Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 17
Yo Wan
membalas dengan pandang mata mesra dan tersenyum pula. Senyum dan sinar mata
itu sudah cukup mewakili hatinya, menyampaikan seribu satu macam bahasa yang
penuh madu asmara.
"Ah,
kita melamun sampai melupakan urusan!" kata Cui Sian, wajahnya menjadi
merah sampai ke telinganya. Dia memasukkan pedangnya dan berkata, "Hatiku
masih bingung memikirkan keadaan Swan Bu dan Siu Bi si gadis liar itu. Aku
berjumpa dengan mereka sedang berdua, dan agaknya Swan Bu merasa berat untuk
berpisah dari Siu Bi. Padahal ayah bundanya tentu saja mengharapkan agar Swan
Bu dapat mencuci segala kesalah pahaman dan noda akibat fitnah jahat dengan
jalan mengawini Lee Si..."
Yo Wan
mengangguk-angguk kemudian menarik napas panjang. "Kita tak mungkin dapat
menyalahkan Swan Bu. Moimoi, kalau hati sudah menyerah kepada kasih, apa lagi
yang dapat menjadi halangan? Sudah banyak contoh-contohnya yang bisa kita petik
dari cerita lama. Tentu kau tahu akan riwayat ayahmu sendiri yang dulu
diombang-ambingkan oleh asmara, kemudian riwayat suhu yang juga sudah menjadi
korban kasih tak sampai. Aku maklum benar bahwa gadis-gadis seperti Siu Bi dan
Yosiko pada dasarnya bukan jahat. Hanya karena mereka sejak kecil terdidik
dalam suasana yang kasar dan liar, mereka menjadi orang yang berwatak liar dan
keras pula. Soal Swan Bu dan Siu Bi, biarlah nanti kita urus perlahan-lahan dan
kita bicarakan bersama dengan orang-orang tua bagaimana baiknya."
Cui Sian
mengangguk-angguk. Dia sendiri sedang diamuk cinta, tentu saja ia pun dapat
merasakan keadaan Siu Bi sehingga rasa bencinya berkurang.
"Akan
tetapi bagaimana mengenai Yosiko? Meski pun dia itu masih keponakanku sendiri,
bagaimana aku dapat membenarkannya kalau dia menjadi ketua gerombolan bajak
laut? Apakah kita harus mendiamkannya saja? Kurasa hal ini amat tidak sejalan
dengan sikap yang harus diambil orang gagah menghadapi kejahatan. Biar pun
keluarga sendiri, kalau jahat, harus ditentang!"
Yo Wan
memandang kekasihnya dengan bangga. "Kau seorang pendekar wanita sejati,
Moimoi. Memang harusnya demikian. Akan tetapi, sebelum mengambil jalan
kekerasan, marilah kita mencari jalan yang lebih halus dan agaknya aku melihat
jalan yang sangat baik untuk mengatasi hal ini. Jika kita bisa
mengaturnya..."
Yo Wan lalu
bercerita tentang pertemuan dan pertandingan antara Bun Hui dan Yosiko,
menyatakan dugaannya bahwa Bun Hui tertarik dan suka pada ketua Kipas Hitam
yang cantik itu. Sambil berjalan perlahan kembali ke perkemahan bersama Yo Wan,
Cui Sian mendengarkan cerita kekasihnya. Pertemuan antara Yo Wan dan
orang-orang gagah di sana amatlah menggembirakan, terutama Swan Bu dan Tan Hwat
Ki. Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam, akan tetapi tidak sepatah kata pun
Yo Wan atau Cui Sian bicara tentang diri Siu Bi….
***************
"Apakah
kalian tidak percaya lagi kepadaku?" terdengar Yosiko membentak marah dan
meloncat turun dari atas batu yang tadi ia duduki. Di depannya, puluhan bajak
laut yang dipimpin oleh empat orang laki-laki tampak bersungut-sungut.
Empat orang
ini adalah empat orang kepala bajak yang kini menggabungkan diri dengan Kipas
Hitam untuk secara bersama-sama menghadapi dan melawan pasukan kota raja yang
dipimpin Bun Hui dan teman-temannya. Orang pertama adalah si cambang bauk yang
bernama Bong Ji Kiu dan memiliki julukan Kim-bwee-liong (Naga Berekor Emas).
Julukan ini dia dapatkan karena dia bersenjatakan sebatang golok besar yang
bergagang emas, golok yang diukir dengan gambar naga dan ekornya tiba di gagang
yang terbuat dari emas. la tadinya seorang kepala bajak Sungai Kuning dan
terkenal akan kelihaian dan kekejamannya.
Tiga orang
yang lainnya adalah kepala-kepala bajak laut yang selama ini mengganas di
pantai selatan. Seorang di antara mereka, yang kurus pucat adalah adik kandung
Bong Ji Kiu bernama Bong Kwan, ada pun yang dua lagi adalah teman-teman yang
sudah saling mengangkat saudara. Mereka ini juga bukan orang-orang lemah. Apa
bila Bong Kwan, seperti kakaknya, pandai pula bermain golok, adalah dua orang
temannya yang bernama Tio Khong dan Yauw Leng merupakan ahli-ahli bermain
pedang.
Empat orang
pimpinan bajak itu kini menghadapi Yosiko yang kelihatan marah-marah. Mula-mula
adalah Bhong Ji Kiu si cambang bauk yang menyatakan rasa tidak puasnya terhadap
pimpinan ini karena Yosiko melarang Bong Ji Kiu beserta para anak buahnya
mengeroyok Yo Wan dan Cui Sian.
"Kenapa
Pangcu (Ketua) kelihatan memihak musuh? Sudah jelas bahwa mereka adalah
sahabat-sahabat pimpinan pasukan musuh, mengapa tidak menangkap atau membunuh
mereka?" Bong Ji Kiu yang mewakili tiga orang temannya dan juga puluhan
orang anak buahnya mengajukan pertanyaan ini dengan suara menantang sehingga
Yosiko menjadi marah dan membentak apakah mereka tidak percaya lagi kepadanya.
"Kalau
kami tidak percaya lagi kepada Pangcu, kiranya kita tak akan berkumpul di
sini," jawab Bhong Ji Kiu. "Sayang toanio (nyonya besar) tidak berada
di sini, kalau ada tentu dapat kami mintai pertimbangan. Hendaknya Pangcu ingat
bahwa anak buah Pangcu kini tinggal sedikit, sudah banyak yang tewas,
tertinggal dua puluh orang lebih saja. Apakah Pangcu tak merasa sakit hati?
Jika tidak ada kami yang membantu dengan orang-orang kami yang semua mendekati
seratus orang jumlahnya, bagaimana kita dapat melawan pasukan pemerintah?"
"Hemmm,
Bong-twako! Apa perlunya kau bersikap mengancam? Habis, apa yang kalian
kehendaki? Apa yang kalian ingin lakukan?"
"Kami
hanya menghendaki agar supaya Pangcu sungguh-sungguh berdaya upaya untuk
menghancurkan mereka, bukan melindungi mereka. Buktikan bahwa Pangcu tidak
miring hatinya terhadap pimpinan pasukan pemerintah atau kalau tidak demikian,
kami terpaksa akan meninggalkan Pangcu dan tidak mau lagi bekerja sama
menghadapi musuh."
"Boleh!
Kalian boleh meninggalkan aku, aku juga masih memiliki anak buah yang
setia!" bentak Yosiko marah.
Mendadak Kamatari,
jagoan Kipas Hitam, bangsa Jepang yang terkenal dengan samurai Cakar Naga, maju
dan memberi hormat kepada Yosiko, sikapnya tenang namun tegas, kata-katanya
nyaring.
"Pangcu,
terus terang saja kami melihat gejala-gejala tak baik dari diri Pangcu. Agaknya
Pangcu memilih musuh untuk menjadi sahabat, malah Pangcu hendak mengambil jodoh
dari golongan musuh. Hal ini mengecewakan hati kami dan kami membenarkan ucapan
Bong-twako bahkan kami pun akan berpihak kepadanya kalau terjadi
perpecahan."
Pucatlah
wajah Yosiko. Baru kali ini semenjak ia kecil, anak buahnya berani mencelanya.
Kalau tidak ingat akan jasa-jasa Kamatari, tentu ia sudah turun tangan
membunuhnya di saat itu juga. Melihat keadaan Yosiko ini, Siu Bi maju
menghampiri dan berkata perlahan,
"Sudahlah,
Yosiko, biarkan saja mereka semua pergi. Apa sih enaknya menjadi kepala
bajak?"
Ucapan ini
membuat para bajak menjadi marah. Mereka sudah berdiri dan sikap mereka
mengancam, seakan-akan mereka siap untuk mengeroyok kedua orang nona cantik
itu. Melihat gelagat tidak baik ini, Yosiko lalu mengangkat tangannya dan
berkata nyaring,
"Baiklah,
kalian orang-orang tidak ada guna! Kalian berani menghinaku, berani mengira
bahwa Yosiko memihak musuh? Biar kubuktikan bahwa aku tidak takut terhadap
musuh. Kamatari, kau sampaikan surat tantanganku kepada panglima pasukan musuh.
Biar akan kutantang dia maju dan bertanding satu lawan satu denganku, sampai
dia atau aku yang mampus. Selama dia bertanding denganku, karena mereka tidak
punya pimpinan, tentu pasukannya juga lengah. Nah, ketika itu boleh Bong-twako
memimpin orang-orangnya mengadakan serbuan besar-besaran. Bagaimana?"
Wajah semua
orang di situ menegang. Kamatari yang diam-diam menaruh rasa sayang kepada
Yosiko berkata, "Tapi... tapi... bukankah itu berbahaya sekali? Pemimpin
mereka, panglima muda itu, kabarnya lihai bukan main."
"Siapa
takut dia? Lakukah perintahku, habis perkara!"
Yosiko lalu
menyuruh anak buahnya menyediakan alat tulis. Dengan huruf-huruf tebal ia
kemudian menulis surat tantangan yang ditujukan kepada ‘Panglima muda she Bun’
dari Tai-goan! Panglima muda itu ditantang mengadakan ‘duel’ di tepi laut untuk
menentukan siapa yang lebih unggul antara pemimpin bajak laut dan pemimpin
pasukan kota raja.
Malam hari
yang gelap gulita menyembunyikan gerak-gerik Kamatari yang menancapkan surat
tantangan itu dengan sebatang anak panah di batang pohon besar yang tumbuh di
luar perkemahan pasukan pemerintah. Keesokan harinya, para pasukan pemerintah
baru ribut ketika melihat surat ini dan cepat-cepat mereka menyampaikan kepada
Bun Hui. Bukan main bingungnya hati panglima muda ini ketika membaca surat
tantangan Yosiko. Dia ingin mencari jalan damai dengan gadis kepala bajak yang
telah merebut hatinya itu, siapa kira si gadis malah menantangnya untuk
melakukan pertandingan secara terbuka!
Dia maklum
bahwa gadis itu mempunyai kepandaian tinggi, dan bahwa belum tentu dia sanggup
menang. Hal ini bukan merupakan hal yang mengecilkan hatinya, akan tetapi
dengan adanya surat tantangan ini, habislah jalan untuk dapat mengadakan
perdamaian, untuk dapat menginsyafkan Yosiko.
Kalau surat
tantangan macam itu tidak dia terima, tentu dia akan menjadi bahan ejekan
orang. Kalau dia terima dan mereka bertanding, tentulah seorang di antara
mereka akan tewas! Selagi Bun Hui kebingungan dan termenung di dalam kamarnya,
mendadak pintu kamarnya diketuk orang dan ternyata orang ini adalah Yo Wan. Bun
Hui cepat membuka pintu dan mempersilakan pendekar ini dengan ramah.
"Saudara
Bun, mengapa bingung memikirkan pertandingan melawan Yosiko? Ragu?” Yo Wan
berkata sambil tersenyum.
Muka Bun Hui
menjadi merah ketika dia menjawab dengan pertanyaan pula. "Yo-twako,
bagaimana kau tahu bahwa aku bingung memikirkan pertandingan itu?"
"Ah,
aku tahu semua, saudara Bun. Jangan khawatir, aku mendapat akal agar kau dapat
mengalahkan Yosiko dengan mudah seperti yang terjadi kemarin dulu."
Sejenak Bun
Hui melongo, kemudian dia tersenyum maklum dan meloncat dari tempat duduknya,
memegang tangan Yo Wan.
"Wah,
kiranya kau yang telah membantuku, Yo-twako? Ahhh, pantas saja begitu mudah aku
mendapat kemenangan! Mengapa kau lakukan itu, Yo-twako?"
"Bun-lote,
ada sebabnya mengapa aku membantumu. Seperti juga engkau, aku merasa sayang
melihat Yosiko dan tidak ingin melihat dia tersesat lebih jauh lagi. Dia
sebetulnya adalah seorang gadis yang baik, keturunan keluarga Raja Pedang,
berdarah pendekar. Sayangnya dia terdidik dalam lingkungan liar. Oleh karena
itu, aku akan merasa girang sekali kalau kau berhasil menundukkan dia,
Bun-lote, lalu membujuknya kembali ke jalan benar dan membubarkan anak buahnya.
Kau hadapilah dia dan kau akan menang!"
"Tapi...
aku belum yakin bahwa aku akan bisa menang, Yo-twako. Ilmu pedangnya hebat dan
karenanya aku tahu bahwa yang menjatuhkannya kemarin dulu bukanlah aku. Tanpa
bantuanmu, belum tentu aku menang, atau andai kata bisa mendapatkan kemenangan,
kiranya harus melalui pertandingan mati-matian dan seorang di antara kami harus
tewas di ujung pedang!"
Keperihan
hati Bun Hui terbayang pada wajahnya yang tampan dan diam-diam Yo Wan merasa
geli. Cinta kasih memang tidak pilih bulu, tidak memandang pangkat, kedudukan,
atau pun keadaan orang yang dicinta. Kalau melihat kedudukannya, semestinya Bun
Hui menganggap Yosiko sebagai musuh besar yang harus dibasminya, akan tetapi
bahkan rintangan berat ini dapat dilalui dengan mudah oleh cinta kasih.
"Bun-lote,
kau cinta kepada Yosiko, bukan?"
Ditanya
begini langsung Bun Hui rasa seakan-akan diserang oleh tusukan pedang yang
langsung menembus jantungnya. Wajahnya menjadi merah sampai ke telinganya, dan
dengan gagap dia menjawab, "Aku... aku tertarik kepadanya..."
"Kau
cinta padanya?"
"Aku...
aku suka..."
"...dan
cinta padanya?"
Akhirnya Bun
Hui mengangguk.
"Nah, karena
itu kau harus memenangkan dia, Lote. Yosiko adalah seorang gadis yang cukup
pantas dilindungi. Dia memang berwatak aneh dan hanya akan tunduk kalau kau
dapat memenangkannya. Karena itu, kau harus menang."
"Bagaimana
caranya? Aku belum tentu dapat..."
"Waktu
yang ia tentukan untuk bertanding masih tiga hari lagi. Biarlah aku menurunkan
beberapa jurus ilmu pedang kepadamu. Aku sudah hafal akan ilmu pedang Yosiko.
Aku pernah bertanding melawan dia dan aku tahu di mana letak
kelemahan-kelemahannya. Memang dia pandai, ilmu pedangnya adalah Sian-li
Kiam-sut yang sudah tercampur ilmu lain, juga dia pandai Ilmu Langkah Hui-thian
Jip-te. Akan tetapi dengan ilmu pedangmu Kun-lun Kiam-sut, kau tentu dapat
menghadapnya dan mempertahankan diri. Kemudian, jika kau melihat kesempatan
baik, nah, kau gunakan jurus-jurus yang kuajarkan, tentu dia akan roboh. Kau
perhatikan baik-baik, Lote. Bila mana kau melihat dia berada dalam kedudukan
langkah seperti ini, nah, kau lalu pergunakan jurus ini sebagai pancingan, dan tentu
dia akan bergerak begini, maka kau cepat-cepat menekan pedangnya kemudian
menyapu kakinya dengan jurus ini." Sambil bicara Yo Wan lalu memberi
contoh gerakan yang diperhatikan baik-baik oleh Bun Hui.
Yo Wan
menurunkan lima jurus serangan, disesuaikan dengan keadaan atau posisi yang
akan dilakukan Yosiko. Dengan tekun Bun Hui mempelajarinya selama tiga hari
sehingga dia hafal betul.
"Kau
pasti akan berhasil, Bun-lote. Andai kata tidak, percayalah, aku takkan berada
jauh dan akan menggunakan akal lain. Kalau dia sudah mengaku kalah, kau bujuk
dia supaya membubarkan anak buahnya dan mengusir mereka dari wilayah ini,
kemudian kau ajak dia pergi ke Tai-goan menghadap ayahmu untuk kau mintakan
ampun. Mengenai bagai mana kau membujuk ayahmu supaya mengambilnya sebagai
mantu, terserah..." Yo Wan tertawa melihat Bun Hui menjadi merah mukanya.
"Terima
kasih, Yo-twako. Baru satu kali aku bertemu denganmu, akan tetapi kau sudah
begini baik kepadaku..."
"Bukan
satu kali, Bun-lote. Beberapa bulan yang lalu aku pernah mengunjungi gedung
ayahmu, mengunjungi tempat tahanan untuk membebaskan adik Siu Bi.”
"Ahhh...!"
Bun Hui berseru kagum. "Kiranya kau yang melakukan hal itu, Yo-twako? Kau
benar-benar lihai! Tetapi... mengapa kau menolong nona Siu Bi?" Bun Hui
mengerutkan kening lalu menyambung, "Kau adalah muridnya Pendekar Buta,
sedangkan nona Siu Bi bermaksud membalas dendam kepada Pendekar Buta
sekeluarga, bahkan kini berhasil membuntungi lengan Swan Bu."
Yo Wan
menarik napas panjang. "Dia hidup sebatang kara, seperti aku, patut
dikasihani. Tentang dendam dan balas membalas itu, ahhh... bukan salah Siu Bi.
la hanya menjadi korban pendidikan keliru seperti... Yosiko. Kasihan Siu Bi,
dan kasihan Swan Bu..."
Bun Hui
paham apa yang dimaksudkan oleh Yo Wan, maka keduanya berdiam sejenak,
tenggelam dalam keharuan hati masing-masing. Kemudian Bun Hui kembali melatih
diri dengan jurus-jurus yang dia terima dari Yo Wan sampai Yo Wan merasa puas
karena gerakan Bun Hui sudah boleh dibilang cukup memenuhi syarat.
Saat
pertandingan antara pimpinan bajak dan pimpinan pasukan pemerintah tiba,
seperti yang diajukan dalam surat tantangan Yosiko. Tempatnya di tepi laut, di
mana tiga hari yang lalu Bun Hui sudah mengadu ilmu melawan Yosiko.
Pagi hari
itu, Bun Hui dengan ditemani Tan Hwat Ki, Kwa Swan Bu, Tan Cui Sian, dan Bu Cui
Kim, mendatangi tempat itu dengan langkah kaki tenang. Tentu saja Bun Hui besar
hati dan sangat tabah karena di sebelahnya berjalan empat orang yang mempunyai
ilmu kepandaian tinggi, sehingga andai kata nanti terjadi pengeroyokan, dia tak
usah merasa khawatir.
Sesungguhnya,
andai kata para bajak laut itu melakukan pertempuran secara terbuka, dia dengan
bantuan empat orang muda perkasa ini, apa lagi ditambah dengan Yo Wan sudah
cukup untuk membasmi para bajak laut. Akan tetapi celakanya, para bajak laut
itu tidak pernah melakukan pertempuran terbuka, akan tetapi melakukan serangan
tiba-tiba secara diam-diam dan curang pada waktu malam! Ini yang menyebabkan
sulitnya usaha pembasmian para bajak itu.
Di lain
pihak, Yosiko sudah muncul pula dengan pakaian yang serba putih dan ringkas.
Sikapnya gagah dan wajahnya cantik sekali, membuat jantung Bun Hui makin
berdebar kencang, seakan dia merasa bahwa pertemuannya dengan Yosiko ini bukan
pertemuan untuk bertanding, melainkan pertemuan sebagai pengantin! Yosiko
diiringkan oleh empat orang pula, yaitu empat orang kepala bajak, sedangkan
belasan orang anggota bajak pilihan kelihatan agak jauh di belakang, merupakan
pasukan pengawal.
Swan Bu
sudah mendengar bahwa Siu Bi berada bersama Yosiko. Karena kini dia tidak
melihat kekasihnya itu muncul bersama-sama Yosiko, dia tak dapat menahan
kesabaran hatinya lagi lalu melangkah maju dan bertanya,
"Kaukah
pangcu dari Hek-san-pang? Aku mendengar bahwa Siu Bi bersamamu. Di mana kau
menahan dia? Lekas bebaskan dia dan jangan bawa-bawa dia dalam
kejahatanmu!"
Yosiko hanya
memandang tajam dan sebelum ia sempat menjawab, dari sebelah kirinya terdengar
Bong Kwan si kepala bajak pucat kurus membentak marah, agaknya hendak
menunjukkan wibawa.
"Bocah
buntung mengapa banyak mulut? Tutup mulutmu, atau aku akan membuntungi lenganmu
yang sebelah lagi!"
Penghinaan
yang tak tersangka-sangka ini membuat Yosiko dan pihak Bun Hui terkejut sekali
sehingga mereka tak dapat berkata-kata.
Dengan muka
tenang seperti biasa, akan tetapi sepasang matanya memancarkan api, Swan Bu
bertanya, "Kau siapakah, orang gagah?"
Bong Kwan
yang pucat kurus membusungkan dadanya, karena ucapan Swan Bu yang merendah itu
dia anggap sebagai tanda bahwa pemuda itu gentar terhadap dirinya. "Aku
Bhong Kwan berjuluk Si Ular Terbang!"
"Dengan
apa kau hendak membuntungi lenganku yang sebelah ini?" Swan Bu bertanya
lagi, wajahnya masih tenang seperti biasa, hanya suaranya agak gemetar, tanda
bahwa dia menahan kemarahan yang meluap-luap.
"Dengan
apa? Hah, tentu dengan golokku ini!" kembali Bong Kwan menyombong sambil
mencabut goloknya.
Inilah
agaknya yang dikehendaki Swan Bu. Terdengar ucapannya, "Bersiaplah!"
Dan tubuhnya
berkelebat lenyap, yang tampak hanya gulungan sinar pedang berkelebat bagaikan
halilintar menyambar ke depan, ke arah Bong Kwan. Kejadian ini begitu cepat
sehingga tidak ada yang dapat mencegah.
Bong Kwan
sendiri segera menggerakkan goloknya membacok sinar berkeredepan yang
menyambarnya itu.
“Tranggg!”
terdengar bunyi nyaring diiringi pekik kesakitan.
Ketika semua
orang memandang, ternyata Swan Bu sudah melesat kembali dan berdiri seperti
biasa, pedangnya masih tergantung di dalam sarung pedang, wajahnya biasa
seperti tadi. Akan tetapi di pihak sana, Bong Kwan berkelojotan dan
mengerang-erang kesakitan, golok berikut lengan kanannya telah terbabat
buntung!
Kejadian ini
terjadi amat cepatnya sehingga semua orang melongo dan kaget. Pasukan bajak
laut lalu berlarian datang, dan atas perintah Bong Ji Kiu si cambang bauk yang
marah sekali melihat adiknya menjadi buntung, mereka menggotong pergi Bong Kwan
dari tempat itu.
Diam-diam
Yosiko kagum bukan main. Ilmu pedang si pemuda buntung kekasih Siu Bi itu hebat
bukan main, membuat ia merasa gentar juga. Dia sendiri merasa yakin bahwa dia
bukanlah lawan pemuda buntung putera Pendekar Buta yang luar biasa itu, dan ia
pun bergidik kalau mengingat betapa Bun Hui didampingi orang-orang yang begitu
lihai.
Alangkah
banyaknya orang lihai di dunia ini dan ia teringat akan ucapan Yo Wan betapa
kelirunya kalau ia memilih jodoh orang yang terlihai kepandaiannya. Di dunia
ini kiranya sukar dicari orang yang paling pandai, karena tentu ada saja yang
melebihinya.
"Ahh,
tidak keliru Siu Bi memilih!" Ucapan ini tak terasa keluar dari mulut
Yosiko. "Kau putera Pendekar Buta yang bernama Swan Bu? Jangan khawatir,
Siu Bi tidak ditahan, ia tidak ikut muncul karena takut kepada dia ini!"
la menudingkan telunjuknya ke arah Cui Sian sambil mengerling nakal. "Dia
galak benar sih! Akan tetapi Siu Bi titip pesan bahwa dia selalu menantimu
dengan setia."
Wajah Swan
Bu berseri mendengar ini, akan tetapi dia hanya mengangguk, merasa agak malu
untuk menjawab.
"He,
Bun-ciangkun, kau datang bersama begini banyak orang lihai, apakah kau merasa
jeri terhadap aku dan hendak mengandalkan pengeroyokan mereka untuk mengalahkan
aku?"
"Ihhh,
sombongnya!" Cui Sian membentak. "Aku sendiri pun cukup untuk
membereskan orang seperti kau ini, masa harus mengeroyok?"
Yosiko
tersenyum kepadanya. "Aku bicara dengan Bun-ciangkun, siapa minta kau
turut campur? Ehh, Bun-ciangkun, bagaimana jawabmu?"
"Mereka
hanya menemaniku sebagai saksi," jawab Bun Hui. "Kulihat kau juga
membawa teman, apa bedanya?"
"Kalau
begitu biarlah kita suruh mereka menyingkir mundur yang jauh. Aku hanya ingin
bicara dan bertanding denganmu, yang lain-lain tak boleh mencampuri!"
Tanpa
diminta Cui Sian kemudian mengajak Swan Bu, Hwat Ki, serta Cui Kim untuk
mengundurkan diri dan berdiri dari kejauhan, hanya untuk menjaga kalau-kalau
musuh mempergunakan tipu curang. Dari tempat mereka berdiri, mereka hanya dapat
melihat, akan tetapi tidak dapat mendengar kata-kata mereka berdua. Juga Bong
Ji Kiu dan dua orang temannya lantas mengundurkan diri ke tempat pasukan anak
buah mereka, juga cukup jauh dari tempat pertandingan.
"Nah,
sekarang kita hanya berdua bebas untuk bicara. Nona Yosiko, sebetulnya apakah
maksudmu mengadakan tantangan seperti ini? Sudah kukatakan dahulu bahwa aku
tidak ingin bermusuhan denganmu, malah ingin menawarkan perdamaian."
"Hemmm,
pertandingan antara kita tempo hari belum selesai. Sekarang kita selesaikan
dengan perjanjian, apa bila kau kalah, kau harus menarik pulang pasukanmu dan
jangan mengganggu kami lagi."
"Kalau
kau yang kalah?"
"Kalau
aku yang kalah, aku tetap memegang janjiku lima hari yang lalu, aku menyerah
dan menurut segala kehendakmu."
"Nona...,
betulkah itu? Kau tidak akan melanggar janji?"
"Janji
lebih berharga dari pada nyawa."
Gemetar
suara Bun Hui ketika dia berkata, "Nona, kalau Thian mengabulkan dan aku
berhasil menangkan engkau, aku hanya minta supaya kau membubarkan semua bajak,
melarang mereka melakukan perbuatan jahat lagi, kemudian kau harus ikut
bersamaku ke Tai-goan, kuhadapkan ayah, kumintakan ampun... bagaimana,
setujukah engkau?"
Yosiko
mengangguk. "Aku sudah berjanji, dan aku menurut segala kehendakmu."
"Bagus!
Mari kita mulai, mudah-mudahan aku akan menang," Bun Hui berkata gembira.
Mereka mencabut pedang masing-masing dan memasang kuda-kuda.
"Akan
tetapi kau harus menggunakan ilmu pedang, tidak boleh menggunakan ilmu sihir
seperti dahulu," kata Yosiko sebelum mulai.
Bun Hui tersenyum.
Yang disangka ilmu sihir itu tentu bantuan Yo Wan yang dilakukan secara
diam-diam.
"Tidak,
aku hanya akan menggunakan ilmu silatku, akan tetapi kuharap kau pun jangan
menggunakan senjata gelap dan segala racun."
"Baik,
mulailah!"
Bun Hui
menggerakkan pedangnya menyerang dan beberapa menit kemudian mereka sudah
saling terjang dengan hebat dan seru sekali. Sebetulnya hanya Yosiko yang terus
menerus melakukan penyerangan. Karena mentaati pesan Yo Wan, Bun Hui tidak mau
menyerang. Dia hanya melindungi tubuhnya dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut
yang amat kuat. Pedangnya membentuk benteng baja yang sukar ditembus sehingga
makin penasaranlah hati Yosiko. Namun, biar pun hanya mempertahankan diri, Bun
Hui selalu mengincar kedudukan kaki Yosiko untuk menunggu kesempatan seperti
yang diajarkan oleh Yo Wan.
Kesempatan
pertama terbuka pada saat Yosiko menyerangnya dengan mengembangkan lengan kiri
sambil menusukkan pedang ke dadanya. Kedudukan kaki dan posisi badan gadis itu
persis seperti yang diajarkan Yo Wan kepadanya. Cepat dia miringkan tubuh ke
kiri seperti yang diajarkan Yo Wan, kemudian pedangnya berkelebat menyabet
lengan kiri gadis yang dikembangkan itu dengan cepat sekali.
Kagetlah
Yosiko menghadapi serangan balasan ini. Lengan kirinya terancam bahaya dan
serangan balasan yang tiba-tiba ini sama sekali tidak pernah ia sangka karena
justru kelemahan kedudukannya adalah pada lengan kiri itu.
Tepat
seperti diperhitungkan dan diajarkan Yo Wan kepada Bun Hui, gadis itu menarik
lengan kirinya kemudian melangkah mundur satu tindak dengan kaki kiri pula. Bun
Hui cepat-cepat menggunakan kesempatan itu untuk mencengkeram dengan tangan
kirinya ke arah pedang si gadis sambil berseru, "Lepaskan pedang!"
Kembali
Yosiko terkejut sekali. Cepat ia menarik gagang pedangnya sambil menggoyang
pergelangan tangan untuk menangkis cengkeraman itu dengan mata pedangnya. Akan
tetapi ternyata cengkeraman itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu yang
betul-betul menyerang adalah pedang di tangan kanan Bun Hui. Pedang itu
berkelebat bagai kilat dan... putuslah sabuk sutera yang mengikat pinggang
Yosiko, putus di kedua ujungnya yang berkibar-kibar!
"Ihhh...!"
Yosiko meloncat lagi air mukanya menjadi merah sekali.
"Maaf...
tidak sengaja..." kata Bun Hui sambil tersenyum.
"Aku
belum kalah!" kata Yosiko menutupi rasa malunya dan pedangnya berkelebat
lagi melakukan serangan yang lebih hebat.
Bun Hui yang
sudah siap cepat memutar pedangnya melindungi tubuhnya dan kembali mereka
bertanding dengan serunya. Pedang mereka berkali-kali bertemu mengakibatkan
bunyi nyaring dan percikan bunga api.
Kesempatan
kedua datang ketika Bun Hui melihat posisi menyerang lawannya dengan tubuh
miring. Cepat ia ‘memasuki’ lowongan dengan memukulkan tangan kirinya ke arah
pundak sambil menangkis pedang Yosiko.
Tepat
seperti yang diajarkan Yo Wan, Yosiko mengelak sambil menusukkan pedangnya dari
samping. Karena sudah menduga akan perubahan atau perkembangan kaki Yosiko,
cepat bagaikan kilat Bun Hui menekan pedang lawannya ke bawah dan selagi gadis
itu mengerahkan tenaga untuk menarik pedangnya, kaki Bun Hui menyapu dan...,
Yosiko pun terjungkal!
Namun gadis
itu dapat cepat melompat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. la
terheran-heran karena seakan-akan pemuda itu sudah mengenal baik jurus-jurusnya
dan tahu pula akan perubahannya, apa bila tidak demikian bagaimana dapat tahu
bahwa pada saat itu kelemahannya terletak pada kedudukan kakinya sehingga dapat
melakukan penyerangan yang begitu tepat?
"Maaf...!"
untuk kedua kalinya Bun Hui berkata perlahan.
"Aku
tetap belum mengaku kalah!" kata Yosiko pula yang merasa penasaran dan
cepat menerjang lagi.
Diam-diam
Bun Hui menarik napas panjang. Tepat betul tafsiran Yo Wan tentang gadis ini,
keras dan liar wataknya, tetapi gerak-geriknya benar-benar telah mencengkeram
hati Bun Hui.
Dia sudah
melakukan pesan Yo Wan dengan baik. Menurut petunjuk Yo Wan, dia tidak boleh
sekaligus merobohkan gadis ini, karena hal itu akan melukai harga dirinya. Maka
setelah dua kali memperlihatkan keunggulannya, baru Bun Hui menanti kesempatan
baik untuk mengalahkannya.
Kesempatan
itu datang sesudah Yosiko mulai mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh.
Memang sudah diperhitungkan oleh Yo Wan bahwa setelah berturut-turut dua kali
menderita kekalahan, pasti Yosiko yang keras hati itu akan mengeluarkan
jurus-jurus yang paling hebat. Oleh karena inilah, untuk menjatuhkan Yosiko,
dia sengaja mengajar Bun Hui untuk menghadapi jurus yang paling berbahaya.
Pada saat
Yosiko menerjang dengan bacokan pedang ke arah leher diteruskan sabetan ke
bawah mengarah pinggang dibarengi dengan dorongan-dorongan tangan kiri yang
mengandung hawa pukulan jarak jauh, terbukalah kesempatan ketiga itu bagi Bun
Hui.
Tepat
seperti ajaran Yo Wan yang sudah dilatihnya baik-baik, karena tahu bahwa pedang
lawan yang membacok leher itu akan terus menyabet pinggang, otomatis pedang Bun
Hui menjaga leher dan pinggangnya sehingga dua serangan itu otomatis gagal. Ada
pun pukulan atau dorongan tangan kiri Yosiko itu oleh Bun Hui sengaja
diterimanya dengan pundak kanannya.
Girang
sekali hati Yosiko karena ia melihat bahwa kali ini ia bakal menang, karena
sekali pukulannya mengenai pundak, tidak dapat tidak pemuda itu tentu akan
roboh, sedikitnya terhuyung-huyung sehingga memudahkan dia untuk mendesak
terus.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika pada saat pukulannya mampir ke pundak, tangan kiri Bun
Hui dengan kecepatan luar biasa telah menotok bawah siku kanannya, membuat
lengan kanannya setengah lumpuh. Sebelum ia dapat mencegahnya, tangan kiri
pemuda itu sudah berhasil merampas pedangnya dari tangan kanan yang setengah
lumpuh itu.
Memang betul
pukulan kirinya tepat mengenai pundak Bun Hui dan membuat pemuda itu
terhuyung-huyung ke belakang dengan muka pucat, akan tetapi pedangnya telah
berada di tangan kiri pemuda itu. Hal ini berarti ia kalah mutlak!
Dengan
pandang mata penuh kekaguman Yosiko berdiri memandang Bun Hui. Dia tidak
mungkin melawan terus setelah pedangnya terampas. Jelas bahwa pemuda ini lebih
lihai dari padanya!
"Kau
lihai sekali, Nona. Pundakku telah terluka oleh pukulanmu!" kata Bun Hui
merendah sambil mengangsurkan pedang rampasannya kepada Yosiko.
"Tidak,
aku telah kalah dan aku pun mengaku kalah. Tidak dapat aku menerima kembali
pedangku. Aku sudah berjanji dan sekarang biarkan aku kembali untuk membubarkan
mereka, besok baru aku akan datang kepadamu dan selanjutnya terserah."
Saking
girangnya Bun Hui tak dapat berkata-kata, hanya memandang dengan sinar mata
penuh kebahagiaan. Dia hanya dapat menjura ketika nona itu mengundurkan diri.
Dari tempat dia berdiri, dia melihat Yosiko memberi tanda dengan tangan kepada
para anak buahnya dan mereka lalu menghilang di balik semak-semak di hutan.
Cui Sian dan
yang lain-lain segera lari menghampiri.
"Selamat,
saudara Bun Hui, kau telah menang!" kata Tan Hwat Ki girang.
"Setelah
ia kalah, apa yang akan ia lakukan?" tanya Cui Sian.
"la
sudah berjanji akan membubarkan anak buahnya, dan ia sendiri besok menyerahkan
diri untuk menjadi tawanan dan dibawa ke kota raja," kata Bun Hui.
"Semua ini adalah jasa Yo-twako. Ehhh.., Yo-twako mengapa tidak
muncul?"
la menoleh
ke arah belakang di mana terdapat banyak pohon besar. la menduga bahwa Yo Wan
tentu bersembunyi di situ dalam persiapan membantunya apa bila rencananya
gagal. Benar saja, Yo Wan muncul dari balik pohon dan tertawa girang.
"Kau
berhasil baik, Bun-lote. Bagus sekali! Kurasa orang seperti Yosiko akan
memegang janjinya. Alangkah baiknya urusan ini berhasil dibereskan dengan jalan
damai sehingga daerah ini akan bebas dari gangguan bajak laut tanpa banyak
banjir darah."
"Bagaimana
pun juga, aku sangsi apakah jalan ini cukup baik dan menjamin keamanan. Andai
kata para bajak itu benar-benar mau pergi dari sini, kiranya masalah belum
tentu selesai karena mereka pasti akan mengganas di tempat lain," kata Cui
Sian menyatakan pendapatnya.
"Setuju
sekali dengan ucapan Bibi," sambung Hwat Ki, "membasmi pohon jahat
harus sampai ke akar-akarnya, kalau tidak tentu akan tumbuh kembali.
Penjahat-penjahat itu kalau tidak dibasmi habis, kelak tentu akan melakukan
kejahatan pula."
Yo Wan
menggeleng-geleng kepalanya, kemudian berkata, suaranya sungguh-sungguh,
"Kurasa tidak demikian persoalannya. Kejahatan bukanlah suatu sifat dari
jiwa. Tidak ada manusia yang lahir sudah jahat atau selama hidupnya setiap saat
dia jahat. Kejahatan hanyalah kebodohan atau penyelewengan dari kesadaran hati
nurani oleh keadaan yang terdorong oleh nafsu-nafsu keduniawian. Memang sudah
menjadi kewajiban kita yang mempelajari ilmu dan mengabdi kebenaran dan
keadilan untuk memberantas kejahatan-kejahatan, akan tetapi bukanlah cara yang
sempurna kalau kita harus membunuhi setiap orang yang melakukan kejahatan yang
sesungguhnya hanya kebodohan itu. Hal ini akan merupakan pekerjaan sia-sia
belaka, malah membunuh sendiri pun termasuk kebodohan yang berdasarkan kepada
kebencian, jadi pada umumnya juga disebut jahat! Yang kita musnahkan bukan
orangnya melainkan kebodohannya itulah." Yo Wan berhenti sebentar
mengumpulkan ingatannya tentang filsafat yang pernah dia pelajari ketika dia
bertapa di Himalaya.
Orang-orang
muda yang gagah mendengarkan dengan tertarik.
"Yo-twako,
teruskanlah, aku masih belum dapat memahami filsafatmu ini," kata Bun Hui.
"Anggapan
bahwa orang yang sekarang dianggap jahat akan menjadi jahat selamanya, dan
anggapan bahwa orang yang sekarang dianggap baik akan menjadi baik selamanya,
adalah anggapan yang sempit. Apa yang disebut jahat mau pun baik hanyalah
akibat dari kesadaran si orang itu pada saat itu. Apa bila dia lupa dan lemah,
bodoh menghambakan diri pada hawa nafsu, maka dia melakukan perbuatan yang
dianggap jahat. Sebaliknya apa bila pada saat itu ia sadar dan kuat menghadapi
godaan nafsu, dia akan ingat dan menjauhi perbuatan yang dianggap jahat. Jadi
semua hanya akibat sementara saja dari kesadaran. Tidak akan selamanya begitu.
Yang sadar mungkin lain waktu akan lupa, dan sebaliknya yang sekarang lupa
mungkin sekali lain waktu akan menjadi sadar. Saudara-saudaraku yang baik, pada
hakikatnya, apakah itu yang disebut baik atau pun jahat? Dari mana timbulnya
sebutan ini? Ingat, banyak sekali di antara kita yang menyalah tafsirkan
istilah baik dan jahat ini, bahkan banyak yang menyeleweng dari kebenaran dan
keadilan dalam menentukan tentang orang baik dan orang jahat,"
"Bagaimana
ini? Baru sekarang aku mendengarnya. Yo-koko, coba kau beri penjelasan,"
kata Cui Sian dengan hati amat tertarik sehingga ia lupa bahwa ia menggunakan
sebutan mesra sekali, yaitu sebutan ‘koko’. Baiknya semua orang pun sedang
dalam keadaan tertarik oleh filsafat Jaka Lola sehingga tidak ada yang
memperhatikan sebutan itu.
"Sebelumnya
maaf. Kalian adalah putera-puteri para pendekar sakti yang berilmu tinggi,
tentu telah menerima gemblengan-gemblengan batin yang mendalam. Akan tetapi,
tiada salahnya apa bila sekarang kita bertukar pikiran untuk memperlengkapi
ilmu dan mencari kesesuaian pendapat. Yang aku maksudkan penyelewengan dalam
penilaian seseorang terhadap orang lain yang dianggap baik dan jahat adalah
karena sebagian besar orang menilai manusia lain berdasarkan nafsu
kokati..."
"Nanti
dulu, Yo-twako. Apa artinya kokati?" tanya Hwat Ki.
"Nafsu
kokati adalah nafsu mementingkan diri pribadi, demi kesenangan sendiri, demi
keuntungan sendiri, demi kepentingan sendiri tanpa menghiraukan orang lain.
Orang menilai orang lain sebagai orang baik kalau orang lain itu mendatangkan
keuntungan atau kesenangan kepadanya. Dan orang menilai orang lain sebagai
orang jahat kalau orang lain itu mendatangkan kerugian atau kesusahan
kepadanya."
"Tentu
saja, bukankah itu wajar?" Bun Hui berkata.
Yo Wan
mengangguk. "Wajar bagi penilaian yang berdasarkan kokati. Memang hal ini
menjadi kesalahan atau penyelewengan yang tak terasa lagi oleh manusia yang
dalam setiap geraknya dikendali oleh nafsu kokati. Akan tetapi sesungguhnya
tidak wajar bagi orang yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan!"
"Mengapa
begitu?" tanya Hwat Ki.
"Agaknya
persoalan ini sulit dimengerti. Baiklah aku menggunakan contoh. Ada seorang
yang menjadi perampok, merampasi barang lain orang dengan jalan kekerasan.
Orang ini pada umumnya disebut jahat, bukan? Akan tetapi orang ini amat baik
kepadamu, tidak merampokmu, bahkan membantumu, menolongmu dengan ikhlas. Nah,
saudara Hwat Ki, bagaimana penilaianmu terhadap orang ini? Tentu kau akan sulit
sekali menganggap dia orang jahat, dan akan menerima dia sebagai seorang yang
baik karena memang ia amat baik terhadapmu. Sebaliknya, andai kata ada
seseorang yang oleh umum dianggap baik, suka menolong orang lain, tetapi justru
kepadamu orang itu berbuat hal yang merugikan, misalnya menghina atau
menyusahkan. Bukankah kau akan sukar sekali menilai dia sebagai orang yang
baik, Bun-lote? Kiranya akan lebih mudah bagimu untuk menilai dia sebagai
seorang yang jahat karena ia kau anggap amat jahat kepadamu. Nah, bukankah
jelas bahwa penilaian saudara Hwat Ki dan Bun-lote ini menyeleweng dari
kebenaran dan keadilan? Karena penilaian ini hanya mendasarkan kepada untung
atau rugi bagi dirinya sendiri! Bagaimana pendapat kalian?"
"Betul
sekali! Baru sekarang aku dapat mengerti!" berkata Cui Sian, sepasang
matanya berseri penuh kekaguman.
"Memang
betul apa yang dikatakan Yo-twako. Aku pun pernah mendengar filsafat seperti
ini diwejangkan oleh ayah," kata Swan Bu.
Yo Wan
mengangguk. "Suhu adalah seorang yang sangat bijaksana. Sungguh pun suhu
kehilangan kedua alat penglihatannya, akan tetapi mata batinnya terbuka lebar
sehingga suhu tak mudah terperosok ke dalam jurang penyelewengan. Banyak orang
yang kedua matanya awas, akan tetapi mata batinnya seperti buta sehingga
terjadilah di dunia ini perebutan kebenaran, dan yang diperebutkan itu adalah
kebenaran palsu, kebenaran diri sendiri yang bukan lain hanyalah penyamaran
dari nafsu kokati juga. Kebenaran sejati tidak diperebutkan orang, karena
sesungguhnyalah bahwa siapa yang merasa diri tidak benar, dialah yang paling
dekat kepada kebenaran sejati! Perasaan bahwa diri sendiri tidak benar ini
menghilangkan atau setidaknya mengurangi nafsu yang amat buruk, yaitu nafsu
membencl orang lain. Tentu saja orang lain dibenci karena dianggap jahat. Kalau
kita merasa bahwa diri kita sendiri pun tidak benar, maka tidak mudah menilai
orang lain jahat dan karenanya berkuranglah rasa benci. Hapuskan rasa benci
dari dalam lubuk hati dan kita akan mudah menerima cahaya kasih, yaitu kasih
sayang pada sesama manusia, dan ini merupakan jembatan yang akan membawa kita
kepada kebenaran sejati."
Hening sejenak
karena orang-orang muda itu seakan-akan terpesona dan terpengaruh hikmat
kata-kata yang mengandung filsafat hidup itu. Filsafat kokati. Kemudian dengan
perasaan kagum dan bangga Cui Sian tertawa, memecah suasana yang tercekam oleh
kesunyian itu.
"Wah-wah,
mengapa kita jadi menyimpang jauh dari persoalan pokok? Bukankah kita tadi
bicara tentang bajak-bajak itu?"
Yo Wan juga
tertawa. Hatinya gembira karena dia dapat menangkap suara kekasihnya yang
mengandung kekaguman dan kebanggaan.
"Kita
tidak menyimpang karena apa yang kita bicarakan tadi juga ada hubungannya
dengan para bajak. Aku tidak membenci mereka, namun kasihan terhadap kebodohan
dan penyelewengan mereka. Aku akan merasa lebih bersyukur apa bila mereka itu
dapat diinsyafkan dan dapat ditunjukkan jalan benar. Kalau hal ini tidak
berhasil, tentu saja kita harus mencegah mereka melakukan kejahatan,
mempergunakan kepandaian kita. Tetapi baiknya kalau tidak terpaksa sekali untuk
mempertahankan diri, tak perlu membunuh lain orang."
"Wah,
nasehat Yo-twako sama benar dengan nasehat ayah,” kata Swan Bu lagi.
"Memang
aku murid ayahmu, tentu saja sependirian."
Malam itu
tidak terjadi sesuatu, tetapi pada keesokan harinya pagi-pagi sekali menjelang
subuh, di waktu ayam hutan ramai berkokok, tiba-tiba terjadi penyerbuan
besar-besaran dari pihak bajak laut. Para penjaga malam di perkemahan pasukan
kota raja yang hanya berjumlah dua puluh orang lebih, tak dapat menahan serbuan
ratusan bajak itu sehingga dalam waktu beberapa puluh menit saja dua puluh orang
lebih penjaga itu telah tewas. Ributlah keadaan pasukan ketika dalam keadaan
masih nanar karena baru bangun tidur secara mendadak menghadapi musuh-musuh
menyerbu itu.
"Wah,
agaknya Yosiko tidak memegang janjinya!" seru Cui Sian marah sambil
mencabut pedangnya setelah para orang muda gagah itu berkumpul di ruangan
depan.
"Belum
tentu," jawab Yo Wan. "Mari kita berpencar. Kita menahan serbuan
mereka dari empat penjuru, membantu Bun Hui yang sudah pergi lebih dulu
mengatur pasukannya."
Orang-orang
muda itu lalu berloncatan ke luar di dalam cuaca yang masih gelap itu. Hwat Ki
dan sumoi-nya berlari ke arah barat untuk menahan gelombang serangan bajak laut
dari arah ini. Cui Sian berlari ke arah utara sedangkan Yo Wan berlari ke
selatan. Swan Bu sendiri yang semenjak malam tadi gelisah memikirkan Siu Bi,
kini menghilang seorang diri dengan tujuan untuk mencari kekasihnya di antara
para bajak laut.
Hebat perang
kecil yang terjadi pada pagi buta yang masih gelap itu. Banyak anggota pasukan
pemerintah roboh karena hujan anak panah, akan tetapi sesudah orang-orang muda
perkasa itu keluar turun tangan, keadaan berubah dan banyak bajak laut yang
roboh dan banyak pula yang mengundurkan diri.
Akan tetapi
tidak seorang pun di antara para muda perkasa itu melihat Yosiko. Bahkan
pimpinan bajak laut yang lain hanya dua orang yang muncul, yaitu Thio Kong dan
Yauw Leng, sedangkan yang dua orang lagi, Bong Ji Kiu dan adiknya Bong Kwan
yang lengan kanannya kemarin buntung oleh serangan kilat Swan Bu juga sama
sekali tidak tampak batang hidungnya.
Bun Hui
memimpin anak buahnya mengamuk dan mengejar bajak-bajak yang melarikan diri.
Karena tidak melihat Yosiko memimpin mereka, setelah merobohkan Thio Kong, Bun
Hui membentak kepala bajak yang terluka ini, "Hayo katakan, di mana adanya
Hek-san Pangcu Yosiko?"
Biar pun
sudah terluka parah, Thio Kong masih tertawa mengejek, "Kau takkan melihat
dia hidup lagi! Dia menjadi tawanan Bong Ji Kiu di dalam goa di tepi
laut!"
Bukan main
kagetnya hati Bun Hui. Di samping terkejut dan khawatir akan keselamatan
Yosiko, diam-diam dia juga merasa lega. Ternyata gadis itu tidak mengingkari
janji, tidak mengkhianatinya, melainkan menjadi tawanan bawahannya sendiri yang
memberontak!
"Hayo
kau tunjukkan aku di mana goa tempat ia ditawan!" bentaknya sambil
mengempit tubuh Thio Kong yang terluka dan membawanya lari.
Pasukannya
itu ikut pula mengejar para bajak, dan selebihnya lalu mengikuti komandan
mereka ke tepi laut. Di depan sebuah goa yang besar dan gelap, Bun Hui
berhenti.
Dengan napas
empas-empis Thio Kong berkata, "Di sanalah tempatnya... Bong-twako
berpesan bahwa kau sendiri harus memasuki goa melawannya kalau kau ingin
bertemu dengan Yosiko. Jika kau membawa pasukanmu menyerbu, dia akan
dibunuh...” Setelah berkata demikian, Thio Kong roboh pingsan.
Bun Hui
memerintahkan anak buahnya untuk menawan Thio Kong. Dia lalu menghampiri mulut
goa. Goa ini lebar, akan tetapi gelapnya bukan main. Dari luar tidak tampak apa
pun, hanya hitam gelap menyeramkan, agaknya ada terowongannya. Goa batu karang
itu merupakan mulut naga yang mengerikan dan tahulah Bun Hui bahwa memasuki goa
ini merupakan bahaya besar. Akan tetapi mengingat akan nasib Yosiko di tangan
Bong Ji Kiu, tak mungkin dia berdiam diri saja di luar goa.
Pada saat
itu, Yo Wan dan Hwat Ki berlari-lari menghampiri Bun Hui. Dua orang muda ini
tadinya bersama Cui Kim dan Cui Sian yang saling bertemu sesudah mereka
berhasil mengundurkan para bajak laut. Akhirnya Yo Wan mengajak Hwat Ki untuk
membantu Bun Hui, sedangkan Cui Sian mengajak Cui Kim untuk mengejar ke lain
jurusan sambil mencari Swan Bu yang belum tampak.
Pada waktu
Yo Wan dan Hwat Ki sampai di tempat itu, Bun Hui sudah mulai meloncat memasuki
goa setelah dia memerintahkan anak buahnya menjaga di luar.
"Bun-lote!
Mau ke mana kau?" Yo Wan berteriak heran.
Akan tetapi
Bun Hui yang khawatir kalau-kalau Yo Wan dan Hwat Ki akan merintanginya jika
mendengar bahwa Yosiko tertawan di dalam dan hanya dia seorang diri yang boleh
masuk, tidak mempedulikan seruan ini dan terus melompat ke dalam.
Yo Wan bukan
seorang sembrono. Segera dia menghampiri seorang kepala regu dan bertanya apa
maksudnya semua itu.
"Siauw-ciangkun
masuk goa untuk menolong nona Yosiko yang menjadi tawanan bajak!" Orang
itu menerangkan cepat. "Orang lain tak boleh masuk..."
Yo Wan cepat
melompat ke depan goa, lalu berteriak, "Bun-lote! Kembalilah cepat, kau
terjebak...!"
Akan tetapi terlambat
sudah. Terdengar suara keras dan dari sebelah atas di dalam goa itu mendadak
runtuhlah batu-batu karang yang besar dan berat menutupi mulut goa di mana tadi
Bun Hui berlari masuk! Debu mengebul tinggi keluar dari goa disertai
pecahan-pecahan batu yang berhamburan ke sana ke mari.
Yo Wan
menggerakkan kakinya melompat keluar sehingga terhindar dari hujan batu kecil
yang hancur beterbangan tertimpa batu karang besar dari atas itu.
Selagi Yo
Wan, Hwat Ki dan para perajurit tertegun dan gelisah, tiba-tiba terdengar suara
nyaring dari belakang, "Apa yang terjadi? Mana Yosiko anakku?"
Ketika Yo
Wan menengok, ternyata yang datang ini adalah wanita setengah tua yang pernah
menguji kepandaiannya, yaitu Tan Loan Ki, ibu dari Yosiko. Wanita ini wajahnya
pucat, agaknya sudah mendengar tentang perang antara pasukan pemerintah dengan
anak buah bajak laut, dan kini mencari Yosiko.
"Dia
tertawan oleh Bong Ji Kiu dan berada di dalam goa ini. Bun-ciangkun, komandan
pasukan sedang berusaha menolongnya, akan tetapi dia terjebak ke dalam
goa," kata Yo Wan.
Wanita itu
mengeluarkan seruan marah keras sekali, lalu tiba-tiba ia lari dari tempat itu!
Yo Wan tidak mempedulikannya lagi, lalu maju dan bersama Hwat Ki memimpin para
prajurit untuk membongkar runtuhan batu-batu dari atas yang menutup goa.
Bagaimanakah
Yosiko bisa tertawan oleh Bong Ji Kiu? Betulkah ia tertawan? Memang sebetulnya
begitu. Setelah kalah bertanding melawan Bun Hui, hati gadis ini marasa kagum
sekali dan dia sudah mengambil keputusan untuk membubarkan orang-orangnya dan
mencuci tangan, menyerah kepada Bun Hui yang bersikap baik terhadap dirinya.
Dia tidak
pedulikan anak buahnya yang tampak tidak puas. Dengan kata-kata singkat ia
berkata kepada Bong Ji Kiu dan yang lain-lain,
"Aku
lelah sekali. Biarlah malam ini aku mengaso dan besok pagi kau kumpulkan semua
kawan, aku mau bicara penting sekali. Jangan bergerak dan jauhkan diri dari
pasukan kota raja agar tidak terjadi bentrokan."
Yang
kelihatan tidak puas sekali adalah Bong Ji Kiu. Adik kandungnya sudah
kehilangan lengan kanan dan kini pemimpin ini tampaknya tidak mempedulikan,
bahkan tadi dalam pertandingan kelihatan mengalah terhadap musuh!
Malam itu
Yosiko tidur di dalam pondoknya, bersama Siu Bi. Gadis ini tak dapat tidur, apa
lagi ketika ia tadi mendengar dari Yosiko tentang Swan Bu yang masih berada
bersama pasukan kota raja. Bahkan Yosiko memuji-muji Swan Bu dan juga
menceritakan betapa pemuda buntung itu dengan hebatnya sudah membuntungi lengan
kanan Bong Kwan yang menghinanya.
"Pilihanmu
tak keliru, Siu Bi. Putera Pendekar Buta itu hebat. Akan tetapi, Bun-ciangkun
lebih hebat. Mereka memang orang-orang yang mengagumkan," demikian kata
Yosiko menutup ceritanya sebelum gadis kepala bajak itu pulas.
Siu Bi tidak
dapat pulas, hatinya gelisah. Mungkin sekali kekasihnya akan salah sangka,
mengira bahwa dia sekarang menjadi bajak pula membantu Yosiko. Padahal ia
bersama Yosiko karena tadinya hendak bersama-sama memusuhi Cui Sian. Aku harus
pergi dari sini, pikirnya. Tidak ada gunanya lagi berkumpul dengan Yosiko.
Tiba-tiba
saja Siu Bi mencium sesuatu yang harum sekali. la menjadi curiga dan cepat ia
mengerahkan sinkang menahan nafas. Dilihatnya Yosiko bernapas panjang dan
tenang dalam tidurnya.
Ada asap kekuningan
memasuki kamar itu dari celah-celah dinding. Siu Bi makin curiga. Dengan masih
menahan napasnya, ia mengguncang-guncang tubuh Yosiko. Akan tetapi alangkah
heran dan kagetnya ketika ia melihat Yosiko membuka sedikit matanya akan tetapi
gadis itu lemas dan tidak mampu bangun.
"Asap
beracun!" bisik Siu Bi kaget.
Cepat ia
mencabut pedangnya dan meloncat turun dari pembaringan, terus menerjang ke arah
pintu. Ternyata di depan pintu sudah menunggu banyak anak buah bajak, dipimpin
oleh Bong Ji Kiu yang langsung menyerangnya dengan pengeroyokan.
Siu Bi
memutar pedangnya, akan tetapi karena ia memang sudah mengambil keputusan untuk
pergi dari tempat itu, sesudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok, ia
lalu melompat ke dalam gelap, terus melarikan diri. Kemudian dia mendengar
keributan dan perang tanding antara bajak-bajak laut melawan pasukan pemerintah
di dalam hutan itu. la tetap bersembunyi.
Ada pun
Yosiko yang sudah menjadi korban asap beracun itu, sama sekali tidak dapat
melawan ketika Bong Ji Kiu membelenggu dan memanggulnya pergi. Andai kata gadis
ini tidak berada dalam keadaan tidur pulas, seperti halnya Siu Bi, tentu ia
takkan menjadi korban. Akan tetapi dalam keadaan pulas, ia telah menyedot asap
beracun dan terbius dalam keadaan setengah pingsan.
Ketika
melihat anak buahnya terdesak hebat dan banyak yang tewas, akhirnya Bong Ji Kiu
maklum bahwa pihaknya akan kalah. Maka dia lalu menibawa Yosiko lari ke dalam
goa rahasia dan berhasil menjebak masuk Bun Hui. Dia hendak menggunakan Bun Hui
dan Yosiko untuk menjadi jaminan menyelamatkan diri.
Sementara
itu, Swan Bu yang lebih dulu menyerbu ke daerah musuh dalam usahanya mencari
Siu Bi, menjadi gelisah karena dia tidak melihat gadis itu di antara para
bajak. Juga dia tidak melihat Yosiko. Pemuda ini mengamuk dan setiap orang
bajak yang berani menghadangnya tentu roboh dengan sekali gerakan.
Banyak sudah
dia merobohkan anak buah bajak, menangkap mereka dan bertanya di mana adanya
kekasihnya, Siu Bi. Akan tetapi para bajak itu tidak ada yang tahu, atau tidak
ada yang mau memberi tahu sehingga Swan Bu menjadi makin bingung.
Akhirnya dia
dikepung oleh belasan orang bajak yang dipimpin oleh kepala bajak Yauw Leng
yang bertubuh tinggi besar dan memegang sepasang pedang. Yauw Leng kemarin ikut
dengan rombongan Yosiko, oleh karena itu dia mengenal pemuda buntung ini yang
kemarin telah membuntungi lengan kanan temannya, Bong Kwan. Maka melihat pemuda
ini, marahlah Yauw Leng dan ingin membalas dendam sahabatnya. la lalu
mengerahkan anak buahnya mengepung.
Akan tetapi
kasihan bajak-bajak kecil itu. Mereka seakan-akan merupakan serombongan laron
yang menerjang api lilin. Api itu hanya bergoyang-goyang, sama sekali tak
padam, akan tetapi laron-laron itu satu demi satu roboh!
Swan Bu
berpikir bahwa sebagai pemimpin bajak, tentu orang tinggi besar yang kemarin
datang bersama Yosiko ini sedikitnya tahu akan Siu Bi. Maka dia segera
mempercepat permainan pedangnya, merobohkan para bajak dan dengan gerakan yang
tak tersangka-sangka dia meloncat ke depan Yauw Leng yang tadinya hanya memberi
komando dari jarak aman.
Bajak laut
itu kaget luar biasa. Tak disangkanya pemuda buntung itu dengan mudahnya dapat
menembus kepungan belasan orang anak buahnya dan tahu-tahu telah berkelebat di
depannya. Dia cepat menggerakkan sepasang pedangnya menyerang, pedang kanan
menyerang tubuh lawan, pedang kirinya menyerang bagian atas. Gerakannya cepat
dan ganas bukan main, tenaganya besar sehingga sepasang pedangnya mengeluarkan
bunyi berdesingan.
Akan tetapi
bajak laut dengan sepasang pedang yang dahsyat itu, yang biasanya jarang
menemukan lawan, sekarang menemui lawan yang ilmu kepandaiannya jauh lebih
tinggi dari padanya. Walau pun Swan Bu sudah kehilangan lengan kirinya, namun
kalau baru lawan setingkat bajak laut ini, biar pun ada sepuluh orang macam
Yauw Leng kiranya dia takkan kalah.
Pedang
Kim-seng-kiam berkelebat bagaikan halilintar menyambar, dari mulutnya keluar
bentakan yang menggetarkan jantung, kemudian terdengar bunyi nyaring dan tahu-tahu
sepasang pedang di tangan Yauw Leng telah patah-patah, disusul pekik kesakitan
ketika bajak itu tertotok roboh oleh gagang pedang Swan Bu.
Para anak
buah bajak berteriak-teriak menyerbu, namun sekali memutar pedang, empat orang
bajak laut roboh. Kemudian Swan Bu menyambar tubuh Yauw Leng dan sekali dia
berkelebat, lenyaplah dia dari depan para bajak laut yang menjadi kebingungan
karena kehilangan pimpinan. Akhirnya mereka lari cerai-berai ketika melihat
pasukan pemerintah sudah berlari-lari dari lain jurusan dengan senjata
diacung-acungkan penuh ancaman!
"Hayo
katakan, di mana adanya nona Siu Bi yang tadinya bersama ketuamu Yosiko? Lekas
katakan yang sebenarnya, kalau tidak... akan kucincang hancur tubuhmu!"
Swan Bu mengancam sesudah dia berada di tempat sunyi dan membanting tubuh bajak
itu ke bawah.
Yauw Leng
mengeluh panjang, lalu berkata, "Dia... dia tertawan oleh... Bong Kwan
yang kemarin kau buntungi lengannya! Dia tentu akan tewas oleh Bong Kwan yang
sakit hati kepadamu kalau tidak lekas kau tolong..."
"Di
mana dia? Di mana bangsat itu dan di mana Siu Bi ditawan?" tanya Swan Bu
dengan gugup.
"Apa
gunanya aku memberi tahu kalau kau akhirnya toh membunuhku? Berjanjilah dulu
bahwa kau tak akan membunuhku, baru aku mau menunjukkan tempatnya."
Karena amat
khawatir akan keadaan Siu Bi, Swan Bu segera berkata, "Baiklah kau akan
kubebaskan. Lekas tunjukkan tempatnya."
Swan Bu
menotok bebas bajak itu dan menyeret tangannya diajak lari ke tempat yang
ditunjukkan oleh Yauw Leng. Tibalah mereka di depan batu-batu karang di pinggir
laut, di mana terdapat banyak sekali goa-goa batu karang yang liar. Kadang kala
kalau ombak laut besar, air laut sampai di mulut goa-goa ini, sehingga
batu-batu karang di tempat ini amat runcing, tajam dan licin.
"Di
sinilah tadi malam Bong Kwan membawa Siu Bi. Kau carilah sendiri ke dalam goa
itu, aku tidak berani," kata Yauw Leng.
Cepat
bagaikan kilat menyambar, tangan kanan Swan Bu menotok Yauw Leng roboh. “Akan
kubuktikan, kalau kau tidak membohong, kau kubebaskan. Akan tetapi awas kalau
kau bohong!"
Dengan
pedang di tangan, Swan Bu segera meloncat memasuki goa itu dengan gerakan
tangkas. la meloncat ke atas batu-batu karang yang runcing, terus memasuki goa
yang amat dalam itu.
"Siu
Bi...!” la memanggil.
Tidak ada
jawaban kecuali gema suaranya dari dalam goa. Swan Bu meloncat ke atas batu
karang sebelah dalam lagi.
"Siu
Bi...!"
Mendadak
telinganya menangkap suara yang terdengar dari jauh.
"Swan
Bu...!"
Itulah suara
Siu Bi! Tidak salah lagi! Gemetar kaki Swan Bu mendengar suara ini, suara yang
sulit diketahui dari mana datangnya, akan tetapi terpengaruh oleh keterangan
Yauw Leng tadi, dia menduga bahwa suara itu pasti datang dari dalam goa ini.
Dengan cepat dia meloncat terus, memasuki bagian yang gelap.
Tiba-tiba
saja terdengar angin menyambar dari kanan kiri. Swan Bu terkejut, pedangnya
bergerak cepat, diputar sedemikian rupa sehingga dia berhasil menangkis banyak
anak panah yang beterbangan dari kanan kiri menyambarnya. Anak-anak panah itu
runtuh ke bawah dan dia kembali meloncat ke depan. Sekali lagi dia menangkis
sambaran senjata-senjata gelap yang terbang dari depan.
Mendadak
terdengar suara keras dan asap hitam tebal memenuhi tempat itu. Swan Bu terbatuk-batuk
dan cepat menahan napas, maklum bahwa asap itu beracun. Akan tetapi karena
tempat itu gelap bukan main, saat meloncat ke atas batu karang di sebelah kanan
yang kelihatan hanya hitam saja, dia pun tergelincir.
Pada saat
itu pula dia merasa pundak kanannya sakit. Sebatang senjata piauw sudah
menancap di pundaknya. Tak tertahan lagi Swan Bu roboh terguling, tubuhnya
terbanting di atas batu-batu karang yang runcing dan tajam. Lalu sunyi senyap!
Bagaikan
terbang cepatnya, Siu Bi datang berlari-lari. la tadi mendengar suara Swan Bu
yang memanggil dirinya dan dia sudah menjawab dengan menyerukan nama pemuda itu
sambil berlari ke arah datangnya suara. Pada saat dia tiba di depan goa, dari
dalam goa berlompatan empat orang bajak yang tadi bersembunyi di situ dan
menghujankan anak panah kepada Swan Bu. Siu Bi marah sekali. Melihat Yauw Leng
menggeletak dalam keadaan tertotok, pedangnya menyambar dan putuslah leher
kepala bajak itu.
Empat orang
bajak menjadi marah, beramai mereka menyerbu. Namun Siu Bi memutar pedangnya
dan hanya dalam beberapa menit saja empat orang bajak itu sudah roboh tanpa
bernyawa lagi, tubuh mereka mandi darah!
"Swan
Bu!” Siu Bi menjerit ke dalam goa.
Tiba-tiba
dari dalam goa itu terdengar suara orang tertawa bergelak, menyeramkan suara
ini.
"Ha-ha-ha,
Manis! Kau mencari kekasihmu? Si buntung lengan? Ha-ha-ha, dia ada di sini.
Masuklah!" Siu Bi terkejut. Itulah suara Bong Kwan yang katanya kemarin
dibuntungi lengannya oleh Swan Bu. la tidak percaya dan memanggil lagi.
"Swan
Bu...!"
"Ha-ha-ha,
kau tidak percaya? Lihat, apakah ini?"
Dari dalam
goa itu lalu melayang sebatang pedang yang mengkilap putih, menyambar ke arah
Siu Bi. Dengan amat cekatan Siu Bi menyambar pedang itu dengan tangan kirinya.
Tangannya menggigil. Itulah pedang Kim-seng-kiam, pedang kekasihnya!
"Swan
Bu...!"
"Masuklah
kalau hendak menemui kekasihmu!" kembali suara Bong Kwan mengejek.
Pada saat
itu, Cui Sian dan Cui Kim datang berlari-lari. Melihat Siu Bi dengan sepasang
pedang sedang berdiri di depan goa, timbullah kemarahan mereka berdua. Gadis
liar ini telah bersekutu dengan Yosiko dan terang bahwa Yosiko sudah bersikap
curang, sudah melanggar janji secara diam-diam melakukan penyerbuan yang
akhirnya menewaskan banyak perajurit. Terang bahwa Siu Bi ini membantu
penyerbuan Yosiko.
"Gadis
jahat!" Cui Sian melompat maju hendak menyerang, tapi kemudian dia
mengenal pedang Kim-seng-kiam di tangan Siu Bi.
"Ehh,
itu pedang Kim-seng-kiam milik Swan Bu! Di mana dia? Kau apakan dia?!" Cui
Sian membentak.
Muka Siu Bi
pucat sekali. "Dia... dia... entah bagaimana keadaannya, tapi... dia...
dia di dalam goa ini, ditawan...!" Sambil berkata demikian, Siu Bi lalu
melompat memasuki goa dengan sepasang pedang di tangan.
"Swan
Bu...!" Dia berseru lagi sambil berlari dan berloncatan dari batu karang
ke batu karang sebelah dalam.
Mendadak
terdengar ledakan keras dan asap hitam memenuhi tempat di sebelah dalam goa di
mana Siu Bi sedang berdiri. Gadis ini menjadi limbung, pandang matanya gelap
dan dalam keadaan matanya gelap dan dalam keadaan setengah sadar itu, tiba-tiba
dia merasa dadanya sakit sekali. la pun terhuyung-huyung dan terbanting roboh
di samping Swan Bu yang menggeletak pingsan di antara batu-batu karang.
"Swan
Bu...," Siu Bi merintih lemah, merangkak dan merangkul pemuda itu.
Cui Sian dan
Cui Kim terkejut sekali. Mereka lalu meloncat masuk pula dengan pedang
terhunus, bergerak hati-hati sekali. Cui Sian di depan, Cui Kim di belakangnya.
"Mundur...!"
Ciui Sian berteriak sambil melompat keluar lagi ketika dia mencium bau yang
memuakkan, bau asap hitam yang masih tergantung tebal di dalam goa. Terpaksa
dua orang gadis ini melompat keluar lagi dan berdiri bingung.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan dan tahu-tahu di depan goa itu sudah berdiri sepasang suami
isteri yang gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Buta sendiri
bersama isterinya. Kedatangan mereka ini sebetulnya bersama Tan Loan Ki.
Seperti kita
ketahui, Tan Loan Ki mencari Pendekar Buta untuk memaksa pendekar ini
menjodohkan muridnya, Yo Wan dengan puterinya, Yosiko. Mendengar permintaan
yang aneh ini, Pendekar Buta yang kebetulan bertemu di jalan dengan Tan Loan Ki
sepulang mereka dari Thai-san, segera ikut dengan wanita aneh itu.
Perjalanan
dilakukan cepat bukan main karena biar pun sudah setengah tua, Tan Loan Ki
masih berwatak keras dan tidak mau kalah. Maka dia seakan-akan mengajak suami
isteri dari Liong-thouw-san itu berlomba adu lari cepat!
Setibanya di
daerah Po-hai, melihat kekacauan dan peperangan, Tan Loan Ki merasa khawatir
sekali dan cepat-cepat dia mencari puterinya sehingga dia bertemu Yo Wan di
depan goa di mana puterinya tertawan. Sedangkan Pendekar Buta dan isterinya,
sudah mendengar keterangan dari para perajurit bahwa Swan Bu putera mereka juga
berada di situ, malah ikut bertempur. Atas petunjuk para prajurit inilah mereka
berdua mencari dan akhirnya mereka bertemu dengan Cui Sian dan Cui Kim yang
sedang berloncatan keluar dari dalam goa yang penuh asap hitam beracun!
"Cui
Sian... apa yang terjadi? Apakah kau melihat Swan Bu?" tanya Hui Kauw,
isteri Pendekar Buta, tak sabar lagi.
"Saya
khawatir... Swan Bu berada di dalarn goa... dan Siu Bi baru saja meloncat masuk
untuk mencarinya, akan tetapi agaknya... agaknya dia mengalami kecelakaan. Goa
ini penuh asap hitam beracun..."
"Ahhh...!"
Hui Kauw mencabut pedangnya dan bergerak hendak meloncat masuk, akan tetapi
cepat Kwa Kun Hong si Pendekar Buta menyambar lengan isterinya.
"Tunggu!
Biarlah aku yang masuk!" katanya dan sebelum isterinya sempat membantah,
tubuhnya sudah bertindak ke depan, dengan hati-hati sekali kakinya melangkah masuk,
meraba-raba dengan kedua kakinya. Segera dia mencium bau asap hitam yang
beracun.
"Bahan
ledak berbahaya..." katanya perlahan.
Pendekar
Buta kemudian menggerak-gerakkan kedua tangannya, mendorong ke dalam goa. Asap
hitam itu yang tadinya mengambang di dalam goa menjadi buyar, terdorong oleh
angin pukulan dahsyat yang memenuhi goa. Karena dorongan ini, asap itu segera
terbang keluar goa dan sebentar saja habislah asap hitam itu.
Lalu dari
dalam goa menyambar senjata-senjata rahasia piauw, bagaikan hujan lebatnya.
Namun, hanya dengan gerakan kedua tangannya yang mengeluarkan angin pukulan
luar biasa, semua piauw itu terpental, ada pula yang membalik dan menyambar
lebih cepat lagi ke dalam goa. Terdengar pekik kesakitan ketika piauw-piauw
beracun itu menyambar tubuh Bong Kwan sendiri yang segera terjungkal dari atas
batu karang di sudut goa dan tewas seketika itu juga.
Pada saat
itu, matahari telah naik tinggi dan sinarnya memasuki goa. Hui Kauw, Cui Sian
dan Cui Kim sudah berani memasuki goa setelah asap hitam itu buyar semua.
"Swan
Bu...!" Hui Kauw menjerit ketika melihat puteranya yang sekarang sudah
buntung lengannya itu menggeletak bagaikan mayat, dipeluki oleh Siu Bi yang
tubuhnya mandi darah.
Sekali lagi
Kun Hong mencegah isterinya, malah dia segera berjongkok dan memeriksa
puteranya dengan rabaan tangannya. Hati lega karena luka pada pundak puteranya
tidak berbahaya. Swan Bu hanya pingsan karena ketika tadi terguling, kepalanya
tertumbuk oleh batu. Hanya keadaan Siu Bi yang payah. Ketika Kun Hong
memeriksanya sebentar, pendekar ini mengerutkan keningnya.
"Biarkan
dia sebentar...," katanya, hatinya penuh keharuan. Tiga batang piauw
beracun yang menancap di dada Siu Bi tak mungkin dapat dicegah pengaruhnya
lagi.
"Swan
Bu...," Siu Bi berbisik, tetap merangkul leher pemuda itu erat-erat.
"Swan
Bu... aku hanya punya engkau..."
Ucapan ini
terdengar gemetar dan lemah, mendatangkan rasa haru pada mereka yang
menyaksikan dan mendengar. Mata gadis itu penuh air mata, akan tetapi sinarnya
sudah redup. Jari-jari tangannya dengan lemah meraba-raba muka Swan Bu yang
masih rebah pingsan.
"Swan
Bu... aku tidak punya apa-apa lagi... hanya ingin punya engkau... masa tidak
boleh...? Swan Bu... kenapa diam saja...? Kau marah kepadaku? Swan Bu... ah,
kau... kau terluka... kau mati? Aku pun ikut... Swan Bu... aku ikut!"
Gadis itu lalu berkelojotan, menjerit-jerit, "Aku ikut! Aku ikut!"
Pelukannya
mengeras, akan tetapi hanya sebentar. Tubuhnya lalu menjadi lemas dan kata-kata
terakhir yang keluar dari bibirnya hanya helaan napas dan bisikan, "Swan
Bu kekasihku... aku... ikut..."
Terdengar
sedu-sedan dari kerongkongan Hui Kauw yang memeluk dua tubuh itu, tubuh Siu Bi
yang sudah tak bernyawa lagi dan tubuh Swan Bu yang masih pingsan. Juga Cui
Sian menangis terisak-isak, ingat betapa tadinya ia membenci Siu Bi. Baru kini
dia sadar betapa Siu Bi patut dikasihani, seorang gadis yatim piatu yang hidup
sebatang kara di dunia ini, tidak punya apa-apa, tidak punya orang yang
dikasihinya, tidak punya harapan. Sekali lagi ia sadar betapa benar pendapat
kekasihnya, Yo Wan. Ada pun Cui Kim berdiri bengong, air matanya juga membasahi
pipinya.
"Sudahlah,
mari kita angkat keluar mereka. Swan Bu perlu diobati," kata Pendekar
Buta.
Hui Kauw
memondong tubuh puteranya, Cui Sian memondong mayat Siu Bi dan mereka keluar
dari goa itu, terus menuju ke perkemahan di dalam hutan. Di sepanjang jalan Hui
Kauw menangis sesunggukan, menangisi puteranya yang sudah kehilangan lengan
kiri, dan menangisi Siu Bi yang betapa pun juga sampai di akhir hidupnya
membuktikan cinta kasih dan pengorbanan yang besar kepada Swan Bu.
Hanya Pendekar
Buta yang berjalan dengan muka tunduk itu diam-diam berterima kasih kepada
Tuhan bahwa Tuhan sudah mengatur sedemikian rupa demi kebaikan. Memang
sebaiknya begini. la tahu bahwa puteranya mencintai Siu Bi, tetapi dia tahu
pula bahwa demi kebenaran, demi menjaga kerukunan keluarga, demi mencuci bersih
nama serta kehormatan keluarga Raja Pedang, Swan Bu harus berjodoh dengan Lee
Si.
Dengan
pengerahan tenaga para prajurit, dan dia sendiri pun menggunakan kepandaian
dirinya untuk menggulingkan batu-batu yang besar dan berat, akhirnya sejam
kemudian Yo Wan berhasil membongkar batu-batu karang yang tadi telah menutupi
goa. Cepat dia menerjang masuk dan apa yang dia lihat?
Tempat itu
kini sudah terang, diterangi oleh dua buah obor yang dipasang di kanan kiri. Di
atas sebuah batu karang halus tampak duduk seorang wanita yang bukan lain
adalah Tan Loan Ki, duduk sambil tersenyum-senyum. Di depannya berlutut dua
orang yang bergandeng tangan, Bun Hui dan Yosiko! Ada pun di sudut ruangan goa
itu menggeletak mayat si cambang bauk Bong Ji Kiu, lehernya putus! Yo Wan
berdiri tertegun, namun hatinya merasa lega.
Apakah yang
terjadi? Kiranya pada waktu Bun Hui memasuki goa itu, Bong Ji Kiu cepat
menggerakkan sebuah alat rahasia sehingga runtuhlah batu-batu dari atas menutupi
goa. Sebagian dari batu-batu itu menimpa Bun Hui yang cepat melompat ke dalam
akan tetapi karena keadaan gelap, dia tidak dapat menghindarkan serangan Bong
Ji Kiu.
Sambaran
golok Bong Ji Kiu melukai pahanya dan sebuah tendangan tepat mengenai dadanya
membuat Bun Hui terpelanting dan roboh tidak dapat bangun pula. Kemudian Bong
Ji Kiu menyalakan obor dan dengan hati penuh kegelisahan Bun Hui kini melihat
betapa Yosiko benar benar berada di situ, terbelenggu kaki tangannya!
"Ha-ha-ha,
kau berani datang untuk melihat kekasihmu? Kau mencinta Yosiko, bukan? Ha-ha,
bagus sekali. Kau saksikanlah betapa nona manis ini menjadi isteriku, kemudian
kau mampus! Kau kira akan dapat mengalahkan Kim-bwee-liong Bong Ji Kiu?
Ha-ha-ha!" Kemudian secara kasar kepala bajak ini memeluk dan menciumi
Yosiko.
"Bangsat!
Kalau kau memang laki-laki, jangan mengganggu wanita! Hayo kita bertanding
secara laki-laki, jangan menggunakan kecurangan!" Bun Hui memaki sambil
merangkak bangun dengan susah payah. Dia berhasil berdiri sesudah mengambil
pedangnya, lalu meloncat menggunakan sebelah kaki menyerang kepala bajak itu.
Sambil
tertawa Bong Ji Kiu menangkis dengan goloknya. Tangkisannya keras sekali dan
karena Bun Hui masih pening, luka di pahanya parah, serta dadanya masih membuat
napasnya sesak, tangkisannya ini saja cukup membuat pedangnya terlepas dan
kembali dia terguling roboh karena tendangan lawan.
"Ha-ha-ha,
macam kau berani melawan aku?" Bong Ji Kiu melangkah maju dengan golok di
tangan.
"Bong
Ji Kiu!" Yosiko berseru keras. "Jika kau bunuh dia, aku bersumpah
akan mencari kesempatan menghancurkan kepalamu sampai lumat!"
"Ha-ha-ha,
kiranya kau benar-benar mencinta bocah ini? Ahh, Yosiko, kau benar-benar aneh
sekali dan mengecewakan hati. Sepatutnya kau, anak bajak laut, berjodoh dengan
bajak laut pula. Akan tetapi kau memang tak kenal budi, tak menghargai kawan
sendiri. Dulu Shatoku, murid ayahmu sendiri tewas di tangan Tan Hwat Ki dan kau
tidak peduli, padahal Shatoku amat mencintamu. Juga kau tak mau pedulikan
lamaranku, sebaliknya kau malah mencinta bocah ini, padahal dia ini adalah
komandan pasukan kerajaan yang sengaja datang hendak membasmi kita! Ahh, di
mana kegagahan ayahmu? Mana rasa setia kawanmu?" Setelah berkata demikian,
Bong Ji Kiu menggunakan sehelai tambang untuk mengikat kaki tangan Bun Hui yang
sudah tidak berdaya lagi kemudian dia meraih hendak memeluk Yosiko lagi untuk
menyiksa hati Bun Hui.
"Jangan
sentuh aku! Dengar, Bong Ji Kiu, aku hanya bersedia menjadi isterimu kalau kau
membebaskan Bun Hui dan jangan menyentuhku di depannya. Bila kau tetap
melanggar pantangan ini, walau pun kau akan memaksaku, pasti akan tiba waktunya
aku merobek dadamu dan mengeluarkan jantungmu!"
"Ha-ha-ha,
baiklah, Manisku. Akan tetapi tidak bisa aku membebaskan dia sekarang. Dia
harus ikut dengan kita ke pantai dan ke perahu. Aku akan membawamu lari ke
pulau selatan di mana kita dapat membuat sarang baru yang aman, sebagai suami
isteri bajak laut. Dia harus menjamin keselamatan kita sampai kita berlayar,
barulah dia kubebaskan. Mari, mari kita pergi, Manisku!"
Bong Ji Kiu
memondong tubuh Yosiko dan menyeret tubuh Bun Hui melalui terowongan yang kasar
sehingga dapat dibayangkan betapa tersiksanya Bun Hui.
Diam-diam
Yosiko cemas sekali. Terowongan rahasia ini adalah peninggalan kakeknya dahulu,
tak ada yang tahu kecuali dia dan ibunya, dan anak buahnya. Agaknya Kamatari
telah membocorkan rahasia ini sehingga kini digunakan oleh Bong Ji Kiu untuk
menjebak Bun Hui dan untuk melarikan diri melalui terowongan rahasia. Kalau
sampai Bong Ji Kiu dapat menggunakan Bun Hui sebagai jaminan, agaknya apa yang
dikatakan bajak ini akan terlaksana!
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menyeramkan. Bong Ji Kiu terkejut bukan
main sehingga pondongannya terlepas dan tubuh Yosiko terguling ke dekat tubuh
Bun Hui. Bajak laut itu menghunus golok besarnya dan membentak,
"Siluman
dari mana berani mengganggu Kim-bwee-liong?"
"Bong
Ji Kiu, kematian sudah di depan mata masih berani berlagak?"
Suara itu
terdengar aneh karena bercampur dengan kumandangnya, seperti suara yang datang
dari alam lain.
"Keluarlah
dan makan golokku ini...!" Tiba-tiba suara Bong Ji Kiu terhenti dan
matanya terbelalak lebar ketika dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu
Tan Loan Ki telah berdiri di depannya dengan pedang di tangan!
"Toa...
Toanio...! Saya terpaksa menangkap Yosiko karena dia berkhianat dan bersekutu
dengan pasukan kota raja, dan... dan ini... komandan pasukan juga sudah saya…
saya tangkap..."
"Setan
kaul Keparat! Anakku boleh memilih jodoh siapa pun juga, peduli apa dengan kau?
Hayo berlutut menerima kematian!"
Menggigil
sepasang kaki Bong Ji Kiu. “Tidak, Toanio... ini tidak adil! Aku...
aku..." Akan tetapi terpaksa dia menghentikan kata-katanya.
Dengan
amarah yang meluap-luap Tan Loan Ki sudah menerjangnya dengan serangan kilat.
Terpaksa Bong Ji Kiu melawan dengan memutar goloknya. Terjadilah pertempuran
mati-matian yang amat seru di dalam ruangan goa yang kini diterangi obor itu.
Bong Ji Kiu
berlaku nekat, akan tetapi mana mungkin dia bisa menandingi Tan Loan Ki? Belum
tiga puluh jurus, sambaran pedang merobek kulit lengan dan hampir membuntungi
pergelangan tangannya sehingga golok besarnya terbang.
"Ti...
tidak... Toanio... ampun...”
Bong Ji Kiu
meloncat ke belakang dengan tubuh gemetaran dan muka pucat. Akan tetapi Tan
Loan Ki menghampirinya dengan mata yang berapi-api dan langkah-langkah lambat
sampai akhirnya Bong Ji Kiu tak dapat lari lagi karena punggungnya menyentuh
dinding di sudut. Pedang Tan Loan Ki berkelebat, hanya tampak cahayanya dan
tahu-tahu tanpa dapat sambat lagi Bong Ji Kiu terguling dengan kepala terpisah
dari tubuh!
Tan Loan Ki
cepat membebaskan dua orang muda itu dan dengan gembira sekali Yosiko
menceritakan semuanya kepada ibunya. "Ibu, aku memilih dia ini menjadi
suamiku. Kalau tidak dijodohkan dengan Bun Hui, aku lebih baik mati! Ibu, hanya
sekali ini permintaanku kepadamu, aku harap kau suka untuk mengabulkan."
"Hemmm...
kau bocah aneh. Mula-mula Tan Hwat Ki, kemudian Yo Wan, dan sekarang Bun Hui
komandan pasukan kota raja. Bagaimana ini?"
"Dulu
aku tidak tahu, Ibu. Kukira hanya laki-laki yang dapat mengalahkan aku saja
yang patut menjadi jodohku, tetapi setelah mendengarkan nasehat Yo Wan, dan
mendengar pula penuturan Siu Bi, aku... aku tahu bahwa tanpa cinta tidak
mungkin menjadi isteri orang. Dan aku... aku mencinta Bun Hui!"
Bukan main
girang hati Bun Hui mendengar pengakuan ini, pengakuan yang begini terus
terang, terbuka, membayangkan kejujuran dan kepolosan hati gadis ini. Yo Wan
benar, pikirnya, gadis ini jujur dan baik, hanya liar karena pengaruh
pendidikan dan lingkungan.
"Bun
Hui, kau anak siapa?"
"Ibu,
dia itu cucu ketua Kun-lun-pai, bukan sembarang pemuda!" Yosiko yang
menjawab cepat.
"Ehhh?"
Tan Loan Ki tercengang. "Kalau begitu, kau ini putera Bun Wan?"
"Betul,
Bibi," jawab Bun Hui, girang dan heran bahwa ibu Yosiko ini kiranya
mengenal ayahnya.
"Hemmm,
dia juga baik dan boleh saja. Tapi... eh, Bun Hui, anakku mencintamu, apakah
kau juga cinta kepadanya?"
"Tentu
saja dia cinta kepadaku, Ibu, dia... dia membujukku untuk insyaf dan dia hendak
membawaku ke Tai-goan...”
"Diam
kau! Harus dia sendiri yang menjawab. Bagaimana, Bun Hui? Apakah kau benar
mencinta Yosiko?"
"Saya...
saya mencintanya, Bibi."
Yosiko
meloncat dan memegang tangan Bun Hui, wajahnya berseri-seri gembira dan ia
mengguncang-guncang lengan itu. "Betulkah itu, Bun Hui? Ahhh, alangkah
bahagia dan leganya hatiku. Tadinya... tadinya kukira kau tidak mencintaiku...
dan aku sudah khawatir sekali..."
Tan Loan Ki
tertawa dan berkata, "Anak-anakku, aku girang melihat kalian bahagia. Bun
Hui, kau tidak memberi hormat kepada ibu mertuamu?"
Bun Hui
dengan muka merah, dengan tangan masih digandeng Yosiko, segera berlutut di
depan wanita itu. Mereka berbahagia, tidak peduli akan suara hiruk-pikuk dari
Yo Wan dan para prajurit yang membongkar batu-batu di depan goa. Demikianlah,
ketika akhirnya Yo Wan menerjang masuk dengan hati penuh kekhawatiran
menyaksikan adegan yang tenteram bahagia, yang membuatnya bengong terlongong
keheranan!
Bajak laut
menjadi kocar-kacir setelah kehilangan pimpinan. Apa lagi ketika Tan Loan Ki
dan Yosiko keluar dan menyerukan perintah agar mereka menyerah, sebagian besar
di antara mereka lalu membuang senjata dan berlutut, menyerah. Bun Hui cukup
bijaksana untuk menyerahkan urusan mereka kepada Yosiko dan ibunya yang
membubarkan Hek-san-pang dan perkumpulan bajak laut yang lain. Selanjutnya
harta kekayaan yang ada oleh Yosiko dibagi-bagikan kepada mereka dengan
peringatan agar mereka memulai hidup baru, jangan melakukan kejahatan lagi.
Ada pun Swan
Bu setelah sadar dan melihat kekasihnya, Siu Bi, telah meninggal karena
membelanya, menjadi berduka sekali. Akan tetapi sebagai seorang yang telah
menerima gemblengan batin dari orang tuanya, apa lagi di situ terdapat pula
Pendekar Buta yang menasehati dan menghiburnya, dia dapat menerima kenyataan
pahit yang menimpa dan mendukakan hatinya. Sejak saat itu, Swan Bu berubah
menjadi seorang yang pendiam, seorang yang masak jiwanya, dan biar pun dia
kehilangan lengan kiri dan kehilangan Siu Bi yang dikasihinya, dia mendapatkan
pengalaman hidup yang membuatnya menjadi seorang yang kuat lahir batin.
Orang-orang
gagah ini berpisahan dari daerah pantai Po-hai ketika para bajak laut sudah dibubarkan.
Bun Hui kemudian memimpin sisa pasukannya ke kota raja, tentu saja selain
membawa kemenangan lahir juga kemenangan batin, karena di sebelahnya turut pula
Yosiko serta ibunya, sedangkan di dalam sakunya terdapat sebuah surat dari
Pendekar Buta untuk ayahnya, surat yang membantu dan mengusulkan supaya Bun Wan
dapat memperkenankan perjodohan antara Bun Hui dan Yosiko.
Tan Hwat Ki
bersama sumoi-nya, yang masing-masing menyimpan rahasia kebahagiaan sendiri,
yang dalam perjalanan kali ini telah menemukan cinta kasih mereka satu kepada
yang lain, buru-buru kembali ke Lu-liang-san dengan pengharapan besar mendapat
restu ayah dan guru mereka, dengan lamunan dan cita-cita yang muluk-muluk!
Pendekar
Buta bersama isteri serta puteranya kembali ke Liong-thouw-san. Tentu saja Swan
Bu membawa keperihan hati karena dia harus meninggalkan Siu Bi di dalam
gundukan tanah kuburan di dalam hutan tepi pantai. la merasa kasihan sekali
kepada kekasihnya ini. Sampai mati pun harus bersunyi sendiri, dikubur di
tempat sunyi. la baru mau pergi bersama ayah bundanya setelah menemani kuburan
Siu Bi semalam suntuk, di mana dia duduk bersemedhi di dekat gundukan tanah
kuburan baru itu.
Masih
terngiang di telinganya ketika dia mulai sadar, dia sempat mendengar jeritan
Siu Bi berkali-kali, "Swan Bu, aku ikut... aku ikut...!"
Kenangan ini
akhirnya membesarkan hatinya karena ketika dia melakukan perjalanan pulang, dia
merasa seakan-akan Siu Bi benar-benar mengikutinya. Biar pun bukan Siu Bi dalam
kenyataan, atau bayangannya, akan tetapi setidaknya cinta kasih gadis itu
selalu mengikutinya!
Sebelum
pergi, Pendekar Buta memanggil Yo Wan, lalu berkata di depan Cui Sian yang
menundukkan mukanya karena jengah. "Muridku, Yo Wan. Sebagai wakil orang
tuamu, aku telah membicarakan urusan perjodohanmu dengan Tan Beng San
locianpwe. Beliau berkenan menjodohkan Cui Sian denganmu. Segala hal sudah kami
rundingkan dengan masak-masak, dan sekarang, kau ajaklah calon isterimu itu
kembali ke Thai-san. Kelak pada saat pernikahan kalian, sudah pasti aku akan
datang ke sana menghadirinya. Yo Wan, aku merasa bangga kepadamu dan aku
sungguh-sungguh merasa bahagia bahwa dahulu aku ikut mendidikmu sehingga
sekarang kau menjadi seorang yang benar-benar tak mengecewakan. Arwah ibumu
akan ikut bahagia, muridku."
Yo Wan tak
dapat menjawab, hanya berlutut dan memeluk kaki gurunya itu dengan air mata
bertitik yang cepat dihapusnya. "Banyak terima kasih atas budi kebaikan
Suhu dan Subo. Semoga Thian yang akan membalasnya kalau teecu tidak mampu
membalas."
Maka berangkatlah
Yo Wan dan Cui Sian berdua, sebagai orang-orang terakhir yang meninggalkan
tempat itu menuju ke Thai-san, tentu saja dengan hati penuh kebahagiaan dan
perjalanan itu menjadi perjalanan yang paling menyenangkan selama hidup mereka,
karena bukankah di depan mereka terbentang masa depan yang penuh madu?
Memang bagi
orang muda tidak ada kebahagiaan yang lebih besar selain kebahagiaan menghadapi
hidup baru berdampingan, membina rumah tangga bersama, mendayung biduk rumah
tangga mengarungi samudera hidup, menempuh gelombang dan ombak samudera
bersama-sama, menuju pantai cita-cita yaitu keluarga bahagia. Susah sama
diderita, senang sama dirasa, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Biarlah kita
mendoakan mereka itu, Bun Hui dan Yosiko, Hwat Ki dan Cui Kim, Swan Bu dan Lee
Si, serta Yo Wan dan Cui Sian, semoga orang-orang muda yang gagah perkasa,
pengabdi kebenaran dan keadilan itu, akan menjadi pasangan suami isteri yang
rukun dan menurunkan manusia-manusia yang selalu akan sadar dan ingat. Sadar
sebagai manusia yang harus bertindak dengan dasar peri kemanusiaan, dan ingat
selalu pada Yang Maha Kuasa. Hanya manusia yang sadar dan ingat demikianlah
yang akan menjadi manusia-manusia berguna bagi dunia dan akhirat….
T A M A T
Untuk Serial
Raja Pedang Tamat Sampai Disini
********** Sahabat Karin.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment