Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 11
"Aku
tidak mau menilai orang dari kebodohannya, isteriku. Kalau menilai orang harus
dari segi-segi baiknya. Bila ia melakukan, itu hanya karena ia lupa dan
terseret oleh sesuatu yang membuat ia menyeleweng dari kebenaran. Gadis itu
pada dasarnya baik, hanya ia dimabukkan oleh rasa dendam untuk membalas sakit
hati kakeknya. Bukankah itu wajar bagi seorang gadis yang terdidik ilmu silat
di pegunungan yang sunyi? Ada pun The Sun, mendengar suaranya, ternyata dia
sudah mendapatkan kemajuan pesat dalam hatinya. Agaknya kalau kali ini kita
menghadapi tentangan-tentangan, tentu bukan dari The Sun datangnya dan... hee,
ada orang di pondok!"
Cepat
bagaikan kilat tubuh Pendekar Buta ini sudah mencelat ke arah pondok, disusul
isterinya. Akan tetapi Hui Kauw hanya melihat berkelebatnya bayangan yang cepat
sekali menghilang di balik pondok itu. Ketika mereka memeriksa, ternyata
buntalan pakaian mereka masih ada, juga tongkat Kun Hong masih ada. Akan tetapi
pedang Kim-seng-kiam, pedang Hui Kauw, lenyap dari tempatnya semula, yaitu
tadinya disandarkan pada bilik.
"Pedangku
hilang! Mari kita kejar...!" seru Hui Kauw, akan tetapi Kun Hong memegang
lengannya.
"Jangan,
percuma saja. Tentu dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Biarlah, kelak
tentu kita akan bertemu dengan pencurinya. Bukan tidak ada maksudnya orang
mencuri pedangmu...”
"Ahh,
tentu gadis iblis tadi... atau mungkin The Sun! Memang mereka jahat...!"
Kun Hong
menggeleng-gelengkan kepalanya dan alisnya berkerut. "Bukan mereka... The
Sun terluka parah, lengannya buntung, tak mungkin dia melakukan hal ini, juga
puterinya tidak. Mereka takkan senekat itu. Ehh, bagaimana kau lihat orang
tadi, ataukah kau tidak sempat melihatnya?"
"Hanya
bayangan berkelebat cepat, kurasa lebih cepat dari pada gerakan Siu Bi, entah
laki-laki entah wanita, akan tetapi kalau laki-laki, tentu dia seorang bertubuh
kurus kecil. Mungkin wanita."
"Hemmm,
isteriku. Bila tak meleset dugaanku, orang yang mencuri pedangmu dan orang yang
melakukan fitnah kepada diri anak kita sehingga membuat Kong Bu marah, adalah
orang yang sama. Entah siapa dia, tetapi yang jelas dia atau mereka adalah
pengecut-pengecut yang tiada berharga, tidak berani menghadapi kita secara
langsung melainkan dengan cara mengadu domba dan melakukan fitnah. Kita harus
cepat ke Kong-goan dan menyelidiki ke kuil tua. Sekarang juga kita berangkat.”
Mengingat
keadaan anaknya yang tertimpa fitnah, juga pentingnya urusan ini untuk cepat
diselesaikan, Hui Kauw amat setuju dengan pendapat suaminya. Maka, sepasang
suami isteri ini segera berangkat menuju Kong-guan….
Apakah
sesungguhnya yang terjadi dengan diri Tan Kong Bu, pendekar dari Min-san itu?
Pedang Kim-seng-kiam milik Hui Kauw telah lenyap dicuri orang dari pondok itu,
bagai mana tahu-tahu bisa menancap di dada Kong Bu yang mayatnya ditemukan oleh
Tan Cui Sian dan Kwa Swan Bu seperti telah dituturkan di bagian depan?
Untuk
mengetahui hal ini, mari kita mengikuti pengalaman mendiang Kong Bu, jago tua
yang berhati sekeras baja dan berwatak jujur dan terbuka itu. Dapat dibayangkan
betapa malu, sedih, menyesal yang semuanya menimbulkan amarah besar di dalam
hati Tan Kong Bu ketika dia menyaksikan puteri tunggalnya yang terkasih,
mendapat penghinaan dari Kwa Swan Bu. Biar pun Swan Bu putera Pendekar Buta
yang dia kagumi dan dia sayang pula, tetapi perbuatan pemuda itu melebihi
segala batas dan jalan satu-satunya hanya memberi hukuman mati kepadanya!
Lebih sakit
hatinya saat dia mendaki puncak Liong-thouw-san bertemu dengan Pendekar Buta
suami isteri, terjadi percekcokan dan dia tak mampu menandingi suami isteri
sakti itu. Hal ini sangat menyakitkan hatinya dan dia segera kembali menuju ke
Kong-goan untuk mencari jejak Swan Bu lagi dan dia takkan mau berhenti sebelum
bertemu dengan pemuda itu dan mengadu nyawa dengannya!
Pada suatu
pagi yang naas baginya, dia memasuki sebuah hutan kecil. Di tengah hutan itu,
di atas lapangan rumput yang luas, dia melihat tiga orang berdiri memandangnya,
seakan-akan mereka sengaja menunggu dan mencegat perjalanannya. Sebagai seorang
tokoh kang-ouw, tentu saja Kong Bu dapat menduga niat mereka itu, maka dia pun
bersiap-siap sambil memandang tajam penuh selidik. Akan tetapi ternyata bahwa dia
tidak mengenal orang-orang itu, meski pun dia dapat menduga bahwa mereka
tentulah orang-orang di dunia kang-ouw yang berkepandaian tinggi.
Salah
seorang di antara mereka adalah nenek tua yang berkulit kehitaman, pakaiannya
berkembang merah, di punggungnya tergantung sebatang pedang. Orang kedua adalah
seorang kakek pendek gendut, mukanya terlihat seperti orang dari utara, tidak
membawa senjata apa pun. Sedangkan orang ketiga adalah seorang kakek yang
mulutnya selalu tersenyum-senyum mengejek, juga pakaiannya serba merah sehingga
kelihatan lucu sekali dan aneh, seperti seorang gila, tangannya memegang
sebatang tongkat panjang. Melihat kakek ketiga ini, Kong Bu mengerutkan
keningnya, serasa dia pernah melihat muka ini, tetapi lupa lagi kapan dan di
mana.
Dia hendak
berjalan terus, tanpa menoleh, hanya melirik dari sudut matanya. Apa bila
mereka tidak mengganggunya, dia pun tidak akan mencari perkara selagi perkara
sendiri yang cukup gawat belum selesai. Namun dia maklum bahwa ketiga orang itu
bukanlah tokoh baik-baik, maka dia bersikap waspada.
"Bukankah
dia itu jago Min-san? Kenapa berkeliaran sampai di sini?" tiba-tiba
terdengar suara parau dari kakek pendek gendut.
"Aha,
apa kau tidak tahu, Sianjin? Anak perempuannya sudah dihina orang, akan tetapi
dia tidak berani berkutik karena yang menghina adalah putera Pendekar
Buta!" jawab si nenek.
"Aih..aih..aihhh...
yang begitu mana patut disebut pendekar? Pengecut besar dia...," kata
kakek berpakaian merah.
Akan tetapi
kakek ini terpaksa menghentikan kata-katanya dan cepat dia melempar diri ke
kiri sambil menggerakkan tongkatnya menangkis ketika ada selarik sinar
cemerlang menyambarnya. Sinar itu adalah sinar pedang di tangan Kong Bu yang
sudah datang menerjangnya dengan kecepatan kilat menyambar.
"Swiiinggg...!"
Sinar pedang
menyambar, merupakan gulungan sinar putih yang mendatangkan angin tajam!
"Hayaaaaa...!"
Kakek berpakaian merah berseru kaget dan cepat membanting tubuh ke kiri,
berjungkir balik dan tongkatnya sudah diputar melindungi tubuhnya.
Pada lain
detik Kong Bu sudah berdiri dengan kaki terpentang lebar, pedang melintang di
depan dada, mata memandang tiga orang itu dengan sinar bernyala-nyala.
"Siapakah
kalian dan apa maksud kalian menghina orang lewat tanpa sebab?"
Nenek itu
tertawa mengejek. "Hik-hik-hik, kau bilang tanpa sebab? Apakah kau hendak
menyangkal betapa puterimu di kuil tua di Kong-goan tidur di samping putera
Pendekar Buta yang telanjang...? Hi-hi-hik, dan kau tidak berani..."
Nenek itu
cepat-cepat menghentikan tawanya karena Kong Bu sudah melangkah maju setindak,
mukanya beringas, pedang di tangannya tergetar.
"Bagaimana
kau bisa tahu? Ahh... tahulah aku sekarang. Agaknya kalian inilah
manusia-manusianya yang sengaja mengatur itu... ah, betapa bodohku! Dan
kau..." la menuding muka kakek berpakaian merah dengan pedangnya.
"Kau Ang Mo-ko. Ya, sekarang aku ingat, kau bekas pengawal kaisar muda.
He, Ang Mo-ko, apa kehendakmu menghadang dan menghinaku? Dan dua orang ini siapa?"
Nenek itu
melangkah maju, pedangnya sudah tercabut dan berada di tangannya, pedang yang
mengeluarkan sinar keemasan.
"Kau
putera Raja Pedang kan? Hi-hi-hik, Raja Pedang dan Pendekar Buta musuh-musuh
kami, keluarga mereka pun musuh kami. Memang kamilah yang mengatur di kuil tua
di Kong-goan. Hi-hi-hik, Tan Kong Bu, kau mau mengenal kami? Aku Ang-hwa
Nio-nio, Kui Ciauw..."
"Ahh,
kau sisa dari Ang-hwa Sam-cimoi? Bagus, kiranya musuh besar!" bentak Kong
Bu.
"Dan
sahabatku ini adalah Bo Wi Sianjin, sute dari mendiang Ka Chong Hoatsu..."
"Hemmm,
semua adalah musuh-musuh besar ayah. Pantas, pantas... heee, Ang-hwa Nio-nio,
apa yang telah kalian lakukan terhadap anakku? Kalau memang kalian memiliki
dendam, mengapa tidak langsung menghadapi ayah atau aku, tua lawan tua. Mengapa
mesti mengganggu bocah? Tak tahu malu engkau!"
Ang-hwa
Nio-nio tertawa terkekeh. "Kami tawan anakmu dan anak Pendekar Buta, kami
menotok mereka dan menjajarkan di dalam kuil, memancing kau masuk. Ihh, kiranya
kau begitu goblok, tidak dapat membunuh putera Pendekar Buta, atau... kau tidak
berani?"
"Keparat"
Kong Bu tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Pedangnya
sudah berkelebat menyambar dengan sebuah tusukan kilat ke arah dada Ang-hwa
Nio-nio. Serangan ini hebat sekali, didorong oleh tenaga Yang-kang yang luar
biasa, tak mungkin dapat dielakkan lagi saking cepatnya.
Kalau bukan
Ang-hwa Nio-nio yang diserang, tentu telah tembus dadanya oleh pedang. Akan
tetapi wanita tua ini bukan orang lemah dan ia pun maklum bahwa mengelak
berarti menghadapi bahaya maut. Maka sambil menjatuhkan diri ke kanan,
pedangnya bergerak menangkis, berubah menjadi sinar keemasan.
"Tranggggg...!"
Tangan Kong
Bu tergetar dan dia cepat-cepat menarik kembali pedangnya. Diam-diam dia
mengakui kelihaian nenek ini, akan tetapi yang membuat dia lebih bingung dan
kaget adalah ketika dia melihat pedang bersinar keemasan di tangan si nenek.
Dia mengenal pedang ini, serupa benar dengan pedang isteri Pendekar Buta yang
baru beberapa pekan lalu dihadapinya. Ketika bertanding dengan Hui Kauw, nyonya
itu pun menggunakan pedang ini. Apakah pedang mereka memang kembar?
"Iblis,
pedang yang siapa kau pakai?" bentak Kong Bu sambil melanjutkan
serangannya. Akan tetapi pedangnya bertemu dengan tongkat panjang dan kiranya
Ang Mo-ko sudah maju pula mengeroyok.
"Hi-hi-hik,
mau tahu? Ini pedang nyonya Pendekar Buta, dan sebentar lagi pedang ini yang
akan mengambil nyawamu!"
Kong Bu
seorang yang jujur, akan tetapi dia bukan orang bodoh. Pertemuannya dengan tiga
orang ini telah cukup baginya untuk membuka matanya, untuk memecahkan rahasia
itu. Tahulah dia sekarang bahwa peristiwa antara Swan Bu dan Lee Si adalah
peristiwa buatan mereka ini, musuh-musuh besar ayahnya dan musuh-musuh Pendekar
Buta pula.
Mereka
sengaja memancing kemarahannya supaya dia bermusuhan dengan Pendekar Buta.
Agaknya melihat bahwa ia belum dapat membunuh Swan Bu, mereka tidak sabar dan
sekarang mereka hendak turun tangan sendiri, membunuhnya dan kembali mereka
hendak menjalankan siasat mengadu domba, yaitu hendak membunuhnya menggunakan
pedang isteri Pendekar Buta yang entah bagaimana bisa terjatuh ke tangan
Ang-hwa Nio-nio.
"Jangan
kira gampang!" la membentak.
Segera ketua
Min-san-pai ini menggerakkan pedangnya dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-hoat
yang ampuh. Pedangnya lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar putih
yang panjang dan lebar melibat-libat dan melayang-layang seperti seekor naga di
angkasa yang mengamuk dan bermain-main di antara awan putih.
"Kok-kok-kok!"
Bo Wi Sianjin si kakek gendut pendek telah berjongkok dan melancarkan pukulan
Katak Saktinya.
Pada saat
itu baru saja Kong Bu menangkis pedang Ang-hwa Nio-nio dan melompat ke kanan
menghindarkan diri dari tongkat Ang Mo-ko yang menyapu pinggangnya. Kagetlah
dia ketika tiba-tiba mendengar suara aneh itu dari belakang dan mendadak
menyambar angin pukulan yang amat dahsyat.
Melihat
sikap dan kedudukan kakek itu aneh sekali, Kong Bu tak berani menghadapinya
dengan kekerasan, melainkan mengelak sambil berjongkok. Angin pukulan menyambar
lewat di atas kepalanya dan betapa kagetnya ketika kain pembungkus kepalanya
hancur berkeping-keping. Baru diserempet hawa pukulan itu saja sudah begitu
hebat akibatnya, dapat dibayangkan betapa akibatnya kalau pukulan aneh itu
tepat mengenai perutnya!
Pendekar ini
segera maklum bahwa di antara tiga orang lawannya, kakek pendek yang bertangan
kosong inilah yang paling berbahaya. Karena itu, Kong Bu segera mengubah
siasat. la sengaja bergerak dan melayang cepat, sengaja dia menjauhkan diri
dari Bo Wi Sianjin, atau dia sengaja mengambil posisi sedemikian rupa agar
kakek pendek itu selalu terhalang oleh Ang Mo-ko atau Ang-hwa Nio-nio sehingga
dia tidak berani melancarkan pukulan jarak jauh yang mukjijat tadi sebab jika
demikian, tentu ada bahayanya memukul kawan sendiri.
Setelah
pertempuran berlangsung seperempat jam lamanya belum juga mereka dapat merobohkan
Kong Bu, Ang-hwa Nio-nio menjadi marah dan penasaran sekali. Nenek ini
mengeluarkan pekik nyaring, kemudian tubuhnya meloncat laksana seekor burung
walet, pedangnya diputar menerjang Kong Bu dari atas, serta tangan kirinya
mengirim pukulan Ang-tok-ciang yang tak kalah berbahayanya.
"Cring-cring-cring...!"
Tiga kali pedang Kong Bu menangkis serangan beruntun itu.
Serangan
Ang-hwa Nio-nio memang amat aneh dan hebat. Begitu pedangnya tertangkis, pedang
itu terpental bukan ke belakang, namun menyeleweng dan terus menjadi gerak
serangan susulan yang makin lama makin hebat.
Terpaksa
Kong Bu memainkan Yang-sin Kiam-hoat bagian pertahanan sesudah melihat betapa
tiga kali tangkisannya tidak membuyarkan rangkaian serangan lawan. Sekarang
pedangnya diputar seperti payung sehingga jangankan baru serangan pedang
Ang-hwa Nio-nio, walau pun hujan deras menyiramnya, tidak setetes pun air akan
dapat mengenai bajunya.
Kong Bu
tidak berani menerima langsung pukulan tangan kiri Ang-hwa Nio.nio. Ia dapat
melihat betapa tangan nenek itu menjadi merah, tanda bahwa pukulan itu
mengandung hawa beracun yang jahat. la hanya menggeser kaki miringkan tubuh
sambil menangkis dari samping. Sebagai ahli Yang-sin Kiam-hoat, tentu saja Kong
Bu mempunyai tenaga Yang-kang istimewa kuatnya, maka benturan ini membuat nenek
tadi terhuyung-huyung dan serangannya otomatis gagal.
Ang Mo-ko
menunggu kesempatan baik. Selagi kedua pedang tadi berkelebatan beradu cepat,
dia tidak berani sembrono menggunakan tongkatnya, karena selain hal ini dapat
mengacaukan permainan pedang Ang-hwa Nio-nio, juga salah-salah tongkatnya itu
akan kena benturan pedang kawannya.
Sekarang
melihat betapa libatan sinar-sinar pedang itu sudah terlepas dan Kong Bu juga
terhuyung ke kanan akibat benturan tenaga tadi, cepat laksana kilat tongkatnya
lantas menyelonong maju, digetarkan sehingga ujungnya berubah menjadi belasan
batang yang semuanya menyerang dengan totokan-totokan maut ke arah
bagian-bagian tubuh yang berbahaya.
Ilmu tongkat
Ang Mo-ko memang amat hebat. Tongkatnya mencecar bagian tubuh yang berbahaya
dimulai dari ubun-ubun kepala terus ke bawah dalam jarak sejengkal tangan,
yaitu dari ubun-ubun ke mata, kemudian telinga, tenggorokan, pundak, ulu hati,
ke pusar dan seterusnya. Anehnya, ujung tongkat yang hanya satu ini, setelah
dia getarkan begitu kuatnya, seakan-akan berubah menjadi belasan batang dan
menyerang semua bagian berbahaya itu sambil mengeluarkan suara
mendengung-dengung!
Melihat
serangan yang luar biasa ganasnya ini Kong Bu mengeluarkan suara melengking
tinggi dari kerongkongannya. Inilah pengerahan sinkang yang sangat istimewa,
disertai suara melengking, sebuah ilmu kesaktian yang telah dia warisi dari
mendiang kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun Si Iblis Berkabung!
Bunyi
lengking tinggi ini selain menambah daya pemusatan sinkang, juga mengandung
tenaga yang menggetarkan jantung lawan. Sambil melengking-lengking Kong Bu
lantas menggerakkan pedangnya yang menerobos di antara bayangan ujung tongkat.
Terdengar suara keras pada saat tongkat di tangan Ang Mo-ko patah-patah menjadi
lima potong dan disusul pekik mengerikan karena tanpa dapat dielakkan lagi oleh
Ang Moko, pedang di tangan Kong Bu sudah menancap tenggorokannya sampai tembus
dan sekali Kong Bu merenggut ke kanan, leher itu hampir putus!
Tubuh Ang
Mo-ko roboh miring, kepala yang lehernya hampir putus tertindih paha. Darah
menyembur-nyembur dan kaki tangannya berkelojotan, kaku kejang seakan-akan
tubuh yang rusak lehernya oleh pedang itu masih tidak tega berpisahan dengan
nyawa!
"Keparat,
terimalah pukulanku!" terdengar bentakan dari belakang Kong Bu disusul
suara "kok-kok-kok!" seperti tadi.
Kong Bu
maklum bahwa kakek pendek itu sekarang mendapat kesempatan melancarkan
pukulannya yang aneh dan mukjijat. Cepat dia memutar tubuhnya, berusaha
mengelak sambil mengerahkan sinkang di kedua lengannya, mendorong ke depan
untuk menahan gelombang serangan tenaga yang tidak tampak. Nampak pukulan Katak
Sakti dari Bo Wi Sianjin ini bukan main hebat dan kuatnya.
Kong Bu
merasa betapa tubuhnya seperti ditembus angin taufan yang tidak tertahankan,
dorongannya membalik sehingga tubuhnya melayang bagai layang-layang putus
talinya! Pada saat itu, pedang Ang-hwa Nio-nio meluncur dan membabat
pinggangnya. Baiknya Kong Bu adalah seorang jagoan yang sudah matang
kepandaiannya, maka biar pun tubuhnya melayang di udara, dia cepat dapat
menguasai dirinya lagi. Oleh sebab itu, melihat sinar pedang berkelebat
mengancam pinggang, dia masih dapat menggerakkan pedangnya sekuat tenaga
menangkis.
"Tranggggg...!"
Tubuh Kong
Bu melompat sambil jungkir-balik, membuat salto sampai tiga kali sebelum kedua
kakinya menginjak bumi. Akan tetapi kagetlah dia saat melihat bahwa pedangnya
telah patah di dekat gagangnya. Dengan hati geram dia membanting gagang pedang,
lalu melolos sarung pedang yang dipegang di tangan kanannya, juga melepaskan
ikat pinggang yang terbuat dari sutera kuning. Walau pun tidak sehebat
pedangnya yang patah, namun dengan sarung pedang dan ikat pinggang di tangan,
Kong Bu masih merupakan lawan yang amat tangguh!
Kembali
Ang-hwa Nio-nio menyerang, dan kali ini nenek itu memperlihatkan ginkang-nya.
Sekali kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya melayang seperti terbang ke arah
Kong Bu, pedangnya diputar-putar di depannya, berubah menjadi segulung sinar
bulat, diiringi suara seruannya yang nyaring. Kong Bu maklum keampuhan pedang
di tangan nenek itu, pedang yang mengeluarkan sinar keemasan. Dia maklum pula
bahwa kalau dia menangkis dengan sarung pedang, tentu senjatanya akan terbabat
putus. Maka dia lalu membentak keras, ikat pinggangnya di tangan kiri bergerak
bagaikan seekor ular menyambar, ujungnya menyambut pedang lawan dengan maksud
melibat pedang atau lengan yang memegang pedang.
Akan tetapi
Ang-hwa Nio-nio juga bukan seorang ahli silat sembarangan. Dia tidak mau
mengadu pedangnya dengan benda lemas itu. la lalu menarik pedangnya, turun ke
atas tanah dan mengubah serangannya, menusuk dan membabat bertubi-tubi, tidak
memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Kong Bu melengking keras ketika dari
belakang terdengar suara kokok, pukulan mukjijat dari Bo Wi Sianjin. Terpaksa
dia menghindar ke kiri, akan tetapi di sini dia disambut oleh tusukan pedang
yang masih mampu ditangkisnya dari samping dengan sarung pedang. Ikat
pinggangnya dikelebatkan ke belakang menyerang kaki Bo Wi Sianjin.
Serangan ini
kelihatannya sepele, akan tetapi kiranya akan celakalah kakek pendek itu bila
kakinya sampai kena terlibat ikat pinggang! Bo Wi Sianjin tertawa mengejek,
sambil melompat tinggi, kemudian turun dan melancarkan pukulan Katak Sakti lagi
yang juga dapat dielakkan oleh Kong Bu, walau dengan susah payah.
"He-heh-heh,
ada apa ini ribut-ribut?” terdengar suara yang kaku dan ganjil, suara orang
asing.
Kong Bu
melirik dan melihat seorang kakek asing berkulit hitam, tinggi besar bersorban,
telinganya memakai anting-anting, jalan mendatangi bersama seorang hwesio yang
juga tinggi besar akan tetapi sudah amat tua, hwesio yang berpakaian sederhana
dan bajunya dibuka lebar di bagian dada. Mereka itu bukan lain adalah Maharsi
dan Bhok Hwesio.
"Ji-wi
Losuhu mengapa baru datang? Ang Mo-ko tewas oleh keparat ini!" teriak
Ang-hwa Nio-nio, setengah menyesal akan tetapi juga girang.
"Dia
mampus pun salahnya sendiri sebab kepandaiannya masih rendah," jawab
Maharsi seenaknya. "Inikah jago Min-san putera Raja Pedang? Heh-heh-heh,
ingin kucoba!"
Kong Bu
kaget sekali. la masih sibuk menghadapi desakan pedang Ang-hwa Nio-nio dan
pukulan mukjijat Bo Wi Sian-jin. Sekarang tiba-tiba pendeta India yang tinggi
itu berjalan miring-miring mendekati dirinya, lengan tangannya bergerak dan
lengan itu seperti mulur, tahu-tahu sudah dekat sekali dengan kepalanya, didahului
angin pukulan yang tak kalah mukjijatnya oleh angin pukulan Katak Sakti Bo Wi
Sianjin. Kong Bu cepat menjatuhkan diri di atas tanah dan bergulingan. Hanya
dengan cara ini dia tadi dapat terbebas dari bahaya maut. Saking marahnya, Kong
Bu lalu mengeluarkan lengking tinggi bersambung-sambung, melompat bangun dan
mengamuk.
Akan tetapi
pihak lawan terlalu banyak dan terlalu tangguh. Pada suatu saat dia berhasil
menghindar dari pukulan Katak Sakti Bo Wi Sianjin, akan tetapi tak dapat
mengelak dari pukulan Pai-san-jiu dari Maharsi. Punggungnya kena dorongan
dahsyat ini, dia terbanting roboh, nafasnya sesak dan setengah pingsan.
Pada saat
itulah Ang-hwa Nio-nio melompat dekat dan menusukkan Kim-seng-kiam ke dadanya.
Pedang ini imblas sampai setengahnya lebih, tepat menghunjam dada kiri dan
menembus jantung sehingga jagoan sakti pendekar Min-san ini tewas pada saat itu
juga tanpa dapat mengeluh lagi.
Dan
demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan, Tan Cui Sian dan Kwa
Swan Bu dari jauh mendengar lengking tinggi dari Kong Bu, akan tetapi ketika
mereka tiba di tempat itu, hanya melihat mayat Tan Kong Bu dengan pedang
Kim-seng-kiam menancap di dadanya. Melihat pedang ini yang oleh Swan Bu diakui
sebagai pedang ibunya, Cui Sian marah bukan main. Dia dapat menduga bahwa
kakaknya yang berdarah panas dan berwatak keras itu tentu telah tewas di tangan
isteri Pendekar Buta.
Dia pun
maklum bahwa tentu kakaknya itu marah-marah kepada Pendekar Buta suami isteri
dan menuduh Swan Bu melakukan perbuatan hina terhadap Lee Si, dan mungkin suami
isteri itu pun lantas merasa marah karena puteranya dimaki-maki sehingga timbul
percekcokan. Akan tetapi, kalau sampai membunuh kakaknya, ini keterlaluan
namanya dan ia tidak akan menerima begitu saja!
Jangankan
Cui Sian, sedangkan Swan Bu sendiri diam-diam juga menduga demikian. Mana bisa
lain orang yang membunuh Kong Bu kalau pedang Kim-seng-kiam menancap di
dadanya. Pedang itu tak mungkin terlepas dari tangan ibunya!
Swan Bu
gelisah sekali, bingung serta berduka. Akan tetapi ada satu kenyataan yang amat
menghibur hatinya, yakni bahwa pedang itu masih tertancap di dada Kong Bu dan
ditinggalkan begitu saja. Jika benar ibunya yang membunuh Kong Bu, mungkinkah
ibunya meninggalkan pedang itu tertancap di dada lawannya? Apakah karena
mendengar kedatangannya bersama Cui Sian tadi, ibunya lalu tergesa-gesa pergi
sehingga tak sempat mencabut pedangnya? Ah, sukar dipercaya kemungkinan ini.
Apa sukarnya mencabut pedang, apa lagi bagi ibunya!
Agaknya
lebih patut kalau ada orang yang sengaja meninggalkan pedang itu di dada Kong
Bu. Dan siapa pun orangnya, tak mungkin orang itu ibunya! Jadi, tentu ada orang
lain yang kembali melakukan fitnah, dan kali ini untuk memburukkan nama ibunya.
Akan tetapi bagaimana orang itu dapat menggunakan pedang Kim-seng-kiam…..?
***************
Swan Bu
berjalan terhuyung-huyung. Kesehatannya masih belum pulih seluruhnya, kini hatinya
terhimpit perasaan yang tidak karuan, jiwanya tertekan oleh peristiwa-peristiwa
yang hebat. la berjalan perlahan memandangi pedang ibunya di tangan.
"Ahhh,
Kim-seng-kiam... kalau saja kau bisa berbicara... tentu kau akan dapat
bercerita banyak...," keluhnya.
"Swan
Bu...!"
Pemuda itu
tersentak kaget. Suara itu!
Cepat dia
membalikkan tubuh dan sejenak wajahnya yang tampan dan pucat itu berseri.
Dilihatnya gadis yang selama ini mengaduk-aduk hatinya, yang mendatangkan
derita, bahagia, kecewa dan harapan di hatinya, Siu Bi, berdiri hanya beberapa
meter jauhnya di depannya! Gadis itu mukanya pucat, rambutnya awut-awutan,
pakaiannya kusut, sinar matanya sayu dan pipi yang masih berbekas air mata itu
kini kembali digenangi air mata yang mengalir turun.
"Siu
Bi...," Swan Bu berbisik, tanpa sengaja melirik ke arah lengan kirinya
yang buntung dan ujungnya dibalut.
Lirikan ke
arah lengan buntung inilah yang agaknya telah memecahkan bendungan yang menahan
gelora di hati Siu Bi yang ditahan-tahan. Gadis ini menjerit, lalu berlari
maju, menjatuhkan diri berlutut di hadapan Swan Bu, memeluk kedua kaki pemuda
itu sambil menangis tersedu-sedu.
"Swan
Bu... Swan Bu... kau ampunkan aku... Swan Bu... ampunilah aku..."
Tak kuat
hati Swan Bu menahan air matanya yang turun bertitik-titik ketika dia menunduk
memandang kepala Siu Bi yang kusut rambutnya. Kedua kakinya terasa lemas dan
dia pun berlutut pula.
"Siu
Bi, selalu aku memaafkanmu..."
Mereka
berpandangan melalui tirai air mata, kemudian bagaikan besi tertarik semberani,
keduanya berangkulan, bertangisan dan berpelukan. Dengan air mata saling
membasahi muka mereka masing-masing, dalam ciuman-ciuman yang digerakkan oleh
hati penuh kasih sayang, penuh iba dan haru.
Setelah
gelora hati mereka mereda, Siu Bi menyembunyikan mukanya ke dada Swan Bu dan
mereka terhenyak duduk di atas tanah, tak bergerak, seluruh tubuh lemas, tenaga
habis oleh letupan gelora hati tadi, terasa nikmat penuh damai di hati. Dengan
tangan kanannya Swan Bu membelai dan mengelus-elus rambut hitam yang
awut-awutan itu.
"Siu Bi
aku selamanya mengampunkan engkau, karena aku cinta padamu, Siu Bi, karena aku
tahu apa yang mendorongmu melakukan semua itu...," bisik Swan Bu.
Siu Bi
mengangkat mukanya dari atas dada Swan Bu dan memandang. Kedua muka itu
berpandangan, dekat sekali, masih basah oleh air mata.
"Swan
Bu aku... aku tidak turut dalam tipu muslihat busuk itu... aku juga bukan
sekutu Ang-hwa Nio-nio..."
Swan Bu mendekap
muka yang kelihatan begitu pucat dan penuh kekhawatiran itu. "Siu Bi
jiwaku... tidak, aku tidak percaya itu, kau tidaklah jahat seperti
mereka..."
Siu Bi
menarik nafas panjang, hatinya lega dan dia kembali membaringkan kepalanya di
atas dada Swan Bu, sepasang matanya dimeramkan.
"Aku
memang jahat, Swan Bu, tetapi... tetapi... untuk menyenangkan hatimu, hati
orang yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku, aku... aku mau belajar baik! Kau
bimbinglah aku, Swan Bu, ajarilah aku bagaimana bisa menjadi orang
baik..."
Swan Bu
tersenyum. "Kau adalah orang baik, Siu Bi..."
"Tidak,
aku tidak tahu harus berbuat apa kalau terpisah dari padamu, Swan Bu. Jangan
kita berpisah lagi, aku... aku takut hidup sendiri. Aku ingin ikut
denganmu..." Tiba-tiba ia memegang lengan yang buntung itu, memandangnya
dan kembali ia menangis tersedu sedu, menciumi ujung lengan yang dibalut.
"Ahhh... aku tak dapat mengganti lenganmu, Swan Bu... biarlah… biar
kuganti dengan seluruh tubuhku, dengan nyawaku... aku... aku selamanya akan mendampingimu,
melayanimu...”
Dengan mesra
Swan Bu memeluk dan menciuminya, kemudian pemuda ini teringat akan sesuatu dan
menarik nafas panjang. "Tak mungkin...," katanya lirih dengan nada
sedih.
Siu Bi
tampak kaget, "Apa katamu? Apa yang tak mungkin?"
"Siu
Bi, kau tahu bahwa aku mencintamu, dan takkan ada kebahagiaan yang lebih besar
dari pada selalu berada di sampingmu selama hidup. Akan tetapi agaknya hal ini
hanya lamunan kosong... karena... karena apa pun yang terjadi, apa lagi setelah
paman Kong Bu tewas... agaknya jalan satu-satunya bagiku hanya... mengawini Lee
Si."
"Apa...?!"
Siu Bi merenggutkan dirinya dan memandang dengan mata terbelalak.
Swan Bu
menunduk sedih, tidak tahan menatap pandang mata yang penuh keperihan hati itu.
Dia menarik nafas panjang lagi, lalu berkata, "Siu Bi, kau sendiri
mengerti betapa tipu muslihat dan fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa Nio-nio
itu menimbulkan kejadian yang amat hebat. Ayah Lee Si, yaitu paman Kong Bu,
marah sekali dan tentu saja marah kepadaku dan kepada orang tuaku. Dan tadi...
aku mendapatkan paman Kong Bu telah tewas, terbunuh orang di dalam hutan.
Peristiwa di Kong-goan ini akan merusak nama Lee Si untuk selamanya, kecuali
jika... jika aku... mengawininya. Hanya itu satu-satunya jalan, dan demi
menjaga kerukunan kedua keluarga, demi mencuci bersih nama Lee Si yang tidak
berdosa, agaknya... agaknya... jalan itulah satu-satunya..."
"Swan
Bu... tapi kau... kau cinta padaku kan?"
"Aku
cinta padamu, Siu Bi."
Siu Bi
menubruk dan memeluknya lagi. “Cukup bagiku. Kau boleh mengawininya, kalau itu
kau anggap penting. Bagiku, asal kau cinta padaku, asal aku boleh menebus
dosaku kepadamu dengan jiwa ragaku, asal..."
Tiba-tiba
saja Siu Bi bangun, juga Swan Bu bangkit berdiri. Keduanya sudah mencabut
pedang dan memandang ke arah seorang pemuda yang jalan mendatangi, pemuda yang
bukan lain adalah Ouwyang Lam!
Ouwyang Lam
memandang sambil tersenyum kepada Siu Bi, kemudian dia memandang Swan Bu, ke
arah lengannya yang buntung, dan tertawalah dia, "Ha-ha-ha, Bi-moimoi,
agaknya kau sudah berhasil dalam usahamu membalas dendam. Ha-ha-ha, kalau
anjing buntung ekornya hanya kelihatan tidak pantas, tetapi kalau manusia buntung
tangannya, benar-benar canggung sekali! Eh, Kwa Swan Bu, ayahmu buta sedangkan
kau anaknya buntung, cocok sekali. Numpang tanya, dengan tangan kirimu buntung,
kalau kau ada keperluan di belakang, apa kau menggunakan tangan kananmu pula?
Ha-ha-ha-ha-ha!"
Sampai pucat
sekali muka Swan Bu mendengar penghinaan ini, tetapi kemarahannya ini amat
merugikan, karena kepalanya langsung menjadi pening sekali dan tubuhnya yang
sudah lemas itu malah gemetar karenanya.
"Tutup
mulutmu yang kotor!" Siu Bi membentak sambil melompat ke depan menghadapi
Ouwyang Lam.
Pemuda
Ching-coa-to ini kaget sekali, memandang dengan mata terbelalak. "Eh…
ehh... ehhh, Moimoi...”
"Aku
bukan moimoi-mu! Cih, tak tahu malu! Ouwyang Lam manusia rendah, ketahuilah
bahwa dibandingkan dengan Swan Bu, kau hanya patut menjadi sepatunya! Maka
tidak boleh kau menghinanya dan lekas pergi dari sini kalau tidak ingin mampus
di tanganku!"
Saking heran
dan bingungnya, Ouwyang Lam hanya berdiri melongo saja. Mukanya yang berkulit
putih menjadi merah sekali, dan mulutnya yang biasanya pandai bicara, kini
sulit mengeluarkan kata-kata saking kaget dan herannya.
"Siu
Bi... apa artinya ini...?"
"Artinya,
tutup mulutmu yang busuk dan lekas enyah kau dari sini!"
Ouwyang Lam
mulai marah. Dia memang tergila-gila kepada gadis cantik ini, tergila-gila akan
kecantikannya sesuai dengan wataknya yang mata keranjang. Akan tetapi kalau
gadis ini mulai menghinanya, tentu saja timbul kebenciannya.
"Tapi...
kenapa kau membelanya? Bukankah kau membuntungi lengan..."
"Bukan
urusanmu! Lekas pergi!"
Ouwyang Lam
adalah seorang yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, tentu saja timbul
kemarahannya. Dia mengangkat dadanya yang bidang. Walau pun tubuhnya agak
pendek, tapi dadanya bidang dan tegap.
"Siu
Bi, aku menantang Swan Bu, jangan ikut campur! Ataukah putera Pendekar Buta ini
kini telah menjadi seorang pengecut nomor satu di dunia sehingga dia
menyembunyikan diri di belakang pantat wanita?"
"Ouwyang
Lam keparat, mulutmu kotor...!" Siu Bi menggerakkan pedangnya.
"Siu
Bi, tunggu dulu!"
Suara Swan
Bu menahan Siu Bi yang menarik pedangnya kembali dan menoleh kepada kekasihnya
itu.
"Siu
Bi, aku bukan pengecut dan biar pun tidak kau bantu, aku masih tak akan mundur
menghadapi tantangan siapa pun juga!" la melangkah maju menghadapi Ouwyang
Lam lalu tersenyum mengejek. "Ouwyang Lam, setelah melihat keadaanku
terluka, kau berani membuka mulut besar, ya? Hmmm, kau benar-benar gagah
sekarang. Majulah!"
Ouwyang Lam
tertawa mengejek. Pemuda ini memang cerdik sekali, sekilas pandang dia maklum
bahwa lengan Swan Bu yang baru saja buntung membuat pemuda itu lemah dan
menderita, karena itu tentu saja dia berani menantang dan sengaja dia
membangkitkan kemarahan Swan Bu agar lawannya ini melarang Siu Bi membantunya.
Sekarang
dengan pedang terhunus, Ouwyang Lam menyerbu, menggeser kaki dengan
langkah-langkah pendek seperti harimau kelaparan. Pedangnya dimainkan dengan
Ilmu Pedang Hui-seng-kiam yang lihai, mulutnya berseru, "Lihat
serangan!"
Swan Bu
bersikap tenang sekali, meski pun keadaannya sebetulnya tidak membenarkan untuk
melayani pertandingan, apa lagi menghadapi lawan berat. Tetapi, sebagai seorang
berjiwa pendekar, lebih baik menantang maut dari pada mandah dicap pengecut!
Melihat
gerakan pedang Ouwyang Lam menyambar ganas serta mengeluarkan suara bersuitan,
dia mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya, menunggu sampai pedang lawan
mendekat, lalu tiba-tiba dia menghantamkan pedang ibunya menangkis dengan harapan
akan dapat mematahkan pedang lawan dalam segebrakan.
Ouwyang Lam
kaget bukan main, tak sempat menarik kembali pedangnya. Terpaksa dia
mengerahkan tenaga pula dan membiarkan pedangnya bertemu dengan pedang Swan Bu
yang bersinar keemasan.
"Cringgg...!"
Bunga api
memancar ke arah muka kedua orang muda itu sehingga mereka menjadi silau.
Ouwyang Lam merasa betapa tangannya tergetar hebat, akan tetapi Swan Bu yang
tenaganya lemah karena lukanya, juga terhuyung mundur.
Kagetlah dia
melihat betapa pedang pendek pemuda tampan itu tidak patah. Malah kini Ouwyang
Lam sudah menerjang lagi dengan ganasnya, sepasang matanya kemerahan, mulutnya
yang menyeringai mengeluarkan suara mendesis, wajahnya diliputi bayangan
kekejaman dan kebuasan.
Swan Bu
harus berloncatan ke sana-sini sambil memutar pedangnya menangkis. Akan tetapi
makin lama pandang matanya makin kabur, kepalanya pening dan lengan kirinya
yang terluka terasa panas dan nyeri.
"Sraaattttt…!"
Pundak kanan
Swan Bu tergores ujung pedang! Baiknya dia masih dapat menggulingkan diri
sehingga pedang di tangan Ouwyang Lam tidak sampai membabat buntung pundak
kanannya itu.
Dengan
gerakan terlatih Swan Bu bergulingan, mengelak dari bacokan-bacokan pedang
Ouwyang Lam yang tidak mau memberi kesempatan lagi. Tiga kali bacokan pedangnya
mengenai tanah dan sebelum dia sempat menyerang lagi, tubuh yang bergulingan
cepat itu telah meloncat berdiri.
Swan Bu
sudah bersiap kembali dan memutar pedang melindungi tubuhnya. Akan tetapi melihat
betapa keningnya berkerut-kerut, keringat membasahi mukanya yang pucat, jelas
bahwa pemuda itu menderita sekali, malah matanya beberapa kali dimeramkan.
"Ha-ha-ha,
Swan Bu. Lebih baik kau membuang pedangmu dan menyerah kalah, aku sudah puas.
Tak akan kubunuh engkau asal mengaku kalah, ha-ha-ha!" Memang pandai
sekali Ouwyang Lam. Melihat lawannya sudah kepayahan, dia telah mendahului
dengan ejekan ini untuk memancing kemarahan.
"Tidak
sudi!" jawab Swan Bu, tepat seperti yang diharapkan Ouwyang Lam. "Lebih
baik mati dari pada menyerah. Ouwyang Lam manusia sombong, jangan kira kau akan
dapat mengalahkan aku. Majulah!"
"Swan
Bu...! Mundurlah dan biarkan aku memberi hajaran kepada anjing busuk ini!"
Siu Bi berseru, pedang di tangannya sudah gatal-gatal hendak menerjang Ouwyang
Lam.
Hatinya
sudah gelisah tadi melihat pundak kekasihnya tergores pedang sehingga kini
mengucurkan darah membasahi bajunya. Tentu saja ia tidak mau turun tangan
sebelum Swan Bu mundur, karena betapa pun juga, di lubuk hati Siu Bi tersimpan
sifat gagah dan ia merasa malu kalau harus mengeroyok, apa lagi ia maklum bahwa
tingkat kepandaian Swan Bu amatlah tinggi, masih jauh lebih tinggi dari pada
tingkat kepandaian Ouwyang Lam atau dia sendiri.
"Tidak,
Siu Bi, aku masih kuat menghadapi kesombongannya!" kata Swan Bu.
Ucapan Swan
Bu ini tidak bohong, juga bukan bualan belaka. Sebagai putera tunggal Pendekar
Buta yang sakti, tentu saja dia telah mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa
sekali. Sekarang kepalanya sudah pening, pandang matanya kabur dan tubuhnya
lemas seakan-akan tidak bertenaga lagi, akan tetapi kepandaiannya masih ada.
Maklum bahwa
dia tidak akan dapat menghadapi lawan dengan tenaga, Swan Bu segera mengubah
gerakannya. Sekarang tahu-tahu dia telah terhuyung-huyung, jongkok berdiri,
berloncatan dan kadang-kadang bagaikan orang menari, kadang-kadang seperti
orang mabuk. Dalam ilmu langkah ajaib ini sama sekali dia tidak perlu
mempergunakan tenaga, akan tetapi hasilnya, semua serangan Ouwyang Lam mengenai
angin kosong!
Makin cepat
Ouwyang Lam yang penasaran dan marah ini menghujankan serangannya, semakin aneh
pula gerakan Swan Bu. Kadang-kadang ada kalanya dia merebahkan diri sehingga
Siu Bi hampir menjerit ketika Ouwyang Lam menubruk tubuh yang rebah itu dengan
tikaman maut. Akan tetapi di lain detik tubuh yang rebah itu sudah bergulingan
dan berdiri lagi, enak-enakan menari aneh. Andai kata Swan Bu tidak demikian
lelah dan lemahnya, satu dua kali balasan serangannya tentu akan merobohkan
Ouwyang Lam.
Akan tetapi
Swan Bu sudah terlalu lemah sehingga dia hanya mampu menghindarkan diri dari
serangan lawan tanpa mampu membalasnya. Karena tenaganya makin lemah, maka
gerakannya mulai kurang gesit sehingga dia mulai terdesak.
Empat
penjuru angin telah dikuasai oleh sinar pedang Ouwyang Lam, tidak ada jalan
lari lagi bagi Swan Bu kecuali menggunakan ilmu langkah ajaibnya untuk
menghindar dari setiap tusukan atau bacokan, akan tetapi serangan hanya
serambut saja selisihnya!
Siu Bi mulai
kecut hatinya. Dia gelisah setengah mati dan sudah mengambil keputusan untuk
nekat menerjang maju ketika tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang.
"Keparat,
mundur kau!" bayangan itu berseru keras.
"Cringgg...!
Crakkk!"
Siu Bi
menjerit ketika melihat betapa bayangan itu dalam menangkis pedang Ouwyang Lam,
sudah kalah tenaga. Pedangnya terlepas dan pedang Ouwyang Lam membacok dadanya!
Siu Bi mengenal orang itu yang bukan lain adalah The Sun!
Dengan jerit
tertahan Siu Bi cepat-cepat menerjang maju karena Swan Bu juga sudah terhuyung-huyung
kelelahan. Pedangnya berkelebat mengirim tusukan dibarengi tangan kirinya
mengirim pukulan Hek-in-kang!
Bukan main
hebatnya serangan Siu Bi yang dilakukan dengan penuh kemarahan ini. la
menggunakan jurus-jurus lihai dari Cui-beng Kiam-hoat dan pukulan Hek-in-kang
dengan tangan kirinya mengeluarkan uap hitam. Ouwyang Lam yang tertawa-tawa
bergelak-gelak karena girangnya dan sombongnya itu mana mampu menghadapi
serangan yang tak diduga-duganya ini? la terkejut sekali dan berusaha
menangkis, namun terlambat. Pukulan Hek-in-kang sudah membuat dadanya serasa
meledak dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, pedang Cui-beng-kiam telah dua
kali memasuki lambung dan dadanya, membuat dia terkulai dan roboh tak bernyawa
lagi.
"Ayah...!"
Siu Bi menubruk The Sun yang terengah-engah, dan dengan tangan kanannya meraba
luka di dada ayah tirinya yang mengeluarkan banyak darah.
The Sun yang
duduk itu tersenyum lebar, matanya bersinar-sinar, wajahnya yang pucat berseri
penuh bahagia. "Ahh, anakku... anakku... Siu Bi, kau menyebut apa
tadi...?"
Dada Siu Bi
penuh keharuan. Orang tua ini, yang baru-baru ini sangat dibencinya, telah
kehilangan lengan untuknya, kini menghadapi maut juga untuknya. Orang ini
menolong Swan Bu, berarti menolongnya juga. Seketika lenyap semua bencinya,
terganti dengan kasih sayang yang dulu, kasih sayang seorang anak perempuan
yang dimanja ayahnya.
"Ayah...!"
Siu Bi merangkul dan menangis.
The Sun
mendongak ke atas, pipinya basah air mata. "Terima kasih atas ampunanMu,
bahwa di saat terakhir ini harapan hambaMu masih terkabul. Siu Bi
anakku...!" The Sun mendekap kepala gadis itu dan mencium dahinya,
rambutnya, penuh kebahagiaan. "Siu Bi, dengar baik-baik. Orang ini banyak
kawannya, mereka tentu akan datang. Lekas kau pergilah bersama Swan Bu. Aku
tahu, dia putera Pendekar Buta, bukan? Ahhh, Siu Bi, harapanku terakhir, semoga
kau dapat hidup bahagia bersama dia. Ya, ya... sejak kau kecil, kutimang-timang
engkau supaya kelak menjadi isteri seorang pendekar keturunan Raja Pedang atau
Pendekar Buta. Ha-ha-ha, pengharapanku terkabul kiranya. Pergilah, bawa dia
pergi, dia terluka parah... biar aku di sini menghadang teman-temannya yang
hendak mengejar."
Setelah
berkata demikian, dengan sikap gagah The Sun lalu bangkit berdiri, memungut
pedangnya yang tadi terlempar dan berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar.
Siu Bi menengok, melihat Swan Bu dengan nafas memburu berdiri bersandar pohon,
"Tapi Ayah, kau... kau terluka hebat..."
The Sun
menggerakkan lengannya yang buntung, penglihatan ini menyayat hati Siu Bi.
"Aku sudah tua, aku juga penuh dosa, jangan kau renggut kenikmatan
pengorbanan dan penebusan dosa ini, anakku. Kau berhak hidup bahagia, berhak
hidup bersih dari semua dosaku. Penjahat-penjahat itu dahulu bekas
kawan-kawanku, biarlah sekarang kutebus dengan darahku, melawan mereka untuk
membersihkan engkau dari kekotoran ini. Kau pergilah, jaga baik-baik ibumu,
dan... dan... jangan lepaskan Swan Bu... itu harapanku..." Ucapan terakhir
ini dilakukan dengan suara terisak.
"Ayah...
selamat tinggal...," kata Siu Bi karena tidak melihat jalan lain.
la maklum
juga bahwa kedatangan Ouwyang Lam tentu disusul yang lain. Bila Ang-hwa
Nio-nio, Maharsi, Bo Wi Sianjin, apa lagi Bhok Hwesio sampai muncul di situ,
tentu dia, Swan Bu, dan ayahnya akan tewas semua secara konyol. la dapat
menduga pula bahwa luka ayahnya amat berat, maka ayahnya menjadi nekat,
berkorban untuknya.
Dengan air
mata bercucuran ia menghampiri Swan Bu, lalu digandengnya lengan kanan pemuda
itu dan ditariknya. "Mari kita berangkat, Swan Bu."
"Sebentar,
anakku..." The Sun dengan langkah lebar menghampiri mereka, memandang
dengan penuh keharuan, tiba-tiba merangkul Swan Bu dan mencium dahi pemuda itu,
merangkul Siu Bi dan mencium dahi gadis ini, lalu melepaskan mereka.
"Pergilah, lekas pergilah..., selamat berbahagia!"
la masih
berdiri dengan air mata bercucuran memandang ke arah lenyapnya dua orang muda
itu ketika muncul Ang-hwa Nio-nio yang berlari-lari ke tempat itu. Terdengar
nenek itu menjerit, lalu menubruk jenazah Ouwyang Lam dan menangis
tersedu-sedu. Akan tetapi hanya sebentar saja karena dia segera meloncat bangun
dan berdiri menghadapi The Sun yang sudah membalikkan tubuh karena sadar dari
lamunan sedih oleh tangis dan jerit Ang-hwa Nio-nio tadi.
Ang-hwa
Nio-nio hampir gila oleh marah dan sedihnya melihat murid atau kekasihnya telah
tewas. Dengan mata mendelik ia memandang kepada The Sun dan berteriak penuh
kemarahan,
"Katakan,
siapa yang membunuhnya? Dan kau ini siapa?"
The Sun yang
telah dapat menguasai keharuan hatinya, kini tersenyum duka. "Kui-toanio
(nyonya Kui), agaknya kau sudah lupa lagi padaku. Dua puluh tahun yang lalu,
aku dan guruku Hek Lojin bukankah menjadi kawan seperjuangan dengan Ang-hwa
Sam-cimoi?"
Nenek itu
memandang heran ke arah lengan yang buntung, akan tetapi sekarang ia telah
teringat. "Aahhh, kau The Sun... ehhh, gadis itu, Siu Bi... dia
puterimu?"
Sebelum The
Sun menjawab, nenek itu yang ingat lagi akan mayat pemuda kekasihnya. Cepat dia
bertanya, dan suaranya berubah tidak semanis tadi, "The Sun, siapakah yang
membunuh Ouwyang Lam? Siapa?"
Setelah
sekarang Siu Bi dan Swan Bu pergi, baru The Sun merasa betapa dadanya sakit
bukan main, juga lengannya yang buntung. Rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke
tulang sumsum dan ke jantung, membuat matanya berkunang-kunang, kepalanya pening
dan tubuhnya menggigil.
Akan tetapi
The Sun menggigit bibirnya, mengerahkan seluruh daya tahan yang ada di tubuhnya
untuk melawan rasa nyeri ini agar dia dapat menghadapi Ang-hwa Nio-nio.
"Dia ini hendak mengganggu anakku dan... mantuku, oleh karena itu aku
turun tangan membunuhnya!"
Ang-hwa
Nio-nio kelihatan amat kaget dan heran, akan tetapi kemarahannya memuncak
mengalahkan perasaan-perasaan lain. Dia mundur tiga langkah, mengeluarkan jerit
aneh setengah menangis setengah tertawa, lalu menubruk ke depan melakukan
penyerangan dahsyat, pedangnya menubruk perut, tangan kirinya melancarkan
pukulan Ang-tok-ciang!
The Sun
adalah seorang jago kawakan yang tentu saja sudah maklum betapa lihainya nenek
ini. Apa lagi dia dalam keadaan terluka hebat, lengan buntung dan dada tergores
pedang. Andai kata dia dalam keadaan sehat dan segar bugar sekali pun, dia
maklum bahwa nenek ini bukan lawannya yang seimbang. Mendiang gurunya, Hek
Lojin, kiranya baru merupakan lawan setanding.
Maka dia
bukan tidak tahu bahwa pertempuran ini akan berakhir dengan kekalahannya. Namun
dia tidak takut, tidak gentar. Apa lagi karena apa yang dia idam-idamkan sudah
tercapai, yaitu menarik Siu Bi kembali padanya, sebagai anaknya. la terlalu
cinta kepada anak itu yang semenjak kecil dia anggap anak sendiri. Ketika Siu
Bi pergi, dia sudah mengalami penderitaan batin yang lebih hebat dari pada
penderitaan apa pun juga, lebih hebat dari pada kematian. Bahkan sebelum dia
bertemu dengan Siu Bi, hanya tubuhnya yang masih hidup untuk menghadapi segala
kepalsuan hidup, sedangkan batinnya sudah hampir mati.
Baru setelah
Siu Bi menyebutnya ayah, mengaku ayah padanya, jiwanya segar kembali dan The
Sun merasakan kebahagian dan kenikmatan yang tiada bandingnya di dunia. la
puas, dia lega, dan dia bahagia sehingga menghadapi bahaya maut di tangan
Ang-hwa Nio-nio disambutnya dengan senyum!
Betapa pun
juga, darah jagoan tidak membiarkan dia mati konyol begitu saja. la seorang
ahli silat yang berkepandaian tinggi, meski pun tingkatnya tidak setinggi
tingkat Ang-hwa Nio-nio. Namun dia harus memperlihatkan bahwa selama puluhan
tahun belajar ilmu silat tidaklah sia-sia. la harus melawan mati-matian. Tangan
kanannya yang memegang pedang bergerak melindungi tubuh. Dia menggeser kakinya
ke belakang terus ke kiri, membabatkan pedangnya ke tengah-tengah gulungan
sinar pedang di tangan Ang-hwa Nio-nio.
"Trang-trang-tranggg...!"
Mereka
berdua terpental mundur, masing-masing tiga langkah. Hal ini aneh. Sesungguhnya
dalam hal kepandaian mau pun tenaga dalam, The Sun kalah jauh oleh Ang-hwa
Nio-nio. Apa lagi dia dalam keadaan terluka dan tubuhnya sudah lemah sekali.
Akan tetapi, mengapa tiga kali pedangnya dapat menangkis pedang lawan dan dia
dapat mengimbangi tenaga Ang-hwa Nio-nio?
Bukan lain
karena rasa bahagia dan ketabahan yang luar biasa, yang membuat The Sun tidak
peduli lagi akan mati atau hidup. Perasaan ini lalu mendatangkan tenaga
mukjijat kepadanya. Memang, di dalam tubuh manusia ini tersimpan tenaga
mukjijat yang rahasianya belum diketahui oleh si manusia sendiri. Kadang-kadang
saja, di luar kesadarannya, tenaga ini menonjolkan diri, membuat orang dapat
melakukan hal yang tidak mungkin dilakukannya dalam keadaan normal.
Rasa takut
yang berlebih-lebihan, rasa marah yang melewati batas, rasa cinta mau pun
gembira yang mendalam, kadang-kadang dapat menarik tenaga mukjijat di dalam
diri ini sehingga timbul dan memungkinkan orang melakukan hal yang luar biasa,
hal-hal di atas kemampuannya yang normal. Demikian pula agaknya dengan The Sun
pada saat itu. Secara aneh sekali, perasaan bahagia yang amat mendalam membuat
dia tak gentar menghadapi apa pun juga. Mati atau hidup baginya sama saja,
pokoknya dia sudah diterima sebagai ayah oleh Siu Bi dan inilah idam-idaman
hatinya.
Perasaan
inilah yang membangkitkan tenaga mukjijat sehingga dia mampu menangkis sambaran
pedang Ang-hwa Nio-nio sambil mengelak dari pukulan Ang-tok-ciang. Akan tetapi,
karena memang kalah tingkat dan pula tangan kirinya tak dapat dia gunakan lagi
sehingga keseimbangan tubuhnya dalam bersilat juga terganggu, maka ketika
Ang-hwa Nio-nio terus menerus mendesaknya dengan kemarahan meluap-luap, The Sun
hanya mampu mempertahankan dirinya saja.
"Singgg…!"
Pedang Ang-hwa
Nio-nio menyambar, hampir saja mengenai kepala The Sun kalau saja dia tidak
cepat-cepat membanting dirinya ke belakang dan terhuyung. Pada waktu itu,
Ang-hwa Nio-nio sudah menyusulkan pukulan Ang-tok-ciang. Dalam keadaan
terhuyung-huyung ini, tentu saja The Sun tidak mampu lagi mengelak.
"Uhhh...!"
Dada The Sun
serasa ditumbuk palu godam, tergetar seluruh isi dadanya dan tubuhnya terlempar
sampai tiga meter lebih. The Sun roboh dan memuntahkan darah segar dari
mulutnya. Pada saat itu pula Ang-hwa Nio-nio sambil terkekeh-kekeh mengerikan
sudah melompat datang dengan pedang terangkat. Akan tetapi The Sun sama sekali
tidak gentar, juga tak mau menyerah. Dalam keadaan setengah rebah ini, dia
masih mampu mengangkat pedangnya dan menangkis bacokan pedang lawan.
"Tranggg...!"
Pedang di
tangan The Sun patah menjadi dua, ujungnya menancap di dadanya sendiri dan
gagangnya mencelat entah kemana. The Sun menggulingkan tubuhnya ke depan dan
tangan kanannya dikepal melancarkan pukulan sambil menendang. Hebat serangan
ini, dan tidak terduga-duga lagi. Siapa bisa menduga orang yang sudah terluka
seperti itu masih dapat melakukan serangan begini dahsyat?
"Ihhh...!"
Ang-hwa Nio-nio berteriak kaget dan marah.
Biar pun dia
dapat menghindar, namun ujung kaki The Sun menyambar pipinya, dekat hidung. Dia
mencium bau sepatu yang amat tidak enak dan hal ini dianggap merupakan
penghinaan yang melewati takaran. "Keparat, mampus kau!" bentaknya,
pedangnya membacok lagi sekuat tenaga.
"Crakkk!"
Lengan kanan
The Sun yang menangkis bacokan ini seketika terbabat buntung! Darah muncrat
bagaikan air pancuran. Akan tetapi The Sun masih melompat bangun, kedua kakinya
bergerak seperti kitiran angin melakukan tendangan berantai.
"Wah,
gila...!" Ang-hwa Nio-nio merasa seram juga.
The Sun
sudah bermandikan darah, juga pakaiannya ternoda darah yang mancur dari
lengannya, akan tetapi tendangannya masih amat berbahaya. Dengan sangat marah
dan penasaran Ang-hwa Nio-nio mengayun pedangnya memapaki kaki yang menendang.
"Crokkk!"
Kaki kanan
The Sun putus sebatas lutut dan tubuhnya terguling. Namun hebatnya, tidak satu
kali pun jagoan ini mengeluarkan suara keluhan. Dia rebah dengan mata melotot
memandang Ang-hwa Nio-a nio, mulutnya tersenyum penuh ejekan.
"Setan
kau!"
Ang-hwa Nio-nio
menubruk maju dan pedangnya dikerjakan laksana seorang penebang pohon memainkan
kapaknya. Terdengarlah suara crak-crok-crak-crok dan dalam waktu beberapa detik
saja tubuh The Sun tercacah hancur! Mengerikan sekali. Ang-hwa Nio-nio
mengangkat mayat Ouwyang Lam dan dibawanya lari pergi. Terdengar lengking
tangisnya sepanjang jalan. Ada pun mayat The Sun yang sudah tak karuan lagi
bentuknya itu menggeletak di atas tanah di dalam hutan.
Sunyi sekali
di situ. Tiada suara apa-apa kecuali suara burung hutan yang bersembunyi
mengintai di atas pohon. Yang kelihatan bergerak hanya binatang-binatang hutan
yang bersembunyi di dalam gerumbulan, menanti saat untuk menikmati hidangan
daging dan darah yang disia-siakan itu. Kematian seorang manusia yang sangat
mengerikan, juga menyedihkan.
Patut
dikasihani manusia seperti The Sun itu, sungguh pun kematiannya itu tidaklah
mengherankan apa bila kita mengingat dan menilai perbuatan-perbuatannya di
waktu dia masih muda. Telah ditumpuknya dosa, dan sekarang agaknya dia harus
menebusnya. Sayang, amat terlambat dia insyaf.
Di waktu
muda dahulu, kedudukan, kekuasaan, kekuatan, dan harta benda membuat dia
takabur. Membuatnya sewenang-wenang, seakan-akan di dunia ini tidak ada
kekuasaan yang dapat melawannya, yang dapat mengadili perbuatan-perbuatannya.
Pada waktu itu dia lupa bahwa di atas segala kekuasaan yang tampak di dunia
ini, masih ADA kekuasan tertinggi, kekuasaan Tuhan yang tak terlawan, yang maha
adil, yang takkan membiarkan kejahatan lewat tanpa hukuman.
Setiap perbuatan
merupakan sebab dan tiap sebab mempunyai akibat. Nasib di tangan Tuhan? Betul,
karena Tuhanlah yang mengatur lancarnya akibat-akibat ini seadil-adilnya maka
Maha Adillah DIA.
Nasib di
tangan manusia sendiri? Juga betul, karena sebenarnya, manusia itu sendirilah
yang menjadi sebab dari akibat yang disebut kemudian sebagai nasib! Perbuatan
baik tentu berakibat baik, sebaliknya perbuatan busuk pasti akan berakibat
buruk, maka baik buruknya akibat atau nasib sesungguhnya adalah di tangan si
manusia itu sendiri.
Bagi mereka
yang berbuat kejahatan tapi belum menerima hukuman dari Tuhan, jangan terlalu
keras ketawa gembira. Yakinlah, bahwa akibat perbuatanmu pasti akan tiba pula!
Tuhan Maha Adil.
Kuil tua di
kota Kong-goan semakin sunyi keadaannya. Semenjak kuil tua itu dijadikan
semacam markas oleh Ang-hwa Nio-nio dan sekutunya, penduduk menganggap tempat
itu sebagai tempat terlarang, tempat yang sangat seram dan berbahaya sehingga
kuil ini seakan-akan terasing. Apa lagi di waktu malam, tidak ada orang berani
lewat dekat kuit ini.
Cukup banyak
pula penduduk Kong-goan yang menganggap kuil itu sebagai tempat yang angker,
sebagai rumah setan dan iblis! Hal ini tidaklah aneh kalau mereka pernah
melihat berkelebatnya bayangan yang dapat ‘menghilang’ dan kadang-kadang dapat
‘terbang’ ke atas genteng, bahkan sering pula melihat cahaya berkelebatan di
atas kuil.
Akan tetapi
pada malam hari itu, dua sosok bayangan orang dengan langkah perlahan dan
tenang menghampiri kuil tua ini, tanpa ragu-ragu memasuki pekarangan kuil yang
gelap. Mereka ini bukan lain adalah suami isteri sakti dari Liong-thouw-san,
Pendekar Buta dan isterinya!
"Sunyi
sekali, agaknya kosong," berkata Hui Kauw setelah meneliti keadaan di
sekeliling tempat itu dengan pandang matanya.
"Memang
kosong," kata Kun Hong yang juga meneliti keadaan dengan pendengarannya,
”akan tetapi mungkin nanti atau besok mereka akan kembali. Tempat ini belum
lama ditinggalkan orang, hawa manusia masih bergantung tebal di ruangan
ini."
Setelah
melakukan pemeriksaan dan yakin bahwa kuil tua itu tidak ada penghuninya, Kun
Hong dan Hui Kauw lalu duduk bersila di ruangan belakang yang lantainya bersih.
Mereka melewatkan malam di tempat itu, sambil menunggu dan bersikap waspada.
Di tempat
inilah Kong Bu melihat putera mereka yang didakwa melakukan perbuatan jahat
terhadap Lee Si, puteri pendekar Min-san itu. Dengan demikian berarti bahwa
putera mereka itu terkena fitnah di tempat ini. Maka, dengan hati penuh
kekhawatiran mereka menduga-duga apakah yang telah terjadi di sini dan siapa
gerangan yang melakukan perbuatan curang mengadu domba itu.
Akan tetapi
malam itu tak terjadi apa-apa. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali baru
terdengar langkah-langkah kaki di luar kuil tua itu. Kun Hong dan isterinya
tentu saja mendengar suara ini dan mereka sudah bersiap sedia menghadapi segala
kemungkinan. Mereka bangkit berdiri dan tanpa kata-kata keduanya seperti sudah
bermufakat, berjalan perlahan keluar menuju ke ruangan depan untuk menyambut
datangnya musuh. Sesudah mereka tiba di luar, Hui Kauw melihat seorang gadis
cantik dan gagah berdiri dengan tegak dan pandang mata marah.
"Siapakah
dia?" bisik Kun Hong kepada isterinya.
Hui Kauw
memandang penuh selidik, mengingat-ingat di mana dan bila mana ia pernah
melihat wajah cantik yang serasa telah amat dikenalnya ini. Gadis itu balas
memandang kepadanya, penuh selidik pula. Dua orang wanita ini saling pandang,
agaknya masing-masing menanti ditegur terlebih dulu. Melihat betapa sikap gadis
itu seolah-olah sedang menahan kemarahan besar, Hui Kauw mengalah dan menegur
lebih dulu.
"Nona,
siapa kau dan siapa yang kau cari di tempat ini?" Hui Kauw bertanya
hati-hati karena ia belum tahu apakah gadis ini termasuk sekutu pihak lawan
ataukah bukan.
"Kalian
ini bukankah Pendekar Buta dan isterinya?" Gadis itu balas bertanya.
Hui Kauw
dapat menduga bahwa gadis ini pada dasarnya memiliki suara yang halus dan
sopan, akan tetapi karena sedang marah maka terdengar ketus. "Kalau betul
demikian, kenapa?" dia balas bertanya, sabar dan tersenyum.
"Sudah
kuduga," Gadis itu berkata perlahan seperti kepada diri sendiri,
"sepasang suami isteri yang sakti, berilmu tinggi dan menganggap di dunia
ini mereka yang paling pandai."
"Ehh,
kau siapakah dan apa sebabnya bicara begitu?" Kun Hong bertanya, keningnya
berkerut karena pendengarannya tadi menangkap keperihan hati yang sakit dan
penuh dendam.
Namun gadis
itu tidak menjawab, melainkan kembali bertanya kepada Hui Kauw sambil matanya
memandang tajam, "Bibi yang gagah perkasa, bolehkah aku bertanya di mana
kau menyimpan pedangmu Kim-seng-kiam?"
Berubah
wajah Hui Kauw dan Kun Hong mendengar ini. Bangkit kemarahan di hati Hui Kauw.
Pedangnya lenyap dicuri orang, dan pencurinya hanya tampak bayangannya saja
yang bertubuh ramping dan tidak seorang pun tahu akan kejadian itu. Gadis ini
bertubuh ramping dan tahu akan pedangnya yang hilang.
Tentu gadis
ini yang telah mencurinya, atau setidaknya tahu akan pencurian pedang itu.
Mudah saja menduganya, seperti dua kali dua sama dengan empat!
"Ehh,
bocah nakal! Kiranya kau yang mencuri pedangku? Hayo katakan, sekarang di mana
kau sembunyikan pedangku itu dan apa sebabnya kau mencurinya?" la
melangkah maju dua tindak menghadapi gadis itu.
Kun Hong
tetap berdiri, telinganya mengitari segala gerakan dan suara.
"Hemmm,
tidak kusangka, isteri Pendekar Buta yang sakti itu pandai pula berpura-pura.
Siapa yang berani dan mampu mencuri pedang dari tangan isteri Pendekar Buta?
Lebih baik berterus terang saja bahwa pedang itu tertinggal di dada ketua
Min-san-pai. Kalian mengandalkan kepandaian sendiri, dengan pedang
Kim-seng-kiam membunuh Tan Kong Bu, apakah sekarang masih hendak berpura-pura
lagi?"
Kun Hong
menahan seruannya, kerut-merut di antara kedua matanya yang buta menjadi makin
dalam. "Kong Bu terbunuh dengan Kim-seng-kiam? Ahhh..., kau siapakah,
Nona? Dan apakah yang kau kehendaki setelah kau menceritakan itu kepada
kami?"
"Lebih
dulu kalian mengakulah bahwa kalian yang membunuh Tan Kong Bu. Orang yang
berani bertanggung jawab akan perbuatannya barulah orang gagah, dan hanya
kepada orang gagah aku mau memperkenalkan diri. Kalau kalian menyangkal padahal
pedang Kim-seng-kiam menancap di dadanya, berarti kalian walau pun terkenal
sakti ternyata hanyalah pengecut dan aku tidak sudi banyak bicara lagi, karena
pedangku yang akan mewakili aku bicara!"
Hui Kauw
tidak dapat menahan sabarnya lagi. la melangkah maju lagi beberapa tindak
sehingga kini dia sudah berhadapan dengan gadis itu. Sepasang matanya yang
bening memandang tajam seakan berkilat, alisnya saling berdekatan, urat
lehernya menegang.
"Bocah
lancang! Besar mulutmu! Kami tak pernah mengagulkan diri sebagai orang-orang
sakti dan gagah, akan tetapi kami juga tak sudi dimaki pengecut! Pedang
Kim-seng-kiam memang pedangku, kau mau tahu namaku ataukah sudah mengenalku?
Aku Kwee Hui Kauw. Pedangku itu beberapa hari yang lalu lenyap dicuri orang.
Hal ini tidak ada yang tahu, kecuali aku, suamiku, dan si pencuri. Sekarang kau
muncul dan bicara tentang ini, siapa lagi orangnya kalau bukan kau yang mencuri
pedangku? Dan sekarang setelah kau menggunakan pedang itu untuk membunuh Kong
Bu, kau datang ke sini menuduh kami? Keparat, kiranya kau ini biang keladi
semua urusan!" Setelah berkata demikian Hui Kauw menerjang ke depan,
menyerang gadis itu.
Gadis itu
bukan lain adalah Tan Cui Sian. Melihat datangnya serangan, dia cepat-cepat
mengelak dan meloncat ke kiri.
"Singgg…!"
Pedang
Liong-cu-kiam sudah dicabutnya. Pedang ini mengeluarkan cahaya berkilat yang
menyilaukan mata sehingga Hui Kauw yang dapat mengenal pedang pusaka ampuh,
ragu-ragu untuk menyerang lagi dengan tangan kosong, apa lagi tadi dia melihat
betapa gerakan gadis itu amat ringan dan gesit.
"Huh,
ganas!" bentak Cui Sian. "Tak kusangka Pendekar Buta dan isterinya
hanya begini! Mengandalkan diri dan kepandaian sendiri untuk menjagoi serta
membunuh orang. Aku tahu, pada saat bertemu dengan kalian tentu Tan Kong Bu
telah menuduh bahwa putera kalian menghina puterinya sehingga terjadi
percekcokan dan pertempuran. Akan tetapi kalau kalian membunuhnya, hal ini keterlaluan
sekali dan aku tak akan mendiamkannya begitu saja. Hayo, Pendekar Buta,
majulah! Kwee Hui Kauw, karena pedangmu telah kau tinggalkan menancap pada dada
Tan Kong Bu, kau boleh mencari senjata lainnya untuk menghadapiku!"
Bukan main
heran dan kagetnya hati Pendekar Buta dan isterinya mendengar ucapan ini.
Bagaimana gadis ini tahu akan urusan Kwa Swan Bu dan Lee Si? Dan tahu pula
bahwa Kong Bu telah bentrok dengan mereka berdua? Siapakah gadis ini?
Perlu
diketahui bahwa Hui Kauw belum pernah bertemu dengan Cui Sian, dan Kun Hong pun
tak pernah bertemu semenjak Cui Sian berusia lima tahun. Ketika Swan Bu dalam
usia belasan tahun pergi ke Thai-san, dia ditemani oleh kakeknya, Kwa Tin
Siong.
"Kau...
kau anak Kong Bu?” Hui Kauw bertanya.
Cui Sian
tersenyum mengejek. Gadis ini tidak mau memperkenalkan namanya, karena kalau ia
melakukan hal ini, agaknya akan sukar baginya untuk bersikap seperti ini. Untuk
dapat membalas kematian kakaknya, ia harus bersikap kasar dan bermusuhan.
Melihat betapa tadi Hui Kauw telah menyerangnya, ia makin merasa yakin bahwa
Kong Bu tentu tewas di tangan nyonya ini, dan agaknya dibantu oleh Pendekar
Buta karena ia menaksir bahwa kepandaian kakaknya itu tidak kalah oleh
kepandaian Kwee Hui Kauw.
"Tak
peduli aku siapa, kematian Tan Kong Bu tak boleh kudiamkan saja. Pendekar Buta,
kau terkenal sebagai seorang pendekar yang sakti. Awas, pedangku
menyerangmu!" Dengan gerakan kilat Cui Sian menerjang Pendekar Buta dengan
pedang Liong-cu-kiam!
Gadis ini
semenjak kecil tak pernah lagi bertemu dengan Pendekar Buta akan tetapi ia
sudah mendengar banyak sekali tentang Kun Hong. Mendengar betapa ayahnya banyak
memuji-muji kepandaiannya dan pernah mendengar pula dari ibunya betapa Kwa Kun
Hong menjadi buta karena urusan cinta kasih dengan mendiang enci-nya yang
bernama Tan Cui Bi dan yang tak pernah ia lihat. (baca Rajawali Emas)
Mendengar
cerita mengenai kematian enci-nya yang membunuh diri, diam-diam Cui Sian sudah
mempunyai rasa tak senang pada Pendekar Buta, sebab dia menganggap bahwa
kematian enci-nya itu adalah gara-gara Kwa Kun Hong. Apa lagi sesudah mendengar
bahwa Kwa Kun Hong tidak setia kepada enci-nya yang sudah mengorbankan nyawa
demi cinta kasihnya, yaitu bahwa Kun Hong sudah menikah, maka diam-diam dia pun
merasa cemburu demi enci-nya, kepada Kwee Hui Kauw.
Puji-puji
ayahnya tentang kelihaian Pendekar Buta juga telah membangkitkan penasaran di
hatinya. Dulu ia sering kali melamunkan untuk mengadu kepandaian dengan
Pendekar Buta yang sudah mengakibatkan enci-nya membunuh diri, dan yang
dipuji-puji setinggi langit oleh ayahnya.
"Singgg...!"
Pedang
Liong-cu-kiam mengeluarkan suara mendesing ketika digerakkan oleh tangan kanan
Cui Sian yang terlatih dan yang gerakannya mengandung tenaga sinkang murni,
seketika berubah menjadi seberkas cahaya kilat meluncur cepat ke arah leher
Pendekar Buta!
Biar pun
kedua matanya buta, sebagai pengganti kekurangan ini, telinga Pendekar Buta
amatlah tajam pendengarannya, sehingga dengan pendengarannya dia dapat mengikuti
gerakan Cui Sian dengan pedangnya. Alangkah heran dan kaget hati Kun Hong
ketika telinganya menangkap gerakan yang amat jelas dari Im-yang Sin-kiam
murni! Siapa yang dapat memainkan Im-yang Sin-kiam begini indah dan murni
kecuali dia sendiri, dan tentu saja, Raja Pedang Tan Beng San?
la
mendiamkan saja tusukan pedang ke arah lehernya ini, tidak ditangkis dan juga
tidak dielakkannya. la tahu bahwa gadis ini menusuknya dengan jurus Sian-li
Cui-siauw (Dewi Meniup Suling), sebuah jurus yang tergolong Im-sin-kiam,
memiliki sebutan yang sifatnya ‘Im’ sedangkan sian-li atau dewi termasuk wanita
maka banyak dipakai untuk jurus-jurus Im-sin-kiam. Sebaliknya, dalam
Yang-sin-kiam banyak digunakan sebutan yang sifatnya ‘Yang’.
Kun Hong
yang telah mewarisi ilmu pedang sakti ini dari Raja Pedang, tentu saja tahu
akan perubahan-perubahannya dan dia tahu pula bahwa tusukan ke arah leher ini,
biar pun ujung pedangnya sudah menyentuh kulit leher lawan, dapat saja
dibelokkan apabila memang si penyerang tak ingin membunuh lawannya. Oleh karena
ini maka dia sengaja tidak mengelak atau menangkis, namun tentu saja siap untuk
menghancurkan lawan bila serangan ini diteruskan.
Dugaannya
tepat. Pada waktu Cui Sian melihat betapa orang buta itu sama sekali tidak
menangkis mau pun mengelak sehingga pedangnya meluncur terus mengarah leher,
dia menjerit tertahan dan cepat dia menggerakkan pergelangan tangannya mengubah
arah pedang. Namun karena dia sedang marah, gerakan serangannya tadi hebat
sekali, apa lagi dia menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga. Inilah yang
membuat dia kurang cepat mengubah arah pedang sehingga ujung pedangnya masih
menyambar pundak kiri Kun Hong sehingga robeklah baju pada pundak berikut kulit
dan sedikit daging sehingga darah bercucuran dari luka di pundak.
"Kau...
Cui Sian...!” Kun Hong seakan-akan tidak merasakan perihnya luka di pundak.
"Ohhh...
kau bocah kurang ajar!" bentak Hui Kauw setelah mendengar seruan suaminya.
Kemarahannya
bangkit. Kalau anak ini Cui Sian, berarti dia adik tirinya Tan Kong Bu dan
sungguh pun wajar kalau ia marah atas kematian Kong Bu, akan tetapi tidak
seharusnya berlaku begitu nekat dan menuduh mereka tanpa penyelidikan lagi. Apa
lagi sekarang berani menyerang dan melukai suaminya yang nyata-nyata tidak
melawan!
Di lain pihak,
Cui Sian yang sudah dikenal, kemudian berdiri dengan pedang melintang di depan
dada, tangan kiri bertolak pinggang. Dia seorang gadis yang berpengetahuan dan
berpemandangan luas, akan tetapi walau pun demikian, dia tetap seorang wanita
yang berperasaan halus, mudah tersinggung sehingga dia bersikap seperti itu
karena teringat akan mendiang enci-nya yang membunuh diri karena Kun Hong
ditambah pula kematian kakaknya yang tewas tertikam pedang milik isteri
Pendekar Buta.
"Betul,
aku Tan Cui Sian! Pendekar Buta, dulu sebelum aku lahir, kau sudah menggoda
enci-ku Cui Bi dengan ketampanan wajahmu, akan tetapi kemudian kau tak
bertanggung jawab sehingga menyebabkan enci-ku tewas membunuh diri. Sekarang,
pedang isterimu membuat kakakku Kong Bu tewas pula, tetapi kembali kalian tidak
berani bertanggung jawab atas perbuatan kalian. Apakah ini perbuatan orang
gagah?. Hayo lawan aku, untuk membereskan perhitungan lama dan baru!"
"Ihhh,
sungguh lancang mulutmu!" Hui Kauw berteriak marah sekali.
"Ssttttt,
sabarlah isteriku, dia masih anak-anak," kata Kun Hong untuk menyabarkan
hati isterinya.
Akan tetapi
bagi Cui Sian, ucapan itu merupakan bensin yang menyiram api di dadanya. Dia
tadi disebut anak-anak! Akan tetapi sebelum ia sempat membuka mulut menyatakan
kemarahannya, Pendekar Buta telah mendahuluinya berkata,
"Cui
Sian, alangkah sedih hatiku menghadapi kau seperti ini. Teringat aku betapa
dahulu, ketika kau masih kecil, berusia lima enam tahun..."
"Cukup!
Tak perlu menggali-gali urusan lama!"
Kun Hong
tersenyum, "Kau yang mulai menggali tadi, anak baik. Kau ketahuilah, apa
yang dikatakan isteriku tadi tidak bohong. Pedangnya memang sudah dicuri orang
dan kami berdua tidak tahu-menahu tentang kematian kakakmu Kong Bu. Tentu saja
berita ini amat mengagetkan dan menyedihkan..."
"Sudahlah,
siapa bisa percaya omongan seorang yang sudah biasa melanggar sumpah
sendiri?"
"Apa
maksudmu?!" Kun Hong membentak, suaranya kereng.
"Enci-ku
membunuh diri demi cinta kasih, memperlihatkan kesetiaannya kepadamu, lebih
baik mati dari pada dijodohkan dengan orang lain. Akan tetapi, belum juga
dingin jenazah enci-ku, kau... kau sudah menikah dengan perempuan lain. Apakah
aku sekarang harus percaya omonganmu?"
"Bocah
kurang ajar! Jangan kau menghina dia!" Hui Kauw berseru marah sekali.
Tahu-tahu ia
sudah merenggut tongkat suaminya, meloloskan pedang dari dalam tongkat itu,
pedang yang mengeluarkan sinar merah, pedang Ang-hong-kiam!
"Hui
Kauw, jangan….!” Kun Hong mencegah.
Akan tetapi
dengan pedang Ang-ho-kiam di tangan Hui Kauw sudah melompat maju dan menghadapi
Cui Sian. Kemarahan hebat membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Pedangnya
berkelebat dan dengan cepat ia telah mengirim serangan hebat kepada gadis itu.
"Tranggg!"
Liong-cu-kiam
bertemu dengan Ang-ho-kiam, digerakkan oleh dua buah lengan wanita yang
memiliki tenaga sakti. Bunyi nyaring itu diikuti pula dengan bunga api yang
muncrat seperti kembang api.
"Bagus!"
kata Cui Sian. "Memang Kim-seng-kiam yang tertancap di dada kakakku adalah
pedangmu, maka sudah sepatutnya jika kau mempertanggung jawabkan keganasanmu.
Ini bukan berarti aku takut kalau kau mengandalkan suamimu Si Pendekar
Buta..."
"Tutup
mulutmu! Lihat pedang!" Hui Kauw membentak lagi sambil memutar pedang.
Segulung
sinar merah berkelebatan di udara, membentuk lingkaran-lingkaran lebar yang
bergelombang, kemudian bagaikan seekor naga berwarna merah gulungan sinar
pedang itu menyambar ke arah kepala Cui Sian. Cepat bukan main sambaran sinar
pedang ini, cepat dan anginnya begitu tajam mendesing sehingga ketika Cui Sian
menggerakkan kaki menekuk pinggang ke bawah, sinar pedang itu menyambar lewat
di atas kepalanya, meninggalkan bunyi berdesing yang menyeramkan.
Namun Cui
Sian sendiri adalah seorang ahli pedang yang sudah tergembleng matang di puncak
Thai-san. Tidak percuma kiranya ia menjadi puteri seorang pendekar sakti yang
berjuluk Raja Pedang.
Ibunya pun
seorang ahli pedang, malah puteri tunggal dari Raja Pedang Tua Cia Hui Gan,
pewaris Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang tidak ada taranya sebelum muncul Tan
Beng San dengan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam yang sebetulnya satu sumber dengan
Sian-li Kiam-sut. Dengan latar belakang keturunan seperti ini, tentu saja Cui
Sian adalah seorang ahli pedang yang sakti, biar pun ia hanya seorang gadis
yang berusia dua puluh empat tahun.
Begitu sinar
merah yang berdesing itu lewat di atas kepalanya, Cui Sian tidak menanti sampai
lawannya menyerangnya kembali. la maklum bahwa menghadapi seorang lawan tangguh
seperti isteri Pendekar Buta ini, dia tidak boleh sekali-kali berlaku sungkan
atau menghemat serangan, harus dapat membalas serangan demi serangan, bahkan
sedapat mungkin memperbanyak serangan dari pada pertahanan. Pedangnya
digerakkan cepat dan sesosok sinar putih menyilaukan mata, laksana kilatan
halilintar, menyelonong dari bawah masuk ke arah dada Hui Kauw.
Pedangnya
tidak hanya berhenti sampai di sini karena ujungnya tergetar dan hal ini
menyatakan bahwa setiap saat pedangnya ditangkis atau dielakkan lawan, ujung
pedang akan dapat melanjutkan serangan dengan jurus yang lain. Tangan kiri
gadis itu ditarik ke belakang, lurus dan telapak tangannya dibalik menghadap ke
atas.
Indah sekali
gerakannya, dengan ujung kaki kanan menotol tanah, tumit diangkat, lutut agak
ditekuk ke depan. Inilah gerakan indah seperti gerak tari yang bernama jurus
Sian-li Hoan-eng (Sang Dewi Menukar Bayangan), yaitu sebuah jurus dari Sian-li
Kiam-sut yang mengandung tenaga Im-yang Sin-hoat, maka hebatnya bukan kepalang!
Pada waktu
tadi menyerangkan pedangnya ke arah kepala lawan dan dapat dielakkan, otomatis
dada Hui Kauw terbuka. Sebagai isteri Pendekar Buta, tentu saja ia maklum akan
kedudukan yang lemah ini. Memang setiap kali menyerang berarti membuka satu
bagian yang tidak terlindung. Akan tetapi kalau sudah menguasai kelemahannya
sendiri, tentu saja dapat menjaga diri.
Hui Kauw
pernah mewarisi ilmu silat tinggi dari sebuah kitab kuno yang dia temukan.
Kemudian oleh suaminya, ia dibimbing dan mewarisi beberapa jurus Kim-tiauw-kun
yang amat hebat, yang lalu ia gabung dengan ilmu silatnya sendiri sehingga kini
memiliki ilmu pedang gabungan yang amat kuat dan dahsyat.
Seperti yang
telah ia duga, kekosongan yang terbuka dalam posisinya digunakan lawan. Melihat
sinar pedang putih mengancam dada, pedang ia balikkan ke bawah lengan dan
dengan pengerahan tenaga sinkang ia cepat menarik lengan yang ditamengi pedang
ini ke bawah.
"Criinggg...!"
Kembali
sepasang pedang bertemu di udara. Sinar pedang putih yang amat lincah itu
begitu kena ditangkis, membalik dan tahu-tahu sudah berubah menjadi sabetan ke
arah kaki!
Inilah
kelihaian Sian-li Hoan-eng tadi. Begitu ditangkis dan ditindas dari atas oleh
lengan Hui Kauw yang dilindungi pedang dibalik, pedang Liong-cu-kiam terpukul
ke bawah, akan tetapi pukulan ini malah merupakan landasan tenaga untuk
dipergunakan membabat kaki dengan kecepatan kilat!
"Aiiiiihhh...!"
Nyonya Pendekar Buta menjerit lirih.
Tahu-tahu
kakinya menjejak bumi sehingga tubuhnya mumbul ke atas bagai dilontarkan.
Begitu hebat ginkangnya hingga lompatannya lebih cepat dari pada sambaran
pedang. Sinar putih itu hanya beberapa senti meter saja lewat di bawah kakinya,
nyaris sepasang kaki nyonya ini terbabat buntung!
"Bagus...!"
Cui San memuji saking kagumnya menyaksikan gerakan yang sangat indah dan cepat
ini.
Itulah
gerakan dari Kim-tiauw-kun yang disebut jurus Sin-tiauw-coan-hong (Rajawali
Sakti Terjang Angin). Jurus ini tak hanya dapat dipergunakan untuk
menyelamatkan serangan di tubuh bagian bawah dengan cara melompat lurus ke atas
dengan jalan menotolkan ujung kaki ke tanah, melambung ke atas sambil
mengembangkan kedua lengan seperti sayap rajawali sakti, namun lebih dari itu,
jurus ini dapat dipergunakan untuk menyerang lawan dengan cara yang dilakukan
seekor rajawali.
Dan hal ini
pun dilakukan oleh Hui Kauw, karena tiba-tiba saja tubuhnya dari atas telah
berjungkir-balik dua kali sehingga tubuh itu mencelat semakin tinggi, kemudian
turunnya tepat melayang ke arah lawan, pedangnya menusuk dada, tangan kiri
mencengkeram muka, sedangkan dua kakinya masih melakukan tendangan udara.
Benar-benar seperti rajawali yang menyerang dengan sepasang sayap dan sepasang
cakarnya!
Cui Sian
sangat kaget melihat perubahan ini. la tadinya agak terpesona oleh keindahan
gerakan lawan, tidak tahu bahwa di dalam keindahan itu tersembunyi bahaya maut
yang kini mengancamnya! la sadar akan kehebatan penyerangan ini setelah lawan
tiba dekat sekali, bahkan angin pedang yang bersinar merah itu sudah lebih
dahulu meniup.
"Hayaaaaah!"
Cui Sian berseru.
Pedangnya
berubah menjadi segulungan sinar putih melingkar di depan dada menangkis sinar
pedang merah, kemudian sambil menggunakan tenaga benturan ini ia membanting
tubuhnya ke belakang.
Orang lain
tentu akan celaka apa bila melakukan gerakan ini. Sedikitnya, kepala akan
terbanting pada tanah atau batu di belakangnya. Akan tetapi tidak demikian
dengan Cui Sian. Gerakan inilah yang disebut jurus Sian-li-loh-be (Gerakan
Membalik Seorang Dewi) yang selain menegangkan, juga amat indah karena
digerakkan oleh tubuh yang ramping, manis dan lemah-gemulai.
Biar pun
tadinya kepala yang berambut hitam panjang halus harum itu seperti terbanting
ke belakang dan ke bawah, namun bukan menghantam tanah di belakang, melainkan
terayun terus ke bawah seiring dengan terangkatnya kedua kaki ke depan dan ke
atas, lantas tubuh itu membuat salto sampai tiga kali ke belakang! Membuat
salto ke depan adalah mudah dan agaknya dapat dilakukan oleh siapa saja yang
mau melatihnya. Akan tetapi membuat salto ke belakang berturut-turut tiga kali
tanpa ancang-ancang dan dalam keadaan terjepit seperti itu, kiranya hanya dapat
dilakukan oleh akrobat-akrobat tingkat tinggi saja!
Diam-diam
Hui Kauw kaget dan kagum sekali. Serangannya tadi dengan jurus Sin-tiauw
Coan-hong tadi sangat hebat dan jarang sekali tak membawa hasil baik karena
serangan itu selain tidak terduga-duga datangnya, juga amat sukar ditangkis
atau dielakkan sebab sekaligus kedua tangan dan kedua kakinya menyerang.
Akan tetapi
ketika tadi gadis itu tubuhnya berputar-putar seperti kitiran angin ke belakang
menjauhinya, otomatis serangannya gagal mutlak, karena tubuhnya yang melayang
dari atas tak mungkin dapat ‘terbang’ mengikuti gerakan lawan. Terpaksa ia
turun kembali ke atas tanah dan pada saat kedua kakinya menginjak tanah,
lawannya yang muda belia itu sudah berdiri pula dengan tegak.
Kini mereka
berdiri agak berjauhan karena gerakan salto Cui Sian tadi. Jarak di antara
mereka ada lima meter. Masing-masing berdiri dengan pedang di tangan, melintang
di depan dada. Dua kaki agak terpentang, tangan kiri di atas pinggul kiri,
bibir agak terbuka serta nafas sedikit memburu karena pengerahan tenaga sinkang
tadi dicampur dengan ketegangan, sepasang mata menyinarkan api berkilat-kilat,
sepasang pipi merah jambu. Bagaikan dua ekor singa betina mereka saling
pandang, seakan-akan hendak menaksir kekuatan lawan sambil mengasah otak untuk
mengeluarkan jurus-jurus pilihan agar bisa segera merobohkan lawan yang
tangguh.
Sejak tadi,
kerut-merut di antara kedua mata Kun Hong tampak nyata, nafasnya agak terengah
dan beberapa kali dia membanting kaki kiri ke atas tanah. Bingung sekali dia.
la maklum bahwa di antara mereka terjadi kesalah pahaman yang amat besar dan
amat berbahaya, akan tetapi bagaimana dia dapat mencegah mereka bertanding?
Keduanya telah tersinggung perasaan dan kehormatan, masing-masing membela
kebenaran sendiri dan satu-satunya jalan untuk menghentikan kesalah pahaman ini
hanya mengemukakan fakta-fakta.
Akan tetapi
dalam keadaan seperti itu, tak mungkin dia dapat memperlihatkan bukti untuk
membuka tabir rahasia ini. Kong Bu terbunuh orang, pedang Kim-seng-kiam
menancap di dadanya. Tentu saja adik tirinya ini, Cui Sian, menjadi marah dan
menuduh mereka berdua yang melakukan pembunuhan itu.
"Hui
Kauw... Cui Sian... hentikanlah pertempuran yang tak ada gunanya ini...
dengarkan aku..."
Akan tetapi
dia melanjutkan kata-katanya dengan helaan nafas panjang sebab pada saat itu
kedua orang singa betina itu sudah saling terjang lagi dengan lebih hebat dari
pada tadi. Kini mereka saling menguji lawan dengan gerakan cepat, atau
jelasnya, masing-masing hendak mengandalkan kecepatan untuk mencapai
kemenangan.
Gerakan
mereka bagai sepasang burung walet, sulit sekali diikuti pandangan mata biasa.
Pedang mereka lenyap bentuknya, berubah menjadi dua gulung sinar merah dan
putih yang berkelebatan ke sana ke mari, saling belit, saling tekan, saling
dorong dan saling kurung sehingga menimbulkan pemandangan yang ajaib, indah, tapi
penuh ketegangan karena di antara semua keindahan itu mengintai maut!
Segera
ternyata oleh kedua orang wanita jagoan itu bahwa dalam ilmu ginkang, nyonya
Pendekar Buta dengan gerakan Kim-tiauw-kun masih lebih unggul sedikit. Akan
tetapi keunggulan ini dapat ditutup oleh puteri Raja Pedang dengan kelebihannya
dalam tenaga Iweekang yang merupakan penggabungan atau kombinasi dari Im-kang
dan Yang-kang dari Im-yang Sin-hoat.
Ketika Hui
Kauw melakukan serangan dengan jurus Kim-tiauw Liak-sui (Rajawali Emas Sambar
Air), pedangnya membacok dari atas ke bawah dengan dua kali kelebatan, mirip
seperti orang menulis huruf Z.
Cui Sian
yang menjadi silau matanya saking hebatnya serangan ini, cepat menggerakkan
pedang Liong-cu-kiam menangkis, dilanjutkan dengan serangan menusuk dada. Dalam
menangkis ini, Cui Sian menggunakan jurus Yang-sin Kiam-hoat yang disebut
Jit-ho Koan-seng (Api Matahari Menutup Bintang). Pedangnya diputar menjadi
gulungan sinar bulat yang digerakkan hawa panas sehingga tangan Hui Kauw yang memegang
pedang serasa akan pecah-pecah telapak tangannya. Kemudian, sinar pedang yang
bulat seperti bentuk matahari ini mendadak mengeluarkan kilatan meluncur ke
depan ketika jurus dari Yang-sin-kiam itu diubah mejadi jurus Im-sin-kiam yang
disebut Bi-jin Sia-hwa (Wanita Cantik Memanah Bunga).
"Hui
Kauw... awas...!” terdengar Kun Hong berseru kaget. Pendengarannya yang luar
biasa tajam itu dapat mengikuti pertandingan ini seakan-akan dia dapat melihat
saja.
Tanpa seruan
ini pun Hui Kauw sudah kaget setengah mati karena sama sekali tidak disangkanya
bahwa pedang lawan yang diputar untuk menangkis itu tahu-tahu dapat diubah
menjadi serangan yang mengeluarkan hawa dingin. Pedangnya sendiri pada detik
itu berada di atas karena tangannya terpental oleh tangkisan tadi, maka untuk
menangkis tidak ada kesempatan lagi. Agaknya pedang lawan akan menancap di
dadanya. Dan mungkin ini yang dikehendaki Cui Sian untuk membalas kematian
kakaknya dengan serangan yang sama, menikam dada!
Akan tetapi
Hui Kauw bukan seorang wanita sembarangan yang akan putus asa dalam menghadapi
terkaman maut. Dengan nekat dia hendak mengadu nyawa. Tubuhnya dia tekuk ke
bawah menjadi setengah berjongkok dan pedangnya membabat miring ke arah kaki
lawan. la maklum bahwa ia tidak akan dapat terhindar dari tusukan maut itu,
akan tetapi agaknya pedangnya sendiri pun akan mendapat korban dua buah kaki!
"Aiihhh...!"
Cui Sian berseru, kagum dan kaget.
Tapi ia
cepat melompat ke atas sehingga pedang Hui Kauw menyambar lewat di bawah kedua
kakinya, hanya beberapa senti meter saja selisihnya. Akan tetapi karena tubuh
Hui Kauw merendah dan dia sendiri terpaksa melompat, pedangnya berubah arah dan
tidak jadi menancap dada melainkan menyerempet pundak kiri Hui Kauw.
Nyonya
Pendekar Buta itu mengeluh perlahan. Daging di pundaknya robek dan darah
mengalir banyak. la terhuyung ke belakang, pandang matanya nanar.
"Hui
Kauw...!"
Sekali
kakinya bergerak, Kun Hong sudah melayang ke dekat isterinya dan merangkul
tubuhnya. Cepat jari-jari tangannya mencari dan mendapatkan luka di pundak.
Hatinya lega, luka itu besar akan tetapi hanya luka daging saja, tidak
berbahaya. la menotok dua jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah dan
mengurangi rasa nyeri.
"Cu
Sian, kau terlalu mendesak kami...," katanya kemudian sambil menyuruh
isterinya duduk beristirahat di pinggir. Pedang Ang-hong-kiam sudah dia
masukkan kembali ke dalam tongkatnya.
Cui Sian
melangkah maju, suaranya lantang dan ketus dengan nada penuh tantangan,
"Pendekar Buta, untuk membalaskan kematian kakakku yang sama sekali tidak
berdosa, pembunuhnya harus kubunuh pula!"
Setelah
berkata demikian, Cui Sian tiba-tiba melompat cepat sekali dengan maksud agar
orang buta itu tak sempat menghalanginya. la melompat ke dekat Hui Kauw yang
duduk bersila sambil meramkan mata, mengumpulkan kembali tenaga dan memulihkan
lukanya. Dengan gerakan cepat ia mengangkat pedangnya, menusuk ke arah dada Hui
Kauw.
"Tranggggg...!"
Cui Sian
hampir jatuh jungkir-balik saking kerasnya tangkisan ini, yang lantas membuat
lengannya kesemutan dan membuat ia cepat melompat ke belakang. Matanya
terbelalak marah ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya tadi adalah
tongkat di tangan Kun Hong yang entah kapan telah berada di dekat isterinya.
"Bagus,
kau telah membelanya? Awas pedang!" la sudah menerjang maju dan sekarang
dengan pengerahan tenaga sepenuhnya karena maklum bahwa ia berhadapan dengan
seorang yang sakti.
Hampir saja
Cui Sian berdiri melongo saking herannya kalau saja ia tidak didorong oleh
kemarahan dan sakit hati. Pendekar Buta itu hanya terus berdiri tegak dengan
tongkat di tangan, kulit di antara kedua matanya kerut-merut, mulut setengah
tersenyum setengah menangis membayangkan keperihan hati, akan tetapi sama sekali
tak melayani ancaman serangan Cui Sian yang sudah kembali menggerakkan pedang
sehingga gulungan sinar putih bergerak-gerak mengurung tubuhnya dari atas ke
bawah!
Cui Sian
adalah puteri seorang pendekar besar, tentu saja tidak sudi menyerang orang yang
tidak melawannya. "Pendekar Buta, tak perlu kau menghina orang dengan
kepandaianmu! Hayo kau lawan pedangku kalau kau membela isterimu yang membunuh
kakakku!" teriak Cui Sian sambil menodongkan ujung pedangnya di depan dada
Kun Hong.
Akan tetapi
Pendekar Buta tersenyum pahit dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku
bukan orang gila, Siauw-moi (Adik Kecil)! Mana bisa aku melawanmu berkelahi?
Isteriku tidak membunuh Kong Bu, aku berani sumpah..."
"Sumpahmu
tidak ada harganya!" bentak Cui Sian yang teringat akan mendiang cici-nya.
"Mungkin kau tidak membunuh Kong Bu koko, akan tetapi isterimu adalah
puteri Ching-coa-to, sejak kecil tergolong keluarga penjahat! Aku bunuh
dia!" Sambil berkata demikian Cui Sian melompat cepat sekali sambil
menyerang Hui Kauw yang masih duduk bersila mengumpulkan tenaga.
"Tranggg!"
Kembali Cui
Sian terhuyung mundur ketika pedangnya tertangkis tongkat di tangan Kun Hong.
Namun gadis ini menjadi semakin marah dan dengan nekat mengirim serangan
bertubi-tubi, dengan jurus-jurus terlihai dari Im-yang Sin-kiam.
Betapa pun
ia mengerahkan tenaga dan kepandaian, semua sinar pedangnya terpental mundur
oleh tangkisan tongkat yang merupakan sinar merah. Sinar merah itu jauh lebih
kuat dari pada sinar putih pedangnya, agaknya Pendekar Buta hafal betul akan
semua gerak-geriknya sehingga ke mana pun juga pedangnya berkelebat dalam
serangannya terhadap Hui Kauw, selalu pedang itu membentur tongkat, seakan-akan
tubuh Hui Kauw terkurung benteng baja yang tak tertembuskan!
Oleh karena
semua serangannya selalu tertangkis, Cui Sian menjadi makin marah dan
penasaran. Kalau saja Pendekar Buta melawannya dan ia dikalahkan, hal itu tidak
akan mendatangkan rasa penasaran. Namun orang buta itu hanya menangkis dan
melindungi isterinya, sama sekali tidak membalas sehingga ia merasa
dipermainkan dan dipandang rendah, hanya dianggap anak-anak saja!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment