Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 16
Wajah Tan
Loan Ki menjadi merah sekali. Selama hidupnya baru sekarang ini ia merasa
dipandang rendah orang! Wajah yang merah berubah pucat, kemudian merah lagi,
tanda bahwa hatinya bergolak dan kemarahannya memuncak.
“Bocah
sombong! Kau hendak menghadapi aku dengan ranting itu?"
"Twanio,
karena pertempuran ini hanya coba-coba saja, aku yakin kau tidak bermaksud
melukaiku, maka dengan sebatang ranting sudah cukuplah."
"Setan!
Kau memandang rendah kepadaku, ya? Berjanjilah, kalau pedangku mengantar
nyawamu ke neraka, jangan rohmu menjadi penasaran kepadaku kelak!"
Yo Wan
menggelengkan kepalanya dengan sabar. "Aku yakin Twanio tak akan sanggup
membunuhku."
"Apa?!
Kau begini sombong??" Nyonya itu menjerit.
"Bukan
sombong, Twanio. Akan tetapi hidupku adalah pemberian Tuhan, bagaimana kau akan
dapat mengakhiri hidupku? Hanya Tuhan yang akan dapat melakukan hal itu!"
"Wah,
kau bersilat lidah! Lidahmu bercabang, tak bertulang! Kau lihat pedangku!"
Sambil berkata demikian, Tan Loan Ki segera menerjang dengan pedangnya, menusuk
ke arah dada dengan gerakan yang sangat cepat dan kuat. Ujung pedang itu
bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya melayang merupakan kilatan
menyilaukan mata.
"Cring!
Cring! Cring!" Tiga kali pedang itu berkelebat dan tiga kali pula membalik
seperti terbentur tembok baja.
"liihhhhh!"
Tan Loan Ki berseru kaget.
Nyonya itu
cepat meloncat ke belakang dengan gerakan memutar, diam-diam ia merasa terkejut
dan mulai percaya akan kata-kata puterinya. Betapa mungkin ranting kayu kecil
itu menangkis pedangnya menerbitkan bunyi senyaring itu seakan-akan ranting itu
telah menjadi sebatang besi baja pilihan?
Namun ia
tidak gentar, dan cepat ia menubruk maju lagi dengan cekatan sekali. Kini ia
memainkan ilmu pedang keturunan yang ia pelajari dari ayahnya dahulu. Ayahnya
adalah Tan Beng Kui yang dahulu berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti)
yang menjadi raja kecil di hutan Pek-tiok-lim (Hutan Bambu Putih), di tepi
pantai Po-hai.
Sin-kiam-eng
Tan Beng Kui ini adalah murid terkasih dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan (Raja
Pedang Tanpa Tanding), dan menjadi suheng dari isteri Raja Pedang kedua, yaitu
adik kandungnya sendiri. Sebagai murid terkasih Cia Hui Gan, tentu saja dia
mewarisi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Bidadari) yang gerakannya
indah dan lemah gemulai, tapi mengandung daya serang dan daya tahan yang luar
biasa. Demikianlah, sekarang Tan Loan Ki memainkan IImu Pedang Sian-li Kiam-sut
dengan hebat, dan ditambah dengan gerak langkah Hui-thian Jip-te (Terbang ke
Langit Amblas ke Bumi) yang dulu pernah ia pelajari dari Kwa Kun Hong.
Dengan
penggabungan kedua ilmu yang sangat ampuh ini, tidaklah mengherankan apa bila
nyonya setengah tua yang masih cantik serta galak ini jarang menemui tandingan.
Dan tidaklah mengherankan pula bahwa puteri tunggalnya menjadi jagoan di antara
para bajak sehingga diangkat menjadi ketua.
Namun kali
ini ia menghadapi Yo Wan! Seperti kita ketahui, Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te
yang dimainkan Tan Loan Ki itu hanya merupakan sebagian saja dari Si-cap-it
Sin-po yang berdasarkan pada Kim-tiauw-kun, sedangkan Yo Wan sudah hafal semua,
bahkan sudah menguasai dengan sempurna semua langkah Si-cap-it Sin-po.
Tentu saja
langkah dari nyonya itu dikenalnya baik-baik, seperti seorang guru mengenal
langkah muridnya! Ada pun ilmu pedang yang dimainkan nyonya itu, Ilmu Pedang
Sian-li Kiam-sut yang sukar sekali dikalahkan orang lain, juga tidak
membingungkan Yo Wan.
Seperti kita
ketahui orang muda ini telah digembleng secara hebat oleh dua orang guru sakti
yang memiliki tingkat ilmu amat tinggi, sejajar dengan tingkat tokoh besar
seperti Si Raja Pedang sendiri. Bahkan ilmu yang dia warisi dari Sin-eng-cu
merupakan ilmu yang bersumber sama dengan Sian-li Kiam-sut, yaitu ilmu lemas
tapi menyembunyikan tenaga keras. Sebaliknya, dari pendeta Bhewakala dia
mempelajari ilmu sakti yang terlihat kasar akan tetapi menyembunyikan tenaga
lemas.
Sambil
membuat gerakan bagai orang menari-nari, Tan Loan Ki memainkan pedangnya.
Pedang itu sama sekali tidak menyerang, melainkan digerakkan bagaikan orang
menari, indah dan lemas sekali. Akan tetapi kadang kala dari gulungan sinar
pedang yang indah itu menyambar keluar kilatan pedang yang merupakan tangan
maut.
Ketika
kilatan pedang macam itu menyambar ke arah leher Yo Wan, pemuda ini cepat
menangkis dengan rantingnya. Semenjak tadi sudah lebih dari lima puluh kali
rantingnya menangkis dan membalikkan pedang lawan. Kini dia menangkis lagi.
"Prakkk!"
Patahlah ranting kayu itu.
Yo Wan
terkejut dan diam-diam memuji kecerdikan lawan. Kiranya Tan Loan Ki maklum
bahwa pemuda luar biasa ini sudah mengetahui rahasia ilmu pedangnya. Yo Wan
dapat menangkis pedang hanya dengan sebuah ranting saja karena pemuda ini
mengimbangi permainannya. Setiap kali menangkis pedang yang digerakkan secara
lemas akan tetapi mengandung tenaga keras itu ditangkis dengan pengerahan
tenaga Im yang lemas dan lembek.
Oleh karena
itu, dalam penyerangan ke arah leher, diam-diam Tan Loan Ki membalikkan
tenaganya, menyimpan tenaga keras dan mempergunakan tenaga Iweekang yang lemas
disalurkan melalui pedangnya. Inilah sebabnya maka ketika ranting yang
mengandung tenaga lemas yang sama itu bertemu pedang yang juga mengandung hawa
Im, ranting yang pada dasarnya jauh kalah kuat dari pada pedang itu menjadi
patah!
"Hemmm,
bocah sombong, kau tak mengaku kalah?" bentak Tan Loan Ki. Akan tetapi di
dalam hatinya dia diam-diam merasa kagum bukan main dan mulailah ia percaya
bahwa pemuda macam ini sangat boleh jadi murid Kwa Kun Hong!
Yo Wan
menjura dan melemparkan ranting di tangannya. "Twanio betul-betul lihai
bukan main, aku tidak kuat menahan dan mengaku kalah!"
Yosiko
meloncat ke atas. "Tidak bisa! Tidak adil! Ibu, kau dengan pedang pusaka
hanya dilawannya dengan ranting, sampai lima puluh jurus lebih. Dan rantingnya
patah setelah menangkis puluhan kali, apa anehnya? Dia sengaja mengalah, dia
tidak kalah olehmu!"
Tan Loan Ki
biar pun galak dan keras wataknya namun dia adalah seorang gagah yang jujur.
Mendengar ucapan anaknya ia mengangguk.
"Kau
benar, Yosiko. Orang muda ini memang amat hebat dan kalau dia melawan secara
sungguh-sungguh, agaknya aku takkan mudah mencapai kemenangan. He, orang muda
yang bernama Yo Wan. Apakah betul kau murid Kwa Kun Hong?"
"Betul,
Twanio. Beliau adalah guruku, meski pun aku malu sekali harus mengaku sebagai
muridnya karena kepandaianku tidak ada sepersepuluh kepandaian suhu yang
sakti."
"Dahulu
aku pernah diajar Hui-thian Jip-te oleh Kun Hong. Kau agaknya pandai pula ilmu
langkah itu, akan tetapi mengapa lebih lengkap dari pada aku? Apakah kau
dilatih pula ilmu itu oleh Kun Hong?"
"Ahh,
mana bisa aku yang bodoh disamakan dengan suhu? Aku hanya dapat menerima
sedikit sekali, dan suhu pernah menurunkan Si-cap-it Sin-po kepadaku."
Tan Loan Ki
berdiam sejenak, matanya kini memandang penuh selidik. Hemm, pikirnya, wajah
bocah ini tidak buruk. Malah tampan, walau pun sederhana dan kelihatan bodoh.
Akan tetapi tidak muda lagi!
"Yo
Wan, berapa usiamu sekarang?"
Yo Wan
kaget. Pertanyaan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Sungguh sukar
mengikuti jalan pikiran nyonya ini yang cepat berubah-ubah seperti angin laut!
Setengah terpaksa dia menjawab,
"Kalau
tidak salah, tahun ini aku berusia dua puluh delapan tahun, Twanio."
"Berapa
orang anakmu?"
"Heh…
?! Anak…?”
"Ya,
berapa orang anakmu. Berapa laki-laki dan berapa perempuan?"
Seketika
wajah Yo Wan menjadi merah sekali. Sinting! Mau dibawa ke mana dia dengan
pertanyaan-pertanyaan macam ini?
"Twanio,
aku... aku tidak punya anak..."
Terdengar
suara cekikikan tertawa. Yosiko yang tertawa ini dan ia berkata lantang,
"Ah, Ibu, dia adalah Jaka Lola!"
"Apa?
Jaka Lola?"
"Ya,
dia tidak berayah ibu lagi, tidak bersanak kadang, tentu saja tidak punya anak
atau isteri. Dia masih perjaka!"
Nyonya itu
mencibirkan bibirnya mengejek. "Biasa! Biar pun anaknya sudah sepuluh, di
luaran laki-laki selalu mengaku jejaka! Usia dua puluh delapan tahun tapi belum
kawin? Bohong! Sekali berhadapan dengan perawan cantik, laki-laki lupa isteri
lupa anak."
Muka Yo Wan
makin merah. "Twanio! Aku bukanlah laki-laki macam itu. Aku betul-betul
belum pernah menikah dan sama sekali tidak punya anak."
"Bagus!
Kalau begitu, biar agak tua, aku terima kau menjadi suami Yosiko!"
Hampir saja
Yo Wan mengemplang mulut sendiri dan dia hanya bengong memandang Yosiko yang
lari dan menubruk ibunya, merangkul leher dan menciumi kedua pipi ibunya.
Menyaksikan adegan macam ini, terharu juga Yo Wan. Diam-diam dia merasa
menyesal sekali mengapa dia terpaksa tak mungkin memenuhi maksud hati ibu dan
anak ini. Kalau saja di sana tidak ada Cui Sian agaknya... agaknya... hemmm!
"Maaf,
Twanio...," katanya dengan suara gemetar. "Maaf, terpaksa sekali aku
tidak dapat memenuhi kehendak Twanio yang suci ini. Betapa pun juga, aku merasa
amat berterima kasih dan walau pun aku tidak mungkin dapat menjadi suami
Yosiko, biar dia kuanggap sebagai adikku..."
"Apa
kau bilang?!" Tan Loan Ki berseru dan mendorong anaknya. Sepasang matanya
berkilat.
"Kau...
kau menolak menjadi suami Yosiko?"
"Bukan
aku menolak, Twanio, akan tetapi... tapi menyesal sekali, aku... aku tidak
dapat memenuhi kehendakmu, aku..., tak mungkin menjadi suaminya..."
"Keparat,
kalau begitu kau harus mampus!" Sambil memekik nyaring nyonya itu lantas
menerjang Yo Wan dengan pedangnya, dengan sebuah tusukan maut yang dilancarkan
penuh kemarahan.
Yo Wan
cepat-cepat menghindar. Dari gerakan ini tahulah dia sekarang bahwa sekali ini
lawannya tidak main-main lagi, tapi menyerang dengan penuh nafsu hendak
membunuh. Ngeri juga hatinya. Kepandaian wanita ini sudah hebat, apa-lagi dalam
keadaan marah. Sama sekali dia tak boleh memandang ringan, dan tidak boleh
membuang waktu, karena kalau dia terlena sedikit saja pasti akan tewas.
"Maaf,
Twanio...!" katanya berkelebat cepat.
Tan Loan Ki
berseru kaget karena kehilangan lawannya. Saat membabatkan pedangnya ke
belakangnya di mana ia mendengar angin gerakan lawan, tiba-tiba ia merasa
tangan kanannya lumpuh dan pedangnya mencelat sampai lima meter lebih jauhnya.
Segera ia membalik dan dilihatnya Yo Wan berdiri sambil menjura dan berkata,
"Maaf, Twanio, bukan maksudku hendak pamer.”
Tan Loan Ki
mendengus. Ia semakin kagum dan diam-diam ia kini mengharapkan sekali
mendapatkan mantu seperti ini. “Uhhh, kau...! Biar kucari Kwa Kun Hong. Biar
dia yang mengadili dan dia yang memaksamu. Kalau tidak, kutantang Kun Hong!"
Sambil
berkata demikian, nyonya itu lari, menyambar pedangnya dan dengan
loncatan-loncatan jauh menghilang dari situ. Yo Wan menghela napas panjang. la
mendengar isak tangis. Pada saat dia menengok, dilihatnya Yosiko berdiri sambil
memandangnya dengan air mata bercucuran membasahi kedua pipinya.
“Maafkan
aku, Yosiko. Aku... kau tahu sendiri... aku mencinta gadis lain. Ahh, mengapa
kita tidak menceritakan hal itu kepada ibumu tadi..."
Dengan
terisak-isak Yosiko berkata, "Aku akan mencari Tan Cui Sian dan membunuh
dia!"
Maka larilah
gadis ini, lenyap ke dalam semak-semak di hutan itu, meninggalkan Yo Wan yang
berdiri bengong dan menggeleng-geleng kepala berkali-kali dengan hati bingung.
Akhirnya dia melangkah pergi dari situ dengan maksud mencari Tan Hwat Ki.
Kiranya di
dunia ini tidak ada rasa sakit hati yang lebih hebat bagi seorang wanita dari
pada rasa sakit hati karena ditolak oleh seorang pria! Dan kiranya tidak ada
rasa sakit yang lebih parah dan sengsara dari pada rasa sakit dirundung asmara!
Bagi yang
sudah mengerti, tentu saja perasaan sengsara ini adalah dibuat-buat sendiri,
perasaan sakit hati dan hancur merana yang tanpa disadarinya sengaja ia
timpakan pada dirinya sendiri. Perasaan sengsara yang bersumber kepada rasa
kasihan terhadap diri pribadi yang merupakan cabang terdekat dari rasa
mementingkan diri pribadi (egoisme).
Namun bagi
Yosiko yang tidak memiliki self-pity dan egoisme yang terlalu besar, sakit
hatinya tidak membuat ia berduka, melainkan membuat ia marah dan penasaran. la
tetap tidak mau menerima kenyataan bahwa Yo Wan menolak dia karena mencinta Tan
Cui Sian. la marah kepada Cui Sian dan ingin membunuhnya karena ia menganggap
Cui Sian telah merampas calon suaminya.
la pun
penasaran dan ingin memaksa supaya Yo Wan tetap menjadi jodohnya. Perasaan ini
memang tidak wajar bagi seorang gadis, akan tetapi Yosiko adalah seorang gadis
yang lain dari pada yang lain. la dibesarkan dalam asuhan ibunya yang keras
hati dan yang selama ini hidup di alam bebas yang liar, di tengah-tengah para
bajak laut, setiap hari menyaksikan pertempuran-pertempuran dan peristiwa yang
kejam dan mengerikan. Hal inilah yang mempengaruhi dirinya karena
sesungguhnyalah benar kalau dikatakan orang bahwa keadaan sekeliling inilah
yang membentuk watak seseorang.
Yosiko
menyusup-nyusup di dalam hutan di sepanjang Sungai Kuning yang amat luas.
Tiba-tiba saja ia menyelinap ke dalam semak-semak. Dilihatnya beberapa orang
anggota tentara kerajaan berkelompok dan menjaga di situ.
Dengan
hati-hati dan cepat Yosiko mengambil jalan lain menjauhi mereka. Dia tidak
takut terhadap mereka, tetapi karena dia maklum bahwa orang-orang ini dipimpin
oleh putera Bun-goanswe yang lihai, dibantu pula oleh Tan Hwat Ki serta
sumoi-nya, maka dia tidak berani sembarangan turun tangan. Kini maksud
perjalanannya sudah lain, bukan sebagai ketua Kipas Hitam lagi, melainkan
sebagai seorang gadis yang mencari saingannya!
Akan tetapi
ketika dia menyusup-nyusup mengambil jalan ke timur, kembali dia melihat
kelompok lain yang sudah menjaga di sana. Bahkan di sini terdapat sebuah tenda
dan samar-samar ia melihat Tan Hwat Ki dan orang-orang lain berada di dalam
tenda!
Cepat dia
memutar lagi dan diam-diam dia merasa khawatir. Tahulah ia sekarang bahwa goa
yang menjadi tempat persembunyiannya itu, yang sudah diketahui oleh Tan Hwat
Ki, kini sudah dikurung dari segala penjuru. Apakah kehendak mereka? Hendak
menangkap dirinya? Yosiko mengulum senyum mengejek. Jangan mengira mudah untuk
menangkap ketua Kipas Hitam!
Kalau saja
ia tidak sedang mencari Tan Cui Sian, agaknya ia akan menggunakan akal dan
membasmi mereka. Setidaknya ia tentu akan berhasil membunuh beberapa puluh
orang di antara mereka! Akan tetapi ia tidak ada waktu dan terutama sekali
tidak punya nafsu untuk ‘main-main’ dengan nyawa mereka.
Yosiko
memasuki sebuah hutan bambu yang dahulu menjadi tempat tinggal kakeknya, yaitu
Pek-tiok-lim, lalu dari tengah-tengah rumpun bambu ia menggulingkan sebuah batu
hitam yang menyembunyikan sebuah lubang. Orang lain tentu tak akan menduga
bahwa di bawah batu ini ada lubangnya. Andai kata pun ada orang lain
mendapatkan lubang ini, tentu ia mengira bahwa lubang itu adalah lubang ular atau
binatang lain yang berbahaya sehingga tak mungkin orang berani masuk.
Akan tetapi
Yosiko segera memasuki lubang ini, lalu menutupnya dari dalam. Lubang ini
bukanlah lubang ular atau lubang binatang lain, melainkan sebuah lubang yang
menuju ke terowongan kecil di bawah tanah.
Yosiko
merayap di dalam gelap sampai beberapa menit lamanya. Ketika keluar, ia telah
berada jauh di luar hutan, keluarnya dari sebuah goa di antara batu-batu karang
di mana terdapat banyak goa kecil. Juga goa ini mempunyai sebuah pintu rahasia,
karena itu tak tidak pernah ada orang dapat memasukinya, mengiranya sebuah goa
buntu.
Yosiko
tersenyum karena ia telah keluar dari kepungan. Ia percaya bahwa ibunya tadi
agaknya juga mengambil jalan ini dan dugaannya ini memang tidak keliru.
Yosiko
berpikir sejenak. Tan Cui Sian tadi mengintai ke goa. Tentu gadis saingannya
ini tidak berada jauh. Mungkin berada bersama Tan Hwat Ki dan kawan-kawannya.
la harus dapat mencari kesempatan untuk berjumpa berdua dengan Cui Sian dan
menantangnya berkelahi mati-matian memperebutkan Yo Wan!
Perutnya
terasa lapar bukan main. Dia harus mencari makanan. Celakanya, hutan yang
mengandung buah-buahan dan binatang-binatang yang dapat dijadikan makanan
adalah hutan yang terkepung prajurit-prajurit kerajaan tadi. Dan satu-satunya
cara mendapatkan makanan hanya pergi ke dusun-dusun untuk membelinya dari
warung-warung nasi. Akan tetapi ia harus mencari dusun yang agak jauh, siapa
tahu di situ terdapat mata-mata atau penjaga-penjaga yang tentu akan langsung
mengepung dan mengejarnya, mengacaukan urusannya sendiri.
Yosiko
berjalan menuju sebuah dusun yang agak jauh. Akan tetapi di tengah perjalanan,
tiba-tiba ia menyelinap dan bersembunyi ketika ia melihat dua orang mendatangi
dengan langkah perlahan. la tertarik sekali ketika melihat betapa mereka adalah
seorang pemuda dan seorang gadis cantik. Mula-mula ia kaget dan mengira bahwa
mereka adalah Tan Hwat Ki dan sumoi-nya, tetapi setelah mereka datang dekat,
ternyata mereka adalah dua orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
Gadis itu
cantik sekali, juga gagah dan membayangkan bahwa gadis itu bukanlah gadis
sembarangan. Akan tetapi pada saat itu, gadis itu wajahnya pucat, kedua pipinya
basah air mata, rambutnya kusut dan matanya merah.
Ada pun yang
seorang lagi, adalah pemuda yang mempunyai wajah tampan bukan main. Belum
pernah Yosiko melihat seorang pemuda setampan itu, dengan sikap yang gagah
pula, sepasang mata bersinar-sinar seperti bintang. Sayang sekali, pemuda itu
buntung lengan kirinya, sebatas siku! Mereka berjalan perlahan dan
bercakap-cakap, keduanya memperlihatkan kesedihan dan kemuraman.
Siapakah
mereka ini? Demikian pikir Yosiko dengan heran. la tertarik sekali karena jelas
terbayang bahwa dua orang ini adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian, bukan
orang-orang biasa. Apakah mereka ini juga merupakan anggota rombongan orang
gagah yang hendak membasmi bajak laut di sekitar Lautan Po-hai? Akan tetapi
kenapa mereka berdua jalan di sini dan kelihatan sedih sekali? Bahkan terang
bahwa si gadis itu bekas menangis, matanya merah, pipinya masih basah dan
hidungnya merah.
Yosiko tidak
mengenal mereka, akan tetapi pembaca tentu mengenal mereka. Mereka itu bukan
lain adalah Kwa Swan Bu dan The Siu Bi! Sudah lama sekali kita meninggalkan
mereka.
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, Swan Bu yang masih menderita itu bersama Siu
Bi melarikan diri setelah Siu Bi berhasil membunuh Ouwyang Lam dan kemudian
mereka ditolong oleh The Sun yang mengorbankan nyawa untuk anak tirinya di
tangan Ang-hwa Nio-nio. Dua orang muda-mudi yang saling mencinta tetapi
sekaligus juga terlibat dalam permusuhan dendam-mendendam antara orang-orang
tua mereka, sedang melarikan diri tanpa tujuan, dengan niat menjauhkan diri
dari ancaman pihak musuh.
Rasa sakit
pada lengannya tidak membuat Swan Bu terlalu berduka. Yang membuat dia merasa
amat bersedih adalah karena urusannya membuat hal-hal yang amat ruwet dan hebat
terjadi. Nama baik Lee Si ternoda sebagai seorang gadis, bahkan ayah gadis itu
telah dibunuh orang dengan pedang ibunya menancap di dada, pedang yang kini
berada di tangannya.
Dengan
terjadinya peristiwa ini, dia tidak berani pulang! Bagaimana kalau ternyata
ibunya yang membunuh ayah Lee Si? Bagaimana kalau paman Tan Kong Bu benar-benar
telah dibunuh oleh ibunya karena kesalah pahaman? Ahh, hebat perkara itu dan
dia tidak ada keberanian untuk menghadapi peristiwa menyedihkan itu.
Di samping
itu, juga dia tidak dapat berpisah dari Siu Bi. Andai kata ayah Siu Bi tidak
meninggal, dia tentu akan memaksa diri meninggalkan Siu Bi. Akan tetapi
sekarang Siu Bi tidak berayah ibu lagi, tidak ada sanak saudara, hidup sebatang
kara. Bagaimana dia tega melepaskan Siu Bi merawat seorang diri begitu saja?
Perjalanan
mereka penuh dengan kenang-kenangan yang memilukan. Ada saat mereka memadu
kasih dan janji, hendak sehidup semati. Ada kalanya mereka bertangis-tangisan
mengingat keadaan keluarga mereka. Bahkan ada kalanya mereka cekcok mulut
karena berbeda pendapat. Namun betapa pun juga, Siu Bi selalu tekun dan rajin
merawat Swan Bu sehingga luka pada lengannya berangsur sembuh.
Pada hari
itu mereka tiba di lembah Sungai Huang-ho. Mereka bermaksud melanjutkan
perjalanan dengan perahu karena perjalanan dengan perahu tak akan melelahkan
tubuh Swan Bu yang perlu banyak istirahat.
Akan tetapi
sejak pagi tadi, sambil berjalan perlahan, mereka bertengkar kembali. Swan Bu
mendesak supaya Siu Bi suka ikut dia pulang saja ke Liong-thouw-san, menghadap
ayah bundanya dan berterus terang, mengaku bahwa mereka sudah saling mencinta
dan tak dapat terpisah lagi.
"Aku
takut, Swan Bu. Aku takut untuk bertemu dengan ayah ibumu. Bagaimana kalau
mereka tidak memperbolehkan aku dekat denganmu? Bagaimana kalau aku diusir? Aku
pernah hendak membunuh mereka. Ibumu amat benci kepadaku! Ah, Swan Bu... jangan
paksa aku ke sana, lebih baik kita pergi yang jauh, biar kita mencari pulau
kosong, hidup berdua sampai kematian memisahkan kita...," demikian
keluh-kesah Siu Bi.
"Siu
Bi!" Swan Bu membentak marah. "Kau hanya ingat kepada dirimu sendiri
saja! Apa kau tidak ingat betapa aku pun tidak mungkin selamanya harus berpisah
dengan ayah bundaku? Kalau begitu halnya, aku ini anak macam apa? Apa kau
hendak memaksa aku menjadi seorang anak yang paling puthauw (murtad) di dunia
ini?"
"Sesukamulah!
Boleh kau tinggalkan aku, akan tetapi kau harus membunuh aku terlebih dahulu.
Swan Bu, aku lebih baik mati dari pada kau tinggalkan!"
Demikianlah
percekcokan itu yang dilanjutkan di sepanjang jalan. Ketika mereka tiba di
dekat tempat sembunyi Yosiko, percekcokan mereka sudah memuncak sehingga jelas
terdengar oleh Yosiko ketika Siu Bi berseru keras,
"Sudahlah!
Kau boleh pergi dan jika kau tidak mau membunuh aku, aku akan membunuh diriku
sendiri di depanmu sebelum kau pergi!" Sambil berkata demikian, Siu Bi
mencabut pedangnya dan sinar menghitam menyambar ke arah lehernya.
Hampir saja
Yosiko mengeluarkan jeritan ngeri karena gadis ini melihat betapa gerakan
pedang di tangan Siu Bi amat cepat sehingga agaknya sukar untuk menghindarkan
gadis itu dari kematian. Akan tetapi alangkah kagum hatinya ketika tiba-tiba
saja pemuda itu menggerakkan tangan kanannya dan sinar keemasan berkelebat
kemudian membentur sinar hitam menerbitkan suara berkerontangan nyaring.
Kiranya pedang bersinar hitam di tangan gadis itu sudah ditangkis dan bahkan
runtuh di atas tanah!
"Siu
Bi, jangan gila kau! Apa bila kau membunuh diri, mana aku dapat hidup lebih
lama lagi?" berkata Swan Bu sambil menyimpan pedangnya yang bersinar emas,
yaitu pedang Kim-seng-kiam, pedang ibunya yang dia cabut dari dada jenazah Tan
Kong Bu.
Siu Bi
menangis. Swan Bu mendekatinya dan keduanya lalu berpelukan mesra sambil
bertangisan.
"Siu
Bi, bukankah kau sudah setuju bahwa aku harus mengawini Lee Si? Kau pun tahu,
hanya itu satu-satunya jalan untuk mengusir awan kegelapan yang meliputi
keluargaku. Hanya pengorbanan itu yang bisa kulakukan untuk menebus nama baik
keluarga paman Tan Kong Bu. Kemudian bersama Lee Si aku harus mencari
keterangan bagaimana matinya paman Tan Kong Bu. Betapa pun juga, aku masih
belum percaya benar bahwa ibuku yang membunuh paman Kong Bu."
"Swan
Bu, kau sudah bersumpah sehidup semati dengan aku. Walau pun tidak secara
resmi, bukankah aku ini isterimu yang sah karena sumpah kita? Bukankah Tuhan
yang menyaksikan, juga langit, bumi, bintang dan bulan? Swan Bu, aku tidak akan
melarang kau mengawini Lee Si, akan tetapi... jangan kau tinggalkan aku."
Swan Bu
mencium dan mengelus-elus rambut Siu Bi sehingga tangis gadis itu mereda.
"Siu
Bi, harap kau suka berpikir secara panjang. Aku mengajakmu menemui ayah ibuku,
tapi kau merasa takut dan tidak mau. Kemudian kalau aku pulang lebih dulu
seorang diri untuk kelak kita bertemu lagi, kau tidak membolehkan aku
meninggalkanmu. Bagaimana ini? Siu Bi, kau tahu betapa aku mencintaimu dengan
seluruh jiwa ragaku. Aku sudah bersumpah dan apa pun yang akan terjadi, sudah
pasti aku akan kembali kepadamu. Sebaiknya bila untuk sementara kita berpisah.
Biarkan aku menghadap orang tuaku dan menyelesaikan urusan kami. Syukur kalau
mereka tidak memaksaku mengawini Lee Si. Andai kata begitu, aku tetap hendak
menceritakan pada mereka tentang dirimu dan aku tetap hendak mengajukan syarat,
yaitu aku mau menikah dengan Lee Si asal kau juga menjadi isteriku."
Untuk
sejenak Siu Bi terdiam. Dia hanya menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya.
"Betulkah kau tidak akan lupa kepadaku?"
"Apa
kau kira aku sudah gila? Marilah kita mencari tempat untukmu, di mana kau dapat
menantiku. Begitu urusanku selesai, aku pasti akan datang menjemputmu dan kau
tidak perlu merasa khawatir lagi bertemu dengan orang tuaku."
Keduanya
berjalan lagi perlahan.
Yosiko yang
berada di tempat sembunyinya merasa kasihan kepada Siu Bi. Gerak-gerik gadis
itu menarik hatinya, menimbulkan perasaan suka. Agaknya, seperti juga dia,
gadis bernama Siu Bi itu pun tidak beruntung dalam soal perjodohan.
Dia ingin
berjodoh dengan Yo Wan tapi pemuda itu memilih Tan Cui Sian. Agaknya gadis
bernama Siu Bi itu pun ingin bersuamikan pemuda buntung itu, akan tetapi si
pemuda itu hendak mengawini gadis lain! Dengan orang yang senasib ini boleh
sekali ia berkawan.
Tiba-tiba
terdengar seruan, "Swan Bu...!"
Swan Bu dan
Siu Bi terkejut, berhenti dan menengok. Seorang gadis tampak datang dengan
berlarian cepat sekali dan sebentar saja sudah tiba di tempat itu. Dari tempat
sembunyinya Yosiko menyaksikan ini dan menjadi kagum.
Gadis yang
baru datang ini pun hebat sekali ilmu lari cepatnya dan kini ia mulai merasa
heran. Kenapa begini banyak berkumpul orang-orang muda yang amat lihai? Akan
tetapi alangkah terkejutnya ketika dia mendengar pemuda buntung itu menyebut
nama gadis yang baru tiba.
"Sukouw
(Bibi Guru) Cui Sian...!" Swan Bu berteriak kaget karena dia benar-benar
sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu dapat datang ke tempat sejauh ini.
Yang datang
memang benar adalah Tan Cui Sian, gadis Thai-san, puteri Raja Pedang yang amat
lihai. Dengan pandang mata tajam Cui Sian mengerling ke arah Siu Bi yang biar
pun tadi sudah didorong dari dadanya oleh Swan Bu, masih saja memegangi tangan
kanan pemuda itu dengan erat, seakan-akan ia khawatir kalau-kalau kekasihnya
itu akan direnggut orang.
"Swan
Bu, kenapa kau berada di sini dengan dia ini? Ayah ibumu mencarimu, mereka amat
mengharapkan kau pulang. Mau apa kau berkeliaran di sini bersama dia?"
Kembali ia melirik tajam ke arah Siu Bi, jelas wajahnya memperlihatkan hati
tidak senang
"Sukouw..."
bingung sekali hati Swan Bu.
Mau tak mau
dia harus melepaskan tangannya dari pegangan Siu Bi sebab merasa tidak enak
bila di depan bibi gurunya itu memperlihatkan kasih sayangnya pada Siu Bi,
gadis yang tentu saja oleh bibinya dianggap musuh karena sudah membuntungi
lengannya.
"Sukouw,
bagaimana dengan... ibu? Tidak apa-apakah? Siapa... yang membunuh paman Kong
Bu?"
"Tidak
usah khawatir, bukan ibumu yang membunuhnya, melainkan kawan bocah liar
ini," kata Cui Sian sambil melirik lagi ke arah Siu Bi.
Watak Siu Bi
memang sangat keras dan ia pantang mundur menghadapi musuh yang bagaimana pun.
Tadi ia sudah mendongkol melihat sikap Cui Sian, akan tetapi ditahan-tahannya.
Mendengar bahwa yang membunuh ayah Lee Si bukan ibu Swan Bu, Siu Bi diam-diam
merasa lega dan girang juga. Akan tetapi mendengar dia disebut-sebut gadis liar
dan pembunuh itu adalah kawannya, kemarahannya bangkit, lalu segera melangkah
maju dan menudingkan telunjuknya ke muka Cui Sian sambil berseru nyaring.
"Enak
saja kau bicara! Aku tidak punya kawan pembunuh! Hayo buktikan bahwa yang
membunuh adalah kawanku, jangan hanya pandai melempar fitnah!"
Cui Sian
tersenyum mengejek. "Yang biasa melakukan fitnah adalah manusia semacam
kau dan teman-temanmu. Pembunuh kakakku Kong Bu adalah Ang-hwa Nio-nio! Nah,
bukankah dia kawanmu?"
"Bukan!
Ngaco kau, dia bukan kawanku, aku benci kepadanya!"
"Siapa
tidak tahu akan kejahatanmu? Ang-hwa Nio-nio sudah mampus dan sekarang kau pun
harus mampus!"
Cepat sekali
gerakan Cui Sian yang maju dan menerjang Siu Bi dengan pedangnya. Pedang hitam
Siu Bi belum sempat ditarik untuk menangkis, namun gadis ini dengan gesit sudah
meloncat ke kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang, kemudian ia
sudah mencabut pula pedangnya, siap bertanding mati-matian.
"Tahan!
Sukouw, harap jangan serang dia!" kata Swan Bu sambil melompat ke depan,
menghadang Cui Sian. Biar pun pemuda buntung ini tidak mencabut pedangnya,
namun sinar matanya jelas memperlihatkan bahwa dia tidak akan membiarkan Siu Bi
diganggu.
Cui Sian ragu-ragu
dan membentak, "Swan Bu! Kau membela bocah liar ini, setelah apa yang
terjadi semua? Setelah lenganmu dibuntungi dan setelah keluarga kita hampir
saja rusak berantakan?"
"Sukouw,
dia... aku... aku cinta kepadanya."
Siu Bi sudah
menyimpan pedangnya dan kini dia kembali menggandeng tangan kanan Swan Bu.
Wajahnya berseri memperlihatkan sinar kemenangan dan mengejek.
Cui Sian
tertegun! Dia heran dan tidak tahu harus berkata apa. Dengan tarikan napas
panjang, dia menyimpan kembali pedangnya. Cinta memang aneh sekali, pikirnya,
atau lebih tepat orang muda yang dilanda cinta memang tidak waras otaknya,
seperti... seperti dia sendiri!
"Swan
Bu, omongan apa yang barusan kau keluarkan ini? Kau diharapkan pulang dan
perjodohanmu dengan Lee Si sudah diatur orang tuamu."
"Aku
hanya mau menikah dengan Lee Si asal Siu Bi juga diperkenankan jadi
isteriku."
Terbelalak
mata Cui Sian, akan tetapi karena hal itu bukan urusannya, ia menjawab,
"Sudahlah, aku tidak tahu akan hal itu. Kau boleh bicara sendiri dengan
orang tuamu dan dengan ibu Lee Si. Sekarang kau harus pulang dulu. Bocah ini
kalau memang betul-betul mencintaimu... hemmm, aku masih ragu-ragu akan hal ini
melihat betapa dia begitu tega membuntungi lenganmu, kalau betul ia mencinta,
ia harus setia dan suka menantimu."
Swan Bu
menoleh kepada Siu Bi. "Moimoi, kau mendengar sendiri. Memang sebaiknya
aku pulang lebih dahulu. Aku yakin orang tuaku akan setuju dan kalau sudah
demikian, baru aku akan menjemputmu."
"Tapi...
tapi... aku akan tidak senang sekali kalau kau pergi..."
Cui Sian
mendapat pikiran baik. Betapa pun juga, Swan Bu harus dipisahkan dari gadis
liar ini dan sekaranglah terbukanya kesempatan itu. Maka ia cepat berkata,
"Yang
tidak berani berkorban adalah cinta palsu! Kalau bocah ini tidak membolehkan
kau pulang untuk membereskan semua urusan, maka cintanya itu pura-pura
saja."
Usahanya
berhasil. Memang Siu Bi orangnya keras dan jujur, tidak merasa diakali orang.
Mukanya menjadi merah dan ia membentak, "Kalau kau bukan sukouw dari Swan
Bu, sudah tadi-tadi kuterjang kau! Siapa bilang cintaku palsu? Swan Bu, kau
pulanglah, aku akan menunggumu. Pulanglah, kau dan seluruh orang di dunia ini
akan melihat bahwa cintaku tidak palsu dan aku setia kepadamu!"
Lega hati
Swan Bu, akan tetapi khawatir juga.
"Siu
Bi, kita harus mencari tempat untukmu, di mana kau dapat menantiku..."
"Bukankah
di sini merupakan tempat juga? Aku akan tinggal di sini, Swan Bu, di lembah
sungai ini, menanti sampai kau datang menjemputku. Pergilah!"
Swan Bu
merasa betapa berat perasaan hatinya harus meninggalkan kekasihnya di situ
seorang diri. Akan tetapi apa lagi yang dapat dia lakukan? Pertama, dia malu
terhadap bibinya kalau terlalu memperlihatkan kelemahan hatinya akibat cinta
kasih. Selain itu, kalau ia terlalu menahan dan tidak rela meninggalkan Siu Bi,
tentu kekasihnya itu akan merasa rendah terhadap Cui Sian.
"Siu
Bi, kau tunggulah dan carilah tempat di sekitar ini. Percayalah, nanti aku
pasti akan datang menjemputmu. Percayalah..."
Siu Bi
tersenyum sungguh pun kedua matanya menjadi basah. la pun merasa tidak rela dan
berat harus berpisah dengan orang yang paling dia cinta di dunia ini,
satu-satunya miliknya yang masih tersisa. Tanpa Swan Bu di sampingnya, hidup
tak akan ada artinya baginya.
Akan tetapi,
bagaimana pun juga, tak mungkin ia dapat merampas Swan Bu begitu saja dari
orang tuanya. Kalau ia menghendaki agar selanjutnya ia boleh menghabiskan sisa
hidupnya di dekat Swan Bu, maka urusan itu harus mendapat persetujuan orang
tuanya. Baginya, tidak peduli Swan Bu akan menikah dengan Lee Si atau dengan
siapa juga atas kehendak orang tuanya, asalkan hati dan cinta kasih pemuda itu
dia yang memilikinya.
Bukan main
terharunya hati Swan Bu menyaksikan gadis itu berdiri lemas dengan air mata di
pipi dan senyum di bibir. Ingin dia memeluknya, ingin dia menghiburnya, namun
ia malu melakukan hal ini di depan Cui Sian.
"Siu
Bi, selamat berpisah untuk sementara..."
"Pergilah
Swan Bu, dan jaga dirimu baik-baik. Aku akan tetap menantimu.”
Pergilah
Swan Bu bersama Cui Sian. Ada tiga atau empat kali dia menengok sebelum
bayangan mereka lenyap ditelan tetumbuhan.
Melihat
wajah Swan Bu demikian sedih, diam-diam Cui Sian merasa terharu dan kasihan.
Tentu saja, kalau menurutkan hatinya, ia tidak suka melihat Swan Bu berjodoh
dengan Siu Bi, gadis liar yang semenjak kecil berdekatan dengan orang-orang
jahat.
Jauh lebih
baik bila Swan Bu berjodoh dengan Lee Si. Selain gadis itu memang berdarah
ksatria, juga perjodohan ini akan merupakan penghapus bagi luka-luka yang
diakibatkan oleh kesalah pahaman antara keluarga Pendekar Buta dan keluarga
Raja Pedang.
Akan tetapi,
oleh pengalamannya sendiri pada saat itu sebagai korban asmara, dia dapat
merasakan pula keadaan hati pemuda ini. Maka, diam-diam dia menaruh rasa
kasihan. Pemuda itu berjalan sambil menundukkan mukanya yang pucat, seakan-akan
seluruh semangatnya tertinggal pada gadis kekasihnya yang tadi tersenyum dengan
air mata bertitik.
"Swan
Bu..."
Pemuda itu
kaget dan menengok. "Ada apakah, Sukouw?"
"Kau
tentu maklum, bukan maksudku hendak merusak kebahagiaanmu, akan tetapi aku
memaksamu pergi menemui orang tuamu demi kebaikan kita bersama, demi kebaikan
orang tuamu, kebaikan keluarga dan kebaikanmu sendiri!"
"Aku
mengerti, Sukouw." Swan Bu menarik napas panjang.
"Sekarang,
sebelum kita pulang, mari kita singgah dulu di perkemahan pantai Po-hai, di
mana kau akan dapat bertemu dengan banyak sahabat baik dan saudara..."
Suara Cui
Sian terdengar gembira, karena memang sengaja gadis ini hendak menghibur Swan
Bu dan membangkitkan semangatnya. Kalau pemuda ini sudah bertemu dengan
orang-orang gagah yang bertugas membasmi bajak-bajak laut, tentu akan
terbangkit pula semangatnya sebagai keturunan seorang pendekar sakti seperti
Pendekar Buta.
"Mereka
siapakah, Sukouw?" Suara Swan Bu dalam pertanyaan ini terdengar acuh tidak
acuh. Sesudah berpisah dengan orang yang paling dia sayangi di dunia ini di
samping ayah bundanya, siapa pulakah yang dapat menggembirakan hatinya dalam
perjumpaan?
"Kau akan
bertemu dengan Bun Hui!"
"Mengapa
saudara Bun Hui berada di tempat ini?"
"Dia
mewakili ayahnya untuk memimpin pasukan dari Tai-goan yang bertugas membasmi
bajak-bajak laut di daerah Po-hai."
Swan Bu
mengangguk-angguk, akan tetapi pikirannya kembali melayang-layang. Dia tak
begitu tertarik urusan pembasmian bajak laut yang dianggapnya bukanlah
urusannya.
"Di
sana engkau akan menemui banyak orang-orang gagah, di antaranya adalah seorang
yang sama sekali takkan dapat kau duga-duga siapa adanya!" Cui Sian
sengaja berkata dengan suara gembira agar pemuda itu tertarik. Memang berhasil
dia karena Swan Bu benar-benar memperhatikan.
"Sukouw,
siapakah dia?"
"Seorang
pendekar muda yang hebat, dan dia masih keponakanku sendiri!"
Wajah Swan
Bu mulai berseri. "Apa? Sukouw maksudkan... dia... Hwat Ki?"
Pada waktu
Cui Sian mengangguk membenarkan, wajah pemuda ini sudah mulai berseri gembira.
Pernah dia berkenalan dan bertemu dengan Tan Hwat Ki pada waktu mereka berdua
masih kecil, baru berusia belasan tahun. la membayangkan cucu Raja Pedang itu
yang tampan dan gagah.
"Dia
berada di sana bersama sumoi-nya, seorang gadis cantik dan gagah perkasa."
Akan tetapi
Swan Bu tidak terlalu memperhatikan ucapan ini karena pikirannya penuh dengan
bayangan Tan Hwat Ki yang akan dijumpainya. Kini perjalanan mereka dilakukan
dengan cepat….
Yosiko yang
semenjak tadi bersembunyi dan mengintai, tentu saja menjadi kaget sekali ketika
tadi pemuda buntung itu memanggil nama gadis yang baru tiba. Gadis itu disebut
‘sukouw Cui Sian’! Jadi inikah Cui Sian, gadis yang menjadi pilihan hati Yo
Wan? Hatinya dipenuhi kebencian dan ingin dia melompat ke luar untuk menyerang
serta membunuh gadis itu. Memang dia meninggalkan tempatnya dengan satu niat di
hatinya, membunuh gadis yang bernama Cui Sian. Akan tetapi Yosiko bukanlah
seorang gadis yang bodoh dan ceroboh. Tadi dia pun sudah menyaksikan gerakan
gadis yang hendak membunuh diri dan gerakan pemuda buntung yang mencegahnya.
Gerakan mereka amat hebat, membayangkan kepandaian ilmu silat yang amat tinggi.
Pemuda
buntung itu sudah lihai sekali, kalau Cui Sian adalah sukouw-nya (bibi
gurunya), dapat dibayangkan bagaimana hebatnya kepandaian Cui Sian! Yosiko tak
mau bertindak sembrono menurutkan nafsu amarah kemudian sekali turun tangan dan
gagal. Apa lagi kalau diingat bahwa Cui Sian pada waktu itu mempunyai dua orang
kawan yang kalau mengeroyoknya tentu akan lebih sukar mencapai kemenangan.
Dia tertarik
sekali ketika menyaksikan dan mendengar percakapan ketiga orang muda itu.
Keadaan Siu Bi selain menarik perhatiannya, juga mendatangkan sebuah pikiran
yang baik sekali. Oleh karena ini, maka Yosiko mendiamkan saja ketika Cui Sian
dan Swan Bu pergi. Untuk beberapa lamanya dia memandang Siu Bi yang sepergi
kedua orang itu lalu duduk di atas tanah dan menangis.
Memang hati
Siu Bi berduka sekali. Dia tidak dapat menahan kepergian kekasihnya. Dia maklum
bahwa kalau dia tidak memperbolehkan Swan Bu pulang lebih dahulu menemui orang
tuanya, selamanya ia tidak akan dapat membereskan urusannya dengan Swan Bu. la
percaya penuh akan cinta kasih pemuda yang lengannya ia buntungi itu, akan
tetapi ia pun maklum betapa Swan Bu tak akan dapat membantah orang tuanya. la
takut sekali kalau-kalau ia akan kehilangan pemuda itu dan andai kata hal ini
terjadi, hidup tiada artinya lagi baginya. Kekhawatiran inilah yang mengamuk di
hatinya setelah di situ tidak ada siapa-siapa dan ia boleh puas menangis. Di
depan Cui Sian tadi, tak sudi ia memperlihatkan kelemahan hatinya.
Yosiko
keluar dari tempat sembunyinya menghampiri Siu Bi dengan perlahan. la melihat
gadis itu menangis sedih sekali dan agaknya tidak tahu akan kedatangannya, maka
dia pun duduk pula di hadapan Siu Bi yang menyembunyikan mukanya di belakang
kedua tangan. Air mata bercucuran keluar dari celah-celah jari tangannya.
Yosiko
menarik napas panjang, "Dia memang seorang pemuda yang amat tampan dan
gagah perkasa...," katanya lirih.
"Tidak
ada pemuda lebih tampan dan gagah dari pada Swan Bu di dunia ini!" Serta
merta Siu Bi menjawab tanpa menurunkan kedua tangan dari depan mukanya.
Kembali
Yosiko menarik napas panjang. Apa bila bagi Siu Bi ucapan Yosiko tadi cocok
benar dengan suara hatinya, adalah jawaban Siu Bi juga tepat dengan perasaan
Yosiko. Tentu saja keduanya melamunkan dua macam pemuda!
"Pemuda
sehebat itu patut dicinta sampai mati...," kembali Yosiko berkata seperti
kepada dirinya sendiri.
Kembali
seperti dalam mimpi, tanpa menurunkan kedua tangannya, Siu Bi menyambung.
"Aku cinta kepada Swan Bu dengan sepenuh jiwa ragaku."
Hening pula
sejenak. Siu Bi masih saja terisak-isak, Yosiko duduk termenung. Keduanya duduk
saling berhadapan di atas tanah, akan tetapi seolah-olah tidak tahu akan
keadaan masing-masing.
"Perempuan
yang bernama Cui Sian itu betul-betul menjemukan sekali," kembali Yosiko
berkata.
"Aku
benci kepadanya! Aku benci kepadanya!" Tiba-tiba Siu Bi berseru dan
menurunkan kedua tangannya.
Tiba-tiba
Siu Bi berseru keras dan meloncat bangun sambil mencabut pedangnya. Sinar hitam
berkelebat ketika dia menerjang Yosiko dengan pedangnya itu. Akan tetapi Yosiko
sudah menangkis dengan pedangnya pula sehingga keduanya terhuyung mundur.
"Siapa
kau?!" bentak Siu Bi.
Yosiko
tersenyum. "Adik yang baik, simpanlah pedangmu. Aku bukan musuh, aku bukan
Cui Sian. Kita senasib sependeritaan, kita sama-sama dibikin sengsara oleh
perempuan bernama Cui Sian tadi!"
"Apa
kau bilang?”
"Namaku
Yosiko, dan aku benar-benar suka padamu karena nasib kita sama. Kau harus
berpisah dari kekasihmu karena Cui Sian, aku pun... aku pun terpaksa berpisah
dari dia karena Cui Sian. Adik Siu Bi, sebaiknya kita bersatu untuk menghadapi
Cui Sian."
"Kau mengerti
namaku?"
Yosiko
menyimpan pedangnya. "Mari kita bicara secara sahabat baik. Sudah sejak
tadi aku melihat dan mendengar semua."
Siu Bi
menjadi merah mukanya, akan tetapi karena melihat bahwa gadis cantik itu tidak
bersikap sebagai musuh, ia pun menyimpan pedangnya dan kembali mereka duduk,
tapi kali ini mereka saling memandang dan memperhatikan.
"Mengapa
sikapmu begini aneh? Apa yang kau kehendaki dari padaku?"
"Begini,
adik Siu Bi. Aku tadi tanpa kusengaja sudah mendengar dan melihat semua apa yang
terjadi. Kau dan pemuda buntung yang tampan tadi saling mencinta, bersumpah
sehidup semati, akan tetapi lalu datang Cui Sian yang mengajaknya pergi, dan
kalau aku tidak salah untuk menjodohkan pemuda kekasihmu itu dengan wanita
lain, bukan?"
"Swan
Bu tak akan mau melupakan aku!" teriak Siu Bi bernafsu.
"Aku
percaya, tampaknya dia sangat mencintamu. Akan tetapi, jangan pandang rendah
perempuan bernama Cui Sian itu. Mendengar percakapan tadi, dia adalah bibi
gurunya, tentu akan dapat membujuk dan mengubah pendiriannya."
Pucat wajah
Siu Bi. "Hemmm, tidak mungkin... andai kata begitu, apa kehendakmu?"
"Aku
pun benci kepada Cui Sian. Lebih baik kita berdua mencarinya dan
membunuhnya!"
"Huh,
enak saja kau bicara. Namamu Yosiko, agaknya kau orang asing dan tidak tahu
siapa Cui Sian! Kau kira gampang membunuh dia? Kau tahu siapa dia? Dia adalah
puteri tunggal dari Raja Pedang, tahukah engkau?"
Yosiko
mengangguk dingin. "Tentu saja aku tahu. Kalau tidak tahu bahwa dia lihai,
tentu tadi aku sudah muncul dan kubunuh dia. Karena dia lihai itulah, maka aku
mengajak kau bersekutu, mari kita berdua mengeroyok dan membunuhnya.”
"Hemmm,
tidak segampang menggoyang lidah, Yosiko. Ehh, nanti dulu, kau ini siapakah dan
mengapa tiada hujan tiada angin begini benci terhadap Cui Sian? Kalau kau tidak
ceritakan persoalanmu lebih dahulu, aku tidak sudi bicara lebih lanjut
denganmu." Siu Bi memandang curiga."
Yosiko
kembali menarik napas panjang. "Baiklah, dan terserah padamu apakah kau
suka berteman denganku atau tidak setelah kau mendengar keadaanku. Seorang
sahabat tak perlu pura-pura. Aku bernama Yosiko dan aku adalah Hek-san Pangcu,
ketua dari bajak laut Kipas Hitam!"
la berhenti
sebentar untuk melihat reaksi pada wajah cantik itu. Akan tetapi karena Siu Bi
tidak pernah mendengar tentang bajak-bajak laut, hanya ayem saja mendengarkan.
"Semenjak
kecil aku dan ibu selalu bercita-cita supaya aku mendapatkan jodoh seorang pendekar
yang tinggi ilmu silatnya, yang tidak saja mampu menangkan aku, akan tetapi
bahkan dapat mengalahkan ibu!"
"Baik
sekali," Siu Bi segera memberi komentar, "Swan Bu juga tiga kali
lebih lihai dari pada aku! Akan tetapi bagiku, andai kata Swan Bu tidak lebih
lihai dari pada aku, aku pun tetap akan cinta padanya!"
"Uhhh,
salah besar! Aku tidak tahu tentang cinta, pendeknya, calon jodohku sudah cukup
kalau kepandaiannya jauh melebihi aku!"
Siu Bi
mengangkat pundak, tidak peduli. "Lalu bagaimana? Kepandaianmu tinggi,
soal ini dapat kuketahui ketika kau menangkisku tadi. Adakah pria yang dapat
menandingimu?"
"Bukan
hanya menandingi!" kata Yosiko, wajahnya berseri-seri. "Dia malah
patut menjadi guruku! Ibu sendiri tidak mampu menangkan dia! Dia hebat, wah,
pendeknya di dunia ini tidak akan ada pria yang dapat mengalahkan dia!"
Siu Bi
tersenyum mengejek. Belum tentu, pikirnya. Swan Bu memiliki kepandaian yang
luar biasa! "Siapa sih namanya laki-laki pilihanmu itu dan mengapa kau
membenci Cui Sian? Apa hubungannya dengan laki-laki pilihanmu itu"
Seketika
wajah Yosiko menjadi muram. "Laki-laki itu bernama Yo Wan dan celakanya,
dia mencinta Cui Sian."
Terbelalak
mata Siu Bi memandang ketika ia mendengar disebutnya nama ini. "Yo Wan kau
bilang? Yo Wan...? Yo Wan murid Pendekar Buta?"
Kini Yosiko
yang menjadi tercengang dan kaget. "Apa?! Kau kenal dia?"
"Kenal
dia?" Siu Bi tertawa dan lucu-lah melihat gadis yang matanya masih merah
bekas menangis ini tertawa geli. "Aku mengenal Yo Wan? Ahhh, aku
mengenalnya baik sekali! Suatu kebetulan yang amat tak terduga-duga, sahabatku!
Tahukah kau siapa kekasihku, pemuda buntung yang paling tampan dan gagah di
seluruh dunia tadi? Dia adalah putera tunggal Pendekar Buta!"
Untuk kedua
kalinya Yosiko tercengang. Sesaat ia memandang Siu Bi dengan bengong, kemudiah
ia merangkulnya.
"Kebetulan
sekali! Kau mencinta putera Pendekar Buta, dan aku telah memilih muridnya.
Bukankah dengan demikian kau dan aku masih ada hubungan dekat? Sudah sepatutnya
kita saling tolong-menolong, sudah selayaknya kita bersatu. Kita sama-sama
membenci Cui Sian yang agaknya menjadi perusak kebahagiaan kita!"
Siu Bi
memandang ragu dan Yosiko yang cerdik sekali dapat menduga akan hal ini. Maka
cepat-cepat Yosiko memutar otaknya dan berkata, "Kau dengar, Siu Bi adikku
yang manis. Kau bantulah aku menghalau Cui Sian ini, dan kalau aku sudah
berjodoh dengan Yo Wan, aku dapat membujuknya agar dia mau membantumu
mendapatkan kekasihmu tanpa diganggu oleh siapa pun juga. Sebagai murid
Pendekar Buta, tentu dia akan dapat membujuk suhu-nya untuk meluluskan
puteranya agar menikah dengan engkau seorang. Bukankah ini kerja sama yang baik
sekali namanya?"
Yosiko terus
membujuk dan karena Siu Bi berwatak sederhana, akhirnya dia kena bujuk juga dan
menyanggupi. Menghadapi Yosiko, ia kalah bicara dan memang kedua gadis ini
memiliki watak yang cocok, maka sebentar saja mereka merasa senasib
sependeritaan dan menjadi dua orang sahabat baik.
"Mereka
berdua tak akan pergi jauh!" kata Yosiko. "Aku tahu bahwa Cui Sian
itu hendak membantu pembasmian bajak-bajak laut di daerah Po-hai ini, dan
kurasa pekerjaan itu tidak mudah, tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat.
Kau lihat saja, tentu mereka masih berada di sekitar tempat ini, dan aku tahu
ke mana harus mencari Cui Sian!"
Mereka
bercakap-cakap dan sama sekali mereka tidak tahu bahwa semenjak tadi di sana
ada seorang laki-laki yang mengintai, melihat serta mendengarkan percakapan
mereka. Mendengar bujukan Yosiko, lelaki ini menggeleng-geleng kepala dan
berkali-kali menarik napas panjang, keningnya berkerut. Tak lama kemudian
setelah tahu apa yang menjadi rencana dua orang gadis yang diliputi perasaan
dendam itu, dia meninggalkan tempat itu dengan diam-diam. Laki-laki ini bukan
lain adalah Yo Wan!
Apa yang
dikatakan Yosiko memang betul. Bun Hui dengan dibantu oleh Tan Hwat Ki dan Bu
Cui Kim, memimpin orang-orangnya untuk membasmi bajak-bajak laut yang telah
merajalela di daerah Po-hai. Akan tetapi tidaklah gampang membasmi gerombolan
penjahat itu, karena selain jumlah mereka banyak, juga mereka itu rata-rata
adalah orang-orang yang pandai berkelahi dan dipimpin oleh orang-orang tangguh.
Apa lagi semenjak digempur oleh pasukan kerajaan ini, para bajak laut lalu
bersiap-siap dan bersatu, bahkan mereka lalu mengangkat ketua Kipas Hitam
menjadi pemimpin untuk melakukan perlawanan. Semua gerombolan bajak laut sudah
tahu belaka akan kelihaian Hek-san Pangcu (ketua dari Kipas Hitam), Yosiko!
Pada waktu
mendengar penuturan Tan Hwat Ki dan sumoi-nya tentang Yo Wan, Bun Hui merasa
menyesal sekali mengapa orang gagah yang aneh itu tidak mau datang untuk
menggabungkan diri dan bersama-sama membasmi bajak laut. Pemuda bangsawan ini
ingin sekali dapat menangkap ketua Kipas Hitam yang tersohor, untuk dibawa
sebagai tawanan ke kota raja sehingga dengan jasa itu dia akan dapat mengangkat
nama besar ayahnya.
Akan tetapi
selama beberapa pekan ini, dia hanya dapat mendengar namanya saja yaitu Hek-san
Pangcu yang bernama Yosiko, akan tetapi belum pernah dia melihat orangnya.
Hampir dia tidak percaya ketika dua orang muda dari Lu-liang-san itu bercerita
bahwa ketua Kipas Hitam adalah seorang gadis peranakan yang cantik jelita.
"Itulah
sebabnya mengapa saudara Yo Wan melarang kami berdua menyerang Yosiko,"
demikian penuturan Tan Hwat Ki. "Saudara Yo Wan adalah murid Pendekar
Buta, maka dia termasuk orang dalam dan dia tidak menghendaki apa bila di
antara keluarga terjadi permusuhan. Memang sungguh aneh, kenapa segala hal bisa
terjadi secara kebetulan sekali. Siapa kira kepala bajak laut itu adalah
saudara misanku sendiri."
Bun Hui
mengerutkan keningnya. "Kalau memang begitu, mengapa tidak menginsyafkan
gadis itu? Kalau dia dapat diinsyafkan dan anak buahnya tidak melakukan
perlawanan, bahkan suka menyerah, bukankah tidak akan terjadi ribut-ribut lagi?
Kalau memang dia itu masih terhitung cucu Raja Pedang dan suka membubarkan
perkumpulan bajak laut, aku bersedia untuk mintakan ampun ke kota raja."
Tan Hwat Ki
menggelengkan kepala. "Agaknya sukar. Dia itu biar pun wanita, lihai bukan
main dan juga berwatak liar."
"Biar
pun ada hubungan keluarga, kalau dia jahat patut dibasmi!" sambung Bu Cui
Kim yang masih merasa cemburu.
Demikianlah,
setiap hari Bun Hui masih terus melakukan pengejaran terhadap para bajak laut
yang melakukan perlawanan secara sembuhyi-sembunyi, dipimpin oleh Yosiko yang
amat licin. Banyak di antara anak buah Bun Hui menjadi korban dan selama ini
belum pernah dia berhasil mendapatkan sarang bajak laut itu yang selalu
berpindah-pindah.
Kedatangan
Tan Cui Sian bersama Kwa Swan Bu menggirangkan hati semua orang. Tan Cui Sian
adalah bantuan yang sangat hebat, karena semua maklum bahwa puteri Raja Pedang
ini memiliki kepandaian yang luar biasa. Apa lagi setelah Bun Hui dan Tan Hwat
Ki diperkenalkan kepada si pemuda buntung yang ternyata adalah putera Pendekar
Buta, mereka menjadi girang bukan main. Mereka menjadi terharu sekali
menyaksikan lengan yang buntung dari pemuda tampan ini, tetapi karena wajah
pemuda itu kelihatan muram dan sedih, mereka pun tidak berani banyak bertanya.
Lebih besar
lagi kegembiraan hati Bun Hui ketika mendengar dari Cui Sian bahwa gadis
perkasa ini sudah tahu akan sarang Yosiko ketua Kipas Hitam. Malah di bawah
pimpinan pendekar wanita ini mereka lalu melakukan penggerebekan, yaitu di
dalam goa di mana Cui Sian melihat Yosiko bersama Yo Wan. Sejak saat ia melihat
Yo Wan tinggal bersama Yosiko itu, hati Cui Sian serasa bagaikan ditusuk-tusuk,
penuh rasa cemburu. Akan tetapi dasar seorang wanita pendekar, ia dapat
menyembunyikan perasaannya ini dengan baik.
Tapi mereka
kecewa karena ketika mereka menggeropyok tempat itu, burungnya sudah terbang
pergi dari kurungan. Yosiko tidak tampak bayangannya, dan di situ hanya tinggal
terdapat bekas-bekas ditinggali orang saja. Dan sewaktu Cui Sian bersama Swan
Bu, Bun Hui, Hwat Ki, dan Cui Kim melakukan penggeropyokan di situ, ternyata
perkemahan mereka yang hanya dijaga oleh pasukan dari tiga puluh orang lebih,
malah diserbu oleh bajak laut yang jumlahnya dua kali lipat! Belasan orang
penjaga tewas dan perkemahan itu dibakar!
Hal ini
membuat Bun Hui semakin gemas dan pusing. Dan hal ini pula yang membuat Cui
Sian terpaksa menunda perjalanannya, karena dia melihat para bajak laut itu
tidak boleh dipandang ringan, dan sudah sepatutnya kalau ia membantu Bun Hui.
Swan Bu juga tidak keberatan. Sebagai seorang pendekar, dia pun tidak mungkin
dapat melihat saja tanpa membantu usaha Bun Hui yang bertugas memulihkan
keamanan dan membasmi bajak-bajak laut yang begitu lihai.
Setelah
tinggal di situ beberapa hari lamanya, akhirnya Bun Hui dapat mendengar juga
penuturan Swan Bu mengenai buntungnya lengannya. Swan Bu segera tertarik kepada
Hwat Ki dan Bun Hui yang gagah. Mereka segera menjadi sahabat-sahabat baik dan
mulai beranilah mereka saling membuka rahasia hati masing-masing. Akan tetapi
betapa terkejut hati Bun Hui saat mendengar bahwa yang membuntungi lengan Swan
Bu adalah The Siu Bi, gadis yang pernah mengacau gedung ayahnya, dan pernah
pula mengacau hatinya!
"Ahh,
kalau begitu betullah kekhawatiran ayah," komentar Bun Hui.
"Ayah
telah melihat betapa sakit hati nona Siu Bi itu sungguh-sungguh, sehingga
dahulu ayah sengaja menyuruhku pergi menemui ayahmu untuk menyampaikan
peringatan agar berhati-hati. Kiranya ekornya begini hebat..."
Swan Bu
tersenyum. "Tidak apa-apa, saudara Bun Hui, dan ini agaknya sudah kehendak
Thian. Buktinya, buntungnya lenganku oleh Siu Bi, malah menjadi perantara
ikatan jodoh antara dia dan aku.”
"Heee...?!"
Bun Hui kaget bukan main, juga Hwat Ki menjadi bingung.
Akan tetapi
Swan Bu hanya menarik napas panjang, tak melanjutkan kata-katanya yang tadi
tanpa sengaja terloncat dari bibirnya. "Karena kalian adalah
sahabat-sahabat baikku dan orang sendiri, kelak tentu akan mendengar
juga."
Mereka tak
berani mendesak, hanya diam-diam Bun Hui mencatat dalam hatinya bahwa Siu Bi
bukanlah jodohnya, sungguh pun gadis itu dahulu pernah mengaduk-aduk hatinya
dan pernah pula menjadi buah mimpinya pada setiap malam. Kiranya gadis yang
hendak memusuhi Pendekar Buta itu, dan yang sudah berhasil membuntungi lengan Swan
Bu, malah akan menjadi jodoh pemuda ini. Apa lagi kalau bukan gila namanya ini?
Bun Hui
masih termenung, menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya mengeluarkan bunyi decak
berkali-kali kalau dia teringat akan Siu Bi dan Swan Bu. Sukar dipercaya
memang. Apakah Siu Bi sudah gila? Ataukah Swan Bu yang tolol? Atau juga barang
kali dia yang miring otaknya?
Gadis itu
dulu bersumpah untuk memusuhi Pendekar Buta sekeluarga. Kemudian gadis itu
berhasil dalam balas dendamnya, yaitu membuntungi lengan Swan Bu. Akan tetapi
sekarang menurut pengakuan Swan Bu, mereka akan berjodoh, berarti mereka saling
mencinta! Adakah yang lebih aneh dari pada ini?
Betapa pun
juga, diam-diam dia iri kepada Swan Bu. Ketika pemuda itu bercerita tentang Siu
Bi, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar. Ah, alangkah senangnya mencinta
dan dicinta. Kalau dia? Masih sunyi!
“Ahh, di
dunia ini memang banyak terjadi hal aneh-aneh...!" la menghela napas
dengan kata-kata agak keras.
Bun Hui
tengah berada seorang diri di pinggir pantai yang sunyi, merenung dan menyepi
karena hatinya sedang kesal. Siang hari itu panas sekali dan seorang diri dia
pergi ke pantai, sekalian melihat-lihat dan mengintai. Beberapa hari ini dia
merasa jengkel karena para penyelidiknya belum juga dapat mencari tempat sembunyi
pimpinan bajak laut.
"Dunia
memang aneh..." Sekali lagi dia berkata dan kakinya menumbuk-numbuk pasir.
"Lebih
aneh lagi pertemuan ini!" tiba-tiba terdengar suara orang.
Bun Hui
kaget sekali, cepat dia menengok dengan tangan meraba gagang pedangnya. Akan
tetapi seketika tangannya lemas dan kekhawatirannya lenyap terganti kekaguman.
Bukan musuh mengerikan atau bajak laut yang kejam liar yang dihadapinya,
melainkan seorang gadis yang cantik molek dengan pakaian sutera tipis warna
putih berkembang merah, berkibar-kibar ujung pakaian dan rambut hitam halus
terkena angin laut!
Agaknya dewi
laut yang datang hendak menggodanya! Kalau memang dewi laut atau siluman,
biarlah dia digoda! Pandang mata Bun Hui lekat dan sukar dialihkan dari lesung
pipit yang menghias ujung bibir.
"Bun-ciangkun
(Perwira Bun), panglima muda dari Tai-goan, bukan?" Gadis cantik jelita
itu menegur dan memperlebar senyum sehingga berkilatlah deretan gigi kecil-kecil
putih yang membuat pandang mata Bun Hui makin silau.
Bun Hui
terkejut dan heran sekali. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda yang cerdas,
dalam beberapa detik saja dia sudah dapat menduga siapa adanya nona yang cantik
dan tidak pemalu ini. Maka dia pun cepat-cepat menjura dan berkata,
"Dan
kalau tidak salah dugaanku, kau adalah Yosiko, Hek-san Pangcu, bukan?"
Yosiko
kembali tersenyum, akan tetapi pandang matanya berkilat. "Tak salah
dugaanmu. Agaknya kau cukup cerdik untuk menduga pula apa yang harus kita
lakukan setelah kita saling berjumpa di tempat ini. Sudah berpekan-pekan engkau
memimpin orang-orangmu untuk membasmi aku beserta teman-temanku. Sekarang kita
kebetulan saling bertemu di sini, berdua saja. Nah, orang she Bun, cabutlah
pedangmu dan marilah kita selesaikan urusan antara kita."
Aneh sekali.
Timbul keraguan dan kesangsian di hati Bun Hui. Padahal, tadinya sering kali
dia ingin dapat menangkap ketua bajak laut Kipas Hitam dengan tangannya
sendiri, atau membunuhnya dengan pedangnya sendiri. Semestinya dia akan
menyambut tantangan ini dengan penuh kegembiraan. Akan tetapi entah bagaimana,
begitu bertemu dengan Yosiko, dia menjadi terpesona dan tidak tega untuk
mengangkat senjata menghadapi nona jelita ini! Apa lagi ketika dia teringat akan
penuturan Tan Hwat Ki bahwa gadis ini masih terhitung cucu keponakan Raja
Pedang sendiri, makin tidak tegalah dia untuk memusuhinya.
"Hayo
lekas siapkan senjatamu, mau tunggu apa lagi? Menanti kawan-kawanmu supaya
dapat mengeroyokku?" Yosiko mengejek.
Gadis ini
sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan kanan dan sabuk sutera putih di
tangan kiri. Sikapnya gagah menantang, juga amat cantik.
"Hek-san
Pangcu, dengarlah dulu omonganku," akhirnya Bun Hui dapat berkata sesudah
dia menenteramkan jantungnya yang berdebaran keras. "Memang suatu
kebetulan yang tidak tersangka-sangka aku dapat bertemu denganmu di sini dan
memang hal ini sudah kuharapkan selalu. Ketahuilah, setelah aku mendengar siapa
adanya ketua Kipas Hitam yang memimpin para bajak, sudah lama sekali
keinginanku untuk memerangimu lenyap. Aku mendengar bahwa engkau adalah cucu
keponakan locianpwe Tan Beng San, Raja Pedang ketua Thai-san-pai. Setelah
sekarang aku berhadapan denganmu, serta melihat kau adalah seorang gadis muda
yang gagah dan pantas menjadi cucu seorang pendekar sakti seperti Si Raja
Pedang, kuharap kau suka mendengar omonganku dan marilah kita berdamai..."
"Apa?
Kau perwira tinggi kerajaan mengajak damai bajak laut? Mengajak damai sesudah
kau mengobrak-abrik orang-orangku, membunuhi banyak anak buahku?"
"Pangcu...
Nona, ingatlah. Kita masih orang sendiri. Aku sangat menghormati keluarga Raja
Pedang, dan kau adalah cucunya. Aku merasa sayang sekali melihat kau tersesat.
Kembalilah ke jalan benar. Kau bubarkan para bajak, menyatakan takluk dan
bertobat. Percayalah, aku yang akan menanggung, aku yang akan mintakan ampun
agar kau tidak akan dituntut..."
"Huh,
siapa minta kasihan darimu? Ehh, orang muda she Bun, mengapa kau mendadak
sontak begini sayang kepadaku?"
Wajah Bun
Hui menjadi merah. Gadis jelita ini selain gagah dan liar, juga lidahnya amat
tajam!
"Sudah
kukatakan tadi, Nona. Karena kau adalah seorang wanita muda, dan karena kau
masih keluarga Raja Pedang."
"Hemmm,
karena kau takut! Karena kau seorang diri, tidak dapat mengandalkan bantuan
orang-orangmu, maka kau takut melawan aku! Huh, begini sajakah panglima muda
dari Tai-goan?"
Wajah pemuda
itu sebentar pucat sebentar merah. Perlahan-lahan dia menggerakkan tangannya,
meraba gagang pedang, kemudian dengan sinar mata marah dia mencabut pedangnya.
"Hek-san
Pangcu, aku adalah seorang lelaki sejati, kenapa harus takut? Aku tadi bicara
dengan kesungguhan hati karena sayang melihat engkau tersesat, seberapa dapat
ingin menyadarkanmu. Akan tetapi kalau kau menganggap sikapku itu karena takut,
silakan maju!"
Yosiko
tersenyum lagi. "Nah, ini baru namanya jantan. Orang she Bun, bersiaplah
untuk mampus!" Pedangnya langsung berkelebat diikuti gerakan sabuk
suteranya ketika gadis ini menyerang dengan hebat.
Terkejut
juga hati Bun Hui. Tak disangkanya gadis ini demikian ganas dan serangannya
begitu dahsyat. Segera dia memutar pedang menangkis sambil meloncat ke samping
menghindarkan diri dari pada sambaran sabuk sutera yang mendatangkan angin
pukulan hebat itu.
"Tranggggg...!"
Sepasang pedang bertemu dan keduanya terhuyung mundur.
Akan tetapi
tiba-tiba saja Yosiko terguling dan hanya dengan berjungkir balik saja gadis
ini dapat menahan dirinya agar tidak jatuh. Dia terheran-heran. Mungkinkah
pemuda she Bun ini begitu kuat sehingga sekali benturan senjata membuat dia
terguling hampir jatuh? Diam-diam ia kaget dan juga kagum. Yo Wan sendiri yang
pernah ia uji kepandaiannya, tak mungkin sekuat ini!
Di lain
pihak, Bun Hui juga kaget dan heran. la tadi merasa betapa pedangnya terbentur
membalik oleh pedang gadis itu dan biar pun dia sudah menghindar, hampir saja
ujung sabuk sutera putih itu menyentuh lambungnya. Akan tetapi entah kenapa,
tiba-tiba sabuk itu berkibar pergi dan dia merasa ada sambaran hawa panas lewat
di samping tubuhnya dan melihat gadis itu hampir jatuh.
la maklum
bahwa nama besar ketua Kipas Hitam ini bukanlah nama kosong belaka. Dia juga
maklum bahwa gadis jelita ini betul-betul lihai. Maka, dengan hati penuh
kekaguman dan penyesalan, dia siap menghadapi serangan lawan.
Dengan hati
penasaran Yosiko menerjang maju lagi, kini lebih hebat. Pedangnya diputar di
atas kepalanya lalu melayang turun ke arah leher lawan, sedangkan sabuk
suteranya meluncur maju menotok ulu hati yang akan mendatangkan maut bila mengenai
sasaran dengan tepat. Kembali Bun Hui menggerakkan pedangnya menangkis, ada pun
tangan kirinya dikebutkan untuk menyambar ujung sabuk yang menyerang dada.
"Tranggggg...!"
Kembali
keduanya terhuyung.
Alangkah
kaget hati Yosiko ketika tadi dia merasa betapa sabuknya tiba-tiba saja hilang
kekuatannya dan bahkan membalik ke belakang kemudian menyerang dirinya sendiri!
la membanting tubuh ke belakang dan bergulingan, wajahnya pucat.
Hebat pemuda
ini! Ilmu siluman apakah yang digunakan pemuda itu sehingga dalam dua gebrakan
saja dia hampir celaka, padahal pemuda itu bukannya menyerang, melainkan
menghadapi serangannya?
Bukan Yosiko
saja yang terheran-heran dan kagum, juga Bun Hui merasa heran sekali. la tadi
merasa tangannya kesemutan dan kalau dilanjutkan, tentu serangan ujung sabuk
akan mencelakakannya sungguh pun serangan pedang dapat ditangkisnya. Akan
tetapi kembali dia merasa ada angin pukulan menyambar membantunya dan membuat gadis
penyerangnya itu terserang sabuknya sendiri. la cepat menoleh, akan tetapi
tidak melihat apa-apa.
Sekarang
Yosiko mengeluarkan sebuah kipas hitam! la betul-betul merasa kagum, akan
tetapi di samping kekagumannya ini terkandung rasa penasaran. Pemuda bangsawan
yang tampan ini tidak kelihatan terlalu sakti, akan tetapi mengapa ia sama
sekali tidak berdaya menghadapinya?
Bun Hui
sudah mendengar akan jahatnya kipas hitam yang mengandung racun ini, maka dia
khawatir sekali. "Nona, aku benar-benar tak ingin bertempur mati-matian
melawanmu, marilah kita bicara baik-baik!"
"Terima
ini!" Yosiko membentak dan sudah melompat maju.
Pedangnya
menyambar, diikuti gerakan kipas yang dikibaskan ke arah Bun Hui. Uap hitam
menyambar dan agaknya pemuda itu akan celaka kalau pada saat itu tidak tampak
sinar menyilaukan berkelebat. Tahu-tahu Yosiko memekik kesakitan, kipasnya
mencelat jauh dan pundaknya terluka ujung pedang Bun Hui. la roboh dan
mengerang kesakitan.
Melihat ini,
kagetlah Bun Hui. Kini dia merasa yakin, bahwa diam-diam ada orang yang
membantunya. Tadi pedangnya bergerak menangkis lagi, akan tetapi entah
bagaimana pedangnya itu meleset dan terus menusuk ke arah leher Yosiko,
sedangkan sinar yang berkelebat dari belakangnya menghantam kipas. Baiknya dia
masih dapat untuk menarik pedangnya sehingga tidak menembus leher yang indah,
akan tetapi menyeleweng dan hanya melukai pundak.
Mungkin
saking kaget, penasaran dan sakit, Yosiko rebah pingsan! Ketika dia membuka
mata, dia rebah di tanah dan Bun Hui sedang mengobati pundaknya! Bukan main
kaget dan herannya hati Yosiko, akan tetapi dia berpura-pura masih pingsan.
Dari balik bulu matanya yang panjang dia memandang wajah tampan itu yang dengan
penuh perhatian memeriksa lukanya dan kemudian mengobatinya dengan obat bubuk
yang terasa dingin sekali.
Melihat
gadis itu menggerakkan matanya, Bun Hui cepat menyelesaikan pengobatan itu dan
berkata perlahan. "Maaf... maaf, aku menyesal sekali, bukan maksudku
untuk..."
Yosiko sudah
melompat bangun. Mukanya berubah merah dan ia memungut pedangnya yang
menggeletak di atas tanah. Ketika ia melihat kipas hitamnya yang sudah remuk,
ia menendang kipas itu jauh-jauh, lalu menarik napas panjang.
"Maaf,
Nona, aku... aku tidak sengaja."
Yosiko
berpaling, dan kembali wajahnya berubah ketika memandang Bun Hui. Pandang
matanya masih penuh kekaguman, penuh keheranan, penuh penasaran.
"Kau
hebat sekali! Gerakanmu begitu cepat sehingga aku tidak lahu bagaimana caranya
kau mengalahkan aku. Agaknya aku kurang hati-hati. Bun-ciangkun, mari kita
lanjutkan, aku masih penasaran. Apa bila kau dapat mengalahkan aku tanpa
mempergunakan ilmu siluman itu, aku... aku bersedia menuruti segala kehendakmu,
tanpa syarat apa pun!" la tersenyum dan diam-diam Bun Hui morat-marit
hatinya.
Senyum
dengan lesung pipit itu bukan main manisnya. la juga bingung. la tahu bahwa
kepandaiannya hanya sanggup mengimbangi gadis ini. Kemenangan-kemenangan aneh
yang oleh gadis itu dianggap ilmu siluman tadi adalah kemenangan karena ada
bantuan dari orang sakti yang dia sendiri tidak tahu siapa adanya.
"Nona
Yosiko, sudahlah, aku tidak ingin bertempur denganmu. Aku bahkan minta maaf dan
ingin berdamai, kita habisi permusuhan ini..."
"Kalahkan
dulu pedangku! Perlihatkan ilmu silatmu!"
Sambil
membentak demikian kembali Yosiko menyerang, kini dia hanya mempergunakan
pedang saja, tetapi ia mengerahkan seluruh ilmu pedangnya untuk menyerang.
Karena ia mendapat kesan bahwa pemuda panglima dari Tai-goan ini memiliki ilmu
kesaktian yang hebat, maka timbullah rasa sayangnya dan Yosiko tidak lagi ingin
menggunakan senjata gelap, melainkan hendak menguji dengan ilmu pedangnya.
Melihat
gerakan nona ini sungguh-sungguh tentu saja Bun Hui tidak mau tinggal diam. la
pun segera menggerakkan pedangnya dan memainkan ilmu silatnya, yaitu Ilmu
Pedang Kun-lun Kiam-hoat yang sangat kuat dan lihai. Setelah bergerak beberapa
jurus kembali Yosiko menahan pedangnya, meloncat mundur dan berseru,
"Pernah aku menyaksikan Ilmu Pedang Kun-lun yang hebat. Apakah kau anak
murid Kun-lun-pai?"
Dengan
perasaan bangga di hati Bun Hui menjawab tenang, "Ketua Kun-lun-pai adalah
kakekku."
Makin
kagumlah hati Yosiko dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang lagi dengan
jurus yang amat berbahaya. Bun Hui amat terkejut dan cepat dia mengelak ke
kiri. Akan tetapi gulungan sinar pedang lawannya bagaikan uap menyambarnya
terus, sekarang mengancam lambung. Dengan pemutaran pergelangan tangan Bun Hui
menangkis. Bunga api berpijar ketika sepasang pedang bertemu, akan tetapi kali ini
dengan cerdik sekali Yosiko sengaja mementalkan pedangnya, bukan ditarik ke
belakang, melainkan menyeleweng ke depan terus menusuk dada. Inilah gerak tipu
yang amat hebat dan tak tersangka-sangka.
Semua ini
dibantu dengan langkah-langkah kaki gadis itu yang betul-betul membuat Bun Hui
bingung. Jalan satu-satunya hanyalah menggerakkan pedang membabat kaki lawan
yang terdekat, akan tetapi untuk melakukan hal ini dia merasa tidak tega. Pada
saat yang berbahaya itu, kembali ada angin menyambar dan... tubuh Yosiko
terhuyung-huyung ke samping, serangan pedangnya kembali menyeleweng.
"Kau
menggunakan ilmu setan!" bentak Yosiko marah.
Pada saat
itu muncullah Siu Bi. Melihat betapa Yosiko bertanding dengan Bun Hui, dia
merasa khawatir. Bagaimana pun juga, pemuda putera jenderal di Tai-goan ini
pernah bersikap baik sekali kepadanya, dahulu ketika ia menjadi tawanan
Jenderal Bun.
"Yosiko,
mari pergi! Dia seorang diri di sana, kesempatan baik. Mari!"
Yosiko
merasa ragu-ragu, akan tetapi mendengar ucapan-ucapan terakhir itu dia segera
membalikkan tubuh, lalu berlari meninggalkan Bun Hui sambil menoleh dan
berkata, "Aku masih belum puas. Lain kali kita lanjutkan!”
Bun Hui
berdiri bengong. la benar-benar bingung dan kaget melihat nona yang mengajak
pergi Yosiko itu. Dia merasa mengenal baik nona itu, nona yang pernah
mengobrak-abrik hatinya… Siu Bi. Siu Bi bersekutu dengan Kipas Hitam? Ini
hebat.
Tetapi
pengalamannya bertanding melawan Yosiko tadi masih meninggalkan ketegangan di
hatinya. Apa lagi sesudah melihat munculnya Siu Bi di samping Yosiko, membuat
dia termenung berdiri bagaikan patung dengan pedang masih di tangannya. Dia
tidak boleh mengharapkan diri Siu Bi lagi, yang dahulu pernah merampas
cintanya. la mendengar pengakuan Swan Bu dan dari mulut pemuda itu sendiri ia
tahu bahwa antara Swan Bu dan Siu Bi terjalin kasih sayang yang mendalam.
Jika Siu Bi
mencinta Swan Bu, tentu dia tak akan mau mengganggunya. Biarlah mereka
berbahagia dalam cinta kasih mereka. Akan tetapi ketika tadi dia berhadapan
dengan Yosiko, dia segera merasa bahwa gadis peranakan Jepang, gadis liar ketua
bajak laut inilah yang menggantikan Siu Bi di hatinya. la jatuh cinta kepada
Yosiko!
Bun Hui
dapat mengetahui hal ini dengan cepat, karena sebagai putera bangsawan yang
terkenal, tampan serta gagah, tentu saja sudah banyak dia bertemu dengan
gadis-gadis kota, puteri-puteri bangsawan yang cantik dan yang oleh orang
tuanya mau pun handai taulannya seakan-akan ditawarkan kepadanya untuk menjadi
jodohnya.
Banyak sudah
dia bertemu dengan gadis-gadis cantik, akan tetapi dia tak pernah merasa
seperti dahulu ketika dia berhadapan dengan Siu Bi, atau saat tadi dia
berurusan dengan Yosiko! Bukan hanya kecantikan kedua orang gadis itu agaknya
yang mengguncangkan jantungnya dan membetot semangatnya, melainkan juga sikap
mereka, agaknya karena keduanya sama lincah, sama liar, dan sama aneh!
Bun Hui
menarik napas panjang, bingung memikirkan keadaan hatinya sendiri. Mengapa dia
selalu jatuh cinta kepada wanita yang sebenarnya menjadi musuh! Ayahnya tentu
tak akan setuju. Dan bagaimana dia dapat berjodoh dengan seorang seperti
Yosiko? la tahu bahwa hal ini amatlah tidak mungkin, akan tetapi dia tidak
dapat menyangkal perasaan hatinya yang benar-benar tertarik sekali oleh lesung
pipit di sebelah pipi Yosiko tadi.
Dengan
murung Bun Hui meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi
ada bayangan orang yang kini berkelebat mengejar ke arah larinya Yosiko dan Siu
Bi. Bayangan orang yang tadi secara rahasia sudah membantunya mengalahkan
Yosiko dengan mudah.
Apa kata
gadis aneh tadi? ‘Kalau dapat mengalahkan aku, aku bersedia menuruti segala
kehendakmu tanpa syarat apa pun!’
Ucapan
Yosiko ini terus berdengung-dengung dalam telinga Bun Hui ketika dia berjalan
kembali ke perkemahannya. la kembali dalam keadaan yang jauh berbeda dari pada
tadi ketika berangkat. Dia sudah menjadi seorang Bun Hui yang lain, seorang
pemuda yang linglung terombang-ambing gelora asmara….
Bayangan
yang tadi membantu Bun Hui, kini dengan gesit bagai setan melesat secepat
terbang mengejar Yosiko dan Siu Bi, kemudian mengikuti kedua orang gadis itu
secara diam-diam. Ia bukan lain adalah Yo Wan, Si Jaka Lola! Yo Wan selalu
mengikuti Yosiko dan karenanya dia tahu akan gerak-gerik gadis ini. Dia tahu
pula bahwa Yosiko dan Siu Bi sudah bersekutu untuk mencelakai Cui Sian! Dia
juga menjadi saksi akan adegan-adegan aneh dari dua orang muda itu tadi,
melihat betapa dengan mesra dan penuh perasaan Bun Hui merawat luka di pundak
Yosiko.
Dia sengaja
membantu Bun Hui karena dia tahu bahwa tanpa dia bantu, walau pun ilmu
kepandaian Bun Hui belum tentu kalah oleh Yosiko, namun gadis yang sangat
lincah itu mungkin merobohkan Bun Hui dengah senjata rahasianya. Ketika Yo Wan
melihat Siu Bi muncul memanggil Yosiko, kemudian dua orang gadis itu berlari
cepat, hatinya menjadi khawatir sekali. Kekhawatirannya terbukti karena tak
lama kemudian dia melihat Cui Sian sedang bertempur mati-matian dikeroyok
belasan orang bajak laut anak buah Yosiko! Kiranya tadi Siu Bi memanggil Yosiko
untuk melaksanakan kehendak mereka, yaitu mengeroyok dan membunuh Cui Sian.
Seperti juga
Bun Hui, siang hari itu Cui Sian berada seorang diri di pinggir laut. la sedang
termenung-menung memikirkan Yo Wan. Semenjak ia melihat Yo Wan berada di dalam
goa bersama Yosiko, hatinya terasa sakit sekali. la ingin marah, ingin membunuh
wanita itu dan juga ingin menantang Yo Wan untuk mengadu kepandaian. Dia
penasaran dan merasa terhina. Bukankah ketika perjumpaan mereka dahulu Yo Wan
terang-terangan menyatakan perasaannya? Kiranya Yo Wan hanyalah seorang pemuda
yang gila perempuan, seorang hidung belang yang menjemukan.
Selagi ia
termenung, mukanya sebentar merah sebentar pucat, tiba-tiba saja ia tersentak
kaget kemudian cepat mengelak. Sebatang anak panah menyambar di atas kepalanya,
lenyap ke dalam pohon-pohon. Cui Sian cepat mencabut pedangnya dan muncullah
lima belas orang lelaki, dipimpin oleh seorang gadis yang membuat Cui Sian
membelalakkan matanya. Gadis itu adalah Siu Bi!
"Bocah
jahat! Kau... kau bersekutu dengan bajak-bajak ini...?" tegurnya,
terheran-heran dan kemarahannya memuncak. Memang ia tidak suka pada Siu Bi yang
membuat Swan Bu tergila-gila, maka dapat dibayangkan kebenciannya melihat Siu
Bi muncul bersama para bajak itu. Akan tetapi Siu Bi tidak mempedulikannya,
malah memberi aba-aba, "Kurung dia, jangan boleh lolos!" la sendiri
lalu melarikan diri untuk pergi mencari Yosiko!
Demikianlah,
dengan amarah yang meluap Cui Sian memutar pedangnya, menghadapi pengeroyokan
belasan orang itu. Dalam waktu beberapa menit saja pedangnya berhasil
merobohkan empat orang pengeroyok, ada pun sisa lainnya hanya berani
mengurungnya dari jarak yang tidak terlampau dekat. Namun pengurungan mereka
ketat, tidak memberi kesempatan gadis ini keluar dari kepungan.
Cui Sian
adalah puteri tunggal Si Raja Pedang. Ilmu silatnya tinggi, akan tetapi sebagai
puteri pendekar sakti yang namanya dipuji-puji di mana-mana, tentu saja
sifatnya tidaklah ganas. Ilmu pedangnya bersih, mengandung daya Im dan Yang, tak
gentar menghadapi kepungan. Tetapi, sudah menjadi sifat ilmu pedang keturunan
Raja Pedang, selalu menitik-beratkan kepada serangan balasan, yaitu apa bila
diserang barulah timbul keampuhannya untuk merobohkan si penyerangnya. Oleh
karena sifat ini pula, agaknya Cui Sian pun merasa segan untuk menyerang para
bajak laut yang ia anggap bukan lawan sebanding itu.
Ia hanya
menanti, dan empat orang yang roboh tadi pun adalah karena mereka dengan ganas
menyerang dirinya, maka akibatnya hebat pula. Kini karena para pengeroyoknya
hanya mengepung dari jarak agak jauh, Cui Sian hanya berdiri tegak saja. Baru
setelah para bajak menerjang maju dari segenap penjuru, dia mainkan pedangnya
dan kembali dua orang roboh mandi darah!
Kedatangan
Yosiko dan Siu Bi menggembirakan para bajak yang sudah mulai menjadi gentar.
Yosiko berseru keras dalam bahasa Jepang, memberi perintah agar supaya anak
buahnya mengepung dari jarak jauh dan siap dengan anak panah, memberi
kesempatan kepada dia untuk menangkap musuh. Para bajak mundur sambil menyeret
enam mayat teman-temannya. Yosiko dan Siu Bi sendiri dengan pedang terhunus
sudah melompat maju menghadapi Cui Sian.
Gadis dari
Thai-san ini menjadi merah mukanya. Dengan pedang menuding ke depan ia memaki,
"Sungguh kebetulan sekali! Memang besar keinginanku untuk membasmi kalian
berdua perempuan yang tak tahu malu!"
"Sombong!"
bentak Yosiko. "Kaukah yang bernama Cui Sian? Hemmm, kematian sudah di
depan mata masih berani berlagak!"
Setelah
berkata begitu, Yosiko menggerakkan pedang dan meloloskan sabuk suteranya. Siu
Bi juga sudah melangkah maju dengan sikap mengancam. Dia membenci Cui Sian yang
dianggapnya hendak menjauhkan Swan Bu dari padanya. Hebat penyerangan Yosiko
dan Siu Bi, terdorong oleh kebencian di hati mereka. Namun, makin kuat dia
diserang, makin kuatlah pertahanan Cui Sian. Liong-cu-kiam di tangannya laksana
halilintar menggulung-gulung dan gerak Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut dimainkan
dengan indahnya seakan-akan dia menjadi seorang dewi yang menari-nari. Dengan
gaya permainannya yang ampuh ini dia sama sekali tak memberi kesempatan kepada
senjata lawan untuk dapat mendekatinya.
Betapa pun
juga, ketika Cui Sian menyaksikan gerakan pedang Yosiko yang memainkan
jurus-jurus yang serupa, yaitu jurus-jurus campuran dari Sian-li Kiam-sut, maka
hatinya pun tergerak. Teringat ia akan penuturan Tan Hwat Ki, bahwa gadis ini
adalah puteri Tan Loan Ki yang masih terhitung saudara misannya sendiri, masih
sedarah!
Teringat dia
akan penuturan orang tuanya tentang paman tua (uwaknya) Tan Beng Kui, yaitu
ayah Tan Loan Ki atau kakek dari gadis ini! Dengan bentakan keras ia menangkis,
sehingga terpentallah pedang kedua orang lawannya, kemudian ia meloncat mundur.
"Tahan
dulu!"
"Mau
bicara apa lagi?" bentak Yosiko.
"Yosiko,
bukankah kau ini puteri enci Tan Loan Ki? Tahukah engkau bahwa aku adalah
bibimu sendiri? Dan kau, Siu Bi, kau sudah berjanji hendak menanti Swan Bu.
Beginikah kesetiaanmu kepadanya?"
"Bibi
macam apa engkau ini?! Aku tidak peduli, kau adalah musuh Kipas Hitam!"
balas Yosiko.
"Tan
Cui Sian, kaulah yang memisahkan Swan Bu dari sampingku!" bantah Siu Bi.
"Ahh,
dua bocah liar! Kalian jahat..."
"Cukup!
Apa kau takut menghadapi kami?" ejek Yosiko.
"Hemmm,
boleh ditambah sepuluh orang lagi macam kalian aku tak akan mundur. Aku hanya
mengingat bahwa kau masih terhitung keponakanku, dan Siu Bi... ahhh, aku ingat
Swan Bu maka aku mau bicara!"
"Cerewet!"
Yosiko membentak dan menerjang lagi, diikuti Siu Bi.
Kembali
mereka bertanding dengan serunya. Sementara itu, dengan tanda suitan Yosiko
sudah mengundang anak buahnya sehingga tempat itu kini terkurung oleh kurang
lebih lima puluh orang bajak! Namun mereka tidak ada yang turun tangan sebelum
mendapat perintah pemimpin mereka.
"Yosiko!
Siu Bi! Mundur...!" Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan orang ini
bukan lain adalah Yo Wan! Kagetlah kedua orang gadis itu ketika melihat
munculnya Yo Wan.
"Kau?!"
Yosiko berseru. "Kau... membelanya?"
"Tentu
saja! Yosiko, kenapa kau belum juga mau insyaf? Siu Bi, kenapa kau
ikut-ikutan?"
"Dia
membawa pergi Swan Bu. Dia memisahkan kami...!" Siu Bi bingung menjawab.
Gentar hatinya kalau harus menghadapi Yo Wan, apa lagi kalau diingat bahwa Yo
Wan yang telah menolongnya sehingga dahulu dia tidak terbunuh oleh Lee Si dan
Cui Sian.
Tiba-tiba
saja dua orang pimpinan bajak dengan pedang di tangan menerjang Yo Wan.
Serangan ini mendadak sekali, dilakukan dari belakang. Namun dengan gerakan
ringan Yo Wan menggeser kaki, tanpa menengok tangannya bergerak ke belakang dan
kakinya menendang. Akibat gerakan ini, sebatang pedang terampas dan kedua orang
pimpinan bajak itu terlempar oleh tamparan dan tendangannya!
Ributlah
para bajak laut. Seorang yang bercambang bauk dan bermata lebar melompat maju
dengan golok besar di tangannya, diikuti anak buahnya!
"Bong-twako,
jangan serang!" bentak Yosiko.
"Tapi...,"
bantah si cambang bauk.
"Tidak
ada tapi, mundur semua!" bentak Yosiko yang segera memimpin anak buahnya
pergi dari situ, diikuti oleh Siu Bi yang beberapa kali memandang ragu ke arah
Yo Wan.
Dalam waktu
sebentar saja tempat itu sudah menjadi sunyi kembali setelah Yosiko dan anak
buahnya menghilang di balik pohon-pohon besar di hutan tepi pantai. Hanya
tinggal Yo Wan dan Cui Sian berdua yang masih berdiri di situ.
"Bagus,
akhirnya kita bertemu juga. Nah, kebetulan kau sudah mendapatkan pedang. Lihat
seranganku!" Setelah berkata demikian, Cui Sian lalu menyerang Yo Wan
dengan pedangnya!
Bukan main
kagetnya hati Yo Wan. "Ehhh...! Bagaimana ini...?"
Yo Wan cepat
mengelak ketika melihat betapa gadis itu tidak main-main, serangannya dilakukan
dengan sungguh-sungguh dan amat berbahaya.
"Tak
perlu pura-pura kaget! Kau bersekutu dengan kepala bajak laut Kipas
Hitam!" kata Cui Sian marah. "Karena itu kau adalah musuh kami!"
Kembali Cui
Sian menyerang dengan gerakan kilat. Dan kembali pula Yo Wan mengelak sambil
mengelebatkan pedang rampasannya untuk menangkis. la maklum kalau pedang di
tangan Cui Sian adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh, sedangkan pedang yang
di tangannya hanyalah pedang biasa yang tajam, sekali beradu tentu akan patah.
Oleh karena itu, dia sengaja mengerahkan sinkang-nya dengan tenaga lemas
sehingga ketika terbentur, pedangnya hanya membalik dan tidak menjadi rusak.
Bagi Yo Wan hal ini adalah pekerjaan yang amat mudah, dan memang di sini
terletak kelihaiannya. Jangankan sebuah pedang baja, sedangkan sebatang pedang
kayu saja bisa merupakan senjata yang dapat menghadapi pusaka-pusaka ampuh
kalau berada di tangannya.
Ketika kedua
pedang bertemu dan pedang di tangan Yo Wan tidak rusak, diam-diam Cui Sian
kaget dan kagum sekali. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia pun dapat
menduga bahwa pemuda ini sudah mahir dalam memindahkan tenaga sakti ke dalam
benda yang dipegangnya. Hal ini membutuhkan Iweekang yang sangat mendalam dan
kiranya hanya orang-orang setingkat ayahnya atau Pendekar Buta saja yang mampu
melakukan hal itu!
"Eh,
nanti dulu... Sian-moi (adik Sian)... sejak kapan aku bersekutu dengan kepala
Kipas Hitam?"
"Pembohong
pandai berpura-pura! Lelaki mata keranjang! Jai-hoa-cat (penjahat pemetik
bunga)!" Cui Sian menusukkan pedangnya ke arah dada Yo Wan.
Yo Wan
begitu kaget mendengar tuduhan ini sehingga dia meloncat ke atas, akan tetapi
dia segera menangkis pedang Cui Sian, mengerahkan tenaga dan pedangnya berhasil
menindas pedang gadis itu ke bawah. Betapa pun Cui Sian mengerahkan tenaga, dia
tak mampu mengangkat pedangnya yang tertindas itu!
"Wah,
nanti dulu, Sian-moi! Apa artinya tuduhan jai-hoa-cat dan mata keranjang
itu?" Yo Wan bertanya gugup.
"Hemmm,
apa kau masih hendak menyangkal bahwa siang malam kau tinggal berdua saja
dengan... dengan... ketua Kipas Hitam yang cantik itu?"
Yo Wan
menarik napas panjang. Hal ini sudah dia khawatirkan. Dia segera melepaskan
pedangnya dan berkata, "Aahhh, kau salah duga, Moimoi. Kau dengarlah
penjelasanku, atau bila kau sudah tidak percaya lagi kepadaku, boleh kau
gunakan pedangmu itu menusuk mampus dadaku, aku tak akan melawan lagi!"
Cui Sian
meragu, memandang tajam, pedangnya tidak bergerak, dia menunggu. Dengan tenang
Yo Wan lalu menuturkan pengalamannya ketika dia mencari Swan Bu, betapa di
tengah jalan dia melihat Tan Hwat Ki beserta sumoi-nya menyerang sarang Kipas
Hitam, betapa dia menolong Tan Hwat Ki dan Bu Cui Kim, kemudian dia mengejar
Yosiko dan terluka, lalu dirawat oleh gadis yang menjadi kepala Kipas Hitam
itu.
"Memang
kasihan gadis itu, sejak kecil terdidik liar. Dia dan ibunya beranggapan bahwa
pemuda yang mampu mengalahkan mereka adalah calon jodohnya...," demikian
Yo Wan menutup ceritanya sambil menarik napas panjang. "Tetapi aku tentu
saja menolaknya… aku bukan mata keranjang atau jai-hoa-cat..."
Cui Sian
tersenyum mengejek, akan tetapi wajahnya sudah ditinggalkan kemuramannya.
"Siapa
percaya kau akan menolak seorang gadis yang begitu cantik jelita?"
"Sian-moi...!"
"Sudahlah,
percaya atau tidak, tak ada bedanya! Kau suka menjadi jodohnya atau tidak,
sebetulnya aku pun tidak peduli. Bukan urusanku, kan?"
Hampir Yo
Wan tertawa bergelak menyaksikan sikap ini. Tadi gadis ini menyerangnya hebat,
hampir membunuhnya karena cemburu, akan tetapi sekarang sesudah menerima
penjelasan, mengatakan bahwa dia tidak peduli dan bukan urusannya! Memang aneh
sekali watak perempuan, pikirnya.
"Sian-moi...,"
Yo Wan memegang tangan Cui Sian, yang berkulit halus lunak dan yang tidak
ditarik ketika dia pegang, "kuharap kau tidak kehilangan kepercayaanmu
kepadaku. Sian-moi, tahukah engkau kenapa Yosiko tadi hendak mengeroyok dan membunuhmu?
Karena aku secara terus terang menolak usul perjodohannya dan mengatakan bahwa
di dunia ini hanya seorang gadis yang kucinta dan kuharapkan menjadi calon
jodohku, yaitu gadis yang bernama Tan Cui Sian. Dia menjadi marah kemudian
hendak membunuhmu, bahkan ibunya juga marah lalu pergi hendak menemui suhu
supaya suka memaksaku. Akan tetapi ibunya belum tahu akan pengakuanku mengenai
engkau, hanya mengira aku menolak begitu saja. Sian-moi, apa pun yang terjadi,
siapa pun yang akan menggodaku, tak mungkin aku mengubah pendirian hatiku yang
sudah teguh bagaikan karang di pantai laut. Lihat, benda inilah yang menjadi
saksi akan kesetiaanku kepadamu, Moimoi!"
Cui Sian tak
mengangkat mukanya yang semenjak tadi terus menunduk, hanya matanya mengerling
kepada benda yang dikeluarkan Yo Wan dari sakunya. Ternyata benda itu adalah
sehelai sapu tangan, sapu tangannya yang dia berikan kepada pemuda itu ketika
Yo Wan menghadapi lawan-lawan sakti, di antaranya Bhok Hwesio. Kepala itu
semakin menunduk.
"Sian-moi...
percayakah kau kepadaku kini?"
Cui Sian tak
menjawab dengan mulut, akan tetapi dua titik air mata yang jatuh di tangan Yo
Wan ketika kepala itu mengangguk perlahan sudah merupakan jawaban yang cukup
meyakinkan. Sampai beberapa lama keduanya hanya berdiri saling berpegang
tangan, tak ada suara yang keluar dari mulut mereka, tapi hati masing-masing
dipenuhi kebahagiaan. Akhirnya, sesudah agak terlambat karena selalu menolak
para pemuda yang merayunya, Cui Sian mendapatkan juga jodohnya.
Akhirnya Cui
Sian juga yang memecahkan kesunyian akibat terdorong rasa sungkan dan malu di
samping rasa bahagianya. Dia menarik tangannya, mengangkat muka dan kedua mata
bintangnya bersinar-sinar menentang wajah Yo Wan, bibirnya tersenyum...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment