Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 12
Apa lagi
karena telapak tangannya yang memegang pedang terasa perih dan panas. Hampir
Cui Sian menangis saking jengkelnya. Pada dasarnya Cui Sian adalah seorang yang
berpemandangan luas dan tidak mudah dipengaruhi kemarahan. Akan tetapi karena
ia memiliki hati yang keras pula, sekarang ia hampir tak bisa mengendalikan
kesabaran. Saking gemasnya, ia lalu mulai mengalihkan serangannya kepada Kun
Hong sendiri!
Di lain
pihak, diam-diam Kun Hong mulai merasa tidak senang. Gadis ini tidak tahu diri,
pikirnya. Tidak tahu bahwa dia mengalah terus. Tentu saja tak mungkin dia
membiarkan isterinya dibunuh! Siapa pun juga orangnya yang akan mengganggu
isterinya, akan dia lawan mati-matian. la akan rela mengorbankan nyawanya untuk
membela isterinya yang tercinta.
"Sian-moi,
kau tak tahu diri!" bentaknya sambil menangkis agak keras sehingga Cui
Sian terhuyung dan terpental sampai beberapa meter jauhnya.
"Memang
aku tidak tahu diri!" Dalam kemarahannya Cui Sian berteriak-teriak.
"Kakakku dibunuh isterimu, seharusnya aku diam saja dan minta ampun kepada
isterimu. Begitu, bukan? Kenapa aku marah-marah dan hendak menuntut balas?
Memang aku tidak tahu diri, nah, gunakanlah tongkatmu untuk melawanku dan
membunuhku pula!"
Ucapan ini
ditutup dengan serangan kilat, serangan dengan jurus yang disebut Pat-sian
Lo-hai (Delapan Dewa Kacau Lautan), merupakan sebuah jurus Yang-sin Kiam-hoat
dan hebatnya bukan main. Sambaran angin pedang Liong-cu-kiam menjadi panas
bagaikan mengandung api dan serangannya menyambar datang dari delapan penjuru
angin. Inilah jurus yang paling hebat dari ilmu pedang Cui Sian yang sengaja
dipergunakan oleh gadis itu secara nekat untuk menghadapi Pendekar Buta yang
jauh lebih lihai dari padanya itu.
Terkejut
sekali hati Kun Hong ketika pendengarannya menangkap desir angin serangan jurus
yang ampuh ini. la menyesal sekali dan juga makin tak senang hatinya. Jurus ini
dikenalnya baik dan dia beranggapan bahwa apa bila orang sudah menggunakan
jurus macam Pat-sian Lo-hai ini, berarti orang itu hendak mengadu nyawa dan
sudah nekat. Dia mengeluarkan suara melengking keras. Tongkatnya berkelebat
menjadi sinar merah laksana darah.
“Cringg!
Cringg!” terdengar bunyi delapan kali dan...
Cui Sian
terlempar sampai lebih dari lima meter jauhnya, terbanting ke atas tanah diikuti
pedangnya yang melayang ke atas dan menancap di dekatnya! Seketika gadis itu
nanar dan bumi di sekelilingnya serasa berputaran!
"Bocah
tak tahu diri!" kembali Kun Hong mengomel.
"Sian-ji
(anak Sian), engkau benar-benar tidak tahu diri, berani melawan Pendekar Buta.
Tentu saja kau kalah...," tiba-tiba terdengar suara halus dan dalam.
"Ayah...!"
seru Cui Sian girang dan mengandung isak. “Ayah… kau balaskan kematian...
kematian... Kong Bu koko...." Dan gadis ini menangis terisak-isak.
Kakek tua
yang secara tiba-tiba berdiri di situ memang bukan lain adalah ayah Cui Sian,
Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San Si Raja Pedang, ketua dari Thai-san-pai! Seorang
kakek berusia hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap, rambutnya sudah
banyak yang putih, jenggotnya panjang, sepasang matanya amat tajam berpengaruh,
sikapnya tenang berwibawa.
"Tenanglah,
Sian-ji, tadi aku sudah mendengar semuanya. Aku tidak percaya Kun Hong membunuh
Kong Bu, akan tetapi entah kalau isterinya. Betapa pun juga, kau tidak boleh
terburu nafsu, anakku, sebelum ada bukti."
Sementara
itu, bukan main kagetnya hati Kun Hong pada saat mendengar suara Raja Pedang
tadi, apa lagi ucapan pertama yang keluar dari mulut Raja Pedang tadi sedikit
banyak mengandung sindiran terhadap dirinya! Serta merta dia menjatuhkan diri
berlutut di depan Raja Pedang sambil berkata,
"Locianpwe,
sekali-kali saya tidak akan berani menghina adik Cui Sian, akan tetapi dia
mendesak terus. Kami berdua tidak merasa membunuh Kong Bu, tentu saja tidak
dapat mengaku. Kalau betul isteri saya membunuh Kong Bu, biarlah Lo-cianpwe
turun tangan membunuh kami, kami takkan melawan. Harap Locianpwe sudi
mempertimbangkan dan memeriksa, karena tuduhan itu hanya fitnah belaka.”
"Hemmm,
Kun Hong, berdirilah. Kau cukup mengenal watakku yang selamanya tak akan mudah
mendengar keterangan sepihak saja. Betapa pun juga, kiranya Cui Sian tak akan
sudi melakukan fitnah, akan tetapi aku pun tahu bahwa kau bukanlah orang yang
suka menyangkal perbuatan sendiri. Sian-ji, tidak boleh kita menuduh secara
buta tuli tentang pembunuhan atas diri Kong Bu sebelum melihat bukti dan
melakukan pemeriksaan. Mari antarkan aku ke tempat kau menemukan jenazah
kakakmu. Kun Hong, kau dan isterimu ikut agar kita bersama dapat membuktikan
sendiri."
"Ayah,
yang menemukan jenazah Kong Bu koko adalah aku bersama Swan Bu. Karena marah,
aku segera pergi untuk mencari Pendekar Buta dan isterinya, sedangkan Swan Bu
masih berada di sana, tentu jenazah itu sudah dikuburnya."
"Biarlah
kita melihat ke sana."
Mendengar
bahwa Swan Bu berada di tempat pembunuhan itu, Kun Hong dan isterinya segera
bangun dan tanpa banyak cakap lagi segera mengikuti Cui Sian dan ayahnya. Hati
mereka berempat diliputi pelbagai dugaan dan perasaan tegang, maka di sepanjang
jalan mereka berempat tidak banyak bicara. Ada sesuatu yang merenggangkan
mereka dan membuat mereka merasa tidak enak dan tidak suka satu kepada lain.
Karena
melakukan perjalanan cepat mempergunakan ilmu mereka, akhirnya mereka tiba di
dalam hutan kecil di mana Cui Sian menemukan jenazah Kong Bu. Mereka berempat
berdiri di depan kuburan baru yang ditandai tiga buah batu besar.
"Di
sini tempatnya. Tentu ini kuburannya, dibuat oleh Swan Bu," kata Cui Sian
dan air matanya sudah mengucur.
"Mana
Swan Bu...? Mana anakku...?" terdengar Hui Kauw berkata perlahan.
"Diamlah,
baik sekali dia melakukan penguburan ini. Tentu saja dia telah pergi,"
kata Kun Hong sambil meraba-raba kuburan.
"Kun
Hong, kita sekarang berhadapan dengan kenyataan. Kong Bu sudah terbunuh dan
menurut kesaksian Cui Sian, pedang isterimu menancap di dadanya. Akan tetapi
hal itu biar pun sudah merupakan bukti bahwa Kong Bu terbunuh oleh pedang
isterimu, masih belum meyakinkan. Sekarang kita harus bongkar kuburan ini, biar
aku melihat mayat Kong Bu, mungkin aku akan dapat menemukan pemecahan
rahasianya."
"Ayah...
kasihan Kong Bu koko... baru beberapa hari dikubur, masa harus
dibongkar...?"
"Diamlah,
Sian-ji. Orang yang sudah mati tidak perlu dikasihani lagi, karena sebenarnya
yang masih hidup inilah yang patut dikasihani oleh si mati. Kau bantulah
aku!" Setelah berkata demikian, pendekar tua ini lantas menggunakan
tangannya membongkar tanah kuburan, dibantu oleh Cui Sian yang bekerja sambil
mencucurkan air mata.
Akhirnya
terbongkarlah kuburan itu dan tampak mayat yang sudah mulai berbau busuk akan
tetapi masih utuh. Utuhkah? Sama sekali tidak karena kedua matanya bolong dan
lehernya putus, kepalanya terpisah dari tubuh. Terdengar Cui Sian menjerit dan
roboh pingsan dalam pelukan ayahnya. Raja Pedang mengeluarkan suara, gerengan
hebat berkali-kali seperti seekor harimau marah.
"Apa
yang terjadi? Ada apa...?" Kun Hong bertanya-tanya sambil erat-erat
memegang lengan isterinya.
Hui Kauw
sendiri berdiri memandang ke arah mayat dengan muka berubah pucat sekali. Jelas
bahwa selain dada mayat itu tertusuk pedang dan menyebabkan kematiannya, juga
dua matanya sudah dibikin buta orang dan lehernya dipenggal pedang! Saking
kagetnya, nyonya ini hanya tertegun, tak dapat menjawab pertanyaan suaminya.
Cui Sian
siuman kembali dan menangis tersedu-sedu. "Ahhh, kasihan Kong Bu koko...
kenapa begini? Ayah... pada waktu aku menemukannya, kedua matanya tidak rusak
dan lehernya tidak putus... ahhh, apakah Swan Bu... dia... dia..."
Tiba-tiba
gadis itu melompat sambil mencabut pedangnya, wajahnya beringas ketika dia
memandang kepada Pendekar Buta dan isterinya.
"Jelas
sekarang! Pendekar Buta yang selama ini dipuji-puji Ayah, ternyata mempunyai
seorang isteri berhati iblis dan memiliki anak berwatak siluman! Ayah, ini
tentu perbuatan Swan Bu si bocah iblis! Ahh, aku tertipu olehnya. Ia bilang
kena fitnah, ditawan musuh bersama Lee Si dan dalam keadaan tertotok berdua Lee
Si berada sekamar, terlihat oleh Kong Bu koko yang menjadi marah karena Kong Bu
koko menyangka bahwa bocah itu berbuat kurang ajar terhadap Lee Si. Kiranya
memang demikianlah. Anak Pendekar Buta tak bisa dipercaya! Pantas saja dia
tidak menjadi sakit hati biar pun lengannya dibuntungi oleh gadis liar itu,
kiranya memang segolongan!"
Dengan
kemarahan yang meluap-luap Cui Sian menceritakan semua itu dengan cepat
sehingga sukarlah bagi tiga orang itu mengikutinya. Akan tetapi wajah Hui Kauw
menjadi lebih pucat ketika ia berkata sambil terisak,
"Anakku...
anakku... Swan Bu... lengannya kenapa...?"
Memang pada
saat itu Cui Sian telah seratus prosen menuduh akan kejahatan keluarga Pendekar
Buta. Tadinya dia percaya akan kebenaran Swan Bu tentang fitnah itu, namun
sekarang, sesudah melihat mayat kakaknya dirusak, dia memiliki pendapat lain.
Agaknya memang Swan Bu adalah seorang pemuda berwatak jahat, mempermainkan Lee
Si dan merusak mayat Kong Bu.
Tadinya ia
percaya karena sikap Lee Si yang seakan-akan membenarkan tentang fitnah,
seakan-akan membenarkan bahwa Swan Bu dan ia kena fitnah sehingga Lee Si hampir
membunuh Siu Bi. Akan tetapi sekarang Cui Sian mengerti bahwa Lee Si melindungi
niat baik Swan Bu, dan... tentu saja nama baik Lee Si sendiri. Hal ini hanya
dapat terjadi karena puteri kakaknya itu sudah jatuh cinta kepada Swan Bu yang
tampan dan gagah! Sekarang dia mengerti semua dan kemarahannya memuncak.
"Wanita
iblis, kau memang keturunan Ching-coa-to yang jahat! Setelah kau membunuh Kong
Bu koko dan anakmu merusak mayatnya, kau mau bilang apa lagi? Kau harus menebus
dosa!" Gadis itu membentak lalu berteriak nyaring dan tubuhnya melayang ke
depan dalam serangannya yang hebat kepada Hui Kauw.
Nyonya ini
masih tercengang dan menangis sedih mendengar lengan puteranya buntung, masih
bingung sehingga ia tidak dapat mengelak atau menangkis menghadapi serangan Cui
Sian yang dahsyat ini.
"Trang...
plak...!"
Kembali Kun
Hong yang turun tangan menangkis dan Cui Sian terlempar dan roboh. Kini gadis
itu tidak dapat segera bangkit karena pundaknya tadi ditampar Kun Hong sehingga
tulang pundaknya terlepas dan lengan kanannya menjadi lumpuh, tak dapat
digunakan sementara waktu untuk memainkan pedang lagi! Pedang Liong-cu-kiam
menggeletak di sampingnya.
Sementara
itu, Raja Pedang Tan Beng San yang menyaksikan puteranya telah menjadi mayat
yang mulai berbau busuk dan dirusak sedemikian rupa, berdiri laksana patung setelah
mengeluarkan teriakan nyaring tadi. la berdiri seperti patung dan baru bergerak
setelah Cui Sian terlempar dan roboh.
la melangkah
perlahan menghampiri pedang Liong-cu-kiam pendek yang menggeletak di situ.
Kemudian, tanpa mempedulikan Cui Sian yang dilihatnya hanya menderita terlepas
tulang yang tidak membahayakan nyawanya, kakek sakti ini membalikkan tubuhnya
dan menghadapi Kun Hong, sikapnya penuh ancaman, tapi wajahnya tenang, hanya
pandang matanya dingin seperti salju.
"Kwa
Kun Hong, bagus sekali sikapmu. Kau sekarang membela yang salah, walau pun yang
salah itu adalah anak dan isterimu sendiri. Sekarang pilihlah, kau sendiri yang
akan menghukum isterimu ataukah aku yang harus turun tangan? Kun Hong... betapa
hancur hatiku karena kekecewaan. Entah dosa apa yang kau perbuat dalam
kehidupanmu dulu sehingga dalam kehidupan sekarang harus kau tebus dengan nasib
yang sangat buruk. Tak patut kau yang memiliki watak mulia, mendapatkan isteri
yang curang dan palsu, dan mendapatkan putera yang jahat dan keji. Kun Hong,
demi hubungan baik di antara kita, kau hukumlah orang yang bersalah, meski pun
orang itu isterimu sendiri, agar aku tidak usah menyentuh isterimu."
Ucapan Raja
Pedang Tan Beng San terdengar tenang, tapi penuh dengan penyesalan dan keharuan
tercampur duka. Betapa pun juga, terasa amat dingin yang menjadi selimut dari
kemarahan besar.
Kun Hong
berdiri tegak seperti patung. Kerut-merut di antara kedua matanya yang buta
amat dalam, membuat wajahnya yang tampan itu kelihatan tua sekali. Rambut-rambut
di pelipisnya seketika berubah menjadi putih. Kiranya saat ini merupakan saat
yang paling perih baginya, saat yang paling menusuk di hati, di mana pelbagai
perasaan bercampur aduk.
Dia yakin,
seyakin-yakinnya, bahwa isterinya tidak membunuh Kong Bu. Dan dia yakin pula
bahwa puteranya tidak akan melakukan perbuatan demikian hina, merusak mayat
Kong Bu. Dia maklum bahwa semua ini fitnah belaka, dilakukan oleh orang-orang
jahat.
Akan tetapi
dia pun maklum bahwa Raja Pedang dan Cui Sian yang tengah dipengaruhi duka cita
besar menyaksikan mayat Kong Bu yang kini mulai membusuk, menjadi miring
pertimbangannya dan gelap pandangannya, tentu sulit diajak berunding, kecuali
bila ada fakta-fakta yang mutlak sehingga dapat membuka mata hati mereka.
Selain
keyakinan akan kebersihan anak isterinya, ada rasa duka yang membuat hatinya
serasa ditusuk-tusuk jarum berbisa pada waktu dia mendengar bahwa lengan
puteranya buntung. Semua perasaan ini ditambah dengan rasa penasaran kenapa Cui
Sian begitu mendesak dengan tuduhan-tuduhan membuta, dan mengapa pula Si Raja
Pedang yang selama ini dia anggap sebagai seorang yang paling bijaksana di
dunia ini tidak sanggup melawan kedukaan hati dan memihak Cui Sian tanpa pikir
panjang lagi. Keyakinannya akan kebersihan isterinya, ditambah cinta kasihnya
yang mendalam, membuat Kun Hong mengambil keputusan untuk melindungi isterinya
dari gangguan siapa pun juga.
Sampai lama
dia tidak menjawab ucapan Raja Pedang tadi. Keduanya berdiri saling berhadapan
dalam jarak tiga meter, sama-sama tegak dan sama-sama tak bergerak. Cui Sian
masih duduk bersila menahan sakit dan memulihkan tenaganya yang seakan-akan
habis. Tangkisan Pendekar Buta tadi hebat bukan main. Juga Hui Kauw menjatuhkan
diri di atas tanah duduk sambil menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan.
la amat sedih, marah, dan penasaran, akan tetapi semua itu terkalahkan oleh
kepedihan hatinya mendengar lengan anaknya menjadi buntung.
Suasana
sunyi sepi, sunyi yang menyeramkan. Udara diracuni bau mayat membusuk. Dua
jagoan yang dianggap paling sakti di dunia persilatan, sekarang saling
berhadapan dengan perasaan saling bertentangan. Keduanya memiliki ilmu silat
tingkat tinggi, yaitu Im-yang Sin-hoat.
Tongkat besi
Ang-hong-kiam sudah gemetar di tangan kanan Kun Hong, ada pun kedua tangan Raja
Pedang telah memegang sepasang Liong-cu-kiam yang berkilauan. Tadi dia
mengambil Liong-cu-kiam pendek dari puterinya dan sekarang tangan kanannya
sudah mencabut Liong-cu-kiam panjang. Dengan sepasang Liong-cu Siang-kiam di
tangannya, Raja Pedang kini seakan merupakan seekor harimau yang diberi sayap!
"Kwa
Kun Hong, sekali lagi, apa bila kau tidak mau menghukum isterimu, aku akan
turun tangan sendiri!" kembali suara Raja Pedang itu menggema di antara
pohon-pohon yang tumbuh di sekeliling tempat itu.
"Locianpwe,
isteri saya tidak berdosa. Harap Locianpwe jangan tergesa-gesa mengambil
kesimpulan sebelum urusan ini jelas benar. Tak mungkin saya membolehkan siapa
juga mengganggu isteri saya yang tidak bersalah."
"Hemmm,
tidak nyana, bukan hanya matamu yang menjadi buta. Hatimu pun sudah buta
terhadap kenyataan dan keadilanmu goyah karena cinta kasih. Hui Kauw, kau
terimalah hukumanmu!"
Dua sinar
putih berkilau seperti dua bintang terbang menyambar dibarengi suara bercuit
panjang dan angin berdesir menyambar. Tubuh Raja Pedang sudah lenyap memanjang
seperti dua sutera putih.
"Hyiiiaaaaattt!"
Pekik nyaring melengking ini keluar dari mulut Kun Hong.
Tampak sinar
merah gemilang menyilaukan mata menggantikan tubuhnya yang lenyap pula digulung
sinar pedangnya sendiri. Maklum bahwa Raja Pedang melakukan gerakan maut untuk
membunuh isterinya, Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta juga mengeluarkan jurus
simpanannya karena hanya dengan jurus inilah dia akan mampu menandingi Raja Pedang.
Hebat sekali
pemandangan pada saat itu. Cui Sian dan Hui Kauw lupa akan keadaan diri
sendiri, masing-masing terbelalak memandang ke depan. Memang luar biasa dan
indah pula. Dua sinar yang amat terang dan panjang berwarna putih seperti
perak, melayang di udara dan dari jurusan yang bertentangan meluncur sinar
merah yang amat terang pula. Kemudian sinar-sinar itu beradu di udara,
mengeluarkan suara keras laksana ledakan, membuat bumi serasa berguncang dan
daun-daun pohon rontok berhamburan.
Cui Sian dan
Hui Kauw tidak sanggup menahan hawa pukulan sakti itu, masing-masing menggigil
tubuhnya dan otomatis mereka bertiarap sambil menutup mata. Ketika mereka
membuka mata lagi memandang, ternyata Pendekar Buta dan Raja Pedang telah
berdiri lagi di atas tanah, tegak berhadapan dalam jarak tiga meter. Di atas
tanah, antara dua pendekar itu, tiga batang pedang menancap di atas tanah,
sepasang Liong-cu-kiam dan sebatang Ang-hong-kiam yang sudah keluar dari
tongkat yang hancur berkeping-keping!
Ternyata
pertemuan sepasang Liong-cu-kiam dengan tongkat berisi Ang-hong-kiam tadi
begitu hebatnya sehingga membuat tongkat yang membungkus Ang-hong-kiam hancur,
akan tetapi juga membuat tiga batang pedang itu terlepas dari pegangan kedua
orang jago sakti dan menancap di atas tanah, amblas hampir sampai ke gagangnya.
"Locianpwe,
saya tidak berani melawan Locianpwe, tapi jangan Locianpwe mengganggu isteri
saya yang tak berdosa." Terdengar suara Kun Hong memecah kesunyian,
suaranya gemetar bercampur isak tertahan.
Si Raja Pedang
menarik nafas panjang. "Hebat kau, Kun Hong. Dengan kepandaianmu seperti
ini, seharusnya aku si tua bangka takluk. Akan tetapi, jelas isterimu membunuh
Kong Bu dan anakmu menghina mayatnya sedemikian rupa. Orang-orang seluruh dunia
akan mentertawakan aku sebagai berat sebelah bila tidak memberi hukuman. Kalau
kau hendak melindungi isterimu, terserah, itu adalah hakmu, biar pun hal itu
mengecewakan hatiku karena berarti kau melindungi orang yang bersalah. Hui
Kauw, awas! Terimalah pukulanku!"
Seluruh
tubuh Raja Pedang tergetar, terutama kedua tangannya ketika dia mengerahkan
tenaga Im Yang. Kemudian dia melangkah maju tiga kali, lantas menggerakkan
kedua tangannya mendorong ke arah Hui Kauw yang masih duduk di atas tanah.
"Jangan...
Locianpwe...!" Kun Hong melompat dan menghadang di antara isterinya dan
Raja Pedang, tentu saja sambil mengerahkan sinkang untuk menahan hantaman hawa
pukulan Im Yang yang sedemikian hebatnya itu.
"Werrrrr...!"
Bagai
sehelai daun kering tertiup angin, tubuh Kun Hong terlempar oleh hawa pukulan,
menabrak isterinya dan keduanya terguling-guling sampai tiga meter lebih.
Kun Hong
melompat bangun, wajahnya berubah merah, akan tetapi ia tidak terluka. Ada pun
Hui Kauw, biar pun tadi sudah teriindung olehnya dan pukulan itu hampir
seluruhnya menimpa dirinya, akan tetapi saking hebatnya hawa pukulan, nyonya
ini menjadi sesak dadanya dan wajahnya pucat. Cepat-cepat ia duduk bersila
mengerahkan sinkang untuk mengusir pengaruh hawa pukulan dahsyat itu.
Kening Raja
Pedang berkerut-kerut. Tentu saja dia merasa sangat tidak senang harus
melakukan ini, tapi demi keadilan untuk menghukum yang bersalah, dia melangkah
maju lagi beberapa tindak sambil berkata, "Menyesal sekali, Kun Hong,
namun aku terpaksa harus turun tangan!"
Kembali Raja
Pedang menggerakkan kedua tangannya melakukan dorongan dari jarak jauh sambil
mengerahkan tenaga Im Yang.
"Locianpwe,
jangan terburu nafsu...!" Kun Hong mencegah.
Namun Raja
Pedang melanjutkan pukulannya ke arah Hui Kauw. Sekali lagi Kun Hong meloncat,
kini ia langsung menghadapi Raja Pedang sehingga dorongan itu sepenuhnya
menghantam dadanya. Sekali lagi Pendekar Buta terlempar dan untuk menjaga
supaya isterinya jangan diserang lagi, terpaksa dia menabrak dan menyeret Hui
Kauw sehingga bergulingan di atas tanah.
Kun Hong
bangkit berdiri perlahan-lahan, tapi Hui Kauw tidak dapat bangun, nyonya ini
dalam keadaan setengah pingsan! Kun Hong sendiri selain rambutnya kusut,
pakaiannya kotor penuh debu, juga dari ujung kiri mulutnya mengalir darah. Dia
tidak terluka dalam, namun pengerahan tenaganya tak berhasil menahan pukulan
maha dahsyat itu sehingga dia terbanting dan mulutnya berdarah. Wajahnya
sebentar pucat sebentar merah ketika dia melangkah maju menghadapi Raja Pedang.
"Locianpwe,
benar kata orang bahwa tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang tanpa
cacad. Tiap orang memiliki kelemahan dan kebodohannya sendiri-sendiri. Mungkin
saya mempunyai banyak kelemahan dan kebodohan, namun ternyata Locianpwe sendiri
pun memiliki cacad ini. Karena sayang putera, karena duka cita, karena rasa
sesal dan kecewa, pertimbangan Locianpwe menjadi miring."
"Aku
bukan anak kecil, tak perlu kau memberi kuliah, Kun Hong. Kau minggirlah!"
bentak Raja Pedang, sedikit banyak merasa penasaran juga karena dua kali
pukulannya untuk menghukum Hui Kauw dapat digagalkan oleh Pendekar Buta.
"Aku
tidak akan minggir, Locianpwe, dan kalau kau hendak membunuh isteriku, terpaksa
aku akan mencegah!" jawab Pendekar Buta.
Dengan hati
geram Raja Pedang tersenyum pahit. "Bagus, sudah kuduga akan begini
jadinya. Nah, aku akan memukul isterimu lagi, terserah kau hendak berbuat
apa!"
Sesudah
berkata demikian, Raja Pedang menggerakkan kedua lengannya dan sekali ini
terdengar suara berkerotokan pada kedua lengan itu. Kun Hong kaget bukan main
sebab maklum bahwa sekali ini pendekar sakti itu menggunakan seluruh tenaganya,
tenaga Im dan Yang. Tenaga yang saling bertentangan itu hendak digunakan
sekaligus sehingga mengeluarkan bunyi berkerotokan.
Sungguh pun
kedua tenaga itu bertentangan, namun kalau dipergunakan bersama, akan menjadi
tenaga mukjijat yang sukar dilawan. Isterinya pasti akan binasa oleh pukulan
ini, biar hanya terkena sedikit saja.
"Tahan,
Locianpwe!" bentak Kun Hong dengan suara keras.
Tubuhnya
merendah. Ketika dia menekuk kedua lututnya, kedua lengannya dia luruskan ke
depan, kemudian dengan pengerahan sinkang ia pun mendorong ke depan, langsung
menyambut hawa pukulan dahsyat dari Raja Pedang.
Luar biasa
sekali! Keduanya hanya tampak meluruskan kedua lengan dan mendorong ke depan,
jarak di antara mereka masih ada tiga meter. Namun keduanya seperti tertahan,
seakan-akan tertumbuk pada sesuatu yang tak tampak namun amat kuatnya. Keduanya
menarik kembali kedua lengan, membuat gerakan menyimpang lalu kembali mendorong,
hampir berbareng, atau lebih tepat, Raja Pedang yang mendorong dulu karena dia
yang menyerang, disusul dorongan lengan Kun Hong yang menyambutnya.
Berkali-kali mereka saling dorong dengan pukulan jarak jauh, makin lama jarak
di antara mereka semakin dekat.
"Kun
Hong, hebat kau... aku atau kau penentuannya...," kata Raja Pedang
terengah, namun wajahnya berseri gembira, kegembiraan seorang jagoan besar yang
menemukan tanding yang seimbang.
"Terserah,
Locianpwe...," kata Kun Hong agak terengah pula, sambil menggeser kedua
kaki secara berbareng ke depan.
Kini ketika
keduanya mengulurkan lengan, kedua pasang tapak tangan itu saling tempel. Kun
Hong terkejut sekali karena kalau tadi tenaga dorongan Raja pedang merupakan
tenaga yang keluar sehingga tiap kali dia tangkis maka dua tenaga bertentangan
saling menendang, adalah sekarang dua telapak tangan Raja Pedang itu mengandung
tenaga menyedot dan menempel!
Terpaksa dia
mengerahkan seluruh tenaganya mempertahankan sehingga kedua orang itu kini
berdiri setengah berjongkok dengan kedua lengan lurus ke depan, telapak tangan
mereka saling tempel dan melekat. Dua tenaga raksasa saling betot dan
kadang-kadang saling dorong melalui telapak tangan itu, dan keduanya terkejut
karena ternyata tenaga mereka seimbang.
Kun Hong
menjadi duka dan bingung sekali pada saat mendapat kenyataan bahwa Raja Pedang
agaknya sudah dihinggapi penyakit yang selalu menular pada ahli-ahli silat,
yaitu bila menemui lawan seimbang timbul kegembiraannya dan sebelum ada
ketentuan siapa lebih unggul, tak akan merasa puas.
la maklum
bahwa Raja Pedang sudah menggabungkan tenaga Im Yang, maka dia pun terpaksa
melakukan hal yang sama karena tidak ada kekuatan lain dapat menghadapi tenaga
gabungan ini selain juga menggabungkan tenaga Im Yang di tubuhnya.
Namun dia
maklum pula bahwa dengan cara mengadu tenaga seperti ini, mereka takkan dapat
mundur lagi. Siapa mundur berarti celaka, karena andai kata dapat menghindarkan
tenaga serangan lawan, namun tetap akan terpukul oleh tenaga sendiri dan
menderita luka yang bisa membawa maut. Pengerahan tenaga gabungan Im Yang
seperti ini hanya dapat disurutkan secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit,
tetapi tidak mungkin ‘ditarik’ sekaligus tanpa mendatangkan luka hebat di dalam
tubuh sendiri.
Kedua orang
jago sakti itu seperti dua buah arca, sama sekali tidak tampak bergerak. Uap
putih mengepul dari kedua pasang lengan dan makin lama uap itu makin banyak,
terutama kini keluar dan kepala. Ini adalah tanda bahwa pengerahan sinkang
mereka sudah memuncak dan keadaan menjadi kritis sekali. Keduanya maklum bahwa
seorang di antara mereka pasti akan tewas.
Hui Kauw
sudah sadar kembali. Seperti halnya Cui Sian, ia duduk dengan muka pucat.
Sebagai orang-orang yang tahu akan ilmu silat tinggi, keduanya maklum apa yang
terjadi di depan mata mereka. Baik Cui Sian mau pun Hui Kauw maklum bahwa dua
orang itu sedang berada di ambang maut dan mereka maklum pula sepenuhnya bahwa
mereka tidak dapat membantu, tidak dapat memisah karena tenaga sinkang mereka
jauh lebih rendah. Turun tangan mencampuri ‘pertandingan’ yang aneh ini berarti
mengirim nyawa secara sia-sia belaka.
Melihat
betapa suaminya setengah berjongkok, dua matanya yang bolong itu terbelalak,
kerut-merut di seluruh mukanya yang penuh keringat dan amat pucat, tiba-tiba
Hui Kauw tidak dapat lagi menahan hatinya. Suaminya sedang berjuang dengan
maut, dan hal itu dilakukan suaminya untuk menolong dan melindungi dirinya. Tak
tertahankan lagi nyonya ini menangis tersedu-sedu dan menjatuhkan diri di atas
tanah. la menangis seperti anak kecil hatinya penuh iba, penuh kegelisahan, dan
penuh kasih sayang kepada suaminya.
Melihat
keadaan Hui Kauw ini, Cui Sian tidak mampu pula menahan air matanya yang
bercucuran keluar. la pun tahu apa artinya pertandingan ini dan timbullah rasa
sesal di dalam hatinya. Bagaimana kalau ayahnya kalah dan tewas? Tentu selama
hidupnya dia akan memusuhi Pendekar Buta suami isteri dan anaknya. Sebaliknya
bagaimana kalau Pendekar Buta yang tewas dan kemudian ternyata bahwa suami
isteri itu tidak berdosa? Cui Sian menjadi bingung dan tangisnya menjadi-jadi.
Keadaan yang
amat menyeramkan dan menyedihkan. Di sana menggeletak mayat Kong Bu yang mulai
membusuk sehingga mengotori kebersihan hawa udara hutan itu. Dan di sana dua
orang jago sakti sedang mati-matian mengadu tenaga dan ilmu secara aneh. Tak
jauh dari mereka, dua orang wanita menangis tersedu-sedu! Luar biasa!
Sunyi di
hutan itu, kecuali sedu-sedan dua orang wanita dan dari jauh terdengar rintihan
burung yang memanggil-manggil pasangannya yang tidak kunjung datang, serta
suara bercicit anak monyet di gendongan induknya minta susu.
Beberapa
menit kemudian, suara burung dan monyet tiba-tiba terhenti setelah terdengar
kelepak sayap burung-burung beterbangan dan teriakan monyet-monyet melarikan
diri bersembunyi. Inilah tanda bahwa ada sesuatu yang mengejutkan mereka.
Hanya saja
kedua orang wanita itu masih menangis penuh kegelisahan sehingga mereka tidak
memperhatikan keadaan sekeliling. Maka betapa kaget hati Cui Sian dan Hui Kauw
ketika tiba-tiba muncul banyak sekali orang-orang yang mengurung tempat itu.
Sedikitnya ada dua puluh lima orang, dipimpin oleh seorang nenek berpakaian
serba merah yang memegang sebatang pedang telanjang.
Nenek ini
bukan lain adalah Ang-hwa Nio-nio yang datang sambil tertawa-tawa gembira dan
mulutnya tiada hentinya berkata, "Bagus... bagus... sekarang dua ekor
binatang ini sudah masuk perangkap, tinggal menyembelih saja, hi-hi-hik!"
Di
sebelahnya tampak seorang pendeta bertubuh tinggi bersorban, telinganya memakai
anting-anting, kulitnya agak hitam, sedang hidungnya mancung sekali. Itulah dia
pendeta Maharsi, pertapa dari barat yang masih terhitung suheng (kakak
seperguruan) Ang-hwa Nio-nio. Pendeta barat ini didatangkan oleh Ang-hwa
Nio-nio untuk dimintai bantuannya membalas dendam atas kematian kedua orang
saudaranya.
Juga tampak
Bo Wi Sianjin, tokoh dari Mongol yang bertubuh pendek dan gendut, tokoh sakti
yang memiliki Ilmu Pukulan Katak Sakti, dan yang turun dari pegunungan di
Mongol untuk mencari Raja Pedang dan membalaskan kematian suhengnya, Ka Chong
Hoatsu.
Di samping
tokoh-tokoh itu semua, dengan sikap yang tenang sekali dan amat dihormati oleh
tokoh-tokoh lainnya, adalah seorang hwesio tinggi besar, usianya tua sekali,
kedua matanya selalu meram, mukanya pucat tak berdarah seperti muka mayat dan
bajunya terbuka di bagian dada, memperlihatkan dada yang bidang serta berbulu
di tengahnya, hwesio yang sangat sakti karena dia ini bukan lain adalah Bhok
Hwesio, yaitu tokoh dari Siauw-lim-pai yang murtad!
Munculnya
orang-orang ini mendatangkan rasa gelisah bukan main di hati Cui Sian dan Hui
Kauw. Raja Pedang dan Pendekar Buta sedang bersitegang, tak dapat dipisah
begitu saja, dan orang-orang yang datang ini jelas merupakan tokoh-tokoh ahli
silat tinggi yang agaknya tahu pula akan keadaan dua orang itu.
Bagaikan
mendengar komando, dua wanita yang telah terluka ini meloncat, menyambar pedang
yang menancap di atas tanah. Hui Kauw mencabut Ang-hong-kiam sedangkan Cui Sian
mencabut Liong-cu-kiam pendek, lalu keduanya bersiap membela suami dan ayah
masing-masing.
Mata tajam
terlatih Ang-hwa Nio-nio dan tiga orang temannya tentu saja dapat melihat bahwa
nyonya Pendekar Buta itu telah terluka, bahkan puteri Raja Pedang memegang
pedang dengan tangan kiri akibat tangan kanannya setengah lumpuh. Nenek
berpakaian serba merah ini tertawa sambil berkata mengejek,
"Wah,
ternyata betina-betina ini masih galak! Kalian lihat betapa kami akan membunuh
dan menyiksa kedua orang musuh besar kami, kemudian datang giliran kalian
berdua. Kong Bu sudah mampus, anak Pendekar Buta cucu Raja Pedang sudah rusak
nama dan kehormatannya. Hi-hi-hik, alangkah nikmatnya pembalasanku!"
Tiba-tiba
Hui Kauw berseru keras, "Kau yang mencuri Kim-seng-kiam!"
"Hi-hi-hik,
dan kau bersama suamimu yang buta itu tidak tahu..."
Sekarang Hui
Kauw maklum siapa yang melakukan semua fitnah itu. Dengan teriakan nyaring ia
lalu menerjang maju, tidak mempedulikan betapa kesehatannya belum pulih.
Teriakannya ini disusul oleh bentakan Cui Sian yang sekaligus juga dapat
menduga apa yang sesungguhnya terjadi.
Kiranya
semua kejadian itu diatur oleh musuh-musuh yang bekerja secara curang untuk
membalas dendam kepada ayahnya dan kepada Pendekar Buta. Oleh karena itu,
saking marahnya, dia melupakan sambungan tulang pundaknya yang terlepas dan
menyerang dengan pedang di tangan kiri.
"Ho-ho-ho,
galaknya!" Pendeta Maharsi menggerakkan tangannya yang panjang dan...
Hui Kauw
yang lemah akibat terluka itu berseru kaget, tahu-tahu pedangnya telah dapat
dirampas dan ia roboh terguling. Kiranya kakek ini telah memperlihatkan
kepandaiannya membantu sumoi-nya dengan Pai-san-jiu, merampas pedang sekaligus
merobohkan Hui Kauw. Andai kata Hui Kauw tidak sedang terluka dan gelisah
memikirkan suaminya, kiranya pendeta barat itu tidak akan begitu mudah
mengalahkannya, sungguh pun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi.
Ada pun Cui
Sian yang menyerang dengan pedang di tangan kiri, dihadapi oleh Ang-hwa Nio-nio
yang sudah menghunus Hui-seng-kiam. Ilmu pedang Cui Sian sudah amat tinggi
tingkatnya, maka biar pun lengan kanannya tak dapat dipergunakan, dengan tangan
kiri dan pedang Liong-cu-kiam di tangan ia masih merupakan lawan yang berat.
Akan tetapi
keadaan tubuhnya yang terluka itu tentu saja amat mengganggu gerakannya dan
sebentar saja sinar pedang di tangan Ang-hwa Nio-nio telah mengurungnya. Dengan
sekuat tenaga Cui Sian terus mempertahankan diri.
“Kok-kok-kok!”
mendadak terdengar suara berkokok.
Pada detik
itu pula Cui Sian lantas terlempar ke belakang sambil mengeluh, pedangnya
terlepas dari tangan. la roboh dan pingsan, terkena pukulan Katak Sakti yang
dilontarkan Bo Wi Sianjin yang membantu Ang-hwa Nio-nio.
Sekarang
Ang-hwa Nio-nio dengan sikap beringas bagai harimau betina kelaparan, maju
menghampiri Pendekar Buta dari belakang, dengan pedang di tangan. Di lain
pihak, Bo Wi Sianjin yang hendak membalas dendam atas kematian suheng-nya,
yaitu Ka Chong Hoatsu, menghampiri Raja Pedang. Keduanya melihat kesempatan
yang sangat baik, selagi dua orang musuh besar itu saling libat dengan tenaga
sinkang yang sukar dilepas begitu saja, untuk melakukan balas dendam mereka.
"Tan
Beng San, mungkin kau tidak mengenalku. Aku adalah Bo Wi Sianjin dari Mongol,
sengaja datang mencarimu untuk membalaskan kematian suheng Ka Chong
Hoatsu."
"Tunggu
dulu, Sianjin," Ang-hwa Nio-nio berkata sambil tertawa mengejek.
"Kita harus bergerak berbareng, biarkan aku bicara dulu kepada musuhku, si
buta sombong ini. Heh, Kwa Kun Hong, kau tentu masih ingat akan Ang-hwa
Sam-cimoi, bukan? Nah, aku Kui Ciauw. Saat engkau menyusul arwah kedua orang
saudaraku telah tiba." Setelah berkata demikian, Ang-hwa Nio-nio memberi
isyarat kepada Bo Wi Sianjin untuk turun tangan.
"Curang!"
Hui Kauw memaksakan diri meloncat dan menerjang Ang-hwa Nio-nio dengan
pukulannya.
Akan tetapi
tenaganya sudah lemah sedang bekas pukulan Pai-san-jiu dari Maharsi tadi masih
setengah melumpuhkan kaki tangannya, maka serangannya ini tidak ada artinya
bagi Ang-hwa Nio-nio. Dengan mengibaskan tangan kirinya, Ang-hwa Nio-nio
berhasil menangkis dan sekaligus menampar, tepat mengenai leher Hui Kauw
sehingga nyonya ini terjungkal dan pingsan, tak jauh dari Cui Sian yang masih
tak sadarkan diri.
Kembali
Ang-hwa Nio-nio memberi isyarat. Betapa pun juga, agaknya dia masih memiliki
rasa malu untuk menyerang Kun Hong dari belakang dengan pedangnya, tahu bahwa
Pendekar Buta sedang dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Apa lagi Bo Wi
Sianjin yang menyerang Raja Pedang juga bertangan kosong. Maka dia menyimpan
pedangnya dan mengerahkan tenaga memukul ke arah jalan darah pusat di punggung
Kun Hong. Juga Bo Wi Sianjin mengerahkan tenaga memukul tai-hui-hiat Raja
Pedang.
Pada saat
kedua orang ini melakukan serangan curang dari belakang, terdengar Bhok Hwesio
tertawa mengejek, bukan seperti orang tertawa biasa melainkan seperti suara
seekor kerbau mendengus.
"Desssss...!"
Pukulan yang disertai saluran tenaga Iweekang tinggi itu mengenai sasaran.
Terdengar
jerit mengerikan dari mulut Ang-hwa Nio-nio dan pekik nyaring dari mulut Bo Wi
Sianjin. Kedua orang ini tadi tepat memukul punggung kedua orang sakti yang
sedang bertanding itu, akan tetapi akibatnya malah tubuh mereka yang terlempar
ke atas dan ke belakang, kemudian terbanting roboh dalam keadaan tidak bernyawa
lagi. Dari telinga, mulut, dan hidung mereka keluar darah merah!
Kun Hong dan
Tan Beng San juga terguling-guling ke belakang. Ketika mereka berhasil bangkit
berdiri, muka mereka pucat sekali dan nafas mereka terengah-engah, menggigit
bibir menahan rasa nyeri. Mereka tadi telah tertolong dengan adanya penyerangan
dari belakang.
Sejak
orang-orang itu muncul dan mendengarkan ucapan-ucapan mereka, Raja Pedang
menjadi kaget dan menyesal bukan main, juga marah bukan main. Demikian pula Kun
Hong. Namun mereka tidak mungkin dapat saling membebaskan diri dari
libatan-libatan tenaga sinkang mereka yang sudah saling betot dan saling gempur
itu. Apa bila secara mendadak mereka merenggut lepas tenaga mereka, tentu mereka
akan mengalami luka hebat yang berakibat maut. Keduanya lalu mengikuti
gerak-gerik Bo Wi Sianjin dan Ang-hwa Nio-nio.
Bagaimana
pun hancur hati mereka mendapat kenyataan betapa Hui Kauw dan Cui Sian jatuh
bangun, mereka tetap tidak mampu membantu. Akhirnya mereka memiliki harapan
yang sama, yaitu diserang lawan dari belakang. Baiknya dua orang lawan itu
menyerang dengan tangan kosong.
Inilah
kesempatan bagi mereka. Begitu merasa datangnya pukulan pada punggung, baik Kun
Hong mau pun Raja Pedang masing-masing menerima tenaga dorongan lawan dan
menggunakan tenaga ini untuk disalurkan ke belakang lewat punggung sekaligus
tenaga itu mereka dapat saling gunakan untuk menghantam pukulan lawan dari
belakang. Akibat adanya gangguan tenaga luar ini, mereka dapat saling
membebaskan diri karena tenaga serangan masing-masing telah disalurkan oleh
lawan dan mendapatkan sasaran berupa penyerang-penyerang itu.
Kesaktian
macam ini tak dapat dilakukan oleh sembarang orang, dan biar pun Pendekar Buta
dan Raja Pedang sendiri, sungguh pun berhasil merobohkan Ang-hwa Nio-nio dan Bo
Wi Sianjin yang sakti sampai tewas dengan pukulan mereka sendiri, namun keduanya
tidak luput dari luka dalam yang hebat!
Baik Ang-hwa
Nio-nio mau pun Bo Wi Sianjin sama sekali tidak menyangka akan hal ini, bahkan
Maharsi sendiri pun tak mengerti. Hanya Bhok Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang
lihai itu tahu akan hal ini dan sudah menduganya, maka tadi dia mendengus
mengejek kepada dua orang penyerang gelap itu.
Pada saat
itu, dua puluh orang lebih para pengikut Ang-hwa Nio-nio marah bukan main
melihat pemimpin mereka tewas. Dengan senjata pedang dan golok, mereka
menerjang maju. Melihat Pendekar Buta serta Raja Pedang sudah terluka hebat,
mereka menjadi besar hati dan menyerang kalang-kabut.
Akan tetapi,
biar pun gerakan-gerakannya sudah amat lambat dan tenaga mereka sudah terbuang
setengahnya lebih, namun menghadapi segala orang kasar ini tentu saja kedua
pendekar sakti itu masih jauh lebih kuat. Setiap kali mereka berdua
menggerakkan kaki atau tangan, tentu ada pengeroyok yang roboh dengan dada
pecah atau kepala remuk.
Dalam
kemarahan mereka, Pendekar Buta dan Raja Pedang mengamuk hebat sekali, tidak
memberi ampun lagi kepada lawan-lawan mereka. Hal ini adalah tidak sewajarnya.
Biasanya kedua orang pendekar sakti itu amat murah hati dan tidak mau
sembarangan membunuh lawan. Sebabnya adalah karena mereka menyangka bahwa
isteri dan anak mereka sudah tewas terbunuh musuh, maka kedukaan dan kemarahan
yang bercampur aduk dengan penyesalan besar serta sakit hati membuat mereka
menjadi ganas.
"Losuhu,
kau tadi sudah tahu bahwa dua teman kita akan celaka. Mengapa kau hanya
mendengus tetapi tidak mencegah mereka?" Sementara itu Maharsi bertanya
penasaran kepada Bhok Hwesio, tidak mempedulikan anak buah Ang-hwa Nio-nio yang
bagaikan sekelompok laron menyerbu api itu.
"Hemmm,
mereka tolol, juga curang. Sudah sepantasnya mampus," jawab Bhok Hwesio.
la seorang
tokoh besar dari Siauw-lim-pai, biar pun dia tersesat dalam kejahatan, namun
dia tetap seorang hwesio yang memiliki tingkat kepandaian tinggi dan amat
percaya akan kepandaian sendiri. Oleh karena itu Bhok Hwesio memandang rendah
orang-orang yang berwatak curang. Semenjak Ang-hwa Nio-nio menggunakan siasat
mengadu domba keluarga Raja Pedang dengan keluarga Pendekar Buta, dia sudah
memandang rendah Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi seperti biasa, karena bukan
urusannya, Bhok Hwesio tidak peduli.
Maharsi luar
biasa mendongkol. Akan tetapi karena dia tahu bahwa menghadapi hwesio tinggi
besar yang selalu meram ini dia tidak akan mampu berbuat apa-apa untuk dapat
melampiaskan kegemasan hatinya, dia hanya merengut saja dan memandang ke arah
dua orang musuhnya. Diam-diam dia kaget dan juga kagum. Jelas bahwa dua orang
itu sudah terluka hebat, malah besar kemungkinan takkan dapat hidup lagi. Akan
tetapi seperti orang mencabuti rumput mudahnya, dua puluh tiga orang
pengeroyoknya itu roboh malang-melintang bertumpang-tindih dan mati semua.
Sebentar saja tidak ada lagi seorang pun pengeroyok yang masih hidup!
Raja Pedang
melompat ke arah puterinya sedang Pendekar Buta menghampiri isterinya,
tangannya meraba-raba untuk mencari-cari. Akhirnya ia menemukan tubuh isterinya
dan segera melakukan pemeriksaan seperti yang dilakukan Raja Pedang terhadap
puterinya.
"Syukurlah
kau selamat, Hui Kauw...," terdengar suara Kun Hong terharu, kemudian dia
menoleh ke arah Raja Pedang. "Bagaimana keadaan Cui Sian, Locianpwe?"
"Dia
pun selamat, hanya terluka dan pingsan. Kun Hong, kita menghadapi dua orang
lawan yang sangat tangguh... entah bagaimana aku akan dapat melawan mereka...
aku terluka hebat..."
Raja Pedang
tersedak dan cepat dia duduk bersila untuk mengatur nafas dan berusaha
mengembalikan tenaganya. Akan tetapi dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa
tenaganya lenyap setengahnya lebih dan dadanya terasa amat sakit. Terang bahwa
tak mungkin dia dapat bertempur menghadapi lawan berat. Sedangkan dia tahu
betul betapa saktinya Bhok Hwesio. Dalam keadaan sehat saja belum tentu dia
mampu menandingi hwesio itu, apa lagi dalam keadaan terluka hebat seperti ini.
"Saya...
saya pun terluka... Locianpwe..."
Kun Hong
juga merasa dadanya sakit sekali, akan tetapi dia segera menghampiri Raja
Pedang, lalu menempelkan tangannya pada punggung orang tua itu untuk memeriksa.
Hatinya amat kaget mendapat kenyataan bahwa Raja Pedang benar-benar terluka
hebat. Tanpa ragu-ragu lagi dia segera mengerahkan sisa tenaga sinkang-nya
untuk disalurkan melalui punggung dan membantu Si Raja Pedang.
Hawa hangat
menjalar dari tangan Kun Hong sehingga rasa panas memenuhi dada Raja Pedang.
Rasa sakit di sekitar jantungnya mendingan dan dia lalu menolak tangan Kun Hong
dengan halus. "Cukup, Kun Hong. Terima kasih... kau sendiri lemah, jangan
mengerahkan tenaga lagi. Kun Hong, kau... kau maafkan aku... sungguh-sungguh
aku telah terburu nafsu seperti katamu..."
"Sudahlah,
Locianpwe. Yang perlu sekarang bagaimana kita harus menghadapi mereka."
Raja Pedang
lalu melompat bangun, memaksa diri bersifat gagah ketika dia melempar-lemparkan
mayat para pengeroyok yang menghalang di depan kakinya. Dengan langkah tegap
dia menghampiri Bhok Hwesio dan Maharsi, kemudian berdiri tegak dan bertanya
dengan suara berwibawa. "Bhok Hwesio, sesudah segala kecurangan digunakan
oleh pihakmu, sekarang kau mau apa lagi?" Pada ucapan yang sederhana ini
terkandung nada menantang dan mengejek.
Mendengar
suara menantang dan sikap yang gagah ini sejenak Bhok Hwesio tercengang dan ia
membuka matanya untuk menatap penuh perhatian, mengira bahwa Raja Pedang itu
telah dapat memulihkan tenaganya maka dapat bersikap segagah itu.
Akan tetapi
pandang matanya segera mendapat kenyataan bahwa orang di depannya ini masih
terluka hebat dan tenaganya tinggal sedikit lagi. la menghela nafas dan
diam-diam merasa kagum sekali.
"Tan
Beng San, segala macam urusan kotor yang dilakukan Ang-hwa Nio-nio tidak ada
sangkut-pautnya dengan pinceng (aku). Pinceng datang mencarimu untuk
membereskan perhitungan lama."
"Bhok
Hwesio, dua puluh tahun yang lalu kau tersesat kemudian datang Thian Ki Losuhu
yang menjadi suheng-mu dan membawamu kembali ke Siauw-lim-pai. Apakah selama
dua puluh tahun ini kau belum juga dapat mengubah kesesatanmu?"
"Tan
Beng San, kau sungguh bermulut besar. Karena kau, pinceng menderita puluhan
tahun. Tapi sekarang kau telah terluka, sayang sekali. Tidak enak melawan orang
sudah terluka parah, akan tetapi tidak bisa pinceng melepaskanmu begitu saja.
Raja Pedang, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun sambil mengangguk tiga
kali di depanku, baru pinceng mau melepaskanmu dan memberi waktu padamu untuk
menyembuhkan lukamu, setelah itu baru kita bertanding melunasi perhitungan
lama."
Tiada
penghinaan bagi seorang pendekar silat yang lebih hebat dari pada menyuruhnya
mengaku kalah dan berlutut minta ampun! Kalah atau menang dalam pertandingan
bagi seorang pendekar adalah lumrah.
Raja Pedang
sendiri tentu tak akan merasa penasaran kalau memang dia kalah dalam
pertandingan melawan musuh yang lebih pandai. Akan tetapi mengaku kalah sebelum
bertanding, apa lagi berlutut minta ampun? Lebih baik mati!
Perasaan
marah yang datang karena mendengar penghinaan ini menyesakkan dada Tan Beng San
yang terluka, membuatnya sulit bernafas. Oleh karena itu, dia tidak menjawab
ucapan Bhok Hwesio, melainkan membalikkan tubuhnya membelakangi hwesio tua itu
dan duduk bersila, meramkan mata.
"Tan
Beng San, kau berjuluk Raja Pedang, ketua Thai-san-pai. Mana kegagahanmu? Hayo
kau lawan aku! Kalau tidak berani, lekaslah berlutut minta ampun!" bentak
Bhok Hwesio pula.
Namun Raja
Pedang tidak menjawab, tetap meramkan mata sambil duduk bersila tanpa bergerak
seperti patung. la maklum bahwa nyawanya berada dalam genggaman musuh. Kalau
musuh menghendaki, dia dan Kun Hong pasti akan tewas karena untuk melawan
mereka tidak mampu lagi.
"Bhok-losuhu,
kenapa tidak pukul pecah saja kepalanya? Manusia-manusia sombong ini harus
dihajar, baru kapok. Hee, manusia buta, hayo kau lawan aku, Maharsi yang tidak
terkalahkan. Kau sudah membunuh ketiga orang Sam-cimoi yang merupakan adik-adik
seperguruanku, juga sahabatku Bo Wi Sanjin sudah tewas. Karena itu, untuk
menebus kematian mereka, kau harus mati empat kali."
Maharsi
menghampiri Kun Hong yang juga sedang duduk bersila sambil memusatkan
perhatiannya untuk mengobati luka dalam yang amat berat. Seperti juga Raja
Pedang, dia maklum bahwa melawan akan sia-sia belaka karena lukanya amat hebat.
Lebih baik berusaha untuk memulihkan tenaga saktinya dari pada melawan dan
sudah pasti kalah.
Melawan
berarti kalah dan mati. Kalau tidak melawan ada dua kemungkinan. Pertama,
mungkin lawan akan membunuhnya pula, akan tetapi kalau terjadi hal demikian,
berarti lawan melakukan kecurangan besar yang akan merupakan hal yang
mencemarkan nama mereka sendiri.
Kemungkinan
kedua, lawan akan cukup memiliki kegagahan sehingga segan menyerang orang yang
terluka hebat dan sedang bersemedhi mengobati lukanya sehingga dia akan
terbebas dari kematian dan kekalahan. Akan tetapi dia juga yakin bahwa hal
kedua ini sukar akan dia dapatkan dari lawan yang jahat, maka keselamatan
nyawanya berada di dalam genggaman lawan dan dia menyerahkan nasib kepada
Tuhan.
"Maharsi,"
Pendekar Buta berkata perlahan, "aku tidak kenal padamu dan tidak tahu kau
manusia macam apa. Akan tetapi aku tahu bahwa hanya seorang rendah budi, seorang
pengecut yang curang, seorang yang sama sekali tiada harganya saja yang
menantang lawan yang sedang berada dalam keadaan luka parah. Mungkin engkau
termasuk orang rendah macam itu, atau mungkin juga tidak, aku tidak tahu."
"Keparat!
Kau sudah membunuh adik-adikku, sekarang mengharapkan ampunan dariku? Tidak
mungkin! Kaulah yang rendah dan hina! Adik-adikku yang lemah kau bunuh, dan
sekarang karena kau merasa tidak akan menang menghadapi aku, kau lalu beraksi
luka parah!" Setelah berkata demikian, Maharsi menendang.
Tubuh Kun
Hong terguling-guling sampai lebih dari empat meter, akan tetapi tetap dalam
keadaan bersila, dan setelah berhenti terguling-guling dia masih juga tetap
duduk bersila. Hal ini saja membuktikan bahwa biar pun keadaannya terluka parah,
Pendekar Buta itu benar-benar amat lihai.
Diam-diam
Maharsi terkejut juga. Dengan langkah lebar dia menghampiri, dua lengannya
digerak-gerakkan sebab dia tengah mengerahkan sinkang untuk digunakan
menghantam dengan Pai-san-jiu, yaitu ilmu pukulannya yang paling dia andalkan.
"Kau
ingin mampus? Kau kira aku, Maharsi tidak mampu sekali pukul menghancurkan
kepalamu? Batu dan pohon remuk oleh pukulanku ini, tahu?"
Tiba-tiba
saja dia menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah sebatang pohon di
sebelahnya dan terdengar suara keras, batang pohon itu remuk dan tumbanglah
pohon itu. Maharsi tertawa bergelak. "Kau melihat Itu? Eh... matamu buta,
kau tidak pandai melihat. Kau tentu mendengar itu, bukan? Nah, apakah kepalamu
lebih keras dari pada batang pohon?"
Kun Hong
tersenyum dan berkata, nadanya mengejek, "Kasihan sekali kau, Maharsi.
Bila menilik suaramu, kau seorang tua bangka yang kembali seperti anak-anak.
Dengan ilmu pukulanmu itu, kau seperti anak-anak mendapat permainan baru dan
menyombong-nyombongkannya, padahal kelak kau akan menyadari bahwa ilmu itu
tidak ada gunanya sama sekali, seperti kanak-kanak yang telah bosan pada
permainan yang sudah butut. Menumbangkan pohon, apa sukarnya? Segala sifat
merusak mudah dilakukan, bahkan anak kecil pun bisa. Apa anehnya?"
Maharsi
marah sekali dan kakinya mencak-mencak. "Setan, kau akan kubunuh sedikit
demi sedikit, jangan disangka kau akan dapat memanaskan hatiku sehingga aku
akan membunuhmu begitu saja! Kau memanaskan hatiku supaya aku membunuhmu
seketika sehingga kau tidak menderita? Ho-ho-ho, aku tidak sebodoh itu. Kau
akan kusiksa lebih dahulu, kubunuh sekerat demi sekerat untuk membalaskan sakit
hati adik-adikku!"
Pendeta
barat itu kini melangkah maju, tangannya yang berlengan panjang itu diulur ke
depan, bersiap mencengkeram tubuh Kun Hong dan menyiksanya. Pendekar Buta hanya
tersenyum dan bersila, sikapnya tenang. Kebetulan sekali Cui Sian sadar lebih
dulu dari pingsannya. Gadis ini berada cukup dekat dengan Maharsi yang
melangkah maju. Melihat sikap yang mengancam dari pendeta itu terhadap Kun Hong
yang tidak mampu melawan, Cui Sian marah sekali.
Cui Sian
juga sudah terluka, namun tidak sehebat Kun Hong lukanya. Sambungan tulang
pundak kanan terlepas, ada pun dadanya agak sesak akibat pukulan Katak Sakti
yang dilontarkan Bo Wi Sianjin kepadanya. Melihat Kun Hong terancam maut, dan
mengingat bahwa ia dan ayahnya telah menuduh secara keliru sehingga terjadilah
mala petaka ini, Cui Sian melompat dengan nekat dan menyerang Maharsi untuk
menolong Kun Hong.
Walau pun
keadaannya terluka, namun serangan Cui Sian yang nekat ini cukup hebat. la
menggunakan jurus Sian-Ii Siu-goat (Dewi Sambut Bulan), dan tentu saja ia hanya
bisa memukul dengan tangan kiri, maka ia sengaja menggunakan pukulan yang
mengandung tenaga lemas untuk menyesuaikan keadaannya yang terluka.
Namun
pukulan yang halus ini merupakan jangkauan tangan maut karena yang diserang
adalah bagian yang mematikan di ulu hati. Biar pun penyerangnya hanya seorang
gadis jelita yang sudah terluka parah, akan tetapi kalau Maharsi berani
menerimanya tanpa mengelak mau pun menangkis, maka jurus puteri Si Raja Pedang
ini masih cukup kuat untuk menamatkan riwayat Maharsi!
Tentu saja
sebagai seorang berilmu tinggi, Maharsi dapat membedakan mana serangan ampuh
dan mana yang bukan. la tahu bahwa selama itu, gadis puteri ketua Thai-san-pai
ini masih amat berbahaya dan serangannya tak boleh dipandang ringan. Dia
mengeluarkan suara ketawa mengejek, kemudian kedua lengannya yang panjang itu
menyambut, menangkap lengan Cui Sian dan dengan sentakan kuat dia melemparkan
tubuh Cui Sian ke arah ayahnya! Karena nadi pergelangan tangannya sudah
dipencet, Cui Sian kehabisan tenaga dan ia tentu akan terbanting pada tubuh
ayahnya yang duduk bersila kalau saja orang tua sakti itu tidak mengulur tangan
dan menyambutnya. Biar pun Tan Beng San sudah terluka hebat dan parah, namun
menyambut tubuh puterinya ini masih merupakan hal yang mudah baginya.
Cui Sian
memeluk ayahnya dan menangis, "Ayah... kita harus tolong Suheng..."
Beng San
menggelengkan kepala. "Keadaanku tidak mengijinkan untuk menolong orang
lain mau pun menolong diri sendiri, Sian-ji. Kun Hong hebat sekali tadi
sehingga luka di tubuhku sangat parah. Biarlah, mari kita menonton orang-orang
gagah perkasa tewas di tangan orang-orang pengecut rendah dan hina!"
Ucapan ini keluar dengan suara nyaring dari mulutnya sehingga Bhok Hwesio
menjadi merah sekali mukanya.
"Ketua
Thai-san-pai, aku bukanlah pengecut yang suka membunuh lawan yang terluka. Akan
tetapi untuk menebus dosamu dan untuk mencegah perjalananku tidak sia-sia, kau
harus berlutut minta ampun kepada pinceng. Baru pinceng mau melepaskanmu untuk
bertanding di lain hari," katanya marah.
"Hwesio
sesat, kau mau bunuh boleh bunuh, apa artinya mati? Yang harus dikasihani
adalah kau yang pada lahirnya merupakan seorang hwesio, namun di sebelah dalam
kau bergelimang dengan kesesatan!"
"Pinceng
tidak akan membunuhmu. Kalau kau tidak mau berlutut minta ampun, pinceng hanya
akan mencabut kesaktianmu agar selanjutnya pinceng dapat hidup tenteram, tidak
memikirkan soal balas dendam lagi," jawab Bhok Hwesio, nada suaranya
seperti orang kesal.
Diam-diam
Beng San dan puterinya terkejut bukan main. Mereka maklum apa artinya mencabut
kesaktian. Berarti bahwa kakek gundul itu akan melumpuhkan kaki dan tangan Raja
Pedang sehingga tak akan mungkin melakukan gerakan silat lagi. Perbuatan
seperti itu malah lebih menyiksa dari pada membunuh. Lebih ringan dibunuh dari
pada dijadikan seorang tapa daksa yang hidupnya tiada gunanya lagi.
“Ha-ha-ha-ha.
Losuhu benar sekali! Mengapa aku tidak berpikir sampai di situ?" Maharsi
tertawa bergelak mendengar ini. "Alangkah akan begitu menyenangkan melihat
musuh besar menjadi seorang yang hidup tidak mati pun tidak. Orang buta, aku
juga tidak akan membunuhmu, aku akan membikin kau beserta isterimu menjadi
orang-orang tiada guna, ho-ho-ha-ha!" Sambil berkata demikian, Maharsi
melangkah maju mendekati Hui Kauw yang masih setengah pingsan. Sekali meraih
dia telah menyambar tubuh nyonya itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas
kepalanya.
"Ho-ho-ho,
Pendekar Buta, kau dengarkan baik-baik betapa aku akan membuat isterimu menjadi
seorang tapadaksa selama hidupnya dan kau boleh menyesalkan perbuatanmu
membunuh adik-adik seperguruanku!"
Muka Kun
Hong pucat sekali. Telinganya dapat mengikuti setiap gerakan Maharsi dan
tahulah dia bahwa keadaan isterinya tidak akan dapat ditolong lagi. Suaranya
terdengar dalam dan menyeramkan ketika dia berkata, "Maharsi, kau
benar-benar gagah perkasa, menghina seorang wanita yang tidak berdaya lagi.
Kalau memang kau laki-laki gagah, jangan ganggu wanita dan kau boleh berbuat
sesuka hatimu terhadap aku!"
"Ha-ha-ho-ho-ho…
ngeri hatimu, Pendekar Buta? Ada bermacam cara membikin orang kehilangan
kepandaiannya, di antaranya adalah dengan cara memutuskan otot-otot dan
menghancurkan tulang-tulang. Isterimu cantik, biar sudah setengah tua masih
cantik dan kau tidak bermata, tiada bedanya bukan? Biar kupatahkan
tulang-tulangnya, tulang kaki tangan dan punggung. Ha-ha-ha... tentu menjadi
bengkok-bengkok kaki tangannya, dan punggungnya menjadi bongkok! Pendekar Buta,
sebentar lagi kau dapat mendengarkan patahnya tulang-tulang tubuh
isterimu...!"
Kun Hong
diam saja, hanya berdoa semoga isterinya tewas saja dalam penghinaan itu. Mati
adalah jauh lebih ringan. Dia sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Keadaan
sudah amat kritis dan agaknya tidak ada yang dapat menolong isteri Pendekar
Buta dari mala petaka yang hebat itu.
Tiba-tiba
terdengar suara orang berkata-kata. Akan tetapi tak ada yang mengerti artinya,
karena suara itu berkata-kata dalam bahasa asing. Kecuali Maharsi yang agaknya
dapat mengerti maknanya, karena tiba-tiba saja dia menurunkan tubuh Hui Kauw
dan tidak jadi menggerakkan tangan memukul. Matanya terbelalak menoleh ke arah
suara.
Betapa dia
tidak akan kaget sekali mendengar kata-kata dalam bahasa Nepal, dan justru
kata-kata itu merupakan sumpah di depan gurunya dahulu yang berbunyi, "Tidak
akan mempergunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan."
Alangkah
herannya ketika dia melihat di situ muncul seorang pemuda berpakaian putih
sederhana, yang memandangnya dengan sepasang mata penuh wibawa.
"Siapa
kau? Apa yang kau katakan tadi?" Dia membentak, tubuh Hui Kauw masih di
tangan kiri, dicengkeram pada baju di punggungnya.
"Maharsi,
setelah gurumu tidak ada lagi, kau hidup tersesat. Guruku yang mulia, pendeta
Bhewakala sudah dua kali memberi ampun padamu, mengingat bahwa kau masih murid
sutenya. Akan tetapi tak ada kejahatan yang bisa diampuni sampai tiga kali.
Kalau kau melanjutkan perbuatanmu yang biadab ini, mempergunakan kepandaian
untuk menghina wanita yang tak berdaya, aku akan mewakili guruku memberi
hukuman kepadamu!"
Pemuda itu bukan
lain adalah Yo Wan. la belum pernah berjumpa dengan Maharsi, akan tetapi
melihat pendeta jangkung ini dia segera teringat akan cerita mendiang gurunya
di Himalaya, mengenai pendeta Nepal yang murtad dan sesat, yaitu Maharsi yang
masih terhitung murid keponakan gurunya itu.
la tiba di
situ bersama Lee Si dan gadis ini serta merta lari dan memeluk Cui Sian sambil
bertanya apa gerangan yang terjadi. Ketika dia melihat jenazah ayahnya
menggeletak dalam lubang kuburan, Lee Si menjerit, menubruk dan roboh terguling,
pingsan. Cui Sian segera memeluk dan memondongnya ke dekat ayahnya, menjauhi
jenazah.
Ada pun Yo
Wan ketika melihat subonya (ibu guru) berada dalam cengkeraman Maharsi dan
terancam malapetaka hebat, segera dia mempergunakan kata-kata dalam bahasa
Nepal untuk mengalihkan perhatian Maharsi dan kini menyerangnya dengan
kata-kata.
Sementara
itu, Maharsi yang tadinya sangat terkejut, kini tertawa mengejek, akan tetapi
dia melepaskan tubuh Hui Kauw dan melempar nyonya itu ke arah Pendekar Buta.
"Huh,
boleh kutunda sebentar permainan dengan Pendekar Buta. Kau ini bocah lancang
sombong. Apakah kau bocah yang pernah kudengar diambil murid oleh supek (uwa
guru) Bhewakala, seorang bocah yatim piatu dari timur?"
"Benar,
Maharsi. Aku Yo Wan, murid Bhewakala."
"Dengan
maksud apa engkau mencegah perbuatanku? Apakah kau hendak membela Pendekar Buta
dan Raja Pedang?"
"Aku
hanya akan membela yang benar. Aku mencegah perbuatanmu karena tidak ingin
melihat kau melakukan perbuatan sesat, mengingat bahwa kau masih ada hubungan
perguruan dengan aku."
"Ho-ho-ha-ha-ha,
bocah masih ingusan berani memberi petunjuk kepadaku? Yo Wan, kau sombong
seperti supek! Aku... benar dua kali aku mengalah terhadapnya, mengingat dia
seorang tua. Akan tetapi terhadap kau aku tidak sudi mengalah. Hayo pergi
sebelum timbul marahku dan menghajarmu!"
"Maharsi,
kalau kau lanjutkan kesesatanmu, terpaksa aku yang akan memberi hukuman
kepadamu, mewakili mendiang guruku."
Keduanya
sudah saling menghampiri sehingga keadaan menjadi tegang. Pendekar Buta, Hui
Kauw yang sudah sadar, Raja Pedang, Cui Sian, dan Lee Si merasa betapa jantung
mereka berdebar penuh ketegangan. Sekarang Yo Wan merupakan pemuda harapan
mereka, satu-satunya orang yang dapat diharapkan menolong mereka keluar dari
jurang mala petaka yang mengancam hebat. Akan tetapi diam-diam mereka sangsi,
dapatkah pemuda itu melawan Maharsi yang amat lihai?
Dan di situ
masih ada lagi Bhok Hwesio yang berdiri seperti patung, atau agaknya seperti
sudah pulas sambil berdiri karena kedua matanya meram. Hanya Cui Sian seorang
yang penuh percaya akan kesaktian Yo Wan. Diam-diam gadis ini merasa terharu.
Satu-satunya pria yang ia kagumi, yang ia harapkan, yang menimbulkan debar aneh
di jantungnya, kini muncul di saat yang amat berbahaya untuk menolong dia
sekeluarga. la menjadi girang sekali sungguh pun kegirangan itu bercampur
dengan rasa khawatir juga.
"Ha-ha-ha,
Yo Wan. Kalau sekarang gurumu masih hidup, ingin aku mencobanya dengan ilmuku
yang baru. Akan tetapi karena dia sudah mampus, maka kaulah penggantinya.
Ha-ha-ha, apabila dulu aku sudah mempunyai ilmu ini, kiranya dia tidak akan
mampu menundukkan aku. Kau terimalah ini!"
Tubuh yang
miring-miring itu tiba-tiba bergerak dan tangannya yang panjang mengirim
pukulan Pai-san-jiu sampai tiga kali berturut-turut. Hebat bukan main pukulan
ini. Angin pukulannya berdesir menimbulkan suara bersiutan. Memang kali ini
Maharsi sengaja mengerahkan seluruh tenaganya untuk pamer. Juga dalam
kegemasannya untuk segera merobohkan murid supeknya yang mengganggu ini,
sekaligus membalas sakit hatinya karena dahulu sampai dua kali dia dirobohkan
dan ditekan oleh Bhewakala ketika dia mengganggu seorang gadis dusun, dan kedua
kalinya ketika dia berusaha merampas sebuah kuil untuk tempat dia bertapa dari
tangan pertapa lain.
Melihat
hebatnya pukulan dengan tubuh miring ini, Yo Wan tidak berani memandang ringan.
Dia cukup maklum betapa hebatnya ilmu pukulan dari Nepal yang disertai tenaga
mukjijat dari latihan kekuatan batin. Tetapi, tanpa menahan pukulan dengan
tangkisan, dia juga tidak akan dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga
pukulan lawan itu. Oleh karena inilah, maka setelah menggunakan langkah ajaib
dari Si-cap-it Sin-po untuk menghindarkan dua pukulan, dia lalu mengangkat
tangan menangkis pukulan ketiga.
"Desssss!"
Dua telapak
tangan bertemu dan Maharsi melanjutkan dengan cengkeraman, akan tetapi bagaikan
belut licinnya, telapak tangan pemuda itu sudah terlepas pula, karena Yo Wan
cepat menariknya ketika tubuhnya terpental dan terhuyung-huyung ke belakang.
"Heh-heh-heh,
mana kau mampu menahan pukulanku, bocah?" Maharsi mengejek dan seperti
seekor kepiting, tubuhnya yang miring itu merayap maju untuk menerjang lagi.
Karena yakin
bahwa pemuda itu tidak akan sanggup menahan serangan-serangannya, Maharsi lalu
melancarkan serangan beruntun dengan ilmu pukulan Pai-san-jiu yang amat lihai.
Yo Wan tetap menghindarkan semua pukulan itu dengan Si-cap-it Sin-po, sehingga
tampaknya dia selalu terhuyung-huyung dan terdesak hebat, sungguh pun tidak
pernah ada pukulan yang menyentuh tubuhnya.
"Hebat
pemuda itu...," Raja Pedang Tan Beng San memuji perlahan.
"Ayah,
dia terdesak... bagaimana kalau dia kalah...?" Cui Sian berkata lirih,
tapi bernada penuh kekhawatiran.
Mendengar
suara anaknya ini, Beng San menoleh dan memandang aneh, kemudian dia tersenyum.
"Sian-ji, kau kenal dia?"
Dalam
keadaan terluka seperti itu, kedua pipi halus Cui Sian masih sempat memerah.
Maklum bahwa ayahnya sedang menatapnya, dia tidak berani balas memandang, takut
kalau-kalau sinar matanya akan bercerita sesuatu tentang isi hatinya.
"Aku
pernah bertemu dengan dia, Ayah. Dia Yo Wan, murid Kwa-suheng..."
Raja Pedang
mengangguk-angguk. "Pantas... pantas langkah-langkah itu terang adalah
langkah ajaib yang dimiliki Kun Hong. Tapi dia tadi mengaku murid
Bhewakala..."
"Ayah,
pendeta itu begitu lihai, bagaimana kalau Yo-twako kalah...?" kembali Cui
Sian menyatakan kekhawatirannya ketika ia memandang ke arah pertempuran.
"Dia
tidak akan kalah," jawab Raja Pedang.
Sementara
itu Lee Si sadar dari pingsannya dan gadis ini menangis tersedu-sedu.
"Siapa membunuhnya, Bibi? Siapa? Kongkong (Kakek), ayah dibunuh orang,
kenapa Kongkong diam saja?"
Raja Pedang
Tan Beng San tak menjawab, hanya menghela nafas panjang. Pertanyaan cucunya ini
mengingatkan dia akan kecerobohannya, menuduh Pendekar Buta sehingga dia dan
Pendekar Buta terluka parah, sehingga tidak mampu menghadapi lawan-lawan
tangguh.
Akan tetapi
Cui Sian merangkul Lee Si dan berkata lirih, "Tenanglah Lee Si. Kami semua
kini terluka parah sebagai akibat membela kematian ayahmu. Pembunuh ayahmu
adalah Ang-hwa Nio-nio, dia sudah tewas. Akah tetapi masih ada Maharsi serta
Bhok Hwesio yang lihai, sedangkan kami semua terluka. Mudah-mudahan Yo twako
dapat menolong kita, kalau tidak..."
"Aku
tidak terluka, biar aku membantunya!" Lee Si melompat bangun.
"Lee
Si, duduklah! Jangan ganggu dia!" tiba-tiba Raja Pedang mencegah.
Gadis itu
kecewa sekali, akan tetapi suara kakeknya demikian berwibawa sehingga dia tidak
berani membantah, lalu menjatuhkan diri lagi duduk di atas rumput dekat Cui
Sian yang memeluknya. Lee Si menangis lagi sambil melihat ke arah lubang di
tanah, di mana menggeletak jenazah ayahnya.
Kemudian dia
menengok ke sekeliling dan melihat sangat banyak mayat-mayat orang
malang-melintang memenuhi tempat itu. Biar pun Lee Si puteri suami isteri
berilmu tinggi dan ia sendiri adalah seorang pendekar wanita yang lihai, ia
bergidik juga menyaksikan penglihatan yang sangat menyeramkan itu. Ada dua
puluh lima sosok mayat yang rebah malang-melintang di tempat itu!
Sementara
itu, Hui Kauw juga memegang lengan suaminya dan menekannya erat-erat ketika
melihat munculnya Yo Wan tadi. Kun Hong tentu saja sudah mendengar suara
muridnya, dan jantung Pendekar Buta ini pun berdebar tegang. Tanpa disengaja,
Hui Kauw menyatakan kekhawatiran hatinya yang serupa betul dengan kekhawatiran
Cui Sian tadi. "Dia belum belajar apa-apa darimu, bagaimana kalau dia
kalah...?"
Dan seperti
juga Raja Pedang dalam menjawab puterinya, kini Pendekar Buta berkata kepada
isterinya, "Tenanglah, dia tidak akan kalah."
Jawabannya
mantap dan penuh keyakinan. Biar pun kedua matanya tak dapat melihat lagi,
tetapi pendengaran Pendekar Buta yang sangat tajam dapat membedakan gerakan Yo
Wan dan gerakan Maharsi, malah dia juga dapat menduga bahwa Yo Wan sengaja berlaku
murah kepada murid keponakan Bhewakala itu. Dugaan Pendekar Buta dan dugaan
Raja Pedang memang tepat sekali. Pada waktu pertemuan tenaga tadi, Yo Wan sudah
mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa pukulan Pai-san-jiu dari Maharsi
itu mengandung tenaga mendorong dan menekan dari hawa sakti Yang-kang.
Yo Wan
maklum bahwa pukulan semacam itu sangat berbahaya bagi orang-orang yang
menghadapi Maharsi dengan tenaga keras, akan tetapi sesungguhnya hilang
bahayanya apabila dihadapi dengan tenaga halus. Oleh karena itu dia sengaja
memainkan langkah-langkah ajaib dari Si-cap-it Sin-po sehingga semua pukulan
dahsyat itu hanya sekedar menyambar-nyambar dan menimbulkan angin pukulan yang
berputar-putar seperti angin puyuh yang berpusingan.
"Maharsi,
sekali lagi, atas nama mendiang suhu Bhewakala, aku memberi kesempatan kepadamu
untuk insyaf dan sadar dari kesesatan, kembali ke jalan benar. Kembalilah ke
barat dan jangan ikat dirimu dengan segala macam permusuhan yang tiada
gunanya," terdengar Yo Wan berkata dengan sabar.
Maharsi
tertawa sampai terkekeh-kekeh. "Ho-ho-ha-ha, bocah sombong! Kau
betul-betul tak tahu diri. Kematian sudah di depan mata, sejak tadi kau tak
mampu balas menyerang dan sekali menangkis kau hampir roboh, tapi kau masih
berani membuka mulut besar? Hah-hah-hah. Sungguh tak tahu malu dan tak tahu
diri..."
"Kau
sendiri yang mencari penyakit. Kau yang memutuskan, nanti jangan sesalkan
aku!" Yo Wan menutup kata-katanya ini dengan lecutan cambuknya yang
mengeluarkan suara bergeletar, lantas disusul sinar cambuk Liong-kut-pian
(Cambuk Tulang Naga) warisan Bhewakala.
Menyaksikan
cambuk ini, kagetlah Maharsi. Cambuk inilah yang dahulu ketika berada di tangan
Bhewakala telah menghajarnya sampai dua kali. Tetapi sekarang kepandaiannya
sendiri sudah meningkat tinggi sedangkan pemegang cambuk hanya seorang pemuda!
Tentu saja dia tidak menjadi jeri. Sambil mengeluarkan seruan aneh, pendeta
jangkung itu menyerbu lagi, tangan kiri mencengkeram ke arah cambuk, tangan
kanan mengirim pukulan Pai-san-jiu ke arah lambung Yo Wan.
Akan tetapi
pemuda ini sudah siap. Kakinya melangkah mundur lalu ke kanan, sehingga
serangan itu sekaligus dapat dia hindarkan, kemudian dengan langkah-langkah
aneh seperti tadi, seperti orang terhuyung-huyung ke depan, dia maju lagi.
Maharsi gemas dan juga girang. Cepat dia memapaki tubuh Yo Wan dengan serangan
kilat yang dia yakin akan mengenai sasaran. Akan tetapi kembali dia tertipu
karena secara aneh dan tiba-tiba tubuh Yo Wan lenyap ketika pemuda itu
menyelinap di antara kedua lengannya. Sebelum Maharsi sempat mengirim susulan
serangannya, terdengar suara keras di pinggir telinganya.
"Tarrr…!"
Keringat
dingin membasahi muka Maharsi. Ujung cambuk tadi meledak tepat di pinggir
telinganya, dekat sekali. Kalau tadi mengenai jalan darah atau kepalanya,
agaknya dia sudah akan roboh. Rasa penasaran dan malu membuatnya marah dan
dengan geraman hebat dia lantas menubruk maju, mengirim pukulan Pai-san-jiu
dengan hebat. Pukulan ini merupakan pukulan jarak jauh yang amat lihai, disusul
dengan cengkeraman yang dapat menghancur lumatkan batu karang.
Namun sekali
lagi dia menubruk dan memukul angin, karena Yo Wan sudah menyelinap pergi, dan
sekali dia menggerakkan tangan kanan, cambuknya melecut bagaikan seekor ular
hidup, sekali ini diam-diam tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga, akan
tetapi tahu-tahu ujung cambuknya sudah membelit pergelangan tangan kanan
Maharsi!
Pendeta itu
terkejut sekali, cepat-cepat mengerahkan tenaganya untuk merenggut lepas
tangannya yang terbelit cambuk. Namun sia-sia belaka, karena pada saat itu, dia
telah dibetot oleh tenaga luar biasa melalui cambuk. Betapa pun dia
mempertahankan dirinya dengan mengerahkan tenaga pada sepasang kakinya, Maharsi
tidak mampu menahan dan dia terhuyung ke depan. Tiba-tiba cambuk terlepas dari
tangannya. Hampir saja Maharsi roboh terguling apa bila dia tidak cepat
melompat ke samping untuk mematahkan tenaga dorongan tadi.
"Maharsi,
sekali lagi kuberi kesempatan. Pulanglah ke barat!" Yo Wan berkata lagi
nada suaranya kereng.
Maharsi
termenung, ragu-ragu. Baru saja dia mendapat kenyataan bahwa pemuda murid uwa
gurunya itu benar-benar lihai bukan main. Permainan cambuknya tidak saja sudah
menyamai Bhewakala, malah lebih aneh dan hebat karena gerakan langkah kaki
pemuda itu benar-benar membingungkannya.
Gerakan
cambuk Bhewakala masih dapat dikenalnya sedikit, akan tetapi langkah kaki itu
benar-benar amat sukar dia ikuti sehingga dia tidak dapat menduga dari mana
datangnya serangan cambuk. Dia menjadi serba salah. Jelas bahwa pemuda itu
masih memandang hubungan perguruan dan memberi kesempatan kepadanya. Akan
tetapi rasanya sangat memalukan apa bila harus mengaku kalah terhadap seorang
pemuda. Tetapi kalau terus melawan, dia pun agak jeri, khawatir kalau-kalau
sekali lagi dia akan menderita kekalahan, kali ini malah dari murid uwa
gurunya, Bhewakala.
"Sungguh
memalukan menjadi seorang pengecut..!" tiba-tiba terdengar suara.
Yo Wan
menengok dan mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi dia hanya melihat
hwesio tua dengan mata meram itu berdiri agak jauh. la menduga bahwa hwesio tua
itu yang berbicara, akan tetapi hwesio itu tidak menggerakkan mulut dan dia
tidak mengenal siapa adanya hwesio tinggi besar itu.
Akan tetapi
bagi Maharsi, suara ini mengembalikan keberaniannya. la tadi lupa bahwa di situ
masih ada Bhok Hwesio yang kesaktiannya sudah dia ketahui. Dengan keberadaan
hwesio itu di situ, takut apakah?
"Bocah
sombong, Maharsi bukanlah seorang pengecut!"
Sesudah
membentak keras, pendeta jangkung ini melompat ke depan sambil mengirim
serangan yang lebih dahsyat dari pada tadi. Yo Wan menjadi gemas bukan main. Ia
lalu mengerahkan tenaganya, menyalurkan sinkang pada sepasang lengan lalu
sengaja dia menerima serangan itu dengan dorongan kedua lengan.
Sekarang
sepasang lengan bertemu telapak tangannya dan bagaikan diterbangkan angin
puyuh, tubuh pendeta itu segera terjengkang ke belakang dan roboh. Kiranya kali
ini dia menggunakan jurus rahasia Pek-in-ci-tiam (Awan Putih Keluarkan Kilat),
yaitu jurus yang paling ampuh dari empat puluh delapan jurus Liong-thouw-kun
yang dahulu dia pelajari dari mendiang Sin-eng-cu.
Pada waktu
dia masih kanak-kanak dahulu, dia sudah mewarisi jurus-jurus yang khusus
dipergunakan oleh Sin-eng-cu untuk menghadapi Bhewakala, juga dari pihak
Bhewakala dia mewarisi jurus-jurus sebaliknya. Oleh karena itu, dia sudah hafal
betul akan ilmu silat dari barat dan tahu pula akan kelemahan-kelemahannya.
Demikian
pula dia dapat segera mengetahui kelemahan Ilmu Pukulan Pat-san-jiu dari
Maharsi. Maka untuk menghadapinya, dia menggunakan Pek-in-ci-tiam yang
sekaligus sudah berhasil baik sekali karena Maharsi yang terbanting roboh itu
tidak dapat bangun lagi. Tenaga Yang-kang telah membalik ke dalam tubuh pendeta
itu sendiri, merusak isi dada dan memecahkan jantung sehingga nyawanya
melayang.
Yo Wan
menyesal sekali melihat Maharsi tewas. Tetapi hanya sebentar dia mengerutkan
kening. Pendeta itu sudah mencari kematian sendiri. Sudah beberapa kali dia
memberi kesempatan tadi. Dengan cepat dia lalu menghampiri Kun Hong dan
berlutut di depan Pendekar Buta dan isterinya.
"Suhu
dan Subo, maafkan teecu datang terlambat sehingga Ji-wi (kalian) mengalami
luka..."
Untuk
sejenak Kun Hong meraba kepala Yo Wan dengan terharu, kemudian dia berkata,
"Bangkitlah dan kau wakili Thai-san-ciangbunjin (ketua Thai-san-pai) yang
juga terluka parah untuk menghadapi Bhok Hwesio. Hati-hati, dia adalah tokoh
Siauw-lim-pai, lihai sekali. Jangan lawan dengan keras, gunakan Si-cap-it
Sin-po, hindarkan adu tenaga dan biarkan dia lelah karena usia tuanya."
Yo Wan kaget
bukan main. Kiranya orang tua gagah perkasa yang duduk bersila di sana dengan
muka pucat tanda luka dalam itu adalah Si Raja Pedang atau ketua Thai-san-pai
yang sangat terkenal! Dan jago tua yang luka itu adalah ayah Cui Sian! Mengapa
Raja Pedang bisa terluka? Dan kenapa Pendekar Buta, gurunya yang sakti itu juga
terluka? Juga subonya, dan agaknya Cui Sian juga, semua terluka?
Tiada waktu
untuk bicara tentang ini, karena dia mendengar hwesio itu bertanya kepada Raja
Pedang dengan nada mengejek sekali.
"Tan
Beng San, kau beserta kawan-kawanmu berhasil menghabiskan musuh-musuhmu. Bagus
sekali! Akan tetapi pinceng tetap tak sudi melawan orang luka. Sekali lagi
pinceng memberi kesempatan kepadamu. Kau berlutut dan mengangguk tiga kali
minta maaf dan pinceng akan memberi waktu satu bulan kepadamu untuk memulihkan
kesehatan dan tenaga sebelum pinceng datang mengambil nyawamu di Thai-san.
Kalau tidak, terpaksa pinceng akan membuat kau menjadi seorang bercacad seumur
hidup."
"Bhok
Hwesio, mengapa mesti banyak bicara lagi? Sekali lagi dengarlah, dalam keadaan
terluka begini aku tidak mampu melayani bertanding. Akan tetapi bukan berarti
aku kalah atau takut padamu. Mau bunuh boleh bunuh, tetapi jangan harap aku
sudi minta maaf kepadamu. Nah, aku tidak mau bicara lagi!"
Bhok Hwesio
melebarkan matanya dan keningnya berkerut. "Hemmm, manusia keras kepala,
kau mencari sengsara sendiri" Hwesio tua itu melangkah maju, cahaya
matanya membayangkan kemarahan.
Yo Wan
melompat cepat dan tubuhnya melayang ke depan Bhok Hwesio. "Losuhu, tidak
layak seorang hwesio berhati kejam, dan sungguh memalukan bagi seorang sakti
kalau menyerang lawan yang terluka parah."
Bhok Hwesio
berhenti melangkah, lalu tertawa mengejek. "Raja Pedang, apa kau hendak
mewakilkan bocah ingusan ini untuk melawanku? Kau tahu, dia bukan
lawanku!"
Yo Wan cukup
maklum bahwa tokoh-tokoh sakti semacam Raja Pedang dan Pendekar Buta, tak
mungkin suka mengharapkan bantuan orang lain untuk mewakili mereka dalam suatu
pertandingan. Bagi seorang pendekar besar, hal seperti itu merupakan pantangan
dan dipandang hina. Dia dapat menduga bahwa pertanyaan seperti yang telah
diajukan oleh Bhok Hwesio itu tentu akan disangkal oleh Raja Pedang.
Oleh karena
inilah dia sengaja cepat-cepat mendahului Raja Pedang dan menjawab, suaranya
lantang, "Hwesio tua, para Locianpwe seperti Raja Pedang dan Pendekar Buta
tidak memerlukan wakil dalam pertandingan. Kalau beliau-beliau itu tidak dalam
keadaan terluka parah, tentu sejak tadi sudah melayani kesombonganmu. Aku maju
bukan untuk mewakili mereka, melainkan untuk mencegah kau melakukan perbuatan
pengecut dan mengganggu mereka yang terluka."
"Omitohud...!"
Bhok Hwesio mengeluarkan pujian. "Dunia telah terbalik, anak kecil berani
menantang pinceng! Sungguh memalukan. Hehh, Raja Pedang, pinceng juga tidak
sudi melayani segala bocah, kecuali kalau kau menganggap dia adalah
wakilmu!" Memang tidak mengherankan kalau Bhok Hwesio merasa sungkan
melawan Yo Wan.
Bhok Hwesio
adalah seorang tokoh besar di dunia persilatan, dia menduduki tingkat teratas
di Siauw-lim-pai, dan seorang dengan kedudukan seperti dia tentu saja tidak
sudi melayani lawan yang tidak setingkat kedudukannya. Jika dia mau melayani
orang-orang muda seperti Yo Wan, apa lagi di depan tokoh-tokoh seperti Pendekar
Buta dan Raja Pedang, sama artinya dengan merendahkan diri dan menjadikan
dirinya sebagai bahan tertawaan belaka. Kecuali bila orang muda itu memang
diangkat oleh lawannya menjadi wakil, hal itu tentu saja lain lagi sifatnya.
Raja Pedang
maklum akan hal ini. Ia pun tidak begitu rendah untuk mewakilkan seorang muda
menghadapi tokoh seperti Bhok Hwesio, kecuali jika dia benar-benar yakin bahwa
orang muda itu berpihak kepadanya dan memiliki kepandaian yang cukup. Biar pun
Yo Wan adalah murid Pendekar Buta, akan tetapi dia murid Bhewakala pula, dan
dia tidak mengenal pemuda itu. Selagi dia ragu-ragu, terdengar Kun Hong
berkata,
"Locianpwe,
Yo Wan sama dengan saya sendiri, saya harap Locianpwe sudi mengijinkan dia
mewakili Locianpwe."
Raja Pedang
menarik nafas panjang, masih meragu.
"Ayah,
biarlah Yo-twako mewakili Ayah. Dia cukup berharga untuk menjadi wakil
Ayah," kata Cui Sian perlahan.
Kata-kata
puterinya ini membuat wajah Beng San berseri-seri. Akhirnya! Hatinya menjadi
terharu. Akhirnya gadisnya yang selalu menolak pinangan dan tidak mau
dijodohkan itu kini mendapatkan pilihan hati! Sebagai orang yang berpengalaman
matang, ucapan Cui Sian tadi saja cukup baginya untuk menjenguk isi hati
anaknya.
"Yo
Wan, ke sinilah sebentar," ujarnya.
Yo Wan cepat
menghampiri dan berlutut di depan Raja Pedang. "Maaf, Locianpwe, saya
tidak berani lancang mewakili Locianpwe, akan tetapi..."
Raja Pedang
mengangguk-angguk. "Aku sudah menyaksikan gerakan-gerakanmu tadi. Kau cukup
baik, akan tetapi tidak cukup untuk menghadapi Bhok Hwesio. Apakah kau tahu
bahwa dengan mewakili aku menghadapinya, keselamatan nyawamu bisa terancam
bahaya?"
"Locianpwe,
dalam membela kebenaran, berkorban nyawa merupakan hal yang mulia."
Raja Pedang
tersenyum gembira. Ucapan ini saja cukup membuktikan bagaimana mutu pemuda yang
menjadi pilihan hati Cui Sian, dan dia puas.
"Baiklah,
kau hadapi dia, akan tetapi tenang dan waspadalah, dia amat lihai dan kuat.
Seberapa dapat kau ulur waktu pertempuran, mengandalkan nafas dan keuletan.
Mudah-mudahan aku atau Kun Hong sudah dapat memulihkan tenaga selama kau
menghadapi dia."
"Saya
mengerti, Locianpwe."
"He,
Bhok Hwesio. Kuanggap bocah ini cukup berharga, bahkan terlalu berharga untuk
menghadapimu dan menjadi wakilku. Bhok Hwesio, aku menerima tantanganmu dan aku
mengajukan Yo Wan, kalau dia kalah olehmu, kau boleh melakukan apa saja
terhadap diriku dan aku akan menurut!"
Bhok Hwesio
tertawa masam. "Sialan memang, harus melawan seorang bocah! Akan tetapi
karena kau mengangkatnya sebagai wakil, apa boleh buat. Hee, bocah sombong,
mari!"
Yo Wan
memberi hormat kepada Raja Pedang dan bangkit sambil mengerling ke arah Cui
Sian yang memandangnya dengan air mata berlinang.
"Yo-twako...
kau hati-hatilah..."
Yo Wan
tersenyum dan mengangguk. Mulutnya tidak mengeluarkan suara, akan tetapi
pandang matanya jelas menghibur dan minta supaya gadis itu tidak khawatir.
Maklum akan kehebatan lawan, hingga Pendekar Buta dan Raja Pedang sendiri
memberi peringatan padanya, Yo Wan tak berani memandang rendah. Sambil
menghampiri Bhok Hwesio dia mengeluarkan cambuk Liong-kut-pian.
Cambuk ini
peninggalan Bhewakala. Biar pun disebut Cambuk Tulang Naga, tentu saja bukan
terbuat dari tulang naga, melainkan dari kulit binatang hutan yang hanya
terdapat di Pegunungan Himalaya. Cambuk ini lemas, tapi amat ulet dan berani
menghadapi senjata tajam yang bagaimana pun juga. Oleh karena sifatnya yang
lemas inilah maka bagi seorang ahli silat yang tinggi tingkatnya, senjata ini dapat
digunakan secara tepat sebab bisa menampung penyaluran tenaga sakti melalui
tangan yang memegangnya.
Cambuk
Liong-kut-pian dipegang oleh Yo Wan dengan tangan kirinya, sedangkan tangan
kanannya mengeluarkan pedangnya. Bukan pedang Pek-giok-kiam pemberian Hui Kauw
dahulu, tetapi pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Wangi) yang dibuat dari
semacam kayu cendana yang tumbuh di Himalaya. Dengan sepasang senjata di
tangannya ini, Yo Wan seakan-akan menjelma menjadi dua orang tokoh sakti, yaitu
Sin-eng-cu (Bayangan Garuda) di tangan kanan dan Bhewakala di tangan kiri!
Yo Wan
adalah seorang yang jujur dan polos, sederhana dan dia belum banyak memiliki
pengalaman bertempur, maka dia pun berkata, "Hwesio tua, harap kau suka
keluarkan senjatamu."
Kalau saja
dia tidak demikian jujur, tentu dia tidak akan mengeluarkan kata-kata ini,
tidak akan merasa sungkan berhadapan dengan lawan bertangan kosong, karena
lawannya ini bukanlah tokoh sembarangan. Kata-kata yang jujur dan berdasarkan
rasa sungkan melawan orang bertangan kosong ini diterima oleh Bhok Hwesio
sebagai penghinaan. la merasa dipandang rendah!
"Bocah
sombong, melawan cacing macam engkau saja, mana perlu aku menggunakan senjata?
Terimalah ini!"
Sepasang
lengan hwesio tua itu bergerak dan dari kanan kiri lantas menyambar angin
pukulan dahsyat mendahului ujung lengan baju yang lebar. Yo Wan terkejut sekali
ketika tiba-tiba diserang oleh angin pukulan dari dua jurusan, akan tetapi
melihat betapa kedua lengan kakek itu bergerak lambat, dia melihat kesempatan
baik sekali.
Diam-diam
dia heran sekali, mengapa kakek itu memandangnya terlalu ringan sehingga
melancarkan penyerangan begini bodoh, serangan yang tidak berbahaya, dan
sebaliknya malah membuka diri sendiri ini menjadi sasaran. Cepat dia
menggerakkan kedua tangannya. Cambuk di tangan kirinya melecut ke arah urat
nadi tangan kanan lawannya, sedangkan Pedang Kayu Wangi di tangan kanannya
memapaki lengan kiri lawan dengan tusukan ke arah jalan darah dekat siku.
Semacam tangkisan yang sekaligus merupakan serangan mematikan, sebab bila kedua
senjatanya itu mengenai sasaran, kedua lengan kakek itu sedikitnya akan lumpuh
untuk sementara!
Akan tetapi,
dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Yo Wan dan sekaligus dia melihat
kenyataan akan tepatnya peringatan Pendekar Buta dan Raja Pedang kepadanya
tadi, ketika tiba-tiba cambuk dan pedang kayunya terpental oleh hawa pukulan
sakti, kembali menghantam dirinya sendiri! Demikian kuatnya hawa pukulan sakti
yang menyambar dari kedua lengan kakek itu sehingga selain kedua senjatanya terpental
kembali, juga angin pukulan itu masih dengan dahsyatnya menghantam dirinya.
"Lihai...!!"
Yo Wan berseru keras.
Segera dia
melempar diri ke belakang sampai punggungnya hampir menyentuh tanah, kemudian
dia membalik dan cepat-cepat menggunakan langkah ajaib untuk keluar dari
pengurungan hawa pukulan yang dahsyat tadi. Dengan terhuyung-huyung dia
melangkah ke sana ke mari, akhirnya berhasillah dia keluar dari kurungan hawa
pukulan!
Hwesio tua
itu tersenyum mengejek, hidungnya mendengus seperti kerbau, kemudian lengannya
kembali bergerak-gerak mengirim pukulan. Gerakan kedua tangannya lambat-lambat
saja, jari tangannya terbuka dan dari telapak tangan itulah keluar hawa pukulan
yang dahsyat tadi, sedangkan ujung lengan bajunya berkibar-kibar merupakan sepasang
senjata kuat. Sepasang ujung lengan baju inilah yang tadi menangkis serta
membentur cambuk dan pedang, membuat kedua senjata itu terpental kembali. Dari
peristiwa ini saja sudah dapat dibuktikan bahwa tenaga sinkang kakek
Siauw-lim-pai ini luar biasa hebatnya.
Setelah
mengalami gebrakan pertama yang hampir saja mencelakainya, wajah Yo Wan
sebentar pucat sebentar merah. Dia merasa malu sekali. Tadinya dia mengira
kakek itu terlalu memandang rendah padanya, kiranya perkiraan itu malah
sebaliknya. Dialah yang tadi terlalu memandang rendah, menganggap gaya gerakan
kakek itu sembarangan dan ceroboh.
Sekarang dia
dapat melihat dengan jelas dan dapat menduga bahwa agaknya inilah Ilmu Silat
Lo-han-kun dari Siauw-lim-pai, yang dimainkan oleh seorang tokoh tingkat
tertinggi sehingga bukan merupakan ilmu pukulan biasa, melainkan lebih mirip
ilmu gaib karena biar pun digerakkan begitu lambat seperti gerakan kakek-kakek
lemah tenaga, namun di dalamnya mengandung hawa pukulan yang bukan main
kuatnya.
Sekaligus
terbukalah mata Yo Wan dan diam-diam dia harus mengakui kewaspadaan Pendekar
Buta dan Raja Pedang yang tadi memesan kepadanya agar dia tidak mengadu tenaga,
namun lebih baik menghadapi kakek tua renta yang sakti ini dengan permainan
kucing-kucingan, berusaha menghabiskan nafas kakek renta itu sambil menanti
pulihnya tenaga Raja Pedang atau Pendekar Buta.
Setelah kini
yakin bahwa kakek yang dihadapinya ini benar-benar luar biasa lihainya, dia
tidak berani berlaku ceroboh lagi. Begitu kakek ini menyerangnya dengan pukulan
lambat yang mendatangkan angin keras, dia cepat mengelak dengan langkah-langkah
ajaibnya. Akan tetapi Yo Wan tidak mau mengalah begitu saja, karena biar pun
dia maklum akan kelihaian lawan, dia merasa penasaran kalau tidak membalas.
Pedang kayunya
lalu menyambar-nyambar, mainkan Liong-thouw-kun yang empat puluh delapan jurus
banyaknya, sedangkan cambuk Liong-kut-pian di tangan kirinya melecut dan
melingkar-lingkar saat ia mainkan Ngo-sin Hoan-kun (Lima Lingkaran Sakti),
berubah menjadi segulung awan menghitam yang melingkar-lingkar dan
sambung-menyambung, sedangkan pedang kayunya kadang-kadang menyambar keluar
seperti kilat menyambar dari dalam awan hitam!
"Omitohud...
bocah ini berilmu iblis...!" Bhok Hwesio berseru memuji, akan tetapi
dengan kata-kata mengejek.
Diam-diam
dia merasa kagum bukan main dan sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu
memiliki ilmu yang demikian aneh dan dahsyatnya. Selain ini, juga dia merasa
amat penasaran karena tidak seperti biasanya, pukulan-pukulannya yang penuh
dengan hawa sinkang itu kali ini tak pernah mengenai sasaran….
Setelah
mainkan ilmu gabungan yang indah dan dahsyat itu selama hampir seratus jurus
tahulah Yo Wan bahwa menghadapi kakek ini benar-benar dia tidak berdaya.
Jurus-jurus simpanannya dia keluarkan dan beberapa kali ujung cambuk dan ujung
pedang kayunya berhasil menyentuh tubuh Bhok Hwesio.
Akan tetapi
semua itu sia-sia saja karena begitu menyentuh kulit kakek itu, senjatanya
lantas membalik ada pun telapak tangannya serasa panas dan sakit. Malah ada
kalanya, ketika senjatanya terbentur hawa pukulan kakek itu, senjatanya bahkan
membalik hampir menghantam tubuhnya sendiri...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment