Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 40
Tidak
cocoklah isi surat dengan sikap suaminya. Kalau suaminya menulis seperti itu
dan kini suratnya terbaca olehnya, tidak mungkin suaminya akan bersikap seperti
itu, penuh rasa penasaran, kemarahan, kekagetan dan juga keheranan. Kalau
benar-benar menulis seperti itu tentu berusaha agar jangan terbaca olehnya.
"Iblis
terkutuk! Tulisanku dipalsu orang. Ini surat palsu, Sumoi!"
"Tulisannya
persis dengan tulisanmu. Aku sendiri pun akan berani bersumpah bahwa itu
tulisanmu, Hong-ko," Biauw Eng berkata.
"Sumoi,
telah terjadi hal yang hebat. Aku mengerti sekarang... hemmm..." Kini Keng
Hong membuka surat ke dua, tulisan tangan Yan Cu juga dia baca bersama Biauw
Eng. Akan tetapi karena mereka kini sudah merasa yakin bahwa ada pemalsuan
surat, mereka tidak begitu terkejut lagi membaca tulisan tangan Yan Cu yang
membuat Cong San menjadi seperti gila itu.
Suheng,
kekasihku.
Suheng,
harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tak tahan lagi. Dia agaknya mulai
curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng,
kekasihku.
"Suheng,
jadi engkau tidak menulis suratmu kepadaku itu? Dan... dan surat dariku ini?
Aku tidak pernah menulisnya, akan tetapi huruf-hurufnya... serupa benar dengan
gaya tulisanku..."
"Tenanglah,
Yan Cu. Dan ceritakan sekarang, apakah engkau pernah menerima surat kami
beberapa bulan yang lalu, yang diantar oleh seorang pesuruh kami?"
Yan Cu
menggeleng kepala. "Tidak pernah ada utusan kalian datang membawa
surat."
Biauw Eng
memandang pada suaminya dan alisnya berkerut. Hemmm, ini cocok dengan keanehan
sikap A-liok yang aneh, yang tidak kembali dan hanya berpesan tidak pulang ke
kampung.
"Surat
kita agaknya terjatuh ke tangan orang jahat dan tulisanmu dipelajari untuk
mereka pakai membuat surat palsu ini. Tak salah lagi. Suratmu itu dipalsu,
kemudian surat palsu ini diserahkan kepada Cong San di luar tahu Yan Cu."
"Akan
tetapi A-liok...? Dia amat boleh dipercaya." Keng Hong membantah, sungguh
pun dia percaya akan kecerdikan isterinya.
Biauw Eng
menggelengkan kepala. "Aku mempunyai dugaan bahwa A-liok telah terbunuh
orang, surat kita dipalsukan. Yang menyampaikan berita bahwa dia tidak pulang
ke sini itu tentu bukanlah A-liok, melainkan kaki tangan penjahat. Aku dahulu
sudah curiga bahwa tak mungkin A-liok berani berbuat seperti itu, akan tetapi
karena tidak ada terjadi sesuatu, aku pun tidak peduli. Sekarang aku baru tahu
bahwa kecurigaanku terhadap peristiwa itu benar."
Keng Hong
mengepal tinju dan menghadapi Yan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Sumoi, sekarang engkau yakin bahwa bukan aku yang menulis surat beracun
ini kepadamu. Akan tetapi, tulisanmu ini..., kau bilang serupa benar dengan
tulisanmu akan tetapi bukan tulisanmu?"
"Mengapa
serupa sekali, akan tetapi engkau mengerti bahwa tidak mungkin aku menulis
surat seperti itu, Suheng."
Keng Hong
mengangguk-angguk. "Aku mengerti adikku. Engkau bukanlah seorang wanita
seperti ini dan engkau amat mencinta suamimu. Akan tetapi bagaimana tulisanmu
sampai dapat dipalsukan orang lain?"
Yan Cu
menggigit bibir dan mengepal tinjunya. "Tadinya tak terpikir olehku,
sekarang aku ingat. Orang tua yang minta dituliskan resep baru itu! Hemmmm...
dari resep obat yang kutulis, seorang ahli tentu saja akan dapat menirukannya!
Akan tetapi kenapa...? Kenapa ada pemalsuan-pemalsuan ini? Kenapa sikap suamiku
selalu dingin dan murung? Kenapa ada yang hendak menghancurkan rumah tanggaku?
Siapa?"
"Siapa
lagi kalau bukan Cui Im!" Keng Hong berkata marah. "Aku akan
mencarinya. Dia harus mempertanggung jawabkan ini. yang kukhawatirkan hanyalah
Cong San. Dia pergi dari sini seperti orang yang sudah berubah jiwanya..."
"Suheng...!
Dia... dia ke sini...? Dan bersama Kun Liong...?"
"Kun
Liong? Siapa dia?"
"Anak
kami! Dia pergi membawa anak kami..., maka aku mengejar ke sini..."
Keng Hong
menggeleng kepala dan memandang sumoi-nya penuh rasa iba. "Dia datang
seorang diri dan hendak membunuhku."
"Karena
suheng-mu mengalah dan terancam, terpaksa aku turun tangan menandinginya. Dia
lari meninggalkan ancaman maut kepada Suheng-mu. Jadi engkau telah mempunyai
seorang putera? Di manakah dia? Dibawa ke mana?"
Akan tetapi
wajah Yan Cu sudah menjadi pucat sekali mendengar betapa suaminya telah datang
hendak membunuh Keng Hong dan tidak tampak anaknya bersama suaminya itu.
"Su...
sudah lamakah dia pergi?"
"Baru
saja, belum ada dua jam, dia berlari ke arah sana...," Biauw Eng menjawab
dan menunjuk ke utara.
Tanpa
menjawab dan tanpa pamit Yan Cu meloncat dan berkelebat cepat lari ke utara
hendak menyusul suaminya.
"Sumoi...!"
Keng Hong hendak mengejar, akan tetapi Biauw Eng memegang lengannya menahan.
"Suamiku,
tenanglah. Dalam keadaan seperti ini kita harus bersikap tenang dan tidak boleh
semberono. Kini kita sudah mengerti mengapa Cong San menjadi seperti gila dan
bersikeras hendak membunuhmu. Kiranya dia memang sudah gila oleh cemburu. Tidak
mengherankan jika dia membaca dua surat ini dan mungkin sekali dia juga
menyaksikan hal-hal yang menambah besar cemburunya. Bila engkau membantu Yan Cu
mencarinya, kemudian bertemu dengannya, bukankah kedatanganmu berdua Yan Cu itu
hanya akan menjadi minyak yang disiramkan kepada api yang berkobar? Tidak, hal
itu bahkan akan menambah ruwet persoalan."
"Habis,
bagaimana baiknya? Mungkinkah kita melihat kesengsaraan mereka dan berdiam diri
saja melihat rumah tangga mereka hancur berantakan?"
"Tentu
saja tidak, suamiku. Kita bertiga harus menyusul mereka dan kita bereskan urusan
itu, kita sadarkan Cong San yang gila oleh cemburu. Terutama sekali, kita
mencari biang keladinya yang kurasa bukan lain tentulah Cui Im."
"Bertiga?"
"Tentu
saja, bersama Giok Keng."
"Ihhh!
Perjalanan ini penuh bahaya, apa lagi kalau diingat bahwa besar kemungkinan
kita akan berhadapan dengan iblis betina itu. Mengajak Giok Keng berarti
membahayakan keselamatan anak kita."
"Hemmmm,
kalau kita tinggalkan di sini tanpa kita jaga, apakah hal itu malah tidak lebih
berbahaya lagi? Kalau kita mampu menjaga diri sendiri, masa tidak mampu
melindungi anak kita? Sebaliknya kalau kita berdua binasa, siapa pula yang akan
dapat menjaga anak kita? Kita pergi bertiga, hari ini juga, Hong-ko."
Mau tak mau
Keng Hong terpaksa harus membenarkan ucapan isterinya itu. Lagi pula,
menghadapi urusan Cong San benar-benar amat ruwet dan rumit, dia seorang diri
belum tentu mampu memecahkannya. Dia harus mengandalkan kecerdikan isterinya
untuk mengatasi perkara itu, maka dia tidak banyak membantah dan berangkatlah
suami isteri pendekar sakti itu bersama puteri mereka setelah menyerahkan
pengurusan rumah mereka kepada para petani tetangga mereka.
***************
Tubuh Cong
San terhuyung-huyung, akhirnya roboh di bawah pohon besar dalam hutan.
Terdengar dia menangis mengguguk. Selama hidup baru kali ini pendekar itu
menangis, hati dan pikirannya kacau balau, kehilangan pegangan. Ia berduka
kehilangan cinta kasih isterinya, dia marah karena merasa tertipu melihat
kenyataan bahwa sejak dulu isterinya adalah kekasih Keng Hong.
Dia kini
yakin bahwa isterinya menikah dengannya bukan sebagai seorang perawan lagi,
bahkan dia meragukan apakah Kun Liong itu anaknya! Lebih hebat lagi, dia sudah
mau melupakan semua itu, melupakan semua peristiwa yang sudah-sudah, menuruti
nasehat Thian Kek Hwesio, namun semua itu ternyata tidak ada gunanya karena
sampai sekarang pun isterinya masih melanjutkan hubungan jinah dengan Keng
Hong!
Dunia serasa
hancur lebur bagi Cong San. Yang lebih menyakitkan hati, dia tidak mampu
membalas, tidak mampu membunuh Keng Hong, bahkan dia menanam permusuhan pula
dengan Biauw Eng! Dia tidak mau melawan Biauw Eng, bukan hanya karena wanita
itu pun memiliki ilmu kesaktian yang lebih tinggi dari padanya, namun terutama
sekali karena dia merasa kasihan kepada Biauw Eng!
Di luar
kesadarannya, Biauw Eng juga menjadi korban watak kotor suaminya, dan wanita
itu sama sekali tidak bersalah. Betapa mungkin dia melawan mati-matian terhadap
Biauw Eng? Tidak, dia tak akan mengangkat senjata terhadap Biauw Eng, akan
tetapi, dia harus membunuh Keng Hong! Membunuh manusia busuk itu atau mati
dalam usahanya ini!
"Aihh..."
Dia mengeluh, duduk bersandar pohon, lalu mengusap air matanya. "bagaimana
aku dapat membunuh iblis itu? Ilmunya luar biasa tinggi, dan di sampingnya
masih ada Biauw Eng yang membelanya. Aaaaaahhh..., mengapa Thian menyiksaku
seperti ini? Di mana ada keadilan?"
Kalau saja
pohon raksasa tua di mana Cong San bersandar itu dapat bergerak bagaikan
manusia, tentu akan menggelengkan kepala mendengar keluhan Cong San ini.
Keluhan seorang manusia yang lajim terdengar di mana-mana, di seluruh pelosok
dunia ini.
Manusia
selalu mengeluh kalau tertimpa sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, kalau
terjadi sesuatu yang berlawanan dengan kehendak hatinya, dengan bayangan di
dalam pikirannya. Lalu dia merasa menderita, merasa sengsara dan berduka. Lalu
timbul rasa penasaran. Lebih celaka lagi, dia lalu mempersekutu Thian di dalam
keadaan mabuk oleh iba diri.
Cong San
lupa akan pelajaran-pelajaran kebatinan yang telah diterimanya semenjak kecil.
Oleh rasa iba diri yang menimbulkan pertentangan mencipta kemarahan dan
kebenciaan, dia lupa bahwa dia telah melakukan hal yang amat kotor. Dia ingin
menarik Tuhan agar berpihak kepadanya untuk dapat membalas Keng Hong! Ia baru
akan merasa puas, baru akan menganggap Tuhan Maha Adil kalau Tuhan suka
membantunya membunuh Keng Hong!
Betapa picik
pendapatnya yang melahirkan perbuatan setelah dikuasai oleh rasa sayang diri
dan iba diri. Perasaan ke-akuan ini membuat setiap orang ingin agar segala
sesuatu di alam mayapada ini, dari yang tampak sampai yang tidak tampak, dari
segala setan iblis, dewa malaikat sampai kepada Tuhan, semua bergerak demi
kepentingan dan keuntungan si Aku.
Berbahagialah
manusia yang dapat mengenal diri pribadi, bisa menujukan pandang mata dan
mendengarkan telinga ke dalam, bukan selalu keluar. Dapat mengenal isi pikiran
dan melihat betapa pikiran selalu membayangkan hal-hal lampau yang penuh
kenikmatan dan kesenangan sehingga timbul keinginan-keinginan, dapat
mendengarkan suara hati yang terdorong oleh nafsu-nafsu yang timbul dari
kenangan dan bayangan, dapat berdiri di atas itu semua tanpa penentangan, tanpa
pengekangan paksa, namun dengan penguasaan sehingga semua itu akan mencair dan
musnah dengan sendirinya, tanpa paksaan, tanpa pertentangan, bergulung menjadi
satu ke dalam cahaya Cinta Kasih Murni.
"Yap
Cong San, seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau, kenapa bersemangat
lembek dan lemah?"
Cong San
melompat bangun, membalik dan menghadapi Bhe Cui Im dengan mata berapi penuh
kebencian serta amarah. Wanita yang amat cantik jelita, yang berpakaian mewah dan
indah, pakaian yang ketat membungkus tubuh yang mempunyai lekuk-lengkung yang
menggairahkan, yang menghamburkan bau harum dari seluruh rambut dan pakaiannya,
tersenyum-senyum manis memandang padanya. Akan tetapi, bagi Cong San,
kecantikan itu menyembunyikan bayangan iblis yang mengerikan.
"Iblis
betina!" ia membentak.
Cepat dia
telah mencabut sepasang Im-yang-pit di tangannya, langsung menubruk dan
menyerang ke depan, mengirim totokan-totokan maut secara bertubi-tubi. Namun
sambil tersenyum simpul dan dengan gerakan yang sangat indah, Cui Im dapat
menghindarkan diri dengan amat mudah sehingga semua totokan itu mengenai angin
saja.
"Cong
San, alangkah bodohnya engkau. Apa bila engkau melawan aku, engkau tak akan
menang dan betapa mudah bagiku membunuhmu. Akan tetapi aku takkan membunuhmu
dan engkau pun tidak boleh menyerangku. Aku butuh engkau, dan engkau pun butuh
aku, Cong San."
Dalam
keadaan seperti itu, Cong San tak mampu berpikir panjang, maka ucapan ini dia
hubungkan dengan sifat mata keranjang dan gila laki-laki dari iblis betina ini.
Amarahnya memuncak dan dia menerjang lagi lebih nekat!
"Plak-plak...
Cusss!"
Dua batang
pit itu bertemu dengan telapak tangan Cui Im. Cong San merasa seolah-olah dua
batang senjatanya berikut tenaga sinkang-nya amblas ke dalam suatu benda lunak
dan kehilangan tenaganya, lalu sebuah totokan jari tangan yang halus runcing
menyentuh pundak, membuat dia terguling dan seluruh tubuh atasnya menjadi
lumpuh. Namun dia telah mengerahkan tenaga dalamnya, berhasil membuyarkan
pengaruh totokan, melompat berdiri dan siap menerjang lagi.
"Cong
San, aku tahu engkau gagah dan tidak takut mati. Akan tetapi, tidak sayangkah
bila engkau mati dalam tanganku sebelum engkau mampu membunuh Keng Hong yang
telah menghancurkan kebahagiaanmu?"
Cong San
tertegun. Dia tidak ingin mati sebelum sempat membalas Keng Hong! Akan tetapi
dia pun tidak sudi menyerah terhadap iblis betina ini, maka dia cepat
menghardik, "Urusanku dengan dia tidak ada sangkut pautnya denganmu!"
Cui Im
tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih rata seperti
mutiara. "Tidak ada sangkut pautnya, akan tetapi kita senasib! Keng Hong
telah menghancurkan kebahagiaanmu, juga dia telah menghancurkan kebahagiaanku.
Engkau mendendam dan hendak membunuhnya, aku pun demikian. Engkau tak berhasil,
aku pun demikian, karena dia memang sangat lihai. Karena itu, mengapa kita
saling serang sendiri? Tadi kukatakan bahwa kita saling membutuhkan. Kalau kita
bekerja sama menghadapi laki-laki mata keranjang itu, tentu kita akan berhasil
membalas dendam."
Cong San
meragu, menunduk. Dia tahu bahwa wanita di depannya ini, yang jahat dan keji
seperti iblis, memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, bahkan wanita ini adalah
sumoi dari Keng Hong. Wanita inilah satu-satunya orang yang ikut mempelajari
kitab-kitab rahasia peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan tingkat kepandaiannya
hanya sedikit di bawah tingkat Keng Hong.
"Bhe
Cui Im, engkau tahu bahwa aku tidak sudi bersahabat denganmu, bahwa aku tidak
sudi menyerah dan tunduk padamu. Akan tetapi, mengenai urusan Cia Keng Hong,
kalau engkau ada usul menghadapinya, katakanlah agar dapat
kupertimbangkan."
Cui Im
merasa girang sekali. Dia pun sudah mengenal watak pemuda ini dan dia tahu
bahwa kecantikannya, atau rayuannya sebagai wanita tak mungkin dapat
menggugurkan batin Cong San. Satu-satunya jalan untuk menarik pemuda ini
bekerja sama dengannya hanyalah memanfaatkan api cemburu yang sedang berkobar
di dadanya.
"Yap
Cong San, kita hanya bekerja sama untuk menghancurkan musuh kita, bukan untuk
bersahabat. Engkau tetap saja bebas, hanya kita rencanakan bersama untuk
memancing Keng Hong dan membunuhnya. Dia sudah merusak hidupku, dia juga
mempermainkan isterimu secara tidak tahu malu, seolah-olah isterimu dianggapnya
seorang pelacur..."
"Tutup
mulutmu! Aku melarang engkau menyebut-nyebut isteriku!" Sepasang pit di
tangan Cong San menggigil dan diam-diam Cui Im tersenyum mengejek karena dia
tahu bahwa kata-katanya yang disengaja tadi telah berhasil baik membakar hati
Cong San.
"Maaf,
aku bukan bermaksud menghina. Dengarlah, sekarang aku tinggal di Sun-ke-bun,
mengumpulkan kekuatan untuk melawan Keng Hong. marilah engkau ikut bersamaku ke
sana dan kita rundingkan rencana menghukum si mata keranjang itu bersama
guruku, Go-bi Thai-houw. Dengan tenaga kita bertiga, ditambah dengan
pembantu-pembantuku yang cukup banyak, aku percaya akhirnya Keng Hong akan
mampus di tangan kita."
Terjadi
perang batin di dalam hati Cong San. Kalau saja racun cemburu tidak sedemikian
hebatnya membakar seluruh dirinya, membuat setiap bulu pada tubuhnya, setiap
helai rambut di kepalanya, membenci dan bernafsu membunuh Keng Hong tentu dia
tidak akan sudi bersekutu dengan Cui Im dan antek-anteknya.
"Baik!
Akan tetapi ingat, kerja sama antara kita hanya untuk membunuh Cia Keng Hong
dan setelah itu, kita bersimpang dan mungkin kelak kita akan saling berhadapan
sebagai musuh!"
Kembali
wanita cantik itu tersenyum manis. "Urusan besar di depan mata masih belum
beres, mengapa memikirkan masa depan yang tiada ketentuan? Biarlah kita kini
bekerja sama untuk menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng yang lihai, urusan
nanti... bagaimana nanti sajalah."
"Aku
hanya membantumu menghadapi Keng Hong, tidak mau membantumu menghadapi Biauw
Eng!"
Cui Im
mengangguk. "Baiklah, kita tinggalkan Biauw Eng di luar. Betapa pun juga,
dia adalah sumoi-ku sendiri. Marilah kita berangkat."
Walau pun di
sudut hatinya terdapat perasaan memberontak dan mencela perbuatannya sendiri
yang mau bersekutu dengan seorang iblis betina seperti Cui Im, namun Cong San
menghibur diri bahwa perbuatannya ini hanya dia lakukan karena semata-mata demi
terlaksananya dendam di dalam hatinya, khusus untuk menghadapi Keng Hong.
Setelah itu, hemmm... siapa tahu, mungkin dia akan melawan Cui Im! yang
penting, Cia Keng Hong, laki-laki palsu, mata keranjang dan berakhlak bejat
itu, yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya, harus dibunuh lebih
dulu!
Dengan wajah
murung dan mulut selalu tertutup, tidak pernah mengeluarkan kata-kata kalau
tidak perlu sekali, Cong San melakukan perjalanan bersama Bhe Cui Im yang
cantik jelita dan yang terlalu cerdik untuk menutupi birahi yang selalu
menyelubunginya hingga tidak satu kali pun dia mencoba-coba untuk merayu Cong
San sungguh pun kesempatan untuk itu banyak sekali. Tidak, Bhe Cui Im adalah
seorang wanita yang sudah matang, penuh pengalaman dan cerdik luar biasa.
Kalau
mengingat kepandaian Cong San, murid Siauw-lim-pai ini tak akan dapat menolong
banyak kepadanya dalam menghadapi Keng Hong. Akan tetapi, bukan tingkat
kepandaian Cong San yang ia butuhkan dan diam-diam otaknya sudah bekerja untuk
menggunakan orang muda ini dalam siasatnya menjebak Keng Hong.
***************
Tanpa
mengenal lelah Yan Cu melakukan perjalanan mencari suaminya. Hatinya agak
terhibur setelah ia pergi ke Siauw-lim-pai dan mendapat kenyataan bahwa
puteranya, Kun Liong, ternyata berada di kuil itu! Cong San telah menitipkan
putera mereka itu di kuil Siauw-lim-pai sebelum berangkat pergi mencari Keng
Hong untuk dibunuhnya.
Sesudah
mendengar penuturan Yan Cu tentang keadaan Cong San, Thian Kek Hwesio
menganggap urusan itu gawat sekali, maka dia tidak melarang pada saat Yan Cu
mohon pergi menghadap Tiong Pek Hosiang.
Kakek bekas
ketua Siauw-lim-pai ini hanya menarik napas panjang, kemudian dengan singkat
berkata, "Omotohud, agaknya sudah nasib dan karma pinceng sehingga
sekarang masih harus terseret-seret urusan dunia. Pergilah engkau lebih dulu,
pinceng akan segera menyusul."
Menerima
kesanggupan kakek itu, agak besarlah hati Yan Cu, maka dia kemudian pergi
mencari suaminya. Dia mempunyai dugaan pula bahwa yang menimbulkan kehancuran
rumah tangganya tentulah Bhe Cui Im, si iblis betina itu, seperti yang telah ia
dengar dari Keng Hong pula.
Teringat dia
akan semua pengalamannya pada hari pernikahannya di puncak Cin-ling-san ketika
Bhe Cui Im muncul bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong. Hemmm, Mo-kiam
Siauw-ong! Terkenal sebagai raja kaum bajak sungai di lembah Fen-ho, murid
Thian-te Sam-lo-mo. Agaknya dia akan bisa mendapatkan petunjuk mengenai di mana
adanya Cui Im apa bila dia dapat bertemu dengan Mo-kiam Siauw-ong. Kalau dia
tidak dapat menyusul suaminya, maka dia akan mencari Bhe Cui Im dan akan
mengadu nyawa dengan iblis betina yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah
tangganya itu!
Keputusan
hati yang nekat ini membuat Yan Cu melakukan perjalanan tanpa mengenal lelah
dan beberapa pekan kemudian ia telah tiba di daerah lembah Sungai Fen-ho.
Ketika ia bertanya-tanya kepada para nelayan dengan mudah ia mendengar keterangan
bahwa Mo-kiam Siauw-ong yang dicarinya itu sekarang sudah menjadi seorang
berpangkat dan berpengaruh, yaitu menjadi putera mantu Coa-taijin, kepala
daerah kota Sun-ke-bun di lembah Fen-ho! Mendengar ini, Yan Cu cepat menuju ke
kota Fen-ho.
Tidak sukar
baginya untuk mencari rumah kepala daerah, di mana tinggal pula bekas raja
bajak yang dicarinya. Tentu saja di depan pintu gerbang gedung pembesar itu ia
dilarang masuk oleh para pengawal. Yan Cu yang karena kedukaan dan kemarahannya
sudah nekat, lalu berkata nyaring,
"Kalau
aku tidak boleh masuk, hayo suruh bajak Mo-kiam Siauw-ong cepat-cepat keluar
menemuiku! Kalau dia tidak mau keluar, terpaksa aku akan memaksa masuk!"
Seorang
pengawal cepat berlari masuk untuk melapor. Tepat pada saat itu pula, Mo-kiam
Siauw-ong, Bhe Cui Im dan Go-bi Thai-houw yang bersikap tak acuh, sedang
berunding dengan Yap Cong San yang sudah beberapa hari tinggal di situ pula.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Cong San mendengar laporan pengawal bahwa di luar
sudah muncul isterinya! Agaknya isterinya dapat tahu bahwa dia berada di situ.
Dia enggan bertemu dengan isterinya, sungguh pun jantungnya berdebar tegang dan
penuh dengan kerinduan yang luar biasa!
"Bagus
sekali kalau dia datang, memang kita juga membutuhkan dia!" Cui Im
berkata, mencegah Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bangkit. "Engkau bukan
lawannya, biar aku yang menangkapnya."
Tiba-tiba
Yap Cong San meloncat berdiri, mukanya pucat. "Bhe Cui Im! Apa yang akan
kau lakukan ini? Aku melarang siapa pun juga mengganggu isteriku!"
Cui Im
tersenyum memandang orang muda itu. "Aku amat kagum kepadamu, Cong San.
Sesudah semua yang diperbuatnya terhadapmu, masih saja engkau membelanya dan
mencintanya! Aku tahu akan perasaanmu itu, Cong San, maka harap kau jangan
salah sangka. Aku tudak akan mengganggunya, hanya ingin menangkapnya untuk
memancing munculnya Cia Keng Hong. Kalau dia mendengar bahwa kekasihnya yang
tercinta sudah kutangkap, tentu dia akan muncul ke sini!"
Sebutan
‘kekasihnya yang tercinta’, yang tadi sengaja dikeluarkan oleh mulut Cui Im itu
berhasil membakar lagi hati Cong San. Dia mengangguk dan berkata,
"Jangan
lukai dia, dan perlakukan dengan baik. Jangan sampai dia tahu aku berada di
sini."
Cui Im
mengangguk dan melirik ke arah gurunya. "Aku tahu dan jangan khawatir,
Cong San. Akan tetapi, isterimu itu bukanlah seorang yang lemah. Untuk
menangkap tanpa melukainya, aku harus mendapatkan bantuan Subo. Subo, harap
bantu teecu menangkap Yan Cu."
Go-bi
Thai-houw terkekeh. "Heh-heh-heh, apa sih sukarnya menangkap bocah
itu?" Akan tetapi dia bangkit juga dan mengikuti Cui Im keluar dari dalam
gedung.
Dengan muka
agak pucat Cong San lalu meloncat bangun, berindap-indap keluar untuk mengintai
betapa isterinya ditangkap, siap untuk membela isterinya yang betapa pun juga
amat dicintanya itu kalau-kalau akan terancam keselamatannya di bawah tangan
Cui Im yang dia tahu amat kejam.
Sementara
itu, Yan Cu masih menanti di luar, mengharapkan Mo-kiam Siauw-ong keluar agar
dia dapat bertanya tentang tempat tinggal Bhe Cui Im. Dapat dibayangkan betapa
kagetnya ketika dia menyaksikan berkelebatnya dua bayangan orang dan tahu-tahu
Bhe Cui Im sendiri bersama Go-bi Thai-houw telah berdiri di depannya!
"Kau...
kau iblis betina...!" Yan Cu berseru, matanya memandang penuh kebencian.
Biar pun dia
belum mempunyai bukti bahwa wanita inilah yang mencelakakannya, namun begitu
bertemu saja sudah bangkit kembali kebenciannya. Tetapi tanpa bukti, tentu saja
dia tidak dapat menuduhnya begitu saja.
"Hi-hi-hi-hik,
engkau isteri yang tidak setia! Apakah kau datang untuk mencari kekasihmu Cia
Keng Hong?"
Muka Yan Cu
menjadi merah sekali, dua matanya terbelalak dan kalau tadinya dia masih
ragu-ragu untuk menuduh karena tidak ada bukti, ucapan Cui Im itu meyakinkan
hatinya bahwa iblis inilah yang mengaturnya. Saking marahnya sampai sukar dia
mengeluarkan suara. Lagi pula, di tempat ramai itu, perlu apa dia berbicara
tentang kehancuran rumah tangganya itu? Hanya akan menimbulkan aib dan malu
saja! Karena itu Yan Cu langsung mencabut pedangnya dan menerjang Cui Im sambil
membentak,
"Tutup
mulutmu yang kotor, iblis bentina!"
Cui Im
mengelak sambil mengebutkan ujung lengan bajunya. Dia tertawa-tawa mengejek
menghindarkan bacokan dan tusukan pedang yang datang bertubi-tubi. Bila
dibandingkan dengan tingkat kepandaian Yan Cu, tentu saja Cui Im menang jauh
sekali. Apa bila dia menghendaki, dalam waktu belasan jurus saja dia tentu
sanggup merobohkan Yan Cu.
Akan tetapi,
merobohkan tanpa melukainya bukanlah hal mudah, dan Cui Im yang cerdik dan
dapat menduga bahwa Cong San tentu mengintai, secara sengaja menyebut-nyebut
nama Keng Hong untuk memanaskan hati Cong San, namun dia tetap tidak berani
untuk melukai Yan Cu karena hal ini hanya akan merugikan saja, akan membuat ia
kehilangan bantuan Cong San yang amat dia butuhkan.
"Subo,
harap bantu teecu!" sambil melompat jauh ke belakang Cui Im berseru.
Yan Cu yang
menjadi sangat marah dan penasaran cepat mengejar ke depan. Sinar merah
menyilaukan matanya. Cepat Yan Cu menangkis dengan pedangnya ke arah sinar
merah yang menyambar dari kanannya itu. Dia menahan teriakan pada waktu
pedangnya bertemu benda lunak halus dan ternyata itu adalah ujung kebutan merah
di tangan Go-bi Thai-houw yang terus membelit pedang.
Yan Cu
mengerahkan tenaga untuk menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka.
Dengan kebencian meluap Yan Cu menggerakkan tangan kirinya meluncur ke depan,
dua buah jari tangannya menusuk ke arah sepasang mata pada wajah tua yang terkekeh
dan menyeringai menjijikkan itu.
Dibandingkan
Cui Im, kepandaian Yan Cu masih jauh di bawah, apa lagi terhadap nenek ini yang
gerakan-gerakannya sungguh aneh di luar kebiasaan manusia normal. Pada saat dua
jari Yan Cu meluncur deras, Go-bi Thai-houw bukan mengelak atau pun menangkis,
malah memajukan wajahnya seolah-olah menyodorkan sepasang matanya untuk ditusuk
oleh dua jari Yan Cu.
Melihat ini
Yan Cu terkejut sekali, seakan terpesona oleh keanehan yang dilakukan Go-bi
Thai-houw sehingga membuat gerakan tangan kirinya agak tersendat, dan biar pun
hanya sekejap mata, tetapi waktu yang singkat ini sudah cukup bagi nenek itu
untuk mendahului gerakan tangan kiri Yan Cu. Tangan kanannya menarik hudtim
merah yang sudah melilit pedang Yan Cu sehingga Yan Cu yang masih terpesona itu
tubuhnya segera terputar dan ketika tubuh ini telah membelakanginya, nenek itu
cepat menggerakkan jari tangan kirinya menotok jalan darah di punggung nyonya
muda itu.
Tubuh Yan Cu
terkulai roboh, hilang seluruh tenaganya biar pun kesadarannya tidak turut
lenyap. Dia masih dapat melihat bayangan Cui Im yang melayang ke arahnya,
kemudian menambah dua totokan lagi pada pundak kanan dan pundak kirinya,
membuat dia sama sekali tidak dapat bergerak.
“Bawa dan
kurung dia di kamar tahanan, tetapi jangan ada yang mengganggu dia!” Cui Im
memberi perintahnya kepada penjaga yang berdiri di pinggir.
Dari tempat
persembunyiannya Cong San menonton semua itu dan wajahnya memucat, hatinya
penuh kekhawatiran dan kasihan, namun dia lega sesudah membuktikan bahwa Cui Im
membuktikan janjinya, tidak melukai isterinya. Isteri yang dicintainya sepenuh
raga, namun yang pada saat itu juga sedang dibencinya setengah mati.
Dia benci
kepada Yan Cu, bukan karena melihat isterinya itu melanjutkan perhubungan jinah
dengan Keng Hong, akan tetapi terutama sekali di samping penyelewengan yang
menjijikkan, isterinya masih berpura-pura mencintanya. Cinta palsu inilah yang
membuat dia sakit hati dan benci sekali!
Kalau saja
dahulu isterinya berterus terang, menyatakan mencinta Keng Hong seorang, tentu
dia pun akan suka mengalah, rela mengorbankan diri menderita. Akan tetapi Yan
Cu menerimanya sebagai suaminya, bahkan memperlihatkan cinta kasih yang mesra,
yang tedinya dia kira benar-benar, tadinya mengira bahwa Yan Cu telah melupakan
Keng Hong dan memulai lembaran baru dalam kehidupannya. Siapa kira, semua itu
sandiwara belaka dan diam-diam isterinya masih mencinta Keng Hong, bahkan
melanjutkan hubungan jinah mereka, mengadakan pertemuan gelap.
Membayangkan
ini semua, hati Cong San makin panas dan berkuranglah rasa kasihan di hatinya
terhadap Yan Cu. Biarlah Cui Im mempergunakan isterinya sebagai umpan untuk
memancing datang Cia Keng Hong, pikirnya. Asalkan Yan Cu tidak dihina, tidak
disiksa, karena kalau hal itu terjadi, tentu dia akan membelanya dengan taruhan
nyawa. Betapa pun jahatnya Yan Cu dalam pertimbangannya, tidaklah sejahat dan
sekeji Cui Im si iblis betina!
Yan Cu
ditahan dalam sebuah kamar yang cukup indah dan bersih. Kedua tangan dan
kakinya terbelenggu, akan tetapi memakai rantai panjang sehingga wanita ini
masih dapat bergerak leluasa, dapat makan dan tidur, akan tetapi tentu saja
tidak leluasa bergerak untuk berkelahi! Jendela dan pintunya dari besi, memakai
ruji besi yang kuat dan di luar jendela serta pintu terjaga ketat oleh pasukan
pengawal.
Cui Im
menepati janjinya. Yan Cu diperlakukan dengan baik, tidak pernah diganggu dan
mendapatkan makan yang cukup dan mewah. Hal ini membuat Cong San berterima
kasih dan lega hatinya, menambah kepercayaannya bahwa tak terkandung niat buruk
di dalam hati Cui Im terhadap Yan Cu, namun semata-mata iblis betina itu
mengajaknya bersekutu untuk menjatuhkan Keng Hong yang mereka benci bersama.
Karena
perlakuan Cui Im terhadap Yan Cu inilah yang membuat Cong San penurut dan dia
menyetujui siasat perangkap yang dipasang oleh Cui Im apa bila Keng Hong datang
ke tempat itu, terpancing oleh umpan berita tertawannya Yan Cu. Memang Cui Im
sengaja sudah menyebar orang-orangnya untuk mengabarkan bahwa Yan Cu tertawan
olehnya di Sun-ke-bun!
Berita ini
yang disebar itu sampai juga ke telinga Keng Hong dan Biauw Eng yang tengah
melakukan perjalanan, membawa puteri mereka. Kedua orang suami isteri pendekar
sakti ini tak merasa heran. Mereka memang telah menaruh dugaan bahwa Cui Im-lah
orangnya yang bersembunyi di belakang semua kejadian yang menghancurkan
kebahagiaan rumah tangga Cong San dan Yan Cu.
Mereka sudah
dapat mencari jejak musuh besar itu dan mendengar bahwa iblis betina itu
tinggal di Sun-ke-bun bersama Mo-kiam Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw. Maka,
begitu mendengar akan tertangkapnya Yan Cu di tempat itu, mereka tidak merasa
heran dan bersicepat menuju ke kota itu. Mereka berhenti di luar kota, menanti
sampai malam tiba.
Sambil
mengerutkan alisnya dan menidurkan puterinya dalam pondongan, Biauw Eng pun
berkata,
"Suamiku,
kita harus berlaku hati-hati sekali. Aku menduga bahwa semua ini dilakukan oleh
Cui Im untuk memancingmu. Semua perbuatannya yang ditujukan kepada Cong San dan
Yan Cu kurasa hanyalah untuk mencelakakan kita."
"Mengapa
kau menduga begitu, isteriku?"
"Cui Im
menaruh kebencian besar terhadap kita, terutama kepadamu. Ada pun Cong San dan
Yan Cu sesungguhnya hanya terbawa-bawa saja karena mereka adalah sekutu kita
dahulu. Mereka telah gagal menyerang kita ketika perayaan pernikahan kita, dan
agaknya untuk mengganggu kita di Cing-ling-san, mereka tidak berani. Maka Cui
Im dan sekutunya lalu menggunakan siasat, menghancurkan Cong San dan Yan Cu
untuk memancing kita datang."
"Aku
tidak takut!" Keng Hong berkata penuh kegeraman mengingat akan kekejaman
Cui Im yang sudah berkali-kali mencelakakannya dan masih belum bertobat meski
pun telah diampuninya.
"Aku
pun tidak takut, akan tetapi kalau malam ini kita menyerbu ke sana, dengan Giok
Keng di gendonganku, hemmm... kurang leluasa juga..."
"Ssttt...
ada orang!" setelah membisikkan peringatan ini tubuh Keng Hong telah
mencelat ke belakang dan dia melayang turun di depan seorang laki-laki yang
berdiri di balik pohon. Hanya beberapa detik saja selisihnya, Biauw Eng juga
telah berada di samping suaminya.
"Hemmmm,
kau lagi!" Biauw Eng membentak penuh kemengkalan hati pada saat melihat
bahwa yang berada di situ bukan lain adalah Yap Cong San. "Apakah kau
masih hendak menantang?"
"Sabarlah,
lihat, dia terluka." Keng Hong mendekati Cong San yang berdiri menunduk
dan tampak darah pada baju orang muda itu di bagian pundak kiri. "Cong
San, apakah yang terjadi? Engkau terluka...!"
Mendadak
Cong San menjatuhkan diri berlutut. "Lukaku tidak berarti..., akan tetapi
harap kalian sudi menolong Yan Cu. Dia tertawan di gedung kepala daerah, aku
telah berusaha menolongnya akan tetapi gagal, malah terluka. Kalau tidak
ditolong, celakalah dia malam ini..."
"Hemmm,
siapa saja di sana?" tanya Keng Hong.
"Penjagaan
amat kuat. Bhe Cui Im, Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong, serta beberapa orang
kepala bajak yang cukup lihai dan anak buah mereka yang banyak. Hanya kalian
berdualah yang akan dapat menolong Yan Cu..., tolonglah... sekarang
juga..."
"Hemmmm,
engkau masih ingat kepada isterimu? Setelah kau sakiti hatinya?" Biauw Eng
mengejek.
"Tolonglah
dia dulu, soal itu nanti kita bicarakan kelak berempat..." Cong San
berkata lagi.
"Isteriku,
dia benar. Yang penting menolong Yan Cu...," kata Keng Hong.
"Marilah!"
"Aku...
aku terluka, walau pun tidak berbahaya akan tetapi aku lemah tidak dapat
membantu... kulihat kalian membawa anak, berbahaya kalau dibawa menyerbu. Jika
kalian masih ada kepercayaan kepadaku, tinggalkan anak kalian bersamaku, aku
dapat menjaganya. Lebih aman dari pada dibawa menyerbu ke tempat berbahaya
itu..."
"Tidak!"
Biauw Eng membentak. "Lebih baik kulindungi sendiri!"
"Eng-moi.
Dia benar. Lebih baik kita titipkan kepada Cong San sementara kita menyerbu dan
menolong Yan Cu."
"Aihhh!
kau masih menaruh kepercayaan kepada orang ini yang hendak membunuhmu?"
"Jangan
bicara begitu, Eng-moi. Kita tahu dan yakin, Cong San bukan orang jahat. Dia
tentu akan melindungi Giok Keng dengan nyawanya. Serahkanlah, dari pada anak
kita terancam bahaya hebat apa bila kita bawa menyerbu ke sana. Tentu engkau
masih ingat akan kelihaian Go-bi Thai-houw, dan Cui Im tak boleh dipandang
ringan pula."
Dengan alis
berkerut Biauw Eng lalu menyerahkan Giok Keng kepada Cong San sambil berkata,
"Nah, terimalah dan jaga baik-baik. Awas, Yap Cong San, sedikit saja kau
berani mengganggu anakku, aku Sie Biauw Eng akan mencarimu biar sampai ke
neraka sekali pun!"
"Eng-moi,
jangan menuruti perasaan marah. Hayo kita cepat menolong Yan Cu. Cong San, kau
jaga anak kami dan tunggu di sini!" Keng Hong lalu melompat dan diikuti
oleh isterinya.
Sejenak Cong
San bengong terlongong memandang anak perempuan mungil yang tidur pulas di
gendongnya itu. Dia menarik napas panjang dan mencium dahi anak itu. "Anak
baik, kasihan engkau... mempunyai ayah macam itu. Aku bersumpah akan
melindungimu dan tidak akan membiarkan siapa pun mengganggumu. Aku hanya benci
kepada ayahmu dan maafkanlah, anak baik, aku terpaksa melakukan ini demi
dendamku pada ayahmu!"
Sesudah
menengok ke kanan kiri, Cong San meloncat dan lenyap ke dalam kegelapan yang
menyelubungi bumi.
***************
Keng Hong
dan isterinya menggunakan ilmu kepandaian yang tinggi, melompati tembok kota
dan langsung pergi mencari gedung besar tempat tinggal kepala daerah. Sambil
berloncatan cepat seperti dua ekor burung raksasa, Biauw Eng mencela suaminya.
"Aku
khawatir sekali. Orang yang sudah gila cemburu seperti dia itu, sukar untuk
dapat dipercaya sepenuhnya dan kita telah menyerahkan anak kita ke
tangannya!"
"Ahhh,
tidak melihatkah engkau betapa dia masih mencintai Yan Cu dan sudah berusaha
menolong isterinya sampai terluka. Tidak aneh, mana dia mampu menandingi Cui Im
dan kaki tangannya? Lagi pula, andai kata dia gila oleh cemburu, tentu
kepadakulah ditujukan dendam dan kebenciannya. Tidak mungkin dia menggangu Giok
Keng."
Meski pun
hatinya masih gelisah, akan tetapi kecurigaan Biauw Eng berkurang karena dia
dapat membenarkan pendapat suaminya itu. Dengan hati-hati mereka lantas
meloncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk, melanjukan penyelidikan mereka
ke gedung kepala daerah melalui jalan atas.
Hati suami
isteri perkasa ini makin curiga karena ternyata dengan mudah saja mereka tiba
di atas gedung kepala daerah tanpa menghadapi perlawanan atau pun serangan
penjaga. Keadaan sunyi saja seolah-olah para pengawal ditiadakan malam itu!
Ketika mereka
sampai di atas sebuah ruangan belakang yang luas dan mengintai, tahulah mereka
bahwa Cui Im memang sudah siap menanti kedatangan mereka! Mereka melihat Cui
Im, Mo-kiam Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw bersama lima orang lelaki tinggi
besar yang agaknya ialah teman-teman Mo-kiam Siauw-ong dari kalangan bajak,
sedang duduk di ruangan luas itu menghadapi meja hidangan, makan minum sambil
bercakap-cakap.
Tiba-tiba
percakapan dihentikan, dan terdengarlah suara Cui Im melengking nyaring,
"Keng
Hong dan Biauw Eng, kalian sudah datang! Hi-hi-hik-hik, jangan harap kalian
akan dapat membebaskan Yan Cu sebelum kalian mengalahkan kami!"
"Cui Im
manusia jahat, sekali ini aku tidak akan mengingat hubungan antara kita
lagi!" Jawaban Keng Hong ini disusul melayangnya dua tubuh yang ringan dan
gesit dari atas, meluncur memasuki ruangan yang luas itu.
"Wir-wir-wirrr…!"
Dari keempat
penjuru ruangan itu menyambar anak panah beracun ke arah tubuh Keng Hong dan
Biauw Eng, tiga puluh dua batang banyaknya, delapan batang dari tiap penjuru
yang dilepas oleh empat orang, masing-masing sekaligus dua batang.
Keng Hong
yang lebih dulu turun, menggerakkan kedua tangannya sedangkan Biauw Eng yang
turun beberapa detik berikutnya sudah menggerakkan sabuk sutera putihnya. Dalam
beberapa detik saja, Keng Hong telah berhasil mencengkeram enam belas batang
anak panah, sedangkan ujung sabuk sutera isterinya juga telah membelit enam
belas batang. Keng Hong berseru nyaring, lalu empat kali tangannya bergerak
dengan tubuh berputar ke empat penjuru.
Terdengar
jerit-jerit mengerikan. Dan dari atas tiang melintang di empat penjuru ruangan
itu, jatuhlah enam belas orang pemanah yang dadanya sudah termakan oleh anak
panah mereka sendiri. Tubuh mereka berkelojotan sebentar, kemudian tak bergerak
lagi.
Biauw Eng
memutar-mutar sabuk suteranya di atas kepala sambil tersenyum mengejek
memandang ke arah Cui Im yang mengangkat kedua alisnya dengan marah, kemudian
wanita muda yang jelita ini berseru, "Bhe Cui Im, terimalah sambutanmu sendiri!"
Sabuk sutera
itu mengeluarkan suara bersiut, lantas enam belas batang anak panah itu
meluncur seperti kilat menyambar ke arah meja di mana duduk Cui Im, Go-bi
Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong dan lima orang pembantunya yang terkejut dan cepat
melempar diri ke belakang, terjungkal bersama kursi mereka dalam pengelakan
yang tergesa-gesa dan kaget. Akan tetapi Cui Im mengangkat sumpitnya menangkisi
anak-anak panah itu, ada pun Go-bi Thai-houw menggunakan mulutnya yang peot
meniupi anak-anak panah itu sehingga menyeleweng dan tidak mengenai tubuhnya!
"Hi-hi-hi-hik,
Biauw Eng, engkau masih suka membela suamimu yang telah mengkhianati
pernikahanmu? Suamimu datang untuk menolong kekasihnya, apakah engkau tidak
tahu? Suamimu, laki-laki mata keranjang gila wanita ini, mencinta Yan Cu, apa
kau berpura-pura tidak tahu?"
"Cui
Im, tidak perlu banyak cakap lagi. Kami tahu siapa engkau dan dapat menduga apa
yang telah kau lakukan terhadap Cong San dan Yan Cu. Kami datang untuk membasmi
kau dan kaki tanganmu, dan sekali ini kami tidak mau bekerja kepalang
tanggung!" jawab Biauw Eng.
"Cui
Im, sekali ini aku tidak akan sudi mengampunimu lagi!" kata pula Keng
Hong.
"Eh,
ehh, ehhh, laki-laki tampan, apa kau lupa betapa kita bersama menikmati malam
itu? Apa kau lupa bahwa akulah gurumu dalam soal asmara? Hemmmm…, jantungku
masih berdebar dan semua bulu di tubuhku masih meremang karena birahi kalau
kuingat malam kita dahulu itu. Engkau pun cinta kepadaku, cinta pada tubuhku,
mana engkau akan tega membunuhku?"
"Cui
Im, perempuan tidak tahu malu! Majulah menerima kematian!" Keng Hong
berteriak marah sekali, mukanya menjadi merah karena dia diingatkan akan
pengalamannya yang amat memalukan dahulu.
Cui Im
memberi isyarat kepada Mo-kiam Siauw-ong. Mantu kepala daerah ini kemudian
mengangguk kepada lima orang pembantunya yang cepat-cepat meloncat bangun
sambil mengeluarkan tanda dengan suitan.
Dari kanan
dan kiri muncullah dua puluh orang dari empat penjuru yang segera bergerak
dengan teratur di bawah pimpinan lima orang itu, mengurung Keng Hong dan Biauw
Eng dengan membentuk satu lingkaran luas dalam jarak enam meter dari kedua
orang suami isteri sakti itu.
Keng Hong
dan Biauw Eng menggerakkan kaki, berdiri mengadu punggung dan bersikap tenang,
bahkan Biauw Eng yang sudah memegang sabuk sutera putih di tangannya itu
memandang kepada Cui Im sambil tersenyum mengejek, seakan-akan mentertawakan bekas
suci-nya itu yang menggunakan orang-orang yang dipandangnya rendah dan tiada
gunanya itu. Keng Hong juga bersikap tenang, masih belum mencabut pedang
Siang-bhok-kiam karena kalau hanya menghadapi pengurungan dua puluh lima orang
itu saja, apa lagi dia dibantu isterinya, kiranya tidak perlu mengeluarkan
pedang pusakanya itu.
Lima orang
itu memberi isyarat dengan tangan kepada dua puluh orang anak-anak buah mereka
yang berjalan mengitari Keng Hong dan isterinya. Tiba-tiba tampak sinar hitam
menggelapkan cahaya lampu yang menerangi ruangan itu dan ternyata dua puluh
lima orang itu kini semua telah mencabut sebatang cambuk hitam yang panjangnya
tak kurang dari lima meter!
Keng Hong
dan Biauw Eng segera tahu bahwa para pengeroyok itu hendak menyerang mereka
dari jarak jauh, mengandalkan senjata mereka yang panjang. Diam-diam suami
isteri ini tertawa. Betapa tololnya Cui Im! Biar pun kelihatannya cerdik,
mengeroyok dari jarak jauh, dua puluh lima orang ini akan dapat berbuat apakah
terhadap mereka?
Dengan sikap
tenang namun pandang mata mentertawakan, Keng Hong dan Biauw Eng tetap berdiri
tanpa bergerak, bahkan sekarang Biauw Eng dengan muka membayangkan kesebalan
sudah menyelipkan sabuk suteranya pada pinggangnya, seolah-olah ia hendak
menunjukkan kepada Cui Im bahwa ia tidak perlu lagi menggunakan senjata
menghadapi ancaman dua puluh lima orang pengeroyok itu.
Serangan itu
dilakukan tiba-tiba seperti telah disangka oleh suami isteri ini. Didahului
oleh ledakan-ledakan laksana suara halilintar sambung-menyambung, lalu tampak
sinar hitam meluncur dari sekeliling tubuh mereka, datanglah serangan ujung
cambuk bertubi-tubi ke arah tubuh mereka.
Sikap Keng
Hong dan Biauw Eng masih tenang, namun sepasang tangan mereka sudah bergerak
menyambut dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata. Tiba-tiba saja
tampak cahaya putih bergulung di depan Biauw Eng, ada pun Keng Hong
menggerakkan kedua tangan seperti seorang kanak-kanak menangkapi kupu-kupu
dan... sekian banyak cambuk itu sebagian tergulung oleh sabuk sutera Biauw Eng,
dan sebagian besar lagi ujungnya sudah tergenggam di kedua tangan Keng Hong.
Hampir
berbareng suami isteri ini lalu membuat gerakan, gerakan yang berbeda, bahkan
berlawanan karena jika Biauw Eng menarik sabuk suteranya dengan pengerahan
tenaga, tetapi sebaliknya Keng Hong justru melepaskan ujung-ujung sabuk yang
menegang akibat ditarik oleh pihak pengeroyok. Akan tetapi akibatnya hebat
sekali.
Mereka yang
cambuknya tertarik oleh Biauw Eng, ada yang sampai terguling-guling dan
terseret, ada yang putus cambuknya dan ada yang terpaksa melepaskan gagang
cambuk karena kulit tangan mereka terkupas! Sedangkan mereka yang ujung
cambuknya dilepas oleh Keng Hong, ada yang mengelak dari sambaran cambuk
sendiri hingga jatuh bangun, akan tetapi ada pula yang terpukul cambuk sendiri
pada mukanya sehingga kehilangan bukit hidung atau daun telinga. Terdengarlah
teriakan-teriakan kesakitan dan tentu saja pengepungan dua puluh lima orang itu
menjadi kacau-balau.
"Bhe
Cui Im, majulah sendiri! Apa gunanya memaksa tikus-tikus tiada guna ini?"
Biauw Eng berseru mengejek.
Akan tetapi,
lima orang pembantu Mo-kiam Siauw-ong itu menjadi marah sekali dan tentu saja
malu bahwa mereka dan anak buah mereka yang diandalkan tuan rumah ternyata
hanya dalam segebrakan saja telah kocar-kacir. Mereka meneriakkan aba-aba dan
para anak buah mereka telah bersiap lagi, bahkan yang kehilangan cambuk sudah
mengganti cambuknya.
Lima orang
itu memutar cambuk mereka sehingga terdengar suara bersuitan. Kemudian cambuk
mereka menyambar, tidak ke arah Keng Hong dan Biauw Eng yang memandang heran
dan geli, melainkan cambuk-cambuk itu menyambar ke arah api lilin di
sudut-sudut ruangan dan... ujung cambuk itu terbakar dengan cepat dan mudah.
Api cepat menjalar dari ujung cambuk sampai hampir ke gagang, tanda bahwa
cambuk mereka itu memang mengandung bahan bakar yang amat peka. Kini lima orang
itu memutar-mutar ‘cambuk api’ mereka dan anak buah mereka pun memutar cambuk
ke arah cambuk api pemimpin-pemimpin mereka dan terbakarlah semua cambuk yang
kini menjadi dua puluh lima buah banyaknya!
Keng Hong
dan Biauw Eng terkejut sekali ketika dua puluh lima batang api itu menerjang
mereka dengan cahaya api yang menyilaukan mata. Ini hebat, pikir mereka. Mereka
tidak takut akan kekuatan cambuk yang menyerang, akan tetapi berhadapan dengan
api yang setidaknya akan dapat membakar pakaian dan rambut, amatlah berbahaya!
Agaknya Cui
Im dapat melihat kekagetan mereka, maka terdengarlah suara ketawanya yang
melengking di antara sinar api yang kini bagaikan membakar seluruh ruangan itu,
mendatangkan bayangan-bayangan hitam merah seperti pemandangan di neraka!
Cambuk-cambuk
api itu datang dan Biauw Eng cepat menggunakan ginkang-nya, melesat dan
bergerak menyelinap di antara cambuk-cambuk api yang datang menyambar dirinya.
Gerakannya ringan dan cepat sekali dan diam-diam nyonya muda ini bersyukur
bahwa dia mentaati perintah suaminya, menyerahkan Giok Keng kepada Cong San.
Andai kata tadi harus menghadapi serangan cambuk-cambuk api ini sambil
menggendong anaknya, ihhh, dia bergidik ngeri karena maklum bahwa anaknya
terancam hebat oleh lidah-lidah api!
Keng Hong menjadi
amat marah. Dia harus memuji kehebatan barisan cambuk api ini dan kelihaian Cui
Im mengatur siasat. Menghadapi api, tentu saja pedang Siang-bhok-kaim tidak
dapat dia pergunakan. Pedangnya terbuat dari pada kayu dan tentu saja kayu
takut akan api. Kalau pedangnya terbakar, hal itu merupakan mala petaka hebat.
Juga tentu saja isterinya tidak dapat mempergunakan sabuk suteranya karena
sabuk itu pun tentu akan terbakar kalau bertemu dengan cambuk yang
bernyala-nyala.
Para anak
buah Cui Im yang menonton menjadi terbelalak, kagum dan tegang. Cambuk-cambuk
api yang bergulung-gulung itu amat indah di waktu malam, akan tetapi yang lebih
mengagumkan lagi adalah berkelebatnya bayangan Biauw Eng yang menyelinap ke
sana sini melalui gulungan-gulungan sinar menyala itu.
Ada pun Keng
Hong masih berdiri tegak, tidak mempergunakan ginkang seperti isterinya, tidak
mengelakkan melainkan mengunakan kedua tangannya mendorong ke depan dan kanan
kiri, namun angin pukulan kedua tangannya cukup kuat untuk membuat cambuk-cambuk
api yang datang menyambar itu terpental kembali.
"Eng-moi,
kita robohkan mereka dengan totokan-totokan!" Tiba-tiba Keng Hong berseru.
Sekarang dia
pun berkelebat meniru isterinya, menggunakan langkah kaki yang aneh dan
tubuhnya menyelinap di antara gulungan sinar, kedua tangannya dengan jari-jari
terbuka menerjang ke kanan kiri. Biauw Eng juga masih berkelebat, akan tetapi
kini tampak sinar putih sabuk suteranya meluncur ke kanan kiri seperti seekor
ular hidup yang menyelinap di antara keroyokan sinar api bergulung-gulung.
Terdengar
pekik susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang. Dengan tendangan kaki,
dua suami isteri yang sakti ini melempar-lemparkan tubuh para pengeroyok mereka
sehingga bertumpuk-tumpuk dan dengan dorongan pukulan yang mengandung sinkang
amat kuatnya, Keng Hong membuat cambuk api itu terbang membalik lantas menimpa
tumpukan tubuh yang telah tertotok dan tak mampu bergerak.
Terjadilah
hal yang amat mengerikan. Dua puluh lima orang itu, termasuk pula pimpinan
barisan, malang melintang bertumpuk-tumpuk dan dibakar hidup-hidup oleh cambuk
api mereka sendiri. Pakaian dan rambut mereka mulai terbakar sehingga tercium
bau hangus dan sangit.
Cui Im
mengeluarkan pekik kemarahan. Sambil memerintahkan anak-anak buahnya untuk
menyiram api dengan mempergunakan air dan menolong mereka yang sedang terbakar
hidup-hidup, dia bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang
maju dengan senjata di tangan.
Mula-mula
Cui Im yang licik itu menyerang bekas sumoi-nya, Biauw Eng. Dia mengira bahwa
tingkat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi itu akan dapat merobohkan Biauw
Eng dalam beberapa gebrakan saja. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia
melihat gerakan Biauw Eng jauh lebih hebat dari pada dahulu, maka tahulah dia
bahwa Biauw Eng telah menerima latihan dari Keng Hong sehingga bukan saja
langkah kakinya amat aneh dan gerakannya amat gesit, juga pada waktu sabuk
sutera itu menangkis pedang merahnya, ia merasa betapa tenaga bekas sumoi-nya
itu kuat sekali. Ujung sabuk melibat ujung pedang merah, terjadi saling betot
dan terdengar Keng Hong berkata,
"Eng-moi,
lepaskan!"
Untung Biauw
Eng cepat mengendurkan sabuk dan melepaskan libatan, kalau tidak, tentu
sabuknya akan putus. Keng Hong yang tadinya diserang Go-bi Thai-houw, kini
mencelat ke dekat Cui Im dan mendesak wanita itu dengan sinar pedang
Siang-bhok-kiam hingga wanita itu terpaksa melompat mundur saking hebatnya
serangan ini.
Go-bi
Thai-houw yang maklum betapa lihainya Keng Hong, sudah pula menerjang maju
dengan sepasang kebutannya sehingga dalam detik-detik berikutnya, Keng Hong
sudah dikeroyok dua oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im.
Namun
pendekar sakti ini memutar Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga tidak saja
tubuhnya terlindung oleh sinar hijau Siang-bhok-kiam, akan tetapi juga dari
gulungan ini secara mendadak dan aneh mencuat sinar-sinar yang menyambar ke
arah kedua orang pengeroyoknya, diseling dengan sambaran angin pukulan tangan
kirinya yang amat kuat. Pertandingan ini hebat dan seru bukan main karena
mereka semua mengerahkan seluruh kepandaian untuk saling membunuh!
Sementara
itu, setelah suaminya menggantikannya untuk menghadapi Cui Im yang lihai, Biauw
Eng menerima serbuan Mo-kiam Siauw-ong yang menyerangnya dengan ngawur dan
dengan hati tidak tenang karena tadinya mantu kepala daerah ini bermaksud hanya
membantu saja, lebih mengandalkan kepandaian Go-bi Thai-houw dan Cui Im. Tapi
siapa sangka, semua bantuan kawan-kawannya tiada guna, dan kini kedua orang
wanita yang diandalkan itu mengeroyok Keng Hong sehingga dia sendiri terpaksa
menghadapi nyonya muda yang amat lihai seorang diri saja!
Biar pun dia
sudah memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmu yang dahulu dia pelajari
dari ketiga orang kakek iblis Thian-te Sam-lo-mo, namun, menghadapi sinar putih
sabuk sutera Biauw Eng, dia benar-benar merasa bingung dan terdesak hebat.
Kemana pun pedangnya bergerak selalu bertemu dengan cahaya putih yang halus
lembut namun amat kuat itu, dan beberapa kali hampir saja pedangnya kena
terampas.
"Majuuuuuu...!
Keroyok...!"
Mo-kiam
Siauw-ong yang merasa kewalahan itu tiba-tiba saja bergerak, maka belasan orang
anak buahnya, yaitu para perwira pengawal, maju dengan senjata di tangan.
Tetapi sekali Biauw Eng mengeluarkan lengking nyaring dan sinar sabuk suteranya
membuat gerakan melengkung yang menyambar ke sekeliling tubuhnya, lalu robohlah
enam orang pembantu Mo-kiam Siauw-ong itu.
Mo-kiam
Siauw-ong terkejut dan marah. Ketika melihat Biauw Eng yang memutar sabuk itu
agak miring tubuhnya, dia cepat menubruk dan menusukkan pedangnya dari samping
ke arah dada.
Biauw Eng
dapat melihat gerakan ini dan dapat mendengar suara angin tusukan. Maka, dengan
tenang namun cepat sekali dia mengembangkan lengannya, membiarkan pedang
meluncur melalui bawah lengannya, kemudian tanpa membalikkan tubuhnya, ujung
sabuk suteranya menyambar ke belakang dan gerakan tiba-tiba ini tak dapat
dielakkan lagi oleh Mo-kiam Siauw-ong secara tepat.
Walau pun
dia telah miringkan kepala sehingga ujung sabuk itu tidak menotok ubun-ubun
kepalanya, namun lengannya tersabat dan dia memekik keras, tubuhnya terhuyung lantas
dia roboh terguling! Untung baginya bahwa anak buahnya cepat-cepat menubruk
Biauw Eng dengan senjata mereka sehingga wanita itu tidak sempat mengirim
serangan maut, sebaliknya Biauw Eng lalu mengelebatkan sabuk suteranya dan
robohlah empat orang pengeroyok.
Akan tetapi
Mo-kiam Siauw-ong sudah sempat diseret pergi menjauh oleh anak buahnya. Dia
mengeluh kesakitan sambil memegangi lehernya yang membengkak!
Go-bi
Thai-houw dan Cui Im bukan merupakan lawan yang lunak bagi Keng Hong. Kini Cui
Im lebih lihai dari pada dalam pertemuan terakhir dahulu ketika Cui Im menyerbu
ke Cin-ling-san. Cui Im telah digembleng oleh Go-bi Thai-houw dan kedua orang
wanita iblis itu mengeroyok Keng Hong dengan kebencian meluap dan nafsu
membunuh terkandung dalam setiap serangan.
Betapa pun
juga, dengan ilmunya yang tinggi, terutama gaya bertahan dari ilmu Thai-kek
Sin-kun, pendekar sakti ini sama sekali tidak terdesak, bahkan membuat kedua
orang lawannya terpaksa harus bersikap sangat hati-hati karena sedikit saja
mereka terkena Siang-bhok-kiam yang penuh dengan getaran hawa sinkang mukjijat
itu, maka celakalah mereka.
Karena tidak
ada lagi pengeroyok berani mendekatinya, Biauw Eng lalu menerjang maju membantu
suaminya dan tentu saja terjangan nyonya muda yang lihai ini membuat Cui Im dan
Go-bi Thai-houw menjadi makin terdesak hebat. Cui Im mulai menjadi gelisah dan
beberapa kali dia menengok ke belakang, bukan untuk mencari jalan lari,
melainkan dia mencari-cari Cong San.
Akhirnya,
setelah bentrokan antara pedangnya dan Siang-bhok-kiam membuat tubuhnya
terhuyung ke belakang, dia tidak dapat menahannya lagi dan berseru,
"Yap-sicu, di mana engkau?"
"Aku di
sini!" Yap Cong San tiba-tiba muncul dari balik pintu sambil memondong
anak perempuan kecil.
"Bantulah
kami!" Cui Im berseru dan melompat dekat Cong San, lantas secara tiba-tiba
pedang merahnya menyambar ke arah kepala Cong San!
Cong San
terkejut sekali, tidak mengira bahwa iblis betina itu menyerangnya, maka cepat
dia mengelak, akan tetapi ternyata serangan itu hanya pancingan belaka karena
di lain saat, anak perempuan di gendongannya sudah terampas oleh Cui Im, Cong
San berdiri melongo dan alisnya berkerut.
"Mengapa
kau tidak membantu kami?" Cui Im menegur, kemudian ia mengangkat anak itu
tinggi-tinggi ke atas sambil berteriak, "Keng Hong! Biauw Eng!
Menyerahlah, kalau tidak anak kalian akan kupenggal lehernya!" Pedang
merah ditempelkan di leher anak itu yang tiba-tiba menangis nyaring.
"Cui
Im, iblis keji...!" Keng Hong berteriak. "Cong San, kau manusia
terkutuk!" Keng Hong hendak mengamuk, akan tetapi lengannya disentuh
isterinya.
"Cui
Im, kami menyerah, akan tetapi jangan mengganggu anakku!" Biauw Eng
berkata, suaranya menggetar penuh kecemasan biar pun sikapnya tetap tenang.
"Hi-hi-hik!
Siapa mau mengganggu anakmu? Subo, harap suka lumpuhkan mereka!"
Go-bi
Thai-houw tertawa-tawa, dan kedua kebutannya berkelebat ke arah Keng Hong dan
Biauw Eng. Tentu saja kalau mereka menghendaki, mereka dapat menghindarkan
diri, akan tetapi setelah anak mereka berada di tangan Cui Im, mereka tidak
berani berkutik dan robohlah mereka dengan tubuh lemas dan lumpuh akibat
tertotok ujung kebutan Go-bi Thai-houw yang amat lihai itu.
"Ringkus
dan belenggu mereka kuat-kuat!" Cui Im memerintah.
Mo-kiam
Siauw-ong yang sudah marah sekali meloncat maju. Lehernya masih bengkak, akan
tetapi kedua tangannya masih dapat bergerak leluasa dan tenaganya masih cukup
besar untuk mengikat tubuh Keng Hong dan Biauw Eng dengan erat, bahkan dia
tidak melepaskan kesempatan itu untuk menggerayangi tubuh Biauw Eng secara
kurang ajar dengan maksud menghina. Namun Biauw Eng sudah mematikan rasa dan
Keng Hong juga memusatkan semua panca indera untuk menghadapi saat yang amat
gawat itu.
"Yap
Cong San, tak kusangka sama sekali bahwa seorang pendekar murid Siauw-lim-pai
yang gagah perkasa dan berwatak pendekar seperti engkau sudah tersesat begini
jauh. Engkau menipu kami dan ternyata engkau bersekutu dengan iblis betina
ini!" Keng Hong berkata, matanya mencorong memandang ke arah Cong San.
Akan tetapi
Cong San sama sekali tidak merasa kikuk atau malu, bahkan dia membalas dengan
pedang mata penuh kebencian, kemudian dia melangkah maju dan menendang kepala
Keng Hong yang rebah terlentang di atas lantai.
"Jangan
bunuh dulu!" Cui Im berteriak. Cong San mengurangi tenaga dan tendangannya
hanya membuat bibir Keng Hong berdarah.
"Yap
Cong San, manusia pengecut tidak tahu malu!" Biauw Eng memaki, sinar
matanya seakan-akan hendak menghancurkan kepala bekas sahabat itu.
"Begitukah sikap seorang laki-laki sejati? Menghina orang yang telah
menyerah! Kalau engkau tidak menggunakan siasat keji dan busuk tanpa mengenal
malu, kami berdua akan membasmi kalian semua, termasuk engkau, manusia berwatak
anjing!"
Cong San
memandang Biauw Eng dan menghela napas. "Aku kasihan kepadamu, Biauw Eng.
Bukan aku yang berwatak anjing, melainkan suamimu inilah! Dialah manusia
anjing, wataknya seperti anjing, biar pun telah diberi makan kenyang di rumah,
kalau keluar, biar ada tahi pun akan dimakannya! Bukan aku yang menghina
suamimu, tetapi manusia yang bernama Cia Keng Hong inilah yang telah
menghinaku. Bukan hanya menghina, ia malah menghancurkan kebahagiaan hidupku,
dan tanpa kau ketahui, telah menghancurkan pula kebahagiaan hidupmu."
"Ahhh,
engkau manusia buta! Kukira engkau masih tetap gila, demikan gila oleh cemburu
sehingga engkau tak segan-segan menipu kami. Engkau begitu gila sehingga tidak
hanya mencelakakan kami, juga membikin sengsara isterimu yang amat mencintamu,
dan telah mencelakakan pula anak kami!" Biauw Eng menjerit penuh
kemarahan.
"Engkaulah
yang buta, Biauw Eng. Suamimu seorang laki-laki hina, seorang suami yang
menyeleweng dan tidak setia, seorang sahabat yang palsu dan laknat, dan engkau
masih membelanya! Dialah yang merusak kehormatan dan kebahagiaan isteriku dan
aku, maka dengan jalan apa pun aku harus dapat membalas dendamku, harus dapat
membunuh dia seperti orang membunuh seekor anjing yang menjijikan!"
"Yap
Cong San, kau jangan menambah dosamu dengan maki-makian keji." Keng Hong
berkata tenang. "Isteriku benar, engkau bermata seperti buta. Engkau
menjadi gila dan buta oleh cemburu kosong terhadap isterimu dan aku. Engkau
menduga bahwa aku dan sumoi bermain gila, berzina. Padahal aku hanya mencinta
isteriku seorang, dan isterimu hanya mencinta engkau suaminya! Betapa keji
fitnah yang telah kau lontarkan kepadaku, terutama kepada sumoi. Aiiiihhhh,
betapa inginku menghajarmu, menyeretmu ke hadapan sumoi dan memaksamu menciumi
kakinya mohon pengampunan!"
Melihat
perbantahan mereka, Cui Im hanya tersenyum dan saling pandang dengan Go-bi
Thai-houw. Mereka merasa amat bangga menyaksikan hasil dari pada siasat mereka
yang dilaksanakan dengan penuh kesabaran dan kecerdikan.
Kini
diam-diam mereka menikmati hasil itu dan merasa amat gembira. Sedemikian hebat
rasa benci di hati Cui Im terhadap Keng Hong dan Biauw Eng sehingga di samping
ingin menyaksikan kedua orang ini mati di tangannya, juga dia merasa gembira
kalau sebelum dibunuh mereka itu menderita tekanan-tekanan batin lebih dahulu
dan bertengkar dengan bekas sahabat terbaik.
"Cia
Keng Hong, manusia iblis! Tak perlu engkau berlagak pendekar budiman! Aku bukan
anak kecil lagi dan aku bukan semata-mata melemparkan fitnah kosong! Telah lama
aku menderita oleh perbuatanmu yang kotor, semenjak aku menikah! Aku telah
menyabarkan diri, menekan batin hingga akhirnya meletus oleh kelanjutan
perbuatan-perbuatanmu yang kubuktikan sendiri. Aku bukan diburu rasa cemburu kosong,
namun dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan perbuatanmu yang menjijikkan. Aku
tidak akan menyalahkan bahwa engkau mencinta Yan Cu, akan tetapi setelah dia
menjadi isteriku, mengapa masih juga engkau kejar-kejar? Manusia
biadab...!"
"Hemmm,
bukti apakah yang kau sebut tadi, Cong San? Bukti surat-surat palsu itu?"
Cong San
kelihatan kaget sekali, dan Keng Hong melanjutkan. "Sumoi sudah datang dan
menunjukkan dua surat itu. Surat yang huruf-hurufnya persis huruf tulisanku itu
bukanlah surat yang kutulis. Orang yang kusuruh mengantarkan suratku kepada
kalian tidak pernah pulang ke Cin-ling-san. Surat yang memakai namaku itu
adalah surat palsu, Cong San. Demikian pula surat yang kau anggap tulisan
isterimu itu bukanlah tulisan Yan Cu, tetapi dipalsukan orang. Ahh, betapa
butanya engkau. Apakah tidak ada sedikit pun dugaan di hatimu siapa yang telah
membuat surat-surat palsu itu?"
"Bohong...!"
Cong San membentak. "Pengecut engkau! Setelah berani berbuat, mengapa
hendak menyangkal pula? Semenjak dahulu, Yan Cu adalah kekasihmu, semenjak
belum menjadi isteriku! Bahkan dia... aku... telah..."
"Yap
Cong San, katakan saja bahwa pada saat menikah denganmu, Gui Yan Cu bukan
perawan lagi maka engkau menduga bahwa hal itu adalah perbuatan suamiku
bukan?" Tiba-tiba Biauw Eng berkata dengan senyum mengejek.
Kembali Cong
San terkejut, kemudian makin marah. "Sesudah engkau tahu akan hal itu,
engkau masih hendak menyalahkan aku dan membela manusia jahanam itu?"
"Tutup
mulutmu dan jangan kau memaki suamiku. Engkaulah yang jahanam, Cong San!
Engkaulah yang jahanam dan buta, engkaulah yang memiliki hati serta pikiran
kotor, yang membayangkan hal-hal keji yang bukan-bukan. Yan Cu memang telah
kehilangan tanda keperawanannya, akan tetapi bukan karena berjinah dengan
suamiku, juga bukan dengan laki-laki lain. Kau mau tahu sebabnya? Bukalah
telingamu baik-baik. Ketika iblis betina Cui Im menyerbu ke Cin-ling-san,
isterimu kena ditendang oleh nenek iblis betina yang kini sedang
tersenyum-senyum itu, dan sengaja ditendangnya supaya kehilangan tanda
keperawanannya itu! Aku melihat sendiri pakaian pengantin Yan Cu yang berdarah!
Nah, tahukah engkau sekarang dan insyafkah engkau betapa tolol dan kejinya
perbuatanmu terhadap isterimu?"
Cong San
menoleh dan memandang Go-bi Thai-houw dengan mata terbelalak penuh keraguan.
Namun nenek itu, juga Cui Im, hanya tersenyum mengejek.
"Hatimu
sudah diracuni oleh cemburu, Cong San." Keng Hong melanjutkan keterangan
isterinya. "Engkau sudah cemburu lalu dalam hati menuduh isterimu secara
keji sehingga engkau selalu cemburu. Hal itu dipergunakan oleh Cui Im untuk
menipumu. Memang ada surat yang kubuat untuk engkau dan isterimu, surat biasa
yang kusuruh antar seseorang dari kampung kami. Akan tetapi pesuruh itu tidak
pernah pulang dan suratku tentu sudah dipalsu oleh Cui Im sehingga engkau
menjadi semakin cemburu. Kemudian surat tulisan Yan Cu, memang dia pernah
membuatkan resep untuk seorang laki-laki tua, tentu kaki tangan iblis betina
itu dan surat isterimu dipalsu. Betapa tololnya engkau!"
Wajah Cong
San berubah dan kini dia menoleh kepada Cui Im dengan pandang mata penuh
keraguan. Cui Im tersenyum dan berkata,
"Yap
Cong San, engkau tentu mengerti bahwa orang-orang yang sudah tak ada harapan
lagi untuk hidup akan berusaha menolong diri sendiri dengan segala macam
kebohongan. Bukankah engkau juga telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri
pertemuan antara mereka yang penuh kasih? Hi-hi-hik, kurasa engkau tidak begitu
bodoh, dan kalau semua yang mereka fitnahkan itu benar, apakah aku masih akan enak-enak
saja duduk di sini menanti kau curiga kepadaku?"
Cong San
membalik, lalu memandang Keng Hong penuh kebencian. "Manusia pengecut!
Engkau bohong! Aku melihat sendiri engkau bertemu dengannya, engkau sudah
men... menciumnya... engkau... Ahh… kubunuh engkau!" Ia menerjang maju dan
menggerakkan tangan hendak memukul kepala Keng Hong.
"Wuuuttt...
plakkk!"
Cui Im sudah
melesat dari tempat duduknya dan menangkis pukulan maut itu. Cong San
memandangnya dengan penuh kemarahan, akan tetapi Cui Im memegang lengannya dan
menariknya menjauh, lalu membisiki telinganya,
"Bodoh!
Dia sengaja memancing kemarahanmu agar dengan sekali pukul engkau dapat
membunuhnya. Terlalu enak baginya. Dia harus mati disiksa!"
"Tidak!"
Cong San menggeleng kepala. "Cukup bagiku asal dapat kubunuh dia! Aku
tidak sekejam itu!"
"Hussshhh...
engkau tidak kejam, akan tetapi aku terlalu sakit hati. Pula, terlebih dulu aku
hendak mengorek rahasia ilmunya, baru dia boleh kau bunuh. Kau bersabarlah
sampai tiga hari, terpaksa aku akan mencegahmu."
Cong San
menarik napas panjang. Dia maklum bahwa dia tidak dapat menandingi iblis betina
ini, dan harus dia akui bahwa tanpa kerja sama dengan Cui Im, tidak mungkin dia
dapat menundukkan Keng Hong.
"Terserah.
Akan tetapi, aku tidak ingin melihat kau membunuh Biauw Eng juga kau tidak
boleh mengganggu anaknya!" Setelah berkata demikian, Cong San membalikkan
tubuh dan lari memasuki kamarnya.
"Hi-hi-hik,
Cia Keng Hong. Bagaimana sekarang?"
"Iblis
betina, kau bunuhlah aku. Siapa takut mati?" jawab Keng Hong.
"Bhe
Cui Im, kau bunuhlah kami, akan tetapi bebaskan anak kami. Dia tidak ikut dalam
permusuhan kita!" kata Biauw Eng.
Cui Im
tertawa-tawa terkekeh-kekeh girang menyaksikan kekhawatiran Biauw Eng yang
dibencinya. "Enak saja! Aku akan menyiksa Keng Hong sepuasku, tidak hanya
menyiksa tubuhnya, akan tetapi juga menyiksa hatinya. Biar dia melihat
isterinya dipermainkan oleh banyak laki-laki di depan matanya sampai mati,
kemudian anaknya akan kuberikan pada segerombolan anjing kelaparan, biar dia
juga melihat tubuh anaknya dirobek-robek mulut anjing. Baru kubunuh dia sekarat
demi sekarat, ha-ha-ha-hi-hik!"
Biauw Eng
dan Keng Hong bergidik dan wajah mereka pucat, akan tetapi mereka maklum iblis
betina itu tentu akan mengeluarkan ancaman dan kata-kata yang lebih mengerikan
lagi apa bila mereka membantah, apa lagi kalau mereka minta dikasihani, maka
mereka menekan semua pikiran dan tidak mempedulikannya lagi.
Untuk
menyiksa hati Biauw Eng, Cui Im mencubit paha Giok Keng. Anak kecil yang sudah
berhenti menangis itu, menjerit dan menangis lagi. Biauw Eng memejamkan matanya
dan Cui Im tertawa-tawa gembira, melemparkan anak itu kepada salah seorang
perempuan pembantunya.
"Jagalah
dia baik-baik, jangan sampai sakit. Aku ingin dia sehat-sehat dan gemuk ketika
dia dikoroyok anjing! Siauw-ong, seret mereka berdua ke dalam kamar tahanan dan
jaga dengan kuat. Siapkan asap beracun dan begitu melihat mereka berhasil
melepaskan diri, semperotkan asap beracun ke dalam kamar!"
Dengan kasar
dua orang anak buah Mo-kiam Siauw-ong menyeret Keng Hong dan Biauw Eng dari
ruangan itu. Mo-kiam Siauw-ong dengan menyeringai hendak mencengkeram dada
Biauw Eng, akan tetapi Cui Im menghardiknya,
"Siauw-ong!
Siapa pun tidak boleh menjamahnya. Jika nanti hukuman kujalankan, engkau boleh
menjadi orang pertama yang menikmatinya. Bawa pergi!"
Mo-kiam
Siauw-ong menyeringai kecewa, akan tetapi janji itu membuat dia
mengangguk-angguk puas dan dia mengirim tendangan ke arah pinggul Biauw Eng.
Keng Hong
menggigit bibirnya dan dia berjanji kepada diri sendiri bahwa sekali dia dapat
lolos, dia tidak akan memberi ampun kepada Mo-kiam Siauw-ong, apa lagi Bhe Cui
Im! Akan tetapi, Keng Hong mendapat kenyataan dengan hati kecewa bahwa tempat
tahanan mereka itu benar-benar amat kuat, sebuah kamar yang sempit hanya dua
meter persegi, dari tembok berlapis baja dan pintunya juga dari baja, dengan
lubang-lubang kecil, ada pun di depan pintu berjaga dua lusin pengawal yang
semua memegang semprotan asap beracun yang dia tahu amat berbahaya. Maka
pendekar yang masih lumpuh tertotok itu hanya menyerahkan nasibnya dan nasib
isterinya ke tangan Tuhan.
Cui Im
mengepal kedua tangannya. Kalau menurutkan kemarahan hatinya, ingin dia pada
saat itu juga memukul mati Keng Hong dan Biauw Eng. Sudah berjam-jam lamanya
dia membujuk Keng Hong, menjanjikan kebebasan bagi anaknya, bahkan sampai
kebebasan mereka semua kalau Keng Hong suka menurunkan Ilmu Thi-khi I-beng
beserta Thai-kek Sin-kun kepadanya.
Namun,
bujukan-bujukan halus sampai ancaman-ancaman yang paling mengerikan tidak mampu
menggerakkan hati Keng Hong yang tetap menolak dan menantang dibunuh dari pada
harus menuruti permintaannya.
"Cui
Im, percuma saja kau membujuk. Apa kau kira aku tidak mengenal manusia berhati
iblis macam engkau ini? Bujuk dan janjimu itu tidak ada harganya sedikit pun
juga. Andai kata aku terbujuk dan menuruti kehendakmu, tetap saja engkau takkan
memegang janji. Lebih baik menghadapi ancamanmu yang pasti kau laksanakan,
karena bujuk dan janjimu jauh lebih jahat dari pada ancamanmu, lebih palsu.
Tidak, aku tak akan memberikan apa pun juga kepadamu. Dari pada ilmu
ditinggalkan kepadamu, jauh lebih baik kubawa mati!"
Ketika Cui
Im beralih kepada Biauw Eng dengan bujukannya bahwa jika Keng Hong mau menuruti
permintaannya, anak dan Biauw Eng akan dibebaskan, Biauw Eng menjawab,
"Aku
setuju sepenuhnya dengan keputusan suamiku. Jika dia menurut, tetap saja engkau
akan membunuh kami. Tidak mungkin aku mengharapkan kebebasan dari seorang iblis
macam engkau, dan akan dikutuk Tuhanlah bila kami meninggalkan sesuatu untuk
orang seperti engkau ini karena ilmu itu hanya akan menambah kekejian dan
kejahatanmu."
"Baik,
kalian rasakan nanti pembalasanku. Aku beri waktu tiga hari. Kalau pada hari
ketiga Keng Hong belum mau memenuhi permintaanku, dia akan menyaksikan betapa
engkau diperkosa berganti-ganti oleh banyak laki-laki sampai mati! Kemudian,
akan dia lihat pula anjing-anjing kelaparan memperebutkan daging anaknya.
Setelah itu, baru akan kupotong dia sekerat demi sekerat!"
Namun,
ancaman hebat itu kini tidak lagi mendatangkan kengerian dalam hati suami
isteri yang sudah nekat hendak mati bersama, mati bertiga bersama anak mereka
itu. Dengan hati penuh kemarahan, kekecewaan dan kemengkalan, Cui Im lalu
kembali ke kamarnya, melempar tubuhnya ke atas ranjang dan dia terlentang
sambil termenung, merasa betapa kosong hatinya. Dia merasa benar betapa dalam
menghadapi ancaman maut dan siksa sebelum mati, suami isteri itu tetap tenang
dan penuh kepercayaan akan cinta masing-masing! Dia merasa kosong, sunyi,
merana dan sengsara!
Hampir saja
dia melemparkan sesuatu untuk membunuh pelayan wanita yang muncul di pintu
kamarnya agar dapat melenyapkan kemarahan hatinya.
"Mau
apa kau?!" bentaknya.
Muka pelayan
itu menjadi pucat. Dia sudah mengenal watak wanita iblis ini yang dengan mudah
saja membunuh orang yang tak berdosa.
"Hamba...
hamba diperintah oleh Coa-kongcu untuk menghadap Paduka..." Saking amat
takutnya dia bersikap sangat merendah.
"Disuruh
apa? Cepat bicara!"
"Kongcu
mohon menghadap..."
"Pergilah!
Suruh dia datang, rewel benar!"
Pelayan itu
bergegas pergi dan tak lama kemudian, datanglah Coa Kun, putera Coa-taijin yang
selama ini diharuskan bersembunyi agar tidak sampai terlihat oleh Yap Cong San.
Akan tetapi pemuda yang sudah bertekuk lutut di bawah telapak kaki Cui Im itu
merasa kehilangan dan tak dapat lagi menahan rindu birahinya yang sudah
ditahan-tahan selama beberapa malam, maka malam ini setelah mendengar bahwa
musuh-musuh yang ditakuti telah tertawan, dia minta diperkenankan mengunjungi
kekasih pujaan nafsu birahinya itu.
Dalam
kegairahannya yang memenuhi seluruh tubuh, Coa Kun berjalan melalui
ruangan-ruangan dalam, tersenyum-senyum dan sinar matanya bercahaya penuh
kegembiraan, menuju ke kamar Cui Im yang letaknya agak di belakang. Dia tidak
tahu betapa bayangan Cong San dengan gerakan ringan mengintai dan mengikutinya.
Cong San tak
sengaja mengikuti pemuda ini. Tadi, di dalam kamarnya, Cong San merasa amat
gelisah dan hati nuraninya mengganggu perasaannya. Terjadi perang hebat dalam
batinnya, antara kebenciannya yang meluap-luap terhadap Keng Hong dan
kesadarannya akan kenyataan betapa ia telah mendatangkan mala petaka hebat
kepada bekas sahabat itu.
Dia tidak
menyesal kalau Keng Hong terbunuh, bahkan dia ingin membunuhnya dengan tangan
sendiri. Akan tetapi kalau dia teringat betapa Biauw Eng terbawa-bawa, betapa
anak perempuan mereka pun terancam bahaya maut, benar-benar hal ini membuat
Cong San menjadi gelisah sekali. Betapa mungkin dia akan mencegah kalau Cui Im
membunuh Biauw Eng dan anaknya?
Dan
ucapan-ucapan yang dikeluarkan Keng Hong dan Biauw Eng tadi! Bagaimana kalau
cemburunya tidak berdasar kenyataan dan bahwa semua itu diperbuat dengan
sengaja oleh Cui Im? Dia mengenal betapa keji dan liciknya wanita iblis itu.
Akan tetapi,
surat dapat dipalsu, dan mungkin tanda keperawanan Yan Cu benar hilang oleh
tendangan Go-bi Thai-houw, akan tetapi pertemuan dekat telaga antara Keng Hong
dan Yan Cu dahulu itu? Mana mungkin dipalsukan? Dia melihat sendiri, jelas Yan
Cu yang dikenal dari pakaian dan bentuk tubuhnya. Dan Keng Hong pun dia kenal
benar. Mereka berciuman, begitu mesra... bayangan ini membuat darah Cong San
mendidih lagi, membuat cemburunya bagaikan api disiram minyak, berkobar membuat
napasnya sesak dan tubuhnya panas.
Dia merasa
panas, lalu keluar dari kamarnya memasuki taman mencari hawa sejuk dan untuk
menenangkan pikirannya. Dia harus minta agar Yan Cu dibebaskan sekarang juga.
Setelah Keng Hong tertangkap, tidak perlu lagi isterinya ditawan.
Dia akan
memberi kebebasan sepenuhnya kepada Yan Cu. Kalau isterinya itu masih ingin
melanjutkan hubungan suami isteri, dia akan memaafkan semua. Jika ingin
memutuskan hubungan, terserah. Dia akan melanjutkan hidup untuk puteranya yang
dia titipkan di kuil Siauw-lim-si. Dia harus menemui Cui Im dan minta agar Yan
Cu dibebaskan.
Ada pun
Biauw Eng dan anaknya itu, setelah lewat tiga hari, akan dia tuntut kepada Cui
Im supaya dibebaskan pula. Kalau Cui Im memaksa hendak mengganggu mereka, atau
bahkan membunuh mereka, dia akan membela dan mempertaruhkan nyawanya! Biauw Eng
masih merupakan sahabatnya yang harus dia bela dengan taruhan nyawa!
Keputusan
hati ini membuat batin Cong San tidak terasa begitu menderita. Dia merasa
terhibur bahwa sebetulnya dia tidaklah jahat! Tidak, dia tidak kejam! Kalau dia
bersekutu dengan Cui Im untuk menjebak dan menangkap Keng Hong, hal itu hanya
dilakukannya untuk membalas dendam kepada Keng Hong. Dan dia tidak jahat karena
manusia seperti Keng Hong itu memang patut dibunuh!
Perang di
dalam hati Cong San ini sama sekali tidaklah aneh dan dapat diselidiki bahwa
hal itu terjadi setiap hari, setiap saat bahkan setiap detik di dalam hati
semua manusia! Tidak seorang pun manusia yang suka mengaku, baik dalam hatinya
apa lagi keluar dari mulutnya, bahwa dia telah melakukan sebuah perbuatan yang
dianggap jahat oleh hukum masyarakat. Dia tentu akan membela diri dan mencari
alasan-alasan yang menguatkan keyakinannya bahwa dia tidak jahat, bahwa
perbuatannya itu dilakukan karena terpaksa, dan lain-lain.
Mata manusia
ditujukan untuk memandang ke luar sehingga tentu saja yang dilihatnya hanyalah
kesalahan orang-orang lain yang berada di luar dirinya. Tak pernah sedetik pun
mata manusia ditujukan ke dalam untuk mengenal dirinya, untuk melihat isi hati
dan isi pikirannya, untuk menangkap basah semua kekotoran yang berkecamuk di
dalam dirinya, untuk mengenal kesalahan-kesalahan pada dirinya yang tidak
berbeda, tidak lebih sedikit, dari pada kesalahan-kesalahan orang lain yang
dilihat oleh matanya.
Kalau saja manusia
suka melatih matanya untuk sewaktu-waktu ditujukan ke dalam, pasti takkan
seperti sekarang ini ketegangan dan permusuhan yang selalu memenuhi hubungan
antara manusia. Akan tetepi kenyataannya tidak demikian. Semua mata selalu
ditujukan keluar, untuk mencari dan menemukan kesalahan-kesalahan lain orang.
Sayang!
Seorang
manusia yang suka melatih diri, menutup mata telinga terhadap hal-hal di luar
dirinya, membuka telinga batin untuk mengenal sifat-sifat dirinya pribadi,
orang demikian ini akan sadar bahwa dirinya tidaklah lebih baik atau lebih
jahat dari pada orang lain dan kesadaran ini akan menimbulkan perasaan senasib
sependeritaan, akan menciptakan kasih sayang yang murni antar sesama manusia,
melenyapkan iri dan dengki, mengusir benci yang menjadi sumber dari pada segala
kesengsaraan dan penderitaan hidup.
Kebencian
membayangkan kegelapan neraka sebaliknya cinta kasih menyinarkan cahaya sorga.
Akan tetapi, memaksa diri melenyapkan benci, memaksa diri memelihara cinta,
bahkan akan menimbulkan pertentangan dan persoalan baru yang akan berakhir
dengan kegagalan.
Mengubah
benci dengan cinta tak dapat dipaksakan, melainkan berlangsung sewajarnya
melalui kesadaran yang lahir dari dalam, dan kesadaran ini akan didapat kalau
manusia tekun membuka mata batin dan belajar mengenal diri pribadi dan
membebaskan diri dari pada belenggu keakuan yang akan mengaburkan pandangan
mata batin sehingga yang ingin dikenal hanyalah kebaikan-kebaikan dirinya
sendiri saja!
Tiba-tiba Cong
San menggerakkan kepalanya. Telinganya menangkap gerakan orang dan ketika dia
melihat seorang laki-laki muda tengah berjalan melenggang melalui lorong yang
menghubungkan bangunan besar dengan belakang, hatinya berdebar penuh kaget.
Cia Keng
Hong! Bagaimana Keng Hong dapat lolos? Dan agaknya sedang menuju ke bangunan
belakang di mana terdapat kamar tahanan Yan Cu! Ataukah Keng Hong baru berhasil
meloloskan diri dan kini hendak mencari kamar Cui Im? Mungkin juga.
Akan tetapi,
dia lebih percaya bahwa tentu Keng Hong yang berhasil membebaskan diri itu
pertama-tama hendak menolong kekasihnya, Yan Cu. Hatinya menjadi panas lagi dan
dengan amat hati-hati karena maklum akan kelihaian Keng Hong, Cong San bergerak
dari tempatnya dan membayangi dari belakang.
Cong San
mengintai dengan mata terbelalak penuh keheranan ketika melihat bayangan itu
mengetuk pintu kamar Cui Im, setelah mendapat jawaban halus dari dalam kemudian
memasuki kamar. Dari penerangan di depan kamar itu dia mendapat kenyataan bahwa
orang itu bukanlah Keng Hong, sungguh pun wajah dan bentuk badannya serupa
benar dengan Keng Hong. Orang itu adalah seorang laki-laki muda tampan yang
tersenyum dengan kilatan mata penuh gairah ketika memasuki kamar Cui Im!
Kalau saja
laki-laki itu tak serupa benar dengan Keng Hong, tentu Cong San sudah pergi
lagi, kembali ke kamarnya. Dia sudah cukup mengenal watak Cui Im, iblis betina
yang cabul dan gila laki-laki hingga tak mengherankan jika malam-malam Cui Im
memasukkan seorang laki-laki tampan. Akan tetapi, keadaan orang muda itu
membuat jantung Cong San berdebar.
Mengapa
begitu serupa dengan Keng Hong? Dan orang itu yang memiliki gerakan biasa saja,
bagaimana dapat memasuki tempat ini yang terjaga ketat oleh para pengawal? Hal
ini hanya membuktikan bahwa laki-laki itu memang tinggal di dalam gedung. Akan
tetapi mengapa dia yang sudah beberapa hari berada di situ tidak pernah
melihatnya? Melihat pakaian pemuda itu yang mewah bagai pakaian seorang
bangsawan pelajar, tak mungkin dia itu seorang pengawal atau pegawai biasa!
Bermacam-macam
dugaan yang mendebarkan jantung membuat Cong San menyelinap, mendekati kamar
itu dengan hati-hati sekali. Dia maklum alangkah lihainya Cui Im, dan sedikit
suara saja sudah cukup membuat wanita iblis itu tahu bahwa ada orang di luar
kamarnya.
Dengan
hati-hati sekali, tanpa mengeluarkan suara, dia berhasil mendekati jendela
kamar dan mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya untuk menangkap suara di
dalam kamar. Dia berhasil. Di samping suara orang bercumbu, dengus dan tawa
penuh nafsu birahi, dia mendengarkan percakapan yang membuat matanya
terbelalak, wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil! Hampir dia tidak
percaya akan pendengarannya sendiri, dan dengan susah payah dia menekan
perasaannya agar pernapasannya tidak menjadi sesak dan jangan sampai terdengar
dari dalam kamar itu.
"Ihhhhh,
kau seperti harimau kelaparan saja! Baru juga sepekan... bukankah kukatakan
bahwa kau harus menjauhkan diri dariku lebih dahulu dan bersembunyi saja di
kamarmu? Kalau sampai Cong San tahu..."
"Aduh,
Sianli! Dewiku, kekasihku, pujaan hatiku. Masa kau begitu tega? Hampir aku mati
karena rindu padamu... ahhhhh, kau begini cantik jelita, begini menggairahkan
dan begini harum...! Engkau tentu dapat menghargai semua bantuanku, bukan?
Ha-ha-ha, engkau benar-benar cerdik luar biasa. Si tolol Cong San itu
benar-benar dapat tertipu! Ingin sekali sebelum kau membunuh Keng Hong, aku
bertemu dengan orang yang hampir serupa dengan diriku itu. Apakah dia
benar-benar seperti aku, Sianli?"
"Ahh,
tentu saja kau lebih tampan!" Terdengar Cui Im cekikikan di antara suara
ciuman.
"Kenapa
tidak segera kau bunuh saja dia yang sangat berbahaya itu? Kalau sampai dia
dapat lolos, akan sia-sia semualah segala usaha kita menipu Cong San dan
memancing dia datang. Kau benar-benar pandai bersandiwara, dewiku. Ketika kau
menyamar sebagai Yan Cu di dekat telaga itu... ha-ha-ha, dan aku sebagai Keng
Hong... aihhh, benar-benar romantis pada waktu kita bercumbu itu. Sayang kau
segara membawaku lari pergi, tidak melanjutkan..."
"Hushhh,
gila kau! Kalau Cong San melihat bahwa yang bercumbu itu adalah engkau dan aku,
bukan Keng Hong dan Yan Cu, apa artinya semua siasat kita? Engkau pun hebat,
pandai sekali engkau memalsu gaya tulisan orang. Benar-benar seorang siucai
yang luar biasa!"
Cong San
berdiri menggigil di luar jendela kamar. Pandang matanya berkunang dan dia
memejamkan matanya karena segala di depannya berputar. Seolah-olah kedua
matanya dibuka orang, seolah-olah baru sekarang dia terbebas dari kebutaan.
Keng Hong dan Biauw Eng benar! Yan Cu tidak berdosa! Dan apa yang telah dia
lakukan?
"Ya
Tuhan...!" Hatinya merintih dan air mata bercucuran di atas kedua pipinya
yang pucat.
Ia tetap
memejamkan kedua matanya. Malu dia membuka matanya. Malu melihat dunia. Malu
menghadapi kenyataan. Dan dia menghina isterinya, memakinya dan menuduhnya
melakukan perbuatan jinah dengan Keng Hong! Dia mencemarkan nama dan kehormatan
isterinya yang tak berdosa, seolah-olah dia melumuri setangkai bunga seruni
putih bersih dengan lumpur kotor, membenamkan bunga itu dalam kotoran dengan
kedua tangannya yang kejam!
Dan dia
telah memaki dan menghina Keng Hong, pendekar sakti yang budiman itu, yang
dalam keadaan terhina masih tidak mau mencelakakannya, tidak mau melawannya
ketika diserang! Dan dia bersekutu dengan Cui Im, menipu Keng Hong menggunakan
siasat busuk, menggunakan anaknya sebagai umpan! Dan dia mencelakakan Biauw Eng
yang sama sekali tidak berdosa, seorang isteri yang setia dan mencinta
suaminya, seperti Yan Cu! Dan dia kini menyeret pula Giok Keng, anak mereka
yang masih bayi, ke dalam cengkeraman iblis betina Cui Im!
"Ya
Tuhan... apakah yang telah kulakukan semua itu...?"
Lamat-lamat
telinga Cong San masih menangkap suara cumbu rayu yang kini terdengar amat
menjijikkan hatinya.
"Dewiku,
lebih baik Keng Hong segera kau bunuh. Akan tetapi isterinya... dan Yan Cu,
aduh mereka amat cantik, sungguh sayang kalau dibunuh begitu saja..."
"Ihhhhh,
dengan aku dalam pelukanmu kau masih sempat memikirkan perempuan lain?"
"Aduhhh!
Ahhh, jangan terlalu keras mencubit, sayang. Lihat, pahaku sampai biru. Aku
hanya ingin mengatakan bahwa sayang sekali..."
"Sudah
kuputuskan untuk menyerahkan mereka kepada para pengawal agar diperkosa
beramai-ramai sampai mati!"
"Wah,
sayang sekali! Mengapa begitu? Sebelum diobral kepada tikus-tikus pengawal itu,
lebih baik kalau dihadiahkan dahulu kepadaku untuk beberapa malam..."
"Biauw
Eng sudah kujanjikan kepada Mo-kiam Siauw-ong..."
"Dan
Yan Cu? Dia cantik sekali. Aku mengintai dari jendela kamar tahanannya,
hemmm... biar pun tidak secantik engkau, namun aku mengilar dibuatnya. Sianli,
kau berikanlah dia kepadaku lebih dulu sampai aku puas, baru..."
"Sudahlah,
nanti mudah diatur. Sekarang aku ingin kau mengerahkan seluruh tenaga dan
mencurahkan seluruh perhatianmu untuk diriku seorang!"
Cong San
mengepal kedua tinjunya sampai ujung-ujung kukunya membikin lecet telapak
tangannya. Kalau dia tidak dapat menekan hatinya dan mengerjakan otaknya, tentu
dia sudah memecahkan jendela itu dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi dia menahan
diri karena maklum bahwa kalau dia melakukan hal itu, tentu dia akan roboh di
tangan Cui Im.
Dapat
dibayangkan betapa tersiksanya hati Cong San. Dia terduduk di atas lantai bawah
jendela dan tak bergerak seperti patung. Penyesalan yang sangat hebat membuat
seluruh tubuhnya kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, kadang-kadang lemas
dan terasa lumpuh namun ada kalanya tubuhnya menegang dilanda kemarahan.
Menjelang
pagi, dia mendengar suara laki-laki itu. "Tidurlah, Sianli. Aku akan
kembali ke kamarku sebelum pagi. Ahhh, aku puas sekali, terobatilah sudah
rinduku, aku lelah dan mengantuk sekali ahhhh..." Laki-laki itu menguap
dan terdengarlah langkah kakinya yang berat diseret meninggalkan kamar. Cong San
tak mendengar jawaban Cui Im. Tentu iblis betina itu telah tidur pulas.
Dengan mata
sipit karena kantuk serta kaki diseret karena lelah pemuda yang bukan lain
adalah Coa Kun sampai di lorong yang menjadi penghubung antara bangunan
belakang dengan bangunan besar, lalu berjalan menuju ke kamarnya.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan dan tahu-tahu Cong San telah berdiri di depannya dengan
mata menyinarkan maut dan rambut awut-awutan seperti orang gila! Coa Kun
terkejut dan hendak berteriak, akan tetapi Cong San mendahuluinya, menotok
jalan darah di dadanya hingga membuat pemuda bangsawan itu lumpuh dan tak
berdaya diseret ke dalam taman dan dibungkam mulutnya.
"Manusia
hina, hayo ceritakan apa yang sudah kau lakukan dengan surat-surat palsu itu
dan penyamaranmu sebagai Keng Hong!" Cong San mendesis dekat telinga
pemuda itu dan mengendurkan bungkaman pada mulutnya.
Menggigil
seluruh tubuh Coa Kun seakan-akan dia mendadak diserang dingin yang luar biasa.
Dengan gagap dia menjawab, "Ampun..., aku... aku hanya melakukan perintah
Cui Im... aku... aku... aku tidak tahu apa-apa..."
"Jawab
pertanyaanku! Apa yang terjadi dengan persuruh Keng Hong yang mengantarkan
surat kepadaku?"
"Dia...
di... dibunuh... aku dipaksa memalsukan suratnya..."
"Dan
surat tulisan Yan Cu?"
"Aku...
dipaksa menulis surat palsu..., mencontoh tulisan isterimu... dari resep
obat..."
"Dan di
dekat telaga itu? Kau dan Cui Im menyamar sebagai Keng Hong dan isteriku?
Jawab!"
Coa Kun
sudah terkencing-kencing ketakutan sampai celananya basah dan dia sudah tak
dapat lagi mengeluarkan suara, hanya mengangguk.
"Prokkkkk!"
Tangan Cong
San menampar dan sekali pukul pecahlah kepala Coa Kun. Cong San masih belum
puas, segera menghujani tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu dengan pukulan
dan tendangan sehingga remuk-remuklah tulang tubuh pemuda bangsawan yang
menjadi korban nafsu birahinya itu! Kemarahan menimbulkan kebencian sangat
hebat di hati Cong San, dan kebencian menimbulkan kekejaman yang mengerikan.
"Hemmm,
akhirnya kau tahu juga, manusia tolol!"
Cong San
cepat membalik dan ketika dia memandang kepada Cui Im, matanya seperti
mengeluarkan api dan napasnya seperti uap panas. "Iblis engkau...! Iblis
kejam...!" hanya itulah yang dapat keluar dari mulut Cong San. Kemarahan
dan kebencian yang terdorong oleh penyesalannya mencekik leher. Dia menubruk
maju, menyerang dengan sepasang Im-yang-pit di kedua tangannya.
Tentu saja
Cui Im dapat mengelak dengan mudah. Sambil berkelebat ke kanan kiri untuk
menghindarkan sambaran kedua senjata di tangan Cong San, Cui Im mengejek,
"Engkau tahu atau tidak, aku memang sudah mengambil keputusan untuk
membunuhmu pula. Kau kira hanya Keng Hong dan Biauw Eng saja yang kukehendaki
nyawanya? Hi-hi-hik-hik! Engkau dan Yan Cu juga termasuk hitungan! Kalian
berempat merupakan musuh-musuh besarku. Hi-hi-hik! Akan tetapi, mengingat bahwa
engkau telah berjasa dan membantuku, Hemmmm... agaknya aku akan dapat
mengampuni nyawamu asal engkau suka melayani aku. Engkau tampan, jauh lebih
menarik dari pada Coa Kun yang sudah kau bunuh itu. Bagaimana?"
"Iblis
cabul, perempuan hina!" Cong San menerjang lagi dan terpaksa Cui Im
bersikap hati-hati karena meski pun dia memiliki tingkat yang jauh lebih
tinggi, namun Cong San bukan seorang pendekar sembarangan, melainkan seorang
pendekar perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari Siauw-lim-pai.
Betapa pun
juga, Cong San bukanlah lawan Cui Im. Dalam keadaan tenang saja Cong San masih
kalah untuk dapat menandingi Cui Im. Apa lagi dalam keadaan marah seperti itu.
Kemarahan merupakan pantangan besar pada setiap pekerjaan dan setiap perbuatan,
karena kemarahan dapat menimbulkan kelengahan serta menggelapkan akal. Di dalam
amarah yang meluap-luap itu, serangan Cong San lebih terdorong oleh nafsu
membunuh dari pada terkendalikan oleh akal, dan boleh jadi serangan-serangannya
menjadi lebih berbahaya karena nekat, namun dia menjadi lengah karena tidak
lagi mempedulikan segi penjagaan diri.
Keributan
itu menarik datangnya para pengawal dan keadaan menjadi geger pada waktu mereka
melihat betapa Coa-kongcu sudah menggeletak menjadi mayat sedangkan Yap Cong
San yang tadinya menjadi tamu itu bertempur melawan Cui Im. Melihat datangnya
banyak orang, Cui Im membatalkan niatnya mempermainkan Cong San dan ia mencabut
pedang merahnya.
Tampak
cahaya merah berkelebat menyilaukan mata tersorot obor-obor yang dibawa oleh
para pengawal. Dengan mempermainkan pedangnya yang hebat, ditambah pula dengan
tenaga sinkang-nya yang lebih kuat, dalam belasan jurus saja pedang di tangan
Cui Im berhasil membabat patah sepasang pit di tangan Cong San, kemudian tangan
kiri Cui Im menotok dan robohlah Cong San!
Para
pengawal yang dipimpin Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang hendak menghujani
tubuh Cong San dengan senjata, akan tetapi Cui Im membentak, "Jangan bunuh
dulu! Ikat dia dan seret dalam kamar tahanan bersama dua orang tawanan! Juga
Yan Cu seret ke sana, jadikan satu dalam kamar tahanan itu!"
Tidak ada
yang berani membantah sehingga tubuh Cong San segera diikat kuat-kuat dan
diseret ke dalam kamar tahanan dalam keadaan pingsan. Cong San roboh pingsan
bukan oleh totokan yang melumpuhkan kaki dan tangannya, melainkan oleh pukulan
batin yang menimbulkan penyesalan yang menyesak dada.
Dia tidak
melihat betapa Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya, kemudian suami isteri itu
saling pandang dengan rasa heran akan tetapi kemudian pandang mata mereka
terhadap Cong San masih penuh dengan kemuakan. Juga Cong San tidak tahu betapa
tidak lama kemudian isterinya, Yan Cu, dalam keadaan terbelenggu erat-erat
diseret pula ke dalam kamar itu. Yan Cu segera menangis ketika melihat Keng
Hong dan Biauw Eng, juga suaminya, telah menjadi tawanan di situ....
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment