Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 39
Beberapa
bulan lewat tanpa peristiwa yang penting, baik dalam kehidupan Keng Hong dan
Biauw Eng mau pun dalam kehidupan Cong San dan Yan Cu. Hanya bedanya, suami
isteri Cong San dan Yan Cu kini kebahagiaannya terselubung awan hitam, dan hal
ini bisa dirasakan oleh Yan Cu.
Sikap
suaminya menjadi berubah sama sekali sejak suaminya mimpi buruk itu. Sikapnya
kadang-kadang dingin, kadang-kadang suaminya kelihatan berduka mengerutkan
kening dan tidak pernah mau mengaku, hanya memberi alasan yang tidak masuk
akal.
Yan Cu
maklum bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya, akan tetapi dia hanya
mengira bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Agaknya
suaminya masih belum dapat menghilangkan rasa penyesalan dan dukanya mengingat
akan nasib gurunya, Tiong Pek Hosiang, dan juga mengingat bahwa dia telah
dikeluarkan dari Siauw-lim-pai.
Lahirnya
seorang anak laki-laki memang membahagiakan Yan Cu dan Cong San. Akan tetapi
pandang mata Yan Cu yang awas itu dapat melihat bahwa kadang-kadang Cong San
yang memondong dan menimang bayinya itu kelihatan seperti orang melamun dan ada
bayangan ragu-ragu di wajahnya yang tampan. Hal ini benar-benar membuat hati
Yan Cu prihatin sekali.
Akhir-akhir
ini Cong San sudah tidak mengurus toko obatnya lagi, bahkan sering kali pergi
meninggalkan rumah dengan alasan ingin berjalan-jalan ke luar kota mencari hawa
segar. Yan Cu yang ingin melihat suaminya terhibur, tidak mencegah dan
diam-diam dia prihatin sekali. Kemudian dia melimpahkan cinta kasihnya lebih
dari pada yang sudah-sudah dan ada kalanya suaminya menyambutnya dengan
kehangatan cintanya, akan tetapi kadang-kadang suaminya menyambutnya dengan
dingin dan tidak sewajarnya!
Pada suatu
hari, Cong San pergi berjalan-jalan. Sementara itu, sehabis menyusui bayinya
lalu menyerahkannya kepada Chie-ma, inang pengasuh yang membantu dirinya
merawat bayi, Yan Cu lantas duduk menjaga toko obat sambil termenung memikirkan
suaminya. Jantungnya kadang-kadang berdebar tidak enak.
Apakah cinta
kasih suaminya sudah luntur bersama lahirnya putera mereka? Aihhh, tidak
mungkin! Cong San kelihatan bahagia dan bangga dengan kelahiran anak yang
mereka beri nama Yap Kun Liong, seorang bayi yang tangisnya sangat nyaring,
mungil dan telah memperlihatkan tanda bahwa anak itu memiliki kesehatan luar
biasa dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, seorang calon manusia yang
bertulang kuat berdarah bersih.
Akan tetapi
mengapa suaminya kadang-kadang melamun bagaikan orang hilang ingatan,
kadang-kadang melihat bayinya seperti orang ragu-ragu, ada kalanya mengeluh di dalam
tidurnya seperti orang berduka dan menyesal, dan ada kalanya pula seperti orang
yang dibakar api kemarahan hebat?
Yan Cu
menghela napas dan merasa gelisah sendiri. Terkenang dia kepada suheng-nya,
Keng Hong, dan Biauw Eng, maka timbullah rasa rindunya. Kenapa mereka tidak
datang berkunjung atau memberi kabar? Kalau mereka datang berkunjung, agaknya
suheng-nya yang dianggap seperti kakak kandung sendiri itu tentu akan dapat
memecahkan rahasia yang mengganggu perasaannya ini. Ya, terhadap Keng Hong dia
tak akan ragu-ragu lagi untuk menceritakan keadaan suaminya itu, dan tentu Keng
Hong akan dapat membantu dirinya.
Agaknya
mereka itu sangat sibuk! Bagaimana kalau dia mengajak suaminya untuk pergi
mengunjungi Keng Hong dan Biauw Eng? Akan tetapi Kun Liong masih terlalu kecil
untuk dibawa pergi. Kalau ditinggalkan, ahhh, mana hatinya tega?
Yan Cu
menjadi semakin gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Berkali-kali dia
mendesak suaminya, dengan bujuk rayu, dengan halus sampai kasar, supaya
suaminya suka menceritakan apa yang mengganjal hatinya, akan tetapi selalu Cong
San menjawab tidak apa-apa!
Seorang
laki-laki tua yang muncul di pintu toko mengagetkan Yan Cu dan menariknya
kembali dari dunia lamunan.
"Ada
keperluan apa, Lopek?" tanyanya halus.
"Apakah
Yap-sinshe ada? Saya hendak berjumpa dengannya."
"Ahh,
dia sedang keluar. Ada keperluan apakah? Memeriksa orang sakit? Atau hendak
membeli obat? Aku dapat melayani dan membantumu, Lopek."
"Benarkah
Toanio dapat menolong saya? Saya datang dari kota Koan-ciu, dahulu saya pernah
diberi resep obat oleh Yap-sinshe untuk dibelikan di kota saya kalau obatnya
telah habis, karena kota saya cukup jauh dari sini. Akan tetapi resep itu
hilang! Saya ingin minta dibuatkan resep baru."
"Hemmmm,
obat apa saja yang ditulisnya?"
"Mana
saya tahu, Toanio! Maka saya harus bertemu dengan Yap-sinshe sendiri."
"Hemmmm,
begini saja. Siapa yang sakit dan apa penyakitnya?"
"Yang
sakit isteri saya, kakinya suka pegal-pegal kalau hawa sedang dingin sampai
sukar dibuat jalan, kepalanya pening dan pandang matanya kabur. Sesudah makan
obat dari Yap-sinshe, agak mendingan, akan tetapi sekarang obatnya habis dan
resepnya hilang."
Penyakit
biasa saja, pikir yan Cu. "Baiklah, saya akan membuatkan resep untuk
isterimu."
Setelah
berkata demikian, Yan Cu lalu mengambil alat tulis dan menuliskan resep di atas
kertas dengan huruf-huruf tulisannya yang rapi dan kecil indah. Setelah
selesai, kemudian dia memberikan resep itu kepada orang tadi sambil berkata,
"Nah,
ini obatnya ada tiga macam. Aturannya sudah kutulis di sini, tentu toko obat
akan memberi tahu. Ataukah engkau hendak membeli obat di sini?"
"Nanti
di kota saya saja, Toanio, karena... ehh, saya tidak membawa uang."
"Terserah
kepadamu, Lopek."
"Berapa
saya harus bayar, Toanio?"
"Tidak
usah, itu hanya pengganti resep yang hilang."
Kakek itu
membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih, lalu pergi dengan wajah
girang. Sebentar kemudian Yan Cu sudah melupakan kakek itu karena telah
tenggelam lagi dalam lamunannya.
Kegelisahan
hatinya menjadi keperihan dan kedukaan kalau ia ingat betapa suaminya kini
sering kali menghibur diri di telaga tak jauh dari kota, dan pernah ia
menyelidikinya sendiri dan melihat suaminya itu duduk menghadapi telaga sambil
minum arak dan menulis sajak atau membaca buku! Makin yakinlah hatinya bahwa
ada sesuatu yang mengganjal hati suaminya, yang tidak diceritakan kepadanya
bahkan dirahasiakan, dan ganjalan hati itu tentu amat hebat sehingga suaminya
perlu menghibur hati bersunyi diri di tepi telaga. Apa gerangan rahasia itu?
Bagaimana ia akan dapat memecahkannya?
Beberapa
hari kemudian, pada saat wajah suaminya tidak sekeruh biasanya dan mereka
berdua menghadapi meja makan siang, Yan Cu mempergunakan kesempatan ini untuk
berkata dengan suara halus,
"San-koko,
ingin aku mengatakan sesuatu kepadamu."
Cong San
memandang isterinya, pandang mata yang penuh cinta kasih, akan tetapi juga
penuh kedukaan. Sinar mata suaminya itu seakan-akan mencegah Yan Cu bicara
tentang sikap suaminya, karena toh tak akan dijawabnya.
"San-koko,
aku ingin sekali pergi mengunjungi Cin-ling-san. Sudah hampir setahun..."
Tiba-tiba
saja Cong San bangkit berdiri, mukanya berubah dan kata-katanya singkat ketus
ketika dia memotong, "Sudah sangat rindukah engkau?"
Yan Cu heran
menyaksikan sikap suaminya, akan tetapi ia berkata dengan wajah berseri,
"Benar, suamiku. Aku sudah sangat rindu kepada mereka! Marilah kita pergi
berkunjung ke sana, sekalian kita berpesiar. Kita singgah di dalam hutan pek
yang ada telaganya, milik Siauw-lim-si itu dan..."
"Tidak!
Aku tidak mau pergi!" Tiba-tiba Cong San membalikkan tubuhnya dan keluar
dari rumah.
"San-koko...!"
Teriakan Yan Cu ini mengandung rasa kaget, heran dan juga marah. Akan tetapi
suaminya sudah pergi dan ketika ia mengejar keluar, Cong San sudah lenyap dari
depan toko.
Yan Cu masuk
kembali untuk menyembunyikan air matanya yang bercucuran agar tidak tampak
orang lain. Ia menjatuhkan diri di atas kursi, bersembunyi di belakang lemari
toko dan menangis terisak-isak. Hanya ketika ia mendengar tangis bayinya saja
ia cepat-cepat menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan menekan
batinnya, lalu memanggil Chie-ma untuk membawa puteranya.
Chie-ma
datang menggendong anak kecil itu. "Toanio, puteramu lapar, sudah waktunya
minum susu."
Tanpa
menjawab karena takut suaranya akan terisak, Yan Cu menerima puteranya yang
menangis itu. Tangis anak itu segera berhenti dan mulutnya mulai mengisap susu
ibunya. Keadaan menjadi sunyi sekali setelah anak itu berhenti menangis.
"Toanio..."
Chie-ma berkata lirih sambil duduk berlutut di atas lantai, di hadapan nyonya
majikannya yang sedang menyusui Kun Liong. Yan Cu mengangkat muka memandang
pelayannya.
"Toanio,
maafkan hamba, bukan sekali-kali hamba hendak berlancang mulut mencampuri
urusan Toanio. Akan tetapi hamba merasa kasihan dan sebagai seorang tua yang
lebih berpengalaman dalam hal kekeluargaan, maka hamba ingin memberi
nasehat."
Tanpa terasa
lagi dua titik air mata menitik turun ke atas pipi Yan Cu. Tidak ada gunanya
disembunyikan, pelayan tua ini sudah tahu. "Bicaralah, Chie-ma."
"Tanpa
disengaja hamba melihat majikan lari keluar dengan muka penuh kemarahan, dan
hamba melihat Toanio habis menangis. Tentu Toanio bertengkar dengan majikan.
Aihhh, Toanio, apakah Toanio tidak melihat betapa majikan mengandung
penderitaan batin yang amat hebat? Kasihan sekali dia, Toanio, dalam keadaan
seperti itu, seorang suami amat membutuhkan kebijaksanan isterinya untuk bisa
menghiburnya, untuk ikut memikul beban yang memberatkan hatinya. Sungguh pun
hamba tidak tahu apa urusannya, akan tetapi dengan jelas dapat hamba lihat
bahwa majikan menderita batin yang menyedihkan."
"Chie-ma,
aku pun bukan seorang yang buta. Aku tahu, akan tetapi… ahhh, soalnya dia tidak
mau menceritakan apa yang sedang menyusahkan hatinya itu. Kalau aku tidak tahu
persoalannya, bagaimana aku dapat membantu? Dia sering berduka, marah-marah,
dan tiap hari pergi minum arak di telaga. Aku cinta kepadanya, Chie-ma, dan aku
ingin sekali menanggung penderitaannya, akan tetapi dia tidak pernah mau
berterus-terang."
Chie-ma
menarik napas panjang. "Apa bila majikan tidak pernah mau berterus terang,
itu hanya berarti bahwa ia sengaja hendak merahasiakan urusan itu, sebab merasa
khawatir kalau-kalau Toanio menjadi berduka pula. Seorang suami yang sangat
mencinta isterinya memang kadang-kadang menyembunyikan hal-hal yang tak
menyenangkan dari isterinya, supaya isterinya tidak ikut menderita."
"Ahhh,
sikap demikian itu salah sama sekali, Chie-ma. Justru karena dia diam saja
tidak menceritakan persoalannya, membuat hatiku tertindih dan lebih sengsara
dari pada kalau tahu persoalannya. Menghadapi persoalan, kita bisa menggunakan
akal bagaimana untuk mengatasinya, akan tetapi menghadapi rahasia begini,
benar-benar membuat hati gelisah tidak karuan, menduga yang bukan-bukan."
"Aihhh...
persoalan orang-orang muda. Dulu ketika suami hamba masih hidup sering kali
hamba cekcok dengannya. Cekcok kecil-kecilan dalam rumah tangga merupakan bumbu
penyedap kehidupan suami-isteri, kadang-kadang bahkan bisa menjadi pembangkit
cinta. Akan tetapi kalau terjadi pertengkaran besar, hemmm, tidak ada
kesengsaraan yang lebih berat dirasakan dari pada pertengkaran antara suami
isteri. Sikap majikan mengingatkan hamba dulu pada waktu suami hamba
mencemburukan hamba dengan seorang tetangga. Aihhh, gila dia...!"
Yan Cu
tersentak kaget. "Cemburu...?" Dia berkata lirih.
Selanjutnya
dia sudah tidak mendengar suara Chie-ma yang bercerita tentang cemburu suaminya
itu. Otaknya diputar, mengingat-ingat. Itukah yang mengganggu hati suaminya?
Cemburu? Akan tetapi, apa yang dicemburukan dan mengapa?
Tiba-tiba ia
teringat percakapan mereka tadi. Cong San marah sekali ketika ia mengajak pergi
ke Cin-ling-san. Begitulah kiranya? Mencemburukan ia dengan suheng-nya? Wajah
Yan Cu tiba-tiba menjadi merah.
Tak mungkin!
Ini timbul dari hatinya sendiri yang harus mengaku bahwa dahulu, sebelum
bertemu dengan Cong San, memang ada perasaan cinta di hatinya terhadap Keng
Hong. Akan tetapi cintanya berubah sesudah dia bertemu dengan Cong San, berubah
menjadi cinta saudara.
Tidak
mungkin suaminya cemburu, karena semenjak menikah dia tidak pernah berjumpa
dengan Keng Hong, bahkan tak pernah berkirim berita. Tidak ada alasan sedikit
juga bagi Cong San untuk mencemburukan dia dengan Keng Hong atau dengan
laki-laki lain yang mana pun juga.
"Jika
sudah cemburu, lelaki memang seperti gila," dia mendengar lagi omongan
Chie-ma, "seperti mendiang suami hamba dahulu. Dia hanya menyangka tanpa
bukti, dan karena tak ada bukti maka dia tidak berani menuduh terang-terangan
kepada hamba. Akan tetapi semenjak itu sikapnya minta ampun! Kelihatan marah,
berduka, dan sinar matanya penuh penghinaan. Bila malam, minta ampun, dia
manjanya setengah mampus, inginnya hamba bersikap seperti di waktu malam
pertama pengantin! Kalau hamba bersikap dingin sedikit saja, seolah-olah
hatinya yang dibakar cemburu itu disiram minyak dan dia marah-marah kepada diri
sendiri tidak karuan! Baru setelah terbukti bahwa cemburunya itu kosong, dia
minta-minta ampun sampai berlutut di depan kaki hamba! Coba, siapa tidak
mendongkol? Untung tidak ada palang pintu dekat dengan hamba, kalau ada tentu
akan hamba gecek kepalanya!"
Yan Cu
tersenyum juga mendengar cerita pelayannya. Hatinya sedikit lega. Setidaknya,
ada bahan baru baginya untuk berusaha menyingkap tabir rahasia sikap suaminya.
Siapa tahu, mungkin suaminya cemburu kepadanya. Dan kalau hal ini benar, dia
akan bertanya terus terang. Sekali suaminya terpancing dan suka bicara terus
terang, dia yakin bahwa semua persoalan akan dapat ia atasi dan bereskan,
karena suaminya bukanlah seorang yang tidak memiliki kecerdikan dan
kebijaksanaan.
***************
Air yang
bening dan tenang itu dapat menenangkan hatinya. Akan tetapi sekali ini,
hatinya tidak dapat tenang, bahkan makin dipikir makin panaslah hatinya. Ucapan
isterinya masih terngiang di telinganya dan yang terdengar hanyalah kata-kata
‘rindu’ yang keluar dari mulut Yan Cu. Tentu rindu kepada Keng Hong! Kepada
siapa lagi? Tak mungkin isterinya rindu kepada Biauw Eng, dan kalau isterinya
menyebut ‘rindu kepada mereka’, tentu yang dimaksudkan rindu kepada Keng Hong!
"Bresss!"
Cong San memukul tanah di depannya dengan tinju, giginya berkerot menahan
kemarahan.
Cemburu
adalah bahaya yang amat besar bagi hati orang mencinta. Seperti tetumbuhan yang
hidup di dahan pohon lain, makin lama makin membesar menghisap sari kehidupan
pohon itu, makin lama makin mengakar dan berkembang mengancam kebahagiaan hidup
orang yang dihinggapi penyakit ini. Cemburu merupakan sebuah penyakit dalam
tubuh cinta kasih, menunggangi nafsu birahi dan nafsu mementingkan diri sendiri
(egoism).
Cinta murni
timbul dari perasaan hati ke hati, menimbulkan bermacam keinginan untuk
memiliki dan dimiliki, membela dan dibela serta dorongan hasrat untuk bersatu
lahir batin. Di sinilah nafsu cemburu menyelinap dan mengotorkan cinta dengan
menunggang birahi dan mempergunakan sifat ingin mementingkan diri sendiri dari
si manusia yang digodakan sehingga menimbulkan lemah kepercayaan terhadap orang
yang dicinta.
Kalau
kekasih yang dicemburukan itu ternyata memang melakukan penyelewangan cinta,
maka hal itu segera dapat mengakhiri keadaan dari siksa cemburu dan
persoalannya pun selesai, keputusannya tergantung dari kebijaksanaan kedua
pihak. Akan tetapi, sangatlah berbahaya kalau tidak ada bukti penyelewengan
seperti halnya kecemburuan Cong San kepada isterinya, hal ini benar-benar
menyiksa batin. Makin dipikir, makin dicurigakan dan diragukan, maka semakin menyiksa
karena kelemahan kepercayaan terhadap isterinya ini merupakan pupuk yang paling
baik bagi nafsu cemburu sehingga dapat tumbuh dengan suburnya, setiap detik
mengusik pikiran menggerogoti hati.
Cong San
menyiksa hatinya sendiri. Sejauh ini, yang terbukti hanyalah penyelewengan di
pihak Keng Hong yang jelas sudah menulis surat kepada Yan Cu dan surat itu
selalu ada di saku bajunya. Tidak ada bukti sama sekali bahwa isterinya masih
mencinta Keng Hong. Akan tetapi pandangannya yang sudah dicengkeram nafsu
cemburu, melihat gerak-gerik dan kata-kata Yan Cu seakan-akan merupakan
gambaran bahwa isterinya itu mencinta Keng Hong dan rindu kepada bekas
kekasihnya itu.
Hal ini
mendorong khayal di benaknya, khayal yang memanaskan dada, membayangkan betapa
dahulu isterinya berkasih-kasihan dengan Keng Hong, betapa isterinya sebetulnya
lebih mencinta Keng Hong dari pada dia. Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi
adalah dugaan yang tak dapat dia tekan-tekan dan dilenyapkan bahwa anak mereka,
Kun Liong, belum tentu keturunannya, mungkin keturunan Keng Hong! Kalau
teringat akan hal yang satu ini, sering kali Cong San menangis di tepi telaga.
Bagi orang
yang belum pernah merasakan betapa hebat kekuasaan nafsu cemburu, tentu akan
mencela kelemahan hati Cong San dan akan menyalahkannya. Akan tetapi, orang
muda ini patut dikasihani. Cemburu memang merupakan siksaan hebat, dan
bagaimana Cong San tidak akan merasa cemburu sesudah segala yang dia hadapi
semenjak dia menikah dengan Yan cu?
Dia mencinta
Yan Cu lahir batin, mencinta sampai di setiap detik darah dan peluhnya, sampai
menempel di setiap helai bulu badannya. Akan tetapi, kenyataan yang menyolok
matanya sungguh hebat! Ucapan-ucapan keji dari Cui Im dan Go-bi Thai-houw,
kemudian kenyataan bahwa isterinya bukan perawan lagi, ditambah pula surat dari
Keng Hong, dan tadi isterinya merengek minta pergi mengunjungi Cin-ling-san
karena rindu!
Sesudah
kenyataan semua itu, betapa mungkin dia dapat bertemu muka dengan Keng Hong?
Kalau dia tidak ingat bahwa di pihak isterinya belum ada bukti penyelewengan
dan mencinta Keng Hong, tentu surat dari Keng Hong itu sudah cukup baginya
untuk datang ke Cin-ling-san dan menantang Keng Hong bertanding mengadu nyawa!
Dia tidak
pernah menegur isterinya, tidak pernah membencinya, melainkan berkorban diri
dengan menyiksa hati sendiri. Hal ini dia lakukan karena dia tidak ingin
menyinggung hati isterinya yang sangat dia cinta, sama sekali dia tidak sadar
bahwa sikapnya ini bahkan menimbulkan kegelisahan dan kedukaan di hati
isterinya.
"Ya Tuhan,
apa yang harus hamba lakukan?" Berkali-kali Cong San mengeluh di dalam
hatinya pada saat dia duduk seperti arca memandang air telaga tanpa melihat apa
yang dipandangnya.
Tekanan
batin ini membuat dia seperti buta dan tuli, sehingga dia yang sudah memiliki
pendengaran tajam terlatih tidak tahu bahwa ada orang menghampirinya dan kini
berdiri sekitar tiga meter di belakangnya. Baru dia kaget lalu meloncat bangun
dan membalikkan diri ketika terdengar suara orang itu tertawa,
"Hi-hi-hik,
orang muda yang tampan dan bodoh! Apakah baru sekarang engkau melihat
kebodohanmu?"
"Iblis
betina!" Cong San memaki ketika mengenal bahwa yang berdiri di depannya
adalah Cui Im, orang yang dibencinya!
"Tahan!"
Cui Im cepat mengangkat tangan ke atas ketika melihat Cong San sudah akan
menyerangnya. "Aku datang bukan untuk bertanding denganmu. Engkau tak tahu
betapa aku kasihan kepadamu, melihat engkau dipermainkan orang! Engkau seperti
buta, tidak tahu betapa engkau dipermainkan isterimu dan Keng Hong!"
"Mulut
busuk!" Cong San menerjang dan mengirim pukulan keras ke arah dada Cui Im.
Dengan gerakan lincah Cui Im meloncat ke samping lalu mundur.
"Tahan,
dengar dulu omonganku! Aku hanya ingin menolongmu, membuka matamu yang buta.
Kalau kau menghadapi Keng Hong, mana kau mampu menangkan dia? Aku akan
membantumu membalas penghinaan yang dilakukan olehnya kepadamu."
"Aku
tidak percaya mulutmu yang beracun, iblis betina!" Cong San menyerang
lagi.
Cui Im
meloncat jauh, lalu melemparkan sehelai kertas. "Nah, bacalah ini dan
apakah kau tidak mengenal tulisan isterimu sendiri? Hi-hi-hik! Selama engkau
menyiksa hati di pinggir telaga setiap hari, apa kerjanya isterimu? Berjumpa
dengan kekasihnya di hutan sebelah utara telaga. Sekarang pun aku berani
bertaruh mereka sedang berkasih-kasihan di sana. Suami tolol!"
"Keparat,
kubunuh engkau!" Cong San menerjang lagi.
Akan tetapi
Cui Im sudah menggerakkan kaki tangannya melawan dengan jurus In-keng Hong-wi
(Awan menggetarkan angin dan hujan). Jurus ini hebat sekali karena inilah ilmu
Silat San-in Kun-hoat peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang sudah dipelajarinya.
Angin
pukulan yang dahsyat ini tak akan dapat dihadapi orang yang tingkatnya setinggi
Cong San sekali pun sehingga orang muda itu terhuyung ke belakang. Apa bila Cui
Im menghendaki, tentu dia telah roboh oleh hantaman ini, namun Cui Im tidak
menghendaki demikian dan ketika Cong San meloncat lagi, wanita itu telah
lenyap, cepat bukan main gerakannya. Cong San mengejar, akan tetapi kehilangan
jejak musuhnya.
Dengan alis
berkerut dia kembali ke tempat tadi, memandang kertas yang menggeletak di atas
tanah. Hari telah mulai senja, cuaca sudah agak gelap maka dari tempat dia
berdiri, dia hanya melihat kertas yang ada tulisannya. Hatinya berkeras tidak
mau percaya pada Cui Im, tetapi nafsu cemburu membuat dia membungkuk dan
seperti di luar kehendaknya, tangannya menyambar kertas.
Begitu
melihat huruf-huruf itu, jantungnya langsung berdebar dan kepalanya pening.
Tidak dapat disangkal lagi, itulah huruf-huruf tulisan Yan Cu! Betapa dia tidak
mengenal tulisan isterinya yang setiap hari sering kali membuat resep obat,
huruf-huruf yang indah dan kecil, rapi seperti bunga-bunga diatur dalam sebuah
taman! Matanya terbelalak dan entah beberapa kali dia membaca isi surat itu.
Suheng,
kekasihku.
Suheng,
harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tak tahan lagi. Dia agaknya mulai
curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng,
kekasihku.
Baru membaca
dua baris ini saja naik hawa kemarahan dari perut Cong San dan matanya
berkunang-kunang. Sesudah menggosok matanya, baru dia dapat melanjutkan,
peluhnya memenuhi muka dan lehernya, kedua tangannya menggigil.
Cong San
roboh lemas, surat dikepalnya, napas terengah-engah. Di tempat biasa! Ahhh,
iblis betina itu sengaja ingin menghancurkan kehidupannya, akan tetapi tidak
berbohong! Isterinya masih melanjutkan hubungan terkutuk itu bersama Keng Hong.
Di tempat biasa! Di hutan sebelah utara telaga!
Cong San
seperti gila. Melompat berdiri, memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk
berlari cepat menuju ke utara. Matahari telah tenggelam di barat, dia
mempercepat kedua kakinya berlari, takut terlambat untuk memergoki isterinya.
Menangkap basah!
Ya Tuhan,
mengapa sampai terjadi begini? Surat dimasukan ke dalam saku baju, menjadi satu
dengan surat dari Keng Hong dahulu, giginya berkerot dan dia tidak tahu apa
yang akan dilakukan kalau berjumpa dengan Keng Hong dan isterinya.
Setelah
memasuki hutan yang agak gelap, dia melihat ada dua bayangan manusia dan
otomatis dia menghentikan larinya, lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan
mendekati dengan berhati-hati. Jantungnya berdebar sehingga kedua telinganya
mendengar denyut jantungnya seperti tambur dipukul.
Tidak salah
lagi, laki-laki itu tentu Keng Hong! Dia mengenal bentuk tubuh dan potongan
wajahnya, walau pun agak gelap. Pakaiannya, gerakannya, siapa lagi kalau bukan
Keng Hong si keparat? Dan wanita itu, masa dia tidak mengenal isterinya?
Memang
mereka sedang membelakanginya, akan tetapi sanggul rambut itu, pakaian itu, dia
mengenal betul. Isterinya! Berjalan perlahan, berbisik-bisik dengan Keng Hong
yang merangkul pinggang isterinya! Lalu mereka berhenti melangkah sebentar
dan... hampir saja Cong San pingsan menyaksikan betapa Keng Hong mencium bibir
isterinya. Mereka berciuman, bibir dengan bibir, lama sekali dan melihat betapa
lengan isterinya merayap naik melingkari leher Keng Hong, melihat betapa kedua
tangan Keng Hong mendekap pinggang dan pinggul isterinya!
"Ya
Tuhan...!" keluhnya.
Agaknya
kedua orang terkutuk itu mendengar suaranya karena mereka itu menengok dan
tiba-tiba mereka berkelebat lari dari tempat itu, cepat sekali.
"Keng
Hong, manusia hina, tunggu!" Cong San meloncat, mengejar, akan tetapi
karena gerakan kedua orang itu cepat sekali dan hutan itu pun gelap, dia tidak
dapat menyusul dan kehilangan mereka.
Dengan marah
seperti gila dia berteriak-teriak, memaki-maki dan mencari ubek-ubekan di dalam
hutan itu sampai akhirnya dia menjatuhkan diri di atas tanah, memegangi kepala
dengan kedua tangan, terengah-engah seperti akan putus napasnya, bukan karena
lelah berlari-lari sejak tadi, melainkan terengah-engah karena kemarahannya.
Kemudian dia
teringat. Apa pun yang akan dia lakukan terhadap Keng Hong, dia harus berjumpa
dengan isterinya lebih dulu! Dia harus membikin perhitungan dengan isterinya,
membereskan persoalan ini. Maka dia lalu meloncat lagi, berlari menuju ke
rumahnya.
Tokonya
masih tutup dan kedatangannya disambut oleh Chie-ma yang menggendong Kun liong.
Ketika pelayan itu melihat wajah Cong San, hampir dia berteriak kaget. Wajah
itu sangat menakutkan, matanya merah dan melotot, rambut awut-awutan,
pakaiannya kotor terkena lumpur dan debu, giginya berkerot, napasnya terengah.
"Di
mana Toanio?" Cong San bertanya dan kalau saja pelayan ini tidak mengenal
betul wajah majikannya, tentu dia akan mengira bahwa yang bicara ini adalah
orang lain. Suara majikannya demikian berubah!
"Toanio...
baru saja pergi, tergesa-gesa, entah ke mana akan tetapi kelihatannya sangat
bingung..."
"Lekas
siapkan pakaian Kun Liong, bantal yang baik dan siapkan di kamar!"
Menyaksikan
sikap majikannya dan mendengar suaranya, pelayan itu tidak berani banyak cakap
lagi, dan meski pun terheran-heran namun dia melakukan perintah itu. Cong San
menyalakan lampu besar di toko, tidak membuka tokonya lalu duduk terhenyak di
kursi, menanti kedatangan isterinya.
Ke manakah
perginya Yan Cu kalau tidak mengadakan pertemuan hina dan berjinah dengan Keng
Hong, pikirnya. Keparat, wanita berhati palsu, berkelakuan hina dan rendah!
"Brakkkkk...!"
Pintu
terbuka dari luar dan muncullah Yan Cu dengan muka pucat. Ketika melihat Cong
San duduk di atas kursi, Yan Cu berseru,
"San-koko...!"
Ia menubruk dan memeluk suaminya.
"Jangan
sentuh aku!" Cong San menangkis dan Yan Cu hampir roboh terguling kalau
dia tidak cepat meloncat ke kiri, berdiri memandang suaminya dengan mata
terbelalak kaget seperti melihat setan.
"Kau...
kau... ada apakah...? Apakah terluka? Apakah yang terjadi...?" Yan Cu
bertanya gugup dan bingung.
Cong San
mendelik. "Perempuan..."
Dia tidak
melanjutkan makiannya dan sedu-sedannya naik dari dadanya yang mencekik
kerongkongannya. Tidak, dia tidak mungkin dapat mengutuk isterinya, tidak
sanggup dia memaki isterinya. Melihat wajah itu, wajah yang terbelalak pucat
sambil membayangkan ketakutan hebat, dia merasa kasihan. Ahhhh, dia mencinta
isterinya betapa mungkin dia menyakitinya, baik tubuh mau pun jiwanya.
"Yan
Cu, engkau masih bertanya apa yang terjadi? Aihh, begitu kejamkah hatimu?
Begitu palsukah? Apa yang terjadi? Sepatutnya engkau yang menceritakan
kepadaku, apa yang terjadi..." Ia terisak dan memejamkan matanya.
Yan Cu
berlutut. "Suamiku... apa yang terjadi? Aku diberitahu orang, entah siapa,
bahwa engkau bertanding dengan seorang wanita... aku khawatir sekali, menduga
bahwa tentu iblis betina Cui Im yang menyerangmu. Aku berlari cepat menyusulmu
ke telaga, akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Aku cepat pulang
dan..."
"Cukuplah!"
Cong San berteriak, menjerit karena suara itu adalah jeritan hatinya.
Jika
isterinya menangis dan menyatakan penyesalannya, minta ampun dan menceritakan
dengan terus terang, agaknya dia akan dapat memaafkan isterinya yang dia cinta.
Ia siap melakukan pengorbanan apa pun juga. Akan tetapi isterinya malah
membohong! Isterinya yang dia lihat tadi berciuman mesra dengan Keng Hong...
pakaian itu, rambut itu... tidak, tidak salah lagi, kini malah membohong
seolah-olah matanya buta!
"Yan
Cu, tidak perlu membohong dan tidak perlu kiranya bicara lebih panjang kalau
hal itu menyakitkan hatimu. Kalau engkau memang benar mencintanya, biarlah aku
mengalah, aku mundur..."
"Suamiku!
Ucapan apa yang kau keluarkan ini? Apa... apa maksudmu? Demi Tuhan, apa
maksudmu?" Yan Cu berteriak-teriak, tidak peduli lagi apakah teriakannya
akan terdengar tetangga.
Cong San
hampir hilang kesabarannya. Yan Cu masih bermain sandiwara! Ini melampaui
batas! Mengapa tidak berterus terang saja? Bukti-bukti sudah cukup. Dia bangkit
berdiri, merogoh sakunya mengeluarkan dua buah surat yang selama ini mengganjal
hatinya.
"Tulisan
siapa ini?" Ia membeberkan surat kecil yang diterimanya dari Cui Im tadi.
Yan Cu
memandang pucat, dari tempat ia berlutut ia tidak dapat membaca isi surat, akan
tetapi ia mengenal tulisannya sendiri.
"Seperti
tulisanku... surat apakah itu?"
Cong San
membanting kakinya dengan pengerahan sinkang sehingga kakinya langsung amblas sampai
beberapa senti meter di lantai. Tangannya bergerak dan surat Keng Hong melayang
ke bawah. "Lihat surat kekasihmu ini! Utusannya datang untuk memberikannya
padamu, akan tetapi aku merampasnya. Apakah masih perlu banyak membohong
lagi?"
Dengan muka
pucat dan mata terbelalak Yan Cu mengambil dua surat itu, membacanya dan wanita
itu demikian heran, bingung, dan marahnya sehingga dia mengeluarkan jerit aneh
dan terkulai lemas, roboh pingsan!
Hampir saja
Cong San menubruk dan memeluk isterinya. Melihat wanita yang dicintainya itu
roboh pingsan, hatinya tidak kuat. Akan tetapi, dia tahu bahwa tanpa sepatah
pun kata Yan Cu telah mengaku, maka isterinya itu pingsan. Ia menguatkan
hatinya, lalu meloncat bangun dan berlari ke dalam menyambar Kun Liong dari gendongan
Chie-ma yang berdiri menggigil dan memandang dengan kedua mata terbelalak,
menyambar buntalan pakaian anaknya kemudian melesat keluar dari kamar. Chie-ma
menjerit dan berlari keluar, hampir menginjak tubuh Yan Cu yang menggeletak di
lantai.
"Toanio...!
Aihhhh... Toanio, apa yang terjadi ini...?" Chie-ma memeluk tubuh
majikannya yang pingsan dan melolong-lolong, merasa seakan-akan dunia kiamat
karena dia tidak tahu apa yang menyebabkan semua kejadian hebat ini.
Yan Cu
siuman, mengeluh dan teringat. Cepat dia meloncat bangun sehingga Chie-ma
terpelanting. "Mana suamiku...?"
"Ahhhh,
Toanio... dia... dia membawa Kun Liong, lari..."
"San-koko...!
Suamiku...! Semua ini adalah fitnah..!" Ia menjerit-jerit, lari masuk ke
kamar, mencari-cari, lari keluar sehingga para tetangga yang kaget mendengar
jeritan-jeritan itu keluar rumah. Mereka melihat Yan Cu berlari-larian cepat
sekali, ke sana ke mari, tidak tahu hendak mengejar ke mana, kemudian nyonya
muda itu terguling roboh, pingsan lagi di pinggir jalan!
Dengan
bantuan para tetangga, Chie-ma menggotong tubuh Yan Cu kembali memasuki toko.
Setelah siuman, Yan Cu menangis, mengguguk. Kemudian ia turun, mengambil dua
surat dan menyimpannya. Ia masih bercucuran air mata, akan tetapi tidak
menangis lagi, wajahnya membayangkan sikap dingin yang mengerikan.
"Chie-ma,
kau jaga baik-baik rumahku. Aku harus pergi mengejar suamiku," katanya dan
tanpa banyak cakap lagi malam-malam itu Yan Cu berlari keluar, mencari dan
mengejar suaminya.
Chie-ma yang
dikerumuni para tetangga hanya melolong-lolong, tidak mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka karena sesungguhnya dia sendiri pun tidak mengerti
apa yang telah terjadi.
Setelah para
tetangga pulang, Chie-ma masih menangis. Cemburu! Tentu itu sebabnya. Cemburu.
"Ya Tuhan, lindungilah mereka... aduhh, kebahagiaan mereka hancur oleh
hati cemburu..." Dia menangis lagi hingga semalam suntuk.
***************
"Nih,
kau pondong Giok Keng..."
Biauw Eng
cemberut, cemberut buatan, menerima bayi yang baru berusia sebulan itu dari
pondongan suaminya. "Ihhh, baru sebentar saja sudah diberikan kepadaku.
Apakah kau kecewa mempunyai anak perempuan? Kau mengharapkan anak laki-laki,
ya?"
"Wah-wah-wah,
omongan apa itu?" Keng Hong lalu mencium pipi anaknya yang montok
kemerahan di pondongan Biauw Eng. "Biauw Eng isteriku yang jelita, aku
bukan seperti ayah berpendirian usang yang mengutamakan anak laki-laki saja
yang kelak akan dapat menjamin kehidupan orang tua pada hari tuanya, hanya anak
laki-laki saja yang mampu menyenangkan hati orang tuanya. Pendirian macam itu
sungguh pandir dan picik, menilai anak seperti orang menilai barang dagangan
saja, diperhitungkan rugi untung dalam soal benda! Betapa keji pandangan itu.
Tidak, isteriku, aku sangat sayang kepada anak kita, tiada bedanya andai kata
dia laki-laki. Dan aku tidak ingin anak laki-laki saja!"
"Akan
tetapi, semua orang tua berharap mendapatkan anak laki-laki, bukan hanya karena
dianggap sebagai jaminan di hari tua, melainkan juga sebagai penyambung
keturunan!" Biauw Eng memancing, untuk yakin akan pendirian suaminya yang
sudah sangat ia kenal kebijaksanaannya itu.
"Phuhhh!
Apa artinya keturunan? Apakah keturunan dari anak perempuan bukan menjadi keturunan
kita pula? Pandangan orang yang pikirannya picik itu terlalu melekat soal she
(nama keturunan). Bagiku, sama saja. Laki-laki atau perempuan tetap anak kita,
bukan kelaminnya yang membahagiakan orang tua, akan tetapi kelakuan anak itu
sendiri. Meski pun perempuan jika menjadi seorang manusia utama yang
mengutamakan kebijaksanan, tentu akan menjunjung tinggi nama orang tua dan
mendatangkan kebahagiaan lahir batin, sebaliknya walau pun anak laki-laki,
kalau menjadi orang rendah (siauw-jin) hanya akan menyeret nama orang tua ke
dalam lumpur kehinaan!"
"Wah,
wah, wah…! Kau bicara begitu karena kebetulan anakmu perempuan! Apakah kau
tidak ingin mempunyai anak laki-laki?"
"Wah,
tentu saja! Akan tetapi, usia kita masih muda dan engkau... hemmm, begini cantik,
makin jelita setelah mempunyai anak!" Keng Hong merangkul dan mencium
bibir isterinya yang dibalas dengan mesra dan bangga oleh Biauw Eng.
"Kalau
benar begitu, mengapa kau tidak pernah lama memondongnya?"
Keng Hong
memegang dan mempermainkan tangan-tangan kecil anaknya dengan penuh rasa
sayang. "Ahhh, aku... takut dan ngeri."
"Hah?
Apa maksudmu?"
"Dia
begini kecil, kelihatannya begini... ahhh, aku gemetar kalau memondongnya,
takut kalau-kalau dekapanku akan menyakitkannya, takut kalau-kalau dia jatuh."
Biauw Eng
tertawa. "Engkau canggung sekali dan kaku kalau memondong."
"Lihat,
dia tersenyum! Ahhh, senyumnya sudah memikat seperti senyum ibunya. Mulutnya
seperti mulutmu, Eng-moi, dan hidungnya juga, dagunya juga, persis kau!"
"Akan
tetapi matanya seperti matamu, Hong-ko dan lihat jari-jari tangannya, dan
jari-jari kakinya, hi-hi-hik, pendek-pendek seperti jari-jarimu!"
"Wah,
sejak kapan kau memperhatikan jari-jari kakiku?" Keng Hong melotot.
"Sejak...
ihhh, sejak..."
Mereka
tertawa penuh bahagia.
"Eng-moi,
berjanjilah."
"Janji
apa?"
"Janji
bahwa engkau akan memberiku tiga lagi! Tiga orang adik Giok Keng, dua laki-laki
dan seorang perempuan lagi, jadi dua laki-laki dua perempuan. Cukup,
bukan?"
Biauw Eng
menggelengkan kepala. "Tidak cukup. Biar selosin!"
"Hushhh...!"
"Biar
kau repot kelak kalau mereka semua merengek minta baju baru dan sepatu baru.
Baru tahu rasa kau!"
Tiba-tiba
Keng Hong menjatuhkan diri di atas bangku di taman belakang rumah mereka,
lengan kiri menekan siku di atas lutut, telapak tangan kiri menunjang dagu,
tangan kanan memijit-mijit pelipis, alisnya berkerut.
"Waduh,
anak selosin... dan aku hanya menjadi petani di gunung ini. Mana cukup? Dan
mereka semua perlu pendidikan. Kalau kita tidak tinggal di kota dan aku tidak
mempunyai penghasilan yang cukup besar, wah, kasihan sekali mereka...! Aihh,
kita harus berusaha, isteriku, kalau tidak, kasihan dong mereka."
Biauw Eng
memandang dengan mata terbelalak, mulutnya menahan tawa. "Benar sekali,
suamiku, tidak sedikit biayanya."
"Dua
belas pasang sepatu baru, dua belas pasang pakaian, selosin perut di tambah
kita berdua yang setiap hari harus diberi makan, wahh, kalau aku tidak bekerja
keras, aduhhh, kasihan sekali mereka...!"
"Stop!
Mereka siapa yang kau kasihani itu?"
"Siapa
lagi? Anak-anak kita yang selosin itu..."
"Ehh,
mabuk atau mimpi kau? Anak kita cuman satu!"
Keng Hong
bengong dan akhirnya tertawa, lalu menampar kepalanya sendiri. "Aihhh, aku
tidak sadar, merasa seolah-olah kita telah mempunyai selosin orang anak!
Wah-wah-wah, kalau begitu jangan membalap, isteriku."
"Membalap
apa?"
"Produksi
anak itu lho! Lambat-lambat saja."
"Hushhh!
Cabul kau, ya?"
Kembali
mereka tertawa-tawa. Memang, tak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan
dalam hubungan suami isteri yang penuh cinta, penuh kasih sayang, penuh
pengertian, penuh kepercayaan dan kesetiaan. Apa lagi kalau suami isteri itu
sudah dikaruniai anak!
"Cia
Keng Hong!"
Keng Hong
dan isterinya yang sedang bersenda gurau sambil menimang-nimang anak mereka itu
terkejut dan menoleh.
"Cong
San...!" Keng Hong melompat dan lari menghampiri Cong San dengan dua tangan
dilonjorkan untuk memeluk sahabat baiknya itu, wajahnya berseri-seri dan
hatinya girang bukan main.
Tiba-tiba
saja dia berhenti dan memandang keadaan sahabatnya dengan mata terbelalak.
Wajah Cong San pucat sekali, matanya merah, rambutnya mawut dan pakaiannya
tidak karuan.
"Cong
San... apa... yang terjadi?"
Saking
marahnya, sangat sukar bagi Cong San untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia
membentak, "Manusia berhati palsu! Aku datang untuk mengadu nyawa
denganmu!"
Setelah
berkata demikian, tiba-tiba Cong San menerjang dengan pukulan hebat ke arah
Keng Hong. Pendekar ini terkejut bukan main. Gerak refleks dari tubuhnya yang
sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu membuat dia otomatis menangkis, akan
tetapi karena dia tidak merasa sedang berhadapan dengan musuh, tangkisan itu
dilakukan sama sekali tanpa pengerahan tenaga.
"Desss…!"
Tubuh Keng
Hong terlempar sehingga dia jatuh menggulingkan diri, lalu meloncat bangun
sambil berseru, "Heiiiiii! Cong San, mengapa...?"
Akan tetapi
Cong San telah menerjang lagi, kini dengan tendangan ke arah bawah pusar,
tendangan maut! Keng Hong yang masih bingung itu cepat mengelak, akan tetapi
kembali dadanya kena dihantam.
"Bukkk!"
Tubuhnya terguling-guling untuk kedua kalinya.
"Engkau
atau aku yang harus mampus!" Cong San membentak dan meloncat ke depan,
mengirim pukulan hebat yang dimaksudkan untuk membunuh.
"Plak-plak-plak-plak-plak!"
Bertubi-tubi datangnya pukulan Cong San yang selalu ditangkis oleh Keng Hong.
Kalau Keng
Hong menggunakan sinkang-nya, tentu tangkisan itu sudah cukup membuat
penyerangnya terjengkang. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan hal itu,
maka meski pun dia bergerak cepat menangkis terus, karena tidak sungguh-sungguh
melawan, kembali sebuah tendangan Cong San mengenai perutnya.
"Desss…!"
Tendangan
ini hebat bukan main karena yang dimainkan adalah ilmu menendang dari
Siauw-lim-pai yang amat kuat dan cepat. Apa bila orang lain yang terkena
tendangan ini, andai kata orang itu memiliki kekebalan juga, tentu isi perutnya
mengalami getaran hebat dan akan menderita luka di sebelah dalam. Akan tetapi
Keng Hong hanya terlempar dan terbanting lalu bergulingan tanpa menderita luka,
luar mau pun dalam.
Pada detik
berikutnya, tubuh Cong San sudah meloncat ke depan dan kakinya siap untuk
menginjak kepala Keng Hong dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Jangan
lagi hanya kepala orang, batu pun akan pecah terkena injakan dahsyat ini.
Dan biar pun
Keng Hong seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih tinggi
dari pada tingkat kepandaian Cong San, namun dia tidak berani menerima injakan
pada kepalanya itu. Dia menjadi sangat penasaran, cepat tangannya menyambar,
menangkap kaki Cong San dan sekali ia mengerahkan tenaga mendorong, tubuh Cong
San terlempar dan terbanting ke atas tanah!
"Cong
San sahabatku yang baik, apakah engkau telah gila?" Keng Hong cepat
melompat bangun.
Cong San
sudah bangkit lagi dan mencabut senjatanya, sepasang Im-yang-pit hitam dan
putih. "Memang aku telah gila! Aku tahu, kepandaianku masih terlalu rendah
untuk dapat melawanmu, akan tetapi aku tidak takut. Engkau atau aku yang harus
mampus!" Setelah berkata demikian, Cong San menerjang maju lagi dengan
sepasang senjatanya, menotok ke arah jalan darah yang mematikan.
Keng Hong cepat
mengelak dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Peristiwa ini sangat mengejutkan
dan membuat hatinya berduka sekali sehingga dia tak begitu mementingkan
keselamatan dirinya sendiri. Desakan Cong San yang sudah amat marah itu
membuatnya membuatnya terhuyung dan melihat ini, Cong San semakin beringas,
mengirim serangan maut tanpa memperhatikan penjagaan diri sendiri.
"Cong
San...!" Keng Hong berteriak.
Dia merasa
terkejut bukan main karena maklum bahwa jurus serangan itu tidak mungkin
dielakkan lagi, juga sangat berbahaya dan satu-satunya jalan baginya hanya
‘mendahului’ lawan dengan pukulan atau tendangan. Akan tetapi dia tidak mau
melakukan hal ini.
Keadaannya
amat berbahaya. Biar pun dia memiliki sinkang kuat, tetapi masih diragukan
apakah kekebalannya akan dapat menahan sepasang Im-yang-pit yang amat lihai
itu.
Cong San
yang wajahnya seperti telah berubah menjadi iblis itu menggerakkan sepasang Im-yang-pit,
yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menusuk ke arah ulu hati.
"Trang-trangggggg...!"
Cong San
terhuyung ke belakang, sepasang Im-yang-pitnya terpental dan hampir terlepas
dari tangannya. Ternyata Biauw Eng telah berdiri di depannya dengan muka merah
dan mata terbelalak seperti menyinarkan api. Dua buah senjata rahasianya,
bola-bola berduri, tadi sudah menyambar dan menangkis sepasang Im-yang-pit, dan
kini sabuk suteranya yang putih sudah bergerak melayang-layang di atas kepala
penuh ancaman.
"Yap
Cong San! Kalau engkau sudah gila, aku masih dapat mengampunimu, akan tetapi
kalau engkau tidak gila, jangan kira engkau boleh menghina suamiku begitu saja!
Apakah engkau sudah demikian jagoan sehingga hendak menjual lagak di
sini?" Sikap Biauw Eng seperti seekor singa betina diganggu anaknya,
wajahnya yang cantik itu mangar-mangar kemerahan dan sinar matanya berapi-api.
Cong San
masih memandang kepada Keng Hong penuh kebencian. Tanpa menoleh ke arah Biauw
Eng dia berkata, suaranya dingin, "Sie Biauw Eng, aku tidak memusuhimu,
tidak ada urusan sesuatu denganmu. Aku bahkan merasa kasihan padamu. Akan
tetapi, aku harus membunuh manusia hina Cia Keng Hong ini, atau aku sendiri
yang akan mati di tangannya!" Kembali dia menerjang ke depan, menyerang Keng
Hong dengan senjatanya yang digerakkan cepat, menggunakan jurus nekat yang
hendak mengadu nyawa.
"Kalau
begitu, engkaulah yang mampus!" bentak Biauw Eng.
Dan begitu
tangannya bergerak, tampak sinar putih menyambar dan tahu-tahu sepasang
Im-yang-pit sudah terbang karena terlepas dari kedua tangan Cong San, terampas
oleh ujung sabuk yang sangat lihai. Dalam kemarahannya, Biauw Eng kembali
menggerakkan tangan dan kedua batang pit yang terlilit ujung sabuknya itu kini
meluncur bagaikan dua batang anak panah ke arah tubuh Cong San!
"Eng-moi...
jangan...!" Keng Hong berseru, namun terlambat karena sudah tampak sinar
hitam dan putih sepasang pit itu meluncur cepat sekali ke arah Cong San.
Keng Hong
melempar diri ke depan dan berhasil menyambar pit hitam, akan tetapi karena
jaraknya terlampau dekat dan posisinya juga miring, pula dia tidak mengira
isterinya akan membunuh Cong San, pendekar ini tidak dapat meloloskan diri dari
pit putih yang cepat menyambar kemudian menancap pada pundaknya.
Keng Hong
berdiri tenang, lalu mencabut pit putih dari pundaknya. Dia membiarkan darah
muncrat dari lukanya dan menyerahkan kedua pit itu kepada Cong San sambil
berkata, "Cong San, ada persoalan dapat dibicarakan. Kalau memang aku
bersalah, sesudah kita bicara, masih belum terlambat bagimu untuk membunuhku.
Dan percayalah, kalau aku bersalah, aku akan menyerahkan nyawa dengan suka
rela."
Cong San
menyambar sepasang pit-nya kemudian membentak, "Mau berbicara apa lagi?
Kepura-puraanmu ini saja sudah menjadi jawaban, sudah menjadi bukti akan
kerendahan budi dan kekotoran watakmu. Hayo, kau bunuh saja aku!"
Biauw Eng
menarik tangan suaminya dengan kasar ke belakang, kemudian dia sendiri
melangkah maju menghadapi Cong San sampai dekat sekali. Telunjuk kirinya
menuding hampir menyentuh hidung Cong San dan suaranya melengking nyaring tanda
bahwa nyonya muda ini sudah kehilangan kesabarannya.
"Yap
Cong San, kalau begitu tidak usah banyak bicara lagi! Aku pun muak mendengarkan
omonganmu. Bila engkau tidak gila, tentu engkau sudah dibutakan oleh cemburu,
engkau manusia tolol. Memang tidak perlu bicara lagi, aku Sie Biauw Eng, saat
ini menantangmu untuk mengadu nyawa! Hayo, keluarkan semua kepandaianmu, dan
kalau aku tidak bisa membunuh engkau yang telah menghina suamiku, jangan sebut
aku Sie Biauw Eng lagi," dadanya bergelombang dan tangannya yang memegang
sabuk sutera menggigil, kakinya melakukan gerakan dibanting-banting ke arah
tanah.
Wajah Keng
Hong menjadi pucat. Celaka, pikirnya, kalau isterinya sudah seperti itu, biar
setan pun takkan mampu menahannya dan kalau Cong San melawan, dia sendiri belum
tentu akan dapat menyelamatkan Cong San dari tangan maut isterinya.
Akan tetapi
Cong San tidak marah, malah menggeleng kepalanya dan suaranya penuh duka,
"Sie Biauw Eng, sudah kukatakan tadi, aku tidak memusuhimu, aku malah
kasihan kepadamu. Kita berdua menjadi korban, menderita nasib yang sama,
bagaimana aku bisa memusuhimu? Aku pun tidak dapat bicara karena aku tak mau
merusak kebahagiaanmu. Biarlah karena memandang mukamu, kali ini aku
mengundurkan diri. Akan tetapi jagalah engkau, Cia Keng Hong, sekali waktu aku
akan menemuimu sendiri, tanpa campur tangan isterimu, dan saat itu aku akan membunuhmu
atau engkau terpaksa harus membunuhku. Sampai jumpa!" Cong San membalikkan
tubuhnya kemudian lari dari situ. Keng Hong dan Biauw Eng mendengar suara
sesenggukan keluar dari mulut orang yang lari itu.
"Kasihan
dia... sungguh heran, apakah yang terjadi...?" Keng Hong berkata lirih.
Biauw Eng
membalikkan tubuh menghadapi suaminya, matanya masih merah sekali dan dia
berkata keras, "Cia Keng Hong, mengapa engkau begini pengecut?"
Keng Hong
terbelalak memandang isterinya. "Ahhh? Aku... pengecut? Apa
maksudmu?"
Biauw Eng
membanting-banting kakinya. "Sungguh memalukan sekali, mempunyai suami
seorang yang lemah, seorang pengecut! Engkau dihina orang, engkau diserang,
engkau dimaki, dan engkau tak membalas malah menaruh kasihan kepadanya! Ke mana
perginya kegagahanmu?"
Keng Hong
menghela napas. "Isteriku yang manis, sabarlah..." Keng Hong
melangkah maju dan hendak merangkul isterinya, akan tetapi Biauw Eng
menggerakkan pundaknya mengelak dan mulutnya cemberut.
"Sabar
apa? Aku dapat menduga bahwa dia itu tentulah cemburu kepadamu!"
"Dia
menjadi marah karena mengira yang tidak-tidak, dia menuduh dan hatinya dikacau
oleh dugaan yang keliru."
"Akan
tetapi engkau yang dituduh, engkau difitnah. Kalau orang tidak bersalah, dia
harus melawan! Kalau engkau diam saja dan mengalah, rela dihina, dimaki dan
dipukul, hal itu berarti engkau memang bersalah!"
"Wah-wah-wah,
apakah engkau pun menuduh aku pula?"
"Sikapmu
sendiri yang membuat orang curiga! Kalau memang engkau bersih, mengapa engkau
membiarkan dirimu dihina oleh Cong San?"
"Eng-moi,
isteriku yang manis..."
"Bukan
saatnya merayu! Hatiku sedang panas, tahu? Bicara seperlunya saja!"
Pada saat
itu terdengar suara anak menangis dan Biauw Eng sadar dari keadaan marah luar
biasa itu. Dia cepat-cepat membalik, meloncat dan memondong anaknya yang tadi
ia letakkan di atas rumput ketika dia turun tangan membela suaminya. Sambil
memondong anaknya, dia membalik menghadapi suaminya dan biar pun sikapnya masih
marah, tetapi matanya tidak lagi berapi-api, kedua lengannya menimang-nimang
anaknya yang segera berhenti menangis.
Melihat ini
Keng Hong menjadi terharu dan terasa benar olehnya betapa isterinya amat
mencintainya, membelanya dan tadi bahkan hendak mengadu nyawa dengan Cong San
untuk membelanya.
"Eng-moi,
maafkan aku kalau aku mendatangkan penasaran di hatimu. Ketahuilah, aku tadi
memang mengalah. Akan tetapi bukan mengalah karena salah bukan pula mengalah
karena takut, melainkan mengalah karena sadar, isteriku. Engkau sendiri tahu
bahwa dia dalam keadaan tidak normal, seperti gila oleh kemarahannya, mungkin
karena cemburu yang tidak berdasar. Nah, setelah aku sadar bahwa dia itu
seperti gila, apakah aku pun harus menjadi gila seperti dia dan
melayaninya?"
Mata Biauw
Eng melotot, dan mata itu bertambah indah dalam pandangan Keng Hong yang tahu
bahwa akan ada badai mengamuk dari mata melotot itu. "Apa?!" Badai
itu mulai menyerangnya. "Engkau...! Engkau menganggap aku gila...?"
"Lhohhh!
Ehhhh... apa lagi ini...?"
"Masih
pura-pura lagi! Kau bilang dia gila, yang melawannya sama gilanya, dan aku tadi
melawannya, jadi sama saja kau memaki aku gila! Ceraikan saja kalau
begitu!" Biauw Eng mengusap air matanya yang menetes turun.
Pucat wajah
Keng Hong. Belum pernah dia melihat isterinya menitikkan air mata seperti ini,
apa lagi menantang dicerai! Dia menyesal sekali dan maklum bahwa urusan
tidaklah sekecil yang dianggapnya semula. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut
dan berkata penuh penyesalan dan permohonan.
"Eng-moi,
isteriku yang terkasih, ibu anakku yang tersayang. Ampunkan mulut suamimu yang
lancang dan pandangan yang dangkal ini..."
Tiba-tiba
Biauw Eng juga berlutut, menggunakan lengan kiri merangkul pundak dan ia pun
terisak di atas pundak suaminya. "Engkau yang harus mengampuniku,
suamiku..."
Bukan main
besar dan bahagianya rasa hati Keng Hong, tetapi juga dia terheran-heran.
"Biauw Eng, aku tadi merasa gelisah sekali. Bayangkan saja, engkau begitu
marah dan minta cerai!"
"Aku
hanya main-main, mengancam karena hatiku jengkel sekali melihat Cong San yang
menghinamu. Engkau benar, suamiku. Dia gila dan aku pun tadi hampir gila karena
telah melayani seorang gila."
Begitu
girangnya hati Keng Hong sehingga dia menghadiahkan ciuman mesra pada mulut
yang mengeluarkan kata-kata itu, kemudian dia menciumi kepala puterinya.
"Apa
bila aku tadi ketularan kegilaanmu dan aku membalas, benar-benar menceraikanmu
bagaimana?"
"Aku
akan mati!" jawab Biauw Eng tegas. "Aku hanya mau bercerai darimu
kalau mati!"
"Isteriku...!"
Keng Hong langsung merangkul isteri dan puterinya dengan kedua lengan,
kegelisahannya mengenai Cong San lenyap terselubung kebahagiaan yang dirasakan
di saat itu.
"Ehh,
pundakmu... harus segera diobati."
Keng Hong
menjamah pundaknya yang tadi tertusuk pit. "Tidak apa-apa, lukanya hanya
kecil, darahnya telah mengering, sebentar pun sembuh. Pit milik Cong San tidak
beracun, tidak berbahaya."
Disebutnya
nama ini membuat mereka menjadi termenung, teringat kembali. Keng Hong
mengerutkan keningnya, teringat dia akan Yan Cu. "Sungguh heran aku,
apakah yang telah menimpa keluarga Cong San dan sumoi?"
Biauw Eng
juga termenung. "Cong San telah menjadi seperti gila, bagaimana dengan Yan
Cu? Aihhh, aku pun khawatir sekali, suamiku. Tentu terjadi hal yang amat hebat
menimpa mereka, dan aku khawatir... hemmmmm... siapa lagi kalau bukan dia yang
mengacau..."
Keng Hong
mengerti karena dugaannya pun menuju ke sana, "Cui Im?"
Isterinya
mengangguk dan mereka berpandangan. Melihat pandang mata isterinya, Keng Hong
maklum bahwa isterinya menyesalkan pengampunannya terhadap Cui Im, maka dia
berkata perlahan, "Aku tidak akan sudi mengampuninya lagi kalau benar dia
masih belum bertobat dan masih mengacau dan merusak kebahagiaan sumoi dan
suaminya."
"Suheng...!"
Keng Hong
dan Biauw Eng meloncat lantas membalikkan tubuh, memandang terbelalak kepada
Yan Cu yang sedang datang berlari-lari. Kalau saja Yan Cu tidak mengeluarkan
suara memanggil tadi, tentu mereka berdua akan pangling.
Wajah yang
dulunya seperti sekuntum bunga yang sedang mekar, cantik jelita dan selalu
riang gembira serta berseri-seri itu kini kotor dan muram, matanya membendul
dan merah kebanyakan menangis, air mata di pipi tidak dibersihkan, terkena debu
membuat wajah itu cemang-cemong, rambutnya sangat kusut tak disisir, pakaiannya
pun kusut dan matanya membayangkan kedukaan hebat.
"Yan
Cu...!" Biauw Eng berkata lirih, penuh iba dan kaget.
"Sumoi,
kau kenapakah...?” Keng Hong cepat melangkah maju menyambut.
"Jangan
dekat! Jangan sentuh aku!" Yan Cu tiba-tiba berhenti ketika melihat Keng
Hong melangkah maju menyambutnya.
Keng Hong
kaget bukan main dan sejenak timbul kekhawatirannya bahwa jangan-jangan
sumoi-nya ini pun menjadi gila!
"Sumoi,
ada apakah? Engkau seperti marah dan membenciku, apakah salahku?"
"Suheng,
engkau satu-satunya orang yang kumuliakan, satu-satunya orang yang kucinta
seperti kakak, seperti pengganti orang tuaku. Mengapa engkau begitu kejam?
Mengapa engkau tega merusak kebahagiaan hidupku? Kenapa engkau memisahkan aku
dari suami dan anakku? Suheng, jawablah. Di hadapan enci Biauw Eng. Katakanlah
terus terang, siapakah yang kau cinta dengan cinta kasih pria terhadap wanita,
aku ataukah enci Biauw Eng?"
Apa bila ada
halilintar menyambarnya di saat itu, belum tentu Keng Hong akan sekaget ketika
mendengar kata-kata sumoi-nya ini. "Sumoi..., Yan Cu... apa artinya semua
ini? Aku sungguh tidak mengerti!"
Sambil
memondong anaknya Biauw Eng sudah datang mendekat dan berkata, suaranya tegas,
dingin dan amat berwibawa, "Yan Cu, tenanglah sebentar, tekan perasaanmu
yang meluap-luap dan dilanda kedukaan itu. Kami dapat menduga bahwa tentu telah
terjadi mala petaka hebat menimpa keluargamu, akan tetapi kami sama sekali
tidak tahu maka ceritakanlah yang jelas. Atau, marilah kita masuk ke rumah di
mana kita dapat bicara dengan tenang."
Yan Cu
memandang Biauw Eng dan sungguh heran sekali hati Biauw Eng mengapa sinar mata
wanita itu penuh iba ketika memandangnya. "Enci Biauw Eng, maafkan aku
yang terpaksa melukai hatimu. Aku tidak bisa berbicara banyak, akan tetapi
karena perbuatan Suheng yang ternyata dia tak ada bedanya dengan watak gurunya,
mendatangkan mala petaka hebat kepada diriku maka terpaksa aku menghancurkan hatimu.
Enci Biauw Eng, kau ampunkanlah aku!"
"Sumoi,
katakanlah, tidak perlu disembunyikan. Katakan semua, apa yang telah terjadi?
Dosa hebat apakah yang telah kulakukan sehingga mala petaka menimpa
keluargamu?" Keng Hong yang biasanya dapat menahan kesabaran itu, kini
berseru keras karena dia gelisah sekali, menduga-duga apa gerangan yang terjadi
sehingga dia dibenci Cong San dan kini dipersalahkan sumoi-nya sendiri.
Dengan muka
pucat dan mulut terisak menahan tangis, Yan Cu mengeluarkan dua buah surat dari
balik bajunya, dua buah surat yang dahulu dilemparkan suaminya kepadanya. Kini
dia melemparkan dua buah surat itu kepada Keng Hong sambil berkata penuh duka,
"Mengapa
engkau menulis surat macam itu kepadaku? Dan apa pula artinya pemalsuan surat
dariku itu?" Yan Cu lalu menangis tersedu-sedu, kedua kakinya terasa lemas
dan ia terjatuh, duduk di atas tanah sambil menangis.
Keng Hong
menyambar kedua lembar surat itu. Matanya segera tertarik oleh tulisannya
sendiri dan cepat dibacanya. Biauw Eng yang melihat betapa mata suaminya
terbelalak dan mukanya berubah merah penuh kemarahan, cepat menghampiri dan
ikut membaca. Matanya pun terbelalak ketika bibirnya bergerak-gerak membaca
surat itu.
Yan Cu sumoi
yang tercinta,
Setengah
tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu.
Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan
berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami
menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-Ling-san.
Sumoi,
betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta.
Bilakah kita dapat berjumpa kembali, berdua seperti dahulu memadu kasih?
Sampai
jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu
menyuratimu.
Penuh cinta
dan rindu dari,
Cia Keng
Hong.
Sampai
beberapa kali Keng Hong serta Biauw Eng membaca surat itu. Sekilas terasa bahwa
amarah yang amat hebat membakar dada Biauw Eng karena dia mengenal betul
tulisan suaminya! Akan tetapi melihat sikap suaminya, dia dapat menekan
kemarahannya dan mengerti bahwa ada sesuatu yang tidak wajar.........
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment