Wednesday, August 15, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Kayu Harum Jilid 40



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
       Serial Pedang Kayu Harum
                 Jilid 40


Tidak cocoklah isi surat dengan sikap suaminya. Kalau suaminya menulis seperti itu dan kini suratnya terbaca olehnya, tidak mungkin suaminya akan bersikap seperti itu, penuh rasa penasaran, kemarahan, kekagetan dan juga keheranan. Kalau benar-benar menulis seperti itu tentu berusaha agar jangan terbaca olehnya.

"Iblis terkutuk! Tulisanku dipalsu orang. Ini surat palsu, Sumoi!"

"Tulisannya persis dengan tulisanmu. Aku sendiri pun akan berani bersumpah bahwa itu tulisanmu, Hong-ko," Biauw Eng berkata.

"Sumoi, telah terjadi hal yang hebat. Aku mengerti sekarang... hemmm..." Kini Keng Hong membuka surat ke dua, tulisan tangan Yan Cu juga dia baca bersama Biauw Eng. Akan tetapi karena mereka kini sudah merasa yakin bahwa ada pemalsuan surat, mereka tidak begitu terkejut lagi membaca tulisan tangan Yan Cu yang membuat Cong San menjadi seperti gila itu.

Suheng, kekasihku.

Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku.

"Suheng, jadi engkau tidak menulis suratmu kepadaku itu? Dan... dan surat dariku ini? Aku tidak pernah menulisnya, akan tetapi huruf-hurufnya... serupa benar dengan gaya tulisanku..."

"Tenanglah, Yan Cu. Dan ceritakan sekarang, apakah engkau pernah menerima surat kami beberapa bulan yang lalu, yang diantar oleh seorang pesuruh kami?"

Yan Cu menggeleng kepala. "Tidak pernah ada utusan kalian datang membawa surat."

Biauw Eng memandang pada suaminya dan alisnya berkerut. Hemmm, ini cocok dengan keanehan sikap A-liok yang aneh, yang tidak kembali dan hanya berpesan tidak pulang ke kampung.

"Surat kita agaknya terjatuh ke tangan orang jahat dan tulisanmu dipelajari untuk mereka pakai membuat surat palsu ini. Tak salah lagi. Suratmu itu dipalsu, kemudian surat palsu ini diserahkan kepada Cong San di luar tahu Yan Cu."

"Akan tetapi A-liok...? Dia amat boleh dipercaya." Keng Hong membantah, sungguh pun dia percaya akan kecerdikan isterinya.

Biauw Eng menggelengkan kepala. "Aku mempunyai dugaan bahwa A-liok telah terbunuh orang, surat kita dipalsukan. Yang menyampaikan berita bahwa dia tidak pulang ke sini itu tentu bukanlah A-liok, melainkan kaki tangan penjahat. Aku dahulu sudah curiga bahwa tak mungkin A-liok berani berbuat seperti itu, akan tetapi karena tidak ada terjadi sesuatu, aku pun tidak peduli. Sekarang aku baru tahu bahwa kecurigaanku terhadap peristiwa itu benar."

Keng Hong mengepal tinju dan menghadapi Yan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian. "Sumoi, sekarang engkau yakin bahwa bukan aku yang menulis surat beracun ini kepadamu. Akan tetapi, tulisanmu ini..., kau bilang serupa benar dengan tulisanmu akan tetapi bukan tulisanmu?"

"Mengapa serupa sekali, akan tetapi engkau mengerti bahwa tidak mungkin aku menulis surat seperti itu, Suheng."

Keng Hong mengangguk-angguk. "Aku mengerti adikku. Engkau bukanlah seorang wanita seperti ini dan engkau amat mencinta suamimu. Akan tetapi bagaimana tulisanmu sampai dapat dipalsukan orang lain?"

Yan Cu menggigit bibir dan mengepal tinjunya. "Tadinya tak terpikir olehku, sekarang aku ingat. Orang tua yang minta dituliskan resep baru itu! Hemmmm... dari resep obat yang kutulis, seorang ahli tentu saja akan dapat menirukannya! Akan tetapi kenapa...? Kenapa ada pemalsuan-pemalsuan ini? Kenapa sikap suamiku selalu dingin dan murung? Kenapa ada yang hendak menghancurkan rumah tanggaku? Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan Cui Im!" Keng Hong berkata marah. "Aku akan mencarinya. Dia harus mempertanggung jawabkan ini. yang kukhawatirkan hanyalah Cong San. Dia pergi dari sini seperti orang yang sudah berubah jiwanya..."

"Suheng...! Dia... dia ke sini...? Dan bersama Kun Liong...?"

"Kun Liong? Siapa dia?"

"Anak kami! Dia pergi membawa anak kami..., maka aku mengejar ke sini..."

Keng Hong menggeleng kepala dan memandang sumoi-nya penuh rasa iba. "Dia datang seorang diri dan hendak membunuhku."

"Karena suheng-mu mengalah dan terancam, terpaksa aku turun tangan menandinginya. Dia lari meninggalkan ancaman maut kepada Suheng-mu. Jadi engkau telah mempunyai seorang putera? Di manakah dia? Dibawa ke mana?"

Akan tetapi wajah Yan Cu sudah menjadi pucat sekali mendengar betapa suaminya telah datang hendak membunuh Keng Hong dan tidak tampak anaknya bersama suaminya itu.

"Su... sudah lamakah dia pergi?"

"Baru saja, belum ada dua jam, dia berlari ke arah sana...," Biauw Eng menjawab dan menunjuk ke utara.

Tanpa menjawab dan tanpa pamit Yan Cu meloncat dan berkelebat cepat lari ke utara hendak menyusul suaminya.

"Sumoi...!" Keng Hong hendak mengejar, akan tetapi Biauw Eng memegang lengannya menahan.

"Suamiku, tenanglah. Dalam keadaan seperti ini kita harus bersikap tenang dan tidak boleh semberono. Kini kita sudah mengerti mengapa Cong San menjadi seperti gila dan bersikeras hendak membunuhmu. Kiranya dia memang sudah gila oleh cemburu. Tidak mengherankan jika dia membaca dua surat ini dan mungkin sekali dia juga menyaksikan hal-hal yang menambah besar cemburunya. Bila engkau membantu Yan Cu mencarinya, kemudian bertemu dengannya, bukankah kedatanganmu berdua Yan Cu itu hanya akan menjadi minyak yang disiramkan kepada api yang berkobar? Tidak, hal itu bahkan akan menambah ruwet persoalan."

"Habis, bagaimana baiknya? Mungkinkah kita melihat kesengsaraan mereka dan berdiam diri saja melihat rumah tangga mereka hancur berantakan?"

"Tentu saja tidak, suamiku. Kita bertiga harus menyusul mereka dan kita bereskan urusan itu, kita sadarkan Cong San yang gila oleh cemburu. Terutama sekali, kita mencari biang keladinya yang kurasa bukan lain tentulah Cui Im."

"Bertiga?"

"Tentu saja, bersama Giok Keng."

"Ihhh! Perjalanan ini penuh bahaya, apa lagi kalau diingat bahwa besar kemungkinan kita akan berhadapan dengan iblis betina itu. Mengajak Giok Keng berarti membahayakan keselamatan anak kita."

"Hemmmm, kalau kita tinggalkan di sini tanpa kita jaga, apakah hal itu malah tidak lebih berbahaya lagi? Kalau kita mampu menjaga diri sendiri, masa tidak mampu melindungi anak kita? Sebaliknya kalau kita berdua binasa, siapa pula yang akan dapat menjaga anak kita? Kita pergi bertiga, hari ini juga, Hong-ko."

Mau tak mau Keng Hong terpaksa harus membenarkan ucapan isterinya itu. Lagi pula, menghadapi urusan Cong San benar-benar amat ruwet dan rumit, dia seorang diri belum tentu mampu memecahkannya. Dia harus mengandalkan kecerdikan isterinya untuk mengatasi perkara itu, maka dia tidak banyak membantah dan berangkatlah suami isteri pendekar sakti itu bersama puteri mereka setelah menyerahkan pengurusan rumah mereka kepada para petani tetangga mereka.


                 ***************

Tubuh Cong San terhuyung-huyung, akhirnya roboh di bawah pohon besar dalam hutan. Terdengar dia menangis mengguguk. Selama hidup baru kali ini pendekar itu menangis, hati dan pikirannya kacau balau, kehilangan pegangan. Ia berduka kehilangan cinta kasih isterinya, dia marah karena merasa tertipu melihat kenyataan bahwa sejak dulu isterinya adalah kekasih Keng Hong.

Dia kini yakin bahwa isterinya menikah dengannya bukan sebagai seorang perawan lagi, bahkan dia meragukan apakah Kun Liong itu anaknya! Lebih hebat lagi, dia sudah mau melupakan semua itu, melupakan semua peristiwa yang sudah-sudah, menuruti nasehat Thian Kek Hwesio, namun semua itu ternyata tidak ada gunanya karena sampai sekarang pun isterinya masih melanjutkan hubungan jinah dengan Keng Hong!

Dunia serasa hancur lebur bagi Cong San. Yang lebih menyakitkan hati, dia tidak mampu membalas, tidak mampu membunuh Keng Hong, bahkan dia menanam permusuhan pula dengan Biauw Eng! Dia tidak mau melawan Biauw Eng, bukan hanya karena wanita itu pun memiliki ilmu kesaktian yang lebih tinggi dari padanya, namun terutama sekali karena dia merasa kasihan kepada Biauw Eng!

Di luar kesadarannya, Biauw Eng juga menjadi korban watak kotor suaminya, dan wanita itu sama sekali tidak bersalah. Betapa mungkin dia melawan mati-matian terhadap Biauw Eng? Tidak, dia tak akan mengangkat senjata terhadap Biauw Eng, akan tetapi, dia harus membunuh Keng Hong! Membunuh manusia busuk itu atau mati dalam usahanya ini!

"Aihh..." Dia mengeluh, duduk bersandar pohon, lalu mengusap air matanya. "bagaimana aku dapat membunuh iblis itu? Ilmunya luar biasa tinggi, dan di sampingnya masih ada Biauw Eng yang membelanya. Aaaaaahhh..., mengapa Thian menyiksaku seperti ini? Di mana ada keadilan?"

Kalau saja pohon raksasa tua di mana Cong San bersandar itu dapat bergerak bagaikan manusia, tentu akan menggelengkan kepala mendengar keluhan Cong San ini. Keluhan seorang manusia yang lajim terdengar di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini.

Manusia selalu mengeluh kalau tertimpa sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, kalau terjadi sesuatu yang berlawanan dengan kehendak hatinya, dengan bayangan di dalam pikirannya. Lalu dia merasa menderita, merasa sengsara dan berduka. Lalu timbul rasa penasaran. Lebih celaka lagi, dia lalu mempersekutu Thian di dalam keadaan mabuk oleh iba diri.

Cong San lupa akan pelajaran-pelajaran kebatinan yang telah diterimanya semenjak kecil. Oleh rasa iba diri yang menimbulkan pertentangan mencipta kemarahan dan kebenciaan, dia lupa bahwa dia telah melakukan hal yang amat kotor. Dia ingin menarik Tuhan agar berpihak kepadanya untuk dapat membalas Keng Hong! Ia baru akan merasa puas, baru akan menganggap Tuhan Maha Adil kalau Tuhan suka membantunya membunuh Keng Hong!

Betapa picik pendapatnya yang melahirkan perbuatan setelah dikuasai oleh rasa sayang diri dan iba diri. Perasaan ke-akuan ini membuat setiap orang ingin agar segala sesuatu di alam mayapada ini, dari yang tampak sampai yang tidak tampak, dari segala setan iblis, dewa malaikat sampai kepada Tuhan, semua bergerak demi kepentingan dan keuntungan si Aku.

Berbahagialah manusia yang dapat mengenal diri pribadi, bisa menujukan pandang mata dan mendengarkan telinga ke dalam, bukan selalu keluar. Dapat mengenal isi pikiran dan melihat betapa pikiran selalu membayangkan hal-hal lampau yang penuh kenikmatan dan kesenangan sehingga timbul keinginan-keinginan, dapat mendengarkan suara hati yang terdorong oleh nafsu-nafsu yang timbul dari kenangan dan bayangan, dapat berdiri di atas itu semua tanpa penentangan, tanpa pengekangan paksa, namun dengan penguasaan sehingga semua itu akan mencair dan musnah dengan sendirinya, tanpa paksaan, tanpa pertentangan, bergulung menjadi satu ke dalam cahaya Cinta Kasih Murni.

"Yap Cong San, seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau, kenapa bersemangat lembek dan lemah?"

Cong San melompat bangun, membalik dan menghadapi Bhe Cui Im dengan mata berapi penuh kebencian serta amarah. Wanita yang amat cantik jelita, yang berpakaian mewah dan indah, pakaian yang ketat membungkus tubuh yang mempunyai lekuk-lengkung yang menggairahkan, yang menghamburkan bau harum dari seluruh rambut dan pakaiannya, tersenyum-senyum manis memandang padanya. Akan tetapi, bagi Cong San, kecantikan itu menyembunyikan bayangan iblis yang mengerikan.

"Iblis betina!" ia membentak.

Cepat dia telah mencabut sepasang Im-yang-pit di tangannya, langsung menubruk dan menyerang ke depan, mengirim totokan-totokan maut secara bertubi-tubi. Namun sambil tersenyum simpul dan dengan gerakan yang sangat indah, Cui Im dapat menghindarkan diri dengan amat mudah sehingga semua totokan itu mengenai angin saja.

"Cong San, alangkah bodohnya engkau. Apa bila engkau melawan aku, engkau tak akan menang dan betapa mudah bagiku membunuhmu. Akan tetapi aku takkan membunuhmu dan engkau pun tidak boleh menyerangku. Aku butuh engkau, dan engkau pun butuh aku, Cong San."

Dalam keadaan seperti itu, Cong San tak mampu berpikir panjang, maka ucapan ini dia hubungkan dengan sifat mata keranjang dan gila laki-laki dari iblis betina ini. Amarahnya memuncak dan dia menerjang lagi lebih nekat!

"Plak-plak... Cusss!"

Dua batang pit itu bertemu dengan telapak tangan Cui Im. Cong San merasa seolah-olah dua batang senjatanya berikut tenaga sinkang-nya amblas ke dalam suatu benda lunak dan kehilangan tenaganya, lalu sebuah totokan jari tangan yang halus runcing menyentuh pundak, membuat dia terguling dan seluruh tubuh atasnya menjadi lumpuh. Namun dia telah mengerahkan tenaga dalamnya, berhasil membuyarkan pengaruh totokan, melompat berdiri dan siap menerjang lagi.

"Cong San, aku tahu engkau gagah dan tidak takut mati. Akan tetapi, tidak sayangkah bila engkau mati dalam tanganku sebelum engkau mampu membunuh Keng Hong yang telah menghancurkan kebahagiaanmu?"

Cong San tertegun. Dia tidak ingin mati sebelum sempat membalas Keng Hong! Akan tetapi dia pun tidak sudi menyerah terhadap iblis betina ini, maka dia cepat menghardik, "Urusanku dengan dia tidak ada sangkut pautnya denganmu!"

Cui Im tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih rata seperti mutiara. "Tidak ada sangkut pautnya, akan tetapi kita senasib! Keng Hong telah menghancurkan kebahagiaanmu, juga dia telah menghancurkan kebahagiaanku. Engkau mendendam dan hendak membunuhnya, aku pun demikian. Engkau tak berhasil, aku pun demikian, karena dia memang sangat lihai. Karena itu, mengapa kita saling serang sendiri? Tadi kukatakan bahwa kita saling membutuhkan. Kalau kita bekerja sama menghadapi laki-laki mata keranjang itu, tentu kita akan berhasil membalas dendam."

Cong San meragu, menunduk. Dia tahu bahwa wanita di depannya ini, yang jahat dan keji seperti iblis, memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, bahkan wanita ini adalah sumoi dari Keng Hong. Wanita inilah satu-satunya orang yang ikut mempelajari kitab-kitab rahasia peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah tingkat Keng Hong.

"Bhe Cui Im, engkau tahu bahwa aku tidak sudi bersahabat denganmu, bahwa aku tidak sudi menyerah dan tunduk padamu. Akan tetapi, mengenai urusan Cia Keng Hong, kalau engkau ada usul menghadapinya, katakanlah agar dapat kupertimbangkan."

Cui Im merasa girang sekali. Dia pun sudah mengenal watak pemuda ini dan dia tahu bahwa kecantikannya, atau rayuannya sebagai wanita tak mungkin dapat menggugurkan batin Cong San. Satu-satunya jalan untuk menarik pemuda ini bekerja sama dengannya hanyalah memanfaatkan api cemburu yang sedang berkobar di dadanya.

"Yap Cong San, kita hanya bekerja sama untuk menghancurkan musuh kita, bukan untuk bersahabat. Engkau tetap saja bebas, hanya kita rencanakan bersama untuk memancing Keng Hong dan membunuhnya. Dia sudah merusak hidupku, dia juga mempermainkan isterimu secara tidak tahu malu, seolah-olah isterimu dianggapnya seorang pelacur..."

"Tutup mulutmu! Aku melarang engkau menyebut-nyebut isteriku!" Sepasang pit di tangan Cong San menggigil dan diam-diam Cui Im tersenyum mengejek karena dia tahu bahwa kata-katanya yang disengaja tadi telah berhasil baik membakar hati Cong San.

"Maaf, aku bukan bermaksud menghina. Dengarlah, sekarang aku tinggal di Sun-ke-bun, mengumpulkan kekuatan untuk melawan Keng Hong. marilah engkau ikut bersamaku ke sana dan kita rundingkan rencana menghukum si mata keranjang itu bersama guruku, Go-bi Thai-houw. Dengan tenaga kita bertiga, ditambah dengan pembantu-pembantuku yang cukup banyak, aku percaya akhirnya Keng Hong akan mampus di tangan kita."

Terjadi perang batin di dalam hati Cong San. Kalau saja racun cemburu tidak sedemikian hebatnya membakar seluruh dirinya, membuat setiap bulu pada tubuhnya, setiap helai rambut di kepalanya, membenci dan bernafsu membunuh Keng Hong tentu dia tidak akan sudi bersekutu dengan Cui Im dan antek-anteknya.

"Baik! Akan tetapi ingat, kerja sama antara kita hanya untuk membunuh Cia Keng Hong dan setelah itu, kita bersimpang dan mungkin kelak kita akan saling berhadapan sebagai musuh!"

Kembali wanita cantik itu tersenyum manis. "Urusan besar di depan mata masih belum beres, mengapa memikirkan masa depan yang tiada ketentuan? Biarlah kita kini bekerja sama untuk menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng yang lihai, urusan nanti... bagaimana nanti sajalah."

"Aku hanya membantumu menghadapi Keng Hong, tidak mau membantumu menghadapi Biauw Eng!"

Cui Im mengangguk. "Baiklah, kita tinggalkan Biauw Eng di luar. Betapa pun juga, dia adalah sumoi-ku sendiri. Marilah kita berangkat."

Walau pun di sudut hatinya terdapat perasaan memberontak dan mencela perbuatannya sendiri yang mau bersekutu dengan seorang iblis betina seperti Cui Im, namun Cong San menghibur diri bahwa perbuatannya ini hanya dia lakukan karena semata-mata demi terlaksananya dendam di dalam hatinya, khusus untuk menghadapi Keng Hong. Setelah itu, hemmm... siapa tahu, mungkin dia akan melawan Cui Im! yang penting, Cia Keng Hong, laki-laki palsu, mata keranjang dan berakhlak bejat itu, yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya, harus dibunuh lebih dulu!

Dengan wajah murung dan mulut selalu tertutup, tidak pernah mengeluarkan kata-kata kalau tidak perlu sekali, Cong San melakukan perjalanan bersama Bhe Cui Im yang cantik jelita dan yang terlalu cerdik untuk menutupi birahi yang selalu menyelubunginya hingga tidak satu kali pun dia mencoba-coba untuk merayu Cong San sungguh pun kesempatan untuk itu banyak sekali. Tidak, Bhe Cui Im adalah seorang wanita yang sudah matang, penuh pengalaman dan cerdik luar biasa.

Kalau mengingat kepandaian Cong San, murid Siauw-lim-pai ini tak akan dapat menolong banyak kepadanya dalam menghadapi Keng Hong. Akan tetapi, bukan tingkat kepandaian Cong San yang ia butuhkan dan diam-diam otaknya sudah bekerja untuk menggunakan orang muda ini dalam siasatnya menjebak Keng Hong.


                  ***************


Tanpa mengenal lelah Yan Cu melakukan perjalanan mencari suaminya. Hatinya agak terhibur setelah ia pergi ke Siauw-lim-pai dan mendapat kenyataan bahwa puteranya, Kun Liong, ternyata berada di kuil itu! Cong San telah menitipkan putera mereka itu di kuil Siauw-lim-pai sebelum berangkat pergi mencari Keng Hong untuk dibunuhnya.

Sesudah mendengar penuturan Yan Cu tentang keadaan Cong San, Thian Kek Hwesio menganggap urusan itu gawat sekali, maka dia tidak melarang pada saat Yan Cu mohon pergi menghadap Tiong Pek Hosiang.

Kakek bekas ketua Siauw-lim-pai ini hanya menarik napas panjang, kemudian dengan singkat berkata, "Omotohud, agaknya sudah nasib dan karma pinceng sehingga sekarang masih harus terseret-seret urusan dunia. Pergilah engkau lebih dulu, pinceng akan segera menyusul."

Menerima kesanggupan kakek itu, agak besarlah hati Yan Cu, maka dia kemudian pergi mencari suaminya. Dia mempunyai dugaan pula bahwa yang menimbulkan kehancuran rumah tangganya tentulah Bhe Cui Im, si iblis betina itu, seperti yang telah ia dengar dari Keng Hong pula.

Teringat dia akan semua pengalamannya pada hari pernikahannya di puncak Cin-ling-san ketika Bhe Cui Im muncul bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong. Hemmm, Mo-kiam Siauw-ong! Terkenal sebagai raja kaum bajak sungai di lembah Fen-ho, murid Thian-te Sam-lo-mo. Agaknya dia akan bisa mendapatkan petunjuk mengenai di mana adanya Cui Im apa bila dia dapat bertemu dengan Mo-kiam Siauw-ong. Kalau dia tidak dapat menyusul suaminya, maka dia akan mencari Bhe Cui Im dan akan mengadu nyawa dengan iblis betina yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya itu!

Keputusan hati yang nekat ini membuat Yan Cu melakukan perjalanan tanpa mengenal lelah dan beberapa pekan kemudian ia telah tiba di daerah lembah Sungai Fen-ho. Ketika ia bertanya-tanya kepada para nelayan dengan mudah ia mendengar keterangan bahwa Mo-kiam Siauw-ong yang dicarinya itu sekarang sudah menjadi seorang berpangkat dan berpengaruh, yaitu menjadi putera mantu Coa-taijin, kepala daerah kota Sun-ke-bun di lembah Fen-ho! Mendengar ini, Yan Cu cepat menuju ke kota Fen-ho.

Tidak sukar baginya untuk mencari rumah kepala daerah, di mana tinggal pula bekas raja bajak yang dicarinya. Tentu saja di depan pintu gerbang gedung pembesar itu ia dilarang masuk oleh para pengawal. Yan Cu yang karena kedukaan dan kemarahannya sudah nekat, lalu berkata nyaring,

"Kalau aku tidak boleh masuk, hayo suruh bajak Mo-kiam Siauw-ong cepat-cepat keluar menemuiku! Kalau dia tidak mau keluar, terpaksa aku akan memaksa masuk!"

Seorang pengawal cepat berlari masuk untuk melapor. Tepat pada saat itu pula, Mo-kiam Siauw-ong, Bhe Cui Im dan Go-bi Thai-houw yang bersikap tak acuh, sedang berunding dengan Yap Cong San yang sudah beberapa hari tinggal di situ pula.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Cong San mendengar laporan pengawal bahwa di luar sudah muncul isterinya! Agaknya isterinya dapat tahu bahwa dia berada di situ. Dia enggan bertemu dengan isterinya, sungguh pun jantungnya berdebar tegang dan penuh dengan kerinduan yang luar biasa!

"Bagus sekali kalau dia datang, memang kita juga membutuhkan dia!" Cui Im berkata, mencegah Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bangkit. "Engkau bukan lawannya, biar aku yang menangkapnya."

Tiba-tiba Yap Cong San meloncat berdiri, mukanya pucat. "Bhe Cui Im! Apa yang akan kau lakukan ini? Aku melarang siapa pun juga mengganggu isteriku!"

Cui Im tersenyum memandang orang muda itu. "Aku amat kagum kepadamu, Cong San. Sesudah semua yang diperbuatnya terhadapmu, masih saja engkau membelanya dan mencintanya! Aku tahu akan perasaanmu itu, Cong San, maka harap kau jangan salah sangka. Aku tudak akan mengganggunya, hanya ingin menangkapnya untuk memancing munculnya Cia Keng Hong. Kalau dia mendengar bahwa kekasihnya yang tercinta sudah kutangkap, tentu dia akan muncul ke sini!"

Sebutan ‘kekasihnya yang tercinta’, yang tadi sengaja dikeluarkan oleh mulut Cui Im itu berhasil membakar lagi hati Cong San. Dia mengangguk dan berkata,

"Jangan lukai dia, dan perlakukan dengan baik. Jangan sampai dia tahu aku berada di sini."

Cui Im mengangguk dan melirik ke arah gurunya. "Aku tahu dan jangan khawatir, Cong San. Akan tetapi, isterimu itu bukanlah seorang yang lemah. Untuk menangkap tanpa melukainya, aku harus mendapatkan bantuan Subo. Subo, harap bantu teecu menangkap Yan Cu."

Go-bi Thai-houw terkekeh. "Heh-heh-heh, apa sih sukarnya menangkap bocah itu?" Akan tetapi dia bangkit juga dan mengikuti Cui Im keluar dari dalam gedung.

Dengan muka agak pucat Cong San lalu meloncat bangun, berindap-indap keluar untuk mengintai betapa isterinya ditangkap, siap untuk membela isterinya yang betapa pun juga amat dicintanya itu kalau-kalau akan terancam keselamatannya di bawah tangan Cui Im yang dia tahu amat kejam.

Sementara itu, Yan Cu masih menanti di luar, mengharapkan Mo-kiam Siauw-ong keluar agar dia dapat bertanya tentang tempat tinggal Bhe Cui Im. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia menyaksikan berkelebatnya dua bayangan orang dan tahu-tahu Bhe Cui Im sendiri bersama Go-bi Thai-houw telah berdiri di depannya!

"Kau... kau iblis betina...!" Yan Cu berseru, matanya memandang penuh kebencian.

Biar pun dia belum mempunyai bukti bahwa wanita inilah yang mencelakakannya, namun begitu bertemu saja sudah bangkit kembali kebenciannya. Tetapi tanpa bukti, tentu saja dia tidak dapat menuduhnya begitu saja.

"Hi-hi-hi-hik, engkau isteri yang tidak setia! Apakah kau datang untuk mencari kekasihmu Cia Keng Hong?"

Muka Yan Cu menjadi merah sekali, dua matanya terbelalak dan kalau tadinya dia masih ragu-ragu untuk menuduh karena tidak ada bukti, ucapan Cui Im itu meyakinkan hatinya bahwa iblis inilah yang mengaturnya. Saking marahnya sampai sukar dia mengeluarkan suara. Lagi pula, di tempat ramai itu, perlu apa dia berbicara tentang kehancuran rumah tangganya itu? Hanya akan menimbulkan aib dan malu saja! Karena itu Yan Cu langsung mencabut pedangnya dan menerjang Cui Im sambil membentak,

"Tutup mulutmu yang kotor, iblis bentina!"

Cui Im mengelak sambil mengebutkan ujung lengan bajunya. Dia tertawa-tawa mengejek menghindarkan bacokan dan tusukan pedang yang datang bertubi-tubi. Bila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Yan Cu, tentu saja Cui Im menang jauh sekali. Apa bila dia menghendaki, dalam waktu belasan jurus saja dia tentu sanggup merobohkan Yan Cu.

Akan tetapi, merobohkan tanpa melukainya bukanlah hal mudah, dan Cui Im yang cerdik dan dapat menduga bahwa Cong San tentu mengintai, secara sengaja menyebut-nyebut nama Keng Hong untuk memanaskan hati Cong San, namun dia tetap tidak berani untuk melukai Yan Cu karena hal ini hanya akan merugikan saja, akan membuat ia kehilangan bantuan Cong San yang amat dia butuhkan.

"Subo, harap bantu teecu!" sambil melompat jauh ke belakang Cui Im berseru.

Yan Cu yang menjadi sangat marah dan penasaran cepat mengejar ke depan. Sinar merah menyilaukan matanya. Cepat Yan Cu menangkis dengan pedangnya ke arah sinar merah yang menyambar dari kanannya itu. Dia menahan teriakan pada waktu pedangnya bertemu benda lunak halus dan ternyata itu adalah ujung kebutan merah di tangan Go-bi Thai-houw yang terus membelit pedang.

Yan Cu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Dengan kebencian meluap Yan Cu menggerakkan tangan kirinya meluncur ke depan, dua buah jari tangannya menusuk ke arah sepasang mata pada wajah tua yang terkekeh dan menyeringai menjijikkan itu.

Dibandingkan Cui Im, kepandaian Yan Cu masih jauh di bawah, apa lagi terhadap nenek ini yang gerakan-gerakannya sungguh aneh di luar kebiasaan manusia normal. Pada saat dua jari Yan Cu meluncur deras, Go-bi Thai-houw bukan mengelak atau pun menangkis, malah memajukan wajahnya seolah-olah menyodorkan sepasang matanya untuk ditusuk oleh dua jari Yan Cu.

Melihat ini Yan Cu terkejut sekali, seakan terpesona oleh keanehan yang dilakukan Go-bi Thai-houw sehingga membuat gerakan tangan kirinya agak tersendat, dan biar pun hanya sekejap mata, tetapi waktu yang singkat ini sudah cukup bagi nenek itu untuk mendahului gerakan tangan kiri Yan Cu. Tangan kanannya menarik hudtim merah yang sudah melilit pedang Yan Cu sehingga Yan Cu yang masih terpesona itu tubuhnya segera terputar dan ketika tubuh ini telah membelakanginya, nenek itu cepat menggerakkan jari tangan kirinya menotok jalan darah di punggung nyonya muda itu.

Tubuh Yan Cu terkulai roboh, hilang seluruh tenaganya biar pun kesadarannya tidak turut lenyap. Dia masih dapat melihat bayangan Cui Im yang melayang ke arahnya, kemudian menambah dua totokan lagi pada pundak kanan dan pundak kirinya, membuat dia sama sekali tidak dapat bergerak.

“Bawa dan kurung dia di kamar tahanan, tetapi jangan ada yang mengganggu dia!” Cui Im memberi perintahnya kepada penjaga yang berdiri di pinggir.

Dari tempat persembunyiannya Cong San menonton semua itu dan wajahnya memucat, hatinya penuh kekhawatiran dan kasihan, namun dia lega sesudah membuktikan bahwa Cui Im membuktikan janjinya, tidak melukai isterinya. Isteri yang dicintainya sepenuh raga, namun yang pada saat itu juga sedang dibencinya setengah mati.

Dia benci kepada Yan Cu, bukan karena melihat isterinya itu melanjutkan perhubungan jinah dengan Keng Hong, akan tetapi terutama sekali di samping penyelewengan yang menjijikkan, isterinya masih berpura-pura mencintanya. Cinta palsu inilah yang membuat dia sakit hati dan benci sekali!

Kalau saja dahulu isterinya berterus terang, menyatakan mencinta Keng Hong seorang, tentu dia pun akan suka mengalah, rela mengorbankan diri menderita. Akan tetapi Yan Cu menerimanya sebagai suaminya, bahkan memperlihatkan cinta kasih yang mesra, yang tedinya dia kira benar-benar, tadinya mengira bahwa Yan Cu telah melupakan Keng Hong dan memulai lembaran baru dalam kehidupannya. Siapa kira, semua itu sandiwara belaka dan diam-diam isterinya masih mencinta Keng Hong, bahkan melanjutkan hubungan jinah mereka, mengadakan pertemuan gelap.

Membayangkan ini semua, hati Cong San makin panas dan berkuranglah rasa kasihan di hatinya terhadap Yan Cu. Biarlah Cui Im mempergunakan isterinya sebagai umpan untuk memancing datang Cia Keng Hong, pikirnya. Asalkan Yan Cu tidak dihina, tidak disiksa, karena kalau hal itu terjadi, tentu dia akan membelanya dengan taruhan nyawa. Betapa pun jahatnya Yan Cu dalam pertimbangannya, tidaklah sejahat dan sekeji Cui Im si iblis betina!

Yan Cu ditahan dalam sebuah kamar yang cukup indah dan bersih. Kedua tangan dan kakinya terbelenggu, akan tetapi memakai rantai panjang sehingga wanita ini masih dapat bergerak leluasa, dapat makan dan tidur, akan tetapi tentu saja tidak leluasa bergerak untuk berkelahi! Jendela dan pintunya dari besi, memakai ruji besi yang kuat dan di luar jendela serta pintu terjaga ketat oleh pasukan pengawal.

Cui Im menepati janjinya. Yan Cu diperlakukan dengan baik, tidak pernah diganggu dan mendapatkan makan yang cukup dan mewah. Hal ini membuat Cong San berterima kasih dan lega hatinya, menambah kepercayaannya bahwa tak terkandung niat buruk di dalam hati Cui Im terhadap Yan Cu, namun semata-mata iblis betina itu mengajaknya bersekutu untuk menjatuhkan Keng Hong yang mereka benci bersama.

Karena perlakuan Cui Im terhadap Yan Cu inilah yang membuat Cong San penurut dan dia menyetujui siasat perangkap yang dipasang oleh Cui Im apa bila Keng Hong datang ke tempat itu, terpancing oleh umpan berita tertawannya Yan Cu. Memang Cui Im sengaja sudah menyebar orang-orangnya untuk mengabarkan bahwa Yan Cu tertawan olehnya di Sun-ke-bun!

Berita ini yang disebar itu sampai juga ke telinga Keng Hong dan Biauw Eng yang tengah melakukan perjalanan, membawa puteri mereka. Kedua orang suami isteri pendekar sakti ini tak merasa heran. Mereka memang telah menaruh dugaan bahwa Cui Im-lah orangnya yang bersembunyi di belakang semua kejadian yang menghancurkan kebahagiaan rumah tangga Cong San dan Yan Cu.

Mereka sudah dapat mencari jejak musuh besar itu dan mendengar bahwa iblis betina itu tinggal di Sun-ke-bun bersama Mo-kiam Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw. Maka, begitu mendengar akan tertangkapnya Yan Cu di tempat itu, mereka tidak merasa heran dan bersicepat menuju ke kota itu. Mereka berhenti di luar kota, menanti sampai malam tiba.

Sambil mengerutkan alisnya dan menidurkan puterinya dalam pondongan, Biauw Eng pun berkata,

"Suamiku, kita harus berlaku hati-hati sekali. Aku menduga bahwa semua ini dilakukan oleh Cui Im untuk memancingmu. Semua perbuatannya yang ditujukan kepada Cong San dan Yan Cu kurasa hanyalah untuk mencelakakan kita."

"Mengapa kau menduga begitu, isteriku?"

"Cui Im menaruh kebencian besar terhadap kita, terutama kepadamu. Ada pun Cong San dan Yan Cu sesungguhnya hanya terbawa-bawa saja karena mereka adalah sekutu kita dahulu. Mereka telah gagal menyerang kita ketika perayaan pernikahan kita, dan agaknya untuk mengganggu kita di Cing-ling-san, mereka tidak berani. Maka Cui Im dan sekutunya lalu menggunakan siasat, menghancurkan Cong San dan Yan Cu untuk memancing kita datang."

"Aku tidak takut!" Keng Hong berkata penuh kegeraman mengingat akan kekejaman Cui Im yang sudah berkali-kali mencelakakannya dan masih belum bertobat meski pun telah diampuninya.

"Aku pun tidak takut, akan tetapi kalau malam ini kita menyerbu ke sana, dengan Giok Keng di gendonganku, hemmm... kurang leluasa juga..."

"Ssttt... ada orang!" setelah membisikkan peringatan ini tubuh Keng Hong telah mencelat ke belakang dan dia melayang turun di depan seorang laki-laki yang berdiri di balik pohon. Hanya beberapa detik saja selisihnya, Biauw Eng juga telah berada di samping suaminya.

"Hemmmm, kau lagi!" Biauw Eng membentak penuh kemengkalan hati pada saat melihat bahwa yang berada di situ bukan lain adalah Yap Cong San. "Apakah kau masih hendak menantang?"

"Sabarlah, lihat, dia terluka." Keng Hong mendekati Cong San yang berdiri menunduk dan tampak darah pada baju orang muda itu di bagian pundak kiri. "Cong San, apakah yang terjadi? Engkau terluka...!"

Mendadak Cong San menjatuhkan diri berlutut. "Lukaku tidak berarti..., akan tetapi harap kalian sudi menolong Yan Cu. Dia tertawan di gedung kepala daerah, aku telah berusaha menolongnya akan tetapi gagal, malah terluka. Kalau tidak ditolong, celakalah dia malam ini..."

"Hemmm, siapa saja di sana?" tanya Keng Hong.

"Penjagaan amat kuat. Bhe Cui Im, Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong, serta beberapa orang kepala bajak yang cukup lihai dan anak buah mereka yang banyak. Hanya kalian berdualah yang akan dapat menolong Yan Cu..., tolonglah... sekarang juga..."

"Hemmmm, engkau masih ingat kepada isterimu? Setelah kau sakiti hatinya?" Biauw Eng mengejek.

"Tolonglah dia dulu, soal itu nanti kita bicarakan kelak berempat..." Cong San berkata lagi.

"Isteriku, dia benar. Yang penting menolong Yan Cu...," kata Keng Hong. "Marilah!"

"Aku... aku terluka, walau pun tidak berbahaya akan tetapi aku lemah tidak dapat membantu... kulihat kalian membawa anak, berbahaya kalau dibawa menyerbu. Jika kalian masih ada kepercayaan kepadaku, tinggalkan anak kalian bersamaku, aku dapat menjaganya. Lebih aman dari pada dibawa menyerbu ke tempat berbahaya itu..."

"Tidak!" Biauw Eng membentak. "Lebih baik kulindungi sendiri!"

"Eng-moi. Dia benar. Lebih baik kita titipkan kepada Cong San sementara kita menyerbu dan menolong Yan Cu."

"Aihhh! kau masih menaruh kepercayaan kepada orang ini yang hendak membunuhmu?"

"Jangan bicara begitu, Eng-moi. Kita tahu dan yakin, Cong San bukan orang jahat. Dia tentu akan melindungi Giok Keng dengan nyawanya. Serahkanlah, dari pada anak kita terancam bahaya hebat apa bila kita bawa menyerbu ke sana. Tentu engkau masih ingat akan kelihaian Go-bi Thai-houw, dan Cui Im tak boleh dipandang ringan pula."

Dengan alis berkerut Biauw Eng lalu menyerahkan Giok Keng kepada Cong San sambil berkata, "Nah, terimalah dan jaga baik-baik. Awas, Yap Cong San, sedikit saja kau berani mengganggu anakku, aku Sie Biauw Eng akan mencarimu biar sampai ke neraka sekali pun!"

"Eng-moi, jangan menuruti perasaan marah. Hayo kita cepat menolong Yan Cu. Cong San, kau jaga anak kami dan tunggu di sini!" Keng Hong lalu melompat dan diikuti oleh isterinya.

Sejenak Cong San bengong terlongong memandang anak perempuan mungil yang tidur pulas di gendongnya itu. Dia menarik napas panjang dan mencium dahi anak itu. "Anak baik, kasihan engkau... mempunyai ayah macam itu. Aku bersumpah akan melindungimu dan tidak akan membiarkan siapa pun mengganggumu. Aku hanya benci kepada ayahmu dan maafkanlah, anak baik, aku terpaksa melakukan ini demi dendamku pada ayahmu!"

Sesudah menengok ke kanan kiri, Cong San meloncat dan lenyap ke dalam kegelapan yang menyelubungi bumi.


                 ***************


Keng Hong dan isterinya menggunakan ilmu kepandaian yang tinggi, melompati tembok kota dan langsung pergi mencari gedung besar tempat tinggal kepala daerah. Sambil berloncatan cepat seperti dua ekor burung raksasa, Biauw Eng mencela suaminya.

"Aku khawatir sekali. Orang yang sudah gila cemburu seperti dia itu, sukar untuk dapat dipercaya sepenuhnya dan kita telah menyerahkan anak kita ke tangannya!"

"Ahhh, tidak melihatkah engkau betapa dia masih mencintai Yan Cu dan sudah berusaha menolong isterinya sampai terluka. Tidak aneh, mana dia mampu menandingi Cui Im dan kaki tangannya? Lagi pula, andai kata dia gila oleh cemburu, tentu kepadakulah ditujukan dendam dan kebenciannya. Tidak mungkin dia menggangu Giok Keng."

Meski pun hatinya masih gelisah, akan tetapi kecurigaan Biauw Eng berkurang karena dia dapat membenarkan pendapat suaminya itu. Dengan hati-hati mereka lantas meloncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk, melanjukan penyelidikan mereka ke gedung kepala daerah melalui jalan atas.

Hati suami isteri perkasa ini makin curiga karena ternyata dengan mudah saja mereka tiba di atas gedung kepala daerah tanpa menghadapi perlawanan atau pun serangan penjaga. Keadaan sunyi saja seolah-olah para pengawal ditiadakan malam itu!

Ketika mereka sampai di atas sebuah ruangan belakang yang luas dan mengintai, tahulah mereka bahwa Cui Im memang sudah siap menanti kedatangan mereka! Mereka melihat Cui Im, Mo-kiam Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw bersama lima orang lelaki tinggi besar yang agaknya ialah teman-teman Mo-kiam Siauw-ong dari kalangan bajak, sedang duduk di ruangan luas itu menghadapi meja hidangan, makan minum sambil bercakap-cakap.

Tiba-tiba percakapan dihentikan, dan terdengarlah suara Cui Im melengking nyaring,

"Keng Hong dan Biauw Eng, kalian sudah datang! Hi-hi-hik-hik, jangan harap kalian akan dapat membebaskan Yan Cu sebelum kalian mengalahkan kami!"

"Cui Im manusia jahat, sekali ini aku tidak akan mengingat hubungan antara kita lagi!" Jawaban Keng Hong ini disusul melayangnya dua tubuh yang ringan dan gesit dari atas, meluncur memasuki ruangan yang luas itu.

"Wir-wir-wirrr…!"

Dari keempat penjuru ruangan itu menyambar anak panah beracun ke arah tubuh Keng Hong dan Biauw Eng, tiga puluh dua batang banyaknya, delapan batang dari tiap penjuru yang dilepas oleh empat orang, masing-masing sekaligus dua batang.

Keng Hong yang lebih dulu turun, menggerakkan kedua tangannya sedangkan Biauw Eng yang turun beberapa detik berikutnya sudah menggerakkan sabuk sutera putihnya. Dalam beberapa detik saja, Keng Hong telah berhasil mencengkeram enam belas batang anak panah, sedangkan ujung sabuk sutera isterinya juga telah membelit enam belas batang. Keng Hong berseru nyaring, lalu empat kali tangannya bergerak dengan tubuh berputar ke empat penjuru.

Terdengar jerit-jerit mengerikan. Dan dari atas tiang melintang di empat penjuru ruangan itu, jatuhlah enam belas orang pemanah yang dadanya sudah termakan oleh anak panah mereka sendiri. Tubuh mereka berkelojotan sebentar, kemudian tak bergerak lagi.

Biauw Eng memutar-mutar sabuk suteranya di atas kepala sambil tersenyum mengejek memandang ke arah Cui Im yang mengangkat kedua alisnya dengan marah, kemudian wanita muda yang jelita ini berseru, "Bhe Cui Im, terimalah sambutanmu sendiri!"

Sabuk sutera itu mengeluarkan suara bersiut, lantas enam belas batang anak panah itu meluncur seperti kilat menyambar ke arah meja di mana duduk Cui Im, Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong dan lima orang pembantunya yang terkejut dan cepat melempar diri ke belakang, terjungkal bersama kursi mereka dalam pengelakan yang tergesa-gesa dan kaget. Akan tetapi Cui Im mengangkat sumpitnya menangkisi anak-anak panah itu, ada pun Go-bi Thai-houw menggunakan mulutnya yang peot meniupi anak-anak panah itu sehingga menyeleweng dan tidak mengenai tubuhnya!

"Hi-hi-hi-hik, Biauw Eng, engkau masih suka membela suamimu yang telah mengkhianati pernikahanmu? Suamimu datang untuk menolong kekasihnya, apakah engkau tidak tahu? Suamimu, laki-laki mata keranjang gila wanita ini, mencinta Yan Cu, apa kau berpura-pura tidak tahu?"

"Cui Im, tidak perlu banyak cakap lagi. Kami tahu siapa engkau dan dapat menduga apa yang telah kau lakukan terhadap Cong San dan Yan Cu. Kami datang untuk membasmi kau dan kaki tanganmu, dan sekali ini kami tidak mau bekerja kepalang tanggung!" jawab Biauw Eng.

"Cui Im, sekali ini aku tidak akan sudi mengampunimu lagi!" kata pula Keng Hong.

"Eh, ehh, ehhh, laki-laki tampan, apa kau lupa betapa kita bersama menikmati malam itu? Apa kau lupa bahwa akulah gurumu dalam soal asmara? Hemmmm…, jantungku masih berdebar dan semua bulu di tubuhku masih meremang karena birahi kalau kuingat malam kita dahulu itu. Engkau pun cinta kepadaku, cinta pada tubuhku, mana engkau akan tega membunuhku?"

"Cui Im, perempuan tidak tahu malu! Majulah menerima kematian!" Keng Hong berteriak marah sekali, mukanya menjadi merah karena dia diingatkan akan pengalamannya yang amat memalukan dahulu.

Cui Im memberi isyarat kepada Mo-kiam Siauw-ong. Mantu kepala daerah ini kemudian mengangguk kepada lima orang pembantunya yang cepat-cepat meloncat bangun sambil mengeluarkan tanda dengan suitan.

Dari kanan dan kiri muncullah dua puluh orang dari empat penjuru yang segera bergerak dengan teratur di bawah pimpinan lima orang itu, mengurung Keng Hong dan Biauw Eng dengan membentuk satu lingkaran luas dalam jarak enam meter dari kedua orang suami isteri sakti itu.

Keng Hong dan Biauw Eng menggerakkan kaki, berdiri mengadu punggung dan bersikap tenang, bahkan Biauw Eng yang sudah memegang sabuk sutera putih di tangannya itu memandang kepada Cui Im sambil tersenyum mengejek, seakan-akan mentertawakan bekas suci-nya itu yang menggunakan orang-orang yang dipandangnya rendah dan tiada gunanya itu. Keng Hong juga bersikap tenang, masih belum mencabut pedang Siang-bhok-kiam karena kalau hanya menghadapi pengurungan dua puluh lima orang itu saja, apa lagi dia dibantu isterinya, kiranya tidak perlu mengeluarkan pedang pusakanya itu.

Lima orang itu memberi isyarat dengan tangan kepada dua puluh orang anak-anak buah mereka yang berjalan mengitari Keng Hong dan isterinya. Tiba-tiba tampak sinar hitam menggelapkan cahaya lampu yang menerangi ruangan itu dan ternyata dua puluh lima orang itu kini semua telah mencabut sebatang cambuk hitam yang panjangnya tak kurang dari lima meter!

Keng Hong dan Biauw Eng segera tahu bahwa para pengeroyok itu hendak menyerang mereka dari jarak jauh, mengandalkan senjata mereka yang panjang. Diam-diam suami isteri ini tertawa. Betapa tololnya Cui Im! Biar pun kelihatannya cerdik, mengeroyok dari jarak jauh, dua puluh lima orang ini akan dapat berbuat apakah terhadap mereka?

Dengan sikap tenang namun pandang mata mentertawakan, Keng Hong dan Biauw Eng tetap berdiri tanpa bergerak, bahkan sekarang Biauw Eng dengan muka membayangkan kesebalan sudah menyelipkan sabuk suteranya pada pinggangnya, seolah-olah ia hendak menunjukkan kepada Cui Im bahwa ia tidak perlu lagi menggunakan senjata menghadapi ancaman dua puluh lima orang pengeroyok itu.

Serangan itu dilakukan tiba-tiba seperti telah disangka oleh suami isteri ini. Didahului oleh ledakan-ledakan laksana suara halilintar sambung-menyambung, lalu tampak sinar hitam meluncur dari sekeliling tubuh mereka, datanglah serangan ujung cambuk bertubi-tubi ke arah tubuh mereka.

Sikap Keng Hong dan Biauw Eng masih tenang, namun sepasang tangan mereka sudah bergerak menyambut dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata. Tiba-tiba saja tampak cahaya putih bergulung di depan Biauw Eng, ada pun Keng Hong menggerakkan kedua tangan seperti seorang kanak-kanak menangkapi kupu-kupu dan... sekian banyak cambuk itu sebagian tergulung oleh sabuk sutera Biauw Eng, dan sebagian besar lagi ujungnya sudah tergenggam di kedua tangan Keng Hong.

Hampir berbareng suami isteri ini lalu membuat gerakan, gerakan yang berbeda, bahkan berlawanan karena jika Biauw Eng menarik sabuk suteranya dengan pengerahan tenaga, tetapi sebaliknya Keng Hong justru melepaskan ujung-ujung sabuk yang menegang akibat ditarik oleh pihak pengeroyok. Akan tetapi akibatnya hebat sekali.

Mereka yang cambuknya tertarik oleh Biauw Eng, ada yang sampai terguling-guling dan terseret, ada yang putus cambuknya dan ada yang terpaksa melepaskan gagang cambuk karena kulit tangan mereka terkupas! Sedangkan mereka yang ujung cambuknya dilepas oleh Keng Hong, ada yang mengelak dari sambaran cambuk sendiri hingga jatuh bangun, akan tetapi ada pula yang terpukul cambuk sendiri pada mukanya sehingga kehilangan bukit hidung atau daun telinga. Terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan dan tentu saja pengepungan dua puluh lima orang itu menjadi kacau-balau.

"Bhe Cui Im, majulah sendiri! Apa gunanya memaksa tikus-tikus tiada guna ini?" Biauw Eng berseru mengejek.

Akan tetapi, lima orang pembantu Mo-kiam Siauw-ong itu menjadi marah sekali dan tentu saja malu bahwa mereka dan anak buah mereka yang diandalkan tuan rumah ternyata hanya dalam segebrakan saja telah kocar-kacir. Mereka meneriakkan aba-aba dan para anak buah mereka telah bersiap lagi, bahkan yang kehilangan cambuk sudah mengganti cambuknya.

Lima orang itu memutar cambuk mereka sehingga terdengar suara bersuitan. Kemudian cambuk mereka menyambar, tidak ke arah Keng Hong dan Biauw Eng yang memandang heran dan geli, melainkan cambuk-cambuk itu menyambar ke arah api lilin di sudut-sudut ruangan dan... ujung cambuk itu terbakar dengan cepat dan mudah. Api cepat menjalar dari ujung cambuk sampai hampir ke gagang, tanda bahwa cambuk mereka itu memang mengandung bahan bakar yang amat peka. Kini lima orang itu memutar-mutar ‘cambuk api’ mereka dan anak buah mereka pun memutar cambuk ke arah cambuk api pemimpin-pemimpin mereka dan terbakarlah semua cambuk yang kini menjadi dua puluh lima buah banyaknya!

Keng Hong dan Biauw Eng terkejut sekali ketika dua puluh lima batang api itu menerjang mereka dengan cahaya api yang menyilaukan mata. Ini hebat, pikir mereka. Mereka tidak takut akan kekuatan cambuk yang menyerang, akan tetapi berhadapan dengan api yang setidaknya akan dapat membakar pakaian dan rambut, amatlah berbahaya!

Agaknya Cui Im dapat melihat kekagetan mereka, maka terdengarlah suara ketawanya yang melengking di antara sinar api yang kini bagaikan membakar seluruh ruangan itu, mendatangkan bayangan-bayangan hitam merah seperti pemandangan di neraka!

Cambuk-cambuk api itu datang dan Biauw Eng cepat menggunakan ginkang-nya, melesat dan bergerak menyelinap di antara cambuk-cambuk api yang datang menyambar dirinya. Gerakannya ringan dan cepat sekali dan diam-diam nyonya muda ini bersyukur bahwa dia mentaati perintah suaminya, menyerahkan Giok Keng kepada Cong San. Andai kata tadi harus menghadapi serangan cambuk-cambuk api ini sambil menggendong anaknya, ihhh, dia bergidik ngeri karena maklum bahwa anaknya terancam hebat oleh lidah-lidah api!

Keng Hong menjadi amat marah. Dia harus memuji kehebatan barisan cambuk api ini dan kelihaian Cui Im mengatur siasat. Menghadapi api, tentu saja pedang Siang-bhok-kaim tidak dapat dia pergunakan. Pedangnya terbuat dari pada kayu dan tentu saja kayu takut akan api. Kalau pedangnya terbakar, hal itu merupakan mala petaka hebat. Juga tentu saja isterinya tidak dapat mempergunakan sabuk suteranya karena sabuk itu pun tentu akan terbakar kalau bertemu dengan cambuk yang bernyala-nyala.

Para anak buah Cui Im yang menonton menjadi terbelalak, kagum dan tegang. Cambuk-cambuk api yang bergulung-gulung itu amat indah di waktu malam, akan tetapi yang lebih mengagumkan lagi adalah berkelebatnya bayangan Biauw Eng yang menyelinap ke sana sini melalui gulungan-gulungan sinar menyala itu.

Ada pun Keng Hong masih berdiri tegak, tidak mempergunakan ginkang seperti isterinya, tidak mengelakkan melainkan mengunakan kedua tangannya mendorong ke depan dan kanan kiri, namun angin pukulan kedua tangannya cukup kuat untuk membuat cambuk-cambuk api yang datang menyambar itu terpental kembali.

"Eng-moi, kita robohkan mereka dengan totokan-totokan!" Tiba-tiba Keng Hong berseru.

Sekarang dia pun berkelebat meniru isterinya, menggunakan langkah kaki yang aneh dan tubuhnya menyelinap di antara gulungan sinar, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menerjang ke kanan kiri. Biauw Eng juga masih berkelebat, akan tetapi kini tampak sinar putih sabuk suteranya meluncur ke kanan kiri seperti seekor ular hidup yang menyelinap di antara keroyokan sinar api bergulung-gulung.

Terdengar pekik susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang. Dengan tendangan kaki, dua suami isteri yang sakti ini melempar-lemparkan tubuh para pengeroyok mereka sehingga bertumpuk-tumpuk dan dengan dorongan pukulan yang mengandung sinkang amat kuatnya, Keng Hong membuat cambuk api itu terbang membalik lantas menimpa tumpukan tubuh yang telah tertotok dan tak mampu bergerak.

Terjadilah hal yang amat mengerikan. Dua puluh lima orang itu, termasuk pula pimpinan barisan, malang melintang bertumpuk-tumpuk dan dibakar hidup-hidup oleh cambuk api mereka sendiri. Pakaian dan rambut mereka mulai terbakar sehingga tercium bau hangus dan sangit.

Cui Im mengeluarkan pekik kemarahan. Sambil memerintahkan anak-anak buahnya untuk menyiram api dengan mempergunakan air dan menolong mereka yang sedang terbakar hidup-hidup, dia bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang maju dengan senjata di tangan.

Mula-mula Cui Im yang licik itu menyerang bekas sumoi-nya, Biauw Eng. Dia mengira bahwa tingkat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi itu akan dapat merobohkan Biauw Eng dalam beberapa gebrakan saja. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat gerakan Biauw Eng jauh lebih hebat dari pada dahulu, maka tahulah dia bahwa Biauw Eng telah menerima latihan dari Keng Hong sehingga bukan saja langkah kakinya amat aneh dan gerakannya amat gesit, juga pada waktu sabuk sutera itu menangkis pedang merahnya, ia merasa betapa tenaga bekas sumoi-nya itu kuat sekali. Ujung sabuk melibat ujung pedang merah, terjadi saling betot dan terdengar Keng Hong berkata,

"Eng-moi, lepaskan!"

Untung Biauw Eng cepat mengendurkan sabuk dan melepaskan libatan, kalau tidak, tentu sabuknya akan putus. Keng Hong yang tadinya diserang Go-bi Thai-houw, kini mencelat ke dekat Cui Im dan mendesak wanita itu dengan sinar pedang Siang-bhok-kiam hingga wanita itu terpaksa melompat mundur saking hebatnya serangan ini.

Go-bi Thai-houw yang maklum betapa lihainya Keng Hong, sudah pula menerjang maju dengan sepasang kebutannya sehingga dalam detik-detik berikutnya, Keng Hong sudah dikeroyok dua oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im.

Namun pendekar sakti ini memutar Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga tidak saja tubuhnya terlindung oleh sinar hijau Siang-bhok-kiam, akan tetapi juga dari gulungan ini secara mendadak dan aneh mencuat sinar-sinar yang menyambar ke arah kedua orang pengeroyoknya, diseling dengan sambaran angin pukulan tangan kirinya yang amat kuat. Pertandingan ini hebat dan seru bukan main karena mereka semua mengerahkan seluruh kepandaian untuk saling membunuh!

Sementara itu, setelah suaminya menggantikannya untuk menghadapi Cui Im yang lihai, Biauw Eng menerima serbuan Mo-kiam Siauw-ong yang menyerangnya dengan ngawur dan dengan hati tidak tenang karena tadinya mantu kepala daerah ini bermaksud hanya membantu saja, lebih mengandalkan kepandaian Go-bi Thai-houw dan Cui Im. Tapi siapa sangka, semua bantuan kawan-kawannya tiada guna, dan kini kedua orang wanita yang diandalkan itu mengeroyok Keng Hong sehingga dia sendiri terpaksa menghadapi nyonya muda yang amat lihai seorang diri saja!

Biar pun dia sudah memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmu yang dahulu dia pelajari dari ketiga orang kakek iblis Thian-te Sam-lo-mo, namun, menghadapi sinar putih sabuk sutera Biauw Eng, dia benar-benar merasa bingung dan terdesak hebat. Kemana pun pedangnya bergerak selalu bertemu dengan cahaya putih yang halus lembut namun amat kuat itu, dan beberapa kali hampir saja pedangnya kena terampas.

"Majuuuuuu...! Keroyok...!"

Mo-kiam Siauw-ong yang merasa kewalahan itu tiba-tiba saja bergerak, maka belasan orang anak buahnya, yaitu para perwira pengawal, maju dengan senjata di tangan. Tetapi sekali Biauw Eng mengeluarkan lengking nyaring dan sinar sabuk suteranya membuat gerakan melengkung yang menyambar ke sekeliling tubuhnya, lalu robohlah enam orang pembantu Mo-kiam Siauw-ong itu.

Mo-kiam Siauw-ong terkejut dan marah. Ketika melihat Biauw Eng yang memutar sabuk itu agak miring tubuhnya, dia cepat menubruk dan menusukkan pedangnya dari samping ke arah dada.

Biauw Eng dapat melihat gerakan ini dan dapat mendengar suara angin tusukan. Maka, dengan tenang namun cepat sekali dia mengembangkan lengannya, membiarkan pedang meluncur melalui bawah lengannya, kemudian tanpa membalikkan tubuhnya, ujung sabuk suteranya menyambar ke belakang dan gerakan tiba-tiba ini tak dapat dielakkan lagi oleh Mo-kiam Siauw-ong secara tepat.

Walau pun dia telah miringkan kepala sehingga ujung sabuk itu tidak menotok ubun-ubun kepalanya, namun lengannya tersabat dan dia memekik keras, tubuhnya terhuyung lantas dia roboh terguling! Untung baginya bahwa anak buahnya cepat-cepat menubruk Biauw Eng dengan senjata mereka sehingga wanita itu tidak sempat mengirim serangan maut, sebaliknya Biauw Eng lalu mengelebatkan sabuk suteranya dan robohlah empat orang pengeroyok.




Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong sudah sempat diseret pergi menjauh oleh anak buahnya. Dia mengeluh kesakitan sambil memegangi lehernya yang membengkak!


Go-bi Thai-houw dan Cui Im bukan merupakan lawan yang lunak bagi Keng Hong. Kini Cui Im lebih lihai dari pada dalam pertemuan terakhir dahulu ketika Cui Im menyerbu ke Cin-ling-san. Cui Im telah digembleng oleh Go-bi Thai-houw dan kedua orang wanita iblis itu mengeroyok Keng Hong dengan kebencian meluap dan nafsu membunuh terkandung dalam setiap serangan.

Betapa pun juga, dengan ilmunya yang tinggi, terutama gaya bertahan dari ilmu Thai-kek Sin-kun, pendekar sakti ini sama sekali tidak terdesak, bahkan membuat kedua orang lawannya terpaksa harus bersikap sangat hati-hati karena sedikit saja mereka terkena Siang-bhok-kiam yang penuh dengan getaran hawa sinkang mukjijat itu, maka celakalah mereka.

Karena tidak ada lagi pengeroyok berani mendekatinya, Biauw Eng lalu menerjang maju membantu suaminya dan tentu saja terjangan nyonya muda yang lihai ini membuat Cui Im dan Go-bi Thai-houw menjadi makin terdesak hebat. Cui Im mulai menjadi gelisah dan beberapa kali dia menengok ke belakang, bukan untuk mencari jalan lari, melainkan dia mencari-cari Cong San.

Akhirnya, setelah bentrokan antara pedangnya dan Siang-bhok-kiam membuat tubuhnya terhuyung ke belakang, dia tidak dapat menahannya lagi dan berseru, "Yap-sicu, di mana engkau?"

"Aku di sini!" Yap Cong San tiba-tiba muncul dari balik pintu sambil memondong anak perempuan kecil.

"Bantulah kami!" Cui Im berseru dan melompat dekat Cong San, lantas secara tiba-tiba pedang merahnya menyambar ke arah kepala Cong San!

Cong San terkejut sekali, tidak mengira bahwa iblis betina itu menyerangnya, maka cepat dia mengelak, akan tetapi ternyata serangan itu hanya pancingan belaka karena di lain saat, anak perempuan di gendongannya sudah terampas oleh Cui Im, Cong San berdiri melongo dan alisnya berkerut.

"Mengapa kau tidak membantu kami?" Cui Im menegur, kemudian ia mengangkat anak itu tinggi-tinggi ke atas sambil berteriak, "Keng Hong! Biauw Eng! Menyerahlah, kalau tidak anak kalian akan kupenggal lehernya!" Pedang merah ditempelkan di leher anak itu yang tiba-tiba menangis nyaring.

"Cui Im, iblis keji...!" Keng Hong berteriak. "Cong San, kau manusia terkutuk!" Keng Hong hendak mengamuk, akan tetapi lengannya disentuh isterinya.

"Cui Im, kami menyerah, akan tetapi jangan mengganggu anakku!" Biauw Eng berkata, suaranya menggetar penuh kecemasan biar pun sikapnya tetap tenang.

"Hi-hi-hik! Siapa mau mengganggu anakmu? Subo, harap suka lumpuhkan mereka!"

Go-bi Thai-houw tertawa-tawa, dan kedua kebutannya berkelebat ke arah Keng Hong dan Biauw Eng. Tentu saja kalau mereka menghendaki, mereka dapat menghindarkan diri, akan tetapi setelah anak mereka berada di tangan Cui Im, mereka tidak berani berkutik dan robohlah mereka dengan tubuh lemas dan lumpuh akibat tertotok ujung kebutan Go-bi Thai-houw yang amat lihai itu.

"Ringkus dan belenggu mereka kuat-kuat!" Cui Im memerintah.

Mo-kiam Siauw-ong yang sudah marah sekali meloncat maju. Lehernya masih bengkak, akan tetapi kedua tangannya masih dapat bergerak leluasa dan tenaganya masih cukup besar untuk mengikat tubuh Keng Hong dan Biauw Eng dengan erat, bahkan dia tidak melepaskan kesempatan itu untuk menggerayangi tubuh Biauw Eng secara kurang ajar dengan maksud menghina. Namun Biauw Eng sudah mematikan rasa dan Keng Hong juga memusatkan semua panca indera untuk menghadapi saat yang amat gawat itu.

"Yap Cong San, tak kusangka sama sekali bahwa seorang pendekar murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan berwatak pendekar seperti engkau sudah tersesat begini jauh. Engkau menipu kami dan ternyata engkau bersekutu dengan iblis betina ini!" Keng Hong berkata, matanya mencorong memandang ke arah Cong San.

Akan tetapi Cong San sama sekali tidak merasa kikuk atau malu, bahkan dia membalas dengan pedang mata penuh kebencian, kemudian dia melangkah maju dan menendang kepala Keng Hong yang rebah terlentang di atas lantai.

"Jangan bunuh dulu!" Cui Im berteriak. Cong San mengurangi tenaga dan tendangannya hanya membuat bibir Keng Hong berdarah.

"Yap Cong San, manusia pengecut tidak tahu malu!" Biauw Eng memaki, sinar matanya seakan-akan hendak menghancurkan kepala bekas sahabat itu. "Begitukah sikap seorang laki-laki sejati? Menghina orang yang telah menyerah! Kalau engkau tidak menggunakan siasat keji dan busuk tanpa mengenal malu, kami berdua akan membasmi kalian semua, termasuk engkau, manusia berwatak anjing!"

Cong San memandang Biauw Eng dan menghela napas. "Aku kasihan kepadamu, Biauw Eng. Bukan aku yang berwatak anjing, melainkan suamimu inilah! Dialah manusia anjing, wataknya seperti anjing, biar pun telah diberi makan kenyang di rumah, kalau keluar, biar ada tahi pun akan dimakannya! Bukan aku yang menghina suamimu, tetapi manusia yang bernama Cia Keng Hong inilah yang telah menghinaku. Bukan hanya menghina, ia malah menghancurkan kebahagiaan hidupku, dan tanpa kau ketahui, telah menghancurkan pula kebahagiaan hidupmu."

"Ahhh, engkau manusia buta! Kukira engkau masih tetap gila, demikan gila oleh cemburu sehingga engkau tak segan-segan menipu kami. Engkau begitu gila sehingga tidak hanya mencelakakan kami, juga membikin sengsara isterimu yang amat mencintamu, dan telah mencelakakan pula anak kami!" Biauw Eng menjerit penuh kemarahan.

"Engkaulah yang buta, Biauw Eng. Suamimu seorang laki-laki hina, seorang suami yang menyeleweng dan tidak setia, seorang sahabat yang palsu dan laknat, dan engkau masih membelanya! Dialah yang merusak kehormatan dan kebahagiaan isteriku dan aku, maka dengan jalan apa pun aku harus dapat membalas dendamku, harus dapat membunuh dia seperti orang membunuh seekor anjing yang menjijikan!"

"Yap Cong San, kau jangan menambah dosamu dengan maki-makian keji." Keng Hong berkata tenang. "Isteriku benar, engkau bermata seperti buta. Engkau menjadi gila dan buta oleh cemburu kosong terhadap isterimu dan aku. Engkau menduga bahwa aku dan sumoi bermain gila, berzina. Padahal aku hanya mencinta isteriku seorang, dan isterimu hanya mencinta engkau suaminya! Betapa keji fitnah yang telah kau lontarkan kepadaku, terutama kepada sumoi. Aiiiihhhh, betapa inginku menghajarmu, menyeretmu ke hadapan sumoi dan memaksamu menciumi kakinya mohon pengampunan!"

Melihat perbantahan mereka, Cui Im hanya tersenyum dan saling pandang dengan Go-bi Thai-houw. Mereka merasa amat bangga menyaksikan hasil dari pada siasat mereka yang dilaksanakan dengan penuh kesabaran dan kecerdikan.

Kini diam-diam mereka menikmati hasil itu dan merasa amat gembira. Sedemikian hebat rasa benci di hati Cui Im terhadap Keng Hong dan Biauw Eng sehingga di samping ingin menyaksikan kedua orang ini mati di tangannya, juga dia merasa gembira kalau sebelum dibunuh mereka itu menderita tekanan-tekanan batin lebih dahulu dan bertengkar dengan bekas sahabat terbaik.

"Cia Keng Hong, manusia iblis! Tak perlu engkau berlagak pendekar budiman! Aku bukan anak kecil lagi dan aku bukan semata-mata melemparkan fitnah kosong! Telah lama aku menderita oleh perbuatanmu yang kotor, semenjak aku menikah! Aku telah menyabarkan diri, menekan batin hingga akhirnya meletus oleh kelanjutan perbuatan-perbuatanmu yang kubuktikan sendiri. Aku bukan diburu rasa cemburu kosong, namun dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan perbuatanmu yang menjijikkan. Aku tidak akan menyalahkan bahwa engkau mencinta Yan Cu, akan tetapi setelah dia menjadi isteriku, mengapa masih juga engkau kejar-kejar? Manusia biadab...!"

"Hemmm, bukti apakah yang kau sebut tadi, Cong San? Bukti surat-surat palsu itu?"

Cong San kelihatan kaget sekali, dan Keng Hong melanjutkan. "Sumoi sudah datang dan menunjukkan dua surat itu. Surat yang huruf-hurufnya persis huruf tulisanku itu bukanlah surat yang kutulis. Orang yang kusuruh mengantarkan suratku kepada kalian tidak pernah pulang ke Cin-ling-san. Surat yang memakai namaku itu adalah surat palsu, Cong San. Demikian pula surat yang kau anggap tulisan isterimu itu bukanlah tulisan Yan Cu, tetapi dipalsukan orang. Ahh, betapa butanya engkau. Apakah tidak ada sedikit pun dugaan di hatimu siapa yang telah membuat surat-surat palsu itu?"

"Bohong...!" Cong San membentak. "Pengecut engkau! Setelah berani berbuat, mengapa hendak menyangkal pula? Semenjak dahulu, Yan Cu adalah kekasihmu, semenjak belum menjadi isteriku! Bahkan dia... aku... telah..."

"Yap Cong San, katakan saja bahwa pada saat menikah denganmu, Gui Yan Cu bukan perawan lagi maka engkau menduga bahwa hal itu adalah perbuatan suamiku bukan?" Tiba-tiba Biauw Eng berkata dengan senyum mengejek.

Kembali Cong San terkejut, kemudian makin marah. "Sesudah engkau tahu akan hal itu, engkau masih hendak menyalahkan aku dan membela manusia jahanam itu?"

"Tutup mulutmu dan jangan kau memaki suamiku. Engkaulah yang jahanam, Cong San! Engkaulah yang jahanam dan buta, engkaulah yang memiliki hati serta pikiran kotor, yang membayangkan hal-hal keji yang bukan-bukan. Yan Cu memang telah kehilangan tanda keperawanannya, akan tetapi bukan karena berjinah dengan suamiku, juga bukan dengan laki-laki lain. Kau mau tahu sebabnya? Bukalah telingamu baik-baik. Ketika iblis betina Cui Im menyerbu ke Cin-ling-san, isterimu kena ditendang oleh nenek iblis betina yang kini sedang tersenyum-senyum itu, dan sengaja ditendangnya supaya kehilangan tanda keperawanannya itu! Aku melihat sendiri pakaian pengantin Yan Cu yang berdarah! Nah, tahukah engkau sekarang dan insyafkah engkau betapa tolol dan kejinya perbuatanmu terhadap isterimu?"

Cong San menoleh dan memandang Go-bi Thai-houw dengan mata terbelalak penuh keraguan. Namun nenek itu, juga Cui Im, hanya tersenyum mengejek.

"Hatimu sudah diracuni oleh cemburu, Cong San." Keng Hong melanjutkan keterangan isterinya. "Engkau sudah cemburu lalu dalam hati menuduh isterimu secara keji sehingga engkau selalu cemburu. Hal itu dipergunakan oleh Cui Im untuk menipumu. Memang ada surat yang kubuat untuk engkau dan isterimu, surat biasa yang kusuruh antar seseorang dari kampung kami. Akan tetapi pesuruh itu tidak pernah pulang dan suratku tentu sudah dipalsu oleh Cui Im sehingga engkau menjadi semakin cemburu. Kemudian surat tulisan Yan Cu, memang dia pernah membuatkan resep untuk seorang laki-laki tua, tentu kaki tangan iblis betina itu dan surat isterimu dipalsu. Betapa tololnya engkau!"

Wajah Cong San berubah dan kini dia menoleh kepada Cui Im dengan pandang mata penuh keraguan. Cui Im tersenyum dan berkata,

"Yap Cong San, engkau tentu mengerti bahwa orang-orang yang sudah tak ada harapan lagi untuk hidup akan berusaha menolong diri sendiri dengan segala macam kebohongan. Bukankah engkau juga telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri pertemuan antara mereka yang penuh kasih? Hi-hi-hik, kurasa engkau tidak begitu bodoh, dan kalau semua yang mereka fitnahkan itu benar, apakah aku masih akan enak-enak saja duduk di sini menanti kau curiga kepadaku?"

Cong San membalik, lalu memandang Keng Hong penuh kebencian. "Manusia pengecut! Engkau bohong! Aku melihat sendiri engkau bertemu dengannya, engkau sudah men... menciumnya... engkau... Ahh… kubunuh engkau!" Ia menerjang maju dan menggerakkan tangan hendak memukul kepala Keng Hong.

"Wuuuttt... plakkk!"

Cui Im sudah melesat dari tempat duduknya dan menangkis pukulan maut itu. Cong San memandangnya dengan penuh kemarahan, akan tetapi Cui Im memegang lengannya dan menariknya menjauh, lalu membisiki telinganya,

"Bodoh! Dia sengaja memancing kemarahanmu agar dengan sekali pukul engkau dapat membunuhnya. Terlalu enak baginya. Dia harus mati disiksa!"

"Tidak!" Cong San menggeleng kepala. "Cukup bagiku asal dapat kubunuh dia! Aku tidak sekejam itu!"

"Hussshhh... engkau tidak kejam, akan tetapi aku terlalu sakit hati. Pula, terlebih dulu aku hendak mengorek rahasia ilmunya, baru dia boleh kau bunuh. Kau bersabarlah sampai tiga hari, terpaksa aku akan mencegahmu."

Cong San menarik napas panjang. Dia maklum bahwa dia tidak dapat menandingi iblis betina ini, dan harus dia akui bahwa tanpa kerja sama dengan Cui Im, tidak mungkin dia dapat menundukkan Keng Hong.

"Terserah. Akan tetapi, aku tidak ingin melihat kau membunuh Biauw Eng juga kau tidak boleh mengganggu anaknya!" Setelah berkata demikian, Cong San membalikkan tubuh dan lari memasuki kamarnya.

"Hi-hi-hik, Cia Keng Hong. Bagaimana sekarang?"

"Iblis betina, kau bunuhlah aku. Siapa takut mati?" jawab Keng Hong.

"Bhe Cui Im, kau bunuhlah kami, akan tetapi bebaskan anak kami. Dia tidak ikut dalam permusuhan kita!" kata Biauw Eng.

Cui Im tertawa-tawa terkekeh-kekeh girang menyaksikan kekhawatiran Biauw Eng yang dibencinya. "Enak saja! Aku akan menyiksa Keng Hong sepuasku, tidak hanya menyiksa tubuhnya, akan tetapi juga menyiksa hatinya. Biar dia melihat isterinya dipermainkan oleh banyak laki-laki di depan matanya sampai mati, kemudian anaknya akan kuberikan pada segerombolan anjing kelaparan, biar dia juga melihat tubuh anaknya dirobek-robek mulut anjing. Baru kubunuh dia sekarat demi sekarat, ha-ha-ha-hi-hik!"

Biauw Eng dan Keng Hong bergidik dan wajah mereka pucat, akan tetapi mereka maklum iblis betina itu tentu akan mengeluarkan ancaman dan kata-kata yang lebih mengerikan lagi apa bila mereka membantah, apa lagi kalau mereka minta dikasihani, maka mereka menekan semua pikiran dan tidak mempedulikannya lagi.

Untuk menyiksa hati Biauw Eng, Cui Im mencubit paha Giok Keng. Anak kecil yang sudah berhenti menangis itu, menjerit dan menangis lagi. Biauw Eng memejamkan matanya dan Cui Im tertawa-tawa gembira, melemparkan anak itu kepada salah seorang perempuan pembantunya.

"Jagalah dia baik-baik, jangan sampai sakit. Aku ingin dia sehat-sehat dan gemuk ketika dia dikoroyok anjing! Siauw-ong, seret mereka berdua ke dalam kamar tahanan dan jaga dengan kuat. Siapkan asap beracun dan begitu melihat mereka berhasil melepaskan diri, semperotkan asap beracun ke dalam kamar!"

Dengan kasar dua orang anak buah Mo-kiam Siauw-ong menyeret Keng Hong dan Biauw Eng dari ruangan itu. Mo-kiam Siauw-ong dengan menyeringai hendak mencengkeram dada Biauw Eng, akan tetapi Cui Im menghardiknya,

"Siauw-ong! Siapa pun tidak boleh menjamahnya. Jika nanti hukuman kujalankan, engkau boleh menjadi orang pertama yang menikmatinya. Bawa pergi!"

Mo-kiam Siauw-ong menyeringai kecewa, akan tetapi janji itu membuat dia mengangguk-angguk puas dan dia mengirim tendangan ke arah pinggul Biauw Eng.

Keng Hong menggigit bibirnya dan dia berjanji kepada diri sendiri bahwa sekali dia dapat lolos, dia tidak akan memberi ampun kepada Mo-kiam Siauw-ong, apa lagi Bhe Cui Im! Akan tetapi, Keng Hong mendapat kenyataan dengan hati kecewa bahwa tempat tahanan mereka itu benar-benar amat kuat, sebuah kamar yang sempit hanya dua meter persegi, dari tembok berlapis baja dan pintunya juga dari baja, dengan lubang-lubang kecil, ada pun di depan pintu berjaga dua lusin pengawal yang semua memegang semprotan asap beracun yang dia tahu amat berbahaya. Maka pendekar yang masih lumpuh tertotok itu hanya menyerahkan nasibnya dan nasib isterinya ke tangan Tuhan.

Cui Im mengepal kedua tangannya. Kalau menurutkan kemarahan hatinya, ingin dia pada saat itu juga memukul mati Keng Hong dan Biauw Eng. Sudah berjam-jam lamanya dia membujuk Keng Hong, menjanjikan kebebasan bagi anaknya, bahkan sampai kebebasan mereka semua kalau Keng Hong suka menurunkan Ilmu Thi-khi I-beng beserta Thai-kek Sin-kun kepadanya.

Namun, bujukan-bujukan halus sampai ancaman-ancaman yang paling mengerikan tidak mampu menggerakkan hati Keng Hong yang tetap menolak dan menantang dibunuh dari pada harus menuruti permintaannya.

"Cui Im, percuma saja kau membujuk. Apa kau kira aku tidak mengenal manusia berhati iblis macam engkau ini? Bujuk dan janjimu itu tidak ada harganya sedikit pun juga. Andai kata aku terbujuk dan menuruti kehendakmu, tetap saja engkau takkan memegang janji. Lebih baik menghadapi ancamanmu yang pasti kau laksanakan, karena bujuk dan janjimu jauh lebih jahat dari pada ancamanmu, lebih palsu. Tidak, aku tak akan memberikan apa pun juga kepadamu. Dari pada ilmu ditinggalkan kepadamu, jauh lebih baik kubawa mati!"

Ketika Cui Im beralih kepada Biauw Eng dengan bujukannya bahwa jika Keng Hong mau menuruti permintaannya, anak dan Biauw Eng akan dibebaskan, Biauw Eng menjawab,

"Aku setuju sepenuhnya dengan keputusan suamiku. Jika dia menurut, tetap saja engkau akan membunuh kami. Tidak mungkin aku mengharapkan kebebasan dari seorang iblis macam engkau, dan akan dikutuk Tuhanlah bila kami meninggalkan sesuatu untuk orang seperti engkau ini karena ilmu itu hanya akan menambah kekejian dan kejahatanmu."

"Baik, kalian rasakan nanti pembalasanku. Aku beri waktu tiga hari. Kalau pada hari ketiga Keng Hong belum mau memenuhi permintaanku, dia akan menyaksikan betapa engkau diperkosa berganti-ganti oleh banyak laki-laki sampai mati! Kemudian, akan dia lihat pula anjing-anjing kelaparan memperebutkan daging anaknya. Setelah itu, baru akan kupotong dia sekerat demi sekerat!"

Namun, ancaman hebat itu kini tidak lagi mendatangkan kengerian dalam hati suami isteri yang sudah nekat hendak mati bersama, mati bertiga bersama anak mereka itu. Dengan hati penuh kemarahan, kekecewaan dan kemengkalan, Cui Im lalu kembali ke kamarnya, melempar tubuhnya ke atas ranjang dan dia terlentang sambil termenung, merasa betapa kosong hatinya. Dia merasa benar betapa dalam menghadapi ancaman maut dan siksa sebelum mati, suami isteri itu tetap tenang dan penuh kepercayaan akan cinta masing-masing! Dia merasa kosong, sunyi, merana dan sengsara!

Hampir saja dia melemparkan sesuatu untuk membunuh pelayan wanita yang muncul di pintu kamarnya agar dapat melenyapkan kemarahan hatinya.

"Mau apa kau?!" bentaknya.

Muka pelayan itu menjadi pucat. Dia sudah mengenal watak wanita iblis ini yang dengan mudah saja membunuh orang yang tak berdosa.

"Hamba... hamba diperintah oleh Coa-kongcu untuk menghadap Paduka..." Saking amat takutnya dia bersikap sangat merendah.

"Disuruh apa? Cepat bicara!"

"Kongcu mohon menghadap..."

"Pergilah! Suruh dia datang, rewel benar!"

Pelayan itu bergegas pergi dan tak lama kemudian, datanglah Coa Kun, putera Coa-taijin yang selama ini diharuskan bersembunyi agar tidak sampai terlihat oleh Yap Cong San. Akan tetapi pemuda yang sudah bertekuk lutut di bawah telapak kaki Cui Im itu merasa kehilangan dan tak dapat lagi menahan rindu birahinya yang sudah ditahan-tahan selama beberapa malam, maka malam ini setelah mendengar bahwa musuh-musuh yang ditakuti telah tertawan, dia minta diperkenankan mengunjungi kekasih pujaan nafsu birahinya itu.

Dalam kegairahannya yang memenuhi seluruh tubuh, Coa Kun berjalan melalui ruangan-ruangan dalam, tersenyum-senyum dan sinar matanya bercahaya penuh kegembiraan, menuju ke kamar Cui Im yang letaknya agak di belakang. Dia tidak tahu betapa bayangan Cong San dengan gerakan ringan mengintai dan mengikutinya.

Cong San tak sengaja mengikuti pemuda ini. Tadi, di dalam kamarnya, Cong San merasa amat gelisah dan hati nuraninya mengganggu perasaannya. Terjadi perang hebat dalam batinnya, antara kebenciannya yang meluap-luap terhadap Keng Hong dan kesadarannya akan kenyataan betapa ia telah mendatangkan mala petaka hebat kepada bekas sahabat itu.

Dia tidak menyesal kalau Keng Hong terbunuh, bahkan dia ingin membunuhnya dengan tangan sendiri. Akan tetapi kalau dia teringat betapa Biauw Eng terbawa-bawa, betapa anak perempuan mereka pun terancam bahaya maut, benar-benar hal ini membuat Cong San menjadi gelisah sekali. Betapa mungkin dia akan mencegah kalau Cui Im membunuh Biauw Eng dan anaknya?

Dan ucapan-ucapan yang dikeluarkan Keng Hong dan Biauw Eng tadi! Bagaimana kalau cemburunya tidak berdasar kenyataan dan bahwa semua itu diperbuat dengan sengaja oleh Cui Im? Dia mengenal betapa keji dan liciknya wanita iblis itu.

Akan tetapi, surat dapat dipalsu, dan mungkin tanda keperawanan Yan Cu benar hilang oleh tendangan Go-bi Thai-houw, akan tetapi pertemuan dekat telaga antara Keng Hong dan Yan Cu dahulu itu? Mana mungkin dipalsukan? Dia melihat sendiri, jelas Yan Cu yang dikenal dari pakaian dan bentuk tubuhnya. Dan Keng Hong pun dia kenal benar. Mereka berciuman, begitu mesra... bayangan ini membuat darah Cong San mendidih lagi, membuat cemburunya bagaikan api disiram minyak, berkobar membuat napasnya sesak dan tubuhnya panas.

Dia merasa panas, lalu keluar dari kamarnya memasuki taman mencari hawa sejuk dan untuk menenangkan pikirannya. Dia harus minta agar Yan Cu dibebaskan sekarang juga. Setelah Keng Hong tertangkap, tidak perlu lagi isterinya ditawan.

Dia akan memberi kebebasan sepenuhnya kepada Yan Cu. Kalau isterinya itu masih ingin melanjutkan hubungan suami isteri, dia akan memaafkan semua. Jika ingin memutuskan hubungan, terserah. Dia akan melanjutkan hidup untuk puteranya yang dia titipkan di kuil Siauw-lim-si. Dia harus menemui Cui Im dan minta agar Yan Cu dibebaskan.

Ada pun Biauw Eng dan anaknya itu, setelah lewat tiga hari, akan dia tuntut kepada Cui Im supaya dibebaskan pula. Kalau Cui Im memaksa hendak mengganggu mereka, atau bahkan membunuh mereka, dia akan membela dan mempertaruhkan nyawanya! Biauw Eng masih merupakan sahabatnya yang harus dia bela dengan taruhan nyawa!

Keputusan hati ini membuat batin Cong San tidak terasa begitu menderita. Dia merasa terhibur bahwa sebetulnya dia tidaklah jahat! Tidak, dia tidak kejam! Kalau dia bersekutu dengan Cui Im untuk menjebak dan menangkap Keng Hong, hal itu hanya dilakukannya untuk membalas dendam kepada Keng Hong. Dan dia tidak jahat karena manusia seperti Keng Hong itu memang patut dibunuh!

Perang di dalam hati Cong San ini sama sekali tidaklah aneh dan dapat diselidiki bahwa hal itu terjadi setiap hari, setiap saat bahkan setiap detik di dalam hati semua manusia! Tidak seorang pun manusia yang suka mengaku, baik dalam hatinya apa lagi keluar dari mulutnya, bahwa dia telah melakukan sebuah perbuatan yang dianggap jahat oleh hukum masyarakat. Dia tentu akan membela diri dan mencari alasan-alasan yang menguatkan keyakinannya bahwa dia tidak jahat, bahwa perbuatannya itu dilakukan karena terpaksa, dan lain-lain.

Mata manusia ditujukan untuk memandang ke luar sehingga tentu saja yang dilihatnya hanyalah kesalahan orang-orang lain yang berada di luar dirinya. Tak pernah sedetik pun mata manusia ditujukan ke dalam untuk mengenal dirinya, untuk melihat isi hati dan isi pikirannya, untuk menangkap basah semua kekotoran yang berkecamuk di dalam dirinya, untuk mengenal kesalahan-kesalahan pada dirinya yang tidak berbeda, tidak lebih sedikit, dari pada kesalahan-kesalahan orang lain yang dilihat oleh matanya.

Kalau saja manusia suka melatih matanya untuk sewaktu-waktu ditujukan ke dalam, pasti takkan seperti sekarang ini ketegangan dan permusuhan yang selalu memenuhi hubungan antara manusia. Akan tetepi kenyataannya tidak demikian. Semua mata selalu ditujukan keluar, untuk mencari dan menemukan kesalahan-kesalahan lain orang. Sayang!

Seorang manusia yang suka melatih diri, menutup mata telinga terhadap hal-hal di luar dirinya, membuka telinga batin untuk mengenal sifat-sifat dirinya pribadi, orang demikian ini akan sadar bahwa dirinya tidaklah lebih baik atau lebih jahat dari pada orang lain dan kesadaran ini akan menimbulkan perasaan senasib sependeritaan, akan menciptakan kasih sayang yang murni antar sesama manusia, melenyapkan iri dan dengki, mengusir benci yang menjadi sumber dari pada segala kesengsaraan dan penderitaan hidup.

Kebencian membayangkan kegelapan neraka sebaliknya cinta kasih menyinarkan cahaya sorga. Akan tetapi, memaksa diri melenyapkan benci, memaksa diri memelihara cinta, bahkan akan menimbulkan pertentangan dan persoalan baru yang akan berakhir dengan kegagalan.

Mengubah benci dengan cinta tak dapat dipaksakan, melainkan berlangsung sewajarnya melalui kesadaran yang lahir dari dalam, dan kesadaran ini akan didapat kalau manusia tekun membuka mata batin dan belajar mengenal diri pribadi dan membebaskan diri dari pada belenggu keakuan yang akan mengaburkan pandangan mata batin sehingga yang ingin dikenal hanyalah kebaikan-kebaikan dirinya sendiri saja!


 Tiba-tiba Cong San menggerakkan kepalanya. Telinganya menangkap gerakan orang dan ketika dia melihat seorang laki-laki muda tengah berjalan melenggang melalui lorong yang menghubungkan bangunan besar dengan belakang, hatinya berdebar penuh kaget.

Cia Keng Hong! Bagaimana Keng Hong dapat lolos? Dan agaknya sedang menuju ke bangunan belakang di mana terdapat kamar tahanan Yan Cu! Ataukah Keng Hong baru berhasil meloloskan diri dan kini hendak mencari kamar Cui Im? Mungkin juga.

Akan tetapi, dia lebih percaya bahwa tentu Keng Hong yang berhasil membebaskan diri itu pertama-tama hendak menolong kekasihnya, Yan Cu. Hatinya menjadi panas lagi dan dengan amat hati-hati karena maklum akan kelihaian Keng Hong, Cong San bergerak dari tempatnya dan membayangi dari belakang.

Cong San mengintai dengan mata terbelalak penuh keheranan ketika melihat bayangan itu mengetuk pintu kamar Cui Im, setelah mendapat jawaban halus dari dalam kemudian memasuki kamar. Dari penerangan di depan kamar itu dia mendapat kenyataan bahwa orang itu bukanlah Keng Hong, sungguh pun wajah dan bentuk badannya serupa benar dengan Keng Hong. Orang itu adalah seorang laki-laki muda tampan yang tersenyum dengan kilatan mata penuh gairah ketika memasuki kamar Cui Im!

Kalau saja laki-laki itu tak serupa benar dengan Keng Hong, tentu Cong San sudah pergi lagi, kembali ke kamarnya. Dia sudah cukup mengenal watak Cui Im, iblis betina yang cabul dan gila laki-laki hingga tak mengherankan jika malam-malam Cui Im memasukkan seorang laki-laki tampan. Akan tetapi, keadaan orang muda itu membuat jantung Cong San berdebar.

Mengapa begitu serupa dengan Keng Hong? Dan orang itu yang memiliki gerakan biasa saja, bagaimana dapat memasuki tempat ini yang terjaga ketat oleh para pengawal? Hal ini hanya membuktikan bahwa laki-laki itu memang tinggal di dalam gedung. Akan tetapi mengapa dia yang sudah beberapa hari berada di situ tidak pernah melihatnya? Melihat pakaian pemuda itu yang mewah bagai pakaian seorang bangsawan pelajar, tak mungkin dia itu seorang pengawal atau pegawai biasa!

Bermacam-macam dugaan yang mendebarkan jantung membuat Cong San menyelinap, mendekati kamar itu dengan hati-hati sekali. Dia maklum alangkah lihainya Cui Im, dan sedikit suara saja sudah cukup membuat wanita iblis itu tahu bahwa ada orang di luar kamarnya.

Dengan hati-hati sekali, tanpa mengeluarkan suara, dia berhasil mendekati jendela kamar dan mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya untuk menangkap suara di dalam kamar. Dia berhasil. Di samping suara orang bercumbu, dengus dan tawa penuh nafsu birahi, dia mendengarkan percakapan yang membuat matanya terbelalak, wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil! Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri, dan dengan susah payah dia menekan perasaannya agar pernapasannya tidak menjadi sesak dan jangan sampai terdengar dari dalam kamar itu.

"Ihhhhh, kau seperti harimau kelaparan saja! Baru juga sepekan... bukankah kukatakan bahwa kau harus menjauhkan diri dariku lebih dahulu dan bersembunyi saja di kamarmu? Kalau sampai Cong San tahu..."

"Aduh, Sianli! Dewiku, kekasihku, pujaan hatiku. Masa kau begitu tega? Hampir aku mati karena rindu padamu... ahhhhh, kau begini cantik jelita, begini menggairahkan dan begini harum...! Engkau tentu dapat menghargai semua bantuanku, bukan? Ha-ha-ha, engkau benar-benar cerdik luar biasa. Si tolol Cong San itu benar-benar dapat tertipu! Ingin sekali sebelum kau membunuh Keng Hong, aku bertemu dengan orang yang hampir serupa dengan diriku itu. Apakah dia benar-benar seperti aku, Sianli?"

"Ahh, tentu saja kau lebih tampan!" Terdengar Cui Im cekikikan di antara suara ciuman.

"Kenapa tidak segera kau bunuh saja dia yang sangat berbahaya itu? Kalau sampai dia dapat lolos, akan sia-sia semualah segala usaha kita menipu Cong San dan memancing dia datang. Kau benar-benar pandai bersandiwara, dewiku. Ketika kau menyamar sebagai Yan Cu di dekat telaga itu... ha-ha-ha, dan aku sebagai Keng Hong... aihhh, benar-benar romantis pada waktu kita bercumbu itu. Sayang kau segara membawaku lari pergi, tidak melanjutkan..."

"Hushhh, gila kau! Kalau Cong San melihat bahwa yang bercumbu itu adalah engkau dan aku, bukan Keng Hong dan Yan Cu, apa artinya semua siasat kita? Engkau pun hebat, pandai sekali engkau memalsu gaya tulisan orang. Benar-benar seorang siucai yang luar biasa!"

Cong San berdiri menggigil di luar jendela kamar. Pandang matanya berkunang dan dia memejamkan matanya karena segala di depannya berputar. Seolah-olah kedua matanya dibuka orang, seolah-olah baru sekarang dia terbebas dari kebutaan. Keng Hong dan Biauw Eng benar! Yan Cu tidak berdosa! Dan apa yang telah dia lakukan?

"Ya Tuhan...!" Hatinya merintih dan air mata bercucuran di atas kedua pipinya yang pucat.

Ia tetap memejamkan kedua matanya. Malu dia membuka matanya. Malu melihat dunia. Malu menghadapi kenyataan. Dan dia menghina isterinya, memakinya dan menuduhnya melakukan perbuatan jinah dengan Keng Hong! Dia mencemarkan nama dan kehormatan isterinya yang tak berdosa, seolah-olah dia melumuri setangkai bunga seruni putih bersih dengan lumpur kotor, membenamkan bunga itu dalam kotoran dengan kedua tangannya yang kejam!

Dan dia telah memaki dan menghina Keng Hong, pendekar sakti yang budiman itu, yang dalam keadaan terhina masih tidak mau mencelakakannya, tidak mau melawannya ketika diserang! Dan dia bersekutu dengan Cui Im, menipu Keng Hong menggunakan siasat busuk, menggunakan anaknya sebagai umpan! Dan dia mencelakakan Biauw Eng yang sama sekali tidak berdosa, seorang isteri yang setia dan mencinta suaminya, seperti Yan Cu! Dan dia kini menyeret pula Giok Keng, anak mereka yang masih bayi, ke dalam cengkeraman iblis betina Cui Im!

"Ya Tuhan... apakah yang telah kulakukan semua itu...?"

Lamat-lamat telinga Cong San masih menangkap suara cumbu rayu yang kini terdengar amat menjijikkan hatinya.

"Dewiku, lebih baik Keng Hong segera kau bunuh. Akan tetapi isterinya... dan Yan Cu, aduh mereka amat cantik, sungguh sayang kalau dibunuh begitu saja..."

"Ihhhhh, dengan aku dalam pelukanmu kau masih sempat memikirkan perempuan lain?"

"Aduhhh! Ahhh, jangan terlalu keras mencubit, sayang. Lihat, pahaku sampai biru. Aku hanya ingin mengatakan bahwa sayang sekali..."

"Sudah kuputuskan untuk menyerahkan mereka kepada para pengawal agar diperkosa beramai-ramai sampai mati!"

"Wah, sayang sekali! Mengapa begitu? Sebelum diobral kepada tikus-tikus pengawal itu, lebih baik kalau dihadiahkan dahulu kepadaku untuk beberapa malam..."

"Biauw Eng sudah kujanjikan kepada Mo-kiam Siauw-ong..."

"Dan Yan Cu? Dia cantik sekali. Aku mengintai dari jendela kamar tahanannya, hemmm... biar pun tidak secantik engkau, namun aku mengilar dibuatnya. Sianli, kau berikanlah dia kepadaku lebih dulu sampai aku puas, baru..."

"Sudahlah, nanti mudah diatur. Sekarang aku ingin kau mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatianmu untuk diriku seorang!"

Cong San mengepal kedua tinjunya sampai ujung-ujung kukunya membikin lecet telapak tangannya. Kalau dia tidak dapat menekan hatinya dan mengerjakan otaknya, tentu dia sudah memecahkan jendela itu dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi dia menahan diri karena maklum bahwa kalau dia melakukan hal itu, tentu dia akan roboh di tangan Cui Im.

Dapat dibayangkan betapa tersiksanya hati Cong San. Dia terduduk di atas lantai bawah jendela dan tak bergerak seperti patung. Penyesalan yang sangat hebat membuat seluruh tubuhnya kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, kadang-kadang lemas dan terasa lumpuh namun ada kalanya tubuhnya menegang dilanda kemarahan.

Menjelang pagi, dia mendengar suara laki-laki itu. "Tidurlah, Sianli. Aku akan kembali ke kamarku sebelum pagi. Ahhh, aku puas sekali, terobatilah sudah rinduku, aku lelah dan mengantuk sekali ahhhh..." Laki-laki itu menguap dan terdengarlah langkah kakinya yang berat diseret meninggalkan kamar. Cong San tak mendengar jawaban Cui Im. Tentu iblis betina itu telah tidur pulas.

Dengan mata sipit karena kantuk serta kaki diseret karena lelah pemuda yang bukan lain adalah Coa Kun sampai di lorong yang menjadi penghubung antara bangunan belakang dengan bangunan besar, lalu berjalan menuju ke kamarnya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Cong San telah berdiri di depannya dengan mata menyinarkan maut dan rambut awut-awutan seperti orang gila! Coa Kun terkejut dan hendak berteriak, akan tetapi Cong San mendahuluinya, menotok jalan darah di dadanya hingga membuat pemuda bangsawan itu lumpuh dan tak berdaya diseret ke dalam taman dan dibungkam mulutnya.

"Manusia hina, hayo ceritakan apa yang sudah kau lakukan dengan surat-surat palsu itu dan penyamaranmu sebagai Keng Hong!" Cong San mendesis dekat telinga pemuda itu dan mengendurkan bungkaman pada mulutnya.

Menggigil seluruh tubuh Coa Kun seakan-akan dia mendadak diserang dingin yang luar biasa. Dengan gagap dia menjawab, "Ampun..., aku... aku hanya melakukan perintah Cui Im... aku... aku... aku tidak tahu apa-apa..."

"Jawab pertanyaanku! Apa yang terjadi dengan persuruh Keng Hong yang mengantarkan surat kepadaku?"

"Dia... di... dibunuh... aku dipaksa memalsukan suratnya..."

"Dan surat tulisan Yan Cu?"

"Aku... dipaksa menulis surat palsu..., mencontoh tulisan isterimu... dari resep obat..."

"Dan di dekat telaga itu? Kau dan Cui Im menyamar sebagai Keng Hong dan isteriku? Jawab!"

Coa Kun sudah terkencing-kencing ketakutan sampai celananya basah dan dia sudah tak dapat lagi mengeluarkan suara, hanya mengangguk.

"Prokkkkk!"

Tangan Cong San menampar dan sekali pukul pecahlah kepala Coa Kun. Cong San masih belum puas, segera menghujani tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu dengan pukulan dan tendangan sehingga remuk-remuklah tulang tubuh pemuda bangsawan yang menjadi korban nafsu birahinya itu! Kemarahan menimbulkan kebencian sangat hebat di hati Cong San, dan kebencian menimbulkan kekejaman yang mengerikan.

"Hemmm, akhirnya kau tahu juga, manusia tolol!"

Cong San cepat membalik dan ketika dia memandang kepada Cui Im, matanya seperti mengeluarkan api dan napasnya seperti uap panas. "Iblis engkau...! Iblis kejam...!" hanya itulah yang dapat keluar dari mulut Cong San. Kemarahan dan kebencian yang terdorong oleh penyesalannya mencekik leher. Dia menubruk maju, menyerang dengan sepasang Im-yang-pit di kedua tangannya.

Tentu saja Cui Im dapat mengelak dengan mudah. Sambil berkelebat ke kanan kiri untuk menghindarkan sambaran kedua senjata di tangan Cong San, Cui Im mengejek, "Engkau tahu atau tidak, aku memang sudah mengambil keputusan untuk membunuhmu pula. Kau kira hanya Keng Hong dan Biauw Eng saja yang kukehendaki nyawanya? Hi-hi-hik-hik! Engkau dan Yan Cu juga termasuk hitungan! Kalian berempat merupakan musuh-musuh besarku. Hi-hi-hik! Akan tetapi, mengingat bahwa engkau telah berjasa dan membantuku, Hemmmm... agaknya aku akan dapat mengampuni nyawamu asal engkau suka melayani aku. Engkau tampan, jauh lebih menarik dari pada Coa Kun yang sudah kau bunuh itu. Bagaimana?"

"Iblis cabul, perempuan hina!" Cong San menerjang lagi dan terpaksa Cui Im bersikap hati-hati karena meski pun dia memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun Cong San bukan seorang pendekar sembarangan, melainkan seorang pendekar perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari Siauw-lim-pai.

Betapa pun juga, Cong San bukanlah lawan Cui Im. Dalam keadaan tenang saja Cong San masih kalah untuk dapat menandingi Cui Im. Apa lagi dalam keadaan marah seperti itu. Kemarahan merupakan pantangan besar pada setiap pekerjaan dan setiap perbuatan, karena kemarahan dapat menimbulkan kelengahan serta menggelapkan akal. Di dalam amarah yang meluap-luap itu, serangan Cong San lebih terdorong oleh nafsu membunuh dari pada terkendalikan oleh akal, dan boleh jadi serangan-serangannya menjadi lebih berbahaya karena nekat, namun dia menjadi lengah karena tidak lagi mempedulikan segi penjagaan diri.

Keributan itu menarik datangnya para pengawal dan keadaan menjadi geger pada waktu mereka melihat betapa Coa-kongcu sudah menggeletak menjadi mayat sedangkan Yap Cong San yang tadinya menjadi tamu itu bertempur melawan Cui Im. Melihat datangnya banyak orang, Cui Im membatalkan niatnya mempermainkan Cong San dan ia mencabut pedang merahnya.

Tampak cahaya merah berkelebat menyilaukan mata tersorot obor-obor yang dibawa oleh para pengawal. Dengan mempermainkan pedangnya yang hebat, ditambah pula dengan tenaga sinkang-nya yang lebih kuat, dalam belasan jurus saja pedang di tangan Cui Im berhasil membabat patah sepasang pit di tangan Cong San, kemudian tangan kiri Cui Im menotok dan robohlah Cong San!

Para pengawal yang dipimpin Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang hendak menghujani tubuh Cong San dengan senjata, akan tetapi Cui Im membentak, "Jangan bunuh dulu! Ikat dia dan seret dalam kamar tahanan bersama dua orang tawanan! Juga Yan Cu seret ke sana, jadikan satu dalam kamar tahanan itu!"

Tidak ada yang berani membantah sehingga tubuh Cong San segera diikat kuat-kuat dan diseret ke dalam kamar tahanan dalam keadaan pingsan. Cong San roboh pingsan bukan oleh totokan yang melumpuhkan kaki dan tangannya, melainkan oleh pukulan batin yang menimbulkan penyesalan yang menyesak dada.

Dia tidak melihat betapa Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya, kemudian suami isteri itu saling pandang dengan rasa heran akan tetapi kemudian pandang mata mereka terhadap Cong San masih penuh dengan kemuakan. Juga Cong San tidak tahu betapa tidak lama kemudian isterinya, Yan Cu, dalam keadaan terbelenggu erat-erat diseret pula ke dalam kamar itu. Yan Cu segera menangis ketika melihat Keng Hong dan Biauw Eng, juga suaminya, telah menjadi tawanan di situ....


                   ***************























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12