Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 37
Go-bi
Thai-houw memandang Keng Hong dengan mata terbelalak. Ia bergidik mengingat
daya sedot yang keluar dari telapak tangan pemuda itu dan diam-diam merasa
gentar karena maklum bahwa kalau dilanjutkan melawan pemuda ini, akhirnya dia
akan kalah. Ia lalu menoleh dan melihat betapa Cui Im juga terdesak hebat,
dikeroyok oleh Biauw Eng, Cong San dan lima orang hwesio Siauw-lim-pai. Bahkan
Mo-kiam Siauw-ong agaknya sudah terluka dan Yan Cu sudah bersiap membantu
pengeroyokan atas diri Cui Im.
Nenek itu
tiba-tiba melengking nyaring dan dari kebutannya menyambar sinar-sinar kecil ke
arah Keng Hong. Itulah bulu-bulu kebutan yang hampir separuhnya dari seluruh
bulu kebutan itu meluncur bagaikan jarum-jarum panjang menyerang Keng Hong.
Pemuda ini sudah maklum akan kelihaian si nenek iblis dan betapa bahayanya
bulu-bulu itu, maka cepat pedangnya berkelebat membentuk gulungan sinar dan
meruntuhkan semua senjata rahasia itu.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Go-bi Thai-houw untuk mencelat ke belakang, lantas sekali
sambar dia memegang lengan Mo-kiam Siauw-ong sambil berseru, "Muridku,
kita pergi dulu!"
Cui Im yang
sudah terdesak hebat itu tertawa. Segera pedangnya berputar cepat sekali,
membuat para pengeroyoknya menangkis dan mundur. Ia lalu meloncat ke belakang
dan tangannya terayun. Berhamburanlah jarum-jarum merah ke arah para
pengeroyok.
Tentu saja
para pengeroyok yang terdiri dari orang-orang pandai itu dapat menghindarkan
diri dari jarum-jarum ini, bahkan Biauw Eng yang maklum bahwa sekali terlepas
akan sukar melepas bekas suci-nya, sudah melepaskan senjata-senjata rahasianya
yang tidak kalah hebatnya dari pada jarum-jarum merah Cui Im, yaitu bola-bola
kecil putih berduri dan sebatang tusuk konde bunga bwee.
Terdengar
suara berdencingan nyaring dan ternyata semua senjata rahasia itu runtuh
disambar kebutan Go-bi Thai-houw yang memberi kesempatan kepada Cui Im untuk
lari lebih dulu. Sekarang para pengeroyok Cui Im menerjang nenek itu, akan
tetapi dengan memutar kebutan, nenek itu bisa menghalau semua pengeroyok kemudian
sekali melesat dia telah meloncat jauh sambil menarik tubuh Mo-kiam Siauw-ong.
Keng Hong
tidak mengejar karena dia telah berlutut di dekat tubuh nenek Tung Sun Nio,
memeriksa sebentar kemudian tetap berlutut dengan wajah berduka. Tanpa menoleh
dia berteriak,
"Sumoi...!"
Yan Cu
beserta Biauw Eng ingin sekali mengejar musuh, akan tetapi mendengar suara
panggilan suheng-nya, Yan Cu menoleh dan wajahnya berubah pucat. Cepat dia
berlari menghampiri dan begitu melihat subo-nya yang masih duduk bersila, dia
cepat berlutut dan menangis.
"Subo...!
Subo...!" Suaranya tercekik di kerongkongan dan dia tentu roboh pingsan
kalau tidak cepat dirangkul oleh Keng Hong yang menghiburnya,
"Sumoi,
kuatkan hatimu!"
Biauw Eng
juga berlutut di hadapan tubuh Tung Sun Nio yang telah menjadi mayat itu.
Ketika Cong San hendak lari menghampiri, Thian Lee Hwesio berkata,
"Yap-sute...!"
Cong San
tersentak kaget dan menoleh. Suara suheng-nya tadi terdengar keras seperti
mengandung kemarahan, apa lagi ketika dia memandang kelima orang suheng-nya dan
melihat sikap mereka yang kaku dan dingin.
"Ada
apakah...?" Ia tergagap bertanya.
"Sute,
hayo tinggalkan tempat ini dan ikut kami menghadap suhu. Tempat dan keluarga
ini tidak layak bagimu dan ada urusan besar mengenai kedudukan suhu sebagai
ketua Siauw-lim-pai!"
Cong San
makin terbelalak heran dan kaget. "Akan tetapi...!"
Dia menoleh
dan melihat Yan Cu, isterinya, menangis tersedu-sedu dihibur Keng Hong yang
merangkulnya. Ada perasaan yang sangat tidak enak naik ke hati serta kepalanya,
akan tetapi cepat ditekannya dan dia menjawab,
"Mana
mungkin, Suheng? Aku baru saja menikah dan... dan guru isteriku agaknya sudah
meninggal... biarlah kelak aku menyusul Suheng."
"Yap
Cong San! Kalau engkau tidak mau memutuskan hubungan dengan isterimu beserta
keluarganya, engkau bukan sute kami lagi, bukan murid Siauw-lim-pai lagi!"
kata Thian Lee Hwesio dengan sikap dingin dan suara mengandung kemarahan.
Cong San
menjadi terkejut sekali. "Suheng! Ada apakah...? Apa artinya semua
ini...?"
Thian Lee
Hwesio mengerti bahwa tadi sute-nya ini tidak mendengarkan kata-kata Go-bi
Thai-houw dan belum tahu akan rahasia yang amat memalukan dari suhu mereka.
"Mari
engkau ikut kami dan akan kami ceritakan semua. Pendeknya, kalau engkau ingin
dianggap sebagai murid Siauw-lim-pai, engkau harus taat kepada kami dan
memutuskan hubunganmu dengan mereka itu!"
Cong San
mengerutkan keningnya. Apa pun yang sudah terjadi, tidak mungkin dia dapat
memutuskan hubungannya sebagai suami isteri dengan Yan Cu yang dicintanya, dan
dia merasa penasaran melihat sikap suheng-suheng-nya.
"Suheng
tidak adil. Biarlah kelak aku menghadap suhu dan minta pengadilan!"
Lima orang
hwesio itu menghela napas, kemudian tanpa berkata apa-apa mereka pergi
meninggalkan tempat itu, meninggalkan Cong San yang masih berdiri dengan kedua
alis berkerut. Setelah menggerakkan kedua pundak karena benar-benar merasa
bingung dan tidak mengerti akan sikap lima orang suheng-nya, dia lalu
menghampiri Yan Cu yang masih menangis. Tanpa berkata apa-apa dia lalu berlutut
di dekat isterinya. Keng Hong melepaskan rangkulannya dan berbisik,
"Cong
San, kau hiburlah isterimu," katanya perlahan yang tidak dijawab oleh Cong
San, akan tetapi dia segera merangkul pundak isterinya. Yan Cu tersedu dan
menyandarkan kepalanya di dada suaminya.
"Aihhhh...
Subo... tewas dalam membela kita...! Si keparat Bhe Cui Im, aku bersumpah
hendak membalas kematian Subo!" Teriak Yan Cu. Baginya, nenek Tung Sun Nio
bukan hanya merupakan seorang guru, melainkan juga menjadi pengganti ibu karena
sejak kecil dia dirawat dan dididik oleh nenek itu.
"Sumoi,
tenanglah. Lupakah engkau bahwa kematian adalah kehendak Tuhan? Tangan Cui Im
dan Go-bi Thai-houw hanya merupakan alat saja bagi kematian Subo. Kalau Thian
tidak menghendaki, biar ada sepuluh Go-bi Thai-houw tak mungkin Subo sampai
tewas. Pula, Subo sudah berusia tinggi dan beliau tewas sebagai seorang gagah
perkasa, tewas dalam pertempuran melawan musuh yang memang amat sakti. Lebih
baik kita mengurus jenazahnya secara baik-baik."
Pertempuran
sudah selesai karena melihat betapa pimpinan mereka melarikan diri, para sisa
anak buah bajak cepat melarikan diri pula. Ada beberapa orang di antara mereka
yang tidak sempat lari dan roboh oleh para tokoh kang-ouw yang mengamuk.
Ternyata
perang kecil itu menjatuhkan korban yang amat banyak, terutama sekali di pihak
bajak yang kehilangan lebih dari lima puluh orang yang kini malang melintang
menjadi mayat. Belasan orang tamu yang tidak berkepandaian juga menjadi korban,
dan enam orang kang-ouw yang tadinya menjadi tamu, tewas pula. Ada beberapa
orang terluka, di antaranya Ouw Kian ketua Tiat-ciang-pang yang terluka pahanya
karena sabetan golok.
Kini mereka
sibuk mengobati yang terluka serta mengurus mayat-mayat yang memenuhi lereng
Gunung Cin-ling-san. Pesta suka ria menyambut pernikahan dua pasang mempelai
kini berubah menjadi perkabungan yang menyedihkan disertai sumpah serapah
terhadap para bajak yang datang mengacau, terutama sekali terhadap dua orang
tokoh golongan hitam, yaitu Ang-kiam Bu-tek dan Go-bi Thai-houw.
Biauw Eng
dan Yan Cu menangisi jenazah Tung Sun Nio. Setelah mereka mengangkat jenazah
nenek itu ke dalam ruangan rumah yang masih belum dimakan api sebab keburu
dipadamkan oleh para tokoh kang-ouw yang tadi ikut bertanding membantu pihak
tuan rumah, kedua orang pengantin wanita ini lantas mencari ganti pakaian untuk
mengganti pakaian pengantin mereka.
Ketika Yan
Cu bertukar pakaian menanggalkan pakaian penggantinya, barulah ia terkejut
melihat tanda darah di pakaian dalam yang dipakainya ketika bertanding tadi.
Maklumlah ia bahwa tendangan kaki Go-bi Thai-houw tadi biar pun tidak
mendatangkan luka dalam yang parah, namun telah mengakibatkan sesuatu di bagian
tubuhnya yang membuat ia merasa terkejut dan juga cemas sekali. Kedua pipinya
menjadi pucat, kemudian merah. Ia cepat membersihkan darah dan berganti
pakaian, kemudian keluar lagi untuk mengurus jenazah gurunya dengan hati penuh
duka.
Sementara
itu, Keng Hong dan Cong San sibuk mengurus mayat-mayat para tamu yang menjadi
korban dan para sahabat kang-ouw yang juga tewas di dalam pertandingan tadi.
Setelah senja tiba, mereka yang dibantu orang-orang kang-ouw dan penduduk di
wilayah Pegunungan Cin-ling-san, baru menyelesaikan tugas mereka menguburkan
semua mayat termasuk mayat-mayat para bajak.
Jenazah
nenek Tung Sun Nio dimasukan dalam peti dan selama sehari semalam mereka
mengadakan upacara sembahyang dengan penuh duka. Pada hari kedua, peti itu
dikubur, diiringi tangisan Yan Cu dan Biauw Eng. Setelah selesai, barulah Yan
Cu teringat akan ucapan nenek Go-bi Thai-houw, maka ia menghampiri suaminya
yang kelihatannya selalu bermuram sambil berkata,
"Kita
harus cepat pergi ke Siauw-lim-si. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan gurumu,
ketua Siauw-lim-pai."
"Hemmm...
mengapa?" Mendengar suara suaminya, Yan Cu memandang dengan heran.
Suara itu
demikian kaku dan dingin, sedangkan pandang mata suaminya selalu seperti hendak
menghindari pertemuan secara langsung. Sejak mereka bersembahyang sebagai suami
isteri, mereka tidak mendapat kesempatan untuk banyak bicara dan berkumpul
berdua saja sehingga pada saat itu dia hanya menjadi isteri dalam sebutan saja.
"Apakah
yang terjadi, Sumoi?" mendengar percakapan mereka, Keng Hong bertanya dan
memandang Yan Cu dengan sinar mata penuh selidik.
Juga Biauw
Eng menghampiri dan memegang lengan Yan Cu sambil bertanya, "Mengapa
engkau mengkhawatirkan keadaan ketua Siauw-lim-pai?"
Dengan suara
tersendat-sendat dan air mata kembali mengalir mengingat akan nasib subo-nya
yang sebelum tewas di tangan Go-bi Thai-houw lebih dahulu harus mendengar
betapa rahasia pribadinya yang tidak harum itu dibongkar oleh nenek iblis itu,
yang tidak didengar oleh Cong San, Keng Hong dan Biauw Eng, Yan Cu lalu
menceritakan akan ucapan-ucapan Go-bi Thai-houw.
"Pembongkaran
rahasia Subo yang sudah sama kita ketahui itu didengar pula oleh lima orang
hwesio Siauw-lim-pai sehingga mereka itu kelihatan marah. Mereka menghentikan
pertandingan kemudian mendesak kepada mendiang Subo untuk mengatakan hal yang
sebenarnya. Subo mengaku dan... dan para hwesio itu agaknya menjadi amat benci
dan menyesal, sehingga mereka tidak mau membantu kami, bahkan baru mau turun tangan
membantu mengeroyok Cui Im setelah didesak oleh Subo. Maka aku khawatir
kalau-kalau mereka itu akan membawa perkara ini ke Siauw-lim-pai dan..."
"Ahhh!
Begitukah? Pantas saja sikap mereka tiba-tiba menjadi murung dan marah-marah
kepadaku!" Cong San tiba-tiba berkata.
"Sikap
mereka bagaimana, Cong San?" Keng Hong bertanya.
Cong San
sejenak memandang Keng Hong dan pendekar muda yang sakti ini, seperti juga Yan
Cu, melihat sesuatu yang aneh dalam pandang mata Cong San, seakan-akan pemuda
itu menjadi dingin terhadapnya. Cong San membuang muka dan menggeleng
kepalanya.
"Tidak
apa-apa, hanya aku... aku sekarang juga harus menyusul para suheng itu pulang
ke Siauw-lim-si! Aku akan berangkat sekarang!" Sambil berkata demikian,
murid Siauw-lim-pai itu bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi
dari situ.
"San-koko...!"
Tiba-tiba saja Yan Cu meloncat bangun dan menghampiri Cong San yang membalikkan
lagi tubuhnya secara acuh tak acuh, "Apakah engkau tidak mengajak
aku?"
"Ahhh...
maaf, kusangka kau... akan mengabungi kematian subo-mu dan... dan... ahh, aku
menjadi bingung oleh urusan suhu sehingga terlupa..."
"Aku
ikut bersamamu!" kata Yan Cu yang memandang suaminya dengan terheran-heran
dan juga kasihan karena dia mengira bahwa suaminya menjadi seperti linglung
karena benar-benar terlalu mengkhawatirkan keadaan gurunya dan karena pukulan
batin yang terjadi akibat penyerbuan bajak-bajak itu!
"Marilah...,"
jawab Cong San, sikapnya masih dingin.
"Suheng,
Biauw Eng cici, aku pergi dulu!" kata Yan Cu.
Biauw Eng
dan Keng Hong hanya bisa mengangguk dan setelah mereka berdua pergi, mereka
saling berpandangan dengan penuh keheranan. Keadaan di situ menjadi sangat
sunyi karena para tamu telah pulang semua, sunyi dan amat menyeramkan kalau
mereka teringat akan peristiwa hebat yang terjadi dua hari yang lalu.
Keng Hong
menjadi terharu sekali ketika memandang bayangan Yan Cu yang menghilang bersama
suaminya. Ia merasa amat kasihan kepada sumoi-nya itu yang harus mengalami
kedukaan hebat pada saat pernikahannya. Saat yang mestinya menjadi saat yang
paling mengembirakan bagi sumoi-nya berubah menjadi saat yang menyedihkan.
Pemuda yang
sudah banyak tergembleng oleh pengalaman-pengalaman pahit di dalam hidupnya
ini, biar pun masih muda, sudah pandai menyisihkan diri pribadi ke samping dan
lebih memprihatikan keadaan orang lain. Dia lupa bahwa mala petaka itu bukan
hanya menimpa diri sumoi-nya, akan tetapi juga dia sendiri, akan tetapi tidak
ada penyesalan untuk dirinya sendiri!
"Kasihan
sekali Sumoi..., heran, mengapa sikap Cong San seperti itu?" Ia menggumam
seperti bicara kepada diri sendiri.
"Aihhh...,
aku mengerti sekarang!" Tiba-tiba Biauw Eng berseru. Semenjak tadi dia pun
memikirkan Cong San yang dingin dan wajahnya yang muram itu. "Dia
cemburu!"
Keng Hong
tertegun, tidak mengerti. "Siapa yang cemburu?"
"Yap
Cong San, hatinya penuh cemburu, pantas saja sikapnya seperti itu!"
"Hah?!
Cemburu? Kepada siapa?"
"Kepada
Yan Cu tentu! Kalau tidak cemburu kepada isterinya, kepada siapa lagi?"
"Apa?!
Cong San cemburu kepada Yan Cu? Apa maksudmu? Dicemburukan dengan siapa?"
"Dengan
siapa lagi kalau bukan dengan engkau, Keng Hong! Betapa bodohnya engkau!"
Keng Hong
makin melongo. "Apa? Mencemburukan Yan Cu dengan aku? Dia sumoi-ku
sendiri! Dan mengapa Cong San mencemburukannya dengan aku?"
Melihat
keheranan suaminya, Biauw Eng tersenyum menggoda, "Justru karena engkau
suheng-nya inilah maka dia cemburu setengah mati!"
Keng Hong
mengerutkan keningnya melihat isterinya tersenyum seperti itu. "Eh,
Moi-moi, jangan main-main kau! Ini urusan penting dan besar. Apakah
sesungguhnya yang sudah terjadi sehingga kau menduga Cong San cemburu?"
"Bukan
hanya menduga, bahkan aku yakin. Dan semua ini gara-gara si keparat Bhe Cui
Im!"
Mendengar
ini, Keng Hong menjadi semakin khawatir. Terbayanglah olehnya akan semua
pengalamannya dahulu pada saat dia pun termakan racun cemburu terhadap Biauw
Eng akibat perbuatan Cui Im yang amat licik, maka dia cepat bertanya,
"Apa
maksudmu? Ceritakanlah!"
Biauw Eng
lalu menceritakan mengenai ucapan-ucapan Cui Im yang merupakan racun berbahaya,
fitnahan-fitnahan yang dilontarkan oleh Cui Im terhadap hubungan antara Yan Cu
dan Keng Hong di depan Cong San.
"Melihat
sikap Cong San, tidak salah lagi dugaanku bahwa tentu dia sudah terkena racun
itu dan menjadi cemburu terhadap isterinya, dalam hubungannya dengan
engkau."
Wajah Keng
Hong berubah merah sekali mendengar penuturan ini dan dia pun mengepal tinjunya.
"Celaka! Kalau begitu aku harus cepat mengejar mereka untuk meyakinkan
hati Cong San!"
Biauw Eng
cepat memegang lengan suaminya yang sudah hendak melompat dan berlari mengejar
Cong San dan Yan Cu.
"Tenanglah.
Orang yang bersalah selalu ingin tergesa-gesa menyangkal kesalahannya,
sebaliknya orang yang sabar akan tetap tenang karena yakin akan kebenarannya.
Kalau kepercayaan Cong San demikian dangkal terhadap isteri sendiri sehingga
hatinya diracun cemburu, biarlah dia merasakan dan mengalami penderitaan dari
kebodohannya sendiri. Kalau engkau tergesa-gesa mengejar mereka dan menyangkal
semua itu, hatinya bukan menjadi yakin malah akan lebih besar rasa cemburunya.
Biarkan mereka pergi."
Keng Hong
menghela napas panjang. "Engkau betul, isteriku. Engkau selalu benar
karena dalam hal cemburu ini aku sendiri sudah merasakannya, sudah banyak
menderita karena kebodohanku itu. Akan tetapi, menurut penuturan Yan Cu tadi,
akan terjadi hal-hal yang hebat di Siauw-lim-pai mengenai diri dan kedudukan
Tiong Pek Hosiang terkait dengan urusannya di waktu muda dengan subo. Karena
hal ini menyangkut diri mendiang suhu dan subo-ku, dan juga berarti menyangkut
diri mendiang ayah kandungmu dan ibu tirimu, sudah sepatutnya kalau kita
berusaha meredakannya dan mengunjungi Siauw-lim-pai."
Biauw Eng
mengangguk-angguk, lalu menjawab tenang, "Sepatutnya, memang. Namun tak
semestinya. Urusan ketua Siauw-lim-pai dan para muridnya merupakan urusan dalam
partai itu sendiri. Cong San adalah murid Siauw-lim-pai, ada pun Yan Cu adalah
isterinya, sudah semestinya kalau mereka itu menyusul ke Siauw-lim-si. Akan
tetapi, kita berdua adalah orang-orang luar, bagaimana kita boleh lancang
mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai? Jangan-jangan nantinya justru akan
timbul salah faham dan akan mengakibatkan permusuhan. Keng Hong, sungguh pun
tidak sempurna, tapi engkau telah berhasil untuk melenyapkan sikap permusuhan
dunia kang-ouw terhadap mendiang ayahku dan engkau telah mengalami banyak hal
yang tidak menyenangkan dari permusuhan itu. Apakah tidak mengerikan kalau
sampai pihak Siauw-lim-pai menjadi salah faham oleh campur tangan kita dan
memusuhi kita? Alasan apa yang akan kau kemukakan, hak apa yang kau miliki
untuk mencampuri urusan dalam mereka?"
Keng Hong
merasa terpukul dan sejenak dia tidak mampu menjawab, hanya memandang wajah
isterinya itu sampai lama, baru kemudian dia menjawab dengan ketenangan goyah,
"Eng-moi... isteriku yang bijaksana, habis bagaimana baiknya menurut
pendapatmu?"
"Kita
tidak perlu mencampuri urusan pribadi ketua Siauw-lim-pai bila kita tak ingin
terlibat ke dalam permusuhan yang tidak enak. Akan tetapi benar seperti katamu
tadi bahwa urusan itu masih menyangkut pula diri mendiang ayahku dan ibu
tiriku, maka sebaiknya kita melihat-lihat dari dekat sambil melakukan perjalanan
tamasya di dekat daerah Siauw-lim-si. Bukankah kita dalam masa pengantin baru
dan dalam suasana bulan madu? Ada pun tentang Cong San yang cemburu, kelak
engkau bisa saja mengirim surat kepadanya, mencoba untuk meyakinkan hatinya dan
mengusir perasaan cemburu yang berbahaya itu dari hatinya. Bagaimana,
setujukah?"
Keng Hong
menjadi girang sekali, wajahnya berseri dan dia memeluk isterinya.
"Engkau
hebat, Moi-moi. Satu pertanyaan lagi."
"Perlukah
itu?"
"Perlu
sekali, pertanyaan yang timbul dari sikap Cong San yang terkena racun omongan
Cui Im. Hatiku tak akan tenteram sebelum mendapat jawabanmu."
"Tanyalah."
"Mendengar
ucapan-ucapan Cui Im yang beracun, Cong San menjadi cemburu kepada Sumoi,
bagaimana dengan engkau? Apakah engkau tidak cemburu kepadaku? Mengingat akan
tingkah lakuku di masa lalu..."
"Husshhh...
sudahlah. Aku bukan orang yang suka menangisi masa lalu, melainkan orang yang
melihat masa depan. Hal-hal yang sudah lalu itu kuanggap sebagai ujian terhadap
cinta kasihmu kepadaku, Keng Hong. Buktinya, pada saat terakhir engkau tetap
memilih aku sebagai isterimu!"
"Biauw
Eng..." Keng Hong menjadi terharu dan merasa bahagia sekali, dirangkulnya
leher isterinya dan diciumnya bibir yang mengucapkan kata-kata bijaksana itu.
Akan tetapi
hanya sebentar saja Biauw Eng membalas ciumannya, lalu merenggutkan dirinya
terlepas dari ciuman dan pelukan suaminya. "Jangan di sini! Apa kau tidak
malu?"
Keng Hong
tersenyum menggoda. "Malu-malu kucing! Malu kepada siapa? Di sini tidak
ada orang..."
Biauw Eng
melotot dan bertolak pinggang, dengan sikap marah buatan. "Di depan makam
subo-mu kau masih berani bilang di sini tidak ada orang?"
"Wah-wah-wah,
kau benar... aku salah lagi. Maafkan aku, Moi-moi, akan tetapi ada satu
permintaan lagi dariku."
"Asal
yang pantas, sebagai isterimu tentu saja aku akan memenuhi permintaanmu."
"Setelah
kita menikah, mengapa engkau masih saja menyebut aku dengan namaku begitu saja?
Engkau benar-benar isteri yang kurang ajar!"
Biauw Eng
menjadi merah kedua pipinya. "Maafkan aku... Koko..."
Demikianlah,
hanya mereka yang pernah mengalami masa pengantin baru sajalah yang dapat
merasakan kebahagian yang dirasakan Keng Hong dan Biauw Eng pada saat itu.
Omongan-omongan kecil-kecil yang kosong, pandangan mata yang saling
mencurahkan, percakapan tanpa kata dengan kasih sayang mendalam dan mesra,
gerakan-gerakan yang kelihatan tidak berarti, senyuman-senyuman penuh madu,
semua ini membuat sinar matahari kelihatan amat cerah, warna-warni di permukaan
bumi menjadi lebih cemerlang dan dunia kelihatan indah bukan main, seolah-olah
dalam sekejap mata berubah menjadi sorga!
Ketika
hendak berangkat meninggalkan bekas tempat tinggal nenek Tung Sun Nio yang kini
menjadi makamnya, Biauw Eng memasuki bekas rumah yang terbakar untuk mencari
sisa-sisa pakaian dan barang-barang berharga untuk dibawa pergi sebagai bekal
dalam perjalanannya berbulan madu dengan suaminya.
Dia melihat
pakaian pengantin Yan Cu bertumpuk di sudut kamar yang tadinya disediakan untuk
kamar pengantin Yan Cu dan Cong San. Sambil menghela napas panjang, karena
diam-diam dia mengkhawatirkan kebahagiaan Yan Cu dengan suaminya, lalu
diambilnya pakaian pengantin itu dengan maksud untuk dibawanya dan kelak
diberikannya kepada Yan Cu. Pakaian pengantin tidak boleh dibuang begitu saja
karena pakaian itu merupakan benda pusaka peringatan bagi seorang isteri.
Akan tetapi,
betapa terkejutnya ketika dia melihat tanda-tanda darah pada pakaian bagian
bawah. Dia memegangi pakaian itu dengan alis berkerut. Jelas bahwa Yan Cu
terluka di dalam pertempuran tadi, akan tetapi mengapa Yan Cu diam saja, bahkan
tidak kelihatan seperti orang menderita luka sama sekali? Tentu hanya luka
ringan, akan tetapi sampai berdarah!
Biauw Eng
memutar otaknya, kemudian mengangguk-angguk dan hatinya makin khawatir akan
kebahagiaan Yan Cu. Akan tetapi diam-diam dia menyimpan pakaian itu dan telah
mengambil keputusan untuk tidak menceritakan kepada siapa juga.
Tidak lama
kemudian, suami isteri yang masih pengantin baru ini bergandengan tangan meninggalkan
lereng Pegunungan Cin-ling-san, menuju ke timur di mana matahari pagi yang
cerah menyinarkan cahaya keemasan. Permulaan yang baik bagi mereka, seakan
mereka sedang memulai dengan perjalanan hidup baru, menuju sinar terang! Akan
tetapi siapa tahu apa yang menanti di depan? Perjalanan hidup penuh lika-liku,
penuh rahasia dan peristiwa yang tak terduga-duga sebelumnya, seolah-olah
keadaan laut yang kadang-kadang tenang kadang-kadang bergelombang…..
***************
Cong San dan
Yan Cu melakukan perjalanan yang cepat. Ilmu ginkang mereka yang tinggi membuat
mereka dapat lari cepat dengan kaki yang ringan sekali. Akan tetapi, hati
mereka tidaklah seringan gerakan kaki mereka. Hati mereka berat dan terhimpit,
tertekan oleh duka dan keraguan.
Di sepanjang
perjalanan itu, Cong San selalu murung dan pendiam, sedangkan Yan Cu yang
menyangka bahwa suaminya tentu sangat gelisah memikirkan gurunya dan masih
berduka oleh peristiwa yang menimpa saat pernikahan mereka, ikut pula berprihatin
dan sekali-kali apa bila ada kesempatan, berusaha menghibur suaminya yang
disambut oleh Cong San dengan dingin.
Tidak keliru
dugaan Biuaw Eng. hati Cong San terhimpit oleh rasa cemburu. Dan karena pemuda
ini berusaha sekuat tenaga batinnya untuk mengusir dan melawan perasaan ini,
maka terjadilah perang hebat di dalam hatinya yang membuatnya di sepanjang
perjalanan itu murung dan pendiam. Terngiang dalam telingannya selalu ucapan
Cui Im ketika dia bertanding melawan iblis betina itu.
"Yap
Cong San, apakah kau kira isterimu itu belum ditiduri Keng Hong?"
Dia
mengerutkan alis dan berusaha mengusir gema suara ini, akan tetapi dia malah
mendengar suara Cui Im yang melontarkan tuduhan-tuduhan keji,
"Kau
pemuda tolol yang tidak mau melihat kenyataan! Engkau mengenal siapa Keng Hong.
Aku berani bertaruh bahwa isterimu itu bukan gadis lagi. Karena hanya Biauw Eng
satu-satunya gadis yang belum bisa dia dapatkan, maka dia memilih Biauw Eng.
Isterimu adalah bekasnya, hi-hi-hik!"
"Keparat
betina bermulut keji Bhe Cui Im!" dia berusaha sekuat tenaga untuk
melupakan semua ucapan itu.
Fitnah
belaka, pikirnya. Akan tetapi, seolah-olah setan selalu mendekati benaknya, dan
tiba-tiba saja di depan matanya terbayang adegan yang dianggapnya tidak
semestinya, di depan tubuh Tung Sun Nio yang sudah menjadi mayat, Yan Cu
menangis dan dirangkul oleh Keng Hong yang berbisik-bisik dengan sikap mesra!
Sesudah
gadis itu menjadi isterinya, Keng Hong masih merangkulnya, apa lagi sebelum
menjadi isterinya! Mereka pernah melakukan perjalanan berdua, selama
berbulan-bulan. Yan Cu demikian cantik jelita, tidak mungkin ada pria yang
tidak timbul gairahnya jika melihat Yan Cu.
Dan Keng
Hong seorang pria yang tampan dan gagah perkasa. Gagah perkasa dan lihai
sekali, jauh melebihi dirinya! Juga dia pun sudah tahu akan sifat Keng Hong
yang mata keranjang, suka akan wanita-wanita cantik.
Hanya Biauw
Eng yang belum bisa didapatkannya, maka Keng Hong memilih Biauw Eng! Yan Cu
adalah bekasnya, pernah ditidurinya! Bekasnya! Pernah ditidurinya! Ucapan ini
terngiang berkali-kali di dalam kepala dan langsung menusuk hati Cong San
sehingga tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras,
"Tidak!
Keparat! Tidak...!" Dia berhenti dan memejamkan sepasang matanya, tubuhnya
bergoyang-goyang.
Yan Cu terkejut
sekali dan mendekap pundak suaminya, "Koko, engkau kenapakah? Ada
apakah?" Ia bingung dan khawatir menyaksikan suaminya.
Bisikan-bisikan
mengejek memenuhi telinga Cong San. Huh, perempuan rendah seperti ini,
lemparkan saja. Dia membujuk-bujukmu mengandalkan kecantikannya, tahu? Tidak,
bantah suara lain dalam hati Cong San. Engkau gila oleh cemburu yang
dibangkitkan oleh omongan beracun Bhe Cui Im. Dalam beberapa detik itu terjadi
perang hebat sekali dan akhirnya suara ke dua yang menang.
Cong San
balas merangkul isterinya, mendekap kepala isterinya di dadanya. Yan Cu merasa
demikian bahagia dan terharu sehingga ia menangis, menangis karena lega. Baru
saat ini agaknya suaminya tersadar dari cengkeraman duka dan gelisah.
Mendengar
isterinya terisak menangis dan air mata yang hangat membasahi dadanya, Cong San
lalu membelai rambut yang halus hitam panjang mengharum itu.
"Maafkan
aku, Moi-moi. Aku seperti gila karena... duka dan khawatir. Kalau urusan suhu
sampai tersiar ke luar..., aihhh, kasihan sekali suhu. Dan para suheng itu...
mereka adalah orang-orang beragama yang amat fanatik, tentu akan terjadi
apa-apa dengan kedudukan suhu sebagai ketua Siauw-lim-pai."
Yan Cu
merenggangkan mukanya kemudian menengadah, memandang wajah suaminya dengan air
mata masih membasahi pipinya, akan tetapi sinar matanya mesra penuh kasih dan
mulutnya tersenyum penuh hiburan.
"Jangan
khawatir, suamiku. Suhu-mu adalah seorang sakti yang bijaksana sekali, tentu
akan dapat mengatasi segala macam hal yang datang menimpa. Harap kau jangan
terlalu banyak berduka dan bergelisah, karena kalau sampai engkau jatuh
sakit... ahhh, akulah yang akan bersedih dan bergelisah."
"Yan
Cu...! Isteriku, aku... aku cinta padamu!"
Yan Cu
tersenyum dan sepasang pipinya menjadi merah sekali. Matanya yang indah itu
mengerling penuh kemanjaan dan kemesraan, bibirnya berbisik, "Kalau tidak
mencinta, masa mau menjadi suamiku? Aku pun cinta padamu, Koko..."
Cong San
menunduk dan mencium isterinya. Sejenak mereka berdekapan dan lenyaplah semua
duka dan kegelisahan, bahkan dalam saat itu Cong San seolah-olah mendengar
sumpah-serapah setan yang suaranya selalu membujuk-bujuknya tadi, suara... Cui
Im. Hampir dia tertawa sendiri, mentertawakan Cui Im, mentertawakan diri
sendiri.
Akan tetapi
dia teringat akan suhu-nya, melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Yan Cu.
"Betapa pun juga, kita tidak boleh terlambat. Aku harus hadir kalau para
suheng hendak menuntut suhu karena peristiwa pada waktu mudanya itu, dan aku
akan membela suhu."
Mereka melanjutkan
perjalanan, berlari cepat sambil bergandengan tangan.
Cemburu
bagaikan api yang menyala dan membakar perlahan-lahan. Kalau tidak cepat
dipadamkan, akan dapat mengakibatkan kebakaran besar di dalam hati. Semenjak
muda, Cong San sudah mendapat gemblengan batin dari gurunya sehingga meski pun
ucapan-ucapan Cui Im merupakan racun hebat yang menyerangnya, merupakan api
yang mulai membakar hatinya, namun dengan kebijaksanaan, tanpa adanya bukti,
akhirnya dia dapat menguasainya dan dapat memadamkan api cemburu yang berbahaya
itu.
Dia cukup
bijaksana untuk menahan perasaannya sehingga pada waktu dia dilanda nafsu
cemburu tadi, dia tidak pernah menyatakan sesuatu kepada Yan Cu, isterinya yang
amat dicintanya itu, karena kalau sampai hal itu dilakukannya, tentu akan
menimbulkan akibat yang lebih parah lagi.
***************
Kedatangan
Cong San dan Yan Cu di kuil Siauw-lim-si tepat pada waktu persidangan besar
antara pimpinan Siauw-lim-pai diadakan. Cong San, sebagai murid termuda akan
tetapi sekaligus juga murid terpandai dari ketua Siauw-lim-pai, langsung
memasuki ruang persidangan itu tanpa ada yang berani mencegah.
Begitu
masuk, melihat wajah Tiong Pek Hosiang yang tenang namun pucat, menghadapi
seluruh pimpinan Siauw-lim-pai yang terdiri dari hwesio-hwesio berkedudukan
tinggi, para sute sang ketua sendiri serta para tokoh tua lainnya dalam suasana
yang sunyi dan tegang, Cong San mengajak Yan Cu serta merta menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki Tiong Pek Hosiang.
Semua mata
para dewan pimpinan memandang ke arah Cong San penuh keraguan dan ke arah Yan
Cu penuh penyesalan. Mereka tadi sudah mendengar penuturan Thian Lee Hwesio dan
empat orang sute-nya akan peristiwa yang terjadi di lereng Cin-ling-san dan
mengenai pembongkaran rahasia pribadi ketua Siauw-lim-pai oleh Go-bi Thai-houw
dan pengakuan terang-terangan dari Tung Sun Nio, isteri mendiang Sin-jiu
Kiam-ong.
Tentu saja
mereka menganggap dara yang cantik itu keturunan atau murid dari
golongan-golongan sesat yang terkutuk sehingga mereka sependapat dengan Thian
Lee Hwesio, yaitu bahwa gadis itu tidak patut menjadi isteri seorang murid
Siauw-lim-pai yang paling mereka banggakan.
Tiong Pek
Hosiang memandang muridnya dengan senyum di bibir, sikapnya tenang sekali dan
dia mengangguk-angguk. "Baik sekali engkau mengambil keputusan untuk
datang, Cong San. Engkau berhak untuk mengikuti persidangan ini, dan isterimu
karena dia telah menjadi isterimu dan dia pun murid Tung Sun Nio, dia pun
pinceng perbolehkan untuk mengikuti persidangan ini. Duduklah kalian di
sana." Hwesio tua itu menuding ke kiri.
Tanpa banyak
cakap karena dia mengerti bahwa suhu-nya tentu sudah mendengar akan
pembongkaran rahasia pribadinya, Cong San mengajak Yan Cu duduk di atas bangku
sebelah kiri, kemudian menanti dilanjutkan persidangan itu dengan hati tenang.
Hadirnya
Thian Kek Hwesio yang duduk di kursi sama tinggi dengan ketua membuat hati Cong
San makin tegang. Dia tahu apa artinya persidangan ini karena dia mengenal
Thian Kek Hwesio sebagai tokoh Siauw-lim-pai yang selalu diangkat menjadi ketua
penengah atau semacam hakim untuk mengadili jalannya persidangan!
Hwesio ini
bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, bermata lebar, sikapnya kasar akan
tetapi dia jujur sekali dan karena kejujurannya inilah, karena semua orang tahu
bahwa Thian Kek Hwesio ini menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan melebihi
segala apa di dunia, maka dia selalu diangkat untuk mengadili perkara-perkara
yang timbul di kalangan para anggota Siauw-lim-pai sendiri. Dan memang dalam
kedudukan atau tingkat, Thian Kek Hwesio menjadi orang ke dua setelah ketuanya.
Biar pun
Thian Kek Hwesio juga menerima pelajaran ilmu dari Tiong Pek Hosiang dan
berarti masih muridnya, murid ke dua karena murid pertama, Thian Ti Hwesio
telah tewas di tangan Cui Im, namun hwesio tinggi besar berkulit hitam ini
telah sejak kecil menjadi hwesio dan sebelumnya telah menerima ilmu silat dan
pelajaran agama dari ketua yang lama. Ilmu silatnya, walau pun tidak setinggi
tingkat Cong San yang mewarisi kepandaian suhu-nya, namun sudah membuat hwesio
ini menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal.
"Thian
Lee, boleh teruskan kata-katamu yang terputus oleh datangnya Cong San
tadi," terdengar ketua Siauw-lim-pai berkata dengan suara halus dan sikap
tenang.
Thian Lee
Hwesio mengusap keringat dari dahi dengan ujung bajunya. Tugasnya amat berat
dan menekan hatinya. Betapa dia tidak akan merasa berat kalau harus menjadi
penuntut gurunya sendiri, bahkan ketuanya sendiri? Namun, dengan keyakinan
bahwa yang dilakukannya adalah demi kebenaran, dia segera mengangkat muka dan
berkata dengan suara nyaring.
"Teecu
telah menceritakan semua yang terjadi di lereng Cin-ling-san dan semua
kata-kata busuk yang diucapkan Go-bi Thai-houw. Seandainya kata-kata nenek itu
ternyata hanya merupakan fitnah saja, teecu bersumpah akan membela kebersihan
nama Suhu dengan pertaruhan nyawa teecu. Akan tetapi karena yang bersangkutan
telah mengaku, terpaksa teecu mengajukannya ke sidang ini, sekali-kali bukan
untuk mencelakakan Suhu, namun semata-mata demi menjaga kebersihan serta
kehormatan nama Siauw-lim-pai. Sesudah nenek iblis itu membocorkan rahasia,
tentu dia juga akan menyebar luaskannya ke dunia kang-ouw dan kalau hal ini
terjadi, dan pasti akan terjadi karena ketika dia bicara di lereng
Cin-ling-san, banyak pula orang kang-ouw yang mendengarnya, maka menurut
pendapat pinceng beserta semua anggota Siauw-lim-pai, kedudukan Suhu sebagai
ketua sudah tak mungkin bisa dipertahankan lagi. Selain itu, juga pernikahan
sute Yap Cong San sebagai seorang tokoh muda Siauw-lim-pai yang diharapkan
bersetia dan menjunjung tinggi nama Siauw-lim-pai, jika tidak dibatalkan dan
dia tetap melanjutkan hubungan jodoh itu dengan anggota keluarga yang sudah
begitu tercemar namanya, juga akan merendahkan nama besar Siauw-lim-pai. Kini
teecu mewakili seluruh anggota Siauw-lim-pai mohon keputusan yang seadilnya
demi kehormatan Siauw-lim-pai!"
Hening
sekali setelah hwesio ini menghentikan kata-katanya. Suasana menjadi sunyi dan
tegang sekali, hampir semua orang yang hadir di situ tidak ada yang berani
memandang langsung ke arah ketua mereka. Di dalam hati, mereka semua
membenarkan ucapan Thian Lee Hwesio yang tidak mungkin dapat disangkal
kebenarannya, akan tetapi, urusan ini bukanlah menyangkut diri seorang anggota
biasa dari Siauw-lim-pai, bukan seorang murid biasa melainkan ketua mereka
sendiri! Mereka yang biasanya suka mengemukakan pendapatnya dalam persidangan
seperti itu apa bila ada seorang anggota Siauw-lim-pai yang diadili, kini
bungkam dan tidak membuka mulut!
Terdengar
suara batuk-batuk yang memecahkan kesunyian, yaitu suara Thian Kek Hwesio yang
juga selama hidupnya baru sekali ini menghadapi perkara yang menegangkan dan
yang membuat hatinya amat tidak enak. Betapa pun juga, diam-diam dia harus
mengakui bahwa selama menjadi ketua, Tiong Pek Hosiang telah banyak jasanya
untuk Siauw-lim-pai dan belum pernah melakukan penyelewengan, namun dia pun
harus membenarkan pendapat dan tuntutan Thian Lee Hwesio yang dia merasa yakin
tidak menuntut karena hati benci atau dendam kepada ketua Siauw-lim-pai yang
juga menjadi gurunya.
Setelah
terbatuk-batuk, terdengarlah suara Thian Kek Hwesio, suara yang besar parau dan
terdengar jelas satu-satu oleh mereka yang berada di situ, "Kami sudah
mendengar bunyi tuntutan dan menimbang bahwa isi tuntutan memang seluruhnya
demi kepentingan nama Siauw-lim-pai, maka tuntutan bisa diterima untuk
diteruskan kepada pihak tertuntut. Kami persilakan ketua Siauw-lim-pai untuk
mengajukan pembelaannya."
Kembali
hening sejenak dan semua orang tanpa memandang muka ketua Siauw-lim-pai,
menahan napas untuk mendengar apa yang hendak diucapkan sang ketua menghadapi
tuntutan berat itu. Akhirnya, Tiong Pek Hosiang menarik napas panjang dan
berkata,
"Omitohud...
betapa melegakan hati dapat menghadapi hukuman yang timbul akibat dari
perbuatan sendiri, dan betapa menggembirakan menyaksikan para anggota
Siauw-lim-pai sedemikian setia terhadap Siauww-lim-pai dan berjiwa gagah,
berdasarkan keadilan dan kebenaran sehingga kalau perlu berani menentang pihak
atasan demi nama baik dan kehormatan Siauw-lim-pai! Pembelaan apa yang harus
pinceng katakan? Ucapan Go-bi Thai-houw bukanlah fitnah belaka dan pinceng
mengakui bahwa memang perbuatan maksiat itu pernah pinceng lakukan pada waktu
muda!"
Sekarang
semua orang mengangkat muka memandang sang ketua dengan wajah pucat. Tadinya
mereka masih mengharapkan bahwa ketua itu akan menyangkal karena mungkin saja
orang-orang seperti Go-bi Thai-houw dan Tung Sun Nio itu sengaja mengeluarkan
fitnah untuk menjatuhkan nama baik ketua Siauw-lim-pai. Akan tetapi ternyata
kini ketua mereka telah mengaku!
Meski pun
wajahnya agak pucat, sikap ketua Siauw-lim-pai itu tenang sekali pada saat ia
memandang semua orang dan melanjutkan kata-katanya dengan mengucapkan syair
pelajaran Agama Buddha,
"Tidak
di langit tidak di tengah lautan tidak pula di dalam goa-goa atau di puncak
gunung-gunung, tiada sebuah tempat pun untuk menyembunyikan diri, untuk
membebaskan diri dari akibat perbuatan jahatnya!"
Cong San
menjadi sangat terharu. Dialah satu-satunya orang di antara semua anggota
Siauw-lim-pai yang telah tahu akan perbuatan gurunya yang di waktu mudanya
berjinah dengan isteri Sin-jiu Kiam-ong. Sudah semenjak pertama mendengarnya
dia memaafkan suhu-nya, maka dia tidak dapat menahan dirinya lagi, cepat dia
berkata,
"Maaf,
Suheng...," katanya sambil memandang pada Thian Kek Hwesio, "bolehkah
saya membela Suhu?"
Thian Kek
Hwesio mengangguk. "Sidang pengadilan di Siauw-lim-pai selalu berdasarkan
perundingan di antara saudara sendiri untuk mengambil keputusan yang paling
adil dan tepat. Silakan kalau Sute mempunyai sesuatu yang akan dikemukakan
mengenai urusan ini."
"Tiada
gading yang tak retak, tiada manusia tanpa cacad di seluruh jagad ini. Suhu pun
hanya seorang manusia, dengan sendirinya, seperti seluruh manusia lain, juga
memiliki cacad berupa perbuatan yang dilakukan sebelum mendapat penerangan,
sebelum sadar. Sungguh pun sebagai seorang anggota Siauw-lim-pai saya tidak
menjadi hwesio, namun pelajaran Sang Buddha sudah bertahun-tahun diajarkan oleh
Suhu kepada saya. Teringat saya akan pelajaran yang berbunyi,
Tiada api
sepanas nafsu
tiada jerat
sebahaya kebencian
tiada
perangkap selicin kedangkalan pikiran
tiada arus
sederas keinginan hati.
Kesalahan
orang lain sudah dilihat
kesalahan
diri sendiri sukar dirasai
meniup-niupkan
kesalahan orang lain seperti menampi dedak
seperti
seorang penipu menyembunyikan dadu lemparannya yang sial dari pemain
lain."
Semua orang
yang mendengar mengerti bahwa pemuda itu tadi mengeluarkan ayat-ayat pelajaran
untuk membela suhu-nya.
Cong San
melanjutkan kata-katanya penuh semangat, "Agama kita mengajarkan orang
memupuk rasa kasih sayang antara yang hidup, mempertebal pemberian maaf kepada
orang bersalah, memperbesar sikap mengalah kepada orang lain. Marilah dengan
modal pelajaran ini kita menghadapi Tiong Pek Hosiang, suhu kita, ketua kita
dengan kesadaran dan pengertian bahwa biar pun Suhu telah mengakui perbuatannya
yang menyeleweng dengan mendiang nenek Tung Sun Cio, akan tetapi perbuatan itu
dilakukannya di waktu Suhu masih muda. Sekianlah pembelaan saya yang bukan
hanya didasari semata-mata karena memberatkan Suhu dari pada Siauw-lim-pai,
melainkan dengan dasar kebenaran dan keadilan."
Suasana
menjadi semakin tegang, bahkan beberapa orang di antara para hadirin mulai
merasa betapa suasana agak panas. Namun, Thian Kek Hwesio yang bersikap tenang
dan keras, bagaikan sebuah batu karang kokoh kuat yang tak akan mudah
digoyangkan hantaman ombak, tidak mudah digerakkan oleh tiupan angin taufan,
kembali berkata,
"Pembelaan
dari Yap Cong San sudah kami dengarkan dan kami terima. Sekarang kami
persilakan pihak penuntut untuk mengeluarkan pendapat serta sanggahannya
terhadap pembelaan itu."
Thian Lee
Hwesio berbisik-bisik dengan para sute-nya, kemudian dia menghadap sidang dan
berkata, "Apa yang dikemukakan oleh sute Yap Cong San sebagai pembela tak
dapat kami sangkal kebenarannya. Semenjak semula memang telah pinceng kemukakan
bahwa para anggota Siauw-lim-pai bukan sekali-kali menjatuhkan tuntutan atas
dasar membenci, akan tetapi semata-mata untuk melindungi kehormatan serta nama
Siauw-lim-pai. Tidak dapat disangkal bahwa perbuatan itu dilakukan Suhu di
waktu muda dan secara pribadi kami semua dapat memaklumi dan tidak akan
merentang panjang urusan itu. Akan tetapi, sekali diketahui oleh dunia
kang-ouw, akan bagaimanakah jadinya dengan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai
yang tentu akan dikabarkan bahwa Siauw-lim-pai diketahui oleh seorang yang... harap
Suhu maafkan teecu, telah melakukan perbuatan seperti itu?"
Kali ini
semua orang benar-benar menjadi tegang. Thian Lee Hwesio dalam mengajukan dan
membela tuntutannya, terlalu berani dan terlalu... benar! Cong San dapat
menerima dan harus mengakui kebenaran ucapan itu, maka dia membungkam dan kini
Tiong Pek Hosiang yang berkata,
"Omitohud...
semoga dosa yang hamba lakukan tidak sampai mendatangkan akibat buruk yang
menimpa orang-orang lain, kecuali hamba sendiri!" Dia memejamkan mata
sejenak, kemudian membukanya lagi dan memandang kepada semua yang hadir, lalu
berkata,
"Pinceng
sudah merasa bersalah dan pinceng siap menerima akibat dari pada perbuatan
pinceng sendiri, siap menerima hukuman yang akan diputuskan oleh sidang ini.
Pinceng tidak akan membela diri, akan tetapi mengenai pernikahan antara Yap
Cong San dan Gui Yan Cu, pinceng harus membela Cong San, bukan sekali-kali
karena pinceng bersikap berat sebelah dan pilih kasih, namun demi keadilan
pula. Kalian semua maklum bahwa perjodohan antara mereka ini adalah tanggung
jawab pinceng sendiri karena pincenglah yang mengikatkan perjodohan itu. Cong
San tidak bersalah apa-apa dalam hal ini, hanya memenuhi perintah pinceng.
Kalau keputusan itu dilaksanakan dan dianggap bersalah, biarlah pinceng yang menerima
hukumannya pula. Kemudian terserah keputusan sidang."
Kini semua
orang memandang Thian Kek Hwesio. Mereka memandang penuh harapan, karena hanya
pada hwesio tua tinggi besar berkulit hitam inilah mereka menggantungkan
harapan mereka untuk dapat mencari jalan keluar yang paling baik. Hwesio tinggi
besar berusia tujuh puluh tahun lebih ini pun maklum bahwa tugasnya sangat
berat dan amat penting, maka setelah berdoa sejenak sambil memejamkan mata,
mohon kekuatan batin, dia membuka mata dan berkata,
"Setelah
mendengarkan semua pendapat yang dikemukakan oleh pihak penuntut, pihak
tertuntut dan pihak pembela, atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa, atas nama Buddha
yang maha kasih, atas nama kebenaran dan keadilan yang kita junjung bersama,
kami telah mengambil kesimpulan dan telah mempertimbangkan untuk menjatuhkan
keputusan yang hendaknya akan ditaati oleh semua pihak yang bersangkutan! Tiong
Pek Hosiang memang sudah melakukan perbuatan yang menyeleweng, akan tetapi
karena perbuatan itu dilakukannya di waktu muda, di waktu belum menjadi
anggota, apa lagi ketua Siauw-lim-pai, maka Siauw-lim-pai tidak berhak memberi
hukuman atas perbuatannya itu yang dilakukannya sebagai orang luar di waktu
itu. Akan tetapi, mengingat bahwa perbuatan itu merupakan lembaran riwayat yang
hitam bagi pribadinya, sedangkan sekarang dia telah menjadi ketua
Siauw-lim-pai, maka demi menjaga nama dan kehormatan Siauw-lim-pai, Tiong Pek
Hosiang dipecat dari kedudukannya sebagai ketua Siauw-lim-pai. Dan untuk
pemilihan ketua baru akan kita adakan kemudian. Mengenai pernikahan antara Yap
Cong San dan Gui Yan Cu, mengingat akan pertimbangan yang sama pula, yaitu
bahwa biar pun perbuatan itu dilakukan di luar kesalahannya akan tetapi karena
akibatnya dapat mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai, maka kami memutuskan untuk
tidak mencampuri urusan pernikahan karena kami menganggap Yap Cong San bukan
anak murid Siauw-lim-pai lagi. Untuk selanjutnya harap Yap Cong San tidak
membawa nama Siauw-lim-pai sebagai perguruannya."
Sunyi senyap
setelah Thian Kek Hwesio mengucapkan keputusannya itu. Semua anggota
Siauw-lim-pai menundukkan muka, tidak ada yang berani memandang kepada Tiong
Pek Hosiang yang selama ini menjadi ketua mereka yang mereka hormati, juga
menjadi guru besar mereka.
"Suhu...!"
Kesunyian ini dipecahkan oleh keluhan Cong San yang menubruk kaki gurunya
kemudian berlutut sambil terisak penuh kedukaan, penyesalan dan keharuan.
Tiong Pek
Hosiang tersenyum, mengelus rambut kepala muridnya itu sambil membaca doa
pelajaran Buddha,
“Dunia ini
bagaikan sebuah gelembung sabun!
dunia ini
bagaikan sebuah khayalan!
dia yang
memandang dunia sedemikian
takkan
bertemu lagi dengan raja kematian!
Pandanglah
dunia ini sebagai sebuah kereta
kendaraan
raja yang bercat indah
si dungu
terpikat oleh keindahannya
tapi orang
bijaksana takkan terpikat olehnya.
Dia yang
tadinya lengah dan tak sadar
kemudian
menjadi sadar dan rendah hati
akan
menerangi dunia
seperti
bulan yang terbebas dari gumpalan awan."
"Suhu,
betapa hati teecu tak akan berduka dan menyesal? Suhu telah melakukan banyak
perbuatan mulia dan telah berjasa besar terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi
sekarang..."
"Hushhh,
Cong San, bangkitlah, hapus air matamu, usir semua kedukaan dan penyesalan
hatimu. Pengadilan yang telah disidangkan oleh saudara-saudaramu sudah tepat,
benar dan adil! Perbuatan sesat mendapat hukuman, ini sudah tepat dan patut.
Kenapa harus disusahkan dan disesalkan? Siapa yang mengharuskan kita menyesal
dan berduka bila menghadapi sesuatu yang menimpa diri kita? Tidak ada yang
mengharuskan dan hanya kesadaran kita sendirilah yang menentukan. Apa yang
menimbulkan susah dan senang? Bukan dari luar, muridku, melainkan dari dalam,
dari hati kita sendiri yang dicengkeram nafsu mementingkan diri sendiri, nafsu
iba diri. Jika dirugikan, kita susah, akan tetapi jika diuntungkan, kita
senang."
"Bukankah
itu picik sekali? Susah dan senang hanya permainan perasaan sendiri seperti air
laut yang pasang surut. Suatu penipuan dari nafsu yang hanya dapat kita atasi
dengan kesadaran sebab kesadaran akan mengangkat kita lebih tinggi dari pada
permainan susah senang itu, mendatangkan ketenangan dan tidak akan mudah
dipengaruhi oleh perasaan. Andai kata engkau belum dapat mencapai tingkat itu,
masih harus memilih antara susah dan senang, kenapa engkau tidak memilih? Susah
menimbulkan tangis, ada pun senang menimbulkan tawa. Baik diterima dengan susah
atau pun senang, persoalannya tak akan berubah. Mengapa harus menangis? Tangis
hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik, karena dapat menimbulkan kelemahan
batin sendiri, dapat mendatangkan keharuan pada orang lain. Tangis susah akan
mudah mengukirkan dendam dalam hati, melahirkan dosa-dosa lain. Dalam
menghadapi sesuatu, sama-sama menggerakkan bibir, mengapa tidak memilih tawa
dari pada tangis? Hasilnya lebih baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain.
Cong San, ingatlah engkau bahwa yang terpenting dari pada segala dalam
menjalani penderitaan hidup ini hanya PENERIMAAN! Penerimaan akan segala hal
yang menimpa diri kita disertai kesadaran bahwa segala yang terjadi adalah
akibat dari pada perbuatan kita sendiri, sesuai dengan kehendak Tuhan.
Kesadaran ini akan menuntun kita supaya menerima segala peristiwa dengan penuh
penyerahan kepada kekuasaan Tuhan, oleh karenanya akan tetap tenang karena
sudah waspada bahwa segala peristiwa yang terjadi tak akan dapat dihindarkan
oleh kekuasaan manusia yang sesungguhnya hanya makhluk lemah yang selalu
menjadi permainan dari nafsu-nafsunya sendiri."
Kakek itu
berhenti sebentar dan bukan hanya Cong San yang mendengarkan dengan hati
tunduk, melainkan semua anggota Siauw-lim-pai, bahkan Yan Cu pun diam-diam
merasa kagum akan kebijaksanaan kakek itu. Dalam hatinya gadis ini melihat
seolah-olah kakek itu telah duduk di tempat yang begitu tinggi sehingga tidak
akan terseret oleh gelombang penghidupan yang mempermainkan manusia.
"Pinceng
merasa bersyukur kepada sidang pengadilan dan pinceng menerima keputusan tadi.
Mulai saat ini, pinceng bukan lagi ketua Siauw-lim-pai, dan sesuai dengan
peraturan perkumpulan kita, pinceng persilakan kepada para tokohnya agar
mengadakan pemilihan ketua baru. Sebagai seorang anggota yang masih berhak,
pinceng pribadi mengusulkan agar Thian Kek Hwesio untuk menduduki jabatan
ketua. Ada pun pinceng sendiri, pinceng minta agar diperbolehkan menghabiskan
usia yang tidak berapa ini untuk bersemedhi di dalam Ruang Kesadaran yang
berada di ujung belakang."
"Apa
yang Suhu katakan merupakan perintah bagi teecu sekalian," berkata Thian
Kek Hwesio. "Karena, biar pun Suhu bukan ketua Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi
tetap menjadi guru teecu semua dan teecu mengharapkan petunjuk-petunjuk dari
Suhu demi kebaikan Siauw-lim-pai."
Tiong Pek
Hosiang tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia yakin bahwa kalau Siauw-lim-pai
dipimpin oleh muridnya tertua ini sebagai ketua, tentu akan mengalami kemajuan.
Kemudian dia menoleh kepada Cong San dan Yan Cu.
"Cong
San dan Yan Cu, sekarang pinceng mengusir kalian pergi dari Siauw-lim-si,
karena tidak boleh orang luar tinggal di sini. Engkau pasti mengerti bahwa
pengusiran terhadap dirimu ini hanya merupakan hal yang sudah ditentukan oleh
sidang pengadilan dan oleh peraturan yang berlaku di Siauw-lim-pai. Nah,
pergilah, Cong San. Engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi
percayalah bahwa Siauw-lim-pai tetap akan menganggap engkau sebagai seorang
sahabat baik!"
Biar pun
Cong San sudah menerima wejangan suhu-nya, namun dia seorang muda yang masih
diombang-ambingkan nafsu dan perasaan yang sedang bergelora, maka tentu saja
dia tidak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Melihat keadaan suaminya,
Yan Cu juga turut menangis sesenggukan. Mereka berdua maju berlutut ke depan
Tiong Pek Hosiang.
"Suhu,
teecu mohon diri...," Cong San berkata terisak.
Tiong Pek
Hosiang tersenyum dan menggerakkan tangan. "Pergilah, muridku yang baik
dan berhati-hatilah karena di luar sana menanti banyak cengkeraman-cengkeraman
maut yang mengancam seluruh manusia. Yan Cu, semoga Tuhan memberkahi engkau dan
suamimu."
Walau pun
mulutnya tersenyum, namun sepasang alis yang putih kakek itu agak berkerut
karena pandang matanya yang waspada itu sudah melihat ada awan gelap mengancam
penghidupan kedua orang muda itu. Diam-diam dia hanya berdoa mohon kepada Tuhan
agar melindungi mereka.
"Para
suheng, sute dan saudara sekalian, saya mohon diri dan sudilah memaafkan segala
kesalahan saya." Cong San memberi hormat kepada semua hwesio yang dibalas
oleh mereka dengan tenang.
"Selamat
jalan, Yap-sicu, sahabat kami!" Thian Kek Hwesio berkata, suaranya lantang
dan jelas, seolah-olah dia hendak mengingatkan bahwa hubungan antara Cong San
dan Siauw-lim-pai sebagai murid dan perguruan sudah hilang, dan kini terganti
oleh hubungan persahabatan!
Cong San
kemudian keluar dari Siauw-lim-si diikuti oleh Yan Cu dengan muka pucat dan
muram. Setelah mereka agak jauh dari kuil itu dan tidak tampak lagi genteng
kuil, Yan Cu memegang tangan suaminya dan berhenti. Wajahnya cerah dan ia
tersenyum karena ia melihat kemuraman wajah suaminya dan mengambil keputusan
untuk menghiburnya.
"Koko,
harap kau jangan besedih lagi. Apa bila kau berduka, aku ikut pula bersedih.
Kita harus ingat akan wejangan suhu-mu yang bijaksana. Peristiwa itu telah
berlalu, mengapa disedihkan dan ditangisi? Lebih baik kita tertawa dan
tersenyum! Senyumlah, Koko! Kita pengantin baru, bukan? Sepatutnya kita
bergembira. Hayo, senyumlah!"
Cong San
menatap wajah isterinya. Wajah yang cantik jelita seperti bidadari, yang tengah
tersenyum-senyum sehingga bibirnya merekah dan tampak ujung deretan gigi yang
putih seperti mutiara, mata yang berkaca-kaca meski pun mulutnya tersenyum.
Nampak jelas kasih sayang membayang di mata itu, nampak jelas betapa isterinya
berusaha menghibur dirinya, berusaha mengusir semua kesedihan hatinya. Hatinya
terharu bukan main dan seolah-olah bendungan yang jebol, dia lalu merangkul
isterinya dan merintih,
"Yan
Cu, isteriku...!" Ia memeluk isterinya, mendekapnya dan terdengarlah isak
tangisnya, membuat Yan Cu ikut pula sesenggukan.
"Koko...
hu-hu-huuuukkk... jangan menangis, Koko... suamiku..."
"Yan
Cu... ahhh, Moi-moi..."
Mereka
berpelukan dan bertangisan. Kini legalah hati Cong San setelah segala perasaan
duka itu membobol keluar menjadi tangis, dan dia memegang pundak isterinya,
didorong perlahan sehingga mereka saling pandang. Kemudian, dengan air mata
masih mengalir di sepanjang pipi, keduanya berpandangan dan tertawa lebar!
"Kita
berbahagia... tangis kita tangis bahagia...!" bisik Cong San.
Seketika
tersapu bersihlah awan kedukaan karena di hadapan mereka terbentang jalan lebar
menuju kebahagiaan.
"Suamiku,
sekarang kita hendak ke manakah?" Yan Cu sambil merebahkan mukanya di dada
suami itu, sikapnya penuh manja dan mesra.
Cong San
mengelus rambut yang halus dan harum itu. "Isteriku, kau maafkanlah aku.
Oleh karena urusan yang datang bertubi-tubi, aku yang terlalu mementingkan diri
sendiri sampai seolah-olah mengabaikan engkau, isteriku yang tercinta,
satu-satunya orang di dunia ini yang paling kukasihi. Semua ini gara-gara si
iblis betina Bhe Cui Im. Hemmm... sekali waktu aku harus membasminya!"
Yan Cu
merangkul leher suaminya, menarik muka suaminya kemudian dengan manja dia
menempelkan pipinya di atas pipi suaminya. "Suamiku, kini bukan saatnya
bicara tentang dia. Yang penting, kemanakah kita sekarang?"
Dengan
jantung berdebar penuh kebahagiaan Cong San mencium bibir isterinya.
"Biarlah untuk beberapa hari ini kita berdiam di hutan pohon pek yang
berada di depan sana. Di situlah aku dahulu sering kali melewatkan malam sunyi
ketika aku masih belajar di Siauw-lim-si. Tempat itu indah sekali, kita hidup
bebas di sana, jauh dari keramaian dunia, jauh dari manusia lain, hanya kita
berdua! Di sana terdapat sumber air yang membentuk telaga kecil yang airnya
jernih sekali. Dulu sering kali aku tidur di pinggir telaga, bertilam rumput
tebal, berlindung daun-daun pohon pek yang besar, tidur dan bermimpi sedang
bersenda gurau dengan bidadari. Kini mimpi itu menjadi kenyataan dan engkau
adalah bidadarinya, isteriku."
"Ihhhh...!"
Yan Cu cemberut. "Hidup seperti binatang liar di hutan? Bagaimana kalau
ada orang melihat kita?"
"Tempat
itu masih termasuk wilayah kekuasaan Siauw-lim-si, tak ada orang yang berani
datang ke sana. Para suheng tentu akan menjauhkan diri dan membiarkan kita
bersenang di sorga dunia itu. Kita hanya beberapa hari tinggal di sana,
kemudian kita pergi ke kota Leng-kok di mana tinggal seorang pamanku. Dari pada
kita melewatkan bulan madu di kamar-kamar penginapan yang sempit dan kotor,
bukankah lebih senang berada di hutan yang indah bersih, luas dan tidak akan
bertemu dengan manusia lain?"
Yan Cu
tersenyum. "Aku hanya isterimu, Koko. Aku menurut, ke mana pun kau pergi
aku ikut, dan aku akan senang sekali, biar akan kau bawa ke... neraka sekali
pun!"
"Husshhhh!
Kalau aku pergi ke sorga, engkau kudorong masuk lebih dulu, isteriku, akan
tetapi kalau aku ke neraka, engkau akan kutinggalkan, biar aku sendiri yang
menderita."
Sambil
bergandengan tangan, kedua orang yang sedang dimabuk cinta kasih, sepasang
pengantin baru ini berlari-larian memasuki hutan kecil yang berada di sebelah
utara kuil Siauw-lim-si. Yan Cu menjadi gembira sekali ketika mendapat
kenyataan bahwa hutan itu benar-benar amat indah, sunyi dan bersih.
Telaga kecil
yang berada di tengah hutan, tersembunyi antara pohon-pohon pek raksasa,
memiliki air yang sangat jernih sehingga nampak dasarnya, nampak ikan-ikan
beraneka macam berenang di dalamnya. Tepi telaga ditumbuhi rumput-rumput hijau
yang tebal dan lunak laksana permadani hijau. Sunyi sekali kecuali suara air
anak sungai yang dibentuk karena air telaga yang meluap, diselingi kicau
burung-burung di pepohonan. Benar-benar merupakan sorga kecil.
Mereka
bersenda gurau, menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing semenjak
kecil, diseling pelukan, ciuman dan cubitan manja. Ketika perut telah kenyang
oleh daging kelinci yang ditangkap Cong San dan dipanggang Yan Cu, Cong San
mengajak isterinya mandi. Yan Cu menggelengkan kepala dengan muka merah.
"Tak
tahu malu!" Ia pura-pura marah membentak. "Kalau kau mau mandi, sana
jangan dekat-dekat. Mana boleh laki-laki dan wanita mandi bersama, bertelanjang
bulat di sini tak mengenal malu? Sungguh tidak sopan!"
"Eh!
Eh! Eh! Kita memang laki-laki dan wanita, akan tetapi kita pun suami isteri!
Mengapa tidak boleh? Dan malu terhadap siapa? Tidak ada yang melihat kita. Masa
tidak sopan? Hayolah, bukankah engkau isteriku dan aku suamimu? Enak sekali
mandi di sini, bila kau tidak pandai renang, di pinggir dangkal, hanya setinggi
perut. Dan biar aku yang mengajar kau berenang!" Cong San mulai
menanggalkan bajunya.
Melihat dada
suaminya yang bertelanjang, semakin merah muka Yan Cu dan jantungnya berdebar
tidak karuan.
"Ehh,
mengapa kau masih belum membuka pakaian?" Cong San menegur setelah selesai
menanggalkan pakaian atasnya.
Yan Cu
menunduk dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak mandi...!"
"Wah,
aku yang celaka! Punya isteri tidak pernah mau mandi!"
Yan Cu
tertawa dan tangannya bergerak mencubit.
“Aduhh!
Ampun! Aku menarik kembali kata-kataku, kau isteri yang selalu mandi sehingga
kulitmu bersih, putih halus seperti salju, keringatmu berbau harum seperti
bunga setaman. Nah, hayolah!"
"Aku
akan mandi dengan berpakaian!"
"Mana
bisa? Kita tidak membawa bekal, kalau pakaianmu basah, kau masuk angin, wah,
aku yang repot! Ehhh, Yan Cu, setelah menjadi isteriku, kenapa engkau masih
sungkan dan malu?"
"Tidak...!
Tidak mau...!"
"Kupaksa!"
Sambil
tertawa Yan Cu lalu meloncat dan lari, dikejar oleh Cong San. Sejenak mereka
berlarian memutari pohon-pohon seperti dua orang anak kecil bermain-main,
tertawa-tawa dan akhirnya Yan Cu yang sengaja membiarkan dirinya ditangkap itu
hanya menutup kedua matanya, napasnya terengah-engah ketika suaminya
membantunya menanggalkan semua pakaiannya, kemudian dia memekik manja ketika
suaminya memondongnya dan membawanya terjun ke dalam telaga!
Mereka
berenang, bersenda gurau, bergelut di dalam air, saling bersiram-siraman sambil
tertawa-tawa atau kadang kala hanya berdiri di air setinggi perut sambil saling
pandang, terpesona oleh keindahan tubuh masing-masing, tubuh manusia lain
kelamin yang baru pertama kali itu selama hidup mereka lihat.
Cong San
mentertawakan Yan Cu yang dengan malu-malu berusaha menutupi tubuhnya dengan
tangan, dengan rambut. Ikan-ikan di dalam telaga berenang cepat melarikan diri,
terkejut ketakutan menyaksikan dua makhuk besar itu berdekapan, berciuman,
agaknya mereka merasa iri hati dan ikan-ikan jantan mulai mengejar-ngejar ikan
betina!
Benar-benar
bahagia, penuh madu asmara kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan dan dinikmati
oleh sepasang pengantin baru. Pertemuan antara dua makhluk lawan kelamin,
pertemuan lahir batin, badan dan jiwa, bebas lepas tidak ada rasa bersalah, tak
ada rasa malu karena di antara mereka tidak terdapat pelanggaran suatu hukum
atau larangan.
Pertemuan
asyik masyuk seperti ini hanya dirasakan oleh laki-laki dan wanita yang sudah
disyahkan oleh hukum manusia. Kasihanlah mereka yang mengadakan pertemuan lahir
batin seperti ini dengan melanggar larangan susila, yang melakukan hubungan di
luar hukum berupa pernikahan syah. Karena, biar pun badan mereka bertemu, batin
mereka merasa bersalah, merasa berdosa dan melakukan pelanggaran sehingga kebahagiaan
sesaat mereka itu tak sepenuhnya, bahkan sesudahnya akan menimbulkan
penyesalan, ketakutan dan kecewa. Hanya sepasang suami isteri yang sudah sah
pernikahannya saja yang akan dapat menikmati pertemuan pertama antara dua badan
dan jiwa itu.
Setelah
cuaca menjadi remang-remang karena matahari mulai surut ke barat, Cong San
meloncat ke darat memondong tubuh isterinya. Yan Cu tak menolak, hanya
memejamkan mata setengah pingsan akibat ketegangan, kebahagiaan, dan rasa malu
namun dengan penuh pemasrahan ia menyerahkan badan dan jiwanya kepada pria yang
dicintainya, pria yang menjadi suaminya dan yang berhak penuh atas dirinya.
Hanya
pohon-pohon raksasa yang melindungi atas kepala mereka yang menjadi saksi,
bersama bulan yang muncul mengintai dari balik awan, air telaga yang sunyi,
rumput hijau tebal halus yang menjadi tilam tubuh mereka, diiringi bunyi-bunyi
merdu gemerciknya air anak sungai dan desau angin mempermainkan pohon-pohon
rumput, dan rambut Yan Cu yang panjang dan menyelimuti tubuh mereka berdua.
Yan Cu
mengerang lirih penuh kelegaan hati, menggerakkan bulu matanya akan tetapi
merasa terlalu malas untuk membuka mata. Tubuhnya terasa nyaman dan nikmat,
lega, dan puas seperti hanya dirasakan oleh orang yang dapat tidur nyenyak
tanpa gangguan mimpi. Belum pernah dia merasa begitu lega dan nikmat, begitu
kenyang tidur seperti ketika dia terbangun di pagi hari itu. Ia teringat dan
bibirnya tersenyum, mukanya tiba-tiba terasa panas terdorong rasa malu dan
jengah bercampur bahagia.
"Koko...!"
Ia berbisik dan tanpa membuka mata lengannya merangkul ke sebelah kirinya.
Kosong!
Tangannya meraba-raba akan tetapi hanya rumput tebal yang terasa oleh jari-jari
tangannya. Dia membuka matanya, mengejap-ngejapkan mata, kemudian membukanya
lebar-lebar. Rumput di sisinya masih rebah bekas tertindih tubuh Cong San, akan
tetapi suaminya tidak ada di situ.
Suaminya!
Betapa mesra sebutan ini sekarang di hatinya. Cong San adalah suaminya, suami
dalam arti kata sepenuhnya. Bukan hanya sebutan seperti beberapa hari yang
lalu, semenjak mereka menikah lalu tertimpa peristiwa yang hebat. Sekarang Cong
San adalah suaminya sepenuhnya. Akan tetapi ke manakah dia? Tumpukan pakaian
suaminya tidak ada.
Yan Cu
menggigil, terasa dingin dan baru sadar bahwa tubuhnya tidak berpakaian, bahwa
api unggun hanya tinggal asapnya saja. Cepat dia meloncat bangun, menyambar
lantas mengenakan pakaiannya, matanya mencari-cari. Cong San tidak berada di
tempat itu!
"Ah,
tentu dia mencari bahan sarapan," pikirnya dan Yan Cu duduk melamun dengan
bibir tersenyum-senyum bahagia.
Cinta
kasihnya terhadap Cong San makin mendalam setelah orang muda itu kini menjadi
suami sepenuhnya semenjak malam tadi. Teringat ia akan senda gurau mereka di
telaga dan Yan Cu memandang ke arah air telaga dengan pandang mata mesra,
seolah-olah ia berterima kasih kepada telaga itu.
Terkenang ia
akan semua yang terjadi kemarin, mereka berkejaran, ia berusaha menolak harus
menanggalkan pakaian untuk mandi bersama, kemudian betapa mereka saling
menggoda di air, dan akhirnya betapa dua lengan yang kuat dari suaminya
memondong tubuhnya keluar dari telaga, betapa di atas tilam rumput yang halus
bagaikan permadani, mengalahkan segala kasur yang termewah di dunia ini, mereka
memadu asmara suami isteri yang syah. Yan cu menarik napas panjang, penuh
bahagia dan tiba-tiba ia terkejut.
Dia belum
mencuci muka, rambutnya terlepas. Aihhh! Suaminya tidak boleh melihat dia
seperti ini! Tergesa-gesa karena khawatir kalau-kalau suaminya datang kembali
sebelum ia siap, isteri muda ini lalu lari ke pinggir telaga dan mencuci
mukanya, membasahi sedikit rambutnya dan membereskan rambutnya, digelung rapi,
membereskan pakaian kemudian dia bercermin di air telaga yang jernih.
Baru
sekarang dia sibuk mempersolek diri, membasahi dan menggosok bibirnya sampai
menjadi merah sekali, menggosok kedua pipinya, menata rambut di dahinya, anak
rambut halus yang melingkar menghias dahi dan depan sepasang telinga. Dengan
ujung lidahnya yang kecil merah dibasahinya bibirnya sehingga bibir itu nampak
merah basah seperti buah anggur merah.
Ahhh, lama
benar suaminya. Ke manakah perginya? Yan Cu melihat gerakan di balik tetumbuhan
dan melihat beberapa ekor kelinci berlari. Mengapa suaminya pergi begitu jauh
dan lama untuk mencari bahan sarapan kalau di depan mata terdapat banyak
kelinci gemuk? Yan Cu tertawa dan tangannya sudah bergerak hendak menyambar
batu dan merobohkan beberapa ekor kelinci, akan tetapi segera ditahannya dan
dibatalkan niatnya.
Aihhh,
hampir saja aku lancang, pikirnya. Suami sedang pergi mencari bahan sarapan,
kalau nanti datang membawa binatang buruan lalu melihat bahwa dia sudah
menangkap beberapa ekor kelinci, bukankah akan membikin suaminya kecewa sekali?
Biarlah, dia akan menanti, menanti dengan sabar. Bukankah termasuk kewajiban
seorang isteri untuk menanti suaminya dengan penuh kesabaran, kesetiaan dan
cinta kasih?
Yan Cu
tersenyum lagi dan melanjutkan mempersolek diri, menata rambut dan merapikan
pakaian, mereka-reka bagaimana dia harus bersikap dan berbicara nanti kalau
suaminya kembali. Dia merasa malu sekali setelah malam tadi dan membayangkan
betapa pandang mata suaminya tentu akan berbicara banyak, betapa tanpa
kata-kata pun pandang mata suaminya akan dapat menggodanya. Jantungnya berdebar
penuh kebahagiaan, penuh ketegangan dan rasa malu.
Kalau saja
Yan Cu tahu! Kalau saja isteri muda yang menunggu penuh kebahagiaan ini
mengetahui bahwa suaminya sama sekali bukan pergi mencari bahan sarapan.
Aihhh…, akan tetapi, bagaimana dia bisa tahu…..?
***************
Pagi itu
Cong San meninggalkan isterinya, setelah mengenakan pakaian dia berlari cepat
seperti gila menuju ke kuil Siauw-lim-si. Wajahnya keruh sekali, pandang
matanya muram dan rambutnya awut-awutan, kadang-kadang pandangan matanya liar
penuh kemarahan dan rasa penasaran. Pandang mata ini diiringi kepalan kedua tangan
sampai otot-ototnya berbunyi dan giginya yang menggigit-gigit berkerot.
"Ah,
Yap-sicu... masih pagi seperti ini datang berkunjung, ada keperluan
apakah?" Hwesio penjaga pintu depan kuil menyambut kedatangan Cong San
dengan pandang mata yang terheran-heran.
"Aku
ingin bertemu dengan suhu!"
Hwesio itu
merangkap kedua tangannya di depan dada. "Seingat siauwceng, Sicu tidak
mempunyai suhu di Siauw-lim-si..."
"Persetan
dengan segala kepura-puraan ini! Aku minta menghadap Tiong Pek Hosiang! Ada
keperluan yang amat penting sekali!"
"Akan
tetapi, Tiong Pek Hosiang sedang bersemedhi, beliau sudah memasuki Ruangan
Kesadaran, tidak boleh diganggu."
"Aku
tidak akan mengganggunya, hanya ingin menyampaikan sesuatu. Sudahlah, harap
jangan mempersulit aku. Biarlah aku pergi sendiri dan mencarinya di Ruang
Kesadaran!" Cong San lalu melangkah maju, akan tetapi hwesio penjaga pintu
itu berdiri menghalang dengan pandang mata heran.
"Sebagai
bekas murid Siauw-lim-pai apakah Sicu tidak tahu akan peraturan di sini? Orang
luar tidak boleh memasuki kuil begitu saja tanpa seijin para pimpinan!"
Cong San
mengerutkan kening. "Aku tidak berniat buruk dan aku perlu sekali
menghadap suhu... ehh, Tiong Pek Hosiang. Kepentingan ini akan kupertaruhkan
dengan nyawa dan apa bila terpaksa aku akan mempergunakan kekerasan memasuki
kuil untuk menghadap beliau!"
Mendadak
terdengar suara yang kereng dan nyaring, "Hemmmm, ada apakah ribut-ribut
sepagi ini?"
Yang muncul
adalah Thian Kek Hwesio, hwesio tua tinggi besar yang usianya sudah tujuh puluh
tahun lebih itu, sikapnya tenang namun kereng dan penuh wibawa, membuat Cong
San serta merta menjatuhkan diri berlutut.
"Suheng...
ahh, maaf... Losuhu... mohon perkenan agar supaya teecu boleh menghadap
Locianpwe Tiong Pek Hosiang..., penting sekali... mohon perkenan sekali ini
saja."
Sejenak
kedua mata hwesio tua itu memandang penuh perhatian, lalu dia menggerakkan
tangan menggapai. "Mari masuklah, Yap-sicu, kita bicara di dalam."
Cong San
tidak berani membantah, bangkit dan mengikuti hwesio tua itu memasuki ruang
tamu di mana tidak terdapat hwesio lainnya. Sesudah dipersilakan duduk, hwesio
tua itu bertanya,
"Nah,
sekarang katakanlah. Ada keperluan apakah Sicu pagi-pagi mendatangi kami?"
"Suheng...
ahh, Losuhu, teecu sedang bingung sekali. Teecu ingin menghadap Tiong Pek
Hosiang, ingin mohon nasehatnya... ah, perkenankanlah, sekali ini saja karena
urusan ini menyangkut penghidupan teecu..."
"Yap-sicu,
pinceng ingin sekali mengabulkan permintaanmu, namun tidak mungkin karena suhu
telah memasuki Ruangan Kesadaran dan akan bertapa di sana sampai saat terakhir
tiba. Beliau tidak boleh dan tidak dapat diganggu karena andai kata Sicu
menghadapnya juga, suhu tidak akan dapat melayanimu. Suhu sudah melepaskan diri
dari segala urusan dan ikatan dunia, dan urusan suhu itu pun sangat penting
bagi jiwanya. Apakah dengan urusanmu ini Sicu tega mengganggu dan
menggagalkannya?"
"Tapi...
tapi..."
"Yap-sicu.
Engkau adalah orang muda yang gagah perkasa dan sudah pernah menerima
gembelengan lahir batin yang cukup, mengapa begini lemah? Tidak ada kesulitan
di dunia ini yang tidak dapat di atasi manusia, asalkan si manusia itu
mempunyai dasar ikhtikad baik. Apa lagi kalau diingat bahwa segala kesulitan
adalah akibat dari perbuatan sendiri, maka untuk mengatasinya harus pula dicari
sebab di dalam diri sendiri. Yap-sicu, pinceng melihat awan gelap menyelubungi
dirimu, penyesalan, kemarahan, kekecewaan nampak menggelapkan nuranimu.
Keadaanmu ini amat berbahaya, Sicu, dan bisa menjadi sebab timbulnya
perbuatan-perbuatan yang penuh penyelewengan. Pinceng prihatin sekali kalau
sampai Sicu melakukan perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran karena
Sicu adalah... sahabat baik kami. Karena itu, cobalah ceritakan kepada pinceng
apa yang telah mengeruhkan hati Sicu, semoga saja Tuhan memberi kekuatan kepada
pinceng untuk memasukan penerangan dalam hatimu, mengusir kekeruhan dan
kegelapan."
Cong San
menjadi bingung dan ragu-ragu. Ia maklum bahwa gurunya tak dapat diganggu lagi,
apa lagi mendengar bahwa gurunya akan bersemedhi hingga datang kematian kelak,
bagaimana dia tega mengganggu gurunya dengan segala urusan duniawi yang hanya
menyangkut kepentingan pribadi?
"Tetapi...
urusan ini... tidak boleh diketahui oleh siapa pun... maka teecu lari ke...
suhu... ahhhh..." Dia menjadi bingung dan menundukkan muka, keningnya
berkerut dan matanya dipejamkan.
Biar pun
wataknya kasar, polos, jujur dan tenang, namun hati Thian Kek Hwesio merasa
kasihan juga kepada sute-nya ini, yang sudah kehilangan keanggotaan dari
Siauw-lim-pai bukan oleh kesalahannya, tetapi oleh keadaan. Di dalam hatinya,
dia masih menganggap pemuda itu sebagai sute-nya sendiri yang dikasihinya.
"Yap-sicu,
pandanglah pinceng. Pinceng adalah seorang kakek yang pantas pula menjadi
kakekmu. Dalam menanggapi dan memandang persoalan dunia, mata batin pinceng
telah terbuka lebar, mengapa Sicu merasa segan menyampaikan kepada pinceng
kalau Sicu tak segan-segan menyampaikannya kepada suhu? Nah, orang muda, engkau
perlu sekali mendapat penerangan, maka ceritakanlah peristiwa apa yang
mendatangkan kegelapan hebat seperti hawa siluman itu di hatimu."
Lenyaplah
keraguan di hati Cong San. Apa bila dia tidak dapat menumpahkan perasaan
hatinya yang membuatnya seperti gila itu, tentu dia akan menjadi gila dan benar
seperti ucapan bekas suheng-nya ini, dia akan melakukan hal-hal yang
mengerikan. Suhu-nya tidak dapat diharapkan, maka satu-satunya orang yang kiranya
akan dapat menolongnya dengan nasehat adalah pendeta tua inilah. Serta merta
dia segera turun dari kursi dan menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Kek
Hwesio.
Pendeta ini
memandang pada bekas sute-nya sambil tersenyum tenang, membiarkannya saja tidak
membangunkannya karena maklum bahwa pemuda itu harus menumpahkan seluruh
perasaan yang menghimpitnya.
"Losuhu,
teecu... bersama isteri teecu... memakai hutan pohon pek untuk melewatkan
malam..."
"Pinceng
sudah tahu akan hal itu Sicu. Hwesio peronda telah melaporkan dan pinceng juga
sudah memerintahkan supaya mereka membiarkan kalian berdua dan meninggalkan
kalian, karena sebagai sahabat baik, kalian berdua berhak menggunakan tempat
itu untuk berbulan madu. Lalu, apakah yang terjadi?"
Setelah
ragu-ragu sejenak, akhirnya Cong San bisa juga mengeluarkan perasaan melalui
mulutnya, "Losuhu, mala petaka hebat menimpa diri teecu... malam tadi...
ah, bagaimana teecu harus menceritakan? Malam tadi... adalah merupakan malam
pertama bagi teecu berdua sebagai suami isteri... semenjak pernikahan kami yang
tergangu di Cin-ling-san..."
"Hemmmm,
dapat pinceng maklumi. Selamat atas kebahagiaan kalian suami isteri,
Sicu."
"Losuhu!
Harap jangan memberi selamat kepada teecu yang celaka ini! Malam tadi... baru
teecu ketahui dan... ah, Losuhu... ternyata banwa isteri teecu itu bukanlah
perawan lagi!"
Tadinya Cong
San merasa betapa hatinya amat terhimpit, akan tetapi setelah dia berhasil
mengeluarkan hal yang menjadi racun di hatinya itu, dia merasa agak lega,
menyangka bahwa tentu bekas suheng-nya itu akan terkejut sekali, lalu
mengucapkan doa dan ikut merasa penasaran dan marah karena dia maklum betapa
besar kasih sayang suheng-nya ini kepadanya. Akan tetapi, tidak ada akibat
apa-apa, bahkan tidak ada suara keluar dari mulut suheng-nya.
Ia
tercengang dan cepat mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Ternyata kakek
itu tetap tenang, duduk dengan muka cerah dan mulut tersenyum. Sejenak mata
mereka berpandangan dan ketika Cong San kelihatan semakin terheran-heran, kakek
itu berkata halus,
"Yap
Cong San, bangkit dan duduklah!"
Seperti
orang kehilangan semangat, Cong San bangkit dan duduk menghadapi Thian Kek
Hwesio. Sampai beberapa lama hwesio itu tidak berbicara sehingga mereka hanya
saling pandang, Cong San masih merasa tertekan dan bercampur heran, sedangkan
hwesio tua itu memandang penuh selidik, sinar matanya seakan-akan menembus ke
dalam untuk menjenguk isi hati Cong San.
"Yap-sicu,
sekarang dengarlah semua ucapan pinceng dan jawablah segala pertanyaan pinceng
sesuai dengan isi hatimu." Cong San hanya mengangguk, seluruh perhatiannya
dicurahkan.
"Yap-sicu,
apakah engkau benar-benar mencintai Gui Yan Cu yang kini sudah menjadi
isterimu?"
Pertanyaan
yang aneh! Mengapa mesti ditanya lagi? Kenyataan bahwa dia suka menjadi suami
gadis itu tentu saja sudah cukup membuktikan bahwa dia mencinta Yan Cu!
Akan tetapi
dia harus menjawab semua pertanyaan, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu
menjawab, "Tentu saja, Losuhu! Teecu mencinta Yan Cu dengan sepenuh hati
dan jiwa teecu!"
"Engkau
mencintanya semenjak sebelum kalian menjadi suami isteri dan dikawinkan di
Cin-ling-san?"
"Benar,
Losuhu. Teecu jatuh cinta kepadanya semenjak pertemuan kami yang pertama
kali."
"Cinta
lahir batin?"
"Benar!"
Cong San menjadi semakin tidak mengerti dan menatap wajah tua itu penuh
pertanyaan.
"Dan
sekarang, setelah mendapat kenyataan bahwa dia bukan perawan lagi, perasaan
bagaimanakah yang terdapat di hatimu?"
"Teecu
marah, teecu benci, menyesal, kecewa dan dendam tercampur aduk menjadi satu.
Teecu... ah, teecu tidak tahu lagi apa yang teecu rasakan! Teecu ingin... bunuh
diri saja!"
Senyum di
wajah tua itu melebar. "Yap Cong San, kalau engkau benar mencinta Gui Yap
Cu, maka yang baru saja mengucapkan kata-kata itu bukanlah hatimu, bukanlah
dirimu yang sejati, melainkan nafsu-nafsumu. Kalau pinceng percaya akan
kata-katamu yang terakhir tadi, kalau betul kata-katamu keluar dari hatimu yang
sejati, maka berarti bahwa selama ini engkau bukanlah mencinta Gui Yan Cu,
melainkan hanya mencinta... tanda keperawanannya!"
Cong San
terlongo, matanya terbelalak. "Apa... apa yang Suheng maksudkan?"
Saking kaget dan bingung, dia sampai lupa dan menyebut suheng kepada hwesio
itu. Thian Kek Hwesio tidak mencela, melainkan berkata, suaranya jelas dan
penuh ketenangan.
"Apa
bila engkau mencinta Gui Yan Cu, tentu pribadinya yang kau cinta, lahir
batinnya, segala pada dirinya termasuk kebaikan dan cacad yang ada pada
dirinya. Kalau engkau kehilangan dia, barulah engkau akan berduka dan menyesal.
Akan tetapi karena yang kau cinta adalah tanda keperawanannya, maka begitu
engkau kehilangan tanda itu, engkau menjadi berduka dan menyesal. Betapa picik
dan rendahnya cintamu, Yap-sicu. Cinta berada di dalam hati, bukan pada kulit
dan daging! Cinta yang hanya sedalam kulit daging hanyalah cinta birahi! Tanda
keperawanan hanyalah merupakan persoalan kulit daging belaka. Jika betul engkau
mengaku cinta kepada isterimu, maka cintamu itu adalah palsu, cintamu itu hanyalah
cinta birahi kalau kini engkau meributkan soal perawan atau bukan! Memilih
seorang isteri bukanlah seperti memilih seekor ayam yang hendak disembelih,
kemudian merasa kecewa dan menyesal setelah mendapat kenyataan bahwa ayam itu
sakit! Sama sekali bukan! Memilih seorang isteri berarti memilih jodoh, memilih
teman hidup selamanya berdasarkan cinta kasih yang murni dan siap untuk hidup
berdampingan selamanya, senang sama dinikmati, susah sama diderita. Tetapi
kalau kenyataan bahwa isterimu bukan perawan lagi bisa melenyapkan cintamu,
maka cintamu itu bukanlah cinta murni, melainkan cita yang semata-mata
didasarkan pada hubungan jasmaniah saja!"
Ucapan itu
bagaikan halilintar di siang hari menyambar kepala Cong San. Dia terbelalak,
matanya tak pernah berkedip memandang wajah hwesio yang tenang dan mulutnya
tetap tersenyum, akan tetapi sinar matanya amat tajam berpengaruh itu. Akan
tetapi dia masih penasaran dan membantah.
"Akan
tetapi, Losuhu. Cinta yang murni harusnya disertai kesetiaan, tidak boleh dikotori
dengan perjinahan! Sudah terang bahwa dia sudah berjinah dengan orang lain, dan
ini merupakan penipuan terhadap teecu. Sebuah penipuan yang amat kotor
menjijikkan!" Berkata demikian, terbayanglah wajah Cia Keng Hong di depan
mata Cong San, dadanya menjadi panas penuh dendam dan kemarahan, napasnya
menjadi terengah-engah.
Thian Kek
Hwesio mengangkat tangan ke atas, seolah-olah hendak mencegah pemuda itu
berlarut-larut kemudian terdengar dia berkata,
"Kata-katamu
itu memang benar dan tepat, Yap-sicu. Namun, kesetiaan itu hanya berlaku kepada
mereka yang telah saling mengikat dengan cinta kasih, terutama dengan sebuah
pernikahan. Kalau dahulu, pada saat kalian saling bercinta, kemudian ternyata
bahwa dia melakukan hubungan baik perjinahan mau pun cinta kasih dengan pria
lain, itu berarti bahwa dia menyeleweng dan mengingkari hubungan cinta yang
sudah merupakan ikatan janji dan tentu saja kalau terjadi demikian, engkau
berhak, bahkan sebaiknya bila engkau memutuskan hubungan cinta itu. Kalau
setelah menjadi suami isteri, isterimu melakukan penyelewengan dan berjinah
dengan pria lain, maka engkau pun berhak untuk merasa menyesal dan marah,
berhak untuk menceraikannya. Akan tetapi, dalam hal ini, tidak terjadi
pelanggaran seperti itu. Apa bila isterimu itu dahulu, sebelum bertemu
denganmu, melakukan hubungan dengan pria lain, hal ini bukanlah berarti dia
menipumu, dia tidak bersalah kepadamu atau melanggar ikatan apa-apa denganmu.
Waspadalah, Yap-sicu dan berpikirlah secara bijaksana. Kalau benar kenyataan
bahwa isterimu bukan perawan itu berarti dia pernah melakukan hubungan badani
dengan pria lain, maka hal itu terjadi dahulu dan merupakan peristiwa yang
sudah lalu, sama sekali tidak ada sangkut-paut dengan hubungan cinta kasih di
antara kalian."
Agak dingin
rasa panas di hati Cong San. Sampai lama dia diam saja, otaknya diperas,
terjadi perang di hatinya. Terbuka mata hatinya bahwa memang dia tidak adil
sekali kalau harus membenci Yan Cu karena isterinya bukan perawan lagi. Sejak
pertemuan pertama Yan Cu sudah bukan perawan lagi, dan sekarang hanyalah
pembukaan rahasia itu. Akan tetapi mengapa gadis itu tidak berterus terang? Itu
berarti menipunya!
Ah, mana
mungkin seorang gadis mengaku dan bicara tentang keperawanannya? Akan tetapi
mengapa bersikap seakan-akan masih perawan, masih belum pernah melakukan
hubungan jasmani dengan pria lain? Habis, apakah ia harus berteriak-teriak
memamerkan ketidak perawanannya?
Terjadi
perbantahan di hati Cong San. Akan tetapi tiba-tiba terngiang di telinganya
semua ucapan Cui Im ketika mereka bertanding di Cin-ling-san dulu. "Yan Cu
bukan perawan lagi, dia adalah bekas Keng Hong, hi-hi-hik! Tan Cong San, engkau
pemuda tolol!"
Panas lagi
hati Cong San, panas oleh cemburu! Matanya melotot, mukanya merah sekali. Dia
akan membunuh Keng Hong! Dia juga akan membunuh Yan Cu! Kemudian dia akan
membunuh diri sendiri!
"Yap-sicu,
tenanglah dan kalahkan nafsu di hatimu sendiri," tiba-tiba saja terdengar
suara Thian Kek Hwesio yang tenang, sabar dan penuh wibawa.
Cong San
dapat mengendalikan hatinya kembali, akan tetapi dia masih penasaran dan
bertanya lagi, "Losuhu! Apakah Losuhu hendak mengatakan bahwa seorang
gadis yang melakukan hubungan badani dengan seorang pria di luar pernikahan
bukan merupakan perbuatan kotor, hina, menjijikkan dan terkutuk?"
"Semua
perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran adalah hal terkutuk, Sicu,
terkutuk oleh kesadarannya sendiri melahirkan hukum karma. Kalau benar bahwa
isterimu pernah melakukan pelanggaran itu, maka sama saja dengan dia menanam
benih yang kelak setelah bersemi, buahnya akan dia petik sendiri. Sama sekali
tak ada hubungannya dengan dirimu, dan... hemmm, andai kata Sicu melakukan
perbuatan yang bukan-bukan menurutkan nafsu marah dan bertindak terhadapnya,
nah…, hal itu dapat saja dianggap sebagai karma atau akibat perbuatannya yang
sesat. Mengertikah engkau, Sicu? Akan tetapi, jangan lupa pula bahwa kalau Sicu
melakukan sesuatu yang mengerikan terhadap urusan ini, sicu juga tersesat,
tidak berbeda dengan yang telah dilakukan isteri Sicu, dan kesesatan ini pun
kelak akan berbuah."
"Akan
tetapi, Losuhu. Kalau saja seorang perempuan telah begitu merendahkan dirinya,
sebagai seorang gadis berjinah di luar nikah, perempuan seperti itu apakah
masih dapat dipercaya akan menjadi seorang isteri yang baik?"
"Sicu
bicara hanya menurutkan nafsu iba diri yang mempergunakan kemarahan untuk
membakar hati Sicu! Berjinah adalah satu dari sekian banyaknya perbuatan
menyeleweng dari manusia, akan tetapi janganlah Sicu menempelkan sebuah
perbuatan menyeleweng pada diri seseorang dan selanjutnya memastikan sebagai
penyeleweng seumur hidupnya! Yap-sicu, manusia di dunia ini siapakah yang tidak
pernah menyimpang dari kebenaran? Macam-macam penyelewengannya, hanya kebetulan
sekali perjinahan dianggap sebagai penyelewengan terbesar untuk kaum wanita,
akan tetapi tiap penyelewengan adalah hal manusiawi, timbul dari kelemahan
batin manusia. Betapa pun juga, tidak boleh menilai seseorang dari perbuatan
sesaat untuk dijadikan tanda selama hidupnya! Contohnya, maaf, suhu, terpaksa
teecu membawa nama suhu untuk menyadarkan Yap-sicu, adalah suhu kita sendiri.
Beliau pernah melakukan penyelewengan yang itu, akan tetapi apakah selanjutnya
beliau juga hidup sebagai seorang yang menyeleweng dari kebenaran? Sama sekali
tidak, sungguh pun hukum karma masih selalu mengikuti beliau! Sama saja dengan
isterimu, Sicu. Seorang yang melakukan penyelewengan dari kebenaran, adalah
seorang yang sedang sakit. Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya! Dan
harus diingat bahwa yang sakit dapat sembuh! Sebaliknya harus selalu menjadi
ingatan kita bahwa yang sesat dapat saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Maka,
selagi dalam sehat lahir batin, janganlah kita menekan terlalu berat kepada
mereka yang sedang sakit lahir batinya, karena mereka itu dapat sembuh dan kita
dapat jatuh sakit. Mengertikah, Sicu?"
Cong San
menunduk. Semua wejangan itu meresap di hatinya dan dapat dia mengerti
sepenuhnya. Hanya hati yang panas itu, betapa sukarnya menindas hati sendiri!
"Mohon
petunjuk, Losuhu. Bagaimana teecu harus bersikap terhadap isteriku itu? Betapa
teecu dapat melupakan perbuatannya, melupakan kenyataan bahwa isteri teecu
bukan perawan lagi!"
"Cinta kasih
yang murni akan dapat melenyapkan semua kekecewaan hati, Sicu. Cinta kasih yang
murni akan memperbesar kesabaran dan memperkaya maaf di hati dengan kesadaran
bahwa tak ada manusia tanpa cacad, maka segala cacad orang yang dicinta tentu
akan mudah dimaafkan. Menerima seseorang harus dengan mata terbuka, dengan
kesadaran sehingga akan mudah menerima orang itu berikut semua cacad-cacadnya
dan kelemahan-kelemahannya karena tahu bahwa diri sendiri pun bukanlah orang
yang tanpa cacad."
"Akan
tetapi, bagaimana teecu akan bisa melupakan tekanan batin ini? Apakah sebaiknya
teecu secara terus terang menanyakan hal itu dan menuntut supaya dia
menceritakan penyelewengannya yang lalu?'
Hwesio itu
menggeleng kepala. "Tidak bijaksana kalau Sicu berbuat demikian. Seorang
wanita memiliki perasaan yang sangat peka, mudah tersinggung. Kalau Sicu
mengajukan pertanyaan itu, apa pun kenyataannya, Sicu akan menderita akibatnya.
Kalau ternyata dia tidak berdosa, dia akan tersinggung dan menganggap Sicu
tidak percaya kepadanya dan hal ini mengakibatkan dia pun berkurang
kepercayaannya kepada Sicu. Sebaliknya, andai kata dia berdosa, dia akan
mengambil dua macam sikap, pertama dia bisa merasa malu dan rendah diri, bahkan
luka di hatinya itu, setiap penyelewengan tentu membekas dan menimbulkan luka
penyesalan di dalam hati, akan terbuka dan kambuh kembali, dia akan menganggap
Sicu memandang rendah dan tidak menghargai, dia dan hal ini hanya akan
mengingatkan dia akan pria pertama yang pernah merebut hati dan tubuhnya.
Kedua, kalau dia seorang yang tinggi hati, dia akan nekat dan malah menantang
Sicu dengan perbuatan yang seolah-olah tidak peduli dan tak mengindahkan lagi
ikatan pernikahannya dengan Sicu karena dia menganggapnya toh sudah rusak.
Sebaiknya, Sicu menenangkan diri, mengubur diri dengan cinta kasih dan penuh
maaf, didasari perasaan iba kepada isteri yang pernah menyeleweng dari
kebenaran hingga harus menanti datangnya hukum karma."
"Losuhu
berkata bahwa kalau dia tidak berdosa. Mungkinkah itu? Sudah jelas semalam...
bahwa..."
"Pinceng
sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, sudah tahu apa yang Sicu maksudkan.
Yap-sicu, tanda keperawanan seorang wanita bukan hanya dapat dibuktikan pada
waktu malam pengantin pertama. Banyak hal yang dapat terjadi, yang memungkinkan
wanita kehilangan tanda itu diluar hubungan jasmani dengan pria, misalnya
karena sakit, karena jatuh dan sebagainya. Terutama sekali harus diingat bahwa
isterimu itu adalah seorang wanita yang berilmu tinggi, yang sejak kecil telah
digembleng dengan ilmu silat, dengan gerakan-gerakan ketangkasan, maka
kehilangan tanda keperawanannya bukanlah hal yang aneh lagi. Sekali lagi, kalau
memang Sicu mencintanya, mengapa ribut-ribut urusan tanda keperawanan yang
tidak berarti? Jangan lupa, cinta kasih tempatnya di hati, bukan di... ehhh…,
maaf, bukan di situ!"
Wajah Cong
San menjadi terang kini. Sejak tadi dia mengalami perdebatan dan perang di
hatinya, dan wejangan-wejangan itu sudah membantunya sehingga akhirnya
kesadaran memperoleh kemenangan. Sekarang seperti baru terbuka mata hatinya
betapa tolol dia tadi, betapa gobloknya, hendak mengorbankan ikatan cinta kasih
murni antara dia dan Yan Cu hanya oleh soal sepele saja. Soal perawan atau
bukan! Aihhh terlalu lama dia meninggalkan Yan Cu!
"Losuhu...,
Suheng ... terima kasih... terima kasih...!" Karena teringat akan
isterinya, Cong San berkelebat dan sekali meloncat telah lenyap dari ruangan
itu.
Thian Kek
Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul sambil tertawa, kemudian dia
merangkap tangan di depan dada, memejamkan mata dan mengerutkan keningnya.
"Omitohud...
semoga Yap-sute mendapatkan penerangan di hatinya dan dapat menyingkir dari
bahaya kegelapan."
Dia
berkemak-kemik membaca doa karena hatinya prihatin sekali. Dengan mata batinnya
yang waspada, dia pun dapat melihat awan gelap menyelubungi diri sute-nya itu.
***************
Hati Yan Cu
mulai menjadi gelisah ketika sampai hampir tengah hari dia tidak melihat Cong
San datang. Ke mana perginya suaminya itu? Suaminya! Suaminya yang tercinta dan
mengenangkan Cong San, dada wanita muda ini terasa hangat dan penuh. Ah, tentu
ada sesuatu hal yang penting maka Cong San sampai meningalkannya tanpa pamit.
Dia harus menanti dengan sabar.
Tiba-tiba
Yan Cu melompat bangun, wajahnya pucat. Sesuatu! Jangan-jangan suaminya
tertimpa bahaya! Siapa tahu. Bhe Cui Im, iblis betina itu masih berkeliaran.
Dan Go-bi Thai-houw! Aihhh, kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya!
"Bhe
Cui Im, kalau sampai engkau berani mengganggu suamiku, aku bersumpah untuk
menghancurkan kepalamu!" Dia mengepal tinju. Akan tetapi kembali dia
menjadi gelisah. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya yang
tercinta?
"Ahhh,
Tuhan, semoga dia selamat. Koko, ke manakah engkau pergi?" Hampir Yan Cu
menangis kalau saja dia tidak ingat bahwa betapa memalukan kalau suaminya
datang melihat dia menangis, atau habis menangis, seperti anak kecil saja,
ditinggalkan sebentar juga menangis. Seperti wanita lemah yang manja dan
cengeng, sedikit-sedikit merengek!
Yan Cu
merasa heran menyaksikan perubahan hatinya sendiri. Ia adalah seorang wanita
gemblengan, seorang pendekar wanita yang semenjak kecil menghadapi kekerasan
tanpa berkedip mata, kini menjadi seorang wanita lemah, penakut serta mudah
sekali gelisah. Beginikah cinta? Aihhh, betapa hebat kekuasaan cinta. Dia
tersenyum bila teringat betapa dahulu bersama suheng-nya, Cia Keng Hong, dia
bicara tentang cinta!
Uihhh,
betapa jauh bedanya pelajaran kosong mengenai cinta itu dengan kenyataannya.
Bumi dengan langit! Kiranya tidak semudah itu cinta dipelajari dengan
kata-kata, tidak semudah itu untuk dapat diikuti dengan pikiran, tidak mungkin
diselami oleh akal budi manusia. Cinta hanya dapat DIRASA, titik! Percuma saja
bicara tentang dasar laut dari permukaannya! Seperti bicara tentang isi langit
dari atas bumi!
Tiba-tiba
lamunannya membuyar saat pendengarannya yang tajam terlatih itu mendengar suara
gerakan orang. Ia cepat-cepat membalikkan tubuh dan seketika wajahnya berseri,
matanya terbelalak bersinar-sinar, bibirnya terbuka, "Koko...!"
"Yan
Cu... ohhh, Yan Cu...!"
Bagaikan
berlomba lari Cong San dan Yan Cu saling menghampiri, saling menubruk dan
saling peluk dengan penuh kerinduan seakan-akan mereka sudah bertahun-tahun
saling berpisah! Kalau masih ada bekas-bekas kemarahan di hatinya, kini tersapu
bersihlah dari hati Cong San dan diam-diam dia mengutuk diri sendiri.
Isterinya
begitu mencintanya, jelas terasa oleh hatinya getaran kasih sayang yang keluar
dari tubuh Yan Cu, dari setiap ujung jari-jari tangannya, dari dengus napasnya,
dari sinar matanya, dari senyum manisnya. Aihhh, cinta kasih isterinya
bersembunyi di balik setiap gerak-geriknya, di balik setiap suara yang keluar
dari mulutnya, menempel di setiap bulu badannya, mengapa dia masih
menyangsikan!
Ia mencium
isterinya penuh kasih sayang dan kegelisahan mereka berdua lenyap ditelan dalam
ciuman yang lama dan mesra itu. Dan akhirnya Yan Cu melepaskan diri, napasnya
terengah-engah, tersenyum dan mengerling manja dengan mulutnya dibikin
cemberut.
"San-koko,
engkau sungguh keterlaluan, pagi-pagi buta sudah meninggalkan orang pergi tanpa
pamit!"
Cong San
yang melihat isterinya cemberut, matanya melerok, kakinya dibanting seperti
seorang anak kecil ngambek ini, tersenyum geli dan dia pun lantas menjura dalam-dalam
seperti orang memberi hormat kepada seorang ratu, "Mohon beribu ampun,
ratuku pujaan hati! Melihat engkau tidur demikian nyenyak, kelihatan lelah
sekali, hati kakanda mana mungkin tega membangunkanmu?"
"Ihhh!
Siapa yang bikin orang lelah!" Yan Cu mendengus, akan tetapi ia merangkul
leher suaminya ketika pinggangnya dipeluk, lalu bertanya dengan suara
sungguh-sungguh,
"Suamiku,
hatiku tadi benar-benar gelisah sekali. Tadinya kukira engkau mencari bahan
santapan, akan tetapi sampai hampir siang engkau belum juga kembali. Apakah
terjadi sesuatu, Koko? Tadi aku khawatir kalau-kalau engkau tertimpa mala
petaka!"
Aduh,
kekasihku, engkau tidak tahu betapa mala petaka hebat hampir saja merusak cinta
kasih kita, di dalam hatinya Cong San mengeluh. Akan tetapi mulutnya berkata,
"Kau maafkan aku. Aku... aku tadi teringat kepada suhu. Tadinya aku hanya
ingin menengok sebentar selagi kau tidur dan sekalian menangkap kijang atau
kelinci. Siapa kira, ketika sampai di sana, suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran
dan akan bertapa hingga mati kelak. Hatiku terharu sekali sehingga aku sampai
lama membujuk-bujuk agar suhu suka bicara untuk terakhir kalinya dengan aku,
akan tetapi sia-sia. Ketika aku kembali, hatiku demikian penuh rindu kepadamu
sampai aku lupa untuk menangkap bahan makanan dan perutku lapar bukan
main!"
"Apa
kau kira aku pun tidak lapar sekali? Heran sekali, baru sekarang terasa setelah
kau kembali!"
"Ha-ha-ha,
memang cinta membuat orang selalu merasa lapar dan haus!"
"Aaahh,
masa! Apa engkau selalu lapar dan haus setelah jatuh cinta kepadaku?"
"Tentu
saja, kelaparan dan kehausan. Hanya kerling matamu dan senyum bibirmu yang akan
dapat mengobati lapar dan dahagaku yang tak kunjung puas. Hemmm, siapa suruh
engkau memiliki mata dan bibir yang seindah ini?" Cong San mencium mata
dan bibir itu sampai Yan Cu terengah-engah.
"Eh-eh-eh,
engkau benar-benar buas tak kenal kenyang! Kalau begini terus, kita berdua
benar-benar kelaparan, lapar perut bukan lapar itu, hi-hi-hik!" Yan Cu
meronta kemudian melepaskan pelukan Cong San, lalu melarikan diri dikejar oleh
suaminya.
"Hayo
kita berlomba menangkap kelinci. Berlomba menangkap yang termuda dan paling
gemuk. Yang kalah harus menguliti kemudian memanggang dagingnya, melayani yang
menang!" Yan Cu terkekeh menantang.
Mereka lalu
berlari-lari seperti dua orang kanak-kanak mencari kelinci. Karena Cong San
memang mengalah, Yan Cu mendapatkan kelinci yang muda dan gemuk sekali, sedang
Cong San mendapatkan kelinci kurus yang terlepas kembali, ditertawakan Yan Cu.
Akan tetapi
Yan Cu bukan tidak tahu bahwa suaminya mengalah, maka dia membantu menguliti
kelinci, memanggang dagingnya berdua, lalu makan berdua, mencari buah dan makan
buah berdua pula. Tidak ada kesenangan lain yang lebih mengharukan hati dari
pada segala-galanya dilakukan berdua oleh suami isteri ini.
***************
Selama dua
pekan mereka berdua berbulan madu di tempat itu dan biar pun kadang-kadang Cong
San merasa seperti ada jarum menusuk hatinya dan telinganya mendengar bisikan
suara fitnah dan maki-makian Cui Im mengenai diri isterinya, namun dia sudah
dapat melenyapkannya kembali semua itu dan cintanya terhadap Yan Cu bersih dari
pada prasangka buruk.
Soal malam
pertama itu pun sudah dia buang jauh-jauh dari dalam hatinya dan dia telah
mengambil keputusan untuk melupakannya dan tidak bertanya apa-apa kepada Yan Cu.
Untuk menghilangkannya sama sekali, ketika suatu siang mereka berdua duduk di
tepi telaga di bawah pohon yang teduh, sambil memangku isterinya dan membelai
rambutnya, Cong San bertanya lirih,
"Isteriku..."
"Hemmm..."
"Yan Cu
moi-moi, apakah engkau cinta padaku?"
Yan Cu
terbelalak, lalu membalikkan tubuhnya, memandang wajah suaminya dan segera dia
tertawa terpingkal-pingkal!
Cong San
mengerutkan alisnya dan mukanya tiba-tiba berubah pucat tapi Yan Cu tidak
melihat perubahan muka ini karena dia sedang tertawa dan kedua matanya
terpejam.
"Yan
Cu, mengapa kau tertawa? Apakah yang lucu tentang pengakuan cintamu?"
Baru Yan Cu
terkejut ketika pundaknya diguncang oleh suaminya. Ia berhenti tertawa dan
memandang dengan kedua mata terbelalak. Juga Cong San baru sadar bahwa dia
telah bersikap kasar, maka dia memeluk isterinya dan berbisik, "Maaf...
ahh, aku telah menjadi gila!"
Yan Cu
merangkul leher suaminya. "Akulah yang minta maaf, suamiku. Sama sekali
tidak kumaksudkan untuk menyinggung hatimu. Aku memang merasa geli oleh
pertanyaanmu yang kuanggap aneh. Masih belum dapat melihatkah engkau betapa
cintaku kepadamu amat besar, dengan seluruh hati dan jiwaku? Aihhh, suamiku,
pertanyaanmu benar aneh. Aku cinta padamu! Aku cinta padamu! Nah, kalau kau
belum puas boleh kuulangi sampai seribu kali, aku cinta padamu, aku cinta
padamu, aku cinta..." Terpaksa Yan Cu tak dapat melanjutkannya karena
bibirnya telah dicium oleh Cong San dan dia merasa betapa bibir suaminya
menggigil dan ada terasa olehnya sedu sedan yang naik dari dada suaminya ke
mulutnya.
Dengan
pengakuan itu, tersapu bersihlah segala keraguan hati Cong San. Tidak mungkin
isterinya pernah berhubungan dengan pria lain. Tentu benar seperti yang
dikatakan Thian Kek Hwesio, isterinya kehilangan tanda keperawanannya karena
latihan ilmu silat yang berat. Atau... andai kata... semoga tidak demikian jika
Tuhan menghendaki, andai kata benar Yan Cu pernah melakukan penyelewengan, dia
sudah memaafkannya karena yang terpenting sekarang dan selama hidupnya, Yan Cu adalah
miliknya, tubuh serta hatinya, dan terutama sekali cintanya!
Mereka
meninggalkan tempat yang menjadi sorga pertama bagi mereka itu, menuju ke kota
Leng-kok. Paman Cong San adalah kakak mendiang ibunya, menerima kedatangan
mereka dengan gembira dan ramah, kemudian berkat bantuan pamannya ini, Cong San
dan isterinya dapat membuka sebuah toko obat-obatan di kota itu, hidup dalam
keadaan sederhana namun cukup, dan kaya dengan cinta yang membuat mereka seakan
tidak membutuhkan benda-benda duniawi lainnya lagi.
Suami isteri
muda ini sama sekali tidak tahu bahwa kadang-kadang ada sepasang mata yang
indah tetapi berkilat penuh kebencian mengintai mereka. Tidak tahu bahwa ada
otak kepala beberapa orang manusia yang mencari-cari kesempatan untuk melakukan
pukulan maut yang akan membuat kebahagiaan mereka hancur berantakan. Tidak tahu
bahwa Bhe Cui Im, wanita yang diperhamba nafsu iblis itu tidak pernah
melepaskan mereka dari intaiannya, hendak menjadikan mereka sebagai jalan untuk
memuaskan nafsu kebencian dan dendamnya!
Selama
setengah tahun suami isteri muda ini tinggal di kota Leng-kok dan Yan Cu telah
mengandung enam bulan! Tentu saja hal ini memperlengkap kebahagiaan mereka dan
membuat mereka selalu bersyukur kepada Tuhan yang sudah melimpahkan berkah dan
kebahagiaan kepada mereka.
Pekerjaan
mereka pun maju dan nama Cong San kini terkenal sebagai Yap-sinshe ahli
pengobatan, padahal yang sesbenarnya ahli dalam hal pengobatan adalah
isterinya! Toko obat mereka makin besar dan mereka hidup tidak kekurangan lagi....
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment