Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 13
Yo Wan
maklum apa artinya ini. Ternyata dia jauh kalah kuat dalam adu kekuatan dan
menghadapi seorang yang sinkangnya jauh lebih kuat, tentu saja sukar baginya
untuk dapat merobohkan. Sebaliknya, andai kata dia tidak dapat mainkan
Si-cap-it Sin-po, yaitu Empat Puluh Satu Langkah Ajaib, sekali saja terkena
pukulan Bhok Hwesio, sukar untuk menolong keselamatan nyawanya!
Oleh karena
ini, penyerangan-penyerangannya lalu dia ubah sama sekali. Kini dia hanya
menyerang apabila mendapatkan kesempatan yang sangat baik dan sasarannya hanya
tempat-tempat yang tidak mungkin dilindungi oleh Iweekang, seperti mata dan
ubun-ubun kepala.
Bhok Hwesio
makin penasaran. Dia, seorang tokoh tinggi Siauw-lim-pai yang hanya bisa
dijajari tingkatnya oleh ketua Siauw lim-pai, kini menghadapi seorang pemuda
tak dapat mengalahkannya dalam seratus jurus lebih! Alangkah aneh serta
memalukan! Bukan itu saja, bahkan sekarang pemuda itu mengarahkan serangannya
ke mata dan ubun-ubun kepala, membuat dia terpaksa harus mengelak atau menangkisnya!
Oleh karena
rasa penasaran inilah dia segera mempercepat gerakannya. Makin lama dia
bersilat makin cepat untuk mengimbangi kecepatan Yo Wan dan untuk dapat
cepat-cepat merobohkan bocah itu. Namun Ilmu Langkah Si-cap-it Sin-po
benar-benar luar biasa sekali, karena tak pernah pukulan Bhok Hwesio dapat
mengenai sasaran. Hal ini sebetulnya tidak mengherankan. Ilmu langkah itu
didapat oleh Yo Wan dari Pendekar Buta dan pendekar ini mendapatkan dari Ilmu
Silat Kim-tiauw-kun. Padahal Kim-tiauw-kun yang diciptakan oleh Bu-beng-cu di
puncak Liong-thouw-san (Bu-beng-cu merupakan suheng dari Sin-eng-cu) dan
kemudian ditemukan Kun Hong, bersumber pada Ilmu Silat Im-yang Bu-tek Cin-keng
yang menjadi raja dari segala ilmu silat tinggi dan sudah menjadi pegangan Pendekar
Sakti Bu Pun Su ratusan tahun yang lalu! Tidaklah mengherankan kalau langkah
ajaib ini sekarang dapat membuat seorang tokoh besar Siauw-lim-pai menjadi
tidak berdaya.
Di lan pihak
Yo Wan adalah seorang pemuda yang cerdik. Setelah menjadi yakin bahwa terhadap
Bhok Hwesio dia tidak akan sanggup menggunakan ilmunya untuk mencapai
kemenangan, dia sepenuhnya menjalankan pesan Pendekar Buta dan Raja Pedang. Dia
mainkan langkah ajaib dengan cermat sekali dan setiap kali ada kesempatan, dia
segera mengancam mata atau ubun-ubun kepala lawan.
Selain ini,
dia sengaja berloncatan menjauhkan diri menggunakan ginkang-nya, sehingga
lawannya yang makin bernafsu itu mengejarnya lebih cepat. Ini memerlukan
pergerakan cepat, sehingga makin lama mereka bergerak makin cepat sampai lenyap
bentuk tubuh mereka berubah menjadi dua bayangan yang berkelebatan.
Betapa pun
saktinya Bhok Hwesio, dia hanyalah seorang manusia juga. Manusia yang mempunyai
darah daging, otot-otot dan tulang. Manusia yang tidak akan mampu, betapa pun sakti
dia, melawan kekuasaan dan kesaktian usia tua. Usia kakek ini sudah amat
tinggi, mendekati sembilan puluh tahun. Boleh jadi dia matang dalam
kepandaiannya, amat kuat dalam tenaga sinkang. Namun harus diakui bahwa usia
tua telah menggerogoti daya tahannya.
Tanpa dia
sadari, setelah terus mengejar-ngejar Yo Wan laksana orang mabuk mengejar
bayangan dirinya sendiri, setelah lewat tiga ratus jurus, nafasnya mulai
kempas-kempis. Mukanya penuh peluh serta pucat, sedangkan dari kepalanya yang
gundul itu mengepul uap putih tebal!
Dapat
dibayangkan bila seorang kakek berusia sembilan puluh tahun main kejar-kejaran
dengan gerakan secepat itu selama tiga jam! Ini masih ditambah oleh rasa amarah
dan penasaran yang tentu saja menambah sesak nafasnya. Saking marahnya Bhok
Hwesio, ketika untuk ke sekian kalinya, bagaikan ujung ekor ular mempermainkan
kucing cambuk Yo Wan menyambar ke arah sepasang matanya, Bhok Hwesio menggeram,
tidak mengelak akan tetapi menangkap cambuk ini dengan kedua tangannya! la
berhasil menangkap cambuk, lalu merenggut keras.
Yo Wan
terkejut, tapi dia mempertahankan cambuknya. Terjadi betot-membetot. Tentu saja
pengerahan tenaga menarik jauh bedanya dengan tenaga mendorong. Mendorong
merupakan tenaga yang dipaksakan, dan dalam hal ini Yo Wan tidak berani
menerima dorongan lawan karena kalah kuat. Akan tetapi dalam adu tenaga
menarik, tidak ada bahayanya kalau kalah, paling-paling harus melepaskan
cambuk. Karena itulah maka Yo Wan tidak mau menerima kalah begitu saja. Dia
memegang gagang cambuk erat-erat dan mengerahkan tenaganya untuk menahan.
Ada sedikit
keuntungan baginya. Dia memegang gagang cambuk yang tentu saja lebih ‘enak’
dipegang dari pada ujung cambuk yang kecil dan terasa menggigit kulit tangan.
Keuntungan inilah agaknya yang membuat Yo Wan dapat menebus kekalahannya dalam
hal tenaga sehingga tidak mudah bagi Bhok Hwesio untuk dapat merampas cambuk
itu cepat-cepat.
Cambuk
Liong-kut-pian peninggalan Bhewakala ini luar biasa kuatnya. Ditarik oleh dua
orang yang memiliki tenaga sakti itu, benda ini mulur panjang, kadang-kadang
mengkeret kembali seperti karet. Lama dan ramailah adu tenaga ini, seperti dua
orang kanak-kanak main adu tambang. Hanya penasaranlah yang membuat Bhok Hwesio
bersitegang tidak mau menyudahi betot-membetot yang lucu dan tidak masuk dalam
kamus persilatan ini!
Yo Wan
mengangkat muka memandang. Hwesio itu mukanya pucat sekali, seperti tidak
berdarah atau agaknya semua darah pada mukanya sudah terkumpul di kedua matanya
yang menjadi merah mengerikan. Keringat sebesar kacang kedelai memenuhi muka
dan leher, juga kepala, dadanya kembang-kempis secara cepat.
Melihat ini,
Yo Wan mengerahkan tenaganya serta mempertahankan cambuknya. Bukan karena dia
terlalu sayang akan cambuknya, namun dengan jalan ini dia dapat menguras dan
memeras habis tenaga lawan. Dalam hal ilmu silat dan tenaga dalam dia kalah,
namun dia harus mencari kemenangan dalam keuletan dan pernafasannya, mencari
kemenangan mengandalkan usianya yang jauh lebih muda. Dia sendiri juga mandi
keringat, akan tetapi agaknya tak sehebat kakek itu.
Bhok Hwesio
semakin penasaran, menahan nafas dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk
menarik. Tubuhnya seakan-akan membesar, otot-otot di lehernya mengejang dan
menonjol ke luar.
"Krekkkkk!"
Cambuk itu
putus di tengah-tengah! Yo Wan terbanting ke belakang, terus bergulingan
seperti bola, ada lima meter jauhnya. Tanpa disengaja, dia terguling ke dekat
Cui Sian dan agaknya akan menabrak gadis itu kalau saja Cui Sian tidak
mengulurkan tangan dan menahannya sehingga mereka seperti berpelukan!
Cepat-cepat Cui Sian menjauhkan diri dan mukanya menjadi merah sekali!
"Ahh...
ehhh... maaf, Sian-moi...," kata Yo Wan yang juga merah mukanya.
Akan tetapi
Cui Sian segera dapat mengatasi hatinya. "Waspadalah, Yo-twako, dia lihai
bukan main. Kau usap peluhmu itu..." Sambil berkata demikian, Cui Sian
menyerahkan sehelai sapu tangan sutera.
Yo Wan
menerimanya, dan ketika teringat akan lawannya, cepat dia melompat bangun dan
berdiri sambil mengusapi peluh di mukanya. Bau sedap dari sapu tangan itu
terasa menyegarkan semangatnya sehingga dia lupa akan cambuknya yang amat
disayangnya, cambuk yang kini sudah putus menjadi dua. la melihat kakek itu
juga berdiri tegak, sepasang matanya yang biasanya meram itu kini terbelalak,
merah menakutkan. Jelas sekali kakek itu tak dapat menahan nafasnya yang
terengah-engah.
"Hwesio
tua, kalau kau mau mengaso, mengasolah dulu. Nafasmu perlu diatur,
jangan-jangan putus nanti seperti cambukku..." Yo Wan sengaja mengejek,
karena dia khawatir kalau kakek itu mengaso dan mendapatkan kembali tenaga
serta nafasnya, tentu akan lebih berbahaya.
"Iblis
cilik, sekarang pinceng akan menghancurkan kepalamu!" Sambil berkata
demikian, Bhok Hwesio menerjang maju lagi.
Yo Wan
meloncat dan menghindar. Sekarang tangan kirinya telah memegang sebatang pedang
yang berkilauan putih sebagai pengganti cambuknya yang putus. Itulah pedang
Pek-giok-kiam pemberian Hui Kauw dahulu.
"Tidak
mudah, Hwesio, jika kepandaian yang kau bawa dari Siauw-lim-pai hanya seperti
ini..."
Terdengar
teriakan ngeri ketika Bhok Hwesio melompat maju seperti harimau menerkam.
Teriakan ini keluar dari mulut Cui Sian saking kaget dan gelisahnya. Terkaman
itu hebat bukan main. Tubuh Bhok Hwesio melayang bagaikan terbang di angkasa
dan tampaknya kedua kakinya ikut pula menyerang, persis seperti seekor harimau
yang menerjang.
Yo Wan
melompat lagi menghindar, akan tetapi tubuh Bhok Hwesio terus mengikutinya,
bagai seekor kelelawar besar mengancam dari atas. Melihat jari-jari tangan yang
gemetar dan mengeluarkan bunyi berkerotokan itu, wajah Yo Wan menjadi pucat.
Sekali kena dicengkeram, akan hancurlah dia. Jangankan kena dicengkeram, kena
sentuh jari-jari itu saja cukup untuk membuat orang roboh!
Melihat
betapa tubuh di udara itu laksana terbang dapat mengikutinya, Yo Wan menjadi
nekat. Sekuat tenaga ia lalu menggerakkan kedua pedangnya, pedang
Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Wangi) di tangan kanannya dan pedang Pek-giok-kiam
(Pedang Kumala Putih) di tangan kiri, menyerang dengan tusukan-tusukan maut ke
arah tenggorokan dan bawah pusar!
Namun kakek
yang melayang itu menggerakkan kedua tangannya, langsung menerima pedang-pedang
itu dengan cengkeramannya.
"Krakkk-krekkk!"
terdengar bunyi ketika pedang kayu Siang-bhok-kiam hancur berkeping-keping
sedangkan pedang Pek-giok-kiam patah-patah menjadi tiga potong!
Akan tetapi
terjangan ini membuat tubuh hwesio itu terpaksa turun kembali dan ternyata
tangan kanannya yang mencengkeram Pek-giok-kiam tadi mengeluarkan darah karena
terluka!
Bhok Hwesio
mengeluarkan suara gerengan keras, lalu mendadak berlari menerjang Yo Wan
dengan kepala di depan. Gerakan ini luar biasa sekali, aneh dan lucu, bagai
seekor kerbau gila mengamuk. Seekor kerbau tentu saja mengandalkan tanduknya
yang kuat dan runcing, akan tetapi hwesio tua itu kepalanya gundul licin, masak
hendak digunakan sebagai andalan serangan?
Karena Yo
Wan memang kurang pengalaman, dia melihat gerakan hwesio ini dengan hati geli.
Walau pun dia sudah kehilangan cambuknya, kehilangan Siang-bhok-kiam dan
Pek-giok-kiam, namun dia tidak menjadi gentar karena dengan mengandalkan
Si-cap-it Sin-po dan ilmu silat-ilmu silatnya yang tinggi, dia masih mampu
mempertahankan dirinya sampai hwesio tua ini kehabisan nafasnya.
"Yo
Wan, awaaasss...!!" Seruan ini hampir berbareng keluar dan mulut Raja
Pedang dan Pendekar Buta.
Kagetlah
hati Yo Wan. Tadinya dia menganggap gerakan Bhok Hwesio itu gerakan nekat yang
pada hakikatnya hanyalah gerakan bunuh diri karena dengan kepala menyeruduk
macam itu, alangkah mudah baginya untuk mengirim pukulan maut ke arah ubun-ubun
kepala hwesio itu. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya mendengar seruan
dua orang sakti itu.
Cepat dia
menggerakkan kaki mengatur langkah cepat karena tadinya tidak menganggap
serangan itu berbahaya. Dia hanya merasa tekanan hawa yang luar biasa panas
serta membawa getaran aneh, lantas tubuhnya terjengkang.
Kepala mau
pun tubuh hwesio itu sama sekali tidak menyentuhnya. Serangan kepala itu boleh
dibilang tidak mengenai dirinya karena tubuh Bhok Hwesio menyambar lewat saja,
namun hawa pukulannya demikian hebat sehingga Yo Wan terjengkang, terbanting
dan merasa betapa dadanya sesak!
Cepat dia
menekan perasaan ini dengan mengerahkan sinkang di tubuhnya, akan tetapi dia
tidak dapat mencegah tubuhnya terbanting dan bergulingan. Pada saat itu pula,
Bhok Hwesio sudah mengejar maju, dan secara bertubi-tubi mengirim pukulan
dengan kedua tangannya, pukulan jarak jauh yang tidak kalah ampuhnya oleh
pukulan toya baja yang beratnya ratusan kati!
Raja Pedang
memandang cemas. Demikian pula Pendekar Buta yang mengepal tangan, hatinya
tegang, kepalanya agak miring untuk dapat mengikuti semua gerakan itu dengan
baik melalui pendengarannya. Yo Wan melihat bahaya maut datang. Cepat dia
kembali bergulingan sehingga pukulan-pukulan jarak jauh itu hanya mengenai
tanah, membuat debu beterbangan dan batu-batu terpukul hancur.
Dengan gemas
Bhok Hwesio menyambar pedang Pek-giok-kiam yang tadi sudah patah dan
menggeletak di atas tanah, dilontarkannya pedang buntung itu ke arah dada Yo
Wan yang masih bergulingan di atas tanah.
Yo Wan
mendengar bersiutnya angin. Cepat-cepat dia menekankan dua tangan di atas
tanah, tubuhnya melejit ke atas dan…
"Syyyuuuuttt!"
pedang buntung itu lewat di samping tubuhnya, merobek baju kemudian menancap
sampai amblas di dalam tanah!
Yo Wan sudah
berhasil melompat bangun, agak terhuyung-huyung dia karena pengaruh angin
pukulan sakti tadi masih membuat dadanya sesak. Keadaannya berbahaya sekali
karena setelah sekarang bertangan kosong dan terluka di sebelah dalam, biar pun
tidak parah akan tetapi cukup akan mengurangi kelincahannya, agaknya dia akan
roboh oleh kakek hwesio yang luar biasa tangguhnya itu.
Ada pun Bhok
Hwesio sudah kembali menggereng dan kepalanya menunduk, tubuhnya merendah, siap
menerjang seperti tadi, terjangan dengan kepala laksana seekor kerbau mengamuk.
"Omitohud,
Bhok-sute, banyak jalan utama, mengapa memilih jalan sesat? Selagi masih ada
kesempatan, mengapa tidak mencuci noda lama dan kembali ke jalan benar?"
Ucapan yang
dikeluarkan dengan suara halus dan tenang penuh kasih sayang ini amat
mengagetkan semua orang, terutama sekali Bhok Hwesio. Dia cepat mengangkat muka
yang tadi ditundukkan itu, memandang dan alis matanya yang sudah putih itu
bergerak-gerak, keningnya berkerut-kerut. Kiranya di depannya telah berdiri
seorang hwesio tua yang tinggi kurus, usianya sudah sangat tua, kepalanya
gundul mengkilap, alis, jenggot dan kumisnya yang jarang sudah putih semua.
Tubuhnya dibalut jubah kuning bersih dan tangannya memegang sebatang tongkat
hwesio.
Melihat
hwesio tua ini, Raja Pedang dan Hui Kauw terkejut sekali. Juga Pendekar Buta
miringkan kepalanya. Hanya Cui Sian dan Lee Si yang tak mengenal siapa adanya
kakek itu, juga Yo Wan tidak mengenalnya. Tentu saja Raja Pedang dan Hui Kauw
terkejut karena mengenal kakek itu sebagai Thian Seng Losu, ketua
Siauw-lim-pai. Kalau kakek ini datang dan membantu Bhok Hwesio yang terhitung
sutenya sendiri, maka celakalah mereka semua. Baru menghadapi Bhok Hwesio
seorang saja sudah repot, apa lagi ditambah suhengnya yang tentu saja sebagai
ketua Siauw-lim-pai memiliki ilmu yang hebat. Mana Yo Wan akan sanggup menahan?
"Suheng,
harap jangan ikut-ikutan, ini urusanku sendiri!" Bhok Hwesio mendengus
marah ketika melihat ketua Siauw-lim-pai itu.
"Bhok-sute,
segera insyaf dan sadarlah. Bukan saatnya bagi orang-orang yang mencari
penerangan seperti kita ini melibatkan diri pada karma yang tiada berkesudahan.
Kenapa sudah baik-baik kau bertapa, diam-diam kau pergi, Sute? Kalau kau masih
ingin terikat karma, bukan begitu caranya. Lebih baik kau melakukan bakti
terhadap negara. Pinceng mendengar bahwa sekarang kaisar kembali memimpin
sendiri pasukan ke utara, dan kabarnya di luar tembok besar, orang-orang Mongol
mengganas dan mempunyai banyak orang-orang sakti dari barat. Kalau memang
hatimu belum puas dan ingin terikat pada dunia, kenapa kau tidak menyusul ke
utara dan membantu kaisar?"
"Suheng,
sekali lagi, jangan ikut-ikutan. Raja Pedang adalah musuh besarku, dia harus
menebus!"
"Omitohud!
Pinceng melihat Bu-tek Kiam-ong ketua Thai-san-pai yang terhormat sudah terluka
parah dan tidak melawanmu. Mengapa kau sekarang bermain-main dengan anak
muda?"
"Bocah
ini mewakili Raja Pedang, terpaksa aku harus membunuhnya, Suheng, kemudian aku
akan membikin musuh besarku ini menjadi tapa daksa, baru aku akan ikut dengan
Suheng kembali ke kelenteng dan bertapa mencari jalan terang."
"Ahh...
ahhh... menumpuk dosa dulu baru bertobat? Mengganas dalam kegelapan untuk
mencari jalan terang. Mana bisa, Sute. Kau tersesat jauh sekali. Marilah kau
ikut dengan pinceng secara damai..."
"Nanti
sesudah kurobohkan bocah ini!" Setelah berkata demikian, kembali Bhok
Hwesio merendahkan tubuhnya, menundukkan muka dan siap untuk menerjang Yo Wan
dengan ilmunya yang dahsyat.
"Jangan,
Sute..." Tiba-tiba tubuh kakek tua itu melayang bagaikan sehelai daun
kering. Dia tiba di depan Yo Wan, menghadang di antara pemuda itu dan Bhok
Hwesio. "San-jin Pai-hud (Kakek Gunung Menyembah Buddha) bukanlah ilmu
untuk membunuh manusia!"
"Suheng,
minggir!" bentak Bhok Hwesio.
"Jangan,
Sute. Pinceng tidak membolehkan kau melakukan pembunuhan, sayang akan
pengorbananmu yang selama puluhan tahun menderita dalam hidup. Apakah kau ingin
mengulanginya lagi dalam keadaan yang lebih sengsara? Insyaflah."
"Suheng,
sekali lagi. Minggirlah!" Bhok Hwesio membentak marah sekali.
"Tidak,
Sute..."
"Kalau
begitu terpaksa aku akan membunuhmu lebih dahulu!"
"Omitohud,
semoga kau diampuni..."
Bhok Hwesio
mengeluarkan suara menggereng keras dan tubuhnya segera menerjang maju.
Kepalanya mengeluarkan uap kekuningan dan bagaikan sebuah pelor baja kepala
gundul itu menubruk ke arah perut Thian Seng Losu yang kurus. Ketua
Siauw-lim-pai ini hanya berdiri diam, tidak mengelak, juga tidak menangkis.
"Desssss!!!"
Kepala
gundul itu bertemu dengan perut. Tubuh Thian Seng Losu terpental kemudian tak
bergerak lagi! Sedangkan Bhok Hwesio bangkit berdiri, tubuhnya
bergoyang-goyang, lalu maju terhuyung-huyung.
Yo Wan
melompat marah. "Hwesio jahat! Iblis kau, telah membunuh suheng
sendiri!" Yo Wan hendak menerjang Bhok Hwesio dengan penuh amarah, akan
tetapi terdengar Kun Hong berseru.
"Yo
Wan, mundur...!"
"Yo
Wan, tak perlu lagi, pertempuran sudah habis...," kata Raja Pedang pula.
Yo Wan
terkejut dan alangkah herannya ketika dia melihat tubuh Bhok Hwesio menggigil
keras, lalu roboh miring. Ketika dia mendekat, ternyata hwesio tinggi besar ini
telah tewas, kepalanya retak-retak! Dan pada saat dia menengok, matanya
terbelalak memandang Thian Seng Losu sudah bangkit perlahan, wajahnya pucat dan
matanya sayu memandang ke arah Bhok Hwesio. Kemudian dia menghampiri jenazah
sute-nya, perlahan-lahan dia mengangkat jenazah itu, dipanggulnya, dan sambil
menarik nafas panjang dia menoleh ke arah Yo Wan.
"Orang
muda, kepandaianmu hebat. Tapi apa gunanya memiliki kepandaian hebat kalau
hanya untuk saling bunuh dengan saudara dan bangsa sendiri? Di pantai timur
bajak laut dan penjahat merajalela, di utara orang-orang liar mengganas, di
dalam negeri sendiri para pembesar menyalah gunakan wewenang, para menteri
durjana berlomba mencari muka sambil menggerogoti kekayaan negara. Sungguh
kasihan kaisar yang bijaksana, pendiri kota raja baru, sampai di hari tuanya
bersusah payah menghadapi musuh demi keamanan negara. Apa bila orang-orang muda
yang berkepandaian seperti kau ini hanya berkeliaran di gunung-gunung, saling
serang dan saling bunuh dengan bangsa sendiri, bukankah hal itu sia-sia dan
sangat mengecewakan?" Kembali kakek itu menarik nafas panjang dan
melangkah hendak pergi dari tempat itu.
"Thian
Seng Losuhu, harap maafkan bahwa saya tidak dapat menyambut kedatangan Losuhu.
Menyesal sekali urusan pribadi antara kami dan Bhok Hwesio membuat Losuhu
terpaksa bertindak dan mengakibatkan tewasnya sute dari Losuhu," kata Raja
Pedang dengan suara menyesal dan mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil
duduk bersila.
Kakek itu
menengok kepadanya, memandang sejenak, lalu memutar pandang matanya ke arah
mayat bertumpuk-tumpuk di tempat itu. Kembali dia menarik nafas panjang lalu
berkata, "Bunuh-membunuh, dendam-mendendam, apakah hanya untuk ini orang
hidup di dunia mempelajari bermacam-macam kepandaian? Bu-tek Kiam-ong, sayang
kau yang memiliki kepandaian tinggi memihak kepada sifat merusak, alangkah
baiknya kalau kau memihak kepada sifat membangun."
Setelah
berkata demikian, kakek itu melanjutkan langkahnya, dibantu tongkat, dan mayat
Bhok Hwesio tersampir di pundaknya. Akan tetapi baru beberapa langkah dia
berjalan, terdengar suara orang memanggilnya.
"Losuhu!"
Thian Seng
Losu menengok dan memandang kepada Kun Hong yang memanggilnya tadi. Pendekar
Buta ini melanjutkan kata-katanya. "Losuhu, perbuatan yang sifatnya
merusak amatlah diperlukan di dunia ini, bahkan amat dipentingkan karena tanpa
adanya sifat merusak, maka sifat membangun juga tidak akan sempurna. Merusak
bukanlah selalu jahat, asalkan orang pintar memilih, apa yang harus dirusak,
apa yang harus dibasmi, kemudian apa yang harus dibangun serta dipelihara.
Petani yang bijaksana tak akan ragu-ragu mencabuti dan membasmi semua rumput
liar yang akan mengganggu kesuburan padi. Seorang gagah yang bijaksana juga tidak
akan ragu-ragu untuk membasmi para penjahat yang mengganggu ketenteraman hidup
rakyat. Semua baik-baik saja dan sudah tepat kalau masing-masing mengetahui
kewajibannya, lalu melaksanakannya tanpa pamrih dan kehendak demi keuntungan
pribadi. Mengenai membunuh dan dibunuh... ahhh, Losuhu yang mulia dan waspada
tentu lebih maklum bahwa hal itu sudah ada yang mengaturnya dan kita semua
hanyalah alat belaka..."
Wajah kakek
tua yang tadinya muram itu kini berseri-seri, bahkan mulutnya yang ompong
membentuk senyum lebar. "Omitohud... semua ucapan peringatan sama nilainya
dengan air jernih dingin bagi orang yang kehausan! Bukankah Sicu adalah
pendekar Liong-thouw-san yang terkenal dijuluki Pendekar Buta? Hebat... kau
gagah sekali, Sicu, gagah lahir batin! Betul kata-katamu, kita semua hanyalah
alat yang tidak berkuasa menentukan sesuatu, tetapi... sama-sama alat, bukankah
akan lebih menyenangkan menjadi alat yang baik dan berguna? Dan kita berhak
untuk berusaha ke arah pilihan yang baik, Sicu. Ha-ha-ha, sungguh pertemuan
yang amat menyenangkan. Pinceng akan merasa bahagia sekali kalau Cu-wi
(Tuan-tuan sekalian) sewaktu-waktu sudi mengunjungi Siauw-lim-sie untuk
melanjutkan obrolan kita ini. Nah, selamat tinggal!"
Bagaikan
segulungan awan, kakek itu bergerak dan seakan-akan kedua kakinya tidak
menginjak bumi. Begitu hebat ginkang dan ilmu lari cepatnya. Biar Raja Pedang
sendiri sampai menjadi kagum dan menarik nafas panjang. Tidak kelirulah apabila
orang-orang kang-ouw menganggap bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya
orang-orang sakti yang menjadi murid-murid Buddha.
Sunyi di
tempat itu setelah ketua Siauw-lim-pai pergi. Masing-masing merenung dan baru
terasa betapa hebat akibat dari pada pertempuran itu. Raja Pedang masih duduk
bersila, berulang kali menarik nafas panjang. Pendekar Buta juga duduk bersila,
berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan kesehatannya secepat mungkin. Hui Kauw
dan Cui Sian saling pandang dengan sinar mata terharu karena mereka telah
menjadi korban fitnah sehingga hampir saja saling bunuh.
Yo Wan masih
berdiri seperti patung, merasakan betapa hebatnya kakek Siauw-lim yang tadi
menjadi lawannya. Hanya Lee Si yang kini terisak kembali.
Isak tangis
ini menyadarkan mereka. Raja Pedang Tan Beng San berkata kepada Lee Si,
"Lee Si, hentikan tangismu. Ayahmu tewas sebagai seorang laki-laki gagah,
tidak perlu disedihkan. Lebih baik sekarang kita urus jenazahnya."
Kun Hong
yang juga sudah sadar dari keadaan termenung dan merasa perlu segera bertindak,
segera berkata kepada Yo Wan, "Wan-ji (anak Wan), hanya kau yang tidak
terluka. Jangan takut lelah, kau galilah lubang untuk semua mayat-mayat ini dan
kubur mereka baik-baik."
Yo Wan
menyanggupi. Pemuda ini segera menggunakan patahan pedang Pek-giok-kiam untuk
menggali lubang yang besar. Melihat pemuda ini mengerahkan tenaga bekerja,
tanpa diminta lagi Lee Si bangkit dan membantunya, juga Cui Sian dan Hui Kauw,
biar pun terluka, segera membantu sedapatnya.
Pertama-tama
mereka mengubur jenazahnya Tan Kong Bu dengan sikap hormat akan tetapi
sederhana tanpa upacara, hanya diiringi tangis Lee Si yang sampai tiga kali
jatuh pingsan saking sedihnya, dihibur oleh Cui Sian dan Hui Kauw yang juga
ikut menangis. Kemudian mereka menggali lubang besar untuk mengubur semua
jenazah itu sekaligus, jenazah Ang-hwa Nio-nio, Maharsi, Bo Wi Sianjin, dan
anak buah Ang-hwa Nio-nio.
Setelah
lebih setengah hari mereka bekerja, selesailah penguburan itu. Pada waktu itu,
Kun Hong yang mengerti akan ilmu pengobatan sudah berhasil menyembuhkan lukanya
sendiri, bahkan dia membantu penyembuhan luka yang diderita Raja Pedang. la
bersila di belakang Raja Pedang dan menempelkan tangan kiri di punggung ketua
Thai-san-pai itu sambil mengurut jalan darah pada pundak dengan jari-jari
tangan kanannya.
"Cukuplah,
Kun Hong. Sekarang tidak berbahaya lagi." Akhirnya Raja Pedang berkata dan
mereka berdua bangkit berdiri.
Tiba-tiba
Lee Si berlari menghampiri Raja Pedang dan berlutut di depan kakinya sambil
menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah,
Lee Si." Tan Beng San mengangkat bangun cucunya. "Kehendak Thian
tidak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Aku hanya bingung memikirkan
bagaimana cara kita harus menyampaikan berita ini kepada ibumu..."
Mendengar
ini, Lee Si makin keras tangisnya.
"Betapa
pun juga, pembunuh ayahmu telah kita ketahui, dan dia sudah tewas pula."
Akan tetapi
Lee Si masih menangis dan Raja Pedang berkali-kali menghela nafas karena dia
dapat menduga bahwa kali ini Lee Si menangis karena mengingat keadaan dirinya
sendiri. Betapa pun juga, gadis ini telah mengalami hinaan dan fitnah yang
merusakkan namanya. Maka dia membiarkan cucunya menangis.
Ada pun Hui
Kauw yang mendekati Cui Sian, dengan wajah pucat bertanya, "Sian-moi, kau
tadi bilang tentang Swan Bu... bagaimanakah dia? Siapa yang sudah membuntungi
lengannya?"
Jelas nyonya
ini mengeraskan hati dan menggigit bibir untuk menahan tangisnya. Cemas dan
ngeri hatinya membayangkan puteranya itu menjadi buntung lengannya.
Cui Sian
memeluk Hui Kauw. "Maafkan aku, Cici. Kau... kau sudah mengalami tekanan
batin berkali-kali, difitnah dan dituduh, lalu sekarang puteramu menjadi korban
lagi. Akan tetapi, hal-hal yang sudah terjadi tak perlu melemahkan hati dan
semangat kita, bukan? Swan Bu telah dibuntungi lengannya oleh gadis liar yang
bernama Siu Bi..."
"Ahhh...!"
Hui Kauw menahan seruannya.
Pendekar
Buta yang juga mendengarkan penuturan ini, mengerutkan kening. Diam-diam dia
merasa menyesal sekali bahwa dulu dia telah menanam bibit permusuhan yang tiada
berkesudahan. Terbayang dia akan musuh lamanya, The Sun, yang agaknya sekarang
menimbulkan bencana hebat, bukan langsung olehnya sendiri, tetapi oleh
keturunannya.
"Aku
sudah menangkapnya, menghajarnya, bahkan Lee Si hampir membunuhnya. Akan
tetapi... Swan Bu sendiri yang dibuntungi lengannya oleh iblis betina itu
mencegah, dan malah minta supaya Siu Bi dibebaskan."
Berdebar
jantung Hui Kauw. Sungguh aneh! Adakah suatu rahasia di balik itu, ataukah Swan
Bu menjadi seorang pemuda yang berwatak aneh dan kadang kala penuh welas asih
seperti watak ayahnya. Orang telah membuntungi lengannya, dan orang itu hendak
memusuhi ayah bundanya, akan tetapi dia malah membebaskannya!
Teringat dia
akan wajah Siu Bi. Gadis yang cantik jelita tetapi berwatak iblis, hampir saja
berhasil membunuh dia serta suaminya. Mendadak dia merasa khawatir.
Jangan-jangan kecantikan gadis itu telah melemahkan hati puteranya.
"Di
mana dia sekarang, Sian-moi?"
"Aku
tidak tahu, Cici. Ketika dia dan aku menemukan jenazah Kong Bu koko aku lalu
meninggalkan dia di sini. Agaknya dia yang menguburkan jenazah Kong Bu koko,
yang kemudian, tentu saja dibongkar kembali oleh penjahat-penjahat itu untuk
dirusak dalam usaha mereka mengadu domba antara kita. Ada pun Swan Bu sendiri,
entah ke mana dia pergi."
Tak dapat
ditahan lagi Hui Kauw menangis karena dia membayangkan puteranya dalam keadaan
buntung lengannya itu masih bersusah payah untuk mengubur jenazah Kong Bu!
Pendekar Buta menghampiri isterinya dan menghiburnya.
"Tahan
air matamu. Swan Bu tidak apa-apa. Dia tentu akan pulang ke Liong-thouw-san.
Sedikit banyak dia mengerti mengenai ilmu pengobatan, luka pada lengannya pasti
akan sembuh."
Amarah Hui
Kauw bangkit mendengar sikap suaminya yang begitu dingin, seakan-akan soal
buntungnya lengan Swan Bu ‘bukan apa-apa’ bagi suaminya. la ingin membentak,
menyatakan kemarahannya dan menyatakan kehendaknya untuk mencari Siu Bi untuk
dibuntungi kedua lengan berikut kakinya!
Akan tetapi,
begitu dia mengangkat muka dan melihat sepasang mata suaminya, hatinya menjadi
tertusuk dan kekerasan amarahnya mencair seketika. la tadi sampai lupa saking
marahnya, lupa bahwa suaminya sendiri adalah seorang yang cacad, seorang yang
buta kedua matanya, namun tetap menjadi pendekar yang tak terkalahkan, menjadi
Pendekar Buta yang terkenal. Apakah artinya buntung lengan kirinya apa bila
dibandingkan dengan buta kedua matanya? Masih ringan, hanya cacad yang kecil
tak berarti. Itulah sebabnya Pendekar Buta tadi mengatakan ‘tidak apa-apa dan
akan sembuh’.
"Tetapi...
tapi... dia terlunta-lunta melakukan perjalanan dalam keadaan terluka, tidak
ada yang merawatnya..."
Yo Wan yang
mendengar percakapan ini segera menghampiri mereka, dan dia berkata, "Suhu
dan Subo, harap tenangkan hati. Biarlah teecu yang akan pergi mencari Swan Bu
dan menemaninya pulang ke Liong-thouw-san."
Girang hati
Pendekar Buta mendengar ini. Memang tidak ada orang yang lebih dapat dia
percaya untuk ini kecuali Yo Wan. la melangkah maju dan tangan kanannya
merangkul pundak pemuda itu.
"Yo
Wan, kau anak baik. Kau tahu betapa besar rasa syukur di hati kami terhadapmu.
Wan-ji, kau carilah Swan Bu dan ajak dia pulang bersama." Suara Kun Hong
terdengar menggetar penuh keharuan sehingga tanpa terasa lagi dua titik air
mata membasahi bulu mata Yo Wan. Cepat dia mengusapnya, memberi hormat kepada
suhu dan subo-nya.
"Teecu
berangkat sekarang juga," katanya.
Kemudian dia
memberi hormat kepada Raja Pedang yang memandangnya dengan sinar mata kagum.
Sungguh di luar sangkaannya sama sekali bahwa murid tunggal Pendekar Buta ternyata
begini hebat, kuat menghadapi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio yang
kepandaiannya sangat luar biasa sehingga dia sendiri pun belum tentu akan dapat
mengalahkannya. Diam-diam dia tertarik dan kagum, dan makin gembiralah di dalam
hati kakek perkasa ini ketika Yo Wan menjura kepada Cui Sian dan berkata halus,
"Adik Cui Sian, selamat berpisah, semoga kita dapat saling bertemu
kembali."
Wajah gadis
itu menjadi merah. Kerling matanya terang membayangkan hati yang gugup dan
jengah saat ia balas menghormat. "Yo-twako, semoga kau lekas dapat
menemukan Swan Bu."
Yo Wan
kemudian berjalan cepat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata yang
mengandung bermacam perasaan.
"Kun
Hong, muridmu itu... hemmm, ajaklah dia ke Thai-san sekali waktu. Aku perlu sekali
bicara denganmu tentang dia." Ucapan Raja Pedang Tan Beng San ini
terdengar jelas dan artinya pun mudah ditangkap sehingga Cui Sian makin merah
mukanya. Cepat-cepat gadis ini menundukkan mukanya untuk menyembunyikan debar
jantungnya.
Kwa Kun Hong
mengangguk-angguk. Dia pun tentu saja mengerti bahwa pendekar tua itu bermaksud
menjajaki kemungkinan terikatnya jodoh antara Cui Sian dengan Yo Wan. Akan
tetapi sebagai seorang yang berperasaan halus, dia tidak berkata apa-apa supaya
jangan membuat Cui Sian menjadi malu.
"Kongkong
(Kakek), saya tak berani pulang sendiri, tak berani menyampaikan kematian ayah
kepada ibu. Harap Kongkong suka memperkenankan bibi Cui Sian menemani saya ke
Min-san," kata Lee Si.
"Tidak
hanya Cui Sian yang menemanimu, aku sendiri akan ke sana untuk menghibur ibumu.
Malah kalau kalian tidak keberatan, Kun Hong dan isterimu, lebih baik kita
semua pergi ke Min-san. Selain tempat itu paling dekat dari sini sehingga kita
dapat beristirahat dan memulihkan kesehatan di sana, juga dengan hadirnya
kalian berdua, kurasa akan mengurangi kedukaan ibunya Lee Si."
"Bukan
itu saja, kuharap Suheng dan Cici ikut ke Min-san untuk membicarakan hal yang
amat penting," tiba-tiba Cui Sian berkata.
"Hal
penting apakah?" tanya Pendekar Buta dan Raja Pedang hampir berbareng.
"Aku
sudah ceritakan hal itu kepada cici Hui Kauw yang telah menyetujui pula.
Marilah kita berangkat, nanti di dalam perjalanan aku akan ceritakan hal itu
kepada Ayah, biar cici Hui Kauw menceritakannya kepada Kwa-suheng," jawab
Cui Sian dan kali ini Lee Si yang menundukkan mukanya karena gadis ini sudah
dapat menduga apa yang akan dikemukakan oleh Cui Sian itu.
Diam-diam ia
amat berterima kasih kepada Cui Sian, karena ia pun tadi, biar pun kurang
jelas, bisa mendengar percakapan antara Cui Sian dan Hui Kauw. Dan ia pun
maklum sedalam-dalamnya bahwa satu-satunya jalan untuk mencuci bersih namanya,
dan untuk menghapus kesalah pahaman antara mereka, untuk mencuci habis kejadian
yang hampir merusak hubungan di antara mereka, hanya satu itulah yaitu ikatan
jodoh antara dia dan Swan Bu! Dan ia sudah setuju seratus persen di dalam
hatinya yang telah tercuri oleh Swan Bu yang gagah dan tampan, biar pun ada
satu hal yang merupakan ganjalan dan merupakan duri dalam daging, yaitu Siu Bi!
Sesungguhnya
tidaklah terlalu sukar mencari keterangan tentang Swan Bu. Tidak banyak
terdapat seorang pemuda tampan dengan tangan kiri buntung. Namun karena tidak
tahu ke jurusan mana pemuda itu pergi, Yo Wan harus menjelajahi semua dusun di
sekitar tempat itu. Sesudah berkeliling sampai sehari lamanya, di sebuah dusun
kecil dia baru mendengar keterangan tentang Swan Bu. Di dusun ini orang melihat
pemuda tampan berlengan kiri buntung yang berjalan menuju ke utara.
Yo Wan
segera mengejar ke utara dan terpaksa dia bermalam di sebuah dusun karena
terhalang malam. Pada keesokan harinya, dia melanjutkan pengejarannya sambil
terus bertanya-tanya. Keterangan yang dia peroleh kemudian sungguh-sungguh
membuat dia mengerutkan alisnya. Orang melihat Swan Bu melakukan perjalanan
bersama seorang wanita cantik jelita yang merawat luka pemuda itu. Dari
keterangan yang didapat, Yo Wan dapat menduga bahwa gadis itu adalah Siu Bi!
Swan Bu agaknya bertemu dengan Siu Bi kemudian melakukan perjalanan bersama!
Hatinya amat
gelisah. Tak salah dugaannya, Swan Bu saling mencinta dengan gadis itu, gadis
yang telah membuntungi lengannya. Dia sudah menduga akan perasaan Swan Bu ini
ketika dahulu Swan Bu minta agar Siu Bi yang membuntungi lengannya dibebaskan.
Akan tetapi
tadinya dia tidak tahu bahwa Siu Bi pun ternyata membalas cinta kasih itu. Baru
sekarang, mendengar gadis itu mengawani Swan Bu dan merawat lukanya dalam
perjalanan yang mereka lakukan berdua, dia dapat menduga akan hal itu. Akan
tetapi, mengapa Siu Bi membuntungi lengan Swan Bu?
Yo Wan
benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi dia cukup mengenal watak Siu Bi yang
aneh dan liar dan tentu saja gadis seperti itu dapat melakukan hal yang
aneh-aneh dan tak masuk akal, seperti misalnya membuntungi lengan orang yang
dicintanya. Yang membuat Yo Wan mengerutkan keningnya adalah karena dia merasa
tidak senang bila benar-benar mereka berdua saling mencinta. Menurut
pendapatnya, Swan Bu harus berjodoh dengan Lee Si. Gadis yang malang itu selain
kehilangan ayahnya, juga sudah difitnah dan dicemarkan nama baiknya. Swan Bu
harus mengambil Lee Si sebagai isteri, karena jalan inilah satu-satunya untuk
mencuci noda pada nama baiknya. Kalau Swan Bu berjodoh dengan Siu Bi, hal ini
akan menimbulkan banyak akibat yang tidak baik dan tentu saja orang tua pemuda
itu akan menentangnya. Di dunia ini memang terjadi hal aneh-aneh. Cinta memang
aneh, seperti anehnya sikap Cui Sian tadi!
Terang bahwa
hatinya sudah bertekuk lutut dan mencinta puteri Raja Pedang itu. Akan tetapi
tentu saja dia tidak berani nekad. la mengenal diri sendiri, seorang yatim
piatu yang bodoh dan miskin, dan dia cukup mengenal pula siapa Cui Sian, Puteri
tunggal Raja Pedang, ketua Thai-san-pai!
Betapa pun
juga, dia tak dapat menahan gelora di hatinya dan tak dapat menghapuskan
harapan hampa di hatinya bahwa gadis itu akan membalas cintanya, harapan bahwa
kelak gadis itu akan menjadi jodohnya. Betapa pun gila harapan-harapan itu!
Akan tetapi sikap Cui Sian tadi ahhh, siapa tahu, cinta memang aneh. Ataukah
orang-orang yang terjerat cinta lalu menjadi sinting dan melakukan hal-hal
aneh?
Di dalam
perjalanannya mencari Swan Bu, Yo Wan mendengar banyak hal yang selama ini tak
pernah menjadi perhatiannya. Hal-hal mengenai keadaan. Agaknya ucapan ketua
Siauw-lim-pai telah mengukir kesan mendalam dalam hatinya, membuat dia sadar
bahwa selama ini hidupnya hampa, tidak ada isinya, karena dia sudah lalai akan
kewajibannya sebagai seorang anak bangsa. Kesan inilah yang membuat dia menaruh
perhatian akan berita yang didengarnya di sepanjang jalan.
Sejak Kaisar
Yung Lo, pendiri kota raja utara (Peking), memegang tampuk pemerintahan,
keadaan di dalam negeri boleh dikata menjadi tenteram. Kaisar yang semenjak
mudanya menjadi panglima perang ini memerintah dengan tangan besi. Sayangnya
bahwa pada waktu itu, kerajaannya masih mengalami banyak gangguan dari luar,
terutama sekali dari bangsa Mongol dan suku bangsa lain di utara, yang berusaha
keras menebus kekalahan bangsanya setengah abad yang lalu. Selain ini, para
bajak laut di pantai timur yang terdiri dari bangsa Jepang merupakan gangguan
pula. Akan tetapi tentu saja gangguan para bajak laut ini tidaklah sebesar
gangguan dari utara. Oleh karena inilah Kaisar Yung Lo mencurahkan perhatiannya
ke arah utara.
Tembok besar
yang melintang di utara itu dia betulkan dengan mengerahkan ratusan ribu tenaga
manusia. Tadinya, sebagian tembok besar ini boleh dibilang sudah runtuh, atau
sengaja diruntuhkan di jaman Kerajaan Mongol berkuasa, karena bagi Kerajaan
Mongol tentu saja tidak perlu adanya tembok besar yang memisahkan negara
jajahan dengan negara asal mereka.
Sesudah
Kerajaan Mongol runtuh dan Kerajaan Beng-tiauw berdiri, tembok besar yang
seakan-akan menjadi tanggul pencegah banjirnya serbuan lawan dari utara itu
dibangun kembali. Dan ketika Yung Lo menjadi kaisar, pembangunan ini dipergiat,
juga Kota Raja Peking dibangun dengan hebatnya. Akan tetapi, semua pembangunan
ini oleh kaisar diserahkan kepada para pembantunya, karena kaisar sendiri,
sebagai seorang bekas panglima perang yang berpengalaman, sibuk memimpin
pasukan-pasukan menyerbu ke utara untuk memerangi bangsa Mongol yang selalu
merupakan ancaman itu.
Agaknya
karena terlalu sering kaisar meninggalkan istana untuk memimpin barisannya
berperang itulah yang mengakibatkan merajalelanya kaum koruptor,
golongan-golongan pembesar yang menyalah gunakan kedudukan dan wewenangnya,
terjadi pertentangan dalam perebutan kekuasaan antara para penjilat dan para
penentang, antara pangeran yang mencalonkan diri menjadi pengganti kelak bila
kaisar meninggal dunia. Terjadilah perpecahan, terjadi beberapa golongan yang
berdiri di belakang pangeran yang menjadi calon atau jago aduan masing-masing,
dengan mereka sebagai ‘botoh-botohnya’.
Yo Wan
mendengar betapa banyak orang gagah pergi ke utara dan menjadi barisan suka
rela membantu kaisar memerangi orang-orang Mongol. Ternyata bahwa musuh dari
utara itu tidak boleh dipandang ringan. Biar pun mereka tidak pernah berhasil
menyerbu ke selatan melalui tembok besar, akan tetapi perlawanan yang mereka
lakukan di utara cukup sengit sehingga di pihak tentara kerajaan banyak jatuh
korban.
Orang-orang
Mongol memiliki panglima-panglima yang pandai, malah kabarnya dibantu oleh
orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Bantuan dari orang-orang sakti
inilah yang lalu menarik banyak orang kang-ouw menjadi suka relawan, karena
sudah menjadi semacam penyakit pada ahli-ahli silat kelas tinggi untuk
mencoba-coba ilmu mereka apabila mereka mendengar tentang musuh yang berilmu
tinggi pula. Penyakit macam ini terdapat pula dalam diri Yo Wan. Ketika suatu
hari dia mendengar dongeng dari seorang bekas suka relawan akan adanya seorang
jagoan Mongol yang sekaligus menewaskan enam orang jagoan kerajaan hanya dalam
sebuah pertempuran, dia menjadi penasaran sekali.
Kemudian
pada saat mendengar akan kegagahan kaisar yang memimpin setiap perang tanding
besar-besaran dengan gagah perkasa, ikut pula mengayun pedang dan memutar
tombak sebagai panglima yang tidak hanya mengomando dari belakang dan dari
tempat yang aman saja, hati Yo Wan ikut bergelora penuh semangat dan amat
tertarik. Alangkah senangnya ikut berjuang di bawah pimpinan seorang kaisar
segagah itu, pikirnya, dan ucapan dari ketua Siauw-lim-pai makin jelas
berdengung di telinganya.
"Apa
gunanya memiliki kepandaian kalau hanya untuk saling bunuh dengan saudara dan
bangsa sendiri?" demikian ucapan ketua Siauw-lim-pai yang berdengung di
telinganya.
Diam-diam Yo
Wan merasa heran ketika jejak Swan Bu terus menuju ke utara, bahkan agaknya ke
kota raja. la telah mengeluarkan kepandaiannya untuk menyusul, akan tetapi
ternyata selalu dia tertinggal di belakang. Soalnya adalah karena kedua orang
itu agaknya melakukan perjalanan secara sembunyi sehingga kadang-kadang mereka
lenyap, tidak dapat dia mendengar keterangan. Kalau akhirnya dia mendapatkan
lagi keterangan tentang Swan Bu dan Siu Bi, ternyata mereka itu sudah mengambil
jalan memutar secara diam-diam, seakan-akan mereka memang sengaja menghilangkan
jejak agar jangan mudah disusul orang.
Inilah yang
membuat Yo Wan kewalahan dan sampai sekian lamanya belum juga dapat menyusul.
Akan tetapi, hatinya lega selama dia masih dapat mendengar berita tentang Swan
Bu. Ke mana pun juga dia akan mengejar sampai dapat bertemu. Pada suatu hari
sampailah dia ke kota Leng-si-bun, sebuah kota kecil di sebelah timur Cin-an,
di lembah Sungai Huang-ho. Kota raja baru berada di sebelah utara daerah ini,
tidak begitu jauh lagi, paling jauh dua ratus li. Laut timur, yaitu Lautan
Po-hai, tidak jauh pula dari tempat ini, hanya, terpisah seratus li kurang
lebih.
Ramai di
kota Leng-si-bun ini, karena tempat ini merupakan pelabuhan bagi perahu-perahu
yang mengangkut barang hasil bumi yang hendak dilayarkan ke laut timur. Yo Wan
memasuki kota Leng-si-bun karena dua hari yang lalu dia mendengar keterangan
bahwa pemuda lengan buntung dan gadis cantik yang dicarinya menuju ke kota ini.
Hari telah siang ketika dia memasuki kota itu. Dimasukinya sebuah rumah makan
yang cukup besar, yang berada di tengah-tengah kota. Ia merasa amat lelah dan
juga kecewa karena di kota ini pun dia tidak melihat Swan Bu, biar pun dia tadi
sudah berputar-putar di sepanjang jalan yang panas berdebu.
Rumah makan
itu mempunyai sepuluh buah meja, meja-meja bundar lebar dan dikelilingi delapan
buah bangku tiap meja. Akan tetapi pada saat itu hanya ada tiga buah meja saja
yang dihadapi tamu. Sebuah meja di sudut luar dikelilingi enam orang lelaki
yang minum arak sambil makan mie dan bersendau-gurau dengan suara parau.
Agaknya mereka itu adalah juragan-juragan perahu bersama pedagang-pedagang. Yo
Wan mengerutkan keningnya ketika mendengar percakapan yang mereka lakukan
dengan suara keras itu, karena percakapan ini kotor dan cabul. Mereka
membicarakan pengalaman mereka dengan perempuan-perempuan lacur di kota itu
sambil percakapan mereka diseling tertawa terkekeh-kekeh.
Tentu saja
Yo Wan tidak akan mempedulikan mereka kalau saja dia tidak mengerling ke arah
meja kedua yang dihadapi tamu. Di meja sebelah dalam, duduk dua orang muda,
seorang gadis dan seorang laki-laki muda. Tadi pada saat dia lewat di depan
restoran ini, hatinya berdebar tegang karena mengira bahwa mereka adalah Swan
Bu dan Siu Bi. Akan tetapi setelah dia masuk, dia mendapat kenyataan bahwa
sepasang orang muda itu bukanlah orang-orang yang dia cari.
Si pemuda
mengenakan jubah biru muda dengan ikat pinggang dan ikat kepala berwarna
kuning. Pemuda itu berwajah tampan dan gagah, sikapnya tenang dan umurnya
paling banyak dua puluh dua tahun. Si gadis berpakaian serba merah muda, cantik
jelita, antara dua puluh tahun usianya, di punggungnya tampak menonjol gagang
pedang. Gadis ini kelihatan kereng dan angkuh. Keduanya sedang makan mie dan
masakan daging sambil minum arak, sama sekali tidak bicara mau pun
memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Akan tetapi
karena Yo Wan duduk menghadap ke arah gadis yang kebetulan juga duduk menghadap
ke arahnya, dia dapat mencuri pandang dan melihat betapa sepasang mata gadis
itu menyambar-nyambar dari sudut mata, mengerling dengan ketajaman bagaikan
gunting. Namun sikapnya tenang sekali. Dengan hadirnya seorang gadis di situlah
yang membuat Yo Wan merasa mendongkol dan tidak senang hatinya mendengar
kelakar enam orang laki-laki kasar itu, yang sama sekali tidak tahu sopan,
bicara kotor dan cabul di dekat seorang wanita muda. Hati Yo Wan semakin
mendongkol ketika melihat betapa orang-orang kasar itu kadang-kadang menengok
ke arah si gadis baju merah sambil menyeringai memperlihatkan gigi kuning.
Akan tetapi
diam-diam dia kagum melihat betapa gadis itu tetap tenang dan sama sekali tidak
memperlihatkan perasaan apa-apa. Juga si pemuda tetap makan dengan
tenang-tenang saja. Salah seorang di antara mereka, yang bermuka lonjong dan
pipinya sebelah kiri cacat, agaknya sudah setengah mabuk. Dengan kepala
bergoyang-goyang dia berkata kepada laki-laki pendek muka kuning yang agaknya
menjadi pemimpin rombongan itu.
"He-heh-heh,
Pui-twako, yang kau dapatkan hanya kembang-kembang mawar kota yang sudah layu,
yang tiada durinya sama sekali. Itu sih membosankan! Lain lagi kalau bisa memperoleh
mawar hutan yang liar, yang harumnya semerbak asli, yang berduri runcing, yang
segar..."
"Ha-ha-ha-ha!"
sambung seorang yang matanya sipit hampir meram dengan ketawanya yang kasar.
"Pui-twako tentu saja berhati-hati, apa lagi menghadapi mawar merah yang
selain berduri, juga dijaga siang malam oleh tukang kebunnya! Jangan-jangan
tangan akan tertusuk pedang dan kepala akan dikemplang tukang kebun!
Ha-ha-ha!" Si mata sipit mengerling ke arah meja muda-muda itu.
"Ahh,
mana Pui-twako takut akan semua itu? Pedang itu hanya untuk berlagak supaya
harganya naik menjadi mahal, apa lagi tukang kebunnya kecil kurus, bisa berbuat
apa terhadap Pui-twako? Tak percuma Pui-twako dijuluki Tiat-houw (Macan Besi),
siapa yang tidak mengenal Harimau dari Huang-ho?"
Orang yang
disebut Pui-twako dan berjuluk Harimau Besi itu hanya tersenyum-senyum dan
mengerling ke arah meja muda-mudi itu. Dia seorang laki-laki berusia kurang
lebih empat puluh tahun, tubuhnya pendek tetapi tegap dan kelihatan kuat.
Sikapnya seorang jagoan asli, tersenyum-senyum mengejek dengan pandangan mata
acuh tak acuh dan memandang rendah segala di sekelilingnya. Mukanya yang
kekuningan itu kini menjadi merah oleh pengaruh arak dan jelas sekali dia
menjadi bangga mendengar pujian-pujian teman-temannya.
"Aku
bukan termasuk laki-laki rendah yang suka mengganggu wanita baik-baik,"
katanya dengan suara lantang, agaknya sengaja dikeluarkan agar supaya didengar
oleh gadis di seberang itu.
Yo Wan
mengenal orang macam ini. Seorang dengan hati palsu dan mulut pandai bicara,
pandai berlagak dan pandai pura-pura menjadi seorang gagah dan seorang yang
baik hati. Akan tetapi ucapan ini dikeluarkan berlawanan dengan isi hatinya,
hanya dengan maksud agar supaya dia kelihatan ‘berharga’ dalam pandang mata
wanita itu. Yo Wan tahu betul akan hal ini, karena suara dan pandang mata orang
she Pui itu berlawanan, seperti bumi dengan langit.
"Ahhh,
Pui-twako. Siapa yang tidak tahu bahwa engkau adalah seorang gagah perkasa?
Mengganggu sama sekali beda dengan mengajak berkenalan. Gagah sama gagah, dari
pada berkenalan dengan segala macam cacing busuk yang lemah, lebih baik
berkenalan dengan Harimau Besi, sedikit banyak bisa ketularan
kegagahannya!" kata si muka cacat sambil mengerling ke arah meja muda-mudi
itu penuh arti.
Yo Wan makin
mendongkol. Alangkah kurang ajar dan beraninya enam orang itu. Terang bahwa si
pemuda yang diejek dan dihina, karena memang sikap dan pakaian pemuda itu
seperti seorang pelajar yang pada masa itu sering kali diejek dengan sebutan
kutu buku atau cacing buku. Akan tetapi muda-mudi yang dijadikan bahan
percakapan atau bahan ejekan itu masih saja makan dengan lambat dan tenang,
sama sekali tak menghiraukan mereka berenam. Hanya terdengar gadis itu berkata,
suaranya halus dan perlahan, seakan-akan berbicara pada diri sendiri, tanpa
melirik ke arah enam orang itu.
"Hemmm,
banyak lalat-lalat kotor menjemukan di sini. Sayang... meski bukan gangguan
besar, sedikitnya mengurangi selera makan..."
"Biarlah,
Sumoi... biasanya dekat sungai besar memang banyak lalat kotor. Tapi mereka
tidak ada artinya...," kata pemuda itu menghibur.
Yo Wan
hampir tak dapat menahan ketawanya. Bagus, pikirnya. Kiranya mereka adalah
kakak beradik seperguruan, dan tepat sekali sindiran mereka itu yang diam-diam
memaki enam orang kasar itu sebagai lalat-lalat hijau yang kotor.
Tentu saja
enam orang itu mengerti pula akan sindirian ini. Si pipi cacat bangkit berdiri
menepuk meja. "Pui-twako, masa diam saja dihina orang? Kalau suheng-nya
kutu buku, tentulah pedang sumoi-nya itu hanya hiasan belaka, untuk
menakut-nakuti orang supaya dianggap pendekar-pendekar jempolan. Hayo minta
maaf pada..."
"Sssttttt,
Gong-lote, jangan mencari gara-gara di sini!" tiba-tiba si Harimau Besi
berkata tajam dan si pipi cacat itu segera duduk kembali.
"Pui-twako,
orang-orang bilang singa-singaan batu di restoran ini beratnya lebih dari tiga
ratus kati dan tidak pernah ada yang kuat mengangkat. Dasar orang-orang lemah,
siapa bilang tidak ada yang kuat angkat? Harap Pui-twako suka membantah kabar
itu dengan membuktikan kepada mereka!"
Si Harimau
Besi hanya tersenyum-senyum saja. "Ahh, kalian ini ada-ada saja,"
katanya ketika teman-teman yang lain juga membujuknya.
"Hee,
pelayan-pelayan, ke sinilah!" teriak si mata sipit.
Lima orang
pelayan berlarian menghampiri mereka sambil tertawa-tawa. Agaknya enam orang
itu memang langganan mereka.
"Apakah
betul selama ini tidak ada orang yang mampu mengangkut singa-singaan batu di
depan itu?" si sipit bertanya sambil menuding ke arah sebuah singa-singaan
batu yang terukir kasar dan diletakkan di depan pintu restoran sebagai hiasan.
"Betul,
Loya. Singa itu berat sekali. Empat orang baru sanggup mengangkatnya, itu pun
harus orang-orang kuat dan menggunakan bantuan tambang," jawab seorang
pelayan yang kurus.
"Ahh,
dasar orang-orang tiada guna. Lihat, Pui-twako akan mengangkatnya seorang diri
tanpa bantuan siapa pun juga!" kata si mata sipit sambil memandang kepada
orang she Pui.
"Ahhh,
harap Loya jangan main-main! Singa itu beratnya lebih dari tiga ratus kati!
Jangan kata mengangkat, jika hanya sendiri, menggeser saja tak ada yang mampu
melakukan!"
Si mata
sipit melotot, akan tetapi tetap sipit, karena memang lubang pelupuk matanya
sempit. "Menggeser? Huh, dasar kalian ini gentong-gentong kosong.
Lihat!"
la melangkah
lebar menghampiri singa-singaan batu. Dua lengannya memegang kepala
singa-singaan itu dan dia pun berseru,
"Hiyaaahhh!"
la berhasil
menggeser singa-singaan itu beberapa dim jauhnya!
"Wah,
Loya kuat sekali!" lima orang pelayan itu memuji dan memandang kagum.
Si mata
sipit mengangkat dadanya yang tipis dan yang bersengal-sengal.
"Ini
belum!" Dia menyombong. "Tapi Pui-twako yang di sana itu, dia mampu
mengangkat singa-singaan ini. Kalian tidak tahu siapa itu Tiat-houw
Pui-enghiong, Harimau Besi dari Huang-ho! Aku sendiri, tenagaku tidak sebesar
Pui-twako, akan tetapi sepasang golokku ini siapa yang berani melawan Huang-ho
Siang-to (Sepasang Golok Huang-ho), inilah dia orangnya! Dan saudaraku di sana
itu…" Ia menudingkan telunjuknya ke arah pipi cacat, "siapa tidak
pernah mendengar nama Huang-ho Sin-piauw (Piauw Sakti dari Huang-ho)? Kami
bertiga sudah malang melintang di sepanjang Huang-ho, akan tetapi baru sekarang
berkesempatan memperkenalkan diri di Leng-si-bun."
Mendengar
ucapan ini, lima orang pelayan itu segera menjura dengan muka berseri-seri,
“Kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) tiga orang gagah juragan-juragan perahu yang
terkenal itu? Maaf, kami tidak tahu dan kurang hormat. He, teman-teman, lekas
sediakan arak wangi, untuk menghormati tamu-tamu besar!"
Melihat
sikap para pelayan yang sangat menghormat terhadap mereka, diam-diam Yo Wan
memperhatikan. Kiranya mereka itu adalah tiga orang juragan perahu yang
terkenal juga. Dan agaknya yang tiga lagi adalah pedagang-pedagang langganan
mereka.
"Pui-twako,
sesudah kita memperkenalkan diri, harap suka turun tangan sedikit supaya
cacing-cacing buku tidak tertutup matanya!" kata pula Huang-ho Siang-to
yang bermata sipit.
"Bhe-lote,
apa sih artinya angkat-angkat batu macam ini? Tidak ada artinya bagiku!"
kata orang she Pui.
Akan tetapi
dia melangkah juga ke arah singa-singaan batu, membungkuk, memegang dengan
kedua tangannya lantas sekali dia berseru keras, singa-singaan batu itu sudah
terangkat ke atas kepalanya!
Tepuk tangan
menyambut demonstrasi ini, tepuk tangan para pelayan dan kelima orang
teman-teman si Harimau Besi. Ketika singa-singaan batu itu sudah diturunkan
kembali, si Harimau Besi tidak kelihatan tersengal nafasnya, hanya mukanya yang
kuning berubah merah.
Yo Wan yang
memandang dari sudut matanya tentu saja tak merasa heran menyaksikan
demonstrasi itu dan dia sekaligus maklum bahwa si Harimau Besi ini adalah
seorang ahli gwakang yang bertenaga besar. Ketika dia melirik ke arah muda-mudi
itu, dia melihat si gadis tersenyum mengejek.
Diam-diam Yo
Wan terkejut juga. Bila gadis itu masih berani tersenyum mengejek setelah
menyaksikan demonstrasi ini, tentu saja gadis itu mempunyai andalan dan
menganggap demonstrasi itu bukan apa-apa. Mulailah dia menaruh perhatian, dan
kalau tadi dia agak mengkhawatirkan keselamatan muda-mudi itu, kini
perhatiannya terbalik dan dia malah mengkhawatirkan keselamatan enam orang itu.
Dia sempat melihat kilatan mata yang penuh ancaman di atas bibir yang tersenyum
mengejek.
"Dasar
manusia-manusia tak tahu diri," diam-diam Yo Wan berpikir,
"benar-benar seperti rombongan monyet berlagak, mencari penyakit
sendiri."
Ahli golok
bermata sipit she Bhe itu cengar-cengir, kini terang-terangan memandang ke arah
meja si muda-mudi sambil berkata, "Kalau si kutu buku dan sumoi-nya
sanggup mengangkat batu ini, biarlah kami tidak akan banyak bicara lagi. Akan
tetapi kalau tidak sanggup, si kutu buku harus membiarkan sumoi-nya yang cantik
manis untuk menemani kami minum beberapa cawan arak."
Sungguh
keterlaluan si mata sipit ini, kekurang ajarannya kini sudah memuncak. Yo Wan
ingin sekali memberi tahu supaya muda-mudi itu pergi saja meninggalkan restoran
dan menjauhi keributan. Akan tetapi muda-mudi itu enak-enak saja makan, lalu
terdengar si gadis berkata mengomel,
"Suheng,
makin lama lalat-lalat hijau busuk itu makin membosankan. Bagaimana kalau aku
tepuk mampus binatang-binatang hina itu?"
"Ihhh,
apa perlunya melayani segala macam lalat bau, Sumoi? Biarkan saja, memang
biasanya lalat-lalat hijau itu hanya berkeliaran di tempat-tempat kotor, lalu
menimbulkan suara ribut dan menyebarkan penyakit. Biarkan saja, mereka tentu
akan mampus sendiri kelak."
Muda-mudi
itu tertawa geli sambil melanjutkan makan minum. Muka tiga orang jagoan itu
kelihatan marah sekali, juga si pendek yang mengangkat batu tadi. Mukanya yang
kuning menjadi merah, matanya melotot. la lalu mengangkat lagi singa-singaan
batu, mengerahkan tenaga kemudian melontarkan singa-singaan itu ke atas, ke
arah meja si muda-mudi. la sudah memperhitungkan bahwa kedua orang muda itu
tentu akan mengelak dan melompat pergi sehingga singa-singaan batu akan menimpa
dan menghancurkan meja dan mereka akan dapat mentertawakan dua orang itu.
Batu besar
itu berputaran ke atas, lalu menyambar ke arah meja si muda-mudi itu yang masih
enak-enak saja makan minum seakan-akan tidak melihat datangnya bahaya! Akan
tetapi setelah singa-singaan batu itu melayang di atas kepala mereka dan
agaknya akan menimpa mereka berdua dan meja di depan mereka, si nona cantik itu
menggerakkan tangan kiri, dengan jari-jari terbuka, jari-jari tangan yang kecil
meruncing dan halus itu hanya menyentuh batu itu tampaknya, akan tetapi batu
itu tiba-tiba terputar di udara dan melayang kembali ke arah meja enam orang
itu!
"Wah,
celaka, lariii...!" teriak si mata sipit.
Karena tiga
orang saudagar yang menjadi langganan mereka itu tak pandai silat, maka si mata
sipit, si pendek, dan si pipi cacat masing-masing menarik tangan seorang
saudagar dan dibawa meloncat pergi dari dekat meja. Terdengar suara hiruk-pikuk
ketika singa-singaan batu jatuh menimpa meja. Meja pecah, keempat kakinya
patah-patah, mangkok piring hancur berantakan, sumpit beterbangan dan
cawan-cawan arak tumpah.
"Ha-ha-ha!"
Si pemuda tertawa.
"Hi-hi-hik!"
Si pemudi mengikutinya.
Akan tetapi
mereka tetap saja makan minum tanpa pedulikan ketiga orang jagoan yang melotot
marah dan tiga orang saudagar yang menjadi pucat mukanya. Ada pun Yo Wan yang
masih duduk tenang, memandang kagum, akan tetapi juga merasa betapa gadis itu
agak terlalu ganas. Enak saja bermain-main dengan batu seberat itu. Bagaimana
kalau tadi menimpa kepala orang? Tentu akan remuk dan mati seketika juga.
"Kurang
ajar!" Tiat-houw atau si Harimau Besi berseru marah.
Dengan muka
merah dia menarik singa-singaan batu dari atas meja yang sudah ringsek,
mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan kini dia melontarkan batu itu
sekuatnya ke arah si nona manis. "Kau terimalah ini!"
Kali ini
singa-singaan batu itu tidak melayang seperti tadi yang hanya dilontarkan ke
atas ke arah meja si muda-mudi, melainkan langsung menyambar ke arah nona itu
sehingga merupakan sambitan keras dan berbahaya. Namun, seperti juga tadi, nona
itu dengan amat tenang masih terus asyik makan minum, bahkan pada waktu
singa-singaan batu sudah menyambar dekat sekali, nona itu dengan tangan kirinya
mengangkat cawan arak dan meminumnya!
Para pelayan
memandang dengan muka pucat, bahkan ada yang meramkan mata, tidak sampai hati
menyaksikan nona cantik jelita yang sedang minum itu remuk kepalanya oleh
singa-singaan batu. Hanya Yo Wan yang bisa menduga apa yang akan terjadi, maka
dia pun enak-enak minum araknya.
Tepat
seperti dugaan Yo Wan, nona itu dengan tangan kanannya mengangkat sepasang
sumpitnya, dan secara mudah dan enak saja ia ‘menerima’ batu itu dengan sumpit.
Batu besar berbentuk singa itu terputar-putar di ujung sumpit, kemudian sekali
menggerakkan lengan kanan, singa batu itu terbang dari ujung sumpitnya, kembali
ke alamat pengirim. Semua ini dilakukan dengan cawan arak masih menempel di
bibir!
"Aiiihhhhh...!"
Orang she Pui yang berjuluk Harimau Besi itu berteriak kaget sekali ketika
melihat singa-singaan batu itu tiba-tiba menyambar ke arahnya.
Dia tidak
sempat lagi mengelak, terpaksa dia menggerakkan kedua lengannya menerima
singa-singaan batu itu. Sambil mengerahkan tenaganya dia menerima, namun
alangkah kagetnya ketika singa-singaan batu itu ternyata berlipat kali lebih
berat dari pada tadi. Hal ini adalah karena batu itu dilontarkan dengan tenaga
sinkang. Si pendek sombong berusaha menahan, akan tetapi dia terhuyung-huyung
ke belakang, singa batu menghimpit dadanya dan sesudah terhuyung-huyung sampai
lima meter ke belakang dan menabrak meja, barulah dia berhenti.
Singa-singaan
batu itu dia lemparkan ke sebelah kanannya dan dia batuk-batuk. Ketika dia
batuk-batuk itu darah segar tersembur keluar dari mulutnya, kemudian dengan lemas
dia menjatuhkan diri ke atas kursi, nafasnya terengah-engah, mukanya pucat,
matanya meram. Jelas bahwa ia telah menderita luka di sebelah dalam dadanya,
luka yang cukup hebat!
Kini
terbukalah mata si mata sipit dan si pipi cacat bahwa gadis yang mereka
sebut-sebut tadi sebagai bunga hutan liar itu benar-benar liar dan tentang
durinya, jangan tanya lagi! Melihat teman mereka terluka hebat, si pipi cacat
yang berjuluk Huang-ho Sin-piauw dan she Gong menjadi sangat marah.
Dengan
gerakan yang tidak dapat diikuti pandangan mata saking cepatnya, tahu-tahu dia
telah mengayun dua tangannya secara bergantian ke arah muda-mudi itu dan
terdengar teriakannya. "Bocah-bocah mau mampus, makanlah ini!"
Sinar hitam
berkelebat menyambar ke arah meja muda-mudi itu ketika beberapa batang piauw
menyambar. Tidak heran bila si pipi cacat ini berjuluk Piauw Sakti dari
Huang-ho. Kiranya dia pandai sekali memainkan piauw dan dapat menyambitkan
senjata rahasia itu dengan gerakan yang cepat. Agaknya orang akan kalah cepat
apa bila harus berlomba mencabut dan menggunakan senjata rahasia dengan si pipi
cacat yang bermuka lonjong buruk itu.
"Menjemukan!"
seru si gadis, matanya yang bening dan indah itu memancarkan cahaya kemarahan.
"Biarlah,
Sumoi...!" kata si pemuda yang mendului sumoi-nya, menggerakkan sumpitnya.
Sumpit itu bergerak-gerak seperti tergetar.
“Cring-cring-cring…!"
Terdengarlah
suara beberapa kali disusul berkelebatnya sinar-sinar hitam ke atas, lalu…
"Cap-cap-cap-cap-cap!"
empat batang piauw sudah menancap pada langit-langit di atas pemuda itu!
Si pemuda
yang wajahnya masih belum terlihat oleh Yo Wan karena pemuda itu duduk
membelakangi Yo Wan, kini bersikap seperti tak pernah terjadi apa-apa, minum
araknya kemudian berdongak ke atas dan dari mulutnya tersembur arak lembut
seperti uap yang terus menyambar ke langit-langit. Terdengar suara nyaring dan
empat batang piauw yang menancap pada langit-langit itu rontok dan runtuh semua
ke bawah!
"Hebat...!"
"Luar
biasa...!"
"Bagus
sekali...!"
Demikian
teriakan para pelayan yang menjadi amat gembira menyaksikan kesudahan-kesudahan
dari serangan-serangan yang tadinya amat mengkhawatirkan itu. Yo Wan masih
enak-enakan minum araknya. Semua ini sudah diduganya dan dia tidak heran, hanya
dia merasa kagum terhadap sikap muda-mudi yang begitu tenang. Timbul keinginan
keras di hatinya untuk mengenal mereka. Akan tetapi yang paling marah adalah si
Piauw Sakti! Bagaimana julukannya Piauw Sakti akan dapat bertahan terus kalau
permainan piauw-nya diperlakukan bagaikan lalat-lalat menyambar oleh pemuda tak
terkenal itu? Timbul pikiran yang licik dalam benaknya.
Tadi si
gadis mendemonstrasikan tenaga yang hebat ketika menghadapi singa-singaan batu.
Kini yang menghadapi piauw-nya adalah si pemuda, agaknya hal ini membuktikan
bahwa si gadis tidaklah sehebat si pemuda dalam menghadapi piauw. Untuk menebus
kekalahannya, si pipi cacat kembali mengayun senjata-senjata rahasianya, dan
sekali ini sekaligus dia menyambitkan enam batang piauw yang kesemuanya
menyambar ke arah si gadis, bahkan menyambar ke enam bagian tubuh yang
berbahaya.
"Suheng,
kali ini jangan larang aku!” terdengar si gadis berkata halus. Mendadak dia
meloncat bangun dan sepasang sumpit telah berada di kedua tangannya. Dengan
gerakan yang amat cepat kedua tangan yang memegang sumpit itu menangkis.
Terdengarlah suara nyaring berkali-kali dan sinar-sinar hitam itu menyambar
kembali ke arah penyerangnya!
Si pipi
cacat kaget sekali. Cepat dia mengelak, namun dia hanya dapat menghindarkan
diri dari empat batang piauw, sedangkan yang dua batang lagi telah menancap di
pundak dan pahanya. Dia memekik dan roboh, termakan oleh senjatanya sendiri
seperti keadaan kawannya si pendek tadi!
Melihat
perkembangan peristiwa itu menjadi pertandingan yang mengakibatkan luka dan
darah, para pelayan yang tadi amat gembira menyaksikan demonstrasi kepandaian
yang mengagumkan, sekarang menjadi bingung dan ketakutan. Mereka ingin melerai,
mereka ingin minta agar supaya orang keluar dari restoran kalau hendak
berkelahi, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka berani bicara. Karena
itu mereka hanya lari ke sana ke mari dan saling pandang dengan muka pucat, tak
tahu harus berbuat apa seperti ayam hendak bertelur.
Kini
tinggallah seorang jagoan lagi, yaitu si mata sipit yang berjuluk Huang-ho
Siang-to. Orang she Bhe ini melihat dua orang kawannya sudah terluka, diam-diam
merasa gentar juga. Ia maklum bahwa ternyata mereka bertiga yang selama ini
menjagoi daerah lembah Sungai Huang-ho di bagian Leng-si-bun, kiranya hari ini
telah tersandung batu!
la maklum
bahwa kedua orang muda itu adalah pendekar-pendekar yang berilmu tinggi. Akan
tetapi melihat dua orang kawannya terluka, tak mungkin dia diam saja. Ke mana
dia akan menyembunyikan mukanya kalau dia tidak maju membela? Nama besarnya
tentu akan menjadi bahan ejekan orang. Maju dan kalah oleh lawan yang lebih
lihai bukanlah hal memalukan, akan tetapi mundur teratur tanpa melawan,
benar-benar tidak mungkin dapat dia lakukan.
"Bocah-bocah
sombong, siapakah kalian berani bermain gila di daerah ini? Hayo layani
sepasang golok dari Huang-ho Siang-to, kalau sanggup mengalahkan sepasang
golokku, barulah boleh disebut gagah!"
Pemuda itu
hanya tersenyum, akan tetapi si pemudi mendengus dengan sikap mengejek.
"Suheng, agaknya tukang cacah daging bakso ini sudah sinting, mau apa dia
bawa-bawa golok pencacah bakso? Biar kuhabiskan saja dia..."
"Ssttt,
jangan. Biarkan, kita lihat mau apa tikus ini...," kata si pemuda.
Tentu saja
si mata sipit tahu bahwa dirinya yang dimaki tukang cacah bakso dan tikus, maka
kemarahannya memuncak. Matanya menjadi semakin sipit dan mukanya merah sekali.
"Keparat,
kalian yang akan kujadikan bakso...!" Sambil berkata demikian, dia
mengayun dan menggerakkan sepasang goloknya di atas kepala. Sepasang golok itu berkelebatan
mengeluarkan sinap berkeredepan.
Mendadak
gerakannya terhenti dan si mata sipit terkejut serta heran karena dia merasa
betapa sepasang goloknya terhenti di tengah udara, di belakang kepalanya
seakan-akan tersangkut sesuatu. Betapa pun dia berusaha membetotnya, tapi
sia-sia. Cepat dia membalikkan tubuh dengan bulu tengkuk meremang dan terpaksa
melepaskan kedua goloknya. Apa yang dilihatnya? Ketika dia membalikkan tubuh,
di depannya telah berdiri seorang laki-laki bertubuh pendek, berkepala botak.
Laki-laki
ini mengangkat kedua tangannya dan ternyata kedua goloknya itu telah dijepit
oleh jari tengah dan telunjuk yang ditekuk. Dapat dibayangkan betapa hebatnya
tenaga orang ini, karena hanya dengan dua jari menjepit sebuah punggung golok,
tetapi si mata sipit tak mampu membetotnya!
Ketika si
mata sipit melihat bahwa di belakang orang pendek ini masih terdapat tujuh
orang pendek lainnya, semuanya berdiri tegak dan angker, tiba-tiba tubuhnya
menggigil dan dia berkata gagap,
"Ki...
kipas... Kipas Hitam..." Mendengar suara ini, para pelayan berserabutan
lari melalui pintu belakang restoran dan sebentar saja mereka tidak tampak
lagi.
Diam-diam Yo
Wan memperhatikan hal ini dan dia dapat menduga bahwa nama Kipas Hitam tentu
sudah terkenal dan ditakuti orang. Cepat dia memandang penuh perhatian.
Lelaki yang
tadi menjepit sepasang golok dengan jari tangannya itu, benar-benar pendek
tubuhnya, pendek gempal dan tegap, sepasang lengannya yang juga pendek itu
tampak amat kuat. Di pinggangnya tergantung sarung pedang yang panjang dan agak
bengkok, sedangkan di ikat pinggang depan terselip sebuah kipas berwarna hitam.
Tujuh orang di belakangnya juga seperti itu dandanannya, hanya bedanya, orang
yang berdiri di depan itu sarung pedangnya lebih indah.
Agaknya
kipas-kipas hitam yang berada di pinggang mereka itulah yang menjadi tanda
bahwa mereka adalah anggota-anggota Kipas Hitam. Dan lucunya, mereka semua,
yaitu delapan orang ini kepalanya dicukur botak tinggal di atas kedua telinga
dan di sebelah belakang saja.
Laki-laki
pendek yang menjepit golok itu kemudian berkata, suaranya terdengar kaku dan
asing, "Tiga ekor cumi-cumi banyak tingkah!"
Tiba-tiba
kedua tangannya bergerak dan entah bagaimana, tahu-tahu tubuh si mata sipit
sudah melayang keluar dari restoran dan baru jatuh lagi ke tanah sesudah
melalui jarak belasan meter. Dua orang jagoan lainnya, si pipi cacat dan si
pendek muka kuning yang sudah terluka, tahu-tahu sudah melarikan diri diikuti
oleh ketiga orang saudagar. Mereka inilah yang mengangkat si golok sakti dan
setengah diseret pergi dari tempat itu!
Sekarang Yo
Wan dapat menduga. Agaknya rombongan Kipas Hitam adalah perampok-perampok atau
lebih tepat agaknya bajak-bajak laut, mengingat akan makiannya tadi. Hanya
orang-orang yang biasa berlayar saja agaknya yang akan menggunakan nama
binatang laut cumi-cumi untuk memaki orang, Apa lagi orang pendek ini suaranya
kaku dan asing. Mereka inilah bajak laut-bajak laut Jepang seperti yang pernah
didengar Yo Wan dari percakapan orang-orang di sepanjang perjalanan!
Sementara
itu, sepasang muda-mudi yang tadinya kelihatan tenang-tenang saja itu, kini
bangkit dari tempat duduk mereka. Agaknya sebutan Kipas Hitam tadi yang membuat
mereka serentak bangkit dan memandang tajam kepada delapan orang yang baru
tiba.
Kini Yo Wan
dapat melihat bahwa si pemuda juga sangat tampan dan gagah, tubuhnya tegap dan
biar pun tidak nampak, Yo Wan dapat mengetahui bahwa pemuda itu sudah
menyembunyikan sebatang pedang di balik jubahnya, jubah seorang pelajar.
Pandang mata yang luar biasa tajam dari pemuda itu satu kali melirik ke
arahnya, dan tercenganglah hati Yo Wan. Walau pun hanya melirik satu kali,
namun pandang mata itu tajam menembus hati, seakan-akan si pemuda itu sudah
dapat menilainya hanya dengan sekali lirikan saja!
"Hemmm,
bukan pemuda sembarangan. Harus hati-hati menghadapi orang seperti
ini...," pikirnya.
Kini keadaan
di restoran itu tegang. Para pelayan sudah lari menyingkir, juga di depan
restoran tampak sunyi. Agaknya orang-orang di situ sudah mendengar akan
kedatangan delapan orang pendek-pendek rombongan Kipas Hitam.
Muda-mudi
itu sudah berdiri berhadapan dengan pemimpin rombongan, saling pandang bagai
lagak jago-jago mengukur pandang dan saling menaksir lawan. Akhirnya si pendek
itu bertanya, suaranya ketus, kasar dan kaku, "Kalian berdua yang
membunuhi teman-teman kami di pantai Laut Po-hai seminggu yang lalu?"
Gadis itu
melangkah maju dan dengan sikap menantang ia berkata nyaring, "Kalau
betul, kalian mau apa? Kalian inikah bajak laut Kipas Hitam? Apakah kau
kepalanya?"
Kepala
rombongan itu mengeluarkan suara makian dalam bahasa asing, sikapnya amat
mengancam. "Kami tidak diberi perintah untuk membunuh kalian, hanya
diperintah untuk mengajak kalian ikut menghadapi kongcu (tuan muda) kami.”
"Mau
apa dia? Siapa kongcu kalian itu?" tanya si gadis, lalu terdengar bisiknya
kepada suheng-nya, "Suheng, kau awasi tikus di belakang kita itu, dia
mencurigakan..."
Si pemuda
membalikkan tubuhnya dan sekali lagi Yo Wan tercengang pada saat melihat sinar
mata tajam menyambarnya di samping senyuman mengejek. Ia tahu bahwa dirinya
dicurigai, maka untuk menyembunyikan wajahnya, dia menenggak araknya dan
berkata seperti orang sinting, “Ahhh... arak habis malah para pelayan pergi
semua. Ke manakah orang-orang tolol itu?"
Sementara
itu, si pendek menerangkan dengan suara kaku, "Kongcu adalah pemimpin
kami, sekarang kongcu menunggu di pantai. Kalian harus ikut dengan kami
menghadap kongcu."
"Mau
apa dia?"
"Nanti
kalian bicara sendiri dengan kongcu, kami hanya diperintah untuk mengajak
kalian secara baik-baik, harap kalian jangan membantah lagi..."
"Kalau
kami tidak mau?" tanya pultt si gadis.
"Hemmm...
hemmmmm... mudah-mudahan jangan begitu. Mau tidak mau kalian harus menghadap
kongcu. Kongcu bilang bahwa kalian bukanlah orang-orang pengecut yang tidak
berani menghadapi pemimpin Kipas Hitam."
"Aku
tidak mau! Persetan dengan kongcu kalian! Pergi dari sini, kalian mau apa kalau
aku tidak mau?!" tantang si gadis dengan sikap menantang, sedangkan si
pemuda tetap tenang saja, kadang-kadang melirik ke arah Yo Wan yang dicurigai.
Si pendek
itu sejenak memandang dengan mata mengancam, kemudian menarik nafas panjang.
"Sayang," katanya, "Sudah lama aku tidak bertemu lawan yang
pandai. Segala macam cumi-cumi seperti juragan-juragan perahu tadi hanya
menjemukan saja. Betapa senangnya apa bila dapat mengadu ilmu dengan kalian
yang kabarnya lihai. Sayangnya, kongcu tidak mengijinkan kami mengganggu
kalian. Kongcu mengundang kalian dengan baik-baik, untuk diajak bercakap-cakap
entah urusan apa. Kalau saja tak ada pesan dari kongcu, sudah sejak tadi
samuraiku bicara!" Sambil berkata begitu dia menepuk-nepuk pedang panjang
yang tergantung di pinggangnya sambil berkata, "Cakar Naga, jangan kecewa,
mereka bukan musuh..."
"Sumoi,
jika orang yang mereka sebut kongcu itu hendak bicara, mari kita pergi menemui
dia. Kita bukanlah pengecut, takut apa bertemu dengan pemimpin Kipas
Hitam?" kata si pemuda, agaknya tertarik juga menyaksikan sikap orang
Jepang itu.
"Wah,
tidak ada alasan untuk bersikap murah dan mengalah, Suheng. Kalau memang ingin
bicara, mengapa yang menyebut dirinya kongcu itu tidak datang sendiri menemui
kita? Heee, orang pendek. Pedangmu kau sebut Cakar Naga, tentu kau pandai
bermain pedang. Dengarlah! Bila kau dapat mengalahkan aku dengan pedangmu, baru
kuanggap kau cukup pantas menjadi utusan untuk mengundang kami. Kalau tidak
mampu, jangan banyak cerewet lagi!"
Orang Jepang
itu mengangkat muka, keningnya berkerut lalu dia menepuk dada dengan tangan
kirinya. "Aku Kamatari tak pernah mundur menghadapi tantangan siapa pun
juga, akan tetapi aku taat kepada perintah kongcu. Nona, mungkin kau
berkepandaian, akan tetapi harap kau jangan memandang rendah samurai Cakar Naga
di tanganku. Lihatlah betapa saktinya Cakar Naga!" Sambil berkata
demikian, Kamatari menggunakan kakinya menendang sebuah bangku kayu yang berada
di dekatnya. Bangku itu terlempar ke atas dan pada saat bangku melayang turun,
tiba-tiba tampak sinar berkeredepan berkelebat beberapa kali.
“Crak-crak!”
terdengar suara perlahan.
Dalam
sekejap mata, sinar berkeredepan itu lenyap dan bangku yang sudah terbelah
menjadi tiga potong itu runtuh ke bawah. Anehnya, yang sepotong melayang ke
arah meja Yo Wan, menimpa atas meja dan membikin pecah mangkok serta
menggulingkan cawan arak!
Yo Wan tak
berkata apa-apa, hanya berdiri sebentar, mengebut-ngebutkan bajunya yang
terkena percikan arak, kemudian duduk kembali dengan tenang. la maklum bahwa
orang Jepang yang lihai ilmu pedangnya dan besar tenaga dalamnya itu agaknya
mencurigai dirinya dan sengaja mementalkan sepotong kayu bangku ke arahnya
untuk memancing.
Tentu saja
dia dapat melihat betapa tadi orang pendek itu mencabut pedang samurainya
dengan gerakan yang betul-betul cepat serta mengandung tenaga yang hebat.
Demikian cepat gerakan Kamatari sehingga bagi mata orang biasa, orang pendek
ini sama sekali tidak berbuat apa pun, karena sebelum potongan-potongan bangku
itu jatuh ke tanah, samurainya sudah kembali ke sarungnya. Seperti main sulapan
saja!
Kamatari
mengerling sekejap ke arah Yo Wan, lalu kembali dia menghadapi nona itu,
wajahnya membayangkan kepuasan dan harapan bahwa kali ini gadis itu akan
menjadi jeri dan suka menurut. Akan tetapi dugaannya meleset jauh.
Gadis itu
berpaling pada suheng-nya dan berkata, "Suheng, bukankah lucu sekali badut
pendek ini?"
"Sumoi,
jangan main-main. Agaknya dia jujur dan mari kita menemui kongcu itu, kita
lihat apa kehendaknya," jawab suheng-nya yang agaknya tidak ingin mencari
keributan.
"Suheng,
sesudah dia mengeluarkan pedang cakar ayamnya, apa bila kita menurut saja,
bukankah orang akan menganggap kita ini tidak becus apa-apa? Biarkan aku
main-main sebentar dengannya."
Si pemuda
menghela nafas, kemudian jawabnya lirih, "Sesukamulah, akan tetapi jangan
menimbulkan gara-gara."
Si gadis
tersenyum manis. "Aku hanya ingin main-main, siapa yang ingin menimbulkan
gara-gara?" Kemudian dia menghampiri Kamatari dan berkata, "Namamu
Kamatari dan pedangmu yang bengkok adalah pedang cakar ayam, ya?” Sengaja dia
mengganti Cakar Naga dengan cakar ayam.
"Bagus,
aku pun punya pedang yang saat ini kuberi nama pedang penyembelih ayam. Boleh
kau coba-coba layani pedangku ini, Kamatari. Sekali lagi kunyatakan bahwa kalau
kau tidak bisa memenangkan pedangku ini, aku tidak sudi bertemu dengan
kongcu-mu!" Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut sebatang pedang
dengan perlahan.
Orang-orang
Jepang yang berada di belakang Kamatari semuanya tertawa ketika melihat
sebatang pedang pendek dengan ukuran kurang lebih dua puluh cun (satu cun ±2
senti meter), warnanya hitam sama sekali tidak mengkilap, bahkan warna hitamnya
hitam kotor seperti tanah. Dari jauh tampak seperti pedang terbuat dari tanah
lempung saja. Tentu saja semua orang Jepang yang terkenal dengan pedang-pedang
samurai mereka yang terbuat dari baja tulen dan berkilauan saking tajamnya itu
tertawa mengejek menyaksikan pedang si nona yang begitu buruk dan pendek.
Akan tetapi
diam-diam Yo Wan kagum. Ia maklum bahwa pusaka yang ampuh tampak sederhana,
seperti juga orang pandai kelihatan bodoh dan air dalam kelihatan tenang.
Kamatari juga tertawa. Suara ketawanya pendek-pendek susul-menyusul dan
kepalanya bergoyang-goyang, kemudian dia menoleh kepada teman-temannya yang
masih berdiri seperti barisan dengan tubuh tegak di belakangnya.
"Kalian
mendengar sendiri, dia yang memaksaku bermain-main, harap kalian nanti dapat
melaporkan kepada kongcu agar aku tidak dipersalahkan." Setelah berkata
demikian, dia melangkah maju menghadapi gadis itu sambil berkata, lagaknya
sombong.
"Aku
sudah siap Nona!"
Nona itu
tersenyum mengejek, akan tetapi alisnya yang hitam kecil itu bergerak-gerak.
"Cabut pedangmu, orang sombong!"
"Cakar
Naga tak pernah meninggalkan sarungnya kalau tidak perlu. Nona boleh mulai
menyerang."
"Cih,
siapa sudi? Aku bukan orang yang suka menyerang orang tak memegang senjata.
Kalau kau mengajak kami menemui kongcu-mu, kau harus menyerang dan mengalahkan
pedangku. Habis perkara!"
"Begitukah?
Nah, lihat pedangku!"
Kamatari
tiba-tba mengeluarkan pekik yang sangat menyeramkan. Tubuhnya menerjang maju
dengan didahului sinar berkilauan. Bagi mata orang biasa, gerakan mencabut dan
mempergunakan pedang samurai tidak akan tampak, yang kelihatan hanya sinar
pedang yang menyilaukan mata. Akan tetapi gadis itu agaknya dapat melihat jelas
karena sekali menggeser kaki ia telah mengelak ke kiri.
"Crakkk!"
terdengar suara kayu terbelah.
Kamatari
sudah berdiri tegak lagi, tangan kiri dengan jari terbuka melindungi dadanya
dan tangan kanan tergantung di pinggang, dekat gagang pedang, akan tetapi
pedangnya sendiri sudah bersarang di dalam sarung pedangnya lagi. Meja yang
tadi berada di dekat gadis itu, meja yang kosong, bergoyang-goyang, tidak
kelihatan disentuh, tidak kelihatan rusak, akan tetapi perlahan-lahan miring
lalu roboh menjadi dua potong. Begitu tajamnya samurainya, seakan-akan meja itu
terbuat dari agar-agar saja!
"Hi-hi-hik,
kenapa kau berhenti, Kamatari? Kalau hanya membelah meja, anak kecil pun
bisa!"
"Jagalah
ini. Haiiiiittttt!" Kamatari sudah menerjang lagi, didahului sinar
samurainya yang berkelebatan menyambar-nyambar.
Sambaran
pertama dihindarkan oleh gadis itu dengan melejit ke kanan, sambaran kedua yang
menyerampang kakinya dia hindarkan dengan satu loncatan indah ringan ke atas
melalui meja. Sedangkan serangan ketiga yang luar biasa sebat dan berbahayanya,
dia tangkis dengan pedang hitamnya.
"Cring...
tranggggg...!!"
Dua kali
samurai tajam mengkilat bertemu dengan pedang pendek hitam buruk. Bunga api
berpijar menyilaukan mata dan tampak Kamatari terhuyung ke belakang sedangkan
gadis itu berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tersenyum.
"Kenapa
berhenti lagi? Kau mau merusak pedangku?" Gadis itu mengejek.
Kini
Kamatari mengurangi lagaknya. Pedang samurai tidak dimasukkan ke dalam sarung
pedangnya, melainkan dipegang di tangan kanan. la tadi terkejut setengah mati
karena selain pedang buruk lawannya itu dapat menahan samurainya, juga telapak
tangannya terasa hendak pecah-pecah dan kuda-kuda kakinya tergempur hebat.
Tahulah dia bahwa gadis di depannya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan.
Kini dia
tidak main-main aksi-aksian lagi, namun menyerang dengan sungguh-sungguh.
Terdengar mulutnya mengeluarkan pekikan berkali-kali, pekik serangan, dan
samurainya menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar memanjang. Gerakannya penuh
tenaga dan gesit, samurainya selalu membalik dan mengikuti gerakan si gadis
yang mengelak ke sana ke mari. Akan tetapi dia seakan-akan menyerang
bayangannya sendiri. Ke mana pun dia menyabet, selalu samurainya membelah angin
belaka.
Diam-diam Yo
Wan kaget dan matanya terbelalak, jantungnya berdebar-debar. Baginya,
pemandangan di depan mata ini mengejutkan. Betapa tidak? Ia mengenal baik
gerakan dara ini, gerakan mengelak sambil berloncatan, terhuyung-huyung,
jongkok, berdiri.
Biar pun ada
beberapa perbedaan, namun tidak salah lagi, itulah gerakan-gerakan yang mirip
sekali dengan Si-cap-it Sin-po, yaitu empat puluh satu jurus langkah ajaib yang
dia pelajari dan suhu-nya, Pendekar Buta. Memang gaya dan perkembangannya
berbeda, namun dasarnya mempunyai persamaan yang tidak dapat diragukan lagi
tentu dari satu sumber. Keduanya memiliki ciri-ciri yang khas dari gerakan
seekor burung, atau jelasnya, gerakan seekor burung rajawali.
Setelah
bertempur kurang lebih lima puluh jurus lamanya, mendadak gadis itu membuat
gerakan aneh, tubuhnya meloncat ke atas bagaikan hendak menubruk. Kamatari
berseru heran, pedangnya menyambar memapaki tubuh itu, akan tetapi secara indah
dan sangat mengagumkan kaki kiri gadis itu menendang dari samping hingga sekaligus
mengancam pergelangan tangan lawan sedangkan pedang hitamnya berkelebat tepat
di depan muka Kamatari.
Sebelum jago
Jepang itu dapat menyelami jurus yang aneh ini, tiba-tiba saja dia merasa
pundaknya sakit dan terhuyunglah dia ke belakang. Kiranya pundak kirinya sudah
terluka oleh ujung pedang hitam, membuat tangan kirinya serasa lumpuh!
Segera dia
menyimpan samurainya dan menutupi lukanya, lalu menjura sampai dalam.
"Ilmu pedang Nona sungguh hebat...”.
Pada saat
itu pula berkelebat bayangan putih, cepat dan tak terduga gerakannya, seperti
seekor burung dara melayang memasuki restoran itu.
"Sumoi,
awas...!" seru si pemuda yang sudah melompat maju.
Gadis itu
cepat mengangkat pedangnya, akan tetapi dia tertahan dan tertegun pada saat
melihat bahwa yang meloncat masuk ini adalah seorang pemuda berpakaian serba
putih berkembang-kembang kuning yang indah sekali, sebuah muka yang tampan luar
biasa, dengan sepasang mata bersinar-sinar seperti bintang pagi, sepasang bibir
yang merah dan tersenyum amat tampannya!
Begitu kaki
pemuda ini menginjak tanah, tangannya bergerak dan dua bayangan putih melayang
ke depan, langsung sinar ini menyambar mengarah leher si gadis. Gadis itu
berseru keras dan mengelak ke belakang, tetapi tiba-tiba sinar putih kedua
menyambar pedangnya dan pada lain saat pedang itu sudah terlibat sesuatu
kemudian terampas dari tangannya!
"Kembalikan
pedang, Sumoi!" Si pemuda menerjang maju, gerakannya cepat dan amat kuat
sehingga diam-diam Yo Wan kagum melihatnya.
Akan tetapi
lebih kagum lagi hati Yo Wan menyaksikan gerakan pemuda baju putih yang baru
masuk, karena sekali menjejakkan kedua kaki, tubuh pemuda baju putih itu sudah
melayang keluar restoran, meninggalkan dua sinar putih menyambar yang diikuti
dengan teriakannya yang nyaring, "Awas senjata rahasia!"
Si pemuda
kaget sekali, apa lagi ketika melihat dua sinar putih berkilauan menyambar ke
arah jalan darah yang berbahaya di tubuhnya. Cepat dia mengibaskan lengan baju
dan runtuhlah kedua senjata rahasia itu. Anehnya, senjata rahasia itu ternyata
hanyalah dua potong uang perak!
Uang perak
digunakan sebagai senjata rahasia benar-benar merupakan hal yang langka.
Pemboros mana yang menghamburkan uang perak begitu saja? Ketika kemudian dia
memburu keluar, pemuda baju putih itu sudah lenyap!
Marahlah si
pemuda. Sekali dia bergerak, dia sudah menangkap Kamatari, menjambak baju pada
punggungnya dan mengangkatnya ke atas seperti orang mengangkat seekor kelinci
saja!
"Tikus
busuk! Apabila kami menghendaki, apa susahnya mencabut nyawamu yang tidak
berharga? Hayo katakan, siapa bangsat tadi!"
Kamatari
kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa si pemuda begini galak dan begini kuat.
Tentu saja dia tidak sudi diperlakukan seperti ini, maka dia membentak,
"Lepaskan bajuku!" dan tangannya memukul.
Akan tetapi
tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi kaku. Dua lengannya yang tadi bergerak
hendak memukul seakan-akan berubah menjadi dua batang kayu kering!
"Keparat,
jangan banyak lagak kau! Hayo bilang, siapa dia tadi?!"
Tahulah kini
Kamatari bahwa pemuda ini memiliki ilmu yang luar biasa. Percuma untuk berkeras
kepala lagi, maka dengan suara merintih dia berkata, "Dia adalah kongcu
kami. Baiknya kongcu masih tidak berniat memusuhi kalian. Apabila kalian
memiliki kepandaian, boleh datang merampas pedang di pantai Po-hai di dusun
Kui-bun, cari gedung Yo-kongcu!"
Dengan
sekali gerakan, pemuda itu melempar tubuh Kamatari ke belakang. Jago Jepang ini
menabrak kawan-kawannya dan roboh terguling, kemudian ditolong teman-temannya.
Akhirnya mereka pergi dari tempat itu dengan cepat...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment