Tuesday, August 7, 2018

Cerita Silat Serial Jaka Lola Jilid 14



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
              Serial Jaka Lola

                          Jilid 14


Si pemuda teringat akan Yo Wan, segera dia melompat dan membalikkan tubuh. Akan tetapi pemuda tenang yang mencurigakan hatinya tadi sudah lenyap dari sana. Di atas mejanya tergeletak beberapa potong uang perak, agaknya untuk membayar makanan dan minuman. Makin curigalah pemuda itu. "Sumoi, kita harus mengejar si baju putih she Yo itu."

"Mari, Suheng. Aku pun gemas sekali terhadap manusia itu. Kalau dia tidak menyerang secara menggelap, jangan harap dia dapat merampas pedangku Hek-kim-kiam (Pedang Emas Hitam)!"

Walau pun mulutnya berkata demikian, diam-diam hatinya berdebar. Matanya terbayang wajah yang tampan itu dan ia sendiri merasa sangsi apakan ia akan mampu menandingi pemuda luar biasa itu. Dengan suara nyaring pemuda itu memanggil pelayan. Seorang pelayan segera datang berlari-larian, diikuti oleh empat orang temannya. Agaknya para pelayan yang sejak tadi sibuk bersembunyi, sekarang sudah berani keluar lagi setelah keadaan menjadi reda dan pertempuran berhenti.

"Hitung semua, termasuk pengganti kerusakan-kerusakan di sini akan saya bayar."

Pelayan itu lalu membungkuk-bungkuk sambil bibirnya tersenyum-senyum penuh hormat. "Harap Kongcu jangan repot-repot, semua sudah dibayar lunas."

"Siapa yang membayar?" Pemuda itu mengangkat alisnya.

"Yang membayar adalah pemberi benda ini kepada Kongcu, semua sudah dibayarnya dan meninggalkan benda ini yang harus saya serahkan kepada Kongcu." Sambil berkata demikian, pelayan itu menyerahkan sebuah kipas dari sutera hitam.

Pemuda itu mengerutkan kening, akan tetapi menerima juga kipas itu sambil bertanya, "Siapa dia?"

"Siapa lagi kalau bukan yang terhormat pangcu (ketua) dari Hek-san-pang (Perkumpulan Kipas Hitam) yang tersohor? Kiranya Kongcu dan Siocia (Tuan Muda dan Nona) adalah sahabat-sahabat Hek-san-pangcu, maaf kalau kami berlaku kurang hormat..."

Pemuda itu mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala lalu meninggalkan restoran itu bersama sumoi-nya. "Benar-benar manusia aneh. Apa artinya dia membayari semua hidangan, lalu mengganti semua kerusakan dan memberi kipas hitam ini kepada kita? Apakah ini semacam hinaan lain lagi? Keparat!"

"Kurasa kalau orang itu membayar makan minum kita dan memberikan kipasnya, hal itu bukanlah berarti penghinaan, Suheng. Coba kau buka kipasnya, barang kali ada maksud di dalamnya."

Pemuda itu membuka kipas sutera hitam itu. Benar saja, kipas sutera hitam yang amat indah dan berbau semerbak harum itu ditulisi dengan tinta putih, merupakan huruf-huruf bersyair yang halus indah gayanya,

Berkawan sebatang pedang menjelajah laut bebas
sunyi sendiri merindukan kawan dan lawan seimbang
hati mencari-cari...

"Bagus...!" tak terasa lagi ucapan ini keluar dari mulut mungil gadis itu.

Si pemuda cepat menoleh dan memandang sehingga kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali. la merasa seolah-olah sajak itu ditujukan khusus kepadanya. Pemuda yang aneh luar biasa, tampan dan berkepandaian tinggi, merasa sunyi dan merindukan kawan yang memiliki kepandaian seimbang! Dan pedangnya dirampasnya, dengan maksud supaya ia datang ke sana!

"Pemuda sombong, atau cengeng..." Si pemuda malah mencela.

Sumoinya hanya diam saja, takut kalau-kalau tanpa disadarinya mengucapkan sesuatu yang membuka rahasia hatinya. Mereka segera melakukan perjalanan cepat menuju ke timur, melalui sepanjang lembah Sungai Kuning, menuju ke pantai Po-hai. Pemuda dan sumoi-nya itu bukan pendekar-pendekar biasa, bukan petualang-petualang biasa di dunia kang-ouw. Si pemuda adalah putera tunggal dari pendekar besar Tan Sin Lee.

Seperti telah kita ketahui, pendekar besar putera Raja Pedang ini tinggal di Lu-liang-san, bersama isterinya yang bernama Thio Hui Cu murid Hoa-san-pai. Pemuda inilah putera sepasang suami isteri pendekar itu yang bernama Tan Hwat Ki, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, seorang pemuda yang sejak kecil sudah digembleng oleh orang tuanya dan mewarisi ilmu silat tinggi.

Ada pun sumoi-nya, gadis jelita itu, bernama Bu Cu Kim. Pendekar besar Tan Sin Lee memiliki murid sepuluh orang jumlahnya, termasuk putera mereka. Akan tetapi di antara para murid, yang paling menonjol kepandaiannya adalah Bu Cui Kim. Cui Kim adalah anak yatim piatu, ayah bundanya sudah meninggal dunia akibat penyakit yang merajalela di dusunnya. Karena kasihan kepada anak yang bertulang baik ini, Tan Sin Lee lalu mengambilnya sebagai murid, bahkan karena mereka tidak mempunyai anak perempuan sedangkan Cui Kim semenjak kecil kelihatan sangat rukun dengan Hwat Ki, Cui Kim lalu dianggap sebagai anak sendiri.

Demikianlah, sejak kecil Cui Kim seakan-akan menjadi adik angkat Hwat Ki dan bersama putera suhu-nya itu mempelajari ilmu silat tinggi. Pada suatu hari, puncak Lu-liang-san menerima kunjungan seorang tamu yang tidak lain adalah Bun Hui, putera Bun-goanswe yang tinggal di Tai-goan. Boleh dibilang, di antara pendekar-pendekar keturunan Raja Pedang, Tan Sin Lee inilah yang tempat tinggalnya paling dekat dengan Tai-goan dan kota raja.

Lu-liang-san terletak di sebelah barat kota Tai-goan, bahkan dari kota itu sudah kelihatan puncaknya. Sebab itu, begitu menghadapi kesulitan, Bun-goanswe teringat akan sahabat baiknya ini dan menyuruh puteranya mengunjungi Tan Sin Lee.

Di dalam suratnya, Bun-goanswe minta bantuan Tan Sin Lee dan para muridnya untuk membantu negara yang sedang menghadapi banyak gangguan. Di dalam surat itu, dia ceritakan betapa gangguan dari pihak Mongol di utara masih makin menghebat sehingga kaisar sendiri berkenan memimpin barisan untuk menumpas perusuh-perusuh dari utara itu. Diceritakan pula betapa bajak-bajak laut di laut timur kini juga telah menjadi pengganggu-pengganggu keamanan, tidak saja bagi para nelayan di laut, akan tetapi juga di daratan sepanjang pesisir Laut Po-hai. Demikian besar gangguan ini sehingga kaisar sendiri telah memerintahkan kepada Bun-goanswe untuk mengerahkan tenaga menumpas para bajak laut itu kalau mereka berani mendarat.

Sebenarnya Bun-goanswe sudah melakukan usaha ini, tetapi ternyata bahwa para bajak laut Jepang itu bersama-sama bajak laut bangsa sendiri, memiliki banyak orang-orang yang berilmu tinggi sehingga banyak sudah perwira dari kota raja yang tewas di tangan para bajak laut. Karena inilah Bun-goanswe mengharapkan pertolongan Tan Sin Lee dan murid-muridnya. Dan inilah pula sebabnya maka pendekar Lu-liang-san itu lalu menyuruh puteranya sendiri ditemani oleh Cui Im, turun gunung melakukan penyelidikan ke pantai Po-hai.

Sepasang orang muda ini sengaja menyewa perahu berlayar di sepanjang pantai Po-hai. Betul saja, pada suatu hari perahu itu diganggu bajak laut yang menggunakan bendera Kipas Hitam. Akan tetapi kali ini para bajak laut menemui hari naas karena mereka itu kocar-kacir dan banyak yang tewas di tangan sepasang pendekar dari Lu-liang-san ini. Kemudian karena mendengar bahwa banyak bajak mengganas pula di sepanjang Sungai Huang-ho, Hwat Ki bersama sumoi-nya lalu pergi ke kota Leng-si-bun di pinggir Sungai Huang-ho, memasuki rumah makan dan terjadi peristiwa dengan anak buah Kipas Hitam seperti yang telah dituturkan di bagian depan.

Tentu saja Hwat Ki dan Cui Im menjadi girang karena mereka mendapatkan jejak ketua perkumpulan Kipas Hitam yang merupakan gerombolan bajak laut yang paling terkenal, di samping bajak-bajak laut lainnya yang banyak mengganas di sepanjang pantai timur. Hari telah menjadi hampir malam ketika kedua orang pendekar muda dari Lu-liang-san ini tiba di dusun Kui-bun. Dusun ini bukanlah dusun besar, hanya didiami oleh para nelayan yang tidak lebih dari tiga puluh buah keluarga banyaknya.

Di setiap rumah nelayan itu nampak jala-jala dibentangkan, dan di pinggir rumah banyak terdapat bekas-bekas perahu dan tiang-tiang layar. Di ujung yang paling jauh dari pantai, terlihat sebuah rumah gedung besar yang kelihatan ganjil karena jarang terdapat gedung sedemikian besarnya di dusun sekecil itu. Di pantai laut itu sendiri banyak terdapat para nelayan besar kecil sibuk bekerja, agaknya mereka itu sedang memasang atau pun menarik jaring dari pantai. Biasanya kalau hari mulai gelap itulah mereka menarik jaring dan apa bila untung mereka baik, mereka akan menarik banyak ikan di dalam jaring.

Hwat Ki dan Cui Kim segera tertarik oleh rumah gedung itu. "Kiranya tidak akan salah lagi, tentu gedung ini sarang mereka," Hwat Ki berkata kepada sumoi-nya.

"Akan tetapi sebaiknya kalau kita mencari keterangan lebih dulu, Suheng. Di tempat yang asing ini, sungguh tak baik kalau kita keliru memasuki rumah orang."

Hwat Ki mengangguk, menyuruh adik seperguruannya itu menanti di tempat gelap, lalu dia sendiri melangkah cepat menuju ke pantai. Dengan lagak bagai sudah mengenal baik orang yang dicarinya, dia bertanya dengan lantang kepada seorang nelayan, "Sahabat, ingin saya bertanya. Di manakah tempat tinggal seorang bernama Yo-kongcu? Apakah rumah gedung itu?"

Mendadak sekali orang-orang yang tadinya sibuk bekerja itu berhenti bergerak kemudian memandang kepada Hwat Ki. Melihat ini, pemuda itu dapat menduga bahwa agaknya mereka ini pun anak buah pimpinan Kipas Hitam itu, atau setidaknya tentu teman-teman baik, maka cepat-cepat dia menyambung, "Saya adalah sahabat baiknya, belum pernah datang ke sini, tidak tahu di mana rumahnya. Apakah gedung besar itu?"

Seorang nelayan setengah tua mengangguk pendek. "Betul."

Kemudian dia memberi aba-aba kepada kawan-kawannya untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Hwat Ki lega hatinya, cepat dia kembali ke tempat Cui Kim menanti.

"Sudah kuduga bahwa orang she Yo itu tentu berkuasa di sini. Orang-orang itu agaknya takut kepadanya. Sumoi, mari kita ke sana." Keduanya lalu berjalan menghampiri gedung besar. Di sekitar gedung itu sangat gelap, akan tetapi tampak sinar lampu-lampu menerangi sebelah dalam gedung yang dikelilingi oleh tembok setinggi satu setengah tinggi orang. Hwat Ki dan adiknya mengelilingi luar tembok dan mendapat kenyataan bahwa pintu satu-satunya hanyalah pintu depan yang tertutup rapat.

"Kita ketuk saja pintunya," kata Cui Kim.

"Hemmm, tidak akan ada gunanya. Mengunjungi tempat lawan tidak perlu banyak aturan. Mengetuk pintu berarti membuat mereka siap untuk menjebak kita. Mari!"

Pemuda itu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang naik ke atas tembok, diikuti oleh Cui Kim. Bagaikan dua ekor burung walet mereka sudah meloncat dan berdiri di atas tembok. Terang sekali di sebelah dalam tembok. Ruangan depan rumah gedung itu pun sangat terang dan bersih, akan tetapi sunyi tidak tampak ada orangnya.

"Orang she Yo! Kami datang untuk minta kembali pedang!" Tan Hwat Ki berteriak dengan suara lantang. Sedangkan Cui Kim berdiri di dekatnya dengan tegak, siap menghadapi segala kemungkinan.

Sunyi sepi menyambut suara teriakan Hwat Ki yang sedikit bergema di dalam gedung itu. Kemudian terdengarlah suara halus dan nyaring, "Silakan masuk, pintu tidak dikunci dan kami menanti di ruangan tengah!"

"Hati-hati, Suheng, jangan-jangan musuh mengatur perangkap!" bisik Cui Kim.

"Tak usah takut, marilah!" kata Hwat Ki yang melayang turun ke ruangan depan.

Dengan gerakan lincah sekali Cui Kim mengikutinya, melompat turun ke atas lantai ruang depan yang licin dan bersih itu tanpa mengeluarkan suara. Sejenak keduanya berdiri dan memandang ke sekeliling dengan sikap waspada. Ruangan ini, yang merupakan ruangan depan menyambung halaman, amat bersih dan indah. Ketika mereka memandang ke dalam, di sebelah kiri dinding ruangan itu penuh dengan tulisan-tulisan bersajak. Mereka kemudian melangkah ke dalam melalui pintu besar yang memang tidak tertutup.

Ruangan tengah itu luasnya ada lima belas meter persegi, juga terhias lukisan-lukisan indah. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar dikelilingi bangku-bangku terukir burung hong. Tampak empat orang duduk mengelilingi meja dan seorang di antaranya adalah kongcu yang berpakaian serba putih. Melihat pemuda baju putih ini duduk di kepala meja, dapatlah diduga bahwa dia menjadi pemimpinnya. Tiga orang yang lain adalah dua orang laki-laki setengah tua dan seorang wanita berusia empat puluh tahun yang rambutnya sudah berwarna dua dan di gelung tinggi-tinggi di atas kepala. Melihat sikap mereka, tiga orang setengah tua ini tentu bukan orang sembarangan pula.

Seorang di antara dua laki-laki itu bertubuh pendek gemuk, modelnya seperti Kamatari, juga di pinggang orang ini tergantung pedang samurai. Mudah diduga bahwa dia seorang Jepang. Tubuh dan mukanya tidak bergerak-gerak, akan tetapi sepasang matanya lincah bergerak ke kanan kiri. Yang seorang lagi bertubuh tinggi kurus. Bajunya lebar dengan lengan baju panjang dan kumisnya tipis panjang sehingga bertemu dengan jenggotnya yang menutupi dagu serta leher. Mereka berempat sekarang memandang kepada sepasang orang muda yang baru datang.

Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang lembut dari pemuda baju putih, tiba-tiba saja jantung Cui Kim terasa berdebar tidak karuan. Akan tetapi begitu dia melihat pedang hitamnya terletak di atas meja depan pemuda itu, timbul kemarahannya. Seketika sinar matanya berapi-api dan dia berteriak dengan nyaring. "Dengan muslihat curang kau telah merampas pedangku. Orang she Yo, kalau memang kau jantan, kembalikan pedangku dan kita boleh bertanding sampai seribu jurus!"

Pemuda itu tersenyum, cepat bangkit dari bangkunya kemudian memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam. "Bukan salahku...!" jawabnya sambil tersenyum ramah. "Aku sudah mengutus orang dan mengundang kalian baik-baik, kalian tidak datang malah menyerang orangku. Kalau tidak merampas pedang, mana bisa aku memancing kalian datang pada malam ini?" Berkata demikian, pemuda baju putih itu menatap wajah Hwat Ki dengan tajam, dengan pandang mata penuh selidik.

Hwat Ki tetap tenang, memang pemuda ini semenjak kecil memiliki sikap yang tenang. la maklum bahwa bersama sumoi-nya dia telah memasuki goa harimau, akan tetapi sedikit pun dia tidak gentar. "Setelah kami datang untuk minta kembali pedang, apa lagi yang hendak kau bicarakan dengan kami?" tanyanya.

Pemuda baju putih itu kembali tersenyum lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi. Hwat Ki harus mengakui bahwa wajah orang ini memang amat tampan.

"Banyak yang ingin kami bicarakan. Akan tetapi, kalian berdua adalah tamu-tamu kami, silakan duduk. Sebelum menjamu tamu terhormat, mana bisa bicarakan urusan penting? Silakan duduk, atau... barang kali kalian takut kalau-kalau kami menipu? Apakah kalian tidak berani duduk?"

Hwat Ki tersenyum mengejek. "Takut apa?"

Dia lalu melangkah maju, diikuti sumoi-nya. Keduanya kemudian duduk di atas bangku, berhadap-hadapan dengan empat orang itu. Tiga orang setengah tua itu pun berdiri dan mengangguk, dibalas oleh Hwat Ki dan Cui Kim yang merasa heran dan aneh, karena sama sekali tak menyangka mereka akan diterima sebagai tamu. Hanya adanya pedang Hek-kim-kiam di atas meja itu yang membikin suasana menjadi kaku.

Agaknya tuan rumah merasakan hal ini. Dipungutnya Hek-kim-kiam dan disodorkannya pedang itu kepada Cui Kim sambil berkata, "Silakan, Nona. Inilah pedangmu, maaf atas kelancanganku tadi."

Cui Kim menerima pedangnya dengan dua pipi merah dan kembali jantungnya berdebar tak karuan. Semangatnya serasa terbetot oleh senyum dan pandang mata yang menarik itu. Sesudah menyimpan pedang ke dalam sarung pedangnya, kembali ia duduk dengan muka tunduk.

Si pemuda baju putih bertepuk tangan tiga kali. Segera bermunculan lima orang pelayan wanita yang muda-muda serta cantik-cantik. Mereka sibuk membawa datang hidangan-hidangan lezat dan arak wangi yang mereka tuangkan ke dalam cawan enam orang itu dengan gerakan dan gaya yang manis. Si pemuda baju putih itu dengan ramah-tamah mempersilakan kedua orang tamunya makan dan minum arak.

Memang sehari itu Hwat Ki dan sumoi-nya baru makan sekali, yaitu di rumah makan kota Leng-si-bun sebelum tengah hari, tentu saja pada saat itu mereka sudah merasa lapar. Hwat Ki yang tahu bahwa pihak tuan rumah menguji ketabahan mereka, tentu saja tidak sudi memperlihatkan kekhawatiran. Dengan wajar dan tenang dia mulai makan minum menemani tuan rumah dengan enaknya.

Hanya Cui Kim yang merasa agak canggung. Sebagai seorang gadis, ia berbeda dengan gadis biasa. Bagi dirinya yang sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, makan bersama orang-orang lelaki bukanlah hal yang menyulitkan. Akan tetapi entah bagaimana, ketika berhadapan dengan tuan rumah she Yo yang muda, tampan dan luar biasa itu, membuat hatinya bergoncang dan sepasang sumpit yang dipegangnya agak gemetar!

"Nona, mengapa sungkan-sungkan? Marilah, harap kau suka mencoba masakan ini. Ini masakan sirip ikan Hiu Harimau, Nona pasti belum pernah mencoba masakan ini, bukan? Silakan!"

Pemuda Yo itu mengangkat mangkok masakan itu dan menawarkannya kepada Cui Kim. Dengan sangat ramah dia menawarkan beberapa macam masakan, malah menuangkan arak memenuhi cawan gadis itu sehingga si gadis menjadi makin canggung dan jengah. Diam-diam Hwat Ki mendongkol sekali. Tuan rumah yang masih muda dan tampan ini, meski pun amat ramah, akan tetapi agaknya terlalu manis sikapnya terhadap Cui Kim. la diam-diam menduga bahwa orang she Yo ini tentulah seorang pemuda hidung belang, seorang kongcu yang gila akan wanita cantik. Buktinya para pelayannya tadi pun semua muda-muda cantik-cantik dan lagaknya menarik, membayangkan pendidikan cukup.

la takkan heran kalau para pelayan itu pandai bernyanyi, menari dan main musik untuk menghibur hati sang kongcu hidung belang. Oleh karena dugaan ini Hwat Ki lalu bersikap lebih waspada dan berhati-hati. Siapa tahu, pancingan ini pada hakekatnya hanya untuk menjadikan sumoi-nya yang cukup cantik sebagai korban!

Sikap pemuda she Yo itu makin manis kepada Cui Kim, selalu tersenyum dan mengajak Cui Kim bercakap-cakap. Malah kelancangannya makin menjadi-jadi ketika dia bertanya sambil tersenyum manis dan mengerling tajam.

"Nona, agaknya lebih patut aku menyebutmu adik. Aku berani bertaruh bahwa usia kita sebaya, akan tetapi lebih enak aku menyebut adik. Berapakah usiamu tahun ini dan eh... betul juga, aku belum mengetahui namamu. Namamu tentu indah, sama manis dengan orangnya.”

Muka Cui Kim menjadi merah sekali, sampai ke telinga dan lehernya. Karena sikap yang manis dan pembicaraan yang manis tadi dia sampai lupa akan kewaspadaan dan agak terlalu banyak minum arak. Mungkin inilah yang membuat dia sekarang merasa betapa badannya panas dingin dan jantungnya berdegup hampir meledak mendengar kata-kata itu.

Biasanya ia akan marah dan memukul, atau paling sedikitnya memaki orang yang berani bersikap begini lancang terhadap dirinya. Akan tetapi entah mengapa, kali ini ia hanya menundukkan muka dan mulutnya berkata gagap, "Aku... namaku... Bu Cui Kim dan... dan..."

"Sumoi, tak perlu memperkenalkan diri pada orang yang belum kita ketahui keadaannya!" tiba-tiba saja Hwat Ki memotong, kemudian menarik bangkunya agak mundur dari meja, menggunakan ujung lengan baju menghapus bibirnya, lalu dia berkata, suaranya tenang dan penuh wibawa,

"Sahabat, kami berdua sudah menerima undanganmu, juga sudah makan serta minum hidanganmu, semua ini kami lakukan untuk melayanimu seperti lazimnya kebiasaan di dunia kang-ouw. Sebagai orang yang mengundang, berarti kau yang mempunyai urusan dengan kami, maka sudah selayaknya apa bila kau yang harus memperkenalkan dirimu kepada kami dan menyatakan secara terus terang apa yang tersembunyi dalam hatimu terhadap kami."

Begitu melihat sikap suheng-nya dan mendengar ucapan ini, sadarlah Cui Kim. Dia pun segera menarik bangkunya menjauhi meja, mukanya masih merah akan tetapi sekarang pandang matanya berkilat dan penuh curiga!

Pemuda berbaju putih itu tersenyum lebar, sebelum berbicara dia menggunakan sehelai sapu tangan putih bersih menghapus mulutnya. Agak keras ia menggosok-gosok bibirnya yang berlepotan minyak masakan itu sehingga ketika dia menurunkan sapu tangan itu, sepasang bibirnya menjadi merah bagai dipulas gincu. Makin tampan wajahnya sehingga kembali Cui Kim harus menekan perasaan hatinya yang bergelora.

Selama hidupnya baru kali ini Cui Kim mengalami hal seaneh ini ketika melihat seorang pemuda. Akan tetapi, memang pemuda ini luar biasa tampannya!

"Sayang, kalian masih belum percaya bahwa aku mengandung maksud hati yang baik. Padahal kalau dipikir-pikir, kau telah membunuhi belasan orang-orang kami, bahkan kau tadinya tak mengindahkan undangan kami. Baiklah aku memperkenalkan diri. Aku adalah keturunan campuran antara bangsamu dengan darah Jepang, namaku Yosiko atau boleh juga diubah menjadi Yo Si Kouw." la tersenyum.

Dengan masih berdiri dan sikapnya angker, Hwat Ki berkata, pandang matanya tajam menyelidik,

"Jadi kau bernama Yosiko dan menjadi ketua dari perkumpulan bajak Kipas Hitam yang mengganggu keamanan Laut Po-hai dan muara Sungai Kuning. Terus terang saja, kami berdua kakak beradik seperguruan memang ditugaskan untuk membersihkan daerah ini dari gangguan bajak! Karena itulah ketika anak buahmu mengganggu, maka kami bunuh mereka. Nah, sekarang kau mengundang kami, ada keperluan apakah?"

Ucapan Hwat Ki ini merupakan tantangan langsung. Akan tetapi Yosiko sama sekali tak menjadi marah, bahkan tersenyum dan memandang kagum.

"Kau sungguh gagah berani! Apa kau kira mudah saja membasmi kami? Apa kau berani menghadapi kami yang berjumlah banyak, sedangkan banyak perwira kerajaan tewas di tangan kami?"

"Orang she Yo, kalau tadi aku sudah berani mengaku terus terang di depanmu, berarti kami tidak takut menghadapi kalian! Akan tetapi karena sikapmu berbeda dengan para bajak yang kasar, bahkan sudah mengundang kami dan menjamu sebagai tamu, biarlah kunasehatkan agar kau cepat-cepat kembali ke tempat asalmu dan jangan melanjutkan pekerjaan kotor menjadi bajak di daerah ini. Aku sudah bicara dan jika tidak menghargai saranku, baiklah, terpaksa aku melupakan semua kebaikanmu dan akan menganggapmu sebagai musuh!"

Yo-kongcu tertawa, giginya yang putih berkilat. "Ahh, alangkah gagahnya! Kau tentu she Tan, bukan? Bukankah kau putera dari ketua Lu-liang-pai dan ayahmu bernama Tan Sin Lee?"

Hwat Ki tak menjadi heran. Sebagai seorang kepala bajak, tentu saja kepala bajak muda ini mempunyai banyak kaki tangan dan penyelidik sehingga dapat mengetahui keadaan dirinya.

"Memang aku Tan Hwat Ki dan ayahku bernama Tan Sin Lee, ketua dari Lu-liang-pai. Setelah tahu akan hal itu, lebih baik kau menerima saranku, hentikanlah pembajakan-pembajakan di daerah ini."

"Ahhh, benar dugaanku. Orang sendiri! Ehh, Tan Hwat Ki, enak saja kau menyuruh orang menghentikan pekerjaan. Kalau aku tidak mau mundur, bagaimana?"

"Pedangku akan membereskan segalanya!" kata Tan Hwat Ki sambil menepuk gagang pedangnya. Dia maklum bahwa menghadapi kepala bajak yang aneh dan lihai ini, perlu sikap tegas, karena mereka berdua sudah berada di sarang harimau.

"Tapi... tapi aku tidak ingin bermusuhan denganmu!"

Kini Cui Kim yang merasa tidak enak kalau diam saja, menjawab. "Kalau kau tidak ingin bermusuhan, lebih baik menerima saran suheng-ku, sebelum terlambat dan pedang kami membasmi kalian!"

"Wah… wah… wah, galaknya!" Yo-kongcu mengeluh. "Tan Hwat Ki, dengarlah sekarang maksud hatiku. Aku sengaja mengundang kau dan Sumoi-mu ke sini dengan maksud baik. Ketahuilah bahwa telah lama aku mendengar nama besar jago-jago di daratan, di antaranya jago dari Lu-liang-san. Aku mempunyai seorang adik perempuan yang sedang mencari jodoh, namun sukarnya, dia menghendaki jodoh seorang pemuda yang mampu mengalahkan aku! Kulihat kau cukup hebat, maka aku ingin mencoba kepandaianmu." Sesudah berkata demikian, Yo-kongcu yang aneh ini melolos sehelai sabuk sutera putih dan sebatang pedang yang kecil panjang.

Merah sekali wajah Hwat Ki, juga dia menjadi semakin marah. "Ucapanmu tidak karuan, orang she Yo! Siapa sudi melayani ucapan gila-gilaan itu? Hayo lekas kau memilih, mau mengundurkan diri dari wilayah ini dengan aman atau harus makan pedangku!"

"Bagus, Tan Hwat Ki, lekas kau majulah. Memang aku hendak menguji kepandaianmu!" tantang ketua Hek-sin-pang (Perkumpulan Kipas Hitam) itu.

"Suheng, biarkan aku maju menghadapi bajak ini!" tiba-tiba saja Cui Kim meloncat maju dengan pedang Hek-kim-kiam di tangan.

Pemuda tampan baju putih itu tersenyum, membuat wajahnya menjadi ganteng sekali.

"Aha, adik yang manis. Apakah kau juga hendak memasuki sayembara?"

"Apa... apa maksudmu?"

"Agaknya kau sama dengan adik perempuanku, hendak mencari jodoh dengan menguji kepandaian pemuda yang disukainya. Kau hendak menguji kepandaianku?"

Wajah Cui Kim menjadi merah sekali.

"Setan kau...!"

"Sumoi, tunggu! Laki-laki ceriwis ini tidak perlu kau layani, serahkan kepadaku. He, orang she Yo! Apa bila kau memang laki-laki sejati, jangan mengganggu wanita dengan ucapan kotor. Hayo kau tandingi pedangku!"

"Sraattttt!"

Tampak sinar berkilauan ketika pemuda Lu-liang-san ini mencabut pedang. Pedangnya pendek saja, akan tetapi pedang ini mengeluarkan sinar menyilaukan dan mengandung hawa dingin.

Inilah pedang yang terbuat dari logam putih yang sudah terpendam di dalam salju ribuan tahun lamanya, maka diberi nama Swat-cu-kiam (Pedang Mustika Salju). Karena logam putih itu tidak tersedia cukup banyak, maka hanya bisa dibuat menjadi sebatang pedang pendek saja. Logam putih itu didapatkan oleh Tan Sin Lee di puncak gunung yang selalu tertutup salju, dibuat menjadi pedang pendek dan diberikan kepada puteranya.

Pada saat itu, dari pintu samping melompat masuk seorang pemuda. Pemuda ini pendek tegap tubuhnya, kelihatan kuat sekali, mukanya agak hitam karena sering terbakar sinar matahari. Pakaiannya ringkas sedang kepalanya dicukur botak semodel dua orang kakek yang duduk di sana. Tangannya memegang pedang samurai dan matanya berkilat-kilat penuh kemarahan.

"Yosiko... eh, Yo-kongcu, tak ada laki-laki yang cukup berharga menandingimu sebelum menangkan Shatoku!"

Yo-kongcu kelihatan kaget dan membentak, "Shatoku, mundur...!"

"Maaf, dia harus mengalahkan aku lebih dulu!"

Sesudah berkata demikian, pemuda Jepang yang bernama Shatoku itu menerjang ke depan, ke arah Hwat Ki sambil memekik keras,

"Haaaiiiiittt!"

Pedang samurainya berkelebat bagai halilintar menyambar, amat kuat dan cepat bukan main, jauh lebih kuat dan lebih cepat dari pada gerakan samurai di tangan Kamatari. Menyaksikan gerakan ini, Hwat Ki tidak berani memandang ringan. Dia dapat menduga apa yang terjadi. Tentu pemuda Jepang yang bernama Shatoku ini adalah seorang yang mencinta atau tergila-gila pada gadis adik ketua Kipas Hitam dan kini menjadi cemburu.


Diam-diam dia mendongkol sekali terhadap orang she Yo itu, juga dia marah kepada pemuda Jepang ini yang datang-datang langsung menerjangnya dengan mati-matian. la harus perlihatkan kepandaiannya. Cepat dia mempergunakan langkah-langkah Kim-tiauw Sin-po (Langkah Ajaib Rajawali Emas) yang dia warisi dari ayahnya.

Begitu dia mainkan langkah-langkah ini, sinar samurai yang menyambar-nyambar seperti halilintar itu selalu mengenai tempat kosong. Pemuda Jepang Shatoku itu menjadi sangat penasaran.

Dia seorang yang terkenal paling hebat di antara para pemuda bangsanya yang menjadi anggota Kipas Hitam. Masa sekarang dia tidak sanggup merobohkan seorang pemuda kurus yang kelihatan lemah? Samurainya diputar secepatnya dan sekarang serangannya mengeluarkan bunyi berdesingan selain menciptakan gulungan sinar yang melibat-libat di sekitar tubuh Hwat Ki.

Setelah mainkan Kim-tiauw Sin-po sampai tiga puluh jurus sambil terus memperhatikan gerakan lawan, sekarang tahulah Hwat Ki akan rahasia dan kelemahan ilmu silat pedang lawannya yang aneh itu. Ilmu pedang itu hanya mengandalkan tenaga dan kecepatan tanpa ada variasi atau kembangan, juga tenaga yang diandalkannya hanya tenaga kasar. Memang harus diakui sangat cepat dan andai kata dia tidak mempunyai Ilmu Kim-tiauw Sin-po, agaknya serangan kalang-kabut seperti hujan badai itu sedikitnya akan membuat dia gugup dan kacau.

Setelah mempelajari gerakan lawan, tiba-tiba saja Hwat Ki mengeluarkan seruan nyaring. Tubuhnya berkelebat dan bagi pandangan Shatoku, tiba-tiba lawannya sudah lenyap dari pandangan matanya. Kemudian dia mendengar angin di belakangnya, cepat samurainya dia kelebatkan ke belakang. Akan tetapi hanya mengenai angin belaka dan tahu-tahu, sebelum dia sempat menjaga karena tidak tahu lawan menyerang dari mana, Shatoku merasa betapa dadanya dimasuki oleh sesuatu yang sangat dingin sehingga membuat dia menggigil.

Samurainya terlepas dari tangan, dia terhuyung-huyung lalu roboh miring. Dari dadanya mengucur keluar darah karena dada itu sudah ditebusi pedang Swat-cu-kiam!

"Yosiko...," bibirnya berbisik, sedangkan matanya yang sudah mulai pudar cahayanya itu ditujukan ke arah ketua Kipas Hitam.

Orang she Yo itu membuang muka dan berkata, "Salahmu sendiri, Shatoku. Kau tidak tahu diri, seperti si cebol merindukan bulan. Matilah dengan tenang, kau roboh di tangan seorang pendekar gagah!"

Mata Shatoku tertutup dan matilah pemuda Jepang itu. Atas isyarat Yo-kongcu, empat orang laki-laki muncul dan membawa pergi jenazah itu, sedangkan para pelayan wanita cepat membersihkan sisa-sisa darah di lantai dengan kain dan air. Cepat pekerjaan ini dilaksanakan dan sebentar saja keadaan sudah bersih kembali seperti semula.

"Tan Hwat Ki, kepandaianmu cukup untuk menandingi aku. Hayo majulah!" Yo-kongcu berseru, pedangnya tegak lurus ke atas di depan keningnya, sabuk sutera putih di tangan kiri digulung. Gaya kuda-kuda ini indah dipandang, akan tetapi juga aneh dan asing.

"Orang she Yo, sekali lagi kunasehatkan supaya kau mundur dan menarik semua bajak dari daerah ini, segera kembalilah ke tempat asalmu. Contohnya orangmu tadi, terpaksa kurobohkan karena secara kurang ajar dia menyerangku tanpa sebab. Aku sungguh tidak ingin membunuh orang yang baru saja menjamu kami."

"Tak perlu banyak cakap lagi, Tan Hwat Ki. Kalau kau dapat menangkan aku, kau akan menjadi jodoh adikku, kalau tidak, terpaksa kami memberi hukuman atas kelancanganmu membunuh banyak orang anggota Kipas Hitam."

"Bagus, kau lihat baik-baik pedangku!"

Hwat Ki segera menikam dengan jurus Kim-tiauw Liak-sui (Rajawali Emas Sambar Air). Mula-mula jurus ini digerakkan dengan lambat, akan tetapi secara mendadak berubah cepat dan dahsyat sekali, yang dijadikan sasaran sekaligus adalah tiga tempat, yaitu ulu hati, pusar dan tenggorokan! Ujung pedangnya tergetar menjadi tiga, biar pun menusuk secara berturut-turut, akan tetapi saking cepatnya seakan-akan merupakan tiga batang pedang menusuk sekaligus.

"Bagus!" Yo-kongcu memuji dalam bahasa Jepang. Sepasang kakinya dengan cekatan melangkah ke samping dan sekaligus terhindarlah dia dari pedang lawan.

"Ehhh...!" Hwat Ki berseru kaget melihat cara lawannya menghindarkan diri.

Cepat Hwat Ki menerjang lagi bertubi-tubi dengan tiga jurus dirangkai sekaligus tanpa memberi kesempatan lawan balas menyerang. Pancingannya berhasil karena Yo-kongcu melanjutkan langkah-langkahnya untuk menghindar. Lincah sekali gerakan pemuda itu dan tiga jurus yang dilancarkan dengan cepat ini dapat dihindarkan dengan baik.

"Tahan!" teriak Hwat Ki yang tak dapat menahan keheranan hatinya lagi. "Orang she Yo, dari mana kau mencuri langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun?"

Yo-kongcu tertawa mengejek, mempermainkan sabuk sutera putih di tangan kirinya.

"Tan Hwat Ki, apa kau kira hanya engkau sendiri yang mampu mainkan langkah-langkah Kim-tiauw-kun? Ihhh.., kau terlampau memandang rendah kepadaku. Lihat seranganku!"

Dengan cepat sekali seberkas cahaya putih menyambar ke arah Hwat Ki. Pemuda ini mengenal sinar putih yang siang tadi telah merampas pedang Hek-kim-kiam dari tangan sumoi-nya. la tidak menjadi gentar, segera memutar tangan kirinya dan mendorong ke depan.

"Plakkk!"

Ujung sinar putih atau lebih tepat ujung sabuk sutera putih itu terpental kembali ketika bertemu dengan tangan kiri Hwat Ki yang pada waktu didorongkan mengeluarkan cahaya kehijauan itu. Kagetlah Yo-kongcu.

Pukulan tangan kiri Hwat Ki tadi jelas adalah pukulan jarak jauh yang luar biasa sekali. Memang sesungguhnya demikianlah. Hanya ada satu macam ilmu pukulan jarak jauh di dunia ini yang dilakukannya dengan cara memutar-mutar lengan kiri seperti itu, yaitu Ilmu Pukulan Ching-tok-ciang (Tangan Racun Hijau)!

Ilmu Pukulan Ching-tok-ciang ini diwarisi Hwat Ki dari ayahnya, sebab ilmu ini merupakan peninggalan neneknya, ibu dari Tan Sin Lee. Karena ilmu ini sifatnya ganas dan liar, lebih tepat dipergunakan oleh golongan hitam, maka Tan Sin Lee tidak mengajarkannya kepada murid-muridnya yang lain kecuali kepada putera tunggalnya, dengan pesan agar ilmu ini jangan dipergunakan kalau tidak perlu. Biar pun ilmu ini merupakan ilmu ganas, namun karena merupakan peninggalan ibunya, terpaksa dia wariskan kepada puteranya.

Akan tetapi pemuda she Yo yang tangkas itu hanya sebentar saja terkejut karena selain dia segera dapat mengatasi kekagetannya, juga sekarang pedangnya sudah menerjang dengan gerakan yang sangat ganas dan cepat. Sifat gerakan pedangnya jauh berbeda kalau dibandingkan dengan gerakan samurai di tangan Shatoku, pemuda Jepang tadi. Gerakan samurai cepat bertenaga, akan tetapi tenaganya adalah tenaga kasar, ada pun kecepatannya wajar. Karena itu sifatnya sangat berbeda dengan ilmu silat pedang yang lebih banyak mengandalkan kecepatan ginkang, tenaga dalam dan gerak-gerak tipu dan pancingan-pancingan yang berbahaya.

Hwat Ki menjadi heran dan kagum juga. Pemuda Jepang darah campuran ini ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat dan aneh sekali, karena gerakan-gerakannya biar pun masih jelas merupakan ilmu pedang yang pilihan, juga tercampur gerakan silat Jepang. Ginkang-nya cukup tinggi, tenaga sinkang-nya juga sangat kuat, sedangkan pedang di tangannya itu pun terbuat dari bahan baja pilihan karena setiap kali bertemu dengan Swat-cu-kiam di tangannya, lantas mengeluarkan warna seperti perak dan mempunyai tenaga getaran tanda logam pusaka.

Di sampng ini, pemuda peranakan Jepang itu benar-benar lincah sekali menggunakan langkah-langkah bersumber Kim-tiauw-kun. Dia pernah mendengar dari ayahnya bahwa Kim-tiauw-kun merupakan sumber banyak macam ilmu langkah ajaib, di antaranya yang terhebat adalah Si-cap-it Sin-po dan yang kedua adalah Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te (Terbang di Langit Masuk ke Bumi).

Berbeda dengan Si-cap-it Sin-po yang mempunyai empat puluh satu langkah, Hui-thian Jip-te mempunyai dua puluh empat langkah. Agaknya, pemuda she Yo ini menggunakan Hui-thian Jip-te karena langkah-langkahnya tidak terlalu banyak macamnya namun cukup untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan berbahaya.

Yang lebih berbahaya adalah sabuk sutera putih ini berkelebatan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata, kadang kala bergulung-gulung menjadi lingkaran-lingkaran besar kecil yang selain dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan, juga sering digunakan untuk berusaha melibat pedang lawan dan merampasnya.

Akan tetapi Tan Hwat Ki tidak selemah sumoi-nya. Ilmu pedangnya mantap, gerakannya penuh tenaga dalam, sikapnya tenang dan pertahanannya pun kokoh kuat. Sama sekali sabuk sutera putih itu tidak membuat hatinya gugup, malah secara pelan-pelan dengan dorongan-dorongan Ching-tok-ciang dan tekanan pedang Swat-cu-kiam di tangan kanan, dia mulai mendesak lawannya setelah pertandingan berlangsung lebih dari seratus jurus dengan amat serunya.

Tiga orang tua yang masih duduk menghadapi meja, dan juga Bu Cui Kim, memandang penuh kekaguman. Diam-diam Cui Kim semakin kagum terhadap pemuda Jepang yang tampan sekali itu. Tadinya dia menganggap bahwa di antara semua pemuda di dunia ini, sukarlah mencari tandingan suheng-nya yang mempunyai kepandaian luar biasa. Siapa kira, kini pemuda peranakan Jepang yang tampan sekali itu mampu menandingi Hwat Ki sampai lebih dari seratus jurus dalam pertandingan yang seru dan seimbang. Hatinya makin kagum dan ia memandang penuh perhatian.

Sesudah melihat betapa pelan-pelan pemuda peranakan Jepang itu mulai terdesak oleh lingkaran-lingkaran sinar pedang suhengnya, diam-diam Cui Kim menaruh kekhawatiran kalau-kalau kakak seperguruannya itu akan menurunkan tangan besi dan membunuh si pemuda Jepang seperti yang dilakukannya terhadap Shatoku, pemuda Jepang tadi.

Memang Hwat Ki tidak mau memberi kesempatan lagi kepada Yosiko. la pikir lebih baik melenyapkan ketua Kipas Hitam ini karena kalau ketuanya sudah tewas, tentu akan lebih mudah membasmi gerombolan bajak laut yang mengganggu keamanan wilayah Po-hai. Maka dia makin hebat mendesak dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu pedangnya.

Ada pun Yo-kongcu yang terdesak itu, berkali-kali mengeluarkan seruan kagum atas ilmu kepandaian lawan. la tidak kelihatan gelisah, meski terdesak dan tertekan, seruan-seruan kagum dari mulutnya mengandung kegembiraan.

"Hebat, kau patut menjadi jodohnya..." demikian berkali-kali dia berseru. "Ilmu pedangmu hebat!"

"Tidak usah banyak cakap, bersiaplah untuk mampus!" bentak Hwat Ki dan pedangnya menyambar-nyambar seperti tangan maut mencari korban.

Mendadak dia mendengar suara Cui Kim berseru keras, "Suheng, celaka... kita tertipu...!"

Hwat Ki kaget dan menengok. Ternyata adik seperguruannya itu terhuyung-huyung lalu roboh pingsan di atas lantai! la tidak tahu apa yang terjadi atas diri sumoi-nya, cepat dia meloncat ke arah adik seperguruannya itu, akan tetapi mendadak dia merasa kepalanya pening, pandang matanya berkunang-kunang.

Tahulah dia sekarang. la, seperti juga sumoi-nya, terkena racun! Agaknya tadi karena dia bertanding dan mengerahkan sinkang, racun itu belum begitu terasa olehnya. Apa lagi memang sinkang yang dimiliki sumoi-nya tidak sekuat sinkangnya. Dengan penuh kemarahan Hwat Ki menengok. Dilihatnya Yosiko atau Yo-kongcu (tuan muda Yo) itu tersenyum, berdiri memandang kepadanya seperti orang mengejek.

"Keparat! Kau... curang! Kau meracuni kami...!" Hwat Ki menguatkan diri dan memaki.

Senyum itu melebar, akan tetapi kini pandangan mata Hwat Ki sudah remang-remang dan kurang jelas, hanya kelihatan gigi putih berkilat, kemudian terdengar suara pemuda Jepang kepala bajak itu berkata, terdengar oleh telinganya seperti suara yang datang dari jauh sekali,

“Tan Hwat Ki, kau belum mengenal kelihaian Kipas Hitam. Jika tadi kau kalah bertanding denganku, kau dan adikmu tentu sekarang sudah mati, sebab kau tidak ada harganya. Untung kau menang, maka kau dan adikmu harus menjadi tawananku. Jangan khawatir, kami tidak akan membunuh kalian, racun itu hanya beberapa menit saja membuat kalian pingsan..."

Apa yang diucapkan selanjutnya tak dapat terdengar lagi oleh Hwat Ki yang telah roboh pingsan di samping adik seperguruannya.

"Siauw-pangcu... (Ketua Muda), untuk apa menawan mereka? Lebih baik lekas dibunuh saja agar tidak menimbulkan keruwetan di belakang hari," berkata seorang di antara dua kakek itu, yang bertubuh kurus kering.

"Pauw-lopek (uwa Pauw), mereka itu masih orang sendiri, tidak mungkin aku membunuh mereka, kecuali... hemmm kecuali jika mereka tidak mau menurut memihak kita," jawab Yosiko dengan suara tegas.

"Bagus sekali! Kipas Hitam kiranya hanya perkumpulan bajak busuk yang dipimpin oleh seorang wanita curang!" tiba-tiba terdengar suara orang.

Kaget bukan main hati Yosiko, serentak dia meloncat dan siap, demikian pula tiga orang tua itu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di sana sudah muncul seorang pemuda berpakaian serba putih yang sederhana, dengan wajah yang tenang dan penuh wibawa. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Wan!

Seperti kita ketahui, secara kebetulan sekali Yo Wan berada di rumah makan di dusun Leng-si-bun dan menyaksikan peristiwa yang terjadi antara muda-mudi Lu-liang-san itu dengan orang-orang Kipas Hitam. Pada saat muncul Yosiko yang mengaku she Yo dan memiliki gerakan yang sangat hebat, dia kaget dan heran sekali, juga ingin tahu karena bagaimana ketua Kipas Hitam itu memiliki she (nama keturunan) yang sama dengan dia?

Diam-diam dia menyelinap pergi sambil meninggalkan uang pembayaran makan minum, lantas membayangi si pemuda ketua Kipas Hitam itu ke dusun Kui-bun di pantai Po-hai. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, Yo Wan berhasil membayangi terus sampai di gedung tempat kediaman ketua Kipas Hitam itu dan bersembunyi. la dapat menduga bahwa muda-mudi yang dirampas pedangnya itu pasti akan menyusul ke Kui-bun. Maka, diam-diam dia bersembunyi sambil memasang mata, siap menolong muda-mudi itu bila mereka terancam bahaya.

Kalau muda-mudi itu bertentangan dengan golongan bajak laut yang telah mengganggu ketenteraman penghidupan para nelayan dan saudagar di tepi laut, tentu saja dia akan memihak mereka. Apa lagi karena timbul dugaan di dalam hatinya bahwa muda-mudi itu sedikit banyak tentu mempunyai hubungan dengan gurunya, Pendekar Buta.

Ketika dugaannya terbukti dengan munculnya muda-mudi di ruangan besar gedung itu, dia mendapat kenyataan yang menggirangkan, juga mengherankan hatinya. Pemuda itu ternyata bernama Tan Hwat Ki, putera Tan Sin Lee ketua Lu-liang-pai. Kini tidak heranlah dia mengapa pemuda itu dan sumoi-nya demikian lihai dan mempunyai gerakan langkah Kim-tiauw-kun. Tentu saja dia girang dan niatnya menolong atau membantu mereka lebih mantap lagi.

Akan tetapi, hal yang amat mengherankan hatinya adalah ketika dia melihat kenyataan pula bahwa pemuda baju putih yang disebut Yosiko atau Yo-kongcu dan menjadi ketua Kipas Hitam itu ternyata adalah seorang wanita! Pandang matanya yang tajam segera dapat membuka rahasia ini ketika Yosiko mulai bersilat melawan Hwat Ki. Ada gerakan-gerakan otomatis pada kaki dan lengan seorang wanita, yang sangat berbeda dengan gerakan otomatis kaki tangan pria.

Dalam menggerakkan lengannya, seorang wanita otomatis tidak mau membuka pangkal lengannya menjauhi dada, hal ini adalah sifat pembawaan tiap wanita. Tentu saja dalam mainkan ilmu silat, hal ini tidak mengikat benar, namun dalam ilmu silat pun tercampur dengan gerakan otomatis yang menjadi dasar menurut pembawaan masing-masing.

Melihat gerak ini, kemudian melihat wajah yang terlalu tampan itu, kulit yang terlalu halus untuk pria, mudah saja Yo Wan menduga bahwa pemuda tampan itu adalah seorang gadis cantik yang menyamar pria. Keheranan ini belum seberapa kalau dibandingkan dengan keheranan ketika dia melihat betapa gadis peranakan Jepang ini menggerakkan kakinya dalam langkah-langkah ajaib yang sangat dikenalnya. Itulah inti sari ilmu langkah ajaib yang dahulu pernah dia pelajari dari suhunya, Pendekar Buta!

Hanya bedanya, yang dia pelajari adalah lebih lengkap berjumlah empat puluh satu jurus, sedangkan yang dikuasai gadis Jepang itu adalah dua puluh empat jurus Hui-thian Jip-te! Benar-benar amat luar biasa dan hal ini membuat hatinya menjadi ragu untuk memusuhi apa lagi membasmi ketua Kipas Hitam ini.

Demikianlah, ketika dia melihat Hwat Ki telah mendesak hebat, seperti juga Cui Kim, dia khawatir kalau-kalau dalam kemarahannya Hwat Ki lantas membunuh ketua Kipas Hitam itu, maka dia bersiap-siap untuk menghentikan pertandingan mati-matian itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat Cui Kim roboh pingsan, disusul oleh Hwat Ki dan mendengar ucapan Yosiko, dia mengerutkan kening. Gadis peranakan Jepang itu benar-benar lihai, berani, juga liar dan curang, maka sambil mengejek dia lalu menampakkan diri.

Marahlah hati Yosiko ketika melihat munculnya seorang asing secara mendadak. Cepat dia bertepuk tangan tiga kali dan muncullah enam orang pendek-pendek yang ternyata bukan lain adalah Kamatari bersama lima orang temannya. Si Pedang Cakar Naga ini bersama lima orang temannya menjura dalam-dalam sampai jidat mereka hampir menyentuh tanah di depan Yosiko.

"Apa yang dapat kami lakukan untuk Yo-kongcu yang terhormat?" tanya Kamatari dalam bahasa Jepang.

"Kalian sekelompok udang goblok, bagaimana dengan tugasmu menjaga sehingga orang dusun ini bisa masuk ke sini tanpa ijin?" bentak Yosiko sambil menudingkan telunjuknya ke arah Yo Wan.

Kamatari melirik dan tampak kaget ketika melihat Yo Wan. "Dia... dia adalah orang yang kelihatan di dalam rumah makan di Leng-si-bun!" katanya gagap dan heran.

"Goblok, seret dia keluar!" bentak Yosiko.

Diikuti lima orang temannya, Kamatari melangkah maju, lambat-lambat, selangkah demi selangkah, dengan gerak kaki menurutkan ilmu silatnya, kedua tangannya tergantung di kanan kiri, sikunya sedikit ditekuk dan jari-jari tangannya terbuka dan tertutup, sikapnya mengancam sekali!

Gerakan lima orang temannya juga seperti itu, bahkan dengan teratur mereka berenam kemudian membuat gerakan mengelilingi Yo Wan.

"Ehhh, cakar nagamu ke mana? Apakah sudah kau tukar dengan cakar ayam maka kau malu mengeluarkannya?" Yo Wan berkata sambil menghadapi Kamatari, sebab di antara enam orang itu, Si Cakar Naga inilah yang paling kuat.

Merah muka dan kepala yang botak itu, kemudian tiba-tiba Kamatari mengeluarkan pekik nyaring yang agaknya keluar dari dalam perutnya, disusul dengan gerakannya laksana katak melompat dan tahu-tahu pedang samurainya telah menyambar ke arah Yo Wan. Pada detik-detik berikutnya, lima orang temannya juga sudah menerjang dengan samurai terhunus sehingga dari enam penjuru menyambarlah kilatan enam sinar samurai yang amat tajam!

"Cring-crang-cring!"


cerita silat online karya kho ping hoo


Tampak bunga api berpijar menyilaukan mata pada saat enam batang samurai itu saling bentur dalam keadaan kacau yang membingungkan. Tadinya Kamatari dan kelima orang temannya merasa yakin bahwa samurai-samurai mereka pasti akan mencincang hancur tubuh si pemuda desa yang agaknya sudah tidak dapat mengelak ke mana-mana karena semua jalan keluar sudah tertutup oleh enam buah samurai. Enam buah samurai yang menghantam ke satu titik, yaitu di mana Yo Wan berada.


Akan tetapi, ketika tepat tiba di sasaran, ternyata pemuda itu tidak tampak bayangannya lagi sehingga enam buah samurai itu saling bentur. Karuan saja enam orang itu terkejut dan terheran-heran sekali, dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, mereka merasa didorong dari belakang oleh sebuah tenaga mukjijat dan berturut-turut terdengar suara beradunya kepala sama kepala dan bergelimpanglah enam orang itu dengan tambahan benjol sebesar telor ayam pada botak kepala masing-masing. Mereka pingsan seketika.

"Hek-san Pangcu (ketua Kipas Hitam), udang-udang busuk begini kau pergunakan untuk menakut-nakuti orang? Memalukan sekali!" kata Yo Wan, kedua tangannya bergerak dan enam orang itu terlempar keluar pintu depan satu demi satu seperti rumput-rumput kering ditiup angin saja.

Sepasang alis Yosiko terangkat naik, lalu turun dan hampir bersambung. Marahlah dia, juga heran karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ‘orang desa’ ini ternyata lihai juga.

"Hemmm, kau boleh juga, akan tetapi belum cukup berharga untuk bertanding denganku. Pouw-lopek, harap wakili aku beri hajaran kepada bocah dusun ini!"

Kakek tinggi kurus yang kulitnya sudah berkeriput semua, melangkah lebar. Kagetlah Yo Wan karena sekali melangkah saja kakek itu sudah berada di depannya! Mana mungkin begini? Kalau tadi kakek itu melompat, dia tidak merasa heran, bahkan hal itu biasa saja. Akan tetapi kakek itu sama sekali bukan melompat, melainkan melangkah. Betapa pun panjang kakinya, tak mungkin bisa sampai di depannya hanya dengan sekali melangkah, padahal jaraknya kurang lebih lima tombak (kurang lebih sepuluh meter)! Ilmu apa ini?

Yo Wan memutar otak dan dapat menduga bahwa kakek tinggi kurus ini tentu memiliki ilmu luar biasa yang mengandalkan kedua kakinya, dan hal ini mudah diduga bahwa ilmu itu tentulah ilmu tendangan. Apa lagi yang mampu dikerjakan oleh sepasang kaki dalam pertandingan untuk menyerang lawan kecuali menendang? Maka dia bersikap waspada, mencurahkan sebagian besar perhatian pada gerakan sepasang kaki calon lawannya.

"Orang muda," kata kakek itu, suaranya jelas menyatakan bahwa dia orang dari daerah pesisir selatan, "kau sungguh seorang yang tak tahu diri, tidak mengenal luasnya lautan tingginya langit. Siapakah kau ini yang berani lancang memasuki gedung tempat tinggal ketua Hek-san-pang dan menjual lagak di sini? Dan apakah kehendakmu?"

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang amat berwibawa, Yo Wan dapat menduga bahwa kakek ini tentunya mempunyai kedudukan yang cukup tinggi dalam perkumpulan Hek-san-pang, maka dia pun bersikap hormat. Setelah menjura dia menjawab,

"Namaku Yo Wan. Secara kebetulan aku turut menyaksikan peristiwa di rumah makan. Karena tertarik mendengar bahwa ketua kalian juga she Yo, apa lagi ditambah dengan sepak terjangnya merampas pedang, meski pun urusan itu dengan aku tidak ada sangkut pautnya, akan tetapi memaksa aku untuk datang ke sini dan menonton. Kiranya ketuanya seorang wanita yang begitu curang merobohkan dua orang muda ini dengan racun. Hal ini aku Yo Wan tak mungkin diam saja membiarkan kecurangan.”

Yosiko membentak marah, "Bocah dusun lancang. Kau sombong sekali. Apa maksudmu dengan kata-kata bahwa Hek-san-pang dipimpin oleh seorang wanita?"

"Seorang wanita curang kataku tadi," Yo Wan menjawab sambil tersenyum kepada ketua Hek-san-pang itu. "Mata orang lain boleh kau kelabui, akan tetapi bagiku jelas bahwa kau seorang wanita, mengapa memakai sebutan kongcu (tuan muda) segala macam? Dan memang kau curang sekali, mengambil kemenangan menggunakan racun..."

"Pouw-lopek, hajar dia!" bentak Yosiko, tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Orang tua tinggi kurus itu sebetulnya adalah seorang bajak laut tunggal di pantai selatan yang bernama Pouw Beng. Akhirnya ia ditarik oleh Kipas Hitam menjadi pembantu utama di samping dua orang lain yang selalu mendampingi ketua Kipas Hitam. Ketika tadi menyaksikan gerak-gerik Yo Wan, kakek yang bermata tajam ini pun maklum bahwa Yo Wan adalah seorang ‘pemuda gunung’ (istilah murid pertapa di gunung) yang tak boleh dipandang ringan, maka dia bersikap sabar dan bertanya lebih dulu. Sekarang mendengar kemarahan Yosiko yang mendesaknya, dia segera memasang kuda-kuda, kedua kakinya dipentang lebar pada bagian lutut, namun mata kakinya saling bertemu.

"Orang muda she Yo, lihat serangan!" bentaknya mengguntur.

Sekali meraba punggungnya, kakek ini sudah mencabut keluar sebatang ruyung lemas (joan-pian) yang berwarna hitam, lalu menerjang dengan senjata seperti pecut ini dengan gerakan yang dahsyat.

"Wuuuttttt!"

Angin pukulan joan-pian ini menyambar ke arah kepala ketika Yo Wan mengelak. Namun dengan kelincahannya, mudah saja Yo Wan melompat lagi ke samping. Ketika joan-pian ini bagai seekor ular hidup mengejarnya terus dengan cepat, Yo Wan diam-diam menjadi kagum dan memuji kepandaian si kakek mainkan joan-pian yang dapat terus menerus melakukan serangan sambung-menyambung.

Dia masih belum dapat melihat bahayanya ancaman joan-pian ini, maka Yo Wan tetap saja mengelak ke sana kemari sambil tiada hentinya memperhatikan kedua kaki lawan. Benar saja dugaannya! Gerakan joan-pian yang menyerang kalang kabut ini hanyalah usaha untuk membingungkan lawan, karena tiba-tiba saja kedua kaki kakek itu bergerak menyambar, susul menyusul dengan kecepatan yang tak terduga-duga dan mengandung kekuatan yang luar biasa!

Yo Wan amat kagum. Hal ini sudah diduganya, dan memang sesungguhnya tendangan-tendangan inilah yang merupakan inti dari penyerangan kakek kurus itu. Seorang lawan yang kurang waspada pasti akan roboh oleh tipu muslihat ini, karena hanya tampaknya saja joan-pian yang mengancam, akan tetapi sesungguhnya bukan demikian, sehingga lawan yang terlalu mencurahkan perhatiannya pada serangan joan-pian yang dilancarkan secara bertubi-tubi, akan celaka oleh tendangan-tendangan tersembunyi ini.

Yo Wan bukan seorang pemuda sombong. Dia tidak suka memamerkan kepandaiannya, akan tetapi keadaan saat ini memaksa dia untuk mengeluarkan semua kepandaiannya. Pertama, karena dia berada di sarang harimau yang berbahaya, kedua untuk menolong muda-mudi putera ketua Lu-liang-pai atau cucu Raja Pedang itu, ketiga memang sudah menjadi tugasnya untuk membasmi bajak laut, apa lagi setelah dia teringat akan ucapan penuh sindiran dari ketua Siauw-lim-pai, yaitu Thian Seng Losu. Karena itu, melihat datangnya tendangan, dia sengaja bersikap seakan-akan dia kurang waspada dan memberi kesempatan orang menendangnya!

Karuan saja Pouw Beng girang bukan main. "Pergilah!" bentaknya sambil mengerahkan tenaga pada tendangannya ketika lawannya yang muda itu sibuk mengelak dari sambaran joan-pian.

"Dukkk!"

Bukan tubuh Yo Wan yang mencelat seperti yang telah dibayangkan si penendang dan teman-temannya, akan tetapi kakek itu sendiri yang terpelanting dan bergulingan, tidak mampu bangkit lagi karena tulang kakinya yang menendang tadi telah remuk sedangkan joan-pian di tangannya pun sudah mencelat entah ke mana!

Kiranya tadi saat kakinya sudah hampir mengenai sasaran, yaitu perut Yo Wan, pemuda ini secepat kilat menggunakan tangan kirinya menotok jalan darah lalu menggencet. Oleh karena dia mempergunakan jurus ampuh Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang dia warisi dari kakek sakti Sin-eng-cu, seketika remuklah tulang kaki lawannya, ada pun tangan kanan Yo Wan pada detik yang sama juga menghantam pergelangan lengan yang memegang joan-pian sehingga joan-pian itu terpental dan mencelat entah ke mana.

Yosiko melongo. Sama sekali tak pernah diduganya bahwa pemuda dusun itu demikian lihainya. Pouw Beng dirobohkan hanya dalam beberapa gebrakan saja! Tendangan maut itu diterima tangan kiri dan kaki Pouw Beng remuk! Mana mungkin ini? Apakah pemuda sederhana baju putih itu main sihir? Dia sendiri yang sudah mengenal kelihaian Pouw Beng, agaknya sebelum seratus jurus tak mungkin dapat mengalahkannya!

"Paman Sakisoto, majulah!" teriaknya karena dia masih merasa penasaran.

Kalau terhadap Tan Hwat Ki, tadi dia maju sendiri karena dia sudah yakin akan kelihaian pemuda Lu-liang-pai itu. Akan tetapi pemuda dusun yang tak ternama ini, yang kelihatan begitu lemah dan sederhana, mana berharga menghadapinya?

Para pelayan lalu mengangkat pergi tubuh Pouw Beng yang masih pingsan, sedangkan kakek yang botak dan pendek sekali itu sudah melangkah maju menghampiri Yo Wan. Kakek tua yang pendek botak ini adalah seorang jagoan Jepang yang terkenal dengan ilmunya Yiu-yit-su. Dia seorang jago gulat yang selama ini jarang menemui tandingan di antara sekalian bajak laut, dan menjadi juara di kalangan Kipas Hitam.

Kedudukannya tinggi, sejajar dengan kedudukan Pouw Beng dan dia pun menjadi tangan kanan Yosiko, terutama untuk urusan mengendalikan anak buah bajak laut Kipas Hitam. Semua anak buah bajak laut, terutama yang berasal dari Jepang, takut belaka kepada Sakisoto, demikian nama jagoan tua ini. Selain ahli dalam ilmu gulat dan ilmu tangkap Yiu-yit-su, dia pun termasuk seorang jago samurai yang ampuh. Apa bila dibandingkan dengan Pouw Beng, sukarlah untuk menilai karena keduanya memiliki keistimewaan masing-masing.

"Bocah sombong, hayo lekas kau berlutut menyerahkan diri sebelum kubanting tubuhmu sampai remuk!" bentak Sakisoto, karena bagaimana pun juga dia merasa malu kalau harus melawan seorang pemuda tak ternama, apa lagi kelihatannya kurus kering dan lemah begitu, maka dia memberi peringatan lebih dulu agar bocah itu menyerah saja.

Yo Wan tentu saja sudah pernah mendengar tentang ilmu gulat dan ilmu tangkap dari Jepang, tentu sejenis Ilmu Silat Sauw-kin Na-jiu-hoat, pikirnya. la maklum akan kelihaian ilmu ini yang sama sekali tidak membolehkan anggota badan tertangkap. Akan tetapi menyaksikan gerakan kakek ini, dia berbesar hati. Langkah kakek ini sedikit banyak telah membayangkan keadaan tenaga Iweekang yang dimilikinya dan dia merasa sanggup untuk menghadapinya.

"Orang tua, kau tentunya seorang ahli membanting orang. Biarlah, aku ingin merasakan bantinganmu, kalau aku kalah tidak usah kau suruh menyerah, tentu saja aku sudah tak berdaya lagi. Silakan!" la sengaja bicara dengan lambat supaya kakek Jepang itu dapat mengikuti kata-katanya karena tadi ketika bicara, orang Jepang ini juga lambat-lambat dan agak sukar.

"Bocah sombong, kau cari mampus!" Sakisoto berseru.

Dua kakinya yang pendek itu lalu bergerak maju, kedua lengannya menyambar dengan gerakan kuat dan jari-jari tangan terbuka. Alangkah heran dan juga girangnya ketika dia melihat lawannya sama sekali tidak mengelak sehingga begitu dia menggerakkan kedua tangannya, Yo Wan sudah kena dicengkeram lengan kiri dan pundak kanannya!

Dengan sepasang mata sipitnya berseri-seri saking gembiranya akan hasil ini, Sakisoto mengerahkan tenaga dari perut, disalurkan kepada jari-jari tangannya dengan maksud untuk meremas hancur pergelangan lengan kiri dan pundak kanan pemuda kurang ajar itu. Jari-jari tangannya mengeras, menggigil karena terisi getaran tenaga yang dahsyat, tenaga yang membuat jari-jari tangan itu mampu meremas hancur batu karang!

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika jari-jari tangannya meremas kulit yang lunak dan licin bagaikan kulit belut, lunak tetapi ulet seperti karet sehingga tenaga remasan jari-jari tangannya lenyap tertelan atau tenggelam, sama sekali tidak ada hasilnya seperti orang meremas kapas!

Dalam kagetnya jago tua Jepang yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga bahwa pemuda ini memiliki tenaga dalam dari orang-orang daratan yang memang amat luar biasa. Maka, secepat kilat dia mengubah getaran tenaganya, kini jari-jarinya tidak mencengkeram untuk meremukkan lagi melainkan mencengkeram erat-erat, kemudian ia mengerahkan tenaga perut untuk mendongkel dan melontarkan lawannya dengan gerak tipu dalam Ilmu Yiu-jit-su. Kakinya menjegal dan tangannya yang satu mendorong yang lain menyentak kuat.

Tetapi, orang yang disentaknya tidak bergeming sama sekali. Hal ini tidak mengherankan karena mendadak Yo Wan juga telah mengganti tenaga dalamnya, kini dia mengerahkan tenaga Selaksa Kati yang disalurkan ke arah kedua kaki dan berdiri dengan kuda-kuda Siang-kak Jip-te (Sepasang Kaki Berakar di Tanah), Jangankan baru seorang Sakisoto, biar kedua kaki itu ditarik oleh lima ekor kuda kiranya belum tentu akan dapat terangkat!

Mulut jago tua Jepang itu mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh pada waktu dia beberapa kali mengganti kedudukan dan jurus untuk berusaha mengangkat kaki lawannya untuk terus dilontarkan di atas pundak dan dibanting remuk. Keringatnya sudah memenuhi muka, otot-ototnya menonjol keluar, nafasnya terengah-engah, namun hasilnya sia-sia belaka. Pemuda yang kurus itu masih berdiri tegak dengan senyum manis, malah sedikit pun tak kelihatan mengerahkan tenaga. Hal ini selain membuat Sakisoto merasa penasaran, juga membuatnya menjadi malu dan marah sekali.

“Mampus kau!" bentaknya.

Secepat kilat kedua tangannya melepaskan cengkeraman pada lengan dan pundak, kini berganti dengan serangan memukul dengan telapak tangan dimiringkan. Tangan kanan memukul leher dan tangan kiri memukul lambung!

Jangan memandang ringan serangan ini karena kedua tangan itu sudah terlatih, ampuh sekali. Kepala orang bisa remuk terpukul oleh tangan miring ini, apa lagi tempat-tempat gawat macam leher dan lambung. Sekali pukul tentu nyawa akan melayang!

Mendengar menyambarnya hawa pukulan, Yo Wan maklum bahwa serangan ini cukup berbahaya. Cepat dia menyambar dengan kedua tangannya, jauh lebih cepat dari pada datangnya pukulan. Tahu-tahu kedua pergelangan tangan jago tua itu sudah dia tangkap dan semua urat syaraf dalam tubuh Sakisoto seketika bagaikan dilolosi. Tiba-tiba saja Yo Wan berseru keras. Tubuh pendek tegap itu melayang ke atas dan terbang sampai sepuluh meter jauhnya. Akan tetapi, begitu dilepas, jago tua yang sudah berpengalaman ini dapat menggerakkan tubuhnya sehingga saat terbanting ke bawah, dia dapat mendulukan daging belakangnya sehingga hanya terdengar suara berdebuk.

Tubuhnya membal ke atas, lalu turun lagi dalam keadaan berdiri dan mulutnya meringis karena daging tua pada belakang pantatnya terasa kesemutan dan sakit! Kemarahannya memuncak, kemudian dengan kerongkongan mengeluarkan gerengan laksana beruang, dia menubruk maju, didahului pedang samurainya yang panjang dan besar.

Yo Wan cepat miringkan tubuh, membiarkan sinar berkelebat pedang panjang itu lewat. Jari tangannya bekerja dan di lain saat sekali lagi tubuh Sakisoto terguling, kali ini jatuh tersungkur tak marnpu bangkit untuk beberapa menit lamanya karena jari-jari tangan Yo Wan telah berhasil menyentil sambungan tulang pundak kanan dan menotok jalan darah di punggung kiri! Jago tua Jepang itu hanya mampu mengulet dan merintih perlahan.

Bila tadi sepasang mata Yosiko berapi-api marah, kini mulai bersinar penuh kekaguman. Dua orang jagonya dirobohkan demikian mudahhya. Bukan main pemuda sederhana ini. Mungkinkah ada pemuda yang lebih pandai dari pada jago tampan dari Lu-liang-pai?

Diam-diam dia melirik ke arah Hwat Ki yang masih pingsan di dekat sumoi-nya, di sudut ruangan. Kemudian dia memberi tanda. Para pelayan datang membangunkan Sakisoto dan mengangkatnya keluar dari ruangan itu.

Yo Wan tersenyum menghadap Yosiko. "Bagaimana? Cukupkah?"

"Hemmm, setelah kau mampu merobohkan dua orang pembantuku, kau mau apa?"

"Tidak apa-apa, hanya minta supaya kau bebaskan kedua orang muda dari Lu-liang-san itu, kemudian gulung tikar dan kembali ke Jepang, jangan lagi kau atau anak buahmu mengganggu pantai dan perairan Po-hai."

"Peduli apa dengan kau? Kau murid siapa? Dari partai apa?"

"Mengherankan sekali. Kau masih tanya peduli apa denganku? Tentu saja aku tidak bisa membiarkan kau mengganggu keamanan wilayah ini dan mengacau ketenteraman hidup bangsaku. Soal aku murid siapa, tidak ada sangkut pautnya denganmu dan aku tidak punyai partai. Nona, kulihat kepandaianmu lumayan, mengapa kau memilih jalan sesat? Mengapa kau mendirikan perkumpulan bajak laut Kipas Hitam? Sayang sekali, kau lihai dan sepatutnya menjadi seorang pendekar wanita yang cantik, gagah, serta terhormat, berguna bagi bangsamu di Jepang..."

"Tutup mulutmu yang lancang!" Yosiko berteriak nyaring.

Kini penyamarannya gagal karena sesudah dia marah-marah, sepasang pipinya menjadi kemerahan, merah jambu yang hanya dapat timbul pada pipi seorang gadis, sedangkan teriakannya pun teriakan marah seorang gadis, tidak lagi suara berat pria seperti yang ia tirukan dalam percakapan biasa.

"Kau begini sombong! Apa kau kira aku takut padamu? Kami belum kalah. Gak-lopek, harap kau beri hajaran bocah sombong ini!”

Kakek ketiga yang gendut perutnya melompat maju. Gerakannya perlahan dan lambat saja, seakan-akan dia terlalu malas untuk bergerak, apa lagi main silat, patutnya orang ini bertiduran di atas kursi malas sambil mengisap huncwe (pipa tembakau) dengan mata meram melek.

Akan tetapi Yo Wan cukup waspada dan dia maklum bahwa di antara tiga orang kakek tadi, si gendut inilah yang paling lihai. Wajahnya yang agak pucat kekuningan, kedua lengannya yang tidak kelihatan ada otot menonjol, langkahnya yang tenang serta terlihat berat dan seolah-olah kakinya menempel dan lengket pada lantai yang diinjaknya, semua ini menandakan bahwa dia seorang ahli Iweekeh (ahli tenaga dalam) yang kuat.

Diam-diam Yo Wan mengumpulkan hawa murni di dalam pusarnya, lalu mendesaknya ke seluruh bagian tubuh, terutama pada kedua lengannya untuk berjaga-jaga. Pemuda ini pernah mendapat gemblengan tenaga dalam dari dua orang sakti, yaitu Sin-eng-cu dan Bhewakala, apa lagi latihan tenaga dalam ini kemudian dia sempurnakan dengan tekun di pertapaan Bhewakala, yaitu di Pegunungan Himalaya.

Oleh pendeta sakti ini, Yo Wan digembleng hebat, malah sudah mengalami gemblengan terakhir yang luar biasa berat, bahkan yang dilakukan dengan taruhan nyawa, yaitu kalau tidak tahan dapat mati seketika. Latihan ini adalah latihan bersemedhi mengumpulkan sinkang dan memutar-mutar hawa murni ke seluruh tubuh dengan cara bertapa telanjang bulat selama tujuh hari di bawah hujan salju di puncak gunung. Apa bila dia tidak dapat menahan, dia akan mati dalam keadaan beku dan terbungkus es!

"Orang muda, kau benar-benar lihai sekali! Akan tetapi, untuk dianggap cukup berharga melayani Yo-kongcu, kau harus dapat menandingi aku terlebih dahulu! Perkenalkan, aku bernama Gak Tong Sek!"

Sambil berkata demikian, seperti seorang yang menghormat tamu, dia menjura dengan kedua tangan dirangkap didepan dada, selayaknya orang memperkenalkan diri. Tepat seperti dugaan Yo Wan, begitu kakek gendut ahli Iweekeh ini mengangkat kedua lengannya memberi hormat, dadanya terasa sesak karena terserang oleh hawa pukulan tersembunyi yang sangat kuat, yang menyambar keluar dari gerakan kedua tangan yang dirangkapkan itu.

Cepat Yo Wan menggerakkan kedua lengannya, diangkat ke atas sebagai pembalasan hormat sambil diam-diam mengerahkan sinkang mendorong ke depan. Hawa pukulannya amat kuat dan hal ini terasa betul oleh Gak Tong Sek karena wajahnya tiba-tiba berubah kaget dan jelas tampak dia mengerahkan tenaga untuk menahan dorongan lawan yang amat kuatnya itu.

la merasa heran karena tidak mengira bahwa lawan yang demikian muda ini tidak saja sanggup menahan dorongan pukulan jarak jauhnya, tetapi bahkan mengembalikan hawa pukulan itu dengan tambahan dorongan yang lebih kuat lagi. Tentu saja dia tidak mau menyerah kalah, merasa malu apa bila dia pergi menghindar. Maka, sambil memasang kuda-kuda sekuatnya pada kedua kaki, dia menahan dorongan lawan.

Yo Wan merasa betapa dorongannya tertahan secara kuat. Dia menambah tenaganya dan terus mendorong. Gak Tong Sek mempertahankan dengan sangat kuatnya, namun yang mendorong lebih kuat lagi.

Terdengar suara keras. Tubuh kakek gendut itu terdorong mundur, akan tetapi sepasang kakinya tetap dalam keadaan memasang kuda-kuda, sedikit pun tidak terangkat dan dia tidak roboh terguling, akan tetapi terdorong ke belakang dengan kedua kakinya menyeret lantai sehingga retak-retaklah lantai batu yang terseret kedua kakinya!

Makin jauh kakek ini terdorong, maka semakin berkuranglah kekuatan dorongan Yo Wan, sehingga setelah terdorong tiga kaki jauhnya, tubuh kakek ini berhenti. Wajahnya pucat dan dua butir keringat tampak di dahinya.

"Orang tua, kau benar-benar amat lihai, aku yang muda merasa kagum sekali," kata Yo Wan tersenyum.

Yo Wan memang berkata sejujurnya karena dia merasa sangat kagum akan daya tahan kakek itu sehingga dia tak mampu merobohkan, malah membuat kakek itu mengangkat kaki pun tidak sanggup. Sungguh-sungguh seorang kakek yang selain memiliki tenaga Iweekang tinggi, juga amat ulet dan tahan uji.

Akan tetapi bagi kakek Gak, ucapan tadi dianggapnya sebagai ejekan, maka dia menjadi penasaran dan marah bukan main. Biar pun dia maklum akan besarnya tenaga sinkang pemuda itu, namun belum tentu dia akan kalah dalam ilmu pukulan yang telah dilatihnya puluhan tahun lamanya, yang agaknya telah dia miliki sebelum orang muda ini lahir.

Selama ini, hanyalah ketua Kipas Hitam saja orang muda yang mampu menandinginya dan hal ini tidak membuat dia kecil hati karena dia cukup maklum bahwa pangcu-nya itu mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa dari orang tuanya. Namun dia anggap bahwa di dunia ini tidak ada keduanya orang muda seperti pangcu (ketua) dari Hek-san-pang.

"Bocah sombong, belum tentu aku kalah!" bentaknya marah sambil mengayunkan kedua tangannya, melancarkan pukulan-pukulan maut dari jarak jauh.

Terdengar suara angin menyambar bersiutan sehingga api penerangan di empat penjuru ruangan itu bergoyang-goyang hampir padam. Demikianlah hebatnya ilmu pukulan jarak jauh dari kakek Gak Tong Sek yang dia sendiri namakan Swat-hong Sin-ciang (Pukulan Sakti Angin Puyuh).

Para pelayan yang tahu akan hebatnya ilmu pukulan ini, tanpa diperintah lagi segera mundur dan menyelinap ke balik pintu. Hanya Yosiko yang masih berdiri tegak, pakaian dan penutup rambutnya berkibar-kibar oleh angin pukulan, tapi dia sendiri tidak apa-apa karena dia pun telah mengerahkan sinkang melindungi seluruh tubuhnya.

"Bagus!” Mau tak mau Yo Wan memuji kehebatan ilmu pukulan ini.

Akan tetapi tidak sia-sia ia digembleng habis-habisan di puncak Himalaya. Dengan amat tenang, penuh kepercayaan akan diri sendiri, dia melangkah maju sambil memangku dua lengannya, sama sekali tidak mengelak atau menangkis. Pukulan-pukulan jarak jauh datang bagaikan hujan badai menimpa dirinya, namun hanya pakaian beserta rambutnya saja yang berkibar-kibar, sedangkan semua hawa pukulan itu terbentur dan membalik saat bertemu dengan hawa sinkang yang menyelubungi seluruh tubuhnya!

Sudah penuh keringat muka dan leher Gak Tong Sek, namun semua pukulannya sia-sia belaka. Saking marah dan penasarannya, dia melompat maju, kini menggunakan kedua tangannya memukul dari jarak dekat dengan pengerahan tenaga Iweekang sepenuhnya.

Tentu saja Yo Wan maklum bahwa pukulan ini terlalu berbahaya untuk diterima seperti dia menerima pukulan jarak jauh tadi. Cepat kedua tangannya bergerak.

"Dukkk-dukkk!"

Dua kali empat buah lengan itu bertemu dan tubuh kakek Gak Tong Sek melayang keluar dari pintu ruangan, jatuh berdebuk di luar ruangan itu. Dia tak dapat bangun lagi, hanya terdengar mengorok seperti kerbau disembelih. Di antara tiga orang kakek yang melawan Yo Wan, kakek Gak inilah yang paling berat lukanya. Hal ini adalah karena dia terpukul oleh tenaga lweekang-nya sendiri, sehingga walau pun tidak akan kehilangan nyawanya, namun sedikitnya tiga bulan dia harus berbaring!

Kini lenyaplah sama sekali kemarahan dari wajah Yosiko, terganti bayangan kekaguman di wajahnya yang tampan berseri. Sepasang matanya berkilauan, dengan bola matanya yang bening bergerak-gerak cepat menandakan kecerdikan otaknya, bibirnya tersenyum-senyum ketika ia melangkah maju dengan senjata di tangan. Seperti tadi ketika menghadapi Hwat Ki, kini tangan kanannya memegang pedang, dan tangan kirinya memegang sabuk sutera putih. Dengan langkah cepat ia bertindak maju, sepasang matanya tak pernah mengalihkan pandangannya dari wajah Yo Wan.

"Hebat... kau... kau lebih lihai dari pada Tan Hwat Ki... kau hebat...!"

Ketua Hek-san-pang yang muda dan oleh Yo Wan dianggap wanita itu melangkah maju. "Tapi... kau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu, baru dapat kunilai apakah kau lebih patut dari pada dia..."

"Hek-san Pangcu, kau bicara apa ini? Aku tidak ingin bermusuhan dengan engkau, akan tetapi jika kau mendesakku, jangan menyesal bila aku turun tangan besi dan membasmi gerombolan bajak yang kau pimpin. Biar pun kau mengerti Ilmu Langkah Kim-tiauw-kun, jangan kau mengira tidak akan ada yang dapat melawanmu. Justru karena kau mengenal Kim-tiauw-kun, aku makin berkeras untuk melarangmu melakukan perbuatan jahat!"

Berubah wajah Yosiko, akan tetapi sinar matanya makin berseri. "Kau... kau tahu tentang langkah-langkah ajaib?"

"Tentu saja aku mengenal Hui-thian Jip-te. Orang yang mempergunakan ilmu ini harus menjadi pembela kebenaran dan keadilan, sama sekali tidak boleh menjadi penjahat!"

Yosiko tersenyum. "Wah, kiranya kau pun bukan orang sembarangan, dapat mengenal Hui-thian Jip-te. Kau bilang tadi namamu Yo Wan? Kau ini murid siapakah? Apakah kau kenal dengan Tan Hwat Ki dan sumoi-nya dari Lu-liang-pai ini?"

Dalam mengajukan pertanyaan ini, lenyaplah sikap bermusuhan, seakan-akan Yo Wan sedang menghadapi seorang kenalan baru saja. Ketua Hek-san-pai itu demikian ramah. Akan tetapi Yo Wan tak ingin memperkenalkan diri, apa lagi jika sampai membawa-bawa nama Pendekar Buta.

"Namaku Yo Wan dan habis perkara. Aku seorang yatim piatu, tak bersanak tidak pula berkadang."

"Dan belum menikah?"

Merah wajah Yo Wan. Celaka orang ini benar-benar cerewet dan tak tahu malu. Karena sungkan dan jengah, dia tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. Yosiko tersenyum lagi.

"Wah, seorang jaka lola kalau begitu. Ehh, jaka lola yang lihai, dengar baik-baik. Adikku mencari jodoh dan agaknya kau patut menjadi jodohnya karena agaknya kau lebih lihai dari pada Tan Hwat Ki. Namun kau harus dapat mengalahkan aku untuk membuktikan kelihaianmu."

"Pangcu, harap kau jangan main-main. Aku tidak peduli adikmu itu akan menikah dengan siapa pun juga, bukan urusanku. Aku pun sekali-kali tidak ingin membuktikan kelihaianku. Aku hanya minta agar kau bebaskan dua orang muda itu dan tarik mundur semua anak buahmu, jangan pernah lagi mengganggu daerah Po-hai. Kalau tidak, terpaksa aku akan membasmi Kipas Hitam!"

Yosiko tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih berkilauan dan rapi. "Yo Wan, kalau kau bisa menangkan aku dan menikah dengan adikku, kau akan menjadi ketua Kipas Hitam dan terserah apa yang hendak kau lakukan. Lihat senjata!"

Secepat kilat pedang di tangan Yosiko menyambar, menjadi sebuah tusukan sutera putih di tangan kirinya sudah bergerak pula menjadi lingkaran bundar yang melayang dari atas mengarah kepala Yo Wan. Sudah tentu saja pedang itu sangat berbahaya, akan tetapi sinar putih sabuk sutera itu kiranya tidak kalah bahayanya, karena ujung sabuk itu dapat menjadi alat menotok jalan darah yang sekali mengenai kepala akan merenggut nyawa!

Mendongkol juga hati Yo Wan. Sebenarnya dia merasa sayang bahwa seorang muda seperti Yosiko, baik ia gadis seperti dugaannya atau pun betul laki-laki, yang jelas adalah seorang peranakan Jepang, tidak dapat dia sadarkan kembali ke jalan benar. Akan tetapi orang ini terlalu memandang rendah padanya, bila tidak diberi hajaran tentu tidak kapok!

"Kau menghendaki kekerasan? Baik!" katanya.

Segera kakinya mempergunakan langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan serangan pedang dan sabuk sutera. Malah dia segera balas menyerang dengan tangan kosong, menggunakan Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang sangat lihai. Dia merasa sayang sekali bahwa dia sekarang sudah tidak memiliki senjata apa pun, karena dalam pertandingan mati-matian melawan Bhok Hwesio yang sakti, tiga buah senjatanya rusak semua.

Liong-kut-pian (Cambuk Tulang Naga) pemberian mendiang Bhewakala telah putus pada waktu dia berebutan dengan Bhok Hwesio. Pedang Pek-giok-kiam pemberian subonya (ibu gurunya) telah patah menjadi tiga potong, sedang pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Wangi) yang dia buat di Himalaya hancur remuk, semua berkat kesaktian Bhok Hwesio, lawan paling hebat yang pernah dia tandingi di dunia ini!

Sekarang dia bertangan kosong dan menghadapi lawan seperti ketua Hek-san-pang ini, sungguh tidak menguntungkan kalau hanya dengan tangan kosong. Terdengar berkali-kali Yosiko berseru kagum dan heran. Tentu saja dia merasa heran karena pemuda dusun lawannya ini ternyata mampu bermain langkah ajaib yang malah lebih hebat, lebih lengkap dan lebih lincah dari pada kepandaiannya sendiri!

Keheranannya membuat dia gugup dan pada saat sabuk sutera putihnya menyambar, ujung sabuk ini kena dicengkeram oleh Yo Wan yang cepat mengirim pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga ke arah lengan kiri lawannya. Hawa pukulan dahsyat lantas menyambar dan Yosiko berteriak kaget, terpaksa dia melepaskan sabuk sutera putihnya sambil meloncat mundur sampai tiga meter jauhnya!

Yo Wan berdiri sambil tersenyum, mempermainkan sabuk sutera putih yang halus dan berbau harum itu. Makin yakinlah hatinya bahwa Yosiko pastilah seorang gadis. "Bagaimana? Menyerahkah kau sekarang?" ujarnya, nadanya mengejek.

Sepasang pipi itu merah padam. Bukan main, pikirnya. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja, pemuda ini dengan tangan kosong telah mampu merampas sabuk suteranya! Padahal tadi Hwat Ki dengan pedang di tangan tidak mampu merobohkannya sampai puluhan jurus lamanya. Benar-benar pemuda aneh dan memiliki kepandaian yang luar biasa sekali. Bahkan ilmu langkah dari Hwat Ki sekali pun tidak seindah dan sehebat ilmu langkah pemuda yang sederhana ini. Jantungnya berdebar penuh kekaguman, namun ia masih penasaran. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ia menerjang lagi. Kini dia memutar pedangnya sehingga pedang itu lenyap berganti gulungan sinar seperti payung di depan dadanya, langsung menerjang Yo Wan.

"Tar-tar-tar-tar-tar!"

Nyaring sekali suara ledakan-ledakan kecil ini yang tercipta dari ujung sabuk sutera yang diledakkan seperti cambuk oleh Yo Wan. Bukan main kagetnya hati Yosiko ketika melihat betapa sabuk suteranya, yang biasanya sangat dia andalkan sebagai senjata di samping pedangnya, kini di tangan pemuda itu berubah menjadi senjata yang malah lebih ampuh lagi. Sabuk suteranya itu kini berubah menjadi sinar putih yang panjang, membentuk lingkaran-lingkaran aneh yang saling susul menyusul dan telan menelan, lingkaran kecil yang ditelan lingkaran lebih besar, berubah ubah dan sukar diikuti perkembangannya, namun dibarengi ledakan-ledakan kecil yang mengancam semua jalan darah di tubuhnya secara bertubi-tubi!

Tentu saja Yo Wan pandai memainkan sabuk sutera ini sebagai senjata karena memang inilah salah satu di antara ilmu-ilmunya yang sakti, yaitu Ilmu Cambuk Ngo-sin Hoan-kun yang merupakan gerakan dari pada lingkaran sakti yang terbuat dari pada ujung cambuk atau benda lemas panjang. Kalang kabutlah permainan pedang Yosiko. Selama hidupnya, baru kali ini ia mengalami hal macam itu, baru kali ini ia menghadapi lawan yang begini lihainya. Saking kagetnya, ia sampai lupa akan ilmu pedangnya dan gerakannya menjadi kacau-balau.

Mendadak dia menjerit dan pedangnya ‘terbang’ meninggalkan tangan kanannya karena pedang itu ternyata sudah terlibat sabuk sutera dan terbetot tanpa dapat dia pertahankan lagi. Kemudian ujung sabuk itu seperti cemeti meledak-ledak dan mencambuknya.

"Aduhh...! Ihhh...! Aduhhh...!" Yosiko berteriak-teriak karena setiap kali sabuk sutera itu berbunyi pasti menghantam tubuhnya, membuat pakaiannya robek di tempat yang dicium ujung sabuk itu, serta kulitnya menjadi merah-merah dan matang biru, rasanya bagaikan ditampar atau dicubit keras!

Yo Wan tidak tega untuk merobohkan ketua Hek-san-pang ini, akan tetapi dia memang hendak memberi hajaran. Mengingat bahwa ketua itu ialah seorang wanita muda, maka dia hanya menggunakan sabuk sutera itu untuk mencambukinya agar kapok!

"Sahabat yang gagah, tolong kau bantu kami menangkap dia! Dia adalah ketua bajak, kami harus menangkapnya untuk dihadapkan kepada Bun-goanswe di Tai-goan!"

Tiba-tiba terdengar suara Hwat Ki yang kebetulan pada saat itu sudah sadar. Pemuda ini meloncat bangun, disusul oleh Cui Kim yang juga sudah tersadar. Memang racun yang dipergunakan oleh ketua Kipas Hitam dalam jamuan makan tadi hanyalah racun untuk membuat mabuk orang untuk sementara waktu saja, sama sekali tidak berbahaya, hanya sekedar membuat lawan tidak berdaya.

Begitu sadar dari pingsannya serta melihat betapa Yosiko dicambuki secara aneh oleh pemuda asing yang dia kenal sebagai pemuda di rumah makan di dusun Leng-si-bun, Hwat Ki segera| berseru untuk menangkapnya. Pemuda Lu-liang-san ini dapat menduga bahwa Yo Wan tentu adalah seorang pendekar yang berpihak kepadanya dan memusuhi bajak laut. Mendengar seruan ini, sejenak Yo Wan bingung dan agaknya kesempatan ini tidak ingin disia-siakan oleh Yosiko. Diam-diam ia telah mengeluarkan sebuah kipas hitam dan pada waktu ia menekan gagangnya, dari kedua ujung kipas itu menyambarlah sinar hitam ke depan.

"Awas...!" Yo Wan berseru.

Sekali sabuk sutera putihnya dia gerakkan, Hwat Ki dan Cui Kim roboh oleh sabuk itu, terpelanting karena kaki mereka telah terlibat dan dibetot. Yo Wan sengaja melakukan ini karena dapat menduga akan bahayanya sinar hitam itu.

Namun usahanya menyelamatkan kedua orang muda itu membuat dia kurang waspada akan dirinya sendiri. la sudah mengebutkan tangan kiri menyampok, namun dia merasa pundak kirinya sakit dan panas, maka maklumlah dia bahwa dia sudah terkena senjata rahasia yang halus dan beracun. Rasa panas bercampur rasa gatal membuat dia kaget sekali dan cepat dia melompat ke depan mengejar Yosiko yang lari.

"Berhenti, serahkan obat pemunah racun!" teriak Yo Wan marah.

Karena ginkang-nya memang jauh lebih menang dari pada Yosiko, sebentar saja dia hampir dapat menangkapnya di luar gedung itu. Namun tiba-tiba Yosiko melompat dan... "Byurrrrr...!" ketua Kipas Hitam itu sudah terjun ke dalam air laut yang berbuih-buih.

Biar pun bukan ahli, namun kalau hanya berenang saja Yo Wan dapat juga. la maklum bahwa tubuhnya sudah terkena senjata beracun, dan ketua Hek-san-pang itu merupakan satu-satunya orang yang memiliki obat penawarnya, maka harus dia tangkap. Dengan pikiran ini, Yo Wan menjadi nekat dan... "Byurrrrrr...!" air laut yang hitam gelap itu untuk kedua kalinya muncrat ketika tubuh Yo Wan terjun ke dalamnya.

Yo Wan melihat di bawah sinar bulan yang remang-remang itu lawannya berenang ke tengah di mana terdapat beberapa buah perahu nelayan.

"Hemmm, ke mana pun kau lari, jangan harap dapat terlepas dari tanganku," pikirnya dan dia merasa girang ketika mendapat kenyataan bahwa sesudah berada agak ke tengah, ternyata laut itu airnya tenang, memudahkan dia berenang melakukan pengejaran.

Perahu-perahu di depan itu adalah perahu yang berlabuh, kelihatannya sunyi dan gelap. Tak mungkin kalau perahu nelayan berlabuh dalam keadaan gelap dan berada di tengah. Agaknya perahu-perahu bajak laut. Yo Wan tak mempedulikan perahu-perahu itu. Ke mana pun juga Yosiko pergi, harus dia kejar sampai dapat, karena kalau tidak, keadaannya akan berbahaya. Mulailah Yo Wan menduga-duga.

Agaknya senjata rahasia yang halus itu merupakan jarum-jarum kecil halus yang dapat menembus kulit dan menyusup ke bawah kulit sehingga kalau beracun maka racunnya dapat langsung terbawa oleh darah. Pundak kirinya mulai terasa kejang-kejang. Air laut mengurangi rasa sakit, akan tetapi makin lama pundaknya terasa makin kaku dan lengan kirinya hampir tidak dapat digunakan lagi. Dia berenang mengandalkan kedua kaki dan lengan kanannya sehingga tiap kali tubuhnya miring ke kiri, mukanya terbenam ke dalam air. Akan tetapi girang hatinya karena agaknya Yosiko tidak dapat berenang cepat. Buktinya sebentar saja dia sudah hampir berhasil menyusulnya. Dia mengerahkan tenaganya dan terus bergerak maju, berseru keras,

"Pangcu dari Kipas Hitam, berhentilah! Kau berikan obat pemunah racun dan baru aku mau memberi ampun kepadamu!"

Yosiko menoleh sambil tertawa, kemudian, tiba-tiba lenyaplah kepala yang tertawa itu. Yo Wan terkejut. Celaka, pikirnya. Apakah orang itu tenggelam? Jangan-jangan kakinya diseret ikan buas! Kalau Yosiko kena celaka, berarti dia sendiri pun menghadapi bahaya maut.

Akan tetapi mendadak bulu tengkuknya meremang saking ngeri dan kagetnya ketika dia merasa betapa kakinya terjepit sesuatu dan dia ditarik ke bawah! Celaka, pikirnya, tentu ikan buas. Yosiko telah menjadi korban ikan buas dan kini ikan-ikan itu mulai menyambar kakinya dan menarik ke bawah.

Cepat dia mengerahkan tenaga dan menggerakkan kaki sehingga sepatunya terlepas. Akan tetapi berbareng dengan terlepasnya sepatu kanannya, ikan yang tengah menggigit kakinya itu pun terlepas. Mendadak ada suara orang tertawa di sebelah belakangnya. Cepat dia menengok dan... kiranya Yosiko yang tertawa, mentertawakannya.

"Mana kegagahanmu, Yo Wan? Agaknya di air kau tidak segagah di darat!"

Yo Wan menggerakkan tangan kanan meraih untuk menangkap lawan itu, akan tetapi tiba-tiba kepala itu lenyap lagi. Yo Wan terkejut dan maklumlah dia bahwa Yosiko kiranya adalah seorang ahli bermain dalam air! Tentu yang mempermainkannya, yang mencopot sepatunya adalah Yosiko inilah!

Berabe, pikirnya. Apa bila harus bertanding di air, melihat gerakan Yosiko yang demikian cepatnya, dia pasti takkan berdaya. Benar saja, Yosiko muncul di sana-sini, seperti main kucing-kucingan, sedangkan Yo Wan sudah payah dan lelah sekali. Mendadak perahu-perahu yang sunyi dan gelap itu tiba-tiba menjadi terang benderang, agaknya ada tanda rahasia yang membuat orang-orang yang bersembunyi dalam perahu secara serentak memasang lampu penerangan. Terdengar teriakan-teriakan gaduh.

"Itu dia! Benar dia kepala bajak Kipas Hitam. Serbu!”
"Tangkap!"
"Bunuh...!"

"Hadiahnya besar kalau bisa tangkap dia, hidup atau mati!"

"Mari serbu, hadiahnya bagi rata!"

Ramai sorak-sorai itu dan perahu-perahu hitam tadi mulai bergerak mengurung tempat Yo Wan dan Yosiko main kucing-kucingan di dalam air. Kemudian telinga Yo Wan yang tajam dapat menangkap mengaungnya suara anak-anak panah menyambar. la terkejut sekali, akan tetapi apa dayanya. Di dalam air, dia tidak dapat mengelak atau bergerak secepat di darat, apa lagi sekarang pundak kirinya mulai kena pengaruh racun. Tiba-tiba... "Ceppp!"

Pundak kirinya sebelah belakang terkena anak panah yang menancap cukup dalam. Yo Wan mengeluh.

Yosiko mengeluarkan seruan kaget. "Cepat tahan nafasmu...!"

Suara ini hanya terdengar seperti bisikan di dekat telinga Yo Wan, akan tetapi dia cepat mentaatinya, segera menahan nafasnya. Sebagai seorang ahli Iweekeh tentu saja hal ini mudah dilakukannya...



                         





















Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12