berada dalam pelukannya.
Kemudian Siu
Bi meronta, mengambil pedang dan membacok lengannya! Swan Bu amat marah dan
memukulkan tangannya yang tidak buntung ke dada Siu Bi sehingga gadis itu
menjerit dan lenyap ditelan ombak. Agaknya jeritan inilah yang menyadarkannya.
Dengan nafas terengah-engah Swan Bu membuka matanya. Tubuhnya serasa lemas tak
bertenaga. Sejenak dia bingung, akan tetapi segera dia teringat akan segala
yang terjadi. Tadi dia roboh berbareng dengan Siu Bi, di tengah hutan. Akan
tetapi sekarang dia tidak berada di hutan lagi, akan tetapi di dalam sebuah
ruangan yang sangat kasar, ruangan sebuah goa yang kotor dan lembab.
Dan di sudut
sana, di dekat dinding batu goa, dia melihat Siu Bi rebah telentang, mata gadis
itu membelalak ketakutan dan bajunya bagian atas robek dekat pundak kiri. Yang
membuat Swan Bu terkejut adalah makhluk yang berdiri dekat Siu Bi. Makhluk
mengerikan, bentuknya setengah manusia setengah monyet. Atau mungkin juga
manusia hutan atau manusia gila. Makhluk ini seorang laki-laki, sukar menaksir
usianya, akan tetapi jelas tidak muda lagi. Bertelanjang, kecuali sehelai cawat
dari kulit harimau. Tubuhnya yang tinggi tampak pendek karena agak bongkok,
kedua tangan dan kakinya berbulu. Rambutnya riap-riapan, matanya merah.
"He-heh-heh...
ha-hah-hah... cantik... muda...," terdengar dia bicara, suaranya parau dan
kata-katanya kurang jelas.
Tangan yang
lengannya berbulu itu meraih ke bawah, mencengkeram baju Siu Bi yang sudah
robek. Sekali tangan itu menarik, terdengar kain robek dan tampaklah baju dalam
berwarna merah muda. Siu Bi menjerit. Heran, pikir Swan Bu. Suara gadis itu
sekarang menjadi lirih sekali dan gerakannya begitu lemah. Teringatlah dia.
Tentu Siu Bi juga terluka parah, sama seperti dia.
Siu Bi
berusaha untuk melompat bangun, namun ia roboh lagi dan mengeluh,
"Jangan... bunuh saja... bunuh aku..."
"He-he-he,
Sayang! Kau jadi isteriku, cocok, heh-heh-heh!"
"Bedebah!
Binatang! Aku tidak sudi... kau bunuh saja aku...!" Dalam kelemahannya,
Siu Bi masih galak dan memaki kalang-kabut.
"Ha-hah-hah,
kau perempuan, tidak ada yang punya. Aku laki-laki, aku pun belum punya
isteri... apa salahnya? Kau jadi isteriku... hah-hah-hah, dan dia itu jadi
bujang kita..."
"Hee,
tunggu dulu!" Swan Bu melompat, akan tetapi seperti juga Siu Bi tadi, dia
jatuh terduduk dan mengeluh. Dadanya terasa sangat sakit. Maklumlah dia bahwa
pertemuan tenaga dalam tadi telah melukai isi dadanya, luka yang cukup parah.
la tahu bahwa hal itu akan membuat dirinya kehilangan tenaga dalamnya untuk
sementara. Mungkin untuk beberapa hari lamanya, sebelum pulih kembali
kesehatannya.
Agaknya juga
demikian halnya dengan Siu Bi. Dalam beberapa hari lamanya mereka berdua akan
menjadi orang-orang lemah, tidak mungkin dapat menolong diri sendiri, dan orang
liar itu kelihatannya kuat sekali.
"Heh-heh-heh,
orang muda lemah tiada guna. Kau mau bilang apa? Wah, kau begini lemah, menjadi
bujang pun kurang berharga. Huh!"
Diam-diam
agak lega hati Swan Bu mendengar omongan itu. Ucapan itu membayangkan bahwa
kakek liar atau gila itu tidak dapat disebut ahli ilmu silat karena tidak
mengerti bahwa kelemahannya ini adalah karena luka dalam. Hal ini mendatangkan
harapan. Kalau kakek gila ini tidak pandai ilmu silat, biar pun memiliki tenaga
besar, lebih mudah dilawan apa bila dia atau Siu Bi tidak selemah ini. Mungkin
istirahat dua tiga hari cukup. Sekarang paling perlu harus bisa mencari akal,
agar supaya kakek itu... agar dia jangan mengganggu Siu Bi.
"Lopek,
harap kau jangan mengganggu dia..."
"Eeehhhhh,
kau bilang apa? Dia ini akan kuambil sebagai isteriku. Peduli apa kau? Kau
menjadi bujang kami, dan mulai sekarang kau harus hormat dan taat kepada dia
ini, dia isteriku yang muda... heh-heh-heh, yang cantik... heh-heh-heh. Aku
laki-laki kesunyian, bertahun-tahun..., dia perempuan... tidak ada yang
punya... cocok sekali...!"
"Lopek,
tidak boleh begitu. Dia itu punyaku!"
Tiba-tiba
kedua tangan yang tadinya sudah menyentuh pundak Siu Bi hendak merangkul itu,
cepat-cepat melepaskan pundak dan tubuh bongkok itu serentak membalik dengan
gerakan yang cepat sekali.
"Apa
kau bilang?! Perempuan ini punyamu? Bagaimana...? Apa maksudmu?"
Swan Bu
menelan ludah dan memandang kepada Siu Bi yang melotot padanya. "Lopek,
dia ini... dia isteriku yang sangat kucinta, kau tidak boleh mengganggu isteri
orang lain!"
"Heh...?
Hoh...? Isterimu...?!" Kakek itu nampak bimbang ragu, mukanya yang liar
jelas membayangkan kekecewaan besar.
"Bohong
dia!" Tiba-tiba Siu Bi berseru, akan tetapi suaranya tidak seketus dan
sekeras biasanya.
Tenaganya
sangat lemah sehingga untuk berseru keras saja tidak mampu dia. Namun ucapan
ini cukup membuat Swan Bu merasa kepalanya terpukul, dan pandang matanya gelap.
Celaka, pikirnya, gadis tolol! Sebaliknya kakek liar itu nampak gembira,
mulutnya yang lebar, berbibir tebal dan giginya besar-besar nyongat ke
sana-sini, lalu tertawa-tawa girang.
"Hah?
Dia bohong, ya? Bukan isterinya, kan? Ha-ha-hah, kau bukan isterinya? Kau tidak
ada yang punya? Ha-ha-hah! Akulah yang akan memilikimu, kau punyaku, kau
isteriku..." Kakek itu menggerakkan tangannya, hendak meraih tubuh Siu Bi.
Gadis ini
menjadi pucat. "Tidak... tidak...! Bukan begitu...! Aku... aku...
isterinya!"
Kembali tangan
berbulu itu serentak kaget dan tidak jadi ke bawah.
"Apa?
Kau betul isterinya? Kenapa bilang bohong?"
"Ohhh..."
sejenak Siu Bi bingung dan lehernya serasa tercekik saking gemasnya melihat
betapa Swan Bu tersenyum-senyum!
"Dia
tidak bohong bahwa aku isterinya, tetapi... tetapi dia bohong bahwa dia
sangat... mencintaiku."
Muka liar
itu berkerut-kerut. "Huh...? begitukah? Kalau tidak mencinta lagi, cerai
dahulu, baru aku mengambilmu sebagai isteri dan bekas suamimu itu jadi bujangmu.
Senang, kan?"
Kakek itu
kini melangkah maju mendekati Swan Bu, berkata dengan suara membujuk,
"Orang muda, kau ceraikan dia, ya? Kau ceraikan dia dan berikan kepadaku,
biar dia menjadi isteriku. Kau tidak cinta lagi, untuk apa? Kau baik, ya? Berikan
saja padaku, aku akan mencintanya melebihi diriku sendiri, hah-hah-hah!"
Swan Bu
tersenyum. Jelas sekarang bahwa kakek ini adalah orang yang berotak miring.
Agaknya terlalu lama terasing di dalam hutan dan berubah seperti binatang. Akan
tetapi agaknya masih belum lupa akan ‘kesopanan’ di antara manusia, antara lain
bahwa tidak boleh mengambil isteri orang lain sebelum dicerai!
la melirik
ke arah Siu Bi yang mukanya pucat dan matanya terbelalak ketakutan seperti mata
kelinci dikejar harimau. Puas kau, pikirnya. Kau yang bertingkah, mengatakan
aku bohong tadi.
"Lopek,
terserah kepada dia. Terserah kepada isteriku itu, apakah dia sudah tidak suka
lagi kepadaku. Kalau sudah tidak suka dan minta cerai, apa boleh buat, akan
kulepaskan dia dan boleh dia menjadi isterimu."
Kakek itu
tiba-tiba memeluk Swan Bu dan... mencium pipinya. "Ha-ha-ha, anak baik!
Kau baik sekali. Terima kasih, ya? Bagus… bagus, dia sudah tidak cinta lagi
padamu, boleh menjadi isteriku..." Setelah berkata demikian dia
meninggalkan Swan Bu yang menggosok-gosok pipinya dengan jijik karena di situ
tertinggal ludah dari mulut kakek gila.
Kini Siu Bi
yang kelabakan karena kakek itu sudah mendekatinya lagi. Sebelum kakek itu
bicara ia telah mendahului, suaranya penuh rasa takut, "Tidak, dia main-main
saja! Aku... aku cinta kepadanya. Kakek baik, aku isterinya..,.. aku cinta
padanya. Dan dia pun cinta kepadaku... kami hanya bertengkar sedikit... aku
tidak mau cerai, juga aku tidak minta cerai."
Kakek itu
tersentak kaget dan kecewa bukan main. "Aahhh? Kau lebih suka kepada dia
yang lemah itu? Wah... celaka... aku tetap kesepian..."
"Kakek
yang baik. Kau sudah tua, aku lebih patut menjadi anakmu, tidak pantas menjadi
isterimu..."
"Heh,
kau suka padaku?"
"Tentu
saja, aku suka padamu seperti kepada ayahku sendiri. Tetapi aku... aku... cinta
padanya, pada suamiku..."
Biar pun
mulutnya berkata demikian, namun sepasang mata Siu Bi memandang melotot marah
kepada Swan Bu yang hampir tak dapat menahan tawanya. Dia tersenyum lebar dan
memandang Siu Bi dengan mata mengejek dan menggoda.
"Bagus!
Aku memang tidak punya anak. Heh-heh-heh, bagus!"
Dan kakek
itu berjingkrak-jingkrak, menari-nari kegirangan! Swan Bu dan Siu Bi saling
pandang, bingung akan tetapi juga lega bahwa mereka terlepas untuk sementara
dari bahaya.
Akan tetapi
tiba-tiba kakek itu berhenti menari dan menoleh ke arah Swan Bu dengan sikap
marah. "Kau suaminya, kau anak mantuku. Tetapi kau tidak baik kepadanya,
ya? Berani kau tidak mencinta anakku? Dia susah dan marah, tapi kau diam saja?
Keparat, hayo kau senangkan hatinya. Awas, ya? Sekali lagi berani kau membikin
marah anakku, kupecahkan kepalamu!"
Kedua
tangannya yang berbulu itu diayun ke kanan kiri, tiba-tiba memukul dinding batu
padas dan somplakan dinding itu terkena pukulan tangannya yang kuat.
"Nah,
kepalamu akan seperti ini kalau kau berani membikin marah anakku lagi. Dia
cinta padamu maka kau pun harus cinta padanya, kalau dia tidak cinta padamu,
dia menjadi isteriku. Huh-huh-huh! Sekarang aku ingin sekali punya cucu,
ha-ha-ha-ha, cucu laki-laki. Sebaiknya kalian lekas punya anak laki-laki
sebelum kesabaranku hilang!"
Swan Bu
mengeluh di dalam hatinya. Kakek itu benar-benar gila, bicaranya kacau-balau
tidak karuan. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Siu Bi, biar pun tadinya dia
merasa geli dan gembira melihat gadis itu terpojok, akan tetapi kini dia dapat
mengerti betapa hebat ucapan si gila itu menyinggung perasaan seorang gadis.
"Lopek,
kami tentu akan perhatikan pesanmu. Sekarang, kuharap kau suka mengasihani.
Kami sedang terluka dan sakit, terutama sekali perlu mendapat perawatan. Kami
hampir mati kelaparan..."
Kakek itu
mendengus seperti lembu, lalu menoleh ke arah Siu Bi. "Kau benar laparkah,
anakku? Kucarikan buah-buahan untukmu, ya?"
Siu Bi sudah
tidak mampu bersuara lagi. Ucapan kakek yang kacau-balau tentang anak segala
macam tadi membuat wajahnya sebentar pucat seperti kertas lalu sebentar merah
seperti dicat. la kini hanya mampu mengangguk-angguk saja.
"Ha-ha-ha,
bagus. Tunggulah sebentar, akan kucarikan buah-buahan yang masak dan
manis!" Kakek itu tertawa-tawa lalu berlari keluar dari dalam goa itu.
Terdengar suaranya di tempat jauh, tertawa-tawa.
Dari sini
saja Swan Bu maklum bahwa kakek itu mampu berlari cukup cepat sehingga dalam
keadaan terluka dan lemah seperti itu, mereka berdua tidak ada harapan untuk
melarikan diri, karena tentu akan tersusul. Kakek itu selain dapat berlari
cepat, pasti juga sudah hafal akan keadaan di dalam hutan.
Tiba-tiba
dia melihat Siu Bi dengan susah payah berusaha bangun, berdiri dengan tubuh
bergoyang-goyang menahan sakit, lalu berjalan menghampirinya. Pada wajah cantik
itu terbayang sikap mengancam dan kemarahan yang ditahan-tahan. Setelah tiba di
depan Swan Bu yang masih duduk bersila, Siu Bi berteriak-teriak, akan tetapi
suaranya seperti orang berbisik karena sesungguhnya ia sudah kehabisan tenaga.
"Monyet
kau! Keledai jahat kau! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Kau
berani bilang .aku... aku… isterimu...? Keparat!"
Swan Bu
tersenyum mengejek. "Kaulah yang bodoh seperti keledai! Satu-satunya jalan
untuk menolong kau terhina oleh kakek itu hanya dengan mengakuimu sebagai
isteriku. Kau marah, ya? Hemmm, apakah kau lebih suka menjadi isteri kakek
itu?"
”Keparat!
Kubunuh kau...!"
Siu Bi
mengepal tinju dan terhuyung maju hendak memukul kepala Swan Bu. Akan tetapi
dia mengeluh dan terguling roboh! Namun dengan terengah-engah dia bangun
kembali, berusaha merangkak mendekati Swan Bu.
"Hemmm,
perempuan liar! Kita sama-sama terluka hebat, tidak mampus sekarang pun masih
untung. Masa kau masih banyak lagak lagi? Lebih baik lekas bersila, menyehatkan
kembali luka di dalam tubuh dengan pernafasan baru. Setelah kita sama-sama
sehat, baru kita boleh bicara lagi dan bersama-sama mengatasi kakek gila
itu!"
Setelah
berkata demikian, Swan Bu tidak mempedulikan lagi kepada Siu Bi. Dia bersila
sambil meramkan matanya dan melakukan semedhi. Akan tetapi keadaan gadis itu
amat mengganggunya sehingga kembali dia gagal dan terpaksa mengintai Siu Bi
dari balik bulu matanya. Siu Bi duduk terengah-engah dan kedua pipinya basah
oleh air mata. Agaknya ia marah sekali. Bibir yang agak pucat itu
bergerak-gerak dan Swan Bu dapat mendengar suara perlahan, “…kubunuh kau...
kubunuh kau..."
Terpaksa dia
membuka matanya dan berkata tenang, "Kau tenanglah dan pikir baik-baik.
Aku tidak takut kau bunuh, tetapi kalau kau membunuhku, kau tentu akan diambil
isteri oleh kakek gila itu. Sebaliknya apa bila aku melawan dan kau yang
mampus, aku tentu akan dibunuhnya pula...”
Siu Bi
memandang marah. "Kubunuh kau kemudian aku melarikan diri!" katanya
sambil merangkak makin dekat.
Akan tetapi
Swan Bu sudah meramkan mata lagi dan tidak mempedulikan Siu Bi. Tentu saja dia
hanya berpura-pura begini karena diam-diam dia siap siaga menjaga serangan
tiba-tiba. Betapa pun juga, dia tidak sudi untuk dibunuh begitu saja.
Agaknya
kemarahan Siu Bi sudah bertumpuk-tumpuk kepadanya. Pertama, dia hendak
membuntungi lengan tangannya tetapi belum berhasil, ditambah pertempuran yang
juga belum dapat ditentukan kalah menangnya. Kemudian pengakuan Swan Bu bahwa
gadis itu isterinya, ditambah lagi omongan kacau-balau mengenai anak segala
oleh kakek gila. Tentu saja Siu Bi tidak mau menerima hal ini dan menganggapnya
sebagai penghinaan yang tiada taranya. Setelah dekat, Siu Bi lalu mengayun
tangan memukul.
Swan Bu yang
tidak meram betul, tapi mengintai dari balik bulu matanya, cepat miringkan
tubuh dan menarik kepala ke belakang. Pukulan mengenai angin dan tubuh Siu Bi
yang berjongkok itu hampir tertelungkup. Begitu lemah dia sekarang.
la
menyeringai dan dadanya terasa makin sakit, kemudian ia terbatuk. Darah segar
pun muncrat dari mulutnya.
”Tenanglah,
bernafas yang panjang dan kumpulkan sinkang..." Swan Bu berkata khawatir
sekali karena maklum bahwa setiap kali memukul, gadis itu memukul ke dalam
dadanya sendiri yang membuat lukanya semakin parah. la tidak ingat lagi bahwa
gadis ini adalah musuhnya, dan tidak ingat bahwa sungguh janggal betapa ia
mengkhawatirkan keadaan gadis ini.
Namun Siu Bi
tidak mau menurut, bahkan dengan nekat lalu menerjang lagi. Kini kedua
tangannya bergerak menghantam, yang kiri menyodok ulu hati sedangkan yang kanan
mencengkeram ke arah leher. Swan Bu maklum bahwa jika dia menangkis atau
mengelak, maka gadis itu akan terluka semakin parah. Cepat dia menggerakkan
kedua tangannya dan pada lain saat dia telah menangkap kedua pergelangan tangan
Siu Bi.
"Lepaskan...
lepaskan...!" Siu Bi meronta-ronta.
Akan tetapi
Swan Bu tentu saja tidak mau melepaskannya karena maklum bahwa sekali lepas,
gadis itu akan kembali mengirim pukulan dari jarak dekat. Sekali dia kena
pukul, mungkin dia tak akan kuat menahannya, sebaliknya kalau pukulan itu tidak
kena, Siu Bi yang mungkin akan tewas. Maka dia memegang kedua pergelangan
tangan itu erat-erat, tidak mau melepaskannya.
Selagi
mereka bersitegang, berkutetan bagai orang bergulat itu tiba-tiba terdengar
suara, "Heh-heh-heh, kalian berkelahi...?"
Siu Bi dan
Swan Bu terkejut sekali. Kalau kakek itu tahu mereka berkelahi, hanya dua
akibatnya, Swan Bu akan dibunuh dan Siu Bi akan dipaksa menjadi isterinya!
"Lekas...,"
bisik Swan Bu.
Mendadak ia
melepaskan kedua pergelangan tangan Siu Bi, kemudian kedua lengannya merangkul
leher gadis itu, dipeluk dan didekapnya. Ketika matanya mengerling dan dia
melihat kakek itu masih ragu-ragu berdiri melihat mereka, Swan Bu lalu menarik
kepala Siu Bi ke atas dan... dia menciumi muka Siu Bi.
"Auhhh...
ahhh..."
Hampir saja
Siu Bi pingsan ketika merasa betapa pemuda itu menciumi pipinya, bibirnya,
hidungnya, matanya. Serasa kepalanya disambar petir menjadi tujuh keliling,
matanya melihat seribu bintang menari-nari dan telinganya mendengar seribu
suara melengking-lengking, akhirnya… dia roboh pulas atau setengah pingsan di
atas pangkuan dan dada Swan Bu!
"Heh-heh-heh,
bagus... bagus. Nah begitulah seharusnya! Kalau begitu aku akan lekas
mendapatkan cucu laki-laki, heh-heh-heh!"
Kakek itu
melangkah maju dan menurunkan banyak sekali buah-buah yang baru masak,
kemerahan dan harum baunya. Swan Bu melihat betapa pedang hitam milik Siu Bi
kini terselip pada ikat pinggang kakek itu, berlepotan getah, agaknya pedang
itu oleh si kakek dipergunakan untuk menebang pohon!
"Aku
memanggang daging di luar, kalian beristirahat. Akan tetapi kelak bila mana
sudah sembuh, kalian yang harus melayani aku. Wah, masa orang tua disuruh
bersusah-payah melayani anak dan mantu. Aturan mana ini?" Kakek itu
mengomel panjang pendek.
"Maafkanlah,
Lopek. Kini kami berdua sedang sakit dan terluka. Tunggulah paling lama
sepekan, kami tentu akan sehat kembali dan dapat melayanimu."
Kakek itu
masih saja tetap mengomel sambil berjalan keluar dari dalam goa. Langkahnya
bagai langkah monyet berjalan. Swan Bu mengusap peluhnya, peluh dingin. Hampir
saja, pikirnya. Mereka berdua tadi sudah berada di ambang jurang maut! la
melirik ke arah Siu Bi yang masih ‘pulas’ di atas pangkuannya. Swan Bu
tersenyum pahit dan jantungnya berdetak aneh.
Tanpa dia
sengaja atau sadari, jari-jari tangannya membelai rambut halus. Wajah Siu Bi
yang pingsan itu hanya membayangkan kecantikan yang mendatangkan gelora di
dada, cantik jelita dan menimbulkan iba. Sedikit pun wajah itu tidak lagi
dinodai keliaran atau kemarahan, tidak lagi galak seperti pada waktu marah.
Swan Bu merasa seakan-akan jantungnya ditusuk-tusuk, perasaannya diremas-remas
dan seperti dalam mimpi dia lalu menunduk dan menciumi muka itu.
"Siu Bi...
jangan marah padaku, Siu Bi... jangan memusuhi aku..." la berbisik-bisik
dekat telinga gadis itu.
Siu Bi
bermimpi. Dalam mimpi yang amat indahnya, ia berada dalam alam di mana tiada
permusuhan antara dia dan Swan Bu, malah ia menjadi isteri Swan Bu. Mereka
berada di dalam taman nan indah, bersendau-gurau, bermain-main dan suami
tercinta membelai, mencumbu rayu. la pun membalas dengan mesra, penuh cinta
kasih.
Siu Bi
sadar. Pening dan kacau pikirannya, sejenak ia bingung. la berada dalam pelukan
Swan Bu, malah dia sendiri merangkul leher pemuda itu, dan ia diciumi! Hampir
Siu Bi menjerit. Sekarang semua teringat olehnya. Dengan seruan tertahan ia
merenggut diri, berusaha melompat mundur akan tetapi kelemasan tubuhnya membuat
ia terguling guling.
"Kau...
kau..." la tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya memandang ke arah
Swan Bu melalui linangan air mata.
"Aku
cinta padamu, Siu Bi." Kata-kata ini singkat namun padat, diucapkan dengan
penuh perasaan. "Tetapi sekarang bukan waktunya kita bicara. Kau cepat
pulihkan tenagamu, sembuhkan luka di dalam tubuhmu agar kita dapat menghadapi
si gila itu."
Sesudah berkata
demikian, Swan Bu yang duduk bersila meramkan matanya, nafasnya
panjang-panjang. Di wajahnya yang tampan itu terbayang ketenangan dan
kebahagiaan. Melihat ini, Siu Bi mengusir semua bayangan yang mengacaukan
pikirannya, lalu duduk bersila dan meramkan matanya pula. Beberapa kali dadanya
terisak, dan beberapa kali matanya terbuka memandang ke arah Swan Bu.
Sukar
baginya untuk melakukan siulian. Wajah Swan Bu bergantian dengan wajah kakek
Hek Lojin terbayang di hadapan matanya. Cumbu rayu pemuda itu bergantian dengan
lengan buntung kakeknya, mengaduk-aduk hati dan perasaannya. Akan tetapi
akhirnya ia dapat juga menindas ini semua. Mulailah ia mengumpulkan hawa sakti
dalam tubuh, perlahan-lahan menyalurkan sinkang ke arah bagian dada yang
terluka di sebelah dalam.
Tiga hari
lamanya kakek gila itu mencarikan makan minum untuk Swan Bu dan Siu Bi. Dan
selama tiga hari itu, kedua orang muda ini bertekun dalam siulian, menyembuhkan
luka masing-masing. Hampir setiap hari secara terpaksa Swan Bu merangkul dan
selalu memperlihatkan sikap mesra terhadap Siu Bi, yaitu di kala kakek itu
kumat gilanya dan menuduh mereka tidak saling mencinta.
Dan Siu Bi
menerima kemesraan Swan Bu ini dengan mata meram, hanya diam tanpa
memperlihatkan sikap apa-apa. Semenjak ‘mimpi’ itu Siu Bi menjadi pendiam,
bahkan jarang mengadu pandang mata secara langsung dengan Swan Bu.
Pada hari ke
empat, pagi-pagi sekali kakek gila itu sedang tertawa-tawa seorang diri
menghadapi api unggun di depan goa, membakar daging kijang yang ditangkapnya malam
tadi. Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Pada saat menengok, dia
melihat Siu Bi berdiri tegak. Sinar api unggun yang jatuh pada bayangan gadis
itu membuatnya bercahaya merah di antara keredupan embun pagi, luar biasa
cantiknya seakan-akan sang dewi pagi turun dari kahyangan menemuinya. Untuk
sejenak kakek itu terpesona, kemudian dia terkekeh.
"Ha-ha-ha,
kau sudah dapat keluar? Hendak menemani aku? Bagus, kau tentu bosan dengan
suamimu si lemah itu. Ha-ha-ha, mari mendekat, Manis..."
Akan tetapi
kata-katanya terhenti di situ karena mendadak Siu Bi sudah menerjangnya dengan
hebat. Tiga kali pukulan Hek-in-kang, biar pun hendak ditangkis juga percuma,
tepat mengenai dada sedangkan tangan kiri Siu Bi juga telah berhasil mencabut
pedang Cui-beng-kiam yang terselip di ikat pinggang kakek itu.
"Aduhh...
auhhh..." tubuh kakek itu bergulingan, dan sebelum sempat meloncat bangun,
Cui-beng-kiam datang menyambar dan tubuh kakek itu rebah tidak bergerak lagi.
Darah menyemprot ke luar dari lehernya yang sudah putus, kebetulan menyemprot
ke arah api unggun yang secara perlahan-lahan menjadi padam.
Dengan
pedang Cui-beng-kiam yang berlumuran darah di tangan, Siu Bi segera berlari
memasuki goa. Di bawah cahaya remang-remang dia melihat Swan Bu masih duduk bersila.
Wajah yang cantik itu menjadi sangat beringas, sepasang matanya yang bening
mengeluarkan cahaya, bibirnya yang merah digigit.
"Swan
Bu, terimalah pembalasan kakekku!" Siu Bi berseru.
Swan Bu
terkejut dan sadar, otomatis mengangkat kedua lengannya sambil membuka mata.
Sinar hitam berkelebat, lengan kiri pemuda itu terbabat buntung sebatas
sikunya, darah menyembur keluar dan Swan Bu roboh terguling, pingsan.
Sejenak Siu
Bi tertegun, bagaikan kena pesona darah merah yang mengalir keluar dari lengan
buntung. Wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil. Tiba-tiba dia melempar
pedang, menjerit lalu berlutut dekat tubuh Swan Bu yang tidak bergerak dan
mukanya pucat seperti mayat.
Dengan gugup
dan bingung Siu Bi menotok jalan darah di dekat pangkal lengan yang buntung.
Kemudian dia menangis tersedu-sedu, memangku kepala Swan Bu, menciumi muka
pemuda itu yang mengeluh panjang pendek menyebut namanya.
Kurang lebih
satu jam Swan Bu pingsan. Tiba-tiba kepala di pangkuan Siu Bi itu bergerak dan
sepasang mata itu memandang sayu, mulutnya tersenyum mengejek, amat menusuk
perasaan.
"Siu
Bi... kini kau sudah puas...? Ahh, alangkah cantiknya engkau... alangkah
manisnya, alangkah kejam, kau iblis wanita berwajah bidadari..." Seperti
orang gila, mulut Swan Bu tersenyum-senyum.
Siu Bi
menahan pekiknya dengan menutup mulut, kemudian dengan sekali renggut dia
melepaskan kepala dari pangkuan, melompat berdiri, menyambar pedangnya lalu
berlari keluar dari goa. Isak tangisnya terdengar bergema di dalam goa ketika
Swan Bu dengan gerakan lemah bangkit dan duduk.
Sejenak Swan
Bu merasa kepalanya nanar, lalu matanya terbelalak memandang lengan kirinya
yang kini menggeletak di atas tanah seperti lengan tangan boneka, dan kemudian
dia memegang lengannya yang tinggal separuh sebatas siku, yang ujungnya
terbungkus kain putih halus dan harum, kain pengikat rambut Siu Bi.
Dengan lemah
dia bangkit berdiri dan terhuyung-huyung berjalan keluar. Di luar goa tidak
tampak Siu Bi atau bayangannya, yang tampak hanya mayat kakek gila terlentang
di atas tanah, kepalanya terpisah dari badan. Puing api unggun masih
mengebulkan asap dan daging yang dipanggang masih menyebarkan bau sedap gurih….
Lee Si
melarikan diri di dalam kegelapan sambil menangis tersedu-sedu. Hatinya seperti
ditusuk-tusuk jarum beracun kalau ia teringat akan pengalamannya. la harus
lari, berlari cepat meninggalkan semuanya, bahkan kalau mungkin meninggalkan
dunia. Tak berani ia bertemu dengan ayahnya, malu bukan main. Betapa mungkin
dia dapat berhadapan dengan ayahnya lagi setelah ayahnya itu melihat ia...
tidur di bawah satu selimut dengan Swan Bu? Masih jelas teringat olehnya betapa
ia sudah hampir pingsan saking malu ketika dalam keadaan tertotok ia direbahkan
di samping Swan Bu yang juga tertotok, sedangkan Swan Bu tidak memakai baju!
Tadinya ia
sama sekali tidak dapat menduga apa maksud dan kehendak orang-orang Ang-hwa-pai
itu dengan perlakuan ini. Mengapa ia dan Swan Bu tidak dibunuh melainkan
diperlakukan seperti ini? Akan tetapi saat tiba-tiba ia mendengar suara makian
ayahnya, dan melihat ayahnya muncul di atas genteng, kagetnya bukan main dan
sekaligus dia pun tahu bahwa para penjahat itu agaknya sengaja memancing
ayahnya datang supaya orang tua ini dapat menyaksikan keadaan yang amat
memalukan dan menghina ini.
la mengerti
sekarang. la mengerti pula mengapa ia sengaja dibebaskan setelah ayahnya muncul
dan menyaksikan adegan itu. Penghinaan yang luar biasa melebihi maut! Dia sudah
mengenal watak ayahnya yang keras. Tidak mungkin ayahnya dapat diberi
penjelasan sesudah dengan kedua mata sendiri menyaksikan adegan itu. Dan dia
malu bertemu Swan Bu, malu bertemu siapa saja! Lebih baik mati! Mati?
Tidak, belum
waktunya. la harus bisa membasmi penjahat-penjahat Ang-hwa-pai berikut
teman-temannya itu sebelum dia sendiri mati. Dengan pakaian kusut serta hati
penuh kegemasan dan sakit hati terhadap Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya, Lee
Si beriari terus secepatnya.
Tujuan
perjalanannya sekarang adalah... ke Liong-thouw-san! Ia harus bertemu dengan
Pendekar Buta, ia harus bicara dengan ayah bunda Swan Bu, harus ia ceritakan
tentang semua pengalamannya dengan Swan Bu. Memang amat memalukan dan ia sudah
bisa membayangkan betapa akan sukarnya mulutnya bercerita tentang semua itu,
akan tetapi hal ini penting sekali. Penting untuk membersihkan namanya, juga
nama Swan Bu, dan agar orang tua Swan Bu dapat menghadapi kemarahan ayahnya
dengan tenang.
Siapa lagi
yang akan dapat mendinginkan hati ayahnya yang panas bergelora itu kalau bukan
Pendekar Buta yang amat dihormati dan dipuji ayahnya? la dapat membayangkan
bahwa kalau ayahnya tidak berhasil mencari dan membunuh Swan Bu, tentu ayahnya
akan mendatangi orang tua pemuda itu dan mengamuk di sana. Alangkah akan
hebatnya bencana yang timbul dari urusan ini! Dan mengingat itu semua makin
besarlah dendam dan sakit hati Lee Si terhadap Ang-hwa-pai.
Pada suatu
hari, karena hari amat panas terik dan ia sudah merasa amat lelah, Lee Si
melangkahkan kakinya ke sebuah kelenteng kosong yang sudah tua dan rusak. Akan
tetapi ketika ia sampai di ruangan depan, ia kaget dan menjadi ragu-ragu
melihat bahwa di situ sudah terdapat belasan orang laki-laki yang agaknya juga
sedang mengaso dan berlindung dari sengatan sinar matahari yang luar biasa
panasnya.
Mereka ini
sedang bercakap-cakap dan ada yang bersendau-gurau, hanya seorang pria muda dan
tampan duduk menyendiri di satu pojok, melenggut seperti orang mengantuk.
Melihat banyak laki-laki di dalam kuil itu, Lee Si menahan kakinya dan
membalikkan tubuh, dia hendak berteduh di luar saja.
"Eh,
A-liuk, apakah kita tidak mimpi? Bidadari kahyangan turun di siang hari? Wah-wah...
kok pergi lagi...?"
"lya...
nona manis, kenapa tidak jadi masuk? Di sini teduh nyaman... kita bisa
mengobrol, mari ke sinilah!" kata seorang lain, disusul gelak tawa
teman-temannya.
Lee Si yang
baru saja mengalami mala petaka, tidak sudi mencari perkara baru sungguh pun
hatinya sudah amat panas dan ingin sekali kaki tangannya memberi hajaran kepada
orang-orang kurang ajar itu. Maklum bahwa kalau ia berada di sana tentu
setidaknya telinganya akan mendengar suara-suara busuk, gadis ini lalu
melangkah keluar lagi dari pekarangan kelenteng tua, lalu berjalan cepat
meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat peristirahatan lain.
Akan tetapi
daerah ini kering, pohon-pohon kehilangan daunnya sehingga tidak ada lagi
tempat yang teduh. Terpaksa Lee Si berjalan terus menuju ke daerah yang dari
jauh tampak banyak gundukan batu-batu besar dengan harapan mendapatkan tempat
teduh di situ.
“Hee, nona
manis, berhenti dulu...!"
Tiba-tiba
terdengar seruan keras dan ketika Lee Si menengok, dilihatnya banyak laki-laki
yang tadi duduk di dalam kelenteng kini berlari-lari mengejarnya. Di depan
sendiri tampak seorang laki-laki brewok yang berpakaian seperti tentara, golok
besarnya tergantung di pinggang. la ingat bahwa memang tadi di dalam kelenteng
ada si brewok ini yang hanya memandangnya dengan mata melotot dan mulut
menyeringai.
"Hemmm,
manusia-manusia keparat ini tak akan kapok kalau tidak diberi hajaran!"
pikir Lee Si sambil berhenti dan membalikkan tubuhnya, siap menanti mereka.
Hanya ada
enam orang yang mengejarnya, dan biar mereka itu semua adalah laki-laki yang
kasar dan membawa senjata, dia tidak takut. Dia berdiri tenang-tenang saja,
berdiri dengan sikap biasa bagai seorang gadis muda yang hendak nonton lewatnya
rombongan arak-arakan.
Mendadak
berkelebat bayangan yang gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda
sudah berdiri menghadang larinya rombongan itu.
"Sahabat-sahabat
harap berhenti dahulu untuk bicara!" laki-laki ini berkata dengan suara
tenang.
Dia adalah
pemuda berpakaian putih yang tadi duduk melenggut di pojok. Pemuda ini sikapnya
tenang, namun sepasang matanya memancarkan ketajaman dan ketabahan.
Si brewok
yang berpakaian komandan tentara itu membelalakkan mata dan membentak.
"Heh, bukankah kau pengemis muda yang tadi mengantuk di dalam kuil? Mau
apa kau?"
Pemuda itu
mengangkat sedikit mukanya dan sepasang matanya dipicingkan, pandang matanya
tajam sekali menerobos di antara bulu matanya yang bergetar. Mulutnya agak tersenyum
sebelum ia bicara dengan suara lantang,
"Bukankah
kau ini komandan she Gak yang membawa anak buahmu kumpulan tukang pukul ini
menjelajahi ke dusun-dusun untuk memeras rakyat dengan dalih kerja paksa
membuat saluran? Orang she Gak, ketahuilah bahwa semua rahasiamu sudah terbuka,
aku sudah tahu bahwa kau bukanlah seorang komandan tapi seorang kepala perampok
yang menyamar sebagai komandan tentara untuk melakukan pemerasan. Beberapa hari
sudah aku mengikuti jejak kalian, sekarang kalian akan menambah kejahatan
pemerasan dengan mengganggu wanita baik-baik. Hemmm, dosa kalian sudah cukup
besar..."
"Setan
muda, mampuslah kau!”
Tiba-tiba
tampak sinar berkilauan menyambar ketika ‘komandan’ itu menggerakkan golok
besarnya yang sudah dicabut cepat dan dipergunakan untuk membacok leher pemuda
itu.
Diam-diam
pemuda itu terkejut juga. Kiranya si komandan gadungan ini pandai juga ilmu
goloknya. Namun dengan gerakan mudah saja, yaitu dengan sedikit miringkan tubuh
dan menekuk sebelah lutut, golok itu hanya menyambar lewat di atas kepalanya,
beberapa sentimeter saja selisihnya.
Akan tetapi
tanpa ditarik kembali golok itu sudah langsung memutar ke bawah dan kini
membabat ke arah pinggang, disusul jotosan tangan kiri yang keras sekali menuju
kepala pemuda itu. Sebuah serangan yang hebat juga!
"Bagus!"
Pemuda itu berseru.
Tubuhnya
melompat ke atas sehingga golok yang membabat pinggangnya itu meluncur lewat di
bawah kakinya, sedangkan selagi tubuhnya berada di udara, kakinya bergerak
menendang ke arah kepalan tangan kiri lawan!
"Bagus...!"
Kini seruan memuji kagum ini keluar dari mulut Lee Si.
Gadis muda
ini berdiri menonton dan kagumlah dia menyaksikan gerakan pemuda itu. Menendang
untuk menangkis pukulan selagi tubuh masih berada di udara hanya mampu
dilakukan oleh seorang yang ahli.
Namun orang
she Gak itu pun ternyata lihai sekali. Cepat dia menarik kepalannya dan sebelum
tubuh pemuda itu turun, goloknya sudah menusuk lagi, kini memapaki turunnya
tubuh itu dari bawah seakan-akan goloknya hendak menyate tubuh itu dari bawah
ke atas. Serangan maut ini masih dia tambahi dengan sebuah tendangan kilat yang
amat keras.
Agaknya di
samping kemahirannya dalam gerakan golok dan pukulan, si brewok ini ahli
tendangan pula. Malah bagi pemuda itu, tusukan golok hendak menyate tubuh itu
malah tak sehebat tendangan yang amat berbahaya ini karena tendangan itu
dilakukan dengan gerakan kaki memutar sehingga sukar diduga bagian mana yang
hendak di ‘makan’ oleh tendangan kaki kiri ini!
"Hebat...!"
kembali Lee Si berseru sambil menyaksikan gerakan pemuda pakaian putih itu.
Orang tentu
akan merasa heran karena pemuda itu baru saja bergerak, belum kelihatan
hasilnya, gadis ini sudah memuji setengah mati. Akan tetapi kiranya pujian itu
memang tidak salah karena akibatnya memang hebat. Dengan gerakan tangan kiri
yang sangat luar biasa, pemuda itu turun dengan tubuhnya miring-miring seperti
mau jatuh, akan tetapi berhasil mengelak dari golok lawan yang menusuknya.
Malah tangan kiri itu sekali berkelebat telah mencengkeram tangan kanan yang
memegang golok, dan sekali renggut gagang golok telah pindah tangan, sedangkan
tendangan maut itu diterima dengan tangan kanan yang disabetkan ke bawah dengan
jari-jari tangan terbuka.
"Dukkk!"
Aneh memang,
akan tetapi nyata. Tangan kanan yang disabetkan miring itu bertemu dengan kaki
yang besar dan terbungkus sepatu tebal yang berlapis besi. Kalau menurut
perhitungan dan logika, tentunya si tangan yang akan remuk, setidaknya
tulangnya tentu akan patah-patah dan kulitnya pecah-pecah. Akan tetapi
kenyataannya tidak demikian.
Tangan itu
tidak apa-apa, juga tubuh si pemuda sama sekali tidak bergeming, sebaliknya
tubuh si penendang yang tinggi besar itu terpelanting jatuh, menggelinding dan
akhirnya baru berhenti setelah sebuah batu besar menahannya di tengah jalan dan
kepala yang menumbuk batu itu pecah retak-retak, dan yang punya kepala terhenti
menjadi manusia hidup!
Pemuda itu
melirik ke arah Lee Si, tersenyum dan mengangguk-angguk. Di dalam hati pemuda
ini kagum juga akan ketenangan gadis itu yang masih berdiri menjadi penonton.
Lima orang tukang pukul itu tentu saja menjadi marah sekali melihat ‘komandan’
mereka tewas. Dengan teriakan-teriakan marah dan makian-makian kotor mereka
lalu menerjang pemuda itu dengan bermacam-macam senjata. Dua orang bersenjata
pedang panjang, seorang bersenjata toya, seorang bersenjata golok dan seorang
lagi yang kepalanya botak dan tidak bertopi bersenjatakan sebatang pecut baja.
Ketika mereka ini bergerak, kembali Lee Si terkejut karena lima orang ini
kiranya bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, boleh dibilang
setingkat dengan si komandan gadungan tadi.
Melihat ini,
teganglah seluruh urat syaraf di dalam tubuh Lee Si. Tak mungkin ia berdiam
diri saja menonton pemuda itu dikeroyok lima orang yang tak boleh dipandang
ringan ini. Pemuda itu tak salah lagi, berusaha menolongnya. Kalau sampai
pemuda itu celaka atau terluka, hal ini sungguh amat tidak baik. la sudah
bersiap untuk segera melayang dan membantu kalau-kalau pemuda itu terancam.
Akan tetapi
tiba-tiba hatinya berdebar tegang dan seperti terpaku di tempatnya. Pemuda
berpakaian putih itu kini bergerak-gerak seperti orang mabuk, menggunakan
langkah-langkah aneh sekali yang ia kenal seperti langkah-langkah yang
dipergunakan oleh Swan Bu. Sama sekali pemuda itu tidak terdesak oleh
pengeroyokan lima orang, malah sambil menyelinap di antara senjata-senjata itu
dia berkata, "Tentara gadungan itu sudah sepatutnya mampus. Kalian boleh
hidup, akan tetapi harus mengakhiri kejahatan. Lain kali aku tidak dapat
memberi ampun lagi!"
Tiba-tiba
pemuda itu berkelebat. Tubuhnya seperti lenyap dari pandangan mata kelima orang
pengeroyoknya, yang tampak hanya sesosok bayangan yang didahului sinar golok
rampasan tadi. Terdengar pekik kesakitan berturut-turut dan senjata-senjata itu
berturut-turut melayang runtuh dibarengi mengucurnya darah dari kedua pundak
dan kedua paha. Dalam sekejap mata saja lima orang itu sudah roboh
merintih-rintih.
Kiranya
selain senjata merekar terlepas, juga ujung kedua pundak dan atas kedua lutut
mereka terluka oleh golok, luka yang tidak berbahaya tetapi cukup mengeluarkan
banyak darah dan membuat mereka merasa ngeri. Bila mana pemuda itu menghendaki,
agaknya menewaskan mereka tidak lebih sukar dari pada membalikkan telapak tangan.
"Nah,
kuharap kalian kapok dan suka menghentikan praktek-praktek jahat!" seru
pemuda itu sambil melempar golok rampasannya ke tanah, kemudian dia membungkuk
ke depan Lee Si sambil berkata,
"Silakan
Nona melanjutkan perjalanan. Selamat berpisah!" Sehabis berkata demikian,
pemuda itu membalikkan tubuhnya dan berkelebat cepat sekali. Sebentar saja dia
sudah lenyap di balik batu-batu besar...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment