Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 35
Kiang Tojin
adalah seorang ahli Agama To, tentu saja mengenal sajak itu. Kalau saja dia
belum mempelajari kitab Thai-kek Sin-kun yang belum lama ini dia terima dari
Keng Hong, agaknya dia pun akan sukar sekali menangkap apa yang dimaksudkan
oleh pemuda itu. Akan tetapi kini dia mengerti, sebab itu diam-diam dia kagum
sekali karena melihat akan tepatnya ‘nasehat’ yang diberikan pemuda lihai itu
untuk memberi petunjuk kepadanya menghadapi lawan.
Pak-san
Kwi-ong adalah seorang tokoh utara yang memiliki kepandaian dahsyat namun liar
dan ganas, mengandalkan senjata ampuh dan tenaga kuat. Kini, seperti juga Kiang
Tojin, dia sudah terluka hebat. Kalau saja kakek hitam ini tidak yakin benar
bahwa Kiang Tojin juga sudah terluka parah, tentu dia tak berani menantang dengan
nekat. Kini melihat keadaan lawan yang kelihatan lebih lemah, dia telah
menerjang cepat dengan mengayun tengkoraknya yang tinggal sebuah.
Kiang Tojin
cepat mengelak dengan gerakan ringan sekali dan sebentar saja tosu ini telah
terdesak hebat oleh lawan yang kelihatannya tergesa-gesa hendak cepat
merobohkan dan membunuh lawan agar dia dapat beristirahat dan melanjutkan
usahanya mengobati luka di dalam dadanya. Namun semua serangannya dapat
dihindarkan oleh Kiang Tojin dengan mudah dan pada serangan ke tiga, Kiang
Tojin menangkis dengan pedangnya.
"Tranggg...!"
Semua orang
gagah terkejut menyaksikan betapa pedang di tangan Kiang Tojin terpental lepas
dari tangan tosu itu. Pak-san Kwi-ong tertawa girang dan memutar senjatanya
lebih dahsyat lagi untuk merobohkan Kiang Tojin yang kini bertangan kosong.
Akan tetapi
Keng Hong yang melayani Cui Im sempat melirik dan diam-diam dia menjadi girang
sebab ketua Kun-lun-pai itu bisa menangkap maksudnya ketika memberi petunjuk
melalui sajak tadi. Kini Kiang Tojin hanya mengandalkan kelincahan tubuh berkat
ginkang yang amat tinggi, mengelak ke sana-sini untuk menghindarkan sambaran
tengkorak yang rantainya diputar-putar kuat-kuat oleh lawan.
Dengan hati
lega dan tidak mengkhawatirkan keadaan Kiang Tojin seperti para orang gagah
yang memandang gelisah, Keng Hong melirik ke arah Biauw Eng dan dia menjadi
kagum bukan main. Ternyata Biauw Eng sekarang jauh bedanya dengan Biauw Eng
yang dahulu! Gerakan sabuk suteranya mengandung tenaga hebat, gerakannya lebih
ringan dan jurus-jurus serangannya amat aneh.
Pat-jiu
Sian-ong sudah tidak berani memandang rendah lagi dan pertandingan antara
mereka ini seru sekali dalam keadaan berimbang. Betapa Pat-jiu Sian-ong takkan
menjadi bingung kalau melihat gerakan sepasang ujung sabuk sutera yang berubah
menjadi sinar putih bergulung-gulung serta membentuk lingkaran-lingkaran itu
kadang kala menyerang tanah, kadang-kadang malah bermain-main di atas kepala
gadis itu sendiri seperti hendak menotok tubuh sendiri, akan tetapi tiba-tiba melejit
lantas menotok ke arah jalan darah kematian kalau dia menjadi lengah dan heran?
Sementara
itu, Cui Im terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk
mengimbangi Keng Hong, namun dengan hati panas dan penasaran sekali dia
mendapat kenyataan bahwa gerakan-gerakan pemuda itu seluruhnya mengatasi
gerakannya sendiri. Ia seolah-olah dihadapkan dengan benteng baja amat kuat
yang tak mungkin ia tembusi dengan penyerangannya, sebaliknya dari dalam
‘benteng baja’ itu keluar sinar-sinar yang menyerangnya secara tiba-tiba dan
tak terduga-duga! Mulailah Cui Im marah-marah dan memaki-maki,
"Keng
Hong, kau curang! Agaknya dulu engkau tidak membaca sungguh-sungguh semua kitab
itu! Banyak yang kau sembunyikan dariku!" ia memaki-maki dan menyerang
terus kalang kabut.
Akan tetapi
Keng Hong hanya tersenyum saja dan melayaninya seenaknya. Keng Hong tidak dapat
cepat mengalahkan Cui Im, karena selain memang wanita ini amat lihai dan rapat
menjaga tubuhnya, juga Keng Hong membagi sebagian perhatiannya kepada Biauw Eng
untuk melindungi gadis itu kalau-kalau terancam bahaya di tangan Pat-jiu
Sian-ong yang dia tahu sangat lihai. Maka dia selalu memancing Cui Im untuk
bertanding di dekat kekasih hatinya itu.
Tepat
seperti telah diperhitungkan oleh Keng Hong, kini terjadilah perubahan hebat
dalam pertempuran antara Pak-san Kwi-ong dan Kiang Tojin. Sesungguhnya tidak
patut disebut pertempuran sebab dalam pertandingan ini Kiang Tojin sama sekali
tak pernah membalas serangan.
Kelihatannya
saja seolah-olah dia sudah terlalu lemas sehingga terdesak hebat dan tidak
sempat membalas, padahal memang tosu ini sengaja tidak mau balas menyerang,
hanya mengandalkan ginkang-nya untuk mengelak terus dan membiarkan lawan
menyerangnya makin hebat. Inilah petunjuk yang diberikan oleh Keng Hong dalam
sajaknya tadi, yaitu agar supaya Kiang Tojin menggunakan kekosongan. Ketua
Kun-lun-pai ini segera dapat menangkap maksud Keng Hong.
Mereka
berdua sudah luka parah, luka di sebelah dalam tubuh dan pantangan besar bagi
orang terluka di dalam tubuhnya untuk mempergunakan tenaga, apa lagi tenaga
sinkang karena tenaga ini akan membuat luka di dalam tubuh semakin parah.
Karena itu, maka Keng Hong menganjurkan agar Kiang Tojin menggunakan
kekosongan, berarti tidak boleh menggunakan tenaga dan membiarkan lawan yang
menggunakan tenaga sebanyaknya dan dia sendiri hanya mengandalkan kegesitannya
untuk mengelak tanpa mengerahkan tenaga.
Kini mulai
tampak perubahan. Walau pun Kiang Tojin kelihatan didesak terus, namun dia
masih tetap seperti semula, sebaliknya Pak-san Kwi-ong makin lama semakin
limbung. Wajahnya yang hitam menjadi pucat sekali, matanya merah, mulutnya
mengeluarkan buih dan kepalanya mengepulkan uap, kedua kakinya mulai bergetar
menggigil dan serangan-serangannya mulai ngawur!
Pak-san
Kwi-ong bukanlah orang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah menggunakan tenaga
terlalu banyak sehingga luka di dadanya makin parah, napasnya sesak sekali dan
seluruh isi dada dan perut terasa nyeri. Akan tetapi di samping kecerdikannya,
dia memiliki watak yang kasar, liar dan ganas, watak seekor binatang buas.
Ia merasa
penasaran melihat lawan yang seakan-akan tinggal injak saja tapi begitu sukar
dirobohkan, maka semakin lama dia semakin bernafsu sampai akhirnya dia pun terlambat
menyadari kesalahannya. Sambaran tengkoraknya makin lemah dan tiba-tiba dia
merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut, matanya gelap dan jantungnya bagai
akan meledak.
Dia masih
menubruk maju sambil menghantamkan tengkoraknya sekuat tenaga sehingga Kiang
Tojin merasa terkejut dan terpaksa meloncat ke belakang. Tubuh Pak-san Kwi-ong
terjelungup ke depan dan robohlah raksasa hitam itu. Sungguh pun demikian, dia
masih melakukan serangan dari bawah, tengkorak itu menyambar ke arah perut
Kiang Tojin.
Ketua
Kun-lun-pai ini cepat memutar tubuh, kakinya bergerak mendorong tengkorak dari
samping. Tengkorak itu meluncur kembali ke bawah, ke arah muka Pak-san Kwi-ong
seolah-olah hendak mencium muka raksasa hitam itu.
"Prokkk!"
Tengkorak
itu pecah berantakan, ada pun kepala Pak-san Kwi-ong juga pecah sehingga dia
tewas seketika. Kiang Tojin meloncat ke belakang menghindarkan diri dari
sambaran jarum-jarum yang meluncur dari dalam tengkorak, kemudian dia terhuyung
dan cepat mundur ke rombongan, lalu duduk bersila dan memejamkan mata.
Melihat
tewasnya Pak-san Kwi-ong, barulah Cui Im mengerti. Karena itu dengan marah ia
langsung berseru, "Keng Hong, engkau manusia curang!" dan ia
mempercepat serangan pedangnya.
Pat-jiu
Siang-ong juga kaget menyaksikan tewasnya Pak-san Kwi-ong yang diandalkan. Ia
mengeluarkan suara bersuit keras maka kini majulah semua pembantunya ikut
menyerbu, bukan hanya pembantu tokoh-tokoh persilatan, juga pasukan yang
menjadi anak buahnya mulai menyerbu dan memperketat pengurungan!
Cong San dan
Yan Cu berseru keras, cepat mencabut senjata dan menerjang ke depan menyambut
lawan, diikuti oleh semua tokoh kang-ouw yang memang sejak tadi sudah siap-siap
untuk bertempur dan membela diri. Maka terjadilah perang tanding yang amat
dahsyat dan tidak teratur lagi.
Cong San dan
Yan Cu mengamuk dan sebentar saja mereka sudah merobohkan dua orang lawan, akan
tetapi mereka segera dihadapi oleh Gu Coan Kok dan Hok Ku, dua orang iblis
tembok besar yang lihai. Menghadapi Coan Kok, Yan Cu terdesak, sebaliknya Cong
San dapat membikin Hok Ku sibuk melindungi dirinya maka Cong San yang selalu
memperhatikan Yan Cu segera bertanding sejajar dengan Yan Cu untuk melindungi
gadis yang dicintanya itu. Maka ramailah pertandingan antara empat orang itu,
gerakan mereka cepat dan dahsyat sehingga yang lain-lain tidak sempat untuk
mencampuri pertempuran ini.
Dari pihak
orang gagah mengamuklah Thian Kek Hwesio, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam, keempat
orang kakek tokoh Kong-thong-pai, ketua Tiat-ciang-pang Ouw Kian, dan empat
orang tosu yang menjadi sute Kiang Tojin. Mereka ini dihadapi oleh kawan-kawan
Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to keempat Pak-san Su-ong dan masih
banyak tokoh kaum sesat dibantu oleh ratusan orang anak buah Pat-jiu Sian-ong.
Melihat
betapa pihak Kiang Tojin terdesak hebat karena memang jumlahnya jauh kalah
besar, Keng Hong mulai menjadi khawatir. Untuk cepat-cepat mengalahkan Cui Im
bukan merupakan hal yang mudah, maka tiba-tiba tubuhnya melesat mengirim
serangan ganas dengan Siang-bhok-kiam.
Cui Im
menangkis, akan tetapi dia pun terpekik dan mencelat ke belakang karena tenaga
sinkang-nya jauh kalah kuat. Kesempatan itu cepat dipergunakan oleh Keng Hong
untuk meloncat ke dekat Biauw Eng yang masih bertanding seru sekali dengan
Pat-jiu Sian-ong. Keng Hong segera menyerang dengan tusukan Siang-bhok-kiam
hingga terdengar suara bercuit nyaring dan tampaklah sinar hijau yang amat
terang dan cepat menyambar leher Pat-jiu Sian-ong.
Kakek ini
mendengus. Melihat cepat dan kuatnya serangan ini, dengan gugup kakek ini
segera mengebutkan hudtim-nya menangkis Siang-bhok-kiam dan terus membelit
ujung pedang itu untuk merampasnya.
Akan tetapi
saat yang hanya setengah detik itu dipergunakan dengan tepat oleh Biauw Eng.
Sabuk suteranya berubah kaku dan menusuk perut Pat-jiu Sian-ong.
"Crottttt!"
Sabuk sutera
yang telah berubah kaku oleh tenaga sinkang itu menembus perut kakek kate itu.
Pat-jiu Sian-ong mengeluarkan teriakan kaget, matanya terbelalak memandang ke
arah perutnya seakan-akan tidak percaya, akan tetapi tiba-tiba Keng Hong yang
sudah berhasil menarik pedangnya, menusukkan Siang-bhok-kiam menembus dada
kakek itu.
"Aihhhhh...!"
Pat-jiu Sian-ong memekik dan hudtim-nya menyambar ke arah Biauw Eng.
Namun gadis
ini sudah menarik kembali ujung sabuk pada hudtim sehingga bulu kebutan itu
tertarik. Pedang Siang-bhok-kiam berkelebat lagi dan hudtim itu segera patah
menjadi dua! Putusnya kebutan itu agaknya berbareng dengan putusnya napas
Pat-jiu Sian-ong, tubuhnya terkulai, roboh dan dari perut dan dadanya keluar
darah yang memancar deras.
Cui Im
menjerit, "Keng Hong, manusia curang!" Wanita ini sudah menerjang
lagi dengan ganas.
Keng Hong
menangkis dengan pedang kayunya sambil berkata kepada Biauw Eng, "Kau
bantulah teman-teman!"
Tanpa
diperintah dua kali, Biauw Eng lalu mengamuk dan membantu Cong San dan Yan Cu.
Keng Hong melanjutkan pertempurannya melawan Cui Im. Diam-diam harus dia akui
bahwa andaikan dia tidak mempelajari Thai-kek Sin-kun, agaknya sangat sukar
baginya untuk mendapatkan kemenangan melawan Cui Im yang benar-benar amat ganas
pedang merahnya ini.
Pantas saja
gadis ini berani menamakan dirinya Ang-kiam Bu-tek, Pedang Merah Tanpa Tanding,
karena memang pada masa itu agaknya sukarlah mencari lawan yang sanggup
menandingi ilmu pedang gadis ini. Bahkan sekarang pun agaknya takkan mudah
baginya untuk merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya. Dan sukarnya, Keng Hong
tidak tega untuk membunuh Cui Im!
Dia bukannya
tidak ingat akan semua perbuatan jahat wanita ini terhadap dirinya, akan tetapi
ada beberapa hal yang tak dapat dilupakan oleh Keng Hong dan yang membuatnya
tidak tega untuk membunuh Cui Im, yaitu pertama mengingat akan cinta kasih
wanita ini terhadap dirinya. Ke dua, karena betapa pun juga, setelah sama-sama
mempelajari ilmu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, sedikitnya Cui Im juga bisa
dikatakan saudara seperguruan dengannya. Ketiga, kalau saja Cui Im tidak
menipunya di dalam tempat rahasia di batu pedang, belum tentu dia akan dapat
menemukan dan mempelajari kitab peninggalan Thai Kek Couwsu sehingga secara
tidak langsung, Cui Imlah yang berjasa!
Oleh karena
itu, Keng Hong hanya mau merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya dan hal ini
benar-benar sangat sukar karena dengan serangan-serangan biasa saja mana mampu
mengalahkan Cui Im? Maka dia lebih banyak bertahan dan membela diri sambil
menanti kesempatan baik untuk merobohkan lawannya yang tangguh ini tanpa
membunuhnya.
Hebat bukan
main perang tanding yang terjadi di puncak Tai-hang-san itu. Betapa pun
lihainya para tokoh kang-ouw dan betapa nekat mereka mempertahankan diri, akan
tetapi karena jumlah mereka jauh kalah banyak sehingga tiap orang terpaksa
harus menghadapi empat atau lima orang lawan, maka mulailah pihak mereka
terdesak dan keadaan mereka menjadi berbahaya sekali.
Korban kedua
pihak sudah mulai berjatuhan dan perang itu penuh dengan suara gaduh,
teriakan-teriakan kesakitan, maki-makian kemarahan dan diseling oleh suara
bertemunya senjata tajam yang mengeluarkan bunyi nyaring.
Tiba-tiba
terdengar bunyi terompet disusul dengan sorak-sorai dan menyerbulah pasukan
pemerintah yang terdiri dari ratusan orang, dipimpin oleh seorang perwira dan
didampingi oleh Sian Ti Sengjin! Itulah pasukan yang didatangkan oleh bekas
tokoh Kun-lun-pai ini dari Tai-goan dan kalau tadi pertandingan terjadi berat
sebelah dengan keuntungan pihak pemberontak, kini sebaliknya menjadi berat
sebelah dengan kerugian mereka! Sekarang jumlah pihak pemberontak kalah banyak
sehingga mulailah terjadi penyembelihan yang mengerikan.
Bagi
golongan sesat, perang tanding yang terjadi selama setengah hari lebih di
puncak Tai-hang-san itu merupakan sejarah hitam di mana lebih dari dua ratus
orang terbunuh. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat lolos, semua
tewas termasuk tokoh-tokohnya, sungguh pun di pihak orang kang-ouw juga jatuh
korban yang tidak sedikit.
Yang hebat
adalah pertandingan antara Keng Hong dan Cui Im. Masih juga Keng Hong belum
mampu merobohkan Cui Im padahal perang sudah terhenti karena semua musuh telah
terbasmi habis.
"Keng
Hong, aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!" Cui Im meloncat maju
mengirim tusukan maut.
"Trang-trang-cringgg…!"
Keng Hong
menangkis dan melanjutkan dengan membacokkan pedang Siang-bhok-kiam ke arah
paha lawannya.
"Wuuutttttt…!"
Cui Im
melompat ke belakang sehingga bacokan itu luput.
"Keng
Hong, engkau selalu menjadi penghalang untukku. Engkau satu-satunya manusia di
dunia yang paling kubenci!" Kembali Cui Im menerjang maju. Wajahnya pucat
sekali, peluhnya membasahi seluruh tubuh, akan tetapi matanya sama sekali tidak
menunjukkan kelelahan, bahkan mata itu memancarkan cahaya seperti api
menyala-nyala.
"Cui
Im, kau menyerahlah. Aku takkan membunuhmu," kata Keng Hong sambil memutar
pedangnya menangkis.
"Menyerah?
Lebih baik mati!" Cui Im kembali menerjang maju.
Keng Hong
tahu bahwa teman-temannya sudah mengurung tempat pertandingan itu dan menonton
penuh perhatian. Di antara mereka terdapat Biauw Eng yang menonton dengan alis
berkerut.
"Keng
Hong, kenapa engkau ragu-ragu merobohkan dia?" Tiba-tiba Biauw Eng
bertanya, di dalam suaranya terkandung penasaran besar.
Keng Hong
kaget dan maklum bahwa dia tengah menjadi pusat perhatian. Mungkin bagi
orang-orang lain mereka tidak tahu betapa dia mengalah dan tak mau membunuh
lawan, namun pandang mata tajam dari orang-orang yang ilmunya sudah tinggi
seperti Biauw Eng, Cong San, Yan Cu dan beberapa orang lainnya akan mudah
melihatnya. Maka dia menjadi bimbang dan pada saat pedang merah itu berkelebat
menyambar lehernya, dia mengerahkan seluruh sinkang-nya dan menangkis sekuat
tenaga.
"Trakkk!"
Pedang merah
itu patah manjadi dua dan ujung Siang-bhok-kiam masih menyerempet pundak Cui
Im.
"Aihhhhh…!"
Cui Im terhuyung dan roboh, pundaknya terluka lebar dan darah bercucuran.
Sinar putih
berkelebat menyambar ke arah kepala Cui Im yang masih rebah miring. Sinar itu
adalah sabuk sutera yang digerakkan Biauw Eng untuk membunuh bekas suci-nya.
Agaknya gadis ini hendak membalas dendam atas kematian ibunya di tangan Cui Im.
"Takkkk…!"
Ujung sabuk sutera tertangkis oleh pedang Siang-bhok-kiam sehingga luput
mengenai sasaran.
"Keng
Hong...!" Biauw Eng berseru kaget.
Keng Hong
menarik napas panjang. "Biauw Eng, maafkan aku. Perlukah kita membunuh
dia? Dia bekas suci-mu sendiri dan jika kuingat-ingat secara adil, dia pun
masih terhitung sumoi-ku sendiri karena dia sudah mempelajari pusaka warisan
suhu. Dia sudah kalah, kehabisan segala-galanya, perlukah kita membunuhnya
begitu saja. kurasa hatimu tidak akan sekejam itu, Biauw Eng."
"Tapi...
tapi... dia telah membunuh ibuku!"
"Benar,
akan tetapi apakah untungnya balas-membalas karena dendam? Memang ibumu
terbunuh olehnya dalam suatu pertandingan, akan tetapi sekiranya baik kita
ingat betapa banyaknya orang yang telah tewas di tangan ibumu juga, Biauw Eng,
kalau bukan engkau yang hendak membunuhnya, aku masih tidak peduli. Akan tetapi
aku tidak ingin melihat engkau melibatkan diri dalam ikatan dendam-mendendam.
Kalau dia pernah melakukan dosa biarlah dia yang akan memikul hukumannya yang pasti
akan dia rasakan sendiri. Kekalahannya yang berkali-kali pun merupakan
peringatan dan hukuman baginya. Biauw Eng, kuharap engkau suka memenuhi
permintaanku, yaitu kita bebaskan saja lawan yang sudah kalah, jangan membunuh
orang yang sudah tidak mampu melawan lagi."
Biauw Eng
meragu, memandang kepada Keng Hong kemudian kepada Cui Im yang kini sudah
merangkak bangun dengan wajah kerut-kerut menahan sakit. "Akan tetapi,
andai kata dia tidak kubunuh, kurasa banyak saudara di sini yang tentu akan
membunuhnya!"
"Aku
tak percaya mereka mau melakukannya, Biauw Eng. Setelah begini banyak manusia
terbunuh...?" Dengan gerakan kedua lengan dikembangkan ke arah tumpukan
mayat itu, Keng Hong memandang sedih.
"Cia-taihiap
benar!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan Thian Kek Hwesio yang masih
memegangi jubahnya yang penuh darah lawan, berkata dan melangkah maju.
"Pinceng memang bersakit hati atas tewasnya suheng Thian Ti Hwesio di
tangan iblis betina itu, akan tetapi sesudah mendengar kata-kata Cia-taihiap tadi,
pinceng merasa malu untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya. Pinceng
membebaskan dia!"
"Pinto
juga tidak akan membunuhnya, mengingat dia adalah bekas suci Nona, dan masih
sumoi dari Cia-taihiap. Pinto tidak akan membunuh orang yang sudah tidak lagi
mampu melawan," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.
"Biarlah
dia pergi, biarlah iblis betina terkutuk itu pergi!" Berkata Kok Sian Cu
mewakili saudara-saudaranya dari Kong-thong-pai.
Biauw Eng
menunduk dan tidak membantah lagi.
"Cui
Im, kau dengarlah pendirian orang-orang sedunia! Mudah-mudahan ucapan mereka
akan membikin engkau bertobat dan menebus kejahatan-kejahatanmu dengan
perbuatan baik, dengan demikian, tidak percuma mendiang suhu meninggalkan
pusaka-pusaka yang kau pelajari pula," kata Keng Hong.
Cui Im
bangkit berdiri. Tubuhnya bergoyang-goyang, rambutnya riap-riapan dan wajahnya
pucat. "Keng Hong, keparat busuk! Ucapan-ucapan itu lebih hebat daripada
pembunuhan. Hayo, kau bunuh saja aku... Hi-hi-hik-hik... kau bunuh aku atau
kelak engkau yang akan kubunuh...!" Kemudian Cui Im pergi terhuyung-huyung
sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi suara ketawanya sangat menyeramkan semua
orang karena di dalam suara ketawa itu terkandung isak tangis!
Setelah
sosok bayangan wanita itu lenyap ke bawah puncak, Keng Hong menarik napas
panjang, kemudian dia mengeluarkan semua pusaka yang disimpan di dalam
kantungnya. Ia menyerahkan pedang pusaka Hoa-san-pai kepada Coa Kiu, kemudian
berkata kepada semua orang,
"Setelah
semua pusaka suhu kuambil dan sebagian kukembalikan kepada yang berhak, maka
kumohon sudilah para Locianpwe untuk memaafkan semua perbuatan suhu dahulu.
Hanya tersisa sebuah kitab dari Go-bi-pai yang masih berada padaku, tetapi
kelak pasti akan kukembalikan kepada yang berhak."
Coa Kiu dan
Cou Bu girang sekali menerima pusaka Hoa-san-pai itu dan menyatakan terima
kasihnya. Semua orang gagah merasa kagum terhadap Keng Hong yang mereka
saksikan sepak terjangnya tadi. Mereka lalu mulai mengurus semua korban tewas,
baik pihak sendiri mau pun pihak lawan, menguburkan mereka di puncak
Tai-hang-san.
Hanya Kiang
Tojin seorang yang menjadi amat kagum kepada Keng Hong. Pada waktu pemuda ini
berlutut menghampirinya untuk memeriksa lukanya bersama Biauw Eng, tosu ketua
Kun-lun-pai ini menggelengkan kepala dan memegang pundak pemuda itu,
"Pinto
tidak apa-apa, Keng Hong. Betapa gembira hati pinto menyaksikan engkau, bukan
hanya karena kepandaianmu, terutama sekali karena sikapmu terhadap Ang-kiam
Bu-tek. Sikapmu tepat sekali, Keng Hong dan pinto menyatakan tunduk sekali
padamu. Memang semua manusia ini pada dasarnya sama, hanya ada yang sedang
menderita sakit seperti Cui Im dan yang lain-lain, dan mengakibatkan… ah, semua
pembunuhan antar manusia ini..." Tosu itu kelihatan menyesal sekali.
Tiba-tiba
Biauw Eng mengeluh dan meloncat berdiri lari ke sebelah kiri kemudian berlutut
sambil menangis di depan mayat Tan Hun Bwee. Melihat ini, Keng Hong menarik
napas panjang dan membiarkan saja gadis itu menumpahkan kesedihannya, karena
memang nasib Hun Bwee amat menyedihkan.
Melihat
kesibukan semua orang dan dia hanya berada dengan Kiang Tojin, Keng Hong tak
dapat menahan keinginan tahu hatinya untuk bertanya kepada kakek yang dia kenal
sebagai seorang yang arif bijaksana itu. "Totiang, mengapa manusia saling
berbunuhan hanya karena terbagi menjadi dua golongan? Mengapa ada yang baik dan
ada yang buruk? Apakah yang menyebabkan terjadinya dosa?”
Kiang Tojin
memejamkan mata, akan tetapi mulutnya berkata dengan lirih namun jelas, seperti
orang berbisik dan yang terdengar oleh Keng Hong seperti suara yang datang dari
angkasa,
"Perbuatan
yang dianggap jahat dan berdosa tercipta dari pengetahuan manusia tentang baik
dan buruk itulah! Karena manusia membagi perbuatan menjadi dua, baik dan buruk,
maka terciptalah pantangan-pantangan atau larangan-larangan yang lalu menjadi
hukum. Manusia menciptakan hukum dan karena pengetahuan tentang baik dan buruk
ini sudah mengisi hati, maka setiap pelanggaran hukum menjadi perbuatan jahat
dan berdosa. Jika di dunia ini tidak ada hukum, di dunia ini tidak ada
pengetahuan tentang baik dan buruk, maka tidak akan ada pula pemisahan
perbuatan yang baik atau jahat."
"Mohon
penjelasan, Totiang, teecu masih kurang mengerti."
"Anak-anak
kecil yang hati dan pikirannya belum mengenal pengetahuan antara baik dan
buruk, yang belum menerima hukum pantangan dan larangan, merupakan manusia yang
bersih, tidak baik dan juga tidak jahat. Dia akan mengambil barang orang lain,
akan tetapi karena dia belum tahu akan hukum yang menentukan bahwa perbutan itu
terlarang dan disebut pencuri, maka dia tidak merasa mencuri. Apa bila orang
tidak mengenal kata-kata mencuri, bagaimana dia bisa menjadi pencuri? Karena
anak itu masih belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, maka
perbuatannya mengambil barang orang lain itu pun baginya tidak baik tidak
buruk, hanya wajar dan tidak bisa kita katakan dia mencuri atau berdosa.
Sesudah dia nanti tahu dan mengenal hukum itu, tahu bahwa perbuatan seperti itu
terlarang, kemudian tetap melanggar, barulah dia melakukan perbuatan dosa. Jadi
yang berdosa bukanlah perbuatannya melainkan pelanggarannya terhadap hukum yang
sudah dikenalnya. Apa bila di dalam hati sudah tahu bahwa perbuatan itu
termasuk tidak baik akan tetapi tetap dilakukannya, maka berdosalah dia.
Manusia terbelenggu oleh pengetahuan antara baik dan buruk, terkurung oleh
hukum-hukum yang yang diciptakan oleh manusia sendiri, maka penuhlah dunia ini
oleh dosa. Sungguh menyedihkan..."
Keng Hong
mengangguk-angguk. "Kalau begitu, bagi kita yang hidup di dalam dunia yang
penuh dengan larangan-larangan yang timbul dari pengatahuan antara baik dan
buruk ini, apa yang harus kita lakukan, Totiang?"
"Kita
sudah terlanjur mengenal baik dan buruk, tentu saja kita harus selalu mengabdi
kebaikan, hanya dengan hati besar kita harus dapat mengampuni mereka yang kita
angap melakukan perbuatan jahat setelah kita tahu bahwa perbuatannya itu adalah
pelanggaran bagi hukum yang sudah dikenalnya, berarti bahwa dia itu lemah, atau
sedang sakit, suka terdorong oleh nafsunya sendiri hingga melakukan hal-hal
yang sebenarnya berlawanan dengan pengenalan hukum dalam sanubarinya
sendiri."
"Terima
kasih atas petunjuk Totiang yang bijaksana."
Kiang Tojin
membuka matanya kemudian tersenyum kepada pemuda itu. "Semua orang
bijaksana, orang muda yang baik. Di dunia tidak ada orang pandai atau bodoh.
Yang sudah mengerti disebut pandai. Padahal yang sudah mengerti itu pun tadinya
juga tidak mengerti, sebaliknya yang belum mengerti itu pun kelak akan
mengerti. Karena itu, adalah menjadi kewajiban kita untuk belajar mengerti,
setelah mengerti lalu sadar, setelah sadar lalu menjadikan pengertian sebagai
dasar setiap perbuatan."
Demikianlah,
mempergunakan kesempatan itu Keng Hong menerima wejangan-wejangan dari ketua
Kun-lun-pai itu, sedangkan orang-orang kang-ouw yang lain bersama pasukan dari
Tai-goan mengadakan pembersihan terhadap mayat-mayat yang berserakan.
Pembicaraan
Keng Hong dan Kiang Tojin terhenti ketika Sian Ti Sengjin datang berlutut di
depan ketua Kun-lun-pai sambil berkata,
"Suheng...,
Sute yang penuh dosa datang menghadap."
Kiang Tojin
memandang kereng, sejenak pandang matanya penuh teguran, akan tetapi kemudian
melunak dan dia pun berkata, "Sute, jauh lebih baik seorang yang sadar dan
bertobat, menyesali dan mencuci kekotorannya dari pada seorang yang
menyombongkan kebersihannya. Pinto sudah mendengar semua mengenai dirimu dan
merasa berbahagia dapat menerimamu kembali sebagai seorang murid Kun-lun-pai
yang baik."
Keng Hong
lalu meninggalkan dua kakak beradik seperguruan yang sudah kembali rujuk untuk
membantu orang-orang lain mengurus mayat-mayat yang amat banyak itu. Kembali
dia bersama Biauw Eng, Cong San serta Yan Cu mengubur mayat Tan Hun Bwee di
tempat terpisah.
Pada
keesokan harinya, barulah pasukan pemerintah kembali ke Tai-goan dan para tokoh
kang-ouw meninggalkan puncak Tai-hang-san. Biauw Eng masih tidak mau
meninggalkan tempat itu karena dia hendak berkabung selama tiga hari di situ.
Keng Hong menemaninya
dan Cong San juga berpamit kepada suheng-nya, Thian Kek Hwesio, untuk menemani
Keng Hong dan Biauw Eng. Tentu saja Yan Cu juga tidak mau ketinggalan menemani
Biauw Eng di puncak yang menyeramkan itu.
Setelah
semua orang pergi, maka sunyilah puncak Tai-hang-san, sunyi menyeramkan. Di
tempat bekas pertempuran itu tampak banyak sekali gundukan tanah kuburan baru,
dan untuk memudahkan pekerjaan, ada satu lubang yang diisi sampai lima mayat
manusia. Hanya kuburan para tokoh besar saja yang dipisahkan, termasuk pula
kuburan Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong.
Biauw Eng
merasa amat kasihan dan terharu mengenang nasib suci-nya, Tan Hun Bwee, yang
pada akhir hidupnya mengorbankan nyawa dan berusaha untuk menolong mereka. Ia
duduk bersila di depan makam suci-nya dengan wajah berduka. Keng Hong tidak mau
mengganggunya, malah pemuda ini kemudian mengukir nama-nama para tokoh di atas
batu-batu dan memasang batu nisan sederhana ini kuburan masing-masing.
Juga Cong
San dan Yan Cu tidak berani mengganggu Biauw Eng. Sepasang orang muda ini
tampak rukun dan sering kali bicara bisik-bisik sehingga diam-diam Keng Hong
merasa girang sekali hatinya, mengharapkan agar sekali ini Yan Cu yang lincah
itu benar-benar dapat menemukan cintanya!
Tak seorang
pun di antara orang muda ini mengira bahwa urusan di puncak itu belumlah habis
sampai di situ saja, masih ada bahaya besar mengancam mereka. Bahaya yang
berupa diri seorang nenek tua renta, yang berlari cepat seperti terbang sambil
kadang-kadang tertawa atau menangis tanda bahwa otaknya tidak waras. Nenek ini
adalah Go-bi Thai-houw!
Secara
kebetulan saja Go-bi Thai-houw yang melakukan perjalanan mencari kedua orang
muridnya, bertemu dengan Cui Im di kaki Gunung Tai-hang-san. Andai kata tidak
bertemu dengan Cui Im, tentu nenek ini tidak akan mendaki puncak sambil berlari
secepat terbang.
Dia sedang
berjalan seenaknya ketika mendengar suara rintihan bercampur isak tangis.
Ketika melihat bahwa yang merintih-rintih dan menangis itu adalah seorang wanita
muda cantik yang pundaknya terluka lebar, nenek ini cepat menghampiri, berdiri
di depan Cui Im kemudian tertawa terkekeh-kekeh sambil menudingkan telunjuknya
kepada Cui Im!
"Ha-ha-ha-heh-heh,
sungguh bocah lucu engkau! Lelah, setengah mati dan terluka, tetapi mengapa
malah menangis?" Nenek itu lalu meletakkan telunjuk ke depan dahinya yang
penuh keriput dan bertanya, "Ehh, bocah lucu, apakah engkau begini?"
Cui Im
mengangkat mukanya dan biar pun dia sudah terluka lahir batin, kemarahannnya
memuncak ketika dia diejek dan dianggap gila. Cepat dia meloncat sambil memukul
dada nenek itu.
"Dessssss…!"
Cui Im
terkejut karena dada yang dipukulnya itu lunak seperti kapas, maka maklumlah ia
bahwa tentu nenek ini seorang yang lihai luar biasa.
"Nenek
gila! Siapa kau...?" Tiba-tiba ia teringat. Nenek yang gila dan amat
lihai. Siapa lagi kalau bukan Go-bi Thai-houw? "Engkau... engkau Go-bi
Thai-houw?"
"Hi-hi-he-he-heh!
Engkau benar gila tapi matamu tajam. Benar aku Go-bi Thai-houw, dan mengapa
engkau menangis di sini?"
Tiba-tiba
saja Cui Im tertawa, tertawa didorong kecerdikannya yang pada saat seperti itu
masih mempunyai akal untuk membalas kekalahannya. "Hi-hi-hik, nenek gila.
Sekarang kau boleh mentertawakan aku yang menangis, akan tetapi engkau takkan
dapat tertawa lagi kalau mendengar penuturanku tentang muridmu!"
Biar pun
otaknya miring, mendengar tentang muridnya, nenek itu cepat bertanya nafsu,
"Di mana murid-muridku?"
"Muridmu
bernama Tan Hun Bwee dan Sie Biauw Eng, bukan? Muridmu Tan Hun Bwee itu pun
gila seperti engkau?"
"Setan
kau! Muridku keduanya waras seperti aku, tidak gila seperti engkau!"
Cui Im tidak
mau berbantahan dengan seorang gila, cepat ia berkata, "Percuma saja kau
mencari. Muridmu Tan Hun Bwee sudah dibunuh oleh Cia Keng Hong, tubuh mayatnya
masih menggeletak di atas puncak!" Cui Im sengaja berkata demikian,
padahal sudah sehari semalam ia sampai di kaki gunung ini dalam perjalanannya
setengah merangkak.
"Bedebah!"
Tanpa bertanya lagi Go-bi Thai-houw lalu melompat dan lari seperti terbang
cepatnya menuju ke puncak Tai-hang-san. Cui Im tertawa-tawa kemudian
melanjutkan perjalanannya dengan terhuyung-huyung.
Demikianlah,
pada siang hari itu secara tiba-tiba Go-bi Thai-houw muncul di puncak dan
begitu melihat Biauw Eng bersama tiga orang berada di situ, cepat ia berseru,
"Mana
Hun Bwee? Mana yang bernama Cia Keng Hong?"
Semua orang
terkejut dan menengok karena kedatangan nenek itu tidak mereka ketahui sama
sekali, tahu-tahu nenek itu telah berada di situ!
"Subo...!"
Biauw Eng berlari lalu berlutut di hadapan Go-bi Thai-houw sambil menangis.
"Subo... suci telah tewas...!"
"Ehh,
Biauw Eng, apakah kau mendadak telah menjadi gila? Ha-ha-ha, Hun Bwee mati,
kenapa engkau malah menangis?" Tentu saja Keng Hong, Cong San dan Yan Cu
terkejut dan terheran-heran mendengar ucapan yang aneh ini.
Biauw Eng
tahu bahwa bagi nenek ini, orang berduka harus tertawa dan kalau senang barulah
menangis. Betapa selama dia menjadi murid nenek itu dia dan Hun Bwee selalu
harus ikut menggila. Akan tetapi sekarang dia tak bernafsu untuk bermain
sandiwara dan tangisnya mengguguk. "Subo... dia... tewas..."
"Aku
sudah tahu!" Nenek itu membentak. "Mana murid Sin-jiu Kiam-ong? Mana
dia yang bernama Cia Keng Hong yang membunuh Hun Bwee?"
Keng Hong
terkejut. Dia sudah mendengar bahwa nenek sakti ini miring otaknya, maka cepat
dia menghampiri, memberi hormat dan berkata, "Locianpwe, sayalah yang
bernama Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong dan tentang nona Tan..."
"Wuuuuuttttt…!"
Nenek itu
sudah menghantamnya dengan gerakan yang cepat bukan main. Keng Hong terkejut,
cepat mengelak sambil menangkis, akan tetapi dia masih terpelanting. Nenek itu
memiliki kekuatan yang mukjijat!
"Bagus,
murid Sie Cun Hong, engkau mampuslah!" Nenek itu menyerang lagi lebih
hebat dari pada tadi.
Keng Hong
kembali mengelak. "Locianpwe, tunggu dulu...! Bukan saya yang membunuh
muridmu..."
"Cerewet!
Membunuh atau pun tidak, murid Sie Cun Hong harus mampus!" Kini serangan
Go-bi Thai-houw benar-benar hebat dan gerakannya membingungkan Keng Hong yang
terpaksa harus mengerahkan kecepatannya untuk mengelak sambil meloncat ke sana
ke mari.
"Heh-heh-heh,
engkau pandai juga, keparat!" Sekarang nenek itu mengeluarkan serangan
dengan gerakan aneh dan lucu, tampak kacau-balau akan tetapi setiap gerak
tangannya mengeluarkan angin yang menyambar-nyambar seperti badai mengamuk.
Keng Hong
terkejut, maklum bahwa membantah pun percuma saja terhadap nenek gila yang amat
lihai ini. Dia cepat mainkan Thai Kek Sin-kun dan menjaga dirinya rapat-rapat,
mengelak sambil menangkis dengan kedua tangan, namun dalam belasan jurus saja
dia sudah terdesak hebat dan dipaksa mundur terus.
"Subo...!"
Biauw Eng meloncat ke depan nenek itu dan menghalangi nenek itu menyerang Keng
Hong. "Subo, jangan menyerang Keng Hong...!"
"Apa
kau bilang? Kau sudah gila? Dia adalah murid Sie Cun Hong, hayo kau bantu aku
membunuhnya!" Nenek itu membentak-bentak.
"Tidak,
Subo! Aku tidak akan menyerangnya, aku cinta kepadanya!"
Nenek itu
tertawa. "He-he-heh, justru kalau cinta harus membunuhnya, tolol!"
Keng Hong
memandang kepada Biauw Eng dengan penuh keharuan, penuh kemesraan. Terbayanglah
dia dahulu pada saat dia hendak dibunuh oleh Lam-hai Sin-ni, gadis itu pun
membelanya dan seperti juga sekarang ini, secara terang-terangan penuh
ketulusan hati, gadis ini mengaku cinta kepadanya! Ahh, Biauw Eng... hatinya
menjerit.
"Tidak
Subo. Engkau tidak boleh menyerangnya, dan dia tidak membunuh suci Tan Hun
Bwee!"
"Apa?
Kau hendak membela Cia Keng Hong? Hendak membela murid Sin-jiu Kiam-ong? Engkau
tidak mau membantu memusuhi Sie Cun Hong?"
"Tidak
mungkin, Subo, Sie Cun Hong itu adalah mendiang ayahku."
"Heh...?!!"
Agaknya untuk detik itu, kegilaan meninggalkan hati dan pikiran nenek itu dan
dia memandang terbelalak. "Bukankah kau puteri Lam-hai Sin-ni?”
"Ibuku
memang Lam-hai Sin-ni, akan tetapi ayahku Sie Cun Hong yang berjuluk Sin-jiu
Kiam-ong, karena itu tidak mungkin aku memusuhinya, apa lagi aku cinta kepada
murid ayahku..."
"Iblis!"
Nenek itu menendang dan tubuh Biauw Eng mencelat sampai lima meter jauhnya.
Gadis itu roboh berguling-guling akan tetapi cepat meloncat bangun lagi.
"Keparat,
kau puteri Sie Cun Hong, he-he-heh! Kalau begitu engkau pun harus mampus. Kau
puterinya, dan Lam-hai Sin-ni sainganku, ha-ha-ha!" Nenek itu meloncat
maju hendak menyerang Biauw Eng, akan tetapi Keng Hong sudah menghadangnya.
"Locianpwe,
harap sabar...!"
"Mampus
kau!" Go-bi Thai-houw menghantam kedua tangannya dan tampaklah uap hitam
menyambar dari sepasang telapak tangannya.
Keng Hong
terkejut bukan main dan cepat dia membuang diri ke belakang, namun tetap saja
dia masih merasa hawa yang amat dahsyat menyerempet pundaknya sehingga biar pun
dia sudah berjungkir balik, tetap saja dia terbanting jatuh.
Biauw Eng
yang menyaksikan ini, cepat meloncat sambil mengirim pukulan dari samping ke
arah lambung nenek itu. Go-bi Thai-houw berusaha mengelak, namun kepalan tangan
Biauw Eng masih masih menyerempet pinggulnya sehingga kuda-kudanya tergempur
dan dia meloncat ke belakang sambil memaki.
"Aku
tidak mengakui engkau sebagai murid, engkau musuhku!"
"Terserah!
Aku hanya berhutang budi setahun lamanya padamu, akan tetapi aku sudah
berhutang budi selamanya terhadap orang tuaku, terutama ibuku. Maka tak mungkin
aku mendiamkan saja engkau memaki-maki orang tuaku, terutama sekali
ibuku!" Biauw Eng juga membentak marah dan kembali dia menyerang.
Hampir saja
lengannya dapat ditangkap oleh nenek yang lihai itu kalau saja Keng Hong tidak
cepat menyambar tubuh Biauw Eng ke samping sambil mengirim tendangan yang dapat
ditangkis oleh Go-bi Thai-houw. Pada saat itu, Cong San dan Yan Cu juga maju
membantu dan mengeroyok nenek itu. Dikeroyok empat orang muda yang memiliki
ilmu silat tinggi, nenek itu kewalahan juga, memaki-maki sambil menyeling tangis
dan tawa.
Menyaksikan
kehebatan si nenek gila, Cong San dan Yan Cu mencabut pedang, juga Biauw Eng
telah melolos sabuk suteranya, akan tetapi Keng Hong berseru,
"Jangan
pergunakan senjata!"
Cong San dan
Yan Cu segera menyimpan pedang mereka kembali, akan tetapi Biauw Eng memandang
penasaran. "Kenapa, Keng Hong? Dia gila dan jahat!"
"Justru
karena dia tidak waras pikirannya kita harus dapat memaafkannya, Biauw Eng.
Pula, sedikitnya dia adalah gurumu. Kau tidak boleh membunuhnya."
Nenek itu
mengamuk dengan hebat dan karena Keng Hong melarang teman-temannya membunuh,
mereka berempat menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan nenek itu sehingga
berganti-ganti empat orang muda itu terpelanting dan terlempar.
Pukulan-pukulan
empat orang muda itu kalau mengenai tubuh si nenek hanya membuat nenek itu
bergoyang tubuhnya. Hanya pukulan Keng Hong yang membuat dia terhuyung dan
hampir roboh. Kalau saja Keng Hong mempergunakan seluruh tenaganya, agaknya
dibantu tiga orang muda yang lihai itu tentu dia dapat memukul tewas lawannya.
Namun pemuda yang bijaksana ini tidak menghendaki demikian.
Untuk ke
sekian kalinya, ketika nenek itu sibuk menangkis tiga serangan Biauw Eng, Cong
San dan Yan Cu, Keng Hong dapat menampar punggungnya dari belakang. Nenek itu
menggeluarkan keluhan dan tubuhnya terpelanting, akan tetapi sambil bergulingan
dia berhasil menyambar pinggang Yan Cu, terus mengempit tubuh dara ini dan
mengayun tangan memukul ke arah ubun-ubun Yan Cu!
"Celaka...!"
Cong San berseru kaget.
Dengan nekat
Cong San menubruk nenek itu, menangkap tangannya dan menelikung ke belakang.
Juga Biauw Eng sudah menubruk dan menarik tangan satunya yang sedang mengempit
pinggang Yan Cu, sedangkan Keng Hong maju pula menotok pundak untuk membuat
nenek itu roboh lemas. Akan tetapi, betapa kaget hati Keng Hong ketika jari
tangannya menotok jalan darah yang seolah-olah kering dan kaku seperti kawat
baja!
Nenek itu
tertawa, tubuhnya bergoyang seperti seekor anjing mengeringkan bulu dan...
tubuh Yan Cu, Cong San dan Biauw Eng terlempar dan terbanting keras ke kanan
kiri! Tiga orang muda ini bergulingan dan meloncat bangun, tidak terluka akan
tetapi sangat kaget dan sedikitnya kulit tangan kaki mereka babak-bundas!
Nenek itu
mendengus-dengus dan tertawa-tawa bercampur isak, dikurung seperti seekor
anjing gila yang digoda empat orang anak nakal. Tiba-tiba terdengar suara halus
namun nyaring berwibawa,
"Hian Wi...!"
Apa yang kau lakukan ini...?"
Go-bi
Thai-houw kelihatan terkejut bukan main. Wajahnya pucat, matanya terbelalak dan
tubuhnya cepat membalik ke arah suara halus itu. Ketika dia melihat seorang
nenek tua lainnya berdiri tak jauh dari situ dengan sikap agung dan angkuh
memandangnya, Go-bi Thai-houw menjadi semakin ketakutan, tubuhnya gemetar dan
dia lalu menjatuhkan diri berlutut!
"Ahhhhh...
Nyonya... am... ampunkan hamba... hamba tidak apa-apa...!"
Nenek yang
berdiri dengan sikap angkuh dan agung itu adalah Tung Sun Nio. Sejenak ia
memandang nenek gila itu, kemudian berkata dengan suara dingin, "Hemmm...
kalau begitu, pergilah, Hian Wi!"
"Baik...
baik..., Nyonya!" Nenek gila itu memberi hormat dengan berlutut, kemudian
sekali tubuhnya bergerak, ia sudah mencelat dan lari turun dari puncak seperti
dikejar setan!
"Subo...!"
Keng Hong dan Yan Cu lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan
Tung Sun Nio yang masih menengok ke arah larinya Go-bi Thai-houw.
"Subo,
sungguh menakjubkan! Go-bi Thai-houw itu lihainya bukan main, kepandaiannya
seperti iblis, akan tetapi dia begitu takut kepada Subo. Mengapa?" Yan Cu
yang memang berwatak jenaka begitu bertemu gurunya sudah bertanya dengan ramah.
Agaknya
pertemuannya dengan Go-bi Thai-houw sudah menimbulkan kenang-kenangan yang
sangat mempengaruhi batin Tung Sun Nio sehingga sejenak dia seperti lupa akan
segala urusan yang dihadapi, melainkan terbayang kembali semua pengalaman masa
dahulu. Seperti orang sedang bermimpi dia menjawab pertanyaan Yan Cu.
"Mengapa?
Dia bernama Oh Hian Wi dan semenjak kecil menjadi pelayan ibuku, bahkan setelah
aku menikah dengan Sie Cun Hong, dia lalu ikut bersamaku, menjadi pelayanku.
Walau pun pelayan, dia kami perlakukan dengan baik, bahkan diberi pelajaran
ilmu silat sesuai dengan pelayan keluarga ahli silat. Akan tetapi..."
Nenek itu lalu menarik napas panjang, "dia tergila-gila kepada suamiku,
setelah ketahuan olehku, merasa bersalah dan melarikan diri. Sungguh tak nyana
dia sekarang menjadi Go-bi Thai-houw yang gila, ilmu kepandaiannya jauh
melebihi aku, akan tetapi rasa bersalah masih menggores hatinya, maka dia
ketakutan berjumpa denganku..."
Keterangan
ini membuat Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu tercengang. Pantas saja
nenek gila itu lari seperti seekor anjing diancam penggebuk! Dan untunglah
nenek itu lari karena sesungguhnya nenek itu memiliki ilmu kepandaian yang
tidak lumrah manusia!
Tung Sun Nio
agaknya masih terharu. Perjumpaan dengan bekas pelayan itu membuat ia
termenung, tenggelam dalam lamunan sehingga keadaan menjadi sunyi sejenak.
Namun tiba-tiba nenek itu sadar kembali dan kini pandang matanya ditujukan
kepada Yan Cu dan Keng Hong, kemudian terdengar suaranya dingin dan keras,
"Keng
Hong! Yan Cu! Apa yang telah kalian lakukan? Mengapa kalian melarikan
diri?"
"Subo,
teecu ingin mencari pengalaman, karena itu teecu mengajak suheng untuk pergi
merantau," kata Yan Cu.
"Maaf,
Subo. Teeculah yang mengajak Sumoi pergi untuk meluaskan pengalaman, teecu yang
bersalah dalam hal ini."
"Tidak,
Subo, Suheng tidak bersalah, teeculah yang bersalah dan kalau Subo hendak
menjatuhkan hukuman, teecu siap menerimanya," bantah Yan Cu.
"Sumoi
tidak bersalah, teecu yang harus dihukum." Keng Hong tidak mau mengalah.
Tung Sun Nio
yang biasanya berwajah dingin dan muram itu tersenyum. "Bagus, agaknya
sekarang kalian sudah saling membela dan saling melindungi. Itu artinya kalian
saling mencinta! Anak-anak nakal, aku memaafkan kalian. Mari kita pulang dan
akan kurayakan pernikahan kalian!"
"Tidak...!"
Teriakan ini terdengar hampir berbarengan dari mulut Keng Hong dan Yan Cu
sehingga mengejutkan hati Tung Sun Nio. Nenek ini seketika kehilangan senyum
dan seri wajahnya, memandang tajam penuh kemarahan.
"Apa
kalian bilang? Sekarang juga kalian harus ikut aku pulang dan segera menikah.
Hayo jawab!"
"Tidak,
Subo!" Kembali kedua orang muda itu menjawab serempak dan wajah nenek itu
menjadi merah. Cong San dan Biauw Eng hanya mendengarkan saja sambil menonton
dengan hati tegang.
"Keng
Hong! Mengapa kau berani membangkang?"
"Maaf,
Subo. Teecu tidak mungkin dapat menikah dengan Yan Cu Sumoi karena teecu
mencinta gadis itu!" kata Keng Hong sambil menunjuk ke arah Biauw Eng yang
tiba-tiba menundukkan mukanya dengan wajah kemerahan.
"Setan!
Engkau mewarisi watak gurumu! Siapa gadis ini?"
"Dia
bernama Sie Biauw Eng dan dia... dia... dia adalah puteri suhu sendiri."
"Apa?!"
Sepasang mata nenek itu terbelalak memandang ke arah Biauw Eng. "Puteri...
Sie Cun Hong?"
"Benar,
Subo. Ibunya adalah mendiang Lam-hai Sin-ni. Teecu dengan dia sudah saling
mencinta semenjak dahulu, mengharapkan kebijaksanaan Subo."
Wajah nenek
yang masih cantik itu kerut-merut tanda bahwa hatinya amat terguncang. Kemudian
dia menunduk, memandang Yan Cu dan membentak,
"Dan
engkau, Yan Cu?"
"Teecu
tidak dapat menikah dengan Suheng karena... karena..." Dara itu tiba-tiba
menjadi merah mukanya dan melirik ke arah Cong San, kemudian menggigit bibir
seakan-akan hendak menambah ketabahannya dan berkata lantang, "Karena
teecu mencinta pemuda lain..."
"Siapa
dia?" Bentak gurunya, tercengang mendengar semua ini.
"Dia
itulah...!" Yan Cu menuding ke arah Cong San.
Pemuda ini
memandang dengan wajah berseri penuh kebahagiaan. Baru sekarang Yan Cu
menyatakan cinta kasih dengan kata-kata, bahkan pengakuan ini dilakukan di
depan banyak orang! Hampir Cong San menari-nari kegirangan dan tiba-tiba saja
sinar matahari makin gemilang baginya, dunia tampak seperti sorga!
Seperti
tadi, nenek itu memandang Cong San dengan sinar mata penuh selidik bercampur
kemarahan. "Siapa pemuda ini?"
"Dia
bernama Yap Cong San, murid ketua Siauw-lim-pai. Kami sudah saling mencinta,
Subo, maka hanya dengan dialah teecu mau menikah."
Hening
sejenak, keheningan yang mencekam hati empat orang muda penuh ketegangan.
Tiba-tiba nenek itu membanting kakinya dan menjerit, "Tidak...! Kalian
tunduk kepadaku. Kalian harus pulang sekarang juga dan melangsungkan
pernikahan!"
"Teecu
tidak mau, Subo!" Yan Cu berkata dengan isak tertahan.
"Murid
celaka!" Tung Sun Nio menggerakkan kakinya menendang.
"Desss…!"
tubuh Yan Cu terlempar jauh dan bergulingan.
"Moi-moi...!"
Cong San menubruk dan memeluk gadis itu, membantunya bangun.
"Subo,
jangan...!"
"Kau
pun murid celaka!" Kakinya menendang lagi.
Apa bila
Keng Hong menghendaki, tentu saja akan mudah baginya untuk mengelak atau
menangkis, akan tetapi dia tidak berani melakukan perlawanan.
"Desss…!"
tubuhnya pun terlempar.
"Keng
Hong...!" Biauw Eng menubruknya.
Dua pasang
orang muda itu berpelukan dan memandang kepada nenek itu yang menjadi makin
marah.
"Keparat,
kubunuh kalian kalau tidak mau menurut!" bentaknya dan sekali melompat dia
sudah mendekati Keng Hong yang berpelukan dengan Biauw Eng, lalu menendang lagi.
Biauw Eng
menggerakkan tangannya menangkis, akan tetapi tangannya cepat dipegang Keng
Hong yang membiarkan dirinya ditendang.
"Desss…!"
Kini tubuh Keng Hong dan Biauw Eng keduanya terpental dalam keadaan masih
berangkulan dan bergulingan di atas rumput.
Nenek yang
sudah marah itu meloncat dan menendang Yan Cu dan Cong San yang juga terlempar
dalam keadaan saling berpelukan.
Sungguh sial
empat orang muda itu. Baru saja mereka dihajar oleh Go-bi Thai-houw si nenek
gila sampai babak bundas, kini dihajar lagi oleh Tung Sun Nio sampai dua kali
terguling-guling dan kulit mereka bertambah lecet-lecet!
"Subo,
pernikahan tidak dapat dipaksakan!" Keng Hong berseru. "Apa artinya
perjodohan tanpa cinta kasih? Apakah Subo hendak mengulang lagi peristiwa
antara Subo dengan mendiang Suhu?"
Nenek itu
tiba-tiba berhenti dan tubuhnya seperti kaku mendengar seruan Keng Hong ini.
Wajahnya menjadi semakin merah dan matanya laksana mengeluarkan api yang akan
membakar empat orang muda itu. Bibirnya menggigil dan sukar sekali dia
mengeluarkan kata-kata, kemudian dia menjerit,
"Apa...?!!"
Tangannya meraba gagang pedang dan cahaya maut membayangi pandang matanya!
"Omitohud...!
Tepat sekali ucapan orang muda ini. Sun Nio, mengapa engkau belum mau
insyaf?" Tiba-tiba terdengar suara yang halus.
Nenek itu
terpekik dan membalikkan tubuhnya. Sejenak ia berdiri terbelalak memandang
hwesio tua yang berdiri di situ dengan wajah tenang dan sinar mata penuh
kebijaksanaan. Nenek itu seolah-olah sudah berubah menjadi patung, menatap
hwesio itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
"Suhu...!"
Cong San yang masih memeluk Yan Cu melepaskan gadis itu dan menjatuhkan diri
berlutut di tempatnya memberi hormat kepada hwesio yang bukan lain adalah
gurunya sendiri, Tiong Pek Hosiang ketua Siauw-lim-pai!
Kalau Tung
Sun Nio dapat tiba di puncak Tai-hang-san untuk mencari dan menyusul dua orang
muridnya, adalah ketua Siauw-lim-pai ini yang merasa tidak tenteram hatinya
ingin menghadiri pertemuan puncak menyusul murid-muridnya yang mewakilinya.
"Tiong-koko...!"
Nenek itu akhirnya menjerit, lari menghampiri hwesio itu dan berlutut di
depannya, merangkul kedua kakinya dan menangis terisak-isak.
"Tiong-koko... Puluhan tahun aku mencarimu... Betapa kejam hatimu
meninggalkan aku. Siapa sangka... Ketua Siauw-lim-pai adalah engkau...
Hu-hu-huuuk... Kiranya engkau menjadi hwesio..."
"Omitohud...!
Tenangkan hatimu, Sun Nio. Aku menjadi hwesio untuk menebus dosaku yang sangat
besar terhadap mendiang suamimu, Sie Cun Hong Taihiap, sekaligus untuk
melupakanmu."
Nenek itu menangis
semakin mengguguk di depan kaki Tiong Pek Hosiang, sedangkan empat orang muda
itu memandang dengan melongo. Kembali mereka disuguhi peristiwa yang aneh dan
tidak terduga-duga.
"Kalian
dengarlah penuturan pinceng, orang-orang muda, agar kelak dapat kalian jadikan
contoh. Memang tadi pinceng kagum mendengar bantahan orang muda murid Sin-jiu
Kiam-ong dan memang begitulah, jodoh yang dipaksakan tanpa cinta kasih hanya
akan mengakibatkan hal-hal yang tidak menyenangkan. Contohnya adalah Tung Sun
Nio ini sendiri. Tanpa cinta kasih dijodohkan orang tuanya dengan Sie Cun Hong,
padahal dia mencinta Ouw-yang Tiong, yaitu pinceng sendiri! Jika saja Sie Cun
Hong dapat bersikap bijaksana di dalam hubungan suami isteri, agaknya
perlahan-lahan Sun Nio akan dapat melupakan pinceng. Akan tetapi sayang, Sie
Cun Hong mempunyai watak romantis, suka berenang di dalam lautan nafsu sehingga
Sun Nio menderita batin dan hatinya semakin condong terhadap pinceng!
Malapetaka menimpa ketika pinceng yang memang sejak dahulu bersahabat dengan
Sie-taihiap, mengunjungi mereka. Cinta kasih lama kambuh, getaran perasaan
meluap sehingga Sun Nio dan pinceng lupa diri, menjadi hamba nafsu melakukan
pelanggaran!" Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Menyesal pun
sudah kasep, pinceng melarikan diri dan tekun menjadi hwesio di Siauw-lim-si
sehingga akhirnya bisa terangkat menjadi ketua. Sungguh menyesal sekali bahwa
rumah tangga Sie-taihiap menjadi berantakan, Sie-taihiap makin menggila dan Sun
Nio.. Ahhh…, sungguh kasihan dia...!"
"Tiong-koko..
hu-huuuuukkkk...!" Nenek itu menangis tersedu-sedu dan hati empat orang
muda yang mendengarkan penuturan ini menjadi terharu sekali.
Bahkan Biauw
Eng dan Yan Cu tidak dapat menahan mengalirnya air matanya. Yan Cu terisak
lantas menubruk subo-nya, menangis berpelukan dengan gurunya yang bernasib
malang menjadi korban cinta kasih.
"Begitulah,
anak-anak. Cinta adalah perasaan yang suci dan gaib, kekuasaannya besar sekali
mempengaruhi kehidupan manusia. Cinta yang murni memerlukan kesadaran dan
kebijaksaan sebab mempunyai cabang-cabang yang dapat membingungkan manusia dan
kalau tidak hati-hati dapat dikotori oleh nafsu birahi semata sehingga menyeret
manusia menjadi hamba nafsu. Cinta bukan hanya meminta, melainkan lebih banyak
memberi, tak hanya menuntut disenangkan, akan tetapi terutama sekali harus
menyenangkan orang dicintanya. Cinta suci telah diberikan oleh Thian kepada
manusia, tengoklah sekelilingmu, sedemikian besar dan suci cinta kasih dari
Thian Yang Maha Kasih, menciptakan alam dan memberikan seluruhnya kepada
manusia tanpa menuntut sesuatu! Ingatlah akan cinta orang tua terhadap terhadap
anaknya, terutama cinta seorang ibu kepada anaknya, hanya memberi, memberi dan
memberi! Kalau saja cinta antara pria dan wanita, yang dibahayakan oleh nafsu yang
menjadi cabangnya, bisa mencontoh cinta kasih murni itu, memberi, menyenangkan,
pinceng kira cinta kasih itu akan menjadi sumber kebahagiaan suami
isteri."
Yan Cu
memandang kepada hwesio itu dengan terharu dan wajah berseri. Kini dia telah
mendapatkan cinta yang dicari-carinya, dalam diri Cong San!
"Sun
Nio. Engkau sudah banyak menderita karena cinta. Apakah engkau sekarang ingin
melihat muridmu menderita pula seperti engkau karena cinta? Muridmu mencinta
muridku Cong San. Nah, sekarang pinceng mempergunakan kesempatan ini untuk
mengajukan pinangan atas diri muridmu yang menjadi jodoh muridku. Bukankah ini
pemecahan yang amat baik, Sun Nio? Sewaktu kita berdua sudah berada di ambang
pintu kematian, sudah sama-sama tua, dan kita masih dapat melanjutkan ikatan di
antara kita, menjadi besan! Muridmu menjadi isteri muridku, bukankah hal ini
amat membahagiakan?"
Nenek itu
menyusut air matanya, lalu perlahan bangkit berdiri, masih merangkul Yan Cu.
Dia menganggung-angguk, lalu dengan suara serak bertanya, "Yan Cu, engkau
kusayang seperti anakku sendiri. Benarkah engkau mencinta Cong San?"
"Benar,
Subo."
"Baiklah,
Tiong-koko... Eh, bukankah sekarang namamu adalah Tiong Pek Hosiang? Aku
menerima pinanganmu, akan tetapi pernikahan harus dirayakan di tempatku."
Tiba-tiba
Keng Hong yang masih berlutut ikut bicara, "Subo, teecu sudah tidak
memiliki orang tua, tidak mempunyai wali. Subo sebagai isteri mendiang Suhu
merupakan orang satu-satunya yang dapat teecu anggap sebagai wali. Sudikah Subo
memberi ijin kepada teecu untuk berjodoh dengan Sie Biauw Eng?"
Biauw Eng
yang cerdik cepat pula berkata, "Locianpwe adalah isteri pertama dari
ayahku, maka Locianpwe juga merupakan ibu tiriku, maka aku mohon doa restu
Locianpwe."
"Ha-ha-ha-ha-ha...!"
Tiong Pek Hosiang tertawa. "Omitohud...!" Betapa besar berkah yang
dilimpahkan oleh Thian kepada kita semua! Sun Nio, tidak dapatkah kau melihat
betapa membahagiakan peristiwa ini? Cia Keng Hong adalah murid Sie Cun Hong,
Sie Biauw Eng adalah puterinya dan anak tirimu. Gui Yan Cu adalah muridmu, dan
Yap Cong San adalah murid pinceng. Dahulu, cinta segi tiga antara kita orang-orang
tua menimbulkan derita, kini keturunan kita mengakhiri derita itu dengan
penggabungan kembali keturunan kita bertiga, menjadi satu! Terima kasih kepada
Thian yang sudah memberi kebahagiaan ini kepada kita!"
Tung Sun Nio
tersenyum dan sinar terang membuat wajahnya yang dahulu selalu muram itu
menjadi berseri. Ia mengangguk-angguk memandang Biauw Eng, bulu matanya basah
dan air matanya mengalir turun ketika Biauw Eng bangkit kemudian memelukya
sambil menangis.
"Kita
rayakan bersama! Bagus sekali, dua pasang pengantin kita rayakan pernikahannya
secara besar-besaran!" kata Tiong Pek Hosiang. "Akan pinceng undang
semua sahabat kang-ouw! Bukan pernikahan kecil-kecilan karena yang menikah
adalah puteri Sie Cun Hong, murid Tung Sun Nio, dan murid Ouwyang Tiong.
Ha-ha-ha-ha-ha! Marilah, Sun Nio, dan kalian anak-anak yang baik, mari kita
turun dari puncak ini."
Maka
turunlah dua pasang orang muda bersama sepasang kakek nenek itu dari puncak
Tai-hang-san, meninggalkan gundukan-gundukan tanah yang dalam kebisuan mengajar
manusia bahwa segala keributan yang dibuat manusia di dunia pada waktu masih
hidup, sebenarnya hanya keributan kosong belaka karena kesemuanya itu akan
berakhir dengan tiada dan sunyi tanpa bekas!
Bahwa segala
macam kesenangan, kedukaan dan permainan perasaan yang menguasai manusia
sewaktu hidup, hanya seperti angin lalu yang mempermainkan daun-daun dan
bunga-bunga pohon tanpa ada hentinya sampai berakhir dengan gugur serta
rontoknya daun-daun dan bunga-bunga itu dari tangkainya.
Keng Hong
bergandeng tangan dengan Biauw Eng, dan Cong San bergandeng tangan dengan Yan
Cu. Dua pasang orang muda ini berjalan di lereng gunung Tai-hang-san, di
belakang nenek dan kakek itu. Mereka tersenyum-senyum, kadang kala saling
pandang dengan sinar mata berseri-seri penuh kebahagian hidup. Mereka
bergembira!
Memang,
hasrat hati yang tercapai akan menimbulkan kegembiraan, bukan kebahagian.
Kebahagian sejati tidak dapat dicapai dengan jangkauan, hanya kesenangan yang
dapat dicari dan didapatkan. Kebahagiaan sejati sudah ada dalam diri setiap
orang manusia. tenggelam di dasar telaga hati, tergantung pada tali kesadaran.
Kalau air telaga menjadi keruh karena getaran gelombang nafsu, maka takkan
tampaklah dia. Hanya hati yang hening jernih saja yang akan membuat dia tampak
melalui kesadaran.
***************
Kota kecil
Sun-ke-bun terletak di pinggiran Sungai Fen-ho di sebelah selatan kota besar
Tai-goan dan masih termasuk wilayah kaki Gunung Tai-hang-san. Pagi hari itu
kota kecil Sun-ke-bun diselimuti kabut dingin yang bergerak perlahan, turun
dari arah lereng-lereng Gunung Tai-hang-san, akan tetapi Sungai Fen-ho sendiri
mengepulkan kabut putih yang hangat.
Perang
saudara yang berkobar karena perebutan kekuasaan antara Raja muda Yung Lo
dengan keponakannya yang menjadi kaisar Kerajaan Beng telah padam. Perang
selesai dengan kemenangan di pihak Raja Muda Yung Lo yang kemudian naik tahta
Kerajaan Beng di tahun 1403. Setelah menjadi kaisar, Yung Lo memindahkan pusat
pemerintahan ke Peking yang dijadikan ibu kota.
Pemerintah
yang baru ini masih sibuk membangun kerusakan-kerusakan akibat perang sehingga
belum sempat mengatur daerah-daerah yang jauh dari ibu kota. Seperti lajimnya
terjadi di dunia ini, bila kedudukan pemerintah belum teratur, maka keamanan
pun belum dapat terjamin penuh dan muncullah kekuasaan-kekuasaan liar sehingga
terjadi hukum rimba. Siapa kuat dia menang dan berkuasa.
Dalam
keadaan sekacau itu, rakyat yang tinggal di dusun-dusun serta di kota-kota
kecil yang jauh dari ibu kota, dicekam rasa ketakutan dan terpaksa tunduk
kepada kekuasaan liar yang merajalela. Bajak, rampok dan golongan hitam
(penjahat) berpesta-pora, bebas melakukan segala macam perbuatan maksiat tanpa
ada yang berani melarangnya. Malah para pembesar setempat yang keadaan dan
kedudukannya masih belum tentu berhubung dengan peralihan kekuasaan di
pemerintah pusat, terpaksa lunak dan mengalah terhadap orang-orang golongan
hitam.
Kota
Sun-ke-bun tidak terkecuali dari keadaan itu. Kota kecil ini seakan-akan
dikuasai dan diperintah oleh para pembesar lemah bersama kaum hitam! Betapa pun
juga, rakyat yang selalu tunduk akan keadaan karena terpaksa itu masih dapat
menyesuaikan diri sehingga keadaan kota itu tetap ramai dan seolah-olah di kota
itu tidak terdapat penindasan dan kekacauan.
Pagi hari
itu toko-toko dan warung-warung makan belum buka, bahkan pintu-pintu rumah
penduduk banyak yang belum buka karena mereka sibuk dengan pekerjaan di dalam
dan di belakang rumah. Hawa sangat dingin, membuat orang segan keluar rumah.
Jalan-jalan rumah-rumah penduduk masih sunyi sekali. Orang-orang segan bermandi
kabut dingin di luar rumah.
Akan tetapi,
samar-samar sesosok bayangan orang yang hampir tidak nampak karena ditelan
kabut dingin, berjalan memasuki kota Sun-ke-bun dari gerbang timur. Dia
berjalan terseok-seok, terhuyung-huyung dan keadaannya seperti orang yang
kehabisan tenaga, kadang kala berhenti dan sejenak menyandarkan diri di luar
dinding rumah orang untuk mengatur napas. Diselimuti kabut yang tebal, sukar
menentukan siapa orang itu, laki-laki atau wanita, tua atau muda, hanya yang
sudah pasti orang itu tentulah dalam keadaan menderita kelelahan atau mungkin dalam
keadaan sakit.
Tiba-tiba
kesunyian dipecahkan suara derap kaki kuda yang datang dari selatan. Tampak
serombongan orang berkuda lewat di jalan itu, akan tetapi mereka tak melihat
orang yang bersandar pada dinding rumah di pinggir jalan. Mereka terdiri dari
tujuh orang laki-laki yang berpakaian seperti seperti orang-orang kang-ouw,
dengan senjata di pinggang atau di punggung. Sikap mereka kasar dan kini mereka
menjalankan kuda perlahan-lahan sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap.
"Setan!
Malas-malas benar penduduk kota ini, seperti babi!"
"Kalau
kita bakar rumah-rumah mereka, hendak kulihat apakah mereka masih akan tetap
berpelukan dengan isteri mereka di bawah selimut. Ha-ha-ha!"
"Sialan!
Semua masih tutup dan perutku sudah lapar sekali! Seekor lembu pun bisa habis
kuganyang pada saat ini!"
"Itu
ada rumah makan. Gedor saja, paksa pemiliknya suruh buka melayani kita!"
"Bagaimana
kalau dia belum membeli daging?"
"Ha-ha-ha!
Koki restoran mesti gemuk, kita sembelih saja dia dan masak dagingnya!"
Mereka
tertawa-tawa dan menghentikan kuda di depan rumah makan ‘Arak Merah’ yang masih
tertutup daun pintunya, berloncatan turun, mengikatkan kendali kuda pada tempat
yang disediakan untuk itu di luar, kemudian sambil tertawa-tawa mereka
berteriak-teriak kasar dan parau sambil menggedor pintu rumah makan ‘Arak
Merah’.
"Duk-duk-brukkk!”
“Buka pintu,
babi malas! Cepat... kalau tidak kuhancurkan pintu ini!"
Tak lama
kemudian dari dalam terdengar suara bakiak tersaruk-saruk lalu terdengar suara
orang tergesa-gesa, "Baik...baik...! Harap sabarlah...akan saya buka
pintunya!"
Tujuh orang
laki-laki itu tertawa bergelak dan daun pintu terbuka lebar-lebar oleh seorang
lelaki setengah tua yang bertubuh gemuk sekali. Pakaiannya masih tak karuan,
bercelana akan tetapi tidak berbaju sehingga tampak daging dadanya yang bulat
seperti buah dada wanita dan perutnya yang berlipat lima itu. Munculnya pemilik
restoran yang amat gemuk ini memancing ketawa tujuh orang tadi.
"Ha-ha-ha-ha-ha!
Benar-benar babi gemuk yang sudah sepatutnya disembelih!"
"Tentu
tebal gajihnya!"
"Wah,
Sam-can (potongan daging lemak kulit) yang lezat nih, apa lagi kalau dipanggang
setengah matang!"
"Akan
tetapi harus ditambah banyak jahe dan merica, kalau tidak... wah minta ampun
bau keringatnya! Ha-ha-ha!"
"Buntutnya
untuk aku saja..."
"Bodoh,
makin besar babinya, makin kecil buntutnya, ha-ha-ha!"
Pemilik
restoran itu sudah terbiasa dengan sikap kasar orang-orang seperti ini, maka
dia tidak menjadi takut. Dia maklum bahwa orang-orang kang-ouw yang kasar ini
tidak akan mengganggunya, hanya suka menggodanya, dan paling-paling mereka ini
datang karena membutuhkan makanan dan minuman. Maka dia tertawa lebar,
menyeringai seperti babi menguap dan berkata,
"Wah,
wah, tentu Chit-wi Taihiap (Ketujuh Pendekar Besar) hanya main-main saja. Babi
gemuk yang tua seperti saya ini tentu alot dan nyinyir!"
Salah
seorang di antara ketujuh orang yang tertawa-tawa mendengar ini, yang
jenggotnya dipotong pendek sehingga merupakan sikat kawat dan bermata bundar,
melotot sambil membentak,
"Kami
boleh main-main, akan tetapi perut kami yang sangat lapar dan golok kami yang
haus darah tidak main-main. Lekas sediakan masakan yang paling lengkap, arak
merah yang paling keras dan wangi. Kalau tidak ada kayu bakar, kami akan cabut
daun pintu restoranmu untuk kayu bakar, kalau tidak ada air, darahmu pun boleh
dibuat pengganti dan kalau tidak ada daging... hemmm..." Si brewok menusukkan
telunjuknya perlahan ke perut pemilik restoran, "...biar alot, dagingmu
pun boleh kau panggang untuk kami!"
Pemilik
restoran itu bergelak bersama mereka sambil mengangguk-angguk, "Ada, semua
siap. Chit-wi tunggu sebentar, akan saya masakan sop buntut naga, kuah telinga
harimau, dan panggang paha burung hong!"
"Babi
tua penipu! Nama masakanmu selalu sepeti dewa, siapa tidak tahu bahwa nagamu
itu hanya ular sawah, harimaumu hanya kelinci dan burung hong itu hanya ayam!
Hayo cepat, kami sudah lapar sekali, jangan-jangan kawan-kawanku tidak sabar
lagi dan akan mengganyang dagingmu hidup-hidup! Ha-ha-ha!"
Si pemilik
restoran yang gendut itu berlari anjing ke dalam sambil berteriak-teriak
nyaring, "Heh, kucing betina! Hayo cepat berpakaian dan masak air, panaskan
arak. Tidur saja kerjanya!"
Tujuh orang
itu tertawa. Mereka sudah melepaskan pedang dan golok di atas meja dan
menyeret-nyeret kursi.
"Babi
tua, kalau binimu itu sudah mogok tidur, engkaulah yang berkaok-kaok ketagihan,
ha-ha-ha!"
Tidak lama
kemudian muncullah isteri si pemilik restoran yang tubuhnya kurus sekali,
berlawanan dengan suaminya, disusul pula oleh dua orang kacung pelayan restoran
yang masih menggosok-gosok mata yang penuh tahi mata.
"Kalian
semua cuci muka dulu dan mencuci tangan bersih-bersih!" teriak si brewok
yang agaknya menjadi pemimpin tujuh orang berkuda itu.
Selagi si
pemilik restoran dibantu isteri serta dua orang kacungnya sibuk di dapur untuk
menyiapkan masakan dan arak, ketujuh orang itu ramai bercakap-cakap. Mereka
duduk seenaknya di ruangan yang masih kosong itu. Ada yang menaruh kedua
kakinya di atas meja dan menyandarkan leher pada sandaran kursi sambil
melenggut karena lelah dan mengantuk, dan ada pula yang duduk nongkrong di atas
meja. Si brewok mengeluarkan sebatang huncwe dan mulailah mengisap tembakau
yang baunya lalu memenuhi ruangan restoran yang cukup luas itu.
"Twako,
apakah kantung itu tidak perlu dibawa ke sini?" Salah seorang di antara
mereka bertanya kepada si brewok.
Dia adalah
orang yang termuda, usianya sekitar tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap
dan berwajah tampan, berbeda dengan enam orang kawannya yang lebih tua dan yang
semua berwajah kasar buruk.
Si brewok
menghembuskan asap tembakaunya, kemudian mendengus sambil membuang kerling
keluar restoran di mana tampak kuda mereka tertambat.
"Phuah!
Siapa berani mengganggu milik kita? Biar saja di sana. Siauw-ong tentu belum
bangun sepagi ini, nanti dari sini kita langsung ke gedungnya dan menyerahkan
hasil kita semalam."
"Wah,
sungguh menjemukan. Kita hanya mendapatkan perhiasan dan benda-benda mati! Tiga
orang perempuan yang di kapal itu hanya nenek-nenek. Sialan! Biasanya tentu ada
gadis-gadis cantik di kapal pesiar semacam itu!" Berkata seorang yang
dahinya bercodet bekas goresan senjata tajam.
"Boan-te,
mengapa engkau mengomel? Setelah kita selesai menghadapi Siauw-ong, apa
sukarnya mencari perempuan cantik di kota ini? Tentu banyak persediaan untuk
kita, dan Siauw-ong tentu tak akan melupakan jasa kita semalam. Ha-ha-ha!"
kata seorang yang matanya juling.
Tidak lama
kemudian pemilik restoran yang gendut dibantu isterinya yang kurus dan dua
orang kacungnya keluar dengan membawa hidangan yang masih mengepul panas dan
mengeluarkan bau sedap, membuat tujuh orang yang kelaparan itu menitikkan air
liur.
Si mata
juling dengan gerakan kurang ajar mencubit pinggul isteri pemilik restoran yang
sudah setengah tua itu sambil berkata, "Ehh, Gendut, isterimu begini kurus
dan engkau begini gendut, bagaimana bisa? Ha-ha-ha!"
Pemilik
restoran tertawa bersama tujuh orang penunggang kuda itu, sedangkan isterinya
tersipu-sipu malu dan lari masuk. "Ha-ha-ha! Bodoh engkau!" kata si
brewok. "Gendut dan kurus itulah yang cocok sekali, betul tidak, Paman
Gendut?"
"Aaaaahhh,
Taihiap bisa saja, ha-ha-ha!" Si pemilik restoran tertawa, akan tetapi di
dalam hatinya dia menyumpah-nyumpah dan memaki orang-orang kurang ajar itu.
Tujuh orang
itu mulai menyerbu masakan. Si pemilik restoran serta dua orang kacungnya mulai
membereskan meja-meja lain, membersihkannya kemudian membuka semua pintu
restoran.
Sesosok
tubuh orang yang tadi berjalan terhuyung-huyung telah tiba di depan restoran
itu. Hidungnya kembang kempis mencium bau masakan sedap dan dia lalu memasuki
rumah makan.
Begitu orang
ini muncul di pintu dan disambut oleh si pemilik restoran dengan pandang
terbelalak, tujuh orang yang sedang makan itu menghentikan makan mereka dan
semua menoleh ke arah pintu dengan pandang mata terbelalak dan sinar mata liar.
Makin lama, sinar mata liar itu menjadi makin mengandung gairah. Mereka adalah
sekumpulan laki-laki kasar dan orang yang muncul di pintu restoran itu memang
benar-benar dapat membuat setiap mata pria terbelalak penuh gairah.
Dia adalah
seorang wanita berusia kurang tiga puluh tahun, cantik sekali, amat manis dan
memiliki daya tarik yang luar biasa karena sinar matanya yang penuh tantangan.
Bibirnya yang setengah terbuka, kemerahan dan seolah-olah mengajak pria yang
memandangnya untuk mencumbu! Biar pun wajahnya di saat itu pucat dan
menunjukkan tanda kelelahan dan penderitaan, walau pun rambutnya yang hitam
halus serta panjang itu terurai lepas, namun kejelitaannya menonjol sekali.
Apa lagi
pada saat mata ketujuh orang laki-laki itu menjelajahi ke arah tubuh wanita ini,
mereka diam-diam menelan ludah. Si juling menjadi makin juling, biji matanya
berkumpul di dekat hidung karena dia mempergunakan semua tenaga matanya untuk
menelan tubuh itu!
Tubuh yang
padat, montok denok dengan kulit yang putih kuning bersih tanpa cacat! Biar pun
pakaian wanita ini agak kotor berdebu, bahkan pada bagian pundaknya terobek dan
ternoda banyak darah dari luka di pundaknya, akan tetapi bahkan menonjolkan
keindahan bentuk tubuhnya, pinggang yang ramping, pinggul dan dada yang penuh
membulat dan membusung!
Wanita ini
maklum akan pandang mata ketujuh orang laki-laki kasar itu, namun dia tidak
peduli dan langsung berjalan dengan langkah perlahan ke arah meja di ujung
kiri, hanya empat meter jauhnya dari meja kumpulan penunggang kuda itu.
Pemilik
rumah makan mengikutinya dengan pandang mata meragu. Hatinya tidak nyaman
karena di samping wanita yang terluka ini kelihatannya sakit dan lemah serta
belum tentu mempunyai uang, juga dari pandang mata ketujuh orang laki-laki itu
dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal yang membuatnya tidak enak.
Maka dia
lalu menghampiri dan membungkuk di depan wanita itu sambil berkata diiringi
senyum, "Maaf, Toanio. Toanio memerlukan apakah? Sebenarnya, restoran kami
belum buka dan belum siap, maka jika Toanio menghendaki sesuatu lebih
baik…"
"Keluarkan
arak hangat dan nasi serta masakan seadanya..." Wanita itu mengerling ke
arah meja tujuh orang laki-laki itu lalu menyambung, "Seperti yang kau
hidangkan kepada mereka itu!" Meski pun suara wanita ini merdu dan halus,
namun mengandung tekanan mengancam dan nadanya keras serta terdengar dingin,
membuat tubuh pemilik restoran itu menggigil.
"Akan
tetapi... kami..."
"Brukkkkk!"
Wanita itu
menjatuhkan sebuah pundi-pundi di atas meja, segera membuka talinya dan mengambil
sepotong perak yang besarnya cukup untuk membeli masakan sebanyak tiga meja
penuh!
"Apa
kau kira aku tidak akan membayar? Nih uangnya, sisanya untukmu!"
Melihat
sepotong perak besar itu, sepasang mata si gendut terbelalak berseri-seri.
Cepat dia mengambil uang itu dan tersenyum-senyum sambil membongkok-bongkok.
"Baik…
baik... Toanio... tunggu sebentar, akan saya sediakan masakan paling lezat
untuk Toanio."
Tujuh orang
laki-laki itu dengan terang-terangan memandang kepada wanita cantik ini dan
mereka kagum bukan main.
"Aduhhhh...
bukan main... putihnya!" Si juling berkata, tidak lirih dan memang dia
sengaja bicara agar dapat terdengar oleh wanita itu yang duduk sambil
menundukkan mukanya, sikapnya tidak peduli sama sekali.
"Bukan
putihnya yang membuatku terpesona, halusnya kulit itu...! Bukan main...!"
kata seorang kawannya.
"Dan
harumnya tercium dari sini.. apa lagi kalau lebih dekat... waduhhh, mimpi apa
kita semalam...?" kata si brewok yang biar pun tidak semata keranjang si
codet atau si juling, namun sekali ini dia benar-benar tertarik dan timbul
birahinya menyaksikan wanita luar biasa itu.
"Amboiiiii..
bidadari dari mana gerangan yang muncul menghibur kita?" berkata si codet
sambil mengendus-endus dengan hidungnya seperti seekor anjing mencium tahi.
Wanita itu
tetap diam saja, bergerak pun tidak, melirik pun tidak. Ketika seorang kacung
membawa arak hangat, cepat seperti orang kehausan ia menuangkan arak dalam
cawan terus diminumnya sekali tenggak. Melihat ini, tujuh orang laki-laki kasar
itu menjadi makin berani. Sikap minum arak seperti yang diperlihatkan wanita
itu bukanlah sikap seorang nona simpanan, maka si juling segera berkata,
"Minum
arak sendirian mana enak? Kami semua siap menerima bidadari kesepian untuk
bersama-sama minum dan makan sambil mengobrol!"
Akan tetapi
wanita itu tetap tidak peduli, malah sampai tiga kali dia menenggak habis cawan
arak sekali teguk. Kemudian ia menarik napas panjang, agaknya merasa lega dan
dirabanya pundak yang terluka dengan bibir agak terbuka seperti menahan rasa
nyeri.
"Ssttt,
biarkan dia makan dulu," Si brewok berbisik kepada teman-temannya.
"Dia terlihat luka, lelah dan kelaparan, mana akan mampu melayani kita
bertujuh? Kalau sudah makan kenyang tentu pulih kembali tenaganya..."
Mendengar
bisikan pimpinan mereka ini, mereka tertawa-tawa dan menyatakan setuju, bahkan
enam orang kasar itu mulai mengadu untung dengan jari tangan, mengundi untuk
menentukan siapa yang menang dan lebih dulu berhak mendapatkan wanita itu
sesudah sang pemimpin yang tentu saja mempunyai hak pertama!
Walau pun
mereka itu bicara perlahan, namun karena sikap mereka, wanita yang luka itu
mendengar dan mengetahui semua perbuatan mereka. Namun ia sama sekali tidak
peduli dan memperlihatkan sikap mengacuhkan, bahkan ketika hidangan sudah
datang dia lalu mulai makan dengan lahapnya.
Tujuh orang
laki-laki yang sudah selesai lebih dahulu, sekarang semua memutar kursinya
menghadap ke arah si wanita sambil memandang dengan sikap terbuka,
terang-terangan menjadikan wanita itu bagaikan tontonan sampai wanita itu
selesai menghabiskan semua hidangannya dan menenggak arak lagi.
"Tanpa
dipameri emas pun dia tentu mau melayani kita," kata si codet. Si brewok
tertawa, mengangguk dan mulai melangkah ke arah meja wanita itu diikuti enam
orang kawannya.
Tiba-tiba
wanita itu mengangkat muka memandang mereka. Si brewok tiba-tiba berhenti
melangkah. Baru sekali ini wanita itu langsung memandang mereka dan melihat
sinar mata yang berkilat seperti halilintar menyambar itu, si brewok kaget
sekali.
"Inikah
yang kalian cari-cari?" Wanita ini berkata lirih namun jelas terdengar dan
biar pun suaranya merdu, penuh dengan ejekan. Tangannya bergerak merobek
pundi-pundi uang di atas mejanya dan berhamburanlah potongan perak dan emas di
atas meja itu karena kantung itu telah pecah terobek.
Tujuh orang
itu memandang dengan mata terbelalak ke arah potongan perak dan emas yang
berserakan itu. Kiranya wanita itu telah mencopet kantung uang mereka dari atas
kuda! Bukan main marahnya hati ketujuh orang itu. Mereka adalah pimpinan bajak
Sungai Fen-ho dan tidak ada orang yang berani main gila terhadap mereka. Kini,
kantung berisi emas dan perak itu dicuri seenaknya oleh seorang wanita terluka,
diambilnya dari depan hidung mereka begitu saja!
"Perempuan
rendah! Berani engkau main gila dengan Fen-ho Chit-kwi? Untung engkau cantik
molek, jika tidak engkau tentu akan kubunuh sekarang juga. Akan tetapi kami
akan mempermainkan tubuhmu sampai engkau mampus!" si brewok membentak dan
mereka bertujuh sudah melangkah maju dengan sikap penuh ancaman.
Ada pun si
pemilik restoran, isterinya dan dua orang kacung mereka, begitu mendengar
disebutnya nama Fen-ho Chit-kwi, telah menggigil ketakutan dan cepat-cepat
keluar dari dalam restoran mereka karena maklum bahwa tentu akan terjadi
huru-hara di restoran mereka itu! Mereka hanya menonton dari luar melalui pintu
dengan muka pucat dan tubuh gemetar.
Tiba-tiba
saja wanita itu tertawa. Suara ketawanya merdu akan tetapi nyaring melengking
seperti suara ketawa kuntilanak dari dalam kuburan, membuat ketujuh orang itu
kembali menghentikan langkah dan bulu tengkuk mereka meremang, terasa dingin.
"Kalian
hendak mengambil kembali emas dan perak ini? Nah, terimalah!”
Tangan kiri
wanita itu meraih ke atas meja, gerakannya cepat sekali dan begitu tangannya
bergerak, tampak sinar putih dan kuning terbang berkelebatan dibarengi suara
bercuitan. Potongan-potongan emas dan perak tadi telah menyambar ke arah tujuh
orang itu seperti peluru-peluru dengan kecepatan mengejutkan dan mengarah
bagian-bagian tubuh yang mematikan!
"Aihhh...!"
"Hiaaattt...!"
"Hayaaa...!"
Tujuh orang
Fen-ho Chit-kwi bukan orang sembarangan. Ilmu silat mereka tinggi, bahkan
mereka adalah orang-orang yang ahli dalam penggunaan senjata rahasia. Akan
tetapi kini menyaksikan perak dan emas beterbangan dan menyambar mereka
demikian cepatnya, benar-benar membuat mereka terkejut bukan main. Hanya dengan
membuang diri, cepat berloncatan ke kanan kiri dan atas, ketujuh orang itu baru
dapat menghindarkan diri dari ancaman maut.
"Cet-cet-cettt...!"
Semua perak dan emas itu menyambar lewat dan menancap masuk ke dalam dinding
restoran sampai lenyap tak kelihatan lagi, hanya kelihatan tembok tebal itu
berlubang-lubang!
Wanita itu
masih duduk. Sambil menenggak arak dari cawannya, dia menaruhkan tangan kanan
yang pundaknya terluka di atas meja. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala dan
berkata lirih, "Kalian lumayan juga, dapat mengelak dan masih tetap hidup.
Karena itu biarlah kalian kumaafkan."
Melihat
sikap wanita cantik itu, si brewok menjadi marah bukan main. Pada saat mengelak
tadi, kedua tangannya sempat menangkap dua potong perak yang menyambar, dan
kini dia meremas dua potong perak itu di tangannya sehingga menjadi hancur! Ia
membuka kedua tangan, memperlihatkan hancuran perak kepada wanita itu sambil
membentak,
"Perempuan
sombong! Kalau belum menghancurkan tubuhmu seperti ini, aku belum mau
sudah!"
Wanita itu
menghela napas panjang dan tersenyum. Senyumnya manis sekali, senyum penuh memikat
yang dapat meruntuhkan hati setiap orang pria. "Begitukah? Kalau begitu
berarti kalian minta mati sendiri."
"Perempuan
sombong!" teriakan ini terdengar dari semua mulut ketujuh orang itu.
Mereka
adalah Fen-ho Chit-kwi dan selamanya belum pernah dipandang rendah orang, apa
lagi hanya oleh seorang wanita terluka seperti ini! Bahkan Mo-kiam Siauw-ong
(Raja Muda Pedang Iblis) yang menjadi ‘datuk’ kaum hitam di daerah Fen-ho dan
bertempat tinggal di kota Sun-ke-bun, sudah menaruh kepercayaan penuh terhadap
mereka untuk menguasai Sungai Fen-ho dan mengirimkan semua hasil pendapatan
kepada datuk itu untuk kemudian mereka mendapat bagian. Mo-kiam Siauw-ong
sendiri tidak memandang rendah kepada mereka, akan tetapi kini perempuan ini
sama sekali tidak memandang mereka sebagai jagoan-jagoan yang jarang
tandingnya!
"Cuat!
Cuat! Sing! Sing!"
Tampak sinar
golok dan pedang berkelebat ketika tujuh orang itu menyambar senjata mereka
dari atas meja dan mencabutnya. Mereka tertegun menyaksikan betapa wanita itu
sama sekali tidak mengacuhkan, bahkan melihat mereka mencabut senjata, wanita
itu kini malah menuangkan lagi arak ke dalam cawannya sambil tersenyum-senyum,
dan minum arak itu tanpa melirik ke arah mereka!
Kesombongan
yang melewati takaran ini tidak dapat mereka tahan lagi. Tadinya memang timbul
gairah dan birahi mereka menyaksikan wanita yang berwajah cantik manis serta
bertubuh denok itu. Akan tetapi kini kemarahan mengalahkan birahi mereka dan
nafsu satu-satunya yang berkobar di dalam dada mereka hanyalah hendak
mencincang hancur tubuh wanita itu!
"Hiaaaaattt…!"
Tujuh orang
itu lantas menerjang berbareng dengan teriakan dahsyat. Pedang dan golok
menyambar dari tujuh jurusan ke arah tubuh si wanita yang sedang minum arak.
"Crok-crok-krak-krakkk!"
Kursi yang tadinya
diduduki wanita itu hancur berkeping-keping, bahkan mejanya terbang diterjang
tujuh orang yang marah itu. Akan tetapi mereka terbelalak kaget karena wanita
itu sendiri lenyap dari atas kursi, hanya tampak bayangannya berkelebat ke atas
dengan kecepatan yang mentakjubkan.
"Hi-hi-hik…!"
Mendengar
suara ketawa terkekeh itu ketujuh orang yang kehilangan lawan mengangkat muka
memandang dan ternyata wanita itu telah berada di langit-langit sambil tetap
minum araknya! Tiba-tiba wanita itu menyemburkan arak dari mulutnya ke bawah.
Tujuh orang
Fen-ho Chit-kwi cepat mengelak akan tetapi tetap saja tubuh mereka terkena
percikan arak yang rasanya seperti jarum-jarum menusuk. Mereka memekik kaget
dan makin marah. Biar pun maklum bahwa wanita cantik itu memiliki kepandaian
yang hebat, mereka sama sekali tidak menjadi jeri, malah secara serentak tubuh
mereka melayang ke atas didahului senjata mereka yang semua menusuk ke arah
tubuh yang menempel di langit-langit ruangan itu.
"Cep-cep-cep-ceppp!"
Tujuh batang senjata runcing itu menancap pada langit-langit.
"Celaka..!"
Si brewok berseru akan tetapi seruannya segera disusul jerit mengerikan dan
tubuhnya roboh ke bawah, disusul jerit kawan-kawannya dan berjatuhanlah enam
tubuh di antara mereka dalam keadaan tak bernyawa lagi karena punggung mereka
kena tampar tangan kiri wanita itu yang berloncatan seperti gerakan seekor
burung terbang.
Hanya
seorang saja di antara mereka yang dapat meloncat turun dan tidak terpukul,
yaitu lelaki berwajah tampan. Dia meloncat turun setelah mencabut pedangnya yang
menancap di langit-langit, matanya terbelalak memandang mayat enam orang
kawannya yang telah tewas, kemudian memandang pada wanita yang sekarang telah
berdiri di depannya dan memandangnya sambil tersenyum-senyum.
"Perempuan
siluman!" Si wajah tampan berseru marah dan menerjang dengan tusukan
pedang ke arah tenggorokan wanita itu.
Namun sambil
tersenyum-senyum wanita ini menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kedua
jari kiri, telunjuk dan jari tengah, telah menjepit ujung pedang. Laki-laki
tampan itu kaget sekali, berusaha mencabut pedangnya, namun sedikit pun tidak
bergeming! Sampai terbelalak dia saking kagetnya menyaksikan kelihaian yang
belum pernah dilihat selama hidupnya ini.
"Hi-hi-hik,
tampan, apa kau kira engkau masih dapat hidup sampai saat ini kalau tadi aku
menghendaki kau mampus bersama kawan-kawanmu? Aku kesepian, terluka, aku perlu
kawan yang baik dan mesra. Hemm, jika memang kau ingin mati, apa sulitnya
bagiku?" Berkata demikian, wanita itu mengerahkan tenaganya dan...
"Krakkk!"
pedang itu patah!
Sebelum
laki-laki itu lenyap kagetnya tahu-tahu tangan kiri wanita itu telah menyambar
ke depan, ke arah dadanya. Laki-laki itu mengeluh dan maklum bahwa dia tentu
akan mati, maka dia sudah menyerah untuk mati menyusul keenam orang kawannya.
Akan tetapi tangan kiri yang berjari-jari kecil meruncing dan halus itu tidak
memukulnya, melainkan mencengkeram bajunya dan sekali tarik...
"Brettttt!"
baju laki-laki itu terobek dan terlepas dari tubuhnya berikut baju dalam
sehingga tubuh atasnya telanjang sama sekali!
Wanita itu
membuang baju tadi, kini tangannya meraba-raba dan mengelus-elus dada laki-laki
yang bidang dan berotot itu, dada yang penuh kejantanan dan pandang mata wanita
itu berseri, mulutnya yang manis bukan main itu tersenyum dan berkata lirih,
"Hemmm...
engkau menggairahkan... engkau temani aku hari ini dan kau bantu merawat
lukaku, Tampan!"
Laki-laki
yang tadinya sudah yakin akan kematiannya itu, terbelalak. "Aku... aku
tidak bisa mengobati…"
"Hi-hi-hik,
bodohnya! Hanya mencuci dan menaruh obat lalu membalut dan hemmm…, mengusir
kesepian yang mencekam hatiku. Aku mempunyai obatnya. Lihat lukaku ini, apakah
engkau tak kasihan melihat seorang wanita terluka seperti ini?" Berkata
demikian, wanita itu menggunakan tangan kirinya merenggut pakaiannya sendiri di
bagian pundak kanan yang bernoda darah.
"Bretttttt!"
Robeklah
pakaian di bagian pundak kanan, robek lebar bukan hanya membuka pakaian luar
dalam memperlihatkan pundak yang terluka lebar, akan tetapi juga memperlihatkan
sebagian besar buah dada kirinya yang membusung penuh! Laki-laki tampan itu
melongo, menatap bagian yang menarik itu dan menelan ludah!
"Hi-hi-hik!
Bagaimana, kau memilih mati atau menjadi teman baikku?"
Laki-laki
itu mengangguk-angguk. "Engkau lihai dan cantik, aku lebih suka
menemanimu."
Tangan itu
menyambar ke depan dan mengelus dagu laki-laki itu. "Tampan, lekas kau
pondonglah aku, bawa ke kamar dalam restoran ini, lukaku perlu dirawat."
Laki-laki
itu kini sudah tunduk benar, karena dia maklum bahwa wanita yang cantik jelita
ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa dan dia tahu
bahwa selain lihai, wanita ini pun kejam bukan main dan juga agaknya gila
laki-laki. Kalau sekarang dia berkenan di hati wanita itu, hemmm, bukan hal
yang merugikan.
Maka dia
lalu memondong tubuh itu yang terasa ringan sekali, ringan hangat dan tercium
olehnya bau harum yang amat aneh, harum yang memabukkan dan sekaligus membakar
hati jantannya, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan seluruh tubuhnya
menjadi panas.
"Heh,
babi gendut!" Wanita yang dipondong dan merangkul leher laki-laki itu
dengan sikap manja dan mesra, berseru kepada si pemilik restoran yang masih
berdiri di luar pintu dengan wajah pucat.
Diam-diam
dia tadi sudah menyuruh seorang kacungnya pergi berlari untuk melaporkan
peristiwa itu kepada Siauw-ong karena dari percakapan tadi dia dapat menduga
bahwa tujuh orang yang amat terkenal sebagai pimpinan bajak Sungai Fen-ho itu
tentulah anak buah atau sekutu Siauw-ong. Kini mendengar panggilan si wanita
yang lihai seperti iblis itu, dengan tubuh menggigil dia terpaksa memasuki restoran,
hati-hati sekali melangkah menghindari enam buah mayat yang bergelimpangan di
dalam restorannya.
"Toanio
hendak memerintah apakah?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Malam
ini aku sewa kamarmu, dan jangan ganggu kami. Sekarang, lempar enam ekor anjing
itu keluar, kemudian suruh orangmu memasakkan air satu panci untuk mencuci
lukaku. Cepat! Emas dan perak yang memenuhi dindingmu boleh kau ambil kalau kau
mentaati, bila tidak, perutmu yang gendut itu akan kurobek dan kukeluarkan isi
perutmu!"
Dengan
seluruh tubuh menggigil koki gendut ini mengangguk-angguk, kerongkongannya
sampai terasa kering saking takutnya sehingga dia tidak dapat mengeluarkan
jawaban.
Wanita itu
tersenyum, kemudian mendekatkan mukanya, mencium mulut laki-laki tampan yang
memondongnya dengan mesra dan tanpa malu-malu sehingga laki-laki itu menjadi
merah mukanya dan seperti diayun ke sorga ke tujuh.
"Tampan,
lekas bawa aku ke kamar…," bisik wanita itu.
Setelah
laki-laki tampan yang memondong wanita itu menghilang ke dalam kamar pemilik
restoran, barulah si pemilik restoran dapat bergerak lagi. Dia cepat berlari
keluar sambil menyeret isterinya, kacungnya serta beberapa orang tetangganya
untuk menyingkirkan enam buah mayat dan dia sendiri cepat-cepat memasak air di
dapur dengan tubuh masih menggigil dan kadang kala matanya melirik ke arah
kamarnya dari mana dia mendengar suara ketawa terkekeh wanita itu.
Dengan hati
kebat-kebit pemilik restoran yang bertubuh gendut itu membawa air yang sudah
mendidih ke dalam kamar.
"Ini
airnya, Toanio…," katanya tanpa berani mengangkat muka.
"Letakkan
di atas meja, kemudian engkau siapkan arak guci dan masakan-masakan yang paling
lezat, antarkan ke kamar ini, kemudian jangan ada yang berani memasuki kamar
ini. Mengerti?'
Si gendut mengangkat
muka dan dia melihat betapa wanita yang mengerikan hatinya itu duduk di atas
tempat tidurnya, membelai-belai dan menciumi laki-laki tampan yang kini
dipangku oleh wanita itu.
"Baik,
Toanio." Ia bergegas keluar dari kamar dan di dalam hatinya dia
terheran-heran.
Bukan main,
gerutunya dalam hati. Seorang wanita yang demikian lihai dan kejamnya membunuh
orang seperti membunuh ayam saja, dan dalam bercumbu, malah memangku seorang
pria! Celaka, tentu dia itu sebangsa siluman!
Sering dia
mendengar dongeng dan membaca cerita bahwa ada siluman rase yang suka menjelma
menjadi manusia, menjadi seorang wanita cantik. Kalau bukan siluman rase tentu
siluman ular dan darah serta sumsum laki-laki yang tampan itu tentu akan
disedot habis! Mengerikan!
Besok pagi-pagi
tentu dia akan mendapatkan laki-laki itu telah menjadi mayat yang kering di
atas pembaringan! Celaka! Siapa yang mau berbelanja di restorannya lagi? Dia
bakal bangkrut! Akan tetapi... emas dan perak yang tertanam di dinding
restorannya itu banyak sekali. Dia akan mengambil harta itu dan mengajak
isterinya pindah, pindah kota.
Kurang lebih
satu jam kemudian, terdengar suara hiruk-pikuk di depan restoran. Tampak lima
orang lebih berkerumun di depan restoran dipimpin oleh seorang lelaki berusia
lima puluhan tahun yang berpakaian mewah, dibantu oleh lima orang yang agaknya
menjadi pembantu-pebantu utamanya.
Si gendut
cepat-cepat keluar dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki
berpakaian mewah itu. "Ong-ya... tolonglah saya. Harap Ong-ya suka bekuk
siluman rase itu..."
Laki-laki
itulah yang berjuluk Mo-kiam Siauw-ong. Dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang
berilmu tinggi dan di daerah lembah Sungai Fen-ho, dia terkenal sebagai datuk
golongan hitam yang dianggap seperti ‘raja’ oleh kaum petualang dan penjahat.
Setelah dia menjadi sekutu para pembesar di kota Sun-ke-bun, dia hidup makmur
dan biar pun semua urusan pemerintahan dijalankan oleh para pembesar daerah,
namun sebenarnya dialah yang berkuasa karena para pebesar tunduk kepadanya.
Apa lagi
ketika Mo-kiam Siauw-ong yang hidup sebatang kara dan tidak beristeri itu oleh
pembesar setempat diambil mantu sebagai taktiknya, untuk mengambil hati orang
pandai ini, kedudukan Mo-kiam makin menanjak. Dia menikah dengan puteri kepala
daerah yang baru berusia delapan belas tahun, lalu hidup mewah dan terhormat.
Akan tetapi, sebagai imbalan kebaikan sang kepala daerah itu, Mo-kiam Siauw-ong
yang menjamin kekuasaan sang mertua.
Bahkan
karena datuk golongan hitam ini selalu menerima semacam upeti dari perampok dan
bajak sungai, sebentar saja dia menjadi kaya raya, malah sang mertua juga ikut
ambil bagian! Dengan adanya Mo-kiam Siauw-ong sebagai menantu, kedudukan kepala
daerah menjadi makin kuat sehingga dia tidak khawatir lagi kalau-kalau kedudukannya
akan ada yang berani menggulingkan dalam masa peralihan pemerintahan itu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment