Tuesday, August 7, 2018

Cerita Silat Serial Jaka Lola Jilid 10



























        Cerita Silat Kho Ping Hoo
              Serial Jaka Lola

                         Jilid 10


Akan tetapi, alangkah terkejutnya pemuda itu pada waktu dia mendengar suara orang di belakangnya yang berseru halus, "Saudara, harap suka tunggu sebentar!"

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi Lee Si dan segera mengangkat tangan memberi hormat. Lee Si cepat-cepat membalasnya dan diam-diam ia memuji kesopanan pemuda ini yang usianya jauh lebih tua dari padanya.

"Nona ada keperluan apakah Nona mengejar saya?"

"Saudara, kiranya tidak baik kubiarkan saja kau pergi tanpa menyatakan terima kasih atas pertolonganmu dan..."

Pemuda itu tertawa dan wajahnya yang masak dan agak muram itu tampak jauh lebih muda kalau tertawa. "Wah, harap Nona jangan memperolokku! Sama sekali aku tidak menolongmu, karena kalau tidak kebetulan aku turun tangan terhadap mereka, kiranya mereka itu akan menerima nasib yang lebih berat di tangan Nona. Dengan kepandaian yang Nona miliki, sungguh aku merasa malu kalau aku dikatakan menolongmu."

"Ah, bagaimana kau bisa bilang demikian? Dengan kepandaianmu yang begitu tinggi dan sikapmu yang amat merendah, kau sungguh membikin aku yang bodoh menjadi kagum, Saudara."

"Nona, sebelum aku bergerak kau sudah tahu tadi, sekarang dengan mudah kau dapat menyusulku, ini saja sudah membuktikan bahwa kau seorang yang lihai. Sudahlah, tidak perlu puji-memuji ini. Bolehkah aku mengetahui siapa gerangan nama Nona? Aku sendiri bernama Yo Wan."

"Yo Wan...? Serasa pernah aku mendengar nama ini..."

Lee Si mengerutkan kening, mengingat-ingat, akan tetapi tidak berhasil. Memang tentu saja dia tidak ingat karena andai kata pernah mendengar, tentulah dari percakapan atau penuturan ayah bundanya yang pernah menyebut nama ini sebagai murid dari Pendekar Buta.

"Nona siapakah dan murid siapa?"

"Aku murid orang tuaku sendiri, ayahku adalah Tan Kong Bu, ketua Min-san-pai, dan namaku Tan Lee Si."

"Ah...! Tentu saja Nona pernah mendengar namaku, tentu dari Tan-loenghiong, ayahmu. Aku sendiri sudah lupa lagi kepada beliau, akan tetapi antara ayahmu, terutama ibumu dan suhu ada hubungan yang erat sekali. Ketahuilah, suhu adalah Pendekar Buta..."

"Ahhh...!" Kini Lee Si yang ber ah-ah-ah saking herannya.

Lalu dia teringat akan langkah-langkah seperti orang mabuk yang tadi dilakukan Yo Wan ini dan yang ia ingat ada persamaannya dengan Swan Bu. Dan sekarang tidak aneh lagi baginya akan kelihaian pemuda ini. Kiranya murid Pendekar Buta, kepandaiannya tentu saja hebat.

"Kalau begitu... dia... dia itu sute-mu..." Otomatis ingatannya melayang kepada Swan Bu sehingga kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Yo Wan adalah seorang pemuda yang sudah matang pikirannya dan dia sangat cerdik. Oleh karena itu sikap dan kata-kata gadis cantik manis itu sudah cukup baginya untuk menduga bahwa tentu ada sesuatu di antara gadis cucu Raja Pedang ini dengan putera suhu-nya. Siapa lagi kalau bukan Swan Bu yang tadi disebut ‘si dia’ sebagai sute-nya? Sute-nya memang hanya seorang, yaitu putera suhunya itu. "Nona maksudkan Kwa Swan Bu sute? Apakah dia sahabat baikmu? Di mana adanya sute sekarang?"

Hal yang aneh terjadi, yang membuat Yo Wan sendiri terheran-heran dan terkejut bukan main. Gadis manis itu tiba-tiba menangis! Air matanya bercucuran dan kedua tangannya sibuk mengusapi air mata yang mengalir pada kedua pipinya, pundaknya bergerak-gerak dalam isak tangis yang menyedihkan.

Yo Wan berdebar hatinya, kekhawatiran hebat mencekam jantungnya, timbullah dugaan yang bukan-bukan. "Nona, ada apa dengan sute? Apakah yang terjadi?" tanyanya, wajahnya berkerut dalam kegelisahan.

"Malapetaka hebat... dia dan aku... kami berdua celaka..." Lee Si terisak-isak. Semenjak ia mengalami bencana itu, baru kali ini ia berkesempatan bicara dengan seorang yang ia percaya, karena itu ia tak dapat menahan kesedihannya.

Di lain pihak, Yo Wan terkejut seperti disambar petir. Dia sampai lupa diri sehingga kedua tangannya memegang lengan Lee Si, lalu diguncang-guncangnya nona yang menangis itu sambil berkata, "Ada apakah? Siapa mengganggu sute? Di mana dia dan apa yang telah terjadi?"

Melihat betapa nona itu menurunkan tangan dan dengan kaget memandangnya, Yo Wan melepaskan kedua tangannya dan berkata, "Maaf, aku sampai lupa diri. Ahh, kau tenangkanlah hatimu, Nona dan berceritalah yang baik. Ketahuilah, semenjak kecil aku tidak bertemu dengan sute, hatiku penuh kerinduan, maka mendengar dia ditimpa mala petaka, hatiku menjadi gelisah bukan main. Apakah dia terluka?"

Lee Si menggeleng kepala. "Tidak terluka, dan sekarang entah di mana, akan tetapi apa yang menimpa kami berdua lebih hebat dari pada luka atau maut sekali pun."

Dengan muka menunduk dan suara perlahan, kadang-kadang terputus oleh isak tangis, Lee Si akhirnya menceritakan semua pengalamannya dengan Swan Bu, juga mengenai tipu muslihat penuh fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa-pai.

"Begitulah saudara Yo Wan, dapat kau bayangkan betapa marah ayah melihat keadaan kami, mendengar suara ayah agaknya dia takkan puas kalau belum membunuh Swan Bu untuk mencuci penghinaan. Padahal... padahal Swan Bu sama sekali tak bersalah dalam hal itu."

"Dan kau hendak ke manakah sekarang, Nona?"

"Ke mana lagi? Ke Liong-thouw-san hendak menemui ayah Swan Bu dan menceritakan semua hal itu kepada ayah bundanya. Harap kau suka membantuku... berat juga mulut ini bercerita kepada paman Kwa Kun Hong dan istrinya."

"Jangan khawatir, aku pasti akan membantumu, Nona, demi kebersihan nama sute pula. Akan tetapi, kau dan sute yang begitu lihai bagaimana sampai dapat tertawan? Siapakah yang menjadi jago Ang-hwa-pai ketika itu? Setahuku, yang paling lihai hanyalah Ang-hwa Nio-nio dan pemuda yang bernama Ouwyang Lam. Akan tetapi aku sangsi apakah dua orang ini dapat mengalahkan kau dan sute."

"Kalau hanya mereka berdua, agaknya kami tidak akan dapat tertawan musuh." Lee Si menarik nafas panjang penuh sesal. "Selain mereka, masih ada dua orang kakek yang pada saat aku ditawan, kudengar namanya sebagai pendeta Maharsi dari barat dan yang seorang lagi Bo Wi Sianjin, masih ada lagi seorang iblis wanita bernama Siu Bi!"

Yo Wan menahan perihnya hati yang serasa tertusuk ketika dia mendengar disebutnya nama ini, nama seorang gadis yang mendatangkan rasa sayang dan simpati di hatinya akan tetapi berbareng juga mendatangkan rasa benci karena gadis itu adalah puteri The Sun pembunuh ibunya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa gadis itu kembali menggabungkan diri dengan pihak Ang-hwa-pai yang dia tahu adalah golongan penjahat. Akan tetapi Yo Wan segera merenggut ingatannya keluar dari lamunan tentang diri Siu Bi ini.

"Wah, urusanmu ini memang luar biasa hebat, adik Lee Si." Akhirnya dia berkata sambil menarik nafas panjang. "Mereka itu memang jahat sekali dan tipu muslihat mereka itu agaknya akan dapat menimbulkan bencana perpecahan yang sangat besar. Marilah kita jangan membuang waktu lagi, segera berangkat ke Liong-thouw-san menemui suhu. Aku bisa mengerti betapa beratnya bagimu menceritakan peristiwa itu, maka biarlah aku yang akan mewakilimu bercerita kepada suhu dan subo."

"Terima kasih, kau baik sekali...," jawab Lee Si sambil menghapus air mata terakhir dari pelupuk matanya. Hatinya menjadi besar dengan adanya penolong ini, maka harapannya timbul kembali sehingga kemuraman pada wajahnya mulai menghilang.

Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan dan akhirnya mereka sampai di puncak Liong-thouw-san, mereka menjadi sangat terkejut dan kecewa sekali melihat bahwa puncak gunung itu sunyi sepi, tidak ada kelihatan seorang pun manusia di sana. Tidak terdapat tanda sesuatu, juga tidak ada seorang pun manusia di sana yang dapat menceritakan apakah yang telah terjadi di puncak itu. Tapi menilik keadaan pondok yang masih bersih, seolah-olah masih ‘hangat’, jelas bahwa tempat yang sunyi ini belum lama ditinggalkan oleh penghuninya.

Yo Wan berdiri di depan pondok, termenung dan termangu-mangu. Melihat tempat ini, tak terasa pula dua titik air mata keluar dari pelupuk matanya, karena dia teringat akan keadaannya pada waktu masih kecil dahulu. Terbayanglah semua di depan matanya, keadaan dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih kecil dan tinggal seorang diri di tempat ini. Dia berjalan hilir-mudik seperti orang kehilangan pikiran, meraba-raba dengan mesra batu-batu yang berada di depan pondok, membelai dedaunan di pinggir pondok, bibirnya menyeringai setengah senyum setengah menangis.

la baru sadar setelah mendengar tangis Lee Si dan cepat dia menengok. Melihat gadis itu sudah duduk dan menangis di atas bangku bambu di depan pondok, dia cepat-cepat menghampiri lalu berkata dengan suara menghibur,

"Tenanglah, adik Lee Si. Tidak ada perkara di dunia ini yang tak dapat di atasi asal kita tenang dan sabar. Memang agaknya tidak kebetulan kedatangan kita, agaknya suhu dan subo sedang turun gunung, entah ke mana. Akan tetapi, sebagai wakil suhu, juga demi menjaga nama baik sute Swan Bu, aku siap untuk membasmi penjahat-penjahat busuk itu. Marilah, adik Lee Si, kita turun kembali dan kau antarkan aku ke tempat terjadinya peristiwa itu. Aku akan mencoba untuk menangkap Ang-hwa Nio-nio dan kita menyeret dia ke hadapan ayahmu agar dia mengakui akan tipu muslihat dan fitnah yang diaturnya. Bagaimana?"

Lee Si hanya mengangguk-angguk, kemudian sesudah menekan perasaan kecewanya dapat juga dia berkata, "Kau baik sekali, Yo-twako. Terserah kepadamu saja, aku… aku bingung tak dapat memikir sesuatu...”

Mereka bermalam satu malam di puncak Liong-thouw-san. Pada keesokan harinya baru mereka turun dari puncak itu, menuju ke kota Kong-goan di tepi Sungai Cia-ling….


Sebetulnya apakah yang telah terjadi di puncak Liong-thouw-san? Sayang tak ada yang dapat bercerita kepada kedua orang muda itu. Akan tetapi andai kata ada yang dapat bercerita, agaknya malah akan membuat mereka menjadi makin gelisah saja karena baru tiga hari yang lalu, di puncak itu terjadi hal hebat seperti yang dikhawatirkan oleh Lee Si.

Pada suatu senja, tiga hari yang lalu, selagi Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta bersama isterinya, Kwee Hui Kauw, duduk di dalam pondok bercakap-cakap sesudah Hui Kauw menyalakan api penerangan dan Kun Hong tengah makan masakan sayur yang disajikan isterinya sambil bercakap-cakap, tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras dari luar pondok.

"Kwa Kun Hong, keluarlah dan pertanggung jawabkan kebiadaban anakmu!!"

Sepasang sumpit yang menyumpit sayur dan sudah berada di depan mulut itu terhenti. Kun Hong miringkan kepalanya, keningnya berkerut dan perlahan-lahan dia menurunkan kembali sumpit serta mangkoknya. Telinganya mendengar gerakan isterinya menyambar pedang di dinding, dan pada saat isterinya hendak melayang keluar pintu, dia berkata lirih,

"Tahan dulu, jangan terburu nafsu. Serasa mengenal suaranya..."

"Tak peduli dia siapa, dia telah menghina kita dan anak kita!"

"Manusia bisa keliru, mungkin salah paham..."

"Kwa Kun Hong, lekas kau keluar sebelum kuhancurkan pondokmu!" kembali terdengar bentakan dari luar.

Dengan tongkat di tangan, Pendekar Buta bergerak keluar dari pintu pondoknya, diikuti oleh Hui Kauw yang masih memegang sebatang pedang dengan muka kereng. Alangkah kaget dan herannya nyonya ini pada saat melihat bahwa yang berdiri di depan pondok, dengan tegak dan dua kaki dipentang, sikap mengancam, wajah bengis, adalah seorang laki-laki tinggi besar dan gagah yang bukan lain adalah Tan Kong Bu.

Keadaan jago tua Min-san ini menyeramkan sekali. Sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar penuh kemarahan, rambutnya agak awut-awutan, mukanya merah padam, tangan kiri dikepal-kepal dan tangan kanan meraba gagang pedang. Suaranya nyaring menggeledek ketika dia melihat Kun Hong dan isterinya keluar dari pondok.

"Kwa Kun Hong, kalau kau tidak lekas mempertanggung jawabkan kebiadaban anakmu, sekarang juga seorang di antara kita harus mampus di sini!"

Wajah Pendekar Buta penuh kerut-merut, akan tetapi dia tetap tenang dan sabar. Tapi sebaliknya, biar pun Hui Kauw adalah seorang wanita yang berperangai halus dan amat sabar, namun sekarang, sebagai seorang ibu yang mendengar anak tunggalnya dimaki biadab, darahnya seketika menjadi naik. la menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Kong Bu dengan tangan kanan melintangkan pedang di depan dada.

"Tan Kong Bu! Isterimu terhitung sebagai murid keponakan suamiku, jadi kau ini boleh juga dikatakan keponakan kami. Akan tetapi sikapmu ini sungguh-sungguh tidak patut. Ada urusan boleh diurus, ada soal boleh dibicarakan, segala sesuatu boleh dirundingkan baik-baik, tidak seperti kau ini yang bersikap kasar dan menghina!"

"Siapa menghina? Ha-ha-ha-ha, bicara tentang penghinaan, anakmu yang biadab itulah yang telah menghina kami! Penghinaan melewati batas takaran, penghinaan yang hanya dapat dicuci dengan darah dan nyawa, nyawa Kun Hong atau nyawaku! Jika kau hendak maju sekalian, boleh, aku tidak takut demi untuk membela nama baik anakku, soal mati bukanlah apa-apa!"

Setelah berkata demikian, agaknya kepanasan hatinya menjadi semakin berkobar oleh kata-katanya. Kong Bu menggerakkan tangan dan…

"Srattt!" la telah mencabut sebatang pedang.

Tentu saja Hui Kauw menjadi makin marah, dia merasa ditantang. "Hemmm, manusia sombong. Kau kira aku takut kepadamu? Kau sangka hanya engkau seorang di dunia ini yang gagah dan tidak takut mati, yang ingin membela anak? Tiada hujan tiada angin kau memaki-maki anak kami, memaki-maki kami, kalau kau menantang bertempur, majulah. Aku lawanmu." Hui Kauw melompat ke depan siap dengan pedangnya.

Pada dasarnya Tan Kong Bu memang seorang yang berwatak keras serta berangasan, maka mendengar omongan ini apa lagi melihat sikap Hui Kauw, kemarahannya terhadap Swan Bu memuncak. Wanita ini adalah ibu Swan Bu patut bertanggung jawab pula. Dia memekik keras, mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya bergerak maju.

"Bagus, kau atau aku yang mampus!"

Pedangnya menyambar ganas, dipenuhi dengan tenaga Yang-kang sehingga sambaran pedang itu mengandung hawa panas yang amat berbahaya. Namun Hui Kauw adalah isteri Pendekar Buta. Sebelum menjadi isteri Pendekar Buta ia telah memiliki kepandaian tinggi, tapi mungkin pada waktu itu tidak akan dapat menahan serangan Tan Kong Bu putera Si Raja Pedang.

Akan tetapi sekarang, dia bukan Hui Kauw dua puluh tahun yang lalu. Ilmu kesaktiannya mengalami kemajuan pesat di bawah bimbingan suaminya. Melihat datangnya serangan hebat ini, dia mengelak sambil membabat dari samping, menghantam pedang lawan.

"Tranggg!"

Bunga api berpijar merupakan kilat-kilat kecil menerangi cuaca yang saat itu sudah mulai remang-remang. Keduanya terpental muncur.

"Bagus, terimalah ini!"

Tan Kong Bu menerjang lagi, lebih ganas dan lebih kuat. Kembali Hui Kauw menangkis dari samping dan kini saking hebatnya tenaga dalam mereka, kedua pedang itu saling tempel tanpa mengeluarkan bunyi! Pada saat itu, berkelebat bayangan merah, disusul suara keras dan dua batang pedang yang saling tempel itu terpental ke belakang, malah Hui Kauw dan Kong Bu terhuyung-huyung tiga langkah. Kiranya Kun Hong sudah turun tangan, ia menggunakan tongkatnya untuk memisahkan dua pedang itu.

"Ahhh, apa perlunya semua ini? Hui Kauw, kau mundurlah. Kong Bu, marilah kita bicara baik-baik. Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Kau agaknya marah-marah kepada anak kami. Kesalahan apakah yang diperbuat oleh Swan Bu? Kau ceritakan kepada kami agar kami bisa mengetahui dan mempertimbangkan. Di antara kita, masa harus menggunakan kekerasan?"

Akan tetapi Kong Bu yang sudah mendidih darahnya itu tak dapat dibikin sabar. Dengan suara tetap lantang dan penuh kemarahan dia berkata, "Kun Hong, mana bisa kita bicara baik-baik lagi setelah penghinaan yang dilakukan oleh anakmu? Akan tetapi agar kalian tidak penasaran, dengarlah apa yang sudah dilakukan oleh anakmu yang biadab itu, agar terbuka mata kalian betapa kalian tidak becus dalam mendidik anak. Anakmu Kwa Swan Bu itu telah menawan Lee Si anakku dan melakukan perbuatan terkutuk, dia... dia berani mencemarkan... dia berani menodai Lee Si, terkutuk dia! Karena dia lari, sekarang aku datang ke sini untuk minta pertanggungan jawabmu. Kun Hong, penghinaan ini terlalu besar, kau sebagai ayahnya harus menebus dengan nyawamu atau aku sebagai ayah Lee Si mencuci noda dengan darahku!"

"Bohong...!" tiba-tiba Hui Kauw menjerit marah. "Di mana terjadinya? Siapa yang menjadi saksi? Apa buktinya?

"Huh, siapa yang bohong? Aku sendiri yang menjadi saksi! Lee Si ditawannya, tertotok tak berdaya dan ditawan ke dalam kuil tua di kota Kong-goan..."

"Bohong! Aku tidak percaya, tidak mungkin anakku melakukan perbuatan itu. Kau yang bohong!" kembali Hui Kauw berteriak.

“Mulut bisa bohong, akan tetapi mata tidak! Dan mataku melihat sendiri kejadian itu, dan mataku tidak buta seperti mata Kun Hong! Hanya mata buta yang tidak mau melihat kebiadaban putera sendiri dan melindunginya!"

"Keparat, tak sudi aku menerima penghinaanmu ini!"

Hui Kauw yang sekarang menerjang maju dengan pedangnya. Kong Bu mendengus dan menangkis, kemudian kedua orang ini kembali sudah bertanding dengan seru. Ada pun Kwa Kun Hong berdiri termangu-mangu setelah mendengar penjelasan Kong Bu. Mana mungkin ada kejadian semacam itu? Swan Bu melakukan perbuatan terkutuk terhadap Lee Si? Apakah mungkin puteranya itu sedemikian hebatnya dikuasai nafsu sehingga membuatnya seperti gila? Agaknya tidak mungkin.

la tahu bahwa puteranya itu memiliki dasar watak yang amat keras dan tidak mau kalah, akan tetapi cukup dia dasari gemblengan batin yang membentuk watak satria, pantang akan perbuatan-perbuatan maksiat, apa lagi perbuatan terkutuk seperti itu. Tentu fitnah!

la cukup mengenal pula watak Kong Bu yang keras serta jujur, tegak seperti baja yang sukar ditekuk, sehingga tidak mungkin pula seorang seperti Kong Bu ini membohong dan mengada-ada. Pemecahan satu-satunya menghadapi dua ketidak mungkinan hanyalah hasut atau fitnah. Agaknya ada fitnah terselip dalam urusan ini. Suara beradunya pedang dan lengking tinggi dari mulut Kong Bu menyadarkannya. Kun Hong merasa khawatir sekali. Dari gerakan yang terdengar oleh telinganya, tahulah dia bahwa pertandingan itu akan dapat menjadi hebat sekali dan mati-matian karena tingkat mereka berimbang dan pertandingan dilakukan dengan penuh hawa amarah oleh kedua pihak. Kalau dia tidak segera turun tangan, tentu seorang di antara mereka akan tewas atau setidaknya akan terluka parah.

"Kalian berhentilah!" Kembali dia menengahi dan karena maklum betapa keduanya tak boleh dipandang ringan, begitu ‘masuk’ Kun Hong menggunakan gerakan yang ampuh.

Tongkatnya berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang membikin mati gerakan Kong Bu, sedangkan tangan kirinya berhasil mendorong pundak isterinya sehingga nyonya itu terhuyung ke belakang.

Biar pun hatinya penasaran, namun Hui Kauw yang sudah hafal akan watak suaminya, tahu apa yang dikehendaki suaminya ini. Maka dia hanya berdiri mengepal tinju kiri dan melintangkan pedang di depan dada, tidak mau maju lagi.

Akan tetapi Kong Bu tidak mau mundur sama sekali. Bahkan di dalam kemarahannya, pertimbangannya menjadi miring dan dia mengira bahwa Pendekar Buta ini takut kalau isterinya kalah maka sekarang maju sendiri.

Memang sebetulnyalah, orang yang tengah ditunggangi dan dipermainkan nafsu amarah, pandang matanya menjadi gelap, pertimbangannya rusak dan yang disangkanya hanya yang buruk-buruk saja. Oleh karena itu, sangat tidak baiklah kalau orang dikuasai oleh hawa nafsu amarah, lebih baik lekas-lekas singkirkan musuh besar pribadi ini dari dalam hati.

"Kun Hong, kau atau aku yang menggeletak tak bernyawa di sini!" Seruan ini disusul serangan dahsyat sekali.

Dalam kemarahan dan kemaklumannya bahwa yang dihadapi kini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, Kong Bu telah menerjang sambil mengerahkan seluruh tenaga serta memainkan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut yang dahulu dia warisi dari mendiang kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun. Hebat bukan main terjangan Kong Bu ini karena dipenuhi tenaga Yang-kang yang sangat kuat memancar keluar dari gerakannya. Maka, sebatang pedangnya seakan-akan menjadi sebatang besi merah, panas menyala-nyala!

"Ahhh, saudaraku Kong Bu yang baik..." Hanya sampai di sini ucapan Kun Hong karena Pendekar Buta ini harus cepat-cepat mengelak sambil memainkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun sehingga dengan mudah dia mampu menyelamatkan diri dari pedang Kong Bu yang berubah menjadi tangan-tangan maut itu.

Kong Bu penasaran bukan main. Setiap kali pedangnya menyambar, seakan-akan tubuh Kun Hong mendahului gerakannya, berubah kedudukannya, tidak lagi berada di tempat semula. Ataukah pedangnya yang selalu menyeleweng apa bila mendekati tubuh Kun Hong? Tak mungkin dapat melakukan hal itu. Rasa penasaran merupakan bensin yang menyiram api yang membakar dadanya, maka sambil mengeluarkan suara melengking keras jago Min-san ini mendesak makin hebat.

Namun, dengan ketenangannya yang luar biasa, Kun Hong dapat mengatasi keadaan. Langkah-langkah ajaib yang dia lakukan sangat tepat dan teratur sehingga sinar pedang Kong Bu tak pernah dapat menyentuhnya.

"Dengarlah, Kong Bu sadarlah..., anak-anak kita tentu kena fitnah... percayalah, Swan Bu tidak mungkin melakukan kebiadaban itu, mari kita selidiki baik-baik..."

Akan tetapi tiba-tiba Kong Bu berseru keras. Selagi Kun Hong bicara tadi, Kong Bu telah menerjangnya dengan nekat, pedang di tangan ketua Min-san-pai itu melakukan tusukan maut dengan ujungnya digetarkan menjadi tujuh sinar!

Meski pun Kun Hong menguasai Kim-thiauw-kun dan dapat menggerakkan tubuh secara ajaib untuk mengelak setiap serangan, namun dia maklum bahwa jurus sakti seperti ini yang menimbulkan getaran hawa pedang sedemikian dahsyatnya, tak mungkin dielakkan lagi. la tidak suka bermusuhan dengan Kong Bu dan dapat menduga bahwa orang keras hati ini telah makan fitnah.

Dia suka mengalah, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menerima tusukan pedang yang tak boleh dipandang ringan. Oleh karena itu, pada waktu berseru kaget tadi, tongkatnya berkelebat menjadi sinar merah dan sekaligus tongkat itu telah diputar berbentuk payung, menangkis pedang lawan sedangkan tangan kirinya dengan pengerahan separuh tenaga didorongkan ke depan.

Jika saja Kong Bu tidak sedang dikuasai kemarahan yang membuat dia buta dan lengah, kiranya tidak akan mudah bagi Kun Hong untuk mengalahkannya dalam waktu singkat, sungguh pun harus diakui bahwa tingkat kepandaian Kong Bu tidak setinggi Kun Hong. Akan tetapi pada saat itu, Kong Bu sedang marah sekali, begitu marahnya sehingga dia seperti orang nekat, hasrat hatinya hanya ingin menyerang dan merobohkan lawan tanpa mempedulikan penjagaan tubuhnya sendiri.

Karena inilah maka pedangnya terkena ‘libatan’ tongkat Kun Hong yang lihai, terlibat dan terputar hingga pedangnya ikut pula terputar. Sebagai seorang gagah, Kong Bu merasa pantang melepaskan pedang, malah dia memegang makin erat sehingga tubuhnya yang terpelanting oleh hawa putaran yang amat kuat itu.

Pada saat itulah dorongan tangan kiri Kun Hong yang kelihatan lambat itu tiba. Seketika tubuh Kong Bu terjengkang ke belakang dan tubuh itu bergulingan sampai belasan meter jauhnya!

"Ahhh... maaf, saudara Kong Bu....,” Kun Hong memburu, tetapi tangan kirinya segera dipegang oleh Hui Kauw yang menahannya.

Kong Bu melompat bangun dengan nafas terengah-engah, dadanya serasa sesak dan kepalanya pening. la tidak terluka, namun nanar dan maklumlah dia bahwa melanjutkan dengan nekat hanya akan menghadapi kekalahan yang memalukan.

"Kun Hong, kau lebih pandai dari pada aku. Akan tetapi kalau aku tidak dapat membunuh anakmu yang biadab, aku tak akan mau berhenti berusaha. Tidak ada tempat bagi aku dan dia di kolong langit!"

"Kong Bu, tunggu...!" teriak Kun Hong, akan tetapi jago Min-san-pai itu sudah melompat pergi dan lari cepat meninggalkan puncak itu.

"Biarkanlah dia pergi. Orang berhati kaku dan mau menang sendiri itu," kata Hui Kauw sambil memegang lengan suaminya.

Kun Hong menarik nafas panjang. "Hui Kauw, kau lekas berbenah, bawa bekal yang kita perlukan di perjalanan. Kita berangkat sekarang juga mencari Swan Bu dan menyelidiki ke Kong-goan. Ingin sekali aku tahu apa sih yang terjadi di kuil tua di kota Kong-goan itu?"

Begitulah, pada malam itu juga suami isteri pendekar sakti ini berangkat meninggalkan puncak Liong-thouw-san. Dan ini pulalah sebabnya mengapa ketika Yo Wan dan Lee Si tiba di puncak Liong-thouw-san tempat ini sunyi tidak tampak seorang pun manusia…..


                  ***************


Swan Bu terhuyung-huyung, baru beberapa puluh langkah pandang matanya gelap. Dia berusaha menahan diri, tetapi kepalanya terlalu pening dan akhirnya dia jatuh terguling. Dia merasa tubuhnya panas sekali, kepalanya berputaran, maka dia meramkan kedua matanya.

"Siu Bi... ah, Siu Bi... hemmm, apakah aku sudah gila? Kenapa Siu Bi saja yang teringat dan terbayang?" Swan Bu bangkit dan duduk, beberapa kali dia menampar kepalanya sendiri dan bibirnya berbisik-bisik, "Siu Bi... gadis iblis itu, aku harus benci kepadanya... harus!" Akan tetapi rasa panas membakar kepalanya dan dia roboh lagi, kini pingsan.

Tak jauh dari tempat itu, Siu Bi berdiri terisak-isak. Dari jauh ia melihat Swan Bu jatuh bangun, melihat pemuda itu terhuyung-huyung kemudian roboh, juga melihat pemuda itu menggerak-gerakkan bibir akan tetapi dia tidak dapat mendengar kata-katanya, melihat pemuda itu memukul kepalanya sendiri lalu terguling, tak bergerak-gerak.

"Swan Bu...!" Siu Bi menjerit kecil, hatinya serasa ditusuk-tusuk.

Dan ia lalu lari menghampiri, menubruk dan berlutut di dekat tubuh yang tak bergerak. Air matanya bercucuran membasahi muka Swan Bu yang kini menjadi merah sekali dan panas. Ketika tangan Siu Bi menyentuh leher pemuda itu, gadis ini terkejut dan menarik tangannya.

"Panas sekali! Ahh, kau terserang demam..."

Sebagai puteri angkat The Sun dan cucu murid Hek Lojin, serta biasa hidup di puncak gunung yang sunyi sehingga sudah biasa menghadapi penyakit, Siu Bi maklum bahwa demam panas ini adalah akibat dari luka di lengannya. Tanpa ragu-ragu lagi Siu Bi lalu memondong tubuh Swan Bu yang pingsan itu, lalu dibawa lari dengan maksud mencari tempat peristirahatan yang baik agar dia dapat merawatnya.

Entah bagaimana, setelah ia berhasil membuntungi lengan kiri putera Pendekar Buta ini, semua rasa benci lenyap dan timbullah rasa cinta kasih yang memang telah bersemi di dalam hatinya. Siu Bi malah merasa sangat bersalah dan untuk menebus kesalahannya terhadap Swan Bu, ia hendak merawatnya, kalau mungkin, untuk selamanya! Malah ia bersedia menghabiskan permusuhannya dengan orang tua pemuda ini, asal Swan Bu mau memaafkannya dan mau ia ‘rawat’ selamanya.

Tiba-tiba saja telinganya mendengar suara gerakan dan alangkah kagetnya ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang gadis cantik jelita yang ia kenal sebagai Cui Sian! Hanya satu kali Siu Bi bertemu dengan puteri Raja Pedang ini, yaitu di Ching-coa-to, tetapi pertemuan yang sekali itu cukup baginya untuk mengetahui bahwa puteri Raja Pedang itu amat tinggi kepandaiannya.

Di lain pihak, Cui Sian juga tercengang melihat Siu Bi. Tadinya dari belakang ia melihat seorang wanita mempergunakan ilmu lari cepat yang tinggi berlari mendukung seorang pria. Dia menjadi curiga dan mengejar, menyusul lalu menghadang untuk melihat siapa mereka dan apa yang terjadi.

Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal Siu Bi, gadis liar yang bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya, gadis liar yang menimbulkan cemburunya karena sikapnya terhadap Yo Wan. Akan tetapi gadis ini pula yang telah menyelamatkan nyawanya ketika ia dikeroyok di Ching-coa-to!

"Kau...?!" Saking heran dan kagetnya Cui Sian menegur.

"Hemmm, puteri Raja Pedang. Mau apa kau menghadangku?" balas Siu Bi ketus.

Pandang mata Cui Sian menyelidiki lelaki yang sedang dipondong Siu Bi, terkejut melihat lengan kiri yang buntung sebatas siku, ujungnya dibungkus dan masih terdapat tanda darah dari luka yang baru.

"Ehh, siapa dia?" tanyanya, penuh kecurigaan.

"Dia siapa peduli apakah engkau? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu..."

"Aahhh...!" Cui Sian melangkah maju selangkah, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar. "Dia... dia... Swan Bu...! Bukankah dia Swan Bu...?"

Sudah kerap kali ia bertemu dengan Swan Bu, akan tetapi yang terakhir kali adalah pada waktu Swan Bu berusia empat lima belas tahun. Kalau sekarang tidak melihat pemuda itu buntung lengan kirinya dan dipondong Siu Bi, agaknya ia akan pangling juga. Karena lengannya buntung, sedangkan Siu Bi pernah menyatakan hendak membuntungi lengan Pendekar Buta sekeluarga, dan pemuda yang buntung lengannya ini wajahnya seperti Swan Bu, maka mudah baginya untuk menduga dan hal ini membuat ia kaget dan ngeri.

Kebetulan sekali pada saat itu Swan Bu tersadar, mengerang dan mengeluh, membuka matanya dan tepat dia memandang Cui Sian. Agaknya dia dapat mengenal pula, karena bibirnya berbisik perlahan, "...Bibi Guru..."

Kini hati Cui Sian tidak ragu lagi. Memang dahulu Swan Bu disuruh menyebut ‘sukouw’ (bibi guru) kepadanya karena Pendekar Buta tetap menganggap ayahnya sebagai guru. Dengan suara lantang ia membentak,

"Dia benar Swan Bu! Siapa membuntungi lengannya?" la tidak dapat bertanya kepada Swan Bu karena pemuda itu sudah pingsan lagi.

Siu Bi mendongkol sekali. Ia seorang gadis yang berwatak aneh luar biasa. Hatinya yang keras bagai baja mentah itu agaknya hanya dapat dicairkan oleh kehalusan. Menghadapi kekerasan, dia akan menjadi semakin keras. Suara Swan Bu menyebut ‘bibi guru’ dan perhatian Cui Sian terhadap pemuda itu, mendatangkan kedongkolan hatinya.

"Kau mau membelanya? Nah, terimalah keponakanmu ini!" teriaknya sambil melempar tubuh Swan Bu ke arah Cui Sian.

Gadis Thai-san-pai ini cepat-cepat menerima tubuh itu dan alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan betapa tubuh itu panas sekali. Cepat ia menurunkan tubuh Swan Bu dengan hati-hati ke bawah pohon yang teduh, kemudian memeriksanya.

Keadaan Swan Bu tidak berbahaya, kecuali kalau darahnya keracunan oleh luka lengan buntung itu. Maka dia lalu menotok beberapa jalan darah sambil mengerahkan sinkang dengan tangan kiri yang ia tempelkan di punggungnya. Kemudian ia berdiri, meloncat ke depan Siu Bi yang masih berdiri tegak dengan muka marah.

"Siu Bi, siapa yang membuntungi lengannya?"

Siu Bi mengedikkan kepala, membusungkan dada. "Aku! Dia anak Pendekar Buta musuh besarku!" Meski mulutnya hanya berkata demikian, akan tetapi pandang matanya seolah menantang, "Kau mau apa?"

Cui San menenangkan hatinya yang menggelora, lalu bertanya, "Kau telah membuntungi lengannya, mengapa dia kau dukung? Hendak kau bawa kemanakah dia?"

Tiba-tiba wajah Siu Bi menjadi merah sekali, "dia... dia demam, aku harus merawatnya... ehhh, kau cerewet amat, mau apa sih?"

Kemarahan Cui Sian tidak sanggup ditahannya lagi. Sekali tangannya bergerak ia telah mencabut Liong-cu-kiam. Pedang itu berkeredepan saking tajamnya dan diam-diam Siu Bi bergidik. la cukup maklum akan kelihaian puteri Raja Pedang ini dan tahu pula bahwa ia tak akan mampu menang melawannya. Akan tetapi untuk menjadi takut, nanti dulu! Dengan hati penuh kemarahan ia juga siap bertempur mati-matian.

"Siu Bi, kau bocah iblis! Aku tahu bahwa pada dasarnya kau bukanlah orang jahat, akan tetapi karena kau hidup di lingkungan iblis-iblis kejam, hatimu menjadi kejam dan ganas. Manusia macam engkau ini perlu diberi hajaran!"

"Cerewet kau!" bentak Siu Bi dan pedangnya menyambar-nyambar, merupakan sinar hitam, disusul pukulan tangan kirinya yang ampuh, yaitu pukulan Hek-in-kang.

Cui Sian cepat mengelak dari pukulan dan menangkis pedang lawan, kemudian dengan sama hebatnya ia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh Siu Bi. Sebentar saja kedua orang dara perkasa ini sudah bertanding dengan seru. Siu Bi bertempur dengan nekat, mengerahkan semua kepandaian dan tenaganya hingga mau tidak mau membuat Cui Sian menjadi kewalahan. Bila mana puteri Raja Pedang ini menghendaki, dengan jurus-jurus mematikan dari ilmu pedangnya yang hebat, agaknya ia akan dapat merobohkan lawannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Akan tetapi Cui Sian adalah seorang gadis yang ingat budi. la pernah ditolong oleh Siu Bi ketika terjadi pengeroyokan di Ching-coa-to, maka tiada niat di hatinya untuk membunuh gadis liar itu. Dia hanya marah melihat Swan Bu dibuntungi lengannya dan berusaha untuk menangkap gadis ini kemudian menyerahkan keputusan hukumannya pada Swan Bu sendiri. Inilah yang membuat agak sulit ia menangkan Siu Bi, sama sulitnya dengan menangkap seekor harimau hidup-hidup, tentu lebih mudah membunuhnya.

Betapa pun juga, Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam masih tetap merupakan raja di antara sekalian ilmu pedang, sedangkan pedang di tangan Cui Sian juga merupakan pedang pusaka yang amat ampuh karena Liong-cu-kiam adalah pedang kuno yang hebat. Liong-cu-kiam ada sepasang, maka disebut Liong-cu-kiam (Sepasang Pedang Mustika Naga) dan menjadi senjata suami isteri ketua Thai-san-pai. Yang panjang dipegang Raja Pedang, yang pendek dipegang isterinya.

Akan tetapi sekarang yang pendek berada di tangan puteri mereka, Cui Sian. Dengan pedang ampuh ini di tangan sambil mainkan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam, lewat lima puluh jurus, Siu Bi menjadi pening dan kabur pandang matanya. Apa lagi, sebetulnya ia masih belum sembuh benar dari luka di dalam dadanya. Yang membuat ia amat penasaran adalah cara Cui Sian bertempur. Puteri Raja Pedang itu seolah-olah mempermainkannya, buktinya setiap kali pedang berkeredepan itu sudah hampir mengenai tubuhnya, ditarik atau diselewengkan sehingga tidak mengenai dirinya.

Dia sama sekali tidak menduga bahwa Cui Sian melakukan itu dengan sengaja karena tak ingin membunuhnya. Siu Bi malah mengira bahwa gadis Thai-san-pai itu memandang rendah dan mempermainkannya. Hal ini membuatnya mendongkol dan marah sekali. Dia sampai lupa akan luka di dalam dadanya dan mengerahkan Hek-in-kang sekuatnya untuk menyerang. Sambil berteriak nyaring, tangan kirinya memukul dan uap hitam pun menyambar.

Cui Sian sangat kaget. Hebat sekali pukulan ini. Akan tetapi ia tidak mau kalah. Cepat ia menggeser kaki ke kanan dan pukulan Hek-in-kang dengan tangan kiri Siu Bi itu lalu ia gempur dengan tangan kiri terbuka sambil mengerahkan sinkang-nya.

"Dukkk!"

Siu Bi mengeluarkan pekik dan tubuhnya terlempar ke belakang, roboh, pedangnya juga terlepas dari tangan kanan. la merintih-rintih. Ada pun Cui Sian berseru kaget karena ia merasa seakan-akan tangannya dimasuki hawa yang mengandung api sedang ia sendiri terhuyung-huyung ke belakang. la terlampau memandang rendah Hek-in-kang dan kalau saja sinkang di tubuhnya belum kuat benar, tentu ia pun akan terluka hebat. Cepat gadis kosen ini menahan nafas dan menyalurkan sinkang untuk memulihkan tenaga dan melindungi isi dadanya. Kemudian ia menghampiri Siu Bi dan menotok jalan darah yang membuat Siu Bi lemas.

"Wanita sial!" Siu Bi yang sudah tidak dapat menggerakkan kaki tangan itu memaki. Dua matanya memandang dengan melotot. "Kau bunuhlah aku, aku tak takut mampus. Hayo, kalau kau gagah, bunuh aku!"

"Cih, perempuan iblis. Sudah selayaknya kau dibunuh atas perbuatan kejimu terhadap Swan Bu. Akan tetapi, aku berhutang nyawa kepadamu, terpaksa sekarang kuampuni kau..."

"Keparat, siapa memberi hutang kepadamu? Siapa sudi menerima ampunanmu? Hayo, gunakan pedangmu itu membunuhku, jangan banyak cerewet"

"Kau yang cerewet!"

"Kau cerewet, kau bawel, kau nenek-nenek bawel!" Siu Bi memaki-maki.

Akan tetapi Cui Sian tidak mau pedulikan gadis galak itu lagi karena dia sudah sibuk menghampiri dan memeriksa keadaan Swan Bu. Lega hatinya bahwa pemuda itu tidak menderita luka-luka lain yang berbahaya kecuali lengannya yang buntung. Hatinya ngeri juga ketika ia membuka lengan buntung yang dibalut itu dan melihat lengan buntung sebatas siku. Darahnya sudah mulai kering, akan tetapi ujung yang buntung itu agak membengkak.

Ini berbahaya, pikirnya. Cepat ia mengeluarkan sebungkus obat dari saku baju sebelah dalam. Dia menggunakan obat itu pada luka dan membalut luka dengan sehelai sapu tangan bersih.

"... jangan bunuh dia... Sukouw..."

Hati Cui Sian tertegun. Apa maksud Swan Bu? Tidak boleh membunuh Siu Bi? Gadis itu sudah membuntungi lengannya dan pemuda ini masih minta supaya dia jangan dibunuh? Atau mungkinkah bukan Siu Bi yang dimaksudkan? Swan Bu sedang terserang demam panas dan biasanya dalam keadaan begini, orang suka mengigau.

"Swan Bu, siapa yang kau maksudkan? Jangan bunuh siapa?"

"Siu Bi... di mana kau..., ahh, Siu Bi, sudah puaskah hatimu sekarang? Alangkah cantik engkau... cantik, liar dan ganas..."

Cui Sian merasa jantungnya tertusuk.

Ah, tidak salah lagi, ada terselip sesuatu antara dua orang muda ini, pikirnya. Celaka, Siu Bi gadis liar dari Go-bi-san itu tak hanya menimbulkan bencana karena kekejiannya, akan tetapi juga karena kecantikannya. Teringat ia akan Yo Wan, dan hatinya menjadi panas. Dia tahu bahwa Swan Bu dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi saking panasnya hati, ia menjawab,

"Jangan pedulikan dia lagi, Swan Bu."

Akan tetapi Swan Bu tentu saja tidak mendengar karena ia kembali mengigau perlahan, tubuhnya panas sekali.

"Sian-moi...!"

Panggilan ini mengagetkan Cui Sian. Cepat ia melompat sambil membalikkan tubuhnya. Seketika wajahnya menjadi merah dan jantung di dadanya berdebar tidak karuan ketika matanya mendapat kenyataan bahwa ia tadi tidak keliru mengenal suara itu, suara Yo Wan!

Akan tetapi kegembiraan hatinya itu ternoda kekecewaan ketika dilihatnya kedatangan pemuda itu bersama seorang dara remaja yang cantik jelita.

"Yo-twako, kebetulan kau datang...," katanya halus.

Akan tetapi Yo Wan sudah melompat ke dekat Swan Bu, memandang dengan mata terbelalak. "Dia ini... bukankah dia sute Kwa Swan Bu?"

Cui Sian mengangguk dan Yo Wan sudah berlutut di dekat tubuh Swan Bu, memandang lengannya yang buntung. Ada pun Lee Si begitu melihat lengan Swan Bu yang kiri buntung, hampir saja ia terguling pingsan. Matanya serasa kabur, kepalanya nanar, bumi yang dipijaknya serasa berputaran. Cepat ia menahan pekik yang hendak meluncur dari mulutnya sehingga hanya terdengar seperti orang mengeluh dan ia pun berlutut di dekat Yo Wan.

"Oh... ahhh..." hanya inilah yang keluar dari mulutnya.

Sedangkan Yo Wan cepat memeriksa tubuh Swan Bu. Seperti juga Cui Sian tadi, dia merasa lega bahwa Swan Bu tidak menderita luka lain yang berbahaya.

"Sian-moi, siapa yang membuntungi?" Ia menahan kata-katanya dan jantungnya serasa berhenti berdetak ketika Yo Wan teringat akan Siu Bi. Siapa lagi kalau bukan Siu Bi?

"Itulah orangnya!" kata Cui Sian menuding ke arah Siu Bi yang rebah miring tak jauh dari situ.

Dua orang muda yang baru datang ini tadi tidak melihat Siu Bi dan sekarang mereka menoleh. Lee Si sudah meloncat sambil mengeluarkan seruan marah. Sedangkan Yo Wan hanya memandang dengan muka berubah agak pucat. Dengan kemarahan meluap-luap Lee Si menyambar tubuh Siu Bi, dijambak rambutnya dan ditariknya berdiri.

"Plak-plak!"

Dua kali tangan kirinya menampar, dan tanda jari-jari merah menghias kedua pipi Siu Bi yang tersenyum-senyum mengejek.

"Hi-hik-hik, perempuan tak tahu malu. Beraninya kalau aku sudah tidak berdaya. Hayo bebaskan totokan ini dan lawan aku secara orang gagah!"

Akan tetapi Lee Si tidak mempedulikan omongannya, malah dia menarik lepas rambut kepala Siu Bi dan menggantungkan Siu Bi pada cabang pohon, mengikatkan rambutnya yang panjang pada cabang pohon itu. Cabang itu rendah saja sehingga kedua kaki Siu Bi tergantung hanya belasan senti meter dari tanah.

"Siapakah gadis itu?" Cui Sian bertanya kepada Yo Wan yang masih saja memandang dengan mata terbelalak dan muka agak pucat.

"Dia Lee Si, puteri kakakmu Tan Kong Bu...," jawab Yo Wan, suaranya menggetar dan lemah.

Karena keadaan tegang, Cui Sian tidak memperhatikan hal ini dan ia pun memandang. Kiranya gadis remaja itu adalah keponakannya sendiri!

"Iblis betina jahat! Hayo kau ceritakan mengenai fitnah keji yang kalian rencanakan, tipu muslihat rendah yang kalian jalankan untuk merusak nama baik Swan Bu dan aku!"

"Tipu muslihat yang mana? Berlaku galak terhadapku setelah aku berada dalam keadaan tertotok, barulah dapat disebut tipu muslihat! Aku tidak biasa melakukan fitnah dan tipu muslihat!" Siu Bi menjawab seenaknya, sepasang matanya yang bening itu memandang penuh ejekan kepada Lee Si.

"Plak! Plak!" kembali tangan Lee Si menampar kedua pipi Siu Bi.

"Kalau kau tidak mau mengaku, akan kusiksa sampai mampus!" Lee Si melompat dan mematahkan sebatang ranting pohon. "Hayo kau mengakulah bahwa Ang-hwa-pai telah mengatur siasat untuk mengelabui mata ayahku agar ayahku mengira Swan Bu dan aku sudah melakukan perbuatan hina!"

"Hi-hi-hik, kaulah yang ingin melakukan perbuatan hina. Swan Bu mana mau? Hi-hi-hik, tak tahu malu!" kembali Siu Bi mengejek, diam-diam hatinya panas dan penuh cemburu.

la mencinta Swan Bu, mencinta dengan seluruh jiwa raganya, hal ini amat terasa olehnya setelah ia membuntungi lengan pemuda itu. Karena itu, teringat bahwa gadis ini pernah berdekatan dengan Swan Bu, hatinya penuh cemburu.

Mendengar ejekan Siu Bi, Lee Si benar-benar makin marah. Ranting pohon di tangannya lantas menyambar dan mencambuki muka, leher dan tubuh Siu Bi yang tetap tersenyum-senyum dan memaki-maki. Biar pun dalam keadaan marah, Lee Si masih teringat untuk menahan diri sehingga pukulan-pukulannya dengan ranting pohon itu tidak akan sampai menewaskan Siu Bi.

"Apakah yang dia maksudkan?" kembali terdengar Cui Sian bertanya kepada Yo Wan.

Yo Wan menarik nafas panjang. Hatinya tidak karuan rasanya melihat keadaan Siu Bi demikian itu. Akan tetapi kalau teringat betapa lengan Swan Bu dibuntungi, dia sendiri pun menjadi sakit hati dan marah.

Maka biar pun di lubuk hatinya dia merasa tidak tega melihat Siu Bi dicambuki seperti itu, namun dia tidak mau mencegah Lee Si. la pun maklum akan keadaan perasaan hati Lee Si yang penuh dendam karena merasa pernah dihina dan dipermainkan Ang-hwa-pai, di mana Siu Bi juga menjadi anak buah atau kawan.

"Lee Si bersama Swan Bu pernah tertawan oleh Ang-hwa-pai yang menotok mereka dan menggunakan mereka untuk mengadu domba." Dengan singkat dia lalu menuturkan apa yang dia dengar dari Lee Si dan muka Cui Sian menjadi merah sekali.

"Hemmm, keji sekali. Gadis liar ini memang patut dihajar. Kalau saja aku tidak ingat dia dahulu pernah menolongku, tadi pun aku sudah membunuhnya. Sekarang Lee Si yang memuaskan dendamnya, biarlah."

Mereka berhenti bicara dan kembali memperhatikan Lee Si yang masih memaksa Siu Bi mengakui tipu muslihat keji dari Ang-hwa-pai. Muka dan leher Siu Bi telah penuh dengan jalur-jalur merah bekas sabetan, juga bajunya sudah robek sana-sini dan kulit tubuhnya matang biru.

"Kau masih tak mau mengaku? Keparat, apakah kau benar-benar ingin mampus?" Lee Si membanting ranting pohon yang sudah setengah hancur, lalu menginjak-injak ranting ini.


cerita silat online karya kho ping hoo


Sebagai puteri dari ayah bunda yang keras hati, tentu saja Lee Si memiliki dasar watak berangasan dan keras pula, walau pun gemblengan ayah bundanya membuat ia jarang sekali meluapkan kekerasannya dan menutupinya dengan sikap yang tenang, sabar dan halus budi.


Tiba-tiba Siu Bi tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening, sangat mengejutkan dan mengherankan hati Cui Sian serta Yo Wan. Dua orang ini diam-diam harus mengagumi ketabahan gadis liar itu, yang dalam keadaan tertawan dan tersiksa masih dapat tertawa seperti itu, tanda dari hati yang benar-benar tabah dan tidak kenal takut.

"Hi-hi-hik-hik, Lee Si, kau sungguh lucu! Kau tahu bukan aku orangnya yang melakukan segala tipu muslihat curang, akan tetapi kau terus memaksa-maksa aku mengaku. Apa kau kira aku tidak mengerti isi hatimu yang tak tahu malu? Hi-hi-hik, kau marah-marah dan benci kepadaku karena aku membuntungi lengan Swan Bu, betul tidak? Ihhh, tak usah kau pura-pura membelanya, kau bisa dekat dengannya hanya karena diusahakan orang. Tetapi dia cinta padaku, dengarkah kau? Dia cinta padaku, ahhh... dan aku cinta padanya..." Suara ketawa tadi kini terganti isak tertahan.

Wajah Lee Si sebentar pucat sebentar merah. Mendadak dia mencabut pedangnya dan membentak, "Perempuan rendah, perempuan hina, kau memang harus mampus!" lantas pedangnya diangkat dan dibacokkan ke arah leher Siu Bi.

"Tranggg...!"

Lee Si menjerit dan cepat meloncat ke kiri karena pedangnya telah tertangkis dan hampir saja terlepas dari tangannya. la memandang heran kepada Yo Wan dan sempat melihat pemuda itu menyimpan pedang dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, hampir tidak tampak.

"Yo-twako... kenapa kau...?”

"Adik Lee Si, sabarlah. Tidak baik membunuh lawan dengan darah dingin secara begitu, apa lagi dia sudah tertawan dan tadi kau sudah lepaskan amarahmu kepadanya. Siu Bi, kau tutuplah mulutmu, jangan menghina orang."

"Hi-hi-hik, kau Jaka Lola, Yo Wan yang berhati lemah. Alangkah lucunya! Setiap bertemu gadis cantik kau menjadi pelindung, laki-laki macam apa kau? Hayo kau bunuh aku kalau memang jantan!"

Yo Wan menggeleng-geleng kepalanya. "Sayang kau terjerumus begini dalam, Siu Bi, sungguh sayang...! Aku takkan membunuhmu, kau boleh pergi dan jangan mengganggu kami lagi..." Yo Wan melangkah maju, tangannya meraih hendak membebaskan Siu Bi dari cabang pohon.

"Yo-twako, tahan dulu...!" Tiba-tiba Cui Sian melangkah mendekat. "Apakah kau hendak membebaskannya begitu saja? Itu tidak adil namanya!"

Yo Wan menoleh dan alangkah herannya melihat sinar mata gadis cantik ini luar biasa tajam menentangnya, seolah-olah sinar mata itu mengandung hawa amarah kepadanya. la benar-benar tidak mengerti, dengan pandang matanya dia berusaha menyelidik isi hati Cui Sian dan tiba-tiba wajah Yo Wan berseri.

Mungkinkah ini? Mungkinkah Cui Sian merasa cemburu kepada Siu Bi? Ahh, alangkah sulit dipercaya. Tak mungkin matahari terbit dari barat, tak mungkin puteri Raja Pedang... cemburu dan marah melihat dia membebaskan Siu Bi yang dapat dianggap tanda cinta kasih.

Sepasang pipi halus itu tiba menjadi merah. Cui Sian nampak gugup ketika melanjutkan kata-katanya setelah beradu pandang tadi. "Dia... dia telah membuntungi lengan tangan Swan Bu! Sebaiknya kita serahkan kepada Swan Bu sendiri bagaimana keputusannya terhadap gadis liar itu. Bukankah kau pikir begitu seadilnya, Twako?"

Yo Wan mengangguk-angguk, mengerutkan alisnya yang hitam. "Betapa pun juga, kalau Sute kehilangan lengannya dalam sebuah pertempuran, aku akan menasehatinya agar jangan dia membalas secara begini. Bukan perbuatan gagah."

Terdengar Swan Bu mengerang dan mereka bertiga segera menghampiri pemuda itu. Girang hati mereka karena kini tubuh Swan Bu tidak begitu panas lagi dan pemuda itu sudah siuman, menyeringai kesakitan ketika menggunakan lengan kiri untuk menunjang tubuhnya.

"Auhhh... hemmm, bibi Cui Sian, dan..." wajahnya menjadi merah sekali. "...dan kau, Lee Si Moi-moi..." la tertegun menatap wajah Yo Wan yang berdiri dan tersenyum kepadanya. Sampai lama mereka berpandangan, kemudian Swan Bu melompat berdiri.

"Kau... kau...?"

Yo Wan mengangguk-angguk dan tersenyum, hatinya terharu. "Sute..."

"Kau Yo Wan... ehh, Yo-suheng!" Dan keduanya berangkulan.

Pada waktu mereka berangkulan itu, Swan Bu langsung melihat ke arah Siu Bi yang tergantung di cabang pohon, yang kebetulan berada di sebelah belakang Yo Wan.

"Ehh... dia... dia kenapa...?" berkata gagap sambil merenggut diri dari rangkulan Yo Wan.

"Aku tadi telah menangkapnya, Swan Bu, dan kami menanti keputusanmu. Setelah dia membuntungi lenganmu dan dia sekarang sudah tertawan, apa yang akan kita lakukan kepadanya?" kata Cui Sian.

Swan Bu melangkah maju tiga tindak seperti gerakan orang linglung, matanya menatap tajam kepada Siu Bi. Tanpa bertanya dia maklum apa yang telah terjadi, melihat muka dan leher gadis itu penuh dengan jalur-jalur merah, rambutnya terlepas dan diikatkan di cabang pohon, pakaiannya robek-robek bekas cambukan.

Hatinya trenyuh, ingin dia lari memeluknya, cinta kasihnya tercurah penuh kepada gadis itu. Akan tetapi dia teringat akan kehadiran Lee Si, Cui Sian, dan juga Yo Wan. Suatu ketidak mungkinan besar bila dia memperlihatkan cinta kasih kepada gadis musuh besar yang baru saja membuntungi lengannya! Tak mungkin!

"Swan Bu," kata Cui Sian melihat sikap pemuda itu seperti orang linglung yang ia kira tentu karena demam, ”katakan, apa yang harus kita lakukan terhadapnya? Lenganmu ia bikin buntung secara bagaimana? Kalau dia berlaku curang, sepatutnya bila ia dihukum dan..."

"Tidak, Bibi, bebaskan dia! Aku terbuntung dalam pertempuran. Bebaskan dia, aku tidak ingin melihatnya lebih lama lagi!"

Yo Wan yang memang mengharapkan Siu Bi dibebaskan, segera bergerak dan dalam waktu beberapa detik saja, rambut itu sudah terlepas dari cabang, dan jalan darah Siu Bi sudah normal kembali.

Siu Bi membiarkan rambutnya terurai, dan berdiri seperti patung, menatap wajah Swan Bu. Air matanya menitik turun berbutir-butir, tapi bibirnya tersenyum, "Swan Bu, selamanya aku akan menantimu..." Setelah berkata demikian, gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, tidak lupa menyambar pedang Cui-beng-kiam yang menggeletak di situ.

"Ahhh...!" Swan Bu mengeluh dan dia tentu akan terguling kalau saja Cui Sian tidak cepat menangkapnya. Ternyata Swan Bu sudah pingsan kembali!

Cui Sian dan Lee Si mengira bahwa keadaan pemuda ini karena demam dan lukanya. Akan tetapi diam-diam Yo Wan mengeluh dalam hatinya. Dia dapat menduga sedalam-dalamnya. Tidak mungkin seorang gadis seperti Siu Bi dapat mengalahkan Swan Bu dalam sebuah pertempuran, apa lagi membuntungi lengannya. Akan tetapi, Swan Bu sengaja mengaku bahwa lengannya buntung dalam pertempuran! Ini saja sudah membuka rahasia bahwa Swan Bu jatuh cinta kepada Siu Bi.

"Hemmm, seyogyanya gadis liar seperti itu tidak boleh dibebaskan...," Cui Sian berkata sambil menidurkan Swan Bu ke atas tanah.

"Sian-moi, tadi kau dengar sendiri Swan Bu menghendaki demikian dan kurasa sekarang yang terpenting bukan hal itu. Aku dan adik Lee Si sudah naik ke Liong-thouw-san, akan tetapi suhu dan subo ternyata tidak berada di sana, agaknya baru beberapa hari pergi meninggalkan puncak, tidak tahu ke mana mereka itu pergi. Urusan yang menyangkut nama baik adik Lee Si dan sute bukan hal main-main, kurasa kemarahan Tan Kong Bu Lo-enghiong takkan mudah dipadamkan jika tak ada bukti yang membuka rahasia fitnah dan tipu muslihat kaum Ang-hwa-pai. Karena itu, harap Sian-moi suka merawat Swan Bu dan sekarang juga aku akan mengantarkan adik Lee Si ke Kong-goan, hendak kucoba mencari Ang-hwa Nio-nio dan menundukkannya, memaksanya untuk membuka rahasia itu, jika mungkin di depan Tan-loenghiong sendiri, atau setidaknya di depan orang-orang tua kita."

Cui Sian mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang melengkung indah. "Aku tahu watak Kong Bu koko sangat keras. Kata ayah seperti baja. Akan tetapi dia juga tidak dapat disalahkan jika sekarang marah-marah karena apa yang dilihatnya memang merupakan penghinaan yang tiada taranya bagi seorang gagah."

"Itulah yang amat menggelisahkan hatiku, Bibi." kata Lee Si. "Pada waktu itu aku berada dalam keadaan tertotok, tak dapat bergerak, sudah kucoba memanggil ayah, akan tetapi dia terlalu marah dan musuh yang menjalankan tipu muslihat terlampau pandai. Memang nasibku yang buruk..."

Lee Si menangis dan tak seorang pun tahu bahwa tangisnya ini sebagian besar karena menyaksikan sikap Siu Bi tadi. Terutama sekali karena Swan Bu malah membebaskan dan seakan-akan mengampuni gadis yang telah membuntungi lengannya!

"Sudah, tenanglah, Lee Si. Dengan didampingi twako yang akan mengurus penjernihan persoalan ini, kurasa segalanya akan berhasil baik."

"Sian-moi, kau lebih mengerti mengenai pengobatan dari pada aku, kalau tidak demikian agaknya akulah yang seharusnya merawat sute dan kau menemani adik Lee Si. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti bagaimana harus merawatnya sampai sembuh, kalau salah perawatan bisa berbahaya..."

"Tidak apa, Yo-twako. Sudah sepatutnya aku merawat Swan Bu. Kau berangkatlah."

Yo Wan sebetulnya merasa berat untuk segera berpisah setelah pertemuan yang tidak terduga-duga ini. Akan tetapi tugas lebih penting dari pada perasaan pribadi, maka dia pun lalu berangkatlah bersama Lee Si. Dengan gadis ini di sampingnya, tentu saja perjalanan tak dapat dilakukan secepat bila dia pergi seorang diri. Baiknya Lee Si bukan gadis lemah, dan ilmu lari cepatnya boleh juga sehingga tidaklah akan terlalu lambat.

Tidak demikian dengan Cui Sian. Setelah Swan Bu siuman kembali, ia segera mengajak pemuda ini melakukan perjalanan perlahan dan lambat, mencari sebuah dusun atau kota di mana mereka akan dapat beristirahat dan ia dapat mencarikan ramuan obat untuk pemuda itu.

Swan Bu jarang bicara, kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan Cui Sian. Pemuda ini kelihatan termenung, akan tetapi sama sekali tidak memikirkan lengannya yang buntung. Untuk kedua kalinya, Cui Sian mendengar cerita seperti yang ia dengar dari penuturan Yo Wan, yaitu tentang tipu muslihat dan fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa-pai di kota Kong-goan.

"Kong Bu koko tentu marah sekali. Dia terlalu polos untuk dapat menduga bahwa semua itu hanya fitnah yang sengaja diatur dan direncanakan oleh musuh." Cui Sian menarik nafas panjang.

Mereka bercakap-cakap sambil berjalan perlahan-lahan, keluar dari dalam hutan setelah melakukan perjalanan sepekan lamanya. Selama itu, mereka hanya melalui gunung dan hutan, tidak pernah melihat dusun. Atas kehendak Swan Bu, walau pun lambat, mereka melakukan perjalanan menuju ke Kong-goan menyusul Yo Wan dan Lee Si.

"Itulah yang menggelisahkan hatlku, Sukouw. Paman Kong Bu pasti akan marah sekali, dan mendengar suaranya pada saat itu, aku yakin bahwa dia tidak akan ragu-ragu untuk melaksanakan ancamannya, yaitu membunuhku. Kalau sampai aku bertemu dengan dia dan paman Kong Bu bersikeras hendak membunuhku, bagaimana aku berani melawan dia? Aku cukup maklum betapa pedihnya urusan ini baginya... dan aku tidak tahu bagai mana harus mengatasinya."

“Jangan khawatir. Kurasa betul Yo-twako, bahwa jalan satu-satunya hanya memaksa mereka yang melakukan fitnah untuk mengaku di depan Kong Bu koko, dan aku percaya betul Yo-twako akan dapat membereskan hal ini."

Biar pun keadaannya seperti itu, diam-diam Swan Bu tersenyum dan mengerling ke arah wajah gadis di sampingnya itu. "Sukouw, hebat betulkah kepandaian Yo-suheng? Dulu ketika aku masih kecil, dia sudah amat hebat akan tetapi jika aku ingat betapa dulu aku pernah memanahnya, ahhh... dan sekarang dia mati-matian hendak membela namaku, sungguh aku merasa malu!"

"Kau... memanahnya?"

Swan Bu tersenyum masam. "Aku masih kanak-kanak dan sangat manja, kurasa tidak ada orang yang dapat melawanku ketika itu."

la lalu menceritakan kejadian pada waktu dia masih anak-anak dan dengan orang tuanya berada di puncak Hoa-san. Lalu datang ketua Sin-tung Kaipang yang hendak mencari perkara, dan muncullah Yo Wan yang biar pun sudah terpanah pundaknya oleh Swan Bu, namun masih berhasil mengusir semua musuh.

Cui Sian kagum bukan main dan semakin besarlah perasaan mesra terhadap Yo Wan bersemi di hatinya.

"Hebat dia," katanya tanpa menyembunyikan perasaannya, "dan dia sama sekali tidak marah ketika itu! Sekarang pun dia sama sekali tidak menaruh dendam, malah berusaha untuk membersihkan namamu. Swan Bu, aku percaya, seorang gagah seperti dia pasti akan mampu membereskan urusanmu ini."

"Mudah-mudahan, Sukouw. Akan tetapi, apakah paman Kong Bu mau menerima begitu saja, entahlah. Keadaan adik Lee Si ketika itu memang... memang... ahhh, kasihan dia, tentu saja sebagai seorang gadis terhormat ia merasa amat terhina."

Cui Sian termenung, lalu tiba-tiba ia berkata, "Memang sukar menghapus luka itu, baik dari hati Lee Si mau pun dan hati Kong Bu koko, kehormatan mereka tersinggung hebat dan kiranya hanya ada satu jalan untuk menebusnya Swan Bu."

"Jalan apakah itu, Sukouw?"

"Tiada lain, kau menikah dengan Lee Si!"

Wajah pemuda itu seketika menjadi merah sekali, dan dia kaget bukan main.

"Tidak... tidak mungkin..."

Cui Sian sudah berhenti melangkah dan sekarang mereka berdiri berhadapan. Swan Bu menundukkan mukanya.

"Swan Bu, aku tahu bahwa kau mencinta Siu Bi, bukan?" Suaranya amat tajam, seperti juga pandang matanya.

Swan Bu mengangkat muka, tak tahan melihat pandang mata tajam penuh selidik itu dan dia menunduk kembali, hatinya risau. Ingin mulutnya membantah, akan tetapi tak dapat dia mengeluarkan kata-kata karena tahu bahwa apa bila dia memaksa bicara, suaranya akan sumbang dan gemetar, juga akan bohong, tidak sesuai dengan suara hatinya.

"Swan Bu, aku tak akan menyalahkan orang mencinta, sungguh pun harus diakui bahwa cintamu tidak mendapatkan sasaran yang benar kalau kau memilih Siu Bi. Dia seorang gadis liar yang rusak oleh pendidikan keliru, dan dia sudah membuntungi lenganmu!"

Dengan suara datar dan lirih Swan Bu berkata, "Dia hanya memenuhi sumpahnya untuk membalas dendam kakeknya."

Cui San menarik nafas panjang. "Betapa pun juga, dunia kang-ouw akan mentertawakan engkau kalau kau memilih Siu Bi, dan hal ini akan berarti merendahkan derajat orang tuamu. Dengan mengawini Lee Si, tidak saja kekeluargaan akan menjadi semakin erat, juga kau membersihkan nama Kong Bu koko, orang tuamu tentu bangga, orang tua Lee Si bangga, dan segalanya berjalan baik serta semua orang menjadi puas. Swan Bu, seorang satria sanggup mengorbankan apa saja demi untuk kehormatan keluarga dan demi membahagiakan semua orang. Lee Si adalah seorang dara yang cantik jelita, dan kiraku tidak kalah oleh Siu Bi, juga dalam ilmu kepandaian, kurasa tidak kalah jauh. Aku bersedia menjadi perantara karena aku adalah bibi dari Lee Si."

Swan Bu terdesak hebat oleh kata-kata Cui Sian yang memang tepat. "Baiklah hal itu kita bicarakan lagi kelak, Sukouw. Kalau memang tak ada jalan lain, aku tidak merasa terlalu tinggi untuk menjadi suaminya, apa lagi... apa lagi melihat lenganku yang telah buntung. Apakah adik Lee Si tidak jijik melihat seorang yang cacad seperti aku?"

Sebelum Cui Sian sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi. Suara itu terdengar lapat-lapat dari tempat jauh.

"Ada pertempuran di sana!" kata Cui Sian. "Biar kulihat!" la segera melesat dengan cepat sekali, berlari ke arah suara tadi.

Swan Bu yang sudah agak mendingan, berlari mengejar. Akan tetapi karena dia belum berani mengerahkan ginkang, dia berlari biasa dan tertinggal jauh. Suara melengking tadi sudah tak terdengar lagi, maka Swan Bu hanya berlari ke arah menghilangnya bayangan Cui Sian yang memasuki sebuah hutan kecil.

Beberapa menit kemudian, dia tiba di sebuah lapangan rumput dan alangkah kagetnya ketika dia melihat Cui Sian berlutut sambil menangisi tubuh seorang laki-laki yang rebah tak bergerak, sebatang pedang terhujam di dadanya sampai tiga perempat bagian. Jelas bahwa laki-laki itu sudah tewas, terlentang dan mukanya tertutup tubuh Cui Sian yang berguncang-guncang menangis. Hati Swan Bu berdebar tidak karuan, dia mempercepat larinya mendekati.

"Paman Kong Bu...!" Swan Bu berseru keras dan cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat Cui Sian. "Sukouw, apa yang terjadi...?"

Dengan suara mengandung isak, Cui Sian menjawab, "Aku tidak tahu... tadi aku datang terlambat, dia sudah menggeletak seperti ini... tidak tampak orang lain... ah, koko... tidak dinyana begini nasibmu..."

Tiba-tiba Swan Bu menjerit kemudian melompat bangun. Cui Sian kaget dan cepat-cepat memandang. la melihat pemuda itu berdiri dengan muka pucat, mata terbelalak lebar dan tangan kanannya menutupi depan mulut, akan tetapi tetap saja mulutnya mengeluarkan kata-kata terputus-putus, "... tak mungkin ini... tak mungkin... pedang... Kim-seng-kiam..."

Cui Sian mengerutkan kening dan memandang ke arah pedang yang menancap di dada kakaknya. Pada gagang pedang itu tampak ukiran sebuah bintang emas, agaknya sebab itulah maka namanya Kim-seng-kiam (Pedang Bintang Emas).

"Swan Bu, kau mengenal pedang itu, pedang siapakah?" tanyanya, suaranya kereng dan sekarang tangisnya sudah terusir pergi, yang ada hanya kepahitan dan rasa penasaran terbungkus kemarahan.

"Kim-seng-kiam... pedang ibuku..., tapi tak mungkin ibu..."

Dagu yang manis runcing itu mengeras, sepasang mata bintang itu mengeluarkan sinar berapi. "Hemm, hemm, apanya tidak mungkin? Kakakku menemui ayah bundamu, minta pertanggungan jawab, salah paham dan bercekcok terus bertanding, kakakku mana bisa menangkan ayah bundamu? Hemmm, hemmm betapa pun juga, aku adiknya hendak mencoba-coba, mereka tentu belum pergi jauh!” Setelah berkata demikian, Cui Sian lalu berkelebat pergi sambil menghunus pedangnya.

"Sukouw...!" Akan tetapi Cui Sian tidak menjawab.

"Sukouw, tunggu dulu! Tak mungkin ibu..." Akan tetapi kini Cui Sian sudah lenyap dari pandang matanya.

Swan Bu sendiri dengan hati berdebar-debar terpaksa harus mengaku bahwa dia sendiri kini merasa ragu-ragu, apakah benar ibunya tidak mungkin melakukan pembunuhan ini? Ibunya penyabar, akan tetapi jika paman Kong Bu memaki-maki sesuai dengan wataknya yang keras dan kasar, tentu ibunya akan marah pula, mereka bertempur memperebutkan kebenaran anak masing-masing dan... ahhh, mungkin saja berakibat begini.

"Ah, paman Kong Bu, mengapa begini...?" la memeluk tubuh yang sudah menjadi mayat itu dan menangis saking bingungnya.

Kemudian, sambil menekan kedukaan hati, Swan Bu mengerahkan seluruh tenaganya, sedapatnya dia menggali lubang mempergunakan pedang Kim-seng-kiam yang ia cabut dari dada jenazah pamannya. Kemudian, sesudah bekerja setengah hari dengan susah payah, dia berhasil mengubur jenazah itu yang dia beri tanda tiga buah batu besar di depannya. Dan akhirnya, dengan tubuh lelah dan hati hancur, pemuda ini menyeret kedua kakinya berjalan terhuyung-huyung. Pedang Kim-seng-kiam masih di tangannya.


Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, menuruni Liong-thouw-san dengan hati gelisah. Mereka melakukan perjalanan cepat, akan tetapi karena perjalanan itu amat jauh dan mereka di sepanjang jalan mencari keterangan tentang putera mereka, maka lama juga baru mereka sampai di luar kota Kong-goan. Kota itu kira-kira berada dalam jarak lima puluh li lagi saja, dan karena hari amat panas, maka keduanya beristirahat dalam hutan pohon liu yang indah dan sejuk hawanya. Kun Hong bersandar pada sebatang pohon. Hatinya yang risau oleh urusan puteranya itu dia tekan dengan duduk bersiulian menghilangkan segala macam pikiran keruh.

Hui Kauw tak pernah dapat melupakan puteranya semenjak mereka turun gunung, dan pada saat itu ia pun duduk termenung dalam bayangan pohon. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan memandang ke depan. Dari depan ada orang datang, seorang wanita muda yang jalannya terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Hui Kauw tertarik sekali. Ia menahan seruannya ketika melihat gadis itu terguling! Cepat Hui Kauw melompat-lompat ke arah gadis itu dan kembali ia menahan seruannya.

Gadis ini masih muda, lagi cantik jelita. Akan tetapi muka dan lehernya penuh jalur-jalur bekas cambukan, pakaiannya banyak yang robek, juga bekas terkena cambuk. Agaknya gadis ini baru saja mengalami siksaan.

"Kasihan..." Hui Kauw berkata.

Tanpa ragu-ragu dia lalu memondong tubuh itu dan membawanya kembali ke tempat semula. Dia dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang lemah, terbukti dari sebatang pedang yang tergantung di belakang punggungnya.

"Siapakah dia?" Kun Hong bertanya.

"Entahlah, seorang wanita muda, tubuhnya penuh luka bekas cambukan, dia pingsan," jawab Hui Kauw.

Tanpa diminta Kun Hong menjulurkan tangan meraba dahi, pundak, dan pergelangan tangan.

"Luka-lukanya tidak ada artinya, hanya luka kulit, akan tetapi dia terserang hawa nafsu kemarahan dan kedukaan sehingga mempengaruhi limpa dan hati, membuat hawa Im dan Yang di dalam tubuh tidak berimbang, hawa Im membanjir. Karena itu, kau bantulah dengan Yang-kang pada punggungnya."

Hui Kauw sebagai isteri Pendekar Buta tentu saja sedikit banyak sudah tahu akan ilmu pengobatan dan sudah biasa dia membantu suaminya. Mendengar ini, tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menempelkan telapak tangan kanan di punggung gadis itu dan mengerahkan Yang-kang disalurkan ke dalam tubuh si sakit melalui punggungnya. Tepat cara pengobatan ini. Tak sampai seperempat jam, gadis itu sudah siuman kembali dan jalan pernafasannya tidak memburu seperti tadi, malah akhirnya ia membuka kedua matanya, menggerakkan kepala memandang ke kanan kiri.

"Tenang dan kau berbaring saja, Nak. Biar kuobati luka-lukamu," kata Hui Kauw sambil mengeluarkan sebungkus obat bubuk.

Gadis itu meringis kesakitan, akan tetapi membiarkan Hui Kauw mengobatinya.

"Mula-mula memang perih rasanya, akan tetapi sebentar pun akan sembuh," kata Hui Kauw. Memang ucapannya ini betul karena hanya sebentar gadis itu merintih, kemudian kelihatan tenang.

"Terima kasih, cukuplah. Kau baik sekali, Bibi..." Gadis itu bangkit duduk dan pada waktu dia menoleh ke kiri memandang Kun Hong, wajahnya berubah dan dia nampak kaget.

"Siapa dia...?"

Hui Kauw tersenyum. "Jangan khawatir, dia itu hanya suamiku. Kau kenapakah, tubuhmu bekas dicambuki dan kau kelihatan berduka, marah, dan mudah kaget. Siapakah kau?"

Gadis itu menengok ke kanan kiri seakan-akan ada yang dicari dan ditakuti, kemudian ia berkata, "Aku belum tahu siapakah kalian ini, bagaimana aku berani bicara mengenai diriku?"

Kembali Hui Kauw tersenyum, dia sama sekali tidak marah melihat kecurigaan gadis itu. Agaknya gadis ini telah banyak menderita dan menjadi korban kejahatan hingga mudah menaruh curiga terhadap orang lain.

"Jangan khawatir, anak manis. Kami bukanlah orang jahat, dia itu suamiku bernama Kwa Kun Hong dan aku isterinya... he, kenapa kau...?" Hui Kauw terheran-heran melihat gadis itu melompat dan mukanya pucat.

"Aku... aku takut kalau... kalau mereka mengejar..."

"Jangan takut, apa bila ada orang jahat mengganggumu, kami akan membantumu," Kun Hong berkata, suaranya halus, tetapi diam-diam hatinya menduga-duga. "Kau siapakah dan siapa pula mereka yang mengancam keselamatanmu?"

Gadis itu duduk kembali, memandang bergantian kepada Kun Hong dan isterinya. "Aku Ciu Kim Hoa, dan mereka itu musuh-musuhku."

"Siapa mereka dan apakah yang terjadi? Mengapa kau bermusuhan dengan mereka?" tanya Hui Kauw.

Sekarang gadis itu terlihat tenang. la duduk dan menarik nafas beberapa kali, kemudian ia bercerita, suaranya perlahan dan agaknya keraguannya lenyap. "Aku seorang yang yatim piatu, hidup sebatang kara. Keluargaku habis dengan meninggalkan musuh besar, musuh keturunan yang harus kubalas. Aku mencarinya dan bertemu, tapi... tapi... aku tidak dapat benci kepadanya, betapa pun juga... aku harus melaksanakan balas dendam. Baru saja berhasil sebagian, aku lalu dikeroyok... dan ditawan, dicambuki serta disiksa. Akhirnya aku berhasil membebaskan diri dan lari sampai di sini." Dia menengok lagi ke sana ke mari, tampak ketakutan. "Aku tahu mereka tentu akan mengejarku, dan aku tidak berani pergi seorang diri..."

Hui Kauw mengerutkan kening. Di dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan, banyak terjadi pertandingan dan darah mengalir, semuanya hanya karena dendam mendendam yang tiada habisnya.

"Kau perlu menenangkan hati dan memulihkan tenaga, Kim Hoa. Biarlah semalam ini kau bersama kami agar kami dapat mencegah musuh-musuhmu mencelakaimu. Bila sampai besok tidak ada yang mengejarmu, baru kau melanjutkan perjalanan."

"Terima kasih, Bibi. Kau baik sekali."

Gadis itu masih kelihatan gelisah, akan tetapi ia tidak banyak bicara. Hanya menjawab kalau ditanya, itu pun singkat saja. la pun tidak menolak ketika Kun Hong dan Hui Kauw memberi roti kering dan minum kepadanya, dan juga tidak membantah ketika matahari sudah agak menurun, suami isteri itu mengajaknya melanjutkan perjalanan.

Atas pertanyaan, gadis itu menjawab bahwa hendak pergi ke kota raja di mana katanya berdiam seorang pamannya. Karena jalan menuju ke kota raja melewati kota Kong-goan, maka Hui Kauw mengajak gadis itu melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi tentu saja Hui Kauw tak menghendaki gadis ini mengetahui urusan apa yang sedang diselidikinya di Kong-goan. Oleh karena itu, pada sore harinya ia dan suaminya mengajak gadis itu berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah, di luar kota Kong-goan. Jika besok pagi tidak terjadi sesuatu, ia akan menyuruh gadis ini melanjutkan perjalanan sendiri.

Malam itu hawanya amat dingin, jauh berbeda dengan siang tadi. Gubuk atau pondok itu adalah pondok yang didirikan oleh tuan tanah untuk menampung hasil panen tiap tahun, hanya berupa sebuah pondok bambu yang berlantai batang padi kering. Bagi mereka yang lelah, tempat ini amatlah nyaman untuk beristirahat melewatkan malam yang dingin. Batang-batang padi kering itu hangat dan empuk, dinding bambu meski pun reyot dapat menahan sebagian angin yang bertiup dingin.

Kegelisahan hati, kelelahan, ditambah dengan dinginnya hawa membuat Pendekar Buta dan isterinya tidur nyenyak menjelang tengah malam. Orang yang berhati gelisah, atau susah menjadi lelah sekali, dan memang sukar tidur, apa bila tidur sudah menguasainya, dia akan nyenyak sekali dan agaknya dalam ketiduran inilah segala kegelisahan, segala kelelahan, lenyap tanpa bekas.

Suami isteri ini tidur pulas di salah satu sudut pondok bambu. Kun Hong tidur telentang, nafasnya panjang-panjang berat, sedangkan Hui Kauw tidur miring menghadapi tubuh suaminya, nafasnya halus tidak terdengar.

"Bibi...!" Hening tiada jawaban.

"Paman...!" Juga kesunyian mengikuti panggilan ini.

Siu Bi bangkit perlahan. Dia tadi rebah di sudut lain, tanpa pernah meramkan matanya. Setelah duduk, kembali ia memanggil suami isteri itu, menyebut mereka paman dan bibi, malah kali ini suaranya agak dikeraskan. Akan tetapi sia-sia, tidur mereka agaknya amat nyenyak sehingga tidak mendengar panggilannya.

la menahan nafas lalu bangkit berdiri dan mengerahkan seluruh tenaga ke arah matanya untuk memandang. Bulan di luar pondok bersinar cemerlang, cahayanya yang redup dan dingin menerobos di antara celah-celah atap dan dinding yang tak rapat, memberi sedikit penerangan ke dalam pondok. Siu Bi dapat melihat suami isteri itu tidur.

Pendekar Buta telentang, isterinya miring menghadapinya. Jantungnya lantas berdebar keras dan tangan kanannya bergerak meraba gagang pedang. Kesempatan yang amat baik, pikirnya. Kesempatan baik untuk melaksanakan sumpahnya, menuntaskan dendam kakeknya! Sepasang matanya beringas dan nafasnya agak terengah.

Mudah sekali. Hanya datu kali bacok selagi mereka tidur nyenyak dan... lengan mereka akan buntung! Benar-benar suatu hal yang sama sekali tak pernah dia mimpikan bahwa akhirnya dia akan dapat bertemu dengan musuh-musuh ini dalam keadaan sedemikian menguntungkannya. Agaknya arwah kakeknya sendiri yang menuntunnya sehingga dia dapat bertemu dengan mereka, dapat tidur sepondok dan mendapat kesempatan begini baik.

"Singgg…!" Pedang Cui-beng-kiam telah dicabutnya.

Siu Bi kaget sendiri mendengar suara ini. Cepat-cepat dia memandang ke sudut itu dan telinganya mendengarkan. Akan tetapi, suami isteri itu tidak bergerak, juga pernafasan mereka masih biasa, tidak berubah.

Dia berpikir sebentar. Salah, pikirnya dan pedang itu dia masukkan kembali ke sarung pedang. Dia tak bermaksud membunuh mereka, melainkan membuntungi lengan mereka yang kiri.

Akan tetapi dia teringat bahwa biar pun lengan mereka sudah buntung, agaknya kalau mereka sadar, dia tidak mungkin dapat menghadapi mereka yang memiliki kesaktian luar biasa. Membuntungi seorang di antara mereka tentulah menimbulkan pekik dan mereka terbangun, lalu dialah yang akan celaka di tangan mereka. Tidak, bukan begini caranya! Harus lebih dulu membuat mereka tidak berdaya.

Ada sepuluh menit Siu Bi berdiri termangu-mangu, memeras otak mencari keputusan yang tepat. Tubuhnya tadi agak menggigil karena tegang, akan tetapi sekarang ia sudah berhasil menekan perasaannya dan menjadi tenang. la amat memerlukan ketenangan ini, karena apa yang akan ia lakukan adalah soal mati hidup.

la menghadapi suami isteri yang terkenal sebagai orang-orang sakti di dunia persilatan. Nama Pendekar Buta menggegerkan dunia kang-ouw, bahkan orang-orang sakti seperti Ang-hwa Nio-mo dan kawan-kawannya merasa gentar menghadapi Pendekar Buta dan harus menghimpun banyak tenaga sakti untuk menghadapinya. Dan sekarang, sekaligus dia menghadapi suami isteri itu dalam keadaan yang amat menguntungkan!

Siu Bi membiasakan dulu pandang matanya di dalam pondok yang remang-remang itu. Baiknya sinar bulan makin bercahaya, agaknya angkasanya amat cerah, tidak ada awan menghalangi. Perlahan-lahan Siu Bi melangkah menghampiri sudut di mana mereka tidur nyenyak.

Dadanya berdebar lagi, terasa amat panas, sukar baginya untuk bernafas. Punggungnya terasa dingin sekali, akan tetapi sekarang kaki tangannya tak menggigil lagi. la menahan nafas yang disedotnya dalam-dalam, lalu melangkah lagi. Matanya tertuju ke arah Hui Kauw.

Nyonya itu tidurnya miring sehingga memudahkan dirinya untuk menotok jalan darah di punggung yang akan melumpuhkan kaki tangan. Pendekar Buta tidur telentang, lebih sukar untuk membuatnya tidak berdaya dengan sekali totokan. Oleh karena inilah maka Siu Bi mengincar punggung Hui Kauw dan maju makin dekat.

Setelah dekat sekali dan matanya bisa memandang dengan jelas, Siu Bi menahan nafas mengerahkan tenaga dalam. Tangan kanannya bergerak dan dua buah jari tangannya yang kanan menotok punggung Hui Kauw. Dia merasa betapa ujung jari-jarinya dengan tepat menemui jalan darah di bawah kulit yang halus.

Hui Kauw tanpa dapat melawan telah kena ditotok jalan darahnya di punggungnya dan pada detik berikutnya, Siu Bi sudah menotok jalan darah di leher yang membuat nyonya itu menjadi gagu untuk sementara. Hui Kauw mencoba untuk menggerakkan tubuh, tapi sia-sia dan tubuhnya yang miring itu menjadi telentang, matanya terbelalak akan tetapi ia tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.

Siu Bi yang merasa takut bukan main kalau-kalau Pendekar Buta bangun, cepat-cepat menggerakkan kedua tangannya menotok kedua jalan darah di pundak kanan kiri, kaget sekali karena ujung jari-jari tangannya bertemu dengan kulit yang amat lunak, lebih lunak dari pada kulit punggung Hui Kauw tadi.

Pendekar Buta mengeluh dan tubuhnya bergerak miring. Melihat ini, cepat-cepat Siu Bi menotok pada punggungnya dan... tubuh Pendekar Buta yang sakti itu kini tidak dapat bergerak lagi kaki tangannya, lumpuh seperti keadaan isterinya! Akan tetapi karena jalan darah pada lehernya tidak tertotok, dia dapat mengeluarkan suara yang terheran-heran,

"Ehh... ehh... apa-apaan ini? Siapa melakukan ini? Hui Kauw, apa yang terjadi...?" Akan tetapi Hui Kauw tidak dapat menjawab karena nyonya ini selain lumpuh kaki tangannya, juga tak dapat mengeluarkan suara!

Saking tegangnya, Siu Bi terengah-engah dan jatuh terduduk. Dalam melakukan totokan-totokan tadi, dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya, ditambah dengan suasana yang menegangkan urat syaraf, maka setelah kini berhasil, ia menjadi terengah-engah, lemas tubuhnya dan... ia menangis terisak-isak.

"Ehh, anak baik, Kim Hoa... apa yang terjadi? Mengapa engkau menangis, dan Bibimu kenapa?" Kun Hong bertanya.

Siu Bi merasa betapa nafasnya sesak dan hawa udara tiba-tiba menjadi panas baginya. Dia melompat berdiri, kedua tangannya menyambar leher baju dua orang yang sudah lumpuh itu dan diseretnya mereka keluar pondok!

"Eh-ehh-ehhh, kaukah ini, Kim Hoa? Apa yang kau lakukan ini?"

Siu Bi menyeret mereka keluar dan melepaskan mereka di depan pondok. Dia sendiri berdiri menengadah, menarik nafas dalam-dalam. Hawa malam yang dingin, angin yang bersilir dan sinar bulan membuat nafasnya menjadi lega. Dia tidak gelisah lagi.

"Pendekar Buta, ketahuilah, aku yang menotokmu dan menotok isterimu." la tersenyum dan tangannya bergerak membebaskan totokan pada jalan darah di leher Hui Kauw.

Nyonya ini terbatuk, mengeluh perlahan lalu berseru, "Bocah, kau siapa? Mengapa kau menyerang kami secara membuta?"

Siu Bi tersenyum lagi. "Dengarlah baik-baik. Namaku Siu Bi dan aku melakukah hal ini karena aku hendak membalaskan dendam kakekku, Hek Lojin. Pendekar Buta, ingatkah kau ketika kau membuntungi lengan kakekku? Nah, kini aku akan memenuhi sumpahku, membalas kalian dengan membuntungi lengan kiri kalian seperti yang dulu kau lakukan terhadap kakek!" Siu Bi mencabut pedangnya.

"Singgg…!"

Lalu ia mendongakkan mukanya ke angkasa berseru perlahan, "Kakek yang baik, kaulah satu-satunya orang di dunia ini yang menyayangiku... sekarang kau sudah tiada lagi... tapi kesayanganmu tidak sia-sia, kakek... lihatlah dari sana betapa saat ini cucumu telah melunasi semua hutang, harap kau beristirahat dengan tenang..."

Setelah berkata demikian dalam keadaan seperti terkena pengaruh gaib atau kemasukan roh jahat yang berkeliaran di malam terang bulan itu, Siu Bi menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke arah lengan kiri Kun Hong.

"Crakkk!"

Sebuah lengan terbabat putus, darah muncrat-muncrat dan Siu Bi menjerit sambil lompat ke belakang. Di hadapannya, entah dari mana datangnya, sudah berdiri seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya!

"Kakek...!" Siu Bi memekik penuh kengerian, mengira bahwa roh kakeknya yang muncul ini.

Akan tetapi ia melihat betapa lengan kiri yang baru buntung itu masih meneteskan darah segar ada pun di atas tanah tergeletak buntungan tangan. Pendekar Buta dan isterinya masih rebah terlentang. Siu Bi cepat mengalihkan pandang matanya yang terbelalak ke arah orang di depannya, wajahnya pucat sekali.

"Siu Bi... anakku..." Orang itu berkata, biar pun lengannya sudah buntung dan wajahnya pucat serta keringatnya memenuhi muka menahan sakit yang hebat, akan tetapi bibirnya tersenyum. Wajahnya yang setengah tua dan tatapannya dibayangi kedukaan hebat.

"Kau... kau..." Siu Bi berbisik lirih ketika mengenal bahwa orang itu, orang yang datang menangkis pedangnya tadi dengan lengan kirinya sehingga bukan lengan Pendekar Buta yang buntung, melainkan lengannya, adalah The Sun ayah tirinya!

"Aku ayahmu, Siu Bi... lama sekali dan susah payah aku mencarimu..."

"Bukan, kau bukan ayahku! Pergi...!"

The Sun menggeleng kepalanya. "Tidak boleh, Siu Bi, anakku. Kau tak boleh menambah dosa yang sudah bertumpuk-tumpuk, dosa yang dibuat mendiang kakekmu dan aku..."

"Kau... kau sudah membunuh kakek, kau bukan ayahku... sa... salahmu sendiri... kau menangkis pedangku..."

"Memang sepatutnya lenganku yang buntung, bukan lengan Kun Hong! Biar pun lengan suhu buntung oleh pedang Kun Hong, akan tetapi akulah yang berdosa, dan karenanya sudah sepatutnya aku pula yang mesti menanggung hukumannya. Siu Bi, kau tidak tahu betapa jahatnya kakekmu Hek Lojin, betapa jahatnya pula aku dahulu. Kakekmu dan aku yang dulu menyerbu dan bermaksud membunuh Pendekar Buta, kami bersekutu dengan orang-orang jahat di dunia kang-ouw. Kami haus akan kemuliaan, akan kedudukan dan harta, karena itulah kami memusuhi Pendekar Buta dan Raja Pedang. Akan tetapi kami semua kalah, kakek gurumu juga kalah, baiknya Pendekar Buta masih menaruh kasihan, hanya membuntungi lengan, tidak membunuhnya...! Aku bertemu dengan ibumu, ibumu yang mengandungmu karena dipermainkan majikan-majikannya. Aku membelanya, kami menjadi suami isteri, dan kau... kau anakku juga, Siu Bi. Aku sudah berusaha menebus dosa, mengasingkan diri di Go-bi-san, siapa kira... penebusan dosa yang sia-sia, dirusak kakekmu... dia mendidikmu untuk membalas dendam...,, akhirnya dosaku bertambah, dia tewas di tanganku dan kini, Tuhan menghukum hambaNya, kau sendiri membuntungi lenganku. Ahhh, aku puas... seharusnya beginilah..."

Tiba-tiba Siu Bi menjerit dan menutupi mukanya, menangis terisak-isak. la teringat akan Swan Bu yang sudah dia buntungi lengannya. Pada saat itu suami isteri yang tadinya rebah lumpuh, bersama-sama melompat bangun.

“The Sun, hukum karma tak dapat dielakkan oleh siapa pun juga," kata Kun Hong.

The Sun tercengang dan membalikkan tubuhnya. Ada pun Siu Bi menurunkan tangannya dan memandang bengong.

"Kau... kau... sudah kutotok kalian...," katanya gagap.

Hui Kauw melangkah maju dan…

"Plak! Plak!"

Dua kali kedua pipi Siu Bi ditamparnya, membuat gadis itu terpelanting dan bergulingan beberapa kali. Ketika ia berhasil melompat bangun, kedua pipinya menjadi bengkak.

"Bocah yang dididik menjadi binatang liar dan sangat keji!" kata nyonya ini, senyumnya mengejek. "Kau kira akan dapat membikin lumpuh Pendekar Buta? Kalau dia mau, tadi sudah dengan mudahnya merobohkanmu. Sengaja dia hendak menanti apa yang akan kau lakukan. Pada saat kau membacok tadi, dia telah siap menangkis dan membuatmu roboh. Kiranya The Sun muncul dan mewakilinya dengan berkorban lengan. Dia benar, Tuhan menghukum hamba-Nya!"

Siu Bi kaget, malu, menyesal dan segala macam perasaannya bercampur aduk di dalam dadanya. Kembali ia menjerit lalu ia melarikan diri di malam gelap karena bulan sudah menyembunyikan diri di dalam awan.

"Siu Bi... tunggu...!" The Sun lari mengejar, terhuyung-huyung dan darah berceceran dari lengannya.

Kun Hong memegang tangan isterinya. Memang betul apa yang dikatakan Hui Kauw tadi. Ketika Siu Bi menotoknya, ia kaget akan tetapi dengan sinkang-nya yang luar biasa, dia dapat memunahkan totokan itu dan sengaja dia berpura-pura lumpuh dan diseret keluar menurut saja. Malah ketika Siu Bi mencabut pedang, dia tetap diam saja, hanya siap untuk melakukan serangan balasan merobohkan gadis itu. Pada waktu The Sun muncul, dengan mudahnya dia membebaskan totokan isterinya.

"Hebat...," bisiknya. "Jadi itukah bocah yang dikabarkan mengancam kita? Heran sekali, siapakah sebetulnya yang telah menangkapnya dan menyiksanya...? Anak itu sebetulnya tidak jahat dan syukurlah bahwa The Sun telah dapat menguasai nafsu-nafsunya dan berubah menjadi manusia baik-baik."

"Hemmm, suamiku. Kau selalu mengalah, sabar, dan menilai orang lain dari segi-segi baiknya saja. Gadis demikian kejam dan liar, tidak kenal budi, ditolong malah membalas dengan ancaman membuntungi lengan, kau bilang sebetulnya tidak jahat? Dan The Sun itu, terang dialah gara-gara semua perkara ini, dan kau bilang sudah menjadi manusia baik-baik?"

Hui Kauw sendiri terkenal seorang yang sabar hatinya. Akan tetapi dibandingkan dengan suaminya, kadang kala ia merasa bahwa suaminya itu terlalu lemah dan terlalu sabar...



                          





















Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12