Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 03
SUDAH sering
kali dia diperbolehkan mempergunakan Siang-bhok-kiam untuk berlatih ilmu pedang
Siang-bhok Kiam-sut yang sengaja diciptakan gurunya untuk dia, akan tetapi tak
pernah dia melihat sesuatu yang aneh pada pedang itu, kecuali huruf-huruf kecil
yang terukir di dekat gagang pedang yang isinya merupakan ujar-ujar kuno.
"Apakah
suhu menyuruh teecu untuk mempelajari kitab-kitab itu?" tanya Keng Hong
untuk menyembunyikan ketegangan hatinya.
"Barang
yang mudah didapat tidak akan dihargai, yang sukar didapat barulah berharga,
Hong-ji. Kitab-kitab dan benda-benda yang terkumpul di dalam tempat rahasiaku
itu juga baru akan berharga bagimu kalau kau mendapatkannya dengan sukar. Akan
tetapi tidak hanya kesukaran menjadi syarat, namun terutama sekali jodoh! Apa
bila engkau memang berjodoh dengan peninggalanku itu, tentu kelak akan bisa kau
dapatkan. Boleh kau cari sendiri melalui Siang-bhok-kiam ini. Nah, kini kau
terimalah Siang-bhok-kiam, pedang ini kuberikan kepadamu, muridku..."
Keng Hong
terkejut dan memandang wajah gurunya dengan mata terbelalak. Dia belum menerima
pedang yang diangsurkan kepadanya, malah bertanya meragu, "Akan tetapi...
Suhu pernah bilang bahwa Siang-bhok-kiam seperti nyawa bagi suhu... bagaimana
dapat diberikan kapada teecu...?"
"Ha-ha-ha,
pedang ini milik siapa dan nyawa ini milik siapa? Kau terimalah sebagai tanda
patuh kepada guru."
Keng Hong
tidak berani membantah, kemudian menerima pedang Siang-bhok-kiam yang telanjang
itu.
"Keng
Hong, meski pusaka warisanku harus kau cari dengan dasar jodoh dan kesukaran,
akan tetapi ada sesuatu yang dapat kuberikan kepadamu kecuali Siang-bhok-kiam,
dan mudah-mudahan pemberianku ini akan dapat menjadi perisai bagimu menghadapi
semua lawan tangguh. Selipkan Siang-bhok-kiam di pinggang dan
mendekatlah."
Keng Hong
segera menyelipkan pedang kayu di ikat pinggangnya, kemudian menggeser duduknya
mendekati suhu-nya. Sin-jiu Kiam-ong mengangkat kedua tangannya, yang kiri dia
taruh di atas ubun-ubun kepala Keng Hong, dan yang kanan diletakkan di punggung
pemuda itu, baru kemudian dia berkata lirih,
"Pusatkan
segala dan buka semua, Keng Hong, pergunakan sinkang-mu untuk membuka semua
jalan darah, jangan pernah menentang sedikit pun juga, dan bantu dengan daya
penyedot…"
"Suhu...
suhu hendak..."
Keng Hong
gelisah sebab dia sudah beberapa kali menerima bantuan hawa sinkang yang
disalurkan oleh suhu-nya ke dalam tubuhnya, dan yang selalu mengakibatkan
kelemahan tubuh suhu-nya sehingga akhirnya dia memohon agar suhu-nya tidak
mengulangi hal itu. Kini suhu-nya hendak melakukannya lagi!
"Apakah
dalam saat terakhir ini muridku hendak membantah perintah gurunya?"
Suara ini
halus, namun penuh wibawa dan sekaligus memusnahkan niat hati Keng Hong hendak menentang.
Dia terpaksa lalu bersila dan memusatkan perhatiannya, membuka semua jalan
darah dan mengosongkan hawa di pusarnya untuk menerima saluran hawa sinkang
dari gurunya.
Sebentar
saja sudah terasa oleh Keng Hong betapa hawa yang sangat kuat menerobos masuk
melalui kepala serta punggungnya, hawa yang sebentar hangat, lalu panas dan
perlahan-lahan berubah dingin lalu panas kembali. Terasa pula olehnya betapa
dari dirinya sendiri timbul semacam tenaga menyedot yang membuat aliran hawa
sinkang itu makin lancar menerobos, berputaran di dalam pusarnya lantas buyar
dan menyusup-nyusup ke seluruh bagian tubuhnya.
Hebat bukan
main sinkang dari suhu-nya dan hampir dia tidak kuat menerimanya. Ada kalanya
hawa yang memasuki tubuhnya sedemikian panasnya hampir tidak tertahankan, akan
tetapi karena dia pun sudah bertahun-tahun berlatih, dia dapat melawannya
dengan menyesuaikan diri melalui kekuatan kemauannya sehingga secara
perlahan-lahan yang panas itu terasa hangat-hangat saja.
Entah berapa
lamanya guru dan murid ini duduk tak bergerak. Keng Hong sendiri tidak tahu
karena dia telah memusatkan seluruh perhatiannya ke dalam tubuh. Dia
seolah-olah berada dalam keadaan mimpi atau pingsan. Baru dia sadar ketika
merasa betapa hawa yang terasa seolah-olah air mancur memasuki tubuhnya melalui
kepala dan punggung itu telah berhenti, dan betapa ubun-ubun dan punggungnya
terasa dingin.
Keng Hong
membuka mata, melihat suhu-nya masih bersila sambil memejamkan mata, bibirnya
tersenyum membayangkan kepuasan. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat Keng Hong
cepat memegang kedua lengan suhu-nya yang tadinya masih terletak di atas
ubun-ubun dan punggungnya.
Sepasang
tangan suhu-nya terkulai lemas dan dingin. Suhu-nya telah menghembuskan napas
terakhir, entah sudah berapa lamanya.
"Suhu...!!"
Keng Hong meloncat bangun.
Melihat
tubuh yang bersila itu kini kehilangan sandaran dan akan roboh, cepat-cepat dia
menyangganya dan merebahkannya di atas permukaan batu. Sekali lagi dia
memeriksa detak jantung dan napas. Tak terasa lagi! Suhu-nya sudah meninggal
dunia karena dia! Karena ‘mengoper’ sinkang sampai kehabisan segala-galanya.
Tiba-tiba
Keng Hong meraung, meloncat berdiri dengan muka merah sambil memandang kedua
tangannya. Dia merasa seolah-olah dialah yang membunuh suhu-nya! Kenapa dia
tadi begitu bodoh dan mau saja padahal ini akan membahayakan kesehatan
suhu-nya?
Rasa duka,
menyesal dan marah kepada diri sendiri membuat wajah pemuda itu menjadi merah
dan beringas. Tiba-tiba dia memekik lagi dan tubuhnya mendadak melesat ke arah
permukaan puncak batu pedang yang menonjol setinggi orang, tangannya
menghantam.
"Pyarrrrr....!"
Batu gunung yang keras itu hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan kecil
yang beterbangan ke sana sini!
Keng Hong
berdiri dan ternganga heran. Memang dia sudah memiliki kekuatan sinkang yang
tidak lemah, tapi kalau dia memukul batu, biasanya tentu hanya akan memecahkan
bagian ujung saja. Akan tetapi sekali ini, dari tangannya keluar kekuatan yang
sedemikian hebatnya sehingga batu yang menonjol setinggi orang itu hancur sama
sekali sedangkan tangannya tidak merasakan nyeri sedikit pun juga!
Rasa girang,
tercengang, kaget dan duka bercampur menjadi satu, membuat dia terharu sekali.
Sinkang yang tadi telah disalurkan ke tubuhnya oleh gurunya ternyata membuat
dia memiliki tenaga yang hebat, bahkan loncatannya juga sepuluh kali lebih
cepat dari pada biasa.
Ginkang dan
lweekang di tubuhnya sekaligus mendapat kemajuan yang amat luar biasa. Ia
kembali melesat ke dekat suhu-nya kemudian menangis sambil memeluk mayat
Sin-jiu Kiam-ong. Sesuai dengan pesan Sin-jiu Kiam-ong yang pernah dinyatakan
kepadanya, Keng Hong mengangkat jenasah gurunya itu dan meletakkannya ke dalam
gubuk kecil tempat gurunya beristirahat.
Kemudian,
setelah menangisi mayat itu dan bersembahyang tanpa upacara karena tiada alat,
memohon kepada Thian agar supaya dosa-dosa gurunya diperingan hukumannya dan
arwah gurunya mendapatkan tempat yang baik, Keng Hong lalu membakar gubuk itu.
Dengan hati penuh keharuan dia menjaga dan memandang api yang berkobar membakar
gubuk berikut jenasah Sin-jiu Kiam-ong.
Oleh karena
dia harus selalu menambah bahan bakar, pembakaran jenasah ini memakan waktu
setengah hari lamanya. Kemudian, sesuai pula dengan pesan suhu-nya, dia lantas
mengumpulkan abu jenasah dan pada malam hari itu, disaksikan laksaan bintang
yang menghias langit biru, Keng Hong lalu menabur-naburkan abu itu dari puncak
batu pedang. Angin bertiup dan membawa abu itu bertebaran ke segenap jurusan,
seolah-olah Sin-jiu Kiam-ong benar-benar kini bersatu dengan alam di sekeliling
tempat yang dicintanya itu.
Semalam
suntuk Keng Hong duduk melamun, di samping terkenang pada suhu-nya juga
memikirkan keadaan dirinya sendiri. Tadinya dia tak pernah memikirkan keadaan
dirinya karena setiap hari segenap perhatiannya dia curahkan untuk belajar
serta berlatih, dan selain itu ada gurunya di sampingnya yang membuat dia tidak
merasa kesepian.
Akan tetapi
sekarang, sesudah Sin-jiu Kiam-ong tidak ada lagi, bahkan bekas-bekasnya tidak
ada lagi, dia mulai merasa dan melihat kenyataan bahwa dia sesungguhnya hanya
seorang diri saja di dunia ini! Sesudah gurunya tidak ada, apa yang akan
dilakukan? Ke mana dia akan pergi? Apa tujuan hidupnya selanjutnya? Kembali ke
kampung halaman?
Dia masih
ingat dengan kampung halamannya, dusun Kwi-bun di mana dia terlahir dan
bermain-main sampai usia sepuluh tahun. Akan tetapi, mau apa dia kembali ke
Kwi-bun? Keluarganya sudah terbasmi habis, rumah pun tidak ada, dan kembalinya
ke sana hanya akan membongkar kenangan-kenangan lama yang sangat tidak
menyenangkan hati.
Ke kuil
Kun-lun-pai? Di sana banyak orang-orang yang baik hati, tosu-tosu yang selain
baik dan ramah terhadapnya, seperti pernah dia alami sampai dua tahun lamanya.
Akan tetapi dia teringat akan pesan Kiang Lojin kepada Sin-jiu Kiam-ong bahwa
karena dia bukan ‘orang Kun-lun-pai’, maka dia tidak boleh tinggal di
Kun-lun-pai, bahkan dia tidak diperkenankan tinggal di batu pedang yang berada
di Kiam-kok-san kalau suhu-nya tidak ada!
Habis ke
mana? Tetap tinggal di situ? Tidak mungkin! Dia bukan seorang yang nekat dan
tidak tahu malu. Dia maklum bahwa gurunya dan dia adalah orang-orang yang
‘mondok’ karena Kiam-kok-san merupakan wilayah Kun-lun-pai. Dan bila mana tuan
rumah tidak memperbolehkan tinggal di sana, dia pun tidak sudi memaksa. Akan
tetapi kalau pergi, kemanakah?
Dalam
bingungnya, Keng Hong teringat pada suhu-nya. Andai kata dia menjadi suhu-nya,
apa yang akan dilakukannya? Suhu-nya adalah seorang yang selalu hidup gembira
ria. Jangankan berduka, bingung dan takut pun tidak pernah dikenalnya.
Teringatlah dia akan semua cerita suhu-nya tentang diri suhu-nya pada waktu
muda. Masih terngiang-ngiang di telinganya ucapan yang keluar dari bibir tua
yang masih tersenyum, wajah cerah dan mata berseri itu.
"Hidup
satu kali di dunia, apa gunanya berkeluh kesah dan berhati susah? Kegembiraan
dan kesenangan dapat dinikmati, tinggal meraih saja! Semua berkah dari Dia yang
telah dilimpahkan untuk kita, mengapa mesti disia-siakan? Nikmatilah berkah
itu!"
Keng Hong
mulai berseri wajahnya. Sambil menengadah memandang bintang-bintang di langit,
dia mengenang semua cerita suhu-nya dan mengenang kembali semua
ucapan-ucapannya.
"Aku
paling suka dengan keindahan. Tamasya alam yang indah, makanan lezat, semua
bunyi-bunyian merdu, ganda yang harum, wanita-wanita cantik! Kita sudah
dianugerahi mata, hidung, telinga, mulut. Gunakanlah sebaik-baiknya untuk
menikmati berkah-berkah yang memenuhi dunia. Pergunakan matamu untuk segala
keindahan dan menikmatinya. Lihat tamasya alam yang amat indah, lihat
bunga-bunga yang cantik, lihat wanita-wanita yang jelita! Pergunakanlah
telingamu untuk menikmati segala bunyi-bunyian yang merdu, burung-burung
berkicau, margasatwa berdendang, alat tetabuhan dan nyanyian merdu. Mulut?
Nikmati segala makanan yang lezat karena memang itu adalah hak kita. Rasakan
segala rasa di dunia ini. Manis, asin, gurih, masam dan pahit! Hidung? Pakailah
untuk menikmati hidup, untuk mencium ganda harum, sedap dan wangi! Pendek kata,
selama seratus tahun aku hidup cukup penuh kenikmatan dan sekarang menghadapi
mati aku tidak penasaran dan menyesal lagi, Keng Hong."
Keng Hong
tersenyum pahit mengenang ucapan suhu-nya ini. Biar pun pada lahirnya dia tak
berani membantah, namun di dalam hatinya dia kurang menyetujui pendapat tentang
hidup seperti yang dikemukakan suhu-nya. Mungkin sudah terlalu banyak dia
dipengaruhi kitab-kitab kuno yang mengajarkan tentang filsafat hidup, tentang
kesusilaan, peradaban dan kebudayaan.
Gurunya
tidak mempedulikan semua itu. Gurunya pengejar kesenangan duniawi. Namun,
sungguh pun dia tidak menyetujui pendapat suhu-nya yang dalam hal ilmu bun
(sastra) tidaklah sangat mendalam pengetahuannya, dia dapat menemukan
kesederhanaan dan kejujuran yang tidak dibuat-buat, dan tahu pula bahwa di
balik cara hidup ugal-ugalan seperti suhu-nya itu tersembunyi dasar watak yang
baik dan gagah perkasa.
"Entah
berapa ratus orang wanita cantik yang menjadi kekasihku, Keng Hong."
Demikian suhu-nya pernah bercerita. "Aku tak pernah menolak cinta kasih
seorang wanita! Wanita bagiku adalah bunga yang membutuhkan belaian dan kasih
sayang. Karena itu aku tidak pernah menolaknya, tidak peduli dia itu cantik
jelita, manis, buruk, muda mau pun tua! Tentu saja terutama sekali yang cantik
molek, tidak peduli dia itu gadis, janda, atau sudah bersuami, sudah beranak
atau bercucu! Aku menerima kedatangan mereka dengan hati dan kedua lengan
terbuka! Hanya satu yang merupakan pantangan bagiku, yaitu bahwa aku tidak sudi
mendekati wanita yang tidak suka menerima kedatanganku. Aku tidak sudi
menggagahi wanita yang tidak menghendaki aku. Aku tidak sudi cinta sepihak
saja!"
Teringat
akan ini, Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. Suhu-nya benar-benar
seorang mata keranjang! Pelahap wanita! Tentu saja dia tak ingin seperti
suhu-nya, akan tetapi dia merasa terharu kalau teringat akan pendirian terakhir
suhu-nya yang tidak sudi menggagahi wanita yang tidak cinta kepadanya. Tentu
saja merupakan hal yang sangat buruk kalau suhu-nya berjinah dengan wanita yang
bersuami, akan tetapi kalau si wanita itu sendiri suka..., sungguh dia tidak
tidak tahu harus menilai bagaimana.
"Hanya
satu pesanku, Keng Hong. Engkau boleh saja mencinta seribu wanita, akan tetapi
jangan sekali-kali kau membiarkan kakimu terikat oleh pernikahan! Sekali engkau
terikat, maka akan lenyaplah kebebasanmu dan tak mungkin pula dapat
mempertahankan hidup seperti aku!"
Keng Hong
makin bingung. Soal-soal tentang cinta dan pernikahan masih belum menarik
perhatian. Betapa pun juga suhu-nya bukan golongan jai-hwa-cat (penjahat
pemerkosa wanita). Dan suhu-nya tidak pernah dengan sengaja melakukan kejahatan
kepada orang lain.
Bila dia
sampai dimusuhi adalah sebagai akibat dari sikapnya yang ugal-ugalan, melayani
cinta kasih wanita-wanita isteri orang lain, kemudian apa bila menghendaki
setiap benda, terus diambilnya begitu saja dengan dasar bahwa yang kehilangan
benda itu tidak akan menderita! Maka terjadilah perampokan benda-benda berharga
milik pembesar-pembesar tinggi yang kaya raya, pencurian kitab-kitab dari
partai-partai persilatan besar, permainan jinah dengan isteri-isteri cantik,
dan sebagainya sehingga di dunia ini dia memiliki banyak sekali musuh!
Keng Hong
bergidik ngeri. Ia tahu bahwa banyak sekali orang sakti menginginkan pusaka
warisan suhu-nya yang kuncinya terdapat dalam Siang-bhok-kiam. Bagaimana kalau
dia turun gunung kemudian dikejar-kejar mereka yang hendak merampas
Siang-bhok-kiam? Gurunya selama ini dapat mempertahankan pedangnya, akan tetapi
bagaimana dengan dia? Musuh terlalu banyak, dan di antara mereka banyak yang
sakti. Betapa mungkin dia dapat menandingi mereka dan mempertahankan
Siang-bhok-kiam?
"Kiranya
engkau baru akan dapat menandingi kesaktian mereka itu kalau engkau sudah
mempelajari semua kitab-kitab peninggalanku..." Begitu antara lain gurunya
meninggalkan pesan sebelum menutup mata.
Dan
rahasianya berada di Siang-bhok-kiam! Kenapa turun gunung sebelum dia mendapat
bekal kesaktian yang akan cukup kuat dipakai mempertahankan Siang-bhok-kiam?
Lebih baik dia mencari dan mempelajari kitab-kitab itu!
Pada esok
harinya, Keng Hong mulai memeriksa dan meneliti pedang Siang-bhok-kiam. Pedang
itu tidak bersarung, pedang telanjang yang terbuat dari pada bahan kayu yang
berbau sedap harum. Warnanya kehijauan dan kerasnya melebihi baja!
Keng Hong
meraba-raba pedang Siang-bhok-kiam sambil meneliti ukiran huruf-huruf kecil
yang pernah dilihat dan dibacanya. Kini dia memeriksa dan membacanya kembali:
Kebijaksanaan
tertinggi seperti air!
Tulus dan
sungguh mengabdi kebajikan.
Tukang
saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka!
Keng Hong
mengerutkan kening. Sepanjang pengetahuannya, Sin-jiu Kiam-ong gurunya itu
adalah orang yang paling memandang rendah para pendeta yang dia anggap sebagai
orang-orang munafik yang pura-pura suci. Karena itu, pengetahuan suhu-nya
mengenai kitab-kitab suci hanya sepotong-sepotong dan ngawur saja. Akan tetapi
mengapa pedang itu diukir dengan bait-bait yang terdiri dari kata-kata yang
hanya dipergunakan di dalam kitab-kitab suci?
Sudah jelas
bahwa gurunya yang membuat huruf-huruf ini. Dia mengenal huruf tulisan suhu-nya
yang bengkak-bengkok tidak dapat dikatakan indah. Namun orang yang sudah bisa
menuliskan huruf-huruf kecil pada tubuh Siang-bhok-kiam, kiranya di dunia ini
hanya dapat dihitung dengan jari tangan! Apakah artinya huruf-huruf itu? Apakah
artinya sajak yang bukan sajak, ujar-ujar yang setengah matang itu?
Keng Hong
merasa seperti sering membaca kalimat-kalimat ini. Akan tetapi setelah dia
ingat-ingat, dia tahu betul bahwa tidak ada ujar-ujar seperti itu bunyinya
dalam kitab yang mana pun juga! Sehari semalam lamanya dia merenungi arti tiga
baris tulisan ini, namun tetap saja dia tidak dapat mengerti.
Akhirnya dia
berpendapat bahwa mungkin rahasianya bukan terletak di dalam baris-baris sajak
yang tidak karuan ini, melainkan pada pedang itu sendiri. Diperiksanya pedang
itu, ditekan sana-sini, dicarinya kalau-kalau ada bagian yang mengandung
rahasia. Namun dia tak berhasil menemukan sesuatu yang aneh di pedang itu
kecuali huruf-huruf tadi.
Keng Hong
telah berlatih ketekunan selama lima tahun di tempat itu, maka kini pun dia
tidak mudah putus asa. Dengan tekun dia lalu mencari-cari di seluruh permukaan
puncak batu pedang memeriksa kalau-kalau ada goa rahasia atau ada lubang-lubang
yang cocok dengan ukuran pedang untuk dicongkel, kalau-kalau di situ terdapat
pintu rahasia tempat penyimpanan pusaka suhu-nya.
Namun,
sampai sebulan sejak suhu-nya meninggal dunia, dia tidak berhasil menemukan
pusaka itu di permukaan puncak batu pedang. Sementara itu, persediaan
buah-buahan sudah habis. Maka diambilnya keputusan untuk meninggalkan tempat
itu, sesuai dengan pesan Kiang Tojin karena dia merasa tidak berhak tinggal di
situ lebih lama lagi.
Untuk
penghabisan kalinya ia berlutut dan bersembahyang ke arah empat penjuru sambil
menyebut nama suhu-nya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di sebelah dalam
bajunya. Ketika menyelipkan Siang-bhok-kiam ini, dia tersenyum dan menoleh ke
sebuah sudut di atas permukaan puncak batu pedang.
Ia merasa
girang bahwa akhirnya timbul keberaniannya untuk turun dan menghadapi apa saja
dengan dada lapang. Dia sudah lupa akan watak ayah bundanya, namun dia masih
ingat benar akan watak gurunya.
Gurunya
seorang periang, mengapa dia sebagai muridnya tidak mencontoh watak guru? Ia
harus menghadapi segala rintangan yang mungkin timbul dengan hati riang dan
penuh kepercayaan kepada diri sendiri! Dia kini bebas lepas seperti seekor
burung terbang di udara. Mengapa tidak gembira?
Dengan wajah
berseri, pemuda remaja yang tampan ini lalu menuruni puncak ini. Setelah
mengoper sinkang darisuhu-nya sebulan yang lalu, dia merasa tubuhnya demikian
penuh hawa yang amat kuat, yang membuat dia dapat meringankan tubuhnya.
Menuruni tebing yang curam itu dapat dia lakukan dengan amat mudahnya, jauh
lebih mudah dari pada yang sudah-sudah kalau dia turun mencari persediaan makan
untuk suhu-nya dan dia.
***************
"Aiiih...!
Tolonggg...! Lepaskan aku...!" Jerit melengking ini jelas keluar dari
mulut seorang wanita.
Keng Hong
yang tadinya mengira bahwa turunnya tentu akan langsung dihadang musuh,
mendapatkan kenyataan bahwa Kiam-kok-san (Puncak Lembah Pedang) di bawah batu
pedang sunyi saja. Akan tetapi tiba-tiba saja dia mendengar lengking yang
mengerikan itu, yang membuat bulu tengkuknya berdiri! Apa lagi karena sebagai
seorang yang telah tergembleng hebat, dia mendapat perasaan seolah-olah banyak
pasang mata yang selalu mengikuti gerak-geriknya.
Keng Hong tidak
mempedulikan perasaan ini karena dia sudah melesat ke kiri, berlari ke arah
suara yang menjerit tadi. Apa pun yang akan terjadi, sudah pasti bahwa di sana
ada seorang wanita yang minta tolong, yang membutuhkan bantuan karena
keselamatannya terancam.
"Jangan
menolak setiap uluran tangan yang minta pertolongan," demikian pesan
gurunya, "Namun waspadalah terhadap tangan yang berniat menolongmu."
Bukan karena
teringat akan pesan suhu-nya, melainkan terutama sekali karena dorongan hati
sendiri. Keng Hong melesat cepat untuk menolong wanita yang terancam bahaya,
timbul dari dorongan welas asih yang memang sudah ada pada setiap hati manusia.
Tidak lama
kemudian tibalah dia di sebuah lapangan terbuka dan dia tercengang. Di situ
telah berkumpul puluhan orang tosu Kun-lun-pai dan paling depan tampak
penolongnya, Kiang Tojin berdiri dengan sikap angker, tangan kirinya
mencengkeram pundak seorang wanita cantik yang meronta-ronta dan
merintih-rintih.
Dan selain
tokoh-tokoh Kun-lun-pai, tampak pula Thian Seng Cinjin sendiri berdiri dengan
bersandar pada tongkatnya! Ketua Kun-lun-pai ini tampak sudah tua sekali. Sikap
mereka semua yang kini memandang Keng Hong membayangkan bahwa mereka semua
memang sedang menantinya!
Keng Hong
menghentikan larinya dan otomatis dia menoleh. Benar saja seperti sudah
diduganya tadi, di sebelah belakangnya kini muncul belasan orang tosu
Kun-lun-pai dan dia berdiri terkurung di tengah, berhadapan dengan Kiang Tojin
yang menangkap wanita cantik itu serta ketua Kun-lun-pai yang berdiri dengan
sikapnya yang agung dan ramah! Keng Hong merasa seolah-olah menjadi seekor
kelinci yang dikurung oleh puluhan ekor harimau kelaparan!
Akan tetapi,
dia adalah seorang yang semenjak kecil sudah belajar kesopanan. Melihat Kiang
Tojin yang menjadi penolongnya serta para tosu Kun-lun-pai yang pernah melepas
budi selama dua tahun kepadanya, dia cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut
di depan Thian Seng Cinjin dan Kiang Tojin sambil berkata,
"Boanpwe
(saya yang rendah) bekas kacung Cia Keng Hong datang menghadap para locianpwe
(orang-orang tua gagah), mohon di maafkan segala kesalahan boanpwe!"
Thian Seng
Cinjin tersenyum lebar dan Kiang tojin berseri wajahnya lalu menggerakkan
tangannya yang mencengkeram pundak wanita itu sambil berkata kepada anak muridnya,
"Belenggu wanita jahat ini!"
Dua orang
tosu lalu datang dan mengikat kaki tangan wanita itu pada sebatang pohon. Keng
Hong melirik dengan ujung matanya, melihat betapa wanita yang usianya sekitar
dua puluhan tahun dan amat cantik jelita itu menangis perlahan sehingga hatinya
merasa kasihan sekali. Akan tetapi dia cepat-cepat mengalihkan perhatiannya
ketika Kiang Tojin berkata.
"Baik
sekali, Keng Hong. Bangun dan berdirilah karena engkau bukan anak murid kami,
juga bukan kacung kami lagi. Sudah sebulan lamanya kami menunggumu. Apakah yang
menyebabkan engkau terlambat sampai sebulan baru turun dari Kiam-kok-san?"
Keng Hong
terkejut. Kiranya para tosu Kun-lun-pai ini sudah tahu bahwa suhu-nya telah
meninggal sebulan yang lalu dan diam-diam sudah menjaga dan menanti dia turun
dari puncak batu pedang. Yang menjaga dan memata-matai di Kiam-kok-san hanyalah
anak murid Kun-lun-pai, agaknya ketua Kun-lun-pai dan Kiang Tojin masih tak mau
melanggar pantangan untuk mengotori Kiam-kok-san!
Kemudian dia
teringat betapa dia sudah membakar jenasah suhu-nya di dalam pondok. Agaknya
pembakaran itulah yang memberitahukan para tosu. Sebelum dia menjawab, karena
melihat dia meragu dan bingung, Kiang Tojin sudah berkata lagi,
"Kami
melihat betapa ada asap mengebul dari puncak Kiam-kok-san. Kami tidak suka
mengganggu seorang murid yang berkabung atas kematian gurunya, maka kami hanya
menunggu. Akan tetapi, alangkah banyaknya orang yang sedang menanti-nantimu,
Keng Hong. Wanita jahat ini adalah orang terakhir dari kaum sesat yang
menunggumu turun gunung dan yang sudah siap menurunkan tangan jahat
kepadamu."
"Bohong!
Tosu bau tak pernah mandi! Siapa yang hendak turun tangan jahat terhadap pemuda
itu? Aku hanya ingin menonton keramaian, kemudian tersesat di sini dan kalian
menggunakan pengeroyokan menangkap aku! Cih, tak tahu malu! Segerombolan kakek
tua bangka mengeroyok seorang gadis! Kau kira aku tidak tahu? Kalian hanya
pura-pura menjadi pendeta, padahal menggunakan kesempatan untuk meraba-raba dan
membelai belai tubuhku dengan alasan hendak menangkap seorang penjahat!"
Hebat bukan
main penghinaan ini. Banyak di antara para tosu Kun-lun-pai menjadi merah
sekali mukanya, entah merah karena malu ataukah karena marah. Akan tetapi yang
jelas, banyak di antara mereka yang melotot marah dan memandang wanita cantik
itu penuh kebencian.
Akan tetapi
Kiang Tojin dan Thian Seng Cinjin hanya tersenyum saja, sedikit pun tidak
terpengaruh oleh ucapan-ucapan menghina itu. Kiang Tojin hanya membalikkan
tubuhnya dan tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke depan dengan jari telunjuk
menuding ke arah wanita yang terikat di pohon itu.
Jarak di
antara mereka ada tiga meter, akan tetapi terdengar angin bercuit dan... tubuh
wanita itu lantas menjadi lemas dan ia tak dapat mengeluarkan suara lagi karena
ia telah terkena totokan yang dilakukan dari jarak jauh! Hanya matanya saja
yang memandang dengan mendelik penuh kemarahan.
Diam-diam
Keng Hong terkejut dan kagum sekali. Juga merasa betapa ketekunannya selama
lima tahun ini sesungguhnya tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat
kepandaian tosu yang menjadi penolongnya ini. Sebagai orang yang pernah
mempelajari ilmu silatnya masih kalah jauh sekali oleh Kiang Tojin, dan agaknya
kalau harus melawan tosu ini, belum tentu dia sanggup bertahan sampai lima
jurus!
"Keng
Hong, ketahuilah bahwa baik kaum sesat atau orang-orang gagah yang menaruh
dendam kepada gurumu selalu mengincarmu untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam
serta rahasia penyimpanan kitab-kitab gurumu. Kami para tosu Kun-lun-pai sama
sekali bukanlah orang-orang serakah dan tak menghendaki apa-apa, baik dari
Sin-jiu Kiam-ong atau dirimu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau datang ke
Kun-lun-pai tidak membawa apa-apa, maka kepergianmu dari sini pun tidak boleh
membawa apa-apa! Jadi bila mana Siang-bhok-kiam berada bersamamu, pedang itu
harus kau tinggalkan pada pinto. Begitu pula segala benda lain yang kau bawa,
kitab-kitab atau apa saja, harus ditinggalkan. Hal ini bukan sekali-kali karena
pinto ingin memilikinya, melainkan pertama, benda-benda itu hanya akan
mendatangkan mala petaka padamu, dan dari pada jatuh ke tangan kaum sesat
sehingga mereka menjadi lebih lihai, lebih baik kami simpan atau kami hancurkan
di Kun-lun-san!"
Keng Hong
mengerutkan keningnya, "Akan tetapi, pedang yang saya bawa ini merupakan
pemberian suhu, bukan hasil mencuri milik Kun-lun-pai!"
Kiang Tojin
tersenyum dan mengangguk-ngangguk, "Betul, akan tetapi Sin-jiu Kiam-ong
telah meninggal dunia di Kiam-kok-san, maka semua peninggalannya harus
ditinggalkan di Kiam-kok-san pula. Biar pun engkau muridnya, tak boleh engkau
membawanya pergi dari Kun-lun-san."
"Kalau
saya menolak?"
Kiang Tojin
mengerutkan alisnya dan mengangkat mukanya. "Keng Hong, tidak tahukah
engkau bahwa peraturan kami ini demi keselamatanmu sendiri? Kalau engkau
menolak, berarti engkau lupa akan budi dan pinto terpaksa menggunakan
kekerasan!"
Keng Hong
dapat menyelami maksud hati Kiang Tojin dan dia makin kagum dan tunduk kepada
tosu Kun-lun-pai yang bijaksana serta cerdik ini. Akan tetapi untuk mengalah
begitu saja dia merasa enggan. Apa lagi tidak ada kesempatan yang lebih baik
dari pada berlatih melawan Kiang Tojin yang tidak mempunyai niat buruk terhadap
dirinya. Biarlah dia berlatih dengan penolongnya yang berilmu tinggi ini.
"Maafkan
saya, Totiang. Sebelum menyerahkan pedang ini ingin sekali saya menerima
petunjuk Totiang dalam hal ilmu silat."
Kiang Tojin
tertawa, "Ha-ha-ha, memang sejak dahulu engkau keras hati. Baiklah, Keng
Hong. Kau boleh menyerangku, pinto juga ingin melihat sampai di mana hasilmu
berguru kepada mendiang Sin-jiu Kiam-ong! Mulailah!"
Biar pun
belum pernah menggunakan kepandaian yang dipelajarainya selama lima tahun itu
untuk bertanding dalam pertempuran sungguh-sungguh, akan tetapi Keng Hong sudah
menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi. Juga dia selalu ingat akan semua
nasehat dan petunjuk suhu-nya. Ia ingat akan nasehat gurunya bahwa bagi seorang
yang sudah tinggi ilmu silatnya, lebih baik diserang lebih dahulu dari pada
menyerang, karena lawan yang menyerang itu otomatis akan membuka bagian yang
kosong sehingga mudah ‘dimasuki’ dalam serangan balasan yang dilakukan otomatis
pula.
Karena dia
tahu bahwa Kiang Tojin adalah lawan yang amat berat, maka setelah berseru keras
dia maju memukul dengan gerakan perlahan dan berhati-hati, hanya menggunakan
seperempat bagian perhatiannya saja untuk menyerang, yang tiga perempat bagian
dia cadangkan untuk penjagaan diri agar begitu lawannya membalas, dia dapat
menghindar dengan elakan atau tangkisan.
"Wuuuttt!"
Pukulan tangan kanannya menyambar, mendatangkan angin yang kuat.
"Bagus...!"
Kiang Tojin berseru, kagum melihat kenyataan betapa kuatnya pukulan Keng Hong
sehingga tidak mengecewakan menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong karena dia sendiri
tidak akan sanggup melatih seorang murid selama lima tahun sudah memiliki
sinkang yang sedemikian kuatnya. Namun diam-diam dia kecewa menyaksikan
gerakan-gerakan yang amat sederhana itu, padahal dia tadinya mengira bahwa ilmu
silat yang diturunkan kakek raja pedang itu kepada muridnya tentu hebat.
Melihat
pukulannya hanya dielakkan Kiang Tojin dan ternyata tosu itu sama sekali tidak
membalasnya, bahkan jelas menunggu serangan selanjutnya, tahulah Keng Hong
bahwa tosu penolongnya ini benar-benar hanya ingin mengujinya. Pujian yang
keluar dari mulut Kiang Tojin itu membuat telinganya merah. Sudah jelas bahwa
dia tadi memukul dengan gerakan sederhana saja, bahkan dengan tenaga yang hanya
seperempatnya, bagaimana bisa di sebut bagus? Apakah tosu penolongnya ini
mengejeknya?
Biarlah,
kalau aku kalah biar kalah, roboh di tangan tosu yang menjadi tokoh kedua dari
Kun-lun-pai ini, apa lagi yang menjadi penolongnya, tidaklah amat memalukan.
Maka dia pun berkata,
"Totiang,
maafkan kelancanganku!"
Seruan ini
dia tutup dengan gerakan menyerang. Kini Keng Hong tidak mau diejek untuk kedua
kalinya. Ia mengerahkan sinkang dari pusarnya. Hawa panas meluncur cepat ke
arah kedua lengannya dan dia menggunakan ginkang-nya. Tubuhnya melesat bagaikan
kilat menyambar ke arah Kiang Tojin dan sekaligus dia memukulkan kedua
tangannya dalam serangan berantai.
Harus
diketahui bahwa dalam silat tangan kosong, Keng Hong belum dapat dikatakan
lihai. Ia hanya digembleng dengan pengertian dan gerakan-gerakan dasar ilmu
silat saja. Setiap gerakan tangan dan geseran kaki memang dapat dia lakukan
dengan mahir, tetapi rangkaian ilmu silat belum banyak dia pelajari karena
waktunya tidak mengijinkan.
Dari
suhu-nya dia hanya baru dapat memetik ilmu silat tangan kosong yang oleh
gurunya dinamai San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang diambil dari
keadaan di puncak Kiam-kok-san. Ilmu silat ini merupakan gerakan-gerakan inti
ilmu silat tinggi, namun diatur amat sederhana sehingga hanya terdiri dari
delapan buah jurus serangan saja!
Dalam
serangan ke dua ini Keng Hong yang tidak mau diejek itu sudah mempergunakan
jurus yang disebut Siang-in-twi-an (Sepasang Awan Mendorong Gunung). Kedua
kakinya masih di udara ketika dia melompat, namun siap melakukan tendangan
susulan sebagai perkembangan jurus ini, ada pun kedua lengannya didorong ke
depan secara bergantian sambil mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya.
"Siuuuuttt...!"
"Siancai...!"
Kiang Tojin terkejut bukan kepalang.
Ia sudah
merasa amat kagum melihat tenaga pada serangan pertama tadi, tapi serangan
kedua ini benar-benar membuat ia kaget karena serangan ini bukan merupakan
serangan main-main dari seorang pemuda yang baru lima tahun belajar ilmu silat!
Serangan ini
lebih pantas kalau dilakukan seorang tokoh persilatan yang sudah melatih diri
selama puluhan tahun! Tenaga pukulan itu dapat dia ukur dari angin yang
menyambar dan biar pun Kiang Tojin sendiri tidak berani menerima pukulan
sehebat itu.
Cepat tosu
itu meloncat ke samping dan memutar tubuhnya sambil mengangkat tangan karena
melihat kedudukan tubuh Keng Hong di udara itu dia maklum bahwa pemuda ini akan
melanjutkan jurus itu dengan tendangan. Dugaannya memang tepat, karena itu baik
dorongan tangan mau pun tendangan Keng Hong hanya mengenai angin belaka, dan
hanya berhasil membuat pakaian tosu itu berkibar.
Ketika
serangan kedua ini gagal, Keng Hong yang khawatir kalau-kalau menerima akan
serangan balasan, lalu segera menggunakan ginkang-nya dan di udara tubuhnya
sudah berjungkir balik dibarengi seruannya yang keras sekali. Tubuhnya
berputaran di angkasa dan membalik, lalu meluncur turun dan langsung menyerang
untuk ketiga kalinya ke arah Kiang Tojin yang masih berdiri terbelalak.
Gaya
serangan tadi saja sudah membayangkan ilmu silat yang luar biasa sekali, apa
lagi tenaga serangan itu yang membuat kulit tubuhnya terasa pedas dan dingin
sekali, maka kini tosu ini melongo menyaksikan ginkang sehebat itu. Tapi pada
detik berikutnya, tubuh pemuda ini sudah meluncur dan menyerangnya dari atas
seperti seekor burung garuda menyambar.
Sekali ini
Keng Hong menggunakan jurus ke delapan atau jurus terakhir dari ilmu silat
San-in Kun-hoat, yaitu jurus yang disebut In-keng Hong-i (Awan Menggetarkan
Angin dan Hujan). Jurus inilah yang paling sukar dimainkan, karena keempat kaki
tangan melakukan serangan dari atas secara bertubi-tubi.
Keng Hong
yang ingin memperlihatkan apa yang telah dia pelajari dari suhu-nya supaya
tidak dipandang rendah, telah menggerakkan kedua kakinya susul-menyusul
menendang ke arah dada dan perut, disusul dengan hantaman tangan kiri yang
terkepal ke arah leher dan akhirnya dengan jari terbuka ke arah ubun-ubun
kepala lawannya!
Benar-benar
serangan yang amat hebat, cepat dan mengandung tenaga mukjijat karena pada saat
itu dia mempergunakan seluruh hawa sinkang di tubuhnya yang dia lancarkan
melalui kedua tangan dan kakinya! Ketika dia marah-marah kepada diri sendiri di
puncak batu pedang, dengan pukulan seperti inilah dia telah menggempur batu
menonjol hingga batu setinggi orang itu telah hancur lebur.
"Hayaaaa...!"
Kiang Tojin benar-benar kaget sekali sekarang.
Ia maklum
bahwa sedikit pun dia tidak boleh memandang ringan serangan ini dan dia pun
maklum bahwa serangan ini terlalu dahsyat dan berbahaya. Maka dia lalu
mengerahkan perhatian dan tenaganya.
Tendangan
kedua kaki mengarah perut dan dadanya dia hindarkan dengan elakan cepat,
demikian pula pukulan ke arah lehernya. Akan tetapi tamparan ke arah ubun-ubunnya
sedemikian cepat dan hebatnya sehingga amat berbahaya kalau dielakkan karena
sedikit saja bagian kepalanya terkena, tentu akan mendatangkan bencana hebat.
Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, miringkan kepala dan tubuh, lantas secepat
kilat dia menangkis tamparan itu sambil terus menangkap tangan Keng Hong yang
terbuka.
Kiang Tojin
adalah seorang tokoh besar yang telah mempunyai tingkat kepandaian amat tinggi,
juga mempunyai tenaga sinkang yang sukar dicari bandingannya. Maka sangatlah
mengherankan kalau sekarang menghadapi seorang muda yang baru belajar selama
lima tahun dia terpaksa harus berhati-hati dan mengerahkan tenaganya.
"Plakk...!
Aihhhh....!"
Kiang Tojin
berseru kaget bukan main. Ketika ia menangkis tamparan Keng Hong dengan telapak
tangannya, dia merasa seolah-olah lengannya tertindih oleh tenaga yang sangat
kuat dan berat sehingga hampir tak kuat dia menahannya, yang membuat seluruh
lengan sampai setengah dada terasa ngilu! Sebagai seorang yang sakti, tentu
saja dia terkejut namun tidak kehilangan akal. Cepat dia memutar telapak
tangannya bergerak, membuat tubuh Keng Hong terbanting ke bawah.
Akan tetapi,
karena pemuda itu memiliki ginkang yang luar biasa, dia terbanting dalam
keadaan berdiri sungguh pun bantingan itu membuat dia berdiri setengah berlutut
dengan tangan masih menempel dengan tangan Kiang Tojin yang menangkapnya.
"Heeiiiitttt...!"
Kembali Kiang Tojin memekik kaget dan megerahkan tenaga sinkang untuk
melepaskan pegangannya.
Akan tetapi
sungguh aneh sekali, dia tidak dapat melepaskan pegangannya pada tangan Keng
Hong! Dapat dibayangkan betapa terkejut dan herannya ketika dia merasa betapa
semakin dia mengerahkan sinkang, maka hawa sakti itu seakan-akan air dituangkan
ke dalam laut, amblas dan hanyut tanpa bekas, bahkan kini tidak dapat lagi dia
menahan sinkang-nya yang terus mengalir keluar melalui lengannya dan tersedot
masuk ke dalam tubuh Keng Hong melalui tangan!
"Iiiiihhhh...,
ehhhh...!"
Kiang Tojin
menjadi pucat, matanya terbelalak dan ia meronta-ronta hendak melepaskan
pegangannya. Namun sia-sia belaka, karena seperti ada tenaga mukjijat yang
membuat tangannya lekat dan dia pun tak dapat menahan sinkang-nya yang
menerobos keluar.
Tentu saja
Kiang Tojin tidak mengerti bahwa kalau tadi dia hampir kalah kuat oleh Keng
Hong adalah akibat pemuda itu telah menerima pengoperan sinkang dari Sin-jiu
Kiam-ong dalam saat terakhir sehingga dapat dikatakan bahwa yang dia lawan
bukan sinkang asli Keng Hong, melainkan sama dengan melawan Sin-jiu Kiam-ong!
Dan kini, baik dia sendiri mau pun Keng Hong tidak mengerti betapa ada tenaga
‘menyedot’ luar biasa pada diri Keng Hong sehingga hawa sakti dari tubuh tosu
itu mengalir keluar dan pindah ke dalam tubuh pemuda itu!
Pada saat
Keng Hong merasa betapa ada hawa panas mengalir dari tangan tosu itu dan
menerobos memasuki tubuhnya melalui tangannya tanpa dapat dicegah lagi, dia pun
tahu apa yang sedang terjadi dan dia menjadi terkejut sekali. Mula-mula dia
mengira bahwa seperti apa yang sudah dilakukan mendiang suhu-nya, tosu
penolongnya ini pun hendak mengoperkan sinkang kepadanya, akan tetapi saat
melihat wajah tosu itu menjadi pucat, sikapnya yang gugup dan betapa tosu itu
dengan sia-sia hendak melepaskan pegangan, dia menjadi kaget bukan main.
Tanpa dia
ketahui sendiri, dalam dirinya telah timbul semacam ‘penyakit’ yang tak mampu
diobatinya sendiri, yaitu telah timbul semacam daya sedot yang amat hebat dan
yang tak dikuasainya. Hal ini terjadi diluar di luar kehendaknya. Dia tidak
tahu bahwa ketika Sin-jiu Kiam-ong memaksakan sinkang-nya berpindah ke tubuh
muridnya, paksaan yang tidak wajar ini telah mengacau hawa sakti di tubuh Keng
Hong dan telah merusak susunannya sehingga menimbulkan kekuatan daya sedot yang
amat luar biasa ini.
Dalam
bingungnya, Keng Hong juga membetot-betot tangannya sambil mulutnya berkata
gagap, "Totiang... lepaskan..., lepaskan tanganku...!"
Selagi
mereka berkutetan, masing-masing ingin melepaskan tangan yang saling melekat,
beberapa orang tosu yang menjadi sute dari Kiang Tojin, menjadi marah. Mereka
ini juga merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka tidak tahu apa yang
sedang terjadi, akan tetapi melihat betapa suheng (kakak seperguruan) mereka
menjadi makin pucat dan tampak gugup serta bingung, mereka itu sebanyak empat
orang sudah melangkah maju menghampiri Keng Hong. Seorang di antara mereka
berseru marah.
"Bocah
jahat, lepaskan!"
Empat buah
lengan yang kuat dan mengandung penuh tenaga lweekang lalu menyentuh tubuh Keng
Hong. Dua orang memegang tangannya, dua orang lagi memegang kedua pundaknya.
Keng Hong tidak melawan dan dia masih dalam keadaan setengah berlutut.
Namun begitu
empat buah tangan itu menyentuh Keng Hong, terdengar seruan-seruan kaget, bukan
hanya empat orang tosu itu yang berseru kaget, bahkan Keng Hong juga mengeluh
dan berteriak.
"Lepaskan...!"
Ternyata
bahwa kini empat orang tosu itu tak dapat melepaskan lagi tangan mereka yang
menempel tubuh Keng Hong dan seperti tempat air bocor, sinkang di tubuh mereka
juga mengalir dan disedot masuk ke dalam tubuh pemuda itu!
"Bocah
berilmu iblis!" Seorang di antara tosu itu memaki dan dia memukul dengan
tangan lain ke punggung Keng Hong.
“Plakkk!”
terdengar suara keras, akan tetapi upayanya sia-sia belaka.
Kini
tangannya yang sebelah lagi itu pun melekat, maka makin hebatlah tenaga tosu
ini tersedot sehingga dia menjadi pucat dan lemas seketika!
Keliru besar
kalau mengira bahwa Keng Hong merasa senang menerima terobosan hawa sakti yang
berkelimpahan memasuki tubuhnya ini. Tubuhnya menjadi makin panas, tidak karuan
rasanya, seolah-olah sebuah bola karet yang terisi angin, tubuhnya terasa
seperti akan meledak, dadanya penuh hawa, pusarnya penuh hawa yang
menekan-nekan dan memberontak hendak keluar, kepalanya pening sekali dan
mukanya menjadi merah bagai udang rebus!
Dia merasa
tersiksa sekali, apa lagi karena dia maklum bahwa lima orang tosu itu bisa
tewas kalau mereka tidak lekas-lekas dapat melepaskan tangan mereka dari
tubuhnya. Namun dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya agar dapat terlepas
dari mereka! Kalau tadinya dia masih dapat berteriak-teriak minta mereka supaya
melepaskan tangan sambil meronta-ronta, kini dia hanya mampu mengeluarkan suara
"ah-ah-uh-uh" bagaikan orang gagu.
Keadaan
Kiang Tojin beserta empat orang tosu itu lebih menderita lagi. Mereka merasa
betapa tenaga sinkang mereka makin lama semakin menipis, tersedot secara ajaib
tanpa mereka dapat mencegahnya. Tubuh mereka menjadi lemas, kepala menjadi
pening dan pikiran tak dapat dipergunakan dengan baik lagi, membuat mereka
menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Siancai...
siancai...!" Seruan ini keluar dari mulut Thian Seng Cinjin, seruan yang
halus saja dan tahu-tahu tubuh kakek ini sudah melayang mendekat.
Kemudian dia
menggerakkan kedua tangan setelah menancapkan tongkat di atas tanah. Dengan
kedua tangannya dia memegang dua pangkal lengan Keng Hong, lalu merenggut dan
menghentak keras.
Keng Hong
merasa betapa sebuah tenaga raksasa menariknya, dan tenaga yang jauh lebih kuat
dari pada tenaga kelima tosu yang membocor ke dalam tubuhnya ini sudah
menghentikan hubungan atau aliran hawa sakti itu, melepaskan dua lengannya
sehingga tahu-tahu tubuhnya terlempar sampai sepuluh meter lebih jauh sampai
bergulingan.
Keng Hong
meloncat bangun, loncatannya amat ringannya dan dia berteriak kaget sebab
tubuhnya itu mencelat jauh lebih tinggi dari pada yang dikehendakinya. Tubuhnya
terasa seperti penuh dengan hawa yang membuatnya ringan sekali, akan tetapi
juga amat berat di sebelah dalam. Hawa yang memenuhi tubuhnya minta
dikeluarkan, membuat mulutnya menghembuskan suara mendesis seperti orang yang
mulutnya kepedasan!
"Aahhhh...
minggir... aaahhhhh... minggir semua...!" pekiknya dengan suara menggereng
bagaikan seekor harimau, kemudian tubuhnya sudah melesat ke depan, menuju ke
arah pohon-pohon besar.
Para tosu
yang menyaksikan keadaannya ini menjadi amat kaget, heran dan juga gentar
sehingga otomatis mereka lalu minggir dan menjauhkan diri. Keng Hong hanya
merasa bahwa dia harus menyalurkan semua hawa sakti yang kini memenuhi
tubuhnya, harus mengeluarkan tenaga yang membuat dadanya serta kepalanya
bagaikan akan meledak.
Maka dia
terus saja menggunakan kedua kaki tangannya untuk menghajar pohon-pohon yang
tumbuh di hadapannya. Dia memukul, menendang dan mendorong. Dengan ngawur saja
dia lantas memainkan keseluruhan delapan jurus dari ilmu silat San-in Kun-hoat.
“Dessss…
kraaak-kraaaaak... bruuuuk!"
Terdengar
suara-suara dahsyat berkali-kali, dan begitu ia selesai mainkan delapan belas
jurus Ilmu Silat San-in Kun-hoat maka dia telah merobohkan delapan belas batang
pohon besar yang menjadi tumbang, batangnya remuk dan kini malang melintang
seperti baru saja diamuk topan!
Setelah
dapat mengeluarkan sebagian hawa sinkang yang mendesak-desak di tubuhnya itu
melalui pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang merobohkan belasan batang
pohon, barulah Keng Hong merasa tubuhnya tidak tersiksa lagi. Dadanya dan
kepalanya tidak lagi terasa seperti mau meledak, napasnya tidak sesak dan dia
seperti baru timbul dari keadaan seorang yang hampir tenggelam ke dalam air
yang amat dalam tanpa dapat berenang!
Ia kini
menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir sisa kepeningan, lalu memandang ke
depan. Ia melihat betapa Kiang Tojin dan empat orang sute-nya sudah duduk
bersila mengatur pernapasan serta mengumpulkan tenaga dengan wajah pucat.
Teringatlah dia akan semua peristiwa akibat gara-garanya, maka cepat dia
menghampiri Kiang Tojin dan menjatuhkan diri berlutut sambil
mengangguk-anggukkan kepala penuh penyesalan.
"Saya
mohon ampun dari Totiang sekalian...!" Suaranya pilu dan tak terasa lagi
pemuda ini menangis sesenggukan!
"Siancai...,
engkau bocah telah mewarisi ilmu iblis milik Sin-jiu Kiam-ong, masih baik tidak
mewarisi wataknya yang ugal-ugalan. Hatimu masih bersih...!" Thian Seng
Cinjin memuji sambil mengelus jenggotnya yang putih.
Tosu tua ini
maklum bahwa kalau hati anak muda itu mengandung kekejaman, pasti dia akan
kehilangan beberapa orang murid. Malapetaka besar tentu akan timbul kalau saja
pemuda itu menyalurkan hawa sinkang yang hebat itu bukan kepada pohon-pohon,
akan tetapi kepada manusia.
Kiang Tojin
membuka matanya, mulutnya tersenyum sabar tapi pandang matanya penuh kengerian
dan juga kekaguman. "Keng Hong, engkau telah mewarisi ilmu yang hebat dan
mengerikan..."
"Totiang,
saya bersumpah bahwa semua itu terjadi di luar kehendak saya. Sekarang saya
mohon kepada Totiang agar Totiang sudi melenyapkan daya sedot yang mencelakakan
orang tanpa saya kehendaki ini. Tolonglah, Totiang...!" Pemuda ini merasa
tersiksa sekali batinnya dan dia menganggap ilmu kepandaian aneh yang berada di
dalam dirinya, daya sedot yang ajaib itu, tidak lain hanya sebagai sebuah penyakit
hebat yang menyeramkan dan menjijikkan!
"Keng
Hong, tingkat kepandaianku masih belum sampai ke situ, tidak mungkin aku dapat
melenyapkan ilmu iblis itu. Entah kalau suhu, barang kali bisa kalau kau suka
memohon kepada suhu."
Keng Hong
sudah menoleh dan hendak memohon kepada ketua Kun-lun-pai, akan tetapi Thian
Seng Cinjin sudah mengangkat tangannya sambil berkata, suaranya halus namun
penuh wibawa.
"Ada
semacam ilmu hitam yang disebut Thi-khi I-beng (Mencuri Hawa Pindahkan Nyawa)
yang cara kerjanya juga menyedot kekuatan tubuh lawan. Namun pinto rasa untuk
masa kini tak ada lagi yang mempunyai ilmu yang mukjijat itu. Kini secara aneh
ilmu itu dimiliki olehmu, Keng Hong. Entah Sin-jiu Kiam-ong sengaja atau tidak
telah menurunkan ilmu itu kepadamu. Melihat betapa kau sendiri tidak sadar akan
ilmu itu, agaknya dia pun tidak menurunkannya kepadamu dan sudah terjadi
keanehan yang sangat ajaib. Engkau bukan anak murid Kun-lun-pai, maka tidak
berhak bagi Kun-lun-pai untuk melenyapkan ilmu itu dari tubuhmu. Pula,
melenyapkan ilmu itu dari tubuhmu berarti membahayakan nyawamu dan nyawa dia
yang mengusahakannya. Ilmu tetap saja ilmu, baik buruknya atau hitam putihnya
tergantung dia yang mempergunakannya. Walau pun Thi-ki-i-beng kelihatannya
ganas dan keji, namun kalau engkau dapat menguasainya dan mempergunakan untuk
kebaikan, perlu apa dilenyapkan?" setelah berkata demikian, kakek ini lalu
merenung dan memejamkan mata, mulutnya berkomat-kamit seperti orang membaca
doa.
"Bagaimana,
Kiang Totiang...?" sekarang Keng Hong menujukan pertanyaannya kepada
penolongnya.
Kiang Tojin
tersenyum dan menghela napas. "Tepat seperti yang dikatakan suhu, engkau
bukan murid Kun-lun-pai, karena itu kami tidak berhak mencampuri urusan ilmu
silatmu. Sekarang, kau pun terpaksa harus meninggalkan pula pedangmu kepada
kami."
Keng Hong
menarik napas panjang. Tosu-tosu ini terlalu angkuh, pikirnya. Kalau ketuanya
tahu akan cara melenyapkan ‘penyakit’ yang berada dalam tubuhnya, kenapa tidak
mau menolongnya?
Anak ini
memiliki keangkuhan dan tidak sudi merengek-rengek merendahkan diri. Dia lalu
mencabut pedang kayu dari pinggangnya dan meletakkannya di depan kaki Kiang
Tojin sambil berkata,
"Saya
tidak mempunyai niat buruk, kenapa membawa-bawa pedang? Kalau Kun-lun-pai
merasa bahwa pedang itu hak mereka, biarlah saya tinggalkan. Selain pedang ini,
saya hanya mempunyai pakaian yang saya pakai ini. Apakah ini pun harus
ditinggalkan pula?"
Kiang Tojin
memandang dengan sinar mata sedih, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
"Sungguh sayang, Keng Hong. Saat ini hatimu dipenuhi oleh kemarahan dan
dendam, engkau masih belum mengerti akan maksud baik kami. Akan tetapi biarlah,
kelak engkau akan mengerti sendiri mengapa kami minta kau meninggalkan
Siang-bhok-kiam kepada kami."
"Ehh,
bocah tolol! Namamu Keng Hong tadi, ya? Kenapa kau begitu tolol menyerahkan
Siang-bhok-kiam kepada para tosu bau itu? Jangan berikan! Kau sudah ditipu,
mereka itu menginginkan pedang pusaka itu. Ambil lagi dan lekas pergi! Dengan
ilmu kepandaianmu yang mukjijat seperti iblis mereka takkan bisa
memaksamu!" Teriakan ini adalah teriakan wanita cantik yang diikat pada
pohon.
Kiranya
totokan Kiang Tojin yang dilakukan dari jarak jauh tadi tidak lama membuatnya
gagu. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa wanita itu bukanlah orang
sembarangan pula, melainkan sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi.
"Sudah
cukup kiranya, Keng Hong. Kami menerima pedang Siang-bhok-kiam dan akan
menyimpannya baik-baik. Engkau boleh pergi dengan hati lapang dan ingatlah,
engkau tidak boleh datang ke wilayah kami ini tanpa perkenan kami. Apa bila ada
keperluan yang memaksamu datang ke wilayah ini, engkau harus datang lebih
dahulu ke Kun-lun-pai dan menghadap suhu untuk minta ijin."
Keng Hong
mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia menjawab bahwa dia takkan sudi datang
ke situ lagi dan tidak akan mengganggu Kun-lun-pai selamanya. Akan tetapi dia
melirik ke arah wanita itu dan berkata,
"Maaf,
Totiang. Sebelum saya pergi, ada sebuah permintaan saya, harap Totiang sudi mengabulkannya."
"Permintaan
apa? Sekiranya patut dan bisa pinto lakukan tentu permintaanmu akan pinto
kabulkan."
"Saya
mohon kepada Totiang sekalian sudilah kiranya membebaskan wanita itu!"
Terdengar
seruan-seruan kaget dari mulut para tosu, dan hanya Kiang Tojin yang tampak
tenang, sedangkan Thian Seng Cinjin tidak peduli, masih berdiri seperti orang
termenung dengan kedua mata dipejamkan.
"Keng
Hong ada hubungan apakah engkau dengan wanita itu maka kau minta supaya dia
dibebaskan?"
"Tanpa
alasan apa-apa, Totiang, hanya dilandasi perasaan yang sama seperti perasaan
mendiang suhu ketika menolong Kun-lun-pai yang diserbu oleh kaum sesat!"
"Apa?
Apa maksudmu?" Kiang Tojin memandang heran.
"Totiang,
menurut cerita suhu, suhu menolong Kun-lun-pai juga hanya dilandasi perasaan
kasihan melihat pihak yang ditindas dan diancam. Suhu tidak mempunyai hubungan
apa pun dengan Kun-lun-pai, akan tetapi suhu tetap menolongnya. Saya pun tidak
mempunyai hubungan dengan wanita ini, akan tetapi melihat dia terancam bahaya
di sini, perasaan saya yang mendorong saya untuk menolongnya."
"Ahh,
akan tetapi hal itu jauh sekali bedanya, Keng Hong. Dulu gurumu membantu kami
melawan golongan hitam, kaum sesat dan orang jahat. Sebaliknya, kau harus tahu
bahwa wanita itu bukan orang baik-baik, bahkan kedatangannya memiliki niat
buruk terhadapmu, untuk merampas Siang-bhok-kiam..."
"Bohong!
Tosu tua bangka bau! Bohong...!" wanita itu memaki.
Keng Hong
menggeleng-geleng kepalanya. "Agaknya Totiang tak dapat mengenal watak
suhu. Saya yakin bahwa suhu bukan mendasarkan pertolongannya atas baik dan
buruk, karena menurut wejangan suhu, bagi suhu dan saya, baik dan buruk itu
tidak ada, yang ada hanyalah pendapat orang yang selalu tidak adil karena
menurutkan kepentingan diri pribadi."
"Ehh,
apa maksudmu?"
"Pandangan
baik dan buruk oleh pendapat manusia adalah miring dan berat sebelah, Totiang,
dipengaruhi oleh nafsu pribadi demi kepentingan diri sendiri. Apa bila
seseorang melihat orang lain yang menguntungkan dia, juga bersikap menyenangkan
hatinya, maka serta-merta dia akan menganggap orang itu baik! Sebaliknya kalau
dia melihat orang lain merugikannya, memusuhinya dan tak menyenangkan hatinya,
maka tanpa ragu-ragu lagi akan menganggap orang itu jahat! Karena itu, saya
seperti suhu tidak percaya dengan pandangan orang tentang baik dan jahat dan
saya menolong wanita ini hanya terdorong oleh perasaan ingin menolong, kasihan
melihat dia terancam bencana di sini. Bagaimana, Totiang? Permintaan
Kun-lun-pai untuk meninggalkan pedang telah saya penuhi, apakah Kun-lun-pai
demikian pelit untuk menolak permintaanku yang tidak sama sekali terdorong
keinginan menguntungkan diri sendiri ini?" Dengan kalimat terakhir ini
terkandung ejekan bahwa Kun-lun-pai minta pedangnya dengan dasar ingin untung
sendiri!
Kiang Tojin
tercengang. "Pendapat keliru..., wawasan yang menyeleweng..."
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara Thian Seng Cinjin yang halus, "Bocah ini kelak
lebih menggegerkan dari pada Sin-jiu Kiam-ong. Bebaskanlah wanita itu dan lekas
suruh anak ini pergi, lebih cepat lebih baik!"
Kiang Tojin
memberi tanda dan dua orang tosu segera menghampiri wanita itu hendak
melepaskan ikatannya. Akan tetapi sekali bergerak, wanita itu ternyata telah
meloloskan tangan kakinya dari ikatan tanpa mematahkan ikatan itu. Dia meloncat
dan memandang ke arah Keng Hong dengan senyum mengejek.
"Bocah
tolol! Cih, tolol dan goblok, dasar anak dusun!" Setelah berkata demikian,
wanita itu membanting-banting kaki kanannya lalu berkelebat cepat pergi
meninggalkan tempat itu.
Keng Hong
tidak peduli. Ia lantas berlutut menghaturkan terima kasih kepada para tokoh
Kun-lun-pai, kemudian berdiri dan pergi meninggalkan pegunungan Kun-lun-pai
dengan wajah berseri.
Dia setengah
memaksa diri untuk bergembira, berjanji di dalam hatinya untuk menempuh hidup
dengan cara gurunya, yaitu tetap bergembira, tidak memusingkan masa depan. Dia
akan hidup seperti gurunya, yaitu menghadapi bayangan masa depan yang bagaimana
pun selalu gembira dan dengan tekad: Bagaimana nanti sajalah.
***************
"Heii,
tolol! berhenti dulu!"
Keng Hong
menghentikan langkahnya. Dia telah jauh meninggalkan Kun-lun-san dan kini
berada di sebuah hutan yang tidak lagi menjadi daerah Kun-lun-san. Tanpa
menoleh dia sudah mengenal suara itu, suara yang nyaring merdu dan galak, suara
wanita cantik jelita yang telah dibebaskan oleh para tosu Kun-lun-pai.
"Kau
mau apakah?" tanyanya sambil berdiri tegak tanpa menoleh.
"Waduh
sombongnya! Orang tolol masih bisa bersikap sombong ya?"
"Aku
tidak merasa sombong, walau pun mungkin kau benar bahwa aku tolol," jawabnya
sabar sambil tersenyum. Gembira! Harus menghadapi segala sesuatu dengan
gembira, betapa pun menyakitkan hati dan pahitnya maki-makian itu.
"Walah-walah,
malah senyum-senyum! Kau bicara tanpa melihat aku, bukankah itu sikap sombong,
sikap orang berkepala angin, memandang orang lain seperti rumput saja? Jika
tidak sombong, lihatlah ke sini. Benci aku melihat orang diajak bicara kok
menengok pun tidak!"
Keng Hong
tertawa. Betapa pun galaknya, ucapan orang itu dia anggap jenaka dan lucu, juga
segar dan menyenangkan hatinya. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan melihat
penegurnya itu duduk di atas rumput hijau di bawah sebatang pohon sambil makan
paha besar seekor ayam hutan. Daging paha itu masih mengepul panas, juga api
unggun untuk membakar daging itu masih menyala.
"Nah,
aku sudah memandangmu sekarang. Kau mau bicara apakah?"
"Wah,
memang sombong dan angkuh! Apakah karena engkau telah minta tosu-tosu bau itu
membebaskan aku lalu engkau boleh bersikap angkuh seperti ini?"
"Ehh...,
adik yang baik..."
"Cih!
Aku bukan adikmu!"
"Cici
yang baik..."
"Siapa
sudi menjadi kakak perempuanmu?"
Keng Hong
merasa bohwat (kehabisan akal). "Habis, harus kusebut apa?"
"Panggil
aku nona!"
"Wah,
nona...?"
"Habis,
aku masih gadis, kalau tidak disebut nona, masa engkau hendak menyebut aku
nyonya besar?" Gadis itu merengut, bibirnya yang merah itu berlepotan
minyak gajih dari paha ayam, mukanya coreng moreng terkena hangus, kelihatan
makin cantik dan lucu sehingga kembali Keng Hong tertawa.
"Baiklah,
Nona. Engkau memaki aku sombong dan angkuh berkali-kali, karena aku tidak mau
menengok. Setelah aku menengok, kau masih memaki aku angkuh. Habis aku kau
suruh bagaimana supaya tidak kau maki angkuh?"
"Aku
mau berbicara denganmu, duduklah di sini dan jangan berdiri pringas-pringis
seperti monyet mencium ikan asin!"
Keng Hong
mengangkat sepasang alisnya yang hitam tebal. Selamanya baru sekali ini ia
bicara dengan gadis, apa lagi gadis yang begini lincah. Ia tertarik sekali,
akan tetapi juga merasa canggung. Kemudian teringat dia akan watak suhu-nya,
maka dia lalu tersenyum lebar dan melangkah menghampiri gadis itu, lalu
menjatuhkan diri duduk di atas rumput di hadapan gadis itu.
Dalam
beberapa detik, pandang matanya yang tajam sudah meneliti gadis yang duduk
makan paha ayam panggang di hadapannya itu. Wajah yang berkulit halus
kemerahan, cantik jelita dengan bentuk wajah bulat telur. Rambut hitam gemuk
yang kacau dan tak tersisir, menutup sebagian pipi kirinya karena kepala itu
agak dimiringkan ke kanan. Alis yang panjang kecil dan hitam. Sepasang mata
yang jeli, lebar dan jernih sekali, dengan kerling yang sangat tajam, mata yang
aneh karena dia seperti dapat melihat bayangan gembira, berani, menantang dan
merenung di dalamnya.
Hidung kecil
mancung di atas sepasang bibir yang dianggapnya merupakan bibir terindah yang
pernah dilihatnya. Penuh dan berkulit halus seakan-akan sepasang bibir itu
mudah pecah, berwarna kemerahan dan basah berminyak. Dagunya kecil agak meruncing,
jelas menambah kemanisan.
Pakaiannya
terbuat dari sutera halus dan mewah, tapi potongannya amat ketat sehingga
membayangkan dada yang penuh menonjol, pinggang kecil dan pinggul yang lebar.
Kulit yang mengintai dari balik leher baju, dari lengan, tampak halus dan putih
sekali.
Beginikah
wanita cantik yang suka disebut-sebut suhu-nya dan diumpamakan setangkai bunga
yang harum? Dia kini dapat merasakan persamaannya. Memang laksana bunga
sehingga membuat hati ini kepingin menyentuh, kepingin mencium, kepingin
memandang dan menikmati keindahannya.
"Mungkin
aku seperti monyet, akan tetapi saat ini sama sekali aku tak mencium bau ikan
asin, melainkan mencium bau sedap gurih daging panggang!"
"Kau
kepingin?" Gadis itu menghentikan gigitannya. Mulutnya yang penuh dengan
daging itu mengunyah perlahan, matanya mengerling Keng Hong.
Pemuda
remaja ini memandang mulut yang sedang mengunyah itu. Tanpa terasa lagi dia
menelan ludah dan perutnya mendadak berkeruyuk. Dia lalu mengangguk sambil
kembali menelan ludah.
"Kalau
kepingin, ambillah. Kau tunggu apa lagi? Jangan malu-malu kucing, kalau
kepingin mengapa tidak ambil dan makan sejak tadi?"
"Ahh,
tapi daging itu punyamu..."
"Siapa
bilang punyaku? Ayam itu berkeliaran di hutan, entah punya siapa!"
"Tapi
kau yang menangkap dan memanggangnya..."
"Sudahlah,
cerewet benar sih engkau ini! Ambil saja dan ganyang, habis perkara. Bicara
saja mana bisa kenyang?"
Meski
ditegur, Keng Hong menjadi geli dan tertawa. Gadis ini benar-benar menimbulkan
rasa gembira di hatinya. Cocok benar dengan watak suhu-nya. Bagaimana jika
suhu-nya yang bertemu dengan gadis seperti ini?
Dia segera
menyambar daging ayam panggang, merobek bagian dada lalu mulai makan daging
itu. Benar lezat sekali, gurih dan manis, lagi hangat dan perutnya memang amat
lapar.
Setelah
habis semua makanan, gadis itu lalu mengeluarkan seguci air dingin dan minum
dengan cara menggelogoknya dari mulut guci. Air minum memasuki mulut yang kecil
itu, ada yang tumpah membasahi pipi dan tercecer memasuki celah-celah bajunya
di leher. Setelah itu, dia menurunkan guci dan menyerahkannya kepada Keng Hong.
Pemuda yang
mulai mengenal watak polos dan terbuka gadis itu, menerima guci, akan tetapi
dia merasa ragu-ragu juga untuk menggelogok air itu begitu saja. Bibir guci itu
masih berlepotan minyak gajih, tentu ketika bibir guci tadi bertemu dengan
bibir si gadis.
"Mana
cawannya? Kupinjam sebentar untuk minum!"
"Tidak
punya cawan!"
"Habis
bagaimana minumnya?"
"Tuang
saja, seperti aku "
"Tapi...
tapi... bekasmu..."
Gadis itu
meloncat bangun, lalu bertolak pinggang dan membungkuk memandang Keng Hong
dengan mata terbelalak.
"Kau...
kau menghina aku, ya? Tolol kurang ajar!"
Keng Hong
juga membelalakkan matanya, bukan karena marah melainkan karena heran. Ia betul-betul
merasa tolol berhadapan dengan nona ini. "Menghina...? Aku... aku tidak...
ehh, apa sih maksudmu?"
"Kau
jijik ya minum secara menggelogok seperti aku? Kau tidak sudi ya karena bibir
guci itu berbekas mulutku? Kau kira aku ini penderita sakit paru-paru atau
batuk kering? Kau jijik?"
"Wah-wah-wah,
harap jangan salah paham dan mengamuk tidak karuan. Bukan... bukan begitu,
hanya... aku tadi khawatir kau tidak suka..."
"Tidak
suka apanya? Kau benar-benar laki-laki cerewet. Sudah tolol, cerewet lagi!
Sialan bertemu laki-laki sepertimu!"
Keng Hong
tidak mempedulikannya lagi. Celaka, pikirnya. Kalau wanita ini dilayani, bisa
habis dia dimaki-maki. Ia lalu tidak mau mendengarkan lebih jauh melainkan
menuang air ke dalam mulutnya, tidak peduli bibirnya bertemu dengan bekas bibir
wanita itu. Air yang jernih dan sejuk.
"Terima
Kasih," katanya sambil mengembalikan guci air.
"Kenapa
sedikit amat minumnya? Apakah kau takut kalau minuman ini kucampuri
racun?" Sambil berkata demikian, gadis itu kembali minum dengan cara
menempelkan bibirnya pada bibir guci tanpa memilih-milih lagi.
Heran sekali
hati Keng Hong, mengapa menyaksikan bibir wanita itu menjepit bibir guci yang
tadi diminumnya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Namun dia merasa
mendongkol juga mendengar ucapan itu. Betul-betul wanita yang wataknya mau
menang sendiri saja. Masa apa yang dia kerjakan selalu disalahkan? Tidak mau
minum salah, sekarang sudah minum masih di sangka yang bukan-bukan. Ia menjadi
gemas dan andai kata wanita ini adik perempuannya, tentu sudah dia jewer
telinganya!
"Aku
tidak takut kau beri racun," jawabnya jengkel, dan dia lalu membuang muka
sambil melanjutkan, "Sebetulnya, kau menghentikan perjalananku ada urusan
apakah?"
Sampai lama
gadis itu tak berkata-kata, melainkan memandang wajah Keng Hong penuh
perhatian. Pemuda itu tahu akan hal ini sebab dia mengerling dari sudut matanya.
Melihat gadis itu terus memperhatikannya, kembali dia mengalihkan pandang
matanya.
Kemudian
terdengar gadis itu bertanya, "Namamu siapa tadi? Dan berapa usiamu?"
"Cia
Keng Hong... Kalau tidak salah usiaku tujuh belas tahun."
"Hemmm...,
dan engkau murid Sin-jiu Kiam-ong? Heran benar aku..."
"Mengapa
heran?"
"Seorang
tokoh sakti seperti Sin-jiu Kiam-ong mengapa mempunyai seorang murid tolol
seperti engkau?"
Makin panas
rasa perut Keng Hong. Terlalu benar perempuan ini, pikirnya. "Kalau sudah
tahu aku tolol, kenapa engkau menghentikan aku?"
Sampai lama
wanita itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar dia tertawa merdu, tawa
cekikikan. "Ehh, kau marah?"
Hemmm,
benar-benar tukang menggelitik hati orang, pikir Keng Hong. Gemas dia. Kalau
tidak ingat bahwa dia itu seorang wanita tentu sudah ditamparnya. Dia tidak
menjawab, hanya menggelengkan kepalanya.
"Ahh,
kau marah. Bilang saja kau marah. Ingin aku melihat bagaimana kalau kau
marah!"
Digoda
terus-menerus, Keng Hong menjadi merah mukanya dan dia memandang dengan niat
untuk balas memaki. Akan tetapi melihat mata yang bening dan indah itu, mulut
yang manis tersenyum, dia menjadi tidak tega untuk memaki, maka dia menundukkan
muka lagi.
"Kau
memang tolol. Jika kau tidak tolol, tentu tidak kau berikan Siang-bhok-kiam
kepada tosu-tosu bau itu."
"Itu
adalah hak mereka dan aku tak mau membantah permintaan mereka. Mereka adalah
tosu-tosu yang bijaksana dan baik, permintaan mereka patut dipatuhi. Pula, tak
mungkin menggunakan kekerasan menentang. Mereka amat lihai, terutama sekali
Kiang Tojin dan ketua Kun-lun-pai."
"Kau
penakut dan bodoh! Heran aku mengapa Sin-jiu Kiam-ong mempunyai murid seperti
engkau! Padahal menurut pendengaranku Sin-jiu Kiam-ong gagah perkasa, tak
mengenal takut terhadap siapa pun juga dan amat cerdik."
Keng Hong
menarik napas panjang. Gurunya memang seorang yang selalu gembira dan tidak
pernah mengenal takut. "Terserah wawasanmu. Aku tidak takut terhadap siapa
pun juga, dan tentang kebodohan... hemm, tentu saja aku tidak secerdik
suhu."
Sunyi yang
agak lama. Keng Hong menunduk sebab teringat akan suhu-nya dan mulailah hilang
kegembiraannya. Pada hari-hari pertama semenjak dia sendirian di dunia ini,
telah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Apa bila begini terus
nasibnya, bertemu seorang wanita saja selalu mengejek dan memakinya, mana
mungkin dia dapat meniru watak suhu-nya yang menghadapi segala sesuatu dengan
gembira. Betapa mungkin bisa bergembira rasa hati ini kalau seorang wanita
cantik jelita mencemoohkan dan memaki-makinya?
"Keng
Hong..."
Pemuda itu
terkejut. Benarkah wanita itu memanggilnya? Suaranya begitu halus dan dia
terkejut juga dipanggil secara tiba-tiba setelah lama berdiam diri.
"Hemm...?"
Ia menengok dan makin gugup melihat betapa kedua mata itu memandang dirinya
tajam-tajam dan mulut itu tersenyum manis akan tetapi hanya sebentar saja sebab
bibir yang merah itu segera cemberut lagi. "Kau memanggilku?"
"Kau
laki-laki canggung benar..."
"Sudahlah,
Nona. Kalau engkau menghentikan aku hanya untuk mencela, untuk apa..."
"Engkau
marah?"
"Tidak"
"Engkau
memang canggung, tidak seperti gurumu yang khabarnya... ahhh, apakah kau tidak
ingin tahu siapa aku, siapa namaku dan mengapa aku datang ke Kun-lun-pai?"
Baru
sekarang Keng Hong teringat dan dia merasa bahwa dia memang kurang perhatian,
"Siapakah nama Nona?"
Gadis itu
menahan kekehnya. Sikap Keng Hong benar-benar amat canggung dan gugup sehingga
kelihatan lucu. "Namaku Bhe Cui Im. Bagus tidak namaku?"
"Bagus...
bagus...," jawab Keng Hong cepat-cepat dengan pandang mata mendesak agar
nona itu terus bercerita.
"Hi-hi-hik,
kau ternyata pandai juga memuji..."
"Ehh...,
aku... ahhh, teruskanlah, Nona."
"Aku
mendengar tentang keramaian yang khabarnya akan terjadi di puncak Kun-lun-san
yang disebut Kiam-kok-san, bahwa kabarnya tokoh-tokoh besar hitam dan putih
hendak menjemput turunnya murid Sin-jiu Kiam-ong yang mewarisi Siang-bhok-kiam
yang sangat diinginkan oleh seluruh tokoh kang-ouw."
"Termasuk
engkau sendiri, nona."
"Tentu
saja! Apa kau kira aku ini anak kecil yang suka menonton keramaian begitu saja?
Dan aku malah berhasil sekali, lebih berhasil dari pada mereka yang memakai
kekerasan. Mereka itu semua terusir oleh tosu-tosu bau Kun-lun-pai, belasan
orang gagah di dunia kang-ouw, sama sekali tak berhasil, melihatnya pun tidak!
Aku sengaja membiarkan diriku tertangkap oleh tosu-tosu bau itu. Memang harus
diakui bahwa kalau aku melawan, tidak akan mampu mengalahkan tosu-tosu yang
demikian banyak, apa lagi tosu she Kiang dan gurunya itu amat lihai. aku
sengaja menjadi tawanan dan akalku berhasil memancing kau datang karena
jeritan-jeritanku. akan tetapi siapa kira, karena ketololanmu kau serahkan
pedang itu begitu saja!"
Mulai lagi
maki-makian! Sekarang mengertilah Keng Hong mengapa gadis ini telah dapat
meloloskan diri dari ikatan kaki tangannya sebelum dilepaskan. Kiranya gadis
itu memang sengaja membiarkan dirinya ditawan. Benar-benar seorang gadis yang
cerdik sekali, dan juga penuh keberanian.
"Untuk
apakah engkau menginginkan pedang Siang-bhok-kiam, nona?"
"Eh-ehh-ehh,
masih bertanya untuk apa lagi? Tentu saja untuk mendapatkan rahasianya. Keng
Hong, katakanlah terus terang, apakah engkau sudah mendapatkan pula rahasia
penyimpanan kitab-kitab pusaka yang terdapat di pedang itu?"
Pandang mata
itu penuh gairah, agaknya gadis ini bernafsu sekali untuk mendapatkan
kitab-kitab pusaka simpanan Sin-jiu Kiam-ong.
Keng Hong
menggelengkan kepalanya. "Belum dan agaknya tak akan dapat kutemukan. Aku
pun selamanya tidak ingin kembali ke Kun-lun-san. Nona, mengapakah mereka itu
semua memperebutkan rahasia itu? Sampai mati-matian dan saling
bermusuhan?"
Gadis itu
menggerakkan alisnya dan memandang pemuda ini dengan terheran. "Engkau
benar-benar masih hijau! Sudahlah, yang penting sekali ini ceritakan kepadaku
ilmu apa saja yang kau pelajari dari Sin-jiu Kiam-ong? Tadi kulihat engkau
menggunakan ilmu yang mukjijat, kau pandai menyedot sinkang orang lain, bahkan
Kiang Tojin yang begitu lihai hampir mampus di tanganmu. Ilmu apakah itu?
Sukakah kau menceritakannya padaku?" Tiba-tiba saja sikap gadis ini manis
sekali. Wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum.
Keng Hong
hanya dapat menggelengkan kepalanya saja, kemudian melihat wajah cantik itu
menjadi murung dia pun cepat berkata, "Sungguh mati, aku sendiri tidak
mengerti. Aku sendiri membenci penyakit yang ada pada tubuhku ini. Aku tidak
mempelajari apa-apa kecuali dasar-dasar ilmu silat serta beberapa pukulan dan
permainan pedang. Apa bila dibandingkan dengan orang lain, tentu tidak ada
artinya."
"Hemm,
engkau pandai merendahkan diri dan bersikap sungkan, alangkah jauh bedanya
dengan gambaran mengenai gurumu!" Akan tetapi kegalakan ini segera berubah
lagi, kini gadis itu tersenyum manis, dan membuka tutup guci hendak diminumnya.
Akan tetapi dia mengerutkan kening dan berkata seorang diri, "Ahh, air ini
kurang sedap!"
Dia lalu
mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya dan ketika dibuka, ternyata
berisi daun-daun dan kembang-kembang kering. Dia menuangkan sebungkus daun dan
kembang kering ini ke dalam guci airnya, lantas dikocoknya guci itu sambil
memandang kepada Keng Hong. Ditatap sepasang mata seperti itu, Keng Hong
menjadi tak enak hati kalau berdiam diri saja maka dia bertanya,
"Apakah
yang kau masukkan dalam air minum itu?"
"Daun
wangi dan kembang harum, pengganti teh yang sangat lezat dan sedap!" jawab
gadis itu sambil menggelogok air dari guci seperti tadi. Segera tercium bau
yang harum keluar dari mulut guci. Selesai minum gadis itu lalu menyerahkan
gucinya kepada Keng Hong sambil berkata, "Kau minumlah."
Keng Hong
menggelengkan kepala. "Aku tidak haus."
"Ehh,
walau pun tidak haus, air ini sekarang sudah menjadi minuman enak. Coba cium,
tidak harumkah?"
Gadis itu
mendekatkan mukanya kemudian membuka mulutnya, menghembuskan napas ke arah muka
Keng Hong. Pemuda itu terkejut sehingga mukanya terasa panas sekali, jantungnya
berdebar tegang. Ia merasa canggung dan juga jengah.
"Apakah
kau takut kalau air ini kucampuri racun?"
Untuk
mencegah gadis itu melakukan hal-hal aneh yang lebih hebat lagi, tanpa banyak
cakap Keng Hong segera menerima guci air dan menggelogoknya. Memang harum dan
terasa agak manis, akan tetapi mulut dan lidahnya yang terlatih mendadak
merasakan sesuatu yang tidak asing baginya. Racun! Racun yang amat kuat dan
jahat!
Tetapi dia
cepat-cepat dapat menekan perasaannya, tidak memperlihatkan sesuatu pada
mukanya, bahkan lalu terus menuangkan air beracun itu hinggahabis berpindah ke
dalam perutnya! Gadis itu memandangnya dengan sepasang mata bersinar-sinar pada
saat dia menurunkan guci kosong dan berkata, "Lezat sekali!"
Sambil
tersenyum-senyum gadis itu kini mengambil sesuatu dan karena yang diambilnya
itu agaknya berada di saku dalam dari bajunya, ia lalu membuka dua kancing baju
bagian atas. Cara ia membuka kancing secara terang-terangan begitu saja di
depan Keng Hong, dengan gaya memikat dan manis sekali.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment