Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 36
Mo-kiam
Siauw-ong memang bukan orang sembarangan. Dia merupakan murid dari tiga orang
datuk hitam yang amat terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis
Tua Bumi Langit) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Mereka itu berjuluk
Kai-ong Lo-mo, Bun-ong Lo-mo dan Thian-te Lo-mo, tiga orang yang berilmu tinggi
sekali. Ketika Thian-te Sam-lo-mo ini akhirnya tewas di dalam tangan pendekar
sakti Cia Keng Hong, kepandaian mereka sudah diwarisi oleh Mo-kiam Siauw-ong
inilah.
Dapat
dibayangkan betapa marah Mo-kiam Siauw-ong ketika dia mendengar dari kacung
restoran tentang tewasnya Fen-ho Chit-kwi yang ia tahu tentu datang untuk
menyerahkan hasil pembajakan. Fen-ho Chit-kwi merupakan anak buahnya yang
paling kuat dan boleh diandalkan. Kini mendengar bahwa mereka itu roboh di
tangan seorang wanita cantik, dia menjadi penasaran dan marah sekali.
Namun, di
samping kepandaiannya yang tinggi dan yang membuatnya jumawa, Mo-kiam Siauw-ong
adalah seorang yang cerdik dan hati-hati. Oleh karena itu, dia tidak sembrono
turun tangan seorang diri menurutkan kemarahannya, akan tetapi meminta kepada
ayah mertuanya supaya membawa sepasukan penjaga kota untuk menangkap penjahat
yang mengacau kota Sun-ke-bun! Dengan bantuan lima puluh orang pasukan, apa
sukarnya menangkap seorang wanita?
Dia
mendengar bahwa wanita itu cantik sekali, maka sudah dia bayangkan betapa akan
senangnya menangkap wanita itu hidup-hidup dan sebelum membunuhnya, lebih
dahulu dia akan mempermainkan sepuasnya. Dengan demikian, baru impaslah
kematian Fen-ho Chit-kwi yang merupakan sebuah pukulan dan kerugian baginya.
Banyak
penduduk yang datang melihat dari kejauhan. Restoran itu telah ditinggalkan
oleh pemiliknya, dan kini di dalam restoran yang kelihatan kosong itu hanya
tinggal si wanita bersama laki-laki tampan, seorang di antara Fen-ho Chit-kwi
yang menjadi ‘tawanannya’!
"Siluman
betina! Keluarlah menghadap Mo-kiam Siauw-ong!" Mo-kiam Siauw-ong sudah
tiga kali berteriak dari pintu restoran, menantang wanita yang lukanya sedang
dibalut oleh tawanannya.
"Celaka...
dia... dia datang..." Laki-laki tampan yang selesai membalut pundak yang
sudah diobati itu berkata dengan muka pucat.
"Ihhh...
takutkah engkau, Tampan?" Wanita ini merangkul dan menciumi pipinya.
Akan tetapi
laki-laki itu kini tidak membalas ciumannya seperti tadi, bahkan tidak tampak
lagi gairahnya. "Dia.. dia berbahaya sekali, amat lihai.., celakalah
kita..."
Wanita itu
mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan melengkung panjang, kemudian menghentikan
belaiannya. "Siapakah dia?"
"Dia...
Mo-kiam Siauw-ong, kiam-hoatnya (ilmu pedangnya) luar biasa lihainya... dan
tentu membawa pasukan yang banyak jumlahnya."
"Hi-hi-hik!
Tikus-tikus busuk macam itu perlu apa ditakuti? Jangan hiraukan mereka, kita mempunyai
urusan yang lebih penting, hi-hi-hik! Ayolah!"
Wanita itu
merangkul lagi dan membawa muka laki-laki itu ke dadanya. Akan tetapi, tubuh
atas yang tak berpakaian itu, yang tadi membuat pria itu bergelora darahnya
oleh gairah dan nafsu birahi, kini agaknya tidak menarik lagi, tertutup oleh
rasa takutnya.
Melihat
betapa laki-laki itu sama sekali tidak terangsang, wanita itu menghentikan
usaha menggumulinya, bangkit duduk, menggelung rambutnya dan wajahnya keruh.
"Apa
kau lebih senang kubunuh?"
Laki-laki
itu menggigil dan berusaha memeluk wanita itu, berusaha membangkitkan lagi
gairahnya, akan tetapi sia-sia sehingga akhirnya dia terisak seperti orang akan
menangis, "Maafkan aku... aku... takut sekali..."
"Pengecut!"
Pada saat
itu, Mo-kiam Siauw-ong yang sudah tak sabar lagi, menggapai dan menyuruh
sepuluh orang anggota pasukan menyerbu ke dalam. Sepuluh orang itu mencabut
golok lantas memasuki restoran, kemudian mereka menyerbu kamar karena sudah
mendapat keterangan dari si gendut pemilik restoran bahwa ‘siluman rase’ itu
berada dalam kamar bersama laki-laki tampan salah seorang di antara Fen-ho
Chit-kwi.
Pada saat
laki-laki tampan melihat sepuluh orang anggota pasukan menyerbu, dia tidak
berani bergerak karena maklum bahwa mereka adalah anak buah Mo-kiam Siauw-ong
yang amat ditakutinya. Akan tetapi, dia melihat wanita itu menggerakkan tangan
kiri.
Tampaklah
sinar merah berkelebat dan terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya
sepuluh orang itu bertumpang tindih di pintu kamar. Tepat di dahi mereka, di
antara kedua mata, ditembusi jarum merah yang dilepas oleh wanita itu!
"Hi-hi-hik-hik!
Engkau masih takut? Lempar-lemparkan bangkai mereka keluar!" Wanita itu
terkekeh.
Bukan main
terkejutnya hati laki-laki tampan menyaksikan kelihaian si wanita melepaskan
jarum merah yang dia tahu merupakan jarum-jarum beracun yang amat lihai. Ia
bergidik. Belum pernah selama hidupnya dia melihat orang dapat melepas jarum
setepat itu, sekali gerak merobohkan sepuluh orang dan semua jarum tepat
mengenai dahi di antara kedua mata!
Hatinya
menjadi besar. Kalau berteman dengan seorang wanita secantik dan selihai ini,
agaknya memang tidak perlu lagi takut terhadap Mo-kiam Siauw-ong! Ia melangkah
maju dan kedua tangannya yang kuat sekaligus menyeret empat orang yang sudah
menjadi mayat, kemudian dia melemparkan mereka itu keluar. Tiga kali dia
melemparkan sepuluh buah mayat itu melayang keluar rumah makan!
Kemudian dia
membalik dan matanya terbelalak melihat bahwa wanita itu telah membuka semua
pakaiannya dan sedang mengembangkan kedua lengan yang berkulit putih halus. Ia
mengeluarkan suara seperti gerengan harimau, lalu menubruk maju dan disambut
oleh wanita itu yang tertawa cekikikan.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati mereka yang melihat sepuluh buah mayat
orang melayang keluar. Mo-kiam Siauw-ong cepat menghampiri dan mengerutkan
alisnya ketika melihat luka di dahi para anak buahnya, luka merah sekali dan
masih tampak ujung merah yang menancap sampai hampir tidak kelihatan lagi.
"Ong-ya,
biarkan saya membawa semua pasukan menyerbu ke dalam!" Salah seorang
pembantunya mengajukan usul. Marah melihat betapa anak buahnya tewas sedemikian
mudahnya.
Akan tetapi
Mo-kiam Siauw-ong mengenal bekas tangan orang pandai dan mengangkat tangan kiri
mencegah.
"Pergunakan
api, bakar restoran ini agar siluman itu terpaksa keluar!"
Si gendut
pemilik restoran sampai jatuh berlutut hampir pingsan ketika dia melihat betapa
restorannya dikelilingi pasukan yang membawa minyak, kemudian dia benar-benar
roboh pingsan dirangkul isterinya pada waktu restorannya mulai terbakar. Para
penduduk yang menyaksikan menjadi makin tegang dan ngeri, diam-dia mereka sudah
bersiap-siap untuk mengangkat langkah seribu kalau siluman rase yang muncul itu
mengamuk!
"Restoran
terbakar...!" Lelaki tampan itu bangkit duduk dan terbelalak memandang
asap yang memasuki kamar.
"Sialan!"
Si wanita menyumpah. "Tikus-tikus itu ingin mampus semua!" Dengan
tenang namun jelas memperlihatkan wajah kecewa karena merasa kesenangannya
terganggu, ia mengenakan pakaiannya lagi yang didahului oleh si lelaki tampan
yang kembali menjadi ketakutan.
"Hayo
ikuti aku keluar!"
Mengandalkan
kepandaian wanita itu, laki-laki ini terpaksa mengikutinya keluar dengan
jantung berdebar-debar tegang. Kini dia harus berhadapan dengan datuk golongan
hitam yang ditakutinya itu sebagai lawan! Bagaimana pun juga, dia tidak dapat
mundur karena melawan wanita ini berarti mati, kalau bersekutu dengannya masih
ada harapan si wanita lihai ini akan menyelamatkannya dan pada masa depan
tampak harapan yang sungguh menyenangkan dapat menjadi sahabat dan terutama
kekasihnya!
Namun dia
bersikap cerdik, tidak mau memperlihatkan sikap bermusuh kepada Mo-kiam
Siauw-ong dan akan melihat gelagat dahulu. Kalau wanita ini tewas di tangan
Mo-kiam Siauw-ong, dia masih dapat menggunakan alasan bahwa dia dipaksa dan
tidak berdaya menjadi tawanan si wanita lihai! Maka dia mengikuti wanita itu
dari belakang, menuju ke pintu rumah makan yang sudah terbakar.
"Jangan
bergerak, aku akan membawamu keluar melalui api!" Wanita itu berkata.
Tiba-tiba
laki-laki tampan itu merasa pinggangnya dipeluk dan tubuhnya melayang keluar.
Dia makin kagum dan terheran-heran. Manusia ataukah iblis wanita ini?
Kepandaiannya benar-benar luar biasa sekali. Bagaimana orang selihai ini sampai
terluka pundaknya?
Dia hanya
merasa sedikit panas ketika tubuhnya meluncur cepat menerjang api di luar
restoran, dan tahu-tahu dia sudah berdiri di samping wanita itu yang
tersenyum-senyum memandang Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya yang sudah siap
mengepungnya.
Mo-kiam
Siauw-ong tercengang. Tak pernah diduganya bahwa orang yang amat lihai itu
hanyalah seorang muda yang amat cantik, melebihi isterinya sendiri cantiknya
dan berdiri tersenyum tenang tanpa ada senjata menempel di tubuh! Para pasukan
juga bengong, demikian pula para penonton, hampir tidak percaya karena siluman
rase itu ternyata tidak menggiriskan, hanya seorang wanita yang cantik dan
agaknya seorang manusia biasa! Ataukah memang penjelmaan siluman?
Biar pun
hatinya marah sekali, Mo-kiam Siauw-ong terpesona dan tertarik, merasa sayang
kalau sampai wanita itu dibunuh begitu saja. "Wanita siluman, menyerahlah
sebelum aku turun tangan!" bentaknya.
"Hi-hi-hik-hik,
aku keluar bukan untuk menyerah, melainkan untuk membunuh kalian yang sudah
mengganggu kesenanganku!"
"Serbu...!"
Pembantu Mo-kiam Siauw-ong tak sabar lagi dan menyerbulah pasukan yang tinggal
empat puluh orang itu.
Akan tetapi
tiba-tiba tubuh wanita itu berkelebat lenyap, lantas terdengar jerit di
sana-sini disusul robohnya enam orang pasukan sendiri. Gerakan wanita itu
sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata. Yang menusuknya,
tahu-tahu goloknya membalik dan menusuk perutnya sendiri. Yang membacoknya pun
demikian dan tahu-tahu wanita itu telah berada di depan Mo-kiam Siauw-ong!
Datuk
golongan hitam itu dapat mengikuti gerakan si wanita itu yang benar-benar
memiliki ginkang yang dia sendiri tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi,
sebagai seorang ahli dia tidak takut dan pedangnya menyambar ganas.
"Bagus!
Kiam-hoat lumayan juga!" Wanita itu mengejek sambil mengelak, tangan
kirinya tahu-tahu menyambar ke depan, mengirim pukulan dengan telapak tangan
terbuka pada lawannya.
Mo-kiam
Siauw-ong cepat miringkan tubuh, akan tetapi hawa pukulan tangan itu tetap saja
menyambar dan menyerempetnya. Dia terhuyung dan merasa pundaknya bagaikan
dilanggar benda yang panas. Makin terkejutlah dia. Ginkang wanita ini juga
hebatnya luar biasa. Dia mengerahkan kepandaiannya sehingga pedang di tangannya
berubah menjadi segulungan sinar yang berkilauan dan yang mengurung tubuh
wanita itu.
Para pasukan
berbesar hati melihat pimpinan mereka telah turun tangan, maka mereka pun cepat
mengurung dan menyerbu. Wanita itu berada dalam keadaan terluka, lengan
kanannya tidak dapat digunakan untuk bertanding sehingga dia hanya melawan
dengan gerakan tangan kiri saja.
Akan tetapi,
dia cepat meloncat menjauhi Mo-kiam Siauw-ong yang benar-benar lihai ilmu
pedangnya itu, dan dengan mudah tangan kirinya merobohkan setiap anak buah
pasukan yang menyerangnya. Apa lagi kini tangan kirinya mulai menyebar
jarum-jarumnya hingga kembali ada lima orang pasukan roboh dan tewas!
"Heh-heh-heh-hi-hi-hik!
Ang-kiam Bu-tek sungguh-sungguh tidak boleh dipandang ringan!" Tiba-tiba
terdengar suara yang lembut dan muncullah seorang nenek tua sekali berdiri di
barisan depan para penonton.
Wanita itu
terkejut, merobohkan dua orang lagi dengan dua kali tendangan kaki yang
menghancurkan anggota rahasia tubuh mereka, menoleh ke arah nenek itu dan dia
cepat berkata, "Go-bi Thai-houw, harap kau orang tua tidak mencampuri
urusan ini. Tikus-tikus ini tidak ada gunanya. Biarlah lain kali aku Ang-kiam
Bu-tek menghaturkan terima kasih dan mengangkat guru kepadamu!"
"Heh-heh-hi-hi-hik!
Punya murid macam engkau ini akan menyenangkan juga!" Nenek itu menjawab
kemudian tiba-tiba saja ia lenyap dari situ.
Mendengar
disebutnya nama Ang-kiam Bu-tek dan Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong seperti
mendengar halilintar menyambar di atas kepalanya dan cepat-cepat dia berseru,
"Pasukan
mundur semua...!"
Pasukan yang
sudah merasa gentar sekali cepat lari mundur dan kini Mo-kiam Siauw-ong
melangkah maju, menekuk sebelah lututnya dan mengangkat kedua tangan depan dada
ke arah wanita itu sambil berkata, "Mohon kebijaksanaan Sianli untuk
mengampunkan saya yang bermata akan tetapi seperti buta tidak mengenal Sianli,
tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata."
Melihat
sikap Mo-kiam Siauw-ong, anak buah pasukan menjadi terkejut dan mereka yang
belum pernah mendengar nama Ang-kiam Bu-tek, cepat-cepat mengikuti mereka yang
mengenalnya dan yang sudah menjatuhkan diri berlutut. Sebagian besar mengenal
nama itu dengan hati penuh rasa takut.
Wanita yang
berjuluk Ang-kiam Bu-tek (Pedang Merah Tanpa Tandingan) itu tersenyum mengejek,
memandang kepada Mo-kiam Siauw-ong dan bertanya, "Hemmm..., siapakah
engkau sebenarnya?"
"Harap
Sianli suka memandang kepada mendiang ketiga orang suhu saya, yaitu Thian-te
Sam-lo-mo" kata pula laki-laki berpakaian mewah itu.
Ang-kiam
Bu-tek mengangguk-angguk dan otaknya yang amat cerdik itu segera membuat
perhitungan. Pada waktu itu dia membutuhkan sekutu, dan setelah lawan menyerah
dan ternyata adalah murid tokoh yang merupakan orang segolongan dengannya,
memang tak perlu lagi membunuh mereka.
"Ternyata
engkau adalah murid ketiga orang iblis tua itu? Baiklah, aku mengampunkan
engkau dan anak buahmu."
"Terima
kasih, Sianli!" Mo-kiam Siauw-ong menjadi girang sekali dan meloncat
bangun.
Bersahabat
dengan Ang-kiam Bu-tek merupakan hal yang amat menguntungkan, pula dia maklum
bila pertandingan dilanjutkan, jangankan baru dia dan pasukannya, biar ditambah
tiga orang gurunya yang sudah meninggal sekali pun takkan sanggup menang!
"Karena
saya melihat Sianli terluka dan perlu beristirahat, saya persilakan Sianli
untuk beristirahat di dalam rumah saya."
"Baiklah,
Ehh, Tampan, kau gendong aku ke rumah Mo-kiam Siauw-ong!" kata Ang-kiam
Bu-tek sambil tersenyum kepada kekasihnya.
Laki-laki
tampan, seorang di antara ketujuh Fen-ho Chit-kwi yang sebenarnya bernama Ma
Kiat Su itu menjadi girang dan lega bukan main. Tanpa malu-malu lagi, ditonton
begitu banyak orang, dia lalu memondong tubuh Ang-kiam bu-tek yang merangkul
lehernya.
Mo-kiam
Siauw-ong cepat menyerahkan seekor kuda. Ma Kiat Su membungkuk dengan hormat
kepada Mo-kiam Siauw-ong kemudian melompat ke atas punggung kuda sambil
memondong tubuh wanita cantik itu, kemudian mereka diiringi oleh Mo-kiam
Siauw-ong sendiri menuju ke gedung kepala daerah.
Para pasukan
sibuk mengurus mayat-mayat para kawan mereka dan para penonton kini ikut sibuk
memadamkan api yang membakar restoran.
Siapakah
wanita cantik itu dan mengapa seorang datuk golongan hitam seperti Mo-kiam
Siauw-ong sampai begitu ketakutan mendengar namanya? Dan siapa pula nenek tua
renta yang agaknya lebih aneh dan menyeramkan lagi sehingga Ang-kiam Bu-tek
sendiri sampai bersikap hormat, bahkan berjanji untuk berguru kepadanya?
Mereka
berdua adalah tokoh-tokoh besar, bahkan Ang-kiam Bu-tek merupakan seorang tokoh
penting. Semenjak kecil, wanita cantik ini yang bernama Bhe Cui Im, adalah
murid nenek Lam-hai Sin-ni, seorang di antara Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa
Tanding) yang puluhan tahun lamanya menjadi tokoh-tokoh utama kaum sesat.
Sebagai
murid Lam-hai Sin-ni, kepandaiannya sudah amat tinggi dan karena semenjak muda
dia merupakan seorang wanita yang haus akan laki-laki dan besar nafsu, lihai
ilmu pedangnya dan lihai pula senjata rahasianya yang beracun, dia terkenal
dengan julukan Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah). Akan
tetapi, setelah dia bersama Cia Keng Hong dapat menemukan tempat rahasia
penyimpanan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan mempelajari
kitab-kitab itu selama bertahun-tahun, dia keluar dari goa rahasia sebagai
seorang wanita yang sukar dicari tandingannya lagi.
Dia bahkan
membunuh bekas gurunya, Lam-hai Sin-ni, juga membunuh banyak sekali tokoh-tokoh
besar dunia kang-ouw sehingga julukannya yang dia ubah menjadi Ang-kiam Bu-tek
menjulang tinggi di dunia kang-ouw dan dikenal oleh semua tokoh dengan hati
penuh rasa ngeri dan takut.
Itulah dia
wanita cantik yang pagi hari itu menimbulkan keributan di dalam restoran di
kota kecil Sun-ke-bun, menyebar maut seperti menyebar pasir saja! Bhe Cui Im,
berusia dua puluh sembilan tahun, cantik jelita dan memiliki daya tarik yang
amat kuat, membuat hati pria terangsang apa bila melihatnya, dan memiliki ilmu
kepandaian yang amat tinggi.
Ketika ia terhuyung-huyung
dalam keadaan terluka pundaknya, baru saja dia melarikan diri dari puncak
Tai-hang-san di mana terjadi pertemuan puncak antara tokoh-tokoh besar yang
dilanjutkan dengan pertandingan-pertandingan hebat, di mana dia terluka oleh
Cia Keng Hong, si pendekar sakti yang biar pun usianya baru dua puluh empat
tahun, namun dapat disebut adalah suheng-nya, karena Cia Keng Hong merupakan
murid langsung dan tunggal dari mendiang Sin-jiu Kiam-ong.
Oleh karena
kekalahannya terhadap Cia Keng Hong inilah yang membuat Cui Im tidak membunuh
Mo-kiam Siauw-ong. Dia tak membutuhkan bantuan orang-orang pandai, tapi lebih
membutuhkan bantuan tokoh yang banyak anak buahnya itu.
Dan karena
cintanya yang berubah kebencian amat mendalam terhadap Cia Keng Hong pulalah
yang membuat dia berjanji untuk berguru kepada nenek Go-bi Thai-houw karena ia
maklum bahwa nenek itu memiliki kesaktian yang luar biasa, memiliki banyak ilmu
yang dapat dia pelajari untuk kelak dipergunakan menghadapi Keng Hong dan
terutama sekali, untuk dapat mengajak nenek itu bersama-sama menghancurkan
kehidupan Keng Hong yang amat dibencinya!
Ketika
Coa-taijin, yaitu kepala daerah kota Sun-ke-bun mendengar dari menantunya akan
kesaktian Ang-kiam bu-tek, dia menyambut dengan ramah, malah mempersilakan Cui
Im menempati sebuah kamar kehormatan di dalam gedungnya, sebuah kamar yang
mewah sekali. Kepala daerah yang cerdik ini paham bahwa semakin banyak orang
pandai yang membantunya, makin kuatlah kedudukannya!
Cui Im
merasa girang bukan main. Dia langsung mengajak Ma Kiat Su memasuki kamar mewah
itu, menutupkan daun pintunya dan tenggelamlah dia dengan Ma Kiat Su dalam
lautan nafsu yang membuat lelaki itu mabuk dan merasa beruntung sekali karena
selama hidupnya baru sekali ini dia bertemu dengan seorang wanita hebat seperti
Cui Im!
Selama tiga
hari tiga malam Cui Im tidak membolehkan kekasihnya pergi meninggalkan kamar,
tidak membolehkan keluar pula. Mereka dilayani oleh pelayan-pelayan Coa-taijin
seperti sepasang pengantin baru, seperti tamu-tamu terhormat.
Pada malam
hari ke tiga, tiba-tiba pintu kamar itu dibuka orang dari luar, daun pintunya
tertolak perlahan dan muncullah seorang pemuda di ambang pintu. Cui Im yang
sedang membelai tubuh Ma Kiat Su yang tidur kelelahan, cepat mengangkat muka
dan seketika wajahnya menjadi pucat. Matanya terbelalak memandang pemuda yang
juga berdiri bagai terpesona menyaksikan wanita cantik setengah telanjang yang
rebah menelungkup di atas pebaringan itu.
Pemuda itu
tampan sekali, pakaiannya indah dan sikapnya tenang. Yang membuat Cui Im
terkejut adalah wajah pemuda ini, sehingga tanpa terasa lagi bibirnya lantas
bergerak dan terdengar suaranya lirih, "Cia Keng Hong...!"
Pemuda itu
tidak mendengar suara lirih ini, dianggapnya Cui Im menegur dan mencela
dirinya, maka dia cepat menjura dan berkata, suaranya halus sekali dan sopan,
"Harap Sianli sudi memaafkan saya karena kesalahan masuk ke kamar
ini…"
Cui Im
menarik napas lega, cepat ia bangkit duduk, menurunkan kedua kakinya dari atas
pembaringan tanpa mempedulikan baju dalamnya yang tidak lengkap menutupi bagian
atas tubuh, tersenyum manis dan bertanya, "Kongcu siapakah..."
Dia masih
memandang heran akan persamaan wajah pemuda itu dengan wajah Keng Hong, bahkan
bentuk tubuhnya hampir sama besarnya.
Kembali
pemuda itu menjura. "Saya Coa Kun, putera dari Coa-taijin pemilik rumah
ini. Saya baru datang dari luar kota, sudah mendengar bahwa Sianli bertamu di
sini, sudah mendengar akan nama Sianli yang sakti dan mulia. Akan tetapi saya
mengira Sianli berada di kamar tamu sebelah, tidak menyangka bahwa kamar saya
yang diberikan oleh ayah untuk Sianli, karena itu saya lancang membuka pintu
kamar ini. Maafkan, saya..." Pemuda itu menjura, lalu membalikkan tubuh
dan hendak pergi.
"Coa-kongcu,
tunggu...!"
Cui Im sudah
meloncat turun, kakinya telanjang dan ia melangkah menghampiri pemuda yang
sudah membalikkan tubuh lagi memandang dengan kedua pipi kemerahan karena
keadaan Cui Im benar-benar membuat dia merasa jengah dan kikuk. Wanita cantik
itu lebih banyak telanjang dari pada berpakaian!
"Kongcu,
masuklah dan mari kita bicara dahulu. Engkauah yang harus memaafkan aku karena
kamarmu kupakai! Ahhh, aku mengganggu saja padamu. Kalau aku tahu bahwa aku
akan mengganggu seorang yang begini... hemm... ganteng seperti engkau, aku
lebih suka tidur di dapur!"
Coa Kun
menjadi semakin merah mukanya. "Ahh, harap Sianli jangan berkata demikian.
Dengan senang hati saya menyerahkan kamarku untukmu. Sudahlah, saya tidak
berani mengganggu lebih lama...!" Kembali dia hendak pergi.
Cui Im
melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. "Nanti dulu, Kongcu, mari
duduklah, kita bicara dulu... Atau... engkau tidak sudi bicara dengan orang
seperti aku?" dia tersenyum dan memandang penuh tantangan.
Pemuda itu
semakin tersipu, akan tetapi dia tidak berani menarik tangannya yang kini
dituntun oleh Cui Im. Dia terpaksa memasuki kamar dan dengan perasaan tidak sedap
dia melirik ke arah tubuh Ma Kiat Su yang sedang tidur. Laki-laki itu pun tidak
berpakaian, hanya berselimut pada sebagian tubuhnya yang kekar.
"Tidak
baik, Sianli. Dia... dia..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena
keadaan di tepat itu benar-benar membuatnya malu dan kikuk.
Cui Im
tersenyum lebar, "Memang babi itu menganggu saja. Tunggu kulempar dia
keluar!"
Tanpa
menanti jawaban, sekali bergerak tubuh Cui Im sudah meloncat lalu hinggap di
atas pembaringan dan sekali kakinya menendang, tubuh Ma Kiat Su terlempar ke
bawah pembaringan.
"Aehhh.,.
ada apa... apa yang terjadi...?" Ma Kiat Su terbangun, merangkak dan
meloncat berdiri.
Akan tetapi
tiba-tiba dia mengeluh ketika tangan kiri Cui Im bergerak dan dua buah jari
tangannya menusuk serta mengenai pelipisnya. Dia roboh tak bernyawa lagi, pada
pelipis kanannya terlihat bekas dua jari tangan yang membiru!
Cui Im
kembali menendang dan... mayat laki-laki yang selama tiga tiga malam menjadi
kekasih dan kawannya bermain cinta itu terlempar keluar melalui pintu kamar.
Dia cepat menghampiri daun pintu dan ditutupnya, kemudian ia membalikkan tubuh
dan seperti tak pernah terjadi sesuatu, dia melangkah maju menghampiri Coa Kun
yang duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian.
"Kenapa...
kenapa kau membunuhnya...?"
"Ahh,
aku sudah bosan dan jemu dengan dia. Apa lagi dia hanyalah seorang anak buah
rendah saja, tidak tepat menjadi sahabatku. Coa-kongcu, engkaulah orang yang
paling patut menjadi sahabat baikku dan kamar ini adalah kamarmu."
Sambil
tersenyum manis sekali dan dengan pandang mata panas membakar hati, Cui Im
menghampiri pemuda itu dengan langkah dan lenggang memikat, lalu merangkulkan
dua lengannya pada leher pemuda itu.
Coa Kun
memandang dengan dua mata terbelalak. Hidungnya mencium keharuman yang aneh
dari tubuh wanita itu, jantungnya berdebar ketika merasa betapa hangat tubuh
yang menempel rapat di dadanya.
"Eh,
Sianli... Ah, apa artinya ini?" Ia tergagap, karena biar pun sebelum salah
mamasuki kamar itu dia sudah mendengar cerita tentang Ang-kiam Bu-tek yang
sakti seperti iblis dan cabul laksana siluman rase, namun tak mengira sama
sekali bahwa wanita ini akan membunuh kekasihnya begitu saja kemudian
mengalihkan cintanya kepadanya!
Tiba-tiba
Cui Im meraih ke atas hingga memaksa muka pemuda itu tunduk, kemudian mencium
mulut Coa Kun yang membuat pemuda itu makin mabuk kepayang dan makin
terheran-heran. Setelah melepaskan ciumannya, Cui Im berbisik halus,
"Kongcu, apakah engkau tidak suka aku menemanimu di kamarmu ini? Apakah
engkau tidak suka menjadi sahabat baikku?"
Coa Kun
dapat mendengar ancaman hebat yang tersembunyi di balik bisikan halus penuh
getaran birahi itu dan dia bergidik. Ia mengangguk dan cepat menjawab,
"Tentu saja aku suka sekali, Sianli, tapi..."
"Kongcu
yang tampan dan halus, engkau mengingatkan aku terhadap seseorang.. Ahhh,
jangan engkau khawatir, terhadap engkau, aku tidak akan mengganggu. Apa bila
engkau memang suka, mengapa tidak memondongku ke ranjangmu?”
Coa Kun
adalah seorang pemuda yang biar pun sudah berusia dua puluh tahun lebih dan
sebagai putera kepala daerah, biar pun belum menikah namun sudah memiliki
beberapa orang selir dan bukan tidak berpengalaman menghadapi wanita, akan
tetapi dibandingkan dengan Cui Im dia hanyalah seorang pemuda yang masih hijau!
Kini, berada di dalam cengkeraman Cui Im, menghadapi rayuan Cui Im yang
merupakan seorang ahli dalam permainan cinta, mana mungkin dia sanggup
bertahan? Menghadapi rayuan Cui Im yang luar biasa, dalam waktu singkat saja
dia sudah bertekuk lutut dan menyambut serta melayani segala kehendak wanita
itu!
Biar pun Cui
Im memang seorang wanita yang haus akan cinta kasih laki-laki dan mata
keranjang, selalu ingin memeluk pria tampan, pembosan dan ingin selalu berganti
teman bercinta, namun Cui Im memilih Coa Kun bukan semata-mata karena pemuda
ini tampan. Terutama sekali karena kemiripan wajah Coa Kun dengan wajah Keng
Hong yang amat menarik hatinya, dan otaknya yang luar biasa cerdiknya segera
mendapatkan siasat untuk sewaktu-waktu menggunakan pemuda ini agar membantunya
menghancurkan kehidupan Keng Hong, satu-satunya laki-laki di dunia ini yang
pernah meruntuhkan hatinya, pernah dicintanya dengan cinta murni, akan tetapi
yang kini telah berubah menjadi satu-satunya orang yang paling dibencinya di
dunia ini!
Sementara
itu, ketika Mo-kiam Siauw-ong mendengar pelaporan dari para penjaga akan adanya
mayat Ma Kiat Su di depan pintu kamar tidur, hanya tersenyum dan dia menyuruh
anak buahnya membawa pergi mayat itu dan menguburnya. Ia mengangguk-angguk dan
menggosok kedua tangannya. Kalau Ang-kiam Bu-tek jatuh hati kepada Coa-kongcu,
hal itu amat baik sekali. Lebih baik lagi apa bila Ang-kiam Bu-tek suka menjadi
isteri putera kepala daerah itu, pikirnya.
Hati Cui Im
gembira sekali karena pemuda putera Coa-jin itu sebentar saja benar-benar sudah
jatuh hati kepadanya dan dapat memuaskan hatinya. Dia merasa senang tinggal di
gedung itu, selain menerima penghormatan berlebihan dan menerima pelayanan yang
menyenangkan, ditemani seorang kongcu yang halus dan tampan mirip Cia Keng
Hong, juga ternyata luka pada pundaknya oleh pedang Siang-bhok-kiam di tangan
Keng Hong tidaklah merupakan luka parah dan dalam beberapa hari saja tentu akan
sembuh.
Akan tetapi
pada malam hari itu, selagi ia asyik bercumbu dengan kekasihnya yang baru,
tiba-tiba terdengar suara terkekeh dari arah jendela kamarnya. Mendengar dan
mengenal suara ini, Cui Im lantas melompat turun dari atas pembaringan, secepat
kilat menyambar pakaiannya dan ketika ia membalik dengan pakaian yang belum
lengkap, ia melihat Go-bi Thai-houw telah melayang masuk dari jendela yang
dibuka dari luar dan berada di kamar itu sambil tertawa-tawa.
Bukan main
kagetnya Coa Kun melihat munculnya seorang nenek yang sangat tua dan
menyeramkan itu. Dia cepat-cepat menutupi tubuhnya dengan selimut dan hanya
berani mengintai dari balik selimut.
Cui Im cepat
maju dan berlutut menyambut Go-bi Thai-houw. "Subo telah datang..."
"Heh-heh-hi-hik-hik!
Benar-benarkah engkau mengangkat aku sebagai gurumu, Ang-kiam Bu-tek?"
"Subo
adalah seorang yang paling sakti di dunia ini, tentu saja teecu (murid) akan
senang sekali menjadi murid Subo. Apa lagi dengan adanya Subo. Kita dapat
bekerja sama untuk membalas sakit hati terhadap Cia Keng Hong."
"Hemmmm..!"
Nenek itu mendengus, keningnya yang sudah putih itu mengkerut, dahinya yang
sudah penuh keriput itu makin mendalam garis-garisnya. "Cia Keng Hong
manusia busuk! Aku harus membunuh dia... Akan tetapi... di sana ada isteri
Sin-jiu Kiam-ong…"
"Takut
apa, Subo? Kalau kita bekerja sama, dibantu oleh Mo-kiam Siauw-ong dan anak
buahnya, tentu kita akan dapat membasmi mereka! Mo-kiam Siauw-ong adalah murid
dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo, masih golongan sendiri. Marilah teecu
perkenalkan Subo dengan Mo-kiam Siauw-ong dan mertuanya, Coa-taijin kepala
daerah Sun-ke-bun, pemilik gedung ini."
Nenek itu
melirik ke arah Coa Kun yang masih memandang dengan ketakutan dari atas
pembaringan, kemudian tertawa lebar memperlihatkan mulut yang tiada giginya
lagi.
"Ha-ha-ha,
engkau cocok sekali dengan aku muridku. Dahulu ketika muda aku pun seperti
engkau, suka mengejar kesenangan setelah cintaku ditolak oleh Sie Cun Hong si
keparat! Besok saja aku berkenalan dengan mereka. Kau lanjutkan permainanmu
dengan Kongcu ini, aku ingin menonton."
"Subo..!"
"Hi-hi-hi-hik!
Aku sudah terlampau tua, tidak bisa lagi main sendiri, akan tetapi menonton
menimbulkan kesenangan yang amat besar pula. Hayolah, anggap saja aku tidak
berada di sini!" Nenek itu lalu duduk di atas sebuah bangku, duduk tegak
tanpa bergerak seperti arca.
Sejak dia
bertemu dengan bekas majikan wanitanya, yaitu Tung Sun Nio isteri mendiang
Sin-jiu Kiam-ong, tiba-tiba gilanya menjadi sembuh karena pertemuan itu
mendatangkan guncangan batin yang hebat. Dia tidak gila lagi, akan tetapi
setelah menjadi waras, timbul kembali wataknya yang seperti iblis, watak yang
sama dengan watak Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im pada waktu dia masih muda. Watak
yang amat cabul dan keji!
Dan
terjadilah perbuatan maksiat yang tiada keduanya di dunia ini, yang dapat dilakukan
oleh wanita. Cui Im melanjutkan permainan cintanya dengan Coa Kun yang makin
lama semakin hilang rasa ngerinya terhadap nenek itu, ditonton oleh nenek itu!
Bagi manusia-manusia yang mengenal kesusilaan, yang sudah hidup di dalam jaman
yang beradab, perbuatan mereka bertiga itu benar-benar merupakan perbuatan yang
amat cabul tanpa mengenal susila dan rasa malu lagi!
Coa Kun,
putera seorang pembesar yang terpelajar, yang sejak kecil sudah membaca
kitab-kitab dan tahu akan tata susila dan sopan santun, sedikit banyak mengenal
pula ilmu silat, sekarang terseret dan terguling ke dalam jurang kehinaan,
terseret melakukan perbuatan yang patutnya hanya bisa dilakukan oleh golongan
hitam tingkat paling rendah!
Dan pada
keesokan harinya, setelah ketiga orang ini merasa puas, Coa Kun merasa puas
karena merasa diayun ke sorga oleh cumbu rayuan serta permainan cinta Cui Im
yang merupakan seorang ahli berpengalaman dalam hal itu, Cui Im merasa puas
karena selain mendapatkan seorang kekasih baru yang tampan juga dia diterima
menjadi murid Go-bi Thai-houw dan nenek itu puas karena sudah lama ia
kehilangan seperti yang dinikmatinya semalam dengan menoton pertunjukan yang
menggairahkan hati tuanya, maka diadakan pertemuan yang disambung dengan
perundingan. Sebuah perundingan yang tujuannya hanya satu, yaitu menghancurkan
kehidupan Cia Keng Hong!
Go-bi
Thai-houw membenci Keng Hong karena dianggap sebagai biang keladi sehingga dia
kehilangan dua orang muridnya yang tercinta, yaitu mendiang Hek-sin-kiam Tan
Hun Bwee dan Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng. Cui Im juga membenci Keng Hong,
benci yang timbul karena cinta yang tidak terbalas dan karena banyak hal lagi.
Mo-kiam Siauw-ong juga membenci Keng Hong karena pendekar sakti itu sudah
membunuh ketiga orang gurunya, Thian-te Sam-lo-mo.
Hanya
Coa-taijin dan Coa Kun yang turut hadir dalam perundingan itu saja yang tidak
membenci Keng Hong karena mengenal pun tidak, akan tetapi mereka terbawa karena
hubungan mereka dengan Mo-kiam Siauw-ong dan dengan Cui Im.
Benci!
Perasaan ini merupakan nafsu manusia yang menjadi pokok penyebab utama dari
pada timbulnya segala kekacauan di dunia ini oleh manusia. Penyebab timbulnya
nafsu kebencian bersumber kepada rasa sayang diri dan iba diri (egoisme),
terdorong oleh iri hati.
Kalau merasa
diri dirugikan, maka timbullah bibit yang menjadi benih nafsu kebencian. Kalau
sudah bertunas bibit kebencian di dalam hati, maka si manusia yang dicengkeram
kebencian itu akan tertutup mata batinnya dan muncul perbuatan-perbuatan
kekejaman.
Kebencian
menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Kebencian menciptakan tindakan yang
merugikan dan merusak, akan tetapi sebenarnya yang paling dirugikan dan dirusak
adalah diri si pembenci sendiri. Kebencian merupakan sifat yang paling buruk
yang harus dijauhi oleh setiap orang manusia, karena kebencian ini bertentangan
dengan sifat alam.
Tak ada
sifat benci pada alam yang hanya mempunyai satu sifat, yaitu Kasih! Yang tidak
mau menyadari akan hal ini, yang tidak mau berusaha sekuat tenaga kemauan untuk
mengenyahkan sifat benci dari hatinya, merupakan orang yang sungguh patut
dikasihani, karena perasaan benci akan menyeretnya ke dalam segala macam
kesengsaraan batin.
Orang yang
percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih, tentu akan mudah
melenyapkan dan menjatuhkan perasaan benci terhadap siapa pun juga. Karena
orang ini akan menyadari bahwa segala yang menimpa dirinya, tidak terkecuali
apakah hal itu menguntungkan atau merugikan, adalah hal yang sudah dikehendaki
oleh Tuhan! Di luar kehendak Tuhan, segalanya tidak akan terjadi! Tuhan Maha
Kuasa, kuasa untuk memberi, kuasa untuk mengambil.
Kalau hanya
merasa senang apa bila diberi, akan tetapi mengomel apa bila diambil, dia
adalah seorang yang kurang tebal kepercayaannya terhadap kekuasaan Tuhan. Di
dalam memberi mau pun mengambil tentu saja ada yang menjadi lantarannya. Bila
kepercayaan akan kekuasaan Tuhan sudah menjadi keyakinan bijaksana ini, tentu
tak akan membenci yang menjadi lantarannya, karena lantaran itu hanyalah
digunakan atau dipilih oleh Tuhan untuk pelaksanaan kehendak-Nya.
Misalnya,
seseorang kehilangan seorang anaknya yang tercinta. Anak itu tidak akan mati
kalau tidak dikehendaki oleh Tuhan untuk pelaksanaan kehendak-Nya ini, tentu
saja ada lantarannya. Bermacam-macamlah yang dapat menjadi sebab, karena
terbunuh, karena penyakit, karena kecelakaan dan sebagainya. Maka kelirulah
jika orang yang kehilangan anaknya itu menimpakan kesalahan dan timbul
kebencian terhadap penyebab atau yang menjadi lantaran, karena kejadian itu
baru saja bisa terjadi oleh kehendak Tuhan! Tanpa dikendaki Tuhan biar segala
iblis dan setan di dunia ini tentu tidak akan mampu mencabut nyawa anak itu!
Demikian pula dengan kerugian dan kehilangan lainnya, atau sebaliknya, demikian
pula dengan keuntungan dan hal yang menyenangkan lainnya.
Segala yang
dikehendaki oleh Tuhan, akan terjadilah! Hal ini mutlak, tak ada kekuasaan yang
dapat menentangnya semenjak dahulu, sekarang dan kemudian. Yang penting bagi
manusia hanyalah berikhtiar, selalu berusaha yang sudah merupakan kewajibannya
untuk menghindarkan diri dari pada hal-hal yang tidak dikehendaki hatinya.
Namun,
bukanlah ikhtiar yang menentukan melainkan kehendak Tuhan juga! Berikhtiar
dengan kesungguhan hati sebagai kewajiban, berlandaskan penyerahan akan
kekuasaan Tuhan, dengan pasrah, dengan penerimaan, maka orang ini akan selalu
merasa tenang dan dapat mengatasi segala hal yang menimpanya tanpa terseret
nafsu kebencian yang akan menjadi awal rantai panjang tak berkeputusan yang
berupa kesengsaraan batin.
Orang-orang
semacam Mo-kiam Siauw-ong, Go-bi Thai-houw dan terutama Bhe Cui Im adalah
orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu dan tidaklah amat mengherankan kalau
mereka itu mabuk oleh kebencian sehingga mereka berunding, mengatur rencana dan
siasat untuk menghancurkan hidup orang yang mereka benci, yaitu Cia Keng Hong.
"Mereka
itu tentu akan segera melangsungkan pernikahan. Aku akan menyelidikinya dan
perayaan pernikahan mereka merupakan kesempatan baik bagi kita. Kita serbu
mereka, kita kacaukan perayaan itu dan kalau dapat kita bunuh Cia Keng Hong,
Sie Biauw Eng, dan kawan-kawan mereka. Dalam hal ini aku mengharapkan bantuan
Mo-kiam Siauw-ong untuk mengerahkan pasukan yang kuat dan banyak." Cui Im
berkata.
"Saya
siap membantu, Sianli, harap jangan khawatir!" Mo-kiam Siauw-ong cepat
berkata.
Coa-taijin
mengerutkan alisnya dan berkata, "Maaf, Sianli. Saya percaya penuh bahwa
Cia Keng Hong itu tentulah bukan manusia baik maka Sianli memusuhinya dan di
dalam hati, saya memihak Sianli sepenuhnya dan andai kata saya memilliki
kepandaian, tentu saya akan ikut pergi membantu untuk membasmi Cia Keng Hong
dan kawan-kawannya yang telah merugikan dan melukai Sianli dan juga yang
dimusuhi oleh Locianpwe ini…"
"Thai-houw,
sebut aku Thai-houw, aku adalah ratu di Go-bi, tahu?" Tiba-tiba saja Go-bi
Thai-houw berkata.
Coa-taijin
terkejut dan cepat berkata, "Maaf, Thai-houw, maaf."
"Lanjutkan
kata-katamu, Taijin. Apa yang hendak kau usulkan?"
"Sianli
tentu maklum akan kedudukan saya sebagai kepala daerah, maka saya dan para
pasukan penjaga kota ini adalah orang-orang dari pemerintah. Maka, kalau
pasukan saya dipergunakan untuk urusan pribadi, hal itu tentu amat tidak baik
bagi saya, karena tentu akan ada teguran dari pemerintah pusat."
Cui Im
mengerutkan alisnya sambil memandang Mo-kiam Siauw-ong. Orang ini cepat
berkata, "Apa yang dikatakan oleh mertua saya memang benar, Sianli. Akan
tetapi harap Sianli tidak usah khawatir. Aku tidak begitu bodoh untuk
menggunakan pasukan penjaga kota Sun-ke-bun karena pasukan penjaga itu biar pun
banyak, tidaklah boleh diandalkan. Aku akan mengerahkan semua anak buah kaum
liok-lim dan kang-ouw di daerah lembah Fen-ho dan percayalah, aku akan dapat
mengumpulkan pasukan yang sudah jauh lebih kuat dan lebih banyak jumlahnya dari
pada pasukan penjaga kota."
Wajah Cui Im
berseri lagi mendengar ini. Dia mengangguk-angguk dan berkata dengan senyum
manis, "Bantuan Taijin dan Siauw-ong yang amat berharga tentu tidak akan
aku lupakan."
"Aihhh,
Niocu, setelah kita menjadi orang sendiri, mengapa masih sungkan? Katakanlah,
apa yang dapat aku kulakukan untuk membantumu? Aku siap membantu dengan taruhan
nyawa!" Mendadak Coa Kun berkata. Pemuda ini sekarang tidak lagi menyebut
‘sianli’ melainkan menyebut niocu kepada kekasihnya itu.
Dengan
kepandaiannya yang tinggi Cui Im dapat membuat sepaang pipinya kemerahan
seperti wanita biasa kalau merasa malu dan jengah, kemudian dia mengerling ke
arah kekasihnya itu sambil berkata, "Terima kasih, Kongcu. Memang aku amat
membutuhkan bantuanmu, akan tetapi kelak bila mana usahaku yang pertama ini
tidak berhasil. Engkau bersiap-siap sajalah, dan dalam penyerbuan yang kita
rencanakan ini, harap kau tidak ikut..."
"Ah,
mana bisa? Mana bisa aku berpisah darimu? Aku akan ikut, Niocu!" Biar pun
berada di depan banyak orang, bahkan di depan ayahnya sendiri, namun pemuda
yang sudah tergila-gila ini tidak malu-malu lagi menyatakan perasaannya yang
tidak mau berpisah dari wanita yang membuatnya mabuk itu.
Cui Im
tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, akan tetapi engkau tidak boleh ikut
menyertai penyerbuan. Kalau engkau terluka atau tewas, aku yang kehilangan!
Keng Hong adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, aku sendiri tidak
kuat menandinginya."
"Hi-hi-hik,
jangan takut, muridku. Aku pernah membuat dia dan bekas muridku Sie Baiuw Eng,
dibantu dua orang temannya, jungkir-balik dan kalau saja tidak muncul isteri
Sin-jiu Kiam-ong, mereka sudah mati di tanganku!" kata Go-bi Thai-houw.
Diam-diam
Cui Im terkejut. Dia mengenal siapa kedua orang teman itu, tentulah Yap Song
Can murid ketua Siauw-lim-pai yang lihai dan Gui Yan Cu. Kedua orang muda itu
lihai bukan main, ditambah lagi dengan Sie Biauw Eng yang kini memiliki ilmu
kepandaian hebat di samping Keng Hong. Benarkah nenek ini dapat mempermainkan
mereka seperti ceritanya barusan? Diam-diam dia pun girang karena orang seperti
nenek ini tentu tidak perlu membohong dan menyombongkan diri.
"Dan
aku dapat mencari bantuan orang-orang pandai di lembah Fen-ho," berkata
pula Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bertekad bulat, mempergunakan kesempatan baik
itu, selagi dia dibantu dua orang sakti seperti Go-bi Thai-houw dan Ang-kiam
Bu-tek, untuk membalas kematian ketiga orang gurunya di tangan Cia Keng Hong.
Sampai jauh
malam mereka melakukan perundingan dan mengatur siasat, perundingan yang
diseling dengan makan minum yang serba mahal dan mewah. Mo-kiam Siauw-ong, atas
petunjuk Cui Im, pada hari itu juga lalu mengirim kaki tangannya untuk
melakukan penyelidikan ke Siauw-lim-pai dan ke tempat tinggal Tung Sun Nio atau
isteri dari Sin-jiu Kiam-ong, yaitu di lereng Pegunungan Cin-ling-san sebelah
timur.
Mereka
mengadakan persiapan dan tinggal menunggu berita dari para penyelidik yang
melakukan perjalanan cepat dengan berkuda. Sambil menanti, Cui Im tidak
membuang waktu dengan sia-sia, melainkan dia mempererat hubungan cintanya
dengan Coa Kun sehingga semua penduduk kota itu kini tahu bahwa wanita cantik
yang sakti seperti dewi itu adalah kekasih atau selir baru putera kepala
daerah, bahkan didesas-desuskan akan menjadi calon isteri Coa-kongcu.
***************
Di lereng
Pegunungan Cin-lin-san yang sunyi, tempat pertapaan nenek Tung Sun Nio, kini
menjadi amat ramai dan meriah sebab akan dirayakan pernikahan dua pasang
pengantin. Dua pasang orang muda yang saling mencinta, yang sudah bersama-sama
mengalami suka duka penuh bahaya.
Perayaan
pernikahan dua pasang mempelai diadakan di tempat itu memenuhi permintaan nenek
Tung Sun Nio. Memang nenek itu berhak menentukan tempat perayaan, karena
orang-orang muda yang menjadi pengantin, sebagian besar adalah keluarganya.
Cia Keng
Hong yang akan menikah dengan Sie Biauw Eng, adalah muridnya, juga murid utama
mendiang suaminya, Sin-jiu Kiam-ong. Sie Biauw Eng adalah puteri dari mendiang
suaminya yang dilahirkan oleh Lam-hai Sin-ni, jadi adalah anak tirinya sendiri.
Ada pun Gui Yan Cu yang akan menikah dengan Yap Song Can, adalah muridnya yang
disayang seperti anak sendiri.
Hanya Yap
Cong San seorang yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan nenek ini. Akan
tetapi Yap Cong San adalah murid ketua Siauw-lim-pai yaitu Tiong Pek Hosiang
dan ketua Siauw-lim-pai ini dahulu adalah kekasih Tung Sun Nio. Karena itu,
bukan sama sekali tidak ada hubungan dengannya! Oleh karena itu, pernikahan dua
pasang mempelai itu benar-benar merupakan peristiwa yang besar serta
menggembirakan bagi Tung Sun Nio.
Sudah
puluhan tahun lamanya Tung Sun Nio mengasingkan diri sehingga dia tidak lagi
dikenal orang di dunia kang-ouw. Ada pun Cia Keng Hong sendiri, biar pun
akhirnya dapat membersihkan nama gurunya dan telah menyadarkan para tokoh
kang-ouw akan niatnya ingin mengakhiri permusuhan yang ditimbulkan mendiang
gurunya dengan hampir semua tokoh kang-ouw, namun tokoh-tokoh itu masih merasa
segan untuk mendekat pemuda itu.
Karena
inilah maka perayaan itu hanya dihadiri oleh beberapa orang tokoh kang-ouw yang
memiliki hubungan baik dengan Cia Keng Hong dan Yap Cong San. Ada pun Gui Yan
Cu yang semenjak kecil ikut gurunya tidak mempunyai kenalan pula, sedangkan Sie
Biauw Eng sebagai puteri dari Lam-hai Sin-ni, tentu saja hanya dikenal oleh
para tokoh golongan hitam yang sekarang bahkan menjadi musuh-musuhnya karena
wanita cantik jelita yang lihai ini telah mengubah cara hidupnya semenjak dia
bertemu dan jatuh cinta kepada Cia Keng Hong.
Di antara
para tokoh kang-ouw yang hadir tampak dua orang wakil dari Hoa-san-pai, lima
orang wakil Kun-lun-pai yang diutus sendiri oleh ketua Kun-lun-pai yaitu Kiang
Tojin yang menjadi sahabat baik Cia Keng Hong, Ouw Kian yang menjadi ketua
Tiat-ciang-pang bersama dua orang pembantunya, dan belasan orang tokoh kang-ouw
lain yang merasa kagum kepada Cia Keng Hong. Biar pun tidak banyak tokoh
kang-ouw yang hadir, namun suasana pesta meriah karena dipenuhi oleh penduduk
dusun-dusun di kaki Pegunungan Cin-lin-san yang banyak mengenal Gui Yan Cu.
Sebagai
pengantin pria dari Siauw-lim-pai, Yap Cong San diantar oleh lima orang hwesio
tokoh Siauw-lim-pai. Pemuda ini tidak datang sendiri karena dia adalah sebagai
orang yang punya ‘kerja’ di pihak pengantin pria dan di kuil Siauw-lim-si telah
diadakan upacara tersendiri sebelum Yap Cong San berangkat.
Semua tamu
telah berkumpul, meja sembahyang telah diatur dan dua pasang mempelai telah
diarak keluar untuk melakukan upacara sembahyang pengantin. Mengagumkan dan
menyenangkan sekali jika melihat dua pasang pengantin ini karena memang
merupakan pasangan yang amat setimpal. Sie Biauw Eng berwajah cantik manis dan
agung, seperti puteri istana, bayangan dingin yang dulu kini telah berubah
penuh kehangatan dan gairah. Gui Yan Cu berwajah cantik jelita seperti
bidadari, cerah dan memandang wajah dara ini seperti memandang matahari pagi.
Ada pun dua
orang pengantin prianya juga tampan dan gagah. Cia Keng Hong berwajah tampan
dengan sinar mata tajam seperti berkilat, sikap tenang dan biar pun usianya
baru dua puluh empat tahun, namun wajahnya sudah membayangkan kematangan batin,
sinar matanya penuh pengertian dan sikapnya seperti sebuah telaga yang amat
dalam.
Yap Cong San
juga tampan sekali, gerak-geriknya halus sesuai dengan kedudukannya sebagai
seorang ahli sastra, karena di samping ilmu silatnya yang tinggi juga pemuda
ini merupakan seorang sastrawan yang pandai.
Dua pasang
pengantin itu bersembahyang, dipimpin oleh seorang hwesio Siauw-lim-pai yang
masih terhitung suheng dari Yap Cong San sendiri. Sebagai seorang hwesio, tentu
saja suheng-nya itu ahli dalam urusan upacara sembahyang maka dialah yang
ditunjuk untuk memimpin upacara sembahyang pengantin.
Tung Sun Nio
menyaksikan dengan air mata membasahi pipinya saking terharu. Nenek ini
terkenang akan masa dahulu, sebagai isteri Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong.
Menyesallah hatinya bila mengenang masa mudanya, di mana ia mengalami
penderitaan dalam rumah tangganya. Teringat ia betapa ketika ia menikah dengan
Sie Cun Hong, mereka berdua pun bersembahyang persis seperti yang dilakukan dua
pasang mempelai ini, akan tetapi kenyataannya kemudian sangat menyakitkan hati.
Dia sudah
menjatuhkan cinta hatinya kepada Ouwyang Tiong, akan tetapi orang tuanya
mengharuskan dia menikah dengan Sie Cun Hong. Karena Sie Cun Hong adalah
seorang laki-laki yang tampan dan gagah perkasa, ia masih mengharapkan dapat
hidup bahagia di samping suaminya itu.
Akan tetapi,
ternyata Sie Cun Hong yang sudah terkenal sebagai seorang laki-laki yang gila
wanita itu, tidak berubah dan bermain cinta dengan wanita mana saja yang mau
melayaninya! Bahkan pelayannya sendiri, Oh Hian Wi, pelayan yang setia,
dilayani pula oleh suaminya itu dan mereka melakukan hubungan gelap ketika
gadis pelayan itu ikut bersamanya untuk melayaninya.
Padahal, dia
baru saja menikah belum sebulan lamanya, masih dalam suasana pengantin baru!
Dia menangkap basah suaminya dan Oh Hian Wi dan mengerti bahwa hubungan mereka
itu sudah dilakukan sejak dia dan pelayannya tinggal di rumah suaminya, bahkan
mungkin di malam pengantin setelah dia tidur, suaminya itu mendatangi Oh Hian
Wi yang tergila-gila kepadanya. Sekali menikah, suaminya mendapatkan dua orang
wanita! Sejak itu, hambarlah perkawinannya sehingga menciptakan serangkaian
kejadian yang berupa mala petaka!
Nenek Tung
Sun Nio menghela napas dan diam-diam ia berdoa untuk kebahagiaan dua pasang
pengantin itu. Pernikahannya yang gagal, batinnya yang lemah sehingga sebagai
isteri Sie Cun Hong dia sudah berlaku serong, bermain cinta dengan bekas
kekasihnya, Ouwyang Tiong saat orang ini mengunjunginya, telah mengakibatkan
hidupnya hancur.
Dia
menderita puluhan tahun lamanya, menderita batin. Juga Ouwyang Tiong menderita
batin, kemudian pemuda itu lari kepada agama sehingga dia memperoleh kemajuan
dan kedudukan tinggi, akhirnya menjadi ketua Siauw-li-pai. Walau pun biang
keladinya adalah suaminya sendiri yang masih mengobral cinta, namun dia sendiri
pun bersalah.
Pernikahan
akan gagal apa bila hanya berlandaskan cinta bergelimang nafsu birahi! Yang
menjadi pengikat erat, yang mengekalkan pernikahan bukan hanya birahi semata,
walau pun hal ini merupakan syarat penting sekali. Tanpa kemesraan hubungan
badani antara suami isteri, pernikahan pun akan gagal!
Baru
sekarang ia menyadarinya betapa agung cinta kasih antara suami isteri yang
hanya akan dapat menjadi kekal sampai kematian memisahkan mereka kalau saja
kedua pihak secara bersama-sama memupuknya dengan bijaksana, dengan kesetiaan
dan dengan kesadaran akan kewajiban masing-masing, sebagai isteri dan sebagai
suami, kemudian sebagai ibu dan sebagai ayah anak-anak mereka!
Tung Sun Nio
tenggelam di dalam lamunan dan baru sadar setelah upacara sembahyang selesai
dan kedua mempelai itu berlutut memberi hormat di depan kakinya. Tung Sun Nio
membalas penghormatan mereka, kemudian dengan hati terharu ia menggunakan
jari-jari tangannya menjamah dan mengelus kepala empat orang muda, bibirnya berbisik
hampir tidak kedengaran, "Semoga Tuhan memberkahi kalian dengan kehidupan
yang rukun dan bahagia." Ia mengusap air matanya.
Dua pasang
pengantin itu sudah bangun berdiri dan memberi hormat kepada para tamu yang
sudah bangun dari tempat duduk dan membalas penghormatan mereka.
"Ha-ha-hi-hik!
Hanya tiga kali dalam hidup manusia disambut orang-orang lain. Kelahiran,
menikah dan kematian. Kalian berempat sudah menjalani yang dua, tinggal yang
terakhir! Bersiaplah kalian berempat untuk mati, hi-hik-hik!"
Semua orang
merasa terkejut dan cepat menengok keluar di mana tahu-tahu telah berdiri
seorang nenek yang bukan lain adalah Go-bi Thai-houw, bersama Cui Im dan
Mo-kiam Siauw-ong.
Tung Sun Nio
yang juga terkejut kini mengerutkan alisnya dan membentak. "Hian Wi
manusia rendah budi! engkau mau apa?!"
Biasanya,
bekas pelayan ini amat takut kepadanya, bahkan dalam pertemuan terakhir di
puncak Tai-hang-san, kedatangannya membuat nenek iblis itu lari ketakutan. Akan
tetapi sekali ini, Go-bi Thai-houw sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan
tertawa mengejek.
"Tung
Sun Nio, kini engkau bukan majikanku lagi, dan mestinya semenjak dulu-dulu kau
kubunuh. Hi-hi-hik, engkau mengusirku untuk menjauhkan aku dari suamimu, siapa
tahu, kiranya engkau sendiri malah berhubungan gelap dengan Ouwyang Tiong
dan…"
"Tutup
mulutmu, Iblis tua!" Keng Hong membentak marah sekali sehingga suaranya
keras menggeledek, mengejutkan semua orang.
"Wah,
Keng Hong, engkau bersikap seakan-akan engkau seorang yang bersih dan suci.
Heh-heh-heh-heh, siapa yang tidak mengenal Cia Keng Hong? Guru kencing berdiri
murid kencing berlari! Sin-jiu Kiam-ong seorang yang gila perempuan, muridnya
tak kalah hebat! Ehh, Keng Hong, sudah berapa banyak perempuan yang mabuk dalam
pelukanmu dan rayuanmu? Hi-hi-hik! Masih teringat aku betapa pandai engkau
merayu...!"
"Bhe
Cui Im perempuan hina!" Biauw Eng sekarang sudah melepas kerudung
pengantin dari mukanya. Mukanya pucat dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya
kilat saking marahnya.
"Hi-hi-hik-hik,
sumoi-ku yang manis. Engkaulah yang hina dan bodoh, mau dijadikan isteri
seorang laki-laki cabul yang wataknya sama saja dengan mendiang Sin-jiu
Kiam-ong. Aku berani bertaruh bahwa hanya dalam waktu beberapa hari mendatang
dia akan melakukan penyelewengan dengan wanita yang mana saja asalkan cantik
dan suka melayaninya. Ia tampan, Biauw Eng, tentu banyak wanita yang suka
kepadanya!"
"Go-bi
Thai-houw! Kalau bukan Keng Hong yang melarang, tentu engkau sudah mampus di
tangan kami berempat pada saat bertanding di puncak Tai-hang-san! Mengapa
engkau sekarang malah datang untuk mengacau? Mengapa kalian berdua yang sudah
diberikan kesempatan hidup tidak mengubah kelakuan, tidak mau bertobat malah
kini melanjutkan kesesatan kalian?" Yap Cong San tidak dapat menahan
hatinya mendengar ucapan dua orang wanita itu yang sangat menghina dan hendak
membongkar rahasia mendiang guru dan ibu guru Keng Hong bahkan menghina Keng
Hong secara keterlaluan.
Go-bi
Thai-houw hanya terkekeh, akan tetapi Cui Im memandang pemuda itu dengan mata
mengejek. Ia pernah tergila-gila kepada pemuda Siauw-lim-pai yang tampan itu
dan terang-terangan ditolak oleh Cong San sehingga kini timbul pula
kebenciannya kepada pemuda itu.
"Yap
Cong San, engkau berlagak bicara seperti orang bijaksana, padahal engkau pun
tolol dan bodoh seperti Biauw Eng! Siapa yang kau jadikan isteri itu? Apakah
engkau tidak mengenal siapa isteri itu? Apakah engkau tidak mengenal siapa Gui
Yan Cu ini? Memang dia cantik jelita, akan tetapi siapa tahu isi hatinya? Dia
murid Tung Sun Nio, seorang isteri yang serong! Dan lama dia merantau berdua
saja dengan Keng Hong, mana dia mau melepaskan seekor domba berdaging lunak
seperti Yan Cu? Heh-heh-heh, aku berani bertaruh potong leher kalau di antara
Yan Cu dan Keng Hong tidak ada hubungan cinta, ha-ha-ha!"
"Bhe
Cui Im, kau perempuan rendah dan keji!"
Sekarang Yan
Cu juga sudah merenggut lepas kerudungnya dengan muka merah saking marahnya.
Namun diam-diam dia merasa khawatir sekali karena tak dapat disangka pula bahwa
memang dahulu dia amat tetarik kepada Cia Keng Hong. Agaknya, kalau tidak ada
Biauw Eng dan Cong San, laki-laki pertama yang akan dicintanya lahir batin
adalah Cia Keng Hong!
"Go-bi
Thai-houw dan Cui Im! Tidak perlu banyak cakap lagi. Katakan saja apa maksud
kedatangan kalian ini?" Keng Hong melangkah maju dan bertanya, sikapnya
tenang akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat.
Di luar
kesadaran Cui Im, sinar mata Keng Hong membuatnya melangkah mundur satu tindak.
Di dalam hatinya, dia sangat gentar kalau harus menghadapi Keng Hong yang dia
tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.
Mo-kiam
Siauw-ong yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, kini berkata, "Cia Keng
Hong, perlukah pertanyaan itu kau ajukan? Mereka berdua ini telah kau musuhi
dan tentu kedatangan mereka untuk membalas dendam, seperti juga aku."
"Engkau
siapakah?"
"Aku
Mo-kiam Siauw-ong datang untuk menuntut balas atas kematian tiga orang suhu-ku,
Thian-te Sam-lo-mo!"
"Hemm...
bagus! Kalian bersekutu untuk mengacaukan upacara pernikahan. Benar-benar
perbuatan hina dan curang, dalam dunia kaum sesat sekali pun orang akan
menghormati upacara pernikahan dan tidak akan mengadakan perhitungan atas
urusan pribadi. Akan tetapi karena kalian sudah datang, kami pun sudah siap!
Akan tetapi, ingatlah, Cui Im, kali ini aku tidak mau mengampunkan
engkau."
"Srattt!"
Tampak sinar
hijau berkelebat dan tahu-tahu tangan kanan Keng Hong telah memegang sebatang
pedang kayu. Itulah Siang-bhok-kiam, pedang terbuat dari kayu harum yang pernah
menjadi perebutan seluruh tokoh dunia kang-ouw. Melihat pedang ini, kembali
hati Cui Im menjadi gentar sekali dan dia melirik ke arah Go-bi Thai-houw
sambil berbisik,
"Harap
subo hadapi keparat ini, biar teecu menghadapi yang lain."
"Hi-hi-hik,
Cia Keng Hong, kepandaianmu tak seberapa hebat akan tetapi lagakmu seperti
jagoan. Kau akan bisa berbuat apakah terhadap Go-bi Thai-houw?" Nenek ini
melangkah maju menghadapi Keng Hong dengan kedua tangan kosong!
Keng Hong
maklum akan kelihaian nenek itu. Di puncak Tai-hang-san dia dibantu oleh Biauw
Eng, Yan Cu dan Cong San, dan mereka berempat masih terdesak. Akan tetapi pada
waktu itu, dia memang tidak menyerang atau melawan dengan sungguh-sungguh
karena memang dia masih menghormati nenek yang pernah menjadi guru Biauw Eng
selama setahun lamanya itu dan tidak berniat untuk merobohkannya.
Meski pun
dia maklum bahwa dengan tangan kosong akan sangat sukar baginya untuk
mengalahkan nenek sakti ini, namun Keng Hong yang berjiwa pendekar besar merasa
segan menghadapi lawan bertangan kosong dengan senjata di tangannya. Akan
tetapi, pada waktu dia hendak menyimpan kembali pedangnya untuk melawan Go-bi
Thai-houw dengan tangan kosong pula, terdengar suara riuh rendah dan tampaklah
kurang lebih seratus orang datang menyerbu atas perintah Cui Im yang
dikeluarkan melalui lengkingan panjang yang amat nyaring.
Itulah
pasukan bantuan Mo-kiam Siauw-ong yang terdiri dari bajak sungai, dikepalai
oleh tokoh-tokoh golongan sesat Melihat serbuan ini, Keng Hong tidak menyimpan
pedangnya kembali. Bahkan Biauw Eng sudah melolos sabuk sutera putih,
senjatanya yang sangat lihai. Cong San pun sudah mencabut sepasang senjatanya,
yaitu Im-yang pit, pensil yang berwarna hitam putih, sedangkan Gui Yan Cu pun
sudah mencabut pedangnya.
Para tamu
yang memiliki ilmu kepandaian, sudah mencabut senjata masing-masing dan tanpa
diminta mereka sudah menyambut datangnya para penyerbu yang ganas itu, ada pun
para tamu yang tidak memiliki kepandaian silat, sudah bubar berlarian dan
berusaha menyelamatkan diri, akan tetapi ada beberapa orang di antara tamu ini
sudah roboh oleh senjata para bajak yang menyerbu dengan perintah untuk
mengacaukan dan membunuh siapa saja tanpa pandang bulu! Kasihan benar para tamu
yang terdiri dari para petani Pegunungan Cin-ling-san. Biar pun mereka berusaha
menghindar, percuma saja mereka melawan keganasan para bajak sungai.
Melihat hal
ini, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil partai serta tokoh-tokoh kang-ouw
menjadi marah dan menyerbu para bajak. Terjadilah perang di tempat pesta
pernikahan itu, perang kecil-kecilan yang hiruk-pikuk dan kacau- balau. Dan apa
lagi ketika para bajak yang banyak jumlahnya itu mulai membakar rumah Tung Sun
Nio.
Tempat yang
disediakan untuk pesta perayaan pernikahan terbuat dari pada bahan yang mudah
terbakar karena memang dibangun secara darurat sehingga sebentar saja tempat itu
menjadi lautan api. Mereka yang sedang bertanding terpaksa memindahkan kalangan
pertandingan di luar, menjauhi api.
Keng Hong
yang biasanya tenang dan sabar, menjadi marah sekali. Dia meninggalkan Go-bi
Thai-houw, tubuhnya berkelebat ke arah para bajak lalu mengamuklah pendekar ini
bagaikan seekor naga yang marah.
Sinar hijau
pedang Siang-bhok-kiam menjadi bergulung-gulung dan setiap orang anggota bajak
yang terkena sambaran sinar ini roboh dan tewas seketika! Karena kemarahannya
menyaksikan bajak-bajak membakar dan membunuh tamunya yang sama sekali tidak
berdosa dan tidak memiliki kepandaian untuk membela diri, Keng Hong mengamuk
dan meninggalkan Go-bi Thai-houw, lupa bahwa nenek itu dan Cui Im-lah yang
sesungguhnya merupakan dua orang yang paling berbahaya!
Nenek Tung
Sun Nio sudah menyambar pedang dan menerjang Go-bi Thai-houw, dibantu muridnya,
Yan Cu yang juga memegang pedang. Namun Go-bi Thai-houw menyambut pengeroyokan
guru dan murid ini sambil tertawa, tubuhnya membuat beberapa gerakan aneh, meliuk
ke sana-sini, kedua tangannya bergerak cepat, kadang-kadang mencakar, mendorong
dan menangkis pedang dengan tangan kosong!
Menyaksikan
kehebatan Go-bi Thai-houw, Tung Sun Nio menjadi terkejut setengah mati. Dahulu
pada waktu mudanya, bekas pelayan ini pernah menerima latihan ilmu silat, akan
tetapi tentu saja masih jauh sekali di bawah tingkatannya. Siapa tahu, sesudah
mereka menjadi seorang nenek, sesudah diusir pergi, Oh Hian Wi telah menjadi
seorang nenek iblis yang memiliki ilmu kesaktian sedemikian hebatnya!
Biauw Eng
yang sangat membenci terhadap bekas suci-nya, Cui Im yang sudah banyak
mendatangkan kesengsaraan kepadanya dan kepada Keng Hong, langsung menyerang
dengan ganas, menggunakan sabuk suteranya yang bergerak seperti ular putih
menotok jalan-jalan darah yang berbahaya secara cepat sekali.
Namun Cui Im
telah mengeluarkan pedangnya, sebatang pedang merah pula. Sebelum menyerbu,
wanita ini telah berhasil menyuruh bikin sebatang pedang merah, terbuat dari
baja merah yang meski pun keampuhannya tidak seperti pedang merahnya yang sudah
patah oleh Keng Hong di puncak Tai-hang-san, namun masih sangat lihai dan
berbahaya karena selain ilmu pedangnya memang hebat sejak dia mempelajari
kitab-kitab warisan Sin-jiu Kiam-ong, juga dia telah menaruh racun di mata
pedangnya.
Mengetahui
kelihaian Cui Im, Cong San membantu Biauw Eng, menggerakkan sepasang pit-nya
untuk menyerang lawan tangguh itu sehingga terjadilah pertandingan mati-matian
yang amat hebat. Cui Im tertawa-tawa seperti Go-bi Thai-houw, memandang ringan
dan ia malah masih dapat mengejek sambil menghalau senjata kedua orang lawannya
dengan sinar pedang merahnya.
"Kalian
orang-orang tolol! Biauw-Eng, engkau menyerahkan diri pada seorang lelaki yang
cintanya palsu, seorang laki-laki mata keranjang yang tidak akan malu-malu
melakukan hubungan kotor dengan ibunya sendiri! Dan kau, Cong San...
hi-hi-hi-hik, apakah kau kira isterimu itu belum ditiduri Keng Hong?"
"Perempuan
hina, tutup mulutmu!" Cong San marah sekali dan menubruk maju, sepasang
pit-nya menyerang tenggorokan dan pusar secara berbareng dengan gerakan yang
amat cepat dan kuat.
"Tring-cringgg…!"
Cong San terhuyung ke belakang oleh tangkisan Cui Im.
"Yap
Cong San, kau pemuda tolol yang tak mau melihat kenyataan! Engkau mengenal
siapa Keng Hong! Aku berani bertaruh bahwa isterimu itu bukan gadis lagi!
Karena hanya Biauw Eng ini satu-satunya gadis yang belum bisa dia dapatkan,
maka dia memilih Biauw Eng. Isterimu adalah bekasnya, hi-hi-hik!"
"Cui
Im, aku harus membunuhmu!" Biauw Eng membentak marah sekali.
Cui Im cepat
meloncat ke kiri, menghindarkan serangan sabuk sutera putih yang sangat
berbahaya itu. "Sumoi, kau marah karena omonganku memang merupakan
kenyataan? Ha-ha-ha-ha, engkau tentu tahu siapa Keng Hong, akan tetapi karena
cintamu engkau menjadi buta! Dan karena gobloknya maka Cong San ini pun menjadi
buta!"
"Wuuuttttt…!"
Sabuk sutera
putih menerjang ganas. Sepasang Im-yang-pit di tangan Cong San juga ikut
menerjang.
"Aihhhhh...
brettt...!"
Biar pun Cui
Im sudah menggerakkan pedang dan mengelak, tetap saja bajunya di dekat lambung
terobek oleh pit hitam di tangan kanan Cong San.
"Baiklah,
kalau kalian lebih suka mampus!" bentak Cui Im yang maklum bahwa ia sedang
menghadapi dua lawan yang tangguh.
Kalau mereka
maju satu demi satu, tentu akan mudah ia akan merobohkan mereka. Akan tetapi,
kalau kedua orang itu maju bersama mengeroyoknya, maka dia harus benar-benar
mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk
melawan. Kini Cui Im tidak bicara lagi karena harus memusatkan perhatiannya
kepada kedua orang pengeroyok yang lihai itu.
Namun,
diam-diam omongan-omongannya tadi yang merupakan serangan-serangan lebih
dahsyat dari pada pedang merahnya, telah menggores hati Biauw Eng, terutama
sekali Cong San. Biauw Eng sudah mengenal betul suaminya, tahu bahwa Keng Hong
memiliki kelemahan terhadap kecantikan wanita dan melihat bahwa Yan Cu sangat
cantik jelita, tuduhan yang dilontarkan oleh Cui Im tadi bisa jadi bukanlah
kosong belaka, mengandung banyak kemungkinan.
Sebetulnya,
perasaan cemburu sudah lenyap dari hatinya terhadap Keng Hong. Hal yang sudah
lewat dan tidak akan diingatnya kembali karena pernikahan merupakan lembaran
baru dalam hidupnya. Apa yang sudah dilakukan Keng Hong di masa lampau, tidak
akan dipedulikan, karena yang terpenting baginya adalah masa depan. Kalau saja
Keng Hong menghentikan sifatnya yang senang kepada wanita cantik di masa
mendatang, dia sudah memaafkan dan akan melupakan segala peristiwa yang pernah
terjadi antara suaminya dengan wanita-wanita lain.
Akan tetapi,
ucapan-ucapan Go-bi Thai-houw dan Cui Im merupakan racun yang sedikit banyak
telah mengusik hatinya. Kalau benar Keng Hong mewarisi watak Sin-jiu Kiam-ong,
ayahnya... dia bergidik dan kedua pipinya menjadi panas.
Ayahnya pun
sudah menikah dengan nenek Tung Sun Nio pada waktu mudanya, namun masih saja
melanjutkan petualangannya dengan wanita lain, bahkan bermain cinta gelap
dengan Oh Hian Wi, pelayannya sendiri! Bagaimana kalau ternyata benar-benar
Keng Hong mewarisi watak guru suaminya dan juga ayahnya sendiri itu?
Dan Yan
Cu... kini ia ragu-ragu apakah di dalam hubungan antara mereka tidak ada cinta!
Semua ini membuatnya marah sekali, marah kepada Cui Im dan dia menyerang dengan
mati-matian.
Omongan
beracun itu pun mempengaruhi perasaan Cong San. Memang tadinya dia pun menduga
bahwa Yan Cu mencinta Keng Hong, dan baginya merupakan hal yang amat tidak
diduga-duganya bahwa Yan Cu suka menjadi isterinya. Benarkah Yan Cu sudah
ditiduri Keng Hong seperti yang diucapkan Cui Im? Dan hanya mau menerima dia
karena tidak mempunyai harapan mempersuamikan Keng Hong yang sudah memilih
Biauw Eng? Benarkah... benarkah Yan Cu bukan gadis lagi?
Walau pun
dia sudah mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak bisikan-bisikan yang
mengganggu hatinya ini, namun tetap saja dia merasa tidak enak dan marah.
Seperti juga Biauw Eng, dia lalu menimpakan kemarahannya kepada Cui Im dan
menyerang dengan sengit.
Pertandingan
antara Cui Im yang dikeroyok oleh Biauw Eng dan Cong San ramai dan seimbang,
tidak seperti pertandingan antara Go-bi Thai-houw yang dikeroyok oleh Tung Sun
Nio dan Yan Cu. Go-bi Thai-houw terlampau sakti bagi guru dan murid ini,
terutama sekali bagi Yan Cu.
Gadis ini
menjadi bingung menyaksikan gerakan nenek itu yang sangat aneh sehingga
beberapa kali hampir saja ia kena cakaran tangan si nenek yang melakukan
pertandingan sambil tertawa-tawa mengejek. Ia dan gurunya terdesak hebat dan
hanya dengan kerja sama yang erat dan saling melindungi saja mereka masih
sanggup mempertahankan diri.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring, "Go-bi Thai-houw, pinceng hendak bicara!"
ternyata lima orang hwesio Siauw-lim-pai telah berada di situ menghadapi Go-bi
Thai-houw yang meloncat mundur sambil terkekeh memandang rendah.
Ketika para
tokoh kang-ouw yang menjadi tamu tadi semua maju menyambut para bajak yang
datang menyerbu, lima orang hwesio Siauw-lim-pai ini tetap tidak bergerak,
bahkan sehabis mendengar omongan Go-bi Thai-houw mereka lalu saling berbisik
dengan wajah sungguh-sungguh.
Sesudah
bersepakat, kini mereka menghampiri nenek itu dan menghentikan pertandingan
yang sedang ramai-ramainya. Mereka adalah murid-murid ketua Siauw-lim-pai, dan
walau pun dalam hal ilmu silat, tingkat mereka masih lebih rendah dari Yap Cong
San, akan tetapi Cong San masih terhitung sebagai sute mereka. Usia mereka
rata-rata sudah lima puluh tahun lebih dan mereka memiliki kedudukan yang cukup
tinggi di Siauw-lim-pai.
"He-he-heh,
hwesio-hwesio Siauw-lim-pai menghentikan pertempuran! Kalian mau bicara apakah?
Kalau kalian mau mengeroyok, mengapa pakai banyak cakap? Majulah!" Go-bi
Thai-houw menantang.
Thian Lee
Hwesio, yang tertua di antara mereka, menggelengkan kepalanya, "Omitohud,
kami adalah orang-orang beragama yang pantang berkelahi, apa lagi membunuh.
Akan tetapi, kami pun hamba-hamba yang mengabdi kebenaran yang siap
mempertaruhkan nyawa demi kebenaran. Go-bi Thai-houw, engkau tadi telah
mengucapkan kata-kata yang amat menghina suhu kami, Tiong Pek Hosiang ketua
Siauw-lim-pai. Pinceng hanya minta agar engkau suka menarik kembali kebohongan
yang menghina itu, kalau tidak, terpaksa pinceng berlima mengorbankan nyawa
demi membela kebersihan nama suhu dan Siauw-lim-pai!"
"Heh-heh-hi-hik-hik!
Kalian ini gundul-gundul yang tolol, tidak mengenal guru dan ketua sendiri!
Siapa membohong? Gurumu itu, si tua bangka gundul Tiong Pek Hosiang yang
sekarang kelihatannya seperti orang suci bersih, dahulu pada waktu mudanya bernama
Ouwyang Tiong dan dialah orangnya yang berjinah dengan isteri Sin-jiu
Kiam-ong!"
"Omitohud...
tak mungkin!" Thian Lee Hwesio membentak, menahan kemarahannya.
"Heh-heh-heh,
tidak mungkin? Kau tanyakan saja kepada isteri Sin-jiu Kiam-ong ini. Ehh, Tung
Sun Nio, benarkah engkau telah berjinah dengan Ouwyang Tiong hingga tertangkap
basah oleh suamimu? Hayo, menyangkallah!"
Lima orang
hwesio itu dengan mata terbelalak menoleh dan memandang kepada Tung Sun Nio.
"Maaf,
Toanio... benarkah itu...?" Thian Lee Hwesio memberanikan hatinya
bertanya.
Yang ditanya
tidak mampu menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng, hanya berdiri dengan
muka pucat sekali dan dua titik air mata turun di sepasang pipi yang keriput.
Tidak diduganya bahwa sampai sekarang pun bekas kekasihnya itu, Ouwyang Tiong
yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai yang terhormat, masih harus menderita
karena perbuatan mereka dahulu yang disesatkan oleh pengaruh iblis, sebab
rahasia mereka dibuka secara menghinakan sekali oleh Go-bi Thai-houw!
Menyaksikan keadaan
gurunya, Yan Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia lantas meloncat maju
dengan sebuah serangan kilat sambil membentak, "Nenek iblis! Aku akan
mengadu nyawa denganmu!"
"Toanio...
bagaimana..?" Thian Lee Hwesio mendesak. Urusan itu amat penting baginya,
bagi para saudaranya, bagi seluruh anggota Siauw-lim-pai, sebab menyangkut nama
baik ketuanya yang berarti menyangkut kehormatan Siauw-lim-pai sendiri.
Tung Sun Nio
seperti orang termenung ketika melihat muridnya menerjang nenek iblis itu.
Kemudian seperti orang kehilangan semangat, ia mengangguk dan berkata,
"Harap kalian jangan menyalahkan dia. Kasihan dia yang sudah banyak
menderita..."
"Omitohud...!"
Pengakuan itu membuat lima orang hwesio Siauw-lim-pai terbelalak pucat dan
merangkap sepuluh jari tangan ke depan dada.
Go-bi
Thai-houw yang diserang oleh Yan Cu, cepat-cepat membuat gerakan meliuk ke
belakang, kedua tangan bergerak dan tahu-tahu sepasang pergelangan tangan Yan
Cu telah ditangkapnya!
"Lepaskan
muridku!" Tung Sun Nio yang melihat bahaya mengancam muridnya, langsung
menyerang dengan tusukan pedang ke arah kepala.
Go-bi
Thai-houw mengerahkan tenaga hingga memaksa tangan Yan Cu yang memegang pedang
itu bergerak membalik sehingga pedangnya menangkis pedang gurunya sendiri.
"Krakkk!"
Kedua pedang itu patah.
"Aku
atau kau yang harus mampus!” Tung Sun Nio memekik dan menubruk maju dengan
kedua tangan, mencengkeram ke arah dada dan ubun-ubun Go-bi Thai-houw yang
masih memegang dua pergelangan tangan Yan Cu yang sudah membiru dan nyeri
sekali. Cepat nenek iblis ini mendorong sehingga tubuh Yan Cu jatuh terguling,
kemudian menyambut kedua tangan Tung Sun Nio yang sudah datang mendekatinya.
Akan tetapi,
Yan Cu cepat bangkit berdiri dan terbelalak, memandang betapa gurunya kini
telah saling mengadu telapak tangan dengan Go-bi Thai-houw. Tubuh gurunya
menggigil seperti orang kedinginan, sedangkan Go-bi Thai-houw masih
terkekeh-kekeh.
"Subo...!"
Yan Cu
maklum bahwa gurunya terancam nyawanya. Dia tidak mempedulikan sepasang
lengannya yang nyeri, tak peduli pula akan kesaktian nenek iblis itu dan
menerjang maju. Akan tetapi sebuah tendangan kaki kiri Go-bi Thai-houw yang
melayang dengan cepat tak tersangka-sangka membuat dia terlempar dan
terguling-guling lagi.
"Keng
Hong suheng...! Tolong Subo...!" Yan Cu yang menjadi panik dan khawatir
akan keselamatan subo-nya, menjerit dengan teriakan melengking nyaring.
Ketika itu
Keng Hong masih mengamuk. Memang benar bahwa para tamu yang memiliki
kepandaian, seperti dua orang wakil Hoa-san-pai, lima orang wakil Kun-lun-pai,
tiga orang tokoh Tiat-ciang-pang dan belasan orang kang-ouw lain membantu
pihaknya menghadapi para bajak sungai, akan tetapi jumlah mereka sangat banyak
dan mereka dipimpin oleh orang-orang yang pandai pula, terutama sekali Mo-kiam
Siauw-ong yang lihai. Maka dia sendiri mengamuk dan robohlah puluhan orang
anggota bajak sungai di tangan pendekar sakti ini. Ketika mendengar jerit Yan
Cu, barulah dia teringat akan dua orang musuh yang amat sakti.
Sesudah
sadar akan hal ini, dia menjadi terkejut sekali, tubuhnya mencelat ke belakang
dan dengan gerakan kilat dia meloncat ke arah suara Yan Cu. Kaget dia melihat
Yan Cu yang untuk ke sekian kalinya sudah terguling-guling lagi dan melihat
pula nenek Tung Sun Nio terhuyung-huyung dan roboh terdorong oleh kedua tangan
Go-bi Thai-houw dan juga dia terheran-heran melihat lima orang suheng Cong San
hanya berdiri memandang, sama sekali tidak membantu subo-nya itu.
Sekilas
pandang maklumlah dia bahwa subo-nya sudah terluka hebat, karena itu dengan
kemarahan meluap dia langsung menerjang Go-bi Thai-houw dengan serangan
dahsyat, memukul dengan dorongan telapak tangan kanan, ada pun tangan kirinya
mencengkeram ke arah ubun-ubun nenek iblis itu.
Serangan ini
dahsyat bukan main karena Keng Hong mempergunakan jurus ilmu silat Thai-kek
Sin-kun dan kedua tangannya dijalari tenaga sinkang yang sangat kuat. Karena
kekhawatirannya menyaksikan keadaan subo-nya dan sumoi-nya, Keng Hong sekali
ini mengerahkan seluruh tenaganya.
"Plak!
Bresssss…!"
Hebat bukan
main pertempuran antara tenaga sinkang yang dahsyat itu ketika si nenek iblis
menangkis kedua pukulan Keng Hong. Keduanya segera terdorong mundur sampai lima
langkah dan kembali diam-diam Keng Hong harus mengakui dalam hatinya bahwa
selama dia berhadapan dengan tokoh-tokoh hitam, para datuk golongan sesat, baru
kini dia bertemu lawan yang sangat hebat tenaga sinkang-nya, bahkan yang
agaknya masih mengatasi kekuatannya sendiri karena pertemuan tenaga tadi
membuat dia menjadi agak pening sedangkan nenek itu masih saja terkekeh-kekeh.
Dia tidak
tahu bahwa nenek itu terkekeh bukan karena tidak merasakan akibat benturan
tenaga itu, akan tetapi terkekeh untuk menutupi perasaan kagetnya! Nenek itu
pun kaget bukan main ketika merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar. Mengapa
pemuda itu bisa sehebat ini tenaganya? Belum lama yang lalu, di puncak
Tai-hang-san, tidak sedahsyat ini tenaga Cia Keng Hong!
"He-he-heh,
sekali ini engkau akan mampus di tanganku, murid Sin-jiu Kiam-ong!" Nenek
itu tiba-tiba menubruk maju dan entah kapan mengeluarkannya, kedua tangannya
sudah memegang sepasang kebutan yang digerakkan cepat sekali ke arah muka serta
pusar Keng Hong.
"Wuuuttt...
syuuuttt!"
Keng Hong
yang melihat berkelebatnya sinar merah dan biru, cepat membuang diri ke
belakang sambil mengebutkan kedua lengan bajunya. Ia merasa angin keras
menyambar mukanya dan untung bahwa hawa pukulan yang keluar dari lengan bajunya
masih dapat menyampok buyar ujung kebutan merah yang dia tahu amat berbahaya.
Sambil berjungkir balik ketika membuang diri ke belakang, tangannya bergerak
mencabut Siang-bhok-kiam!
Karena
gentar menghadapi tenaga sinkang Keng Hong setelah benturan tangan pertama
tadi, Go-bi Thai-houw mencabut keluar senjatanya, sepasang kebutan yang
sebenarnya hampir tak pernah dia keluarkan apa bila dia menghadapi lawan. Dan
hal ini merupakan kesalahannya.
Dengan ilmu
silatnya yang tinggi dan aneh, dan dengan tenaga sinkang-nya yang mukjijat
karena bercampur dengan ilmu hitam yang didapat di waktu dia masih gila, belum
tentu Keng Hong akan sanggup mengalahkannya apa bila mereka bertanding dengan
tangan kosong. Akan tetapi sekali pemuda sakti itu sudah mencabut pedang
Siang-bhok-kiam dan memutar senjata itu, terkejutlah Go-bi Thai-houw karena
sinar hijau bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing melengking itu
benar-benar merupakan kiam-sut yang amat luar biasa dan bagi dia jauh lebih
berbahaya dari pada menghadapi lawan ini dalam pertandingan tangan kosong!
Betapa pun
juga, dia tidak percaya bahwa dia akan kalah melawan seorang pemuda yang patut
menjadi cucunya! Sepasang kebutannya bergerak dan tiba-tiba saja beberapa helai
benang kebutan merah dan biru terlepas dari ikatannya lantas menyambar ke arah
tiga belas jalan darah maut pada bagian depan tubuh Keng Hong!
Benang-benang
kebutan ini merupakan senjata rahasia yang sangat berbahaya karena di samping
dilepaskan dari jarak amat dekat selagi mereka bertanding, juga benang-benang
itu karena dilepas dengan dorongan tenaga sinkang yang mukjijat, menjadi kaku
laksana jarum-jarum panjang!
Terkejut
juga Keng Hong menyaksikan sinar-sinar berkelebatan menyerangnya ini. Akan
tetapi dengan sikap tenang dia memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya
sehingga benang-benang itu runtuh menjadi potongan-potongan halus akibat
beberapa kali terbabat pedang, kemudian dia melanjutkan gerakan pedangnya dan
memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang dia warisi dari suhu-nya,
Sin-jiu Kiam-ong!
Go-bi
Thai-houw menjadi kagum bukan main. Setajam-tajamnya sebatang pedang kayu,
tentu tak setajam pedang logam, akan tetapi nyatanya pedang kayu itu dapat
membabat benang-benang kebutannya yang melayang itu sampai menjadi
potongan-potongan halus membuktikan betapa ampuh pedang itu dan betapa dahsyat
tenaga sinkang tangan yang memegangnya. Kini nenek itu tidak berani memandang
rendah lagi dan berhentilah suara tawanya. Ia menyerang dengan pengerahan
tenaga dan kepandaian sekuatnya sehingga terjadilah petandingan hebat yang
membuat pandang mata para penonton menjadi kabur.
Setelah tadi
terkena tendangan dua kali oleh Go-bi Thai-houw, Gui Yan Cu tidak terluka
hebat, akan tetapi tendangan kedua yang mengenai bawah pusar membuat tubuh
bagian itu terasa nyeri. Dia sudah bangkit kembali dan ketika melihat bahwa
Keng Hong sudah melayani Go-bi Thai-houw, dia pun tidak berani membantu karena
maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat mereka. Apa lagi
dia percaya akan kesaktian suheng-nya.
Maka dia
segera menghampiri subo-nya yang masih menggeletak rebah terkena pukulan Go-bi
Thai-houw ketika kedua orang nenek itu tadi mengadu tenaga sinkang. Dia melihat
subo-nya berusaha bangkit duduk dengan susah payah, wajah subo-nya pucat
sekali.
"Subo...!"
Ia menubruk dan membantu subo-nya bangkit duduk.
"Jangan
pedulikan aku... lekas bantu mereka... suamimu dan Biauw Eng..." Tung Sun
Nio berkata lemah sambil menuding ke medan pertempuran.
Yan Cu
memandang subo-nya dengan ragu-ragu. "Subo terluka hebat.. perlu
dirawat..."
Subo-nya
menggelengkan kepala. "Dahulukanlah yang lebih penting, suamimu terancam
bahaya..."
Mendengar
ini, Yan Cu cepat menengok dan ia segera meloncat bangun. Memang benar apa yang
diucapkan subo-nya. Kalau tadi Cong San bersama Biauw Eng masih mampu
mengimbangi Cui Im yang amat lihai dengan pengeroyokan mereka, kini keadaan
kedua orang itu terdesak hebat dengan masuknya Mo-kiam Siauw-ong dalam pertempuran
itu membantu Cui Im!
Kiranya
pertempuran antara para tokoh kang-ouw melawan para bajak yang dipimpin oleh
kepala masing-masing, tidaklah terlalu berat lagi bagi para bajak setelah kini
Keng Hong meninggalkan medan pertempuran dan menghadapi Go-bi Thai-houw. Yang
paling hebat kepandaiannya di antara para tokoh kang-ouw hanyalah ketua
Tiat-ciang-pang Ouw Kian yang mengamuk dengan kedua tangan kosong yang
merupakan tangan baja. Akan tetapi Ouw Kian dikeroyok oleh enam orang kepala
bajak yang semuanya memegang senjata sehingga terjadi pertempuran mati-matian
yang amat hebat pula.
Tentu saja
Mo-kiam Siauw-ong lebih banyak memperhatikan Cui Im dan Go-bi Thai-houw dari
pada keselamatan para bajak, karena itu ketika dia melihat bahwa Keng Hong yang
kepandaiannya menggetarkan hatinya kini bertanding melawan nenek Go-bi
Thai-houw serta melihat Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dikeroyok dua oleh Cong San
dan Biauw Eng yang juga amat lihai, dia sudah membantu Cui Im tanpa diminta.
Kalau
dibandingkan dengan kepandaian Biauw Eng, maka tokoh lembah Sungai Fen-ho ini
masih kalah jauh, bahkan jika dia sendiri saja melawan Cong San, dalam dua
puluh jurus saja dia tentu akan roboh. Akan tetapi, di sampingnya terdapat Cui
Im yang lihai sehingga bantuannya amat merepotkan Biauw Eng dan Cong San karena
murid Thian-te Sam-lo-mo ini pun bukan seorang lemah.
Tung Sun Nio
sudah terluka hebat, dan nenek ini maklum bahwa luka di dalam dadanya akibat
himpitan tenaga sinkang Go-bi Thai-houw yang luar biasa kuatnya itu tak mungkin
dapat diobati lagi. Dia tidak peduli akan keadaan dirinya sendiri. Dia sudah
tua, usianya sudah sembilan puluh tahun! Mati bukan apa-apa lagi bagi seorang
setua dia. Akan tetapi hatinya gelisah bukan main menyaksikan pertandingan itu,
maka dia tidak mau membuat gelisah hati muridnya dan memaksa muridnya membantu
Biauw Eng dan Cong San.
Yan Cu cepat
merobohkan seorang bajak sungai yang berpedang, merampas pedangnya dan sekali
hantam, telapak tangannya membikin pecah kepala bajak itu. Dengan pedang
rampasan di tangan, dia segera meloncat dan menyerbu membantu suaminya dan
Biauw Eng, langsung menyerang Mo-kiam Siauw-ong!
"Tranggg…!"
Mo-kiam
Siauw-ong menangkis dan terkejutlah dia karena pedangnya hampir terpental dari
tangannya sedangkan sinar pedang dara yang cantik jelita, kedua pipinya merah
dan matanya bersinar-sinar saking merahnya itu telah menyambar lagi ke arah
lehernya.
"Hayaaaaa...!"
Dia membuang diri ke belakang sampai suaranya berdebuk dan terus dia
bergulingan menjauhkan diri.
Yan Cu
segera mengejar, membacok bertubi-tubi sampai tiga kali. Akan tetapi Mo-kiam
Siauw-ong bukanlah orang yang lemah, sambil bergulingan dia dapat menangkis
tiga kali bacokan itu.
"Trang-trang-trang...
singgggg...!"
Dalam
gulingan keempat, pedangnya menyambar ke arah kaki Yan Cu. Terpaksa gadis ini
melompat mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Mo-kiam Siauw-ong untuk
meloncat berdiri dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Yan Cu
merasa penasaran sekali. Kiranya teman Cui Im ini pun seorang yang memiliki
kepandaian tinggi. Dia melirik ke arah Biauw Eng dan suaminya dan hatinya lega
karena setelah kini ditinggalkan Mo-kiam Siauw-ong, kedua orang itu mampu
mengimbangi lagi permainan pedang merah Cui Im sungguh pun tidak dapat
dikatakan bahwa mereka itu mendesaknya. Cui Im terlalu lihai dan Yan Cu yang
sudah mendengar dari Keng Hong maklum bahwa sesudah mewarisi pula kitab-kitab
pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, kepandaian Cui Im
tidak jauh di bawah Keng Hong sendiri.
"Cong
San koko! Enci Biauw Eng! Hati-hatilah menghadapi siluman itu. Biarlah aku yang
membasmi anjing busuk ini!" katanya.
Kembali ia
menerjang secara ganas, pedangnya menusuk perut Mo-kiam Siauw-ong yang sudah
bersiap-siap dan menangkis sambil balas menyerang.
Tung Sun Nio
duduk bersila dan napasnya terasa sesak bukan main, akan tetapi ia masih mencurahkan
seluruh perhatiannya kepada jalannya pertempuran. Para bajak yang kini
ditinggalkan Mo-kiam Siauw-ong, menjadi kacau-balau dan kehilangan semangat,
tidak kuat menghadapi tokoh kang-ouw yang tadinya menjadi tamu dan kini
membantu pihak tuan rumah.
Keng Hong
masih bertanding dengan seru melawan Go-bi Thai-houw dan karena gerakan mereka
amat cepat sedangkan gerakan Go-bi Thai-houw anehnya luar biasa, sulit baginya
untuk dapat mengikuti dan menentukan siapa di antara mereka yang akan menang.
Akan tetapi hatinya merasa khawatir sekali melihat betapa Biauw Eng dan Cong
San agaknya kewalahan menahan serangan-serangan hebat dari Cui Im, sedangkan
sumoi-nya dapat mendesak Mo-kiam Siauw-ong.
Ia kemudian
menoleh ke arah lima orang hwesio Siauw-lim-pai yang masih berdiri seperti
arca, agaknya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing.
"Ngo-wi
Suhu dari Siauw-lim-pai, apakah tidak malu berpeluk tangan saja menyaksikan
orang-orang jahat mengacau?" Tung Sun Nio memaksa diri berkata.
Lima orang
hwesio itu menoleh dan tampak Thian Lee Hwesio menarik napas panjang,
"Omotohud... pinceng sendiri tidak tahu mana itu orang baik dan mana orang
jahat...! Setelah apa yang pinceng dengar tadi... ahhhhh..."
"Thian
Lee Hwesio! Sudah kuakui akan kesesatanku di waktu muda dengan ketua kalian,
akan tetapi itu adalah urusan dulu! Sekarang yang penting, kalian melihat sute
kalian Yap Cong San terancam oleh wanita iblis Ang-kiam Bu-tek yang dahulu
pernah membunuh susiok kallian Thian Ti Hwesio. Apakah kalian kini hanya akan
berpangku tangan saja dan menyaksikan sute kalian dibunuh juga? Ataukah kalian
mempergunakan alasan pantang berkelahi untuk menyembunyikan rasa takut kalian
terhadap Ang-kiam Bu-tek?"
Wajah lima orang
hwesio itu menjadi merah dan Thian Lee Hwesio berkata, "Apa yang dilakukan
oleh suhu memang telah lewat puluhan tahun lamanya, dan sekarang ditambah lagi
dengan pernikahan Yap-sute dengan seorang gadis dari keluarga yang sudah banyak
melakukan penyelewengan... Omitohud... kalau dunia kang-ouw mendengar akan
semua ini... habislah nama baik Siuw-lim-pai...!" Biar pun berkata
demikian, hwesio itu memberi isyarat kepada empat orang sute-nya dan mereka pun
melangkah lebar mendekati tempat pertandingan antara Cong San dan Biauw Eng
yang mengeroyok Cui Im.
Melihat ini,
Tung Sun Nio yang tadi mengerahkan seluruh tenaga untuk dapat bicara dan
membakar hati para hwesio Siauw-lim-pai itu, menarik napas lega, akan tetapi
wajahnya memperlihatkan rasa nyeri yang ditahan-tahannya dan ia memejamkan
kedua matanya.
Pertandingan
antara Keng Hong melawan Go-bi Thai-houw sudah berjalan seratus jurus lebih,
makin lama makin seru dan gerakan kedua orang ini benar-benar dahsyat. Kalau
Keng Hong bertempur dengan tenang dan hati-hati karena maklum akan kelihaian
nenek itu, Go-bi Thai-houw menjadi marah-marah dan penasaran sekali.
Masakah
dengan sepasang kebutannya dia tidak mampu mengalahkan seorang pemuda seperti
ini? Bahkan mendesak pun dia tidak dapat dan sudah beberapa kali hampir saja ia
disambar pedang Siang-bhok-kiam yang amat berbahaya itu.
Dia
mengeluarkan bunyi seperti gerakan seekor binatang buas, kemudian menubruk maju
dengan gerakan aneh, kebutan kanan menyambar ke arah leher Keng Hong sedangkan
yang kiri meluncur kaku seakan-akan bulu kebutan lemas itu kini berubah menjadi
baja, menusuk ke arah pusar lawan.
Keng Hong
yang merasa khawatir akan keselamatan isterinya, sumoi-nya, dan Cong San yang
menghadapi Cui Im karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian iblis betina yang
juga sumoi-nya amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat Biauw Eng dan
lain-lain, mengambil keputusan untuk cepat-cepat merobohkan nenek yang lihai
ini. Agaknya kalau hanya mengandalkan pedang dan ilmu silatnya saja, akan amat
sukarlah baginya untuk merobohkan lawan yang selain lihai juga jauh lebih
berpengalaman dari pada dia itu.
Di samping
ilmu-ilmunya yang tinggi dan dahsyat, Keng Hong mempunyai semacam ilmu yang
disebut Thi-khi I-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), ilmu penyedot sinkang
lawan yang tadinya timbul di dalam tubuhnya di luar kesadarannya sejak dia
menerima pemindahan sinkang dari tubuh gurunya, Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi,
setelah dia dapat menemukan kitab-kitab peninggalan suhu-nya dan juga
mempelajari ilmu sakti Thai-kek Sin-kun yang ditemukannya pula di dalam tempat
rahasia suhu-nya, dia sekarang berhasil menguasai ilmu itu sepenuhnya dan dapat
mempergunakannya jika perlu.
Dahulu dia
banyak mengakibatkan robohnya orang-orang sakti di dunia kang-ouw dengan ilmu
penyedot sinkang ini, akan tetapi hal ini terjadi di luar kehendaknya dan dia
tidak tahu bagaimana cara menghentikan bekerjanya ilmu mukjijat ini. Sekarang,
ilmu yang sudah dikuasainya ini dapat dia pergunakan dan hentikan sesuka
hatinya.
Keng Hong
merasa ngeri kalau mengingat akan pengalamannya dahulu, betapa banyak orang
roboh dan binasa sebagai korban ilmunya yang mukjijat dan tidak dia kuasai
hingga merupakan ilmu yang liar dan yang timbul sewaktu-waktu di luar
kehendaknya. Karena itu tadinya dia mengambil keputusan untuk tidak lagi
menggunakan ilmu yang dianggapnya terlalu keji ini untuk menghadapi lawan,
kalau tidak amat terpaksa.
Kini,
menghadapi Go-bi Thai-houw yang betul-betul amat lihai, dia mengambil keputusan
untuk menggunakan Thi-khi I-beng supaya dia dapat merobohkan si nenek iblis
kemudian cepat-cepat membantu isteri dan teman-temannya mengalahkan Cui Im, apa
lagi karena dia tahu bahwa subo-nya, nenek Tung Sun Nio, sudah menderita luka
dalam yang amat berbahaya.
Keng Hong
sedikit memperlambat gerakannya, memberi kesempatan kepada sepasang kebutan
nenek itu menyambar dekat, kemudian dia segera mengangkat lengan kiri untuk
menangkis kebutan yang menyambar leher, memindahkan langkah kaki untuk mengelak
dari kebutan yang menyambar ke pusarnya dan Siang-bhok-kiam sudah berkelebat
cepat menyambar ke arah pergelangan tangan Go-bi Thai-houw yang sebelah kanan.
Nenek itu
terkejut sekali melihat sinar hijau berkelebat ke arah tangannya. Jika saja
yang diserang itu bagian tubuh lain, tentu dia sudah siap untuk mengelak atau
pun menangkis. Akan tetapi hatinya sudah terlalu girang karena melihat
tangkisan tangan kiri Keng Hong yang terlambat tadi, ia cepat mempergunakan
kesempatan ini untuk membelit tangan kiri Keng Hong dengan ujung kebutan dan
dia berhasil. Hal ini membuatnya agak lengah dan baru ia terkejut bukan main
setelah Siang-bhok-kiam menyambar dekat!
"Crokkk!"
Kebutan itu
jatuh ke atas tanah karena gagangnya terbabat putus oleh Siang-bhok-kiam!
Nenek itu
ternyata lihai bukan main. Sambaran pedang yang tiba-tiba datangnya itu masih
dapat ia hindari dengan tarikan lengan cepat sekali sehingga pedang itu bukan
membabat lengannya, melainkan gagang kebutan, dekat sekali dengan jari tangan
yang memegang gagang! Akan tetapi, nenek itu terkejut, terpaksa melepaskan
libatan kebutan kanannya dari tangan Keng Hong dan melompat mundur. Keng Hong
merasa pergelangan tangan kirinya perih dan ternyata kulitnya lecet-lecet bekas
lilitan ujung kebutan itu.
Go-bi
Thai-houw yang merasa kaget menjadi marah sekali. Ia memindahkan kebutan ke
tangan kiri, kemudian mengeluarkan teriakan melengking yang membuat orang-orang
di dekat situ merasa amat kaget, lalu seperti seekor harimau mengamuk ia
menubruk maju, kebutan di tangan kiri menghantam ke arah kepala Keng Hong
dengan tenaga dahsyat! Keng Hong cepat menangkis dengan pedangnya.
"Wuuuttt...
plakkk!"
Pedang itu
sekarang terlibat oleh ujung kebutan dan Keng Hong merasa betapa tangan
kanannya yang memegang pedang tergetar hebat. Terdengar nenek iblis itu tertawa
dan tangan kanannya mencengkeram ke arah dada Keng Hong!
"Bagus!"
Keng Hong berseru karena memang ini yang dia kehendaki untuk mengalahkan nenek
itu dengan Thi-khi I-beng, maka dia menyambut cengkeraman tangan kanan nenek
itu dengan tangan kirinya.
"Plakkkkk!"
Dua tangan bertemu dan melekat kuat.
Pada saat
pertemuan kedua telapak tangan itu, Keng Hong menggunakan ilmunya dan ada daya
sedot yang amat kuat keluar dari telapak tangannya, membuat tangan nenek itu
melekat pada tangannya dan tenaga sinkang nenek itu tersedot.
"Aihhhhh...!"
Go-bi Thai-houw berteriak bagaikan jeritan seekor binatang buas. Untuk dua tiga
detik hawa sinkang-nya menerobos keluar tersedot oleh lawan.
"Heeeiiiiittt!"
Keng Hong terkejut sekali dan cepat dia mencelat ke belakang dengan mata
terbelalak.
Tadinya
memang dia merasa berhasil menyedot sinkang nenek itu. Akan tetapi tiba-tiba
saja hawa sinkang nenek itu berhenti mengalir, kemudian telapak tangannya
seolah-olah menyedot sebatang kayu sudah kering sama sekali, bahkan tenaga
menempel tangannya pun membuyar dan nenek itu sudah dapat menarik kembali
tangan kanan yang tertempel dan tersedot, langsung mengirim tusukan dengan dua
buah jari tangannya ke arah mata Keng Hong! Untung pemuda ini dapat cepat
mencelat ke belakang, kalau dia terlambat sedikit saja tentu sepasang biji
matanya tercokel keluar!
Sementara
itu, lima orang hwesio Siauw-lim-pai tanpa banyak cakap lagi telah menerjang ke
depan dan mengeroyok Cui Im. Thian Lee Hwesio sendiri bertangan kosong, hanya
menggunakan ujung kedua lengan bajunya sebagai senjata, tetapi empat orang
sute-nya mempergunakan toya pendek yang biasanya mereka pakai sebagai tongkat.
Meski pun
tingkat kepandaian lima orang hwesio ini tidak ada artinya bagi Cui Im karena
masih lebih rendah dari pada tingkat kepandaian Gui Yan Cu, akan tetapi
pengeroyokan mereka ini membuat dia yang sudah terdesak oleh Biauw Eng dan Cong
San, menjadi makin repot menghindarkan diri dari hujan serangan.
Yan Cu
mempercepat gerakan pedangnya, mendesak Mo-kiam Siauw-ong yang sudah tak mampu
balas menyerang.
"Cring-tringgg...
auggghhh...!"
Mo-kiam
Siauw-ong hanya berhasil menangkis dua kali, tapi tusukan ketiga kalinya yang
dielakkannya masih menyerempet pundak sehingga baju dan kulit pundaknya
terobek, luka berdarah dan dia meloncat mundur sambil memutar pedang menjaga
diri.
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment