Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 10
Akan tetapi,
alangkah terkejutnya pemuda itu pada waktu dia mendengar suara orang di
belakangnya yang berseru halus, "Saudara, harap suka tunggu
sebentar!"
Pemuda itu
membalikkan tubuhnya, menghadapi Lee Si dan segera mengangkat tangan memberi
hormat. Lee Si cepat-cepat membalasnya dan diam-diam ia memuji kesopanan pemuda
ini yang usianya jauh lebih tua dari padanya.
"Nona
ada keperluan apakah Nona mengejar saya?"
"Saudara,
kiranya tidak baik kubiarkan saja kau pergi tanpa menyatakan terima kasih atas
pertolonganmu dan..."
Pemuda itu
tertawa dan wajahnya yang masak dan agak muram itu tampak jauh lebih muda kalau
tertawa. "Wah, harap Nona jangan memperolokku! Sama sekali aku tidak
menolongmu, karena kalau tidak kebetulan aku turun tangan terhadap mereka, kiranya
mereka itu akan menerima nasib yang lebih berat di tangan Nona. Dengan
kepandaian yang Nona miliki, sungguh aku merasa malu kalau aku dikatakan
menolongmu."
"Ah,
bagaimana kau bisa bilang demikian? Dengan kepandaianmu yang begitu tinggi dan
sikapmu yang amat merendah, kau sungguh membikin aku yang bodoh menjadi kagum,
Saudara."
"Nona,
sebelum aku bergerak kau sudah tahu tadi, sekarang dengan mudah kau dapat
menyusulku, ini saja sudah membuktikan bahwa kau seorang yang lihai. Sudahlah,
tidak perlu puji-memuji ini. Bolehkah aku mengetahui siapa gerangan nama Nona?
Aku sendiri bernama Yo Wan."
"Yo
Wan...? Serasa pernah aku mendengar nama ini..."
Lee Si
mengerutkan kening, mengingat-ingat, akan tetapi tidak berhasil. Memang tentu
saja dia tidak ingat karena andai kata pernah mendengar, tentulah dari
percakapan atau penuturan ayah bundanya yang pernah menyebut nama ini sebagai
murid dari Pendekar Buta.
"Nona
siapakah dan murid siapa?"
"Aku
murid orang tuaku sendiri, ayahku adalah Tan Kong Bu, ketua Min-san-pai, dan
namaku Tan Lee Si."
"Ah...!
Tentu saja Nona pernah mendengar namaku, tentu dari Tan-loenghiong, ayahmu. Aku
sendiri sudah lupa lagi kepada beliau, akan tetapi antara ayahmu, terutama
ibumu dan suhu ada hubungan yang erat sekali. Ketahuilah, suhu adalah Pendekar
Buta..."
"Ahhh...!"
Kini Lee Si yang ber ah-ah-ah saking herannya.
Lalu dia
teringat akan langkah-langkah seperti orang mabuk yang tadi dilakukan Yo Wan
ini dan yang ia ingat ada persamaannya dengan Swan Bu. Dan sekarang tidak aneh
lagi baginya akan kelihaian pemuda ini. Kiranya murid Pendekar Buta,
kepandaiannya tentu saja hebat.
"Kalau
begitu... dia... dia itu sute-mu..." Otomatis ingatannya melayang kepada
Swan Bu sehingga kata-kata itu keluar dari mulutnya.
Yo Wan
adalah seorang pemuda yang sudah matang pikirannya dan dia sangat cerdik. Oleh
karena itu sikap dan kata-kata gadis cantik manis itu sudah cukup baginya untuk
menduga bahwa tentu ada sesuatu di antara gadis cucu Raja Pedang ini dengan
putera suhu-nya. Siapa lagi kalau bukan Swan Bu yang tadi disebut ‘si dia’
sebagai sute-nya? Sute-nya memang hanya seorang, yaitu putera suhunya itu.
"Nona maksudkan Kwa Swan Bu sute? Apakah dia sahabat baikmu? Di mana
adanya sute sekarang?"
Hal yang
aneh terjadi, yang membuat Yo Wan sendiri terheran-heran dan terkejut bukan
main. Gadis manis itu tiba-tiba menangis! Air matanya bercucuran dan kedua
tangannya sibuk mengusapi air mata yang mengalir pada kedua pipinya, pundaknya
bergerak-gerak dalam isak tangis yang menyedihkan.
Yo Wan
berdebar hatinya, kekhawatiran hebat mencekam jantungnya, timbullah dugaan yang
bukan-bukan. "Nona, ada apa dengan sute? Apakah yang terjadi?"
tanyanya, wajahnya berkerut dalam kegelisahan.
"Malapetaka
hebat... dia dan aku... kami berdua celaka..." Lee Si terisak-isak.
Semenjak ia mengalami bencana itu, baru kali ini ia berkesempatan bicara dengan
seorang yang ia percaya, karena itu ia tak dapat menahan kesedihannya.
Di lain
pihak, Yo Wan terkejut seperti disambar petir. Dia sampai lupa diri sehingga
kedua tangannya memegang lengan Lee Si, lalu diguncang-guncangnya nona yang
menangis itu sambil berkata, "Ada apakah? Siapa mengganggu sute? Di mana
dia dan apa yang telah terjadi?"
Melihat
betapa nona itu menurunkan tangan dan dengan kaget memandangnya, Yo Wan
melepaskan kedua tangannya dan berkata, "Maaf, aku sampai lupa diri. Ahh,
kau tenangkanlah hatimu, Nona dan berceritalah yang baik. Ketahuilah, semenjak
kecil aku tidak bertemu dengan sute, hatiku penuh kerinduan, maka mendengar dia
ditimpa mala petaka, hatiku menjadi gelisah bukan main. Apakah dia
terluka?"
Lee Si
menggeleng kepala. "Tidak terluka, dan sekarang entah di mana, akan tetapi
apa yang menimpa kami berdua lebih hebat dari pada luka atau maut sekali
pun."
Dengan muka
menunduk dan suara perlahan, kadang-kadang terputus oleh isak tangis, Lee Si
akhirnya menceritakan semua pengalamannya dengan Swan Bu, juga mengenai tipu
muslihat penuh fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa-pai.
"Begitulah
saudara Yo Wan, dapat kau bayangkan betapa marah ayah melihat keadaan kami,
mendengar suara ayah agaknya dia takkan puas kalau belum membunuh Swan Bu untuk
mencuci penghinaan. Padahal... padahal Swan Bu sama sekali tak bersalah dalam
hal itu."
"Dan
kau hendak ke manakah sekarang, Nona?"
"Ke
mana lagi? Ke Liong-thouw-san hendak menemui ayah Swan Bu dan menceritakan
semua hal itu kepada ayah bundanya. Harap kau suka membantuku... berat juga
mulut ini bercerita kepada paman Kwa Kun Hong dan istrinya."
"Jangan
khawatir, aku pasti akan membantumu, Nona, demi kebersihan nama sute pula. Akan
tetapi, kau dan sute yang begitu lihai bagaimana sampai dapat tertawan?
Siapakah yang menjadi jago Ang-hwa-pai ketika itu? Setahuku, yang paling lihai
hanyalah Ang-hwa Nio-nio dan pemuda yang bernama Ouwyang Lam. Akan tetapi aku
sangsi apakah dua orang ini dapat mengalahkan kau dan sute."
"Kalau
hanya mereka berdua, agaknya kami tidak akan dapat tertawan musuh." Lee Si
menarik nafas panjang penuh sesal. "Selain mereka, masih ada dua orang
kakek yang pada saat aku ditawan, kudengar namanya sebagai pendeta Maharsi dari
barat dan yang seorang lagi Bo Wi Sianjin, masih ada lagi seorang iblis wanita
bernama Siu Bi!"
Yo Wan
menahan perihnya hati yang serasa tertusuk ketika dia mendengar disebutnya nama
ini, nama seorang gadis yang mendatangkan rasa sayang dan simpati di hatinya
akan tetapi berbareng juga mendatangkan rasa benci karena gadis itu adalah
puteri The Sun pembunuh ibunya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa
gadis itu kembali menggabungkan diri dengan pihak Ang-hwa-pai yang dia tahu
adalah golongan penjahat. Akan tetapi Yo Wan segera merenggut ingatannya keluar
dari lamunan tentang diri Siu Bi ini.
"Wah,
urusanmu ini memang luar biasa hebat, adik Lee Si." Akhirnya dia berkata
sambil menarik nafas panjang. "Mereka itu memang jahat sekali dan tipu
muslihat mereka itu agaknya akan dapat menimbulkan bencana perpecahan yang
sangat besar. Marilah kita jangan membuang waktu lagi, segera berangkat ke
Liong-thouw-san menemui suhu. Aku bisa mengerti betapa beratnya bagimu
menceritakan peristiwa itu, maka biarlah aku yang akan mewakilimu bercerita
kepada suhu dan subo."
"Terima
kasih, kau baik sekali...," jawab Lee Si sambil menghapus air mata
terakhir dari pelupuk matanya. Hatinya menjadi besar dengan adanya penolong
ini, maka harapannya timbul kembali sehingga kemuraman pada wajahnya mulai
menghilang.
Akan tetapi,
setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan dan akhirnya mereka sampai di
puncak Liong-thouw-san, mereka menjadi sangat terkejut dan kecewa sekali
melihat bahwa puncak gunung itu sunyi sepi, tidak ada kelihatan seorang pun
manusia di sana. Tidak terdapat tanda sesuatu, juga tidak ada seorang pun manusia
di sana yang dapat menceritakan apakah yang telah terjadi di puncak itu. Tapi
menilik keadaan pondok yang masih bersih, seolah-olah masih ‘hangat’, jelas
bahwa tempat yang sunyi ini belum lama ditinggalkan oleh penghuninya.
Yo Wan
berdiri di depan pondok, termenung dan termangu-mangu. Melihat tempat ini, tak
terasa pula dua titik air mata keluar dari pelupuk matanya, karena dia teringat
akan keadaannya pada waktu masih kecil dahulu. Terbayanglah semua di depan
matanya, keadaan dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih kecil dan
tinggal seorang diri di tempat ini. Dia berjalan hilir-mudik seperti orang
kehilangan pikiran, meraba-raba dengan mesra batu-batu yang berada di depan
pondok, membelai dedaunan di pinggir pondok, bibirnya menyeringai setengah senyum
setengah menangis.
la baru
sadar setelah mendengar tangis Lee Si dan cepat dia menengok. Melihat gadis itu
sudah duduk dan menangis di atas bangku bambu di depan pondok, dia cepat-cepat
menghampiri lalu berkata dengan suara menghibur,
"Tenanglah,
adik Lee Si. Tidak ada perkara di dunia ini yang tak dapat di atasi asal kita
tenang dan sabar. Memang agaknya tidak kebetulan kedatangan kita, agaknya suhu
dan subo sedang turun gunung, entah ke mana. Akan tetapi, sebagai wakil suhu,
juga demi menjaga nama baik sute Swan Bu, aku siap untuk membasmi
penjahat-penjahat busuk itu. Marilah, adik Lee Si, kita turun kembali dan kau
antarkan aku ke tempat terjadinya peristiwa itu. Aku akan mencoba untuk
menangkap Ang-hwa Nio-nio dan kita menyeret dia ke hadapan ayahmu agar dia
mengakui akan tipu muslihat dan fitnah yang diaturnya. Bagaimana?"
Lee Si hanya
mengangguk-angguk, kemudian sesudah menekan perasaan kecewanya dapat juga dia
berkata, "Kau baik sekali, Yo-twako. Terserah kepadamu saja, aku… aku
bingung tak dapat memikir sesuatu...”
Mereka
bermalam satu malam di puncak Liong-thouw-san. Pada keesokan harinya baru
mereka turun dari puncak itu, menuju ke kota Kong-goan di tepi Sungai
Cia-ling….
Sebetulnya
apakah yang telah terjadi di puncak Liong-thouw-san? Sayang tak ada yang dapat
bercerita kepada kedua orang muda itu. Akan tetapi andai kata ada yang dapat
bercerita, agaknya malah akan membuat mereka menjadi makin gelisah saja karena
baru tiga hari yang lalu, di puncak itu terjadi hal hebat seperti yang dikhawatirkan
oleh Lee Si.
Pada suatu
senja, tiga hari yang lalu, selagi Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta bersama
isterinya, Kwee Hui Kauw, duduk di dalam pondok bercakap-cakap sesudah Hui Kauw
menyalakan api penerangan dan Kun Hong tengah makan masakan sayur yang
disajikan isterinya sambil bercakap-cakap, tiba-tiba saja terdengar suara
bentakan keras dari luar pondok.
"Kwa
Kun Hong, keluarlah dan pertanggung jawabkan kebiadaban anakmu!!"
Sepasang
sumpit yang menyumpit sayur dan sudah berada di depan mulut itu terhenti. Kun
Hong miringkan kepalanya, keningnya berkerut dan perlahan-lahan dia menurunkan
kembali sumpit serta mangkoknya. Telinganya mendengar gerakan isterinya
menyambar pedang di dinding, dan pada saat isterinya hendak melayang keluar
pintu, dia berkata lirih,
"Tahan
dulu, jangan terburu nafsu. Serasa mengenal suaranya..."
"Tak
peduli dia siapa, dia telah menghina kita dan anak kita!"
"Manusia
bisa keliru, mungkin salah paham..."
"Kwa
Kun Hong, lekas kau keluar sebelum kuhancurkan pondokmu!" kembali
terdengar bentakan dari luar.
Dengan
tongkat di tangan, Pendekar Buta bergerak keluar dari pintu pondoknya, diikuti
oleh Hui Kauw yang masih memegang sebatang pedang dengan muka kereng. Alangkah
kaget dan herannya nyonya ini pada saat melihat bahwa yang berdiri di depan
pondok, dengan tegak dan dua kaki dipentang, sikap mengancam, wajah bengis,
adalah seorang laki-laki tinggi besar dan gagah yang bukan lain adalah Tan Kong
Bu.
Keadaan jago
tua Min-san ini menyeramkan sekali. Sepasang matanya yang tajam itu
bersinar-sinar penuh kemarahan, rambutnya agak awut-awutan, mukanya merah
padam, tangan kiri dikepal-kepal dan tangan kanan meraba gagang pedang.
Suaranya nyaring menggeledek ketika dia melihat Kun Hong dan isterinya keluar
dari pondok.
"Kwa
Kun Hong, kalau kau tidak lekas mempertanggung jawabkan kebiadaban anakmu,
sekarang juga seorang di antara kita harus mampus di sini!"
Wajah
Pendekar Buta penuh kerut-merut, akan tetapi dia tetap tenang dan sabar. Tapi
sebaliknya, biar pun Hui Kauw adalah seorang wanita yang berperangai halus dan
amat sabar, namun sekarang, sebagai seorang ibu yang mendengar anak tunggalnya
dimaki biadab, darahnya seketika menjadi naik. la menudingkan telunjuk tangan
kirinya ke arah Kong Bu dengan tangan kanan melintangkan pedang di depan dada.
"Tan
Kong Bu! Isterimu terhitung sebagai murid keponakan suamiku, jadi kau ini boleh
juga dikatakan keponakan kami. Akan tetapi sikapmu ini sungguh-sungguh tidak
patut. Ada urusan boleh diurus, ada soal boleh dibicarakan, segala sesuatu
boleh dirundingkan baik-baik, tidak seperti kau ini yang bersikap kasar dan
menghina!"
"Siapa
menghina? Ha-ha-ha-ha, bicara tentang penghinaan, anakmu yang biadab itulah
yang telah menghina kami! Penghinaan melewati batas takaran, penghinaan yang
hanya dapat dicuci dengan darah dan nyawa, nyawa Kun Hong atau nyawaku! Jika
kau hendak maju sekalian, boleh, aku tidak takut demi untuk membela nama baik
anakku, soal mati bukanlah apa-apa!"
Setelah
berkata demikian, agaknya kepanasan hatinya menjadi semakin berkobar oleh
kata-katanya. Kong Bu menggerakkan tangan dan…
"Srattt!"
la telah mencabut sebatang pedang.
Tentu saja
Hui Kauw menjadi makin marah, dia merasa ditantang. "Hemmm, manusia
sombong. Kau kira aku takut kepadamu? Kau sangka hanya engkau seorang di dunia
ini yang gagah dan tidak takut mati, yang ingin membela anak? Tiada hujan tiada
angin kau memaki-maki anak kami, memaki-maki kami, kalau kau menantang
bertempur, majulah. Aku lawanmu." Hui Kauw melompat ke depan siap dengan
pedangnya.
Pada
dasarnya Tan Kong Bu memang seorang yang berwatak keras serta berangasan, maka
mendengar omongan ini apa lagi melihat sikap Hui Kauw, kemarahannya terhadap
Swan Bu memuncak. Wanita ini adalah ibu Swan Bu patut bertanggung jawab pula.
Dia memekik keras, mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya bergerak
maju.
"Bagus,
kau atau aku yang mampus!"
Pedangnya
menyambar ganas, dipenuhi dengan tenaga Yang-kang sehingga sambaran pedang itu
mengandung hawa panas yang amat berbahaya. Namun Hui Kauw adalah isteri
Pendekar Buta. Sebelum menjadi isteri Pendekar Buta ia telah memiliki
kepandaian tinggi, tapi mungkin pada waktu itu tidak akan dapat menahan
serangan Tan Kong Bu putera Si Raja Pedang.
Akan tetapi
sekarang, dia bukan Hui Kauw dua puluh tahun yang lalu. Ilmu kesaktiannya
mengalami kemajuan pesat di bawah bimbingan suaminya. Melihat datangnya
serangan hebat ini, dia mengelak sambil membabat dari samping, menghantam
pedang lawan.
"Tranggg!"
Bunga api
berpijar merupakan kilat-kilat kecil menerangi cuaca yang saat itu sudah mulai
remang-remang. Keduanya terpental muncur.
"Bagus,
terimalah ini!"
Tan Kong Bu
menerjang lagi, lebih ganas dan lebih kuat. Kembali Hui Kauw menangkis dari
samping dan kini saking hebatnya tenaga dalam mereka, kedua pedang itu saling
tempel tanpa mengeluarkan bunyi! Pada saat itu, berkelebat bayangan merah,
disusul suara keras dan dua batang pedang yang saling tempel itu terpental ke
belakang, malah Hui Kauw dan Kong Bu terhuyung-huyung tiga langkah. Kiranya Kun
Hong sudah turun tangan, ia menggunakan tongkatnya untuk memisahkan dua pedang
itu.
"Ahhh,
apa perlunya semua ini? Hui Kauw, kau mundurlah. Kong Bu, marilah kita bicara
baik-baik. Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Kau agaknya marah-marah kepada
anak kami. Kesalahan apakah yang diperbuat oleh Swan Bu? Kau ceritakan kepada
kami agar kami bisa mengetahui dan mempertimbangkan. Di antara kita, masa harus
menggunakan kekerasan?"
Akan tetapi
Kong Bu yang sudah mendidih darahnya itu tak dapat dibikin sabar. Dengan suara
tetap lantang dan penuh kemarahan dia berkata, "Kun Hong, mana bisa kita
bicara baik-baik lagi setelah penghinaan yang dilakukan oleh anakmu? Akan
tetapi agar kalian tidak penasaran, dengarlah apa yang sudah dilakukan oleh
anakmu yang biadab itu, agar terbuka mata kalian betapa kalian tidak becus
dalam mendidik anak. Anakmu Kwa Swan Bu itu telah menawan Lee Si anakku dan
melakukan perbuatan terkutuk, dia... dia berani mencemarkan... dia berani
menodai Lee Si, terkutuk dia! Karena dia lari, sekarang aku datang ke sini
untuk minta pertanggungan jawabmu. Kun Hong, penghinaan ini terlalu besar, kau
sebagai ayahnya harus menebus dengan nyawamu atau aku sebagai ayah Lee Si
mencuci noda dengan darahku!"
"Bohong...!"
tiba-tiba Hui Kauw menjerit marah. "Di mana terjadinya? Siapa yang menjadi
saksi? Apa buktinya?
"Huh,
siapa yang bohong? Aku sendiri yang menjadi saksi! Lee Si ditawannya, tertotok
tak berdaya dan ditawan ke dalam kuil tua di kota Kong-goan..."
"Bohong!
Aku tidak percaya, tidak mungkin anakku melakukan perbuatan itu. Kau yang
bohong!" kembali Hui Kauw berteriak.
“Mulut bisa
bohong, akan tetapi mata tidak! Dan mataku melihat sendiri kejadian itu, dan
mataku tidak buta seperti mata Kun Hong! Hanya mata buta yang tidak mau melihat
kebiadaban putera sendiri dan melindunginya!"
"Keparat,
tak sudi aku menerima penghinaanmu ini!"
Hui Kauw
yang sekarang menerjang maju dengan pedangnya. Kong Bu mendengus dan menangkis,
kemudian kedua orang ini kembali sudah bertanding dengan seru. Ada pun Kwa Kun
Hong berdiri termangu-mangu setelah mendengar penjelasan Kong Bu. Mana mungkin
ada kejadian semacam itu? Swan Bu melakukan perbuatan terkutuk terhadap Lee Si?
Apakah mungkin puteranya itu sedemikian hebatnya dikuasai nafsu sehingga
membuatnya seperti gila? Agaknya tidak mungkin.
la tahu
bahwa puteranya itu memiliki dasar watak yang amat keras dan tidak mau kalah,
akan tetapi cukup dia dasari gemblengan batin yang membentuk watak satria,
pantang akan perbuatan-perbuatan maksiat, apa lagi perbuatan terkutuk seperti
itu. Tentu fitnah!
la cukup
mengenal pula watak Kong Bu yang keras serta jujur, tegak seperti baja yang
sukar ditekuk, sehingga tidak mungkin pula seorang seperti Kong Bu ini
membohong dan mengada-ada. Pemecahan satu-satunya menghadapi dua ketidak
mungkinan hanyalah hasut atau fitnah. Agaknya ada fitnah terselip dalam urusan
ini. Suara beradunya pedang dan lengking tinggi dari mulut Kong Bu
menyadarkannya. Kun Hong merasa khawatir sekali. Dari gerakan yang terdengar
oleh telinganya, tahulah dia bahwa pertandingan itu akan dapat menjadi hebat
sekali dan mati-matian karena tingkat mereka berimbang dan pertandingan
dilakukan dengan penuh hawa amarah oleh kedua pihak. Kalau dia tidak segera
turun tangan, tentu seorang di antara mereka akan tewas atau setidaknya akan
terluka parah.
"Kalian
berhentilah!" Kembali dia menengahi dan karena maklum betapa keduanya tak
boleh dipandang ringan, begitu ‘masuk’ Kun Hong menggunakan gerakan yang ampuh.
Tongkatnya
berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang membikin mati gerakan Kong Bu,
sedangkan tangan kirinya berhasil mendorong pundak isterinya sehingga nyonya
itu terhuyung ke belakang.
Biar pun
hatinya penasaran, namun Hui Kauw yang sudah hafal akan watak suaminya, tahu
apa yang dikehendaki suaminya ini. Maka dia hanya berdiri mengepal tinju kiri
dan melintangkan pedang di depan dada, tidak mau maju lagi.
Akan tetapi
Kong Bu tidak mau mundur sama sekali. Bahkan di dalam kemarahannya,
pertimbangannya menjadi miring dan dia mengira bahwa Pendekar Buta ini takut
kalau isterinya kalah maka sekarang maju sendiri.
Memang
sebetulnyalah, orang yang tengah ditunggangi dan dipermainkan nafsu amarah,
pandang matanya menjadi gelap, pertimbangannya rusak dan yang disangkanya hanya
yang buruk-buruk saja. Oleh karena itu, sangat tidak baiklah kalau orang
dikuasai oleh hawa nafsu amarah, lebih baik lekas-lekas singkirkan musuh besar
pribadi ini dari dalam hati.
"Kun
Hong, kau atau aku yang menggeletak tak bernyawa di sini!" Seruan ini
disusul serangan dahsyat sekali.
Dalam
kemarahan dan kemaklumannya bahwa yang dihadapi kini adalah seorang yang
memiliki kesaktian hebat, Kong Bu telah menerjang sambil mengerahkan seluruh
tenaga serta memainkan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut yang dahulu dia warisi
dari mendiang kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun. Hebat bukan main terjangan Kong
Bu ini karena dipenuhi tenaga Yang-kang yang sangat kuat memancar keluar dari
gerakannya. Maka, sebatang pedangnya seakan-akan menjadi sebatang besi merah,
panas menyala-nyala!
"Ahhh,
saudaraku Kong Bu yang baik..." Hanya sampai di sini ucapan Kun Hong
karena Pendekar Buta ini harus cepat-cepat mengelak sambil memainkan
langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun sehingga dengan mudah dia mampu
menyelamatkan diri dari pedang Kong Bu yang berubah menjadi tangan-tangan maut
itu.
Kong Bu
penasaran bukan main. Setiap kali pedangnya menyambar, seakan-akan tubuh Kun
Hong mendahului gerakannya, berubah kedudukannya, tidak lagi berada di tempat
semula. Ataukah pedangnya yang selalu menyeleweng apa bila mendekati tubuh Kun
Hong? Tak mungkin dapat melakukan hal itu. Rasa penasaran merupakan bensin yang
menyiram api yang membakar dadanya, maka sambil mengeluarkan suara melengking
keras jago Min-san ini mendesak makin hebat.
Namun,
dengan ketenangannya yang luar biasa, Kun Hong dapat mengatasi keadaan. Langkah-langkah
ajaib yang dia lakukan sangat tepat dan teratur sehingga sinar pedang Kong Bu
tak pernah dapat menyentuhnya.
"Dengarlah,
Kong Bu sadarlah..., anak-anak kita tentu kena fitnah... percayalah, Swan Bu
tidak mungkin melakukan kebiadaban itu, mari kita selidiki baik-baik..."
Akan tetapi
tiba-tiba Kong Bu berseru keras. Selagi Kun Hong bicara tadi, Kong Bu telah
menerjangnya dengan nekat, pedang di tangan ketua Min-san-pai itu melakukan
tusukan maut dengan ujungnya digetarkan menjadi tujuh sinar!
Meski pun
Kun Hong menguasai Kim-thiauw-kun dan dapat menggerakkan tubuh secara ajaib
untuk mengelak setiap serangan, namun dia maklum bahwa jurus sakti seperti ini
yang menimbulkan getaran hawa pedang sedemikian dahsyatnya, tak mungkin
dielakkan lagi. la tidak suka bermusuhan dengan Kong Bu dan dapat menduga bahwa
orang keras hati ini telah makan fitnah.
Dia suka
mengalah, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menerima tusukan pedang yang tak
boleh dipandang ringan. Oleh karena itu, pada waktu berseru kaget tadi,
tongkatnya berkelebat menjadi sinar merah dan sekaligus tongkat itu telah
diputar berbentuk payung, menangkis pedang lawan sedangkan tangan kirinya
dengan pengerahan separuh tenaga didorongkan ke depan.
Jika saja
Kong Bu tidak sedang dikuasai kemarahan yang membuat dia buta dan lengah,
kiranya tidak akan mudah bagi Kun Hong untuk mengalahkannya dalam waktu
singkat, sungguh pun harus diakui bahwa tingkat kepandaian Kong Bu tidak
setinggi Kun Hong. Akan tetapi pada saat itu, Kong Bu sedang marah sekali,
begitu marahnya sehingga dia seperti orang nekat, hasrat hatinya hanya ingin
menyerang dan merobohkan lawan tanpa mempedulikan penjagaan tubuhnya sendiri.
Karena
inilah maka pedangnya terkena ‘libatan’ tongkat Kun Hong yang lihai, terlibat
dan terputar hingga pedangnya ikut pula terputar. Sebagai seorang gagah, Kong
Bu merasa pantang melepaskan pedang, malah dia memegang makin erat sehingga
tubuhnya yang terpelanting oleh hawa putaran yang amat kuat itu.
Pada saat
itulah dorongan tangan kiri Kun Hong yang kelihatan lambat itu tiba. Seketika
tubuh Kong Bu terjengkang ke belakang dan tubuh itu bergulingan sampai belasan
meter jauhnya!
"Ahhh...
maaf, saudara Kong Bu....,” Kun Hong memburu, tetapi tangan kirinya segera
dipegang oleh Hui Kauw yang menahannya.
Kong Bu
melompat bangun dengan nafas terengah-engah, dadanya serasa sesak dan kepalanya
pening. la tidak terluka, namun nanar dan maklumlah dia bahwa melanjutkan
dengan nekat hanya akan menghadapi kekalahan yang memalukan.
"Kun
Hong, kau lebih pandai dari pada aku. Akan tetapi kalau aku tidak dapat
membunuh anakmu yang biadab, aku tak akan mau berhenti berusaha. Tidak ada
tempat bagi aku dan dia di kolong langit!"
"Kong
Bu, tunggu...!" teriak Kun Hong, akan tetapi jago Min-san-pai itu sudah
melompat pergi dan lari cepat meninggalkan puncak itu.
"Biarkanlah
dia pergi. Orang berhati kaku dan mau menang sendiri itu," kata Hui Kauw
sambil memegang lengan suaminya.
Kun Hong
menarik nafas panjang. "Hui Kauw, kau lekas berbenah, bawa bekal yang kita
perlukan di perjalanan. Kita berangkat sekarang juga mencari Swan Bu dan
menyelidiki ke Kong-goan. Ingin sekali aku tahu apa sih yang terjadi di kuil
tua di kota Kong-goan itu?"
Begitulah,
pada malam itu juga suami isteri pendekar sakti ini berangkat meninggalkan
puncak Liong-thouw-san. Dan ini pulalah sebabnya mengapa ketika Yo Wan dan Lee
Si tiba di puncak Liong-thouw-san tempat ini sunyi tidak tampak seorang pun
manusia…..
***************
Swan Bu
terhuyung-huyung, baru beberapa puluh langkah pandang matanya gelap. Dia
berusaha menahan diri, tetapi kepalanya terlalu pening dan akhirnya dia jatuh
terguling. Dia merasa tubuhnya panas sekali, kepalanya berputaran, maka dia
meramkan kedua matanya.
"Siu
Bi... ah, Siu Bi... hemmm, apakah aku sudah gila? Kenapa Siu Bi saja yang
teringat dan terbayang?" Swan Bu bangkit dan duduk, beberapa kali dia
menampar kepalanya sendiri dan bibirnya berbisik-bisik, "Siu Bi... gadis
iblis itu, aku harus benci kepadanya... harus!" Akan tetapi rasa panas
membakar kepalanya dan dia roboh lagi, kini pingsan.
Tak jauh
dari tempat itu, Siu Bi berdiri terisak-isak. Dari jauh ia melihat Swan Bu
jatuh bangun, melihat pemuda itu terhuyung-huyung kemudian roboh, juga melihat
pemuda itu menggerak-gerakkan bibir akan tetapi dia tidak dapat mendengar
kata-katanya, melihat pemuda itu memukul kepalanya sendiri lalu terguling, tak
bergerak-gerak.
"Swan
Bu...!" Siu Bi menjerit kecil, hatinya serasa ditusuk-tusuk.
Dan ia lalu
lari menghampiri, menubruk dan berlutut di dekat tubuh yang tak bergerak. Air
matanya bercucuran membasahi muka Swan Bu yang kini menjadi merah sekali dan
panas. Ketika tangan Siu Bi menyentuh leher pemuda itu, gadis ini terkejut dan
menarik tangannya.
"Panas
sekali! Ahh, kau terserang demam..."
Sebagai
puteri angkat The Sun dan cucu murid Hek Lojin, serta biasa hidup di puncak
gunung yang sunyi sehingga sudah biasa menghadapi penyakit, Siu Bi maklum bahwa
demam panas ini adalah akibat dari luka di lengannya. Tanpa ragu-ragu lagi Siu
Bi lalu memondong tubuh Swan Bu yang pingsan itu, lalu dibawa lari dengan
maksud mencari tempat peristirahatan yang baik agar dia dapat merawatnya.
Entah
bagaimana, setelah ia berhasil membuntungi lengan kiri putera Pendekar Buta
ini, semua rasa benci lenyap dan timbullah rasa cinta kasih yang memang telah
bersemi di dalam hatinya. Siu Bi malah merasa sangat bersalah dan untuk menebus
kesalahannya terhadap Swan Bu, ia hendak merawatnya, kalau mungkin, untuk selamanya!
Malah ia bersedia menghabiskan permusuhannya dengan orang tua pemuda ini, asal
Swan Bu mau memaafkannya dan mau ia ‘rawat’ selamanya.
Tiba-tiba
saja telinganya mendengar suara gerakan dan alangkah kagetnya ketika ada
bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang gadis cantik
jelita yang ia kenal sebagai Cui Sian! Hanya satu kali Siu Bi bertemu dengan
puteri Raja Pedang ini, yaitu di Ching-coa-to, tetapi pertemuan yang sekali itu
cukup baginya untuk mengetahui bahwa puteri Raja Pedang itu amat tinggi
kepandaiannya.
Di lain
pihak, Cui Sian juga tercengang melihat Siu Bi. Tadinya dari belakang ia
melihat seorang wanita mempergunakan ilmu lari cepat yang tinggi berlari
mendukung seorang pria. Dia menjadi curiga dan mengejar, menyusul lalu menghadang
untuk melihat siapa mereka dan apa yang terjadi.
Maka dapat
dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal Siu Bi, gadis liar yang
bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya, gadis
liar yang menimbulkan cemburunya karena sikapnya terhadap Yo Wan. Akan tetapi
gadis ini pula yang telah menyelamatkan nyawanya ketika ia dikeroyok di
Ching-coa-to!
"Kau...?!"
Saking heran dan kagetnya Cui Sian menegur.
"Hemmm,
puteri Raja Pedang. Mau apa kau menghadangku?" balas Siu Bi ketus.
Pandang mata
Cui Sian menyelidiki lelaki yang sedang dipondong Siu Bi, terkejut melihat
lengan kiri yang buntung sebatas siku, ujungnya dibungkus dan masih terdapat
tanda darah dari luka yang baru.
"Ehh,
siapa dia?" tanyanya, penuh kecurigaan.
"Dia
siapa peduli apakah engkau? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu..."
"Aahhh...!"
Cui Sian melangkah maju selangkah, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar.
"Dia... dia... Swan Bu...! Bukankah dia Swan Bu...?"
Sudah kerap
kali ia bertemu dengan Swan Bu, akan tetapi yang terakhir kali adalah pada
waktu Swan Bu berusia empat lima belas tahun. Kalau sekarang tidak melihat
pemuda itu buntung lengan kirinya dan dipondong Siu Bi, agaknya ia akan
pangling juga. Karena lengannya buntung, sedangkan Siu Bi pernah menyatakan
hendak membuntungi lengan Pendekar Buta sekeluarga, dan pemuda yang buntung
lengannya ini wajahnya seperti Swan Bu, maka mudah baginya untuk menduga dan
hal ini membuat ia kaget dan ngeri.
Kebetulan
sekali pada saat itu Swan Bu tersadar, mengerang dan mengeluh, membuka matanya
dan tepat dia memandang Cui Sian. Agaknya dia dapat mengenal pula, karena
bibirnya berbisik perlahan, "...Bibi Guru..."
Kini hati
Cui Sian tidak ragu lagi. Memang dahulu Swan Bu disuruh menyebut ‘sukouw’ (bibi
guru) kepadanya karena Pendekar Buta tetap menganggap ayahnya sebagai guru.
Dengan suara lantang ia membentak,
"Dia
benar Swan Bu! Siapa membuntungi lengannya?" la tidak dapat bertanya
kepada Swan Bu karena pemuda itu sudah pingsan lagi.
Siu Bi
mendongkol sekali. Ia seorang gadis yang berwatak aneh luar biasa. Hatinya yang
keras bagai baja mentah itu agaknya hanya dapat dicairkan oleh kehalusan.
Menghadapi kekerasan, dia akan menjadi semakin keras. Suara Swan Bu menyebut
‘bibi guru’ dan perhatian Cui Sian terhadap pemuda itu, mendatangkan
kedongkolan hatinya.
"Kau
mau membelanya? Nah, terimalah keponakanmu ini!" teriaknya sambil melempar
tubuh Swan Bu ke arah Cui Sian.
Gadis
Thai-san-pai ini cepat-cepat menerima tubuh itu dan alangkah kagetnya ketika ia
mendapat kenyataan betapa tubuh itu panas sekali. Cepat ia menurunkan tubuh
Swan Bu dengan hati-hati ke bawah pohon yang teduh, kemudian memeriksanya.
Keadaan Swan
Bu tidak berbahaya, kecuali kalau darahnya keracunan oleh luka lengan buntung
itu. Maka dia lalu menotok beberapa jalan darah sambil mengerahkan sinkang
dengan tangan kiri yang ia tempelkan di punggungnya. Kemudian ia berdiri,
meloncat ke depan Siu Bi yang masih berdiri tegak dengan muka marah.
"Siu Bi,
siapa yang membuntungi lengannya?"
Siu Bi
mengedikkan kepala, membusungkan dada. "Aku! Dia anak Pendekar Buta musuh
besarku!" Meski mulutnya hanya berkata demikian, akan tetapi pandang
matanya seolah menantang, "Kau mau apa?"
Cui San
menenangkan hatinya yang menggelora, lalu bertanya, "Kau telah membuntungi
lengannya, mengapa dia kau dukung? Hendak kau bawa kemanakah dia?"
Tiba-tiba
wajah Siu Bi menjadi merah sekali, "dia... dia demam, aku harus
merawatnya... ehhh, kau cerewet amat, mau apa sih?"
Kemarahan
Cui Sian tidak sanggup ditahannya lagi. Sekali tangannya bergerak ia telah
mencabut Liong-cu-kiam. Pedang itu berkeredepan saking tajamnya dan diam-diam
Siu Bi bergidik. la cukup maklum akan kelihaian puteri Raja Pedang ini dan tahu
pula bahwa ia tak akan mampu menang melawannya. Akan tetapi untuk menjadi
takut, nanti dulu! Dengan hati penuh kemarahan ia juga siap bertempur
mati-matian.
"Siu
Bi, kau bocah iblis! Aku tahu bahwa pada dasarnya kau bukanlah orang jahat,
akan tetapi karena kau hidup di lingkungan iblis-iblis kejam, hatimu menjadi
kejam dan ganas. Manusia macam engkau ini perlu diberi hajaran!"
"Cerewet
kau!" bentak Siu Bi dan pedangnya menyambar-nyambar, merupakan sinar
hitam, disusul pukulan tangan kirinya yang ampuh, yaitu pukulan Hek-in-kang.
Cui Sian
cepat mengelak dari pukulan dan menangkis pedang lawan, kemudian dengan sama
hebatnya ia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh Siu Bi. Sebentar
saja kedua orang dara perkasa ini sudah bertanding dengan seru. Siu Bi
bertempur dengan nekat, mengerahkan semua kepandaian dan tenaganya hingga mau
tidak mau membuat Cui Sian menjadi kewalahan. Bila mana puteri Raja Pedang ini
menghendaki, dengan jurus-jurus mematikan dari ilmu pedangnya yang hebat,
agaknya ia akan dapat merobohkan lawannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Akan tetapi
Cui Sian adalah seorang gadis yang ingat budi. la pernah ditolong oleh Siu Bi
ketika terjadi pengeroyokan di Ching-coa-to, maka tiada niat di hatinya untuk
membunuh gadis liar itu. Dia hanya marah melihat Swan Bu dibuntungi lengannya
dan berusaha untuk menangkap gadis ini kemudian menyerahkan keputusan
hukumannya pada Swan Bu sendiri. Inilah yang membuat agak sulit ia menangkan
Siu Bi, sama sulitnya dengan menangkap seekor harimau hidup-hidup, tentu lebih
mudah membunuhnya.
Betapa pun
juga, Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam masih tetap merupakan raja di antara
sekalian ilmu pedang, sedangkan pedang di tangan Cui Sian juga merupakan pedang
pusaka yang amat ampuh karena Liong-cu-kiam adalah pedang kuno yang hebat.
Liong-cu-kiam ada sepasang, maka disebut Liong-cu-kiam (Sepasang Pedang Mustika
Naga) dan menjadi senjata suami isteri ketua Thai-san-pai. Yang panjang
dipegang Raja Pedang, yang pendek dipegang isterinya.
Akan tetapi
sekarang yang pendek berada di tangan puteri mereka, Cui Sian. Dengan pedang
ampuh ini di tangan sambil mainkan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam, lewat lima
puluh jurus, Siu Bi menjadi pening dan kabur pandang matanya. Apa lagi,
sebetulnya ia masih belum sembuh benar dari luka di dalam dadanya. Yang membuat
ia amat penasaran adalah cara Cui Sian bertempur. Puteri Raja Pedang itu
seolah-olah mempermainkannya, buktinya setiap kali pedang berkeredepan itu
sudah hampir mengenai tubuhnya, ditarik atau diselewengkan sehingga tidak
mengenai dirinya.
Dia sama sekali
tidak menduga bahwa Cui Sian melakukan itu dengan sengaja karena tak ingin
membunuhnya. Siu Bi malah mengira bahwa gadis Thai-san-pai itu memandang rendah
dan mempermainkannya. Hal ini membuatnya mendongkol dan marah sekali. Dia
sampai lupa akan luka di dalam dadanya dan mengerahkan Hek-in-kang sekuatnya
untuk menyerang. Sambil berteriak nyaring, tangan kirinya memukul dan uap hitam
pun menyambar.
Cui Sian
sangat kaget. Hebat sekali pukulan ini. Akan tetapi ia tidak mau kalah. Cepat
ia menggeser kaki ke kanan dan pukulan Hek-in-kang dengan tangan kiri Siu Bi
itu lalu ia gempur dengan tangan kiri terbuka sambil mengerahkan sinkang-nya.
"Dukkk!"
Siu Bi
mengeluarkan pekik dan tubuhnya terlempar ke belakang, roboh, pedangnya juga
terlepas dari tangan kanan. la merintih-rintih. Ada pun Cui Sian berseru kaget
karena ia merasa seakan-akan tangannya dimasuki hawa yang mengandung api sedang
ia sendiri terhuyung-huyung ke belakang. la terlampau memandang rendah
Hek-in-kang dan kalau saja sinkang di tubuhnya belum kuat benar, tentu ia pun
akan terluka hebat. Cepat gadis kosen ini menahan nafas dan menyalurkan sinkang
untuk memulihkan tenaga dan melindungi isi dadanya. Kemudian ia menghampiri Siu
Bi dan menotok jalan darah yang membuat Siu Bi lemas.
"Wanita
sial!" Siu Bi yang sudah tidak dapat menggerakkan kaki tangan itu memaki.
Dua matanya memandang dengan melotot. "Kau bunuhlah aku, aku tak takut
mampus. Hayo, kalau kau gagah, bunuh aku!"
"Cih,
perempuan iblis. Sudah selayaknya kau dibunuh atas perbuatan kejimu terhadap
Swan Bu. Akan tetapi, aku berhutang nyawa kepadamu, terpaksa sekarang kuampuni
kau..."
"Keparat,
siapa memberi hutang kepadamu? Siapa sudi menerima ampunanmu? Hayo, gunakan
pedangmu itu membunuhku, jangan banyak cerewet"
"Kau
yang cerewet!"
"Kau
cerewet, kau bawel, kau nenek-nenek bawel!" Siu Bi memaki-maki.
Akan tetapi
Cui Sian tidak mau pedulikan gadis galak itu lagi karena dia sudah sibuk
menghampiri dan memeriksa keadaan Swan Bu. Lega hatinya bahwa pemuda itu tidak
menderita luka-luka lain yang berbahaya kecuali lengannya yang buntung. Hatinya
ngeri juga ketika ia membuka lengan buntung yang dibalut itu dan melihat lengan
buntung sebatas siku. Darahnya sudah mulai kering, akan tetapi ujung yang
buntung itu agak membengkak.
Ini
berbahaya, pikirnya. Cepat ia mengeluarkan sebungkus obat dari saku baju
sebelah dalam. Dia menggunakan obat itu pada luka dan membalut luka dengan
sehelai sapu tangan bersih.
"...
jangan bunuh dia... Sukouw..."
Hati Cui
Sian tertegun. Apa maksud Swan Bu? Tidak boleh membunuh Siu Bi? Gadis itu sudah
membuntungi lengannya dan pemuda ini masih minta supaya dia jangan dibunuh?
Atau mungkinkah bukan Siu Bi yang dimaksudkan? Swan Bu sedang terserang demam
panas dan biasanya dalam keadaan begini, orang suka mengigau.
"Swan
Bu, siapa yang kau maksudkan? Jangan bunuh siapa?"
"Siu
Bi... di mana kau..., ahh, Siu Bi, sudah puaskah hatimu sekarang? Alangkah
cantik engkau... cantik, liar dan ganas..."
Cui Sian
merasa jantungnya tertusuk.
Ah, tidak
salah lagi, ada terselip sesuatu antara dua orang muda ini, pikirnya. Celaka,
Siu Bi gadis liar dari Go-bi-san itu tak hanya menimbulkan bencana karena
kekejiannya, akan tetapi juga karena kecantikannya. Teringat ia akan Yo Wan, dan
hatinya menjadi panas. Dia tahu bahwa Swan Bu dalam keadaan setengah sadar,
akan tetapi saking panasnya hati, ia menjawab,
"Jangan
pedulikan dia lagi, Swan Bu."
Akan tetapi
Swan Bu tentu saja tidak mendengar karena ia kembali mengigau perlahan, tubuhnya
panas sekali.
"Sian-moi...!"
Panggilan
ini mengagetkan Cui Sian. Cepat ia melompat sambil membalikkan tubuhnya.
Seketika wajahnya menjadi merah dan jantung di dadanya berdebar tidak karuan
ketika matanya mendapat kenyataan bahwa ia tadi tidak keliru mengenal suara
itu, suara Yo Wan!
Akan tetapi
kegembiraan hatinya itu ternoda kekecewaan ketika dilihatnya kedatangan pemuda
itu bersama seorang dara remaja yang cantik jelita.
"Yo-twako,
kebetulan kau datang...," katanya halus.
Akan tetapi
Yo Wan sudah melompat ke dekat Swan Bu, memandang dengan mata terbelalak.
"Dia ini... bukankah dia sute Kwa Swan Bu?"
Cui Sian
mengangguk dan Yo Wan sudah berlutut di dekat tubuh Swan Bu, memandang
lengannya yang buntung. Ada pun Lee Si begitu melihat lengan Swan Bu yang kiri
buntung, hampir saja ia terguling pingsan. Matanya serasa kabur, kepalanya
nanar, bumi yang dipijaknya serasa berputaran. Cepat ia menahan pekik yang
hendak meluncur dari mulutnya sehingga hanya terdengar seperti orang mengeluh
dan ia pun berlutut di dekat Yo Wan.
"Oh...
ahhh..." hanya inilah yang keluar dari mulutnya.
Sedangkan Yo
Wan cepat memeriksa tubuh Swan Bu. Seperti juga Cui Sian tadi, dia merasa lega
bahwa Swan Bu tidak menderita luka lain yang berbahaya.
"Sian-moi,
siapa yang membuntungi?" Ia menahan kata-katanya dan jantungnya serasa
berhenti berdetak ketika Yo Wan teringat akan Siu Bi. Siapa lagi kalau bukan
Siu Bi?
"Itulah
orangnya!" kata Cui Sian menuding ke arah Siu Bi yang rebah miring tak
jauh dari situ.
Dua orang
muda yang baru datang ini tadi tidak melihat Siu Bi dan sekarang mereka
menoleh. Lee Si sudah meloncat sambil mengeluarkan seruan marah. Sedangkan Yo
Wan hanya memandang dengan muka berubah agak pucat. Dengan kemarahan
meluap-luap Lee Si menyambar tubuh Siu Bi, dijambak rambutnya dan ditariknya
berdiri.
"Plak-plak!"
Dua kali
tangan kirinya menampar, dan tanda jari-jari merah menghias kedua pipi Siu Bi
yang tersenyum-senyum mengejek.
"Hi-hik-hik,
perempuan tak tahu malu. Beraninya kalau aku sudah tidak berdaya. Hayo bebaskan
totokan ini dan lawan aku secara orang gagah!"
Akan tetapi
Lee Si tidak mempedulikan omongannya, malah dia menarik lepas rambut kepala Siu
Bi dan menggantungkan Siu Bi pada cabang pohon, mengikatkan rambutnya yang panjang
pada cabang pohon itu. Cabang itu rendah saja sehingga kedua kaki Siu Bi
tergantung hanya belasan senti meter dari tanah.
"Siapakah
gadis itu?" Cui Sian bertanya kepada Yo Wan yang masih saja memandang
dengan mata terbelalak dan muka agak pucat.
"Dia
Lee Si, puteri kakakmu Tan Kong Bu...," jawab Yo Wan, suaranya menggetar
dan lemah.
Karena
keadaan tegang, Cui Sian tidak memperhatikan hal ini dan ia pun memandang.
Kiranya gadis remaja itu adalah keponakannya sendiri!
"Iblis
betina jahat! Hayo kau ceritakan mengenai fitnah keji yang kalian rencanakan,
tipu muslihat rendah yang kalian jalankan untuk merusak nama baik Swan Bu dan
aku!"
"Tipu
muslihat yang mana? Berlaku galak terhadapku setelah aku berada dalam keadaan
tertotok, barulah dapat disebut tipu muslihat! Aku tidak biasa melakukan fitnah
dan tipu muslihat!" Siu Bi menjawab seenaknya, sepasang matanya yang
bening itu memandang penuh ejekan kepada Lee Si.
"Plak!
Plak!" kembali tangan Lee Si menampar kedua pipi Siu Bi.
"Kalau
kau tidak mau mengaku, akan kusiksa sampai mampus!" Lee Si melompat dan
mematahkan sebatang ranting pohon. "Hayo kau mengakulah bahwa Ang-hwa-pai
telah mengatur siasat untuk mengelabui mata ayahku agar ayahku mengira Swan Bu
dan aku sudah melakukan perbuatan hina!"
"Hi-hi-hik,
kaulah yang ingin melakukan perbuatan hina. Swan Bu mana mau? Hi-hi-hik, tak
tahu malu!" kembali Siu Bi mengejek, diam-diam hatinya panas dan penuh
cemburu.
la mencinta
Swan Bu, mencinta dengan seluruh jiwa raganya, hal ini amat terasa olehnya
setelah ia membuntungi lengan pemuda itu. Karena itu, teringat bahwa gadis ini
pernah berdekatan dengan Swan Bu, hatinya penuh cemburu.
Mendengar
ejekan Siu Bi, Lee Si benar-benar makin marah. Ranting pohon di tangannya
lantas menyambar dan mencambuki muka, leher dan tubuh Siu Bi yang tetap
tersenyum-senyum dan memaki-maki. Biar pun dalam keadaan marah, Lee Si masih
teringat untuk menahan diri sehingga pukulan-pukulannya dengan ranting pohon
itu tidak akan sampai menewaskan Siu Bi.
"Apakah
yang dia maksudkan?" kembali terdengar Cui Sian bertanya kepada Yo Wan.
Yo Wan
menarik nafas panjang. Hatinya tidak karuan rasanya melihat keadaan Siu Bi
demikian itu. Akan tetapi kalau teringat betapa lengan Swan Bu dibuntungi, dia
sendiri pun menjadi sakit hati dan marah.
Maka biar
pun di lubuk hatinya dia merasa tidak tega melihat Siu Bi dicambuki seperti
itu, namun dia tidak mau mencegah Lee Si. la pun maklum akan keadaan perasaan
hati Lee Si yang penuh dendam karena merasa pernah dihina dan dipermainkan
Ang-hwa-pai, di mana Siu Bi juga menjadi anak buah atau kawan.
"Lee Si
bersama Swan Bu pernah tertawan oleh Ang-hwa-pai yang menotok mereka dan
menggunakan mereka untuk mengadu domba." Dengan singkat dia lalu
menuturkan apa yang dia dengar dari Lee Si dan muka Cui Sian menjadi merah
sekali.
"Hemmm,
keji sekali. Gadis liar ini memang patut dihajar. Kalau saja aku tidak ingat
dia dahulu pernah menolongku, tadi pun aku sudah membunuhnya. Sekarang Lee Si
yang memuaskan dendamnya, biarlah."
Mereka
berhenti bicara dan kembali memperhatikan Lee Si yang masih memaksa Siu Bi
mengakui tipu muslihat keji dari Ang-hwa-pai. Muka dan leher Siu Bi telah penuh
dengan jalur-jalur merah bekas sabetan, juga bajunya sudah robek sana-sini dan
kulit tubuhnya matang biru.
"Kau
masih tak mau mengaku? Keparat, apakah kau benar-benar ingin mampus?" Lee
Si membanting ranting pohon yang sudah setengah hancur, lalu menginjak-injak
ranting ini.
Sebagai
puteri dari ayah bunda yang keras hati, tentu saja Lee Si memiliki dasar watak
berangasan dan keras pula, walau pun gemblengan ayah bundanya membuat ia jarang
sekali meluapkan kekerasannya dan menutupinya dengan sikap yang tenang, sabar
dan halus budi.
Tiba-tiba
Siu Bi tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening, sangat mengejutkan dan
mengherankan hati Cui Sian serta Yo Wan. Dua orang ini diam-diam harus
mengagumi ketabahan gadis liar itu, yang dalam keadaan tertawan dan tersiksa
masih dapat tertawa seperti itu, tanda dari hati yang benar-benar tabah dan
tidak kenal takut.
"Hi-hi-hik-hik,
Lee Si, kau sungguh lucu! Kau tahu bukan aku orangnya yang melakukan segala
tipu muslihat curang, akan tetapi kau terus memaksa-maksa aku mengaku. Apa kau
kira aku tidak mengerti isi hatimu yang tak tahu malu? Hi-hi-hik, kau
marah-marah dan benci kepadaku karena aku membuntungi lengan Swan Bu, betul
tidak? Ihhh, tak usah kau pura-pura membelanya, kau bisa dekat dengannya hanya
karena diusahakan orang. Tetapi dia cinta padaku, dengarkah kau? Dia cinta
padaku, ahhh... dan aku cinta padanya..." Suara ketawa tadi kini terganti
isak tertahan.
Wajah Lee Si
sebentar pucat sebentar merah. Mendadak dia mencabut pedangnya dan membentak,
"Perempuan rendah, perempuan hina, kau memang harus mampus!" lantas
pedangnya diangkat dan dibacokkan ke arah leher Siu Bi.
"Tranggg...!"
Lee Si
menjerit dan cepat meloncat ke kiri karena pedangnya telah tertangkis dan
hampir saja terlepas dari tangannya. la memandang heran kepada Yo Wan dan
sempat melihat pemuda itu menyimpan pedang dengan gerakan yang luar biasa
cepatnya, hampir tidak tampak.
"Yo-twako...
kenapa kau...?”
"Adik
Lee Si, sabarlah. Tidak baik membunuh lawan dengan darah dingin secara begitu,
apa lagi dia sudah tertawan dan tadi kau sudah lepaskan amarahmu kepadanya. Siu
Bi, kau tutuplah mulutmu, jangan menghina orang."
"Hi-hi-hik,
kau Jaka Lola, Yo Wan yang berhati lemah. Alangkah lucunya! Setiap bertemu
gadis cantik kau menjadi pelindung, laki-laki macam apa kau? Hayo kau bunuh aku
kalau memang jantan!"
Yo Wan
menggeleng-geleng kepalanya. "Sayang kau terjerumus begini dalam, Siu Bi,
sungguh sayang...! Aku takkan membunuhmu, kau boleh pergi dan jangan mengganggu
kami lagi..." Yo Wan melangkah maju, tangannya meraih hendak membebaskan
Siu Bi dari cabang pohon.
"Yo-twako,
tahan dulu...!" Tiba-tiba Cui Sian melangkah mendekat. "Apakah kau
hendak membebaskannya begitu saja? Itu tidak adil namanya!"
Yo Wan
menoleh dan alangkah herannya melihat sinar mata gadis cantik ini luar biasa
tajam menentangnya, seolah-olah sinar mata itu mengandung hawa amarah
kepadanya. la benar-benar tidak mengerti, dengan pandang matanya dia berusaha
menyelidik isi hati Cui Sian dan tiba-tiba wajah Yo Wan berseri.
Mungkinkah
ini? Mungkinkah Cui Sian merasa cemburu kepada Siu Bi? Ahh, alangkah sulit
dipercaya. Tak mungkin matahari terbit dari barat, tak mungkin puteri Raja
Pedang... cemburu dan marah melihat dia membebaskan Siu Bi yang dapat dianggap
tanda cinta kasih.
Sepasang
pipi halus itu tiba menjadi merah. Cui Sian nampak gugup ketika melanjutkan
kata-katanya setelah beradu pandang tadi. "Dia... dia telah membuntungi
lengan tangan Swan Bu! Sebaiknya kita serahkan kepada Swan Bu sendiri bagaimana
keputusannya terhadap gadis liar itu. Bukankah kau pikir begitu seadilnya,
Twako?"
Yo Wan
mengangguk-angguk, mengerutkan alisnya yang hitam. "Betapa pun juga, kalau
Sute kehilangan lengannya dalam sebuah pertempuran, aku akan menasehatinya agar
jangan dia membalas secara begini. Bukan perbuatan gagah."
Terdengar
Swan Bu mengerang dan mereka bertiga segera menghampiri pemuda itu. Girang hati
mereka karena kini tubuh Swan Bu tidak begitu panas lagi dan pemuda itu sudah
siuman, menyeringai kesakitan ketika menggunakan lengan kiri untuk menunjang
tubuhnya.
"Auhhh...
hemmm, bibi Cui Sian, dan..." wajahnya menjadi merah sekali. "...dan
kau, Lee Si Moi-moi..." la tertegun menatap wajah Yo Wan yang berdiri dan
tersenyum kepadanya. Sampai lama mereka berpandangan, kemudian Swan Bu melompat
berdiri.
"Kau...
kau...?"
Yo Wan
mengangguk-angguk dan tersenyum, hatinya terharu. "Sute..."
"Kau Yo
Wan... ehh, Yo-suheng!" Dan keduanya berangkulan.
Pada waktu
mereka berangkulan itu, Swan Bu langsung melihat ke arah Siu Bi yang tergantung
di cabang pohon, yang kebetulan berada di sebelah belakang Yo Wan.
"Ehh...
dia... dia kenapa...?" berkata gagap sambil merenggut diri dari rangkulan
Yo Wan.
"Aku
tadi telah menangkapnya, Swan Bu, dan kami menanti keputusanmu. Setelah dia
membuntungi lenganmu dan dia sekarang sudah tertawan, apa yang akan kita
lakukan kepadanya?" kata Cui Sian.
Swan Bu
melangkah maju tiga tindak seperti gerakan orang linglung, matanya menatap
tajam kepada Siu Bi. Tanpa bertanya dia maklum apa yang telah terjadi, melihat
muka dan leher gadis itu penuh dengan jalur-jalur merah, rambutnya terlepas dan
diikatkan di cabang pohon, pakaiannya robek-robek bekas cambukan.
Hatinya
trenyuh, ingin dia lari memeluknya, cinta kasihnya tercurah penuh kepada gadis
itu. Akan tetapi dia teringat akan kehadiran Lee Si, Cui Sian, dan juga Yo Wan.
Suatu ketidak mungkinan besar bila dia memperlihatkan cinta kasih kepada gadis
musuh besar yang baru saja membuntungi lengannya! Tak mungkin!
"Swan
Bu," kata Cui Sian melihat sikap pemuda itu seperti orang linglung yang ia
kira tentu karena demam, ”katakan, apa yang harus kita lakukan terhadapnya?
Lenganmu ia bikin buntung secara bagaimana? Kalau dia berlaku curang,
sepatutnya bila ia dihukum dan..."
"Tidak,
Bibi, bebaskan dia! Aku terbuntung dalam pertempuran. Bebaskan dia, aku tidak
ingin melihatnya lebih lama lagi!"
Yo Wan yang
memang mengharapkan Siu Bi dibebaskan, segera bergerak dan dalam waktu beberapa
detik saja, rambut itu sudah terlepas dari cabang, dan jalan darah Siu Bi sudah
normal kembali.
Siu Bi
membiarkan rambutnya terurai, dan berdiri seperti patung, menatap wajah Swan
Bu. Air matanya menitik turun berbutir-butir, tapi bibirnya tersenyum,
"Swan Bu, selamanya aku akan menantimu..." Setelah berkata demikian,
gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu,
tidak lupa menyambar pedang Cui-beng-kiam yang menggeletak di situ.
"Ahhh...!"
Swan Bu mengeluh dan dia tentu akan terguling kalau saja Cui Sian tidak cepat
menangkapnya. Ternyata Swan Bu sudah pingsan kembali!
Cui Sian dan
Lee Si mengira bahwa keadaan pemuda ini karena demam dan lukanya. Akan tetapi
diam-diam Yo Wan mengeluh dalam hatinya. Dia dapat menduga sedalam-dalamnya.
Tidak mungkin seorang gadis seperti Siu Bi dapat mengalahkan Swan Bu dalam
sebuah pertempuran, apa lagi membuntungi lengannya. Akan tetapi, Swan Bu
sengaja mengaku bahwa lengannya buntung dalam pertempuran! Ini saja sudah
membuka rahasia bahwa Swan Bu jatuh cinta kepada Siu Bi.
"Hemmm,
seyogyanya gadis liar seperti itu tidak boleh dibebaskan...," Cui Sian
berkata sambil menidurkan Swan Bu ke atas tanah.
"Sian-moi,
tadi kau dengar sendiri Swan Bu menghendaki demikian dan kurasa sekarang yang
terpenting bukan hal itu. Aku dan adik Lee Si sudah naik ke Liong-thouw-san,
akan tetapi suhu dan subo ternyata tidak berada di sana, agaknya baru beberapa
hari pergi meninggalkan puncak, tidak tahu ke mana mereka itu pergi. Urusan
yang menyangkut nama baik adik Lee Si dan sute bukan hal main-main, kurasa
kemarahan Tan Kong Bu Lo-enghiong takkan mudah dipadamkan jika tak ada bukti
yang membuka rahasia fitnah dan tipu muslihat kaum Ang-hwa-pai. Karena itu,
harap Sian-moi suka merawat Swan Bu dan sekarang juga aku akan mengantarkan
adik Lee Si ke Kong-goan, hendak kucoba mencari Ang-hwa Nio-nio dan menundukkannya,
memaksanya untuk membuka rahasia itu, jika mungkin di depan Tan-loenghiong
sendiri, atau setidaknya di depan orang-orang tua kita."
Cui Sian
mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang
melengkung indah. "Aku tahu watak Kong Bu koko sangat keras. Kata ayah
seperti baja. Akan tetapi dia juga tidak dapat disalahkan jika sekarang
marah-marah karena apa yang dilihatnya memang merupakan penghinaan yang tiada
taranya bagi seorang gagah."
"Itulah
yang amat menggelisahkan hatiku, Bibi." kata Lee Si. "Pada waktu itu
aku berada dalam keadaan tertotok, tak dapat bergerak, sudah kucoba memanggil
ayah, akan tetapi dia terlalu marah dan musuh yang menjalankan tipu muslihat
terlampau pandai. Memang nasibku yang buruk..."
Lee Si
menangis dan tak seorang pun tahu bahwa tangisnya ini sebagian besar karena
menyaksikan sikap Siu Bi tadi. Terutama sekali karena Swan Bu malah membebaskan
dan seakan-akan mengampuni gadis yang telah membuntungi lengannya!
"Sudah,
tenanglah, Lee Si. Dengan didampingi twako yang akan mengurus penjernihan
persoalan ini, kurasa segalanya akan berhasil baik."
"Sian-moi,
kau lebih mengerti mengenai pengobatan dari pada aku, kalau tidak demikian
agaknya akulah yang seharusnya merawat sute dan kau menemani adik Lee Si. Akan
tetapi sungguh aku tidak mengerti bagaimana harus merawatnya sampai sembuh,
kalau salah perawatan bisa berbahaya..."
"Tidak
apa, Yo-twako. Sudah sepatutnya aku merawat Swan Bu. Kau berangkatlah."
Yo Wan
sebetulnya merasa berat untuk segera berpisah setelah pertemuan yang tidak
terduga-duga ini. Akan tetapi tugas lebih penting dari pada perasaan pribadi,
maka dia pun lalu berangkatlah bersama Lee Si. Dengan gadis ini di sampingnya,
tentu saja perjalanan tak dapat dilakukan secepat bila dia pergi seorang diri.
Baiknya Lee Si bukan gadis lemah, dan ilmu lari cepatnya boleh juga sehingga
tidaklah akan terlalu lambat.
Tidak
demikian dengan Cui Sian. Setelah Swan Bu siuman kembali, ia segera mengajak
pemuda ini melakukan perjalanan perlahan dan lambat, mencari sebuah dusun atau
kota di mana mereka akan dapat beristirahat dan ia dapat mencarikan ramuan obat
untuk pemuda itu.
Swan Bu
jarang bicara, kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan Cui Sian. Pemuda ini
kelihatan termenung, akan tetapi sama sekali tidak memikirkan lengannya yang
buntung. Untuk kedua kalinya, Cui Sian mendengar cerita seperti yang ia dengar
dari penuturan Yo Wan, yaitu tentang tipu muslihat dan fitnah yang dilakukan
oleh Ang-hwa-pai di kota Kong-goan.
"Kong
Bu koko tentu marah sekali. Dia terlalu polos untuk dapat menduga bahwa semua
itu hanya fitnah yang sengaja diatur dan direncanakan oleh musuh." Cui
Sian menarik nafas panjang.
Mereka
bercakap-cakap sambil berjalan perlahan-lahan, keluar dari dalam hutan setelah
melakukan perjalanan sepekan lamanya. Selama itu, mereka hanya melalui gunung
dan hutan, tidak pernah melihat dusun. Atas kehendak Swan Bu, walau pun lambat,
mereka melakukan perjalanan menuju ke Kong-goan menyusul Yo Wan dan Lee Si.
"Itulah
yang menggelisahkan hatlku, Sukouw. Paman Kong Bu pasti akan marah sekali, dan
mendengar suaranya pada saat itu, aku yakin bahwa dia tidak akan ragu-ragu
untuk melaksanakan ancamannya, yaitu membunuhku. Kalau sampai aku bertemu
dengan dia dan paman Kong Bu bersikeras hendak membunuhku, bagaimana aku berani
melawan dia? Aku cukup maklum betapa pedihnya urusan ini baginya... dan aku
tidak tahu bagai mana harus mengatasinya."
“Jangan khawatir.
Kurasa betul Yo-twako, bahwa jalan satu-satunya hanya memaksa mereka yang
melakukan fitnah untuk mengaku di depan Kong Bu koko, dan aku percaya betul
Yo-twako akan dapat membereskan hal ini."
Biar pun
keadaannya seperti itu, diam-diam Swan Bu tersenyum dan mengerling ke arah
wajah gadis di sampingnya itu. "Sukouw, hebat betulkah kepandaian
Yo-suheng? Dulu ketika aku masih kecil, dia sudah amat hebat akan tetapi jika
aku ingat betapa dulu aku pernah memanahnya, ahhh... dan sekarang dia mati-matian
hendak membela namaku, sungguh aku merasa malu!"
"Kau...
memanahnya?"
Swan Bu
tersenyum masam. "Aku masih kanak-kanak dan sangat manja, kurasa tidak ada
orang yang dapat melawanku ketika itu."
la lalu
menceritakan kejadian pada waktu dia masih anak-anak dan dengan orang tuanya
berada di puncak Hoa-san. Lalu datang ketua Sin-tung Kaipang yang hendak
mencari perkara, dan muncullah Yo Wan yang biar pun sudah terpanah pundaknya
oleh Swan Bu, namun masih berhasil mengusir semua musuh.
Cui Sian
kagum bukan main dan semakin besarlah perasaan mesra terhadap Yo Wan bersemi di
hatinya.
"Hebat
dia," katanya tanpa menyembunyikan perasaannya, "dan dia sama sekali
tidak marah ketika itu! Sekarang pun dia sama sekali tidak menaruh dendam,
malah berusaha untuk membersihkan namamu. Swan Bu, aku percaya, seorang gagah
seperti dia pasti akan mampu membereskan urusanmu ini."
"Mudah-mudahan,
Sukouw. Akan tetapi, apakah paman Kong Bu mau menerima begitu saja, entahlah.
Keadaan adik Lee Si ketika itu memang... memang... ahhh, kasihan dia, tentu
saja sebagai seorang gadis terhormat ia merasa amat terhina."
Cui Sian
termenung, lalu tiba-tiba ia berkata, "Memang sukar menghapus luka itu,
baik dari hati Lee Si mau pun dan hati Kong Bu koko, kehormatan mereka
tersinggung hebat dan kiranya hanya ada satu jalan untuk menebusnya Swan
Bu."
"Jalan
apakah itu, Sukouw?"
"Tiada
lain, kau menikah dengan Lee Si!"
Wajah pemuda
itu seketika menjadi merah sekali, dan dia kaget bukan main.
"Tidak...
tidak mungkin..."
Cui Sian
sudah berhenti melangkah dan sekarang mereka berdiri berhadapan. Swan Bu
menundukkan mukanya.
"Swan
Bu, aku tahu bahwa kau mencinta Siu Bi, bukan?" Suaranya amat tajam,
seperti juga pandang matanya.
Swan Bu
mengangkat muka, tak tahan melihat pandang mata tajam penuh selidik itu dan dia
menunduk kembali, hatinya risau. Ingin mulutnya membantah, akan tetapi tak
dapat dia mengeluarkan kata-kata karena tahu bahwa apa bila dia memaksa bicara,
suaranya akan sumbang dan gemetar, juga akan bohong, tidak sesuai dengan suara
hatinya.
"Swan
Bu, aku tak akan menyalahkan orang mencinta, sungguh pun harus diakui bahwa
cintamu tidak mendapatkan sasaran yang benar kalau kau memilih Siu Bi. Dia
seorang gadis liar yang rusak oleh pendidikan keliru, dan dia sudah membuntungi
lenganmu!"
Dengan suara
datar dan lirih Swan Bu berkata, "Dia hanya memenuhi sumpahnya untuk
membalas dendam kakeknya."
Cui San
menarik nafas panjang. "Betapa pun juga, dunia kang-ouw akan mentertawakan
engkau kalau kau memilih Siu Bi, dan hal ini akan berarti merendahkan derajat
orang tuamu. Dengan mengawini Lee Si, tidak saja kekeluargaan akan menjadi
semakin erat, juga kau membersihkan nama Kong Bu koko, orang tuamu tentu
bangga, orang tua Lee Si bangga, dan segalanya berjalan baik serta semua orang
menjadi puas. Swan Bu, seorang satria sanggup mengorbankan apa saja demi untuk
kehormatan keluarga dan demi membahagiakan semua orang. Lee Si adalah seorang
dara yang cantik jelita, dan kiraku tidak kalah oleh Siu Bi, juga dalam ilmu
kepandaian, kurasa tidak kalah jauh. Aku bersedia menjadi perantara karena aku
adalah bibi dari Lee Si."
Swan Bu
terdesak hebat oleh kata-kata Cui Sian yang memang tepat. "Baiklah hal itu
kita bicarakan lagi kelak, Sukouw. Kalau memang tak ada jalan lain, aku tidak
merasa terlalu tinggi untuk menjadi suaminya, apa lagi... apa lagi melihat
lenganku yang telah buntung. Apakah adik Lee Si tidak jijik melihat seorang
yang cacad seperti aku?"
Sebelum Cui
Sian sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi. Suara itu
terdengar lapat-lapat dari tempat jauh.
"Ada
pertempuran di sana!" kata Cui Sian. "Biar kulihat!" la segera
melesat dengan cepat sekali, berlari ke arah suara tadi.
Swan Bu yang
sudah agak mendingan, berlari mengejar. Akan tetapi karena dia belum berani
mengerahkan ginkang, dia berlari biasa dan tertinggal jauh. Suara melengking
tadi sudah tak terdengar lagi, maka Swan Bu hanya berlari ke arah menghilangnya
bayangan Cui Sian yang memasuki sebuah hutan kecil.
Beberapa
menit kemudian, dia tiba di sebuah lapangan rumput dan alangkah kagetnya ketika
dia melihat Cui Sian berlutut sambil menangisi tubuh seorang laki-laki yang
rebah tak bergerak, sebatang pedang terhujam di dadanya sampai tiga perempat
bagian. Jelas bahwa laki-laki itu sudah tewas, terlentang dan mukanya tertutup
tubuh Cui Sian yang berguncang-guncang menangis. Hati Swan Bu berdebar tidak
karuan, dia mempercepat larinya mendekati.
"Paman
Kong Bu...!" Swan Bu berseru keras dan cepat menjatuhkan diri berlutut di
dekat Cui Sian. "Sukouw, apa yang terjadi...?"
Dengan suara
mengandung isak, Cui Sian menjawab, "Aku tidak tahu... tadi aku datang
terlambat, dia sudah menggeletak seperti ini... tidak tampak orang lain... ah,
koko... tidak dinyana begini nasibmu..."
Tiba-tiba
Swan Bu menjerit kemudian melompat bangun. Cui Sian kaget dan cepat-cepat
memandang. la melihat pemuda itu berdiri dengan muka pucat, mata terbelalak
lebar dan tangan kanannya menutupi depan mulut, akan tetapi tetap saja mulutnya
mengeluarkan kata-kata terputus-putus, "... tak mungkin ini... tak
mungkin... pedang... Kim-seng-kiam..."
Cui Sian
mengerutkan kening dan memandang ke arah pedang yang menancap di dada kakaknya.
Pada gagang pedang itu tampak ukiran sebuah bintang emas, agaknya sebab itulah
maka namanya Kim-seng-kiam (Pedang Bintang Emas).
"Swan
Bu, kau mengenal pedang itu, pedang siapakah?" tanyanya, suaranya kereng
dan sekarang tangisnya sudah terusir pergi, yang ada hanya kepahitan dan rasa
penasaran terbungkus kemarahan.
"Kim-seng-kiam...
pedang ibuku..., tapi tak mungkin ibu..."
Dagu yang
manis runcing itu mengeras, sepasang mata bintang itu mengeluarkan sinar
berapi. "Hemm, hemm, apanya tidak mungkin? Kakakku menemui ayah bundamu,
minta pertanggungan jawab, salah paham dan bercekcok terus bertanding, kakakku
mana bisa menangkan ayah bundamu? Hemmm, hemmm betapa pun juga, aku adiknya
hendak mencoba-coba, mereka tentu belum pergi jauh!” Setelah berkata demikian,
Cui Sian lalu berkelebat pergi sambil menghunus pedangnya.
"Sukouw...!"
Akan tetapi Cui Sian tidak menjawab.
"Sukouw,
tunggu dulu! Tak mungkin ibu..." Akan tetapi kini Cui Sian sudah lenyap
dari pandang matanya.
Swan Bu
sendiri dengan hati berdebar-debar terpaksa harus mengaku bahwa dia sendiri
kini merasa ragu-ragu, apakah benar ibunya tidak mungkin melakukan pembunuhan
ini? Ibunya penyabar, akan tetapi jika paman Kong Bu memaki-maki sesuai dengan
wataknya yang keras dan kasar, tentu ibunya akan marah pula, mereka bertempur
memperebutkan kebenaran anak masing-masing dan... ahhh, mungkin saja berakibat
begini.
"Ah,
paman Kong Bu, mengapa begini...?" la memeluk tubuh yang sudah menjadi
mayat itu dan menangis saking bingungnya.
Kemudian,
sambil menekan kedukaan hati, Swan Bu mengerahkan seluruh tenaganya, sedapatnya
dia menggali lubang mempergunakan pedang Kim-seng-kiam yang ia cabut dari dada
jenazah pamannya. Kemudian, sesudah bekerja setengah hari dengan susah payah,
dia berhasil mengubur jenazah itu yang dia beri tanda tiga buah batu besar di
depannya. Dan akhirnya, dengan tubuh lelah dan hati hancur, pemuda ini menyeret
kedua kakinya berjalan terhuyung-huyung. Pedang Kim-seng-kiam masih di
tangannya.
Kwa Kun Hong
dan isterinya, Kwee Hui Kauw, menuruni Liong-thouw-san dengan hati gelisah.
Mereka melakukan perjalanan cepat, akan tetapi karena perjalanan itu amat jauh
dan mereka di sepanjang jalan mencari keterangan tentang putera mereka, maka
lama juga baru mereka sampai di luar kota Kong-goan. Kota itu kira-kira berada
dalam jarak lima puluh li lagi saja, dan karena hari amat panas, maka keduanya
beristirahat dalam hutan pohon liu yang indah dan sejuk hawanya. Kun Hong
bersandar pada sebatang pohon. Hatinya yang risau oleh urusan puteranya itu dia
tekan dengan duduk bersiulian menghilangkan segala macam pikiran keruh.
Hui Kauw tak
pernah dapat melupakan puteranya semenjak mereka turun gunung, dan pada saat
itu ia pun duduk termenung dalam bayangan pohon. Tiba-tiba ia bangkit berdiri
dan memandang ke depan. Dari depan ada orang datang, seorang wanita muda yang
jalannya terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Hui Kauw tertarik sekali. Ia
menahan seruannya ketika melihat gadis itu terguling! Cepat Hui Kauw
melompat-lompat ke arah gadis itu dan kembali ia menahan seruannya.
Gadis ini
masih muda, lagi cantik jelita. Akan tetapi muka dan lehernya penuh jalur-jalur
bekas cambukan, pakaiannya banyak yang robek, juga bekas terkena cambuk.
Agaknya gadis ini baru saja mengalami siksaan.
"Kasihan..."
Hui Kauw berkata.
Tanpa
ragu-ragu dia lalu memondong tubuh itu dan membawanya kembali ke tempat semula.
Dia dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang lemah, terbukti dari sebatang
pedang yang tergantung di belakang punggungnya.
"Siapakah
dia?" Kun Hong bertanya.
"Entahlah,
seorang wanita muda, tubuhnya penuh luka bekas cambukan, dia pingsan,"
jawab Hui Kauw.
Tanpa
diminta Kun Hong menjulurkan tangan meraba dahi, pundak, dan pergelangan
tangan.
"Luka-lukanya
tidak ada artinya, hanya luka kulit, akan tetapi dia terserang hawa nafsu
kemarahan dan kedukaan sehingga mempengaruhi limpa dan hati, membuat hawa Im
dan Yang di dalam tubuh tidak berimbang, hawa Im membanjir. Karena itu, kau
bantulah dengan Yang-kang pada punggungnya."
Hui Kauw
sebagai isteri Pendekar Buta tentu saja sedikit banyak sudah tahu akan ilmu
pengobatan dan sudah biasa dia membantu suaminya. Mendengar ini, tanpa
ragu-ragu lagi dia lalu menempelkan telapak tangan kanan di punggung gadis itu
dan mengerahkan Yang-kang disalurkan ke dalam tubuh si sakit melalui
punggungnya. Tepat cara pengobatan ini. Tak sampai seperempat jam, gadis itu
sudah siuman kembali dan jalan pernafasannya tidak memburu seperti tadi, malah
akhirnya ia membuka kedua matanya, menggerakkan kepala memandang ke kanan kiri.
"Tenang
dan kau berbaring saja, Nak. Biar kuobati luka-lukamu," kata Hui Kauw
sambil mengeluarkan sebungkus obat bubuk.
Gadis itu
meringis kesakitan, akan tetapi membiarkan Hui Kauw mengobatinya.
"Mula-mula
memang perih rasanya, akan tetapi sebentar pun akan sembuh," kata Hui
Kauw. Memang ucapannya ini betul karena hanya sebentar gadis itu merintih,
kemudian kelihatan tenang.
"Terima
kasih, cukuplah. Kau baik sekali, Bibi..." Gadis itu bangkit duduk dan
pada waktu dia menoleh ke kiri memandang Kun Hong, wajahnya berubah dan dia
nampak kaget.
"Siapa
dia...?"
Hui Kauw
tersenyum. "Jangan khawatir, dia itu hanya suamiku. Kau kenapakah, tubuhmu
bekas dicambuki dan kau kelihatan berduka, marah, dan mudah kaget. Siapakah
kau?"
Gadis itu
menengok ke kanan kiri seakan-akan ada yang dicari dan ditakuti, kemudian ia
berkata, "Aku belum tahu siapakah kalian ini, bagaimana aku berani bicara
mengenai diriku?"
Kembali Hui
Kauw tersenyum, dia sama sekali tidak marah melihat kecurigaan gadis itu.
Agaknya gadis ini telah banyak menderita dan menjadi korban kejahatan hingga
mudah menaruh curiga terhadap orang lain.
"Jangan
khawatir, anak manis. Kami bukanlah orang jahat, dia itu suamiku bernama Kwa
Kun Hong dan aku isterinya... he, kenapa kau...?" Hui Kauw terheran-heran
melihat gadis itu melompat dan mukanya pucat.
"Aku...
aku takut kalau... kalau mereka mengejar..."
"Jangan
takut, apa bila ada orang jahat mengganggumu, kami akan membantumu," Kun
Hong berkata, suaranya halus, tetapi diam-diam hatinya menduga-duga. "Kau
siapakah dan siapa pula mereka yang mengancam keselamatanmu?"
Gadis itu
duduk kembali, memandang bergantian kepada Kun Hong dan isterinya. "Aku
Ciu Kim Hoa, dan mereka itu musuh-musuhku."
"Siapa
mereka dan apakah yang terjadi? Mengapa kau bermusuhan dengan mereka?"
tanya Hui Kauw.
Sekarang
gadis itu terlihat tenang. la duduk dan menarik nafas beberapa kali, kemudian
ia bercerita, suaranya perlahan dan agaknya keraguannya lenyap. "Aku
seorang yang yatim piatu, hidup sebatang kara. Keluargaku habis dengan
meninggalkan musuh besar, musuh keturunan yang harus kubalas. Aku mencarinya
dan bertemu, tapi... tapi... aku tidak dapat benci kepadanya, betapa pun
juga... aku harus melaksanakan balas dendam. Baru saja berhasil sebagian, aku
lalu dikeroyok... dan ditawan, dicambuki serta disiksa. Akhirnya aku berhasil
membebaskan diri dan lari sampai di sini." Dia menengok lagi ke sana ke
mari, tampak ketakutan. "Aku tahu mereka tentu akan mengejarku, dan aku
tidak berani pergi seorang diri..."
Hui Kauw
mengerutkan kening. Di dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan, banyak
terjadi pertandingan dan darah mengalir, semuanya hanya karena dendam mendendam
yang tiada habisnya.
"Kau
perlu menenangkan hati dan memulihkan tenaga, Kim Hoa. Biarlah semalam ini kau
bersama kami agar kami dapat mencegah musuh-musuhmu mencelakaimu. Bila sampai
besok tidak ada yang mengejarmu, baru kau melanjutkan perjalanan."
"Terima
kasih, Bibi. Kau baik sekali."
Gadis itu
masih kelihatan gelisah, akan tetapi ia tidak banyak bicara. Hanya menjawab
kalau ditanya, itu pun singkat saja. la pun tidak menolak ketika Kun Hong dan
Hui Kauw memberi roti kering dan minum kepadanya, dan juga tidak membantah
ketika matahari sudah agak menurun, suami isteri itu mengajaknya melanjutkan
perjalanan.
Atas
pertanyaan, gadis itu menjawab bahwa hendak pergi ke kota raja di mana katanya
berdiam seorang pamannya. Karena jalan menuju ke kota raja melewati kota
Kong-goan, maka Hui Kauw mengajak gadis itu melakukan perjalanan bersama. Akan
tetapi tentu saja Hui Kauw tak menghendaki gadis ini mengetahui urusan apa yang
sedang diselidikinya di Kong-goan. Oleh karena itu, pada sore harinya ia dan
suaminya mengajak gadis itu berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah, di luar
kota Kong-goan. Jika besok pagi tidak terjadi sesuatu, ia akan menyuruh gadis
ini melanjutkan perjalanan sendiri.
Malam itu
hawanya amat dingin, jauh berbeda dengan siang tadi. Gubuk atau pondok itu
adalah pondok yang didirikan oleh tuan tanah untuk menampung hasil panen tiap
tahun, hanya berupa sebuah pondok bambu yang berlantai batang padi kering. Bagi
mereka yang lelah, tempat ini amatlah nyaman untuk beristirahat melewatkan
malam yang dingin. Batang-batang padi kering itu hangat dan empuk, dinding
bambu meski pun reyot dapat menahan sebagian angin yang bertiup dingin.
Kegelisahan
hati, kelelahan, ditambah dengan dinginnya hawa membuat Pendekar Buta dan
isterinya tidur nyenyak menjelang tengah malam. Orang yang berhati gelisah,
atau susah menjadi lelah sekali, dan memang sukar tidur, apa bila tidur sudah
menguasainya, dia akan nyenyak sekali dan agaknya dalam ketiduran inilah segala
kegelisahan, segala kelelahan, lenyap tanpa bekas.
Suami isteri
ini tidur pulas di salah satu sudut pondok bambu. Kun Hong tidur telentang,
nafasnya panjang-panjang berat, sedangkan Hui Kauw tidur miring menghadapi
tubuh suaminya, nafasnya halus tidak terdengar.
"Bibi...!"
Hening tiada jawaban.
"Paman...!"
Juga kesunyian mengikuti panggilan ini.
Siu Bi
bangkit perlahan. Dia tadi rebah di sudut lain, tanpa pernah meramkan matanya.
Setelah duduk, kembali ia memanggil suami isteri itu, menyebut mereka paman dan
bibi, malah kali ini suaranya agak dikeraskan. Akan tetapi sia-sia, tidur
mereka agaknya amat nyenyak sehingga tidak mendengar panggilannya.
la menahan
nafas lalu bangkit berdiri dan mengerahkan seluruh tenaga ke arah matanya untuk
memandang. Bulan di luar pondok bersinar cemerlang, cahayanya yang redup dan
dingin menerobos di antara celah-celah atap dan dinding yang tak rapat, memberi
sedikit penerangan ke dalam pondok. Siu Bi dapat melihat suami isteri itu
tidur.
Pendekar
Buta telentang, isterinya miring menghadapinya. Jantungnya lantas berdebar
keras dan tangan kanannya bergerak meraba gagang pedang. Kesempatan yang amat
baik, pikirnya. Kesempatan baik untuk melaksanakan sumpahnya, menuntaskan
dendam kakeknya! Sepasang matanya beringas dan nafasnya agak terengah.
Mudah
sekali. Hanya datu kali bacok selagi mereka tidur nyenyak dan... lengan mereka
akan buntung! Benar-benar suatu hal yang sama sekali tak pernah dia mimpikan
bahwa akhirnya dia akan dapat bertemu dengan musuh-musuh ini dalam keadaan
sedemikian menguntungkannya. Agaknya arwah kakeknya sendiri yang menuntunnya
sehingga dia dapat bertemu dengan mereka, dapat tidur sepondok dan mendapat
kesempatan begini baik.
"Singgg…!"
Pedang Cui-beng-kiam telah dicabutnya.
Siu Bi kaget
sendiri mendengar suara ini. Cepat-cepat dia memandang ke sudut itu dan
telinganya mendengarkan. Akan tetapi, suami isteri itu tidak bergerak, juga
pernafasan mereka masih biasa, tidak berubah.
Dia berpikir
sebentar. Salah, pikirnya dan pedang itu dia masukkan kembali ke sarung pedang.
Dia tak bermaksud membunuh mereka, melainkan membuntungi lengan mereka yang kiri.
Akan tetapi
dia teringat bahwa biar pun lengan mereka sudah buntung, agaknya kalau mereka
sadar, dia tidak mungkin dapat menghadapi mereka yang memiliki kesaktian luar
biasa. Membuntungi seorang di antara mereka tentulah menimbulkan pekik dan
mereka terbangun, lalu dialah yang akan celaka di tangan mereka. Tidak, bukan
begini caranya! Harus lebih dulu membuat mereka tidak berdaya.
Ada sepuluh
menit Siu Bi berdiri termangu-mangu, memeras otak mencari keputusan yang tepat.
Tubuhnya tadi agak menggigil karena tegang, akan tetapi sekarang ia sudah
berhasil menekan perasaannya dan menjadi tenang. la amat memerlukan ketenangan
ini, karena apa yang akan ia lakukan adalah soal mati hidup.
la
menghadapi suami isteri yang terkenal sebagai orang-orang sakti di dunia
persilatan. Nama Pendekar Buta menggegerkan dunia kang-ouw, bahkan orang-orang
sakti seperti Ang-hwa Nio-mo dan kawan-kawannya merasa gentar menghadapi
Pendekar Buta dan harus menghimpun banyak tenaga sakti untuk menghadapinya. Dan
sekarang, sekaligus dia menghadapi suami isteri itu dalam keadaan yang amat
menguntungkan!
Siu Bi
membiasakan dulu pandang matanya di dalam pondok yang remang-remang itu.
Baiknya sinar bulan makin bercahaya, agaknya angkasanya amat cerah, tidak ada
awan menghalangi. Perlahan-lahan Siu Bi melangkah menghampiri sudut di mana
mereka tidur nyenyak.
Dadanya
berdebar lagi, terasa amat panas, sukar baginya untuk bernafas. Punggungnya
terasa dingin sekali, akan tetapi sekarang kaki tangannya tak menggigil lagi.
la menahan nafas yang disedotnya dalam-dalam, lalu melangkah lagi. Matanya
tertuju ke arah Hui Kauw.
Nyonya itu
tidurnya miring sehingga memudahkan dirinya untuk menotok jalan darah di
punggung yang akan melumpuhkan kaki tangan. Pendekar Buta tidur telentang,
lebih sukar untuk membuatnya tidak berdaya dengan sekali totokan. Oleh karena
inilah maka Siu Bi mengincar punggung Hui Kauw dan maju makin dekat.
Setelah
dekat sekali dan matanya bisa memandang dengan jelas, Siu Bi menahan nafas
mengerahkan tenaga dalam. Tangan kanannya bergerak dan dua buah jari tangannya
yang kanan menotok punggung Hui Kauw. Dia merasa betapa ujung jari-jarinya
dengan tepat menemui jalan darah di bawah kulit yang halus.
Hui Kauw
tanpa dapat melawan telah kena ditotok jalan darahnya di punggungnya dan pada
detik berikutnya, Siu Bi sudah menotok jalan darah di leher yang membuat nyonya
itu menjadi gagu untuk sementara. Hui Kauw mencoba untuk menggerakkan tubuh,
tapi sia-sia dan tubuhnya yang miring itu menjadi telentang, matanya terbelalak
akan tetapi ia tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.
Siu Bi yang
merasa takut bukan main kalau-kalau Pendekar Buta bangun, cepat-cepat
menggerakkan kedua tangannya menotok kedua jalan darah di pundak kanan kiri,
kaget sekali karena ujung jari-jari tangannya bertemu dengan kulit yang amat
lunak, lebih lunak dari pada kulit punggung Hui Kauw tadi.
Pendekar
Buta mengeluh dan tubuhnya bergerak miring. Melihat ini, cepat-cepat Siu Bi
menotok pada punggungnya dan... tubuh Pendekar Buta yang sakti itu kini tidak
dapat bergerak lagi kaki tangannya, lumpuh seperti keadaan isterinya! Akan
tetapi karena jalan darah pada lehernya tidak tertotok, dia dapat mengeluarkan
suara yang terheran-heran,
"Ehh...
ehh... apa-apaan ini? Siapa melakukan ini? Hui Kauw, apa yang terjadi...?"
Akan tetapi Hui Kauw tidak dapat menjawab karena nyonya ini selain lumpuh kaki
tangannya, juga tak dapat mengeluarkan suara!
Saking
tegangnya, Siu Bi terengah-engah dan jatuh terduduk. Dalam melakukan
totokan-totokan tadi, dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya, ditambah dengan
suasana yang menegangkan urat syaraf, maka setelah kini berhasil, ia menjadi
terengah-engah, lemas tubuhnya dan... ia menangis terisak-isak.
"Ehh,
anak baik, Kim Hoa... apa yang terjadi? Mengapa engkau menangis, dan Bibimu
kenapa?" Kun Hong bertanya.
Siu Bi
merasa betapa nafasnya sesak dan hawa udara tiba-tiba menjadi panas baginya.
Dia melompat berdiri, kedua tangannya menyambar leher baju dua orang yang sudah
lumpuh itu dan diseretnya mereka keluar pondok!
"Eh-ehh-ehhh,
kaukah ini, Kim Hoa? Apa yang kau lakukan ini?"
Siu Bi
menyeret mereka keluar dan melepaskan mereka di depan pondok. Dia sendiri
berdiri menengadah, menarik nafas dalam-dalam. Hawa malam yang dingin, angin
yang bersilir dan sinar bulan membuat nafasnya menjadi lega. Dia tidak gelisah
lagi.
"Pendekar
Buta, ketahuilah, aku yang menotokmu dan menotok isterimu." la tersenyum
dan tangannya bergerak membebaskan totokan pada jalan darah di leher Hui Kauw.
Nyonya ini
terbatuk, mengeluh perlahan lalu berseru, "Bocah, kau siapa? Mengapa kau
menyerang kami secara membuta?"
Siu Bi
tersenyum lagi. "Dengarlah baik-baik. Namaku Siu Bi dan aku melakukah hal
ini karena aku hendak membalaskan dendam kakekku, Hek Lojin. Pendekar Buta,
ingatkah kau ketika kau membuntungi lengan kakekku? Nah, kini aku akan memenuhi
sumpahku, membalas kalian dengan membuntungi lengan kiri kalian seperti yang
dulu kau lakukan terhadap kakek!" Siu Bi mencabut pedangnya.
"Singgg…!"
Lalu ia
mendongakkan mukanya ke angkasa berseru perlahan, "Kakek yang baik, kaulah
satu-satunya orang di dunia ini yang menyayangiku... sekarang kau sudah tiada
lagi... tapi kesayanganmu tidak sia-sia, kakek... lihatlah dari sana betapa
saat ini cucumu telah melunasi semua hutang, harap kau beristirahat dengan
tenang..."
Setelah
berkata demikian dalam keadaan seperti terkena pengaruh gaib atau kemasukan roh
jahat yang berkeliaran di malam terang bulan itu, Siu Bi menggerakkan
pedangnya, dibacokkan ke arah lengan kiri Kun Hong.
"Crakkk!"
Sebuah
lengan terbabat putus, darah muncrat-muncrat dan Siu Bi menjerit sambil lompat
ke belakang. Di hadapannya, entah dari mana datangnya, sudah berdiri seorang
laki-laki yang buntung lengan kirinya!
"Kakek...!"
Siu Bi memekik penuh kengerian, mengira bahwa roh kakeknya yang muncul ini.
Akan tetapi
ia melihat betapa lengan kiri yang baru buntung itu masih meneteskan darah
segar ada pun di atas tanah tergeletak buntungan tangan. Pendekar Buta dan
isterinya masih rebah terlentang. Siu Bi cepat mengalihkan pandang matanya yang
terbelalak ke arah orang di depannya, wajahnya pucat sekali.
"Siu
Bi... anakku..." Orang itu berkata, biar pun lengannya sudah buntung dan
wajahnya pucat serta keringatnya memenuhi muka menahan sakit yang hebat, akan
tetapi bibirnya tersenyum. Wajahnya yang setengah tua dan tatapannya dibayangi
kedukaan hebat.
"Kau...
kau..." Siu Bi berbisik lirih ketika mengenal bahwa orang itu, orang yang
datang menangkis pedangnya tadi dengan lengan kirinya sehingga bukan lengan
Pendekar Buta yang buntung, melainkan lengannya, adalah The Sun ayah tirinya!
"Aku
ayahmu, Siu Bi... lama sekali dan susah payah aku mencarimu..."
"Bukan,
kau bukan ayahku! Pergi...!"
The Sun
menggeleng kepalanya. "Tidak boleh, Siu Bi, anakku. Kau tak boleh menambah
dosa yang sudah bertumpuk-tumpuk, dosa yang dibuat mendiang kakekmu dan
aku..."
"Kau...
kau sudah membunuh kakek, kau bukan ayahku... sa... salahmu sendiri... kau
menangkis pedangku..."
"Memang
sepatutnya lenganku yang buntung, bukan lengan Kun Hong! Biar pun lengan suhu
buntung oleh pedang Kun Hong, akan tetapi akulah yang berdosa, dan karenanya
sudah sepatutnya aku pula yang mesti menanggung hukumannya. Siu Bi, kau tidak
tahu betapa jahatnya kakekmu Hek Lojin, betapa jahatnya pula aku dahulu.
Kakekmu dan aku yang dulu menyerbu dan bermaksud membunuh Pendekar Buta, kami
bersekutu dengan orang-orang jahat di dunia kang-ouw. Kami haus akan kemuliaan,
akan kedudukan dan harta, karena itulah kami memusuhi Pendekar Buta dan Raja
Pedang. Akan tetapi kami semua kalah, kakek gurumu juga kalah, baiknya Pendekar
Buta masih menaruh kasihan, hanya membuntungi lengan, tidak membunuhnya...! Aku
bertemu dengan ibumu, ibumu yang mengandungmu karena dipermainkan
majikan-majikannya. Aku membelanya, kami menjadi suami isteri, dan kau... kau
anakku juga, Siu Bi. Aku sudah berusaha menebus dosa, mengasingkan diri di
Go-bi-san, siapa kira... penebusan dosa yang sia-sia, dirusak kakekmu... dia
mendidikmu untuk membalas dendam...,, akhirnya dosaku bertambah, dia tewas di
tanganku dan kini, Tuhan menghukum hambaNya, kau sendiri membuntungi lenganku.
Ahhh, aku puas... seharusnya beginilah..."
Tiba-tiba
Siu Bi menjerit dan menutupi mukanya, menangis terisak-isak. la teringat akan
Swan Bu yang sudah dia buntungi lengannya. Pada saat itu suami isteri yang
tadinya rebah lumpuh, bersama-sama melompat bangun.
“The Sun,
hukum karma tak dapat dielakkan oleh siapa pun juga," kata Kun Hong.
The Sun
tercengang dan membalikkan tubuhnya. Ada pun Siu Bi menurunkan tangannya dan
memandang bengong.
"Kau...
kau... sudah kutotok kalian...," katanya gagap.
Hui Kauw
melangkah maju dan…
"Plak!
Plak!"
Dua kali
kedua pipi Siu Bi ditamparnya, membuat gadis itu terpelanting dan bergulingan
beberapa kali. Ketika ia berhasil melompat bangun, kedua pipinya menjadi
bengkak.
"Bocah
yang dididik menjadi binatang liar dan sangat keji!" kata nyonya ini,
senyumnya mengejek. "Kau kira akan dapat membikin lumpuh Pendekar Buta?
Kalau dia mau, tadi sudah dengan mudahnya merobohkanmu. Sengaja dia hendak
menanti apa yang akan kau lakukan. Pada saat kau membacok tadi, dia telah siap
menangkis dan membuatmu roboh. Kiranya The Sun muncul dan mewakilinya dengan
berkorban lengan. Dia benar, Tuhan menghukum hamba-Nya!"
Siu Bi
kaget, malu, menyesal dan segala macam perasaannya bercampur aduk di dalam
dadanya. Kembali ia menjerit lalu ia melarikan diri di malam gelap karena bulan
sudah menyembunyikan diri di dalam awan.
"Siu
Bi... tunggu...!" The Sun lari mengejar, terhuyung-huyung dan darah
berceceran dari lengannya.
Kun Hong
memegang tangan isterinya. Memang betul apa yang dikatakan Hui Kauw tadi.
Ketika Siu Bi menotoknya, ia kaget akan tetapi dengan sinkang-nya yang luar
biasa, dia dapat memunahkan totokan itu dan sengaja dia berpura-pura lumpuh dan
diseret keluar menurut saja. Malah ketika Siu Bi mencabut pedang, dia tetap
diam saja, hanya siap untuk melakukan serangan balasan merobohkan gadis itu.
Pada waktu The Sun muncul, dengan mudahnya dia membebaskan totokan isterinya.
"Hebat...,"
bisiknya. "Jadi itukah bocah yang dikabarkan mengancam kita? Heran sekali,
siapakah sebetulnya yang telah menangkapnya dan menyiksanya...? Anak itu
sebetulnya tidak jahat dan syukurlah bahwa The Sun telah dapat menguasai
nafsu-nafsunya dan berubah menjadi manusia baik-baik."
"Hemmm,
suamiku. Kau selalu mengalah, sabar, dan menilai orang lain dari segi-segi
baiknya saja. Gadis demikian kejam dan liar, tidak kenal budi, ditolong malah
membalas dengan ancaman membuntungi lengan, kau bilang sebetulnya tidak jahat?
Dan The Sun itu, terang dialah gara-gara semua perkara ini, dan kau bilang
sudah menjadi manusia baik-baik?"
Hui Kauw
sendiri terkenal seorang yang sabar hatinya. Akan tetapi dibandingkan dengan
suaminya, kadang kala ia merasa bahwa suaminya itu terlalu lemah dan terlalu
sabar...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment