Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 14
Si pemuda
teringat akan Yo Wan, segera dia melompat dan membalikkan tubuh. Akan tetapi
pemuda tenang yang mencurigakan hatinya tadi sudah lenyap dari sana. Di atas
mejanya tergeletak beberapa potong uang perak, agaknya untuk membayar makanan
dan minuman. Makin curigalah pemuda itu. "Sumoi, kita harus mengejar si
baju putih she Yo itu."
"Mari,
Suheng. Aku pun gemas sekali terhadap manusia itu. Kalau dia tidak menyerang
secara menggelap, jangan harap dia dapat merampas pedangku Hek-kim-kiam (Pedang
Emas Hitam)!"
Walau pun
mulutnya berkata demikian, diam-diam hatinya berdebar. Matanya terbayang wajah
yang tampan itu dan ia sendiri merasa sangsi apakan ia akan mampu menandingi
pemuda luar biasa itu. Dengan suara nyaring pemuda itu memanggil pelayan.
Seorang pelayan segera datang berlari-larian, diikuti oleh empat orang
temannya. Agaknya para pelayan yang sejak tadi sibuk bersembunyi, sekarang
sudah berani keluar lagi setelah keadaan menjadi reda dan pertempuran berhenti.
"Hitung
semua, termasuk pengganti kerusakan-kerusakan di sini akan saya bayar."
Pelayan itu
lalu membungkuk-bungkuk sambil bibirnya tersenyum-senyum penuh hormat.
"Harap Kongcu jangan repot-repot, semua sudah dibayar lunas."
"Siapa
yang membayar?" Pemuda itu mengangkat alisnya.
"Yang
membayar adalah pemberi benda ini kepada Kongcu, semua sudah dibayarnya dan
meninggalkan benda ini yang harus saya serahkan kepada Kongcu." Sambil
berkata demikian, pelayan itu menyerahkan sebuah kipas dari sutera hitam.
Pemuda itu
mengerutkan kening, akan tetapi menerima juga kipas itu sambil bertanya,
"Siapa dia?"
"Siapa
lagi kalau bukan yang terhormat pangcu (ketua) dari Hek-san-pang (Perkumpulan
Kipas Hitam) yang tersohor? Kiranya Kongcu dan Siocia (Tuan Muda dan Nona)
adalah sahabat-sahabat Hek-san-pangcu, maaf kalau kami berlaku kurang
hormat..."
Pemuda itu
mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala lalu meninggalkan restoran itu
bersama sumoi-nya. "Benar-benar manusia aneh. Apa artinya dia membayari
semua hidangan, lalu mengganti semua kerusakan dan memberi kipas hitam ini
kepada kita? Apakah ini semacam hinaan lain lagi? Keparat!"
"Kurasa
kalau orang itu membayar makan minum kita dan memberikan kipasnya, hal itu
bukanlah berarti penghinaan, Suheng. Coba kau buka kipasnya, barang kali ada maksud
di dalamnya."
Pemuda itu
membuka kipas sutera hitam itu. Benar saja, kipas sutera hitam yang amat indah
dan berbau semerbak harum itu ditulisi dengan tinta putih, merupakan
huruf-huruf bersyair yang halus indah gayanya,
Berkawan
sebatang pedang menjelajah laut bebas
sunyi
sendiri merindukan kawan dan lawan seimbang
hati
mencari-cari...
"Bagus...!"
tak terasa lagi ucapan ini keluar dari mulut mungil gadis itu.
Si pemuda
cepat menoleh dan memandang sehingga kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali.
la merasa seolah-olah sajak itu ditujukan khusus kepadanya. Pemuda yang aneh
luar biasa, tampan dan berkepandaian tinggi, merasa sunyi dan merindukan kawan
yang memiliki kepandaian seimbang! Dan pedangnya dirampasnya, dengan maksud
supaya ia datang ke sana!
"Pemuda
sombong, atau cengeng..." Si pemuda malah mencela.
Sumoinya
hanya diam saja, takut kalau-kalau tanpa disadarinya mengucapkan sesuatu yang
membuka rahasia hatinya. Mereka segera melakukan perjalanan cepat menuju ke
timur, melalui sepanjang lembah Sungai Kuning, menuju ke pantai Po-hai. Pemuda
dan sumoi-nya itu bukan pendekar-pendekar biasa, bukan petualang-petualang
biasa di dunia kang-ouw. Si pemuda adalah putera tunggal dari pendekar besar
Tan Sin Lee.
Seperti
telah kita ketahui, pendekar besar putera Raja Pedang ini tinggal di
Lu-liang-san, bersama isterinya yang bernama Thio Hui Cu murid Hoa-san-pai.
Pemuda inilah putera sepasang suami isteri pendekar itu yang bernama Tan Hwat
Ki, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, seorang pemuda yang sejak kecil
sudah digembleng oleh orang tuanya dan mewarisi ilmu silat tinggi.
Ada pun
sumoi-nya, gadis jelita itu, bernama Bu Cu Kim. Pendekar besar Tan Sin Lee
memiliki murid sepuluh orang jumlahnya, termasuk putera mereka. Akan tetapi di
antara para murid, yang paling menonjol kepandaiannya adalah Bu Cui Kim. Cui
Kim adalah anak yatim piatu, ayah bundanya sudah meninggal dunia akibat
penyakit yang merajalela di dusunnya. Karena kasihan kepada anak yang bertulang
baik ini, Tan Sin Lee lalu mengambilnya sebagai murid, bahkan karena mereka
tidak mempunyai anak perempuan sedangkan Cui Kim semenjak kecil kelihatan
sangat rukun dengan Hwat Ki, Cui Kim lalu dianggap sebagai anak sendiri.
Demikianlah,
sejak kecil Cui Kim seakan-akan menjadi adik angkat Hwat Ki dan bersama putera
suhu-nya itu mempelajari ilmu silat tinggi. Pada suatu hari, puncak
Lu-liang-san menerima kunjungan seorang tamu yang tidak lain adalah Bun Hui,
putera Bun-goanswe yang tinggal di Tai-goan. Boleh dibilang, di antara
pendekar-pendekar keturunan Raja Pedang, Tan Sin Lee inilah yang tempat
tinggalnya paling dekat dengan Tai-goan dan kota raja.
Lu-liang-san
terletak di sebelah barat kota Tai-goan, bahkan dari kota itu sudah kelihatan
puncaknya. Sebab itu, begitu menghadapi kesulitan, Bun-goanswe teringat akan
sahabat baiknya ini dan menyuruh puteranya mengunjungi Tan Sin Lee.
Di dalam
suratnya, Bun-goanswe minta bantuan Tan Sin Lee dan para muridnya untuk
membantu negara yang sedang menghadapi banyak gangguan. Di dalam surat itu, dia
ceritakan betapa gangguan dari pihak Mongol di utara masih makin menghebat
sehingga kaisar sendiri berkenan memimpin barisan untuk menumpas
perusuh-perusuh dari utara itu. Diceritakan pula betapa bajak-bajak laut di
laut timur kini juga telah menjadi pengganggu-pengganggu keamanan, tidak saja
bagi para nelayan di laut, akan tetapi juga di daratan sepanjang pesisir Laut
Po-hai. Demikian besar gangguan ini sehingga kaisar sendiri telah memerintahkan
kepada Bun-goanswe untuk mengerahkan tenaga menumpas para bajak laut itu kalau
mereka berani mendarat.
Sebenarnya
Bun-goanswe sudah melakukan usaha ini, tetapi ternyata bahwa para bajak laut
Jepang itu bersama-sama bajak laut bangsa sendiri, memiliki banyak orang-orang
yang berilmu tinggi sehingga banyak sudah perwira dari kota raja yang tewas di
tangan para bajak laut. Karena inilah Bun-goanswe mengharapkan pertolongan Tan
Sin Lee dan murid-muridnya. Dan inilah pula sebabnya maka pendekar Lu-liang-san
itu lalu menyuruh puteranya sendiri ditemani oleh Cui Im, turun gunung
melakukan penyelidikan ke pantai Po-hai.
Sepasang
orang muda ini sengaja menyewa perahu berlayar di sepanjang pantai Po-hai.
Betul saja, pada suatu hari perahu itu diganggu bajak laut yang menggunakan
bendera Kipas Hitam. Akan tetapi kali ini para bajak laut menemui hari naas
karena mereka itu kocar-kacir dan banyak yang tewas di tangan sepasang pendekar
dari Lu-liang-san ini. Kemudian karena mendengar bahwa banyak bajak mengganas
pula di sepanjang Sungai Huang-ho, Hwat Ki bersama sumoi-nya lalu pergi ke kota
Leng-si-bun di pinggir Sungai Huang-ho, memasuki rumah makan dan terjadi peristiwa
dengan anak buah Kipas Hitam seperti yang telah dituturkan di bagian depan.
Tentu saja
Hwat Ki dan Cui Im menjadi girang karena mereka mendapatkan jejak ketua
perkumpulan Kipas Hitam yang merupakan gerombolan bajak laut yang paling
terkenal, di samping bajak-bajak laut lainnya yang banyak mengganas di
sepanjang pantai timur. Hari telah menjadi hampir malam ketika kedua orang
pendekar muda dari Lu-liang-san ini tiba di dusun Kui-bun. Dusun ini bukanlah
dusun besar, hanya didiami oleh para nelayan yang tidak lebih dari tiga puluh
buah keluarga banyaknya.
Di setiap
rumah nelayan itu nampak jala-jala dibentangkan, dan di pinggir rumah banyak
terdapat bekas-bekas perahu dan tiang-tiang layar. Di ujung yang paling jauh
dari pantai, terlihat sebuah rumah gedung besar yang kelihatan ganjil karena
jarang terdapat gedung sedemikian besarnya di dusun sekecil itu. Di pantai laut
itu sendiri banyak terdapat para nelayan besar kecil sibuk bekerja, agaknya
mereka itu sedang memasang atau pun menarik jaring dari pantai. Biasanya kalau
hari mulai gelap itulah mereka menarik jaring dan apa bila untung mereka baik,
mereka akan menarik banyak ikan di dalam jaring.
Hwat Ki dan
Cui Kim segera tertarik oleh rumah gedung itu. "Kiranya tidak akan salah
lagi, tentu gedung ini sarang mereka," Hwat Ki berkata kepada sumoi-nya.
"Akan
tetapi sebaiknya kalau kita mencari keterangan lebih dulu, Suheng. Di tempat
yang asing ini, sungguh tak baik kalau kita keliru memasuki rumah orang."
Hwat Ki
mengangguk, menyuruh adik seperguruannya itu menanti di tempat gelap, lalu dia
sendiri melangkah cepat menuju ke pantai. Dengan lagak bagai sudah mengenal
baik orang yang dicarinya, dia bertanya dengan lantang kepada seorang nelayan,
"Sahabat, ingin saya bertanya. Di manakah tempat tinggal seorang bernama
Yo-kongcu? Apakah rumah gedung itu?"
Mendadak
sekali orang-orang yang tadinya sibuk bekerja itu berhenti bergerak kemudian
memandang kepada Hwat Ki. Melihat ini, pemuda itu dapat menduga bahwa agaknya
mereka ini pun anak buah pimpinan Kipas Hitam itu, atau setidaknya tentu
teman-teman baik, maka cepat-cepat dia menyambung, "Saya adalah sahabat
baiknya, belum pernah datang ke sini, tidak tahu di mana rumahnya. Apakah
gedung besar itu?"
Seorang
nelayan setengah tua mengangguk pendek. "Betul."
Kemudian dia
memberi aba-aba kepada kawan-kawannya untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Hwat
Ki lega hatinya, cepat dia kembali ke tempat Cui Kim menanti.
"Sudah
kuduga bahwa orang she Yo itu tentu berkuasa di sini. Orang-orang itu agaknya
takut kepadanya. Sumoi, mari kita ke sana." Keduanya lalu berjalan
menghampiri gedung besar. Di sekitar gedung itu sangat gelap, akan tetapi
tampak sinar lampu-lampu menerangi sebelah dalam gedung yang dikelilingi oleh
tembok setinggi satu setengah tinggi orang. Hwat Ki dan adiknya mengelilingi
luar tembok dan mendapat kenyataan bahwa pintu satu-satunya hanyalah pintu
depan yang tertutup rapat.
"Kita
ketuk saja pintunya," kata Cui Kim.
"Hemmm,
tidak akan ada gunanya. Mengunjungi tempat lawan tidak perlu banyak aturan.
Mengetuk pintu berarti membuat mereka siap untuk menjebak kita. Mari!"
Pemuda itu
menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang naik ke atas tembok, diikuti
oleh Cui Kim. Bagaikan dua ekor burung walet mereka sudah meloncat dan berdiri
di atas tembok. Terang sekali di sebelah dalam tembok. Ruangan depan rumah
gedung itu pun sangat terang dan bersih, akan tetapi sunyi tidak tampak ada
orangnya.
"Orang
she Yo! Kami datang untuk minta kembali pedang!" Tan Hwat Ki berteriak
dengan suara lantang. Sedangkan Cui Kim berdiri di dekatnya dengan tegak, siap
menghadapi segala kemungkinan.
Sunyi sepi
menyambut suara teriakan Hwat Ki yang sedikit bergema di dalam gedung itu.
Kemudian terdengarlah suara halus dan nyaring, "Silakan masuk, pintu tidak
dikunci dan kami menanti di ruangan tengah!"
"Hati-hati,
Suheng, jangan-jangan musuh mengatur perangkap!" bisik Cui Kim.
"Tak
usah takut, marilah!" kata Hwat Ki yang melayang turun ke ruangan depan.
Dengan
gerakan lincah sekali Cui Kim mengikutinya, melompat turun ke atas lantai ruang
depan yang licin dan bersih itu tanpa mengeluarkan suara. Sejenak keduanya
berdiri dan memandang ke sekeliling dengan sikap waspada. Ruangan ini, yang
merupakan ruangan depan menyambung halaman, amat bersih dan indah. Ketika
mereka memandang ke dalam, di sebelah kiri dinding ruangan itu penuh dengan
tulisan-tulisan bersajak. Mereka kemudian melangkah ke dalam melalui pintu
besar yang memang tidak tertutup.
Ruangan
tengah itu luasnya ada lima belas meter persegi, juga terhias lukisan-lukisan
indah. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar dikelilingi bangku-bangku
terukir burung hong. Tampak empat orang duduk mengelilingi meja dan seorang di
antaranya adalah kongcu yang berpakaian serba putih. Melihat pemuda baju putih
ini duduk di kepala meja, dapatlah diduga bahwa dia menjadi pemimpinnya. Tiga
orang yang lain adalah dua orang laki-laki setengah tua dan seorang wanita
berusia empat puluh tahun yang rambutnya sudah berwarna dua dan di gelung
tinggi-tinggi di atas kepala. Melihat sikap mereka, tiga orang setengah tua ini
tentu bukan orang sembarangan pula.
Seorang di
antara dua laki-laki itu bertubuh pendek gemuk, modelnya seperti Kamatari, juga
di pinggang orang ini tergantung pedang samurai. Mudah diduga bahwa dia seorang
Jepang. Tubuh dan mukanya tidak bergerak-gerak, akan tetapi sepasang matanya
lincah bergerak ke kanan kiri. Yang seorang lagi bertubuh tinggi kurus. Bajunya
lebar dengan lengan baju panjang dan kumisnya tipis panjang sehingga bertemu
dengan jenggotnya yang menutupi dagu serta leher. Mereka berempat sekarang
memandang kepada sepasang orang muda yang baru datang.
Ketika
pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang lembut dari pemuda baju putih,
tiba-tiba saja jantung Cui Kim terasa berdebar tidak karuan. Akan tetapi begitu
dia melihat pedang hitamnya terletak di atas meja depan pemuda itu, timbul
kemarahannya. Seketika sinar matanya berapi-api dan dia berteriak dengan
nyaring. "Dengan muslihat curang kau telah merampas pedangku. Orang she
Yo, kalau memang kau jantan, kembalikan pedangku dan kita boleh bertanding
sampai seribu jurus!"
Pemuda itu
tersenyum, cepat bangkit dari bangkunya kemudian memberi hormat dengan
membungkuk dalam-dalam. "Bukan salahku...!" jawabnya sambil tersenyum
ramah. "Aku sudah mengutus orang dan mengundang kalian baik-baik, kalian
tidak datang malah menyerang orangku. Kalau tidak merampas pedang, mana bisa
aku memancing kalian datang pada malam ini?" Berkata demikian, pemuda baju
putih itu menatap wajah Hwat Ki dengan tajam, dengan pandang mata penuh
selidik.
Hwat Ki
tetap tenang, memang pemuda ini semenjak kecil memiliki sikap yang tenang. la
maklum bahwa bersama sumoi-nya dia telah memasuki goa harimau, akan tetapi
sedikit pun dia tidak gentar. "Setelah kami datang untuk minta kembali
pedang, apa lagi yang hendak kau bicarakan dengan kami?" tanyanya.
Pemuda baju
putih itu kembali tersenyum lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih
dan rapi. Hwat Ki harus mengakui bahwa wajah orang ini memang amat tampan.
"Banyak
yang ingin kami bicarakan. Akan tetapi, kalian berdua adalah tamu-tamu kami,
silakan duduk. Sebelum menjamu tamu terhormat, mana bisa bicarakan urusan
penting? Silakan duduk, atau... barang kali kalian takut kalau-kalau kami
menipu? Apakah kalian tidak berani duduk?"
Hwat Ki
tersenyum mengejek. "Takut apa?"
Dia lalu
melangkah maju, diikuti sumoi-nya. Keduanya kemudian duduk di atas bangku,
berhadap-hadapan dengan empat orang itu. Tiga orang setengah tua itu pun
berdiri dan mengangguk, dibalas oleh Hwat Ki dan Cui Kim yang merasa heran dan
aneh, karena sama sekali tak menyangka mereka akan diterima sebagai tamu. Hanya
adanya pedang Hek-kim-kiam di atas meja itu yang membikin suasana menjadi kaku.
Agaknya tuan
rumah merasakan hal ini. Dipungutnya Hek-kim-kiam dan disodorkannya pedang itu
kepada Cui Kim sambil berkata, "Silakan, Nona. Inilah pedangmu, maaf atas
kelancanganku tadi."
Cui Kim
menerima pedangnya dengan dua pipi merah dan kembali jantungnya berdebar tak
karuan. Semangatnya serasa terbetot oleh senyum dan pandang mata yang menarik
itu. Sesudah menyimpan pedang ke dalam sarung pedangnya, kembali ia duduk
dengan muka tunduk.
Si pemuda
baju putih bertepuk tangan tiga kali. Segera bermunculan lima orang pelayan
wanita yang muda-muda serta cantik-cantik. Mereka sibuk membawa datang
hidangan-hidangan lezat dan arak wangi yang mereka tuangkan ke dalam cawan enam
orang itu dengan gerakan dan gaya yang manis. Si pemuda baju putih itu dengan
ramah-tamah mempersilakan kedua orang tamunya makan dan minum arak.
Memang
sehari itu Hwat Ki dan sumoi-nya baru makan sekali, yaitu di rumah makan kota
Leng-si-bun sebelum tengah hari, tentu saja pada saat itu mereka sudah merasa
lapar. Hwat Ki yang tahu bahwa pihak tuan rumah menguji ketabahan mereka, tentu
saja tidak sudi memperlihatkan kekhawatiran. Dengan wajar dan tenang dia mulai
makan minum menemani tuan rumah dengan enaknya.
Hanya Cui
Kim yang merasa agak canggung. Sebagai seorang gadis, ia berbeda dengan gadis
biasa. Bagi dirinya yang sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, makan bersama
orang-orang lelaki bukanlah hal yang menyulitkan. Akan tetapi entah bagaimana,
ketika berhadapan dengan tuan rumah she Yo yang muda, tampan dan luar biasa
itu, membuat hatinya bergoncang dan sepasang sumpit yang dipegangnya agak
gemetar!
"Nona,
mengapa sungkan-sungkan? Marilah, harap kau suka mencoba masakan ini. Ini
masakan sirip ikan Hiu Harimau, Nona pasti belum pernah mencoba masakan ini,
bukan? Silakan!"
Pemuda Yo
itu mengangkat mangkok masakan itu dan menawarkannya kepada Cui Kim. Dengan
sangat ramah dia menawarkan beberapa macam masakan, malah menuangkan arak
memenuhi cawan gadis itu sehingga si gadis menjadi makin canggung dan jengah.
Diam-diam Hwat Ki mendongkol sekali. Tuan rumah yang masih muda dan tampan ini,
meski pun amat ramah, akan tetapi agaknya terlalu manis sikapnya terhadap Cui
Kim. la diam-diam menduga bahwa orang she Yo ini tentulah seorang pemuda hidung
belang, seorang kongcu yang gila akan wanita cantik. Buktinya para pelayannya
tadi pun semua muda-muda cantik-cantik dan lagaknya menarik, membayangkan
pendidikan cukup.
la takkan
heran kalau para pelayan itu pandai bernyanyi, menari dan main musik untuk
menghibur hati sang kongcu hidung belang. Oleh karena dugaan ini Hwat Ki lalu
bersikap lebih waspada dan berhati-hati. Siapa tahu, pancingan ini pada
hakekatnya hanya untuk menjadikan sumoi-nya yang cukup cantik sebagai korban!
Sikap pemuda
she Yo itu makin manis kepada Cui Kim, selalu tersenyum dan mengajak Cui Kim
bercakap-cakap. Malah kelancangannya makin menjadi-jadi ketika dia bertanya
sambil tersenyum manis dan mengerling tajam.
"Nona,
agaknya lebih patut aku menyebutmu adik. Aku berani bertaruh bahwa usia kita
sebaya, akan tetapi lebih enak aku menyebut adik. Berapakah usiamu tahun ini
dan eh... betul juga, aku belum mengetahui namamu. Namamu tentu indah, sama
manis dengan orangnya.”
Muka Cui Kim
menjadi merah sekali, sampai ke telinga dan lehernya. Karena sikap yang manis
dan pembicaraan yang manis tadi dia sampai lupa akan kewaspadaan dan agak
terlalu banyak minum arak. Mungkin inilah yang membuat dia sekarang merasa
betapa badannya panas dingin dan jantungnya berdegup hampir meledak mendengar
kata-kata itu.
Biasanya ia
akan marah dan memukul, atau paling sedikitnya memaki orang yang berani bersikap
begini lancang terhadap dirinya. Akan tetapi entah mengapa, kali ini ia hanya
menundukkan muka dan mulutnya berkata gagap, "Aku... namaku... Bu Cui Kim
dan... dan..."
"Sumoi,
tak perlu memperkenalkan diri pada orang yang belum kita ketahui
keadaannya!" tiba-tiba saja Hwat Ki memotong, kemudian menarik bangkunya
agak mundur dari meja, menggunakan ujung lengan baju menghapus bibirnya, lalu
dia berkata, suaranya tenang dan penuh wibawa,
"Sahabat,
kami berdua sudah menerima undanganmu, juga sudah makan serta minum hidanganmu,
semua ini kami lakukan untuk melayanimu seperti lazimnya kebiasaan di dunia
kang-ouw. Sebagai orang yang mengundang, berarti kau yang mempunyai urusan
dengan kami, maka sudah selayaknya apa bila kau yang harus memperkenalkan
dirimu kepada kami dan menyatakan secara terus terang apa yang tersembunyi
dalam hatimu terhadap kami."
Begitu
melihat sikap suheng-nya dan mendengar ucapan ini, sadarlah Cui Kim. Dia pun
segera menarik bangkunya menjauhi meja, mukanya masih merah akan tetapi
sekarang pandang matanya berkilat dan penuh curiga!
Pemuda
berbaju putih itu tersenyum lebar, sebelum berbicara dia menggunakan sehelai
sapu tangan putih bersih menghapus mulutnya. Agak keras ia menggosok-gosok
bibirnya yang berlepotan minyak masakan itu sehingga ketika dia menurunkan sapu
tangan itu, sepasang bibirnya menjadi merah bagai dipulas gincu. Makin tampan
wajahnya sehingga kembali Cui Kim harus menekan perasaan hatinya yang
bergelora.
Selama
hidupnya baru kali ini Cui Kim mengalami hal seaneh ini ketika melihat seorang
pemuda. Akan tetapi, memang pemuda ini luar biasa tampannya!
"Sayang,
kalian masih belum percaya bahwa aku mengandung maksud hati yang baik. Padahal kalau
dipikir-pikir, kau telah membunuhi belasan orang-orang kami, bahkan kau tadinya
tak mengindahkan undangan kami. Baiklah aku memperkenalkan diri. Aku adalah
keturunan campuran antara bangsamu dengan darah Jepang, namaku Yosiko atau
boleh juga diubah menjadi Yo Si Kouw." la tersenyum.
Dengan masih
berdiri dan sikapnya angker, Hwat Ki berkata, pandang matanya tajam menyelidik,
"Jadi
kau bernama Yosiko dan menjadi ketua dari perkumpulan bajak Kipas Hitam yang
mengganggu keamanan Laut Po-hai dan muara Sungai Kuning. Terus terang saja,
kami berdua kakak beradik seperguruan memang ditugaskan untuk membersihkan
daerah ini dari gangguan bajak! Karena itulah ketika anak buahmu mengganggu,
maka kami bunuh mereka. Nah, sekarang kau mengundang kami, ada keperluan
apakah?"
Ucapan Hwat
Ki ini merupakan tantangan langsung. Akan tetapi Yosiko sama sekali tak menjadi
marah, bahkan tersenyum dan memandang kagum.
"Kau
sungguh gagah berani! Apa kau kira mudah saja membasmi kami? Apa kau berani
menghadapi kami yang berjumlah banyak, sedangkan banyak perwira kerajaan tewas
di tangan kami?"
"Orang
she Yo, kalau tadi aku sudah berani mengaku terus terang di depanmu, berarti
kami tidak takut menghadapi kalian! Akan tetapi karena sikapmu berbeda dengan
para bajak yang kasar, bahkan sudah mengundang kami dan menjamu sebagai tamu,
biarlah kunasehatkan agar kau cepat-cepat kembali ke tempat asalmu dan jangan
melanjutkan pekerjaan kotor menjadi bajak di daerah ini. Aku sudah bicara dan
jika tidak menghargai saranku, baiklah, terpaksa aku melupakan semua kebaikanmu
dan akan menganggapmu sebagai musuh!"
Yo-kongcu
tertawa, giginya yang putih berkilat. "Ahh, alangkah gagahnya! Kau tentu
she Tan, bukan? Bukankah kau putera dari ketua Lu-liang-pai dan ayahmu bernama
Tan Sin Lee?"
Hwat Ki tak
menjadi heran. Sebagai seorang kepala bajak, tentu saja kepala bajak muda ini
mempunyai banyak kaki tangan dan penyelidik sehingga dapat mengetahui keadaan
dirinya.
"Memang
aku Tan Hwat Ki dan ayahku bernama Tan Sin Lee, ketua dari Lu-liang-pai. Setelah
tahu akan hal itu, lebih baik kau menerima saranku, hentikanlah
pembajakan-pembajakan di daerah ini."
"Ahhh,
benar dugaanku. Orang sendiri! Ehh, Tan Hwat Ki, enak saja kau menyuruh orang
menghentikan pekerjaan. Kalau aku tidak mau mundur, bagaimana?"
"Pedangku
akan membereskan segalanya!" kata Tan Hwat Ki sambil menepuk gagang
pedangnya. Dia maklum bahwa menghadapi kepala bajak yang aneh dan lihai ini,
perlu sikap tegas, karena mereka berdua sudah berada di sarang harimau.
"Tapi...
tapi aku tidak ingin bermusuhan denganmu!"
Kini Cui Kim
yang merasa tidak enak kalau diam saja, menjawab. "Kalau kau tidak ingin
bermusuhan, lebih baik menerima saran suheng-ku, sebelum terlambat dan pedang
kami membasmi kalian!"
"Wah…
wah… wah, galaknya!" Yo-kongcu mengeluh. "Tan Hwat Ki, dengarlah
sekarang maksud hatiku. Aku sengaja mengundang kau dan Sumoi-mu ke sini dengan
maksud baik. Ketahuilah bahwa telah lama aku mendengar nama besar jago-jago di
daratan, di antaranya jago dari Lu-liang-san. Aku mempunyai seorang adik
perempuan yang sedang mencari jodoh, namun sukarnya, dia menghendaki jodoh
seorang pemuda yang mampu mengalahkan aku! Kulihat kau cukup hebat, maka aku
ingin mencoba kepandaianmu." Sesudah berkata demikian, Yo-kongcu yang aneh
ini melolos sehelai sabuk sutera putih dan sebatang pedang yang kecil panjang.
Merah sekali
wajah Hwat Ki, juga dia menjadi semakin marah. "Ucapanmu tidak karuan,
orang she Yo! Siapa sudi melayani ucapan gila-gilaan itu? Hayo lekas kau
memilih, mau mengundurkan diri dari wilayah ini dengan aman atau harus makan
pedangku!"
"Bagus,
Tan Hwat Ki, lekas kau majulah. Memang aku hendak menguji kepandaianmu!"
tantang ketua Hek-sin-pang (Perkumpulan Kipas Hitam) itu.
"Suheng,
biarkan aku maju menghadapi bajak ini!" tiba-tiba saja Cui Kim meloncat
maju dengan pedang Hek-kim-kiam di tangan.
Pemuda
tampan baju putih itu tersenyum, membuat wajahnya menjadi ganteng sekali.
"Aha,
adik yang manis. Apakah kau juga hendak memasuki sayembara?"
"Apa...
apa maksudmu?"
"Agaknya
kau sama dengan adik perempuanku, hendak mencari jodoh dengan menguji
kepandaian pemuda yang disukainya. Kau hendak menguji kepandaianku?"
Wajah Cui
Kim menjadi merah sekali.
"Setan
kau...!"
"Sumoi,
tunggu! Laki-laki ceriwis ini tidak perlu kau layani, serahkan kepadaku. He,
orang she Yo! Apa bila kau memang laki-laki sejati, jangan mengganggu wanita
dengan ucapan kotor. Hayo kau tandingi pedangku!"
"Sraattttt!"
Tampak sinar
berkilauan ketika pemuda Lu-liang-san ini mencabut pedang. Pedangnya pendek
saja, akan tetapi pedang ini mengeluarkan sinar menyilaukan dan mengandung hawa
dingin.
Inilah
pedang yang terbuat dari logam putih yang sudah terpendam di dalam salju ribuan
tahun lamanya, maka diberi nama Swat-cu-kiam (Pedang Mustika Salju). Karena
logam putih itu tidak tersedia cukup banyak, maka hanya bisa dibuat menjadi
sebatang pedang pendek saja. Logam putih itu didapatkan oleh Tan Sin Lee di
puncak gunung yang selalu tertutup salju, dibuat menjadi pedang pendek dan
diberikan kepada puteranya.
Pada saat
itu, dari pintu samping melompat masuk seorang pemuda. Pemuda ini pendek tegap
tubuhnya, kelihatan kuat sekali, mukanya agak hitam karena sering terbakar
sinar matahari. Pakaiannya ringkas sedang kepalanya dicukur botak semodel dua
orang kakek yang duduk di sana. Tangannya memegang pedang samurai dan matanya
berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Yosiko...
eh, Yo-kongcu, tak ada laki-laki yang cukup berharga menandingimu sebelum
menangkan Shatoku!"
Yo-kongcu
kelihatan kaget dan membentak, "Shatoku, mundur...!"
"Maaf,
dia harus mengalahkan aku lebih dulu!"
Sesudah
berkata demikian, pemuda Jepang yang bernama Shatoku itu menerjang ke depan, ke
arah Hwat Ki sambil memekik keras,
"Haaaiiiiittt!"
Pedang
samurainya berkelebat bagai halilintar menyambar, amat kuat dan cepat bukan
main, jauh lebih kuat dan lebih cepat dari pada gerakan samurai di tangan
Kamatari. Menyaksikan gerakan ini, Hwat Ki tidak berani memandang ringan. Dia
dapat menduga apa yang terjadi. Tentu pemuda Jepang yang bernama Shatoku ini
adalah seorang yang mencinta atau tergila-gila pada gadis adik ketua Kipas
Hitam dan kini menjadi cemburu.
Diam-diam
dia mendongkol sekali terhadap orang she Yo itu, juga dia marah kepada pemuda
Jepang ini yang datang-datang langsung menerjangnya dengan mati-matian. la
harus perlihatkan kepandaiannya. Cepat dia mempergunakan langkah-langkah Kim-tiauw
Sin-po (Langkah Ajaib Rajawali Emas) yang dia warisi dari ayahnya.
Begitu dia
mainkan langkah-langkah ini, sinar samurai yang menyambar-nyambar seperti
halilintar itu selalu mengenai tempat kosong. Pemuda Jepang Shatoku itu menjadi
sangat penasaran.
Dia seorang
yang terkenal paling hebat di antara para pemuda bangsanya yang menjadi anggota
Kipas Hitam. Masa sekarang dia tidak sanggup merobohkan seorang pemuda kurus
yang kelihatan lemah? Samurainya diputar secepatnya dan sekarang serangannya
mengeluarkan bunyi berdesingan selain menciptakan gulungan sinar yang
melibat-libat di sekitar tubuh Hwat Ki.
Setelah
mainkan Kim-tiauw Sin-po sampai tiga puluh jurus sambil terus memperhatikan
gerakan lawan, sekarang tahulah Hwat Ki akan rahasia dan kelemahan ilmu silat
pedang lawannya yang aneh itu. Ilmu pedang itu hanya mengandalkan tenaga dan
kecepatan tanpa ada variasi atau kembangan, juga tenaga yang diandalkannya
hanya tenaga kasar. Memang harus diakui sangat cepat dan andai kata dia tidak
mempunyai Ilmu Kim-tiauw Sin-po, agaknya serangan kalang-kabut seperti hujan
badai itu sedikitnya akan membuat dia gugup dan kacau.
Setelah
mempelajari gerakan lawan, tiba-tiba saja Hwat Ki mengeluarkan seruan nyaring.
Tubuhnya berkelebat dan bagi pandangan Shatoku, tiba-tiba lawannya sudah lenyap
dari pandangan matanya. Kemudian dia mendengar angin di belakangnya, cepat
samurainya dia kelebatkan ke belakang. Akan tetapi hanya mengenai angin belaka
dan tahu-tahu, sebelum dia sempat menjaga karena tidak tahu lawan menyerang
dari mana, Shatoku merasa betapa dadanya dimasuki oleh sesuatu yang sangat
dingin sehingga membuat dia menggigil.
Samurainya
terlepas dari tangan, dia terhuyung-huyung lalu roboh miring. Dari dadanya
mengucur keluar darah karena dada itu sudah ditebusi pedang Swat-cu-kiam!
"Yosiko...,"
bibirnya berbisik, sedangkan matanya yang sudah mulai pudar cahayanya itu
ditujukan ke arah ketua Kipas Hitam.
Orang she Yo
itu membuang muka dan berkata, "Salahmu sendiri, Shatoku. Kau tidak tahu
diri, seperti si cebol merindukan bulan. Matilah dengan tenang, kau roboh di
tangan seorang pendekar gagah!"
Mata Shatoku
tertutup dan matilah pemuda Jepang itu. Atas isyarat Yo-kongcu, empat orang
laki-laki muncul dan membawa pergi jenazah itu, sedangkan para pelayan wanita
cepat membersihkan sisa-sisa darah di lantai dengan kain dan air. Cepat
pekerjaan ini dilaksanakan dan sebentar saja keadaan sudah bersih kembali
seperti semula.
"Tan
Hwat Ki, kepandaianmu cukup untuk menandingi aku. Hayo majulah!" Yo-kongcu
berseru, pedangnya tegak lurus ke atas di depan keningnya, sabuk sutera putih
di tangan kiri digulung. Gaya kuda-kuda ini indah dipandang, akan tetapi juga
aneh dan asing.
"Orang
she Yo, sekali lagi kunasehatkan supaya kau mundur dan menarik semua bajak dari
daerah ini, segera kembalilah ke tempat asalmu. Contohnya orangmu tadi,
terpaksa kurobohkan karena secara kurang ajar dia menyerangku tanpa sebab. Aku
sungguh tidak ingin membunuh orang yang baru saja menjamu kami."
"Tak
perlu banyak cakap lagi, Tan Hwat Ki. Kalau kau dapat menangkan aku, kau akan
menjadi jodoh adikku, kalau tidak, terpaksa kami memberi hukuman atas
kelancanganmu membunuh banyak orang anggota Kipas Hitam."
"Bagus,
kau lihat baik-baik pedangku!"
Hwat Ki
segera menikam dengan jurus Kim-tiauw Liak-sui (Rajawali Emas Sambar Air).
Mula-mula jurus ini digerakkan dengan lambat, akan tetapi secara mendadak
berubah cepat dan dahsyat sekali, yang dijadikan sasaran sekaligus adalah tiga
tempat, yaitu ulu hati, pusar dan tenggorokan! Ujung pedangnya tergetar menjadi
tiga, biar pun menusuk secara berturut-turut, akan tetapi saking cepatnya
seakan-akan merupakan tiga batang pedang menusuk sekaligus.
"Bagus!"
Yo-kongcu memuji dalam bahasa Jepang. Sepasang kakinya dengan cekatan melangkah
ke samping dan sekaligus terhindarlah dia dari pedang lawan.
"Ehhh...!"
Hwat Ki berseru kaget melihat cara lawannya menghindarkan diri.
Cepat Hwat
Ki menerjang lagi bertubi-tubi dengan tiga jurus dirangkai sekaligus tanpa
memberi kesempatan lawan balas menyerang. Pancingannya berhasil karena
Yo-kongcu melanjutkan langkah-langkahnya untuk menghindar. Lincah sekali
gerakan pemuda itu dan tiga jurus yang dilancarkan dengan cepat ini dapat
dihindarkan dengan baik.
"Tahan!"
teriak Hwat Ki yang tak dapat menahan keheranan hatinya lagi. "Orang she
Yo, dari mana kau mencuri langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun?"
Yo-kongcu
tertawa mengejek, mempermainkan sabuk sutera putih di tangan kirinya.
"Tan
Hwat Ki, apa kau kira hanya engkau sendiri yang mampu mainkan langkah-langkah
Kim-tiauw-kun? Ihhh.., kau terlampau memandang rendah kepadaku. Lihat
seranganku!"
Dengan cepat
sekali seberkas cahaya putih menyambar ke arah Hwat Ki. Pemuda ini mengenal
sinar putih yang siang tadi telah merampas pedang Hek-kim-kiam dari tangan
sumoi-nya. la tidak menjadi gentar, segera memutar tangan kirinya dan mendorong
ke depan.
"Plakkk!"
Ujung sinar
putih atau lebih tepat ujung sabuk sutera putih itu terpental kembali ketika
bertemu dengan tangan kiri Hwat Ki yang pada waktu didorongkan mengeluarkan
cahaya kehijauan itu. Kagetlah Yo-kongcu.
Pukulan
tangan kiri Hwat Ki tadi jelas adalah pukulan jarak jauh yang luar biasa
sekali. Memang sesungguhnya demikianlah. Hanya ada satu macam ilmu pukulan
jarak jauh di dunia ini yang dilakukannya dengan cara memutar-mutar lengan kiri
seperti itu, yaitu Ilmu Pukulan Ching-tok-ciang (Tangan Racun Hijau)!
Ilmu Pukulan
Ching-tok-ciang ini diwarisi Hwat Ki dari ayahnya, sebab ilmu ini merupakan
peninggalan neneknya, ibu dari Tan Sin Lee. Karena ilmu ini sifatnya ganas dan
liar, lebih tepat dipergunakan oleh golongan hitam, maka Tan Sin Lee tidak
mengajarkannya kepada murid-muridnya yang lain kecuali kepada putera
tunggalnya, dengan pesan agar ilmu ini jangan dipergunakan kalau tidak perlu.
Biar pun ilmu ini merupakan ilmu ganas, namun karena merupakan peninggalan
ibunya, terpaksa dia wariskan kepada puteranya.
Akan tetapi
pemuda she Yo yang tangkas itu hanya sebentar saja terkejut karena selain dia
segera dapat mengatasi kekagetannya, juga sekarang pedangnya sudah menerjang
dengan gerakan yang sangat ganas dan cepat. Sifat gerakan pedangnya jauh
berbeda kalau dibandingkan dengan gerakan samurai di tangan Shatoku, pemuda
Jepang tadi. Gerakan samurai cepat bertenaga, akan tetapi tenaganya adalah
tenaga kasar, ada pun kecepatannya wajar. Karena itu sifatnya sangat berbeda
dengan ilmu silat pedang yang lebih banyak mengandalkan kecepatan ginkang,
tenaga dalam dan gerak-gerak tipu dan pancingan-pancingan yang berbahaya.
Hwat Ki
menjadi heran dan kagum juga. Pemuda Jepang darah campuran ini ternyata
memiliki ilmu pedang yang hebat dan aneh sekali, karena gerakan-gerakannya biar
pun masih jelas merupakan ilmu pedang yang pilihan, juga tercampur gerakan
silat Jepang. Ginkang-nya cukup tinggi, tenaga sinkang-nya juga sangat kuat,
sedangkan pedang di tangannya itu pun terbuat dari bahan baja pilihan karena
setiap kali bertemu dengan Swat-cu-kiam di tangannya, lantas mengeluarkan warna
seperti perak dan mempunyai tenaga getaran tanda logam pusaka.
Di sampng
ini, pemuda peranakan Jepang itu benar-benar lincah sekali menggunakan
langkah-langkah bersumber Kim-tiauw-kun. Dia pernah mendengar dari ayahnya
bahwa Kim-tiauw-kun merupakan sumber banyak macam ilmu langkah ajaib, di
antaranya yang terhebat adalah Si-cap-it Sin-po dan yang kedua adalah Ilmu
Langkah Hui-thian Jip-te (Terbang di Langit Masuk ke Bumi).
Berbeda
dengan Si-cap-it Sin-po yang mempunyai empat puluh satu langkah, Hui-thian
Jip-te mempunyai dua puluh empat langkah. Agaknya, pemuda she Yo ini
menggunakan Hui-thian Jip-te karena langkah-langkahnya tidak terlalu banyak
macamnya namun cukup untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan berbahaya.
Yang lebih
berbahaya adalah sabuk sutera putih ini berkelebatan menjadi gulungan sinar
putih yang menyilaukan mata, kadang kala bergulung-gulung menjadi
lingkaran-lingkaran besar kecil yang selain dapat digunakan untuk menotok jalan
darah lawan, juga sering digunakan untuk berusaha melibat pedang lawan dan
merampasnya.
Akan tetapi
Tan Hwat Ki tidak selemah sumoi-nya. Ilmu pedangnya mantap, gerakannya penuh
tenaga dalam, sikapnya tenang dan pertahanannya pun kokoh kuat. Sama sekali
sabuk sutera putih itu tidak membuat hatinya gugup, malah secara pelan-pelan
dengan dorongan-dorongan Ching-tok-ciang dan tekanan pedang Swat-cu-kiam di
tangan kanan, dia mulai mendesak lawannya setelah pertandingan berlangsung
lebih dari seratus jurus dengan amat serunya.
Tiga orang
tua yang masih duduk menghadapi meja, dan juga Bu Cui Kim, memandang penuh
kekaguman. Diam-diam Cui Kim semakin kagum terhadap pemuda Jepang yang tampan
sekali itu. Tadinya dia menganggap bahwa di antara semua pemuda di dunia ini,
sukarlah mencari tandingan suheng-nya yang mempunyai kepandaian luar biasa.
Siapa kira, kini pemuda peranakan Jepang yang tampan sekali itu mampu
menandingi Hwat Ki sampai lebih dari seratus jurus dalam pertandingan yang seru
dan seimbang. Hatinya makin kagum dan ia memandang penuh perhatian.
Sesudah
melihat betapa pelan-pelan pemuda peranakan Jepang itu mulai terdesak oleh
lingkaran-lingkaran sinar pedang suhengnya, diam-diam Cui Kim menaruh
kekhawatiran kalau-kalau kakak seperguruannya itu akan menurunkan tangan besi
dan membunuh si pemuda Jepang seperti yang dilakukannya terhadap Shatoku,
pemuda Jepang tadi.
Memang Hwat
Ki tidak mau memberi kesempatan lagi kepada Yosiko. la pikir lebih baik
melenyapkan ketua Kipas Hitam ini karena kalau ketuanya sudah tewas, tentu akan
lebih mudah membasmi gerombolan bajak laut yang mengganggu keamanan wilayah
Po-hai. Maka dia makin hebat mendesak dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu
pedangnya.
Ada pun
Yo-kongcu yang terdesak itu, berkali-kali mengeluarkan seruan kagum atas ilmu
kepandaian lawan. la tidak kelihatan gelisah, meski terdesak dan tertekan,
seruan-seruan kagum dari mulutnya mengandung kegembiraan.
"Hebat,
kau patut menjadi jodohnya..." demikian berkali-kali dia berseru.
"Ilmu pedangmu hebat!"
"Tidak
usah banyak cakap, bersiaplah untuk mampus!" bentak Hwat Ki dan pedangnya
menyambar-nyambar seperti tangan maut mencari korban.
Mendadak dia
mendengar suara Cui Kim berseru keras, "Suheng, celaka... kita
tertipu...!"
Hwat Ki
kaget dan menengok. Ternyata adik seperguruannya itu terhuyung-huyung lalu
roboh pingsan di atas lantai! la tidak tahu apa yang terjadi atas diri
sumoi-nya, cepat dia meloncat ke arah adik seperguruannya itu, akan tetapi
mendadak dia merasa kepalanya pening, pandang matanya berkunang-kunang.
Tahulah dia
sekarang. la, seperti juga sumoi-nya, terkena racun! Agaknya tadi karena dia
bertanding dan mengerahkan sinkang, racun itu belum begitu terasa olehnya. Apa
lagi memang sinkang yang dimiliki sumoi-nya tidak sekuat sinkangnya. Dengan
penuh kemarahan Hwat Ki menengok. Dilihatnya Yosiko atau Yo-kongcu (tuan muda
Yo) itu tersenyum, berdiri memandang kepadanya seperti orang mengejek.
"Keparat!
Kau... curang! Kau meracuni kami...!" Hwat Ki menguatkan diri dan memaki.
Senyum itu
melebar, akan tetapi kini pandangan mata Hwat Ki sudah remang-remang dan kurang
jelas, hanya kelihatan gigi putih berkilat, kemudian terdengar suara pemuda
Jepang kepala bajak itu berkata, terdengar oleh telinganya seperti suara yang
datang dari jauh sekali,
“Tan Hwat
Ki, kau belum mengenal kelihaian Kipas Hitam. Jika tadi kau kalah bertanding
denganku, kau dan adikmu tentu sekarang sudah mati, sebab kau tidak ada
harganya. Untung kau menang, maka kau dan adikmu harus menjadi tawananku.
Jangan khawatir, kami tidak akan membunuh kalian, racun itu hanya beberapa
menit saja membuat kalian pingsan..."
Apa yang
diucapkan selanjutnya tak dapat terdengar lagi oleh Hwat Ki yang telah roboh
pingsan di samping adik seperguruannya.
"Siauw-pangcu...
(Ketua Muda), untuk apa menawan mereka? Lebih baik lekas dibunuh saja agar
tidak menimbulkan keruwetan di belakang hari," berkata seorang di antara
dua kakek itu, yang bertubuh kurus kering.
"Pauw-lopek
(uwa Pauw), mereka itu masih orang sendiri, tidak mungkin aku membunuh mereka,
kecuali... hemmm kecuali jika mereka tidak mau menurut memihak kita,"
jawab Yosiko dengan suara tegas.
"Bagus
sekali! Kipas Hitam kiranya hanya perkumpulan bajak busuk yang dipimpin oleh
seorang wanita curang!" tiba-tiba terdengar suara orang.
Kaget bukan
main hati Yosiko, serentak dia meloncat dan siap, demikian pula tiga orang tua
itu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di sana sudah muncul seorang pemuda
berpakaian serba putih yang sederhana, dengan wajah yang tenang dan penuh
wibawa. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Wan!
Seperti kita
ketahui, secara kebetulan sekali Yo Wan berada di rumah makan di dusun
Leng-si-bun dan menyaksikan peristiwa yang terjadi antara muda-mudi
Lu-liang-san itu dengan orang-orang Kipas Hitam. Pada saat muncul Yosiko yang
mengaku she Yo dan memiliki gerakan yang sangat hebat, dia kaget dan heran
sekali, juga ingin tahu karena bagaimana ketua Kipas Hitam itu memiliki she
(nama keturunan) yang sama dengan dia?
Diam-diam
dia menyelinap pergi sambil meninggalkan uang pembayaran makan minum, lantas
membayangi si pemuda ketua Kipas Hitam itu ke dusun Kui-bun di pantai Po-hai.
Dengan kepandaiannya yang luar biasa, Yo Wan berhasil membayangi terus sampai
di gedung tempat kediaman ketua Kipas Hitam itu dan bersembunyi. la dapat
menduga bahwa muda-mudi yang dirampas pedangnya itu pasti akan menyusul ke
Kui-bun. Maka, diam-diam dia bersembunyi sambil memasang mata, siap menolong
muda-mudi itu bila mereka terancam bahaya.
Kalau
muda-mudi itu bertentangan dengan golongan bajak laut yang telah mengganggu
ketenteraman penghidupan para nelayan dan saudagar di tepi laut, tentu saja dia
akan memihak mereka. Apa lagi karena timbul dugaan di dalam hatinya bahwa
muda-mudi itu sedikit banyak tentu mempunyai hubungan dengan gurunya, Pendekar
Buta.
Ketika
dugaannya terbukti dengan munculnya muda-mudi di ruangan besar gedung itu, dia
mendapat kenyataan yang menggirangkan, juga mengherankan hatinya. Pemuda itu
ternyata bernama Tan Hwat Ki, putera Tan Sin Lee ketua Lu-liang-pai. Kini tidak
heranlah dia mengapa pemuda itu dan sumoi-nya demikian lihai dan mempunyai
gerakan langkah Kim-tiauw-kun. Tentu saja dia girang dan niatnya menolong atau
membantu mereka lebih mantap lagi.
Akan tetapi,
hal yang amat mengherankan hatinya adalah ketika dia melihat kenyataan pula
bahwa pemuda baju putih yang disebut Yosiko atau Yo-kongcu dan menjadi ketua
Kipas Hitam itu ternyata adalah seorang wanita! Pandang matanya yang tajam
segera dapat membuka rahasia ini ketika Yosiko mulai bersilat melawan Hwat Ki.
Ada gerakan-gerakan otomatis pada kaki dan lengan seorang wanita, yang sangat
berbeda dengan gerakan otomatis kaki tangan pria.
Dalam
menggerakkan lengannya, seorang wanita otomatis tidak mau membuka pangkal
lengannya menjauhi dada, hal ini adalah sifat pembawaan tiap wanita. Tentu saja
dalam mainkan ilmu silat, hal ini tidak mengikat benar, namun dalam ilmu silat
pun tercampur dengan gerakan otomatis yang menjadi dasar menurut pembawaan
masing-masing.
Melihat
gerak ini, kemudian melihat wajah yang terlalu tampan itu, kulit yang terlalu
halus untuk pria, mudah saja Yo Wan menduga bahwa pemuda tampan itu adalah
seorang gadis cantik yang menyamar pria. Keheranan ini belum seberapa kalau
dibandingkan dengan keheranan ketika dia melihat betapa gadis peranakan Jepang
ini menggerakkan kakinya dalam langkah-langkah ajaib yang sangat dikenalnya.
Itulah inti sari ilmu langkah ajaib yang dahulu pernah dia pelajari dari
suhunya, Pendekar Buta!
Hanya
bedanya, yang dia pelajari adalah lebih lengkap berjumlah empat puluh satu
jurus, sedangkan yang dikuasai gadis Jepang itu adalah dua puluh empat jurus
Hui-thian Jip-te! Benar-benar amat luar biasa dan hal ini membuat hatinya
menjadi ragu untuk memusuhi apa lagi membasmi ketua Kipas Hitam ini.
Demikianlah,
ketika dia melihat Hwat Ki telah mendesak hebat, seperti juga Cui Kim, dia
khawatir kalau-kalau dalam kemarahannya Hwat Ki lantas membunuh ketua Kipas
Hitam itu, maka dia bersiap-siap untuk menghentikan pertandingan mati-matian
itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat Cui Kim roboh pingsan, disusul oleh
Hwat Ki dan mendengar ucapan Yosiko, dia mengerutkan kening. Gadis peranakan
Jepang itu benar-benar lihai, berani, juga liar dan curang, maka sambil
mengejek dia lalu menampakkan diri.
Marahlah
hati Yosiko ketika melihat munculnya seorang asing secara mendadak. Cepat dia
bertepuk tangan tiga kali dan muncullah enam orang pendek-pendek yang ternyata
bukan lain adalah Kamatari bersama lima orang temannya. Si Pedang Cakar Naga
ini bersama lima orang temannya menjura dalam-dalam sampai jidat mereka hampir
menyentuh tanah di depan Yosiko.
"Apa
yang dapat kami lakukan untuk Yo-kongcu yang terhormat?" tanya Kamatari
dalam bahasa Jepang.
"Kalian
sekelompok udang goblok, bagaimana dengan tugasmu menjaga sehingga orang dusun
ini bisa masuk ke sini tanpa ijin?" bentak Yosiko sambil menudingkan
telunjuknya ke arah Yo Wan.
Kamatari
melirik dan tampak kaget ketika melihat Yo Wan. "Dia... dia adalah orang
yang kelihatan di dalam rumah makan di Leng-si-bun!" katanya gagap dan
heran.
"Goblok,
seret dia keluar!" bentak Yosiko.
Diikuti lima
orang temannya, Kamatari melangkah maju, lambat-lambat, selangkah demi
selangkah, dengan gerak kaki menurutkan ilmu silatnya, kedua tangannya
tergantung di kanan kiri, sikunya sedikit ditekuk dan jari-jari tangannya
terbuka dan tertutup, sikapnya mengancam sekali!
Gerakan lima
orang temannya juga seperti itu, bahkan dengan teratur mereka berenam kemudian
membuat gerakan mengelilingi Yo Wan.
"Ehhh,
cakar nagamu ke mana? Apakah sudah kau tukar dengan cakar ayam maka kau malu
mengeluarkannya?" Yo Wan berkata sambil menghadapi Kamatari, sebab di
antara enam orang itu, Si Cakar Naga inilah yang paling kuat.
Merah muka
dan kepala yang botak itu, kemudian tiba-tiba Kamatari mengeluarkan pekik
nyaring yang agaknya keluar dari dalam perutnya, disusul dengan gerakannya
laksana katak melompat dan tahu-tahu pedang samurainya telah menyambar ke arah
Yo Wan. Pada detik-detik berikutnya, lima orang temannya juga sudah menerjang
dengan samurai terhunus sehingga dari enam penjuru menyambarlah kilatan enam
sinar samurai yang amat tajam!
"Cring-crang-cring!"
Tampak bunga
api berpijar menyilaukan mata pada saat enam batang samurai itu saling bentur
dalam keadaan kacau yang membingungkan. Tadinya Kamatari dan kelima orang
temannya merasa yakin bahwa samurai-samurai mereka pasti akan mencincang hancur
tubuh si pemuda desa yang agaknya sudah tidak dapat mengelak ke mana-mana
karena semua jalan keluar sudah tertutup oleh enam buah samurai. Enam buah
samurai yang menghantam ke satu titik, yaitu di mana Yo Wan berada.
Akan tetapi,
ketika tepat tiba di sasaran, ternyata pemuda itu tidak tampak bayangannya lagi
sehingga enam buah samurai itu saling bentur. Karuan saja enam orang itu
terkejut dan terheran-heran sekali, dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi,
mereka merasa didorong dari belakang oleh sebuah tenaga mukjijat dan
berturut-turut terdengar suara beradunya kepala sama kepala dan bergelimpanglah
enam orang itu dengan tambahan benjol sebesar telor ayam pada botak kepala
masing-masing. Mereka pingsan seketika.
"Hek-san
Pangcu (ketua Kipas Hitam), udang-udang busuk begini kau pergunakan untuk
menakut-nakuti orang? Memalukan sekali!" kata Yo Wan, kedua tangannya
bergerak dan enam orang itu terlempar keluar pintu depan satu demi satu seperti
rumput-rumput kering ditiup angin saja.
Sepasang
alis Yosiko terangkat naik, lalu turun dan hampir bersambung. Marahlah dia,
juga heran karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ‘orang desa’ ini ternyata
lihai juga.
"Hemmm,
kau boleh juga, akan tetapi belum cukup berharga untuk bertanding denganku.
Pouw-lopek, harap wakili aku beri hajaran kepada bocah dusun ini!"
Kakek tinggi
kurus yang kulitnya sudah berkeriput semua, melangkah lebar. Kagetlah Yo Wan
karena sekali melangkah saja kakek itu sudah berada di depannya! Mana mungkin
begini? Kalau tadi kakek itu melompat, dia tidak merasa heran, bahkan hal itu
biasa saja. Akan tetapi kakek itu sama sekali bukan melompat, melainkan
melangkah. Betapa pun panjang kakinya, tak mungkin bisa sampai di depannya
hanya dengan sekali melangkah, padahal jaraknya kurang lebih lima tombak
(kurang lebih sepuluh meter)! Ilmu apa ini?
Yo Wan
memutar otak dan dapat menduga bahwa kakek tinggi kurus ini tentu memiliki ilmu
luar biasa yang mengandalkan kedua kakinya, dan hal ini mudah diduga bahwa ilmu
itu tentulah ilmu tendangan. Apa lagi yang mampu dikerjakan oleh sepasang kaki
dalam pertandingan untuk menyerang lawan kecuali menendang? Maka dia bersikap
waspada, mencurahkan sebagian besar perhatian pada gerakan sepasang kaki calon
lawannya.
"Orang
muda," kata kakek itu, suaranya jelas menyatakan bahwa dia orang dari
daerah pesisir selatan, "kau sungguh seorang yang tak tahu diri, tidak
mengenal luasnya lautan tingginya langit. Siapakah kau ini yang berani lancang
memasuki gedung tempat tinggal ketua Hek-san-pang dan menjual lagak di sini?
Dan apakah kehendakmu?"
Mendengar
ucapan ini dan melihat sikap yang amat berwibawa, Yo Wan dapat menduga bahwa
kakek ini tentunya mempunyai kedudukan yang cukup tinggi dalam perkumpulan
Hek-san-pang, maka dia pun bersikap hormat. Setelah menjura dia menjawab,
"Namaku
Yo Wan. Secara kebetulan aku turut menyaksikan peristiwa di rumah makan. Karena
tertarik mendengar bahwa ketua kalian juga she Yo, apa lagi ditambah dengan
sepak terjangnya merampas pedang, meski pun urusan itu dengan aku tidak ada
sangkut pautnya, akan tetapi memaksa aku untuk datang ke sini dan menonton.
Kiranya ketuanya seorang wanita yang begitu curang merobohkan dua orang muda
ini dengan racun. Hal ini aku Yo Wan tak mungkin diam saja membiarkan
kecurangan.”
Yosiko
membentak marah, "Bocah dusun lancang. Kau sombong sekali. Apa maksudmu dengan
kata-kata bahwa Hek-san-pang dipimpin oleh seorang wanita?"
"Seorang
wanita curang kataku tadi," Yo Wan menjawab sambil tersenyum kepada ketua
Hek-san-pang itu. "Mata orang lain boleh kau kelabui, akan tetapi bagiku
jelas bahwa kau seorang wanita, mengapa memakai sebutan kongcu (tuan muda)
segala macam? Dan memang kau curang sekali, mengambil kemenangan menggunakan
racun..."
"Pouw-lopek,
hajar dia!" bentak Yosiko, tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Orang tua
tinggi kurus itu sebetulnya adalah seorang bajak laut tunggal di pantai selatan
yang bernama Pouw Beng. Akhirnya ia ditarik oleh Kipas Hitam menjadi pembantu
utama di samping dua orang lain yang selalu mendampingi ketua Kipas Hitam.
Ketika tadi menyaksikan gerak-gerik Yo Wan, kakek yang bermata tajam ini pun
maklum bahwa Yo Wan adalah seorang ‘pemuda gunung’ (istilah murid pertapa di
gunung) yang tak boleh dipandang ringan, maka dia bersikap sabar dan bertanya
lebih dulu. Sekarang mendengar kemarahan Yosiko yang mendesaknya, dia segera
memasang kuda-kuda, kedua kakinya dipentang lebar pada bagian lutut, namun mata
kakinya saling bertemu.
"Orang
muda she Yo, lihat serangan!" bentaknya mengguntur.
Sekali
meraba punggungnya, kakek ini sudah mencabut keluar sebatang ruyung lemas
(joan-pian) yang berwarna hitam, lalu menerjang dengan senjata seperti pecut
ini dengan gerakan yang dahsyat.
"Wuuuttttt!"
Angin
pukulan joan-pian ini menyambar ke arah kepala ketika Yo Wan mengelak. Namun
dengan kelincahannya, mudah saja Yo Wan melompat lagi ke samping. Ketika
joan-pian ini bagai seekor ular hidup mengejarnya terus dengan cepat, Yo Wan
diam-diam menjadi kagum dan memuji kepandaian si kakek mainkan joan-pian yang
dapat terus menerus melakukan serangan sambung-menyambung.
Dia masih
belum dapat melihat bahayanya ancaman joan-pian ini, maka Yo Wan tetap saja
mengelak ke sana kemari sambil tiada hentinya memperhatikan kedua kaki lawan.
Benar saja dugaannya! Gerakan joan-pian yang menyerang kalang kabut ini
hanyalah usaha untuk membingungkan lawan, karena tiba-tiba saja kedua kaki
kakek itu bergerak menyambar, susul menyusul dengan kecepatan yang tak
terduga-duga dan mengandung kekuatan yang luar biasa!
Yo Wan amat
kagum. Hal ini sudah diduganya, dan memang sesungguhnya tendangan-tendangan
inilah yang merupakan inti dari penyerangan kakek kurus itu. Seorang lawan yang
kurang waspada pasti akan roboh oleh tipu muslihat ini, karena hanya tampaknya
saja joan-pian yang mengancam, akan tetapi sesungguhnya bukan demikian,
sehingga lawan yang terlalu mencurahkan perhatiannya pada serangan joan-pian
yang dilancarkan secara bertubi-tubi, akan celaka oleh tendangan-tendangan
tersembunyi ini.
Yo Wan bukan
seorang pemuda sombong. Dia tidak suka memamerkan kepandaiannya, akan tetapi
keadaan saat ini memaksa dia untuk mengeluarkan semua kepandaiannya. Pertama,
karena dia berada di sarang harimau yang berbahaya, kedua untuk menolong
muda-mudi putera ketua Lu-liang-pai atau cucu Raja Pedang itu, ketiga memang
sudah menjadi tugasnya untuk membasmi bajak laut, apa lagi setelah dia teringat
akan ucapan penuh sindiran dari ketua Siauw-lim-pai, yaitu Thian Seng Losu.
Karena itu, melihat datangnya tendangan, dia sengaja bersikap seakan-akan dia
kurang waspada dan memberi kesempatan orang menendangnya!
Karuan saja
Pouw Beng girang bukan main. "Pergilah!" bentaknya sambil mengerahkan
tenaga pada tendangannya ketika lawannya yang muda itu sibuk mengelak dari
sambaran joan-pian.
"Dukkk!"
Bukan tubuh
Yo Wan yang mencelat seperti yang telah dibayangkan si penendang dan
teman-temannya, akan tetapi kakek itu sendiri yang terpelanting dan
bergulingan, tidak mampu bangkit lagi karena tulang kakinya yang menendang tadi
telah remuk sedangkan joan-pian di tangannya pun sudah mencelat entah ke mana!
Kiranya tadi
saat kakinya sudah hampir mengenai sasaran, yaitu perut Yo Wan, pemuda ini
secepat kilat menggunakan tangan kirinya menotok jalan darah lalu menggencet.
Oleh karena dia mempergunakan jurus ampuh Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang dia
warisi dari kakek sakti Sin-eng-cu, seketika remuklah tulang kaki lawannya, ada
pun tangan kanan Yo Wan pada detik yang sama juga menghantam pergelangan lengan
yang memegang joan-pian sehingga joan-pian itu terpental dan mencelat entah ke
mana.
Yosiko
melongo. Sama sekali tak pernah diduganya bahwa pemuda dusun itu demikian
lihainya. Pouw Beng dirobohkan hanya dalam beberapa gebrakan saja! Tendangan
maut itu diterima tangan kiri dan kaki Pouw Beng remuk! Mana mungkin ini?
Apakah pemuda sederhana baju putih itu main sihir? Dia sendiri yang sudah
mengenal kelihaian Pouw Beng, agaknya sebelum seratus jurus tak mungkin dapat
mengalahkannya!
"Paman
Sakisoto, majulah!" teriaknya karena dia masih merasa penasaran.
Kalau
terhadap Tan Hwat Ki, tadi dia maju sendiri karena dia sudah yakin akan
kelihaian pemuda Lu-liang-pai itu. Akan tetapi pemuda dusun yang tak ternama
ini, yang kelihatan begitu lemah dan sederhana, mana berharga menghadapinya?
Para pelayan
lalu mengangkat pergi tubuh Pouw Beng yang masih pingsan, sedangkan kakek yang
botak dan pendek sekali itu sudah melangkah maju menghampiri Yo Wan. Kakek tua
yang pendek botak ini adalah seorang jagoan Jepang yang terkenal dengan ilmunya
Yiu-yit-su. Dia seorang jago gulat yang selama ini jarang menemui tandingan di
antara sekalian bajak laut, dan menjadi juara di kalangan Kipas Hitam.
Kedudukannya
tinggi, sejajar dengan kedudukan Pouw Beng dan dia pun menjadi tangan kanan
Yosiko, terutama untuk urusan mengendalikan anak buah bajak laut Kipas Hitam.
Semua anak buah bajak laut, terutama yang berasal dari Jepang, takut belaka
kepada Sakisoto, demikian nama jagoan tua ini. Selain ahli dalam ilmu gulat dan
ilmu tangkap Yiu-yit-su, dia pun termasuk seorang jago samurai yang ampuh. Apa
bila dibandingkan dengan Pouw Beng, sukarlah untuk menilai karena keduanya
memiliki keistimewaan masing-masing.
"Bocah
sombong, hayo lekas kau berlutut menyerahkan diri sebelum kubanting tubuhmu
sampai remuk!" bentak Sakisoto, karena bagaimana pun juga dia merasa malu
kalau harus melawan seorang pemuda tak ternama, apa lagi kelihatannya kurus
kering dan lemah begitu, maka dia memberi peringatan lebih dulu agar bocah itu
menyerah saja.
Yo Wan tentu
saja sudah pernah mendengar tentang ilmu gulat dan ilmu tangkap dari Jepang,
tentu sejenis Ilmu Silat Sauw-kin Na-jiu-hoat, pikirnya. la maklum akan
kelihaian ilmu ini yang sama sekali tidak membolehkan anggota badan tertangkap.
Akan tetapi menyaksikan gerakan kakek ini, dia berbesar hati. Langkah kakek ini
sedikit banyak telah membayangkan keadaan tenaga Iweekang yang dimilikinya dan
dia merasa sanggup untuk menghadapinya.
"Orang
tua, kau tentunya seorang ahli membanting orang. Biarlah, aku ingin merasakan
bantinganmu, kalau aku kalah tidak usah kau suruh menyerah, tentu saja aku
sudah tak berdaya lagi. Silakan!" la sengaja bicara dengan lambat supaya
kakek Jepang itu dapat mengikuti kata-katanya karena tadi ketika bicara, orang
Jepang ini juga lambat-lambat dan agak sukar.
"Bocah
sombong, kau cari mampus!" Sakisoto berseru.
Dua kakinya
yang pendek itu lalu bergerak maju, kedua lengannya menyambar dengan gerakan
kuat dan jari-jari tangan terbuka. Alangkah heran dan juga girangnya ketika dia
melihat lawannya sama sekali tidak mengelak sehingga begitu dia menggerakkan
kedua tangannya, Yo Wan sudah kena dicengkeram lengan kiri dan pundak kanannya!
Dengan
sepasang mata sipitnya berseri-seri saking gembiranya akan hasil ini, Sakisoto
mengerahkan tenaga dari perut, disalurkan kepada jari-jari tangannya dengan
maksud untuk meremas hancur pergelangan lengan kiri dan pundak kanan pemuda
kurang ajar itu. Jari-jari tangannya mengeras, menggigil karena terisi getaran
tenaga yang dahsyat, tenaga yang membuat jari-jari tangan itu mampu meremas
hancur batu karang!
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika jari-jari tangannya meremas kulit yang lunak dan licin
bagaikan kulit belut, lunak tetapi ulet seperti karet sehingga tenaga remasan
jari-jari tangannya lenyap tertelan atau tenggelam, sama sekali tidak ada
hasilnya seperti orang meremas kapas!
Dalam
kagetnya jago tua Jepang yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga
bahwa pemuda ini memiliki tenaga dalam dari orang-orang daratan yang memang
amat luar biasa. Maka, secepat kilat dia mengubah getaran tenaganya, kini
jari-jarinya tidak mencengkeram untuk meremukkan lagi melainkan mencengkeram
erat-erat, kemudian ia mengerahkan tenaga perut untuk mendongkel dan
melontarkan lawannya dengan gerak tipu dalam Ilmu Yiu-jit-su. Kakinya menjegal
dan tangannya yang satu mendorong yang lain menyentak kuat.
Tetapi,
orang yang disentaknya tidak bergeming sama sekali. Hal ini tidak mengherankan
karena mendadak Yo Wan juga telah mengganti tenaga dalamnya, kini dia
mengerahkan tenaga Selaksa Kati yang disalurkan ke arah kedua kaki dan berdiri
dengan kuda-kuda Siang-kak Jip-te (Sepasang Kaki Berakar di Tanah), Jangankan
baru seorang Sakisoto, biar kedua kaki itu ditarik oleh lima ekor kuda kiranya
belum tentu akan dapat terangkat!
Mulut jago
tua Jepang itu mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh pada waktu dia beberapa kali
mengganti kedudukan dan jurus untuk berusaha mengangkat kaki lawannya untuk
terus dilontarkan di atas pundak dan dibanting remuk. Keringatnya sudah
memenuhi muka, otot-ototnya menonjol keluar, nafasnya terengah-engah, namun
hasilnya sia-sia belaka. Pemuda yang kurus itu masih berdiri tegak dengan
senyum manis, malah sedikit pun tak kelihatan mengerahkan tenaga. Hal ini
selain membuat Sakisoto merasa penasaran, juga membuatnya menjadi malu dan marah
sekali.
“Mampus
kau!" bentaknya.
Secepat
kilat kedua tangannya melepaskan cengkeraman pada lengan dan pundak, kini
berganti dengan serangan memukul dengan telapak tangan dimiringkan. Tangan
kanan memukul leher dan tangan kiri memukul lambung!
Jangan memandang
ringan serangan ini karena kedua tangan itu sudah terlatih, ampuh sekali.
Kepala orang bisa remuk terpukul oleh tangan miring ini, apa lagi tempat-tempat
gawat macam leher dan lambung. Sekali pukul tentu nyawa akan melayang!
Mendengar
menyambarnya hawa pukulan, Yo Wan maklum bahwa serangan ini cukup berbahaya.
Cepat dia menyambar dengan kedua tangannya, jauh lebih cepat dari pada
datangnya pukulan. Tahu-tahu kedua pergelangan tangan jago tua itu sudah dia
tangkap dan semua urat syaraf dalam tubuh Sakisoto seketika bagaikan dilolosi.
Tiba-tiba saja Yo Wan berseru keras. Tubuh pendek tegap itu melayang ke atas
dan terbang sampai sepuluh meter jauhnya. Akan tetapi, begitu dilepas, jago tua
yang sudah berpengalaman ini dapat menggerakkan tubuhnya sehingga saat
terbanting ke bawah, dia dapat mendulukan daging belakangnya sehingga hanya
terdengar suara berdebuk.
Tubuhnya
membal ke atas, lalu turun lagi dalam keadaan berdiri dan mulutnya meringis
karena daging tua pada belakang pantatnya terasa kesemutan dan sakit!
Kemarahannya memuncak, kemudian dengan kerongkongan mengeluarkan gerengan
laksana beruang, dia menubruk maju, didahului pedang samurainya yang panjang
dan besar.
Yo Wan cepat
miringkan tubuh, membiarkan sinar berkelebat pedang panjang itu lewat. Jari
tangannya bekerja dan di lain saat sekali lagi tubuh Sakisoto terguling, kali
ini jatuh tersungkur tak marnpu bangkit untuk beberapa menit lamanya karena
jari-jari tangan Yo Wan telah berhasil menyentil sambungan tulang pundak kanan
dan menotok jalan darah di punggung kiri! Jago tua Jepang itu hanya mampu
mengulet dan merintih perlahan.
Bila tadi
sepasang mata Yosiko berapi-api marah, kini mulai bersinar penuh kekaguman. Dua
orang jagonya dirobohkan demikian mudahhya. Bukan main pemuda sederhana ini.
Mungkinkah ada pemuda yang lebih pandai dari pada jago tampan dari
Lu-liang-pai?
Diam-diam
dia melirik ke arah Hwat Ki yang masih pingsan di dekat sumoi-nya, di sudut
ruangan. Kemudian dia memberi tanda. Para pelayan datang membangunkan Sakisoto
dan mengangkatnya keluar dari ruangan itu.
Yo Wan
tersenyum menghadap Yosiko. "Bagaimana? Cukupkah?"
"Hemmm,
setelah kau mampu merobohkan dua orang pembantuku, kau mau apa?"
"Tidak
apa-apa, hanya minta supaya kau bebaskan kedua orang muda dari Lu-liang-san
itu, kemudian gulung tikar dan kembali ke Jepang, jangan lagi kau atau anak
buahmu mengganggu pantai dan perairan Po-hai."
"Peduli
apa dengan kau? Kau murid siapa? Dari partai apa?"
"Mengherankan
sekali. Kau masih tanya peduli apa denganku? Tentu saja aku tidak bisa
membiarkan kau mengganggu keamanan wilayah ini dan mengacau ketenteraman hidup
bangsaku. Soal aku murid siapa, tidak ada sangkut pautnya denganmu dan aku
tidak punyai partai. Nona, kulihat kepandaianmu lumayan, mengapa kau memilih
jalan sesat? Mengapa kau mendirikan perkumpulan bajak laut Kipas Hitam? Sayang
sekali, kau lihai dan sepatutnya menjadi seorang pendekar wanita yang cantik,
gagah, serta terhormat, berguna bagi bangsamu di Jepang..."
"Tutup
mulutmu yang lancang!" Yosiko berteriak nyaring.
Kini
penyamarannya gagal karena sesudah dia marah-marah, sepasang pipinya menjadi
kemerahan, merah jambu yang hanya dapat timbul pada pipi seorang gadis,
sedangkan teriakannya pun teriakan marah seorang gadis, tidak lagi suara berat
pria seperti yang ia tirukan dalam percakapan biasa.
"Kau
begini sombong! Apa kau kira aku takut padamu? Kami belum kalah. Gak-lopek,
harap kau beri hajaran bocah sombong ini!”
Kakek ketiga
yang gendut perutnya melompat maju. Gerakannya perlahan dan lambat saja,
seakan-akan dia terlalu malas untuk bergerak, apa lagi main silat, patutnya
orang ini bertiduran di atas kursi malas sambil mengisap huncwe (pipa tembakau)
dengan mata meram melek.
Akan tetapi
Yo Wan cukup waspada dan dia maklum bahwa di antara tiga orang kakek tadi, si
gendut inilah yang paling lihai. Wajahnya yang agak pucat kekuningan, kedua
lengannya yang tidak kelihatan ada otot menonjol, langkahnya yang tenang serta
terlihat berat dan seolah-olah kakinya menempel dan lengket pada lantai yang
diinjaknya, semua ini menandakan bahwa dia seorang ahli Iweekeh (ahli tenaga
dalam) yang kuat.
Diam-diam Yo
Wan mengumpulkan hawa murni di dalam pusarnya, lalu mendesaknya ke seluruh bagian
tubuh, terutama pada kedua lengannya untuk berjaga-jaga. Pemuda ini pernah
mendapat gemblengan tenaga dalam dari dua orang sakti, yaitu Sin-eng-cu dan
Bhewakala, apa lagi latihan tenaga dalam ini kemudian dia sempurnakan dengan
tekun di pertapaan Bhewakala, yaitu di Pegunungan Himalaya.
Oleh pendeta
sakti ini, Yo Wan digembleng hebat, malah sudah mengalami gemblengan terakhir
yang luar biasa berat, bahkan yang dilakukan dengan taruhan nyawa, yaitu kalau
tidak tahan dapat mati seketika. Latihan ini adalah latihan bersemedhi
mengumpulkan sinkang dan memutar-mutar hawa murni ke seluruh tubuh dengan cara
bertapa telanjang bulat selama tujuh hari di bawah hujan salju di puncak
gunung. Apa bila dia tidak dapat menahan, dia akan mati dalam keadaan beku dan
terbungkus es!
"Orang
muda, kau benar-benar lihai sekali! Akan tetapi, untuk dianggap cukup berharga
melayani Yo-kongcu, kau harus dapat menandingi aku terlebih dahulu!
Perkenalkan, aku bernama Gak Tong Sek!"
Sambil
berkata demikian, seperti seorang yang menghormat tamu, dia menjura dengan
kedua tangan dirangkap didepan dada, selayaknya orang memperkenalkan diri.
Tepat seperti dugaan Yo Wan, begitu kakek gendut ahli Iweekeh ini mengangkat
kedua lengannya memberi hormat, dadanya terasa sesak karena terserang oleh hawa
pukulan tersembunyi yang sangat kuat, yang menyambar keluar dari gerakan kedua
tangan yang dirangkapkan itu.
Cepat Yo Wan
menggerakkan kedua lengannya, diangkat ke atas sebagai pembalasan hormat sambil
diam-diam mengerahkan sinkang mendorong ke depan. Hawa pukulannya amat kuat dan
hal ini terasa betul oleh Gak Tong Sek karena wajahnya tiba-tiba berubah kaget
dan jelas tampak dia mengerahkan tenaga untuk menahan dorongan lawan yang amat
kuatnya itu.
la merasa
heran karena tidak mengira bahwa lawan yang demikian muda ini tidak saja
sanggup menahan dorongan pukulan jarak jauhnya, tetapi bahkan mengembalikan
hawa pukulan itu dengan tambahan dorongan yang lebih kuat lagi. Tentu saja dia
tidak mau menyerah kalah, merasa malu apa bila dia pergi menghindar. Maka,
sambil memasang kuda-kuda sekuatnya pada kedua kaki, dia menahan dorongan
lawan.
Yo Wan
merasa betapa dorongannya tertahan secara kuat. Dia menambah tenaganya dan
terus mendorong. Gak Tong Sek mempertahankan dengan sangat kuatnya, namun yang
mendorong lebih kuat lagi.
Terdengar
suara keras. Tubuh kakek gendut itu terdorong mundur, akan tetapi sepasang
kakinya tetap dalam keadaan memasang kuda-kuda, sedikit pun tidak terangkat dan
dia tidak roboh terguling, akan tetapi terdorong ke belakang dengan kedua
kakinya menyeret lantai sehingga retak-retaklah lantai batu yang terseret kedua
kakinya!
Makin jauh
kakek ini terdorong, maka semakin berkuranglah kekuatan dorongan Yo Wan,
sehingga setelah terdorong tiga kaki jauhnya, tubuh kakek ini berhenti.
Wajahnya pucat dan dua butir keringat tampak di dahinya.
"Orang
tua, kau benar-benar amat lihai, aku yang muda merasa kagum sekali," kata
Yo Wan tersenyum.
Yo Wan
memang berkata sejujurnya karena dia merasa sangat kagum akan daya tahan kakek
itu sehingga dia tak mampu merobohkan, malah membuat kakek itu mengangkat kaki
pun tidak sanggup. Sungguh-sungguh seorang kakek yang selain memiliki tenaga
Iweekang tinggi, juga amat ulet dan tahan uji.
Akan tetapi
bagi kakek Gak, ucapan tadi dianggapnya sebagai ejekan, maka dia menjadi
penasaran dan marah bukan main. Biar pun dia maklum akan besarnya tenaga
sinkang pemuda itu, namun belum tentu dia akan kalah dalam ilmu pukulan yang
telah dilatihnya puluhan tahun lamanya, yang agaknya telah dia miliki sebelum
orang muda ini lahir.
Selama ini,
hanyalah ketua Kipas Hitam saja orang muda yang mampu menandinginya dan hal ini
tidak membuat dia kecil hati karena dia cukup maklum bahwa pangcu-nya itu
mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa dari orang tuanya. Namun dia anggap
bahwa di dunia ini tidak ada keduanya orang muda seperti pangcu (ketua) dari
Hek-san-pang.
"Bocah
sombong, belum tentu aku kalah!" bentaknya marah sambil mengayunkan kedua
tangannya, melancarkan pukulan-pukulan maut dari jarak jauh.
Terdengar
suara angin menyambar bersiutan sehingga api penerangan di empat penjuru
ruangan itu bergoyang-goyang hampir padam. Demikianlah hebatnya ilmu pukulan
jarak jauh dari kakek Gak Tong Sek yang dia sendiri namakan Swat-hong Sin-ciang
(Pukulan Sakti Angin Puyuh).
Para pelayan
yang tahu akan hebatnya ilmu pukulan ini, tanpa diperintah lagi segera mundur
dan menyelinap ke balik pintu. Hanya Yosiko yang masih berdiri tegak, pakaian
dan penutup rambutnya berkibar-kibar oleh angin pukulan, tapi dia sendiri tidak
apa-apa karena dia pun telah mengerahkan sinkang melindungi seluruh tubuhnya.
"Bagus!”
Mau tak mau Yo Wan memuji kehebatan ilmu pukulan ini.
Akan tetapi
tidak sia-sia ia digembleng habis-habisan di puncak Himalaya. Dengan amat
tenang, penuh kepercayaan akan diri sendiri, dia melangkah maju sambil memangku
dua lengannya, sama sekali tidak mengelak atau menangkis. Pukulan-pukulan jarak
jauh datang bagaikan hujan badai menimpa dirinya, namun hanya pakaian beserta
rambutnya saja yang berkibar-kibar, sedangkan semua hawa pukulan itu terbentur
dan membalik saat bertemu dengan hawa sinkang yang menyelubungi seluruh
tubuhnya!
Sudah penuh
keringat muka dan leher Gak Tong Sek, namun semua pukulannya sia-sia belaka.
Saking marah dan penasarannya, dia melompat maju, kini menggunakan kedua
tangannya memukul dari jarak dekat dengan pengerahan tenaga Iweekang
sepenuhnya.
Tentu saja
Yo Wan maklum bahwa pukulan ini terlalu berbahaya untuk diterima seperti dia
menerima pukulan jarak jauh tadi. Cepat kedua tangannya bergerak.
"Dukkk-dukkk!"
Dua kali
empat buah lengan itu bertemu dan tubuh kakek Gak Tong Sek melayang keluar dari
pintu ruangan, jatuh berdebuk di luar ruangan itu. Dia tak dapat bangun lagi,
hanya terdengar mengorok seperti kerbau disembelih. Di antara tiga orang kakek
yang melawan Yo Wan, kakek Gak inilah yang paling berat lukanya. Hal ini adalah
karena dia terpukul oleh tenaga lweekang-nya sendiri, sehingga walau pun tidak
akan kehilangan nyawanya, namun sedikitnya tiga bulan dia harus berbaring!
Kini
lenyaplah sama sekali kemarahan dari wajah Yosiko, terganti bayangan kekaguman
di wajahnya yang tampan berseri. Sepasang matanya berkilauan, dengan bola
matanya yang bening bergerak-gerak cepat menandakan kecerdikan otaknya,
bibirnya tersenyum-senyum ketika ia melangkah maju dengan senjata di tangan.
Seperti tadi ketika menghadapi Hwat Ki, kini tangan kanannya memegang pedang,
dan tangan kirinya memegang sabuk sutera putih. Dengan langkah cepat ia
bertindak maju, sepasang matanya tak pernah mengalihkan pandangannya dari wajah
Yo Wan.
"Hebat...
kau... kau lebih lihai dari pada Tan Hwat Ki... kau hebat...!"
Ketua Hek-san-pang
yang muda dan oleh Yo Wan dianggap wanita itu melangkah maju. "Tapi... kau
harus dapat mengalahkan aku lebih dulu, baru dapat kunilai apakah kau lebih
patut dari pada dia..."
"Hek-san
Pangcu, kau bicara apa ini? Aku tidak ingin bermusuhan dengan engkau, akan
tetapi jika kau mendesakku, jangan menyesal bila aku turun tangan besi dan
membasmi gerombolan bajak yang kau pimpin. Biar pun kau mengerti Ilmu Langkah
Kim-tiauw-kun, jangan kau mengira tidak akan ada yang dapat melawanmu. Justru
karena kau mengenal Kim-tiauw-kun, aku makin berkeras untuk melarangmu
melakukan perbuatan jahat!"
Berubah
wajah Yosiko, akan tetapi sinar matanya makin berseri. "Kau... kau tahu
tentang langkah-langkah ajaib?"
"Tentu
saja aku mengenal Hui-thian Jip-te. Orang yang mempergunakan ilmu ini harus
menjadi pembela kebenaran dan keadilan, sama sekali tidak boleh menjadi
penjahat!"
Yosiko
tersenyum. "Wah, kiranya kau pun bukan orang sembarangan, dapat mengenal
Hui-thian Jip-te. Kau bilang tadi namamu Yo Wan? Kau ini murid siapakah? Apakah
kau kenal dengan Tan Hwat Ki dan sumoi-nya dari Lu-liang-pai ini?"
Dalam
mengajukan pertanyaan ini, lenyaplah sikap bermusuhan, seakan-akan Yo Wan
sedang menghadapi seorang kenalan baru saja. Ketua Hek-san-pai itu demikian
ramah. Akan tetapi Yo Wan tak ingin memperkenalkan diri, apa lagi jika sampai
membawa-bawa nama Pendekar Buta.
"Namaku
Yo Wan dan habis perkara. Aku seorang yatim piatu, tak bersanak tidak pula
berkadang."
"Dan
belum menikah?"
Merah wajah
Yo Wan. Celaka orang ini benar-benar cerewet dan tak tahu malu. Karena sungkan
dan jengah, dia tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. Yosiko tersenyum lagi.
"Wah,
seorang jaka lola kalau begitu. Ehh, jaka lola yang lihai, dengar baik-baik.
Adikku mencari jodoh dan agaknya kau patut menjadi jodohnya karena agaknya kau
lebih lihai dari pada Tan Hwat Ki. Namun kau harus dapat mengalahkan aku untuk
membuktikan kelihaianmu."
"Pangcu,
harap kau jangan main-main. Aku tidak peduli adikmu itu akan menikah dengan
siapa pun juga, bukan urusanku. Aku pun sekali-kali tidak ingin membuktikan
kelihaianku. Aku hanya minta agar kau bebaskan dua orang muda itu dan tarik
mundur semua anak buahmu, jangan pernah lagi mengganggu daerah Po-hai. Kalau
tidak, terpaksa aku akan membasmi Kipas Hitam!"
Yosiko
tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih berkilauan dan rapi.
"Yo Wan, kalau kau bisa menangkan aku dan menikah dengan adikku, kau akan
menjadi ketua Kipas Hitam dan terserah apa yang hendak kau lakukan. Lihat
senjata!"
Secepat
kilat pedang di tangan Yosiko menyambar, menjadi sebuah tusukan sutera putih di
tangan kirinya sudah bergerak pula menjadi lingkaran bundar yang melayang dari
atas mengarah kepala Yo Wan. Sudah tentu saja pedang itu sangat berbahaya, akan
tetapi sinar putih sabuk sutera itu kiranya tidak kalah bahayanya, karena ujung
sabuk itu dapat menjadi alat menotok jalan darah yang sekali mengenai kepala
akan merenggut nyawa!
Mendongkol
juga hati Yo Wan. Sebenarnya dia merasa sayang bahwa seorang muda seperti
Yosiko, baik ia gadis seperti dugaannya atau pun betul laki-laki, yang jelas
adalah seorang peranakan Jepang, tidak dapat dia sadarkan kembali ke jalan
benar. Akan tetapi orang ini terlalu memandang rendah padanya, bila tidak
diberi hajaran tentu tidak kapok!
"Kau
menghendaki kekerasan? Baik!" katanya.
Segera
kakinya mempergunakan langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan serangan pedang
dan sabuk sutera. Malah dia segera balas menyerang dengan tangan kosong,
menggunakan Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang sangat lihai. Dia merasa sayang
sekali bahwa dia sekarang sudah tidak memiliki senjata apa pun, karena dalam
pertandingan mati-matian melawan Bhok Hwesio yang sakti, tiga buah senjatanya
rusak semua.
Liong-kut-pian
(Cambuk Tulang Naga) pemberian mendiang Bhewakala telah putus pada waktu dia
berebutan dengan Bhok Hwesio. Pedang Pek-giok-kiam pemberian subonya (ibu
gurunya) telah patah menjadi tiga potong, sedang pedang Siang-bhok-kiam (Pedang
Kayu Wangi) yang dia buat di Himalaya hancur remuk, semua berkat kesaktian Bhok
Hwesio, lawan paling hebat yang pernah dia tandingi di dunia ini!
Sekarang dia
bertangan kosong dan menghadapi lawan seperti ketua Hek-san-pang ini, sungguh
tidak menguntungkan kalau hanya dengan tangan kosong. Terdengar berkali-kali
Yosiko berseru kagum dan heran. Tentu saja dia merasa heran karena pemuda dusun
lawannya ini ternyata mampu bermain langkah ajaib yang malah lebih hebat, lebih
lengkap dan lebih lincah dari pada kepandaiannya sendiri!
Keheranannya
membuat dia gugup dan pada saat sabuk sutera putihnya menyambar, ujung sabuk
ini kena dicengkeram oleh Yo Wan yang cepat mengirim pukulan jarak jauh dengan
pengerahan tenaga ke arah lengan kiri lawannya. Hawa pukulan dahsyat lantas
menyambar dan Yosiko berteriak kaget, terpaksa dia melepaskan sabuk sutera
putihnya sambil meloncat mundur sampai tiga meter jauhnya!
Yo Wan
berdiri sambil tersenyum, mempermainkan sabuk sutera putih yang halus dan
berbau harum itu. Makin yakinlah hatinya bahwa Yosiko pastilah seorang gadis.
"Bagaimana? Menyerahkah kau sekarang?" ujarnya, nadanya mengejek.
Sepasang
pipi itu merah padam. Bukan main, pikirnya. Dalam waktu kurang dari sepuluh
jurus saja, pemuda ini dengan tangan kosong telah mampu merampas sabuk
suteranya! Padahal tadi Hwat Ki dengan pedang di tangan tidak mampu
merobohkannya sampai puluhan jurus lamanya. Benar-benar pemuda aneh dan
memiliki kepandaian yang luar biasa sekali. Bahkan ilmu langkah dari Hwat Ki
sekali pun tidak seindah dan sehebat ilmu langkah pemuda yang sederhana ini.
Jantungnya berdebar penuh kekaguman, namun ia masih penasaran. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun ia menerjang lagi. Kini dia memutar pedangnya
sehingga pedang itu lenyap berganti gulungan sinar seperti payung di depan
dadanya, langsung menerjang Yo Wan.
"Tar-tar-tar-tar-tar!"
Nyaring
sekali suara ledakan-ledakan kecil ini yang tercipta dari ujung sabuk sutera
yang diledakkan seperti cambuk oleh Yo Wan. Bukan main kagetnya hati Yosiko
ketika melihat betapa sabuk suteranya, yang biasanya sangat dia andalkan
sebagai senjata di samping pedangnya, kini di tangan pemuda itu berubah menjadi
senjata yang malah lebih ampuh lagi. Sabuk suteranya itu kini berubah menjadi
sinar putih yang panjang, membentuk lingkaran-lingkaran aneh yang saling susul
menyusul dan telan menelan, lingkaran kecil yang ditelan lingkaran lebih besar,
berubah ubah dan sukar diikuti perkembangannya, namun dibarengi ledakan-ledakan
kecil yang mengancam semua jalan darah di tubuhnya secara bertubi-tubi!
Tentu saja
Yo Wan pandai memainkan sabuk sutera ini sebagai senjata karena memang inilah
salah satu di antara ilmu-ilmunya yang sakti, yaitu Ilmu Cambuk Ngo-sin
Hoan-kun yang merupakan gerakan dari pada lingkaran sakti yang terbuat dari
pada ujung cambuk atau benda lemas panjang. Kalang kabutlah permainan pedang
Yosiko. Selama hidupnya, baru kali ini ia mengalami hal macam itu, baru kali
ini ia menghadapi lawan yang begini lihainya. Saking kagetnya, ia sampai lupa
akan ilmu pedangnya dan gerakannya menjadi kacau-balau.
Mendadak dia
menjerit dan pedangnya ‘terbang’ meninggalkan tangan kanannya karena pedang itu
ternyata sudah terlibat sabuk sutera dan terbetot tanpa dapat dia pertahankan
lagi. Kemudian ujung sabuk itu seperti cemeti meledak-ledak dan mencambuknya.
"Aduhh...!
Ihhh...! Aduhhh...!" Yosiko berteriak-teriak karena setiap kali sabuk
sutera itu berbunyi pasti menghantam tubuhnya, membuat pakaiannya robek di
tempat yang dicium ujung sabuk itu, serta kulitnya menjadi merah-merah dan
matang biru, rasanya bagaikan ditampar atau dicubit keras!
Yo Wan tidak
tega untuk merobohkan ketua Hek-san-pang ini, akan tetapi dia memang hendak
memberi hajaran. Mengingat bahwa ketua itu ialah seorang wanita muda, maka dia
hanya menggunakan sabuk sutera itu untuk mencambukinya agar kapok!
"Sahabat
yang gagah, tolong kau bantu kami menangkap dia! Dia adalah ketua bajak, kami
harus menangkapnya untuk dihadapkan kepada Bun-goanswe di Tai-goan!"
Tiba-tiba
terdengar suara Hwat Ki yang kebetulan pada saat itu sudah sadar. Pemuda ini
meloncat bangun, disusul oleh Cui Kim yang juga sudah tersadar. Memang racun
yang dipergunakan oleh ketua Kipas Hitam dalam jamuan makan tadi hanyalah racun
untuk membuat mabuk orang untuk sementara waktu saja, sama sekali tidak
berbahaya, hanya sekedar membuat lawan tidak berdaya.
Begitu sadar
dari pingsannya serta melihat betapa Yosiko dicambuki secara aneh oleh pemuda
asing yang dia kenal sebagai pemuda di rumah makan di dusun Leng-si-bun, Hwat
Ki segera| berseru untuk menangkapnya. Pemuda Lu-liang-san ini dapat menduga
bahwa Yo Wan tentu adalah seorang pendekar yang berpihak kepadanya dan memusuhi
bajak laut. Mendengar seruan ini, sejenak Yo Wan bingung dan agaknya kesempatan
ini tidak ingin disia-siakan oleh Yosiko. Diam-diam ia telah mengeluarkan sebuah
kipas hitam dan pada waktu ia menekan gagangnya, dari kedua ujung kipas itu
menyambarlah sinar hitam ke depan.
"Awas...!"
Yo Wan berseru.
Sekali sabuk
sutera putihnya dia gerakkan, Hwat Ki dan Cui Kim roboh oleh sabuk itu,
terpelanting karena kaki mereka telah terlibat dan dibetot. Yo Wan sengaja
melakukan ini karena dapat menduga akan bahayanya sinar hitam itu.
Namun
usahanya menyelamatkan kedua orang muda itu membuat dia kurang waspada akan
dirinya sendiri. la sudah mengebutkan tangan kiri menyampok, namun dia merasa
pundak kirinya sakit dan panas, maka maklumlah dia bahwa dia sudah terkena
senjata rahasia yang halus dan beracun. Rasa panas bercampur rasa gatal membuat
dia kaget sekali dan cepat dia melompat ke depan mengejar Yosiko yang lari.
"Berhenti,
serahkan obat pemunah racun!" teriak Yo Wan marah.
Karena
ginkang-nya memang jauh lebih menang dari pada Yosiko, sebentar saja dia hampir
dapat menangkapnya di luar gedung itu. Namun tiba-tiba Yosiko melompat dan...
"Byurrrrr...!" ketua Kipas Hitam itu sudah terjun ke dalam air laut
yang berbuih-buih.
Biar pun
bukan ahli, namun kalau hanya berenang saja Yo Wan dapat juga. la maklum bahwa
tubuhnya sudah terkena senjata beracun, dan ketua Hek-san-pang itu merupakan
satu-satunya orang yang memiliki obat penawarnya, maka harus dia tangkap.
Dengan pikiran ini, Yo Wan menjadi nekat dan... "Byurrrrrr...!" air
laut yang hitam gelap itu untuk kedua kalinya muncrat ketika tubuh Yo Wan
terjun ke dalamnya.
Yo Wan
melihat di bawah sinar bulan yang remang-remang itu lawannya berenang ke tengah
di mana terdapat beberapa buah perahu nelayan.
"Hemmm,
ke mana pun kau lari, jangan harap dapat terlepas dari tanganku," pikirnya
dan dia merasa girang ketika mendapat kenyataan bahwa sesudah berada agak ke
tengah, ternyata laut itu airnya tenang, memudahkan dia berenang melakukan
pengejaran.
Perahu-perahu
di depan itu adalah perahu yang berlabuh, kelihatannya sunyi dan gelap. Tak
mungkin kalau perahu nelayan berlabuh dalam keadaan gelap dan berada di tengah.
Agaknya perahu-perahu bajak laut. Yo Wan tak mempedulikan perahu-perahu itu. Ke
mana pun juga Yosiko pergi, harus dia kejar sampai dapat, karena kalau tidak,
keadaannya akan berbahaya. Mulailah Yo Wan menduga-duga.
Agaknya
senjata rahasia yang halus itu merupakan jarum-jarum kecil halus yang dapat
menembus kulit dan menyusup ke bawah kulit sehingga kalau beracun maka racunnya
dapat langsung terbawa oleh darah. Pundak kirinya mulai terasa kejang-kejang.
Air laut mengurangi rasa sakit, akan tetapi makin lama pundaknya terasa makin
kaku dan lengan kirinya hampir tidak dapat digunakan lagi. Dia berenang
mengandalkan kedua kaki dan lengan kanannya sehingga tiap kali tubuhnya miring
ke kiri, mukanya terbenam ke dalam air. Akan tetapi girang hatinya karena
agaknya Yosiko tidak dapat berenang cepat. Buktinya sebentar saja dia sudah
hampir berhasil menyusulnya. Dia mengerahkan tenaganya dan terus bergerak maju,
berseru keras,
"Pangcu
dari Kipas Hitam, berhentilah! Kau berikan obat pemunah racun dan baru aku mau
memberi ampun kepadamu!"
Yosiko
menoleh sambil tertawa, kemudian, tiba-tiba lenyaplah kepala yang tertawa itu.
Yo Wan terkejut. Celaka, pikirnya. Apakah orang itu tenggelam? Jangan-jangan
kakinya diseret ikan buas! Kalau Yosiko kena celaka, berarti dia sendiri pun
menghadapi bahaya maut.
Akan tetapi
mendadak bulu tengkuknya meremang saking ngeri dan kagetnya ketika dia merasa
betapa kakinya terjepit sesuatu dan dia ditarik ke bawah! Celaka, pikirnya,
tentu ikan buas. Yosiko telah menjadi korban ikan buas dan kini ikan-ikan itu
mulai menyambar kakinya dan menarik ke bawah.
Cepat dia
mengerahkan tenaga dan menggerakkan kaki sehingga sepatunya terlepas. Akan
tetapi berbareng dengan terlepasnya sepatu kanannya, ikan yang tengah menggigit
kakinya itu pun terlepas. Mendadak ada suara orang tertawa di sebelah
belakangnya. Cepat dia menengok dan... kiranya Yosiko yang tertawa,
mentertawakannya.
"Mana
kegagahanmu, Yo Wan? Agaknya di air kau tidak segagah di darat!"
Yo Wan
menggerakkan tangan kanan meraih untuk menangkap lawan itu, akan tetapi
tiba-tiba kepala itu lenyap lagi. Yo Wan terkejut dan maklumlah dia bahwa
Yosiko kiranya adalah seorang ahli bermain dalam air! Tentu yang
mempermainkannya, yang mencopot sepatunya adalah Yosiko inilah!
Berabe,
pikirnya. Apa bila harus bertanding di air, melihat gerakan Yosiko yang
demikian cepatnya, dia pasti takkan berdaya. Benar saja, Yosiko muncul di
sana-sini, seperti main kucing-kucingan, sedangkan Yo Wan sudah payah dan lelah
sekali. Mendadak perahu-perahu yang sunyi dan gelap itu tiba-tiba menjadi
terang benderang, agaknya ada tanda rahasia yang membuat orang-orang yang
bersembunyi dalam perahu secara serentak memasang lampu penerangan. Terdengar
teriakan-teriakan gaduh.
"Itu
dia! Benar dia kepala bajak Kipas Hitam. Serbu!”
"Tangkap!"
"Bunuh...!"
"Hadiahnya
besar kalau bisa tangkap dia, hidup atau mati!"
"Mari
serbu, hadiahnya bagi rata!"
Ramai
sorak-sorai itu dan perahu-perahu hitam tadi mulai bergerak mengurung tempat Yo
Wan dan Yosiko main kucing-kucingan di dalam air. Kemudian telinga Yo Wan yang
tajam dapat menangkap mengaungnya suara anak-anak panah menyambar. la terkejut
sekali, akan tetapi apa dayanya. Di dalam air, dia tidak dapat mengelak atau
bergerak secepat di darat, apa lagi sekarang pundak kirinya mulai kena pengaruh
racun. Tiba-tiba... "Ceppp!"
Pundak
kirinya sebelah belakang terkena anak panah yang menancap cukup dalam. Yo Wan
mengeluh.
Yosiko
mengeluarkan seruan kaget. "Cepat tahan nafasmu...!"
Suara ini
hanya terdengar seperti bisikan di dekat telinga Yo Wan, akan tetapi dia cepat
mentaatinya, segera menahan nafasnya. Sebagai seorang ahli Iweekeh tentu saja
hal ini mudah dilakukannya...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment