Wednesday, August 15, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Kayu Harum Jilid 36



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
       Serial Pedang Kayu Harum
                 Jilid 36


Mo-kiam Siauw-ong memang bukan orang sembarangan. Dia merupakan murid dari tiga orang datuk hitam yang amat terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Mereka itu berjuluk Kai-ong Lo-mo, Bun-ong Lo-mo dan Thian-te Lo-mo, tiga orang yang berilmu tinggi sekali. Ketika Thian-te Sam-lo-mo ini akhirnya tewas di dalam tangan pendekar sakti Cia Keng Hong, kepandaian mereka sudah diwarisi oleh Mo-kiam Siauw-ong inilah.

Dapat dibayangkan betapa marah Mo-kiam Siauw-ong ketika dia mendengar dari kacung restoran tentang tewasnya Fen-ho Chit-kwi yang ia tahu tentu datang untuk menyerahkan hasil pembajakan. Fen-ho Chit-kwi merupakan anak buahnya yang paling kuat dan boleh diandalkan. Kini mendengar bahwa mereka itu roboh di tangan seorang wanita cantik, dia menjadi penasaran dan marah sekali.

Namun, di samping kepandaiannya yang tinggi dan yang membuatnya jumawa, Mo-kiam Siauw-ong adalah seorang yang cerdik dan hati-hati. Oleh karena itu, dia tidak sembrono turun tangan seorang diri menurutkan kemarahannya, akan tetapi meminta kepada ayah mertuanya supaya membawa sepasukan penjaga kota untuk menangkap penjahat yang mengacau kota Sun-ke-bun! Dengan bantuan lima puluh orang pasukan, apa sukarnya menangkap seorang wanita?

Dia mendengar bahwa wanita itu cantik sekali, maka sudah dia bayangkan betapa akan senangnya menangkap wanita itu hidup-hidup dan sebelum membunuhnya, lebih dahulu dia akan mempermainkan sepuasnya. Dengan demikian, baru impaslah kematian Fen-ho Chit-kwi yang merupakan sebuah pukulan dan kerugian baginya.

Banyak penduduk yang datang melihat dari kejauhan. Restoran itu telah ditinggalkan oleh pemiliknya, dan kini di dalam restoran yang kelihatan kosong itu hanya tinggal si wanita bersama laki-laki tampan, seorang di antara Fen-ho Chit-kwi yang menjadi ‘tawanannya’!

"Siluman betina! Keluarlah menghadap Mo-kiam Siauw-ong!" Mo-kiam Siauw-ong sudah tiga kali berteriak dari pintu restoran, menantang wanita yang lukanya sedang dibalut oleh tawanannya.

"Celaka... dia... dia datang..." Laki-laki tampan yang selesai membalut pundak yang sudah diobati itu berkata dengan muka pucat.

"Ihhh... takutkah engkau, Tampan?" Wanita ini merangkul dan menciumi pipinya.

Akan tetapi laki-laki itu kini tidak membalas ciumannya seperti tadi, bahkan tidak tampak lagi gairahnya. "Dia.. dia berbahaya sekali, amat lihai.., celakalah kita..."

Wanita itu mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan melengkung panjang, kemudian menghentikan belaiannya. "Siapakah dia?"

"Dia... Mo-kiam Siauw-ong, kiam-hoatnya (ilmu pedangnya) luar biasa lihainya... dan tentu membawa pasukan yang banyak jumlahnya."

"Hi-hi-hik! Tikus-tikus busuk macam itu perlu apa ditakuti? Jangan hiraukan mereka, kita mempunyai urusan yang lebih penting, hi-hi-hik! Ayolah!"

Wanita itu merangkul lagi dan membawa muka laki-laki itu ke dadanya. Akan tetapi, tubuh atas yang tak berpakaian itu, yang tadi membuat pria itu bergelora darahnya oleh gairah dan nafsu birahi, kini agaknya tidak menarik lagi, tertutup oleh rasa takutnya.

Melihat betapa laki-laki itu sama sekali tidak terangsang, wanita itu menghentikan usaha menggumulinya, bangkit duduk, menggelung rambutnya dan wajahnya keruh.

"Apa kau lebih senang kubunuh?"

Laki-laki itu menggigil dan berusaha memeluk wanita itu, berusaha membangkitkan lagi gairahnya, akan tetapi sia-sia sehingga akhirnya dia terisak seperti orang akan menangis, "Maafkan aku... aku... takut sekali..."

"Pengecut!"

Pada saat itu, Mo-kiam Siauw-ong yang sudah tak sabar lagi, menggapai dan menyuruh sepuluh orang anggota pasukan menyerbu ke dalam. Sepuluh orang itu mencabut golok lantas memasuki restoran, kemudian mereka menyerbu kamar karena sudah mendapat keterangan dari si gendut pemilik restoran bahwa ‘siluman rase’ itu berada dalam kamar bersama laki-laki tampan salah seorang di antara Fen-ho Chit-kwi.

Pada saat laki-laki tampan melihat sepuluh orang anggota pasukan menyerbu, dia tidak berani bergerak karena maklum bahwa mereka adalah anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang amat ditakutinya. Akan tetapi, dia melihat wanita itu menggerakkan tangan kiri.

Tampaklah sinar merah berkelebat dan terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya sepuluh orang itu bertumpang tindih di pintu kamar. Tepat di dahi mereka, di antara kedua mata, ditembusi jarum merah yang dilepas oleh wanita itu!

"Hi-hi-hik-hik! Engkau masih takut? Lempar-lemparkan bangkai mereka keluar!" Wanita itu terkekeh.

Bukan main terkejutnya hati laki-laki tampan menyaksikan kelihaian si wanita melepaskan jarum merah yang dia tahu merupakan jarum-jarum beracun yang amat lihai. Ia bergidik. Belum pernah selama hidupnya dia melihat orang dapat melepas jarum setepat itu, sekali gerak merobohkan sepuluh orang dan semua jarum tepat mengenai dahi di antara kedua mata!

Hatinya menjadi besar. Kalau berteman dengan seorang wanita secantik dan selihai ini, agaknya memang tidak perlu lagi takut terhadap Mo-kiam Siauw-ong! Ia melangkah maju dan kedua tangannya yang kuat sekaligus menyeret empat orang yang sudah menjadi mayat, kemudian dia melemparkan mereka itu keluar. Tiga kali dia melemparkan sepuluh buah mayat itu melayang keluar rumah makan!

Kemudian dia membalik dan matanya terbelalak melihat bahwa wanita itu telah membuka semua pakaiannya dan sedang mengembangkan kedua lengan yang berkulit putih halus. Ia mengeluarkan suara seperti gerengan harimau, lalu menubruk maju dan disambut oleh wanita itu yang tertawa cekikikan.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati mereka yang melihat sepuluh buah mayat orang melayang keluar. Mo-kiam Siauw-ong cepat menghampiri dan mengerutkan alisnya ketika melihat luka di dahi para anak buahnya, luka merah sekali dan masih tampak ujung merah yang menancap sampai hampir tidak kelihatan lagi.

"Ong-ya, biarkan saya membawa semua pasukan menyerbu ke dalam!" Salah seorang pembantunya mengajukan usul. Marah melihat betapa anak buahnya tewas sedemikian mudahnya.

Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong mengenal bekas tangan orang pandai dan mengangkat tangan kiri mencegah.

"Pergunakan api, bakar restoran ini agar siluman itu terpaksa keluar!"

Si gendut pemilik restoran sampai jatuh berlutut hampir pingsan ketika dia melihat betapa restorannya dikelilingi pasukan yang membawa minyak, kemudian dia benar-benar roboh pingsan dirangkul isterinya pada waktu restorannya mulai terbakar. Para penduduk yang menyaksikan menjadi makin tegang dan ngeri, diam-dia mereka sudah bersiap-siap untuk mengangkat langkah seribu kalau siluman rase yang muncul itu mengamuk!

"Restoran terbakar...!" Lelaki tampan itu bangkit duduk dan terbelalak memandang asap yang memasuki kamar.

"Sialan!" Si wanita menyumpah. "Tikus-tikus itu ingin mampus semua!" Dengan tenang namun jelas memperlihatkan wajah kecewa karena merasa kesenangannya terganggu, ia mengenakan pakaiannya lagi yang didahului oleh si lelaki tampan yang kembali menjadi ketakutan.

"Hayo ikuti aku keluar!"

Mengandalkan kepandaian wanita itu, laki-laki ini terpaksa mengikutinya keluar dengan jantung berdebar-debar tegang. Kini dia harus berhadapan dengan datuk golongan hitam yang ditakutinya itu sebagai lawan! Bagaimana pun juga, dia tidak dapat mundur karena melawan wanita ini berarti mati, kalau bersekutu dengannya masih ada harapan si wanita lihai ini akan menyelamatkannya dan pada masa depan tampak harapan yang sungguh menyenangkan dapat menjadi sahabat dan terutama kekasihnya!

Namun dia bersikap cerdik, tidak mau memperlihatkan sikap bermusuh kepada Mo-kiam Siauw-ong dan akan melihat gelagat dahulu. Kalau wanita ini tewas di tangan Mo-kiam Siauw-ong, dia masih dapat menggunakan alasan bahwa dia dipaksa dan tidak berdaya menjadi tawanan si wanita lihai! Maka dia mengikuti wanita itu dari belakang, menuju ke pintu rumah makan yang sudah terbakar.

"Jangan bergerak, aku akan membawamu keluar melalui api!" Wanita itu berkata.

Tiba-tiba laki-laki tampan itu merasa pinggangnya dipeluk dan tubuhnya melayang keluar. Dia makin kagum dan terheran-heran. Manusia ataukah iblis wanita ini? Kepandaiannya benar-benar luar biasa sekali. Bagaimana orang selihai ini sampai terluka pundaknya?

Dia hanya merasa sedikit panas ketika tubuhnya meluncur cepat menerjang api di luar restoran, dan tahu-tahu dia sudah berdiri di samping wanita itu yang tersenyum-senyum memandang Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya yang sudah siap mengepungnya.

Mo-kiam Siauw-ong tercengang. Tak pernah diduganya bahwa orang yang amat lihai itu hanyalah seorang muda yang amat cantik, melebihi isterinya sendiri cantiknya dan berdiri tersenyum tenang tanpa ada senjata menempel di tubuh! Para pasukan juga bengong, demikian pula para penonton, hampir tidak percaya karena siluman rase itu ternyata tidak menggiriskan, hanya seorang wanita yang cantik dan agaknya seorang manusia biasa! Ataukah memang penjelmaan siluman?

Biar pun hatinya marah sekali, Mo-kiam Siauw-ong terpesona dan tertarik, merasa sayang kalau sampai wanita itu dibunuh begitu saja. "Wanita siluman, menyerahlah sebelum aku turun tangan!" bentaknya.

"Hi-hi-hik-hik, aku keluar bukan untuk menyerah, melainkan untuk membunuh kalian yang sudah mengganggu kesenanganku!"

"Serbu...!" Pembantu Mo-kiam Siauw-ong tak sabar lagi dan menyerbulah pasukan yang tinggal empat puluh orang itu.

Akan tetapi tiba-tiba tubuh wanita itu berkelebat lenyap, lantas terdengar jerit di sana-sini disusul robohnya enam orang pasukan sendiri. Gerakan wanita itu sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata. Yang menusuknya, tahu-tahu goloknya membalik dan menusuk perutnya sendiri. Yang membacoknya pun demikian dan tahu-tahu wanita itu telah berada di depan Mo-kiam Siauw-ong!

Datuk golongan hitam itu dapat mengikuti gerakan si wanita itu yang benar-benar memiliki ginkang yang dia sendiri tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi, sebagai seorang ahli dia tidak takut dan pedangnya menyambar ganas.

"Bagus! Kiam-hoat lumayan juga!" Wanita itu mengejek sambil mengelak, tangan kirinya tahu-tahu menyambar ke depan, mengirim pukulan dengan telapak tangan terbuka pada lawannya.

Mo-kiam Siauw-ong cepat miringkan tubuh, akan tetapi hawa pukulan tangan itu tetap saja menyambar dan menyerempetnya. Dia terhuyung dan merasa pundaknya bagaikan dilanggar benda yang panas. Makin terkejutlah dia. Ginkang wanita ini juga hebatnya luar biasa. Dia mengerahkan kepandaiannya sehingga pedang di tangannya berubah menjadi segulungan sinar yang berkilauan dan yang mengurung tubuh wanita itu.

Para pasukan berbesar hati melihat pimpinan mereka telah turun tangan, maka mereka pun cepat mengurung dan menyerbu. Wanita itu berada dalam keadaan terluka, lengan kanannya tidak dapat digunakan untuk bertanding sehingga dia hanya melawan dengan gerakan tangan kiri saja.

Akan tetapi, dia cepat meloncat menjauhi Mo-kiam Siauw-ong yang benar-benar lihai ilmu pedangnya itu, dan dengan mudah tangan kirinya merobohkan setiap anak buah pasukan yang menyerangnya. Apa lagi kini tangan kirinya mulai menyebar jarum-jarumnya hingga kembali ada lima orang pasukan roboh dan tewas!

"Heh-heh-heh-hi-hi-hik! Ang-kiam Bu-tek sungguh-sungguh tidak boleh dipandang ringan!" Tiba-tiba terdengar suara yang lembut dan muncullah seorang nenek tua sekali berdiri di barisan depan para penonton.

Wanita itu terkejut, merobohkan dua orang lagi dengan dua kali tendangan kaki yang menghancurkan anggota rahasia tubuh mereka, menoleh ke arah nenek itu dan dia cepat berkata, "Go-bi Thai-houw, harap kau orang tua tidak mencampuri urusan ini. Tikus-tikus ini tidak ada gunanya. Biarlah lain kali aku Ang-kiam Bu-tek menghaturkan terima kasih dan mengangkat guru kepadamu!"

"Heh-heh-hi-hi-hik! Punya murid macam engkau ini akan menyenangkan juga!" Nenek itu menjawab kemudian tiba-tiba saja ia lenyap dari situ.

Mendengar disebutnya nama Ang-kiam Bu-tek dan Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong seperti mendengar halilintar menyambar di atas kepalanya dan cepat-cepat dia berseru,

"Pasukan mundur semua...!"

Pasukan yang sudah merasa gentar sekali cepat lari mundur dan kini Mo-kiam Siauw-ong melangkah maju, menekuk sebelah lututnya dan mengangkat kedua tangan depan dada ke arah wanita itu sambil berkata, "Mohon kebijaksanaan Sianli untuk mengampunkan saya yang bermata akan tetapi seperti buta tidak mengenal Sianli, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata."

Melihat sikap Mo-kiam Siauw-ong, anak buah pasukan menjadi terkejut dan mereka yang belum pernah mendengar nama Ang-kiam Bu-tek, cepat-cepat mengikuti mereka yang mengenalnya dan yang sudah menjatuhkan diri berlutut. Sebagian besar mengenal nama itu dengan hati penuh rasa takut.

Wanita yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek (Pedang Merah Tanpa Tandingan) itu tersenyum mengejek, memandang kepada Mo-kiam Siauw-ong dan bertanya, "Hemmm..., siapakah engkau sebenarnya?"

"Harap Sianli suka memandang kepada mendiang ketiga orang suhu saya, yaitu Thian-te Sam-lo-mo" kata pula laki-laki berpakaian mewah itu.

Ang-kiam Bu-tek mengangguk-angguk dan otaknya yang amat cerdik itu segera membuat perhitungan. Pada waktu itu dia membutuhkan sekutu, dan setelah lawan menyerah dan ternyata adalah murid tokoh yang merupakan orang segolongan dengannya, memang tak perlu lagi membunuh mereka.

"Ternyata engkau adalah murid ketiga orang iblis tua itu? Baiklah, aku mengampunkan engkau dan anak buahmu."

"Terima kasih, Sianli!" Mo-kiam Siauw-ong menjadi girang sekali dan meloncat bangun.

Bersahabat dengan Ang-kiam Bu-tek merupakan hal yang amat menguntungkan, pula dia maklum bila pertandingan dilanjutkan, jangankan baru dia dan pasukannya, biar ditambah tiga orang gurunya yang sudah meninggal sekali pun takkan sanggup menang!

"Karena saya melihat Sianli terluka dan perlu beristirahat, saya persilakan Sianli untuk beristirahat di dalam rumah saya."

"Baiklah, Ehh, Tampan, kau gendong aku ke rumah Mo-kiam Siauw-ong!" kata Ang-kiam Bu-tek sambil tersenyum kepada kekasihnya.

Laki-laki tampan, seorang di antara ketujuh Fen-ho Chit-kwi yang sebenarnya bernama Ma Kiat Su itu menjadi girang dan lega bukan main. Tanpa malu-malu lagi, ditonton begitu banyak orang, dia lalu memondong tubuh Ang-kiam bu-tek yang merangkul lehernya.

Mo-kiam Siauw-ong cepat menyerahkan seekor kuda. Ma Kiat Su membungkuk dengan hormat kepada Mo-kiam Siauw-ong kemudian melompat ke atas punggung kuda sambil memondong tubuh wanita cantik itu, kemudian mereka diiringi oleh Mo-kiam Siauw-ong sendiri menuju ke gedung kepala daerah.

Para pasukan sibuk mengurus mayat-mayat para kawan mereka dan para penonton kini ikut sibuk memadamkan api yang membakar restoran.

Siapakah wanita cantik itu dan mengapa seorang datuk golongan hitam seperti Mo-kiam Siauw-ong sampai begitu ketakutan mendengar namanya? Dan siapa pula nenek tua renta yang agaknya lebih aneh dan menyeramkan lagi sehingga Ang-kiam Bu-tek sendiri sampai bersikap hormat, bahkan berjanji untuk berguru kepadanya?

Mereka berdua adalah tokoh-tokoh besar, bahkan Ang-kiam Bu-tek merupakan seorang tokoh penting. Semenjak kecil, wanita cantik ini yang bernama Bhe Cui Im, adalah murid nenek Lam-hai Sin-ni, seorang di antara Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding) yang puluhan tahun lamanya menjadi tokoh-tokoh utama kaum sesat.

Sebagai murid Lam-hai Sin-ni, kepandaiannya sudah amat tinggi dan karena semenjak muda dia merupakan seorang wanita yang haus akan laki-laki dan besar nafsu, lihai ilmu pedangnya dan lihai pula senjata rahasianya yang beracun, dia terkenal dengan julukan Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah). Akan tetapi, setelah dia bersama Cia Keng Hong dapat menemukan tempat rahasia penyimpanan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan mempelajari kitab-kitab itu selama bertahun-tahun, dia keluar dari goa rahasia sebagai seorang wanita yang sukar dicari tandingannya lagi.

Dia bahkan membunuh bekas gurunya, Lam-hai Sin-ni, juga membunuh banyak sekali tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw sehingga julukannya yang dia ubah menjadi Ang-kiam Bu-tek menjulang tinggi di dunia kang-ouw dan dikenal oleh semua tokoh dengan hati penuh rasa ngeri dan takut.

Itulah dia wanita cantik yang pagi hari itu menimbulkan keributan di dalam restoran di kota kecil Sun-ke-bun, menyebar maut seperti menyebar pasir saja! Bhe Cui Im, berusia dua puluh sembilan tahun, cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat kuat, membuat hati pria terangsang apa bila melihatnya, dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.

Ketika ia terhuyung-huyung dalam keadaan terluka pundaknya, baru saja dia melarikan diri dari puncak Tai-hang-san di mana terjadi pertemuan puncak antara tokoh-tokoh besar yang dilanjutkan dengan pertandingan-pertandingan hebat, di mana dia terluka oleh Cia Keng Hong, si pendekar sakti yang biar pun usianya baru dua puluh empat tahun, namun dapat disebut adalah suheng-nya, karena Cia Keng Hong merupakan murid langsung dan tunggal dari mendiang Sin-jiu Kiam-ong.

Oleh karena kekalahannya terhadap Cia Keng Hong inilah yang membuat Cui Im tidak membunuh Mo-kiam Siauw-ong. Dia tak membutuhkan bantuan orang-orang pandai, tapi lebih membutuhkan bantuan tokoh yang banyak anak buahnya itu.

Dan karena cintanya yang berubah kebencian amat mendalam terhadap Cia Keng Hong pulalah yang membuat dia berjanji untuk berguru kepada nenek Go-bi Thai-houw karena ia maklum bahwa nenek itu memiliki kesaktian yang luar biasa, memiliki banyak ilmu yang dapat dia pelajari untuk kelak dipergunakan menghadapi Keng Hong dan terutama sekali, untuk dapat mengajak nenek itu bersama-sama menghancurkan kehidupan Keng Hong yang amat dibencinya!

Ketika Coa-taijin, yaitu kepala daerah kota Sun-ke-bun mendengar dari menantunya akan kesaktian Ang-kiam bu-tek, dia menyambut dengan ramah, malah mempersilakan Cui Im menempati sebuah kamar kehormatan di dalam gedungnya, sebuah kamar yang mewah sekali. Kepala daerah yang cerdik ini paham bahwa semakin banyak orang pandai yang membantunya, makin kuatlah kedudukannya!

Cui Im merasa girang bukan main. Dia langsung mengajak Ma Kiat Su memasuki kamar mewah itu, menutupkan daun pintunya dan tenggelamlah dia dengan Ma Kiat Su dalam lautan nafsu yang membuat lelaki itu mabuk dan merasa beruntung sekali karena selama hidupnya baru sekali ini dia bertemu dengan seorang wanita hebat seperti Cui Im!

Selama tiga hari tiga malam Cui Im tidak membolehkan kekasihnya pergi meninggalkan kamar, tidak membolehkan keluar pula. Mereka dilayani oleh pelayan-pelayan Coa-taijin seperti sepasang pengantin baru, seperti tamu-tamu terhormat.


Pada malam hari ke tiga, tiba-tiba pintu kamar itu dibuka orang dari luar, daun pintunya tertolak perlahan dan muncullah seorang pemuda di ambang pintu. Cui Im yang sedang membelai tubuh Ma Kiat Su yang tidur kelelahan, cepat mengangkat muka dan seketika wajahnya menjadi pucat. Matanya terbelalak memandang pemuda yang juga berdiri bagai terpesona menyaksikan wanita cantik setengah telanjang yang rebah menelungkup di atas pebaringan itu.

Pemuda itu tampan sekali, pakaiannya indah dan sikapnya tenang. Yang membuat Cui Im terkejut adalah wajah pemuda ini, sehingga tanpa terasa lagi bibirnya lantas bergerak dan terdengar suaranya lirih, "Cia Keng Hong...!"

Pemuda itu tidak mendengar suara lirih ini, dianggapnya Cui Im menegur dan mencela dirinya, maka dia cepat menjura dan berkata, suaranya halus sekali dan sopan, "Harap Sianli sudi memaafkan saya karena kesalahan masuk ke kamar ini…"

Cui Im menarik napas lega, cepat ia bangkit duduk, menurunkan kedua kakinya dari atas pembaringan tanpa mempedulikan baju dalamnya yang tidak lengkap menutupi bagian atas tubuh, tersenyum manis dan bertanya, "Kongcu siapakah..."

Dia masih memandang heran akan persamaan wajah pemuda itu dengan wajah Keng Hong, bahkan bentuk tubuhnya hampir sama besarnya.

Kembali pemuda itu menjura. "Saya Coa Kun, putera dari Coa-taijin pemilik rumah ini. Saya baru datang dari luar kota, sudah mendengar bahwa Sianli bertamu di sini, sudah mendengar akan nama Sianli yang sakti dan mulia. Akan tetapi saya mengira Sianli berada di kamar tamu sebelah, tidak menyangka bahwa kamar saya yang diberikan oleh ayah untuk Sianli, karena itu saya lancang membuka pintu kamar ini. Maafkan, saya..." Pemuda itu menjura, lalu membalikkan tubuh dan hendak pergi.

"Coa-kongcu, tunggu...!"

Cui Im sudah meloncat turun, kakinya telanjang dan ia melangkah menghampiri pemuda yang sudah membalikkan tubuh lagi memandang dengan kedua pipi kemerahan karena keadaan Cui Im benar-benar membuat dia merasa jengah dan kikuk. Wanita cantik itu lebih banyak telanjang dari pada berpakaian!

"Kongcu, masuklah dan mari kita bicara dahulu. Engkauah yang harus memaafkan aku karena kamarmu kupakai! Ahhh, aku mengganggu saja padamu. Kalau aku tahu bahwa aku akan mengganggu seorang yang begini... hemm... ganteng seperti engkau, aku lebih suka tidur di dapur!"

Coa Kun menjadi semakin merah mukanya. "Ahh, harap Sianli jangan berkata demikian. Dengan senang hati saya menyerahkan kamarku untukmu. Sudahlah, saya tidak berani mengganggu lebih lama...!" Kembali dia hendak pergi.

Cui Im melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. "Nanti dulu, Kongcu, mari duduklah, kita bicara dulu... Atau... engkau tidak sudi bicara dengan orang seperti aku?" dia tersenyum dan memandang penuh tantangan.

Pemuda itu semakin tersipu, akan tetapi dia tidak berani menarik tangannya yang kini dituntun oleh Cui Im. Dia terpaksa memasuki kamar dan dengan perasaan tidak sedap dia melirik ke arah tubuh Ma Kiat Su yang sedang tidur. Laki-laki itu pun tidak berpakaian, hanya berselimut pada sebagian tubuhnya yang kekar.

"Tidak baik, Sianli. Dia... dia..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena keadaan di tepat itu benar-benar membuatnya malu dan kikuk.

Cui Im tersenyum lebar, "Memang babi itu menganggu saja. Tunggu kulempar dia keluar!"

Tanpa menanti jawaban, sekali bergerak tubuh Cui Im sudah meloncat lalu hinggap di atas pembaringan dan sekali kakinya menendang, tubuh Ma Kiat Su terlempar ke bawah pembaringan.

"Aehhh.,. ada apa... apa yang terjadi...?" Ma Kiat Su terbangun, merangkak dan meloncat berdiri.

Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh ketika tangan kiri Cui Im bergerak dan dua buah jari tangannya menusuk serta mengenai pelipisnya. Dia roboh tak bernyawa lagi, pada pelipis kanannya terlihat bekas dua jari tangan yang membiru!

Cui Im kembali menendang dan... mayat laki-laki yang selama tiga tiga malam menjadi kekasih dan kawannya bermain cinta itu terlempar keluar melalui pintu kamar. Dia cepat menghampiri daun pintu dan ditutupnya, kemudian ia membalikkan tubuh dan seperti tak pernah terjadi sesuatu, dia melangkah maju menghampiri Coa Kun yang duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian.

"Kenapa... kenapa kau membunuhnya...?"

"Ahh, aku sudah bosan dan jemu dengan dia. Apa lagi dia hanyalah seorang anak buah rendah saja, tidak tepat menjadi sahabatku. Coa-kongcu, engkaulah orang yang paling patut menjadi sahabat baikku dan kamar ini adalah kamarmu."

Sambil tersenyum manis sekali dan dengan pandang mata panas membakar hati, Cui Im menghampiri pemuda itu dengan langkah dan lenggang memikat, lalu merangkulkan dua lengannya pada leher pemuda itu.

Coa Kun memandang dengan dua mata terbelalak. Hidungnya mencium keharuman yang aneh dari tubuh wanita itu, jantungnya berdebar ketika merasa betapa hangat tubuh yang menempel rapat di dadanya.

"Eh, Sianli... Ah, apa artinya ini?" Ia tergagap, karena biar pun sebelum salah mamasuki kamar itu dia sudah mendengar cerita tentang Ang-kiam Bu-tek yang sakti seperti iblis dan cabul laksana siluman rase, namun tak mengira sama sekali bahwa wanita ini akan membunuh kekasihnya begitu saja kemudian mengalihkan cintanya kepadanya!

Tiba-tiba Cui Im meraih ke atas hingga memaksa muka pemuda itu tunduk, kemudian mencium mulut Coa Kun yang membuat pemuda itu makin mabuk kepayang dan makin terheran-heran. Setelah melepaskan ciumannya, Cui Im berbisik halus, "Kongcu, apakah engkau tidak suka aku menemanimu di kamarmu ini? Apakah engkau tidak suka menjadi sahabat baikku?"

Coa Kun dapat mendengar ancaman hebat yang tersembunyi di balik bisikan halus penuh getaran birahi itu dan dia bergidik. Ia mengangguk dan cepat menjawab, "Tentu saja aku suka sekali, Sianli, tapi..."

"Kongcu yang tampan dan halus, engkau mengingatkan aku terhadap seseorang.. Ahhh, jangan engkau khawatir, terhadap engkau, aku tidak akan mengganggu. Apa bila engkau memang suka, mengapa tidak memondongku ke ranjangmu?”

Coa Kun adalah seorang pemuda yang biar pun sudah berusia dua puluh tahun lebih dan sebagai putera kepala daerah, biar pun belum menikah namun sudah memiliki beberapa orang selir dan bukan tidak berpengalaman menghadapi wanita, akan tetapi dibandingkan dengan Cui Im dia hanyalah seorang pemuda yang masih hijau! Kini, berada di dalam cengkeraman Cui Im, menghadapi rayuan Cui Im yang merupakan seorang ahli dalam permainan cinta, mana mungkin dia sanggup bertahan? Menghadapi rayuan Cui Im yang luar biasa, dalam waktu singkat saja dia sudah bertekuk lutut dan menyambut serta melayani segala kehendak wanita itu!

Biar pun Cui Im memang seorang wanita yang haus akan cinta kasih laki-laki dan mata keranjang, selalu ingin memeluk pria tampan, pembosan dan ingin selalu berganti teman bercinta, namun Cui Im memilih Coa Kun bukan semata-mata karena pemuda ini tampan. Terutama sekali karena kemiripan wajah Coa Kun dengan wajah Keng Hong yang amat menarik hatinya, dan otaknya yang luar biasa cerdiknya segera mendapatkan siasat untuk sewaktu-waktu menggunakan pemuda ini agar membantunya menghancurkan kehidupan Keng Hong, satu-satunya laki-laki di dunia ini yang pernah meruntuhkan hatinya, pernah dicintanya dengan cinta murni, akan tetapi yang kini telah berubah menjadi satu-satunya orang yang paling dibencinya di dunia ini!

Sementara itu, ketika Mo-kiam Siauw-ong mendengar pelaporan dari para penjaga akan adanya mayat Ma Kiat Su di depan pintu kamar tidur, hanya tersenyum dan dia menyuruh anak buahnya membawa pergi mayat itu dan menguburnya. Ia mengangguk-angguk dan menggosok kedua tangannya. Kalau Ang-kiam Bu-tek jatuh hati kepada Coa-kongcu, hal itu amat baik sekali. Lebih baik lagi apa bila Ang-kiam Bu-tek suka menjadi isteri putera kepala daerah itu, pikirnya.

Hati Cui Im gembira sekali karena pemuda putera Coa-jin itu sebentar saja benar-benar sudah jatuh hati kepadanya dan dapat memuaskan hatinya. Dia merasa senang tinggal di gedung itu, selain menerima penghormatan berlebihan dan menerima pelayanan yang menyenangkan, ditemani seorang kongcu yang halus dan tampan mirip Cia Keng Hong, juga ternyata luka pada pundaknya oleh pedang Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong tidaklah merupakan luka parah dan dalam beberapa hari saja tentu akan sembuh.

Akan tetapi pada malam hari itu, selagi ia asyik bercumbu dengan kekasihnya yang baru, tiba-tiba terdengar suara terkekeh dari arah jendela kamarnya. Mendengar dan mengenal suara ini, Cui Im lantas melompat turun dari atas pembaringan, secepat kilat menyambar pakaiannya dan ketika ia membalik dengan pakaian yang belum lengkap, ia melihat Go-bi Thai-houw telah melayang masuk dari jendela yang dibuka dari luar dan berada di kamar itu sambil tertawa-tawa.

Bukan main kagetnya Coa Kun melihat munculnya seorang nenek yang sangat tua dan menyeramkan itu. Dia cepat-cepat menutupi tubuhnya dengan selimut dan hanya berani mengintai dari balik selimut.

Cui Im cepat maju dan berlutut menyambut Go-bi Thai-houw. "Subo telah datang..."

"Heh-heh-hi-hik-hik! Benar-benarkah engkau mengangkat aku sebagai gurumu, Ang-kiam Bu-tek?"

"Subo adalah seorang yang paling sakti di dunia ini, tentu saja teecu (murid) akan senang sekali menjadi murid Subo. Apa lagi dengan adanya Subo. Kita dapat bekerja sama untuk membalas sakit hati terhadap Cia Keng Hong."

"Hemmmm..!" Nenek itu mendengus, keningnya yang sudah putih itu mengkerut, dahinya yang sudah penuh keriput itu makin mendalam garis-garisnya. "Cia Keng Hong manusia busuk! Aku harus membunuh dia... Akan tetapi... di sana ada isteri Sin-jiu Kiam-ong…"

"Takut apa, Subo? Kalau kita bekerja sama, dibantu oleh Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya, tentu kita akan dapat membasmi mereka! Mo-kiam Siauw-ong adalah murid dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo, masih golongan sendiri. Marilah teecu perkenalkan Subo dengan Mo-kiam Siauw-ong dan mertuanya, Coa-taijin kepala daerah Sun-ke-bun, pemilik gedung ini."

Nenek itu melirik ke arah Coa Kun yang masih memandang dengan ketakutan dari atas pembaringan, kemudian tertawa lebar memperlihatkan mulut yang tiada giginya lagi.

"Ha-ha-ha, engkau cocok sekali dengan aku muridku. Dahulu ketika muda aku pun seperti engkau, suka mengejar kesenangan setelah cintaku ditolak oleh Sie Cun Hong si keparat! Besok saja aku berkenalan dengan mereka. Kau lanjutkan permainanmu dengan Kongcu ini, aku ingin menonton."

"Subo..!"

"Hi-hi-hi-hik! Aku sudah terlampau tua, tidak bisa lagi main sendiri, akan tetapi menonton menimbulkan kesenangan yang amat besar pula. Hayolah, anggap saja aku tidak berada di sini!" Nenek itu lalu duduk di atas sebuah bangku, duduk tegak tanpa bergerak seperti arca.

Sejak dia bertemu dengan bekas majikan wanitanya, yaitu Tung Sun Nio isteri mendiang Sin-jiu Kiam-ong, tiba-tiba gilanya menjadi sembuh karena pertemuan itu mendatangkan guncangan batin yang hebat. Dia tidak gila lagi, akan tetapi setelah menjadi waras, timbul kembali wataknya yang seperti iblis, watak yang sama dengan watak Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im pada waktu dia masih muda. Watak yang amat cabul dan keji!

Dan terjadilah perbuatan maksiat yang tiada keduanya di dunia ini, yang dapat dilakukan oleh wanita. Cui Im melanjutkan permainan cintanya dengan Coa Kun yang makin lama semakin hilang rasa ngerinya terhadap nenek itu, ditonton oleh nenek itu! Bagi manusia-manusia yang mengenal kesusilaan, yang sudah hidup di dalam jaman yang beradab, perbuatan mereka bertiga itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat cabul tanpa mengenal susila dan rasa malu lagi!

Coa Kun, putera seorang pembesar yang terpelajar, yang sejak kecil sudah membaca kitab-kitab dan tahu akan tata susila dan sopan santun, sedikit banyak mengenal pula ilmu silat, sekarang terseret dan terguling ke dalam jurang kehinaan, terseret melakukan perbuatan yang patutnya hanya bisa dilakukan oleh golongan hitam tingkat paling rendah!

Dan pada keesokan harinya, setelah ketiga orang ini merasa puas, Coa Kun merasa puas karena merasa diayun ke sorga oleh cumbu rayuan serta permainan cinta Cui Im yang merupakan seorang ahli berpengalaman dalam hal itu, Cui Im merasa puas karena selain mendapatkan seorang kekasih baru yang tampan juga dia diterima menjadi murid Go-bi Thai-houw dan nenek itu puas karena sudah lama ia kehilangan seperti yang dinikmatinya semalam dengan menoton pertunjukan yang menggairahkan hati tuanya, maka diadakan pertemuan yang disambung dengan perundingan. Sebuah perundingan yang tujuannya hanya satu, yaitu menghancurkan kehidupan Cia Keng Hong!

Go-bi Thai-houw membenci Keng Hong karena dianggap sebagai biang keladi sehingga dia kehilangan dua orang muridnya yang tercinta, yaitu mendiang Hek-sin-kiam Tan Hun Bwee dan Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng. Cui Im juga membenci Keng Hong, benci yang timbul karena cinta yang tidak terbalas dan karena banyak hal lagi. Mo-kiam Siauw-ong juga membenci Keng Hong karena pendekar sakti itu sudah membunuh ketiga orang gurunya, Thian-te Sam-lo-mo.

Hanya Coa-taijin dan Coa Kun yang turut hadir dalam perundingan itu saja yang tidak membenci Keng Hong karena mengenal pun tidak, akan tetapi mereka terbawa karena hubungan mereka dengan Mo-kiam Siauw-ong dan dengan Cui Im.

Benci! Perasaan ini merupakan nafsu manusia yang menjadi pokok penyebab utama dari pada timbulnya segala kekacauan di dunia ini oleh manusia. Penyebab timbulnya nafsu kebencian bersumber kepada rasa sayang diri dan iba diri (egoisme), terdorong oleh iri hati.

Kalau merasa diri dirugikan, maka timbullah bibit yang menjadi benih nafsu kebencian. Kalau sudah bertunas bibit kebencian di dalam hati, maka si manusia yang dicengkeram kebencian itu akan tertutup mata batinnya dan muncul perbuatan-perbuatan kekejaman.

Kebencian menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Kebencian menciptakan tindakan yang merugikan dan merusak, akan tetapi sebenarnya yang paling dirugikan dan dirusak adalah diri si pembenci sendiri. Kebencian merupakan sifat yang paling buruk yang harus dijauhi oleh setiap orang manusia, karena kebencian ini bertentangan dengan sifat alam.

Tak ada sifat benci pada alam yang hanya mempunyai satu sifat, yaitu Kasih! Yang tidak mau menyadari akan hal ini, yang tidak mau berusaha sekuat tenaga kemauan untuk mengenyahkan sifat benci dari hatinya, merupakan orang yang sungguh patut dikasihani, karena perasaan benci akan menyeretnya ke dalam segala macam kesengsaraan batin.

Orang yang percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih, tentu akan mudah melenyapkan dan menjatuhkan perasaan benci terhadap siapa pun juga. Karena orang ini akan menyadari bahwa segala yang menimpa dirinya, tidak terkecuali apakah hal itu menguntungkan atau merugikan, adalah hal yang sudah dikehendaki oleh Tuhan! Di luar kehendak Tuhan, segalanya tidak akan terjadi! Tuhan Maha Kuasa, kuasa untuk memberi, kuasa untuk mengambil.

Kalau hanya merasa senang apa bila diberi, akan tetapi mengomel apa bila diambil, dia adalah seorang yang kurang tebal kepercayaannya terhadap kekuasaan Tuhan. Di dalam memberi mau pun mengambil tentu saja ada yang menjadi lantarannya. Bila kepercayaan akan kekuasaan Tuhan sudah menjadi keyakinan bijaksana ini, tentu tak akan membenci yang menjadi lantarannya, karena lantaran itu hanyalah digunakan atau dipilih oleh Tuhan untuk pelaksanaan kehendak-Nya.

Misalnya, seseorang kehilangan seorang anaknya yang tercinta. Anak itu tidak akan mati kalau tidak dikehendaki oleh Tuhan untuk pelaksanaan kehendak-Nya ini, tentu saja ada lantarannya. Bermacam-macamlah yang dapat menjadi sebab, karena terbunuh, karena penyakit, karena kecelakaan dan sebagainya. Maka kelirulah jika orang yang kehilangan anaknya itu menimpakan kesalahan dan timbul kebencian terhadap penyebab atau yang menjadi lantaran, karena kejadian itu baru saja bisa terjadi oleh kehendak Tuhan! Tanpa dikendaki Tuhan biar segala iblis dan setan di dunia ini tentu tidak akan mampu mencabut nyawa anak itu! Demikian pula dengan kerugian dan kehilangan lainnya, atau sebaliknya, demikian pula dengan keuntungan dan hal yang menyenangkan lainnya.

Segala yang dikehendaki oleh Tuhan, akan terjadilah! Hal ini mutlak, tak ada kekuasaan yang dapat menentangnya semenjak dahulu, sekarang dan kemudian. Yang penting bagi manusia hanyalah berikhtiar, selalu berusaha yang sudah merupakan kewajibannya untuk menghindarkan diri dari pada hal-hal yang tidak dikehendaki hatinya.

Namun, bukanlah ikhtiar yang menentukan melainkan kehendak Tuhan juga! Berikhtiar dengan kesungguhan hati sebagai kewajiban, berlandaskan penyerahan akan kekuasaan Tuhan, dengan pasrah, dengan penerimaan, maka orang ini akan selalu merasa tenang dan dapat mengatasi segala hal yang menimpanya tanpa terseret nafsu kebencian yang akan menjadi awal rantai panjang tak berkeputusan yang berupa kesengsaraan batin.

Orang-orang semacam Mo-kiam Siauw-ong, Go-bi Thai-houw dan terutama Bhe Cui Im adalah orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu dan tidaklah amat mengherankan kalau mereka itu mabuk oleh kebencian sehingga mereka berunding, mengatur rencana dan siasat untuk menghancurkan hidup orang yang mereka benci, yaitu Cia Keng Hong.

"Mereka itu tentu akan segera melangsungkan pernikahan. Aku akan menyelidikinya dan perayaan pernikahan mereka merupakan kesempatan baik bagi kita. Kita serbu mereka, kita kacaukan perayaan itu dan kalau dapat kita bunuh Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan kawan-kawan mereka. Dalam hal ini aku mengharapkan bantuan Mo-kiam Siauw-ong untuk mengerahkan pasukan yang kuat dan banyak." Cui Im berkata.

"Saya siap membantu, Sianli, harap jangan khawatir!" Mo-kiam Siauw-ong cepat berkata.

Coa-taijin mengerutkan alisnya dan berkata, "Maaf, Sianli. Saya percaya penuh bahwa Cia Keng Hong itu tentulah bukan manusia baik maka Sianli memusuhinya dan di dalam hati, saya memihak Sianli sepenuhnya dan andai kata saya memilliki kepandaian, tentu saya akan ikut pergi membantu untuk membasmi Cia Keng Hong dan kawan-kawannya yang telah merugikan dan melukai Sianli dan juga yang dimusuhi oleh Locianpwe ini…"

"Thai-houw, sebut aku Thai-houw, aku adalah ratu di Go-bi, tahu?" Tiba-tiba saja Go-bi Thai-houw berkata.

Coa-taijin terkejut dan cepat berkata, "Maaf, Thai-houw, maaf."

"Lanjutkan kata-katamu, Taijin. Apa yang hendak kau usulkan?"

"Sianli tentu maklum akan kedudukan saya sebagai kepala daerah, maka saya dan para pasukan penjaga kota ini adalah orang-orang dari pemerintah. Maka, kalau pasukan saya dipergunakan untuk urusan pribadi, hal itu tentu amat tidak baik bagi saya, karena tentu akan ada teguran dari pemerintah pusat."

Cui Im mengerutkan alisnya sambil memandang Mo-kiam Siauw-ong. Orang ini cepat berkata, "Apa yang dikatakan oleh mertua saya memang benar, Sianli. Akan tetapi harap Sianli tidak usah khawatir. Aku tidak begitu bodoh untuk menggunakan pasukan penjaga kota Sun-ke-bun karena pasukan penjaga itu biar pun banyak, tidaklah boleh diandalkan. Aku akan mengerahkan semua anak buah kaum liok-lim dan kang-ouw di daerah lembah Fen-ho dan percayalah, aku akan dapat mengumpulkan pasukan yang sudah jauh lebih kuat dan lebih banyak jumlahnya dari pada pasukan penjaga kota."

Wajah Cui Im berseri lagi mendengar ini. Dia mengangguk-angguk dan berkata dengan senyum manis, "Bantuan Taijin dan Siauw-ong yang amat berharga tentu tidak akan aku lupakan."

"Aihhh, Niocu, setelah kita menjadi orang sendiri, mengapa masih sungkan? Katakanlah, apa yang dapat aku kulakukan untuk membantumu? Aku siap membantu dengan taruhan nyawa!" Mendadak Coa Kun berkata. Pemuda ini sekarang tidak lagi menyebut ‘sianli’ melainkan menyebut niocu kepada kekasihnya itu.

Dengan kepandaiannya yang tinggi Cui Im dapat membuat sepaang pipinya kemerahan seperti wanita biasa kalau merasa malu dan jengah, kemudian dia mengerling ke arah kekasihnya itu sambil berkata, "Terima kasih, Kongcu. Memang aku amat membutuhkan bantuanmu, akan tetapi kelak bila mana usahaku yang pertama ini tidak berhasil. Engkau bersiap-siap sajalah, dan dalam penyerbuan yang kita rencanakan ini, harap kau tidak ikut..."

"Ah, mana bisa? Mana bisa aku berpisah darimu? Aku akan ikut, Niocu!" Biar pun berada di depan banyak orang, bahkan di depan ayahnya sendiri, namun pemuda yang sudah tergila-gila ini tidak malu-malu lagi menyatakan perasaannya yang tidak mau berpisah dari wanita yang membuatnya mabuk itu.

Cui Im tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, akan tetapi engkau tidak boleh ikut menyertai penyerbuan. Kalau engkau terluka atau tewas, aku yang kehilangan! Keng Hong adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, aku sendiri tidak kuat menandinginya."

"Hi-hi-hik, jangan takut, muridku. Aku pernah membuat dia dan bekas muridku Sie Baiuw Eng, dibantu dua orang temannya, jungkir-balik dan kalau saja tidak muncul isteri Sin-jiu Kiam-ong, mereka sudah mati di tanganku!" kata Go-bi Thai-houw.

Diam-diam Cui Im terkejut. Dia mengenal siapa kedua orang teman itu, tentulah Yap Song Can murid ketua Siauw-lim-pai yang lihai dan Gui Yan Cu. Kedua orang muda itu lihai bukan main, ditambah lagi dengan Sie Biauw Eng yang kini memiliki ilmu kepandaian hebat di samping Keng Hong. Benarkah nenek ini dapat mempermainkan mereka seperti ceritanya barusan? Diam-diam dia pun girang karena orang seperti nenek ini tentu tidak perlu membohong dan menyombongkan diri.

"Dan aku dapat mencari bantuan orang-orang pandai di lembah Fen-ho," berkata pula Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bertekad bulat, mempergunakan kesempatan baik itu, selagi dia dibantu dua orang sakti seperti Go-bi Thai-houw dan Ang-kiam Bu-tek, untuk membalas kematian ketiga orang gurunya di tangan Cia Keng Hong.

Sampai jauh malam mereka melakukan perundingan dan mengatur siasat, perundingan yang diseling dengan makan minum yang serba mahal dan mewah. Mo-kiam Siauw-ong, atas petunjuk Cui Im, pada hari itu juga lalu mengirim kaki tangannya untuk melakukan penyelidikan ke Siauw-lim-pai dan ke tempat tinggal Tung Sun Nio atau isteri dari Sin-jiu Kiam-ong, yaitu di lereng Pegunungan Cin-ling-san sebelah timur.

Mereka mengadakan persiapan dan tinggal menunggu berita dari para penyelidik yang melakukan perjalanan cepat dengan berkuda. Sambil menanti, Cui Im tidak membuang waktu dengan sia-sia, melainkan dia mempererat hubungan cintanya dengan Coa Kun sehingga semua penduduk kota itu kini tahu bahwa wanita cantik yang sakti seperti dewi itu adalah kekasih atau selir baru putera kepala daerah, bahkan didesas-desuskan akan menjadi calon isteri Coa-kongcu.


                  ***************


Di lereng Pegunungan Cin-lin-san yang sunyi, tempat pertapaan nenek Tung Sun Nio, kini menjadi amat ramai dan meriah sebab akan dirayakan pernikahan dua pasang pengantin. Dua pasang orang muda yang saling mencinta, yang sudah bersama-sama mengalami suka duka penuh bahaya.

Perayaan pernikahan dua pasang mempelai diadakan di tempat itu memenuhi permintaan nenek Tung Sun Nio. Memang nenek itu berhak menentukan tempat perayaan, karena orang-orang muda yang menjadi pengantin, sebagian besar adalah keluarganya.

Cia Keng Hong yang akan menikah dengan Sie Biauw Eng, adalah muridnya, juga murid utama mendiang suaminya, Sin-jiu Kiam-ong. Sie Biauw Eng adalah puteri dari mendiang suaminya yang dilahirkan oleh Lam-hai Sin-ni, jadi adalah anak tirinya sendiri. Ada pun Gui Yan Cu yang akan menikah dengan Yap Song Can, adalah muridnya yang disayang seperti anak sendiri.

Hanya Yap Cong San seorang yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan nenek ini. Akan tetapi Yap Cong San adalah murid ketua Siauw-lim-pai yaitu Tiong Pek Hosiang dan ketua Siauw-lim-pai ini dahulu adalah kekasih Tung Sun Nio. Karena itu, bukan sama sekali tidak ada hubungan dengannya! Oleh karena itu, pernikahan dua pasang mempelai itu benar-benar merupakan peristiwa yang besar serta menggembirakan bagi Tung Sun Nio.

Sudah puluhan tahun lamanya Tung Sun Nio mengasingkan diri sehingga dia tidak lagi dikenal orang di dunia kang-ouw. Ada pun Cia Keng Hong sendiri, biar pun akhirnya dapat membersihkan nama gurunya dan telah menyadarkan para tokoh kang-ouw akan niatnya ingin mengakhiri permusuhan yang ditimbulkan mendiang gurunya dengan hampir semua tokoh kang-ouw, namun tokoh-tokoh itu masih merasa segan untuk mendekat pemuda itu.

Karena inilah maka perayaan itu hanya dihadiri oleh beberapa orang tokoh kang-ouw yang memiliki hubungan baik dengan Cia Keng Hong dan Yap Cong San. Ada pun Gui Yan Cu yang semenjak kecil ikut gurunya tidak mempunyai kenalan pula, sedangkan Sie Biauw Eng sebagai puteri dari Lam-hai Sin-ni, tentu saja hanya dikenal oleh para tokoh golongan hitam yang sekarang bahkan menjadi musuh-musuhnya karena wanita cantik jelita yang lihai ini telah mengubah cara hidupnya semenjak dia bertemu dan jatuh cinta kepada Cia Keng Hong.

Di antara para tokoh kang-ouw yang hadir tampak dua orang wakil dari Hoa-san-pai, lima orang wakil Kun-lun-pai yang diutus sendiri oleh ketua Kun-lun-pai yaitu Kiang Tojin yang menjadi sahabat baik Cia Keng Hong, Ouw Kian yang menjadi ketua Tiat-ciang-pang bersama dua orang pembantunya, dan belasan orang tokoh kang-ouw lain yang merasa kagum kepada Cia Keng Hong. Biar pun tidak banyak tokoh kang-ouw yang hadir, namun suasana pesta meriah karena dipenuhi oleh penduduk dusun-dusun di kaki Pegunungan Cin-lin-san yang banyak mengenal Gui Yan Cu.

Sebagai pengantin pria dari Siauw-lim-pai, Yap Cong San diantar oleh lima orang hwesio tokoh Siauw-lim-pai. Pemuda ini tidak datang sendiri karena dia adalah sebagai orang yang punya ‘kerja’ di pihak pengantin pria dan di kuil Siauw-lim-si telah diadakan upacara tersendiri sebelum Yap Cong San berangkat.

Semua tamu telah berkumpul, meja sembahyang telah diatur dan dua pasang mempelai telah diarak keluar untuk melakukan upacara sembahyang pengantin. Mengagumkan dan menyenangkan sekali jika melihat dua pasang pengantin ini karena memang merupakan pasangan yang amat setimpal. Sie Biauw Eng berwajah cantik manis dan agung, seperti puteri istana, bayangan dingin yang dulu kini telah berubah penuh kehangatan dan gairah. Gui Yan Cu berwajah cantik jelita seperti bidadari, cerah dan memandang wajah dara ini seperti memandang matahari pagi.

Ada pun dua orang pengantin prianya juga tampan dan gagah. Cia Keng Hong berwajah tampan dengan sinar mata tajam seperti berkilat, sikap tenang dan biar pun usianya baru dua puluh empat tahun, namun wajahnya sudah membayangkan kematangan batin, sinar matanya penuh pengertian dan sikapnya seperti sebuah telaga yang amat dalam.

Yap Cong San juga tampan sekali, gerak-geriknya halus sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang ahli sastra, karena di samping ilmu silatnya yang tinggi juga pemuda ini merupakan seorang sastrawan yang pandai.

Dua pasang pengantin itu bersembahyang, dipimpin oleh seorang hwesio Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng dari Yap Cong San sendiri. Sebagai seorang hwesio, tentu saja suheng-nya itu ahli dalam urusan upacara sembahyang maka dialah yang ditunjuk untuk memimpin upacara sembahyang pengantin.

Tung Sun Nio menyaksikan dengan air mata membasahi pipinya saking terharu. Nenek ini terkenang akan masa dahulu, sebagai isteri Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong. Menyesallah hatinya bila mengenang masa mudanya, di mana ia mengalami penderitaan dalam rumah tangganya. Teringat ia betapa ketika ia menikah dengan Sie Cun Hong, mereka berdua pun bersembahyang persis seperti yang dilakukan dua pasang mempelai ini, akan tetapi kenyataannya kemudian sangat menyakitkan hati.

Dia sudah menjatuhkan cinta hatinya kepada Ouwyang Tiong, akan tetapi orang tuanya mengharuskan dia menikah dengan Sie Cun Hong. Karena Sie Cun Hong adalah seorang laki-laki yang tampan dan gagah perkasa, ia masih mengharapkan dapat hidup bahagia di samping suaminya itu.

Akan tetapi, ternyata Sie Cun Hong yang sudah terkenal sebagai seorang laki-laki yang gila wanita itu, tidak berubah dan bermain cinta dengan wanita mana saja yang mau melayaninya! Bahkan pelayannya sendiri, Oh Hian Wi, pelayan yang setia, dilayani pula oleh suaminya itu dan mereka melakukan hubungan gelap ketika gadis pelayan itu ikut bersamanya untuk melayaninya.

Padahal, dia baru saja menikah belum sebulan lamanya, masih dalam suasana pengantin baru! Dia menangkap basah suaminya dan Oh Hian Wi dan mengerti bahwa hubungan mereka itu sudah dilakukan sejak dia dan pelayannya tinggal di rumah suaminya, bahkan mungkin di malam pengantin setelah dia tidur, suaminya itu mendatangi Oh Hian Wi yang tergila-gila kepadanya. Sekali menikah, suaminya mendapatkan dua orang wanita! Sejak itu, hambarlah perkawinannya sehingga menciptakan serangkaian kejadian yang berupa mala petaka!

Nenek Tung Sun Nio menghela napas dan diam-diam ia berdoa untuk kebahagiaan dua pasang pengantin itu. Pernikahannya yang gagal, batinnya yang lemah sehingga sebagai isteri Sie Cun Hong dia sudah berlaku serong, bermain cinta dengan bekas kekasihnya, Ouwyang Tiong saat orang ini mengunjunginya, telah mengakibatkan hidupnya hancur.

Dia menderita puluhan tahun lamanya, menderita batin. Juga Ouwyang Tiong menderita batin, kemudian pemuda itu lari kepada agama sehingga dia memperoleh kemajuan dan kedudukan tinggi, akhirnya menjadi ketua Siauw-li-pai. Walau pun biang keladinya adalah suaminya sendiri yang masih mengobral cinta, namun dia sendiri pun bersalah.

Pernikahan akan gagal apa bila hanya berlandaskan cinta bergelimang nafsu birahi! Yang menjadi pengikat erat, yang mengekalkan pernikahan bukan hanya birahi semata, walau pun hal ini merupakan syarat penting sekali. Tanpa kemesraan hubungan badani antara suami isteri, pernikahan pun akan gagal!

Baru sekarang ia menyadarinya betapa agung cinta kasih antara suami isteri yang hanya akan dapat menjadi kekal sampai kematian memisahkan mereka kalau saja kedua pihak secara bersama-sama memupuknya dengan bijaksana, dengan kesetiaan dan dengan kesadaran akan kewajiban masing-masing, sebagai isteri dan sebagai suami, kemudian sebagai ibu dan sebagai ayah anak-anak mereka!

Tung Sun Nio tenggelam di dalam lamunan dan baru sadar setelah upacara sembahyang selesai dan kedua mempelai itu berlutut memberi hormat di depan kakinya. Tung Sun Nio membalas penghormatan mereka, kemudian dengan hati terharu ia menggunakan jari-jari tangannya menjamah dan mengelus kepala empat orang muda, bibirnya berbisik hampir tidak kedengaran, "Semoga Tuhan memberkahi kalian dengan kehidupan yang rukun dan bahagia." Ia mengusap air matanya.

Dua pasang pengantin itu sudah bangun berdiri dan memberi hormat kepada para tamu yang sudah bangun dari tempat duduk dan membalas penghormatan mereka.

"Ha-ha-hi-hik! Hanya tiga kali dalam hidup manusia disambut orang-orang lain. Kelahiran, menikah dan kematian. Kalian berempat sudah menjalani yang dua, tinggal yang terakhir! Bersiaplah kalian berempat untuk mati, hi-hik-hik!"

Semua orang merasa terkejut dan cepat menengok keluar di mana tahu-tahu telah berdiri seorang nenek yang bukan lain adalah Go-bi Thai-houw, bersama Cui Im dan Mo-kiam Siauw-ong.

Tung Sun Nio yang juga terkejut kini mengerutkan alisnya dan membentak. "Hian Wi manusia rendah budi! engkau mau apa?!"

Biasanya, bekas pelayan ini amat takut kepadanya, bahkan dalam pertemuan terakhir di puncak Tai-hang-san, kedatangannya membuat nenek iblis itu lari ketakutan. Akan tetapi sekali ini, Go-bi Thai-houw sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan tertawa mengejek.

"Tung Sun Nio, kini engkau bukan majikanku lagi, dan mestinya semenjak dulu-dulu kau kubunuh. Hi-hi-hik, engkau mengusirku untuk menjauhkan aku dari suamimu, siapa tahu, kiranya engkau sendiri malah berhubungan gelap dengan Ouwyang Tiong dan…"

"Tutup mulutmu, Iblis tua!" Keng Hong membentak marah sekali sehingga suaranya keras menggeledek, mengejutkan semua orang.

"Wah, Keng Hong, engkau bersikap seakan-akan engkau seorang yang bersih dan suci. Heh-heh-heh-heh, siapa yang tidak mengenal Cia Keng Hong? Guru kencing berdiri murid kencing berlari! Sin-jiu Kiam-ong seorang yang gila perempuan, muridnya tak kalah hebat! Ehh, Keng Hong, sudah berapa banyak perempuan yang mabuk dalam pelukanmu dan rayuanmu? Hi-hi-hik! Masih teringat aku betapa pandai engkau merayu...!"

"Bhe Cui Im perempuan hina!" Biauw Eng sekarang sudah melepas kerudung pengantin dari mukanya. Mukanya pucat dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya kilat saking marahnya.

"Hi-hi-hik-hik, sumoi-ku yang manis. Engkaulah yang hina dan bodoh, mau dijadikan isteri seorang laki-laki cabul yang wataknya sama saja dengan mendiang Sin-jiu Kiam-ong. Aku berani bertaruh bahwa hanya dalam waktu beberapa hari mendatang dia akan melakukan penyelewengan dengan wanita yang mana saja asalkan cantik dan suka melayaninya. Ia tampan, Biauw Eng, tentu banyak wanita yang suka kepadanya!"

"Go-bi Thai-houw! Kalau bukan Keng Hong yang melarang, tentu engkau sudah mampus di tangan kami berempat pada saat bertanding di puncak Tai-hang-san! Mengapa engkau sekarang malah datang untuk mengacau? Mengapa kalian berdua yang sudah diberikan kesempatan hidup tidak mengubah kelakuan, tidak mau bertobat malah kini melanjutkan kesesatan kalian?" Yap Cong San tidak dapat menahan hatinya mendengar ucapan dua orang wanita itu yang sangat menghina dan hendak membongkar rahasia mendiang guru dan ibu guru Keng Hong bahkan menghina Keng Hong secara keterlaluan.

Go-bi Thai-houw hanya terkekeh, akan tetapi Cui Im memandang pemuda itu dengan mata mengejek. Ia pernah tergila-gila kepada pemuda Siauw-lim-pai yang tampan itu dan terang-terangan ditolak oleh Cong San sehingga kini timbul pula kebenciannya kepada pemuda itu.

"Yap Cong San, engkau berlagak bicara seperti orang bijaksana, padahal engkau pun tolol dan bodoh seperti Biauw Eng! Siapa yang kau jadikan isteri itu? Apakah engkau tidak mengenal siapa isteri itu? Apakah engkau tidak mengenal siapa Gui Yan Cu ini? Memang dia cantik jelita, akan tetapi siapa tahu isi hatinya? Dia murid Tung Sun Nio, seorang isteri yang serong! Dan lama dia merantau berdua saja dengan Keng Hong, mana dia mau melepaskan seekor domba berdaging lunak seperti Yan Cu? Heh-heh-heh, aku berani bertaruh potong leher kalau di antara Yan Cu dan Keng Hong tidak ada hubungan cinta, ha-ha-ha!"

"Bhe Cui Im, kau perempuan rendah dan keji!"




Sekarang Yan Cu juga sudah merenggut lepas kerudungnya dengan muka merah saking marahnya. Namun diam-diam dia merasa khawatir sekali karena tak dapat disangka pula bahwa memang dahulu dia amat tetarik kepada Cia Keng Hong. Agaknya, kalau tidak ada Biauw Eng dan Cong San, laki-laki pertama yang akan dicintanya lahir batin adalah Cia Keng Hong!


"Go-bi Thai-houw dan Cui Im! Tidak perlu banyak cakap lagi. Katakan saja apa maksud kedatangan kalian ini?" Keng Hong melangkah maju dan bertanya, sikapnya tenang akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat.

Di luar kesadaran Cui Im, sinar mata Keng Hong membuatnya melangkah mundur satu tindak. Di dalam hatinya, dia sangat gentar kalau harus menghadapi Keng Hong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.

Mo-kiam Siauw-ong yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, kini berkata, "Cia Keng Hong, perlukah pertanyaan itu kau ajukan? Mereka berdua ini telah kau musuhi dan tentu kedatangan mereka untuk membalas dendam, seperti juga aku."

"Engkau siapakah?"

"Aku Mo-kiam Siauw-ong datang untuk menuntut balas atas kematian tiga orang suhu-ku, Thian-te Sam-lo-mo!"

"Hemm... bagus! Kalian bersekutu untuk mengacaukan upacara pernikahan. Benar-benar perbuatan hina dan curang, dalam dunia kaum sesat sekali pun orang akan menghormati upacara pernikahan dan tidak akan mengadakan perhitungan atas urusan pribadi. Akan tetapi karena kalian sudah datang, kami pun sudah siap! Akan tetapi, ingatlah, Cui Im, kali ini aku tidak mau mengampunkan engkau."

"Srattt!"

Tampak sinar hijau berkelebat dan tahu-tahu tangan kanan Keng Hong telah memegang sebatang pedang kayu. Itulah Siang-bhok-kiam, pedang terbuat dari kayu harum yang pernah menjadi perebutan seluruh tokoh dunia kang-ouw. Melihat pedang ini, kembali hati Cui Im menjadi gentar sekali dan dia melirik ke arah Go-bi Thai-houw sambil berbisik,

"Harap subo hadapi keparat ini, biar teecu menghadapi yang lain."

"Hi-hi-hik, Cia Keng Hong, kepandaianmu tak seberapa hebat akan tetapi lagakmu seperti jagoan. Kau akan bisa berbuat apakah terhadap Go-bi Thai-houw?" Nenek ini melangkah maju menghadapi Keng Hong dengan kedua tangan kosong!

Keng Hong maklum akan kelihaian nenek itu. Di puncak Tai-hang-san dia dibantu oleh Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San, dan mereka berempat masih terdesak. Akan tetapi pada waktu itu, dia memang tidak menyerang atau melawan dengan sungguh-sungguh karena memang dia masih menghormati nenek yang pernah menjadi guru Biauw Eng selama setahun lamanya itu dan tidak berniat untuk merobohkannya.

Meski pun dia maklum bahwa dengan tangan kosong akan sangat sukar baginya untuk mengalahkan nenek sakti ini, namun Keng Hong yang berjiwa pendekar besar merasa segan menghadapi lawan bertangan kosong dengan senjata di tangannya. Akan tetapi, pada waktu dia hendak menyimpan kembali pedangnya untuk melawan Go-bi Thai-houw dengan tangan kosong pula, terdengar suara riuh rendah dan tampaklah kurang lebih seratus orang datang menyerbu atas perintah Cui Im yang dikeluarkan melalui lengkingan panjang yang amat nyaring.

Itulah pasukan bantuan Mo-kiam Siauw-ong yang terdiri dari bajak sungai, dikepalai oleh tokoh-tokoh golongan sesat Melihat serbuan ini, Keng Hong tidak menyimpan pedangnya kembali. Bahkan Biauw Eng sudah melolos sabuk sutera putih, senjatanya yang sangat lihai. Cong San pun sudah mencabut sepasang senjatanya, yaitu Im-yang pit, pensil yang berwarna hitam putih, sedangkan Gui Yan Cu pun sudah mencabut pedangnya.

Para tamu yang memiliki ilmu kepandaian, sudah mencabut senjata masing-masing dan tanpa diminta mereka sudah menyambut datangnya para penyerbu yang ganas itu, ada pun para tamu yang tidak memiliki kepandaian silat, sudah bubar berlarian dan berusaha menyelamatkan diri, akan tetapi ada beberapa orang di antara tamu ini sudah roboh oleh senjata para bajak yang menyerbu dengan perintah untuk mengacaukan dan membunuh siapa saja tanpa pandang bulu! Kasihan benar para tamu yang terdiri dari para petani Pegunungan Cin-ling-san. Biar pun mereka berusaha menghindar, percuma saja mereka melawan keganasan para bajak sungai.

Melihat hal ini, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil partai serta tokoh-tokoh kang-ouw menjadi marah dan menyerbu para bajak. Terjadilah perang di tempat pesta pernikahan itu, perang kecil-kecilan yang hiruk-pikuk dan kacau- balau. Dan apa lagi ketika para bajak yang banyak jumlahnya itu mulai membakar rumah Tung Sun Nio.

Tempat yang disediakan untuk pesta perayaan pernikahan terbuat dari pada bahan yang mudah terbakar karena memang dibangun secara darurat sehingga sebentar saja tempat itu menjadi lautan api. Mereka yang sedang bertanding terpaksa memindahkan kalangan pertandingan di luar, menjauhi api.

Keng Hong yang biasanya tenang dan sabar, menjadi marah sekali. Dia meninggalkan Go-bi Thai-houw, tubuhnya berkelebat ke arah para bajak lalu mengamuklah pendekar ini bagaikan seekor naga yang marah.

Sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam menjadi bergulung-gulung dan setiap orang anggota bajak yang terkena sambaran sinar ini roboh dan tewas seketika! Karena kemarahannya menyaksikan bajak-bajak membakar dan membunuh tamunya yang sama sekali tidak berdosa dan tidak memiliki kepandaian untuk membela diri, Keng Hong mengamuk dan meninggalkan Go-bi Thai-houw, lupa bahwa nenek itu dan Cui Im-lah yang sesungguhnya merupakan dua orang yang paling berbahaya!

Nenek Tung Sun Nio sudah menyambar pedang dan menerjang Go-bi Thai-houw, dibantu muridnya, Yan Cu yang juga memegang pedang. Namun Go-bi Thai-houw menyambut pengeroyokan guru dan murid ini sambil tertawa, tubuhnya membuat beberapa gerakan aneh, meliuk ke sana-sini, kedua tangannya bergerak cepat, kadang-kadang mencakar, mendorong dan menangkis pedang dengan tangan kosong!

Menyaksikan kehebatan Go-bi Thai-houw, Tung Sun Nio menjadi terkejut setengah mati. Dahulu pada waktu mudanya, bekas pelayan ini pernah menerima latihan ilmu silat, akan tetapi tentu saja masih jauh sekali di bawah tingkatannya. Siapa tahu, sesudah mereka menjadi seorang nenek, sesudah diusir pergi, Oh Hian Wi telah menjadi seorang nenek iblis yang memiliki ilmu kesaktian sedemikian hebatnya!

Biauw Eng yang sangat membenci terhadap bekas suci-nya, Cui Im yang sudah banyak mendatangkan kesengsaraan kepadanya dan kepada Keng Hong, langsung menyerang dengan ganas, menggunakan sabuk suteranya yang bergerak seperti ular putih menotok jalan-jalan darah yang berbahaya secara cepat sekali.

Namun Cui Im telah mengeluarkan pedangnya, sebatang pedang merah pula. Sebelum menyerbu, wanita ini telah berhasil menyuruh bikin sebatang pedang merah, terbuat dari baja merah yang meski pun keampuhannya tidak seperti pedang merahnya yang sudah patah oleh Keng Hong di puncak Tai-hang-san, namun masih sangat lihai dan berbahaya karena selain ilmu pedangnya memang hebat sejak dia mempelajari kitab-kitab warisan Sin-jiu Kiam-ong, juga dia telah menaruh racun di mata pedangnya.

Mengetahui kelihaian Cui Im, Cong San membantu Biauw Eng, menggerakkan sepasang pit-nya untuk menyerang lawan tangguh itu sehingga terjadilah pertandingan mati-matian yang amat hebat. Cui Im tertawa-tawa seperti Go-bi Thai-houw, memandang ringan dan ia malah masih dapat mengejek sambil menghalau senjata kedua orang lawannya dengan sinar pedang merahnya.

"Kalian orang-orang tolol! Biauw-Eng, engkau menyerahkan diri pada seorang lelaki yang cintanya palsu, seorang laki-laki mata keranjang yang tidak akan malu-malu melakukan hubungan kotor dengan ibunya sendiri! Dan kau, Cong San... hi-hi-hi-hik, apakah kau kira isterimu itu belum ditiduri Keng Hong?"

"Perempuan hina, tutup mulutmu!" Cong San marah sekali dan menubruk maju, sepasang pit-nya menyerang tenggorokan dan pusar secara berbareng dengan gerakan yang amat cepat dan kuat.

"Tring-cringgg…!" Cong San terhuyung ke belakang oleh tangkisan Cui Im.

"Yap Cong San, kau pemuda tolol yang tak mau melihat kenyataan! Engkau mengenal siapa Keng Hong! Aku berani bertaruh bahwa isterimu itu bukan gadis lagi! Karena hanya Biauw Eng ini satu-satunya gadis yang belum bisa dia dapatkan, maka dia memilih Biauw Eng. Isterimu adalah bekasnya, hi-hi-hik!"

"Cui Im, aku harus membunuhmu!" Biauw Eng membentak marah sekali.

Cui Im cepat meloncat ke kiri, menghindarkan serangan sabuk sutera putih yang sangat berbahaya itu. "Sumoi, kau marah karena omonganku memang merupakan kenyataan? Ha-ha-ha-ha, engkau tentu tahu siapa Keng Hong, akan tetapi karena cintamu engkau menjadi buta! Dan karena gobloknya maka Cong San ini pun menjadi buta!"

"Wuuuttttt…!"

Sabuk sutera putih menerjang ganas. Sepasang Im-yang-pit di tangan Cong San juga ikut menerjang.

"Aihhhhh... brettt...!"

Biar pun Cui Im sudah menggerakkan pedang dan mengelak, tetap saja bajunya di dekat lambung terobek oleh pit hitam di tangan kanan Cong San.

"Baiklah, kalau kalian lebih suka mampus!" bentak Cui Im yang maklum bahwa ia sedang menghadapi dua lawan yang tangguh.

Kalau mereka maju satu demi satu, tentu akan mudah ia akan merobohkan mereka. Akan tetapi, kalau kedua orang itu maju bersama mengeroyoknya, maka dia harus benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk melawan. Kini Cui Im tidak bicara lagi karena harus memusatkan perhatiannya kepada kedua orang pengeroyok yang lihai itu.

Namun, diam-diam omongan-omongannya tadi yang merupakan serangan-serangan lebih dahsyat dari pada pedang merahnya, telah menggores hati Biauw Eng, terutama sekali Cong San. Biauw Eng sudah mengenal betul suaminya, tahu bahwa Keng Hong memiliki kelemahan terhadap kecantikan wanita dan melihat bahwa Yan Cu sangat cantik jelita, tuduhan yang dilontarkan oleh Cui Im tadi bisa jadi bukanlah kosong belaka, mengandung banyak kemungkinan.


 Sebetulnya, perasaan cemburu sudah lenyap dari hatinya terhadap Keng Hong. Hal yang sudah lewat dan tidak akan diingatnya kembali karena pernikahan merupakan lembaran baru dalam hidupnya. Apa yang sudah dilakukan Keng Hong di masa lampau, tidak akan dipedulikan, karena yang terpenting baginya adalah masa depan. Kalau saja Keng Hong menghentikan sifatnya yang senang kepada wanita cantik di masa mendatang, dia sudah memaafkan dan akan melupakan segala peristiwa yang pernah terjadi antara suaminya dengan wanita-wanita lain.

Akan tetapi, ucapan-ucapan Go-bi Thai-houw dan Cui Im merupakan racun yang sedikit banyak telah mengusik hatinya. Kalau benar Keng Hong mewarisi watak Sin-jiu Kiam-ong, ayahnya... dia bergidik dan kedua pipinya menjadi panas.

Ayahnya pun sudah menikah dengan nenek Tung Sun Nio pada waktu mudanya, namun masih saja melanjutkan petualangannya dengan wanita lain, bahkan bermain cinta gelap dengan Oh Hian Wi, pelayannya sendiri! Bagaimana kalau ternyata benar-benar Keng Hong mewarisi watak guru suaminya dan juga ayahnya sendiri itu?

Dan Yan Cu... kini ia ragu-ragu apakah di dalam hubungan antara mereka tidak ada cinta! Semua ini membuatnya marah sekali, marah kepada Cui Im dan dia menyerang dengan mati-matian.

Omongan beracun itu pun mempengaruhi perasaan Cong San. Memang tadinya dia pun menduga bahwa Yan Cu mencinta Keng Hong, dan baginya merupakan hal yang amat tidak diduga-duganya bahwa Yan Cu suka menjadi isterinya. Benarkah Yan Cu sudah ditiduri Keng Hong seperti yang diucapkan Cui Im? Dan hanya mau menerima dia karena tidak mempunyai harapan mempersuamikan Keng Hong yang sudah memilih Biauw Eng? Benarkah... benarkah Yan Cu bukan gadis lagi?

Walau pun dia sudah mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak bisikan-bisikan yang mengganggu hatinya ini, namun tetap saja dia merasa tidak enak dan marah. Seperti juga Biauw Eng, dia lalu menimpakan kemarahannya kepada Cui Im dan menyerang dengan sengit.

Pertandingan antara Cui Im yang dikeroyok oleh Biauw Eng dan Cong San ramai dan seimbang, tidak seperti pertandingan antara Go-bi Thai-houw yang dikeroyok oleh Tung Sun Nio dan Yan Cu. Go-bi Thai-houw terlampau sakti bagi guru dan murid ini, terutama sekali bagi Yan Cu.

Gadis ini menjadi bingung menyaksikan gerakan nenek itu yang sangat aneh sehingga beberapa kali hampir saja ia kena cakaran tangan si nenek yang melakukan pertandingan sambil tertawa-tawa mengejek. Ia dan gurunya terdesak hebat dan hanya dengan kerja sama yang erat dan saling melindungi saja mereka masih sanggup mempertahankan diri.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Go-bi Thai-houw, pinceng hendak bicara!" ternyata lima orang hwesio Siauw-lim-pai telah berada di situ menghadapi Go-bi Thai-houw yang meloncat mundur sambil terkekeh memandang rendah.

Ketika para tokoh kang-ouw yang menjadi tamu tadi semua maju menyambut para bajak yang datang menyerbu, lima orang hwesio Siauw-lim-pai ini tetap tidak bergerak, bahkan sehabis mendengar omongan Go-bi Thai-houw mereka lalu saling berbisik dengan wajah sungguh-sungguh.

Sesudah bersepakat, kini mereka menghampiri nenek itu dan menghentikan pertandingan yang sedang ramai-ramainya. Mereka adalah murid-murid ketua Siauw-lim-pai, dan walau pun dalam hal ilmu silat, tingkat mereka masih lebih rendah dari Yap Cong San, akan tetapi Cong San masih terhitung sebagai sute mereka. Usia mereka rata-rata sudah lima puluh tahun lebih dan mereka memiliki kedudukan yang cukup tinggi di Siauw-lim-pai.

"He-he-heh, hwesio-hwesio Siauw-lim-pai menghentikan pertempuran! Kalian mau bicara apakah? Kalau kalian mau mengeroyok, mengapa pakai banyak cakap? Majulah!" Go-bi Thai-houw menantang.

Thian Lee Hwesio, yang tertua di antara mereka, menggelengkan kepalanya, "Omitohud, kami adalah orang-orang beragama yang pantang berkelahi, apa lagi membunuh. Akan tetapi, kami pun hamba-hamba yang mengabdi kebenaran yang siap mempertaruhkan nyawa demi kebenaran. Go-bi Thai-houw, engkau tadi telah mengucapkan kata-kata yang amat menghina suhu kami, Tiong Pek Hosiang ketua Siauw-lim-pai. Pinceng hanya minta agar engkau suka menarik kembali kebohongan yang menghina itu, kalau tidak, terpaksa pinceng berlima mengorbankan nyawa demi membela kebersihan nama suhu dan Siauw-lim-pai!"

"Heh-heh-hi-hik-hik! Kalian ini gundul-gundul yang tolol, tidak mengenal guru dan ketua sendiri! Siapa membohong? Gurumu itu, si tua bangka gundul Tiong Pek Hosiang yang sekarang kelihatannya seperti orang suci bersih, dahulu pada waktu mudanya bernama Ouwyang Tiong dan dialah orangnya yang berjinah dengan isteri Sin-jiu Kiam-ong!"

"Omitohud... tak mungkin!" Thian Lee Hwesio membentak, menahan kemarahannya.

"Heh-heh-heh, tidak mungkin? Kau tanyakan saja kepada isteri Sin-jiu Kiam-ong ini. Ehh, Tung Sun Nio, benarkah engkau telah berjinah dengan Ouwyang Tiong hingga tertangkap basah oleh suamimu? Hayo, menyangkallah!"

Lima orang hwesio itu dengan mata terbelalak menoleh dan memandang kepada Tung Sun Nio.

"Maaf, Toanio... benarkah itu...?" Thian Lee Hwesio memberanikan hatinya bertanya.

Yang ditanya tidak mampu menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng, hanya berdiri dengan muka pucat sekali dan dua titik air mata turun di sepasang pipi yang keriput. Tidak diduganya bahwa sampai sekarang pun bekas kekasihnya itu, Ouwyang Tiong yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai yang terhormat, masih harus menderita karena perbuatan mereka dahulu yang disesatkan oleh pengaruh iblis, sebab rahasia mereka dibuka secara menghinakan sekali oleh Go-bi Thai-houw!

Menyaksikan keadaan gurunya, Yan Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia lantas meloncat maju dengan sebuah serangan kilat sambil membentak, "Nenek iblis! Aku akan mengadu nyawa denganmu!"

"Toanio... bagaimana..?" Thian Lee Hwesio mendesak. Urusan itu amat penting baginya, bagi para saudaranya, bagi seluruh anggota Siauw-lim-pai, sebab menyangkut nama baik ketuanya yang berarti menyangkut kehormatan Siauw-lim-pai sendiri.

Tung Sun Nio seperti orang termenung ketika melihat muridnya menerjang nenek iblis itu. Kemudian seperti orang kehilangan semangat, ia mengangguk dan berkata, "Harap kalian jangan menyalahkan dia. Kasihan dia yang sudah banyak menderita..."

"Omitohud...!" Pengakuan itu membuat lima orang hwesio Siauw-lim-pai terbelalak pucat dan merangkap sepuluh jari tangan ke depan dada.

Go-bi Thai-houw yang diserang oleh Yan Cu, cepat-cepat membuat gerakan meliuk ke belakang, kedua tangan bergerak dan tahu-tahu sepasang pergelangan tangan Yan Cu telah ditangkapnya!

"Lepaskan muridku!" Tung Sun Nio yang melihat bahaya mengancam muridnya, langsung menyerang dengan tusukan pedang ke arah kepala.

Go-bi Thai-houw mengerahkan tenaga hingga memaksa tangan Yan Cu yang memegang pedang itu bergerak membalik sehingga pedangnya menangkis pedang gurunya sendiri.

"Krakkk!" Kedua pedang itu patah.

"Aku atau kau yang harus mampus!” Tung Sun Nio memekik dan menubruk maju dengan kedua tangan, mencengkeram ke arah dada dan ubun-ubun Go-bi Thai-houw yang masih memegang dua pergelangan tangan Yan Cu yang sudah membiru dan nyeri sekali. Cepat nenek iblis ini mendorong sehingga tubuh Yan Cu jatuh terguling, kemudian menyambut kedua tangan Tung Sun Nio yang sudah datang mendekatinya.

Akan tetapi, Yan Cu cepat bangkit berdiri dan terbelalak, memandang betapa gurunya kini telah saling mengadu telapak tangan dengan Go-bi Thai-houw. Tubuh gurunya menggigil seperti orang kedinginan, sedangkan Go-bi Thai-houw masih terkekeh-kekeh.

"Subo...!"

Yan Cu maklum bahwa gurunya terancam nyawanya. Dia tidak mempedulikan sepasang lengannya yang nyeri, tak peduli pula akan kesaktian nenek iblis itu dan menerjang maju. Akan tetapi sebuah tendangan kaki kiri Go-bi Thai-houw yang melayang dengan cepat tak tersangka-sangka membuat dia terlempar dan terguling-guling lagi.

"Keng Hong suheng...! Tolong Subo...!" Yan Cu yang menjadi panik dan khawatir akan keselamatan subo-nya, menjerit dengan teriakan melengking nyaring.

Ketika itu Keng Hong masih mengamuk. Memang benar bahwa para tamu yang memiliki kepandaian, seperti dua orang wakil Hoa-san-pai, lima orang wakil Kun-lun-pai, tiga orang tokoh Tiat-ciang-pang dan belasan orang kang-ouw lain membantu pihaknya menghadapi para bajak sungai, akan tetapi jumlah mereka sangat banyak dan mereka dipimpin oleh orang-orang yang pandai pula, terutama sekali Mo-kiam Siauw-ong yang lihai. Maka dia sendiri mengamuk dan robohlah puluhan orang anggota bajak sungai di tangan pendekar sakti ini. Ketika mendengar jerit Yan Cu, barulah dia teringat akan dua orang musuh yang amat sakti.

Sesudah sadar akan hal ini, dia menjadi terkejut sekali, tubuhnya mencelat ke belakang dan dengan gerakan kilat dia meloncat ke arah suara Yan Cu. Kaget dia melihat Yan Cu yang untuk ke sekian kalinya sudah terguling-guling lagi dan melihat pula nenek Tung Sun Nio terhuyung-huyung dan roboh terdorong oleh kedua tangan Go-bi Thai-houw dan juga dia terheran-heran melihat lima orang suheng Cong San hanya berdiri memandang, sama sekali tidak membantu subo-nya itu.

Sekilas pandang maklumlah dia bahwa subo-nya sudah terluka hebat, karena itu dengan kemarahan meluap dia langsung menerjang Go-bi Thai-houw dengan serangan dahsyat, memukul dengan dorongan telapak tangan kanan, ada pun tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun nenek iblis itu.

Serangan ini dahsyat bukan main karena Keng Hong mempergunakan jurus ilmu silat Thai-kek Sin-kun dan kedua tangannya dijalari tenaga sinkang yang sangat kuat. Karena kekhawatirannya menyaksikan keadaan subo-nya dan sumoi-nya, Keng Hong sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya.

"Plak! Bresssss…!"

Hebat bukan main pertempuran antara tenaga sinkang yang dahsyat itu ketika si nenek iblis menangkis kedua pukulan Keng Hong. Keduanya segera terdorong mundur sampai lima langkah dan kembali diam-diam Keng Hong harus mengakui dalam hatinya bahwa selama dia berhadapan dengan tokoh-tokoh hitam, para datuk golongan sesat, baru kini dia bertemu lawan yang sangat hebat tenaga sinkang-nya, bahkan yang agaknya masih mengatasi kekuatannya sendiri karena pertemuan tenaga tadi membuat dia menjadi agak pening sedangkan nenek itu masih saja terkekeh-kekeh.

Dia tidak tahu bahwa nenek itu terkekeh bukan karena tidak merasakan akibat benturan tenaga itu, akan tetapi terkekeh untuk menutupi perasaan kagetnya! Nenek itu pun kaget bukan main ketika merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar. Mengapa pemuda itu bisa sehebat ini tenaganya? Belum lama yang lalu, di puncak Tai-hang-san, tidak sedahsyat ini tenaga Cia Keng Hong!

"He-he-heh, sekali ini engkau akan mampus di tanganku, murid Sin-jiu Kiam-ong!" Nenek itu tiba-tiba menubruk maju dan entah kapan mengeluarkannya, kedua tangannya sudah memegang sepasang kebutan yang digerakkan cepat sekali ke arah muka serta pusar Keng Hong.

"Wuuuttt... syuuuttt!"

Keng Hong yang melihat berkelebatnya sinar merah dan biru, cepat membuang diri ke belakang sambil mengebutkan kedua lengan bajunya. Ia merasa angin keras menyambar mukanya dan untung bahwa hawa pukulan yang keluar dari lengan bajunya masih dapat menyampok buyar ujung kebutan merah yang dia tahu amat berbahaya. Sambil berjungkir balik ketika membuang diri ke belakang, tangannya bergerak mencabut Siang-bhok-kiam!

Karena gentar menghadapi tenaga sinkang Keng Hong setelah benturan tangan pertama tadi, Go-bi Thai-houw mencabut keluar senjatanya, sepasang kebutan yang sebenarnya hampir tak pernah dia keluarkan apa bila dia menghadapi lawan. Dan hal ini merupakan kesalahannya.

Dengan ilmu silatnya yang tinggi dan aneh, dan dengan tenaga sinkang-nya yang mukjijat karena bercampur dengan ilmu hitam yang didapat di waktu dia masih gila, belum tentu Keng Hong akan sanggup mengalahkannya apa bila mereka bertanding dengan tangan kosong. Akan tetapi sekali pemuda sakti itu sudah mencabut pedang Siang-bhok-kiam dan memutar senjata itu, terkejutlah Go-bi Thai-houw karena sinar hijau bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing melengking itu benar-benar merupakan kiam-sut yang amat luar biasa dan bagi dia jauh lebih berbahaya dari pada menghadapi lawan ini dalam pertandingan tangan kosong!

Betapa pun juga, dia tidak percaya bahwa dia akan kalah melawan seorang pemuda yang patut menjadi cucunya! Sepasang kebutannya bergerak dan tiba-tiba saja beberapa helai benang kebutan merah dan biru terlepas dari ikatannya lantas menyambar ke arah tiga belas jalan darah maut pada bagian depan tubuh Keng Hong!

Benang-benang kebutan ini merupakan senjata rahasia yang sangat berbahaya karena di samping dilepaskan dari jarak amat dekat selagi mereka bertanding, juga benang-benang itu karena dilepas dengan dorongan tenaga sinkang yang mukjijat, menjadi kaku laksana jarum-jarum panjang!

Terkejut juga Keng Hong menyaksikan sinar-sinar berkelebatan menyerangnya ini. Akan tetapi dengan sikap tenang dia memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya sehingga benang-benang itu runtuh menjadi potongan-potongan halus akibat beberapa kali terbabat pedang, kemudian dia melanjutkan gerakan pedangnya dan memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang dia warisi dari suhu-nya, Sin-jiu Kiam-ong!

Go-bi Thai-houw menjadi kagum bukan main. Setajam-tajamnya sebatang pedang kayu, tentu tak setajam pedang logam, akan tetapi nyatanya pedang kayu itu dapat membabat benang-benang kebutannya yang melayang itu sampai menjadi potongan-potongan halus membuktikan betapa ampuh pedang itu dan betapa dahsyat tenaga sinkang tangan yang memegangnya. Kini nenek itu tidak berani memandang rendah lagi dan berhentilah suara tawanya. Ia menyerang dengan pengerahan tenaga dan kepandaian sekuatnya sehingga terjadilah petandingan hebat yang membuat pandang mata para penonton menjadi kabur.

Setelah tadi terkena tendangan dua kali oleh Go-bi Thai-houw, Gui Yan Cu tidak terluka hebat, akan tetapi tendangan kedua yang mengenai bawah pusar membuat tubuh bagian itu terasa nyeri. Dia sudah bangkit kembali dan ketika melihat bahwa Keng Hong sudah melayani Go-bi Thai-houw, dia pun tidak berani membantu karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat mereka. Apa lagi dia percaya akan kesaktian suheng-nya.

Maka dia segera menghampiri subo-nya yang masih menggeletak rebah terkena pukulan Go-bi Thai-houw ketika kedua orang nenek itu tadi mengadu tenaga sinkang. Dia melihat subo-nya berusaha bangkit duduk dengan susah payah, wajah subo-nya pucat sekali.

"Subo...!" Ia menubruk dan membantu subo-nya bangkit duduk.

"Jangan pedulikan aku... lekas bantu mereka... suamimu dan Biauw Eng..." Tung Sun Nio berkata lemah sambil menuding ke medan pertempuran.

Yan Cu memandang subo-nya dengan ragu-ragu. "Subo terluka hebat.. perlu dirawat..."

Subo-nya menggelengkan kepala. "Dahulukanlah yang lebih penting, suamimu terancam bahaya..."

Mendengar ini, Yan Cu cepat menengok dan ia segera meloncat bangun. Memang benar apa yang diucapkan subo-nya. Kalau tadi Cong San bersama Biauw Eng masih mampu mengimbangi Cui Im yang amat lihai dengan pengeroyokan mereka, kini keadaan kedua orang itu terdesak hebat dengan masuknya Mo-kiam Siauw-ong dalam pertempuran itu membantu Cui Im!

Kiranya pertempuran antara para tokoh kang-ouw melawan para bajak yang dipimpin oleh kepala masing-masing, tidaklah terlalu berat lagi bagi para bajak setelah kini Keng Hong meninggalkan medan pertempuran dan menghadapi Go-bi Thai-houw. Yang paling hebat kepandaiannya di antara para tokoh kang-ouw hanyalah ketua Tiat-ciang-pang Ouw Kian yang mengamuk dengan kedua tangan kosong yang merupakan tangan baja. Akan tetapi Ouw Kian dikeroyok oleh enam orang kepala bajak yang semuanya memegang senjata sehingga terjadi pertempuran mati-matian yang amat hebat pula.

Tentu saja Mo-kiam Siauw-ong lebih banyak memperhatikan Cui Im dan Go-bi Thai-houw dari pada keselamatan para bajak, karena itu ketika dia melihat bahwa Keng Hong yang kepandaiannya menggetarkan hatinya kini bertanding melawan nenek Go-bi Thai-houw serta melihat Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dikeroyok dua oleh Cong San dan Biauw Eng yang juga amat lihai, dia sudah membantu Cui Im tanpa diminta.

Kalau dibandingkan dengan kepandaian Biauw Eng, maka tokoh lembah Sungai Fen-ho ini masih kalah jauh, bahkan jika dia sendiri saja melawan Cong San, dalam dua puluh jurus saja dia tentu akan roboh. Akan tetapi, di sampingnya terdapat Cui Im yang lihai sehingga bantuannya amat merepotkan Biauw Eng dan Cong San karena murid Thian-te Sam-lo-mo ini pun bukan seorang lemah.

Tung Sun Nio sudah terluka hebat, dan nenek ini maklum bahwa luka di dalam dadanya akibat himpitan tenaga sinkang Go-bi Thai-houw yang luar biasa kuatnya itu tak mungkin dapat diobati lagi. Dia tidak peduli akan keadaan dirinya sendiri. Dia sudah tua, usianya sudah sembilan puluh tahun! Mati bukan apa-apa lagi bagi seorang setua dia. Akan tetapi hatinya gelisah bukan main menyaksikan pertandingan itu, maka dia tidak mau membuat gelisah hati muridnya dan memaksa muridnya membantu Biauw Eng dan Cong San.

Yan Cu cepat merobohkan seorang bajak sungai yang berpedang, merampas pedangnya dan sekali hantam, telapak tangannya membikin pecah kepala bajak itu. Dengan pedang rampasan di tangan, dia segera meloncat dan menyerbu membantu suaminya dan Biauw Eng, langsung menyerang Mo-kiam Siauw-ong!

"Tranggg…!"

Mo-kiam Siauw-ong menangkis dan terkejutlah dia karena pedangnya hampir terpental dari tangannya sedangkan sinar pedang dara yang cantik jelita, kedua pipinya merah dan matanya bersinar-sinar saking merahnya itu telah menyambar lagi ke arah lehernya.

"Hayaaaaa...!" Dia membuang diri ke belakang sampai suaranya berdebuk dan terus dia bergulingan menjauhkan diri.

Yan Cu segera mengejar, membacok bertubi-tubi sampai tiga kali. Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong bukanlah orang yang lemah, sambil bergulingan dia dapat menangkis tiga kali bacokan itu.

"Trang-trang-trang... singgggg...!"

Dalam gulingan keempat, pedangnya menyambar ke arah kaki Yan Cu. Terpaksa gadis ini melompat mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Mo-kiam Siauw-ong untuk meloncat berdiri dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

Yan Cu merasa penasaran sekali. Kiranya teman Cui Im ini pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia melirik ke arah Biauw Eng dan suaminya dan hatinya lega karena setelah kini ditinggalkan Mo-kiam Siauw-ong, kedua orang itu mampu mengimbangi lagi permainan pedang merah Cui Im sungguh pun tidak dapat dikatakan bahwa mereka itu mendesaknya. Cui Im terlalu lihai dan Yan Cu yang sudah mendengar dari Keng Hong maklum bahwa sesudah mewarisi pula kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, kepandaian Cui Im tidak jauh di bawah Keng Hong sendiri.

"Cong San koko! Enci Biauw Eng! Hati-hatilah menghadapi siluman itu. Biarlah aku yang membasmi anjing busuk ini!" katanya.

Kembali ia menerjang secara ganas, pedangnya menusuk perut Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bersiap-siap dan menangkis sambil balas menyerang.

Tung Sun Nio duduk bersila dan napasnya terasa sesak bukan main, akan tetapi ia masih mencurahkan seluruh perhatiannya kepada jalannya pertempuran. Para bajak yang kini ditinggalkan Mo-kiam Siauw-ong, menjadi kacau-balau dan kehilangan semangat, tidak kuat menghadapi tokoh kang-ouw yang tadinya menjadi tamu dan kini membantu pihak tuan rumah.

Keng Hong masih bertanding dengan seru melawan Go-bi Thai-houw dan karena gerakan mereka amat cepat sedangkan gerakan Go-bi Thai-houw anehnya luar biasa, sulit baginya untuk dapat mengikuti dan menentukan siapa di antara mereka yang akan menang. Akan tetapi hatinya merasa khawatir sekali melihat betapa Biauw Eng dan Cong San agaknya kewalahan menahan serangan-serangan hebat dari Cui Im, sedangkan sumoi-nya dapat mendesak Mo-kiam Siauw-ong.

Ia kemudian menoleh ke arah lima orang hwesio Siauw-lim-pai yang masih berdiri seperti arca, agaknya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing.

"Ngo-wi Suhu dari Siauw-lim-pai, apakah tidak malu berpeluk tangan saja menyaksikan orang-orang jahat mengacau?" Tung Sun Nio memaksa diri berkata.

Lima orang hwesio itu menoleh dan tampak Thian Lee Hwesio menarik napas panjang, "Omotohud... pinceng sendiri tidak tahu mana itu orang baik dan mana orang jahat...! Setelah apa yang pinceng dengar tadi... ahhhhh..."

"Thian Lee Hwesio! Sudah kuakui akan kesesatanku di waktu muda dengan ketua kalian, akan tetapi itu adalah urusan dulu! Sekarang yang penting, kalian melihat sute kalian Yap Cong San terancam oleh wanita iblis Ang-kiam Bu-tek yang dahulu pernah membunuh susiok kallian Thian Ti Hwesio. Apakah kalian kini hanya akan berpangku tangan saja dan menyaksikan sute kalian dibunuh juga? Ataukah kalian mempergunakan alasan pantang berkelahi untuk menyembunyikan rasa takut kalian terhadap Ang-kiam Bu-tek?"

Wajah lima orang hwesio itu menjadi merah dan Thian Lee Hwesio berkata, "Apa yang dilakukan oleh suhu memang telah lewat puluhan tahun lamanya, dan sekarang ditambah lagi dengan pernikahan Yap-sute dengan seorang gadis dari keluarga yang sudah banyak melakukan penyelewengan... Omitohud... kalau dunia kang-ouw mendengar akan semua ini... habislah nama baik Siuw-lim-pai...!" Biar pun berkata demikian, hwesio itu memberi isyarat kepada empat orang sute-nya dan mereka pun melangkah lebar mendekati tempat pertandingan antara Cong San dan Biauw Eng yang mengeroyok Cui Im.

Melihat ini, Tung Sun Nio yang tadi mengerahkan seluruh tenaga untuk dapat bicara dan membakar hati para hwesio Siauw-lim-pai itu, menarik napas lega, akan tetapi wajahnya memperlihatkan rasa nyeri yang ditahan-tahannya dan ia memejamkan kedua matanya.

Pertandingan antara Keng Hong melawan Go-bi Thai-houw sudah berjalan seratus jurus lebih, makin lama makin seru dan gerakan kedua orang ini benar-benar dahsyat. Kalau Keng Hong bertempur dengan tenang dan hati-hati karena maklum akan kelihaian nenek itu, Go-bi Thai-houw menjadi marah-marah dan penasaran sekali.

Masakah dengan sepasang kebutannya dia tidak mampu mengalahkan seorang pemuda seperti ini? Bahkan mendesak pun dia tidak dapat dan sudah beberapa kali hampir saja ia disambar pedang Siang-bhok-kiam yang amat berbahaya itu.

Dia mengeluarkan bunyi seperti gerakan seekor binatang buas, kemudian menubruk maju dengan gerakan aneh, kebutan kanan menyambar ke arah leher Keng Hong sedangkan yang kiri meluncur kaku seakan-akan bulu kebutan lemas itu kini berubah menjadi baja, menusuk ke arah pusar lawan.

Keng Hong yang merasa khawatir akan keselamatan isterinya, sumoi-nya, dan Cong San yang menghadapi Cui Im karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian iblis betina yang juga sumoi-nya amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat Biauw Eng dan lain-lain, mengambil keputusan untuk cepat-cepat merobohkan nenek yang lihai ini. Agaknya kalau hanya mengandalkan pedang dan ilmu silatnya saja, akan amat sukarlah baginya untuk merobohkan lawan yang selain lihai juga jauh lebih berpengalaman dari pada dia itu.

Di samping ilmu-ilmunya yang tinggi dan dahsyat, Keng Hong mempunyai semacam ilmu yang disebut Thi-khi I-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), ilmu penyedot sinkang lawan yang tadinya timbul di dalam tubuhnya di luar kesadarannya sejak dia menerima pemindahan sinkang dari tubuh gurunya, Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi, setelah dia dapat menemukan kitab-kitab peninggalan suhu-nya dan juga mempelajari ilmu sakti Thai-kek Sin-kun yang ditemukannya pula di dalam tempat rahasia suhu-nya, dia sekarang berhasil menguasai ilmu itu sepenuhnya dan dapat mempergunakannya jika perlu.

Dahulu dia banyak mengakibatkan robohnya orang-orang sakti di dunia kang-ouw dengan ilmu penyedot sinkang ini, akan tetapi hal ini terjadi di luar kehendaknya dan dia tidak tahu bagaimana cara menghentikan bekerjanya ilmu mukjijat ini. Sekarang, ilmu yang sudah dikuasainya ini dapat dia pergunakan dan hentikan sesuka hatinya.

Keng Hong merasa ngeri kalau mengingat akan pengalamannya dahulu, betapa banyak orang roboh dan binasa sebagai korban ilmunya yang mukjijat dan tidak dia kuasai hingga merupakan ilmu yang liar dan yang timbul sewaktu-waktu di luar kehendaknya. Karena itu tadinya dia mengambil keputusan untuk tidak lagi menggunakan ilmu yang dianggapnya terlalu keji ini untuk menghadapi lawan, kalau tidak amat terpaksa.

Kini, menghadapi Go-bi Thai-houw yang betul-betul amat lihai, dia mengambil keputusan untuk menggunakan Thi-khi I-beng supaya dia dapat merobohkan si nenek iblis kemudian cepat-cepat membantu isteri dan teman-temannya mengalahkan Cui Im, apa lagi karena dia tahu bahwa subo-nya, nenek Tung Sun Nio, sudah menderita luka dalam yang amat berbahaya.

Keng Hong sedikit memperlambat gerakannya, memberi kesempatan kepada sepasang kebutan nenek itu menyambar dekat, kemudian dia segera mengangkat lengan kiri untuk menangkis kebutan yang menyambar leher, memindahkan langkah kaki untuk mengelak dari kebutan yang menyambar ke pusarnya dan Siang-bhok-kiam sudah berkelebat cepat menyambar ke arah pergelangan tangan Go-bi Thai-houw yang sebelah kanan.

Nenek itu terkejut sekali melihat sinar hijau berkelebat ke arah tangannya. Jika saja yang diserang itu bagian tubuh lain, tentu dia sudah siap untuk mengelak atau pun menangkis. Akan tetapi hatinya sudah terlalu girang karena melihat tangkisan tangan kiri Keng Hong yang terlambat tadi, ia cepat mempergunakan kesempatan ini untuk membelit tangan kiri Keng Hong dengan ujung kebutan dan dia berhasil. Hal ini membuatnya agak lengah dan baru ia terkejut bukan main setelah Siang-bhok-kiam menyambar dekat!

"Crokkk!"

Kebutan itu jatuh ke atas tanah karena gagangnya terbabat putus oleh Siang-bhok-kiam!

Nenek itu ternyata lihai bukan main. Sambaran pedang yang tiba-tiba datangnya itu masih dapat ia hindari dengan tarikan lengan cepat sekali sehingga pedang itu bukan membabat lengannya, melainkan gagang kebutan, dekat sekali dengan jari tangan yang memegang gagang! Akan tetapi, nenek itu terkejut, terpaksa melepaskan libatan kebutan kanannya dari tangan Keng Hong dan melompat mundur. Keng Hong merasa pergelangan tangan kirinya perih dan ternyata kulitnya lecet-lecet bekas lilitan ujung kebutan itu.

Go-bi Thai-houw yang merasa kaget menjadi marah sekali. Ia memindahkan kebutan ke tangan kiri, kemudian mengeluarkan teriakan melengking yang membuat orang-orang di dekat situ merasa amat kaget, lalu seperti seekor harimau mengamuk ia menubruk maju, kebutan di tangan kiri menghantam ke arah kepala Keng Hong dengan tenaga dahsyat! Keng Hong cepat menangkis dengan pedangnya.

"Wuuuttt... plakkk!"

Pedang itu sekarang terlibat oleh ujung kebutan dan Keng Hong merasa betapa tangan kanannya yang memegang pedang tergetar hebat. Terdengar nenek iblis itu tertawa dan tangan kanannya mencengkeram ke arah dada Keng Hong!

"Bagus!" Keng Hong berseru karena memang ini yang dia kehendaki untuk mengalahkan nenek itu dengan Thi-khi I-beng, maka dia menyambut cengkeraman tangan kanan nenek itu dengan tangan kirinya.

"Plakkkkk!" Dua tangan bertemu dan melekat kuat.

Pada saat pertemuan kedua telapak tangan itu, Keng Hong menggunakan ilmunya dan ada daya sedot yang amat kuat keluar dari telapak tangannya, membuat tangan nenek itu melekat pada tangannya dan tenaga sinkang nenek itu tersedot.

"Aihhhhh...!" Go-bi Thai-houw berteriak bagaikan jeritan seekor binatang buas. Untuk dua tiga detik hawa sinkang-nya menerobos keluar tersedot oleh lawan.

"Heeeiiiiittt!" Keng Hong terkejut sekali dan cepat dia mencelat ke belakang dengan mata terbelalak.

Tadinya memang dia merasa berhasil menyedot sinkang nenek itu. Akan tetapi tiba-tiba saja hawa sinkang nenek itu berhenti mengalir, kemudian telapak tangannya seolah-olah menyedot sebatang kayu sudah kering sama sekali, bahkan tenaga menempel tangannya pun membuyar dan nenek itu sudah dapat menarik kembali tangan kanan yang tertempel dan tersedot, langsung mengirim tusukan dengan dua buah jari tangannya ke arah mata Keng Hong! Untung pemuda ini dapat cepat mencelat ke belakang, kalau dia terlambat sedikit saja tentu sepasang biji matanya tercokel keluar!

Sementara itu, lima orang hwesio Siauw-lim-pai tanpa banyak cakap lagi telah menerjang ke depan dan mengeroyok Cui Im. Thian Lee Hwesio sendiri bertangan kosong, hanya menggunakan ujung kedua lengan bajunya sebagai senjata, tetapi empat orang sute-nya mempergunakan toya pendek yang biasanya mereka pakai sebagai tongkat.

Meski pun tingkat kepandaian lima orang hwesio ini tidak ada artinya bagi Cui Im karena masih lebih rendah dari pada tingkat kepandaian Gui Yan Cu, akan tetapi pengeroyokan mereka ini membuat dia yang sudah terdesak oleh Biauw Eng dan Cong San, menjadi makin repot menghindarkan diri dari hujan serangan.

Yan Cu mempercepat gerakan pedangnya, mendesak Mo-kiam Siauw-ong yang sudah tak mampu balas menyerang.

"Cring-tringgg... auggghhh...!"

Mo-kiam Siauw-ong hanya berhasil menangkis dua kali, tapi tusukan ketiga kalinya yang dielakkannya masih menyerempet pundak sehingga baju dan kulit pundaknya terobek, luka berdarah dan dia meloncat mundur sambil memutar pedang menjaga diri.
























Terima kasih telah membaca Serial ini.
 


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12